1 pendahuluan termasuk sastra yangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77485/potongan/s2-2014...bab...

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan arena seni budaya termasuk sastrayang sampai hari ini terus tumbuh dan berkembang. Salah satu hal yang menjadikan sastra di Yogyakarta dapat bertahan adalah adanya semangat kekeluargaan. Semangat kekeluargaan ini mewujud dalam bentuk sanggar atau komunitas. Banyak sanggar atau komunitas sastra di Yogyakarta yang telah dan tengah melahirkan sastrawan yang produktif dan kreatif. Salah satu komunitas sastra di Yogyakarta yang melegenda adalah Persada Studi Klub (PSK). PSK merupakan salah satu komunitas sastra yang memiliki pengaruh bagi sastra Indonesia di Yogyakarta. Komunitas ini lahir tanggal 5 Maret 1969 1 di lantai dua kantor redaksi Koran Mingguan Pelopor Yogya di Jl. Malioboro 175 A, yang diawaki oleh penyair Umbu Landu Paranggi dan 6 penyair muda lainnya, yakni Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. PSK memiliki andil dalam kesastrawanan Emha Ainun Nadjib (selanjutnya disebut Nadjib). Dari PSK, Nadjib menjadi salah satu nama selain 1 Tanggal lahir berdasarkan keterangan sejumlah anggota di dalam buku Orang-orang Malioboro, Ragil Suwarna Pragolapati dalam antologi puisi Salam Penyair, serta dalam tesis Saeful Anwar mengenai PSK, kendati menurut Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budhi Santosa dalam wawancara 13 November 2013 menyatakan bahwa PSK lahir tahun 1968 yang kemudian mendasari perayaan ulang tahunnya tanggal 15 Maret 2013 di Rumah Budaya EAN terhitung 45 tahun.

Upload: dangkhanh

Post on 25-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Yogyakarta merupakan arena seni budaya —termasuk sastra— yang

sampai hari ini terus tumbuh dan berkembang. Salah satu hal yang menjadikan

sastra di Yogyakarta dapat bertahan adalah adanya semangat kekeluargaan.

Semangat kekeluargaan ini mewujud dalam bentuk sanggar atau komunitas.

Banyak sanggar atau komunitas sastra di Yogyakarta yang telah dan tengah

melahirkan sastrawan yang produktif dan kreatif.

Salah satu komunitas sastra di Yogyakarta yang melegenda adalah Persada

Studi Klub (PSK). PSK merupakan salah satu komunitas sastra yang memiliki

pengaruh bagi sastra Indonesia di Yogyakarta. Komunitas ini lahir tanggal 5

Maret 19691 di lantai dua kantor redaksi Koran Mingguan Pelopor Yogya di Jl.

Malioboro 175 A, yang diawaki oleh penyair Umbu Landu Paranggi dan 6

penyair muda lainnya, yakni Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna

Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan

M. Ipan Sugiyanto Sugito.

PSK memiliki andil dalam kesastrawanan Emha Ainun Nadjib

(selanjutnya disebut Nadjib). Dari PSK, Nadjib menjadi salah satu nama selain

1 Tanggal lahir berdasarkan keterangan sejumlah anggota di dalam buku Orang-orang Malioboro, Ragil Suwarna Pragolapati dalam antologi puisi Salam Penyair, serta dalam tesis Saeful Anwar mengenai PSK, kendati menurut Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budhi Santosa dalam wawancara 13 November 2013 menyatakan bahwa PSK lahir tahun 1968 yang kemudian mendasari perayaan ulang tahunnya tanggal 15 Maret 2013 di Rumah Budaya EAN terhitung 45 tahun.

2

Linus Suryadi Ag., Korrie Layun Rampan, dan sejumlah sastrawan yang sudah

dikenal luas oleh arena sastra nasional. Di Yogyakarta —di kawasan Malioboro—

ketika masih SMA, Nadjib telah dipertemukan dengan Paranggi, sebelum

akhirnya pria asal Sumba yang mendapat julukan Presiden Malioboro ini hijrah ke

Bali hingga sekarang.2

Iklim arena sastra Yogyakarta berperan penting bagi Nadjib. Yogyakarta

sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya berbagai dan/atau antar-habitus bagi

para sastrawan membentuk karakter arena sastra di dalamnya. Hal tersebut

ditentukan berdasarkan komposisi antar-habitus yang dibawa oleh individu-

individu sehingga menjadi sesuatu yang khas Yogyakarta dan tidak dapat

ditemukan di manapun di Indonesia (Salam, 2013).

Nadjib banyak membacakan puisi-puisinya di kampus-kampus, kampung,

masjid, pertemuan-pertemuan tertentu, di depan buruh, di pesta ulang tahun,

bahkan dalam acara disko, daripada secara tertulis lewat surat kabar dan majalah

(Jabrohim, 2003). Dari segi kepenyairan, periode akhir 1970-an hingga akhir

1980-an dapat dikatakan sebagai periode pertama paling kreatif dan produktif bagi

Nadjib. Di tahun-tahun tersebut ia banyak menerbitkan buku antologi puisi

dengan berbagai kecenderungan, di antaranya puisi sosial (protes), sosio-religius,

dan mistisisme Islam (tasawuf) (Alfian M., dkk., 2001: 118-119; Betts, 2006: 11).

Dapat dikatakan bahwa selepas pergulatan di arena sastra Yogyakarta, Nadjib

berhasil menempati posisi dalam arena sastra nasional, bahkan internasional.

2 Lebih lanjut mengenai penelitian terhadap peran Umbu Landu Paranggi dalam sastra di Indonesia, sastra di Yogyakarta, dan sastra di Bali bisa dibaca dalam tesis I Made Astika dengan judul “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013.

3

Beberapa prestasi Nadjib di masa itu antara lain mememenangkan

sayembara Tifa Sastra UI untuk kumpulan puisinya Sajak-sajak Sepanjang Jalan

(1977), diundang membacakan puisi-puisinya di TIM3, dan diundang dalam

sejumlah program yang sifatnya internasional. Di antaranya adalah diundang

dalam acara bidang teater Multi Cultural di Filipina (1980), The International

Writing Program, Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), The International

Songwriters Festival, Rotterdam, Belanda (1984), dan Festival Horizonte III di

Berlin Barat, Jerman (1985) (Alfian M., dkk., 2001: 110; Jabrohim, 2003: 29;

Betts, 2006: 3). Hal tersebut merupakan sebuah capaian yang tidak semua

sastrawan Indonesia dapat meraihnya.

