119880302 perbandingan asam mefenamat dydrogesteron

26

Click here to load reader

Upload: andri-aza

Post on 11-Aug-2015

82 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Terapi dismenorhea primer masih mengundang banyak kontroversi utamanya

dalam hal obat pilihan. Sekarang ini ada dua pihak yang mempunyai pendapat berbeda

dalam memilih terapi untuk dismenorhea yaitu penggunaan preparat inhibitor

prostaglandin dan preparat hormonal dydrogesteron. Masing-masing pihak mengklaim

bahwa obat yang mereka pilih memiliki efektifitas dan keamanan yang paling baik.

Meskipun demikian, masih belum banyak ada pengujian perbandingan efektifitas kedua

macam preparat ini dalam terapi dismenorhea primer.

Asam mefenamat merupakan salah satu substansi penghambat sintesis

prostaglandin yang termasuk dalam kelompok fenamat. Obat ini memiliki mekanisme

kerja dengan cara menghambat enzim fosfolipase, siklooksigenase dan peroksidase

sehingga asam arachidonat yang merupakan prekursor prostaglandin tidak dapat diubah

menjadi prostaglandin. Dengan demikian produksi prostaglandin akan sangat berkurang

sehingga kontraksi disritmik miometrium yang menimbulkan gejala dismenorhea dapat

dikurangi. Berdasarkan penelitian dari Anderson dkk, terbukti bahwa golongan fenamat

merupakan penghambat prostaglandin sintetase yang paling poten. Senyawa ini mampu

menduduki reseptor prostaglandin miometrium. Khasiat ini hanya dapat ditandingi oleh

indometasin. Berkat kemampuan tersebut, obat ini dapat dipakai pada awitan nyeri tanpa

pemberian pendahuluan. Sedangkan preparat dydrogesteron memiliki mekanisme kerja

yang lebih ke hulu, yaitu dengan memperbaiki keseimbangan estrogen/progesteron yang

dianggap sebagai pencetus dari sintesis prostaglandin yang berlebihan dan gejala

dismenorhea primer. Preparat inipun pada penelitian pendahuluan memberikan hasil yang

cukup efektif dengan efek samping yang sangat minimal, namun kekurangan preparat ini

adalah pada protokol pengobatannya dimana pasien harus minum obat ini mulai hari ke-5

sampai ke-25 siklus haid (20 hari) selama 4-6 siklus, tentunya hal ini membawa

konsekuensi biaya pengobatan yang lebih besar dan kepatuhan minum obat yang harus

1

Page 2: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

lebih baik. Namun mengingat mekanisme kerja obat ini yang lebih rasional banyak

peneliti yang menganjur kan penggunaan obat ini sebagai first line drug.

Dengan demikian melalui penelitian ini diharapkan dapat dinilai perbandingan

penggunaan klinis obat ini utamanya dari segi efektifitas masing-masing obat.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah preparat asam mefenamat lebih efektif daripada preparat dydrogesteron

pada terapi dismenorhe primer?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk membandingkan efektifitas pengobatan asam mefenamat dengan

dydrogesteron pada penderita dismenorhea primer.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan data yang diperoleh, diharapkan dapat diketahui efektifitas

pengobatan asam mefenamat dengan dydrogesteron sebagai bahan pertimbangan dalam

pemilihan obat untuk mengatasi keluhan penderita dismenorhea primer.

2

Page 3: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dismenorhea Primer

2.1.1. Etiologi

Penyebab dismenorhea primer adalah peningkatan produksi prostaglandin di

endometrium2. Kondisi ini berkaitan dengan siklus haid dengan ovulasi3. Terdapat tiga

kali lipat peningkatan pada kadar prostaglandin di dalam endometrium pada fase folikular

dibandingkan dengan fase luteal1, yang kemudian meningkat kembali pada saat

menstruasi. Wanita dengan dismenorhea primer memiliki jumlah prostaglandin di dalam

endometrium yang lebih besar dibandingkan dengan wanita-wanita yang tidak memiliki

gejala ini. Pelepasan prostaglandin terjadi pada 48 jam pertama pada saat menstruasi,

berhubungan dengan manifestasi berbagai gejala dismenorhea. Prostaglandin F2α (PGF2α)

adalah prostaglandin yang menjadi penyebab dismenorhea. Prostaglandin ini akan

merangsang kontraksi otot uterus sedangkan prostaglandin E akan menghambat kontraksi

pada otot uterus yang tidak hamil. Otot uterus pada wanita normal dan wanita

dismenorhea sangat sensitif terhadap prostaglandin F2, namun hal yang membedakan

adalah jumlah produksi prostaglandin F2 tersebut.

