01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 95
I wan yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti
lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir,
sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam. Sehitam
suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi
perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak
dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa
diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki
Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo
Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet.
Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet
juga disebut Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja,
menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang
memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
A
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 95
Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda
seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar.
Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi
meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-
wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri
dari hal-hal yang tak diinginkan.
Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya
kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah
perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan
beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun
kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.
Maka hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri
serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar
mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang
berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk
menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal
raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang
tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala
macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya.
Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai
pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya
tampak bening dan lembut.
Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-
kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah
seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir,
sebelum menduduki tahta kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi
karena persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka
berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan menerima
atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit
kalah cekatan dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 95
cucu seorang bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa
gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya bahwa ia
mampu menangkap petir.
Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak
yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu
sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja
memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan
perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki
Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari
pengamatan orang.
Mula-mula Mahesa Jenar berjalan ke arah selatan dengan
menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok ke
arah matahari terbenam.
Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di
suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang
raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian
dikenal dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari
perbukitan ini, yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang
sering dikunjungi orang untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu
Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke
puncak Gunung Ijo itu. Mula-mula gadis itu akan dimakannya,
tetapi niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya. Bahkan
gadis itu kemudian diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia
kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis cantik
itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang. Dan
karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung
Bandawasa, yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil
membunuh Prabu Baka, disumpah menjadi patung batu. Candi
tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan nama Candi
Jonggrang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 95
Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di
puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu
yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang
alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa waktu
berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya
kerangka manusia.
Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak
enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi
tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia
menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari
tempat itu terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-
batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya
terdapat pula sebuah kerangka manusia. Mahesa Jenar pernah
belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa hal
tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga
bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak
tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.
Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang
telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak
tahu macam upacara itu.
Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan
dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa
ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia
samasekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan
telah berubah menjadi belukar.Agaknya sudah beberapa waktu
tanah-tanah itu tidak lagi digarap.
Maka ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan
keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut,
maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar
dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat,
menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 95
sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka. Dari atas
bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di
dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi
yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa
Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu.
Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil
kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk
memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata
Bandung Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro
Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa.
Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke-1.000.
Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-
batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak
seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena
permainan angin.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka yang
ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat persawahan yang
sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia
akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka
itu.
Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan cepat-
cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi Jonggrang di tepi
Sungai Opak.
Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya
penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang
bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk
ke rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip
dari celah-celah dinding rumahnya.
“Apakah yang aneh padaku?” pikirnya.
Ia merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak
berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama
mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 95
Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup
baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia
berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau
seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya
tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya.
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari
sekian banyak pintu-pintu yang tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik
pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang
tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-
rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu.
Mahesa Jenar tidak mengerti maksud mereka mengintip dari balik-
balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak
ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa orang
laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya
membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan
pendek, pedang, keris, dan sebagainya.
Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya
bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya
memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga
bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya
berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah
berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah
sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa,
dan hanya akan menurut semua perintah yang akan diterima.
Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan
sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang kuat
menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya
terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di
sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar,
berkumis lebat. Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak
bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 95
ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk
itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari
para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal lain yang
segera mengepungnya.
“Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang
menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar
itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil keputusan untuk tidak
berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan, menuruti
perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di
depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian
berjalanlah di belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para
pengawal.
Rombongan itu berjalan menyusur jalan desa menuju ke
sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang lain,
berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki
halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang
di kiri-kanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti
beberapa orang laki-laki yang juga bersenjata. Diantara mereka
berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak lanjut usianya.
Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi besar langsung
mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja mengikuti di
belakangnya.
“Kakang Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini
terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah kebijaksanaan
kakang.”
Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah
tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 95
Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat
diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah.
“Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia
menemukan seorang gadis untuk korbannya,” tiba-tiba laki-laki
yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang
bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah
setiap laki-laki yang kena sambaran matanya mengangguk-
angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat
menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang
ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian
dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam
hatinya.
Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung kaki
sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut,
menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang
yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak
menduga adanya maksud-maksud buruk.
“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada
yang berat tetapi sopan dan rumah. “Siapakah nama Ki Sanak dan
dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut pengamatan kami, Ki
Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan
keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya…? Ia masih belum tahu, sampai di mana
jauh akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak
terhadap para pengikut Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang
sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan
orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap,
ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil
keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari keadaannya. Oleh
keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Mahesa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 95
Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata,
terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak, “Ayo bilang!”
Mahesa Jenar sebenarnya samasekali tidak senang
diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka
dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “Bapak Demang,
kalau Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari
Pandanaran. Aku adalah pegawai istana Demak, yang karena
sesuatu hal ingin menjelajahi daerah-daerah wilayah Kerajaan
Demak.”
Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini.
Seorang pegawai istana adalah orang yang pantas sekali mendapat
kehormatan. Sedang orang ini? Orang yang mengaku menjadi
pegawai istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah kalau hal
semacam ini sampai terdengar oleh kalangan istana, tidak akan
menjadikan mereka murka? Mahesa Jenar merasakan pengaruh
kata-katanya itu atas orang-orang yang mengepungnya. Demikian
juga wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya
berkerinyut dan alisnya ditariknya tinggi-tinggi.
Demang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya,
tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada yang masih sesopan
tadi. “Menilik sikap Ki Sanak, memang tepatlah kalau ki sanak
seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya orang-orang kota
seperti yang pernah aku kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak
seorang diri kemari, merupakan sebuah pertanyaan bagi kami.”
Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar
berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati. “Ya, kenapa
seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri?”
Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.
“Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang,” kembali
terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan
matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling,
kepada orang-orang yang berdiri memagari.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 95
Dan sekali lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil
tanpa keyakinan apa-apa.
Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak
menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan
dirinya dan menjawab dengan ramah pula. “Bapak Demang,
sebenarnya memang aku mempunyai banyak keterangan
mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan
itu aku berikan khusus untuk Bapak Demang, tidak di hadapan
orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui
umum.”
Mahesa Jenar samasekali tidak menduga bahwa perkataannya
itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang tinggi besar
itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai
kepala penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa
sangat tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh orang asing itu,
dengan mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia
membentak dengan suaranya yang lantang. “Apa perlunya Kakang
Demang meladeni orang semacam kau? Sekarang saja kau
bicara.”
Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi
Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan menjawab
dengan baik. “Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.”
“Belum cukup,” jawab Baureksa semakin marah. “Apa yang
akan kau katakan kepada kakang Demang?”
Mahesa Jenar memandang kepada orang tua itu. Wajahnya
yang bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia dapat menerima
permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati
bawahannya yang merupakan tulang punggung kademangannya.
Memang, Demang tua itu sendiri sering merasa tidak senang akan
sikap Baureksa. Tetapi orang ini terlalu berpengaruh karena
kehebatannya. Malahan pernah terpikir olehnya untuk suatu waktu
memberi pelajaran sedikit kepada Baureksa, sebab meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 95
usianya telah lanjut tetapi ia masih merasa mampu untuk
melakukannya. Tetapi hal yang demikian akan tidak baik
pengaruhnya terhadap rakyat yang justru sekarang memerlukan
perlindungan dari bahaya yang setiap saat dapat mengancam.
Dan tiba-tiba saja ia mendapat suatu pikiran baik. Menilik
tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang tua yang sudah
banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa Jenar
bukan orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati
karena pikiran itu.
“Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa?” tanya Demang tua
itu.
Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya
akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.
“Orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya.
“Kalau tidak mau?” pancing Demang itu.
“Dipaksa!” jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini
memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.
“Bagus… terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa
yang terjadi,” katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti
maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya orang-orang itu
samasekali tak menghendaki kejadian-kejadian semacam itu,
sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang
sopan dan baik. Kalau sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya
tak dapat dikendalikan lagi. Dan orang yang diperiksanya biasanya
kesehatannya tak dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang pun
yang berani menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang
mengerikan itu. Apalagi kalau orang itu benar-benar pegawai
istana, maka apakah kiranya yang akan terjadi?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 95
Berbeda sekali dengan pikiran Baureksa.Ia menjadi gembira
seperti anak-anak yang mendapat mainan. Meskipun ia juga
mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja dengan baik. Adatnya
keras dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu,
pada waktu terjadi huru hara, dan ia tidak mampu untuk
mengatasinya. Maka sekarang ia ingin mengembalikan
kepercayaan rakyat atas kehebatannya dengan menumpahkan
segala dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak
akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu sampai
dimana kekuatan barang mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya
otak Baureksa, namun ia masih juga melihat suatu kemungkinan
yang ada pada calon korbannya.
Sebaliknya Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Cepat ia dapat
menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu dengan
menangkap pandangan matanya.
“Permainan berbahaya” pikirnya. “Demang tua itu samasekali
belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum mengenal orang
macam Baureksa itu.”
Tetapi bagaimana pun, Mahesa Jenar terpaksa melayaninya
kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka.
“Gagak Ijo…!” tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak keras-
keras.
Dan orang yang dipanggilnya Gagak Ijo itu dengan gerak yang
cekatan meloncat ke hadapan Baureksa.
Gagak Ijo yang nama sebenarnya adalah Jagareksa adalah
seorang pembantu, bahkan tangan kanan Baureksa. Kedua-
duanya mempunyai sifat yang hampir sama. Tubuhnya agak
pendek bulat, sedang otot-ototnya menjorok keluar membuat
garis-garis yang sama jeleknya dengan garis-garis wajahnya.
“Suruh orang itu bicara,” perintah Baureksa.
“Bicara tentang apa Kakang?” tanya Gagak Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 95
Mendengar pertanyaan itu, Baureksa memaki keras-keras,
“Bodoh kau. Suruh dia bicara, di mana rumahnya, di mana
gerombolannya, dan suruh dia katakan kapan gerombolannya
akan datang lagi untuk menculik gadis.”
Gagak Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia
sudah tahu tugasnya. Memeras keterangan dari orang asing itu.
Perlahan-lahan Gagak Ijo memutar tubuhnya, menghadap
Mahesa Jenar. Sebentar ia mengatur jalan nafasnya, dan dengan
perlahan-lahan pula ia mendekati korbannya. Suasana menjadi
bertambah tegang. Peristiwa semacam ini telah berulang kali
terjadi, biasanya dilakukan terhadap para penjahat atau terhadap
mereka yang melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang
kademangan itu merasakan adanya suatu perbedaan dengan
kejadian-kejadian yang pernah terjadi.
“Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo
dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api dan mulutnya
komat-kamit.
“Siapa namamu?”
Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar. Ia
tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar pertanyaan
yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang pertama ini Mahesa
Jenar menjawab dengan tenangnya. “Namaku Mahesa Jenar.”
Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan
orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah ada
seorang pun yang dapat bertindak setenang itu menghadapi Gagak
Ijo, apalagi Baureksa.
“Bagus....” dengus Gagak Ijo. “Nama yang bagus. Mengenal
namamu adalah perlu sekali bagiku. Kalau terpaksa tanganku
membunuhmu. Orang-orang sudah tahu bahwa kau bernama
Mahesa Jenar.” Gagak Ijo lalu mengangguk-angguk dengan sikap
yang sombong sekali. Memang, ia mempunyai kebiasaan untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 95
tidak segera bertindak. Ia senang melihat korbannya ketakutan
dan bahkan pernah ada yang sampai terjatuh di tempat. Tetapi kali
ini ia merasa aneh, Mahesa Jenar tenang bukan kepalang. Dan ini
sangat menjengkelkannya.
“Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa?” katanya, “Apa
yang harus kau katakan, sekarang katakanlah.”
“Tak ada yang akan aku katakan,” jawab Mahesa Jenar.
Gagak Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga
membentak keras. “Bicaralah!” Lalu suaranya ditahan perlahan-
lahan. “Bicaralah supaya aku tidak usah memaksamu.”
Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu melihat sikap Gagak Ijo
yang sombong itu. Maka ia mengambil keputusan untuk cepat-
cepat menyelesaikan pertunjukan yang membosankan itu, dengan
membuat Gagak Ijo marah.
“Baiklah aku berkata,” kata Mahesa Jenar, “Bahwa rumahku
adalah jauh sekali seperti yang sudah aku katakan kepada Bapak
Demang tadi. Tetapi kedatanganku kemari samasekali tidak akan
menculik gadis-gadis. Aku datang kemari karena aku ingin
menculik kau untuk menakuti gadis-gadis.”
Mereka yang mendengar jawaban itu terkejut bukan main.
Alangkah beraninya orang asing itu. Malahan akhirnya beberapa
orang menjadi hampir-hampir tertawa, tetapi ditahannya kuat-
kuat, kecuali demang tua itu yang tampak tersenyum-senyum.
Sebaliknya Gagak Ijo menjadi marah bukan kepalang.
Mukanya menjadi merah menyala dan giginya gemeretak. Selama
hidup ia belum pernah dihinakan orang sampai sedemikian, apalagi
di hadapan Demang dan Baureksa. Maka ia tidak mau lagi
berbicara, tetapi ia ingin menyobek mulut Mahesa Jenar yang
sudah menghinanya itu. Dengan gerak yang cepat ia meloncat dan
kedua tangannya menerkam wajah Mahesa Jenar.Orang-orang
yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi tergoncang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 95
hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak
Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan. Hal ini
terdorong oleh kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua
orang yang menyaksikan menahan nafas sambil berdebar-debar.
Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah gerakan yang
sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang tanpa
memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk
menghindari serangan ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak
membuang tenaga. Hanya dengan sedikit mengisarkan tubuhnya
dengan menarik sebelah kakinya, Mahesa Jenar telah dapat
menghindari terkaman Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena
dorongan kekuatannya sendiri Gagak Ijo menjadi kehilangan
keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya
Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat membalas serangan itu
dengan suatu pukulan yang dapat mematahkan tengkuk Gagak
Ijo. Tetapi Mahesa Jenar tahu, kalau dengan demikian akibatnya
akan hebat sekali. Karena itu, ia hanya menyerang Gagak Ijo
dengan sentuhan jarinya, untuk mendorong punggung Gagak Ijo
dengan arah yang sama. Gagak Ijo yang memang sudah
kehilangan keseimbangan, segera jatuh tertelungkup mencium
tanah.
Mereka yang berdiri mengitari arena pertarungan itu, mula-
mula mengira bahwa akan hancurlah muka orang asing itu diremas
oleh Gagak Ijo. Tetapi ketika mereka menyaksikan kenyataan itu,
menjadi sangat terkejut dan heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan
yang mencium tanah. Banyak diantara mereka tidak dapat melihat
apa yang sudah terjadi.
Tetapi dengan demikian Mahesa Jenar tambah berhati-hati,
sebab ia tahu bahwa apa yang dilakukan Gagak Ijo adalah diluar
kesadarannya, karena terdorong oleh kemarahannya yang
memuncak. Sehingga dalam tindakan selanjutnya, pastilah Gagak
Ijo akan memperbaiki kesalahannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 95
Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa tindakannya kurang
diperhitungkan lebih dahulu. Ia baru sadar ketika hidungnya sudah
menyentuh tanah, dan sebentar kemudian seluruh mukanya.
Peristiwa ini adalah memalukan sekali. Tokoh seperti Gagak Ijo
dengan bulat-bulat terbanting di atas tanah tanpa dapat berbuat
sesuatu untuk menahannya. Karena itu ia menjadi semakin marah.
Hatinya menjadi seperti terbakar dan matanya merah menyala-
nyala. Seluruh tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan.
Tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, ia tidak berani
menyerang dengan membabi buta. Karena itu, ketika ia mulai
menyerang lagi, ia berbuat lebih hati-hati. Dengan kecepatan yang
tinggi, ia menyerang dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar.
Tetapi dengan cepat pula serangan ini dapat dihindari, dan
sebelum Gagak Ijo dapat berdiri tegak kembali, Mahesa Jenar telah
membalas menyerang dadanya. Tetapi Gagak Ijo cukup waspada.
