012 ekspresi edisi juni 2011 -...
TRANSCRIPT
1
Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Diterbitkan olehPPPPTK Bahasa
Kementerian Pendidikan Nasional
Keterkaitan antara Ilmu Bahasa dan Pengajaran BahasaThe Use of CALL to Acquire the VocabularyTeaching GrammarThe Implementation of Mother Tongue based Multilingual
Education Programmes in Philippines, Thailand, and ChinaPengintegrasian Education for Sustainable for Development (ESD)
ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa JermanInterferensi Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia
2011
KTTeTeEdisi 16 Tahun IX Junni
M�������� F������ B� ���
2 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
MEDIA Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa ini merupakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional,
terutama antara PPPPTK Bahasa dengan PPPPTK lain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, pendidik, dan tenaga kepen-didikan bahasa.
Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan dan pengajarannya serta kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guru bahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyum-bangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.
Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akan terbit tanpa mengubah materi pokok tulisan. Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorarium yang pantas. e
KATA JAM DAN PUKUL
masing-masing
mempunyai
makna sendiri, yang
berbeda satu sama lain.
Hanya seringkali pemakai
bahasa kurang cermat dalam
menggunakan kedua kata
itu sehingga tidak jarang
digunakan dengan maksud
yang sama.
Kata jam menunjukkan
makna ‘masa’ atau ‘jangka
waktu’, sedangkan kata pukul
mengandung pengertian
‘saat’ atau ‘waktu’. Dengan
demikian, jika maksud yang
ingin diungkapkan adalah
‘waktu atau saat’, kata yang
tepat digunakan adalah
pukul, seperti pada contoh
berikut.
Rapat itu akan dimulai 1. pada pukul 10.00.Toko kami ditutup pada 2. pukul 21.00.
Sebaliknya, jika yang
ingin diungkapkan itu ‘masa’
atau ‘jangka waktu’, kata
yang tepat untuk digunakan
adalah jam, seperti pada
kalimat contoh berikut.
Kami bekerja selama 3. delapan jam sehari.Jarak tempuh Jakarta-4. Bandung dengan kereta api sekitar dua jam.
Selain digunakan untuk
menyatakan arti ‘masa’ atau
‘jangka waktu’, kata jam
juga berarti ‘benda penunjuk
waktu’ atau ‘arloji’, seperti
pada kata jam dinding dan
jam tangan.
***
DALAM PEMAKAIAN
bahasa
Indonesia
sering kita temukan
penggunaan kata relawan dan
sukarelawan. Penggunaan
kedua kata itu menyebabkan
sebagian pemakai bahasa
mempertanyakan bentuk
manakah yang benar dari
kedua kata itu.
Dalam hal ini, kita perlu
memahami bahwa imbuhan
-wan itu berasal dari bahasa
Sanskerta. imbuhan itu
digunakan bersama kata
nomina seperti pada kata
bangsa + -wan = bangsawanharta + -wan = hartawanrupa + -wan = rupawan
Imbuhan itu menyatakan
tentang ‘orang yang
memiliki benda seperti yang
disebutkan pada kata dasar’.
Jadi, bangsawan berarti
‘orang yang memiliki bangsa’
atau ‘keturunan raja dan/
atau kerabatnya’; hartawan
‘orang yang memiliki harta’,
dan rupawan ‘orang yang
memiliki rupa yang elok’ atau
‘orang yang elok rupa’.
Dalam perkembangannya,
arti imbuhan -wan meluas.
Pada kata ilmuwan,
negarawan, dan fisikawan,
misalnya, imbuhan -wan
menyatakan ‘orang yang
ahli dalam bidang yang
disebutkan pada kata
dasarnya’. Dengan demikian,
ilmuwan berarti ‘orang yang
ahli dalam bidang ilmu
tertentu’; negarawan ‘orang
yang ahli dalam bidang
kenegaraan’; dan fisikawan
‘orang yang ahli dalam
bidang fisika’.
senaraibahasaJam dan Pukul, Relawan atau Sukarelawan?
Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku Buku Prak�s Bahasa Indonesia 2 Dendy Sugono (ed.) (Jakarta. Pusat Bahasa. 2003)
bersambung ke halaman 47
3
Pada edisi kali ini, Ekspresi me-
nyuguhkan tulisan utamanya
me nge nai pandangan Kepala PPPPTK Bahasa yang
baru terhadap institusi PPPPTK Bahasa, kinerja,
dan sumber daya manusianya.
Dalam pandangan beliau perubahan adalah
sebuah keniscayaan, lingkungan, cuaca, lembaga,
bahkan negara, tidak akan pernah luput dengan
yang namanya perubahan. Perubahan bisa terjadi
secara alamiah ataupun direncanakan. Perubahan
tidak bisa ditolak, siapa pun yang menolak perubah-
an akan ditinggalkan. Waktu adalah faktor yang da-
pat mengubah hidup, waktu berbanding lurus de-
ngan proses perubahan, tiap detiknya merupa kan
hal yang berbeda yang berlaku pada setiap hal.
PPPPTK Bahasa sebagai bagian dari keniscayaan
tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam
struktur organisasi nya. Simak penuturan Dra. Hj.
Teriska R. Setiawan, M.Ed. selaku Kepala PPPPTK
Bahasa menggantikan Kepala yang lama dalam ru-
brik laporan utama.
Artikel lain menyuguhkan kepada Anda be-
ragam tulisan mengenai bahasa secara umum dan
pembelajaran bahasa. Semua hal tersebut bisa
Anda baca lewat Ekspresi edisi kali ini. Semoga
bermanfaat. e
Senarai Bahasa
Salam Redaksi
Laporan Utama
Membangun Futurisme Bahasa [4]
Bahasa dan Sastra
Keterkaitan antara Ilmu Bahasa dan
Pengajaran Bahasa [11]
The Use of CALL to Acquire the
Vocabulary [17]
Teaching Grammar [21]
The Implementation of Mother
Tongue based Multilingual
Education Programmes in
Philippines, Thailand, and China
[28]
Pengintegrasian Education for
Sustainable for Development
(ESD) ke dalam Materi Bahan
Ajar Bahasa Jerman [36]
Interferensi Bahasa Sunda ke dalam
Bahasa Indonesia [43]
Lintas Bahasa Budaya
Serambi Foto
Pembina Kepala PPPPTK Bahasa Teriska R. Setiawan Penanggung Jawab Kabag Umum Abdul Rozak, Kasubbag Tatausaha dan Rumah Tangga Azokhigo Daeli Pemimpin Redaksi Kasatgas Protokol dan Dokumentasi Iri Agus Sudirdjo Redaktur Pelaksana Yusup Nurhidayat Redaktur Ririk Ratnasari, Mulawarni, Joko Subroto Desain Sampul dan Tataletak Yusup Nurhidayat Pencetakan dan Distribusi Naidi, Djudju, Komariah Alamat Redaksi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa Jalan Gardu,
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 Kotak Pos 7706 JKS LA Telp. (021) 7271034 Faks. (021) 7271032 Website: www.pppptkbahasa.net Email: [email protected]
daftarisi
salamredaksi
4 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
MEMBANGUN FUTURISME
KATA ORANG, SAYA INI IBARAT IKAN NYEBUR DI KOLAM, LANGSUNG SAJA SAYA JELAJAH
ISINYA. APA SAJA ISI KOLAM ITU, APAKAH DI DALAMNYA HANYA IKAN-IKAN KECIL YANG SIAP DIMAKAN PREDATOR, ATAU KEBANYAKAN IKAN PREDATOR YANG SALING SERANG? ATAU HANYA BERISI IKAN-IKAN HIAS, ATAU IKAN CAMPURAN? DAN BAGAIMANA IKAN-IKAN ITU BISA HIDUP? APAKAH HIDUPNYA BIASA SAJA ATAU BERMUTASI MENJADI LEBIH BAIK?
5
BAHASA
LAPORANUTAMA
Jadi, wajar saja apabila
saya menginginkan suatu
perubah an yang lebih baik
bagi lembaga yang saya
pimpin, maka perubahannya
harus rasional; berbasis ke-
pada data-data dan faktanya
serta analisis lingkungan
yang relevan dengan kom-
petensi dan potensi lembaga-
nya. Apa dan bagaimana cara
mengubah lembaga ini men-
jadi menjadi lebih baik?
Pertama, manajemen lem-
baga, seperti halnya P4TK
yang lain, meskipun su-
dah meraih ISO 9001:2008,
perlu diteliti lagi, apakah
betul acuan prosedur kerja
dan standar yang dibuat itu
telah dilaksanakan dengan
konsekuen dan dipahami
oleh seluruh karyawan
yang ada? Kalau belum, apa
sebabnya? Kare na setiap
prosedur kerja yang dibuat
oleh suatu unit, terkait
dengan unit kerja lain.
Berikutnya, yang merupa-
kan hal penting adalah,
dengan melihat proses dan
hasil pelatihan yang dilak-
sanakan oleh P4TK
Bahasa, apakah sesuai
dengan kebutuhan pe-
langgannya? Apakah
berkualitas? Dan apak-
ah dampak pelatihan
tersebut sesuai de ngan
persepsi mutu yang
diharapkan dari pe-
langgan luar? Pelang-
gan luar ini termasuk
siswa di sekolah yang
akan mengecap hasil
pe ningkatan kualitas
gurunya, khususnya
guru Bahasa. Meng-
apa penting dilihat
dampaknya? Karena
P4TK Bahasa ini su-
dah berdiri lebih dari
tiga puluh tahun, dan
peranannya bagi pen-
ingkatan mutu guru
bahasa sangat pent-
ing. Dalam kurun
waktu lebih dari tiga warsa
ini, kegagalan UAN rata rata
disebabkan oleh bahasa; ba-
hasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
Oleh karena itu, PPPTK
Bahasa sudah selayaknya
meme rankan dirinya un-
tuk mampu membantu
para pendidik memecahkan
masalah ini agar kualitas
siswa di bidang bahasa In-
donesia dan Inggris me-
ningkat. Berikutnya, selain
program pelatihan Bahasa
yang menjadi tugas pokok
utama lembaga ini adalah,
6 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
LAPORANUTAMA
pemberdayaan sumber daya
manusianya; perlu dipela-
jari kompetensinya, dan
kualifikasinya serta sistem
peningkatan mutunya.
Saya melihat dalam waktu
kurang lebih 6 (enam) bu-
lan ini, bahwa lembaga ini
mempunyai banyak potensi.
Setelah otonomi daerah,
banyak dinas pendidikan
daerah, yang regular me-
minta bantuan pelatihan ba-
hasa Indonesia, Inggris, dan
bahasa China. Berikutnya,
kemitraan dengan organisasi
luar seperti Japan Founda-
tion juga berkesinambun-
gan, namun masih ada kele-
mahan dalam sistem kemit-
raan tersebut. P4TK Bahasa
belum mempunyai kesiapan
dalam menetapkan model
belajar customize (taylor
made) yang berbasis kepada
kompetensi. P4TK Bahasa
baru sekadar menerima or-
der berbasis biaya yang ada,
bukan kepada hasil analisis
kompetensi.
Jadi, hal ini yang menurut
saya sangat perlu diperbaik i,
sehingga para pelanggan
tadi tinggal memilih prog-
ramnya, dan menyesuaikan
dengan latar belakang pen-
didik yang akan menjadi
peserta pelatih an. Istilah
yang paling pas kalau su-
dah ada kurikulum basis
kompetensi itu, kita su-
dah seharusnya punya ko-
defikasi diklat-diklat yang
akan bisa sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
profesi berkelanjut an (CPD
= continuous professional
development) bagi pendidik
maupun tenaga kependidi-
kan di bidang bahasa.
Untuk hal ini, mudah-mu-
dahan saja P4TK Bahasa
bisa mempersiapkan kuri-
kulum pelatihan berbasis
kompetensi ini mulai ta-
hun depan, termasuk pa-
ket modul belajarnya. Ada
prog ram yang membangga-
kan sebetul nya di lembaga
ini, seperti pelatihan ber-
basis web yang telah ber-
jalan lebih dari satu tahun
bagi guru bahasa Inggris,
yang menggunakan prog-
ram open source moodle,
meskipun mungkin perlu
ditingkatkan lagi modelnya
dan perlu dukungan yang
lebih besar lagi, karena
program ini baik dan effek-
tif bagi guru untuk belajar
mandiri, dan juga bisa di-
jangkau oleh guru di mana
pun, sehingga cost effective,
karena sebenarnya tidak
diperlukan bia ya yang besar
7
untuk P4TK mendatangkan
guru ke kampus dalam wak-
tu yang relatif terlalu lama.
Sistemnya saat ini masih off-
line dan online: tatap muka
dan juga jarak jauh.
Masalah berikutnya, ke-
mungkinannya adalah da-
lam melatih para guru,
PPPTK Bahasa lebih mene-
kankan pelatihan “Tentang
Bahasa” ketimbang “Pe-
nguasaan Berbahasa”. Ber-
bicara tentang Bahasa ada-
lah berkaitan atau sama de-
ngan belajar mengenai ilmu
bahasa, dan segala hal yang
terkait de ngan tata bahasa
dan teori bahasa.
Misalnya, kalau para guru
bahasa Indonesia hanya be-
lajar mengenai apa itu pro-
sa, puisi dan drama, dan ba-
gaimana cara mengajarkan-
nya, maka saya yakin para
guru Bahasa yang dilatih
di P4TK Bahasa lebih baik
belajar ke perguruan ting-
gi atau kepada sastrawan
saja, atau bisa belajar
melalui buku teks bahkan
melalui e-library. Karena
ini berkaitan erat dengan
kemampuan peningkatan
kognitif para guru, de ngan
cara yang lebih ba nyak
bersifat induktif ketimbang
deduktif. Sehingga, ha-
sil pelatihan dengan cara
seper ti ini saya jamin tidak
akan memberikan inspirasi
apapun terhadap sistem
Kegiatan Belajar Mengajar di
sekolah yang seharusnya ada
unsur-unsur aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan.
Kemungkinan para siswa di
sekolah akan berpikir dan
mempunyai kesan bahwa,
memang bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris itu sa-
ngat sulit dipelajari sebagai
alat komunikasi.
Sedangkan mengenai “Pe-
ngu asaan Berbahasa” ini
terkait dengan pendekatan-
pendekatan dan model
mengajar bahasa yang me-
nyenangkan dan efektif,
melalui keterampilan listen-
ing, speaking, reading, dan
writing yang memang sangat
diperlukan oleh siswanya
masing-masing dalam berko-
munikasi. Sehingga peran
P4TK Bahasa dalam hal ini
terkait erat dengan cara
meningkatkan pengetahuan
dan sekaligus keterampilan
mengajar para guru, mela-
lui strategi belajar meng-
ajar yang menarik dan tidak
membosankan, serta ber-
basis kepada fungsi bahasa
yang sesuai dengan konteks
yang ada di sekeliling siswa.
P4TK Bahasa juga harus
mampu membuat guru yang
tadinya hanya mengajar di
kelas dengan cara konven-
sional dan tradisional, men-
jadi guru yang aktif, kreatif
dan membuat suasana
kelas belajar berbasis ke-
pada kreativitas siswa.