Selain itu, faktor-faktor yang memegang peranan sebagai penyebab dismenorhea

primer antara lain:

Faktor psikis: pada gadis-gadis yang secara emosionil tidak stabil, lebih lagi jika

mereka tidak mendapat penerangan yang baik mengenai proses haid mudah

timbul dismenorhea.

Faktor konstitusional: faktor ini berhubungan dengan faktor sebelumnya di atas

dapat juga menurunkan ketahanan terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor seperti

anemia, penyakit kronis, dll dapat mempengaruhi timbulnya dismenorhea.

Faktor endokrin: terdapat anggapan bahwa kejang yang terjadi pada dismenorhea

primer disebabkan oleh kontraksi otot uterus yang berlebihan. Faktor endokrin

memiliki hubungan yang erat dengan tonus dan kontraktilitas otot.

3

Page 4: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

Seperti telah dikemukakan bahwa dismenorhea primer hanya terjadi pada siklus

haid ovulatoar. Steroid seks yakni estrogen dan progesteron berperanan dalam

patogenesis dismenorhea primer. Hampir pasti bahwa dismenorhea hanya timbul

bila uterus berada di bawah pengaruh progesteron dan peristiwa ini baru terjadi

apabila terdapat korpus luteum, yang hanya terbentuk jika ovulasi telah

berlangsung. Ovulasi dan produksi progesteron memiliki pengaruh miotonik dan

vasospastik terhadap arteriol miometrium dan endometrium7. Tidak diragukan

lagi bahwa progesteron meningkatkan kekuatan kontraksi uterus, jika

dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam fase estrogenik. Namun tekanan

intrauterin yang berkembang hanya 15-20 mmHg. Sedangkan tekanan

intramuskuler lebih besar lagi dan cukup untuk menyebabkan iskhemia dan nyeri.

Di lain pihak, regresi korpus luteum dan penurunan kadar progesteron

menyebabkan rusaknya lisosom. Kerusakan ini mengakibatkan terjadinya

pengeluaran enzim-enzim seperti fosfolipase, yang akan mengubah fosfolipid di

dalam sel-sel endometrium menjadi prostaglandin. Mekanisme kerja yang pasti

tentang hormon steroid ini dalam mengendalikan pembentukan prostaglandin

masih belum jelas secara keseluruhan. Diduga, progesteron menghambat produksi

prostaglandin melalui enzim fosfolipase A2 sehingga tidak terjadi perubahan asam

arachidonat, sedangkan 17-α-estradiol (E2) meningkatkan pembentukan

prostaglandin melalui beberapa mekanisme yaitu dengan merangsang

pembentukan enzim siklooksigenase dan sintesa segera dari prostaglandin. Bennet

dan Sanger pada hewan percobaan menemukan bahwa sintesa prostaglandin F

oleh uterus dirangsang oleh estrogen, sebaliknya progesteron menghambat sintesa

prostaglandin F tersebut. Pemberian progesteron 5-500 ng/ml secara bermakna

menurunkan produksi PGE dan PGF2α pada fase proliferasi maupun fase sekresi.

Kedua hormon estradiol dan progesteron ini juga mempengaruhi pemecahan

prostaglandin dalam uterus. Ylikorlala dkk, dalam penelitiannya menemukan

bahwa kadar estradiol lebih tinggi pada wanita yang menderita dismenorhea

dibandingkan wanita normal. Kadar estradiol yang tinggi ini menyebabkan

produksi prostaglandin yang berlebihan oleh endometrium. Hal ini dibuktikan

dengan ditemukannya kadar estradiol yang tinggi dalam vena uterina dan vena

4

Page 5: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

ovarika disertai kadar PGF2α yang juga tinggi dalam endometrium. Hal yang

terpenting adalah ditemukannya perubahan nisbah E2/P yaitu pada wanita normal

kadar estradiol adalah 93,9+64,3 pg/ml dan kadar progesteron 9,5+7,0 ng/ml,

sehingga didapatkan nilai nisbah E2/P = 0,01. Nilai > 0,01 memberikan petunjuk

bahwa wanita tersebut mungkin menderita dismenorhea.

