05 jilid 2-air-laut-udara-tanah-gakum

457
file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM] AIR AIR 1 PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITASAIR DAN PENGENDALIANPENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan; b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN

Upload: azmidoanc

Post on 11-Jun-2015

2.217 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

AIR AIR 1

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001

TENTANG

PENGELOLAAN KUALITASAIR DAN PENGENDALIANPENCEMARAN AIR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan;

b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PENCEMARANAIR.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil; 2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara; 3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukan -peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya; 4. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air; 5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu; 7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air; 8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan atau fungsi ekologis; 9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air; 10. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan; 11. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah; 13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar; 14. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair; 15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan; 2

16. Pemerintah adalah Presiden beserta para Menteri dan Ketua/Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen; 17. Orang adalah perseorangan, dan atau kelompok orang dan atau badan hukum; 18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; Pasal 2

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem; (2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Pasal 3

Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai dengan peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya. (2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. (3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada: a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung; b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan c. akuifer air tanah dalam. (4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. BAB II PENGELOLAAN KUALITAS AIR

Bagian Pertama Wewenang

Pasal 5

(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas batas negara. (2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kabupaten/Kota. (3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten/Kota. Pasal 6

Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat

menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Bagia Kedua Pendayagunaan Air

Pasal 7

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana pendayagunaan air. (2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat. (3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan atau fungsi ekologis. Bagian Ketiga Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air

Pasal 8

(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas: a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 3

d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini. Pasal 9

(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada: a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi. c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. (2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a; (4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air, Dan Status Mutu Air

Pasal 10 Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan 9.

Pasal 11

(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan parameter pada air yang lintas batas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah. (2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. Pasal 12

(1) Pemerintah Daerah Propinsi dapat menetapkan: a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan atau b. tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. (3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 13

(1) Pemantauan kualitas air pada: a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota; b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah Kabupaten/Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota; c. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah propinsi dan atau sumber air yang merupakan lintas batas negara kewenangan pemantauannya berada pada pemerintah. (2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c. (3) Pemantauan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali. (4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Menteri. (5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 14

(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan: a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air; b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air. (2) Ketentuan mengenai tindakan cemar dan tingkatan baik status mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 4

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 15

(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran. (2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan meningkatkan kualitas air. Pasal 16

(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air. (2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri. Pasal 17

(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air limbah dari dua atau lebih laboratorium maka dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan. (2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional. BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

Bagian Pertama Wewenang

Pasal 18

(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas propinsi dan atau lintas batas negara. (2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Kabupaten/Kota. (3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/Kota. Pasal 19 Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Pasal 20 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang:

a. menetapkan daya tampung beban pencemaran; b. melakukan inventarisasi sumber pencemaran; c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah; d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air; e. memantau kualitas air pada sumber air; dan f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Pasal 21

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. (2) Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari baku mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali. Pasal 22 Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air.

Pasal 23

(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air. (2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. (3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk: a. pemberian izin lokasi; b. pengelolaan air dan sumber air; c. penetapan rencana tata ruang; 5

d. pemberian izin pembuangan air limbah; e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air. (4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Menteri. Bagian Kedua Retribusi Pembuangan Air Limbah

Pasal 24

(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dikenakan retribusi. (2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagian Ketiga Penanggulangan Darurat

Pasal 25 Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

Pasal 26 Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan.

BAB IV

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PELAPORAN

Pasal 27

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang berwenang. (2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat: a. tanggal pelaporan; b. waktu dan tempat; c. peristiwa yang terjadi; d. sumber penyebab; e. perkiraan dampak (3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Bupati/Walikota/Menteri. (4) Bupati/Walikota/Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib segera melakukan verifikasi untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya pelanggaran terhadap pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya pencemaran air. (5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadinya pelanggaran, maka Bupati/Walikota/Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran dan atau pencemaran air serta dampaknya. Pasal 28 Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5) Bupati/Walikota/Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 29 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/Menteri.

BAB V HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama Hak

Pasal 30

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik. (2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengendalian kualitas air serta pengendalian pencemaran air. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 31

Setiap orang wajib:

a. Melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). b. Mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). Pasal 32 Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Pasal 33 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Pasal 34

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin aplikasi air limbah pada tanah. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri. BAB VI PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH

Bagian Pertama Pemanfaatan Air Limbah

Pasal 35

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. (3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 36

(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah. (2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya: a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman; b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3); (5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin pemanfaatan air limbah. (6) Penerbitan izin pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin. (7) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedua Pembuangan Air Limbah

Pasal 37 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air.

Pasal 38

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib menaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin. 7

(2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan: a. kewajiban untuk mengolah limbah; b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan; c. persyaratan cara pembuangan air limbah; d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat; e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah; f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan; g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau melepaskan dadakan; h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dan upaya penaatan batas kadar yang dipersyaratkan; i. kewajiban melakukan suatu swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau. (3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radio aktif, Bupati/Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang tenaga atom. Pasal 39

(1) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air. (2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum dapat ditentukan,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

maka batas mutu air limbah yang diizinkan ditetapkan berdasarkan baku mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1). Pasal 40

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Pasal 41

(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air atau sumber air. (2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya: a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman; b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. (3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pembuangan air limbah ke air atau sumber air layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin pembuangan air limbah. (6) Penerbitan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin. (7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuangan air limbah ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan Menteri. (8) Pedoman kajian pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 42 Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan atau sumber air.

BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama Pembinaan

Pasal 43

(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(3) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga. 8

(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dengan membangun sarana dan prasarana pengelolaan limbah rumah tangga terpadu. (5) Pembangunan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 44

(1) Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2). (2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan daerah. Pasal 45 Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 46

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 berwenang: a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan, perekaman audio visual, dan pengukuran; b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan, karyawan yang bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat. c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, antara lain dokumen perizinan, dokumen AMDAL, UKL, UPL data hasil swapantau, dokumen surat keputusan organisasi perusahaan; d. memasuki tempat tertentu; e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolong; f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instalasi pengolahan limbah; g. memeriksa instalasi, dan atau alat transportasi; h. serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan. (2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi pembuatan denah, sketsa, gambar, peta, dan atau deskripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan. Pasal 47 Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihatkan surat tugas dan atau tanda pengenal.

BAB VIII

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

SANKSI

Bagian Pertama Sanksi Administrasi

Pasal 48 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.

Pasal 49 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25, Bupati/Walikota/Menteri berwenang menerapkan paksaan pemerintahan atau uang paksa.

Bagian Kedua Ganti Kerugian

Pasal 50

(1) Setiap perbuatan melanggar ketentuan berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu. (2) Setiap pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. 9

Bagian Ketiga Sanksi Pidana

Pasal 51 Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, dan Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52 Baku mutu air limbah untuk jenis usaha dan atau kegiatan tertentu yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 53

(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati/Walikota.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi yang belum memiliki izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air, maka dalam jangka waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air dari Bupati/Walikota. BAB X KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54 Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 55 Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan, berlaku kriteria mutu air untuk Kelas II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini sebagai baku mutu air.

Pasal 56

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air dalam Peraturan Pemerintah ini, maka baku mutu air sebelumnya tetap berlaku. Pasal 57

(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang berlaku di daerah tersebut dapat ditetapkan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. (2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. Pasal 58 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 59 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 60 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan perundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

10

Ditetapkan di : Jakarta

pada tanggal : 14 Desember 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 153 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd

Lambock V. Nahattands

11

LAMPIRAN : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 82 TAHUN 2001 TANGGAL : 14 Desember 2001 TENTANG : PENGELOLAAN KUALITASAIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARANAIR

Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas

PARAMETER SATUAN KELAS KETERANGAN I II III IV

FISIKA

Temperatur 0 C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 5 Deviasi temperatur dari alamiahnya Residu Terlarut mg/L 1000 1000 1000 2000 Residu Tersuspensi mg/L 50 50 400 400 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu tersuspensi < 5000 mg/L

KIMIA ORGANIK

pH 6 – 9 6 – 9 6 – 9 5 – 9 Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah BOD mg/L 2 3 6 12 COD mg/L 10 25 50 100 DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum Total fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5 NO3 sebagai N mg/L 10 10 20 20 NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) Bagi Perikanan,kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka < 0,02 mg/L sebagai NH3 Arsen mg/L 0,05 1 1 1 (-)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium mg/L 1 (-) (-) (-) Boron mg/L 1 1 1 1 Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 1 Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2 Bagi pengolahan air minum secara konvensional,Cu < 1 mg/L Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe < 5 mg/L Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1 Bagi pengolahan air minum secara konvensional,Pb < 0,1 mg/L

FISIKA

Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2 Bagi pengolahan air minum secara konvensional,Zn < 5 mg/L Khlorida mg/L 600 (-) (-) (-) Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional,NO2-N < 1 mg/L Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-) Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-) Bagi ABAM tidak dipersyaratkan Belerang sebagai H2S mg/L 0,002 0,002 0,002 (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional,S sebagai H2S < 0,1 mg/L

MIKROBIOLOGI

-Fecal coliform Jml/100 ml 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahann air minum secara konvensional, fecal coliform < -Total coliform Jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 2000 jml/100 mL dan Total coliform < 10000 jml/100 mL

RADIOAKTIVITAS

-Gross-A Bq/L 0,1 0,1 0,1 0,1 -Gross-B Bq/L 1 1 1 1

KIMIA ORGANIK

Minyak dan lemak ug/L 1000 1000 1000 (-) Detergen sebagai MBAS ug/L 200 200 200 (-) Senyawa Fenol sebagai fenol ug/L 1 1 1 (-) BHC ug/L 210 210 210 (-) Aldrin/Dieldrin ug/L 17 (-) (-) (-) Chlordane ug/L 3 (-) (-) (-) DDT ug/L 2 2 2 2

FISIKA

Heptachlor dan heptachlor epoxide ug/L 18 (-) (-) (-) Lindane ug/L 56 (-) (-) (-)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Methoxychlor ug/L 35 (-) (-) (-) Endrin ug/L 1 4 4 (-) Toxaphan ug/L 5 (-) (-) (-)

12

Keterangan :

mg = milligram

ug = microgram

ml = milliliter = Liter

Bq = Bequerel

MBAS = Methyne Blue Active Substance

ABAM = Air Baku untuk Air Minum

Logam berat merupakan logam terlarut.

Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO.

Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum.

Nilai DO merupakan batas minimum.

Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termaksud, parameter tersebut tidak dipersyaratkan.

Tanda < adalah lebih kecil atau sama dengan

Tanda < adalah lebih kecil

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Lambock V. Nahattands

13

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001

TENTANG

PENGELOLAAN KUALITASAIR DAN PENGENDALIANPENCEMARAN AIR

UMUM

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya.

Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber air di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air.

Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion).

Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air yang cemar

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang cemar.

Berdasarkan definisinya, Pencemaran air yang diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat tertentu tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran air, juga merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau dipertahankan oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran air.

Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated beneficial water uses), juga didasarkan pada kondisi nyata kualitas air yang mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukkan perlu disesuaikan dengan menerapkan pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas air). Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata akan menghadapi kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai pada air yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak untuk semua golongan peruntukan.

14

Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan daya tampung beban pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan peruntukannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air dianggap tidak memadai lagi, karena secara substansial tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana dikandung dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1) Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada dan atau mengalir melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan, maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air tidak hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah. Dengan demikian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya sehingga dapat tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif.

Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ini dilakukan melalui upaya koordinasi antar pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air dan atau satu kesatuan pengelolaan sumber daya air antara lain daerah aliran sungai (DAS) dan daerah pengaliran sungai (DPS). Kerja sama antar daerah dapat dilakukan melalui badan kerja sama antar daerah. Dalam koordinasi dan kerja sama tersebut termasuk dengan instansi terkait, baik menyangkut rencana pemanfaatan air, pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya tampung, penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah, pembinaan dan pengawasan penaatan.

Ayat (2) Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1) Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk memelihara kualitas air untuk tujuan melestarikan fungsi air, dengan melestarikan (conservation) atau mengendalikan (control). Pelestarian kualitas air dimaksudkan untuk memelihara kondisi kualitas air sebagaimana kondisi alamiahnya.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Kondisi alamiah air pada sumber air dalam hutan lindung, mata air dan akuifer air tanah dalam secara umum kualitasnya sangat baik. Air pada sumber-sumber air tersebut juga akan sulit dipulihkan kualitasnya apabila tercemar, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya. Oleh karena itu harus dipelihara kualitasnya sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air kualitas airnya perlu dilestarikan sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata air di dalam maupun di luar hutan lindung. Air di bawah permukaan tanah berada di wadah atau tempat yang disebut akuifer.

Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara dua lapisan batuan geologis tertentu, yang menerima resapan air dari bagian hulunya.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

15

Ayat (4) Upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan dengan membatasi beban pencemaran yang ditenggang masuknya ke dalam air sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi cemar (sebatas masih memenuhi baku mutu air).

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1) Rencana pendayagunaan air meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui arah program pengelolaan kualitas air.

Ayat (2) Air pada lingkungan masyarakat setempat dapat mempunyai fungsi dan nilai yang tinggi dari aspek sosial budaya. Misalnya air untuk keperluan ritual dan kultural.

Ayat (3) Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air yang digunakan sekarang ini ( existing uses) dan potensi air sebagai cadangan untuk pemanfaatan di masa mendatang ( future uses).

Pasal 8

Ayat (1) Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaannya. Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan tingkatan yang terbaik. Secara relatif, tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas Dua, dan selanjutnya.

Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan kemungkinan kegunaannya bagi suatu peruntukan air (designated beneficial water uses).

Air baku air minum adalah air yang dapat diolah menjadi air yang layak sebagai air minum dengan mengolah secara sederhana dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan.

Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu.

Peruntukan lain yang dimaksud misalnya kegunaan air untuk proses industri, kegiatan penambangan dan pembangkit tenaga listrik, asalkan kegunaan tersebut dapat menggunakan air dengan mutu air sebagaimana kriteria mutu air dari kelas air dimaksud.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air saat ini (existing quality), rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan dicapai (objective quality).

16

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi pedoman untuk menentukan keadaan mutu air,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

penyusunan rencana penggunaan air, dan penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai. Pedoman pengkajian mencakup antara lain ketatalaksanaan pada sumber air yang bersifat lintas daerah (Kabupaten/Kota dan Propinsi).

Pasal 10 Cukup jelas

Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1) Pengetatan dan atau penambahan parameter tersebut didasarkan pada kondisi spesifik, antara lain atas pertimbangan karena di daerah tersebut terdapat biota dan atau spesies sensitif yang perlu dilindungi.

Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah yang tingkat kualitas airnya lebih baik.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air meliputi, antara lain rencana pemantauan, pengharmonisasian operasi pemantauan kualitas air, pelaporan dan pengelolaan data hasil pemantauan.

Pasal 14

Ayat (1) Status mutu air merupakan informasi mengenai tingkatan mutu air pada sumber air dalam waktu tertentu.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air, perlu diketahui status mutu air (the state of the water quality). Untuk itu maka dilakukan pemantauan kualitas air guna mengetahui mutu air, dengan membandingkan mutu air.

Tidak memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya lebih buruk dari baku mutu air.

Memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya sama atau lebih baik dari baku mutu air.

17

Dalam hal metoda baku penilaian status mutu air belum ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, dapat digunakan kaidah ilmiah.

Contoh parameter yang belum tercantum dalam kriteria mutu air sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini antara lain, parameter-parameter bio-indikator dan toksisitas.

Ayat (2) Kondisi cemar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti tingkatan cemar berat, cemar sedang, dan cemar ringan. Demikian pula kondisi baik dapat dibagi menjadi sangat baik dan cukup baik. Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara lain dengan menggunakan suatu indeks.

Pasal 15

Ayat (1) Penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, meliputi pula program kerja pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air secara berkesinambungan.

Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1) Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang berwenang melaksanakan akreditasi laboratorium dibidang pengelolaan lingkungan hidup.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (2) Penunjukan laboratorium oleh Menteri sebagai laboratorium rujukan dimaksudkan antara lain untuk menguji kebenaran teknik, prosedur, metode pengambilan dan metode analisis sampel. Kesimpulan yang ditetapkan tersebut menjadi alat bukti tentang mutu air dan mutu air limbah.

Pasal 18 Cukup jelas

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Huruf a Cukup jelas

Huruf b Inventarisasi adalah pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui sebab dan faktor yang menyebabkan penurunan kualitas air.

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Cukup jelas

18

Huruf e Cukup jelas

Huruf f Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.

Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3)

Hasil inventarisasi sumber pencemaran air diperlukan antara lain untuk penetapan program kerja

pengendalian pencemaran air.

Ayat (4)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cukup jelas

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Daya tampung beban pencemaran pada suatu sumber air dapat berubah dari waktu ke waktu mengingat antara lain karena fluktuasi debit atau kuantitas air dan perubahan kualitas air.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Pengenaan retribusi tersebut sebagai konsekuensi dari penyediaan sarana pengolahan (pengelolaan)

air limbah yang disediakan oleh Kabupaten/Kota.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 25

Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat disebabkan antara lain kebocoran atau tumpahan bahan

kimia dari tangki penyimpanannya akibat kegagalan desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan atau

bencana alam.

Upaya pengendalian pencemaran air dalam ayat ini antara lain dapat berupa prasarana dan sarana

pengelolaan air limbah terpadu (sewerage treatment plant). Upaya termaksud dapat dilakukan melalui

kerja-sama dengan pihak ketiga sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal 27 Ayat (1) Pejabat yang berwenang yang dimaksud antara lain, adalah Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

19

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 28 Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas air, dan rencana tata ruang.

Ayat (3) Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, dan melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Pasal 31 Huruf a Cukup jelas

Huruf b

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Air pada sumber air dan air yang terdapat di luar hutan lindung dilakukan pengendalian terhadap sumber yang dapat menimbulkan pencemaran. Hal ini karena terdapat berbagai kegiatan yang akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Namun, penurunan kualitas air tersebut masih dapat ditenggang selama tidak melampaui baku mutu air.

Pasal 32 Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33 Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang meliputi antara lain:

· status mutu air; · bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; · sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya; · dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau · langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan upaya pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air.

20

Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan format terminal data ( data base) pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1) Air limbah dari suatu usaha dan atau kegiatan tertentu dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanaman tertentu dengan cara aplikasi air limbah pada tanah ( land aplication), namun dapat berisiko terjadinya pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan atau air.

Ayat (2) Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1) Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Aplikasi pada tanah perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu secara spesifik berkenaan dengan kandungan dan debit air limbah, sifat dan luasan tanah areal pertanaman yang akan diaplikasi, dan jenis tanamannya, untuk mengetahui cara aplikasi yang tepat sehingga dapat mencegah pencemaran tanah, air tanah, dan air serta penurunan produktivitas pertanaman.

Ayat (2) Persyaratan penelitian dimaksud merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi. Oleh karena itu maka persyaratan lain berdasarkan penelitian yang dianggap perlu dimungkinkan untuk ditambahkan.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Pedoman pengkajian meliputi, antara lain, petunjuk mengenai rencana penelitian, metode, operasi, dan pemeliharaan.

Pasal 37 Cukup jelas

21

Pasal 38

Ayat (1) Pembuangan air limbah adalah pemasukan air limbah secara pelepasan ( discharge) bukan secara dumping dan atau pelepasan dadakan (shock discharge).

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pembuangan air limbah yang berupa sisa dari usaha dan atau kegiatan penambangan, seperti misalnya “air terproduksi” (produced water), yang akan dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga wajib menaati baku mutu air limbah yang ditetapkan secara spesifik untuk jenis air limbah tersebut.

Air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bukan merupakan sisa kegiatan PLTA, sehingga tidak termasuk dalam ketentuan Pasal ini.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1) Masuknya air limbah ke dalam air dapat menurunkan kualitas air tergantung beban pencemaran air limbah dan kemampuan air menerima beban tersebut.

Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air berarti masih memiliki kemampuan untuk menerima beban pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi kemampuan air menerima beban tersebut maka akan menyebabkan pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak memenuhi baku mutu air.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 40 Cukup jelas

Pasal 41 Cukup jelas

Pasal 42 Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan atau slurry.

Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.

Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan pipa pembuangan gas yang mengandung unsur pencemar seperti Ammonium dan atau uap panas ke dalam air dan atau pada sumber air.

Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Huruf b Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih murah dari tarif baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian penghargaan.

Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih mahal dari tarif baku, menambah frekuensi swapantau, dan mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja penaatannya.

Pasal 44 Cukup jelas

22

Pasal 45 Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum mampu melakukan pengawasan sendiri, belum ada pejabat pengawas lingkungan daerah, belum tersedianya sarana dan prasarana atau daerah tidak melakukan pengawasan.

Pasal 46 Ayat (1)

Huruf a Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro kimia.

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Cukup jelas

Huruf e Cukup jelas

Huruf f Cukup jelas

Huruf g Cukup jelas

Huruf h Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 47 Cukup jelas.

Pasal 48 Sanksi administrasi meliputi teguran tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 49 Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk mengakhiri terjadinya pelanggaran, menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan tersebut di atas dapat diganti dengan uang paksa ( dwangsom).

Pasal 50

Ayat (1) Pengaturan ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk:

a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Ayat (2) Tindakan tertentu yang dimaksud antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.

23

Pasal 51 Cukup jelas

Pasal 52 Cukup jelas

Pasal 53 Cukup jelas

Pasal 54

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cukup jelas

Pasal 55 Cukup jelas

Pasal 56 Cukup jelas

Pasal 57 Cukup jelas

Pasal 58 Cukup jelas

Pasal 59 Cukup jelas

Pasal 60 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4161

24

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATANAIR LIMBAH DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 35 jo Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kajian pemanfaatan air limbah ke tanah merupakan persyaratan yang harus dilakukan dalam pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah;

b. bahwa salah satu pemanfaatan air limbah ke tanah adalah pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada perkebunan kelapa sawit; c. bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah ditetapkan dengan Keputusan Menteri

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Negara Lingkungan hidup; d. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak Sawit Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 5. Peraturan Perundang-undangan Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIRLIMBAHDARIINDUSTRIMINYAKSAWITPADA TANAHDIPERKEBUNANKELAPA SAWIT.

Pasal 1

(1) Setiap pemrakarsa yang akan memanfaatkan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib mengajukan permohonan pengkajian pemanfaatan kepada Bupati/Walikota. (2) Permohonan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit didasarkan pada salah satu hasil kajian berikut ini : a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); b. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); c. Studi Mengenai Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) ; d. Dokumen Pengelolaan Lingkungan (DPL). Pasal 2 Bupati/Walikota menyetujui usulan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit dengan syarat dan tata cara berpedoman pada Keputusan ini.

Pasal 3

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Bupati/Walikota menetapkan persyaratan minimal untuk pelaksanaan pengkajian pemanfatan air limbah, yaitu : a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan dan tanaman; b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat; 25

d. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter; e. nilai pH berkisar 6-9; f. dilakukan pada lahan selain lahan gambut; g. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam; h. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam; i. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; j. areal pengkajian seluas 10 – 20 persen dari seluruh areal yang akan digunakan untuk pemanfaatan air limbah; k. pembuatan sumur pantau. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan. (3) Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini. Pasal 4 Bupati/Walikota menerbitkan surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak usulan pengkajian diterima.

Pasal 5 Dalam surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib dicantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:

a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat; b. metode dan frekuensi pemantauan; c. pelaporan hasil pemantauan yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ; d. larangan mengenai : 1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai; 2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan; 3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalan Keputusan ini; 4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku. Pasal 6

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit dilakukan minimal selama 1 (satu) tahun. (2) Pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan 1 (satu) kali pada lokasi dan tempat yang sama. Pasal 7 Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada perkebunan kelapa sawit.

Pasal 8 Persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.

Pasal 9 Berdasarkan hasil kajian seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), pemrakarsa mengajukan permohonan izin pemanfaatan air limbah kepada Bupati/Walikota.

Pasal 10 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 25 Maret 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM. Salinan ini sesuai aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

26

Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 28 Tahun 2003 Tanggal : 25 Maret 2003

PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATANAIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPASAWIT

A PENDAHULUAN Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah ini dibuat agar terdapat kesesuaian pemahaman mengenai aspek-aspek yang harus ditinjau dalam menentukan kelayakan lingkungan dari suatu kegiatan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pemanfaatan air limbah pada tanah. Pengkajian air limbah pada tanah perlu dilakukan karena adanya potensi akumulasi bahan pencemar dalam tanah serta kemampuan tanah dalam menetralisasi air limbah terbatas dan berbeda-beda tergantung pada karakteristik tanah seperti permeabilitas tanah, komposisi dan sifat kimia tanah.

Selain itu, pengkajian dimaksudkan untuk mengetahui rona awal sebagai data dasar dalam penentuan ada tidaknya pencemaran dan dalam pengelolaan pemanfaatan selanjutnya. Melalui pengkajian ini pemrakarsa akan memperoleh pengalaman dalam mempersiapkan program pemantauan dan melaksanakannya. Pada kenyataannya dalam menentukan ada atau tidaknya pencemaran tanah diperlukan waktu yang relatif panjang karena tanah memiliki kemampuan penyanggaan yang tinggi untuk meredam pengaruh luar. Akan tetapi agar pengkajian pemanfaatan air limbah segera mendapat kepastian status hukum, maka ditetapkan waktu pengkajian selama minimal 1 (satu) tahun di mana dalam kurun waktu tersebut kecenderungan adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan dapat diketahui. Guna meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan akibat pemanfaatan air limbah minyak sawit, maka di dalam pedoman ini dijelaskan hal-hal yang harus dilakukan baik oleh pemerintah, maupun pemrakarsa dalam pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah.

B. FUNGSI DAN TUJUAN Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melakukan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit. C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup kajian meliputi: 1. Mengidentifikasi rencana pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah. 2. Memperkirakan dan mengevaluasi pengaruh pemanfaatan air limbah industri minyak sawit terhadap tanah, air tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat. D. TATACARA PENGKAJIAN 1. Usulan kegiatan pengkajian pemanfaatan air limbah dan evaluasinya. Dalam melakukan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah, pemrakarsa wajib terlebih dahulu memberitahukan rencana kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah ( Land Application) kepada Bupati/Walikota dengan menyampaikan surat pemberitahuan beserta usulan rencana pengkajian. Selanjutnya Bupati/Walikota menyampaikan usulan pengkajian kepada Instansi yang bertanggung jawab. 2. Usulan pengkajian meliputi : a. Lokasi dan Waktu Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah: a.1. Lokasi: a.1.1. Pemrakarsa harus menetapkan luas seluruh lokasi lahan yang akan digunakan untuk pemanfaatan air limbah. a.1.2. Pemrakarsa harus menetapkan luas lokasi yang akan digunakan untuk pengkajian dan kontrol dengan ketentuan sebagai berikut: a.1.2.1. Luas lahan pengkajian adalah 10 -20 persen dari seluruh luas lahan yang diusulkan untuk pemanfaatan air limbah. a.1.2.2.Luas lahan kontrol adalah 1-5 persen dari luas lahan yang diusulkan untuk pemanfaatan air limbah. a.1.3. Lahan pengkajian dan lahan kontrol harus merupakan bagian dari lahan yang akan mengalami pemanfaatan air limbah pada tanah dan memiliki karakteristik, jenis dan usia tanam pohon yang sama.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a.2. Waktu: Waktu pelaksanaan pengkajian ditentukan minimal selama 1 (satu) tahun. b. Metode: Metode pemanfaatan air limbah pada tanah yang saat ini banyak digunakan adalah metode irigasi dengan flatbed system, furrow system, dan long bed system dengan sistem saluran tertutup atau tidak berhubungan dengan badan air (sungai, danau, dan lain-lain). 27

b.1. Flatbed system atau sistem parit datar adalah sistem irigasi yang ditampung dengan kolam-kolam datar bersambung untuk lahan dengan ketinggian relatif tidak sama atau terasiring (Gb.1). b.2. Furrow system (Gb. 2) atau sistem parit/saluran alir tertutup. Sistem furrow sendiri ada dua (2) macam, yaitu: zig-zag furrow dan straight furrow. Zig-zag furrow digunakan di area dimana kecuramannya relatif tinggi (lebih dari 30 derajat), hal ini dimaksudkan untuk memperlambat aliran dan mengurangi erosi di area yang lebih tinggi dan mengurangi genangan di area yang lebih rendah dimana dengan begitu diharapkan distribusi yang rata. Straight furrow digunakan di area yang kecuramannya lebih rendah (di bawah 30 derajat). b.3. Long Bed system (Gb. 3) atau sistem saluran panjang berbaris untuk lahan dengan ketinggian sama atau rata dan tanah dengan permeabilitas rendah (daya serap ke dalam tanah tidak bagus). Gb.1 Gb.2 Gb.3

c. Dosis, debit dan rotasi pemanfaatan: Mekanisme perhitungan dosis, debit, kebutuhan lokasi dan rotasi penyiraman atau pemanfaatan air limbah dapat menggunakan contoh perhitungan sebagai berikut: Luas Lokasi = Debit air limbah (m3/tahun) Dosis air limbah (m3/ha/tahun )

Debit air limbah = Kapasitas olah Pabrik Kelapa Sawit x Rasio produksi air limbah terhadap Produksi TBS.

Rasio ini berkisar antara 0,6 – 0,8 (m3 limbah/ton TBS diproduksi)

Dosis air limbah = 10 cm rey (rain equivalent per year) Contoh perhitungan dosis : a. Kapasitas olah PKS : 250.000 ton Tandan Buah Segar/tahun b. Apabila dosis air limbah = 10 cm rey = 1000 m3 pertahun/ha c. Kebutuhan lokasi = 250.000 ton TBS/tahun x 0,6 = 150 ha 1000 m3 Kekerapan Pemanfaatan Dengan dasar flatbed mengisi 1/6 luas lokasi a. Jumlah yang dimanfaatkan kedalam flatbed = 10 cm x 6 = 60 cm Oleh karena jumlah pada setiap pemanfaatan adalah 10 cm kekerapan pemanfaatan (rotasi pemanfaatan/penyiraman) = 60 cm / 10 cm = 6 kali per tahun atau sekali / 2 bulan d. Pemantauan d.1. Dampak terhadap lingkungan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Jenis, lokasi dan cara pengambilan sampel serta parameter minimal yang harus di amati adalah sebagai berikut: d.1.1. Jenis Sampel Jenis sampel yang diambil adalah sampel tanah, air tanah dan air limbah. d.1.2. Lokasi, cara pengambilan sampel dan parameter minimal yang harus diamati: d.1.2.1. Sampel Tanah Lokasi Syarat utama dalam pemilihan lokasi pengambilan sampel adalah lokasi tersebut harus mewakili lokasi pengkajian. Dalam penetapan sampel ini pemrakarsa wajib mengkoordinasikan dengan instansi yang bertanggung jawab di daerah. Pemilihan lokasi harus berdasarkan dugaan mengenai pergerakan kation-kation, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan kation secara vertikal berkaitan dengan pencucian kation-kation menuju air tanah yang dapat menimbulkan pencemaran air tanah, sedangkan pergerakan kation horizontal adalah pergerakan dari parit irigasi ke arah tanaman. Untuk maksud di atas maka lokasi pengambilan sampel ditetapkan pada 3 (tiga) lokasi yaitu di parit irigasi (rorak), antara parit dan tanaman (antar rorak), dan di lahan kontrol pada enam kedalaman sebagai berikut: 28

(a). 0 -20 cm (b). 20 -40 cm (c). 40 -60 cm (d). 60 -80 cm (e). 80 -100 cm (f). 100 -120 cm

Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel tanah di parit irigasi (rorak) dilakukan setelah kerak limbah yang menumpuk dipermukaannya dibuang atau disisihkan dari parit. Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah yaitu sampel tanah terganggu dan sampel tanah utuh.

(a). Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk mengukur parameter seperti pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur tertentu serta tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau lempung). Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan menggunakan bor tanah mineral, sampel tanah diambil pada setiap 20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis. Berat sampel tanah terganggu yang diambil dengan menggunakan masingmasing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik rangkap 2 (dua). Dengan diberi label yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(b). Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring sampler dan digunakan untuk mengukur bobot isi, porositas dan permeabilitas. Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masing-masing 2 (dua) sampel. Satu sampel digunakan untuk mengukur porositas dan bobot isi, sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur permeabilitas. Parameter minimal yang harus diamati Pengamatan dilakukan dengan frekuensi satu tahun sekali untuk parameter-parameter yang tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1 : Parameter dan Metode Analisa Tanah

No Parameter Metode 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. pH dalam air C-organik N Total P tersedia Kation dapat ditukar K, Na, Ca, Mg Kapasitas tukar kation Kejenuhan Basa Logam-logam berat (Pb, Cu, Cd, Zn) Tekstur (pasir, debu, liat) Minyak lemak pH-meter Walkley – Black Kjeldahl Bray I NH40Ac pH 7.0 Diukur dengan atomic absorption Spectrophotometer (Ca+Mg+K+Na)/KTK * 100% Destruksi basah Pipet Soklet

d.1.2.2. Sampel Air Tanah Lokasi Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol, lahan pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah dan sumur penduduk terdekat yang lokasinya lebih rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar air limbah.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pembuatan sumur pantau harus memperhatikan keamanan sumur terhadap kontaminasi air hujan dan atau kontaminan lain yang berasal dari luar. Pengambilan sampel Pengkajian pengambilan sampel air tanah di sumur pantau dan sumur penduduk mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku. Parameter minimal yang harus diamati Pengamatan dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk parameter-parameter 29

Tabel 2. Parameter dan Metode Analisa Air tanah

No. Parameter Metode 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. BOD5 DO pH NO3 sebagai N NH3-N Cd Cu Pb Zn Cl-SO4 2Winkler Winkler pH Meter Colorimetric Colorimetric AAS AAS AAS AAS Titrimetric Colorimetric

d.1.2.3. Sampel Air Limbah Lokasi Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air limbah Pengambilan Sampel

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pengkajian pengambilan sampel air limbah di outlet yang menuju lahan kajian mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku. Parameter minimal yang harus diamati Parameter-parameter minimal yang diamati diuraikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Parameter, Metode Analisa Sampel Air Limbah, dan Frekuensi Pengamatan

No. Parameter Metode Frekuensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Debit BOD5 COD pH Minyak dan Lemak Pb Cu Cd Zn Winkler pH-meter Soklet AAS AAS AAS AAS Harian Bulanan Harian Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan

d.1.3. Kebauan: Pengukuran tingkat kebauan dilakukan di lokasi kebun yang digunakan untuk pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah dan sekitarnya. Parameter kebauan mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. d.1.4. Dampak terhadap tanaman dan masyarakat disekitarnya. Pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui dampak pemanfaatan air limbah pada tanah terhadap tanaman adalah pengamatan hasil panen pada tandan buah segar yang ada di lokasi kajian pemanfaatan air limbah dan di lahan kontrol. Sedangkan pengamatan dampak terhadap masyarakat adalah pengamatan yang dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi kajian pemanfaatan air limbah adalah pengamatan terhadap penyakit

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

yang diderita. 3. Pemrakarsa wajib menyampaikan laporan pengkajian pemanfaatan air limbah yang sedang dilakukan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada Bupati/ Walikota/Gubernur/Menteri Negara Lingkungan Hidup. 4. Evaluasi Laporan Hasil Pemantauan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit di Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan Instansi yang bertanggung jawab yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota. Evaluasi dilakukan dengan melakukan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang meliputi: kondisi tanah, kondisi air tanah, kebauan, kondisi tanaman, serta kondisi air limbah yang sesuai dengan baku mutu sebagaimana ditetapkan dalam izin.

Apabila dari hasil evaluasi tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, maka pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dapat dilanjutkan. Sedangkan bila hasil evaluasi menunjukkan adanya indikasi pencemaran maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan yang berarti persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dicabut dan pemrakarsa harus melakukan pemulihan kualitas lingkungannya.

30

E. PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PENGKAJIAN Pengarahan yang wajib diberikan kepada pemrakarsa dalam menyusun Laporan Pelaksanaan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit mengacu pada sistematika berikut: BAB I. PENDAHULUAN Bab Pendahuluan ini mencakup:

I.1. Latar Belakang Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah ditinjau dari: a. Kaitan rencana usaha/kegiatan dengan dampak penting yang ditimbulkan terhadap lingkungan b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air c. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dikaitkan dengan konsep Nir Emisi (Zero Emissions). I.2. Tujuan Pada bagian ini disebutkan tujuan dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah dengan mengacu kepada beberapa aspek, antara lain: a. Aspek Hukum : sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah (Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air); b. Aspek lingkungan: mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak terutama pada air tanah, air permukaan, gangguan kebauan, vektor penyebab penyakit, dll; c. Aspek tanaman: evaluasi terhadap peningkatan produksi TBS (Tandan Buah Segar). I.3. Manfaat Pemanfaatan Air Limbah Uraian secara singkat manfaat pemanfaatan air limbah ditinjau dari sudut pandang: a. Lingkungan (air, tanah, udara) dan kesehatan masyarakat; b. Industri yang melaksanakan ditinjau dari aspek produksi bersih, biaya pengolahan/ operasional. BAB II. URAIAN KEGIATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Pada bagian ini diuraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, baik itu kegiatan kebun maupun kegiatan pabrik secara singkat.

II.1. Kebun Pada bagian ini menjelaskan teknik budidaya yang diterapkan di kebun bersangkutan, meliputi: a. Penanaman Secara singkat dijelaskan tahun tanam, susunan dan jarak tanam; b. Perawatan Tanaman Perawatan yang dilakukan meliputi penyulaman, penanaman tanaman sela, pemberantasan gulma, pemangkasan, pemupukan, replanting, kastrasi, penyerbukan buatan serta pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penjelasan tentang pemupukan diuraikan secara rinci, menyangkut jenis pupuk, dosis, waktu pemberian, cara pemberian dan pemanfaatan air limbah jika telah dilakukan; c. Panen Dijelaskan secara singkat kriteria matang panen yang diterapkan, cara panen, rotasi dan sistem panen. II.2. Pabrik Pada bagian ini diuraikan secara singkat tentang pengolahan hasil serta pengolahan dan pemanfaatan limbah sebagai berikut: a. Produksi Jelaskan berapa besar produksi (ton TBS/ha/tahun) yang dicapai dan kandungan rendemen (prosentase/tonTBS); b. Pengolahan Hasil Diuraikan secara singkat pengangkutan TBS ke pabrik, perebusan TBS, perontokan dan pelumatan buah, pemerasan atau ekstrasi minyak sawit, pemurnian dan penjernihan minyak sawit, pengeringan dan pemecahan biji, agar disajikan dalam flow diagram neraca bahan termasuk neraca air, bahan baku, bahan penolong dan sumber air yang digunakan; 31

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

c. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Jelaskan limbah apa saja yang terbentuk sebagai hasil samping dari kegiatan pengolahan hasil baik itu limbah padat, cair dan gas. Upaya-upaya pemanfaatan limbah yang telah dilaksanakan, serta sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL (Lampirkan Skema/ Desainnya). Khusus untuk air limbah disebutkan volume dan kualitasnya (Parameter sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995). Peta Situasi Kebun agar disajikan pada peta dengan skala minimal 1:50.000. BAB III. RONA LINGKUNGAN Hal-hal yang harus dikemukakan dalam bagian ini adalah:

a. Rona lingkungan hidup wilayah kegiatan dibatasi pada komponen-komponen lingkungan yang berkaitan dengan pengkajian pemanfaatan air limbah atau berpotensi terkena dampak; b. Komponen-komponen lingkungan hidup pada butir a harus digambarkan secara jelas dan detail. Berikut ini adalah beberapa komponen lingkungan hidup yang minimal harus tergambar dalam Rona Lingkungan. Pemrakarsa dapat menelaah komponen lingkungan yang lain di luar komponen tersebut apabila dianggap penting dan terkait dengan pemanfaatan air limbah. Pada lokasi pemanfaatan air limbah di lahan perkebunan dan lokasi lahan kontrol disajikan pada peta skala minimal 1:50.000.

III.1. Morfologi Lahan Bagian ini berisi gambaran menyeluruh tentang kelerengan (kemiringan lereng) dan bentuk. Kondisi morfologi ini akan sangat berpengaruh terhadap arah aliran air tanah dan air permukaan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi arah aliran air limbah yang dimanfaatkan di permukaan tanah. Kemiringan lereng diwujudkan dalam bentuk Peta Kemiringan Lereng (contoh terlampir) dan bentuk lahan diwujudkan dalam bentuk Peta Bentuk Lahan. Peta Kemiringan Lereng harus memuat informasi Kelas lereng sebagaimana diuraikan dalam Tabel 4.

Tabel 4: Kelas Lereng

Datar 0-3% Landai 3-8% Agak Miring Miring Agak Curam Curam Sangat Curam 8-16% 16-30% 30-45% 45-65% >65%

III.2. Kondisi Tanah Komponen tanah yang harus diketahui dan tertuang di dalam dokumen laporan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam sifat-sifat fisik kimia dan sifat geofisik tanah. a. Sifat fisik tanah meliputi: a.1.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Jenis tanah, misal: gambut, padsolik, latosol dan lain-lain a.2. Porositas tanah a.3. Tekstur tanah tergambar dari prosentase debu, pasir dan liat, misal: pasir, lempung, lempung berpasir, dan lain-lain. a.4. Kedalaman Solum Tanah, kelas kedalaman solum tanah yang digunakan adalah sebagai berikut: (a). Sangat dangkal = 0-30 cm (b). Dangkal = 30-60 cm (c). Sedang = 60-90 cm (d). Dalam = 90-150 cm (e). Sangat dalam = > 150 cm b. Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah menggambarkan tingkat kesuburan tanah. Pada bagian ini beberapa komponen penting yang harus tergambar adalah kandungan bahan organik, pH tanah, kandungan hara/ logam (N, P, K, Ca, Mg dan lain-lain). Pembahasan tentang sifat-sifat kimia tanah perlu dibedakan sebagai berikut:

b.1. Apabila topografi lokasi kebun relatif datar, disimpulkan dari komponen tanah pada sebagian besar lokasi kebun atau yang diambil secara acak dan representatif dari seluruh lokasi kebun; b.2. Apabila topografi kebun miring atau bergelombang, perlu dibedakan rona tanah pada lokasi yang mempunyai ketinggian relatif besar dengan rona tanah pada ketinggian yang relatif kecil 32

c. Sifat Geofisik Tanah Pada bagian ini harus tergambar stabilitas tanah yaitu kerawanan terhadap bahaya lingkungan, seperti: longsor dan gempa. III.3. Hidrologi Dua komponen hidrologi yang perlu diperhatikan adalah: a. Air Permukaan (surface water) yang mencakup semua air pada tubuh air di permukaan, misalnya: sungai, anak-anak sungai dan alur sungai, danau, pond dan rawa. Data yang diperlukan adalah: a.1. Peta air permukaan (surface water) dan data lain tentang air permukaan: a.1.1. Berisi informasi sungai, anak-anak sungai dan alur sungai; a.1.2. Buffer area (100 m dari tepi/bibir sungai utama atau 50 m dari tepi anak-anak sungai pada saat pasang tertinggi; a.1.3. Sifat aliran (mengalir sepanjang tahun, mengalir pada musim tertentu atau jika hanya ada hujan saja); a.1.4. Pola aliran (dendritik, anguler, trelis, dan lain-lain); a.1.5.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Lokasi pemantauan kualitas air; a.1.6. Debit rata-rata sungai (harian/bulanan/tahunan/musim). a.2. Peta Topografi: a.2.1. Berisi informasi elevasi (kontur ketinggian) dan kemiringan lereng; a.2.2. Data Penyediaan dan Pemanfaatan air: (a). Sumbernya; (b). Minum; (c). Mandi Cuci; (d). Industri; (e). Pertanian/Perkebunan; (f). Lain-lain; a.2.3. Data Kualitas Air Sungai Parameter kualitas air sungai mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air. b. Air Tanah (groundwater) yaitu air yang tersimpan dan atau mengalir di dalam tanah di bawah water table (muka air tanah = setara dengan permukaan air sumur) Data yang perlu dituangkan dalam laporan adalah:

b.1.1. Peta Topografi Yang memuat informasi kontur ketinggian dan kemiringan lereng; b.1.2. Peta Geologi Diperlukan untuk mengetahui tipe aquifer ; b.1.3. Data kecepatan infiltrasi dan kapasitas infiltrasi Yang diambil di beberapa lokasi sesuai dengan perbedaan morfologi (lereng/bentuk lahan); b.1.4. Peta air tanah Yang memuat informasi kedalaman air tanah (dengan variasi musim) dan arah aliran tanah dan tipe aquifer; b.1.5. Lokasi dan jumlah sumur pantau Ditentukan berdasarkan: (a). Arah aliran air tanah; (b). Morfologi; (c). Jarak dari lokasi pemanfaatan air limbah; (d). Kedalaman air tanah; (e). Kecepatan infiltrasi (yang ini perlu dibuat formulanya dan alasan-alasannya); b.1.6. Kualitas air tanah Yang diambil pada sumur pantau; b.1.7. Pola pemanfaatan air tanah Yang memuat informasi: (a). Untuk air minum, mandi, cuci; (b). Industri; 33

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(c). Pertanian; (d). Dan lain-lain; III.4. Iklim

Data tentang iklim di lokasi kebun diperlukan untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap kelayakan pemanfaatan air limbah dan dampak pemanfaatan air limbah terhadap lingkungan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan iklim adalah:

a. Komponen iklim yang perlu ditelaah antara lain curah hujan, jumlah hari hujan, arah dan kecepatan angin serta iklim. b. Penelaahan yang dilakukan untuk setiap komponen iklim adalah rata-rata bulanan dan tahunan minimal selama lima tahun terakhir. Untuk arah dan kecepatan angin yang perlu ditelaah hanya pada ketinggian yang umum untuk kawasan pemukiman. c. Perubahan-perubahan pola iklim juga perlu ditelaah, terutama yang menimbulkan pengaruh yang sangat nyata, misalnya menyebabkan terjadinya banjir atau tanah longsor. d. Data komponen-komponen iklim diambil dari stasiun klimatologi atau Badan Meteorologi dan Geofisika sistem pengamatan terdekat. BABIV. PENGKAJIANPEMANFAATANAIRLIMBAH

IV.1. Luas Lahan Pada bagian ini dijelaskan luas lahan yang akan dimanfaatkan, luas lahan pengkajian serta luas lahan yang menjadi kontrol. IV.2. Metode Pemanfaatan Pada bagian ini dijelaskan metode pemanfaatan yang digunakan (misal: sistem flat bad, long bad, furrow dll), serta spesifikasi dari metode yang digunakan (misal: spesifikasi parit yang meliputi tinggi, lebar, panjang, jarak antar parit, jumlah parit, ukuran dan jenis pipa apabila menggunakan pipa dan lain-lain). IV.3. Dosis, Debit Dan Rotasi Pada bagian ini diuraikan berapa dosis yang dimanfaatkan tiap hektarnya (ton/ha/tahun), debit limbah cair yang dimanfaatkan (m3/dtk) serta rotasi pemberian air limbah dalam setahun (misal: 4kali dalam setahun). IV.4. Jenis, Lokasi dan Pengkajian Pengambilan Sampel Pada bagian ini dijelaskan jenis, lokasi dan pelaksanaan pengambilan sampel pada saat pengkajian. IV.5. Pengamatan Terhadap Dampak Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah a. Air Limbah yang dimanfaatkan Bagian ini memuat informasi tentang kualitas air limbah yang dimanfaatkan dalam pengkajian, dilengkapi dengan data-data analisa sampel air limbah, mengacu pada persyaratan yang ditetapkan dalam persetujuan pengkajian dalam keputusan ini. Air limbah yang dimanfaatkan ke lahan harus memiliki nilai BOD5 lebih kecil dari 5.000 mg/l dengan nilai pH 6-9. b. Dampak terhadap tanah Pada bagian ini dijelaskan tentang ada atau tidaknya pencemaran tanah akibat pelaksanaan pengkajian yang diketahui dari hasil evaluasi pelaksanaan pengamatan terhadap parameter-parameter sebagaimana tersebut pada Tabel 5. c.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dampak terhadap air tanah Pada bagian ini diuraikan seberapa jauh dampak pemanfaatan air limbah terhadap air tanah yang dilengkapi dengan data hasil analisa sampel air tanah untuk parameter-parameter pengamatan sebagaimana tersebut dalam Tabel 6. Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran validasi dilakukan dengan mengacu pada Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air. d. Dampak terhadap kebauan Dalam bagian ini diuraikan dampak pemanfaatan air limbah terhadap kebauan yang pengujiannya mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun 1996. Pengukuran tingkat kebauan dilakukan pada lokasi kebun yang dipemanfaatan (dengan jumlah pengukuran sesuai dengan luasan lokasi), pada titik 50 meter dan 150 meter ke arah angin dominan serta pada lokasi pemukiman karyawan dan atau penduduk (disajikan pada peta Lokasi Sampling). 34

e. Dampak terhadap tanaman Bagian ini menguraikan hasil pengamatan dampak pemanfaatan air limbah pada tanah terhadap tanaman pokok. f. Dampak terhadap ikan Apabila disekitar lokasi pemanfaatan terdapat kegiatan budidaya perikanan, dalam bagian ini diuraikan mengenai air limbah yang merembes ke air sungai/kolam/air permukaan lain yang pada gilirannya dapat memberikan dampak terhadap ikan. g. Dampak terhadap masyarakat sekitar Bagian ini menguraikan dampak pemanfaatan air limbah bagi kesehatan masyarakat.

Pengamatan dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi pemanfaatan air limbah terhadap vektor penyebab penyakit.

BAB V. KESIMPULAN Bagian ini harus memuat kesimpulan teknis hasil pengkajian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Pada bagian ini diutarakan pustaka atau referensi yang digunakan untuk keperluan penyusunan laporan pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah.

LAMPIRAN-LAMPIRAN Pada bagian ini dilampirkan data pendukung seperti Peta Lokasi, Peta Bentuk Lahan, dan data-data pendukung lainnya yang dianggap perlu.

F. PEMANTAUAN/PENGAWASAN DAN EVALUASI HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGKAJIAN Pengamatan dan pengawasan dalam pengkajian ini dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota setelah pemrakarsa mendapatkan persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah. Pengamatan dan pengawasan dilaksanakan terhadap kondisi tanah, air tanah, air limbah, dan lain-lain secara berkala dan ditekankan pada dampak terhadap lingkungan serta dampak terhadap tanaman dan masyarakat disekitarnya seperti yang tertulis dalam butir-butir dalam mekanisme pengkajian. Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan ini sesuai aslinya

Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo,MPA.

35

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 29 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN SYARATDANTATA CARA PERIZINAN PEMANFAATANAIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden RI Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.

Pasal 1

Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah

di perkebunan kelapa sawit di kabupaten/kota dengan berpedoman pada Keputusan ini.

Pasal 2

(1) Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit. (2) Pedoman pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit. Pasal 3

(1) Persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan izin pemanfaatan air limbah industri sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit, yaitu: a. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter; b. nilai pH berkisar 6-9; c. dilakukan pada lahan selain lahan gambut; d. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam; e. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam; f. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; dan g. pembuatan sumur pantau. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan. (3) Pedoman tentang syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini. 36

Pasal 4

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan ijin diajukan oleh pemrakarsa.

Pasal 5 Surat Keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib mencantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:

a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat; b. metode dan frekuensi pemantauan; c. pelaporan hasil pemantauan, dilakukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) bulan sekali dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ; d. larangan mengenai : 1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai; 2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan; 3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalam Keputusan ini; 4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku . Pasal 6 Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan atas pelaksanaan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit.

Pasal 7 Izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.

Pasal 8

(1) Bagi pemrakarsa yang telah mendapatkan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah perkebunan di perkebunan kelapa sawit, pada saat Keputusan ini ditetapkan izin tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini. (2) Apabila persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan Keputusan ini, maka wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Keputusan ini ditetapkan. Pasal 9 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 25 Maret 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai aslinya

Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo,MPA.

37

Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 29 Tahun 2003 Tanggal : 25 Maret 2003

PEDOMAN SYARATDANTATA CARA PERIZINAN PEMANFAATANAIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN Air limbah yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pemupukan pada tanah perkebunan karena air limbah tersebut pada kondisi tertentu masih mengandung unsur-unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pemupukan dengan air limbah ini pada umumnya dilakukan dengan mengalirkan air limbah yang berasal dari kolam penanganan limbah ke parit-parit yang ada di perkebunan. Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan air limbah pada tanah juga secara potensial menimbulkan pencemaran lingkungan atau bahkan akan menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit di kawasan pemanfaatan air limbah itu sendiri.

Dengan melihat kondisi tersebut di atas dan untuk mengurangi resiko pencemaran lingkungan yang terjadi maka pemanfaatan air limbah pada tanah dapat dilakukan setelah pemrakarsa melakukan pengkajian dan mendapat izin dari Bupati/Walikota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Guna mempermudah pelaksanaan pemberian izin pemanfaatan air limbah pada tanah oleh Bupati/Walikota maka perlu disusun Pedoman Perizinan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah.

II. PROSEDUR PERMOHONAN IZIN Prosedur pemberian izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah adalah sebagai berikut: 1. Pemrakarsa menyampaikan permohonan Izin kepada Bupati/Walikota untuk melaksanakan pemanfaatan air limbah pada tanah. Pengajuan Permohonan Izin Pelaksanaan pemanfaatan air limbah dilakukan setelah pemrakarsa selesai melakukan pengkajian aplikasi air limbah pada tanah dan melampirkan dokumendokumen berikut: a) Laporan hasil pengkajian pemanfaatan air limbah (land application); b) Dokumen AMDAL/SEMDAL/DPL/UKL/UPL yang telah mencantumkan rencana pelaksanaan

pemanfaatan air limbah; c) Izin Usaha (SIUP); d) Akte Pendirian; e) Izin Lokasi Perkebunan (HGU); f) IMB Pabrik/Industri; g) Persetujuan karyawan pabrik dan masyarakat yang berada pada radius 500 meter dari lokasi

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pemanfaatan.

2. Bupati/Walikota memberikan penugasan kepada Instansi yang bertanggung jawab dan mempunyai kewenangan dalam menangani pengendalian dampak lingkungan di kabupaten/kota (Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup/Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditunjuk) untuk melakukan evaluasi terhadap permohonan izin tersebut. Penugasan ini diberikan segera oleh Bupati/ Walikota setelah menerima permohonan izin dari pemrakarsa. 3. Instansi yang bertanggung jawab melakukan evaluasi terhadap usulan rencana kegiatan pemanfaatan air limbah pada tanah yang meliputi: a. Pengecekan kelengkapan dokumen yang dilakukan segera setelah mendapat penugasan dari Bupati/ Walikota. 1). Jika dokumen yang diajukan oleh pemrakarsa sudah lengkap (seperti yang telah disebutkan di atas), pemrakarsa akan diminta untuk mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan air limbah;

2). Jika dokumen yang diajukan kurang lengkap, pemrakarsa akan diberi waktu untuk melengkapi kekurangan dokumen. Setelah dievaluasi dan dinyatakan lengkap, pemrakarsa akan diminta untuk mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan air limbah.

b. Verifikasi teknis yang dimaksudkan adalah untuk mengetahui kelayakan teknis dari permohonan izin tersebut. Kegiatan verifikasi teknis meliputi: 1). Permintaan presentasi kepada pemrakarsa di dekat lokasi kajian pemanfaatan air limbah yang dilaksanakan setelah kelengkapan dokumen terpenuhi, dihadiri oleh Instansi yang bertanggung jawab yang ditunjuk Bupati/ Walikota dan Instansi Teknis terkait. Evaluasi presentasi meliputi kesesuaian muatan presentasi dengan materi yang ditulis dalam laporan dan atau ketentuan yang tertuang dalam persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah. Hasil evaluasi ini akan dicantumkan dalam rekomendasi;

2). Evaluasi terhadap laporan secara tertulis dan dari presentasi pemrakarsa. Evaluasi terhadap Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah meliputi:

38

2.1. Evaluasi terhadap muatan teknis Laporan Hasil Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah termasuk ketepatan teknik analisis dan teknik evaluasi data;

2.2. Evaluasi terhadap kesesuaian muatan Laporan Hasil Pengkajian Air Limbah dengan persyaratan dalam persetujuan pengkajian yang meliputi media yang harus dipantau, parameter yang harus dipantau, metode analisis, dll. 3). Kunjungan Lapangan dan Pengambilan Sampel Kunjungan lapangan ini dimaksudkan untuk mengecek kondisi lapangan dan kesesuaiannya dengan hal-hal yang tertuang dalam Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah termasuk titik pemantauan, kondisi titik pemantauan, dan sampel yang diambil. Kegiatan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui apakah ada indikasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan aplikasi serta validasi terhadap data yang dicantumkan dalam laporan. Evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kunjungan lapangan dan pengambilan sampel dilakukan segera setelah itu.