Bahasa yang menarik
bisa di ajarkan melalui
tema yang sedang hangat
dibahas di dunia misal-
nya dikaitkan dengan isu
yang sedang trend seperti
pemanasan global, kare-
na isinya sarat dengan
kenyataan yang dihadapi
sehari-hari dan terkait
dengan kehidupan kita.
8 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Jadi, mengajarkan bahasa itu,
harus melalui pendekat an
yang kontekstual dan nyata,
bukan khayalan, se hingga
pendidik dan siswanya akan
bisa berkomunikasi dan
mengkomunikasikan hal-hal
atau masalah-masalah yang
nyata yang ada di seputar
kehidupannya dan membuat
para peserta didik berpikir
kritis terhadap masalah dan
akan mampu menghasilkan
apa yang telah dipelajarinya
menjadi suatu karya nyata
(cognitive learning becomes
productive skills): menjadi
senang belajar bahasa Indo-
nesia maupun bahasa Inggris
serta bahasa asing lainnya.
Jadi, P4TK Bahasa juga ha-
rus mampu melatih guru ba-
gaimana caranya membuat
suatu sistem pembelajaran
bahasa, yang berbasis ke-
pada penguasaan berbahasa
yang komunikatif (bahasa
terapan), bukan tentang ba-
hasa yang pada kenyataan-
nya tidak dipakai sehari-
hari oleh setiap orang dalam
berkomunikasi.
Hal berikutnya yang masih
belum dikuasai adalah
masalah perangkat teknologi
yang digunakan untuk bela-
jar bahasa. Saya sadari bah-
wa guru bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris seharus-
nya sama jumlahnya dengan
jumlah sekolah-sekolah yang
ada. Mengapa?
Pertama bahasa Indonesia
itu sebagai bahasa nasional
kita yang resmi harus diajar-
kan kepada siswa kita dan
selanjutnya bahasa Ing gris
itu merupakan satu-satunya
bahasa asing yang diberi
porsi untuk diujikan dalam
sistem ujian nasional. Jadi,
kalau P4TK Bahasa harus
melatih ratusan ribu guru
bahasa dalam waktu yang
singkat, ini me rupakan
“Mission Impossible” se-
LAPORANUTAMA
JADI, MENGAJARKAN BAHASA ITU, HARUS MELALUI PENDEKATAN
YANG KONTEKSTUAL DAN NYATA, BUKAN KHAYALAN, SE HINGGA
PENDIDIK DAN SISWANYA AKAN BISA BERKOMUNIKASI DAN
MENGKOMUNIKASIKAN HAL-HAL ATAU MASALAH-MASALAH YANG
NYATA YANG ADA DI SEPUTAR KEHIDUPANNYA DAN MEMBUAT PARA
PESERTA DIDIK BERPIKIR KRITIS TERHADAP MASALAH DAN AKAN
MAMPU MENGHASILKAN APA YANG TELAH DIPELAJARINYA MENJADI
SUATU KARYA NYATA.
9
hingga dalam rancang an
strategis P4TK Bahasa, su-
dah seharus nya pelatih an
bahasa ini bisa diikuti oleh
para guru melalui program
virtual atau berbasis IT
dan dengan sistem pelatih-
an yang dilakukan melalui
kemitraan dengan KKG dan
MGMP di daerah dan sudah
saatnya pula P4TK Bahasa
mempunyai partner seko-
lah di setiap kabupaten dan
kota, sebagai sumber belajar
bahasa, sehingga para guru
atau KKG dan MGMP tidak
perlu mendatangi P4TK Ba-
hasa yang sulit dijangkau.
Yang perlu dipersiapkan oleh
P4TK Bahasa saat ini adalah
memilih model virtual yang
sesuai bagi kebutuhan guru
bahasa, menyusun kuriku-
lum berbasis kompetensi,
me nyusun modul dan ba-
han ajar basis kompetensi,
me nyusun prosedur dan
standar belajar bahasa yang
benar, menyusun strategi
pemetaan guru bahasa.
Untuk menunjang keingin-
an tersebut di atas, saya
perlu meningkatkan kapa-
sitas dan memberdayakan
staf dan tenaga fungsional
P4TK Bahasa sehingga lem-
baga ini menjadi lembaga
yang bisa diperhitungkan
oleh lembaga-lembaga lain
yang setara. Caranya adalah
dengan memberikan kesem-
patan kepada staf untuk
kursus singkat di luar negeri
dan belajar mengenai model-
model pembelajaran bahasa,
dan berikutnya bekerja sama
dengan lembaga-lembaga
kursus yang terkenal di du-
nia kebahasaan.
Tidak kalah pen-
tingnya adalah de-
ngan mulai mem-
berikan kesempat-
an kepada tenaga
fungsional bahasa
untuk melakukan
penelitian me ngenai
masalah pembelajar-
an bahasa-bahasa
di Indonesia, selain
tentunya konsekuen
dan terus menerus
melaksanakan Anali-
sis Kebutuhan Pelatihan dan
Studi Dampak Diklat setiap
tahunnya.
Tanpa adanya ketiga hal
tersebut, pelatihan bahasa
Indonesia dan bahasa asing
lainnya bisa dijamin tidak
akan berkembang, dan
tidak sesuai dengan harapan
pencapaian mutu di ting-
“STAF DAN TENAGA
FUNGSIONAL P4TK
BAHASA PERLU DIBERI
KESEMPATAN UNTUK
MENGIKUTI KURSUS
SINGKAT DI LUAR
NEGERI DAN BELAJAR
MENGENAI MODEL-
MODEL PEMBELAJARAN
BAHASA.”
10 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
kat output sekolah. Selain
itu, kalaupun kurikulum
pelatih an basis kompetensi
sudah tersedia, dan jen-
jang pelatih an yang dibuat
otomatis terstandar, maka
suka atau tidak, para tenaga
peng ajar pun harus meng-
ikuti standar tersebut.
Misalnya, widyaiswara yang
perolehan TOEFL-nya kurang
dari 500, maka dia hanya
bisa mengajar di jenjang
pelatihan dasar, tidak bisa
mengajar ke tingkat mene-
ngah, atau yang perolehan
UKBI-nya baru semenjana,
maka dia tidak akan dibiar-
kan mengajar bahasa Indo-
nesia meskipun untuk ting-
kat dasar, karena sudah pas-
ti diragukan bidang keahlian
berbahasanya.
LAPORANUTAMA
Maka sebagai konsekuensi-
nya P4TK Bahasa perlu mem-
berikan kesempatan kepada
staf dan tenaga fungsional-
nya untuk terus melatih diri,
meningkatkan kualitasnya.
Masih banyak hal penting
yang berkaitan dengan tu-
poksi lembaga ini ke de-
pan, namun saya tidak bisa
melakukannya sendirian.
Saya dengan para unsur
pimpinan, tenaga fungsional,
dan karyawan harus bersatu
padu membangun sistem
yang lebih baik bersama-
sama, partisipatif untuk
maju, lebih transparan dalam
tata kelola dan akuntabilitas
kinerjanya, sehingga lem-
baga ini selayaknya menjadi
satu lembaga milik nasional
yang bisa diperhitungkan ke
depan, karena sudah mem-
punyai posisi yang strate-
gis sebagai satu-satunya in-
service training provider 7
(tujuh) bahasa sekaligus.
Saya pribadi selalu bersyu-
kur kepada Alloh swt, kare-
na setiap lembaga yang saya
pimpin sebenarnya sudah,
dan selalu diberi kesem patan
oleh Kementrian Pen di dikan
Nasional untuk mengembang-
kan dirinya dalam kerangka
peningkat an kualitas terus-
menerus. Jadi, kalau bukan
kita sendi ri yang mengubah
pola pikir mengenai mutu,
siapa lagi yang bisa meng-
ubah kita? e
PERUBAHAN ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN.
11
KETERKAITAN ANTARA
ILMU BAHASA DAN PENGAJARAN BAHASA
Gunawan WidiyantoStaf PPPPTK Bahasa
Menagajar di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu,
Sabah, Malaysia
etakat ini dapat dikatakan bahwa awal mula penelitian tentang keterkaitan antara ilmu bahasa dan pengajaran ba-
hasa dapat dilacak balik ke abad ke-19. Sejak saat itu, setiap penelitian yang diajukan para sarjana acapkali menjadi bahan perdebatan. Hingga tahun 1960an, tatkala keterkaitan keduanya ditinjau ulang, muncul dua sudut pandang. Pandangan yang pertama menga-takan bahwa ilmu bahasa tidaklah sepen ting seperti yang dipraanggapkan setakat ini, yakni betul-betul dianggap penting. Beber-apa ahli bahasa seperti Johnson (1967) dan Lamendella (1969) mengungkapkan ketidak-setujuannya mengenai anggapan bahwa
ilmu bahasa menjadi basis strategi pemelajaran. Lamen-della (1969) berpikir bahwa sungguh salah manakala kita meng andalkan tata ba-hasa transformasional atau teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai basis teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlu-kan dalam bidang peng ajaran bahasa bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan. Pandangan yang ke-dua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu
bahasa, tetapi dengan syarat bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk senantia-sa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan sebagai sumber yang serupa.
Levenson (1979 ) mengatakan bahwa tak ada satupun aliran analisis bahasa yang memo-nopoli kebenaran deskripsi fenomena ujaran entah itu aliran tata bahasa tradisi-onal atau tata bahasa trans-
formasional, masing-masing memiliki gayutan (relevance) secara spesifik dengan situ-asi pengajaran bahasa. Pada ga libnya dapat dinyatakan bahwa terdapat interaksi tim-bal balik antara imu bahasa dan pengajaran bahasa. Da-lam tulisan ini, terminologi pengajar an bahasa dan teori pengajaran merujuk pada pengajaran bahasa kedua. Se-jauh ini pula dapat dikatakan bahwa relasi antara ilmu ba-hasa dan pengajaran bahasa bersifat diadis. Ini bermakna, pada sisi yang satu, sebagian teori linguistik dapat dite-rapkan pada pengajaran ba-hasa, yang bermakna pula bahwa ilmu bahasa memandu perkembangan teori penga-
jaran bahasa. Pada sisi yang lain, sebuah teori pengajaran menyiratkan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat bahasa. Pertanyaan tersebut mengaitrapatkan teori penga-jaran bahasa secara langsung dengan linguistik teoretis.
Ilmu Bahasa sebagai Pe-mandu Pengajaran Bahasa
Tahun-tahun awal perang dunia (PD) kedua, ilmu baha-sa dikenali sebagai komponen penting dalam teori penga-jaran bahasa. Selama itu, Amerika Serikat memerlukan banyak prajurit yang menge-tahui bahasa-bahasa asing. Untuk memenuhi permintaan ini, sekelompok bahasawan seperti Bloomfield (1942) mulai memakai pengetahuan Linguistik untuk menganali-sis bahasa yang akan diajar-kan dan hasilnya terbukti me-muaskan. Bloomfield menya-rankan bahwa satu-satunya guru yang mangkus (effective) sebaiknya adalah seorang ba-hasawan terlatih yang dekat dengan peserta didik, kare-na guru bahasa sering kali kurang memiliki keterampil-an bahasa yang cukup, ha-nya bahasawan yang terlatih yang mengetahui bagaimana peserta didik belajar dari pe-nutur jati (native speaker) dan bagaimana mengajarkan bentuk-bentuk bahasa. Dalam konteks ini, saran Bloomfield memang tampak sedikit eks-
trim, tetapi kita harus meng-akui bahwa sebagai guru ba-hasa kita sepatutnya memiliki pengetahuan dan penguasaan yang baik tentang ilmu baha-sa, supaya kita bisa mengajar dengan baik. Sebagai contoh, dalam mengajar pelafalan, manakala kita mengetahui fonetik dengan baik, kita bisa memberi tahu peserta didik mengenai konstruksi organ artikulasi kita dan bagaimana suatu bunyi dihasilkan mela-lui sinergi antarorgan artiku-lasi itu. Kita juga dapat mem-bantu peserta didik memper-oleh pengetahuan mengenai cara mengklasifikasikan vokal dan konsonan dan cara meng-hasilkan bunyi itu secara aku-rat dengan posisi lidah yang benar. Konkretnya, hanya dengan penguasaan yang baik tentang fonetik peserta didik bisa mempelajari lafal kata dengan baik pula. Mini-mal, guru bahasa sepatutnya meng adopsi analisis bunyi ujaran ahli fonetik dan aso-siasi fonetik internasional un-tuk melatih pelafalan
Menjelang kira-kira tahun 1960, pengaruh linguistik struktural terhadap bidang pengajaran bahasa mencapai puncaknya di Amerika Seri-kat. Linguistik ini menekank-an pentingnya bahasa sebagai sistem dan menyelidiki letak unit-unit kebahasaan seperti bunyi, kata, dan kalimat da-lam sistem itu. Bersama den-gan Behaviorisme, ia memberi
12 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
basis teoretis utama pada teori audiolingual dan memengaru-hi materi pengajaran bahasa, teknik, dan pendidikan guru. Behaviorisme menghasilkan teori-teori pemelajaran dan pengajaran bahasa yang men-jelaskan bagaimana sebuah peristiwa eksternal (stimulus) menyebabkan perubahan peri-laku pada individu (response) tanpa perilaku mental apa-pun. Meskipun Behaviorisme mengabaikan aktivitas men-tal, ia menekankan penting-nya praktik dan pengulangan dalam pemelajaran bahasa, yang merupakan faktor vital dalam mempelajari bahasa asing. Berkenaan dengan hal ini, metode audiolingual da-pat diambil sebagai contoh. Metode ini menekankan: (1) pengajaran berbicara dan menyimak sebelum membaca dan menulis; (2) pemakaian dialog dan latihan (drills); (3) penghindaran pemakaian bahasa ibu di kelas. Metode ini menganggap berbicara dan menyimak sebagai keterampi-lan berbahasa paling men-dasar, yang sinkron de ngan situasi pengajaran bahasa Ing gris saat ini.
Secara spesifik, dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing supaya mampu berkomunikasi dengan orang asing. Baginya, kemahiran berbicara dan menyimak itu lebih penting daripada kema-
hiran membaca dan menulis karena ia tidak diharapkan memiliki tingkat penguasaan yang tinggi mengenai bahasa Inggris dan tujuan belajarnya cukup sederhana, yakni bah-wa tatkala ia perlu berkomu-nikasi dengan orang asing, ia bisa memahami kata-kata orang asing itu dan mengung-kapkan dirinya dengan baik.
Di Indonesia, kita mulai me-ngajar bahasa Inggris tatkala peserta didik berada di Seko-lah Dasar, meskipun mata pelajaran itu baru berstatus muatan lokal. Sebelumnya, kita lebih sering mencurah-kan perhatian pada penga-jaran tata bahasa dan hasil-nya sungguh mengecewakan, yakni bahwa sebagian besar peserta didik kita tidak bisa berbicara bahasa Inggris de-ngan baik; bahkan beberapa di antaranya tidak bisa ber-kata dengan kalimat yang lengkap. Akhir-akhir ini, kita
menekankan pentingnya ber-bicara dan menyimak dalam pengajaran bahasa Inggris dan mengadopsi metode au-diolingual di kelas. Metode ini memberi penekanan pada praktik dan pengulangan ma-teri yang telah dipelajari di kelas; ia memercayai bahwa bahasa dipelajari melalui pembentukan kebiasaan. Hal ini bermakna bahwa supaya bisa berbicara bahasa Ing-gris dengan fasih, diperlukan praktik yang konstan. Dengan demikian, dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Ing-gris, kita sepantasnya beru-paya membantu peserta didik kita agar bisa berbicara dan menyimak dengan baik kapan pun ia perlu untuk itu.
