152_5

Upload: gigih-erfianto

Post on 10-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

proses praproduksi ternak oleh samsul bahri dkk, 2005

TRANSCRIPT

  • Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 27

    Pangan asal ternak sangat dibutuhkanmanusia sebagai sumber protein.Protein hewani menjadi sangat pentingkarena mengandung asam-asam aminoyang mendekati susunan asam aminoyang dibutuhkan manusia sehingga akanlebih mudah dicerna dan lebih efisienpemanfaatannya (Institut PertanianBogor 1982). Namun demikian, panganasal ternak akan menjadi tidak bergunadan membahayakan kesehatan manusia

    apabila tidak aman. Oleh karena itu,keamanan pangan asal ternak merupa-kan persyaratan mutlak (Winarno 1996).

    Pentingnya keamanan pangan inisejalan dengan semakin baiknya ke-sadaran masyarakat akan pangan asalternak yang berkualitas, artinya selainnilai gizinya tinggi, produk tersebut amandan bebas dari cemaran mikroba, bahankimia atau cemaran yang dapat meng-ganggu kesehatan. Oleh karena itu,

    keamanan pangan asal ternak selalumerupakan isu aktual yang perlu men-dapat perhatian dari produsen, aparat,konsumen, dan para penentu kebijakan,karena selain berkaitan dengan kesehat-an masyarakat juga mempunyai dampakekonomi pada perdagangan lokal, regio-nal maupun global.

    Pada akhir tahun 1960-an, perhatianmasyarakat dunia terhadap berbagairesidu senyawa asing (xenobiotics) pada

    PROSES PRAPRODUKSI SEBAGAI FAKTORPENTING DALAM MENGHASILKAN PRODUK

    TERNAK YANG AMAN UNTUK MANUSIA

    Sjamsul Bahri, E. Masbulan, dan A. Kusumaningsih

    Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

    ABSTRAK

    Pangan asal ternak sangat dibutuhkan untuk menunjang kehidupan dan kualitas hidup manusia, sekaligus sebagaikomoditas dagang. Oleh karena itu, produk peternakan dituntut memiliki mutu tinggi agar berdaya saing serta amandikonsumsi. Makalah ini menyajikan data dan informasi mengenai berbagai cemaran dan residu senyawa asing padaproduk peternakan di Indonesia, serta mengulas berbagai faktor yang terkait dengan rantai penyediaan pangan dansistem keamanan produk peternakan. Dari bahasan ini diketahui bahwa penggunaan obat hewan, terutama yangdicampur dalam pakan sudah sangat meluas dan cenderung tidak mengikuti ketentuan. Sementara itu berbagai residu(antibiotik, preparat sulfa, mikotoksin, hormon, dan pestisida) ditemukan pada produk ternak seperti susu, telur,daging, dan organ hati ternak. Pakan, penyakit ternak, obat hewan, pengawasan dan manajemen pada prosespraproduksi memegang peranan penting dalam menghasilkan produk ternak yang bermutu tinggi dan amandikonsumsi. Pengetahuan dan kesadaran peternak (produsen) untuk menghasilkan produk peternakan yang bermutu,bebas dari penyakit dan cemaran atau residu perlu ditingkatkan. Penerapan HACCP (hazard critical controle point)pada proses praproduksi diyakini dapat menghasilkan produk ternak yang bermutu dan aman untuk manusia.

    Kata kunci: Pemeliharaan ternak, produk ternak, residu, kesehatan

    ABSTRACT

    Praproduction process as an important factor in producing livestock products for human health

    Food originally from livestock are very important for human live and quality of human being, more over as tradecommodity. To achieve these, livestock products must have a good quality, free of animal diseases or residues, safefor human consumption, and have a high competition in global market. This paper present some information onresidues at livestock products and factors involved in that process of the whole food chain in Indonesia. The datashowed that animal medicine (especially antibiotics, feed additive, and feed supplement) is widely used by farmersin incorrect doses. A high level of some residues (e.g. antibiotics, sulpha preparation, mycotoxins, hormones, andpesticides) were also found in the products, including milk, eggs, meat, and liver. So it is very important to controland manage all stage of the food chain, rather than food products alone. A good quality of training and extensionin this field for farmers or producers should be developed. Application of hazard analysis of critical control points(HACCP) in every steps of the whole food chain process will give a good quality of livestock products and safe forhuman consumption.

    Keywords: Animal husbandry, animal products, residues, health

  • 28 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

    bahan pangan asal ternak masih sangatkurang, karena pada saat itu perhatianmasyarakat masih terpusat kepadamasalah residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran. Namun, setelahterungkap kandungan senyawa DDT,dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat-obatan lain pada produk ternak, produkasal ternak mulai mendapat perhatiankhusus (Bahri 1994).

    Seiring dengan peningkatan kualitashidup dan kehidupan, maka pembangun-an peternakan tidak hanya dituntut untukmenyediakan produk ternak dalam jumlahyang mencukupi, tetapi juga produktersebut harus berkualitas dan amanbagi konsumen. Keadaan ini semakinmendesak dengan adanya UU No. 8 tahun1998 tentang perlindungan konsumen.Keberadaan residu obat hewan golonganantibiotik dan sulfa, hormon, dan senyawamikotoksin pada produk ternak sepertisusu, telur, dan daging telah dilaporkandi Indonesia (Maryam et al. 1995; Dewiet al. 1997; Widiastuti et al. 2000; 2004a).

    Untuk mendapatkan produk ternakyang aman bagi manusia harus dimulaidari farm (proses praproduksi) sampaipenanganan pascaproduksinya. Padamakalah ini dibahas keamanan panganasal ternak dengan fokus pada prosespraproduksi (pemeliharaan ternak dipeternakan) karena proses tersebutmerupakan bagian penting dalam upayamenghasilkan produk ternak yang amandikonsumsi. Penulisan makalah inibertujuan untuk mengingatkan kembalisemua pihak, terutama pelaku agri-bisnis peternakan di Indonesia agarmenghasilkan pangan asal ternak yangberdaya saing tinggi dan aman di-konsumsi.

