prosidingeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. peran knowledge, skill dan... · 2020. 4. 22. · iv kata...

238

Upload: others

Post on 19-Jan-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya
Page 2: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PENDIDIKAN KIMIA

“Peran Knowledge, Skill dan Value dalam

Pendidikan Kimia di Era Globalisasi”

Editor:

Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc.

Dra. Rilia Iriani, M.Si.

Arif Sholahuddin, S.Pd, M.Si.

Drs. Rusmansyah, M.Pd.

Drs. Maya Istiadji, M.Pd.

Almubarak, S.Pd, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

Page 3: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

i

PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN

KIMIA

Peran Knowledge, Skill dan Value dalam Pendidikan

Kimia di Era Globalisasi”

ISBN : 9786026030610

Editor:

Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc

Dra. Rilia Iriani, M.Si

Arif Sholahuddin, S.Pd, M.Si

Drs. Rusmansyah, M.Pd

Drs. Maya Istiadji, M.Pd

Almubarak, S.Pd, M.Pd

Desain Sampul:

Muhammad Fakhri Nawidi

Tata Letak:

Ahmad Mar’ie Kurniawan

Nadya Hidayati

Suci Aulia Diana

Pemeriksa Aksara:

Rahmat Eko Sanjaya, M.Si

Penerbit :

Program Studi Pendidikan Kimia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lambung Mangkurat

Redaksi :

Jl. Brigjend. H. Hasan Basri Laboratorium MIPA FKIP ULM

Kayutangi-Banjarmasin 70123

Telp 089528398393

Email : [email protected]

Cetakan pertama, September 2017

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam

bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Page 4: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

ii

SUSUNAN KEPANITIAAN

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN KIMIA 2017

Penanggung Jawab : Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc

Ketua Pelaksana : Drs. Parham Saadi, M.Si

Sekretaris : Drs. Syahmani, M.Si

Bendahara : Drs. Abdul Hamid, M.Si

Divisi Kajian Ilmiah : 1. Arif Sholahuddin, S.Pd, M.Si

2. Drs. Rusmansyah, M.Pd

3. Drs. Maya Istiadji, M.Pd

4. Dra. Hj. Rilia Iriani, M.Si

Co. Divisi Acara : Rahmat Eko Sanjaya, S.Pd, M.Si

Anggota : 1. Ahmad Mar’ie Kurniawan

2. Suci Aulia Diana

3. Nadya Hidayati

4. Tyo Adi Samudera

5. Nur Aisyah

6. M. Hasbie

Co. Divisi Kesekretariatan : Khairiatul Muna, S.Pd, M.Pd

Anggota : 1. Yuniza Shafarina

2. Nurusshobah

3. Shinta Uky Septiyani

4. M. Haris Fadillah

5. Riska Melinda H.

6. Triana Maulida A.

7. Hidayatul

8. Nurwahyu Ningsih

Co. Divisi Humas, Publikasi

dan Dokumentasi : Restu Prayogi, S.Pd

Anggota : 1. Arif

2. Indah Kurniasih

3. Amalia Yunita

4. Rizaldi

5. Nuranisa

6. M. Awaluddin F.

7. Rifa Husana M.

Page 5: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

iii

8. Siti Rahmah

9. Fitria Irliyani

Co. Divisi Perlengkapan

Dan Konsumsi : Drs. Mahdian, M.Si

Anggota : 1. M. Nor Aufa

2. Bety Anitasari

3. Gusti Nida N.

4. Amalia Septhyanda

5. Siti Rahmah

6. Seri Rejeki Y.

Page 6: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

terselenggaranya Seminar Nasional Pendidikan Kimia tahun 2017, sehingga

prosiding seminar nasional pendidikan kimia ini dapat diselesaikan.

Seminar Nasional Pendidikan Kimia ini merupakan agenda rutin bagi

Program Studi Pendidikan Kimia yang akan diselenggarakan satu tahun sekali.

Prosiding ini bertujuan mendokumentasikan dan mengomunikasikan hasil

presentasi paper pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh pendidikan

kimia di Himalaya Ballroom Hotel Banjarmasin Internasional.

Terima kasih disampaikan kepada pemakalah yang telah berpartisipasi pada

desiminasi hasil kajian atau penelitian yang dimuat pada prosiding ini. Terima kasih

juga disampaikan pada tim reviewer, tim prosiding, dan segenap yang terlibat.

Akhir kata, seiring permohonan maaf, apabila dalam pelaksanaan

Seminar Nasional Pendidikan Kimia tahun 2017 ini, kami selaku panitia belum

mampu menyajikan persembahan terbaik. Kami selalu bertekad untuk

memperbaiki setiap kekurangan pada kegiatan-kegiatan yang akan datang. Semoga

prosiding ini bermanfaat.

Banjarmasin, September 2017

Panitia

Page 7: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

v

SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita

semua.

Seminar Nasional Pendidikan Kimia tahun 2017 dengan tema “Peran

Knowledge, Skill dan Value dalam Pendidikan Kimia di Era Globalisasi” yang

diselenggarakan pada tanggal 16 September 2017 ini merupakan kegiatan rutin

tahunan Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lambung Mangkurat

(ULM). Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan atmosfer

akademik di lingkungan Program Studi Pendidikan Kimia FKIP ULM pada

khususnya dan Universitas Lambung Mangkurat pada umumnya. Sebagai ajang

bertukar pikiran dan berdiskusi, melalui Seminar Nasional ini diharapkan akan

dihasilkan pemikiran-pemikiran baru dalam dunia pendidikan yang fokus pada

inovasi pembelajaran Sains dan pembangunan karakter dalam rangka menyiapkan

sumber daya manusia Indonesia di era globalisasi.

Seminar Nasional ini diikuti oleh 2 (dua) orang pembicara utama, yaitu

Prof.H. Effendy. M.Pd, Ph. D. (Guru Besar di Universitas Negeri Malang) dan

Muthia Elma, M.Sc, Ph.D. (Dosen Teknik Kimia Universitas Lambung

Mangkurat), serta pembicara dari berbagai kalangan seperti dosen dan guru Kimia

dalam berbagai topik kajian yang berhubungan dengan Sains, Karakter, dan

Pembelajaran. Pengkajian yang mendalam perlu dilakukan mengingat

Pembelajaran Sains dan Pendidikan Karakter di sekolah menengah saat ini masih

menyisakan berbagai permasalahan yang perlu untuk dipecahkan. Langkah-

langkah solusi yang kreatif dan inovatif dengan memaksimalkan peran

pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang dimiliki.

Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan pada panitia, dosen, nara

sumber, serta semua pihak yang telah terlibat dalam mensukseskan kegiatan

Seminar Nasional ini. Meskipun kecil, sumbangan pemikiran yang dihasilkan

dalam Seminar Nasional ini diharapkan akan menjadi oase bagi dahaga ilmu

pengetahuan di tengah munculnya berbagai permasalahan pendidikan dan krisis

karakter manusia Indonesia dewasa ini.

Akhir kata, meskipun mungkin berupa langkah kecil, semoga hasil-hasil

pemikiran dalam Seminar Nasional ini mampu memberikan kontribusi nyata dalam

mengatasi permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan dan pembangunan

karakter manusia di Indonesia.

Aamiin yaa Rabbal Alamiin

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Banjarmasin, September 2017

Ketua Program Studi Pendidikan Kimia

Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc.

Page 8: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA .............v

DAFTAR ISI .................................................................................................... vi

MAKALAH SESI PARALEL

PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING (CTL) TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL

SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 23 BANJARMASIN PADA

MATERI POKOK ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF ................................. 1

Hendra

SINTESIS KOMPOSIT LEMPUNG MERAH MAGNETIT

SEBAGAI ADSORBEN ZAT WARNA RHODAMINE B ............................ 8

I Made Sadiana, Abdul Hadjranul Fatah, Karelius

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PUPUK UREA LEPAS

LAMBAT (SLOW RELEASE) BERBASIS POLISAKARIDA ..................... 20

Ersha Mayori, Asma Nadia, Asma Fauziah, Sunardi

PENGARUH KONSENTRASI TEPUNG TAPIOKA TERHADAP

EKSTRAK KACANG KEDELAI PADA PEMBUATAN

EDIBLE FILM ................................................................................................. 31

Nisa Afifatush Shalihah, Ihda Noor Sari, Iryanti Fatyasari Nata

PENGARUH METODE PEMBERIAN TUGAS DAN

LATIHAN SOAL TERMOKIMIA MENGGUNAKAN

APLIKASI BERBASIS WWW DI PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN BIOLOGI JPMIPA FKIP UPR ............................................ 36

Nopriawan Berkat Asi, Feni Widya Halim

PERFORMANSI MEMBRAN INTERLAYER FREE-P123

CARBONISED SILICA MELALUI PROSES DESALINASI

AIR SUNGAI MARTAPURA ......................................................................... 41

Muthia Elma, Fitriani, Arief Rakhman

SINTESIS DAN FUNGSIONALISASI XEROGEL SILICA

DAN SILICA-COBALT UNTUK DESALINASI AIR .................................. 47

Muthia Elma, Rahmi Hidayati, Gesit Satriaji Saputro

Page 9: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

vii

LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

GURU BIOLOGI DALAM KEGIATAN BELAJAR

MENGAJAR DI TINGKAT MADRASAH ALIYAH

KOTA BANJARMASIN ................................................................................. 52

Nazila Rahmatina, Dharmono, Kaspul

KEEFEKTIFAN MODEL COLLABORATIVE PROBLEM

SOLVING (CoPS) TERINTEGRASI KECERDASAN

MAJEMUK UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH DAN KECERDASAN

MAJEMUK SISWA SMA ............................................................................... 61

Atiek Winarti, Meida Hijriyanti

MENINGKATKAN SOFT SKILLS DAN HASIL BELAJAR

MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE

PROBLEM SOLVING PADA PEMBELAJARAN STOIKIOMETRI

DI KELAS X MIA 3 SMA NEGERI 6 BANJARMASIN .............................. 72

Iriani Bakti, Arif Sholahuddin , Siti Jainab

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE

PROBLEM SOLVING PADA MATERI HIDROLISIS GARAM

UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR

PESERTA DIDIK ............................................................................................ 84

Yulia Rahmi

MENGGAGAS PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA

PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR DALAM

KONTEKS PEMBELAJARAN ABAD 21 ..................................................... 94

Muhammad Fajri

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERORIENTASI

AKTIVITAS SISWA (PBAS) MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

KELAS XI IPA PADA MATERI LARUTAN

PENYANGGA DI SMAN 1 BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2016/2017 ......................................................................... 102

Yuni Auliana

Page 10: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

viii

PENGARUH PENGUNAAN MODEL PROBLEM BASED

LEARNING BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL

TERHADAP HASIL BELAJAR KOLOID SISWA ....................................... 108

Putri Adeyantina

MODEL PEMBELAJARAAN IDEAL PROBLEM SOLVING

BERBANTUAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS.......................................................... 117

Arif Sholahuddin , Ricka Farsa Marindu

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ACCELERATED

LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

DAN HASIL BELAJAR STOIKIOMETRI SISWA KELAS X

SMA NEGERI 2 BANJARMASIN TAHUN AJARAN

2016/2017 ......................................................................................................... 128

Abdul Hamid, Leny, Febrina Rosanti Tirto

VALIDITAS INSTRUMEN PENILAIAN MATERI ZAT

ADITIF DAN ZAT ADIKTIF UNTUK MELATIHKAN

KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF...................................................... 134

Lia Amalia, Ahmad Rusyadi

POTENSI TANAMAN ALANG-ALANG (Imperata cylindrica)

UNTUK PRODUKSI BIOETANOL GENERASI DUA ................................ 146

Asma Fauziah, Asma Nadia, Ersha Mayori, Sunardi

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

BERORIENTASI LEARNER AUTONOMY PADA TOPIK

OPTIKA GEOMETRI UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN

PEMECAHAN MASALAH ............................................................................ 149

Abdul Salam M., Sarah Miriam, Misbah

PENGARUH PENAMBAHAN LEMPUNG GAMBUT DAN

TAR SEBAGAI PEREKAT TERHADAP KUALITAS BRIKET

BIOARANG DARI ECENG GONDOK ......................................................... 155

(Eichhornia crassipes)

Ajidannor, Anisa Mauliyanti, Hesty Wijayanti

Page 11: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

ix

PENGARUH DARI MULTIPLE LAYER SILICA

MEMBRANE TERHADAP PROSES DESALINASI

AIR LAUT ARTIFISIAL ................................................................................ 163

Muthia Elma, Nur Riskawati, Marhamah

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

KONSEP EKOLOGI TERHADAP KETERAMPILAN

BERPIKIR KRITIS SISWA MA BANJARMASIN ....................................... 172

Hj. Dessy Abdumawaty, Kaspul

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN SELF

EFFICACY SISWA MELALUI PENDEKATAN SETS

PADA MATERI REAKSI REDOKS KELAS X IPA 3

SMA NEGERI 8 BANJARMASIN ................................................................. 178

Rusmansyah , Ihda Nur Azizah

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICT,

OBSERVE, EXPLAIN (POE) PADA MATERI LARUTAN

ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA ............................ 184

Yudha Irhasyuarna, Mahdian, Evi Christina Gultom

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES

SAINS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN

MODEL PROCESS ORIENTED GUIDED INQUIRY

LEARNING (POGIL) MATERI LARUTAN PENYANGGA

SMA NEGERI 10 BANJARMASIN ............................................................... 189

Mahdian, Rilia Iriani, Kumala Suryo Atmojo

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DENGAN PENDEKATAN

CHEMO-ENTREPRENEURSHIP (CEP) BERORIENTASI

GREEN CHEMISTRY PADA MATERI ASAM BASA

KELAS XI MIA DI SMA NEGERI 3 BANJARMASIN

TAHUN PELAJARAN 2016/2017 .................................................................. 197

Rilia Iriani, Yudha Irhasyuarna, Alya Amini

Page 12: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

x

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS

DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN PREDICT-DISCUSS-EXPLAIN-

OBSERVE-DISCUSS-EXPLAIN BERBANTUAN MEDIA

FLASH PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA ................................... 204

Parham Saadi , Salamat

IMPLEMENTASI MODEL ACCELERATED LEARNING

TIPE MASTER BERVISI SETS PADA MATERI REAKSI

REDOKS TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA ....................................... 212

Muhammad Kusasi, Atiek Winarti, Muhammad Zufri

MULTIMEDIA INTERAKTIF VERSUS KERJA

LABORATORIUM UNTUK MENDORONG

KETERLIBATAN SISWA BELAJAR LAJU REAKSI,

MANA YANG LEBIH UNGGUL ? ............................................................... 219

Maya Istyadji, Arif Sholahuddin ,Wulandari

Page 13: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

1

PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING (CTL) TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA

KELAS VIII SMP NEGERI 23 BANJARMASIN PADA MATERI

POKOK ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF

The Effects Of Contextual Teaching And Learning Approach

On Social Skills Studentsjunior High School 23 Banjarmasin

Viii Grade In Basic Material Additive And Addictive

Substance

Hendra

Magister Keguruan IPA, Universitas Lambung Mangkurat

E-mail : [email protected]

Abstrak. Telah dilakukan penelitian pendahuluan tentang pengaruh

pendekatan pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) pada

materi pokok zat aditif dan zat adiktif. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh pendekatan CTL terhadap keterampilan sosial siswa.

Metode penelitian yang digunakan adalah one grup pretest-postest

eksperiment. Sampel penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 23

Banjarmasin. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa meningkat

dari kategori cukup ke kategori baik.

Kata kunci: Contextual Teaching Learning (CTL), Keterampilan Sosial.

Abstract. Preliminary research has been conducted on the influence of

Contextual Teaching And Learning (CTL) learning approaches on the

additives and addictive substances subject. This research aimed to determine

the effect of CTL approach on students’ social skills. Research method used

one group pretest-postest experiment. Research sample was the students of

Junior High School 23 Banjarmasin, Class VII. Data collecting Technique

used observation sheet. The results showed that students' social skills

increased from enough to good category.

Keywords: Contextual Teaching Learning, Social Skills.

PENDAHULUAN

Berbagai macam karakter yang dibawa siswa dari luar kelas memberi warna

dalam proses interaksi siswa di kelas. Keberagaman tersebut dapat memunculkan

banyak masalah jika tidak diorganisir dengan baik melalui suatu proses pembelajaran

yang efektif. Pengorganisasian berbagai karakter yang dibawa siswa dalam

pembelajaran secara efektif akan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran dan

dapat mengembangkan berbagai potensi dan kebiasaan positif yang dimiliki setiap

siswa. Kegiatan pengorganisasian mengarah pada pengembangan keterampilan sosial

siswa di dalam kelas.

Menurut Yusuf (2000) bahwa dalam Keterampilan sosial sendiri secara

umum merupakan kemampuan berinteraksi dengan orang lain sesuai konteks sosial

yang ada. Kemudian, dengan cara-cara tertentu yang sesuai tata nilai atau penerimaan

sosial, dan pada saat yang sama dapat membuahkan manfaat personal, keuntungan

bersama atau keuntungan dasar bersama orang lain. Setiap anak dilahirkan belum

memiliki keterampilan sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan

berinteraksi dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar

Page 14: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

2

cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak

melalui berbagai kesempatan atau pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di

lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya

(Yusuf, 2000).

Keterampilan sosial ini dipandang penting karena berbagai hasil penelitian

menyebutkan bahwa ada hubungan yang cukup erat antara keterampilan sosial siswa

dengan berbagai kemampuan lainnya seperti menjalin kerjasama dalam kelompok,

berinteraksi dengan sebayanya, bergabung dalam kelompok, menjalin pertemanan

baru, menangani konflik, belajar bekerja sama bahkan turut menunjang hasil belajar

siswa juga. Kurangnya keterampilan sosial siswa akan berdampak pada rendahnya

prestasi akademik siswa tersebut, cenderung kesepian dan menampakkan self-esteem

yang rendah, dan ada kemungkinan akan dropt-out dari sekolah (Muijs dan Reynolds,

2008). Selain itu menurut Ernawulan dalam Jumiatin (2015), permasalahan-

permasalahan yang ditemukan pada siswa adalah ketidakmampuan bersosialisasi dan

mengendalikan emosi. Permasalahan yang ditemukan apabila dibiarkan, anak akan

mengalami kesulitan untuk mengembangkan dir.

Fakta dilapangan menunjukkan keterampilan sosial masih belum optimal

diterapakan. Para pendidik belum mengetahui bagaimana cara untuk menerapkan

pembelajaran efektif yang memberikan dampak positif bagi keterampilan sosial

siswa. Salah satu alternatif yang bisa dgunakan para pendidik untuk menerapkan

keterampilan sosial dikelas ialah dengan pembelajaran berbasis pendekatan

Contextual Teaching & Learning (CTL), atau dikenal juga sebagai Pembelajaran

Kontekstual.

Menurut Sihono (2004), pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat

berpikir yang tinggi, transfer pengetahuan yang lintas disiplin akademik,

pengumpulan, analisis, dan sintesis informasi atau data dari berbagai sumber dan

sudut pandang. Sejalan dengan pendapat tersebut, Searsh dan Hersh (2001)

menyataan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan suatu pembelajaran yang

memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menerapkan pemahaman dan

kemampuan akademis dalam berbagai variasi konteks baik di dalam maupun di luar

sekolah, untuk menyelesaikan masalah dunia nyata atau masalah yang disimulasikan

secara individu maupun kelompok. Selain itu menurut Jhonson (2010) bahwa, di

dalam pembelajaran kontekstual ini mampu menumbuhkan kemampuan siswa untuk

berinteraksi, berkerja sama dan beromunikasi dalam setiap pembelajaranya. Menurut

Borko & Ralph (1998) menyatakan bahwa pembelajaran dengan melibatkan konteks

mampu meingkatkan keterampilan sosial dan penguasaan konsep siswa. Hal ini

terwujud karena adanya aktivitas diskusi. Dengan adanya aktivias diskusi maka dapat

membantu siswa untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi aktif secara sosial.

Berdasar uraian di atas peneliti tertarik untuk menerapkan pendekatan CTL.

Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya peningkatan terhadap keterampilan

sosial siswa dan kualitas pembelajaran di kelas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dari langkah penelitian

pengembangan. sampel dalam penelitian ini adalah siswa dari SMP Negeri 23

Banjarmasin. Sampel yang terlibat sebanyak 12 orang siswa kelas VIII SMP Negeri

23 Banjarmasin. Penelitian ini mengangkat topik zat aditif dan adiktif semsester I.

Metode penelitian yang digunakan ialah one grup pretest-postest eksperiment.

Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini berupa butir soal tes kognitif dan

lembar observasi keterampilan sosial.

Teknik analisis data Skor hasil belajar kognitif siswa yang telah

dihitung dikonversi ke skala empat dengan rumus sebagai berikut

Nilai= 𝑆𝑘𝑜𝑟 (𝑃)

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x 4

Setelah dikonversi dengan skala empat kemudian di diinterpretasikan pada Tabel 1.1

untuk memperoleh kategori dari hasil belajar kognitif siswa.

Page 15: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

3

Tabel 1.1 Konversi Hasil Belajar

Predikat Nilai Kategori

A 3,68-4,00 Sangat baik

A- 3,34-3,67

B+ 3,01-3,33

Baik B 2,68-3,00

B- 2,34-2,67

C+ 2,01-2,33

Cukup C 1,68-2,00

C- 1,34-1,67

D+ 1,01-1,33 Kurang

D- ≤1,00

Sumber : (Permendikbud, 2013)

Data hasil belajar kognitif juga disajikan secara deskriptif dengan cara melihat

perkembangan n-gain dari tiap perolehan skor tes hasil belajar. Kategori skor n-gain

disajikan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Kategori skor n-gain

Sumber : (Hake, 1999)

Kedua untuk data hasil belajar afektif didapat dari lembar observasi dan

dikonversi ke skala empat tabel 1.1 dengan rumus sebagai berikut.

Nilai= 𝑆𝑘𝑜𝑟 (𝑃)

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Rekapitulasi tes hasil belajar dilakukan melalui pretest dan posttest

Rekapitulasi hasil pretest pada tahap uji coba terbatas dengan materi pokok

zat aditif dan zat adiktif disajikan pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Hasil rekapitulasi pretest

No Indikator Tingkat

keberhasilan Predikat Kategori

1 1 1.99 C Cukup

2 2 1,57 C- Cukup

3 3 1.99 C- Cukup

4 4 1,33 D+ Kurang

5 5 1,32 D+ Kurang

6 6 1,91 D+ Kurang

Skor rata-rata 1,69 C Cukup

Data rekapitulasi pretest secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.1.

Rentang <g> Kategori

0.7 ≤ (<g>)≤1,0 Tinggi

0.3 < (<g>) < 0.7 Sedang

(<g>) ≤ 0.3 Rendah

Page 16: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

4

Gambar 1.2 Rekapitulasi Hasil Pretest

Keterangan Indikator :

1 : Menjelaskan karakteristik zat aditif.

2 : Menjelaskan jenis-jenis zat aditif

3 :Menentukan jenis-jenis bahan aditif yang berbahaya dan tidak berbahaya

bagi kesehatan.

4 : Menjelaskan karakteristik zat adikif

5 : Menentukan zat adiktif bukan narkotika dan psikotropika, narkotika dan

psikotropika.

6 : Menyimpulkan pengaruh/dampak yang timbul dari penggunaan zat adiktif

dan cara pencegahannya.

Rekapitulas hasil post-test pada tahap uji coba terbatas dengan materi pokok

zat aditif dan zat adiktif disajikan pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4 Hasil Rekapitulasi Post-Test

No Indikator Tingkat

keberhasilan Predikat Kategori

1 1 3,54 -A Sangat baik

2 2 3,42 -A Sangat baik

3 3 3,55 -A Sangat baik

4 4 3,33 B+ Baik

5 5 3,06 B+ Baik

6 6 3,74 A Sangat baik

Skro rata-rata 3,44 A- Sangat baik

Data rekapitulasi pretest secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Rekapitulasi Hasil Post-Test

1,991,57

1,99

1,33 1,32

1,91

00,40,81,21,6

22,42,83,23,6

4

1 2 3 4 5 6

Indikator

3,54 3,42 3,553,33

3,06

3,74

00,40,81,21,6

22,42,83,23,6

4

1 2 3 4 5 6

Indikator

Page 17: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

5

Keterangan Indikator :

1. 1 = Menjelaskan karakteristik zat aditif.

2. 2 = Menjelaskan jenis-jenis zat aditif.

3. 3 = Menentukan jenis-jenis bahan aditif yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi

kesehatan.

4. 4 = Menjelaskan karakteristik zat adikif.

5. 5 = Menentukan zat adiktif bukan narkotika dan psikotropika, narkotika dan

psikotropika.

6. 6 = Menyimpulkan pengaruh/dampak yang timbul dari penggunaan zat adiktif dan

cara pencegahannya.

Perbandingan tingkat penguasaan siswa untuk tiap indikator pada keadaan

sebelum dan sesudah pembelajaran disajikan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.3Perbandingan Tiap Indikator Pretest-Post-Tes

Untuk perolehan skor N-Gain pretest-post-test disajikan pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5 Perolehan Skor N-Gain Pretest-Post-Test

No. Sampel N-Gain Kategori N-Gain

1 Siswa 1 0,6 Tinggi

2 Siswa 2 0,7 Tinggi

3 Siswa 3 0,5 Sedang

4 Siswa 4 0,4 Sedang

5 Siswa 5 0,4 Sedang

6 Siswa 6 0,6 Sedang

7 Siswa 7 0,7 Tinggi

8 Siswa 8 0,4 Sedang

9 Siswa 9 0,4 Sedang

10 Siswa 10 0,7 Tinggi

11 Siswa 11 0,5 Sedang

12 Siswa 12 0,9 Tinggi

Rata-rata N-Gain

pretest-post-test 06 Sedang

Berdasarkan Gambar 1.5 terlihat peningkatan pemahaman dan penguasan

siswa terhadap tiap-tiap indikator pembelajaran pada materi pokok zat aditif dan zat

adiktif. Peningkatan yang terjadi dalam kategori sedang apabila ditinjau dari skor N-

gain sebesar 0,6.

2. Rekapitulasi keterampilan sosial

Rekapitulasi hasil keterampilan sosial pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif

disajikan secara umum pada Tabel 1.5.

1,991,57

1,99

1,33 1,32

1,91

3,54 3,42 3,553,33

3,06

3,74

00,40,81,21,6

22,42,83,23,6

4

1 2 3 4 5 6

Indikator pretest Indikator Post-test

Page 18: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

6

Tebel 1.5 Rekapitulasi Secara Umum Keterampilan Sosial

No. Sampel Keterampilan

Sosial

1 Siswa 1 Baik

2 Siswa 2 Cukup 3 Siswa 3 Baik 4 Siswa 4 Baik 5 Siswa 5 Baik 6 Siswa 6 Baik

7 Siswa 7 Cukup 8 Siswa 8 Baik 9 Siswa 9 Baik 10 Siswa 10 Baik 11 Siswa 11 Baik

12 Siswa 12 Baik Keterangan:

Keterampilan sosial : Aspek yang dinilai adalah berkerja sama

Berdasarkan tabel 1.5 terlihat hampil seluruh siswa menunjukkan

keterampilan sosial untuk mau berkerja sama dengan baik.

Berdasarkan penilaian terhadap hasil keterampian sosial dan hasil belajar

kognitif menunjukkan bahwa pendekatan CTL efektif untuk diterapkan dalam

pembelajaran dikelas. Hal ini disebabkan CTL mampu mengkonstruk pengalaman

siswa secara aktif dalam pembelajaran melalui aktivitas hands-on dan mind-on yang

menghubungkan konten dunia nyata dengan konten pendidikan. CTL juga membuat

siswa tidak hanya memperoleh konsep yang sudah diajarkan guru, tetapi menemukan

sendiri pengetahuan itu sehingga memungkinkan terbentuknya pengetahuan yang

lebih bermakna. Sehingga siswa mudah me-recall kembali pengetahuan yang

didapatnya. Inilah yang memberi dampak positif terhadap hasil kognitif siswa.

Selain itu hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Greeno dalam

Smith (2012) dengan meggunakan pendekatan CTL mampu mengtransper

pengetahuan dari ruang kelas kedalam dunia nyata siswa melalui pembelajaran aktif

dan berbasis masalah. Hasil dari transfer pengetahuan ini yang mampu membantu

meningkatkan hasil belajar dan penguasaan konsep siswa.

Sedangkan terjadinya peningkatan terihadap keterampilan sosisal siswa ini

disebabkan karena adanya intraksi aktif dari siswa baik dalam hal kerja sama untuk

bersam-sama menyelesaikan masalah dalam pembelajaran melalui pendekatan CTL.

Temuan penelitian ini didukung hasil penelitian terdahulu oleh Borko & Ralph (1998)

menyatakan bahwa pembelajaran dengan melibatkan konteks mampu meingkatkan

keterampilan sosial dan penguasaan konsep siswa. Hal ini terwujud karena adanya

aktivitas diskusi. Diskusi merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan aspek sosial

dan penguasaan konsep dalam pembelajaran. melalui diskusi terjadi interaksi dan

pemerataan pengetahuan antara siswa, bahan ajar dan konteks CTL. Hasil penelitian

ini turut juga didukung oleh Wade (1998) menyebutkan CTL dengan komponen

commmunity service learningnya mampu meningkatkan nilai-nilai sosial siswa.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan terdapat peningkatan keterampilan

sosial dan hasil belajar pada siswa kelas VIII SMP 23 Banjarmasin dengan

menggunakan pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching &Learning.

Dan dengan pendekatan ini pula diharapkan dapat membantu meningkatkan

pembelajaran di dalam kelas.

Page 19: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

7

DAFTAR PUSTAKA

Borko,H & Ralph,P.1998. The Role of Context in Teacher Learning adn Teacher

Education. Eric Clearinghouse on adult, career and vactional education,

Columbus, OH: Eric clearinghouse on Teaching and teacher education,

Washington DC, No 376 ED 427 263.

Jumiatin, Dedah. 2015. Pengaruh Pembelajaran Contextual Teaching & Learning

(CTL) Terhadap Keterampilan Sosial Anak Usia Dini. Jurnal Tunas

Siliwangi, Vol.1 No.1.

Jhonson,E.B. 2010. Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan Belajar

Mengajar Mengasyikkan Dan Bermakna. Bandung : Kaifa Learning.

Muijs dan Reynolds. 2008. Effective Teaching (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta :

Pustaka Belajar.

Sears, Jones, S. & Hersh, Susan. B. 1998. Contextual Teaching and Learning: An

Overview Of The Project. Eric Clearinghouse on adult, career and vactional

education, Columbus, OH: Eric clearinghouse on Teaching and teacher

education, Washington DC, No 376 ED 427 263.

Sihono, T. 2004. Contextual Teaching and Learning (CTL) Sebagai model

Pembelajaran Ekonomi dalam KBK. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume

1 Nomor 1.

Smith, P. B. 2010. Instructional Strategies in Family and Consumer Sciences:

Implementing the Contextual Teaching and Learning Pedagogical Model,

Journal of Family & Consumer Sciences Education, 28(1),

Wade,R.C.1998. Community Service Learning : Collaborating With The Community

as a Context for Authentic Learning. Eric Clearinghouse on adult, career

and vactional education, Columbus, OH: Eric clearinghouse on Teaching

and teacher education, Washington DC, No 376 ED 427 263

Yusuf, S. (2000). Psikologi Perkembangan Anak. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 20: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

8

SINTESIS KOMPOSIT LEMPUNG MERAH MAGNETIT SEBAGAI

ADSORBEN ZAT WARNA RHODAMINE B

Synthesis Of Red Clay Magnetite Composite As Adsorbent

Of Rhodamine B Dye

I Made Sadiana1*, Abdul Hadjranul Fatah1, Karelius1

1Prodi Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya, Kampus UPR Jl. H. Timang, Palangka

Raya

e-mail: [email protected]

Abstrak. Sintesis komposit lempung merah magnetit telah dilakukan.

Komposit kemudian diaplikasikan sebagai adsorben zat warna rhodamine B

dalam larutan. Sintesis komposit lempung merah magnetit dilakukan dengan

aktivasi asam terhadap lempung merah, selanjutnya dikompositkan dengan

magnetit menggunakan metode kopresipitasi dengan rasio mol Fe2+ : Fe3+ = 1 :

2 pada temperatur 85οC. Karakterisasi terhadap hasil sintesis dilakukan dengan

XRD dan FTIR. Adsorpsi dilakukan menggunakan sistem batch, dengan

kajian adsorpsi yang dipelajari meliputi pH optimum, kinetika adsorpsi dan

kesetimbangan adsorpsi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa oksida besi

Fe3O4 (magnetit) dapat terkompositkan dengan lempung merah. Lempung

merah teraktivasi dan lempung merah magnetik komposit mampu

mengadsorpsi rhodamine B dalam larutan dengan adsorpsi optimal terjadi pada

pH 3. Adsorpsi rhodamine B oleh kedua jenis adsorben mengikuti persamaan

kinetika orde dua semu dengan konstanta laju adsorpsi k2 untuk lempung merah

teraktivasi dan lempung merah magnetik masing-masing sebesar 1,68 x 10-3

dan 7,13 x 10-3 g/mg.menit. Pola adsorpsi adalah isoterm Langmuir dengan

kapasitas adsorpsi berturut-turut sebesar 1,72 x 10-4 mol/g dan 1,84 x 10-4 mol/g.

Model kinetika reaksi ini menunjukan bahwa komposit lempung merah

magnetit hasil sintesis mampu menyerap rhodamine B dalam larutan dan

mempercepat proses pemisahan partikel adsorben dari larutan dengan medan

magnet eksternal.

Kata kunci : lempung merah, magnetit, komposit dan adsorpsi

Abstract. Synthesis of red clay magnetite composite has been done. The

composite applicated as adsorbent of rhodamine B dye in aqueous solution.

Red clay was activated with acid solution, synthesis of red clay magnetite

composite was done by coprecipitation method in the molar ratio Fe2+: Fe3+ =

1 : 2 at temperature 85οC. Characterization of the synthesis results is done by

XRD and FTIR. Adsorption using batch system with the optimum pH, kinetic

and equilibrium aspects of adsorption were studied. The characterization

results shows that iron oxide Fe3O4 (magnetite) can be composited with red

clay. The activated and red clay magnetite composite can adsorbed rhodamine

B dye from aqueous solution, with the optimum adsorption at pH 3. Adsorption

of those adsorbent followed the kinetic eqution of pseudo order 2 with reaction

rate constant for activated and red clay magnetite composite was 1.68 x 10-3

and 7.13 x 10-3 g/mg.minute. The isotherm adsorption was Langmuir isotherm

with adsorption capacity namely 1.72 x 10-4 mol/g and 1.84 x 10-4 mol/g. This

kinetic reactions model showed that the red clay magnetite composite able to

adsorbed rhodamine B in aqueous solution and accelerated separation of

adsorbent from aqueous phase by external magnet field.

Keywords : red clay, magnetite, composite and adsorption.

PENDAHULUAN

Salah satu contoh zat warna yang banyak digunakan pada industri tekstil

adalah rhodamine B. Dalam proses pewarnaan, senyawa ini hanya tergunakan sekitar

5% sedangkan 95% sisanya akan dibuang kealiran air sebagai limbah

Page 21: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

9

(Purwamargapratala et al., 2013). Jika pemanfaatan zat warna tidak diimbangi dengan

penanggulangan limbah yang dihasiLMan, maka akan sangat berdampak pada

munculnya berbagai permasalahan lingkungan dan kesehatan, karena sifatnya yang

toksik, stabil dan non-degradable (Purwamargapratala et al., 2013). rhodamine B

adalah zat warna azo yang mempunyai rumus molekul C16H18NsSCl (BM = 355,85

g/mol) (Zollinger, 1987). Selain digunakan sebagai pewarna tekstil, rhodamine B

juga digunakan dibidang pengobatan, bakteriologi dan mikroskopi. Rhodamine B

stabil dalam air sehingga air limbah yang mengandung rhodamine Bdapat

memberikan dampak negatif terhadap flora, fauna, dan ekosistem air. Meskipun tidak

dianggap sebagai pewarna yang sangat beracun, rhodamine B dapat menyebabkan

beberapa efek berbahaya seperti muntah, peningkatan denyut jantung, diare, shock,

sianosis, ikterus, quadriplegia, dan nekrosis jaringan pada manusia (Brown & De

Vito, 1993).

Keberadaan zat pewarna ini dalam lingkungan khususnya perairan,

membutuhkan penanganan yang serius mengingat faktor resiko yang ditimbulkan.

Berbagai metode telah dikembangkan untuk mengatasi masalah pencemaran air, salah

satunya ialah metode adsorpsi dengan menggunakan sistem bactch. Metode ini

dipilih, karena prosesnya dinilai sederhana, efektif, efisien dan murah (Notodarmojo,

2005).

Penerapan metode adsorpsi dalam prakteknya membutuhkan bahan pengikat

atau penyerap kontaminan yang disebut sebagai adsorben. Bahan penyerap yang

dapat digunakan salah satunya adalah lempung. Lempung alam merupakan mineral

yang berasal dari pelapukan kerak bumi yang sebagian besar tersusun oleh batuan

feldspatik, terdiri dari batuan granit dan batuan beku. Kalimantan Tengah merupakan

salah satu provinsi yang memiliki cadangan lempung cukup besar yaitu sekitar

8.900.352.000 m3. Tersebar di beberapa lokasi, seperti di Kota Palangka Raya,

Kabupaten Barito Selatan, Barito Utara dan Gunung Mas. Berdasarkan warna dan

tempat pembentukkannya, lempung di wilayah Kalimantan Tengah dikelompokkan

menjadi beberapa jenis, yaitu lempung putih, lempung merah dan lempung merah.

Perbedaan karakteristik salah satunya disebabkan karena jenis mineral penyusun yang

mendominasi dan kehadiran bahan lain yang terkandung di dalamnya, seperti oksida

besi dan fragmen batuan. (Amarullah et al., 2002).

Lempung memiliki beberapa kelebihan, yakni sifat mudah mengembang,

kapasitas tukar kation yang tinggi, luas permukaan yang besar, dan stabil secara

kimia dan mekanika (Ortega et al., 2013). Sebelum digunakan sebagai adsorben,

lempung harus diaktivasi terlebih dahulu untuk melepaskan pengotor-pengotor dari

kisi struktur sehingga secara fisik rangkaian struktur (framework) memiliki area yang

lebih luas. Aktivasi dilakukan melalui dua cara, yaitu aktivasi secara kimia dan fisis.

Proses aktivasi secara kimia dilakukan dengan menggunakan larutan asam dan

aktivasi secara fisis dilakukan dengan pemanasan (kalsinasi) (Koyuncu, 2007).

Namun aplikasi lempung sebagai adsorben menggunakan sistem batch

memiliki kesulitan dalam peoses pemisahan fase padat adsorben dari larutan.

Pemisahan hanya didasarkan pada proses pegendapan secara alami oleh gaya

gravitasi bumi yang tentunya membutuhkan waktu lama untuk proses pemisahan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut

ialah dengan mengkompositkan bahan magnetik pada lempung sehingga diperoleh

komposit magnetik lempung yang memiliki sifat kemagnetan. Salah satu jenis bahan

magnetik yang dapat dikompositkan pada lempung adalah magnetit (Fe3O4). Fasa ini

membentuk keteraturan ferimagnetik dengan nilai magnetisasi saturasi (Ms) tertinggi

yaitu sebesar 92 emu/g. Sintesis komposit magnetik dapat dilakukan melalui metode

kopresipitasi. (Lee et al, 2004).

Sintesis komposit diharapkan dapat menghasilkan bahan baru yang

mempunyai dua sifat utama yaitu, sifat adsorpsi yang berasal dari lempung dan sifat

magnet yang berasal dari bahan magnetik yang terkomposit di dalam jaringan struktur

lempung. Keberadaan sifat magnet ini diharapkan dapat mempermudah pemisahan

Page 22: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

10

fase padat lempung dari larutan setelah proses adsorpsi dapat dilakukan dengan

mudah dan cepat menggunakan medan magnet eksternal (Oliviera, et al., 2003).

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini akan dikaji mengenai sintesis

komposit lempung merah magnetit sebagai adsorben zat warna rhodamine B.

METODE PENELITIAN

Persiapan sampel. Lempung alam yaitu lempung merah asal Kalimantan

Tengah dibersihkan dari pengotor kasar, kemudian dioven pada temperatur 70οC

selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan penggerusan dan diayak dengan menggunakan

ayakan lolos 60 mesh. Hasil ayakan yang terdiri dari lempung merah (LM)

dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR, XRD dan BET.

Aktivasi Lempung Alam

Sebanyak 50 gram lempung Merah (LM) yang telah diayak, direfluks dengan

250 mL HCl 3 M selama 3 jam pada temperatur 100οC. Kemudian disaring dan dicuci

dengan akuades hingga lolos uji klor menggunakan AgNO3 0,1 M. Padatan

dikeringkan dalam oven pada temperatur 100οC selama 3 jam, digerus dan diayak

dengan menggunakan ayakan lolos 60 mesh. Lempung yang telah diaktivasi dengan

larutan asam selanjutnya dikalsinasi menggunakan furnace pada temperatur 500οC

selama 3 jam. Produk lempung merah (A-LM) hasil aktivasi, selanjutnya

dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR, XRD dan BET.

Sintesis Komposit Magnetik Lempung

Larutan Fe2+ dan Fe3+ dibuat dalam volume 100 mL dengan konsentrasi masing-

masing sebesar 0,0125 M dan 0,05 M. Kedua larutan dimasukan ke dalam gelas beker

500 mL yang di dalamnya terdapat 2 gram lempung merah hasil aktivasi (A-LP).

Campuran diaduk pada temperatur 85οC, kemudian ditambahkan larutan NH4OH

tetes demi tetes hingga pH mencapai 10. Campuran didinginkan selama 3 jam

kemudian koloid yang terbentuk dipisahkan dari larutan menggunakan medan magnet

eksternal. Padatan dicuci menggunakan akuades dan dioven pada temperatur 110οC

selama 2 jam, selanjutnya digerus perlahan-lahan sampai diperoleh bubuk halus.

Produk komposit magnetik lempung merah (K-LM) yang telah dihasilkan,

dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR, XRD.

Uji Adsorpsi Lempung Teraktivasi dan Komposit Magnetik Lempung terhadap Zat

Warna

Uji adsorpsi lempung teraktivasi (A-LM) dan komposit magnetik lempung (K-

LM) terhadap zat warna rhodamine B dilakukan dengan menggunakan sistem batch

melalui 3 tahapan, yaitu penentuan pH optimum, waktu kontak optimum dan

kapasitas adsorpsi.

Penentuan pH Optimum

Sebanyak 0,05 gram sampel A-LM dan K-LM masing-masing digunakan untuk

mengadsorpsi 50 mL larutan rhodamine B50 ppm dengan pH awal 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.

Proses dilakukan menggunakan shaker selama 3 jam pada temperatur kamar.

Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis.

Penentuan Waktu Kontak Optimum

Sebanyak 0,05 gram sampel A-LM dan K-LM masing-masing digunakan untuk

mengadsorpsi 50 mL larutan rhodamine B 50 ppm pada pH optimum dengan variasi

waktu kontak 5, 10, 20, 40, 60, 90, 180 dan 300 menit pada temperatur kamar.

Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis.

Penentuan Kapasitas Adsorpsi. Sebanyak 0,05 gram sampel A-LM dan K-LM

masing-masing digunakan untuk mengadsorpsi 50 mL larutan rhodamine B pada pH

dan waktu kontak optimum dengan variasi konsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm

Page 23: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

11

pada temperatur kamar. Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur

dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.

Uji Pemisahan Adsorben dalam Larutan Methylene Blue

Larutan rhodamine B50 mL masing-masing dimasukan pada 6 buah botol

sampel. Kemudian masing-masing botol sampel ditambahkan dengan adsorben A-

LM dan K-LM, diaduk dan didiamkan beberapa saat. Botol sampel yang terdapat

adsorben K-LM diberi medan magnet ekternal. Kemudian diamati apa yang terjadi

pada masing – masing campuran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Lempung Merah Teraktivasi. Persiapan sampel dilakukan dengan

pembersihan lempung merah dari pengotor kasar kemudian dilanjutkan dengan

pemanasan pada temperatur 100οC selama 3 jam untuk hidrasi molekul air yang

terperangkap diruang antar lapis. Lempung merah yang diperoleh kemudian digerus

dan diayak hingga lolos ayakan 60 mesh untuk mendapatkan keseragaman ukuran

butiran lempung merah.

Sampel lempung merah yang telah dipersiapkan, selanjutnya diaktivasi

menggunakan larutan asam. Penggunaan larutan asam ditujukan untuk memperbaiki

karakteristik permukaan lempung merah yang digunakan sebagai adsorben. Proses

perlakuan ini dapat melarutkan pengotor sehingga mulut pori menjadi lebih terbuka

yang mengakibatkan permukaan spesifik pori meningkat. Situs aktif juga akan

mengalami peningkatan oleh karena itu situs yang tersembunyi menjadi terbuka.

Untuk memperoleh sifat tersebut, aktivasi asam dilakukan dengan refluks

menggunakan larutan HCl 3 M pada temperatur 100οC selama 3 jam. Perlakuan

dengan cara tersebut cukup efektif untuk meningkatkan aktivitas adsorpsi dari

lempung merah (Koyuncu, 2008).

Larutan asam klorida diketahui merupakan asam yang mampu melarutkan

senyawa yang bersifat anorganik dan memiliki kemampuan dalam mendonorkan ion

hidrogen (H+) yang digunakan untuk mengimbangi situs negatif yang terdapat pada

ruang antar lapis lempung merah. Selama proses aktivasi, pengotor larut dalam fasa

cair, kemudian terjadi pertukaran kation K+, Na+, Mg2+ dan Ca2+ pada ruang antar

lapis lempung merah dengan ion hidrogen (H+) dari larutan asam, seperti terlihat pada

Gambar 1. Gambar ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Koyuncu,

2007).

Gambar 1. Ilustrasi pertukaran kation pada ruang antar lapis lempung

merah

Lempung merah yang telah diaktivasi dengan larutan asam selanjutnya

dikalsinasi menggunakan furnace pada temperatur 500οC selama 3 jam. Kemudian

lempung yang telah lolos ayakan 60 mesh dikalsinasi. Kalsinasi adalah memanaskan

padatan pada temperatur tinggi sehingga semua molekul yang teradsorpsi oleh

padatan itu lepas. Kalsinasi dilakukan dengan tujuan dapat melepaskan molekul–

Page 24: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

12

molekul air, senyawa volatil serta senyawa – senyawa organik yang terperangkap

dalam pori – pori padatan dan guna mengkalsinasi lempung yang sudah diaktivasi

yaitu untuk menghilangkan logam – logam pengotor yang ada pada didalam lempung

merah. Proses kalsinasi bermanfaat untuk menjaga stabilitas termal lempung merah

dan memperbesar pori – pori permukaannya.

Data spektra FTIR dari sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan

lempung magnetit hasil sintesis memberikan informasi mengenai jenis-jenis vibrasi

gugus fungsional pada sampel yang secara tidak langsung juga mengindikasikan

keberadaan mineral lempung dan mineral lain serta adanya senyawa pengotor lain.

Spektra FTIR sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit

hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan adanya puncak pada daerah bilangan gelombang

3695,34; 3687,63 ; dan 3363,61 cm-1 sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi

dan lempung magnetit hasil sintesis secara berturut-turut. Puncak serapan di daerah

sekitar 3300-3600 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur –OH yang memiliki

perbedaan lingkungan, yaitu –OH yang terikat pada atom Al-oktahedral, pada

permukaan silikat atau pada antar lapis. Pita serapan tersebut berkorelasi dengan

adanya bilangan gelombang 906,48; 914,19; dan 914,19 cm-1 masing-masing

berturut-turut sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit

hasil sintesis. Puncak serapan tajam pada daerah sekitar 1000 cm-1 adalah

karakteristik vibrasi ulur dari Si-O. Serapan kuat pada daerah 950-1250 cm-1 adalah

vibrasi ulur dari M-O (dimana M = Si atau Al dan logam lainnya) yang melibatkan

gerakan utama dari atom oksigen Si-O (Eren et al., 2009)

Terjadinya pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih besar pada

lempung alam yaitu 995,20 cm-1dan 906,48 cm-1 yang bergeser menjadi 1002,91 cm-

1 dan 914,19 cm-1 pada lempung hasil aktivasi mengidentifikasikan terjadinya

pengaturan struktur rangka lempung akibat terlepasnya molekul air karena kalsinasi

dan aktivasi asam. Hal ini juga memperkuat dugaan semakin homogennya lingkungan

dari mineral silika-alumina yang secara tidak langsung menunjukkan berkurangnya

mineral dan senyawa pengotor yang ada karena proses kalsinasi dan aktivasi asam

(Saikia et al., 2003).

Terjadinya pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih kecil

mengidentifikasikan pengaturan struktur kerangka yang di akibatkan masuknya

oksida besi ke dalam struktur rangka lempung setelah sintesis. Pergeseran bilangan

gelombang 3687,63 cm-1 bergeser menjadi 3363,61 cm-1 menunjukkan penurunan

intensitas vibrasi ulur Al-OH. Hal ini mengidentifikasikan vibrasi Al-O dalam

keadaan kurang bebas yang terjadi karena terbentuknya ikatan baru antara oksigen

Gambar 2. Spektra inframerah sampel (a) lempung merah, (b) lempung hasil

aktivasi dan (c) lempung magnetit hasil sintesis

Page 25: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

13

dengan besi yang menyebabkan kompetisi kekuatan ikatan antara Al-O-Fe diruang

antar lapis lempung (Saikia et al., 2003).

Analisis terhadap data difraktogram difraksi sinar-X digunakan untuk

memperkuat dugaan tentang mineralogi lempung karena mampu memberikan

informasi yang lengkap mengenai komposisi mineral penyusun lempung sebelum dan

sesudah perlakukan. Difraktogram sinar-X untuk sampel lempung merah, lempung

hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis disajikan dalam Gambar 3.

Identifikasi komponen penyusun sampel dilakukan dengan membandingkan

antara posisi puncak intensitas difraksi (2θ). Difraktrogram sinar-X pada Gambar 2

menunjukkan lempung alam tersusun atas Monmorilnoit, Kaolinit,Cristobalit dan

Kuarsa. Difraktrogram sinar-X pada Gambar 3 menunjukkan perbedaan yang terjadi

antara puncak-puncak lempung merah, lempung hasil aktivasi. Proses kalsinasi dan

aktivasi asam berpengaruh pada struktur lempung, yang ditunjukkan dengan

hilangnya puncak-puncak pada difraktogram lempung alam. Hilangnya puncak-

puncak, Kaolinit, dan kristobalit disebabkan proses metakaolinisasi sehingga struktur

kristalnya berubah menjadi amorf. Pada difraktogram lempung hasil aktivasi masih

terdapat puncak kuarsa yaitu pada 2θ = 26,468° meskipun bergeser dari sudut 2θ

lempung merah yaitu 26,42°. Hal ini terjadi karena penata ulangan struktur lempung

yang diakibatkan karena hilangnya molekul air Kristal dan dilusi atom-atom logam

pada lempung merah akibat kalsinasi dan aktivasi asam. Struktur kristal dari kuarsa

tetap muncul baik pada lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit

hasil sintesis. Hal ini terjadi karena mineral kuarsa tidak akan rusak pada pemanasan

temperatur kalsinasi, dikarenakan kuarsa cukup stabil pada kondisi tersebut.

menyatakan bahwa struktur kristal kuarsa akan mengalami kerusakan apabila

dikalsinasi dengan temperatur di atas 1000 ºC dan akan terbentuk mullite (Bai,2010).

Difraktrogram lempung magnetit hasil sintesis seperti terlihat pada gambar 2c

menunjukkan munculnya puncak-puncak baru pada sudut 2θ yaitu pada 19,72°;

26,02° dan 68,020°. Hal ini diperkirakan karena struktur lempung telah mengalami

perubahan akibat proses dimasukkannya oksida besi ke dalam struktur antar lapis

lempung. Pola puncak baru yang muncul diduga merupakan akibat adanya ion

Mangan yang masuk pada bidang parallel difraksi yang kemudian menghamburkan

sinar datang dari sinar-X yang direkan oleh detektor (Azhara, dkk., 2016).

Sintesis komposit lempung merah magnetit dilakukan dengan menginteraksikan

secara serempak lempung merah dengan larutan yang mengandung Fe2+ dan Fe3+ pada

rasio mol 1 : 2, dengan konsentrasi 0,0125 M dan 0,025 M. Rasio mol 1 : 2 merupakan

Gambar 3. Difraktogram XRD sampel (a) lempung merah, (b) lempung hasil

aktivasi dan (c) lempung magnetit hasil sintesis

Page 26: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

14

stoikiometri yang dibutuhkan dalam pembentukan FeO.Fe2O3 pada ruang antar lapis

lempung merah. Ion-ion ini akan mengalami proses kopresipitasi dengan penambahan

basa NH4OH yang berfungsi untuk pembentukan Fe(OH)2 dan Fe(OH)3. Persamaan

reaksi sebagai berikut (Lee et al., 2004)

Fe2+(aq) + 2Fe3+

(aq) + 8OH-(aq) Fe(OH)2(s) + 2Fe(OH)3(s)

Selanjutnya dilakukan penyaringan endapan dan pencucian menggunakan

akuades untuk menghilangkan ion-ion sisa berupa kation dan anion terlarut. Tahap

berikutnya adalah pemanasan yang diperlukan dalam proses dehidrasi sehingga

terbentuk FeO.Fe2O3 atau yang lebih sering disebut dengan Fe3O4 sebagai partikel

magnetit (Lee et al., 2004). Persamaan reaksi adalah sebagai berikut :

LM + Fe(OH)2(s) + 2Fe(OH)3(s) LM -FeO.Fe2O3(s) + 4H2O(l)

Ion-ion Fe2+ dan Fe3+ yang masuk ke dalam ruang antar lapis lempung merah

terjadi melalui proses pertukaran ion atau terjerap pada permukaan lempung merah

yang bermuatan negatif. Menurut Notodarmojo (2005), pertukaran kation salah

satunya dipengaruhi oleh muatan ion. Muatan ion yang besar cenderung

menggantikan ion dengan muatan yang lebih kecil. Fe3+ memiliki muatan yang lebih

besar jika dibandingkan dengan kation H+ yang terdapat di ruang antar lapis lempung

merah teraktivasi sehingga Fe3+ dapat dengan mudah menggantikan kation-kation

tersebut. Demikian pula dengan ion Fe2+ yang dapat mengalami pertukaran ion atau

menempel pada permukaan merah yang bermuatan negatif. Fe2+ dan Fe3+ selanjutnya

akan membentuk Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 ketika ditambahkan larutan NH4OH. Setelah

mengalami pemanasan, Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 teroksidasi menjadi magnetit (Fe3O4)

sehingga dihasiLMan lempung merah yang memiliki sifat kemagnetan.

