(135750167) pro poor budget pendidikan bagi masyarakat miskin anak usia wajib sekolah
DESCRIPTION
Tentang pendidikanTRANSCRIPT
-
PRO POOR BUDGET PENDIDIKAN BAGI ANAK USIA WAJIB SEKOLAH DALAM
MENGATASI RENDAHNYA PENDIDIKAN
Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu hal yang penting untuk memajukan suatu daerah,
provinsi, atau pun negara termasuk di Indonesia. Merujuk pada pasal 31 UUD 1945 ayat 1
yang berbunyi Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.; Ayat 2 yang
berbunyi Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya, maka pemerintah Indonesia mencanangkan program wajib belajar 9 tahun,
enam tahun di bangku sekolah dasar dan tiga tahun di bangku sekolah menengah pertama
atau dari rentang usia 7-15 tahun. Namun pada kenyataannya banyak penduduk Indonesia
yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Menurut Anggie dari Yayasan Koin Anak Bangsa
atau Coin a Chance, tahun ini 1 juta anak Indonesia putus sekolah. Jumlah anak putus
sekolah di negeri ini setiap tahun masih terjadi. Celakanya dari tingkat SD-SMA cukup besar.
Pada tahun 2010 saja angkanya mencapai 1,08 juta anak. Angka ini naik 30 persen dibanding
tahun sebelumnya yang hanya 750.000 siswa (Polmasari,2012). Hal tersebut dikarenakan
masalah biaya pendidikan yang begitu tinggi dan mereka tak mampu untuk membayarnya.
Sementara itu, Staf Ahli Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bidang
Kerja Sama Internasional Prof. Dr. Kacung Marijan mengatakan pada usia sekolah,
sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah
menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Tingginya jumlah anak putus
sekolah ini juga turut menjadi faktor rendahnya Education Development Index (EDI)
Indonesia, yakni peringkat ke-69 dari 127 negara (Sujatmiko, 2012). Dari kedua pendapat
tersebut, terlihat bahwa jumlah anak yang putus sekolah di Indonesia semakin meningkat,
terutama bagi usia wajib sekolah yaitu 7 s/d 15 tahun.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Diantaranya adalah
dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi. Hampir pada setiap tahun ajaran baru biaya
pendidikan di setiap sekolah terus menunjukkan peningkatan. Hal ini menyebabkan
masyarakat yang ekonominya berada pada menengah kebawah semakin kesulitan untuk
memasukkan anak-anak mereka ke sekolah. Padahal persentase kemajuan suatu daerah,
provinsi atau pun sebuah negara akan mengalami peningkatan jika pendidikan masyarakatnya
baik. Namun realita yang terjadi sekarang terkesan bahwa pendidikan yang tinggi dan baik
hanya untuk mereka yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Sementara mereka yang
-
tingkat ekonominya berada pada menengah kebawah hanya memungkinkan sampai tingkat
sekolah dasar.
Pemerintah Indonesia memang telah melakukan tindakan untuk mengatasi masalah ini
dengan memberikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Melalui peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 76 Tahun 2012 mengenai petunjuk
teknis penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan dana bantuan operasional sekolah
tahun 2013 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
disebutkan bahwa Pemerintah mengeluarkan program BOS sejak Juli 2005 yang awalnya
untuk anak-anak pendidikan wajib belajar sembilan tahun, yaitu anak sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama. Semenjak April tahun 2013 program BOS pun diperluas hingga
ke sekolah menengah atas. Tujuan dilaksanakan program BOS sendiri adalah untuk
meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar
12 tahun yang bermutu. Tetapi progaram tersebut dirasa masih sangat kurang membantu. Hal
ini dikarenakan dana BOS untuk per siswa yang jumlahnya sangat kecil, jika dibandingakan
dengan biaya operasional sekolah yang jauh lebih besar daripada dana BOS yang tersedia.
Besar biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah, dihitung berdasarkan jumlah siswa
dengan ketentuan: (1) SD/SDLB : Rp 580.000,-/siswa/tahun dan (2)
SMP/SMPLB/SMPT/SATAP : Rp 710.000,-/siswa/tahun.
