widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/00e65dc667b3827b7ff0b... · terimakasih kami...
TRANSCRIPT
_________________________________________________________
BUKU AJAR
QUALITY OF WORK LIFE DAN ORGANIZATIONAL
CITIZENSHIP BEHAVIOR SEBUAH KAJIAN EMPIRIS
___________________________________________________________
Disusun oleh : Dr. Adya Hermawati, SE.,MM Dr. Nasharuddin Mas, SE., MM Diterbitkan Oleh : Badan Penerbitan Universitas Widyagama Malang 2016
Hak cipta dilindungi undang undang. dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman, dan lain lain tanpa ijin tertulis dari penerbit.
ISBN 9786027354043
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, yang kiranya patut
penulis ucapkan, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
buku ajar ini. Dalam buku ajar ini kami menjelaskan mengenai Quality Of Work Life Dan
Organizational Citizenship Behavior Sebuah Kajian Empiris. Buku ajar ini ini dibuat
dalam rangka memperdalam pemahaman kususnya dalam matakuliah Manajemen Sumber
Daya Manusia dan Perilaku Organisasi.
Kami menyadari, dalam buku ajar ini masih banyak kekurangan. Hal ini disebabkan
terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan
buku ajar ini di waktu yang akan datang.
Terima kasih disampaikan kepada kedua orang tua yaitu H. Lutjito Hadiwardoyo dan Sri
Moerni, Suami tercinta Misranto serta kedua anak kami Abimanyu Tuwuh Sembhodo dan
Nalini Mahastuti Panunjul. Terimakasih kami sampaikan juga kepada semua kolega di
Universitas Widyagama Malang serta seluruh pihak-pihak yang telah membantu penyusunan
buku ajar ini.
Semoga buku ajar ini dapat bermanfaat bagi kami pada khusunya dan pembaca pada
umumnya.Demikian pengantar dari penulis semoga paparan dalam buku ini bisa diambil
manfaatnya.
Malang, OKTOBER 2016 Penulis
DAFTAR ISI
BAB I : QUALITY OF WORK LIFE (QWL) 1 1.1. Tinjauan Teoritis Qualty Of Work Life 1 1.2. Pengertian Quality Of Work Life 10 1.3. Konsep Quality Of Work Life 18 1.4. Faktor-Faktor Kualitas Kehidupan Kerja ( Quality Of Work Life) 23 1.5. Aspek Kontribusi Kualitas Kehidupan Kerja (QWL) 33 1.6. Hubungan Quality Of Work Life Dengan Semangat Kerja 42 1.7. Quality Of Work Life Implementasi Pada 53 1.8. Wujud Kualitas Kehidupan Kerja (QWL) 57 1.9. Anteseden Kualitas Kehidupan Kerja (Qwl) 60 1.10. Bentuk-Bentuk Program Kualitas Kehidupan Kerja 64 Bab II : ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 71 2.1. Pengertian Organization Citizeship Behavior 71 2.2. Dimensi-Dimensi Organization Citizenship Behavior 77 2.3. Manfaat Organization Citizenship Behavior 81 2.4. Definisi OCB 85 2.5. Faktor Yang Mempengaruhi OCB 88 2.6. Hasil Empirik Implementasi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Service Quality 90 BAB III : KINERJA DAN PENILAIAN KINERJA 98 3.1. Pengertian Penilaian Kinerja 99 3.2. Tujuan Penilaian Kinerja 102 3.3. Kriteria Penyelia (Penilai) 105 3.4. Kegunaan Penilaian Kinerja 106 3.5. Faktor-Faktor Yang Menghambat Dalam Penilaian Kinerja 108 3.6. Jenis-Jenis Penilaian Kinerja 114 3.7. Aspek-Aspek Yang Dinilai 115 3.8. Metode Penilaian Kinerja 116 3.9. Aplikasi Penilaian Kinerja Individu Dengan Pendektan MBO 125 3.10.Program Penilaian Kerja 127 3.11.Perusahaan Mendapatkan Sukses Melalui Penilaian Kinerja 128 3.12.Sumber Kesalahan Dalam Penilaian Kinerja 129 3.13.Teknik Penyuluhan Dan Panduan Untuk Wawancara Penilaian Kinerja 130 3.14.Umpan Balik Untuk Fungsi Sdm 131 3.15.Instrumen Pengukur Kinerja Karyawan Secara Kelompok 133 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I QUALITY OF WORK LIFE (QWL)
1.1. TINJAUAN TEORITIS QUALITY OF WORK LIFE
Kualitas kehidupan kerja/quality of work life (QWL) yang selanjutnya
disingkat QWL saja dalam penelitian ini mulai diperbincangkan dalam dunia kerja
sejak dekade tujuh pu!uhan. Pada saat itu QWL diartikan secara sempit sebagai
teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, perkayaan pekerjaan
(job enrichement), suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat pekerja,
upaya manajemen untuk memelihara kebugaran mental karyawan, hubungan
industrial yang serasi, manajemen yang partisipatif dan sebagai salah satu
bentuk intervensi pengembangan organisasional (French end Cecil, 1990 dalam
Arifin, 1999).
Perkembangan selanjutnya QWL merupakan cara pandang manajemen
tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur QWL tersebut ialah:
kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas
organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut pekerjaan, karier,
penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan. Sangat penting untuk diketahui
bahwa QWL tidak terbatas pada isi suatu pekerjaan, akan tetapi memanusiakan
lingkungan kerja dengan mengakui dan menghargai harkat dan martabat sebagai
manusia (Arifin, 1999).
Menurut Morin M. E dan Morin W. (2003) kualitas kehidupan kerja (QWL)
merupakan bangunan konsep multidimensional yang menawarkan kepuasan
dalam kehidupan kerja dan keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan,
dimana hal ini tercermin dalam perasaan memiliki kelompok kerja, rasa menjadi
diri sendiri, rasa mendapat penghargaan dan dihormati. QWL berhubungan
dengan pekerjaan itu sendiri yang menyangkut desain syarat pekerjaan,
lingkungan kerja, proses pengambilan keputusan dan pengawasan perilaku,
2
kondisi kerja serta keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi
karyawan.
Pegawai di pasar tenaga kerja sekarang ini mempunyai harapan yang
meningkat tentang iklim kerja yang lebih atraktif dan mengakomodasikan
kebutuhan profesional dan personal pegawai. Untuk mewujudkannya pihak
organisasi atau manajemen harus rnengembangkan lingkungan kehidupan kerja
yang berkualitas (Anderson dan Pulich, 2000).
Menurut David dan Edward (dalam Nurtjahjani, 2001), kualitas kehidupan kerja
diartikan :
Merupakan reaksi individu terhadap pekerjaan atau konsekuensi
pribadi dari pengalaman kerja
Merupakan pendekatan yang fokusnya terhadap individu dibanding
hasil organisasi
Merupakan kumpulan metode untuk meningkatkan lingkungan kerja
dan membuat lingkungan tersebut lebih produktif
Merupakan perkembangan mengenai alam kerja dan hubungan kerja
terhadap organisasi, syarat-syarat manajemen partisipatif dan
demokrasi industrial sebagai intinya.
Merupakan suatu konsep untuk mengatasi persaingan luar negeri.
masalah kualitas tingkat produktifitas rendah don sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, kualitas kehidupan kerja merupakan
suatu metode atau program yang dilakukan organisasi untuk meningkatkan
lingkungan kerja dan membuat .lingkungan tersebut lebih produktif, dan reaksi
individu terhadap pekerjaan sebagai akibat dari penerapan metode dan
pengembangan yang ada da1am organisasi tersebut.
Untuk menunjukkan kualitas kehidupan kerja menu rut Torrington dan
Huat (1994), pegawai seharusnya diikutkan berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang rnempengaruhi mereka. Pegawai seharusnya diberikan cukup
3
informasi tentang tujuan organisasi, prestasi dan masalah yang dihadapi.
Luthans (1995) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja sebagai berikut :
Perhatian mengenai pengaruh pekerjaan manusia terhadap keefektifan
organisasi
Pandangan mengenai partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah dalam organisasi.
Tujuan yang diharapkan adalah untuk merubah iklim pekerjaan sehingga sumber
daya manusia, teknologi yang digunakan dan Iingkungan organisasional dapat
mengarahkan pada pencapaian kualitas kehidupan kerja organisasi yang Iebih
baik.
Menurut Cascio (1992) terdapat dua earn untuk mengetahui kualitas
kehidupan kerja, yaitu:
1. Kualitas kehidupan kerja ditunjukkan sebagai suatu set tentang kondisi
obyektif dan praktek organisasional, seperti: peningkatan
pengembangan pekerjaan, keterlibatan pegawai, dan kondisi pekerjaan
yang aman
2. Kualitas kehidupan kerja ditunjukkan sebagai persep9i pegawai bahwa
mereka merasa aman, relatif merasa puas, dan mampu untuk tumbuh
dan berkembang sebagai mana layaknya manusia.
Muchiri dan Darokah (2000) menyatakan kualitas kehidupan kerja dalam bentuk
persepsi pegawai tentang kondisi fisik dan psikologis mereka dalam melakukan
pekerjaan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kualitas kehidupan kerja (QWL), menunjukkan pada suatu kondisi obyektif dan
praktek organisasional dan dapat juga ditunjukkan sebagai persepsi dan reaksi
pegawai tentang kondisi fisik dan psikologi mereka terhadap pekerjaan yang
mereka lakukan, yang ditunjukkan dengan rasa aman, puas dan mampu tumbuh
dan berkembang sebagai mana layaknya manusia.
4
Konsep dari kepuasan individu dinyatakan dalam kualitas kehidupan kerja.
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya perjuangan
terhadap manusia dalam lingkungan kerja. Dengan demikian peran pentingnya
kualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara
teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik
(Luthans, 1995).
Dalam rangka rnencapai kualitas kehidupan kerja yang baik, menurut
Cherrington (1994), dapat dilakukan program-program kualitas kehidupan kerja,
yaitu:
1. Self- directed work teams, yang terdiri dari kelompok kecil pekerja,
antara 15-20 orang yang bertanggung jawab untuk menciptakan
variasi dalam pekerjaan. Kelompok ini sering disebut sebagai
autonomous work team.
2. Quality circles dan tolal Quality Management. Quality circles terdiri
dari kelompok-kelompok pekerja yang secara periodik bertemu untuk
mendiskusikan metode untuk meningkatkan produktifitas. Dalam
Robbins (2001), lingkaran kualitas merupakan kelompok kerja yang
bertemu secant teratur untuk membahas masalah-masalah kualitas
mereka, menyelidiki sebab-sebab, merekomendasikan penyelesaian
dan mengambil tindakan korektif. Sedangkan TQM merupakan suatu
filsafat manajemen yang didorong oleh pencapaian kepuasan
pelanggan secara konstan lewat perbaikan berkesinambungan dari
semua proses organisasi.
3. Representation on the board of directors. Anggotanya dipilih oleh
lingkungan kerjanya untuk mewakili kepentingan pekerja dan
berpartisipasi pada dewan direktur.
4. Labor - management committees. Diciptakan untuk mengurangi
konflik dan menciptakan iklim yang kooperatif, di mana komite harus
hati-hati dalam turut campur tangan dalam proses bargaining kolektif.
5
Tujuannya adalah untuk membantu pihak manajemen dan serikat
kerja untuk menyelesaikan konflik.
5. Humor in the workplace. Dilakukan dengan menciptakan suasana
kerja yang penuh humor. Penciptaan suasana yang penuh humor
tersebut akan rneningkatkan aspek psikologi yang positif dan
berdampak pada body and mind manusia. Humor merupakan alat
yang digunakan untuk memotivasi pegawai, merangsang kreatifitas,
dan meningkatkan performa pekerjaan.
Health Care Organization (Anderson dan Pulich, 2000), menerapkan
program kualitas kehidupan kerja pada:
1. Job redesign
Dalam rangka merespon kebutuhan organisasi dan kebutuhan pegawai, perlu
dilakukan pendesainan ulang pekerjaan. Pegawai mengharapkan bekerja
dalam lingkungan di mana pekerjaan tersebut menarik, menantang, dan
memberikan perhatian. Sasaran dari pendesainan ulang pekerjaan ini adalah
untuk melibatkan pegawai dalam mendefinisikan tugas atau peranan mereka,
yang dapat memberikan keuntungan bagi organisasi dan pegawai itu sendiri
sasaran Iain adalah memungkinkan penggunaan tim yang diberikan otonomi.
Setiap pegawai diharapkan mampu dan mempunyai tanggung jawab
terhadap pekerjaan mereka dan memperhatikan keberadaan pegawai yang
lain.
2. Alternative Work Arrangement, terdiri dari:
Flexible scheduling / skedul yang fleksibel
Job sharing membagi pekerjaan; dilakukan dengan mengijinkan 2
individu untuk bekerja dalam waktu yang penuh. Masing-masing
dapat bekerja separuh waktu atau bagaimana mengaturnya,
sepanjang pekerjaannya memenuhi 40 jam seminggu.
Postponing full- time retirement / menunda pensiun penuh;
6
dilakukan dengan memberikan kesempatan untuk bekerja paruh
waktu atau dengan kebijakan yang lain.
Telecommuting. dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan
komunikasi modern dalam organisasi.
3. Professional Growth and Development.
Dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada pegawai untuk tumbuh
dan mengembangkan diri, baik itu dengan memberikan kesempatan untuk
mengikuti pendidikan dan latihan atau dengan mendesain program
pengembangan karir yang disesuaikan dengan kebutuhan profesional dan
kebutuhan pegawai.
Program-program kualitas kerja tersebut dapat dilakukan dalam rangka
menciptakan kualitas kehidupan kerja organisasi yang baik, yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi. Dengan diterapkannya
program kualitas kehidupan kerja diharapkan dapat :
1. Meningkatkan atau menciptakan organisasi yang lebih demokratik dimam
semua anggota organisasi mempunyai kesempatan untuk memberikan suan
terhadap keputusan yang mempengaruhi mereka partisipasi yang
demokratis di tempat kerja
2. Membagikan imbalan finansial secara adil
3. Meningkatkan keamanan kerja, dengan meningkatkan vitalitas
organisasional dan menegakkan hak-hak pegawai
4. Meningkatkan perkembangan personel dengan menciptakan kondisi yang
mengarahkan untuk tumbuh dan berkembang (Cherrington, 1994).
Menurut Luthans (1995) dalam Nurtjahjani (2001), menyatakan bahwa
konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan
terhadap manusia dalam Iingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting
dari kualitas kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan
manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik.
7
Wayne (1992) dalam Arifin (1999) mengungkapkan bahwa terdapat dua
pandangan mengenai maksud kualitas kehidupan kerja. Pertama, mengatakan
bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari
tujuan organisasi, seperti: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis,
keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman. Kedua, menyatakan bahwa
kualitas kehidupan kerja/QWL adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka
ingin merasa aman, secara relatif merasa puas, dan mendapat kesempatan
mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia.
Menurut David dan Edward da/am Nurtjahjani (2001), kualitas kehidupan kerja
diartikan dengan:
Merupakan reaksi individu terhadap pekerjaan atau konsekwensi pribadi
dari pengalaman kerja.
Merupakan pendekatan yang fokusya terhadap individu dibanding hasil
organisasi.
Merupakan kumpulan metode untuk meningkatkan lingkungan kerja dan
membuat Iingkungan tersebut lebih produktif
Merupakan perkembangan mengenai alam kerja dan hubungan kerja
dengan organisasi, syarat-syarat manajemen partisipatif dan demokrasi
industrial sebagai intinya
Merupakan konsep untuk mengatasi persaingan luar negeri, masalah
kualitas, tingkat produktifitas rendah dan sebagainya.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, maka dapat dikatakan bahwa kualitas
kehidupan kerja merupakan suatu metode atau program yang dilakukan
organisasi untuk meningkatkan Iingkungan kerja dan membuat lingkungan
tersebut lebih produklif, serta reaksi individu terhadap pekerjaan sebagai akibat
dari penerapan metode dan pengembangan yang ada dalam organisasi tersebut.
Siagian (1995) berpendapat bahwa kualitas kehidupan kerja/QWL memiliki
makna sebagai berikut:
QWL merupakan program yang kompetitif dengan mempertimbangkan
8
berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan
QWL memperhitungkan luntutan peraturan perundang-undangan seperti
ketentuan yang mengatur pencegahan tindakan yang diskriminatif.
perlakuan karyawan dengan cara-cara yang manusiawi dan ketentuan
tentang sislem imbalan upah minimum.
QWL mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dengan
berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para karyawan termasuk
dalam hal upah dan gaji, keselamatan kerja dan penyelesaian pertikaian
perburuan berdasarkan berbagai ketentuan normatif dan berlaku di suatu
wilayah negara tertentu.
QWL menekankan pentingnya manajemen manusiawi. yang pada
hakikatnya berarti penampilan manajemen yang demokratis termasuk
penyelian yang simpatik
Dalam peningkatan QWL porkayaan pekerjaan merupakan bagian integral
yang penting
QWL mencakup pengertian tentang pentingnya tanggung jawab sosial dari
pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap para karyawan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Graham (1991) dalam Nurtjahjani (2001) mengatakan bahwa QWL
menunjukkan suatu Iingkungan kerja yang diinginkan atau tidak diinginkan oleh
karyawan. Tujuan utamanya adalah mengembangkan para pekerja yang bagus
dan berlanjut pada produktifitas yang lebih baik. Perbaikan QWL adalah langkah
maju dari pola manajemen tradisional berdasarkan pengetahuan manajemen di
mana hal tersebut lebih difokuskan pada spesialisasi dan efisiensi QWL yang
rendah akan mengakibatkan tingginya labor turn over serta banyaknya
ketidakadilan dalam bekerja. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan kualitas kerja, sebagai berikut:
1. Mengubah pola organisasi untuk lingkungan yang menyenangkan bagi
karyawan
9
2. Memberikan imbalan dengan lebih, sehingga situasi akan menjadi lebih baik
3. Mekanisasi dan otomatisasi rutinitas pekerjaan dihindari agar karyawan
merasa nyaman dalam pekerjaannya
4. Mengubah pola kerja untuk menimbulkan semangat kerja
5. Mengembangkan pendekatan kemanusiaan.
Kelima cara ini dimaksudkan agar karyawan memiliki tanggung jawab
terhadap pekejaan yang lebih besar, mendapatkan kesempatan untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan prestasi kerja. QWL menghasilkan lebih banyak
pekerjaan dengan sentuhan kemanusiaan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
dasar yang karyawan perlukan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kualitas kehidupan kerja (QWL) menunjukkan pad a suatu kondisi obyektif dan
praktek organisasional serta dapat juga ditunjukkan sebagai persepsi dan reaksi
pegawai tentang kondisi fisik dan psikis mereka terhadap pekerjaan yang mereka
lakukan, yang ditunjukkan dengan rasa aman. puas dan mampu tumbuh
Kualitas kehidupan kerja/quality of work life (QWL) yang selanjutnya
disingkat QWL mulai diperbincangkan dalam dunia kerja sejak dekade tujuh
pu!uhan. Pada saat itu QWL diartikan secara sempit sebagai teknik manajemen
yang mencakup gugus kendali mutu, perkayaan pekerjaan (job enrichement),
suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat pekerja, upaya manajemen
untuk memelihara kebugaran mental karyawan, hubungan industrial yang serasi,
manajemen yang partisipatif dan sebagai salah satu bentuk intervensi
pengembangan organisasional (French end Cecil, 1990 dalam Arifin, 2006).
Perkembangan selanjutnya QWL merupakan cara pandang manajemen
tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur QWL tersebut ialah:
kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas
organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut pekerjaan, karier,
penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan. Sangat penting untuk diketahui
10
bahwa QWL tidak terbatas pada isi suatu pekerjaan, akan tetapi memanusiakan
lingkungan kerja dengan mengakui dan menghargai harkat dan martabat sebagai
manusia (Arifin, 2006).
Menurut Morin M. E dan Morin W. (2003) kualitas kehidupan kerja (QWL)
merupakan bangunan konsep multidimensional yang menawarkan kepuasan
dalam kehidupan kerja dan keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan,
dimana hal ini tercermin dalam perasaan memiliki kelompok kerja, rasa menjadi
diri sendiri, rasa mendapat penghargaan dan dihormati. QWL berhubungan
dengan pekerjaan itu sendiri yang menyangkut desain syarat pekerjaan,
lingkungan kerja, proses pengambilan keputusan dan pengawasan perilaku,
kondisi kerja serta keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi
karyawan.
1.2. PENGERTIAN QUALITY OF WORK LIFE ( KUALITAS KEHIDUPAN
KERJA)
Pegawai di pasar tenaga kerja sekarang ini mempunyai harapan yang
meningkat tentang iklim kerja yang lebih atraktif dan mengakomodasikan
kebutuhan profesional dan personal pegawai. Untuk mewujudkannya pihak
organisasi atau manajemen harus mengembangkan lingkungan kehidupan kerja
yang berkualitas (Anderson dan Pulich, 2000). Menurut David dan Edward
(dalam Nurtjahjani, 2007), kualitas kehidupan kerja/quality of work life yang
selanjutnya disingkat QWL saja dalam penelitian ini diartikan :
Merupakan reaksi individu terhadap pekerjaan atau konsekuensi pribadi
dari pengalaman kerja
Merupakan pendekatan yang fokusnya terhadap individu dibanding hasil
organisasi
Merupakan kumpulan metode untuk meningkatkan lingkungan kerja dan
membuat lingkungan tersebut lebih produktif
Merupakan perkembangan mengenai alam kerja dan hubungan kerja
11
terhadap organisasi, syarat-syarat manajemen partisipatif dan demokrasi
industrial sebagai intinya.
Merupakan suatu konsep untuk mengatasi persaingan luar negeri.
masalah kualitas tingkat produktifitas rendah don sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, kualitas kehidupan kerja merupakan
suatu metode atau program yang dilakukan organisasi untuk meningkatkan
lingkungan kerja dan membuat .lingkungan tersebut lebih produktif, dan reaksi
individu terhadap pekerjaan sebagai akibat dari penerapan metode dan
pengembangan yang ada dalam organisasi tersebut.
Untuk menunjukkan kualitas kehidupan kerja menurut Torrington dan
Huat (1994), pegawai seharusnya diikutkan berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang mempengaruhi mereka. Pegawai seharusnya diberikan cukup
informasi tentang tujuan organisasi, prestasi dan masalah yang dihadapi.
Luthans (1995) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja sebagai berikut :
Perhatian mengenai pengaruh pekerjaan manusia terhadap keefektifan
organisasi
Pandangan mengenai partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah dalam organisasi.
Tujuan yang diharapkan adalah untuk merubah iklim pekerjaan sehingga sumber
daya manusia, teknologi yang digunakan, dan lingkungan organisasional dapat
mengarahkan pada pencapaian kualitas kehidupan kerja organisasi yang lebih
baik.
Menurut Cascio (1992) terdapat dua cara untuk mengetahui kualitas
kehidupan kerja, yaitu:
1. Kualitas kehidupan kerja ditunjukkan sebagai suatu set tentang kondisi
obyektif dan praktek organisasional, seperti: peningkatan pengembangan
pekerjaan, keterlibatan pegawai, dan kondisi pekerjaan yang aman
2. Kualitas kehidupan kerja ditunjukkan sebagai persepi pegawai bahwa mereka
merasa aman, relatif merasa puas, dan mampu untuk tumbuh dan
12
berkembang sebagai mana layaknya manusia.
Muchiri dan Darokah (2000) menyatakan kualitas kehidupan kerja dalam
bentuk persepsi pegawai tentang kondisi fisik dan psikologis mereka dalam
melakukan pekerjaan.
Kualitas kehidupan kerja seringkali diartikan secara berbeda. Berikut ini
pengertian kualitas kehidupan kerja dari beberapa sumber :
1. Kualitas kehidupan kerja merupakan filosofi manajemen yang bertujuan
meningkatkan martabat karyawan, memperkenalkan perubahan budaya,
memberikan kesempatan pertumbuhan dan pengembangan ( Gibson,
2003 )
2. Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu ukuran karakteristik
organisasional yang mampu menarik dan mempertahankan sumberdaya
manusia dengan kinerja tinggi ( www. Itodi. Com).
3. Kualitas kehidupan kerja merupakan teknik manajemen yang mencakup
gugus kendali mutu, job enrichment, suatu pendekatan untuk
bernegosiasi dengan karyawan, hubungan industrial yang serasi,
manajemen partisipatif dan bentuk pengembangan organisasional
(French, 1990 ).
4. Kualitas kehidupan kerja menyangkut persepsi karyawan bahwa mereka
ingin merasa aman, secara relatif merasa puas dan memperoleh
kesempatan pertumbuhan ( Wayne, 1992 )
5. Kualitas kehidupan kerja berfokus pada pentingnya penghargaan kepada
sumberdaya manusia di lingkungan kerja ( Luthan, 1995 ).
Dari pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas
kehidupan kerja pada dasarnya merupakan praktik manajemen yang bertujuan
menciptakan budaya kerja yang mampu memotivasi setiap karyawan untuk
dapat mengembangkan diri dan memberikan kontribusi optimal bagi pencapaian
sasaran organisasi. Dalam kondisi organisasi saat ini, pengelolaan kontribusi
karyawan merupakan isu penting. Karyawan akan memberikan kontribusi yang
13
lebih besar apabila mereka merasa memiliki kebebasan dalam menyampaikan
ide dan merasa mampu menjalin hubungan timbal balik dengan perusahaan.
Pada akhirnya faktor sumberdaya manusia sangat menentukan kesuksesan dan
keunggulan kompetitif organisasi.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kualitas kehidupan kerja (QWL), menunjukkan pada suatu kondisi obyektif dan
praktek organisasional dan dapat juga ditunjukkan sebagai persepsi dan reaksi
pegawai tentang kondisi fisik dan psikologi mereka terhadap pekerjaan yang
mereka lakukan, yang ditunjukkan dengan rasa aman, puas dan mampu tumbuh
dan berkembang sebagai mana layaknya manusia. Dengan demikian peran
pentingnya kualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim kerja agar
organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan
kerja yang lebih baik (Luthans, 1995).
Dalam rangka rnencapai kualitas kehidupan kerja yang baik, menurut
Cherrington (1994), dapat dilakukan program-program kualitas kehidupan kerja,
yaitu:
1. Self- directed work teams, yang terdiri dari kelompok kecil pekerja,
antara 15-20 orang yang bertanggung jawab untuk menciptakan
variasi dalam pekerjaan. Kelompok ini sering disebut sebagai
autonomous work team.
2. Quality circles dan tolal Quality Management. Quality circles terdiri
dari kelompok-kelompok pekerja yang secara periodik bertemu untuk
mendiskusikan metode untuk meningkatkan produktifitas. Dalam
Robbins (2001), lingkaran kualitas merupakan kelompok kerja yang
bertemu secara teratur untuk membahas masalah-masalah kualitas
mereka, menyelidiki sebab-sebab, merekomendasikan penyelesaian
dan mengambil tindakan korektif. Sedangkan TQM merupakan suatu
filsafat manajemen yang didorong oleh pencapaian kepuasan
pelanggan secara konstan lewat perbaikan berkesinambungan dari
14
semua proses organisasi.
3. Representation on the board of directors. Anggotanya dipilih oleh
lingkungan kerjanya untuk mewakili kepentingan pekerja dan
berpartisipasi pada dewan direktur.
4. Labor - management committees. Diciptakan untuk mengurangi
konflik dan menciptakan iklim yang kooperatif, di mana komite harus
hati-hati dalam turut campur tangan dalam proses bargaining kolektif.
Tujuannya adalah untuk membantu pihak manajemen dan serikat
kerja untuk menyelesaikan konflik.
5. Humor in the workplace. Dilakukan dengan menciptakan suasana
kerja yang penuh humor. Penciptaan suasana yang penuh humor
tersebut akan rneningkatkan aspek psikologi yang positif dan
berdampak pada body and mind manusia. Humor merupakan alat
yang digunakan untuk memotivasi pegawai, merangsang kreatifitas,
dan meningkatkan performa pekerjaan.
Health Care Organization (Anderson dan Pulich, 2000), menerapkan
program kualitas kehidupan kerja pada:
1. Job redesign
Dalam rangka merespon kebutuhan organisasi dan kebutuhan pegawai, perlu
dilakukan pendesainan ulang pekerjaan. Pegawai mengharapkan bekerja
dalam lingkungan di mana pekerjaan tersebut menarik, menantang, dan
memberikan perhatian. Sasaran dari pendesainan ulang pekerjaan ini adalah
untuk melibatkan pegawai dalam mendefinisikan tugas atau peranan mereka,
yang dapat memberikan keuntungan bagi organisasi dan pegawai itu sendiri
sasaran Iain adalah memungkinkan penggunaan tim yang diberikan otonomi.
Setiap pegawai diharapkan mampu dan mempunyai tanggung jawab
terhadap pekerjaan mereka dan memperhatikan keberadaan pegawai yang
lain.
2. Alternative Work Arrangement, terdiri dari:
15
Flexible scheduling / skedul yang fleksibel
Job sharing membagi pekerjaan; dilakukan dengan mengijinkan 2 individu
untuk bekerja dalam waktu yang penuh. Masing-masing dapat bekerja
separuh waktu atau bagaimana mengaturnya, sepanjang pekerjaannya
memenuhi 40 jam seminggu.
Postponing full- time retirement / menunda pensiun penuh; dilakukan
dengan memberikan kesempatan untuk bekerja paruh waktu atau
dengan kebijakan yang lain.
Telecommuting. dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan
komunikasi modern dalam organisasi.
3. Professional Growth and Development.
Dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada pegawai untuk tumbuh
dan mengembangkan diri, baik itu dengan memberikan kesempatan untuk
mengikuti pendidikan dan latihan atau dengan mendesain program
pengembangan karir yang disesuaikan dengan kebutuhan profesional dan
kebutuhan pegawai.
Program-program kualitas kerja tersebut dapat dilakukan dalam rangka
menciptakan kualitas kehidupan kerja organisasi yang baik, yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi.
Dengan diterapkannya program kualitas kehidupan kerja diharapkan
dapat :
1. Meningkatkan atau menciptakan organisasi yang lebih demokratis
dimana semua anggota organisasi mempunyai kesempatan untuk
memberikan suan terhadap keputusan yang mempengaruhi mereka
partisipasi yang demokratis di tempat kerja
2. Membagikan imbalan finansial secara adil
3. Meningkatkan keamanan kerja, dengan meningkatkan vitalitas
organisasional dan menegakkan hak-hak pegawai
4. Meningkatkan perkembangan personel dengan menciptakan kondisi
16
yang mengarahkan untuk tumbuh dan berkembang (Cherrington, 1994).
Menurut Luthans (1995) dalam Nurtjahjani (2007), menyatakan bahwa
konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan
terhadap manusia dalam Iingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting
dari kualitas kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan
manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik.
Wayne (1992) dalam Arifin (2006) mengungkapkan bahwa terdapat dua
pandangan mengenai maksud kualitas kehidupan kerja. Pertama, mengatakan
bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari
tujuan organisasi, seperti: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis,
keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman. Kedua, menyatakan bahwa
kualitas kehidupan kerja/QWL adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka
ingin merasa aman, secara relatif merasa puas, dan mendapat kesempatan
mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia.
Menurut David dan Edward da/am Nurtjahjani (2007), kualitas kehidupan
kerja diartikan dengan:
Merupakan reaksi individu terhadap pekerjaan atau konsekwensi pribadi
dari pengalaman kerja.
Merupakan pendekatan yang fokusya terhadap individu dibanding hasil
organisasi.
Merupakan kumpulan metode untuk meningkatkan lingkungan kerja dan
membuat Iingkungan tersebut lebih produktif
Merupakan perkembangan mengenai alam kerja dan hubungan kerja
dengan organisasi, syarat-syarat manajemen partisipatif dan demokrasi
industrial sebagai intinya
Merupakan konsep untuk mengatasi persaingan luar negeri, masalah
kualitas, tingkat produktifitas rendah dan sebagainya.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, maka dapat dikatakan bahwa kualitas
kehidupan kerja merupakan suatu metode atau program yang dilakukan
17
organisasi untuk meningkatkan lingkungan kehidupan kerja dan membuat
lingkungan tersebut lebih produktif, serta reaksi individu terhadap pekerjaan
sebagai akibat dari penerapan metode dan pengembangan yang ada dalam
organisasi tersebut.