Bersama para penyair dan penyanyi Yogyakarta, Nadjib aktif menggelar

acara Poetry Singing. Bersama Deded Er Moerad ia „ngamen‟ di kampung-

kampung, bahkan ia disebut-sebut melatarbelakangi puisi-puisi Ebied G. Ade

yang kemudian dinyanyikan. Selain itu tercatat sejumlah komunitas kampus di

Yogyakarta dan beberapa artis ternama Indonesia membuat pertunjukan sastra dan

teater yang kemudian semakin melambungkan namanya. Di antaranya mahasiswa

Universitas Indonesia, Jamaah Shalahuddin UGM, mahasiswa IKIP

Muhammadiyah Yogyakarta (sekarang UAD), Neno Warisman, Ayu Laksmi, dan

lain-lain.4 Selain pergulatannya di arena sastra, Nadjib pun masuk ke arena teater.

Bersama Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno, Nadjib membuat pemanggungan

puisi dan sejumlah naskah drama. Dengan diiringi seperangkat gamelan, Nadjib

3 Mendapat undangan untuk membaca puisi di TIM kala itu menjadi sebuah ukuran prestasi, mengingat tidak semua penyair mendapatkan kesempatan tersebut, terlebih sastrawan-sastrawan dari daerah. Acara tersebut dipandang sebagai acara yang sifatnya nasional, karena bertempat di Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. 4 Puisi-puisi Nadjib selain dibacakan banyak pula yang dimusikalisasikan. Hal tersebut berawal ketika pada tahun 1970-an Nadjib aktif menyelenggarakan Poetri Singing di Yogyakarta bersama para penyair dan penyanyi muda waktu itu (Jabrohim, 2003: 31).

4

membacakan puisinya atau menyanyikannya bersama Grup Musik Dinasti,

kemudian bersama Komunitas Pak Kanjeng, yang selanjutnya bermetamorfosis

menjadi KiaiKanjeng sampai saat ini.

Selain pergulatannya dalam arena sastra dan seni, Nadjib pun menembus

dan meraih posisinya di arena agama, yang pada akhirnya mengarahkannya pada

pergulatan di arena intelektual, politik, dan kebudayaan. Di masa Orde Baru,

Nadjib tercatat sebagai anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)

kendati pada tahun 1991 mengundurkan diri. Nadjib banyak ceramah mengenai

agama, politik, dan kebudayaan di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Dengan

gerakan kebudayaan tersebut hingga saat ini Nadjib memperoleh sekaligus

mampu mempertahankan posisinya yang mapan serta memiliki pengikut (jamaah)

yang sangat banyak di kota-kota besar bahkan di pelosok-pelosok Indonesia.

Seperti yang sudah disinggung, pergulatan Nadjib di arena sosial tersebut

tidak dapat dilepaskan dari arena kekuasaan Orde Baru. Arena kekuasaan Orde

Baru memiliki kakuatan untuk memunculkan hegemoni-hegemoninya yang

didominasi oleh menguatnya Golongan Karya (Golkar). Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) yang berlatar agama (Islam) dan Partai Demokrasi Indonesia

(PDI) ditekan oleh hegemoni Golkar. Pada saat itulah peluang berpolitik bagi

Nadjib mulai terbuka, itu artinya akumulasi modal sosialnya semakin kuat.

Nadjib kemudian tidak hanya dikenal sebagai penyair, akan tetapi juga

seorang esais/kolomnis, penulis naskah drama, penulis cerita pendek, pemusik,

kiai, budayawan, dan sejumlah penamaan lain yang merujuk pada identitas yang

multi talenta (Ariadinata, 2014: 621). Ian L. Betts bahkan membuatkan semacam

5

biografi singkat mengenai Nadjib melalui bukunya Jalan Sunyi Emha (2006) yang

diterbitkan oleh Kompas. Buku yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris

yakni The Silent Pilgrimage: Emha Ainun Nadjib, A Lifelong Journey Of Faith.

Dalam buku ini disampaikan mengenai aktivitas-aktivitas sosial Nadjib di dalam

berbagai arena sosial. Sehimpun kesaksian dari beberapa sahabat dekat Nadjib dan

kesan-kesan mengenainya pun disampaikan dalam buku tersebut. Sebuah buku

yang mengedepankan sebuah wacana bahwa Nadjib telah memberikan sumbangan

yang unik kepada lanskap gerakan budaya modern Indonesia namun ia (bahkan)

tidak dicatat justru di negerinya sendiri (Betts, 2006: vi). Wacana tersebut

kemudian menjadi salah satu data penting bagi penelitian terhadap Nadjib.

Nadjib tidak dapat dilepaskan begitu saja dari arena sastra di Indonesia.

Nadjib dipandang memiliki cukup peran dalam arena sastra di Indonesia, kendati

setelah ia menjadi „selebritis‟ ia tidak lagi banyak bergelut di dunia sastra

(Jabrohim, 2003). Pergulatan-pergulatannya telah membawa pada arena sosial

yang besar. Ada banyak orang yang mampu menembus posisi sebagai sastrawan,

tetapi tidak banyak yang mampu mempertahankannya sebaik Nadjib. Menariknya,

hal tersebut justru tidak dilakukan Nadjib dengan menulis karya sastra.

Legitimasi yang dimilikinya dari berbagai arena membuat status sosial

Nadjib semakin kuat dan berujung pada peraihan modal ekonomi yang juga besar.

Saat ini Nadjib bahkan memiliki managemen yang terhimpun dalam CN-KK di

Rumah Budaya EAN. Rumah Budaya ini sekaligus menaungi KiaiKanjeng,

Progress, Letto, Geese Studio, Perpustakaan EAN, dan Merchandise United.

Belakangan Rumah Budaya EAN pun menjadi kantor untuk Majalah Sastra

6

Sabana. Sebuah majalah sastra yang digagas oleh sastrawan-sastrawan eks. PSK

didukung oleh sastrawan-sastrawan muda Yogyakarta.

Sebagai seorang tokoh, Nadjib memiliki karisma dan otoritas terhadap

arena sosialnya. Nadjib sebagai seseorang yang disegani, dipatuhi, dan dituruti

perintah serta ajakannya, memiliki kekuasaan dan otoritas yang berangkat dari

karisma itu. Atas dasar keilmuannya di berbagai bidang dan pergulatannya di

arena sosial yang luas, Nadjib menjadi figur yang karismatik sehingga dijadikan

sebagai panutan sejumlah pihak dan pengikutnya (baca: jamaah) yang besar.

Melihat hal tersebut, penelitian terhadap Nadjib mulai dari pergulatannya hingga

capaian posisinya dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia layak segera

dilakukan. Tidak hanya persoalan di arena sastra atau seni budaya, tetapi juga

persoalan agama, politik, dan persoalan-persoalan lain yang terjadi di Indonesia.