4). Penyusunan rekomendasi kepada Bupati/Walikota Rekomendasi ini disusun oleh Instansi yang sebagai hasil evaluasi terhadap permohonan izin dan merupakan laporan terhadap pelaksanaan penugasan yang diberikan oleh Bupati/Walikota. Rekomendasi Instansi yang bertanggung jawab ini digunakan sebagai bahan masukan dalam:

4.1. Penerbitan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan layak administrasi (kelengkapan dokumen dan prosedur perizinan diikuti) dan tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah; atau 4.2. Penolakan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan tidak layak administrasi dan atau ada indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Total waktu yang diperlukan untuk kegiatan verifikasi teknis adalah 21 (dua puluh satu) hari kerja

tergantung kelengkapan dokumen permohonan izin yang disampaikan oleh pemrakarsa.

c. Penerbitan atau Penolakan Izin sesuai dengan kelayakan teknis dari permohonan izin tersebut. 1). Izin diterbitkan oleh Bupati/Walikota segera setelah ada rekomendasi dari Instansi yang bertanggung jawab. Pemrosesan Permohonan Izin Pemanfaatan Air Limbah ini memerlukan total waktu kurang lebih 90 (sembilan puluh) hari kerja sampai diterbitkannya izin pelaksanaan ataupun penolakan izin. Izin diterbitkan dengan mencantumkan masa berlaku dan persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi oleh pemrakarsa dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah pada tanah, seperti: baku mutu air limbah yang dimanfaatkan, kewajiban melakukan pemantauan, melaporkan hasil pemantauannya kepada Instansi yang bertanggungjawab, dll.

2). Penolakan izin pemanfaatan air limbah pada tanah disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa segera setelah Bupati/Walikota menerima laporan rekomendasi penolakan dari instansi yang bertanggung jawab.

39

Adapun secara sistematis Prosedur Perizinan Land Application (LA) ditampilkan sebagai diagram berikut ini :

PEMRAKARSA BUPATI/WALIKOTA INSTANSI TERKAIT Permohonan Izin Surat tugas

Melengkapi dokumen

Penugasan Evaluasi Evaluasi Dokumen Melengkapi kekurangan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dokumen Dokumen tidak lengkap

Dokumen lengkap

Presentasi Merekomendasikan permintaan diadakannya presentasi Surat permintaan pengadaan presentasi Melakukan kunjungan lapangan serta verifikasi teknis dan evaluasi terhadap presentasi tersebut Tidak

Layak teknis Layak

Merekomendasikan penolakan izin Tidak dapat laksanakan LA Penerbitan Surat Penolakan Izin Melaksanakan LA Penerbitan Surat Izin Merekomendasikan Pemberian Izin Kegiatan LA Berlanjut Indikasi pencemaran Rekomendasi Meneruskan LA Pemantauan Laporan Penugasan Pengawasan Pelaksanaan LA dan Evaluasi Laporan Pemantauan Pengawasan Pelaksanaan LA dan Evaluasi Laporan Pemantauan Tidak ada

Ada

Stop Kegiatan LA Surat Pencabutan Rekomendasi Menghentikan LA 40

III. FORMULIR PERMOHONAN IZIN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Formulir permohonan izin yang harus diisi oleh pemrakarsa dan dapat mengacu pada format yang disajikan dalam tabel berikut: 1. Identitas Perusahaan 1. Nama Perusahaan : …………………………………………. 2. Alamat : …………………………………………. a. Jalan/Desa : …………………………………………. b. Kecamatan : …………………………………………. c. Kabupaten/Kota : …………………………………………. d. Pemerintah Propinsi : …………………………………………. e. Telepon : …………………………………………. f. Faximile : …………………………………………. 3. Tahun Mulai Beroperasi : …………………………………………. 4. Perizinan Yang Sudah Diperoleh a. Izin Usaha Tetap : …………………………………………. b. Dokumen Amdal : …………………………………………. c. Akte Pendirian : …………………………………………. d. Izin Lokasi : …………………………………………. e. Izin Mendirikan Bangunan : …………………………………………. 5. General Manager : …………………………………………. 6. Kontak Person : …………………………………………. a. Nama : …………………………………………. b. Jabatan : …………………………………………. c. Telepon : …………………………………………. 7. Apabila Alamat Pabrik berbeda dengan Alamat Kantor Pusat a. Alamat Kantor Pusat : …………………………………………. b. Telepon : …………………………………………. c. Faximile : …………………………………………. 2. Industri 1. Jenis Industri : …………………………………………. 2. Kapasitas Produksi : …………………………………………. 3. Penggunaan Air : ……………………….…………m3/hari 4. Air Limbah Dihasilkan : ……………………….…………m3/hari 3. Pengolahan Air Limbah (Lampiran Layout IPAL) 1. Jenis Pengolahan Limbah : …………………………………………. 2. Kapasitas Pengolahan Limbah : …………………………………………. 3. Lampiran Hasil Analisis Limbah Yang Dihasilkan 4. Karakteristik lahan 1. Jenis Tanah : …………………………………………. 2. Topografi/kontur wilayah (lampirkan peta lokasi lahan aplikasi) 3. Sifat Fisika -Kimia Tanah (lampirkan data analisis yang meliputi : pH, Kadar C Organik, KTK, Tekstur, Porositas dan Logam Berat) 4. Curah Hujan (lampirkan Data Hujan Bulanan Dari Stasiun Terdekat, 5 Tahun Terakhir) 5. Aplikasi Air Limbah (Lampirkan Peta) 1. Luas Lahan Perkebunan : ……………………………………… ha 2. Luas Lahan Aplikasi Air Limbah : ……………………………………… ha 41

3. Luas Lahan Kontrol : ……………………………………… ha 4. Tahun Mulai Aplikasi Air Limbah : …………………………………………. 5. Air Limbah Yang Diaplikasikan : ………………………………… m3/hari 6. Rotasi Pengaliran Air Limbah : ……………………………………. hari 7. Dosis Pemakaian Air Limbah : ………………………………………….

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

8. Persen Peningkatan Hasil : ……… % (lampirkan data pendukung diisi bila perkebunan telah melakukan pemanfaatan air limbah). 6. Tata Ruang 1. Lokasi pabrik, pembuangan air limbah dan penduduk (lampirkan peta) 2. Jumlah penduduk di lokasi terdekat : …………………………………………. 3. Jumlah Sumur Penduduk : …………………………………………. 4. Jarak Pemukiman terdekat lokasi : …………………………………………. 5. Kedalaman air tanah/muka air dilokasi : …………………………………………. 6. Kecenderungan arah angin : …………………………………………. 7. Sungai (badan air terdekat) : …………………………………………. 8. Jarak sungai ke lokasi : …………………………………………. 9. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai dan Sumur Terdekat 42

IV. SURAT KEPUTUSAN IZIN PELAKSANAAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH Keputusan izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah dapat mengacu pada format berikut: a. Format Surat Keputusan penetapan izin: KEPUTUSAN ………………………. NOMOR : KEP/ ……../ /TENTANG IZIN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADATANAH KEPADA PERKEBUNAN …………………….. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. Bahwa sebelum pemberian izin pembuangan air limbah pada tanah, harus dilakukan melalui pengkajian dampak air limbah terhadap kualitas tanah dan air tanah;b. Bahwa berdasarkan penilaian terhadap hasil pengkajian tentang pembuangan air limbahpada tanah yang dilakukan oleh ………… dianggap telah memenuhi syarat-syarat danketentuan-ketentuan yang diperlukan dalam pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah;c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan keputusan MenteriNegara Lingkungan Hidup tentang pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah kepada ……………………. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air danPengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, TambahanLembaran Negara Nomor 4161);3. ……………………. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERTAMA : Memberikan izin aplikasi air limbah pada tanah kepadaNama Perusahaan : Alamat : Nama Unit Usaha/Pabrik : Alamat Pabrik : Jenis Industri : Status Modal Perusahaan : Izin Usaha Industri : 1. 2. Nomor akte Pendirian Perusahaan : Penanggung Jawab Perusahaan: KEDUA : Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA wajib mentaati segalapersyaratan dan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini. KETIGA : Keputusan pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah ini berlaku ……….... terhitungsejak Keputusan ini di tetapkan KEEMPAT : Izin aplikasi air limbah sebagaimana dimaksudkan dalam Diktum KETIGA dapatdiperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjang sekurang-kurangnya 2 (dua)bulan sebelum masa berakhirnya izin tersebut kepada ……..….dengan tembusan kepada……….. dan melampirkan data hasil pengkajian kualitas dan kuantitas air limbah, kualitastanah dan air tanah. KELIMA : Pemohon harus memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Lampiran Keputusan ini KEENAM : Apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dan larangansebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, akan diberikan sangsi sesuaidengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : pada Tanggal : ttd …………………………………. Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada:1. Menteri Negara Lingkungan Hidup;2. Menteri Pertanian; 3. Menteri Perkebunan dan Kehutanan; 4. Kepala Pemerintah Propinsi Setempat. 43

b. Format Lampiran Keputusan: Lampiran : Keputusan …….Nomor : …………………… Tanggal : …………………… Kewajiban dan larangan bagi pemrakarsaI. Kewajiban:1. Batas kualitas air limbah yang keluar dari Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) sebagai berikut: 2. Seluruh air limbah yang dihasilkan dengan kualitas sebagaimana dimaksud pada butir 1 harus dapatdimanfaatkan untuk mengairi tanah perkebunan …………, afdeling …………………..., blok ...………………..,seluas …………….hektar di Kecamatan ……….., Kabupaten …………, Propinsi ……........................................ 3. Melakukan pemantauan air limbah yang keluar dari kolam ………………… (kolam/penampungan air limbahterakhir sebelum air limbah tersebut dibuang ke lahan), dengan parameter, frekuensi pemantauan danmetode analisis sebagai berikut: Parameter Frekuensi Metode Debit Harian BOD Bulanan Winkler COD Bulanan pH Harian pH meter Minyak/Lemak Bulanan Soklet Pb Bulanan AAS Cu Bulanan AAS Cd Bulanan AAS Zn Bulanan AAS 4. Air Tanah: Melakukan pemantauan terhadap air tanah pada sumur pantau di lahan aplikasi blok ………, lahan blok……………….., dengan parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut: Parameter Frekuensi Metode BOD 6 bulan sekali Winkler DO 6 bulan sekali pH 6 bulan sekali pHmeterNO3 sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik NH3-N 6 bulan sekali Colorimetrik

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cd 6 bulan sekali AAS Cu 6 bulan sekali AAS Pb 6 bulan sekali AAS Zn 6 bulan sekali AAS Cl 6 bulan sekali Titrimetrik SO4 -2 6 bulan sekali Colorimetrik 5. Tanah: Melakukan pemeriksaan kualitas tanah pada lahan aplikasi (rorak), lahan aplikasi (antar rorak), dan lahankontral masing-masing pada kedalaman 0 – 20, 20 – 40, 60 – 80, 80 – 100, 100 – 120 centimeter (6 lapisan)dengan parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut: Parameter Frekuensi Metode pH dalam air 1 tahun sekali pH Meter C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back N total 1 tahun sekali KjeldhalP-tersedia 1 tahun sekali Bray I Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4OAc pH:7 Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic absorbsion spectrophotometer Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK*100% Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet 6. Menyampaikan laporan kepada Bupati/Walikota, Kepala Pemerintah Propinsi, Menteri Negara LingkunganHidup tentang: a. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 3 setiap 1 (satu) bulan sekali. b. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 4 (empat) setiap 6 (enam) bulan sekali. c. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 5 (angka) setiap 1 (satu) tahun sekali. II. Larangan:1. Dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit, adanya air larian (run off) ke sungai atau lingkungan lainnya dilarang. 2. Pemrakarsa dilarang melakukan pengenceran air limbah yang akan dimanfaatkan. 3. Pemrakarsa dilarang membuang air limbah pada tanah di luar wilayah yang telah ditetapkan dalam keputusanini. 4. Pemrakarsa dilarang membuang limbah ke sungai bila kualitas air limbah melebihi baku mutu air limbahyang berlaku. Menteri Negara Lingkungan Hidup, 44

V. PEMANTAUAN A. Mekanisme Pemantauan Bupati/Walikota meminta kepada penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk melakukan kegiatan pemantauan segera oleh pemrakarsa atau penanggung jawab usaha setelah memperoleh Surat Keputusan Izin Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah. Hasil pemantauan tersebut wajib disampaikan kepada Bupati/ Walikota, Gubernur dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Adapun pemantauan minimal yang wajib diminta oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa adalah: 1. Air Limbah a. Lokasi pengambilan sampel Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air limbah (titik terakhir sebelum dimanfaatkan ke lahan)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

b. Frekuensi, metode dan parameter Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air limbah disajikan pada table berikut: No. Parameter Frekuensi Metode 1. Debit Harian 2. BOD Bulanan Winkler 3. COD Bulanan 4. pH Bulanan pHmeter 5. Minyak/Lemak Harian Soklet 6. Pb Bulanan AAS 7. Cu Bulanan AAS 8. Cd Bulanan AAS 9. Zn Bulanan AAS 2. Air Tanah a. Lokasi pengambilan air tanah Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol, lahan yang diaplikasi dengan air limbah pada tanah dan sumur penduduk terdekat yang lokasinya lebih rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar air limbah. b. Frekuensi, metode dan parameter Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air tanah disajikan pada table berikut: No. Parameter Frekuensi Metode 1. BOD 6 bulan sekali Winkler 2. DO 6 bulan sekali 3. pH 6 bulan sekali pHmeter 4. NO3 sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik 5. NH3-N 6 bulan sekali Colorimetrik 6. Cd 6 bulan sekali AAS 7. Cu 6 bulan sekali AAS 8. Pb 6 bulan sekali AAS 9. Zn 6 bulan sekali AAS 10. Cl 6 bulan sekali Titrimetrik 11. SO4 -2 6 bulan sekali Colorimetrik

3. Tanah a. Lokasi Tanah yang akan dianalisa adalah tanah di lahan sekitar lokasi pemanfaatan air limbah, rorak (saluran/parit yang digenangi air limbah), dan antar rorak (antara parit dan tanaman) pada enam kedalaman, yaitu: 0-20cm; 20-40cm; 40-60cm; 60-80cm; 80-100cm dan 100-120cm. Pengambilan sampel tanah di parit dilakukan setelah kerak limbah yang menumpuk dipermukaannya dibuang atau disisihkan dari parit b. Frekuensi, metode dan parameter Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel tanah disajikan pada tabel berikut: 45

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

No Parameter Frekuensi Metode 1. PH dalam air 1 tahun sekali pHmeter 2. C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back 3. N total 1 tahun sekali Kjeldhal 4. P-tersedia 1 tahun sekali Bray I 5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4Oac pH:7 6. Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic absorbsion spectrophotometer 7. Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK x 100% 8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah 9. Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet 10. Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet

c. Pengambilan Sampel: Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah yaitu sampel tanah terganggu dan sampel tanah utuh. -Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk mengukur parameter seperti pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur tertentu serta tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau lempung). Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan menggunakan bor tanah mineral, sampel tanah diambil pada setiap 20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis. Berat sampel tanah terganggu yang diambil dengan menggunakan masing-masing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik rangkap 2 (dua). Dengan diberi label yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.

- Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring sampler dan digunakan untuk mengukur bobot isi, porositas dan permeabilitas. Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masingmasing 2 (dua) sampel. Satu sampel digunakan untuk mengukur porositas dan bobot isi, sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur permeabilitas.

B. Format Laporan Bupati/Walikota meminta kepada pemrakarsa yang telah mendapat izin air limbahnya untuk berkewajiban menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah secara berkala kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada Bupati/Walikota,Gubernur dan Menteri Lingkungan Hidup. Penyusunan Laporan Pemantauan Pemanfaatan Air Limbah mengacu pada sistematika sebagai berikut: I. Umum 1. Nama dan atau nomor laboratorium : 2. Nama Perusahaan : 3. Alamat : 4. Jenis Kegiatan Usaha : 5. Lokasi Pengambilan Contoh : 6.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Petugas Pengambilan Contoh : 7. Tanggal/Jam Pengambilan Contoh : 8. Tanggal/Jam Penerimaan Contoh : 9. Nama Pengirim Contoh : 10. Instansi/Perusahaan : II. Data Industri 1. Debit limbah cair rata-rata selama bulan pemantauan : 2. Produksi/penggunaan bahan baku rata-rata selama sebulan : 3. pH pada waktu pengambilan : 4. Suhu pada waktu pengambilan : 46

III. Hasil Pengujian 1. Air limbah Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair (sesuai persyaratan dalam izin yang ditetapkan) No Parameter Kadar (mg/l) Beban (kg/ton)No No Parameter Kadar (mg/l) Beban (kg/ton) 1. BOD 1. 2. COD 2. 3. pH 3. 4. Minyak/lemak 4. 5. Pb 5. 6. Cu 6. 7. Cd 7. 8. Zn 8.

2. Air tanah Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair (permenkes) No Parameter Kadar (mg/l) Beban (kg/ton) No Parameter Kadar(mg/l) Beban (kg/ton)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. BOD 1. 2. Do 2. 3. pH 3. 4. NO3 sbg N 4. 5. NH3-N 5. 6. Cd 6. 7. Cu 7. 8. Pb 8. 9. Zn 9. 10. Cl 10. 11. SO4 -2 11.

3. Tanah Hasil Uji Laboratorium

No Parameter Kadar (mg/l) Beban (kg/ton) 1. pH dalam air 2. C-organik 3. N total 4. P-tersedia 5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 6. Kapasitas Tukar Kation 7. Kejenuhan Basa 8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 9. Tekstur (Pasir, debu, liat) 10. Minyak/lemak

IV. Kesimpulan Uraian memenuhi baku mutu atau tidak memenuhi Baku Mutu Limbah Cair Tempat, tanggal Pemrakarsa

(nama terang)

47

VI. EVALUASI PEMANTAUAN Evaluasi laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab dan ditunjuk oleh Bupati/Walikota.

Evaluasi dilaksanakan dengan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang meliputi:

1. Kondisi tanah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran pada tanah di lokasi pemanfaatan maka evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara kondisi tanah di lokasi pemanfaatan dengan kondisi tanah pada rona awal dan kondisi tanah disekitar lokasi pemanfaatan. 2. Kondisi air tanah Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran terhadap air tanah, maka evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara kondisi air tanah setempat dengan rona awalnya dan standar baku mutu air minum sesuai dengan Lampiran II. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air. 3. Kondisi kebauan Evaluasi terhadap kebauan dilakukan dengan membandingkan antara kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan dengan baku mutu tingkat kebauan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50/MENLH/11/ 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. Apabila kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan melebihi baku mutu maka hal tersebut dapat digunakan sebagai indikasi adanya pencemaran. Apabila terjadi indikasi tersebut maka instansi yang bertanggung jawab wajib meminta kepada pemrakarsa untuk memperbaiki kualitas kebauan di lokasi pemanfaatan jika pemrakarsa tidak melakukan perbaikan kualitas kebauannya maka izin pemanfaatan air limbahnya dapat dicabut. 4. Kondisi tanaman Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran dan atau kerusakan tanaman pokok akibat pencemaran maka evaluasi dilakukan dengan: a. pengamatan indikasi kondisi fisik tanaman tersebut b. melakukan pengecekan terhadap produktivitas tanaman tersebut c. melakukan uji laboratorium tanaman tersebut. 5. Kondisi air limbah yang dimanfaatkan Evaluasi dilakukan dengan membandingkan kualitas air limbah yang dimanfaatkan dengan kualitas air limbah yang dipersyaratkan dalam izin. Apabila dari hasil evaluasi tersebut menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan. Hal tersebut berarti izin dicabut dan pemrakarsa harus melakukan pemulihan kualitas lingkungan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan ini sesuai aslinya Dpeuti MENLH Bidang Kebijakan dan Kelambagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

48

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 37 TAHUN 2003

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

TENTANG

METODAANALISISKUALITASAIRPERMUKAANDANPENGAMBILANCONTOHAIR PERMUKAAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diperlukan pemantauan kualitas air dengan menggunakan suatu metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air permukaan;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Contoh Air Permukaan Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara; Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG METODA ANALISIS KUALITAS AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR PERMUKAAN.

Pasal 1 Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.

Pasal 2

(1) Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. (2) Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan SNI dengan nomor kelompok 13.060.10. Pasal 3 Apabila metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air permukaan untuk parameter tertentu belum ditetapkan dalam SNI maka dilakukan dengan Metoda Standard ( Standard Methods) yang diterbitkan oleh

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (American Public Health Association) yang terbaru.

Pasal 4 Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Maret 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH Bidang Kebijakan Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd.

Hoetomo, MPA.

49

Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 37 Tahun 2003 Tanggal : 28 Maret 2003

Kelompok Parameter yang diukur Rentang Satuan TeknikPengujianSpesifikasiMetodaPengujianKimiaAnorganik Aluminium2-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-4163-1996 0,02-1,0 mg/L SpektrofotometridenganaluminonSNI 19-1418-1989 Aluminiumterlarut20-300 mg/L SpektrofotometridenganEriokromsianin-RSNI 06-4160-1996 Amonium5-60/50 mg/LKolometridenganNesslerSNI 19-1655-1989 mg/L SpektrofotometridenganNesslerSNI 06-2479-1991 Arsen0,005-0,1 mg/L SpektrofotometridenganPDDKdalampiridinSNI 06-2463-1991 5-100 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2909-1992 1-20 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengannatriumborohidridaSNI 06-2913-1992 0,005-0,25 mg/L KolorimetridenganperakdietilditiokarbamatSNI 19-2601-1992 Barium1-20 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2467-1991 50-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2468-1991 Besi0,02-4,0 mg/L KolorimetridenganPenantrolinSNI 06-1127-1989 0,3-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2523-1991 5-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2524-1991 5-100 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2525-1991 Besiterlarut0,2-4,0 mg/L SpektrotometeridenganpenantrolinSNI 06-4138-1996 Boron0,1-10 mg/L SpektrofotometridengancurcuminSNI 06-2481-1991 Fluorida0-2,5 mg/L KolorimetridenganalazarinSNI 19-1503-1989 Fluorida0-2,5 mg/LSpektrofotometridenganalazarinmerahSNI 06-2482-1991 Fosfatdalamsedimenmelayangmg/L SpektrofotometridenganamoniummolibdatSNI 03-4151-1996

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ortofosfatdanfosfattotal0,01-1,0 mg/L SpektrofotometridenganasamaskorbatSNI 06-2483-1991 Kadmium1,5-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2464-1991 5-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2465-1991 0,05-2,0 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2466-1991 0,001-0,01 mg/L KolorimetrisecaradenganDitizonSNI 06-1130-1989 Kalium0,5 -2 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2427-1991 Kalsium100-1000 mg/L Titrimetridengan EDTASNI 06-2429-1991 0,02-2,00 mg/LSpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2911-1992 Karbondioksidaagresifmg/LTitrimetriSNI 06-4139-1996 Karbonorganiktotalmg/LSpektrofotometrisecaraNDIRSNI 06-2505-1991 KebutuhanOksigenBiokimiawi(BOD)mg/L Inkubasipadatemperatur200 C,5hari SNI 06-2503-1991 KebutuhanOksigenKimiawi(COD)5-50 mg/L ReflukssecaratertutupSNI 06-2504-1991 KesadahanTotal1,0-300 mg/LCaCO3 TitrimetridenganEDTASNI 06-4161-1996 Khlorida(Cl-)3-200 mg/L TitrimetrisecaraArgentometriSNI 06-2431-1991 Klorinbebas0,011-4,0 mg/L SpektrofotometridengandietilfenilindiaminSNI 06-4824-1998 Kobal0,5-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2471-1991 5-100 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2472-1991 50-1000 mg/LSpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2473-1991 KonduktivitasListrikmg/L KonduktometriSNI 06-2413-1991 Krom 0,01-0,1 mg/L KolorimetridenganDifenilKarbazidSNI 06-1132-1989 0,2-10 mg/L Spektrofotometriserapanatomsecaralangsung SNI 06-2511-1991

Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan

50

Kelompok Parameter yang diukur Rentang Satuan KimiaAnorganik 0,005-0,2 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2512-1991 5-100 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2513-1991 Magnesium100-1000 mg/LTitrimetrikdenganEDTASNI 06-2430-1991 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2910-1992 Mangan0,05-1,5 mg/L KolorimetridenganPersulfatSNI 06-1133-1989 0,05-2 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2497-1991 5-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2498-1991 0,5-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2499-1991 0,042-15 mg/L Spektrofotometridengan persulfatSNI 06-4822-1998 Merkuri(AirRaksa)0,6-15 mg/L Spektrofotometrisecaraatomisasidingin(coldvapour)SNI 06-2462-1991 0,2-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraatomisasidinginSNI19-1420-1989 0,1-10,0 mg/L SpektrofotometriserapanatomdenganMercuryAnalyzerSNI 06-2912-1992 Nikel0,3-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2520-1991 5-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2521-1991 5-100 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2522-1991 0,01-5,0 mg/L SpektrofotometridengandimetilglioksimSNI 19-1419-1989 Nitrat(NO3-N) 0,1-2,0 mg/L SpektrofotometridenganbrusinsulfatSNI 06-2480-1991 1-50 mg/L KolorimetridenganbrucinSNI19-1661-1989 Nitrit0,001-0,5 mg/L SpektrofotometridenganasamsulfanilatSNI 06-2484-1991 0,005-0,1 mg/LKolorimetrisecaradiazotasiSNI 19-1662-1989 Nitrogentotalsedimenlayangmg/LTitrimetri,destilasiKjeldahlSNI 03-4146-1996 Oksigenterlarutmg/LTitrimetriSNI 06-2424-1991 mg/LElektrokimiaSNI 06-2425-1991 Permanganatmg/LTitrimetriSNI 06-2506-1991

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Perakmg/L KalorimetridenganDitizonSNI 19-1668-1989 1-25 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-4162-1996 PH1-14 SatuanpHElektrometriSNI 06-1140-1989 Poliklorobifenil(PCB)mg/L Kromotografigas(GC)secaraekstraksiSNI 06-4569-1998 Selenium0,005-0,1 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2475-1991 Seng0,001-0,005 mg/L KalorimetridenganDitizonSNI 06-1137-1989 0,005-2 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2500-1991 0,5-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaratungkukarbonSNI 06-2501-1991 50-200 mg/LSpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2507-1991 Sianidamg/L TitrimetridankolorimetriSNI 19-1504-1989 0,05-10 mg/L IonselektifmeterSNI 06-2474-1991 Silika1-50 mg/L SpektrofotometridenganmolibdatsilikatSNI 06-2477-1991 Sulfat1-40 mg/L TurbidimetriSNI 06-2426-1991 Sulfida0,02-20 mg/LKolorimetridenganparaAminodimetilAnilinSNI 19-1664-1989 mg/L IonselektifmeterSNI 06-2470-1991 Sulfit >3 mg/L TitrimetriSNI 06-3415-1994 20-500 mg/L Spektrofotometri SNI 06-3971-1995

51

52

Kelompok Parameter yang diukur Rentang Satuan Tembaga0,2-10 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2514-1991 5-200 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2515-1991 5-100 mg/L Spektrofotometriserapanatomdengan tungkukarbonSNI 06-2516-1991 0,02-0,5 mg/L KolorimetrisecaraBatokuproinSNI 19-1421-1989 Timah20-300 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-4823-1998 Timbal0,002-0,015 g/L KolorimetrisecaraDitizonSNI 06-1138-1989 1-20 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaralangsungSNI 06-2517-1991 0,005-0,2 mg/L SpektrofotometriserapanatomsecaraekstraksiSNI 06-2518-1991 0,005-0,1 mg/L SpektrofotometriserapanatomdengantungkukarbonSNI 06-2519-1991 MikrobiologiKoliTinja20-60koloni/100mL Jml/100mLSaringanmembranSNI 19-3956-1995 Jml/100mLTabungfermentasiSNI 19-3957-1995 KoliTotalJml/100mLTabungfermentasiSNI 06-4158-1996 KlorofilAFitoplanktonmg/m3SpektrofotometriSNI 06-4157-1996 Plankton(jenisdanjumlah)Jml/mLSelhitungSedwick-RafterSNI 06-3963-1994 KualitasFisikaAir Residuterlarut(TDS)mg/LGravimetriSNI 06-1136-1989 Residutersuspensi(TSS)mg/LGravimetriSNI 06-1135-1989 TemperaturoCTermometriSNI 06-2413-1991 TubiditasNTU NephelometriSNI 06-2413-1991 Warna1-500 TCU(mg/LPtCo)VisualatauspektrofotometriSNI 06-2413-1991 Kimia Oragnik Detergen0,01-2 mg/L SpektrofotometridenganbirumetilenaSNI 06-2476-1991 Fenol5-100 mg/L Spektrofotometridengan4aminoantipirinSNI 19-1656-1989 0,005-0,1 mg/L SpektrofotometridenganaminoantipirinSNI 06-2469-1991 PestisidaFosfat organik0,1-10 ng/LKromatografiGas(GC)SNI 06-2510-1991 KarbonKloroformEkstrakmg/LGravimetriSNI 06-4159-1996 MinyakdanLemakmg/L EkstraksidenganpetroleumeterSNI 19-1660-1989 1-50 mg/L GravimetriSNI 06-2502-1991 Nitrogenorganik0,02-5 mg/L SpektrofotometridenganmakroKjeldahlSNI 06-2478-1991 KarbonOrganikTotal(TOC)1-150 mg/L SpektrofotometridenganNDIRSNI 06-4568-1998

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pestisidaklororganik10-100 ng/L Kromatografigas(GC)SNI 06-2508-1991 Pestisidakarbamat 0,1-10 ng/L Kromatografigas(GC) SNI 06-2509-1991

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA,MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinyaDeputi MENLH Bidang KebijakanDan Kelembagaan Lingkungan Hiup,

Hoetomo,MPA.

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 110 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN PENETAPAN DAYATAMPUNG BEBAN PENCEMARANAIR PADASUMBERAIR

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu menetapkanKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung BebanPencemaran Air Pada Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraTahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan KewenanganProvinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan LembaranNegara Nomor 3952); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan PengendalianPencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor4161);5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas KeputusanPresiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, SusunanOrganisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNGBEBANPENCEMARANAIR PADA SUMBERAIR.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

a. Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukanbeban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar; b. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah; c. Metoda Neraca Massa adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran air dengan menggunakanperhitungan neraca massa komponen-komponen sumber pencemaran; d. Metoda Streeter-Phelps adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber airdengan menggunakan model matematik yang dikembangkan oleh Streeter-Phelps; Pasal 2

(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air. (2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkanberdasarkan debit minimal pada tahun yang bersangkutan atau tahun sebelumnya.(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), digunakan metoda perhitungan yang telah teruji secara ilmiah, yaitu :a. Metoda Neraca Massa;b. Metoda Streeter-Phelps. Pasal 3

(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air dengan metoda neracamassa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada sumber air dengan metodaStreeter-Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II. Pasal 4

(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuandan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakanmetoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yangbertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakartapada tanggal : 27 Juni 2003Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinyaDeputi I MENLH Bidang Kebijakandan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

53

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 110 Tahun 2003 Tanggal : 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air Metoda Neraca Massa

I. Pendahuluan Penentuan daya tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan menggunakan metoda neraca massa. Model matematika yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi rata-rata aliran hilir (down stream) yang berasal dari sumber pencemar point sources dan non point sources, perhitungan ini dapat pula dipakai untuk menentukan persentase perubahan laju alir atau beban polutan. Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan CR = S CiQi = S Mi S Qi S Qi

dimana CR : konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabungan Ci : konsentrasi konstituen pada aliran ke-i Qi : laju alir aliran ke-i Mi : massa konstituen pada aliran ke-i Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan untuk komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 – N, hanyalah merupakan pendekatan saja.

II. Prosedur penggunaan Untuk menentukan beban daya tampung dengan menggunakan metoda neraca massa, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : 1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber pencemar; 2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber pencemar; 3. Tentukan konsentrasi rata-rata pada aliran akhir setelah aliran bercampur dengan sumber pencemar dengan perhitungan : CR = S CiQi = S Mi S Qi S Qi

III. Contoh Perhitungan Untuk lebih jelasnya, maka diberikan contoh perhitungan penggunaan Metoda Neraca Massa berikut ini.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Suatu aliran sungai mengalir dari titik 1 menuju titik 4. Diantara dua titik tersebut terdapat dua aliran lain yang masuk ke aliran sungai utama, masing-masing disebut sebagai aliran 2 dan 3. Apabila diketahui data-data pada aliran 1, 2 dan 3, maka ingin dihitung keadaan di aliran 4. Profil aliran sungai : Q1 CBOD.1

2 Q3 CDO.1

CBOD.3

CCI.1

CDO.3

4

CDO.1

CCI.3 CDO.3 Q2 CBOD.2

Q4 CDO.2

CBOD.4 CCl.2

CDO.4

1 3

CDO.2

CC1.4 CDO.4

54

Keterangan :

1. Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar 2. Aliran sumber pencemar A 3.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Aliran sumber pencemar B 4. Aliran sungai setelah bercampur dengan sumber-sumber pencemar. Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini : Tabel 1.1 Data analisis dan debit

Aliran Laju Alir m/dtk DO mg/L COD mg/L BOD mg/L C1mg/L 1 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16 2 0,59 3,8 16,5 7,4 0,08 3 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04

Dengan menggunakan data-data di atas maka dapat dihitung DO pada titik 4, sebagai berikut : Konsentrasi rata-rata DO pada titik 4 adalah

(5,7X2,01) + (3,8X0,59) + (3,4X0,73)

=

CR,DO 2,01 + 0,59 + 0,73

= 4,86 mg/L

Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara perhitungan yang sama seperti di atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1 maka akan seperti yang disajikan pada Tabel 1.2

Tabel 1.2 Data analisis dan debit Aliran Laju alir

Aliran Laju Alir m/dtk DO mg/L COD mg/L BOD mg/L C1mg/L 1. 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16 2. 0,59 3,8 16,5 7,4 0,08 3. 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04 4. 3,33 4,86 18,94 8,87 0,12

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BM X -4 25 3 600

BM X -Baku mutu perairan, untuk Golongan/Kelas X

Apabila aliran pada titik 4 mempunyai baku mutu BM X, maka titik 4 tidak memenuhi baku mutu perairan untuk BOD, sehingga titik 4 tidak mempunyai daya tampung lagi untuk parameter BOD. Akan tetapi bila terdapat aliran lain (misalnya aliran 5) yang memasuki di antara titik 1 dan 4, dan aliran limbah masuk tersebut cukup tinggi mengandung C1-dan tidak mengandung BOD, maka aliran 5 masih dapat diperkenankan untuk masuk ke aliran termaksud. Hal tersebut tentu perlu dihitung kembali, sehingga dipastikan bahwa pada titik 4 kandungan C1 lebih rendah dari 600 mg/L.

55

Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor : 110 Tahun 2003 Tanggal : 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air Metoda Streeter – Phelps

I. Pendahuluan Pemodelan kualitas air sungai mengalami perkembangan yang berarti sejak diperkenalkannya perangkat lunak DOSAG1 pada tahun 1970. Prinsip dasar dari pemodelan tersebut adalah penerapan neraca massa pada sungai dengan asumsi dimensi 1 dan kondisi tunak. Pertimbangan yang dipakai pada pemodelan tersebut adalah kebutuhan oksigen pada kehidupan air tersebut (BOD) untuk mengukur terjadinya pencemaran di badan air. Pemodelan sungai diperkenalkan oleh Streeter dan Phelps pada tahun 1925 menggunakan persamaan kurva penurunan oksigen (oxygen sag curve) di mana metoda pengelolaan kualitas air ditentukan atas dasar defisit oksigen kritik Dc.

II. Deskripsi Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran sungai. Proses Pengurangan Oksigen (Deoksigenasi) Streeter – Phelps menyatakan bahwa laju oksidasi biokimiawi senyawa organik ditentukan oleh konsentrasi senyawa organik sisa (residual). dL/dt = -K’.L…………..………………………………………………………………..(2-1) dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)

t : waktu (hari) K’ : konstanta reaksi orde satu (hari-1) Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan sebagai BOD ultimate dan Lt adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1) dinyatakan sebagai

dL/dt = -K’.L………...………………………………………………………………….(2-2) Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah : Lt = Lo.e (K’.t) ....................................................................................................................(2-3) Penentuan K’ dapat dilakukan dengan :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) metoda selisih logaritmatik, (2) metoda moment (metoda Moore dkk), dan (3) metode Thomas. Laju deoksigenasi akibat senyawa organik dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

rD = -K’L............................................................................................................................(2-4)

dengan K’ : konstanta laju reaksi orde pertama, hari -1

L : BOD ultimat pada titik yang diminta, mg/L Jika L diganti dengan Loe-K’t , persamaan 2-4 menjadi rD.=-K’Loe -K’.t....................................................................................................................(2-5)

dengan : Lo : BOD ultimat pada titik discharge (setelah pencampuran), mg/L

Proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) Kandungan oksigen di dalam air akan menerima tambahan akibat turbulensi sehingga berlangsung perpindahan oksigen dari udara ke air dan proses ini adalah proses reaerasi. Peralihan oksigen ini dinyatakan oleh persamaan laju reaerasi :

rR = K`2 (Cs – C) ………………………………………………………………………...(2-6)

dengan K`2 : konstanta reaerasi, hari-1 (basis bilangan natural) Cs : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, mg/L

C : konsentrasi oksigen terlarut, mg/L Konstanta reaerasi dapat diperkirakan dengan menentukan karakteristik aliran dan menggunakan salah satu persamaan empirik. Persamaan O’Conner dan Dobbins adalah persamaan yang umum digunakan untuk menghitung konstanta reaerasi (K’2).

K’2 = 294 (DL U)1/2 ........................................................................................................(2-7) H 3/2

56

dengan DL : koefisien difusi molekular untuk oksigen, m 2/hari

U : kecepatan aliran rata-rata, m/detik H : kedalaman aliran rata-rata, m Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan persamaan :

DLT = 1.760 x 10-4 m2/d x 1.037 T-20.................................................................................(2-8)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dengan DLT : koefisien difusi molekular oksigen pada temperatur T, m2 /hari 1.760 x 10-4 : koefisien difusi molekular oksigen pada 20 0C

T : temperatur, oC Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary District of Chicago untuk berbagai macam badan air (tabel 2-1). Table 2-1 Konstanta Reaerasi

Water Body K2 at20OC (base e)a Small ponds and backwaters 0.10-0.23 Sluggish streams and large lake 0.23-0.35 Large streams of low velocity 0.35-0.46 Large streams of normal velocity 0.46-0.69 Swift streams 0.69-1.15 Rapid and waterfalls >1.15 Kurva Penurunan Oksigen (Oxygen sag curve)

Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai sumbu tegak dan waktu atau jarak sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan reaerasi adalah kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva penurunan oksigen (oxygen sag curve). Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik buangan, maka konsentrasi konstituen pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah

Qr Cr + Qw Cw ................................................................(2-9)

Co =

Qr + Qw

dengan : Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah pencampuran, mg/L Qr = laju alir sungai, m3/detik Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran, mg/L Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L

Perubahan kadar oksigen di dalam sungai dapat dimodelkan dengan mengasuksikan sungai sebagai reaktor alir sumbat. Neraca massa oksigen : Akumulasi = aliran masuk – aliran keluar + deoksigenasi + reoksigenasi

CdV = QC-Q(C+ Cdx) + rD dV + rR dV............................... (2-10) tx Subsitusi rD dan rR, maka persamaan 2-10 menjadi

CdV = QC-Q(C+ Cdx) - K’L dV + K2 (Cs-C) dV ............... (2-11) 1)1)tx Jika disasumsikan keadaan tunak, C/ t = 0 maka

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

0=-Q dCdx-K’L dV + K12(Cs-C) dV ...................................... (2-12)

dx

Substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi

dC = -K’L + K2 (Cs-C) ......................................................... (2-13) dt

57

Jika defisit oksigen D, didefinisikan sebagai D= (Cs-C) …………………………………………………………………………….. (2-14) Kemudian perubahan defisit terhadap waktu adalah dD = -dC ..................................................................................................... (2-15)

dt Dt maka persamaan 2-13 menjadi dD = K’L + K’ 2 D ......................................................................................... (2-16)

dt Substitusi L dD +K’2D=K1Loe-k1t ...................................................................................... (2-17)

dt jika pada t=0, D-Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi

Dt = KiLo (e-k1t -e -k1 2 t) + Do e -kt1 ........................................................ (2-18) K’2-K’

Dengan : Dt = defisit oksigen pada waktu t, mg/L Do= defisit oksigen awal pada titik buangan pada waktu t=o, mg/L

Persamaan 2-18 merupakan persamaan Streeter-Phelps oxygen-sag yang biasa digunakan pada analisis sungai. Gambar kurva oxygen-sag ditunjukkan pada gambar 2-1 berikut ini.

Gambar 2-1 Kurva karakteristik oxygen–sag berdasarkan persamaan Streeter – phelps

Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO terendah yang dicapai akibat beban yang diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka

Dc =K’ Lo e -k’tc ............................................................................................ (2-19) K’2

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik. Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/L Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka

tc = 1 1n[K’2 [ D0(K’2-K’)]] ................................................................................(2-20)

K’2-K’

K’ K’Lo

58

Xc = tc v .............................................................................................................................................. (2-21)

Dengan v = kecepatan aliran sungai

Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan defisit DO yang paling rendah (kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak (posisi, xC) kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.

Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan. Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :

K’ K’2

logLa = log Dall +[1+ [1-Do ]0,418 ]log K’2-K’ Dall K’ ................................................ (2-22)

Dengan : Dall : Defisit DO yang diizinkan, mg/L = DO jenuh - DO baku mutu

III. Prosedur Penggunaan Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu menentukan apakah beban yang diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan persamaan 2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu menentukan beban BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini diperlukan persamaan 2.22. Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K’ dan K`2 dan data BOD ultimat. Penentuan K’ dapat menggunakan berbagai metoda yang tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan metoda Thomas, yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan persamaan empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang disajikan pada Tabel 2.1

Perlu dicatat bahwa harga K’, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan yang banyak digunakan untuk memperhatikan fungsi temperatur adalah :

K’T = K’20 (1,047) T-20 …………....……………………………….……………………...(2.23)

K’2T = K’2 (20)(1,016) T-20 ……………………………………..……………………… . (2.24)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dengan T = temperatur air, OC dan K’20, K’2 (20) menyatakan harga masing-masing pada temperatur 20 OC.

Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD 5 20, yaitu BOD yang ditentukan pada temperatur 20 0C selama 5 hari dengan menggunakan persamaan berikut :

La = BOD5 20 /(1-e -5.K’) ………………………………………………..………………(2.25)

Dengan K’ menyatakan laju deoksigenasi dan 5 menyatakan hari lamanya penentuan BOD.

1. Tentukan laju deoksigenasi (K’) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K’ pada intinya adalah menggunakan persamaan 2.3. Kemudian diperlukan serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif rumitnya penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan Eddy untuk penentuan harga K’ tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K’ (basis logaritmit, 20 0C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari1. Pada intinya pengukuran K’ melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan panjang hari pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi untuk mendapatkan nilai K’. Berikut ini contoh yang diambil dari Metcalf dan Eddy :

T,hari 2 4 6 8 10 Y,mg/L 11 18 22 24 26 (t/y)1/3 0,57 0,61 0,65 0,69 0,727

Dengan t menyatakan waktu pengamatan dan y nilai BOD (exerted) Metoda Thomas adalah mengalurkan (t/y)1/3 terhadap t sesuai dengan persamaan berikut :

(t/y)1/3= (2,3 K’ La)-1/3 + (K’)-2/3(t)/(3,43 La)1/3 …..………………………………(2.26)

K’ adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La menyatakan BOD ultimat.

59

Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K’ dan La dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K’ = 0,228 hari -1 dan La = 29,4 mg/L. Berhubung nilai K’ didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0 C, maka nilai K’ yang diperoleh adalah data untuk temperatur yang sama.

2. Tentukan laju aerasi (K’2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau data pada Tabel 3.1 3. Tentukan waktu kritik dengan persamaan 2.20 : tc = 1 1n[K’2[1-D0(K’2-K’)]].........................................(2-20) K’2-K’

K’ K’Lo

Dimana : Do = defisit oksigen pada saat t=0 Lo = BOD ultimat pada saat t = 0

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

4. Tentukan defisit oksigen kritik dengan persamaan 2.19 : Lo e-k’tc C

Dc = K’ K’2

5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD maksimum yang diizinkan dengan menggunakan persamaan 2.22. IV. Contoh Perhitungan Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu sumber pencemar yang tentu (point source) :

1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000m m 3/hari (1,33 m3/detik) dibuang ke aliran sungai yang mempunyai debit minimum 8,5 m 3/detik. 2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0C. 3. BOD5 20 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air limbah tidak mengandung DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah. 4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K’ pada temparatur 20 0C adalah 0,3 hari-1 5. Nilai K’2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 20 0C adalah 0,7 hari-1. Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :

1. Harga Dc, tc dan Xc, 2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD5 20 maksimum pada air limbah yang masih diperbolehkan masuk ke sungai tersebut. Langkah-langkah penyesuaian :

1. Tentukan temperatur, DO dan BOD setelah pencampuran : a. Temperatur campuran = [(1,33)(35) + (8,5)(23)]/(1,33+8,5) = 24,6 OC. b. DO campuran = [(1,33)(0) + (8,5)(6)]/(1,33 + 8,5) = 5,2 mg/L c. BOD campuran =[(1,33)(200)+(8,5)(2)]/(1,33+8,5)=28,8 mg/L d. Lo campuran = 28,8/[-e(0,3)(5)] = 37,1 mg/L (pers. 2.25) 2. Tentukan defisit DO setelah pencampuran. Tentukan dahulu DO jenuh pada temperatur campuran dengan menggunakan tabel kejenuhah oksigen. Dari tabel diperoleh nilai DO jenuh = 8,45 mg/L Defisit DO pada keadaan awal (Do) = 8,45 – 5,2 = 3,25 mg/L 3. Koreksi laju reaksi terhadap temperatur 24,6 OC a. K’ = 0,3 (1,047)24,6-20 = 0,37 hari-1 b. K`2 = 0,7 (1,0,16) 24,6-20 =0,75 hari-1 4. Tentukan tc dan Xc dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21. a.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tc = {1/(0,75-0,37)} 1n [0,75)/(0,37) {1-3,25(0,75-0,37)/(0,37) (3,71)}] =161 hari -1 b. Xc = (1,61)(3,2)(24) = 123,6 km 5. Tentukan Dc dengan menggunakan persamaan 2.19 a. Dc = (0,37)/(0,75) [37,1e(-0,37)(1,61)]= 10,08 mg/L b. Konsentrasi DO pada tc = 8,45 – 10,08 = -1,63 mg/L. Karena nilai DO negatif, hal ini berarti sungai tidak mempunyai DO lagi pada jarak 123,6 km (Xc) dari titik pencampuran. 6. Tentukan beban BOD maksimum pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/L. a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 – 2 = 6,45 mg/L b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum: log La = log 6,45 + [1+ {0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log (0,75)/(0,37) La = 21,85 mg/L 60

c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 – e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan: 16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5) 1,33 X = 166,81 – 17 = 149,81 X = 112,6 mg/L

Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/L Catatan :

1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar DO air sungai tidak kurang dari 2 mg/L. 2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber pencemar yang tentu (point source). 61

Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor : 110 Tahun 2003 Tanggal : 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air. Metoda QUAL2E

I. Pendahuluan QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif dan yang paling banyak

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

digunakan saat ini. QUAL2E dikembangkan oleh US Environmental Protecion Agency. Tujuan penggunaan suatu pemodelan adalah menyederhanakan suatu kejadian agar dapat diketahui kelakuan kejadian tersebut. Pada QUAL2E ini dapat diketahui kondisi sepanjang sungai (DO dan BOD), dengan begitu dapat dilakukan tindakan selanjutnya seperti industri yang ada disepanjang sungai hanya diperbolehkan membuang limbahnya pada beban tertentu. Manfaat yang dapat diambil dari pemodelan QUAL2E adalah :

1. mengetahui karakteristik sungai yang akan dimodelkan dengan membandingkan data yang telah diambil langsung dari sungai tersebut. 2. mengetahui kelakuan aliran sepanjang sungai bila terdapat penambahan beban dari sumber-sumber pencemar baik yang tidak terdeteksi maupun yang terdeteksi, 3. dapat memperkirakan pada beban berapa limbah suatu industri dapat dibuang ke sungai tersebut agar tidak membahayakan makhluk lainnya sesuai baku mutu minimum. II. Deskripsi Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif. Program ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter konstituen dengan mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini dapat juga digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan menitikberatkan pada mekanisme perpindahan secara adveksi dan disperse searah dengan arus. Selain melakukan simulasi perhitungan neraca oksigen, seperti yang telah dijelaskan di atas, program QUAL2E dapat mensimulasikan neraca nitrogen dan fosfor. Gambar 3.1. berikut ini dapat menggambarkan hubungan antar konstituen dengan menggunakan program simulasi QUAL2E. Gambar 3.1 Interaksi antar konstituen utama dalam QUAL2E

Keterangan: a1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A a2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A a3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A a4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A a5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N a6 = Laju pengambilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N s1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari s2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari s3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari

62

s4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1 s5 = Laju pengendapan fosfor, hari-1 µ = Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari-1 ñ = Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1 K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari-1 K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day-1 K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day-1 K4 = Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft2-hari a1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari-1 a2 = Koefisien laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari-1 a3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari-1

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a4 = Laju fosfor yang hilang, hari-1

Pemodelan untuk Oksigen Terlarut (DO) dengan menggunakan QUAL2E

Persamaan untuk penentuan laju perubahan DO :

dO

= K(O*-O)+(am -ar)A -KL -K4 -abN-abN....................(3-1)

2341611 622

dt d

dengan O : konsentrasi oksigen terlarut (mg/L) O* : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, pada P dan T setempat (mg/L)

A : konsentrasi biomassa dari alga [mg-A/l] L : konsentrasi dari senyawa karbon BOD [mg/L] d : kedalaman aliran rata-rata [ft] N1 : konsentrasi amonia dalam bentuk nitrogen [mg/L] N2 : konsentrasi nitrit dalam bentuk nitrogen [mg/L] Persamaan untuk penentuan konsentrasi oksigen terlarut jenuh : lnO* = -139.344410 + (1.575701x105/T) -(6.642308x107/T2) + (1.2438/1010/T3) – (8.6219494x1011/T4) …………………………………………………………………..(3-2)

dengan O * : konsentrasi oksigen jenuh, pada l atm (mg/L)

T : temperatur (K) = (0C + 273.15) dan OC pada rentang 0-40 OC Metoda penentuan laju reaerasi (K2) 1. K2 = 0,05 untuk permukaan sungai yang tertutup es, K2 = 1 untuk permukaan sungai yang tak tertutup es. 2. Harga K2 pada temperatur 20 0 C (Churcill dkk. (1962)) : K220 = 5.026.u 0.969 .d -1.673 x 2.31 Dengan u = kecepatan rata-rata pada aliran (ft/detik) d = kedalaman rata-rata pada aliran (ft) K2= koefisien reaerasi

3. O’Connor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen 3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik (Dm.u)0.5 K220 = ............................................................................................(3-3)

dt.5

3.2 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik 05.So0.25

4800DmK220 =

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

x 2.31 ............................................................................ (3-4)

d1.25

Dengan So : derajat kemiringan sungai sepanjang aliran (ft/ft) Dm : koefisien difusi molekul (ft2/day) Dm : 1.91 x 103 (1.037) T-20

4. Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan batasan kedalaman 0.4 – 11.0 ft dan kecepatan dari 0,1 – 5 ft/detik. 63

9.4 ( u.0.67) K220 = x 2.31 ....................................................................(3-5) d1.85

5. Thacktor dan krenkel (1966) u* K220 = 10.8 ( 1+ F0.5) x 2.31 ......................................................... (3-6) d u* F=

........................................................................................ (3-7)

n g.d

n n

u* = d.Se.g= U.n g 1.49d1.167 .................................................................................(3-8)

dengan F = bilangan Froude g = percepatan gravitasi (ft/sec2) Se = Sudut dari perbedaan ketinggian N = koefisien untuk gesekan

6. Langbien dan Durun (1967) u

K220 = 3.3 ( ) x 2.31 .......................................................................................................(3-9) d1.33

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

7. Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada bagian hidraulik akan dikorelasikan: K2 = aQb …………………………………………………………………………..(3-10)

dengan a : koefisien untuk laju alir untuk K2

Q : laju alir (ft3/detik) b: eksponen untuk laju alir K2 8. Tsivoglou dan Wallace (1972) K2 dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian sepanjang aliran dan waktu yang diperlukan sepanjang aliran tersebut. Dh K220 =c Dh = (3600x24) c.Se.u ..............................................(3-11) tr

u2 . n2 Se = ................................................................................... (3-12) (1.49)2d4/3

Harga C (koefisien kehilangan DO tiap ft sungai)dibatasi oleh laju alir

• Untuk laju air 1 – 5 ft3/detik harga c = 0.054ft-1 (20 OC) • Untuk laju alir 15 – 3000 ft3/detik harga c = 0.110 ft-1 (20 OC) III. Prosedur Penggunaan Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat di download di internet pada website : 1. http://www.epa.gov/docs/QUAL2E WINDOWS/index.html, atau 2. http://www.gky.com/_downloads/qual2eu.htm Sedangkan tahap-tahap penggunaan QUAL2E untuk simulasi DO sepanjang aliran sungai adalah sebagai berikut : 1. QUAL2E simulasi 1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan 1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan dinamik 1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI 1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi 1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat 64

2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta 2.1 Nomor aliran 2.2 Nama aliran 2.3 Titik awal sungai 2.4 Titik akhir sungai 2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak ? 2.6

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Selang sungai yang akan dimodelkan 3. Simulasi kualitas yang diinginkan 3.1 Terdapat pilihan temperature, BOD, Algae, Fosfor, Nitrogen, DO 3.2 BOD dengan data koefisien konversi BOD untuk konsentrasi BOD 4. Data iklim dan geografi yang akan dimasukkan 4.1 Letak sungai data bujur dan lintangnya 4.2 Sudut yang dibentuk sungai dari awal hingga titik akhir sungai tersebut untuk menentukan bila menggunakan koefisiens reaerasi (K2) pilihan 4 4.3 Ketinggian sungai yang terukur dari awal hingga akhir untuk K2 pilihan 5 5. Membuat beberapa titik untuk pembatasan dengan mengambil sample harga DO baik min, average, dan max 6. Konversi temperature terhadap 6.1 BOD untuk Decay dan Settling 6.2 DO untuk reaerasi dan SOD 7. Data hydraulik sungai dengan kebutuhan : 7.1 Persamaan untuk kecepatan u = a.Qb maka diperlukan data kecepatan pada beberapa titik di sungai dengan laju air volumetrik untuk mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap koefisien reaerasi (K2) khususnya pilihan 2, 3 , 4, 5 , 6, 8 7.2 Persamaan untuk kedalaman d = c.Qd maka diperlukan data kedalaman sungai pada beberapa titik dengan laju alir volumetrik untuk mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap pilihan K2 yang sebagian besar merupakan persamaan empiris. 7.3 Manning Factor dengan data dapat dilihat pada manual. 8. Data konstanta reaerasi 8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari) 8.2 SOD rate (g/m2-day) 8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat metoda penentuan laju konstanta reareasi K2) 8.4 Bila persamaan yang digunakan K2 pilihan 7 untuk persamaan K2 = e.Qf disediakan data untuk data yang dimasukkan K2 dengan harga e serta f 9. Kondisi awal dengan data yang dimasukkan temperatur, DO, BOD. 10. Kenaikan laju air sepanjang sungai dengan data yang dimasukkan laju alir (m 3/s), temperatur (0C), DO, BOD. 11. Data-data untuk aliran awal yang diperlukan laju alir (m 3/s), temperatur (0C), DO, BOD. 12. Harga-harga untuk kondisi iklim global sesuai letak bujur dan lintang dengan data yang diperlukan 12.1 Waktu (jam, hari, bulan, tahun) 12.2 Temperatur bola basah dan kering (K) 12.3 Tekanan (mbar) 12.4 Kecepatan angin 12.5 Derajat sinar matahari (Langley, hr) dan kecerahan sungai. Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Nabiel Makarim, MPA,MSM

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi I MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

65

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARAPERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGANAIR LIMBAH KEAIRATAU SUMBER AIR

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR.

Pasal 1 Setiap usaha dan atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air.

Pasal 2

Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang melanggar baku mutu

air dan menimbulkan pencemaran air.