Siagian (1995) berpendapat bahwa kualitas kehidupan kerja /QWL memiliki
makna sebagai berikut:
QWL merupakan program yang kompetitif dengan mempertimbangkan
berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan
QWL memperhitungkan luntutan peraturan perundang-undangan seperti
ketentuan yang mengatur pencegahan tindakan yang diskriminatif.
perlakuan karyawan dengan cara-cara yang manusiawi dan ketentuan
tentang sislem imbalan upah minimum.
QWL mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dengan
berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para karyawan
termasuk dalam hal upah dan gaji, keselamatan kerja dan penyelesaian
pertikaian perburuan berdasarkan berbagai ketentuan normatif dan
berlaku di suatu wilayah negara tertentu.
QWL menekankan pentingnya manajemen manusiawi. yang pada
hakikatnya berarti penampilan manajemen yang demokratis termasuk
penyelian yang simpatik
Dalam peningkatan QWL porkayaan pekerjaan merupakan bagian integral
yang penting
QWL mencakup pengertian tentang pentingnya tanggung jawab sosial dari
pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap para karyawan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Graham (1991) dalam Nurtjahjani (2007) mengatakan bahwa QWL
menunjukkan suatu Iingkungan kerja yang diinginkan atau tidak diinginkan oleh
karyawan. Tujuan utamanya adalah mengembangkan para pekerja yang bagus
dan berlanjut pada produktifitas yang lebih baik. Perbaikan QWL adalah langkah
18
maju dari pola manajemen tradisional berdasarkan pengetahuan manajemen di
mana hal tersebut lebih difokuskan pada spesialisasi dan efisiensi QWL yang
rendah akan mengakibatkan tingginya labor turn over serta banyaknya
ketidakadilan dalam bekerja. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan kualitas kerja, sebagai berikut:
1. Mengubah pola organisasi untuk lingkungan yang menyenangkan bagi
karyawan
2. Memberikan imbalan dengan lebih, sehingga situasi akan menjadi lebih baik
3. Mekanisasi dan otomatisasi rutinitas pekerjaan dihindari agar karyawan
merasa nyaman dalam pekerjaannya
4. Mengubah pola kerja untuk menimbulkan semangat kerja
5. Mengembangkan pendekatan kemanusiaan.
Kelima cara ini dimaksudkan agar karyawan memiliki tanggung jawab
terhadap pekejaan yang lebih besar, mendapatkan kesempatan untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan prestasi kerja. QWL menghasilkan lebih banyak
pekerjaan dengan sentuhan kemanusiaan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
dasar yang diperlukan karyawan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kualitas kehidupan kerja (QWL) menunjukkan pada suatu kondisi obyektif dan
praktek organisasional serta dapat juga ditunjukkan sebagai persepsi dan reaksi
pegawai tentang kondisi fisik dan psikis mereka terhadap pekerjaan yang mereka
lakukan, yang ditunjukkan dengan rasa aman. puas dan mampu tumbuh
berkembang sebagaimana layaknya manusia.
1.3. KONSEP QUALITY OF WORK LIFE
David & Edward (1983) dalam Arifin (1999:75) mendefinisikan ” Quality of
Work Life sebagai cara berfikir mengenai orang, kerja dan organisasi”. Dengan
lebih rinci, elemen dari Quality of Work Life terdiri atas :
19
1. Perhatian mengenai pengaruh kerja terhadap manusia sebagaimana
terhadap efetifitas organisasi.
2. Pandangan mengenai partisipasi untuk pengambilan keputusan dan
pemecahan.
Permasalahan dalam organisasi, bahwa Quality of Work Life merupakan
pendekatan manajemen yang terus menerus diarahkan pada peningkatan
kualitas kerja. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan menghasilkan barang
atau jasa yang dipasarkan dan cara memberikan pelayanan yang selalu terus
menerus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen, sehingga barang dan jasa
yang dihasilkan mampu bersaing dan merebut pasar. “Program Quality of Work
Life pada dasarnya mencari cara untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan
menciptakan pekerjaan yang lebih baik atau tercapainya kinerja yang tinggi.
Quality of Work Life mencakup aktifitas-aktifitas yang ada di dalam perushaan,
yang diarahkan untuk meningkatkan suatu kondisi kehidupan kerja yang dapat
membangkitkan semangat para pekerja dalam melaksanakan tugas mencapai
sasaran perusahaan.
Pengertian Quality of Work Life menurut Nawawi (2001:67) adalah
“Program yang mencakup cara untuk meningkatkan kulitas kehidupan dengan
menciptakan pekerjaan yang lebih baik”. Berbagai faktor perlu dipenuhi dalam
menciptakan program Quality of Work Life, antara lain restrukturisasi kerja,
system imbalan, lingkungan kerja, partisipasi kerja, kebanggaan, pengembangan
karier, penyelesaian konflik, komunikasi, kesehatan kerja dan lain sebagainya.
Harmoni dalam tata hubungan antar manusia baik antar sesame pekerja maupun
hubungan antara atasan dengan bawahan juga menjadi hal penting untuk
dimiliki perusahaan (Umar, 2001:35). Untuk mencapai tujuan perushaan di
butuhkan pekerja yang bekerja dengan motivasi yang tinggi, yaitu yang merasa
senang mendapat kepuasan dalam pekerjaannya.
20
Salah satu indikasi pekerja mempunyai semangat yang tinggi dalam bekerja
adalah yang bersangkutan selalu berusaha mencapai hasil yang lebih baik dalam
rangka pencapaian tujuan perusahaan.
Quality of Work Life mencoba untuk memperbaiki kualitas kehidupan
para pekerja, tidak dibatasi pada perubahan konteks suatu pekerjaan tapi juga
termasuk memanusiakan lingkungan kerja untuk memperbaiki martabat dan
harga diri pekerja (Harvey & Brown, 1992 dalam Arifin, 1999:90). Dalam kaitan
dengan penciptaan martabat manusia, Quality of Work Life menciptakan
lingkungan dan iklim kerja yang memanusiakan manusia, sehingga manusia lebih
dilihat pada harkat dan martabat kemanusiaannya, bukan hanya sebagai alat,
inilah yang merupakan peran penting dalam penciptaan Quality of Work Life.
Menurut Nawawi (2001:76) bahwa “setiap organisasi atau perusahaan
harus mampu menciptakan kualitas kehidupan kerja (Quality of Work Life)
dalam perusahaan agar sumber daya manusia dilingkungannya menjadi
kompetitif.” Dengan terciptanya lingkungan kerja yang kompetitif maka secara
keseluruhan organisasi akan menjadi kompetitif pula dalam mewujudkan
exsistensinya. Fokus usaha-usaha Quality of Work Life bukan hanya pada
bagaimana orang dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam arti
peningkatan produktifitas belaka, melainkan juga bagaimana pekerjaan dapat
menyebabkan pekerja menjadi lebih baik dalam hal pemenuhan kesejahteraan
maupun martabat mereka. Menurut Gitosudarmo (2000:40) sasaran utama
Quality of Work Life terdiri dari 4 unsur yaitu :
1. Program Quality of Work Life menciptakan organisasi yang lebih
demokratis dimana setiap orang memiliki suara terhadap sesuatu yang
mempengaruhi kehidupannya.
2. Mencoba memberikan andil imbalan financial dari organisasi sehingga
setiap orang mendapatkan manfaat dari kerjasama yang lebih besar,
produktifitas lebih tinggi dan meningkatkan profitabilitas
21
3. Mencoba mancari cara untuk menciptakan keamanan kerja yang lebih
besar dengan meningkatkan daya hidup organisasi dan lebih
meningkatkan hak pekerja.
4. Mencoba meningkatkan pengembangan individu dengan menciptakan
kondisi yang mendukung terhadap pertumbuhan pribadi.
Konsep Quality of Work Life mengungkapkan pentingnya penghargaan
terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting
program Quality of Work Life adalah mengubah iklim kerja organisasi secara
teknis dan manusiawi dapat membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang
lebih baik. Peningkatan kalitas kerja ini diperlukan untuk menciptakan kepuasan
kerja sebagi pemicu semangat kerja. Syarat-syarat untuk meningkatkan kualitas
kerja adalah sebagai berikut :
1. Kompensasi yang mewadai dan wajar
2. Kondisi yang aman dan sehat
3. Kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kemapuan
manusia
4. Kesempatan untuk pertumbuhan berlanjut dan ketentraman
5. Ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab termasuk dalam suatu
kelompok
6. Hak-hak karyawan tidak terabaikan
7. Kerja dan ruang kerja keseluruhan memadai
8. Relevansi sosial kehiduapan kerja
Selanjutnya, Nawawi (2001:56) mengemukakan 3 aspek kualitas kehidupan kerja,
sebagai berikut :
1. Restrukturisasi kerja
2. System imbalan
3. Lingkungan kerja
22
Tak jauh dari berbagai teori dan pendapat para ahli manajemen sumber
daya manusia diatas, penelitian ini menganalisis hubungan 3 faktor Quality of
Work Life sebagai variabel bebas yakni restrukturisasi kerja, sistem imbalan dan
lingkungan kerja terhadap semangat kerja sebagai variabel terikat dan dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1 Restrukturisasi kerja
Restrukturisasi kerja menyangkut perbaikan metode atau sistem kerja,
konsep baru yang dapat menciptaan pekerjaan yang lebih tertantang
untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupan kerja. Gitosudarmo
(2000:38) mengemukakan pengertian kualitas kehidupan kerja ini
sebagai ” program kualitas lingkungan kerja umumnya berkaitan dengan
berbagai perubahan metode kerja tradisionil, program pemerkayaan
pekerjaan dan berbagi macam pola kerja
2 Sistem imbalan
Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai
balas jasa untuk kerja mereka”. Seirama dengan itu, Simamora
(1999:24) ”kompensasi merupakan apa yang diterima oleh karyawan
sebagai ganti kontribusi mereka kepada organisasi. ”Nawawi (2001:60)
mengemukakan bahwa ”kompensasi bagi organisasi merupakan
penghargaan atau ganjaran pendapatan pekerja yang telah memberikan
kontribusi dalam mewujudkan tujuannya melalui kegiatan disebut
bekerja.
3 Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan hal
yang dapat membahaykan pekerja dan lingkungan secara fisik, misalnya
aspek keselamatan kerja, kemananan kerja, keselamatan lingkungan
dan kesehatan kerja, setiap pekerja memerlukan lingkungan kerja yang
aman dan nyaman, untuk itu perusahaan berkewajiban memenuhi hal
tersebut.
23
1.4. FAKTOR-FAKTOR KUALITAS KEHIDUPAN KERJA ( QUALITY OF WORK LIFE)
Konsep dari kepuasan individu dinyatakan dalam kualitas kehidupan
kerja (Luthans, 1995). Kepuasan kerja sendiri menunjukkan sikap pegawai
terhadap pekerjaannya. Luthans (1995) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja adalah: upah/gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi,
supervisi, kelompok-kelompok kerja, kondisi dalam bekerja. Dengan adanya
kepuasan. kerja tersebut akan meningkatkan produktifitas, mengurangi
turnover, mengurangi absensi, mengurangi kecelakaan kerja, sedikit terjadi
keluhan, kesehatan fisik dan mental baik, bekerja lebih cepat. Hal- hal seperti
inilah yang diharapkan organisasi, dengan pemberian motivasi akan
memberikan kepuasan dan akhirnya diharapkan dapat menciptakan kualitas
kehidupan kerja organisasi secara keseluruhan.
Komponen - komponen kualitas kehidupan kerja menurut Cascio (1992),
terdiri dari :
1. Upah/gaji
2. Tunjangan (tunjangan kesehatan, pengunduran diri/ pensiun)
3. Keamanan pekerjaan
4. Alternative Work Schedules
5. Tekanan kerja
6. Partisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan
mereka
7. Demokrasi di tempat kerja
8. Profit sharing / Pembagian laba
9. Hak pensiun
10. Program perusahaan yang didesain untuk meningkatkan keselamatan
pegawai
24
11. The 4- day workweek (empat hari kerja seminggu)
Menurut Walton (dalam Nurtjahjani, 2007), faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja (QWL)
organisasi, meliputi :
1. Imbalan yang didesain untuk proses dan hasilnya
2. Program-program keuntungan/ tunjangan: pensiun yang cukup dan
kompetitif asuransi kesehatan
3. Lingkungan yang aman dan sehat
4. Jaminan kerja: kontinuitas pekerjaan sehingga pekerja terjamin masa
depannya
5. Struktur untuk identifikasi dan pemecahan masalah baik teori/ model
6. Pertumbuhan dan perkembangan
7. Partisipasi dalam pemecahan masalah
8. integrasi sosial
9. Demokrasi di tempat kerja
10. Ruang kehidupan total; keseimbangan antara kehidupan kerja dengan
kehidupan manusia
Davis dan Werther (1996) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja
dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:
1. Supervisi
2. Kondisi dalam bekerja
3. Upah/gaji
4. Tunjangan
5. Desain pekerjaan
Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan oleh seorang pimpinan atau manajer
organisasi dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan kerja pegawai .
Menurut David dan Edward (dalam Nurtjahjani, 2007), terdapat 4 tipe
kegiatan kualitas kehidupan kerja yaitu :
1. Berpartisipasi dalam pemecahan masalah
25
2. Restrukturisasi kerja, yang mencakup pengayaan kerja., penggunaan
kelompok-kelompok kerja, terutama prosedurnya dalam
pengembangan para pekerja baru dan keterlibatan yang tinggi
3. Sistem imbalan yang inovatif
4. Memperbaiki lingkungan kerja
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, variabel kualitas kehidupan
kerja dalam penelitian ini, dikelompokkan 4, yaitu:
1. Imbalan
Organisasi menggunakan berbagai imbalan untuk menarik dan
mempertahankan orang-orang dan memotivasi mereka agar mencapai tujuan
pribadi mereka dan tujuan organisasi. Imbalan yang diberikan dapat berupa
imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik. Imbalan intrinsik tidak diwujudkan
langsung dalam bentuk materi, dan merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri,
yang mencakup adanya rasa penyelesaian terhadap suatu tugas, prestasi,
otonomi, dan pertumbuhan (Gibson, 1989).' Imbalan intrinsik dinilai di dalam
dan dari mereka sendiri, melekat pad a aktifitas itu sendiri, dan pemberiannya
tidak tergantung pada kehadiran atau tindakan dan orang lain atau hal-hal Jain
(Simamora, 2001). Sedangkan imbalan ekstrinsik berasal dari pekerjaan-
pekerjaan atau imbalan yang' secara eksternal dihasilkan oleh seseorang atau
sesuatu yang lainnya, yang dapat berupa imbalan finansial: gaji/ upah,
tunjangan; dan imbalan antar pribadi : adanya pengakuan dan penghargaan.
Pemberian imbalan akan dapat mempengaruhi kepuasan kerja, jika
imbalan tersebut adil dan memadai. Imbalan dikatakan adil dan memadai
apabila imbalan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawannya
memungkinkan penerimanya memuaskan berbagai kebutuhan sesuai dengan
standart hidup' karyawan dan sesuai dengan standart penggajian yang berlaku di
pasaran kerja (Marwansah dan Mukaram, 2000).
Imbalan dapat dikatakan adil dapat dinilai dari 3 dimensi:
1. Keadilan internal, diartikan sebagai tingkat gaji yang pantas/patut dengan
26
nilai pekerjaan internal bagi perusahaan. Merupakan fungsi dari status
relatif sebuah pekerjaan di dalam organisasi, nilai ekonomi hasil
pekerjaan, atau status sosial sebuah pekerjaan, seperti kekuasaan,
pengaruh dan statusnya di dalam hirarki organisasi.
2. Keadilan eksternal, yakni apakah gaji yang dibayarkan oleh sebuah
organisasi adil jika dibandingkan dengan tingkat upah yang dibayarkan
organisasi lain sejenis.
3. Keadilan individual, yakni imbalan yang diterima seseorang dikatakan
adil, jika dibanding dengan yang diterima oleh orang lain yang
mengerjakan pekerjaan yang sana atau sejenis, ( Marwansnh dan
Mukaram, 2000).
Agar imbalan tersebut adil harus rnemenuhi ketiga dimensi keadilan tersebut.
Untuk mengkaji apakah pegawai akan merasa puas dengan imbalan yang
diberikan organisasi, Lawler (dalam Gibson, 1989) menyatakan kesimpulannya :
1. Kepuasan dari imbalan adalah fungsi dari banyak imbalan yang diterima
dan berapa banyak menurut perasaan individu yang bersangkutan harus
diterima. jadi individu akan merasa puas apabila imbalan yang diterima
sesuai dengan
a. harapan.
2. Perasaan individu tentang kepuasan dipengaruhi oleh pembanding apa
yang terjadi pada orang lain. Orang cenderung membandingkan us aha,
keahlian, senioritas dan prestasi kerja dengan orang lain, dan
membandingkannya dengan imbalan yang diterima.
3. Kepuasan dipengaruhi oleh rasa puas pegawai dengan imbalan intrinsik
dan ekstrinsik.
4. Orang berbeda dalam imbalan yang mereka inginkan dan segi pentingnya
imbalan yang berbeda untuk mereka. Individu berbeda tentang imbalan
yang mereka sukai atau mereka inginkan. Sebenarnya, imbalan yang
disukai pun berbeda dalam beberapa hal tergantung pada karier
27
seseorang, umur, dan situasi yang berbeda.
5. Beberapa imbalan ekstrinsik memuaskan karena imbalan tersebut
mengarah pada imbalan yang lain.
Dalam rangka mengembangkan dan mendistribusikan imbalan, para
manajer harus memperhatikan beberapa pertimbangan penting, yaitu:
1. Imbalan yang diberikan harus cukup memuaskan kebutuhan dasar
manusia
2. Individu cenderung membandingkan imbalan mereka dengan imbalan
orang lain, oleh karena itu pemberian imbalan harus memperhatikan
aspek keadilan
3. Dalam mendistribusikan imbalan harus memperhitungkan perbedaan
individual (Gibson, 1989).
Di samping itu yang perlu diperhatikan lagi dalam memberikan imbalan
kepada pegawai (Braid dalam Timpe, 1991) adalah: 1). Imbalan tersebut harus
dapat bersaing. Tingkat gaji dan tunjangan harus cukup tinggi agar menarik
orang yang kompeten. 2) Imbalan tersebut harus rasional. Gaji pegawai harus
sebanding dengan performa yang diukur dari pekerjaan dan dapat dibandingkan
dengan gaji di perusahaan lain untuk pekerjaan yang serupa. Perhatian harus
juga dicurahkan kepada tingkat performa pekerjaan dan lamanya bekerja. 3).
Imbalan tersebut harus berdasarkan performa. Supaya efektif, program
kompensasi harus dapat membangkitkan dan memberi penghargaan bagi
performa yang meningkat..
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa imbalan yang
diharapkan pegawai dan dapat memotivasi kerja mereka adalah imbalan yang
diberikan harus adil dan memadai / layak, memuaskan, harus dapat bersaing
bernilai tinggi, harus rasional, dan harus berdasarkan performa. Oleh karena itu
organisasi harus mempunyai sistem imbalan yang baik. Dalam memberikan
imbalan tidak hanya berupa imbalan finansial saja, imbalan yang berupa non
28
finansial dan hubungan antar pribadi juga harus diperhatikan, dan menempatkan
imbalan tersebut dalam setiap strategi organisasi sehingga dapat memotivasi
pegawai.
2. Lingkungan Kerja
Pegawai peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas dengan baik. Beberapa. studi
mengenai kondisi kerja menyatakan bahwa karyawan menyenangi lingkungan
kerja yang tidak berbahaya atau merepotkan, temperatur, cahaya dan faktor-
faktor lingkungan lain seharusnya tidak terlalu ekstrim (terlalu banyak atau
terlalu sedikit) (Robbins, 2001). Nitisemito (2000), menjelaskan bahwa
lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan yang
dapat mempengaruhi dirinya dalam ll1cnjalankan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya, misalnya: kebersihan, musik, cahaya.
Lingkungan kerja sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak
manajemen.
Pekerja tidak akan dapat bekerja dengan efektif apabila tidak didukung oleh
lingkungan kerja yang memuaskan. Meskipun lingkungan kerja il).i tidak secara
langsung melaksanakan proses kegiatan, namun lingkungan kerja akan
mempunyai pengaruh langsung terhadap pegawai yang bekerja dalam suatu
perusahaan.
Lingkungan kerja yang buruk akan mempengaruhi pekerja, produktifitas
kerja menjadi menurun, karena pekerja merasa terganggu dalam pekerjaannya,
sehingga tidak dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh terhadap
pekerjaan. Oleh karena itu, tugas pimpinan perusahaan adalah untuk mengatur
keadaan lingkungan kerja pegawai agar diperoleh tingkat produktifitas yang
maksimal (Reksohadiprojo, 2000). Lebih lanjut dalam menciptakan lingkungan
kerja yang baik perlu adanya pengaturan lingkungan kerja yang meliputi:
pengaturan penerangan tempat kerja, pengontrolan terhadap suara yang gaduh,
pengontrolan udara, pengaturan kebersihan tempat kerja dan pengaturan
29
keselamatan kerja.
Terdapat beberapa faktor yang dapat dimasukkan dalam lingkungan kerja
serta besar pengaruhnya terhadap kepuasan dan kegairahan kerja, menurut
Nitisemito (2000) terdiri dari: penerangan ruangan kerja, kebersihan tempat
kerja, pertukaran udara yang sehat, musik, keamanan tempat kerja maupun
lingkungan kerja dari kebisingan.
Menurut Smith et.al (dalam Rooswidjajani, 2001) menyatakan bahwa
terdapat 5 dimensi yang berhubungan dengan lingkungan di tempat kerja yang
menimbulkan kepuasan kerja, yaitu:
1. Pekerjaan: tugas pekerjaan yang dianggap menarik dan memberi peluang
2. untuk belajar dan menerima tanggung jawab
3. Gaji upah yang diterima
4. Peluang-peluang promosi untuk mencapai kemajuan dalam jabatan
5. Supervisor
6. Rekan kerja
Jadi yang menyangkut lingkungan kerja tidak hanya lingkungan fisik yang
ada, tapi juga segala sesuatu yang ada di tempat kerja yang akan rnempengaruhi
pegawai dalam melakukan pekerjaan mereka. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi Iingkungan kerja tersebut dapat rneliputi: sikap pimpinan
terhadap pegawai, sikap ternan sekerja, keamanan kerja, dan tempat kerja itu
sendiri.
Pegawai sangat peduli dengan Iingkungan yang baik untuk kenyamanan
dan kemudahan dalam melakukan pekerjaan. Adanya. peraturan atau kebijakan,
kondisi keadaan tempat kerja, perlengkapan, keamanan, rekan sekerja, dan
pimpinan akan turut menentukan suasana dalam lingkungan pekerjaan. Dengan
lingkungan kerja yang baik akan mendorong motivasi dan kepuasan kerja
pegawai dan akan memperbaiki kualitas kehidupan kerja secara keseluruhan.
3. Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja mengukur derajat sejauh mana seseorang memihak
30
secara psikologis pada pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya yang
dipersepsikan adalah penting untuk harga dirinya. Karyawan dengan tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang
dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu, yang akhirnya akan
mengakibatkan tingkat absensi yang lebih rendah dan tingkat turnover yang
rendah pula (Robbins, 2001 ).
Menurut Parker (1990) keterlibatan kerja bisa. dipandang dan 3 aspek,
yaitu (1). Alasan seseorang untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, baik berupa
uang, upah clan sebagainya, (2). Tujuan pekerjaan tersebut, (3). Sikap terhadap
pekerjaan, baik berupa kecenderungan untuk melaksanakan identifikasi diri
terhadap pekerjaan ataupun kecenderungan untuk merenggangkan diri.
Keterlibatan kerja dapat diketahui dari persepsi karyawan bahwa dirinya merasa
dilibatkan dalam pekerjaan sehingga menyebabkan sebagian perhatiannya
berpusat pad a pekerjaannya dan merasa bahwa pekerjaannya adalah
merupakan bagian yang sangat penting dalam hidupnya.
Karyawan dikatakan memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi bila
mereka (Eiioy, dalam Nurtjahjani, 2001): aktif berpartisipasi dalam pekerjaan
mereka, memandang pekerjaan sebagai pusat perhatian hidup, memandang
bagaimana pekerjaan mereka dan seberapa baik hasil kerja sebagai bagian dari
konsep pribadi. Karyawan yang berada dalam tingkat pekerjaan yang tinggi
cenderung untuk melibatkan diri secara mendalam dalam pekerjaannya. Selain
itu ada beberapa perilaku yang diidentifikasi menyertai kerja yang tinggi yaitu :
menghabiskan waktu dengan bekerja lebih lama, memikirkan pekerjaan
sekalipun tidak sedang bekerja, merasa kecewa bila telah gagal dalam
melakukan suatu pekerjaan, dan merasa malu bila melakukan kesalahan dalam
bekerja.
Menurut Davis (1996), keterlibatan kerja itu sama dengan partisipasi
kerja. Partisipasi kerja merupakan keterlibatan emosi dan mental karyawan
dalam situasi kelompok yang menggiatkan mereka untuk menyumbang pada
31
tujuan kelompok serta bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Tiga aspek
dalam partisipasi kerja tersebut adalah :
a. Keterlibatan emosi dan mental karyawan
Berpartisipasi berarti melibatkan emosi dan mental daripada kegiatan
fisik. Keterlibatan psikologis karyawan yang lebih besar terlihat. Karyawan
yang mempunyai partisipasi kerja yang tinggi akan nampak dalam
perilakunya yaitu aktifitas kerja yang kreatif dan semangat kerja yang
tinggi.
b. Motivasi untuk menyumbang
Dalam berpartisipasi, motivasi untuk menyumbangkan ide-ide kreatif dan
membangun merupakan aspek yang sangat penting. Karyawan perlu
diberikan kesempatan untuk merealisasikan ide, inisiatif dan
kreatifitasnya dalam mencapai tujuan organisasi.
c. Penerimaan tanggung jawab
Partisipasi kerja menuntut karyawan untuk mampu menerima tanggung
jawab dalam kegiatan kelompok. Partisipasi merupakan proses sosial yang
melibatkan diri karyawan dalam organisasi untuk mencapai keberhasilan.
Karyawan yang dapat menerima tanggung jawab dalam aktifitas kelompok
mereka akan dapat bekerja sama dalam satu kerja. Kesatuan dalam tim
merupakan kunci keberhasilan dalam bekerja.
Yang mendasari keterlibatan kerja adalah adanya keterlibatan secara
emosi dan mental yang diwujudkan adanya kreatifitas kerja dan semangat kerja
yang tinggi; pegawai mempunyai motivasi untuk menyumbangkan ide/ inisiatif
dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka; pegawai merasakan
penerimaan tanggung jawab terhadap pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Dengan adanya keterlibatan kerja tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kualitas kehidupan kerja pegawai dan organisasi secara keseluruhan.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi para pegawai. pihak organisasi
atau manajemen dapat melakukan usaha-usaha sebagaimana dikemukakan oleh
32
Walter (dalam Parker, t 990):
1. Memelihara dan meningkatkan interest para pegawai, hal ini dapat
berupa usaha untuk melibatkan pegawai dalam fungsi manajemen atau
campur tangan Iangsung dari para pegawai untuk mengubah keputusan
pihak manajer yang dirasakan merugikan kepentingan mereka
2. Demokrasi di dalam organisasi. Demokrasi bertujuan mendistribusikan
kekuasaan dalam organisasi secara lebih merata. di samping itu untuk
mengatasi konflik yang terjadi
3. Mengurangi kerenggangan dan meningkatkan keterlibatan pribadi yang
lebih ditekankan pada peningkatan kualitas hidup atau kesejahteraan
pegawai dengan jalan memanusiakan pekerjaan. Untuk meningkatkan
keterlibatan, sebaiknya pegawai diikutsertakan dalam fungsi manajerial
4. Mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dalam organisasi,
dimana manusia dianggap penting dalam organisasi dan partisipasi
pegawai dianggap sebagai sumbangan bagi peningkatan efisiensi
5. Himbauan untuk membentuk sikap kerja sama untuk mengurangi konflik
6. Menumbuhkan tanggung jawab sosial terhadap organisasi
4. Pertumbuhan dan Pengembangan
Seseorang yang sedang mengalami pertumbuhan merasakan
perkembangan. Dengan rnengembangkan kemampuan, kesanggupan / keahlian,
seseorang akan mampu memaksimalkan atau paling tidak: memuaskan potensi
keahliannya. Sebagian orang senang kecewa terhadap tugas dan organisasi
mereka, jika mereka tidak diijinkan atau tidak didorong untuk mengembangkan
keahlian mereka (Gibson, 1989).
Pengembangan pegawai diberikan untuk memberikan kesempatan belajar
untuk mengembangkan diri dan untuk mempersiapkan pekerja agar mampu
memikul tanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya. Pegawai dapat tumbuh
dan mengembangkan diri dengan mengikuti program pendidikan dan pelatihan
ataupun mengikuti kesempatan untuk promosi ataupun kesempatan untuk
33
mempelajari hal-hal / pengetahuan baru.
Dalam rangka memberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembangnya pegawai, organisasi juga dapat mendesain program
pengembangan karier yang disesuaikan dengan kebutuhan profesional. dan
kebutuhan personal pegawai, yang
memfokuskan pada mobilitas karier yang ada pada organisasi (Anderson dan
Pulich, 2000).
Program pengembangan karier akan efektif apabila didukung oleh semua
pihak. Marwansah dan Mukaram (2000) menyatakan pihak yang ikut
menentukan efektivitas program pengembangan karier terdiri dari: 1). Adanya
komitmen dari pihak manajemen untuk mendukung program ini melalui
kebijakan yang jelas dan alokasi sumber daya untuk melaksanakan program
tersebut. 2). Para profesional SDM, bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan program dengan menyediakan informasi, alat dan
pedoman yang diperlukan dan bertindak sebagai penghubung dengan
manajemen puncak. 3). Para atasan langsung berkewajiban untuk memberikan
dukungan, nasehat/saran dan umpan balik. 4). Penyelia. Seseorang pekerja
dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya dukungan organisasi terhadap
karier mereka. 5). Pekerja secara individual bertanggung jawab untuk
mengembangkan kariemya. Dengan adanya dukungan dari semua pihak dan
adanya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang tersebut diharapkan dapat
meningkatkan motivasi individu untuk melakukan tugas/ pekerjaannya, yang
akhirnya akan meningkatkan kualitas kehidupan kerja organisasi.
1.5. ASPEK KONTRIBUSI KUALITAS KEHIDUPAN KERJA (QWL) PEGAWAI
1. Imbalan
Organisasi menggunakan berbagai imbalan untuk menarik dan
mempertahankan orang-orang dan memotivasi mereka agar mencapai tujuan
pribadi mereka dan tujuan organisasi. Imbalan yang diberikan dapat berupa
34
imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik. Imbalan intrinsik tidak diwujudkan
langsung dalam bentuk materi, dan merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri,
yang mencakup adanya rasa penyelesaian terhadap suatu tugas, prestasi,
otonomi, dan pertumbuhan (Gibson, 1989).' Imbalan intrinsik dinilai di dalam
dan dari mereka sendiri, melekat pad a aktifitas itu sendiri, dan pemberiannya
tidak tergantung pad a kehadiran atau tindakan dan orang lain atau hal-hal Jain
(Simamora, 2001). Sedangkan imbalan ekstrinsik berasal dari pekerjaan-
pekerjaan atau imbalan yang' secara eksternal dihasilkan oleh seseorang atau
sesuatu yang lainnya, yang dapat berupa imbalan finansial: gaji/ upah,
tunjangan; dan imbalan antar pribadi : adanya pengakuan dan penghargaan.