Ada dua macam penelitian yang dapat dilakukan untuk mengkaji wacana

mengenai Nadjib ini; pertama, melakukan penelitian terhadap karya-karya Nadjib,

terutama puisi, naskah drama, dan esai-esainya. Kedua, penelitian terhadap

aktivitas sosial Nadjib. Kedua hal tersebut dilakukan untuk mengetahui strategi-

strategi yang dilakukan Nadjib dalam pergulatan dan mempertahankan capaiannya

untuk menempati sebuah posisi dalam arena sastra, serta arena sosial di Indonesia

dan dunia Internasional. Penelitian ini dimungkinkan akan menguatkan atau akan

melemahkan posisi dan citra Nadjib yang sampai saat ini terus dipertahankan.

Kedua cara tersebut ditempuh dalam penelitian mengenai arena produksi

kultural Nadjib ini. Hal tersebut didasarkan pada pentingnya mengetahui

perkembangan karya Nadjib, apakah estetika karya yang dibawanya memengaruhi

7

posisinya saat ini, atau sebaliknya. Muncul asumsi bahwa posisi Nadjib

merupakan faktor penting yang membuat karya-karyanya menjadi layak

diperhitungkan dalam arena sastra di Indonesia. Sejumlah aktivitas sosial Nadjib

yang beragam diteliti dan akan menjadi data penting dalam penelitian ini.

Gejala semacam ini tentu menarik dikaji dari sudut pandang sosiologi.

Dari kacamata sosiologis, kebudayaan begitu juga kesusastraan, dilihat sebagai

pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, Nadjib

sebagai sastrawan yang masuk ke dalam arena kebudayaan, khususnya sastra, di

sisi lain juga sebagai masyarakat dalam arena sosial yang besar, yang

membuatnya untuk berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan beragam

arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain tersebut. Dalam

pertarungan yang ketat, sastrawan dituntut memiliki modal yang besar untuk

menjalani setiap kompetisi yang telah disediakan ataupun yang akan dibangunnya.

Untuk itu, penelitian ini didasarkan pada kajian teori sosiologi sastra

Pierre Bourdieu. Melalui teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu, dijelaskan

habitus,yang meliputi arena, modal, strategi, trajektori, dan capaian Nadjib di

arena sastra hingga arena sosial yang lebih besar. Hal tersebut berdasar pada

pandangan Bourdieu yang juga menekankan pada pengkajian arena lain di luar

arena sastra yang diteliti dan arena kekuasaan yang menaunginya. Hingga kini,

Nadjib masih menempati posisi yang mapan dan mampu bertahan baik dalam

arena sastra maupun arena sosial.

8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang penelitian yang telah dipaparkan tersebut, maka

terdapat sejumlah permasalahan. Nadjib telah berhasil menempati posisi mapan

dalam arena sastra dan antar arena-arena lainya. Arena-arena yang berhasil

ditembus oleh Nadjib tersebut saling terkait satu sama lain dan membentuk

konsepsi dalam dunia sosial yang disebut arena sosial. Pencapaian posisi sosial

Nadjib di dalam arena sastra dan arena sosial tentu tidak dapat dilepaskan dari

habitusnya sebagai hasil dari serangkaian tindakan praktis yang telah dilakukan.

Untuk itu perlu dilihat kondisi arena kekuasaan, arena sastra, dan habitus Nadjib

melakukan pergulatannya untuk mencapai posisi mapan dalam arena sosial

tersebut. Masalah-masalah tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebagai

berikut:

1. Arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia yang mendominasi Nadjib.

2. Disposisi Nadjib di dalam arena sastra dan arena sosial.

3. Strategi, agen, dan pencapaian posisi Nadjib dalam arena sastra dan

arena sosial.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah

dikemukakan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dibagi atas dua

bagian yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan khusus penelitian ini adalah

untuk mendeskripsikan (1) arena kekuasaan dan arena sastra yang mendominasi

9

Nadjib; (2) disposisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial; (3) strategi dan

peranan agen dalam pencapaian posisi Nadjib di arena sastra dan arena sosial.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menambah apresiasi terhadap Nadjib

dalam kaitannya dengan arena sastra dan arena sosial.

Secara teoritis, setelah melakukan kajian sastra dengan bantuan data-data

sosiologi terhadap Nadjib dalam menempati arena sastra nasional dan arena sosial

yang lainnya diharapkan dapat memperkaya khasana kajian sastra di Indonesia

berkenaan dengan teori sosiologi Pierre Bourdieu. Sementara secara praktis

penelitian ini semoga bermanfaat bagi mahasiswa, guru, dan dosen sebagai

sumber informasi tentang Nadjib sebagai salah satu tokoh sastra di Indonesia.

Selain itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan ada penelitian lain yang

melengkapi kajian terhadap tokoh sastra di Indonesaia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dari sejumlah penelusuran literatur, ada begitu banyak tulisan tentang

Nadjib, dalam bentuk buku, jurnal, artikel ilmiah, esai, keterangan foto, dan

laporan penelitian. Namun demikian, belum ditemukan pembahasan yang serupa

atau mendekati penelitian ini. Artinya, belum ada yang berusaha mengungkap

capaian kesastrawanan Nadjib menggunakan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu

secara signifikan dan menyeluruh.

Meskipun demikian, ada tiga penelitian yang bersinggungan dengan

Nadjib dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu. Penelitian tersebut adalah

makalah diskusi bulanan S2 Ilmu Sastra FIB UGM Aprinus Salam dengan judul

10

“Sastra Yogya dalam Teori Bourdieu”, tesis dengan judul “Persada Studi Klub:

Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional” karya Saeful Anwar,

dan tesis berjudul “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali:

Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu” karya I Made Astika. Ketiga penelitian

tersebut memiliki titik fokus pembahasan yang hampir sama, yakni dengan

mengaplikasikan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu untuk meneliti gejala

sastra di Indonesia. Mengingat penggunaan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu

dalam penelitian sastra di Indonesia relatif baru, maka ketiga penelitian tersebut

menjadi sangat penting sebagai referensi penelitian ini.

Kajian yang ditulis Aprinus Salam mengacu pada kehadiran dan relasi

sastrawan Yogyakarta dari tahun ke tahun dalam konsep Bourdieu sehingga

muncul arena sosial, dalam akivitas bersastra, yang kemudian disebut arena sastra.

Kajian ini membahas interaksi antar sastrawan yang dipertemukan di Yogyakarta

dalam mengumpulkan modalnya. Nadjib menjadi salah satu tokoh sastrawan

Yogyakarta yang dibahas dalam penelitian ini. Kendati pembahasan mengenai

Nadjib tidak secara spesifik, tetapi dari sini dapat dilihat bagaimana habitus dan

pengumpulan modalnya dalam arena sastra Yogyakarta yang kelak sangat

memengaruhinya untuk menjadi penyair, sastrawan, budayawan dengan

akumulasi modal yang besar. Dari penelitian ini beberapa „kunci‟ mengenai

capaian arena sosial Nadjib sedikit-banyak dapat dipetakan arahnya.

