* terapi budaya - hendra prijatna web viewkeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep...

53
Keberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat tradisional yang masih terasing secara geografis dan sosial budaya. * Bagaimana mencermati dan mengantisipasi masalah pendidikan kita dewasa ini dalam kerangka desentralisasi ? Tujuan utama pendidikan di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan, dalam jangka pendek dan menengah adalah untuk mengangkat martabat manusia kepada hidup yang lebih layak, sehingga dapat ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan. (Tilaar, 1992:112) Beberapa hal yang dapat dicermati dan diantisipasi mengenai pendidikan kita dalam kerangka desentralisasi adalah : Pengelolaan pendidikan melalui kabupaten/kota, pelaksanaan kurikulum yang sarat dengan muatan lokal / pendidikan tradisi, pengadaan dan penempatan guru dalam suatu paket yang dilaksanakan melalui LPTK terdekat, keterkaitan dengan sector-sektor lain secara terpadu. 1. Pengelolaan Pendidikan Melalui Kabupaten/Kota Penanganan pendidikan di daerah terasing haruslah ditangani oleh aparat yang terdekat dengan lokasi. Dalam hal ini kabupaten/kota adalah unit administrasi yang relatif paling dekat dengan lokasi daerah terpencil. Hal ini berarti kabupaten/kota menjadi unit administrative yang merencanakan serta mengelola program ini bekerja sama dengan lembaga- lembaga terkait, dari rencana pengadaan serta penempatan guru sampai dengan segala administrasi system insentifnya. Semua peraturan administrasi mengenai pengadaan, penempatan, pemindahan berkala, kenaikan pangkat serta bentuk-bentuk insentif lainnya diurus oleh kabupaten/kota, sebagai pelimpahan wewenang dari pusat. 2. Pelaksanaan Kurikulum yang Sarat Dengan Muatan Lokal Kurikulum untuk sekolah-sekolah di sini perlu dirancang khusus, tanpa meninggalkan tuntutan minimal dari kurikulum nasional serta penumpukan sikap yang sesuai dengan konsep Wawasan Nusantara. Pada tahap permulaan muatan lokal perlu mendapatkan prioritas. Hal ini dapat dilaksanakan sejak dalam tahap pelaksanaan tenaga gurunya dengan memasukkan muatan lokal dalam kurikulum LPTK yang mengasuhnya. Dalam pelaksanaan muatan lokal di sekolah, mutlak adanya kerja sama dengan masyarakat sekitarnya. Keterlibatan masyarakat melalui LKMD, PKK serta unsure lainnya akan sangat menentukan suksesnya

Upload: vuongque

Post on 30-Jan-2018

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Keberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat tradisional yang masih terasing secara geografis dan sosial budaya. * Bagaimana mencermati dan mengantisipasi masalah pendidikan kita dewasa ini

dalam kerangka desentralisasi ?

Tujuan utama pendidikan di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan, dalam jangka pendek dan menengah adalah untuk mengangkat martabat manusia kepada hidup yang lebih layak, sehingga dapat ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan. (Tilaar, 1992:112)

Beberapa hal yang dapat dicermati dan diantisipasi mengenai pendidikan kita dalam kerangka desentralisasi adalah : Pengelolaan pendidikan melalui kabupaten/kota, pelaksanaan kurikulum yang sarat dengan muatan lokal / pendidikan tradisi, pengadaan dan penempatan guru dalam suatu paket yang dilaksanakan melalui LPTK terdekat, keterkaitan dengan sector-sektor lain secara terpadu.

1. Pengelolaan Pendidikan Melalui Kabupaten/KotaPenanganan pendidikan di daerah terasing haruslah ditangani oleh aparat yang

terdekat dengan lokasi. Dalam hal ini kabupaten/kota adalah unit administrasi yang relatif paling dekat dengan lokasi daerah terpencil. Hal ini berarti kabupaten/kota menjadi unit administrative yang merencanakan serta mengelola program ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, dari rencana pengadaan serta penempatan guru sampai dengan segala administrasi system insentifnya. Semua peraturan administrasi mengenai pengadaan, penempatan, pemindahan berkala, kenaikan pangkat serta bentuk-bentuk insentif lainnya diurus oleh kabupaten/kota, sebagai pelimpahan wewenang dari pusat.

2. Pelaksanaan Kurikulum yang Sarat Dengan Muatan LokalKurikulum untuk sekolah-sekolah di sini perlu dirancang khusus, tanpa meninggalkan

tuntutan minimal dari kurikulum nasional serta penumpukan sikap yang sesuai dengan konsep Wawasan Nusantara. Pada tahap permulaan muatan lokal perlu mendapatkan prioritas. Hal ini dapat dilaksanakan sejak dalam tahap pelaksanaan tenaga gurunya dengan memasukkan muatan lokal dalam kurikulum LPTK yang mengasuhnya. Dalam pelaksanaan muatan lokal di sekolah, mutlak adanya kerja sama dengan masyarakat sekitarnya. Keterlibatan masyarakat melalui LKMD, PKK serta unsure lainnya akan sangat menentukan suksesnya kurikulum muatan lokal tersebut.. dengan kata lain lembaga sekolah tersebut tidak terisolasi dari masyarakat sekitarnya, kalau dapat merupakan salah satu pusat kegiatan masyarakat.

Dalam melaksanakan muatan lokal tentunya tidak melupakan kesempatan bagi para peserta didik untuk maju ke jenjang pendidikan dalam system pendidikan nasional. artinya, tetap membuka kesempatan bagi berkembangnya bakat-bakat luar biasa dari anak-anak daerah terpencil, sama dengan kesempatan yang terbuka bagi saudara-saudaranya di wilayah manapun di nusantara. Kemudian sistem orang tua asuh, bea siswa dari pemda atau dari para pengusaha perlu digalakkan.

3. Pengadaan dan Penempatan GuruPengadaan dan penempatan guru haruslah dalam satu paket. Artinya tenaga guru

untuk daerah tersebut dipersiapkan dalam satu program secara cermat, baik dalam jumlah maupun kualifikasi fisik dan psikis dalam suatu program khusus, pelaksanaanya oleh LPTK terdekat, tunjangan dan insentif yang sangat memadai agar calon guru tersebut tertarik, dan apabila telah bertugas merasa betah di tempat tugasnya. Kemudian beberapa hal yang juga harus diperhatikan adalah:

a. Mereka diberi tunjangan khususb. Proses kenaikan pangkatnya dapat berjalan lancar

Page 2: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

c. Rotasi tugas ke tempat lain, minimal telah mengabdi selama tiga tahund. Diberikan kenaikan pangkat istimewa setelah mengabdi selama lima tahune. Diberi kesempatan untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi dengan bea siswa

dari Pemda, setelah enam tahun mengabdif. Diberikan perumahan yang layak di tempat tugasnya

4. Keterkaitan dengan Sektor-sektor Lain Secara TerpaduPendidikan (sekolah) tidak dapat berdiri sendiri, apalagi kedudukannya sebagai upaya

untuk pengembangan martabat manusia. Pendidikan itu hanya mempunyai makna apabila merupakan bagian dari usaha terpadu untuk meningkatkan martabat manusia. Memang ada keterkaitan antara pendidikan dengan ekonomi keluarga, namun pendidikan an sich tanpa arah akan menjadi beban pembangunan. Oleh sebab itu disamping pendidikan itu berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia, juga berfungsi untuk meningkatkan produktifitas perorangan dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan merupakan bagian dari suatu usaha terpadu, katakanlah salah satu sektor terpenting untuk meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat, meningkatkan pendapatan, dan membantu perluasan kesempatan kerja. Oleh sebab itu, pendidikan tidak boleh terpisah dari pembangunan sektor lainnya secara terpadu. Pendekatan program pembangunan kawasan terpadu sangat sesuai dan ideal untuk menagani pembangunan daerah yang terasing, termasuk pembangunan sektor pendidikannya.

* Terapi BudayaKalau kita cermati bahwa UU No, 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas dan RUU

Sisdiknas yang baru, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional harus berakar dari kebudayaan nasional. Menurut Penjelasan UUD kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kabudayaan daerah yang ada di Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Tetapi pelaksanaannya mengabaikan (tidak ditangani secara sungguh-sungguh) masyarakat tradisional baik yang terasiing secara geografis maupun secara sosial budaya.

Beberapa bentuk pendidikan (sekolah) untuk ‘membangunkan’ masyarakat tarasing sudah diupayakan oleh pemerintah selama ini, misalnya dalam bentuk guru kunjung, kelas jauh, SLTP Terbuka, namun program-program tersebut masih belum menyentuh masyarakat tersebut, karena beberapa pendekatan yang diterapkan selama ini adalah power of method, yang semestinya mereka didekati secara antropologis dan sosiologis, dengan terlebih dahulu memahami kondisi kemasyarakatan, kebudayaan serta perekonomian mereka, karena anak-anak usia sekolah pada masyarakat terasing, sudah menjadi teman orang tuanya untuk memenuhi kehidupan rumah tangga mereka, sehingga pada waktu semestinya mereka ke kebun atau ke ladang, mereka disuruh ke sekolah, ini adalah dua kepentingan yang bertabrakan, pada akhirnya mereka tetap memilih pada pilihan pertama, yaitu kebun.

Karena itu untuk mendidik anak-anak di daerah terasing, maka harus diupayakan pemberian pelayanan pendidikan tersebut, dengan penuh dedikasi dan loyalitas yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan, bukan keuangan. Untuk hal keuangan guna membiayai pelayanan pendidikan diurus oleh pemerintah dengan memberikan insentif yang lebih memadai kepada anggota masyarakat yang bertugas memberikan pelayanan pendidikan tersebut. Bila tidak, maka masyrakat terasing tetap akan terasing dari pendidikan.

Satu hal yang penting juga bahwa materi pendidikan untuk mereka, selayaknya adalah paduan antara sains dengan materi dari pendidikan tradisi, yang telah lama berakar pada masyarakat dan kebudayan mereka, yang telah dekat dengan mereka, sehingga materi-materi seperti ini akan menjadi lebih terasa. Materi tersebut misalnya bagaimana konsep pendidikan tradisi mereka tentang astronomi; bintang Timur, bintang Barat. Navigasi; angin, arus, suhu air. Masalah-masalah pertanian, perikanan, dan lain-lain.

Page 3: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Tilaar, (1992:111) mengakui bahwa sulitnya membangun sarana pendidikan standar karena kesulitan komunikasi atau langkanya alat-alat bantu proses belajar mengajar. Bigitu pula sistem pendidikan yang standar mengenai jenjang pendidikan serta kurikulum “nasional” menghambat daerah terpencil untuk mulai merangkak karena dipaksa untuk langsung berlari. Semua hal ini menunjukkan perlu adanya pendekatan baru dalam menangani daerah terpencil.

Kemudian untuk menarik minat mereka bersekolah, pemerintah harus memberikan pakaian sergam beserta alat-alat belajar. Bila tidak, maka biarkan saja mereka boleh-boleh saja belajar dengan menggunakan pakaian apa adanya, sesuai dengan kemampuan mereka. Ketiadaan pakaian dan alat belajar akan menjadi salah satu sebab atau alasan bagi mereka untuk tidak bersekolah. Belajar mengajarpun tidak mesti harus di gedung sekolah, di mana saja, asalkan di tempat tersebut situasinya menyenangkan, artinya biarlah mereka putus sekolah dari pada mereka putus pendidikan.

Selama ini pelaksanaan kegiatan sekolah di daerah yang terasing, dibuat sama dengan yang ada di kota, inilah yang menjadi pangkal celakanya. Anak-anak harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk tiba di sekolah, dengan berjalan kaki, dengan kondisi jalan yang becek, naik turun gunung, lewat pantai, sampai di sekolah terlambat, guru marah. Kondisi seperti ini wajar-wajar saja bila anak-anak daerah terasing tersebut menjadi bosan, capek dan takut dengan guru bercampur menjadi satu, akhirnya memilih berhentui sekolah. Bila hal seperti ini terjadi, maka siapa yang harus disalahkan?

Kebudayaan manusia pada berbagai ethnis tidak sama dan tidak statis. Apabila terjadi perubahan sosial, sering pula terjadi dalam kebudayaan. Jelaskan tentang hiterogenitas dan dinamika kebudayaan dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya, analisis dan contohnya.

Manusia sebagai mahluk yang tertinggi, mempunyai dua macam kemampuan, yaitu menerima warisan dari tingkah laku orang tuanya dan kemampuan belajar (innate and learning). Innate, misalnya; menyusu, makan, berjalan, memejamkan mata, dan lain-lain , sedangkan yang termasuk learning, misalnya menggunakan bahasa, berpakaian, berkendaraan dan sebagainya. tingkah laku yang melalui learning inilah yang dipindahkan manusia dari generasi ke generasi berikutnya secara terus menerus, dan inilah kebudayaan manusia.

Kebudayaan yang ada sekarang ini, merupakan hasil kumpulan beribu-ribu tahun yang lampau hingga kini. Kedua jenis kebudayaan, baik material, maupun non material, diatur dan dipelihara menurut kepuasan manusia, disesuaikan dengan kebutuhannya, yang lama kelamaan semakin teratur, sehingga merupakan social institution yang merupakan intinya kebudayaan.

Social institution (lembaga-lembaga sosial) itu satu sama lain sering berhubungan, sehingga merupaka suatu pola kebudayaan. Pola-pola kebudayaan itu ternyata sangat beraneka ragam, karena banyak pengaruh lingkungan di mana kebudayaan itu berkembang, misalnya faktor geografis, klimatologis, demokrafis dan sebagainya.

Dengan pola kebudayaan, suatu kombinasi dari berbagai unsur kebudayaan yang agak stabil dan khas dalam kebudayaan tertentu. Misalnya pola kebudayaan Minang berbeda dengan pola kebudayaan Jawa. Pola kebudayaan Cina, berbeda dengan pola kebudayaan Arab, pola kebudayaan India berbeda dengan pola kebudayaan Barat, dan sebagainya. Meskipun demikian, dari pola kebudayaan yang banyak tersebut, terdapat pula persamaan-persamaan, sehingga memberikan pula corak universal. Corak universal ini dalam antropologi disebut Cultural Universals, yaitu : (1) Bahasa (2) Sistem Pengetahuan (3)

Page 4: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Organisasi sosial (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi (5) Sistem mata pencaharian hidup (6) Sistem religi dan (7) Kesenian. (Koentjaraningrat,1985:203-204).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan, adalah sebagai berikut :

1. Faktor alam (lingkungan geografis)

Pada umumnya alam mempunyai pengaruh yang besar terhadap suatu kebudayaan. Pengaruh alam ini tidak hanya tampak pada kebudayaan material, tetapi juag pada kebudayaan kerokhanian. Misalnya makanan, pakaian, rumah, orang-orang di daerah tropis berbeda dengan orang-orang di daerah sub tropis. Demikian pula kehidupan keluarga, kepercayaan, perkawinan, upacara-upacara juga disesuaikan dengan alam sekelilingnya. Kepandaian membuat rumah dari kayu tentu terdapat di daerah yang banyak kayu. Kepandaian berburu tentu terdapat di daerah yang banyak binatangnya.