2.1.2. Epidemiologi

Angka kejadian penyakit ini di Indonesia diperkirakan 1,07-1,31% tetapi angka

ini hanya menggambarkan jumlah penderita yang berkunjung ke rumah sakit1, dipercaya

bahwa angka sebenarnya jauh lebih besar mengingat banyaknya pasien yang berobat ke

praktek dokter swasta, baik itu dokter umum maupun dokter ahli kandungan, dan banyak

pula yang mengobati penyakitnya sendiri. Beberapa penulis luar negeri mencatat angka

yang berkisar 3-92%. Di AS sendiri keadaan ini diderita oleh 30-50% wanita pada usia

reproduksi (sekitar 35% dari semua remaja wanita yang antaranya terpaksa kehilangan

kesempatan kerja, sekolah, dan kehidupan keluarga. Sementara itu 60-70% wanita

dewasa tidak menikah pada usia 30-40 tahunan mengalami keluhan bulanan yang cukup

mengganggu selama 1-2 hari. Dawood mendapatkan 50% keluhan pada wanita pasca

pubertas dan 10% diantaranya dengan dismenorhea berat yang menyebabkan hilangnya

waktu untuk bekerja, belajar dan sekolah.

2.1.3. Faktor Predisposisi

Dismenorhea dipengaruhi oleh faktor-faktor: usia, status sosial, pekerjaan, paritas, dan

konstitusional. Misalnya kejadian dismenorhea cukup tinggi pada kelompok gadis usia

sekolah dan wanita muda (20-24 tahun), pekerja pabrik dan anggota angkatan bersenjata

wanita. Dismenorhea pada dasarnya dirasakan oleh semua wanita pada beberapa saat

dalam kehidupannya. Dismenorhea primer ditemukan pada usia 16-25 tahun dan tertinggi

pada usia 17-20 tahun. Namun usia yang tepat pada saat awitan / onset dismenorhea

tersebut mungkin akan sulit diketahui oleh karena nyeri haid dapat berangsur-angsur

menjadi progresif. Ciri yang khas dari dismenorhea primer adalah timbulnya 3-5 tahun

setelah menarche, seiring dengan belum berlangsungnya siklus haid ovulatoar yang

merupakan ciri khas wanita dewasa normal.

5

Page 6: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

Dalam hubungannya dengan paritas, nullipara lebih sering menderita dismenorhea

kemudian berkurang setelah melahirkan, terutama dengan persalinan aterm pervaginal.

Diduga hal ini disebabkan oleh uterus yang masih kecil atau uterus yang masih tegang

serta ostium uteri yang masih sempit. Pengaruh konstitusional terdiri dari hiperaktifitas

atau responsifitas yang berlebihan terhadap rangsangan nyeri dan bukan oleh karena

ambang nyeri yang rendah.

2.1.4. Patogenesis

Konsep patogenesis disusun berdasarkan beberapa faktor yang diduga berperan

dalam terjadinya dismenorhea primer. Timbulnya nyeri pada dismenorhea primer

diakibatkan oleh perubahan persepsi nyeri dan sensitisasi syaraf tepi, kontraksi uterus

disritmik, dan iskhemi miometrium. Kontraksi miometrium yang meningkat dan

disritmik ini terjadi akibat oleh rangsangan prostaglandin (PGF2α, PGE2) dan Leukotrien

(LTC4, LTD4, LTE4). Peningkatan sintesa prostaglandin itu sendiri disebabkan oleh

karena rusaknya sel-sel endometrium akibat iskhemi atau kerusakan dinding lisossom.