Pemberian imbalan akan dapat mempengaruhi kepuasan kerja, jika
imbalan tersebut adil dan memadai. Imbalan dikatakan adil dan memadai
apabila imbalan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawannya
memungkinkan penerimanya memuaskan berbagai kebutuhan sesuai dengan
standart hidup' karyawan dan sesuai dengan standart penggajian yang berlaku di
pasaran kerja (Marwansah dan Mukaram, 2000). Imbalan dapat dikatakan adil
dapat dinilai dari 3 dimensi:
1. Keadilan internal, diartikan sebagai tingkat gaji yang pantas/patut dengan
nilai pekerjaan internal bagi perusahaan. Merupakan fungsi dari status
relatif sebuah pekerjaan di dalam organisasi, nilai ekonomi hasil
pekerjaan, atau status sosial sebuah pekerjaan, seperti kekuasaan,
pengaruh dan statusnya di dalam hirarki organisasi.
2. Keadilan eksternal, yakni apakah gaji yang dibayarkan oleh sebuah
organisasi adil jika dibandingkan dengan tingkat upah yang dibayarkan
organisasi lain sejenis.
3. Keadilan individual, yakni imbalan yang diterima seseorang dikatakan adil,
jika dibanding dengan yang diterima oleh orang lain yang mengerjakan
pekerjaan yang sana atau sejenis, ( Marwansnh dan Mukaram, 2000).
35
Untuk mengkaji apakah pegawai akan merasa puas dengan imbalan yang
diberikan organisasi, Lawler (dalam Gibson, 1989) menyatakan kesimpulannya :
1. Kepuasan dari imbalan adalah fungsi dari banyak imbalan yang diterima
dan berapa banyak menurut perasaan individu yang bersangkutan harus
diterima. jadi individu akan merasa puas apabila imbalan yang diterima
sesuai dengan
harapan.
2. Perasaan individu tentang kepuasan dipengaruhi oleh pembanding apa
yang terjadi pada orang lain. Orang cenderung membandingkan us aha,
keahlian, senioritas dan prestasi kerja dengan orang lain, dan
membandingkannya dengan imbalan yang diterima.
3. Kepuasan dipengaruhi oleh rasa puas pegawai dengan imbalan intrinsik
dan ekstrinsik.
4. Orang berbeda dalam imbalan yang mereka inginkan dan segi pentingnya
imbalan yang berbeda untuk mereka. Individu berbeda tentang imbalan
yang mereka sukai atau mereka inginkan. Sebenarnya, imbalan yang
disukai pun berbeda dalam beberapa hal tergantung pada karier
seseorang, umur, dan situasi yang berbeda.
5. Beberapa imbalan ekstrinsik memuaskan karena imbalan tersebut
mengarah pada imbalan yang lain.
Dalam rangka mengembangkan dan mendistribusikan imbalan, para
manajer harus memperhatikan beberapa pertimbangan penting, yaitu:
1. Imbalan yang diberikan harus cukup memuaskan kebutuhan dasar
manusia
2. Individu cenderung membandingkan imbalan mereka dengan imbalan
orang lain, oleh karena itu pemberian imbalan harus memperhatikan
aspek keadilan
3. Dalam mendistribusikan imbalan harus memperhitungkan perbedaan
individual (Gibson, 1989).
36
Di samping itu yang perlu diperhatikan lagi dalam memberikan imbalan
kepada pegawai (Braid dalam Timpe, 1991) adalah: 1). Imbalan tersebut harus
dapat bersaing. Tingkat gaji dan tunjangan harus cukup tinggi agar menarik
orang yang kompeten. 2) Imbalan tersebut harus rasional. Gaji pegawai harus
sebanding dengan performa yang diukur dari pekerjaan dan dapat dibandingkan
dengan gaji di perusahaan lain untuk pekerjaan yang serupa. Perhatian harus
juga dicurahkan kepada tingkat performa pekerjaan dan lamanya bekerja. 3).
Imbalan tersebut harus berdasarkan performa. Supaya efektif, program
kompensasi harus dapat membangkitkan dan memberi penghargaan bagi
performa yang meningkat..
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa imbalan yang
diharapkan pegawai dan dapat memotivasi kerja mereka adalah imbalan yang
diberikan harus adil dan memadai / layak, memuaskan, hams dapat bersaing
bernilai tinggi, harus rasional, dan hams berdasarkan performa. Oleh karena itu
organisasi harus mempunyai sistem imbalan yang baik. Dalam memberikan
imbalan tidak hanya berupa imbalan finansial saja, imbalan yang berupa non
finansial dan hubungan antar pribadi juga harus diperhatikan, dan menempatkan
imbalan tersebut dalam setiap strategi organisasi sehingga dapat memotivasi
pegawai.
2 . Lingkungan Kerja
Pegawai peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas dengan baik. Beberapa. studi
mengenai kondisi kerja menyatakan bahwa karyawan menyenangi lingkungan
kerja yang tidak berbahaya atau merepotkan, temperatur, cahaya dan faktor-
faktor lingkungan lain seharusnya tidak terlalu ekstrim (terlalu banyak atau
terlalu sedikit) (Robbins, 2001). Nitisemito (2000), menjelaskan bahwa
lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan yang
dapat mempengaruhi dirinya dalam ll1cnjalankan tugas-tugas yang dibebankan
37
kepadanya, misalnya: kebersihan, musik, cahaya.
Lingkungan kerja sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak
manajemen.
Pekerja tidak akan dapat bekerja dengan efektif apabila tidak didukung oleh
lingkungan kerja yang memuaskan. Meskipun lingkungan kerja il).i tidak secara
langsung melaksanakan proses kegiatan, namun lingkungan kerja akan
mempunyai pengaruh langsung terhadap pegawai yang bekerja dalam suatu
perusahaan.
Lingkungan kerja yang buruk akan mempengaruhi pekerja, produktifitas
kerja menjadi menurun, karena pekerja merasa terganggu dalam pekerjaannya,
sehingga tidak dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh terhadap
pekerjaan. Oleh karena itu, tugas pimpinan perusahaan adalah untuk mengatur
keadaan lingkungan kerja pegawai agar diperoleh tingkat produktifitas yang
maksimal (Reksohadiprojo, 2000). Lebih lanjut dalam menciptakan lingkungan
kerja yang baik perlu adanya pengaturan lingkungan kerja yang meliputi:
pengaturan penerangan tempat kerja, pengontrolan terhadap suara yang gaduh,
pengontrolan udara, pengaturan kebersihan tempat kerja dan pengaturan
keselamatan kerja.
Terdapat beberapa faktor yang dapat dimasukkan dalam lingkungan kerja
serta besar pengaruhnya terhadap kepuasan dan kegairahan kerja, menurut
Nitisemito (2000) terdiri dari: penerangan ruangan kerja, kebersihan tempat
kerja, pertukaran udara yang sehat, musik, keamanan tempat kerja maupun
lingkungan kerja dari kebisingan.
Menurut Smith et.al (dalam Rooswidjajani, 2001) menyatakan bahwa
terdapat 5 dimensi yang berhubungan dengan lingkungan di tempat kerja yang
menimbulkan kepuasan kerja, yaitu:
I. Pekerjaan: tugas pekerjaan yang dianggap menarik dan memberi peluang
untuk belajar dan menerima tanggung jawab
2. Gaji upah yang diterima
38
3. Peluang-peluang promosi untuk mencapai kemajuan dalam jabatan
4. Supervisor
5. Rekan kerja
Jadi yang menyangkut lingkungan kerja tidak hanya lingkungan fisik yang
ada, tapi juga segala sesuatu yang ada di tempat kerja yang akan rnempengaruhi
pegawai dalam melakukan pekerjaan mereka. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi Iingkungan kerja tersebut dapat rneliputi: sikap pimpinan
terhadap pegawai, sikap ternan sekerja, keamanan kerja, dan tempat kerja itu
sendiri.
Pegawai sangat peduli dengan Iingkungan yang baik untuk kenyamanan
dan kemudahan dalam melakukan pekerjaan. Adanya. peraturan atau kebijakan,
kondisi keadaan tempat kerja, perlengkapan, keamanan, rekan sekerja, dan
pimpinan akan turut menentukan suasana dalam lingkungan pekerjaan. Dengan
lingkungan kerja yang baik akan mendorong motivasi dan kepuasan kerja
pegawai dan akan memperbaiki kualitas kehidupan kerja secara keseluruhan.
3. Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja mengukur derajat sejauh mana seseorang memihak
secara psikologis pada pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya yang
dipersepsikan adalah penting untuk harga dirinya. Karyawan dengan tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang
dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu, yang akhirnya akan
mengakibatkan tingkat absensi yang lebih rendah dan tingkat turnover yang
rendah pula (Robbins, 2001 ).
Menurut Parker (1990) keterlibatan kerja bisa. dipandang dan 3 aspek,
yaitu (1). Alasan seseorang untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, baik berupa
uang, upah clan sebagainya, (2). Tujuan pekerjaan tersebut, (3). Sikap terhadap
pekerjaan, baik berupa kecenderungan untuk melaksanakan identifikasi diri
terhadap pekerjaan ataupun kecenderungan untuk merenggangkan diri.
39
Keterlibatan kerja dapat diketahui dari persepsi karyawan bahwa dirinya merasa
dilibatkan dalam pekerjaan sehingga menyebabkan sebagian perhatiannya
berpusat pad a pekerjaannya dan merasa bahwa pekerjaannya adalah
merupakan bagian yang sangat penting dalam hidupnya.
Karyawan dikatakan memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi bila
mereka (Eiioy, dalam Nurtjahjani, 2001): aktif berpartisipasi dalam pekerjaan
mereka, memandang pekerjaan sebagai pusat perhatian hidup, memandang
bagaimana pekerjaan mereka dan seberapa baik hasil kerja sebagai bagian dari
konsep pribadi. Karyawan yang berada dalam tingkat pekerjaan yang tinggi
cenderung untuk melibatkan diri secara mendalam dalam pekerjaannya. Selain
itu ada beberapa perilaku yang diidentifikasi menyertai kerja yang tinggi yaitu :
menghabiskan waktu dengan bekerja lebih lama, memikirkan pekerjaan
sekalipun tidak sedang bekerja, merasa kecewa bila telah gagal dalam
melakukan suatu pekerjaan, dan merasa malu bila melakukan kesalahan dalam
bekerja.
Menurut Davis (1996), keterlibatan kerja itu sama dengan partisipasi
kerja. Partisipasi kerja merupakan keterlibatan emosi dan mental karyawan
dalam situasi kelompok yang menggiatkan mereka untuk menyumbang pada
tujuan kelompok serta bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Tiga aspek
dalam partisipasi kerja tersebut adalah :
a. Keterlibatan emosi dan mental karyawan
Berpartisipasi berarti melibatkan emosi dan mental daripada kegiatan fisik.
Keterlibatan psikologis karyawan yang lebih besar terlihat. Karyawan yang
mempunyai partisipasi kerja yang tinggi akan nampak dalam perilakunya
yaitu aktifitas kerja yang kreatif dan semangat kerja yang tinggi.
b. Motivasi untuk menyumbang
Dalam berpartisipasi, motivasi untuk menyumbangkan ide-ide kreatif dan
membangun merupakan aspek yang sangat penting. Karyawan perlu
diberikan kesempatan untuk merealisasikan ide, inisiatif dan kreatifitasnya
40
dalam mencapai tujuan organisasi.
c. Penerimaan tanggung jawab
Partisipasi kerja menuntut karyawan untuk mampu menerima tanggung
jawab dalam kegiatan kelompok. Partisipasi merupakan proses sosial yang
melibatkan diri karyawan dalam organisasi untuk mencapai keberhasilan.
Karyawan yang dapat menerima tanggung jawab dalam aktifitas kelompok
mereka akan dapat bekerja sama dalam satu kerja. Kesatuan dalam tim
merupakan kunci keberhasilan dalam bekerja.
Yang mendasari keterlibatan kerja adalah adanya keterlibatan secara
emosi dan mental yang diwujudkan adanya kreatifitas kerja dan semangat kerja
yang tinggi; pegawai mempunyai motivasi untuk menyumbangkan ide/ inisiatif
dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka; pegawai merasakan
penerimaan tanggung jawab terhadap pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Dengan adanya keterlibatan kerja tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kualitas kehidupan kerja pegawai dan organisasi secara keseluruhan.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi para pegawai. pihak organisasi
atau manajemen dapat melakukan usaha-usaha sebagaimana dikemukakan oleh
Walter (dalam Parker, t 990):
1. Memelihara dan meningkatkan interest para pegawai, hal ini dapat
berupa usaha untuk melibatkan pegawai dalam fungsi manajemen atau
campur tangan Iangsung dari para pegawai untuk mengubah keputusan
pihak manajer yang dirasakan merugikan kepentingan mereka
2. Demokrasi di dalam organisasi. Demokrasi bertujuan mendistribusikan
kekuasaan dalam organisasi secara lebih merata. di samping itu untuk
mengatasi konflik yang terjadi
3. Mengurangi kerenggangan dan meningkatkan keterlibatan pribadi yang
lebih ditekankan pada peningkatan kualitas hidup atau kesejahteraan
pegawai dengan jalan memanusiakan pekerjaan. Untuk meningkatkan
keterlibatan, sebaiknya pegawai diikutsertakan dalam fungsi manajerial
41
4. Mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dalam organisasi,
dimana manusia dianggap penting dalam organisasi dan partisipasi
pegawai dianggap sebagai sumbangan bagi peningkatan efisiensi
5. Himbauan untuk membentuk sikap kerja sama untuk mengurangi konflik
6. Menumbuhkan tanggung jawab sosial terhadap organisasi
4. Pertumbuhan dan Pengembangan
Seseorang yang sedang mengalami pertumbuhan merasakan
perkembangan. Dengan rnengembangkan kemampuan, kesanggupan / keahlian,
seseorang akan mampu memaksimalkan atau paling tidak: memuaskan potensi
keahliannya. Sebagian orang senang kecewa terhadap tugas dan organisasi
mereka, jika mereka tidak diijinkan atau tidak didorong untuk mengembangkan
keahlian mereka (Gibson, 1989).
Pengembangan pegawai diberikan untuk memberikan kesempatan belajar
untuk mengembangkan diri dan untuk mempersiapkan pekerja agar mampu
memikul tanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya. Pegawai dapat tumbuh
dan mengembangkan diri dengan mengikuti program pendidikan dan pelatihan
ataupun mengikuti kesempatan untuk promosi ataupun kesempatan untuk
mempelajari hal-hal / pengetahuan baru.
Dalam rangka memberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembangnya pegawai, organisasi juga dapat mendesain program
pengembangan karier yang disesuaikan dengan kebutuhan profesional. dan
kebutuhan personal pegawai, yang
memfokuskan pada mobilitas karier yang ada pad a organisasi (Anderson dan
Pulich, 2000).
Program pengembangan karier akan efektif apabila didukung oleh semua
pihak. Marwansah dan Mukaram (2000) menyatakan pihak yang ikut
menentukan efektivitas program pengembangan karier terdiri dari: 1). Adanya
komitmen dari pihak manajemen untuk mendukung program ini melalui
42
kebijakan yang jelas dan alokasi sumber daya untuk melaksanakan program
tersebut. 2). Para profesional SDM, bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan program dengan menyediakan informasi, alat dan
pedoman yang diperlukan dan bertindak sebagai penghubung dengan
manajemen puncak. 3). Para atasan langsung berkewajiban untuk memberikan
dukungan, nasehat/saran dan umpan balik. 4). Penyelia. Seseorang pekerja
dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya dukungan organisasi terhadap
karier mereka. 5). Pekerja secara individual bertanggung jawab untuk
mengembangkan kariemya. Dengan adanya dukungan dari semua pihak dan
adanya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang tersebut diharapkan dapat
meningkatkan motivasi individu untuk melakukan tugas/ pekerjaannya, yang
akhirnya akan meningkatkan kualitas kehidupan kerja organisasi.
1.6. HUBUNGAN QUALITY OF WORK LIFE DENGAN SEMANGAT KERJA
Semangat kerja merupakan kondisi mental yang berpengaruh terhadap
usaha untuk melakukan pekerjaan secara lebih giat, atas rasa percaya diri dan
motivasi yang kuat untuk dapat menyelesaikannya dengan lebih cepat dan lebih
baik (Bruce, 2007). Sesuai dengan kondisi mental yang sifatnya situasional,
semangat kerja juga merupakan suatu potensi yang terus bergerak, tidak stabil
maka perlu dibangun secara terkonsep dan berkesinambungan. Usaha-usaha
yang diarahkan pada peningkatan semangat kerja di SMU Nurul Iman diwujudkan
melalui program-program peningkatan kualitas SDM yang diikuti dengan
peningkatan kesejateraan dan efesiensi sumber daya yang dimiliki, baik efisiensi
internal maupun eksternal, efisiensi internal diwujudkan melalui optimalisasi
pengunaan sarana prasarana dengan cara-cara inofativ, kreatif dan efektif, Usaha
peningkatan efisinsi external misalnya dilakukan dengan cara peningkatan
teknologi tepat guna.
Penelitian diawali dengan observasi awal untuk mendeteksi berbagai
kendala dan hambatan serta tantangan yang dihadapi Yayasan Nurul Iman,
43
hingga ditemukan indikasi beberapa factor Quality of Work Life yang diduga
berpengaruh terhadap semangat kerja yakni restrukturisasi kerja system imbalan
dan lingkungan kerja. Restrukturisasi kerja dimaksudkan sebagai pengaturan dan
penetapan system kerja dalam segala aspeknya agar secara konsisten memberi
kesempatan bagi pekerja untuk lebih berkembang, professional dan
bersemangat dalam bekerja (Arifin, 1999:56). Restrukturisasi kerja mencakup
pengayaan kerja, penggunaan kelompok-kelompok kerja yang otonom, atau
redisain dari system-sistem teknis (re-engineering) yang lengkap dan
penyesuaian-penyesuaian regulasi maupun struktur organisasi (restructuring).
Sistem imbalan merupakan faktor utama dari motivasi, usaha, kinerja dan
semangat kerja (Arifin,1999:78). Sistem imbalan mempengaruhi barbagai tingkah
laku, memiliki pengaruh secara internal dan external dalam organisasi. Pengaruh
internal dapat meningkatkan prestasi keraj, mengurangi absensi, dan
memelihara para pekerja yang ahli, sedangkan pengaruh external dapat menarik
sejumlah tenaga kerja yang ahli dari luar
Berbagai hal yang tercakup dalam faktor Quality of Work Life dapat
mempengaruhi semangat kerja Nawawi (2003:76), diantaranya :
a. Kepuasan kerja terhadap tugas yang diembannya
b. Kesempatan berkarier
c. Tidak merasa tertekan bahkan mencintai pekerjaannya
d. Kepuasan ekonomi dan materi yang memadai sebagai imbalan yang dirasakan
wajar dan adil terhadap jerih payah yang diberikan kepada organisasi.
e. Ketenangan mental kerena ada jaminan hukum, jaminan kesehatan dan hari
tua
f. Hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan
g. Suasana atau iklim yang bersahabat dengan anggota lainnya
h. Rasa kebersamaan dan kemanfaatan dalam organisasi.
44
Selanjutnya faktor-faktor Quality of Work Life yang terdiri dari
restrukturisasi kerja, system imbalan dan lingkungan kerja tersebut diatas perlu
diuji signifkansi pengaruhnya terhadap semangat kerja, yang akan bermanfaat
bagi pengembangan Yayasan Nurul Iman khususnya manajemen kinerja guru
maupun manadi referensi bagi peneliti lainnya yang memerlukan. Kerangaka
konsep disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini :
GAMBAR :KERANGKA KONSEPTUAL VARIABEL QWL
TINJAUAN EMPIRIS QWL
Penelitian ini didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu, yang
berkaitan dengan topik yang akan diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh
Campbell dan Bealy (dalam Nurtjahjani, 2001), menemukan Komponen-
Komponen untuk Menganalisis Kualitas Kehidupan Kerja Organisasi, yang
meliputi: struktur tugas, imbalan, prestasi, pelatihan dan pengembangan,
keterbukaan (transparansi) dan ketertutupan, kemampuan dan resiko, status dan
semangat, kemampuan dan umpan balik organisasi.
RESTRUKTURISASI
KERJA
SISTEM
IMBALAN
LINGKUNGAN
KERJA
SEMANGAT
KERJA
Variabel Bebas QWL Variabel terikat
45
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Grech (dalam Nurtjahjani,
2001), mengenai Pemberian Motivasi Pemimpin terhadap Kualitas Kehidupan
Kerja yang terdiri dari mengiksertakan karyawan dalam pengambilan keputusan,
memerlukan umpan balik, pemberian reward atas keberhasilan, membuat
pekerjaan berharga akan dapat mempengaruhi tersebut berharga bagi karyawan
akan dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja.
Widyasari (1994) melakukan penelitian dengan judul: Analisis
Perbedaan Kegiatan Kualitas Kehidupan Karyawan Perusahaan Rokok di Kota
Malang. Variabel penelitian tersebut terdiri dan jaminan kerja, berpartisipasi
dalam pemecahan masalah, lingkungan kerja yang baik, demokrasi di tempat
kerja. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa jaminan kerja,
berpartisipasi dalam pemecahan masalah, lingkungan kerja yang baik, demokrasi
di tempat kerja terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kualitas kehidupan
kerja karyawan. Sedangkan yang memberikan kontribusi yang paling penting
bagi kualitas kehidupan karyawan adalah jaminan kerja.
Nursani (1998), melakukan penelitian dengan judul tesisnya: Analisa
Motivasi Kerja dalam Menciptakan Kualitas Kehidupan Kerja di Lembaga
Keuangan Bank Swasta di Kota Malang. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa: (1) ada perbedaan yang signifikan antara kategori faktor
dalam menciptakan kualitas kehidupan kerja yang dipersepsikan karyawan, (2)
dari beberapa faktor integrasi sosial, pertumbuhan dan perkembangan,
demokrasi di tempat kerja, programprogram keuntungan; terdapat satu variabel
yaitu integrasi sosial yang memberikan kontribusi penting dalam menciptakan
kualitas kehidupan kerja.
Subagyo(1999) melakukan penelitian dengan judul Analisis Aspek Kerja
yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja dan Pengaruhnya terhadap Produktivitas
Kerja Perawat RSUD Ngudi Waluyo-Wlingi Blitar. Aspek kerja sebagai variabel
bebasnya yang digunakan terdiri dan gaji, pekerjaan, promosi, penyelia, rekan
kerja. Variabel moderatornya adalah kepuasan kerja, sedangkan variabel
46
terikatnya adalah hasil kerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
variabe1 dan aspek kerja yang rneliputi gaji, pekerjaan, promosi, penyelia,
rekan kerja secara bersama-sama mal1plll1 secara parsial mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat kepuasan kerja, dan tingkat kepuasan kerja
berpengaruh signifikan terhadap hasil kerja. Namun berdasarkan analisis
parsial, variabel rekan sekerja yang mempunyai pengaruh yang dominan
terhadap kepuasan kerja perawat.
Warsito (2001), dengan penelitiannya yang berjudul: Pengaruh Imbalan
dan Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja ( Studi pada Pegawai di
Perusahaan Daerah Air Minum Pemerintah Daerah Malang). Variabel bebas
yang digunakan terdiri dari imbalan material, imbalan non material,
penerangan, sistem ventilasi, tingkat ketenangan kerja; sedangkan variabel
bebasnya adalah kepuasan kerja pegawai. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara imbalan material dan
imbalan non material secara simultan terhadap kepuasan kerja. Ada pengaruh
yang signifikan antara variabel penerangan, sistem ventilasi dan tingkat
ketenangan kerja secara simultan terhadap kepuasan pegawai. Atau dengan
kata lain ada pengaruh yang signifikan baik secara parsial maupun secara
bersama-sama antara variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
Zainnuri (2001), melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh Penerapan
Gugus Kendali Mutu terhadap Kualitas Pelayanan Jasa Telekomunikasi (Kajian
tentang Gugus Kendali Mutu pada PT Telkom Kantor Daerah Telekomunikasi
Malang). Variabel bebas yang digunakan untuk konsep gugus kendali mutu
adalah: pelibatan dan pemberdayaan karyawan, kerjasama tim, kepemimpinan;
sedangkan variabel terikatnya adalah kualitas pelayanan jasa. Hasil penelitian
tersebut rnenunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan . antara
pelibatan dan pemberdayaan karyawan, kerjasama tim, kepemimpinan terhadap
kualitas pelayanan jasa, Jadi terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
bebas terhadap variabel terikat. Dari variabel bebas tersebut yang mempunyai
47
pengaruh paling dominan adalah variabel pelibatan dan pemberdayaan
karyawan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurtjahjani (2001), dengan judul
penelitiannya: Analisis Perbedaan Tipe dari Kegiatan Kualitas Kehidupan Kerja
Tenaga Edukatif di Politeknik Negeri Malang. Tipe dari kegiatan kualitas
kehidupan kerja tersebut terdiri dari berpartisipasi dalam pemecahan masalah,
restrukturisasi kerja, sistem imbalan yang inovatif, dan memperbaiki lingkungan
kerja. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan: (l) hasil analisis varian
menunjukkan bahwa keempat faktor motivasional (berpartisipasi dalam
pemecahan masalah, restrukturisasi kerja, sistem imbalan yang inovatif, dan
memperbaiki lingkungan kerja ), menunjukkan ada perbedaan yang signifikan
antara 4 kategori tersebut. (2) dari keempat faktor motivasional tersebut yang
memberikan kontribusi yang paling penting dalam menciptakan kualitas
kehidupan kerja adalah restrukturisasi kerja.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan terdahulu
tersebut, dangan berusaha mengembangkannya, mengenal variabel-variabel
yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja (QWL) dosen, yang terdiri dari
imbalan, lingkungan kerja, keterlibatan kerja dan pertumbuhan dan
pengembangan. Variabel- variabel yang digunakan tersebut akan lebih
dikernbangkan pada indikator dan item-item penelitian yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Chatman and Jehn (1994) yang berjudul
Assessing The Relationship Between Industry Characteristics and Organizational
Culture: How Different Can You be? Penelitian ini menggunakan dimensi budaya
meliputi: inovasi dan resiko, perhatian pada rincian, orientasi hasil, orientasi
orang, orientasi tim, keagresifan dan stabilitas. Hasilnya adalah terdapat
hubungan antara teknologi dan pertumbuhan budaya organisasi dengan
karakteristik industri yang dikonsepkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kotter den Heskett (1987) dalam Cheki Yio
(1996) tentang Budaya Perusahaan dan Kinerja, dimana budaya perusahaan
48
sebagai variabel bebas dan kinerja sebagai variabel terikatnya. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja karyawan perusahaan, serta penting dalam menentukan sukses
tidaknya perusahaan di masa yang akan datang.
Penelitian yang dilakukan oleh Rizal (1997) yang berjudul Pengaruh
Budaya Perusahaan terhadap Komitmen Karyawan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa budaya perusahaan yang meliputi variabel inisiatif dan
toleransi tindakan resiko, arah dan sasaran. integrasi dan pola komunikasi.
dukungan dan pengawasan manajemen, identitas, sistem imbalan dan toleransi
terhadap konflik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen
karyawan.
Sedangkan variabel toleransi terhadap konflik berpengaruh signifikan secara
parsial.
Penelitian yang dilakukan oleh Muluk (1999) tentang Budaya Organisasi
dan Pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja, menunjukkan bahwa budaya
organisasi yang meliputi variabel asumsi keterkaitan lingkungan organisasi,
asumsi hakikat aktifitas manusia dan asumsi hakikat hubungan manusia
berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Secara parsial diketahui bahwa asumsi
keterkaitan lingkungan organisasi, asumsi hakikat realitas dan kebenaran, asumsi
sifat manusia dan asumsi hubungan manusia berpengaruh terhadap kerja
karyawan. variabel asumsi hakikat hubungan manusia memiliki pengaruh yang
dominan dibandingkan dengan variabel lainnya.
Hasil penelitian Goodman A. E., Zammuto F. R dan Gifford D. B (2001)
tentang The Competing Value Framework: Understanding the Impact of
Organizational Culture on the Quality of Work Life. Yang meneliti hubungan
antar budaya organisasi dengan beberapa variabel penting yang menyangkut
pekerjaan karyawan tujuh rumah sakit dengan total responden 276
orang. Penelitian ini menemukan bahwa nilai-nilai budaya kelompok
berhubungan positif dengan komitmen, organisasi, keterlibatan kerja,
49
pemberdayaan, dan kepuasan kerja, sedangkan untuk keinginan pindah kerja
berhubungan negatif, di mana variabel ini adalah sebagai indikator dari kualitas
kehidupan kerja (QWL).
Sementara untuk budaya organisasi yang hirarkis berhubungan negatif dengan
variabel komitmen organisasi, keterlibatan kerja, pemberdayaan, kepuasan
kerja serta berhubungan positif dengan keinginan karyawan untuk pindah kerja.
Kirkman dan Shapiro (2001) yang melakukan penelitian tentang The
Impact of Cultural Value on Job Satisfaction and Organizational Commitment in
Self-Managing Work Team: The Mediating Role of Employee Resistance.
Penelitian ini menggunakan 461 responden yang merupakan anggota tim di 4
negara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa resistensi menjadi mediator
dalam hubungan antara nilai-nilai budaya dengan perilaku kerja, baik secara
simultan maupun secara parsial, hal ini tergantung dari tipe resistensi (pada tim
a/au pengelola) dan budayanya.
Hasil penelitian Hamida (2001) tentang Analisis Pengaruh Budaya
Organisasi terhadap Kepuasan Kerja, menunjukkan bahwa budaya organisasi
berpengaruh signifikan terdapat kepuasan kerja karyawan. Penelitian ini pada
awalnya menggunakan 13 variabel budaya organisasi syari'ah, namun setelah
diekstraksi menjadi tiga variabel, yaitu: (1) pandangan organisasi terhadap
manusia dan kegiatannya, (2) keterkaitan organisasi dengan lingkungan, (3)
pandangan organisasi terhadap hakekat realitas dan kebenaran.
Penelitian Gifford D. B, Zammuto and Goodman (2002) yang berjudul The
Relationship Between Hospital Unit Culture and Nurses' Quality of Work life.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh
yang kuat pada faktor-faktor kualitas kehidupan kerja, sedangkan nilai budaya
hubungan kemanusiaan berpengaruh positif pada komitmen organisasi,
keterlibatan kerja, pemberdayaan, kepuasan kerja dan berhubungan negatif
pada keinginan pindah kerja.
50
Astuti (2003) yang meneliti mengenai Pengaruh Budaya Organisasi
terhadap Komitmen Karyawan pada UPDT Pendapatan Daerah Kediri,
menemukan bahwa variabel budaya organisasi yang meliputi inisiatif dan
toleransi terhadap resiko, arah dan sasaran, integrasi dan pola komunikasi,
dukungan dan pengawasan manajemen, imbalan serta toleransi terhadap konflik
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat komitmen karyawan.
Variabel imbalan memiliki pengaruh yang dominan dibandingkan dengan
variabel bebas lainnya secara parsial.
Penelitian yang dilakukan oleh Lund B. D. (2003) tentang Organizational
Culture and Job Satisfaction. Lund menemukan kepuasan kerja berhubungan
positif dengan budaya suku (clan) dan budaya adhokarasi serta berhubungan
negatif pada budaya pasar dan budaya hirarki. Penelitian ini terdiri dari dua
variabel yaitu budaya organisasi dan kepuasan kerja, dimana budaya organisasi
terdiri dari : budaya suku (clan), pasar (market), adhokrasi dan hirarki. Adapun
untuk kepuasan kerja diukur dengan tingkat kepuasan dengan pekerjaan, teman
kerja, pengawasan (supervision), jumlah gaji dan Kesempatan promosi.
Sedangkan metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
diskriminan.
Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada tabel 1 di bawah ini sebagai
ringkasan dari penelitian-penelitian terdahulu.