Tatkala pengaruh Struktural-isme pada ilmu pengajaran ba-hasa begitu menyeluruh dan kuat, pengaruh Tata Bahasa Generatif Transformasional (TGG) menunjukkan hal yang
13
berbeda. Pada akhir tahun 60an, terjadi perkembangan baru dalam ilmu pengajaran bahasa sebagai akibat dari dampak teori ini. Contoh yang spesifik adalah teori kognitif pemelajar-an bahasa. Teori ini muncul tatkala TGG lengket erat dengan pandangan kognitif psikologi pemelajaran bahasa. Ia berla-wanan dengan teori empirisis, yakni secara pedagogis adalah audiolingualisme, secara psikologis adalah behaviorisme, dan secara linguistis adalah strukturalisme. TGG menekankan ak-tivitas mental. Teori ini menyarankan bahwa manusia memi-liki kemampuan mempelajari suatu bahasa. Yang membuat manusia memperoleh tata aturan bahasa dan memahami atau menghasilkan jumlah kalimat yang tak terbatas adalah ke-mampuan bawaan (inborn ability). Bahasawan seperti Diller (1970) lebih mendukung teori kognitif; sementara bahasawan yang lain seperti Chastain (1976) dan Rivers (1981:25-27) ber-anggapan bahwa dua teori itu saling melengkapi dan mem-bentangkan berbedanya jenis pembelajar atau pengajar atau malah merepresentasikan berbedanya fase pemelajaran ba-hasa. Tampaknya, teori empirisis bermanfaat dan lebih cocok untuk pemelajaran dan pengajaran bahasa; sedangkan teori kognitif lebih bermanfaat dan cocok untuk analisis bahasa.
Pada tahun 1970-an, sekelompok sarjana seperti Oller (1970) dan Widdowson (1978), yang merupakan ahli bahasanya
sendiri tetapi pada saat yang sama bergulat dengan prak-tik pengajaran, memberi arah kebahasaan pada pendidikan dan pengajaran bahasa yang dianggapnya perlu. Karena dalam kedudukannya yang baik untuk menciptakan mata rantai antara teori ba-hasa dan praktik pengajaran bahasa, keduanya menekan-kan pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Minat Oller pada Pragmatik bisa dijadi-kan contoh. Oller (1970:507) menyatakan bahwa Pragmatik berimplikasi pada pengajaran bahasa; ia membatasi tujuan pengajaran suatu bahasa un-tuk mendorong peserta didik tidak hanya memanipulasi rentetean bunyi tak bermak-na, tetapi juga mengirim dan menerima pesan dalam ba-hasa. Dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, pengetahuan yang cukup ten-tang Pragmatik sungguh bisa membantu kita sebagai guru untuk mempelajari dan meng-ajar bahasa Inggris dengan baik. Sebagai contoh, dalam percakapan harian, orang se-ringkali berbicara secara tidak langsung, barangkali kita su-dah we have noticed it, tetapi tanpa pengetahuan Pragma-tik, kita tak bisa menerang-kannya dengan benar. Dengan pengetahuan Pragmatik kita bisa menerangjelaskan bebe-rapa gejala bahasa secara aku-rat, yang membuat peserta didik kita memiliki wawasan
14 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
yang lebih dalam tentang hakikat bahasa. Widdowson (1978) membatasi seperang-kat konsep yang berkontras untuk membedakan antara bahasa sebagai sistem formal dan bahasa sebagai peristiwa komunikatif. Beliau mengan-jurkan pergeseran penekanan dari pengajaran bahasa kedua sebagai sistem formal ke pe-ngajaran bahasa kedua seba-gai komunikasi. Pandangan Widdowson ini sejalan de ngan situasi pengajaran bahasa kedua di negara kita. Saat ini kita menekankan pentingnya kemampuan komunikatif pe-serta didik kita, yakni ber-kata, menyimak, dan berbin-cang alih-alih kemahiran ber-bahasa. Ini tidak bermakna bahwa kita tidak memerlukan pengetahuan tentang ilmu ba-hasa; justru sebaliknya, kita memakai teori bahasa sebagai pemandu pengajaran bahasa kita.
Ilmu Bahasa, Pengajaran Ba-hasa, dan Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan sebuah en-titas yang kompleks. Ia kon-tradiktif dan opositif. Ilmu bahasa dan pengajaran ba-hasa semestinya mempertim-bangkan kontradiksi ini. Jika tidak, ia tidak bisa member solusi yang memuaskan ter-hadap permasalahan bahasa. Karena bahasa pada hakikat-nya kompleks, yang harus di-lakukan ilmu bahasa adalah
mengidentifikasi elemen atau aspek untuk menganalisisnya. Sebagai contoh, tatkala kita berbicara tentang bahasa, kita mencoba menganalisisnya dari empat aspek: sistem bunyi, sistem gramatikal, sistem leksikal, dan sistem wacana. Dari keempat aspek itu, kita bisa melihat, termasuk atau tidak ter-masuk aspek yang mana teori pegajaran atau praktik pengajar-an bahasa kita. Secara teoretis, keempat aspek tersebut mesti dilibatkan dalam teori pengajaran kita, karena keempatnya merupakan gambaran menyeluruh tentang bahasa. Tatkala kita menganalisis setiap aspek itu, kita akan memakai teori bahasa untuk menggambarkannya, yang bermakna bahwa kita harus memepertimbangkan bagaimana ia beroperasi secara linguistis, apa maknanya secara semantis, dan bagaimana ia digunakan secara sosiolinguistis. Hanya jika bahasa dianali-sis secara sistematis, ia bisa dipelajari secara praksis. Namun, guru bahasa berharap bahwa ia mengajar bahasa secara me-nyeluruh, yang bermakna bahwa bahasa selayaknya diang-gap sebagai sebuah sintesis dalam praktik pengajaran kita. Dengan demikian, teori pengajaran bahasa yang memuaskan sepatutnya menganggap bahasa baik sebagai fitur-fitur yang terpisah maupun sebagai sebuah sintesis.
15
16 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Sebagaimana dinyatakan sebe-lumnya, bahasa adalah juga sebuah entitas yang opositif, yakni bahwa bahasa itu ter-kendali aturan (rule-governed) dan bahasa itu berdaya cipta (creative). Ia tidak hanya me libatkan tata dan keter-aturan, tetapi juga member peluang untuk berdaya cipta. Berbasis pada hal ini, praktik pengajaran bahasa atau teori pengajaran maupun teori bahasa sepatutnya memper-timbangkan keteraturan dan kemungkinan menggunakan keteraturan ini dengan berba-gai cara. Dalam praktik peng-ajaran kita, kita seharusnya mengajar peserta didik kita tata bahasa atau aturan baha-sa; di sisi lain, kita meminta peserta didik memakai bahasa
secara inovatif berbasis pada aturan itu. Dalam konteks inilah, pengajaran tata aturan bahasa sepatutnya diletakkan pada kedudukan tertinggi, karena tanpa dasar yang ko-koh tentang bahasa Inggris, sungguh berat bagi peserta didik untuk berkomunikasi secara mangkus.
Karena begitu peliknya sifat yang dimiliki bahasa, kita tidak bisa berharap banyak kepada teori pengajaran ba-hasa untuk mencakupi semua aspek bahasa. Karena kurang mungkin untuk sebuah teori bahasa mencakupi keseluruh-an bahasa, semua teori peng-ajaran bahasa mesti mengor-bankan beberapa aspek baha-sa untuk memberi penekanan
pada yang lain. Meskipun ilmu bahasa tidak bisa menyajikan sebuah penafsiran yang pasti tentang bahasa, ia bisa mem-bantu kita berpikir secara kri-tis dan konstruktif mengenai bahasa, yang memungkinkan terciptanya rancangan peng-ajaran bahasa secara praksis.
Perkara keterkaitan dual antara ilmu bahasa dan peng-ajaran bahasa sungguh pen-ting bagi pendidikan bahasa. Perkembangan yang terus-menerus dalam teori keba-hasaan dan teori pengajaran bahasa maupun perubahan konstan dalam bahasa itu sendiri menghendaki kajian mengenai bahasa secara per-manen dan relasi antara teori bahasa dan pengajaran ba-hasa. e
Pustaka AcuanBloomfield, L. (1942). Outline Guide for the Practical Study of Foreign Languages. Special
Publications of the Linguistic Society of America. Baltimore: Linguistic Society of America.
Chastain, K. (1976). Developing Second-Language Skills: Theory to Practice. Chicago: Rand McNally.
Diller, K.C. (1970). ‘Linguistic theories of language acquisition’ in Hester 1970:1-32.Johnson, M. (1967). Definitions and models in curriculum theory. Educational Theory,
17:127-40.Lamendella, J.T. (1969). On the irrelelevance of transformational grammar to second
language pedagogy. Language Learning, 19:255-70.Levenson, E.A. (1979). Second language lexical acquisition: issues and problems.
Interlanguage Studies Bulletin, 4:147-60.Oller, J.W. (1970). Transformational theory and pragmatics. Modern Language Journal,
54:504-507.Rivers, W.M. (1981). Teaching Foreign-Language Skills. Second edition. Chicago and London:
University of Chicago Press.Widdowson, H.G.. (1978). Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University
Press.
16 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
17 1177
Nowadays, the computer has played important role in all
of life, including in learning language. Computer has become a part of modern life and a tool to help the works. According to Hartoyo (2008, 11) that Computer is used for the learning process which called Computer Assisted Learning (CAL) and the sake of facilitating people who want to learn subjects, such as learning language. Computer as a machine still depends on the user. It can be useless, if the user can’t operate it. In learning process, people as user of computer isn’t required to master the material of learning, but also can operate it well to acquire the language.
Above are the important role of CAL to support learning of computer. Based on the view of Ruhlmann (1995), CAL can make the students actively, respond to questions, complete interactive tasks, and enter a personal dialogue with their electronic tutor.
Implementing of the use of computer in language learning which is needed by the learners, means developing in teaching and learning language. It indicates how the computer has a big role to enhance
Joko SukatonStaf PPPPTK Bahasa
18 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
acquisition of language. The use of computer to learn language is called Computer Assisted Language Learning (CALL). According to Son (2001, 28) that the use of the computer for vocabulary learning in term of linking CALL is effective ways to acquire the vocabulary in language. For instance, Goodfellow (1994) proposes that CALL needs to promote a deep learning, to support learning language processes and Graney and Mokhtari (1993) suggest that practice with computer-assisted learning language has benefits or advantages to acquire vocabulary.
CALL In Language Learning
Many experts believe that CALL can improve the language competence of the learners as long as they can use it more frequent to practice the tasks of its program. According to Hartoyo (2008, 27), there are a number of advantages of CALL for the language learners, for examples that it can encourage the learners to develop their reading habit; it offers any topic which can be practiced by the learners; it has also flexibility of time for the language learners to use that program. Because of the advantages of CALL, many language learners recently use that program which aimed at acquisition of language, especially the vocabulary. Several studies using computer-mediated texts demonstrated the positive effects on vocabulary learning. Based on investigating of Reinking and Rickman (1990), the reader’s vocabulary learning and comprehension would be affected by displaying texts on a computer screen. It is more interesting to learn language using CALL than books.
The Importance of Vocabulary in Language Learning
In language learning process, vocabulary is an
important part of language to understand and communicate with others. Peng (2007) argues that the most difficult for the language learners in language learning is to remember the words. Wilkins (1972) has a view of vocabulary that vocabulary is the foundation of a language in language learning and teaching. The language learners could have met difficulties to speak and read fluency. As a basic of linguistic vocabulary can be an important standard to recognize the level of language learners. According to Ellis (1995), the learners sometimes don’t use context clues properly because of their poor vocabulary knowledge and low vocabulary capacity. Moreover, Parry’s (1993) proposes that a single context hardly gives enough information for the language learner to guess the full meaning of a word.
Vocabularies Acquisition In CALL
Many experts of language argues that computer technologies can support learning in a number of ways. Many features of the computer are considered to enhance vocabularies development. According to Chun and Plass (1996), they have three studies with students in their second year of German who used Cyberbuch. The program includes various type of annotations, such as picture, text, video. The objective of this study is to explore the vocabulary learning, and the effectiveness of that program on vocabulary acquisition. Based on this study, it has result that visual language can help the language learners in language learning. It can recall new words.
According to view of Tozcu and Coady (2004), they argue that using interactive computer-based or CALL in vocabulary acquisition is more effective than traditional materials. That program could have positive implications of using CALL, especially in language classroom for enhancing of vocabulary acquisition. To enhance that, the language learners should
19
be active by doing tasks on CALL. Their increasing of vocabulary depends on their frequent practices. The more they do their tasks, the more to develop their vocabulary. The language learners should also know the instructions of the program in order to reach their goal. CALL has also a various vocabulary building program in order to stimulate the language learners to do the tasks on it.
The most important of using CALL for the language learners is to motivate them to learn language. The program of CALL is advisable for them to assist other people. CALL is defined as a device for helping the language learners to develop their learning skills in vocabulary and make best use of the strength they prefer when learning a new word. CALL has a positive aspect for the language learners and gives them more autonomy in language learning. They can learn it without instructors as long as they have time and know how to operate it well. The materials could motivate them to interact far more often.
Use CALL cannot make the language learners to have motivation to acquire the vocabulary by doing the tasks, but also can improve their language ability. CALL is only a device needed operator to run well. The operation of it
19
20 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
d e p e n d s on the learners. The language learners should try it more frequent in order to acquire more vocabularies. When the language learners can improve their vocabulary capability, they can use it in communicating with other learners and read text to understand it. The program of CALL is needed to build language learning process which focus on acquisition in target words of language. Recently CALL has significant implications to developing of language which used in all over the world by the language learners. e
ReferencesChun, D. M., & Plass, J. L. (1996a).
Effects of multimedia annotations on vocabulary acquisition. Modern Language Journal, 80, 183-198.
Ellis, R. 1995. Modified oral input and the
acquisition of word meaning. Applied
Linguistics.Hartoyo, M.A.,Ph.D.,
2008, Individual Differences : In Computer – Assisted Language Learning (CALL), Pelita Insani Semarang.
http://iteslj.org/Articles/Constantinescu-Vocabulary.html
Tozcu, A. and J. Coady. (2004). Successful Learning of Frequent Vocabulary through CALL also Benefits Reading Comprehension and Speed. Computer Assisted Language Learning,
Parry, K. 1993. Too many words: Learning the vocabulary of an academic subject. In: T. Huckin, M. Haynes & J. Coady. (Eds.), Second language reading and vocabulary learning. Norwood, NJ: Ablex Publishing Corporation, 109-129.