Walupun demikian siswa masih harus membayar SPP dengan jumlah yang telah
dipotong dengan dana BOS. Selain itu, penyaluran dana BOS masih belum merata di setiap
daerah yang ada di Indonesia. Hal ini membuat para orang tua yang berada di garis
kemiskinan tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anak mereka dikarenakan uang yang
dikeluarkan untuk sekolah itu tidak sedikit, itu pun baru untuk uang masuk, belum lagi untuk
uang baju, buku dan pembiayaan lainnya. Contoh nyata yang ditulis Purwaningsih (2012); di
usianya yang baru menginjak 13 tahun Arul sudah tidak lagi bersekolah. Dia hanya
menempuh pendidikan hingga kelas 3 SD. Arul keluar dari sekolah karena sering bolos untuk
bekerja. Walaupun sudah tidak belajar di sekolah umum seperti anak lainnya, dia masih
bersekolah di rumah belajar yang terletak di kolong jembatan dekat tempat tinggalnya. Arul
telah mengamen selama tujuh tahun. Kakaknya seorang supir angkot dan adiknya juga
mengamen. Meskipun begitu dia tetap bercita-cita menjadi pilot. Menurutnya pendidikan itu
sangat penting, tetapi dia tidak dapat melanjutkan pendidikan karena tidak mempunyai
biaya.
Contoh diatas memperlihatkan bahwa usia wajib sekolah yang seharusnya dapat
mengenyam pendidikan dan menerima bantuan BOS, pada kenyataan tidak demikian.
-
Padahal sudah jelas tertulis di dalam ayat 4 yang berbunyi Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendididkan nasional. Tetapi sepertinya 20% anggaran pendidikan
tersebut belum terkelola secara maksimal.
Menurut Mawardi dan Sumarto (SMERU, 2003) mengatakan,
Dengan memahami kemiskinan sebagai persoalan yang bersifat multidimensi, maka
implikasinya adalah tidak ada satu pun cara atau kebijakan tunggal yang dapat
menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain pendekatan kebijakan penanggulangan
kemiskinan tidak bisa parsial, melainkan harus pula bersifat multidimensi dan
komprehensif. Dalam konteks ini, paparan mengenai anggaran yang memihak pada
orang miskin (pro-poor budget) harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari sekian banyak kebijakan lain yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan.
Mengingat regim sentralistik dalam sistem pemerintahan Indonesia telah beralih
menjadi regim desentralistik dan otonom, maka konteks pembahasan pro-poor budget
ini akan disesuaikan pula dengan sistem pemerintahan regim yang baru ini.
Dari fenomena pendidikan tersebut di atas, hal inilah yang menjadi urgensi gagasan
penulis terhadap advokasi pendidikan bagi anak usia wajib sekolah untuk memperoleh hak
pendidikan yang berkualitas dalam mengatasi rendahnya pendidikan. Jika seluruh anak di
Indonesia mendapatkan pendidikan yang baik, maka Indonesia yang maju dan sejahtera akan
terwujud. Sehingga dalam karya ilmiah ini dibahas mengenai pro-poor budget agar anak-
anak usia wajib sekolah terutama dari masyarakat miskin dapat mengenyam pendidikan yang
layak minimal 9 tahun seperti yang diwajibkan oleh pemerintah. Kemudian juga dibahas
mengenai kebijakan yang seharusnya dapat berpihak pada masyarakat miskin terutama
kebijakan pendidikan.
Adapun metode penulisan karya tulis ini adalah studi pustaka atau telaah pustaka yang
berhubungan dengan pendidikan, advokasi pendidikan serta jurnal-jurnal dan karya ilmiah
lain nya yang sesuai dengan topik yang dibahas.
Pro-poor Budget Pendidikan
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa kemiskinan dikategorikan dalam
persoalan yang multidimensi. Artinya, kemiskinan bukan hanya berdasarkan
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya saja, melainkan adanya
-
beberapa sisi persoalan. Diantaranya, rendahnya tingkat pendidikan, pelayanan kesehatan
yang tidak maksimal, ketidakpastian masa depan, vulnerability, takut beraspirasi, dan
pemberlakuan eliminasi terhadap peranan dan status sosial. Sehingga arti dari sebuah kata
mengenai kemiskinan menjadi suatu perkembangan pengetahuan yang kompleks.