TABEL 1. RINGKASAN HASIL-HASIL PENELITIAN TERDAHULU
No Judul Penelitian Variabel Bebas Variabel Terikat
Hasil
1. Assessing The Relationship Between Industry Characteristics and Organizational Culture : How Different Can You Be?
Jennifer A. Chatman dan Karen A. Jehn 1994
Inovasi dan resiko, perhatian paoa rincian, orientasi hasiI, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan,
dan stabilitas
Teknologi, pertumbuhan budaya
organisasi
Menunjukkan adanya hubungan antara variabel dalam teknologi dan pertumbuhan budaya organlsasi dengan karakteristik industri yang dikonsepkan
51
2. Corporate Culture and Performance
John P. Kotter dan James D. Heskett 1987 dalam Cheki 1996
Budaya organisasi
Kinerja Perusahaan
Budaya organisasi memiliki pengaruh yang Signifikan terhadap komitmen perusahaan serta sangat penting dalam menentukan sukses tidaknya perusahaan di masa mendatang
3. Pengaruh Budaya Perusahaan terhadap Komitmen Karyawan (Studi pada RLN Cabang Malang)
John Rizal 1999
inisiatif dan resiko, arah dan sasarana, integrasi dan pola komunikasi, dukungan dan pengawasan manajemen, identitas, sistem imbalan dan toleransi terhadap
konflik
Komitmen Karyawan
Variabel budaya perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap komitmen karyawan, sedangkan variabel toleransi terhadap konflik berpengaruh signifikan secara parsial
4. Budaya Organisasi dan pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja
M. R. Khairul Muluk 1999
Asumsi keterkaitan lingkungan organisasi. Asumsi hakikat realitas dan kebenaran, Asumsi hakikat sifat manusia, Asumsi hakikat aktivitas manusia, Asumsi hakikat hubungan manusia
Kepuasan kerja
Secara simultan variable budaya organisasi berpengaruh terhadap Kepuasan kerja, sedangkan secara parsial variabel asumsi hakikat realitas dan kebenaran, asumsi hakikat realitas dan kebenaran, asumsi hubungan manusia berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Asumsi aktivitas manusia tidak berpengaru8h terhadap Kepuasan kerja. Adapun yang memiliki pengaruh dominan adalah asumsi hakikat hubungan manusia.
5. The Competing Value Framwork : Understanding the Impact of Organizational Culture on the
Eric A. Goodman Raymond F. Zammuto dan Blair D. Gifford 2001
Budaya organisasi Kualitas kehidupan kerja (quality of work life) yang terdiri : komitmen organisasi,
Busaya kelompok memiliki pengaruh yang positif terhadap komitmen organisasi, keterlibatan kerja, pemberdayaan dan Kepuasan kerja. Sedangkan dengan pindah kerja berhubungan negatif. Budaya hirarki
52
Quality of Work Life
keterlibatan kerja, pemberdayaan dan keinginan untuk pindah kerja
memiliki hubungan positif dengan keinginan pindah kerja dan negatif dengan yanglainnya. Pada intinya orientasi budaya yang berbeda akan memiliki pengaruh yang bervariasi terhadap kualitas kehidupan.
6. Analisis Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja
Siti Hamida 2001
Pandangan organisasi terhadap manusia dan kegiatannya, keterkaitan organisasi dengan lingkungan, pandangan organisasi terhadap hakikat realitas dan kebenaran
Kepuasan kerja
Budaya organisasi berpengaruh secara significant baik secara simultan maupun parsial terhadap kepuasan kerja
7. The Impact of Cultural Value on Job Satisfaction and Organizational Commitment in Self Managing Work Teams : The Mediating Role of Employee Resistance
Bradley K. Kirkman dan Debra L. Shafiro 2001
Nilai-nilai budaya (dimensi budaya Hofstede)
Perilaku kerja (Y) (kepuasan kerja dan komitmen organisasi) resistensi terhadap tim, resistensi self-management (Z)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa empat nilai budaya secara significant berhubungan dengan kedua tipe resistensi. Nilai budaya secara significant berhubungan dengan komitmen organisasi, sedangkan budaya kolektif dan orientasi pekerjaan berhubungan dengan kepuasan kerja. Kedua tipe resistensi berhubungan dengan komitmen organisasi dan kepuasan kerja.
8. The Relationship Between Hospital Unit Culture and Quality of Work Life
Blair D. Gifford Raymond F. Zammuto dan Eric A. Goodman 2002
Budaya organisasi Kualitas kehidupan kerja(QWL) yang diukur melalui : komitmen organisasi, kepuasan kerja, keterlibatan kerja, pemberdayaan dan
Budaya organisasi pengaruh yuang kuat terhadap kualitas kehidupan kerja perawat. Budaya human relation berhubungan positif pada komitmen organisasi, keterlibatan kerja, pemberdayaan dan kepuasan kerja. Sedangkan keinginan untuk pindah kerja berhubungan negatif
53
keinginan untuk pindah kerja
9. Pengaruh Budaya terhadap Komitmen Karyawan
Rini Astuti 2003
Budaya organisasi yang meliputi : inisiatif dan toleransi terhadap resiko, arahan dan sasaran, integrasi dan pola komunikasi, dukungan dan pengawasan manajemen, imbalan dan toleransi terhadap konflik
Komitmen karyawan
Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap komitmen karyawan. Variabel imbalan memiliki pengaruh yang dominan pengaruh yang dominan dibandingkan kainnya
10 Organizational Culture and Job Satisfaction
Saulatram B. Lund 2003
Budaya organisasi yang meliputi : Budaya suku, pasar, adhokrasi dan hirarki
Kepuasan kerja yang meliputi : tingkat kepuasan dengan pekerjaan, teman kerja pengawasan, jumlah gaji dan kesempatan promosi
Kepuasan kerja berhubungan positif dengan budaya suku dan adhokrasi. Sedangkan untuk budaya pasar dan hirarki berhubungan negatif
1.7. QUALITY OF WORK LIFE IMPLEMENTASI PADA PEGAWAI
Konsep dari kepuasan individu dinyatakan dalam kualitas kehidupan
kerja (Luthans, 1995). Kepuasan kerja sendiri menunjukkan sikap pegawai
terhadap pekerjaannya. Menurut Spector (1997) aspek-aspek kepuasan kerja
terdiri dari penghargaan, komunikasi, rekan kerja, tunjangan, kondisi pekerjaan,
pekerjaan sendiri, organisasi, kebijakan dan prosedur organisasi, upah/ gaji,
pertumbuhan personel, kesempatan promosi, pengakuan, keamanan,
supervisor.
Luthans (1995) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja adalah: upah/gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok-
54
kelompok kerja, kondisi dalam bekerja. Dengan adanya kepuasan. kerja tersebut
akan meningkatkan produktifitas, mengurangi turnover, mengurangi absensi,
mengurangi kecelakaan kerja, sedikit terjadi keluhan, kesehatan fisik dan mental
baik, bekerja lebih cepat. Hal- hal seperti inilah yang diharapkan organisasi,
dengan pemberian motivasi akan memberikan kepuasan dan akhirnya
diharapkan dapat menciptakan kualitas kehidupan kerja organisasi secara
keseluruhan.
Komponen - komponen kualitas kehidupan kerja menurut Cascio (1992),
terdiri dari :
1. Upah/gaji
2. Tunjangan (tunjangan kesehatan, pengunduran diri/ pensiun)
3. Keamanan pekerjaan
4. Alternative Work Schedules
5. Tekanan kerja
6. Partisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi
pekerjaan mereka
7. Demokrasi di tempat kerja
8. Profit sharing / Pembagian laba
9. Hak pensiun
10. Program perusahaan yang didesain untuk meningkatkan keselamatan
pegawai
11. The 4- day workweek (empat hari kerja seminggu)
Menurut Walton (dalam Nurtjahjani, 2001), faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja (QWL)
organisasi, meliputi :
1. Imbalan yang didesain untuk proses dan hasilnya
2. Program-program keuntungan/ tunjangan: pensiun yang cukup dan
kompetitif asuransi kesehatan
3. Lingkungan yang aman dan sehat
55
4. Jaminan kerja: kontinuitas pekerjaan sehingga pekerja terjamin masa
depannya
5. Struktur untuk identifikasi dan pemecahan masalah baik teori/ model,
proses pelatihan dan pesertanya
6. Pertumbuhan dan perkembangan
7. Partisipasi dalam pemecahan masalah
8. integrasi sosial
9. Demokrasi di tempat kerja
10. Ruang kehidupan total; keseimbangan antara kehidupan kerja dengan
kehidupan manusia
Davis dan Werther (1996) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja
dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:
1. Supervisi
2. Kondisi dalam bekerja
3. Upah/gaji
4. Tunjangan
5. Desain pekerjaan
Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan oleh seorang pimpinan atau manajer
organisasi da1am rangka meningkatkan kualitas kehidupan kerja pegawai .
Menurut David dan Edward (dalam Nurtjahjani, 2001), terdapat 4 tipe kegiatan
kualitas kehidupan kerja yaitu :
1. Berpartisipasi dalam pemecahan masalah
2. Restrukturisasi kerja, yang mencakup pengayaan kerja., penggunaan
kelompok-kelompok kerja, terutama prosedurnya dalam
pengembangan para pekerja baru dan keterlibatan yang tinggi
3. Sistem imbalan yang inovatif
4. Memperbaiki lingkungan kerja
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dalam penelitian ini variabel- variabel
yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja dosen dikelompokkan dalam 4
56
variabel, yaitu:
I. Imbalan
2. Menciptakan lingkungan kerja
3. Adanya keterlibatan kerja
4. Pertumbuhan dan pengembangan
Komponen-komponen tersebut akan lebih dikembangkan dalam indikator dan
item- item yang digunakan.
Departemen sumber daya manusia mempunyai pengaruh baik langsung
maupun tidak langsung pada motivasi pekerja dan kepuasan kerja. Dalam rangka
memperbaiki kualitas kehidupan kerja, memerlukan dukungan manajemen,
terutama manajemen puncak. Organisasi dapat melakukan usaha meningkatkan
kualitas kehidupan kerja dengan suatu tindakan yang sistematis dengan
memberi kesempatan yang Iebih besar pada pekerja untuk mempengaruhi cara
mereka dalam melakukan tugasnya dan sumbangan yang dapat diberikan pada
keefektifan organisasi. Menurut Cascio (1992), wujud dan kualitas kehidupan
kerja adalah:
1. Perkembangan pekerjaan dan aktualisasi diri
2. Meningkatkan motivasi
3. Performance (kualitas dan kuantitas) kerja yang lebih baik
4. Sedikit keluar masuk kerja
5. Sedikit absen
6. Mengurangi waktu bermalas-malasan
7. Meningkat kepuasan
Dengan kualitas kehidupan kerja yang merupakan suatu kondisi obyektif
dan praktek organisasional yang diterapkan oleh organisasi, melalui imbalan
yang adil dan memuaskan, menciptakan lingkungan kerja yang mendukung,
adanya keterlibatan kerja yang tinggi dari pegawai, adanya kesempatan
pertumbuhan dan pengembangan akan mewujudkan kualitas kehidupan kerja
(QWL) pegawai yang baik, yang diwujudkan: adanya perkembangan pekerjaan
57
dan aktualisasi diri, meningkatnya motivasi, performance (kualitas dan
kuantitas) kerja yang lebih baik, sedikit keluar masuk kerja, sedikit absen,
mengurangi waktu bermalas-malasan, dan meningkatnya kepuasan.
Dalam penelitian ini wujud dari kualitas kehidupan kerja (QWL) dosen
yang akan diteliti dikelompokkan menjadi:
1. Motivasi kerja, yang meliputi:
Adanya keterlibatan kerja
Berkurangnya stress/ tekanan
13crkcmbnngnya pekerjaan dan aktualisasi diri
Pengurangan absensi
2. Kepuasan kerja
kepuasan terhadap imbalan
kepuasan terhadap lingkungan kerja
kepuasan terhadap keterlibatan kerja
kepuasan terhadap kesempatan perturnbuhan dan
pengembangan 3. Performance (kualitas dan kuantitas) kerja
kualitas: mutu pekerjaan yang ditunjukkan dan frekuensi
kesalahan
kuantitas: kesesuaian jumlah pekerjaan dengan target
1.8. WUJUD KUALITAS KEHIDUPAN KERJA (QWL)
Menurut Arifin (1999) terdapat empat hal pokok berhubungan dengan
wujud dari kualitas kehidupan kerja, yaitu:
1. Berpartisipasi dalam Pemecahan Masalah
Karyawan dilibatkan dalam aktifitas organisasi dalam berbagai tingkatan.
Keterlibatan kerja mengukur sejauh mana seseorang memihak pada
pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya yang dipersepsikan penting
bagi harga. dirinya. Keterlibatan karyawan berarti mengijinkan para karyawan
berpertisipasi delem keputusan-keputusan organisasi. Pihak manajemen
58
dalam hal ini membagi tanggung jawab dengan karyawan dalam pengambilan
keputusan. Melalui proses pembagian pengambilan keputusan, rasa
mempercayai antara karyawan dan manajemen berkembang. Dengan ini
maka karyawan memperoleh QWL yang lebih tinggi. Kemudian QWL yang
lebih tinggi cenderung menggerakkan tingkat komitmen yang lebih tinggi
terhadap organisas serta kinerja yang lebih tinggi.
2. Restrukturisasi Kerja
Restrukturisasi kerja mencakup perkayaan karyawan, penggunaan kelompok
kerja yang otonom atau didesain dari sistem-sistem teknls yang lengkap dan
penetapan kerja, terut:3ma prosedurnya dalam pengembangan para
karyawan baru dengan keterlibatan yang tinggi. Dalam hal ini QWL
mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan kerja seseorang, terdapat
kemungkinan untuk mengembangkan kemampuannya dan tersedia
kesempatan menggunakan keterampilan atau pengetahuan baru yang
dimilikinya.
3. Sistem Imbalan yang Inovatlf
Imbalan organisasi mempengaruhi berbagai tingkah laku, dimana memiliki
pengaruh secara internal dan eksternal. Internal artinya meningkatkan
prestasi kerja, mengurangi absensi, dan memelihara para karyawan yang ahli.
Eksternal artinya menarik sejumlah tenaga kerja yang ahli. Di sisi lain imbalan
yang diberikan haruslah mencerminkan keadilan, namun tetap layak. adil dan
memadai.
4. Memperbaiki Lingkungan Kerja
Karyawan sangat peduli akan Iingkungan kerja, baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Berbagai
studi mengenai kondisi kerja, menyatakan bahwa karyawan menyenangi
lingkungan kerja yang tidak berbahaya, suhu, cahaya dan faktor-faktor
lingkungan lain, yaitu hubungan antar rekan kerja (Robbin, 1996). Selain
faktor-faktor diatas kepuasan kerja seseorang jLlga dipengaruhi oleh
59
kepuasan faktor keluarga, tekanan pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan.
Allen W.L. dan Eastman J .L. (1997) mengungkapkan wujud dari kualitas
kehidupan kerja pada organisasi dengan budaya yang mengedepankan
keunggulan (culture for excellence) adalah sebagai berikut:
o Keseimbangan (baIance). Para karyawan memiliki keseimbangan antara
pekerjaan dengan kehidupan pribadinya.
o Beban Kerja (workload). Beban kerja karyawan diatur oleh mereka send;ri
bersama kelompok kerjanya sampai pekerjaan itu selesai
o Sumber daya (resources). Para karyawan memiliki sumber daya yang
cukup, seperti komputer dan yang lainnya yang mendukung pekerjaannya
secara efektif.
Perbedaan (diversity). Para pekerja diperlakukan secara adil, dari memiliki
kesempatan yang sama dengan tidak membedakan suku, gender dan
keyakinan.
Menurut Cascio (1992) dalam Ruhana (2003), wujud dari kualitas
kehidupan kerja/QWL adalah: (I) Perkembangan pekerjaan dan aktualisasi diri,
(2) Meningkatkan motivasi, (3) Penampilan (kualitas dan kuantitas) kerja yang
lebih baik, (4) Sedikitnya karyawan yang keluar masuk kerja, (5) Tingkat absensi
rendah, (6) Mengurangi waktu bermalas-malasan dari (7) Meningkatkan
kepuasan.
Gifford, Zammuto and Goodman (2002) dalam penelitiannya tentang
hubungan budaya organisasi dengan kualitas kehidupan kerja perawat
menyatakan bahwa wujud dari QWL perawat adalah: (1) Komitmen organisasi,
(2) Kepuasan Kerja, (3) Pemberdayaan, (4) Keterlibatan kerja, dan (5) keinginan
untuk pindah kerja.
Penilaian ini menggunakan tingkat komitmen organisasi dan kepuasan
kerja, pemberdayaan karyawan dalam mengukur tingkat kualitas kehidupan
60
kerja/QWL karyawan didasarkan pada pendapat Gifferd D. B, Zammuto and
Goodman (2002) dalam jurnalnya yang berjudul The Relationship Between
Hospital Unit Culture and Nurses' Quality of Work Life, sedangkan untuk indeks
kualitas fisik diambil dari buku karanngan Todaro yang diterjemahkan oleh Agus
Subekti dengan judul Ekonomi untuk Negara Berkembang, dimana dalam hal ini
keempatnya dijadikan indikator dari variabel terikat (kualitas kehidupan
kerja/QWL). Lebih jelasnya dapat dilihat dibawah ini :
Kualitas kehidupan kerja/QWL karyawan
1. Komitmen organisasi, artinya kesetiaan, kebanggaan dan kemauan
bekerja keras dari karyawan dalam organisasi.
2. Kepuasan kerja, artinya adanya kesempatan berkembangnya pekerjaan
dan Aktualisasi diri, serta adanya keterlibatan dan kesempatan untuk
tumbuh (Gifford, Zammuto and Goodman, 2002).
3. Indeks kualitas hidup fisik, hal ini meliputi kualitas kehidupan, pendidikan
dan kesehatan karyawan dalam organisasi (Todaro, 1994).
4. Pemberdayaan, meliputi pelibatan dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah, adanya transfer tanggung jawab dari pimpinan,
keleluasaan dalam bekerja serta tidak adanya perbedaan status dalam
bekerja (Gifford, Zammuto and Goodman, 2000).
1.9. ANTESEDEN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA (QWL) PEGAWAI
Departemen sumber daya manusia mempunyai pengaruh baik langsung
maupun tidak langsung pada motivasi pekerja dan kepuasan kerja. Dalam rangka
memperbaiki kualitas kehidupan kerja, memerlukan dukungan manajemen,
terutama manajemen puncak. Organisasi dapat melakukan usaha meningkatkan
kualitas kehidupan kerja dengan suatu tindakan yang sistematis dengan
memberi kesempatan yang lebih besar pada pekerja untuk mempengaruhi cara
mereka dalam melakukan tugasnya dan sumbangan yang dapat diberikan pada
keefektifan organisasi. Menurut Cascio (1992), wujud dan kualitas kehidupan
61
kerja adalah:
1. Perkembangan pekerjaan dan aktualisasi diri
2. Meningkatkan motivasi
3. Performance (kualitas dan kuantitas) kerja yang lebih baik
4. Sedikit keluar masuk kerja
5. Sedikit absen
6. Mengurangi waktu bermalas-malasan
7. Meningkat kepuasan
Dengan kualitas kehidupan kerja yang merupakan suatu kondisi obyektif
dan praktek organisasional yang diterapkan oleh organisasi, melalui imbalan
yang adil dan memuaskan, menciptakan lingkungan kerja yang mendukung,
adanya keterlibatan kerja yang tinggi dari pegawai, adanya kesempatan
pertumbuhan dan pengembangan akan mewujudkan kualitas kehidupan kerja
(QWL) pegawai yang baik, yang diwujudkan: adanya perkembangan pekerjaan
dan aktualisasi diri, meningkatnya motivasi, performance (kualitas dan
kuantitas) kerja yang lebih baik, sedikit keluar masuk kerja, sedikit absen,
mengurangi waktu bermalas-malasan, dan meningkatnya kepuasan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa wujud dari kualitas kehidupan kerja
(QWL) dikelompokkan menjadi:
1. Motivasi kerja, yang meliputi:
Adanya keterlibatan kerja
Berkurangnya stress/ tekanan
Berkembangnya pekerjaan dan aktualisasi diri
Pengurangan absensi
2. Kepuasan kerja
kepuasan terhadap imbalan
kepuasan terhadap lingkungan kerja
kepuasan terhadap keterlibatan kerja
62
kepuasan terhadap kesempatan perturnbuhan dan pengembangan
3. Performance (kualitas dan kuantitas) kerja
kualitas: mutu pekerjaan yang ditunjukkan dan frekuensi kesalahan
kuantitas: kesesuaian jumlah pekerjaan dengan target
Menurut Arifin (2006) terdapat empat hal pokok berhubungan dengan
wujud dari kualitas kehidupan kerja, yaitu:
1. Berpartisipasi dalam Pemecahan Masalah
Karyawan dilibatkan dalam aktifitas organisasi dalam berbagai tingkatan.
Keterlibatan kerja mengukur sejauh mana seseorang memihak pada
pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya yang dipersepsikan penting
bagi harga. dirinya. Keterlibatan karyawan berarti mengijinkan para karyawan
berpertisipasi delem keputusan-keputusan organisasi. Pihak manajemen
dalam hal ini membagi tanggung jawab dengan karyawan dalam pengambilan
keputusan. Melalui proses pembagian pengambilan keputusan, rasa
mempercayai antara karyawan dan manajemen berkembang. Dengan ini
maka karyawan memperoleh QWL yang lebih tinggi. Kemudian QWL yang
lebih tinggi cenderung menggerakkan tingkat komitmen yang lebih tinggi
terhadap organisas serta kinerja yang lebih tinggi.
2. Restrukturisasi Kerja
Restrukturisasi kerja mencakup perkayaan karyawan, penggunaan kelompok
kerja yang otonom atau didesain dari sistem-sistem teknls yang lengkap dan
penetapan kerja, terut:3ma prosedurnya dalam pengembangan para
karyawan baru dengan keterlibatan yang tinggi. Dalam hal ini QWL
mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan kerja seseorang, terdapat
kemungkinan untuk mengembangkan kemampuannya dan tersedia
kesempatan menggunakan keterampilan atau pengetahuan baru yang
dimilikinya.
63
3. Sistem Imbalan yang Inovatlf
Imbalan organisasi mempengaruhi berbagai tingkah laku, dimana memiliki
pengaruh secara internal dan eksternal. Internal artinya meningkatkan
prestasi kerja, mengurangi absensi, dan memelihara para karyawan yang ahli.
Eksternal artinya menarik sejumlah tenaga kerja yang ahli. Di sisi lain imbalan
yang diberikan haruslah mencerminkan keadilan, namun tetap layak. adil dan
memadai.
4 Memperbaiki Lingkungan Kerja
Karyawan sangat peduli akan Iingkungan kerja, baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Berbagai
studi mengenai kondisi kerja, menyatakan bahwa karyawan menyenangi
lingkungan kerja yang tidak berbahaya, suhu, cahaya dan faktor-faktor
lingkungan lain, yaitu hubungan antar rekan kerja (Robbin, 1996). Selain
faktor-faktor diatas kepuasan kerja seseorang jLlga dipengaruhi oleh
kepuasan faktor keluarga, tekanan pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan.
Allen W.L. dan Eastman J .L. (1997) mengungkapkan wujud dari kualitas
kehidupan kerja pada organisasi dengan budaya yang mengedepankan
keunggulan (culture for excellence) adalah sebagai berikut:
Keseimbangan (baIance). Para karyawan memiliki keseimbangan antara
pekerjaan dengan kehidupan pribadinya.
Beban Kerja (workload). Beban kerja karyawan diatur oleh mereka send;ri
bersama kelompok kerjanya sampai pekerjaan itu selesai
Sumber daya (resources). Para karyawan memiliki sumber daya yang
cukup, seperti komputer dan yang lainnya yang mendukung pekerjaannya
secara efektif.
Perbedaan (diversity). Para pekerja diperlakukan secara adil, dari memiliki
kesempatan yang sama dengan tidak membedakan suku, gender dan
keyakinan.
Menurut Cascio (1992) dalam Ruhana (2003), wujud dari kualitas
64
kehidupan kerja/QWL adalah: (I) Perkembangan pekerjaan dan aktualisasi diri,
(2) Meningkatkan motivasi, (3) Penampilan (kualitas dan kuantitas) kerja yang
lebih baik, (4) Sedikitnya karyawan yang keluar masuk kerja, (5) Tingkat absensi
rendah, (6) Mengurangi waktu bermalas-malasan dari (7) Meningkatkan
kepuasan.
Gifford, Zammuto and Goodman (2002) dalam penelitiannya tentang
hubungan budaya organisasi dengan kualitas kehidupan kerja perawat
menyatakan bahwa wujud dari QWL perawat adalah: (1) Komitmen organisasi,
(2) Kepuasan Kerja, (3) Pemberdayaan, (4) Keterlibatan kerja, dan (5) keinginan
untuk pindah kerja.
Penilaian ini menggunakan tingkat komitmen organisasi dan kepuasan
kerja, pemberdayaan karyawan dalam mengukur tingkat kualitas kehidupan
kerja/QWL karyawan didasarkan pada pendapat Gifferd D. B, Zammuto and
Goodman (2002) dalam jurnalnya yang berjudul The Relationship Between
Hospital Unit Culture and Nurses' Quality of Work Life.
1.10. BENTUK-BENTUK PROGRAM KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Pada prinsipnya kualitas kehidupan kerja perlu diciptakan oleh organisasi
untuk memberikan keseimbangan pada karyawan dalam melaksanakan
pekerjaan dan kehidupan pribadi. Program kualitas kehidupan kerja ini dilakukan
karena beberapa alasan yaitu : organisasi memiliki tujuan untuk memikat,
memotivasi dan mempertahankan karyawan yang memiliki kompetensi sesuai
harapan. Selain itu sebagian karyawan dalam organisasi seringkali harus bekerja
melebihi jam kerja dan hari kerja, sehingga mereka membutuhkan waktu kerja
yang fleksibel untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan pribadi.
Bentuk – bentuk program kualitas kehidupan kerja yang dapat
dikembangkan dalam perusahaan antara lain : program redesain pekerjaan,
program benefit yang fleksibel, program pelatihan dan pengembangan serta
komunikasi yang harmonis di lingkungan kerja (tim mitra bestari et.al, 2005).
65
1. Program Redesain Pekerjaan,
Mendesain pekerjaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
pengurangan jam kerja, pengurangan beban kerja dan waktu kerja yang fleksibel.
Pengurangan jam kerja, dengan program ini karyawan dapat memperoleh
manfaat dengan memberikan kebijakan paruh waktu atau pembagian pekerjaan
(job sharing ). Pembagian pekerjaan dapat dilakukan apabila satu posisi jabatan
dilakukan oleh dua karyawan sehingga mereka dapat membagi tanggung
jawabnya.
Pengurangan beban kerja, program ini memungkinkan karyawan untuk
mengurangi skedul kerja pada saat tertentu seperti ketika karyawan menempuh
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, ketika ada keluarga sakit dan
sebagainya. Waktu kerja yang fleksibel, dengan program ini karyawan diberi
keleluasaan untuk menentukan kapan harus memulai dan mengakhiri jam
kerjamereka, sehingga masing–masing orang dapat berbeda.
2. Program Benefit.
Berbagai bentuk program benefit karyawan yang diselenggarakan oleh
perusahaan atau organisasi dapat dikelompokkan dalam lima kelompok seperti :
asuransi sosial, asuransi kelompok, retirement, menggaji untuk waktu tidak
bekerja dan family friendly policies ( tim mitra bestari et.al, 2005 ).
Asuransi sosial merupakan program benefit karyawan yang di dalamnya
meliputi program keamanan sosial, asuransi pengangguran dan kompensasi
karyawan. Keamanan sosial adalah program benefit karyawan yang bersifat
resmi, dalam pengertian penyelenggaraan program ini diatur dengan peraturan
resmi pemerintah sehingga membatasi gerak pemimpin organisasi dalam
pengelolaannya. Asuransi pengangguran adalah program benefit karyawan yang
ditujukan untuk mengganti penghasilan yang hilang, membantu mencari
pekerjaan baru, atau untuk menjaga stabilitas masalah ketenagakerjaan dalam
organisasi. Sedangkan kompensasi karyawan adalah program yang ditujukan
untuk melindungi setiap tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya atau
66
tanggung jawabnya. Bentuknya adalah disability income yang merupakan
kompensasi dengan tujuan untuk meringankan beban tenaga kerja yang tidak
mampu secara ekonomi, program perawatan kesehatan, benefit kematian, serta
pelayanan rehabilitasi yang ditujukan untuk memberikan perawatan fisik dan
mental karyawan.
Asuransi kelompok adalah suatu bentuk program benefit karyawan yang
ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada sekelompok tenaga kerja. Jadi
program ini tidak berlaku untuk semua tenaga kerja, hanya mereka yang menjadi
anggota kelompok saja yang bisa memanfaatkan jenis asuransi ini
penyelenggaraan program ini tidak diatur resmi oleh pemerintah sehingga
memberi kebebasan para pimpinan organisasi dalam mengelolanya. Jenis
asuransi ini adalah asuransi kesehatan.
Retirement merupakan program benefit karyawan yang ditujukan untuk
melindungi tenaga kerja pasca pensiun. Program ini tidak resmi sehingga
memberi kebebasan bagi para pengelolanya.jenis dari program pensiun meliputi
benefit karyawan dan defined contribution dimana tidak ada ketetapan tentang
besar kompensasi yang diterima ketika karyawan pensiun, tetapi menetapkan
jumlah potongan penghasilan perbulan untuk masa pensiun nanti.
Menggaji untuk waktu tidak bekerja merupakan salah satu program
benefit karyawan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas jangka
panjang. Program ini menuntut organisasi memberikan kompensasi kepada
tenaga kerja meskipun mereka tidak bekerja atau tidak masuk kerja dengan cara
menggaji waktu istirahat atau hari tidak bekerja. Dalam jangka panjang
penyelenggaraan program ini akan berdampak pada peningkatan citra karyawan
dan masyarakat terhadap organisasi, yang pada akhirnya dapat membangun
kepercayaan masyarakat sehingga aktivitas yang dilakukan akan direspon positif
oleh mereka. Beberapa jenis program ini adalah jam istirahat, liburan, cuti, absen
dan berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan
pada saat jam kerja seperti rekreasi pada jam kerja dan olahraga pada jam kerja.
67
Family friendly policies merupakan program benefit karyawan yang
ditujukan untuk membantu tenaga kerja dengan jalan meringankan penyelesaian
konflik antara masalah kerja dan bukan kerja yang dihadapi oleh tenaga kerja.
Menurut Abbott, dkk (1998), program family friendly policies yang dilaksanakan
oleh perusahaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan kerja, dapat pula
mengurangi tingkat absensi karyawan serta dapat menurunkan tingkat turnover
karyawan. Sedangkan menurut Boyar,dkk (2003), pemahaman tentang work-
family conflict (WFC) sangat potensial untuk mendatangkan benefit bagi
organisasi dan karyawan. Work-family conflict (WFC) dapat mengakibatkan
dampak yang negatif terhadap organisasi, keluarga serta pribadi. Sehingga usaha
untuk mengurangi WFC melalui berbagai kebijakan dan prosedur sangat
mendukung terciptanya keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga yang pada
akhirnya dapat meminimalkan terjadinya konflik antara pekerjaan dan rumah
tangga. Selain itu work stressor seperti konflik peran pekerjaan dan beban
pekerjaan yang terlalu berat juga potensial untuk mempengaruhi perilaku keluar
dari pekerjaan ( withdrawal behavior ). Sehingga manajer harus membuat
kebijakan yang dapat mengurangi konflik peran pekerjaan dan beban kerja yang
terlalu berat untuk mengurangi work-family conflict dan pada akhirnya dapat
mengurangi turnover karyawan.
3. Program Pelatihan dan Pengembangan.
Goldstein dan Buxton ( 1992) mengemukakan tiga kebutuhan pelatihan
dan pengembangan, yaitu analisis organisasi (organization analysis), analisis
pekerjaan dan tugas (job of task analysis) dan analisis pegawai (person analysis).
