1 pendahuluan termasuk sastra yangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77485/potongan/s2-2014...bab...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yogyakarta merupakan arena seni budaya —termasuk sastra— yang
sampai hari ini terus tumbuh dan berkembang. Salah satu hal yang menjadikan
sastra di Yogyakarta dapat bertahan adalah adanya semangat kekeluargaan.
Semangat kekeluargaan ini mewujud dalam bentuk sanggar atau komunitas.
Banyak sanggar atau komunitas sastra di Yogyakarta yang telah dan tengah
melahirkan sastrawan yang produktif dan kreatif.
Salah satu komunitas sastra di Yogyakarta yang melegenda adalah Persada
Studi Klub (PSK). PSK merupakan salah satu komunitas sastra yang memiliki
pengaruh bagi sastra Indonesia di Yogyakarta. Komunitas ini lahir tanggal 5
Maret 19691 di lantai dua kantor redaksi Koran Mingguan Pelopor Yogya di Jl.
Malioboro 175 A, yang diawaki oleh penyair Umbu Landu Paranggi dan 6
penyair muda lainnya, yakni Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna
Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan
M. Ipan Sugiyanto Sugito.
PSK memiliki andil dalam kesastrawanan Emha Ainun Nadjib
(selanjutnya disebut Nadjib). Dari PSK, Nadjib menjadi salah satu nama selain
1 Tanggal lahir berdasarkan keterangan sejumlah anggota di dalam buku Orang-orang Malioboro, Ragil Suwarna Pragolapati dalam antologi puisi Salam Penyair, serta dalam tesis Saeful Anwar mengenai PSK, kendati menurut Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budhi Santosa dalam wawancara 13 November 2013 menyatakan bahwa PSK lahir tahun 1968 yang kemudian mendasari perayaan ulang tahunnya tanggal 15 Maret 2013 di Rumah Budaya EAN terhitung 45 tahun.
2
Linus Suryadi Ag., Korrie Layun Rampan, dan sejumlah sastrawan yang sudah
dikenal luas oleh arena sastra nasional. Di Yogyakarta —di kawasan Malioboro—
ketika masih SMA, Nadjib telah dipertemukan dengan Paranggi, sebelum
akhirnya pria asal Sumba yang mendapat julukan Presiden Malioboro ini hijrah ke
Bali hingga sekarang.2
Iklim arena sastra Yogyakarta berperan penting bagi Nadjib. Yogyakarta
sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya berbagai dan/atau antar-habitus bagi
para sastrawan membentuk karakter arena sastra di dalamnya. Hal tersebut
ditentukan berdasarkan komposisi antar-habitus yang dibawa oleh individu-
individu sehingga menjadi sesuatu yang khas Yogyakarta dan tidak dapat
ditemukan di manapun di Indonesia (Salam, 2013).
Nadjib banyak membacakan puisi-puisinya di kampus-kampus, kampung,
masjid, pertemuan-pertemuan tertentu, di depan buruh, di pesta ulang tahun,
bahkan dalam acara disko, daripada secara tertulis lewat surat kabar dan majalah
(Jabrohim, 2003). Dari segi kepenyairan, periode akhir 1970-an hingga akhir
1980-an dapat dikatakan sebagai periode pertama paling kreatif dan produktif bagi
Nadjib. Di tahun-tahun tersebut ia banyak menerbitkan buku antologi puisi
dengan berbagai kecenderungan, di antaranya puisi sosial (protes), sosio-religius,
dan mistisisme Islam (tasawuf) (Alfian M., dkk., 2001: 118-119; Betts, 2006: 11).
Dapat dikatakan bahwa selepas pergulatan di arena sastra Yogyakarta, Nadjib
berhasil menempati posisi dalam arena sastra nasional, bahkan internasional.
2 Lebih lanjut mengenai penelitian terhadap peran Umbu Landu Paranggi dalam sastra di Indonesia, sastra di Yogyakarta, dan sastra di Bali bisa dibaca dalam tesis I Made Astika dengan judul “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013.
3
Beberapa prestasi Nadjib di masa itu antara lain mememenangkan
sayembara Tifa Sastra UI untuk kumpulan puisinya Sajak-sajak Sepanjang Jalan
(1977), diundang membacakan puisi-puisinya di TIM3, dan diundang dalam
sejumlah program yang sifatnya internasional. Di antaranya adalah diundang
dalam acara bidang teater Multi Cultural di Filipina (1980), The International
Writing Program, Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), The International
Songwriters Festival, Rotterdam, Belanda (1984), dan Festival Horizonte III di
Berlin Barat, Jerman (1985) (Alfian M., dkk., 2001: 110; Jabrohim, 2003: 29;
Betts, 2006: 3). Hal tersebut merupakan sebuah capaian yang tidak semua
sastrawan Indonesia dapat meraihnya.
Bersama para penyair dan penyanyi Yogyakarta, Nadjib aktif menggelar
acara Poetry Singing. Bersama Deded Er Moerad ia „ngamen‟ di kampung-
kampung, bahkan ia disebut-sebut melatarbelakangi puisi-puisi Ebied G. Ade
yang kemudian dinyanyikan. Selain itu tercatat sejumlah komunitas kampus di
Yogyakarta dan beberapa artis ternama Indonesia membuat pertunjukan sastra dan
teater yang kemudian semakin melambungkan namanya. Di antaranya mahasiswa
Universitas Indonesia, Jamaah Shalahuddin UGM, mahasiswa IKIP
Muhammadiyah Yogyakarta (sekarang UAD), Neno Warisman, Ayu Laksmi, dan
lain-lain.4 Selain pergulatannya di arena sastra, Nadjib pun masuk ke arena teater.
Bersama Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno, Nadjib membuat pemanggungan
puisi dan sejumlah naskah drama. Dengan diiringi seperangkat gamelan, Nadjib
3 Mendapat undangan untuk membaca puisi di TIM kala itu menjadi sebuah ukuran prestasi, mengingat tidak semua penyair mendapatkan kesempatan tersebut, terlebih sastrawan-sastrawan dari daerah. Acara tersebut dipandang sebagai acara yang sifatnya nasional, karena bertempat di Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. 4 Puisi-puisi Nadjib selain dibacakan banyak pula yang dimusikalisasikan. Hal tersebut berawal ketika pada tahun 1970-an Nadjib aktif menyelenggarakan Poetri Singing di Yogyakarta bersama para penyair dan penyanyi muda waktu itu (Jabrohim, 2003: 31).