Ia membuat gerakan setengah lingkaran ke belakang untuk
menghindari serangan Mahesa Jenar. Bersamaan dengan itu,
kakinya menyambar tangan Mahesa Jenar. Mahesa Jenar cepat-
cepat menarik serangannya, dan secepat itu pula tangannya yang
lain menyentuh kaki Gagak Ijo itu ke atas. Sekali lagi Gagak Ijo
kehilangan keseimbangan, dan kali ini ia jatuh terlentang. Dengan
gugup Gagak Ijo berguling dan kemudian berusaha tegak kembali.
Sementara itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan ini. Ia
ingin segera mengakhirinya. Maka ketika Gagak Ijo hampir
berhasil menegakkan dirinya, seperti sambaran kilat telapak
tangan Mahesa Jenar melekat di dada Gagak Ijo. Meskipun Mahesa
Jenar hanya mempergunakan tenaga dorong yang tidak seberapa,
tetapi akibatnya hebat sekali. Nafas Gagak Ijo mendadak serasa
berhenti, dan pandangannya menjadi kuning berkunang-kunang.
Meskipun dengan susah payah, ia mencoba untuk menahan diri,
tetapi perlahan-lahan ia terjatuh kembali. Ia terduduk di tanah
dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan kedua tangannya
berusaha untuk menahan berat badannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 95
Orang-orang yang melihat pertandingan itu berdiri tanpa
berkedip. Gagak Ijo termasuk orang yang dikagumi di desa itu.
Tetapi Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat menjatuhkannya.
Ilmu macam apakah yang dimilikinya?
Belum lagi mereka sempat berpikir lebih banyak, mereka
dikejutkan oleh gertak Baureksa yang gemuruh seperti membelah
langit. Ketika ia menyaksikan Gagak Ijo, orang kepercayaannya
dipermainkan orang asing itu, hatinya menjadi panas. Meskipun di
antara kemarahannya itu terselip pula perasaan was-was.
Ternyata orang yang dianggapnya barang mainan itu, adalah
barang mainan yang mahal.
Itulah sebabnya maka sebelum mengadu tenaga, Baureksa
akan berusaha untuk mengurangi kegesitan lawannya dengan
melukainya lebih dahulu. Cambuknya yang besar dan panjang
dengan potongan-potongan besi, batu dan tulang-tulang itu
diputarnya di atas kepala sampai menimbulkan suara berdesing-
desing. Mahesa Jenar kini harus benar-benar waspada. Suara yang
berdesing-desing itu sedikit-banyak dapat menunjukkan kira-kira
sampai di mana kekuatan Baureksa. Hanya apakah Baureksa dapat
mempergunakan kekuatan serta tenaganya dengan baik, itulah
yang masih perlu diuji.
Orang-orang yang menyaksikan menjadi semakin berdebar-
debar. Apalagi ketika mereka melihat Baureksa akan
mempergunakan senjatanya, maka menurut pikiran mereka,
sedikit kemungkinannya Mahesa Jenar dapat menyelamatkan diri.
Cambuk Baureksa yang berputar-putar itu, cepat sekali
menyambar leher Mahesa Jenar, tetapi secepat itu pula Mahesa
Jenar membungkuk menghindari, sehingga cambuk itu tidak
mengenai sasarannya. Baureksa yang merasa serangannya gagal
menjadi semakin marah. Dengan cepat ia mengubah arah
cambuknya dan dengan mendatar ia menyerang arah dada.
Mahesa Jenar sadar bahwa dalam jarak yang agak jauh sulit
baginya untuk menghindari serangan-serangan cambuk Baureksa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 95
yang cukup cepat dan keras. Karena itu sebelum cambuk Baureksa
sempat mengenainya, Mahesa Jenar dengan gerakan kilat
meloncat maju, dekat sekali di samping Baureksa, dan
menggempur tangan Baureksa yang memegang senjata itu.
Gempuran itu terasa hebat sekali dan tak terduga-duga. Terasa
tulang-tulang Baureksa gemertak. Perasaan sakit serta panas
menyengat-nyengat, tidak hanya pada bagian yang terkena, tetapi
seakan-akan menjalar sampai ke ubun-ubun. Cambuknya segera
terlepas dan melontar jauh. Baureksa samasekali tidak mengira
bahwa hal yang semacam itu bisa terjadi. Karena itu samasekali ia
tak dapat memberikan perlawanan, dan membiarkan cambuknya
terlontar.
Mengalami hal semacam itu,
meskipun terpaksa menahan sakit,
Baureksa menjadi bertambah
kalap. Ia mengumpulkan segenap
tenaganya dan ingin menebus
malunya dengan mematahkan
leher lawannya.
Dengan sekuat tenaga ia
menyembunyikan rasa sakitnya,
sehingga Mahesa Jenar tak dapat
mengukur akibat gempurannya
dengan pasti. Baureksa cepat-
cepat menarik diri untuk segera
bersiap-siap menyerang,
sedangkan Mahesa Jenar pun telah
bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. Kembali Baureksa
menyerang lawannya ke dua arah sekaligus. Tangan kanannya
menyodok perut, sedangkan tangan kirinya menghantam pelipis.
Mendapat serangan ini Mahesa Jenar segera merendahkan diri
serta memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat bahwa
Mahesa Jenar mencoba menghindar, segera Baureksa mengubah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 95
arah serangannya. Cepat-cepat ia menarik tangannya dan dengan
satu gerakan dahsyat ia meloncat dan menendang kepala
lawannya. Mahesa Jenar tidak menduga bahwa Baureksa dapat
meloncat secepat itu. Karena itu ia tidak lagi sempat mengelak.
Sebenarnya Mahesa Jenar masih akan menghindari bentrokan-
bentrokan secara langsung, sebab sampai sekian ia masih belum
dapat menjajagi sampai di mana kekuatan Baureksa yang
sebenarnya. Tetapi kali ini, ia harus melawan serangan kaki
Baureksa itu. Maka untuk tidak mengalami hal-hal yang tidak
dikehendaki atas dirinya, terpaksa Mahesa Jenar mempergunakan
sebagian besar dari tenaganya yang dipusatkan pada siku tangan
kanannya. Ia merendah sedikit sambil memiringkan tubuhnya.
Maka, terjadilah suatu benturan yang hebat antara kaki Baureksa
dengan siku tangan Mahesa Jenar. Akibatnya hebat pula. Baureksa
ternyata telah mengerahkan seluruh tenaganya, dan ketika ia
melihat bahwa Mahesa Jenar tidak sempat mengelakkan
serangannya, ia sudah memastikan bahwa orang asing itu akan
terpelanting dan tidak akan dapat bangun kembali.
Tetapi dugaan itu ternyata meleset samasekali. Ketika kaki
Baureksa yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya itu
menyentuh siku tangan Mahesa Jenar, Baureksa merasa bahwa
kakinya seolah-olah menghantam dinding batu yang keras sekali.
Dan kini tulang-tulang kakinyalah yang bergemeretakan,
sedangkan ia terpental oleh kekuatannya sendiri dan dengan
kerasnya terbanting di tanah, sehingga tidak sadarkan diri.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, serentak hatinya
bergetar, sampai beberapa orang menggigil karena tegang.
Beberapa orang tidak dapat mengikuti dengan pandangan
matanya tentang apa yang terjadi. Yang mereka ketahui hanyalah
Baureksa terbanting di tanah hingga pingsan.
Demang Pananggalan, demikian nama Demang tua itu, hatinya
menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu. Sebab kalau sampai
terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus bertanggungjawab.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 95
Cepat-cepat ia mendekati Baureksa yang sedang pingsan.
Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi terkejut sekali ketika
tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku Mahesa
Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa
adanya luka dalam yang berbahaya bila tidak lekas-lekas
mendapat pertolongan. Orang-orang yang berkerumun menjadi
terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu lagi bagaimana harus
menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan bermain-main
saja telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus
Baureksa.
Demang Penanggalan yang cemas atas keadaan Baurekso
segera memanggil orang untuk memanggil Ki Asem Gede, seorang
tua yang pandai mengobati segala macam penyakit, termasuk
luka-luka dalam yang timbul karena benturan-benturan semacam
itu. Di dalam hati ia mengagumi kehebatan orang asing itu yang
dapat melukai lawannya, sedemikian hebatnya hanya dengan
pertahanan. Bagaimana kalau ia sengaja menyerang dan sengaja
menghantam lawannya.
Adapun Mahesa Jenar sendiri ketika melihat akibat dari
benturan yang terjadi, menjadi agak menyesal juga, bahwa ia
telah mempergunakan terlalu banyak tenaganya sehingga
Baurekso menjadi pingsan. Perlahan-lahan ia memandangi orang-
orang yang berdiri di sekelilingnya dengan sikap waspada. Sebab,
bermacam-macam kemungkinan dapat terjadi dengan jatuhnya
Baurekso.
———-oOo———-
II SEMENTARA itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat orang
ke dalam sambil menunggu Ki Asem Gede. Kini perhatian orang
seluruhnya tertumpah kepada Mahesa Jenar yang masih belum
bergeser dari tempatnya. Hanya sebentar mereka melirik juga
kepada Demang Pananggalan, sambil bertanya-tanya di dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 95
hati, apakah seterusnya yang akan diperbuat oleh demang tua itu?
Sebenarnya pada saat itu Demang Pananggalan telah mengambil
keputusan untuk mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah
kademangan dan memberikan keterangan-keterangan. Tetapi
segera keadaan menjadi tegang kembali ketika seseorang dengan
langkah yang tegap dan tenang memasuki gelanggang.
“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat
berwibawa, “perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap
orang asing ini.”
Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat orang itu
memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab samasekali
ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut. Orang
itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi,
dan ia adalah adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik
kandungnya yang bernama Mantingan itu menyatakan
ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering adigang-
adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin membelanya. Melihat
kebingungan dan keragu-raguan Demang Pananggalan, Mantingan
menyambung, “Aku tidak akan membela seseorang, Kakang.
Tetapi aku tidak mau orang lain menyangka betapa lemahnya
kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang asing itu.
Syukurlah kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin
menjajagi kekuatan kita, alangkah berbahayanya. Sedangkan
keterangan yang diberikan bukanlah berarti suatu kebenaran yang
harus kita percaya demikian saja.”
“Tetapi maksudku bukan kau, Mantingan,” kata demang itu
tergagap. Sebab ia tahu bahwa adiknya adalah orang yang
berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri.
Ia adalah murid kedua Ki Ageng Supit di Wanakerta.
Mantingan adalah seorang dalang yang secara kebetulan
sedang mengunjungi kampung halamannya, yang baru saja
didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis. Dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 95
Mantingan diminta untuk sementara tetap tinggal, kalau ada
kemungkinan gerombolan penculik itu datang kembali.
Tetapi saat itu Mantingan seperti tidak mendengar kata-kata
kakaknya. Ia segera menyerahkan trisulanya kepada orang
terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa
kesadaran.
“Ki Sanak,” kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan
sopan, “aku belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya dan
juga belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi
tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan
ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku sekarang mencoba
untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.”
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini
sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di situ.
Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih
berhati-hati melawannya.
“Dan sekarang,” sambung Mantingan, “awaslah… aku mulai.”
Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang.
Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki,
sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada.
Melihat serangan ini, Mahesa Jenar terkejut. Ia kenal gerakan
pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil namanya, samasekali ia
tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang berdiri di
hadapannya. Bahkan sedang mengadu tenaga dengan dirinya. Ia
adalah Dalang Mantingan dari Wanakerta, murid Ki Ageng Supit.
Ia sering mendengar nama itu. Bahkan pernah tersebar khabar di
Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri dapat menangkap
tiga saudara perampok dari Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang
dikenal dengan satu nama: Samber Nyawa. Gerak pembukaan ini
jelas berasal dari Ki Ageng Supit, yang meskipun belum setaraf
dengan gurunya tetapi Ki Ageng Supit juga mempunyai nama yang
dikagumi pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 95
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat berpikir banyak. Sebab ia
segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak menyambar-
nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya
Mahesa Jenar tidak dapat hanya bersikap mengelak dan
menghindar saja. Ia tidak bisa hanya bersikap mempertahankan
diri saja. Untuk mengurangi kebebasan gerak lawannya, ia harus
ganti menyerang.
Serangan Ki Dalang Mantingan semakin lama menjadi semakin
hebat pula. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat dibarengi
gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali tangan Mantingan itu
sudah berubah menyambar kening. Tetapi Mahesa Jenar adalah
bekas prajurit pengawal raja, dan ia adalah murid Pangeran
Handayaningrat yang juga disebut Ki Ageng Pengging Sepuh.
Untuk melawan Mantingan, sengaja Mahesa Jenar
mempergunakan tanda-tanda khusus dari perguruannya, sebab
jelas bahwa perguruannya mempunyai beberapa persamaan
dengan gerak-gerak yang dilakukan oleh Mantingan.
Segera Mantingan pun dapat pula mengenal tata berkelahi
Mahesa Jenar yang juga seperti ilmunya sendiri, mempunyai
sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum Bra Tanjung,
yang diwarisi oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan
gerak-gerak penyerangan yang mantap dari Lembu Amisani.
Tetapi yang ia tidak tahu dari manakah Mahesa Jenar mempelajari
tata berkelahi itu, yang memiliki banyak perubahan dan
penyempurnaan-penyempurnaan dengan gabungan-gabungan
yang tepat dan berbahaya.
Itulah sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan
memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan
pertandingan ini.
Maka, ketika Mantingan berhasrat untuk cepat-cepat
mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga dan
pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda lawannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 95
“Hebat....” pikir Mahesa Jenar ketika ia menerima serangan
bertubi-tubi dari Mantingan. “Memang perguruan Wanakerta
memiliki keistimewaan yang tak dapat diabaikan.”
Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah surut.
Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap
kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran-
gempuran hebat.
Rupa-rupanya Ki Dalang Mantingan menjadi agak gusar ketika
serangan serangannya tidak segera dapat mengenai lawannya,
bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu
gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi
bersungguh-sungguh. Ia tidak mau mengorbankan namanya
seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Demang Panggalan menjadi semakin cemas dan bingung. Ia
tidak menghendaki orang asing yang belum diketahuinya benar-
benar asal-usulnya itu mendapat cedera, sebab tidak mungkin ia
berdiri sendiri. Apalagi kalau benar-benar ia orang Istana Demak.
Tetapi disamping itu, Demang Pananggalan sangat sayang kepada
adiknya, dan ia samasekali tidak rela kalau adiknya mengalami
hal-hal yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun namanya.
Sementara itu pertarungan menjadi semakin sengit.
Serangan-serangan Mantingan menjadi semakin dahsyat dan ia
sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak
terkekang lagi.
Ketika serangannya yang dilancarkan dengan kedua
tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat
dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu
dengan serangan berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut
Mahesa Jenar. Melihat perubahan itu Mahesa Jenar terpaksa
meloncat mundur. Tetapi Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad
untuk memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka,
demikian Mahesa Jenar meloncat mundur, disusulnya pula dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 95
kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya setengah lingkaran
atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya Mahesa Jenar samasekali
tidak menduga bahwa serangan-serangan Mantingan akan
sedemikian bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit
Mantingan mengenai pinggangnya.
Gempuran ini demikian hebat sehingga tubuh Mahesa Jenar
bergetar dan hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Meskipun
tubuh Mahesa Jenar sudah cukup terlatih serta mempunyai daya
tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa tumit yang mengenai
pinggangnya itu menimbulkan rasa sakit.
Kena tendangan ini, hati Mahesa Jenar menjadi agak panas
juga. Karena itu ia berketetapan hati untuk melayani Ki Demang
Mantingan dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka segera
geraknya berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas
setiap serangan dengan serangan pula. Dan ia samasekali tidak
mau tubuhnya disakiti oleh lawannya lagi.
Ki Dalang Mantingan terkejut melihat perubahan tendangan
lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang yang dilawannya itu
berilmu tinggi. Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Satu-
satunya kemungkinan baginya adalah, lawannya menghendaki
pertempuran itu akan berlangsung mati-matian.