Sementara itu, penelitian Saeful Anwar membahas posisi PSK yang

terdominasi oleh kekuasaan Orde Baru. Penelitian yang dilakukan bergerak pada

penelitian terhadap aktivitas anggota PSK. Sementara penelitian terhadap karya-

karya para anggota PSK tidak dilakukan. Di dalam penelitian ini Nadjib sebagai

11

salah satu anggota PSK yang dipilih selain Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati,

Iman Budhi Santosa, Linus Suryadi Ag., dan Korrie Layun Rampan berdasarkan

peran sentral di PSK.

Penelitian yang dilakukan oleh I Made Astika mendeskripsikan posisi

Paranggi dalam arena sastra nasional; pergulatan Paranggi dalam arena sastra di

Bali; dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Paranggi dalam menghadapi arena

sastranya. Dalam penelitian ini dibahas mengenai karya sastra dan proposisi-

proposisi dari seniman, sastrawan, atau wartawan yang berhubungan dengan

Paranggi. Di Bali, Paranggi melakukan reproduksi-reproduksi dalam pergulatan

arena sastra regional yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukannya di

Yogyakarta. Di Bali, Paranggi telah berhasil membina sejumlah calon penulis

yang kemudian dikenal sebagai sastrawan yang terkonsekrasi di tingkat nasional.

Mengingat peran Paranggi terhadap Nadjib, maka penelitian ini menjadi penting,

selain juga kesamaan teori yang digunakan. Untuk itulah penelitian ini mencoba

mengkaji lebih detail mengenai habitus, arena, modal, strategi, trajektori, dan

capaian kesastrawanan Nadjib di dalam menempati arena sastra nasional,

selanjutnya bertrajektori dari arena sastra ke arena-arena sosial yang lainnya

sehingga dapat menempati posisinya saat ini.

1.5 Landasan Teori

Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri

adalah suatu kenyataan sosial. Terdapat hubungan timbal-balik antara sastrawan,

12

sastra, dan masyarakat (Damono, 1984: 1). Struktur-struktur tersebut kemudian

dapat dikaji secara sosiologi sastra untuk mengetahui sastra dari segi sosiologi.

Masalah sosiologi sastra dapat dibagi menjadi sosiologi pengarang, isi

karya sastra, pembaca, dan dampak sosial karya sastra. Dari kajian sosiologi sastra

yang lebih memusatkan kepada perspektif biografis akan diperoleh deskripsi

tentang konteks sosial sastrawan (Wellek & Werren, 1989: 111). Ada beberapa

manfaat pengetahuan biografis berkaitan dengan konteks sosial pengarang; 1)

menggambarkan sebab-sebab lahirnya karya sastra; 2) menggambarkan proses

perkembangan sikap mental para tokoh yang menyangkut moral, intelektual dan

sikap, 3) memberikan data terhadap kondisi psikologis penyair dan terhadap

proses suatu karya sastra secara sistematis. Dari sana akan diketahui seberapa jauh

data penyair tersebut relevan sebagai wacana terhadap karya-karyanya.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra

Pierre Bourdieu. Bourdieu mengatasi persoalan kesenjangan antara teori-praktik,

pikiran-tindakan, dan ide-realitas konkret (Takwin, 2009: xvi). Persoalan awal

yang digarap Bourdieu adalah bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur

budaya lainnya disebarkan serta berpengaruh di dalam suatu masyarakat.

Bourdieu mengenalkan konsep field, yakni arena, tempat orang berstrategi dan

berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan.

Kaitannya dengan pembacaan terhadap sastra, teori sosiologi sastra

Bourdieu bergerak dari studi teks ke dalam studi konteks. Karya seni baru bisa

eksis sebagai objek simbolis setelah diakui dan dikenali secara sosial oleh

penikmatnya. Ilmu sosiologi tidak hanya menjadikan produksi material sebuah

13

karya sebagai objek kajian, tetapi juga produksi simbolis karya sebagai produksi

nilai dari karya tersebut (Bourdieu, 2012: 15-16). Sosiologi sastra mempersoalkan

tentang bagaimana memahami karya seni sebagai manifestasi arena produksi

kultural sastra secara keseluruhan.

Arena produksi kultural sastra adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan

dengan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi

dominan tentang sastrawan. Kekuasaan memiliki dominasi yang kuat dalam

pergulatan pendefinisian seseorang disebut sastrawan (Bourdieu, 2012: 22).

Biografi sastrawan sama pentingnya dengan analisis tentang karya, jaringan,

pengakuan, penghargaan, serta „kepentingan‟, juga ideologi dan politi, yang tidak

selalu eksplisit dalam sastra. Status sastrawan dipandang sebagai label sekaligus

proses kompleks yang terjadi dalam sebuah lingkup yang bernama arena

(Karnanta, 2013: 1).

Dalam pandangan Bourdieu (2012: 4), ketika menjadikan sastra sebagai

subjek studi, tugas utama yang harus dikerjakan adalah mengontruksi ruang

posisi-posisi dan ruang pengambilan-posisi (prises de position) tempat arena

sastra diekspresikan. Arena terbentuk oleh setiap posisi dan determinasi-

determinasi yang tersusun dalam posisi-posisi yang lainnya. Struktur arena atau

ruang posisi-posisi sebagai struktur distribusi modal menentukan keberhasilan di

dalam arena dan memenangkan laba yang dipertaruhkan di dalamnya.

Di dalam sastra, ruang pengambilan posisi sastra ditentukan oleh

serangkaian manifestasi terstruktur agen-agen sosial yang terlibat di dalam arena

sastra. Manifestasi tersebut meliputi karya-karya sastra, tindakan-tindakan politik,

14

polemik-polemik yang dibangun, dan beberapa hal lainnya yang tidak bisa

dipisahkan dari ruang posisi sastra yang ditentukan oleh kepemilikan modal

(pengakuan) dalam jumlah tertentu sekaligus pendudukan posisi yang sudah

kokoh di dalam struktur distribusi modal spesifik ini. Hal tersebut disebabkan oleh

arena sastra sebagai arena kekuatan (a field of forces), tetapi juga arena pergulatan

(a field of struggle) yang cenderung melanggengkan arena kekuatan ini

(Bourdieu, 2012: 5). Hal tersebut dapat dipahami sebagai strategi-strategi yang

menitikberatkan pada posisinya di dalam relasi-relasi kekuasaan (rapports de

force) yang ada.