4
membacakan puisinya atau menyanyikannya bersama Grup Musik Dinasti,
kemudian bersama Komunitas Pak Kanjeng, yang selanjutnya bermetamorfosis
menjadi KiaiKanjeng sampai saat ini.
Selain pergulatannya dalam arena sastra dan seni, Nadjib pun menembus
dan meraih posisinya di arena agama, yang pada akhirnya mengarahkannya pada
pergulatan di arena intelektual, politik, dan kebudayaan. Di masa Orde Baru,
Nadjib tercatat sebagai anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
kendati pada tahun 1991 mengundurkan diri. Nadjib banyak ceramah mengenai
agama, politik, dan kebudayaan di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Dengan
gerakan kebudayaan tersebut hingga saat ini Nadjib memperoleh sekaligus
mampu mempertahankan posisinya yang mapan serta memiliki pengikut (jamaah)
yang sangat banyak di kota-kota besar bahkan di pelosok-pelosok Indonesia.
Seperti yang sudah disinggung, pergulatan Nadjib di arena sosial tersebut
tidak dapat dilepaskan dari arena kekuasaan Orde Baru. Arena kekuasaan Orde
Baru memiliki kakuatan untuk memunculkan hegemoni-hegemoninya yang
didominasi oleh menguatnya Golongan Karya (Golkar). Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang berlatar agama (Islam) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) ditekan oleh hegemoni Golkar. Pada saat itulah peluang berpolitik bagi
Nadjib mulai terbuka, itu artinya akumulasi modal sosialnya semakin kuat.
Nadjib kemudian tidak hanya dikenal sebagai penyair, akan tetapi juga
seorang esais/kolomnis, penulis naskah drama, penulis cerita pendek, pemusik,
kiai, budayawan, dan sejumlah penamaan lain yang merujuk pada identitas yang
multi talenta (Ariadinata, 2014: 621). Ian L. Betts bahkan membuatkan semacam
5
biografi singkat mengenai Nadjib melalui bukunya Jalan Sunyi Emha (2006) yang
diterbitkan oleh Kompas. Buku yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris
yakni The Silent Pilgrimage: Emha Ainun Nadjib, A Lifelong Journey Of Faith.
Dalam buku ini disampaikan mengenai aktivitas-aktivitas sosial Nadjib di dalam
berbagai arena sosial. Sehimpun kesaksian dari beberapa sahabat dekat Nadjib dan
kesan-kesan mengenainya pun disampaikan dalam buku tersebut. Sebuah buku
yang mengedepankan sebuah wacana bahwa Nadjib telah memberikan sumbangan
yang unik kepada lanskap gerakan budaya modern Indonesia namun ia (bahkan)
tidak dicatat justru di negerinya sendiri (Betts, 2006: vi). Wacana tersebut
kemudian menjadi salah satu data penting bagi penelitian terhadap Nadjib.
Nadjib tidak dapat dilepaskan begitu saja dari arena sastra di Indonesia.
Nadjib dipandang memiliki cukup peran dalam arena sastra di Indonesia, kendati
setelah ia menjadi „selebritis‟ ia tidak lagi banyak bergelut di dunia sastra
(Jabrohim, 2003). Pergulatan-pergulatannya telah membawa pada arena sosial
yang besar. Ada banyak orang yang mampu menembus posisi sebagai sastrawan,
tetapi tidak banyak yang mampu mempertahankannya sebaik Nadjib. Menariknya,
hal tersebut justru tidak dilakukan Nadjib dengan menulis karya sastra.
Legitimasi yang dimilikinya dari berbagai arena membuat status sosial
Nadjib semakin kuat dan berujung pada peraihan modal ekonomi yang juga besar.
Saat ini Nadjib bahkan memiliki managemen yang terhimpun dalam CN-KK di
Rumah Budaya EAN. Rumah Budaya ini sekaligus menaungi KiaiKanjeng,
Progress, Letto, Geese Studio, Perpustakaan EAN, dan Merchandise United.
Belakangan Rumah Budaya EAN pun menjadi kantor untuk Majalah Sastra
6
Sabana. Sebuah majalah sastra yang digagas oleh sastrawan-sastrawan eks. PSK
didukung oleh sastrawan-sastrawan muda Yogyakarta.
Sebagai seorang tokoh, Nadjib memiliki karisma dan otoritas terhadap
arena sosialnya. Nadjib sebagai seseorang yang disegani, dipatuhi, dan dituruti
perintah serta ajakannya, memiliki kekuasaan dan otoritas yang berangkat dari
karisma itu. Atas dasar keilmuannya di berbagai bidang dan pergulatannya di
arena sosial yang luas, Nadjib menjadi figur yang karismatik sehingga dijadikan
sebagai panutan sejumlah pihak dan pengikutnya (baca: jamaah) yang besar.
Melihat hal tersebut, penelitian terhadap Nadjib mulai dari pergulatannya hingga
capaian posisinya dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia layak segera
dilakukan. Tidak hanya persoalan di arena sastra atau seni budaya, tetapi juga
persoalan agama, politik, dan persoalan-persoalan lain yang terjadi di Indonesia.
Ada dua macam penelitian yang dapat dilakukan untuk mengkaji wacana
mengenai Nadjib ini; pertama, melakukan penelitian terhadap karya-karya Nadjib,
terutama puisi, naskah drama, dan esai-esainya. Kedua, penelitian terhadap
aktivitas sosial Nadjib. Kedua hal tersebut dilakukan untuk mengetahui strategi-
strategi yang dilakukan Nadjib dalam pergulatan dan mempertahankan capaiannya
untuk menempati sebuah posisi dalam arena sastra, serta arena sosial di Indonesia
dan dunia Internasional. Penelitian ini dimungkinkan akan menguatkan atau akan
melemahkan posisi dan citra Nadjib yang sampai saat ini terus dipertahankan.
Kedua cara tersebut ditempuh dalam penelitian mengenai arena produksi
kultural Nadjib ini. Hal tersebut didasarkan pada pentingnya mengetahui
perkembangan karya Nadjib, apakah estetika karya yang dibawanya memengaruhi
7
posisinya saat ini, atau sebaliknya. Muncul asumsi bahwa posisi Nadjib
merupakan faktor penting yang membuat karya-karyanya menjadi layak
diperhitungkan dalam arena sastra di Indonesia. Sejumlah aktivitas sosial Nadjib
yang beragam diteliti dan akan menjadi data penting dalam penelitian ini.
Gejala semacam ini tentu menarik dikaji dari sudut pandang sosiologi.