Pasal 3

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. (3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pasal 4

(1) Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi data dan informasi dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini. (2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) di atas merupakan salah satu syarat permohonan izin pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air. (3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas, permohonan izin wajib dilengkapi dengan : a. dokumen hasil kajian pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air; b. hasil pemantauan pengelolaan lingkungan pada bulan terakhir; c. dokumen lain yang terkait dengan pengisian formulir sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini; 66

Pasal 5

Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) didasarkan pada :

a.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan; b. rona lingkungan; c. jumlah limbah yang dibuang; d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air. Pasal 6 Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air seluruh kewajiban dan larangan bagi usaha dan atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Pasal 7 Izin pembuangan air limbah ke tanah di atur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 27 Juni 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi I MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

67

LAMPIRAN Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 111 Tahun 2003 Tanggal : 27 Juni 2003

I. FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR PERMUKAAN Nama Usaha dan atau Kegiatan

Jenis Industri:

Baterai Kering

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Minuman ringan

Pulp & Paper Bir

Minyak Nabati

Pupuk Urea Cat

Minyak Sawit

Sabun, detergen Etanol

MSG

Soda Kostik Farmasi

Pelapisan logam

Susu & Makanan Gula

Pengilangan minyak

Tapioka Karet

Penyamakan kulit

Tekstil Kayu Lapis

Pestisida Lainnya, ________

Jenis Kegiatan/Usaha Lainnya:

Penambangan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Hotel Kawasan Industri

Rumah sakit Lainnya,_________

Jenis permohonan:

Baru Perpanjangan II. INFORMASI UMUM 1. Lokasi Kegiatan/Usaha a. Jalan/Desa/Kelurahan : b. Kecamatan : c. Kabupaten/Kodya : d. Provinsi : e. Kode Pos : f. Telepon : g. Facsimile : 2. General Manager : 3. Kontak Person a. Nama: b. Jabatan: c. Telepon: 4. Lokasi Kantor Pusat (jika berbeda dengan lokasi kegiatan/usaha) a. Jalan/ Desa/ Kelurahan : b. Kecamatan : c. Kabupaten/ Kodya : d. Provinsi : e. Kode Pos : f. Telepon : g. Facsimile : 5. Jika kegiatan/ usaha merupakan bagian dari suatu group perusahaan (Holding Company), sebutkan: a. Nama Group : b. Alamat (jalan/desa/ kel.) : c. Kecamatan : d. Kabupaten/Kodya : e. Provinsi : f. Kode Pos : 68

III. INFORMASI PERIZINAN Sebutkan nomor dan instansi pemberi izin-izin berikut ini:

a. Izin Usaha Nomor : Pemberi Izin:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

b. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor : Pemberi Izin: c. Izin Undang-undang Gangguan (HO) Nomor : Pemberi Izin: d. Izin Lokasi Nomor : Pemberi Izin: e. Izin Pengambilan Air (SIPA) Nama : Pemberi Izin: f. Izin Pembuangan Limbah Nomor : Pemberi Izin: *) Semua izin-izin tersebut di atas wajib dilampirkan.

IV. INFORMASI PRODUKSI *) bagi kegiatan non-industri, isian berikut dapat disesuaikan sesuai dengan kegiatannya.

1. Tahun mulai operasi________________________________________________ 2. Total kebutuhan air dan sumbernya (m3/ bulan): a. PAM ___________________________________________________________ b. Air Tanah ___________________________________________________________ c. Sungai ___________________________________________________________ d. Laut ___________________________________________________________ e. Lainnya ___________________________________________________________ 3. Kebutuhan air (m3/ hari) untuk: a. Produksi ___________________________________________________________ b. Cooling water ___________________________________________________________ c. Domestik ___________________________________________________________ d. Lainnya ___________________________________________________________ 4. Bahan Baku dan Penolong *) No Nama Bahan Nama Dagang Wujud Sumber (%) Domestik Import

*) Lampirkan fotokopi Material Safety Data Sheet (MSDS). **) Gas, Padat, Cair

5.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Lampirkan diagram alir proses. 69

6. Kapasitas Produksi Terpasang (per tahun)*No Nama Barang Nama Dagang Kapasitas Jumlah Satuan

*) untuk kegiatan non-industri harap dapat disesuaikan dengan kegiatannya, misalnya hotel dan rumah sakit dilihat berdasarkan jumlah tempat tidur.

7. Kapasitas Produksi senyatanya (per tahun)No. Nama Produk Nama Dagang Kapasitas Jumlah Satuan

8. Waktu kegiatan/usaha a. Jumlah Gelombang Kerja (Shift) per hari ________ Shift b. Jumlah Jam Kerja Produksi: 1) ________________________ jam/ hari 2) ________________________ hari/bulan 3) ________________________ bulan/tahun 4) ________________________ hari/tahun 9. Kegiatan-kegiatan lainnya: _______________________________ V. INFORMASI LINGKUNGAN 1. Sertifikat yang telah dimiliki: ISO 9000 Tahun____________________ Assesor*)_________________ ISO 14000 Tahun____________________ Assesor*)_________________ _________ Tahun____________________ Assesor*)_________________

*) Assesor adalah konsultan yang berhak mengaudit dan mengeluarkan sertifikat

2. Apakah perusahaan Saudara mempunyai kebijaksanaan pengelolaan lingkungan? Tidak Ya (lampirkan) 3. Apakah perusahaan Saudara dilengkapi dengan Dokumen Studi Lingkungan? Tidak Yaa -Nomor Persetujuan (lampirkan): ______________________________ -Jenis Dokumen: -Konsultan Pelaksana ______________________________________ -Alamat _________________________________________________

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

-Telepon: ________________________________________________ -Komisi Pelaksana ________________________________________

70

4. Apakah perusahaan Saudara pernah melakukan Audit Lingkungan? Tidak Yaa Manajemen Lingkungan, tahun _____________________________________ Auditor______________________________________________________ Audit Pentaatan (Compliance Audit), tahun ____________________________ Auditor______________________________________________________ Audit Resiko (Risk Assesment), tahun _______________________________

Auditor______________________________________________________ ___________________________, tahun _____________________________ Auditor______________________________________________________

VI. INFORMASI AIR LIMBAH 1. Media Lingkungan Penerima Air Limbah: Sungai Nama __________________________________ Danau Nama __________________________________ Laut, Nama __________________________________ Lainnya, _________________________________________ 2. Apakah aliran buangan air limbah kontinyu dan reguler? Tidak Yaa 3. Apakah ada instalasi pengolahan limbah (IPAL)? Ada Belum sempurna Sedang dibangun Sempurna Tidak ada 4. Jika ada atau sedang dibangun instalasi pengolahan limbah, sebutkan kapasitas pengolahannya: ________________ m3/ hari, Apakah mencakup sistem sebagai berikut? Grit Removal

Koagulasi Screening

Sedimentasi Grinding

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Lumpur Aktif Netralisasi

Kolam Oksidasi (lagoons) Ekualisasi

Anaerobik Trickling Filter

Aerobik Rotary Biological Contactor

Lampirkan lay out dan diagram alir proses instalasi pengolahan air limbahnya.

1. Jumlah saluran pembuangan air limbah: _____________________ 2. Tipe saluran pembuangan air limbah: Pipa Saluran terbuka 3. Apakah semua saluran pembuangan air limbah tersebut dilengkapi dengan alat ukur debit? Tidak Yaa 4. Sebutkan tipe alat ukur debit yang digunakan. Rectangular Weir Triangular Weir Venturi Meter

Magnetic Flow Meter Current Meter

Ultrasonic Meter Inductive meter

5. Rata-rata volume air limbah yang dihasilkan ________ m 3/ hari. 6. Apakah perusahaan Saudara pernah menganalisa air limbah? Tidak Ya (lampirkan hasil analisa terakhir kualitas air limbah, dan sebutkan nama laboratorium yang digunakan). 71

VII. INFORMASI LIMBAH PADAT 1. Apakah ada limbah padat yang dihasilkan?

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Tidak Ya, Jumlah ___________________ ton/ hari 2. Metode Pengelolaan: Kimia-Fisika-Biologi Stabilisasi/ Solidifikasi Insinerasi (Thermal Treatment) Landfill di dalam pabrik Landfill di luar pabrik Dikirim ke PPLI-B3 Dikirim ke Vendor Dijual ke pihak lain VIII. PERNYATAAN DIREKTURUTAMA/ MANAGER PABRIK/ KEGIATAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa semua keterangan tertulis sebagaimana tercantum di atas adalah benar.

nama lengkap

Tanda Tangan & Cap Perusahaan

Jabatan

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi I MENLH Bidang Kebijakan Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA

72

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 112 TAHUN 2003

TENTANG

BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 6. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan :KEPUTUSANMENTERINEGARA LINGKUNGANHIDUPTENTANGBAKUMUTU AIRLIMBAHDOMESTIK.

Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama; 2. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan; 3. Pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air limbah yang dilakukan secara bersamasama (kolektif) sebelum dibuang ke air permukaan; 4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2

(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen. (2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk pengolahan air limbah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

domestik terpadu. Pasal 3 Baku mutu air limbah domestik adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 4 Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :

a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan perniagaan, dan apartemen; b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter persegi; dan c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih. Pasal 5 Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu akan ditentukan kemudian.

Pasal 6

(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. (2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 7 Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

73

mensyaratkan baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air limbah domestik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.

Pasal 8 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib :

a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan; b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan. c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air limbah. Pasal 9

(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilakukan secara bersamasama (kolektif) melalui pengolahan limbah domestik terpadu. (2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu limbah domestik yang berlaku Pasal 10

(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi tanggung jawab pengelola. (2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjuk pengelola

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tertentu, maka tanggung jawab pengolahannya berada pada masing-masing penanggung jawab kegiatan Pasal 11 Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam izin pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.

Pasal 12 Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 13 Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum keputusan ini :

a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik tersebut tetap berlaku; b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik tersebut wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini. Pasal 14 Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.

Pasal 15 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH Bidang Kebijakan Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

74

Lampiran

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor : 112 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK

Parameter Satuan Kadar Maksimum pH -6 - 9 BOD mg/l 100 TSS mg/l 100 Minyak dan Lemak mg/l 10

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim,MPA,MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA.

75

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 113 TAHUN 2003

TENTANG

BAKU MUTUAIR LIMBAH BAGI USAHADANATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSANMENTERINEGARA LINGKUNGANHIDUPTENTANGBAKUMUTUAIRLIMBAHBAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA.

Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian batu bara; 2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama; 3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah; 4. Kegiatan pengolahan/pencucian batu bara adalah proses peremukan, pencucian, pemekatan dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari batu bara tanpa mengubah sifat kimianya; 5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian batu bara; 6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan; 7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah; 8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara; 9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi dalam usaha dan kegiatan penambangan batu bara;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini. (2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini. 76

Pasal 3

(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena keadaan tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri. Pasal 4

(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini. (2) Apabila baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini. Pasal 5 Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.

Pasal 6 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 7 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (pond).

Pasal 8

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah dari kegiatan pertambangan. (2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada pada saluran air limbah yang : a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan penambangan tersebut. b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu bara sebelum dibuang ke air

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut. (3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance). Pasal 9 Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan (point of compliance) yang baru.

Pasal 10

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib untuk : a. melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah dan mencatat debit air limbah harian; b. mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan yang dilaksanakan oleh pihak laboratorium yang telah terakreditasi; c. menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 77

Pasal 11

Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang diterbitkan.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini. (2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah dalam Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku. Pasal 13 Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.

Pasal 14 Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

78

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 113 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003 BAKU MUTUAIR LIMBAH KEGIATAN PENAMBANGAN BATU BARA

Parameter Satuan Kadar Maksimum pH 6-9 Residu Tersuspensi mg/l 400 Besi (Fe) Total mg/l 7 Mangan (Mn) Total mg/l 4

Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 113 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003 BAKU MUTUAIR LIMBAH PENGOLAHAN/PENCUCIAN BATU BARA

Parameter Satuan Kadar Maksimum pH 6-9 Residu Tersuspensi mg/l 200 Besi (Fe) Total mg/l 7 Mangan (Mn) Total mg/l 4 Volume air limbah maksimum 2m3 per ton produk batu bara

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Hoetomo, MPA.

79

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 114 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN PENGKAJIAN UNTUK MENETAPKAN KELASAIR

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Pengkajian Untuk Menetapkan Kelas Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENGKAJIAN UNTUK MENETAPKAN KELAS AIR.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 1

(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengkajian mutu air saat ini untuk menentukan status air sebagai masukan bagi penyusunan program pengelolaan air atau program pemulihan pencemaran air. (2) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta bantuan pihak ketiga. Pasal 2

(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian mutu air, perlu mendapatkan informasi tentang kebutuhan air untuk 15 (lima belas) tahun mendatang dan menyusun saran pendayagunaan air dan penentuan kelas air. (2) Pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta bantuan pihak ketiga. (3) Berdasarkan pengkajian mutu air untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhan air dan penyusunan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan saran masukan dari masyarakat melalui dengar pendapat. (4) Berdasarkan hasil dengar pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kelas air pada : a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 80

b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Pasal 3 Pedoman pengkajian teknis untuk menetapkan kelas air akan ditetapkan dengan Keputusan tersendiri. Pasal 4

(1) Apabila mutu air lebih baik atau sama jika dibandingkan dengan kelas air sebagaimana dimaksud dalam 2 ayat (4), maka Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun program pengelolaan air (2) Apabila mutu air lebih buruk jika dibandingkan dengan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) atau dalam kondisi cemar, maka Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengumumkan sumber air tersebut tercemar dan menyusun program pemulihan pencemaran air. Pasal 5

Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan program pengelolaan air atau program pemulihan pencemaran air sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 4.

Pasal 6

Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, kelas air dan atau golongan penetapan air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 7 Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kelas air yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.

Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 Juli 2003 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelambagaan Lingkungan Hidup

ttd Hoetomo, MPA

81

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 115 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN PENENTUAN STATUS MUTUAIR

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSANMENTERINEGARA LINGKUNGANHIDUPTENTANGPEDOMANPENENTUANSTATUS MUTUAIR.

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

a. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan. c. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara. Pasal 2

(1) Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metoda STORET atau Metoda Indeks Pencemaran. (2) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda STORET dilakukan sesuai dengan pedoman pada Lampiran I Keputusan ini. (3) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda Indeks Pencemaran dilakukan sesuai dengan pedoman pada Lampiran II Keputusan ini. Pasal 3

(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 4 Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, status mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.

82

Pasal 5

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan status mutu air yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini. Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA

83

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Nomor : 115 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003

PENENTUAN STATUS MUTUAIR DENGAN METODA STORET

I. Uraian Metoda STORET Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai dari “ US-EPA (Environmental Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu :

(1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu (2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 cemar ringan (3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 cemar sedang (4) Kelas D : buruk, skor = -31 cemar berat II. Prosedur Penggunaan Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data). 2. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air. 3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu) maka diberi skor 0. 4.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor : Tabel 1.1 Penentuan Sistem Nilai untuk menentukan status mutu air

Jumlah Nilai Parameter Contoh 1) Fisika Kima Biologi < 10 Maksimum Minimum Rata-rata -1 -1 -3 -2 -2 -6 -3 -3 -9 > 10 Maksimum Minimum Rata-rata -2 -2 -6 -4 -4 -12 -6 -6 -18

Sumber : Canter (1977) Catatan: 1) jumlah parameter yang digunakan untuk penentuan status mutu air

5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai. III. Contoh Perhitungan Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Tabel 1.2. merupakan contoh penerapan penentuan kualitas air menurut metoda STORET yang dilakukan oleh Unpad, Bandung. Data diambil dari sungai Ciliwung pada stasiun 1. Pada tabel ini tidak diberikan data lengkap hasil analisa di sungai Ciliwung, tetapi hanya diberikan nilai maksimum, minimum, dan rata-rata dari data-data hasil. Cara pemberian skor untuk tiap parameter adalah sebagai berikut (contoh, untuk Hg): a. Hg merupakan parameter kimia, maka gunakan skor untuk parameter kimia. b. Kadar Hg yang diharapkan untuk air golongan C adalah 0.002 mg/l. c. Kadar Hg maksimum hasil pengukuran adalah 0.0296 mg/l, ini berarti kadar Hg melebihi baku mutunya. Maka skor untuk nilai maksimum adalah -2. d. Kadar Hg minimum hasil pengukuran adalah 0.0006 mg/l, ini berarti kadar Hg sesuai dengan baku mutunya. Maka skornya adalah 0.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

e. Kadar Hg rata-rata hasil pengukuran adalah 0.0082 mg/l, ini berarti melebihi baku mutunya. Maka skornya adalah –6. f. Jumlahkan skor untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata. Untuk Hg pada contoh ini skor Hg adalah –8. g. Lakukan hal yang sama untuk tiap parameter, apabila tidak ada baku mutunya untuk parameter tertentu, maka tidak perlu dilakukan perhitungan. h. Jumlahkan semua skor, ini menunjukkan status mutu air. Pada contoh ini skor total adalah –58, ini berarti sungai Ciliwung pada stasiun 1 mempunyai mutu yang buruk untuk peruntukan golongan C. 84

Tabel 1.2 Status Mutu Kualitas Air Menurut Sistem Nilai STORET di Stasiun I sungai Ciliwung bagi peruntukan Golongan C (PP 20/1990 )

No. Parameter Satuan Baku mutu Hasil Pengukuran Skor Maksimum Minimum Rata-rata FISIKA 1 TDS mg/L 289 179,4 224,2 2 Suhu air C normal + 3 24,15 20,5 22,06 0 3 DHL mhos/cm 82,6 72 76,3 4 Kecerahan M 0,46 0,35 0,41 KIMIA a. Anorganik 1 Hg mg/L 0,002 0,0296 0,006 0,0082 -8 2 As mg/L 0,5 0,0014 Tt 0,0004 0 3 Ba mg/L 1,5 17,401 11,239 15,3665 4 F mg/L 0,01 0,51 0,28 0,4138 0 5 Cd mg/L nihil Tt Tt Tt 0 6 Cr (VI) mg/L 0,0036 Tt 0,0009 -8 7 Mn mg/L 0,033 Tt 0,083 8 Na mg/L 15,421 5,1672 11,0246 9 NO3 -N mg/L 12,28 0,004 3,4675 10 NO2 -N mg/L 0,06 1 0,0075 0,3996 -8 11 NH3 -N mg/L 0,02 1,53 Tt 0,576 -8 12 pH 6-8.5 7,83 6,72 7,41 0 13 Se mg/L 0,05 Tt Tt Tt 0 14 Zn mg/L 0,02 0,0457 Tt 0,0114 -2 15 Cn mg/L 0,01 Tt Tt Tt 0 16 So4 mg/L 40 2,2 14,175 17 H2S mg/L 0,002 1,27 1.0014 0,3354 -8 18 Cu mg/L 0,02 0,008 Tt 0,0043 0 19 Pb mg/L 0,03 0,2456 Tt 0,1451 -8 20 RSC mg/L 3,42 2,42 2,985 21 BOD5 mg/L 42,51 22,97 32,92 22 COD mg/L 62,2 34,32 48,08 23 Minyak&lemak mg/L 0,5 Tt Tt Tt 0 24 PO4 mg/L 2,28 0,02 0,7167 25 Phenol mg/L 0,001 Tt Tt Tt 0 26 Cl2 mg/L 0,003 1,3315 0,0003 0,3383 -8 27 B mg/L 2,103 0,81 1,4575 28 COD mg/L 0,1242 0,0145 0,0653 29 Ni mg/L Tt Tt Tt

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

30 HCO3 mg/L ---31 CO2 -bebas mg/L 11,88 7,92 9,24 32 Salinitas 0/00 0,02 0 0,015 33 DO mg/L > 3 9,1 8 8,433 0 b.Organik 1 Aldrin mg/L Tt Tt Tt 2 Dieldrin mg/L Tt Tt Tt 3 Chlordane mg/L Tt Tt Tt 4 DDT mg/L 0,002 Tt Tt Tt 0 5 Detergent mg/L 0,2 Tt Tt Tt 0 6 Lindane mg/L Tt Tt Tt 7 PCB mg/L Tt Tt Tt 8 Endrine mg/L 0,004 Tt Tt Tt 0 9 BHC 0,21 Tt Tt Tt 0 MIKRO BIOLOGI 1 Coliform tinja Jml/100 ml 15x10L6 2,5x10L6 7.125x10L6 2 Total Coliform Jml/100 ml 15x10L6 2,5x10L6 8.375x10L6

85

Lampiran II: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Nomor : 115 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003

PENENTUAN STATUS MUTUAIR DENGAN METODA INDEKS PENCEMARAN

I. Uraian Metode Indeks Pencemaran Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S., mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemar yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974). Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas Air (Water Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. IP mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang independent dan bermakna.

II. Definisi Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. PIj = (C1/L1j, C2/L2j,…,Ci/Lij)…………………………………….……...(2-1)

Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter, maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

atau disisihkan, kalau badan air digunakan untuk peruntukan (j). Jika parameter ini adalah parameter yang bermakna bagi peruntukan, maka pengolahan mutlak harus dilakukan bagi air itu. Pada model IP digunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai Ci/Lij sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan bermakna jika salah satu nilai Ci/Lij bernilai lebih besar dari 1. Jadi indeks ini harus mencakup nilai Ci/Lij yang maksimum

PIj = {(Ci/Lij)R,(Ci/Lij)M} …………………………………..…….…..(2-2)

PIj = {(Ci/Li)R,(Ci/Lij)M} …………………………………..…….…..(2-2)

Dengan {(Ci/Lij)R ; nilai, Ci/Lij rata-rata {(Ci/Lij)M ; nilai, Ci/Lij maksimum

Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis maka PIj merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M dalam bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu tersebut.

Gambar 2.1. Pernyataan Indeks untuk suatu Peruntukan (j)

86

Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih besar dari 1,0. Jika nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar, maka tingkat pencemaran suatu badan air akan makin besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij diusulkan sebagai faktor yang memiliki makna untuk menyatakan tingkat pencemaran.

PIj = m n( Ci/Lij )2M + ( Ci/Lij)2R .............................................................................. (2-3)

Dimana m = faktor penyeimbang

Keadaan kritik digunakan untuk menghitung nilai m

PIj = 1,0 jika nilai maksimum Ci/Lij = 1,0 dan nilai rata-rata Ci/Lij = 1,0 maka

1,0 = m n(1)2 + (1)2

m = 1/ n 2, maka persamaan 3-3 menjadi

PIj = n(Ci/Lij)2M + (Ci/Lij)2R .............................................................................. (2-4)

2 Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya sungai dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu.

Evaluasi terhadap nilai PI adalah :

0<PIj <1,0 ] memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 <PIj <5,0 ] cemar ringan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

5,0< PIj <10 ] cemar sedang PIj> ] cemar berat

III. Prosedur Penggunaan Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara : 1. Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik. 2. Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang. 3. Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan. 4.a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO. Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan, yaitu : C im - Ci (hasil pengukuran)

(Ci/Lij) baru =

Cim -Lij

4.b. Jika nilai baku Lij memiliki rentang - untuk Ci < Lij rata-rata [ Ci-(Lij)]

rata-rata

(Ci/Lij) baru = {(Lij) -(Lij) }

minimum rata-rata

-untuk Ci > Lij rata-rata

[ Ci-(Lij)]

rata-rata

(Ci/Lij) baru = {(Lij)-(Lij) }

maksimum rata-rata

87

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

4.c. Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah : (1) Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil dari 1,0. (2) Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran lebih besar dari 1,0. (Ci/Lij)baru = 1,0 + P.log(Ci/Lij)hasil pengukuran P adalah konstanta dan nilainya ditentukan dengan bebas dan disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan (biasanya digunakan nilai 5). 4. Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij ((Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M). 5. Tentukan harga PIj PIj = n(Ci/Lij)2M + (Ci/Lij)2 R

2

IV. Contoh Perhitungan Pada contoh berikut ini diberikan data untuk suatu sampel sungai yang akan ditentukan indeks pencemarannya (IP). Hasil pengukuran sampel diberikan pada kolom 2 (Ci) dan baku mutu perairan tersebut diberikan pada kolom 3 (LiX). Pada contoh perhitungan hanya digunakan 6 parameter saja. Contoh yang diberikan berikut ini hanya bertujuan agar pemakai metoda Indeks Pencemaran dapat memahami cara menghitung harga PIj. Tabel 2.2 Contoh penentuan IP untuk baku mutu x

Parameter Ci Lix Ci/Lix Ci/Lix baru TSS 100 50 2 2,5 DO 2 6 0,28 0,28 pH 8 6-9 0,5 0,5 Fecal Coliform 2000 1000 2 2,5 BOD 8 2 4,0 4,0 Se 0,07 0,01 7,0 5,2

* Contoh perhitungan TSS : C1/L1X = 100 / 50 = 2 C1/L1X > 1

Maka gunakan persamaan (C/L)

iijbaru

(C/L)= 1,0+ 5log 2= 2,5

11Xbaru

Catatan : C/Lbaru dihitung karena nilai C/Lyang berjauhan

iij

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

iij

untuk C/L< 1 digunakan C/Lhasil pengukuran, tetapi bila C/L> 1 perlu dicari C/Lbaru.

iij iij iij iij

* Contoh perhitungan DO : DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas akan menrun. Maka sebelum menghitung C/Lharus dicari terlebih dahulu harga Cbaru.22X 2

DOmaks = 7 pada temperatur 250C

7– 2

C2baru = = 5 7–6 3

C2/L2X = (5/3) / 6 = 0,28

* Contoh perhitungan pH : Karena harga baku mutu pH memiliki rentang, maka penentuan C 3/L3X dilakukan dengan cara : 6+ 9

L rata-rata = = 7,5 C> Lrata-rata

3X 33X

2

88

( 8 – 7,5 )

C3/L3X = = 0,5 (9–8 )

• Tentukan nilai (Ci/LiX)R = 2,58 (nilai rata-rata dari kolom 5) • Tentukan nilai (Ci/LiX)M = 5,2 (nilai maksimum dari kolom 5) • Dengan menggunakan persamaan pada langkah no 5 (lihat prosedur 3.2), maka dapat ditentukan nilai PIX = 4,10. Apabila kemudian data air sungai yang sama ingin dibandingkan terhadap baku mutu yang berbeda, misalnya Y (kolom II, Tabel 3.3), maka perhitungannya menjadi sebagai berikut: Tabel 2.3 Contoh penentuan IP untuk baku mutu Y

Parameter Ci LiY Ci/LiY Ci/LiY baru TSS 100 400 0,25 0,25 DO 2 1 2 0,83

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pH 8 6-9 0,5 0,5 BOD 8 10 0,8 0,8 Se 0,07 0,08 0,88 0,88

Dari Tabel 2.3., maka dapat ditentukan nilai-nilai berikut:

• (Ci/LiY)R = 0,625 • (Ci/LiY)M = 0,88 • PIY = 0,76 Jika dibandingkan antara contoh pada Tabel 2.2 dengan contoh pada Tabel 2.3, maka dapat diambil kesimpulan bahwa air sungai yang diukur memenuhi baku mutu Y dan tidak memenuhi baku mutu X. Jadi bila nilai PI lebih kecil dari 1,0, maka sampel air tersebut memenuhi baku mutu termaksud, sedangkan bila lebih besar dari 1,0, sampel dinyatakan tidak memenuhi baku mutu.

89

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 142 TAHUN 2003

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSANMENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARAPERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGANAIR LIMBAH

KEAIRATAU SUMBER AIR

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa sehubungan dengan adanya kekeliruan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air, di pandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIRATAU SUMBER AIR.

Pasal I

Mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003

tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air

Atau Sumber Air, sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 3

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. (3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.” 2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut : 90

“Pasal 5

Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada :

a. jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan; b. rona lingkungan; c. jumlah limbah yang dibuang;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air”. Pasal II Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 24 September 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi I MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

91

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-03/MENLH/1/1998

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke media lingkungan;

2. bahwa kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri mempunyai potensi menimbulkanpencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian; 3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

perlu ditetapkan lebih lanjut Baku Mutu Limbah Cair; 4. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki IzinUsaha Kawasan Industri; 2. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan Industri; 3. Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup dari suatu Kawasan Industri; 4. Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industriyang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup; 5. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemar; 6.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup; 7. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup; 8. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup; 9. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; 10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 11. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini. (2) Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 92

(3) Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah maksimum sebagaimana tersebut dalamlampiran I Keputusan ini dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui.(4) Perhitungan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana dalam Lampiran II Keputusan ini.(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurangkurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun. Pasal 3

Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksuddalam Lampiran I Keputusan ini dengan persetujuan Menteri.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalamLampiran I Keputusan ini.(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)Pasal ini maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini. Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebihketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri tersebutditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri wajib untuk : a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidakmelampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan; b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair kelingkungan; c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cairtersebut;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusanini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan; e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpahan air hujan; f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit harian dan kadar parameter BakuMutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d sekurang-kurangnya 6 (enam) bulansekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangikawasan industri, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Pasal 7

Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri dilarang melakukan pengenceran limbah cair.

Pasal 8

Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), telahditetapkan sebelum Keputusan ini:

(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksuddalam Lampiran I Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku; (b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalamLampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalamLampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini. Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : JakartaPada tanggal : 15 Januari 1998Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinyaAsisten IV Menteri Negara Lingkungan HidupBidang Pengembangan, Pengawasan danPengendalian,

ttd

Hambar Martono

93

LAMPIRAN I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 03/MENLH/1998 Tanggal : 15 Januari 1998

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

MAKSIMUM (kg/hari.Ha) BOD 5 50 4,3 COD 100 8,6 TSS 200 17,2 pH 6,0 -9,0

DEBIT LIMBAH MAKSIMUM 1 Liter detik per HA lahan kawasan yang terpakai

94

LAMPIRAN II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 03/MENLH/1998 Tanggal : 15 Januari 1998

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

PENJELASAN TENTANG PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM UNTUK MENENTUKANMUTU LIMBAH CAIR

Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam lampiran I berdasarkan pada jumlah unsur pencemar yang terkandung dalam aliran limbah cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :

1. Beban Pencemaran Maksimum BPM =(Cm)j x Dm x A x f ................ (II.1.1) Keterangan : BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg parameter per hari. (Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam lampiran I Keputusan ini, dinyatakan

dalam mg/l. Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam lampiran I, dinyatakan dalam L

limbah cair per detik per hectare. A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hectare (HA). f = factor konversi = 1 kg * 24 x 3600 detik = 0,086 … (II.1.2)

1.000.000 mg hari 2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut : BPA =(CA)j x (DA) x f ..........................(II.2.1) Keterangan : BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari (CA)j= Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l. DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik F = faktor konversi = 0,086

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. Evaluasi Penilaian beban pencemaran adalah : BPA tidak boleh melewati BPM 4. Contoh penerapan Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah : -Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hectare, HA] -Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/l] -Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]

Contoh perhitungan : Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektare. Parameter dari Lampiran I yang akan dijadikan contoh perhitungan adalah parameter (j) BOD.

Dari Lampiran I diketahui : -Debit maksimum yang di perbolehkan (Dm) = 1 l/det/Ha

Untuk parameter BOD diketahui : -Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter -Beban maksimum yang diperbolehkan = 4,3 kg/hari/HA

Data lapangan -Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter -Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det -Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA

Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan Industri tersebut (persamaan II.1.1) adalah :

BPM= Cm xDm xfx A = 50 x 1 x 0,086 x 1.500 = (4,3 kg/hari/HA) x 1.500 HA = 6.450 kg/hari

95

Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut (persamaan II.2.1) adalah :

BPA = CAxDAx f = 60 x 1.000 x 0,086 = 5.160 kg/hari

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450 kg/hari), jadi untuk parameter BOD

kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu Limbah Cair. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 15 Januari 1998

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

Sarwono Kusumaatmadja Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup

Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian ttd. Hambar Martono

96

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/X/1996

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAHCAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang: a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair; c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi; Mengingat : 1.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);

2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3135); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538); 11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI

Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan adanya dan keadaan bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi. 2. Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi dengan jalan yang lazim; 3. Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di daratan atau di daerah lepas pantai

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dengan cara mempergunakan proses fisika, kimia guna memperoleh dan mempertinggi mutu bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi yang dapat digunakan; 97

4. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak (BBM) yang penerimaan/penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan pengairan (sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail Tank Wagon (RTW); 5. Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi; 6. Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan dibidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan; 7. Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan; 8. Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan; 9. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan; 10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 11. Instansi teknis adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi; 12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa; 13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi: a. Eksplorasi dan produksi migas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan II; b. Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran III; c. Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV dan V; d. Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran VI; e. Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran VII; (2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali jenis kegiatan pengilangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar. Pasal 3 Bagi jenis kegiatan:

a. Eksplorasi dan produksi migas yang: 1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I; 2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran I;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II; 4) Apabila menggunakan fasilitas pengolahan yang lama untuk kegiatan pengembangan kilang Migas, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;

b. Pengilangan minyak bumi yang: 1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV; 2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV; 3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V;

Pasal 4 Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui.

Pasal 5 Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini ditinjau secara berkala sekurangkurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 6

(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter yang tercantum dalam Iampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan dan Menteri. (2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis yang bersangkutan. (3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan persetujuan. (4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka dianggap Menteri telah mengeluarkan keputusan penolakan. Pasal 7

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang bersangkutan. 98

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 8 Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 9 Setiap penanggung jawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) wajib untuk: a.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan. b. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut khusus untuk kegiatan pengilangan Migas. c. Memeriksa kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan. d. Menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian khusus kegiatan Pengilangan Migas dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Kepala Bapedal, Menteri dan instansi teknis serta pihak lain yang dipandang perlu. Pasal 10 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dicantumkan ke dalam izin yang dianggap relevan untuk pengendalian pencemaran bagi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan ini.

Pasal 11 Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:

a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku; b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkan Keputusan ini. Pasal 12 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal 9 Oktober 1996

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya

Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian

ttd

Hambar Martono

99

LAMPIRAN I

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) DARAT LAUT COD 300 -Minyak dan Lemak 35 75 Sulfida (sebagai H2S) 1,0 -Amonia (sebagai NH3-N) 10 -Phenol Total 2 -Temperatur 45O C -pH 6,0 -9,0

LAMPIRAN II KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) DARAT LAUT COD 200 -Minyak dan lemak 25 50 Sulfida (sebagai H2S) 0,5 -Amonia (sebagai NH3-N) 5 -Phenol Total 2 -Temperatur 40O C -pH 6,0 -9,0

LAMPIRAN III KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM Asam Sulfida terlarut (sebagai H2S) mg/L 1 Amonia (sebagai NH3) terlarut mg/L 10 Air Raksa (Hg) mg/L 0,005 Arsan (AS) mg/L 0,5 Temperatur 45O C pH 6,0 - 9,0

LAMPIRAN IV KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM ( gram/m3) BOD5 100 120 COD 200 240 Minyak dan lemak 25 30 Sulfida (Sebagai H2S) 1,0 1,2 Amonia (Sebagai NH3 -N) 10 12 Phenol Total 1,0 1,2 Temperatur 45O C pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 1200 m3 per m3 bahan baku minyak

100

LAMPIRAN V KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3) BOD5 80 80 COD 160 160 Minyak dan Lemak 20 20 Sulfida terlarut 0,5 0,5 Amonia terlarut 5 5 Phenol Total 0,5 0,5 Temperatur 45O C pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 1000 m3 per m3 bahan baku minyak

LAMPIRAN VI KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU

PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM Minyak dan lemak mg/L 25 Air pendingin : Residual Chlorine mg/L 2 Temperatur 45O C pH 6,0 -9,0

LAMPIRAN VII

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK

PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM Minyak dan lemak mg/L 25 pH 6,0 -9,0

Di tetapkan di : Jakarta

Pada tanggal 9 Oktober 1996

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian ttd Hambar Martono

101

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR: KEP-09/MENLH/IV/1997

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair; c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi; Mengingat : 1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);

2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3135); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 11. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal I Mengubah ketentuan pada Lampiran IV dan Lampiran V Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sehingga seluruhnya berbunyi sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

102

Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 22 April 1997 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Sarwono Kusumaatmadja Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian, ttd Hambar Martono

103

LAMPIRAN IV NOMOR TENTANG TANGGAL : : : : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP KEP-09/MENLH/4/1997 PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI 22 APRIL 1997 BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN-KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m2) BOD5 100 120 COD 200 240 Minyak dan Lemak 25 30 Sulfida (sbg H2S) 1,0 1,2

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Amonia (sbg NH3-N) 10 12 Phenol Total 1,0 1,2 Temperatur 450 C pH 6,0 - 9,0 Debit Limbah Maksimal 1200 m3 per 1000 m3 bahan baku minyak

LAMPIRAN NOMOR TENTANG TANGGAL V : : : : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP KEP-09/MENLH/4/1997 PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI 22 APRIL 1997 BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m2) BOD 5 80 80 COD 160 160 Minyak dan Lemak 20 20 Sulfida Terlarut 0,5 0,5 Amonia Terlarut 5 5 Phenol Total 0,5 0,5 Temperatur 450 C pH 6,0 - 9,0 Debit Limbah Maksimal 1000 m3 per 1000 m3 bahan baku minyak

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 22 April 1997

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian, ttd Hambar Martono

104

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-35/MENLH/VII/1995

TENTANG

PROGRAM KALI BERSIH

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa kali atau sungai merupakan sumber daya air yang penting bagi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya;

2. bahwa kualitas air sungai cenderung menurun sebagai akibat meningkatnya beban pencemaran yang bersumber dari kegiatan di sepanjang daerah aliran sungai; 3. bahwa untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya, pemerintah telah mencanangkan Program Kali Bersih; 4. bahwa Program Kali Bersih tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah di beberapa propinsi pada beberapa sungai dengan melibatkan berbagai instansi terkait di daerah; 5. bahwa untuk memantapkan keberadaan Program Kali Bersih sebagai program nasional dan untuk meningkatkan kelancaran serta pengembangan kegiatan Program Kali Bersih, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Kali Bersih. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445); 5. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 6. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; 7. Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dampak Lingkungan; 8. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Memperhatikan : a. Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air pada tanggal 14 -15 Juni 1989 di Surabaya yang menghasilkan kesepakatan bersama antara Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I dari 8 (delapan) propinsi serta instansi-instansi terkait untuk melaksanakan program kerja pengendalian pencemaran air sungai yang diberi nama Program Kali Bersih dan dikoordinasikan secara nasional;

b. Rapat Kerja Nasional PROKASIH pada tanggal 8 -12 Juni 1994 di Jakarta. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM KALI BERSIH

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Program Kali Bersih disingkat dengan PROKASIH adalah program kerja pengendalian pencemaran air sungai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 2. Sungai Prokasih adalah Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang ditetapkan akan dikendalikan pencemaran airnya melalui kegiatan Prokasih. 3. Ruas Sungai Prokasih adalah bagian dari Sungai Prokasih yang ditetapkan sebagai batas ruang lingkup kegiatan Prokasih. 4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 5. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa. 6. Bupati/Walikotamadya adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II 7. Tim Prokasih Pusat adalah satuan kerja pelaksana Prokasih di Tingkat Pusat yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Bapedal. 8. Tim Prokasih Daerah adalah Tim Prokasih Tingkat I dan/atau Tim Prokasih Tingkat II. 105

BAB II AZAS, TUJUAN DAN SASARAN PROKASIH

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 2 Pelaksanaan Prokasih berasaskan pelestarian fungsi lingkungan perairan sungai untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

Pasal 3

(1) Pelaksanaan Prokasih bertujuan: 1. tercapainya kualitas air sungai yang baik, sehingga dapat meningkatkan fungsi sungai dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; 2. terciptanya sistem kelembagaan yang mampu melaksanakan pengendalian pencemaran air secara efektif dan efisien; 3. terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengendalian pencemaran air. 4. Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, pelaksanaan Prokasih dilakukan dengan pendekatan: a. pengendalian sumber pencemaran yang strategis, dan dilakukan secara bertahap dalam suatu program kerja; b. pelaksanaan program kerja sesuai dengan tingkat kemampuan kelembagaan yang ada; c. pelaksanaan dan hasil program kerja harus dapat terukur dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; d. penerapan pentaatan dan penegakan hukum dalam pengendalian pencemaran air. Pasal 4

(1) Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), pelaksanaan Prokasih dilakukan dengan sasaran: (2) Meningkatnya kualitas air sungai pada setiap ruas sungai Prokasih sampai minimal memenuhi baku mutu air yang sesuai dengan peruntukannya. (3) Menurunnya beban limbah dari tiap sumber pencemar, sampai minimal memenuhi baku mutu limbah cair. (4) Menguatnya sistem kelembagaan dalam pelaksanaan Prokasih. BAB III PELAKSANAAN PROKASIH

Pasal 5 Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis permasalahan pencemaran air di daerah, Kepala Bapedal mengusulkan propinsi pelaksana Prokasih kepada Menteri. Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri menetapkan propinsi pelaksana Prokasih.

Pasal 6 Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan pedoman pemilihan sungai dan ruas sungai Prokasih yang ditetapkan Bapedal dengan mempertimbangkan fungsi sungai bagi masyarakat dan pembangunan serta memperhitungkan tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang bersangkutan.

Pasal 7 Kepala Bapedal menetapkan pedoman pelaksanaan Rencana Induk Prokasih secara nasional.

Pasal 8

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Gubernur menetapkan Rencana Kerja Prokasih di tingkat daerah berdasarkan Rencana Induk Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Pasal 9 Bapedal melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih secara nasional.

Pasal 10 Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih di daerah.

BAB IV ORGANISASI PELAKSANAAN PROKASIH

Pasal 11 Menteri bertanggung jawab dalam koordinasi kebijaksanaan Prokasih secara nasional. Kepala Bapedal bertanggung jawab dalam koordinasi pelaksanaan pengendalian kegiatan Prokasih secara nasional.

Pasal 12 Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2), Kepala Bapedal membentuk Tim Prokasih Tingkat Pusat.

106

Pasal 13

Gubernur adalah penanggung jawab pelaksanaan Prokasih di tingkat daerah.

Pasal 14

(1) Dalam rangka pelaksanaan Prokasih di daerah sebagaimana dimaksud Pasal 13: 1. Gubernur menunjuk Wakil Gubernur sebagai penanggung jawab harian Prokasih di Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan. 2. Gubernur dapat menunjuk Bupati/Walikotamadya sebagai penanggung jawab harian Prokasih di Daerah Tingkat II dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan. 3. Gubernur menetapkan Tim Prokasih Daerah berdasarkan petunjuk atau arahan yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal. BAB V PELAPORAN

Pasal 15

(1) Gubernur menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal. (2) Bupati/Walikotamadya menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Gubernur, Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal. BAB VI PEMBERIAN PENGHARGAAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 16

(1) Menteri memberi penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang melaksanakan Prokasih dan perusahaan/ kegiatan usaha yang melaksanakan pengendalian pencemaran dengan kinerja yang sangat baik; (2) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, diberikan berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal 15; (3) Dalam rangka pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini a. Kepala Bapedal menetapkan kriteria dan tata laksana penilaian; b. Kepala Bapedal membentuk Tim Teknis dan Tim Penilai; c. Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dilaksanakan melalui Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha (Proper Prokasih); d. Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri. BAB VII PEMBIAYAAN

Pasal 17

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Prokasih: 1. Di Tingkat Pusat dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana lainnya; 2. Di Tingkat Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber dana lainnya. BAB VIII PENUTUP

Pasal 18

Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Juli 1995

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Para Menteri Kabinet Pembangunan VI. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Para Gubernur KDH Tingkat I di seluruh Indonesia. Para Bupati/Walikotamadya KDH Tingkat II di seluruh Indonesia.

107

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-35-A/MENLH/VII/1995

TENTANG

PROGRAM PENILAIANKINERJAPERUSAHAAN/KEGIATAN USAHADALAMPENGENDALIAN PENCEMARAN DALAMLINGKUP KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa sebagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan adalah dengan meningkatkan pentaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup;

2. bahwa dalam rangka mendorong ditingkatkannya upaya sebagaimana dimaksud dalam butir (a) dipandang perlu untuk mengambil langkah-langkah berupa pemberian insentif dan disinsentif yang didasarkan pada hasil penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatannya; 3. bahwa mengingat hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dalam Lingkup Kegiatan PROKASIH (Proper Prokasih). Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; 5. Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 6. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/7/1995 tentang Program Kali Bersih. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PENILAIAN KINERJA PERUSAHAAN / KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM LINGKUP KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)

Pasal 1 Kinerja perusahaan/kegiatan usaha adalah tingkat upaya dan hasil perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kegiatannya.

Pasal 2

(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha diberlakukan untuk semua jenis kegiatan yang mempunyai potensi dampak lingkungan di dalam lingkup kegiatan Prokasih. (2) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat mengajukan diri secara sukarela untuk dinilai kinerjanya. (3) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat masuk program penilaian bila dipandang perlu demi kepentingan umum. Pasal 3

(1) Kinerja perusahaan/kegiatan usaha dinilai berdasarkan: 1. tingkat upaya pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan; 2. tingkat pencapaian hasil pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan; 3. pelaksanaan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan; 4. untuk pertama kalinya, penilaian kinerja diutamakan pada pengendalian pencemaran air. Pasal 4

(1) Peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dibagi dalam peringkat sebagai berikut: 1. peringkat emas, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih dan/atau emisi nol dan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat memuaskan sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya; 2. peringkat hijau, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. peringkat biru, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah mendapatkan hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; 108

4. peringkat merah, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

5. peringkat hitam, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan atau usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. 6. Penentuan peringkat kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini didasarkan pada hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. 7. Pedoman dan tata cara penilaian peringkat kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Pasal 5

(1) Penentuan peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup setelah mendapat masukan dari Tim Teknis dan Dewan Pertimbangan Proper Prokasih. (2) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, sedangkan Dewan Pertimbangan Proper Prokasih ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkugan Hidup. Pasal 6

(1) Dewan Pertimbangan Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas anggotanya terdiri dari: 1. Pejabat Eselon I terkait: 2. Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup; 3. Deputi II Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 4. Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri; 5. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja; 6. Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. 7. Wakil dunia usaha, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari pers. Pasal 7

(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan minimal sekali dalam satu tahun. (2) Tim Teknis setelah mendengar masukan dari Dewan Pertimbangan Proper Prokasih menyampaikan hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. (3) Hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan diumumkan setelah dilaporkan kepada Presiden. Pasal 8 Penilaian kinerja bagi perusahaan/kegiatan usaha yang sedang melaksanakan audit lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-42/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan, ditunda sampai pengumuman hasil penilaian kinerja berikutnya.

Pasal 9 Perusahaan/kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau diberikan piagam penghargaan.

Pasal 10

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dibebankan kepada: (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pelaksanaan penilaian perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) Keputusan ini. (3) Biaya perusahaan yang bersangkutan bagi pelaksanaan penilaian perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan ini. Pasal 11 Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Juli 1995 Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada: Para Menteri Kabinet Pembangunan VI. Para Gubernur KDH Tingkat I di seluruh Indonesia. Para Bupati/Walikotamadya KDH Tingkat II di seluruh Indonesia.

109

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair; c. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri; Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926. Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257); 6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran negara Nomor 3538); 11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI.

Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri; 2. Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan; 4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemaran; 5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 8. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; 110

9. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Pasal 2

(1) Baku mutu limbah cair untuk jenis industri : 1. Soda kostik/klor adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran A I dan Lampiran B I; 2. Pelapisan logam adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A II dan Lampiran B II; 3. Penyamakan kulit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A III dan Lampiran B III; 4. Minyak sawit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IV dan Lampiran B IV; 5. Pulp dan kertas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A V dan Lampiran B V; 6. Karet adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VI dan B VI; 7. Gula adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VII dan Lampiran B VII; 8. Tapioka adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VIII dan Lampiran B VIII; 9. Tekstil adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IX dan Lampiran B IX; 10. Pupuk urea/nitrogen adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A X dan Lampiran B X; 11. Ethanol adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XI dan Lampiran B XI; 12. Mono Sodium Glutamate (MSG) adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XII dan Lampiran B XII; 13. Kayu lapis adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIII dan Lampiran B XIII; 14. Susu, makanan yang terbuat dari susu adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIV dan Lampiran B XIV; 15. Minuman ringan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XV dan Lampiran B XV; 16. Sabun, diterjen dan produk-produk minyak nabati adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVI dan Lampiran B XVI; 17. Bir adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVII dan Lampiran B XVII; 18. Baterai sel kering adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVIII dan Lampiran B XVIII; 19. Cat adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIX dan Lampiran B XIX;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

20. Farmasi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XX dan Lampiran B XX; 21. Pestisida adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XXI dan Lampiran B XXI. (2) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis industri pestisida formulasi pengemasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir 20 dan butir 21 pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar. (3) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang : a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000 b. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000. (4) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, maka berlaku baku mutu limbah cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran B. (5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui. (6) Perhitungan tentang debit limbah cair maksimum dan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran D keputusan ini. (7) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurangkurangnya sekali dalam lima tahun. Pasal 3

(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair untuk jenis-jenis industri di luar jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum ditetapkan, Gubernur dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran C Keputusan ini. (3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, setelah mendapat persetujuan Menteri. (4) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan diluar parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran A dan B Keputusan ini, setelah mendapat persetujuan Menteri. (5) Menteri memberikan tanggapan dan/atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) pasal ini. (6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini, tidak diberikan tanggapan dan/ atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui. Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. 111

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini. Pasal 5 Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 6 Setiap penanggung jawab kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Keputusan ini wajib :

a. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan; b. membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan; c. memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut; d. tidak melakukan pengeceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air bekas pendingin ke dalam aliran pembuangan limbah cair; e. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan; f. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan; g. melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya; h. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair, produksi bulanan senyatanya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, e, g sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Gubernur, instansi teknis yang membidangi industri lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan Persyaratan Pasal 26 Peraturan Pemerintahan Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin Undangundang Gangguan (Hinder Ordonnantie).

Pasal 8 Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini :

a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku; b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah cair dalam keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini. Pasal 9 Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di :Jakarta Pada tanggal : 23 Oktober 1995

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya

Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian,

ttd

Hambar Martono

112

LAMPIRAN A. I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KOSTIK

PROSES RAKSA (Hg) PROSES MEMBRAN/DIAFRAGMA PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) COD 150 1,5 kg/ton 150 1,5 TSS 50 0,5 kg/ton 50 0,5 Raksa (Hg) 0,005 0,05 g/ton --Timbal (Pb) --3,0 0,03 Tembaga (Cu) --0,3 0,003 Seng (Zn) --2,0 0,02 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 10 m3 per ton produk soda kostik 10 m3 per ton Produk soda kostik

Catatan :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg atau gram parameter per ton produk soda kostik. LAMPIRAN A.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

PELAPISAN TEMBAGA (Cu) PELAPISAN NIKEL (Ni) PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m2) KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m2) TSS 60 6,0 60 6,0 Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005 Sianida (CN) 0,5 0,05 0,5 0,05 Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8 Tembaga (Cu) 3,0 0,3 --Nikel (Ni) --5,0 0,5 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 100 L per m2 produk pelapisan logam 100 L per m2 produk pelapisan logam

113

PELAPISAN KROM (Cr) PELAPISAN & GALVANISASI PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m2) SENG (Zn) KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

MAKSIMUM (gram/m2) TSS 60 6,0 60 6,0 Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005 Sianida (CN) 0,5 0,05 0,5 0,05 Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8 Krom Total (Cr) 2,0 0,2 --Krom Heksavalen (Cr +6) 0,3 0,03 --Seng (Zn) --2,0 0,2 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 100 L per m2 produk pelapisan logam 100 L per m2 produk pelapisan logam

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air Limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per m2 produk pelapisan logam LAMPIRAN A.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 150 10,5 COD 300 21,0 TSS 150 10,5 Sulfida (sbg H2S) 1,0 0,07 Krom Total (Cr) 2,0 0,14 Minyak dan Lemak 5,0 0,35 Amonia Total 10,0 0,70 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 70 m3 ton bahan baku

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air Limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah) 114

LAMPIRAN A.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 250 1,5 COD 500 3,0 TSS 300 1,8 Minyak dan Lemak 30 0,18 Amonia Total (sebagai NH3-N) 20 0,12 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 6 m3 ton bahan baku

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air Limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk minyak sawit. LAMPIRAN A.V: KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS

PARAMETER BOD5 COD TSS

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pH Debit Limbah Maksimum PABRIK PULP KADAR BEBAN MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM (mg/L) (kg/ton) 150 15 350 35 200 20 6,0 -9,0 100 m3 per ton pulp kering PABRIK KERTAS KADAR BEBAN MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM (mg/L) (kg/ton) 125 10 250 20 125 10 6,0 -9,0 80 m3 per ton produkkertas kering PABRIK PULP & KERTAS KADAR BEBAN MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM (mg/L) (kg/ton) 150 25,5 350 59,5 150 25,9 6,0 -9,0 170 m3 per ton produk kertas kering

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pulp dan atau kertas kering. 115

LAMPIRANA.VI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET

PARAMETER KADAR

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 150 6,0 COD 300 12,0 TSS 150 6,0 Amonia Total (sebagai NH3-N) 10 0,4 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 40 m3 per ton produk karet

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air Limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk karet kering LAMPIRANA.VII :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 4,0 COD 250 10,0 TSS 175 7,0 Sulfida (sebagai H2S) 1,0 0,04 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 40 m3 per ton produk gula

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk gula. 116

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

LAMPIRAN A.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton produk) BOD5 200 12,0 COD 400 24,0 TSS 150 9,0 Sianida (CN) 0,5 0,03 pH 6,0 -9,0 Debit LimbahMaksimum 60 m3 per ton produk

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tapioka. LAMPIRANA.IX :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 85 12,75 COD 250 37,5 TSS 60 9,0 Fenol Total 1,0 0,15 Krom Total (Cr) 2,0 0,30 Minyak dan Lemak 5,0 0,75 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 150 m3 per ton produk teksil

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil. 117

LAMPIRANA.X :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK UREA

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 1,5 COD 250 3,75 TSS 100 1,5 Minyak dan Lemak 25 0,4 Amonia Total (sbg. NH3-N) 50 0,75 pH 6,0 -9,0 Debit LimbahMaksimum 15 m3 per ton produk pupuk urea

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pupuk urea LAMPIRANA.XI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 150 10,5 TSS 400 28,0 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 70 m3 per ton produk ethanol

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk ethanol. 118

LAMPIRAN A.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 12 COD 250 30 TSS 100 12 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 120 m3 per ton produk MSG

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk MSG. LAMPIRANA.XIII :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 0,28 kg/m3 COD 250 0,70 kg/m3 TSS 100 0,28 kg/m3 Fenol Totol 1,0 2,8 g/m3 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 2,8 m3 per ton produk kayu lapis

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg atau gram parameter per ton m3 produk kayu lapis. 3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter. 4. 2,8 m3 air limbah per m3 produk = 10 m3 air limbah per 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter. 119

LAMPIRAN A.XIV:KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUMPABRIK SUSU DASAR (kg/ton) PABRIK TERPADU

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(kg/ton) BOD5 40 0,14 0.2 COD 100 0,35 0,5 TSS 50 0,175 0,25 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 3,5 L per kg totalpadatan susu 5,0 L per kg produk

Catatan :

1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk 2. Pabrik Terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim. 3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton total padatan susu atau produk susu. LAMPIRANA.XV :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3) DENGAN PENCUCIAN BOTOL DAN DENGAN PEMBUATAN SIROP DENGAN PENCUCIAN BOTOL DAN TANPA PEMBUATAN SIROP TANPA PENCUCIAN BOTOL DAN DENGAN PEMBUATAN SIROP TANPA PENCUCIAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BOTOL DAN TANPA PEMBUATAN SIROP BOD5 100 600 500 300 200 TSS 90 540 450 270 180 Minyak dan Lemak 12 72 60 36 24 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 5 L pper L produk minuman 5 L pper L produk minuman 3 L pper L produk minuman 2 L pper L produk minuman

Catatan :

1.Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah.

2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per

m3

produk minuman ringan yang dihasilkan.