Lebih detil lagi, kerusakan dinding lisosom diawali oleh gangguan keseimbangnan

hormonal antara estradiol dan progesteron. Keseimbangan ini ditentukan oleh nisbah

antara kedua hormon tersebut. Pada nisbah E2/P > 0,01 akan mudah terjadi kerusakan

dinding lisosom. Di samping itu perubahan nisbah tersebut diduga meningkatkan

pengeluaran vasopresin dan merangsang pembentukan katekolamin (adrenalin dan

noradrenalin) dilain pihak, pengeluaran katekolamin dan vasopresin dirangsang oleh

labilitas emosi, seperti jiwa yang tercekam. Tetapi hubungan antara peningkatan nisbah

dengan bertambahnya sintesa vasopresin belum jelas terungkap.

2.1.5. Gejala-gejala Klinik

Dismenorhea ini dimulai ketika atau tepat sebelum awitan perdarahan, yaitu

sepanjang hari pertama haid dan jarang yang sesudahnya. Puncak nyeri dicapai dalam 24

jam prehaid, dan berulang ketika awitan perdarahan untuk kemudian berlangsung 8-12

jam meskipun terdapat keragaman individuil. Nyeri ringan dapat mengawali aliran haid,

namun nyeri yang paling berta mulai menjelang aliran haid dan biasanya berakhir hanya

12-24 jam kemudian. Umumnya menghebat pada hari pertama dan kedua siklus haid.

6

Page 7: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

Nyeri itu sendiri pada awalnya merupakan nyeri yang terdapat di garis tengah abdomen

bawah tepat di atas simfisis pubis, bersifat intermeten, spasmodik, tajam, bergelombang,

dan beratnya mengikuti kontraksi uterus, menyebar ke punggung bawah (lumbosakral),

penjalaran nyeri tersebut seperti halnya kontraksi sewaktu persalinan dan berhubungan

dengan perasaan sakit yang umum. Pada bentuk yang berat, nyeri ini menjalar sampai ke

sisi dalam dari paha menuju ke lutut, disertai dengan mual, muntah, sakit kepala, dan

mudah tersinggung.

Untuk menentukan penggolongan dismenorhea, digunakan klasifikasi dismenorhea

menurut Andersch dan Milson:

DERAJAT PERUBAHAN

0

Tanpa rasa nyeri, aktifitas sehari-hari tidak

terpengaruhi

I

Nyeri ringan, jarang memerlukan

analgesik, aktifitas sehari-hari tidak

terganggu

II

Nyeri sedang, memerlukan analgesik,

aktifitas sehari-hari terganggu, tetapi jarang

absen dari sekolah atau pekerjaan

III

Nyeri berat, nyeri banyak berkurang

dengan analgesik, tidak dapat melakukan

kegiatan sehari-hari, timbul keluhan

vegetatif, misalnya nyeri kepala, kelelahan,

mual, muntah, dan diare.

7

Page 8: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

2.1.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dapat dilakukan baik secara medis maupun operatif tergantung

dari derajat beratnya masalah. Penatalaksanaan secara medis terdiri dari psikoterapi dan

pemberian obat-obatan seperti penghambat sintesis prostaglandin, kontrasepsi hormonal

oral, antagonis kalsium, perangsang adrenoseptor-beta, dan sediaan hormonal.

Penatalaksanaan operatif meliputi dilatasi dan kuretase, neurektomi presakral atau

penyuntikan pleksus pelvikus dan histerektomi total.

2.2. Penghambat sintesis prostaglandin (Asam Mefenamat)

Pengobatan dismenorhea primer dengan antiprostaglandin atau obat antiinflamasi

non steroid (AINS) telah dipakai lebih dari 10 tahun. Kerja obat ini melalui khasiat

analgesik dan hambatan sintesis prostaglandin9. Tetapi, sekali jaringan endometrium

rontok, prostaglandin yang memasuki sirkulasi sistemik tidak dapat dicegah, oleh karena

itu efektifitas obat tersebut akan lebih tinggi bila diberikan 1-2 hari sebelum haid dan

dilanjutkan sampai hari kedua atau ketiga siklus haid. Anderson dkk, memperlihatkan

bahwa untuk pengobatan dismenorhea primer, asam mefenamat lebih khasiatnya

dibandingkan dengan asam flufenamat. Dan dalam berbagai penelitian menggunakan

berbagai macam penghambat sintesis prostaglandin, terbukti golongan asam mefenamat