Dari kacamata sosiologis, kebudayaan begitu juga kesusastraan, dilihat sebagai
pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, Nadjib
sebagai sastrawan yang masuk ke dalam arena kebudayaan, khususnya sastra, di
sisi lain juga sebagai masyarakat dalam arena sosial yang besar, yang
membuatnya untuk berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan beragam
arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain tersebut. Dalam
pertarungan yang ketat, sastrawan dituntut memiliki modal yang besar untuk
menjalani setiap kompetisi yang telah disediakan ataupun yang akan dibangunnya.
Untuk itu, penelitian ini didasarkan pada kajian teori sosiologi sastra
Pierre Bourdieu. Melalui teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu, dijelaskan
habitus,yang meliputi arena, modal, strategi, trajektori, dan capaian Nadjib di
arena sastra hingga arena sosial yang lebih besar. Hal tersebut berdasar pada
pandangan Bourdieu yang juga menekankan pada pengkajian arena lain di luar
arena sastra yang diteliti dan arena kekuasaan yang menaunginya. Hingga kini,
Nadjib masih menempati posisi yang mapan dan mampu bertahan baik dalam
arena sastra maupun arena sosial.
8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang penelitian yang telah dipaparkan tersebut, maka
terdapat sejumlah permasalahan. Nadjib telah berhasil menempati posisi mapan
dalam arena sastra dan antar arena-arena lainya. Arena-arena yang berhasil
ditembus oleh Nadjib tersebut saling terkait satu sama lain dan membentuk
konsepsi dalam dunia sosial yang disebut arena sosial. Pencapaian posisi sosial
Nadjib di dalam arena sastra dan arena sosial tentu tidak dapat dilepaskan dari
habitusnya sebagai hasil dari serangkaian tindakan praktis yang telah dilakukan.
Untuk itu perlu dilihat kondisi arena kekuasaan, arena sastra, dan habitus Nadjib
melakukan pergulatannya untuk mencapai posisi mapan dalam arena sosial
tersebut. Masalah-masalah tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebagai
berikut:
1. Arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia yang mendominasi Nadjib.
2. Disposisi Nadjib di dalam arena sastra dan arena sosial.
3. Strategi, agen, dan pencapaian posisi Nadjib dalam arena sastra dan
arena sosial.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah
dikemukakan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dibagi atas dua
bagian yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan (1) arena kekuasaan dan arena sastra yang mendominasi
9
Nadjib; (2) disposisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial; (3) strategi dan
peranan agen dalam pencapaian posisi Nadjib di arena sastra dan arena sosial.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menambah apresiasi terhadap Nadjib
dalam kaitannya dengan arena sastra dan arena sosial.
Secara teoritis, setelah melakukan kajian sastra dengan bantuan data-data
sosiologi terhadap Nadjib dalam menempati arena sastra nasional dan arena sosial
yang lainnya diharapkan dapat memperkaya khasana kajian sastra di Indonesia
berkenaan dengan teori sosiologi Pierre Bourdieu. Sementara secara praktis
penelitian ini semoga bermanfaat bagi mahasiswa, guru, dan dosen sebagai
sumber informasi tentang Nadjib sebagai salah satu tokoh sastra di Indonesia.
Selain itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan ada penelitian lain yang
melengkapi kajian terhadap tokoh sastra di Indonesaia.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dari sejumlah penelusuran literatur, ada begitu banyak tulisan tentang
Nadjib, dalam bentuk buku, jurnal, artikel ilmiah, esai, keterangan foto, dan
laporan penelitian. Namun demikian, belum ditemukan pembahasan yang serupa
atau mendekati penelitian ini. Artinya, belum ada yang berusaha mengungkap
capaian kesastrawanan Nadjib menggunakan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu
secara signifikan dan menyeluruh.
Meskipun demikian, ada tiga penelitian yang bersinggungan dengan
Nadjib dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu. Penelitian tersebut adalah
makalah diskusi bulanan S2 Ilmu Sastra FIB UGM Aprinus Salam dengan judul
10
“Sastra Yogya dalam Teori Bourdieu”, tesis dengan judul “Persada Studi Klub:
Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional” karya Saeful Anwar,
dan tesis berjudul “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali:
Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu” karya I Made Astika. Ketiga penelitian
tersebut memiliki titik fokus pembahasan yang hampir sama, yakni dengan
mengaplikasikan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu untuk meneliti gejala
sastra di Indonesia. Mengingat penggunaan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu
dalam penelitian sastra di Indonesia relatif baru, maka ketiga penelitian tersebut
menjadi sangat penting sebagai referensi penelitian ini.
Kajian yang ditulis Aprinus Salam mengacu pada kehadiran dan relasi
sastrawan Yogyakarta dari tahun ke tahun dalam konsep Bourdieu sehingga
muncul arena sosial, dalam akivitas bersastra, yang kemudian disebut arena sastra.
Kajian ini membahas interaksi antar sastrawan yang dipertemukan di Yogyakarta
dalam mengumpulkan modalnya. Nadjib menjadi salah satu tokoh sastrawan
Yogyakarta yang dibahas dalam penelitian ini. Kendati pembahasan mengenai
Nadjib tidak secara spesifik, tetapi dari sini dapat dilihat bagaimana habitus dan
pengumpulan modalnya dalam arena sastra Yogyakarta yang kelak sangat
memengaruhinya untuk menjadi penyair, sastrawan, budayawan dengan
akumulasi modal yang besar. Dari penelitian ini beberapa „kunci‟ mengenai
capaian arena sosial Nadjib sedikit-banyak dapat dipetakan arahnya.
Sementara itu, penelitian Saeful Anwar membahas posisi PSK yang
terdominasi oleh kekuasaan Orde Baru. Penelitian yang dilakukan bergerak pada
penelitian terhadap aktivitas anggota PSK. Sementara penelitian terhadap karya-
karya para anggota PSK tidak dilakukan. Di dalam penelitian ini Nadjib sebagai
11
salah satu anggota PSK yang dipilih selain Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati,
Iman Budhi Santosa, Linus Suryadi Ag., dan Korrie Layun Rampan berdasarkan
peran sentral di PSK.