120

LAMPIRANA.XVI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK MINYAK NABATI

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) SABUN MINYAK NABATI DITERJEN BOD5 125 2,50 7,50 0,75

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

COD 300 6,0 18,0 1,8 TSS 100 2,0 6,0 0,6 Minyak dan Lemak 25 0,50 1,5 0,15 Fosfat (sbg PO4) 3 0,06 0,18 0,018 MBAS 5 0,1 0,3 0,03 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 20 m3 per ton produk sabun 60 m3 per ton produk minyak nabati 6 m3 per ton produk diterjen

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk sabun atau minyak atau diterjen. LAMPIRAN A.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/hektoliter) BOD5 75 67,5 COD 170 153,0 TSS 70 63,0 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 9 hektoliter per hektoliter Bir

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

parameter per hektoliter produk bir. 121

LAMPIRAN A.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING

PARAMETER ALKALINE -MANGAN KARBON -SENG KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (mg/kg produk) KADAR MAKSIMUM (mg/L produk) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (mg/kg produk) COD --30 15 TSS 15 45 10 5 NH3-N Total --4 2 Minyak dan Lemak 3 9,0 12 6 Seng (Zn) 0,3 0,9 0,8 0,4 Merkuri (Hg) 0,015 0.045 0,02 0,01 Mangan (Mn) 0,5 1,5 0,6 0,3 Krom (Cr) 0,1 0,3 --Nikel (Ni) 0,6 1,8 --pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 3,0 L per kg baterai 0,5 L per kg baterai

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per kg produk baterai yang dihasilkan. LAMPIRAN A.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3) BOD5 100 80 TSS 60 48 Merkuri (Hg) 0,015 0,012 Seng (Zn) 1,5 1,2 Timbal (Pb) 0,40 0,32 Tembaga (Cu) 1,0 0,80 Krom Heksavalen (Cr +6) 0,25 0,20 Titanium (Ti) 0,50 0,40 Kadmium (Cd) 0,10 0,08 Fenol 0,25 0,20 Minyak dan Lemak 15 12 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum0,8 L per L produk cat water base Zero Discharge untuk cat solvent base

Catatan :

1. Solvent-Based Cat harus Zero Discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum. 2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk cat. 122

LAMPIRAN A.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI

PARAMETER PROSES PEMBUATAN BAHAN FORMULA (MG/L) FORMULASI-FORMULASI (PENCAMPURAN) (MG/L)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BOD5 150 100 COD 500 200 TSS 130 100 TOTAL-N 45 -FENOL 5,0 -Ph 6,0 -9,0 6,0 -9,0

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. LAMPIRAN A.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA

PARAMETER MAKSIMUM PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI PENGEMASAN MAKSIMUM (mg/L) KADAR PENCEMARAN (kg/ton produk) BEBAN KADAR MAKSIMUM (mg/L) BOD5 70 1,75 40 COD 200 5,0 100 TSS 50 1,25 25 Fenol 3,0 0,075 2,5 Total-CN 1,0 0,025 -Tembaga (Cu) 1,5 0,038 -Bahan Aktif Total 2,0 0,05 1,0 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbahmaksimum 25 m3 per ton produk -

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram per ton produk pestisida. 123

LAMPIRANB.I: KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KOSTIK/KHLOR

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/ton) TSS 25 75,0 Cl2 tersisa (Khlor) 0,5 1,5 Tembaga (Cu) 1,0 3,0 Timbal (Pb) 0,8 2,4 Seng (Zn) 1,0 3,0 Krom Total (Cr) 0,5 1,5 Nikel (Ni) 1,2 3,6 Raksa (Hg) 0,004 0,012 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 3,0 m3 per ton produk soda kostik atau 3,4 m3 per ton Cl2

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per ton produk soda kostik. LAMPIRAN B.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m2) TSS 20 0,40 Sianida Total (CN) tersisa 0,2 0,004 Krom Total (Cr) 0,5 0,010 Krom Heksavalen (Cr+6) 0,1 0,002 Tembaga (Cu) 0,6 0,012 Seng (Zn) 1,0 0,020

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Nikel (Ni) 1,0 0,020 Kadmium (Cd) 0,05 0,001 Timbal (Pb) 0,1 0,002 pH 6,0 -9,0 Debit LimbahMaksimum 20 L per m2 produk pelapisan logam

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per m2 produk pelapisan logam 124

LAMPIRANB.III :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

PARAMETER Proses Penyamakan Menggunakan Krom Proses Penyamakan Menggunakan Daundaunan KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 50 2,0 70 2,8 COD 110 4,4 180 7,2 TSS 60 2,4 50 2,0 Krom Total (Cr) 0,60 0,024 0,10 0,004 Minyak dan Lemak 5,0 0,20 5,0 0,20 N Total (sebagai N) 10 0,40 15 0,60 Amoniak Total (sebagai N) 0,5 0,02 0,50 0,02 Sulfida (sebagai S) 0,8 0,032 0,50 0,02 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit limbah maksimum 40 m3/ton bahan baku 40 m3/ton bahan baku

Catatan :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram meter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah) 3. N Total jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2 LAMPIRAN B. IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 0,25 COD 350 0,88 TSS 250 0,63 Minyak dan Lemak 25 0,063 Nitrogen Total (sbg N) 50 0,125 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 2,5 m2 per ton produk minyak sawit (CPO)

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk minyak sawit (CPO). 3. Nitrogen Total adalah jumlah Nitrogen Organik + Amonia Total + NO 3 + NO2 125

LAMPIRANB.V :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS

PROSES/ PARAMETER DEBIT BOD5 COD TSS PRODUK (m3/ton) Kadar

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Maksimum (mg/ton) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Kadar Maksimum (mg/ton) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Kadar Maksimum (mg/ton) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) A. PULP Kraft dikelantang 85 100 8,5 350 29,75 100 8,5 Pulp Larut 95 100 9,5 300 28,5 100 9,5 Kraft yang tidak di kelantang 50 75 3,75 200 10,0 60 3,0 Mekanik (CMP dan Grounwood) 60 50 3,0 120 7,2 75 4,5 Semi Kimia 70 100 7,0 200 14,0 100 7,0 Pulp Soda 80 100 8,0 300 24,0 100 8,0 De-ink Pulp (dari kertas bekas) 60 100 6,0 300 18,0 100 6,0 B. KERTAS Halus 50 100 5,0 200 10,0 100 5,0 Kasar 40 90 3,6 175 7,0 80 3,2 Sparet 175 60 10,5 100 17,5 45 7,8 Kertas yang dikelantang 35 75 2,6 160 5,6 80 2,8 pH 6,0 -9,0

Catatan :

Penjelasan kategori proses di atas diberikan sebagai berikut:

A. PULP 1. Proses kraft (dikelantang dan tidak dikelantang) adalah produksi pulp yang menggunakan cairan pemasaknatrium hidroksida yang sangat alkalis dan natrium sulfida. Proses kraft yang dikelantang digunakan padaproduksi kertas karton dan kertas kasar lain yang berwarna. Pengelantangan adalah penggunaan bahanpengoksidasi kuat yang diikuti dengan ekstraksi alkali untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suaturentang produk kertas yang lengkap. 2.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Proses pulp larut adalah produk pulp putih dan sangat murni dengan menggunakan pemasakan kimiawiyang kuat. Pulpnya digunakan untuk pembuatan rayon dan produk lain yang mensyaratkan hampir tidakmengandung lignin. 3. Proses groundwood adalah penjggunaan defibrasi mekanis (pemisahan serat) dengan menggunakangerinda atau penghlaus (refiners) dari batu. CMP ( proses pembuatan pulp kimia mekanis) menggunakancairan pemasak kimia untuk memasak kayu secara parsial sebelum pemisahan serta secara mekanik.TMP (proses pembuatan pulp termo-mekanis) merupakan pemsakan singkat dengan menggunakan kukusdan kadang0kadang bahan kimia pemasak, sebelum tahap mekanis. 4. Proses semi kimia merupakan penggunaan cairan pemasak sulfit netral tanpa pengelantangan untukmenghasilkan produk kasar untuk lapisan dalam karton gelombang berwarna coklat. 5. Proses soda adalah produksi pulp dengan menggunakan cairan pemasak natrium hidroksida yang sangatalkalis. 6. Proses penghilangan tinta (De-ink) merupakan salah satu proses pembuatan kertas yang menggunakankertas bekas yang didaur ulang melalui proses penghilangan tinta dengan kondisi alkali dan kadangkadang dibuat cerah atau diputihkan untuk menghasilkan pulp sekunder, sering kali berkaitan denganproses konvensional. B. KERTAS 1. Kertas halus berarti produksi kertas halus yang dikelantang seperti kertas cetak dan kertas tulis. 2. Kertas besar berarti produksi kertas berwarna ciklat, seperti linerboard, kertas karton berwarna coklat ataukarton. 3. Kertas lain berarti produksi kertas yang dikelantang selain yang tercantum dalam golongan halus, seperti kertas koran. 126

LAMPIRANB.VI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET

PARAMETER LATEKS PEKAT KARET BENTUK KERING KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 4 60 2,4 COD 250 10 200 8

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

TSS 100 4 100 4 Amonia Total (sebagai NH3-N) 15 0,6 5 0,2 Nitrogen Total (sebagai N) 25 1,0 10 0,4 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit limbah maksimum 40 m3/ton produk karet 40 m3/ton produk karet

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligramparameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk karet kering atau lateks pekat. 3. Nitrogen Total jumlah N organik + Amonia Total + NO 3 + NO2 LAMPIRAN B.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 60 0,3 COD 100 0,5 TSS 50 0,25 Minyak dan Lemak 5 0,025 Sulfida (sbg S) 0,5 0,0025 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 5,0 m3 per ton produk gula

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter perLiter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk gula. 3. Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin. 127

LAMPIRAN B.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 150 4,5 COD 300 9 TSS 100 3 Sianida (CN) 0,3 0,009 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 30 m3 per ton produk tapioka

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tapioka. LAMPIRAN B.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) Tekstil Terpadu BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) Pencucian Kapas Pemintalan Penenunan Perekatan (Sizing) Desizing Pengikisan Pemasakan (Klering Scouring) Pemucatan (Blencing) Merserisasi Pencelupan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(Dyeing) Pencetakan (Printing) BOD5 60 6 0,42 0,6 1,44 1,08 0,9 1,2 0,36 COD 150 15 1,05 1,5 3,6 2,7 2,25 3,0 0,9 TSS 50 5 0,35 0,5 1,2 0,9 0,75 1,0 0,3 Fenol Total 0,5 0,05 0,004 0,005 0,012 0,009 0,008 0,01 0,003 Krom Total (Cr) 1,0 0,1 -----0,02 0,006 Amonia Total (NH3-N) 8,0 0,8 0,056 0,08 0,192 0,144 0,12 0,16 0,048 Sulfida (sbg S) 0,3 0,03 0,002 0,003 0,007 0,005 0,005 0,006 0,002 Minyak dan Lemak 3,0 0,3 0,021 0,03 0,07 0,054 0,045 0,06 0,018 pH 6,0 -9,0 Debit

Limbah maksimum 100 7

10

24

18

15

20

6

(m3 ton

produk)

Catatan :

1.Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah.

2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil.

128

LAMPIRANB.X :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PARAMETER PUPUKUREA PUPUK NITROGEN LAIN AMONIAK BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) COD 3,0 3,0 0,30 TSS 1,5 3,0 0,15 Minyak dan Lemak 0,3 0,30 0,03 NH3-N 0,75 1,50 0,30 TKN 1,5 2,25 -pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit limbah maksimum produk 15 m3 per ton produk 15 m3 per ton produk 15 m3 per ton produk

Catatan :

1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir. 2. Beban limbah cair (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit limbah. 3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untuk industri pupuk urea dan pupuk nitrogen lain yang memproduksi kelebihan amoniak. LAMPIRAN B.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 100 1,5 COD 300 4,5

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

TSS 100 1,5 Sulfida (sbg S) 0,5 0,0075 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 15 m3 per ton produk ethanol

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk ethanol. 129

LAMPIRAN B.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) BOD5 80 9,6 COD 150 18,0 TSS 100 12,0 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 120 m3 per ton produk MSG

Catatan :

1.Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah.

2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk MSG.

LAMPIRAN B.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS

PARAMETER KADAR BEBAN MAKSIMUM PENCEMARAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(mg/L) MAKSIMUM (gram/m3 produk) BOD5 75 22,5 COD 125 37,5 TSS 50 15 Fenol 0,25 0,08 Amonia Total (sbg N) 4 1,2 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 0,30 m3 per m3 produk kayu lapis

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Literair limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk kayu lapis. 3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter. 130

LAMPIRAN B.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) PABRIK SUSU DASAR (kg/ton) PABRIK SUSU TERPADU (kg/ton) BOD5 40 0,08 0,06 COD 100 0,20 0,15 TSS 50 0,10 0,075 pH 6,0 -9,0 Debit limbah maksimum 2,0 L per kg total padatan 1,5 L per kg produk susu

Catatan :

1. Pabrik susu dasar menghasilkan susu cair dan krim, susu kental manis dan atau susu bubuk. 2. Pabrik terpadu : menghasilkan produksi dari susu seperti keju, mentega dan atau es krim. 3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton total

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

padatan susu atau produk susu. LAMPIRAN B.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3) PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) DENGAN PENCUCIAN BOTOL DAN DENGAN PEMBUATAN SIROP DENGAN PENCUCIAN BOTOL DAN TANPA PEMBUATAN SIROP TANPA PENCUCIAN BOTOL DAN DENGAN PEMBUATAN SIROP TANPA PENCUCIAN BOTOL DAN TANPA PEMBUATAN SIROP BOD5 50 175 140 85 60 TSS 30 105 84 51 36 Minyak dan Lemak 6 21 17 10,2 7,2 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 3,5 L per L produk minuman 2,8 L per L produk minuman 1,7 L per L produk minuman 1,2 L per

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

L produk minuman

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk minuman ringan yang dihasilkan. 131

LAMPIRAN B.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DETERJEN DAN PRODUK-PRODUK MINYAK NABATI

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton) PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) SABUN MINYAK NABATI DITERJEN BOD5 75 0,60 1,88 0,075 COD 180 1,44 4,50 0,180 TSS 60 0,48 1,50 0,06 Minyak dan Lemak 15 0,120 0,375 0,015 Fosfat (PO4) 2 0,016 0,05 0,002 MBAS 3 0,024 0,075 0,003 pH 6,0 -9,0 Debit limbah maksimum sabun 8 m3 per ton produk sabun 25 m3 per ton produk minyak nabati 1 m3 per ton produk diterjen

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram per ton produk sabun, minyak nabati dan diterjen.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

LAMPIRAN B.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/hektoliter) BOD5 40 24,0 COD 100 60,0 TSS 40 24,0 pH 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 6 hektoliter per hektoliter Bir

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram per hektolilter produk Bir. 132

LAMPIRANB.XVIII :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTULIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING

PARAMETER ALKALINE -MANGAN KARBON -SENG KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (mg/kg produk) KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(mg/kg produk) COD --15 3,75 TSS 8 12 10 2,5 NH3 Total --1 0,25 Minyak dan Lemak 2 3,0 4 1,0 Seng (Zn) 0,2 0,3 0,3 0,075 Merkuri (Hg) 0,01 0,015 0,01 0,0025 Mangan (Mn) 0,3 0,45 0,3 0,075 Krom (Cr) 0,06 0,09 --Nikel (Ni) 0,4 0,6 --pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah Maksimum 1,5 L per kg baterai 0,25 L per kg baterai

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per kg produk baterai. LAMPIRAN B.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3) BOD5 80 40 TSS 50 25 Merkuri (Hg) 0,01 0,005 Seng (Zn) 1,0 0,50 Timbal (Pb) 0,30 0,15 Tembaga (Cu) 0,80 0,40 Krom Heksavalen (Cr+6) 0,20 0,10 Titanium (Ti) 0,40 0,20 Kadmium (Cd) 0,08 0,04 Fenol 0,20 0,10 Minyak dan Lemak 10 5 pH Debit Limbah Maksimum 6,0 -9,0 0,5 L per L produk cat water base Zero Discharge untuk cat solvent base

133

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Catatan :

1. Solvent-Based Cat harus Zero Discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum. 2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk cat. LAMPIRANB.XX :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI

PARAMETER PROSES PEMBUATAN BAHAN FORMULA (mg/L) FORMULASI PENCAMPURAN (mg/L) BOD5 100 75 COD 300 150 TSS 100 75 TOTAL -N 30 -FENOL 1,0 -Ph 6,0 -9,0 6,0 -9,0

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. LAMPIRANB.XXI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA

PARAMETER PEMBUATAN PESTISIDATEKNIS FORMULASI PENGEMASAN KADAR MAKSIMUM (mg/L) BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton produk)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KADAR MAKSIMUM (mg/L) BOD5 30 0,60 15 COD 100 2,00 50 TSS 25 0,50 15 Fenol 2 0,04 1,5 Bensena 0,1 0,002 0 Toluena 0,1 0,002 0 Total-CN 0,8 0,016 0 Tembaga (Cu) 1,0 0,02 0 Total-NH3 1,0 0,02 0 Bahan Aktif Total 1,0 0,02 0,05 pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0 Debit Limbah maksimum 20 m3 per ton produk

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk pestisida. 134

LAMPIRAN C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995 TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI TANGGAL : 23 OKTOBER 1995 BAKU MUTU LIMBAH CAIR

NO PARAMETER SATUAN GOLONGAN BAKU MUTU LIMBAH CAIR I II FISIK 1 Temperatur der.C 38 40 2 Zat padat larut mg/L 2000 4000 3 Zat padar tersuspensi mg/L 200 400 KIMIA 1 pH 6,0 sampai 9,0 2 Besi terlarut (Fe) mg/L 5 10 3 Mangan terlarut (Mn) mg/L 2 5 4 Barium (Ba) mg/L 2 3 5 Tembaga (Cu) mg/L 2 3 6 Seng (Zn) mg/L 5 10 7 Krom Heksavalen (Cr+6) mg/L 0,1 0,5 8 Krom Total (Cr) mg/L 0,5 1 9 Cadmium (Cd) mg/L 0,05 0,1 10 Raksa (Hg) mg/L 0,002 0,005 11 Timbal (Pb) mg/L 0,1 1 12 Stanum mg/L 2 3

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

13 Arsen mg/L 0,1 0,5 14 Selenum mg/L 0,05 0,5 15 Nikel (Ni) mg/L 0,2 0,5 16 Kobalt (Co) mg/L 0,4 0,6 17 Slanida (CN) mg/L 0,05 0,5 18 Sulfida (H2S) mg/L 0,05 0,1 19 Fluorida (F) mg/L 2 3 20 Klorin bebas (Cl2) mg/L 1 2 21 Amonia bebas (NH3-N) mg/L 1 5 22 Nitrat (NO3-N) mg/L 20 30 23 Nitrit (NO2-N) mg/L 1 3 24 BOD5 mg/L 50 150 25 COD mg/L 100 300 26 Senyawa aktif biru metilen mg/L 5 10 27 Fenol mg/L 0,5 1 28 Minyak Nabati mg/L 5 10 29 Minyak Mineral mg/L 10 50 30 Radioaktivitas **) --

Catatan :

*). Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air secara langsung diambil dari sumber air kadar parameter limbah tersebut adalah limbah maksimum yang diperbolehkan.

**). Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian,

ttd

Hambar Martono

135

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-52/MENLH/X/1995

TENTANG

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan kehidupan manusiaserta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair; c. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalamPasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel; Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder ordonantie) Tahun 1926, stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan stbl. 1940 Nomor 14 dan Tahun 450;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor3215); 5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3144); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas pokok,Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dampak Lingkungan; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara komersial yang meliputi hotel berbintang dan hotel melati. 2. Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum. 3. Baku Mutu Limbah Cair Hotel adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan. 4. Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. 5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, atau GubernurKepala Daerah Istimewa. Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3, 4, 5 adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. (2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang : a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000; b. tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000; 136

(3) bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B; (4) Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Pasal 3

(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(2) Menteri memberikan tanggapan dan atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui. Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. (2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti dalam lampiran Keputusan ini. Pasal 5 Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab kegiatan hotel wajib untuk: a. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan; b. membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan; c. memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut; d. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan; e. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan; f. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan e sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Bapedal, Gubernur, dan instansi teknis yang membidangi hotel, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. Pasal 7 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan persyaratan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin Undangundang Gangguan (Hinder Ordonantie)

Pasal 8

(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini: 1. Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku; 2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgat daripada Baku Mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini. Pasal 9

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 Oktober 1995 Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian,

ttd

Hambar Martono

137

LAMPIRAN A KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BOD5 75 COD 100 TSS 100 pH 6,0 -9,0

LAMPIRAN B KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BOD5 30 COD 50 TSS 50 pH 6,0 -9,0

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 23 Oktober 1995

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya

Asisten IV Menteri Negara Lingkungan HidupBidang Pengembangan Pengawasandan Pengendalian,

ttd

Hambar Martono

138

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-58/MENLH/XII/1995

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perludilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair yang dibuang ke lingkungan dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit; c. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dan untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit; Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2722); 3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 4.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kesehatan Kepala Daerah (Lembaran Negara Tahun 1987 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3347); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

Pasal 1

(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian; 2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas; 3. Baku Mutu Limbah Cair Rumah Sakit adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit; 4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; 139

5. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa; Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini. (2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurangkurangya sekali dalam 5 (lima) tahun. Pasal 3

(1) Bagi setiap rumah sakit yang: a. Telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2000; b. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000; c. Tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran B. Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan: a. Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit untuk parameter nonradioaktivitas b. Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom Nasional untuk parameter radioaktivitas. (2) Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan dianggap telah disetujui. Pasal 5

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini. (2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 6 Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 5 ayat (1), maka bagi kegiatan rumah sakit tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 7

(1) Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib: a. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

b. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan ke tanah serta terpisah dengan saluran limpahan air hujan; c. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut; d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini kepada laboratorium yang berwenang sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan; e. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud huruf c dan d sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Gubernur dengan tembusan Menteri, Kepala Bapedal, Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional, instansi teknis yang membidangi rumah sakit serta instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; Pasal 8

(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat radioaktif pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan Badan Tenaga Atom Nasional. 140

(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan. (3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radioaktif dalam kegiatannya, tidak diberlakukan kelompok parameter radioaktivitas dalam pemeriksaan limbah cair rumah sakit yang bersangkutan. Pasal 9 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau Pasal 6 Keputusan ini, dan persyaratan dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordinnantie).

Pasal 10

(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini: 1. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku; 2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini selambatlambatnya satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini. Pasal 11 Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 Desember 1995

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Salinan sesuai aslinya

Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian

ttd

Hambar Martono

141

LAMPIRAN A KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L) BOD5 75 COD 100 TSS 100 pH 6-9

LAMPIRAN B KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM FISIKA Suhu < 30O C KIMIA pH 6 - 9 BOD5 30 mg/L COD 80 mg/L TSS 30 mg/L NH3 Bebas 0,1 mg/L PO4 2 mg/L MIKROBIOLOGIK MPN -Kuman Golongan Koli/100 mL 10.000 RADIOAKTIVITAS 32P 7 X 102 Bq/L 35S 2 X 103 Bq/L 45Ca 3 x 102 Bq/L 51Cr 7 x 104 Bq/L 67Ga 1 x 103 Bq/L 85Sr 4 x 103 Bq/L 99Mo 7 x 103 Bq/L 113Sn 3 x 103 Bq/L 125I 1 x 104 Bq/L 131I 7 x 104 Bq/L

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

192Ir 1 x 104 Bq/L 201TI 1 x 105 Bq/L

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Sarwono Kusumaatmadja Salinan sesuai aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian ttd Hambar Martono

142

LAUT LAUT 143

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARANDAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa;

b. bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk mernberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan makhluk hidup lainnya; c. bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfaatan laut beserta sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823); 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994);

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260); 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982; 9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493); 11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); 13. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional; 2. Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya; 3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut; 4. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang lampaui kriteria baku kerusakan laut; 5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku kerusakan laut;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

6. Kriteria baku kerusakan laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan laut yang dapat ditenggang; 144

7. Status mutu laut ada tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dini berdasarkan baku mutu air laut dan/atau kriteria baku kerusakan laut; 8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik; 9. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan laut; 10. Pembuangan (dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau benda lain yang tidak terpakai atau daluarsa ke laut; 11. Limbah adalah sisa usaha dan/atau kegiatan; 12. Limbah cair adalah sisa dan proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair; 13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dan suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud padat termasuk sampah; 14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum; 15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup. Pasal 2 Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut bertujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber daya laut.

BAB II PERLINDUNGAN MUTU LAUT

Pasal 3 Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.

Pasal 4 Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait lainnya.

Pasal 5

(1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut. (2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu laut. Pasal 6 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status mutu laut.

Pasal 7

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Air laut yang mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada tingkatan baik. (2) Air laut yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada tingkatan tercemar. Pasal 8

(1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik. (2) Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak. BAB III PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT

Pasal 9 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut.

Pasal 10

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 145

Pasal 11 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut.

Pasal 12

Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT

Pasal 13 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut.

Pasal 14

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan laut. BAB V PENANGGULANGAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 15

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. (2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab. BAB VI PEMULIHAN MUTU LAUT

Pasal 16

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut. (2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab. BAB VII KEADAAN DARURAT

Pasal 17

(1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila: a. pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut; b. pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar. (2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan. (4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri. (5) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, di tanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. BAB VIII DUMPING

Pasal 18

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut wajib mendapat izin Menteri. (2) Tata cara dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. 146

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAB IX PENGAWASAN

Pasal 19

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut. (2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Pasal 20

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut. Pasal 21 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib:

a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut; b. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas; c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperoleh pengawas; d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya yang diperlukan pengawas; dan e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya. Pasal 22

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya. (2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab. BAB X PEMBIAYAAN

Pasal 23

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Biaya inventarisasi dari/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber dana tambahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana tambahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XI GANTI RUGI

Pasal 24

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya. (2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan. Pasal 25 Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

147

BAB XII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26 Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 28 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 32

148

PENJELASAN ATAS PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARANDAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

I. UMUM Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan laut lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting, antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia juga. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan salah satu sumber daya alam, sangat perlu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.

1. Pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Hal ini berarti, bahwa perlu ditetapkan baku mutu air laut yang berfungsi sebagai tolak ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat pencemaran laut dengan status mutu laut itu sendiri. 2. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Hal ini berarti bahwa perlu ditetapkan kriteria baku kerusakan laut yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan tingkat kerusakan laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat kerusakan laut dengan status mutu laut itu sendiri. 3. Mengacu kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan generasi kini dan yang akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Pengendalian pencemaran

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dan/atau perusakan laut mengacu kepada sasaran tersebut sehingga pola kegiatannya terarah dan selaras dengan tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban serta peran masyarakat. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyebutkan hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas tentang hak dan kewajibannya didalam upaya pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta melaksanakan misi yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut atau pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah. 4. Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut merupakan kegiatan yang mencakup: a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut; b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang digunakan sebagai tolak ukur utama pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut; c. Pemantauan kuatitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut yang diikuti dengan pengumpulan hasil pemantauan yang dilakukan oleh instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh serta pembuatan laporan; d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah; e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu laut yang telah tercemar atau rusak; f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut termasuk penaatan mutu limbah yang dibuang ke laut dan/atau penaatan terhadap kriteria baku kerusakan laut serta penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya. 149

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka (1)Unsur terkait adalah semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang ada di laut.

Angka (2)Cukup jelas

Angka (3)Cukup jelas

Angka (4)Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Angka (5)Cukup jelas

Angka (6)Cukup jelas

Angka (7)Cukup jelas

Angka (8)Yang dimaksud mutu laut tetap baik adalah mutu laut sama atau dibawah ambang batas baku mutu airlaut atau kriteria baku kerusakan laut.

Angka (9)Cukup jelas

Angka (10)Cukup jelas

Angka (11)Cukup jelas

Angka (12)Cukup jelas

Angka (13)Cukup jelas

Angka (14)Cukup jelas

Angka (15)Cukup jelas

Angka (16)Cukup jelas

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cukup jelas

Pasal 4 Baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukkannya, antara lain: baku mutu air laut untuk pariwisatadan rekreasi (mandi, renang, dan selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati danekosistemnya. Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan berdasarkan pada kondisi fisik ekosistemlaut yaitu antara lain: terumbu karang, mangrove dan padang lamun.

Pasal 5 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Cukup jelas

Ayat (3)Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

150

Pasal 7

Ayat (1)Yang dimaksud dengan memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu airlaut yang diukur berada dalam batas atau sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkanoleh Menteri.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan tidak memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parametermutu air laut yang diukur tidak berada dalam batas atau tidak sesuai dengan ketentuan baku mutu airlaut yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 8

Ayat (1)Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut adalah jikakondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam: -Kondisinya “baik” sampai “baik sekali” untuk terumbu karang. -Kondisinya “sedang” sampai “sangat padat” untuk mangrove. -Kondisinya “kaya” sampai “sangat kaya” untuk padang lamun.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan adalah jikakondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam: -Kondisinya “sedang” sampai “buruk” untuk terumbu karang. -Kondisinya “jarang” sampai “sangat jarang” untuk mangrove. -Kondisinya “agak miskin” sampai “miskin” untuk padang tamun.

Pasal 9

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cukup jelas

Pasal 10 Cukup jelas

Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12 Yang dimaksud limbah padat adalah termasuk sampah.Yang dimaksud dengan kegiatan rutin operasional di laut antara lain:kapal, kegiatan lepas pantai (off shore) dan perikanan.

Pasal 13 Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)Kewajiban untuk melakukan pencegahan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi terjadinyakemungkinan resiko terhadap setiap ekosistem laut berupa terjadinya perusakan.

Ayat (2)Cukup jelas

Pasal 15 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Cukup jelas

Pasal 16 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan penanggulangansesegera mungkin sehingga mengesampingkan prosedur normal. Yang dimaksud dengan bendaadalah barang dan/atau bahan dan/atau zat dan/atau limbah.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang antara lain Menteri Perhubungan, MenteriPertambangan dan Energi, dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan.

151

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (3)Cukup jelas

Ayat (4)Cukup jelas

Ayat (5)Cukup jelas

Pasal 18 Ayat (1)Cukup Jelas

Ayat (2)Dalam rangka menetapkan tata cara dumping, Menteri wajib melakukan koordinasi dengan instansiterkait.

Pasal 19 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dan instansi lain untuk melakukan pengawasan,Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.

Pasal 20 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Cukup jelas

Ayat (3)Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormatinilai dan norma yang berlaku baik tertulis maupun yang tidak tertulis.

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)Laporan tentang kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau yang disampaikan antara lain berisihasil pemantauan kualitas dan kuantitas limbah yang di buang ke laut, kinerja instalasi pengolahan airlimbah, luas penambangan pasir atau batu yang telah dilakukan dan upaya minimalisasi dampak,reklamasi pantai.

Ayat (2)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cukup jelas

Pasal 23 Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal27 Cukup jelas

Pasal 28 Cukup jelas

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 27 Februari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

152

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2001

TENTANG

KRITERIABAKUKERUSAKAN TERUMBUKARANG

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;

b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pengendaliannya; c. bahwa salah satu upaya untuk melindungi terumbu karang dari kerusakan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria baku kerusakan; d. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG.

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitarnya; 2. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu kerusakan terumbu karang dengan menggunakan prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup; 4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 5. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 6. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota; 7. Instansi yang bertanggung jawab adalah Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 8. Instansi yang bertanggung jawab adalah Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah. 153

BAB II

KRITERIA BAKU KERUSAKAN , STATUS KONDISI, DAN PROGRAM PENGENDALIAN KERUSAKAN TERUMBU

KARANG

Bagian Pertama Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang

Pasal 2

(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. (2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran I Keputusan ini. Pasal 3

(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang. Bagian Kedua Status Kondisi Terumbu Karang

Pasal 4

(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan instansi yag bertanggung jawab.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(2) Gubernur/Bupati/Walikota menentukan status kondisi terumbu karang dari hasil inventarisasi yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang dapat ditentukan: a. terumbu karang dalam kondisi baik; atau b. terumbu karang dalam kondisi rusak. (3) Pedoman pengukuran untuk menetapkan status kondisi terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 5 Gubernur/Bupati/Walikota wajib mempertahankan status kondisi terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a.

Bagian Ketiga Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang

Pasal 6

(1) Gubernur/Bupati/Wallikota wajib menyusun program pengendalian kerusakan terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi rusak sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b. (2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. (3) Pedoman tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam lampiran II Keputusan ini. Pasal 7 Dalam rangka pelaksanaan program pengendalian kerusakan terumbu karang Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi terumbu karang 1 (satu) tahun sekali dan menyampaikan laporannya kepada Menteri, instansi yang berwenang di bidang kehutanan, instansi yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 8 Menteri menetapkan kebijakan nasional mengenai pengendalian kerusakan terumbu karang.

BAB III PENGAWASAN DAN PELAPORAN

Pasal 9

(1) Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan terhadap terumbu karang. (2) Dalam hal pengawasan tersebut dilakukan di kawasan konservasi wajib dikoordinasikan dengan instansi yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab. 154

Pasal 10

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan terumbu karang, wajib segera melaporkan kepada pejabat daerah terdekat. (2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepolisian, Bupati, Walikota atau Gubernur terdekat. (3) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menerima laporan wajib mencatat :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a. identitas pelapor; b. tanggal pelaporan; c. waktu dan tempat kejadian; d. lokasi terjadinya kerusakan; e. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan atau pelaku perusakan. Pasal 11 Pejabat daerah terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib segera melakukan verifikasi laporan terjadinya kerusakan atau perusakan terumbu karang.

Pasal 12 Apabila hasil verifikasi menunjukkan telah terjadi kerusakan atau perusakan terumbu karang, Bupati, Walikota atau Gubernur setempat wajib segera melakukan langkah penanganannya.

BAB IV PEMBIAYAAN

Pasal 13 Biaya sebagaimana dimaksud dalam :

a. Pasal 4 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. BAB V KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 Februari 2001

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf.

155

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP -04/MENLH/02/2001

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Tanggal : 23 Februari 2001

KRITERIABAKUKERUSAKAN TERUMBUKARANG

PARAMETER KRITERIA BAKU KERUSAKAN KARANG (dalam %) Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup Rusak Buruk 0 - 24,9 Sedang 25 -49,9 Baik Baik 50 -74,9 Baik sekali 75 -100

Keterangan : Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang : 50 -100%

Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP -04/MENLH/02/2001 Tanggal : 23 Februari 2001

PEDOMAN TATACARA PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN DAN PEMULIHANKERUSAKAN TERUMBU KARANG

A. Pendahuluan. Terumbu karang merupakan rumah bagi 25% dari seluruh biota laut dan merupakan ekosistem di dunia yang paling rapuh dan mudah punah. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang demi kelestarian fungsinya sangat penting.

Terumbu karang Indonesia menurut Tomascik, 1997 mempunyai luas kurang lebih 85.707 Km 2, yang terdiri dari fringing reefs 14.542 Km2, barrierreefs 50.223 Km2, oceanic platformreefs 1.402 Km2, dan attolsseluas 19.540 Km2. Terumbu karang telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak kelestarian sumber daya, seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia beracun (potassium sianida) telah terjadi di seluruh perairan Indonesia.

Masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya, sebaliknya, kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini. Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna bagi masyarakat pesisir.

B. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Sedimentasi

Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai ataupun penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya. Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai penyaring juga menjadi rusak dan menyebabkan sedimen dapat mencapai terumbu karang. Penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dapat merubah area hutan mangrove tersebut menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang dapat merusak tempat penyediaan udang alami.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Penangkapan dengan Bahan Peledak

Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan akan mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebihan, sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat (sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan merusak karang di sekitarnya.

156

Aliran drainase

Aliran drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang terbuang ke perairan pantai yang mendorong pertumbuhan algae yang akan menghambat pertumbuhan polip karang, mengurangi asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan secara berlebihan membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang biasanya makan algae juga ikut tertangkap.

Penangkapan ikan dengan Sianida

Kapal-kapal penangkap ikan seringkali menggunakan sianida dan racun-racun lain untuk menangkap ikan-ikan karang yang berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-ikan tropis untuk akuarium dan sekarang digunakan untuk menangkap ikan-ikan sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan hidup.

Pengumpulan dan Pengerukan

Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan baku konstruksi atau dijual untuk cinderamata juga merusak terumbu karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk konstruksi di daerah terumbu karang.

Pencemaran Air

Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang di dekat perairan pantai, pada akhirnya akan mencapai terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang dan biota laut lainnya.

Pengelolaan tempat rekreasi

Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan, seperti penyewaan kapal, peralatan pemancingan dan penyelaman seringkali menyebabkan rusaknya terumbu karang. Pelemparan jangkar ke karang dapat menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan yang mengambil, mengumpulkan, menendang, dan berjalan di karang ikut menyumbang terjadinya kerusakan terumbu karang.

Pemanasan global

Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global. Pemutihan terumbu karang meningkat selama dua dekade terakhir, masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu terpanas dalam sejarah. Ketika suhu laut meningkat sangat tinggi, polip karang kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna mereka menjadi putih dan akhirnya mati.

Pemanasan global juga mengakibatkan cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar. Meningkatnya permukaan laut juga menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol.

C. Pencegahan dan Penanggulangan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat

Adalah upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang dan mengajak masyarakat untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari, seperti meningkatkan kesadaran mereka akan peranan penting terumbu karang, seperti sebagai tempat pengembangan wisata bahari, bahan baku obat-obatan, kosmetika, bahan makanan dan lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir sejak masa kanak-kanak.

Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat. Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

Pengembangan Kelembagaan

Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati lingkungan. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang.

Penelitian, Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang. Dalam kaitan ini akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang dengan membangun simpul-simpul di beberapa propinsi. Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di beberapa tempat, seperti : Biak, Ambon dan Lombok.

Penegakan hukum

Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan

157

penting dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat dalam pengamanan terumbu karang secara langsung adalah sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, dimana mereka berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang di daerahnya.

D. Pemulihan Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan upaya yang paling sulit untuk dilakukan, serta memakan biaya tinggi dan waktu yang cukup lama. Upaya pemulihan yang bisa dilakukan adalah zonasi dan rehabilitasi terumbu karang.

Zonasi

Pengelolaan zonasi pesisir bertujuan untuk memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah rusak. Pada prinsipnya

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

wilayah pesisir dipetakan untuk kemudian direncanakan strategi pemulihan dan prioritas pemulihan yang diharapkan. Pembagian zonasi pesisir dapat berupa zona penangkapan ikan, zona konservasi maupun lainnya sesuai dengan kebutuhan/pemanfaatan wilayah tersebut, disertai dengan zona penyangga karena sulit untuk membatasi zona-zona yang telah ditetapkan di laut. Ekosistem terumbu karang dapat dipulihkan dengan memasukkannya ke dalam zona konservasi yang tidak dapat diganggu oleh aktivitas masyarakat sehingga dapat tumbuh dan pulih secara alami.

Rehabilitasi

Pemulihan kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi aktif, seperti meningkatkan populasi karang, mengurangi algae yang hidup bebas, serta meningkatkan ikan-ikan karang.

Meningkatkan populasi karang

Peningkatan populasi karang dapat dilakukan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu membiarkan benih karang yang hidup menempel pada permukaan benda yang bersih dan halus dengan pori-pori kecil atau liang untuk berlindung; menambah migrasi melalui transplantasi, serta mengurangi mortalitas dengan mencegahnya dari kerusakan fisik, penyakit, hama dan kompetisi.

Mengurangi alga hidup yang bebas

Pengurangan populasi alga dapat dilakukan dengan cara membersihkan karang dari alga dan meningkatkan hewan pemangsa alga.

Meningkatkan ikan-ikan karang

Populasi ikan karang dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu dengan meningkatkan ikan herbivora dan merehabilitasi padang lamun sebagai pelindung bagi ikan-ikan kecil; meningkatkan migrasi atau menambah stok ikan, serta menurunkan mortalitas jenis ikan favorit.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi III MENLH Bidang Hukum Lingkungan,

ttd

Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES.

158

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-45/MENLH/XI/1996

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

TENTANG

PROGRAM PANTAI LESTARI

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai, setiap usaha atau kegiatan wajib melakukan usaha pengendaliannya;

2. bahwa salah satu upaya pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai tersebut dilakukan dengan Program Pantai Lestari; 3. bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Pantai Lestari; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1982 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 7. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 Beserta Protokol; 8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; 9. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 86 Tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran Oleh Minyak dari Kapal; 11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 215/AL 506/PHB-87 tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal; 12. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 167/HM/207 Tahun 1986 tentang Sertifikasi Internasional Pencegahan Pencemaran Oleh Bahan Cair Beracun;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

13. Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor : KM 97/HK.103/MPPT/87 tentang Ketentuan Usaha Wisata Tirta; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PANTAI LESTARI

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud: 1. Pantai Lestari adalah nama atau label dari program kerja pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai berskala nasional. 2. Lingkungan Pesisir adalah lingkungan perairan pantai, lingkungan pantai itu sendiri dan lingkungan daratan pantai. 3. Pantai Wisata adalah wilayah pantai yang merupakan daerah tujuan wisata. 4. Bandar Indah adalah program kerja pengendalian pencemaran dan atau kerusakan di wilayah pelabuhan. 5. Teman Lestari adalah program kerja pengendalian pencemaran dan atau kerusakan terhadap terumbu karang dan mangrove. 6. Menteri adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup. 7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Pasal 2 Setiap orang dan atau penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan wilayah pantai.

Pasal 3

(1) Program Pantai Lestari meliputi: 1. Pantai Wisata Bersih 2. Bandar Indah; dan 3. Teman Lestari 159

Pasal 4

(1) Program Pantai Lestari bertujuan: 1. terkendalinya pencemaran atau kerusakan lingkungan wilayah pantai, dari berbagai usaha atau kegiatan. 2. terciptanya masyarakat sadar lingkungan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

lingkungan wilayah pantai. 3. terbinanya hubungan koordinasi yang lebih baik antar lembaga terkait dalam pengelolaan lingkungan wilayah pantai. Pasal 5

(1) Program Pantai Lestari Tingkat Pusat: 1. dikoordinasikan oleh Menteri 2. penanggung jawab kegiatan oleh Kepala BAPEDAL (2) Program Pantai Lestari Tingkat Daerah: 1. pembinaan umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri 2. koordinasi pelaksanaannya dilakukan oleh Gubernur 3. pelaksanaannya dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II 4. bimbingan teknis dan dukungan pelayanan laboratorium oleh Bapedalwil Pasal 6

(1) Gubernur dapat mengusulkan Penetapan Propinsi Daerah Tingkat II Program Pantai Lestari (2) Tata cara pengusulan Propinsi Daaerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Bapedal setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Lingkungan Hidup Pasal 7 Gubernur dapat menetapkan prioritas dan sasaran yang dijadikan program pantai lestari di daerahnya

Pasal 8

(1) Setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat mengusulkan daerahnya sebagai pelaksana Program Pantai Lestari kepada Gubernur (2) Tata cara pengusulan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur Pasal 9 Kepala BAPEDAL melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program Pantai Lestari secara nasional sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Menteri

Pasal 10 Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program Pantai Lestari secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.

Pasal 11

(1) Menteri dapat memberikan penghargaan kepada Gubernur, Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II dan atau penanggung jawab usaha atau kegiatan yang dinilai telah berhasil melakukan pembinaan dan pelaksanaan Program Pantai Lestari. (2) Menteri menetapkan penghargaan Program Pantai Lestari berdasarkan pertimbangan Dewan Penilai. (3) Pedoman dan tata cara penilaian untuk memberikan penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Bapedal (4) Susunan anggota Dewan Penilai Program Pantai Lestari ditetapkan oleh Menteri Pasal 12

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program Pantai Lestari:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. tingkat pusat dibebankan kepada Anggaran BAPEDAL 2. tingkat daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 19 Nopember 1996

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

160

KEPUTUSAN KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR 47 TAHUN 2001

TENTANG

PEDOMAN PENGUKURANKONDISI TERUMBU KARANG

KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;

b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya; c. bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu karang, diperlukan suatu ukuran untuk menilai kondisi terumbu karang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

2.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419) 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 45/MENLH/11/1996 tentang Program Pantai Lestari: 9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 47/MENLH/11/1996 tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Pantai Lestari; 10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang: MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG.

Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu tempat dan waktu tertentu; 2. Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitamya; Pasal 2

(1) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini. (2) Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menyediakan acuan bagi petugas pemantau, pengawas, peneliti, penyidik dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam melakukan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang. (3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi terumbu karang adalah metoda transek garis bentuk pertumbuhan karang.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

161

Pasal 3

Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan dalam rangka:

1. Penelitian dan pendidikan; 2. Pemantauan dan pengawasan; 3. Penyidikan tindak pidana perusakan terumbu karang. Pasal 4

(1) Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki sertifikat selam dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia atau sertifikat dengan jenjang sederajat yang diterbitkan oleh instansi sejenis lainnya. (2) Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam surat keputusan tentang persyaratan pengangkatan sebagai pengawas atau penyidik. Pasal 5

(1) Data hasil pengukuran kondisi terumbu karang sebelum disajikan atau diinformasikan kepada pihak lain yang berkepentingan atau publik, harus disahkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap jenis kegiatan: a. penelitian dan pendidikan adalah pimpinan lembaga penelitian atau pendidikan yang bersangkutan; b. pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas pemantau dan pengawas pada instansi yang bersangkutan, baik di pusat maupun di daerah. (3) Untuk kepentingan kegiatan penyidikan, maka kegiatan pengukuran, pengolahan dan penyajian hasil penyidikan harus dituangkan dalam suatu Berita Acara. Pasal 6

(1) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. (2) Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 30 April 2001

Kepala Badan PengendalianDampak Lingkungan,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Utama Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.

Dr. Ir. Sunyoto, Dipl. HE

162

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

LAMPIRAN KEPUTUSAN KEPALAPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : 47 TAHUN 2001

PEDOMAN PENGUKURANKONDISI TERUMBU KARANG BERDASARKAN METODA TRANSEK GARIS BENTUK PERTUMBUHAN KARANG

I. PEMILIHAN TAPAK 1. Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada “lereng terumbu” (yaitu : terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk pemilihan tempat (Gambar 1). GAMBAR 1: Metoda Manta Towing

2. Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang-kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2 (dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan tapak harus dilakukan pada semua kondisi. 3. Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat. Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih. 4. Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung. II. PEDOMAN UMUM 1. Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek yang masing-masing berukuran panjang 50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang berdekatan minimal adalah 10 meter. 2. Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada kira-kira 9-10 meter di bawah tonjolan terumbu karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau 6-8 meter. Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang, maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata surut terendah. GAMBAR 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang.

3. Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sama untuk setiap pengamatan awal dan saat pengamatan. Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data (Tabel 1) di semua tempat selama pengamatan berlangsung yaitu 3 (tiga) orang pada setiap kedalaman. 4. Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggung jawab pada penggunaan alat ukur (roll meter), baik penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir pengamatan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

5. Pengamat harus mengamati sampai selesai (lengkap, paripurna) setiap 50 meter transek yang telah dipasang. 6. Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang bertanggung jawab terhadap alat ukur (roll meter), mengaitkan meteran tersebut pada masing-masing ujung awal meteran pada karang atau tempat lain dan mengulur meteran tersebut sejajar dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang sepanjang 50 meter. (catatan : Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka transek dapat diperpendek dan perubahan tersebut harus dicatat). 163

7. Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus selalu berada dekat (0-15 cm) dengan substratum (obyek pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan meteran pada karang, contohnya dengan mendorong meteran antara cabang-cabang karang, tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau karang hidup, karena akan berdampak pada hasil pengamatan. Catatan 1 : Apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil pengamatan disebut kategori air; Catatan 2 : Bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu) hari, maka pengamat harus mempertimbangkan faktor keselamatan dalam penyelaman; Catatan 3 : Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter). 8. Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai dengan pelampung dan atau menggunakan GPS. III. PENCATATAN DATA 1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat yang ditentukan, sebaiknya parameter-parameter lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet (Tabel 1) dan ini harus dilakukan bersamaan dengan pengamat yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut. 2. Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali transek sambil melakukan pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (cm) untuk semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek. GAMBAR 3 : Pencatatan Data

TABEL I : Lembar Pengumpulan Data

Propinsi : Kabupaten : Hari: Tgl: Jam: Kedalaman : Nama Terumbu/pulau: Lokasi : Letak Lintang : Letak Bujur : Salinitas: Temperatur : Nama Peneliti/pengamat/kolektor : No. Station :

Jarak Antara (Transisi) Kode Bentuk Nama Spesies Catatan (cm) Pertumbuhan/Parameter

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat harus memperhatikan dan mencatat langsung setiap titik dimana tali meteran menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila pada koloni tersebut terdapat individu-individu yang tumpang tindih, maka setiap pertemuan (intersepsi) yang bersinggungan, harus dicatat sebagai individu yang berbeda (Gambar 4). 164

GAMBAR 4 : Penampilan dari atas Koloni yang Tumpang Tindih

4. Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c dan Tabel 2 Gambar 5a Kategori Bentuk Pertumbuhan

165

Gambar 5b Kategori Bentuk Pertumbuhan

166

Gambar 5c

Kategori Bentuk Pertumbuhan

167

TABEL 2 : Bentuk Pertumbuhan dan Kode Karang

Bentuk Pertumbuhan Kode Catatan/Keterangan Hard Coral (Karang keras) Dead Coral (Karang Mati) D C Terlihat baru saja mati, berwarna putih sampai putih kotor Dead Coral with Algae (Karang mati tertutup ganggang) DCA Karang ini masih berdiri tegak dan utuh, tetapi sudah tidak berwarna putih lagi karena ditumbuhi atau tertutup oleh ganggang * Acropora -Branching (bercabang) ACB Paling sedikit mempunyai percabangan ke2, misalnya : Acropora grandis; Acropora

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

formosa dll -Encrusting (pipih/merayap) ACE Biasanya lapisan dasarnya (piringannya) dari bentuk-bentuk acropora yang belum dewasa, misalnya Acropora palifera; Acropora cuneata, Montipera. -Submassive (bercabang pendek dan gemuk) ACS Bulat panjang dengan penampakan seperti tombol atau padat terdapat tonjolan, misalnya: Acropora palifera -Digitate (menjari) ACD Dengan dua percabangan seperti jari tangan, tipe ini termasuk Acropora humulis, Acropora digitifera, Acropora gemmifera. -Tabulate (meja) ACT Meja atau berupa lembaran datar horisontal, tampak seperti meja, misalnya : Acropora hyacinthus. * Non-Acropora -Branching (bercabang) CB Paling sedikit mempunyai percabangan ke2, misalnya : Seriatopora hystrix -Encrusting CE Sebagian besar menempel pada substratum seperti piringan yang beralis, misalnya : Porites vaughani, Moantipora undata. -Foliose (daun) CF Karang menempel pada suatu tempat/titik atau lebih, nampak seperti helaian daun, misalnya : Marulina ampliata, Montipora aequituberculata. -Massive (pejal/padat) CM Tampak seperti batu besar / tempurung / gundukan tanah, misalnya Platygyra daedalea. -Submassive ( tombol yang menempel ) CS Tampak seperti tiang-tiang kecil, kancing atau irisan-irisan, misalnya Porites lichen, Psammocora digitata. -Mushroom (jamur) CMR Menyendiri atau soliter, karang yang hidup bebas, tampak seperti payung/jamur (fungi). -Millepora CME Karang api: berbulu lembut, berwarna: kuning, krem atau hijau, berbentuk pipih bercabang atau pipih semi pejal. -Heliopora CHL Karang biru : berbentuk semi pejal atau pipih semi pejal; jika dipatahkan ada warna biru pada kerangka kapurnya; berwarna; abu-abu kehijauan dengan polip pucat.

168

Other Fauna : (Fauna lainnya) Soft Coral (karang lunak) SC Karang “berbadan lunak”, terlihat seperti pohon. Spone (Spon) SP Karang lembut berbentuk tabung / tubuh seperti spon. Zoanthids ZO Mirip seperti anemon tetapi lebih kecil, biasa hidup sendiri/berkoloni atau seperti hewanhewan kecil menempel pada substratum, misalnya : Platyhea, Protoplayhoa.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Other (lain-lain) OT Fauna yang tidak seperti sebelumnya, seperti : Ascidans, Anemos, Gorgonias. Algae (ganggang) -Algae assemblage (kumpulan ganggang) AA Terdiri lebih dari satu jenis spesies / algae yang sulit dipisahkan. -Coralline algae (ganggang berkapur) CA Semua jenis ganggang yang dinding tubuhnya terbuat dari bahan kapur. -Halimenda HA Ganggang dari marga (genus) halimeda. Ganggang berukuran besar. -Macroalgae (ganggang besar) MA Semacam rumput liar dan “berdaging”, berwarna coklat, merah dan semacamnya. -Turf -algae (ganggang lembut) TA Ganggang halus berspiral lebat, seringkali ditemukan di dalam wilayah (teritori) ikan damsel (damsel fish) atau ditemukan di kerangka karang yang baru (beberapa bulan) mati. Abiotic ( Benda mati ) -Sand (pasir) S Pasir -Rubble (patahan/pecahan) R Bagian-bagian / kepingan-kepingan karang yang tercerai berai (pecahan karang yang sudah mati). -Silt (Lumpur) SI Lumpur, pasir bercampur lumpur. -Water (Air) WA Belahan-belahan /celah yang sempit (jarak antara dua obyek) yang dalamnya lebih dari 50 cm. -Rock (Bebatuan) RCK Pengerasan karang termasuk batu besar dari kapur, granit dan batu-batuan vulkanik.

5. Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung pada pengetahuan si pengamat (Tabel 1). IV. ANALISA DATA Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan. -Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan :

Panjang Total Setiap Kategori Angka (persentase) = -----------------------------------------X 100% tutupan Panjang Total Transek

169

-Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan :

Panjang Total Seluruh Kategori

Terumbu Karang Hidup Angka (persentase) = -----------------------------------------X 100% tutupan Panjang Total Transek

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

170

UDARA UDARA 171

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIANPENCEMARANUDARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta mahluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;

b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara; c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BAB I

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya; 2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara; 3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; 4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya; 5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas; 6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi; 7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien; 8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya; 9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar; 10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan udara ambien; 11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak spesifik; 12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; 13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya; 14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat; 15. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari hutan dan pembakaran sampah; 16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimal dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien; 17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor; 18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan mesin udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik; 19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dan/atau zat padat; 172

20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor; 21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu; 22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; 23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; 24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru; 25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru; 26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya; 27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara; 28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Pasal 2

Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dan usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

BAB II PERLINDUNGAN MUTU UDARA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 3

Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemaran Udara.

Bagian Kedua Baku Mutu Udara Ambien

Pasal 4

(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun. Pasal 5

(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan. (2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional. (3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dan baku mutu udara ambien nasional. (4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun. (6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah. Bagian Ketiga Status Mutu Udara Ambien

Pasal 6

(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah. 173

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan kegiatan Inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien. Pasal 7

(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar. (2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien. Bagian Keempat Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang

Pasal 8

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama. (2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun. Pasal 9

(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap batas mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak. Bagian Kelima Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan

Pasal 10

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor. (2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. baku tingkat kebisingan; b. baku tingkat getaran; c. baku tingkat kebauan dan; d. baku tingkat gangguan lainnya. (3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan. (4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi. (5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun. Pasal 11

(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dan sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak. Bagian Keenam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Pasal 12

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara. (2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika. 174

Pasal 13

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 14

(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan (2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk : a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu; b. bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara. Pasal 15

Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dan pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.

BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 16

Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 17

(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab. (2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun. Pasal 18

(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. (2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur. (3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun. Pasal 19

(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara. (2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Kedua Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 20

Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara:

a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini; b. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19. Pasal 21

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan ke udara

175

ambien wajib :

a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/ atau kegiatannya. Pasal 22

(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/ atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. (2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditertibkan oleh pejabat berwenang dengan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 24

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Bagian Ketiga

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara

Pasal 25

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknikal penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Paragraf 1 Keadaan Darurat

Pasal 26

(1) Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka : a. Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional; b. Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya. (2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media etektronik Pasal 27

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara

Paragraf 2 Sumber Tidak Bergerak

Pasal 28

Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

176

Pasal 29

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak. Pasal 30

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Paragraf 3 Sumber Bergerak

Pasal 31

Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.

Pasal 32

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak. Pasal 33

Kendaraan bermotor tipe baru dan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.

Pasal 34

(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi (2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi. (3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru. (4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang tata jalan/bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 35

(1) Hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4), wajib disampaikankepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil ujii tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 36

(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab. 177

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Paragraf 4 Sumber Gangguan

Pasal 37

Penanggulangan pencemaran udara dan kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 38

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dan sumber gangguan. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dan kegiatan sumber gangguan. Pasal 39

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). Pasal 40

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.

Pasal 41

(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan (2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberi tanda lulus uji tipe kebisingan (3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru (4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 42

(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 4 , wajib disampaikan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan. (2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. (3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Pasal 43

(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 setiap satu tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab. BAB IV

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PENGAWASAN

Pasal 44

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara. (2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Pasal 45

(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab dan atau kegiatan yang membuang emisi dan atau gangguan. 178

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/Watikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Pasal 46

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 47

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut. Pasal 48

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib :

a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut; b. memberikan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas; c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas; d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/ atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

kerjanya. Pasal 49

Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat.

Pasal 50

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya. (2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 51

(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien. (2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.(3) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara. BAB V PEMBIAYAAN

Pasal 52

Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 53

Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.

179

BAB VI GANTI RUGI

Pasal 54

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaranudara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain,akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 55

Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VII SANKSI

Pasal 56

(1) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat 1, Pasal 23, Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1,Pasal 30, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 47 ayat 2, Pasal 48, Pasal 50 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang didugadapat menimbulkan dan atau mengakibatkan pencemaran udara dan atau gangguan diancam dengan pidanasebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undangundang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.(2) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36ayat 1, Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat 1 Peraturan Pemerintah iniyang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancamdengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintasdan Angkutan Jalan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57

Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatanyang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang pengendalianpencemaran udara tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan PeraturanPemerintah ini.

Pasal 59

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkanpengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 26 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Diundangkan di Jakartapada tanggal 26 Mei 1999MENTERINEGARASEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd.

PROF. DR. H. MULADI S.H.

Salinan sesuai dengan aslinyaSEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

ttd.