2. Faktor RasRas-ras yang terdapat di dunia ini, berbeda cirri-ciri fisik dan jiwanya, karena

perbedaan fisik dan jiwanya itulah menyebabkan perbedaan bentuk-bentuk kebudayaannya. Dengan perbedaan fisik dan jiwanya, maka sudah sewajarnya intelegensi/kecerdasannya berbeda. Dengan demikian hasil kebudayaan yang dilahirkannya juga akan berbeda.3. Faktor Hubungan Antar Bangsa

Dalam hubungan antar bangsa akan menyebabkan terjadinya saling silang antara masyarakat dan kebudayaan yang datang dengan yang didatangi. Hubungan antar bangsa akan menyebabkan terjadinya akulturasi, asimilasi atau ataptasi.

Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan kebudayaan, karena masyarakat dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam artinya yang utuh. Di mana orang hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudyaan.

Dalam keadaan semacam ini, akan muncul apa yang disebut; asimilasi, akulturasi dan adaptasi.

Akulturasi, adalah suatu proses di mana suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsure dari kebudayaan asing yang berbeda, sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing itu lambat laun mempengaruhi kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.

Asimilasi, adalah suatu proses percampuran kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda kebudayaannya, saling bergaul secara intensif, sehingga menimbulkan kebudayaan baru.dengan kata lain bercampur menjadi satu sehingga terjelma suatu kebudayaan baru.

Adaptasi, adalah bersedia menerima kebudayaan sendiri dengan tidak mengorbankan kebudayaan sendiri.

Daftar BacaanFasli Jalal, Dedi Supriadi (Ed), (2001), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta,

Adicita Karya Nusa.Harefa Andrias, (2002), Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, Jakarta, PT. Gramedia.Hasil Rapat Panja, (25 April 2003), RUU Sisdiknas, Cisarua, Bogor.Illich Ivan, (2000), Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.Koentjaraningrat, (1985), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.Tilaar, H.A.R, (1992), Manajemen Pendidikan Nasional Indonesia, Bandung, Rosdakarya._______, (1999), Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Strategi Reformasi Pendidikan

Nasional), Bandung, Rosdakarya.

Page 5: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Tugas mulia pendidikan berupaya untuk mengembangkan aspek pribadi manusia baik jasmaniah maupun rokhaniah, agar ia dapat mempertahankan keberadaannya sebagai manusia. Melalui transpormasi, diharapkan dapat mengubah sikap dan prilaku individu untuk mewujudkan suatu pribadi yang berkwalitas sesuai kenyataan keberadaannya sebagai manusia seutuhnya. Bagaimana pandangan pembuat kebijakan pendidikan melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional, apakah undang-undang tersebut cukup memadai untuk melaksanakan tugas mulia pendidikan. Kalau cukup, coba tunjukkan bagian mana dari undang-undang tersebut yang menggambarkan tugas mulia pendidikan dan kalau kurang memadai, apa lagi sebaiknya ditambahkan dalam undang-undang pendidikan tersebut.

JAWABANUU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merumuskan tujuan

pendidikan nasional yang sangat ekstensif dan mungkin paling lengkap. Namun demikian seperti yang kita lihat di dalam rumusan mengenai hakikat manusia, maka perumusan mengenai tujuan pendidikan nasional yang merangkum keseluruhan hakikat manusia adalah tidak mungkin. Dengan demikian rumusan tujuan pendidikan nasional di dalam undang-undang ini terasa begitu abstrak dan sulit untuk dilaksanakan. Coba kita lihat Pasal 3 Undang-undang tersebut:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Rumusan diatas begitu indah tetapi sangat abstrak. Rumusan yang sangat komprehensif itu telah mencoba merangkum seluruh dimensi manusia Indonesia. Namun di dalamnya terdapat berbagai konsep yang kurang jelas serta keterkaitannya satu dengan yang lain. Kita lihat beberapa unsur dalam rumusan tersebut: Mencerdasakan kehidupan bangsa. Apa yang dimaksud dari rumusan tersebut ? Rumusan ini memang diambil dari rumusan dalam pembukaan UUD 1945 yang berkenaan dengan tujuan daripada pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, arti dari “mencerdaskan kehidupan bangsa” yaitu kehidupan yang didasarkan kepada keputusan-keputusan inteligen. Artinya bangsa Indonesia haruslah diarahkan kepada suatu bangsa yang berkembang akal budinya sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan yang tepat. Dengan demikian kehidupan bangsa yang diinginkan ialah suatu kehidupan yang demokratis, bukan kehidupan yang otoriter atau feodal. Proses pendidikan harus merupakan proses demokrasi karena kita ingin membangun suatu masyarakat yang demokratis.

Pendidikan bertujuan untuk “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Di sini berarti mengembangkan seluruh aspek pribadi yaitu iman dan takwa kepada Tuhan, budi pekerti yang luhur, penguasaan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyaratan dan kebangsaan. Aspek-aspek kehidupan tersebut di atas merupakan “konsep-konsep yang ekslusif”, artinya mengandung pengertian-pengertian yang besar dan rumit. Oleh sebab itu diperlukan suatu perincian yang operasional untuk dapat mewujudkan nilai-nilai kebudayaan tersebut. Pengertian mengenai pengembangan manusia Indonesia seutuhnya harus diberikan isi yang konkrit yaitu memberikan kesempatan pada semua manusia

Page 6: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Indonesia untuk dapat mengembangkan potensinya sehingga dia dapat menyumbangkan kemampuan yang telah dikembangkan itu secara mandiri dan mantap. Pengertian mengenai kepribadian yang mantap dan mandiri perlu diberikan isi yang konkrit yaitu kepribadian yang berkembang di dalam masyarakatnya yang berbudaya.

Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan di dalam undang-undang tersebut perlu dijabarkan lebih konkrit dan dituangkan di dalam program pendidikan (kurikulum) tiap jenis dan tingkatan pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan potensi peserta didik. Oleh sebab itu pelaksanaan dan perwujudan UU No.20 Tahun 2003 masih jauh dari kenyataan karena selain dari tuntutan kejelasan konsep, juga meminta tersedianya sarana-sarana dan prasarana untuk melaksanakannya. Namun UU ini telah lebih sempurna bila dibandingkan dengan UU No. 2 Tahun 1989.

Indra Jati Sidi (2001:13) menyebut tentang belum berhasilnya pembangunan pada sector pendidikan di Indonesia:

Sistem pendidikan nasional yang telah dibangun selama tiga dasawarsa terakhir ini, ternyata belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan nasional dan global dewasa ini. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama ini merupakan fokus pembinaan masih menjadi masalah yang paling menonjol dalam dunia pendidikan kita. jumlah angka penduduk usia pendidikan dasar yang berada di luar sistem pendidikan nasional masih menunjukkan angka yang sangat besar. Sementara itu, kualitas pendidikan masih jauh dari yang diharapkan.Pada sisi lain, tantangan. dan perkembangan lingkungan strategis, baik nasional

maupun internasional dalam berbagai bidang kehidupan semakin berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi dan transportasi yang amat cepat, eskalasi pasar bebas antar negara dan bangsa yang semakin meningkat, iklim kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan yang semakin ketat, dan tuntutan demokratisasi serta masalah hak asasi manusia merupakan tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia agar kita bisa hidup terus dan bertahan (survive) dalam percaturan kehidupan antar bangsa di dunia.

Di tingkat lokal tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih adil, terbuka dan demokratis semakin santer disuarakan oleh banyak anggota masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya tuntutan anggota masyarakat dalam perbaikan tata hubungan antara pusat dan daerah, desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, pembagian tugas, wewenang dan sumberdaya yang lebih berimbang, serta pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta bertanggungjawab dalam melaksanakan pernbangunan untuk mencapai cita-cita nasional.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka paradigma system pendidikan nasional yang selama ini menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia perlu dikaji dan disempumakan. Bangunan pendidikan selama ini berpedoman pada konsepsi input-output analysis atau education production function. Paradigma yang mempunyai akar teori pada bidang ekonomi produksi ini berkeyakinan bahwa apabila input diperbaiki, maka secara otomatis output akan menjadi baik pula. Landasan teori yang berhasil dalam dunia industri ini ternyata tidak selalu dapat dibuktikan dalam dunia pendidikan. Ini dikarenakan lembaga pendidikan (sekolah) tidak bisa disamakan dengan pabrik dalam dunia industri, sebab input pendidikan bukan input statis melainkan input dinamis yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor proses dan konteks pendidikan. Karena itu, paradigma sistem pendidikan nasional harus mencakup kedua faktor tersebut di atas (proses dan konteks) disamping faktor input dan output pendidikan. Bahkan dalam hal pendidikan, input justru tidak terlalu dipermasalahkan. Faktor-faktor proses dan konteks itulah yang malah menentukan output pendidikan. Karena itu, masalah-masalah semacam kurikulum, kuahtas

Page 7: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

guru, metode pengajaran yang efektif dan menyenangkan serta manajernennya menjadi sangat penting dalam proses pendidikan di sekolah. Sistem pendidikan yang baik adalah justru bila seorang anak didik yang kurang memiliki kecerdasan kemampuan berketerampilan serta diproses dalam system tersebut menjadi meningkat dan mampu mengembangkan keterampilan dan kepribadiannya.

Dalam penyelenggaraan pendidikan nasional masa depan, hendaknya diperhatikan tentang perbaikan system pendidikan nasional ditujukan pada aspek-aspek kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, tenaga kependidikan, manajemen pendidikan, dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bagaimana pandangan anda terhadap pendapat beberapa pakar pendidikan yang mengatakan bahwa dewasa ini penyakit yang menjangkiti para pendidik adalah kebutaannya terhadap kenyataan bahwa sekolah itu haruslah merupakan bagian integral dari masyarakat di sekitarnya dan sama sekali tidak boleh bergerak di dalam kehampaan kehidupan sosial. Selain itu pendidikan bertanggung jawab penuh mengenai perikehidupan anggota masyarakat sejak awal hingga akhir hayatnya. Bagaimana pandangan dan kritik Kita Hadjar Dewantara dan beberapa tokoh pendidikan yang sezaman dengan beliau mengenai system pendidikan dan pengajaran di dunia Barat dan Timur yang tidak mengakar pada budaya bangsanya sendiri.

JAWABANKita memang perlu secara aktif merumuskan kembali masa depan pendidikan di

negeri kita ini. Karena salah satu komponen terpenting dalam pendidikan itu adalah sekolah, maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali kita mendiskusikannya terlebih dahulu secara serius tentang dunia persekolahan kita.

Dunia telah berubah begitu drastis sehingga diperlukan suatu reformasi radikal dalam sistem persekolahan jika kita ingin terlibat dalam kehidupan di abad 21. Kita perlu mengganti model belajar yang terpusat pada guru, yang selama ini digunakan di banyak sekolah, dengan model belajar aktif dan mandiri berdasarkan prinsip-prinsip, ilmu kognitif modern. Dengan model ini keterlibatan penuh dan kecintaan secara alami akan tumbuh dalam diri setiap orang. (Sidi, 2001:4)Kita semua mengetahui bahwa setiap orang memiliki gaya belajar individual yang

berbeda satu sama lain. Sebagian orang belajar dengan baik secara berkelompok. Sebagian yang suka belajar sambil duduk di kursi, sedang yang lain senang belajar sambil berbaring atau lesehan di karpet atau tikar. Demikian juga sebagian orang lebih mudah belajar melalui melihat langsung gambar dan diagram. Inilah yang disebut cara belajar visual. Sebagian yang lain lebih suka mendengarkan. Inilah model belajar auditorial. Sebagian lagi lebih senang belajar dengan cara menggunakan indra perasa atau menggerakan tubuh. Inilah gaya belajar yang disebut haptic kinesthetic. Beberapa orang juga lebih senang pada teks tercetak (membaca buku) dan yang lain mungkin lebih suka berlompok yang saling berinteraksi. Sekolah masa depan mestinya bisa melayani gaya belajar individu tersebut.

Sekolah masa depan tentu tidak lagi cukup jika hanya mengolah dua jenis kecerdasan saja: kecerdasan linguistik dan kecerdasan logis-matematis. Kecerdasan linguistik mencakup aspek-aspek kemampuan dalam berbicara, membaca dan menulis. Kecerdasan logis-matematis mencakup aspek-aspek mampuan dalam logika, matematika dan sains. Dua cerdasan itulah yang biasa dikategorikan ke dalam cerdasan akademik. Sistem ujian di sekolah-sekolah kita biasanya sebatas berdasarkan pengujian kecerdasan akademik saja.

Kita perlu memulai memasukan pelajaran yang mencakup kecerdasan emosional. Sebab dalam mengembangkan kepribadian yang utuh, kecerdasan emosional jauh lebih penting daripada kecerdasan akademis. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional

Page 8: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Intelligence (1996) mengatakan, bahwa kontribusi IQ (intellectual quotient) dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang maksimal sekitar 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain.

Paradigma baru dalam pendidikan di sekolah-sekolah dalam masyarakat Indonesia bukan berarti membawa pendidikan kita kepada kekeliruan yang selama ini dilakukan, yaitu intelektualisme yang semu dan kurang memperhatikan perkembangan seluruh pribadi manusia Indonesia.

Pendidikan adalah suatu kebutuhan bagi setiap warga negara, karena itu pemerintah harus memenuhi kebutuhan ini, apalagi telah dijamin dalam konstitusi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Menurut Tilaar (1999 : 169-175) strategi pembangunan pendidikan nasional harus meliputi enam aspek, yaitu: Pertama, Pendidikan dari, oleh dan bersama-sama masyarakat. Kedua, Pendidikan didasarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan lokal. Ketiga, Proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi. Keempat, Pendidikan demokrasi. Kelima, Kelembagaan pendidikan harus menjiwai dan mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Keenam, Desentralisasi manajemen pendidikan nasional.

Karena itu tepatlah apa yang ditulis oleh Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:63): Pendidikan nasional diharapkan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat Indonesia yang demokratis-religius yang berjiwa mandiri, bermartabat, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, dan menekankan keunggulan sehingga tercapai kemajuan dan kemakmuran. Tujuan yang demikian mulia ini mempersyaratkan kepedulian keluarga, masyarakat, bersama-sama dengan organisasi dan institusi pendidikan nasional yang mandiri, mampu untuk selalu melakukan inovasi menuju ke suatu system pendidikan nasional yang unggul.