Meskipun keadaan sosial ekonomi seseorang berada pada titik tengah kebawah,
namun hal tersebut tidak bisa merubah kenyataan bahwa pada dasarnya mereka adalah
manusia yang memiliki harkat dan martabat seperti manusia lainnya. Oleh karena itu
pemerataan pelayanan di berbagai sektor seperti kesehatan, khususnya pendidikan yang
dimotori oleh pemerintahan hendaknya menjadi sebuah prioritas yang di utamakan.
Kebijakan anggaran yang memihak pada masyarakat miskin atau pro-poor budget pada
bidang pendidikan sebenarnya hanya merupakan salah satu cara dari sekian banyak kebijakan
yang dapat diterapkan untuk mengentaskan persoalan kemiskinan secara multikompleks.
Dalam mewujudkan kebijakan ini, tentu diperlukan kerjasama yang baik terhadap
pemerintah. Dengan begitu pro-poor budget yang bersifat teknis operasional dapat berjalan
secara maksimal.
Mawardi dan Sumarto (SMERU, 2003) menyebutkan dalam jurnalnya bahwa
perlunya pra-syarat agar pemeritah mau menerapkan kebijakan tersebut. Yakni :
1. Kehendak Politik
i. Adanya komitmen kuat dan tekad keras pihak-pihak yang secara langsung
mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penanggulangan
kemiskinan.
ii. Agenda pembangunan (daerah) menempatkan upaya dan program
penanggulangan kemiskinan pada skala prioritas utama.
iii. Kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui kelemahan dan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di masa lalu, dan bertekad untuk
memperbaikinya, baik pada waktu sekarang maupun di masa mendatang.
2. Iklim yang mendukung
i. Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan sebagai musuh
bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan langkah-langkah
kampanye sosial melalui berbagai saluran informasi untuk lebih meningkatkan
kepedulian, kepekaan, dan partisipasi masyarakat.
ii. Ada peraturan dan kebijakan daerah (Perda) yang mendukung penanggulangan
kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan usaha kecil, akses terhadap
-
kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan terhadap hasil-hasil
pertanian, dan sebagainya.
3. Tata Pemerintahan yang Baik
Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak
cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan
pula kebijakan dn program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan
kata lain diperlukan adanya tata pemerintahan yang baik (good governance) dari
lembaga-lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga
hukum dan pelayanan umum lainnya. Secara lebih spesifik, hal ini antara lain ditandai
dengan adanya keterbukaan, pertanggug jawaban publik, penegakan hukum,
penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, dan koordinasi
lintas lembaga dan lintas pelaku yang baik.
Maka apabila semua pihak, yakni pemerintah, para ahli akademisi, politisi,
LSM hingga masyarakat dapat dengan baik menjalankan prosedur pra-syarat ini,
maka pro-poor budget akan dapat terealisasikan, utamanya di bidang pendidikan.
Sehingga pendidikan yang layak dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat yang lebih
tinggi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kesimpulan
Kesimpulannya, meskipun negara Indonesia saat ini masih dalam proses
menuju negara maju. Namun, penempatan negara Indonesia masih dikategorikan
kedalam negara berkembang. Pendidikan yang menjadi salah satu tolak ukur dari
kemajuan sebuah negara menunjukkan realita yang masih memprihatinkan di bumi
pertiwi ini. Namun, sebagai perwujudan dari sikap cinta tanah air, maka penulis
mencoba menggagas sebuah ide yang dapat membantu masyarakat yang ekonominya
berada pada tingkat menengah ke bawah, atau yang disebut pro-poor budget. Gagasan
ini juga bertujuan untuk membantu masyarakat miskin untuk tetap dapat menikmati
pendidikan yang berkualitas. Sehingga pengamalan dari tujuan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 akan tercapai.