Lambock V. Nahattands

180

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41 TAHUN 1999 TANGGAL : 26 MEI 1999

BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL

No Parameter Waktu Baku Mutu Pengukuran Metode Peralatan Analisis 1 SO2 (Sulfur Dioksida) 1 jam 24 jam 1 Thn 900 ug/Nm3 365 ug/Nm3 60 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotometer 2 CO (Karbon Monoksida) 1 jam 24 jam 1 Thn 30.000 ug/Nm3 10.000 ug/Nm3 NDIR NDIR Analyzer 3 NO2 (Nitrogen Dioksida) 1 jam 24 jam 1 Thn 400 ug/Nm3 150 ug/Nm3

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

100 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotometer 4 O3 (Oksidan) 1 jam 1 Thn 235 ug/Nm3 50 ug/Nm3 Chemiluminescent Spektrofotometer 5 HC (Hidro Karbon) 3 jam 160 ug/Nm3 Flame Ionization Gas Chromatografi 6 PM10 (Partikel < 10 um) PM2.5 (*) (Partikel < 2,5 um) 24 jam 24 jam 1 Thn 150 ug/Nm3 65 ug/Nm3 15 ug/Nm3 Gravimetric Gravimetric Gravimetric Hi -Vol Hi -Vol Hi -Vol 7 TSP (Debu) 24 Jam 1 Thn 230 ug/Nm3 90 ug/Nm3 Gravimetric Hi -Vol 8 Pb (Timah Hitam) 24 Jam 1 Thn 2 ug/Nm3 1 ug/Nm3 Gravimetric Ekstraktif Pengabuan Hi -Vol AAS 9 Dustfall (Debu jatuh) 30 hari 10 Ton/km2/Bulan (Permukiman) 20 Ton/km2/Bulan (Industri)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Gravimetric Cannister 10 Tabel Fluorides (as F) 24 Jam 90 hari 3 ug/Nm3 0,5 ug/Nm3 Specific Ion Electrode Impinger atau Continous Analyzer 11 Fluor Indeks 30 hari 40 ug/100cm2 dari kertas lilmed filter Colourimetric Limed Filter Paper 12 Khlorine & Khlorine Dioksida 24 Jam 150 ug/Nm3 Specific Ion Electrode Impinger atau Continous Analyzer 13 Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO3 /100cm3 Dari Lead Colourimetric Lead Peroxida Candle Peroksida

Catatan: Nomor 10 s/d 13 hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh : -Industri Petro Kimia

-Industri Pembuatan Asam Sulfat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

181

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 129 TAHUN 2003

TENTANG

BAKU MUTU EMISI USAHA DANATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan Keputusan Menteri NegaraLingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraTahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 ); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (LembaranNegara Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak LingkunganHidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUPTENTANGBAKUMUTUEMISIUSAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosferberupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari prosespenambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperolehdari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi; 2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosferberupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi; 3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi; 4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas kadar maksimum emisi kegiatanminyak dan gas bumi yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien; 5. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun yang dilakukan untuk melaksanakan pembangunganfisik usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi; 6.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukandan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan; 7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari WilayahKerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan saranapengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk memisahkan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi dilapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya; 8. Kegiatan Kilang Minyak adalah kegiatan untuk memproduksi bahan bakar minyak beserta turunannya dari minyakhasil kegiatan eksploitasi gas alami melalui serangkaian proses fisika dan atau kimia; 9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas dari hasil kegiatan eksploitasi gasalam melalui serangkaian proses fisika dan atau kimia;10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang mengandung sulfur yang dikonversimenjadi produk lain;11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi terhadapsystem peralatan atau proses yang sedang dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatanminyak dan gas bumi tidak terlampaui;12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2

Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam Keputusan ini meliputi jenis kegiataneksplorasi dan produksi, kilang minyak, kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan prosespencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).

Pasal 3

Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan:

a. Eksplorasi dan produksi sebagaimana tersebut dalam Lampiran I; b. Kilang minyak sebagaimana tersebut dalam Lampiran II; c. Kilang LNG sebagaimana tersebut dalam Lampiran III; 182

d. Unit penangkapan sulfur sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV; e. Untuk kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih dari 1 (satu) jenis (fuel blending), maka mengacu kepada perhitungan dalam Lampiran V. Pasal 4

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau kegiatan mensyaratkan baku mutu emisiyang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatantersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5

Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi yang termasuk kategori limbah bahanberbahaya dan beracun yang diolah secara thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dan beracun yang berlaku.

Pasal 6

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:

a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang mencakup pencegahan, pengolahan danpemantauan yang antara lain alat pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan saranapendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta persyaratan lainnya sebagaimanaditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. wajib memasang Continous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong tertentu yang pelaksanaannyadikonsultasikan dengan Menteri dan bagi cerobong yang tidak dipasang peralatan Continous Emission Monitoring(CEM) wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan sekali; c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam butir (b) kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) bulan sekali untuk pemantauan yangmenggunakan peralatan otomatis; d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dalam butir (b) kepada Gubernur/Bupati/Walikotadengan tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) bukan sekali untuk pemantauan dengan menggunakanperalatan manual; e. wajib melaporkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota serta Menteri apabila ada keadaan darurat yangmengakibatkan baku mutu emisi dilampaui; f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit; g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi sebagai sumber fugitive emission. Pasal 7

Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 butir c, d dan e dapat dijadikan sebagai salah satu dasarkebijakan teknis dan non teknis dalam upaya pengendalian pencemaran udara.

Pasal 8

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6 wajib dicantumkan dalam izin melakukanusaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi seperti tercantum dalam Pasal 2 Keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 10

Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberi jangka waktu selama 1 (satu) tahun sejakditetapkannya Keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, II, III, dan

IV. Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA.,MSM

Salinan ini sesuai dengan aslinya,Deputi MENLH Bidang Kebijakan danKelembagaan Lingkungan Hidup;

ttd.

Hoetomo, MPA

183

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003

BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS

I. KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI No. Sumber Bahan Bakar Parameter Baku Mutu Emisi satuan : mg/Nm3 1. Flare Stack Opasitas 40% 2. Boiler dan Steam Generator Minyak Gas Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas 300 1200 1400 40% 1000 40% 3. Gas Turbin Gas Minyak Nitrogen Oksida (NO2) Nitrogen Oksida (NO2)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

400 600 4. Gathering Station Gas Vents Total Reduced Sulfur (H2S) Hidrokarbon 100(*) 5000(**)

Catatan:

1. (*) Ground Level Concentration tidak bolah lebih dari 5 ppm. (**) Ground Level Concentration sesuai dengan Baku Mutu Udara Ambien di dalam PP 41/1999. 2. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). 3. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 4. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O 2 sebesar 3%. 5. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan. 184

Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003

BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS

II. KEGIATAN KILANG MINYAK No. Sumber Bahan Bakar Parameter Baku Mutu Emisi satuan : mg/Nm3 1. Catalitic Cracking Unit Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Hidrokarbon 400 1500 1000 200 2. Proses Heater Boiler Minyak Gas Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas Nitrogen Oksida (NO2)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Opasitas 300 1200 1400 40% 400 40% 3. Flare Stac Opasitas 40% 4. Semua sumber (kecuali flare) Opasitas 40% 5. Gas Turbine Gas Minyak Nitrogen Oksida (NO2) Nitrogen Oksida (NO2) 400 600

Catatan:

1. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O 2 sebesar 3%. 4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan. 185

Lampiran III : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003

BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS

III. KEGIATAN KILANG LNG No. Sumber Bahan Bakar Parameter Baku Mutu Emisi satuan : mg/Nm3 1. Boiler Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas 300 1200 1400 40% 2. Flare Stack Opasitas 40% 3. Gas Turbine Gas Minyak Nitrogen Oksida (NO2) Nitrogen Oksida (NO2) 400 600

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Catatan:

1. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O 2 sebesar 3%. 4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan. LAMPIRAN IV : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN UNIT PENANGKAPAN SULFUR

IV. KEGIATANUNITPENANGKAPANSULFUR Sumber ton/hari Parameter Baku Mutu Emisi Sulfur Plant Sulfur feed rate : < 2 < 10 < 50 > 50 Sulfur Recovery ( minimum ) satuan : % 70 85 95 97 atau dengan persyaratan akhir SO2 satuan : mg/Nm3 2600

Catatan:

1. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan. 186

LAMPIRAN V : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003

V. BAKUMUTUEMISIKEGIATANFUELBLENDING ( PENCAMPURAN BAHAN BAKAR / MIX FUEL )

BME =[(BME*Q+(BME*Q]/ Q

(x,m) (x,f1)(f1) (x,f2)(f2)t

Catatan:

BME = Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan pencampuran bahan bakar

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(x,m)

BME= Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1

(x,f1)

Q(f1) = Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke sistem

BME= Bahan baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f2

(x,f2)

Q(f2) = Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke sistem

Qt = Kebutuhan Energi Total

Contoh perhitungan: Kegiatan Pengilangan minyak untuk unit Broiler, menggunakan bahan bakar campuran antara gas (fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sbb :

* Kebutuhan Energi Total Qt : 5*106KKal * Suplai energi aktual dari bahan bakar gas Q(f1) : 2*106KKal * Suplai energi aktual dari bahan bakar oil Q(f2) : 3*106KKal * Baku mutu emisi untuk boiler di kegiatan kilang minyak – parameter partikulat bahan bakar gas (lihat tabel Baku Mutu Emisi di Kegiatan Minyak) BME(f1) : 0 mg/Nm3 * Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan kilang minyak – parameter partikulat bahan bakar oil/minyak (lihat tabel Baku Mutu Emisi di Kegiatan Minyak) BME(f2) : 300 mg/Nm3 BME= [0*2*106] + [300*3*106] / 5*106

(partikulat,m)

= 180 mg/Nm3

Cara Perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo,MPA.

187

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 141 TAHUN 2003

TENTANG

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI

(CURRENT PRODUCTION)

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor, maka perlu dilakukan upaya untuk menurunkan emisi gas buang kendaraan bermotor baik yang berasal dari kendaraan bermotor tipe baru maupun kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production);

b. bahwa salah satu upaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi (Current Production); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821); 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020); 8. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION).

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi (current production) adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production);

2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; 3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) adalah kendaraan bermotor dengan tipe dan jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah beroperasi di jalan dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh ( completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; 4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002; 5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002; 6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002; 188

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L adalah kendaraan bermotor yang sedang produksi (current production) beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002; 8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah orang perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan atau melakukan impor kendaraan bermotor dalam keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh; 9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2

Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda uji serta tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).

Pasal 3

(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C dan I.D. (2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini. Pasal 4

Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :

a. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O dan L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005; b. kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) : 1. kategori M, N, O dan L 2 (dua) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2007; 2. kategori L 4 (empat) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Juli tahun 2006; Pasal 5

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor. (2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh ( completely built-up) dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang. (3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang. (4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) merupakan bagian dari persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor. (5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dengan spesifikasi reference fuel menurut Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini. Pasal 6

(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

production) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. (2) Instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi yang diakui secara Internasional. Pasal 7

(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan. (2) Salinan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab. (3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production). 189

Pasal 8

(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production). (2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor. (3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkannya tanda lulus uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 9

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production). (2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi merek kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kepada masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik. Pasal 10

(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production). (2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan pengujian emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Pasal 11

(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) dan pelaporannya dibebankan kepada

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor. (2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan. Pasal 12

Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 13

Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP 35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku lagi untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi ( current production) sejak ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi ( current production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.

Pasal 14

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 September 2003 ——————————————————————-Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

190

LampiranIA : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP Nomor : Kep-141/MENLH/9/2003 Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN

BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) Tanggal : 23 September 2003

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)

KENDARAAN BERMOTORKATEGORI L

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

No. KATEGORI PARAMETER NILAIAMBANG BATAS gram/km METODA UJI 1. a. L1 CO 1,0 ECE R 47 HC + NOx 1,2 b. L2 CO 3,6 ECE R 47 HC + NOx 1,2 c. L3 < 150 cm2 CO 5,5 ECE R 40 HC 1,2 NOx 0,3 d. L3 > 150 cm3 CO 5,5 ECE R 40 HC 3,0 NOx 0,3 e. L4 dan L5 motor bakar cetus api CO 7,0 ECE R 40 HC 1,5 NOx 0,4 f. L4 dan L5 motor bakar penyalaan kompresi CO 2,0 ECE R 40 HC 1,0 NOx 0,65

CATATAN:

L1 = Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm 3 dan dengan desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya

L2 = Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda sembarang dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm3 dan dengan desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya

L3 = Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder lebih dari 50 cm 3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya.

L4 = Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda asimetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya (sepeda motor dengan kereta)

L5 = Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan simetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya

191

LampiranIB : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003 Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN

BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Tanggal : 23 September 2003

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN BAKARBENSIN

KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M & N

No. KATEGORI (1) PARAMETERNILAI AMBANG BATAS ECE R 83 -04 METODE UJI ECE R 83 -04 1. M1, GVW (2) < 2,5 ton, tempat duduk < 5, CO tidak termasuk tempat duduk pengemudi HC + NOx 2. M1, tempat duduk 6-8 tidak termasuk tempat duduk pengemudi GVW > 2,5 ton atau N1, GVW < 3,5 ton a. Kelas I, RM (3) < 1250 kg CO HC + NOx b. Kelas II, 1250 kg < RM < 1700 kg CO HC + NOx c. Kelas III, RM > 1700 kg CO HC + NOx 2,2 gram/km 0,5 gram/km 2,2 gram/km 0,5 gram/km 4,0 gram/km 0,6 gram/km 5,0 gram/km 0,7 gram/km

CATATAN:

* (1) Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkategorian GVW * (2) GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB) * (3) RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg

* M1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi * N1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) sampai dengan 3,5 ton

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1; O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75 ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton

192

LampiranIC : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003 Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN

BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) Tanggal : 23 September 2003

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BRMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN KOMPRESI (DIESEL)

A. KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M & N No. KATEGORI (1) PARAMETERNILAI AMBANG BATAS ECE R 83 -04 METODE UJI ECE R 83 -04 1. M1, GVW (2) < 2,5 ton, tempat duduk < 5, CO tidak termasuk tempat duduk pengemudi HC + NOx PM 2. M1, tempat duduk 6-8 tidak termasuk tempat duduk pengemudi GVW > 2,5 ton atau N1, GVW < 3,5 ton a. Kelas I, RM (3) < 1250 kg CO HC + NOx PM b. Kelas II, 1250 kg < RM < 1700 kg CO HC + NOx PM c. Kelas III, RM > 1700 kg CO HC + NOx PM 1,0 gram/km 0,7 (0,9) (4) gram/km 0,08 (0,1) (4) gram/km 1,0 gram/km 0,7 (0,9) (4)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

gram/km 0,08 (0,1) (4) gram/km 1,25 gram/km 1,0 (1,3) (4) gram/km 0,12 (0,14) (4) gram/km 1,5 gram/km 1,2 (1,6) (4) gram/km 0,17 (0,2) (4) gram/km

Catatan:

* (1) Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkategorian GVW

* (2) GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)

* (3) RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg

* (4) Nilai Ambang Batas dalam kurung untuk Diesel Injeksi Langsung, dan setelah 3 (tiga) tahun Nilai Ambang Batasnya DISAMAKAN DENGAN Nilai Ambang Batas Diesel Injeksi tidak langsung

* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1; O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75 ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton

193

B. KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M, N & O No. KATEGORI PARAMETER NILAI AMBANG BATAS METODE ECE R 49 -02 M2, M3, N2, N3, O3 dan O4, GVW (1) > 3,5 ton CO HC NOx PM 4,0

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

gram/km 1,1 gram/km 7,0 gram/km 0,15 gram/km

CATATAN:

* (1) GVW : Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang diperbolehkan (JBB) * M2 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) sampai dengan 5 ton * M3 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 5 ton * N2 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 5 ton * N3 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton * O : kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel * O3 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 10 ton * O4 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 10 ton 194

LampiranID : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP

Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003 Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) Tanggal : 23 September 2003

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN BAKAR GAS (LPG/CNG)

KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M & N

No. KATEGORI (1) PARAMETERNILAI AMBANG BATAS

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ECE R 83 -04 METODE UJI ECE R 83 -04 1. M1, GVW (2) < 2,5 ton, tempat duduk < 5, CO tidak termasuk tempat duduk pengemudi HC + NOx 2. M1, tempat duduk 6-8 tidak termasuk tempat duduk pengemudi GVW > 2,5 ton atau N1, GVW < 3,5 ton a. Kelas I, RM (3) < 1250 kg CO HC + NOx b. Kelas II, 1250 kg < RM < 1700 kg CO HC + NOx c. Kelas III, RM > 1700 kg CO HC + NOx 2,2 gram/km 0,5 gram/km 2,2 gram/km 0,5 gram/km 4,0 gram/km 0,6 gram/km 5,0 gram/km 0,7 gram/km

Catatan:

* (1) Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkategorian GVW * (2) GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB) * (3) RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg

* M1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi * N1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) sampai dengan 3,5 ton * Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1; O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75 ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 September 2003 Menteri Negara Lingkungan Hidup,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

195

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996

TENTANG

BAKUTINGKAT KEBISINGAN

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat kebisingan yang dihasilkan; 3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebisingan; Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831); 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480); 8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459); 9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; 2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat dB; 3. Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; 4. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa. 5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; Pasal 2

Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat kebisingan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan ini.

196

Pasal 3

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan diluar peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran I. (2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib: 1. mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan; 2. memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan; 3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebisingan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan Instansi Teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta Instansi lain yang dipandang perlu. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 7

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi: 1. baku tingkat kebisingan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini. 2. baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Nopember 1996

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd.

Hambar Martono

197

LAMPIRAN I KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

BAKUTINGKAT KEBISINGAN

Peruntukan Kawasan/ Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan dB (A) a. Peruntukan Kawasan 1. Perumahan dan Pemukiman 55 2. Perdagangan dan Jasa 70 3. Perkantoran dan Perdagangan 65 4. Ruang Terbuka Hijau 50 5. Industri 70 6. Pemerintahan dan Fasilitas umum 60 7. Rekreasi 8. Khusus: -Bandar udara *) -Stasiun Kereta Api *) 70 -Pelabuhan Laut 70 -Cagar Budaya 60 b. Lingkungan Kegiatan 1. Rumah Sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya 3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55 55 55

Keterangan : *) disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan

198

LAMPIRAN II KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

METODA PENGUKURAN,PERHITUNGAN DAN EVALUASI TINGKATKEBISINGAN LINGKUNGAN

1. Metoda Pengukuran Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara : 1) Cara Sederhana Dengan sebuah sound level meter bisa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.

2) Cara Langsung Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit. Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00 -22.00 dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 -06.00. Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh : -L1 diambil pada jam 7.00 mewakili jam 06.00 -09.00 -L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 -11.00 -L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 -17.00 -L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00.-22.00 -L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 -24.00 -L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 -03.00 -L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 -06.00

Keterangan :

-Leq = Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tertentu kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama. Satuannya adalah dB (A).

-LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik -LS = Leq selama siang hari -LM = Leq selama malam hari -LSM = Leq selama siang dan malam hari.

2. Metode perhitungan: (dari contoh) LS dihitung sebagai berikut : LS = 10 log 1/16 ( T1.10 01L1 +.... +T4.1001L4) dB (A) LM dihitung sebagai berikut :

LM = 10 log 1/8 ( T5.10 01L5 +.... +T7.1001L7) dB (A) Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus :

LSM = 10 log 1/24 ( 16.10 01L5 +.... +8.1001(LM+5)) dB (A)

3.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Metode Evaluasi Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi +3 dB(A) Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian

ttd.

Hambar Martono

199

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996

TENTANG

BAKUTINGKATGETARAN

MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;

b. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran yang dihasilkan; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Getaran; Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459); 8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT GETARAN

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan; 2. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia; 3. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia; 4. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat; 5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan; 6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa. 7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; Pasal 2

1.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV Keputusan ini. 2. Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran V Keputusan ini. 200

Pasal 3

Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan di luar peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang bersangkutan.

Pasal 4

1. Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. 2. Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

1. Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib: a. mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan; b. memasang alat pencegahan terjadinya getaran; c. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang perlu. 2. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat getaran bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 7

Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:

a. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambatlambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini. b.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Nopember 1996

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

201

LAMPIRAN I KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996

1. BAKUTINGKATGETARANUNTUKKENYAMANANDANKESEHATAN Nilai Tingkat Getaran, dalam mikron ( 10-6 meter )

Frekuensi Tidak Mengganggu Mengganggu Tidak Nyaman Menyakitkan 4 < 100 100 -500 > 500 -1000 > 1000 5 < 80 80 -350 > 350 -1000 > 1000 6,3 < 70 70 -275 > 275 -1000 > 1000 8 < 50 50 -160 > 160 -500 > 500 10 < 37 37 -120 > 120 -300 > 300 12,5 < 32 32 -90 > 90 -220 > 220 16 < 25 25 -60 > 60 -120 >120 20 < 20 20 -40 > 40 - 85 > 85 25 < 17 17 -30 > 30 - 50 > 50 31,5 < 12 12 -20 > 20 - 30 > 30 40 < 9 9 -15 > 15 - 20 > 20 50 < 8 8 -12 > 12 -15 > 15 63 < 6 6 - 9 > 9 -12 > 12

Konversi : Percepatan = ( 2pf )2 x simpangan Kecepatan = 2pf x simpangan p = 3,14

2. Grafik baku tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan Frekuensi, Hz 2 468 2 468 2 46 8

100

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

50

30

20

10

5

2

1

menyakitkan tidak nyaman masih diizinkan mengganggu

10 102 103 Simpangan mikro (10-4 meter)

202

LAMPIRAN II KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN DAMPAK KERUSAKAN GETARAN FREKUENSI BATAS GERAKAN PEAK ( mm/detik ) Parameter Satuan (Hz) Kategori A Kategori B Kategori C Kategori D -Kecepatan Getaran -Frekuensi mm/detik Hz 4 5 6,3 8 10 12,5 16 20 25 31,5 40 50 < 2< 7,5 < 7 < 6

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

< 5,2 < 4,8 < 4 < 3,8 < 3,2 < 3 < 2 < 1 2 - 27 < 7,5 -25 < 7 -21 < 6 -19 < 5,2 -16 < 4,8 -15 < 4 -14 < 3,8 -12 < 3,2 -10 < 3 -9 < 2 -8 < 1 -7 > 27 -140 > 24 -130 > 21 -110 > 19 -100 > 16 - 90 > 15 - 80 > 14 - 70 > 12 - 67 > 10 - 60 > 9 -53 > 8 -50 > 7 -42 > 140 > 130 > 110 > 100 > 90 > 80 > 70 > 67 > 60 > 53 > 50 > 42

Keterangan : Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan Kategori B : Kemungkinan keretakan sistem (retak/terlepas plesteran pada dinding pemikul beban pada kasus khusus) Kategori C : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban Kategori D : Rusak dinding pemikul beban

2. Grafik Baku Tingkat Getaran Mekanik Berdasarkan Dampak Kerusakan Kecepatan Puncak (Peak Velocity), mm/detik

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

200 150

d

100 80

70

60

50

40

c

30 *boW

20

15

10

8.0 b6.0 4.0 a

3.0 2.0203

4 5 6 8 10 15 20 25 30 40 50

Frekuensi, Hz

LAMPIRAN III KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996

BAKU TINGKAT GETARANMEKANIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN

Kelas Tipe Bangunan Kecepatan Getaran (mm/detik) Pada Fondasi Pada Bidang Datar di Lantai Frekuensi Atas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

< 10 Hz 10 -15 Hz 50 -100 Campuran Frekuensi 1 Bangunan untuk keperluan niaga, bangunan industri dan bangunan sejenis < 10 Hz 20 -40 40 -50 40 2 Perumahan dan bangunan dengan rancangan dan kegunaan sejenis 5 5 -15 15 -20 15 3 Struktur yang karena sifatnya peka terhadap getaran, tidak seperti tersebut pada no 1 dan 2, nilai budaya tinggi seperti bangunan yang dilestarikan 3 3 - 8 8 -10 8,5

Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom harus dipakai

LAMPIRAN IV KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP

NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996 BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT

Kelas Jenis Bangunan Kecepatan Getaran Maksimum (mm/detik) 1 Peruntukan dan bangunan kuno yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi 2 2 Bangunan dengan kerusakan yang sudah ada, tampak keretakan-keretakan pada tembok 5 3 Bangunan untuk dalam kondisi teknis yang baik, ada kerusakan-kerusakan kecil seperti: plesteran yang retak 10 4 Bangunan “kuat” (misalnya : bangunan industri terbuat dari beton atau baja ) 10 -40

204

LAMPIRAN V

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996 TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996

METODAPENGUKURAN DANANALISIS TINGKAT GETARAN

a. Peralatan Pedoman yang dipakai ialah: 1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer) 2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer) 3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band) 4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder) 5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)

b. Cara pengukuran 1. Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan; a). Alat penangkap getaran diletakkan pada lantai atau permukaan yang bergetar, dan disambungkan ke alat ukur getaran yang dilengkapi dengan filter. b). Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat tidak dilengkapi dengan fasilitas itu, dapat digunakan konversi besaran. c). Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekuensi 4 -63 Hz atau dengan sapuan oleh alat pencatat getaran. d). Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik Lampiran 1.2

2. Getaran untuk Keutuhan Bangunan Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan dan kesehatan manusia, hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan getaran puncak (Peak Velocity) c. Cara Evaluasi Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran I.2 dan/atau II.2 dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan. Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas yaitu a, b, c, dan d dengan batas seperti grafik II.2 Definisi:

1. Struktur bangunan adalah bagian dari bangunan yang direncanakan, diperhitungkan dan dimaksudkan untuk: a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban sementara) b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal. Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul (Bearing wall)

2. Komponen struktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang menjamin fungsi struktur. Misal : balok, kolom dan slab dari frame 3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau difungsikan untuk mendukung beban. Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu. Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur:

1. Kerusakan pada struktur, dapat membahayakan stabilitas bangunan, atau roboh (misalnya patok kolom bisa merobohkan bangunan). 2. Kerusakan pada non-struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi bisa membahayakan penghuni (misal : robohnya dinding partisi, tidak merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni). Derajat kerusakan struktur :

1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya. 2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan perkuatan. 3. Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat merobohkan bangunan. Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmaadja

205

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-50/MENLH/XI/1996

TENTANG

BAKUTINGKATKEBAUAN

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang dibuang ke lingkungan; 3.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebauan; Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459); 7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538); 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; 10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBAUAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera penciuman; 2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; 3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; 4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan tertentu; 5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun campuran berbagai macam senyawa; 6.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa. 7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; Pasal 2

Baku Tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda pengukuran/pengujian dan peralatan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini. (2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. 206

Pasal 4

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat kebauan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib: a. mentaati baku tingkat kebauan yang telah dipersyaratkan; b. mengendalikan sumber penyebab bau yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; c. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebauan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang perlu. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan pencemaran dan atau perusakan lingkungan bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 6

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi: a. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini. b. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Nopember 1996

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

LampiranKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-50/MENLH/XI/1996 Tanggal : 25 November 1996

A. Bau dari Odoran Tunggal No. Parameter Satuan Nilai Batas Metoda Pengukuran Peralatan 1. Amoniak (NH3) ppm 2.0 Metoda Indofenol Spektrofotometer 2. Metil Merkaptan (CH3SH) ppm 0.002 Absorpsi gas Gas Khromatograf 3. Hidrogen Sulfida (H2S) ppm 0.02 a. merkuri tiosianat b. Absorpsi gas Spektrofotometer Gas Khromatograf 4. Metil Sulfida (CH3)2)S ppm 0.01 Absorpsi gas Gas Khromatograf 5. Stirena (C6H5CHCH2) ppm 0.1 Absorpsi gas Gas Khromatograf

Catatan : ppm = satu bagian dalam satu juta

B. Bau dari Odoran Campuran Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai ambang bau yang dapat dideteksi secara sensorik oleh lebih dari 50 % anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

Sarwono Kusumaatmadja

207

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-13/MENLH/III/1995

TENTANG

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Menimbang : 1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dari jenis-jenis kegiatan sumber tidak bergerak perlu dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara dengan menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak;

2. bahwa mengingat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Emisi Udara Sumber Tak Bergerak saat ini perlu dilakukan penyempurnaannya; 3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3215); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R. I. Nomor 3538); 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK

Pasal 1

(1) Dalam keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan; 2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambient; 3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke udara ambien; 4.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk dilaksanakan pembangunan fisiknya; 5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; 6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu kota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Pasal 2

(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan : 1. Industri besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan Lampiran I B; 2. Industri pulp dan kertas sebagaimana tersebut dalam Lampiran II A dan Lampiran II B; 3. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagaimana tersebut dalam Lampiran III A dan Lampiran III B; 4. Industri semen sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B; (2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang : 1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000; 2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Emisi Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000; 208

(3) Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B; (4) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka waktu selama satu tahun sejak ditetapkannya keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A; (5) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Pasal 3

(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1); (2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V Keputusan ini. Pasal 4

Badan melakukan pembinaan, pengembangan pengendalian pencemaran udara, menetapkan pedoman teknis pemantauan kualitas udara, metoda pengambilan contoh dan analisisnya serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

Pasal 5

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Apabila diperlukan, Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini dengan persetujuan Menteri; (2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di daerahnya lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1); (3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), Gubernur mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan; Pasal 6

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 7

(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana berikut : (a) membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat pengaman; (b) memasang alat ukur pemantauan yang meliputi kadar dan laju alir volume untuk setiap cerobong emisi yang tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan angin; (c) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong emisi; (d) menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) kepada Gubernur dengan tembusan Kepala Badan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan; (e) melaporkan Kepada Gubernur serta Kepala Badan apabila ada kejadian tidak normal dan atau dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui. (2) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini. Pasal 8

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dicantumkan dalam izin Ordonansi Gangguan.

Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara Emisi Sumber Tak Bergerak sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 7 Maret 1995 Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

209

Lampiran I-A

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Penanganan Bahan Baku (Raw Material Handling) Total Partikel 600 2. Tanur Oksigen Basa (Basic Oxygen Fumace) Total Partikel 600 3. Tanur Busur Listrik (Electric Arc Fumace) Total Partikel 600 4. Dapur Pemanas (Reheating Fumace) Total Partikel 600 5. Dapur Proses Pelunakan Baja (Annealing Fumace) Total Partikel 600 6. Proses Celup Lapis Metal Total Partikel 600 (Acid Pickling & Regenaration) (Hydrochloric Acid Furnes HCL) 10 7. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Total Partikel 400 Sulfur Dioksida (SO2) 1200 Nitrogen Dioksida (NO2) 1400 8. Semua Sumber Opasitas 40%

Catatan:

-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.

-Volume gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).

-Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.

-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

210

Lampiran II-A Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Tungku Recovery (Recovery Fumace)) Total Partikel 400 Total Sulfur Tereduksi ( Total Reduced Sulphur -TRS ) 20 2. Tanur Putar Pembakaran Total Partikel 400 Kapur (Lime Kiln) Total Sulfur Tereduksi ( Total Reduced Sulphur -TRS ) 40 3. Tangki Pelarutan Lelehan (Smelt Dissolving Tank) Total Partikel 400 Total Sulfur Tereduksi ( Total Reduced Sulphur -TRS ) 40 4. Digester Total Sukfur Tereduksi ( Total Reduced Sulphur -TRS ) 14 5. Unit Pemutihan (Bleach Plant) Klorin (Cl2) Klorin Dioksida (ClO2) 15 130 6. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Total Partikel 400 Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) 1200 1400 7. Semua Sumber Opasitas 40%

Catatan:

-TRS ditentukan sebagai H2 TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.

-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2

-Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.

-Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.

-Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).

-Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

211

Lampiran III-A Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAPBERBAHAN BAKAR BATUBARA (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Total Partikel 300 2. Sulfur Dioksida (SO2) 1500 3. Nitrogen Oksida (NO2) 1700 4. Opasitas 40%

Catatan:

-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.

-Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O 2.

-Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).

-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

Lampiran IV-A Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Tanur Putar Total Partikel 150 (Kilns) Sulfur Dioksida (SO2) 1500 Nitrogen Dioksida (NO2) 1800 Opasitas 35% 2. Pendingin Terak (Clinkers Coolers)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Total Partikel 150 3. Milling Grinding Alat Pengangkut (Conveying) Pengepakan (Bagging) Total Partikel 150 4. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 400 (Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO2) 1200 Nitrogen Dioksida (NO2) 1400

Catatan: -Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2. -Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm). -Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai 7% oksigen. -Standar diatas berlaku untuk proses kering. -Batas maksimum total partikel untuk:

(i) Proses basah = 250 mg/m3 (ii) Shaft kiln = 500 mg/m3 -Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. -Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

212

Lampiran V-A Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) Bukan Logam 1. Ammonia (NH3) 1 2. Gas Klorin (CI2) 15 3. Hidrogen Klorida (HCI) 10 4. Hidrogen Fluorida (HF) 20 5. Nitrogen Oksida (NO2) 1700 6. Opasitas 40% 7. Partikel 400 8. Sulfur Dioksida (SO2) 1500 9. Total Sulfur Tereduksi (H2S) (Total Reduced Sulphur) 70 Logam 10. Air Raksa (Hg) 10 11. Arsen (As) 25 12. Antimon (Sb) 25

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

13. Kadmium (Cd) 15 14. Seng (Zn) 100 15. Timah Hitam (Pb) 25

Catatan: -Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).

213

Lampiran I-B Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Penanganan Bahan Baku (Raw Material Handling) Total Partikelir 150 2. Tanur Oksigen Basa (Basic Oxygen Fumace) Total Partikelir 150 3. Tanur Busur Listrik (Electric Arc Fumace) Total Partikelir 150 4. Dapur Pemanas (Reheating Fumace) Total Partikelir 150 5. Dapur Proses Pelunakan Baja (Annealing Fumace) Total Partikelir 150 6. Proses Celup Lapis Metal Total Partikel 150 (Acid Pickling & Regenaration) Hydrochloric Acid Fumes (HCL) 2 7. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Total Partikel 230 Sulfur Dioksida (SO2) 800 Nitogen Oksida (NO2) 1000 8. Semua Sumber Opasitas 20%

Catatan:

-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.

-Volume gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).

-Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

214

Lampiran II-B Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Tungku Recovery Total Partikel 230 (Recovery Fumace) Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur -TRS) 10 2. Tanur Putar Pembakaran Total Partikel 350 Kapur (Lime Kiln) Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur -TRS) 28 3. Tangki Pelarutan Lelehan Total Partikel 260 (Smelt Dissolving Tank) Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur -TRS) 28 4. Digester Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur -TRS) 10 5. Unit Pemutihan Klorin (CI2) 10 (Bleach Plant) Klorin dioksida (CIO2) 125 6. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Total Partikel 230 Sulfur Dioksida (SO2) 800 Nitrogen Oksida (NO2) 1000 7. Semua Sumber Opasitas 35 %

Catatan:

-TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.

-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.

-Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.

-Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

-Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).

-Volume gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).

-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.

215

Lampiran III-B Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995 Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAPBERBAHAN BAKAR BATUBARA (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Total Partikel 150 2. Sulfur Dioksida (SO2) 750 3. Nitrogen Oksida (NO2) 850 4. Opasitas 20 %

Catatan:

-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.

-Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O 2.

-Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan Tekanan 1 atm).

-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

Lampiran IV-BKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) 1. Tanur Putar Total Partikel 80 (Kilns) Sulfur Dioksida (SO2) 800 Nitrogen Oksida (NO2) 1000 Opasitas 20 % 2. Pendingin Terak

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(Clinkers Coolers) Total Partikel 80 3. Milling GrindingAlat Pengangkut (Conveying)Pengepakan (Bagging) Total Partikel 80 4. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Total Partikel 230 Sulfur Dioksida (SO2) 800 Nitrogen Oksida (NO2) 1000

Catatan: -Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2. -Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm). -Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai 7% oksigen. -Standar diatas berlaku untuk proses kering. -Batas maksimum total partikel untuk:

(i) Proses basah = 250 mg/m3 (ii) Shaft kiln = 500 mg/m3 -Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungankorelatif dengan pengamatan total partikel. -Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

216

Lampiran V-BKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995Tanggal : 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN (BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

PARAMETER BATAS MAKSIMUM (mg/m3) Bukan Logam 1. Ammonia (NH3) 0,5 2. Gas Klorin (CI2) 10 3. Hidrogen Klorida (HCI) 5 4. Hidrogen Fluorida (HF) 10 5. Nitrogen Oksida (NO2) 1000 6. Opasitas 30 % 7. Partikel 350 8. Sulfur Dioksida (SO2) 800 9. Total Sulfur Tereduksi (H2S) Total Reduced Sulphur) 35 Logam 10. Air Raksa (Hg) 5 11. Arsen (As) 8 12. Antimon (Sb) 8 13. Kadmium (Cd) 8

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

14. Seng (Zn) 50 15. Timah Hitam (Pb) 12

Catatan: -Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

Sarwono Kusumaatmadja

217

KEPUTUSAN KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : 107/BAPEDAL/XI/1997

TENTANG

PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTAINFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA

KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-45/MENLH/ 10/1997 tentang Indeks Pencemar Udara, perlu disusun Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Keputusan Presiden RI Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 4. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02 / MENKLH/ 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan; 5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-35 / MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kedaraan Bermotor; 6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15 / MENLH/4/1996 tentang Program Langit Biru; 7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-45 / MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara; 8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep -135 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep - 205/KABAPEDAL/07/

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA

Pasal 1

PedomanTeknis Perhitungan dan Pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara ini diperlukan sebagai pedoman teknis dalam pelaksanaan Perhitungan, Pelaporan dan sistem informasi Indeks Standar Pencemar Udara bagi :

a. instansi terkait; b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II terkait; Pasal 2

Parameter-parameter dasar untuk Indeks Standar Pencemar Udara dan periode waktu pengukuran adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran I.

Pasal 3

Angka dan Kategori Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran II.

Pasal 4

Pengaruh Indeks Standar Pencemar Udara terhadap tiap parameter kualitas udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran III.

Pasal 5

Batas Indeks Standar Pencemar Udara dalam satuan SI adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV.

218

Pasal 6

Perhitungan Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran V.

Pasal 7

Contoh Pengambilan Indeks Standar Pencemar Udara dari beberapa Stasiun Pemantau adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran VI.

Pasal 8

1. Penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat wajib memuat informasi sebagai berikut : a. waktu pelaporan; b. ketentuan waktu; c. bagian wilayah atau lokasi yang dilaporkan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

d. Indeks Standar Pencemar Udara dari setiap parameter yang diukur; e. Indeks Standar Pencemar Udara maksimum; f. parameter pencemar kritis; g. Kategori Indeks Standar Pencemar Udara; h. gambaran kategori dan rentang Indeks Standar Pencemar Udara dengan ketentuan waktu sebagai berikut : 1) kategori baik rentang 0 sampai 50 dengan warna hijau; 2) kategori sedang rentang 51 sampai 100 dengan warna biru; 3) kategori tidak sehat rentang 101 sampai 199 dengan warna kuning; 4) kategori sangat tidak sehat rentang 200 sampai 299 dengan warna merah; 5) kategori berbahaya rentang 300 sampai 500 dengan warna hitam; 2. Format penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara seperti diuraikan dalam ayat (1) adalah sebagaimana dilmaksud dalam Lampiran VII Pasal 9

Penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dilakukan melalui :

a. media massa dan elektronika (radio, televisi, surat kabar, majalah dan lainnya); b. papan peragaan pada tempat tempat umum tertentu; Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 21 Nopember 1997

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

219

Lampiran I Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997 Tanggal : 21 November 1997

PARAMETER-PARAMETER DASAR UNTUK INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA (ISPU) DAN PERIODE WAKTU PENGUKURAN

NO. PARAMETER WAKTU PENGUKURAN 1. Partikulat (PM10) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata) 2. Sulfur Dioksida (SO2) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata) 3. Carbon Monoksida (CO) 8 jam (Periode pengukuran rata-rata) 4. Ozon (O3) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata) 5. Nitrogen Dioksida (NO2) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Catatan :

1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi waktu pengukuran. 2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data rata-rata sebelumnya (24 jam sebelumnya). 3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB). 4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan ( pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1 ) ) Lampiran II Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997 Tanggal : 21 November 1997

ANGKADAN KATEGORI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA(ISPU)

INDEKS KATEGORI 1 - 50 Baik 51 -100 Sedang 101 -199 Tidak Sehat 200 -299 Sangat Tidak Sehat 300 -lebih Berbahaya

220

Lampiran IIIKeputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997 Tanggal : 21 November 1997 PENGARUH INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARAUNTUK SETIAP PARAMETER PENCEMAR

Kategori Rentang Carbon Nitrogen Ozon Sulfur Partikulat Baik 0 -50 Tidak ada efek Sedikit Berbau Luka pada beberapa spesies tumbuhan akibat kombinasi dengan SO2 (selama 4 jam) Luka pada beberapa spesies tumbuhan akibat kombinasi dengan O3 (selama 4 jam) Tidak ada Sedang 51 -100 Perubahan kimia darah tapi tidak terdeteksi Berbau Luka pada beberapa spesies

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tumbuhan Luka pada beberapa spesies tumbuhan Terjadi penurunan pada jarak pandang Tidak 101 -199 Peningkatan Bau dan Penurunan Bau, Jarak pandang Sehat pada kardiovaskular pada perokok yang sakit jantung kehinagan warna. Peningkatan kreativitas pembuluh tenggorokan pada penderita asma kemampuan pada atlit yang berlatih keras meningkatnya kerusakan tanaman turun dan terjadi pengotoran debu dimana-mana Sangat 200 -299 Meningkatnya Meningkatnya Olah raga Meningkatnya Meningkatnya Tidak gejala sensitivitas ringan sensitivitas sensitivitas Sehat kardiovaskular pada orang bukan perokok yang berpenyakit jantung, dan akan tampak beberapa kelemahan yang terlihat secara nyata pasien yang berpenyakit asma dan bronchitis mengakibatkan pengaruh pernafasan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pada pasien yang berpenyakit paru-paru kronis pada pasien berpenyakit asma dan bronchitis pada pasien berpenyakit asma dan bronchitis Berbahaya 300 -lebih Tingkat yang berbahaya bagi semua populasi yang terpapar

Lampiran IVKeputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997 Tanggal : 21 November 1997

BATAS INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DALAM SATUAN SI

a) Dalam Bentuk Tabel

Indeks Standar Pencemar 24 jam PM10 mg/m3 24 jan SO2 mg/m3 8 jam CO mg/m3 1 jam O3 mg/m3 1 jam NO2 mg/m3 50 50 80 5 120 (2) 100 150 365 10 235 (2) 200 350 800 17 400 1130 300 420 1600 34 800 2260 400 500 2100 46 1000 3000 500 600 2620 57.5 1200 3750

1. Pada 25OC dan 760 mm Hg 2. Tidak ada indeks yang dapat dilaporkan pada konsentrasi rendah dengan jangka pemaparan yang pendek 221

b) Dalam Bentuk Grafik

Tingkatberbahaya Tingkatberbahaya 222

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ya tberbahaTingkaTingkatberbahaya 223

berbahaya berbahaya Tingkat224

Lampiran V Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997 Tanggal : 21 November 1997

PERHITUNGAN INDEKSSTANDAR PENCEMAR UDARA A) SECARAPERHITUNGAN

Konsentrasi nyata ambien (Xx) [ppm, mg/m3, dll. Angka nyata ISPU (1)

Xx [I Ia - Ib I = (Xx -Xb) + Ib Xa -Xb ........................(*) I = ISPU terhitung Ia = ISPU batas atas Ib = ISPU batas bawah Xa = Ambien batas atas Xb = Ambien batas bawah Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran

CONTOH PERUBAHAN ANGKA SECARA PERHITUNGAN

Diketahui konsentrasi udara ambien untuk jenis parameter SO 2 adalah 332 µg/m3. Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagai berikut :

Dari Tabel “Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)”

Indeks Pencemar Udara 24 jan PM10 mg/m3 24 jam SO2

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

mg/m3 8 jam CO mg/m3 1 jam O3 mg/m3 1 jam NO2 mg/m3 50 50 80 5 120 100 150 365 10 235 200 350 800 17 400 1130 300 420 1600 34 800 2260 400 500 2100 46 1000 3000 500 600 2620 57.5 1200 3750

Maka : Xx= Kadar ambien nyata hasil pengukuran [322 µg/m3 Ia = ISPU batas atas [100 (baris 3) Ib = ISPU batas bawah [ 50 (baris 2) Xa = Ambien batas atas [365 (baris 3) Xb = Ambien batas bawah [ 80 (baris 2)

Sehingga angka-angka tersebut dimasukkan dalam rumus (*) menjadi :

100 – 50 I = ————— (322 – 80) + 50 365 – 80

= 92.45

= 92 (pembulatan)

Jadi konsentrasi udara ambien SO2 322 mg/m3 dirubah menjadi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) : 92

225

B)SECARAGRAFIK

Contoh : Jika diketahui konsentrasi untuk paremeter PM10 adalah 250 µg/m3 konsentrasi ini jika dirubah dalam Indeks Standar Pencemar Udara dengan menggunakan grafik adalah sebagai berikut : Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke atas sampai menyentuh garis dan ditarik ke kiri sampai menyentuh sumbu Y didapat angka 150. Sehingga konsentrasi PM10 250 µg/m3 dirubah menjadi angka Indeks Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat dilihat gambar di bawah ini).

Lampiran VI Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997 Tanggal : 21 November 1997

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

CONTOH PENGAMBILAN INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DARI BEBERAPA STASIUN PEMANTAU

Misal : Kota Denpasar Jumlah Stasiun Monitoring : 3 buah Angka-angka Indeks Standar Pencemar Udara dari setiap stasiun :

Stasiun I (Pertama) Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM 10 = 96, SO2 = 80, O3 = 40, NO2 = 55, CO = 90

Stasiun II (Kedua) Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM 10 = 88, SO2 = 44, O3 = 40, NO2 = 42, CO = 83

Stasiun III (Ketiga) Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM 10 = 91, SO2 = 71, O3 = 35, NO2 = 55, CO = 92

Indeks Standar Pencemar Udara yang dilaporkan ke media massa (koran harian setempat /televisi stasiun setempat) adalah Indeks Standar Pencemar Udara yang paling tinggi. Untuk kasus di atas Indeks Standar Pencemar Udara tertinggi adalah dari Stasiun I (pertama) yaitu polutan PM 10 dengan Indeks Standar Pencemar Udara 96. Sehingga inti laporan kemasyarakatan adalah :

Indeks Standar Pencemar Udara Denpasar adalah :

* Indeks Standar Pencemar Udara : 96 * Kualitas Udara : sedang * Parameter dominan : PM10 Berlaku 24 jam dari hari ini pukul 15.00 tanggal (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1). 226

Lampiran VII Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 107/BAPEDAL/II/1997 Tanggal : 21 November 1997

Contoh Format Laporan Harian ke Masyarakat

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan ttd Sarwono Kusumaatmadja

227

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

KEPUTUSAN KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-205/BAPEDAL/07/1996

TENTANG

PEDOMAN TEKNISPENGENDALIAN PENCEMARAN UDARASUMBERTIDAK BERGERAK

KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-13/ MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, perlu dirumuskan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak; 5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15/MENLH/4/1996 tentang Program Langit Biru; 6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-16/MENLH/4/1996 tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Langit Biru; 7. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-135 Tahun 1995 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-136 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah (Bapedal Wilayah). MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA SUMBER TIDAK BERGERAK

Pasal 1

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak ini diperlukan sebagai pedoman teknis dalam upaya pengendalian pencemaran udara bagi: a. Instansi terkait; b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Daerah Istimewa, Gubernur Daerah Khusus Ibukota dan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II; d. Penanggung jawab kegiatan dari sumber tidak bergerak. (2) Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk: 1. Pelaksanaan pemantauan kualitas udara sebagaimana tersebut dalam Lampiran I yang meliputi: a. Mekanisme kunjungan Pendahuluan; b. Periode pemantauan; c. Penetapan lokasi pemantauan emisi dan ambien; d. Pemasangan alat pemantauan kualitas udara; e. Pelaporan; 2. Pengambilan contoh uji dan analisis sebagaimana tersebut dalam Lampiran II yang meliputi: a. Metode penentuan tempat pengambilan contoh uji titik-titik lintas dalam emisi sumber tidak bergerak; b. Metode penentuan kecepatan aliran dan tingkat aliran volumetrik gas dalam emisi sumber tidak bergerak; c. Metode penentuan komposisi dan berat molekul gas dalam emisi sumber tidak bergerak; d. Metode penentuan kandungan uap air gas buang dalam cerobong dari emisi sumber tidak bergerak; e. Metode pengujian kadar partikulat dalam emisi sumber tidak bergerak secara Isokinetik; f. Metode pengujian opasitas dalam emisi sumber tidak bergerak secara visual; 228

g. Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat Spektrofotometer secara Turbidimetri; h. Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri; i. Metode pengujian kadar Nitrogen Oksida (NOX) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat Spektrofotometer secara Kolorimetri; j. Metode pengujian kadar Total Sulfur Tereduksi (TRS) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Oksida Termal; k. Metode pengujian kadar Klorin dan Klor Dioksida (Cl2 dan ClO2) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri; l. Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat Spektrofotometer secara Merkuri Tiosianat; m. Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri; 3. Persyaratan cerobong sebagaimana tersebut dalam Lampiran III yang meliputi: a.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pengaturan cerobong. b. Lubang sampling. c. Sarana pendukung. 4. Unit pengendalian pencemaran udara sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV yang antara lain: a. Electrostatic Precipitator. b. Siklon. c. Pengumpul proses basah (Wet Process Collector). d. Cartridge Collector. e. Baghouses. Pasal 2

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 10 Juli 1996

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai aslinya

Sekretaris BAPEDAL,

ttd

Drs. Dadang Danumihardja NIP. 060030827

229

TANAH TANAH 230

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000

TENTANG

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya;

b. bahwa meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumber daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478); 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556); 6. Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 98; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Negara Nomor 3952); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

BAB 1 KETENTUAN UMUM

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Tanah adalah salah satu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya; 2. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur; 3. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah; 4. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman; 231

5. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa; 6. Pengendalian kerusakan tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah; 7. Kondisi tanah adalah sifat dasar tanah di tempat dan waktu tertentu yang menentukan mutu tanah; 8. Sifat dasar tanah adalah sifat dasar fisika, kimia dan biologi tanah; 9. Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; 10. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang, berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa; 11. Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah upaya untuk mempertahankan kondisi tanah melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya proses kerusakan tanah; 12. Penanggulangan kerusakan tanah adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan tanah; 13. Pemulihan kondisi tanah adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah ke tingkatan yang tidak rusak; 14. Orang adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang dan/badan hukum; 15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 16. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah; 17. Instansi teknis adalah instansi yang membidangi kegiatan di bidang produksi biomassa; 18. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 19. Menteri lain adalah Menteri yang membidangi kegiatan di bidang produksi biomassa; 20. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 21. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota. BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi :

a. Penetapan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa tidak termasuk biomassa dari kegiatan budi daya perikanan; dan b. Tata laksana pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah. Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengendalikan kerusakan tanah untuk produksi biomassa.

BAB III KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH

Bagian Pertama Umum

Pasal 4 Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa meliputi :

a. Kriteria baku kerusakan tanah nasional; dan b. Kriteria baku kerusakan tanah daerah. Bagian Kedua Kriteria Baku Kerusakan Tanah Nasional

Pasal 5

(1) Kriteria baku kerusakan tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman meliputi : a. Kriteria baku kerusakan tanah akibat erosi air: b. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering: c. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah. (2) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. (3) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Bagian Ketiga Kriteria Baku Kerusakan Tanah Daerah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 6

(1) Kriteria baku kerusakan tanah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. (2) Penetapan kriteria Baku Kerusakan Tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan kriteria Baku Kerusakan Tanah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) 232

(3) Kriteria baku kerusakan tanah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari kriteria baku kerusakan tanah nasional. (4) Gubernur/Bupati/Walikota dapat menambah parameter kriteria baku kerusakan tanah di daerah sesuai dengan kondisi tanah di daerahnya. (5) Dalam menetapkan tambahan parameter, Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan koordinasi dengan Menteri (6) Apabila kriteria baku kerusakan tanah di daerah belum ditetapkan, maka berlaku kriteria baku kerusakan tanah nasional. Bagian Keempat Tata Cara Pengukuran Kerusakan Tanah

Pasal 7 Tatacara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah nasional dan daerah ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.

BAB IV PENETAPAN KONDISI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH

Pasal 8

(1) Kondisi tanah untuk penetapan status kerusakan tanah ditetapkan berdasarkan hasil : a. analisis, inventarisasi, dan/atau identifikasi terhadap sifat dasar tanah; dan b. intervasi kondisi iklim, topografi, potensi sumber kerusakan dan penggunaan tanah. (2) Penetapan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap areal tanah yang berpotensi mengalami kerusakan tanah. (3) Bupati/Walikota menetapkan kondisi tanah di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (4) Kondisi tanah untuk daerah kabupaten dipetakan dengan tingkat ketelitian minimal 1 : 100.000 dan untuk daerah kota 1 : 50.000. Pasal 9

(1) Analisis sifat dasar tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan oleh laboratorium tanah yang memenuhi syarat di daerah . (2) Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penunjukan laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh kepala Instansi yang bertanggung jawab Pasal 10 Bupati/Walikota melakukan evaluasi untuk menetapkan status kerusakan tanah sesuai dengan parameter yang dilampaui nilai ambang kritisnya berdasarkan hasil inventarisasi, identifikasi, analisis dan pemetaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAB V TATA LAKSANA PENGENDALIAN

Bagian Pertama Pencegahan Kerusakan Tanah

Pasal 11 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah produksi biomassa wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah.

Bagian Kedua Penanggulangan Kerusakan Tanah

Pasal 12

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan penanggulangan kerusakan tanah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan. Bagian Ketiga Pemulihan Kondisi Tanah

Pasal 13

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan pemulihan kondisi tanah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan. 233

Bagian Keempat Pengawasan

Pasal 14

(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah di daerahnya. (2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas Kabupaten dan Kota. (3) Menteri dan/atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi. Pasal 15 Pengawasan pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan terhadap:

a. pelaksanaan persyaratan dan kewajiban yang tercantum di dalam izin untuk usaha dan/atau kegiatan:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

b. pemenuhan kriteria baku kerusakan tanah bagi usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin . Pasal 16 Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dilakukan :

a. secara periodik untuk mencegah kerusakan tanah; b. secara intensif untuk menanggulangi kerusakan tanah dan memulihkan kondisi tanah. Bagian Kelima Pelaporan

Pasal 17

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kerusakan tanah, wajib melaporkan kepada pejabat daerah setempat. (2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat : a. identitas pelapor; b. tanggal pelaporan; c. waktu dan tempat kejadian; d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan tanah; e. dampak kerusakan tanah yang terjadi. (3) Pejabat daerah setempat terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan. (4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya laporan, wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran terjadinya kerusakan tanah. Bagian Keenam Hasil Pengawasan dan Laporan

Pasal 18

(1) Apabila hasil pengawasan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, membuktikan telah terjadi kerusakan tanah maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah. (2) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 19 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau ayat (2) wajib menyampaikan laporan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

BAB VI PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT

Pasal 20

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Pimpinan instansi teknis/Menteri berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencegah timbulnya usaha dan/atau kegiatan yang merusak kondisi tanah. (2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan tanah. 234

BAB VII KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERANAN MASYARAKAT

Pasal 21

(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat tentang; a. Kondisi tanah; b. Status kerusakan tanah; c. Rencana, pelaksanaan, dan hasil pengendalian kerusakan tanah; dan d. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah. (2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik, atau papan pangumuman. Pasal 22 Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi tentang;

a. Kondisi tanah; b. Status kerusakan tanah; c. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah; d. Rencana, pelaksanaan dan hasil pengendalian kerusakan tanah. BAB VIII PEMBIAYAAN

Pasal 23 Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam:

a. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15, dan Pasal 20

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX KETENTUAN PIDANA

Pasal 24 Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 6 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB X KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25 Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tangggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 23 Desember 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2000

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

DJOHAN EFFENDI

235

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR : 150 TAHUN 2000 TANGGAL : 23 DESEMBER 2000

KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

A. KRITERIA BAKUKERUSAKANTANAHDILAHANKERINGAKIBATEROSIAIR TEBAL TANAH AMBANG KRITIS METODE PENGUKURAN PERALATAN <1> <2> Ton/ha/tahun mm/10 tahun

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

< 20 cm 20 - < 50 cm 50 -< 100 cm 100 -150 cm > 150 cm > 0,1 -< 1 1 -< 3 3 -< 7 7 -9 > 9> 0,2 -< 1,3 1,3 -< 4 4,0 -< 9,0 9,0 -121. gravimetrik 2. Pengukuran langsung 1. Timbangan, tabung ukur,penera debit ( discharge) sungai dan peta daerah tangkapan air (catchment area) 2. Patok erosi

B. KRITERIA BAKUKERUSAKANTANAHDILAHANKERING NO PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PENGUKURAN PERALATAN 1 Ketebalan solum < 20 cm pengukuran langsung meteran 2 Kebatuan permukaan > 40 % pengukuran langsungimbangan batu dan tanahdalam unit luasan meteran; counter (line atau total) 3 Komposisi fraksi < 18 % koloid; > 80 % pasir kuarsitik warna pasir, gravimetrik tabung ukur; timbangan 4 Berat isi > 1,4 g/cm3 gravimetrik padasatuan volume lilin, tabung ukur; ring sampler, timbangan analitik 5 Porositas total < 30 % ; > 70% perhitungan berat isi (BI) dan berat jenis (BJ) piknometer; timbangan analitik 6 Derajat pelulusan air < 0,7 cm/jam; > 8,0 cm/jam permeabilitas ring sampler; double ring permeameter 7 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 potensiometrik pH meter; pH stick skala 0,5 satuan 8 Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter 9 Redoks < 200 mV tegangan listrik pH meter; elektroda platina 10 Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah plating technique cawan petri;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

colony counter

236

C. KRITERIABAKUKERUSAKANTANAHDILAHANBASAH NO PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PERALATAN PENGUKURAN 1 Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa > 35 cm/5 tahun untuk ketebalan gambut > 3 cm atau 10% /5 tahun untuk ketebalan gambut < 3 cm pengukuran langsung patok subsidensi 2 Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah < 25 cm dengan pH < 2,5 reaksi oksidasi dan pengukuran langsung cepuk plastik; H 2O2 pH stick skala 0,5 satuan; meteran 3 Kedalaman air tanah dangkal > 25 cm pengukuran langsung meteran 4 Redoks untuk tanah berpirit > - 100 mV tegangan listrik pH meter; elektroda platina 5 Redoks untuk gambut > 200 mV tegangan listrik pH meter; elektroda platina 6 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,0 ; > 7,0 potensiometrik pH meter; pH stick skala 0,5 satuan 7 Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter 8 Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah plating technique cawan petri; colony counter

Catatan :

-Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku.

-Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak berlaku jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam.

Presiden Republik Indonesia,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

237

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000

TENTANG

PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

UMUM

Tanah sebagai salah satu komponen lahan, bagian dari ruang daratan dan lingkungan hidup dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah memiliki fungsi produksi, yaitu antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu, dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.

Karena itu, bangsa Indonesia berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah, dengan tujuan melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksi dan pelestariannya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar tanah dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian perusakan tanah menjadi sangat penting.

Indonesia adalah negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor pertanian. Oleh karena itu adanya kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman) sangat diperlukan. Hutan tanaman merupakan hasil budi daya, bukan hutan alami. Oleh karena itu istilah yang dipakai dalam Peraturan Pemerintah ini adalah hutan tanaman. Penekanan pada produksi biomassa juga didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan produksi biomassa sangat mutlak mempersyaratkan mutu tanah sebagai media pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.

Pemanfaatan tanah tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan oleh orang pada hamparan lahan yang ditempatinya dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pemanfaatan tersebut berkaitan dengan pemanfaatan ruang kawasan dan pengelolaan lingkungan hidup yang pokok-pokok pengaturannya ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat terjadi karena tindakan orang, baik di areal produksi biomassa maupun karena adanya kegiatan lain di luar areal produksi biomassa yang dapat berdampak terhadap terjadinya kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bagi pengendalian kerusakan tanah di luar areal produksi biomassa diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Selain dari pada itu, kerusakan tanah dapat pula terjadi akibat proses alam. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur kerusakan akibat tindakan manusia. Meskipun demikian, kerusakan yang terjadi karena proses alam tidak berarti tidak ditanggulangi. Namun, tanggung jawab penanggulangannya merupakan kewajiban Pemerintah.

PASAL DEMI PASAL

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3

Pengendalian kerusakan tanah dilakukan dalam rangka konservasi sehingga sumber daya tanah dapat

didayagunakan sesuai dengan atau tidak melebihi daya dukungnya.

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Penetapan kriteria baku kerusakan tanah nasional tersebut didasarkan pada sifat-sifat dasar tanah

yang menentukan mutu dan fungsi tanah sebagai faktor produksi biomassa.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

238

Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Penetapan kriteria baku kerusakan tanah di daerah yang lebih ketat diterapkan apabila kondisi tanah di daerah tersebut lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan kondisi rata-rata nasional.

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 7 Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1) Kegiatan inventarisasi, identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tanah dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi terkait yang telah ada (data sekunder) dan/atau melakukan pengamatan dan pengukuran sejumlah parameter langsung di lapangan, jika data sekunder belum mencukupi atau diperlukan data yang lebih mutakhir dari lapangan karena diduga telah terjadi perubahan yang mendasar. Pengamatan dilakukan untuk semua parameter sifat dasar tanah, potensi sumber kerusakan, kondisi iklim dan topografi, serta penggunaan tanah.

Sifat dasar tanah mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat fisik tanah antara lain meliputi kedalaman tanah, tekstur, pori, kandungan air. Sifat kimia tanah antara lain meliputi pH, kandungan garam. Sifat biologi tanah terutama berkaitan dengan jumlah jasad renik (mikroba) yang terkandung di dalam tanah.

Kondisi iklim dan geografi yang perlu diteliti meliputi antara lain curah hujan, intensitas penyinaran matahari, ketinggian (elevasi), dan morfologi.

Potensi sumber kerusakan tanah berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan penggunaan tanah untuk pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, termasuk kegiatan lainnya yang berada di luar areal produksi biomassa antara lain kegiatan pertambangan, permukiman dan industri.

Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan hasil bentukan alami (misalnya hutan, alang-alang dan semak), maupun hasil bentukan buatan sebagai cerminan budaya (misalnya permukiman, kebun, dan taman).

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Peta kondisi tanah daerah kabupaten/kota dapat digunakan untuk menyusun peta propinsi dengan cara menggabungkan peta kondisi tanah daerah kabupaten/kota. Peta kondisi tanah daerah Propinsi digambarkan dengan skala minimal 1 : 250.000 agar bisa diintegrasikan dengan peta tematik lain untuk merumuskan arahan kebijakan pembangunan daerah.

Pasal 9 Cukup jelas

Pasal 10 Yang dimaksud dengan evaluasi adalah membandingkan antara kondisi tanah dengan kriteria baku

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

kerusakan tanah untuk produksi biomassa sehingga dapat diketahui rusak tidaknya tanah. Tanah dikatakan rusak apabila salah satu parameter kriteria baku kerusakan tanah terlampaui.

Pasal 11 Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat dilakukan dengan cara antara lain:

239

a. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan kegiatannya dengan peruntukan lahan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota; b. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap tanah untuk produksi biomassa wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan; c. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL), untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. d. Yang dimaksud dengan usaha dan/atau kegiatan meliputi usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan izin dan yang tidak memerlukan izin. e. Usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan izin antara lain kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan melakukan UKL dan UPL. f. Contoh izin yang dimaksud antara lain izin usaha pertanian untuk usaha di bidang pertanian, izin usaha perkebunan untuk usaha di bidang perkebunan, izin usaha kehutanan untuk usaha di bidang hutan tanaman. g. Usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin antara lain kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten). Pasal 12 Ayat (1) Penanggulangan kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara antara lain:

a. memperbaiki pengolahan dalam proses produksi; dan/atau b. mengurangi produksi. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 13 Ayat (1) Pemulihan kondisi tanah dilakukan dengan cara antara lain:

a. penanaman dengan tumbuhan yang cocok dengan kondisi tanah dan lingkungan sekitarnya; b.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

melakukan tindakan ameliorasi dengan menggunakan bahan-bahan seperti pupuk, bahan organik dan kapur; dan/atau c. melakukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras atau bangunan sipil teknis lain, penanaman tanaman penutup. Ayat (2) Yang dimaksud dengan instansi teknis yang bersangkutan adalah :

a. instansi yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan perkebunan untuk kegiatan di bidang pertanian dan perkebunan; atau b. instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan untuk kegiatan hutan tanaman. Pasal 14 Cukup jelas

Pasal 15 Cukup jelas

Pasal 16

Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik misalnya pengawasan yang dilakukan setiap 3 (tiga)

bulan sekali. Sedangkan pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering dari pada

pengawasan periodik.

Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud pejabat daerah setempat antara lain Kepala Desa, Lurah, Camat.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

240

Pasal 18 Ayat (1) Tindakan penghentian pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menghentikan kerusakan dan memulihkan kerusakan tanah yang terjadi, sehingga kerugian dapat dicegah sekecil mungkin.

Ayat (2)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang yang dinilai memiliki kemampuan untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan tanah.

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Ayat (1) Peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui :

a. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang konservasi tanah; b. bimbingan teknis; c. pendidikan dan pelatihan; d. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi tanah untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha dalam pengendalian kerusakan tanah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mendukung perlindungan tanah antara lain membiarkan lahan pertanian tidak ditanami dalam kurun waktu tertentu, pergiliran tanaman, tumpang sari dan pembuatan terrasering

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Hak atas informasi tentang kondisi tanah, status kerusakan tanah untuk produksi biomassa, rencana dan pelaksanaan serta hasil pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, dan kegiatan-kegiatan yang berpotensi merusak tanah merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran dalam pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat.

Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi merupakan pendorong bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.

Peran masyarakat meliputi antara lain menyampaikan saran dan pendapat tentang kebijakan pengendalian kerusakan tanah serta berpartisipasi aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.

Pasal 23 Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4068

241

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DANATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANGBERKAITANDENGAN

KEBAKARAN HUTAN DANATAU LAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, karena itu perlu dilakukan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;

b. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan atau kegiatan; c. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan telah menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478); 4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481); 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556); 6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557); 7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2952); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN.

242

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan; 2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat; 3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap; 4. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

kebakaran hutan dan atau lahan; 5. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; 6. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; 7. Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya; 8. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan; 9. Kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan hutan dan atau lahan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; 10. Pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan sehingga kualitas lingkungan hidup menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 11. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang; 12. Orang adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum; 13. Penanggung jawab usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi; 14. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 15. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 16. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 17. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

BAB II KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

Bagian Pertama Umum

Pasal 3 Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi:

a. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan b.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah. Bagian Kedua Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Nasional

Pasal 4 Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:

a. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan b. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional. 243

Pasal 5

(1) Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi: a. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; b. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; c. Kriteria umum baku kerusakan flora yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; dan d. Kriteria umum baku kerusakan fauna yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. (2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Pasal 6

(1) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b didasarkan pada kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional. (2) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Pasal 7 Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka berlaku kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

Bagian Ketiga Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Daerah

Pasal 8

(1) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah. (2) Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (3) Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah berdasarkan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. (4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional. BAB III BAKU MUTU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 9 Baku mutu pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional; dan b. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah. Pasal 10 Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional dan baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV TATA LAKSANA PENGENDALIAN

Bagian Pertama Umum

Pasal 11 Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 12 Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 13 Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

Pasal 14

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. 244

(2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan; c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; d. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala. Pasal 15 Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 16 Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memperhatikan :

a. kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumber daya alam; b. kesesuaian dengan tata ruang daerah; c. pendapat masyarakat dan kepala adat; dan d. pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang. Bagian Ketiga Penanggulangan

Pasal 17 Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.

Pasal 18

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. (2) Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dan Instansi yang bertanggung jawab. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah. Pasal 19 Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat Pemulihan

Pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup.

Pasal 21

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. (2) Pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis pemulihan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah. Pasal 22 Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka pemulihan dampak lingkungan hidup dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

245

BAB V WEWENANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

Bagian Pertama Wewenang Pemerintah Pusat

Pasal 23 Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara.

Pasal 24 Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan :

a. penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan; b. pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; dan atau c. pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan. Pasal 25 Dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 26 Kepala Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau lintas batas negara.

Bagian Kedua Wewenang Pemerintah Propinsi

Pasal 27 Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.

Pasal 28

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota. (2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat. Pasal 29

(1) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Bagian Ketiga Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 30 Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.

Pasal 31

(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan : a. penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan; b. pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada; c. pengukuran dampak; d. pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. 246

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1). Pasal 32 Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat.

Pasal 33

(1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan, hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. BAB VI PENGAWASAN

Pasal 34

(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. (2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota. (3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Pasal 35 Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Pasal 36 Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Pasal 37 Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 dilakukan:

a. secara periodik untuk mencegah kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup; b. secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pasal 38 Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 menunjukkan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan.

BAB VII PELAPORAN

Pasal 39

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, wajib melaporkan kepada pejabat daerah setempat. (2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat : a. identitas pelapor; b. tanggal pelaporan; c. waktu dan tempat kejadian;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e. perkiraan dampak kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi. (3) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan. 247

(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam sejak tanggal diterimanya laporan, wajib melakukan verifikasi dari pejabat daerah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. (5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadi kebakaran hutan dan atau lahan, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya. Pasal 40 Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (5), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 41 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (5), dan Pasal 40, wajib menyampaikan laporannya kepada Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

BAB VIII PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT

Pasal 42

(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Pimpinan instansi teknis/Menteri berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan. (2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan. BAB IX KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 43

(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya. (2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang meliputi : a.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

lokasi dan luasan kebakaran hutan dan atau lahan; b. hasil pengukuran dampak; c. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pasal 44 Dalam hal dampak kebakaran hutan dan atau lahan melampaui lintas propinsi dan atau lintas batas negara, koordinasi pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 45

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang meliputi : a. Peta daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan; b. Peta peringkat bahaya kebakaran hutan dan atau lahan; Dokumen perizinan pengusahaan hutan dan atau lahan; d. Dokumen AMDAL; e. Rencana penyiapan/pembukaan hutan dan atau lahan; f. Hasil penginderaan jauh dari satelit; g. Laporan berkala dari penanggung jawab usaha mengenai status penaatan terhadap persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); h. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2). (2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. 248

Pasal 46

Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X PEMBIAYAAN

Pasal 47 Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a. Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 34 ayat (3), Pasal 36, dan Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pasal 8 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 39 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XI SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 48 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB XII GANTI RUGI

Pasal 49

(1) Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21 ayat (1) yang menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu. (2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. (3) Tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur secara tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 50 Dalam hal tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) belum ditetapkan, maka tata cara penetapan besarnya ganti kerugian dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 51

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian. 249

BAB XIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 52 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53 Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini :

a. izin usaha yang telah diajukan tetapi masih dalam proses penyelesaian, wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. b. izin usaha yang sudah diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 54 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd

DJOHAN EFFENDI

250

PENJELASAN ATAS PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2001

TENTANG

PENGENDALIAN KERUSAKANDAN ATAUPENCEMARAN LINGKUNGANHIDUPYANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARANHUTAN DAN ATAU LAHAN

I. UMUM Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, mutu kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia. Proses pelaksanaan pembangunan itu sendiri disatu pihak menghadapi masalah karena jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan persebarannya tidak merata. Di lain pihak ketersediaan sumber daya alam juga terbatas. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi akan meningkatkan pemanfaatan terhadap sumber daya alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan tekanan terhadap sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan rakyat harus disertai dengan upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara tegas dikemukakan dalam Tap MPR No.lV/MPR/ 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup harus disertai dengan tindakan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperkecil dampak yang akan merugikan lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan devisa, maka Pemerintah melakukan pembangunan di berbagai sektor. Sektor pembangunan tersebut antara lain di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, dan pertambangan serta pariwisata. Kegiatan ini dilakukan dengan membuka kawasan-kawasan hutan menjadi kawasan budi daya yang dalam proses pelaksanaan kegiatannya rawan terjadinya kebakaran hutan dan atau hutan.

Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan atau fauna, tanah, dan hutan. Sedangkan pencemaran dapat terjadi terhadap air dan udara. Pengendalian terhadap terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air.

Pengertian hutan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan batasan pengertian sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha di bidang kehutanan, pertanian, transmigrasi, pertambangan, pariwisata, dan ladang dan kebun bagi masyarakat. Lahan tersebut mempunyai ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbunan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur.

Kebakaran hutan dan atau lahan di Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun frekuensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda. Kebakaran paling besar terjadi pada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh lima) propinsi, yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai bencana nasional. Dampak dengan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi setiap tahun tersebut telah menimbulkan kerugian, baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial, maupun budaya yang sulit dihitung besarnya. Dampak asap menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia (radang paru), iritasi mata dan kulit. Hal ini akibat tingginya kadar debu di udara yang telah melampaui ambang batas.

Dampak asap dan kebakaran hutan dan atau lahan telah mengganggu jarak pandang sehingga mempengaruhi jadual penerbangan. Akibatnya di beberapa kota jarak pandang kurang dari satu kilometer, yang mengakibatkan penutupan beberapa bandar udara. Selain daripada itu dampak asap mengganggu aktivitas penduduk. Bahkan, asap dan kebakaran tersebut juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

Dalam peristiwa kebakaran hutan dan atau lahan, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor tersebut adalah penyiapan lahan yang tidak terkendali dengan cara membakar, termasuk juga karena kebiasaan masyarakat dalam membuka lahan, kebakaran yang tidak disengaja, kebakaran yang disengaja (arson), dan kebakaran karena sebab alamiah.

251

Kebakaran karena sebab alamiah ini terjadi di daerah yang mengandung batu bara atau bahan lain yang mudah terbakar. Meskipun beberapa faktor tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran, tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah karena tindakan manusia.

Terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sangat sulit untuk ditanggulangi, baik untuk pemadaman kebakaran maupun pemulihan dampak dari kebakaran. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana, kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk dapat segera dijangkau serta memerlukan waktu yang cukup lama. Padahal, pemadaman kebakaran memerlukan kecepatan dan keberhasilan untuk mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan terjadinya kebakaran menjadi sangat penting dilakukan, antara lain dengan memperketat persyaratan dalam pemberian ijin.

Bagi kegiatan yang tidak memerlukan izin seperti kegiatan perorangan atau kelompok orang yang karena kebiasaannya membuka lahan untuk ladang dan kebun, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran diperlukan pembinaan, bimbingan, dan penyuluhan serta kebijakan khusus dari masing-masing propinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian, maka dalam melakukan tindakan atau kegiatannya tidak dilakukan dengan cara membakar yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan.

Mengingat dampak akibat kebakaran hutan dan atau lahan sangat besar, maka setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan dilarang dengan cara membakar. Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 huruf d, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan. Larangan tersebut tidak berlaku bagi pembakaran hutan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Untuk dapat memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terkait terhadap penanganan kebakaran hutan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dan atau lahan, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan suatu kebijakan nasional, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau Lahan.

Peraturan Pemerintah ini diperlukan selain karena alasan yang telah diuraikan di atas juga sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7 Cukup jelas

Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Kriteria baku lingkungan hidup daerah dapat ditetapkan lebih ketat daripada kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional apabila kondisi daerah tersebut memerlukannya dan bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap lingkungan hidup daerah.

252

Pasal 9 Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 10 Ketentuan tentang, baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional untuk berbagai sumber daya alam telah di tetapkan dalam berbagai peraturan, antara lain baku mutu udara.

Pasal 11 Kegiatan yang menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain kegiatan penyiapan lahan untuk usaha di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, pertambangan, pariwisata yang dilakukan dengan cara membakar. Oleh karena itu dalam melakukan usaha tersebut di larang dilakukan dengan cara pembakaran, kecuali untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dan pejabat yang berwenang.

Selanjutnya kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Untuk menghindarkan terjadinya kebakaran di luar lokasi lahannya perlu dilakukan upaya pencegahan melalui kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing seperti melalui peningkatan kesadaran masyarakat adat atau tradisional.

Pasal 12 Cukup jelas

Pasal 13 Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, antara lain usaha di bidang kehutanan perkebunan, dan pertambangan.

Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a Sistem deteksi dini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, contohnya menara pemantau.

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Cukup jelas

Huruf e Yang dimaksud dengan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala antara lain adalah setiap 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 15 Laporan hasil pemantauan secara berkala dilengkapi antara lain dengan data pemantauan dan data penginderaan jauh dari satelit.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 16 Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha adalah pejabat dari instansi yang bertanggung jawab di bidang yang di mintakan permohonan izin usahanya. Contohnya pejabat yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

Huruf a Yang dimaksud dengan kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan adalah strategi pengelolaan hutan dan atau lahan serta strategi pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan.

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Pendapat masyarakat termasuk di antaranya adalah pendapat pemerhati lingkungan dan organisasi lingkungan hidup.

253

Huruf d Yang dimaksud dengan pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang adalah antara lain rekomendasi dari Kepala Bapedal tentang kelayakan lingkungan hidup yang kewenangan penilaian komisi AMDAL-nya dipusat, sedangkan di daerah adalah pertimbangan dan rekomendasi kelayakan lingkungan hidup dan Gubernur yang kewenangan penilaian komisi AMDAL-nya ada di daerah.

Pasal 17 Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun.

Pasal 18

Ayat (1) Yang dimaksud dengan segera melakukan penanggulangan adalah tindakan seketika untuk melakukan penanggulangan sejak diketahuinya terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Menteri lain yang terkait adalah antara lain Menteri Pertanian dalam hal kegiatan perkebunan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam hal kegiatan yang berkaitan dengan pertambangan.

Ayat (3) Penetapan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan dengan peraturan daerah dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan kondisi alamiah tentang hutan dan atau lahan daerah yang bersangkutan. Misalnya penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi yang mengandung batu bara atau gambut berbeda penanggulangannya dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi lainnya.

Pasal 19

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan yang selama ini telah ada seperti di bidang kehutanan.

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23 Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal 27 Cukup jelas

Pasal 28 Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1) Pembentukan instansi yang berwenang tersebut dapat dilakukan bagi propinsi yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau lahan.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 30 Cukup jelas

254

Pasal 31 Ayat (1)

Huruf a Yang dimaksud dengan tindakan penanggulangan kebakaran adalah antara lain mobilisasi sarana dan prasarana, sumber daya manusia untuk mencegah meluasnya kebakaran. Pelaksanaan penanggulangan kebakaran tersebut dilakukan secara berjenjang dari tingkat desa/kelurahan,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

kecamatan, dan kabupaten/kota.

Huruf b Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat adalah antara lain pemeriksaan gangguan pernafasan dan iritasi mata.

Huruf c Pengukuran dampak dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks standar pencemar udara dan jarak pandang. Apabila hasil pemantauan menunjukkan indeks standar pencemaran udara (ISPU) mencapai nilai 300 atau lebih, berarti udara dalam kategori berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Huruf d Yang dimaksud dengan pengumuman mengenai langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain mengumumkan kepada masyarakat agar mengurangi aktivitasnya, dan menggunakan masker untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 32 Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1) Pembentukan instansi yang berwenang secara khusus tersebut dapat dilakukan di kabupaten/kota yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau lahan.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 34 Cukup jelas

Pasal 35 Cukup jelas

Pasal 36 Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah antara lain pengecekan lapangan untuk mengetahui tentang kebenaran informasi yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota terhadap penanganan kasus kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 37 Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik antara lain pengawasan yang dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering daripada pengawasan periodik, terutama terhadap penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.

Pasal 38 Yang dimaksud dengan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha adalah antara lain tidak menyiapkan peralatan pemadaman, dan atau standar operasi prosedur penanggulangan kebakaran hutan dan atau

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

lahan di lokasi usahanya.

Pasal 39

Ayat(1) Yang dimaksud pejabat daerah setempat adalah antara lain Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi. Sedangkan informasi yang diperoleh dari media elektronik, media cetak, dan surat, dilaporkan kepada Kepala lnstansi yang bertanggung jawab.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

255

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 40 Cukup jelas

Pasal 41 Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1) Peningkatan kesadaran masyarakat, penanggung jawab usaha, dan aparatur dilakukan melalui antara lain :

a. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang konservasi hutan dan atau lahan; b. pemberian bimbingan teknis; c. pendidikan dan pelatihan; d. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi hutan dan atau lahan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan penanggung jawab usaha dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup. Upaya untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan aparatur dalam pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan dimaksud agar, antara lain, dapat ikut serta dalam kegiatan fisik di lapangan,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

sedangkan keterlibatan tidak langsung dapat berupa bantuan pendanaan dalam pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan. Yang dimaksud dengan pimpinan instansi teknis dalam pasal izin adalah antara lain Departemen Kehutanan untuk usaha kehutanan dan Departemen Pertanian untuk usaha perkebunan.

Ayat (2) Kearifan tradisional adalah antara lain tradisi Karuhan pada masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat, dan tradisi hutan larangan pada masyarakat Siberut, Sumatera.

Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas

Huruf b Yang dimaksud dengan hasil pengukuran dampak adalah antara lain lndeks Standar Pencemar Udara (ISPU), PM10, jarak pandang, dan baku mutu udara ambien.

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Yang dimaksud dengan dampak terhadap kehidupan masyarakat adalah antara lain dampak terhadap kesehatan dan aktivitas masyarakat.

Huruf e Yang dimaksud dengan langkah-langkah untuk mengurangi dampak adalah antara lain mengurangi aktivitas masyarakat dan menggunakan masker untuk menghindari dari kerugian yang lebih besar bagi masyarakat.

Pasal 44 Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1) Hak atas informasi tentang terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan merupakan konsekuen logis dan hak berperan dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyakat dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuan memang terbuka untuk diketahui masyarakat.

256

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (2) Dalam hal informasi belum tersedia pada Gubernur/Bupati/Walikota, maka masyarakat yang berkepentingan dapat meminta informasi tersebut kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Penyediaan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan lintas batas negara dilakukan oleh Pemerintah Pusat, misalnya informasi dampak kebakaran hutan dan atau lahan terhadap keselamatan penerbangan diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perhubungan. Koordinasi penyediaan informasi dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 46 Peran sebagaimana dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan maupun dengan pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijakan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 47 Yang dimaksud dengan sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan atau dana bantuan dari organisasi/ asosiasi tertentu.

Pasal 48 Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama di kemudian hari.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 50 Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1) Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.

Pasal 52 Cukup jelas

Pasal 53 Cukup jelas

Pasal 54 Cukup jelas

Pasal 55 Cukup jelas

257

LAMPIRAN I PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR : 04 Tahun 2001 TANGGAL : 15 Februari 2001

A. KRITERIA UMUMBAKUKERUSAKANTANAHMINERALYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN ATAU LAHAN Sifat Fisik Tanah

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 Struktur tanah · Terjadi kerusakan struktur tanah · Infiltrasi air turun · Akar tanaman tidak berkembang · Meningkatnya laju erosi tanah Pengamatan langsung (visual) 2 Porositas (%) · Terjadi penurunan porositas · Menurunnya infiltrasi · Meningkatnya aliran permukaan · Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

maksimum 3 Bobot isi (g/cm3) · Terjadi pemadatan · Akar tanaman tidak berkembang · Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Ring sample -gravimetri 4 Kadar air tersedia (%) · Terjadi penurunan kadar air · Kapasitas tanah menahan air berkurang Pressure plate -gravimetri 5 Potensi mengembang dan mengkerut· Tanaman kekurangan air · Tanah kehilangan sifat mengembang mengkerutnya · Laju erosi meningkat COLE 6 Penetrasi tanah (kg/cm2) · Penetrasi tanah meningkat · Infiltrasi air turun · Akar tanaman tidak berkembang Penetrometer 7 Konsistensi tanah · Tanah kehilangan sifat plastisnya · Laju erosi meningkat Piridan tangan

Sifat Kimia Tanah

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 C-organik (%) · Kadar C-organik turun · Kesuburan tanah turun · Berpengaruh terhadap sifat fisik tanah Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis 2 N total (%) · Kadar N total turun · Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau dengan alat CHNS ElementaryAnalisis a. Amonium (ppm) · Kadar Amonium tersedia turun · Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau elektroda spesifik atauautoanalisator b. Nitrat (ppm) · Kadar Nitrat naik · Meracuni air tanah Kjeldahl atau elektroda spesifik atauautoanalisator 3 P (ppm) · Kadar P-tersedia naik · Keseimbangan unsur hara terganggu Spectrofotometer atau autoanalisator 4 pH · pH naik atau turun . Keseimbangan unsur hara terganggu pH-meter 5 Daya Hantar Listrik (NS/cm)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

· Daya hantar listrik naik · Pertumbuhan akar tanaman terganggu · Kadar garam naik Konduktometer

258

Sifat Biologi Tanah

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 Carbon mikroorganisme · · · Carbon mikroorganisme turun Banyak mikroorganisme mati Reaksi biokimia tanah terganggu CFE-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987) 2 Respirasi · · · Respirasi turun Reaksi kimia tanah terganggu Keragaman mikroorganisme tanah berkurang Metode Stoples seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981 3 Metabolic quotien (qCO2) · · · Metabolic quotien naik Mikroorganisme tanah strees Keragaman mikroorganisme berkurang Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme 4 Total mikro organisme organisme (SPK/g) · · Total mikroorganisme turun Keragaman mikroorganisme berkurang Plate counting 5 Total Fungi (SPK/g) · · Total fungi turun Keseimbangan populasi mikroorganisme

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

terganggu Plate counting

B. KRITERIA UMUMBAKUKERUSAKANTANAHGAMBUTYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN ATAU LAHAN Sifat Fisik Tanah

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 Porositas (%) · Terjadi penurunan porositas · Menurunnya infiltrasi · Meningkatnya aliran permukaan · Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum 2 Bobot isi (g/cm3) · Terjadi pemadatan · Akar tanaman kurang berkembang · Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Ring sample gravimetri 3 Kadar air tersedia (%) · Terjadi penurunan kadar air · Kapasitas tanah menahan air berkurang · Tanaman kekurangan air Pressure plate gravimetri 4 Penetrasi tanah (kg/cm2) · Penetrasi tanah meningkat · Infiltrasi air turun · Akar tanaman tidak berkembang Penetrometer 5 Subsidence · Terjadi penurunan permukaan tanah gambut · Kedalaman efektif tanah menurun · Umur pakai lahan turun Patok subsidence lapang

259

Sifat Kimia Tanah

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 C-organik (%) · Kadar C-organik turun · Kesuburan tanah turun Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis 2 N total (%) · Kadar N total turun · Kesuburan tanah turun

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analisis a. Amonium (ppm) · Kadar Amonium turun · Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator b. Nitrat (ppm) · Kadar Nitrat naik · Meracuni air tanah Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator 3 P (ppm) · Kadar P-tersedia naik · Keseimbangan unsur hara terganggu Spectrofotometer atau autoanalisator 4 pH · pH naik atau turun · Keseimbangan unsur hara terganggu pH-meter 5 Daya Hantar Listrik (NS/cm) · Daya hantar listrik naik · Pertumbuhan akar tanaman terganggu · Kadar garam naik Konduktometer

Sifat Biologi Tanah

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 Carbon mikroorganisme · · · Carbon mikroorganisme turun Banyak mikroorganisme mati Reaksi biokimia tanah terganggu CFE-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987) 2 Respirasi · · · Respirasi turun Reaksi kimia tanah terganggu Keragaman mikroorganisme tanah berkurang Metode Stoples seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981 3 Metabolic quotien (qCO2) · · ·

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Metabolic quotien naik Mikroorganisme tanah strees Keragaman mikroorganisme berkurang Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme 4 Total mikro organisme (SPK/g) · · Total mikroorganisme turun Keragaman mikroorganisme berkurang Plate counting 5 Total Fungi (SPK/g) · · Total fungi turun Keseimbangan populasi mikroorganisme terganggu Plate counting

260

C. KRITERIA UMUMBAKUKERUSAKANFLORAYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN ATAULAHAN No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 Keragaman spesies · · · · Terjadi perubahan keragaman Terjadi pengurangan dan penambahan varietas Terjadi kepunahan spesies Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling 2 Populasi · · · Terjadi perubahan kepadatan Terjadi perubahan populasi Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling

D. KRITERIA UMUMBAKUKERUSAKANFAUNAYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN ATAULAHAN No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN 1 Keragaman spesies · · · · · Terjadi perubahan keragaman Terjadi perubahan perilaku

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Terjadi pengurangan dan penambahan varietas Terjadi kepunahan spesies Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling 2 Populasi · · · · Terjadi perubahan kepadatan Terjadi perubahan perilaku Terjadi perubahan populasi Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I ttd Lambock V. Nahattands

261

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-43/MENLH/X/1996

TENTANG

KRITERIA KERUSAKANLINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap usaha atau kegiatan penambangan;

b. bahwa usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup; c. bahwa dari berbagai usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C yang perlu diprioritaskan pengendaliannya adalah kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di daratan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Dataran; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2816); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4147); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3340); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3487); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528); 12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara; 13. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja BAPEDALDA; MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN

Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. Dataran adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan datar dengan kemiringan lereng maksimum 8% yang dapat berupa dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di antara perbukitan, ataupun dataran tinggi; 262

2. Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras dan batu apung; 3. Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD); 4. Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik lingkungan penambangan sehingga tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 5. Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi lingkungan penambangan yang menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lingkungan; 6. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup; 7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Pasal 2 Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran wajib untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan baginya.

Pasal 3

(1) Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan peruntukan: a. Pemukiman dan daerah industri; b. Tanaman tahunan; c. Tanaman pangan lahan basah; d. Tanaman pangan lahan kering/peternakan; (2) Penjelasan teknis dan tata cara pengukuran kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seperti tersebut dalam Lampiran II Keputusan ini. Pasal 4

(1) Peruntukan lahan paska penambangan ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II (RTRWK). (2) Apabila peruntukan lahan paska penambangan belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan dapat menetapkannya di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). (3) Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

peruntukan sebelum dilakukan penambangan. Pasal 5

(1) Menteri menetapkan kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C untuk jenis galian lain di luar bahan galian golongan C seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 2 dan peruntukan Pasal 3 Keputusan ini. (2) Apabila kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan. Gubernur/ Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Menteri Dalam Negeri. (3) Menteri memberikan petunjuk penetapan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berdasarkan pertimbangan Kepala Bapedal. Pasal 6 Pembinaan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran:

a. Umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. b. Teknis penambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi. c. Teknis pengendalian kerusakan lingkungan dilakukan oleh Bapedal. Pasal 7 Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam proses pemberian Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), selain berpedoman kepada peraturan yang selama ini berlaku, wajib mencantumkan kriteria kerusakan lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan Daerahnya (SIPDnya)

Pasal 8 Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran yang wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan lingkungan lebih ketat dan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini maka persyaratan yang lebih ketat berlaku baginya.

263

Pasal 9

Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada:

a. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II; b. Kepala BAPEDAL; c. Menteri; d. Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Bangda; e. Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktorat Teknik Pertambangan Umum; f. Instansi terkait lain yang dipandang perlu. Pasal 10

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, BAPEDAL dan instansi teknis melakukan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran.

Pasal 11 Apabila hasil pemantauan dimaksud dalam ayat (1), menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan maka Gubernur/ Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II segera menetapkan langkah kebijaksanaan setelah mendapat pertimbangan dari Bapedal dan instansi teknis.

Pasal 12

(1) Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran: a. Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini. b. Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah SIPD) setelah ditetapkan Keputusan ini wajib disesuaikan dengan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini. (2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan langkah pengendaliannya dengan memperhatikan pertimbangan dan Kepala Bapedal. Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di Jakarta Pada tanggal : 25 Oktober 1996

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja.

264

LAMPIRANI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-43/MENLH/X/1996 TANGGAL : 25 OKTOBER 1996

Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran

PEMBENTUKAN

ASPEK FISIK PEMUKIMAN TANAMAN TANAMAN TANAMAN DAN HAYATI DAN DAERAH TAHUNAN PANGAN PANGAN LINGKUNGAN INDUSTRI LAHAN BASAH LAHAN KERING DAN PETERNAKAN 1. TOPOGRAFI

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1.1. Lubang galian a.Kedalaman Lebih dalam 1 m di atas muka air tanah pada musim hujan Melebihi mukaair tanah padamusim hujan Lebih dari 10 cm di bawah muka air tanah pada musim hujan Melebihi muka air tanah pada musim hujan b.Jarak < 5 meter dari batas SIPD < 5 meter < 5 meter < 5 meter 1.2 Dasar galian a.Perbedaan > 1 meter > 1 meter > 1 meter > 1 meter relief dasar galian b.Kemiringan dasar galian > 8% > 8% > 3% > 8% 1.3 Dinding galian a.Tebing teras Tinggi > 3 m meter Tinggi > 3 meter Tinggi > 3 meter Tinggi > 3 meter b.Dasar Lebar < 6 Lebar < 6 Lebar < 6 Lebar < 6 teras meter meter meter meter 2. TANAH Tanah yang dikembalikan < 25 cm < 50 cm < 25 cm < 25 cm sebagai penutup 3. VEGETASI 3.1 Tutupan tanaman budi daya < 20% tanaman

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tumbuh di seluruh lahan penambangan ---3.2 Tutupan -< 50% --tanaman tanaman tahunan tumbuh di seluruh lahan penambangan 3.3 Tutupan --< 50 % -tanaman tanaman lahan tumbuh di basah seluruh lahan penambangan 3.4 Tutupan ---< 50% tanaman tanaman lahan tumbuh di kering/rum put seluruh lahan penambangan

265

LAMPIRANII : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP NOMOR : KEP-43/MENLH/X/1996 TANGGAL : 25 OKTOBER 1996

PENJELASAN TEKNIS DAN TATACARAPENGUKURAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU

KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENISLEPAS DI DATARAN

1. TOPOGRAFI Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi, yaitu: keadaan yang menggambarkan permukaan bumi terutama mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan, dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-lainnya. Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan/ daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek topografi yang dijadikan indikator daya dukung lahan bekas penambangan adalah : 1. Lubang galian 2. Dasar galian 3. Dinding galian 1.1. Lubang galian Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat penambangan galian golongan C. Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah: a.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kedalaman -Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari permukaan lahan hingga ke dasar lubang galian. -Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam.

- Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam (lihat Gambar 1)

GAMBAR 1. KEDALAMAN LUBANG GALIAN

-Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode penambangan.

-Penentuan batas kedalaman galian yang ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan oleh letak muka air tanah.

-Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang jenuh air dengan lapisan tanah yang belum jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi letak muka air tanah lebih dalam. Pada musim penghujan letak muka air tanah biasanya lebih dangkal dibandingkan dengan musim kemarau.

-Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali.

-Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada sumur gali permukaan lahan (lihat Gambar 2)

266

PERMUKAAN TANAH

Dasar Sumur

GAMBAR 2. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN SUMBER GALIAN

Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada prinsipnya menyerupai pengukuran sumur galian (lihat Gambar 3)

Permukaan air tanah Lubang bor

Keterangan :

= letak muka tanah dari permukaan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tanah

MUKAAIR TANAH

GAMBAR 3. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN PEMBORAN

-Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan lahan yang telah ditetapkan.

-Areal-areal yang memenuhi persyaratan kelayakan bagi peruntukan pemukiman/industri adalah areal-areal yang bebas banjir dan masih dapat menyerap air sehingga permukaan tanahnya tetap kering. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 1 m di atas muka air tanah pada musim penghujan.

-Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan adalah areal yang berdrainase baik, minimum sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi.

-Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan basah adalah areal berdrainase buruk tetapi sewaktu-waktu harus dapat dikeringkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi.

-Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan kering/peternakan adalah areal berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi.

b. Jarak Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas SIPD. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD. Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode penambangan. Keterangan :

= letak muka tanah dari permukaan tanah

Muka air tanah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

DKetebalan

267

Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian dimasing-masing SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan/bersinggungan, sedangkan jarak lubang galian pada batas SIPD yang tidak berdampingan/bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD (Gambar 4b).

GAMBAR 4a. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN

GAMBAR 4b. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN YANG BERSINGGUNGAN

1.2. Dasar Galian Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter Dasar galian ada 2(dua), yaitu : a. Perbedaan Relief Dasar Galian -Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata, karena selalu terdapat tumpukan atau onggokan material sisa galian. - Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan onggokan/ tumpukan tersebut dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran dilakukan dengan mengukur kedua permukaan tersebut (lihat Gambar 5)

GAMBAR 5. SKETSA RELIEF DASAR GALIAN

268

-Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan, tetapi penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.

-Adanya tumpukan tersebut akan menyulitkan pemanfaatan lahan, sesuai dengan peruntukannya, karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan relief tersebut dibatasi maksimum 1 m. Tumpukan yang kurang dari 1 m relatif mudah diratakan/disiapkan sehingga tidak menyulitkan dalam penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya.

b. Kemiringan Dasar Galian -Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan bagi suatu peruntukan. -Persyaratan kelayakan lahan untuk pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. -Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15% sehingga

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 15%. -Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah tidak lebih dari 3% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3%. -Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. -Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan menggunakan levelling atau waterpass. - Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.

1.3. Dinding Galian Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati (lihat Gambar 6). Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3 meter sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50 %. Pemantauan tebing dan dasar teras dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. Pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran. PERMUKAAN TANAH GAMBAR 6. SKETSA RELIEF DINDING GALIAN YANG DISYARATKAN UNTUK SEMUA PERUNTUKAN

2. TANAH Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan. Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah-tanah yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang. Akan tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan. Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. 269

Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 50 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ternak adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini hanya dapat

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ditentukan setelah akhir masa penambangan.

3. VEGETASI Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi tidak hanya membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya. Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal pemukiman adalah 20 persen, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal pertambangan. Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen merupakan indikator yang menjamin bahwa tanah yang dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukannya. Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang. Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan. Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja.

270

PENEGAKAN HUKUM PENEGAKAN HUKUM 271

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2000 TENTANG

LEMBAGAPENYEDIA JASAPELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUPDI LUAR PENGADILAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872); MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut lembaga penyedia jasa, adalah lembaga yang bersifat bebas dan tidak berpihak yang tugasnya memberikan pelayanan kepada para pihak yang bersengketa untuk mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menyediakan pihak ketiga netral dalam rangka penyelesaian sengketa baik melalui arbiter maupun mediator atau pihak ketiga lainnya; 2. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah bentuk-bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dilakukan secara sukarela antara para pihak di luar pengadilan melalui pihak ketiga netral; 4. Pihak ketiga netral adalah pihak ketiga baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan (Arbiter) maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan (Mediator atau Pihak Ketiga lainnya); 5. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa lingkungan hidup yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase; 6. Mediator atau Pihak Ketiga lainnya adalah seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan; 7. Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata maupun hukum publik yang bersengketa di bidang lingkungan hidup; 8. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 9. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup. Pasal 2 Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela.

Pasal 3 Dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau, salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

perundingan.

Pasal 4 Para pihak bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

272

BAB II KELEMBAGAAN

Bagian Pertama Umum

Pasal 5

Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah dan/atau masyarakat.

Pasal 6 Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya.

Pasal 7 Lembaga penyedia jasa memberikan jasa pelayanan terhadap penyelesaian sengketa lingkungan hidup di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Bagian Kedua Lembaga Penyedia Jasa Yang Dibentuk Oleh Pemerintah

Pasal 8

(1) Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. (2) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. (3) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan. Pasal 9

(1) Dalam melaksanakan tugas lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibantu oleh Sekretariat. (2) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. (3) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan. (4) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas menyediakan jasa pelayanan arbiter dan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

mediator atau pihak ketiga dengan menyediakan daftar panggil dari arbiter dan/atau mediator dan/atau pihak ketiga lainnya yang telah diangkat oleh Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota. (5) Sekretariat wajib menyebarluaskan informasi kepada masyarakat mengenai daftar panggil tenaga arbiter dan tenaga mediator atau pihak ketiga lainnya yang telah diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). Pasal 10

(1) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai keanggotaan terdiri dari tenaga profesional di bidang lingkungan hidup yang berasal dari pemerintah dan masyarakat. (2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di pemerintah pusat diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota, berfungsi sebagai arbiter dan/atau mediator dan/atau pihak ketiga lainnya. (3) Masa jabatan keanggotaan lembaga penyedia jasa selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya. (4) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya; c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya; d. tidak ada keberatan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan e. memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Pasal 11

(1) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali : a. meninggal dunia; b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; c. mengundurkan diri. (2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan untuk mengetahui ada/ tidaknya keberatan dari masyarakat. 273

Bagian Ketiga Lembaga Penyedia Jasa Yang Dibentuk Oleh Masyarakat

Pasal 12

(1) Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan akta notaris. (2) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya; c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya; dan d. memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Pasal 13 Pembentukan lembaga penyedia jasa oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib diberitahukan :

a. di pusat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; b. di daerah pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan. BAB III PERSYARATAN PENUNJUKAN PIHAK KETIGA NETRAL

Bagian Pertama Arbiter

Pasal 14 Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase.

Bagian Kedua Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya

Pasal 15 Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya oleh para pihak harus memenuhi syarat :

a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa; b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Pasal 16 Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 12 terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dilakukan oleh asosiasi profesi yang bersangkutan.

BAB IV TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI LEMBAGA PENYEDIA JASA

Bagian Pertama Pengelolaan Permohonan

Pasal 17

(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3). (2) Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. (3) Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mengundang para pihak yang bersengketa. 274

Pasal 18

Tata cara pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa melalui lembaga penyedia jasa yang dibentuk pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua Arbitrase

Pasal 19 Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase.

Bagian Ketiga Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya

Pasal 20 Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1).

Pasal 21

(1) Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat antara lain : a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; d. tempat para pihak melaksanakan perundingan; e. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa; f. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya; g. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya; h. larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi; i. kehadiran pengamat, ahli dan/atau nara sumber; j. larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat; k. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan. Pasal 22

(1) Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan : a. mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukan keberpihakan; dan/atau b. mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya. Pasal 23

(1) Para pihak yang bersengketa atau salah satu pihak dalam proses penyelesaian sengketa setiap saat berhak menarik diri dari perundingan. (2) Apabila para pihak yang bersengketa akan menarik diri dari perundingan wajib memberitahukan secara tertulis kepada mediator atau pihak ketiga lainnya. (3) Apabila salah satu pihak akan menarik diri dari perundingan wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya dan mediator atau pihak ketiga lainnya. Pasal 24

(1) Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermeterai yang memuat antara lain : a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; b.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; c. uraian singkat sengketa; d. pendirian para pihak; e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya; f. isi kesepakatan; g. batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan; i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan. (2) Isi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa antara lain : a. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. 275

(3) Biaya untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup. (4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya. (5) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri. BAB V PEMBIAYAAN LEMBAGAPENYEDIA JASA

Bagian Pertama Arbitrase

Pasal 25 Biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase.

Bagian Kedua Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya

Pasal 26

(1) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g atau sumber-sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat. (2) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya pada penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintah selain

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dibebankan atas kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak atau sumber-sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula dibebankan kepada pemerintah. Bagian Ketiga Sekretariat

Pasal 27 Segala biaya kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada :

a. Pemerintah pusat pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; b. Pemerintah daerah pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 8 (delapan) bulan sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan pemerintah ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 2000

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd DJOHAN EFFENDI

276

PENJELASAN ATAS PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2000 TENTANG

LEMBAGA PENYEDIA JASAPELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUPDI LUAR PENGADILAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

I. UMUM Dalam pengelolaan lingkungan hidup sering terjadi sengketa lingkungan hidup yang merupakan masalah perdataantara dua pihak atau lebih. Hal ini terjadi karena adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakanlingkungan hidup. Dalam hal terjadi sengketa lingkungan hidup para pihak yang bersengketa dapat memilih untukmenyelesaikan sengketanya baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkunganhidup yang ditempuh di luar pengadilan pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk mendorong peningkatan danpengutamaan musyawarah dalam menyelesaikan setiap sengketa lingkungan hidup yang terjadi antara para pihak,yang berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh salah satu pihak akibat perbuatan pihak lainnya. Prinsipmengutamakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah melalui kesepakatan secara musyawarah.

Penggunaan prinsip musyawarah untuk menyelesaikan suatu sengketa berlaku secara umum di seluruh wilayahRepublik Indonesia dan hal ini sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam silakeempat dari Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Lembaga penyedia jasa sebagai alternatif, oleh karena itu penggunaannya sangat tergantung dari kesepakatanpara pihak untuk menentukan pilihannya baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat.Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketalingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secaraalternatif di luar pengadilan baik melalui pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan memutus (arbiter) maupunmediator atau pihak ketiga lainnya yang tidak memiliki kewenangan memutus guna memperoleh hasil yang lebihadil dan dapat diterima oleh semua pihak dalam waktu yang cepat dengan biaya murah. Dengan adanya alternatifpenyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diharapkan akan dapat meningkatkan ketaatanmasyarakat terhadap sistem nilai yang berasaskan musyawarah. Dengan demikian, diharapkan lembaga penyediajasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh sebagai bagian dari kebijaksanaan penaatanlingkungan hidup dan landasan pengembangan stakeholdership dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan badan yang mandiri dan tidak memihakyang tugasnya memberikan bantuan kepada para pihak yang bersengketa dengan menggunakan pihak ketiganetral baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Cukup jelas

Pasal 8 Cukup jelas

Pasal 9 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Cukup jelas

Ayat (3)Cukup jelas

277

Ayat (4)Cukup jelas

Ayat (5)Penyebarluasan informasi daftar panggil dapat dilakukan antara lain melalui papan pengumuman,media cetak dan media elektronik.

Pasal 10

Ayat (1)Keanggotaan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah dari berbagai kalanganmasyarakat dimaksudkan untuk dapat mencerminkan kepentingan dari berbagai pihak.

Ayat (2)Cukup jelas

Ayat (3)Cukup jelas

Ayat (4)Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Huruf d Cukup jelas

Huruf e Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk melakukanperundingan atau penengahan adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman menyelesaikansengketa lingkungan hidup atau telah mengikuti pendidikan/pelatihan perundingan yangdiselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.

Pasal 11 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Pengumuman anggota lembaga penyedia jasa yang akan ditunjuk dilakukan antara lain melalui papanpengumuman, media cetak dan media elektronik.

Pasal 12 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk melakukanperundingan atau penengahan adalah orang yang telah memiliki pengalaman menyelesaikansengketa lingkungan hidup atau telah mengikuti pendidikan/pelatihan perundingan yangdiselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.

Ayat (3)Cukup jelas

Pasal 13 Cukup jelas

Pasal 14 Cukup jelas

Pasal 15 Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 16 Yang dimaksud dengan kode etik profesi adalah kode etik yang dibuat oleh asosiasi profesi di bidangpenyelesaian sengketa lingkungan hidup.

278

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18 Cukup jelas

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)Kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihakketiga lainnya dibuat dalam bentuk tertulis.

Ayat (2)Cukup jelas

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23 Cukup jelas

Pasal 24 Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Huruf a Cukup jelas

Huruf b Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain melakukan penyelamatan dan/atau tindakanpenanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan hidup.Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang samadikemudian hari.

Ayat (3)Cukup jelas

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ayat (4)Cukup jelas

Ayat (5)Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)Biaya penyelesaian sengketa oleh mediator atau pihak ketiga lainnya dapat meliputi honorarium danbiaya perjalanan.

Ayat (2)Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintahyang merupakan pelayanan publik. Oleh karena itu prinsipnya biaya untuk mediator atau pihak ketigalainnya dapat dibebankan pada Pemerintah. Tetapi karena keterbatasan dana pemerintah saat ini,maka dimungkinkan biaya tersebut dibebankan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa dan/atau berasal dari sumber-sumber dana lainnya seperti digunakan mekanisme pendanaan lingkungandan/atau sumber-sumber lainnya yang bersifat tidak mengikat.

Pembiayaan yang berasal dari sumber-sumber dana lainnya harus dilakukan secara transparan dandapat dipertanggung jawabkan kepada publik.

Pasal 27 Cukup jelas

Pasal 28 Cukup jelas

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

279

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 77 TAHUN 2003

TENTANG

PEMBENTUKAN LEMBAGAPENYEDIA JASAPELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGANHIDUP DI LUAR PENGADILAN (LPJP2SLH)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

PADA KEMENTERIANLINGKUNGAN HIDUP

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup diLuar Pengadilan perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentangPembentukan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup diLuar Pengadilan (LPJP2SLH) pada Kementerian Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraIndonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa PelayananPenyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Tahun 2000Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3982); 4. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan TataKerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERTAMA : PEMBENTUKAN LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP (LPJP2SLH).

KEDUA : Susunan keanggotaan LPJP2SLH sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.

KETIGA : Anggota LPJP2SLH bertindak sebagai :

1. Arbiter, yang mempunyai tugas memeriksa sengketa lingkungan hidup dan memberikanputusan yang tidak memihak dalam jangka waktu yang ditentukan. 2. Mediator dan atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai tugas memfasilitasi para pihakyang bersengketa sehingga dapat tercapai kesepakatan. KEEMPAT : Masa jabatan keanggotaan LPJP2SLH berlaku untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkatkembali untuk 1 (satu) periode berikutnya.

KELIMA : Keanggotaan LPJP2SLH tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir kecualimemenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 54Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pelayanan Penyelesaian Sengketa LingkunganHidup di Luar Pengadilan.

KEENAM : LPJP2SLH dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat yang berkedudukan pada unityang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup.

KETUJUH : Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEENAM selain membantu tugas LPJP2SLHjuga merangkap sebagai sekretariat pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa lingkunganhidup.

KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : JakartaPada tanggal : 29 Mei 2003Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinyaDeputi MENLH Bidang Kebijakan danKelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA

280

Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 77 Tahun 2003 Tanggal : 29 Mei 2003

SUSUNANKEANGGOTAAN LEMBAGA PENYEDIAJASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETALINGKUNGAN HIDUPDI LUAR PENGADILAN (LPJP2SLH)

No. N A M A WILAYAH KERJA 01. Ir. Isa Karmisa Ardiputra Seluruh Indonesia 02. Ir. Gempur Adnan Seluruh Indonesia 03. Dra. Liana Bratasida, MSc Seluruh Indonesia 04. Drs. Sudarijono Seluruh Indonesia 05. Sudarsono, SH Seluruh Indonesia 06. Lukman Hakim, SH Seluruh Indonesia 07. Zen Smith, SH Seluruh Indonesia 08. Arimbi Heroepoetri, SH, LLM Seluruh Indonesia

Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA, MSM Salinan ini sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd Hoetomo, MPA

281

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 78 TAHUN 2003

TENTANG

TATACARAPENGELOLAAN PERMOHONAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGANHIDUPDILUAR PENGADILAN PADA KEMENTERIANLINGKUNGAN HIDUP

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan pada Kementerian Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3982); 4. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PERMOHONAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 2. Pemohon adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum yang merasa dirugikan akibat adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 3. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 4. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang menangani penyelesaian sengketa di luar bidang lingkungan hidup. Pasal 2

(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada Menteri secara tertulis. (2) Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan : a. nama lengkap; b. alamat lengkap; c. pekerjaan; d. nama dan alamat yang diduga penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; e. perkiraan sumber penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; f. perkiraan tingkat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi; g. perkiraan kapan dan lamanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi; h. perkiraan besar dan jenis kerugian yang terjadi; i. upaya yang pernah ditempuh selama ini (bila pernah dilakukan); j. pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup selama ini (bila pernah dilakukan); k. penyebab kegagalan penyelesaian yang pernah ditempuh selama ini (bila pernah dilakukan); l. keterangan lain yang dianggap perlu. 282

Pasal 3

Sekretariat lembaga penyedia jasa wajib mencatat permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan segera melaporkan kepada unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

Pasal 4

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib segera melakukan analisis menentukan :

a. permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup penyelesaian sengketa lingkungan hidup; atau b. permohonan yang disampaikan tidak termasuk dalam lingkup sengketa lingkungan hidup. Pasal 5

(1) Apabila permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, maka unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. (2) Verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan bantuan penyelesaian sengketa wajib dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diselesaikannya analisis sebagaimana dimaksud dalam pasal 4. Pasal 6

(1) Unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup paling lama 14 (empat belas) hari setelah selesai melakukan verifikasi, wajib menyampaikan hasil verifikasi kepada lembaga penyedia jasa. (2) Lembaga penyedia jasa dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengundang para pihak yang bersengketa. Pasal 7 Apabila permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, maka unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup wajib menyiapkan surat untuk ditandatangani pimpinan Kementerian Lingkungan Hidup guna meneruskan permohonan tersebut kepada instansi yang berwenang.

Pasal 8 Informasi daftar panggil tenaga arbiter dan atau mediator dan atau pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa yang telah diangkat dan ditetapkan oleh Menteri disediakan oleh sekretariat lembaga penyedia jasa.

Pasal 9

(1) Para pihak yang bersengketa melakukan kesepakatan untuk memilih dan menunjuk arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya berdasarkan daftar panggil yang diberikan oleh sekretariat lembaga penyedia jasa. (2) Sekretariat lembaga penyedia jasa bertugas menghubungi arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang dipilih dan ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa. (3) Sekretariat lembaga penyedia jasa membantu arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang dipilih dan ditunjuk oleh para pihak untuk menentukan waktu dan tempat perundingan. Pasal 10 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 29 Mei 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA

283

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 56 TAHUN 2002

TENTANG

PEDOMAN UMUM PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUPBAGI PEJABAT PENGAWAS

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-07/MENLH/2/2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas;

b. bahwa Pasal 56A, Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi dan Kewenangan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dialihkan ke Menteri Lingkungan Hidup; c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910); 4.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3858); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4068); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4076); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 12. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 13. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 14. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002; 15. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN UMUM PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PEJABAT PENGAWAS.

284

PERTAMA : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini. KEDUA : Setiap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan: a. Untuk pusat dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup; b. Untuk daerah kepada Kepala Badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota. KETIGA : Laporan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA terdiri dari: a. Format Laporan dan Ringkasan Laporan Pengawasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini; b. Format Berita Acara tahapan kegiatan dan penolakan penanggung jawab usaha dan atau

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

kegiatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini. KEEMPAT : Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas akan ditetapkan lebih lanjut. KELIMA : Gubernur, Bupati/Walikota dapat menetapkan lebih lanjut Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA dan KEEMPAT sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini. KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 16 Agustus 2002 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum dan Kepegawaian,

ttd Nadjib Dahlan,SH.

285

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 56 Tahun 2002 Tentang : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas Tanggal : 16 Agustus 2002

PEDOMAN UMUM PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUPBAGI PEJABAT PENGAWAS

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk mengetahui tingkat ketaatan suatu usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup maupun perizinan, perlu dilakukan kegiatan pengawasan. Pengawasan yang diatur dalam keputusan ini identik dengan kegiatan inspeksi atau pemantauan yang selama ini telah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Badan/Pimpinan Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi/Kabupaten/Kota.