Kritik-kritik para tokoh :

1. Ki Hadjar DewantaraRumusan pendidikan yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan

Nasional, di Taman Siswa dapat kita lihat dengan jelas tergambar di dalam asas-asa Taman Siswa yang dikenal sebagai Pancadharma yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Asas kodrat alam mengandung artibahwa hakikat manusia adalah bagian dari alam semesta. Hukumdari alam semesta sebagai kodrat alam ialah kebahagiaan apabila dengan mesra ia menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung hokum kemajuan. Asas kemerdekaan mengandung arti kehidupan yang sarat dengan ketertiban dan kedamaian. Dengan demikian kemerdekaan berarti swadisiplin yaitu mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana perimbangan dan keselarasan dengan masyarakatnya. Asas kebudayaan berarti perlunya memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Asas kebanagsaan berarti seseorang harus merasa satu dengan bangsanya sendiri dan di dalam rasa kesatuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ases yang kelima ialah kemanusiaan. Asas kemanusiaan berarti tidak boleh ada permusuhan terhadap bangsa-bangsa lain, tetapi melalui kuluhuran budi dan akal menimbulkan rasa cinta kasih terhadap kemanusiaan. (Tilaar: 2002;132)

2. M. Sjafei, Ruang Pendidik INS Kayutanam

Muhamad Sjafei merumuskan tujuan pendidikan ialah menjadikan manusia Indonesia yang memiliki seperangkat kelengkapan sikap sebagai berikut; (1). Sifat kemanusiaan setinggi mungkin, (2). Aktivitas yang besar, (3). Kecakapan dalan meniru asli dan meniru bebas, (4). Kecakapan untuk mencipta sesuatu yang baru, (5). Rasa tanggung jawab terhadap keselamatan negara dan bangsa serta kemanusiaan, (6). Keyakinan demokrasi dalam hak dan

Page 9: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

kewajiban, (7). Jasmani yang sehat dan kuat, (8). Keuletan yang besar, (9). Ketajaman berfikir serta logis, (10). Perasaan peka dan halus.

Mohamad Sjafei menegaskan bahwa sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh peserta didik tersebut itu ialah untuk menyiapkan peserta didik memperoleh dua surga yaitu surga di dunia dan surga di akhirat di dalam tanah air Indonesia. Sifat-sifat tersebut perlu menjadi materi yang diajarkan di sekolah sejak sekolah dasar.

Konsep pemikiran kedua tokoh peletak dasar pendidikan nasional mempunyai berbagai persamaan yang mendasar. Pertama-tama ialah tujuan pendidikan bukanlah semata-mata untuk mengembangkan kemampuan intelektual. Kemampuan intelektula memang perlu tetapi bukan segala-galanya oleh karena kemampuan intelektual yang dikembangkan tujuannya ialah untuk meningkatkan taraf hidup peserta didik maupun masyarakatnya. Selanjutnya keduanya melihat pendidikan kita tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan nasional Indonesia.Kebudayaan nasional yang terus berkembang merupakan landasan pendidikan nasional. Oleh sebab itu pula keduanya melihat peranan pendidikan bukan hanya sekedar menerima nilai-nilai kebudayaan tetapi juga sebagai unsure pengembangan kebudayaan nasional. Dengan demikian kedua tokoh tersebut melihat pendidikan sebagai suatu proses kehidupan yaitu untuk menolong diri sendiri dan meningkatkan martabat masyarakatnya. (Tilaar: 2002;133)

3. Dr. Montessori dan dr. Rabindranath Tagore

Mereka adalah perombak dunia pendidikan lama dan membangun aliran baru, yaitu aliran yang sangat sesua dengan dunia kita, yaitu aliran yang diambil dari adat – pendidikan yang masih hidup dalam masyarakat kita atau masih nampak bekas-bekasnya, yaitu aliran yang kita sebut kulturil – nasional. Dua-duanya, dr. Montessori dan dr Rabindranath Tagore, menganggap, bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa sesungguhnya hanya merupakan penyuburan terhadap intelek, akan tetapi sebaliknya mematikan perasaan, sehingga membalikkan jiwa manusia dari derajat “budi” hanya menjadi “mesin” belaka. Kedua ahli ini hendak melepaskan ikatan yang sangat menyempitkan budi manusia serta menurunkan derajat kemanusiaannya itu, mereka hendak memerdekakaqn manusia, timbulnya aliran ini menggoncankan dunia barat.

Perbedaan antara aliran dr. Montesorri dan dr. Rabindranath Tagore adalah terletak pada tujuannya. Dr. Montesorri sangat mementingkan hidup jasmani anak-anak, teristimewa pancainderanya, yang sesungguhnya nantinya akan diarahkan kepada kecerdasan budi, akan tetapi hidup batin menurut Montesorri hanya semata-mata bersifat psychologis dalam arti wetenschappelijk, jauh dari pada tujuan geestelijk atau religius. Sebaliknya dr. Rabindranath Tagore membentuk sistim pendidikan anak-anak itu semata-mata sebagai alat dan syarat untuk memperkokoh hidup kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu religius. (K.H. Dewantara: 1967;357-358)

Terjadinya konflik sosial-budaya karena kemajemukan budaya, adat istiadat, suku dan perbedaan agama yang tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hal ini semakin diperburuk oleh pihak penguasa yang menghadapkan kembali cara menyelenggarakan pemerintahan yang feodalistis dan paternalistis hingga menimbulkan konflik horizontal yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Coba anda jelaskan bagaimana upaya yang akan anda lakukan sebagai seorang pendidik atau penguasa untuk mengatasi permasalahan ini dan adakah nilai-nilai tradisonal yang dapat mendorong pembangunan bangsa yang dapat menjadi perekat keutuhannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 10: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

JAWABANUpaya sebagai pendidik yang harus dilakukan ialah; pendidikan kepada generasi

muda, baik yang ada disekolah maupun yang berada dalam masyarakat, hendaknya diarahkan kepada pendidikan nilai yang menerima perbedaan sebagai hal yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat bangsa yang majemuk, dalam keragaman geografis, budaya, agama dan etnik. Kewajaran dalam keragaman ini perlu ditumbuhkan oleh kebersamaan, baik dalam kehidupan keseharian maupun di dalam pengambilan keputusan yang menetukan nasib sebagai bangsa. Kebersamaan akan terbentuk apabila ada persamaan (equality) dalam hak dan kewajiban, equity dalam pembagian hasil pembangunan, dan keadilan (justice). Pada proses pertumbuhannya, lambat laun kebersamaan ini akan berkembang menguat menjadi solidaritas, solidaritas dari an imagined political community, bukan dari komunitas sempit karena jalinan primodial riil yang terfragmatis.

Konflik, tantangan, kekacauan, ketidakpastian yang menjadi karakter konflik yang ditimbulkan bernada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan), dan penyelesaiannya membutuhkan solusi yang tidak linier pula. Untuk menghadapinya, chaos tidak dapat diatasi hanya dengan jalan lurus melainkan harus dicarikan solusi yang lain, alternatif yang lain. Untuk ini diperlukan pengetahuan, ilmu, ketrampilan, serta kepribadian tangguh sebagai hasil dari pendidikan yang menumbuhkan nilai-nilai yang menghormati subjektivitas dan relativitas dari dan antara pribadi sebagai profil yang mandiri, terbuka, lentur, fleksibel, toleran, dalam konotasi baik, tegar dan pencari peluang baik dalam menghadapi setiap perubahan dan guncangan.

Last but not least, pendidikan juga membuka kesadaran bahwa iman dan ketakwaan merupakan jangkar atau anchor dalam usaha dan kesempatan survival dari chaos. Kekuatan iman dan takwa juga mendapat limbah dari industrialisasi, yang mendorong kebutuhan hidup akanmateri berkembang menjadi pemujaan materi, dan membuat manusia gamang dalam pendewaan yang bersifat kebendaan, konkrit ataupun abstrak, dalam bentuk pemujaan terhadap kekayaan, kekuasaan bahkan ilmu. Namun pendidikan yang menumbuhkan kepribadian yang tangguh akan membimbing manusia kepada kesadaran, awareness; bahwa jangkar yang sejati adalah keimanan dan bukan imagined anchor. (Rochiati: 2002;174-175)

Kesadaran etnik sudah diramalkan akan tumbuh pada abad ini dan mengancam kedudukan serta keutuhan negara bangsa (nation state), memang sudah dikemukakan oleh para futurology seperti Alvin Toffler, Naisbitt, dan Aburdene, serta Kennedy yang mengatakan bahwa kecenderungan etnik untuk menyatakan kesadaran diri dalam ikatan hubungan primodial (keturuna, ras, bahasa, keyakinan atau budaya) akan meluas secara global. Peringatan dini ini nampaknya tidak dihiraukan di tengah-tengah dilaksanakannya kebijakan nation and character building masa Orde Baru, waktu justru kesamaan dalam semangat kesatuan dan persatuan antar suku bangsa, agama, ras, serta aliran dan golongan sedang dibangkitkan. Berbagai upaya yang merujuk kepada dan diterapkan berdasarkan konsep dasar tersebut – seperti model pembangunan dan pemerataan pembangunan, pembagian wewenang pusat dan daerah, transmigrasi, pendidikan, hokum, bahasa, dan budaya yang melampaui batas-batas hak dan keadilan – yang dirasakan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat atau etnik-etnik yang terutama berada di luar Jawa, dalam kondisi transparansi dan kericuhan sistim multi partai yang di sertai dengan persaingan elit politik di masa reformasi menyebabkan ledakan itu muncul kepermukaan.

Konflik etnik antar suku Madura dan Dayak di Sampit dan Palangkaraya merupakan bukti nyata, dalam hal ini adalah salah satu fungsi edukatif dari sejarah, untuk memilikipelajari masa lampau bukan semata-mata untuk hanya terpesona dan mengagumi

Page 11: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

masa lalu itu an sich, akan tetapi masa lampau untuk dijadikan cermin dan bahan pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan, dan belajar dari kesalahan itu, karena manusia mampu berubah kearah yang lebih baik. Pendidikan dalam konteks penambahan ilmu, pengetahuan, gagasan, wawasan, serta epistimologisnya, dapat mengarahkan pemahaman terhadap berbagai problematika sosial, seperti yang ditampilkan oleh eskalasikebutuhan-kebutuhan, kekuatan-kekuatan, dan gerakan-gerakan sosial yang merupakan fenomena sosio-ekonomis dan cultural bangsa kita akhir-akhir ini. (Rochiati: 2002;219-220)

Semanangat keragaman dalam masyarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama yang telah digambarkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika harus kita tanamkan kembali supaya dapat mendorong pembangunan bangsa dan menjadi perekat keutuhan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kalau kita cermati bahwa UU No, 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang baru, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional harus berakar dari kebudayaan nasional. Menurut Penjelasan UUD kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kabudayaan daerah yang ada di Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Kebudayaan daerah juga dapat menjadi perekat bangsa, bila masing-masing kebudayaan daerah tersebut ditempatkan sebagaimana yang diamanatkan dalam Penjelasan pasal 32 UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKAFasli Jalal, Dedi Supriadi (Ed), (2001), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta,

Adicita Karya Nusa.Harefa Andrias, (2002), Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, Jakarta, PT. Gramedia.Hasil Rapat Panja, (25 April 2003), RUU Sisdiknas, Cisarua, Bogor.Illich Ivan, (2000), Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.Sidi, Indra Djati, (2001), Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta, ParamadinaKoentjaraningrat, (1985), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.Kihadjar Dewantara, (1962), Pendidikan, Jogjakarta, Taman Siswa-----------, (1967), Kebudayaan, Jogjakarta, Taman Siswa. Tilaar, H.A.R, (1992), Manajemen Pendidikan Nasional Indonesia, Bandung, Rosdakarya._______, (1999), Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Strategi Reformasi Pendidikan

Nasional), Bandung, Rosdakarya. Undang-undang No. 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Sinar Grafika.Wiriaatmadja, Rochiati, (2002), Pendidikan Sejarah di Indonesia, Bandung, Historia Utama Press.

Suatu kebudayaan mungkin telah melakukan antisipasi masa depan dengan menyiapkan generasi muda dengan informasi dan keterampilan tertentu yang direncanakan untuk menghadapi situasi tertentu. Selanjutnya, masing-masing kebudayaan telah mempersiapkan anggota suatu masyarakat untuk bertindak, dan berfikir mengenai dunia yang telah diciptakan oleh budaya tersebut dan aspek-aspek alam semesta yang telah dipilih untuk menjadi suatu yang bermakna. Anda boleh berspekulasi, bahwa kebudayaan yang stabil dapat menyempurnakan proses mempersempit bidang persepsi anak didik dengan melatih mereka untuk membebaskan fikiran mereka dari apa yang dipilih dari persepsi mereka oleh kebudayaan tersebut. Apakah anda beranggapan bahwa anda dapat menggunakan pendidikan untuk bekerja sama dengan perubahan. Dapatkah juga anda menggunakan pendidikan untuk mempengaruhi dan mengontrol kebudayaan oleh masyarakat melalui kebudayaan.

1. Para akhli Sosiologi dan Antropologi telah memberikan perhatian pada sistem belajar asli yang terdapat dalam masyarakat, tetapi penemuan-penemuan mereka pengaruhnya hanya sedikit terhadap kebijakan pendidikan. Bahkan

Page 12: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

kita telah gagal untuk melihat secara mendasar mengenai gaya belajar asli kita, sumber belajar kita dan sistem nilai budaya kita sebagai dasar sebagaimana masyarakat kita belajar. Pendidikan kita terlalu berorientasi dan mengadopsi sistem pendidikan Barat yang belum tentu serasi dengan kemajemukan budaya masyarakat kita. Analisis oleh anda, ada apa dengan sistem pendidikan kita, sehingga banyak kritik dilontarkan pada dunia pendidikan kita dewasa ini.

2. Banyak kritik dilontarkan pada dunia pendidikan sekolah yang dituding membelenggu anak-anak didik. Bahwa pendidikan kita terperangkap dalam konflik antara kebudayaan ideal dan kebudayaan minifes. Menurut anda, apakah dunia pendidikan sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya kearah tujuan tertentu yang diinginkan secara teoritis ataukah sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi realita sosial budaya yang ada.

Suatu kebudayaan mungkin telah melakukan antisipasi masa depan dengan menyiapkan generasi muda dengan informasi dan keterampilan tertentu yang direncanakan untuk menghadapi situasi tertentu. Selanjutnya, masing-masing kebudayaan telah mempersiapkan anggota suatu masyarakat untuk bertindak, dan berfikir mengenai dunia yang telah diciptakan oleh budaya tersebut dan aspek-aspek alam semesta yang telah dipilih untuk menjadi suatu yang bermakna. Anda boleh berspekulasi, bahwa kebudayaan yang stabil dapat menyempurnakan proses mempersempit bidang persepsi anak didik dengan melatih mereka untuk membebaskan fikiran mereka dari apa yang dipilih dari persepsi mereka oleh kebudayaan tersebut. Apakah anda beranggapan bahwa anda dapat menggunakan pendidikan untuk bekerja sama dengan perubahan. Dapatkah juga anda menggunakan pendidikan untuk mempengaruhi dan mengontrol kebudayaan oleh masyarakat melalui kebudayaan.

