1. ijtihad fungsi dan urgensinya
TRANSCRIPT
IJTIHAD : FUNGSI DAN URGENSINYAOleh : Alang Sidek
A. PENDAHULUAN
Hukum Islam menghadapi tantangan lebih kompleks, terutama
pada abad kemajuan pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab
berbagai masalah baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para
ahlinya sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fikih,
hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena di sana sini mungkin
terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan
abad kemajuan ini. Oleh karena itu, ummat Islam perlu mengadakan
penyegaran kembali terhadap warisan fikih, dalam konteks ini,
pemakalah akan mengetengahkan topik yang cukup menarik “Ijtihad:
Fungsi dan Urgensinya”.
Pembahasan topik ini sangat signifikan untuk di diskusikan, dan
yang paling penting lagi agar mampu menemukan rumusan-rumusan
baru fikih dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah-
masalah sekarang yang belum ada jawabannya dalam kitab-kitab fikih
masa silam. Di sinilah ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode
ijtihad mutlak harus di kuasai oleh mereka yang akan melakukannya.
Metode ijtihad itulah yang di kenal dengan Usul Fikih.
Hal-hal yang akan di bahas pada makalah ini diantaranya :
Pengertian Ijtihad, Landasan Ijtihad, Urgensi Ijtihad, Nilai Ijtihad, Syarat-
syarat Ijtihad, Medan (lapangan Ijtihad, Ijtihad di masa sahabat. Dari
penyajian seperti diatas, makalah ini diharapkan, di samping dapat
memberikan informasi tentang berbagai macam konsep Usul Fikih juga
dapat mempermudah kita untuk menentukan pilihan pendapat mana di
antara berbagai pendapat yang tepat saat ini.
B. Pengertian Ijtihad.
a. Ijtihad Menurut secara bahasa (Etimologi).
1
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab. “Jahada 1.جهد
Bentuk kata mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya:
1. Jahdun ( جهد ) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau
serius. Kalimat ini dapat di temukan dalam al-Qur’an surah Al-
An’am, Ayat 109.
Artinya: Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala
kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka
sesuatu mu jizat, Pastilah mereka beriman kepada-Nya.
Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu Hanya berada di
sisi Allah". dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa
apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman
2. Juhdan ( جهدا ) denagn arti kesanggupan atau kemampuan yang di
dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah, contohnya
firman Allah SWT dalam surah at-Taubah ayat 79
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar
kemampuannya maka orang yang munafik itu menghina mereka.
Pengertian secara lughowi dan istilah akan terlihat serasi bila di
hubungkan, karena ijtihad tersebut mengandung arti kesanggupan dan
kemampuan maksimal.
b. Ijtihad Menurut istilah
Para ulama telah mendefinisikan “Ijtihad” dalam rumusan yang
berbeda akan tetapi satu sama lainnya terlihat saling menguatkan dan
menyempurnakan.
1 Pengubahan kata dari jahadah جهد atau jahida جهد menjadi ijtahada ( اجتهد) dengan cara menambahkan dua huruf, yaitu “alif” di awalnya dan “ta” antara “jim” dan “ha”, mengandung enam
maksud, satu diantara maksudnya yang tepat adalah untuk “mubalaghoh” ( مبالغة ) yaitu dalam pengertian “sanat”. Bila kata jahada dihubungkan dengan bentuk masdarnya tersebut, pengertiannya berarti kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat. Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu), 2001, h. 224
2
1. Imam Abi Ishaq Ibrahim dalam kitabnya Al-Luma’ fi Ushuli al-Fiqh
memberikan definisi :
طلبالحكمالشرعي فى المجهود وبذل الوسع استفراع
Pengerahan kemamapuan dan menggerakkan kesanggupan untuk
memperoleh hukum syara’2
Dalam definisi ini digunakan kata Istifroghu al-wus’i dan bazlu al-
wus’i, hal ini dapat dipahami bahwa berijtihad merupakan kerja keras
yang memerlukan pengarahan kemampuan. Oleh karenanya apabila
usaha itu dilakukan tidak serius dan tidak tidap sepenuh hati. Oleh
karenanya apabila usaha itu dilakukan tidak serius dan tidak sepenuh
hati, maka tidak dapat dikatakan ijtihad. Penggunaan kata Syar’i
mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad ada hukum
Syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sebagai
fasal (kata pemisah dalam definisi itu, kata Syar’i ini mengeluarkan dari
pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang bersifat aqli,
lughowi dan hissi. Pengarahan kemampuan untuk menemukan yang
demikian itu tidak disebut ijtihad.