Son, J.-B. (2001). CALL and vocabulary learning: A review.English Linguistic Science, 7, 27-35.
Wilkins, D. A. 1972. Linguistics in language teaching. London: Edward Arnold.
21
Jodi EtmanWidyaiswara Bahasa Inggris
PPPPTK Bahasa
INTRODUCTION
In the old days people believed that grammar was central to learning language. When we learn a
foreign language, it means we learn about the grammar rules, and the success of learning a language was measured with the mastering of the rules of grammar. In other words, the emphasis of teaching grammar was on form rather than function.
Ellis (1993:5) says:
I think that grammar got a bad press in the 1980s, partly as a product of two very powerful writers and thinkers. I’m referring here to Krashen at the beginning of the 1980s and to Prabhu and his book in which appeared in 1987. Essentially, both Krashen and Prabhu were, for slightly different reasons, advancing a case against any attempts to actually control what grammar items a learner learns at any particular stage in their development. They advanced instead, the idea that, providing one can offer opportunities for meaningful communication in the classroom, grammar will be learned naturally and automatically.
Based on the two illustrations above, we realise how difficult and complex it is when we talk about language especially in teaching grammar. In the first illustration, the priority is on the form or accuracy, while in the second one it is on function or fluency.
IN RECENT YEARS, THE EMPHASIS HAS SHIFTED
AWAY FROM TEACHING GRAMMAR. TEACHERS
HAVE CONCENTRATED ON HOW PEOPLE LEARN
LANGUAGES, AND GRAMMAR BECOMES LESS
IMPORTANT. IT IS CLAIMED LANGUAGE IS FOR
COMMUNICATION. THIS WAY OF TEACHING ENGLISH
IS CALLED COMMUNICATIVE APPROACH WHEN THE
FOCUS IS ON FUNCTION RATHER THAN ON FORM.
According to Lewis and Hill (1985:81)
The teaching should maintain a balance between practices which concentrate on fluency, and those which concentrate on accuracy. On the whole, fluency practices concentrate on why a person is speaking (function) and accuracy practices on how the message is conveyed (structural form). A good language teaching programme involves both.
The purpose of the discussion reported on in the body of this paper was firstly, to describe the traditional view of grammar in language teaching. Secondly, to explore the views of Rutherford and Ellis on the role of grammar in language teaching. Thirdly, to see the relevance of these new approaches to the teaching and learning of grammar in Indonesian situation, then followed by the conclusion.
THE TRADITIONAL VIEWS OF GRAMMAR
As has been mentioned earlier that in the old days people believed that grammar was central to learning language. It is taught deductively where the rules are given first. In other words, the teachers provide the learners with the grammatical rules and explanation, then followed by examples and exercises. The learners are asked to memorize the rules and then apply them to other examples. The language is taught in isolation without giving enough contexts to expose the learners to know how the structure items are used in the language. As a result the learners are able to master the grammar rules, but unfortunately they fail to use the language in communication because they are taught about the language not to use the language. Teaching grammar in traditional conceptions seem prioritise the accuracy
rather than function and meaning. If the students make errors in learning the target language, the teachers will correct them directly. The purpose is to get the learners to produce a linguistically correct.
THE VIEWS OF RUTHERFORD AND ELLIS ON THE ROLE OF GRAMMAR.Rutherford Consciousness-Raising
“We refer here of course to the fact that the learner has to be exposed to the data from which hypothesis may be formed and meaningful generalizations drawn. This ‘exposure’ factor is a more crucial one than might be supposed and becomes even more so where the classroom is the only source of target – language data.” (Rutherford 1987:150).
Based on the quotation above we realise that in order to enable the learners to successful in language teaching, they should be exposed to the meaningful context of the target language they are learning. By doing so they can understand how a particular grammatical feature works, what it consists of in a real situation. To achieve this, the teachers should provide the learners with the right kind of materials, in the right condition, and at the right time. In other words, in designing the materials, teachers should consider whether the materials are suitable, applicable and can motivate the learners in learning. Another
important point to be
considered is the provision of the materials should be as such
22 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
that the learners are ready to understand them.
While the learners are involved in motivating materials, the teachers can analyse what language problems the learners have. Then based on the problems the teachers devise activities to raise the learners’ grammatical consciousness towards the problems. In designing the activities to raise the learners’ consciousness, the teachers should also consider that the activities will encourage the learners to solve the problems. The purpose does not intend how to teach particular grammatical constructions. It is claimed that ‘consciousness-raising’ is considered as a potential facilitator for the acquisition of linguistic competence. In relation to this,
Rutherford (1987:160) says:
The C-R instruments of learner engagement to be looked at here can be divided into those that ask the learner for a judgement or discrimination of same kind and those that pose a task to be performed or a problem to be solved. These instruments are in no sense claimed to be exhaustive, and no doubt they can be improved upon or even better ones can be devised. They are to be considered as representative of various means for raising learner consciousness to aspects of grammatical system and are not intended as suggestions about how to ‘teach’ particular grammatical constructs.
Ellis’ Integrated Theory of Instructed Learning
In this theory Ellis believes that second language knowledge is differentiated into two; explicit and implicit knowledge. In the case of the former in conscious and declarative, while in the case of the later is subconscious and procedural, the same as what Krashen (1985) claims in his ‘monitor model’; ‘acquired’ knowledge is implicit and ‘learnt’ knowledge is explicit. They are stored separately in the brain. Furthermore, Ellis claims that explicit knowledge is
derived largely from form-focused instruction, while implicit knowledge is derived largely from meaning-focused instruction. Both of them are very important for learners in learning the target language because they can facilitate learning.
In meaning – focused instruction the learners are engaged in communication when the primary effort involves the exchange of meaning and where there is no conscious effort to achieve grammatical correctness. While in form- focused the learners are engaged in activities that have been specially designed to teach specific grammatical features. In other words, in meaning- focused instruction the learners are encouraged to semantic processing while in form- focused instruction the learners are encouraged to reflect on the formal features of the language. Since the explicit and implicit knowledge are stored in different part in the brain and it seems that implicit knowledge is the primary goal of most language teaching. Then what is the role of explicit knowledge? Krashen (1982) claims that its role is extremely limited. However, in the integrated theory explicit knowledge is very important because it functions as an acquisition facilitator, enabling the learners to notice second language features in meaning- focused input. Smidt and Frota (1986 : 279, quoted by Ellis 1990 : 193) support to this view :
They claim that the learner they studied (called “R”) benefited from formal instruction because he obtained information about the structure of the target language (Portuguese), which could have been derived only with great difficulty from instruction alone. However, R did not learn everything he was taught in the sense that he was able to use it spontaneously in subsequent instruction. Rather, ‘R heard and used what he was taught if he subsequently heard it and noticed it’.
To implement this theory, the learners should be provided with meaningful activities in order to enable them to use the language communicatively.
Ellis (1993:6) suggests:
“… what I’ve been suggesting is that a language teaching programme minimally ought to consists of opportunities for using the language communicatively,
23
24 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
and by ‘using the language’ I don’t mean simply speaking or writing : I’m also talking about reading and listening. Also, a module in the language programme should seek to draw out learners’ conscious attention to problematic grammatical features, not with the expectancy that they would master these features and use them in communication immediately: but, rather, the expectancy would be that they learn what it is that they have ultimately to master.”
In order to help teachers to teach grammar communicatively, Ellis (1993) offers three alternative approaches to teaching grammar: Focused communication activities, Grammar consciousness – raising activities, and Interpretation grammar activities.
Focused communication activities: The 1. teachers provide a grammatical focus in the context of communicative activities such as, information - gap or opinion gap activities, while the learners are involved in doing the activities; a particular type of linguistic error is made, then the teacher will correct it through request for clarification. The purpose is to sort out a mis – or non – understanding. For example: if a learners says ‘I buy a new shirt yesterday’, then the teacher says ‘sorry’? or ‘uh’?. Hopefully, the learner tries to reformulate what he or she said
using the correct form. One of the advantages of this approach is that, the learners get opportunities to use the language naturally, and they can develop their fluency as well as accuracy of using the language.
According to Brumfit (1984) the communication tasks, will help to develop learners’ communicative skills and they also will contribute to learners’ linguistic development. In other words, communication tasks are important for both ‘fluency’ and ‘accuracy’. They aid fluency by enabling learners to activate their linguistic knowledge for use in natural and spontaneous language, such as when taking part in a conversation. They contribute to accuracy (i.e. linguistic competence) by enabling learners to discover new linguistic form during the course of communicating, and also by increasing their control over already acquired forms.
Grammar consciousness–raising activities.2.
The teacher provides activities which encourage learners with the help of the teacher, to try to discover a particular grammar rule, to learn about a grammar point for themselves. In other words, to get the learners to construct their own explicit grammar. For example; By
24 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
25
giving the learners with a list of sentences that illustrate two different grammatical structures or two different uses of the same structure and ask them to sort them into two sets and explain how they differ.
Interpretation grammar activities3.
The teacher provides learners with a very structured input, structured in the sense that the input would have been manipulated to contain examples of the particular grammatical structure that the teacher wanted to teach. The task would require learners to listen to this input in order to identify the meaning of the sentences containing this particular structure.
THE RELEVANCE OF THESE NEW APPROACHES TO THE TEACHING AND LEARNING OF GRAMMAR IN INDONESIAN SITUATION.
Communicative language teaching has been implemented in Indonesian junior and senior high schools since 1986. Many school teachers have been trained in order to fulfil the implementation of such an approach. Before the implementation of the PKG programme training ( Pemantapan Kerja Guru; strengthening of the work of teachers), Bahasa Indonesia was used as the medium of instruction in the high schools. The lessons were presented in a teacher – centred mixture of structural and grammar – translation techniques. The result was that after six years of learning about English most students could not use English at all to achieve communication. Based on the problem above in 1986, Indonesia set up a teacher training project called PKG to implement an innovative programme on the communicative English Language teaching at junior and senior high school level.
One way of teaching grammar introduced in
the PKG programme is discovery technique. The learners are encouraged to discover the grammar rules by themselves rather than explained by teachers.
Tomlinson (1990:31) points out:
We have been experimenting with a student active discovery approach, which has become known as EGRA, where the letters stand for Exposure, Generalization, Reinforcement, and application.
By applying this technique the learners are encouraged to construct their own explicit grammar. Another advantage of using this technique is the learners can learn and understand how the language works in context.
Referring to Hammer (1987:29) Discovery techniques on the other hand, are those where students are given examples of language and told to find out how they work – to discover the grammar rules rather than be told them. At the most covert level, this simply means that the students are exposed to the new language, with no focus of fuss, some time before it is presented. At a more conscious level, students can be asked to look at some sentences and say how the meaning is expressed and what the differences are between the sentences. As students puzzle through the information and solve the problem in front of them, they find out how grammar is used in a text and are actually acquiring a grammar rule, the advantages of this approaches are clear. By involving the students’ reasoning process in the task of grammar acquisition, we make sure that they are concentrating fully, using their cognitive powers
The grammar is presented by using the format of Exposure, Generalization, Reinforcement, and Application.
Exposure
The structure is introduced in a natural context through a written text or dialogue. At this stage the teacher should focus not on
25
26 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
the structure that is being introduced, but on helping the students to understand the information in the text.
Generalization
Here the students are led to make gene ra l i z a t i ons about the form and meaning of the structure as presented in the text. This is done through questions and tasks given to the students. The emphasis is on students discovering the rules for themselves rather than given by the teacher.
Reinforcement
This stage involves giving the students more exercises through which they can check their understanding of the rules was correct. By using different examples the students are also able to extend their understanding of how and when the structure is used.
Application
This stage gives the students the opportunity to use the structure freely through speaking or writing activity. The aim is not to force them to use the structure, but allow them to integrate what they have learnt. The focus at this stage is fluency rather than accuracy. (Adapted from managing change in Indonesian high schools By: Brian Tomlinson). (See appendix for an example of teaching structure).
Basically, these new approaches are relevant to the teaching and learning grammar at
junior and senior high school level in Indonesia, especially with Grammar consciousness- raising activities suggested by Ellis. However, to maximize the process of teaching and learning grammar in our context in the future, it seems, it will be useful to consider other approaches such as, ‘Focused communication’, and ‘Interpretation grammar activities’ to be implemented. Another point to be considered is the way the teachers help the learners solve the problems they face in learning, such as, ‘Conscious – raising’ suggested by Rutherford, because so far, what have been done by the teachers at junior and senior high school level in Indonesia when the learners have problems in learning they are led back to generalization stage again in order to develop their understanding about the form and meaning of the structure that is being introduced. While Rutherford suggests that the teachers analyse the problems the learners have during the learning taking place, and based on the problems provide activities to raise their consciousness towards the problems. However, it seems quite difficult for the teachers to provide such activities since most of them are teaching in large classes. It seems, the learners will have different problems in learning. Probably, what the teachers can do is to prioritise the big problem the learners have,
27
and based on it provide an activity to raise their consciousness towards the problem.
CONCLUSION
In this paper an attempt has been made to show how the role of grammar in language teaching in traditional conceptions differ from new approaches which are introduced by Ellis and Rutherford. Traditionally, grammar was considered as central to learning language, and it was presented deductively, where the focus was on form rather than on function. In other words, the priority was on accuracy.
Then, the emphasis has shifted away, and grammar became less important, when the communicative approach was implemented especially in the 1980s. The focus of learning language was on function rather than on form. It was believed when learners were provided with the opportunities for meaningful communication in the classroom, grammar would be learned naturally and automatically.
Nowadays, the experts realise that the role of grammar in language teaching is very important, and both form focused and meaning focused are very helpful for learners, because they can facilitate learning. The writers like Rutherford and Ellis suggest that the learners should be exposed to the real situation how the language works in context. Then encourage them to find out the form and the meaning of the particular structure is being taught. When the learners have problems in learning, the teachers should analyse the problems, then device activities to raise their consciousness towards the problems as suggested by Rutherford. It seems, there is link between the explicit and implicit knowledge, because explicit knowledge functions as an acquisition facilitator, enabling the learners to notice second language features in meaning focused input as explained by Ellis. In order to
involve the learners in meaningful activities, Ellis suggests to implement three alternative approaches such as focused communication activities, consciousness – raising activities, and interpretation grammar activities. e
REFERENCES
Brunfit, C. 1984. Communicative Methodology Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Ellis, R. 1993. Talking shop. Second language Acquistion research: how does it help teachers? ELT Journal 47/1.
Ellis, R. 1990. Instructed Second Language Acquisition. Oxford. Basil Blackwell.
Hammer, J. 1987. Teaching and Learning Grammar. London. Longman.
Krashen, S. D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Oxford : Pergamon Press.
Lewis, J. and Hill. 1985. Practical Techniques for Language Teaching. Language Teaching Publications.
Nobuyosi, J. and Ellis, R. 1993. Focused on communication tasks and second language acquisition. ELT Journal 47/3.
Prabhu, N. S. 1987. Second Language Pedagogy. Oxford: Oxford University Press.
Rutherford, W. E. 1987. Second Language Grammar: Learning and Teaching. London and New York: Longman.