Penelitian yang dilakukan oleh I Made Astika mendeskripsikan posisi
Paranggi dalam arena sastra nasional; pergulatan Paranggi dalam arena sastra di
Bali; dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Paranggi dalam menghadapi arena
sastranya. Dalam penelitian ini dibahas mengenai karya sastra dan proposisi-
proposisi dari seniman, sastrawan, atau wartawan yang berhubungan dengan
Paranggi. Di Bali, Paranggi melakukan reproduksi-reproduksi dalam pergulatan
arena sastra regional yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukannya di
Yogyakarta. Di Bali, Paranggi telah berhasil membina sejumlah calon penulis
yang kemudian dikenal sebagai sastrawan yang terkonsekrasi di tingkat nasional.
Mengingat peran Paranggi terhadap Nadjib, maka penelitian ini menjadi penting,
selain juga kesamaan teori yang digunakan. Untuk itulah penelitian ini mencoba
mengkaji lebih detail mengenai habitus, arena, modal, strategi, trajektori, dan
capaian kesastrawanan Nadjib di dalam menempati arena sastra nasional,
selanjutnya bertrajektori dari arena sastra ke arena-arena sosial yang lainnya
sehingga dapat menempati posisinya saat ini.
1.5 Landasan Teori
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial. Terdapat hubungan timbal-balik antara sastrawan,
12
sastra, dan masyarakat (Damono, 1984: 1). Struktur-struktur tersebut kemudian
dapat dikaji secara sosiologi sastra untuk mengetahui sastra dari segi sosiologi.
Masalah sosiologi sastra dapat dibagi menjadi sosiologi pengarang, isi
karya sastra, pembaca, dan dampak sosial karya sastra. Dari kajian sosiologi sastra
yang lebih memusatkan kepada perspektif biografis akan diperoleh deskripsi
tentang konteks sosial sastrawan (Wellek & Werren, 1989: 111). Ada beberapa
manfaat pengetahuan biografis berkaitan dengan konteks sosial pengarang; 1)
menggambarkan sebab-sebab lahirnya karya sastra; 2) menggambarkan proses
perkembangan sikap mental para tokoh yang menyangkut moral, intelektual dan
sikap, 3) memberikan data terhadap kondisi psikologis penyair dan terhadap
proses suatu karya sastra secara sistematis. Dari sana akan diketahui seberapa jauh
data penyair tersebut relevan sebagai wacana terhadap karya-karyanya.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra
Pierre Bourdieu. Bourdieu mengatasi persoalan kesenjangan antara teori-praktik,
pikiran-tindakan, dan ide-realitas konkret (Takwin, 2009: xvi). Persoalan awal
yang digarap Bourdieu adalah bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur
budaya lainnya disebarkan serta berpengaruh di dalam suatu masyarakat.
Bourdieu mengenalkan konsep field, yakni arena, tempat orang berstrategi dan
berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan.
Kaitannya dengan pembacaan terhadap sastra, teori sosiologi sastra
Bourdieu bergerak dari studi teks ke dalam studi konteks. Karya seni baru bisa
eksis sebagai objek simbolis setelah diakui dan dikenali secara sosial oleh
penikmatnya. Ilmu sosiologi tidak hanya menjadikan produksi material sebuah
13
karya sebagai objek kajian, tetapi juga produksi simbolis karya sebagai produksi
nilai dari karya tersebut (Bourdieu, 2012: 15-16). Sosiologi sastra mempersoalkan
tentang bagaimana memahami karya seni sebagai manifestasi arena produksi
kultural sastra secara keseluruhan.
Arena produksi kultural sastra adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan
dengan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi
dominan tentang sastrawan. Kekuasaan memiliki dominasi yang kuat dalam
pergulatan pendefinisian seseorang disebut sastrawan (Bourdieu, 2012: 22).
Biografi sastrawan sama pentingnya dengan analisis tentang karya, jaringan,
pengakuan, penghargaan, serta „kepentingan‟, juga ideologi dan politi, yang tidak
selalu eksplisit dalam sastra. Status sastrawan dipandang sebagai label sekaligus
proses kompleks yang terjadi dalam sebuah lingkup yang bernama arena
(Karnanta, 2013: 1).
Dalam pandangan Bourdieu (2012: 4), ketika menjadikan sastra sebagai
subjek studi, tugas utama yang harus dikerjakan adalah mengontruksi ruang
posisi-posisi dan ruang pengambilan-posisi (prises de position) tempat arena
sastra diekspresikan. Arena terbentuk oleh setiap posisi dan determinasi-
determinasi yang tersusun dalam posisi-posisi yang lainnya. Struktur arena atau
ruang posisi-posisi sebagai struktur distribusi modal menentukan keberhasilan di
dalam arena dan memenangkan laba yang dipertaruhkan di dalamnya.
Di dalam sastra, ruang pengambilan posisi sastra ditentukan oleh
serangkaian manifestasi terstruktur agen-agen sosial yang terlibat di dalam arena
sastra. Manifestasi tersebut meliputi karya-karya sastra, tindakan-tindakan politik,
14
polemik-polemik yang dibangun, dan beberapa hal lainnya yang tidak bisa
dipisahkan dari ruang posisi sastra yang ditentukan oleh kepemilikan modal
(pengakuan) dalam jumlah tertentu sekaligus pendudukan posisi yang sudah
kokoh di dalam struktur distribusi modal spesifik ini. Hal tersebut disebabkan oleh
arena sastra sebagai arena kekuatan (a field of forces), tetapi juga arena pergulatan
(a field of struggle) yang cenderung melanggengkan arena kekuatan ini
(Bourdieu, 2012: 5). Hal tersebut dapat dipahami sebagai strategi-strategi yang
menitikberatkan pada posisinya di dalam relasi-relasi kekuasaan (rapports de
force) yang ada.
Bourdieu secara meyakinkan menentang konsep-konsep esensial tentang
seni dan visi-visi karismatik seniman yang (masih) dominan hingga sekarang
(Johnson, 2012: xi). Arena seni dan sastra harus dilepaskan dari dilema citra
karismatik seorang seniman yang melakukan aktivitas kesenian sebagai
penciptaan murni dan nir-kepentingan. Selain itu, pendapat para reduksionis yang
menganggap penjelasan tindakan produksi dan produksinya harus dilakukan
menurut fungsi-fungsi eksternal sadar atau tak sadar mereka, dengan merujukkan
fungsi-fungsi itu yang darinya patron-patron atau audiens diperoleh juga harus
dihindari (Bourdieu, 2012: 11). Ideologi karismatik dipandang sebagai dasar
terdalam kepercayaan terhadap seni yang menjadi basis bagi berfungsinya arena
produksi dan sirkulasi komoditas kultural. Hal tersebut karena seniman/sastrawan
sebagai seorang figur menjadi sorotan yang cukup representatif dalam
kepemilikan karisma di masyarakat. Ideologi tersebut memberikan jawaban
bahwa seniman/sastrawan juga memiliki otoritas dan karisma yang berkaitan
dengan keilmuan sehingga pola hubungan di arena sosial tidak seimbang.