Dan memang sebenarnyalah demikian.
Serangan-serangan Mahesa Jenar berikutnya datang bertubi-
tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam pantai.
Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing, namun
akhirnya segumpal demi segumpal berguguran jatuh juga ke laut.
Dalang Mantingan mengeluh di dalam hati.
Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai pengalaman,
ia merasa bahwa lawannya memiliki kepandaian yang lebih tinggi.
Dan yang kemudian terjadi adalah, Ki Dalang Mantingan mulai
tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha, kini ia terpaksa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 95
untuk bertahan saja. Ia samasekali tidak berkesempatan untuk
menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh
lawannya, meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya.
Tubuh Mantingan terasa nyeri sekali.
Tetapi, meskipun demikian ia bukanlah Mantingan kalau
sampai ia menyerah.
Sementara itu, Demang Pananggalan semakin kebingungan. Ia
segera melihat kesulitan adiknya. Bagaimanapun, ia mempunyai
perasaan tidak rela melihat hal yang demikian itu berlangsung.
Mantingan yang dibangga-banggakan seluruh penduduk
Kademangan, sekarang akan dikalahkan oleh orang asing di
hadapan penduduknya sendiri. Karena itu hampir di luar sadarnya
ia meloncat maju. Meskipun umurnya sudah lanjut dan tidak
sekuat Mantingan, namun karena pengalamannya maka Demang
tua ini nampaknya berbahaya juga. Langsung ia menyerang
Mahesa Jenar dengan gerakan-gerakan yang tak terduga-duga
untuk mengurangi tekanannya pada Mantingan.
Maka segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir, apakah
maksud yang sebenarnya dari Demang tua ini.
Penduduk yang mengitari pertarungan itu dengan asyiknya
menyaksikan gerak masing-masing dengan keheran-heranan,
sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang terjun langsung
ke arena. Mereka serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang
dahsyat. Dalam hal yang demikian, bagaimanapun hebatnya
lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka
meskipun harus menyerahkan nyawanya.
Serentak mereka menggenggam senjata masing-masing
makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris paling
depan sudah mulai bergerak.
Mahesa Jenar segera melihat kesulitan yang bakal datang.
Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun kekuatan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 95
kekuatannya untuk membuat gempuran-gempuran terakhir,
meskipun hal itu dilakukan dengan berat hati. Ia samasekali tidak
menduga, bahwa ia harus terlibat dalam masalah yang samasekali
tak diketahui sebab-sebabnya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak mau
dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa yang tak
diketahui ujung- pangkalnya itu.
Tiba-tiba ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya,
halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan nyaring.
“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi?”
Teriakan yang dilontarkan sepenuh tenaga itu bergetar
memenuhi halaman Kademangan, sehingga semuanya terkejut
karenanya. Dan pertarungan itu pun segera terhenti.
Ternyata yang berteriak itu adalah Ki Asem Gede, yang datang
untuk mengobati Baureksa dan Gagak Ijo.
“Apa yang terjadi…?” ulangnya. Perlahan-lahan matanya
memandang berkeliling, ke wajah-wajah yang berdiri di sekitar
halaman itu, kemudian dipandanginya wajah Mantingan dan
Demang Pananggalan dengan matanya yang bening, sehingga
membawa pengaruh yang sejuk. Alangkah damainya hati seorang
yang mempunyai wajah dan mata yang begitu lunak. Umurnya
sudah lanjut, dan hampir seluruh rambutnya sudah putih. Ia
berjalan perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk
dengan hormatnya. “Anakmas, apa yang terjadi?” tanyanya, dan
kemudian ia menoleh kepada Demang Pananggalan dan Ki Dalang
Mantingan, “Apa yang terjadi?” ulangnya kembali.
Demang Pananggalan merasa sulit untuk memberi jawaban.
Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini sampai
terjadi? Ketika Pananggalan tidak segera menjawab, Ki Asem Gede
kembali memandang kepada Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada
berkedip, seakan-akan ia masih belum yakin kepada
penglihatannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 95
Ketika ia memasuki halaman itu, dan melihat pertarungan
yang sengit, hatinya tersirap. Ia pernah melihat orang yang
bertempur melawan Demang Pananggalan kakak-beradik.
Ia merasa pernah bertemu dengan orang itu di Demak, ketika
ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga seorang ahli obat-
obatan, memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk mengobati
anaknya yang sakit.
“Anakmas....” katanya kemudian, “bolehkah aku ini, orang tua
yang tak berharga menanyakan sesuatu kepada anakmas?”
Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa Jenar menjadi lunak
seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri yang masih
sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.
“Silahkan, Bapak....” jawabnya. “Apakah kiranya yang ingin
Bapak ketahui?”
“Maafkanlah orang tua ini,” kata orang tua itu selanjutnya
sambil menatap Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. “Maafkan
aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah bertemu
dengan Anakmas di Demak.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar mengerutkan
keningnya. Ia mulai mengingat-ingat, apakah ia benar-benar
pernah bertemu dengan orang itu.
“Aku pernah datang ke Demak,” sambung Ki Asem Gede,
“bersama-sama dengan kakakku, untuk mencoba menyembuhkan
sakit putera Panji Danapati, salah seorang perwira dari perajurit
pengawal raja.”
Mendengar kata-kata Ki Asem Gede, tiba-tiba Mahesa Jenar
jadi teringat pertemuannya dengan orang tua itu. Pada saat itu ia
sedang berkunjung ke rumah kawan sepasukan yang pada saat
yang bersamaan sedang memanggil dua orang tua untuk
mengobati anaknya yang sedang sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 95
salah seorang dari kedua orang itu, adalah yang sekarang berdiri
di hadapannya.
“Di sana....” Ki Asem Gede melanjutkan, “aku bertemu pula
dengan seorang perwira lain, kawan Panji Danapati itu. Kenalkah
Anakmas dengan Panji Danapati?”
Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia mengangguk
juga.
“Nah....” kata orang tua itu pula, “kalau begitu aku tidak salah
lagi, Anakmaslah yang aku jumpai di ndalem Danapaten.
Benarkah?”
Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin
melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun sebenarnya ia
masih ingin mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi dengan
terbunuhnya Ki Kebo Kenanga, saudara seperguruannya, lebih
baik ia menyingkirkan diri, dan mencari cara pengabdian yang lain.
Juga penegasan tentang dirinya akan mempermudah setiap
usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap berbahaya
seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi
bentrokan dengan orang-orang yang sedang menjalankan
kewajibannya, serta,kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Maka
lebih baik baginya untuk menjauhkan diri saja dari setiap
kemungkinan itu.
Tetapi sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan orang
tua itu. Karena itu, kembali Mahesa Jenar mengangguk lemah.
Oleh anggukan itu, tiba-tiba Ki Asem Gede membungkuk lebih
hormat lagi dan dengan suaranya yang lembut ia berkata, “Kalau
begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga Tohjaya.”
Perkataan Ki Asem Gede itu seperti petir datang menyambar
telinga Ki Dalang Mantingan serta Demang Pananggalan. Ia pernah
mendengar nama itu, bahkan nama itu terlalu besar untuk disebut-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 95
sebut sebagai seorang pahlawan yang sudah mengamankan
Demak dari gangguan-gangguan kejahatan.
Mahesa Jenar sendiri agak terkejut juga mendengar nama itu
disebutkan. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada
mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah mendengarnya
dari Panji Danapati, bahwa ia sebagai seorang perwira pengawal
raja, disamping namanya sendiri mendapat gelar Rangga Tohjaya.
Demang Pananggalan dan Ki Demang Mantingan masih berdiri
termangu-mangu. Mereka masih belum yakin benar akan kata-
kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede menyapanya. “Adi
Pananggalan dan Adi Mantingan, belumkah adi berdua pernah
mendengar nama itu?”
Mereka berdua tersadar oleh sapa itu. Dengan hati-hati
Demang Pananggalan mencoba bertanya, “Ki Asem Gede, aku
memang pernah mendengar gelar itu serta kebesarannya, tetapi
aku belum mengenal wajahnya, karena aku orang yang picik dan
samasekali tak berarti. Tetapi perkenankanlah aku bertanya bahwa
beliau tadi berkenan menyebut gelarnya dengan Mahesa Jenar…?”
Ki Asem Gede tertawa lirih. “Benar Adi berdua, Mahesa Jenar
adalah namanya, sedang gelarnya sebagai seorang prajurit adalah
Rangga Tohdjaja.”
Hati Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan berdegup
keras. Tetapi pandangan mata mereka masih mengandung seribu
macam pertanyaan, sehingga akhirnya Mahesa Jenar sendiri
mengambil keputusan untuk mengatakan keadaannya yang
sebenarnya sebagai suatu hal yang tak mungkin lagi diingkari.
Katanya, “Bapak Demang dan Kakang Mantingan, memang
sebenarnyalah aku yang bernama Mahesa Jenar, telah menerima
anugerah nama sebagai seorang prajurit, Rangga Tohjaya.”
Mendengar penjelasan itu detak jantung Demang Pananggalan
dan Dalang Mantingan serasa akan berhenti. Mereka samasekali
tidak mengira bahwa mereka telah berhadap-hadapan dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 95
seorang yang sakti. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum
terlanjur. Kalau sampai terjadi Rangga Tohjaya mengeluarkan
segala kesaktiannya maka sulitlah bagi mereka semua untuk dapat
keluar dari halaman itu dengan masih bernafas.
Maka, seperti digerakkan oleh satu tenaga penggerak, Dalang
Mantingan dan Demang Pananggalan cepat-cepat melangkah maju
ke hadapan Mahesa Jenar, dan bersama-sama membungkuk
hormat. Dengan agak terputus-putus karena berbagai perasaan
yang berdesakan di dadanya, Demang Pananggalan berkata,
“Kami mohon ampun ke hadapan Anakmas Rangga Tohjaya,
bahwa kami telah berbuat suatu kesalahan yang besar sekali.
Serta mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan
Anakmas yang tidak sekaligus menghabisi jiwa kami. Dan
sekarang kami menjerahkan diri untuk menerima segala hukuman
yang seharusnya kami jalani.”
Mahesa Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan.
Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu samasekali
tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan
keadaan saja maka semuanya itu terjadi. Bahkan mungkin di luar
dugaan Demang tua itu sendiri.
Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Bapak Demang Pananggalan
dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku maafkan.
Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu, sekarang silahkan
Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka.
Tetapi percayalah, aku samasekali tidak bermaksud untuk
melukainya benar-benar.”
Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk
hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke
Kademangan.
Orang-orang yang berada di halaman menyaksikan semuanya
itu dengan keheran heranan. Mereka yang pernah mendengar
nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 95
segera bercerita dengan suara yang berderai derai, seakan akan
dengan mengenal nama itu mereka sudah terhitung orang yang
terkemuka dalam kalangan kepahlawanan.
Sementara itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan
kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak ringan.
Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede
segera turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja,
mungkin mereka sudah tak tertolong lagi. Kecuali itu, ternyata Ki
Dalang Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian
tubuhnya tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa bagian yang
terkena serangan Mahesa Jenar tampak membengkak dan
kemerah-merahan. Untunglah, daya tahan tubuh Mantingan cukup
kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu keras untuk
menolongnya.
Maka, ketika keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem Gede
sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas bale-bale besar di
pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya
bergoyang-goyang diayun-ayunkan angin. Di luar, gelap malam
mulai turun sebagai tabir raksasa berwarna hitam kelam.
Sedangkan di langit satu demi satu bintang mulai bercahaya
menembus hitamnya malam.
Maka mulailah, mereka mulai berbicara dan bercerita tentang
diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi menyembunyikan
sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai dirinya,
kenapa ia sampai meninggalkan Demak.
“Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah
menyisihkan segala macam senjata”, katanya, “Dengan suatu
keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi rupa-
rupanya Tuhan sendiri belum berkenan, sehingga aku masih
dikendalikan oleh nafsu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 95
Semuanya yang mendengarkan mengangguk-anggukan
kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga Mahesa Jenar
terpaksa menyesali dirinya.
Sementara itu mulailah hidangan mengalir. Demang
Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa Jenar, ingin
sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan apa
yang mungkin dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem
Gede, kecuali seorang yang bijaksana serta mempunyai ilmu obat-
obatan, ternyata juga seorang yang jenaka. Banyak hal yang dapat
ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga suasana
menjadi meriah dan akrab. Diceritakan, bagaimana ia terpaksa
sekali mengobati seorang yang sakit, hanya dengan air saja, tanpa
ramu-ramuan obat yang lain. Sebab, pada saat itu ia sedang
berada dalam perjalanan dan tak membawa obat-obatan yang
diperlukan.
“Tetapi” katanya, “Tiga hari kemudian orang itu datang
kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh sebesar
penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang
mujarab.”
“Sebabnya,” sambung Ki Asem Gede, kenapa obat-obatku
banyak yang dapat berhasil, adalah sebagian besar dari mereka
yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa
seseorang yang menderita sakit merasa berbesar hati, adalah
merupakan obat yang banyak menolongnya. Lebih daripada itu,
semuanya adalah berkat kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi.”
Suara Ki Asem Gede terputus, sedang mereka yang mendengarkan
jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki
Asem Gede yang cerah menjadi muram? Beberapa kali ia menelan
ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
“Tetapi....” ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar
kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 95
“Ah tak apalah,” tukasnya. “Segala sesuatu ada
pengecualiannya. Sebagai seorang yang beratus bahkan beribu
kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Tuhan tak
memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-
Nya”
Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia
sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
“Nah… Anakmas....” sambung Ki Asem Gede kemudian, sambil
berusaha untuk mengembalikan suasana, “kenapa tidak saja
Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas jumpai di
perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai kejadian kejadian yang
lucu, misalnya, seperti yang terjadi di sini? Seorang seperti Adi
Pananggalan dan Adi Mantingan berlagak sebagai seorang sakti.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar tersenyum, demikian juga
Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan, meskipun kalau
teringat akan hal itu, hati mereka masih tergetar.
Tetapi kemudian oleh pertanyaan ini, Mahesa Jenar teringat
akan keperluannya datang ke desa itu. Yaitu, ingin mengetahui
jawaban teka-teki tentang adanya kerangka yang dijumpainya di
puncak Gunung Ijo. Karena itu bertanyalah ia, “Ki Asem Gede,
Bapak Demang Pananggalan serta Kakang Mantingan. Memang
sebenarnya ada aku jumpai sesuatu dalam perjalananku yang
ingin aku tanyakan. Itulah sebabnya maka aku datang kemari.”
Ketika Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka
mereka yang mendengarkanpun menjadi bersungguh-sungguh
pula.
“Di puncak Gunung Ijo,” sambung Mahesa Jenar, “aku jumpai
sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang berserak-
serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling mengherankan
adalah adanya batu-batu yang disusun sebagai suatu tempat
untuk sesaji, sedangkan di atasnya terdapat kerangka perempuan.
Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula kerangka yang
lain. Juga seorang perempuan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 95
Mendengar pertanyaan itu Demang Pananggalan
menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan
dahinya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya,
sedangkan Dalang Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Melihat
keadaan itu maka makin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa
daerah ini pasti langsung mengalami bencana yang bertalian
dengan peristiwa Gunung Ijo.
“Anakmas....” jawab Ki Demang Pananggalan dengan suara
yang dalam. “Akulah orangnya, kalau ada orang tua yang
samasekali tak berguna.” Ia berhenti sebentar menelan ludah, lalu
sambungnya, “Apalagi aku sebagai seorang Demang, yang
seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada rakyatku.
Tetapi nyatanya aku samasekali tak mampu berbuat demikian.”
Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang
jauh menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang
masih duduk berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang
kehebatan pertarungan siang tadi.
Demang Pananggalan mengeser duduknya sedikit. Matanya
masih menembus gelap, seolah-olah ada yang dicarinya di
kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin melanjutkan
ceriteranya. Ki Demang pun meneruskan ceritanya. “Ketika itu, di
daerah ini lewat serombongan orang-orang berkuda. Didesa ini
mereka berhenti dan minta untuk menginap barang semalam.