2. Imam Al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan
defenisi.
بطريقاالستنباط شرعىعملى حكم نيل فى بذلالوسع
Artinya: menggerakkan kemampuan dalam memperoleh hukum
Syara’ yang bersifat amali melalui cara istimbat.3
Selanjutnya dalam definisi itu, disebutkan cara menemukan
hukum Syar’i yaitu melalui istimbat yang pengertiannya memungut
atau mengeluarkan sesuatu dari dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti
bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafaz dan mengeluarkan
hukum dari lafaz tersebut. Sebagai fasal (kata pemisah dalam defenisi,
kata ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha
mengeluarkan hukum dari nash yang memang secara jelas telah
menunjuk kepada hukum tersebut.
2 Al-Imam Abi Ishaq Ibrahim bin Yusuf Al-Syirozi, Al-Luma’fii ushuli Al-fiqh; Semarang: Karyati Putra, tanpa tahun, h. 70.
3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. h. 225
3
3. Saifuddin Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam menyempurnakan
dua defenisi sebelumnya.
النفسى من يحسى بحيث الشرعية االحكام من بشئ الظن طلب فى الوسع استفراغ فيه المزيد العجزعن
Penambahan fasal dalam defenisi Al-Amidi tersebut mengandung
arti bahwa penarahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal.
Dengan demikian, pengarahan kemampuan secara sembrono, asal-
asalan atau sekedarnya saja tidak dinamakan ijtihad. Dari menganalisa
defenisi di atas dan membandingkannya dapat diambil hakikat dari
ijtihad itu sebagai berikut:
Ijtihad adalah pengarahan daya nalar secara maksimal;
Usaha ijtihad yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai
derajat tertentu di bidang keilmuan yang di sebut fiqih;
Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan
yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.4
C. Landasan Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad
antara lain:
1. Surah An-Nisa (4): 59
Artinya: jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan
kepada Al-Qur'an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah
peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya dan
mewajibkan kembali pada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad 4 Ibid, h. 226
4
dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali
tidak mudah untuk dijangkau begitu saja atau berijtihad dengan
menerapkan kaedah-kaedah umum yang disimpulkan dalam Al-
Qur'an dan sunnah Rasulullah.
2. Hadist yang diriwayatkan dari Mu'az bin Jabal ketika ia akan diutus
ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia
memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu
dengan Al-Qur'an kernudian dengan sunnah Rasulullah dan
kemudian dengan melakukan ijtihad.5 Secara umum, hukum
ijtihad itu adalah wajib artinya, seorang mujtahid wajib melakukan
ijtihad untuk vumenggali dan merumuskan hukum Syara' dalam
hal-hal yang Syara' sendiri tidak menetap secara jelas dan pasti.
Menurut al-Syatibi, ayat-ayat al-Qur'an yang tergolong kepada
qoth'i tidak dapat di ternbus oleh ijtihad, sedangkan ayat yang
tergolong kepada Zhanni merupakan lapangan ijtihad dan
interpretasinya dapat berkembang dalam perubahan sosial.6
D. Urgensi Ijtihad
Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya
dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang,
sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya. Demikian
juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai
pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf
Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum’ah. Bahkan hampir di setiap
buku-buku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang
ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan yang mengatakan
bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya
adalah Firman-Nya:
5 Satria Effendi. M. Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008, Hlm6 Abu Ishaq al-Syatibi, AZ-Muwafaqot Fz ushul al- Syarz'ah, juz 1, cet iii (Beirut: Dar al-Kutub al--
Ilmiyah, 2003, h. 100
5
“Fain tanâza’tum fî syaiin farudduhu ilalLâh wa al-Rasuli inkuntum
tu’minu bilLahi wal-yaumu al-âkhir” (QS:4:59).
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS:4:59).
Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan
akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat
lain menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura” dalam
ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk
menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk
pada dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain
merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang
menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama
pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid)
tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan
yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga mampu
menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah ijtihad
itu sendiri. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila
seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun
bila dia salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan
Nabi kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya ke
Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan
Sunah tidak didapati legalitas sebuah obyek.
Bersama dengan hal ini, maka sepatutnya kita mengatakan
bahwa pintu ijtihad sampai sekarang masih terbuka, bahkan menjadi
suatu kebutuhan yang primer terutama pada era globalisasi seperti
sekarang ini, dimana perkembangan teknologi dan munculnya
permasalahan-permasalahan baru selalu menuntut legalitas hukum.