15
Representasi karismatik penulis sebagai 'pencipta' mengarah ke pengelompokan
segala sesuatu yang ditemukan tertulis dalam posisi penulis di jantung bidang
produksi dan di bidang sosial oleh trajektori yang membawanya (Bourdieu, 1996:
168).
Arena dapat dipahami sebagai sepotong kecil dunia sosial. Banyaknya
arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain itu kemudian membentuk
konsepsi dalam dunia sosial yang disebut medan sosial/arena sosial. Konsep ini
memandang realitas sosial sebagai suatu ruang (Rusdiarti, 2003: 34). Arena sosial
merupakan jaringan struktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu
dan kelompok dalam tatanan masyarakat. Arena di sini digunakan untuk
menyebut arena kekuasaan yang dinamis dan di dalamnya terdapat beragam
potensi yang eksis. Potensi itu dimiliki oleh aktor-aktor yang melakukan
perjuangan memperebutkan atau mempertahankan posisi dengan modal-modal
tertentu demi menghasilkan efek-efek tertentu.
Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah
keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri berjalan
dengan suatu konsep dinamis, tempat perubahan posisi-posisi agen mau tak mau
menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena apa pun, agen-agen yang
menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-
posisi baru) terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan
atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan (Johnson, 2012: xviii).
Arena selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan. Hal
tersebut terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem
16
relasi objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik: karya seni, manifesto
artistik, deklarasi politik, dan sebagainya. Struktur arena didefinisikan pada suatu
momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang
terbagi-bagi (Harker, 2009: 11).
Arena sastra dan seni dalam pandangan Bourdieu (2012: 17) adalah tempat
heirarki ganda berada. Bentuk heirarki tersebut adalah hierarki heteronom dan
hierarki otonom. Prinsip hierarki heteronom adalah kekuasaan yang dapat diukur
dari penjualan buku, jumlah pementasan teater, penghargaan-penghargaan,
perjanjian, dan lain-lain. Ketika arena sastra dan seni kehilangan otonominya
sehingga lenyap sebagai sebuah arena maka di situlah prinsip tersebut dapat
berjalan. Akibatnya, para sastrawan dan seniman akan tunduk pada hukum yang
diberlakukan oleh arena kekuasaan dan arena ekonomi. Prinsip hierarki otonom,
mengukur kesuksesan dari pengakuan-pengakuan yang didapatkannya dari orang-
orang yang telah diakui (ahli sastra).
Dominasi arena kekuasaan berpengaruh terhadap keberadaan arena sastra.
Keberadaan hukum-hukum arena di sekelilingnya terutama keuntungan ekonomi
dan politis membuat arena sastra menjadi semakin otonom. Keberadaan produsen-
produsen yang otonom menjadikan kekuasaan secara simbolis semakin kuat.
Artinya, dalam sebuah pergulatan di arena produksi kultural, legitimasi sebagai
sastrawan tidak bisa dilepaskan dari kekayaan modal simbolik dari pihak-pihak
tertentu dalam arena sastra.
Bourdieu berpandangan bahwa ada tiga arena yang saling berhubungan
berkaitan dengan dimensi sastra. Pertama, arena kekuasaan (the field of power),
17
yaitu suatu perangkat kekuasaan ekonomi-politik sebagai akibat adanya
perbenturan yang menjurus ke pertarungan kekuasaan yang pada akhirnya
dipegang oleh suatu elit kekuasaan konkret, yang juga secara konkret
menjalankan kekuasaan tersebut. Kedua, arena literer atau arena sastra (literary
field), yaitu suatu universum sosial di bidang estetika (kaidah, seni sastra) yang
memiliki konvensi dan perangkat hukumnya sendiri. seorang sastrawan terikat
pada medan literer ini pada suatu universum yang sifatnya otonom. Ketiga, the
genises of the producer’s habitus. Habitus dipahami sebagai disposisi yang
dimiliki oleh setiap penulis, yang menentukan wataknya, yang pada gilirannya
menentukan genre sastra yang diambilnya, dan dengan demikian berkompetisi di
dalam arena sastra5.
Bourdieu memperkenalkan konsep habitus, sebagai suatu pandangan,
pemikiran, dan tindakan sebagai kunci reproduksi, yang membangkitkan praktik-
praktik pembentuk kehidupan sosial. Habitus adalah struktur kognitif perantara
individu dan realitas sosial. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang
tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal.
Disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan,
melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi
objektif eksistensi seseorang. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial
yang berada di dalam suatu arena, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian
subjektif terhadap posisi itu. Individu menggunakan habitus dalam berinteraksi
dengan realitas sosial masyarakat. Hal tersebut identik dengan penempatan dirinya
5 Soediro Satoto, “Arogansi Kekuasaan dan Politik Dampaknya Terhadap Sastra dan Seni Pertunjukan”, dalam Sastra: Ideologi, politik, dan Kekuasaan, 2000, hlm. 235-236.
18
dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial sehingga menjadi
kebiasaan.
Habitus yang ada dalam setiap individu menggunakan berbagai macam
bentuk dalam memanifestasikan dirinya ke dalam setiap aspek dari interaksi
manusia dengan dunia. Habitus kadang kala digambarkan sebagai „logika
permainan‟ (feel for the game), sebuah „rasa praksis‟ yang mendorong agen-agen
bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak
selalu dapat dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepatuhan sadar pada
aturan-aturan. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan
individu, dimulai sejak masa kanak-kanak yang kemudian menjadi semacam
penginderaan kedua atau hakikat alamiah kedua (Johnson, 2012: xvi).
Habitus merupakan nalar yang hanya ada selama ia ada dalam kepala
agen. Habitus hanya ada di dalam, melalui, dan disebabkan oleh praksis agen dan
interaksi antara mereka dan dengan lingkungannya (Jenkins, 2010: 107-108).
Agen sebagai subjek sosial mengacu pada individunya, sedangkan agensi lebih
mengacu pada kemampuan individu tersebut terkait dengan relasinya terhadap
struktur sosial. Sementara struktur sosial memiliki dua dimensi, yakni struktur
objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial, dan struktur subjektif,
yakni struktur yang berada dan bekerja di dalam diri individu (Karnanta, 2013: 9).