memberikan hasil yang terbaik pada terapi dismenorhea primer. Efek samping utama

preparat ini ialah iritasi saluran gastrointestinal, sehingga sebaiknya tidak diberikan pada

pasien dengan tukak lambung berat. Saat ini telah banyak dikembangkan sediaan-sediaan

dengan tipe enteric coated sehingga efek samping gastrointestinal dapat dikurangi. Dosis

yang dipakai dapat disesuaikan dengan berat-ringannya persepsi nyeri sehingga pada

prinsipnya pasien dapat menyesuaikan dosis sesuai dengan kebutuhan. Dosis yang biasa

dipakai adalah 3 x 500 mg perhari dan kebanyakan wanita hanya memerlukan obat ini

selama 2-3 hari dan cukup efektif bila diminum pada saat perdarahan haid pertama

terlihat. Pada 80% pasien yang menggunakan obat ini, terdapat perbaikan yang

bermakna, bahkan setelah pemakaian selama 6 bulan terdapat perbaikan yang gejala-

gejala dismenorhea yang bermakna.

8

Page 9: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

2.3. Preparat Hormonal (Dydrogesteron)

Dengan adanya bukti-bukti baru bahwa produksi prostaglandin yang berlebih

berkaitan dengan gangguan keseimbangan nisbah E2/P dimana terjadi peningkatan

aktifitas estradiol dan/atau penurunan aktifitas progesteron, maka saat ini telah

dikembangkan berbagai jenis preparat progesteron sintetis untuk mengobati kondisi ini.

Dari berbagai preparat progesteron sintetis yang ada, ternyata dydrogesteron-lah yang

merupakan preparat paling efektif dengan efek samping minimal. Bahkan preparat

progesteron ini juga tidak menekan ovulasi, seperti preparat hormonal lain sehingga bisa

diberikan pada wanita-wanita muda tanpa mengganggu fungsi reproduksinya. Penelitian

klinis terhadap obat ini telah memberi hasil yang sangat memuaskan. Obat ini diberikan

dengan dosis 10 mg/hari selama hari ke-5 – 25 siklus haid dan harus diberikan untuk

minimal 3-4 siklus sehingga dapat memberikan efek kesembuhan yang nyata. Pada

penggunaan selama 6 siklus haid berturut-turut, dydrogesteron akan meniadakan keluhan

dismenorhea pada 76% kasus, sedangkan 14% kasus keluhannya berkurang dan hanya

10% saja yang keluhannya tidak berkurang. Sehingga atas dasar ini, banyak ahli yang

kemudian menganjurkan pemakaian obat ini sebagai terapi pilihan untuk dismenorhea

primer, terutama pada wanita yang belum ingin hamil.

Obat/preparat lainnya seperti pada golongan analgesik, narkotik, Ca-channel

blocker, perangsang adrenoseptor dan pil kontrasepsi juga pernah diteliti, tetapi

efektifitasnya tidak sebaik seperti kedua preparat tersebut.

9

Page 10: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Populasi - Semua penderita dismenorhea primer yang datang berobat ke Poli Ginekologi

RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Sampel = nyeri dismenorrea primer +

Faktor Internal: Faktor Eksternal:

3.2. Hipotesis Penelitian

Ho: Preparat asam mefenamat tidak lebih efektif dibandingkan dengan

preparat dydrogesteron dalam terapi dismenorhea

H1: Preparat asam mefenamat lebih efektif dibandingkan preparat

dydrogesteron dalam terapi dismenorhea

BAB IV

METODE PENELITIAN

10

Nyeri menetap / berkurang

DydrogesteronAsam Mefenamat

Umur, ParitasPsikisPenyakit penyerta

HormonObat-obatan

Page 11: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksprimental.