Pada tahap modifikasi lempung merah dengan magnetit akan di kajian pengaruh

konsentrasi molar Fe2+ : Fe3+ dan pengaruh temperatur sintesis terhadap ketahanan

struktur dasar lempung merah dan jenis oksida besi yang terbentuk. Cara menguji

adanya magnetit didalam lempung yaitu dengan medan magnet eksternal.

Berdasarkan hasil pengamatan visual, warna padatan lempung merah magnetik yang

berwarna hitam juga dapat digunakan untuk menentukan jenis oksida besi yang

terbentuk. Jika terbentuk oksida besi fasa magnetit (Fe3O4) maka padatan akan

berwarna hitam sedangkan jika terbentuk oksida besi fasa maghemit (ɣ-Fe2O3) maka

padatan akan berwarna coklat.

Uji adsorpsi terhadap rhodamine B dilakukan dengan kajian pengaruh pH,

kinetika adsorpsi dan kesetimbangan adsorpsi terhadap lempung merah teraktivasi

dan lempung merah termodifikasi magnetit. Penentuan pH optimum merupakan salah

satu parameter penting dalam mengontrol proses adsorpsi. Harga pH larutan dapat

mempengaruhi muatan permukaan adsorben dan spesiesi adsorbat. Kajian pengaruh

pH pada lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit

dilakukan pada beberapa variasi pH yaitu 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Adsorpsi dilakukan dalam

50 ml larutan rhodamine B pada konsentrasi 50 ppm dengan 0,05 gram lempung

merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit pada waktu kontak 3

jam. Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis.

Adapun hasil kajian pengaruh pH terhadap adsorpsi rhodamine Bpada kedua

jenis adsorben dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Adsorpsi rhodamine B oleh (a) lempung merah teraktivasi dan (b)

lempung merah termodifikasi magnetit sebagai fungsi pH

Page 27: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

15

Berdasarkan Gambar 4 dapat diamati bahwa kemampuan adsorpsi dari kedua

jenis adsorben menunjukan kemiripan. Terlihat bahwa adsorpsi baik oleh lempung

merah teraktivasi maupun lempung merah termodifikasi magnetit mulai terjadi secara

signifikan pada pH 1-3 namun pada pH 4, 5 dan 6 justru mengalami penurunan untuk

lempung merah teraktivasi maupun untuk lempung merah termodifikasi magnetit. Hal

ini disebabkan karena pada pH rendah (pH <3), keberadaan proton dari ion H+ akan

semakin dominan yang mengakibatkan situs aktif adsorben akan terprotonasi. Hal ini

menyebabkan semakin kecilnya peluang spesiesi rhodamine B berinteraksi dan

mengalami ikatan elektrostatik dengan situs aktif dari permukaan lempung merah.

Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh lempung merah termodifikasi

magnetit terhadap adsorpsi Rhodamine B. Sedangkan pada pH 3, yaitu pH optimum

adsorpsi untuk kedua adsorben terjadi peningkatan kemampuan adsorpsi yang

signifikan. Hal ini diduga terjadi karena pada pH tersebut sebagian besar rhodamine

B berada dalam keadaan kationik sehingga meningkatkan interaksi elektrostatik

dengan permukaan lempung yang bermuatan negatif. Kapasitas adsorpsi yang lebih

besar pada lempung merah termodifikasi magnetit diduga karena magnetit yang

berada pada ruang antar lapis lempung juga memiliki peran mengadsorpsi rhodamine

B, karena magnetit merupakan oksida besi yang memiliki titik isoelektrik yang

cendrung bermuatan negatif pada pH < 5.

Parameter lain yang perlu dipelajari pada proses adsorpsi adalah kinetika

adsorpsi. Kinetika adsorpsi lempung merah teraktivasi dan lempung merah

termodifikasi magnetit terhadap rhodamine B berhubungan konstanta laju adsorpsi

(k), yang memberikan gambaran mengenai seberapa cepat proses adsorpsi

mencapai kesetimbangan. Kajian kinetika adsorpsi dilakukan dengan menggunakan

lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit sebanyak 0,05

gram dalam 50 ml larutan rhodamine B dengan konsentrasi 50 ppm pada pH 3. Variasi

waktu yang digunakaan adalah 5, 10, 20, 40, 60, 90, 180, 300. Hasil adsorpsi terhadap

pengaruh waktu kontak dapat dilihat pada Gambar 5.

Pola adsorpsi rhodamine B untuk kedua jenis adsorben pada beberapa variasi

waktu dapat diamati pada Gambar 5. Terdapat kemiripan antara pola adsorpsi untuk

kedua jenis adsorben. Terlihat bahwa adsorpsi rhodamine B dalam jumlah yang relatif

banyak terjadi pada menit-menit awal. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa waktu

kesetimbangan lempung merah termodifikasi magnetit relatif lebih cepat jika

dibandingkan dengan lempung merah teraktivasi. Lempung merah teraktivasi telah

mencapai kesetimbangan pada waktu 60 menit sedangkan pada lempung merah

termodifikasi magnetit tercapai pada waktu 60 menit. Sesuai dengan konsep, bahwa

semakin lama waktu adsorpsi yang diperlukan antara adsorben dengan zat terlarut

maka akan semakin banyak zat yang teradsorpsi, tetapi jumlah zat terlarut yang

diadsorpsi akan mencapai nilai batas pada waktu tertentu dimana adsorben tidak

Gambar 5. Grafik hubungan antara waktu adsorpsi dengan rhodamine B teradsoprsi/gram (a)

Lempung Merah teraktivasi dan (b) Lempung Merah termodifikasi magnetit

Page 28: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

16

mampu lagi mengadsorpsi karena terjadi kejenuhan pada permukaan adsorben

tersebut. Pada saat itu lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi

magnetit sudah mencapai kesetimbangan antara laju adsorpsi dengan desorpsi.

Pada waktu pengadukan 300 menit konsentrasi zat warna rhodamine B

teradsorpsi mengalami penurunan karena ikatan gugus yang terdapat dalam adsorben

dengan gugus zat warna rhodamine B makin melemah dan akhirnya lepas kembali ke

dalam larutan. Sehingga hanya gugus yang berikatan kuat dengan adsorben yang

masih dapat berikatan atau disebut proses desorpsi. Selain itu, dikarenakan faktor

pengadukan yang berpengaruh dan faktor shaker yang terlalu cepat atau rpmnya

terlalu cepat. Dimana yang awalnya terikat, menjadi terlepas ikatannya kemudian

terikat kembali lalu terlepas kembali dan tidak dapat terikat kembali karena ikatannya

lemah. Ikatan lemahnya dipengaruhi oleh keberadaan zwitter ion. Dimana keberadaan

rhodamine B mengalami perubahan muatan. Dalam hal ini, ikatan yang terjadi bukan

ikatan kimiawi yang sangat kuat tetapi hanya berdasarkan gaya elektrotatis. Maka

demikian, dapat disimpulkan bahwa waktu optimum untuk lempung merah teraktivasi

adalah 60 menit dan untuk lempung merah termodifikasi magnetit yaitu 60 menit.

Hasil penelitian selanjutnya diuji dengan menggunakan model kinetika

adsorpsi yang didasarkan pada rumusan kinetika adsorpsi orde satu (Santoso) dan orde

satu semu (Lagergen) dan orde dua semu yang dikemukan oleh Ho dan McKay.

Harga konstanta laju adsorpsi orde dua semu pada Gambar 6. disajikan dalam Tabel

1. berikut.

Tabel 1. Parameter kinetika orde dua semu

Material

Parameter Adsorpsi*

k2

(g/mg.menit) R2

Lempung Merah teraktivasi 1,68 x 10-3 0,9972

Lempung Merah termodifikasi

magnetit 7,13 x 10-3 0,9983

Berdasarkan harga koefisien korelasi terlihat bahwa grafik adsorpsi orde dua

semu untuk kedua jenis adsorben lebih linier jika dibandingkan dengan grafik orde

lainnya. Dari harga koefisien korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa adsorpsi

rhodamine B oleh lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi

Gambar 6. Profil Plot t/qt lawan t untuk adsorpsi rhodamine B oleh (a) lempung merah

teraktivasi dan (b) lempung merah termodifikasi magnetitLempung Merah

termodifikasi magnetit

Page 29: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

17

magnetit merupakan model kinetika adsorpsi orde dua semu dengan harga konstanta

laju k2 untuk lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit

masing-masing sebesar 1,68 x 10-3 g/mg.menit dan 7,13 x 10-3 g/mg.menit.

Kesetimbangan Adsorpsi

Penentuan pola adsorpsi terhadap rhodamine B dilakukan pada variasi

konsentrasi yaitu1 ppm, 3 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm dan 50 ppm

dalam 50 ml larutan rhodamine Bdengan 0,05 lempung merah teraktivasi dan

lempung merah termodifikasi magnetit. Adsorpsi dilakukan pada pH 3 dan waktu

kontak 60 menit untuk lempung merah teraktivasi dan 60 menit untuk lempung merah

termodifikasi. Berdasarkan data yang diperoleh grafik pola isoterm Langmuir dan

Freundlich.

Pola adsorpsi dari kedua adsorben mengikuti pola isoterm Langmuir karena

titik yang diperoleh menunjukan suatu hubungan garis lurus. Bila ditinjau dari nilai

R2 maka adsorpsi pada lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi

magnetit cenderung mengikuti pola isoterm Langmuir dengan kapasitas adsorpsi

berturut-turut sebesar 1,72 x 10-4 mol/g dan 1,84 x 10-4 mol/g. Dengan demikian dapat

diasumsikan bahwa situs aktif pada permukaan adsorben bersifat homogen yang

berarti bahwa satu ion rhodamine B menempati satu situs aktif dan tidak ada adsorpsi

lebih lanjut yang dapat dilakukan pada situs tersebut. Semakin tinggi koefisien

korelasi untuk model Langmuir mempyellowiksi bahwa cakupan ion rhodamine B

mungkin monolayer.

Uji Pemisahan Adsorben dalam Larutan Methylene Blue

Uji pemisahan dilakukan pada kedua jenis adsorben, yaitu pada adsorben

lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit. Setelah

digunakan dalam proses adsorpsi rhodamine B adsorben lempung merah teraktivasi

dibiarkan mengendap secara alami oleh gaya gravitasi bumi. Perlakuan yang sama

Material

Parameter Adsorpsi Langmuir Parameter Adsorpsi

Feundlich

B

(mol/g)

Km

(L/mol) E (Kj/mol) R2 B N R2

Lempung Merah

Teraktivasi

1,72 x

10-4 82819, 85 28,05

0,98

65 2,85

1,3

67

0,9

76

Lempung Merah

Termodifikasi

Magnetit

1

,84 x 10-4

1

71444,25 29,85

0,98

53 2,75

1,4

56

0,9

97

9

Material

Parameter Adsorpsi Langmuir Parameter Adsorpsi

Feundlich

B

(mol/g)

Km

(L/mol) E (Kj/mol) R2 B N R2

Lempung

Merah Teraktivasi

1,72 x

10-4 82819, 85 28,05

0,98

65 2,85

1,3

67

0,9

76

Lempung

Merah

Termodifikasi Magnetit

1

,84 x 10-4

1

71444,25 29,85

0,98

53 2,75

1,4

56

0,9

97

9

Tabel 2. Parameter Kesetimbangan Adsorpsi

Page 30: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

18

juga dilakukan pada adsorben lempung merah termodifikasi magnetit. Hanya saja,

proses pemisahan adsorben ini dibantu dengan medan magnet eksternal.

Berdasarkan uji pemisahan yang dilakukan, diperoleh bahwa setelah 2 menit,

lempung merah termodifikasi magnetit telah terpisah dari dalam larutan rhodamine

B. Hal yang berbeda justru ditunjukkan oleh lempung merah teraktivasi yang masih

terdispersi didalam larutan dan baru terpisah setelah waktu 38 menit. Hal tersebut

menunjukan bahwa lempung merah termodifikasi magnetit menerima respon

terhadap medan magnet eksternal sehingga dapat terpisah dengan mudah dan cepat

dari larutan. Selain itu, partikel magnetit memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga

memiliki respon magnetik yang lebih tinggi.

SIMPULAN

Uji adsopsi lempung teraktivasi dan lempung merah magnetit terhadap zat

warna rhodamine B mencapai kondisi optimum pada pH 3. Kajian kinetika adsorpsi

dan kesetimbangan adsopsi menunjukkkan bahwa adsopsi rhodamine B oleh

Lempung merah teraktivasi dan lempung merah magnetit mengikuti orde dua semu

dengan esoterm adsopsi Langmuir. Sintesis lempung merah magnetit mampu

meningkatkan kapasitas adsopsi dan mempercepat proses pemisahan absorben dari

larutan menggunakan medan magnet external.

DAFTAR RUJUKAN

Amarullah, D., Margani, Saksono, Priatna, Priono and Sudiro., 2002, Inventarisasi

dan Evaluasi Endapan Batubara Kabupaten Barito Selatan Dan Barito

Utara Provinsi Kalimantan Tengah, Kolokium Direktorat Inventarisasi

Sumber Daya Mineral,(DIM) TA.

Azhara,S. U. Setianto, Hidayat. D. 2016. Simulasi XRD Zinc Oxide Terdoping

Menggunakan Metode Laue.Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol.

06, No. 02, 7 – 13. Padjadjaran.

Bai, J. 2010. Fabrication and Properties of Porous Mullite Ceramic from Calcines

Carbonaceous Kaolin and α-Al2O3. Ceramics International. 36: 673-

678.

Brown, M. A., and S. C. Devito, 1993, Pyellowicting Azo Dye Toxicity, Environ, Sci.

Technol. Zollinger, H., 1987, Colour Chemistry-Synthesis, Properties

And Application Of Organic Dyes And Pigments, Vch Publisher, New

York.

Eren, E., Afsin, B and Onal, Y, 2009, Removal of lead ions by acid activated and

manganese oxide-coated bentonite, Journal of Hazardous Material, 161,

677-685.

Koyuncu, H., 2007, Adsorption Kinetics of 3-Hydroxybenzaldehyde on Native and

Activated Bentonite, App. Clay. Sci., 38, 279–287.

Lagergren, S., 1989, Zur Theorie der Sogenannten Adsorption Geloster Stoffe.

Kungliga Svenska Vetenskapsakademiens, Handlingar, 24, 1-39.

Lee, S. J., Jeoung, J. R., Shin, S.C., Kim, J. C and Kim, J. D., 2004, Synthesis and

Characterization of Superparamagnetic Maghemite Nanoparticles

prepayellow by Coprecipitation Technique. Magnetism, Magnetic

Mater, 282, 147-150.

Notodarmojo, S., 2005, Pencemaran Tanah dan Aur Tanah, Bandung : ITB press.

Oliveira, L.C,A., Rios, R.V.R.A., Fabris, J.D., Sapag, K., Garg, V.K. and Lago, R.M.,

2003, Clay – iron oxide magnetic composites for the adsorption of

contaminants in water, Appl. Clay Sci, 22, 169-177.

Ortega, E., Ramos and Flores-Cano., 2013, Binary Adsorption of Heavy Metals from

Aqueous Solution Onto Natural Clays. Chemical Engineering Journal,

225, 535–546.

Purwamargapratala, Y., Yusuf, S and Ridwan., 2013, Degradasi Metilen Biru dengan

Komposit TiO2SiO2Fe3O4, Seminar Nasional IX SDM Teknologi Nuklir

Yogyakarta, ISSN 1978-0176.

Page 31: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

19

Saikia, N, J., Bharali, D, J., Sengupta, P and Bornhakun, 2003, Characterication,

beneficiation and utilization of a clay from Assam, India, App.clay Sci.,

24, 93-103.

Zollinger, H., 1987, Colour Chemistry-Synthesis, Properties And Application Of

Organic Dyes And Pigments, Vch Publisher, New York.

Page 32: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

20

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PUPUK UREA LEPAS LAMBAT

(SLOW RELEASE) BERBASIS POLISAKARIDA

Development Technology of Urea Fertilizer (Slow Release) Based on

Polysaccharides

Ersha Mayori, Asma Nadia, Asma Fauziah, Sunardi*

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia

70714

*email: [email protected] ; [email protected]

Abstrak. Polisakarida alam seperti pati, selulosa, kitosan, dan alginat saat ini banyak

digunakan sebagai material lepas lambat (slow release material) untuk pupuk, pestisida,

dan bahan aktif lainnya untuk aplikasi dalam bidang pertanian. Pemanfaatan

polisakarida untuk menggantikan polimer sintetik dan material anorganik merupakan

solusi alternatif menguntungkan karena sifatnya yang ramah lingkungan, melimpah,

murah dengan kemampuan adsorpsi tinggi. Artikel ini membahas mengenai

perkembangan pemanfaatan slow release urea menggunakan biopolymer polisakarida,

termasuk material dan metode yang digunakan, keuntungan dan mekanisme lepas

lambat yang terjadi terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pupuk sintetik untuk

meningkatkan produktifitas pertanian lahan rawa dan lahan gambut di Kalimantan.

Kata Kunci : slow release, urea, biopolimer, polisakarida.

Abstract. Natural polysaccharides such as starch, cellulose, chitosan, and alginate are

now used as slow-release material for fertilizer, pesticides and other active ingredients

in agriculture applications. Utilization of polysaccharides as synthetic polymer and

inorganic material are an alternative solution because it is environtmental friendly,

abundant, and inexpensive with high adsorption capability. This article discuss about

development of utilization urea as slow-release using biopolymer polysaccharides,

includes materials and methods, advantages and mechanisms of slow-release mainly

the correlation with synthetic fertilizer supplying to increase the agricultural wetlands

and peat land productivity in Kalimantan.

Keywords : slow release, urea, biopolymer, polysaccharides.

PENDAHULUAN

Pupuk merupakan salah satu bagian terpenting dalam pertanian. Penggunaan pupuk

yang kurang tepat dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil panen, selain itu

meningkatnya jumlah dan waktu penggunaan pupuk turut membuat masalah terhadap

lingkungan (Lu et al., 2016). Unsur hara didalam tanah menjadi tidak seimbang yang ditandai

dengan rusaknya kondisi tanah akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus.

Sebanyak 40 hingga 70 % dari pupuk urea yang digunakan oleh petani akan hilang ke

lingkungan dan tidak dapat diserap oleh tanaman yang diakibatkan tingginya kelarutan urea

dalam air, sehingga menyebabkan lebih besarnya biaya yang diperlukan dalam pengelolaan

pertanian serta permasalahan lingkungan yang serius (Wu & Liu, 2008).

Kalimantan merupakan daerah yang memiliki lahan marginal seperti lahan rawa dan

gambut yang cukup luas yaitu mencapai 32% dari keseluruhan yang ada di Indonesia

(Kebijakan, 2008). Pemanfaatan lahan rawa dan gambut memiliki permasalahan tersendiri

yaitu terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence), penurunan pH tanah dan badan

air oleh karena sulfat masam, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan gambut yang

diakibatkan dari modifikasi lahan (Poniman, 2006), menyebabkan rendahnya kandungan

unsur hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman (Ratmini et al., 2012). Hal ini

karena lahan basah memiliki sifat khusus yang identik dengan air, dimana lahan basah

Page 33: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

21

memiliki tipe ekosistem yang utamanya dicirikan oleh pengaruh pasang dan surut air dari

sungai/laut sekitar (Noor & Rahman, 2015). Ketika air mengalami pasang surut, pupuk yang

digunakan oleh petani menjadi ikut terlarut, sehingga menyebabkan penggunaan pupuk

menjadi lebih boros.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan inovasi teknologi agar sistem

pertanian lebih produktif dengan meningkatnya efisiensi penggunaan pupuk. Beberapa tahun

terakhir, banyak penelitian yang berfokus pada pengembangan slow-release fertilizer yang

diformulasikan untuk menyediakan nutrisi ke tanaman dengan jumlah yang cukup untuk

pertumbuhan sebaik-baiknya (Ding et al., 2016). Pupuk lepas lambat (slow-release fertilizer)

dapat melepaskan nutrien dengan cara lebih perlahan daripada pupuk biasa. Slow-release

fertilizer memainkan peranan penting dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk

dengan mengurangi frekuensi pemakaian, sehingga menghindari kerusakan lingkungan dan

mengantarkan pengembangan yang berkelanjutan dalam pertanian (Ni et al., 2010).

Pupuk lepas lambat (slow-release fertilizer) yang ideal dapat mengontrol laju

pelepasan nutrisi dari pupuk berdasarkan perbedaan kondisi lingkungan, mencegah

akumulasi dari sisa bahan sintetik yang tidak diinginkan didalam tanah, dan mengurangi

frekuensi serta dosis pemakaian pupuk. Pupuk yang disiapkan secara fisik dengan pelapisan

material pada butiran pupuk merupakan kelompok utama slow-release fertilizer (Ni et al.,

2010). Jenis material yang digunakan untuk pelapisan adalah penting karena akan

menentukan biaya produksi (Ibrahim & Jibril, 2005), sifat (Isiklan, 2007), dan tentunya

merupakan material yang ramah lingkungan (Wang et al., 2012). Beberapa jenis material

yang saat ini digunakan sebagai material slow-release, antara lain polimer biodegradabel (Wu

& Liu, 2008; Ao et al., 2013; Jia et al., 2013; Lubkowski et al., 2015), polimer superabsorben

(Liang et al., 2007), polimer komersial (Ma et al.,2013), kaolin dan kaolin termodifikasi

(Sunardi et al, 2009; 2010; 2011), oxides (Zhang et al., 2014), dan abu layang (Dong et al.,

2016).

Penggunaan polimer sebagai pelapis dalam pembuatan slow-release fertilizer

merupakan hal baru dalam penggunaan pupuk di pertanian dan harus diperhatikan untuk

mengeksplorasi material baru dengan harga yang murah (Ibrahim & Jibril, 2005). Pupuk

terlapisi polimer biasanya disebut prill dan pelepasan nutrisi dikontrol oleh komposisi kimia

yang ada dan ketebalan dari lapisan polimer. Pupuk terlapisis polimer bekerja dengan

mengapit inti nutrisi yang dapat larut (Landis & Dumroese, 2009). Hal ini karena hasil pupuk

yang diperoleh terdiri dari 2 bagian, yaitu zat hara yang ada dibagian dalam dan bagian luar

merupakan lapisan polimer sebagai pelindung. Kelebihan dari lapisan polimer lepas lambat

dapat menyediakan 3 elemen pupuk, yaitu nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K), serta

banyak formula lainya termasuk kalsium, magnesium, sulfur, dan nutrisi mikro lainnya

(Kottegoda et al., 2011).

Pentingnya Slow Release Dua faktor utama yang mempengaruhi keefektifan dari pengaturan penyediaan

nutrisi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi dan mengurangi masalah

lingkungan, yaitu mencocokkan penyediaan nutrisi dengan yang dibutuhkan oleh tanaman

dan memelihara ketersediaan nutrisi. Hal ini karena interaksi komplek (kompetisi) antar akar

tanaman, mikroorganisme tanah (nitrifikasi, denitrifikasi, immobilisasi), reaksi kimia tanah

(penukaran, fiksasi, presipitasi, hidrolisis), dan proses fisika (tercuci, mengalir, menguap)

membuat ketersediaan nutrisi didalam tanah sangat kecil. Oleh karena itu, dengan

mensinkronisasikan penyuplaian nutrisi yang diinginkan tanaman menggunakan slow-

release fertilizer akan menyediakan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman dan

menghindari hilangnya nutrisi dari proses-proses tersebut (Shaviv, 2001). Penggunaan

polimer sebagai material slow-release fertilizer membuat nutrisi tidak akan mudah hilang

atau tercuci karena mereka terekat erat pada akar tanaman termasuk menyimpan nutrisi

untuk digunakan tanaman lain setelah selesai penanaman (Landis & Dumroese, 2009).

Tujuan dari dibentuknya slow-release fertilizer adalah juga untuk mengatur proses

pelepasan bahan aktif menuju target dengan laju yang terkontrol dan mendukung nutrisi yang

cukup dengan batas optimal (Ni et al., 2011). Keuntungan yang diperoleh dari digunakannya

Page 34: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

22

slow-release fertilizer yaitu dapat meningkatkan Nutrient Use Efficiency (NUE),

meminimalisasi polusi terhadap lingkungan karena terlarutnya nutrisi pupuk ke lingkungan,

dan meningkatkan hasil panen dengan melepaskan nutrisi melalui pengaturan waktu

pelepasan nutrisi (Montemurro & Diacono, 2016).

Mekanisme Slow Release Beberapa jenis slow-release fertilizer yang telah dikembangkan di dunia dan terbagi

menjadi 3 tipe berdasarkan mekanisme pelepasan nutrisi dari pupuk tersebut. Tipe pertama

yaitu slow-release fertilizer yang dienkapsulasi, kedua yaitu sistem dimana komponen aktif

didispersikan kedalam matriks polimer, dan tipe ketiga yaitu adalah sistem dimana tanpa

adanya penghalang fisik saat pembentukkan material polimer seperti pupuk termasuk

material anorganik yang rendah larut (ammonium dan logam phosphates) dan material kimia

atau biologi yang biodegradabel yang rendah larut (urea-formaldehid terkondensasi, dan

diurea) (Ding et al, 2016). Mekanisme pupuk lepas lambat biasanya menghasilkan rintangan

fisika dan kimia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wu & Liu (2008), mekanisme

kelarutan nutrisi dari dalam pupuk lepas lambat yaitu melalui 3 tingkatan. Tahap pertama

adalah proses penembusan air kedalam pori-pori lapisan, tahap kedua nutrisi terlarut secara

bertahap kedalam larutan, dan tahap terakhir adalah larutan berdifusi melalui pori-pori

lapisan. Dengan demikian, porositas (Tomaszewska & Jarosiewicz, 2004), ketebalan lapisan

pelapis (Jia et al., 2013; Lubkowski, 2016; Lubkowski et al., 2015), dan komposisi polimer

organik (Wu & Liu, 2008; Han et al., 2009) menentukan laju terjadinya difusi nutrisi dalam

slow-release fertilizer menuju tanah.

Gambar 1. Mekanisme difusi slow-release fertilizer; (a) pupuk terlapisi polimer, (b) air menembus

kedalam lapisan prill, (c) nutrisi terlarut dan peningkatan tekanan osmotik, (d) pelepasan lambat dari

nutrisi (Azeem et al., 2014).

Pelepasan nutrisi dari slow-release fertilizer ketika berinteraksi dengan tanah juga

mungkin diakibatkan dari sifat biodegradabel dari material polimer yang digunakan

(Lubkowski et al., 2015) dan dari keadaan tanah yang digunakan meliputi kekuatan ionik,

temperatur, dan pH tanah (Hanafi et al., 2000; Tyliszczak et al., 2009; Ahmad et al., 2015).

Berdasarkan hal diatas, polimer merupakan material serbaguna yang dapat digunakan sebagai

pelapis slow-release fertilizers yang potensial digunakan secara meluas pada sistem

pertanian, karena mereka dirancang untuk memiliki sistem pelepasan nutrisi dengan baik

secara perlahan. Penggunaanya menghasilkan keuntungan tersendiri dalam penggunaan

polimer sebagai pelapis baik dalam aspek ekonomi maupun lingkungan (Du et al., 2006; Jing

et al., 2016).

Page 35: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

23

Slow Release Urea Berbasis Polimer Sintetik Polimer dapat dicampurkan dengan material anorganik dan disintesis menjadi

lapisan kompleks organik-anorganik menggunakan reaksi pencampuran polimer (Zou et al.,

2015). Ketika 2 material dicampur menjadi satu dan digunakan sebagai pelapis, pelepasan

nutrisi dari pupuk menjadi lebih lambat daripada pupuk yang tidak terlapisi maupun terlapisi

lilin. Hal ini mengindikasikan bahwa campuran pelapis memberikan pelepasan yang lebih

efektif dan dengan waktu yang panjang sebelum konsentrasi kesetimbangan dicapai (Ibrahim

& Jibril, 2005). Tambahan lapisan polimer juga akan meningkatkan perlawanan erosi dari

prill (Shaviv, 2001). Selain itu, kombinasi optimal polimer dengan superabsorbent juga dapat

meningkatkan penyediaan nutrisi yang diperlukan untuk tanaman, dan mengurangi efek

lingkungan dari terlarutnya pupuk ke air dalam tanah, mengurangi pengupapan, serta

mengurangi aliran irigasi (Liu et al., 2007).

Gambar 2. Klasifikasi polimer (Devassine et al., 2002)

Polimer terklasifikasi menjadi 2 tipe yaitu sintetik polimer dan polisakarida tanpa

modifikasi. Polimer sintetik merupakan polimer dengan koefisien permeabilitas yang kecil,

dimana memiliki K maksimal sebesar 3000 cm2 s−1 Pa−1 serta memiliki struktur hidrofobik

yang lebih banyak. Sedangkan polisakarida tanpa termodifikasi memiliki koefisien

permeabilitas yang lebih tinggi, yaitu dengan K sebesar 4000 cm2 s−1 Pa−1 karena adanya

struktur hidrofilik (hidroksil) (Devassine et al., 2002). Tabel 1 menunjukkan pemanfaatan

beberapa jenis polimer sebagai material slow release pupuk urea.

Tabel 1. Pemanfaatan beberapa jenis polimer sebagai material slow release urea.

Inti Pelapis Metode Keterangan Referensi

Urea kopolimer asam

akrilat (lapisan

pertama) dan akril

amida (lapisan

kedua)

Teknik fase

inversi

Menghasilkan sifat slow-

release yang baik dengan

meningkatkan efisiensi dan

pemeliharaan kapasitas

kelembaban tanah pada waktu

yang sama.

Guo et al., 2005

Urea poly(acrylic acid)-

mengandung

urea(lapisan luar),

polystyrene (lapisan

dalam)

Pelapisan dobel Persen pelapis, suhu, dan

absorbansi air berpengaruh

terhadap pelepasan nitrogen,

kecuali pH. Hasil tidak hanya

slow-release yang baik

dengan meningkatkan

efisiensi tetapi juga

memperbaiki kapasitas

kelembaban tanah.

Liang & Liu, 2006

Urea asam akrilat

ternetralisasi

sebagian

Polimerisasi

inversi padatan

Hasil bersifat multifungsional

sebagai material pengatur air

yang dapat digunakan di

Liu et al., 2007

Page 36: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

24

pertanian dengan lingkungan

tanah yang gersang.

Urea poly[N-

isopropyl

acrylami

de]-co-

polyureth

ane

Immersing dan

sentrifugal

Kopolimer lapisan

menunjukkan variasu laju

pembengkakkan pada

berbagai pH dan melepaskan

urea dengan cara terkontrol.

Mathews & Narine,

2010

Urea polyethyl

ene,

superabs

orbenpoli

(asam

akrilat-

co-akril

amida,

dan

poli(butil

methakril

at)

fluidized-bed Lapisan pertama sebagai

pengontrol sifat pelepasan,

lapisan tengah sebagai

absorben air, dan lapisan luar

sebagai pelindung. Hasil tidak

hanya sebagai slow-release

fertilizer, tapi juga memiliki

kapasitas retensi air yang

baik.

Tao et al., 2011

Urea asam

akrilat,

akrilamid

a dan

bentonit

Polimerisasi

radikal

Kemampuan membengkak

dan pelepasan diakibatkan

jenis dan konsentrasi larutan

garam. Tambahan bentonit

membuat meningkatnya

absorbansi dan kapasitas

retensi air, serta melepaskan

nutrisi dengan pola yang lebih

perlahan.

Wen et al., 2015

Urea polivinil

alkohol,

silicon

dioksida,

dan

aluminiu

m silikat

Drum berputar Aktivasi energi dari proses

kelarutan nitrogen berubah

setelah pupuk urea dilapisi.

Zou et al., 2015

Urea poliurea

sintetik

(campura

n urea

cair &

isosianat

(polimeti

len

polifenil

isosianat)

Penyemprotan Resin poliurea adalah material

pelapis efektif dan pelepasan

nitrogen dengan jelas

meningkat dengan

penambahan

dietilen glikol. Hasil juga

bersifat biodegradabel di

tanah.

Lu et al., 2016

Slow-Release Urea Berbasis Polisakarida Meskipun banyak polimer sintetik yang tersedia dan dapat digunakan seperti poli

asam akrilat (PAA) (Liang et al., 2006), polivinil alkohol (PVA) (Zou et al., 2015), polietilen

(PE) (Tao et al., 2011), memiliki banyak keuntungan, namun penggunaannya juga

mengakibatkan kerusakan, seperti teknologi pembuatan yang lebih kompleks, harga material

yang tinggi, pelepasan nutrisi yang tidak bersih, dan berpotensi polusi akibat material sisa

yang tertinggal didalam tanah setelah pupuk terdekomposisi (Ding et al, 2016). Beberapa

tahun terakhir, telah dilakukan penelitian yang berfokus pada material dengan harga yang

murah, biodegradabel, and non-toksik sebagai pembawa untuk meningkatkan pelepasan

terkontrol pada pertanian. Polisakarida merupakan kandidat yang menjanjikan dari semua

komponen yang dapat diperbaharui (renewable) dan memainkan peranan penting khususnya

dalam membentuk hidrogel dan beads. Mereka mampu melepaskan secara perlahan bahan

kimia pertanian dan secara simultan meningkatkan kapasitas penyimpanan air dari dalam

Page 37: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

25

tanah. Polisakarida juga menyediakan nutrisi di lahan pertanian setelah terdegradasi oleh

mikroorganisme dalam tanah (Li et al., 2016).

Tiga tipe dasar dari polimer alami yang biasanya digunakan sebagai pengantar

dalam sistem lepas lambat (slow-release), yaitu hydroxypropylmethylcellulose, polimer alam

kationik seperti kitosan, dan polimer alam anionik seperti karagenan dan alginat. Beberapa

polimer alami termasuk dibawah ini telah digunakan sebagai material slow-release pupuk di

bidang pertanian (Sempeho et al., 2014). Polimer alami seperti guar gum (GG) (Wang &

wang, 2009; Ni et al., 2012), pati (Lu et al., 2009; Xiao et al., 2016; Wu et al., 2014), selulosa

(Li et al., 2009; Ni et al., 2011; Mohammadi-Khoo, 2015; Swantomo et al.,2014), kitosan

(Hamid et al., 2013), alginat (Ni et al., 2010; Rashidzadeh et al., 2014; Xie, 2012), dan

karagenan (Wang et al., 2012) telah diteliti dalam penggunaannya sebagai material slow-

release fertilizer maupun sebagai material slow-release lainnya.

Penggunaan polimer alam dan turunannya sebagai material pelapis telah diterima

secara luas karena memiliki karakteristik molekul yang mampu terpolimerisasi. Selulosa

adalah polimer alami yang ketersediaannya melimpah dan material mentah yang sangat

menjanjikan untuk persiapan pembuatan polimer. Ni et al., (2011) mengembangkan slow-

release fetrtilizer berbasis lempung alam attapulgite (APT), etilselulosa (EC), dan hidrogel

sodium carboxymethylcellulose/hydroxyethylcellulose (CMC/HEC). Sifat selulosa yang

mudah digunakan, biodegradabel, biocompatibel, tidak beracun, dan harganya yang murah

membuatnya banyak digunakan sebagai material slow-release. Molekul selulosa

mengandung rangkaian ikatan unit β-D-glucopyranose dari ikatan kimia β-(1,4)-glycosidic

(Beneke et al., 2009).

Polisakarida lainnya yang memiliki sifat biodegradabel yaitu kitosan. Kitosan

merupakan bahan alami bersifat biodegradabel berbasis polisakarida dengan gugus amin

didalamnya. Kitosan diperoleh dari hasil deasetilasi kitin, yaitu satu dari beberapa satu dari

beberapa polimer yang paling melimpah dan biodegradabel yang sering diaplikasikan dalam

biomedis, farmasi, dan lading pertanian (Hamid et al., 2013). Roshanravan et al. (2015)

meningkatkan karakteristik pelepasan dari pupuk urea(20%)-kaolinit dengan bahan pengikat

berupa kitosan dengan berbagai macam konsentrasi. Hasil yang diperoleh yaitu berupa

produk slow-release yang dapat diaplikasikan pada lahan pertanian karena memiliki sifat

kontrol dalam kelarutannya ke tanah, tingginya efisiensi penggunaan nutrisi, dan berpotensi

menghasilkan keuntungan dalam bidang ekonomi.

Pati adalah natural biopolimer yang tersedia secara meluas yang bersumber dari

tumbuhan yang mudah diperbarui, dan seutuhnya bersifat biodegradabel. Oleh karena itu,

berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeksplorasi penggunaannya selain pada bidang

makanan yaitu sebagai matriks yang melapisi produk untuk membuat slow-release di bidang

pertanian setelah terderivatisasi dan mengalami cross-linking (Niu & Li, 2012). Penelitian

yang dilakukan oleh Han et al. (2009) yaitu membuat granuklar pupuk urea yang dilapisi

oleh campuran pati/polyvinyl alcohol (PVA) menggunakan teknik cross-linking. Hasil dari

penelitian tersebut berupa lapisan permukaan bertingkat dan lembut karena reaksi cross-

linking dengan penggunaan formaldehid, olehnya lapisan campuran pati/PVA bersifat

biodegradabel ke lingkungan. Penelitian lain dilakukan oleh Niu & Li, (2012) yang

mengembangkan pelapisan pupuk urea dengan pati-g-poly(vinyl acetate) (Pt-g-PVAc)

sebagai material pembawa yang bersifat biodegradable dengan teknik pelapisan yang

digunakan yaitu in situ graft-copolymerization.

Asam alginat adalah polisakarida anionik alami yang ketersediannya melimpah dan

diekstraksi dari rumput laut cokelat. Asam alginat merupakan kopolimer linear yang tersusun

atas 2 monomer yaitu poly-β-1,4-D-mannuronic acid dan α-1,4-L-guluronic acid dan

terhubung dengan ikatan 1-4. Dalam keadaan cair dengan pH netral, alginat signifikan

bermuatan negatif karena mengalami kehilangan proton pada gugus asam karboksilat.

Muatan negatif pada alginat ini memungkinkan untuk menstimulasi secara repulsive dengan

gaya elektrostatis dan untuk membengkak seperti berinteraksi dengan muatan positif pada

gugus ionik (Li et al., 2016). Kombinasi penggunaan dari sodium alginat dengan polimer

lainnya menghasilkan membran spesial yang telah diteliti akhir-akhir ini dalam

penggunaannya sebagai pupuk ataupun dalam industri farmasi (Li et al., 2012). Seperti

Page 38: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

26

contohnya yaitu larutan sodium alginat yang dicampur dengan larutan kalsium klorida

(CaCl2), menghasilkan beads hidrogel ikat-silang dan dapat digunakan sebagai slow-release

dalam bidang pertanian (Wang et al., 2012).

Polimer alami lainnya yaitu Guar gum (GG) adalah polimer alam dari getah yang

berasal dari sayuran, merupakan polimer bercabang dengan unit β -D-mannopyranosyl

berikatan (1–4) dengan satu anggota unit α-D-galactopyranosyl yang terdapat pada samping

cabang. GG dan derivatnya telah digunakan dalam berbagai aplikasi seperti pengental, resin

pengganti ion, dan agen penggantungan. Sebagai matriks polimer untuk membuat sebuah

superabsorbent, GG melalui sisi nonioniknya diharapkan dapat meningkatkan penyerapan air

dan sifat yang resistan terhadap garam menghasilkan superabsorben (Wang & Wang, 2009).

Ni et al. (2012) telah melakukan penelitian mengenai pupuk lepas lambat baru berbasis

lempung attapulgit (APT) sebagai matriks, guar gum sebagai pelapis dalam, guar gum-g-

poly(itaconic acid-co-acrylamide)/polimer superabsorben asam humat (GG-g-P(IAco-

AM)/HA) sebagai pelapis luar. Produk yang dihasilkan efektif mengurangi hilangnya nutrisi

akibat mengalir maupun tercuci air hujan , meningkatkan daya kelembaban, mengatur

keasaman dan kebasaan tanah.

Gambar 3. Slow-release fertilizer berbasis polisakarida

SIMPULAN

Pupuk lepas lambat (slow-release fertilizer) dapat digunakan sebagai alternatif

dalam mengatasi permasalahan yang ada di lahan pertanian khususnya lahan basah di

Kalimantan untuk meningkatkan hasil produksi dalam pertanian. Slow-release fertilizer

bekerja dengan mengoptimalkan efisiensi penggunaan unsur hara yang ada didalam pupuk

urea dalam waktu yang perlahan. Penggunaan slow-release fertilizer dapat mengurangi

toksisitas pada tanaman, memperbaiki sistem pengairan dalam tanah, dan mengurangi polusi

terhadap atmosfir. Mekanisme penyuplaian nutrisi dari slow-release fertilizer ke dalam

tanaman melalui beberapa tahap, meliputi proses penembusan air kedalam pori-pori lapisan,

pelarutan nutrisi secara bertahap kedalam larutan, dan larutan berdifusi melalui pori-pori

lapisan. Pelepasan nutrisi dari slow-release fertilizer tergantung dari material slow-release

yang digunakan. Pengembangan material slow-release pupuk urea yang bersifat ramah

lingkungan berbasis polisakarida diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan

pupuk untuk mendukung pengembangan pertanian lahan basah di Kalimantan.

Urea

Alginat

(Ni et al., 2010; Rashidzadeh et al., 2014; Xie, 2012)

Pati

(Lu et al., 2009; Xiao, 2016; Wu

et al., 2014)

Selulosa

(Li et al., 2009; Ni et al., 2011; Mohammadi-Khoo, 2015; Swantomo

et al.,2014)

Kitosan

(Hamid et al., 2013)

Guar gum

(Wang & wang, 2009; Ni et al.,

2012)

Karagenan

(Wang et al., 2012)

Page 39: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

27

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N., Fernando, W., & Uzir, M. (2015). Parametric Evaluation Using Mechanistic

Model for Release Rate of Phosphate Ions from Chitosan Coated Phosphorus

Fertiliser Pellets. Biosystems Engineering , 78-86.

Ao, L., Qin, L., Kang, H., Zhou, Z., & Su, H. (2013). Preparation, Properties and Field

Application of Biodegradable and Phosphorus-Release Films Based on Fermentation

Residue. International Biodeterioration and Biodegradation , 134-140.

Azeem, B., KuShaari, K., Man, Z. B., Basit, A., & Thanh, T. H. (2014). Review On Materials

and Methods to Produce Controlled Release Coated Urea Fertilizer. Journal of

Controlled Release , 11-21.

Beneke, C. E., Viljoen, A. M., & Hamman, J. H. (2009). Polymeric Plant-derived Excipients

in Drug Delivery. Molecules , 2602-2620.

Devassine, M., Henry, F., Guerin, P., & Briand, X. (2002). Coating of Fertilizers by

Degradable Polymers. International Journal of Pharmaceutics , 399–404.

Ding, H., Zhang, Y. S., Li, W. H., Zheng, X. Z., Wang, M. K., Tang, L. N., et al. (2016).

Nutrients Release from a Novel Gel-Based Slow/Controlled Release Fertilizer.

Applied and Environmental Soil Science , 1-13.

Dong, Y. J., He, M., Wang, Z., Chen, W., Hou, J., Qiu, X., et al. (2016). Effects of New

Coated Release Fertilizer on The Growth of Maize. Journal of Soil Science and Plant

Nutrition, 637-649.

Du, C.-w., Zhou, J.-m., & Shaviv, A. (2006). Release Characteristics of Nutrients from

Polymer-Coated Compound Controlled Release Fertilizers. Journal Polymer

Environmental, 223–230.

Guo, M., Liu, M., Zhan, F., & Wu, L. (2005). Preparation and Properties of a Slow-Release

Membrane-Encapsulated Urea Fertilizer with Superabsorbent and Moisture

Preservation. Industrial Engineering Chemistry Research, 4206-4211.

Hamid, N. N., Mohamad, N., Hing, L. Y., Dimin, M. F., Azam, M. A., Hassan, M. H., et al.

(2013). The Effect of Chitosan Content to Physical and Degradation Properties of

Biodegradable Urea Fertilizer. Journal of Scientific and Innovative Research , 893-

902.

Han, X., Chen, S., & Hu, X. (2009). Controlled-Release Fertilizer Encapsulated by

Starch/Polyvinyl Alcohol Coating. Desalination , 21-26.

Hanafi, M., Eltaib, S., & Ahmad, M. (2000). Physical and Chemical Characteristics of

Controlled Release Compound Fertiliser. European Polymer Journal , 2081-2088.

Ibrahim, A. A., & Jibril, B. Y. (2005). Controlled Release of Paraffin Wax/Rosin-Coated

Fertilizers. Industrial Engineering Chemistry Research , 2288-2291.

Isıklan, N. (2007). Controlled Release Study of Carbaryl Insecticide from Calcium Alginate

and Nickel Alginate Hydrogel Beads. Journal of Applied Polymer Science , 718–725.

Jia, X., Ma, Z.-y., Zhang, G.-x., Hu, J.-m., Liu, Z.-y., & Wang, H.-y. (2013). Polydopamine

Film Coated Controlled-Release Multielement Compound Fertilizer Based on

Mussel-Inspired Chemistry. Journal of Agricultural and Food Chemistry , A-F.

Jing, W., Song, L., Yukun, Q., Xiaolin, C., Rong’e, X., Huahua, Y., et al. (2016). Preparation

and Characterization of Controlled-Release Fertilizers Coated With Marine

Polysaccharide Derivatives. Chinese Journal of Oceanology and Limnology .

Kebijakan, T. S. (2008). Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut dI

Kalimantan. Pemanfaatan Inovasi Pertanian , 149-156.

Page 40: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

28

Kottegoda, N., Munaweera, I., Madusanka, N., & Karunaratne, V. (2011). A Green Slow-

Release Fertilizer Composition Based on Urea-Modified Hydroxyapatite

Nanoparticles Encapsulated Wood. Current Science , 73-78.

Landis, T. D., & Dumroese, R. K. (2009). Using Polymer-Coated Controlled-Release

Fertilizers. Forest Nursery Notes , 5-12.

Li, D., Li, P., Zang, J., & Liu, J. (2012). Enhanced Hemostatic Performance of Tranexamic

Acid-Loaded Chitosan/Alginate Composite Microparticles. Journal of Biomedicine

and Biotechnology , 1-10.

Li, J., Lu, J., & Li, Y. (2009). Carboxylmethylcellulose/Bentonite Composite Gels:

WaterSorption Behavior and Controlled Release of Herbicide. Journal of Applied

Polymer Science , 261–268.

Li, M., A, M., Tshabalala, & Buschle-Diller, G. (2016). Formulation and Characterization

of Polysaccharide Beads for Controlled Release of Plant Growth Regulators.

Journal of Materials Science , 1-9.

Liang, R., & Liu, M. (2006). Preparation and Properties of a Double-Coated Slow-Release

and Water-Retention Urea Fertilizer. Journal of Agricultural and Food Chemistry ,

1392−1398.

Liang, R., Liu, M., & Wu, L. (2007). Controlled Release NPK Compound Fertilizer with

The Function of Water Retention. Reactive and Functional Polymers , 769–779.

Liu, M., Liang, R., Zhan, F., Liu, Z., & Niu, A. (2007). Preparation of Superabsorbent Slow

Release Nitrogen Fertilizer By Inverse Suspension Polymerization. Polymer

International , 729–737.

Lu, D. R., Xiao, C. M., & Xu, S. J. (2009). Starch-Based Completely Biodegradable

Polymer Materials. Express Polymer Letters , 366–375.

Lu, P., Zhang, Y., Jia, C., Li, Y., & Mao, Z. (2016). Use of Polyurea from Urea for Coating.

Springer Plus , 1-6.

Lubkowski, K. (2016). Environmental Impact of Fertilizer Use and Slow Release of

Mineral Nutrients As A Response to This Challenge. Polish Journal of Chemical

Technology , 72—79.

Lubkowski, K., Smorowska, A., Grzmil, B., & Kozowska, A. (2015). Controlled Release

Fertilizer Prepared Using a Biodegradable Aliphatic Copolyester of Poly(butylene

succinate) and Dimerized Fatty Acid. Journal of Agricultural and Food Chemistry

, 1-34.

Ma, Z.-y., Jia, X., Zhang, G.-x., Hu, J.-m., Zhang, X.-l., Liu, Z.-y., et al. (2013). pH-

Responsive Controlled-Release Fertilizer with Water Retention via Atom Transfer

Radical Polymerization of Acrylic Acid on Mussel-Inspired Initiator. Journal of

Agricultural and Food Chemistry , A-I.

Mathews, A. S., & Narine, S. (2010). Poly[N-Isopropyl acrylamide]-co-Polyurethane

Copolymers for Controlled Release of Urea. Journal of Polymer Science Part A

Polymer Chemistry , 3236-3243.

Mohammadi-Khoo, S., Moghadam, P. N., Fareghi, A. R., & Movagharnezhad, N. (2016).

Synthesis of A Cellulose-Based Hydrogel Network: Characterization and Study of

Urea Fertilizer Slow Release. Journal of Applied Polymer Science , 1-9.

Montemurro, F., & Diacono, M. (2016). Towards a Better Understanding of Agronomic

Efficiency of Nitrogen: Assessment and Improvement Strategies. Agronomy , 1-4.

Ni, B., Liu, M., Lu, S., Xie, L., & Wang, Y. (2011). Environmentally Friendly Slow-

Release Nitrogen Fertilizer. Journal of Agricultural and Food Chemistry , 10169–

10175.

Page 41: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

29

Ni, B., Liu, M., Lu, S., Xie, L., & Wang, Y. (2010). Multifunctional Slow-Release Organic-

Inorganic Compound Fertilizer. Journal of Agricultural and Food Chemistry ,

12373–12378.

Ni, B., Lu, S., & Liu, M. (2012). Novel Multinutrient Fertilizer and Its Effect on Slow

Release, Water Holding, and Soil Amending. Industrial and Engineering Chemistry

Research , 12993−13000.

Niu, Y., & Li, H. (2012). Controlled Release of Urea Encapsulated by Starch-g-

poly(vinylacetate). Industrial and Engineering Chemistry Research , 12173−12177.

Noor, M., & Rahman, A. (2015). Biodiversitas dan Kearifan Lokal dalam Budidaya

Tanaman Pangan Mendukung Kedaulatan Pangan: Kasus di Lahan Rawa Pasang

Surut. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia , 1861-

1867.

Poniman, A., Nurwadjedi, & Suwahyuono. (2006). Penyediaan Informasi Spasial Lahan

Basah untuk Mendukung Pembangunan Nasional. Prosiding Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia, (pp. 120-1134). Banjarbaru.

Rashidzadeh, A., Olad, A., Salari, D., & Reyhanitabar, A. (2014). On the Preparation and

Swelling Properties of Hydrogel Nanocomposite Based on Sodium Alginate-g-

Poly(acrylic acid-co-acrylamide)/Clinoptilolite and Its Application as Slow Release

Fertilizer. Journal of Polymer Research , 1-15.

Ratmini, N. S. (2012). Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan

Pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal , 197-206.

Roshanravan, B., Soltani, S. M., Rashid, S. A., Mahdavi, F., & Yusop, M. K. (2015).

Enhancement of Nitrogen Release Properties of Urea–Kaolinite Fertilizer With

Chitosan Binder. Chemical Speciation and Bioavailability , 44–51.

Sempeho, S. I., Kim, H. T., Mubofu, E., & Hilonga, A. (2014). Meticulous Overview on

the Controlled Release Fertilizers. Advances in Chemistry , 1-17.

Shaviv, A. (2001). Advances in Controlled-Release Fertilizers. pp. 1-49.

Sunardi, & Arryanto, Y. (2009). Purifikasi dan Karakterisasi Kaolin Alam Asal Tatakan,

Tapin, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan

Penerapan MIPA, (pp. K-319 - K324). Yogyakarta.

Sunardi, Arryanto, Y., & Sutarno. (2009). Adsorption Of Gibberellic Acid Onto Natural

Kaolin From Tatakan, South Kalimantan. Indonesian Journal of Chemistry , 373 -

379.

Sunardi, Irawati, U., & Wianto, T. (2011). Karakterisasi Kaolin Lokal Kalimantan Selatan

Hasil Kalsinasi. Jurnal Fisika Flux , 59 – 65.

Swantomo, D., Rochmadi, Basuki, K. T., & Sudiyo, R. (2014). Effect of Silica Fillers on

Characterization of Cellulose-Acrylamide Hydrogels Matrices as Controlled

Release Agents for Urea Fertilizers. Indonesian Journal of Chemistry , 116 - 121.

Tao, S., Liu, J., Jin, K., Qiu, X., Zhang, Y., Ren, X., et al. (2011). Preparation and

Characterization of Triple Polymer-Coated Controlled-Release Urea With Water-

Retention Property and Enhanced Durability. Journal of Applied Polymer Science ,

2103–2111.

Tomaszewska, M., & Jarosiewicz, A. (2004). Polysulfone Coating with Starch Addition in

CRF Formulation. Desalination , 247-252.

Tyliszczak, B., Polaczek, J., & Pielichowski, K. (2009). PAA-Based Hybrid Organic-

Inorganic Fertilizers with Controlled Release. Polish Journal of Environmental

Studies , 475-479.

Page 42: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

30

Wang, W., & Wang, A. (2009). Synthesis, Swelling Behaviors, and Slow-Release

Characteristics of a Guar Gum-g-Poly(sodiumacrylate)/Sodium Humate

Superabsorbent. Journal of Applied Polymer Science , 2102–2111.

Wang, Y., Liu, M., Ni, B., & Xie, L. (2012). k-Carrageenan Sodium Alginate Beads and

Superabsorbent Coated Nitrogen Fertilizer with Slow-Release, Water-Retention,

and Anticompaction Properties. Industrial Engineering Chemistry Research , 1413–

1422.