Rutherford, W. and Sharwood Smith, M. (eds) 1988. Grammar and Second Language Teaching : A Book of Readings.
Smidt, R. and Frota, S. 1986. Developing basic conversational ability in a second language : A case study of an adult learner of Portuguese. In Day (1986).
Tomlinson, B. 1990. Managing Change in Indonesian High Schools. ELT Journal 44/1.
28 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
This article tries to provide information
in a nut shell on the implementation of Mother Tongue based Multilingual
Education (MTB MLE) programmes in Philippines, Thailand, and China, particularly in one area of
each country, namely Limay, Sangkhlaburi, and Shilong. These areas were visited during two MTB MLE programmes conducted by SEAMEO Secretariat in collaboration with World Bank
in Fiscal Year 2010. The programmes were Second Regional Training Workshop on MTB MLE Programmes held at SEAMEO
INNOTECH on 23 August -2 September and Study Visit to Effective and
Sustainable Multilingual Education (MLE) Programmes in Thailand on 19-24 September. The participants were representatives of six countries participating in the programmes, coming from Cambodia, Lao PDR, Malaysia, Philippines, Thailand, and Indonesia.
This article will start with the explanation on MTB MLE and MTB MLE programmes in each of the three countries initiated with the explanation about the country’s policy on mother tongue as a medium of instruction, followed by the implementation of the programme. Afterwards the lessons learned from the implementation for Indonesian context is described before the conclusion.
MTB MLE1. Language as a medium of instruction plays a significant role in teaching and learning process as it can lead to students’ comprehension. Pinnock (2008) explains that a strong and clear picture of the world
Anna Dwi Kurnia�Pininto Sarwendah
SEAMEO Regional Centre for QITEP in Language
28 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
29
and academic concepts is initiated through a language that students understand. Afterwards transfer in a second or third language can take place. Problems are likely to occur when the language used in the classrooms is something that students are unfamiliar with. According to the World bank (cited in Pinnock, 2008), the main reason for drop outs globally is students’ limited access to the language used as a medium of instruction.
Besides effecting students’ achievement, Malone (2007) points out that language barrier can also effect students’ loss of confidence as learners and their failure to learn the official language of the school. In addition, they are faced with the fact that they may be alienated from their culture, language, and community. This situation happens as students are mostly discouraged to use their mother tongue in schools and the culture depicted in the textbooks is likely not theirs.
A number of research and reports has shown that MTB MLE was an effective solution for the inclusion of the exclusion in education due to language barrier (Dumatog & Decker, 2010, World Bank, 2005 cited in Save the Children, 2007; UNESCO, 2005). MTB MLE is education using students’ first language (L1) which serves as a strong educational basis and as a bridge language to second language (L2)-school/national language- and other languages (Malone, 2007). Thus, this (L1) will be used in the initial stage of education and will remain to be used throughout the pre-primary and primary education while gradually introducing L2 or other languages (Kosonen, 2009).
UNESCO (2007) illustrates that MTB MLE enables students to be multilingual, multiliterate and multicultural due to the fact that they are exposed to two or
more languages and cultures. MTB MLE also provides a wider opportunity not only for students to participate in class but also for their families to assist their learning process. In addition, MTB MLE assists in developing students’ cognitive and support community’s efforts on culture and language revitalization (Tianmee: 2008; SIL Southeast Asia 2009).
2. MTB MLE Programme in ChinaAccording to Kosonen (2009) there are 242 languages spoken in China. With the large number, the Chinese government has rules to support the use of mother tongue in education. The policies are as follows:
“All the nationalities of China are equal” and “every ethnic minority is free to use and develop their language” – Constitution of the People’s Republic of China (PRC)
“Every citizen of China, regardless of sex, ethnic group, economic status or religious belief, has the right and obligation to education, and enjoys equal educational opportunities to meet his or her essential needs.” – The Education Law of PRC
“The standardized spoken and written Chinese language (Mandarin) based on the northern dialect and the Beijing pronouncing system, and the standardized simplified characters approved by the State Council and in common use in the whole country, shall be popularised and used as the basic language media of curriculum and instruction in schools and other educational institutions of the country. But in schools in which students of minority ethnic groups constitute the majority, the spoken and written language of the majority ethnic group or of common use by the local ethnic groups may be used as language media of curriculum and instruction.” – The Education Law of PRC
“Mandarin Chinese ought to be used for literacy. In ethnic autonomous areas, the local ethnic languages could be used as the language of instruction …” – Regulations for Illiteracy Eradication issued by the State Council of the PRC
30 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
3. MTB MLE Programmes in PhilippinesLlaneta (2010) points out that MTB MLE programmes in Philippines were initiated with the Lubuagan Programe in 1998.
With these supports, a number of MTB MLE programmes is being undergone by the Ministry of Education in collaboration with SIL (Summer Institute of Linguistics) East Asia. One of them is Bai Programme in Shilong, Yunnan Province.
SIL East Asia (2010) explains that this programme consists of two years of pre-school and the first two years of primary school. During the pre-school, Bai which is the mother tongue in the area, is used as language of instruction and in textbooks. In the second year, Chinese as L2 is gradually introduced. L2 is then continued to be introduced in primary school while maintaining the teaching of Bai.
There were two pre-school classes observed during the visit, namely kindergarten 1 and kindergarten 2. The teachers in the two classes were recruited from adult literacy classes which were conducted to improve Bai adults’ literacy skills. Literacy itself had become problems in the community as according to SIL East Asia (2010) Bais’ culture is oral and the new romanized Bai Script which had been invented in the 1950-s was never used widely. From the literacy classes, five best students were chosen to be teachers and then enrolled in teacher training programme. These teachers are minimum junior high school graduates.
Bais are known for their fondness in music and thus it is reflected in the teaching and learning process as well as textbooks and teaching medias used in the classrooms. Besides songs, materials incoporate games to engage students’ interest. According to SIL East Asia (2010) the materials also use a variety of educational activities which are purposely selected enabling students to apply them in a real life context.
30 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
31
Lilibuagan, the mother tongue in the area, was the medium of instruction in the first to third grade of primary school. Then along with the L1, L2 was used in the following grades. Llaneta (2010) illustrates that even though initially many were hesitant of the advantages of the programme, they finally saw its benefits. In fact, many teachers were eager to participate in training on MTB MLE and parents were interested in enrolling their children in schools implementing the programme. This programme has proven that MTB MLE is an effective way to overcome students’ learning problems due to language barrier.
Recognizing its importance, MTB MLE was institutionalized through Department of Education Order Number 74 on 14 July 2009 as “a fundamental educational policy and program within DepEd in the whole strectch of formal education including preschool and in the Alternative Learning System (ALS)” (Marquez & Singayan, 2010: p. 1).
One of the MTB MLE programmes currently implemented in the country is in the Kinaragan school, located in the mountainous area of the Aeta community in Limay, Bataan. This programme was opened based on the demand of parents to revitalize their culture and language to avoid children’s unfamiliarity with them. There were two classes observed during the visit. The first class was for students in grade one to three and the second class was for students in grade four to six. These classes held one time per week in July and three times per week in August were extracurricular programmes conducted after school for two hours from 3:00 to 5:00 p.m. Magbukun was used as medium of instruction based on students’ parents’ request to avoid the loss of the local language as they sensed their children’s tendency of not using the language. The lessons learned were taken from environment such as plants for herbal remedies.
32 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
4. MTB MLE Programmes in ThailandAn official policy for MTB MLE has not yet existed in Thailand, however, the Ministry of Education allows the conduct of research or pilot projects on the matter (Samoh & Prapasapong, 2010). Samoh and Prapasapong (2010) elaborate that there are 14 pilot/research projects on MTB MLE conducted in 14 schools in Thailand. One of them is Mon, a collaborative project among Foundation for Applied Linguistics, Office of Basic Education Commission (OBEC) of Ministry of Education, and Pestalozzi Children’s Foundation (PCF) in Switzerland.
Thailand's World (2010) explains that Mon is member of Mon-Khmer language as the Mons in Thailand came from Southwest China who migrated to upper Myanmar then settled in Thailand. In Central Thailand they inhabit several provinces, one of which is Kanchanaburi. The study visit itself was conducted in that province in Wat Wang Wiwekaram School which is located in Wang Ka village, Sangkhlaburi. According to Tianmee (2009), the school has 1200 students from pre-school to lower secondary school coming from the village. Like other schools in the country, this school used Thai as the language of instruction. As a result, students performed low due to the fact that most of them speak Mon in their daily lives and understand few Thai, particularly the early years students. Realizing the fact, the school principal was eager to implement the MTB
MLE programme in his school and moreover that this project was also supported by the community. The community was afraid that Mon language and culture would soon disappear due to the decreasing number of users in the community (Tianmee, 2009).
According to Foundation for Applied Linguistics (n.d.), the MTB MLE programme was initiated in 2008 for kindergarten 1 students and in every year there was a gradual increase on the education level. In the MTB MLE programme in Mon, mother tongue starts to be introduced in pre-school as a language of instruction as well as a school subject in which the focus is on listening and speaking. At this level, Thai (L2) is also inserted in the curriculum with the focus on listening. Increase on language skills in Mon and Thai take place as the students come to the next level of education. In grade 1 students are expected to be able to master all language skills in mother tongue and L2. In this level, English (L3) starts to be taught as a subject with focus on listening and the language of instruction is mon and Thai. To give clear a picture of transition from Mon to Thai and English, a transition map is provided as follows:
32 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
33
5. Lesson Learned for Indonesian Context. Indonesia has not yet run the MTB MLE programmes but using local languages as medium of instruction are not something new. There has been a study conducted in a few areas concerning the use of local languages in some rural parts in Indonesia. For example, in West Nusa Tenggara, there was a study concerning the use of Sasak, one of the local languages in the province, in a few schools by linguists of Mataram University. Some experts observed the impact of Sasak as a medium of instruction on the children’s learning achievement. The results show that students could continue to the upper level since all of them could read and write not only in Sasak but also in Bahasa Indonesia. The other findings reported students’ attitude in learning. Students became more confident, enthusiastic and independent during learning process when they learnt through their mother tongue than in National Language (Centre for Language
and Cultural Research, Mataram University, 2010).
34 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
There are, however, some challenges and issues in implementing the MTB MLE programmes, one of which is resistance which may arise from related stakeholders, such as education officials, principals, community, and even students’ parents. This is likely to occur due to the fact that they may be afraid to have these programmes run. They could think that these programmes may be against the National Education Law and the use of national language. Moreover, these stakeholders may see lesser economic benefits of learning the local language than foreign language. To overcome this issue, advocacy on the programme to the stakeholders are essential which can be done through meetings, workshops, seminars, conferences, the use of media, posters, local culture and so forth.
These challenges and issues were also addressed by the participants of the workshops organised by SEAMEO Regional Centre for QITEP in Language in four provinces, namely West Java, Yogyakarta, South Sulawesi and West Nusa Tenggara in 2010. They also pointed out the needs for teacher training and preliminary research on MTB MLE. Having research on mother tongue helps the MTB MLE developer such as teachers and language research in getting the knowledge as background information on how far mother tongue has been researched and developed in some areas. Malone (2003) explains that research can also provide information about the language attitudes and uses, goals, needs as well as problems of a community.
In regard to the lessons learned for Indonesia, MTB MLE programmes in China, Thailand and Philippines can be adapted to meet Indonesia’s needs. Thus, the programmes in the country require series of activities and involve all elements in society starting from teachers, school principals, officials of Local Education Office, Local Government, community leaders, school supervisors, parents and so forth. The programmes are likely to have a long road in background research, advocacy strategies, syllabus design, material development, teacher training and workshops. Therefore, all elements of society have important roles in realizing the MTB MLE programmes.
34 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
35
CONCLUSION
MTB MLE programmes determine the success of students not only in education but also their future. The programmes facilitate the students to learn in the language that they understand, then gradually bridge to L2 (national language) and L3. These programmes also enable students’ local culture to be preserved.
The three areas visited in the three countries during the programmes held by SEAMEO Secretariat in collaboration with World Bank in 2010 provide pictures of the implementation of MTB MLE programmes in the areas. The knowledge gained then can be used for Indonesian context, even though a long process may be needed to implement the programmes in the country. A lot of elements that determine the succes of these programmes should put into consideration such as research, advocacy, teacher training, syllabus design, material development and many more. Not to mention the supports from all levels of community are also needed. e
REFERENCESCentre for Language and Cultural Research.
(2010). The Use of Mother Tongue as Medium of Instruction in Elementary Schoold in Lombok. Mataram: Mataram University.
Dumatog, R. C., & Dekker, D. (2003). First Language Education in Lubuagan, Northern Philippines. Retrieved January 26, 2011, from http://resources.wycliffe.net/pdf/MT-Based%20MLE%20programs.pdf
Foundation for Applied Linguistics. (n.d.). Supporting Mother Tongue based Bi/Multilingual education: Mon-Thai Project. Thailand.
Kosonen, K. (2009). First Language-based Multilingual Education Can Help Those
Excluded by Language. the 12th UNESCO-APEID International Conference (pp. 1-15). Bangkok: UNESCO.
Llaneta, C. A. (n.d.). The Language of Learning: Mother Tongue-based Multilingual Education in the Philippines. Retrieved January 1, 2011, from http://mlephil.wordpress.com/2010/05/06/the-language-of-learning-mother-tongue-based-multilingual-education-in-the-philippines/
Malone, S. (2007). Mother Tongue-based Multilingual Education: Implications for Education Policy. Seminar on Education Policy and the Right to Education: Towards more equitable Outcomes for South Asia's Children, (pp. 1-8). Kathmandu.
Malone, S. (2009, June). Planning for MTB MLE: Components of Strong Programs .
Marquez, J. A., & Singayan, M. C. (2010). Country Report on Mother Tongue-based Multilingual Education (MTB MLE) Curriculum Development and Implementation in the Philippines. Manila: SEAMEO INNOTECH.
Pinnock, H. (2008). Mother tongue based multilingual education: how can we move ahead? The 1st International conference on Language Developement, Language Revitilization and Multiligual Education in Minority Communities in Asia (pp. 1-11). Bangkok: SEAMEO.
Prapasapong, B., & Samoh, U. (2010). Framework and Good Practices on Curriculum Development for MTB MLE. Quezon City, Manila: SEAMEO INNOTECH.
Save the Children . (2007). Mother Language First. Bangladesh: Save the Children UK.
SIL East Asia. (2009). Ten Year Report. Kunming : SIL East Asia.
Tienmee, W. (2008). From Theory to Practice: Mother-tongue based Bi/Multilingual Education. UNESCO/UNU 2008 Conference, (pp. 1-9).
UNESCO. (2005). First Language First: Community-based Literacy Programmes for Minority Language Contexts in Asia. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education.
UNESCO. (2007). Mother Tongue-based Literacy Programmes: Case Study of Good Practice in Asia. Bangkok: UNESCO.