Bourdieu secara meyakinkan menentang konsep-konsep esensial tentang

seni dan visi-visi karismatik seniman yang (masih) dominan hingga sekarang

(Johnson, 2012: xi). Arena seni dan sastra harus dilepaskan dari dilema citra

karismatik seorang seniman yang melakukan aktivitas kesenian sebagai

penciptaan murni dan nir-kepentingan. Selain itu, pendapat para reduksionis yang

menganggap penjelasan tindakan produksi dan produksinya harus dilakukan

menurut fungsi-fungsi eksternal sadar atau tak sadar mereka, dengan merujukkan

fungsi-fungsi itu yang darinya patron-patron atau audiens diperoleh juga harus

dihindari (Bourdieu, 2012: 11). Ideologi karismatik dipandang sebagai dasar

terdalam kepercayaan terhadap seni yang menjadi basis bagi berfungsinya arena

produksi dan sirkulasi komoditas kultural. Hal tersebut karena seniman/sastrawan

sebagai seorang figur menjadi sorotan yang cukup representatif dalam

kepemilikan karisma di masyarakat. Ideologi tersebut memberikan jawaban

bahwa seniman/sastrawan juga memiliki otoritas dan karisma yang berkaitan

dengan keilmuan sehingga pola hubungan di arena sosial tidak seimbang.

15

Representasi karismatik penulis sebagai 'pencipta' mengarah ke pengelompokan

segala sesuatu yang ditemukan tertulis dalam posisi penulis di jantung bidang

produksi dan di bidang sosial oleh trajektori yang membawanya (Bourdieu, 1996:

168).

Arena dapat dipahami sebagai sepotong kecil dunia sosial. Banyaknya

arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain itu kemudian membentuk

konsepsi dalam dunia sosial yang disebut medan sosial/arena sosial. Konsep ini

memandang realitas sosial sebagai suatu ruang (Rusdiarti, 2003: 34). Arena sosial

merupakan jaringan struktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu

dan kelompok dalam tatanan masyarakat. Arena di sini digunakan untuk

menyebut arena kekuasaan yang dinamis dan di dalamnya terdapat beragam

potensi yang eksis. Potensi itu dimiliki oleh aktor-aktor yang melakukan

perjuangan memperebutkan atau mempertahankan posisi dengan modal-modal

tertentu demi menghasilkan efek-efek tertentu.

Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah

keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri berjalan

dengan suatu konsep dinamis, tempat perubahan posisi-posisi agen mau tak mau

menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena apa pun, agen-agen yang

menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-

posisi baru) terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan

atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan (Johnson, 2012: xviii).

Arena selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan. Hal

tersebut terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem

16

relasi objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik: karya seni, manifesto

artistik, deklarasi politik, dan sebagainya. Struktur arena didefinisikan pada suatu

momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang

terbagi-bagi (Harker, 2009: 11).

Arena sastra dan seni dalam pandangan Bourdieu (2012: 17) adalah tempat

heirarki ganda berada. Bentuk heirarki tersebut adalah hierarki heteronom dan

hierarki otonom. Prinsip hierarki heteronom adalah kekuasaan yang dapat diukur

dari penjualan buku, jumlah pementasan teater, penghargaan-penghargaan,

perjanjian, dan lain-lain. Ketika arena sastra dan seni kehilangan otonominya

sehingga lenyap sebagai sebuah arena maka di situlah prinsip tersebut dapat

berjalan. Akibatnya, para sastrawan dan seniman akan tunduk pada hukum yang

diberlakukan oleh arena kekuasaan dan arena ekonomi. Prinsip hierarki otonom,

mengukur kesuksesan dari pengakuan-pengakuan yang didapatkannya dari orang-

orang yang telah diakui (ahli sastra).

Dominasi arena kekuasaan berpengaruh terhadap keberadaan arena sastra.

Keberadaan hukum-hukum arena di sekelilingnya terutama keuntungan ekonomi

dan politis membuat arena sastra menjadi semakin otonom. Keberadaan produsen-

produsen yang otonom menjadikan kekuasaan secara simbolis semakin kuat.

Artinya, dalam sebuah pergulatan di arena produksi kultural, legitimasi sebagai

sastrawan tidak bisa dilepaskan dari kekayaan modal simbolik dari pihak-pihak

tertentu dalam arena sastra.

Bourdieu berpandangan bahwa ada tiga arena yang saling berhubungan

berkaitan dengan dimensi sastra. Pertama, arena kekuasaan (the field of power),

17

yaitu suatu perangkat kekuasaan ekonomi-politik sebagai akibat adanya

perbenturan yang menjurus ke pertarungan kekuasaan yang pada akhirnya

dipegang oleh suatu elit kekuasaan konkret, yang juga secara konkret

menjalankan kekuasaan tersebut. Kedua, arena literer atau arena sastra (literary

field), yaitu suatu universum sosial di bidang estetika (kaidah, seni sastra) yang

memiliki konvensi dan perangkat hukumnya sendiri. seorang sastrawan terikat

pada medan literer ini pada suatu universum yang sifatnya otonom. Ketiga, the

genises of the producer’s habitus. Habitus dipahami sebagai disposisi yang

dimiliki oleh setiap penulis, yang menentukan wataknya, yang pada gilirannya

menentukan genre sastra yang diambilnya, dan dengan demikian berkompetisi di

dalam arena sastra5.

Bourdieu memperkenalkan konsep habitus, sebagai suatu pandangan,

pemikiran, dan tindakan sebagai kunci reproduksi, yang membangkitkan praktik-

praktik pembentuk kehidupan sosial. Habitus adalah struktur kognitif perantara

individu dan realitas sosial. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang

tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal.

Disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan,

melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi

objektif eksistensi seseorang. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial

yang berada di dalam suatu arena, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian

subjektif terhadap posisi itu. Individu menggunakan habitus dalam berinteraksi

dengan realitas sosial masyarakat. Hal tersebut identik dengan penempatan dirinya

5 Soediro Satoto, “Arogansi Kekuasaan dan Politik Dampaknya Terhadap Sastra dan Seni Pertunjukan”, dalam Sastra: Ideologi, politik, dan Kekuasaan, 2000, hlm. 235-236.

18

dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial sehingga menjadi

kebiasaan.

Habitus yang ada dalam setiap individu menggunakan berbagai macam

bentuk dalam memanifestasikan dirinya ke dalam setiap aspek dari interaksi

manusia dengan dunia. Habitus kadang kala digambarkan sebagai „logika

permainan‟ (feel for the game), sebuah „rasa praksis‟ yang mendorong agen-agen

bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak

selalu dapat dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepatuhan sadar pada

aturan-aturan. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan

individu, dimulai sejak masa kanak-kanak yang kemudian menjadi semacam

penginderaan kedua atau hakikat alamiah kedua (Johnson, 2012: xvi).