Oleh karenanya hampir semua ulama menyatakan akan wajibnya
6
berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria
untuk berijtihad. Dr. Wahbah Zuhali, ulama kontemporer dari Damaskus
Siria berpendapat, bahwa tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam
kehidupan di masa ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad
sebagai instrumen pengambilan hukum. Hal senada juga di ungkapkan
oleh Abdurrahman Zaidi dalam risalah magister-nya yang berkenaan
dengan masalah ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan
perbuatan yang terpuji bahkan dharuri, hal itu didasarkan pada dua
alasan utama. Pertama, tidak diperbolehkannya seorang muslim
menggunakan hawa nafsunya dalam memutuskan hukum pada setia
kejadian dan masalah-masalah baru, maka menjadi wajib bagi kita
menggunakan ijtihad. Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh para
ulama akan kebutuhan berijtihad dalam menentukan hukum pada
setiap permasalahan yang ada.
Maka, pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup pada dasarnya hal itu disandarkan pada sejarah dimana ketika
abad ke-4 Hijriyah umat Islam saat itu mengalami perpecahan. Dr
Ahmad Buud (2006) berhipotesa akan beberapa hal yang
menyebabkan kemandegan dalam berijtihad saat itu diantaranya
adalah, pertama, fanatisme mazhabiyyah tertentu. Kedua, hilangnya
rasa kebebasan individu, karena pada masa tersebut, otoritas
pemerintahan dipegang oleh seorang raja (hegemoni kekuasaan) bukan
lagi khalifah. Ketiga, para ulama fikih sendiri banyak yang terjerumus
pada urusan politik, sehingga fatwa-fatwa mereka lebih banyak
digantungkan pada kondisi politik tertentu atau saat itu. Keempat,
terpecahnya Daulah al-Islamiyah menjadi beberapa wilayah, sehingga
proses kreatif berijtihad menjadi sedikit terhambat.
Kemandegan berijtihad tersebut pada akhirnya banyak
menimbulkan pengaruh negatif bagi umat Islam itu sendiri, diantaranya
tercerabutnya nilai-nilai dakwah dari sistem Islam itu sendiri. Terlihat
seakan-akan ada jurang pemisah antara syariah dengan fenomena
hidup yang terjadi. Padahal hakekatnya, syariat Islam selamanya akan
7
sesuai dengan dilalektika hidup. Namun seiring berjalannya waktu,
akhirnya membawa umat Islam pada sebuah kesadaran bahwa Islam
dengan sistem holistiknya tidak akan bisa berkembang jika pintu ijtihad
tertutup. Titik kesadaran umat Islam juga mulai sembuh dengan adanya
usaha merekonstruksi kembali pemahaman Islam, yang tak lain adalah
pembumian kembali konsep ijtihad tadi. Akhirnya dunia Islampun
senantiasa membuka pintu selebar-lebarnya kepada para mujtahid
untuk berijtihad dan berkreasi.
Uraian di atas sebenarnya mengerucut pada pembahasan
mengenai pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita,
sebagai upaya pembumian syariat islam yang kita yakini sebagai
manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka syariat Islam selamanya akan
terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu. Tak ayal, ijtihad di
era kontemporer adalah suatu keniscayaan.7
Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh
untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam
sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad,
masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat di dalam Alquran dan
hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Dengan ijtihad, Islam
mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya.
Sebaliknya, ketika ijtihad sirna dari kalangan umat Islam, mereka
mengalami kemunduran. Ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran
Islam, termasuk bidang hukumnya (Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad
Majlis Tarjih Muhammadiyyah, 1995).
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai
pemikiran keagamaan pada masa kejayaan Islam tempo dulu, bahkan
hingga saat ini. Padahal, jika dicermati lebih dalam, di dalam Al-Qur’an
sebetulnya tidak ada kata ijtihad dalam pengertian yang dipahami saat
ini. Yang ada justru adalah kata jihad. Ijtihad sangat urgen dan penting
artinya. Dalam setiap masa, harus ada orang-orang spesialis dan benar-
benar tahu bagaimana menerapkan dasar-dasar Islam pada berbagai
7 http://mahadalytebuireng.wordpress.com/2009/04/22/urgensi-ijtihad-dalam-menyelesaikan-problematika-fihq-kontemporer/
8
masalah zaman yang senantiasa berubah. Mereka juga harus
mengetahui kategori suatu masalah dalam kerangka dasar-dasar Islam.8
E. Nilai Ijtihad
Ada legalisasi niscayanya ijtihad, dalam pengertian optimalisasi
kemampuan nalar, di dalam sunah Nabi. Di antaranya, ketika hendak
mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan soal apa yang
jadi landasan Muadz nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muadz
mengatakan akan menggunakan Kitabullah. Jika tidak ada dalam
Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah. Jika tidak ada, maka
menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi sendiri
mengatakan bahwa seorang yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka
ia mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya ijtihad
itu.
Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang
punya realitas mutlak. Dari sini mulailah terjadi perubahan ilmu yang
sesungguhnya dalam artian perubahan hakikat dan bukan perubahan
bentuk. Tidak ada realitas lain kecuali hasil ijtihadnya itu. Sekiranya
ijtihad yang dilakukan para mujtahid mengalami perubahan dan mereka
sepakat bahwa hukum sesuatu adalah demikian, maka hukum sesuatu
itu pun sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Jika para mujtahid
berkesimpulan lain pada suatu zaman, maka realitasnya pun sama
dengan hasil ijtihad mereka ini. Apa pun penyebab perubahan dalam
ijtihad mereka, misalnya saja, kemajuan dalam bidang kebudayaan, ada
kesamaan antara ijtihad dengan realitas. Tidak menjadi persoalan
bahwa dalam suatu masalah Islam mempunyai seratus hukum, karena
kita juga punya seratus bentuk ijtihad dalam masalah ini.9
F. Syarat-Syarat Ijtihad
8 Murtadha Muthahhari, Islam Dan Tantangan Zaman, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996, h. 164.9 Ibid, h. 318
9
Seseorang yang akan melakukan ijtihad, harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Menguasai Al-Qur'an dengan dengan segala ilmunya. Artinya
memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat Al-Qur'an
terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum.
2. Menguasai Sunnah Nabi dengan segala ilmunya Artinya memiliki
ilmu pengetahuan yang luas tentang Sunnah Nabi terutama yang
berkaitan dengan masalah hukum.
3. Mengetahui dan menguasai masalah-masalah yang telah
disepakati oleh para ulama, yaitu masalah yang telah menjadi
ijma’.
4. Memiliki pengetahuan yanag luas tentang qiyas, dan ilmu logika,
yang akan dipergunakan dalam proses istinbat hukum.
5. Menguasai bahasa Arab dengan segala ilmunya, karena al-Qur'an
dan al-Sunnah sebagai sumber hukum tersusun dalam bahasa
Arab.
6. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang nasakh dan
mansukh dalam alQur'an dan Sunnah.
7. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu Ushul fiqh, dan
kaidah-kaidah istinbat hukum.
8. Memiliki pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul ayat-ayat al-Qur'an
dan Asbab alWurud hadist, untuk mengetahui latar belakang
turunnya ayat atau keluarnya hadist Nabi, agar mampu menggali
hukum dengan tepat terhadap masalah yang di hadapinya.
9. Mengetahui riwayat dan latar belakang para rawi hadist, untuk
menilai kualitas hadist terutama yang akan di jadikan landasan
istinbath hukum.
10. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang maksud
syariah (maqashid al-Syari’).
11. Memiliki pengetahuan tentang manusia dan lingkungan
tempat ia berijtihad, serta memilki pengetahuan tentang masalah
yang menjadi objek ijtihad.
10
12. Di samping syarat-syarat intelektual di atas, seseorang yang
akan berijtihad, ia juga harus memiliki sifat-sifat lain yang
berkaitan dengan integritas dan moralitas pribadinya, yaitu niat
yang ikhlas untuk mencari kebenaran, taqwa kepada Allah SWT,
dewasa, berakal, sehat jasmani dan rohani, jujur dan sifat-sifat
terpuji lainnya.10
G. Lapangan Ijtihad
Para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadist
Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (Qathi’) datang
dari Allah dan Rasulnya seperti Al-Qur'an dan hadist Mutawatir (hadist
yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin
berbohong). Al-Qur’an yang beredar di kalangan umat Islam sekarang
ini adalah pasti (Qathi’) keasliannya datang dari Allah dan begitu juga
hadist Mutawatir adalah pasti (Qathi’) datang dari Rasulullah. Kepastian
itu dapat diketahui karena baik Al-Qur’an atau hadist Mutawatir sampai
kepada kita dengan riwayat yang Mutawatir yang tidak ada
kemungkinan adanya pemalsuan.11 Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan
dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak jelas dalam
Al-Qur'an maupun hadist nabi.
Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog
antara nabi dengan Mu'az bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan
rnelakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al-Qur' an dan hadist.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan
ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan
dalam Al-Qur'an dan hadist.
Demikian pula halnya para ulama Ushul fiqh telah sepakat bahwa
ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadist yang
menjelaskan hukum secara jelas dan pasti (Qathi'). Wahbah Az-Zuhaili
menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukumhukum yang sudah 10 Suparman Usman, Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001, hlm. 56.11 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm . 248
11
ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al-Qur'an dan sunnah
misalnya kewajiban melakukan solat lima waktu, kewajiban berpuasa,
zakat, haji, larangan berzina dan lain-lain yang telah ditegaskan dalam
Al-Qur'an dan sunnah.12
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, adalah masalah-masalah yang
tidak pasti (zhanni baik dari segi datangnya dari Rasul atau dari segi
pengertiannya yang dapat dikategorikan kepada tiga macam).
1. Hadist Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seseorang atau
beberapa orang yang tidak sampai kepada Hadist Mutawatir.
Mengenai hadist-hadist ahad, dapat dilakukan ijtihad. Si mujtahid
membahas sah tidaknya sanad dan jalan sampainya kepada
mujtahid. Hukum-hukum yang tidak ada nash dan bukan urusan
yang mudah di ketahui bahwa dia dari agama, tetapi telah ijma’
maka si mujtahid hanya memeriksa benarkah telah ijma’ atau
tidak. Dan sesuatu yang ada nash, dhanni tsubut dan dalalahnya
maka kita harus pelajari dalalahnya juga segi umum dan
khusunya. Sesuatu yang ada nash qath’i tsubutnya, tetapi dhanni
dalalahnya, sesuatu yang ada nash qath’i tsubutnya, tetapi dhanni
dalalahnya, sesuatu yang ada nash dhanni tsubutnya, qath’i
dalalahnya, sesuatu yang tak ada nashnya, dan tidak diketahui
dengan mudah bahwa dia dari agama inilah yang diperlukan
ijtihad.13
2. Lafal-lafal redaksi Al-Qur’an atau Hadist yang menunjukkan
pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada
kemungkinan pengertian lain selain yang cepat di tangkap ketika
mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadist
yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad
dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah
untuk mengetahui makna sebenarnya yang di maksud oleh suatu
12 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 25013 T.M, Hasbi Ash-Shiddlieqy, pengantar ilmu fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm.
202-203
12
teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat
ulama dalam menetapkan hukum.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak
pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad
memainkan perannya yang amat penting dalam rangka
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan Sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah meneliti dan
menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan qias,
istihsan, maslahah mursalah, ‘uruf, istishab, dan sadd al-zari’ah.
Di sini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.14
H. Ijtihad di Masa Sahabat
Menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar bin al-
Khaththab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (1991),
memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang baru, serta segar
bagi realisasi dirinya. Dan ternyata, ia senantiasa menemukan
bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan
pada tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat
diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi
sosial untuk selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah
mapan.
Bila pada masa Nabi masih hidup telah terjadi ijtihad yang
dilakukan oleh Nabi atau oleh para sahabat ketika tidak ditemukan
petunjuk dalam menghadapi suatu masalah hukum karena tempatnnya
berjauhan dari Nabi atau wahyu terlambat turun, maka setelah Nabi
wafat pelaksanaan ijtihad oleh para sahabat semakin banyak terjadi.
Penyebab sering terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang
menuntut jawaban hukum semakin banyak sebab semakin maju dan
berkembangnya kehidupan sosial yang memunculkan masalah baru
yang memerlukan jawaban hukum, sedangkan wahyu sebagai sumber
14 Satria Efefendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm 251
13
hukum sudah terhenti sama sekali, baik wahyu yang tertulis (al-Qur’an),
maupun wahyu tidak tertulis (sunnah Nabi).