36 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Pendahuluan
Pada sidang umum sesi ke-57 tahun 2002, PBB menetap-kan tahun 2005-2014 seba-gai Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Decade of Education for Sus-tainable Development). UNES-CO menjabarkan ESD sebagai
pendidikan yang memung-kinkan peserta didik untuk memperoleh keterampilan, kapasitas, nilai dan penge-tahuan yang diperlukan un-tuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Pembangun-an berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan mutu
hidup manusia, dan terutama juga mutu hidup generasi mendatang, melalui rekon-siliasi pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan per-lindungan lingkungan. Se-bagai sebuah kesatuan yang bersama-sama hidup di bumi maka setiap individu harus memiliki tanggung jawab dan komitmen bersama untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan.
Pendidikan (formal, nonfor-mal dan informal) merupakan instrumen kuat yang efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penya-daran, pembelajaran dan da-
pat untuk memobil-
isasi massa/komunitas, serta menggerak-kan bangsa ke arah kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan (more sustainably developed). ESD merupakan pendidikan yang menyisipkan wawasan dan konsep secara luas, men-dalam dan futuristik tentang
Emy Widiar�Widyaiswara Bahasa Jerman
PPPPTK Bahasa
37
perkembangan global yang mencakup hubungan sebab dan akibat, dan cara meng-atasinya.
Berdasarkan konteks ESD tersebut dan terkait dengan tanggung jawab sebagai indi-vidu terhadap keberlanjutan kehidupan maka salah satu hal yang dapat dilakukan oleh seorang pengajar bahasa Jer-man dalam kapasitasnya seba-gai pengajar adalah mengem-bangkan materi ajar bahasa Jerman yang berdimensi ESD. Tulisan ini berisi tentang sebuah model pengembangan materi ajar bahasa Jerman berdimensi ESD.
Model Pengembangan Ma-teri Ajar dengan Menginte-grasikan ESD
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (2009) menjelaskan bahwa strategi yang dapat diterap-kan agar ESD tersebar dalam
dunia pendidikan adalah menggunakan pendekatan in-tegratif bukan monolitik. Me-nilik hal tersebut materi ESD
tidak dijadikan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Materi ESD dapat diintegrasi-kan ke dalam materi mata pelajaran yang sudah ditetap-kan dalam kurikulum. Isi dari ESD tidak boleh berbeda dari isi mata pelajaran yang telah ada , tetapi isi semua mata pelajaran yang ada harus mengandung atau mentrans-formasikan/mentranslasikan ESD. Untuk mengintegrasikan materi ESD perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1. Tiga (3) Komponen ESD
Pembangunan berkelanjut-an mempertimbangkan ke tiga aspek yaitu aspek sosial-budaya, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan berkelanju-tan.
Ketiga komponen dijabar-kan ke dalam sub-sub kom-ponen berikut: (Tabel 1)
Ke-15 sub-sub komponen tersebut di atas masih be-lum operasional sehingga guru harus menerjemahkan-
nya lebih lanjut agar dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah.
2. Identifikasi SK/KD
Contoh konkrit adalah Cli-mate Change (CC) yang menjadi isu utama ESD saat ini di dunia global. The In-tergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), a consortium of several thou-sand independent scientists memprediksi kenaikan suhu bumi sekitar 1.4-5.80C pada 95 tahun akan datang. CC sangat potensial mengubah kehidupan mahkluk hidup di muka bumi. Salah satu topik yang dapat diangkat dalam rangka menghambat CC adalah kontribusi ma-nusia terhadap perubahan iklim. Topik ini mengan-dung materi-materi beri-kut:
Persepsi yang salah ten-1. tang sumber daya alam;
Gaya hidup dan pola 2. konsumsi;Perilaku dan kebiasaan.3.
Sosial-Budaya Lingkungan Ekonomi
Hak azasi manusia1. Keamanan2. Kesetaraan gender3. Keragaman Budaya 4. dan Pemahaman Lintas BudayaKesehatan5. HIV/AIDS6. Tata Kelola7.
Sumberdaya Alam8. Pencemaran9. Pembangunan Pedesaan10. Urbanisasi Berkelanjutan11. Pencegahan dan 12. Penanganan Bencana
Pengurangan Kemiskinan13. Tanggung jawab 14. PerusahaanEkonomi Pasar15.
38 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Setelah guru memahami topik tersebut di atas, maka guru mata pelajaran selan-jutnya menentukan Standar Kompetensi (SK) dan Kom-petensi Dasar (KD) dalam kurikulum mata pelajaran yang diampu yang sesuai dengan topik CC. Misal-nya, guru Bahasa Jerman di SMA Kelas XI Program IPS mengintegrasikan isu tentang “Perilaku dan Ke-biasaan” untuk mengem-bangkan bahan ajar dengan tema “Kehidupan Sehari-
hari”, sub tema “Alltagsle-ben: z.B. Einkaufen beim Lebensmittelhändler (Ke-hidupan Sehari-hari, Misal: Belanja Kebutuhan Sehari-hari)”.
Proses identifikasi SK dan KD tidak berhenti de ngan hanya menentukan SK dan KD yang sesuai den-gan peta isu CC yang dipi-lih, melainkan dilanjutkan dengan proses identifikasi keterkaitan materi ajar de-ngan isu perubahan iklim. Tabel berikut membantu
dalam proses identifikasi tersebut. (Tabel 2)
3. Lima (5) Indikator keterca-paian aspek ESD
Integrasi ESD ke dalam materi ajar harus memper-hitungkan indikator keter-capaian aspek ESD (Knowl-edge, Issue, Skill, Value, dan Perspective). (Gambar 1)
Berdasarkan lima (5) kom-ponen indikator dan terse-but arah pengembangan materi ajar dan pembelajar-
Materi Ajar (SK & KD)Hubungan keterkaitan dengan
Isu Perubahan IklimRekomendasi
Bahasa Jerman Program PilihanKelas XI Semester 2Tema: Kehidupan sehari-hariSub tema: Alltagsleben: z.B. Einkaufen beim Lebensmi�elhändler
5. Mendengarkan: Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 5.1 Mengiden�fikasi bunyi, ujaran ( kata, frasa atau kalimat ) dalam suatu konteks
dengan mencocokkan, menjodohkan dan membedakan secara tepat5.2 Memperoleh Informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari berbagai
bentuk wacana lisan sederhana secara tepat
6. Berbicara: Mengungkapkan informasi sederhana secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang Kehidupan sehari-hari6.1 Menyampaikan informasi secara lisan dalam kalimat sederhana sesuai konteks
yang mencerminkan kecakapan berbahasa yang santun dan tepat6.2 Melakukan dialog sederhana dengan lancar yang mencerminkan kecakapan
berkomunikasi dengan santun dan tepat
7. Membaca: Memahami wacana tulis berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 7.1 Mengiden�fikasi bentuk dan tema wacana sederhana secara tepat7.2 Memperoleh informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari wacana
tulis sederhana7.3 Membaca kata, frasa dan atau kalimat dalam wacana tertulis sederhana dengan
tepat
8. Menulis: Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 8.1 Menulis kata, frasa, dan kalimat dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat8.2 Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam kalimat sederhana sesuai
konteks yang mencerminkan kecakapan menggunakan kata, frasa dengan huruf, ejaan, tanda baca dan struktur yang tepat
Memiliki keterkaitan (pilih salah satu):
Langsung a. Tidak Langsung b. Tidak Terkaitc.
Jelaskan hubungannya:Perilaku dan kebiasaan belanja (pola konsum�f) yang ekologis mampu mencegah perubahan iklim
Materi �dak perlu diubah
39
an berdimensi ESD dapat dilihat pada tabel berikut: (Tabel 3)
4. Pemilihan Teks
Pemilihan teks-teks yang akan digunakan dalam pe-ngembangan materi ajar ju-ga ikut menentukan keter-capaian tujuan yang tertu-ang dalam SK/KD. Misalnya, teks yang disajikan berupa teks otentik yang ditemu-kan dalam sebuah web-site: www.essen-und-trinken.de. Dalam hal ini created text dihindari agar siswa menge-tahui situasi dan kondisi nyata di Jerman tentang pola dan perilaku belanja di negara tersebut. Unsur Landeskunde (Pengetahuan tentang Budaya) secara kontrastif menjadi karak-teristik dalam pembelajar-an bahasa Jerman dengan tujuan siswa mampu mem-bandingkan budaya Jerman dengan budaya siswa agar siswa dapat memahami bu-daya Jerman dan mengena-li dengan lebih baik budaya sendiri, khususnya tentang pola dan perilaku belanja
yang ramah lingkungan di Jerman.
Kesulitan ten-tu akan mun-cul akibat peng gunaan teks oten-tik. Apalagi
bila teks yang ditemukan sesuai dengan tema, tetapi tingkat kebahasaan tidak sesuai dengan tingkat kebahasaan siswa. Guru dapat menyederhanakan atau menu-runkan tingkat kebahasaan teks oten-tik tersebut(catatan: sumber teks tetap dicantumkan dengan mencantumkan kete rangan teks telah dipermudah (ver-einfacht). Aktivitas ini tentu mensyarat-kan guru harus memiliki kompetensi ke-bahasaan bahasa Jerman yang memadai untuk mampu menyederhanakan teks.
5. Enam (6) Pilar ESD
Proses pembelajaran terkait erat dengan materi ajar yang digunakan dalam pem-belajaran. Dengan mengacu pada karak-teristik pembelajaran yang menginteg-rasikan nilai-nilai ESD tersebut di atas maka materi ajar yang dikembangkan patut mempertimbangkan karakteristik tersebut. Menurut Arief Rachman (2005)
40 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
pengintergrasian nilai-nilai ESD ke dalam proses pem-belajaran memiliki karak-teristik sebagai berikut:
Interdisiplin dan holistik, di mana ESD bukan seba-gai mata ajar tersendiri melainkan terintegrasi pada mapel Berbasis nilai-nilai ESDBerpikir kritis dan ikut memecahkan masalah ESDMenggunakan berbagai metodepartisipasi aktif pembe-lajarMemuat isu lokal dan globalMenggunakan bahasa pengantar yang dikenal pembelajar
Terkait dengan karakter-istik pembelajaran yang mengandung nilai-nilai ESD, pengembangan materi ajar berdimensi ESD perlu mengacu pada enam (6) pi-lar ESD. (Gambar 2)
Kompetensi Berbahasa Jer-man Siswa berdimensi ESD
Pengembangan materi ajar ba-hasa Jerman berdimensi ESD akan membekali siswa tidak hanya dari segi penguasaan empat keterampilan berbahasa Jerman (mendengarkan, ber-bicara, membaca dan menulis) melainkan juga membekali siswa dengan kompetensi ESD. Contoh pengembangan materi ajar tema “Einkaufen” terse-but di atas membekali siswa
kompetensi ESD yaitu siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman pola belanja yang ramah lingkungan sehingga siswa memiliki pola pikir dan pola tindak yang lebih berwa-wasan lingkungan atau ramah lingkungan dan juga mampu mengembangkan kemampuan memilih produk-produk yang ramah lingkungan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Tema “Einkaufen” hanya menjadi salah satu contoh materi ajar yang dapat men-jadi bahan untuk memasuk-kan nilai-nilai ESD kepada siswa. Tentu tema-tema yang lain dalam kurikulum bahasa Jerman dapat dikembangkan dengan pengingtegrasian ESD ke dalam tema-tema tersebut
Materi Ajar (SK & KD)
Bahasa Jerman Program PilihanKelas XI Semester 2Tema: Kehidupan sehari-hariSub tema: Alltagsleben: z.B. Einkaufen beim Lebensmi�elhändler
5. Mendengarkan: Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 5.1 Mengiden�fikasi bunyi, ujaran ( kata, frasa atau kalimat ) dalam suatu konteks dengan mencocokkan, menjodohkan dan
membedakan secara tepat5.2 Memperoleh Informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari berbagai bentuk wacana lisan sederhana secara tepat
6. Berbicara: Mengungkapkan informasi sederhana secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang Kehidupan sehari-hari6.1 Menyampaikan informasi secara lisan dalam kalimat sederhana sesuai konteks yang mencerminkan kecakapan berbahasa yang
santun dan tepat6.2 Melakukan dialog sederhana dengan lancar yang mencerminkan kecakapan berkomunikasi dengan santun dan tepat
7. Membaca: Memahami wacana tulis berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 7.1 Mengiden�fikasi bentuk dan tema wacana sederhana secara tepat7.2 Memperoleh informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari wacana tulis sederhana7.3 Membaca kata, frasa dan atau kalimat dalam wacana tertulis sederhana dengan tepat
8. Menulis: Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 8.1 Menulis kata, frasa, dan kalimat dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat8.2 Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam kalimat sederhana sesuai konteks yang mencerminkan kecakapan menggunakan
kata, frasa dengan huruf, ejaan, tanda baca dan struktur yang tepat
41
dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang sudah dijelaskan dalam makalah ini.
Penutup
Pengembangan materi ajar yang mengintgrasikan nilai-nilai ESD ke dalamnya mem-butuhkan kompetensi guru tidak hanya dari segi keba-hasaan dan pedagogik saja, melainkan juga membutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang ESD. Meskipun de-mikian, tidak perlu menunda untuk ikut berkontribusi da-lam menjaga mutu kehidupan di bumi. Mengembangkan ma-teri ajar berdimensi ESD men-jadi bukti kepedulian guru ba-hasa Jerman dalam menyikapi permasalahan-permasalahan
Metoda Pembelajaran Indikator Metoda Evaluasi
Ac�ve Learning yang berorientasi pada keak�fan siswa dan mengembangkan berbagai bentuk interaksi belajar:
Tanya Jawab- Diskusi- Kerja berpasangan- Kerja kelompok- Presentasi- Bermain peran, - misalnya memilih barang yang ramah lingkungan
Knowledge Menemukan informasi dalam wacana lisan- berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan Sehari-hariMenemukan informasi dalam wacana tulis- berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan Sehari-hariMengungkapkan informasi secara lisan- dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang kehidupan sehari hariMengungkapkan informasi secara tertulis- dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang kehidupan sehari hari.
Penilaian selama proses belajar berlangsung
Issue Perilaku dan kebiasaan belanja yang ramah lingkungan
Skill Mampu mengembangkan perilaku dan kebiasaan belanja yang ramah lingkungan dengan memilih produk-produk yang ramah lingkungan
Value Memiliki sikap peduli terhadap lingkungan dengan - mengembangkan perilaku dan kebiasaan belanja konsumsi) yang ramah lingkunganMenghargai dan menghemat sumber daya-
Lembar evaluasi diri
Perspec�ve Pemahaman pengaruh perilaku dan kebiasaan belanja terhadap perubahan iklim dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial.
degradasi mutu kehidupan. Makalah ini diharapkan men-jadi bantuan kecil yang ber-manfaat bagi guru dalam mengembangkan bahan ajar berdimensi ESD. e
Sumber Kepustakaan
Pembekalan dan Penyiapan bahan Seminar Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (TOT Education for Sustainable Development). PPPPT Bidang Bisnis dan Pariwisata Sawangan: 10-12 Januari 2010.
Rachman, Arief. Decade of Education for Sustainable Development (DESD): Prosiding Seminar
Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan. 3 Juni 2005. Jakarta Convention Center.
Strategi Nasional Pelaksanaan ESD: Pembentukan Insan Indonesia Cerdas Komprehensif dan Kompetetif melalui Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable for Development). 2009: Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Depdiknas.