    FAKTOR-FAKTOR PENTINGUNTUK MENGHASILKANPRODUK TERNAK YANGAMAN DAN BERMUTU

    Kontaminasi Produk dariLingkungan

    Proses praproduksi berperan pentingdalam menghasilkan produk ternak yangaman dan bermutu untuk konsumsimanusia. Dalam proses praproduksi ini,berbagai faktor akan mempengaruhikehidupan ternak dan keamanan produk

    yang dihasilkan. Faktor-faktor tersebutadalah tanah, air, udara, bahan kimia,obat hewan, pakan, dan penyakit ternak(Gambar 1).

    Faktor lingkungan (tanah, air, udara)di mana ternak dipelihara dapat mem-pengaruhi keamanan ternak dan produkyang dihasilkan. Tanah dan sumber airyang tercemar mikroba patogen sepertiE. coli, Salmonella, antraks dan Clos-tridium maupun logam berat atausenyawa toksik lainnya, dapat ber-pengaruh terhadap ternak dan keamananproduk yang dihasilkan.

    Pestisida dan bahan kimia lain yangdigunakan dalam pemeliharaan ternakdapat mengkontaminasi sumber pakan,air minum, kandang, dan lingkung-an sekitarnya sehingga dapat mem-pengaruhi kesehatan ternak maupunproduknya. Cemaran pestisida (golonganorganokhlorin dan organofosfat) padadaging ayam, susu sapi, daging danlemak sapi asal Jawa Barat telah dilapor-kan oleh Murdiati et al. (1998) sertaIndraningsih dan Sani (2004) sepertitercantum pada Tabel 1.

    Kontaminasi oleh PenyakitHewan Menular

    Status penyakit hewan menular ataupenyakit zoonosis seperti antraks, virusnipah, cystisercosis, dan mad cow (sapigila) akan mempengaruhi kesehatan ter-nak maupun keamanan produknya.Penyakit ini bahkan dapat menjadi

    hambatan dalam perdagangan nasional,regional maupun global. Kasus penyakitantraks pada burung unta di Purwakarta,Jawa Barat pada akhir tahun 1999 telahmenyebabkan 34 orang yang meng-konsumsi daging tercemar antraks ter-tular penyakit tersebut (Hardjoutomo etal. 2000; Widarso et al. 2000). Demikianjuga dengan kasus penyakit antrakspada manusia di Kabupaten Bogor,disebabkan mengkonsumsi daging dombayang terserang antraks (Noor et al.2001; Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan 2004). Hal ini di-karenakan produk ternak yang dihasilkanternak penderita antraks menjadi tidakaman, baik bagi manusia maupun ling-kungan budi daya ternak. Demikianhalnya dengan kasus penyakit BSE (sapigila) di Inggris dan beberapa negaraEropa lainnya, telah menyebabkan dagingsapi tersebut menjadi tidak aman di-konsumsi manusia (Darminto dan Bahri1996: Sitepu 2000).

    PERAN OBAT HEWANDALAM KEAMANANPRODUK TERNAK

    Pada tahap praproduksi, penggunaanobat hewan merupakan suatu keharusanagar produktivitas ternak dapat diper-tahankan atau ditingkatkan. Dari peng-amatan di lapang, pemakaian antibiotikterutama pada peternakan ayam pedagingdan petelur cenderung berlebihan tanpa

    Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ternak dan keamanan produk ternakpada proses praproduksi (pemeliharaan) di peternakan.

    Proses Praproduksi(Pemeliharaan) di

    Peternakan

    Bahan kimia

    Obat hewan

    Pakan/tanaman

    Tanah

    Air

    Udara

    Produk ternak(telur, daging, susu)

    Penyakit ternak

    s

    ss

    ss

    ss

    s

  • Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 29

    memperhatikan aturan pemakaian yangbenar (Bahri et al. 2000). Penggunaan obathewan yang kurang tepat ini kemungkin-an berkaitan dengan pola pemasaranobat hewan di lapangan, di mana 33,30%peternak ayam petelur skala kecil dan30,80% peternak broiler skala kecil yangtidak mempunyai dokter hewan, mendapatobat langsung dari distributor atauimportir, sehingga dikhawatirkan peng-gunaan obat-obatan tersebut tidakmengikuti aturan yang benar (Kusuma-ningsih et al. 1997). Seharusnya hanyapeternak besar yang memiliki tenagadokter hewan yang boleh berhubunganlangsung dengan distributor atau importirobat. Selain itu, peternak sering kurangmemahami waktu henti (withdrawaltime) suatu obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produkternak (Kusumaningsih et al. 1996; Bahri

    et al. 1993; 2000). Waktu henti adalahkurun waktu dari saat pemberian obatterakhir hingga ternak boleh dipotongatau produknya dapat dikonsumsi.Herrick (1993) dan Spence (1993) me-laporkan bahwa walaupun peternakmengetahui adanya waktu henti obat,sebagian dari mereka tidak mematuhinya.

    Herrick (1993) melaporkan bahwasekitar 50% penyimpangan residu obatpada produk ternak disebabkan tidakdipatuhinya waktu henti pemberian obat.Menurut Spence (1993), 15,60% peternakdi Australia tidak mematuhi ketentuanwaktu henti obat, sedangkan di Indonesiahanya 8,16% peternak sapi perah yangmematuhi waktu henti obat dengantidak menjual susu segar ke koperasiselama 25 hari setelah pengobatan(Bahri et al. 1993; Kusumaningsih et al.1996). Herrick (1993) juga melaporkan

    bahwa pemakaian obat yang dilakukanoleh peternak sendiri telah menyebabkanpenyimpangan residu obat pada produkternak sebesar 6365%. Keadaan inikemungkinan besar berkaitan dengandosis dan waktu henti obat yang tidakdiikuti. Di Australia, sekitar 35,40%pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan secara tepat (Spence 1993).Kesalahan semacam ini kemungkinanjuga terjadi di Indonesia dengan per-sentase yang jauh lebih tinggi.

    Kusumaningsih et al. (1996) menya-takan bahwa hanya 20% peternak sapiperah di Jawa Barat mengetahui jenisobat yang digunakan oleh petugas DinasPeternakan atau koperasi. Dari 20%tersebut hanya 14,28% peternak yangmengetahui adanya waktu henti obat,sedangkan yang mematuhi waktu hentiobat dengan tidak menjual susu kekoperasi selama 25 hari setelah peng-obatan hanya 8,16%.