Analisis organisasi dilakukan untuk menganalisis tujuan organisasi, sumberdaya
yang ada dan lingkungan organisasi yang sesuai dengan kenyataan. Wexley dan
Lathan (1991) mengemukakan bahwa dalam menganalisis organisasi perlu
diperhatikan “where is training and development needed and where is it likely to
be successful within an organization ?” Hal ini dapat dilakukan dengan cara
68
mengadakan survei kepada karyawan dalam hal kepuasan kerja, persepsi dan
sikap pegawai dalam administrasi. Di samping itu analisis organisasi dapat
menggunakan informasi - informasi seperti turn over, absensi, kartu pelatihan,
daftar kemajuan pegawai dan data perencanaan sumberdaya manusia. Analisis
pekerjaan dan tugas merupakan dasar untuk mengembangkan program
pelatihan. Analisis pekerjaan dimaksudkan untuk membantu pegawai dalam
menyelesaikan pekerjaan yang dihadapi.
Analisis pegawai difokuskan pada identifikasi kebutuhan pelatihan bagi
setiap karyawan sesuai bidang pekerjaannya. Analisis ini dapat dilakukan secara
individual maupun kelompok. Sedangkan metode pelatihan menurut Desler (
1997 ) ada beberapa teknik pelatihan, yaitu : on the job training, job instruction
training, pembelajaran terprogram, pelatihan simulasi serta evaluasi program
pelatihan dan pengembangan.
Menurut Amstrong Jr.(1997), pelatihan ( training ) lebih berfokus pada
peningkatan skill karyawan. Sedangkan pengembangan lebih difokuskan pada
peningkatan pengetahuan karyawan secara individu. Lebih lanjut dikatakan
bahwa pembelajaran, praktek dan teknik – teknik dari efektivitas delegasi adalah
aktivitas pelatihan yang sangat penting.untuk membantu eksekutif secara akurat
dapat mengakses perilaku saat ini adalah aktivitas pengembangan dimana dapat
membantu untuk bekerja lebih baik dan merubah perilaku. Jadi kata kuncinya
adalah penentuan secara akurat tipe perilaku yang sangat perlu untuk dirubah
dan kemudian mendesain program untuk meresponnya. Aspek lain yang
merupakan issue bagi manajemen dan eksekutif dalam pelatihan dan
pengembangan adalah penilaian ( assesment ). Dalam hal ini adalah
mengidentifikasi dan mendeskripsikan kekuatan dan kelemahan eksekutif.
4. Komunikasi Efektif dalam Lingkungan Kerja.
Menurut Sudarmo dan Sudita ( 2000 ), komunikasi diidentifikasikan
sebagai penyampaian atau pertukaran informasi dari pengirim kepada penerima
baik lisan, tertulis maupun menggunakan alat komunikasi. Pentingnya
69
komunikasi dalam hubungannya dengan pekerjaan ditunjukkan oleh banyaknya
waktu yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam pekerjaan. Komunikasi
ibaratnya merupakan darah organisasi yang menghubungkan bagian – bagian
yang terpisah dalam organisasi.
Komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan semua bagian dan aktivitas di dalam
organisasi. Oleh karena kompleksnya proses komunikasi, permasalahan dapat
muncul pada tingkat individu, kelompok maupun organisasi. Beberapa hambatan
yang utama dari komunikasi yang efektif yaitu masalah penafsiran terhadap
suatu pesan, manipulasi informasi, tekanan waktu,mendengar secara efektif,
masalah bahasa, perbedaan kerangka acuan dan beban komunikasi yang
berlebihan.
Komunikasi yang efektif dan harmonis tergantung pada kualitas dari
proses komunikasi baik pada tingkat individu maupun pada tingkat organisasi.
Memperbaiki komunikasi dalam organisasi berkaitan dengan melakukan proses
yang akurat mulai dari penyampaian pesan, penguraian dan umpan balik pada
tingkat komunikasi antar pribadi dan pada tingkat organisasi, menciptakan dan
memonitor saluran komunikasi yang tepat.beberapa cara dapat dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas komunikasi diantaranya meningkatkan umpan balik,
emphaty, pengulangan, penggunaan bahasa yang sederhana, penentuan waktu
yang efektif dan pengaturan arus informasi.
Menurut Miftah Toha ( 2001 ), komunikasi sangat berperan dalam suatu
organisasi, dan organisasi itu sendiri merupakan kumpulan orang – orang yang
selalu membutuhkan komunikasi dengan sesamanya. Untuk membedakan
komunikasi organisasi dengan komunikasi yang ada diluar organisasi adalah
dengan melihat struktur hirarki yang merupakan karakteristik dari setiap
organisasi. Perilaku orang – orang yang berada di luar organisasi dalam
berkomunikasi tidaklah mengikat karena tidak ada struktur hirarki.
70
Komunikasi dalam organisasi, tentunya ada komunikasi pribadi antara
orang – orang dalam organisasi. Komunikasi antar pribadi ini berorientasi pada
perilaku, sehingga penekanannya pada proses penyampaian informasi dari satu
orang ke orang lain. Komunikasi antar pribadi ini dapat berjalan dengan efektif
apabila ada lima hal yaitu : keterbukaan, emphaty, dukungan kepositifan dan
kesamaan.
Menurut Whether dan Davis (1993) (dalam Safrizal, 2004). , kepuasan
akan kualitas kehidupan kerja (The quality of work life - QWL) dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu :
Supervisi
Kondisi Kerja
Gaji, Tujangan
Desain Pekerjangan
Riggio (2000) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan
oleh kompensasi yang diterima karyawan, kesempatan untuk berpartisipasi
dalam organisasi, keamanan kerja, desain kerja dan kualitas interaksi antar
anggota organisasi. Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu tingkat dimana
anggota dari suatu organisasi mampu memuaskan kebutuhan pribadi yang
penting melalui pengalamannya dalam melakukan pekerjaan pada organisasi
tersebut (dalam Safrizal, 2004).
71
BAB II ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
2.1. PENGERTIAN ORGANIZATION CITIZESHIP BEHAVIOR
Organizational citizenship behavior (OCB) merupakan perilaku individu
yang ekstra, yang tidak secara langsung atau eksplisit dapat dikenali dalam suatu
sistem kerja yang formal, dan yang secara agregat mampu meningkatkan
efektivitas fungsi organisasi (Organ, 1988). Organisasi pada umumnya percaya
bahwa untuk mencapai keunggulan harus mengusahakan kinerja individual yang
setinggi-tingginya, karena pada dasarnya kinerja individual mempengaruhi
kinerja tim atau kelompok kerja dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja
organisasi secara keseluruhan.
Kinerja yang baik menuntut perilaku sesuai guru yang diharapkan oleh
organisasi. Perilaku yang menjadi tuntutan organisasi saat ini adalah tidak hanya
perilaku in-role, tetapi juga perilaku extra-role. Perilaku extra-role ini disebut juga
dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). OCB merupakan istilah yang
digunakan untuk mengidentifikasikan perilaku guru sehingga dia dapat disebut
sebagai anggota yang baik (Sloat,1999). Perilaku ini cenderung melihat seseorang
(guru) sebagai makhluk sosial (menjadi anggota organisasi), dibandingkan
sebagai makhluk individual yang mementingkan diri sendiri.
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kemampuan untuk memiliki
empati kepada orang lain dan lingkungannya dan menyelaraskan nilai-nilai yang
dianutnya. Dengan nilai-nilai yang dimiliki lingkungannya untuk menjaga dan
meningkatkan interaksi sosial yang lebih baik. Terlebih lagi, untuk melakukan
segala sesuatu yang baik manusia tidak selalu digerakkan oleh hal-hal yang
menguntungkan dirinya, misalnya seseorang mau membantu orang lain jika ada
imbalan tertentu.
Jika guru dalam organisasi memiliki OCB, maka usaha untuk
mengendalikan guru menurun, karena guru dapat mengendalikan perilakunya
sendiri atau mampu memilih perilaku terbaik untuk kepentingan organisasinya.
72
Borman dan Motowidlo (1993) menyatakan bahwa OCB dapat meningkatkan
kinerja organisasi (organizational performance) karena perilaku ini merupakan
“pelumas” dari mesin sosial dalam organisasi, dengan kata lain dengan adanya
perilaku ini maka interaksi sosial pada anggota-anggota organisasi menjadi
lancar, mengurangi terjadinya perselisihan, dan meningkatkan efisiensi.
Perilaku ini muncul karena perasaan sebagai anggota organisasi dan
merasa puas apabila dapat melakukan suatu yang lebih kepada organisasi.
Perasaan sebagai anggota dan puas bila melakukan suatu yang lebih hanya
terjadi jika guru memiliki persepsi yang positif terhadap organisasinya. OCB
merupakan tindakan seseorang di luar kewajibannya, tidak memperhatikan
kepentingan diri sendiri (Sloat, 1999), tidak membutuhkan deskripsi pekerjaan
(job description) dan sistem imbalan formal, bersifat sukarela dalam bekerjasama
dengan teman sekerja dan menerima perintah secara khusus tanpa keluhan
(Organ dan Konovski, 1989).
OCB memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan komunitasnya,
transformasi sumber daya, keinovasian dan keadaptasian (Organ, 1988) serta
kinerja organisasi secara keseluruhan (Netemeyer, dkk., 1997) termasuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengerahan sumber daya langka, waktu
dan pemecahan masalah di antara unit-unit kerja dengan cara kolektif dan
interdependensi.
Kemudian juga akan mempengaruhi keputusan kompensasi, promosi dan
pelatihan serta memiliki efek yang penting terhadap kinerja keuangan
(MacKenzie, dkk., 1998; Motowidlo dan Van Scotter, 1994). Selain itu OCB akan
menerangkan proporsi halo effect dalam penilaian kinerja (Organ, 1988) dan
merupakan determinan bagi program manajemen sumber daya manusia dalam
mengawasi, memelihara, dan meningkatkan sikap kerja (Organ dan Ryan, 1995)
yang akumulasinya akan berpengaruh pada kesehatan psikologi, produktivitas
dan daya pikir pekerja (Vandenberg dan Lance, 1992).
73
Perilaku tersebut tidak akan mendapat imbalan langsung atau sanksi baik
dilakukan atau tidak, namun sikap konstruktif yang ditunjukkan karyawan melalui
OCB akan memberikan penilaian positif atasan seperti penugasan dan promosi
(Bateman dan Organ, 1983). Eisenberger (1990) mengungkapkan bahwa perilaku
ini berkembang sejalan dengan seberapa besar perhatian organisasi pada tingkat
kesejahteraan guru dan penghargaan organisasi terhadap kontribusi mereka.
Persepsi guru yang baik terhadap dukungan organisasional (Perceived
Organizational Support/POS) kepada kualitas kehidupan kerja mereka akan
menimbulkan rasa “hutang budi” dalam diri mereka pada organisasi sehingga
mereka akan merasa memiliki kewajiban untuk membayarnya. Kualitas interaksi
atasan-bawahan juga diyakini sebagai prediktor organizational citizenship
behavior (OCB). Miner (1988) mengemukakan bahwa interaksi atasan-bawahan
yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti meningkatnya
kepuasan kerja, produktifitas, dan kinerja guru. Riggio (1990) menyatakan bahwa
apabila interaksi atasan-bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan
berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan
merasakan bahwa atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi.
Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya
sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh
atasan mereka. Sebelum Organ mengintroduksi Konsep OCB menciptakan
gelombang perubahan besar dalam bidang perilaku organisasi Garg dan
Rastogi,(2006). Konsep ini mengarahkan organisasi menjadi lebih inovatif,
fleksibel, produktif, dan responsive (Garg dan Rastogi, 2006; Koberg dan Boss,
2005).
Organizational Citizenship Behavior didefinisikan sebagai perilaku
karyawan yang positif terhadap rekan kerjanya dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.
a. Altruism
Kerjasama tim. (OCB 1) dan Tanggap akan kebutuhan atasan. (OCB 2)
74
a. Conscientiousness
Disiplin dalam bekerja. (OCB 3) dan Waktu kerja efisien. (OCB 4)
b. Sportmanship
Tidak mengeluh dalam bekerja. (OCB 5) dan Menyelesaikan masalah.
(OCB 6)
c. Courtessy
Menjaga citra perusahaan. (OCB 7) dan Berkontribusi besar (0CB 8)
d. Civic Virtue
Profesional dalam menggunakan asset. (OCB 9) dan Peduli sistem. (OCB
10)
Organizational Citizenship Behavior (OCB) diartikan sebagai perilaku-
perilaku dari para pekerja yang melebihi yang disyaratkan oleh peran formalnya
serta tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem kompensasi/reward
yang resmi/formal, dan karenanya memfasilitasi fungsi organisasi (Organ, 1998).
OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain,
menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan
prosedur di tempat kerja. Perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan”
dan merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial positif,
konstruktif dan bermakna membantu (Aldag dan Rescjhe, 1997).
Organ (1998) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bebas,
tidak terkait langsung atau ekplisit dengan sistem reward dan biasa
meningkatkan fungsi efektif organisasi. Organ juga mencatat bahwa OCB
merupakan perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa
ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk
kontrak atau rekompensasi.
Dari berbagai definisi mengenai OCB yang telah dikemukakan diatas maka
dapat diambil beberapa pokok pemikiran sebagai berikut :
75
1. OCB merupakan perilaku atau tindakan yang bebas, yang bersifat sukarela,
bukan merupakan tindakan yang terpaksa, tidak untuk kepentingan diri sendiri
melainkan untuk kepentingan organisasi
2. OCB merupakan perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan
performance, tidak diperintahkan secara formal
3. OCB tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem
reward yang formal.
Lebih lanjut Alison (2001) mengemukakan bahwa terdapt lima dimensi
primer dari OCB, yaitu :
1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada
tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasional organisasi
2. Civic virtue, yaitu perilaku yang menunjukkan partisipasi sukarela dan
dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun
sosial alamiah
3. Consencientiousness, yaitu perilaku yang berisikan tentang kinerja dari
prasyarat peran yang melebihi standart minimum
4. Courtesy, yaitu perilaku berbuat baik kepada orang lain dalam mengatasi
permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan
5. Sportsmanship, yaitu berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu
yang merusak meskipun merasa jengkel.
Beberapa pengukuran tentang OCB seseorang telah dikembangkan. Skala
Morison (1995) merupakan salah satu pengukuran yang sudah disempurnakan
dan memiliki kemampuan psikometrik yang baik (Aldag dan Resckhe, 1997).
Skala ini mengukur kelima dimensi OCB sebagai berikut :
1. Dimensi 1 : Altruism
a. Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat
b. Membantu orang lain yang pekerjaannya overload
c. Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta
d. Membantu mengerjakan tugas orang lain saat mereka tidak masuk
76
e. Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan masalah
pekerjaan
f. Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta
2. Dimensi 2 : Civic virtue
a. Menyimpan informasi tentang kejadian-kejadian maupun perubahan dalam
organisasi
b. Mengikuti perubahan dan perkembangan dalam organisasi
c. Membaca dan mengikuti pengumuman organisasi
d. Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik bagi organisasi
3. Dimensi 3 : Consencientiousness
a. Tiba lebih awal, sehingga siap bekerja pada saat jadwal dimulai
b. Tepat waktu setiap hari
c. Berbicara seperlunya dalam percakapan di telepon
d. Tidak menghabiskan waktu pembicaraan diluar pekerjaan
e. Datang segera bila dibutuhkan
f. Tidak mengambil kelebihan waktu meskipun memiliki ekstra 6 hari
4. Dimensi 4 : Courtesy
a. Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu image
organisasi
b. Memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang dianggap
penting
c. Membantu mengatur kebersamaan secara departemental
5. Dimensi 5 : Sportsmanship
a. Kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh atau menahan diri dari
aktivitas-aktivitas
mengeluh dan mengumpat
b. Tidak mencari dan menemukan kesalahan dalam organisasi
c. Tidak membesar-besarkan permasalahan diluar proporsinya.
77
Tampaknya, para ahli tertarik pada masalah OCB karena perilaku tersebut
dianggap sangat penting/vital terhadap fungsi organisasi. Anggapan ini terutama
didasarkan atas karya dari Katz (1964), yang menyatakan bahwa organisasi
bergantung pada kontribusi dari para karyawan yang bekerja melebihi apa yang
semestinya dituntut oleh tugas agar berfungsi secara efektif. Namun demikian,
bertolak belakang dengan berbagai kajian yang mengkaji tentang variabel
antecedent dari OCB, hanya sedikit para ahli yang telah melakukan investigasi
tentang hubungan antara citizenship behavior dengan kinerja organisasi. Lebih
lanjut, hanya sedikit karya teoritis yang ada yang menjelaskan mengapa OCB
sangat esensial terhadap efektifitas fungsi organisasi, atau bagaimana OCB pada
akhirnya bisa berhubungan dengan kinerja organisasi (organizational
performance). Dengan demikian, sementara peneliti menyatakan bahwa
citizenship behavior meningkatkan efektifitas organisasi karena ia memperlancar
mesin dari organisasi, namun basis teoritis yang mendasari pernyataan tersebut
masih sangat lemah.
2.2. DIMENSI-DIMENSI ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa OCB berhubungan dengan
perilaku etikal, dan juga menyangkut esensi dari performa kerja individual. Dua
dimensi OCB yang penting menurut Williams dan Anderson (1991) dikenal
sebagai OCB-Individual (OCBI, altruism, mendahulukan kepentingan orang lain)
yang segera memberikan manfaat khusus individual dan secara tidak langsung
melalui kontribusi terhadap organisasi (misalnya membantu rekan yang tidak
masuk bekerja, memberikan perhatian secara pribadi kepada pekerja lain) dan
OCB-Organizational (OCBO, compliance, kerelaan) yang memberikan manfaat
terhadap organisasi secara umum (misalnya memberikan nasihat kepada
karyawan yang mangkir bekerja).
Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengonseptualisasi OCB
adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ (1988). Menurut
78
Podsakoff studi dari Katz pada tahun 1964 tentang perilaku inovatif dan
spontanitas mempengaruhi penelitian-penelitian OCB saat ini sehingga dimensi-
dimensi dari OCB terkait dengan dimensi dari studi yang dilakukan oleh Katz
(Hannah, 2006). Katz menyebutkan ada lima dimensi, yaitu:
1. Cooperating with others,
2. Protecting the organization,
3. Volunteering constructive ideas,
4. Self-training, dan
5. Maintaining a favorable attitude toward the company.
Podsakoff ada tujuh jenis atau dimensi OCB yang pernah digunakan oleh
para peneliti (Hannah, 2006). Ketujuh dimensi tersebut meliputi:
1. Perilaku menolong (helping behavior), merupakan bentuk perilaku
sukarela individu untuk menolong individu lain atau mencegah
terjadinya permasalahan yang terkait dengan pekerjaan (workrelated
problem). Organ (1983) membagi dimensi ini dalam dua kategori
yaitu altruism dan courtesy,
2. Sportsmanship, didefinisikan kemauan atau keinginan untuk
menerima (toleransi) terhadap ketidaknyamanan yang muncul dan
imposition of work without complaining,
3. Organizational loyalty, merupakan bentuk perilaku loyalitas individu
terhadap organisasi seperti menampilkan image positif tentang
organisasi, membela organisasi dari ancaman eksternal, mendukung
dan membela tujuan organisasi,
4. Organizational compliance, merupakan bentuk perilaku individu yang
mematuhi segala peraturan, prosedur, dan regulasi organisasi
meskipun tidak ada pihak yang mengawasi,
5. Individual initiative, merupakan bentuk self-motivation individu
dalam melaksanakan tugas secara lebih baik atau melampaui
79
standar/level yang ditetapkan. Organ (1983) menamakan dimensi ini
sebagai conscientiousness dan mengatakan bahwa dimensi ini sulit
dibedakan dengan kinerja in-role,
6. Civic virtue, merupakan bentuk komitmen kepada organisasi secara
makro atau keseluruhan seperti menghadiri pertemuan,
menyampaikan pendapat atau berpartisipasi aktif dalam kegiatan
organisasi,
7. Self-development. George dan Brief mendefinisikan dimensi ini
sebagai bentuk perilaku individu yang sukarela meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sendiri seperti
mengikuti kursus, pelatihan, seminar atau mengikuti perkembangan
terbaru dari bidang yang ia kuasai (Podsakoff, 2000).
Sementara ada empat faktor yang mendorong munculnya OCB dalam diri
karyawan. Keempat faktor tersebut adalah karakteristik individual, karakteristik
tugas/pekerjaan, karakteristik organisasional dan perilaku pemimpin (Podsakoff,
2000). Karakteristik individu ini meliputi persepsi keadilan, kepuasan kerja,
komitmen organisasional dan persepsi dukungan pimpinan, karakteristik tugas
meliputi kejelasan atau ambiguitas peran, sementara karakteristik organisasional
meliputi struktur organisasi, dan model kepemimpinan.
Menurut Organ (1988), OCB dibangun dari lima dimensi yang masing-
masingnya bersifat unik, yaitu:
1. Altruism, kesediaan untuk menolong rekan kerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya dalam situasi yang tidak biasa,
2. Civic virtue, menyangkut dukungan pekerja atas fungsi-fungsi
administratif dalam organisasi,
3. Conscientiousness, menggambarkan pekerja yang melaksanakan tugas
dan tanggung jawab lebih dari apa yang diharapkan,
80
4. Courtesy, perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan
pekerjaan yang dihadapi orang lain,
5. Sportsmanship, menggambarkan pekerja yang lebih menekankan untuk
memandang aspek-aspek positif dibanding aspek-aspek negative dari
organisasi, sportsmanship menggambarkan sportivitas seorang pekerja
terhadap organisasi.
Dalam pengukuran ini menggunakan skala Morison dalam Dwi (2007)
yang dapat dijadikan sebagai kisi-kisi instrumen yang dijelaskan sebagai berikut:
Kategori 1 Altruism meliputi:
1. Perilaku membantu orang tertentu,
2. Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat,
3. Membantu orang lain yang pekerjaannya overload,
4. Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta,
5. Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk
6. Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan pekerjaan,
7. Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta,
8. Membantu orang lain di luar departemen ketika mereka memiliki
permasalahan,
9. Membantu pelanggan dan para tamu jika mereka memiliki permasalahan,
Kategori 2 Consceintiousness meliputi:
1. Kehadiran, kepatuhan terhadap aturan dan sebagainya,
2. Tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai,
3. Tepat waktu setiap hari tidak peduli pada musim ataupun lalu lintas dan
sebagainya,
4. Berbicara seperlunya dalam percakapan ditelepon,
5. Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan,
6. Datang segera jika dibutuhkan,
81
7. Tidak mengambil kelebihan waktu meskipun memiliki ekstra 6 hari,
Kategori 3 Civic Virtue meliputi:
1. Kemauan untuk bertoleransi tapa mengeluh,
2. Menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat,
3. Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi,
4. Tidak mengeluh tentang segala sesuatu,
5. Tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya.
Kategori 4 Cortesy meliputi:
1. Keterlibatan dalam fungsi –fungsi yang membantu organisasi,
2. Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu image
organisasi,
3. Memberikan perhatian terhadap pertemuan yang dianggap penting,
4. Membantu mengatur kebersamaan secara departemental,
Kategori 5 Sportmanship meliputi:
1. Menyimpan informasi tentang kejadian atau perubahan dalam organisasi,
2. Mengikuti perubahan dan perkembangan dalam organisasi,
3. Membaca dan mengikuti pengumuman organisasi,
4. Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi.
2.3. MANFAAT ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR
1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja
a. Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat
penyelesaian
tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan
produktivitas rekan
tersebut,
b. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang
ditunjukkan
82
karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke
seluruh unit kerja
atau kelompok.
2. OCB meningkatkan produktivitas manajer
a. Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan
membantu manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik
yang berharga dari karyawan tersebut, untuk meningkatkan
efektivitas unit kerja,
b. Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik
dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari
krisis manajemen.
3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi
secara
keseluruhan
a. Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan
masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu
melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai
waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat
perencanaan,
b. Karyawan yang menampilkan concentioussness yang tinggi
hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer
sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab
yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak
waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang
lebih penting,
c. Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam
pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu
organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut,
83
d. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan
sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu
banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil
karyawan.
4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk
memelihara fungsi kelompok
a. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan
semangat, moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness)
kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak
perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan
fungsi kelompok
b. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap
rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok,
sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik
manajemen berkurang
5. OEB dapat menjadi sarana efektif untuk mengoordinasi kegiatan-kegiatan
kelompok kerja
a. Menampilkan perilaku eivie virtue (seperti menghadiri dan
berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan
membantu koordinasi diantara anggota kelompok, yang
akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kelompok,
b. Menampilkan perilaku eourtesy (misalnya saling memberi
informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain)
akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan
waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
6. OEB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan
mempertahankan karyawan terbaik
84
1. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta
perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga
akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi
menarik dan mempertahankan karyawan yang baik,
2. Memberi eontoh pada karyawan lain dengan menampilkan
perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena
permasalahan-permasalahan keeil) akan menumbuhkan loyalitas
dan komitmen pada organisasi.
7. OEB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
1. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau
yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas
(dengan eara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja,
2. Karyawan yang eonseientiuous eenderung mempertahankan
tingkat kinerja yang tinggi seeara konsisten, sehingga mengurangi
variabilitas pada kinerja unit kerja.
8. OEB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan
1. Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dengan pasar dengan
sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di
lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespons
perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi
dengan eepat,
2. Karyawan yang seeara aktif hadir dan berpartisipasi pada
pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu
menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh
organisasi,
3. Karyawan yang menampilkan perilaku eonseientiousness
(misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan
mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan
85
organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di
lingkungannya
2.4. DEFINISI OCB
Dewasa ini banyak kajian baru dan menarik di bidang sumber daya
manusia. Manusia dijadikan sebagai subjek dan juga objek dalam penelitian-
penelitian SDM untuk mencari hal-hal baru yang dapat dijadikan sebagai sumber
peningkatan kemampuan manusia itu sendiri. Salah satu aspek baru yang
diungkap tentang manusia adalah OCB (Organizational Citizenship Behavior /
perilaku kewargaan karyawan).
Menurut Aldag dan Resckhe, (1997), Organizational Citizenship Behavior
merupakan kontribusi individu dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja.
OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku suka menolong orang
lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan
dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku ini menggambarkan nilai
tambah karyawan yang merupakan salah satru bentuk perilaku prososial, yaitu
perilaku social yang positif, konstruktif dan bermakna membantu.
Organ mendefiniskan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan
secara langsung atau eksplisit dengan system reward dan bisa meningkatkan
fungsi efektif organisasi. Organ juga mencatat bahwa Organizational Citizenship
Behavior (OCB) ditemukan sebagai alternative penkelasan pada hipotesis
“kepuasan berdasarkan performance”.
Organ mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas
(discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan
dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan
fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut
tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan, yang secara jelas
dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi; melainkan sebagai pilihan
personal (Podsakoff, dkk, 2000).
86
Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB dapat mempengaruhi keefektifan
organisasi karena beberapa alasan. Pertama, OCB dapat membantu
meningkatkan produktivitas rekan kerja. Kedua, OCB dapat membantu
meningkatkan produktivitas manajerial. Ketiga, OCB dapat membantu
mengefisienkan penggunaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan
produktif. Keempat, OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan
sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan. Kelima,
OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas
koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja.
Keenam, OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan
dan mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan bahwa
organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik. Ketujuh, OCB dapat
meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. Dan terakhir, OCB dapat
meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan-
perubahan lingkungan bisnisnya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Organizational
Citizenship Behavior (OCB) merupakan :
1. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa
terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi
2. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, dan
tidak diperintah secara formal
3. Tidak berkaitan langsung dengan system reward. Artinya, perilaku ekstra
peran yang dilakukan karyawan tidak mengharapkan imbalan dalam
bentuk uang.
Istilah Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali diajukan
oleh Organ yang mengemukakan lima dimensi primer dari OCB (Allison, dkk,
2001) :
87
1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan
pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi
organisasional
2. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap
fungsi-fungsi organisasi baik secara professional maupun social alamiah.
3. Conscinetiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang
melebihi standar minimum
4. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan
dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.
5. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu yang
merusak meskipun merasa jengkel.
Permasalahan utama yang muncul adalah bahwa penelitian di bidang ini
lebih lanjut hanya terfokus pada substantive validity, ketimbang construct
validity (Schwab, dalam Podsakoff, dkk, 2000). Karenanya, penelitian-penelitian
empiris di bidang ini lebih menekankan hubungan dan pengaruh OCB terhadap
konstruk-konstruk lainnya, ketimbang konseptualisasi dan pendefinisian konstruk
OCB itu sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, operasionalisasi dimensi-dimensi OCB di
kalangan peneliti menjadi sangat beragam. Podsakoff dkk. (2000) misalnya,
mengajukan 5 dimensi OCB, yaitu altruism, conscientiousness, sportsmanship,
courtesy, dan civic virtue. Sementara Van Dyne dkk, (1994),
mengkonseptualisasikan 3 dimensi OCB yang diadopsi dari literatur-literatur
politik klasik dan modern, yaitu Obedience, loyalty, dan Participation.
Perbedaan konseptualisasi terhadap satu konstruk ini menurut Podsakoff
dkk. (2000), dapat menimbulkan bahaya-bahaya yang cukup serius, di antaranya
dapat mengakibatkan pertentangan-pertentangan konotasi konseptual bagi
orang-orang yang berbeda.
88
Sementara, literatur-literatur OCB mengindikasikan bahwa dimensi-dimensi yang
berbeda-beda tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan konsep. Dengan kata
lain, terjadi pelabelan (penamaan) yang berbeda-beda terhadap dimensi yang
sama, yang pada gilirannya, mengakibatkan penggunaan-penggunaan ukuran
yang tumpang tindih.
2.5. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OCB
Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan
lebih dari sekedar tugas biasa mereka yang yang akan memberikan kinerja yang
melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti sekarang ini, dimana
tugas semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting,
organisasi menjadi sangat membutuhkan karyawan yang mampu menampilkan
perilaku kewargaan organisasi yang baik, seperti membantu individu lain dalam
tim, memajukan diri untuk melakukan pekerjaan esktra, menghindari konflik
yang tidakperlu, menghormati semangat dan isi peraturan, serta dengan besar
hati mentoleransi kerugian dan gangguan terkait dengan pekerjaan yang terjadi.
Untuk dapat meningkatkan OCB karyawan maka sangat penting bagi
organisasi untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau
meningkatnya OCB. Konovsky dan Organ, (1996); Organ et al, (2006); Organ dan
Ryan, (1995);. Podsakoff et al, (2000) mengkategorikan faktor yang
mempengaruhi OCB terdiri dari perbedaan individu; sikap pada pekerjaan sikap
dan variabel kontekstual.
1. Perbedaan individu termasuk sifat yang stabil yang dimiliki individu.
Beberapa perbedaan individu yang telah diperiksa sebagai prekursor
untuk OCB meliputi: kepribadian (misalnya kesadaran dan keramahan),
kemampuan, pengalaman, pelatihan, pengetahuan, ketidakpedulian
dengan penghargaan, dan kebutuhan untuk otonomi (Podsakoff et al.,
2000); Motivation (Folger, 1993), kepribadian (Smith et al., 1983; Van
89
Dyne et al., 1994; Organ and Lingl, 1995; Holmes et al., 2002), kebutuhan
(Schnake, 1991), dan Nilai individu (Burton, 2003)
2. Sikap kerja adalah emosi dan kognisi yang berdasarkan persepsi individu
terhadap lingkungan kerja. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
OCB antara lain : Komitmen organisasi (O’Reilly and Chatman, 1986;
Eisenberger et al., 1990; Organ, 1990; Truckenbrodt, 2000), persepsi
kepemimpinan dan dukungan organisasi, (Farh et al., 1990; Niehoff and
Moorman, 1993; Smith et al., 1983; Van Dyne et al., 1994; Podsakoff et
al., 2000), person organization fit (de Lara, 2008), Kepuasan kerja (Smith
et al., 1983; Bateman and Organ, 1983; Moorman, 1993; Murphy et al.,
2002), Psychological contract (Coyle-Shapiro, 2002; Turnley et al., 2003),
persepsi keadilan Perception of fairness (Moorman et al., 1993; Tepper
and Taylor, 2003) and justice and organizational justice (Moorman, 1991;
Sheppard et al., 1992; Eskew, 1993; Tansky, 1993; Skarlicki and Latham,
1996).