Wen, P., Wu, Z., He, Y., Han, Y., & Tong, Y. (2016). Characterization of P(AA-co-

AM)/Bent/Urea and Its Swelling and Slow Release Behavior in A Simulative Soil

Environment. Journal of Applied Polymer Science , 1-11.

Wu, L., & Liu, M. (2008). Preparation and Properties of Chitosan-Coated NPK Compound

Fertilizer with Controlled-Release and Water-Retention. Carbohydrate Polymers,

240–247.

Wu, Z., He, Y., Chen, L., Han, Y., & Li, C. (2014 ). Characterization of Raoultella

planticola Rs-2 Microcapsule Prepared With a Blend of Alginate and Starch and Its

Release Behavior. Carbohydrate Polymers , 259–267.

Xiao, X., Yu, L., Xie, F., Bao, X., H. L., Ji, Z., et al. (2016). One-Step Method to Prepare

Starch-Based Superabsorbent Polymer for Slow Release of Fertilizer. Chemical

Engineering Journal , 1-31.

Xie, L., Liu, M., Ni, B., & Wang, Y. (2012). New Environment-Friendly Use of Wheat

Straw in Slow-Release Fertilizer Formulations with the Function of Superabsorbent.

Industrial and Engineering Chemistry Research , 3855−3862.

Zhang, M., Gao, B., Chen, J., Li, Y., Creamer, A. E., & Hao. (2014). Slow-release Fertilizer

Encapsulated by Graphene Oxide Films. Chemical Engineering Journal , 1-16.

Zou, H., Ling, Y., Dang, X., Yu, N., Zhang, Y., Zhang, Y., et al. (2015). Solubility

Characteristics and Slow-Release Mechanism of Nitrogen from Organic-Inorganic

Compound Coated Urea. International Journal of Photoenergy , 1-6.

Page 43: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

31

PENGARUH KONSENTRASI TEPUNG TAPIOKA TERHADAP

EKSTRAK KACANG KEDELAI PADA PEMBUATAN EDIBLE FILM

The Influence of Tapioca Starch Concentration on Soybean Extract-Based

Edible Film Properties

Nisa Afifatush Shalihah1*, Ihda Noor Sari1, Iryanti Fatyasari Nata1

Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. Ahmad Yani KM 36, Banjarbaru

Email: [email protected]

Abstrak. Edible film merupakan lapisan tipis yang dapat digunakan untuk melapisi

makanan atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap

transfer massa seperti air, oksigen dan lemak. Salah satu sumber karbohidrat dan protein

yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film adalah ekstrak

kedelai. Tujuan penelitian ini adalah menentukan kondisi terbaik pada penambahan

tepung tapioka (5%, 10%, 15% dan 20% b/v) dalam pembuatan edible film yang

ditinjau dari sifat mekanik edible film seperti ketebalan, kuat tarik, elongasi

danScanning Electron Microscopy (SEM). Ekstrak kacang kedelai (100 mL) dan

tepung tapioka dengan berat tertentu dipanaskan dan diaduk pada suhu 60 oC. Gliserol

(4 mL) dan ekstrak jahe dengan volume tertentu ditambahkan dan diaduk sampai

temperatur mencapai 65–70 oC. Edible film dituangkan dan dikeringkan pada suhu 40 oC selama 24 jam. Berdasarkan hasil uji SEM, morfologi permukaan edible film dengan

meningkatnya konsentrasi tepung tapioka memberikan struktur yang semakin padat.

Hasil terbaik diperoleh pada konsentrasi 15% tepung tapioka. Ketebalan dari edible film

yaitu 0,153 mm, kuat tarik sebesar 0,8 MPa, pemutusan saat pemanjangan sebesar

2,63%. Penambahan tepung tapioka pada pembuatan edible film memiliki peranan

terhadap karakteristik edible film.

Kata kunci: ekstrak kacang kedelai, tepung tapioka, edible film

Abstract. Edible film is a thin layer which is overlay the food or be placed between

components that serve as a barrier to mass transfer. Carbohydrates and proteins are

used as raw material for edible film production in the form of soybean extract. The

purposes of this research is to investigate the best condition of tapioca starch

concentration (5%, 10%, 15% and 20%, w/v) on soybean extract-based edible film

which showed by mechanical properties such as thickness, tensile strength, elongation

and Scanning Electron Microscopy (SEM). Soybean extract (100 mL) and certain

weight of tapioca starch were heated and stirred at 60 oC. Glycerol (4 mL) were added

and stirred until the temperature reached at 65-70 oC. Edible films was poured and

dried at 40 oC for 24 h. Based on SEM images, the surface morphology of edible film

with increasing concentration of tapioca starch provides an increasingly dense of

structure. The optimum result was obtained at concentration 15% of tapioca starch.

The thickness of edible film is 0,153 mm, tensile strength is 0,8 MPa, elongation at

break is 2,63%. The addition of tapioca starch to edible film production has a role to

improve the properties of edible film.

Keywords: soybean extract, tapioca starch, edible film

PENDAHULUAN

Plastik merupakan salah satu bahan pengemas makanan yang selalu digunakan oleh

masyarakat karena mempunyai beberapa keunggulan seperti kuat, ringan, ekonomis dan

stabil. Tetapi, sampah plastik tergolong dalam sampah non organik yang berbahaya bagi

lingkungan karena membutuhkan waktu dan proses yang lama yaitu selama 1000 tahun untuk

dapat diuraikan secara alami di tanah dan 450 tahun untuk terurai di air (Adiwijaya, 2009).

Akibatnya, semakin banyak sampah plastik, maka semakin meningkat pencemaran

lingkungan. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut adalah dengan

Page 44: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

32

mengembangkan jenis kemasan dari bahan organik, yaitu plastik biodegradable dalam

bentuk edible film yang dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara alami menjadi

senyawa yang ramah lingkungan. Plastik biodegradable ini termasuk ke dalam edible film

karena berdasarkan sifat mekaniknya dapat menggantikan plastik nonbiodegradable.

Edible film adalah lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan, atau

diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa

seperti air, oksigen dan lemak. Penggunaan edible film sebagai pengemasan dapat

memperlambat penurunan mutu, karena Fungsi dari edible film sebagai penghambat

perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah

perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik dan sebagai pembawa zat aditif

(Krochta & De Mulder-Johnston, 1997).

Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai bahan biodegradable film untuk

menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui dan memberikan

karakteristik yang baik (Bourtoom, 2006). Tapioka sering digunakan sebagai bahan

tambahan atau pengisi karena kandungan patinya yang cukup tinggi (Hui & Steffe, 1996).

Komponen pati dari tapioka secara umum terdiri dari 29,9% amilosa dan 70,1% amilopektin

(Admadi & Arnata, 2015). Amilosa berperan dalam kelenturan dan kekuatan film pada

sediaan edible film.

Kedelai (Glycine max) merupakan tanaman hasil pertanian yang megandung protein

tingii dan pengunaannya sudah meluas di masyarakat. Kedelai memiliki kandungan protein

35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40% - 43%. Dibandingkan

dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam,

kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein

susu skim kering (Tri Margono, Detty Suryati, 2000).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Sinaga, Rejekina, & Sinaga, 2013)

menunjukkan bahwa edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan gliserol

berpengaruh pada karakteristik edible film. Karakteristik terbaik diperoleh pada 4 mL

gliserol/100 mL gliserol dengan ketebal 0,288 mm. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menentukan kondisi terbaik pada penambahan tepung tapioka (5%, 10%, 15% dan 20% b/v)

dalam pembuatan edible film yang ditinjau dari sifak mekanik edible film seperti ketebalan,

kuat tarik, elongasi dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi tentang pengaruh penambahan tepung tapioka pada edible film

dari ekstrak kacang kedelai.

METODEL PENELITIAN

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, tepung

tapioka, gliserol dan aquadest. Alat utama yang digunakan adalah gelas beker, blender,

magnetic stirrer, hot plate, oven, neraca analitik dan cetakan. Penelitian ini menggunakan

variabel bebas berupa variasi konsentrasi dari tepung tapioka (5%, 10%, 15% dan 20% b/v).

Kacang kedelai mula-mula disortir, lalu ditimbang sebanyak 75 gram dan dicuci.

Selanjutnya, direndam dengan air mendidih selama 60 detik. Kacang kedelai dipisahkan dan

ditambahkan air panas suhu 90 oC sebanyak 450 mL dan diblender. Bubur kacang kedelai

dimasak dengan suhu 95-98 oC selama 10 menit. Kemudian disaring dan diperoleh susu

kedelai. Susu kedelai didinginkan sampai mencaapai suhu ruangan. Susu kedelai dimasukkan

ke dalam gelas beker sebanyak 100 mL. Kemudian ditambahkan tepung tapioka dengan

variasi (5%, 10%, 15% dan 20% b/v). Campuran dipanaskan di atas hot plate dan diaduk

dengan stirrer sampai suhu 60 oC. Gliserol ditambahkan sebanyak 4 mL. Diaduk sampai suhu

65-70 oC. Larutan dituang ke dalam cetakan yaitu teflon yang berdiameter 20 cm. Edible film

yang dihasilkan kemudian diukur ketebalannya, diuji kuat tarik (tensile strength), elongasi

dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Edible film yang terbentuk dengan konsentrasi tepung tapioka 5%, 10% dan 15%

dihasilkan warna yang semakin kuning dengan semakin besarnya konsentrasi tepung tapioka.

Edible film dengan konsentrasi tepung tapioka 20% tidak terbentuk karena larutan yang

Page 45: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

33

dihasilkan terlalu kental yang disebabkan konsentrasi tepung tapioka yang berlebih. Edible

film yang dihasilkan dilakukan perlakuan uji SEM yang bertujuan untuk mengamati struktur

morfologi dengan skala mikroskopis. Hasil uji SEM untuk edible film dengan variasi

konsentrasi tepung tapioka ditunjukkan pada Gambar 1.

Menurut (Flores, Rojas, & Goyanes, 2007; Wahyu, 2009), tidak ada metode standar

dalam pembuatan edible film sehingga dihasilkan film dengan fungsi dan karakteristik

fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Gambar 1 menunjukkan mikrostruktur dari edible

film dari ekstrak kacang kedelai dengan konsentrasi tepung tapioka 5%, 10%, 15% dan

gliserol 4%. Pada gambar 1 (a) permukaan edible film merata ini karena tepung tapioka dan

gliserol melarut sempurna dengan ekstrak kacang kedelai namun belum maksimal karena

lemahnya ikatan antarmolekul yang menyebabkan edible film tidak dapat diuji tarik. Pada

gambar 1 (b) tampak adanya gumpalan-gumpalan yang menunjukkan sudah semakin kuat

ikatan antar molekul dimana 10% tepung tapioka yang ditambahkan mampu membuat ikatan

yang lebih banyak pada edible film. Tetapi masih ada ruang kosong yang belum terisi

dikarenakan ikatan dari tepung tapioka yang larut dalam ekstrak kacang kedelai belum

maksimal terhadap gliserol 4% sehingga masih belum bisa diuji tarik. Pada gambar 1 (c)

menunjukkan sedikitnya gumpalan yang terbentuk yang menjadikan edible film merata dan

makin sedikit ruang kosong yang terbentuk. Hal ini menunjukkan sudah semakin kuat ikatan

dari gugus-gugus yang terbentuk pada edible film yang dapat dilihat dari hasil uji tarik sebesar

0,8 MPa. Dengan demikian, kondisi optimum dari pembuatan edible film ektrak kacang

kedelai ini adalah dengan penambahan 15% tepung tapioka dan 4% gliserol.

Gambar 1 SEM images edible film konsentrasi tepung tapioka (a) 5%, (b) 10% dan (c) 15% dengan

perbesaran 500 kali

Ketebalan dari edible merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat

fisik seperti kuat tarik dan pemanjangan saat pemutusan pada edible film yang dihasilkan.

Ketebalan edible film ekstrak kacang kedelai pada ketiga komposisi tepung tapioka dapat

dilihat pada Gambar 2.

(a

)

(b

)

(c

)

Page 46: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

34

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka pada ketebalan edible film ekstrak kacang

kedelai

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa penambahan komposisi tepung tapioka

berbanding lurus dengan ketebalan film yang dihasilkan. Ketebalan edible film yang

dihasilkan meningkat seiring dengan penambahan komposisi tepung tapioka. Ketebalan film

yang dihasilkan pada setiap komposisi secara berturut adalah 0,113 mm; 0,137 mm; dan

0,153 mm. Ketebalan tersebut telah sesuai dengan standar ketebalan edible film yaitu kurang

dari atau sampai 0,25 mm (Skurtys et al., 2010) . Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh

(Sinaga et al., 2013) karakteristik edible film terbaik pada 4 mL gliserol/100 mL susu kedelai

menghasilkan ketebalan 0,288 mm.

Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang

dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk meregang

atau memanjang (Krochta & De Mulder-Johnston, 1997). Pemanjangan saat pemutusan atau

elongation at break menunjukkan perubahan panjang film maksimum saat memperoleh gaya

tarik sampai film putus dibandingkan dengan panjang awalnya (Sinaga et al., 2013). Dari

ketiga konsentrasi tepung tapioka yang memiliki kondisi terbaik adalah edible film ekstrak

kacang kedelai dengan konsentrasi tepung tapioka 15%. Konsentrasi 15% tepung tapioka

menghasilkan kuat tarik sebesar 0,8 MPa dan elongation at break sebesar 2,63%. Sedangkan

komposisi 5% dan 10% putus/robek sebelum dilakukan uji kuat-tarik.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung tapioka

mempengaruhi karakteristik dari edible film yang dihasilkan. Peningkatan penambahan

tepung tapioka meningkatkan ketebalan edible film. Dari hasil penelitian diperoleh edible

film kondisi terbaik adalah dengan penambahan tepung tapioka pada konsentrasi 15% (b/v)

yang ditinjau dari sifat fisiknya kuat-tarik (tensile strength), pemanjangan saat pemutusan

(elongation at break) dan ketebalan edible film.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwijaya, M. (2009). Peran Pemerintah, Industri Ritel, dan Masyrakat dalam Membatasi

Penggunaan Kantong Plastik Sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Lingkungan.

Universitas Kristen Petra. Retrieved from http://repository.petra.ac.id/17404/

Admadi, B., & Arnata, I. W. (2015). Studi konsentrasi tapioka dan perbandingan campuran

pemlastis pada pembuatan bioplastik. Bali.

Bourtoom, T. (2006). Effect of Some Process Parameters on the Properties of Edible Film

Prepared from Starches. Prince of Songkla.

Flores, S., Rojas, A. M., & Goyanes, S. (2007). Physical properties of tapioca-starch edible

films : Influence of filmmaking and potassium sorbate ´ a Gerschenson. Food Research

International, 40, 257–265. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2006.02.004

Hui, Y. H. (Yiu H. ., & Steffe, J. F. (1996). Handbook of food science, technology, and

Page 47: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

35

engineering. Agricultural Engineering (Vol. 23). https://doi.org/10.1016/0260-

8774(94)90090-6

Krochta, J. M., & De Mulder-Johnston, C. (1997). Edible and Biodegradable Polymer Films:

Challenges and Opportunities. Food Technology, 51, 61–74.

Sinaga, L. L., Rejekina, M. S., & Sinaga, M. S. (2013). Karakteristik Edible Film Dari

Ekstrak Kacang Kedelai Bahan Pengemas Makanan. Teknologi Kimia, 2(4), 12–16.

Skurtys, O., Acevedo, C., Pedreschi, F., Enrione, J., Osorio, F., & Aguilera, J. (2010). Food

Hydrocolloid Edible Films and Coatings. Santiago: Nova Science Publishers.

Tri Margono, Detty Suryati, S. H. (2000). Susu kedelai. Jakarta. Retrieved from

http://www.ristek.go.id

Wahyu, M. K. (2009). Pemanfaatan pati singkong sebagai bahan baku. Bandung.

Page 48: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

36

PENGARUH METODE PEMBERIAN TUGAS DAN LATIHAN SOAL

TERMOKIMIA MENGGUNAKAN APLIKASI BERBASIS WWW DI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JPMIPA FKIP UPR

The Effect of Method of Giving Task and Practice Questionthermochemistry By

Using WWW-Based Applications in The Study Program of Education Biology

Jpmipa FKIP UPR

Nopriawan Berkat Asi1, Feni Widya Halim2

1Universitas Palangka Raya, Jl.H. Timang, Palangka Raya 2Universitas Palangka Raya, Jl.H. Timang, Palangka Raya

Email: [email protected]

Abstrak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh

antara 2 metode dan 3 frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Kedua pengaruh

terhadap hasil belajar. Untuk maksud itu ditunjuk 72mahasiswa secara acak dan tiga

orang tutor.Penelitian menggunakan rancangan acak faktorial. Data diperoleh dengan

memberikan tes menggunakan instrumen soal pilihan ganda. Uji reliabilitas tes

diperoleh nilai alpha Cronbach sebesar 0,753 yang artinya reliabel karena > 0,6. Uji

validitas diperoleh semua butir soal valid karena r hitung lebih besar dari 0,4. Data

dianalisis dengan uji ANOVA satu jalur menggunakan program SPSS 16.0 dengan

terlebih dahulu melakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan antara metode pemberian tugas

menggunakan media berbasis web dan media cetak, (2) terdapat perbedaan antara

frekuensi pemberian tugas dan latihan soal, (3) terdapat perbedaan pada interaksi antara

metode pemberian tugas dengan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Persentase

pemahaman mahasiswa yang diajarkan dengan metode menggunakan media berbasis

web adalah 77,13% lebih tinggi daripada media cetak. Kelompok mahasiswa yang

diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali memiliki pemahaman

75,56%. Kelompok mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web

dengan kombinasi pemberian tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali memiliki

pemahaman 85,83%.

Kata kunci: Metode, Frekuensi, Tugas, Latihan Soal

Abstract. The objective of this research is to know whether there is difference of

influence between 2 method and 3 frequency of giving task and practice question. Both

influence on learning outcomes. For that purpose, there were 72 students at random

and three tutors. The study used factorial random design. The data were obtained by

giving the test using multiple choice questions instrument. Test reliability test obtained

Cronbach alpha value of 0.753 which means reliabel because> 0.6. Validity test

obtained all the items valid because r count is greater than 0.4. Data were analyzed by

one-way ANOVA test using SPSS 16.0 program by first performing normality test and

homogeneity test. The results showed that (1) there was a difference between

assignment method using web-based media and print media, (2) there was a difference

between the frequency of assignment and practice questions; (3) there was a difference

in the interaction between assignment method and frequency of assignment and

practice questions. The percentage of students' understanding taught by using web-

based media method is 77.13% higher than print media. Peserentase group

understanding of students who are given tasks and exercise questions with frequency

three times is 75.56%. The percentage of group understanding of students who were

given the task of using web-based media and given tasks and exercise questions with

frequency three times is 85.83%.

Keywords: Method, Frequency, Tasks, Practice Question

Page 49: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

37

PENDAHULUAN

Teknologi dan sistem informasi dewasa ini telah mengalami perubahan yang pesat.

Munculnya sistem informasi hypermedia seperti World Wide Web (WWW) telah melahirkan

segudang aplikasi. Banyak aplikasi berbasis WWW yang relevan dengan ilmu pendidikan

sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran. Sistem seperti ini dapat diakses dari

berbagai jangkauan internet dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Sistem dapat

didesain untuk memfasilitasi pembelajaran bagi mahasiswa.

Pengaruh dalam penelitian ini adalah daya yang ditimbulkan oleh metode pemberian

tugas dan latihan soal menggunakan media berbasis web terhadap hasil belajar termokimia

mahasiswa program studi pendidikan biologi jurusan pendidikan MIPA Universitas Palangka

Raya. Metode adalah fasilitas untuk menyampaikan bahan pelajaran dalam upaya mencapai

tujuan pengajaran. Metode adalah suatu cara yang memiliki nilai strategis dalam kegiatan

pembelajaran (Rohman, 2007). Pembelajaran sebagai suatu proses mengandung tiga unsur

yang dapat dibedakan, yaitu tujuan pengajaran, pengalaman belajar dan hasil belajar

(Sudjana, 2010).

World Wide Web (WWW) adalah sistem informasi hypermedia yang menyediakan

akses online dokumen teori dan multimedia dalam jumlah tak terbatas (Janette dan Hannafin,

1997). WWW adalah sekelompok dokumen multimedia yang saling bertatutan dengan

menggunakan tautan hypertext. WWW adalah semua bagian internet yang dapat diakses

dengan sotware web browser.

Penelitian Janette dan Hannafin (1997) menunjukkan bahwa kemampuan peserta

didik dalam menggunakan sistem pencarian berbasis WWW secara signifikan mempengaruhi

keberhasilan mereka, sementara peserta didik dengan pengetahuan sistem yang rendah tidak

dapat mengembangkan pengetahuan menggunakan sistem tersebut.

Kelas pembelajaran memiliki keanekaragaman yang besar. Salah satu cara yang dapat

ditempuh guru untuk menyesuaikan pengajarannya bagi kelompok siswa yang beragam

adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama dan mengerjakan

tugas-tugas yang multidimensi dan menantang (Arends, 2008). Metode pemberian tugas yang

diberikan menggunakan aplikasi berbasis web bersifat multidimensi dan memungkinkan

siswa bekerja secara berkelompok. Bagi sebagian siswa mungkin cara ini sesuatu yang baru.

Cara ini merupakan tantangan bagi mereka.

Metode tutorial adalah pengajaran yang diberikan dengan bantuan tutor. Setelah

mahasiswa diberikan bahan ajar, kemudian mahasiswa diminta untuk mempelajari bahan ajar

tersebut. Pada bagian yang sulit, siswa dapat bertanya kepada tutor (Rohman, 2007). Toturial

dapat dilaksanakan untuk memberikan latihan soal. Soal-soal yang sulit bagi mahasiswa

dapat dikerjakan dengan bantuan tutor.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya pengaruh antara 2 metode pemberian tugas dan latihan soal. Metode pemberian

tugas pertama menggunakan lembar kerja (M1) cetak dan metode kedua menggunakan

lembar kerja menggunakan sistem aplikasi berbasis web (M2). Pada penelitian ini juga dilihat

perbedaan pengaruh antara 3 frekuensi pemberian tugas dan latihan soal (W1 = 1 kali, W2 =

2 kali, W3 = 3 kali). Kedua pengaruh tersebut terhadap hasil pembelajaran (skor tes akhir).

Pembelajaran menerapkan model kooperatif tipe STAD yang sedikit dimodifikasi, untuk

maksud itu 72 mahasiswa program studi biologi ditunjuk secara acak (R1, R2, . . . , R72), dan

tiap tim diberi tutor teman sejawat 1 orang tutor yang dipilih dari mahasiswa program studi

pendidikan kimia tingkat atas sebanyak 3 orang (T1, T2, T3). Setiap tutor membantu 3 tim,

yaitu 4 siswa pada tiap tim yang setingkat untuk setiap pemberian tugas dan latihan soal, pada

kedua metode.

Rancangan penelitian disusun menurut rancangan acak lengkap dan faktorial blok

acak. Interaksi dalam rancangan faktorial blok acak dapat ditentukan dengan menuliskan

semua huruf kombinasi yang mungkin, sambil memperhatikan urutan abjad huruf-hurufnya.

Pada peneltian ini di simbolkan dengan huruf M, T, W dan kombinasi MT, MW, TW dan

Page 50: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

38

MTW. Interaksi yang melibatkan tiga huruf mewakili tiga perlakuan, sehingga dapat terjadi

interaksi orde pertama, interaksi ganda ataupun interaksi ketiganya.

Pada metode M1, mahasiswa diberi tugas menggunakan lembar kerja yang dicetak

pada kertas. Materi pelajaran dalam bentuk media cetak atau hand out yang dicetak.

Mahasiswa diberi print-outnya dan digandakan untuk setiap mahasiswa sebagai bahan

pelajaran. Sedangkan pada metode M2, mahasiswa diberi tugas menggunakan aplikasi

berbasis WWW atau web. Materi pelajaran dalam bentuk cetak dan bentuk digital yang dapat

diakses melalui halaman www.kampus-digital.com.

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester II program studi

pendidikan biologi JPMIPA FKIP-UPR tahun ajaran 2016/2017. Sampel penelitian

berjumlah tujuh puluh dua orang mahasiswa yaitu seluruh populasi. Sampel secara acak

ditempatkan pada kelas M1 dan M2. Normalitas dan homogenitas diuji menggunakan

bantuan program SPSS 16.0 dengan taraf signifikansi 5%. Instrumen yang digunakan untuk

mengumpulkan data adalah soal pilihan ganda yang terdiri dari 30 butir soal. Instrumen yang

digunakan telah diuji validitas dan reliabilitasnya, yaitu soal-soal yang telah digunakan untuk

tes kecil dan ujian pada tahun pelajaran sebelumnya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa semua butir soal valid karena r hitung lebih

besar dari 0,4. Hasil uji reliabilitas menggunakan program SPSS 16.0 diperoleh nilai alpha

Cronbach sebesar 0,753. Menurut Suharsimi (2001), jika nilai hasil perhitungan lebih besar

dari 0,6 maka tes dapat dikatakan reliabel dengan kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji ini

dapat dikatakan bahwa tes memiliki keajegan yang tinggi. Hasil uji normalitas menggunakan

program SPSS 16.0 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh nilai Sign. 0,08. Nilai hasil

perhitungan sign. > 0,05 yang artinya Ho diterima. Hasil uji menunjukkan bahwa data tes

terdistribusi normal. Hasil uji homogenitas dengan taraf signifikansi 5% dua-ekor diperoleh

nilai sign. 1,00 > 0,05 yang artinya Ho diterima. Jadi variansi kedua kelas homogen. Semua

persyaratan uji statistika dengan demikian terpenuhi.

Sumber-sumber variasinya adalah perlakuan M, W, T, dan interaksi MW, MT, WT,

MWT. M merupakan faktor tetap, karena sudah ditentukan jenisnya. W adalah faktor tetap,

karena sudah ditentukan frekuensinya. T adalah faktor acak, karena memang ditentukan

secara acak.

Data dianalisis dengan bantuan program SPSS 16.0 dengan taraf signifikansi 5%.

Hasil analisis variansi (ANAVA) untuk setiap sumber variasi diringkas pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan ANAVA

SV SS df MS F Sign.

M 931,681 1 931,681 0,00001 0,000

W 450,750 2 225,375 901,500 0,000

T 12 2 6 - -

MW 22,528 2 11,624 11,11 0,023

MT 0,111 2 0,056 0,055 0,947

WT 1 4 0,25 0,247 0,898

MWT 4,056 4 1,014 0,05 0,995

Hasil analisis statistika signifikan jika nilai sign. < 0,05. Jadi yang signifikan adalah

perlakuan M, W, dan interaksi MW.

Hasil analisis data dengan bantuan program SPSS 16.0 pada taraf signifikansi 5%

menunjukkan bahwa yang signifikan adalah perlakuan M, W dan interaksi MW. Jadi yang

signifikan adalah (1) metode pemberian tugas, (2) frekuensi pemberian tugas, (3) interaksi

antara metode pemberian tugas dengan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal.

Hasil uji statistika menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kedua metode

pemberian tugas. Metode pemberian tugas menggunakan media berbasis web memberikan

rata-rata yang lebih tinggi dari pada media cetak.

Page 51: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

39

Persentase pemahaman mahasiswa yang diajarkan dengan metode menggunakan

media berbasis web dapat dihitung dengan persamaan (3). Hasil perhitungan diperoleh

persentase pemahaman mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web

adalah 77,13%. Persentase pemahaman mahasiswa yang diberi tugas dengan media cetak

adalah 53,15%.

Mahasiswa yang diberi tugas atau lembar kerja menggunakan sistem aplikasi berbasis

web memiliki keberhasilan belajar lebih tinggi dibanding mahasiswa yang tidak

menggunakannya. Jadi sistem aplikasi berbasis web bukan hanya dapat dimanfaatkan

sebagai sistem pencarian (Janette dan Hannafin, 1997), tetapi juga dapat digunakan sebagai

media pemberian tugas atau lembar kerja bagi peserta didik.

Sistem aplikasi berbasis web juga dapat digunakan oleh pendidik sebagai media

bahan ajar. Oleh karena itu, pendidik/pengajar dapat berperan sebagai penyedia informasi

atau materi pelajaran menggunakan sistem berbasis web.

Hasil uji statistika menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara ketiga frekuensi

pemberian tugas dan latihan soal. Kelompok mahasiswa yang diberi tugas dan latihan soal

dengan frekuensi tiga kali memberikan rata-rata yang lebih tinggi.

Nilai rata-rata kelompok mahasiswa yang diberikan tugas dan latihan soal dengan

frekuensi tiga kali adalah 22,667. Pesersentase pemahaman kelompok mahasiswa yang

diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 75,56%. Kelompok

mahasiswa yang diberi tugas dua kali memperoleh pemahaman konsep 64,72%. Sedangkan

kelompok mahasiswa yang diberi tugas satu kali memperoleh pemahaman konsep 55,14%.

Penelitian yang dilakukan Ali (2009) mengukur aktifitas siswa yang diajar dengan

media berbasis web dan yang tidak. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan. Siswa yang diajar dengan media berbasis web memiliki aktifitas belajar lebih

tinggi dibanding yang tidak menggunakan media berbasis web. Sejalan dengan penilitian ini,

pemberian tugas kepada mahasiswa dengan frekuensi tiga kali lebih baik dari mahasiswa

yang diberi tugas dengan frekensi satu kali dan dua kali. Aktifitas belajar siswa/mahasiswa

dapat ditingkatkan dengan pembelajaran menggnakan media berbasis web.

Kombinasi yang diuji secara statistika adalah kombinasi MW, MT, WT dan MWT.

Hasil uji statistika menggnakan program SPSS 16.0 menunjukkan bahwa interaksi yang

signifikan hanya interaksi antara metode pemberian tugas dan frekuensi pemberian tugas dan

latihan soal.

Nilai rata-rata paling tinggi adalah kelompok mahasiswa dengan interaksi M2W3,

yaitu kelompok mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web dan

diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali. Persentase pemahaman kelompok

mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web dan diberikan tugas dan

latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 85,83%.

Penelitian yang dilakukan Ali (2009) menunjukkan bahwa interaksi antara metode

dan aktifitas siswa signifikan. Artinya pembelajaran yang menggunakan media berbasis web

dan aktifitas siswa berpengaruh pada hasil belajar. Aktifitas siswa yang tinggi dapat

meningkatkan hasil belajar siswa. Namun pada penelitian tersebut tidak dijelaskan

bagaimana meningkatkan aktifitas siswa pada pembelajaran menggunakan media berbasis

web tersebut. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa yang signifikan hanya interaksi antara

metode dan frekuensi pemberian tugas. Artinya pembelajaran yang menggunakan media

berbasis web dan frekuensi pemberian tugas berpengaruh terhadap hasil belajar. Mahasiswa

yang diberi tugas lebih sering memperoleh hasil belajar lebih tinggi. Sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Ali, salah satu cara meningkatkan aktifitas siswa pada

pembelajaran menggunakan media berbasis web adalah memperbanyak frekuensi pemberian

tugas kepada siswa atau mahasiswa.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan antara metode

pemberian tugas menggunakan media berbasis web dan media cetak, (2) terdapat perbedaan

antara frekuensi pemberian tugas dan latihan soal, (3) terdapat perbedaan pada interaksi

antara metode pemberian tugas dengan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal.

Page 52: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

40

Persentase pemahaman mahasiswa yang diajarkan dengan metode menggunakan

media berbasis web adalah 77,13% lebih tinggi daripada media cetak. Pesersentase

pemahaman kelompok mahasiswa yang diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi

tiga kali adalah 75,56%. Persentase pemahaman kelompok mahasiswa yang diberi tugas

menggunakan media berbasis web dan diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga

kali adalah 85,83%.

DAFTAR RUJUKAN

Ali, R. K. (2009). Pengaruh Penggunaan Media pembelajaran Berbasis Web Dalam

Pembelajaran Inquiry Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan lkatan

Kimia. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Negeri

Medan. Medan.

Arends, R. I. (2008). Learning To Teach (7th edition). Terjemahan oleh Helly Prajitno

Soetjipto. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Martini, K.,S., dkk. (2014). Pengaruh Pembelajaran Kimia Dengan Metode Student Teams-

Achievement Divisions (STAD) Dan Team Assisted Individualization (TAI) Terhadap

Prestasi Belajar Ditinjau Dari Kemampuan Matematik Siswa Materi Pokok

Termokimia Kelas XI Semester Gasal SMA Negeri Sukoharjo Tahun Pelajaran

2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia. Program Studi Pendidikan Kimia Universitas

Sebelas Maret. P.49-56. ISSN 2337-9995.

Hannafin, M.J., Janette, R.H. (1997). Cognitive Strategies and Learning from the World

Wide Web. Educational Technology, Research and Development. ProQuest

Education Journals. P.37.

Kirk, R.E. (1995). Experimental Design: Procedures for the Behavioral Sciences.

Brooks/Cole Publishing Company, USA.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta.

Rohman, P. F., & Stikno, M. S. (2007). Strategi Belajar Mengajar. PT Refika Aditama.

Bandung.

Slavin, R.E. (2005). Cooperative Learning: theory, research and practice. Allymand Bacon,

London.

Sudarsa, I.,M., dkk. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

berbantuan LKS Terhadap Pemahaman Konsep Kimia Ditinjau Dari Motivasi

Berprestasi. e-Jurnal Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha

Program Studi IPA Vol.3.

Sudjana, N. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya.

Bandung.

Suharsimi, A. (2001). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). PT Bumi Aksara.

Jakarta.

Page 53: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

41

PERFORMANSI MEMBRAN INTERLAYER FREE-P123 CARBONISED

SILICA MELALUI PROSES DESALINASI AIR SUNGAI MARTAPURA

Performance of Interlayer Free-P123 Carbonised Silica Membranes thru

Desalination Process of Martapura River

Muthia Elma1*, Fitriani1, Arief Rakhman1 1Program Studi Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat

Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714

*email: [email protected]

Abstrak. Berdasarkan observasi pada air sungai Martapura diketahui kualitas fisik air

ketika musim kemarau memiliki kandungan garam yang cukup tinggi dengan

identifikasi awal biasanya masyarakat sekitar sungai Martapura merasakan air sungai

tersebut asin pada saat musim kemarau karena pengaruh intrusi air laut. Penelitian ini

bertujuan mengetahui performa membran Carbonised Silica-P123 pada proses

desalinasi air sungai Martapura. Penelitian ini dilakukan dengan mengaplikasikan

proses desalinasi pada Membran Carbonised Silica-P123. Membran ini dibuat dengan

menggabungkan silica thin film dengan polimer P-123 dan kemudian

didipcoating ke membrane support sebanyak 4 layers dan kemudian membran

dikalsinasi pada suhu 350C dan 600C selama 1 jam untuk setiap layer. Metode

yang digunakan dalam menurunkan kadar garam air sungai pada penelitian ini adalah

metode desalinasi melalui proses pervaporasi dengan mekanisme water flux dan salt

rejection menggunakan membran Silica-P123. Membran ini juga diuji desalinasi

menggunakan air sungai Martapura. Dari hasil pengujian ini diketahui performansi dari

membran yang dikalsinasi pada suhu 350C dan 600C secara berturut-turut adalah

1,25 dan 1,67 kg.m-2.h-1serta persentase salt rejection yang diperoleh secara berturut-

turut adalah 96,22% dan 65,67%. Dapat disimpulkan bahwa membrane yang dikalsinasi

pad suhu 350C memberikan nilai rejection yang jauh lebih baik dari membrane yang

dikalsinasi pada suhu 600C.

Kata kunci: desalinasi, membran Silica-P123, salt rejection, water flux.

Abstract. Based on the observations of Martapura river water, it is known that physical

quality of water of martapura river in the dry season have a fairly high salt content. It

is due to the influence of sea water intrusion. The aims of this research is to measure

the water fluxes and salt rejections of membrane Carbonised Silica-P123 via water

desalination process. This membrane is fabricated by combining silica thin film with

polymer P123 and it then was dipcoated onto membrane support as many as four

layers. Lastly,it was then calcined at 350 C and 600 ° C for an hourfor each layer of

membranes. Results show that membranes calcined at low temperatures obtain lower

water fluxes and bettersalt rejectionthanmembrane calcined at higher temperature

(1.250 and 1.676 kg.m-2.h-1 for water flux and 96.22 and 65.67% for salt rejection for

membranes calcined at 350 and 600°C, respectively).

Keywords: desalination, silica-P123 membrane, salt rejection, water flux

PENDAHULUAN

Air adalah sumber daya alam yang dinamik (dynamic resources), yang memberikan

manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala

bidang, sehingga memberikan implikasi yang relatif pelik dan khas dalam upaya pengelolaan

dan pemanfaatannya. Untuk menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang

cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib

dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras.

Pengelolaan ini perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis

antar wilayah, antar sektor dan antar generasi. Pengelolaan sungai, danau dan waduk adalah

upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi

Page 54: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

42

sumber daya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air agar

terciptanya konservasi sumber daya air.

Kelangkaan air bersih merupakan masalah yang serius akhir-akhir ini di Kalimantan

Selatan. Ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan iklim, dan

pengelolaan air dan limbah yang tidak sesuai. Masalah ini merupakan suatu tantangan besar

bagi kelangsungan serta ketersediaan air bersih di Kalimantan Selatan. Masyarakat di daerah

pinggiran sungai Martapura banyak yang menggunakan air sungai langsung untuk memenuhi

kebutuhan mereka. Berdasarkan observasi pada sungai Martapura air sungai sering terintrusi

pada saat air laut pasang ketika musim kemarau. Ini menyebabkan air sungai menjadi asin.

Adanya kandungan garam dalam air memberikan dampak negatif seperti menimbulkan

gangguan kesehatan. Oleh karena itu menurut Permenkes Nomor 492 Tahun 2010, parameter

fisik air yang diperbolehkan adalah air yang tidak berasa apapun.

Proses desalinasi adalah salah satu alternative untuk menjawab masalah

ketersediaan air bersih (Sadrzadeh & Mohammadi, 2008). Pemisahan dengan proses

membran dapat menghasilkan air minum meskipun berasal dari air mentah dengan

konsentrasi garam yang tinggi (Gryta, 2010). Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui

performansi dari membran interlayer free-P123 carbonised silica pada proses desalinasi air

agar dapat dipergunakan selanjutnya untuk menghilangkan kadar garam pada air sungai

terintrusi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses Program Studi Teknik

Kimia Universitas Lambung Mangkurat, yang terdiri dari beberapa proses yaitu proses

pembuatan sol gel, pembuatan xerogel, pembuatan P123-Si-sol, membrane dipcoating,

membrane calcination, pervaporation experiment.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain gelas beker, pipet tetes, labu ukur, micropipet,hot

plate stirrer, stirrer, labu leher tiga, kondensor gelembung, oven, furnace, gelas ukur, petridish,

botol centrifuge, vacuum pump, cold trap, selang waterpass, botol kaca dan termometer. Bahan-

bahan yang digunakan adalah tetraethyl orthosilicate (TEOS), etanol, akuades, HNO3, NH3,

Pluronic®P123, macroporous alumina substrates (α-Al2O3tubularsupport (ϕE100 nm)

Ceramic Oxide Fabricates, Australia), plastic wrap, aluminium foil dan sampel air sungai

Martapura.

Variabel Proses

Proses desalinasi pada air sungai Martapura ini terdapat 2 variabel yang digunakan,

yaitu:

a) Variabel bebas, yaitu temperature kalsinasi (350 C dan 600 C).

b) Variabel tetap, yaitu konsentrasi TEOS:EtOH:HNO3:H2O:NH3:P123

(1:38:0.0007:5:0.003:0.0128), layer coating (4 layers), dan waktu kalsinasi.

Prosedur Penelitian

Sintesis Xerogel

TEOS sebanyak 18.66 gram ditambahkan setetes demi setetes ke dalam 20 mL EtOH

di dalam labu leher tiga dan diaduk selama 5 menit pada 0 C diikuti dengan penambahan HNO3

0.00078N secara perlahan dan direfluks selama 1 jam pada 50 C. NH3 0.0003N ditambahkan

setetes demi setetes dan refluks dilanjutkan selama 2 jam setelah itu mengukur pH sol gel. 50 mL

sol gel ditambahkan P123 0.6388 gram dan diaduk selama 45 menit pada suhu ruang. 20 mL

P123-Si sols kemudian dikeringkan selama 24 jam pada 600 C. P123-Si xerogel kemudian

dihaluskan, serbuk xerogel dikalsinasi pada 350 C selama 1 jam. Xerogel dikarakterisasi dengan

analisa FTIR.

Page 55: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

43

a b

Pembuatan Membran

25 mL P123-Si sols dilarutkan dengan etanol 1:0.9 untuk mengurangi viskositas pada

saat membrane dipcoating. Proses dipcoating dilakukan dengan cara mencelupkan macroporous

α-Al2O3 tubular support ke dalam P123-Si sols dengan laju pencelupan 10 cm per menit,

macroporous α-Al2O3 tubular support direndam selama 2 menit, kemudian ditarik dengan laju

penarikan 5 cm permenit, kemudian membran dikalsinasi di dalam furnace selama 1 jam pada

350 °C dan 600 °C.

Pervaporasi

Memulai pervaporasi dengan membran suhu kalsinasi 350°C pada sampel air sungai

Martapura. Selanjutnya menghitung water flux yang dapat ditentukan denganan persamaan

sebagai berikut.

𝐹 =𝑚

𝐴.∆𝑡

dimana m adalah massa permeate (kg) yang terperangkap dalam cold trap, A adalah luas

permukaan aktif (m2) dan Δt adalah waktu pervaporasi. Menentukan salt rejection R(%),dapat

ditentukan denganan persamaan sebagai berikut.

𝑅 =𝐶𝑓−𝐶𝑝

𝐶𝑓× 100%

dimana Cf dan Cp adalah konsentrasi garam pada umpan dan permeate (% berat). Selanjutnya

menentukan konduktivitas dari larutan permeate yang dapat ditentukan dengan conductivity meter

(Elma, Wang, Yacou, Motuzas, & Diniz da Costa, 2015). Langkah yang sama diulangi pada

membran dengan suhu kalsinasi 600 °C.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Xerogel

Dalam pembuatan Si-P123dengan metode sol gel, sol yang diperoleh pada

penelitian ini memiliki pH 6, dimana diketahui sol dengan pH 6 akan menghasilkan pori

membran yang mesoporous (Elma, Yacou, Diniz da Costa, & Wang, 2013) dimana ukuran

porinya lebih besar dibandingkan dengan ukuran molekul air namun lebih kecil bila

dibandingkan dengan ukuran molekul garam. Silica sol yang dihasilkan berupa cairan

bening tidak berwarna yang encer, dimana setelah ditambahkan dengan P123 terjadi

perubahan viskos namun tidak terjadi perubahan warna. Selain memberikan kekuatan

kepada pori-pori membran, penambahan P123 dalam silika sol akan mempengaruhi gugus

silanol dan siloxane. Gugus silanol dan siloxane diketahui dapat mempengaruhi ukuran pori

membran, sehingga penting untuk mengetahui ada tidaknya kedua gugus tersebut (Elma,

Wang, Yacou, & Diniz da Costa, 2015). Untuk itu dilakukan metode analisa FTIR (Fourier

Transform Infrared), dapat diketahui luas area silanol dan siloxane yang didapatkan dalam

Si-P123 sol. Berikut adalah Perbedaan fisik dari xerogel yang di kalsinasi pada suhu 350

°C dan 600 °C yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbedaan xerogel yang dikalsinasi (a) suhu 350°C dan (b) suhu 600 °C

Page 56: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

44

Dari hasil analisa FTIR didapatkan grafik seperti pada Gambar 4. berikut:

Gambar 4. Spektrum FTIR dari xerogel Si-P123 yang dikalsinasi

Gambar 4 menunjukkan spektrum FTIR untuk xerogel silika-P123 yang dikalsinasi

pada suhu 600 °C dan 350 °C menggunakan metode RTP (Rapid Thermal Processing) selama

1 jam tanpa menggunakan ramping/cooling rates. Pada panjang gelombang 2700-700 cm-1,

terdapat beberapa puncak (peak) yaitu pada panjang gelombang 2357 cm-1, 1070 cm-1, 962

cm-1 dan 802 cm-1. Puncak 802 cm-1, 1070 cm-1merupakan puncak dari grup siloxane (Si-O-

Si). Begitu juga dengan puncak 962 cm-1, puncak pada panjang gelombang ini merupakan

grup silanol (Si-O-H). Ikatan Si-C bisa dilihat pada panjang gelombang 2357 cm-1. Xerogel yang dikalsinasi pada suhu 600 °C menunjukkan puncak Si-C sedangkan

pada suhu 350 °C tidak ditemukan puncak. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih

tinggi komposisi karbon jelas terlihat terjadi dekomposisi dan menciptakan struktur pori-pori

yang lebih besar dan lebih luas. Grup siloxane terbentuk akibat reaksi kondensasi air dan

kondensasi alcohol yang diperoleh dari reaksi kimia selama proses sol gel berlangsung.

Begitu juga dengan grup silanol, grup ini diperoleh dari rekasi hidrolisis pada tahap awal

proses sol gel (Elma, Wang, Yacou, & Diniz da Costa, 2015). Proses hidrolisis ini terjadi

akibat dari penambahan asam sebagai katalis.

Perhitungan Water Flux dan Salt Rejection

Flux digunakan untuk menyatakan tingkat dimana air menembus pada suatu

membran. Nilai flux membran berbanding lurus terhadap suhu dan tekanan. Persamaan yang

digunakan untuk mendapatkan flux adalah sebagai berikut:

𝐹 =𝑚

𝐴.∆𝑡

Salt rejection sebagai persentase dari kontaminan yangdikeluarkan dari aliran

umpan dengan membran. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan persentase dari salt

rejection adalah sebagai berikut:

𝑅 =𝐶𝑓−𝐶𝑝

𝐶𝑓× 100%

Berikut adalah grafik hubungan antara water flux dan salt rejection terhadap

perbedaan suhu kalsinasi 350 °C dan 600 °C pada umpam air sungai Martapura yang dapat

dilihat pada Gambar 6.

Page 57: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

45

Gambar 6. Performansi membran Si-P123 pada suhu kalsinasi 350 °C dan 600 °C.

Gambar 6 diatas, menunjukkan performansi yang dihasilkan pada membran Si-P123 terhadap

perbedaan suhu kalsinasi 350 °C dan 600 °C. Membran silika murni (tidak ada P123) terbukti

tidak stabil untuk desalinasi. Dari hasil penelitian, dari grafik diperoleh bahwa water flux

yang diperoleh dari umpan aquadest memiliki nilai water flux sebesar 4,1 kg.m-2.h-1 pada

suhu 350 °C dan 3,9 kg.m-2.h-1 pada suhu 600 °C. Sebaliknya pada umpan air sungai

Martapura diperoleh nilai water flux sebesar 1,25 kg.m-2.h-1pada suhu 350 °Cdan 1,67 kg.m-

2.h-1pada suhu 600 °C. Hal ini membuktikan bahwa air sungai Martapura memiliki

kandungan garam. Kandungan karbon yang ada pada permukaan membran mempengaruhi

kinerja membran dalam hal water flux dan serta pengurangan polarisasi konsentrasi garam.

Perolehan persentase salt rejection yang dihasilkan pada air sungai Martapura adalah 96,22%

pada suhu 350 °C dan 65,67 pada suhu 600 °C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran

Si-P123 dengan suhu kalsinasi 350 °C merupakan yang terbaik.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa membran Si-P123 dapat

mengurangi kandungan garam pada air sungai Martapura, dengan diperoleh performansi

nilai water flux pada membran Si-P123 sebesar 1,25 kg.m-2.h-1 pada suhu 350 °C dan 1,67

kg.m-2.h-1 pada suhu 600 °C dengan persentase salt rejection sebesar 96,22% pada suhu

350°C dan 65,67% pada suhu 600 °C. Dari hasil performansi, membran Si-P123 pada suhu

350 °C adalah yang terbaik karena memiliki persentase salt rejection yang paling tinggi.

DAFTAR RUJUKAN

Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., & Diniz da Costa, J. C. (2015). Interlayer-free P123

carbonised template silica membranes for desalination with reduced salt

concentration polarisation. Journal of Membrane Science, 475, 376-383. doi:

http://dx.doi.org/10.1016/j.memsci.2014.10.026

Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., Motuzas, J., & Diniz da Costa, J. C. (2015). High

performance interlayer-free mesoporous cobalt oxide silica membranes for

desalination applications. Desalination, 365, 308-315. doi:

http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2015.02.034

Elma, M., Yacou, C., Diniz da Costa, C. J., & Wang, K. D. (2013). Performance and Long

Term Stability of Mesoporous Silica Membranes for Desalination. Membranes,

3(3). doi: 10.3390/membranes3030136

Gryta, M. (2010). Desalination of thermally softened water by membrane distillation

process. Desalination, 257(1–3), 30-35. doi:

http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2010.03.012

Page 58: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

46

Sadrzadeh, M., & Mohammadi, T. (2008). Sea water desalination using electrodialysis.

Desalination, 221(1), 440-447. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2007.01.103

Page 59: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

47

SINTESIS DAN FUNGSIONALISASI XEROGEL SILICA DAN SILICA-

COBALT UNTUK DESALINASI AIR

Synthesis and Functionalization of Silica and Silica-Cobalt Xerogels For Water

Desalination

Muthia Elma1*, Rahmi Hidayati1, Gesit Satriaji Saputro1

1Program Studi Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat

Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714

*email: [email protected]

Abstrak. Desalinasi air merupakan suatu proses pemisahan dengan menggunakan

teknologi membran. Teknologi membran merupakan teknologi pemisahan yang

diketahui memiliki kemampuan untuk memisahkan molekul-molekul zat pengotor

yang berbeda ukurannya. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkanhasil

analisaxerogel silica dengan xerogel silica-cobalt 35%.Pembuatan xerogel dilakukan

dengan menggunakan pre-cursor TEOS melalui proses sol gel, yaitu dengan

menambahkansurfaktan cobalt oxide sebanyak 35% kedalam silica sol pH=6 untuk

xerogel silica-cobalt dan selanjutnya dilakukan proses kalsinasipada suhu

600oC.Analisa yang dilakukan pada penelitian ini yaitu analisa FTIR dan Fityk untuk

mengetahui karakteristikxerogel silica melalui gugus fungsinya. Berdasarkan hasil

analisa (deconvulation) diperoleh xerogelpure silica mengandung konsentrasi siloxane

lebih tinggi dibandingkanxerogelsilica-cobalt (surfaktan). Hal tersebut menunjukkan

xerogel silica-cobalt memberikan karakter lebih robust dan hydrostability lebih

baikdibandingkan dengan xerogel silica dan ini sangat bermanfaat untuk sebagai

pelapis membran yang diaplikasikan pada proses desalinasi air

Kata kunci: xerogel, sintesis, fungsionalisasi, silica, silica-cobalt

Abstract.Water desalination is a separation process using membrane technology.

Membrane technology is a separation technology that is popular to have the ability to

separate the molecules of different impurities. The purpose of this study was to compare

the results of xerogel silica analysis with xerogel silica-cobalt 35%. Xerogel

preparation was done by employing TEOS as a pre-cursor through sol gel process, that

is by adding 35% cobalt oxide as a surfactant into silica sol pH = 6 and it was then

calcined at temperature 600oC. Analysis for this research was applying FTIR and Fityk

analysis in order to investigate the characteristic of xerogel silica through its functional

group. Based on the results of the analysis (deconvulation) obtained for pure silica

xerogel containing siloxane concentration lower than xerogel silica-cobalt

(surfactant). It shows the silica-cobalt xerogel provides more robust character and

hydrostability than the pure silica xerogel itself and is particularly useful as a

membrane coating applied for water desalination process

Keywords: membrane, synthesis, functionalization, silica, silica-cobalt

PENDAHULUAN

Teknologi membran telah lama menjadi proses pemisahan dalam dunia industri karena

proses yang cepat dan efisien. Secara umum terdapat tiga jenis proses membran yang

biasanya digunakan antara lain reverse osmosis (RO), distilasi membran (MD) dan

pervaporasi (PV)(Elma, Yacou, Wang, Smart, & Diniz da Costa, 2012). Membran

merupakan suatu lapisan tipis antara dua fasa fluida yaitu fasa umpan (feed) dan fasa permeat

yang bersifat sebagai penghalang (barrier) terhadap suatu spesi tertentu, yang dapat

memisahkan zat dengan ukuran yang berbeda serta membatasi transpor dari berbagai spesi

berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Membran bersifat semipermeabel, berarti membran

Page 60: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

48

dapat menahan spesi-spesi tertentu yang lebih besar dari ukuran pori membran dan

melewatkan spesi-spesi lain dengan ukuran lebih kecil. Sifat selektif dari membran ini dapat

digunakan dalam proses pemisahan. Support membran adalah membran dari bahan keramik

dibuat melalui pembakaran suhu tinggi. Kestabilan dari kekuatan membran tergantung dari

aspek kimia, mekanis dan kondisi termal dari membran.

Silika dikenal baik sebagai oksida pembentuk gelas sedangkan Al2O3, TiO2 dan ZrO2

adalah oksida menengah dalam klasifikasi Zachariasen (1932). Mereka tidak dapat

membentuk gelas dengan sendirinya. Struktur dari gelas silika terdiri dari corner-sharing

SiO4 tetrahedra kovalen terhubung dalam jaringan tiga dimensi tak terbatas yang terus-

menerus tidak memiliki orde rentang panjang.

Persiapan konvensional gelas dilakukan dengan mendinginkan lelehan padatan, namun

fase amorf dapat juga diperoleh pada temperatur rendah dari campuran cairan atau campuran

gas. Fase amorf pada hakekatnya adalah fasa metastabil (Tabel 1). Kristalisasi termal dari

oksida menengah terjadi pada suhu rendah dibandingkan dengan silika (Tabel 1). Kristalisasi

terkait secara sistematis dengan perubahan mikrostruktur. Pada kasus padatan microporous,

itu biasanya akibat pada pembesaran signifikan dari ukuran pori-pori. Untuk silika dengan

kemurnian tinggi, kristalisasi dapat dihambat pada suhu sangat tinggi (mendekati domain

dari stabilitas termodinamika kristobalit). Stabilitas termal dari silika porous sebenarnya

dibatasi oleh sintering aliran kental yang terjadi sekitar 800˚C dalam kasus silika

microporous.