    Waktu henti obat hewan sangatbervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat,2) spesies hewan, 3) faktor genetik ternak,4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6)dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8)produk ternak yang dihasilkan, 9) batastoleransi residu obat, dan 10) formulasiobat. Oleh karena itu, sudah sewajarnyasetiap perusahaan yang memproduksiobat hewan mencantumkan keterangansecara jelas tentang waktu hentipemberian obat.

    Waktu henti pemberian obat hewanyang tidak dipatuhi menyebabkanterjadinya residu obat hewan pada pro-duk ternak (Bahri et al. 1992; Murdiati etal. 1998; INIANSREDEF 1999; Widiastutiet al. (2004b). Data pada Tabel 2 dan 3menunjukkan bahwa persentase kejadiancemaran antibiotik pada susu cukuptinggi (lebih dari 50%), dan jenis anti-biotik yang paling sering mencemarisusu adalah golongan penisilin dantetrasiklin. Murdiati dan Widiastuti(2003) juga mengungkapkan adanyacemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakanpada hewan. Daging dan hati ayambanyak pula yang tercemar residu anti-biotik terutama golongan penisilin dantetrasiklin dan cemaran pada organ hatilebih tinggi dibanding pada daging,Pada daging dan hati sapi juga dijumpairesidu antibiotik dan hormon.

    Residu antibiotik pada susu diper-kirakan sebagai akibat pengobatanterhadap penyakit mastitis, karena

    Tabel 1. Cemaran berbagai senyawa toksik (mikotoksin dan pestisida) padasusu, telur, daging, dan hati ayam serta daging dan hati sapi diJawa.

    Jenis bahan Senyawa Kadar rata-rata Sumberpangan (N) toksik (ppb)

    Susu, Boyolali (25) AFM1 1,69 Maryam et al. (1993)Susu, Bogor (12) AFM1 0,040,17 Bahri et al. (1994)Telur ayam buras, Ro 1,04 Maryam et al. (1994) Blitar (20)Telur itik, Blitar (10) AFB1 0,37 Maryam et al. (1994)

    Ro 1,50 Maryam et al. (1994)Hati ayam broiler, AFM1 12,07 Maryam (1996) Jawa Barat (31) Ro 1,54 Maryam (1996)Telur ayam ras, Bandung AFM1 0,123 Maryam et al. (1995) (20) Ro 0,147 Maryam et al. (1995)Daging ayam broiler, AFM1 7,36 Maryam (1996) Jawa Barat (31) Ro 0,34 Maryam (1996)Daging sapi, Jawa AFB1 0,4561,139 Widiastuti (2000) Barat (30)Hati sapi, Jawa Barat (20) AFB1 0,331,44 Widiastuti (2000)Daging ayam, Jawa Lindane 38 (62%)* Murdiati et al. (1998) Barat (61) Aldrin 18 (29%)* Murdiati et al. (1998)

    Endosulfan 15 (25%)* Murdiati et al. (1998)DDT 20 (33%)* Murdiati et al. (1998)Diazinon 3 (5%)* Murdiati et al. (1998)Heptachlor 37 (61%)* Murdiati et al. (1998)

    Susu sapi, Jawa Barat (37) AFM1 0,13 Widiastuti et al. (2004a)Susu, Pengalengan (25) OC 20,50 Indraningsih dan Sani (2004)

    O P 50,10Daging sapi, Bogor (44) OC 19,60 Indraningsih dan Sani (2004)

    O P 219,90Hati sapi, Bogor (44) OC 23,60 Indraningsih dan Sani (2004)

    O P 452,90Lemak sapi, Bogor (44) OC 0,70 Indraningsih dan Sani (2004)

    O P 619,90

    AFB1= aflatoksin B1, OC = organoklorin, Ro = aflatoksikol, OP = organofosfat, AFM1 =aflatoksin M1.*Jumlah dan persentase positif dengan kadar masih berada di bawah BMR.

  • 30 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

    Tabel 2. Residu obat hewan dan hormon pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa dan Bali.

    Produk ternak Jumlah Persen Jenis residu Sumberdan asalnya sampel positif (obat/hormon)

    Susu segar (Jawa Tengah) 91 5,50 Tetrasiklin Bahri et al. (1992)91 63,70 Khlortetrasiklin Bahri et al. (1992)91 70,30 Oksitetrasiklin Bahri et al. (1992)

    Susu pasteurisasi 206 32,50 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)Susu segar 22 59,10 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)Daging ayam (Jawa Timur) 60 13,20 Antibiotik Hartati et al. (1993)Hati ayam (Jawa Timur) 40 82,50 Antibiotik Hartati et al. (1993)Hati ayam kampung (Jawa Timur) 30 76,70 Oksitetrasiklin Darsono (1996)Hati broiler (Jawa Timur) 30 83,33 Oksitetrasiklin Darsono (1996)Daging ayam (Bali) 50 8 Sulfa Dewi et al. (1997)Telur ayam (Bali) 50 38 Sulfa Dewi et al. (1997)Daging ayam (Jawa Barat) 93 70 Oksitetrasiklin Murdiati et al. (1998)

    93 30 Khlortetrasiklin Murdiati et al. (1998)Daging sapi (Jakarta) 49 16,30 Penisilin-G Yuningsih et al. (2000)Daging sapi impor (Jakarta) 34 58,80 17- Trenbolone Widiastuti et al. (2000)Hati sapi impor (Jakarta) 16 37,50 17- Trenbolone Widiastuti et al. (2000)Susu sapi (Jawa Barat) 29 20,70 Kloramfenikol Murdiati dan Widiastuti (2003)Daging ayam (Jawa Barat) 25 8 Siprofloksasin Widiastuti et al. (2004b)

    25 28 EnrofloksasinHati ayam (Jawa Barat) 10 10 Siprofloksasin Widiastuti et al. (2004b)

    10 20 Enrofloksasin

    Tabel 3. Persentase residu antibiotik pada susu, daging sapi, hati sapi, dagingayam, dan hati ayam dari berbagai sumber di Jawa, Bali, danLampung.