The Decade of Education for Sustainable Development at a Glance. UNESCO. ED/2005/PEQ/ESD/3.
42 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Mat
eri (
SK &
KD
)6
Pila
r PP
B Pe
njel
asan
Baha
sa Je
rman
Pro
gram
Pili
han
Kela
s XI
Sem
este
r 2
Tem
a:
Kehi
dupa
n se
hari
-har
iSu
b te
ma:
A
lltag
sleb
en: z
.B. E
inka
ufen
bei
m L
eben
smi�
elhä
ndle
r
5. M
ende
ngar
kan:
Mem
aham
i wac
ana
lisan
ber
bent
uk p
apar
an a
tau
dial
og se
derh
ana
tent
ang
Kehi
dupa
n se
hari
-har
i 5.
1 M
engi
den�
fikas
i bun
yi, u
jara
n (
kata
, fra
sa a
tau
kalim
at )
dal
am s
uatu
kon
teks
den
gan
men
coco
kkan
, men
jodo
hkan
dan
mem
beda
kan
seca
ra te
pat
5.2
Mem
pero
leh
Info
rmas
i um
um, i
nfor
mas
i ter
tent
u da
n at
au r
inci
dar
i ber
baga
i ben
tuk
wac
ana
lisan
sed
erha
na s
ecar
a te
pat
6. B
erbi
cara
: M
engu
ngka
pkan
info
rmas
i sed
erha
na s
ecar
a lis
an d
alam
ben
tuk
papa
ran
atau
di
alog
tent
ang
Kehi
dupa
n se
hari
-har
i6.
1 M
enya
mpa
ikan
inf
orm
asi
seca
ra l
isan
dal
am k
alim
at s
eder
hana
ses
uai
kont
eks
yang
m
ence
rmin
kan
keca
kapa
n be
rbah
asa
yang
san
tun
dan
tepa
t6.
2 M
elak
ukan
di
alog
se
derh
ana
deng
an
lanc
ar
yang
m
ence
rmin
kan
keca
kapa
n be
rkom
unik
asi d
enga
n sa
ntun
dan
tepa
t
7. M
emba
ca:
Mem
aham
i w
acan
a tu
lis b
erbe
ntuk
pap
aran
ata
u di
alog
sed
erha
na t
enta
ng
Kehi
dupa
n se
hari
-har
i 7.
1 M
engi
den�
fikas
i ben
tuk
dan
tem
a w
acan
a se
derh
ana
seca
ra te
pat
7.2
Mem
pero
leh
info
rmas
i um
um,
info
rmas
i te
rten
tu d
an a
tau
rinc
i da
ri w
acan
a tu
lis
sede
rhan
a7.
3 M
emba
ca k
ata,
fras
a da
n at
au k
alim
at d
alam
wac
ana
tert
ulis
sed
erha
na d
enga
n te
pat
8. M
enul
is:
Men
gung
kapk
an i
nfor
mas
i se
cara
ter
tulis
dal
am b
entu
k pa
para
n at
au d
ialo
g se
derh
ana
tent
ang
Kehi
dupa
n se
hari
-har
i 8.
1 M
enul
is k
ata,
fras
a, d
an k
alim
at d
enga
n hu
ruf,
ejaa
n da
n ta
nda
baca
yan
g te
pat
8.2
Men
gung
kapk
an in
form
asi s
ecar
a te
rtul
is d
alam
kal
imat
sed
erha
na s
esua
i kon
teks
yan
g m
ence
rmin
kan
keca
kapa
n m
engg
unak
an k
ata,
fra
sa d
enga
n hu
ruf,
ejaa
n, t
anda
bac
a da
n st
rukt
ur y
ang
tepa
t
Pem
bela
jara
n se
panj
ang
haya
tM
enga
jark
an
pola
da
n pe
rila
ku
kons
umsi
ra
mah
lin
gkun
gan
untu
k di
tera
pkan
dal
am k
ehid
upan
nya.
Berf
okus
pad
a pe
mbe
laja
rLa
�han
-la�h
an y
ang
dike
mba
ngka
n da
lam
mat
eri
ajar
m
enun
tut
sisw
a ak
�f d
alam
pro
ses
bela
jar,
mis
alny
a pr
esen
tasi
, “M
ini-P
roje
k”,
men
jela
jah
info
rmas
i di
in
tern
et,
mem
buat
pos
ter/
plak
at,
perm
aina
n, b
erm
ain
pera
n da
n se
baga
inya
.
Pend
ekat
an H
olis
�k (E
kolo
gi –
Ek
onom
i – S
osia
l/Bu
daya
)D
ari
segi
eko
logi
dan
eko
nom
i si
swa
diaj
arka
n un
tuk
men
ghar
gai s
umbe
rday
a, m
engh
emat
sum
berd
aya
yang
di
tunj
ukka
n de
ngan
kem
ampu
an m
emili
h pr
oduk
ram
ah
lingk
unga
n m
elal
ui p
erub
ahan
per
ilaku
dan
keb
iasa
an
bela
nja
yang
eko
logi
s.
Dar
i se
gi s
osia
l, si
swa
berl
a�h
beke
rja
sam
a, m
ampu
m
engh
arga
i pen
dapa
t or
ang,
dan
mem
iliki
ket
eram
pila
n un
tuk
men
gaju
kan
pert
anya
an
dan
men
geva
luas
i di
riny
a.
Dar
i seg
i bud
aya
dike
mba
ngka
n ko
ntra
s�ve
Lan
desk
unde
(p
enge
tahu
an te
ntan
g ne
gara
Jerm
an, k
husu
snya
�ng
kat
kepe
dulia
n ne
gara
Je
rman
te
rhad
ap
perm
asal
ahan
lin
gkun
gan,
dan
mem
band
ingk
an d
enga
n ne
gara
sen
diri
ag
ar
lebi
h m
emah
ami
lebi
h ba
ik
terh
adap
bu
daya
se
ndir
i).
Bera
gam
met
ode
kerj
a D
emok
ra�s
Pros
es
pem
bela
jara
n di
laku
kan
dala
m
berb
agai
be
ntuk
int
erak
si b
elaj
ar,
mis
alan
ya k
erja
man
diri
, ke
rja
berp
asan
gan,
ker
ja k
elom
pok,
dan
ple
no.
Berfi
kir
men
dala
mD
alam
mat
eri a
jar d
ikem
bang
kan
ak�fi
tas y
ang
men
untu
t si
swa
untu
k m
engk
lasi
fikas
i, m
enga
nalis
is, d
an a
khir
nya
mam
pu m
emili
h pr
oduk
ram
ah li
ngku
ngan
.
Bera
gam
per
spek
�f y
ang
berb
eda
Pem
aham
an p
enga
ruh
peri
laku
dan
keb
iasa
an b
elan
ja
terh
adap
per
ubah
an i
klim
dar
i se
gi e
kolo
gi,
ekon
omi,
dan
sosi
al,
yang
�da
k ha
nya
berp
enga
ruh
seca
ra l
okal
te
tapi
juga
glo
bal
The Training’s Material of ToT on Education for Sustainable Development: Climate Change Education Recources Project. Ditjen PMPTK. PPPPTK Bisnis dan Pariwisata Sawangan: 2-6 Juni 2009.
The Training’s Material of ToT on Education for Sustainable Development: Climate Change Education Recources Project. Ditjen PMPTK. PPPPTK Bidang Otomotif dan Elektronika Malang: 15-19 Juni 2009.
The Training’s Material of ToT on Education for Sustainable Development: Climate Change Education Recources Project. Ditjen PMPTK. PPPPTK Bisnis dan Pariwisata: 2-6 Juni 2009.
43
PengantarMasyarakat Indonesia,
baik secara kultural maupun secara sosiolinguistik meru-pakan masyarakat yang maje-muk. Betapa tidak, Indonesia terdiri atas beratus-ratus suku bangsa dengan segala karak-teristik budaya yang men-jadi ciri masing-masing suku bangsa tersebut.
Dilihat dari sudut keba-hasaan, suku-suku bangsa di Indonesia pada umumnya memiliki bahasa daerah sendi-ri-sendiri yang pada umumnya pula menjadi bahasa ibu. Se-bagai contoh, kita mengenal bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Goron-talo, bahasa Bugis, bahasa Be-tawi, dan lain-lain.
Di samping memiliki baha-sa daerah sebagai bahasa ibu (B1), bangsa Indonesia memi-liki bahasa Indonesia yang berkedudukan dan berfungsi sebagai bahasa nasional, ba-hasa resmi negara, dan seba-gai bahasa persatuan. Kondisi seperti inilah yang menyebab-kan bangsa Indonesia ter-
masuk masyarakat dwibaha-sawan atau masyarakat yang menguasai dua bahasa. Seba-gaimana dikemukakan oleh Sus Naban (1986) bahwa “Ke-dwibahasaan seseorang ialah kebiasaan orang memakai dua bahasa dan penggunaan ba-hasa itu secara bergantian.” Mackey (1962) mengatakan, bahwa “kedwibahasaan dapat dianggap sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur” (dalam Tari-gan, 1988).
Bagi masyarakat Indone-sia, BI dipergunakan sdebagai alat pengantar intrabudaya dan intradaerah dalam ruang lingkup suku bangsa yang bersangkutan, sedangkan B2 dipergunakan sebagai alat perhubungan yang bersifat nasional, antarsuku bangsa yang satu dengan suku bang-sa yang lain.
Bahkan, pada lingkungan masyarakat tertentu, misal-nya masyarakat terpelajar, tidak sedikit yang menguasai lebih dari dua bahasa, yakni selain menguasai bahasa dae-
INTERFERENSI BAHASA SUNDA
KE DALAM BAHASA INDONESIA
Abd Rohim HSWidyaiswara Bahasa Indonesia
PPPPTK Bahasa
Interferensi yaitu
masuknya suatu sistem
bahasa tertentu ke dalam
sistem bahasa yang lain.
44 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
rah (B1) dan bahasa Indonesia (B2) juga menguasai berbagai bahasa asing (B3). Dengan de-mikian, kelompok masyarakat Indonesia tertentu menguasai lebih dari dua bahasa atau multibahasa (multilingual).
Pada masyarakat yang menguasai lebih dari satu ba-hasa sangat mungkin terjadi sentuh bahasa atau kontak antarbahasa yang dikuasai itu. Kasus inilah yang me-nyebabkan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain sa-ling mempengaruhi dalam pemakaiannya, baik bersi-fat positif maupun bersifat negatif (interferensi).
Interferensi Istilah interferensi menu-
rut Kamus Linguistik (Krida-laksana, 1984) adalah ‘meru-pakan penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individu-al dalam suatu bahasa.”
Alwasilah (1985) memberi-kan batasan interferensi ber-dasarkan rumusan Hartman dan Stork, yaitu “bahwa in-terferensi sebagai kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatau bahasa terha-dap bahasa lain mencakupi mengucapan satuan bunyi, tatabahasa, dan kosakata.
Rusyana (1984) memberi batasan interferensi “sebagai pengambilan suatu unsur dari suatu bahasa yang diperguna-kan dalam hubungan dengan
bahasa lain, penerapan dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa, penyimpangan yang terjadi pada tuturan seseorang seba-gai akibat pengenalan akan dua bahasa atau lebih.
Interferensi dapat pula dikatakan sebagai alih kode yang negatif. Sus Nababan (1986) memberi batasan Alih Kode ialah mengganti bahasa yang digunakan oleh sese-orang yang bilingual; umpa-manya dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia; dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing, dan sebagai nya. Sebagai alih kode negatif, tentunya interferensi bersifat negatif pula.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa interfe-rensi yaitu masuknya suatu sistem bahasa tertentu ke da-lam sistem bahasa yang lain.
Jenis-Jenis InterferensiSebagaimana yang di-
jelaskan sebelumnya, interfe-rensi adalah masuknya suatu sistem bahasa tertentu ke da-lam sistem bahasa yang lain. Ini memberi penjelasan bah-wa interferensi dapat terjadi pada semua tataran gramatik (komponen kebahasaan).
Rusyana (1984) menjelas-kan, bahwa “interferensi dapat terjadi dalam bidang-bidang fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis.” Se-dangkan Mustakim (1994) selain tataran sebelumnya, juga menambahkan kasus in-
Berdasarkan sifatnya,
kita dapat mengenali
interferensi atas tiga
macam yaitu interferensi
aktif, pasif, dan
variasional.
44 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
45
terferensi dapat terjadi pada tataran semantik.
Berdasarkan sifatnya, kita dapat mengenali interferensi atas tiga macam yaitu inter-ferensi aktif, pasif, dan varia-sional. Interferensi aktif yaitu adanya kebiasaan dalam ber-bahasa daerah (B1) dipindah-kan ke dalam bahasa kedua (B2). Interferensi pasif yaitu penggunaan beberapa bentuk B1 dalam pemakaian B2 kare-na bentuk tertentu tidak ter-dapat dalam B2. interferensi variasional adalah kebiasaan menggunakan ragam bahasa tertentu ke dalam bahasa yang lain.Contoh Kasus (Interferensi Bahasa Sunda ke dalam Ba-hasa Indonesia)1) Kasus Interferensi Tataran
Fonologi/Bunyi (lafal)Interferensi tataran bunyi
(lafal) yaitu masuknya sistem bunyi bahasa Sunda ke dalam sistem bunyi bahasa indone-sia.
Pada pemakai bahasa Indo-nesia yang berasal dari daerah Priangan sering terjadi tidak adanya pembeda bunyi /p/ dengan bunyi /f/ atau /v/, bunyi /sy/ dan /s/.
Contoh:/fokus/ diucapkan /pokus//televisi/ diucapkan /telepisi//syarat/ diucapkan /sarat//vaksin/ diucapkan /paksin/
2) Kasus Interferensi Tataran MorfologiPada bidang morfologi,
proses sistem morfologis
(proses pembentukan kata) pada penutur bahasa Indone-sia yang berasal dari daerah Sunda terjadi interferensi seperti contoh berikut:ngopi, ngetik, ngantor, ngobyek.
Dalam bahasa Sunda dike-nal prefiks (awalan) ng- atau nga- yang memiliki fungsi sama dengan afiks meN- da-lam bahasa Indonesia. Kata-kata ngantor, ngopi, nge-tik, dan ngobyek merupakan penggabungan sistem afiks bahasa Sunda yang digabung-kan dengan kata-kata bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Indonesia bentukan tersebut seharusnya: berkantor (me-ngantor), mengopi, mengetik, mengobyek.
Contoh lainnya, seperti pada kata nusuk, nabrak, nu-lis seperti pada kalimat:
- Penjahat itu nusuk perut penghuni rumah itu.
- Bus itu nabrak sepeda mo-tor.
- Adik sedang nulis surat un-tuk paman di kota.
Dalam bahasa Sunda terda-pat afiks meN- dalam bahasa Indonesia. Bentukan tersebut seharusnya:
- Penjahat itu menusuk perut penghuni rumah itu.
- Bus itu menabrak sepeda motor.
- Adik sedang menulis surat
untuk paman di kota.