JAWAB:Jelas bahwa kita dapat menggunakan pendidikan untuk bekerja sama dengan

perubahan, bagaimana mungkin kita dapat memprediksi dan mengantisipasi seperti apa bentuk perubahan yang akan terjadi pada masa depan, tentunya dengan pendidikan, dan bahkan pendidikan itulah pada dasarnya yang menyebabkan terjadinya perubahan di muka bumi ini. Pendidikanlah yang merupakan media transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan semakin majunya pendidikan maka Iptek juga menjadi semakin berkembang, dan dengan perkembangan Iptek pula ikut mempengaruhi perkembangan pendidikan. Iptek sangat signifikan mempengaruhi corak pendidikan pada suatu daerah (negara), karena melalui suguhan produk Iptek seperti media TV, internet, maka corak kebudayaan terutama kebudaayaan Barat banyak yang menjadi acuan yang ditiru, mulai dari gaya hidup, mode, perilaku, hingga ke kurikulum persekolahan.

Dengan pendidikan juga kita dapat ‘mengawal’ perubahan itu. Artinya bila perubahan tersebut tidak sesuai dengan falsafah hidup, nilai-nilai luhur, tradisi, norma-norma hidup yang selama ini sudah terawat dengan baik dan sudah pula menjadi kaidah-kaidah yang dipegang teguh oleh komunitas kita, maka perubahan tersebut dapat ‘dignjal’ dengan model pendidikan yang kita terapkan yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur kehidupan bangsa. Melalui kurikulum yang bermuatan nilai-nilai luhur kehidupan bangsa dapat saja perubahan yang mengarah kepada pengingkaran nilai luhur kehidupan bangsa dihadang, dengan maksud

Page 13: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

perubahan tersebut tidak terjadi. Di sinilah peran penting pendidikan suatu bangsa dalam memaknai suatu perubahan. Ke arah mana perubahan yang akan diikuti, apakah tetap dilandasi pada jati diri, dan budaya luhur bangsa ataukah mengikuti gejala global, di sinilah pendidikan suatu bangsa turut pula menentukan. Pendidikan akan membawa perubahan itu ke arah mana yang kita inginkan, atau sebaliknya perubahan tersebut yang akan membawa pendidikan suatu bangsa mengikuti arah perubahan itu.

Nampaknya selama ini pendidikan di negara kita mengarah pada perubahan yang terjadi secara global, tidak mengacu pada pendidikan tradisi yang sudah tumbuh berkembang pada masing-masing masyarakat pendukungnya. Misalnya saja model pendidikan yang diterapkan pada Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara atau model Pendidikan Kayu Tanam yang diterapkan oleh Muhammad Syafei, tidak menjadi model yang trend, bahkan dianggap sebagai model pendidikan tradisional yang sudah usang, ketinggalan jaman.

Pendidikan adalah inti dari kebudayaan, karena pendidikan mencakup tiga azas dasar kebudayaan itu, menurut Ki Hajar Dewantara (1967:70) ia mengistilahkan dengan sebutan Tri Sakti, yaitu rasa, karsa, cipta. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara menyebut bahwa manusia adalah mahluk yang berbudi, budi manusia dengan tiga unsure tersebut mampu memasukkan segala isi alam ke dalam jiwanya melalui panca ideranya dan mengolahnya menjadi kebudayaan. Melalui kebudayaan itu manusia memperbaiki pengetahuannya dan keterampilannya. Untuk menumbuhkembangkan ketiga unsur ini, pendidikanlah sebagai upaya yang paling tepat. Karena itu kebudayaan atau bahkan peradaban suatu bangsa dapat diukur dengan tinggi rendahnya kualitas pendidikan negara tersebut, bagaimana suatu negara mengelola pendidikannya, upaya meningkatkan mutunya, upaya pemerataan pendidikannya, akan mempengaruhi perkembangan kebudayaan bangsa tersebut pada masa depan, yaitu akan menjadi suatu bangsa yang berbudaya dan beradab. Tetapi bila pendidikan tidak mendapatkan tempat yang baik, maka kebudayaan suatu bangsa pada masa depan akan tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain di muka bumi ini, dan bahkan mungkin saja bila bangsa tersebut tidak memberi tempat yang baik pada sektor pendidikannya maka ia akan menjadi bangsa yang biadab (kembali kepada masyarakat bangsa primitif). Di sinilah pertautan penting antara pendidikan dengan kebudayaan atau sebaliknya, bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang.

Para ahli pendidikan seperti Theodore Brameld melihat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat dan kebudayaan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dalam suatu hal yang sama ialah nilai-nilai. E.B. Tylor, menjalin ketiga pengertian; manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang sama, oleh sebab itu pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat.

Tilaar (1999:23) mengatakan kebudayaan mempunyai tiga unsur penting yaitu; kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan (order), kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan yang mempunyai suatu visi tertentu (goals), maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses pembudayaan. Dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak ada suatu kebudyaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan, dan proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi dalam hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat tertentu.

Pendidikan sebagai upaya pemanusiaan manusia yang berbudaya Indonesia yang interaktif berkesinambungan dan konsentris, artinya yang berakar pada budaya bangsa dalam membawa manusia dan masyarakat Indonesia ke dalam suatu masyarakat madani Indonesia memasuki pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang terbuka. Selanjutnya dibahas pula hakikat pendidikan, hakikat

Page 14: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

kebudayaan, berbagai kaitan antara pendidikan dan kebudayaan serta berbagai teori dan persepsi mengenai hubungan antara proses pendidikan dan kebudayaan (Tilaar, 1999:24).

Ki Hajar Dewantara (1962:318-324), menyebutkan bahwa pendidikan dapat menghaluskan dan mempertinggi derajat peserta didik, atau pendidikan budaya merupakan pendidikan yang mempertinggi nilai kemanusiaan. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia atau menuntun manusia agar tetap berada dalam kodratnya sebagai mahluk manusia. Pendidikan menuntun manusia untuk menyempurnakan rasa, karsa dan ciptanya. Pendidikan dicurahkan untuk menolong insane manusia menyingkap rahasia alam, memupuk bakat serta memimpinnya untuk kebaikan dirinya dan masyarakatnya.

Para akhli Sosiologi dan Antropologi telah memberikan perhatian pada sistem belajar asli yang terdapat dalam masyarakat, tetapi penemuan-penemuan mereka pengaruhnya hanya sedikit terhadap kebijakan pendidikan. Bahkan kita telah gagal untuk melihat secara mendasar mengenai gaya belajar asli kita, sumber belajar kita dan sistem nilai budaya kita sebagai dasar sebagaimana masyarakat kita belajar. Pendidikan kita terlalu berorientasi dan mengadopsi sistem pendidikan Barat yang belum tentu serasi dengan kemajemukan budaya masyarakat kita. Analisis oleh anda, ada apa dengan sistem pendidikan kita, sehingga banyak kritik dilontarkan pada dunia pendidikan kita dewasa ini.

Zen (2002:81) mengutip pendapat Coombs, (1973:4 1), mengatakan Sistem belajar asli (indigenous learning system) adalah sistem belajar yang digunakan masyarakat tradisional sebagai upaya mempertahankan dan memelihara sistem sosial masyarakat demi kelangsungan hidupnya. Sistem belajar asli, secara tradisional digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis dan untuk meneruskan warisan sosial budaya dan keterampilan serta teknologi masyarakat pedesaan dari generasi ke generasi. Para ahli antropologi dan sosiologi telah memberikan perhatian pada sistem belajar asli ini, tetapi penemuan-penemuan mereka pengaruhnya sedikit terhadap kebijakan pendidikan. Memahami akan keberadaan sistem belajar asli dalam masyarakat tradisional, tidak berarti menjadikan kita mundur kebelakang pada dimensi nilai budaya asli yang kontradiktif dengan kehidupan modern. Keberadaan nilai-nilai budaya asli selayaknyalah mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional, dari pada budaya Barat yang belum tentu serasi dengan kemajemukan budaya kita yang terdiri dari ratusan suku bangsa dengan. Paulo Freire (1967: 123), sebagaimana dikutip oleh Zen (2003:16) mengemukakan bahwa pendidikan impor yang merupakan suatu bentuk kebudayaan teralienasi atau terasing semata-mata merupakan barang tempelan bagi masyarakat yang mengimpomya. Selanjutnya menurut Paulo, pendidikan semacam itu bukanlah pendidikan sejati, karena tidak ada dalam hubungan dialektis dengan konteks-nya dan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah realitas. Sistem belajar asli dalam masyarakat tradisional memiliki kekuatan sendiri dan memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi mereka. Menurut Combs, (1973:14-15), dalam Zen (2002:81), Secara minimum ada enam kebutuhan belajar esensial yaitu; (1) sikap positif terhadap kerja sama sesama manusia, (2) kemampuan membaca dan berhitung yang fungsional, (3) memiliki pandangan ilmiah dan pengertian dasar proses terhadap alam, (4) pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk mendapatkan penghasilan, (5) pengetahuan dan keterampilan untuk menghidupi keluarga, (6) pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk partisipasi warga negara dalam kehidupan nasional.

Oleh karena itu kebutuhan belajar secara minimal perlu ditingkatkan dalam masyarakat tradisional melalui nilai-nilai asli yang telah mapan dan berakar dalam kehidupan

Page 15: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

masyarakat. Soriano (1981:9) menganjurkan agar secara spesifik perlu dilihat gaya belajar, bahan dan prosedur yang membuat nenek moyang kita mampu mengembangkan kebudayaan lengkap dengan pengetahuan-pengetahuan yang berguna dan keterampilan-keterampilan secara membangun kehidupan melalui nilai-nilai asli yang telah berlangsung bertahan terhadap pengikisan akibat pengaruh-pengaruh modern yang bersifat merusak. Masyarakat tradisonal telah mengembangkan sendiri pendidikan tradisi melalui sistem belajar asli dalam proses transaksi dan adaptasi antara mereka dengan lingkungannya, dan terhadap dunianya. Proses belajar seperti ini dapat dipahami dengan menggunakan teori eksperantial learning dari Kolb (1984). Menurut Kolb (1984:38), dalam Zen (2003:15) bahwa belajar adalah suatu proses dimana pengetahuan dibangun melalui transpormasi pengalaman. Kolb mengemukakan empat tahapan dalam proses belajar berdasarkan pengalaman yang melibatkan cara belajar adaptip yaitu; concrete experience, reflective observatation. Model concrete experience/abstract concep-tualization disatu pihak dan active exsperimentation, reflective observation, di lain pihak merupakan dua dimensi masing-masing mewakili dua orientasi adaptif dapat berlawanan secara dialektis (Kolb,1984:40). Proses pendidikan semacam ini sebenamya merupakan proses belajar yang manusiawi (sesuai dengan kodrat dan perkembangan manusia). Manusia memiliki potensi keempatnya, dimana proses belajar seseorang akan mencakup proses-proses; mengalami sesuatu secara kongkrit , memikirkan secara konseptual, mengamati sesuatu sambil merenungkannya dan mencobakan sesuatu dalam situasi lain yang lebih luas.

Menurut Zen (2003:16) hal ini bertolak belakang dengan proses belajar dalam konteks pendidikan sekolah yang cenderung melakukan proses belajar secara deduktif, dari proses konseptualisasi abstrak (abstrak conceptualisation) ke proses pengalaman kongkret (concrete experience). Ada dua kontinum dalam proses belajar melalui pengalaman psikologis. Kontinum pertama, adalah proses prehension yaitu proses penangkapan sesuatu. Proses ini merentang pada dua kutub, yaitu proses apprehension dan comprehension. Kontinum kedua, adalah proses transformation yaitu proses, pengubahan pengalaman menjadi aja (learning), yang merentang dianatara dua kutub, terdiri dari tranformasi melalui intention (pemberian makna dalarn diri individu) dan transformasi melalui proses extention (penangkapan makna melalui penerapan konsep). Kedua kontinum proses psikologis tersebut merupakan dua hal yang saling mengisi, artinya seorang individu bilamana melakukan proses belajar ia akan terlibat pada seluruh proses psikologis seperti digambarkan dalam dua kontinum. Proses belajar tersebut dapat dilihat secara utuh menyeluruh. Sistem belajar asli dalam masyarakat tradisional secara dominan cenderung dipengaruhi oleh proses belajar melalui pengalaman kongkret (concrete experience), dimana mereka menangkap sesuatu objek apa adanya, tergantung penglihatannya.

Banyak kritik yang muncul terhadap sistem pendidikan nasional kita, karena salah satu aspek penting dalam pendidikan, yaitu tentang sistem pendidikan tradisi, yang tidak mendapat tempat pada kebijakan sistem pendidikan nasional. padahal pendidikan nasional adalah bagian dari kebudayaan nasional. Menurut UUD 1945 kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah yang bermutu tinggi, lalu mengapa ada cara belajar asli dengan sistem pendidikan tradisi yang tetap dianut oleh masyarakat suku bangsa pendukungnya tidak diakomodir dalam sistem pendidikan nasional kita? Menurut Combs dalam Zen (2003:14), bahwa sistem belajar asli ini umumnya diabaikan oleh para ahli pendidikan dan latihan dari barat, karena tidak cocok dengan gambaran modern dari program pendidikan dan latihan. Kadang-kadang dianggap juga sebagai saingan yang tidak dikehendaki dari model-model pendidikan terbaru. Menurut Soriano dalam Zen (2003:14) dibawah pengaruh dan orientasi asing, kita telah gagal untuk melihat secara mendalam mengenai gaya-gaya belajar asli kita, sumber-sumber belajar kita dan sistem belajar kita sebagai dasar sebagaimana kita belajar.

Page 16: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Banyak kritik dilontarkan pada dunia pendidikan sekolah yang dituding membelenggu anak-anak didik. Bahwa pendidikan kita terperangkap dalam konflik antara kebudayaan ideal dan kebudayaan minifes. Menurut anda, apakah dunia pendidikan sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya kearah tujuan tertentu yang diinginkan secara teoritis ataukah sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi realita sosial budaya yang ada.

Untuk menjawab pertanyaan apakah dunia pendidikan sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya kearah tujuan tertentu yang diinginkan secara teoritis ataukah sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi realita sosial budaya yang ada. Maka kita harus memilah dan memilih lebih dulu untuk kelompok masyarakat yang mana, di mana, kondisi sosiologis antropologisnya seperi apa, dan bagaimana.