    Produk/ Sumber/ Persentase sampel positif

    sampel sampel Antibiotik Penisilin Makrolida Amino Tetra-keseluruhan glikosida siklin

    Susu (24) Peternak (10) 63,60 18,20 18,20 18,20 54,50Koperasi (11) 63,60 54,50 18,20 0 54,50Pengolahan susu (3) 50 50 50 0 50Total (24) 62,50 37,50 20,80 8,30 54,20

    Daging RPH (16) 87,50 87,50 0 0 0sapi (56) Pasar tradisional (12) 100 100 0 0 8,30

    Supermarket (20) 100 100 18,80 0 18,80Distributor (8) 100 100 0 0 0Total (56) 96,50 96,50 5,30 0 7

    Hati sapi RPH (22) 100 100 4,50 0 0(48) Pasar tradisional (10) 100 100 11,10 0 22,20

    Supermarket (8) 100 100 12,50 0 12,50Distributor (8) 87,50 87,50 0 0 0Total (48) 97,90 97,90 6,40 0 6,40

    Daging RPU (16) 25 18,80 0 0 0ayam (40) Pasar tradisional (12) 25 25 0 0 0

    Supermarket (12) 41,70 41,70 0 0 0Total (40) 30 27,50 0 0 0

    Hati ayam RPU (15) 100 100 6,70 0 13,30(32) Pasar tradisional (10) 100 100 10 30 10

    Supermarket (7) 100 100 0 14,30 0Total (32) 100 100 6,30 12,50 9,40

    Total sampel (200) 80 76,50 6,50 3 11,50

    Sumber: INIANSREDEF (1999).

    prevalensi mastitis subklinis di Indonesiasangat tinggi yaitu 87,10% (Sudarwanto1995). Keadaan ini diperkuat olehKusumaningsih et al. (1996) yang menya-takan bahwa cukup banyak peternak sapiperah yang mengobati ternaknya sendiri,sedangkan peternak yang memahamiwaktu henti obat sangat sedikit.

    Kandungan residu obat yang me-lewati batas maksimum residu (BMR)yang ditetapkan akan menyebabkandaging dan susu tersebut tidak amandikonsumsi karena dapat menimbulkanreaksi alergis, keracunan, resistensimikroba tertentu atau mengakibatkangangguan fisiologis pada manusia. Hasilsurvei di Amerika menunjukkan sekitar77% responden mengkhawatirkan ma-salah residu obat-obatan (terutamagolongan antibiotik) pada daging ternak(Resurreccion dan Galvez 1999). Beberapakasus gangguan terhadap resistensibakteri Campylobacter yang berkaitandengan masalah residu antibiotik diAmerika Serikat dilaporkan oleh Hurd etal. (2004).

    Penilaian terhadap daging, susu, dantelur bergantung pada kadar dan jenisresidu yang ditemukan pada produktersebut. Produk asal ternak yangmengandung residu obat di atas BMRsebaiknya tidak dikonsumsi apalagi

  • Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 31

    diekspor. Namun, pada kenyataannyaresidu obat hewan pada daging dan telurayam banyak yang di atas BMR (Darsono1996; Dewi et al. 1997; Murdiati et al. 1998).

    PERAN PAKAN DALAMKEAMANAN PRODUKTERNAK

    Pakan memegang peranan terpentingdalam sistem keamanan pangan asalternak karena mutu pakan akan tercermindalam produk ternak yang dihasil-kan. Pakan yang tercemar oleh berbagaisenyawa toksik maupun yang mengan-dung obat hewan akan berinteraksidengan jaringan (organ) dalam tubuhternak. Kadar cemaran senyawa toksikyang cukup tinggi dengan cepat dapatmematikan ternak, bergantung pada sifattoksisitas senyawa tersebut. Dalamjumlah kecil, cemaran ini tidak menim-bulkan efek langsung, tetapi akan berefekkronis dan tetap berada dalam tubuh. Didalam tubuh, sebagian senyawa kimia(toksik) tersebut akan dimetabolisirmenjadi senyawa lain (metabolit) yangumumnya kurang toksik, tetapi adasebagian senyawa kimia yang meta-bolitnya menjadi lebih toksik daripadasenyawa induknya, misalnya nitrit.

    Senyawa induk maupun metabolit-nya sebagian akan dikeluarkan daritubuh melalui air seni dan feses, tetapisebagian lagi akan tetap tersimpan didalam jaringan (organ tubuh) yangselanjutnya disebut sebagai residu.Apabila pakan yang dikonsumsi ternakselalu (sering) terkontaminasi ataumengandung senyawa kimia (toksik)maupun obat hewan, maka residusenyawa kimia atau obat tersebut akanterakumulasi di dalam jaringan (organtubuh) dengan konsentrasi yang ber-variasi antara jaringan (organ tubuh) yangsatu dengan lainnya. Dengan demikian,senyawa kimia (toksik) atau obat hewanyang semula terdapat dalam bahan pa-kan atau ransum makanan ternak telahberpindah (menyatu) pada produk asalternak, sehingga dapat membahayakankesehatan masyarakat yang mengkon-sumsinya.

    Keamanan pangan asal ternakberkaitan erat dengan pengawasan pakanatau bahan pakan. Berkaitan dengan halini, pemerintah menerbitkan berbagaikebijakan atau peraturan yang berkaitan

    dengan pakan, seperti SK MenteriPertanian, SK Dirjen Peternakan sampaidengan SNI tentang pakan No. 01-3930-1995.

    Obat Hewan sebagai ImbuhanPakan

    Menurut Bahri et al. (2000), hampirsemua pabrik pakan menambahkan obathewan berupa antibiotik ke dalam pakankomersial, sehingga sebagian besarpakan komersial yang beredar di Indo-nesia mengandung antibiotik (Tabel 4).Keadaan ini diperkuat oleh informasibahwa sebagian besar sampel pakanayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor,Tangerang, dan Bekasi positif mengan-dung residu antibiotik golongan tetra-siklin dan obat golongan sulfonamida(Balai Penelitian Veteriner 1990; 1991).Dengan demikian, apabila peternak yangmenggunakan ransum tersebut tidakmemperhatikan aturan pemakaiannya,diduga kuat produk ternak mengandungresidu antibiotik yang dapat meng-ganggu kesehatan manusia, antara lainberupa resistensi terhadap antibiotiktertentu (Hurd et al. 2004). Terlebih lagisepertiga dari pabrik pakan yang diamatijuga menambahkan obat koksidiostatselain antibiotik (Bahri et al. 2000),sehingga akan menambah jenis residupada produk ternak.