Mereka memasuki desa ini menjelang senja. Karena tak ada tanda-
tanda yang aneh pada mereka, serta sikap pimpinannya yang
ramah maka kami tak dapat menolak permintaan itu. Rombongan
itu dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang akan mengadakan
ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam pertama telah lewat,
mereka minta untuk diperkenankan bermalam semalam lagi
sambil melepaskan lelah dan mengadakan persiapan-persiapan
untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat aku tolak.” Sekali lagi
ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang mengingat-ingat apa yang
telah terjadi. Kemudian sambungny. “Tetapi terkutuklah mereka.
Terkutuklah rombongan orang-orang berkuda itu. Pada malam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 95
kedua mereka menangkap seorang gadis yang sedang pergi ke
sungai. Gadis ini sempat menjerit, dan seorang yang baru pulang
dari mengairi sawahnya dapat menyaksikan peristiwa itu.
Pengantar gadis itu, seorang pemuda tanggung dipukulinya
sampai pingsan. Maka ketika hal itu disampaikan kepada kami,
meledaklah amarah kami. Segera Banjar Kademangan yang kami
sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami kepung rapat-
rapat. Mereka segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang
terjadi adalah diluar dugaan kami. Mereka samasekali tidak
menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir seluruh desa
ini. Ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami tak tahan
lagi. Cepat-cepat kami menyerbu masuk. Tetapi rupa-rupanya
mereka telah siap menanti kedatangan kami. Dan segera terjadilah
pertempuran. Orang-orang kami lebih banyak dikendalikan oleh
kemarahan yang meluap-luap, daripada kesediaan untuk
bertempur. Apalagi rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari
orang-orang yang tangguh. Maka lenyaplah segala kesan
keramah-tamahan mereka. Bahkan tampaklah betapa dahsyat
cara mereka menjatuhkan lawan. Beberapa saat pertempuran itu
berlangsung dengan dahsyatnya, tetapi segera tampak betapa
lemahnya kami. Segera orang-orang kami dapat dihantam dan
dicerai-beraikan. Aku tidak lagi dapat berpikir lain daripada
bertempur mati-matian. Dan aku beserta Baureksa dan Gagak Ijo
sebagai orang-orang yang paling dapat dipercaya pada waktu itu,
berhasil menerobos masuk ke banjar, sehingga kami bertiga
langsung terlibat dalam perkelahian melawan suami-istri
pemimpin gerombolan itu. Mungkin terdorong oleh kemarahanku
maka terasa seolah-olah tenagaku menjadi berlipat-lipat. Si istri
itu pun ternyata mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah lagi betapa
kasarnya cara mereka bertempur. Si Suami menerkam dan
mengaum seperti harimau, sedangkan si isteri menyerang dengan
jari-jari yang dikembangkan. Wajah-wajah mereka yang ramah itu
sekarang sudah berubah menjadi wajah-wajah iblis yang
menakutkan. Tetapi aku samasekali tidak peduli. Mungkin saat itu,
akupun berkelahi seperti iblis. Tetapi kemudian ternyata bahwa
kami bertiga bukanlah lawan mereka. Apalagi tenagaku adalah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 95
tenaga orang tua yang sangat terbatas. Ketika nafasku sudah
mulai mengganggu, segera aku merasa terdesak, sedangkan
serangan mereka semakin lama menjadi semakin kasar.”
Demang tua itu menarik nafas sambil membetulkan duduknya,
kemudian ia melanjutkan, “Saat itu aku sudah berpikir bahwa
rupa-rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sebab daya tahanku
semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi Baureksa dan
Gagak Ijo samasekali tak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata
Tuhan menghendaki lain. Rupa-rupanya salah seorang telah
memberitahukan kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem
Gede, yang pada saat yang tepat datang menolong kami.”
Demang itu berhenti berceritera. Pandangan matanya yang
suram itu dilemparkan kepada Ki Asem Gede. Lalu katanya,
“Selanjutnya Ki Asem Gede-lah yang lebih mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang tua itu dengan
penuh perhatian. Terbayang betapa Demang tua itu telah berusaha
mati-matian untuk melindungi rakyatnya, sampai ia tidak
memikirkan nasibnya sendiri. Tetapi rupa-rupanya lawannya
adalah orang yang perkasa.
Ki Asem Gede yang diminta melanjutkan cerita itu, berkisar
sedikit. Dipandangnya pelita yang nyalanya bergerak-gerak oleh
angin yang berhembus ke pendapa. Ia batuk-batuk sedikit, lalu
mulailah ia bercerita. “Anakmas,” katanya, “sebenarnya bukanlah
pertolongan yang aku berikan, tetapi semata-mata hanyalah
karena kebetulan saja dan terutama atas kehendak Tuhan. Aku
bukanlah orang yang mempunyai kepandaian yang cukup untuk
bertanding. Kalau pada masa mudaku, sekali dua kali aku pernah
terlibat dalam suatu pertarungan, itu samasekali bukan karena aku
mampu melakukannya, tetapi itu hanyalah karena kebodohan dan
kesombonganku yang kosong saja.”
Diam-Diam Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede
yang sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan hampir
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 95
seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya.
Namun gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini
menandakan bahwa pada masa mudanya ia adalah seorang yang
kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun ia masih memiliki
kekuatan itu.
“Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede, “memang aku
pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki
Tambak Manyar.”
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak,
sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya
bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit
Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus
memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang berilmu, baik
dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-
rupanya ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan
pula.
“Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede, “sebagai aku katakan tadi, aku
tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu
ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras. Karena itu
Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata
sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini
adalah suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada
banyak orang sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya,
kecuali hanya kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal
mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.” Orang tua
itu berhenti sebentar dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
ia melanjutkan, “Kepandaian yang tak berarti itu ternyata berguna
juga dalam suatu waktu, dimana Adi Pananggalan hampir menjadi
korban keganasan orang-orang berkuda itu. Ketika aku datang,
penduduk kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir
putus-asa. Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk daerah ini
melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali. Orang-orang berkuda
itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan kotor
lainnya. Karena itu, segala usaha untuk mengusir mereka itu harus
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 95
dijalankan. Pada saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-
orang yang sudah ketakutan itu dan berusaha untuk
membangkitkan semangatnya kembali. Aku peringatkan kepada
mereka bahwa sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu
dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah jelas
bahwa kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di atas kita.
Dengan jumlah yang banyak dan serangan-serangan jarak jauh,
mungkin kita akan berhasil mengacaukan mereka.
Maka, dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki Asem
Gede, rupa-rupanya semangat mereka bangkit kembali. Dan
sebentar kemudian, setelah segala siasat ditentukan, mulailah
kami menyerang orang-orang berkuda itu dari jarak jauh dan dari
segala jurusan. Orang-orang kami mempergunakan panah, supit
dan bandil. Sedang rupa-rupanya orang-orang berkuda itu tidak
bersiap untuk melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga
berhasilah siasat kami untuk mengacaukan perhatian mereka.
Apalagi kami mempergunakan panah yang ujungnya kami balut
dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya pemimpin
mereka suami isteri itu terpaksa keluar dari Banjar dan akhirnya
merekapun dapat kami usir pergi.
“Tetapi yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang
Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka yang
cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang
ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang sangat sehingga
akhirnya ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk
mengembalikan kesadarannya.” Kembali Ki Asem Gede berhenti.
Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu Mahesa
Jenar meresapi kata-katanya.
Bagi Mahesa Jenar, persoalannya menjadi semakin jelas.
Bahwa pernah terjadi percobaan untuk menculik gadis di daerah
ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan. Tetapi meskipun
demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil
mendapatkan gadis-gadis untuk korban upacaranya yang aneh itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 95
“Kemudian sesudah itu....” Ki Asem Gede melanjutkan lagi, “di
atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak Gunung
Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami
kemudian hampir memastikan bahwa rombongan orang-orang
berkuda itu pergi ke sana. Kami merasa bahwa rombongan itu
adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami tidak segera dapat
memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya. Meskipun
demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul
mereka. Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan
mereka samasekali. Akan tetapi beberapa waktu kemudian tidak
lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang
Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang
kira-kira pernah terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu.” Cerita Ki
Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang.
Suatu tarikan nafas penjelasan.
Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang
berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai kepercayaan
sesat. Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan
yang dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai
korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain.
Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat
disebut buas, dan sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama
semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran masing-masing
serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang
terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat
semacam itu.
Tetapi, dI bagian belakang rumah Kademangan itu, tampak
adanya suasana yang berbeda samasekali. Beberapa orang
perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali
ini berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang
sangat mereka hormati. Mereka telah menyembelih beberapa ekor
ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap. Mereka juga
telah mengundang juru masak yang paling terkenal di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 95
Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang
Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.
Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang mula-mula
mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk mengubah
suasana, melenyapkan ketegangan yang mencekam. Katanya,
“Adi Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas
Mahesa Jenar? Tentang ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah
kita simpan lebih dahulu, sampai kesempatan lain. Aku kira
Anakmas Mahesa Jenar perlu melepaskan lelah setelah menempuh
perjalanan yang jauh serta telah meladeni Adi berdua bermain
loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada usul. Adi pasti
setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.”
Demang Pananggalan tersenyum mendengar usul itu. Memang
ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik bahannya
maupun bunyinya.
Tentu saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak usul itu.
Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di halaman,
“Siapa yang di luar?”
“Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya.
Maka, sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah naik ke
pendapa.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut.
“Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
“Nah, aku kira telah cukup. Mari kita bermain-main dengan
gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya sebagai
seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.
Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh. Sahutnya, “Lebih dari
itu…, aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak adakah seorang
pesinden yang baik di desa ini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 95
Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum, juga Mahesa
Jenar dan Mantingan. Rupanya Ki Asem Gede adalah seorang
penggemar uyon-uyon.
“Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis,” kata Demang
Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke halaman.
“Baik Bapak Demang,” jawabnya, sambil melangkah turun.
Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik dan meledaklah
tawa yang tertahan dari orang-orang yang berada di halaman.
“Tetapi yang paling gembira dengan usul ini,” sambung Ki
Asem Gede, “adalah Adi Mantingan, yang telah beberapa lama
tidak mendengar suara gamelan.” Kembali terdengar mereka
tertawa riuh.
Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya berlangsung
dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai Demang satu
demi satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang
berpadu dengan suara Nyai Jae Manis benar-benar dapat
membelai hati pendengarnya. Di halaman, satu demi satu orang
berdatangan untuk turut serta menikmati suara pesinden
kenamaan dari daerah ini.
———-oOo———-
III Tetapi, belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-
tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang berlari
kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan,
Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya
untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan
di halaman segera terjadi keributan. Perempuan-perempuan
berlari-lari kesana-kemari, anak-anak menangis menjerit-jerit.
Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 95
lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang
mengganggu ketenteraman desa mereka.
Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak. Ia
segera meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.
“Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah,” perintah
Demang Pananggalan dengan suara nyaring. “Sedangkan semua
laki-laki di halaman ini, segera memencar dan berusaha untuk
mendapatkan senjata apa saja. Kita masih belum tahu siapakah
yang datang, tetapi keselamatan desa ini di tangan kalian,” lanjut
Demang.
Laki-laki Kademangan ini bukanlah bangsa pengecut. Tetapi
meskipun demikian, hati mereka berdebar-debar juga
mengenangkan kebuasan orang-orang berkuda yang datang
beberapa waktu yang lalu.
Cepat-cepat mereka berpencar dengan senjata seadanya di
tangan masing-masing. Karena mereka samasekali tidak bersiaga,
maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya
tidak bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang
memegang sabit rumput, kapak pembelah kayu, kayu penumbuk
padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa, bahkan ada yang
bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri.
Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa
kademangan, berloncatan pulang untuk mengambil tombak,
pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-
kawan mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa jauh berkurang ketika
mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri Ki
Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan,
serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga
bergelar Rangga Tohjaya, dengan sikap yang tenang dan
meyakinkan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 95
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya.
Sesaat kemudian mereka melihat empat orang penunggang kuda
berturut-turut menyusup regol memasuki halaman Kademangan.
Tetapi, ketika para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan
orang-orang di halaman itu, mereka tampak terkejut, dan sekuat
tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga
kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu
menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para
penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati setiap orang yang
berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan bahwa kedua
penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya
lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di
pinggangnya dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang
berisi batu-batu pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang
bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun tidak menunjukkan
tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di pinggang mereka
tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya
lampu.
Tetapi, sebaliknya dari orang-orang yang berdiri di halaman,
wajah Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan orang-
orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang
berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya,
segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan
kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat
ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat,
dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua
kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia
memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 95
langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan
orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu
mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan,
tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar
juga oleh orang-orang yang berdiri di atas tangga.
Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar
beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang
diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang,
tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani
memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora
hatinya.
“Kami telah mencoba,” jawabnya,” tetapi kekuatan kami tak
berarti. Dua orang kakak seperguruan kami telah mereka lukai
dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah melaporkan ini
kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di
rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.”
Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil. Dan
adalah diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba
secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda itu.
Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai
anak panah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 95
Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu
apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat orang yang
datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat
sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang satu
lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat
mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar. Ketika ia mendengar
percakapan Ki Asem Gede dengan keempat orang berkuda itu, ia
sudah mengira kalau terjadi sesuatu. Maka ketika secepat itu Ki
Asem Gede melarikan kudanya, ia makin yakin bahwa tentu ada
kesulitan dengan menantunya. Dan dialah orang yang pertama-
tama dapat menguasai dirinya dari pergolakan perasaannya,
sehingga ia mengambil keputusan untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda Ki Asem Gede lari dengan kecepatan penuh di malam
yang gelap dengan meninggalkan debu putih yang berhambur-
hamburan, ke arah utara menyusur kali Opak. Jalannya begitu
sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede samasekali tak
menghiraukan. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Pucangan, dimana
ia yakin kalau anaknya, Nyi Wirasaba, ditahan. Ia tahu betul bahwa
segerombolan orang-orang ternama di daerah itu, yang merasa
cukup mempunyai kesaktian, menjadi takabur dan berbuat
sewenang-wenang.
Kejahatan-kejahatan seringkali mereka lakukan. Pemerasan
dan penganiayaan. Dan yang paling jahat adalah pengambilan istri
orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak
terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk
dijadikan istri mereka yang keempat, kelima atau kesekian. Tak
seorangpun yang dapat mencegahnya. Sedang kali ini yang
menjadi korban adalah anak Ki Asem Gede. Mengingat semuanya
itu, hati Ki Asem Gede bergolak hebat sekali karena marahnya.
Sejak ia mengasingkan diri di Asem Gede, ia sudah tak pernah lagi
berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih harus bertempur.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 95
Ia merasa sudah masanya menyepi dan mempergunakan sisa
hidupnya untuk diabadikan pada perikemanusiaan. Tetapi
menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede
yang lunak dan damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya
terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti
setan itu rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki
Asem Gede terpaksa menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede
itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat mengikutinya dari
jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak lebih baik
sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka makin lama
makin dekat.
Berapa lama mereka berkuda, tak lagi terasa, karena perasaan
mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem Gede ingin
segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar
sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.
Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi Sungai
Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya bukan
main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran
yang sangat tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda
Ki Asem Gede, ia dapat menyusup lewat jalan sempit itu ke arah
yang benar.
Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar,
akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul dari
belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih
merasakan segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya
penuh tertumpah kepada putrinya.
Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan berliku-liku.
Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi. Lama-lama
di sebelah timur telah membayang warna merah.
“Hampir fajar,” dengus Mahesa Jenar seorang diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 95
Kuda-kuda mereka kini telah mulai menyusur jalan
persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga. Batang-
batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna
kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk
sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya. Tetapi ketika
diingatnya orang tua yang di depannya itu semakin melarikan
kudanya, ia pun segera mengesampingkan keindahan fajar. Sekali
ia sentakkan kakinya, kudanya berlari semakin cepat seperti
terbang.
Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede membelok ke timur, dan sebentar
kemudian menyusup masuk ke sebuah desa.
Itulah Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan jejak.
Dengan ujung kendali, kudanya dicambuk agar melaju lebih cepat
lagi.
Ki Asem Gede tak sedikit pun mengurangi kecepatan kudanya.
Ketika sampai di muka sebuah rumah yang berhalaman luas dan
beregol besar, ia membelokkan kudanya memasuki halaman. Kuda
yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung menuju ke pendapa
rumah itu. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem
Gede menarik kendali dan berhenti di muka pendapa. Pendapa itu
ternyata tertutup dinding di empat sisinya. Pintunya masih
tertutup rapat, dan lampu di dalamnya hanya menyala remang-
remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya. Sebentar ia
tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia yakin kalau
putrinya berada di tempat itu. Itulah rumah pemimpin gerombolan
orang-orang yang merasa dirinya tak dapat dirintangi
kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu keras-keras. Sekali, dua kali,
tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem Gede tak sabar lagi.
Dengan kedua sisi telapak tangannya ia memukul daun pintu itu
sekuat tenaga, hingga berderak-derak. Maka patahlah palang
pintu itu, sehingga terbuka lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat
masuk, dan tampaklah olehnya lima orang sedang duduk di atas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 95
sebuah balai-balai bambu yang besar menghadapi meja kecil berisi
bermacam-macam makanan dan minuman keras.
Kelima orang itu memandang Ki Asem Gede dengan
pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga Ki
Asem Gede semakin marah.
“Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang
sudah tua itu tampak garang dan samasekali berobah dari sifat
keramah-tamahannya.
“Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku
yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang
rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
“Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti
merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara
mereka berlima tertawa berderai-derai.
Ki Asem Gede semakin marah, direndahkan sedemikian. Cepat
ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah
dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja
kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya
lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang
pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu
jadi terputus karena terkejut bukab kepalang, dan cepat-cepat
meloncat menjauhi dan turun dari balai-balai itu. Mereka
samasekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki
tenaga yang sedemikian kuatnya. Tetapi, sebentar kemudian
terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak. “Bagus... bagus,”
katanya, “Alangkah hebatnya”.
Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia
berteriak. “Aku datang untuk mengambil anakku.”
Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin. “Kami
telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini,
dengan menyimpan anakmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 95
“Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
“Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk
dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun
ia sudah bersuami.”
“Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah.
Kembali Samparan tertawa tertawa dingin, “Sudah seharusnya
kau tidak percaya,” sambungnya, “sebab kau ayahnya. Tetapi
ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul keributan karena pokal
anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya telah timbul
wabah penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu
disebabkan karena salah istrimu itu pula, sehingga danyang-
danyang menjadi marah.”
Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya
sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa liciknya
orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik
kenyataan.
“Samparan....” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil.
“Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara di
hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti
kehendakmu dan kawan-kawanmu, gerombolan iblis ini, sehingga
kau terpaksa menculiknya dan menyimpannya. Sekarang aku
minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”
Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi, “Aku
tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas persetujuan
rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk
menjatuhkan hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah
hukuman yang dijatuhkan pada orang demikian pada jaman
dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin
menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang hampir
meledak. “Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 95
hukuman mati, atau orang yang telah mendapat kuasanya. Orang-
orang Pucangan ini pun tak berhak melakukan itu, apalagi iblis-
iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.
Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa
iblisnya. “Betul…, betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil
sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka
sudah sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada
kemampuan, membantu berlakunya undang-undang di daerah ini,
menghapuskan kekhianatan.”
Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya. Untunglah
bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak akan
mampu melawan kelima orang itu.
“Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian, “untuk tiap-tiap
keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah peraturan ini?”
Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak berpikir.
Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa iblis keluar dari
mulut Samparan.
“Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan
persoalan ini menjadi persoalan umum.”
“Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas
persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian
hal itu sudah menjadi persoalan umum?”
Kembali Samparan merenung. Tampak ia berpikir untuk
mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada
semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-
saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi
akhirnya ia ketemukan juga suatu cara untuk mengatasinya.
“Ki Asem Gede,” katanya, “kami adalah bangsa yang mengenal
keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan pembelaan?
Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 95
tangan kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan
itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede
hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang
dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab,
“Keadilan yang tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu
pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya kalau
didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat
dilakukan dengan sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang
pembela, atau barangkali kau sendiri? Sedang di pihak kami pun
akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan kami
itu. Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.”
Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin
kalau pihaknya pasti akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki
Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah lanjut itu, tentu
tidak akan berbahaya lagi.
“Setan…,” dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun demikian ia
masih berusaha untuk mendapat suatu kesempatan.
“Bagus....” katanya kemudian, “aku terima cara itu. Sekarang
aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan barangkali?”
Samparan jadi tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap
maksud Ki Asem Gede. “Kau memang licik sekali. Kau mengharap
bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain. Atau dalam
kesempatan itu kau dapat membebaskan anakmu. Nah Ki Asem
Gede… supaya persoalan ini tidak berlarut-larut, aku tetapkan hari
pertarungan ini adalah hari ini. Bukankah fajar sudah datang?”
Seperti disengat ribuan lebah, Ki Asem Gede mendengar
putusan Samparan itu. Bahwa setan itu betul-betul licik, kini telah
terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi. Kalau saja ia tadi
membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 95
Ki Asem Gede sendiri bukan berarti takut menghadapi
persoalan itu, meskipun misalnya ia harus menyerahkan
nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah, berarti
kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa
tenaganya sudah mulai surut. Apalagi menghadapi iblis-iblis yang
segar dan sedang tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya. Biasanya ia berlaku
tenang. Tetapi menghadapi persoalan satu-satunya anak yang
diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi kehilangan
ketenangan itu.
Tetapi pada saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba
terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung pengaruh
yang luar biasa. Katanya, “Ki Asem Gede akan menerima
ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku sebagai
pembelanya.”
Mendengar suara itu, semua yang berada di dalam ruangan
segera memandang ke arah pintu di mana berdiri seorang dengan
sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa diduga-duga itu, Ki
Asem Gede menjadi girang bukan kepalang, sampai hampir-
hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah mendekati dan
menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang baru saja
dikenalnya itu.
Sementara itu kelima orang penghuni rumah itu memandang
dengan heran dan mencoba menebak-nebak. Siapakah gerangan
orang yang begitu besar kepala sehingga berani menawarkan diri
untuk membela anak Ki Asem Gede itu? Sedang wajah orang itu
belum pernah dikenalnya.
“Siapakah dia?” tanya Samparan kemudian.
Hampir saja Ki Asem Gede menyebut gelar Rangga Tohjaya
untuk sekaligus menakut-nakuti kelima orang itu. Tetapi melihat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 95
gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului, “Aku adalah Mahesa
Jenar, sahabat Ki Asem Gede.”
“Mahesa Jenar?” ulang Samparan. Nama itu pun samasekali
tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka takuti adalah
Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil menangkap
tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa.
Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun
belum tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa
mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa
itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan berani
membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang
yang ada hanya orang yang samasekali tak ternama.
Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau
mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar
menambahkan, “Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun yang
akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan
itu, bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku adalah laki-
laki seperti kalian juga.”
Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil
menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya, apalagi
mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat
tandingan.
Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera
melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang nyaring
berkata, “Kakang Samparan, apa yang sudah terucapkan
sebaiknya dilaksanakan. Aku belum kenal orang ini, dan orang ini
pun rupa-rupanya belum kenal kami. Baiklah kini kami saling
berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan dari peraturan itu,
pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara terbuka. Siapa
saja boleh menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan
dilaksanakan sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak
tak mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang
menang mempunyai hak untuk berbuat apapun atas yang kalah,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 95
dan atas barang taruhan.” Kata-kata itu diucapkan dengan penuh
keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan yang
sangat lunak.
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede
yang semula sangat girang, kini menjadi agak cemas juga.
“Kalau… seandainya… Mahesa Jenar kalah…? Akh tak mungkin,”
pikirnya.
Sementara itu Samparan tak mengangguk meskipun ia tidak
seyakin Watu Gunung, kawannya yang telah melengkapi peraturan
tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak mempunyai
pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela.
BELUM lagi ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung
menyambung, “Nah sekarang siapakah diantara kami yang pantas
melayani kawan itu?”
Dari nada pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu Gunung
bernafsu untuk menjadi jago yang harus bertanding dengan
Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang termasuk paling
kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi
pemimpin, adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak
mempunyai pengalaman, baik dalam tata perkelahian maupun
dalam lika-liku pembicaraan dan tipu muslihat. uAgar tidak
mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu
Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus
melayani orang asing ini, sehingga tidak ada kemungkinan
mengalami kekalahan.
“Baiklah kawan-kawan,” katanya, “aku memilih Adi Watu
Gunung untuk melayani tamu kita nanti”.
Watu Gunung menjadi gembira mendengar putusan ini.
Sebaliknya kawan-kawannya yang lain merasa kecewa karena
tidak dapat bermain-main dengan seorang yang samasekali tak
bernama tetapi sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba
menghalang-halangi kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 95
mereka akan turut merasakan hasil kemenangan Watu Gunung
nanti. Memang, sebenarnya Watu Gununglah yang paling
berkepentingan pada saat itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum
meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah berangan-
angan untuk dapat mengawini anak Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah
beruntung dengan Wirasaba, sehingga ia terpaksa mengalami
patah hati. Sekarang, ia ingin membalas sakit hatinya dengan
menculik Nyi Wirasaba itu.
Watu Gunung berperawakan tinggi gagah, bertubuh kekar, dan
sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak semula menjadi
orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri yang
cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi
pingsan kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.
“Sekarang,” kata Samparan kemudian, “ sambil menunggu
siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat di
gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita
ke sana,”
Maka, orang yang dipanggil Wisuda, salah seorang dari lima
orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar
untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka
berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, ketika
dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan dirinya di atas sebuah
amben, katanya, “Ki Asem Gede, semalaman aku tidak tidur, dan
pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda dengan Ki Asem
Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat
melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan”
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas
Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah tertidur.
Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus
mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang
termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 95
sekarang, dengan enaknya ia tidur mendekur. Ketika hal itu
direnungkan dalam-dalam, ternyata Mahesa Jenar samasekali tak
memandang remeh calon lawannya. Dengan beristirahat,
meskipun hanya sebentar, ia akan dapat memulihkan tenaganya,
sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan baik.
Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya juga
perlu mengaso, siapa tahu tenaganya nanti diperlukan. Ternyata
hatinya tidak setenang Mahesa Jenar. Ia tetap kuatir akan nasib
anak satu-satunya itu, dan ia juga khawatir kalau Samparan dan
kawan-kawannya berbuat curang. Karena itu ia hanya berbaring.
Matanya samasekali tak dapat dipejamkan.
Pada saat itu sinar mahatari pagi telah mulai masuk menyusup
lubang-lubang dinding meskipun masih condong sekali. Sekali dua
kali telah terdengar suara gerobag lewat di jalan di depan rumah
itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur arena
untuk bertanding siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika
melihat beberapa tonggak ditancapkan dan tali-tali direntangkan,
mereka tahu bahwa akan ada pertandingan lagi di halaman rumah
Samparan yang juga dikenal sebagai rumah setan. Sebenarnya tak
seorang pun yang ingin dekat dengan rumah serta penghuninya
itu, sebab mereka takut kalau entah harta kekayaannya, entah
ternaknya, dan yang ditakuti adalah kalau istri atau gadisnya
dikehendaki oleh iblis-iblis itu. Tetapi di samping itu mereka juga
ingin melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering diadakan
di halaman itu, dengan mengharap-harap sekali waktu ada orang
yang dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima iblis penghuni
rumah itu. Tetapi sampai sekarang, kalau ada orang yang
menuntut istri atau anaknya, dan terpaksa melewati pertandingan
di arena itu, tentu dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau
anak mereka, malahan menjadi barang taruhan yang makin tak
berharga.
Hal ini, Demang Pucangan sendiri tak dapat mengatasinya.
Dan tak seorangpun berani melaporkan kepada atasan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 95
berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi
terancam.
Kembali kali ini akan ada sebuah pertandingan. Orang sudah
menduga bahwa hal ini tentu berhubungan dengan hilangnya Nyi
Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki arena?. Ayahnya,
Ki Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?
Sementara itu Mahesa Jenar masih enak-enak tidur. Berbareng
matahari semakin tinggi, Ki Asem Gede semakin gelisah.
Adalah di luar dugaannya kalau pada saat itu salah seorang
pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan membawa
hidangan minuman dan makanan. Rupanya mereka akan
menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang baik hati, serta
perbuatannya itu betul-betul untuk kepentingan penduduk
setempat.
Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem
Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada
semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut
pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia
mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu
akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu
benar-benar bersih.
“Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan
pertandingan ini seperti yang sudah-sudah,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan
tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah
kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan,
ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh pertanyaan. KI Asem
Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera
menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk
menikmati masakan dari Pucangan. Aku, sebagai orang yang
mendalami masalah obat-obatan, telah meyakinkan bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 95
makanan ini bersih dari racun maupun obat bius dan malahan aku
pun telah mencicipinya.”
Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-
ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk minuman dan
segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul beberapa
potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih
kembali, setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan adanya pertarungan di halaman rumah Samparan
itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke pasar bergegas
untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan pertandingan itu.
Sedang beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit
kekuatan, mencibirkan bibir, bahwa orang yang berani mencoba
melawan rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu
hidup. Padahal orang-orang itu sendiri pun tidak mampu
melawannya.
Sedang orang yang diributkan, pada saat itu samasekali tak
menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman. Pada saat-saat
semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan
memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar samasekali tak
pernah meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan
menghilangkan kehati-hatiannya.
Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala
persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi arena.
Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali –
lima kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam
dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian
dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan
mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu lima kali-lima kali berutrrut-
turut bagi orang-orang Pucangan, seolah seperti suara malaikat
pencabut nyawa yang memanggil-manggil korbannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 95
Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan
beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian
yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah
soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah
soga pula, tanpa baju.
Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang
berkerumun bersibak memberi jalan.
Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti
orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem Gede
menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis
dipakai tidur tadi. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia
suka warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung.
Ikat kepala dan bajunya juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, “Selamat pagi
Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau
airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat
melayani permainanmu dengan baik.”
Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai.
Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan samasekali
tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata
Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya
tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak.
Tetapi, orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi
bingung. Mereka samasekali tak menemukan satu hal pun dari
Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya,
otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang
matanya seakan-akan mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar
akan memenangkan pertarungan ini. Mereka samasekali tak
sampai pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu
memancarkan suatu kebesaran pribadi yang tak ada bandingnya.
Hal ini rupanya dirasakan juga oleh Samparan dan kawan-
kawannya, sehingga ketika Watu Gunung bertemu pandang
dengan Mahesa Jenar, hatinya berdegup keras dan cepat-cepat ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 95
melemparkan pandangannya. Dengan gugup untuk menutupi
kerisauan hatinya, Watu Gunung berteriak, “Kakang Samparan,
senjata apa yang pantas aku pakai?”
Samparan yang tak mengira akan mendapat pertanyaan itu
dengan sekenanya saja menjawab, “Apa yang kau pilih!”
Kembali Watu Gunung jadi kebingungan, dan untuk
mengatasinya, ia ingin mencari jawab pada lawannya dan
sekaligus untuk lebih merapati kegelisahannya, katanya, “Mahesa
Jenar, senjata apakah yang kau ingin pakai?”
Mahesa Jenar merenung sebentar, kemudian jawabannya
makin menjadikan Watu Gunung kebingungan. “Watu Gunung…
senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang permainan ini
hanya sekadar untuk menentukan pihak manakah yang
dibenarkan Tuhan. Karena itu aku menganggap bahwa aku tak
ingin mempergunakan senjata.” Watu Gunung menjadi semakin
keripuhan, apalagi ketika Mahesa Jenar menyambung, “Tetapi
meskipun demikian, kalau kau ingin mempergunakan senjata,
kalau itu sudah menjadi kebiasaanmu, aku samasekali tak
keberatan, sedangkan bagiku sendiri senjata itu hanya akan
merepotkan saja.”