O1 Asam Mefenamat O2

P S R O3 Dydrogesteron O4

O5 Plasebo O6

P : Populasi

S : Sampel

R : Randomisasi

O1 : Nyeri dismenorhea primer sebelum diberikan Asam Mefenamat

O2 : Nyeri dismenorrhea primer sesudah diberikan Asam Mefenamat

O3 : Nyeri dismenorrhea primer sebelum diberikan Asam Dydrogesteron

O4 : Nyeri dismenorrhea primer sesudah diberikan Dydrogesteron

O5 : Nyeri dismenorrhea primer sebelum diberikan Plasebo

O6 : Nyeri dismenorrhea primer sesudah diberikan Plasebo

4.2. Populasi dan Sampel

- Populasi: Semua penderita dismenorhea primer yang datang berobat ke Poli

Ginekologi RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

- Sampel: nyeri dismenorrhea primer +

- Kriteria Inklusi: * Penderita dismenorhea primer tanpa komplikasi penyakit apapun

yang memenuhi kriteria Andersch dan Milson

11

Page 12: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

* Sebelumnya tidak minum obat yang bertujuan meringankan

dismenorea primernya

* Memiliki status kesehatan umum yang baik

* Penderita bersedia mengikuti prosedur penelitian dan bersedia

menandatangani informed consent.

- Kriteria Eksklusi: - Dalam pemeriksaan lebih lanjut terbukti terdapat kelainan

ginekologis (dismenorhea sekunder).

- Hipersensitifitas terhadap salah satu macam obat.

- Timbul reaksi efek samping obat sehingga penggunaan obat

tersebut harus dihentikan.

- Penggunaan obat lain yang mempunyai interaksi dengan obat yang

diteliti.

4.3. Variabel Penelitian

- Variabel Bebas : Preparat asam mefenamat dan preparat dydrogesteron

- Variabel Tergantung : nyeri dismenorhea primer

4.4. Definisi Operasional

1. Populasi adalah semua wanita yang menederita nyeri haid yang cukup berat

yang datang berobat ke Poli Ginekologi RSU. Prof. R.D. Kandou, Manado.

2. Sampel adalah nyeri yang hebat yang timbul saat haid.

3. Hasil akhir adalah nyeri yang menetap atau berkurang.

4. Nyeri dikatakan menetap apsabila menurut karakterisitik Andersh Milson ada

pada derajat yang sama. Sedangan nyeri berkurang apabila menurut kalsifikasi

tersebut derajat nyeri mengalami penurunan tingkat derajat.

5. Preparat asam mefenamat: dipilih preparat asam mefenamat jenis enteric coated

dengan dosis 3 x 500 mg/hari selama minimal 2 hari dan maksimal 3 hari,

diminum mulai saat perdarahan haid pertama, dan diminum selama 6 siklus.

6. Preparat Dydrogesteron, dosis 1 x 10 mg/hari, diminum mulai hari ke 5-25

siklus haid selama 6 siklus.

12

Page 13: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

4.5. Instrumen Penelitian

1. Data-data yang diambil dari kartu status pasien (identitas, riwayat

penyakit, dll)

2. Hasil pemeriksaan fisik dan ginekologis yang menyingkirkan

kemungkinan dismenorhea sekunder

3. Formulir pencatatan hasil pengobatan pasien

4. Kuesioner untuk penderita dalam menilai hasil pengobatan yang dirasakan

5. Pengukuran dengan skala ordinal.

6. Klasifikasi dismenorhea menurut Andersch dan Milson.

4.6. Prosedur Penelitian

1. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian diberikan informasi yang jelas

tentang penelitian dan menandatangani informed consent

2. Semua penderita yang memenuhi kriteria dibagi dalam tiga kelompok secara acak

(random) dimana kelompok 1 mendapat preparat asam mefenamat, kelompok 2

mendapat preparat dydrogesteron, dan kelompok 3 mendapat plasebo.

3. Seluruh kelompok diberikan obat secara single blind.

4. Sebelum diberikan obat, derajat nyeri terlebih dahulu ditentukan dengan memakai

kriteria Andersch dan Milson dan dicatat dalam status oleh satu orang pemeriksa.

5. Evaluasi dilakukan tiap bulan dalam atau setelah siklus haid yaitu dengan

melakukan pengukuran derajat rasa nyeri dan bila dalam 2 bulan berturut-turut

rasa nyeri sangat minimal (yakni dapat ditoleransi tanpa minum obat) maka

pengobatan dapat dihentikan. Kepatuhan pasien dalam meminum obat dan efek

samping yang timbul juga turut ditanyakan.