    Penggunaan imbuhan pakan untukmeningkatkan efisiensi pakan dan pro-

    duktivitas ternak telah meluas, terutamapada ayam petelur dan pedaging, babi,sapi perah, dan sapi potong karenasecara ekonomis menguntungkan pe-ternak. Keadaan ini menyebabkan ternakterus-menerus terekspose obat hewanhampir sepanjang hidupnya, sehinggaproduk ternak yang dihasilkan kemung-kinan besar masih mengandung residuobat, terutama apabila dosis obat danwaktu hentinya tidak dipatuhi.

    Pemakaian antibiotik dan obathewan yang tergolong obat keras perlumemperhatikan waktu henti. Setelah waktuhenti terlampaui diharapkan residu tidakditemukan lagi atau telah berada di bawahBMR sehingga produk ternak amandikonsumsi (Debackere 1990). Tidakdipatuhinya waktu henti obat kemung-kinan disebabkan 1) bahaya residu anti-biotik pada pangan asal ternak belumdipahami, 2) peternak belum mengetahuiwaktu henti obat setelah pemakaianantibiotik, dan 3) banyak perusahaanobat hewan tidak mencantumkan waktuhenti obat dan tanda peringatan khusus.

    Beberapa pabrik pakan telah me-lakukan uji mutu bahan baku pakan danpakan komersial yang diproduksinya(Bahri et al. 2000; Tabel 5). Pemeriksaandilakukan terhadap bau, ketengikan,jamur, serta kandungan aflatoksin.Sebagian pabrik pakan (50%) jugamemeriksa cemaran mikroba patogen.Selain cemaran aflatoksin, logam berat,dan mikroba, juga ditemukan senyawaobat-obatan seperti golongan antibiotik,

    Tabel 4. Penambahan feed additive dan feed supplement pada pakan yangdiproduksi oleh beberapa pabrik pakan dan peternak di Jabotabek.

    Jenis senyawa Pabrik pakantambahan A B C D E F Kelompok

    peternak

    Feed additiveAntibiotik + + + + + +Koksidiostat + + + Enzim + Antijamur + + Antioksidan + + + Feed supplementVitamin +* + + +* + + +Mineral + + + +* + + Asam amino +** + + +* + +

    *Dalam bentuk campuran premix, ** asam amino lisin dan metionin, + = dilakukanpenambahan, = tidak dilakukan penambahan.Sumber: Bahri et al. (2000).

  • 32 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

    koksidiostat, dan antijamur yang secarasengaja dicampur ke dalam pakan(ransum) untuk tujuan tertentu sepertisebagai pemacu pertumbuhan.

    Data pada Tabel 5 mengindikasikanbahwa hampir semua pakan komersial(85,70%) mengandung antibiotik, 50%mengandung koksidiostat, dan 33,30%mengandung obat antijamur. Hal inimempertegas bahwa peluang adanyaresidu antibiotik dan obat-obatan lain-nya pada daging dan telur ayam semakinbesar.

    Masalah Mikotoksin padaPakan

    Selain mengandung antibiotik, pakandan bahan pakan ayam di Indonesia jugatercemar berbagai mikotoksin sepertiaflatoksin, zearalenon, cyclopiazonic

    berkembangnya isu tentang tanamantransgenik, yaitu tanaman hasil rekayasagenetik seperti jagung Bt dan kedelai Btyang diproduksi Amerika Serikat. Se-bagian ilmuwan mengkhawatirkan dampaknegatif akibat mengkonsumsi produkpertanian hasil rekayasa genetik tersebut.Kekhawatiran ini juga dapat terjadi padaproduk ternak yang proses budi dayanyamenggunakan produk-produk tanamantransgenik seperti jagung Bt dan kedelaiBt. Folmer et al (2002) menyatakan bahwasapi yang diberi pakan dasar jagung Bttidak memperlihatkan perbedaan yangnyata dalam pertumbuhan bobot badandan performan lainnya, tetapi penelitianini tidak mempelajari aspek kesehatannya.Sampai saat ini, kekhawatiran terhadapkeamanan produk ternak akibat konsumsitanaman transgenik masih menjadiperdebatan, baik di kalangan ilmuwanmaupun pemegang kebijakan danmasyarakat luas.

    Meat and Bone Meal padaPakan

    Permasalahan lain pada pakan adalahkekhawatiran penggunaan meat and bonemeal (MBM) sebagai campuran pakan,terutama untuk ternak ruminansia. Hal iniberkaitan dengan isu penyakit sapi gilayang salah satu penularannya didugakuat melalui penggunaan MBM asalternak ruminansia yang menderita atautertular penyakit sapi gila (Darminto danBahri 1996; Sitepu 2000). Dengandemikian, pakan yang mengandungMBM berpotensi menghasilkan produkternak yang tidak aman bagi kesehatanmanusia. Oleh karena itu, negara-negaraUni Eropa dan Amerika telah melarangpenggunaan MBM untuk pakan ternakruminansia.

    Kontaminan Lain pada Pakan

    Berbagai kontaminan baik berupa bahankimia maupun mikroorganisme dapatmencemari pakan secara alami maupunnonalami. Beberapa contoh kasus iniadalah cemaran dioksin pada daging ayamdan babi serta susu dan telur yang terjadidi Belgia, Belanda dan Perancis padatahun 1999. Dalam kasus ini, kandungandioksin pada telur ayam berkisar 265737pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak,dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan

    Tabel 5. Uji mutu bahan baku pakan dan pakan jadi (ransum) yangdiproduksi oleh beberapa pabrik pakan dan peternak di Jabotabek.

    Kategori ujiPabrik pakan

    A B C D E F Kelompok peternak

    Bahan pakanKualitas fisik + + + + + + + (bau, tengik, jamur)Residu logam berat + pestisida + aflatoksin + + + + + + Mikroba patogen + + +

    Ransum jadiNutrisi (proksimat) + + + + + + Aflatoksin + + + + + + Asam amino + + + + Feed additive + Feed supplement + Cemaran mikroba .