Muka Watu Gunung menjadi merah seperti darah. Malu dan
marah bercampur aduk. Belum pernah ia direndahkan sedemikian.
Dan sekarang orang yang tak bernama itu berani berbuat
demikian. Maka dengan suara lantang penuh kesombongan dan
kemarahan, ia menjawab, “Aku bukanlah bangsa pengecut yang
hanya berani bermain dengan senjata. Kalau aku bertanya tentang
senjata itu maksudku sudah tegas, berkelahi sampai salah satu
diantara kita mati. Tetapi kalau kau takut melihat tajamnya
senjata, baiklah aku juga tidak akan bersenjata, sebab dengan
tanganku ini aku akan dapat mematahkan lehermu.”
Orang yang mendengar ucapan ini bulunya berdiri. Watu
Gunung sudah terkenal kehebatannya dan kekejamannya. Apalagi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 95
ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang besar. Tetapi hal
itu bagi Mahesa Jenar adalah suatu keuntungan. Sebab dengan
kemarahan itu Watu Gunung akan kehilangan sebagian dari
pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah berteriak, “Mahesa Jenar
marilah kita mulai.” Mahesa Jenar segera mempersiapkan diri. Ia
tidak mau dikenai oleh serangan yang pertama kali dan digerakkan
oleh hawa kemarahan, yang tentu akan menambah kekuatan
lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa Jenar adalah benar. Belum
lagi mulutnya terkatub rapat, Watu Gunung sudah meloncat maju
dan langsung menyerang ulu hati Mahesa Jenar. Serangan itu
begitu garang nampaknya seperti harimau menerkam mangsanya.
Orang-Orang yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah
tersirat sampai ke kepala. Tetapi Mahesa Jenar yang sudah
bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang dan memutar
sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu tak mengenai sasarannya.
Gagal dari serangan pertama ini Watu Gunung menyerang pula
dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar, tetapi juga seperti
serangannya yang pertama. Serangan ini pun dengan mudahnya
dapat dihindarkan. Melihat kedua serangannya itu menyentuh
pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin marah.
Kembali ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada,
dan sekaligus mempersiapkan tangan yang lain untuk menutup
jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir berhasil
mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya
sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera
menarik tubuhnya ke belakang dengan satu loncatan yang cepat,
ia menghindar ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung
menjadi semakin uring-uringan. Dan meluncurlah kemudian
serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang
telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa
Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir, Mahesa Jenar merasa
betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu tidaklah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 95
dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi
Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya
kepada kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang
dengan menyodok perut, kening dan mata.
Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menguji
kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada suatu saat pertahanan
dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar
mempergunakan kesempatan ini. Seperti seekor burung
menyambar belalang, ia pergunakan sisi telapak tangannya untuk
menghantam dada lawannya. Serangan itu begitu mendadak dan
cepat sehingga lawannya tak sempat menghindarinya. Merasa
kena hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung mundur
selangkah. Mulutnya meringis sebentar menahan sakit. Tetapi oleh
daya tahan badannya, segera rasa sakit itu hilang.
Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan sekali lagi meloncat
mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap untuk menyerang
atau bertahan, malahan ia berdiri di atas kedua kakinya yang
direnggangkan dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar pun menjadi
tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak berani
gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap
untuk mengelabuinya dan memancingnya dalam suatu keadaan
yang tak menguntungkan. Ia menjadi semakin heran ketika tiba-
tiba Watu Gunung tertawa keras dengan suaranya yang nyaring.
Begitu kerasnya ia tertawa sampai menimbulkan getaran-getaran
di dada orang yang mendengarnya.
Sebaliknya para penonton yang melihat Watu Gunung
bersikap demikian, seketika tubuhnya menjadi gemetar. Sebab
dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu
kepastian bahwa dalam waktu singkat ia pasti akan dapat
menghancurkan lawannya. Dan, biasanya dipegangnya kedua kaki
lawannya itu, diputar di udara, dan dengan sekali tetak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 95
dihantamkan pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga
kepalanya menjadi pecah berserakan.
Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut menjadi cemas. Ia melihat
nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat mengenai dada,
tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa. Tetapi melihat
ketenangan Mahesa Jenar, Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang
pula. Satu kesalahan dari Watu Gunung dan para penonton
pertarungan itu adalah bahwa mereka tidak menyadari kalau
pukulan Mahesa Jenar itu hanya mempergunakan sebagian kecil
dari seluruh kekuatannya. Dengan melihat akibat dari pukulan
percobaan itu, Mahesa Jenar dapat mengukur bahwa kalau ia
mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya, dada Watu
Gunung itu sudah pasti akan rontok.
Ketika suara tertawa dari Watu Gunung makin menurun, para
penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab, demikian suara itu
berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan
dahsyatnya tanpa menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya
pada waktu yang singkat ia telah berhasil meringkus kaki lawan itu
dan membenturkan kepalanya di pohon sawo.
Berbeda dengan semua pikiran-pikiran itu, tiba-tiba Mahesa
Jenar mendapat kesan yang aneh dari suara tertawa itu. Ia jadi
terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan dan
hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi
beberapa waktu yang lalu ketika ia masih menjabat sebagai
perwira pasukan pengawal raja.
Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan
memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang
sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu
himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam
yang ingin mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri
sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang
yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya
Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim disebut
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 95
gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai
daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai
sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar,
gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri
beserta beberapa orang kepercayaannya berani melakukan
pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan
keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa
dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-
kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal
yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar
seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan
pada sebilah pisau, yang agak panjang.
Bahkan kekurangajarannya memuncak lagi dengan usahanya
memasuki kamar perbendaharaan istana, dimana disimpan harta
kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara yang terbuat
dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib
yang tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu
tak seorang pun yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan
Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat
memasuki halaman istana bagian dalam.
Untunglah bahwa pada saat-saat dimana gerombolan Lawa Ijo
sedang mengganas, pasukan pengawal istana telah mengambil
langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang
bertugas ronda keliling, tetapi juga para perwira. Malam itu adalah
malam dimana Mahesa Jenar sedang mendapat giliran
bertanggungjawab pada keselamatan raja serta istana seisinya.
Dan justru pada malam itu pulalah gerombolan Lawa Ijo bertindak.
Pada malam itu kira-kira hampir tengah malam, Mahesa Jenar
di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup perlahan-
lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit merasa kantuk
dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi menahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 95
matanya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari
serangan itu. Tetapi ia adalah seorang perajurit yang
berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran,
hatinya menjadi curiga. Meskipun demikian ia tidak segera
bertindak. Mula-mula ia pusatkan kekuatan batinnya untuk
melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat laun ia
berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura
merebahkan diri di samping seorang perwira bawahannya yang
sudah hampir tak kuat lagi menahan kantuknya. Tetapi begitu
Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia perlahan-lahan sekali
kepada perwira bawahannya itu. “Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya
dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”
Mendengar bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi
seperti tersadar dari kantuknya. Cepat-cepat ia pun memusatkan
seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat tenaga ia
melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil
menguasai dirinya kembali. Ketika Mahesa Jenar melihat bahwa
Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali ia berkata, “Adi
Gadjah Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam
istana ini. Aku kira sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam
cengkeraman sirep itu. Tetapi baiklah kita tidak usah ribut. Marilah
kita berdua berusaha untuk menguasai keadaan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?”
tanya Gadjah Alit.
“Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau
kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah kita berpencar.
Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke utara dan aku
ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang
mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak
mampu mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah
suitan.”
“Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 95
Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan
dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap pintu belakang
ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar orang
yang bermaksud jahat itu samasekali tak menduga bahwa diantara
sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang
tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman itu dengan
seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau
Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak
menemukan tanda apa-apa. Malahan halaman dalam istana itu
rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan
Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman
dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa. Mahesa Jenar
yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang
mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah
berdekatan dengan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya ia segera
diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang agak
rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di
sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya
kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu kebatinannya,
masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya
sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap
menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap melawan
pengaruhnya. Dengan mengukur kekuatan angin aneh itu, Mahesa
Jenar sedikit banyak dapat menjajaki sampai dimana kehebatan
orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar harus
betul-betul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang
memasang sirep itu tentulah seorang yang mempunyai kesaktian
tinggi. Dari tempat persembunyiannya Mahesa Jenar dapat melihat
bahwa tiga orang yang bertugas jaga di sudut dinding halaman itu
telah tertidur semuanya.
Tombaknya disandarkan pada dinding halaman, dan mereka
bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas rumput.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 95
Maka setelah agak lama Mahesa Jenar menanti, datanglah saat
yang menyebabkan denyut jantung Mahesa Jenar bertambah
cepat. Karena pendengarannya yang sangat tajam itulah maka ia
mendengar suara berdesir di atas atap balai perbendaharaan
istana. Ketika dengan matanya yang setajam telinganya itu pula ia
mengamat-amati arah suara itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya
samar-samar bayangan yang berkerudung hampir seluruh
tubuhnya berjalan mengendap-ngendap. Tiba-tiba bayangan itu
berhenti hanya beberapa depa saja di atasnya. Mahesa Jenar
segera mengatur jalan nafasnya supaya tidak didengar oleh
bayangan itu. Dan memang rupa-rupanya bayangan itu
samasekali tidak mengerti kalau di bawahnya bersembunyi
seseorang.
Bayangan itu kemudian berdiri dan terdengarlah suatu suitan
nyaring. Setelah itu ia berdiri tegak sambil memandang ke arah
sudut pagar halaman. Tiba-tiba muncullah berturut-turut, hampir
seperti seekor berati yang terbang dan hinggap di atas dinding
pagar yang tingginya satu setengah kali tinggi orang. Dan
kemudian terdengarlah tawa itu. Bayangan di atas balai
perbendaharaan itu memperdengarkan suara tertawa yang
walaupun tidak keras tetapi memancarkan suatu pengaruh yang
luar biasa, sehingga seseorang yang mendengarnya hatinya
menjadi begitu pedih seperti mendengar rintihan hantu kubur.
Bukan itu saja. Keempat bayangan yang muncul kemudian itu
memperdengarkan suara tertawa yang sama, sehingga terpaksa
Mahesa Jenar harus segera dengan kekuatan batinnya menutupi
lubang-lubang pendengaran hatinya untuk tidak menerima
pengaruh jahat dari suara itu. Kemudian keempat orang itu
meloncat dengan gaya seperti seekor burung, turun ke halaman.
Seperti terapung di udara, mereka berlari ke arah bayangan di atas
atap itu. Sementara itu dari arah lain Mahesa Jenar melihat
bayangan seorang yang pendek bulat berlari seperti batu
berguling-guling masuk jurang begitu cepatnya ke arah empat
bayangan itu. Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, bayangan
itu sudah langsung menyerang. Hati Mahesa Jenar berdebar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 95
bertambah cepat. Bayangan yang gemuk pendek dan
menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit.
Rupanya ketika Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap
itu, ia mengira kalau Mahesa Jenarlah yang memberi tanda
kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati
sekali pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa
bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat bayangan itu seperti
terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka dengan tidak
banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat
bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya samasekali tidak
menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian hebatnya.
Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah
berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi
sangat marah dan segeralah terjadi pertempuran yang hebat
sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri.
Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya Gajah Alit
tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia harus
bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga
tempur yang cukup, ia sendiri memandang perlu untuk tetap
mengawasi gerak-gerik bayangan di atas atap balai
perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar.
Bayangan di atas atap itu ternyata adalah pemimpinnya, yaitu
Lawa Ijo sendiri. Melihat keempat orangnya itu tak segera dapat
mengatasi lawannya, Lawa Ijo tampaknya tidak sabar lagi. Tiba-
tiba ia mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti seekor elang
menyambar ia terjun dari atap. Kedua tangannya dikembangkan
dan tampaklah jari-jari tangannya yang kokoh kuat itu siap
menerkam Gajah Alit. Mahesa Jenar yang memang sudah siap,
tidak membiarkan Gajah Alit dilukai, segera ia pun meloncat dari
persembunyiannya. Geraknya tampak kuat, tangkas dan teguh
seperti seekor banteng yang terluka menyerang lawannya.
Mendengar suitan dari atas atap itu, Gajah Alit segera sadar bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 95
suitan itu seperti yang didengarnya tadi, ternyata bukanlah suara
Mahesa Jenar. Maka segera ia melontarkan diri jauh ke belakang
sampai empat lima depa, dan segera bersiap menghadapi
kemungkinan dari musuhnya yang baru itu. Melihat gerak yang
demikian cepatnya ketiga musuhnya jadi terkejut, demikian juga
Lawa Ijo yang terpaksa membuat satu gerakan di udara untuk
mengubah arah terjunnya. Tetapi kembali di luar dugaannya
bahwa dari arah lain datanglah dengan garangnya suatu serangan
yang dahsyat. Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Tetapi,
meskipun demikian ia tak mempunyai kekuatan lagi untuk
menyerang ke arah yang berlawanan, sehingga segera ia melipat
tangan kanannya untuk melindungi dada, sedangkan tangan
kirinya disiapkan untuk menyerang. Mak, pada saat kaki Lawa Ijo
baru saja menyentuh tanah, datanglah serangan Mahesa Jenar
dengan dahsyatnya, sehingga terjadilah suatu benturan yang
sangat hebat dari dua tenaga raksasa. Tetapi rupanya Mahesa
Jenar menang perhitungan, sehingga Lawa Ijo terdorong ke
belakang dan kehilangan keseimbangan. Ia berguling dua kali ke
belakang dan barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi, sementara
dadanya terasa nyeri sekali, nafasnya agak sesak. Pukulan Mahesa
Jenar yang dilontarkan sepenuh tenaga itu rupanya telah melukai
bagian dalam tubuh Lawa Ijo. Meskipun demikian, pada saat
benturan itu terjadi, tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah dapat
mengenai pundak Mahesa Jenar, sehingga tangan kanan Mahesa
Jenar pun menjadi sakit dan geraknya menjadi terbatas.
Gajah Alit yang melihat munculnya Mahesa Jenar dengan tiba-
tiba itu menjadi girang, dan geraknya bertambah mantap. Sambil
menyerang kembali ia sempat berkata, “Ee.., kakang Rangga,
rupa-rupanya kau mau mengajak main sembunyi-sembunyian.”
Tetapi Mahesa Jenar diam saja, sebab ia sedang berhadapan
dengan lawan yang sangat tangguh.
Maka, segera terjadi dua kancah pertarungan yang dahsyat.
Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit melawan tiga
orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah berhasil
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 95
dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar
dan Lawa ijo segera tampak berat sebelah. Sekali dua kali memang
ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa
Jenar telah mengenainya dua kali lipat. Karena tangan kanannya
terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan
gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo.
Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya menyerang arah
tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang
dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan
menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa
Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu
hati Mahesa Jenar. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga
hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat,
Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan
tangannya mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu
kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah lingkaran. Maka
kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi
kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan
suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung
lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa langkah. Dan
karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka pukulan ini
rasanya jauh lebih hebat dari serangan yang pertama, sehingga
Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa Jenar yang akan
memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya. Seleret
sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia
miringkan tubuhnya, dan sinar putih itu lari hanya berjarak setebal
daun dari dadanya, mengenai dinding balai perbendaharaan dan
langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya.
Ternyata benda itu adalah sebilah pisau yang pada tangkainya
diikatkan secarik kain yang bergambar seekor kelelawar hijau
dengan kepala serigala. Melihat pisau itu tertancap begitu dalam,
hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja pisau itu menancap di
dadanya, entahlah apa jadinya.
Sementara itu terjadilah suatu hal di luar dugaan. Setelah
melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke belakang dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 95
secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja tak
membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi
di luar dugaannya pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah
Alit segera meninggalkannya dan menghadangnya. Mereka
sekarang sudah memegang senjata di tangan masing-masing.
Sebuah belati panjang. Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali.