Kalau kelompok masyarakat tersebut adalah kelompok masyarakat yang heterogen, tinggal di perkotaan, dengan kehidupan mata pencahariannya pada sektor perdagangan dan industri, maka dunia pendidikan sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya kearah tujuan tertentu yang diinginkan secara teoritis, tidak boleh tidak. Mengapa? Karena bagaimanapun pendidikan adalah sebagai dasar/modal untuk bekal kehidupan masa depan. Bagi masyarakat kota apa lagi di era globalisasi, perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan global, dengan sistem informasi dan telekomonikasi yang sudah sedemikian canggih, bila tidak dibekali dengan kurikulum yang dapat mengantisipasi masalah tersebut, maka mereka akan menjadi penonton saja di negerinya, sedangkan yang akan menjadi pemain sekaligus pemenangnya (menjadi tuan), adalah orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan tentang perdagangan, pemasaran, perindustrian, perkapalan, transportasi dan teknologi lainnya. Kemudian yang juga tidak kalah pentingnya adalah kepada kelompok masyarakat ini, harus mendapatkan bekal yang dipersiapkan dalam kurikulum pendidikannya adalah tentang social skill. Menurut Hamid Hasan (2002:8) kepada mereka harus dilatihkan bagaimana berkomunikasi, berargumentasi, disiplin, kerja keras, kerja sama, taat aturan, berkomunikasi, toleransi, hemat, kreatif, dan sebagainya. Di samping itu kurikulum harus pula mengembangkan berbagai sikap yang diperlukan untuk mendukung kemampuan dan ketrampilan sosial seperti sikap menghargai waktu, pekerjaan, karya orang lain, hormat pada prestasi kepedulian terhadap mutu dan sebagainya.

Apabila kelompok masyarakat tersebut adalah masyarakat yang secara turun temurun hidup di daerah pedalaman, pesisir, pulau-pulau terpncil, maka kurikulum sekolah harus mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi realita sosial budaya yang ada, dengan pendidikan tradisi atau cara belajar asli (indigenous learning system) yang telah dilatihkan secara turun temurun. Menurut Zen (2002:81) system belajar asli dalam masyarakat tradisional memiliki kekuatan tersendiri dan memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi mereka. Selanjutnya Zen (2003:16) mengemukakan bahwa pendidikan impor yang merupakan suatu bentuk kebudayaan teralienasi atau terasing semata-mata merupakan barang tempelan bagi masyarakat yang mengimpornya., pendidikan semacam itu bukanlah pendidikan sejati, karena tidak ada dalam hubungan dialektis dengan konteks-nya dan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah realitas.

Atau materi pendidikan untuk mereka, adalah paduan antara sains dengan materi dari pendidikan tradisi, yang telah lama berakar pada masyarakat dan kebudayan mereka, yang telah dekat dengan mereka, sehingga materi-materi seperti ini akan menjadi lebih terasa. Materi tersebut misalnya bagaimana konsep pendidikan tradisi mereka tentang astronomi; bintang Timur, bintang Barat. Navigasi; angin, arus, suhu air. Masalah-masalah pertanian, perikanan, dan lain-lain.

Page 17: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Pendidikan sebagai ujung tombak peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM)

Manusia merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa paling sempurna, karena dianugrahi akal/pikiran, perasaan, dan keinginan (nafsu). Apabila manusia dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya, maka selain bermanfaat bagi dirinya, juga akan bermanfaat bagi manusia/makhluk lainnya. Potensi tersebut akan berkembang dengan baik apabila manusia berusaha untuk mengembangkannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sumaatmadja (2000:3), bahwa: Mengatasi dan mengantisipasi masalah yang menimpa manusia dalam hal ini penduduk, sangat bergantung pada upaya dan kemampuan yang dikembangkannya. Oleh karena itu, pengembangan terutama peningkatan kualitas kemampuan SDM menjadi tuntutan dasar.

Dalam pengembangan potensi yang dimiliki oleh manusia, pendidikan memegang peranan penting. Melalui pendidikan, potensi yang belum tampak digali agar dapat berkembang, potensi yang sudah tampak dikembangkan agar dapat bermanfaat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia baik lahir maupun batin. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sumaatmadja (2002:83), bahwa: Melalui pendidikan, manusia dikaji kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangannya sebagai SDM Indonesia, untuk menyusun program serta strategi memberdayakannya. Pendidikan sebagai perekayasaan manusia, tidak seperti perekayasaan non manusia, baik hayati dan non hayati yang sifatnya mekanistik, melainkan harus menembus serta menukik lebih mendalam mengenai nalar intelektual, emosional, sosial, serta spiritualnya. Manusia tidak hanya dibina serta dikembangkan kualitas fisik-biologisnya saja, melainkan juga kesadaran penghayatan masyarakat dan budaya, sampai pada tingkat religius yang meningkatkan kualitas akhlaknya.

Pendidikan akan berhasil dalam melaksanakan misinya sebagai ujung tombak pengembangan SDM, apabila ditunjang oleh anggaran yang memadai serta guru yang berkualitas, sehingga diharapkan mampu menghasilkan pelbagai bentuk pembelajaran yang dapat mengembangkan peserta didik menjadi agen pembangunan serta mampu mempengaruhi dan membawa perubahan sosial.

Pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan SDM, sejarah telah membuktikannya. Menurut Pidarta (1997:242), bahwa sumber kebangkitan kembali perekonomian Jerman dan Jepang begitu cepat setelah Perang Dunia kedua adalah pendidikan. Kalau perekonomian Jerman maju berkat dual sistemnya dalam pendidikan, maka perekonomian Jepang berkat infrastruktur pendidikan yang baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian UNESCO yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan investasi tidak langsung dalam proses produksi.

Dari pendapat di atas jelas, apabila suatu negara ingin bangkit dan maju, maka jawabannya adalah pendidikan harus menjadi perhatian semua pihak terutama pemerintah yang memiliki otoritas. Karena dengan pendidikan semua sektor akan bergerak maju, bukan hanya ekonomi, tetapi juga demokrasi dan budaya pada umumnya. Sebaliknya apabila investasi dalam pendidikan ini kurang mendapat perhatian, maka akan mengakibatkan nilai-nilai potensial SDM sebagai modal dasar pembangunan tidak berkembang sehingga tidak berperan dalam pembangunan ekonomi. Apabila pembangunan ekonomi tidak berjalan lancar, maka pendidikan pun tersendat.

Menurut Komaruddin (2002:51-52): Pengembangan sumber daya manusia mencakup baik pendidikan yang meningkatkan pengetahuan umum dan pemahaman lingkungan keseluruhan maupun pelatihan yang menambah keterampilan dalam melaksanakan tugas

Page 18: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

yang spesifik. Pendidikan (education) sumber daya manusia merupakan proses pengembangan jangka panjang yang mencakup pengajaran dan praktik sistematik yang menekankan pada konsep-konsep teoritis dan abstrak. Sedangkan pelatihan (training) yang kadang-kadang disebut “latihan” adalah salah satu jenis proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori.

Dengan pendidikan, kita berinvestasi bukan hanya untuk kepentingan sekarang saja tetapi juga untuk kepentingan yang visioner menjangkau jauh ke depan. Artinya, pendidikan bukan hanya dapat dinikmati sekarang, tetapi juga untuk kepentingan umat manusia di masa yang akan datang. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Galbraith (1962:50): Kenyataan ialah bahwa pendidikan sangat penting sebagai bahan konsumsi maupun bentuk investasi untuk produksi dikemudian hari. Dengan demikian pendidikan memiliki peran yang ganda sebagai konsumsi dan investasi.

Dari uraian dan pendapat para pakar sebagaimana tersebut di atas jelas, bahwa pendidikan bukan hanya keharusan bagi manusia tetapi juga kebutuhan. Hal ini karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi manusia/atau makhluk lain. Dengan demikian pendidikan memiliki peranan yang strategis sebagai ujung tombak pengembangan SDM dalam rangka mewujudkan kebahagiaan lahir dan batin.

Pendidikan Indonesia dan pasar

Dalam ekonomi pasar (Komaruddin, 1993:74) keputusan-keputusan dasar ditentukan melalui pemfungsian otomatis dari sistim harga. Sumber-sumber ekonomi diarahkan kepada produksi barang-barang atau jasa-jasa yang menghasilkan marjin laba yang terbesar. Oleh karena itu juga ke arah rumah-rumah tangga yang hendak membelanjakan pendapatannya.

Lebih lanjut menurut Komaruddin mekanisme pasar dan juga sistem harga adalah pengatur utama untuk perekonomian. Ia akan membimbing perusahaan, pemilik sumber ekonomi, dan konsumen dalam membuat keputusan dan membagi-bagi sumber ekonomi dan barang-barang jadi yang relatif langka di antara pembeli-pembeli sehingga tercapai keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Mekanisme pasar memberikan konsep mekanisme yang sederhana untuk pendistribusian hasil barang keseluruhan di antara anggota perseorangan di dalam masyarakat. Sistim harga membiarkan pemilihan bebas dari perseorangan dalam pembelanjaan pendapatannya, dan sebaliknya pembelanjaan itu akan mempengaruhi keputusan produsen dan komposisi produk keseluruhan.

Sementara menurut Prawiroatmodjo (1988:76-77), bahwa: Pada prinsipnya, harga dalam ekonomi adalah sejumlah uang yang menggambarkan ukuran dari barang dan jasa yang dipertukarkan dan diperdagangkan. Barang-barang dan jasa mempunyai nilai karena dapat digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nilai yang didasarkan atas kegunaan lebih ditekankan dari segi manfaat barang dan jasa bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jadi semakin tinggi manfaat barang bagi pemenuhan kebutuhan maka makin tinggi pula nilai kegunaannya.

Selanjutnya, harga ditentukan tidak hanya oleh kegunaan tersebut, melainkan juga ditentukan oleh tingkat kejarangan atau banyaknya persediaan. Semakin jarang barang yang berguna maka makin tinggi harganya. Harga terbentuk di pasar oleh kesepakatan antara penjual (atau yang umum dikenal sebagai pihak penawaran), dengan pembeli (atau permintaan). Karena diperlukan kesepakatan, yang pada dasarnya adalah kesamaan penghargaan atas barang antara permintaan dan penawaran, maka kemudian timbul konsep keseimbangan harga pasar atau “price equilibrium”.

Page 19: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Hukum permintaan berbading terbalik dengan jumlah barang, artinya apabila harga naik, maka jumlah barang yang diminta turun; apabila harga turun, maka jumlah barang yang diminta naik. Sedangkan hukum penawaran sebanding, artinya apabila harga naik, maka jumlah barang yang ditawarkan naik; apabila harga turun, maka jumlah barang yang ditawarkan turun.

Dari uraian dan pendapat para pakar sebagaimana tersebut di atas, pendidikan Indonesia tidak dapat mengelak dari pasar yang bergerak menurut hukum permintaan dan penawaran. Artinya rakyat sebagai pembeli bebas memilih lembaga pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Tetapi tidak sepenuhnya dapat diserahkan kepada pasar, karena pemerintah secara konstitusional berkewajiban melindungi warganya yang tidak mampu baik secara fisik, mental, dan terutama material. Hal ini karena kalau sepenuhnya diserahkan kepada pasar akan terjadi kesenjangan yang jauh, di mana yang kaya dapat dengan leluasa memperoleh pendidikan dengan segala fasilitas, sementara yang miskin akan semakin tersingkirkan karena ketidakmampuan secara materaial. Untuk itu sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (4): Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pendidikan Indonesia dan Mazhab Marjinalis

Menurut Komaruddin (2001:64), lahirnya mazhab Marjinalis berkaitan dengan masalah ekonomi-sosial yang masih belum terpecahkan sekalipun revolusi industri yang dimulai di sekitar tahun 1750 telah berlalu seratus tahun lamanya. Yang terjadi malahan menyebarnya kemiskinan, meskipun produktivitas naik dengan sangat cepat. Suatu pembuktian sejarah bahwa naiknya pendapatan nasional tidak selalu dapat menjamin pemerataan di antara lapisan-lapisan masyarakat.

Adapun jasa mazhab Marjinalis (Komaruddin, 2001:63) adalah keberhasilannya dalam memecahkan masalah antinomi nilai, yakni paradoks ekonomi, yang tidak pernah terpecahkan oleh kaum Klasik. Antinomi nilai ini tampak dari kenyataan bahwa barang yang memiliki nilai pakai yang tinggi (seperti udara dan air bebas), sebaliknya memiliki nilai tukar sedikit, atau bahkan tidak memiliki nilai tukar sama sekali, sedangkan barang yang memiliki nilai tukar yang tinggi (seperti mutiara) ternyata memiliki nilai pakai yang umumnya rendah. Untuk memecahkan teka-teki itu, Marjinalis mengatakan bahwa nilai barang bukan sesuatu yang hanya melekat pada barang itu saja (nilai ojektif). Mereka menyatakan bahwa nilai itu seharusnya mendasarkan diri pada subjek penilai, karena pada hakikatnya nilai itu adalah hasil hubungan antara manusia dan barang (nilai subjektif).

Menururt Jacob Oser dan Stanley L. Brue (Komaruddin, 2001:65-69) dalam garis besarnya konsep dasar mazhab Marjinalis dapat dihimpun dalam 10 prinsip atau tema pokok, yaitu sebagai berikut:

1. Analisis terpusat pada konsep marjinal. Mazhab Marjinalis memusatkan diri pada titik perubahan, atau dengan perkataan lain, pada marjin.

2. Penekanan pada mikroekonomi. Bagi mazhab Marjinalis, pribadi dan perusahaan individuallah yang mengambil alih peranan sentral; bukan institusi, bukan pula keseluruhan.

3. Penggunaan metode abstrak-deduktif. Bagi kaum Marjinalis untuk memperoleh kesimpulan lain atau kesimpulan khusus mereka berangkat dari kesimpulan umum.

Page 20: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

4. Pendekatan keseimbangan. Kaum Marjinalis yakin benar bahwa kekuatan ekonomi umumnya cenderung menuju keseimbangan-penyeimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan (a balancing of opposing forces).

5. Pengintegrasian tanah dan modal. Kaum Marjinalis cenderung memadukan tanah dan modal dalam analisis dan sekaligus beranggapan, bahwa bunga, sewa, dan laba sebagai hasil untuk sumber daya pemilikan.

6. Perilaku ekonomi rasional. Kaum Marjinalis berasumsi bahwa manusia bertindak rasional dalam menyeimbangkan kesenangan (pleasure) dan sakit (pains), dalam mengukur guna marjinal barang-barang yang berbeda, dan dalam menyeimbangkan kebutuhan sekarang dan kelak.

7. Keterlibatan pemerintah minimal. Kaum Marjinalis melanjutkan anggapan fundamental kaum Klasik mengenai keterlibatan pemerintah minimal dalam ekonomi sebagai kebijakan yang terbaik.

8. Penekanan pada persaingan murni. Umumnya analisis kaum Marjinalis bekerja berdasarkan asumsi persaingan murni (pure competition).