    Penandaan dan pengemasanransum (SNI-01-3930-1995)Nama dan merek + + + + + Nama dan alamat + + + + +

    perusahaanNomor dan izin perusahaan + + + + + Jenis dan kode ransum + + + + + Bentuk ransum + + + + + Berat ransum + + + + + Tanggal produksi Tanggal Kedaluwarsa Cara penggunaan + + + +

    ransum

    + = Dilakukan pengujian atau penandaan, = tidak dilakukan.Sumber: Bahri et al. (2000).

    acid, dan okratoksin A (Ginting 1984;Widiastuti et al. 1988; Maryam 1994; Bahriet al 1995). Dari berbagai mikotoksintersebut yang paling dominan adalahaflatoksin khususnya aflatoksin B1(AFB1). Cemaran mikotoksin pada pakanterjadi sepanjang tahun dengan kadaryang bervariasi, sehingga produk ternak,terutama daging ayam, telur, dan susuperlu diwaspadai terhadap residu miko-toksin (Tabel 1). Bahri et al (1994)melaporkan terdapat korelasi yang positifantara keberadaan AFB1 pada pakandengan AFM1 pada susu yang dihasilkanternak sapi perah.

    Tanaman Transgenik sebagaiBahan Pakan

    Masalah pakan yang juga berkaitandengan keamanan produk ternak adalah

  • Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 33

    batas ambang maksimal kandungandioksin adalah 1 pg/g lemak (Putro 1999).Pencemaran bersumber dari salah satubahan pakan yang diproduksi oleh suatuperusahaan di Eropa. Kontaminasi lainpada pakan seperti logam berat, senyawapestisida maupun senyawa beracunlainnya setiap saat dapat terjadi dan akanmempengaruhi keamanan produk ternakyang dihasilkan.

    Pengawasan Pakan

    Tidak semua ransum pakan yangmengandung obat hewan dilengkapietiket yang memuat penjelasan mengenaipenggunaan obat hewan seperti yangdiatur dalam SK Dirjen Peternakan. Halini karena kurangnya pengawasan olehaparat yang berwenang. Selain ada pabrikpakan yang tidak mencantumkan pe-nambahan obat hewan, pemeriksaankandungan obat hewan yang dicam-purkan ke dalam pakan juga kurangteliti sehingga kadar sebenarnya kurangdiketahui dengan pasti. Keadaan inimenyulitkan petugas dalam mengaman-kan produk asal ternak dari residu obathewan yang berasal dari pakan atauransum.

    Dari pengamatan di lapang, pe-makaian antibiotik pada peternakanayam niaga khususnya ayam broilersudah tidak terkontrol dan kurangterawasi oleh pihak pengawas yangberwenang. Oleh karena itu, perlu dikajikembali kedudukan pengawas obathewan berdasarkan SK Mentan No. 808/1994 agar tugas dan fungsi pengawasobat hewan dapat dijalankan sebagai-mana mestinya. Dengan demikian, ke-amanan produk ternak dari residu obathewan (antibiotik) dapat terjamin.Mungkin perlu dibedakan antara pe-ngawas obat hewan yang langsungdiberikan kepada ternak dengan obatyang dicampur ke dalam ransum ternak,karena obat hewan yang dicampur dalamransum ternak lebih kompleks sehinggamemerlukan pengawasan khusus. Ber-kaitan dengan itu, perlu dilakukan upaya-upaya seperti penyuluhan kepadapeternak dan industri pakan. Selain ituperlu ditingkatkan pengawasan dariaparat berwenang serta adanya sanksi.

    UPAYA PENCEGAHAN DANPENANGGULANGAN

    Untuk memperoleh produk ternak yangaman dikonsumsi, berbagai faktor yangterkait erat dalam proses praproduksiperlu diperhatikan dengan menerapkansistem jaminan mutu HACCP. Denganmenerapkan sistem ini maka titik-titik kritisakan mendapat perhatian serta berbagaiupaya mengatasinya segera diterapkan.

    Kondisi lingkungan peternakanharus diyakini belum pernah tercemaroleh mikroba patogen seperti antraks,Clostridium spp. dan cemaran bahankimia berbahaya lainnya (Bahri et al. 2002).Keadaan ini dapat diketahui denganmencari informasi dari Dinas Peternakansetempat serta memeriksakan sampeltanah dan air yang dijadikan sumber airminum bagi ternak.

    Penggunaan obat hewan harussesuai dengan ketentuan yang berlakudengan memperhatikan antara lain waktuhenti dan kesesuaian dosis. Selain itu,penyimpanan obat hewan juga harusmengikuti petunjuk yang ada. Peng-gunaan pestisida dan bahan kimia lainuntuk sanitasi lingkungan (kandang)juga harus hati-hati agar tidak mengkon-taminasi pakan atau sumber air minum(Bahri 2003).

    Pakan harus diyakini bebas daricemaran bakteri patogen, bahan kimia,dan senyawa toksik lainnya denganmelakukan pemeriksaan di laboratorium.Pakan dan bahan pakan harus disimpanpada tempat penyimpanan yang meme-nuhi syarat sanitasi, kebersihan, tidaklembap, dan berventilasi baik. Manajemenkeluar masuk pakan harus mengacukepada first in first out sehingga tidakada pakan yang tersimpan terlalu lama.Penggunaan pakan yang mengandungantibiotik (obat hewan) harus dihentikanatau diganti dengan pakan yang bebasantibiotik pada sekitar satu minggusebelum ternak dipanen (dipotong),sedangkan untuk sapi perah yang sedanglaktasi harus dicegah pemberian pakanyang mengandung obat hewan. Untukkasus mastitis, susu tidak boleh di-konsumsi sampai dengan kurang lebih5 hari setelah pengobatan terakhir(Debackere 1990; Kusumaningsih et al.1996; 1997).

    Pengawasan mutu pakan komersialagar ditingkatkan, termasuk pengawasanterhadap obat hewan yang dicampur padapakan. Pengawasan perlu diikuti denganpenertiban pemakaian obat hewan yangcenderung kurang terkontrol (Bahri etal. 2000). Perlu dipertimbangkan agarpengawas obat hewan yang dicampurdalam pakan dibedakan dengan pe-ngawas obat hewan yang akan langsungdigunakan untuk pengobatan. Hal inikarena obat hewan dalam pakan lebihkompleks dan penyebarannya meluas,sehingga penyimpanannya tidak sebaikobat yang digunakan langsung untukpengobatan. Dikhawatirkan potensi dansifat biologis obat hewan dalam pakanakan berubah karena pengaruh berbagaifaktor seperti suhu dan kelembapan.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Keamanan pangan asal hewan berkaitanerat dengan rantai penyediaan pangantersebut, terutama pada proses pra-produksi. Faktor pakan, penyakit hewan,dan penggunaan obat hewan memegangperanan penting dalam sistem keamananproduk peternakan. Oleh karena itu, pe-nerapan HACCP pada setiap mata rantaipenyediaan pangan asal ternak akandapat menjamin keamanan produk yangdihasilkan.