3. Faktor-faktor kontekstual adalah pengaruh eksternal yang berasal dari
pekerjaan, bekerja kelompok, organisasi, atau lingkungan. Variabel
Kontekstual meliputi: karakteristik tugas (Farh et al., 1990; Niehoff and
Moorman, 1993; Smith et al., 1983; Van Dyne et al., 1994), sikap pada
pekerjaan (Moorman, 1991; Niehoff and Moorman, 1993; Organ and
Ryan, 1995; Organ, 1988; Podsakoff et al., 1990; Podsakoff et al., 1993;
Schnake, 1991; Schnake et al., 1995; Smith et al., 1983), gaya
kepemimpinan (Podsakoff et al., 1990; Farh et al., 1990; Wayne and
Green, 1993; Podsakoff et al., 1996; Schnake et al., 1993; Truckenbrodt,
2000), Karakteristik kelompok, organisasi budaya organisasi (Organ et al,
2006. Podsakoff et al, 2000), profesionalisme (Cohen dan Kol, 2004), dan
90
harapan peran sosial (Danzis dan Stode-Romero, 2009, dalam Mayfield
dan Taber, 2009).
2.6. HASIL EMPIRIK IMPLEMENTASI ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) PADA SERVICE QUALITY
Membangun sumber daya manusia yang tangguh merupakan tanggung
jawab besar yang tidak ada habisnya, mulai dari usia pra sekolah, sekolah dasar,
sekolah menengah, kemudian pendidikan tinggi level sarjana. Jenjang pendidikan
tinggi hingga level sarjana saja tidak cukup untuk dapat membuat sumber daya
manusia Indonesia mampu bersaing di era global (Ramli, 2008). Pendidikan
tersebut harus terus berlanjut hingga jenjang pendidikan pasca sarjana baik pada
level strata dua (magister) hingga strata tiga (doktoral). Sampai pada tingkatan
strata tiga, pendidikan tinggi telah memegang tiga level strata pendidikan
penting dari seluruh proses pendidikan sumber daya manusia di Indonesia. Dari
seluruh proses penciptaan sumber daya manusia tersebut andil perguruan tinggi
sangat besar.
Data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sampai
dengan Agustus 2007 menyatakan ada 2320 Perguruan Tinggi di seluruh
Indonesia yang terbagi menjadi 2238 PTS dan 82 PTN. Sementara dari data
Kopertis VII di Jawa Timur sendiri terdapat 262 Perguruan Tinggi yang terdiri dari
50 Akademi, 13 Institut, 7 Politeknik, 122 Sekolah Tinggi, dan 70 Universitas.
Data tersebut menunjukkan bahwa sektor jasa dalam bidang
penyelenggaraan pendidikan tinggi berada pada tingkat persaingan yang cukup
ketat. Pihak penyelenggara menghadapi tantangan untuk dapat bertahan dalam
persaingan serta dapat mengembangkan pasarnya. Bagaimana mereka
menciptakan suatu sistem internal yang solid serta bagaimana mereka
memperlakukan setiap pelanggannya (mahasiswa) untuk dapat mencapai tingkat
kepuasan yang memberikan potensi terhadap pengembangan organisasi yang
secara keseluruhan.
91
Ada dua unsur penting penyedia jasa yang menjadi ujung tombak bagi
industri jasa pendidikan untuk dapat memberikan pelayanan jasa yang prima
yaitu pertama adalah tenaga edukasi dan kedua adalah tenaga administrasi.
Meningkatkan kualitas tenaga edukasi adalah suatu keniscayaan bagi industri
perguruan tinggi untuk dapat bersaing dan direspon oleh pasar (Prabasmoro,
2008).
Ujung tombak kedua adalah tenaga administrasi atau tata usaha, dimana
tenaga administrasi memegang peranan kunci dalam proses pelayanan pada
mahasiswa. Misal dalam proses pengurusan kartu tanda mahasiswa (KTM), kartu
rencana studi (KRS), kartu hasil studi (KHS) dan proses-proses lain yang
berhubungan dengan administrasi perkuliahan. Kualitas layanan (service quality)
dari tenaga administrasi akan sangat mempengaruhi kepuasan dari mahasiswa.
Layanan yang baik akan meningkatkan kepuasan dan mempengaruhi tingkat
competitive advantage perguruan tinggi untuk dapat memenangkan persaingan.
Adalah sebuah keharusan bagi pelaku industri jasa perguruan tinggi untuk dapat
menjamin service quality yang baik dalam persaingan dengan penyedia jasa
lainnya (Yap and Sweeney, 2007).
Banyak factor untuk mencapai service quality yang baik bagi penyedia
jasa adalah dengan menumbuhkan ketulusan, perasaan senang hati dan
timbulnya suatu budaya dimana karyawan akan bekerja sama saling tolong
menolong demi memberikan yang terbaik kepada pelanggan. (Olorunniwo, et al.,
2006). Sikap perilaku karyawan yang dilakukan dengan sukarela, tulus, senang
hati tanpa harus diperintah dan dikendalikan oleh perusahaan dalam
memberikan pelayanan dengan baik yang menurut Organ et al. (2006) dikenal
dengan istilah organizational citizenship behavior (OCB).
Banyak penelitian yang telah membahas tentang pentingnya hubungan
antara OCB terhadap service quality antara lain: penelitian Bienstock, et al.
(2003), Yoon and Suh (2003) , Hui et.al. (2001), Bell (2004), Castro et al. (2004);
menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara OCB dengan service quality. Inti
92
dasar dari hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor yang dapat
mendukung untuk karyawan melakukan service quality yang baik adalah dengan
mempunyai perilaku OCB.
Untuk dapat meningkatkan OCB karyawan maka sangat penting bagi
organisasi untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau
meningkatnya OCB. Menurut Siders et.al. (2001) meningkatnya perilaku OCB
dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
karyawan (internal) seperti moral, rasa puas, sikap positif, dsb sedangkan faktor
yang berasal dari luar karyawan (eksternal) seperti sistem manajemen, sistem
kepeminpinan, budaya perusahaan.
Ada tiga faktor internal penting yang mempengaruhi OCB yaitu moral
karyawan, Organ and Ryan, (1995), Jaqueline (2002); komitmen karyawan
Podsakof (1996) dalam Organ et al. (2006), Yan Dyne & Ang (1998); serta
motivasi, (Bienstock, et al., 2003), Jones dan Schaubroeck (2004). Penelitian ini
akan berusaha menjawab masalah faktor yang mendorong karyawan melakukan
pelayanan dengan focus pada tiga aspek yaitu moral, komitmen dan motivasi
sebagai variabel eksogen yang berpengaruh pada OCB sebagai variabel endogen.
Penggabungan semua variabel tersebut merupakan gabungan dari beberapa
disiplin ilmu baik dalam bidang sumber daya manusia, marketing dan variabel
filsafat perilaku yaitu moral.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah,
maka rumusan penelitian ini ditetapkan sebagai berikut Apakah moral,
komitmen, dan motivasi karyawan berpengaruh positif terhadap Organizational
Citizenship Behavior? dan kemudian apakah Organizational Citizenship Behavior
berpengaruh positif terhadap kualitas jasa ?
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh moral, komitmen,
dan motivasi karyawan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Kemudian
93
dilanjutkan dengan mengkaji pengaruh Organizational Citizenship Behavior
terhadap kualitas jasa.
Pengertian moral berasal dari bahasa latin yaitu mores yang berarti
kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral memuat ajaran atau ketentuan baik dan
buruk suatu tindakan ya dilakukan dengan sengaja. Dapat diartikan bahwa moral
merupakan kewajiban-kewajiban susila seseorang terhadap masyarakat atau
dalam konteks penelitian ini terhdap organisasi. Sasaran dari moral adalah
keserasian atau keselarasan perbuatan-perbuatan manusia dengan aturan-
aturan yang mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri (Salam, 2000).
Ada dua perbedaan mendasar antara penerapan moralitas dari dua aliran
utama, yaitu moralitas teoritis dan moralitas terapan. Tujuan moralitas teoritis
adalah untuk menyusun hukum umum moralitas, sedangkan moralitas terapan
bertujuan untuk menyelidiki bagaimana hukum tersebut diterapkan pada situasi
umum yang beragam yang ditemukan dalam hidup. (Abdullah, 1986:150).
Menurut Salam (2000:47) terdapat tiga unsur dari tanggung jawab moral
yaitu:
1. Kesadaran
Sadar berarti mengerti, mengetahui, dapat memperhitungkan arti guna
sampai pada soal akibat dari suatu dari perbuatan atau pekerjaan yang
dihadapi. Seseorang dapat dikatakan sadar bila ia sadar sepenuhnya tentang
perbuatannya.
2. Kecintaan
Rasa cinta atau suka menimbulkan kepatuhan, kerelaan dan kesediaan untuk
berkorban. Bila tidak ada kesadaran maka tidak mungkin seseorang memilih
kecintaan.
3. Keberanian
Perasaan berani dalam konteks ini adalah perasaan yang didorong oleh rasa
iklhas tanpa ada perasaan ragu-ragu dan takut terhadap segala macam
rintangan yang timbul.
94
Menurut Stevens et al. (1978 dalam Morris, 2004) konsep komitmen
organisasi dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu pendekatan pertukaran
dan pendekatan psikologi. Pendekatan pertukaran memiliki beberapa
kelemahan yaitu pengukuran komitmen karyawan diukur dari keinginannya
untuk meninggalkan perusahaan dan bekerja pada perusahaan lainnya.
Kelemahan kedua yaitu pendekatan transaksi ini kurangnya dasar bukti-bukti
empirik karena selama ini penelitian lebih difokuskan pada pencarian
anteseden variabel ini.
Pendekatan psikologi dikonsepkan perrtama kali oleh Porter dan Smith.
Menurut Porter dan Smith, komitmen adalah orientasi aktif dan positif
terhadap organisasi. Berdasarkan pendapat ini komitmen meliputi 3 komponen
orientasi yaitu identifikasi tujuan dan nilai-nilai organsasi, keterlibatan yang
tinggi dalam lingkungan kerja dan kesetiaan pada organisasi. Meyer and Allen
(1997) membagi komitmen menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Komitmen afektif
Komitmen afektif mengacu pada emosi yang melekat pada dairi karyawan
untuk mengidentifikasi dan melibatkan dirinya dengan organisasi. Karyawan
dengan komitmen afektif yang kuat cenderung secara terus menerus akan
setia pada organisasi karena memang begitu keinginan mereka yang
sebenarnya ada dalam hati mereka.
2. Komitmen normatif
Komitmen normatif mengacu pada refleksi perasaannya akan kewajibannya
untuk menjadi karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif
yang tinggi merasa bahwa mereka memang seharusnya tetap bekerja pada
organisasi tempat mereka bekerja sekarang.
3. Komitmen berkelanjutan
Komitmen yang berkelanjutan mengacu kepada kesadaran karyawan yang
berkaitan dengan akibat meninggalkan organisasi.
95
Lebih lanjut, motivasi didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk
beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan
penyesuaian diri. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan
yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Dengan demikian,
motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan sebab seseorang
melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar.
Robbins (2001:162) mengatakan bahwa teori kebutuhan Mc Clelland
terfokus pada tiga kebutuhan yaitu:
1. Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk mengungguli, berprestasi
sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses.
2. Kebutuhan akan kekuasaan: Kebutuhan untuk membuat orang lain
berperilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa) tidak akan
berperilaku demikian.
3. Kebutuhan akan afiliasi: Hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah
dan akrab.
Definisi ditawarkan oleh Organ (1999), organizational citizenship behavior
merupakan perilaku karyawan perusahaan yang ditujukan untuk meningkatkan
efektifitas kinerja perusahaan tanpa mengabaikan tujuan produktifitas
individual karyawan.
Dimensi OCB menurut Organ et al. (2006) adalah sebagai berikut :
a. Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami
kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam
organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada
memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang
ditanggungnya.
96
b. Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan
perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari
panggilan tugas
c. Sportmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal
dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan – keberatan. Seseorang yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan
iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja
sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang
lebih menyenangkan.
d. Courtessy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah –
masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang
yang menghargai dan memperhatikan orang lain.
e. Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi
(mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk
merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur – prosedur organisasi
dapat diperbaiki, dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh
organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan
organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang
ditekuni.
Payne (1993:6) dan Kotler (2000) berpendapat bahwa jasa adalah suatu
aktivitas yang memiliki elemen tidak berwujud (intangibility), dan melibatkan
interaksi antara konsumen atau properti milik konsumen, dan tidak
menghasilkan perpindahan kepemilikan.
97
Menurut Zeithaml (dalam Gaspersz, 1997:15) yang termasuk dalam
atribut-atribut kualitas jasa adalah :
1. Responsiveness
Atribut ini mengacu pada daya tanggap konsumen. Seringkali atribut ini
berkaitan erat dengan tanggung jawab dan keinginan karyawan dalam
upaya penyampaian jasa yang baik serta membantu pelanggan yang
menghadapi kesulitan berkaitan dengan jasa yang dikonsumsi tersebut.
2. Tangibles
Atribut ini berkaitan erat dengan elemen fisik atau produk fisik yang
memfasilitasi penyampaian jasa. Termasuk dalam atribut ini adalah,
peralatan, seragam karyawan, fasilitas fisik lainnya.
3. Assurance
Atribut ini mengacu pada kepastian artinya seberapa besar penyedia jasa
mampu menumbuhkan rasa percaya dan yakin pelanggan akan kualitas
jasanya.
4. Reliability
Atribut ini mengacu pada kemampuan penyedia jasa dalam
menyampaikan jasa yang dijanjikannya secara akurat dan minim dari
kesalahan-kesalahan.
5. Emphaty
Atribut ini berhubungan erat dengan hubungan karyawan dan pelanggan.
Sejauh mana karyawan perhatian dan peduli pada pelanggan perusahaan.
98
BAB III
KINERJA DAN PENILAIAN KINERJA
Perusahaan dapat berkembang merupakan keinginan setiap individu yang
berada di dalam perusahaan tersebut, sehingga diharapkan dengan perkembangan
tersebut perusahaan mampu bersaing dan mengikuti kemajuan zaman. Karena itu
tujuan yang diharapkan oleh perusahaan dapat tercapai dengan baik. Kemajuan
perusahaan dipengaruhi oleh faktor faktor lingkungan yang bersifat internal dan
eksternal. Sejauhmana tujuan perusahaan telah tercapai dapat dilihat dari seberapa
besar perusahaan memenuhi tuntutan lingkungannya. Memenuhi tuntutan
lingkungan berarti dapat memanfaatkan kesempatan dan atau mengatasi tantangan
atau ancaman dari lingkungan perusahaan tersebut. Perusahaan harus mampu
melakukan berbagai kegiatan dalam rangka menghadapi atau memenuhi tuntutan
dan perubahan perubahan di lingkungan perusahaan.
Pembinaan dan pengembangan karyawan baru ataupun lama dalam
perusahaan adalah salah satu kegiatan dalam rangka menyesuaikan diri dengan
perubahan dengan perkembangan karyawan. Karena itu perlu dilakukan penilaian
atas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh karyawan atau disebut dengan
penilaian kinerja atau penilaian prestasi kerja.
Prestasi kerja karyawan dipengaruhi oleh bermacam-macam ciri pribadi dari
masing-masing individu. Dalam perkembangan yang kompetitif dan mengglobal,
perusahaan membutuhkan karyawan yang berprestasi tinggi. Pada saat yang sama
pekerja memerlukan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman bagi
tindakan tindakan mereka pada masa yang akan datang, oleh karena itu, penilaian
seharusnya menggambarkan kinerja karyawan.
Hasil penilaian kinerja dapat menunjukan apakah SDM telah memenuhi
tuntutan yang dikehendaki perusahaan, baik dilihat dari sisi kualitas maupun
kuantitas. Informasi dalam penilaian kinerja karyawan merupakan refleksi dari
berkembang atau tidaknya perusahaan.
Bagi perusahaan, penilaian kinerja karyawan merupakan salah satu tugas
manajer yang penting dalam perusahaan. Diakui bahwa banyak kesulitan
penilaian kinerja yang dialami dalam menangani secara memadai, karena tidak
99
mudah untuk menilai kinerja seorang karyawan secara akurat. Sifat maupun cara
penilaian kinerja terhadap karyawan banyak tergantung pada bagaimana SDM
dipandang dan diperlakukan di dalam perusahaan tersebut. Jika perusahaan hanya
berpegang pada asumsi bahwa orang tidak akan bekerja kecuali jika mereka
diawasi dan dikendalika dengan ketat, ia cenderung menerapkan cara penilaian
yang bersifat rahasia. Dan biasanya penilaian bersifat tidak obyektif. Oleh karena
itu, laporan tentang kinerja karyawan merupakan laporan yang bersifat rahasia
pula. Sebalikya jika perusahaan mempunyai pandangan bahwa setiap individu
akan bekerja sesuai dengan potensinya dan kekuatan-kekuatannya dan bahwa
kemampuan-kemampuan manusia dapat ditambah/ dikembangkan, perusahaan
akan mengusahakan suatu sistem penilaian yang berusaha mengenali,
memperjelas, mengembangkan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan
kemampuan para karyawan.
Pada umumnya sistem penilaian kinerja karyawab masih digunakan sebagai
instrumen untuk mengendalikan perilaku karyawan, membuat keputusan-
keputusan yang berkaitan dengan kenaikan gaji, pemberian bonus, promosi dan
penempatan karyawan pada posisi yang sesuai serta mengetahui kebutuhan
pelatihan dan pengembangan karyawan yang bersangkutan. Pemahaman seperti
diatas kurang sehat bila dilihat pelaksanaannya yang bersifat sepihak rahasia dan
kurangbersifat menegmbangkan. Seharusnya penilaian kinerja tidak saja
mengevaluasi kinerja karyawan, tetapi juga mengembangkan dan memotivasi
karyawan. Sebaiknya karyawan yang dinilai harus mengetahui bidang prestasi
yang dinilai, diberi kesempatan untuk menilai dirinya sendiri. Bahkan
mempertemukan hasil penilaiannya itu dengan penyeliannya. Di sini terjadi proses
tawar menawar dan komunikasi kedua belajh pihak untuk mencapai saling
keterbukaan dan saling pengertian bidang-bidang yang sudah cukup dan bidang-
bidang yang masih perlu dikembangkan.
3.1. PENGERTIAN PENILAIAN KINERJA
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan untuk
menyelesaikam tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya. Memilki drajat
kesediaaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesedian dan keterampilan
seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman
100
yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.
Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi
kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja
karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk
mencapai tujuannya.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan perusahaan
adalah dengan cara melihat hasil penilaian kinerja. Sasaran yang menjadi objek penilaian
kinerja adalah kecakapan, kemampuan karyawab dalam melaksanakan suatu pekerjaan
atau tugas yang dievaluasi dengan menggunkan tolak ukur tertentu secara objektif dan
dilakukan secara berkala. Dari hasil penilaian dapat dilihat kinerja perusahaan yang
dicerminkan oleh kinerja karyawan atau dengan kata lain, kinerja merupakan hasil kerja
konkret yang dapat diamati dan dapat diukur.
Penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang
digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan
pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidak hadiran. Dengan demikian,
penilaian prestasi adalah merupakan hasil kerja karyawan dalam lingkup tanggung
jawabnya. Di dalam dunia usaha yang berkompetisi secara global, perusahaan
memerlukan kinerja tinggi. Pada saat yang bersamaan, karyawan memerlukan umpan
balik atas hasil kerja mereka sebagai panduan bagi perilaku mereka di masa yang akan
datang. Para pekerja juga ingin mendapatkan umpan balik bersifat positif atas berbagai
hal yang telah mereka lakukan dengan baik, walupun kenyataannya hasil penilaian
prestasi tersebut masih lebih banyak berupa koreksi / kritik.
Dalam praktiknya, istilah penilaian kinerja ( performance appraisal dan evaluasi
kinerja (performance evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan
karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Penilaian kinerja digunakan
perusahaan untuk menilai kinerja karyawan atau mengevaluasi hasil pekerjaan karyawan.
Penilaian kinerja dilakukan dengan benar akan bermanfaat bagi karyawan, manager
departemen SDM, dan pada kahirnya bagi perusahaan sendiri, dalam praktiknya penilaian
kinerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada di dalam perusahaan, disamping faktor
lain di luar perusahaan.
Apabila penilaian kinerja dilakukan dengan benar, para karyawan, ara penyelia,
departemen SDM dan akhirnya perusahaan akan diuntungkan dengan adanya kepastian
bahwa upaya upaya individu memberikan kontribusi kepada fokus strategi perusahaan.
101
Selain itu, penilaian kinerja diartikan pula sebagai sebuah mekanisme yang baik untuk
mengendalikan karyawan. Perlu kita ketahui sebagai karyawan, mereka menginginkan
adanya kesempatan promosi, memperoleh kenaikan gaji, upah, insentif, kompensasi, juga
menginginkan terciptanya lingkungan kerja yang baik, menginginkan ditempatkan pada
posisi yang prestise, ingin mutasi ketempat-tempat pilihan mereka serta menginginkan
pekerjaan-pekerjaan yang dapat memberikan kepuasan sebesar-besarnya, dan seterusnya.
Oleh karena itu, apabila orang akan memperoleh apa yang diinginkan, orang tersebut
harus memberikan apa yang diinginkan oleh atasan mereka atau perusahaan mereka.
Dari beberapa pengertian diatas terdapat perbedaan mendasar tentang penilaian
kinerja. Ada pengertian yang mengatakan memposisikan karyawan pada pihak subordinat
dan dikendalikan, sebaliknya ada pemahaman bahwa karyawan dianggap sebagai faktor
produksi yang harus dimanfaatkan secara produktif. Sedangkan pada pengertian bahwa
karyawan sebagai aset utama perusahaan, karyawan harus dipelihara dengan baik dan
diberi kesempatan berkembang.
Sebagai karyawan tentunya menginginkan adanya umpan balik mengenai prestasi
mereka sebagai suatu tuntutan untuk perilaku di kemudian hari. Tuntutan ini terutama
diinginkan oleh para karyawan baru yang sedang berusaha memahami tugas dan
melaksanakan kewajiban dilingkungan kerja mereka. Sementara itu para supervisor atau
manager memerlukan penilaian prestasi kerja untuk menentukan apa yang harus
dilakukan. Kinerja karyawan merekan bandingkan dengan standar-standar yang telah
ditentukan sehingga dengan demikian mereka dapat menuntut hasil – hasil yang
diinginkan serta mengambil tindakan –tindakan korektif terhadap kinerja yang kurang.
Instrumen penilaian kinerja dapat digunakan untuk mereview kinerja, peringkat
kinerja, penilaian kinerja, penilaian karyawan dan sekaligus evaluasi karyawan sehingga
dapat diketahui mana karyawan yang mampu melaksanakan pekerjaan secara baik,
efesien, efektif dan produktif sesuai dengan tujuan perusahaan.
Sementara itu , departmen SDM dapat menggunakan informasi yang diperoleh dari
penilaian kinerja karyawan. Pola yang dapat dilihat dari hasil hasil penilaian kinerja
memberikan umpan balik tentang keberhasilan rekruitmen, seleksi karyawan, penempatan
karyawan, pelatihan dan lain-lain yang berkaitan dengan kegiatan SDM. Penilaian-
penilaian informal sehari-hari yang dilakukan para supervisor atau manager atas
karyawan karyawan mereka biasanya belum cukup, sehingga mereka memerlukan
penilaian-penilaian yang formal dan sistematis untuk dapat membantu para manager atau
102
departmen SDM mengambil keputusan untuk penggajian, upah,penempatan karyawan,
dan keputusan lainnya.
Sebagai contoh hasil studi terhadap 115 perusahaan di jakarta, sebanyak
85% menggunakan penilaian formal untuk memabantu proses :
- Peningkatan kinerja 77,7%
- Umpan balik 85,0%
- Keputusan penempatan 33,7%
- Mengukur potensi 57,4%
- Kenaikan gaji 90,1%
- Dokumentasi 30,2%
3.2. TUJUAN PENILAIAN KINERJA
Suatu peruhaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pada dua alasan
pokok, yaitu : (1) manager memerlukan evaluasi yang objektif terhadap kinerja
karyawan pada masa lalu yang digunakan untuk membuat keputusan di bidang
SDM di masa yang akan datang; dan (2) manager memerlukan alat yang
memungkinkan untuk membantu karyawan memperbaiki kinerja, merencanakan
pekerjaaan, mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk perkembangan
karier dan memperkuat kualitas hubungan antar manager yang bersangkutan
dengan karyawannya.
Selain itu penilaian kinerja dapat digunakan untuk :
1. Mengetahui pengembangan, yang meliputi : (a) identifikasi kebutuhan
pelatihan, (b) umpan balik kinerja, (c) menentukan transfer dan penugasan,
dan (d) identifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan.
2. Pengambilan keputusan administratif , yang meliputi : (a) keputusan untuk
menentukan gaji,promosm mempertahankan atau memberhentikan
karyawan, (b) pengakuan kinerja karyawan, (c) pemutusan hubungan kerja
dan 9d0 mengidentifikasi yang buruk.
3. Keperluan perusahaan, yang meliputi : (a) perencanaan SDM,
memnentukan kebutuhan pelatihan, (c) evaluasi pencapaian tujuan
perusahaan, (d) informasi untuk identifikasi tujuan, (e) evaluasi terhadap
103
sistem SDM, dan (f) penguatan terhadap kebutuhan pengembangan
perusahaan.
4. Dokumentasi, yang meliputi : (a) kriteria untuk validasi penelitian, (b)
dokumentasi keputusan-keputusan tentang SDM, dan (c) membantu untuk
memenuhi persyaratan hukum.
Berdasarkan uraian diatas, tujuan penilaian kerja atau prestasi kinerja
karyawan pada dasarnya meliputi :
1. Untuk mengetahui tingkat prestasi karyawan selam ini
2. Pemberian imbalan yang searasi, misalnya untuk pemberian kenaikan gaji
berkala, gaji pokok, kenaikan gaji istimewa, insentif uang.
3. Mendorong pertanggungjawaban dari karyawan
4. Untuk pembela antar karyawan yang satu dengan yang lain
5. Pengembangan SDM yang masih dapat dibedakan lagi ke dalam:
a. Penugasan kembali, seperti diadakannya mutasi atau transfer, rotasi
pekerjaan
b. Promosi, kenaikan jabatan
c. Training atau pelatihan
6. Meningkatkan motivasi kerja.
7. Meningkatkan etos kerja
8. Memperkuat hubungan antara karyawan dengan supervisor melalui diskusi
tentang kemajuan kerja mereka
9. Sebagai alat untuk memperoleh umpan balik dari karyawan untuk
memperbaiki desain pekerjaan, lingkungan kerja, dan rencana karier
selanjutnya.
10. Riset seleksi sebagai kriteria keberhasilan / efektifitas.
11. Sebagai salah satu sumber informasi untuk perencanaan SDM, karier dan
keputusan perencanaan suksesi
12. Membantu menempatkan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai untuk
mencapai hasil yang baik secara menyeluruh.
13. Sebagai sumber informasi untuk pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan gaji-upah-insentif-kompensasi dan berbagai imbalan lainnya.
104
14. Sebagai penyaluran keluhan yang berkaitan dengan masalah pribadi
maupun pekerjaan
15. Sebagi alat untuk menjaga tingkat kinerja
16. Sebagai alatuntuk membantu dan mendorong karyawan untuk mengambil
inisiatif dalam rangka memperbaiki kinerja
17. Untuk mengethui efektifitas kebijakan SDM seperti seleksi, rekruitmen,
pelatihan dan analisis pekerjaan sebagai komponen yang saling
ketergantungan si antara fungsi-fungsi SDM
18. Mengidentifikasi dan menghilangkan hambatan-hambatan agar kinerja
menjadi baik
19. Mengembangkan dan menetapkan kompensasi pekerjaan
20. Pemutusan hubungan kerja, pemeberian sangsi ataupun hadiah.
Pada dasarnya dari sisi praktiknya yang lazim dilakukan di setiap
perusahaan tujuan penilaian kinerja karyawan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa lalu
Praktiknya masih banyak perusahaan yangmenerapkan penilaian kinerja
yang berorientasi pada masa lampau, hall ini disebabkan kurangnya
pengertian tentang manfaat penilaian kinerja sebagai sarana untuk
menhgetahui potensi karyawan. Tujuan penilaian kinerja yang berorientasi
pada masa lalu ini adalah :
a. Mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakannya sebagai
instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman, dan ancaman.
b. Mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi
c. Menempatkan karyawana gar dapat melaksanakan pekerjaan tertentu.
2. Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa depan apabila dirancang
secara tepat sistem penilaian ini dapat :
a. Membantu tiap karyawan untuk semakin banyak mengerti tentang
perannya dan mengetahui secara jelas fungsi fungsinya
b. Merupakan instrumen dalam membantu tiap karyawan mengerti
kekuatan – kekuatan dan kelemahan-kelemahan sendiri yang
dikakitkan denga peran fungsi dalam perusahaan.
105
c. Menambahkan adanya kebersamaan antara masing masingkaryawan
dengan penyelia sehiangga tiap karyawan memiliki motivasi kerja dan
merasa senang bekerja sekaligus mau membrikan kontribusi sebanyak
banyaknya pada prusahaan.
d. Merupakan instrumen untuk memberikan peluang bagi karyawan
untuk mawas diri dan evaluasi diri serta menetapkan sasaran pribadi
sehingga terjadi pengembangan yang direncanakan dan dimonitori
sendiri.
e. Membantu mepersiapkan karyawan untuk memegang pekerjaan pada
jenjang yang lebih tinggi dengan cara terus menerus meningkatkan
perilaku dan kualitas bagi posis – posisi yang tingktnya lebih tinggi.
f. Membantu dalam berbagai keputusan SDM dengan memberikan data
tiap karyawan secara berkala.
3.3. KRITERIA PENYELIA (PENILAI)
1. Yang dapat berfungsi sebagai penilai dalam penilaian kinerja ialah :
a. Atasan (atasan langsung, atasan tidak langsung)
b. Bawahan langsung (jika karyawan yang dinilai mempunyai bawahan
langsung)
2. Pada umumnya karyawan hanya dinilai oleh atasannya (baik oleh atasan
langsung maupun tidak langsung). Penilaian oleh rekan dan oleh bawahan
hampir tidak pernah dilaksanakan kecuali untuk keperluan riset.
3. Karyawan berada dalam keadaan yang sangat tergantung kepada
atasannya, jika penilaian kinerja hanya dilakukan oleh atasan langsungnya.
Atasan dapat berlaku seolah-olah sebagai dewa yang menentukan nasib
karyawannya.
4. Untuk menghindari atau meringankan keadaan ketergantungan tersebut
dilakukan beberapa usaha lain dengan mengadakan penilaian kinerja yang
terbuka (penilaian atasan dibicarakan dengan karyawan yang dinilai) atau
dengan menambah jumlah atasan yang menilai kinerja karyawan (biasanya
atasan dari atasan langsung berfungsi sebagai penilai kedua)
106
3.4. KEGUNAAN PENILAIAN KINERJA
Kegunaan penilaian kinerja ditinjau dari berbagai prespektif pengembangan
perusahaan, khususnya menajemen SDM yaitu :
Dokumentasi, untuk memperoleh data yang pasti, sistematik, dam faktual
dalam penentuan nilai suatu pekerjaan.
1. Posisi tawar. Untuk memungkinkan manajemen melakukan negosiasi yang
objektif dan rasional degan serikat buruh (kalau ada) atau langsung dengan
karyawan.