9. Teori harga berkiblat pada permintaan. Sesuai dengan teori nilai subjektifnya (yang melihat dari sudut konsumen), untuk kaum Marjinalis awal, variabel permintaan menjadi kekuatan primer dalam penentuan harga.

10. Penekanan pada guna subjektif. Kaum Marjinalis berpendapat bahwa permintaan tergantung pada guna marjinal yang merupakan gejala sujektif-psikologis.

Dari 10 prinsip pokok ajaran mazhab Marjinalis ada beberapa yang dapat diterapkan dalam sektor pendidikan di Indonesia, di antaranya: Penggunaan metode abstrak-deduktif, pendekatan keseimbangan, perilaku ekonomi rasional, penekanan pada persaingan murni, dan teori harga berkilat pada permintaan. Tetapi dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan, karena terlalu berpihak kepada yang mapan baik secara ekonomi maupun politik. Sementara yang lemah/miskin semakin tersingkirkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Jacob Oser dan Stanley L. Brue (Komaruddin, 2001:69-70), bahwa mazhab Marjinalis menguntungkan beberapa golongan masyarakat di antaranya dapat terlihat dari kenyataan-kenyataan sejarah berikut:

1. Kaum Marjinalis ingin mengembangkan perhatian seluruh kemanusiaan melalui pengembangan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana suatu sistem pasar dengan mengalokasikan sumber-sumber daya dan sekaligus mendorong kebebasan ekonomi yang telah lebih dahulu dirintis oleh kaum Klasik.

2. Dengan menunjukkan bahwa, di bawah suasana persaingan, pembayaran yang diterima oleh kaum buruh akan sama dengan sumbangan mereka kepada nilai produk, kaum Marjinalis membantu menentang seruan kaum Marxis untuk mengadakan revolusi yang dilakukan oleh kaum proletar.

3. Sekalipun demikian, Marjinalisme (yaitu, ilmu ekonomi yang berhubungan dengan liberalisme ekonomi atau konservatisme politik) juga menguntungkan mereka yang kepentingannya hanya sekedar mempertahankan status quo. Mereka adalah kelompok yang ingin menentang perubahan.

4. Kaum Marjinalis, dengan teorinya yang sangat menarik, menguntungkan para majikan (walau pada umumnya mereka tidak memahaminya benar-benar) dengan menentang serikat-serikat buruh dan dengan menghubungkan pengangguran dengan upah yang tingginya tidak alamiah, tidak luwes ketika harus menurun, atau kedua-duanya.

5. Kaum Marjinalis pun membela para pemilik tanah terhadap serangan yang didasarkan pada teori sewa tanah diferensial dari Ricardo.

6. Akhirnya kaum Marjinalis juga menguntungkan kaum berada, yang umumnya menentang intervensi pemerintah yang dapat membawa kepada redistribusi pendapatan.

Page 21: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Kebijakan pendidikan untuk mengatasi permasalahan ekonomi pendidikan

Ekonomi Pendidikan (Muchtar, et al, 1991:20) adalah salah satu cabang studi dalam ilmu pendidikan yang dapat pengaruh besar dari perkembangan dan hasil penelitian ilmu ekonomi. Studi ekonomi pendidikan antara lain berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah salah satu faktor kehidupan manusia yang berperanan sebagai investasi/penanaman modal yang berupa kemampuan manusia. Objek pokok dalam studi ekonomi pendidikan adalah analisis tentang laba dan rugi usaha pendidikan dalam menunjang pencapaian kemakmuran.

Menurut Pidarta (1997:243) peranan ekonomi dalam dunia pendidikan cukup menentukan, tetapi bukan pemegang peranan utama. Sebab ada hal lain yang lebih menentukan hidup dan matinya dan maju mundurnya suatu pendidikan. Memang benar dalam dunia modern ini lebih-lebih pada zaman pasca modern seperti sekarang, hampir semuanya dikendalikan oleh uang. Sehingga tidak mengherankan kalau tujuan kebanyakan orang bersekolah adalah agar bisa mencari uang atau meningkatkan penghasilan.

Namun kenyataan menunjukkan, orang-orang yang bergelimang harta atau uang tidak menjamin merasa bahagia dan damai hidupnya. Kenyataan ini pula yang menyebabkan orang-orang Barat dari negara kaya yang sudah mapan hidupnya karena berlebihan uang, banyak yang mencari kedamaian ke dunia Timur. Mereka menoleh ke Timur untuk menemukan kedamaian dalam kehidupan. Sebab mereka melihat banyak orang Timur yang walaupun hidup serba pas-pasan namun hatinya tentram.

Lebih lanjut menurut Pidarta (1997:243) dunia pendidikan adalah lembaga yang berkewajiban mengembangkan individu manusia. Ke arah mana tujuan hidup seseorang dan hidup yang bagaimana diinginkannya banyak dipengaruhi oleh pendidikan yang dia terima di sekolah dan perguruan tinggi. Melihat kenyataan tersebut di atas, sudah tentu pendidikan tidak akan membawa peserta didik ke arah hidup yang membingungkan, menyusahkan, dan sengsara, walaupun bisa mencari uang banyak. Ini berarti dunia pendidikan bukan dunia bisnis tempat berlatih mencari uang, melainkan dunia pendidikan tempat peserta didik belajar agar bisa hidup wajar dan damai.

Sebagai tempat pembinaan, pendidikan tidak memandang ekonomi sebagai pemeran utama seperti halnya di dunia bisnis. Ekonomi hanya sebagai pemegang peran yang cukup menentukan. Sebab tanpa ekonomi yang memadai dunia pendidikan tidak akan bisa berjalan dengan baik dan lancar. Sekolah yang tidak punya alat peraga akan membuat pemahaman anak-anak menjadi dangkal. Sekolah yang tidak mampu membeli buku baru, akan membuat pengetahuan yang diberikan kepada anak-anak ketinggalan zaman. Demikian besar dampak negatif pendidikan yang ekonominya terbatas.

Namun situasi ekonomi tersebut di atas, tidak mesti mengakibatkan suatu sekolah menjadi mati. Ada hal lain yang lebih menentukan hidup matinya dan maju mundurnya suatu lembaga pendidikan dibandingkan dengan ekonomi, yaitu dedikasi, keahlian, dan keterampilan pengelola serta guru-gurunya. Sebetulnya inilah yang merupakan kunci keberhasilan suatu sekolah. Menurut Wahab (1998:7), bahwa: Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak inovasi pendidikan yang telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan sama sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena para guru kurang memperoleh informasi dan karena kurangnya komitmen profesional. Artinya kalau pengelola/penyelenggara dan guru-guru memiliki dedikasi yang memadai, ahli dalam bidangnya masing-masing, dan memiliki keterampilan

Page 22: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

yang mencukupi dalam melaksanakan tugasnya, besar kemungkinan lembaga itu akan sukses melaksnakan misinya, walaupun dengan ekonomi yang tidak memadai.

Sebagai contoh (Pidarta, 1997:244-245) adalah perguruan Santiniketan di India yang dikelola oleh Rabindranat Tagore. Satu-satunya modal yang dimiliki oleh perguruan ini adalah semangat dan cita-cita tinggi untuk membina anak-anak, ketika perguruan itu mulai berdiri. Mereka belajar di bawah pohon-pohon yang rindang untuk menghindarkan diri dari kepanasan dan kehujanan. Para siswa belajar sambil duduk-duduk mendengarkan guru bercerita. Untuk mendapatkan nafkah dan untuk mempertahankan hidupnya para siswa belajar sambil bekerja. Mereka bercocok tanam, berternak, mengerjakan kerajinan tangan dan sebagainya di sekitar perguruan itu. Dari hasil ini dan sumbangan-sumbangan lain mereka mulai meningkatkan sarana belajar, alat-alat belajar, dan materi pelajaran. Mereka para siswa dan guru hidup sebagai kelompok besar dalam suatu asrama. Toleransi dan kegotongroyongan mereka tampak sangat besar. Anak-anak taat dan patuh kepada petunjuk-petunjuk gurunya. Demikianlah walaupun perguruan itu tidak dimulai dengan tunjangan dana yang memadai, perguruan itu bisa berdiri, hidup, dan semakin maju berkat dedikasi, keahlian, dan keterampilan pengelola atau penyelenggara dan guru-gurunya.

Di Indonesia, kondisi seperti tersebut di atas terlihat di lembaga pendidikan pondok pesantren. Walaupun demikian pesantren tetap vital sebab kerjasama mereka dengan orang tua dan masyarakat sangat baik, di samping dedikasi mereka tinggi. Contoh ini menunjukkan bahwa ekonomi bukan pemegang peranan yang terpenting dalam memajukan pendidikan. Peran ekonomi hanya cukup menentukan.

Fungsi ekonomi dalam dunia pendidikan adalah untuk menentukan kelancaran proses pendidikan. Bukan merupakan modal untuk dikembangkan, bukan untuk mendapatkan keuntungan. Ekonomi pendidikan sama fungsinya dengan sumber-sumber pendidikan yang lain, seperti guru, kurikulum, alat peraga, dan sebagainya, untuk menyukseskan misi pendidikan, yang semuanya bermuara pada perkembangan peserta didik. Ekonomi merupakan salah satu bagian sumber pendidikan yang membuat anak mampu mengembangkan afeksi, kognisi, dan keterampilan. Termasuk memiliki keteramnpilan tertentu untuk bisa menjadi tenaga kerja yang andal atau mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, cinta pada pekerjaan halus maupun kasar, memiliki etos kerja, dan bisa hidup hemat.

Selain sebagai penunjang proses pendidikan, ekonomi pendidikan juga berfungsi sebagai mata pelajaran masalah ekonomi dalam kehidupan manusia. Seperti diketahui, anak-anak jika dewasa kelak, hidupnya tidak akan bisa lepas dari masalah-masalah ekonomi. Oleh sebab itu, salah satu tugas perkembangan yang harus mereka laksanakan adalah mengembangkan diri bertalian dengan ekonomi. Untuk mencapai sasaran itu pendidikan perlu menyiapkan materi atau lingkungan belajar yang mengandung perekonomian. Materi ini tidak harus merupakan bidang studi tersendiri, melainkan dapat diselipkan pada pelajaran-pelajaran yang lain. Dalam matematika anak-anak dapat belajar perkalian, pembagian, penambahan, pengurangan, dan soal-soal jual beli sederhana. Dalam pelajaran IPS dapat dimasukkan prinsip-prinsip ekonomi. Dalam pelajaran PKn dapat dimasukkan sikap-sikap hidup sederhana dan hemat. Begitu seterusnya pada mata pelajaran yang lain. Dan dalam waktu tertentu ada baiknya menciptakan pengalaman khusus yang mengandung ekonomi, misalnya survei tentang tatacara perdagangan di pasar tradisional dan toko swalayan. Atau anak-anak disuruh mencari masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat untuk dicari pemecahannya bersama.

Adapun kebijakan pendidikan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan ekonomi pendidikan tercantum dalam GBHN 1999-2004, yaitu sebagai berikut:

Page 23: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga tenaga kependidikan.

3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.

4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.

5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.

6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen potensinya.

Sementara menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kebijakan pendidikan untuk mengatasi permasalahan ekonomi pendidikan, anatara lain:

1. Pasal 46 ayat (1): Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

2. Pasal 47 ayat (1): Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

3. Pasal 48 ayat (1): Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

4. Pasal 49 ayat (1): Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendpatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kontribusi ilmu ekonomi pendidikan dalam memecahkan masalah pengangguran di Indonesia.

Ilmu ekonomi pendidikan (Komaruddin, 2004) adalah suatu ilmu yang mengkaji bagaimana manusia, baik secara perseorangan maupun dalam kelompok masyarakat, membuat keputusan dalam upaya mengefektifkan sumber-sumber daya yang terbatas dengan efisien agar dapat menghasilkan pelbagai bentuk pembelajaran untuk menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai.

Definisi ini menekankan pentingnya dimensi teknis (efisiensi dan efektivitas) penggunaan sumber daya pembangunan (sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya kebudayaan) sehingga masukan dalam bentuk biaya (cost) itu dapat mencapai keluaran (output) pendidikan yang optimal dan manfaat (benefit) yang maksimal. Definisi ini juga menghubungkan proses pembuatan keputusan untuk mengefektifkan sumber-sumber

Page 24: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

daya pembangunan dengan bentuk pembelajaran, termasuk pengembangan (development) dan pelatihan (training).

Misi definisi ini menerangkan berbagai hambatan yang mengakibatkan lemahnya peran pendidikan dalam pembangunan. Definisi ini mengembangkan teori “modal insani” (Human Capital). Teori modal insani menjelaskan terjadinya gejala yang disebut kekurangan dalam investasi dalam pendidikan (Underinvesment in Education) yang mengakibatkan nilai-nilai potensial sumber daya manusia tidak berkembang sehingga tidak berperan dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam pertumbuhan produktivitas nasional (economic growth) dan pemerataan ekonomi (economic justice).

Definisi lain mengatakan (Komaruddin, 2004), bahwa ilmu ekonomi pendidikan adalah suatu ilmu yang mengkaji bagaimana manusia, baik secara perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, membuat keputusan untuk menggunakan sumber-sumber daya pembangunan agar dapat menghasilkan pelbagai bentuk pembelajaran yang dapat mengembangkan peserta didik menjadi agen pembangunan sehingga mereka mampu mempengaruhi dan membawa perubahan sosial (dipengaruhi oleh kaum Rekonstruksionis Sosial).

Definisi ini menunjukkan perhatiannya kepada hubungan kurikulum dan pembangunan keseluruhan. Penganutnya percaya bahwa pendidikan dapat mempengaruhi perubahan sosial, misalnya, dalam mengubah nilai-nilai sebagai inti kebudayaan ke arah yang lebih baik. Definisi ini menghendaki agar kurikulum itu tidak menjadi “raksasa yang malas” (a lazy giant) karena sulit beradaptasi kepada perubahan sosial yang sedang berlangsung. Definisi ini menyarankan agar para peserta didik menggunakan konsep baru yang sedang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial, etika, dan estetika untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah sosial. Oleh karena kurikulum itu bertugas untuk mengantarkan peserta didiknya menjadi agen pembangunan (dalam arti seorang agen yang membawa perubahan sosial). Sementara perkembangan kebudayaan mempunyai karakter evolusionistik, maka pendidikan hendaknya dapat menghasilkan konsep kurikulum sintetis. Kurikulum sintetis ini akan terwujud apabila kurikulum rekonstruksi sosial dan kurikulum humanistik itu dipadukan. Kurikulum sintetis tersebut, melalui pendekatan kontingensial atau situasional, akan menyajikan pengalaman secara intrinsik bermakna dalam pembebasan dan perkembangan individu peserta didik yang dengan serta merta menjadikan perkembangan sosial sebagai masukan yang juga bermakna bagi pengalaman peserta didik dalam membuat keputusan yang berguna bagi dirinya dan bagi lingkungannya.