Habitus merupakan nalar yang hanya ada selama ia ada dalam kepala

agen. Habitus hanya ada di dalam, melalui, dan disebabkan oleh praksis agen dan

interaksi antara mereka dan dengan lingkungannya (Jenkins, 2010: 107-108).

Agen sebagai subjek sosial mengacu pada individunya, sedangkan agensi lebih

mengacu pada kemampuan individu tersebut terkait dengan relasinya terhadap

struktur sosial. Sementara struktur sosial memiliki dua dimensi, yakni struktur

objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial, dan struktur subjektif,

yakni struktur yang berada dan bekerja di dalam diri individu (Karnanta, 2013: 9).

Untuk menjelaskan hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linier,

Bourdieu mengartikan habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung

lama (durable) dan berubah-ubah (transposable). Fungsinya sebagai basis

generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.

19

Sedangkan arena diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-posisi objektif

dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak

individual. Habitus dan arena merupakan perangkat konseptual utama yang

krusial bagi Bourdieu yang ditopang oleh serangkaian ide lain, seperti kekuasaan

sombolik, strategi, dan perebutan (kekuasaan simbolik dan material), beserta

beragam jenis modal.

Sebagaimana konsep Bourdieu mengenai habitus dan arena dalam

kerangka dunia seni, arena dipandang sebagai sebuah mikrokosmos lingkup sosial

yang memiliki aturan permainan tersendiri dengan mempertaruhkan hal-hal yang

khas dan modal yang khas pula. Dalam konteks ini modal sosial menjadi sasaran

utama perjuangan untuk memilikinya (Martini, 2003: 42). Bourdieu berupaya

menjelaskan keberadaan karya sastra, bagaimana karya sastra mendapatkan

legitimasinya, bagaimana sastrawan atau penyair menempati arena sosial di

masyarakat atau negara, bagaimana strategi-strategi yang diambil oleh sastrawan,

bagaimana kedudukan sastrawan dalam arena sosial.

Di samping itu, modal-modal apa yang ada dalam kehadiran karya sastra,

dan bagaimana keberadaan (intrinsik) karya sastra yang dimiliki agen

menghasilkan praktik. Konsep modal sebagai khasanah ilmu ekonomi,

berdasarkan cirinya mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan

kaitannya dengan arena produksi kultural sastra. Ciri yang pertama adalah modal

terakumulasi melalui investasi. Ciri kedua, modal bisa diberikan kepada yang lain

melalui warisan. Ciri ketiga, modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan

kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya

(Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2003: 11). Modal merupakan hubungan sosial,

20

artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam

arena perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi.

Ada empat macam capital/modal, yakni; pertama, modal ekonomi yang

mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang. Kedua, modal kultural/budaya

sebagai keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui

pendidikan formal maupun warisan keluarga. Hal tersebut berperan dalam

penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Ketiga, modal sosial atau

jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) sebagai hubungan-

hubungan yang merupakan sumber daya dalam penentuan dan reproduksi

kedudukan-kedudukan sosial. Keempat, modal simbolis, akumulasi bentuk

prestise, status, otoritas, dan legitimasi. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan

simbolis untuk mendapatkan sesuatu berkat mobilitas yang telah dikerjakan.

Modal dipandang sebagai logika perjuangan-perjuangan dalam arena sebagai

arena kekuatan untuk memperjuangkan posisi dan otoritas legitimasi.

Keempat macam modal tersebut sangat berpengaruh dan menentukan bagi

arena produksi kultural. Namun demikian dari keempat modal tersebut, ada dua

bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu modal

simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,

konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan

(connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Yang kedua adalah modal

kultural yang berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau

suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap,

apresiasi, atau kompetensi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-

artefak kultural. Bourdieu berpendapat bahwa sebuah karya seni/sastra

21

mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi

kultural, yaitu kode atau modal kultural, tempat di mana karya itu dikodekan

(encoded). Hal tersebut merupakan diakumulasi melalui satu proses panjang

akuisisi atu kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-

anggota kelompok (pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial

(pendidikan yang tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang

terlembagakan) (Johnson, 2012 : xix-xx).

Di dalam ruang sosial, individu dan habitus-nya berhubungan dengan

individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan

sesuai dengan arena dan modal yang dimilikinya. Dari hal tersebut maka akan

dihasilkan praktik. Praktik merupakan produk dari relasi antara habitus sebagai

produk sejarah dan arena yang juga merupakan produk sejarah. Dalam suatu arena

akan muncul pertaruhan, kekuatan-kekuatan dari orang yang memiliki modal

dengan orang yang tidak memiliki modal. Modal sebagai konsentrasi kekuatan

yang beroperasi di dalam arena menjadikan setiap arena menuntut setiap individu

untuk modal-modal khusus agar bisa tetap hidup dan bertahan di dalamnya.

Bourdieu merumuskan generatif yang menerangkan praktik sosial dengan

persamaan: (Habitus x Modal) + Arena = Praktik (Takwin, 2009: xxi).

Keterkaitan antara arena, habitus, dan modal bersifat langsung.

Dalam usaha mencapai, mempertahankan, dan memperbaiki posisi serta

mendapatkan posisi-posisi baru untuk membedakan dirinya dengan orang lain

membutuhkan strategi. Perjuangan yang dilakukan adalah dengan pertarungan

dalam arena sosial dan simbolis. Modal dalam suatu arena akan dipertaruhkan

menggunakan strategi yang didukung oleh para agen. Hal tersebut terjadi karena

22

strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk mempertahankan

kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena (Bourdieu, 1990a: 61).

Dalam hal ini Bourdieu (1984: 125-131) membagi strategi menjadi dua

macam; 1) strategi reproduksi yang merupakan himpunan praktik yang dirancang

oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan.

2) strategi rekonvensi yang merupakan sejumlah pergerakan agen dalam ruang

sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan jumlah modal

dominan dan terdominasi. Selain itu, Bourdieu (1990b: 68) menambahkan

mengenai macam strategi, yakni strategi investasi biologis, strategi pewarisan,

strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi investasi simbolis.

Strategi pewarisan berfungsi untuk menjamin kekayaan karena modal

ekonomi menentukan dalam hubungan kekuasaan. Strategi pendidikan mengarah

untuk menghasilkan pelaku sosial yang „mumpuni‟ agar mampu menerima

warisan kelompok atau mampu memperbaiki jenjang sosial. Strategi investasi

ekonomi merupakan upaya untuk mempertahankan atau menambah modal dari

berbagai jenisnya (Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2003: 15). Dalam hal ini modal

ekonomi berkaitan dengan modal sosial yang akan melanggengkan hubungan-

hubungan sosial dengan jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan

strategi investasi simbolis adalah upaya mempertahankan atau meningkatkan

pengakuan sosial yang bertujuan untuk memproduksi persepsi dan penilaian yang

mendukung kekhasannya.