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh ijtihad pada masa
sahabat:
1. Pada waktu Nabi masih hidup bahkan sampai wafatnya, Al-Qur’an
itu belum terkumpul, tetapi terekam dalam hapalan para sahabat
yang menghapalnya. Dalam suatu perang melawan orng kafir
banyak penghapal Al-Qur’an yang meninggal. Dikhawatirkan
hilangnya kumpulan wahyu Allah dengan meninggalnya semua
penghapal. Timbullah ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an, tetapi
petunjuk dari wahyu dan dari nabi untuk itu tidak ada. Namun
karna ide tersebut baik, dalam rangka menjaga keutuhan wahyu,
maka terlaksanalah pengumpulan wahyu Al-qur’an itu, meskipun
belum tersusun secara teratur sebagaimana dalam bentuknya
yang sekarang. Inilah hasil ijtihad sahabat.
2. Meskipun terhadap pencuri ada petunjuk Al-Qur’an untuk
memotong tangannya bila memenuhi syarat yang di tentukan
Nabi, namun Umar bin Khattab tidak pernah melaksanakan
hukuman itu terhadap pencuri karena keadaan pada waktu itu
sedang terjadi krisis atau paceklik.
3. Pada masa Nabi dan begitu pula masa Abu Bakar dan Umar
menjadi khalifah, azan sholat jum’at seeblum khatib naik mimbar
hanya satu kali, karena dengan satu kali dirasa sudah cukup
untuk memberikan tahu masuknya waktu sholat Jum’at. Karena
jamaah pada waktu Usman semakin banyak, dirasakan tidak
cukup lagi kalau azan itu hanya satu kali, oleh karena itu beliau
menetapkan berdasarkan ijtihadnya dengan memberlakukan azan
Jum’at sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar.15
Contoh-contoh di atas hanyalah sebahagian kecil praktik ijtihad di
kalangan para sahabat, baik dalam kedudukannya sebagai khalifah
15 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 241
14
maupun sebagai penduduk muslim biasa yang di catat sebagai ijtihad
yang dilakukan para sahabat.
I. Penutup
Ijtihad merupakan upaya untuk menemukan hukum tentang suatu
masalah yang belum disebutkan secara khusus dalam nash. Hal ini
adalah kegiatan yang dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah SWT,
sebagai pencipta syari’at (Syar’i) dan oleh Rasulnya. Pembenaran dan
anjuran ijtihad itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat kita
baca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadist dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Islam
mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya juga
melalui ijtihad. Sebaliknya ketika ijtihad sirna dari kalangan Islam,
pastilah mengalami kemunduran. Begitu pentingnya kedudukan ijtihad
bagi ummat Islam dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Sementara
kita sedang berada dalam satu masa yang mau tidak mau akan
berhadapan dengan sebagala macam persoalan yang dulunya tidak
pernah menjadi ada.
Pada saat ini hukum Islam sedang menghadapi tantangan yang
amat serius seiring dengan banyaknya hal baru yang muncul dan
berubah dalam setiap aspek kehidupan ummat. Tuntutan penyegaran
produk klasik atau perbuatan produk hukum baru pun tak terelakkan.
Dengan alasan itu, dapat dipahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang
punya realitas mutlak. Tidak ada trealitas lain kecuali hasil ijtihadnya
itu.
Dalam melakukan ijtihad, tidaklah dapat dilakukan bagi orang
yang biasa-biasa saja tetapi orang yang terlibat dalam menggali hukum
Islam harus benar-benar diakui kapasitas keilmuannya untuk dapat
mensintesa dalil-dalil hkum dari berbagai sumber utama hukum Islam,
menjadi sebuah produk hukum aktif, aplikatif, dan dapat dipertanggung
jawabkan di hadapan Alllah SWT serta ummat. Dan sudah barang tentu
15
para pakar hukum Islam dapat saja terinspirasi dengan ijtihad-ijtihad
yang pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah yang
senantiasa mengedepankan kemashalatan ummatnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Hafnawi, Muhammad Ibrahim. Dirasatu Ushuliati. Cairo : Tanpa Tahun
Khallaf, Abd al-Waha, Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam. Cairo, 2004
M. Zein, Satria effendi, Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2008
Muthahhari, Muthadha, Islam dan Tantangan Zaman. Bandung : Pustaka
Hidayah, 1996
Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqot fi ushuli al-Asyariah, Beirut : Dar al –
Kutub al-Ilmiyah, 2003
Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim. Alluma’ Fii Ushuli al-Fiqh. Semarang : Karyati
Putra tanpa tahun
Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001
Usman, Suparman, Hukum Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2002
Zaidan, Abu al-Karim. Al-Wajiz Fii Ushul al-Fiqh, Beirut, Dar al-Kutub aL-
Ilmiyyah. 1999
17