Menurut Pidarta (1997:242), dalam masa pembangunan Indonesia sekarang, pengembangan perilaku ekonomi mendapat tempat yang strategis, dengan munculnya kebijakan Link and Match. Kebijakan ini meminta dunia pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan pasaran kerja, yang mencakup mutu, jumlah, dan jenisnya.

Sedangkan menurut Suderadjat (2004:36-37), bahwa: Akhir dari suatu proses pendidikan adalah dunia kerja, baik bidang akademik ataupun kejuruan. Lulusan sekolah ataupun pendidikan tinggi hendaknya mampu memasuki dunia kerja yang begitu luas, sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu siswa di sekolah dasar dan menengah hendaknya mendapatkan pendidikan berbasis luas (broad-based education) agar mereka memiliki kecakapan hidup yang bersifat umum (general life skill) sebagai fondasi yang luas. Tujuan pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup dicapai dengan penyelenggaraan pembelajaran yang berbasis kompetensi (competency-based instruction). Ada tiga dimensi yang hendaknya diperhatikan dalam pembelajaran berbasis kompetensi yang bermuara pada kecakapan hidup. Pertama, adalah dimensi kecakapan proses, dan kedua adalah dimensi materi. Kedua dimensi ini dapat dikuasai siswa secara serempak dalam KBM

Page 25: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

dengan metode yang sesuai, misalnya “discovery learning”. Dimensi yang ketiga, adalah kecakapan siswa dalam mengaplikasikan kompetensi dasar dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian dan pendapat para pakar sebagaimana tersebut di atas, betapa besar kontribusi ilmu ekonomi pendidikan dalam memecahkan masalah pengangguran di Indonesia. Hal ini terlihat dari upaya kajian ilmu ekonomi pendidikan untuk mengefektifkan sumber-sumber daya yang terbatas dengan efisien dan menggunakan sumber-sumber daya pembangunan agar dapat menghasilkan pelbagai bentuk pembelajaran untuk menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai serta dapat mengembangkan peserta didik menjadi agen pembangunan sehingga mereka mampu mempengaruhi dan membawa perubahan sosial. Dengan kata lain ilmu ekonomi pendidikan memberikan kontribusi agar peserta didik mempunyai kecakapan hidup (life skill) dan hasil pendidikan tersebut relevan dengan dunia kerja yang secara ekonomis dapat menguntungkan sehingga diharapkan dapat membantu memecahkan masalah pengangguran.

DAFTAR PUSTAKAGalbraith, J.K. (1994). Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif. Diterjemahkan oleh Mochtar, K. Jakarta: PT

Pembangunan.

Komaruddin. (2001). Sejarah Pemikiran Ekonomi. Bandung: Kappa-Sigma.

______. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Kappa-Sigma.

______. (1993). Pengantar Kebijaksanaan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara.

______. (2004). Kumpulan Materi Kuliah Ekonomi dan Sumber Daya Pembangunan. Bandung: Tidak diterbitkan.

Muchtar, O. el al. (1991). Dasar-dasar Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung.

Pidarta, M. (1997). Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Prawiroatmodjo, D. (1988). Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Ekonomi di Negara-negara Dunia Ketiga. Jakarta: Depdikbud.

Suderadjat, H. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bandung: Cipta Cekas Grafika.

Sumaatmadja, N. (2000). Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

______. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta.

Wahab, A.A. (1998). Reorientasi dan Revitalisasi Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah. Bandung: PPS IKIP Bandung.

______. (2002). UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Sinar Grafika.

______. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Jakarta: Sinar Grafika.

______. (2000). GBHN 1999-2004. Bandung: Pustaka Setia.

1. Menurut Muhammad Yamin “Sejarah Nasional Indonesia adalah sejarah perjalanan/perjuangan bangsa Indonesia setelah merdeka” (Frederick dan Soeri Soeroto, 1982:53). Dengan demikian yang menjadi titik tolak sejarah nasional Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pendapat senada dikemukakan oleh Taufik Abdullah (1990:12-13) yang menyatakan bahwa: “Sejarah Nasional Indonesia diartikan sebagai sejarah dari bangsa yang disebut Republik Indonesia”. Adapun sejarah yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia dari mulai ditemukannya sumber-sumber tulisan, zaman kerajaan-kerajaan, masa penjajahan sampai sekarang merupakan sejarah Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kartono Kartodirjo (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto:1984) yang menyatakan bahwa: “Sejarah Indonesia yang wajar ialah sejarah

Page 26: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

yang mengungkapkan sejarah dari dalam di mana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok”. Pendapat senada dikemukakan oleh Muhammad Ali (1963:105) yang menyatakan bahwa “Sejarah Indonesia adalah sejarah yang membahas manusia Indonesia sebagai inti dalam sejarah”. Jadi sejarah Indonesia itu tidak terikat oleh ruang dan waktu artinya bisa kapan saja di mana saja asal yang menjadi inti dalam sejarah itu adalah manusia Indonesia. Dalam konteks keilmuan antara sejarah Indonesia dengan sejarah Nasional Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, karena untuk memahami sejarah Nasional Indonesia akan mengalami kesulitan tanpa mengetahui sejarah Indonesia secara keseluruhan. Adapun fungsi dan peran Sejarah Nasional Indonesia menurut Sartono Kartodirjo (1994:5), yaitu sebagai berikut:a. membenarkan eksistensi negara nasion Indonesia;b. melegitimasikan kebangsaan Indonesia sebagai produk perkembangan historis;c. kesadaran nasional berakar pada kesadaran sejarah, yang dapat berfungsi sebagai

inspirasi kebangsaan nasional dan memperkuat kebangsaan Indonesia;d. kesadaran sejarah memantapkan identitas nasional sebagai simbol solidaritas

nasional;e. membentuk serta memantapkan wawasan historis yang melihat bahwa being pada

hakekatnya adalah suatu becoming, jadi senantiasa melihat aspek dinamis segala sesuatu yang tampaknya statis, dengan perkataan lain bahwa setiap proses terkait dengan hal-hal prosesual.

Lebih lanjut dalam tulisannya yang lain Sartono Kartodirjo (1997:132) mengatakan bahwa: “Apabila sejarah nasional dianggap berfungsi sebagai lambang identitas angsa Indonesia maka secara implisit pokok pikiran unity atau kesatuan perlu merujuk dengan prinsip kesatuan di dalam Manipesto Politik ditegaskan sebagai conditio sine qua non bagi perjuangan gerakan ke Indonesia merdeka. Dapat disimpulkan di sini bahwa prinsip kesatuan menjadi ideologi unitarianisme. Ini selaras dengan azas nasionalisme sebagai counter ideologi kolonialisme yang senantiasa berusaha menghidupkan tradisionalisme, feodalisme dan federalisme, kesemuannya mendukung kekuatan yang menentang unitarianisme”.

Untuk melaksanakan fungsi dan peran Sejarah Nasional Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, maka pengembangan FPIPS, ke arah memperkuat FPIPS sebagai lembaga yang memiliki kewengan akademik untuk mengembangkan PIPS sebagai disiplin ilmu pendidikan disiplin ilmu sebagai dasar akademik dalam menyelenggarakan berbagai program pendidikan untuk memperhatikan ilmu sosial melalui pembentukan jurusan dan fakultas untuk kepentingan tersebut. Pengembangan misi PIPS, menyelenggarakan pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang profesional memiliki daya kompetitif tinggi khususnya dalam PIPS dan bidang ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejalan dengan visi dan misi tersebut keberadaan jurusan sejarah di lingkungan FPIPS memperlihatkan kemajuan dalam pandangan keilmuan. Disiplin sejarah dikelompokkan sebagai salah satu disiplin ilmu sosial, meninggalkan tradisi lama yang memasukkannya sebagai bagian dari humaniora (UPI: Menyongsong Hari Esok, 2003:52-53). Adapun salah satu tujuan PIPS menurut Numan Somantri (2001:260) “ialah untuk membentuk warga negara yang baik”. Salah satu indikator warga negara yang baik adalah warga negara yang menghargai jasa para pahlawan. Untuk mengetahui dan memahami jasa para pahlawan maka pendidikan Sejarah Nasional Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Dengan memahami Sejarah Nasional Indonesia diharapkan peserta didik dapat mengambil hikmahnya dengan melihat kebelakang untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Page 27: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

2. Membahas sejarah Indonesia tidak akan lepas dari menyoroti agama Islam di Indonesia sejak kedatangannya sampai dengan perannya dalam perjuangan menegakan dan mengisi kemerdekaan. Hal ini selain karena penduduk Indonesia mayoritas menganut agama Islam juga karena fungsi dan perannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Untuk itu tepat apa yang dilakukan M.C. Ricklefs dalam mengawali bukunya A History of Modern Indonesia c. 1200 dengan membahas kedatangan Islam di Indonesia. Menurut Ricklefs penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas. Ketidakjelasan ini bisa jadi karena Islam masuk dan disebarkan di Indonesia secara damai dan diam-diam melalui perdagangan. Tampaknya para pedagang yang beragama Islam sudah ada di beberapa bagian Indonesia selama beberapa abad sebelum agama Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat-masyarakat lokal. Kapan, mengapa, dan bagaimana penduduk Indonesia mulai menganut agama Islam telah diperdebatkan oleh beberapa ilmuwan, tetapi tidak mungkin dicapai kesimpulan yang pasti, karena sangat sedikitnya dan sering sangat tidak informatifnya sumber-sumber yang dapat diperoleh tentang islamisasi. Pada umumnya ada kemungkinan berlangsungnya dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina, dll.) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan campuran, dan mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian rupa, sehingga sebenarnya mereka itu sudah menjadi orang Jawa atau melayu atau anggota suku lainnya. Kedua proses ini mungkin telah sering terjadi bersamaan, dan apabila sedikit pertunjuk yang masih dapat diperoleh menunjukkan, misalnya, bahwa suatu wangsa yang beragama Islam telah berdiri kokoh di suatu wilayah, maka seringkali mustahil untuk mengetahui mana yang lebih penting di antara kedua proses itu.Petunjuk yang paling dapat dipercaya mengenai penyebaran agama Islam berupa prasasti-prasasti Islam (keanyakan batu-batu nisan) dan beberapa catatan musafir, di antaranya:

a. Batu nisan Islam yang tertua ditemukan di Leran, Jawa Timur, dan berangka tahun 475 H (1082 M). Ini adalah batu nisan seorang wanita, putri seseorang yang bernama Maimun.

b. Pada tahun 1292 seorang musafir Venesia yang ernama Marco Polo singgah di Sumatra dalam penjalanan pulangnya dari Cina, dia berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.

c. Tahun 696 H (1297 M) ditemukan batu nisan penguasa pertama Samudra yang beragama Islam yaitu Sultan Malik as-Salih, kemudian batu-batu nisan berikutnya menunjukkan bahwa sejak akhir abad XIII bagian Sumatera Utara ini tetap berada di bawah penguasa Islam.

d. Musafir Maroko, Ibn Battuta, melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Cina para tahun 1345 dan 1346, mendapati bahwa penguasanya adalah seorang pengikut mazhab Syafi’i.

e. Pada abad XIV dari Minye Tujon di Sumatera Utara ditemukan dua batu nisan yang menunjukkan tahun meninggalnya seorang putri Sultan Malik as-Zahir. Masih dari abad XIV diperoleh bukti mengenai penyebaran Islam ke Trengganu (di Malaysia Timur Laut sekarang) dan ke Jawa Timur. Batu Trengganu merupakan sebuah fragmen dari suatu maklumat hukum Islam.

f. Tahun S 1290 (1368-1369 M) di Trowulan dan tahun S 1533 (1376-1611 M) di Troloyo ditemukan beberapa batu nisan yang memuat kutipan-kuitpan dari Al Qur’an dan formula-formula amal saleh.

g. Pada tahun 1416 seorang muslim Cina, Ma Huan yang mengunjungi daerah pesisir Jawa memerikan lapaoran bahwa hanya ada tiga macam penduduk di Jawa: orang-

Page 28: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

orang muslim dari barat, orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam), dan orang Jawa yang menyembah berhala.

h. Tahun 822 H (1419 M) di Gresik Jawa Timur ditemukan batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim salah seorang dari wali sanga.

i. Pada abad XV di Malaka ditemukan batu nisan Sultan Malaka keenam, Mansur Syah (wafat tahun 82 H/1477 M), kemudian ditemukan pula batu nisan Sultan Pahang yang pertama, Muhammad Syah (wafat tahun 880 H/1475 M). Di Pangkalan Kempas di Negeri Sembilan ditemukan sebuah prasasti yang menunjukkan bahwa daerah itu sedang berada dalam masa peralihan menjadi suatu daerah Islam pada tahun 1460 M.

j. Pada akhir abad XV dan XVI memeri bukti tentang berdirinya negara-negara Islam di Sumatera Utara. Sultan Pedir pertama, Muzafar Syah dimakamkan pada tahun 902 H (1497 M) dan sultan yang kedua, Ma’ruf Syah, pada tahun 917 H (1511 M). Pada awal abad XVI di Aceh berdiri kerajaan yang terkuat di kawasan Malaya-Indonesia, Sultan pertamanya bernama Ali Mughayat Syah, batu nisannya bertarikh 936 H (1530 M).

3. Dalam masa Revolusi Kemerdekaan tahun 1945 sampai 1950 diplomasi dan perang merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Jika perang mengalami kelesuan/kegagalan maka ditempuh jalur diplomasi, dan jika diplomasi sebagai cara damai dalam perjuangan mengalami kegagalan maka tidak ada pilihan lain kecuali perang. Baik diplomasi maupun perang sama-sama bertujuan menegakkan kemerdekaan yang pada waktu itu Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia, bahkan Belanda melakukan tekanan-tekanan berupa agresi militer dan politik pecah belah melalui pembentukan negara federal. Terhadap trik-trik Belanda tersebut para pejuang kita tidak tinggal diam, mereka berjuang terus sesuai dengan caranya masing-masing demi tegaknya kemerdekaan tanah air tercinta. Dalam perjuangan tersebut para pejuang kita terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menempuh jalur diplomasi dan kelompok yang menempuh jalan konfrontasi total (perang). Bung Karno, Muhammad Hatta, dan Sutan Syahrir menginginkan perjuangan ditempuh melalui jalur diplomasi, sedangkan Tan Malaka dan kelompoknya menghendaki konfrontasi total terhadap Belanda (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984:128). Akibat kurang koordinasi kedua kelompok tersebut sering terjadi benturan yang dapat memperlemah posisi dan strategi perjuangan, padahal sebenarnya mereka dapat saling menunjang karena tujuannya sama yaitu memperjuangkan tegaknya kemerdekaan. Di antara jalur diplomasi yang ditempuh para pejuang kita dalam menegakkan kemerdekaan pada masa revolusi 1945-1950, yaitu:a. Perundingan Linggarjati tanggal 10 November 1946, dengan keputusan sebagai

berikut:1) Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah

negara berdasarkan federasi, yang dinamai Negara Indonesia Serikat.2) Pemerintah RIS akan bekerjasama dengan pemerintah Belanda membentuk Uni

Indonesia-Belanda (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984:132).

b. Perundingan Renville antara Belanda dengan RI tanggal 8 Desember 1947 di kapal AS, Renville, dengan keputusan sebagai berikut:1) Persetujuan gencatan senjata yang antara lain berisi ketentuan diterimanya garis

demarkasi van Mook.2) Dasar-dasar Politik Renville yang pada pokoknya berisi kesediaan kedua pihak

untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan jalan damai dan dengan bantuan Komisi Tiga Negara (KTN).