Tabel 1. Data Struktural untuk Oksida Tunggal Umum (Ayral et al., 2006)

SiO2 Al2O3 TiO2 ZrO2

Fase kristal dengan

kestabilan

termodinamika pada

suhu kamar

Quartz α Corundum Rutile Baddeleyite

Kristalisasi termal dari

fase amorf

Rentang 900-

1400°C sampai

kristobalit

Rentang

400-700°C

sampai

alumina

transisi

Rentang

150-400°C

sampai

anatase atau

rutile

Rentang 200-

400°C sampai

kubus metastabil

atau fase

tetragonal

Penuaan fase amorf

dalam larutan air

Tidak ada

perubahan

sturktur

Kristalisasi

dari

hidroksida

AlO(OH)

atau

Al(OH)3

Kristalisasi

dari anatase

atau rutile

Pembentukan

oksihidroksida

terhidrasi

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses Program Studi Teknik

Kimia Universitas Lambung Mangkurat. Bahan utama yang digunakan adalah pre-cursor

silica (TEOS=Tetraortosilicate) dan cobalt (II) nitrate dekahidrate.

1. Alat dan Bahan

Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat peralatan gelas

lainnya, dipcoater, oven, furnace, hotplate, pH meter, conductivity meter, stirrer, vacum

pump, plastik wrap, aluminium foil, neraca analitis, termometer dan statif dan klem.

Sementara itu, bahan - bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah TEOS,

EtOH, akuades, HNO3, NH3, membrane support (-Al2O3) dan Cobalt (II) nitrate

dekahydrate.

2. Variabel Proses

Pada proses, terdapat 2 variabel yang digunakan, yaitu:

a) Variabel bebas, yaitu penggunaan membran cobalt-silica dengan variasi

konsentrasi 5 % w/v dan 10 % w/v, proses desalinasi dengan menggunakan

akuades dan konsentrasi larutan NaCl 3,5% berat.

Page 61: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

49

b) Variabel terikat, yaitu rasio molar TEOS:EtOH: HNO3:H2O:NH3 = 1 : 38 : 0,0007

: 0,003, 4 layer thin film, waktu kalsinasi selama 1 jam, temperatur kalsinasi

sebesar 600oC, waktu perhitungan desalinasi selama 20 menit/percobaan.

3. Prosedur Penelitian

TEOS ditimbang sebanyak 18,66 gram dan HNO3 sebanyak 8,0699 gram. EtOH

sebanyak 20 mL dimasukkan kedalam labu leher tiga. EtOH di-reflux selama 5 menit pada

suhu 0°C. Setelah 5 menit, larutan TEOS diteteskan sedikit demi sedikit, dan larutan di-

reflux kembali selama 5 menit pada suhu 0°C. Selanjutnya, larutan HNO3 0,00078N

diteteskan sedikit demi sedikit. Larutan dipanaskan pada suhu 50°C, kemudian di-reflux

kembali selama 1 jam. Diteteskan sedikit demi sedikit larutan NH3 0,0003N. Sol-gel silika

di-reflux selama 2 jam, kemudian sol-gel didinginkan pada suhu ruangan.

Silika sol yang telah terbentuk dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama

merupakan silika sol murni, sedangkan silika sol yang kedua ditambahkan dengan surfaktan

oksida kobalt sebanyak 2,0111 gram (35% w/v). Kedua sol selanjutnya dipanaskan pada suhu

60°C hingga terbentuk xerogel berupa kristal bening seperti kaca. Xerogel yang telah

terbentuk dihaluskan yang selanjutnya xerogel tersebut dikarakterisasi menggunakan metode

FTIR dan hasilnya dianalisa menggunakan Fityk.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Membran silika berasal dari sintesis silika dengan metode sol-gel yang telah

dikembangkan terutama untuk pemisahan gas dengan ukuran pori pada rentang 3-5 Å (Nair,

Elferink, Keizer, & Verweij, 1996). Kesulitan menggunakan silika membran untuk

desalinasi adalah terkait dengan ketidakstabilan matriks silika bila terkena air (Mikel C.

Duke, Diniz Da Costa, Do, Gray, & Lu, 2006). Dalam rangka untuk menangani masalah ini,

peneliti telah menanamkan dan mengarbonasikan dengan kovalen template atau surfaktan

(M. C. Duke, Diniz Da Costa, Lu, Petch, & Gray, 2004) dalam matriks silika. Baru-baru ini,

sejumlah kelompok penelitian melaporkan perkembangan doping logam atau oksida logam

pada membran silika dengan selektivitas gas yang luar biasa, sehingga menunjukkan

pengecilan ukuran pori yang baik. Oksida logam salah satunya adalah kobalt (Igi, Yoshioka,

Ikuhara, Iwamoto, & Tsuru, 2008; Uhlmann, Liu, Ladewig, & Diniz da Costa, 2009). Dalam

pembuatan cobalt-silica sol dengan metode sol gel, sol yang diperoleh pada penelitian ini

memiliki pH 6, dimana diketahui sol dengan pH 6 akan menghasilkan pori membran yang

mesoporous (Elma, Yacou, Diniz da Costa, & Wang, 2013) dimana ukuran porinya lebih

besar dibandingkan dengan ukuran molekul air namun lebih kecil bila dibandingkan dengan

ukuran molekul garam. Silica sol yang dihasilkan berupa cairan bening tidak berwarna yang

encer, dimana setelah ditambahkan dengan kobalt warnanya akan berubah menjadi ungu

bening. Selain memberikan kekuatan kepada pori-pori membran, penambahan kobalt dalam

silika sol akan mempengaruhi gugus silanol dan siloxane. Gugus silanol dan siloxane

diketahui dapat mempengaruhi ukuran pori membran, sehingga penting untuk mengetahui

ada tidaknya kedua gugus tersebut (Elma, Wang, Yacou, Motuzas, & Diniz da Costa, 2015).

Dari hasil analisa diperoleh data luas gugus siloxane dan silanol dalam kedua xerogel.

Pada xerogel silika, luasan gugus siloxane sebesar 7,33188 satuan luas dan gugus silanol

sebesar 0,415337 satuan luas. Sedangkan pada xerogel silika-kobalt, luasan gugus siloxane

sebesar 4,54555 satuan luas dan gugus silanol sebesar 0,47911 satuan luas. Dari data

tersebut, dapat diketahui bahwa konsentrasi siloxane pada silika-kobalt lebih tinggi

dibandingkan dengan konsentrasi siloxane pada silika murni.

Page 62: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

50

Panjang Gelombang (cm-1

)

6008001000120014001600

Ab

sorb

an

ce (

a.u

.)

800

1079

Gambar 1. FTIR Xerogel silika (garis merah) dan silica-cobalt (garis hitam)

SIMPULAN

Siloxane dan silanol pada sebuah membran merupakan salah satu faktor yang

menentukan karakteristik membran. Jumlah siloxane yang banyak akan memberikan

membran yang memiliki pori berukuran lebih kecil, struktur lebih lebih kuat, dan memiliki

hydrostability lebih tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa xerogel silika-kobalt lebih

baik dibandingkan dengan xerogel silika murni dan xerogel silika-kobalt sangat bermanfaat

sebagai pelapis membran yang diaplikasikan pada proses desalinasi air.

DAFTAR RUJUKAN

Ayral, A., Julbe, A., Roualdes, S., Rouessac, V., Durand, J., & Sala, B. (2006). Silica

membranes - Basic principles. Periodica Polytechnica: Chemical Engineering,

50(1), 67-79.

Duke, M. C., Diniz Da Costa, J. C., Do, D. D., Gray, P. G., & Lu, G. Q. (2006).

Hydrothermally robust molecular sieve silica for wet gas separation. Advanced

Functional Materials, 16(9), 1215-1220.

Duke, M. C., Diniz Da Costa, J. C., Lu, G. Q., Petch, M., & Gray, P. (2004). Carbonised

template molecular sieve silica membranes in fuel processing systems: Permeation,

hydrostability and regeneration. Journal of Membrane Science, 241(2), 325-333.

Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., Motuzas, J., & Diniz da Costa, J. C. (2015). High

performance interlayer-free mesoporous cobalt oxide silica membranes for

desalination applications. Desalination, 365, 308-315.

Elma, M., Yacou, C., Diniz da Costa, J. C., & Wang, D. K. (2013). Performance and long

term stability of mesoporous silica membranes for desalination. Membranes, 3(3),

136-150.

Elma, M., Yacou, C., Wang, D. K., Smart, S., & Diniz da Costa, J. C. (2012). Microporous

silica based membranes for desalination. Water (Switzerland), 4(3), 629-649.

Igi, R., Yoshioka, T., Ikuhara, Y. H., Iwamoto, Y., & Tsuru, T. (2008). Characterization of

co-doped silica for improved hydrothermal stability and application to hydrogen

Page 63: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

51

separation membranes at high temperatures. Journal of the American Ceramic

Society, 91(9), 2975-2981.

Nair, B. N., Elferink, W. J., Keizer, K., & Verweij, H. (1996). Sol-gel synthesis and

characterization of microporous silica membranes .1. SAXS study on the growth of

polymeric structures. Journal of Colloid and Interface Science, 178(2), 565-570.

Uhlmann, D., Liu, S., Ladewig, B. P., & Diniz da Costa, J. C. (2009). Cobalt-doped silica

membranes for gas separation. Journal of Membrane Science, 326(2), 316-321.

Page 64: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

52

LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI GURU

BIOLOGI DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI TINGKAT

MADRASAH ALIYAH KOTA BANJARMASIN

The Information and Communication Technology Literacy Of Biology

Teachers in Teaching and Learning Activity at Madrasah Aliyah (Islamic

Senior High School) Banjarmasin

Nazila Rahmatina1*, Dharmono2*, Kaspul3*

1MAN 2 Model Banjarmasin, Jl.Pramuka RT.20 No.28 Banjarmasin 2Pascasarjana Pendidikan Biologi ULM, Jl. H. Hasan Basry Banjarmasin

3FKIP Pendidikan Biologi ULM, Jl. H. Hasan Basry Banjarmasin

(email: [email protected])

Abstrak. Literasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar biologi adalah pengenalan dan

pemahaman terhadap TIK disertai dengan kemampuan dan kemauan untuk

menggunakan dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan belajar mengajar Biologi,

terutama penggunaan piranti TIK, seperti pemanfaatan multimedia dan internet untuk

menghasilkan sebuah pesan atau informasi.Model pembelajaran Biologi dengan

memanfaatkan media dan sumber belajar berbasis TIK adalah mengkomunikasikan

pembelajaran terhadap peserta didik secara aktif dan kreatif, kapan saja dan dimana saja

untuk mempermudah komunikasi pembelajaran. Sehingga diharapkan peserta didik

dapat mengakses pembelajaran dengan cepat dan tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana literasi Teknologi

Informasi dan Komunikasi Guru Biologi dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Tingkat

Madrasah Aliyah se-Kota Banjarmasin. Metode yang digunakan adalah deskriptif

dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan data dengan menggunakan instrumen

angket meliputi 4 aspek yakni: 1) akses terhadap TIK; 2) sikap; 3)keterampilan; dan

4)pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan 100% guru telah memiliki akses terhadap

TIK; sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (76,2%) dengan kategori

baik; penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras (58,9%) dengan

kategori kurang; dan kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogik (68,0%)

dengan kategori cukup. Keempat parameter ini menunjukkan literasi TIK guru Biologi

Madrasah Aliyah se-Kota Banjarmasin sudah masuk pada kategori cukup.

Kata kunci: Literasi, TIK, Kegiatan Belajar Mengajar.

Abstract. ICT literacy in teaching and learning process is conducted as introduction and

comprehension to ICT with the ability and willingness to use ICT in teaching and

learning biology especially for ICT devices, such as the use of multimedia and internet

to give messages or information. Biology as learning based on ITC is a model which

has a strategy to communicate the lesson actively and creatively towards the students

anywhere and everywhere. The simplication of communication is done in order to help

the students can access the lesson faster and accurate.

This research aimed to know how Information and Technology Communication

Literacy of Biology teachers in Madrasah Aliyah (Islamic Senior High School) in

Banjarmasin Scope. The method used is descriptive-quantitative. The data taken

include 4 aspects: 1) access towards Information and Technology Communication; 2)

attitude; 3) skills; and 4) knowledge. The result of this research shows that 100% of

teachers have access towards ICT; Their attitude towards the use of ICT in teaching and

learning process in Biology (76,2%) is categorized good; the mastering of software

(application) and hardware (58,9 %) is categorized poor; and digital technology and

pedagocic-knowledge competence (68,0%) is categorized fair. These four parameters

showed that the ICT literacy of Biology teacher in Madrasah Aliyah (Islamic Senior

High School) in Banjarmasin is in fair category.

Keywords: Literacy, ICT, Teaching and Learning Activity

Page 65: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

53

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) telah mentransformasi cara pembelajaran abad 21. Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan dalam Kemdikbud (2016) menyatakan, saat ini sumber kekuatan utama

adalah pengetahuan, atau informasi dan teknologi menjadi salah satu cara untuk menjangkau

semua pihak dalam memberikan informasi, termasuk dalam dunia pendidikan dan proses

pembelajaran.

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sudah mempengaruhi kehidupan

manusia di berbagai aspek, tak terkecuali aspek pendidikan. Peluang yang ditawarkan oleh

penggunaan TIK di bidang pendidikan sangat banyak, terutama mengarah pada pengalaman

belajar yang lebih baik dan menarik. Tidak hanya terbatas pada ruang kelas tetapi juga

transformasi model pendidikan yang menawarkan pilihan baru dalam penyampaian seperti

e-learning dan blended learning. Peluang lainnya seperti layanan pelatihan guru di bidang

TIK dan dukungan infrastruktur lainnya (Fitriyadi 2013). Kemajuan teknologi yang terus

berkembang pesat ini menjadi tantangan bagi guru untuk literate terhadap TIK atau melek

TIK dengan harapan integrasi pembelajaran menggunakan TIK dapat menciptakan guru yang

professional.

Literasi TIK dalam Service Educational Testing (ETS, 2007), didefinisikan

menggunakan teknologi digital, alat komunikasi, dan atau jaringan untuk mengakses,

mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi. Ada 5 (lima)

komponen penting dalam literasi TIK meliputi: 1) Akses, mengetahui tentang dan

mengetahui bagaimana mengumpulkan dan atau mengambil informasi; 2) Kelola,

menerapkan organisasi yang ada atau skema klasifikasi; 3) Mengintegrasikan, menafsirkan

dan mewakili informasi.; 4) Evaluasi, membuat penilaian tentang kualitas, relevansi,

kegunaan, atau efisiensi informasi; dan 5) Karya, menghasilkan informasi dengan

beradaptasi, menerapkan, merancang, menciptakan, atau authoring informasi.

Menurut Trisdiono (2015) literasi TIK guru yang berfungsi dalam meningkatkan

kualitas layanan pendidikan dan pengembangan keprofesian berkelanjutan masih

menunjukkan tingkat yang kurang sehingga perlu dilakukan peningkatan kompetensi guru di

bidang TIK. Pengembangan kompetensi guru Biologi di bidang TIK sebenarnya memberikan

keuntungan bagi guru dan bagi siswa. Guru yang memliki kompetensi baik di bidang TIK,

dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan layanan pendidikan terhadap siswa dalam

proses pembelajaran. Sedangkan bagi siswa, selain membantu meningkatkan efisiensi dan

efektifitas kegiatan pembelajaran juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar

lebih banyak tentang TIK.

Literasi TIK mengandung tiga dimensi, yang meliputi dimensi pengetahuan,

keahlian, dan perilaku. Pada dimensi pengetahuan literasi TIK ditandai dengan kesadaran

pengguna tentang TIK dan apresiasi relevansi TIK baik dalam kehidupan individual maupun

profesional. Sementara itu dimensi keahlian literasi TIK merujuk dan seringkali merupakan

hasil dari pengalaman menggunakan teknologi. Dalam banyak hal, merupakan keahlian

dalam hal memperoleh, mengolah, menyimpan, meproduksi, dan menukar informasi,

mengkomunikasikan, dan melibatkan diri dalam jaringan internet. Semua itu merupakan

pertanda bahwa secara individual orang yang mempunyai keahlian tersebut telah melek TIK.

Sedangkan dimensi perilaku literasi TIK merepresentasikan produk dan proses dari tafsir

kritis dalam penggunaan TIK untuk informasi dan pengetahuan (Wahyono, 2010).

Tolak ukur literasi TIK menurut Munir (2014), dapat dikategorikan menjadi

kemampuan mendefinisikan, akses, mengelola, integrasi, evaluasi, berkreasi dan

berkomunikasi. Information and Communication Teknology literacy tidak sekedar

pemahaman akan keterampilan teknis tetapi juga mencakup hal yang bersifat kognitif.

Mengintegrasikan TIK ke dalam pembelajaran antara lain untuk meningkatkan kompetensi

pengajar dalam mengajar dan meningkatkan mutu belajar peserta didik. TIK yang sifatnya

inovatif dapat meningkatkan apa yang sedang dilakukan sekarang, serta apa yang belum kita

lakukan tetapi akan dapat dilakukan ketika kita mulai menggunakan teknologi informasi

komunikasi. Oleh karena itu pengajar hendaknya memanfaatkan seluruh kemampuan dan

Page 66: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

54

potensi teknologi untuk meningkatkan pembelajaran, terutama melakukan pembaharuan

dalam upaya mengembangkan proses belajar peserta didik.

Implementasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar memerlukan beberapa kondisi

yang merupakan pendukung untuk melaksanakan proses pendidikan berbasis TIK. Menurut

Surjono (2010), terutama yang berkaitan dengan internet adalah 1) Guru dan siswa harus

mempunyai akses yang mudah ke perangkat teknologi termasuk koneksi internet; 2) Tersedia

konten digital (bahan ajar) yang mudah dipahami guru dan siswa; 3) Guru harus mempunyai

pengetahuan dan keterampilan menggunakan teknologi; dan 4) Sumber daya guna membantu

siswa mencapai standar akademik.

Guru sebagai agen perubahan dan inovasi pembelajaran diharapkan dapat

menggunakan TIK untuk memfasilitasi siswa dalam mengembangkan potensi dirinya. TIK

dapat digunakan sebagai media dan sumber belajar, yang memberikan kemudahan bagi guru

dalam menyiapkan perangkat dan keefektifan dalam pembelajaran. Guru yang memiliki

kompetensi di bidang TIK secara tidak langsung berdampak positif dalam hal pengembangan

profesionalisme secara berkelanjutan.

Kompetensi TIK yang dimiliki seorang guru Biologi diharapkan dapat memperjelas

konsep dalam pembelajaran Biologi, sehingga penyampaian pembelajaran tidak terlalu

monoton dan verbalistis, tidak melulu teori. Mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, indra,

bentuk lingkungan dan organisme, serta memunculkan kembali gairah belajar siswa dari

yang pasif menjadi aktif dan meningkatkan pengalaman belajar siswa.

METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif,

yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang literasi Teknologi

Informasi dan Komunikasi (TIK) guru Biologi dalam kegiatan belajar mengajar Biologi di

tingkat Madrasah Aliyah se-Kota Banjarmasin.

Polulasi dalam penelitian ini adalah guru Biologi pada Madrasah Aliyah Negeri dan

Swasta se-Kota Banjarmasin. Sedangkan objek penelitian ini adalah literasi Teknologi

Informasi dan Komunikasi Guru Biologi dalam kegiatan belajar mengajar Biologi. Data yang

diperoleh dari penelitian ini dikumpulkan menggunakan instrumen angket literasi TIK.

Daftar pertanyaan meliputi: akses terhadap TIK dan internet, sikap terhadap penggunaan TIK

dalam KBM Biologi (aspek sikap), penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat

keras (aspek keterampilan), serta kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis

guru Biologi (aspek pengetahuan).

Penilaian literasi TIK Guru Biologi melalui angket dinilai menggunakan skala

Likert untuk data aspek sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi dengan gradasi

jawaban sangat setuju sampai tidak setuju, penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan

perangkat keras dengan gradasi jawaban sangat menguasai sampai tidak menguasai, serta

kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis dengan gradasi jawaban sangat

kompeten sampai tidak kompeten.setelah data diskor dan dihitungnilai persentasenya

selanjutnya mengklasifikasikan data ke dalam kategori kriteria penilaian menurut Purwanto

(2013) kemudian data dianalisis secara deskriptif kuantitatif.

Tabel 1. Kategori Penilaian Literasi TIK

Persentase (%) Literasi TIK Keterangan

Angka (0-100) Predikat

86-100 Sangat Baik

76-85 Baik

60-75 Cukup

55-59 Kurang

≤ 54 Sangat Kurang

Adaptasi dari Purwanto (2013)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data literasi teknologi informasi dan komunikasi guru biologi didapat dari instrumen

angket literasi TIK yang meliputi data akses terhadap TIK, data sikap terhadap penggunaan

Page 67: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

55

TIK dalam KBM Biologi, data penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras, serta data

kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis. Data akses terhadap TIK dan

internet disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Akses terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi

No Deskripsi Jumlah Ya

(%)

Jumlah

Tidak (%)

1 Ketersediaan akses internet pada komputer

pribadi

100 0

2 Ketersediaan akses internet pada komputer

madrasah

100 0

3 Ketersediaan akses internet pada telepon

seluler/ smartphone

100 0

4 Ketersediaan LCD proyektor di madrasah 100 0

Rata-rata 100 0

Tabel 2 menunjukkan bahwa setiap guru sudah memiliki komputer pribadi baik

berupa PC ataupun laptop dan semua komputer dapat digunakan untuk mengakses internet.

Setiap madrasah juga sudah memiliki komputer dilengkapi akses internet yang bisa

digunakan oleh guru maupun siswa. Telepon seluler milik guru pun dapat digunakan untuk

mengakses internet baik di rumah maupun di madrasah, bahkan ketersediaan akses internet

di lingkungan madrasah dimanfaatkan oleh guru-guru untuk memaksimalkan penggunaan

telepon seluler mereka.

Masing-masing madrasah juga sudah memiliki fasilitas LCD proyektor yang biasa

digunakan untuk kegitan belajar mengajar. Ketersediaan komputer dan LCD proyektor di

tiap madrasah berbeda dalam hal kuantitas. Berdasarkan pengamatan ada madrasah yang

memiliki LCD proyektor di setiap kelasnya, dan ada pula madrasah yang tidak setiap kelas

dilengkapi dengan LCD proyektor, namun jika diperlukan bisa digunakan di ruangan tertentu

seperti laboratorium atau meminjamnya ke bagian sarana untuk digunakan di kelas saat

kegiatan belajar mengajar.

Pemanfaatan internet oleh guru madrasah masih sebagai sumber belajar, internet

digunakan untuk browsing atau mencari referensi dan tambahan materi yang akan diajarkan

dalam pembelajaran. LCD proyektor bukanlah sesuatu yang asing bagi guru, media ini sering

digunakan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, baik di dalam kelas maupun di

laboratorium. Setyanta (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan media

pembelajaran berbasis internet dengan menggunakan sarana pendukung berupa komputer

dan LCD proyektor bukanlah hal yang mudah. Dalam menggunakan media tersebut, guru

harus memperhatikan beberapa teknik agar media tersebut dapat dimanfaatkan dengan

maksimal dan tidak menyimpang dari tujuan media tersebut.

Ketersediaan akses internet berdampak pada kemudahan dalam mengakses informasi

yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran. Internet sebagai media komunikasi

dan sumber informasi menyediakan fasilitas untuk mendownload dan mengupload data,

sehingga memudahkan pertukaran data dan informasi. Hal ini sejalan dengan Setyanta

(2013) dalam penelitiannya tentang manfaat penggunaan internet dalam pembelajaran antara

lain; dapat mentransformasi pengetahuan, fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kondisi

pola pendidikan, sistem penyampaian komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Literasi TIK berdasarkan aspek sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi,

aspek penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras serta kompetensi teknologi digital

dan pengetahuan pedagogis guru dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Guru Biologi

No Kode

Guru

Skor Literasi TIK

Kategori S (%) K (%) P (%)

Rata-rata

(%)

1 S 88,64 73,68 75,00 77,40 Baik

Page 68: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

56

2 NH 84,09 75,00 75,00 76,92 Baik

3 EO 72,73 76,32 73,86 74,52 Cukup

4 DA 84,09 61,84 73,86 71,63 Cukup

5 CN 75,00 65,79 75,00 71,63 Cukup

6 ESP 75,00 65,79 71,59 70,19 Cukup

7 F 75,00 60,53 73,86 69,23 Cukup

8 M 75,00 61,84 70,45 68,27 Cukup

9 ERP 72,73 53,95 65,91 62,98 Cukup

10 R 72,73 44,74 72,73 62,50 Cukup

11 DH 72,73 50,00 62,50 60,10 Cukup

12 MA 70,45 51,32 60,23 59,13 Kurang

13 ERD 72,73 48,68 59,09 58,17 Kurang

14 EM 75,00 46,05 55,68 56,25 Kurang

15 RA 70,45 47,37 55,68 55,77 Kurang

Rata-rata (%) 75,76 58,86 68,03 66,31

Kategori Cukup Kurang Cukup Cukup

Keterangan:

1. Sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (sikap)

2. Penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras (keterampilan)

3. Kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis (pengetahuan)

Literasi TIK terkait Sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (sikap)

Berdasarkan tabel 3, literasi TIK terkait sikap terhadap penggunaan TIK dan internet

sebesar 75,76% termasuk kategori cukup. Hasil pengisian angket terkait sikap terhadap

penggunaan TIK dalam KBM memperlihatkan bahwa rata-rata guru setuju jika penggunaan

TIK untuk keperluan belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan

kreatifitas dalam pembuatan media, kemampuan berinovasi dan menumbuhkan motivasi.

Guru juga setuju terhadap pelatihan atau workshop penggunaan TIK.

Berdasarkan respon guru terhadap pernyataan tentang sikap terhadap penggunaan TIK

dalam KBM Biologi rata-rata guru menyatakan setuju jika penggunaan TIK untuk keperluan

pribadi maupun keperluan belajar mengajar perlu mendapat perhatian. Menurut guru,

menggunakan TIK pada proses belajar mengajar tidak hanya memberikan rasa percaya diri,

tetapi juga dapat meningkatkan kreatifitas dalam pembuatan media pembelajaran Biologi

sehingga membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar.

Guru-guru juga setuju jika pelatihan atau workhsop penggunaan TIK dalam

pembelajaran Biologi perlu mendapat perhatian, karena dengan pelatihan diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan berkreatifitas dan berinovasi dalam pembuatan media

pembelajaran. Terkait dengan pengelolaan informasi di internet, guru kurang setuju terhadap

pernyataan melakukan copy paste informasi dan media Biologi yang ada di internet sebagai

perbuatan yang tidak baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru

berinisial DH, bahwa:

“Boleh copy paste asal dicermati baik-baik kebenaran media dan informasinya,

meskipun ada yang copy paste tanpa di edit lagi namun sebaiknya membuat media sendiri

sesuai kebutuhan masing-masing. Penggunaan media pembelajaran yang selama ini

diperoleh dari hasil copy paste atau download di internet sebaiknya dimodifikasi ulang”.

Salah satu kelebihan dari internet sebagai media pembelajaran, dibandingkan

membeli buku yang asli, penelusuran informasi melalui internet jauh lebih murah. Apalagi

pada saat ini banyak situs yang menyediakan jasa informasi secara cuma-cuma. Kita tinggal

mengunduh (download) atau mencetak informasi yang kita butuhkan (Faridi, 2009).

Literasi TIK terkait Penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras (keterampilan)

Literasi TIK dalam hal penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras sebesar

58,86% termasuk kategori kurang. Sebagaimana lampiran 5, umumnya guru hanya

menguasai aplikasi tertentu saja seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, Microsoft

PowerPoint, tetapi masih kurang pada penguasaan desain grafis dan pengelolaan web untuk

kegiatan belajar mengajar Biologi. Penguasaan terhadap perangkat keras seperti LCD

Page 69: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

57

proyektor sudah dikuasai lebih dari 70% guru, karena semua madrasah sudah memiliki alat

ini dan semua guru sudah mampu mengoperasikan sendiri LCD proyektor.

Berdasarkan data yang diperoleh, penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat

keras komputer berada pada kategori kurang (tabel 3). Aplikasi yang kurang bahkan tidak

dikuasai oleh guru-guru adalah aplikasi desain grafis, perekaman gambar/video digital, flash,

dan aplikasi perancangan web. Perangkat lunak atau aplikasi yang dikuasai oleh guru adalah

Microsoft Word, Microsoft Power Point dan Microsoft Excel. Ketiga aplikasi ini yang paling

sering dipakai untuk mendukung kegiatan pembelajaran, seperti pembuatan RPP, media

presentasi, dan pengolahan nilai.

Penguasaan terhadap internet seperti email, web browser, search engine, jejaring

sosial, pengelolaan kelas online dan penerbitan media online bervariasi mulai dari kurang

menguasai, menguasai dan sangat menguasai. Meskipun setiap guru sudah memiliki email,

dalam pemanfaatannya berbeda. Ada yang sekedar tuntutan dunia kerja, ada juga yang

menggunakan email sebagai penunjang pembelajaran seperti kutipan salah seorang guru ESP

yang menyatakan bahwa:

“Email biasanya dimanfaatkan untuk sarana berkomunikasi, maksudnya untuk

mengkomunikasikan pemberian dan pengumpulan tugas antara guru dan siswa supaya

jangan terlalu banyak memakai kertas. Bisa juga digunakan untuk mengakses jurnal atau

referensi ilmiah yang mengharuskan kita registrasi dengan email, terakhir email digunakan

untuk akses bergabung di jejaring sosial”.

Sebagaimana Sujoko (2013) yang menyatakan bahwa inovasi pembelajaran dengan

memanfaatkan teknologi komputer dan internet akan memberikan persepsi siswa berbeda

terhadap pembelajaran menjadi lebih bermakna. Pembelajaran berbasis web merupakan

wujud pembelajaran e-learning (electronic learning). Pembelajaran berbasis web seperti blog

mempunyai kelebihan yang dapat memberikan fleksibilitas, interaktifitas, kecepatan dan

visualisasi dalam proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Kristiyanti (2011)

dalam tulisannya menyatakan bahwa blog selain dimanfaatkan oleh guru sebagai media

pembelajaran juga dapat berfungsi sebagai pusat pembelajaran.

Pemanfaatan kelas online seperti Edmodo sebagai media pembelajaran Biologi masih

belum dikuasai oleh guru-guru. Hal tersebut dikarenakan fasilitas wifi internet di Madrasah

yang belum merata, dan belum ada pelatihan khusus penggunaan kelas online. Dalam

penelitian Islamiyah (2016), ada beberapa hal yang harus diperhatikan menggunakan kelas

online sebagai media pembelajaran: 1) pembelajaran e-learning perlu dipersiapkan secara

matang agar pembelajaran yang dilakukan menjadi efektif; 2) perlu ketersediaan koneksi

internet karena e-learning akan terlaksana jika didukung oleh koneksi internet yang baik; 3)

perlu memperbaiki interaksi antara pendidik dan peserta didik dengan menyediakan tempat

forum diskusi antara pendidik dan peserta didik pada e-learning yang digunakan.

Literasi TIK terkait Kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis

(pengetahuan)

Terkait kompetensi digital dan pengetahuan pedagogis dengan nilai sebesar 68,03%

termasuk kategori cukup. Data pada lampiran 5 menunjukkan bahwa guru memiliki

kompetensi yang cukup dalam hal menggunakan dan mengintegrasikan TIK ke dalam

pembelajaran, namun masih kurang kompeten dalam memecahkan masalah teknis

menggunakan TIK dalam pembelajaran Biologi.

Salah satu penyampaian materi pembelajaran khususnya dalam kegiatan belajar

mengajar Biologi yakni dengan menggunakan TIK. Sebagai alat bantu pendukung proses

pembelajaran, penggunaan TIK dapat divariasikan sesuai dengan kebutuhan guru dalam

kegiatan belajar mengajar Biologi. Penggunaan media TIK memerlukan kompetensi

pengetahuan, keterampilan dan perencanaan agar dapat menarik minat siswa dan

menubuhkan motivasi belajar.

Data tentang kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogik guru

menunjukkan 80% guru berada pada kategori cukup dan 20% guru berada pada kategori

kurang. Kompetensi yang masih kurang dikuasai guru terutama dalam hal memecahkan

masalah teknis menggunakan TIK dalam pembelajaran Biologi dan kurang update terhadap

Page 70: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

58

teknologi digital yang baru. Rendahnya kompetensi ini ada kaitannya dengan pengembangan

profesi, sebagaimana hasil penelitian Marzal (2013) bahwa semakin terbuka akses

pengembangan diri maka semakin tinggi penguasaan guru dalam TIK.

Munadi (2012) berpendapat bahwa dalam melaksanakan kompetensi pedagogik,

guru dituntut memiliki kemampuan secara metodologis dalam hal perancangan dan

pelaksanaan pembelajaran. Termasuk di dalamnya penguasaan dalam menggunakan media

pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Komariah (2016) bahwa untuk dapat

mengkomunikasikan setiap data atau informasi menjadi lebih mudah dipahami dan dicerna

peserta didik dalam proses pebelajaran dituntut keprofesionalan seorang pendidik, yang salah

satu aspeknya adalah memiliki kompetensi pedagogik.

Pemanfaatan TIK untuk kepentingn pembelajaran (kompetensi pedagogik) seperti

penggunaan strategi yang tepat dalam menggabungkan konten teknologi dan pendekatan

yang digunakan dalam pembelajaran Biologi sebagian guru masih berada pada kategori

kurang kompeten bahkan ada yang tidak kompeten. Begitu pula dengan kompetensi

membimbing orang lain dalam mengkoordinasikan, menggunakan konten teknologi dan

pendekatan pembelajaran Biologi berbasis TIK di kelas masih dalam kategori kurang

kompeten. Penelitian Correos (2012) menyimpulkan rendahnya keterampilan guru dalam

menggunakan TIK dalam kegiatan pembelajaran menunjukkan rendahnya integrasi TIK

dalam kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan rendahnya kompetensi

TIK guru, tidak cukupnya pelatihan berbasis TIK dan keterbatasan sumber daya TIK.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru-guru terkait dengan upaya pengembangan

diri, bahwa guru perlu meningkatkan kompetensi TIK untuk mendukung proses kegiatan

belajar megajar menjadi lebih efektif dan efisien seperti dengan mengikuti workshop atau

pelatihan TIK yang selama ini sangat jarang dilakukan. Hal ini didukung pendapat Munir

(2014) bahwa kapasitas guru dalam memanfaatkan TIK secara efektif untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran sangat penting. Pengembangan profesional perlu disampaikan dalam

berbagai desain, termasuk dalam desain-desain belajar mandiri, publikasi akademik dan riset,

lokakarya formal, kursus dan program belajar lainnya untuk mendukung pengembangan

profesional guru dalam penguasaan konten mata pelajaran yang diampu.

Guna menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran yang mengintegrasikan TIK di

kelas, Triyoso (2012) mengemukakan ada beberapa langkah yang harus dipersiapkan guru:

1) memiliki komputer; 2) mengintegrasikan TIK dalam KBM; 3) menyiapkan materi dengan

mencari di internet, membuat media seperti powerpoint dan menyiapkan alat TIK. Untuk

mempersiapkan hal tersebut, diperlukan pelatihan yang kontinyu dengan mendatangkan

pakar/instruktur yang kompeten dan melengkapi fasilitas TIK yang diperlukan.

Keberhasilan literasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar menurut Buabeng (2012)

sangat tergantung pada dukungan dan sikap guru. Jika guru menganggap program

pembelajaran dengan TIK tidak dapat memenuhi kebutuhan guru dan siswa, kemungkinan

guru tidak akan mengintegrasikan TIK ke dalam kegiatan belajar mengajar mereka. Artinya,

jika guru bersikap positif terhadap penggunaan TIK dalam pembelajaran, maka dengan

mudah mereka dapat memanfaatkan dan mengintegrasikan TIK ke dalam proses kegiatan

belajar mengajar.

Analisis Korelasi antara literasi TIK dalam aspek Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan

Secara individual, guru dengan kategori literasi TIK Baik sejumlah 2 orang dengan

persentase sebesar 13,33%, guru dengan kategori literasi TIK Cukup sejumlah 9 orang

dengan persentase sebesar 60,00% dan guru dengan kategori literasi TIK Kurang sejumlah 4

orang dengan persentase sebesar 26,67%.

Hubungan (korelasi) antara sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi,

penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras serta kompetensi teknologi digital dan

pengetahuan pedagogis dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Ringkasan Hasil Analisis Koefisien Korelasi antara Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan

Sikap Keterampilan Pengetahuan

Sikap 1,00000 0,61744 0,56434

0,0142 0,0284

Keterampilan 0,61744 1,00000 0,76797

Page 71: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

59

0,0142 0,0008

Pengetahuan 0,56434 0,76797 1,00000

0,0284 0,0008 Keterangan:

Pearson Correlation Coefficients, N = 15, Prob > |r| under H0: Rho=0

Berdasarkan tabel 4, hubungan antara pengetahuan dan keterampilan sebesar 0,76

dengan angka signifikansi sebesar 0,0008 memiliki makna bahwa terdapat hubungan yang

sangat kuat dan signifikan antara kompetensi teknologi digital & pengetahuan pedagogis

terhadap penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras begitupun sebaliknya. Hubungan

antara pengetahuan dan sikap sebesar 0,56 dengan angka signifikansi sebesar 0,02 memiliki

makna terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kompetensi teknologi digital &

pengetahuan pedagogis terhadap sikap penggunaan TIK dalam KBM Biologi. Hubungan

antara keterampilan dan sikap sebesar 0,61 dengan angka signifikansi sebesar 0,01 artinya

terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kompetensi teknologi digital &

pengetahuan pedagogis terhadap sikap penggunaan TIK dalam KBM Biologi, pun

sebaliknya.

Berdasarkan analisis korelasi antara kompetensi teknologi digital & pengetahuan

pedagogis (pengetahuan), penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras (keterampilan)

dan sikap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (sikap) saling berkorelasi, meskipun

kategori pada pengetahuan cukup dan keterampilannya masuk kategori kurang namun ada

keinginan untuk meningkatkan atau memperbaiki sikap terhadap penggunaan TIK dalam

kegiatan belajar mengajar Biologi.

SIMPULAN

Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi guru Biologi Madrasah Aliyah kota

Banjarmasin sebagai berikut: kondisi di lapangan menunjukkan 100% guru telah memiliki

akses terhadap TIK dan internet; sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi

(76,2%) dengan kategori baik; penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras

(58,9%) dengan kategori kurang; dan kompetensi teknologi digital dan pengetahuan

pedagogik (68,0%) dengan kategori cukup. Keempat parameter ini menunjukkan literasi TIK

guru Biologi Madrasah Aliyah kota Banjarmasin sudah masuk pada kategori cukup.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis memiliki saran yang

ditujukan kepada pihak-pihak seperti:

1. Disarankan kepada instansi yang membina guru-guru di lingkungan Kementerian

Agama mengadakan pelatihan pemanfaatan dan pengembangan media pembelajaran

Biologi berbasis untuk meningkatkan profesionalitas guru secara berkelanjutan.

2. Disarankan kepada masing-masing madrasah untuk melengkapi fasilitas TIK seperti

LCD proyektor, jaringan internet dengan kapasitas bandwith lebih besar guna

mendukung pembelajaran berbasis TIK seperti kegiatan tes online.

3. Disarankan kepada para guru-guru Biologi melakukan pengembangan diri terutama

terhadap literasi TIK mengingat perkembangan iptek yang semakin pesat bahwa

teknologi informasi saat ini dan yang akan datang adalah suatu kebutuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Buabeng-Andoh, C. (2012). Factors Influencing Teacher's Adoption and Integration of

Information and Communication Technology Into Teaching . A Review of the

Literature International Journal of Education and Development Using Information

and Communication Technology (IJEDICT) Vol.8 ISSUE 1, 136-155.

Correos, C. T. (2012). Teacher's ICT Literacy and Utilization in English Language Teaching.

"ICT & Innovetion in Education" International Electronic Journal 2 (1), 1-25.

ETS, E. T. (2007). Digital Transformation a Framework for ICT Literacy: A Report of the

International ICT Literacy Panel. New Jersey: ETS.

Faridi, A. (2009). Inovasi Pembelajaran Sastra Berbasis ICT dalam Rangka Meningkatkan

Mutu Pendidikan . Tesis.

Page 72: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

60

Fitriyadi, H. (2013). Integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan:

Potensi Manfaat, Masyarakat Berbasis Pengetahuan, Pendidikan Nilai, Strategi

Implementasi dan Pengembangan Profesional . Jurnal Pendidikan Teknologi dan

Kejuruan Volume 21 Nomor 3 Mei 2013, 269-284.

Husain, C. (2014). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran

di SMA Muhammadiyah Tarakan. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan

Pendidikan Volume 2 Nomor 2 Juli 2014 ISSN.2337-7623; EISSN.2337-7615, 184-

192.

Islamiyah, M. (2016). Efektifitas Pemanfaatan E-Learning Berbasis Website terhadap Hasil

Belajar Mahasiswa STMIK ASia Malang pada Mata Kuliah Fisika Dasar. Jurnal

Ilmiah Teknologi dan Informasi ASIA (JITIKA). Volume 10 Nomor 1 Februari 2016

ISSN.0852-730x, 41-46.

Kemdikbud. (2016). Teknologi Informasi dan Komunikasi Penting untuk Proses

Pembelajaran Masa Kini. Dipetik Nopember 2, 2016, dari Litbang Kemdikbud:

http://litbang.kemdikbud.go.id

Komariah, N. (2016). Pemanfaatan Blog Sebagai Media Pembelajaran Berbasis ICT. Jurnal

I-Afkar Vol.V No.1 April 2016, 79-105.

Kristiyanti, M. (2011, Mei). Blog Sebagai Alternatif Media Pembelajaran. Majalah Ilmiah

Informatika Volume 2 Nomor 2, hal. 33-45 .

Marzal, J. (2013). Pengembangan Skill dan Kompetensi TIK Guru Matematika dan IPA Kota

Jambi Melalui E-Tutorial Berbasis Kebutuhan Guru (Teacher's Need) . Jurnal

Tekno-Pedagogi Vol.3 No.1 Maret 2013 ISSN.2088-205X, 28-41.

Munadi, Y. (2012). Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada

h.1.

Munir. (2014). Kerangka Kompetensi TIK Bagi Guru . Bandung: Alfabeta.

Purwanto, N. (2010). Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Setyanta, Y. B. (2013). Media Pembelajaran Sastra Berbasis Internet. Jurnal Dinas

Pendidikan Kota Surabaya Volume 1 ISSN.2337-3253.

Sujoko. (2013). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai Media

Pembelajaran di SMP Negeri 1 Geger Madiun. Jurnal Kebijakan dan

Pengembangan Pendidikan Volume 1 Nomor 1 Januari 2014. ISSN.2337-

7623;EISSN.2337-7615, 71-77.

Surjono, H. D. (2010). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam

Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Magelang: MGMP Terpadu SMP/MTs.

Trisdiono, H. (2015, Maret). Analisis Kebutuhan Diklat Guru Sekolah Dasar Dalam Literasi

Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dipetik Nopember 2016, dari lpmpjogja:

http://www.lpmpjogja.org

Triyoso, A. (2012170-174). Profil Kompetensi Guru dalam Pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai Media Pembelajaran di Kabupaten

Sorong . Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Vol.2

No.1 November 2012.

Wahyono, S. B. (2010). Analisis Jalur Terhadap Tingkat Melek Teknologi Informasi dan

Komunikasi (ICT Literacy) pada Mahasiswa FIP UNY. Yogyakarta: Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Page 73: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

61

KEEFEKTIFAN MODEL COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING (CoPS)

TERINTEGRASI KECERDASAN MAJEMUK UNTUK

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

KECERDASAN MAJEMUK SISWA SMA

The Effectiveness of Collaborative Problem Solving(CoPS) Multiple Intelligence

integrated to Develope Problem Solving Skill and Multiple Intelligence of Senior

High School Students’

Atiek Winarti1*, Meida Hijriyanti1

1Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan model

pembelajaran Collaborative Problem Solving terintegrasi kecerdasan majemuk

terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa. Metode

dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan desain penelitian one group

pretest-posttest desain. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 sebanyak 36

orang. Pengumpulan data menggunakan teknik tes (pretes dan postes) dan teknik nontes

(angket, observasi, catatan lapangan). Teknik analisis data menggunakan teknik analisis

deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui perbedaan

kecerdasan majemuk siswa. Analisis inferensial menggunakan uji-t berpasangan untuk

menganalisis perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa (1) model pembelajaran Collaborative Problem Solving

terintegrasi kecerdasan majemuk efektif meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah siswa dimana kemampuan pemecahan masalah siswa sesudah pembelajaran

meningkat dan berkembang sangat baik, (2) model pembelajaran Collaborative

Problem Solving terintegrasi kecerdasan majemuk efektif meningkatkan kecerdasan

dimana kecerdasan siswa sesudah pembelajaran meningkat dan berkembang baik

kecerdasan yang masih lemah maupun yang sudah kuat (dominan).

Kata kunci:CoPS, pemecahan masalah, kecerdasan majemuk

Abstract.This study aimed to find out the effectiveness of Collaborative Problem Solving

(CoPS) integrated multiple intelligence to develope problem solving skill and multiple

intelligence of senior high school students’. This study used pre-experimental method

with one group pretest-posttest as the design. The sample of this study is the 36 students

of XI IPA 2. Test (pre-test and post-test) and non-test (questionnaire, observation, field

notes) are used as the instruments of this study. This study used descriptive and

inferential analysis. Descriptive analysis is chosen to find out the difference of students'

multiple intelligence. Inferential analysis used through paired t-test to analyze the

difference of students' ability in problem solving. The result of this study shows that (1)

Collaborative Problem Solving multiple intelligence integrated is effective in improving

students’ ability in problem solving; it is shown in how their problem solving skill have

increased and developed well after the learning, (2) Collaborative Problem

Solvingmultiple intelligence integrated is effective in improving students' intelligence,

in which both students, whose intelligence was low or high (the dominant ones) showed

development after the learning.

Keywords: CoPS, problem solving, multiple intelligences

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan seseorang dan

merupakan suatu kebutuhan yang multak. Pada era globalisasi sekarang, pendidikan

merupakah salah satu penentu kemajuan suatu negara dan kesejahteraan rakyatnya. Badan

Standar Nasional Pendidikan (2006) dalam Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan

Page 74: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

62

Sekolah Menengah - Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA menyatakan

bahwa terdapat beberapa tujuan dai pembelajaran kimia. Salah satu diantaranya adalah siswa

harus memiliki keterampilan dalam menyelesaikan masalah agar dapat mengaplikasikan

materi kimia yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Hamalik (Pratiwi, 2014)

menjelaskan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses berpikir sebagai upaya dalam

menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan informasi yang dikumpulkan

dari berbagai sumber sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang tepat. Kemampuan

pemecahan masalah memiliki indikator yang digunakan sebagai kerangka acuan dalam

menilai kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah. Adapun indikator

kemampuan pemecahan masalah menurut Polya (1973) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah

No. Indikator Penjelasan

1. Memahami masalah Kegiatan mengidentifikasi kecukupan data untuk

menyelesaikan masalah sehingga memperoleh

gambaran lengkap apa yang diktahui dan ditanyakan

dalam masalah tersebut.

2. Merencanakan

penyelesaian

Kegiatan menetapkan langkah-langkah penyelesaian,

pemilihan konsep, persamaan dan teori yang sesuai

untuk setiap langkah.

3. Menjalankan rencana Kegiatan menjalankan penyelesaian berdasankan

langkah-langkah yang telah dirancang dengan

menggunakan konsep, persamaan serta teori yang

dipilih.

4. Pemeriksaan Melihat kembali apa yang telah dikerjakan, apakah

langkah-langkah penyelesaian telah terealisasikan

sesuai rencana sehingga dapat memeriksa kembali

kebenaran jawaban yang pada akhirnya membuat

kesimpulan akhir.

Menurut Mulyadi (Thobroni & Arif, 2010) pemberian keterampilan pemecahan

masalah adalah hal yang penting karena merupakan salah satu cara untuk memberi

keterampilan hidup pada siswa. Jika siswa sudah memiliki keterampilan pemecahan masalah

yang baik maka dia akan memiliki keterampilan hidup yang baik pula dan kemampuan anak

dalam belajar dan bersosialisasi akan menjadi lebih baik. Berdasarkan fakta yang ada di

lapangan, lemahnya kemampuan pemecahan masalah siswa di Indonesia diduga menjadi

salah satu penyebab rendahnya peringkat Indonesia pada hasil penilaian yang dilakukan oleh

tim PISA (Programme for International Student Assessment) dimana Indonesia menduduki

peringkat ke 63 dari 70 negara ikut berpartisipasi.

Di sisi lain, menurut hasil penelitian Winarti (2015) dan Chandra (2015), cara yang

digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan

pembelajaran tertentu atau metode pembelajaran di Indonesia hanya terfokus pada

kemampuan matematika dan kemampuan berbahasa siswa saja. Kemampuan matematika dan

kemampuan berbahasa hanya merupakan dua dari banyak kemampuan lain yang disebut

Gardner sebagai kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk menurut Gardner (2003) adalah

berbagai kecerdasan yang dimiliki setiap manusia yang telah dibawa sejak lahir namun

memiliki kadar perkembangan yang berbeda. Gardner (2003) menyebutkan terdapat delapan

kecerdasan yang termuat dalam teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Adapun

delapan kecerdasan tersebut adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan

logika matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik tubuh, kecerdasan intrapersonal,

kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis. Kecerdasan majemuk dapat diketahui

dan diukur dengan beberapa cara seperti pengisian angket atau kuisioner, survei, pemberian

soal-soal dan yang terbaru adalah melalui sidik jari yang dikenal dengan istilah

Dermatoglyphics Multiple Intelligence Test (DMIT).

Menurut hasil penelitian Winarti (2015) kemampuan berbahasa atau kecerdasan

linguistik dan kemampuan matematika atau kecerdasan logika matematis adalah jenis

kecerdasan yang paling sedikit dimiliki oleh siswa SMP maupun SMA. Sementara itu,

Page 75: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

63

kecerdasan yang paling banyak adalah kecerdasan interpersonal dan intrapersonal.

Penggunaan metode belajar yang hanya berfokus pada dua jenis kecerdasan tadi, tentu akan

mengakibatkan dampak negatif bagi siswa maupun bagi dunia pendidikan. Perlu adanya

metode atau model pembelajaran inovatif yang menunjang yang hendaknya model

pembelajaran yang dapat menghargai seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh siswa.

Model pembelajaran Collaborative Problem Solving (CoPS) merupakan salah satu

model dari pembelajaran kolaboratif yang menekankan proses belajar siswa. Menurut

penelitian Sari (2016), model CoPS memberikan kesempatan kepada siswa untuk

berkolaborasi atau bekerja sama dengan teman sekelompoknya dalam memecahkan suatu

permasalahan serta memperoleh pemahaman terhadap suatu konsep.Model ini membuat

siswa aktif menggali dan menggunakan kecerdasan yang mereka miliki agar permasalahan-

permasalahannya dapat terselesaikan dengan baik. Agar berkontribusi terhadap kecerdasan

majemuk siswa, model pembelajaran CoPS ini akan didesain terintegrasi kecerdasan

majemuk dengan harapan dapat lebih menggali dan mengembangkan kecerdasan majemuk

yang siswa miliki. Sejatinya model pembelajaran CoPS memiliki dasar pembelajaran dengan

menggunakan pemecahan masalah, sehingga melalui model pembelajaran ini dapat

membantu siswa menggali kemampuannya untuk memecahkan masalah (Muslim, 2015).

Sehingga, siswa secara otomatis dapat mengasah dan meningkatkan kemampuan pemecahan

masalahnya.

Model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk adalah model pembelajaran memiliki

tujuan agar siswa dapat meningkatkan kecerdasan-kecerdasan yang masih lemah atau

mengembangkan kecerdasan yang sudah kuat pada diri mereka. Selain itu, juga untuk melatih

dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah yang mereka miliki melalui sintak

model CoPS secara umum. Model ini memiliki sintak sebagai berikut: (1) Pemberian

apersepsi yang disesuaikan dengan jenis-jenis kecerdasan majemuk, (2) penyampaian tujuan

pembelajaran dan motivasi, (3) pemberian masalah besar kepada seluruh siswa, (4)

penyampaian materi secara umum dengan menggunakan prinsip kecerdasan majemuk berupa

kelompok homogen, tugas-tugas kecil sesuai kecerdasan dominan dan presentasi (5) siswa

kembali berkerja secara individu untuk menjawab masalah besar berdasarkan pemahaman

mereka, (6) siswa mengumpulkan hasil kerja tugas besar secara individu tersebut, (7) siswa

masuk dalam kelompok heterogen untuk menyamakan presepsi terhadap masalah besar, (8)

membuat laporan individu untuk masalah besar dan dikumpulkan, (9) presentasi.

Model ini diimplementasikan pada materi larutan penyangga dimana berdasarkan

hasil wawancara dengan pengajar kimia, karakteristik materi larutan penyangga sangat cocok

dengan kemampuan pemecahan masalah. Dalam materi larutan penyangga, siswa mendapati

masalah atau kesulitan pada mengenali variasi sifat-sifat larutan, perhitungan pH setelah

penambahan sedikit asam atau basa, serta siswa harus memahami materi larutan penyangga

yang berjenjang atau runtut. Hendaknya, pembelajaran materi larutan penyangga dengan

menggunakan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk akan dapat mengatasi masalah-

masalah tersebut yang sekaligus dapat mengasah kemampuan pemecahan masalah siswa dan

mengetahui serta mengembangkan kecerdasan yang dimilikinya

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data-data secara empirik mengenai

implementasi model Collaborative Problem Solving (CoPS) terintegrasi kecerdasan

majemuk dan perkembangannya terhadap kemampuan pemecahan dan kecerdasan majemuk

pada materi larutan penyangga siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Banjarmasin tahun ajaran

2016/2017. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan metode penelitian

pre-eksperimental dengan desain penelitian one group pretest-posttest desain.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 1 Banjarmasin. Sampel

pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Banjarmasin yang terdiri dari 36

orang, dipilih dengan teknik sampling purposive. Kelas ini dipilih berdasarkan rekomendasi

dari guru kimia kelas XI SMAN 1 Banjarmasin dimana kelas ini memiliki kecerdasan yang

beragam dan kemampuan pemecahan masalah yang beragam pula. Teknik pengumpulan data

pada penelitian ini menggunakan teknik tes dan nontes. Teknik tes menggunakan instrumen

Page 76: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

64

berupa soal pretes dan postes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah. Teknik

nontes menggunakan instrumen berupa lembar angket, observasi, dan catatan lapangan untuk

mengukur kecerdasan majemuk siswa serta penilaian kinerja siswa.