2. Perbaikan kinerja. Umpan balik pelaksanaan yang bermanfaat bagi
karyawan, manager dan spesalis personil dalam bentuk kegiatan untuk
meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan
3. Penyesuaian kompensasi. Penilaian kinerja membantu pengambil
keputusan dalam penyesuaian ganti rugi, menentukan siapa yang perlu
dinaikkan upahnya-bonus atau kompensasi lainnya. Banyak perusahaan
mengabulkan sebagian atau semua dari bonus dan peningkatan upah
mereka atas penilaian kinerja.
4. Keputusan penempatan. Membantu dalam promosi, keputusan
penempatan, perpindahan, dan penurunan pangkat pada umumnya
didasarkan pada masa lampau atau mengantisipasi kinerja. Sering promosi
adalah penghargaan untuk kerja yang lalu.
5. Pelatihan dan pengembangan. Kinerja buruk mengindikasikan adanya
suatu kebutuhan untuk latihan. Demikain juga, kinerja baik dapat
mencerminkan adanya potensi yangbelum digunakan dan harus
dikembangkan
6. Perencanaan dan pengembangan karier. Umpan balik penilaian kinerja
dapat digunakan sebagai panduan dalam perencanaan dan pengembangan
karier karyawan, penyusunan program pengembangan karier yang tepat
dapat menyelaraskan antara kebutuhan karyawan dengan kepentingan
perusahaan.
7. Evaluasi proses staffing. Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan
kekuatan atau kelemahan dalam prosedur staffing depatmen SDM
107
8. Defisiensi proses penempatan karyawan. Prestasi kerja yang baik atau
jelek mengisyaratkan kekuatan atau kelemahan dalam prosedur
penempatan karyawan di depatmen SDM
9. Ketidak akuratan informasi. Kinerja lemah menandakan adanya kesalahan
di dalam informasi analisis pekerjaan, perencanaan SDM atau sistem
informasi manajeman SDM. Pemakaian informasi yang tidak akurat dapat
mengakibatkan proses rekruitmen, pelatihan atau pengambilan keputusan
tidak sesuai.
10. Kesalahan dalam merancang pekerjaan. Kinerja yang lemah mungkin
merupakan suatu gejala dari rancangan pekerjaan yang kurang tepat.
Melalui penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis kesalahan ini.
Artinya, jika uraian pekerjaan tidak tepat, apalagi tidak lengkap,
wewenang dan tanggungjawab tidak seimbang, jalur pertanggung jawaban
kabur dan berbagai kelemahan lainnya akan berakibat pada prestasi kerja
yangkurang memuaskan.
11. Kesempatan kerja yang adil. Penilaian kerja yang akurat terkait dengan
pekerjaan dapat memastikan bahwa keputusan penempatan internal tidak
bersifat diskriminatif.
12. Mengatasi tantangan-tantangan eksternal. Kadang-kadang kinerja
diperngaruhi oleh faktor di luar lingkungan pekerjaan, seperti keluarga,
keuangan, kesehatan atau hal lain seperti hal pribadi. Jika faktor ini tidak
dapat diatasi karyawan bersangkutan, departemen SDM mengkin mampu
menyediakan bantuan.
13. Elemen-elemen pokok sistem penilaian kinerja. Departemen SDM
biasanya mengembangkan penilaian kinerja bagi karyawan di semua
departemen. Elemen elemen pokok sistem penilaian ini mencangkup
kriteria yang ada hubungan dengan pelaksanaan kerja dan ukuran-ukuran
kriteria.
14. Umpan balik ke SDM. Kinerja baik atau jelek di seluruh perusahaan,
mengindikasikan seberapa baik departmen SDM berfungsi. Perusahaan
tidak cukup hanya mempunyai sistem penilaian ; tetapi sistem tersebut
harus efektif, diterima dan dapat digunakan denganbaik. Dengan kondisi
108
seperti itu, penilaian kinerja dapat mengidentifikasi apa yang diperlukan
untuk meningkatkan kualitas SDM yang berhubungan dengan, analisis
pekerjaan dan desain, perencanaan SDM, struktur karyawan, orientasi dan
penempatan, pelatihan dan pengembangan perencanaan karier.
3.5. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DALAM PENILAIAN
KINERJA
Penyelia sering tidak berhasil untuk meredam emosi dalam menilai
prestasi kerja karyawan, hal ni menyebabkan penilaian menjadi bias. Bias
adalah distorsi pengukuran yang tidak akurat. Bias ini mungkin terjadi sebagai
akibat ukuran-ukuran yang digunakan bersifat subjektif. Berbagai bentuk bias
yang umum terjadi adalah :
1. Kendala hukum / legal
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi tidak sah atau tidak legal.
Apapun format penilaian kinerja yang digunakan oleh departemen SDM
harus sah dan dapat dipercaya. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, keputusan
penempatan mungkin ditentang sebab melanggar hukum ketenagakerjaan
atau hukum lainnya. Keputusan yang tidak tepat mungkin dapat terjadi
kasus pemecatan yang diakibatkan kelalaian. Kelalaian juga dapat muncul
ketika keputusan pemberhentian sementara, penurunan pangkat atau
kegagalan dalam promosi. Oleh karena itu, setiap keputusan hendaknya
objektif dan sesuai dengan hukum. Setiap terjadi kesalahan dalam
pengambilan keputusan yang berdampak pada aspek hukum dapat
berakibat negatif bagi perusahaan, sehingga kemungkinan banyak
karyawan melakukan penuntutan perkara terkait dengan hasil penilaian
kinerja. Diantaranya, seperti perbedaan jenis kelamin, ras bangsa dan
diskriminasi umur dalam pemutusan hubungan kerja, promosi, dan
pemberhentian sementara.
2. Bias oleh penilaian (penyelia)
Setiap masalah yang didasarkan pada ukuran subjektif adalah peluang
terjadinya bias. Bentujk-bentuk bias yang umumnya terjadi adalah :
a. Hallo effect. Hallo effect terjadi ketika pendapat pribadi penilai
(penyelia) mempengaruhi pengukuran kinerja baik dalam arti positif
109
maupun negatif. Sebagai contoh seorang penilai bisa saja secara
pribadi tidak menyenangi karyawan tertentu, terlepas dari faktor-faktor
penyebab ketidak senangannya itu. dalam hal demikian, kecendrungan
penilai adalah membarikan penilaian negatif terhadap orang yang tidak
disenanginya itu, padahal sebenarnya apabila dinilai secara objektif ,
karyawan yang dinilai seharusnya memperoleh penilaian positif.
Sebaliknya juga tidak mustahil terjadi. Seorang bawahan yang secara
pribadi disenangi oleh penilai memperoleh penilaian positif meskipun
sesungguhnya prestasi kerjanya rendah.
Sebaliknya jika seorang penyelia menyukai seorang karyawan, sifat
tersbut dapat mempengaruhi penilaian kinerja karyawan yang sedang
dinilai. Masalah ini dapat meingankan atau memberatkan ketika
penilai harus menilai kepribadian teman mereka, atau orang –orang
yang tidak disukainya.
b. Kesalahan kecenderungan terpusat. Beberpaa penilai tidak suka
menempatkan karyawan ke posisi ekstrim dalam arti ada karyawan
yang dinilai sangat positif atau sangat negatif. Penilaian demikian
sering dihindari karena penilai harus menjelaskan kepada departemen
SDM mengenai alasan dari penilaian seperti itu. Artinya, agar tidak
harus menjelaskan sistem peringkat yang digunakannya, para penilai
cenderung mengambil jalan tengah, yaitu dengan memberikan nilai
yang agak merata bagi para karyawan yang dinilainya. Dapat
dipastikan bahwa cara penilaian demikian sangat tidak objektif, karena
yang berprestasi tinggi akan merasa diperlakukan tidak adil dan
dirugikan, sedangkan yang berprestasi rendah memperoleh
penghargaan yang tidak wajar.
c. Bias ini Bias karena terlalu lunak dan terlalu keras. Bias karena terlalu
lunak terjadi ketikan penilai cenderung begitu mudah dalam
mnegevaluasi kinerja karyawan. Penilai melihat semua kinerja
karyawannya bagus dan menilai dengan baik. Bias karena terlalu keras
adalah kebalikannya, diakibatkan oleh penilai yang terlalu ketat dalam
mengevaluasi mereka. Kadang-kadang bias ini disebabkan penilai
110
ingin orang lain untuk berpikir bahwa dia adalah seorang “hakim” bagi
penilaian kinerja. Sifat terlalu dan bersikap terlalu kers biasanya terjadi
jika standar kinerja yang digunakan tidak jelas.
d. Bias karena penyimpangan lintas budaya. Setiap penilai mempunyai
harapan tentang tingkah laku manusia yang didasarkan pada kulturnya.
Ketika seorang penilai diharuskan untuk menilai dari karyawan yang
berbeda kulturnya, mereka mungkin menerapkan budayanya terhadap
karyawan tersebut. Sebagai contoh, umumnya masyarakat di asia
memperlakukan orang yang lebih tua dengan rasa hormat lebih besar
dan mendapatkan penghargaan lebih tinggi dibandingkan kultur
budaya barat. Jika seorang pekerja muda diminta untuk menilai
bawahannya yang lebih tua, nilai budaya hormat dan harga diri
mungkin menimbulkan bias pnilaian. Dengan keanekaragaman budaya
yang lebih besar dan mobilitas karyawan ke berbagai negara
(internasional), sumber potensial penyimpangan ini menjadi lebih
besar.
e. Prasangka pribadi. Sikap tidak suka seorang penilai terhadap
sekelompok orang tertentu dapat mengaburkan hasil penilaian seorang
karyawan. Misalnya, seorang penyelia memberikan nilai yang rendah
kepada karyawan wanita yang ternyata berprestai dalam melaksanakan
pekerjaan tertentu yang secara tradisionaldipandang sebagai pkerjaan
pria. Atau seorang yang meskipun prestasi kerjanyasangat memuaskan,
mendapat penilaian negatif hanya karna karyawan yang bersangkutan
berprilaku yang berbeda dari prilaku yang dibenarkan oleh kultur
dimana penyelia dibesarkan. Misalnya, karyawan “A” yang berasal
dari daerah tertentu dimana sikap terus terang dibenarkan oleh kultur
sosial dinilai negatif oleh penyelia “B” yang kebetulan berasal dari
masyarakat dimana sikap terus terang dipandang sebagai sikap kurang
baik.
Meskipun demikian, spesialis SDM perlu memberi perlu memberi
perhatian dalam membuat pola tanpa adanya unsr prasangka.
111
Prasangka akan mengabaikan penilaian efektif dan dapat melanggar
hukum anti diskriminasi.
f. Pengaruh kesan terakhir. Ketika penilai diharuskan menilai kinerja
karyawan pada masa lampau, kadang-kadang penilai mempersiapkan
dengan tindakan karyawan pada saat ini yang sebetulnya tidak
berhubungan dengan kinerja masa lalu. Jadi kinerja karyawan dinilai
berdasarkan penampilan karyawan saat sekarang yang masih diingat
oleh penilai.
3. Mengurangi bias penilaian
Bias penilaian dapat dikurangi melalui standar penilaian dinyatakan
secara jelas, pelatihan, umpan balikm dan pemilihan teknik penilaian
kinerja yang sesuai. Pelatihan untuk penilai perlu melibatkan tiga hal
berikut :
a. Penyimpangan dan penyebab mereka harus diterangkan
b. Peran penilaian kinerja dalam pengambilan keputusan terhadap
karyawan harus diterangkan untuk menjaga kenetralan dan objektifitas.
c. Dengan bantuan departmen SDM menemukan dan menggunakan
teknik penilaian yang dipandang paling tepat, baik yang berorientasi
pada prestasi kerja dimasa lalu maupun yang ditujukan kepada
kepentingan perusahaan di masa depan. Jika ukuran subjektif
digunakan, para penilai harus menggunakannya sebagai bagian dari
pelatihan mereka. Sebagai contoh, peletihan di ruang kelas di mana
pelatih memper tunjukan kepada para pekerja dan situasinya melalui
monitor video, sehingga kesalahan dalam melakukan penilaian dapat
segera dikoreksi, hal ini sebagai pelatihan bagi para penilai.
Selain faktor-faktor diatas yang menyebabkan terjadinya bias dalam
penilaian kinerja, dalam praktikanya pendekatan penilaian harus dapat
mengidentifikasi standar kinerja, mengukur kriteria, dan kemudian memberi
umpan balik kepada karyawan dan departmen SDM. Jika standar kinerja atau
ukuran tidak terkait dengan pekerjaan, evaluasi tidak akurat dan akhirnya akan
terjadi bias tang merugikan hubungan para manager dengan karyawan dan
memperkecil kesempatan kerja yang sama. Tanpa umpan balik, perbaikan dalam
112
perilaku SDM tidak mungkin terjadi dan departmen tidak akan mempunyai
catatan kaurat dalam sistem informasinya, sehingga dasar keputusan mulai
rancangan pekerjaan sampai kompensasi akan terganggu.
Departmen SDM pada umumnya merancang dan mengurus sistem penilaian
kinerja perusahaan sehingga menjamin adanya keseragaman. Walaupun
departmen SDM dapat mengembangkan pendekatan yang berbeda untuk para
manager, profesional,para karyawan, atau kelompok lain,; namun keseragaman di
masing masing kelompok diperlukan untuk memastikan hasil yang dapat
dibandingkan. Departmen SDM sendiri mungkin saja jarang mengevaluasi
kinerjanya sendiri secara aktual.
Penilaian dilaksanakan tidak hanya sekedar untuk mengetahui kinerja yang
lemah; hasil yang baik dan bisa di terima, juga harus diidentifikasi sehingga dapat
di pakai untuk penilaian lainnya. Untuk itu dalam penilaian kinerja perlu
memiliki:
1. Standar kerja
Sistem penilaian memerlukan standar kinerja yang mencerminkan seberapa
jauh keberhasilan sebuah pekerjaan telah dicapai. Agar efektif, standar perlu
berhubungan dengan hasil yang diinginkan dari tiap pekerjaan. Hal tersebut
dapat diuraikan dari analisis pekerjaan dengan menganalisis hubungannya
dengan kinerja karyawan saat sekarang. Untuk menjaga akuntabilitas
karyawan, harus ada peraturan-peraturan tertulis dan diberitahukan kepada
karyawan sebelum dilakukan evaluasi. Idealnya, penilaian setiap kinerja
karyawan harus didasarkan pada kinerja nyata dari unsur yang kritis yang
diidentifikasi melalui analisis pekerjaan
2. Ukuran kerja
Evaluasi kinerja juga memerlukan ukuran standar kinerja yangdapat
diandalkan yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja. Agar terjadi penilaian
yang kritis dalam menentukan kinerja, ukuran yang handal juga hendaknya
dapat dibandingkan dengan cara lain dengan standar yang sama untuk
mencapai kesimpulan sama tentang kinerja sehingga dapat menambah
reliabilitas sistem penilaian.
113
Sistem penilaian prestasi kinerja yang baik sangat tergantung pada persiapan
yang benar-benar baik dan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Praktis. Keterkaitan langsung dnegan pekerjaan seseorang adalah bahwa
penilaian ditunjukan pada prilaku dan sikap yang menentukan keberhasilan
menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu.
Kejelasan standar. Standar adalah merupakan tolok ukur seorang dalam
melaksanakan pekerjaanya. Agar memperoleh nilai tinggi, standar itu harus
pula mempunyai nilai kompetitif, dalam arti bahwa dalam penerapannya
harus dapat berfungsi sebagai alat pembanding antara prestasi kerja
seseorang karyawan denga karyawan lain yang melakukan pekerjaan yang
sama.
Kriteria Objektif. Kriteria yang dimaksud adalah berupa ukuran-ukuran
yang memenuhi persyaratan seperti mudah digunakan, handal, dan
memberikan informasi tentang prilaku kritikal yang menentukan
keberhasilan dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan demikian efektifnya
suatu penilaian kinerja maka instrumen penilaian kinerja, tersebut harus
memenuhi syarat-syarat, yaitu :
1. Reliability, ukuran kinerja harus konsisten. Mungkin yang paling
penting adalah konsistensi suatu ukuran kinerja. Jika ada dua penilai
mengevaluasi pekerja yang sama, mereka perlu menyimpulkan hal
serupa menyangkut hasil mutu pekerja.
2. Relevance, ukuran kinerja harus dihubungkan dengan output rill dari
suatu kegiatan yang secara logika itu mungkin.
3. Sensitivity, berapa ukuran harus mampu mencerminkan perbedaan
antara penampilan nilai tinggi dan rendah. Penampilan tersebut harus
dapat membedakan dengan teliti tentang perbedaan kinerja.
4. Practiciality, kriteria harus dapat diukur, dan kekurangan pengumpulan
data tidak perlu mengganggu atau tidak in-efisien.
Contoh : perusahaan telepon yang melayani pelanggan, disini penyel;ia
harus mengamati masing-masing perilaku operator:
Penggunaan prosedur baku perusahaan, seperti sifat tanang, menerapkan
tarif dasar untuk panggilan telepon, dan berpedoman aturan perusahaan;
114
Cara telepon yang menyenangkan, berbicara dengan jelas dan berperilaku
sopan santun.
Ketelitian menyampaikan telepon, penempatan operator yang teliti dalam
meneruskan permintaan nomor telepon dengan akurat.
Selanjutnya perlu dilakukan pengamatan terhadap elemen-elemen kinerja
ini, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, Pengamatan langsung
dilakukan ketika penilai benar-benar melihat kinerja itu. Pengamatan tidak
langsung terjadi ketika penilai dapat mengevaluasi dari berbagai catatan dan
laporan. Selain itu, penilai dapat menilai, misalnya kinerja operator telepon,
dengan mencoba secara diam diam menelpon operator dan kemudioan menilai
perilakunya.
3.6. JENIS-JENIS PENILAIAN KINERJA
1. Penilaian hanya oleh atasan.
Cepat dan langsung
Dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan
pribadi.
2. Penilaian oleh kelompok lini : atasan dan atasannya lagi bersama sama
membahas kinerja dari bawahannya yang dinilai.
Objektivitasnya lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasannya
sendiri
Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.
3. Penilaian oleh kelompok staf : atasan meminta satu atau lebih individu
untuk bermusyawarah dengannya; atasan langsung membuat keputusan
akhir.
Penilaian gabungan yang masuk akal dna wajar
4. Penilaian melalui keputusan komite : sama seperti pada pola sebelumnya
kecuali bahwa manager yang bertanggung jawab tidak lagi mengambil
keputusan akhir; hasilnya didasarkan pada pilihan mayoritas
Memperluas pertimbangan yang ekstrim
Memperlemah integritas manager yang bertanggung jawab.
115
5. Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan: sama seperti pada kelompok
staf, namun melibatkan wakil dari pimpinan pengembangan atau
departmen SDM yang bertindak sebagai peninjau yang independen.
Membawa satu pikiran yang tetap ke dalam satu penilaian lintas sektor
yang besar.
6. Penilaian oleh bawahan dan sejawat
Mungkin terlalu subjektif
Mungkin digunakan sebagai tambahan pada metode penilaian yang
lain.
3.7. ASPEK ASPEK YANG DINILAI
Dari hasil studi lazer dan wiksrom (1977) terhadap formulir penilaian kinerja
125 perusahaan yang ada di USA. Faktor yang paling umum muncul di 61
perusahaan adalah, pengetahuaan tentang pekerjaannya, kepemimpinan, inisiatif,
kualitas pekerjaan, kerja sama, pengambilan keputusan, kreativitas, dapat
diandalkan, perencanaan, komunikasi, intelegensi (kecerdasan), pemecahan
masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi, dan organisasi.
Dari aspek-aspek yang dinilai tersebut dapat dikelompokan menjadi :
1. Kemampuan tekni, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode,
teknik dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta
pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
2. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas
perusahaan dan penyesuaian bidang ,gerak dari unit masing-masing ke dalam
bidang oprasional perusahaan secara menyeluruh, yang pada intinya
individual tersebut memahami yugas , fungsi serta tanggung jawabnya sebagai
seorang karyawan.
3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk
bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi,
dan lain-lain.
116
3.8. METODE PENILAIAN KINERJA
Metode atau teknik penilaian kinerja karyawan dapat diguakan dengan
pendekatan yang berorientasi masa lalu dan masa depan. Dalam praktiknmya
tidak ada satupun teknik yang semourna. Pasti ada saja keunggulan dan
kelemahannya. Hal penting adalah bagaimana cara meminimalkan masalah
masalah yang mungkin terdapat pada setiap teknik yang digunakan.
1. Metode Penilaian Berorientasi Masa Lalu
Ada beberapa metode untuk menilai prestasi kinerja di waktu lalu, dan hampir
semua teknik tersebut merupak suatu uapaya untuk meminimumkan sebagai
masalah tertentu yang dijumpai dalam pendekatan-pendekatan ini. Dengan
mengevaluasi prestasi kinerja di masa lalu, karyawan dapat memperoleh
umpan balik dari upaya-upaya mereka. Umpan balik ini selanjutnya bisa
mengarah kepada perbaikan-perbaikan prestasi. Teknik teknik penilaian ini
meliputi:
a. Skala peringkat (Rating Scale)
Merupakan metode yang paling tua dan paling banyak digunakan dalam
penilaian prestasi, dimana para penilai diharuskan melakukan suatu
penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-
skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Penilaian didasarkan pada pendapat para penilai, dan seringkali kriterianya
tidak berkaitan langsung dengan hasil kerja. Pada umumnya penilai diberi
formulir, yang berisi sejumlah sifat dan ciri-ciri hasil kerja yang harus diisi
seperti kemandirian, inisiatif, sikap, kerjasama dan seterusnya. Penilaian
pada umumnya diisi oleh atasan yangmemutuskan pendapat penilai diberi
nilai nilai kuantitatif (bobot) yang mencerminkan nilai rata-rata untuk
kemudian dihitung dan dibandingkan. Jumlah bobot yang diraih mungkin
akan mempengaruhi kenaikan gaji, jadi banyaknya bobot yang sama
mempengaruhi kenaikan presentase lainnya. Bentuk skala penilaian ini
dapat disajikan dalam berbagai bentuk, contoh ukuran skala peringkat
(lihat gambar 11.2)
117
Selain contoh pada gambar 11. 2 sebagai ukurannya dapat juga dipakai :
Sebutan (sangat baik, baik, cukup, sedang, kurang)
Untuk perilakunya dapat digunakan model ini
Could be expected to be friendly and tacful
and to agree to reline a coat for a customer
who wants a new coat because the lining had
worn out in “only” two years. Could be expected to courteously
Exchange a pair of gloves that are too small Could be expected to be quite abrupt
with coustumer who want to exchange merchandise
for a different color ar style Could be expected to tell a cutomer the a “six-week-old” order could not be changed
even though the merchandise had actually been order only two weeks previosly.
Keuntungan dari metode ini dalah biayanya yang murah dalam
penggunaan dan pengembangannya, penilai membutuhkan sedikit pelatihan atau
waktu untuk menyempurnakan formulir yang ada, dan metode ini bisa digunakan
banyak karyawan.
Kelemahan dari metode ini juga ada. Penyimpangan, dalam hal ini
prasangka penilai biasanya akan tampak pada subjektivitasnya dalam metode ini.
Kriteria yang spesifik mungkin dihilangkan .untuk membuat formulir dapat
digunakan untuk berbagai jenis pekerjaan. Contoh, pemeliharaan peralatan
mungkin dihilangkan karena hanya dikerjakan sebagian kecil karyawan, walaupun
dari beberapa karyawan merupakan bagian yang penting dari pekerjaannya.
Penghilangan ini cendrung membatasi umpan balik yang spesifik pula. Penilaian
yang deskriptif ini dipengaruhi oleh penafsiran dan prasangka individu. Ketika
kriteria hasil kerja yang spesifk sulit untuk diidentifikasi, penilaian didasarkan
pada kepribadian individu yang tentunya tidak relevan, yang pada akhirnya
melemahkan arti dari penilaian itu sendiri.
b. Daftar Pertanyaan (Cheklist)
Penilaian berdasarkan metode ini terdiri dari sejumlah pertanyaan yang
menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan
tertentu. Penilai tunggal memilih kata atau pertanyaan yang
menggambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan. Selain itu,
118
Ini meletakkan tanggung jawab utama dalam melakuka penilaian pasa para ahli
penilaian yang bertugas di bagian SDM. Artinya, ahli penilai itu turut ke lapangan
melakukan penilaian atas prestasi kerja para karyawan. Hasil penilaian yang
dilakukan kemudin disampaikan kepada dua pihak, yaitu kepada atasan langsung
karyawan yang dinilai untuk diteliti , diubah atau disetujui dan kepada karyawan
yang bersangkut sediri untuk dibicarakan, baik yang menyangkut segi –segi
penilaian yang bersifat positif maupun yang negatif, Pada kesempatan itulah
dijelaskakan kepada karyawan yang dinilai tentang langkah – langkahapa yang
perlu diambilnya dalam rangka pengembangan karier. Langkah tersebut dapat
berupa peningkatan prestasi kerja yang sudh bak, tetap dapat pula pengambilan
langkah mengatasi kelemahan yang terdapat dalam diri karyawan tersebut. Yang
dipandang sebagai kelebihan metode ini ialah bahwa objektivitas lebh terjamin
karea penilaian dilakukan oleh para ahli penilaian dan juga karena tidak
terpengaruh oleh hallo effect. Namun, kelemahan metode ini peru dipahami pula.
Seperti yang terlihat pada dua hal berikut :
Penilai, meskipun seorang ahli, tetap tidak bebas dari „bias‟ tertentu,
Bagi perushaan besar menjadi mahal karena harus mendatangkan ahli
penilai ke tempat pelaksana tugas
h. Tes dan observasi prestasi kerja (performance test and observation)
karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan penilaian prestasi dapat
didasarkan pada tes pengetahuan dan ketrampilan, berupa tes tertulis dan
peragaan, syaratnya tes harus valid (sahih) dan reliabel (dapat dipercaya). Untuk
jenis – jenis pekerjaan tertentu penilaian dapat berupa tes dan observasi. Artinya,
karyawan yang dinilai, diuji kemampuannya baik melalui ujian tertulis yang
menyangkut bebagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan
mekanisme kerja yang tellah ditetapkan dan harus ditaati atau melalu uji praktik
yang langsung diamati oleh penilai. Misalnya, seorang sekretaris diharuskan
mengikuti ujian tertulis yang menguji pengetahuannya tentang tugas, wewenang,
dan tanggung jawabnya sebagai sekretaris.
Kelebihan metode ini terletak pada keterkaitan langsung antara prestasi
kerja dengan tugas pekerjaan seseorang. Kelebihan lainnya ialah bahwa prinsip
standardisasi dapat dipegang teguh. Hanya saja metode ini memerlukan biaya
yang tidak sedikit, bukan hanya dalam penyediaan alat tes seperti simulator yang
diperlukan, tetapi juga untuk mendatangkan penilai dari luar organisasi. Mungkin
ada yang berpendapat bahwa biaya yang diperukanuntuk menyelenggarakan tes
dan observasi ini tidak sebesar yang diduga banyak karea alat – alat yang
diperlukan untuk menyelenggarakan tes. Pandangan ini ada benarnya , meskipun
biaya ekstra untuk mendatangkan para ahli penilai tetap tidak terelakkan dan oleh
kaeanya harus diperhitungkan.
119
i. pendekatan evaluasi komparatif ( comparative evaluation Approach)
Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan
karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Perbandingan demikian
dipandang bermanfaat untuk manaemen sumber daya manusia dengan lebih
rasional dan efektif. Alasannya ialah bahwa denan perbandingan tersebut dapat
disusun peringkat kayawan dilihat dari sudut prestasi kerjanya.
Tiga metode yang biasa digunakan dari sekian banyak metode dalam penerapan
pendekatan komparatif adalah sebagai berikut :
Metode Peringkat
Metode ini berarti seorang atau beberapa penilai menentukan peringkat
bagi sejumlah karyawannya. Kelebihan metode ini ialah segera terlihat
klsifikasi para karyawan yang dinilai dari sudut pandang prestasi kerjanya.
Kelemahannya, yang pertama peringkat yangdibuat tidak memberikan
gambaran yang jelas tentang makna peringkat tersebut. Ynag tergmbar
hanyalaha bahwa karyawan yang menduduki peringkat pertama „lebih
baik‟ dari karywan yang menduduki peringkat kedua. Demikian juga
seterusnya pada peringkat – peringkat lain. Kelemahan kedua terletak
pada kenyataanbahwa subjektivitas penilai sulit dihindari seerti yang telah
dikemukakakn, yaitu penilaian didasarkan oada suka dan tidak suka karena
perilaku kryawan tertentu, positif atau negatif. Metode ini sering
digunakan karena kelemahannya bisa teratasi dengan menunjukkan
beberapa orang penilai yang terdiri dari para ptugas dari bagian SDM .
Artinya, Semua hasil penilain ole beberapa orang yang turut memberikan
penilaian itu dijumlah dan diambil rataratanya sehigga dengan demikian
diharapkan penilaian menjadi objektif.
Distribusi Terkendali
Suatu metode penilaian dimana penilai menggolongkan karyawan yang
diniai ke dalam klasifikasi yang berbeda – beda berdasarkan berbagai
faktor kritikal yang berlainan seperti prestasi kerja. Ketaatan, disiplin,
pengendalian biaya, dan lain sebaginya. Penggolongan tersebut kemudian
dinyatakan dalam presentase.
Misalnya, Jika ada 20 Orang karyawan yang sedang diniliai prestasi
kerjanya sebagai keseluruhan, penggolongan dapat terlihat pada gambar
11.5
120
Presentase Kategori Nama Karyawan
10% Sangat Baik Andria dan Arifiandy
20% Baik Diana,Novitria, Lisa dan Reza
30% Sedang Yudith,Yudistira,Yuyun,Yulia
Yulis,yusuf, yulias &yuni
20% Cukup Marwan,marni,mawar & Mirna
10% kurang Agus dan amir
Gambar 11.5. Penilaian Distribusi Kendali
Sebagaimana halnya dengan metose peringkat , kelemahan metode ini
terletak pada tidak jelasnya perbedaan antara satu golongan dengan
golongan yang lain. Sebaliknya, kebaikan metode ini ialah tersedianya
berbagai klasifikasi seingga kcenderungan menyamaratakan prestasi kerja
karyawan yang dinilai, sikap penilai yang terlalu „lemah‟ atau terlalu
„keras‟ dpat dihindari.
Metode Alokasi Angka
Metode ini yang terjadi ialah ahwa penilai memberi nilai dalam bentuk
angka kepada semua karyawan yang diniliai. Karyawan yang
mendapatkan nilai tertinggi berarti dipandang „terbaik‟ dan yang paling
rendah dinilaipaling tidakmampu bekera. Jumlah nilai bagi semua
karyawan ditentukan oleh departemen SDM. Misalnya jumlah 100 yang
„didistribusikan‟ pada sepuluh orang karyawan, sehingga terlihat penilaian
sebagai berikut :
121
No Urut Karyawan Angka Nama Karyawan
1 20 Firmansyah
2 16 Firdaus
3 14 Farhan
4 12 Farid
5 10 Fuad
6 9 Fina
7 5 Fanny
8 5 Ferdinand
9 4 Faiza
Dan seterusnya
Gambar 11.6 Metode Alokasi Angka
2. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan
Merod penilaian berorentiasi masa depan menggunakan asumsi
bahwa karyawan tidak lagi sebagai objek penilaian yang tunduk dan
tergantung pada penyelia, tetapi karyawan dilibatkan dalam proses
penilaian. Karyawan mengambil peran penting bersama – sama dengan
penyelia dalam menetapkan tujuan – tujuan strategi perusahaan.
Kesadaran ini adalah kekuata besar bagi karyawan untuk selalu
mengembangkan diri. Inilah yang membedakan perusahaan modern
dengan yang lainnya dlaam memandang karyawan (SDM).
a. Penilaian Dir sendiri ( Self Appraisal )
Penilaian diri sendiri dalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan
sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal
kekuatan – kekuatan dan kelemahannya sehingga mampu
mengidentifikasi aspek aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada
masa yang akan datang. Kemdian berdasarkan informasi – informasi
karyawan daa mengidentifikasi aspek aspek oerilaku yang peru
diperbaiki. Salah satukebaikan dari metode ini adalah dapat mncegak
terjadinya perilaku membenaran diri ( sdefensive behavior) Metode ini
disebut pendekatan masa depan.