3) Kasus Interferensi Tataran KosakataBentuk lain kasus interfe-
rensi yaitu masuknya kosaka-ta bahasa daerah (Sunda) ke
Interferensi bahasa
Sunda ke dalam bahasa
Indonesia dapat terjadi
dalam tataran fonologi, morfologi
dan kosakata, serta tataran
sintaksis.
Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
dalam bahasa Indonesia. Tentunya, hal ini terjadi pada penutur bahasa Indonesia yang berasal dari daerah Priangan.
Sebagai contoh kasus, perhatikan cuplik-an dialog penutur bahasa Indonesia yang be-rasal dari Priangan berikut ini (diamati pada tanggal 5 Mei 2008, di PPPPTK Bahasa).
”Kemana saja, Yi? Akang jarang melihat, naha sibuk?’”Wah,... kayaknya mah punya proyek. Bagi-bagi atuh, jangan sibuk sendiri, nggak apa-apa Akang mah dapat yang becek-becek juga kalau
diajak mah.”
Kalau kita amati cuplikan dialog tersebut, kita akan menemukan beberapa kosakata ba-hasa Sunda, yang masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Kata-kata yi (Ayi = Adik), (Akang = Kakak), mah, atuh adalah kosakata bahasa Sunda.
4) Kasus Interferensi Tataran SintaksisKasus interferensi pada tataran sintaksis
dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indone-sia dapat dilihat contoh kasus-kasus berikut ini.
Tataran FraseSaya berangkat dengan ibuhari keduanya
hari besoknya
Tiga frasa tersebut, memiliki konstruksi frase bahasa Sunda. Frase dengan ibu dalam bahasa Sunda jeung Ema termasuk ke dalam konstruksi frase eksosentrik direktif (frasa yang berpreposisi).Preposisi jeung berarti de-ngan (Djajasudarman, 1996).
Dalam bahasa Indonesia konstruksi frase dengan ibu tidak tepat, sebab kata kete-rangan dengan menunjukkan makna kete-rangan alat, mi salnya dengan pisau, dengan pistol. Frase dengan ibu tersebut, seharusnya bersama ibu.
Frase hari besoknya terinterferensi frase bahasa Sunda poe isukna. Dalam bahasa Sunda ditemui bentukan yang lain, poe beurangna, poe sorena, poe peutingna. Dalam
bahasa Sunda afiks –na tidak melekat pada unsur atribut poe, sedangkan dalam bahasa Indonesia –nya melekat pada unsur atribut hari. Poe (BS) = hari (BI).
Dalam bahasa Indonesia: siang + harinya = siang hari nya
Dalam bahasa Sunda: poe + isukna= poe isukna
Simpulan Dari uraian tersebut, dapat ditarik bebera-
pa simpulan sebagai berikut:Interferensi adalah masuk nya sistem baha-
sa tertentu ke dalam sistem bahasa yang lain pada pemakaian bahasa yang dwibahasawan (bilingual).
Pada penutur bahasa Indonesia yang be-rasal dari daerah Priangan, banyak terjadi interfe rensi bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia. Interferensi dimaksud dapat terjadi dalam tataran fonologi, morfologi dan kosaka-ta, serta tataran sintaksis. e
DAFTAR PUSTAKAAl-Kasimi, Ali M. 1977. Linguistics and
Billingual Dictonary. Leinden: E.J. Brill.Alwasilah, A. Chaidar. 1985. Sosiologi Bahasa.
Bandung: Angkasa.Depdikbud, 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Djajasudarman.1996. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: HPBI dan Yayasan Pustaka Wina.
Kridalaksana, Harimukti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik. Surakarta: Henary Offset.
Tarigan, Hanry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Yus Rusyana dan Samsuri. 1984. Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
46 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
47
Pada kata seperti olahragawan, peragawan, dan usahawan, imbuhan -wan berarti ‘orang yang berprofesi dalam bidang yang disebutkan pada kata dasar’. Jadi, olahragawan berarti ‘orang yang memiliki profesi dalam bidang olahraga’; peragawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang peragaan’; dan usahawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang usaha (tertentu)’.
Pada contoh itu terlihat bahwa imbuhan -wan pada umumnya dilekatkan pada kata benda (nomina), seperti bangsa, harta, ilmu, olahraga, usaha, dan peraga. Imbuhan -wan tidak pernah dilekatkan pada kata kerja (verba).
Berdasarkan kenyataan itu, penggunaan imbuhan -wan pada kata relawan dipandang tidak tepat. Hal itu sama kasusnya dengan penambahan -wan pada kata kerja pirsa yang menjadi pirsawan. Dalam hal ini pilihan bentuk kata yang benar adalah pemirsa, yaitu orang yang melihat dan memperhatikan atau menonton siaran televisi.
Kata sukarelawan mengandung pengertian ‘orang yang dengan sukacita melakukan sesuatu tanpa rasa terpaksa’. Kata sukarelawan ini berasal dari kata dasar sukarela dan imbuhan -wan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:970) pun, bentukan kata yang ada adalah sukarelawan, sedangkan kata relawan tidak ada. Oleh karena itu, kata yang sebaiknya kita gunakan adalah sukarelawan, bukan relawan. e
sambungan dari halaman 2
Jam dan Pukul,
Relawan atau Sukarelawan?
Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku Komunikasi Jenaka karya Dr. Deddy Mulyana, M.A. (Bandung. Remaja Rosdakarya. 2003)
PANTS
Banyak perbedaan arti kata yang sama di antara bahasa Inggris di Amerika dan di
Inggris (British) yang bila salah arti bisa menjadi sebuah adegan yang lucu. Contohnya adalah kata pants. Dalam bahasa Inggris Amerika kata itu berarti celana, sedangkan dalam bahasa Inggris British kata pants artinya lebih spesifik lagi yaitu celana dalam. Perbedaan inilah yang membuat Brian, orang Amerika asli mengalami kesulitan ketika berada di London, Inggris.
Ceritanya begini, Brian adalah remaja Amerika yang bisa dibilang cukup beruntung. Waktu liburan musim panas, ia diizinkan oleh orang tuanya untuk jalan-jalan ke Inggris selama dua minggu bersama adiknya, Matt. Sebagai remaja yang cuek, Brian hanya membawa tas kecil berisi beberapa helai baju, dua potong celana, dan tentunya celana dalam secukupnya. Ia berpikir bahwa ia hanya berada di sana selama dua minggu dan biasanya juga satu celana bisa digunakan selama kurang lebih satu minggu, jadi untuk apa ia membawa pakaian banyak.
Tapi sial baginya, ternyata sewaktu turun dari pesawat tasnya terkena tumpahan jus anggur sehingga terlihat ada noda ungu yang cukup lebar. Semua baju dan celananya yang kebetulan diletakkan di bagian atas tas miliknya ikut terkena. Sedangkan semua celana dalamnya selamat karena diletakkan di bagian bawah tas. Tanpa pikir panjang lagi, sesampainya di hotel ia langsung mencari department store yang terdekat.
Setelah mendapat beberapa potong baju, ia lalu bertanya letak bagian celana pria kepada seorang penjaga toko, “Where is the men’s pants section?”
Si penjaga toko langsung membawanya ke bagian celana dalam pria sambil berkata dengan logat Inggris yang kental, ”Here you are Sir. Men’s pants.”
lintasbudayabahasa
47
48 Edisi 16 Tahun IX Juni 201148 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Tentu Brian menjadi amat bingung, ia meminta celana bukan celana dalam.
“No, I mean pants,” kata Brian.
Si penjaga toko yang merasa dirinya benar langsung membalas, “Yes Sir, these seem like pants to me, Sir.”
Brian yang mulai kesal lantas menegaskan, “I need pants, not underwear... pants!”
Si penjaga toko sambil menunjuk ke bagian BH wanita berkata, “Yes my good Sir... These are pants for you... those are underwear... I don’t quite think you’ll be needing those, Sir.”
Setelah sekian lama Brian baru menyadari maksud si penjaga toko. Ia pun tidak kekurangan akal, “Aaaaa... where are these?” sambil menunjukkan celana yang dipakainya.
Si penjaga toko pun sadar dan berkata, “Ooooo... trousers... so that’s
what you mean,” sambil menunjuk ke bagian celana panjang pria. []
BEFORE
Teman saya mempunyai seorang sahabat pena
yang berasal dari sebuah kota kecil di Prancis. Ia bernama Alain, seorang pemuda berusia sekitar 22 tahun. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas di Paris. Alain sangat gemar mempelajari bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang dipelajarinya adalah bahasa Inggris gaya Amerika.
Suatau hari Alain mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan kemampuan berbahasa Inggrisnya, bukan di Amerika melainkan di Inggris. Ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di London. Ia sangat gembira dan
menulis surat kepada teman saya untuk
menceritakan pengalaman barunya itu.
Di London Alain tinggal dengan orang tua angkat yang sudah ‘disediakan’ untuknya yaitu Mr. dan Mrs. Stewart. Mereka adalah orang Amerika yang sudah lama tinggal di London. Mr. dan Mrs. Stewart tidak mempunyai anak. Oleh karena itu, mereka sangat senang menerima Alain dan memperlakukannya seperti anak mereka sendiri.
Pada suatu hari, suami istri tersebut mendapat undangan. Sahabat Mrs. Stewart yaitu Mrs. Carlington akan merayakan ulang tahunnya. Mr. dan Mrs. Stewart mengajak Alain untuk menghadiri pesta ulang tahun tersebut.
Sesampainya di tempat pesta, Mrs. Stewart mengajak Alain untuk menemui Mrs. Carlington untuk mengucapkan salam. Tetapi Alain sangat bingung tentang apa yang harus diperbuat untuk memberi selamat. Akhirnya ia memutuskan
untuk melakukan apa yang biasa dilakukan seorang Prancis terhadap seorang yang berulang tahun. Ia mendekati
Mrs. Carlington lalu menciumnya. Mr.
Carlington yang berdiri di samping istrinya, menjadi terkejut dan marah. Lalu berkata, “How dare you kiss my wife before me!” (Beraninya Anda mencium istriku di depanku!)
Alain menjawab, “I’m sorry Sir! Next time I
kepada teman saya untuk A
Cs
49 49
will kiss you first!” (Maafkan saya, Pak! Lain kali saya akan mencium Bapak terlebih dahulu)
Alain mengira kata before hanya memiliki arti sebelum padahal yang dimaksud Mr. Carlington adalah di depan.
Para tamu yang mendengar hal tersebut tentu saja tertawa terbahak-bahak. Wajah Mr. Carlington menjadi merah padam karena marah dan malu. Lalu Mr. Stewart menyuruh Alain untuk meminta maaf dan membantu menjernihkan kesalahpahaman supaya ia tidak melakukan kesalahan itu lagi. []
SUCK IT!
Pada suatu hari seorang warga negara Indonesia
yang tinggal
di salah satu negara bagian di Amerika Serikat berniat untuk dikhitan di rumah sakit setempat. Pria Indonesia
yang sudah berumur kurang lebih tiga puluh tahun itu telah siap untuk dikhitan oleh seorang dokter.
Setelah mendapatkan suntikan anestesi dan dimulai pemotongan bagian paling ujung dari alat vital laki-laki itu, karena sudah terlalu alot maka prosesnya memakanwaktu yang lama. Akibatnya, pada saat dokter menjahit luka, biusnyasudah terlanjur habis dan pria itu mengerang kesakitan sambil berteriak, “Aduuuhh, sakit!”
Sang dokter pun serta-merta marah dan membalas berteriak,
“Suck it yourself!” Dari cerita
di atas terjadi kesalahpahaman karena perbedaan makna bahasa yang digunakan oleh pasien yaitu
sakit terdengar seperti suck it yang bahasa
Indonesianya berarti hisaplah (benda) itu.
RESTROOM
Suatu ketika seorang gardener
(tukang kebun) di sebuah hotel di Batam berpapasan dengan turis bule yang sedang
menggendong anaknya. Kemudian si bule itu bertanya, “Excuse me, where’s the restroom?”
Tukang kebun itu kaget, sama sekali tidak menyangka akan ditanya oleh si bule.
“Oh...restroom, maam?” tukang kebun balik tanya.
“Yes, restroom.”“Oh...yes restroom, follow
me.”Tukang kebun itu kemudian
mengajak wanita bule itu bersama anaknya menuju ke lobi hotel.
“This is a restroom,” kata si tukang kebun.
Bule itu hanya diam kebingungan.
“Where’s the restroom?” tanyanya.
“Yes, here it is. A restroom, right?”
“No, I mean a toilet.”“Ooooo...toilet. Over there
beside the coffee shop.”“Oh...thanks.”Memang benar kalau
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia, restroom berarti tempat istirahat, tetapi arti sebenarnya dalam
konteks itu adalah WC. e
ssu
serambifoto
Lepas sambut Kepala PPPPTK Bahasa dari Dr. Muhammad Ha�a, M.Ed. ke Dra. Hj. Teriska R.
Se�awan, M.Ed. (1/4)
Foto bersama pada pembukaan Diklat Tingkat Lanjut Guru Bahasa Jepang SMA/MA/SMK (26/4) di PPPPTK
Bahasa.
Auditor dari SAI Global tampak tengah mendengarkan penjelasan (25/3) saat memeriksa kelengkapan dokumen ISO Seksi Evaluasi PPPPTK
Bahasa.
Auditor dari SAI Global tampak tengahA od dau dto r GSA ob l pam t n hS loAI a ta kmp engaWorkshop Penyusunan Modul BERMUTU Tahap I sedang dibuka secara resmi oleh Kepala PPPPTK
Bahasa Dra. Hj. Teriska R. Se�awan, M.Ed. (22/5).
Rakor Persiapan Diklat pengawas dengan LPMP (20/5) dilaksanakan untuk mematangkan pelaksana-an diklat penguatan kompetensi pengawas sekolah.
Rakor Persiapan Diklat pengawas dengan LPMPR ko rP ap n atDi pea o iae a D kl aa de g Pn Pg sw en a MLSuasana kelas Diklat Tingkat Dasar (B1) Guru Bahasa Jerman SMA (26/5) di PPPPTK Bahasa.
serambifoto
Para pegawai PPPPTK Bahasa mengiku� upacara peringatan Hari Pendidikan Na sional (2/5) di
lapangan PPPPTK Bahasa.
Para pegawai PPPPTK Bahasa mengiku� upacara peringatan Hari Kebangkitan Na sional ke-103
(20/5) di lapangan PPPPTK Bahasa.
Para guru dan kepala sekolah dasar Bangladesh saat berkunjung ke PPPPTK Bahasa (11/5) berfoto
bersama.
Para pegawai PPPPTK Bahasa tengah menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad Saw di Auditorium
PPPPTK Bahasa (2/3).
Para Pegawai PPPPTK Bahasa tampak sedang sibuk melaksanakan kerja bak� (15/4) di halaman
belakang PPPPTK Bahasa.
Para peserta Workshop Pengembangan Silabus Diklat Berjenjang Berbasis Kompetensi Tahap I
tampak sedang berdiskusi (25/4).
52 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Diterbitkan olehPPPPTK BahasaKementerian Pendidikan Nasional
Edisi 16 Tahun IX Juni 2011KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BAHASA