Validasi instrumen pada penelitian ini berupa validitas isi (content validity)

menggunakan expert judgement yang dilakukan oleh 5 orang validator. Instrumen yang

divalidasi terdiri atas (1) instrument tes berupa soal pretes dan postes, (2) instrument nontes

berupa rubrik penilaian kinerja tugas. Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan

CVR (Content Validity Ratio) didapatkan hasil = 1 untuk validasi instrumen tes dan nontes.

Hal ini menunjukkan bahwa instrumen ini valid dan layak digunakan. Instrumen yang sudah

valid selanjutnya diuji reliabilitasnya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Alpha

Cronbach maka diperoleh nilai derajat instrumen tes pemahaman konsep sebesar 0,50 yang

berada pada kategori sedang.

Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan inferensial. Data hasil

angket kecerdasan majemuk, perkembangan kemampuan pemecahan masalah, uji N-Gain

dan penilaian kinerja tugas dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Sementara itu, data

hasil tes kemampuan pemecahan masalah dianalisis menggunakan analisis inferensial.

Analisis inferensial yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik uji-t

berpasangan.

Untuk analisis data kecerdasan majemuk siswa yang diukur melalui skor hasil angket,

kecerdasan siswa dikategorikan menjadi 3 kategori. Skor hasil angket 7-11, termasuk dalam

kategori rendah. Skor hasil angket 12-16, termasuk dalam kategori sedang. Skor hasil angket

17-21, termasuk dalam kategori tinggi. Selain itu, kecerdasan majemuk siswa juga dianalisis

melalui hasil observasi dan catatan lapangan.

Untuk analisis data kemampuan pemecahan masalah siswa diukur melalui presentase

dari hasil pretes dan postes. Kemampuan pemecahan masalah siswa dikategorikan menjadi 5

kategori. Untuk persentase 0-20, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori

belum berkembang. Untuk persentase 21-40, kemampuan pemecahan masalah siswa

termasuk kategori sedikit berkembang. Untuk persentase 41-60, kemampuan pemecahan

masalah siswa termasuk kategori berkembang. Untuk persentase 61-80, kemampuan

pemecahan masalah siswa termasuk kategori sudah berkembang baik. Untuk persentase 81-

100, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori berkembang sangat baik.

Untuk uji N-Gain dianalisis dengan menghitung hasil pretes dan postes melalui rumus

g faktor. Untuk hasil perhitungan kurang dari 0,30, peningkatan hasil tes siswa termasuk

kriteria rendah. Untuk hasil perhitungan 0,30-0,70, peningkatan hasil tes siswa termasuk

kriteria sedang. Untuk hasil perhitungan lebih dari 0,70, peningkatan hasil tes siswa termasuk

kriteria tinggi. Sementara itu, untuk analisis data penilaian kinerja tugas siswa digunakan

rubrik sebagai panduan penilaian.

Tabel 2. Rubrik Penilaian Kinerja

Skor Kemampuan Pemahaman

Tugas

Ketepatan Melaksanakan

Tugas

Kemampuan

Menyelesaikan Tugas

1 Siswa mempunyai

pemahaman yang jelas

tentang maksud tugas yang

diberikan.

Siswa mampu melaksanakan

tugas sesuai dengan instruksi

yang diberikan tanpa

membutuhkan bantuan.

Siswa mampu

menyelesaikan tugas

dengan sangat baik dimana

hasil pekerjaan 81-100%

benar.

2 Siswa membutuhkan

sedikit bantuan untuk

memahami tujuan

pemberian tugas serta

mengorganisasi kerjanya.

Siswa mampu melaksanakan

tugas sesuai dengan instruksi

yang diberikan dengan

membutuhkan sedikit

bantuan.

Siswa mampu

menyelesaikan tugas

dengan baik dimana hasil

pekerjaan 61-80% benar.

3 Siswa membutuhkan

bantuan secukupnya untuk

memahami tujuan

Siswa kurang mampu

melaksanakan tugas sesuai

dengan instruksi yang

diberikan.

Siswa mampu

menyelesaikan tugas

dengan cukup baik dimana

Page 77: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

65

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Collaborative Problem Solving

(CoPS) terintegrasi kecerdasan majemuk dalam upaya mengetahui perbedaan kemampuan

pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.

Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum dan sesudah

pembelajaran, dilakukan pretes dan postes tentang materi larutan penyangga. Berdasarkan

data yang diperoleh, rata-rata hasil postes lebih tinggi daripada rata-rata hasil pretes.

Peningkatan rata-rata nilai tes mencapai 47,50%. Hal tersebut menyiratkan bahwa terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.

Tabel 3. Rata-Rata Nilai Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Nilai Pretes Postes

Terendah 1 41

Tertinggi 44 84

Rata-Rata 24,80 69,69

Data tersebut juga didukung dengan data hasil uji N-Gain. Berdasarkan perhitungan,

rata-rata N-Gain yang diperoleh adalah 0,60 dan termasuk dalam kategori N-Gain sedang.

Hal tersebut menunjukkan adanya kontribusi model pembelajaran CoPS terintegrasi

kecerdasan majemuk terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa. Sementara itu,

berdasarkan data perkembangan kemampuan pemecahan masalah siswa, setelah

pembelajaran menggunakan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk kemampuan

pemecahan masalahnya meningkat signifikan. Kemampuan siswa sudah berada pada

kategori “berkembang”, “sudah berkembang baik”, “berkembang sangat baik”. Ini

dikarenakan aktivitas model yang digunakan berorientasi pada pemecahan masalah yang

melatih dan membiasakan siswa dalam menyelesaikan suatu pemecahan masalah. Dengan

melatih dan membiasakan siswa dalam menyelesaikan suatu pemecahan masalah pada saat

pembelajaran, tentunya kemampuan pemecahan masalah siswa akan teraktifkan dan

berkembang secara optimal.

Peningkatan nilai rata-rata hasil tes dan perkembangan kemampuan pemecahan siswa

yang signifikan mungkin juga disebabkan oleh adanya salah satu kecerdasan dari kecerdasan

majemuk yang juga meningkat yaitu kecerdasan logika matematika. Menurut Uno & Kuadrat

(2009) , kecerdasan logika matematis meliputi kemampuan matematis seperti bekerja dengan

angka, berhitung, geometri atau aritmatika, dan kemampuan berlogika yang melibatkan

banyak komponen seperti perhitungan matematis, berpikir logis, pemecahan masalah, serta

ketajaman pola dan hubungan. Dengan demikian, peningkatan kecerdasan logika matematis

yang terjadi karena aktivitas model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini

juga memberi kontribusi dalam meningkatkan hasil postes dan kemampuan pemecahan

masalah siswa.

pemberian tugas serta

mengorganisasi kerjanya.

hasil pekerjaan 41-60%

benar.

4 Siswa banyak tergantung

pada bantuan dan

dukungan agar mampu

memahami tujuan

pemberian tugas serta

mengorganisasi kerjanya.

Siswa kurang mampu

melaksanakan tugas sesuai

dengan instruksi yang

diberikan walaupun dengan

membutuhkan bantuan.

Siswa mampu

menyelesaikan tugas

dengan kurang baik

dimana hasil pekerjaan 21-

40% benar.

5 Tidak memahami tujuan

pemberian tugas serta tidak

mampu mengorganisasi

kerjanya walaupun dengan

bantuan.

Siswa tidak mampu

melaksanakan tugas yang

diberikan.

Siswa menyelesaikan tugas

kurang baik dimana hasil

pekerjaan hanya 1-20%

benar.

Page 78: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

66

Kemampuan pemecahan masalah siswa berbeda-beda pada setiap indikator materi

larutan penyangga, namun tetap menunjukkan adanya peningkatan. Pencapaian kemampuan

pemecahan masalah perindikator larutan penyangga ini dilihat melalui hasil pretes dan

postes. Nilai maksimum untuk setiap indikator adalah 25. Indikator materi larutan penyangga

ada 4, yaitu: (1) siswa dapat mengidentifikasi komposisi larutan penyangga dan

pembuatannya, (2) siswa dapat menentukan pH larutan penyangga, (3) siswa dapat

menjelaskan prinsip kerja larutan penyangga, (4) siswa dapat menganalisis fungsi larutan

penyangga dalam kehidupan.

Gambar 1. Rata-Rata Nilai Kemampuan Pemecahan Masalah (KPM) Siswa terhadap Indikator Materi

Larutan Penyangga

Secara umum kemampuan pemecahan masalah siswa mengalami peningkatan yang

baik, namun nilainya belum ada yang sempurna. Pada indikator 1, banyak siswa yang kurang

dalam menjalankan rencana penyelesaian. Pada indikator 2, banyak siswa yang kurang teliti

dalam menjalankan rencana seperti tidak menghitung konsentrasi secara benar. Pada

indikator 3, nilai KPM siswa cukup rendah dikarenakan sebagian besar siswa belum dapat

memahami secara benar masalah yang terdapat pada indikator 3 ini. Pada indikator 4, saat

pretes kemampuan pemecahan masalah siswa belum muncul dan teraktifkan sehingga siswa

perlu waktu yang cukup banyak untu menyelesaikan soal sebelumnya. Namun, saat postes

kemampuan pemecahan masalah siswa sudah teraktifkan karena siswa sudah terbiasa dalam

menyelesaikan soal pemecahan masalah sehingga nilai rata-rata KPM indikator 4 ini yang

peningkatannya paling besar.

Pencapaian peningkatan tersebut dikarenakan aktivitas dari model CoPS dengan

adanya pembiasaan pengerjaan soal-soal berorientasi pemecahan masalah setiap indikator

pada setiap pertemuannya. Dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah, siswa juga

dinilai kinerja tugasnya. Penilaian kinerja tugasnya berfungsi mengukur kemampuan

pemecahan masalah siswa dengan pemahaman materi pada setiap indikator tanpa harus

menunggu pembelajaran berakhir (Stiggins, 1994). Jika nilai kinerja tugas siswa tinggi

namun nilai kemampuan pemecahan masalahnya rendah, hal ini menandakan siswa tersebut

memahami cara atau langkah-langkah memecahkan masalah tetapi belum menguasai materi

pada indikator tersebut.

Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah siswa pada setiap pertemuannya

berbeda-beda. Pada pertemuan ke-2 nilai kemampuan pemecahan masalah siswa menurun.

Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan siswa terhadap materi terdahulu yaitu materi

larutan asam basa, sehingga siswa masih sedikit keliru dalam membedakan larutan asam dan

basa. Menurut teori belajar Ausubel (Siregar & Nara, 2014), pengetahuan terdahulu itu

penting dalam proses belahar agar dapat lebih bermakna dan kurangnya pengetahuan

terdahulu akan mempengaruhi proses belajar selanjutnya. Penurunan nilai kemampuan

11,39 11,06

2,36

0,00

19,81

23,06

12,03

14,78

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4

Rat

a-R

ata

KP

M S

isw

a

Indikator Materi Larutan Penyangga

Pretes Postes

Page 79: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

67

pemecahan masalah siswa juga terjadi pada pertemuan ke-4, dikarenakan siswa belum

menguasai tentang penambahan sedikit larutan asam dan basa pada larutan penyangga.

Berdasarkan penilaian hasil kinerja tugas siswa, kemampuan siswa dalam memahami

tugas dan melaksanakan tugas mengalami perkembangan pada setiap pertemuannya. Pada

pertemuan pertama, siswa masih banyak yang bertanya dan diberikan arahan dalam

mengerjakan tugas yang diberikan. Pada pertemuan terakhir, hampir semua siswa sudah

dapat mengerjakan tugas secara mandiri. Untuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan

tugas mengalami kenaikan dan penurunan pada setiap pertemuannya, karena skornya

disesuaikan dengan nilai kemampuan pemecahan masalah siswa.

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kemampuan Pemecahan Masalah (KPM) dan Penilaian Kinerja Tugas

Siswa pada Setiap Pertemuan

Pertemuan Ke-

Rata-Rata Penilaian Kinerja Tugas

Nilai Kemampuan Kemampuan Kemampuan

KPM Memahami Melaksanakan Menyelesaikan

Siswa Tugas Tugas Tugas

1 40,69 3 3 3

2 31,61 3 3 2

3 58,08 3 4 4

4 31,08 4 4 2

5 62,42 4 4 4

Berdasarkan hasil uji hipotesis, terdapat perbedaan kemampuan pemecahan

masalah siswa yang signifikan sebelum dan sesudah pembelajaran sehingga hipotesis yang

diajukan peneliti dapat terjawab. Dapat dikatakan bahwa model CoPS terintegrasi kecerdasan

majemuk efektif dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah siswa melalui soal-soal pemecahan masalah yang diberikan pada setiap pertemuan

dalam penelitian ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis inferensial tes kemampuan

pemecahan masalah dengan menggunakan uji-t berpasangan. Berdasarkan data hasil

perhitungan uji-t menggunakan Microsoft Excel 2013 pada Lampiran 44, thitung > ttabel

sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyatakan terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang signifikan sebelum dan sesudah

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan

majemuk pada materi larutan penyangga diterima.

Untuk mengetahui perbedaan kecerdasan majemuk siswa sebelum dan sesudah

pembelajaran, penelitian ini menggunakan tes kecerdasan majemuk berupa angket. Angket

disebar ketika sebelum dan sesudah pembelajaran. Angket sebelum pembelajaran juga

berfungsi untuk membagi siswa menjadi beberapa kelompok belajar sesuai kecerdasan

dominan siswa (kelompok homogen). Kelompok ini bertujuan agar siswa merasa nyaman dn

tidak terbebani ketika belajar karena siswa belajar sesuai kecerdasan yang dimilikinya

sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya (Chen, 2005; Heming, 2008).

Berdasarkan hasil tes kecerdasan majemuk yang diberikan sebelum dan sesudah

pembelajaran, penggunaan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini berkontribusi

dalam meningkatkan kecerdasan siswa yang masih lemah dn mengembangkan kecerdasan

siswa yang sudah kuat. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa siswa yang

kecerdasannya ketika di tes sebelum pembelajaran masih lemah, namun setelah

pembelajaran skor dari kecerdasan tersebut meningkat melampaui kecerdasan lain sehingga

kecerdasan tersebut menjadi kecerdasan yang dominan. Akan tetapi, kecerdasan dominan

sebelum pembelajaran dan kecerdasan lain juga tetap berkembang dikarenakan adanya

peningkatan skor dari kecerdasan-kecerdasan tersebut. Sependapat dengan Nainggolan

(2013) yang menyatakan bahwa penerapan strategi kecerdasan majemuk dalam

pembelajaran dapat mengoptimalkan seluruh kecerdasan siswa baik yang masih lemah

maupun sudah kuat.

Page 80: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

68

Tabel 5. Hasil Angket Sebelum dan Sesudah Pembelajaran

Kecerdasan Sebelum Pembelajaran Sesudah Pembelajaran

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Intrapersonal 16 siswa 44,44% 16 siswa 44,44%

Interpersonal 6 siswa 16,67% 4 siswa 11,11%

Logika Matematis 4 siswa 11,11% 7 siswa 19,44%

Naturalis 2 siswa 5,56% 3 siswa 8,33%

Spasial 3 siswa 8,33% 1 siswa 2,78%

Linguistik 2 siswa 5,56% 1 siswa 2,78%

Musikal 1 siswa 2,78% 1 siswa 2,78%

Kinestetik 2 siswa 5,56% 3 siswa 8,33%

Dilihat dari seluruh kecerdasan, ternyata terdapat beberapa kecerdasan yang

berkembang dengan optimal pada pembelajaran ini, yaitu kecerdasan interpersonal,

intrapersonal, logika matematis dan linguistik. Hal tersebut dikarenakan aktivitas pada model

pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini yang berulang-ulang mengasah

kemampuan siswa dalam bekerja mandiri, berkelompok dan dalam menganalisis soal

pemecahan masalah. Ketika berkelompok dan saling bekerja sama, kecerdasan interpersonal

siswa yang bekerja secara optimal (Maryani, 2013). Pada kemampuan siswa dalam bekerja

mandiri, kecerdasan intrapersonal siswa yang akan bekerja optimal (Armstrong, 2004).

Adapun ketika siswa mengerjakan soal pemecahan masalah dan persentasi, kecerdasan

logika matematis dan linguistik siswa yang akan bekerja (Zulfairanatama & Hadi, 2013;

Rahmawati, 2016).

Sementara itu, untuk kecerdasan musikal, spasial, kinestetik dan naturalis

perkembangannya tidak terlalu optimal. Hal tersebut dikarenakan kecerdasan-kecerdasan

tersebut kurang peka terhadap aktivitas dari model pembelajaran CoPS terintegrasi

kecerdasan majemuk. Kecerdasan musikal akan berkembang secara optimal jika sebagian

besar aktivitas pembelajaran menggunakan alat musik sebagai media (Anas, 2016).

Kecerdasan spasial berkembang secara optimal jika dalam pembelajaran siswa diberikan

latihan terus-menerus yang berfokus pada bentuk-bentuk geometri, benda dalam ruang,

hubungan bentuk dan ukuran benda (Rosidah, 2014). Kecerdasan kinestetik berkembang

optimal jika dalam pembelajaran siswa diberikan kegiatan fisik seperti kegiatan

ekstrakurikuler dan olahraga (Mu'arofah, 2006). Kecerdasan naturalis berkembang secara

optimal jika sebagian besar aktivitas pembelajaran dilakukan dengan membawa siswa belajar

di luar kelas (alam) atau membawa alam ke dalam kelas (Armstrong, 2004).

Berdasarkan hasil tes kecerdasan majemuk yang dibagikan sebelum dan sesudah

pembelajaran, secara umum seluruh kecerdasan dapat mengurangi jumlah siswa yang berada

pada kategori “rendah” dan menambah jumlah siswa yang berada pada kategori “tinggi”

setelah pembelajaran berlangsung. Ini artinya jumlah siswa yang kecerdasannya berkembang

semakin meningkat.

Tabel 6. Kategori Kecerdasan Majemuk Siswa Sebelum dan Sesudah Pembelajaran

Kecerdasan Tes Rendah Sedang Tinggi

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Linguistik Pretes 10 27,78% 22 61,11% 4 11,11%

Postes 8 22,22% 22 61,11% 6 16,67%

Logika

Matematis

Pretes 17 47,22% 14 38,89% 5 13,89%

Postes 12 33,33% 15 41,67% 9 25,00%

Musikal Pretes 14 38,89% 17 47,22% 5 13,89%

Postes 8 22,22% 24 66,67% 4 11,11%

Page 81: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

69

Spasial Pretes 13 36,11% 17 47,22% 6 16,67%

Postes 17 47,22% 11 30,56% 8 22,22%

Kinestetik Pretes 4 11,11% 26 72,22% 6 16,67%

Postes 3 8,33% 25 69,44% 8 22,22%

Interpersonal Pretes 5 13,89% 23 63,89% 8 22,22%

Postes 4 11,11% 22 61,11% 10 27,78%

Intrapersonal Pretes 2 5,56% 18 50,00% 16 44,44%

Postes 2 5,56% 18 50,00% 16 44,44%

Naturalis Pretes 9 25,00% 20 55,56% 7 19,44%

Postes 7 19,44% 24 66,67% 5 13,89%

Hasil tersebut berkesinambungan dengan jumlah skor kecerdasan majemuk siswa

secara keseluruhan. Terdapat penurunan jumlah siswa yang berada pada skor 91-110,

sementara pada skor 111-130 mengalami peningkatan. Pada skor 131-150, jumlah siswa

tetap saja namun skor masing-masing siswa meningkat.

Tabel 7. Skor Kecerdasan Majemuk Siswa Keseluruhan

Skor Sebelum Pembelajaran Sesudah Pembelajaran

Jumlah Siswa % Jumlah Siswa %

91-100 11 30,56% 10 27,78%

101-110 11 30,56% 7 19,44%

111-120 6 16,67% 8 22,22%

121-130 6 16,67% 9 25,00%

131-140 1 2,78% 1 2,78%

141-150 1 2,78% 1 2,78%

Berkembangnya seluruh kecerdasan ini sejalan dengan hasil observasi dan catatan

lapangan. Berdasarkan hasil observasi, hampir 39,72% kecerdasan interpersonal siswa

sangat tampak ketika pembelajaran. Sementara itu, untuk kecerdasan intrapersonal sebanyak

30% kecerdasan intrapersonal yang tampak ketika proses pembelajaran berlangsung. Untuk

kecerdasan logika matematis, sebanyak 17,39% kecerdasan logika matematis siswa yang

tampak pada proses pembelajaran. Adapun untuk kecerdasan linguistik, sebesar 16,72%

kecerdasan linguistik siswa dapat terlihat selama proses pembelajaran. Berdasarkan hasil

catatan lapangan, kegiatan yang paling banyak dilakukan siswa adalah kegiatan yang

merujuk pada kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Hal tersebut dikarenakan aktivitas

dari model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk menuntun siswa banyak

melakukan kegiatan individual dan sosial. Sejalan dengan hasil penelitian Campbell (2006)

yang menyatakan bahwa pembelajaran yang berbasis kecerdasan majemuk akan

meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa.

Penggunaan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini dapat

menjadi salah satu alternatif untuk menjawab penelitian yang dilakukan oleh Winarti (2015).

Penggunaan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini, tidak hanya

dapat membantu siswa dalam mengembangkan kecerdasan yang sudah kuat seperti

kecerdasan intrapersonal dan interpersonal saja, namun juga membantu siswa dalam

meningkatkan kecerdasan siswa yang masih lemah seperti kecerdasan linguistik dan logika

matematis. Oleh karena itu, model ini dirasa cocok dengan siswa serta membuat siswa

merasa senang ketika belajar, merasa kecerdasannya dihargai yang tentunya akan

meningkatkan prestasi siswa.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan

kecerdasan yang dimiliki siswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan model

pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian Winarti, Yuanita, & Nur (2015); Siregar (2013) yang memiliki kesimpulan

model pembelajaran yang mengacu pada teori kecerdasan majemuk efektif dalam

Page 82: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

70

mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan majemuk siswa. Penggunaan dan penerapan

teori kecerdasan majemuk dalam pembelajaran juga dapat menumbuhkembangkan potensi

(kecerdasan) siswa sehingga terdapat perbedaan kecerdasan majemuk siswa sebelum dan

sesudah pembelajaran. Selain itu, penggunaan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk

juga efektif dalam meningkatkan semangat dan motivasi siswa dalam belajar. Hal tersebut

ditunjukkan dengan respon positif dan antusias siswa dalam pembelajaran baik ketika

memasuki pembelajaran, melakukan games ketika apersepsi ataupun mengerjakan LKS

sesuai kecerdasan dominan. Sejalan dengan hasil penelitian Oktavia (2013) yang

menyatakan bahwa pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk menjadikan proses

pembelajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga menumbuhkan minat siswa dalam

belajar.

SIMPULAN

Kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa sebelum

pembelajaran menggunakan model pembelajaran Collaborative Problem Solving (CoPS)

terintegrasi kecerdasan majemuk pada materi larutan penyangga berbeda dengan

kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa sesudah pembelajaran,

sehingga model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk efektif meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa. Keefektifan tersebut

dilihat dari meningkat dan berkembangnya kemampuan pemecahan masalah siswa sesudah

pembelajaran serta kecerdasan majemuk siswa yang masih lemah maupun yang sudah kuat

(dominan). Selain itu, siswa juga menyambut positif pembelajaran menggunakan model

pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk dikarenakan pembelajaran ini disukai

siswa dan menghargai kecerdasan yang dimiliki oleh siswa sehingga dapat meningkatkan

motivasi belajar siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Anas, M. A. (2016). Peningkatan Kecerdasan Musikal dalam Pembelajaran SBK

Menggunakan Alat Musik Angklung pada SIswa Kelas IVB SD Negeri Sinduadi 1.

Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 33(1), 1-7. Armstrong, T. (2004). Sekolah Para Juara. Bandung: KAIFA.

Campbell, L. (2006). Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok:

Instuisi Press.

Chandra, M. L. (2015, Januari 10). Lumbung Pustaka UNY. Diambil kembali dari

http://eprints.uny.ac.iid/22500/

Chen, S. (2005). Cooperative Learning, Multiple Intelligences and Proficiency: Application

in Collage English Language Teaching and Learning. . Perth: Australian Catholic

University.

Gardner, H. (2003). Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences). Batam: Interaksara.

Heming, A. L. (2008). Multiple Intelligences in The Classroom. Kentucky : Western

Kentucky University.

Maryani, K. (2013). Meningkatkan Kecerdasan Interpersonal Melalui Entrepreneurship

Anak Usia 5-6 Tahun. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 7(2), 8-15.

Mu'arofah, R. (2006). Pengembangan Kecerdasan Kinestetik Melalui Kegiatan

Ekstrakurikuler Bulutangkis di MI Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten

Cilacap. Purwokerto: IAIN Purwokerto.

Muslim, M. (2015). Model Problem Solving dan Keterampilan Memecahkan Masalah.

Seminar Nasional Pendidikan IPA (hal. 60-64). Banjarmasin: Universitas Lambung

Mangkurat.

Nainggolan, M. (2013). Pengaruh Penerapan Strategi Kecerdasan Majemuk terhadap

Kemampuan Menulis Puisi oleh Siswa Kelas X SMAN 1 Kisaran. Jurnal Basatra,

2(4), 25-33.

Oktavia, Y. (2013). Perbandingan Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences dengan

Pembelajaran Konvensional Ditinjau dari Hasil Belajar Biologi di SMPN 2

Page 83: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

71

Kartasura Kabupaten Sukoharjp. Surakarta: Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Pendidikan, B. S. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah:

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: Badan Standar

Nasional Pendidikan.

Polya, G. (1973). How to Solve It - A New Aspectof Mathematical Method. New Jersey:

Princeton University Press.

Pratiwi, G. (2014). Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa pada Konsep

Pencemaran Lingkungan. Lampung: Universitas Lampung.

Rahmawati, K. (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Linguistik. Jurnal

Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 3(1), 1-7.

Rosidah, L. (2014). Peningkatan Kecerdasan Visual Spasial Anak Usia Dini Melalui

Permainan Maze. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 8(2), 7-13.

Sari, J. (2016). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Collaborative

Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

SMP. Bandung: Universitas Pasundan.

Siregar, E., & Nara, H. (2014). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.

Siregar, L. M. (2013). Penerapan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk dalam

Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di Sekolah Dasar Islam Terpadu Bunayya

PAdangsidimpuan. Medan: Universitas UIN Sumatera Utara.

Stiggins, R. J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: MAcmillan

Publishing Company.

Thobroni, M., & Arif, M. (2010). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Uno, B. H., & Kuadrat, M. (2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta:

Bumi Aksara.

Winarti, A. (2015). Gambaran Kecerdasan Majemuk Siswa SMP dam SMA di Kota

Banjarmasin serta Hubungannya dengan Usia dan Jenis Kelamin. Seminar Nasional

Pendidikan Sains (hal. 899-904). Surabaya: Pascasarja Universitas Surabaya.

Winarti, A., Yuanita, L., & Nur, M. (2015). Pengembangan Model Pembelajran "CERDAS"

Berbasis Multiple Intelligences pada Pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan, 45(1),

1-8.

Zulfairanatama, G., & Hadi, S. (2013). Kecerdasan Logika-Matematika Berdasarkan

Multiple Intelligences terhadap Kemampuan Matematika Siswa SMP di

Banjarmasin. Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1), 1-8.

Page 84: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

72

MENINGKATKAN SOFT SKILLS DAN HASIL BELAJAR

MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM

SOLVING PADA PEMBELAJARAN STOIKIOMETRI DI KELAS X MIA

3 SMA NEGERI 6 BANJARMASIN

Improve Soft Skills And Learning Outcomes Thru Creative Problem Solving

Model On Learning Stoichiometry In Class X MIA 3 SMA Negeri 6

Banjarmasin

Iriani Bakti1, Arif Sholahuddin1 , Siti Jainab1*

1Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,

Indonesia

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan (1) aktivitas siswa, (2) soft

skills siswa yang terdiri atas keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan

kepemimpinan, kekuatan kerja tim dan keterampilan berpikir memecahkan

masalah (3) hasil belajar pada materi stoikiometri, dan (4) respon siswa. Penelitian

ini dilaksanakan di SMA Negeri 6 Banjarmasin dengan subjek penelitian adalah

siswa kelas X MIA 3 yang berjumlah 31. Rancangan penelitian ini menggunakan

penelitian tindakan kelas (PTK). Instrumen yang diigunakan dalam penelitian

berupa tes dan non tes, dengan teknik analaisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan (1) aktivitas siswa dari 58,38%

menjadi 75,37%, (2) soft skills siswa dari 61,9% menjadi 79,09%, (3) hasil belajar

stoikiometri secara klasikal sebesar 74,19% menjadi 87,09% dan (4) respon siswa

menggunakan model pembelajaran CPS menunjukan respon positif.

Kata kunci: Creative problem solving, soft skills, hasil belajar, stoikiometri

Abstract. This research aimed to improve (1) student activity, (2) soft skills of

students consisting of mathematical communication skills, leadership skills,

teamwork and problem solving thinking skills (3) learning outcomes in

stoichiometric materials, and (4) student responses. The subjects of this research

were students of class X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin amounted to 31 Peoples.

The design of this research using classroom action research (PTK). The

instruments used in the research are test and non test, with quantitatively

descriptive and qualitatively descriptive technique. The result showed that there

was an increase of (1) student activity from 58,38% (moderate) in to 75,37%

(good), (2) happened soft skills of student from 61,9% To be 79.09% (good), (3)

there was an increase in stoichiometric learning outcomes by 74.19% to 87,09%

and (4) student response using CPS learning model showed positive response.

Keywords: Creative problem solving, soft skills, study result, stoichiometric.

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam proses pembangunan. Proses

pendidikan erat kaitannya dengan proses pembangunan dan bertujuan untuk

mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk membuat sumber daya yang

berkualitas diperlukan beberapa keterampilan yang harus dimiliki seseorang yakni: hard

skills dan soft skills. Dewasa ini pendidikan di berbagai sekolah lebih mementingkan hard

skills dibanding dengan soft skills.

Soft skill adalah keterampilan yang ada dalam diri seseorang, yang erat kaitannya

dengan orang lain dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri. Kegiatan berbasis

proses pembelajaran (intrakurikuler) dan kegiatan kesiswaan (ekstrakulikuler) yang

dilakukan dapat mengembangkan soft skill dalam diri seseorang. Namun faktanya hanya

Page 85: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

73

beberapa siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sehingga tidak banyak siswa yang

memiliki tingkat soft skill yang tinggi. Pengembangan soft skills secara intrakurikuler yakni

melalui kegiatan belajar di dalam kelas memerlukan kreativitas guru dengan tetap

mengacu pada indikator-indikator pencapaian suatu pembelajaran.

Berdasarkan pengamatan lapangan pada saat melakukan PPL di SMA Negeri 6

Banjarmasin, ditemukan beberapa kelemahan dalam proses pembelajaran, seperti (1)

umumnya siswa cenderung belajar, bekerja secara sendiri (2) proses komunikasi rendah, (3)

tidak disiplin, dan (4) ketidakjujuran mengerjakan tugas. Hal tersebut mengindikasi bahwa

soft skills siswa masih rendah.

Soft skill rendah juga berdampak pada menghambatnya pencapaian puncak prestasi

akademiknya dimana prestasi akademik ini adalah hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil

wawancara dengan guru pengajar dikatakan bahwa hasil belajar siswa 2 tahun terakhir

persentase kelulusan pada materi stoikiometri dalam indikator yang cukup baik dengan

kisaran 37% dari total seluruh siswa kelas X, dengan KKM sebesar 75. Djamarah (2011)

menyatakan guru mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran maupun

meningkatkan soft skills siswa. Hasil belajar rendah juga disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya kurang antusiasnya siswa, dan siswa berpendapat mengenai proses pembelajaran

kimia sulit dan model pembelajaran yang digunakan adalah model konvensional. Sehingga

siswa merasa kurang tertarik mengikuti proses pembelajaran.

Bentuk-bentuk pembelajaran partisipatif dengan menerapkan metode belajar aktif dan

belajar bersama sangat diperlukan dalam mengembangkan soft skills siswa karena didalam

pembelajaran aktif secara tidak langsung siswa dapat mengembangkan soft skills yang

mereka miliki. Pembelajaran aktif dimaksudkan untuk mengembangkan penggunaan soft

skills siswa sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan.

Ada banyak model dalam melaksanakan pembelajaran aktif yang dapat diterapkan,

salah satunya adalah model CPS. Model CPS ini adalah model yang menekankan pada kerja

kelompok yang memusatkan pada pembelajaran dan keterampilan pemecahan masalah yang

diikuti dengan penguatan keterampilan. Hal tersebut sejalan dengan aspek soft skills dimana

dalam proses pembelajaran banyak melibatkan keterampilan diantaranya keterampilan

kepemimpinan, keterampilan berkomunikasi, keterampilan berpikir dalam memecahkan

masalah serta kekuatan kerja tim.

Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk meningkatkan soft skills, aktivitas siswa

dan hasil belajar siswa dengan melakukan penelitian tindakan kelas pada materi stoikiometri

dengan menerapkan model pembelajaran CPS serta juga mengetahui respon siswa terhadap

peggunaan model pembelajaran CPS.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudiana (2012) peneliti berencana

melanjutkan penelitian yang disarankan dengan memperluas aspek soft skills yakni dengan

menggunakan empat aspek yaitu: keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan

berpikir memecahkan masalah, keterampilan kepemimpinan dan kekuatan kerja tim.

Menurut penelitian tersebut penerapan model pembelajaran kooperatif dapat memberikan

hasil yang optimal jika aspek soft skills diperluas, serta peneliti juga membatasi model

pembelajaraan kooperatif karena dilihat dari banyaknya jenis model pembelajaran kooperatif

yakni peneliti berencana menggunakan model pembelajaran CPS yang mengacu pada

penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2015) dengan menggunakan model pembelajaran

CPS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, hasil belajar dan aktivitas siswa.

Peneliti juga menggunakan penellitian yang dilakukan oleh Mawaddah dan Annisah

(2015) dan penelitian yang dilakukan oleh Purwati (2015) sebagai acuan dari perluasan aspek

soft skills yang diteliti yakni aspek soft skills keterampilan berkomunikasi matematis. Selain

itu, peneliti juga beracuan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Alwathoni (2015) bahwa

dengan penggunaan model learning cycle 5E dapat meningkatkan aktivitas dan keterampilan

berkomunikasi matematis. Keterampilan berkomunikasi matematis juga merupakan hasil

perluasan aspek soft skills yang diteliti. Selain itu penelliti juga mengacu pada model

pembelajaran learning cycle 5E yang sifatnya sama dengan model pembelajaran CPS yakni

bersifat kooperatif.

Page 86: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

74

Penelitian yang dilakukan merupakan penetlitian tindakan kelas (PTK) dengan tujuan

untuk memperbaiki kualitas proses (soft skills dan aktivitas siswa) serta hasil belajar. Aspek

soft skills yang diteliti dalam penelitian ini adalah keterampilan berkomunikasi matematis,

keterampilan kepemimpinan, kekuatan kerja tim, dan keterampilan berpikir memecahkan

masalah. Hasil belajar yang diukur dalam penelitian ini adalah hasil belajar ranah

pengetahuan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas

dengan subjek penelitian adalah kelas X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin. Proses

pelaksanaan penelitian dilakukan ±5 bulan dari pembuatan proposal sampai dengan

pembuatan laporan skripsi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes

dan angket. Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini adalah silabus, RPP, LKPD,

lembar penelilaian. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan non tes. Instrument

tes terdiri dari evaluasi hasil belajar stoikiometri siswa dan evaluasi keterampilan berpikir

memecahkan masalah. Sedangkan instrumen non tes terdidri dari lembar observasi aktivitas

siswa, lembar observasi soft skills siswa dan angket respon siswa terhadap penggunaan

model pembelajaran CPS yang digunakan. Penilaian terhadap aspek pengamatan dalam

lembar observasi menggunakan skala Likert 1-5 dengan berisi 13 butir pengamatan untuk

aktivitas siswa dan 10 butir pengamatan pada soft skills siswa dan respon siswa. Sedangkan

penilaian pada hasil evaluasi untuk hasil belajar ranah pengetahuan didasarkan atas KKM

sekolah yakni jika ≤ 75 dikatakan tidak tuntas dan ≥ 75 tuntas. Selain pada lembar observasi

soft skills siswa, juga turut digunakan tes keterampilan berpikir memecahkan masalah.

Analisis tes keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa berdasarkan hasil tes tertulis

soal essay terdiri dari 2 soal dengan penyelesaian soal menggunakan langkah-langkah model

pembelajaran CPS yang diberikan disetiap akhir siklus dan diberi skor sesuai dengan tingkat

pemahaman siswa dalam menjawab soal.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

AKTIVITAS SISWA

Aktivitas merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperlihatkan dalam proses

pembelajaran aktivitas siswa sangat diperlukan untuk meningkatkan rasa ingin tahu serta

untuk melahirkan motivasi yang tinggi terhadap materi pelajaran yang diberikan guru. Proses

pembelajaran siklus I menunjukan aktivitas siswa berada pada kategori cukup aktif dengan

skor rata-rata 37,95. Aktivitas siswa berada pada kategori cukup dikarenakan beberapa hal

yakni siswa merasa kurang termotivasi untuk belajar dengan cara model CPS, siswa masih

belum bisa memahami permasalahan yang diangkat dari bahan ajar, siswa belum terlibat

aktif dalam diskusi kelompok, siswa masih belum terbiasa mempresentasikan hasil

diskusinya di depan kelas. Keadaan tersebut dapat terjadi karena guru belum bisa memotivasi

siswa secara penuh untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran

sehingga perlunya perbaikan dari guru. Menurut Djamarah dan Zain (2013) menjelaskan

bahwa aktivitas yang dilakukan dapat menentukan hasil belajar.

Diterapkannya model pembelajaran CPS sebagai pembelajaran baru juga membuat

siswa merasa bingung, hal ini disebabkan siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang

dilakukan oleh peneliti karena siswa biasanya hanya diberikan materi oleh guru sehingga

siswa kurang aktif / terlihat pasif baik dalam diskusi kelompok ataupun individu. Hal ini

menyebabkan banyak waktu yang diperlukan untuk menjawab permasalahan karena hanya

beberapa siswa yang bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Faizah (2013) bahwa apabila siswa belum terbiasa dengan model

yang diterapkan dalam penelitian, membutuhkan waktu yang cukup lama dalam

menyelesaikan diskusi antar kelompok karena siswa masih beradaptasi dengan pembelajaran

yang digunakan. Hal-hal yang belum optimal pada aktivitas siswa dalam pembelajaran

disiklus I diperbaiki pada siklus berikutnya.

Pada siklus II aktivitas siswa berada pada kategori aktif dengan skor rata-rata dari

hasil penilaian observer sebesar 48,99. Berdasarkan hasil perhitungan penilaian observer

Page 87: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

75

pada siklus II menyatakan bahwa aktivitas siswa mengalami peningkatan karena adanya

perbaikan dalam cara mengajar guru yang mempengaruhi aktivitas siswa. Perbaikan

terhadap kekurangan yang terjadi pada siklus I dan diterapkan pada siklus II. Dengan

meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi hukum-hukum dasar kimia khususnya

mengidentifikasi suatu hukum dasar, selain itu pada pengoprasian hitung matematika guru

memberikan soal-soal latihan lebih banyak, guru bertukar pikiran dengan siswa mengenai

proses pembelajaran yang dilakukan guru sebagai pertimbangan guru untuk memperbaiki

proses pembelajaran. Selain itu, guru juga memberikan bimbingan belajar diluar jam

pelajaran kimia. Guru juga lebih meningkatkan dan mengarahkan siswa dalam menekankan

keterampilan berpikir memecahkan masalah, memacu siswa untuk aktif dalam kegiatan

pembelajaran dan lebih membimbing siswa yang pasif dengan menempatkan ditempat duduk

dekat dengan guru agar guru lebih mudah mengawasi.

Selain itu juga dengan dijelaskannya secara rinci model pembelajaran yang

digunakan, siswa merasa terbiasa dengan soal berupa permasalahan yang dipecahkan melalui

pembelajaran, percobaan maupun diskusi kelompok. Siswa lebih aktif berdialog dan

mengeluarkan pendapat saat kegiatan diskusi berlangsung baik dengan guru maupun dengan

teman sekelompok karena guru lebih mengupayakan agar siswa yang terlihat pasif dapat ikut

berpartisipasi dalam proses pembelajaran yang diterapkan guru. Suasana dalam model

pembelajaran CPS menuntut siswa aktif

Ziqri dan Supriyanto (2014) menyatakan bahwa melalui penerapan model

pembelajaran CPS pada materi pernapasan dapat meningkatkan aktivitas siswa dan

menunjukan aktivitas yang tinggi. Peningkatan keaktifan siswa terjadi karena setiap siswa

sudah memiliki tanggung jawab terhadap tugasnya dan bekerjasama bersama kelompoknya,

dalam hal bekerjasama siswa menggerakkan fisik, panca inderanya seperti dalam hal

berkomunikasi, membuat semua anggota tubuh dan juga pikirannya ikut terlibat dalm proses

pembelajaran. Menurut Dave Meier (Rusman, 2014) belajar dengan menggunakan semua

panca indera menjadikan pembelajaran bermakna. Sesuai dengan penelitian Asikin dan

Pujiadi (2008) yang menyatakan pada penggunaan model CPS membuat siswa aktif dalam

kelas. Peningkatan skor rata-rata aktivitas siswa dapat dilihat pada pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil observasi aktivitas siswa

Berdasarkan Gambar 1 terlihat peningkatan pada proses pembelajaran. Aktivitas

siswa pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS meningkat dan

berada dalam kategori aktif. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Aulia (2015)

mengatakan bahwa melalui penerapan model pembelajaran CPS siswa menjadi lebih aktif

dalam proses pembelajaran.

SOFT SKILLS

Penilaian aspek soft skills pada siswa dilakukan pada setiap kali pertemuan yang

ditujukan untuk mengetahui keterampilan-keterampilan siswa berdasarkan lembar observasi

yang berkaitan dengan perilaku yang ada dalam diri seseorang dengan keterampilan dalam

berhubungan dengan orang lain. Keterampilan-keterampilan yang dinilai yakni:

keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan berpikir dan meyelesaikan masalah,

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2

Sk

or

Rata

-rata

(%

)

Siklus ke-

Page 88: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

76

keterampilan kepemimpinan dan kekuatan kerja tim.

Keterampilan-keterampilan yang dinilai terbagi lagi atas beberapa indikator adapun

indikator yang dinilai dalam keterampilan berkomunikasi matematis yaitu: mengungkapkan

gagasan, menggunakan pendekatan bahasa matematis, dan menggunakan representasi

matematika. Indikator yang dinilai dalam kekuatan kerja tim adalah kerjasama dan

keterbukaan terhadap individu lain. Indikator yang dinilai pada keterampilan kepemimpinan

adalah mampu mempengaruhi dan memberi inspirasi. Indikator yang digunakan untuk

menilai keterampilan berpikir memecahkan masalah adalah identifikasi masalah,

pembatasan masalah, penentuan alternatif masalah serta kesimpulan. Dari hasil observasi

yang dilakukan diperoleh peningkatan rata-rata skor soft skills siswa dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2 Hasil observasi soft skills siswa siklus I dan II

Soft skills siswa secara keseluruhan terjadi peningkatan, dimana pada siklus II ini rata-

rata skor soft skills siswa meningkat menjadi 39,27 dengan kategori aktif. Selisih skor soft

skills siswa pada siklus I dan siklus II ini adalah sebesar 8,98. Hal ini terjadi karena adanya

perbaikan dalam cara mengajar guru dan aktivitas siswa sehingga aspek soft skills siswa

berupa perilaku yang ada dalam diri siswa dengan keterampilan dalam berhubungan dengan

orang lain mengalami perubahan yang lebih baik dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini

sejalan dengan penelitian Sudiana (2012) dengan mengimplementasikan model pembelajaran

kooperatif pada pembelajaran kimia dasar dapat meningkatkan soft skills siswa. Peningkatan

ini akan dijelaskan secara mendalam berdasarkan aspek-aspek yang diukur, diantaranya:

1. Keterampilan berkomunikasi matematis

Selain menggunakan lembar observasi pada saat proses pembelajaran, guru juga

menunjang data mengenai kemampuan berkomunikasi matematis yang dilakukan melalui

analisis data terhadap LKPD yang dibagikan kepada setiap kelompok pada saat proses

pembelajaran kemudian kesesuaian hasil kinerja yang ada di LKPD nilainya diakumulasi

pada lembar observasi. Rata-rata nilai LKPD yang tertinggi pada LKPD pertemuan ketiga

siklus II dan nilai rata-rata LKPD terendah pada LKPD pertemuan pertama pada siklus I.

Rendahnya nilai LKPD pada pertemuan pertama siklus I disebabkan siswa belum terbiasa

mengkomunikasikan pemahamannya, namun pada pertemuan selanjutnya siswa sudah mulai

terbiasa. Hal ini menunjukan bahwa materi dikuasi dengan baik. Adapun peningkatan yang

terjadi pada keterampilan berkomunikasi matematis siswa perpertemuan dilihat pada

Gambar 3.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1 2

Sk

or

Rata

-rata

(%

)

Siklus ke-

Page 89: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

77

Gambar 3 Hasil observasi keterampilan berkomunikasi matematis

Ket: 1: Mengungkapkan Gagasan

2: Menggunakan pendekatan bahasa matematis (notasi, lambang, istilah) 3:

Menggunakan representasi matematika (rumus, diagram, tabel, grafik)

Berdasarkan Gambar 3 diatas dari setiap pertemuan untuk keterampilan

berkomunikasi matematis mengalami peningkatan karena siswa semakin terlatih

membangun pengetahuannya. Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan siswa mengalami

kemajuan pada setiap indikator keterampilan berkomunikasi matematis. Dari hasil yang

diperoleh siswa, terlihat sebagian besar siswa sudah dapat memenuhi indikator-indikator

dengan baik. Siswa sudah mampu menyajikan pernyataan matematika melalui gambar

ataupun tulisan, melakukan manipulasi matematika serta memeriksa kebenaran suatu

argumen atau pernyataan, melakukan manipulasi matematika dan menggunakan beberapa

cara untuk mengecek pernyataan yang diberikan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ramelan, Edwin dan Armiyati (2012)

menyatakan bahwa keterampilan berkomunikasi matematis siswa dengan menggunakan

model yang pembelajaran interaktif lebih baik dari pada keterampilan berkomunikasi

matematis menggunakan model konvensional dan penelitian yang dilakukan oleh Alwathoni

(2015) menyatakan bahwa dengan menggunakan model CPS dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematika siswa dalam hitungan kimia. Penelitian yang dilakukan

Kashefi, Ismail dan Yusof (2012) juga membenarkan bahwa pembelajaran yang

menggunakan keterampilan berkomunikasi matematis yang dipadukan dengan model

pembelajaran CPS dapat membantu memberdayakan diri dalam membangun soft skills dan

pengetahuan matematika, selain itu penggunaan keterampilan berkomunikasi matematis

dapat meningkatkan empat kuadran otak yang dimiliki oleh seseorang. Empat kuadran itu

diantaranya: label A (matematika, analitis, pemikiran kritis), B (berurutan, terkontrol, rutin

berpikir), C (pemikiran interpersonal, empati, simbolis), D (imajinatif, visual, pemikiran

konseptual). 2. Kekuatan Kerja tim

Selain keterampilan berkomunikasi matematis, peneliti juga mengukur soft skills

dengan aspek kekuatan kerja tim. Terkadang dalam satu kelompok hanya siswa-siswa

tertentu saja yang mau ikut andil dalam mengerjakan pekerjaan kelompok. Pada penelitian

ini digunakan model pembelajaran CPS yang sifatnya kooperatif, sehingga jika dalam suatu

kelompok/tim ada siswa yang tidak ikut bekerja dapat membuat teman sekelompoknya juga

menerima dampak dari siswa yang tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok selain itu, juga

dapat menghambat proses pembelajaran. Penilaian soft skills pada aspek kekuatan kerja tim

pada setiap kali pertemuan ditujukan untuk mengetahui bagaimana kerjasama serta

keterbukaan siswa terhadap individu lain. Adapun peningkatan soft skills siswa yang terjadi

pada aspek kekuatan kerja tim perpertemuan dilihat pada Gambar 4.

0

1

2

3

4

5

1 2 3

Sk

or

Rata

-rata

Pertemuan 1

Pertemuan 2

Pertemuan 3

Pertemuan 4

Pertemuan 5

Page 90: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

78

Gambar 4. Hasil observasi aspek kekuatan kerja tim

Ket: 1 : Kerjasama

2 : Keterbukaan terhadap individu lain

Berdasarkan Gambar 4, dari setiap pertemuan soft skills pada aspek kekuatan kerja

tim baik itu pada indikator kerjasama ataupun keterbukaan terhadap individu lain sama-sama

mengalami peningkatan. Peningkatan yang paling siginifikan terjadi pada pertemuan 5. Hal

ini terjadi karena adanya perbaikan dalam cara mengajar guru dan aktivitas siswa sehingga

berdampak pada aspek kekuatan kerja tim. Siswa yang mampu bekerjasama serta terbuka

terhadap individu lain dalam hal penguasaan materi pembelajaran lebih baik dalam segala

hal. Siswa yang menguasai materi pembelajaran dengan baik juga dapat membantu temannya

yang kurang dalam hal penguasaan materi. Hal demikian sejalan dengan tujuan pembelajaran

kooperatif yakni proses pembelajaran dinyatakan selesai apabila semua teman dalam satu

kelompok dapat menguasai bahan (Djatmiko,2004).

Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan konsep aspek sosial belajar

menurut vygotsky tentang zone of proximal development (zona perkembangan terdekat).

Dimana dalam proses pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial. Dimana peoses

pembelajaran dapat terjadi melalui interaksi dengan teman sebaya. Bantuan dari teman

sebaya lebih mampu menarik zona perkembangan terdekat dimana proses pembelajaran baru

terjadi (Ibrahim & Nur, 2008). Oakley, dkk (2004) juga menyatakan bahwa interaksi yang

terjadi dalam sebuah kelompok memungkinkan siswa untuk memperdalam pemahaman

mereka tentang konsep baru meskipun didalam kelompok tersebut tidak memiliki siswa yang

ahli. Sejalan dengan itu Srijanti, Purwanto dan Artiningrum (2007) juga menyatakan interaksi

yang terjadi pada sebuah kelompok dapat menciptakan solusi yang lebih baik jika

dibandingkan dengan bekerja sendiri.

3. Keterampilan Kepemimpinan

Keterampilan kepemimpinan merupakan salah satu aspek dari soft skills yang

diukur dalam penelitian ini dengan indikator mampu mempengaruhi dan memberi inspirasi.

Melalui upaya dalam meningkatkan soft skill yang dipadukan dengan model pembelajaran

CPS ini dapat menciptakan lingkungan sosial dalam proses pembelajaran yang berpusat pada

siswa. Terciptanya lingkungan sosial yang baik dapat menghasilkan pembelajaran yang

bermakna selama proses pembelajaran. Keterampilan kepemimpinan ini erat kaitannya

dengan kekuatan kerja tim, dimana kepemimpinan dapat diartikan sebagai

kemampuan/kecerdasan medorong sejumlah orang agar bekerjasama dalam melaksanakan

kegiatan yang terarah (Rivai, 2003) untuk mencapai tujuan bersama. Antara keterampilan

kepemimpinan dengan kekuatan kerja tim merupakan sesuatu yang berhubungan.

Penilaian soft skills pada aspek keterampilan kepemimpinan pada setiap kali

pertemuan ditujukan untuk mengetahui bagaimana siswa dalam mempengaruhi temannya,

baik teman dalam sekelompok ataupun teman diluar kelompok lain. Adapun peningkatan

rata-rata soft skills siswa yang terjadi pada aspek keterampilan kepemimpinan dilihat pada

Gambar 5.

0

2

4

6

1 2

Sk

or

Rata

-rata

Pertemuan 1

Pertemuan 2

Pertemuan 3

Pertemuan 4

Pertemuan 5

Page 91: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

79

Gambar 5. Hasil observasi keterampilan kepemimpinan

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat rata-rata skor siswa pada aspek keterampilan

kepemimpinan meningkat dari pertemuan 1 sampai 5. Hal ini sejalan dengan Bakar, Ishak

dan Abidin (2013) yang menyatakan keterampilan kepemimpinan akan muncul jika

seseorang yang tidak saling berhubungan dimasukan kedalam suatu kelompok tertentu dan

bekerjasama dan terjadi interaksi didalamnya. Karena didalam diri seseorang ditanamkan

adanya rasa empati, empati adalah atribut dasar manusia ketika dihadapkan dengan suatu

masalah dalam sebuah kelompok seseorang yang memiliki keterampilan kepemimpinan

yang tinggi akan mampu memahami serta membantu orang lain hal inilah yang menjadi dasar

peningkatan yang terjadi.

4. Keterampilan berpikir memecahkan masalah

Aspek terakhir yang diukur dalam soft skills adalah keterampilan siswa dalam berpikir

dan memecahkan masalah. Menurut Kaya, Izigol dan Kesan (2014) menyatakan bahwa

keterampilan berpikir memecahkan masalah adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki

seseorang. Proses penilaian aspek ini digunakan dengan 2 cara yakni rata-rata dari hasil

observasi siswa yang dinilai setiap kali melakukan kegiatan pembelajaran dan berdasar hasil

evaluasi tes kemampuan berpikir memecahkan masalah menggunakan langkah-langkah CPS

yang merujuk pada indikator mengidentifikasi masalah, membatasi masalah, menentukan

altermatif masalah dan menarik kesimpulan. Keterampilan berpikir memecahkan masalah

siswa secara keseluruhan mengalami peningkatan baik terjadi pada observasi yang dilakukan

pada setiap kali pertemuan ataupun pada hasil tes keterampilan berpikir memecahkan

masalah individu.