Keberagaman strategi reproduksi sosial akan memicu perubahan struktur-

struktur sosial. Untuk itu dibutuhkan ketepatan penerapan sarana dan strategi yang

23

akan menentukan arah reproduksi sosial. Strategi-strategi tersebut musti

digerakkan sesuai dengan modal dan habitus yang dimiliki agen di sebuah arena

dari waktu ke waktu mengingat strategi dapat berubah seiring dengan perubahan

struktur sosial masyarakat menurut (Haryatmoko, 2003: 16). Untuk melalui ruang

sosial seperti ini maka diperlukan adanya trajektori.

Trajektori adalah serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang

yang terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami pergantian dan distorsi. Lebih

tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda dipertaruhkan di

dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi spesifik (Bourdieu, 2012: 58).

Pergulatan seorang agen dalam proses mendistribusikan modal dengan cara-cara

tertentu dan memenangkan atau meraih sesuatu yang dipertaruhkan dalam arena

sosial. Trajektori diartikan oleh Bourdieu (2012: 252) sebagai deskripsi

serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang sastrawan dalam sebuah

arena sastra yang juga silih berganti. Di sini struktur arena sastra dapat terlihat

dari trajektori yang dilakukan oleh para agen. Untuk itu diperlukan penyesuaian

strategi tertentu sehingga investasi modal dapat berakumulasi secara maksimal

dan menentukan kesuksesan seseorang.

Demikianlah beberapa konsep arena kultural (sastra) menurut Bourdieu.

Masalah yang telah diungkapkan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan

menggunakan konsep-konsep tersebut. Teori tersebut nantinya akan dipakai untuk

menjelaskan gejala-gejala yang ditemukan sesuai dengan permasalahan.

Penjelasan tersebut tidak hanya dilakukan dengan mengemukakan, melukiskan

gejala-gejala tetapi juga dengan keterangan tentang gejala tersebut, baik dengan

24

membandingkan, menghubungkan, memilah-milah, atau mengombinasikannya

dengan teori Bourdieu.

1.6 Hipotesis

Hipotesis sebagai simpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan

berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini mengimplikasikan

hubungan antara masalah dengan dan proses-proses lain. Berdasarkan hal tersebut

maka hipotesis penelitian ini yaitu; dalam meraih posisi di arena sastra hingga

arena sosial, Nadjib senantiasa mendayagunakan sastra di dalam berbagai arena.

Strategi yang dilakukan Nadjib untuk mengukuhkan posisinya adalah strategi

reproduksi dan strategi rekonvensi, di samping peranan agen-agen sekelilingnya.

Dari situ, modal yang telah diperoleh Nadjib diakumulasikan dan menjadi lebih

kuat.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti; perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata

dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah (Moleong, 2007: 6). Pengumpulan data dilakukan

dengan studi kepustakaan, pengamatan, dan wawancara. Dengan demikian, satuan

25

data berupa arena kekuasaan dan arena sastra Nadjib, habitus dan modal Nadjib

untuk menempati arena sastra nasional, strategi yang dilakukan Nadjib dalam

mencapai posisinya dan peranserta para agen di dalam arena Nadjib

dideskripsikan.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Praktik sastra hanya bisa dipahami melalui material karya dan ruang sosial

tertentu yang menjadi latar kehidupan penulisnya. Dengan demikian, secara

intrinsik satuan data dalam penelitian ini adalah karya sastra yang ditulis oleh

Nadjib. Karya sastra digunakan untuk melihat bagaimana sosiologi kehidupan

Nadjib di dalamnya.

Pada tahap pengumpulan data juga dilakukan proses penyeleksian data.

Pada langkah ini, semua data yang diperoleh diseleksi berdasarkan kesamaan

karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diajukan dalam penelitian.

Penyeleksian data itu menggunakan teknik penyampelan purposif (purposive

sampling). Purposive sampling adalah pengambilan sampel yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian (Siswantoro, 2010:73).

Secara ekstrinsik, data dapat berupa teks dan proposisi-proposisi yang

berhubungan dengan Nadjib. Data tentang posisi Nadjib dalam arena sastra dan

arena sosial dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan wawancara. Dokumen

yang dimaksud berupa buku, laporan penelitian, berita atau artikel-artikel di

media massa (cetak dan elektronik), dan video yang memberikan informasi

tentang pencapaian posisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia.

26

Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah tulisan yang

berhubungan dengan Nadjib. Sebagian besar data tertulis didapatkan di

perpustakaan Rumah Budaya EAN. Pengamatan dilakukan pada sejumlah acara

sastra yang berkaitan dengan Nadjib di Indonesia.

Selain itu, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan teknik wawancara.

Teknik wawancara itu juga digunakan untuk memperoleh data tentang pergulatan

Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia. Wawancara dilakukan

kepada sejumlah sastrawan dan seniman yang memiliki hubungan dekat dengan

Nadjib. Ada dua pertanyaan yang menjadi garis besar dalam wawancara; 1) sejauh

mana narasumber mengenal Nadjib; dan 2) penilaian narasumber terhadap karya-

karya sastra Nadjib. Namun demikian pertanyaan dapat meluas seiring jawaban-

jawaban yang disampaikan oleh narasumber berkaitan dengan pentingnya

jawaban-jawaban tersebut sebagai data terhadap peneliatian.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode analisis ini dilakukan melalui tiga tahap analisis. Pertama,

melakukan deskripsi mengenai arena kekuasaan dan arena sastra di Indonesia

sebagai arena kompetisi Nadjib. Pengidentifikasian tersebut digunakan untuk

meneroka bagaimana permulaan Nadjib menempati posisi dalam arena.

Kedua, melakukan deskripsi mengenai disposisi Nadjib dalam arena sastra

dan sosial, yang meliputi pertarungan Nadjib dalam arena sastra, karya sastra

Nadjib dalam dominasi arena kekuasaan, pemerolehan modal, dan ideologi

karismatik Nadjib. Di sini akan dilakukan pembacaan terhadap karya sastra

27

Nadjib. Pembacaan ini meliputi analisis terhadap pandangan-pandangan,

peristiwa, atau masalah-masalah yang dihadirkan dalam karya sastranya. Analisis

ini berguna untuk menemukan homologi antara praktik pergulatan Nadjib dalam

arena sastra dengan karya-karya sastranya.