Sedianya ia samasekali tak ingin melayani orang itu, supaya tidak
kehilangan Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang
Mahesa Jenar. Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani
kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun Gajah Alit mengerti
akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu untuk memberi
kesempatan kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri.
Karena itu Gajah Alit pun berusaha untuk menghindari
pertarungan dengan lawannya yang tinggal seorang itu untuk
dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah seperti
orang kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah
Alit mengambil keputusan untuk menyelesaikan lawan masing-
masing, baru berusaha menangkap Lawa Ijo. Tetapi belum lagi
mereka berhasil menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah
meloncat ke atas dinding halaman. Kemudian kembali terdengar
suara tertawa itu, suara tertawa yang menusuk-nusuk hati begitu
pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur. Dengan cepat
tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah.
Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di depan matanya, Mahesa
jenar dan Gajah Alit menjadi gusar bukan kepalang. Dan sekarang
kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada lawannya
yang ketika itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka
dengan kekuatan penuh, Mahesa Jenar segera menghantam
lawannya. Pisau yang dipegang oleh kedua orang itu samasekali
tak berarti. Dan sekali pukulan Mahesa Jenar melayang mengenai
kepala salah seorang di antaranya, sehingga terdengar suatu jerit
ngeri. Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulang-
tulang rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka seperti
batang pisang keduanya roboh di tanah dan tak bergerak-gerak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 95
lagi. Belum lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara
keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun berhasil
menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara
sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya
yang pendek kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan
ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai nafas
lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam
istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian terhadap
Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan
usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang
anggotanya, tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan
kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi perkelahian
begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan
suitan, namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena
pengaruh sirep itu terbangun.
Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga
mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak
mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh
karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang, pada saat ia bertanding melawan Watu Gunung
untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali ia mendengar tertawa
yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo. Orang-
orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam
perkelahian itu pun menjadi menggigil karenanya. Bahkan
beberapa orang telah terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk
dapat berdiri.
———-oOo———-
IV Mendapat ingatan itu, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti
tergugah. Dalam sejarah hidupnya belum pernah ada seseorang
penjahat yang sudah berada di bawah hidungnya terluput dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 95
tangannya. Meskipun ia sekarang bukan lagi seorang prajurit
Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian untuk kedamaian hati
rakyat. Karena itu sekali lagi ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo,
yang sejak peristiwa itu namanya tak pernah terdengar lagi. Tetapi
ia yakin, bahwa apabila tak terbinasakan, pada suatu saat pasti
Lawa Ijo akan muncul kembali. Watu Gunung yang memiliki ciri-
ciri khas sama dengan Lawa Ijo, tentu mempunyai hubungan erat.
Mungkin Watu Gunung adalah bekas gerombolan Lawa Ijo, atau
mungkin juga muridnya. Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar
untuk mempermainkan orang ini sebagai undangan buat kehadiran
Lawa Ijo.
Kenangan dan pikiran-pikiran itu hanya sebentar saja melintas
di otak Mahesa Jenar. Sementara itu suara tertawa Watu Gunung
sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton pun menjadi kian
ngeri dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya terjatuh lemas
seperti dicopoti tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu
segera tiba. Para penonton yang mengharap segera berakhir
riwayat kelima iblis itu, meratap dalam hati.
Tepat pada saat mulut Watu Ganung terkatup, matanya segera
berubah jadi merah dan liar. Wajahnya tampak bertambah bengis.
Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam. Tangannya
direntangkan ke samping, sedangkan jari-jarinya yang kuat itu
dikembangkan, siap untuk menerkam dan merobek lawannya.
Setapak demi setapak ia maju mendekati umpannya.
Tetapi, sementara Mahesa Jenar pun telah siap, dan telah
mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi ia
tetap waspada dan hati-hati, sebab ia tahu betapa kuatnya Lawa
Ijo. Kalau saja orang ini dapat mewarisi segala kehebatan Lawa
Ijo, pertarungan tentu akan menjadi sangat sengit sekali.
Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua depa, Watu Gunung
menggeram hebat. Lalu dengan gerak yang cepat sekali ia
melompat menerkam Mahesa Jenar. Serangan yang dilontarkan
dengan sepenuh tenaga, serta dari jarak yang begitu dekat dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 95
kecepatan yang tinggi, menjadikan darah para penonton berdesir.
Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar tidak sempat
menghindari serangan itu. Ia hanya dapat melindungi dirinya
dengan tangannya, yang disilangkan di muka dadanya untuk
menahan terkaman jari-jari Watu Gunung.
Memang saat itu Mahesa Jenar samasekali tidak berusaha
menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk
melindungi dadanya. Dan ketika serangan itu datang, terdengarlah
beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan
Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka
mengira bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan
tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak
terjadi benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu Gunung
menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah
untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam
bagian tenaganya untuk mendorong lawannya. Watu Gunung
samasekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan
yang demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke
udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang sebentar dan
terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan
keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh
bergulingan. Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil
tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan
sebuah pertahanan.
“Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi.
Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia rendahkan tubuhnya dan
melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa Jenar
tidak betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar
kemudian tangan kanannya sudah berputar mengenai tengkuk
Watu Gunung. Kembali Watu Gunung terhuyung-huyung ke
samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 95
tubuhnya supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia berhasil
juga.
Perubahan yang terjadi demikian cepatnya itu, menyebabkan
para penonton terkejut bukan kepalang. Malahan kemudian ada
yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan mana yang telah
membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu.
Samparan beserta ketiga kawannya sampai berdiri. Sebagai
orang yang penuh pengalaman, Samparan segera melihat
kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu. Kalau mula-mula
Mahesa Jenar tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia
sedang menjajagi sampai di mana kekuatan lawannya. Kalau
mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu Gunung akan berhasil,
sekarang adalah sebaliknya, ia menjadi yakin kalau Watu Gunung
akan binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa.
Rupanya ketiga kawannya pun berpikir demikian juga.
Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak demikian hebatnya.
Anehnya, serangan serangan Mahesa Jenar tidak tampak
membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat
dengan dahsyatnya ke udara, kakinya bergerak menyambar
kepala Watu Gunung, sehingga Watu Gunung terpaksa
merendahkan diri untuk menghindar. Tetapi segera kaki itu ditarik,
dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah berdiri di belakang Watu
Gunung. Tangannya bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu
Gunung. Serentak hati para penonton tergetar. Hampir saja
mereka bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan
terhantam. Tetapi rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia hanya
menyambar saja ikat kepala Watu Gunung yang berwarna merah
soga itu.
Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung menjadi merah,
semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa Jenar itu. Giginya
gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar secepat
getaran darahnya. Bagi orang seperti Watu Gunung, lebih baik
kepalanya diremukkan daripada dihina sedemikian.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 95
Ki Asem Gede, yang sejak melihat perubahan sikap Mahesa
Jenar sudah mendapat kepastian akan akhir dari pertarungan itu,
melihat Mahesa Jenar berbuat demikian tak dapat lagi menahan
geli hatinya. Tertawanya melontar tak terkendalikan sampai
tubuhnya berguncang-guncang.
Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati
Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat halilintar
menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar menyambar
dada Mahesa Jenar.
Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia
menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah seorang
penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak mempunyai
waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat
ia miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia
menghadapi keadaan yang sama, ketika ia bertempur dengan
Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan
korban orang yang tak berdosa. Dengan suatu gerakan yang sukar
dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar tangkai
pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka
menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat orang iblis
yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan.
Kecenderungan mereka untuk memihak Mahesa Jenar akan
menambah dendam keempat orang itu.
Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya.
Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. “Bagus...
bagus... bagus....”
Tetapi, tiba-Tiba teriakannya dan kegemparan penonton pun
mendadak terhenti. Mereka melihat seorang dengan lincah
meloncat ke dalam arena sambil memegang sebuah pedang
pendek.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 95
Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari kawanan iblis itu.
Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya melihat
Watu Gunung dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa bahwa ia
sendiri tidak akan mampu melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua
dengan Watu Gunung adalah lain soalnya. Ia sendiri tidak sekuat
Watu Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam hal kecepatan
bergerak. Dan kecepatannya itu apabila digabungkan dengan
kekuatan tenaga Watu Gunung mungkin akan dapat merobohkan
lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Melihat seorang kawannya
memasuki arena, hati Watu Gunung yang sudah tipis sekali itu
menjadi tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi kepada
peraturan yang ditentukan dalam pertarungan itu.
Melihat seorang lagi masuk dalam arena, Mahesa Jenar
terkejut. Ia surut beberapa langkah ke belakang, dan
pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak
banyak cakap, Gagak Bangah sudah memutar pedang pendeknya
dan dengan kecepatan yang luar biasa ia menyerang Mahesa
Jenar.
“Tunggu,” terpaksa Mahesa Jenar ingin mendapatkan
penjelasan sambil meloncat menghindar9i serangan itu, “adakah
kau ingin menggantikan Watu Gunung?”
Tetapi, ia tidak mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah
dan Watu Gunung menyerang bersama-sama.
“Kalian melanggar peraturan,” sambung Mahesa Jenar sambil
meloncat menghindari sambaran pedang pendek dan kemudian
cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang sebelum kaki Watu
Gunung mengenai tungkaknya.
“Tidak ada suatu peraturan pun yang dapat mengikat kami,”
teriak Gagak Bangah dengan garangnya. “Kami berdiri di atas
segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan peraturan, kami
pun berhak mengubah atau menghapus peraturan itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 95
Mahesa Jenar jadi sadar bahwa ia berhadapan dengan orang-
orang yang licik dan tidak bersikap jantan. Ia paling benci pada
sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai seseorang yang
mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan curang.
Itulah sebabnya kemarahan Mahesa Jenar tergugah.
Tetapi ia sekarang berhadapan dengan dua orang yang
mempunyai keistimewaan masing-masing dan tergolong dalam
tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus mengerahkan
sebagian besar kepandaiannya.
Ki Asem Gede yang menyaksikan kecurangan itu pun menjadi
gusar. Untuk melawan dua orang, belum tentu Mahesa Jenar dapat
menang. Karena itu ia sudah membulatkan tekad untuk melibatkan
diri dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat,
tiba-tiba terdengarlah sebuah bisikan, “Jangan berbuat sesuatu Ki
Asem Gede.” Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan terasa
di kedua belah lambungnya melekat ujung senjata tajam. Ketika
ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota ke-3 dan
ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan
mengancamnya dengan keris. Maka terpaksa Ki Asem Gede
mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora hebat, sambil
menanti suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di arena bertambah hebat. Gagak
Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar sambil
mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan
menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan
mengandalkan kekuatannya menyerang dengan garangnya.
Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati panjang yang
dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.
Tetapi, Mahesa Jenar pun ternyata tidak mengecewakan.
Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak sengaja Watu
Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan
dengan senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah
mendengar bahwa belati kawanan Lawa Ijo terkenal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 95
keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan. Apalagi kini senjata
itu ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian
dalam mempergunakan segala macam senjata. Maka dalam waktu
yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang
lawannya dan seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau
yang mematuk-matuk dengan garangnya.
Keadaan yang seimbang dari pertempuran itu tidak
berlangsung lama. Sebab segera Mahesa Jenar berhasil mendesak
lawannya ke dalam keadaan yang sulit. Sebenarnya Mahesa Jenar
tidak biasa membinasakan lawannya, apalagi tidak ada sebab-
sebab yang memaksa. Ia lebih suka mengampuni seseorang
apabila orang itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi tidak
demikian halnya terhadap orang-orang yang licik dan curang.
Sebab orang-orang yang demikian sudah tidak menghargai lagi
sifat-sifat kejantanan dan kekesatriaan. Orang-orang semacam
itulah yang selalu akan menimbulkan bencana. Karena itu terhadap
orang-orang yang demikian, juga kepada lawannya itu, Mahesa
Jenar telah mengambil keputusan untuk membinasakan
samasekali.
Maka segera ia merangsang lawannya lebih hebat lagi. Pisau
panjang yang berada di tangannya itu bergerak semakin cepat
sehingga hampir merupakan gumpalan gumpalan sinar yang
bergulung-gulung mengerikan sekali.
Watu Gunung dan Gagak Bangah samasekali tidak menduga
bahwa Mahesa Jenar memiliki kepandaian yang demikian tinggi.
Maka diam-diam mereka berdua mengeluh dalam hati. Karena
mereka tadi memberi kesempatan kepada orang ini untuk
bertanding membela anak Ki Asem Gede. Keringat dingin sudah
membasahi seluruh tubuh mereka berdua.
Maka, sesaat kemudian terdengarlah bunyi berdentang dari
senjata yang beradu. Ternyata pisau panjang Mahesa Jenar telah
menyambar pedang pendek Gagak Bangah. Sambaran itu begitu
kuatnya sehingga tangan Gagak Bangah merasa nyeri sekali.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 95
Belum lagi ia dapat memperbaiki keadaannya, kembali pedangnya
disambar oleh pisau Mahesa Jenar. Dan benar-benar kali ini ia tidak
mampu lagi berbuat apa-apa sehingga pedangnya terpental jatuh.
Melihat keadaan itu, Watu
Gunung segera berusaha
menolong kawannya. Dengan
lompatan yang cepat ia mendesak
maju, dan membabat tangan
Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa
Jenar telah menarik tangannya
kembali dan dengan sisi telapak
tangan kirinya ia menghantam
pergelangan tangan Watu Gunung.
Hantaman itu sedemikian
kerasnya terlepas dari tangannya.
Maka kini sampailah saatnya untuk
mengakhiri pertempuran.
Tetapi, Mahesa Jenar tidak
mau membunuh lawannya dengan
senjata. Segera dilemparkannya
belati itu, dan secepat kilat sebelum Watu Gunung dan Gagak
Bangah sempat menjatuhkan dirinya, kedua tangan Mahesa Jenar
masing-masing meraih kepala kedua orang itu. Dengan tenaga
yang didasari kegusaran hati, dibenturkannya kedua kepala itu
sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara hampir seperti sebuah
ledakan diikuti oleh jerit ngeri melengking. Sekejap kemudian
suara itu terputus dan kedua orang itu rebah di tanah dengan
kepala pecah.
Berbareng dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa
pertempuran itu hampir selesai, segera memutar otaknya.
Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda dan
Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua
kawannya dibinasakan, maka mereka pun akan dibinasakan pula.
Maka untuk sementara Ki Asem Gede berbuat seperti orang yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 95
ketakutan dan tak berdaya. Tetapi, ketika Wisuda dan Palian baru
memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki Asem
Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia
merendahkan dirinya dan kedua tangannya menangkap
pergelangan Wisuda dan Palian yang memegang senjata. Dengan
sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas
pundaknya, dan pada saat kedua orang itu terpelanting dengan
kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya
dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke
belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya
samasekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya
terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka
tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya
putus seketika.
Orang-orang yang melingkari arena, melihat dua kejadian
yang mengerikan dan terjadi pada saat yang hampir bersamaan
itu, terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka hanya dapat
sebentar memandang Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki
Asem Gede, yang sesudah mengeluarkan seluruh tenaganya itu
kemudian menjadi lemas dan terduduk di atas tanah.
Mahesa Jenar tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki
Asem Gede. Maka ketika ia melihat keadaannya, ia menjadi cemas.
Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya. Dan pada saat yang
demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang baru
saja terjadi. Segera terjadilah kegemparan. Beberapa orang
berdesak-desakan ingin menyaksikan mayat-mayat di tengah
arena itu, tetapi sebagian ingin melihat apa yang terjadi dengan Ki
Asem Gede. Tetapi, kegemparan itu segera berubah menjadi
jeritan yang hampir bersamaan keluar dari beberapa mulut para
penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah hampir sampai
pada tempat Ki Asem Gede terduduk, ada tombak meluncur yang
datangnya sangat cepat. Apalagi Mahesa Jenar samasekali tak
mengetahui, karena perhatianya tertuju pada Ki Asem Gede.
Mendengar jeritan-jeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 95
perasaannya yang tajam menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di
belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan diri. Semuanya itu
terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada
kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri. Maka
yang dapat dilakukannya hanyalah, dengan tangannya melindungi
dada.