Hasil observasi keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa pada proses

pembelajaran pada siklus I berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar

61,9%, sedangkan pada siklus II berada pada kategori baik dengan persentase sebesar

76,98%. Hal ini sejalan dengan hasil evalusi tes evaluasi keterampilan berpikir memecahkan

masalah siswa pada siklus Isebesar 55,36% berada pada kategori sedang dan pada siklus II

sebesar 78,23% yang berada pada kategori tinggi. Secara rinci, hasil observasi maupun hasil

tes siswa di siklus I dan II dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil tes dan observasi berpikir memecahkan masalah siklus I dan II

0

1

2

3

4

5

1 2 3 4 5

Sk

or

rata

-rata

Pertemuan Ke-

0

20

40

60

80

100

1 2

Sk

or

Rata

-rata

(%

)

Siklus ke-

Hasil observasi

Hasil Evaluasi

Page 92: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

80

Berdasarkan Gambar 6 baik melalui hasil observasi ataupun hasil tes menunjukan

hasil yang berbeda pada siklus I ke siklus II, tetapi sama-sama mengalami peningkatan.

Perbedaan hasil yang ditujukan pada hasil observasi dan hasil tes ini disebabkan oleh pada

saat proses pembelajaran siswa dibantu oleh teman dalam sekelompoknya untuk

menyelesaikan masalah, sedangkan pada saat tes siswa menyelesaikan masalahnya secara

sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hariawan, Kamaluddin, dan

Wahyono (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh dari penerapan model

pembelajaran CPS terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Penelitian yang

dilakukan Mawaddah dan Annisa (2015) juga membenarkan bahwa jika keterampilan

berpikir memecahkan masalah siswa dapat meningkat dengan penggunaan model

pembelajaran yang bersifat kooperatif.

Memnun, Lynn, Hart dan Akkaya (2012) mengemukakan bahwa penerapan

keterampilan berpikir memecahkan masalah memungkinkan seseorang untuk mendapatkan

keterampilan pemecahan masalah dan dapat melatih seseorang dalam mengatasi masalah

yang dihadapi pada kehidupan nyata.

HASIL BELAJAR RANAH PENGETAHUAN SISWA

Berdasarkan hasil test siklus I dan siklus II, dapat diketahui bahwa ketuntasan klasikal

hasil belajar siswa meningkat sebesar 12,90% yang tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil evaluasi belajar ranah pengetahuan tiap siklus

Ketuntasan hasil belajar ranah pengetahuan siswa pada siklus I sebesar 74,19% sedangkan

pada siklus II ketuntasan hasil belajar ranah pengetahuan siswa sebesar 87.09%. Oleh karena

itu, pembelajaran siswa secara klasikal pada siklus II dikatakan berhasil dengan rata-rata

persentase hasil belajar siswa lebih dari 75%.

Terjadinya peningkatan persentase hasil belajar pada kedua siklus ini dikarenakan

guru telah memperbaiki hal-hal yang belum optimal yang terjadi disetiap pembelajaran yang

dilaksanakan. Perbaikan berupa pengulangan materi stoikiometri pada indikator yang belum

tercapai sehingga pada siklus II membuat materi yang dipelajarai lebih melekat dan mudah

dipahami oleh siswa. Hal ini sesuai dengan Anderson (dalam Schunk, 2012) menyatakan

bahwa ketika para siswa dalam program perbaikan mendapatkan pengalaman mengikuti

pengajaran penguasaan. Belajar menguasai ini juga dapat membangun efikasi diri siswa

dalam belajar. Siswa melihat kemajuannya sendiri dalam menyelesaikan materi stoikiometri

dan membuat mereka yakin akan kemampuan mereka dalam menghadapi pembelajaran

selanjutnya.

Salah satu faktor terjadinya peningkatan hasil belajar dikarenakan sebelum memulai

pembelajaran lagi pada siklus II guru telah mengadakan klasifikasi terhadap soal-soal yang

paling banyak siswa menjawab keliru dan guru telah memberikan bagaimana jawaban yang

tepat sehingga pada saat evaluasi siklus II dengan soal yang bertipe sama siswa sudah tidak

keliru lagi dalam menjawab, serta sebagai evaluasi siswa untuk meningkatkan hasil

belajarnya.

Peningkatan yang terjadi adalah hasil perbaikan pembelajaran dari siklus I, dimana

guru memberikan perhatian yang merata kepada siswa, baik yang aktif maupun pasif. Guru

65

70

75

80

85

90

1 2

Sk

or

Rata

-rata

(%

)

Siklus ke-

Hasil observasi

Page 93: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

81

memberikan pendekatan kepada siswa yang pasif guna menumbuhkan rasa percaya diri

mereka dalam bertanya. Guru juga meningkatkan

hubungan siswa dengan siswa lain yang bertujuan untuk meningkatkan kegiatan

pembelajaran. Dengan meningkatnya hubungan siswa dengan siswa akan memperlancar

kegiatan diskusi kelompok siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2013) yang

menyatakan jika dalam pembelajaran terjadi interaksi dapat memberikan dampak positif

terhadap hasil belajar siswa.

Berdasarkan peningkatan yang terjadi pada penelitian yaitu aktivitas siswa, soft skills,

hasil belajar siswa dan respon siswa berada pada kategori baik. Agar penggunaan model

pembelajaran CPS memberikan hasil yang optimal perlu ditingkatkan lagi pada beberapa

aspek soft skills diantaranya aspek keterampilan berkomunikasi matematis dan aspek

keterampilan berpikir memecahkan masalah, khususnya pada indikator menggunakan

pendekatan bahasa matematis seperti penulisan lambang suatu zat dan penggunaan rumus,

serta pada indikator mengidentifikasi masalah dan pembatasan masalah. Secara keseluruhan

dapat dikatakan penelitian tindakan kelas ini berhasil dan hipotesis diterima yang

menyatakan bahwa jika dengan menggunakan model pembelajaran CPS maka dapat

meningkatkan soft skills dan hasil belajar siswa di kelas X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin

pada materi stoikiometri.

RESPON SISWA

Angket respon diberikan setelah pembelajaran selesai. Tujuan dari pemberian angket

ini untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran menggunakan model CPS

pada materi stoikiometri yang berisi 10 buah pernyataan. Setelah data diolah sedemikian

rupa, sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan. Siswa memberikan respon positif terhadap

model pembelajaran CPS yang diterapkan pada materi stoikiometri. Hal ini menunjukkan

bahwa siswa merasa tertarik dan mudah dalam memahami materi stoikiometri. Persentase

pernyataan positif yaitu sangat setuju dan setuju lebih dominan bila dibandingkan dengan

ragu-ragu, sangat tidak setuju dan tidak setuju.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

(1) Aktivitas siswa dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CPS pada

materi stoikiometri mengalami peningkatan di tiap siklusnya yakni dari sebesar

58,38% pada siklus I dengan kategori cukup aktif menjadi sebesar 75,37% pada

siklus II dan berada dalam kategori aktif.

(2) Soft skills siswa dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CPS pada

materi stoikiometri mengalami peningkatan sebesar 61,9% (cukup) pada siklus I

menjadi 79,09% (baik) pada siklus II dan berada dalam kategori baik dengan setiap

indikator didalamnya mengalami peningkatan

(3) Model pembelajaran CPS dapat meningkatkan hasil belajar ranah pengetahuan

siswa pada materi stoikiometri dengan persentase ketuntasan sebesar 74,19% pada

siklus I menjadi 87,09% pada siklus II.

(4) Siswa memberikan respon positif dengan kategori baik terhadap pembelajaran

dengan menggunakan model CPS.

DAFTAR PUSTAKA

Alwathoni, M. (2015). Peningkatan aktivitas belajar dan kemampuan komunikasi

matematika untuk kimia pokok bahasan larutan buffer dan hidrolisis garam dengan

model pembelajaran learning cycle 5E pada kelas XI IPA MAN GUBUG Kabupaten

Grobogan tahun pembelajaran 2014/2015. Seminar Nasional FKIP UNS (pp. 67-71).

Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret.

Aryani, S. (2015). Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar hidrolisis

garam melalui model pembelajaran creative problem solving pada siswa kelas XI

MS-1 SMA Negeri 2 Banjarmasin tahun pelajaran 2014/2015. skripsi sarjana.

Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat (tidak dipublikasikan).

Page 94: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

82

Asikin, M., & Pujiadi. (2008). Pengaruh model pembelajaran matematika creative problem

solving (CPS) berbantuan CD interaktif terhadap kemampuan pemecahan masalah

pada siswa SMA Kelas X. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Matematika ,

2(1),37-45.

Aulia, M. (2015). Peningkatan kompetensi siswa kelas X TGB SMK Negeri 2 Depok pada

mata pelajaran ilmu ukur tanah menggunakan model pembelajaran creative problem

solving. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Bakar, A., Ishak, M., & Abidin, Z. (2013). The relationship between domains of empathy

and leadership skills among gifted and talented students. Procedia-Social Behavioral

Sciences , 116(2), 765-768.

Djamarah, S. (2011). Psikologi belajar edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Djamarah, S., & Zain, A. (2013). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Djatmiko, B. (2004). Model-model pembelajaran (DI, Kooperatif, dan PBI). Surabaya:

Universitas Negeri Surabaya.

Faizah, S., Miswadi, & Haryani, S. (2013). Pengembangan perangkat pembelajaran berbasis

masalah untuk meningkatkan soft skill dan pemahaman konsep. Jurnal Pendidikan

IPA Indonesia , 2(2), 42-45.

Hariawan, Kamaluddin, & Wahyono, U. (2012). Pengaruh model pembelajaran creative

problem solving terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika pada siswa kelas

XI SMA Negeri 14 Palu. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) , 1(2), 98-112.

Kashefi, H., Ismail, Z., & Y.M, Y. (2012). Supporting engineering students’ thinking and

creative problem solving through blended learning. Procedia - Social and Behavioral

Sciences , , 56, 117–125. doi: 10.1016/ j.sbspro.2012.09.638.

Kaya, D., Izgiol, D., & Kesan., C. (2014). The investigation of elementary mathematics

teacher candidates’ problem solving skills according to various variables.

International Electronic Journal of Elementary Education , 6(2), 295-314.

Mawaddah, S., & Anisah, H. (2015). Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada

pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran generatif

(generative learning ) di SMP . Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Universitas

Lambung Mangkurat , 1(2),166-175 .

Memnun, D., Hart, L. C., & Akkaya., R. (2012). A research on the mathematical problem

solving beliefs of mathematics, science and elementary pre-service teachers in turkey

in terms of different variable. . International Journal of Humanities and Social

science , 2(24), 172-184.

Oakley, B., Felder, R., Brent, R., & Elhajj, J. (2004). Turning student groups into effective

teams. Journal of Student Centered Learning , 2(1), 9-34.

Purwati. (2015). Efektifitas pendekatan creative problem solving terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematika pada siswa SMA. Jurnal Ilmiah Edukasi Matematika

(JIEM) , 1(1), 39-55.

Ramelan, P., Edwin, & Armiyati. (2012). Kemampuan komunikasi matematis dan

pembelajaran interaktif. Jurnal Pendidikan Matematika (FMIPA UNP) , 1(1),26-28.

Rivai, V. (2003). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Jakarta: PT Rajagrafindo.

Rusman. (2014). Model-model pembelajaran: mengembangkan profesionalisme guru.

Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sanjaya, W. (2013). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Schunk, D. H. (2012). Learning theories an educational perspective. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Srijanti, Purwanto, & Artiningrum, P. (2007). Etika membangun sikap profesionalisme

sarjana. Jakarta: Graha Ilmu.

Sudiana, K. (2012). Upaya pengembangan soft skills melalui implementasi model

pembelajaran kooperatif untuk peningkatan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa

pada pembelajaran kimia dasar. Jurnal Pendiidkan Kimia (FMIPA Universitas

Pendidikan Ganesha) , 1(2).

Page 95: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

83

Ziqri, I., & Supriyanto. (2014). Efektivitas model pembelajaran creative problem solving

pada materi sistem pernapasan di SMAN 1 Jatibarang Brebes. Unnes Journal of

Biology Education , 3(3), 8-14.

Page 96: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

84

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM

SOLVING PADA MATERI HIDROLISIS GARAM UNTUK

MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PESERTA

DIDIK

The Use of Creative Problem Solving Model On the Topic of Salt Hydrolysis To

Improving Students’ Motivation and Learning Outcomes

Yulia Rahmi

Mahasiswa Program Studi Magister Keguruan IPA PPs, Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini tentang penggunaan model creativeproblem solving pada

pembelajaran hidrolisis garam dengan tujuan untuk meningkatkanmotivasi dan hasil

belajar peserta didik. Rancangan yang dilakukan berupa penelitian tindakan kelas

dengan tahapanobservasi, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi. Subjek

penelitian adalah peserta didik kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin dengan

jumlah 41 orang peserta didik. Data didapatkan melalui teknik tes dan non tes. Analisis

data dilakukan dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwamotivasi belajarpeserta didik mengalami peningkatan

selama proses pembelajaran, sehingga berdampak pada peningkatan hasil belajar

kognitifnya

Kata kunci: creativeproblemsolving, motivasi belajar, hasil belajar kognitif.

Abstract. A researchwhich has been done into the use of creative problem solving on

the topic of salt hydrolysis to improving motivation and studentlearning result.

Designresearch is done in the form of classroom design research with some phase

observation, design, evaluation, and reflection. Subjectresearch is studentXI PMIA 3

SMA Negeri 3 Banjarmasinwith 41 students. Dataobtained trough technic test and non

test. Analysisis done with analysis descriftive quantitative and qualitative.

Researchresult showedthat motivation student improving during learning process, soto

impact on improv in studentcognitive result.

Keywords: creative problem solving,motivation, cognitive learning result.

PENDAHULUAN

Pelajaran kimia sering dihubungkan dengan kebosanan, keengganan dan kegagalan

bagi sebagian peserta didik. Kimia merupakan kelompok mata pelajaran yang sulit dan

abstrak sehingga banyak peserta didik takut untuk mempelajarinya. Suasana yang demikian,

peserta didik akan sulit menerima materi yang diajarkan. Salah satu faktor penyebabnya

adalah kurang variatifnya model pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sehingga

pembelajaran kimia di kelas tidak menarik bagi para peserta didik (Nurhadi, 2004).

Berdasarkan hasil pengamatan selama PPL dan wawancara dengan guru kimia

SMA Negeri 3 Banjarmasin, diperoleh fakta bahwa pelajaran kimia masih dirasakan sulit

bagi peserta didik. Terlebih yang berkaitan dengan perhitungan kimia dan pemahaman

konsep seperti materi hidrolisis garam. Hal ini terlihat dari hasil analisis ulangan tengah

semester peserta didik SMA Negeri 3 Banjarmasin pada materi hidrolisis, masih banyak

peserta didik yang belum mencapai ketuntasan. KKBM indikator yang harus dicapai adalah

75, sedangkan hasil nilai ulangan jauh dari KKBM yang harus dicapai. Dapat dilihat dari

data ulangan tengah semester dari 37 orang peserta didik yang mengikuti UTS materi

hidrolisis garam hanya ada 3 orang yang tuntas. Hal ini dikarenakan peserta didik kurang

mampu menyelesaikan soal-soal pemahaman yang diberikan. Ketika disajikan soal yang

berbentuk permasalahan seperti soal essay yang mengharuskan peserta didik menganalisis

Page 97: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

85

untuk mencari penyelesaian dengan menggunakan pemikiran dan ide-ide kreatif mereka,

peserta didik kebanyakan masih bingung sehingga berdampak pada hasil belajar yang

rendah.

Guru kimia harus mempunyai kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan metode

mengajar dari model pembelajaran yang dipilih, guna menciptakan pembelajaran yang

menarik bagi peserta didik. Guru harus merencanakan dan mengatur lingkungan belajar

untuk memastikan bahwa peserta didik mereka tertantang dan berhasil. Menurut guru kimia

di SMA Negeri 3 Banjarmasin, memang benar kurang adanya motivasi dari peserta didik

pada mata pelajaran kimia karena mereka perlu pembelajaran yang menarik dan menantang

bagi mereka. Kurang adanya motivasi ini berdampak pada hasil belajar yang rendah sehingga

perlu adanya penanganan atas masalah itu.

Agar terjadi peningkatan motivasi dan hasil belajar peserta didik dalam mempelajari

materi hidrolisis garam yang memerlukan pemahaman konsep dan alogaritmik. Maka perlu

diberikan suatu metode yang baik untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta

didik yaitu model pembelajaran CPS (Creative Problem Solving), dengan model ini peserta

didik dapat ikut berpatisipasi, aktif dan merasa tertantang untuk memecahkan masalah. Guru

juga memiliki peran untuk membangkitkan motivasi dari diri peserta didik.

Model CPS adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada

pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan

keterampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, peserta didik dapat melakukan

keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya.

Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah

memperluas proses berpikir (Pepkin, 2004). Cara tersebut maka guru dapat membuat peserta

didik lebih aktif, merasa lebih tertantang dalam memecahkan suatu masalah terutama dalam

hidrolisis garam. Selain itu dapat membangkitkan motivasi dan meningkatkan kreatifitas.

Proses dari model pembelajaran CPS, terdiri dari Objective finding, Fact finding,

Problem finding, Idea finding, Solution finding, Acceptance finding dan Evaluation.

Membiasakan peserta didik dengan menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam

memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu peserta didik untuk mengatasi kesulitan

dalam mempelajari kimia. Penggunaan model pembelajaran CPS ini diharapkan dapat

menimbulkan minat sekaligus kreativitas dan motivasi peserta didik dalam mempelajari

kimia, terutama pada materi hidrolisis garam sehingga peserta didik dapat memperoleh

manfaat yang maksimal baik dari proses maupun hasil belajarnya. Satu dari Hasil penerapan

model CPS ini terbukti dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Sudewa (2014) bahwa

dengan model CPS dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik.

Kelebihan dari model CPS ini, karena masalah disajikan pada awal pembelajaran

yang memberikan keleluasan kepada peserta didik untuk mencari arah-arah penyelesaiannya

sehingga dapat merangsang perkembangan kemajuan berfikir peserta didik untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat. Dapat juga membuat peserta didik

menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi baru. Maka peneliti

mengatasinya dengan menerapkan model CPS dalam pemberlajaran kimia khususnya pada

materi hidrolisis garam untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar kognitif peserta didik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas

(classroom action research) untuk mengatasi adanya masalah di kelas XI PMIA 3 SMA

Negeri 3 Banjarmasin untuk memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan

selama proses pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, setiap siklus dalam

penelitian memiliki 4 tahapan kegiatan yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3)

pengamatan, (4) refleksi (Arikunto, 2010).

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2015 bertempat di kelas XI

PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin. Subjek penelitian berjumlah 41 orang yang terdiri dari

24 orang perempuan dan 17 orang laki–laki, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah

motivasi dan hasil belajar kognitif peserta didik.

Page 98: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

86

Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini berupa Rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP) dibuat untuk setiap pertemuan dalam siklus-siklus penelitian, dan

Lembar kerja peserta didik (LKPD) yang dirancang untuk materi hidrolisis garam yang akan

diberikan kepada siswa pada setiap pertemuan.

Data hasil belajar kognitif dikumpulkan dengan teknik tes menggunakan tes bentuk

uraian non-objektif pada setiap akhir siklus. Data hasil motivasi peserta didik dikumpulkan

dengan teknik nontes menggunakan lembar observasi pada saat pelaksanaan tindakan,

angket motivasi di akhir siklus I dan siklus II. Pernyataan dalam lembar angket motivasi

peserta didik pengisian dengan menggunakan skala Likert.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur objek yang akan dinilai baik tes maupun

nontes harus memiliki bukti validitas, agar diperoleh data yang valid. Validitas yang

digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) yang dilakukan dengan

meminta pertimbangan 5 orang ahli yang berperan sebagai validator. Validitas dihitung

dengan menggunakan rumus dari Cohen (2010) dalam menentukan rasio validitas

isi/Content Validity Ratio (CVR) :

𝐶𝑉𝑅 = 𝑛𝑒 − ( 𝑁/2)

𝑁/2

Keterangan :

CVR = Rasio validitas isi

ne = Jumlah validator yang menyatakan essential

N = Jumlah validator

Lawshe menjelaskan beberapa arti dari CVR :

1) CVR negatif : Jika kurang dari setengah jumlah validator menyatakan essential

2) CVR nol : Jika setengah dari jumlah validator menyatakan essential

3) CVR positif : Jika lebih dari setengah jumlah validator tetapi tidak seluruh validator

menyatakan essential

Analisis hasil belajar kognitif bertujuan untuk mengetahui tingkat ketuntasan

penguasaan konsep peserta didik. Sesuai dengan Standar Ketuntasan Kriteria Minimum

(SKKM) SMA Negeri 3 Banjarmasin, peserta didik yang memperoleh nilai kurang dari 75

dinyatakan mengalami kesulitan belajar dan peserta didik yang memperoleh nilai lebih dari

atau sama dengan 75 dinyatakan telah tuntas belajar. Perolehan nilai setiap individu peserta

didik dihitung dengan menggunakan rumus:

S =R

𝑁 X 100

Keterangan :

S = nilai yang diharapkan (dicari)

R = jumlah skor dari item atau soal yang dijawab benar

N = skor maksimum dari tes tersebut (Purwanto, 2013)

Keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi ditunjukkan dengan banyaknya

peserta didik yang menjawab dengan benar pada setiap butir soal tes yang diujikan.

Keberhasilan tersebut dapat dilihat pada data persentase penguasaan materi atau daya serap

peserta didik yang dibandingkan dengan Tabel 1.

Tabel 1 Kategori hasil belajar kognitif

Tingkat kemampuan (%) Kategori

x ≥ 90 Sangat tinggi

80 ≤ x < 90 Tinggi

70 ≤ x < 80 Sedang

Page 99: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

87

(Adaptasi Ratumanan & Laurens, 2003)

Penilaian terhadap motivasi peserta didik ini menggunakan skala likert 1-5 yang

terdapat 5 aspek yang akan dinilai oleh para observer. Setiap pernyataan diberikan pilihan

jawaban sangat setuju = 5, setuju = 4, ragu-ragu = 3, tidak setuju = 2, dan sangat tidak setuju

= 1. Kategori level untuk motivasi siswa dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kategori skor motivasi peserta didik berdasarkan angket motivasi

Rentang Skor Kategori

30-53 Sangat Kurang

54-77 Kurang

78-101 Cukup

102-125 Baik

126-150 Sangat Baik

Adaptasi: Sudjana, 2005 (untuk 30 pernyataan)

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Jika peningkatan motivasi belajar pada 75% peserta didik terhadap pembelajaran yang

menggunakan model CPS dengan kategori baik.

(2) Hasil belajar:

a) Siswa di nyatakan tuntas apabila memenuhi (KKM) yang telah ditentukan oleh

SMA Negri 3 Banjarmasin untuk materi hidrolisis garam yaitu 75.

b) Suatu kelas di nyatakan tuntas belajar apabila dalam kelas tersebut terdapat 75%

peserta didik yang telah mencapai ketuntasan belajar atau memperoleh nilai lebih

besar atau sama dengan 75.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil pelaksanaan dan pengamatan penelitian pada siklus I dan siklus II berupa

motivasi dan hasil belajar peserta didik. Hasil belajar kognitif peserta didik juga terjadi

peningkatan. Berdasarkan hasil tes siklus I dan siklus II, diketahui bahwa ketuntasan klasikal

hasil belajar siswa meningkat sebesar 46,35% yang tersaji dalam Gambar 1.

Gambar 1 Rata-rata ketuntasan hasil belajar siswa untuk siklus I dan II

Peningkatan hasil belajar peserta didik juga dapat dilihat dari jumlah peserta didik

yang tuntas menguasai konsep yang diajarkan.

Persentase peningkatan kemampuan peserta didik menyelesaikan soal level

pengetahuan dari C2-C6 dari siklus I ke siklus II dapat dilihat pada gambar 2.

60 ≤ x < 70 Rendah

x < 60 Sangat rendah

39,02%

85,37%

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Pe

rese

nta

se h

asil

be

laja

r si

swa

Siklus I Siklus II

Page 100: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

88

Gambar 3 Perbandingan peningkatan indikator motivasi pada siklus I

dan siklus II

Peningkatan motivasi peserta didik pada setiap indikatornya ini bisa dilihat pada

gambar 3.

Siklus 1

Pada siklus I meliputi tes kognitif yang menunjukkan 25 orang peserta didik belum

tuntas dan rata-rata kelas hanya 65,45%. Hasil belajar kognitif peserta didik dalam ujian

siklus I menunjukkan bahwa peserta didik yang belum tuntas tidak memenuhi tuntutan KKM

yang ditetapkan yaitu peserta didik memiliki nilai 75 dan secara klasikal peserta didik yang

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2 3 4 5 6 7 8

pe

rse

nta

se h

asil

angk

et

mo

tiva

si

be

laja

r

indikator motivasi belajar siswa

siklus 1

siklus 2

0

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5

Pe

rse

nta

se %

Taksonomi Bloom

Siklus 1

Siklus 2

C2

Gambar 2 Persentase peningkatan level pengetahuan peserta didik siklus I dan siklus II

C3 C4 C5 C6

Page 101: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

89

tuntas sebesar 39,02% dari seluruh peserta didik kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3

Banjarmasin.

Jumlah peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 75 masih jauh belum mencapai 75%

dari jumlah seluruh peserta didik sehingga pembelajaran siklus I belum berhasil untuk

meningkatkan hasil belajar kognitif peserta didik kelas XI PMIA-3 SMA Negeri 3

Banjarmasin. Satu penyebabnya yaitu guru belum membimbing peserta didik secara

maksimal khususnya dalam mengerjakan soal-soal hidrolisis yang melibatkan permasalahan

yang disajikan.

Pada penilaian motivasi peserta didik diberikan angket untuk mengetahui tanggapan

peserta didik terhadap pembelajaran materi hidrolisis garam dengan menggunakan model

pembelajaran CPS. Kuesioner motivasi diberikan pada setiap peserta didik ketika siklus I

berakhir. Kuesioner motivasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana peningkatan motivasi

belajar peserta didik pada materi hidrolisis garam setelah pembelajaran dilaksanakan

menggunakan model pembelajaran CPS. Persentas motivasi peserta didik yang termasuk

kategori kategori baik sebanyak 39,02%, dan kategori cukup 60,98%, secara keseluruhan

peserta didik telah mempunyai motivasi cukup baik untuk mempelajari materi hidrolisis

garam setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran CPS.

Pada setiap kategori indikator motivasi yang dinilai pada hasil angket motivasi yang

diisi peserta didik memiliki rata-rata 67,61 yang berarti juga berada pada kategori cukup.

Indikator-indikator motivasi ini berupa Tekun dalam menghadapi tugas, Ulet dalam

menghadapi kesulitan, Menunjukkan minat terhadap pembelajaran, Senang bekerja mandiri,

Cepat bosan pada tugas-tugas rutin, Dapat mempertahankan pendapat, Tidak mudah melepas

hal yang diyakini, Senang mencari dan memecahkan masalah dalam pembelajaran.

Hasil pelaksanaan proses pembelajaran siklus I secara keseluruhan belum optimal.

Penyebabnya ditemukan setelah dilakukannya refleksi. Adapun kekurangan selama proses

penelitian berlangsung yang perlu diperbaiki seperti Guru masih kurang dalam memberikan

penjelasan tentang tahapan-tahapan model CPS. Terutama pada saat peserta didik

mengemukakan fakta berupa pernyataan menurut pendapat mereka sehingga masih banyak

peserta didik yang terlihat kebingungan untuk menyelesaikan soal pada tahapan tersebut.

Pada saat memberikan penjelasan tentang tahapan idea dan solution finding serta acceptance

finding yaitu saat menerapkan langkah-langkah penyelesaian masalah kurang membimbing

apa yang harus mereka rencanakan dan terapkan sehingga masih ada peserta didik yang

bingung dan jawaban tidak sesuai dengan yang diinginkan, Guru perlu memberikan umpan

balik atas kinerja peserta didik. Misalnya pada tahap diskusi kelas, apabila peserta didik

dapat menjawab pertanyaan, peserta didik mendapatkan pujian dan penghargaan berupa

reward misalnya tambahan nilai, memberi alat tulis atau cokelat sehingga motivasi peserta

didik untuk belajar meningkat.

Siklus 2

Pada siklus II hasil tes peserta didik menunjukkan 6 orang peserta didik belum tuntas

dan rata-rata kelas 80,74%. Hasil belajar kognitif peserta didik dalam ujian siklus II

menunjukkan bahwa peserta didik yang belum tuntas tidak memenuhi tuntutan KKM yang

ditetapkan yaitu peserta didik memiliki nilai 75 dan secara klasikal peserta didik tuntas

sebesar 85,37% dari seluruh peserta didik kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin.

Jumlah peserta didik yang memperoleh nilai ≥75mencapai 75% dari jumlah seluruh peserta

didik sehingga pembelajaran dikatakan berhasil untuk meningkatkan hasil belajar kognitif

peserta didik.

Persentase motivasi peserta didik yang termasuk kategori baik sebanyak 87,81%, dan

kategori sangat baik 12,19% secara keseluruhan peserta didik telah mempunyai motivasi

baik untuk mempelajari materi hidrolisis setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran CPS. Peserta didik sudah memiliki motivasi untuk

mempelajari hidrolisis garam dikarenakan guru menerapkan model pembelajaran CPS dalam

Page 102: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

90

kegiatan pembelajaran untuk mengacu kepada pemberian motivasi terhadap peserta didik

dan berada pada kategori baik.

Hasil pelaksanaan proses pembelajaran siklus II secara keseluruhan sudah berhasil

dalam meningkatkan proses pembelajaran. Dikarenakan penjelasan guru tentang tahapan

pada saat peserta didik mengemukakan fakta menurut pendapat mereka sudah bisa

membangun pemahaman sebagian peserta didik sehingga beberapa peserta didik sudah

mampu mengungkapkan pendapat berdasarkan fakta yang sesuai. Tahapan membuat

langkah-langkah atau rencana penyelesaian dan tahapan langkah penyelesaian masalah

peserta didik juga sudah mampu menuliskannya. Peserta didik bisa menerapkan langkah-

langkah untuk menyelesaikan masalah dengan model CPS. Guru sudah memberikan umpan

balik atas kinerja peserta didik. Pada tahap diskusi kelas, peserta didik yang mau maju

mempresentasikan hasil diskusinya dan yang memberikan pendapatnya dikelas akan

mendapatkan pujian dan penghargaan berupa reward.

Guru sudah memberikan umpan balik atas kinerja peserta didik. Pada tahap diskusi

kelas, peserta didik yang mau maju mempresentasikan hasil diskusinya dan yang

memberikan pendapatnya dikelas akan mendapatkan pujian dan penghargaan berupa reward.

Jadi semua kelemahan guru selama proses pembelajaran yang terjadi pada siklus 1 dapat

diatasi.

Proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model CPS sudah terlaksana

dengan baik karena guru telah memperbaiki kekurangan-kekurangan pada saat pembelajaran

di siklus I. Terjadinya peningkatan aktivitas guru pada penelitian ini didukung oleh

penelitian sebelumnya oleh Khairunesya (2014) bahwa memang dengan menerapkan model

CPS dalam suatu pembelajaran dikelas bisa meningkatkan aktivitas guru.

Pada pertemuan pertama maupun pada pertemuan kedua di siklus II ini peserta didik

sudah mulai terbiasa dengan pembelajaran yang dilakukan, bekerjasama dengan teman satu

kelompoknya tanpa dibimbing oleh guru. Peserta didik lebih berani mengungkapkan

pendapatnya. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model CPS sudah

terlaksana dengan baik. Peningkatan aktivitas peserta didik ini didukung oleh penelitian dari

Dianty (2012) bahwa terjadi peningkatan aktivitas peserta didik dalam penerapan model CPS

untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi lingkungan hidup kelas XI IPS

SMA Alwasliyah 3 Medan.

Peningkatan hasil belajar ini karena peserta didik sudah mulai terbiasa menjawab soal

tes dengan langkah-langkah model CPS dan pada proses pembelajaran peserta didik lebih

dibimbing guru dalam menyelesaikan soal yang berisi masalah. Peserta didik lebih banyak

yang sudah bisa memecahkan masalah. Pada tahap merencanakan dan menerapkan langkah-

langkah penyelesaian masalah sudah bisa diselesaikan. Berdasarkan hasil tes siklus I dan

siklus II, diketahui bahwa ketuntasan klasikal hasil belajar peserta didik meningkat sebesar

46,35%. Secara keseluruhan tingkat pemahaman peserta didik pada siklus I untuk tiap

indikator masih dalam kategori rendah, namun untuk indikator 3 yaitu menganalisis sifat

suatu garam yang terhidrolisis dari reaksi ionisasi pada soal nomor 3, 4 dan 5 masih berada

dalam kategori sangat rendah.

Kesalahan peserta didik banyak terjadi pada poin soal nomor 5 dimana peserta didik

masih banyak yang keliru karena soal nomor 5 ini mengharuskan peserta didik untuk mencari

alternatif lain untuk memecahkan masalah yang disajikan, peserta didik dituntut untuk

memecahkan soal pada ranah kognitif C6 sedangkan pada saat itu pengetahuan awal peserta

didik masih belum bisa memunculkan indikator kreatif fluency, dimana peserta didik belum

bisa mengemukakan banyak gagasan untuk mengatasi persoalan yang disajikan. Pada soal

ini peserta didik masih belum bisa mencari alternatif lain untuk memecahkan masalah sesuai

dengan instruksi dari soal.

Pada siklus II rata-rata penguasaan konsep peserta didik sebesar 80,74% dengan

kategori tinggi. Untuk pembelajaran pada siklus II guru berusaha memberikan penguatan

konsep dan bimbingan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh peserta didik. Guru

juga memberikan contoh-contoh dan PR yang memacu peserta didik untuk bisa

menyelesaikan masalah dengan langkah-langkah model pembelajaran CPS. Hal ini

dilakukan agar peserta didik terlatih untuk menyelesaikan masalah.

Page 103: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

91

Semua soal yang disajikan pada tes siklus I dan siklus II memiliki tingkatan

pengetahuan berdasarkan taksonomi Bloom. Soal dari nomor 1-5 berurutan berada pada level

C2, C3, C4, C5 dan C6. Soal yang berada pada level C4, C5 dan C6 dalam hal kemampuan

siswa menyelesaikan soalnya mendapatkan persentase lebih rendah dibandingkan soal yang

berada pada level C2, C3. Tetapi meskipun berada pada persentase rendah dari siklus I ke

siklus II selalu mengalami peningkatan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sudiran (2012) hasil analisis datanya menunjukkan melalui model CPS terjadi peningkatan

kemampuan berpikir peserta didik dari ranah C2, C3, dan C4 dari siklus I ke siklus II.

Pada soal tes ranah kognitif C2 (memahami), C3 (menerapkan) dan C4 (menganalisis)

persentase kemampuan peserta didik dalam menjawab soal tersebut lebih banyak

dikarenakan soal pada level ini masih tidak terlalu sulit. Peserta didik masih mampu

menggunakan pengetahuannya dari pembelajaran yang ada untuk menyelesaikan soal-soal

tersebut dengan langkah-langkah model CPS. Ranah kognitif C5 (mengevaluasi/menilai) dan

C6 (menciptakan) kemampuan siswa dalam menjawab soal tersebut lebih sedikit

dikarenakan soal pada level ini sudah berada pada level pengetahuan tertinggi, sehingga

peserta didik kesulitan untuk menyelesaikan soal pada level ini. Hal ini disebabkan karena

pada umumnya peserta didik SMA level pengetahuannya masih terbatas sampai pada tahap

menganalisis saja. Hanya beberapa orang peserta didik yang memang memiliki tingkat

pengetahuan sampai menciptakan pemikiran atau gagasan lebih dari yang lainnya.

Kurang terlatihnya kemampuan berpikir kreatif dari peserta didik dan waktu

pembelajaran yang singkat dalam menerapkan model CPS inilah yang mengakibatkan

kemampuan peserta didik memecahkan masalah pada level C5 dan C6 rendah. Soal pada

level C6 dalam penelitian ini peserta didik dituntut untuk menghasilkan banyak

gagasan/saran dalam pemecahan masalah, memberikan banyak cara/saran untuk melakukan

banyak hal dan selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Jika peserta didik bisa melakukan

itu maka dapat dikatakan telah memiliki kemampuan berpikir kreatif untuk indikator fluency.

Berpikir kreatif itu sendiri berkaitan dengan ranah kognitif C6, namun soal pada ranah C6

ini tidak bisa difungsikan semaksimal mungkin dalam pembelajaran karena memang waktu

yang singkat dalam pembelajaran membatasi pemikiran peserta didik dalam memecahkan

masalah pada soal ini dan peserta didik juga belum terbiasa untuk menyelesaikan masalah

tersebut.

Hasil persentase motivasi peserta didik berdasarkan angket dari 30 pernyataan sesuai

pendapat mereka pada siklus I sebesar 65,89% kategori cukup baik dan pada siklus II

menjadi 72,92% kategori baik. Sehingga peningkatan motivasi peserta didik pada

pembelajaran dengan model CPS sebesar 7,03%. Delapan indikator motivasi belajar yang

diketahui melalui angket dan hasil pengisian angket peserta didik dicek kembali oleh guru

untuk menyesuaikan dengan hasil pengamatan guru kepada peserta didik selama proses

pembelajaran menunjukkan bahwa motivasi peserta didik mengalami peningkatan.

Meningkatnya motivasi peserta didik dalam pembelajaran menggunakan model CPS ini

dapat terjadi karena pada proses pembelajaran dilakukan beberapa tindakan, antara lain :

(1) Memberikan hadiah berupa alat tulis agar memotivasi peserta didik mengerjakan tugas

dengan tuntas dan mengumpulkannya dengan tepat waktu.

(2) Memberikan materi dan mengingatkan bahwa materi yang dipelajari akan keluar pada

saat ulangan.

(3) Guru memberitahukan nilai atas tugas yang telah dikerjakan dan mengingatkan peserta

didik untuk tidak mencontek pada saat membuat pertanyaan dan mengerjakan soal

latihan.

(4) Guru memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang disertai dengan diskusi agar suasana

pembelajaran tidak monoton dan membosankan.

(5) Model CPS merupakan model pembelajaran yang bisa menumbuhkan kreativitas dan

pembelajaran dengan langkah-langkah yang menantang bagi peserta didik sehingga

dapat meningkatkan motivasi peserta didik dalam pembelajaran.

Page 104: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

92

Beberapa cara diatas sejalan dengan pernyataan Sardiman (2012) bahwa cara untuk

menumbuhkan motivasi dalam belajar di antaranya adalah memberi angka, hadiah, memberi

ulangan, mengetahui hasil, pujian dan tujuan yang diakui.

Penelitian tindakan kelas ini berhasil dan hipotesis yang menyatakan bahwa dengan

menggunakan model pembelajaran CPS maka dapat meningkatkan aktivitas guru dalam

mengajar, aktivitas peserta didik, motivasi peserta didik dan hasil belajar peserta didik pada

proses pembelajaran di kelas XI PMIA 3 SMAN 3 Banjarmasin pada materi hidrolisis garam

dapat diterima. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudewa (2014)

bahwa dengan model CPS dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka ditemukan kelebihan dan kekurangan dari

model CPS berdasarkan penerapannya di dalam kelas. Kelebihannya yaitu, peserta didik

lebih aktif dalam bertanya dan mengungkapkan pendapat mereka apabila terdapat konsep

yang belum mereka pahami. Adanya pembiasaan pembelajaran dengan model CPS yang

lebih mengeksplorasi kemampuan peserta didik untuk berpikir lebih mendalam sehingga

konsep yang telah mereka dapatkan tidak hanya diingat tetapi dipahami sehingga dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik. Peserta didik menjadi lebih bersemangat belajar

dan memecahkan masalah karena pada langkah objective finding pada model CPS ini sendiri

disediakan kolom dimana peserta didik bisa membuat skema/gambar dari situasi masalah

yang disajikan sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik dengan berbagai macam kreasi

peserta didik membuat skema/gambar dari masalah.

Kekurangan dari model CPS pada saat penerapannya di dalam kelas yaitu, waktu

pembelajaran yang singkat mengakibatkan langkah-langkah dari model CPS ini tidak bisa

terselesaikan dengan sempurna. Peserta didik cenderung merasa lelah karena langkah-

langkah yang panjang dari model CPS ini, sehingga mengakibatkan keadaan kelas cenderung

ramai karena peserta didik kurang memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar dalam

kelompok. Maka guru lebih mendorong dan memfokuskan peserta didik selama

pembelajaran dengan memberikan motivasi-motivasi kepada mereka.

SIMPULAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin

tahun pelajaran 2014/2015 menunjukkan bahwa motivasi peserta didik mengalami

peningkatan dari kategori cukup menjadi baik. Penerapan model CPS berdampak pada hasil

belajar peserta didik sehingga mengalami peningkatan.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi. Jakarta:

Rineka.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi. Jakarta:

Rineka Cipta.

arikunto, S. (2010). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik edisi revisi. 50-85.

Cohen, R. J. (2010). Psychological Testing and Assessment. New York: McGraw-Hill.

Dianty, A. (2012). Penerapan Model Creative Problem Solving (CPS) Untuk Meningkatkan

Hasil Belajar Siswa Pada Materi Linglungan Hidup Kelas XI IPS SMA Alwasliyah

3 medan Tahun Pembelajaran 2011/2012. Jurnal Pendidikan, 8-9.

Khairunesya. (2014). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Menggunakan Model

Creative Problem Solving Dalam Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan Pada

Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 12 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2013/2014.

Skripsi Sarjana, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Nurhadi. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang:

Universitas Negeri Malang.

Pepkin, K. (2004). Honor and The Schools. Houstan Teacher Institue.

Ratumanan, & Laurends. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum

2013. Jakarta: Bumi Aksara.

Sardiman. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Page 105: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

93

Sudewa, D., S., P., & W., S. (2014). Implementasi Model Pembelajaran Creative Problem

Solving dengan Media Flash CD Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar

Matematika Siswa Kelas V Semester 1 SD Negeri 6 Sukawati. Vol 2, No 1.

Sudiran. (2012). Peningkatan Berpikir Kritis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Fisika

Melalui Model Pembelajaran Creative Problem Solving. Jurnal Pendidikan, Vol.1

No.2.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Page 106: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

94

MENGGAGAS PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA

PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR DALAM KONTEKS

PEMBELAJARAN ABAD 21

Propose A Meaningfull Learning in Natural Science Learning on Primary

School in The Context of Learning for 21st Century

Muhammad Fajri

1SDN Pondok Petir 01

Jl. Reni Jaya Selatan, Bojongsari, Kota Depok

[email protected]

Abstrak.Pembelajaran bermakna merupakan alur terpadu yang memberikan manfaat

bagi siswa baik selama melaksanakan pembelajaran maupun setelahnya. Siswa

mendapat pengalaman belajar yang optimal dan bermanfaat bagi proses kehidupannya

baik saat ini maupun yang akan datang. Dalam proses pembelajaran IPA, pembelajaran

bermakna memberikan ruang gerak lebih leluasa bagi siswa dan guru dalam

mengeksplorasi proses pembelajaran IPA itu sendiri. Dalam perkembangan dunia

pendidikan saat ini, afiliasi pembelajaran yang bermuara pada konteks pembelajaran

abad 21 sebagaimana juga terinfiltrasi pada kurikulum 2013 yang telah direvisi 2016

dan 2017. Konteks pembelajaran abad 21 setidaknya dikembangkan untuk dapat

memberikan pengalaman belajar bermakna yang mampu mengaktualisasikan

keterampilan-keterampilan sebagai berikut: (1) berkomunikasi; (2) berkolaborasi; (3)

berpikir kritis; (4) mengkreasi/mencipta. Muara dari proses pembelajaran IPA dalam

konteks pembelajaran 21 tersebut akan berujung pada pencapaian proses pembelajaran

yang bermakna.Dengan demikian, siswa akan memperoleh pengalaman belajar yang

bermakna sebagai bekal dalam menghadapi kenyataan hidup yang serba cepat dan tidak

terprediksi di masa yang akan datang.

Kata kunci:Pembelajaran Bermakna, Pembelajaran IPA, Pembelajaran Abad 21

Abstract.Meaningfull learning is an integrated path that give some benefits to students

both during their learning and beyond. Students have an optimal learning experience

and are beneficial to theis current and future life processes. In the natural science

learning process, meaningfull learning provides more freedom for students and

teachers to explore the learning process of natural science itself. In the development of

the world of education today, affiliation learning that leads to the context of learning

for 21st century as well as infiltrated in the revised of 2013th curriculum that has been

revised in 2016th and 2017th. Context of learning of the learning for 21st century is at

least developed to be able to provide a meaningfull learning experience that is able to

actualize the skills as follows: (1) communicate; (2) collaborate; (3) critical thinking;

(4) create. Establishment of the learning process of natural science in the context of

learning for 21st century will lead to the achievement of meaningfull learning

experience as a provision in the pface of the reality of fast-paced and unpredictable life

in the future.

Keywords: Meaningfull Learning, Natural Science, Learning for 21st Century

PENDAHULUAN

Konteks pembelajaran bermakna menjadi afiliasi proses pembelajaran yang

dilaksanakan di kelas-kelas modern saat ini. Hal tersebut membawa pengaruh besar terhadap

revoluasi pembelajaran yang memberi ruang gerak lebih luas dan leluasa guna pencapaian

kompetensi yang diharapkan pada siswa sebagai peserta belajar. Proses pembelajaran tidak

terbatas hanya di dalam ruang kelas saja, ruang terbuka, lingkungan, maupun jaringan

internet tak terbatas untuk diakses sebagai sumber belajar yang dominan saat ini. Rangkaian

proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak lagi sebatas hanya sebatas transfer of

knowledge tetapi lebih kepada bagaimana siswa dapat memperoleh pengalaman berharga dari

Page 107: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

95

rangkaian proses pembelajaran sebagai pengalaman belajar mereka sebagai bekal kehidupan

di masa yang akan datang. Rangkaian proses pembelajaran yang bermakna membawa

resolusi baru dalam proses pembelajaran yang lebih bermutu dan berkualitas dalam rangka

penciptaan proses pendidikan yang optimal dalam lingkup satuan pendidikan khususnya pada

level pendidikan dasar (dalam hal ini adalah sekolah dasar).

Dalam kontekstualisasi perkembangan zaman yang ada saat ini, pembelajaran abad

21 memberikan gambaran nyata terkait bagaimana situasi yang dikondisikan sebagai

pengejawantahan rangkaian proses pembelajaran yang ideal. Ideal dalam konteks di sini

bahwa proses pembelajaran dilaksanakan sebagai representasi pengalaman berharga dari

siswa ketika dirinya menghadapi kenyataan hidup pada masa yang akan datang. Oleh

karenanya, konteks meaningful learning dalam irisan pembelajaran abad 21 diharapkan dapat

menciptakan rangkaian pengalaman belajar yang berharga dan bermakna kepada siswa

sebagai peserta belajar. Konsekuensi yang ada, rangkaian proses pembelajaran dilaksanakan

harus berafiliasi pada dimensi-dimensi pembelajaran abad 21. Dengan demikian,

ketercapaian kompetensi optimal pada rangkaian pembelajaran yang dilaksanakan dapat

secara komprehensif dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator materi pembelajaran

maupun indikator langkah-langkah pembelajaran yang bermuara pada karakteristik

pembelajaran abad 21.

Proses pembelajaran IPA yang mengimplementasikan kerangka konseptual model

pembelajaran inovatif yang berafiliasi pada pencapaian keterampilan pembelajaran abad 21

perlu diidentifikasi dan ditelaah secara komprehensif. Hal tersebut merupakan salah satu

tugas pokok yang harus dipenuhi oleh seorang guru sebagai pendidik, perencana dan

pelaksana proses pendidikan yang terimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas.

Rangkaian proses pembelajaran yang ideal seharusnya dapat memberikan pengalaman

berharga bagi siswa khususnya dalam proses pembelajaran IPA dengan mengaktualisasikan

berbagai konsep materi pembelajaran dalam proses pembelajaran yang efektif, efisien, dan

bermakna. Dengan demikian, harapan akan terciptanya pembelajaran bermakna dalam

rangkaian proses pembelajaran IPA dapat terlaksana sesuai target yang diharapkan.

Proses pembelajaran IPA pada dasarnya dapat dikembangkan dan dilaksanakan secara

optimal manakala aspek-aspek pembelajaran dilaksanakan dengan mengeksplorasi segala hal

yang ada untuk keberhasilan proses pembelajaran itu sendiri. Afiliasi pertama dari

penggunaan metode dan media pembelajaran yang relevan dengan materi yang dipelajari. Di

samping itu, rangkaian proses pembelajaran yang diimplementasikan dalam langkah-langkah

pembelajaran juga harus benar-benar mencerminkan ketercapaian muatan materi

pembelajaran yang akan dicapai. Muara dari keseluruhan rangkaian proses pembelajaran

adalah penilaian. Pada proses ini, apa yang telah dilakukan selama kurun waktu tertentu

dalam lingkup rangkaian proses pembelajaran dapat dipetakan melalui kegiatan penilaian.

Rangkaian proses penilaian dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi ketercapaian

kompetensi yang telah dipelajari oleh siswa.

Proses pembelajaran IPA seharusnya menjadi rangkaian proses pembelajaran yang

menyenangkan bagi siswa. Pada prosesnya, pengembangan materi pembelajaran IPA dapat

saja dikoneksikan dengan materi-materi yang terkait mata pelajaran lainnya. Hal tersebut

sangat dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang inovatif dalam bentuk tematik

terpadu. Pada prosesnya, perlu juga diperhatikan dari sisi psikologi (baik psikologi belajar

maupun psikologi perkembangan) siswa itu sendiri. Dalam hal ini, yang menjadi titik tolak

dari rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan adalah bahwa siswa menjadi point of

interest terhadap pertimbangan proses pembelajaran yang dilakukan pada tahapan

perencanaan proses pembelajaran oleh guru dalam merancang dan mengidentifikasi proses

pembelajaran yang akan dilaksanakan nantinya. Dengan demikian, konsep pembelajaran

yang dilaksanakan dapat secara operasional diterima oleh siswa baik secara kognitif, afektif,

maupun psikomotor. Nantinya, proses pembelajaran yang dilakukan benar-benar mampu

menjembatani kompetensi yang harus dikuasai siswa. Kemudian, siswa dapat secara optimal

menguasai kompetensi pembelajaran yang ditargetkan. Pada akhirnya, rangkaian proses

pembelajaran yang bermakna pada proses pembelajaran IPA khususnya di sekolah dasar

dapat tercapai secara optimal juga tercipta generasi emas yang mampu menjawab tantangan

Page 108: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

96

dan kompleksitas global yang terjadi pada masanya nanti seiring dengan bekal kompetensi

pada pembelajaran abad 21. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita dan tujuan nasional

pendidikan dapat dicapai secara berangsur-angsur seiring berjalannya waktu dan siswa-siswa

saat ini yang akan menjadi generasi penerus bangsa nantinya mampu memberikan

jawabannya terhadap tantangan global yang dihadapinya suatu saat kelak.

PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA PEMBELAJARAN IPA DI SD

Pembelajaran IPA di SD pada dasarnya saat ini disatukan dengan mata pelajaran

lainnya dalam satu kerangka konseptual sebagai implementasi pembelajaran tematik terpadu.

Dalam prosesnya, muatan materi pembelajaran IPA tersusun hierarkis namun belum

mendalam dipelajari pada level satuan pendidikan dasar khususnya SD. Dengan demikian,

muatan materi pembelajaran IPA yang ada dipelajari sebagai manifestasi pembelajaran

terpadu yang memadukan antara beberapa muatan mata pelajaran yang dirangkai terpadu

dalam proses pembelajaran setiap harinya. Namun demikian, tidak semua mata pelajaran

disatukan dalam model pembelajaran terpadu.

Belajar bermakna dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-cirinya, (Nasution, 2003)

memaparkan sebagai berikut: (1) menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru

dengan bahan-bahan lama; (2) lebih dulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal-

hal yang lebih terperinci; (3) menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru

dengan bahan lama; (4) mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum

ide yang baru disajikan; (5) informasi yang dipelajari secara bermakna dapat lebih lama untuk

diingat; (6) informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar

berikutnya untuk materi pelajaran pembelajaran mirip; (7) informasi yang dipelajari secara

bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa. Dalam

ketujuh konteks tersebut, rangkaian proses pembelajaran yang bermakna hendaknya dapat

menjembatani antara konsep materi yang harus dikuasai, kemampuan siswa baik secara fisik,

psikologis, sosial, personal, dan kognitif, juga bagaimana konsep materi tersebut

diimplementasikan secara praksis operasional dalam rangkaian proses pembelajaran di kelas.

Berangkat dari asumsi yang menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan diupayakan

untuk melibatkan siswa dalam rangkaian proses pembelajaran yang bermakna di mana hal

tersebut terjadi pada saat siswa melaksanakan rangkaian proses pembelajaran itu sendiri. Di

sisi lain, satuan pendidikan (dalam hal ini sekolah dasar) memainkan peran sosial, cus-todial,

dan organisasi penting dalam lingkup kemasyarakatan. Dalam hal ini, guru memiliki

kewajiban untuk membantu siswa belajar bagaimana mengenali dan memecahkan suatu

permasalahan belajar yang dihadapi baik terjaik materi yang dipelajari maupun proses

pembelajaran yang dilaksanakan. Di samping itu, guru juga berperan dalam membantu dan

mendampingi siswa terkait memahami fenomena baru, membangun model mental, dan

memberikan suatu situasi baru yang dirancang sebelumnya. Selain itu, guru juga perlu

menetapkan tujuan dan mengatur rangkaian proses pembelajaran mereka sendiri (learning

how to learn). Pembelajaran bermakna berupaya melibatkan peran aktif siswa, konstruktif,

pembelajaran yang disengaja (setting), otentik, dan kooperatif. Brown, et.al. (J.S. Brown,

1989) memberikan gambaran ilustrasi terkait kelima hal tersebut.