Untuk menjelaskan hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linier,
Bourdieu mengartikan habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung
lama (durable) dan berubah-ubah (transposable). Fungsinya sebagai basis
generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.
19
Sedangkan arena diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-posisi objektif
dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak
individual. Habitus dan arena merupakan perangkat konseptual utama yang
krusial bagi Bourdieu yang ditopang oleh serangkaian ide lain, seperti kekuasaan
sombolik, strategi, dan perebutan (kekuasaan simbolik dan material), beserta
beragam jenis modal.
Sebagaimana konsep Bourdieu mengenai habitus dan arena dalam
kerangka dunia seni, arena dipandang sebagai sebuah mikrokosmos lingkup sosial
yang memiliki aturan permainan tersendiri dengan mempertaruhkan hal-hal yang
khas dan modal yang khas pula. Dalam konteks ini modal sosial menjadi sasaran
utama perjuangan untuk memilikinya (Martini, 2003: 42). Bourdieu berupaya
menjelaskan keberadaan karya sastra, bagaimana karya sastra mendapatkan
legitimasinya, bagaimana sastrawan atau penyair menempati arena sosial di
masyarakat atau negara, bagaimana strategi-strategi yang diambil oleh sastrawan,
bagaimana kedudukan sastrawan dalam arena sosial.
Di samping itu, modal-modal apa yang ada dalam kehadiran karya sastra,
dan bagaimana keberadaan (intrinsik) karya sastra yang dimiliki agen
menghasilkan praktik. Konsep modal sebagai khasanah ilmu ekonomi,
berdasarkan cirinya mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan
kaitannya dengan arena produksi kultural sastra. Ciri yang pertama adalah modal
terakumulasi melalui investasi. Ciri kedua, modal bisa diberikan kepada yang lain
melalui warisan. Ciri ketiga, modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan
kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya
(Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2003: 11). Modal merupakan hubungan sosial,
20
artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam
arena perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi.
Ada empat macam capital/modal, yakni; pertama, modal ekonomi yang
mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang. Kedua, modal kultural/budaya
sebagai keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui
pendidikan formal maupun warisan keluarga. Hal tersebut berperan dalam
penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Ketiga, modal sosial atau
jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) sebagai hubungan-
hubungan yang merupakan sumber daya dalam penentuan dan reproduksi
kedudukan-kedudukan sosial. Keempat, modal simbolis, akumulasi bentuk
prestise, status, otoritas, dan legitimasi. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan
simbolis untuk mendapatkan sesuatu berkat mobilitas yang telah dikerjakan.
Modal dipandang sebagai logika perjuangan-perjuangan dalam arena sebagai
arena kekuatan untuk memperjuangkan posisi dan otoritas legitimasi.
Keempat macam modal tersebut sangat berpengaruh dan menentukan bagi
arena produksi kultural. Namun demikian dari keempat modal tersebut, ada dua
bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu modal
simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan
(connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Yang kedua adalah modal
kultural yang berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau
suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap,
apresiasi, atau kompetensi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-
artefak kultural. Bourdieu berpendapat bahwa sebuah karya seni/sastra
21
mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi
kultural, yaitu kode atau modal kultural, tempat di mana karya itu dikodekan
(encoded). Hal tersebut merupakan diakumulasi melalui satu proses panjang
akuisisi atu kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-
anggota kelompok (pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial
(pendidikan yang tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang
terlembagakan) (Johnson, 2012 : xix-xx).
Di dalam ruang sosial, individu dan habitus-nya berhubungan dengan
individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan
sesuai dengan arena dan modal yang dimilikinya. Dari hal tersebut maka akan
dihasilkan praktik. Praktik merupakan produk dari relasi antara habitus sebagai
produk sejarah dan arena yang juga merupakan produk sejarah. Dalam suatu arena
akan muncul pertaruhan, kekuatan-kekuatan dari orang yang memiliki modal
dengan orang yang tidak memiliki modal. Modal sebagai konsentrasi kekuatan
yang beroperasi di dalam arena menjadikan setiap arena menuntut setiap individu
untuk modal-modal khusus agar bisa tetap hidup dan bertahan di dalamnya.
Bourdieu merumuskan generatif yang menerangkan praktik sosial dengan
persamaan: (Habitus x Modal) + Arena = Praktik (Takwin, 2009: xxi).
Keterkaitan antara arena, habitus, dan modal bersifat langsung.
Dalam usaha mencapai, mempertahankan, dan memperbaiki posisi serta
mendapatkan posisi-posisi baru untuk membedakan dirinya dengan orang lain
membutuhkan strategi. Perjuangan yang dilakukan adalah dengan pertarungan
dalam arena sosial dan simbolis. Modal dalam suatu arena akan dipertaruhkan
menggunakan strategi yang didukung oleh para agen. Hal tersebut terjadi karena
22
strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena (Bourdieu, 1990a: 61).
Dalam hal ini Bourdieu (1984: 125-131) membagi strategi menjadi dua
macam; 1) strategi reproduksi yang merupakan himpunan praktik yang dirancang
oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan.
2) strategi rekonvensi yang merupakan sejumlah pergerakan agen dalam ruang
sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan jumlah modal
dominan dan terdominasi. Selain itu, Bourdieu (1990b: 68) menambahkan
mengenai macam strategi, yakni strategi investasi biologis, strategi pewarisan,
strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi investasi simbolis.
Strategi pewarisan berfungsi untuk menjamin kekayaan karena modal
ekonomi menentukan dalam hubungan kekuasaan. Strategi pendidikan mengarah
untuk menghasilkan pelaku sosial yang „mumpuni‟ agar mampu menerima
warisan kelompok atau mampu memperbaiki jenjang sosial. Strategi investasi
ekonomi merupakan upaya untuk mempertahankan atau menambah modal dari
berbagai jenisnya (Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2003: 15). Dalam hal ini modal
ekonomi berkaitan dengan modal sosial yang akan melanggengkan hubungan-
hubungan sosial dengan jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan
strategi investasi simbolis adalah upaya mempertahankan atau meningkatkan
pengakuan sosial yang bertujuan untuk memproduksi persepsi dan penilaian yang
mendukung kekhasannya.
Keberagaman strategi reproduksi sosial akan memicu perubahan struktur-
struktur sosial. Untuk itu dibutuhkan ketepatan penerapan sarana dan strategi yang
23
akan menentukan arah reproduksi sosial. Strategi-strategi tersebut musti
digerakkan sesuai dengan modal dan habitus yang dimiliki agen di sebuah arena
dari waktu ke waktu mengingat strategi dapat berubah seiring dengan perubahan
struktur sosial masyarakat menurut (Haryatmoko, 2003: 16). Untuk melalui ruang
sosial seperti ini maka diperlukan adanya trajektori.