Contoh Kasus : Bank Pemerintah
Di bank pemerintah sebagai oerusahaan terbesar di bidang indurstri
perbankan dalam merancang bangunan, perencanaan sistem kinerja
melibatkan karyawan dala suatu proses penilaian diri sendiri. Proses
122
dimulai dengan penyelia yag memberitahukan kepadakaryawan
tentang tujuan perusahaan; Kemudian Kryawan mendaatkan lembar
kerja dimana mereka mencatat mengenai pekerjaan tersebut. Karyawan
melengkapi lembar kerja dengan mengisi butir yag berhubungan
dengan pekerjaannya tingkat kesuliatan, dan usulan unuk
penyempurnaan,
b. Manajemen Berdasarkan Sasaran ( Management By Objective )
MBO yang berarti manajemen berasarkan sasaran artinya adaah satu
bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersama sama
menetapkan tujuan tujuan atau sasaran – sasaran pelaksanaan kerja di
wajtu yang akan datang. Penilaian kinerja berdasarkan metode ini
merupakan suatu alternatif untuk mengatasi kelemahan – kelemahn
dari bentuk penilian kinerja lainnya. Metode ini sebagai sebuah prgram
dimana mnajemen yang melibatkan karyawan dalam pengambilan
keputusan ntuk menentukan sasaran –sasaran yang hendak dicapainya,
yang dapat dilakukan melalui prosedur; atasan menginformasikan
tujuan yang akan dicapau unit kerjanya yang merupaan terjemahan
dari tujuan yang lebih ats, dan tentunya dngan tantangan - tantangan
yang mungkin dihadapi dalam pencapaian tujuan tersebut. Proses
penilaian kinerja berdasarkan metode ini dapat dilihat pada gambar
MBO sebagai Metode penilaian prestasi kerja pada masa yang aka
datang. Sebgaimana terlihat pada contoh Penilaian Prestasi Kerja dan
Potensi Karyawan pada bank Arif Permata Gambar 11.11.
Kelebihan Metode Ini adalah :
1) Dengan mendorong setiap indivisu karyawan menentukan sendiri
sasaran yang spesifik dan menantang. MBO memiliki potensi
memotivasi karyawan di samping sebagai basis penilaian
karyawan.
2) Karyawan mengetahui secara tepat apa yang diharapkan dirinya
dan apa yang mereka capai jika mereka ingin dinilai positif oleh
atasanya
3) Sangat Mudah bagi penyelia untuk melakukan penilaian dengan
objektif karena kriterianya jelas yakni berorentiasi pada hasil.
4) Penentuan tujuan secara sistematis.
123
Kelemahan Metode ini :
1) MBO tidak efektif dalam lingkungan dimana manajemen tidak
mempercayai karywan – karyawanya.
2) Titik berat MBO hanya terhadap hasil – hasil saja dapat mencegah
kepada kuangnya perhatian pada bagaimana hasil – hasil tersebut
dicapai
3) MBO sulit untuk membndingkan tingkat kinerja dari indvidu yang
berbeda, karena oenilaian berdasarkan sasaran – sasaran
pribadinya.
4) Banyaknya wajtu yang dicurahkan untuk menerapkan metode ini.
Penilaian kinerja dan prestasi karyawan seperti telihat pada gambar
11.1 akan memotivasi karyawan untuk bekerja dan berprestasi lebih
baik mengingat :
1) Bagi Karyawan yang
Mendapat predikat istimewa, secara otomatis akan
mendapatkan knaikan pangkat setngkat ebih tinggi pada
tahun berikutnya serta memperoleh kenaikn gaji pokok
sebesar 150%. Karena predikat istimewa artinya mendapat
skor 3
Mendapatkan predikat baik minimal berturut- turut selama
3 tahun terakhir dapat diusulkan untuk kenaikan pangkat
setingkat lebih tinggi pada tahun berikutnya serta
memperoleh kenaikan gaji sebesar 100.
Mendapat predikat lebih baik berturut turut selama 2 tahun
terakhir secara otomatis akan mendapatkan
kenaikanpangkat setingkat lebih tinggi pada tahun
berikutnya serta mendapatkan gaji pokok 125%.
2) Kecuali bagi karyawan yang
Mendapatkann predikat cukup , tidak dapat diusulan untuk
mendapatkan kenaikan pangkat, tetapi mendapatkan
kenaikn gaji pokok sebesar 50%.
Mendapatkan predikat kurang , tidak memperoleh kenaikan
gaji pokok.
124
Mendapatkan predika kurang lebih dari 2 tahun , dilakukan
penurunan pangkat
c. Penilaian Secara Psikologis
Penilaian secara psikologis adalah proses penilaian yang dlakukan oleh
para ahli psikologis untuk mengetahui potensi seseorang yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan seperti kemampuan
intelektual, motivasi dan lain lain yang bersifat psikologis. Akurasi
penilaian tergantung ketrampilan psikolog. Pendekatan ini lamban da
mahal sehigga biasanya hanya digunakan bagi kepentingan –
kepentingan tingkat eksekutif saja.
d. Pusat penilaian ( Assessment Center )
Assessment center atau pusat penilaian adalah penilaian yang
dilakukan melalui serangkaian teknik penilaian dan dilakukan oleh
sejumlh penilai untuk mengetahui potensi seseorang dalam melakukan
tanggung jawab yang lebih besar. Dasar teknik ini berupa serangkaian
latihan situasional di mana para calon untuk promosi. Teknik ini
bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi orang yang cocok bagi suatu
jenis da tingkat pekerjaan (2) Menentukan kebutuhan pelatihan dan
pengembangan, dan (3) untuk mengidentifiasi orang yang akan
dipromosikan pada jabatan tertentu.
Proses pelaksanaannya dilakukan dengan interview mendalam, tes
psikologi, pemeriksaan latar belakang, penilaian rekan kerja, diskusi
terbuka dan mensimulasikan pekerjaan dalam bentuk pengambilan
keputusan dan suatu masla untuk mengetahui kekuatan – kekuatan ,
kelemahan – kelemahan dan potensi seseorang. Assesment center
biasanya dilaksanakan di suatu empat yang terpisah dari tempat kerja
dan membutuhkan waktu yang lama dan tentu saja biaya yang besar.
Sebagai contoh penilaian manajemen berdasarkan sasarn ( MBO )
dapat dilihat gambar berikut ini :
125
3.9. APLIKASI PENILAIAN KINERJA INDIVIDU DENGAN
PENDEKTAN MBO
MBO sebagai suatu filosofi dalam manajemen yang pertama kali
digunakan pleh peter adrucker pada tahun 1954 untuk menilai kinerja
karyawan berdasarkan keberhasilan mereka dalam mencapai tujuan yangg
tela ditetakan melali konsultasi dengan atasan mereka.
Usaha perbaikan kinerja berdasarkan MBO dipusatkan pada
pencapaian tujuan yang akan mereka perlihatkan di dlam kaitannya dengan
tugas – tugas mereka. MBO sebagai suatu sistem strategis merupakan
siklus yang dimua dengan penentuan tujuann semula dari perusahaan it
sendiri, seperti yang dapat dilihat pada gambar halaman berikut ini :
Dari gambar 1.9 daoat dijelaskan langkah – langkah MBO, sebagi
berikut :
126
1. Penyusunan Tujuan perusahaan , penetapan rencana perusahaan
secara menyeluruh.
2. Penyuunan tujuan departemen, setekah mengetahui tujuan
perusahaan maka tujuan tersebut akan dibagi perdepartemen.
Manajer dan supervisor menentukan tujua untuk deartemennya
masing –masing,
3. Diskusi tujuan indiidual dala departemen kepada seluruh karyawan
dan meinta karyawan untuk menyusun tujuan masing – masing.
4. Menetapkan hasil yang diharakan (penyusunan tujuan persorangan
) manajer karyawan tersebut menyusun sasaran prestasi jangka
pendek.
5. Peninjauan prestasi dan pengukuran hasil. Dalam langka ini mnajer
membandingkan anatara prestasi kerja yang sesungguhnya dicapai
karyawan dengan hasil yag diharpakan.
127
6. Umpan balik Mnaajer mengadakan pertemuan peninjauan prestasi
kerja secara berkala dengan bawahan untuk mendiskusikn dan
mngevauasi kemajuan bawahan dalam upaya mencapai hasil yang
diharapkan.
3.10. PROGRAM PENILAIAN KERJA
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam program penilaian kinerja
yang menekankan pelaksanaan penilaian itu sendiri baik menyangkut tujuan
unstrumen, wajtu pelaksanaan dan feed back.
1. Tujuan penilain, tujuan penilaian harus ditetapkan sebab hal ini akan
menjadi acuan dari program penilaian
2. Instrumen penilaian Hal ini penting yang berhubungan dengan instrumen –
instrumen di antaranya :
a. Teknik yang digunakan apakag rating scale , checklist, penilaian
sendiri atau MBO harus sesuai dengan tujuan penilaian.
b. Kualitas instrumen yang dicirikan : validity (kesahihan), reliability
(dapat dipercaya) dan practicibility (kepraktisan
3. Standar Penilaian , Harus ditetapkan dahulu untuk acuan penskoran dan
mengurangi ketidakpuasan orang yang dinilai.
4. Siapa yang menilai, Penilai bisa atasan langsung, diri sendiri, karyawan
dan atsan, psikolog dsb.
5. Siapa yang dinilai yang dinilai adalah karyawan , apakah dia karywn di
lini produksi, dosen, back officer, front officer, apakah untuk posisi
eksekutif atau operator komputer , telepon. Menuntut oenikaian yang
berbeda
6. Kapan harus menilai, Jawa yang paling banyak digunakan adlah setngah
tahun, sebaiknya penilaian dirancang sedemikian rup untuk menghindari
penyelia harus menilai 20-40 karyawan secara bersma – sama.Tekanan dan
tugas lain akan membuat seperti ini tidak efektif.
7. Pelatihan bagi penilai (penyelia)hal ini dimaksud agar penilai dapa
terhindar kesalahan –kesalahan.
8. Feed back dan implikasi. Bagi karyawan hendaknya menjadikan hasil
penilaian untuk lebih memperbaiki prestasi kerj mereka. Sedangkan bagi
perusahaan hasil enilaian berfungsi sebagai quality control informasi
dalam proses pengambilan keputusan strategis. Bagaimanapun juga proses
128
penilaian ini kurang memounyai nilai bila para karywan tidak menerma
umpan balik mengenai kinerja mereka. Oleh karena itu , bagian kritis
proses peilaian adalah wawancaa penilaian.
Dalam wawancara penilaian , Penilai bisa mmberikan beberapa
pendekatan :
a. Tell and Sell approach mereview prestasi kerja karyawan dan mencoba
untuk meyakinkan karyawan untuk berprestasi lebih baik.
b. Tell and listen approach, memungkinkan karyawan untuk menjelaskan
berbagai alasan, latar belakang dan perasaan defensif mengenai
prestasi kerja.
c. Problem Solving Approach mengidentifikasi msalah – masalah yang
menggngu prestasi kerja karyawan. Solusinya melalui latihan,
cosching atau conselling, serta upaya upaya dilakukan untuk
memecahkan penyimpangan pemyimppangan.
3.11. PERUSAHAAN MENDAPATKAN SUKSES MELALUI PENILAIAN
KINERJA
Sistem yang harus dipilih untuk suatu program penialaian kinerja harus
dapat menjamin keadilan. Kriteria yang digunakan untuk menilai seorang
karyawan harus jelas berhubungan dan terkait dengan persyaratan jabatannya.
Suatu sistem penilaian kinerja yang objektif sangat membantu perusahaan
dalam hal – hal sebagai berikut :
1. Menghilangkan strandar – standar yang berbeda antara para manajer.
Misalnya seorang manajer sangat menghargai karyawan yang fleksibel dan
kooperatif dan menilai mereka sangat tinggi. Sebaliknya, seorang manajer
lain mungkin tidak akan terlalu menghargai people skill semacam itu.
2. Menghilangkan kecenderungan untuk meniai karyawan berdasarkan
kepribadian mereka. Apabila tiap manajer menilai karyawan mereka
berdasarkan standar spesifik yang sama, penilaian mereka akan terfokus
pada hal – hal yang terkait pada performa karywan, bukan pada
pertimbangan apakah karyawan tersebut mereka sukai atau tidak.
3. Memotivasi karyawan dengan penilaian inerja. Karyawan tahu bahwa
penilaian kinerja adalah dasar/basis untuk keputusan di bidang promosi
dan penggajian.
129
4. Menciptakan karyawan yang produktif. Dengan digunakannya standar
penilaian yang objektif dan dapat diukur , para manajer dijamin akan
menilai dan menghargai karyawa berdasarkan ketrampilan mereka yang
mendukung tercapainya sasaran perusahaan.
3.12. SUMBER KESALAHAN DALAM PENILAIAN KINERJA
1. Kesalahan – kesalahan dalam penilaian kinerja dapat bersumber dari :
a. Bentuk penilaian kinerja yang dipakai
b. Penilain (penyelia)
2. Dapat pula terjadi dalam bentuk penilaian kinerja ditemukan aspek –aspek
yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan keberhasilan seorng
karyawan.
3. Hal lain yang dapat timbul dalam penilaian kinerja adalah jika aspek aspek
yang harus dinilai tidak jelas batasannya (definisinya) atau berdwiarti
(ambiguous) .
4. Kesalahan – kesalahan yang ditibulkan karena penilaian dapat dibedakan
menjadi :
a. Kesalahan hallo (hallo eror) : penilaian dalam menilai aspek – aspek
yang terdapat dalam formulir penilaian kinerja dipengaruhi oleh satu
aspek yang diangggap meonjol dan yang telah dinilai oleh penilai.
b. Kesalahan konsta (constant error) ; kesalahan yang dilakukan oeh
penilai secara konstan setiap kali menilai orag lain. Ada tiga macam
kesalahan konstan yaitu :
1) Adanya kevenderungan untk memberikan nilai yang terkumpul
sekitar nilai tengah.
2) Kecenderungan untuk memberikan nilai terlalu mahal
3) Kecenderungan untuk memberikan nilai terlalu murah
c. Berbagai prasangka misanya prasangka terhadap karyawan yang msa
kerjanya telah lama, prasangka kesukuan , agama, jenis kelamin,
pendidikan dan sebagainya.
130
3.13. TEKNIK PENYULUHAN DAN PANDUAN UNTUK WAWANCARA
PENILAIAN KINERJA
Sebelum penilaian kinerja dilaksanakan , sebaiknya disosialisasikan
melalui penyuluhan kepada seluruh karyawan yang disertai dengan penjelasan,
pelasanaan penilaian kerja dapat dilakukan dengan tahapan – tahapan sebagai
berikut :
1. Rencanakan Wawancara
a. Pikirkan secara matang apa yang kan dikemukakan dan kesimoulan
yang ingin dicapai.
b. Miliki data penting mengenai pengalaman masa lalu karyawan,
pendidikan riwayat kerja dan data lain yang terkait.
c. Tentukan dalam benak anda hal –hal yang merupakan kelemahan dan
kelebihannya.
d. Telaah apa kekurangan anda yang mungkin telah ikut menyebabkan
kienarjanya kurang yang seharusnya memuaskan.
2. Beritahu karyawan akan dimulai proses penilaian kinerja
3. Perlihatkan hubungan yang bersahabat
4. Jelaskan tujuan dari wawancara
a. Pilih nada yang positif
b. Beri penyulhan untuk perbaikan
5. Ketauhi bidang bidang yang perlu perbaikan
a. Pusatkan perhatian pada bidang kinerjanya yang sesuai gilirannya.
b. Bila perlu bantu menjelaskan ulang bidang pekerjaannya
6. Bahas kemungkinan – kemungkinan
a. Pisahkan masing –masing bidag perbaikan menurut gilirannya
b. Bantu karyawan tersebut memutuskan pilihan mana yang akan dia
tindak lanjuti
7. Menyeakati rencana perbaikan pribadi
131
a. Karyawan harus mentiapakan satu program dan jadwal yang akan
menjelaskan secara rinci kegiatan tertent
b. Minta karyawan untuk menulis suatu rencana yang mengkhususkan
apa yang dia lakukanserta kapan dia melakukannya.
c. Anda harus memiliki salinan
8. Tekankan aspek aspek positif kinerja karyawan
9. Beritahukan kepada karyawan bahwa evaluasi ini untuk menngkkan
kinerja karyawan, bukan untuk membicarakan disiplin/tidak disiplin.
10. Sampaikan hasil kinerja secara pribadi, hindari sebisa mungkin adanya
interupsi/
11. Ulangi review kinerja secara formal sedikitnya setiap tahun dan lebih
sering untuk karyawan baru atau yang kurang baik.
12. Sampaikan kritik secara spesifik dan jelas, bukan yang umum atau samar –
samar.
13. Pusatkan kritik pada kinerja bukan pada kepribadian karyawan
14. Bersikap teang dan jangan beragumen dengan karyawan yang sedang
dievaluasi
15. Identifikasi tindakan spesifik kryawan sehingga dpat meningkat kinerja
16. Tekankan bhwa penilai bersedia membntu karyawan untu meningkatkan
kinerj.
17. Tindak lanjuti aspek dari rencana perbaikan pribadi yang sudah disepakati
18. Akhiri penilaian kinerja dengan menekankan aspek positif mengenai
kinerja karyawan.
3.14. . UMPAN BALIK UNTUK FUNGSI SDM
Proses penilaian prestasi juga menyediakan pengertian yang mendalam ke
dalam efektivitas fungsi SDM. Gambar 11.10 meringkas konsep utama
manajemen SDM, dimaan penilai prestasi bertindak sebagai “penguji
penegndalian mutu” jka proses penilaian menunjukkan bahwa kinerja yang lemh
terdapat dimana – mana, banyak karyawan dikeluarkan dari keputusan
penempatan internal.
132
Banyaknya kinerja yang tidak tercapa menandakan adanya kesalahan di
dalam fungsi manajemen SDM . Kadang – kadang fungsi SDM mengejar sasaran
yang salah, sistem penilaian itu sendiri mungkin slah karena embatasan
manajemen, tndr prestasi salah atau ukuran, ata tidak ada umpan bali bersifat
membangun.
133
3.15. INSTRUMEN PENGUKUR KINERJA KARYAWAN SECARA
KELOMPOK
1. Petunjuk pengisian bagi karyawan :
a. Dimohon kesediaan Anda untuk membaca dengan cermat butir –
butir pernyataan yang terdapat lembaran berikut ini, kemudian
pilihlah salah satu jawaban yang menurut Anda paling tepat/
seusai dengan Ada alami,
b. Instrumen ini semata mata untuk tujuan penelitian, sehingga anda
tidak peru mencantumkan nama ataupun identitas lainnya.
c. Apa pun jawaban anda akan dijamin kerahasiaanya
d. Apa pun jawaban Anda akan membantu kami dalam upaya untuk
lebih meningkatkan kualitas kinerja perusahaan dan kinerja
karyawan.
e. Apabila anda ingin mengubag pilihan yang telah anda tandai
berilah tanda silang (x) pada piihan semua, dan kemudian berikan
lingkaran lagi pada pilihan yang baru.
2. Penting untuk masing –masing depatemen
a. Instrumen ini akan lebih bermanfaat bila daam tabulasinya hanya
pada karyawan yang levelnya sama.
b. Instrumen ini sebaiknya anda berikan kepada semua keryawan ,
atau kalau karyawan pada perusahaan anda diatas 100 sebaiknya
dilakukan dengan simple rabdom sampling,
c. Ciptakan suasana tenag, bersahabatdan jauhkan responden dari
teknan ataupun ancaman ketika mereka menjjawab.
d. Masing – masing butir jawaban diberi bobot nilai : (a) = 5 ; (b) =
4 ; (c) =3 ; (d) = 2, dan (e) = 1
e. Setelah instrumen pegukuran ini dijawab ole responden , lalu di
tabulasi dan bila hasil tabulasi menunjukkan rata – rata skor
diatas 4 artinya kinerja karyawan telah baik.
f. Namun bila rata rata skor dibawah 3 perlu dtelti leboh lanjut
penyebabnya.
134
g. Kaji secara mendalam denga melibatkan semua pihak yang terkait
dengan kinerj karyawan karena akan berdampak pda kinerja
perusahaan.
h. Sebaiknya setiap periode instrumen ini diperbaharui sesuai
dengan perkembangan , dengan mengacu dan merujuk pada teori
– teori baru, sehingga terhindar dari kepentingan pribadi.
135
136
137
DAFTAR PUSTAKA
Adler, N.J. (2001) Global leadership: Women leaders. In M. Mendenhall, T. Kuhlmann, &
G.Stahl, Developing Global Business Leaders: Policies, Processes, and Innovations.
Westport, CT: Quorum Books: 73-97.
Alotaibi (2001) ”Antecedents of Organizational Citizenship Behavior: A Study of Public
Personnel in Kuwait.”
Avolio, B. J. dan Bass, B. M. 1996. Multifactor Leadership Questionnaire, Manual
and Sampler Set.Third Edition, Mind Garden, Inc.
Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1997). Improving organizational effectiveness through
transformational leadership.Thousand Oaks, CA: Sage. behavior International Journal of
Service Industry Management Vol. 17 No. 1, 2006 pp.23-50 Emerald Group Publishing
Limited 0956-4233 DOI 10.1108/09564230610651561.
Behavior: Its Nature, Antecedents, and Consequences, First Edition, SAGE Publications
Bernadin and Russel,. 1993. Human Resources Management, An Experiential Approach. By
McGraw-Hill, Inc. Newyork, USA
Beukema, L. 1987; ''Kwaliteit Van De Arbeidstijdverkorting [Quality of reduction of working
hours]. Groningen: Karstapel". In: Suzanne, E.J. Arts, Ada Kerkstra, Jouke Van Der Zee,
and Huda Huyer Abu Saad, (eds.) (2001). Quality of Working Life and Workload in Home
Help Services: A Review of the Literature and a Proposal for a Research Model.
Scandinavian Journal of Caring Society, 15. pp. 12-24.
Biswas, S. dan Varma, A. 2006. ”Psychological Climate and Individual Performance in India:
Test of a Mediated Model.”Employee RelationVol. 29.No. 6, pp. 664 – 676.
Bono, J.E., dan Judge, T.A. 2003. ”Self-Concordance at Work: Toward Understanding the
Motivational Effects of Transformational Leaders.”Academy of Management
Journal.Vol.
46. No. 05, pp. 554 - 571.
Clark, C. 1990. Social Processes in Work Groups: A model of the Effect of Involvement,
Credibility, and Goal Linkage on Training Success.Unpublished Doctoral Dissertation
Research, University ofTennessee, Knoxville.
Cohen, A. and. Gattiker. 2003. “Rewards and Organizational Commitment Across
Structural Characteristics: a Meta-analysis,” Journal of Business and Psychology, Vol. 9,
138
No. 2. Cole,D.C. et al., 2005 Quality of Work Life Indicators in Canadian Health care
organization: atool forhealthy, health care workplace ? Occupational Medicine, vol. 55,
n.l,p.54-59
Dartu, 2007. Kinerja Pelayanan Koperasi.Majalah Koperasi Vol. XX, No. 69, h. 37 – 48.
Dorfman, P., Javidan, M., Hanges, P., Dastmalchain, A. & House, R. (2012) GLOBE: A twenty-
year journey into the intriguing world of culture and leadership. Journal of
World Business, 47(4). Accessed at: http://dx.doi.org/10.1016/j.jwb.2012.01.004
Eastman,K.K. 1994. ”In The Eyes of The Beholder: ”An Attributional Approach to Ingratiation
and Organizational Citizenship Behavior.” Academy of Management Journal Vol. 37, No.
5, pp. 1379-1391.
Efraty,D., dan Wolfe, D.M.1988.”The Effect of Organizational Identification on Employee
Affective and Performance Responses.”Journal of Business and Psychology.Vol. 3.No. 1.
pp. 105-112.
Fuller, Stone, R.S. 2011. business volume of an organization, the solution pursued by,
employe performance. Joernal of Economic Social Sciences.Vol. 29, No.7. pp.4808-
5456.
Hampton, R., Dubinsky, A. dan Skinner, S.1986. ”A Model of Sales Supervisor Leadership
Behaviour and Retail Salespeople’s Job-related Outcomes”, Journal of Academy of
Marketing Science.Vol. 14. No 5, pp. 24-36.
Hayward (2005) berjudul ”Relationship Between Employee Performance, Leadership
and Emotional Intelligence in a South African Parastatal Organisation
Hermawati, Adya. 2011. Quality of Work Life, Kepercayaan Organisasional dan Kepuasan Kerja
Memediasi Psycological empowerment terhadap Komitmen Orgnaisasi pada
Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Timur. Disertasi. Fakultas Ekonomi. Universtias
Brawijaya. Malang
Hermawati, Adya. 2013. Effect of Empowerment on Quality of Work Life, Organizational Trust
and Organizational Commitment at Private higher Education Institution in East
Java. European Journal of Scientific Research, Vol 115 No 2, 2013.
Hermawati, Adya. 2014a. QWL and Organizational Trust Related to Job Satisfaction and
Organizational Commitment at Privete Higher Education Institution in Malang-
Indonesia, Journal of Basic and Applied Scientific Research, 4(2), March 2014.
139
Hermawati, Adya. 2015a. The Mediation Effect of Quality of Work Life and Job Involvement in
Relationship of Transglobal Leadership to Employee Performance, Case Study in
Sharia Bank in East Java, Indonesia. Journal of Research in Business and
Management, Vol 3 Issue 5, May 2015, ISSN (Online) 2347-3002.
Holt, K. &Seki, K. (2012) Global Leadership: A Developmental Shift for Everyone.
Hsu, Yu Ru. 2012. ”Mediating Roles of Intrinsic Motivation andSelf-efficacy in the
Relationships between PerceivedPerson-job Fit and Work Outcomes.”African Journal of
Hunt, J.G., dan Liesbscher, V.K.C.1973. ”Leadership Preference, Leadership Behavior, and
Employee Satisfaction. ”Organizational Behavior and Human Performance.Vol. 9. No. 1,
pp. 59-77.
Husnawati (2006) berjudul ”Analisis Pengaruh Kualitas kehidupan Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan dengan Komitmen dan Kepuasan Kerja Sebagai Interverning Variabel”
Inc., California, USA.
Izzati, S.S. 2011. ”Bagaimana Koperasi Menghadapi Era Globalisasi.”
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/11/bagaimana-koperasi-di-
indonesia- menghadapi-era-globalisasi/ (Diakses 2 Januari 2012)
Jewell, L.N., & Siegall, M. 1990. Psikologi Industri/Organisasi Modern, Terjemahan Hadyana
Pudjaatmaka & Meitasari, Edisi, Jakarta : Penerbit Arcan
Kacmar, K. M., Carlson, D. S., dan Brymer, R. A. 1999. ”Antecedents and Consequences of
Organizational Commitment: A Comparison of Two Scales.”Educational
andPsychological Measurement.Vol. 59. No. 6, pp. 976-995.
Kanungo, R.N. 1982.”Measurement of Job and Work Involvement.”Journal of Applied
Psychology Vol.67. No. 5.pp. 119-138. Leaders. New York: Routledge
Loke, J.C.F. 2001.”Leadership Behaviours: Effects on Job Satisfaction, Productivity and
Organizational Commitment.”Journal of Nursing Management.Vol . 9. No. 4, pp. 191-205.
Loyd, Bernard. 2001. ”Positioning for Peformance: Reshaping Co-ops for Success in the 21st
Century”, makalah dalam Farmer Co-operative Conference Las Vegas, McKinsey &
Company
Luthans, Fred. 2005. Organizational Behavior. Irwin/Mc Graw-Hill, Tenth Edition.
Mohsan Faizan., Nawaz, Muhammad, et al (2011). Impact of Job Involvement on
Organizational Citizenship Behavior (OCB) and In -Role Job Performance: A Study on
140
Banking Sector of Pakistan. European Joernal of Social Sciences.Vol. 24, No.4.
pp.498-500.
Nadle & Lawler E. E., LLL. 1982. "Strategies for Improving the Quality of Work Life".
American Psychologist, 37, pp.486-693.
Organ, Dennis W., Philip M. Podsakoff, Scott B. MacKenzie, (2006), Organizational
CitizenshipBehavior: Its Nature, Antecedents, and Consequences, First Edition, SAGE
Publications Inc., California, USA.
organizational service orientation, contact employee job satisfaction and citizenship
Padsakoff, P.M. Maekenzie, S.B. and Bommer, W.H. 1996. Trasformational leadership as
determinants of employee satisfaction, commitment, trust and organizational citizenship
behaviours, Journal Management, 22 (2) : 259 – 298
Parolini, J. L. (2004). Effective servant leadership: A model incorporating ervant leadership
and the competing values framework. Proceedings of the Servant Leadership Research
Roundtable. Retrieved October 5, 2004, from
Porter, L. W., Lawler, E.E. 1968. Managerial Attitudes and Performance Homewood, I L; Irwin.
psychological empowerment on job performance: The mediating effects of
organizational citizenship behavior", International Journal of Hospitality Management
31, PP.180 -190
Rilley dan Roberts (1978), O’Rilley, C.A. III dan Chatman, J. 1986.”Organizational
Commitment and Psychological Attachment: The Effects of Compliance,
Identification, and Internalization on Prosocial Behavior.”Journal of Applied
PsychologyVol. 71.No.
2.pp. 492-499.
Robbins, Stephen P. 2006, Perilaku Organisasi, edisi kesepuluh ; alih bahasa Benyamin Molan,
edisi bahasa Indonesia; PT Mancanan Jaya Cemerlang, Indonesia.
Sari, A.R., dan Ja’far, M. S. 2010. ”The Impact of Target Setting on Managerial Motivation and
Performance.” Simposium Nasional Akuntansi XIII.Universitas Jendral Soedirman
Purwokerto.
Savery, L.K. and Luks, J.A. 2001. The Relationship Between Empowerment, Job S atisfaction
and Reported Streess Levels: Some Australian Evidence, Journal Leadership and
Organization Development 22/3(2001) 97-104
141
Sharkey New York : McGraw-Hill, 2012. Winning with transglobal leadership: how to find and
develop top global talent to build world-class organizations. Summary. vol. 34, no. 3
(3 parts), part 1 (November 2012), New York : McGraw-Hill, c2012
Shukui dan Xiaomin. 2001. The Impact of Transformational Leadership on Organizatonal
Citizenship Behavior and Organizatonal : A met Analytical Explanation, 378-345.
Smith, C.A., Organ, D.W., and Near, J.P. 1983. Organizational Citizenship Behavior
Solimun, 2013. Penguatan Metodologi Penelitian General Structural Component Analysis –
GSCA. Disampaikan pada Diklat Program Doktor Ilmu Administrasi Bisnis FIA
Universitas Brawijaya Tanggal 27 Juli 2013, Malang.
Subandi, S. 2008. ”Strategi Koperasi dalam Menghadapi Iklim Usaha yang Kurang
Kondusif.”InfokopNo. 16, hal. 102 -125.
Subyakto. 1996. ”Prospek Perkembangan Koperasi Indonesia.” Jurnal Ekonomi Rakyat No. 13.
No. 7.h. 25– 33. teams? Management Decision Vol. 46 No.6, 2008 pp. 933-947..
Tett, R.P. & Meyer, J.P. 1993. Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover intention
: Path analysis based on Meta analysis Finding,” Personel Pshychology , Sumer 1993, Page
259-293
Thomas, K. W. & Velthouse, B. A. 1990. Cognitive elements ofempowerment. An
interpretive model of intrinsic task motivation. Academy of Management Review, 15,
666–681.
Wayne, Cascio F. 1992. Managing Human Resource, Produktivity Quality of Work Life,
Profits,2rd ed, Mc-Graw Hill
Werther, W.B and Davis,K. 1996. Human Resources and Personal Management. Fifth
Edition.New York: McGraw-Hill, Inc