Ketiga, menganalisis strategi yang digunakan dan peran agen dalam

pencapaian posisi sosial Nadjib. Analisis ini digunakan untuk melihat hasil

pertarungan simbolik Nadjib dengan sastrawan-sastrawan lain di Indonesia dalam

mempertahankan dan pencapaian posisi sosial yang telah diperoleh. Nantinya

akan dapat dilihat akumulasi dan pengelolaan modal yang dimiliki Nadjib untuk

meraih posisi dalam arenanya.

Data yang didapatkan dianalisis dengan mengorganisasikan data ke dalam

pola, kategori, dan satuan uraian dasar penelitian. Dari itu dapat dirumuskan

asumsi-asumsi dasar yang merujuk pada teori yang digunakan. Berkaitan dengan

hal tersebut, pengorganisasian data disesuaikan dengan teori sosiologi sastra

Pierre Bourdieu. Setelah semua data dianalisis, langkah selanjutnya adalah

menyimpulkan temuan-temuan yang diperoleh sesuai dengan data yang ada.

1.8 Populasi, Sampel, dan Data

Dalam kariernya, Nadjib telah menerbitkan belasan jilid buku puisi dan

puluhan buku kumpulan esai. Buku kumpulan puisi karya Nadjib tersebut antara

lain “M” Frustasi (1975) diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan, Sajak-Sajak

Sepanjang Jalan (1977) memenangkan sayembara Tifa Sastra UI, Tak Mati-mati

(1978) yang dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Sajak-Sajak Cinta

28

(1978), Tuhan Aku berguru KepadaMu (1980) dimusik-puisikan bersama Teater

Dinasti di TIM, Nyanyian Gelandangan (1982) dibacakan bersama Teater Dinasti

di Taman Budaya Surakarta, 99 Untuk Tuhanku (1982) dibacakan di Bentara

Budaya Yogyakarta, Isra’ Mi’raj yang Asyik (1986) dibacakan di UGM

Yogyakarta, Suluk Pesisiran (1989), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid

Satu Jumlahnya (1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian

Indonesia (1993), Abacadabra (1994), dan Syair-syair Asmaul Husna (1994). Ada

pula beberapa naskah belum terbit bahkan tidak diterbitkan sampai hari ini, di

antaranya Kanvas, Tidur Yang Panjang, Syair-syair Indonesia Raya, Iman

Perubahan, Minuman Keras Nasibku, dan Syair Lembu.

Buku kumpulan esainya, Sastra Yang Membebaskan (1984), Dari Pojok

Sejarah (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Markesot Bertutur (1993), Markesot

Bertutur Lagi (1994), Indonesia Bagian dari Desa Saya (1994), Terus Mencoba

Budaya Tanding (1995), Titik Nadir Demokrasi (1995), Opini Plesetan (1996),

2,5 Jam Bersama Soeharto (1998), dan masih banyak lagi. Selain itu ada pula

buku kumpulan cerpen Padang Kurusetra, namun naskah itu hilang dan tidak bisa

diterbitkan. Satu-satunya yang terbit adalah Yang Terhormat Nama Saya (1992)

yang diterbitkan ulang dengan judul BH (2005), Novel-esai Gerakan Punakawan

atawa Arus Bawah (1994), dan skenario film yang ditulis bersama Viva Westi

yakni RAYYA: Cahaya di Atas Cahaya (2011).

Reportoar serta pementasan drama karya Nadjib bersama Teater Dinasti

mencakup Geger Wong Ngoyak Macan (1982), Patung Kekasih (1983),

Keajaiban Lik Par (1984), Mas Dukun (1986). Kemudian bersama Jamaah

Salahudin UGM di akhir tahun 80-an Nadjib menghasilkan Lautan Jilbab yang

29

dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Madiun, Ujung Pandang, dan Malang.

Lakon tersebut merupakan salah satu karya Nadjib yang paling terkenal. Tahun

1990 mementaskan Santri-Santri Khidhir di lapangan Gontor dengan seluruh

santri menjadi pemain, serta bersama 35.000 penonton di alun-alun Madiun. Pada

tahun 1992 mementaskan Perahu Retak. Selanjutnya tahun 1993 muncul Sunan

Sableng dan Baginda Faruq. Selain itu ada Sidang Para Setan, Pak Kanjeng,

Duta Dari Masa Depan bersama Teater Gandrik. Trilogi Tikungan Iblis, Nabi

Darurat Rasul Ad Hoc, dan Kekasih Anjing bersama Teater Perdikan.

Dari sekian banyak karya Nadjib tersebut, dipilih sebagai sampel yakni

kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab, Sesobek Buku Harian Indonesia, dan Cahaya

Maha Cahaya, novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, kumpulan

esai Terus Mencoba Budaya Tanding dan Slilit Sang Kiai. Sampel-sampel yang

dipilih merupakan karya-karya yang memiliki pengaruh bagi Nadjib dalam

pergulatannya di arena sastra dan arena sosial. Sampel yang diambil berupa

kumpulan puisi, kumpulan esai, dan naskah drama.

Adapun data lain berupa wawancara terhadap beberapa orang yang

menurut penulis memiliki hubungan dekat dengan Nadjib di arena sastra dan

sosial. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data tertulis yang sudah ada.

Wawancara dilakukan penulis kepada Iman Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim,

dan Jabrohim. Santosa dipilih mengingat kedekatannya dengan Paranggi dan

PSK, serta perannya dalam arena sastra Yogyakarta. Hasyim dipilih karena

kedekatannya dengan Nadjib baik di arena sastra, jurnalis, dan dalam acara-acara

pengajian yang digelar Nadjib. Sedangkan Jabrohim dipilih mengingat perannya

dalam penerbitan beberapa buku Nadjib.

30

Penulis juga mengambil data atas pernyataan-pernyataan Nadjib dalam

sejumlah acara. Acara-acara tersebut adalah acara Bincang-Bincang Sastra SPS,

acara Musikalisasi Sastra TBY, dan acara Baca Puisi Festival Sastra LSBO PP

Muhammadiyah. Acara-acara tersebut berterkaitan dengan arena sastra hingga

arena sosial Nadjib.

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dengan empat bab sebagai berikut.

Bab I berupa pendahuluan yang berisi: (1) latar belakang penelitian; (2)

rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) tinjauan pustaka; (5) landasan teori;

(6) hipotesis; (7) vareabel; (8) metode penelitian; (9) populasi, sampel, dan data;

dan (10) sistematika penyajian.

BAB II berisi uraian mengenai kondisi arena kekuasaan dan arena sastra di

Indonesia.

BAB III berisi uraian mengenai pertarungan Nadjib dalam arena sastra,

karya sastra Nadjib, pengelolaan modal, dan ideologi karismatik Nadjib dalam

disposisi di arena sastra dan arena sosial.

BAB IV berisi uraian mengenai strategi, peranan agen, dan pencapaian

posisi Nadjib di arena sastra dan arena sosial.

BAB V berisi kesimpulan.