Gambar 1. Interkoneksi/keterhubungan lima atribut belajar bermakna menurut Brown, et.al.

Page 109: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

97

Pada prosesnya, rangkaian proses pembelajaran yang bermakna memberikan asumsi

bahwa apa yang dipelajari siswa merupakan suatu pengalaman berharga yang akan memiliki

makna mendalam dalam memberikan bekal kehidupan kepada siswa untuk dapat bertahan

dan menghadapi kenyataan dan tantangan yang serba kompleks dan unpredictable pada masa

kehidupannya nanti. Melalui penyajian proses pembelajaran yang bermakna inilah apa yang

menjadi muara rangkaian proses pembelajaran dalam bentuk indikator-indikator kompetensi

harus dicapai dan dikuasai siswa secara optimal. Hal tersebut sangat dimungkinkan agar apa

yang menjadi muara dari rangkaian proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik dan

dicapai dengan baik pula. Dengan demikian, siswa akan memiliki pengalaman langsung

berdasarkan rangkaian proses pembelajaran yang disajikan dengan berbagai pertimbangan

yang dirancang secara efektif oleh guru agar tercipta rangkaian proses pembelajaran yang

bermakna tersebut.

Pembelajaran IPA merupakan salah satu muatan mata pelajaran yang dipelajari oleh

siswa kelas IV sampai dengan VI Sekolah Dasar. Hal tersebut sebagaimana tertuang secara

eksplisit pada regulasi pemerintah yang mengatur tentang implementasi kurikulum 2013

(revisi 2016) terkait struktur dan muatan kurikulum 2013. Secara teoretis, kajian ilmu

pengetahuan alam atau biasa disebut juga dengan sains memiliki kekhasan mata pelajaran

terkait life skill ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan sebagaimana tertuang

dalam Permendikbud RI Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan

Menengah. Menurut Titus dalam Saduloh (Titus, 2007), sains diasumsikan sebagai common

sense yang diatur dan diorganisasikan mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau

peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode observasi yang teliti dan kritis.

Wonoraharjo (Wonoraharjo, 2010) memberikan pandangan mendalam mengenai IPA

yang menyatakan bahwa IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui

metode tertentu. Asy’Ari (Asy’ari, 2006) juga memberikan ilustrasi tentang hakikat yang

menyatakan bahwa sains itu sendiri merupakan suatu kesatuan antara proses, sikap dan

produk atau hasil yang saling berkaitan. Keterkaitan tersebut digambarkan dalam skema

hakikat belajar yaitu sebagai berikut:

Gambar 2. Hakikat sains (menurut Asy’Ari)

Berdasarkan ilustrasi pada Gambar. 2 tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan

adanya sikap ilmiah dalam melaksanakan rangkaian proses ilmiah ini, maka akan dihasilkan

produk yang ilmiah. Untuk selanjutnya, suatu produk ilmiah akan dapat mendorong

terjadinya proses ilmiah yang baru dan akan menumbuhkan atau menguatkan sikap ilmiah

yang telah dimilikinya. Dalam hal rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan,

rangkaian kegiatan ilmiah sebagaimana ketiga skema tersebut akan seiring sejalan saling

mendukung dan mengisi proses ilmiah yang dilakukan sehingga terciptalah proses

pembelajaran IPA yang ilmiah dan bermakna juga memberikan pengalaman belajar yang

bermakna bagi siswa dan terciptalah generasi emas yang siap bersaing dan bersanding dalam

forum-forum global yang mendunia nantinya kelak.

proses ilmiah

produk ilmiah

sikap ilmiah

Page 110: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

98

PEMBELAJARAN ABAD 21 DI SEKOLAH DASAR

Learning for 21st century atau yang lebih dikenal sebagai pembelajaran abad 21 di

negara kita mencuat seiring bergulirnya pergeseran peradaban dan pergeseran paradigma

pembelajaran dalam level global. Hal tersebut sebagai jawaban atas kompleksitas tantangan

dan perkembangan dunia kehidupan saat sekarang ini. Dalam hal tersebut, dirumuskanlah

sekumpulan kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai seorang siswa yang belajar dalam

lingkup satuan pendidikan sebagai generasi yang akan berhadapan dengan pesatnya

perubahan global yang mendunia juga kompleksnya permasalahan kehidupan yang akan

dihadapi pada masanya nanti.

Di dalam pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang

diimplementasikan saat ini (2013 dengan revisi 2016 dan 2017) kerangka konseptual dari

keterampilan yang harus dikuasai sebagai manifestasi pembelajaran abad 21 diberikan ruang

gerak lebih luas dan mendalam. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada kerangka dan muatan

kurikulum 2013 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang perubahan

kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.

Kemudian, dari PP tersebut diturunkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia yang mana terkait rangkaian proses pembelajaran di sekolah dituangkan

dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 tentang

Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Secara eksplisit, rangkaian proses

pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan

ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan

perkembangan fisik serta psikologis siswa (Permendikbud RI Nomor 22 Tahun 2016 Tentang

Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah). Secara implisit, keterampilan abad 21

tertuang dalam regulasi tersebut, yang mana rangkaian proses pembelajaran dilaksanakan

untuk dapat menjembatani antara kompetensi yang tertuang secara konseptual dan teoretis

untuk dapat dituangkan dalam rangkaian proses pembelajaran secara praksis dan operasional

dalam lingkup kelas pada masing-masing satuan pendidikan (khususnya di tingkat sekolah

dasar).

Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa itu sendiri. Uoleh karenanya, tiap-tiap satuan pendidikan (khususnya sekolah dasar) perlu melakukan rangkaian perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Dalam konteks tersebut, pembelajaran abad 21

terlaksana dalam rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan. Namun demikian, apa

yang perlu dilaksanakan dalam proses pembelajaran perlu direncanakan secara praksis,

sistematis, dan efektif oleh guru selaku perancang rangkaian proses pembelajaran yang

dilaksanakan. Adapun rangkaian kegiatan penilaian dilakukan untuk memberikan feedback

terhadap pelaksanaan proses pembelajaran juga untuk mengidentifikasi permasalahan yang

muncul dalam proses pembelajaran terkait penguasaan kompetensi materi pembelajaran yang

dipelajari siswa.

Nichols (Nichols, 2017) mengungkapkan 4 konsep pembelajaran abad 21, antara lain:

(1) instruction should be student centered; (2) education should be collaborative; (3) learning

should have context; (4) schools should be integrated with society. Berdasarkan keempat

konsep tersebut, pada dasarnya keempat konsep tersebut merupakan satu dasar kesatuan yang

memberikan implikasi terhadap proses pembelajaran yang harus dilaksanakan. Pentingnya

proses pembelajaran yang memberikan ruang gerak lebih leluasa kepada siswa untuk

mengekspresikan dirinya dalam suasana lingkungan belajar yang menantang perlu

dipikirkan. Proses tersebut memberikan perhatian yang lebih kepada siswa sebagai subjek

sekaligus objek pembelajaran yang perlu diidentifikasikan kebutuhan baik secara fisik,

psikologis, maupun kognitifnya. Dari segi tugas belajarnya, siswa tentu memiliki dasar

asumsi yang perlu dicermati seiring sejalan dengan pembelajaran yang harus dilakukan.

Page 111: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

99

Dengan demikian, keempat konsep yang membangun kerangka pembelajaran abad 21 ini

dapat diimplementasikan dalam suasana belajar yang sesungguhnya untuk ketercapaian

proses pembelajaran yang bermakna khususnya dalam rangkaian proses pembelajaran IPA di

SD.

Dalam pengembangannya, kerangka konseptual dari pembelajaran abad 21 yang

memberikan tantangan global terhadap generasi yang saat ini sedang berkembang tentu perlu

diperhatikan kebutuhan belajar seperti apa yang nantinya mereka perlukan dalam proses

kehidupannya yang akan datang. Karena, pada dasarnya siswa belajar saat ini untuk bekal

dalam kehidupannya pada masa yang akan datang. Jika demikian, maka pendidikan yang

futuristik harus dicermati secara komprehensif. Hal tersebut tidak lain adalah demi

tercukupinya kebutuhan material konseptual dari konsep materi pembelajaran yang

diperlukan sesuai konteks perkembangan kehidupan siswa pada masa yang akan datang.

Dalam konteks pembelajaran yang dikembangkan saat ini, sebagaimana konsep pembelajarna

abad 21 ini, pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill)

menjadi satu acuan dalam hal pengembangan proses pembelajaran yang optimal.

Pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi ini menjadi satu konsep baru dalam ranah

pengembangan kognitif siswa yang tertuang dalam kurikulum 2013 (sebagaimana revisi

2016). Hal lain berimplikasi pada paradigma pembelajaran yang harus dilaksanakan. Konteks

pembelajaran yang perlu dilakukan dalam hal ini, adalah melatih siswa untuk berpikir tinggi

melalui berbagai metode penyajian proses pembelajaran yang mampu membuat siswa merasa

tertantang dalam mengeksplorasi apa yang menjadi komponen berpikir tingkat tinggi.

Dengan demikian, setali tiga uang apa yang menjadi muara akhir proses pembelajaran yang

dilaksanakan dapat mencapai kompetensi siswa terkait materi yang harus dicapai,

keterampilan abad 21 yang harus dikuasai, dan kemampuan berpikir tingkat tingginya.

Berikut dapat dicermati hal-hal yang terkait dengan pembelajaran abad 21

sebagaimana dikembangkan oleh Partnership for 21st Century Learning sebagaimana

dituangkan oleh Mc Guire (McGuire, 2015), sebagai berikut.

Gambar 3. Framework Partnership for 21st Century Skills.

Dalam bagan tersebut, tersirat 4 kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dalam

konteks pembelajaran abad 21. Keempat kompetensi tersebut sebagaimana sering disebut

dengan 4Cs merupakan empat kesatuan kompetensi dasar yang perlu dikembangkan dalam

rangkaian proses pembelajaran di kelas-kelas saat ini. Hal tersebut juga sebagaimana

dituangkan dalam bentuk regulasi pemerintah terkait rangkaian proses pembelajaran di

kurikulum 2013 dengan memberikan batasan standar minimal pada kompetensi yang dicapai

di mana kompetensi tersebut telah ditingkatkan dan dilakukan proses benchmarking dengan

kompetensi global yang ada saat ini dan masa yang akan datang. Pada pengembangannya,

pelaksanaan kurikulum 2013 diharapkan dapat mengimplementasikan keterampilan abad 21

(4Cs) sebagai jawaban terhadap tuntutan perkembangan zaman saat ini dan masa yang akan

Page 112: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

100

datang nantinya. Komponen keempat keterampilan abad 21 sebagaimana dikenal dengan 4Cs

ini terdiri atas: (1) critical thinking and problem solving; (2) communication; (3)

collaboration; (4) creativity and inovation.

Wagner bersama tim peneliti dari Harvard University dalam Scoot (Scott, 2015)

memberikan 7 kompetensi yang perlu dikuasasi dalam ranah pembelajaran abad 21, antara

lain: (1) critical thinking and problem solving; (2) collaboration and leadership; (3) agility

and adaptability; (4) initiative and enterpreneurialism; (5) effective oral and written

communication; (6) accessing and analysing information; (7) curiosity and imagination.

Ketujuh kompetensi tersebut pada dasarnya secara implementatif telah tertuang pada

kerangka pengembangakan kurikulum yang dilaksanakan pada proses pendidikan di satuan

pendidikan dasar (khususnya tingkat sekolah dasar). Oleh karenanya, perlu perhatian serius

dari pelaksana proses pendidikan khususnya guru yang memiliki ruang gerak lebih luas dan

intensif dalam melaksanakan proses pendidikan dalam rangkaian proses pembelajaran yang

dilaksanakan. rangkaian proses pembelajaran yang mampu mengembangkan ketujuh

kompetensi pembelajaran abad 21 dilaksanakan dalam langkah-langkah pembelajaran yang

mampu memberikan pengalaman berharga kepada siswa terkait rangkaian proses

pembelajaran yang dilaksanakan.

SIMPULAN

Proses pembelajaran yang bermakna dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang

bermutu dan berkualitas. Proses pembelajaran yang bermutu dan berkualitas perlu disetting

dalam rangkaian proses pembelajaran yang sistematis dan sistemik, kronologis dan hierarkis,

praksis dan operatif. Hal tersebut tentu perlu dilaksanakan dalam konteks proses

pembelajaran yang mampu memberikan jembatan terhadap materi yang bersifat teoretis

untuk dapat dituangkan dalam rangkaian proses pembelajaran praksis dan operasional.

Implikasi terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan bahwa proses pembelajaran

harus benar-benar memberikan pengalaman yang berharga bagi siswa dan memberikan

manfaat bagi siswa dalam menghadapi kenyataan kehidupan pada masa mereka yang akan

datang.

Kompleksitas dan tantangan global yang berkembang saat ini memberikan tantangan

tersendiri bagi pelaksanaan proses pendidikan yang tertuang dalam proses pembelajaran

antara guru dan siswa di kelas. Hal tersebut membawa pengaruh signifikan terhadap revolusi

pendidikan yang harus diubah dan digeser serta dioptimalkan dalam ranah pembelajaran

yang mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menguasai abad 21 pada ranah

kehidupan global dan tantangan yang lebih kompleks dan serba unpredictable.

Rangkaian proses pembelajaran IPA di SD dilaksanakan melalui rangkaian

pembelajara tematik terpadu. Hal tersebut sebagaimana dasar pertimbangan dari sisi

psikologis (baik psikologi pembelajaran maupun psikologi perkembangan) di mana anak

usia sekolah dasar masih berpikir secara holistik dan belum terpecah-pecah. Sehingga,

pelaksanaan proses pembelajaran yang optimal salah satunya dapat dilaksanakan dalam

bentuk model pembelajaran terpadu. Dalam ranah muatan pembelajaran IPA di SD, konteks

pembelajaran dalam materi IPA secara teoretis dipraksiskan dalam proses pembelajaran

secara operasional agar siswa secara praksis dapat dengan mudah melalui pengalaman dan

proses pembelajaran yang dilaksanakan, materi yang teoretis dapat dipelajarinya dalam

sajian praksis pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan demikian, apa yang menjadi dasar

acuan dalam hal pencapaian kompetensi pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai secara

optimal sebagaimana proses pembelajaran yang bermakna dengan berafiliasi pada

pencapaian keterampilan abad 21 yang akan memberikan pengalaman berharga terhadap

siswa selama melaksanakan proses pembelajaran di kelas.

Secara hierarkis maka dapat diidentifikasi terkait pentingnya penguasaan

keterampilan abad 21 di samping kompetensi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Proses

pembelajaran IPA di sekolah dasar dilaksanakan melalui implementasi model pembelajaran

tematik terpadu sebagai hasil analisis psikologis (baik psikologi perkembangan maupun

psikologi belajar). Pelaksanaan proses pembelajaran perlu disetting sedemikian rupa agar

tercapai kompetensi pembelajaran IPA yang diharapkan sebagaimana kerangka dan muatan

Page 113: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

101

kurikulum yang digunakan pada satuan pendidikan masing-masing (dalam hal ini adalah

sekolah dasar). Rangkaian proses pembelajaran di samping untuk mencapai kompetensi

muatan pelajaran yang ditargetkan juga dikembangkan kemampuan siswa terkait

keterampilan abad 21 sebagai bekal kehidupannya dalam menghadapi kenyataan hidup di

masanya yang akan datang yang tentu lebih kompleks dan serba unpredictable agar mereka

mampu dan terbiasa hidup dalam suasana penuh tantangan serta mampu survive dalam

kehidupan modern yang lebih global dan tinggi tingkat kompleksitasnya. Melalui

implementasi proses pembelajaran IPA yang bermakna, maka dapat tercipta genrasi emas

yang dapat bertahan dalam segala keadaan dan medan kehidupan dan kesulitan, juga mampu

bersaing dalam ranah global yang mendunia dan memberikan nama baik bagi bangsa dan

negara.

DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, M. (2006). Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat dalam

Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

J.S. Brown, A. C. (1989). Situated Cognition and The Culture of Learning. Educational

Researcher, 32-42.

McGuire, H. A. (2015). 21st Century Standards and Curriculum: Current Research and

Practice. Journal of Education and Practice, Vol. 6, No. 6, , 22.

Nasution. (2003). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi

Aksara.

Nichols, J. R. (2017, Agustus 5). Nichols, Jennifer Rita. “4 Essential Rules for 21st Century

Learning” dalam 4 essential rules of 21st century learning. Diambil kembali dari

Nichols, Jennifer Rita. “4 Essential Rules for 21st Century Learning” dalam

http://www.teachthought.com: Nichols, Jennifer Rita. “4

http://www.teachthought.com/learning/4-essential-rules-of-21st-century-learning/

Sadulloh, U. ( 2007). Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung: : Alfabeta.

Scott, C. L. (2015, November 14). Education Research and Foresight: Working Paper. The

Future of Learning 2: What Kind of Learning For The 21st Century?, hal. 3.

Titus. (2007). Dalam U. Sadulloh, Pengantar Filsafat Ilmu (hal. 43). Bandung: Alfabeta.

Wonoraharjo, S. (2010). Dasar-dasar Sains. Jakarta: Indeks.

Page 114: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

102

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERORIENTASI

AKTIVITAS SISWA (PBAS) MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI IPA PADA

MATERI LARUTAN PENYANGGA DI SMAN 1 BANJARMASIN TAHUN

AJARAN 2016/2017

Application of Learning Strategy of Student Achievement Activity (PBAS) Using

Problem Based Learning (PBL) Learning Model to Increasing Learning Result

of Class XI IPA on the Supporting Materials at SMAN 1 Banjarmasin Academic

Year 2016/2017

Yuni Auliana

Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

email: [email protected]

Abstrak: Telah dilakukan penelitian tentang penerapan strategi pembelajaran

berorientasi aktivitas siswa (PBAS) menggunakan model pembelajaran problem based

learning (PBL) pada materi larutan penyangga. Penelitian bertujuan untuk mengetahui

(1) peningkatan aktivitas siswa, (2) peningkatan hasil belajar (sikap, keterampilan, dan

pemgetahuan). Penelitian ini dilaksanakan dengan sebuah rancangan classroom action

research yang dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari tahap

perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Pada siklus I dan II

diadakan dua kali pertemuan. Siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banjarmasin sebagai

subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) aktivitas siswa dalam

mengikuti pembelajaran mengalami peningkatan dari 68,25% dengan kategori aktif

menjadi 85,5% dengan kategori sangat aktif, (2) pada aspek sikap meningkat dari

72,45% menjadi 80,33% dengan kategori baik, keterampilan siswa mengalami

peningkatan dari dari 74,85% dengan kategori terampil menjadi 87,16% dengan

kategori sangat terampil, pengetahuan siswa mengalami peningkatan dari dari 75,85%

dengan predikat cukup menjadi 89,68% dengan predikat baik dan ketuntasan hasil

belajarnya meningkat dari 72,97% menjadi 89,2%.

Kata kunci : Prombel based learning, pembelajaran berorientasi aktivitas siswa, hasil

belajar, kurikulum 2013

Abstrack: Research has been conducted on the application of student activity-oriented

learning strategy (PBAS) using learning problem based learning (PBL) model on buffer

material material. The study aims to determine (1) increase student activity, (2)

increase learning outcomes (attitudes, skills, and pemgahuanuan). This research was

conducted with a classroom action research design which was carried out in two cycles.

Each cycle consists of planning, action, observation and reflection. In the first and

second cycles held two meetings. Student class XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banjarmasin as

the subject of research. The result of the research showed that (1) the activity of students

in following learning has increased from 68.25% with active category to 85.5% with

very active category, (2) in attitude aspect increased from 72.45% to 80.33% with Good

category, students' skill has increased from 74.85% with skilled category to 87.16%

with highly skilled category, student's knowledge has increased from 75.85% with

enough predicate become 89.68% with good predicate and resultantness result His

study increased from 72.97% to 89.2%.

Keywords: Prombel based learning, student activity-oriented learning, learning

outcomes, curriculum 2013.

PENDAHULUAN

Sekolah merupakan tempat kegiatan belajar mengajar, dimana proses pendidikan

berlangsung di sekolah. Pada prinsipnya belajar merupakan suatu interaksi siswa dengan

objek atau sumber belajar secara sengaja dirancang atau tanpa sengaja dirancang dalam

proses perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar (Thobroni, 2015).

Page 115: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

103

Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi kegiatan belajar mengajar, dimana

pendidik dan peserta didik berperan penting dalam proses kegiatan belajar maupun hasil

belajar. Dilihat dari pandangan seorang pendidik hasil belajar merupakan tindakan mengajar

dengan menggunakan proses evaluasi sebagai tindakan akhir, sedangkan dilihat dari

pandangan peserta didik puncak dari proses pembelajaran yaitu hasil belajar itu sendiri.

Tercapainya suatu tujuan pembelajaran tergantung pada hasil belajar peserta didik serta tidak

terlepas dari usaha seorang pendidik dalam menciptakan kualitas pembelajaran.

Anak yang berhasil mencapai tujuan pembelajaran adalah anak yang berhasil dalam

belajar serta anak yang mempunyai hasil belajar yang baik. Pencapaian suatu kualitas dalam

pemebelajaran adalah tanggung jawab profesional seorang pendidik, untuk mencapai hasil

belajar yang maksimal guru harus membimbing dan menciptakan kualitas dalam

pengalaman belajar bagi speserta didik, sehingga diperlukan suatu strategi belajar mengajar.

Strategi Pembelajaran Berorientasi Aktivitas Siswa (PBAS) merupakan salah satu

strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam belajar yaitu

dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Melalui strategi

PBAS dan model pembelajaran PBL diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa,

selain itu strategi dan model tersebut merupakan suatu pengembangan pembelajaran yang

inovatif untuk kurikulum 2013, dimana sekarang kita juga mengalami pengembangan

kurikulum yaitu dari KTSP menjadi K13.

Melalui K13 peralihan pembelajaran terjadi dari yang berpusat kepada guuru menjadi

berpusat kepada siswa, strategi PBAS dan model pembelajaran PBL menekankan aktivitas

yang di pusatkan kepada peserta didik sehingga peserta didik mampu memahami

pembelajaran tanpa pejelasan mendalam dari guru, dimana peserta didik belajar dan

menemukan sendiri tentang bagaimana pengetahuan tersebut didapat. Peserta didik yang

asalnya pasif diajak untuk lebih berperan aktif dalam K13. Peran pendidik di dalam kelas

sedikit demi sedikit harus mulai dikurangi untuk lebih meningkatkan keaktifan siswa di

dalam pembelajaran. Namun pada kenyataanya masih banyak siswa yang kurang berperan

aktif dan mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran. Guru masih menjadi pusat dalam

proses kegiatan belajar mengajar dan harus menjelaskan materi pembelajaran secara.

Kurangnya peran aktif siswa dalam pembelajaran mengakibatkan rendahnya hasil belajar

siswa terutama pada materi larutan penyangga.

Berdasarkan urauian-uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

berjudul “Penerapan Strategi Pembelajaran Berorientasi Aktivitas Siswa (PBAS)

menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan

Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPA Pada Materi Larutan Penyangga Di SMAN 1 Banjarmasin

Tahun Ajaran 2016/2017”.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dengan sebuah rancangan classroom action research atau

disebut PTK (penelitian tindakan kelas). Menurut Iskandar (2009) PTK dalam proses

pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas serta kuantitas

pembelajaran di dalam kelas. Tahapan PTK terdiri dari 4 kegiatan yaitu: (1) perencanaan

(planning) yang disusun untuk perbaikan pembelajaran, (2) pelaksanaan (action) yang

dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang telah disusun, (3) pengamatan (observation)

untuk mengumpulkan data dan informasi yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran

(4) refleksi (reflection) untuk mengkaji keberhasilan pencapaian berbagai tujuan.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April dengan dua siklus. Siklus I

dilaksanakan pada bulan Maret dan siklus II dilaksanakan pada bulan April. Satu siklus

dibagi dengan dua kali pertemuan dan pada setiap siklus kemudian di ikuti dengan satu kali

pertemuan untuk tes akhir siklus tersebut. Siklus I pertemuan pertama dilaksanakan tanggal

14 Maret 2017, pertemuan kedua dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2017, dan tes akhir

siklus dilakukan tanggal 30 Maret 2017. Siklus II pertemuan pertama dilaksanakan pada

tanggal 6 Maprl 2017, pertemuan kedua dlaksanakan tanggal 6 April 2017, dan tes akhir

siklus II dilakukan pada tanggal 18 April 2017. Siswa dengan jumlah 37 orang pada kelas XI

IPA 1 SMAN 1 Banjarmasin sebagai subjek penelitian dengan 13 orang laki-laki dan 23

Page 116: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

104

orang perempuan. Objek penelitian berupa suatu yang inggin dicapai yaitu aktivitas siswa

dan hasil belajar (sikap, keterampilan, dan pengetahuan). Data yang digunakan yaitu data

kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif merupakan data dalam bentuk bukan bilangan

berupa aktivitas siswa, sikap, dan keterampilan, sedangkan data kuantitatif merupakan data

dalam bentuk bilangan dan nilai-nilai berupa hasil belajar pengetahuan siswa. Teknik analisis

data bertujuan untuk mengumpulkan data-data dari penelitian dengan cara melakukan

observasi terhadap aktivitas siswa, sikap, dan keterampilan, serta melakukan tes tertulis

untuk mengukur pengetahuan siswa. Berikut kategori aktivitas dan hasil belajar siswa

Tabel 1. Kategori aktivitas siswa, sikap, dan keterampilan

% Kategori

Aktivitas Siswa Sikap Keterampilan

20 – 36

36,1 – 52

52,1 – 68

68,1 – 84

84,1 – 100

Sangat kurang

Kurang aktif

Cukup aktif

Aktif

Sangat aktif

Sangat kurang

Kurang baik

Cukup baik

Baik

Sangat baik

Sangat kurang

Kurang terampil

Cukup terampil

Terampil

Sangat terampil

(Adaptasi: Sudjana, 2014)

Tabel 2. Predikat hasil belajar siswa untuk KKM 75

Hasil Belajar Predikat

< 75

75 – 83

84 – 92

93 – 100

Kurang

Cukup

Baik

Sangat baik

(Dikdasmen, 2015)

Adapun indikator keberhasilan dalam penelitian ini yaitu aktivitas siswa minimal

dalam kategori aktif, sikap dalam kategori baik, keteranpilan dalam kategori terampil, dan

hasil belajar pengetahuan siswa dalam kategori baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil tindakan yang dilakukan peneliti berupa aktivitas siswa, sikap, keterampilan,

dan pengetahuan siswa dapat diketahui berdasarkan gambar-gambar berikut:

Gambar 1. Aktivitas siswa

Peningkatan aktivitas siswa sejalan dengan penelitian Abanikannda (2016) bahwa

dengan model pembelajaran PBL menunjukkan adanya berbagai kegiatan yang dilakukan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

65,5

79,571

91,5

Pertemuan 1 Pertemuan 2

Page 117: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

105

oleh siswa sehingga dapat meningkatkan aktivitas siswa, seperti bekerjasama,

berkomunikasi, dan bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan. Selain itu dengan

model pembelajaran PBL siswa memiliki kemampuan yang lebih besar dalam memperoleh

pengetahuan karena siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran.

Gambar 2. Sikap siswa

Peningkatan sikap siswa ini sejalan dengan penelitian Mukti dan Trineke (2016) yang

menyatakan bahwa ranah sikap 33 siswa dari 38 orang mencapai kriteria pencapaian

minimum dengan predikat baik atau sangat baik.

Gambar 3. Keterampilan siswa

Peningkatan keterampilan siswa sejalan dengan penelitian Rosidah, dkk (2014) bahwa

nilai ranah keterampilan siswa dengan model pembelajaran PBL dapat berlangsung baik

dengan persentase ketercapaian sebesar 78,13%.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

7178,1

73,9

82,56

Pertemuan 1 Pertemuan 2

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

74,85

87,16

Page 118: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

106

Gambar 4. Pengetahuan siswa

Peningkatan pengetahuan siswa sejalan dengan penelitian Rosidah, dkk (2014) bahwa

kompetensi hasil belajar siswa dengan model pembelajaran PBL dapat berlangsung dengan

baik pada ranah pengetahuan siswa dengan nilai ketercapaian sebesar 78%, dan penelitian

Mukti dan Trineke (2016) bahwa pengetahuan siswa menggunakan model pembelajaran PBL

dinyatakan tuntas.

Gambar 5. Ketuntasan belajar siswa

Ketuntasan belajar pada penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Febrianti, dkk

(2015) yang menyatakan model pembelajaran PBL memenuhi kreteria efektif ditandai

dengan rata-rata ketuntasan belajar mencapai 83,3% Secara keseluruhan hasil observasi

dan analisis berupa aktivitas siswa, sikap, keterampilan, dan pengetahuan menunjukkan

pelaksanaan proses pembelajaran siklus II secara keseluruhan berlangsung dengan baik dan

meningkat dibandingkan siklus I.

Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, guru sudah berusaha

semaksimal mungkin memperbaiki apa yang kurang pada siklus sebelumnya untuk

pelaksanaan di siklus berikutnya. Guru telah melaksanakan perencanaan yang dibuat atas

dasar hasil refleksi sehingga berdampak positif pada hasil belajar siswa.

Penerapan strategi PBAS menggunakan model pembelajaran PBL ini diharapkan

hasil belajar siswa dapat meningkat. Dimana selain menekankan aktivitas siswa dan

menghendaki adanya keseimbangan antara aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan,

strategi PBAS juga digunakan sebagai pendekatan guru kepada siswa agar dapat lebih

mengerti karakter siswa dan gaya belajar siswa, dimana disini ada keterlibatan siswa dalam

perencanaan maupun proses pembelajaran. Ini sejalan dengan penelitian Otomi (2013)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

75,85

89,68

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

72,29

89,2

Page 119: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

107

menyatakan bahwa strategi PBAS salah satu bentuk inovasi dalam memperbaiki kualitas

proses belajar mengajar dengan tujuan untuk membantu siswa agar belajar mandiri dan

kreatif, sehingga ia dapat memeroleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menunjang

terbentuknya kepribadian yang mandiri.

Pada proses pembelajaran penggunaan model pembelajaran PBL bertujuan untuk

mendidik siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran pada kurikulum 2013.

Dibuktikan dari peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I hingga siklus II, aktivitas

siswa pada kategori sangat aktif, sikap siswa dalam kategori baik, dan keterampilan siswa

dalam kategori sangat terampil, serta ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa berada

dalam predikat baik.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dengan

menggunakan strategi PBAS menggunakan model pembelajaran PBL dapat meningkatkan

hasil belajar. Peningkatan hasil belajar ini diiringi dengan peningkatan aktivitas siswa,

peningkatan sikap siswa, dan peningkatan keterampilan siswa.

(1) Aktivitas siswa meningkat dari 68,25% dengan kategori aktif menjadi 85,5% dengan

kategori sangat aktif.

(2) Hasil belajar mengalami peningkatan, antara lain:

(a) Sikap siswa meningkat dari 72,45% menjadi 80,33% dengan kategori baik.

(b) Keterampilan meningkat dari 74,85% dengan kategori terampil menjadi 87,16%

dengan kategori sangat terampil.

(c) Pengetahuan siswa meningkat dari 75,85% dengan predikat cukup menjadi 89,68%

dengan predikat baik.

(d) Ketuntasan hasil belajar dilihat dari jumlah siswa meningkat dari 72,97% menjadi

89,2%.

DAFTAR PUSTAKA

Abanikannda, M.O. (2016). Influence of Problem-Based Learning in Chemistry On

Academic Achievement of High School Student in Osun State, Nigeria. International

Journal of Education, Learning and Development, Vol. 4, No. 3.

Febrianti, E., Haryani, S., & Imam, K.S. (2015). Pengembangan embar Kerja Siswa (LKS)

Materi Larutan Penyangga Model Problem Based Learning Bermuatan Karakter

untuk Siswa SMA. Journal of Innovative Sceince Education.

Dikdasmen. (2015). Panduan Penilaian untuk Sekolah Menengah Atas. Jakarta:

Kemendikbud.

Iskandar. (2009). Penelitian Tindakan Kelas. Jambi: Gaung Persada (GP) Press.

Mukti, P.N. & Trineke M.J. (2016). Penerapan Problem Based Learning pada Materi

Bilangan Bulat. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, Vo.1 No.5.

Otomi, A.H. (2013). Penerapan Strategi Pembelajaran Beroreintasi Aktivitas Siswa Terhadap

Hasil Belajar Siswa pada Materi IPS Terpadu Di SMP Swasta BNKP Lahewa. Jural

Ikip Gunung Sitoli Nias.

Rosidah, T.W.R., Redjeki, T., & Retno, D.A.S. (2014). Penerapan Model Problrm Based

Learning (PBL) pada Pembelajaran Hukum-Hukum Dasar Kimia Ditinjau dari

Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Siswa Kelas X IPA SMA Negeri 2 Surakarta Tahun

Pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), Vol.3, No.3.

Sudjana, N. (2014). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Thobroni. (2015). Belajar & Pembelajaran Teori dan Prakik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Page 120: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

108

PENGARUH PENGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP HASIL BELAJAR

KOLOID SISWA

Influence Of Use Of Problem Based Learning Model As Toward The

Audiovisual Media On Learning Coloid Student’s Achievement

Putri Adeyantina

Mahasiswa Program Studi Magister Keguruan IPA PPs, Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak.Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan hasil

belajar siswa dengan menggunakan model problem based learningberbantuan media

audiovisual sebagai kelas eksperimendan model problem based learningsebagai kelas

kontroldi MAN 1 Banjarmasin. Penelitian ini menerapkanmetodeeksperimen semu

dengan nonequivalent control group desain. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas

XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan XI IPA 3 sebagai kelas kontrol. Data diperoleh

melalui tes yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung dan melaluihasil post-

test, selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan uji beda

menggunakan uji-t sampel independen untuk pengujian hipotesis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kelas eksperimen meiliki hasil belajar lebih baik dari pada kelas

kontrol.

Kata kunci: problem based learning, media audiovisual, hasil belajar, koloid.

Abstract.The research is to know the difference of the students' learning result by using

the audiovisual aids-based problem-based learning model as the experimental class

and the problem-based learning model as the control class at MAN 1 Banjarmasin. This

research applies pseudo experimental method with nonequivalent control group design.

The sample in this research is class XI IPA 2 as experiment class and XI IPA 3 as

control class. Result data through the test conducted during the learning process took

place and through post-test results, then the data are analyzed descriptively by different

test using sample t-test to test the hypothesis. The results showed that the experimental

class had better learning outcomes than the control class.

Keywords: problem based learning, audiovisual media, learning outcomes, colloids.

PENDAHULUAN

Masalah yang masih menjadi kendala dalam proses pembelajaran yaitu kurangnya

kemampuan siswa dalam mengingat materi yang telah lalu. Hal ini mungkin disebabkan

mereka belajar hanya dengan cara mengingat materi atau menghafal konsep. Hal ini mungkin

dikarenakan proses pembelajaran di kelas menggunakan metode pembelajaran konvensional

misalnya ceramah. Metode ceramah itu sendiri memang hanya berpusat pada satu arah yaitu

guru, di mana siswa berada pada situasi duduk diam dan mendengarkan. Seperti yang

diungkapkan Arrends (2007) dalam mengajar guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan

jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut

siswa untuk menyelesaikan masalah, tetapi jarang mengajarkan bagaimana seharusnya siswa

menyelesaikan masalah. Keadaan seperti inilah yang membuat siswa menjadi pasif dan

kurang berkembang dalam hal berpikir.

Page 121: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

109

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu suatu upaya yaitu dengan

mengimplementasikan suatu model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya kegiatan

belajar mengajar yang kondusif. Pendekatan sistem pembelajaran yang cocok dengan kondisi

tersebut yaitu dengan pembelajaran berbasis masalah, di mana pembelajaran ini merupakan

pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini

membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun

pengetahuan mereka sendiri tentang masalah dunia social dan sekitarnya. Pembelajaran ini

cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanan dalam

Trianto, 2009).

Menurut Nurhandi (Putra, S.R 2012) pembelajaran berbasis masalah (Problem

Based Learning) itu sendiri adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara menggunakan

atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi siswa dalam

memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi pelajaran.

Meminjam pendapat Bruner (Trianto, 2009), bahwa berusaha sendiri untuk mencari

pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang

bermakna. Suatu konsekuensi logis, karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan

masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman konkret, dan pengalaman itu

memberikan makna tersendiri bagi siswa. Jadi model Problem Based Learning adalah model

yang menekankan keaktifan siswa, siswa dituntut aktif dalam memecahkan masalah dan

peran guru dalam model ini tidak dirancang untuk memberikan informasi sebanyak-

banyaknya kepada siswa, tetapi lebih kepada pembimbing dalam memecahkan masalah.

Pembelajaran dengan model Problem Based Learning ini juga dapat ditopang

dengan penggunaan media, misalkan media audiovisual. Melalui media pembelajaran

audiovisual, siswa ditampilkan video atau film-film pendek tentang masalah kehidupan

sehari-hari yang berkaitan dengan materi. Dengan begitu siswa dapat melihat dengan jelas

masalah yang terjadi dan lebih termotivasi untuk memecahkan masalah tersebut dan tujuan

pembelajaran diharapkan tercapai secara optimal.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melakukan penelitian Quasi Eksperimen

dengan menggunakan model Problem Based Learning berbantuan media Audiovisual untuk

mengetahu pengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid di MAN 1 Banjarmasin

tahun pelajaran 2013/2014.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen

(eksperimen semu) dengan rancangan penelitian nonequivalent control group design. Pada

desain ini, sebelum proses pembelajaran dimulai, maka sampel diberikan tes awal yang

disebut dengan pre-test. Pre-test dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa

dalam pemahaman konsep koloid sebelum diterapkan model Problem Based Learning.

Setelah proses pembelajaran, maka sampel diberikan tes akhir yang disebut dengan post-test.

Post-test dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian hasil belajar setelah diterapkan model

Problem Based Learning. Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok, di mana ada

kelompok yang diberi perlakuan atau biasanya disebut kelompok ekspesrimen dan kelompok

lainnya sebagai kontrol

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2014.

Penelitian dilakukan di kelas XI IPA MAN 1 Banjarmasin tahun ajaran 2013/2014. Populasi

pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA MAN 1 Banjarmasin tahun ajaran 2013/2014

yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah 111 orang. Menggunakan teknik sampling purposive

random sampling.

Page 122: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

110

Sampel penelitian ini adalah kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 MAN 1 Banjarmasin tahun

ajaran 2013/2014. Di mana kelas XI IPA 2 akan menjadi kelas eksperimen yang mendapat

perlakuan dengan pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan media

audiovisual dalam materi koloid, sedangkan kelas XI IPA 3 akan menjadi kelas kontrol yang

akan melaksanakan pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning juga dalam

materi koloid.

Penelitian ini melibatkan dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah model pembelajaran di mana kelas

eksperimen menerapkan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan

kelas kontrol menerapkan pembelajaran model Problem Based Learning tanpa bantuan

media. Serta variabel terikatnya adalah hasil belajar.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes. Tes

dilakukan dalam dua tahap, yang pertama yaitu tes pemahaman konsep materi koloid yang

terbagi dua ada pre-test dan ada post-test. Untuk tes pemahaman konsep materi koloid ini

berupa soal dalam bentuk pilihan ganda sebanyak 25, dimana satu soal mempunyai satu

pilihan jawaban yang benar dan empat pilihan jawaban pengecoh.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data berupa data hasil

belajar siswa dari penerapan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual

pada kelas eksperimen dan penerapan model Problem Based Learning pada kelas kontrol

pada materi pokok koloid. Data hasil belajar diperoleh melalui tes awal atau pre-test dan tes

akhir atau post-test akan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Sedangkan data

keterampilan berpikir kritis diperoleh melalui tes saat proses pembelajaran berlangsung. Pre-

test digunakan untuk mengetahui kemampuan dasar siswa terhadap materi koloid sebelum

dilakukan pembelajaran dan post-test digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah

mengikuti pembelajaran dengan perlakuan berbeda yaitu pada kelas eksperimen dengan

penerapan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan kelas kontrol

dengan penerapan model Problem Based Learning, apakah terdapat perbedaan atau tidak.

Perhitungan analisis inferensial pre-test kelas kontrol dan eksperimen

Sebelum adanya perlakuan, kelas eksperimen dan kontrol dilakukan pre-test yang

bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal kelas eksperimen dan kontrol. Rata-rata dari

data pre-test kelas eksperimen dan kontrol tersebut kemudian dilakukan uji perbedaan untuk

mengetahui apakah data pre-test kedua kelas tersebut berbeda atau tidak secara signifikan.

Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan

uji homogenitas varian data terhadap hasil pre-test untuk masing-masing kelas. Adapun

frekuensi hasil data pre-test kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 10 .

Tabel 1 Hasil pre-test kelas eksperimen dan kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Nilai Frekuensi Nilai Frekuensi

0 - 0 -

4 - 4 -

8 2 8 1

12 5 12 4

Page 123: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

111

16 4 16 2

20 6 20 -

24 6 24 7

28 3 28 6

32 4 32 3

36 3 36 6

40 - 40 4

44 - 44 2

48 2 48 -

Nilai rata-rata hasil pre-test siswa untuk kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat

pada Gambar 1 .

Gambar 1 Persentase perbandingan nilai pre-test kelas eksperimen dan

kelas kontrol perindikator

Gambar 1 menunjukkan bahwa kelas kontrol dan eksperimen memiliki nilai rata-

rata pre-test yang hampir sama yaitu dalam kategori kurang (<60%), ini menunjukkan bahwa

kemampuan awal siswa pada kedua kelas tersebut setara. Pernyataan tersebut didukung oleh

hasil uji homogenitas terhadap hasil pre-test yang menunjukkan bahwa kemampuan awal

siswa pada dua kelas yang diteliti adalah homogen. Dengan demikian dapat dianggap bahwa

hasil belajar dua kelas tersebut tidak akan dipengaruhi oleh kemampuan awal siswanya.

Data yang telah diperoleh kemudian dihitung untuk mengetahui nilai rata-rata dan

simpangan baku yang diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata dan simpangan baku hasil pre-test kelas eksperimen

dan kontrol

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Skor terendah 8 8

Skor tertinggi 48 44

Rata-rata ( ) 23,43 28,23

0

10

20

30

40

50

60

Indikator1

Indikator2

Indikator3

Indikator4

Indikator5

Indikator6

Per

senta

se nil

ai r

ata-

rata

Page 124: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

112

Simpangan baku (S) 98,8 97,7

Data post-test kelas eksperimen dan kontrol

Pada akhir pembelajaran, kelas eksperimen dan kontrol dilakukan post-test. Post-

test ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan akhir kelas eksperimen dan

kontrol setelah adanya perlakuan. Rata-rata dari data post-test kelas eksperimen dan kontrol

tersebut kemudian dilakukan uji perbedaan untuk mengetahui apakah data post-test kedua

kelas tersebut berbeda atau tidak secara signifikan. Sebelum dilakukan uji perbedaan dua

rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian data terhadap

data post-test untuk masing-masing kelas. Adapun hasil post-test kelas eksperimen dan

kontrol dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil post-test kelas eksperimen dan kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Nilai Frekuensi Nilai Frekuensi

40 1 40 -

44 1 44 1

48 - 48 -

52 - 52 -

56 1 56 4

60 4 60 5

64 4 64 1

68 6 68 3

72 3 72 9

76 2 76 9

80 7 80 2

84 2 84 1

88 4 88 -

92 - 92 -

100 - 100 -

Skor rata-rata hasil post-test siswa untuk kelas kontrol dan eksperimen dapat

dilihat pada Gambar 2.

Page 125: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

113

Gambar 2 Persentase perbandingan nilai post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol

perindikator

Data yang telah diperoleh kemudian dihitung untuk mengetahui nilai rata-rata dan

simpangan baku yang diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata dan simpangan baku hasil post-test kelas

eksperimen dan kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Skor Terendah 40 44

Skor Tertinggi 88 84

Rata-rata ( ) 71,26 68,97

Simpangan Baku (S) 135 78,6

Hasil belajar adalah salah satu hal yang tidak bisa terlepas dari setiap pembelajaran

yang dilaksanakan di sekolah. Pada penelitian ini selain keterampilan berpikir kritis yang

didapatkan oleh peneliti dengan menerapkan model Problem Based Learning berbantuan

media audiovisual dan pembelajaran model Problem Based Learning tanpa media, juga

diperoleh data nilai hasil belajar. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini

dilaksanakan melalui pembelajaran kimia kelas XI pada pokok materi koloid.

Koloid merupakan salah satu materi kimia yang dirasa cukup sulit bagi siswa karena

bersifat hafalan. Pembelajaran di kedua kelas dilaksanakan dengan memberi dua perlakuan

yang berbeda. Pada kelas kontrol pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan model

Problem Based Learning tanpa bantuan media, sedangkan pada kelas eksperimen

dilaksanakan dengan menerapkan model Problem Based Learning berbantuan media

audiovisual.

Problem based learning merupakan model pembelajaran yang diharapkan mampu

menumbuhkan karakter siswa serta mampu membantu siswa dalam mengatasi kesulitan

memahami materi pokok koloid. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya model

pembelajaran Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang memiliki 5 fase

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Indikator1

Indikator2

Indikator3

Indikator4

Indikator5

Indikator6

KelasEksperimen

Kelas Kontrol

Per

senta

se n

ilai

rat

a-ra

ta

Page 126: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

114

pada pembelajarannya secara menyeluruh yaitu memberikan orientasi tentang permasalahan

kepada siswa, mengorganisasikan siswa untuk meneliti, membantu investigasi mandiri dan

kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya, serta menganalisis dan

mengevaluasi proses menyelesaikan masalah (Putra, S.R, 2012).

Hasil penelitian data belajar siswa yang dianalasis secara deskriptif menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan antara siswa kelas eksperimen dan kontrol. Hal ini dapat

dilihat dari nilai rata-rata pre-test dan post-test siswa pada kelas eksperimen dan kontrol dapat

dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Nilai rata-rata pre-test dan post-test kelas eksperimen dan kontrol

Gambar 3 secara deskriptif menunjukkan tidak ada perbedaan hasil belajar siswa

bila ditinjau dari nilai antara pre-test dan post-test. Nilai daya serap pre-test pada kelas

eksperimen adalah 23,43 dan pada kelas kontrol 28,23, menunjukkan tingkat kemampuan

awal siswa kelompok kontrol tidak jauh berbeda dengan siswa kelompok eksperimen. Nilai

daya serap post-test pada kelas eksperimen adalah 71,26 sedangkan pada kelas kontrol adalah

68,97, terlihat daya serap siswa post-test siswa kelompok eksperimen dan siswa kelompok

kontrol juga tidak jauh berbeda. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa pada kedua

kelas juga dihitung dengan uji beda menggunakan uji t.

Rata-rata dari data post-test kelas eksperimen dan kontrol tersebut dilakukan uji

perbedaan (uji t) untuk mengetahui apakah data post-test kedua kelas tersebut berbeda atau

tidak secara signifikan. Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata, terlebih dahulu

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian data terhadap data post-test untuk

masing-masing kelas.

Signifikan atau tidaknya perbedaan tersebut diuji dengan uji t. Hasil uji t N-gain

kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji t N-gain kelas eksperimen dan kontrol

Kelas N db = N 1 thitung ttabel Keterangan

Eksperimen 35 34 1,6 2,00 H0 diterima

Kontrol 35 34

Jumlah 70 68

23,4328,23

71,26 68,97

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Pre-test Post-test

Page 127: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

115

Berdasarkan hasil uji t diperoleh harga thitung = 1,6. Harga thitung yang diperoleh

kemudian dibandingkan dengan harga ttabel untuk membuktikan hipotesis yang diajukan.

Dengan menggunakan fungsi TINV() pada Microsoft Excel 2007 didapatkan harga ttabel untuk

db = 68 dan α = 5% adalah ttabel = 2,00. Dari harga thitung dan ttabel yang diperoleh dapat

disimpulkan bahwa thitung< ttabel sehingga H0 diterima. Hal tersebut berarti tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara nilai post-test kelas eksperimen dan kontrol atau dengan

kata lain keadaan akhir siswa kelas eksperimen dan kontrol setelah pembelajaran mempunyai

pemahaman yang sama.

Sebelum dan sesudah diberikan perlakuan yang berbeda pada kedua kelas, yaitu

kelas eksperimen dengan penerapan model Problem Based Learning berbantuan media

audiovisual dan pada kelas kontrol dengan penerapan model Problem Based Learning tanpa

bantuan media, hasil uji t terhadap nilai belajar siswa sebelum perlakuan didapatkan bahwa

tidak terdapat perbedaan signifikan pada kemampuan awal siswa kedua kelompok. Setelah

perlakuan, hasil uji t terhadap kemampuan akhir siswa didapatkan bahwa nilai belajar siswa

tidak berbeda secara signifikan antara kelas yang menerapkan model Problem Based

Learning berbantuan media audiovisual dan kelas dengan yang menerapkan model Problem

Based Learning tanpa bantuan media.

Tidak terdapat perbedaan signifikan yang terjadi karena media yang digunakan

berpengaruh tidak signifikan pada hasil belajar pada materi koloid. Di mana pemahaman

siswa di kelas eksperimen yang melakukan pembelajaran menggunakan media audiovisual

setara dengan kelas kontrol yang melakukan pembelajaran tanpa media.

Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani, R (2013) juga menyatakan hal serupa

bahwa penggunaan media audio visual melalui PBM (PBL) diketahui tidak dapat

meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan. Namun data angket menunjukkan

sebagian besar siswa (93,5 %) setuju bahwa penggunaan media audio visual melalui model

PBM mempermudah dan membantu mereka dalam proses pembelajaran, sehingga mampu

mengingkatkan aktivitas belajar siswa.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Supriadi (2013) yaitu

tentang model pembelajaran Problem Based Learning berbantuan media audiovisual

berpengaruh terhadap hasil belajar yang menyatakan bahwa adanya pengaruh yang signifikan

media audiovisual terhadap hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan dengan model

pembelajaran Problem Based Learning yang ditopang media pembelajaran audiovisual yakni

dengan menayangkan suatu hal-hal yang berkaitan dengan materi pembelajaran dalam

bentuk gambar-gambar dan film pendek sehingga siswa lebih tertarik dan antusias dalam

mengikuti pembelajaran. Dalam pembelajaran tersebut siswa dapat membangun

pengetahuannya sendiri sehingga pembelajaran yang efektif dapat tercapai.

Dalam penelitian ini ada baiknya peneliti mengetahui cara-cara belajar siswa yang

menjadi sampel penelitian. Sehingga media yang ditetapkan akan menjadi efektif untuk

digunakan. Seperti pada penelitian ini, media audiovisual tidak mempengaruhi hasil belajar

siswa karena tidak semua siswa cocok belajar dengan cara audiovisual. Kelas yang

menerapkan model Problem Based Learning tanpa berbantuan media bisa saja lebih fokus

memecahkan masalah dengan penjelasan yang ada di lks, sehingga hasil belajar mereka

menjadi setara.

Dalam penelitian ini juga diduga terjadi kesenjangan pemahaman dalam

memecahkan masalah, dimana kelas eksperiman dijabarkan melalui media audiovisual,

sedangkan penjabaran masalah melalui LKS bisa jadi lebih jelas maksud dan tujuannya.

Video yang ditayangkan bisa jadi kurang sesuai dengan soal-soal yang ada di post-test hingga

siswa kemudian kesulitan dalam menyelesaikannya dengan baik dan benar.

Page 128: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

116

Problem Based Learning memiliki beberapa kelebihan namun model pembelajaran

ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan pada pembelajaran model Problem Based

Learning ini yaitu memerlukan waktu relatif lebih lama, ditambah dengan video

pembelajaran sebagai orientasi masalahnya. Pembelajaran Problem Based Learning juga

tidak dapat mengajarkan siswa secara mendalam keseluruhan konsep pada materi pelajaran

itu sendiri. Secara keseluruhan model Problem Based Learning berbantuan media

audiovisual dikatakan dapat diimplementasiakan pada pembelajaran kelas XI materi pokok

koloid.

SIMPULAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas XI IPA MAN 1 Banjarmasin tahun

pelajaran 2013/2014 menunjukan berpengaruh penggunaan model Problem Based Learning

berbantuan media Audiovisual tidak signifikan terhadap hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard. 2007. Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Putra, S.R. 2012. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Diva Press, Jember.

Ramadhani, R. 2013. Pengaruh Media Audio-visual Melalui Model PBM Terhadap Aktivitas

Dan Hasil Belajar Siswa. Bandar Lampung: UNILA.

Supriadi, I. 2013. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Media

Audiovisual Berpengaruh Terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD

Gugus Ubud Gianyar. Mimbar PGSD e-journal vol. 1.

Trianto. 2009. Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana,

Surabaya.

Page 129: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

117

MODEL PEMBELAJARAAN IDEAL PROBLEM SOLVING

BERBANTUAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

IDEAL Problem Solving Learning Model with Concept Mapping to Increase

Critical Thinking Skill

Arif Sholahuddin1 , Ricka Farsa Marindu1*

1Program Studi Pendidikan Kimia FKIP ULM, Jalan Bridgen H. Basri, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak.Telah dilakukan penelitian penerapan model pembelajaran IDEAL Problem

Solving berbantuan peta konseppada materi Hukum-hukum Dasar Kimia dan

Stoikiometri untuk meningkatkan (1) aktivitas guru, (2) aktivitas siswa, (3)kemampuan

berpikir kritis, (4)hasil belajar kognitif siswa. Penelitian ini menggunakan rancangan

penelitian tindakan kelas (PTK) dengan 2 siklus. Masing-masing siklus terdiri dari

tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, serta refleksi. Subjek penelitian,

yaitu 33 siswa kelas X MIA 5 SMA Negeri 2 Banjarmasin. Instrumen penelitian berupa

lembar observasi, tes hasil belajar kognitif dan tes kemampuan berpikir kritis. Data

dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)

terjadi aktivitas guru meningkat dari 55,83 (baik) pada siklus Imenjadi 64,83 (sangat

baik) pada siklus II;(2) aktivitas siswa meningkat dari 43,33 (cukup aktif) pada siklus

Imenjadi 52,17 (aktif) pada siklus II; (3) kemampuan berpikir kritis meningkat dari

49,45% (cukup kritis) pada siklus Imenjadi 72,47% (kritis) pada siklus II; dan(4) hasil

belajar kognitif meningkat dari 54,55 (tidak tuntas)pada siklus Imenjadi 77,78 (tuntas)

pada siklus II.