Tetapi ketika tombak itu hampir menancap di tubuh Mahesa
Jenar, terjadilah suatu benturan yang dahsyat diiringi dengan
suara gemericing senjata beradu, sehingga timbullah bunga api
yang memancar. Kembali para penonton terkejut bukan main.
Kecuali Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede, tak seorangpun yang
melihat bahwa dari arah lain menyambar pula sebuah senjata
sehingga membentur tombak yang hampir saja menembus tubuh
Mahesa Jenar.
Apalagi ketika dua senjata yang beradu itu jatuh di tanah,
maka darah orang-orang yang berkeliling arena itu berhenti
dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah Mahesa Jenar
itu patah ujungnya, sedangkan di sampingnya menancap sebuah
trisula.
“Mantingan…!” Teriak salah seorang diantara mereka.
“Ya, Dalang Mantingan,” sahut yang lain. Dan sebentar
kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan orang menyebut
nama Mantingan. Memang, Mantingan telah terkenal di daerah itu
sejak beberapa waktu yang lampau. Tetapi kemudian lama ia tidak
muncul, dan sekarang mereka melihat lagi sebuah trisula, yang
bertangkai kayu berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup
bunga kamboja. Hampir semua orang mengenal benda itu. Di
mana benda itu berada, di sana Mantingan pasti ada, dan
sebaliknya.
Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika
mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa Jenar, darah
mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 95
di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh
mengagumkan. Tetapi, kekaguman mereka segera berubah
menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang
Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu
menunduk hormat kepada Mahesa Jenar.
“Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti
Mantingan masih juga menunduk hormat?” pikir mereka.
Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka
segera melihat Mantingan meloncat turun dan memburu ke arah
dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
“Kau Samparan?” desis Mantingan.
Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan
gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang
lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena
membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat
kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga
hatinya pun berubah menjadi kerdil.
“Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding?” tanya
Mantingan melanjutkan.
“Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan
Watu Gunung,” jawab Samparan gemetar.
Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran
pula melihat kelakuan Samparan yang begitu pengecut.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah
agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping Mantingan.
Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan
wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia berhadapan dengan
orang-orang yang berhati lapang, selapang lautan yang sanggup
menampung aliran sungai.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 95
“AKU ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti
pada saat kau ambil dari suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian.
“Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan
cepat-cepat.
“Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem Gede.
Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa
Jenar dan Mantingan untuk mengikutinya. Lewat Gandok sebelah
barat, mereka masuk ke belakang menyusup masuk ke dapur, dan
di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair.
Ternyata dasar kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia
untuk memasuki ruang di bawah tanah.
Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.
Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap saja.
“Kau mau main gila Samparan?” tanya Ki Asem Gede dengan
suara geram.
“Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian,” sahut
Samparan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian mereka harus
berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru
Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan
dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-
kalau Samparan akan mengkhianati mereka. Ruang di bawah
tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah
ruangan yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang
ditancapkan pada dinding ruangan. Di bagian atas ruangan tampak
beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur bumbung dari
tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian
kedua adalah sebuah ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding
papan dengan ruang yang pertama. Dinding itu mempunyai
sebuah pintu yang kuat dan dikancing dengan sebuah palang kayu
yang cukup besar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 95
“Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,” kata
Samparan sambil menunjuk pada palang pintu yang besar itu.
Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk membuka
pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya. Rupanya
Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka sambungnya,
“Bolehkah aku membukanya?”
Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian
katanya, “Bukalah, tetapi jangan main gila.”
Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya
memandang dengan tajam, seakan-akan ingin melihat langsung
ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia merenung
sejenak, tangannya bergerak membukanya.
Baru saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat
seorang yang meloncat keluar dan langsung menyerang Samparan
dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa Samparan sempat
menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ,
bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya
tidak mempunyai pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga
dengan mudahnya Samparan mengelakkan diri.
Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat
itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan
sebentar kemudian berubah menjadi keheran-heranan.
Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk
kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem Gede.
“Ayah!” serunya. Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan.
Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan terharu. Dengan
susah payah ia berhasil membendung air matanya sehingga tidak
mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu.
Dan sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang
menyedihkan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 95
Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak mau
juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis yang selama
ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun,
menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan
yang belum pernah dimilikinya.
Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan
di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan perasaan Nyai
Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat di gandok sebelah
barat.
“Setan-setan itu tidak berbuat jahat kepadamu?” tanya Ki
Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang
Samparan dengan pandangan yang jijik, benci dan penuh
kemarahan.
“Manakah kawan-kawan iblis itu?” tanyanya kepada Ki Asem
Gede, tetapi sementara itu beberapa kali Nyi Wirasaba
memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan penuh
pertanyaan. Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan Mantingan ia
pernah berkenalan. Tetepi di mana, dan kapan? Sedangkan yang
satu lagi samasekali ia belum pernah melihat.
Ki Asem Gede mengerti perasaan putrinya, maka segera
diceritakan apakah yang sudah terjadi. Dan tiba-tiba saja Nyi
Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar
dan Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan
betapa besar terima kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus
ia teringat bahwa Mantingan telah dikenalnya pada waktu mereka
masih sama-sama kecil. Tetapi yang kemudian tak lagi pernah
bertemu sejak Mantingan mengikuti gurunya ke Wanakerta.
Sementara, Mahesa Jenar dan Mantingan tak habis-habisnya
memandangi wajah Nyi Wirasaba. Wajarlah kiranya kalau Watu
Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa bahagianya orang itu, yang
telah menerima anugerah Tuhan berupa kecantikan wajah yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 95
sempurna, dan keserasian tubuh yang tanpa cela. Mantingan yang
pada masa kanak-kanaknya sering bermain dan bertengkar
bersama, tidak pernah membayangkan bahwa pada usia
dewasanya perempuan ini akan memiliki kelebihan dari kawan-
kawannya sepermainan. Tetapi, tak seorang pun yang mengetahui
bahwa Nyai Wirasaba sendiri selalu meratap di dalam hati,
menyesali nasibnya yang jelek. Karena memiliki wajah yang cantik
dan tubuh yang bulat, yang telah beberapa kali menjeratnya ke
dalam kesulitan-kesulitan yang hampir tak dapat diatasi. Bahkan
pada saat yang terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa
apabila tak ada pertolongan yang datang, ia lebih baik mengakhiri
hidupnya dengan sebilah patrem yang berhasil dibawanya di dalam
sabuknya, daripada hidup di dalam lingkungan iblis-iblis itu.
Setelah perasaan Nyi Wirasabaa agak tenang, maka segera Ki
Asem Gede mengajaknya meninggalkan rumah itu. Di luar masih
banyak orang yang sejak tadi belum mau meninggalkan halaman
itu. Meskipun mereka setiap hari melihat wajah Nyi Wirasaba,
kalau Nyi Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke sawah, tetapi
kali ini mereka ingin juga melihat wajah itu. Wajah yang menjadi
sebab berakhirnya kelaliman Samparan dan kawan-kawannya.
Ketika Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar pintu rumah
Samparan, orang-orang berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi
Wirasaba menunduk malu. Di belakangnya menyusul Ki Asem
Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian Samparan.
Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika tiba-
tiba Mahesa Jenar membalikkan diri, dan secepat kilat menangkap
tangan Samparan dan diputarnya ke belakang. Samparan terkejut
bukan kepalang, sambil menyeringai kesakitan. Tangan Mahesa
Jenar yang menangkapnya itu begitu erat seperti tanggem besi
yang menjepit tangannya. Bahkan tidak hanya Samparan yang
terkejut, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki
Asem Gede dan Mantingan.
“Adakah aku berbuat salah?” rintih Samparan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 95
“Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat
keterangan dari kau,” jawab Mahesa Jenar.
Samparan dan orang-orang yang menyaksikan sibuk
menduga-duga, keterangan apakah gerangan yang dikehendaki
oleh Mahesa Jenar.
“Samparan,” Mahesa Jenar melanjutkan, “kau dan Watu
Gunung adalah termasuk dalam satu gerombolan yang mempunyai
persamaan kesenangan. Yaitu berbuat kejahatan. Dalam dunia
kejahatan, sahabat jauh lebih berharga dari saudara, bahkan
orang tua. Rahasia rahasia yang tak pernah didengar oleh keluarga
sendiri, kadang-kadang didengar oleh sahabat-sahabatnya. Nah,
katakanlah, aku yakin kau mengetahuinya, apakah hubungan
Watu Gunung dengan Lawa Ijo?”.
Mendengar pertanyaan ini Samparan terkejut seperti disambar
petir meleset. Tidak pula kalah terkejutnya Ki Asem Gede,
Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya. Nama Lawa Ijo
adalah nama yang tabu diucapkan. Sebab dengan menyebut
namanya saja, sudah cukup alasan bagi Lawa Ijo untuk
membunuh. Meskipun pada saat-saat terakhir Lawa Ijo tidak
pernah lagi muncul, tetapi apabila nama itu disebutkan, orang
yang mendengarnya telah cukup menggigil ketakutan.
Samparan tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia berdiri
pada suatu titik yang berbahaya sekali. Ia semakin takut kepada
Mahesa Jenar, yang samasekali tak diduganya akan mengajukan
pertanyaan semacam itu. Dari manakah gerangan ia mencium
kabar tentang Watu Gunung dan hubungannya dengan Lawa Ijo?
Teranglah bahwa ia bukan orang sejajarnya, bahkan tidak sejajar
dengan Mantingan. Kalau tidak, ia tidak akan seenaknya saja
menyebut nama Lawa Ijo.
Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya.
Mereka berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 95
“Jawablah!” desak Mahesa Jenar. Sementara itu, pegangannya
pun makin dikuatkan. Samparan berdesis menahan sakit.
“Aku tak tahu,” jawab Samparan mencoba berbohong. Tetapi
belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya, tangannya yang
terpuntir itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke atas.
“Kau tak mau menjawab?” geram Mahesa Jenar.
Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia merasa serba
salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan
memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah
mendengar nama itu disebut-sebut oleh Watu Gunung,” jawab
Watu Gunung.
“Apa katanya?” desak Mahesa Jenar pula. Kembali Samparan
ragu-ragu.
“Kau takut kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah
mulai jengkel. “Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana
kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku?” lanjut Mahesa
Jenar.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua
kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia tidak
menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan
pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan
harapan Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali.
“Yang aku ketahui,” katanya, “Watu Gunung adalah tidak saja
anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah saudara muda
seperguruan Lawa Ijo.”
Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar
dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 95
“Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo
marah,” sahut Mahesa Jenar. Samparan merasa bahwa ia tidak
dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo
sekarang.”
Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab
pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba ia
merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting
jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat
tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus
masuk ke dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok
tubuh di antara penonton meloncat lari meninggalkan halaman.
Mantingan tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat
kilat ia memburunya, yang kemudian disusul oleh Mahesa Jenar.
Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi orang-orang
gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak menyangka samasekali bahwa
orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan
sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan
main. Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya.
Terdengarlah suara berdentang dengan hebatnya. Tangan
Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan
pisau yang dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi
meskipun demikian, lengannya tergores juga sedikit. Ia tertegun
mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar yang melihat darah di
lengan Mantingan jadi terhenti pula. Dan sementara itu orang yang
telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara
pepohonan dan menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema
suara orang tertawa. Suara itu mengiris ulu hati seperti suara
ringkikan hantu kubur.
“Lawa Ijo telah datang,” desis Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa Ijo?” tanya Mantingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 95
“Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari
gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar. “Aku ingin suatu kali dapat
bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan
untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat
menunjukkan tempatnya,” lanjut Mahesa Jenar.
Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan. Tampaklah
orang-orang yang masih berdiri di halaman itu berwajah pucat-
pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil, terduduk tak
berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat
ia berlari menyongsongnya.
“Kau terluka?” tanya Ki Asem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar
kemudian tampak ia mengangguk-angguk. “Tidak beracun,”
gumamnya. “Karena itu marilah kita lekas meninggalkan tempat
ini dan menyerahkan kembali anakku kepada suaminya.
Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang
untung tak berbahaya”.
Tetapi, sementara itu Ki Asem Gede melihat Samparan seperti
orang yang tidak sadar terduduk, di tanah. Tingkah Samparan
tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya samasekali tak
berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia
tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo.
“Samparan, kau kenapa?” tegur Mahesa Jenar.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata
yang layu dan mengandung suatu permohonan untuk mendapat
perlindungan.
Mahesa Jenar menangkap maksud itu. “Samparan, kau jangan
berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 95
Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk
membela diri. Meskipun demikian, kalau kau memang merasa tak
mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang Mantingan
nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau.
Tetapi pada saat ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke
Prambanan, akan mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah
bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah
ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini. Sebab ada
dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah yang akan
memburumu.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu,
Samparan menjadi agak tenang sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri
dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia mempunyai
suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi
juga keluhuran budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah
memandang ke dirinya sendiri, yang beberapa saat lalu masih
merasa sebagai seorang yang tak terkalahkan. Alangkah luasnya
dunia ini. Dan berapa saja orang-orang yang sakti tinggal di
dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih.
Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat
mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan
telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem
Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-
nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya.
Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya
meninggalkan tempat itu untuk menghantar Nyi Wirasaba kepada
suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya berantara dua
bulak yang tak begitu lebar.
Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan di hati Mahesa
Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul
sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam
persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu
untuk membebaskan istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 95
Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede, sudah
ada dua orang murid Wirasaba terluka. Mengingat bahwa Ki
Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang murid, menunjukkan
bahwa ia pun memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi
ia tak berbuat apa-apa. Itulah suatu hal yang aneh. Mungkinkah Ki
Wirasaba tidak mencintai istrinya, atau barangkali terikat sesuatu
perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang yang sepakat
untuk tidak menanyakan hal itu. Mereka takut kalau-kalau ada
suatu rahasia yang dapat menyinggung kehormatan Ki Asem
Gede.
Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka
memasuki desa tempat Ki Wirasaba tinggal.
Rumah Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup besar, berdiri di
tepi jalan induk di desanya. Berhalaman luas dan mempunyai ciri-
ciri yang agak berbeda dengan halaman di sekelilingnya. Halaman
Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman berbunga yang
berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah
jambangan berisi air yang bersih bening. Dan di sana-sini
bergantung sangkar-sangkar burung. Berkeliaran pula binatang-
binatang piaraan ayam, itik, angsa dan sebagainya. Halaman itu
berdinding batu merah yang disusun teratur, yang seakan-akan
menjadi batas dari dua daerah yang tampak sangat berlainan.
Halaman-halaman lain di desa itu masih ditumbuhi bermacam-
macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sana-sini masih ada
pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang
hebat, pohon beringin tua, dan randu alas, yang masih merupakan
tempat-tempat yang dianggap keramat oleh penduduk di
sekitarnya.
Mahesa Jenar dan Mantingan waktu melangkahkan kaki
memasuki halaman rumah Ki Wirasaba, telah dijalari suatu
perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang telah
banyak melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 95
jarang mereka merasakan kesejukan seperti yang dirasakan pada
saat itu. Alangkah mesranya tangan yang telah menggarapnya,
sehingga halaman itu menjadi begitu indahnya.
Tetapi mereka tidak sempat merasakan kesejukan itu lebih
lama lagi. Tiba-tiba mereka tersentak melihat Nyi Wirasaba yang
tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu rumah itu, yang
ternyata tidak terkunci, didorongnya kuat-kuat sehingga hampir
saja ia jatuh tertelungkup. Ia segera menghilang di balik pintu
rumahnya. Segera setelah itu terdengarlah suara Nyi Wirasaba
bercampur isak yang tertahan. “Kakang... Kakang Wirasaba... aku
kembali Kakang. Kembali kepadamu….” Sesudah itu, yang
terdengar hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.
Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak.
Suatu peristiwa yang mengharukan. Pertemuan antara seorang
istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka dipisahkan
beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu
kembali.
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung.
Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan dalam.
“Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih
berhakkah kau kembali kepadaku…?”
———-oOo———-