    Hampir semua ransum ternak yangdiproduksi oleh pabrik pakan komersialmengandung obat hewan terutamagolongan antibiotik. Umumnya peternakkurang mengetahui adanya waktu hentiobat dan bahaya yang dapat ditimbul-kannya, sehingga diperkirakan berbagairesidu obat hewan (terutama golonganantibiotik) dapat dijumpai pada produkternak seperti daging ayam dan susu.

    Pengawasan kandungan obat hewanserta cemaran mikroba, mikotoksin, dansenyawa kimia lainnya pada pakanternyata belum berjalan sesuai ketentuanseperti kriteria yang tercantum dalamSNI tentang pakan. Perlu digalakkansosialisasi atau penyuluhan kepadapeternak tentang pentingnya mengikutipetunjuk penggunaan obat hewan, baikyang terdapat dalam pakan komersialmaupun yang digunakan untuk peng-obatan ternak.

  • 34 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

    DAFTAR PUSTAKA

    Bahri, S., R. Maryam, Yuningsih, dan T.B.Murdiati. 1992. Residu Tetrasiklin, Khlor-tetrasiklin dan Oksitetrasiklin pada SusuSegar asal Beberapa Dati II di Jawa Tengah.Laporan Intern Balai Penelitian Veteriner,Bogor.

    Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B.Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari. 1993.Sistem Penyebaran dan Pemasaran ObatHewan di DKI Jakarta Raya dan Jawa Barat.Laporan Penelitian, Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.

    Bahri, S. 1994. Residu obat hewan pada produkternak dan upaya pengamanannya. Kum-pulan Makalah Lokakarya Obat Hewan.Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).Jakarta, 1618 November 1994.

    Bahri, S., Ohim, dan R. Maryam 1994. Residuaflatoksin M1 pada air susu sapi danhubungannya dengan keberadaan aflatoksinB1 pada pakan sapi. Kumpulan MakalahKongres Nasional Perhimpunan MikologiKedokteran Manusia dan Hewan Indonesia1 dan Temu Ilmiah. Bogor, 2124 Juli 1994.hlm. 269275.

    Bahri, S., R. Maryam, R. Widiastuti, dan P.Zahari. 1995. Aflatoksikosis dan cemaranaflatoksin pada pakan serta produk ternak.Prosiding Seminar Nasional Peternakan danVeteriner. Jilid I. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 95107.

    Bahri, S., A. Kusumaningsih, T.B. Murdiati, A.Nurhadi, dan E. Masbulan. 2000. Analisiskebijakan keamanan pangan asal ternak(terutama ayam ras petelur dan broiler).Laporan Penelitian. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.

    Bahri, S., Indraningsih, R. Widiastuti, T.B.Murdiati, dan R. Maryam. 2002. Keamananpangan asal ternak: Suatu tuntutan di eraperdagangan bebas. Wartazoa 12(2): 4764.

    Bahri, S. 2003. Beberapa Aspek KeamananPangan Asal Ternak di Indonesia. BahanOrasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama.Bogor, 2 Oktober 2003. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

    Balai Penelitian Veteriner. 1990. Residu pestisida,hormon, antibiotika, dan standarisasi kualitasbroiler untuk ekspor. Laporan PenelitianBalai Penelitian Veteriner, Bogor.

    Balai Penelitian Veteriner. 1991. Residuantibiotika pada daging ayam broiler danpakannya di Jawa Barat. Laporan PenelitianBalai Penelitian Veteriner, Bogor.

    Darminto dan S. Bahri. 1996 Mad Cow danpenyakit sejenis lainnya pada hewan danmanusia. Jurnal Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian 15(4): 8189.

    Darsono, R. 1996. Deteksi residu oksitetrasiklindan gambaran patologi anatomi hati danginjal ayam kampung dan ayam broiler yang

    dijual di lima pasar Kodya Surabaya. MediaKedokteran Hewan 12(3): 178182.

    Debackere, M. 1990. Veterinary medicineproducts: Their pharmacokinetics in relationto the residues problem. Euroresidue,Noodwijkerhout, The Netherlands. p: 326395.

    Dewi, A.A.S., N.L.P. Agustini, dan D.M.N.Dharma. 1997. Survei residu obat preparatsulfa pada daging dan telur ayam di Bali.Buletin Veteriner 10(51): 914.

    Folmer, J.D., R.J. Grant, C.T. Milton, and J. Beck.2002. Utilization of Bt corn residues bygrazing beef steers and Bt corn silage andgrain by growing beef catle and lactatingdairy cows. J. Anim. Sci. 80: 1.3521.361.

    Ginting. 1984. Aflatoksin pada pakan ayampedaging di Daerah Khusus Ibukota JakartaRaya dan Kotamadya Pontianak. PenyakitHewan 16(28): 212214.

    Hardjoutomo, S., M.B. Poerwadikarta, dan K.Barkah. 2000. Antraks di Indonesia: Kejadianantraks pada burung unta di Purwakarta,Jawa Barat. Makalah Disajikan pada Seminardan Pameran Teknologi Veteriner, Jakarta,1415 Maret 2000.

    Hartati, T., Sarmanu, S. Prawesthirini, dan M.Ivone. 1993. Pemeriksaan residu antibiotikapada ayam pedaging di beberapa pasar diwilayah Kotamadya Surabaya. MediaKedokteran Hewan 9(1): 3643.

    Herrick, J.B. 1993. Food for thought for foodanimal veterinarians. Violative drug residues.JAVMA 03: 1.1221.123.

    Hurd, H.S., S. Doores, D. Hayes, A. Mathew, J.Maurer, P. Silley, R.S. Singer, and R.N. Jones.2004. Public health consequences ofmacrolide use in the food animals: Adeterministic risk assessment. J. Food Prot.67: 980992.

    Indraningsih dan Y. Sani. 2004. Residu pestisidapada produk sapi: Masalah dan alternatifpenanggulangannya. Wartazoa 14(1): 113.

    INIANSREDEF. 1999. Case Study on QualityControl of Livestock Products in Indonesia.Indonesia International Animal ScienceResearch and Development Foundation(INIANSREDEF). Report prepared for JapanInternational Cooperation Agency/JICA.