Trajektori adalah serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang
yang terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami pergantian dan distorsi. Lebih
tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda dipertaruhkan di
dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi spesifik (Bourdieu, 2012: 58).
Pergulatan seorang agen dalam proses mendistribusikan modal dengan cara-cara
tertentu dan memenangkan atau meraih sesuatu yang dipertaruhkan dalam arena
sosial. Trajektori diartikan oleh Bourdieu (2012: 252) sebagai deskripsi
serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang sastrawan dalam sebuah
arena sastra yang juga silih berganti. Di sini struktur arena sastra dapat terlihat
dari trajektori yang dilakukan oleh para agen. Untuk itu diperlukan penyesuaian
strategi tertentu sehingga investasi modal dapat berakumulasi secara maksimal
dan menentukan kesuksesan seseorang.
Demikianlah beberapa konsep arena kultural (sastra) menurut Bourdieu.
Masalah yang telah diungkapkan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan
menggunakan konsep-konsep tersebut. Teori tersebut nantinya akan dipakai untuk
menjelaskan gejala-gejala yang ditemukan sesuai dengan permasalahan.
Penjelasan tersebut tidak hanya dilakukan dengan mengemukakan, melukiskan
gejala-gejala tetapi juga dengan keterangan tentang gejala tersebut, baik dengan
24
membandingkan, menghubungkan, memilah-milah, atau mengombinasikannya
dengan teori Bourdieu.
1.6 Hipotesis
Hipotesis sebagai simpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan
berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini mengimplikasikan
hubungan antara masalah dengan dan proses-proses lain. Berdasarkan hal tersebut
maka hipotesis penelitian ini yaitu; dalam meraih posisi di arena sastra hingga
arena sosial, Nadjib senantiasa mendayagunakan sastra di dalam berbagai arena.
Strategi yang dilakukan Nadjib untuk mengukuhkan posisinya adalah strategi
reproduksi dan strategi rekonvensi, di samping peranan agen-agen sekelilingnya.
Dari situ, modal yang telah diperoleh Nadjib diakumulasikan dan menjadi lebih
kuat.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti; perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah (Moleong, 2007: 6). Pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan, pengamatan, dan wawancara. Dengan demikian, satuan
25
data berupa arena kekuasaan dan arena sastra Nadjib, habitus dan modal Nadjib
untuk menempati arena sastra nasional, strategi yang dilakukan Nadjib dalam
mencapai posisinya dan peranserta para agen di dalam arena Nadjib
dideskripsikan.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Praktik sastra hanya bisa dipahami melalui material karya dan ruang sosial
tertentu yang menjadi latar kehidupan penulisnya. Dengan demikian, secara
intrinsik satuan data dalam penelitian ini adalah karya sastra yang ditulis oleh
Nadjib. Karya sastra digunakan untuk melihat bagaimana sosiologi kehidupan
Nadjib di dalamnya.
Pada tahap pengumpulan data juga dilakukan proses penyeleksian data.
Pada langkah ini, semua data yang diperoleh diseleksi berdasarkan kesamaan
karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diajukan dalam penelitian.
Penyeleksian data itu menggunakan teknik penyampelan purposif (purposive
sampling). Purposive sampling adalah pengambilan sampel yang disesuaikan
dengan tujuan penelitian (Siswantoro, 2010:73).
Secara ekstrinsik, data dapat berupa teks dan proposisi-proposisi yang
berhubungan dengan Nadjib. Data tentang posisi Nadjib dalam arena sastra dan
arena sosial dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan wawancara. Dokumen
yang dimaksud berupa buku, laporan penelitian, berita atau artikel-artikel di
media massa (cetak dan elektronik), dan video yang memberikan informasi
tentang pencapaian posisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia.
26
Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah tulisan yang
berhubungan dengan Nadjib. Sebagian besar data tertulis didapatkan di
perpustakaan Rumah Budaya EAN. Pengamatan dilakukan pada sejumlah acara
sastra yang berkaitan dengan Nadjib di Indonesia.
Selain itu, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan teknik wawancara.
Teknik wawancara itu juga digunakan untuk memperoleh data tentang pergulatan
Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia. Wawancara dilakukan
kepada sejumlah sastrawan dan seniman yang memiliki hubungan dekat dengan
Nadjib. Ada dua pertanyaan yang menjadi garis besar dalam wawancara; 1) sejauh
mana narasumber mengenal Nadjib; dan 2) penilaian narasumber terhadap karya-
karya sastra Nadjib. Namun demikian pertanyaan dapat meluas seiring jawaban-
jawaban yang disampaikan oleh narasumber berkaitan dengan pentingnya
jawaban-jawaban tersebut sebagai data terhadap peneliatian.
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode analisis ini dilakukan melalui tiga tahap analisis. Pertama,
melakukan deskripsi mengenai arena kekuasaan dan arena sastra di Indonesia
sebagai arena kompetisi Nadjib. Pengidentifikasian tersebut digunakan untuk
meneroka bagaimana permulaan Nadjib menempati posisi dalam arena.
Kedua, melakukan deskripsi mengenai disposisi Nadjib dalam arena sastra
dan sosial, yang meliputi pertarungan Nadjib dalam arena sastra, karya sastra
Nadjib dalam dominasi arena kekuasaan, pemerolehan modal, dan ideologi
karismatik Nadjib. Di sini akan dilakukan pembacaan terhadap karya sastra
27
Nadjib. Pembacaan ini meliputi analisis terhadap pandangan-pandangan,
peristiwa, atau masalah-masalah yang dihadirkan dalam karya sastranya. Analisis
ini berguna untuk menemukan homologi antara praktik pergulatan Nadjib dalam
arena sastra dengan karya-karya sastranya.
Ketiga, menganalisis strategi yang digunakan dan peran agen dalam
pencapaian posisi sosial Nadjib. Analisis ini digunakan untuk melihat hasil
pertarungan simbolik Nadjib dengan sastrawan-sastrawan lain di Indonesia dalam
mempertahankan dan pencapaian posisi sosial yang telah diperoleh. Nantinya
akan dapat dilihat akumulasi dan pengelolaan modal yang dimiliki Nadjib untuk
meraih posisi dalam arenanya.