Guna memberikan acuan bagi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah dalam menjalankan tugas pengawasan, perlu ditetapkan pedoman umum pengawasan penaatan lingkungan hidup bagi pejabat pengawas.

B. Tujuan Tujuan pengawasan lingkungan hidup adalah untuk memantau, mengevaluasi dan menetapkan status ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap; 1. Kewajiban yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. 2. Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan sebagaimana

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tercantum dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) atau persyaratan lingkungan yang tercantum dalam izin yang terkait. C. Sasaran Mendapatkan data dan informasi secara umum berupa fakta-fakta yang menggambarkan kinerja atau status ketaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan, serta perizinan yang terkait. II. RUANG LINGKUP PENGAWASAN A. Aspek Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan atau Lahan. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 10. Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang terkait. B. Aspek Perizinan 1. Izin Usaha; 2. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) / Izin Ordonansi Gangguan (HO); 3. Izin Pembuangan Limbah Cair; 4. Izin Pengelolaan Limbah B3 5. Izin Pembuangan Limbah (dumping) ke laut; 6. Izin lainnya yang terkait. C. Aspek Kesiagaan Dan Tanggap Darurat

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. Ketersediaan sarana dan prasarana Pencegahan dan Penanggulangan Darurat yang disesuaikan dengan resiko musibah yang mungkin terjadi. 2. Ketersediaan catatan terhadap perbaikan peralatan yang terus diperbaharui. 286

3. Ketersediaan pelatihan tata cara penanggulangan tanggap darurat secara berkala kepada pekerja maupun masyarakat di sekelilingnya. 4. Adanya pemisahan antara peralatan laik pakai dengan yang rusak disertai pelabelan (tag) yang menunjukkan keadaan yang rusak (out-of-service). 5. Ketersediaan dan penggunaan peralatan dan pakaian pelindung personal. 6. Ketersediaan alat-alat pendeteksi dini keadaan darurat 7. Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran disetiap unit kegiatan (tabung pemadam kebakaran, automatic sprinkler). 8. Ketersediaan alat deteksi kebocoran B3. 9. Ketersediaan peralatan bantuan pernafasan di dekat tempat masuk ruangan gas beracun yang berfungsi dengan baik. 10. Ketersediaan peralatan P3K di lokasi. 11. Ketersediaan tanda-tanda peringatan (dilarang merokok, tegangan tinggi, bahaya gas beracun, hatihati) terpasang. 12. Ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP). III. KEWENANGAN PEJABAT PENGAWAS Kewenangan yang diberikan kepada Pejabat Pengawas sesuai dengan Pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: 1. Melakukan pemantauan usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 2. Meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 3. Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan; 4. Memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 5. Mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan, serta melakukan pengukuran, analisa dan atau melakukan pengawasan analisa sampel secara langsung di lapangan dan atau laboratorium; 6.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 7. Memeriksa alat transportasi untuk memudahkan dan atau pengangkutan limbah dan atau bahan kimia lainnya; 8. Meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan. IV. TANGGUNG JAWAB PEJABAT PENGAWAS A. Yuridis 1. Kewenangan pengawasan terbatas pada ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 2. Merahasiakan informasi yang seharusnya dirahasiakan; 3. Memahami semua peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, serta perizinan yang terkait. B. Etika dan Profesi 1. Menaati semua ketentuan disiplin dan sumpah pegawai negeri; 2. Menghindari setiap pertentangan kepentingan karena faktor finansial atau kepentingan lainnya yang berkaitan dengan hasil pengawasan; 3. Berkomunikasi secara sopan dan profesional dengan petugas dari penanggung jawab usaha dan atau kegiatan; 4. Menguasai dan menerapkan konsep K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) selama melaksanakan pengawasan; 5. Melaporkan fakta-fakta hasil pengawasan secara lengkap, akurat dan obyektif; 6. Selalu berupaya meningkatkan pengetahuan profesional dan keterampilan teknis; 7. Berpenampilan pantas termasuk mengenakan pakaian dan peralatan pelindung untuk keselamatan kerja; 8. Melengkapi diri dengan peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan yang mudah dibawa untuk menghindari hutang budi terhadap usaha dan atau kegiatan. C. Prosedur Pengumpulan Data/Informasi Setiap pengawas harus memahami semua prosedur pengawasan dan teknik pengumpulan data dan informasi agar hasil pengawasan lebih akurat, serta resiko pelanggaran hukum akibat salah prosedur dapat dicegah. Dalam mengumpulkan data dan informasi pengawas harus dapat: a. Menyampaikan fakta di lapangan yang mencakup hal-hal sebagai berikut: hasil analisa sampel, fotofoto, salinan dokumen, pernyataan dari akasi dan pengamatan personal; b. Mengevaluasi jenis data dan informasi yang dibutuhkan; c.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Mengikuti prosedur rangkaian pengambilan sampel (chain of custody); d. Mengumpulkan, menjaga dan memelihara data/informasi; e. Menulis laporan pengawasan dengan jelas, obyektif dan informatif. 287

D. Jaminan Kualitas Hasil Pengawasan Pengawas harus bertanggung jawab terhadap semua data hasil pengawasan dimasukkan ke dalam laporan pelaksanaan pengawasan yang mencerminkan kondisi yang ada dan secara prosedur dan yuridis dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, pengawas harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: 1. Pengumpulan data yang aktual (valid); 2. Penggunaan metoda baku yang telah ditetapkan; 3. Penggunaan teknik analisis; 4. Penggunaan sistem pengelolaan data dan pelaporan yang baku. V. TAHAPAN DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP A. Tahap Persiapan 1. Menyiapkan kelengkapan administrasi, yaitu: a. Surat Penugasan; b. Tanda Pengenal; c. Dokumen Perjalanan (Surat Perintah Perjalanan Dinas); d. Formulir Berita Acara yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan. 2. Mempelajari Peraturan/Dokumen/Referensi yang terkait. Sebelum melakukan pengawasan ke lokasi kegiatan, salah satu hal yang harus dilakukan oleh Pejabat Pengawas adalah mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan kegiatan yang akan diawasi. Dokumen-dokumen ini antara lain adalah: a. Riwayat ketaatan usaha dan atau kegiatan yang menjadi obyek pengawasan; b. Izin-izin yang terkait; c. Peraturan/Literatur yang terkait dengan obyek pengawasan; d. Peta situasi versi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dan atau peta situasi versi Pejabat Pengawas yang pernah melakukan pengawasan di tempat yang sama atau bersebelahan; e. Dokumen-dokumen lain yang terkait dengan status ketaatan kegiatan yang bersangkutan. 3. Menyiapkan Perlengkapan antara lain:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

a. Alat pencatat (buku catatan/note book); b. Kamera atau handycam; c. Perlengkapan keselamatan kerja seperti sepatu boot, jas hujan, helm; d. Alat sampling yang diperlukan; e. Sarana transportasi; f. Format laporan pengawasan; g. Alat perekam suara apabila pihak yang dimintai keterangan menolak diambil gambarnya atau menolak menandatangani berita acara pengawasan; h. Perlengkapan lain yang dianggap perlu. B. Tahap Pelaksanaan 1. Di lokasi usaha dan atau kegiatan Setibanya di lokasi usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas wajib menunjukkan Surat Penugasan dengan menjelaskan maksud dan tujuan pelaksanaan pengawasan. Jika terjadi penolakan maka Pejabat Pengawas wajib membuat Berita Acara Penolakan. 2. Pertemuan Pendahuluan Sebelum memulai kegiatan pemeriksaan terhadap usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas harus melakukan Pertemuan Pendahuluan untuk: a. Perkenalan antara Pejabat Pengawas dengan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan; b. Menjelaskan tujuan dan lingkup pengawasan agar tidak terjadi salah pengertian; c. Menjelaskan secara rinci kewenangan yuridis yang melandasi pelaksanaan pengawasan; d. Menjelaskan cara pelaksanaan pengawasan berdasarkan urutannya, sehingga penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat mengefektifkan waktunya untuk menyiapkan dokumen yang diperlukan; e. Menetapkan jadwal pertemuan dengan personal-personal kunci agar tersedia cukup waktu untuk wawancara; f. Menyampaikan daftar permasalahan yang akan diperiksa dan menjelaskannya sehingga penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mempunyai waktu yang cukup untuk mengumpulkan data dan menyediakan waktunya; g. Pejabat Pengawas sebaiknya didampingi petugas dari usaha dan atau kegiatan selama menjalankan pengawasan untuk menjawab pertanyaan, menjelaskan kegiatan operasional dan untuk alasan-alasan keselamatan dan kesehatan; h. Melakukan verifikasi atas informasi yang terdapat dalam izin yang terkait; i. Mengkonfirmasikan persyaratan kesehatan dan keselamatan, serta pastikan Pejabat Pengawas memperoleh perlindungan yang memadai;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

j. Menetapkan jadwal pertemuan penutup dengan wakil dari penanggung jawab usaha dan atau kegiatan sebagai kesempatan terakhir untuk memperoleh tambahan informasi, tanya jawab, dan menyajikan temuan-temuan beserta kekurangannya; k. Mengajukan pertanyaan menyangkut ketentuan dan peraturan baru yang dapat mempengaruhi usaha dan atau kegiatan. 288

3. Pemeriksaan Lokasi Usaha dan atau Kegiatan Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas di lokasi kegiatan dan atau usaha meliputi: a. Aspek Kebijakan Penaatan lingkungan harus nerupakan komitmen usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu, aspek manajemen memegang peranan kunci dalam pelaksanaan sehari-hari: 1). Kebijakan dan Prosedur; 2). Meneliti kebijakan usaha dan atau kegiatan yang menegaskan komitmennya terhadap penaatan lingkungan yang mencerminkan pemahaman terhadap peraturan perundangundangan; 3). Mengumpulkan semua prosedur dan standar tertulis yang digunakan oleh suatu usaha dan atau kegiatan untuk melakukan penaatan lingkungan sesuai dengan perizinannya.

b. Struktur Organisasi 1). Meneliti struktur organisasi khususnya yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup; 2). Meneliti deskripsi kerja dari unit pengelolaan lingkungan tersebut; 3). Meneliti pemahaman staf terhadap struktur tersebut dalam menangani situasi daruat.

c. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 1). Memeriksa standar kesehatan dan keselamatan kerja yang digunakan; 2). Memeriksa Prosedur Standard Operational (SOP) yang dimiliki; 3). Mengumpulkan data pelatihan karyawan yang berkaitan dengan penanganan keadaan darurat.

d. Perencanaan Penaatan 1). Memeriksa data perencanaan usaha dan atau kegiatan mengenai penaatan lingkungan yang diperlukan serta cara-cara pencapaian sasarannya; 2). Mengkaitkan perencanaan tersebut dengan seluruh peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup yang ada.

e. Pelaporan Usaha dan atau Kegiatan Memeriksa laporan mengenai: 1). Operasi kegiatan misalnya Log Book debit limbah, kapasitas produksi, dan lain-lain; 2). Catatan menyangkut keadaan darurat dan kendala yang dihadapi. f. Kondisi Umum Fisik Usaha dan atau Kegiatan 1). Memeriksa kondisi housekeeping di seluruh lokasi usaha dan atau kegiatan (termasuk di

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

unit produksi) contoh: ceceran bahan baku dan bahan penolong, oli, kondisi saluran drainase, tumpukan sampah dan sebagainya;

2). Mencatat jika terdapat kebisingan atau bau yang melebihi kondisi normal;

3). Meneliti jika terjadi perubahan warna pada permukaan tanah atau bau kimiawi yang tajam dapat mengindikasikan adanya tumpahan. Lakukan penelitian lebih lanjut mengenai tumpahan ini apabila diperlukan;

4). Mencatat kondisi peralatan yang tidak berfungsi atau dalam perbaikan, catat jenisnya, kapan rusaknya, jenis kerusakan, dan kapan akan diperbaiki.

g. Aspek Perubahan Proses Produksi 1. Memeriksa kemungkinan adanya perubahan-perubahan kualitas dan kuantitas: 1). Kapasitas produksi; 2). Jumlah produksi jadi; 3). Penggunaan air; 4). Pengelolaan limbah; 5). Lain-lain. 2. Memeriksa jika terjadi modifikasi pada proses produksi yang dapat menimbulkan perubahan pada limbah/emisi dan B3 yang harus dikelola. 3. Memeriksa perizinan jika terjadi perubahan dan modifikasi pada hal-hal tersebut di atas. 4. Melakukan verifikasi pada setiap perubahan yang ada dan mencatat temuan ke dalam Laporan Pengawasan. 4. Wawancara Salah satu cara pengumpulan informasi/data dalam pelaksanaan pengawasan adalah wawancara. Beberapa hal yang harus diperhatikan Pejabat Pengawas dalam melakukan wawancara adalah: a. Cara Bertanya: 1). Menggunakan bahasa yang sopan, lugas, dan jelas; 2). Bertanya dari aspek umum ke aspek spesifik; 3). Memberi waktu kepada petugas usaha dan atau kegiatan untuk memikirkan jawaban dan penjelasannya; 4). Menghindari pertanyaan yang mengarah kepada jawaban yang tidak diinginkan; 5). Menghindari subyek pertanyaan yang sama pada beberapa pertanyaan; 6). Tidak mencampuradukkan pertanyaan yang menyangkut kondisi dahulu, saat ini, dan yang

akan datang; 7). Menggunakan ukuran standar, misalnya waktu, jarak, luas, berat, dan volume suara.

b. Cara Mendokumentasikan Jawaban Pertanyaan 1). Menggunakan buku catatan pengawasan lapangan, alat perekam atau video, ditulis dalam bentuk pernyataan yang kemudian ditandatangani petugas dari usaha dan atau kegiatan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

atau mereka menulis jawaban dan menandatanganinya;

289

2). Mencatat jawaban seakurat mungkin; 3). Menghindari penggunaan waktu seluruhnya hanya untuk mencatat jawaban dari petugas yang diwawancarai.

c. Lain-lain 1). Tidak menjanjikan suatu perlindungan atau kerahasiaan terhadap jawaban yang akan diberikan; 2). Jika memungkinkan, tidak melakukan wawancara di depan umum; 3). Mencatat nama, jabatan, dan cara menghubungi petugas yang akan diwawancarai jika nanti

diperlukan data lebih lanjut; 4). Tidak menjelaskan kemungkinan penegakan hukum setelah kegiatan pengawasan dilakukan; 5). Mewaspadai terhadap kemungkinan adanya bukti yang diungkapkan dalam jawaban pertanyaan; 6). Jika wawancara dilakukan oleh Pejabat Pengawas, usahakan adanya pembagian bahan

pertanyaan yang jelas, tidak tumpang tindih dan tidak berebutan; 7). Tidak berkata atau bersikap mengancam dan mengindoktrinasi pihak yang diwawancara; 8). Menekankan bahwa yang terpenting disini adalah kebenaran, data, dan fakta; 9). Memahami keterbatasan wewenang dari petugas yang diwawancarai; 10). Menjaga pembagian waktu dengan konsisten.

5. Pengambilan Sampel: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel pada kegiatan pengawasan lingkungan hidup antara lain: a. Mencatat kode sampel, titik pengambilan sampel, waktu (tanggal dan jam), kondisi cuaca dan lainnya yang selanjutnya dimasukkan dalam Berita Acara Pengambilan Sampel; b. Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak dibuat Berita Acara Penolakan; c. Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menandatangani Berita Acara Penolakan, maka Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dapat meminta bantuan yang berwajib agar penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menandatangani Berita Acara Penolakan tersebut; d. Pelajari hal-hal yang berkaitan dengan pedoman pengambilan sampel (teknis, mekanisme, peralatan dan lain-lain). 6. Pengambilan Gambar/Foto/Video Pemotretan (pengambilan gambar baik dengan foto maupun video) merupakan bagian dari pengumpulan informasi/data dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup. a. Foto: Foto-foto yang tajam dan tepat akan bernilai sebagai bukti mengenai kondisi penaatan lingkungan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dari usaha dan atau kegiatan pada saat pengawasan dilakukan. Hal-hal yang harus dilakukan adalah: 1). Dalam melakukan pemotretan, dapat memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan; 2). Jika penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak pengambilan foto, dibuat Berita Acara Penolakan;

3). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menandatangani Berita Acara Penolakan maka Pejabat Pengawas dapat meminta bantuan pihak berwajib untuk meminta penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menandatangani Berita Acara Penolakan;

4). Semua foto harus dicetak; 5). Objek yang dipotret harus menggambarkan kondisi yang senyatanya; 6). Menghindari pemotretan di lokasi-lokasi yang berbahaya ( eksplosif atau bertegangan tinggi); 7). Menyimpan foto dengan menggunakan sistem katalog atau logbook yang berisikan informasi

sebagai berikut: -Nama dan tanda tangan pemotret dan saksinya; -Tanggal dan jam pemotretan; -Kondisi cuaca; -Lokasi; -Uraian singkat mengenai obyek yang dipotret; -Jenis kamera yang digunakan.

8). Masukkan ke dalam logbook dan diberi identifikasi numerik atau nomor urut untuk mempermudah pencetakan ulang.

b. Video: 1). Dalam pengambilan video dapat memberitahukan terlebih dahulu kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan; 2). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak, dibuat Berita Acara Penolakan; 3). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menadatangani Surat

Pernyataan Penolakan, maka Pejabat Pengawas membuat dan menandatangani Berita

Acara Penolakan tersebut; 4). Gunakan video tersebut hanya di tempat-tempat yang aman untuk mengoperasikannya; 5). Tetap gunakan buku catatan lapangan untuk menghindari terjadinya masalah rekaman video; 6). Jika perlu, rekamlah obyek video yang menarik ketika ditayangkan di televisi.

290

c. Gambar dan Peta: 1). Membuat sketsa lokasi pengawasan usaha dan atau kegiatan; 2). Menelaah gambar teknik, diagram alir proses, grafik, bagan-bagan, diagram, maupun petapeta; 3). Memeriksa gambar dan peta yang disajikan secara sederhana dan bebas rincian yang tidak

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

diperlukan; 4). Memeriksa skala ukuran dan arah kompas; 5). Menggabungkan (over lay) letak posisi dengan sampel, foto, dan dokumen lain untuk

mendapatkan barang bukti yang akurat.

7. Dokumentasi Pejabat pengawas wajib mendokumentasikan seluruh data dan informasi yang diperoleh dari pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup secara rinci, sistematis (dikelompokkan berdasarkan jenisnya), dan jelas ( dilengkapi dengan catatan berkenaan dengan waktu, tempat/sumber, informasi diperoleh). Dokumentasi berupa hasil wawancara, foto/gambar, hasil analisa sampel. a. Buku Catatan Lapangan 1). Mencatat seluruh kegiatan di lapangan secara urut, rinci dan akurat; 2). Berisi fakta-fakta dan pengamatan yang sesuai; 3). Catatan ditulis secara obyektif, faktual, dan bebas dari pendapat pribadi dan terminologi yang tidak tepat; 4). Hal lain yang dapat dicatat: a). Pengamatan terhadap kondisi kegiatan di lapangan yang dapat digunakan dalam

penyusunan laporan dan dapat memvalidasi bukti-bukti yang harus dicatat; b). Checklist dokumen dan foto yang harus dikumpulkan; c). Kondisi dan permasalahan yang spesifik; d). Informasi umum seperti nama dan jabatan dari petugas usaha dan atau kegiatan,

kegiatan yang dilakukan serta kondisi cuaca (cerah, berawan hujan).

b. Barang Cetakan 1). Terdiri atas brosur, hard copy dari dokumen di komputer, literatur, label, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan kondisi dan operasi dari usaha dan atau kegiatan; 2). Minta izin penanggung jawab usaha dan atau kegiatan jika akan melakukan penggandaan dari dokumen-dokumen yang ada; 3). Semua salinan harus diparaf dan diberi tanggal untuk mempermudah identifikasi; 4). Jika fotocopy tidak memungkinkan atau tidak praktis, maka pemotretan close-up dapat

dilakukan untuk mendapatkan salinan data.

c. Salinan Catatan 1). Semua data harus disimpan dalam suatu sistem tertulis, cetakan maupun dalam komputer dan mikro film; 2). Guna mempermudah pengambilan data untuk kepentingan pengadilan, setiap data harus jelas teridentifikasi sejak data dikumpulkan di lapangan dengan informasi sebagai berikut: nomor/kode data, tanggal pengambilan data, nama usaha dan atau kegiatan.

d. Data Rahasia 1). Temuan pengawasan di lapangan yang mengarah kepada penegakan hukum, maka semua data bersifat rahasia dan tidak dapat didiskusikan dengan usaha dan atau kegiatan; 2).

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Data lapangan sebenarnya adalah untuk umum, tetapi jika penanggung jawab usaha dan atau kegiatan meminta kepada pengawas agar data ini dirahasiakan, dengan disertai dengan alasan yang jelas, seperti informasi yang berkaitan dengan rahasia proses produksi usaha dan atau kegiatannya;

3). Data rahasia harus disimpan dengan terpisah dan hanya petugas berwenang yang dapat mengakses atau melihatnya;

4). Pejabat pengawas harus menjaga agar seluruh data dari lapangan tidak diperlihatkan kepada pihak lain yang tidak berkepentingan dan disimpan dengan baik serta tidak dapat dipublikasikan.

8. Pertemuan Penutup Untuk mencapai pengawasan yang efektif, pejabat pengawas harus menyampaikan temuan lapangan kepada wakil dari usaha dan atau kegiatan. Jika memungkinkan, bandingkan temuan tersebut dengan persyaratan izin pembuangan limbah/emisi, ketentuan baku mutu lingkungan dan ketentuan lainnya. Hal-hal yang harus dicegah dalam pembicaraan ini adalah: 1). Tidak mendiskusikan status penaatan lingkungan terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan, dampak yuridis atau dampak penegakan hukum terhadap usaha dan atau kegiatan; 2). Tidak merekomendasikan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan, walaupun diminta.

291

VII. EVALUASI Sebelum membuat laporan pengawasan, Pejabat Pengawas harus melakukan pemeriksaan kembali data dan fakta yang diperoleh di lapangan apakah sudah lengkap sesuai dengan pedoman umum pelaksanaan pengawasan. VII. PELAPORAN Setelah melakukan pengawasan terhadap setiap usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas wajib segera membuat dan menyampaikan laporan pengawasan kepada pejabat pemberi tugas. Laporan pengawasan lingkungan hidup memuat informasi/data yang dikumpulkan dari hasil pengawasan yang dikelola dan diatur sehingga dapat digunakan secara optimal dalam upaya penegakan hukum atau peningkatan kinerja pengelolaan. Informasi yang disajikan dalam laporan pengawasan harus memperhatikan beberapa hal berikut: a. Disajikan secara jelas dan sistematis. b. Harus akurat, aktual dan faktual dan didasarkan pada hasil pengawasan lingkungan hidup serta merupakan hasil yang dapat diverifikasi oleh pihak yang ahli. c. Harus difokuskan pada tujuan pengawasan, sedangkan data/informasi yang tidak berkaitan akan membingungkan dan mengurangi kejelasan dan manfaat dari laporan tersebut. d. Bukan merupakan pendapat, pandangan dan asumsi-asumsi pribadi pejabat pengawas lingkungan hidup yang bersangkutan. e. Harus didukung dengan data dan atau bukti akurat dan faktual. f. Dokumen pendukung seperti foto, berita acara, dokumen sampling dan sebagainya yang menyertai laporan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pengawasan lingkungan hidup harus disebutkan dengan jelas. g. Untuk mendapatkan laporan yang baik, gunakan gaya penulisan laporan sebagai beriktut: 1. Tulis laporan secara sederhana, hindari bahasa yang sulit dimengerti; 2. Gunakan bahasa aktif bukan pasif (misalnya mengambil sampel, bukan sampel di ambil); 3. Usahakan agar isinya singkat dan langsung kepada pokok permasalahan; 4. Hindari pengulangan; 5. Perbaiki dan koreksi isi laporan secara cermat. 292

Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 56 Tahun 2002 Tentang : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas Tanggal : 16 Agustus 2002

A. FORMAT LAPORAN PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP LAPORAN PENGAWASAN PENAATANLINGKUNGAN HIDUP

Secara umum laporan pengawasan penaatan lingkungan hidup terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:

a. Pendahuluan: 1). Latar Belakang: Informasi yang dituangkan merupakan informasi yang spesifik tentang latar belakang dilaksanakannya pengawasan terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan ke dalam Laporan Pelaksanaan Pengawasan Lingkungan Hidup.

2). Tujuan Pelaksanaan Pengawasan: Informasi yang dituangkan merupakan informasi tentang tujuan dilaksanakannya pengawasan lingkungan hidup terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan ke dalam Laporan Pelaksanaan Pengawasan Lingkungan Hidup secara jelas.

b. Kegiatan Lapangan: Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas selama melakukan pengawasan di lapangan. c. Fakta dan Temuan di Lapangan: Informasi yang dituangkan merupakan informasi tentang fakta dan temuan selama dilaksanakan pengawasan lingkungan hidup dengan melampirkan data pendukungnya. d. Analisis Yuridis/Ketaatan: Informasi yang dituangkan merupakan informasi hasil analisis fakta dan temuan di lapangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. e. Kesimpulan dan Saran Tindak Lanjut: Informasi yang dituangkan merupakan informasi yang singkat dan jelas tentang hasil pengawasan yang disertai dengan usulan langkah tindak lebih lanjut. f. Lampiran:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(1). Salinan Data Data-data yang dibuat dalam pelaksanaan Pengawasan Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran I pada Keputusan ini, dilampirkan dalam laporan pengawasan lingkungan hidup.

(2). Salinan Berita Acara:

a. Setiap tahap kegiatan pengawasan; b. Penolakan setiap tahap kegiatan pengawasan; (3). Informasi Tambahan/Penunjang a. Informasi tambahan berupa memorandum rutin kegiatan pengawasan lingkungan hidup atau laporan lainnya jika terdapat adanya indikasi ketidaktaatan. b. Dokumen penunjang seperti: foto, film, perizinan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, UKL/ UPL. 293

B. RINGKASAN LAPORAN PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP RINGKASAN LAPORAN

PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian A Data Perusahaan Nama dan Alamat Perusahaan Tanggal Pengawasan jam Tanggal Selesai Pengawasan Jenis Usaha Kegiatan: Penanggung Jawab Perusahaan: Jabatan: No. Telepon: Pendamping dari Perusahaan: Jabatan: No. Telepon: Bagian B Hal-Hal Yang Di Evaluasi Selama Pengawasan (E=Dievaluasi, TE=Tidak Dievaluasi) Umum Pengendalian Pencemaran Pengendalian Pencemaran Air dan atau Perusakan Laut Pengendalian Pencemaran PL Padat dan B3 Peraturan Lainnya Udara Pengendalian Kerusakan Kebakaran Hutan dan Tanah Untuk Produksi Lahan Biomassa Ringkasan Temuan Lapangan Saran Tindak Lanjut Nama Pejabat Pengawas yang bertanggung jawab Jabatan Tanda Tangan Pejabat Pengawas No. Telepon Dihubungi Ya Tidak Tanda Tangan Pejabat Pengawas Tanggal: 294

Lampiran III : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 56 Tahun 2002

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Tentang : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas Tanggal : 16 Agustus 2002

A. FORMAT BERITA ACARA PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP BERITAACARA PENGAWASAN PENAATANLINGKUNGAN HIDUP

Pada hari ini,............tanggal...........bulan............................tahun.............., pukul........WIB, di.........................Kabupaten/Kota..............................., Propinsi........................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Nama : ........................................................................................................ Pangkat/Gol : ........................................................................................................ Jabatan : ........................................................................................................ No. PPLH : ........................................................................................................ 2. Nama : ........................................................................................................ Pangkat/Gol : ........................................................................................................ Jabatan : ........................................................................................................ No. PPLH : ........................................................................................................ 3. Nama : ........................................................................................................ Pangkat/Gol : ........................................................................................................ Jabatan : ........................................................................................................ No. PPLH : ........................................................................................................ Masing-masing dari Kantor .........................................., ....................................., dan................................., telah melakukanPengawasan Lingkungan Hidup terhadap ....................................... melalui kegiatan sebagai berikut:

1. ................................................................................................... 2. ................................................................................................... 3. dst. Dari pengawasan tersebut di atas telah ditemukan fakta-fakta:

1. .................................................................................................... 2. .................................................................................................... 3. dst. Pelaksanaan dan temuan fakta-fakta pengawasan penaatan lingkungan hidup ini diketahui dan dibenarkan olehpihak perusahaan:

1. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... 2. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : ....................................................................................................................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Demikian BeritaAcara Pelaksanaan Pengawasan Lingkungan Hidup pada lokasi .............................................................dansekitarnya dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.

Yang melakukan Pengawasan

1. ................................... ............................... 2. ................................... ............................... 3. ................................... ............................... Pihak Perusahaan

1. ............................................................ ................................................................. 2. ............................................................ ................................................................. 3. ............................................................ ................................................................. Saksi-saksi

1. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : ..............................................................................................................

295

B. FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP BERITAACARA PENOLAKAN PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGANHIDUP

Pada hari ini, ......................tanggal........................bulan .....................tahun ......................, pukul ................WIB, di ......................................Kabupaten/Kota..............................., Propinsi .............................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..............................................................................................................

Jabatan : ..............................................................................................................

Alamat : ..............................................................................................................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Bertindak untuk dan atas nama ..........................................................................menolak kedatangan Tim Pengawas Lingkungan Hidup dan atau menentang pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup oleh Tim Pengawas Lingkungan Hidup yang terdiri dari:

1. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. Penolakan dilakukan dengan alasan:

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ......................................................................................................................................... Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan. Tanda Tangan PPLH:

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ......................................................................................................................................... Saksi-saksi

1. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 296

C. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN SAMPEL BERITAACARAPENGAMBILAN SAMPEL

Pada hari ini,..................... tanggal .......................... bulan ...........................tahun ............., pukul ...............WIB, di................................Kabupaten/Kota ..........................Propinsi ........................................., kami yang bertanda tangan dibawah ini:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. Masing-masing dari Kantor ...............................................................................................................................................................dan......................................................................................., telah melakukan Pengambilan Sampel di lokasi ........................................................................................

Uraian singkat pengambilan sampel sebagai berikut:

1. Sampel yang diambil merupakan sampel Cair/Padat/Sludge/Gas*) 2. Deskripsi Sampel: No. Kode Sampel Jenis Sampel Metoda Sampling Lokasi Parameter Uji Keterangan

3. Keterangan lain Pengambilan Sampel disaksikan dan diketahui oleh pihak perusahaan:

1. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... 2. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... 3. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... Demikian Berita Acara Pengambilan Sampel pada lokasi ..............................................dan sekitarnya dibuat dengansebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.

Yang mengambil sampel:

1. ............................................................ ................................................................. 2. ............................................................ ................................................................. 3. ............................................................ .................................................................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Saksi-saksi

1. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 297

D. FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN SAMPEL BERITAACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN SAMPEL

Pada hari ini, ......................tanggal........................bulan .....................tahun ......................, pukul................WIB, di Kabupaten/ Kota..............................., Propinsi .............................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..............................................................................................................

Jabatan : ..............................................................................................................

Alamat : ..............................................................................................................

Bertindak untuk dan atas nama ..........................................................................menolak pelaksanaan pengambilan sampel oleh Tim Pengawas Lingkungan Hidup yang terdiri dari:

1. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. Penolakan dilakukan dengan alasan:

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ......................................................................................................................................... Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.

Tanda Tangan PPLH:

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ......................................................................................................................................... Saksi-saksi

1. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 298

E. FORMATBERITA ACARAPENYERAHANSAMPEL BERITAACARAPENYERAHAN SAMPEL

Pada hari ini........................................tanggal..........................bulan..........................tahun......... pukul............WIB, di .....................................Kabupaten/Kota.........................................Propinsi ................................, kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..............................................................................................................

Pekerjaan : ..............................................................................................................

Pangkat/Gol : ..............................................................................................................

No. PPLH : ..............................................................................................................

Telah menyerahkan kepada:

Nama :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pekerjaan:

Pangkat/Gol:

No. PPLH :

Laboratorium:

Barang-barang berupa sampel cair/padat/sludge/gas*) sebanyak ...................(...................) kotak dengan penyegelan,

masing-masing seberat .................(.................) gram/kilogram/ton/........*) dengan kode dan diskripsi sampel sebagai

berikut:

No. Kode Sampel Jenis Sampel Metoda Sampling Lokasi Parameter Uji Keterangan

Penyerahan disaksikan oleh:

1. Nama : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. Demikian Berita Acara Penyerahan Sampel ini dibuat dengan sebenarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.

Yang menerima, Yang menyerahkan,

(....................................) (............................................)

*) Diisi dengan jenis dan satuan berat/volume sampel

299

F. FORMATBERITA ACARA PENGAMBILANFOTO/VIDEO BERITAACARAPENGAMBILAN FOTO/VIDEO

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pada hari ini, ...................tanggal.................................bulan..............., tahun....................., pukul................WIB, di ..........Kabupaten/Kota..........................Propinsi ..........................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. Masing-masing dari Kantor ........................., ...........................................dan ......................., telah melakukan Pengambilan Foto/Video di lokasi:

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ..................................................................................................................................,dst. Pengambilan Foto/Video disaksikan dan diketahui oleh pihak perusahaan:

1. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... 2. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... 3. Nama : .................................................................................................................... Jabatan : .................................................................................................................... Alamat : .................................................................................................................... Demikian BeritaAcara Pengambilan Foto/Video di lokasi ...........................................dan sekitarnya dibuat dengan sebenarbenarnya dan mengingat Sumpah Jabatan. Yang mengambil Foto/Video:

1. ............................................................ ................................................................. 2. ............................................................ ................................................................. 3. ............................................................ ................................................................. Saksi-saksi

1. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : ..............................................................................................................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 300

G. FORMATBERITA ACARA PENOLAKANPENGAMBILANFOTO/VIDEO BERITAACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN FOTO/VIDEO

Pada hari ini ..............tanggal ...................bulan...................tahun..............., pukul.........WIB, di Kabupaten/ Kota.........................Propinsi............................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..............................................................................................................

Jabatan : ..............................................................................................................

Alamat : ..............................................................................................................

Bertindak untuk dan atas nama ............................................menolak pelaksanaan pengambilan Foto/Video oleh Tim Pengawas Lingkungan Hidup yang terdiri dari:

1. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pangkat/Gol : .............................................................................................................. Jabatan : .............................................................................................................. No. PPLH : .............................................................................................................. Di lokasi:

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ......................................................................................................................................... Penolakan dilakukan dengan alasan:

1. ......................................................................................................................................... 2. .........................................................................................................................................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3. ......................................................................................................................................... Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.

Tanda tangan PPLH:

1. ......................................................................................................................................... 2. ......................................................................................................................................... 3. ......................................................................................................................................... Saksi-saksi

1. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 2. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. 3. Nama : .............................................................................................................. Pekerjaan : .............................................................................................................. Alamat : .............................................................................................................. Tanda Tangan : .............................................................................................................. Menteri Negara Lingkungan Hidup

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

301

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 57 TAHUN 2002

TENTANG

TATAKERJAPEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DIKEMENTERIANLINGKUNGAN HIDUP

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Kementerian Negara Lingkungan Hidup;

b. bahwa dalam Pasal 56A, Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup dialihkan ke Menteri Lingkungan Hidup c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Kementerian Negara Lingkungan Hidup; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaga Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 );

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 5. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002; 6. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002; 7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup. MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUPTENTANGPEDOMANTATA KERJA PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Pengawasan penaatan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. 2. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup adalah pegawai negeri sipil di Kementerian Lingkungan Hidup yang memenuhi persyaratan dan diangkat oleh Kementerian Lingkungan Hidup. 3. Pengumpulan bahan keterangan adalah kegiatan mengumpulkan data dan informasi yang terkait dengan ketaatan suatu usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. 302

BAB II KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PENGAWAS

Bagian Pertama Kedudukan

Pasal 2

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup berkedudukan pada seluruh unit kerja Kementerian Lingkungan Hidup. (2) Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup berada di bawah koordinasi Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi. Bagian Kedua Tugas

Pasal 3 Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Bagian Ketiga Wewenang

Pasal 4 Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup berwenang:

a. memantau usaha dan atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; b. meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau pengendalian kerusakan lingkungan hidup; c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan; d. memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; e.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan; f. memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk pengendalian pencemaran dan atau pengendalian kerusakan lingkungan; g. memeriksa alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan dan atau mengangkut limbah dan atau bahan kimia lainnya; h. meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan. Pasal 5 Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, mempunyai lingkup wilayah kerja:

a. usaha dan atau kegiatan yang lokasi dan dampak lingkungannya bersifat lintas propinsi; b. usaha dan atau kegiatan yang pengawasannya tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah propinsi; c. usaha dan atau kegiatan dan dampak lingkungan yang bersifat lintas batas negara; d. usaha dan atau kegiatan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3); e. usaha dan atau kegiatan yang keputusan kelayakan lingkungannya diberikan oleh Komisi AMDAL Pusat; f. usaha dan atau kegiatan dan dampak lingkungannya berada di lingkungan laut di luar 12 mil; BAB III KEWAJIBAN

Pasal 6 Setiap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib untuk:

a. mengenakan tanda pengenal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; b. membawa dan menunjukkan surat penugasan pelaksanaan pengawasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; c. memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tempat pengawasan; d. mengikuti prosedur pengawasan yang diatur dalam pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup; e. melakukan koordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangan lingkup wilayah kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. membuat berita acara pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup; g. membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi. 303

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAB IV IDENTITAS PEJABAT PENGAWAS

Bagian Pertama Tanda Pengenal

Pasal 7

(1) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup; (2) Masa berlakunya tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu tiga tahun, terhitung mulai tanggal dikeluarkan; (3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang kembali sepanjang yang bersangkutan masih menjadi pejabat pengawas lingkungan hidup di Kementerian Lingkungan Hidup; (4) Perpanjangan tanda pengenal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diajukan selambatlambatnya dalam waktu dua minggu sebelum berakhir masa berlakunya oleh Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup; Bagian Kedua Surat Penugasan

Pasal 8

(1) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi; (2) Penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup di luar unit kerja Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi, dilakukan setelah berkoordinasi dan memberitahukan pimpinan pejabat pengawas lingkungan hidup yang bersangkutan; (3) Format surat penugasan dan pemberitahuan adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini. BAB V PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 9

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup dilantik oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup; (2) Pejabat pengawas lingkungan hidup yang telah dilantik wajib melaksanakan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangan dan lingkup wilayah kerjanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 10

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup menetapkan prioritas pengawasan dengan mempertimbangkan: a. potensi dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan; b. kewenangan dan ruang lingkup wilayah kerja berdasakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. kemampuan sumber daya kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, sumber pendanaan, sarana

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dan prasarana pendukung lainnya sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku seperti peralatan teknis pengawasan, dan lain-lain. (2) Berdasarkan target prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pejabat pengawas lingkungan hidup melakukan pengawasan lingkungan hidup secara berkala atau sewaktu-waktu untuk menentukan status kepatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pasal 11

(1) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) menunjukkan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka dilakukan pembinaan secara berkala dan terprogram untuk lebih meningkatkan kinerja pengendalian dampak lingkungan. (2) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka pejabat pengawas mengusulkan kepada pejabat yang memberikan penugasan untuk dilakukan pembinaan teknis agar tercapai ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan. Pasal 12

(1) Apabila pembinaan teknis sebagaimana dimaksud Pasal 11 aya (2) tidak efektif dan dari 2 (dua) kali pengawasan berikutnya menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup, dapat dilakukan pengumpulan bahan keterangan dalam rangka penegakan hukum lingkungan. (2) Hasil pengumpulan bahan keterangan dapat ditindaklanjuti dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. memberikan saran tindak kepada kepala badan/pimpinan instansi pemberi izin usaha atau kegiatan untuk dikenakan sanksi pencabutan izin; b. memberikan saran tindak kepada Gubernur atau Bupati/Walikota setempat untuk melakukan paksaan pemerintahan; 304

c. memberikan saran tindak penyelesaian secara perdata di pengadilan atau di luar pengadilan; d. memberikan saran tindak penyelesaian melalui penegakan hukum pidana. Pasal 13 Pejabat pengawas lingkungan hidup wajib melakukan pengelolaan data hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) secara baik dan terkoordinasi.

BAB VI PELAPORAN

Pasal 14

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam menjalankan tugasnya wajib untuk menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi untuk diteruskan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup. (2) Hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib segera dilaporkan setelah pelaksanaan pengawasan selesai dilakukan. BAB VII PEMBINAAN

Pasal 15

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup secara teknis dan administrasi dilakukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Pasal 16 Pengembangan sumber daya manusia bagi pejabat pengawas lingkungan hidup dilakukan oleh Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Deputi Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, dan Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi melalui pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang terprogram, terencana dan terkoordinasi.

Pasal 17 Dalam rangka pembinaan karier pejabat pengawas lingkungan hidup dibentuk jabatan fungsional.

BAB VIII PEMBIAYAAN

Pasal 18 Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber biaya lainnya yang sah.

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 16 Agustus 2002

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM

Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum dan Kepegawaian

ttd

Nadjib Dahlan,SH.

305

Lampiran : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 57 Tahun 2002 Tentang : Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Kementerian Lingkungan Hidup Tanggal : 16 Agustus 2002

SURAT PENUGASAN

Nomor : SP-..............................................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Menimbang : bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.

Mengingat : 1. Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara; 3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Daerah; 4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 tentang Struktur dan Organisasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup; MENUGASKAN

1. Nama : ...................................................................................................... No. PPLH : ...................................................................................................... Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Dinas/Instansi : ...................................................................................................... 2. Nama : ...................................................................................................... No. PPLH : ...................................................................................................... Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Dinas/Instansi : ...................................................................................................... Untuk : 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NC ..............atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

2. Batas waktu penugasan dari tanggal .........................s/d tanggal........................ 3. Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan. Dikeluarkan di : Jakarta Pada tanggal : 16 Agustus 2002

Deputi MENLH Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi.

Yang menerima tugas.

1. (.......................................) (.................................................) 2. (.......................................) 306

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Lampiran : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 57 Tahun 2002 Tentang : Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Kementerian Lingkungan Hidup Tanggal : 16 Agustus 2002

SURAT PEMBERITAHUAN

Nomor : SP -......................................................

Kepada Yth. Sdr. Deputi/Pimpinan................ ...................................................... ......................................................

Menimbang : bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.

Mengingat : 1. Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara; 3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; 4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 tentang Struktur dan Organisasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup; MEMBERITAHUKAN

1. Nama : ...................................................................................................... No. PPLH : ...................................................................................................... Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Dinas/Instansi : ...................................................................................................... 2. Nama : ...................................................................................................... No. PPLH : ...................................................................................................... Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Dinas/Instansi : ...................................................................................................... Untuk : 1.Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NV ................... ............atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di

bidang lingkungan hidup. 2.Batas waktu penugasandari tanggal...........................s/d......................

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

3.Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan

hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan.

Demikian diberitahukan, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Dikeluarkan : di Jakarta Pada tanggal : 16 Agustus 2002

Deputi MENLH Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi,

(..................................................................)

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya

Kepala Biro Umum dan Kepegawaian

ttd

Nadjib Dahlan,SH.

307

KEPUTUSAN MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 58 TAHUN 2002

TENTANG

TATAKERJAPEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Daerah Propinsi/Kabupaten/ Kota;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

b. bahwa dalam Pasal 56 A, Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dialihkan ke Menteri Negara Lingkunga Hidup; c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Daerah Propinsi/Kabupaten/ Kota. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom ( Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 4. Keputusan Presiden RI Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 5. Keputusan Presiden RI Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002; 6. Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 4 Tahun 2002; 7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pengawasan lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; 2. Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota adalah pegawai negeri sipil yang berada di badan/instansi yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota yang telah memenuhi persyaratan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah dan diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota. 3. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 4. Kepala Badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota adalah kepala badan/ pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di propinsi/kabupaten/ kota. 308

BAB II KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA

Bagian Pertama Kedudukan

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Kepala badan/instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota; (2) Pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di unit kerja teknis operasional badan instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota. Bagian Kedua Tugas

Pasal 4 Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Bagian Ketiga Kewenangan Pejabat Pengawas

Paragraf I Umum

Pasal 5 Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/ kabupaten/kota mempunyai wewenang:

a. memantau usaha dan atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; b. meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup; c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan; d.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; e. mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan; f. memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; g. memeriksa alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan dan atau mengangkut limbah dan atau bahan kimia lainnya; h. meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan. Paragraf 2 Kewenangan Pejabat Pengawas Di Daerah Propinsi

Pasal 6 Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mempunyai lingkup wilayah kerja:

a. lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam 1(satu) propinsi; b. lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang penanganannya tidak atau belum dapat dilaksanakan kabupaten/kota; c. lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang penanganannya dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah; d. usaha atau kegiatan yang keputusan kelayakan lingkungan hidup diberikan oleh Komisi AMDAL propinsi Pasal 7 Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang tidak dapat dilakukan oleh pejabat pengawas propinsi dapat diserahkan pengawasannya kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup yang didasarkan kepada Keputusan Gubernur.

Paragraf 3 Kewenangan Pejabat Pengawas Kabupaten/Kota

Pasal 8 Pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota, melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan hidup dalam lingkup kabupaten/kota yang bersangkutan.

309

Pasal 9

Pelaksanaan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang tidak dapat dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan kabupaten/kota, dapat diserahkan pengawasannya kepada Gubernur berdasarkan keputusan Bupati/Walikota.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

BAB III KEWAJIBAN

Pasal 10 Setiap pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib untuk:

a. mengenakan tanda pengenal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; b. membawa dan menunjukkan surat penugasan pelaksanaan pengawasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; c. memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tempat pengawasan; d. mengikuti prosedur pengawasan yang diatur dalam pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup; e. melakukan koordinasi dengan dinas/instansi terkait sesuai dengan kewenangan, lingkup wilayah kerja, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. membuat berita acara pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup; g. membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada pejabat yang berwenang mengeluarkan surat penugasan. BAB IV IDENTITAS PEJABAT PENGAWAS

Bagian Pertama Tanda Pengenal

Pasal 11

(1) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi dikeluarkan oleh Kepala badan/instansi yang bertanggung jawab di propinsi atas nama Gubernur; (2) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota dikeluarkan oleh Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota. Pasal 12

(1) Masa berlakunya tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk jangka waktu tiga tahun, terhitung mulai tanggal dikeluarkan. (2) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang kembali sepanjang yang bersangkutan masih menjadi pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota. (3) Perpanjangan tanda pengenal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diajukan selambatlambatnya dalam waktu dua minggu sebelum berakhir masa berlakunya oleh Kepala badan/instansi yang membawahkan pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota kepada Kepala badan/instansi yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota. Bagian Kedua Surat Penugasan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 13

(1) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi dikeluarkan oleh Kepala badan/instansi yang bertanggung jawab propinsi atas nama Gubernur. (2) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota dikeluarkan oleh Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota. Pasal 14 Format surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.

BAB V PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 15 Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota yang telah dilantik melaksanakan pengawasan sesuai dengan kewenangan dan lingkup wilayah kerja masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

310

Pasal 16

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota menetapkan prioritas pengawasan dengan mempertimbangkan: a. potensi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan; b. kewenangan dan lingkup wilayah kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. kemampuan sumber daya kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, sumber pendanaan, sarana, dan prasarana pendukung lainnya. (2) Berdasarkan prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota melakukan kegiatan pengawasan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila dipandang perlu untuk menentukan status ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 17

(1) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka dilakukan pembinaan secara berkala dan terprogram untuk lebih meningkatkan kinerja pengendalian dampak lingkungan oleh unit kerja yang bertanggung jawab. (2) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. mengusulkan kepada pejabat yang memberi penugasan untuk memberikan peringatan dan atau teguran berdasarkan kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

memberikan saran tindak kepada badan/Pimpinan instansi pemberi izin usaha dan atau kegiatan untuk dilakukan pencabutan izin; c. memberikan saran tindak kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk melakukan paksaan pemerintahan; d. memberikan saran tindak penyelesaian secara perdata di pengadilan atau di luar pengadilan apabila terdapat konflik antara masyarakat dengan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan akibat dampak lingkungan yang ditimbulkannya; e. memberikan saran tindak penyelesaian melalui tindakan hukum pidana. Pasal 18 Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota melakukan pengelolaan data hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) secara baik dan terdokumentasi.

BAB VI PELAPORAN

Pasal 19

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab daerah propinsi. (2) Pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota dalam menjalankan tugasnya wajib untuk menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota. (3) Laporan hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) segera dilaporkan setelah selesai pelaksanaan pengawasan. BAB VII PEMBINAAN

Pasal 20

(1) Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi secara administratif dilakukan oleh Gubernur dan secara teknis dilakukan oleh Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di propinsi. (2) Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota secara administratif dilakukan oleh Bupati/ Walikota dan secara teknis dilakukan oleh Kepala dan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/ kota. Pasal 21 Pengembangan sumber daya manusia bagi pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota dilakukan oleh Instansi Pendidikan dan Pelatihan di Propinsi/Kabupaten/Kota bekerja sama dengan Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup melalui pelaksanaan dan pelatihan yang terprogram, terencana dan terkoordinasi.

Pasal 22 Dalam rangka pembinaan karier pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota dapat dibentuk jabatan fungsional.

311

BAB VIII PEMBIAYAAN

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 23 Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota dibebankan pada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) propinsi dan sumber biaya lainnya untuk pejabat pengawas lingkungan hidup daerah propinsi; b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan sumber biaya lainnya untuk pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten. BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 16 Agustus 2002

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM

Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum dan Kepegawaian,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.

312

Lampiran : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 58 Tahun 2002 Tentang : Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Propinsi/Kabupaten/Kota Tanggal : 16 Agustus 2002

SURAT PENUGASAN

Nomor : SP-................................................

Menimbang : bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Mengingat : 1. Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara; 3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. MENUGASKAN

1. Nama : ............................................................................................................ No. PPLH : ............................................................................................................ Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Dinas/Instansi : ............................................................................................................

2. Nama : ............................................................................................................ No. PPLH : ............................................................................................................ Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Dinas/Instansi : ............................................................................................................

Untuk : 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NV...................atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

2. Batas waktu penugasan dari tanggal ...............s/d tanggal............ 3. Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan. Dikeluarkan di: ........................................... Pada tanggal : ...........................................

a.n Kepala Badan/Pimpinan Instansi yang bertanggung jawab di Propinsi/Kabupaten/ Kota (............................................................................)

Yang menerima tugas,

1. (........................................) 2. (........................................) 3. (........................................) Menteri Negara Lingkungan Hidup,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum dan Kepegawaian,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.

313

KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2001

TENTANG

PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAN PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGANHIDUPDAERAH

MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dipandang perlu menetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang berwenang melakukan pengawasan penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;

b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 4.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara; 5. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAN PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup; 2. Pejabat pengawas lingkungan hidup adalah pegawai negeri sipil yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Menteri; 3. Pejabat pengawas lingkungan hidup daerah adalah pegawai negeri sipil yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab daerah yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota; 4. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 5. Sekretaris Menteri adalah Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup; 6. Sekretaris Utama adalah Sekretaris Utama Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 7. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 8. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota; 9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 10. Instansi yang bertanggung jawab daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup daerah atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup daerah. BAB II MEKANISME DAN PERSYARATAN PENGANGKATAN PEJABAT PENGAWAS

Pasal 2

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab diangkat oleh Menteri. (2) Dalam pelaksanaan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendelegasikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(3) Pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. 314

Pasal 3

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota. (2) Pengusaha pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Pasal 4 Syarat-syarat pegawai negeri sipil yang dapat diangkat menjadi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah adalah yang :

1. berpangkat serendah-rendahnya pengatur tingkat I (Golongan II/d); 2. berpendidikan serendah-rendahnya Sarjana Muda (D3) 3. ditugaskan di bidang teknis operasional pada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab daerah; 4. telah mengikuti kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar teknis pengelolaan lingkungan hidup; 5. telah mengikuti pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup; 6. berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Pasal 5

(1) Di dalam surat pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah wajib dicantumkan : a. nomor, tahun dan undang-undang yang menjadi dasar hukum pemberian kewenangan sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; dan b. wilayah kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang diusulkan (2) Surat pengusulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri : a. pasfoto hitam putih dengan ukuran 3 x 4 sebanyak dua buah; b. fotocopy Surat Keputusan Pangkat terakhir; c. fotocopy ijazah terakhir dan sertifikat kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar teknis pengelolaan lingkungan hidup; d. fotocopy sertifikat pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup; e. surat keterangan dokter yang menyatakan pegawai negeri sipil yang bersangkutan berbadan sehat. Pasal 6 Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah melalui persyaratan tertentu

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

dapat diusulkan menjadi calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Daerah.

Pasal 7 Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi, Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Gubernur/Bupati/Walikota menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.

Pasal 8

(1) Pegawai negeri sipil yang telah diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberikan tanda pengenal oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Gubernur/ Bupati/Walikota. (2) Kartu tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwarna dasar hijau yang memuat : a. Nama; b. Nomor Induk Pegawai (NIP); c. Pangkat/Golongan; d. Nomor SK Pengangkatan; e. Jabatan; f. Masa Berlakunya; g. Pas foto hitam putih ukuran 3 x 4 Pasal 9 Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengangkat sumpah/janji dan dilantik oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bertanggung jawab dan pejabat yang berwenang dari instansi yang bertanggung jawab daerah.

315

BAB III MUTASI PEJABAT PENGAWAS

Pasal 10

(1) Dalam hal terjadi mutasi, baik mengenai jabatan maupun wilayah kerja : a. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, maka pimpinan yang membawahi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang bersangkutan memberitahukan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan; b. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Propinsi, maka Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah Propinsi memberitahukan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan; c.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota, maka Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah Kabupaten/Kota memberitahukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan. (2) Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib segera melaporkan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Pasal 11 Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan huruf c dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan Mutasi.

Pasal 12 Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan huruf c dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan Surat Keputusan Mutasi.

BAB IV PEMBERHENTIAN PEJABAT PENGAWAS

Pasal 13

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab diberhentikan oleh Menteri. (2) Dalam pelaksanaan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendelegasikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. (3) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Pasal 14

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. (2) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Pasal 15 Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberhentikan karena :

a. berhenti sebagai pegawai sipil baik karena pensiun atau berhenti atas permintaan sendiri; b. atas permintaan sendiri untuk berhenti sebagai pejabat pengawas; c. melanggar disiplin kepegawaian; d. mutasi pada instansi lain; e. mutasi pada unit lain dalam lingkungan instansi atau di luar lingkungan instansi yang bertanggung jawab atau instansi yang bertanggung jawab daerah sehingga bidang tugasnya menjadi tidak relevan lagi; atau f. meninggal dunia. Pasal 16 Dalam hal terjadinya pemberhentian sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, di dalam surat pengusulan pemberhentian wajib disertakan alasan-alasan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

pemberhentiannya.

Pasal 17 Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian.

Pasal 18 Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian.

316

BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 19 Pembinaan, bimbingan, pelatihan, dan arahan serta pengawasan pelaksanaan tugas Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah.

Pasal 20 Koordinasi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sehari-harinya dilakukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.

Pasal 21 Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah dan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

BAB VI PENUTUP

Pasal 22 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 8 Maret 2001

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi III MENLH Bidang Hukum Lingkungan,

ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES.

317

KEPUTUSAN KEPALABADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR 27 TAHUN 2001

TENTANG

PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) LINGKUNGAN HIDUPDI BAPEDAL

KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana lingkungan berdasarkan pasal 41-48 Undang-Undang No 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diperlukan penyidikan yang terencana dan terpadu;

b. bahwa Penyidik yang ada di Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan tersebar di beberapa unit kerja, oleh karena itu pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat berhasil apabila penyidikan dilakukan oleh satuan tugas penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup secara terkoordinasi; c. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas di pandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Satuan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Lingkungan Hidup di Bapedal; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816); 5.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1) 6. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4068); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4076); 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen; 9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 25 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSANKEPALA BADANPENGENDALIANDAMPAKLINGKUNGANTENTANGPEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL.

Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan; 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut PPNS Lingkungan Hidup adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia yang tugas dan fungsinya melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Pasal 40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup adalah unit yang melaksanakan kegiatan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup yang anggotanya terdiri dari seluruh PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal; 4. Sekretariat adalah unit pelayanan administrasi penanganan kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup di Bapedal; 5. Koordinator satuan tugas adalah penanggung jawab kegiatan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. 318

Pasal 2

(1) Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal melaksanakan penyidikan dalam upaya penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan pasal 40 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; (2) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan; (3) Dalam Pelaksanaan Teknis Operasional, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal dipimpin oleh Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kasus Lingkungan Hidup.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pasal 3 Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal, Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan wajib melakukan koordinasi dengan kepala unit kerja yang terkait lain di lingkungan Bapedal dan Instansi lainnya.