Page 29: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

3) Enam pasal tambahan dari KTN yang antara lain berisi ketentuan bahwa kedaulatan atas Indonesia tetap di tangan Belanda selama masa peralihan sampai kemudian kedaulatan diserahkan kepada pihak NIS (G. Moedjanto, 1993:22).

c. Perundingan Rum-Royen tanggal 14 April 1949, dengan keputusan sebagai berikut:1) Pengeluaran perintah oleh pihak RI kepada kesatuan-kesatuan bersenjata RI untuk

menghentikan perang gerilya, sedangkan pemerintah dan pemimpin-pemimpin RI dipulihkan kembali ke Yogyakarta.

2) Kerja sama dalam pemulihan perdamaian, dan pemeliharaan ketertiban dan keamanan.

3) Belanda akan menyokong RI untuk menjadi negara bagian dari RIS dengan mempunyai sepertiga suara dalam Perwakilan Federal.

4) Ikut serta dalam KMB di Den Hag untuk mempercepat penyerahan kedaulatan tanpa syarat, nyata dan lengkap (G. Moedjanto, 1993:53).

d. Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Hag Belanda dengan keputusan sebagai berikut:1) Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada RIS pada akhir bulan Desember

1949.2) Penyelesaian masalah Irian Barat ditunda selama satu tahun setelah penyerahan

kedaulatan.3) Uni Indonesia-Belanda akan dibentuk.4) KNIL dibubarkan dan kemudian diintegrasikan ke dalam APRIS (G. Moedjanto,

1993:57).Jalur diplomasi yang ditempuh oleh pemerintah Sjahrir sebagaimana dikemukakan di atas banyak mendapat kritik dari kelompok yang menginginkan konfrontasi total dengan Belanda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Andi Suwirta (2001: 90-91), yang menyatakan bahwa: “Kebijaksanaan politik diplomasi yang dijalankan pemerintah Sjahrir dengan melakukan serangkaian perundingan dengan pihak Belanda, tidak pelak lagi, menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Bagi mereka yang pro, politik diplomasi itu dipandang sebagai tindakan yang paling realistis dan menguntungkan bagi kemerdekaan Indonesia apabila dikalkulasi secara cermat berdasarkan kekuatan-kekuatan nasional dan internasional yang sedang berubah. Sedangkan bagi yang kontra, politik diplomasi itu dipandang sebagai tindakan banci, tidak sesuai dengan elan perjuangan revolusi, dan banyak memberi kesempatan kepada pihak Belanda untuk mengonsolidasikan kekuasannya di Indonesia. Pro dan kontra terhadap masalah itu akhirnya tidak hanya melanda elit politik Indonesia, tetapi juga termasuk para jurnalis pers yang memang bertugas menggalang opini publik”.

Adapun perjuangan yang ditempuh oleh para pejuang kita dalam rangka menegakkan kemerdekaan pada masa revolusi 1945-1950 melalui jalan perang di antaranya sebagai berikut:

1. Pertempuran Surabaya, antara “arek-arek Suroboyo” dengan Sekutu dan NICA yang mencapai puncaknya pada tanggal 10 November 1945.

2. Pertempuran Ambarawa dibawah pimpinan Kolonel Soedirman mengepung kota Ambarawa selama tiga hari, setelah digempur terus menerus, pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa.

3. Pertempuran Medan Area terjadi pada bulan Agustus 1946 di Tebing Tinggi di bawah Komando Resimen Laskar Medan Area melawan Sekutu dan NICA.

4. Agresi Militer I, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan serbuan militer, sementara itu, prajurit TNI membentuk kantong-kantong perlawanan di daerah pedalaman.

Page 30: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

5. Agresi Militer II, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda kembali melancarkan agresi militer ke ibu kota RI, dan daerah-daerah Republik yang lainnya. Para pejuang kita melakukan perlawanan dengan sistem perang gerilya.

6. Serangan umum 1 Maret 1949, berdasarkan saran dari Sri Sultan Hamengkubuwono X Pangab Jendral Sudirman memerintahkan Letkol. Suharto untuk melancarkan serangan umum secara besar-besaran terhadap kedudukan Belanda di Yogyakarta, hasilnya sangat memuaskan karena dapat menggoyahkan posisi pasukan Belanda, sehingga kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh pasukan TNI selama enam jam. Keberhasilan serangan umum ini tersebar luas sampai ke luar negeri bahkan terdengar oleh DK PBB yang pada waktu itu sedang bersidang. Ternyata serangan umum itu dapat mempengaruhi pandangan dunia, khususnya DK PBB. Jadi aksi militer dari para gerilyawan kita telah berfungsi dengan baik, yaitu membantu perjuangan lewat jalur diplomasi (G. Moedjanto, 1993:51-52).

4. Ada dua alasan utama bagi mereka yang menganggap federalisme sebagai ancaman. Pertama alasan yuridis, Batang Tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Berdasarkan alasan tersebut, maka bentuk lain selain kesatuan adalah merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945. Adapun yang dimaksud dengan negara kesatuan (unitaristis) merupakan sistem penjelmaan kedaulatan negara atas seluruh rakyat dan wilayahnya yang diatur dan diurus langsung oleh pusat. Dalam negara kesatuan kedaulatan tidak terbagi sehingga hanya terdapat satu undang-undang dasar, satu kepala negara, dan hanya pemerintah pusat yang berhak menetapkan undang-undang. Negara kesatuan dapat dibedakan atas dua sistem, yakni sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi semua urusan negara diatur dan diurus oleh pusat, sedangkan dalam sistem desentralisasi pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan berdasarkan kebutuhan dan potensi daerah masing-masing (hak otonomi). Berdasarkan terminologi tersebut Indonesia termasuk negara kesatuan dengan sistem sentralisasi. Untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan ini GBHN 1999-2004 dalam visinya menggariskan bahwa: “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin”. Selanjutnya dalam kebijakan politik dalam negeri menggariskan bahwa “Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada kebhinnekatunggalikaan”. Kemudian dalam kebijakan pembangunan daerah dinyatakan bahwa “Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Andi A. Mallarangeng dan Ryas Rasyid “Mudah-mudahan gagasan federalisme itu lebih merupakan ledakan ketidakpuasan belaka daripada sebuah keinginan yang serius. Karena untuk membentuk negara federal hanya ada salah satu cara yaitu membubarkan negara kesatuan, ini berarti membubarkan negara Proklamasi 1945” (Adnan Buyung Nasution, et al:1999) Dari alasan yuridis sebagaimana dikemukakan di atas jelas bahwa bentuk negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Negara Kesatuan, untuk itu federalisme merupakan ancaman. Kedua alasan historis, bentuk federasi pertama mencuat di Malino bulan Juli 1946, sedang realisasi pendirian Negara Indonesia Timur (NIT) terjadi dalam konferensi Denpasar pada bulan

Page 31: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

Desember 1946. Menurut konferensi Malinofederasi yang dibangun di Indonesia akan terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan NIT (G. Moedjanto, 1993:60). Kemudian pada tanggal 9 Maret 1948 van Mook meresmikan pembentukan Pemerintah Federal Sementara yang akan berfungsi sampai pembentukan NIS. Negara federal (serikat) merupakan bentuk negara yang terdiri atas beberapa negara bagian yang tidak berdaulat. Selanjutnya bentuk negara federal ini diperkuat dengan hasil KMB 1949 dan mulai 27 Desember 1949 Indonesia menjadi RIS. Tetapi RIS ini tidak berjalan lama karena gerakan rakyat yang mendesak untuk kembali ke NKRI sangat kuat, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali ke NKRI. Jadi dari alasan historis tersebut bentuk federasi adalah merupakan warisan Belanda untuk kepentingan penjajahannya. Untuk itu kelompok yang menganggap federalisme sebagai ancaman cukup beralasan karena trauma masa lalu.

Adapun mereka yang sekarang di era reformasi menginginkan bentuk federasi beralasan, karena kemerdekaan Indonesia yang sudah 50 tahun lebih tidak dapat mensejahterakan rakyat, yang sejahtera hanya sekelompok elit tertentu baik penguasa maupun pengusaha di lain pihak mayoritas rakyat tetap tertindas dan menderita. Hal tersebut jauh hari telah disinyalir oleh Muhammad Hatta (Oetojo Oesman dan Alfian, 1991:21), bahwa: “Ia khawatir kalau faham integralistik itu sampai menjurus pada kekuasaan negara yang mutlak yang dapat menindas rakyat secara sewenang-wenang sebagaimana antara lain diperlihatkan oleh fasisme Nazi Jerman”. Keadaan seperti itulah yang mendorong pihak-pihak tertentu untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federasi. Mereka berpendapat bahwa bentuk negara federal ini dapat menjadi salah satu solusi penyelesaian krisis bangsa yang multidimensional, karena dengan bentuk federal negara bagian atau daerah bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Menurut Harun Al Rasyid “Apabila negara kesatuan tidak dapat memberikan kepuasan kepada daerah, maka tuntutan untuk membentuk negara federal akan semakin marak di abad XXI” (Adnan Buyung Nasution, et al: 1999).Di era reformasi ide federalisme ini pertama muncul pada tahun1998, tetapi itu hanya sebatas wacana realitasnya Indonesia tetap negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Adapun salah satu dasar pertimbangan perlunya otonomi daerah sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 22/1999, yaitu: “bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragam daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Adnan Buyung Nasution (1999) “Adanya desakan untuk membentuk federasi terutama dari kalangan generasi muda secara rasional saya mengerti dan mendukung, tetapi saya lebih cenderung negara kesatuan”.

5. Etnisitas dalam negara yang pluralistik seperti Indonesia merupakan sesuatu yang keberadaannya merupakan aset bangsa yang sekaligus juga merupakan tantangan dan ancaman bagi integrasi bangsa apabila komponen bangsa yang ada tidak dapat menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo (1997:132), yang menyatakan bahwa: “Kalau etno nasionalime mengawali gerakan pada dekade pertama dan kedua, kemudian sejak tahun duapuluhan

Page 32: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

berubah menjadi maelstrom nasionalime kultural-integratif. Meskipun demikian etnisitas beserta etno nasionalismenya tetap merupakan titik penekan (knel punt) proses integrasi itu. Etnisitas dalam rangka nation building mempunyai potensi disintegratif bila politik revitalistik di satu pihak, di pihak lain suatui revitalisasi akan memberi sumbangan berharga bagi perbendaharaan kultural nasional”. Menurut Rochiati Wiriaatmadja (2002:218) bahwa: “Masalah etnisitas dalam konteks nasionalitas dan integrasi bangsa, mencuat dalam perhatian kita akhir-akhir ini disebabkan oleh terjadinya konflik etnik di Sampit dan Palangkaraya, yang meluas ke daerah lainnya di Kalimantan Tengah. Peristiwa ini merupakan salah satu rangkaian yang runtut, dimulai dari kejadian Aceh, Irian, Maluku, Halmahera, dan Sambas.Ada beberapa penyebab kecenderungan timbulnya “etno nasionalisme” di era reformasi sekarang yang dapat mengancam integrasi bangsa, di antaranya: Pertama, ketidakadilan, kebijakan pemerintah yang menyebabkan ketidakadilan dalam berbagai bidang pembangunan, seperti dalam bidang pendidikan, bidang ekonomi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Ketidakadilan tersebut menyebabkan timbulnya ketidakpuasan daerah yang akhirnya timbul desakan dan gerakan di daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI, seperti Aceh dan Papua. Kedua, gerakan sparatis yang merupakan warisan masa lalu (warisan rekayasa Belanda) seperti di Maluku yang ingin mendirikan Repulik Maluku Selatan (RMS). Ketiga, arogansi beberapa elit daerah karena aspirasinya tidak terakomodasi oleh pemerintah akhirnya mengadakan gerakan/perjuangan untuk memisahkan diri. Keempat, kebijakan pemerintah pusat yang terlalu Jawa sentris, dimana kebijakan-kebijakan pembangunan seperti dalam birokrasi baik pejabat mapun konsep-konsepnya terlalu berorientasi Jawa, begitu juga dalam pemerintahan desa kurang memperhatikan konsep-konsep dan potensi daerah. Selain faktor-faktor di atas, kecenderungan timbunya etno nasionalisme juga disebabkan oleh pengaruh globalisasi dunia terutama dalam bidang politik yang menyangkut penurunan wibawa pemerintah, konflik, dan perdamaian (Nursid Sumaatmadja, 1998:143). Untuk menanggulanginya dalam GBHN 1999-2004 digariskan kebijakan sebagai berikut: Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: Daerah Istimewa Aceh: (a) Mempertahankan integritas bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, melalui penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (2) Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggar hak asasi manusia baik selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer maupun pasca pemberlakuan Daerah Operasi Militer. Irian Jaya:(1) Mempertahan integritas angsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (2) Menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat. Maluku: Menugaskan pemerintah untuk segera melaksanakan penyelesaian konflik sosial yang berkepanjangan secara adil, nyata, dan menyeluruh serta mendorong masyarakat yang bertikai agar proaktif melakukan rekonsiliasi untuk mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.

Page 33: * Terapi Budaya - HENDRA PRIJATNA Web viewKeberadaan pendidikan di sekolah dilihat dari konsep antropologi, belum seluruhnya menyentuh sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat

DAFTAR PUSTAKAAdullah, T. (1990). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Abdulah, T. et al. (1997). Kongres Nasional Sejarah 1996. Jakarta: Depdikbud.

Kartodirjo, S. et al. (1994). Negara dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Moedjanto, G. (1993). Indonesia Abad ke-20 Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.

Nasution, A.B. et al. (1999). Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas.

Oesman, O dan Alfian. (1991). Pancasila Sebagai Ideologi. Jakarta: BP-7 Pusat.

Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid I dan VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Somantri, N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumaatmadja, N. (1998). Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

Suwirta, A. (2001). Revolusi Indonesia dalam News and Views: Seuah Antologi Sejarah. Bandung: Suci Press.

Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia. Bandung: Historia Utama Press.

______. (2001). GBHN 1999-2004. Bandung: Pustaka Setia.

______. (2002). UU Otonomi Daerah 1999 & Juklak. Jakarta: Sinar Grafika.