Data yang didapatkan dianalisis dengan mengorganisasikan data ke dalam
pola, kategori, dan satuan uraian dasar penelitian. Dari itu dapat dirumuskan
asumsi-asumsi dasar yang merujuk pada teori yang digunakan. Berkaitan dengan
hal tersebut, pengorganisasian data disesuaikan dengan teori sosiologi sastra
Pierre Bourdieu. Setelah semua data dianalisis, langkah selanjutnya adalah
menyimpulkan temuan-temuan yang diperoleh sesuai dengan data yang ada.
1.8 Populasi, Sampel, dan Data
Dalam kariernya, Nadjib telah menerbitkan belasan jilid buku puisi dan
puluhan buku kumpulan esai. Buku kumpulan puisi karya Nadjib tersebut antara
lain “M” Frustasi (1975) diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan, Sajak-Sajak
Sepanjang Jalan (1977) memenangkan sayembara Tifa Sastra UI, Tak Mati-mati
(1978) yang dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Sajak-Sajak Cinta
28
(1978), Tuhan Aku berguru KepadaMu (1980) dimusik-puisikan bersama Teater
Dinasti di TIM, Nyanyian Gelandangan (1982) dibacakan bersama Teater Dinasti
di Taman Budaya Surakarta, 99 Untuk Tuhanku (1982) dibacakan di Bentara
Budaya Yogyakarta, Isra’ Mi’raj yang Asyik (1986) dibacakan di UGM
Yogyakarta, Suluk Pesisiran (1989), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid
Satu Jumlahnya (1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian
Indonesia (1993), Abacadabra (1994), dan Syair-syair Asmaul Husna (1994). Ada
pula beberapa naskah belum terbit bahkan tidak diterbitkan sampai hari ini, di
antaranya Kanvas, Tidur Yang Panjang, Syair-syair Indonesia Raya, Iman
Perubahan, Minuman Keras Nasibku, dan Syair Lembu.
Buku kumpulan esainya, Sastra Yang Membebaskan (1984), Dari Pojok
Sejarah (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Markesot Bertutur (1993), Markesot
Bertutur Lagi (1994), Indonesia Bagian dari Desa Saya (1994), Terus Mencoba
Budaya Tanding (1995), Titik Nadir Demokrasi (1995), Opini Plesetan (1996),
2,5 Jam Bersama Soeharto (1998), dan masih banyak lagi. Selain itu ada pula
buku kumpulan cerpen Padang Kurusetra, namun naskah itu hilang dan tidak bisa
diterbitkan. Satu-satunya yang terbit adalah Yang Terhormat Nama Saya (1992)
yang diterbitkan ulang dengan judul BH (2005), Novel-esai Gerakan Punakawan
atawa Arus Bawah (1994), dan skenario film yang ditulis bersama Viva Westi
yakni RAYYA: Cahaya di Atas Cahaya (2011).
Reportoar serta pementasan drama karya Nadjib bersama Teater Dinasti
mencakup Geger Wong Ngoyak Macan (1982), Patung Kekasih (1983),
Keajaiban Lik Par (1984), Mas Dukun (1986). Kemudian bersama Jamaah
Salahudin UGM di akhir tahun 80-an Nadjib menghasilkan Lautan Jilbab yang
29
dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Madiun, Ujung Pandang, dan Malang.
Lakon tersebut merupakan salah satu karya Nadjib yang paling terkenal. Tahun
1990 mementaskan Santri-Santri Khidhir di lapangan Gontor dengan seluruh
santri menjadi pemain, serta bersama 35.000 penonton di alun-alun Madiun. Pada
tahun 1992 mementaskan Perahu Retak. Selanjutnya tahun 1993 muncul Sunan
Sableng dan Baginda Faruq. Selain itu ada Sidang Para Setan, Pak Kanjeng,
Duta Dari Masa Depan bersama Teater Gandrik. Trilogi Tikungan Iblis, Nabi
Darurat Rasul Ad Hoc, dan Kekasih Anjing bersama Teater Perdikan.
Dari sekian banyak karya Nadjib tersebut, dipilih sebagai sampel yakni
kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab, Sesobek Buku Harian Indonesia, dan Cahaya
Maha Cahaya, novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, kumpulan
esai Terus Mencoba Budaya Tanding dan Slilit Sang Kiai. Sampel-sampel yang
dipilih merupakan karya-karya yang memiliki pengaruh bagi Nadjib dalam
pergulatannya di arena sastra dan arena sosial. Sampel yang diambil berupa
kumpulan puisi, kumpulan esai, dan naskah drama.
Adapun data lain berupa wawancara terhadap beberapa orang yang
menurut penulis memiliki hubungan dekat dengan Nadjib di arena sastra dan
sosial. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data tertulis yang sudah ada.
Wawancara dilakukan penulis kepada Iman Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim,
dan Jabrohim. Santosa dipilih mengingat kedekatannya dengan Paranggi dan
PSK, serta perannya dalam arena sastra Yogyakarta. Hasyim dipilih karena
kedekatannya dengan Nadjib baik di arena sastra, jurnalis, dan dalam acara-acara
pengajian yang digelar Nadjib. Sedangkan Jabrohim dipilih mengingat perannya
dalam penerbitan beberapa buku Nadjib.
30
Penulis juga mengambil data atas pernyataan-pernyataan Nadjib dalam
sejumlah acara. Acara-acara tersebut adalah acara Bincang-Bincang Sastra SPS,
acara Musikalisasi Sastra TBY, dan acara Baca Puisi Festival Sastra LSBO PP
Muhammadiyah. Acara-acara tersebut berterkaitan dengan arena sastra hingga
arena sosial Nadjib.
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dengan empat bab sebagai berikut.
Bab I berupa pendahuluan yang berisi: (1) latar belakang penelitian; (2)
rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) tinjauan pustaka; (5) landasan teori;
(6) hipotesis; (7) vareabel; (8) metode penelitian; (9) populasi, sampel, dan data;
dan (10) sistematika penyajian.
BAB II berisi uraian mengenai kondisi arena kekuasaan dan arena sastra di
Indonesia.
BAB III berisi uraian mengenai pertarungan Nadjib dalam arena sastra,
karya sastra Nadjib, pengelolaan modal, dan ideologi karismatik Nadjib dalam
disposisi di arena sastra dan arena sosial.
BAB IV berisi uraian mengenai strategi, peranan agen, dan pencapaian
posisi Nadjib di arena sastra dan arena sosial.
BAB V berisi kesimpulan.