Pasal 4 Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup mempunyai Wilayah Kerja di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 5

(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup secara terkoordinasi dan berwenang untuk: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau Badan Hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau Badan Hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang Lingkungan Hidup; d. Melakukan pemeriksaan atas Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di Lingkungan Hidup; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Lingkungan Hidup; f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana Lingkungan Hidup; (2) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup mempunyai fungsi: a. Menindak lanjuti laporan Pengaduan Kasus; b. Melakukan Pengumpulan bahan keterangan; c. Melaksanakan kegiatan penyidikan; d. Menyusun dan Menyerahkan Berkas Perkara. Pasal 6

(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dibentuk sesuai media lingkungan yang meliputi: a. Penanganan kasus pencemaran air dan kerusakan tata air. b. Penanganan kasus pencemaran udara; c. Penanganan kasus pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); d. Penanganan kasus pencemaran dan/atau kerusakan tanah;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

e. Penanganan kasus pencemaran dan/atau perusakan pesisir dan lautan; f. Penanganan kasus pencemaran kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan; g. Penanganan kasus kerusakan keanekaragaman hayati. (2) Setiap Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup diketuai oleh seorang Koordinator. Pasal 7

(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terdiri dari anggota PPNS Lingkungan Hidup yang mempunyai keahlian teknis sesuai dengan bidang masing-masing. (2) Keahlian teknis yang dimaksud pada ayat (1) di atas, meliputi keahlian: a. pencemaran air dan tata air; b. pencemaran udara; c. pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); d. pencemaran dan/atau kerusakan tanah; e. pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan lautan; f. pencemaran dan/atau kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan; g. kerusakan keanekaragaman hayati. (3) Susunan keanggotaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal ditetapkan lebih lanjut oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan. Pasal 8

(1) Untuk membantu pelaksanaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di bentuk Sekretariat yang bertugas melaksanakan pelayanan kegiatan administrasi harian; (2) Sekretariat seperti dimaksud pada ayat (1) di atas akan dibentuk dan berada dibawah Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan. 319

Pasal 9

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dilengkapi dengan sarana pendukung; (2) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Petunjuk Teknis. Pasal 10

(1) Selain Surat Perintah Penyidikan (SPP) dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup diberikan surat penugasan dari Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan atas nama Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan; (2) Dalam melaksanakan tugasnya, setiap PPNS Lingkungan Hidup wajib membawa Surat Perintah Penyidikan (SPP), Surat Tugas, Tanda Pengenal yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sarana yang diperlukan. Pasal 11 Tanda Pengenal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) memuat :

a. Nama lengkap b. Nomor Induk Pegawai

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

c. Pangkat/Golongan d. Nomor Surat Keputusan Pengangkatan e. Jabatan f. Masa berlaku g. Nama dan tandatangan pejabat yang mengangkat h. Foto identitas diri Pasal 12

(1) Untuk mendapatkan bukti permulaan di lapangan, PPNS Lingkungan Hidup melakukan pengambilan dan pemeriksaan contoh limbah secara langsung; (2) Untuk pengambilan dan pemeriksaan contoh limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup bekerjasama dengan personil laboratorium lingkungan; (3) Untuk keperluan pemberkasan, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dapat meminta bantuan keterangan ahli tentang kasus tindak pidana lingkungan hidup yang berkaitan. Pasal 13 Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal wajib bekerjasama dengan PPNS Lingkungan Hidup di propinsi/kabupaten/kota dan instansi atau sektor terkait.

Pasal 14 Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup wajib memberikan laporan kepada Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan sebagai berikut:

a. laporan hasil klarifikasi dan verifikasi informasi kasus ; b. laporan hasil persiapan penyidikan ; c. laporan kelengkapan bukti-bukti untuk dilakukan penyidikan ; d. laporan evaluasi kemajuan pelaksanaan penyidikan ; e. laporan pemberkasan Pasal 15 Setiap anggota Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dalam melaksanakan tugasnya diberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16 Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup ini dibebankan kepada anggaran Bapedal.

Pasal 17 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 29 Maret 2001

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Utama Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Dr. Ir. Sunyoto,Dipl.HE

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

320

LAIN-LAIN LAIN-LAIN 321

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002

TENTANG

PERUBAHANATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 101 TAHUN 2001 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS,FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan, dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 3952); 4. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 101 TAHUN 2001 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATAKERJA MENTERI NEGARA.

Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara, diubah sebagai berikut:

1.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 16 Meneg LH mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan."

2. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : "Pasal 17 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Meneg LH menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; b. pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis, dan evaluasi di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; d. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden." 3. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 18 Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Meneg LH mempunyai kewenangan:

a. penetapan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; b. penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota di bidangnya; c. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; d. pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya; e. penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam dalam rangka pelestarian lingkungan; f. pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara di bidangnya; g. penetapan standar pemberian izin oleh Daerah di bidangnya; h. penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidangnya; i. penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidangnya; j. penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan di bidangnya; 322

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

k. pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut di luar 12 (dua belas) mil; l. penetapan baku mutu lingkungan hidup dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup; m. penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya; n. penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan, yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah Propinsi, kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain di wilayah laut di bawah 12 (dua belas) mil dan berlokasi di lintas batas negara; o. penetapan pedoman tentang konservasi sumber daya alam; p. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: 1) pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; 2) pemberian izin dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, yang meliputi: penyimpanan, pengumpulan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun; 3) pemantauan pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan."

4. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 26 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Meneg PPN menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional; b. pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan nasional semua sektor; c. pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis, dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional; d. penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dilaksanakan bersama-sama dengan Departemen Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; e. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden." 5. Di antara Pasal 56 dan Pasal 57 ditambahkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 56A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 56A Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka tugas, fungsi, kewenangan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dialihkan ke Menteri Negara Lingkungan Hidup."

Pasal II Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II,

ttd

Edy Sudibyo

323

KEPUTUSAN KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR 113 TAHUN 2000

TENTANG

PEDOMAN UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN

KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengendalian pencemaran lingkungan hidup diperlukan dukungan laboratorium lingkungan yang memenuhi persyaratan;

b. bahwa mengingat hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3434) 4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815)

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853); 6. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standarisasi Nasional; 7. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN.

Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang dapat berdiri sendiri sebagai satu institusi maupun merupakan suatu bagian dan laboratorium yang mempunyai kemampuan dan kewenangan melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan (fisika/kimia/biologi); 2. Pengujian parameter kualitas lingkungan adalah kegiatan yang meliputi pengambilan contoh uji termasuk analisis di lapangan, penanganan, transportasi, penyimpanan, preparasi, dan analisis contoh uji; Pasal 2 Dalam melaksanakan kegiatannya laboratorium lingkungan wajib :

a. mempunyai kedudukan independen b. mempunyai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan c. memenuhi persyaratan teknis dan administratif d. menerapkan sistem mutu yang tepat yang sesuai dengan jenis, lingkup dan volume pekerjaan yang dilaksanakan; Pasal 3 Sistem mutu laboratorium lingkungan wajib didokumentasikan dalam suatu Dokumen Sistem Mutu yang terdiri dan Panduan Mutu, Prosedur Pelaksanaan, Instruksi Kerja dan Format.

Pasal 4 Prosedur pemberian izin operasional, rekomendasi, akreditasi dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan tercantum dalam lampiran I dan lampiran II Keputusan ini.

Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 24 Agustus 2000 Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Dr. A. Sonny Keraf

324

LampiranI Keputusan: Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 113 Tahun 2000 Tentang : Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan

PEDOMAN UMUM LABORATORIUM LINGKUNGAN

BAB I. PENDAHULUAN

1. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan data yang absah tentang parameter kualitas lingkungan. Data yang diperoleh berasal dari proses pemantauan kualitas lingkungan. 2. Salah satu unsur yang menentukan dalam proses pemantauan kualitas lingkungan adalah adanya laboratorium lingkungan yang handal yang mampu menguji parameter kualitas lingkungan dan menyajikan hasil uji yang absah dan tak terbantahkan . 3. Sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 196/1998 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 18/1998, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai tugas membina dan mengawasi pengelolaan laboratorium lingkungan. Pembinaan, pengawasan dan pengelolaan tersebut mencakup aspek-aspek teknis dan manajemen laboratorium lingkungan. 4. Bapedal sebagai pembina dan pengawas laboratorium lingkungan menganggap perlu menerbitkan suatu pedoman yang berisi kebijaksanaan umum tentang laboratorium lingkungan BAB II. PROSEDUR PEMBERIAN IZIN OPERASIONAL /REKOMENDASI LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium lingkungan, setiap laboratorium diharuskan memiliki ijin tertulis dari Gubernur dan atau pejabat yang ditunjuk, kecuali laboratorium milik Pemerintah yang dibentuk untuk kepentingan pelaksanaan program sektor yang bersangkutan 2. Untuk mendapatkan ijin operasional dan rekomendasi laboratorium lingkungan, laboratorium pemohon harus mengajukan permohonan tertulis (mengisi formulir tertentu, apabila tersedia) dengan melampirkan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis tentang laboratorium lingkungan. Tata cara pengajuan izin dapat dilaksanakan sebagai berikut : a. Permohonan izin operasional laboratorium lingkungan diajukan kepada gubernur dalam hal ini Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi. Setelah menerima permohonan tersebut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan Pedoman tentang Persyaratan Teknis Laboratorium Lingkungan. b. Atas dasar permohonan laboratorium lingkungan dan hasil pemeriksaan kelengkapan persyaratan teknis dan administratif di daerah, Bapedalda propinsi membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Bapedal dengan tembusan kepada Kepala Bapedal Regional agar laboratorium pemohon mendapat rekomendasi sebagai laboratorium lingkungan. c.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Sebelum memberikan surat rekomendasi sebagai laboratorium lingkungan Bapedal, Bapedal Regional dan Bapedalda Propinsi harus mengadakan evaluasi teknis terhadap laboratorium pemohon. d. Selanjutnya, Bapedal menerbitkan surat rekomendasi yang disampaikan kepada Bapedalda Propinsi. e. Berdasarkan Penilaian terhadap kelengkapan administratif dan surat rekomendasi dari Bapedal, Pemerintah Daerah (Bapedalda Propinsi) dapat menerbitkan izin operasional laboratorium lingkungan. BAB III. REKOMENDASI LABORATORIUM LINGKUNGAN Laboratorium lingkungan terdiri dari :

1. Laboratorium yang telah mampu menguji parameter kualitas lingkungan tertentu dan dikuatkan dengan sertifikat akreditasi oleh Badan Akreditasi yang diakui secara nasional maupun internasional. Laboratorium tersebut telah dijamin kemampuan dan independensinya, oleh karena itu sertifikat atau laporan dari laboratoriumlaboratorium tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Namun karena pengujian parameter kualitas lingkungan juga melibatkan pekerjaan/kegiatan pengambilan contoh, maka hal yang berkaitan dengan pekerjaan ini perlu diklarifikasi/pengesahan sesuai dengan peraturan/pedoman tentang pemantauan kualitas lingkungan yang berlaku 2. Laboratorium yang dinilai oleh Bapedal mempunyai kemampuan teknis menguji parameter kualitas lingkungan tertentu, tetapi belum mendapat akreditasi. Laboratorium-laboratorium yang dimaksud pada butir 2 diberi rekomendasi oleh Bapedal dengan memperhatikan pertimbangan khusus adalah sebagai berikut : a. laboratorium yang dikembangkan oleh Bapedal dengan bantuan peralatan melalui program OECF dan AusAid, milik Departemen Kesehatan (BLK dan BTKL), Departemen Pekerjaan Umum (Laboratorium Pengujian dan Peralatan Kanwil PU) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (BPPI). b. Laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis laboratorium lingkungan 3. Laboratorium yang dinilai Bapedal dapat melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan dengan syarat melakukan korelasi dengan laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Bapedal. Laboratorium tersebut adalah laboratorium yang dapat melaksanakan pengujian parameter tertentu dengan menggunakan metoda/peralatan yang tidak termasuk dalam metoda standar, tetapi hasil pengujiannya secara berkala/rutin dikorelasikan dengan laboratorium pada butir 1 dan 2. Hasil pengujian dari laboratorium ini dapat dipakai untuk keperluan tertentu yang sifatnya intern dan tidak dapat dipakai untuk kepentingan umum. Contohnya adalah laboratorium industri yang bersifat inhouse laboratory dan mobile laboratory. 325

Bapedal akan mengeluarkan surat : Rekomendasi Laboratorium Lingkungan berdasarkan kemampuannya dalam pengujian kualitas lingkungan. Rekomendasi tersebut dapat diartikan adanya pengakuan oleh Bapedal sebagai laboratoriurn lingkungan atas kemampuan pengujian parameter kualitas lingkungan terhadap :

a. air permukaan b. air laut c. limbah cair d. limbah padat (sludge) e. udara ambien

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

f. emisi dari sumber bergerak g. emisi dari sumber tidak bergerak BAB IV. AKREDITASI LABORATORIUM

1. Pengakuan terhadap kemampuan dan kewenangan laboratorium lingkungan berkaitan dengan sistem akreditasi yang berlaku di Indonesia, dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) atau badan akreditasi lain secara internasional. 2. Pelaksanaan akreditasi mengacu pada Pedoman BSN-101 Tahun 1991 atau IS0/IEC Guide 25:1990/ISO17025:2000 tentang Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi. 3. Laboratorium lingkungan yang telah mendapat akreditasi dengan sendirinya telah memiliki integritas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) 326

Lampiran IIKeputusan: Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 113 Tahun 2000 Tentang : Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan

PEDOMAN TEKNISLABORATORIUM LINGKUNGAN

BAB I. PENDAHULUAN

1. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan adanya data kualitas lingkungan yang dapat dipercayakebenarannya. Data tersebut merupakan hasil kegiatan pemantauan kualitas lingkungan. 2. Dalam kegiatan pemantauan kualitas lingkungan dilakukan pengukuran/pengujian parameter kualitas lingkungan. Hasil pengukuran/pengujian tersebut harus absah dan tak terbantahkan agar dapat dipercaya kebenarannya. 3. Pengukuran/pengujian dilaksanakan di/oleh laboratorium lingkungan, yang secara teknis harus mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut, maka laboratorium lingkungan harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. 4. Persyaratan teknis yang dimaksud mencakup tentang sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih, peralatan yang sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan, serta pengelolaan laboratorium yang dapat dipertanggungjawabkan. BAB II. RUANG LINGKUP

1. Pedoman ini memuat persyaratan teknis laboratorium lingkungan yang meliputi pokok bahasan tentang : a. Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan. b. Peralatan laboratorium lingkungan. c. Personalia dan organisasi laboratorium lingkungan. d. Keselamatan kerja laboratorium lingkungan.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

e. Metode analisis dan kemampuan laboratorium lingkungan. f. Pengelolaan limbah laboratorium lingkungan. g. Pengendalian mutu (quality control) h. Penanganan contoh uji 2. Pedoman ini menjabarkan dan menambahkan hal-hal yang belum diatur di dalam BSN - 101 : 1991 dan ISO/IEC Guide 25:1990/ISO-17025:2000. 3. Pedoman ini digunakan pada laboratorium lingkungan yang permanen. BAB III. ACUAN/RUJUKAN

a. Badan Standardisasi Nasional, (1991), Pedoman BSN 101 -1991 : Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Kalibrasi, BSN Jakarta. b. Bapedal Development Technical Assistance Project (BDTAP) Loan, Regional Laboratory Development Planning, Certification and Training Program. c. CAN/CSA-Z753-95, (1995) Requirements for the Competence of Environmental Laboratories, Environmental Technology A National Standard of Canada, Canada. d. ISO/IEC 17025 (2000), General Requirements For The Competence of Testing And Calibration Laboratories, National Association of Testing Authorities, Australia. ACN 004 379 748. e. Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. f. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). g. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. h. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. i. Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang uji mutu parameter kualitas lingkungan. j. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor k. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak BAB IV. SYARAT-SYARAT LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan. Pada waktu merencanakan pembangunan laboratorium, pemilik bangunan harus memberikan laporan tertulis kepada perancang bangunan yang berisi informasi sebagai berikut : a. Jenis dan fungsi laboratorium; b. Penjelasan lengkap mengenai persyaratan bangunan, termasuk tata letak c.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Penjelasan mengenai bahan berbahaya dan beracun yang akan dipakai di laboratorium. d. Proses kerja yang mungkin bisa meningkatkan adanya kontaminasi udara, meliputi : i. Proses kimia, biologi atau proses radiasi; ii. Proses yang menggunakan bahan yang mudah terbakar, bahan berbahaya, bahan yang menyebabkan infeksi atau bau-bauan yang mengganggu yang dapat menyebabkan kontaminasi melalui ventilasi udara, terutama bila terjadi kecelakaan kerja, misalnya tumpah. e. Jenis gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses laboratorium atau timbul dari tempat penyimpanan cairan yang mudah terbakar dan kecenderungan penyebaran gas tersebut; f. Jenis peralatan yang akan dipasang; g. Tingkat fleksibilitas yang dibutuhkan; h. Staf pendukung yang akan bekerja di laboratorium tersebut; j. Adanya beban tambahan, kebutuhan anti vibrasi atau isolasi yang mungkin dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya risiko akibat bahan berbahaya khusus lainnya, misalnya, api, bahan peledak atau radiasi; k. Jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan; l. Kebutuhan perluasan di masa datang; m. Hal-hal lain yang terkait. 327

Laboratorium harus berada pada lokasi yang terpisah dalam suatu lingkungan yang menyediakan berbagai fasilitas, pelayanan dan saluran pembuangan air kotor serta tidak berada pada lantai yang sama dengan bagian lain yang berfungsi non-laboratorium. Pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keamanan personil laboratorium dan orang lain yang ada di sekitarnya, adalah :

a. Perlunya isolasi dan membersihkan bahan berbahaya di lingkungan kerja atau dengan cara lain untuk mengurangi risiko; b. Keamanan personil dan perlindungan publik; c. Pengawasan jalan masuk, termasuk keamanan; d. Akses dan fasilitas untuk penanganan substansi yang berbahaya dan beracun; e. Akses dan fasilitas untuk penyelamatan dalam keadaan darurat; f. Tersedianya air untuk memadamkan kebakaran ; g. Tata letak perabotan (properti); h. Daerah yang aman untuk evakuasi bila terjadi keadaan darurat;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

i. Pembuangan limbah bahan berbahaya dan bersifat infeksi dari laboratorium; j. Tingkat perlindungan terhadap sinar matahari yang terbuka dan angin k. Cerobong asap, dengan memperhatikan : 1 . pengaruh terhadap manusia 2. pengaruh terhadap bangunan (korosi) 3. pengaruh angin 4. jarak dari sumber asap 5. pengaruh terhadap lingkungan. l. Isolasi suara : 1. dari daerah lain 2. ke daerah lain m. Pengaruh dari partikulat yang terbang ke udara. 2. Dalam mendirikan suatu banguan laboratorium harus mernenuhi persyaratan teknis bangunan yang terdiri dari persyaratan bangunan dan sistem utilitas. Persyaratan bangunan berdasarkan atas : a. Jenis kegiatan dan beban laboratorium; b. Jenis, dimensi dan jumlah peralatan; c. Jumlah sumber daya manusia laboratorium; d. Faktor keselamatan; e. Jarak meja analis dan koridor; f. Memperhatikan rencana pengembangan laboratorium; g. Lantai laboratorium harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. permukaannya rata dan halus serta kedap air; 2. tidak bereaksi dengan bahan kimia yang dipakai di laboratorium; 3. punya daya tahan struktur dan mekanik yang cukup kuat; 4. kompatibel dengan cara kerja di laboratorium dan kenyamanan personil; 5. anti slip sesuai dengan persyaratan AS/NZS 3661.1; 6. mudah dibersihkan;

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

7. sambungan papan sebaiknya dihindari sejauh mungkin, tapi bila dipakai, sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga tertutup dan terhindar dari penetrasi oleh bahan berbahaya; 8. adanya lubang di lantai perlu dibuat dan dirancang untuk mengantisipasi seandainya terjadi tumpahan cairan; 9. oleh karena adanya risiko tumpahan bahan berbahaya yang dapat menyebabkan infeksi atau bahan radioaktif yang terbuka, maka sambungan antara lantai dengan dinding dan tiang yang terbuka harus dibuat saluran kecil untuk memudahkan pembersihan. h. Dinding di area kerja laboratorium harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. permukaannya rata dan halus serta kedap air; 2. tidak bereaksi dengan bahan kimia yang dipakai di laboratorium; 3. mudah dibersihkan i. Langit-langit yang ada di area kerja laboratorium harus mempunyai konstruksi yang kuat, permukaannya halus, tidak menyerap bahan dan dipasang eternit, dicat dengan bahan cat yang halus dan mudah dibersihkan, serta berwarna terang. j. Lemari asam (fume cupboard) Alasan utama penggunaan lemari asam / fume cupboard ini adalah untuk keamanan bagi pelaksana laboratorium saat melakukan pekerjaannya dan juga untuk personil laboratorium lainnya. Secara teknis, alat ini bekerja dengan cara menangkap uap, mengencerkannya dan membuang semua residu yang bisa menyebabkan kontaminasi udara, khususnya yang mengandung bahan berbahaya. Efisiensi dan keamanan dari alat ini tergantung pada kelancaran udara yang masuk, daya tampung efektif, pemilahan kontaminan udara dari ruangan, hal tersebut berkaitan dengan mekanisme pergerakan udara dan sistem penghawaan laboratorium, bahan yang dipakai dalam konstruksi, sistem pembuangan kontaminan dan keamanan serta radius penyebaran kontaminan ke atmosfir. Sistem utilitas terdiri dari sistem penghawaan, sistem penerangan, sistem pengadaan air bersih, sarana komunikasi, transportasi, dan tata ruang. 328

Sistem penghawaan, terdiri atas dua cara yaitu :

a. Sistem penghawaan alami, yaitu laboratorium yang dilengkapi sistem penghawaan alami dimana : 1. Ventilasi terbuka mempunyai luas minimal 10 % dari luas lantai dan letaknya bersilangan agar perubahan udara yang memadai. 2. Proses laboratorium dan instrumentasi tidak memerlukan kontrol temperatur dan kelembaban yang wajib dipenuhi seperti dalam metoda AS / NZS 2982.1. 3. Udara ventilasi yang tidak tersaring tidak akan dapat terdegradasi oleh proses laboratorium. 4. Ventilasi alamiah tidak digunakan sebagai cara utama untuk pengenceran kontaminan atau kontrol. 5. Ventilasi laboratorium terpisah dari ruangan non laboratorium. Partisi antar-laboratorium dan nonlaboratorium

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

tidak mempunyai akses terbuka dan tidak ada pintu. b. Sistem penghawaan mekanik, yaitu sistem penghawaan mekanik untuk laboratorium yang dirancang sebagai berikut : 1. Memenuhi kecepatan suplai udara minimum seperti disebutkan pada AS 1668.2 2. Dilengkapi dengan ventilasi exhaus lokal sesuai dengan AS 1668.2 dan kebutuhan proses khusus yang dihasilkan di laboratorium. 3. Mencegah dispersi yang tidak terkontrol dan akumulasi udara yang berbahaya. 4. Mencegah pencampuran resirkulasi udara dengan udara lain untuk suplai area non-laboratorium. c. Sistem penghawaan buatan (air conditioning/AC). Kebutuhan AC diperhitungkan berdasarkan perhitungan 1 PK untuk 20 m 2.Penggunaan AC ditujukan terutama untuk memperoleh suhu optimal yang dibutuhkan dalam proses pengukuran dan pengujian serta untuk memberikan perlindungan terhadap alat-alat instrumentasi serta ruang-ruang lain yang tidak memungkinkan memakai penghawaan alami maupun penghawaan mekanik. Sistem penerangan laboratorium harus dilengkapi dengan sistem pencahayaan yang memenuhi nilai iluminansi yang direkomendasikan dalam AS 1680.1. Sistem penerangan ini terdiri atas dua macam yaitu : a. Sistem penerangan alami, yaitu sistem yang memanfaatkan cahaya matahari (terang langit, penerangan ini mempunyai jarak jangkauan sinar (sky light ) dari ruang tepi berkisar antara 6 -7,5 m. b. Sistem penerangan buatan (listrik), diperlukan untuk membantu penerangan ruangan terutama penggunaan pada malam hari, sedangkan pada siang hanya dapat digunakan bilamana ruangan sulit dijangkau oleh sinar matahari atau terang langit. Standar minimal penerangan adalah 200 LUX (lumen/m2) atau 5 watt/ m2. Kebutuhan listrik laboratorium lingkungan sebaiknya 40 kVA. Sebagai cadangan sumber listrik mati diperlukan generator set yang disesuaikan dengan kebutuhan laboratorium. Sistem pengadaan air bersih. Kebutuhan air bersih yang dipakai untuk kegiatan laboratorium dan staf diperkirakan 50 -100 liter/orang/hari untuk itu persediaan air bersih yang diperlukan sebaiknya minimal 2 m 3/ hari. Air bersih sebaiknya dari PAM di daerah setempat. Disarankan laboratorium mempunyai menara air dengan kapasitas volume minimal 2 m 3.

Sarana komunikasi dan transportasi:

1. Komunikasi Untuk memudahkan komunikasi internal laboratorium sebaiknya digunakan interkom yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah ruangan, sedangkan komunikasi keluar digunakan telepon dan faksimile minimal masing-masing satu buah serta dua buah komputer lengkap dengan printernya untuk pelaporan dan sistem informasi laboratorium. 2. Peralatan transportasi Untuk mendukung pelaksanaan operasional laboratorium dan pengambilan contoh uji di lapangan, laboratorium disarankan mempunyai satu buah sepeda motor dan mobil. 3. Tata ruang Pembagian ruang terdiri dari bagian administrasi, laboratorium dan bagian penunjang. Bagian

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

administrasi terdiri dari ruangan yang terdiri atas : ruang pimpinan, tata usaha, penerimaan contoh, pengolahan data, rapat, perpustakaan, penyimpanan arsip dan ATK. Luas ruangan untuk keperluan ruangan tersebut di atas, disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan lahan. Luas bagian laboratorium lingkungan yang disarankan sesuai dengan kebutuhan ruangan pelaksanaan teknis di laboratorium tercantum pada tabel 1. BABV. STANDARPERALATANLABORATORIUMLINGKUNGAN,REAGENDANBAHANACUANSTANDAR

Jenis peralatan laboratorium dibedakan atas peralatan umum dan peralatan teknis :

1. Peralatan umum, misalnya meja, kursi, lemari dan lain-lain. Jenis dan jumlah peralatan umum disesuaikan dengan jumlah sumber daya manusia laboratorium, jenis kegiatan, jumlah beban kerja, ukuran dan jumlah ruangan. 2. Peralatan teknis jenis dan jumlah peralatan teknis ini disesuaikan dengan jenis analisis contoh uji, jumlah beban kerja, metoda dan teknologi yang dipakai. Peralatan teknis terdiri dari : a. Peralatan lapangan Peralatan lapangan digunakan untuk keperluan pengambilan contoh uji dan analisis di lapangan. 329

b. Peralatan laboratorium Peralatan laboratorium merupakan peralatan utama khususnya peralatan instrumentasi yang digunakan untuk analisis di laboratorium. c. Peralatan penunjang Peralatan ini sebagai sarana penunjang analisis di laboratorium. Daftar peralatan yang sebaiknya dimiliki oleh laboratorium sesuai dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan terdapat pada tabel 3. 3. Reagen dan Bahan Acuan (Reference Material) Pengelolaan reagen dan reference materials harus mempunyai sistem meliputi tata cara penerimaan, identifikasi, pemisahan, pengemasan, pelabelan, penanganan, penyimpanan, dan pembuangannya. Reagen dan reference materials harus disimpan sedemikian rupa sehingga integritas dan materialnya tetap terjaga dan memperhatikan persyaratan yang diperlukan untuk pengemasan, kondisi lingkungan dan pemisahan dan material yang tidak sesuai. Reagen dan reference materials harus diberi label sesuai dengan ketentuan yang berlaku meliputi informasi yang sesuai yaitu deskripsi, konsentrasi, kemurnian, dan tanggal kadaluarsa. Laboratorium dalam menyiapkan reagen dan reference materials harus tepat dan dapat diverifikasi. Verifikasi tersebut meliputi pengukuran kandungan spesifik atau karakteristiknya atau membandingkan dengan Certified Reference Material (CRM). Laboratorium harus mempunyai rekaman yang rinci mengenai reagen dan reference material yang memerlukan verifikasi. Rekaman ini meliputi informasi mengenai : a. Pemasok, “grade” dan nomor “batch”. b. Tanggal preparasi atau verifikasi. c. Pengukuran berat, volume, tenggang waktu, temperatur, dan tekanan dan yang berhubungan dengan penghitungan. d.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pengaturan pH, sterilisasi. e. Verifikasi basil. f. Identifikasi dan personil yang terlibat. BAB VI. PERSONALIA DAN ORGANISASI LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Untuk mencapai hasil yang baik di dalam tata laksana laboratorium, diperlukan suatu organisasi dan manajemen dengan uraian yang jelas mengenai susunan, fungsi, tugas, dan tanggung jawab bagi para pelaksananya. 2. Struktur organisasi laboratorium tergantung pada beban kerja laboratorium. Namun dalam mendukung kelancaran pelaksanaan operasional maka laboratorium harus mempunyai jumlah sumber daya manusia dengan kualifikasi yang memenuhi persyaratan serta pelatihan yang dibutuhkan sesuai dengan peranannya pada laboratorium lingkungan. Contoh Struktur Organisasi laboratorium dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Kepala Laboratorium Penanggung Penanggung Penanggung Penanggung Penanggung jawab Sistem jawab jawab Teknis jawab Teknis jawab Informasi & Sistem Mutu Laboratorium Laboratorium Administrasi Dokumentasi Lingkungan Lainnya Umum Penyelia/ Penyelia/ Pengawas Pengawas Analis Pengambil Contoh Teknisi Untuk menghasilkan data yang handal, laboratorium tidak hanya memerlukan bangunan dan peralatan yang baik, tetapi juga memerlukan sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan sebagai pelaksana di laboratorium lingkungan tersebut. Untuk itu dibutuhkan adanya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di laboratorium lingkungan.

3. Pada tabel 2 bisa dilihat persyaratan sumber daya manusia laboratorium lingkungan yang harus dipenuhi dan pelatihan yang dibutuhkan. 330

BAB VII. KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA LABORATORIUM

1. Kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: a. Safety shower Minimal tersedia satu safety shower dan fasilitas pencuci mata/muka di setiap laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya, atau di laboratorium mikrobiologi. Penggunaan safety shower tidak boleh diganti dengan slang/pipa yang dapat digerakkan dengan tangan. Safety shower dan eyewash harus dapat beroperasi dan mempunyai aliran air yang konstan tanpa memerlukan operator. Letak safety shower tidak lebih dari 10 meter dari setiap titik di laboratorium. Safety shower, dan eyewash harus memenuhi standar ANSI Z358.1. b. Bak cuci tangan Laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya dan semua area kerja laboratorium biologi harus mempunyai bak cuci tangan. Lokasi harus terletak pada pintu masuk utama ke laboratorium. c. Pengumuman Keselamatan Pengumuman keselamatan terdiri dari :

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1) Daftar prosedur emergency; 2) Tulisan terang untuk bahan-bahan berbahaya. d. Tanda-tanda Keselamatan Memenuhi AS 1319. e. Tanda Bahaya dan Plakat Laboratorium harus membuat plakat untuk bahan-bahan berbahaya dan bahan-bahan berbahaya yang spesifik sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Faktor keselamatan kerja yang wajib diperhatikan dan ditangani di laboratorium meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Pengaruh bahan kimia Perhatikan penyimpanan bahan kimia yang berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan para pelaksana pengujian yang dapat mengakibatkan luka bakar, keracunan, cacat mata dan gangguan kesehatan lainnya. b. Bahaya kebakaran Hindari kemungkinan kebakaran di laboratorium yang bersumber dari listrik, ledakan akibat reaksi bahan kimia dan bahan kimia yang mudah terbakar c. Sumber bahaya lainnya Peralatan laboratorium sebagian dapat merupakan sumber bahaya dan mengakibatkan cacat fisik, oleh karena itu gunakan selalu sarana penunjang untuk keselamatan kerja di laboratorium. 3. Untuk mencegah hal-hal tersebut pada angka 2 diperlukan adanya sarana penunjang untuk keselamatan kerja di laboratorium, yaitu : a. Baju kerja (jas laboratorium), kaca mata pengamanan, sarung tangan dan gas masker dipakai ketika analis melaksanakan pengujian dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya. b. Blower merupakan penghisap gas-gas yang berbahaya dari bahan kimia ketika analis bekerja di lemari asam. c. Exhaust-fan untuk sirkulasi udara di ruang laboratorium. d. Pemadam kebakaran dan pasir digunakan ketika terjadi kebakaran di laboratorium. e. Shower merupakan sarana keselamatan bagi pekerja laboratorium ketika seorang analis terkena percikan bahan kimia ke matanya. f. Bak cuci, selain dipakai untuk mencuci peralatan gelas laboratorium juga digunakan ketika pekerja laboratorium terkena bahan kimia pada kulitnya. g. Alarm merupakan sarana peringatan adanya bahaya di laboratorium. h. Petunjuk arah ke luar ruangan laboratorium merupakan tanda yang dapat memberikan informasi bagi pekerja laboratorium untuk keluar ruangan dengan aman dan selamat ketika ada bahaya di laboratorium. i. Obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan. BAB VIII. METODA PENGUJIAN DAN KEMAMPUAN LABORATORIUM LINGKUNGAN DAN VALIDASI METODA

1. Data hasil analisis laboratorium dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara hukum apabila

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

terjamin ketelitian dan ketepatannya, oleh karena itu data hasil analisis yang dihasilkan harus objektif, representatif, teliti dan tepat serta relevan. Oleh karena itu dalam melaksanakan pengujian kualitas lingkungan, maka metode analisis yang digunakan sebaiknya merupakan metoda standar seperti: a. Standar Nasional Indonesia/SNI. b. Metoda Standar lain yang sesuai, seperti US-EPA, ASTM, APHA/AWWA dan lain-lain. Apabila dalam keperluan tertentu digunakan metode pengujian parameter lingkungan yang BUKAN STANDAR, maka hal tersebut dapat dilaksanakan asal mengacu pada sumber yang jelas dan telah dikorelasikan dengan metoda standar. 2. Laboratorium lingkungan harus mampu menganalisis parameter yang ada di peraturan perundangan-undangan dengan metode baku yang telah ditetapkan seperti disebutkan pada angka 1. Adapun parameter yang harus dianalisis terlampir pada table 4, 5 dan 6. 3. Laboratorium wajib memakai metoda dan prosedur yang tepat untuk peserta kegiatan yang berkaitan dan termasuk dalam tanggungjawabnya termasuk pengambilan contoh, penanganan, pengangkutan dan penyimpanan, penyiapan barang, taksiran ketidakpastian pengukuran dan analisis data. Metode dan prosedur tersebut harus selalu konsisten dengan ketelitian yang diperlukan dan dengan tiap spesifikasi standar yang sesuai untuk kalibrasi atau pengujian yang bersangkutan. 4. Jika pengambilan contoh merupakan bagian dari metode pengujian, laboratorium wajib memakai prosedur yang telah didokumentasikan dan teknik statistik yang sesuai untuk memilih contoh. 331

BAB IX. PENGELOLAAN LIMBAH LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Pengelolaan limbah laboratorium dapat dilakukan di lokasi laboratorium (on site laboratory) dan dibawa ke tempat pengolahan limbah. Sebelum dilakukan pengelolaan limbah, maka limbah laboratorium harus dipisahkan dalam kategori berbahaya dan beracun dan tidak berbahaya dan beracun. Hal ini untuk memudahkan dalam menentukan prosedur pengelolaan limbah yang perlu dilakukan. 2. Dalam pengelolaan limbah laboratorium diperlukan langkah-langkah penanganan limbah laboratorium yaitu : a. Penanggung jawab : kepala laboratorium bertanggung jawab atas seluruh penanganan limbah dimulai dan pengumpulan, penyimpanan dan pembuangannya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. b. Pengumpulan: pengumpulan limbah adalah bagian terpenting yang harus dilakukan agar bahaya terhadap personil laboratorium dan lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam pengumpulan limbah, perlu dilakukan identifikasi, pemisahan dan penyimpanan dalam wadah yang sesuai dengan jenis limbahnya dan diberi label. c. Pemisahan : limbah laboratorium harus dipisahkan dalam beberapa kategori yaitu : kertas, pecahan gelas, benda tajam (syringe, scalpel), limbah kimia, limbah biologi, dan radioaktif. Pemisahan atas limbah bahan berbahaya dan beracun dilakukan dengan mengacu Peraturan Pemerintah No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Peraturan Pemerintah No. 85/1999 tentang Perubahan PP. No 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya. d. Penyimpanan : lokasi penyimpanan harus disediakan untuk penyimpanan limbah sebelum dibuang. Perlu ditunjuk orang yang bertanggung jawab mengawasi keamanan tempat penyimpanan limbah, menyiapkan alat pengaman dan absorben material untuk mencegah efek yang timbul dari limbah yang disimpan (mudah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

terbakar, mudah meledak, toksik, tumpahan limbah dan lain-lain). 3. Pembuangan : pembuangan limbah harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB X. PENGENDALIAN MUTU (QUALITY CONTROL)

1. Semua pengukuran yang berperanan dalam keakuratan data hasil pengujian yang bisa digunakan secara langsung atau tidak langsung harus didasarkan pada bahan acuan, material referensi atau bahan acuan standar atau material standar lain yang punya kemampuan dalam penelusuran. 2. Laboratorium harus memelihara sertifikat dan semua material standar, alat ukur, atau bahan acuan standar yang mampu telusur. Sebagai contoh untuk bahan acuan dan alat ukur meliputi berat standar, alat volumetrik yang terspesifikasi dan thermometer. 3. Apabila mampu telusur ke standar nasional tidak dapat digunakan laboratorium harus memberikan bukti yang memuaskan dan korelasi hasil, hal ini diakui dengan mengikuti uji banding atau uji profisiensi antar laboratorium. 4. Bahan acuan hanya digunakan untuk kalibrasi dan tidak untuk tujuan lain. 5. Bahan acuan harus dikalibrasi oleh suatu badan yang mempunyai alat/bahan yang mampu telusur ke standar nasional atau internasional 6. Material standar haruslah mampu telusur ke alat pengukuran standar nasional atau intenasional, 7. Material referensi termasuk standar kalibrasi yang digunakan dalam pengukuran pada pengujian kimia harus dipersiapkan supaya pada batas pengukuran matriknya sama atau equivalen pada contoh tersebut. Matriks, sebelum ditambah analit, konsentrasinya tidak bisa dideteksi. Reagen yang digunakan dalam persiapan atau material referensi termasuk standar kalibrasi harus disertai kemurniannya. 8. Semua peralatan pengukuran dan peralatan pengujian yang mempunyai pengaruh terhadap akurasi atau validasi pengujian harus dikalibrasi dan atau diverifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk stabilitas standar pengawasan. Standar pengawasan yang digunakan untuk verifikasi akurasi harus disusun terpisah dan standar kalibrasi yang dipakai untuk menyusun kalibrasi original. 9. Prosedur kalibrasi dan pengukuran yang disediakan harus mencakup satu atau lebih dari gambaran berikut ini: a. menggunakan blanko reagen untuk membuat baseline yang dipakai dalam kalibrasi. b. menggunakan blanko metoda untuk mengatur respon analit yang dihasilkan dari pengujian contoh uji. 10. Dokumentasi prosedur yang cukup rinci untuk meyakinkan bahwa kalibrasi dilakukan dengan akurasi yang dapat ulang (repeatable), dan harus digunakan untuk seluruh kegiatan kalibrasi. 11. Laboratorium wajib menjamin mutu hasil yang diberikan setelah diperiksa lebih dahulu. Pemeriksaan ini wajib dikaji kembali setidak-tidaknya harus mencakup : a. Sistem pengendalian mutu internal dengan menggunakan metoda statistik b. Partisipasi dalam uji profisiensi atau uji banding antar laboratorium. c. Penggunaan bahan pembanding secara teratur dan/atau pengendalian mutu melekat (inhouse quality control) dengan menggunakan bahan pembanding sekunder. d. Pengujian ulang menggunakan metode yang sama atau berbeda. e.

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Pengujian kembali dari arsip contoh. f. Keterkaitan hasil uji untuk sifat yang berbeda dari satu barang. BAB XI. PENANGANAN CONTOH UJI

1. Laboratorium harus mempunyai sistem dokumentasi untuk penerimaan, identifikasi, pengepakan, pelabelan, penanganan, penyimpanan dan pembuangan contoh uji. 332

2. Sistem dokumentasi ini juga diperlukan untuk identifikasi khusus contoh uji agar tidak ada kesalahan dalam hal identifikasi contoh uji, oleh karena itu dalam berlabel harus disebutkan identifikasi khusus yang sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku. 3. Laboratorium harus mendokumentasikan prosedur untuk penerimaan, referensi dan pengamanan contoh uji. Semua prosedur itu harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sesuai perjanjian kontrak. Pada saat penerimaan contoh uji, kondisi contoh uji termasuk setiap abnormalitas atau penyimpangan kondisi contoh uji terhadap kondisi standar harus dicatat, yaitu : a. Kondisi contoh uji bisa mencakup atau berhubungan dengan kerusakan kuantitas, preparasi, pengepakan, temperatur pada waktu datang contoh dan lamanya waktu setelah pengambilan contoh uji. b. preparasi meliputi penambahan bahan kimia pengawet, mengatur kelembaban, pemisahan contoh uji untuk diujikan, homogenisasi atau subsampling. 5. Apabila ada keraguan terhadap keberadaan contoh uji untuk diuji, dimana contoh uji tidak sesuai terhadap deskripsinya, atau uji yang diminta tidak spesifik, maka laboratorium harus mengkonsultasikan kepada pelanggan untuk mendapat instruksi lebih lanjut sebelum dilakukan pengujian. 6. Laboratorium harus punya prosedur dokumentasi dan fasilitas untuk menghindari deteorisasi atau kerusakan contoh selama penyimpanan, penanganan, preparasi dan pengujian. Persyaratan yang diperlukan untuk pegepakan kondisi lingkungan dan pemisahan dari bahan-bahan lain yang tidak sesuai harus diperhatikan. Contoh harus disimpan dalam kondisi lingkungan yang khusus, dimana kondisi contoh uji harus dijaga, dimonitor dan dicatat apabila diperlukan. 7. Untuk melindungi kondisi dan integritas contoh uji atau juga untuk alasan pencatatan, pengamanan, kesahihan data hasil uji dan untuk pegujian lebih lanjut, maka laboratorium harus mampu menjamin keamanan contoh uji tersebut. Waktu penyimpanan contoh uji tidak boleh melebihi penyimpanan dalam metoda pengujian. 8. Pengaruh yang berkelanjutan dari pengujian contoh uji ini harus dijaga untuk keperluan forensik dalam upaya pembuktian kasus hukum atau untuk tujuan lain, sehingga laboratorium harus menyusun dan mendokumentasikan sistem “chain of custody” yang sesuai. Tabel 1 : Pembagian Ruang Laboratorium Lingkungan

No. Nama Barang Bagian Ruangan Ukuran / Jumlah 1. Ruang tempat penyimpanan contoh uji -Bench 1 = 90 cm 1 = 80 cm 2. Ruang Timbang - Sink p = disesuaikan dengan kebutuhan 3. Ruang analisis basah disesuaikan dengan kebutuhan

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

4. Ruang Instrumen -Area kerja/ orang 4 m25. Ruang instrumen terpisah untuk -Spektrofotometer UV/Vis -AAS -GC -TOC 6,0 m2 / unit / area kerja 7,5 m2 / unit / area kerja 6,0 m2 / unit / area kerja 7,5 m2 / unit / area kerja 6. Ruang peralatan pengambilan contoh uji disesuaikan dengan kebutuhan 7. Ruang penyimpanan bahan kimia disesuaikan dengan kebutuhan

333

Jarak minimum untuk area kerja/orang terdapat pada gambar 1 Bagian penunjang untuk kegiatan laboratorium terdiri atas : -Ruang Staf Laboratorium -Ruang Pengelolaan Limbah -Kamar Mandi/ WC -Ruang Kantin Luas ruangan untuk keperluan tersebut diatas disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan lahan

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf.

Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Utama Bapedal

ttd.

Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

334

Tabel 2 : Persyaratan Sumber Daya Manusia Laboratorium Lingkungan dan Pelatihan yang dibutuhkan

No. Jabatan Kualifikasi Jenis / Materi Pelatihan 1 Penanggung jawab Minimum D3 dalam bidang sains dan teknis dengan pengalaman minimum 5 tahun di bidang laboratorium

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(a) Pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan Lingkungan Hidup. (b) Pelatihan di bidang sistem manajemen mutu laboratorium (c) Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) laboratorium analitik 2 Koordinator / Manajer Mutu Minimum D3 dalam bidang sains dan teknik dengan pengalaman 5 tahun di bidang laboratorium analitik (a) Pelatihan audit internal laboratorium (b) Pelatihan di bidang sistem manajemen mutu laboratorium 3 Koordinator / Manajer Teknis Minimum D3 dalam bidang sains dan teknis dengan pengalaman 5 tahun di bidang laboratorium analitik (a) Pelatihan QA/QC di bidang analitik lingkungan (b) Pelatihan aplikasi statistik di bidang analitik lingkungan (c) Pelatihan uji banding laboratorium lingkungan (d) Pelatihan tentang perawatan dan kalibrasi peralatan 4 Penyelia / pengawas / supervisor Minimum SMU-IPA, SMF, SAKMA, SMAK, STM-Kimia dengan pengalaman 5 tahun sebagai analisis (a) Pelatihan QA/QC di bidang analitik lingkungan (b) Pelatihan uji banding laboratorium lingkungan (c) Pelatihan tentang perawatan dan kalibrasi peralatan 5 Analisis Pendidikan minimum SMU-IPA, SMF, SAKMA, SMAK, STM-Kimia Pelatihan analisis parameter kualitas lingkungan 6 Petugas pengambil Contoh uji Pendidikan minimum SMU-IPA, SMF, SAMAK, SMAK, STM-Kimia Pelatihan pengambilan contoh 7 Teknisi Pendidikan SMU-IPA / STM Teknik

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

(mesin, listrik) (a) Pemeliharaan dan perawatan peralatan laboratorim dan utilitas (b) Pelatihan tentang kalibrasi peralatan laboratorium (c) Pelatihan pengelolaan limbah (d) Laboratorium 8 Penanggung jawab Administrasi Pendidikan minimum SMU dengan pengalaman 5 tahun di bidang laboratorium (a) Pelatihan manajemen / Administrasi (surat menyurat, keuangan, dokumentasi, inventory) (b) Pelatihan komputer

335

Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan

No. Jenis Peralatan Keterangan I Analisis air pemukaan, air limbah dan airlaut A) Peralatan Lapangan 1 pH meter 1 buah 2 DO meter 1 buah 3 Termometer 1 buah 4 Turbidimeter 1 buah 5 Konduktivity meter 1 buah 6 Water Sampler -Horisontal 1 buah - Vertikal 1 buah 7 Current meter 1 buah 8 Stop watch 1 buah 9 theodolit 1 buah 10 Ice box 1 buah 11 Secchi dish 1 buah 12 Salino meter 1 buah 13 Nansen / Kundsen 1 buah 14 Van dorn 1 buah 15 Niskin 1 buah 16 Global Positioning system (GPS) 1 buah B) Peralatan Laboratorium 1 pH meter 1 buah 2 DO meter 1 buah 3 Termometer 1 buah 4 Turbidimeter 1 buah 5 Konduktivity meter 1 buah 6 Spektrofotometer UV/Vis 1 buah 7 Gas kromatografi (FID, ECD, FPD) 1 buah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

8 Spektrofotometer serapan atom (AAS) 1 buah 9 Total Karbon Sink (TOC) 1 buah C) Peralatan Penunjang 1 Refrigerator 1 buah 2 Lemari asam 1 buah 3 BOD inkubator 1 buah 4 Penagas air 1 buah 5 Hot plate 1 buah 6 Timbangan analitis 1 buah 7 Timbangan teknis 1 buah 8 Dsikator 1 buah 9 Perangktat tirasi 1 buah 10 Furnace 1 buah 11 Magnetic stirer 1 buah 12 Centrifuge 1 buah 13 Kyehdalh 1 buah 14 Blender / Mixer / Homogenizer 1 buah 15 Alat destruksi 1 buah 16 Oven 1 buah 17 Alat destilasi 1 buah 18 Botol BOD 20 buah 19 Aerator 3 buah 20 Alat gelas Secukupnya 336

Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan (Lanjutan)

No. Jenis Peralatan Keterangan II Analisis udara ambien, emisi dan kebisingan A. Peralatan Lapangan 1 Water Instrumen -windmater / anemometer 1 buah -hygrometer / RH meter 1 buah -termometer 1 buah -barometer 1 buah 2 Pompa vakum 1 buah 3 Gas bag 1 buah 4 Flow meter 1 buah 5 Gen set (min 2k VA) 1 buah 6 Gas sampler 1 buah 7 Dust sampler 1 buah 8 Flow meter 1 buah 9 High Volume Air Sampler (HVS) 1 buah 10 Thermokopel 1 buah 11 Inelined manometer 1 buah 12 Mercury manometer 1 buah 13 Impinger glass 4 buah 14 Probe 2 buah 15 NOx sampling bottle 4 kotak 16 SOx sampling bottle 4 kotak 17 Filter paper 4 buah B) Peralatan Laboratorium

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

1 Spektrofotometer UV/Vis 1 buah 2 GC (Getector FID dan FPD) 1 buah 3 Spektrofotometer Serapan Atom 1 buah 4 Non dispersive Infra Red Analyzer 1 buah 5 Sound LEvel Meter 1 buah 6 Sound calibrator + printer 1 buah 7 Integrated Sound LEvel meter + printer 1 buah C) Peralatan Penunjang 1 Ultra mikro balance 1 buah 2 Refrigerator 1 buah 3 Desikator 1 buah 4 Partikel meter 1 buah 5 Hot plate 1 buah 6 Destruktor 1 buah 7 Perangkata titrasi 1 buah 8 hot plate 1 buah 9 Penagas air 1 buah 10 Furnace 1 buah 11 Oven 1 buah 12 Perangkat destilasi 1 buah 13 Bunsen Burner 1 buah 14 pH meter 1 buah 337

Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan (Lanjutan)

No. Jenis Peralatan Keterangan III Analisis Mikrobiologi B -3 A. Peralatan Lapangan 1 Plankton net 1 buah 2 Bacteriological water sampel 1 buah 3 Saringan bentos 1 buah 4 Ice box 1 buah 5 botol contoh uji (polietilen dan gelas) 20 buah 6 Sekop 1 buah 7 Eichnab grab 1 buah 8 Coliwasa 1 buah 9 Thief 1 buah 10 Auger 1 buah 11 Trier 1 buah B. Peralatan Laboratorium 1 Mikroskop (monokuler dan binokuler) 1 buah 2 Counter 1 buah 3 Colony counter 1 buah 4 Sedwich raffer 1 buah 5 Tabel MPN 1 buah 6 Spektrofotmeter serapan atom (AAS) 1 buah 7 Kromatografi gas (ECD, FID, FPD) 1 buah 8 Spektrofotometer serapan atom (UV/Vis)1 buah 9 Toxicity Characteristic Leaching Produce 1 buah 10 Pensky Marten Closed Flash/seta Flash 1 buah

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

11 Kalorimetri bom 1 buah C. Peralatan Penunjang 1 Timbangan Analitis 1 buah 2 Timbangan Teknis 1 buah 3 Refrigerator 1 buah 4 Inkubator : -Aerob -Anaerob 1 buah 1 buah 5 Autoclave 1 buah 6 Lampu spiritus 1 buah 7 Centrifuge 1 buah 8 Big Essay Test 1 buah 9 Hot plate 1 buah 10 Alat bedah 1 buah 11 Evaporator 1 buah 12 Sentrifuge 1 buah 13 Oven 1 buah 14 Cawan porselin 1 buah 15 Termometer 1 buah 16 Laminar air flow 1 buah 17 bunsen burner 1 buah 18 Colony counter 1 buah 19 Counter 1 buah 20 Tabel MPN 1 buah 21 Viskometer 1 buah 22 Alat gelas Secukupnya

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, ttd. Dr. A. Sonny Keraf. Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Utama Bapedal ttd. Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

338

Tabel 4 : Kemampuan Analisis Air Sumber dan Limbah Cair

No. Parameter Teknik Peralatan Fisika 1 Bau Organoleptik Indera pembau 2 Rasa Organoleptik Indera perasa 3 Derajad keasaman pH Potensiometri pH meter 4 Jumlah zat padat terlarut Gravimetri Timbangan analitis 5 Salinitas Salinometri Salinometri 6 Kekeruhan Turbidimetri Trubidimetri 7 Suhu Pemuaian Termometer 8 Warna Kolorimetri Spektofotometer 9 Daya Hantar Listrik Potensiometri Konduktivitimeter

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kimia Anorganik 1 Aluminium Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 2 Amoniak bekas Spektofotometri Spektofotometer 3 Arsen Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 4 Barium Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 5 Besi Spektofotometri serapan atom spektofotometer serapan atom 6 Boron Spektofotmetri Spektofotometer 7 Fluorida Spektofotometri Spektofotometer 8 Fosfat Spektofotometri Spektofotometer 9 Kadmium Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 10 BOD Titrimetri Buret 11 COD Titrimetri Buret 12 Kesadahan Titrimetri Buret 13 Klorida Titrimetri Buret 14 Klorida bebas Klorometer Spektofotometer 15 Kromium valensi 4 Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 16 Mangaan Spektofotometri serapan atom Spektofotmeter serapan atom 17 Natrium Flametometri Flametometer 18 Nikel Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 19 Nitrat N Spektofotometri Spketofotometer 20 Nitrit N Spektofotometri Spketofotometer 21 Oksigen terlarut Titrimetri Buret 22 Perak Spketofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 23 Raksa Spketofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 24 RSC Titrimetri Buret 25 Salinitas Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 26 Seng Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 27 Sianida Spektofotometri Spektofotometer 28 SAF Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 29 30 Sulfida sebagai H2S Sulfat Spektofotometri Spektofotometri Spektofotometer Spektofotometer 31 Tembaga Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 32 Timbal Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom 33 Nilai Permanganat Titrimetri Buret 34 Senyawa aktif biru Spektofotometri Spektofotometer 35 Fenol Spektofotometri Spektofotometer 36 Minyak dan lemak Gravimetri Neraca analitis 37 Detergen Spektofotometri Spektofotometer Pestisida 1 DDT Kromatografi Kromatografi gas 2 Endriase Kromatografi Kromatografi gas 3 BHC Kromatografi Kromatografi gas 4 Metil partion Kromatografi Kromatografi gas 5 Malenon Kromatografi Kromatografi gas 6 Aldrin dan Dietil Kromatografi Kromatografi gas 7 Klor Kromatografi Kromatografi gas 8 Benzena Heptaklor dan Heptoklor

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

Kromatografi Kromatografi Kromatografi gas Kromatografi gas 9 Epoksi 10 Berxy (a)pyxen Kromatografi Kromatografi gas 11 Lindane (BHC) Kromatografi Kromatografi gas 12 Metoxychlor Kromatografi Kromatografi gas 13 Organofosfat Kromatografi Kromatografi gas 14 Karbamat Kromatografi Kromatografi gas 15 Toxaphene Kromatografi Kromatografi gas 16 2,4 D Kromatografi Kromatografi gas 17 1,2 dikloro ethane Kromatografi Kromatografi gas 18 1,1 diloro ethane Kromatografi Kromatografi gas 19 Hexachlorobenzene Kromatografi Kromatografi gas 20 Pentachloropenol Kromatografi Kromatografi gas 21 2,4,6 Trichloropenol Kromatografi Kromatografi gas

339

Tabel 5 : Kemampuan Analisis Udara Ambient

No. Parameter Teknik Peralatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Udara Ambient Amonia Debu Hidrogen Sulfida Hidrokarbon Karbon Monoksida Oksigen nitrogen Oksigen Sulfur dioksida Timbal Spektofotometri Gravimetri Spektofotometri Kromatografi NDIR Spektofotometri Spektofotometri Spektofotometri Gravimetri Spektofotometer

file:///G|/05%20jilid%202-air-laut-udara-tanah-gakum.txt[5/19/2009 11:42:16 AM]

High volume air sampler Spektofotmeter Kromatografi gas NDIR Analyzer Spektofotometer Spektofotometer Spektofotmeter High volume air sampler

Tabel 6 : Kemampuan Analisis Emisi

No. Parameter Teknik Peralatan Emisi 1 Amonia Spektofotometri Spektofotometer 2 Partikel Gravimteri HIgh volume air sampler 3 Hidrogen Sulfida Spektofotometri Spektofotometer 4 Hidrogen Oksida Spektofotometri Spektofotometer 5 Opasity Visual Indera penglihatan 6 Oksida Nitrogen Spektofotometri Spektofotometer 7 Hidrogen klorida Spektofotometri Spektofotometer 8 Sulfida dioksida Spektofotometri Spektofotometer 9 Klorin dan Klor Dioksida Titrimetri Buret 10 Timbal Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom 11 Raksa Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom 12 Arsen Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom 13 Antimon Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom 14 Kadmium Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, ttd Dr. A. Sonny Keraf. Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Utama Bapedal ttd Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

340

341

342