    Institut Pertanian Bogor. 1982. Laporan Loka-karya Peranan Protein dalam PembangunanBangsa. Tim Protein, Institut PertanianBogor, Bogor.

    Kusumaningsih, A., T.B. Murdiati, dan S. Bahri.1996. Pengetahuan peternak serta waktuhenti obat dan hubungannya dengan residuantibiotika pada susu. Media KedokteranHewan 12(4): 260267.

    Kusumaningsih, A., E. Martindah, dan S. Bahri.1997. Jalur pemasaran obat hewan padapeternakan ayam ras di beberapa lokasi di

    Jawa Barat dan DKI Jaya. Hemerazoa 79(12): 7280.

    Maryam, R., S. Bahri, P. Zahari, Y. Sani, dan S.Yuliastuti. 1993. Residu aflatoksin M1 padasusu. Laporan Penelitian. Balai PenelitianVeteriner. Bogor.

    Maryam, R. 1994. Kontaminasi asam siklopia-zonat (CPA) dan aflatoksin pada jagung.Kumpulan Makalah Kongres NasionalPerhimpunan Mikologi Kedokteran Indo-nesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 2124 Juli1994. hlm. 289293.

    Maryam, R., Indraningsih, Yuningsih, T.B.Sastrawihana, dan I. Noor. 1994. Laporansurvei penelitian residu aflatoksin danpestisida pada bahan pangan asal ter-nak. Laporan Penelitian. Balai PenelitianVeteriner, Bogor.

    Maryam, R., S. Bahri, dan P. Zahari. 1995.Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatokoldalam telur ayam ras dengan khromatograficair kinerja tinggi. Prosiding SeminarNasional Teknologi Veteriner untuk Mening-katkan Kesehatan Hewan dan PengamananBahan Pangan Asal Ternak, Cisarua. Bogor.2224 Maret 1994. Balai PenelitianVeteriner, Bogor. hlm. 412416.

    Maryam, R. 1996. Residu aflatoksin danmetabolitnya dalam daging dan hati ayam.Prosiding Temu Ilmiah Nasional BidangVeteriner Bogor. 1213 Maret 1996. BalaiPenelitian Veteriner, Bogor. hlm. 336339.

    Murdiati, T.B., Indraningsih, and S. Bahri. 1998.Contamination of animal products by pes-ticides and antibiotics In I.R. Kennedy, J.H.Skerritt, G.I. Johnson, and E. Highley (Eds.).Seeking Agricultural Produce Free ofPesticide Residues. ACIAR Proceedings No.85. p: 115121.

    Murdiati, T.B. dan R. Widiastuti. 2003. Teknikdeteksi residu antibiotika dalam produkternak. Laporan Penelitian, Balai PenelitianVeteriner, Bogor.

    Noor, S.M., Darminto, dan S. Hardjoutomo.2001. Kasus antraks pada manusia dan hewandi Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa11(2): 814.

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.2004. Laporan penyidikan kasus penyakitantraks pada manusia di Babakan Madang,Kabupaten Bogor. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.

    Putro, S. 1999. Pencemaran Dioksin pada DagingAyam di Belgia. Laporan Atase PertanianIndonesia di Belgia.

    Resurreccion, A.V.A. and F.C.F. Galvez. 1999.Will consumers buy irradiated beef ? FoodTechnol. 53: 5255.

    Sitepu, M. 2000. Sapi Gila (Bovine SpongiformEncephalopathy/BSE) Keterkaitan denganBerbagai Aspek. PT Gramedia WidasaranaIndonesia, Jakarta.

  • Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 35

    Spence, S. 1993. Antimicrobial residues survey.Perspective 18: 7982.

    Sudarwanto, M., W. Sanjaya, dan P. Trioso. 1992.Residu antibiotika dalam susu pasteurisasiditinjau dari kesehatan masyarakat. J. IlmuPertanian Indonesia 2(1): 3740.

    Sudarwanto, M. 1995. Mastitis pada sapi perah.Prosiding Seminar Nasional peternakan danVeteriner. Bogor 78 November 1995. JilidI. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan. hlm. 249255.

    Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney, Salfina.and D.R. Stoltz. 1988. Cyclopiazonic acidin combination with aflatoxin, zearalenonand ochratoxin A in Indonesian corn.Mycopathology 104: 153156.

    Widiastuti, R. 2000. Residu aflatoksin padadaging dan hati sapi di pasar tradisional danswalayan di Jawa Barat. Prosiding SeminarNasional Peternakan dan Veteriner, Bogor1819 Oktober 1999. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm.609613.

    Widiastuti, R., T.B. Murdiati, dan Yuningsih.2000. Residu hormon 17--trenbolone padadaging dan hati sapi impor yang beredar diDKI Jakarta. Prosiding Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner. Pusat Penelitiandan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm.578581.

    Widiastuti, R., R. Maryam, S. Bahri, dan R.Firmansyah. 2004a. Residu aflatoksin M1pada susu sapi segar asal Kodya Bogor danPengalengan, Jawa Barat. Makalah disajikanpada Kongres dan Temu Ilmiah Nasional IIIPerhimpunan Mikologi Kedokteran Indo-nesia (PMKI), Semarang, 13 Oktober2004.

    Widiastuti, R., Yuningsih, dan T.B. Murdiati.2004b. Residu enrofloksasin pada dagingdan hati ayam pedaging. Prosiding SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Ve-teriner, Bogor 34 Agustus 2004. Pusat

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian,Bogor. hlm. 515518.

    Widarso, H.S., T. Wandra, dan W.H. Purba. 2000.Kejadian luar biasa (KLB) antraks padaburung unta di Kabupaten Purwakartabulan Desember 1991 dan dampaknya padamasyarakat. Makalah disajikan pada Seminardan Pameran Teknologi Veteriner. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan,Jakarta 1415 Maret 2000.

    Winarno, F.G. 1996. Undang-undang tentangpangan. Kumpulan Makalah pada Musyawa-rah II dan Seminar Ilmiah Persatuan AhliTeknologi Laboratorium Kesehatan Indo-nesia. Jakarta, 2526 November 1996.

    Yuningsih, R. Widiastuti, T.B. Murdiati, dan H.Yusrini. 2000. Deteksi residu antibiotikapenisilin-G pada daging dan hati. ProsidingSeminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan, Bogor. hlm. 572577.