6. Di akhir pengobatan (6 bulan) perlu dicatat mengenai kesembuhan/hilangnya

gejala dismenorhea.

4.7. Analisa Data

Data yang diperoleh, dikumpulkan, kemudian dilakukan analisa data dengan

menggunakan uji statistik yang disesuaikan dengan hasil data.

13

Page 14: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

BAB V

LOKASI, WAKTU dan CARA PENELITIAN

5.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

14

Page 15: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

Penelitian dilakukan di Poliklinik Ginekologis RSU Prof. Dr. R. D. Kandou,

Manado dari Maret 2006 sampai September 2006.

5.2. Cara Penelitian

Kegiatan

Minggu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 192

0

Persiapan (Maret 2006 -

September2006)

Pembuatan usulan

penelitian

Pembuatan organisasi

Pembuatan status pasien

Melatih tenaga penelitian

Uji lapangan

Pengadaan alat-alat

Pengurusan surat-surat

* *

*

*

*

*

*

*

*

Pelaksanaan Penelitian

Pengumpulan data

Pengolahan data

Analisis data

* * * * * * * * * *

*

*

*

*

*

*

*

* * * *

Pengolahan Data

Diskusi

Pelaporan Hasil

*

*

*

* *

BAB VI

PERSONALIA dan PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

6.1. Personalia Penelitian

1.Ketua Penelitian

15

Page 16: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

2.Konsultan

3.Anggota Peneliti

4.Tenaga Laboratorium dan teknisi

5.Pencacah

6.Tenaga Administrasi

6.2. Perkiraan Biaya Penelitian

Rincian biaya penelitian yang mengacu pada kegiatan penelitian berupa :

1. Honorarium Rp.3.000.000,00

2. Bahan dan peralatan penelitian Rp.5.000.000,00

3. Perjalanan/transportasi untuk pengumpulan data Rp.2.000.000,00

4. Alat tulis menulis Rp. 500.000,00

5. Biaya analisis dan pembuatan laporan penelitian Rp.1.000.000,00

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoeb TZ, Endjun JJ, Baziad A. Aspek Patofisiologi dan Penatalaksanaan

Dismenore. Dalam: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, eds.

16

Page 17: 119880302 Perbandingan Asam Mefenamat Dydrogesteron

Endokrinologi Ginekologi; edisi ke-1. Jakarta: Kelompok Studi Endokrinologi

Reproduksi Indonesia (KSERI), 1993:71-101.

2. Goldfien A, Monroe SE. Ovaries. In: Greenspan FS,eds. Basic and Clinical

Endocrinology; 3rd ed. Norwalk, Connecticut, 1991:442-88.

3. Simanjuntak P. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam: Prawirohardjo S,

Winkjosastro H, Sumapraja S, Saifuddin AB, eds. Ilmu Kandungan; edisi ke-1.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1989:152-78.

4. Winkjosastro H. Fisiologi Haid. Dalam: Winkjosastro H, Saifuddin AB,

Rachimhadhi T, eds. Ilmu Kebidanan; edisi ke-3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, 1991:45-50.

5. Rapkin AJ. Pelvic Pain and Dysmenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA,

eds. Novak’s Gynecology; 12th ed. Baltimore, Maryland : Williams & Wilkins,

1996:339-425.

6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical Gynecologic Endocrinology and

Infertility; 5th ed. Baltimore, Maryland : Williams & Wilkins, 1994.

7. Cuningham FG, Gant NF, Leveno KJ et all. Williams Obstetrics; 20th ed. New

York: McGraw-Hill, 2001.

8. Robertson RP. Eicosanoids and Human Disease. In: Wilson JD, Braunwald E,

Isselbacher KJ, Petersdorf RG, Martin JB, Fauci A, et al. Harrison’s Principle of

Internal Medicine; 12th ed. New York: Mc Graw Hill, 1991:397-401.

9. Insel PA. Analgesic-antipyretics and Antiinflammatory Agents: Drugs employed

in the Treatment of Rheumatoid Arthritis and Gout. In. Gilman AG, Rall TW,

Nies AS, Taylor P, eds. The Pharmalogical Basis of Theurapeutics. 8 th ed. New

York: Mc Graw Hill, 1992:638-79.

17