Kata kunci:IDEAL Problem Solving,peta konsep, kemampuan berpikir kritis, hukum-

hukum dasar kimia, stoikiometri.

Abstract.Implementation of IDEAL Problem Solvinglearning model with mind map on

The Laws of chemistry and Stoichiometry have studied. The aims of the research are to

increase (1) teacher activity, (2) student activity, (3)critical thinking skill, and (4)

learning outcomes of cognition. The study used a classroom action research design

consisting of two cycles.Each cycle consist of planning, acting, observing, and

reflecting. The subjects of this study were 33 students of class X MIA 5SMA Negeri 2

Banjarmasin. The research’s instrument were observation sheets, cognition learning

outcomes test, and critical thinking skill test.Data analyzed quantitativelyas well as

qualitatively. The results showed that (1) teacher activity increase from 55,83 (good)

on first cycle to 64,83(excellent) on second cycle; (2) student activity increase from

43,33(average)on first cycle to52,17 (active) on second cycle; (3) critical thinking skill

increase from 49,45% (average) on first cycle to 72,47% (critical) on second cycle; and

(4) learning outcomes of cognition increase from 54,55 (uncomplete) on first cycle to

77,78(complete) on second cycle.

Keywords: IDEAL Problem Solving, mind map, critical thinking skill, the laws of

chemistry, stoichiometry.

PENDAHULUAN

Potret pendidikan tanah air saat ini gawat darurat, karena data Kemendikbud mencatat

bahwa pendidikan di Indonesia menunjukkan hasil buruk (Prasetyaning, 2014). Selain itu,

kualitas pendidikan Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN

(Susanti, 2016). Lembaga Programme for International Study Assessment (PISA) 2015

menunjukkan bahwa literasi sains siswa Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara

(PISA, 2015). Data lainnya menunjukkan terjadi penurunan signifikan hasil Ujian Nasional

(UN) mata pelajaran Kimia diselenggarakan pada tingkat SMA/MA antara tahun 2012 ke

Page 130: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

118

tahun 2013, kemudian kembali terjadi pada tahun 2014 (Kemendibud, 2014). Hal ini

mengindikasikan kemampuan memecahkan masalah siswa Indonesia masih lemah.

Kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah disebabkan pola pembelajaran

masih didominasi paradigma teaching (teacher-centered), non-konstruktivistik. Padahal,

paradigma learning (students-centered) diperlukan untuk menciptakan pembelajaran

yang efektif dan terkonstruksi dengan baik, sehingga siswa memiliki kemampuan

pemecahan masalah yang baik untuk menghadapi tantangan di dunia kerja.

Kimia sebagai salah satu mata pelajaran kelompok IPA dikatakan menakutkan karena

siswa harus memahami konsep secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, kesulitan pembelajaran kimia di SMA Negeri 2

Banjarmasin, yaitu kurangnya kemampuan siswa menghubungkan antar konsep kimia,

menganalogikan zat dengan ukuran kecil dalam kehidupan sehari-hari, lemahnya penguasaan

konsep dasar, serta waktu pembelajaran tidak efektif. Oleh karena itu, siswa kehilangan

motivasi belajar untuk melibatkan kemampuan berpikirnya, terutama memecahkan masalah.

Kemampuan berpikir dan motivasi dapat ditingkatkan dengan pembelajaran bermakna.

Pembelajaran bermakna mendorong siswa memahami dengan jelas tentang konsep-

konsep, bahkan mengoreksi penyampaian konsep yang salah. Pembelajaran bermakna dapat

disajikan dalam permasalahan yang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi,

diantaranya berpikir kritis, terutama untuk siswa SMA yang memiliki kemampuan berpikir

kritis tergolong rendah (Utami, Saputro, Ashadi, & Masykuri, 2017).

Pembelajaran bermakna dilaksanakan untuk mengembangkan cara berpikir siswa

melalui pemecahan masalah, salah satunya kemampuan berpikir kritis (Espinosa, España, &

Marasigan, 2016). Kemampuan berpikir kritis digunakan untuk menentukan keputusan

berdasarkan fakta, pertimbangan pandangan alternatif, serta hipotesis (Nelson, Palonsky, &

McCarthy, 2007). Pemecahan masalah mendorong siswa berpendapat dengan

mempertimbangkan lainnya, sehingga mengembangkan kepercayaan diri, pemikiran yang

terbuka dan memahami keputusan terbaik (Thomas, 2011).

Salah satu model pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan

hasil belajar melalui pemecahan masalah, yaitu IDEAL Problem Solving oleh Bransford &

Stein (Indriyani, 2016; Prasetya, Kartono, & Widodo, 2012). Model ini menekankan pada

penggunaan metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur dan teliti untuk

memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif, ser ta memecahkan masalah dengan

rasional, lugas dan tuntas. IDEAL merupakan singkatan dari I-Identify problem, D-Develop

and define goal, E-Explore possible strategies, A-Anticipate outcomes and acts, L-Look back

and learn. Peta konsep memberikan ide-ide pokok yang mendukung tujuan pembelajaran

(Angeli & Valanides, 2015) sebab membentuk kerangka pemikiran, serta

menghubungkannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penyelidikan (Daley, 2010).

Kesuksesan seseorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah bergantung pada

cara berpikir dan teknik melakukannya. Jika siswa mampu menyelesaikan masalah,

berarti siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memahami masalah yang

dihadapi, menyusun strategi yang mungkin untuk menyelesaikan masalah, lalu

mengevaluasinya. Proses mengevaluasi strategi yang telah dirancang dapat dilakukan jika

siswa mengetahui kedudukan konsep dalam materi pelajaran. Oleh sebab itu, peta konsep

dapat menjadi media efektif secara ringkas dan praktis yang menata cara berpikir siswa

menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya. Peta konsep mengikuti pola

pemikiran otak, sehingga memudahkan dalam mengingat dan memahaminya secara benar.

Metode ini mampu menuntun kemampuan siswa berpikir kritis dalam mengantispasi

hasil tindakan pada penerapan model IDEAL Problem Solving. Penggunaan peta konsep

pada model Pembelajaran IDEAL Problem Solving diterapkan pada tahap A- Anticipate

outcomes and act (mengantisipasi hasil dan tindakan).

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyakini kemampuan berpikir kritis mampu

meningkatkan pemahaman siswa dan motivasi siswa dalam memahami materi Hukum-

Hukum Dasar Kimia dan Stoikiometri secara bermakna. Penggunaan Model IDEAL Problem

Solving dengan bantuan peta konsep untuk mengantisipasi hasil dan tindakan diharapkan

Page 131: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

119

mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar pada kelas X MIA 5

SMAN 2 Banjarmasin Tahun Ajaran 2016/2017.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action

research) berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan (Suhardjono, Arikunto, &

Supardi, 2012). Tahapan penelitian setiap siklus, yaitu perencanaan (Planning), tindakan

(Action), pengamatan (Observing) dan refleksi (Reflecting). Penelitian ini dilaksanakan

dengan 2 siklus mulai tanggal 9 Maret hingga 10 Mei 2017 di SMA Negeri 2 Banjarmasin.

Subjek penelitian ini yaitu siswa X MIA 5, terdiri dari 21 siswi dan 12 siswa. Pelaksanaan

setiap siklus terdiri dari 2 pertemuan (2 x 3 x 45 menit) dan tes akhir siklus (2 x 45 menit).

Adapun perangkat penelitian meliputi silabus, RPP, LKS, lembar observasi, serta instrumen

yang telah divalidasi. Instrumen penelitian berupa instrumen tes untuk kemampuan berpikir

kritis dan hasil belajar; serta instrumen non tes untuk aktivitas guru dan siswa.

Penilaian data kuantitatif menggunakan skala likert 1-5. Adapun penilaian aktivitas

guru, sebagai berikut: skor 15-26 (sangat kurang); 27-38 (kurang); 39-50 (cukup); 51-62

(baik); serta 63-75 (sangat baik). Sedangkan, penilaian aktivitas siswa, yaitu skor 13-23

(sangat kurang); 24-34 (kurang); 35-45 (cukup); 46-56 (baik); serta 57-65 (sangat baik).

Sedangkan, penilaian terhadap data kualitatif berdasarkan nilai yang didapatkan dengan

menggunakan skala 0-100. Penilaian hasil belajar kognitif siswa dikatakan tuntas jika

nilainya ≥ 70. Sedangkan penilaian kemampuan berpikir kritis siswa, yaitu skor 0-20 (tidak

kritis); 21-40 (kurang kritis); 41-60 (cukup kritis); 61-80 (kritis); serta 81-100 (sangat kritis).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan peta konsep sebagai alat bantu dalam mengevaluasi

langkah strategi pemecahan masalah IDEAL Problem Solving, yaitu pada tahap A-

Anticipate outcomes and acts. Pelaksanaan penelitian siklus II disebabkan siklus I belum

mampu memecahkan permasalahan kelas, sehingga dilanjutkan pada siklus berikutnya yang

mengacu pada hasil refleksi. Hasil refleksi siklus I, yaitu memberikan apersepsi secara

sederhana dan mudah dipahami; menyesuaikan kelompok belajar dengan komunitas

pertemanan; menyertakan petunjuk yang rinci pada LKS; mendorong partisipasi aktif setiap

siswa; mengendalikan kelas saat diskusi; membimbing dengan efektif dalam penarikan

kesimpulan; serta mempertimbangkan efisiensi waktu.

Aktivitas guru telah mencapai baik sesuai indikator keberhasilan siklus sejak siklus I.

Akan tetapi, peningkatan ini tidak diikuti tercapainya tujuan penelitian lainnya. Siklus II

menunjukkan aktivitas semakin meningkat sebab penyajian masalah yang mudah dipahami

dan menarik memotivasi siswa memecahkan masalah (Purnomo & Mawarsari, 2014), serta

keahlian menggunakan LKS dengan benar (Takahashi, 2016). Selain itu, bimbingan dengan

waktu yang lebih lama (membaca) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan

memberikan penyelesaian soal (Kizilirmak, Wiegmann, & Richardson-Klavehn, 2016).

Peningkatan aktivitas guru disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Aktivitas guru pada siklus I dan siklus II

54,33

63,3357,33

66,33

0

10

20

30

40

50

60

70

Siklus I Siklus II

Sk

or

Pertemuan 1

Pertemuan 2

Page 132: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

120

Aktivitas siswa meningkat dari skor rata-rata 44,33 (cukup aktif) menjadi 52,17

(aktif), sehingga telah mencapai indikator keberhasilan. Menurut Prasetya, Kartono, &

Widodo (2012) model pembelajaran IDEAL Problem Solving meningkatkan pemecahan

masalah yang tinggi yang berakibat pada ketuntasan belajar yang lebih baik. Pembelajaran

ini menuntut siswa aktif diskusi, bertanya dan menjawab, serta memaparkan jawaban

dengan semangat dan percaya diri. Selain itu, lingkungan yang mendukung kerjasama juga

memotivasi siswa aktif terlibat dalam kelompok dan mengembangkan kemampuan berpikir

kritis (Zhou, Huang, & Tian, 2013). Siswa telah membuat peta konsep dengan benar, sehingga

mampu membuat kerangka pemikiran dan menjawab pertanyaan penyelidikan (Daley, 2010),

serta mendorong siswa memahami keseluruhan materi (Yunita, Sofyan, & Agung, 2014)

Peningkatan aktivitas siswa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Aktivitas siswa pada siklus I dan siklus II

Keberhasilan peningkatan pada siklus II dipengaruhi oleh hasil refleksi pada siklus

I. Kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan menargetkan kualitas tugas maupun

masalah yang didiskusikan, meningkatkan peran siswa dalam diskusi kelompok, serta

memberikan umpan balik yang tepat (Tiruneh, Verburgh, & Elen, 2014). Model IDEAL

Problem Solving mendorong siswa mengemukakan ide, berpikir sistematis dan logis sesuai

data (Indriyani, 2016). Kesempatan siswa berpendapat juga meningkat kepercayaan diri,

pemikiran terbuka, dan memahami keputusan yang baik (Thomas, 2011), termasuk indikator

menyimpulkan, baik secara induktif maupun deduktif (Papathanasiou, Kleisiaris, &

Fradelos, 2014). Peningkatan kemampuan berpikir kritis disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa siklus I dan siklus II

Keterangan:

A = memfokuskan pertanyaan

B = memutuskan suatu tindakan

C = mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi

D = menginduksi

Keberhasilan peningkatan hasil belajar kognitif secara klasikal dipengaruhi oleh ini

disebabkan proses yang dilalui siswa, guru berperan membimbing dan memfasilitasi

(Sanjaya, 2013), serta hasil refleksi siklus I. Selain itu, sifat materi siklus I bersifat konseptual

lebih sulit dipahami dibandingkan prosedural, salah satunya hukum-hukum dasar kimia

(Purnomo & Mawarsari, 2014). Peta konsep tidak berjalan efektif pada siklus I, sehingga

40,335046,33

54,33

0

20

40

60

Siklus I Siklus II

Sk

or

Pertemuan 1

Pertemuan 2

68,1857,24

31,31

41,08

78,11 77,44

64,3170,03

0

20

40

60

80

100

A B C D

Nil

ai

(%)

Siklus I

Siklus II

Page 133: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

121

siswa tidak mengorganisir pengetahuannya dengan kaitan yang jelas (Pohan, 2013). Siswa

juga belum memiliki konsep dasar yang memadai, sehingga pemecahan masalah menjadi

terkendala (Wah & Girl, 2000). Ketuntasan secara klasikal pada siklus I disajikan pada

Gambar 4.

Gambar 4. Nilai ketuntasan hasil belajar kognitif siswa pada siklus I

Pencapaian hasil belajar kognitif siklus II mencapai indikator keberhasilan, yaitu

melebihi 70%. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan objek penelitian diikuti juga oleh

hasil belajar siswa. Siswa mampu menghadapi permasalahan dengan berbagai jalan sebab

penyajian permasalahan yang sesuai (Ersoy, 2016). Pembelajaran stoikiometri yang

melibatkan proses berpikir dalam memecahkan masalah menjadikan siswa belajar secara

mandiri membangun pengetahuan mereka dengan melibatkan kemampuan berpikir kritis

(Espinosa, España, & Marasigan, 2016), serta kepercayaan diri yang baik (Papathanasiou,

Kleisiaris, & Fradelos, 2014).

Gambar 5. Nilai ketuntasan hasil belajar kognitif siswa pada siklus II

Karakteristik materi pembelajaran mempengaruhi keberhasilan pembelajaran.

Stoikiometri sebagai topik utama dalam pembelaran memerlukan penguasaan hukum-hukum

dasar sebagai konsep awal. Stoikiometri menjadi istilah yang asing bagi siswa. Ketika

dianalogikan sebagai ‘aljabar” di kimia, maka siswa bisa membayangkan pentingnya materi

ini, beserta kesulitannya, penggunaan istilah Perhitungan Kimia lebih membantu. Hal ini

penting membentuk motivasi siswa dalam mempelajari materi kimia, serta ketahanan siswa

dalam menyelesaikan soal yang disajikan. Selain itu, materi ini menuntut pemahaman

algoritmik dan konsep, sehingga kemampuan matematis dan menganalogikan sesuatu

penting dalam memahami kimia.

Siswa sulit menemukan hubungan antar hukum-hukum dasar kimia, padahal hukum

yang satu didasari oleh hukum yang lainnya, seperti hukum kekekalan massa yang mendasari

hukum perbandingan tetap. Selain itu, peta konsep tidak efektif untuk mengorganisir

pengetahuan dalam mengaitkan hukum-hukum dasar kimia secara jelas, sebab siswa belum

terbiasa dengan strategi ini dan kurangnya keahlian dalam menggunakannya dengan baik.

Percobaan hukum kekekalan massa membuat siswa kehilangan fokus mendapatkan

informasi yang diperlukan, akibatnya kelas kurang terkendali, terutama saat praktikum dan

presentasi berlangsung. Pembelajaran yang menuntut siswa berpikir kritis tergantung

48,49%

51,51%

Tuntas

Belum Tuntas

78,79%

21,21%Tuntas

Belum Tuntas

Page 134: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

122

terhadap kemampuannya dalam memotivasi siswa, peduli terhadap pemahamannya, serta

kegiatan refleksi (Zhou, Huang, & Tian, 2013). Selain itu, kesulitannya juga terletak pada

cakupan materi yang mengingat bunyi hukum keberhasilan (Purnomo & Mawarsari, 2014).

Siswa kesulitan mempelajari rumus kimia disebabkan kurangnya pengetahuan awal

tentang rumus kimia suatu zat, termasuk zat sehari-hari yang sering dijumpai. Meskipun

demikian, pembelajaran materi ini berhasil dituntaskan sebab terdapat sedikit pengetahuan

awal yang membantu siswa membangun pengetahuannya berdasarkan informasi yang telah

diterima (Kizilirmak, Wiegmann, & Richardson-Klavehn, 2016). Adanya kolaborasi yang

baik menciptakan lingkungan yang mendukung setiap individu dalam bekerja secara mandiri

dan di dalam kelompok (Senthamarai, Sivapragasam, & Senthilkumar, 2016; Zhou dkk.,

2013).

Persamaan reaksi mudah dipahami dan dianalogikan dengan konsep jungkat-jungkit

untuk mempertahankan jumlah masing-masing ruas. Ditinjau jenis pemahamannya, materi

ini didominasi oleh kemampuan algoritmik. Siswa harus terlatih dalam memberikan

koefisien yang benar, sehingga jumlah unsur yang terlibat sama besarnya.

(1) Al(s) + HCl(aq) AlCl3(aq) + H2(g).

(2) C2H6 + O2 CO2 + H2O

Berdasarkan reaksi tersebut, siswa dengan mudah memahami penyetaraan reaksi (1). Akan

tetapi, siswa memerlukan pemantapan konsep ketika disungguhkan reaksi yang lebih rumit

seperti reaksi (2). Hal ini dikarenakan penggunaan pecahan yang belum terbiasa dilakukan

siswa, serta penguasaan kimia dalam menggunakan operasional matematika secara

sederhana. Siswa tidak bisa memahami penyelesaian masalah yang dijelaskan pada LKS,

siswa memerlukan bimbingan dan latihan tentang penyetaraan reaksi. Hal ini juga disebutkan

dalam penelitian Takashahi (2016) bahwa pengajaran menggunakan buku teks memerlukan

pengetahuan dan keahlian dalam menggunakannya selama proses pembelajaran. Siswa

memerlukan penjelasan tentang alur transfer informasi dengan media LKS.

Kesulitan dalam penyetaraan reaksi bisa teratasi dengan soal penyetaraan pada

subbab berikutnya tentang perhitungan yang juga memerlukan kemampuan menyetarakan

reaksi. Akan tetapi, kemampuan siswa yang bervariasi memberikan perbedaan kecepatan

menyelesaikan masalah, sehingga siswa pintar masih mendominasi kinerja kelompok,

terlihat dari hasil tes siklus I maupun siklus II jika dikumpulkan berdasarkan kelompok. Hal

ini juga sebanding dengan kemampuan berpikir kritis. Siswa yang memiliki pemahaman

yang baik didominasi oleh siswa perempuan, tapi belum cukup data untuk menyimpulkan

bahwa siswa laki-laki lebih lamban dalam berpikir kritis seperti penelitian Duran (2016)

terhadap kemampuan memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan jumlah siswa perempuan

memang lebih banyak, sehingga peluang siswa yang aktif dan pintar didominasi oleh siswa

perempuan. Alasan yang mendukung perbedaan tiap siswa dikarenakan oleh pengetahuan

awal yang dimiliki dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Siswa yang memiliki

penguasaan konsep-konsep pendahuluan yang baik menunjukkan hasil yang baik pula

(Tiruneh dkk., 2014).

Konsep mol mendasari perhitungan kimia. Pada penelitian ini, konsep diolah dalam

bentuk peta konsep, sedangkan pada materi perhitungan menerapkan peta konsep yang telah

dibuat. Pada saat pembelajaran konsep mol, siswa belum memahami secara bermakna peta

konsep yang telah diolahnya. Siswa memiliki pengetahuan awal saat mempelajari

perhitungan kimia yang membantu mereka membangun pengetahuan secara mandiri.

Kemampuan berpikir kritis siswa dalam memecahkan masalah telah terbentuk dengan baik

saat mempelajari konsep ini.

Penggunaan perangkat pembelajaran yang sesuai meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah yang berakibat pada kemampuan berpikir secara logis (Seyhan, 2015).

Selain itu, berlangsungnya pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan pemahaman

kimia berbasis peta konsep (Santoso & Supriadi, 2014) sebagai alat evaluasi untuk melihat

kesesuaian konsep. Menurut Espinosa dkk. (2016) pembelajaran stoikiometri harus

melibatkan proses berpikir dalam memecahkan masalah, sehingga siswa mampu secara

Page 135: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

123

mandiri membangun pengetahuan mereka dengan melibatkan kemampuan berpikir kritis.

Pemberian waktu yang lebih banyak (membaca) bagi siswa lebih membantu meningkatkan

kemampuan memecahkan masalah dibandingkan penyajian langkah penyelesaian masalah

(Kizilirmak dkk., 2016).

Pembelajaran materi ini melibatkan percobaan untuk mengetahui sifat senyawa yang

mengikat sejumlah molekul air (H2O) di dalam strukturnya. Perubahan jumlah zat air yang

terikat akibat pemanasan menyebabkan perubahan warna. Siswa antusias melakukan

percobaa ini, tapi siswa memerlukan penguatan materi dalam menghitung jumlah kristal.

Pemahaman algoritmik dan ketuntasan pemahaman tentang rumus kimia mempengaruhi

keberhasilan siswa.

Pencapaian ketuntasan indikator pembelajaran ini tertinggi dibandingkan indikator

pembelajaran lainnya, baik pada siklus I dan siklus II. Hal ini menunjukkan pemahaman

konsep tentang kristal yang dilakukan melalui percobaan berhasil meningkatkan hasil belajar

dan kemampuan bepikir kritis siswa (Seyhan, 2015). Akan tetapi, pencapaian kemampuan

berpikir kritis untuk indikator 3 dan 4 masih rendah menunjukkan adanya kesulitan siswa

dalam mempelajari materi ini. Pemecahan masalah memerlukan siswa dengan pemikiran

terbuka, berdedikasi, dan bertanggungjawab (Wah & Girl, 2000). Saat pembelajaran dalam

kelompok, kelompok masih didominasi oleh beberapa siswa yang unggul, sehingga

peningkatkan kemampuan mengevaluasi dan menyimpulkan belum mencapai hasil yang

memuaskan, meskipun telah berada dalam kategori kritis. Meskipun begitu, pembelajaran

dengan kemampuan berpikir kritis ini mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa

(Papathanasiou dkk., 2014; Zhou dkk., 2013).

Ditinjau dari pelaksanaan model pembelajaran IDEAL Problem Solving, terdapat

beberapa hal yang harus diperhatikan mencakup kesulitan dan kemudahan dalam penerapan

model pembelajaran IDEAL Problem Solving dengan berbantuan peta konsep. Misalnya,

pada tahap mengidentifikasi masalah, masalah yang disajikan dalam LKS harus

menggunakan bahasa yang sederhana, serta mudah dipahami oleh siswa. Kesulitannya

terletak saat memilih permasalahan yang mudah, tapi tetap sesuai dengan konteks materi ajar

kimia.

Permasalahan berdasarkan kehidupan sehari-hari dalam kimia menarik, tapi

memerlukan usaha yang lebih keras untuk mengemasnya secara sederhana. Hal ini terlihat

dari permasalahan balon udara mengetahui hukum-hukum gas yang berlaku, angka

sebenarnya seringkali menuntut perhitungan yang lebih rumit, baik dalam angka desimal

maupun ribuan. Selain itu, siswa seringkali tidak terfokus terhadap permasalahan, sebab lebih

tertarik pada hal-hal yang baru diketahui dalam masalah yang disajikan. Siswa juga terbiasa

menemukan permasalahan dengan indikasi tanda tanya dalam soal, sehingga beberapa siswa

mengalami keraguan dalam menyakini permasalahan tersebut.

Akan tetapi, walaupun penyelesaian masalah memerlukan waktu yang lebih lama

untuk mengidentifikasi, siswa terpacu untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis. Siswa

mampu melihat permasalahan yang terdapat dalam teks soal. Permasalahan yang disajikan

juga mampu memberikan informasi baru kepada siswa, meski memerlukan penjelasan

panjang agar siswa dapat mengidentifikasi masalah.

Hal yang sama juga terdapat dalam pelaksanaan tahapan model pembelajaran IDEAL

Problem Solving yang lain, terutama pada saat menentukan tujuan; menganalisis hasil dan

tindakan. Siswa tidak terbiasa dalam menuliskan tujuan, padahal hal ini merupakan kunci

dari pemecahan masalah. Tujuan yang berbeda akan menghasilkan strategi yang berbeda.

Siswa terpaku untuk menuliskan kembali permasalahan seperti tahap pertama dalam kalimat

penyataan. Kurangnya percaya diri juga menjadi kesulitan dalam melaksanakan tahap ini,

bahkan beberapa siswa enggan untuk menuangkan pemikirannya dalam penetapan tujuan.

Tahap ini banyak melibatkan kemampuan berpikir, sehingga siswa seringkali kehilangan

motivasi dalam menyelesaikannya.

Namun, langkah ini juga mampu membuat siswa terorganisir dalam memecahkan

permasalahan. Tujuan membuat strategi mudah dijalankan. Selain itu, siswa mendapatkan

keterampilan untuk menentukan tujuan yang sesuai, lalu mengurutkan tujuan untuk

memecahkan permasalahan.

Page 136: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

124

Siswa mampu melaksanakan strategi berdasarkan tujuan untuk memecahkan masalah.

Strategi membuat siswa mengerti permasalahan secara keseluruhan, sebagian besar siswa

tidak pernah melewatkan tahap ini. Hal ini menunjukkan kegiatan ekplorasi strategi yang

mungkin mampu mendorong siswa berpikir kritis dengan memutuskan tindakan. Selain itu,

siswa terdorong untuk bekerja sama ketika melaksanakan tahap ini, sebab terdapat beberapa

tujuan yang pelaksanaannya bisa dikerjakan masing-masing, lalu hasilnya digunakan untuk

memecahkan masalah.

Meskipun, terdapat kendala, salah satunya kemampuan siswa yang beragam dalam

berpikir, mulai dari cepat berpikir hingga menunggu mendapatkan jawaban dari teman

lainnya. Strategi ini memerlukan usaha yang lebih keras dalam berpikir, sehingga seringkali

menurunkan keinginan siswa melanjutkan tahap selanjutnya. Beberapa selingan diperlukan

saat melaksanakan tahap ini, apresiasi pun harus dipacu untuk memotivasi siswa. Selain itu,

terkadang siswa yang mendominasi pemecahan masalah mengakibatkan turunnya aktivitas

siswa yang memiliki kemampuan berpikir lebih rendah.

Pada umumnya, proses mencari jawaban berhenti hingga tahap ketiga, tapi

penambahan dua tahap terakhir dalam IDEAL Problem Solving mampu mendorong siswa

memproses informasi secara kritis, tidak gampang puas dengan satu jawaban, lalu dapat

memiliki keyakinan terhadap jawabannya. Siswa yang mengantisipasi hasil melalui peta

konsep, lalu bertindak dengan menggunakan analisis data. Hal ini membuat siswa mampu

melihat kedudukan setiap konsep dalam sebuah bagan, lalu mengkoreksi kembali strategi

pemecahan masalah.

Hal ini tampak sederhana sebab siswa telah menyelesaikan permasalahan dalam

strategi yang ditulis pada tahap sebelumnya. Akan tetapi, bahkan pada hasil siklus II, terdapat

beberapa siswa yang belum menyelesaikannya dengan baik. Sedangkan, pada saat tes siklus

I, siswa yang melewati tahap ini atau melontarkan jawaban yang tidak sesuai. Guru perlu

memfokuskan perhatian mereka untuk mempertimbangkan hasil observasi dalam

mengantisipasi selama pembelajaran dan menunjukkan manfaat dari pelaksanaan tahap ini

dalam menyelesaikan masalah.

Kegiatan pemecahan masalah diakhiri dengan penarikan kesimpualan dari

penyelesaian masalah yang telah dilakukan. Siswa dapat bekerja keras terhadap belajar dan

melihat kebenaran konsep yang dipelajari. Meskipun, kegiatan ini memerlukan pemusatan

perhatian dan juga pengaturan waktu yang tepat, sebab siswa seringkali masih malu dan ragu-

ragu dalam melakukan presentasi.

Kegiatan presentasi yang bertujuan untuk melihat langkah pemecahan masalah dari

kelompok lain mampu membuat siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan

secara rinci sesuai metode ilmiah tentang proses pemecahan masalah. Siswa dapat

menginduksi dengan baik seiring dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis.

Model pembelajaran IDEAL Problem Solving pada materi hukum-hukum dasar

kimia dan stoikiometri meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif

melalui diskusi, presentasi serta praktikum. Penerapan model ini memerlukan penekanan

untuk memotivasi siswa, membentuk lingkungan belajar yang nyaman, serta materi yang

mudah dipahami secara sederhana. Selain itu, hal yang mempengaruhi pembelajaran materi

ini diantaranya komunitas belajar, pengetahuan awal, serta waktu yang cukup untuk

memecahkan masalah.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa (1) aktivitas guru

meningkat dari 55,83 (baik) menjadi 64,83 (sangat baik); (2) aktivitas siswa meningkat dari

43,33 (cukup aktif) menjadi 52,17 (aktif); (3) kemampuan berpikir kritis meningkat dari

49,45% (cukup kritis) menjadi 72,47% (kritis); dan (4) hasil belajar kognitif meningkat dari

54,55% menjadi 77,78%.

Selain itu, hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa model pembelajaran

IDEAL Problem Solving dapat digunakan sebagai alternatif meningkatkan kemampuan

berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada materi hukum-hukum dasar kimia dan

stoikiometri atau materi yang memilki karakteristik yang hampir sama. Akan tetapi, model

Page 137: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

125

pembelajaran ini memerlukan perencanaan dan pelaksanaan dengan waktu yang efektif,

terutama pelaksanaan tahapan mengantisipasi tindakan dan hasil, serta tahap melihat kembali

dan belajar. Pembelajaran ini sebaiknya memperhatikan komunitas belajar siswa di kelas,

memastikan ketuntasan konsep pendahuluan, kemampuan matematis, serta menyediakan

waktu mengekplorasi yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Angeli, C., & Valanides. (2015). Technological pedagogical content knowledge: Exploring,

developing, and assessing TPCK. New York: Springer.

Arikunto, S. (2015). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (2nd ed.). Jakarta: Bumi Aksara.

Bransford, J. D., Haynes, A. F., Stein, B. S., & Lin, X. (1998). The IDEAL Workplace:

Strategies for Improving Learning, Problem Solving, and Creativity.

NashvilleREAD. Nashville: ERIC.

Bransford, J. D., Sherwood, R. D., & Sturdevant, T. (1984). Teaching Thinking and Problem

Solving. George Peabody Coll. for Teachers, Nashville, TN. Learning Technology

Center. Nashville: ERIC.

Daley, B. J. (2010). Concept maps: Practice applications in adult education and human

resource development. New Horizons in Adult Education and Human Resource

Development, 24(2), 30-36.

Dikdasmen. (2015). Panduan Penilaian untuk Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Dimyati, & Mudjiono. (2013). Balajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Duran, M. (2016). An Academic Survey Concerning High School and University Students’

Attitudes and Approaches to Problem Solving in Chemistry. International Journal

of Environmental & Science Education, 11(5), 819-837.

English, L., Lesh, R., & Fennewald, T. (2008, July 6). Future Directions and Perspectives

for Problem Solving Research and Curriculum Development. Retrieved January 18,

2017, from QUT: http://eprints.qut.edu.au/

Ersoy, E. (2016). Problem solving and its teaching in mathematics. The Online Journal of

New Horizons in Education, 6(2), 79-87.

Espinosa, A. A., España, R. C., & Marasigan, A. C. (2016). Investigating pre-service

chemistry teachers’ problem solving strategies: Towards developing a framework

in teaching stoichiometry. Journal of Education in Science, Environment and

Health, 2(2), 104-124.

Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. (S. ME, Ed.) Jakarta:

Pretasi Pustakarya.

Indriyani, R. W. (2016). Penerapan model pembelajaran IDEAL problem solving dalam

menyelesaikan masalah matematika pada materi keliling dan luas persegi panjang

dan persegi bagi siswa kelas VII SMP. MATHEdunesa, 2(5), 100-108.

Jegede, S. C. (2007). The Effect of Problem-Solving Technique on Students' Competence in

Tackling Chemical Problems. Research Journal of Applied Sciences, 2(7), 801-803.

Kemendibud. (2014). Laporan hasil ujian nasional tahun 2014. Jakarta: Pusat Penilaian

Pendidikan- Balitbang Kemdikbud.

Kizilirmak, J. M., Wiegmann, B., & Richardson-Klavehn, A. (2016). Problem solving as an

encoding task: A special case of the generation effect. Journal of Problem Solving,

9, 59-76.

Nelson, J. L., Palonsky, S. B., & McCarthy, M. R. (2007). Critical issues in education (6th

ed.). New York: McGraw-Hill.

Novak, J. D., & Cañas, A. J. (2006, December 12). The Theory Underlying Concept Maps

and How to Construct Them. Retrieved January 11, 2017, from Florida Institute for

Human and Machine Cognition (IHMC):

http://cmap.ihmc.us/Publications/ResearchPapers/TheoryUnderlyingConceptMaps

.pdf

Page 138: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

126

Papathanasiou, I. V., Kleisiaris, C., & Fradelos, E. (2014). Critical thinking: The

development of an essential skill for nursing students. ACTA INFORM MED, 22(4),

283-286.

Petrucci, R. H., Harwood, W. S., Herring, F. G., & Madura, D. J. (2011). Kimia Dasar:

Prinsip-Prinsip dan Aplikasi Modern. Jakarta: Erlangga.

PISA. (2015). Programme for international student assessment. Retrieved Desember 5,

2016, from http://pisa.gc.id

Pohan, L. A. (2013). Penggunaan strategi peta konsep (concept mapping) sebagai upaya

peningkatan hasil belajar kimia siswa. Keguruan, 1(1), 67-72.

Prasetya, A., Kartono, & Widodo, A. T. (2012). Model IDEAL Problem Solving untuk

Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah di Kelas Olimpiade. Lembaran Ilmu

Kependidikan, XLI(1), 1-6.

Purnomo, E. A., & Mawarsari, V. D. (2014). Peningkatan kemampuan pemecahan masalah

melalui model pembelajaran IDEAL problem solving berbasis project based

learning. JKPM, 1(1), 24-31.

Ratumanan, T. G., & Laurens, T. (2006). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan

Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press.

Ratumanan, T. G., & Laurent, T. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan

Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press.

Rusman. (2016). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (2nd

ed.). Jakarta: Rajawali Press.

Sani, R. A. (2013). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Sanjaya, W. (2013). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group.

Santoso, T., & Supriadi. (2014). Pembelajaran penalaran argumen berbasis peta konsep.

Prosiding Seminar Nasional Kimia (pp. 134-143). Surabaya: Jurusan Kimia

FMIPA Universitas Negeri Surabaya.

Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan (2nd ed.). (T. Wibowo, Trans.) Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Senthamarai, K., Sivapragasam, C., & Senthilkumar. (2016). A study on problem solving

ability in mathematics of IX standard students in Dindigul district. International

Journal of Applied Research, 2(1), 797-799.

Seyhan, H. G. (2015). The effects of problem solving applications on the development of

science process skills, logical thinking skills and perception on problem solving

ability in science laboratoty. Asia-Pasific Forum on Science Learning and

Teaching, 16(2), 1-31.

Siswanto, B., Waluya, B., & Wardono. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan

Masalah Melalui Pembelajaran IDEAL Problem Solving-Konstruktivisme

Berorientasi Pendidikan Karakter. Unnes Journal of Mathematics Education

Research, II(2), 95-100.

Slavin, R. E. (2011). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (9th ed., Vol. II). Jakarta: PT

Indeks.

Suhardjono, Arikunto, S., & Supardi. (2012). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi

Aksara.

Suprijono, A. (2012). Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suriansyah, A., Aslamiah, Sulaiman, & Noorhafizah. (2014). Strategi Pembelajaran.

Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Susanti, A. (2016). Kualitas pendidikan Indonesia terendah di ASEAN. Retrieved Oktober

13, 2016, from http://news.okezone.com

Syukri, S. (1999). Kimia Dasar jilid 1. Bandung: ITB.

Takahashi, A. (2016). Recent trends in Japanese mathematics textbooks for elementary

grades: Supporting teachers to teach mathematics through problem solving.

Universal Journal of Educational Research, 4(2), 313-319.

Page 139: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

127

Thomas, T. (2011). Developing first year students’ critical thinking skills. Asian Social

Science, 7(4), 26-35.

Tiruneh, D. T., Verburgh, A., & Elen, J. (2014). Effectiveness of critical thinking instruction

in higher education: A systematic review of intervention studies. Higher Education

Studies, 4(1), 1-17.

Trianto. (2007). Model–Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:

Prestasi Pustaka.

Utami, B., Saputro, S., Ashadi, & Masykuri, M. (2017). Critical thinking skills profile of

high school students in learning chemistry. International Journal of Science and

Applied Science: Conference Series, 1(2), 124-130.

Wah, L. L., & Girl, T. A. (2000). Chemistry teachers' network: A source book for chemistry

teachers. Singapore: Singapore National Institute of Chemistry.

Yunita, L., Sofyan, A., & Agung, S. (2014). Pemanfaatan peta konsep (concept mapping)

untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep senyawa hidrokarbon.

EDUSAINS, 6(1), 2-8.

Zhou, Q., Huang, Q., & Tian, H. (2013). Developing students’ critical thinking skills by task-

based learning in chemistry experiment teaching. Scientific Research, 4(12), 40-45.

Page 140: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

128

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ACCELERATED LEARNING

TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR

STOIKIOMETRI SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2016/2017

The Practice of Accelerated Learning Model towards Stoichiometric

Critical Thinking Skill and Learning Outcome of SMAN 2 Banjarmasin

10th Grade Students in Academic Year of 2016/2017

Abdul Hamid1, Leny1, Febrina Rosanti Tirto1* 1Program Studi Pendidikan Kimia, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak.Penelitian yang dilakukan mengenai penerapan Accelerated Learning pada

materi stoikiometri kelas X SMA Negeri 2 Banjarmasin. Tujuan penelitian untuk

mengetahui (1) perbedaan kemampuan berpikir kritis, (2) perbedaan hasil belajar

kognitif, dan (3) respon siswa terhadap model Accelerated Learning. Penelitian

menggunakan metode eksperimental-kuasi dengan desain nonequivalent control group.

Sampel diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu sebanyak 67 siswa dari kelas

X MIA 4 dan X MIA 6 SMA Negeri 2 Banjarmasin. Data dikumpulkan melalui tes

kemampuan berpikir kritis, tes hasil belajar kognitif, dan angket respon siswa. Analisis

dilakukan secara deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)

terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan, (2) terdapat perbedaan

hasil belajar kognitif yang signifikan, dan (3) siswa memberikan respon yang positif

terhadap model Accelerated Learning pada materi stoikiometri.

Kata kunci: Accelerated Learning, kemampuan berpikir kritis, hasil belajar kognitif,

respon siswa, stoikiometri

Abstract.The research has been done about the practice of Accelerated Learning model

on stoichiometry for 10th grade students in SMAN 2 Banjarmasin. This research aims

to identify (1) difference in students’ critical thinking skill, (2) difference in students’

cognitive learning outcome, and (3) students’ responses to the practice of Accelerated

Learning model. The research used quasi-experimental method with nonequivalent

control group design. Samples are taken by purposive sampling. Those are 67 students

from X MIA 4 and X MIA 6 SMAN 2 Banjarmasin. Data collecting techniques are test

for critical thinking skill, test for cognitive learning outcome, and students’ responses

questionnaire. The data has been analyzed by using descriptive and inferential analysis.

The results are (1) there is significant difference in critical thinking skill, (2) there is

significant difference in cognitive learning outcome, and (3) students’ are responding

positively to the practice or Accelerated Learning on stoichiometry.

Keywords: Accelerated Learning, critical thinking skill, cognitive learning outcome,

students’ responses, stoichiometry

PENDAHULUAN

Kualitas suatu bangsa menentukan martabat bangsa itu sendiri. Sumber daya

manusia menjadi faktor penting penentu kualitas dan martabat bangsa. Semakin berkualitas

sumber daya manusianya, semakin tinggi pula dunia memandang martabat bangsa tersebut.

Kualitas sumber daya manusia dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dewasa ini, dunia

pendidikan telah menjadi faktor yang sangat penting dalam memajukan kehidupan suatu

bangsa (Marjohan, 2009).

Tujuan untuk meningkatkan kualitas bangsa melalui dunia pendidikan tidak serta-

merta dapat dicapai dengan mudah. Salah satu penyebabnya, yaitu model pembelajaran

konvensional yang umumnya diterapkan dalam kelas membuat suasana belajar menjadi

pasif, sehingga siswa kehilangan minat dan motivasi belajar. Hal ini berdampak langsung

pada berkurangnya kemampuan retensi, serta menghambat penyerapan informasi (Nichiols,

Page 141: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

129

2010). Berdasarkan kenyataan ini, guru-guru di Indonesia memiliki tanggung jawab besar

dalam hal menentukan model yang dapat mengatasi masalah karakteristik dan kompleksitas

materi yang diajarkan di kelas.

Krisis kualitas pendidikan di bidang sains terlihat pada mata pelajaran kimia,

khususnya materi stoikiometri yang melibatkan penerapan teori, praktik, dan perhitungan

matematis (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2012). Berdasarkan tingkat

kompleksitas ilmunya, materi ini menuntut siswa berpikir secara kritis agar dapat menalar

masalah secara induktif dan deduktif untuk menemukan suatu pemecahan yang logis dan

masuk akal (Filsaime, 2007). Faktanya, siswa sering mengalami kegagalan dalam bidang

ilmu ini karena kurangnya kemampuan berpikir kritis.

Masalah rendahnya kemampuan berpikir kritis dapat diatasi dengan memilih

model yang sesuai untuk perkembangan kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan

pertimbangan tersebut, model Accelerated Learning menjadi pilihan yang dapat diambil oleh

guru kimia.

Pembelajaran menggunakan model Accelerated Learning dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kritis karena melibatkan metode pemecahan masalah, yaitu proses

pengambilan keputusan terhadap masalah berdasarkan pengetahuan awal dan menalar (Sani,

2015). Pembelajaran yang melibatkan serangkaian proses berpikir seperti menalar dan

memecahkan masalah secara logis akan mendorong siswa untuk berpikir kritis. Selain itu,

model Accelerated Learning mengakomodasi elemen fisik, aktivitas intelektual, dan

pelibatan alat-alat indra. Meier (2000) menyatakan bahwa metode pembelajaran yang

melibatkan lebih banyak indra akan membuat siswa belajar aktif, cepat, dan efektif.

Pengaruh positif model Accelerated Learning terhadap hasil belajar dapat

dibuktikan oleh Lubis dan Ginting (2015), serta Tanjung (2015). Lubis dan Ginting (2015)

menyimpulkan bahwa penerapan Accelerated Learning dengan pendekatan SAVI mampu

meningkatkan hasil belajar siswa SMP Negeri 1 Selesai pada materi pokok tekanan. Tanjung

(2015) yang meneliti penerapan Accelerated Learning pada materi fisika siswa kelas X MAN

2 Model Medan juga menyimpulkan bahwa model ini memberikan pengaruh positif terhadap

motivasi, ketertarikan, dan keaktifan siswa di kelas. Hal ini didukung oleh penelitian Politis

dan Houtz (2015) yang menyatakan bahwa suasana belajar positif berpengaruh sangat baik

terhadap perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa karena dapat memunculkan ide

atau solusi untuk memecahkan masalah (problem solving) yang diberikan oleh guru.

Berdasarkan uraian tersebut, dilakukan penelitian dengan judul: “Penerapan

Model Pembelajaran Accelerated Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil

Belajar Stoikiometri Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Banjarmasin Tahun Ajaran 2016/2017”.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan adalah quasi-experiment menggunakan sampel yang

ditentukan dengan teknik purposive sampling. Kelas eksperimen menerapkan model

Accelerated Learning, sedangkan kelas kontrol menerapkan model konvensional dengan

pendekatan saintifik.

Sekolah yang dipilih adalah SMAN 2 Banjarmasin (Tahun Ajaran 2016/2017) yang

terletak di Jalan Mulawarman Nomor 21, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Seluruh siswa

kelas X menjadi populasi penelitian dengan rincian 34 siswa kelas X MIA 4 belajar dengan

model Accelerated Learning, sementara 33 siswa kelas X MIA 6 belajar dengan model

konvensional.

Data dikumpulkan menggunakan teknik tes dan non tes. Instrumen yang digunakan,

antara lain tes kemampuan berpikir kritis, tes hasil belajar kognitif, dan angket respon siswa.

Instrumen tes kemampuan berpikir kritis terdiri dari 9 soal uraian yang mengukur 3 indikator

berpikir kritis Watson-Glaser, yaitu mengenali asumsi, mengevaluasi argumen, dan membuat

kesimpulan. Instrumen tes hasil belajar kognitif terdiri dari 10 soal pilihan ganda untuk

mengukur 7 indikator pembelajaran pada materi stoikiometri. Instrumen angket respon siswa

terdiri dari 10 pernyataan positif yang diukur menggunakan skala Likert.

Sebelum memasuki pertemuan pertama, siswa dari kedua kelas menjawab soal-soal

Page 142: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

130

pre-test untuk mengetahui kemampuan awal. Hasil pre-test diuji dengan uji-t untuk

membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan awal kelas

X MIA 4 dan X MIA 6.

Setelah mengikuti 3 kali pertemuan, siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol diminta

menjawab soal-soal post-test. Hasil post-test diuji dengan uji-t untuk mengetahui apakah

terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif yang signifikan

antara kedua kelas setelah diberi perlakuan tertentu.

Hasil tes kedua kelas dianalisis lebih lanjut dengan mengubah data yang diperoleh

menjadi N-gain. Harga N-gain yang diperoleh dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang,

dan rendah. Tujuan dari analisis N-gain adalah mengetahui kualitas peningkatan variabel

terikat.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data yang diteliti berasal dari tes kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif,

serta respon siswa terhadap pembelajaran di masing-masing kelas. Tingkat pencapaian

kemampuan berpikir kritis siswa pada kedua kelas berdasarkan hasil tes yang diperoleh dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis

Kelas Indikator berpikir kritis

Tingkat

Pencapaian

(%)

Tingkat

pencapaian

rata-rata (%)

Kategori

Eksperimen

1. Mengenali asumsi 76,47

59,26 Cukup

kritis 2. Mengevaluasi argumen 65,03

3. Membuat kesimpulan 36,27

Kontrol

1. Mengenali asumsi 37,58

46,96 Kurang

kritis 2. Mengevaluasi argumen 52,29

3. Membuat kesimpulan 50,98

Berdasarkan data pada Tabel 1, kelas yang menerapkan model Accelerated Learning

memiliki kemampuan berpikir cukup kritis, sedangkan kelas yang menerapkan model

konvensional memiliki kemampuan berpikir kurang kritis. Jika ditinjau berdasarkan N-gain,

kelas eksperimen dan kelas kontrol memperoleh N-gain rata-rata sebesar 0,56 dan 0,45.

Menurut data ini, kedua kelas mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis yang

berbeda meskipun berada pada kategori sedang. Hasil pengujian dengan uji-t menunjukkan

harga thitung > ttabel (2,44 > 2) pada taraf signifikansi 5%. Pengujian ini membuktikan bahwa

kemampuan berpikir kritis kedua kelas yang diteliti berbeda secara signifikan.

Tabel 2 Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis

Nilai Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Pre-test Post-test Pre-test Post-test

Terendah 0,00 22,22 0,00 3,70

Tertinggi 14,81 81,48 14,81 88,89

Rata-rata 6,80 58,39 6,51 48,26

Tabel 2 menunjukkan bahwa kelas yang belajar dengan model Accelerated Learning

memiliki kemampuan berpikir lebih kritis dibandingkan kelas yang belajar dengan model

konvensional. Hal ini disebabkan metode pemecahan masalah yang diterapkan dalam model

Accelerated Learning menuntut siswa melibatkan serangkaian proses berpikir tingkat tinggi

dalam pembelajaran, yaitu fokus pada satu masalah untuk dipahami, dianalisis, kemudian

dievaluasi untuk memperoleh suatu keputusan akhir atau solusi yang logis (Filsaime, 2007).

Rangkaian proses berpikir ini mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa secara nyata

karena berpikir secara kritis berarti siswa mampu memecahkan masalah dan menemukan

solusi yang masuk akal dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada (Meier,

2000).

Selain tes kemampuan berpikir kritis, diperoleh data berupa hasil belajar kognitif

Page 143: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

131

yang dirangkum dalam Tabel 3. Tabel 3 Hasil tes kognitif

No. Interval

nilai

Frekuensi kelas eksperimen Frekuensi kelas kontrol

Pre-test Post-test Pre-test Post-test

1. 0-10 7 - 10 -

2. 11-20 8 - 10 1

3. 21-30 11 2 10 4

4. 31-40 6 5 3 6

5. 41-50 2 5 - 8

6. 51-60 - 9 - 9

7. 61-70 - 9 - 4

8. 71-80 - 3 - 1

9. 81-90 - 1 - -

10. 91-100 - - - -

Rata-rata 26,18 59,12 20,91 50,91

Berdasarkan Tabel 3, kelas eksperimen memperoleh hasil belajar kognitif yang lebih

tinggi dibandingkan kelas kontrol. Harga N-gain rata-rata untuk kelas eksperimen dan kelas

kontrol sebesar 0,44 dan 0,36. Angka tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan

peningkatan hasil belajar kognitif antara kedua kelas meskipun keduanya berada pada

kategori sedang. Hasil pengujian dengan uji-t menunjukkan harga thitung > ttabel (2,277 > 2).

Berdasarkan uji terhadap hasil belajar kognitif, dapat ditarik kesimpulan adanya perbedaan

signifikan antara kedua kelas yang diteliti.

Perbedaan ini muncul karena model pembelajaran tertentu yang diterapkan di masing-

masing kelas. Kelas yang belajar dengan model Accelerated Learning memperoleh rata-rata

nilai yang lebih baik karena diterapkannya pendekatan SAVI (somatis, auditori, visual,

intelektual) selama pembelajaran berlangsung. Huda (2013) menyatakan bahwa

pembelajaran dengan pendekatan SAVI menciptakan lingkungan belajar yang lebih optimal

dan efektif bagi penyerapan informasi oleh siswa. Hal ini disebabkan pendekatan SAVI

mengakomodasi ketiga gaya belajar yang umum, sehingga setiap siswa memiliki kesempatan

yang sama besarnya untuk mempelajari materi yang sama.

Data lain diperoleh melalui angket respon siswa. Berdasarkan Gambar 1, respon

siswa yang belajar dengan model Accelerated Learning lebih positif dibandingkan respon

siswa yang belajar dengan model konvensional. Siswa kelas eksperimen memberikan respon

positif sebesar 79% (SS + S), sedangkan siswa kelas kontrol memberikan respon positif

sebesar 46% (SS + S).

(a) kelas eksperimen (b) kelas kontrol

Gambar 1 Respon siswa

Berdasarkan hasil penelitian, siswa memberikan respon yang lebih positif terhadap

penerapan model Accelerated Learning pada materi stoikiometri. Hal ini disebabkan adanya

17%

62%

17%

4% 0%SS

S

R

TS

STS

4%

42%

33%

19%

2%

SS

S

R

TS

STS

Page 144: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

132

pelibatan materi-materi visual, auditori, serta permainan intelektual dalam setiap pertemuan

membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, sehingga siswa memiliki minat dan

motivasi yang tinggi untuk mengikuti pembelajaran. Hal ini terlihat dari tingginya

antusiasme belajar siswa yang menerapkan model Accelerated Learning. Siswa menjadi

lebih bersemangat dan gembira di kelas, terutama saat mengikuti permainan intelektual yang

diadakan oleh guru dalam setiap pertemuan.

Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan Accelerated Learning dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif siswa pada materi

stoikiometri. Selain itu, model Accelerated Learning terbukti mampu meningkatkan minat

dan motivasi siswa mempelajari stoikiometri. Hal ini dibuktikan oleh hasil respon siswa

kelas eksperimen yang lebih positif dibandingkan kelas kontrol. Kesimpulan yang diperoleh

dalam penelitian ini didukung oleh penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan

mengenai model pembelajaran Accelerated Learning, antara lain:

Penelitian Fitrani, Indrowati, dan Karyanto (2015) yang difokuskan pada penerapan

model Accelerated Learning dan ceramah bervariasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara kelas eksperimen dan

kelas kontrol.

Penelitian Lubis dan Ginting (2015) membuktikan bahwa penerapan Accelerated

Learning memberikan rata-rata hasil belajar kognitif sebesar 81,09 (sangat baik). Kelas

kontrol yang menerapkan model konvensional hanya memperoleh rata-rata 62,81 (cukup

baik).

Suardipa, Lasmawan, dan Suarni (2013) yang menerapkan model Accelerated

Learning pada kelas eksperimen menyatakan bahwa siswa memiliki motivasi belajar yang

lebih baik dibandingkan kelas yang menerapkan model konvensional.

SIMPULAN

Analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan mengenai penerapan

model Accelerated Learning pada materi stoikiometri menyimpulkan bahwa terdapat

perbedaan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kedua

kelas yang diteliti. Respon yang diberikan siswa terhadap model Accelerated Learning lebih

positif daripada pembelajaran dengan model konvensional.

DAFTAR RUJUKAN

Filsaime, D. K. (2007). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi

Pustakaraya.

Fitrani, A., Indrowati, M., & Karyanto, P. (2015). Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada

Pembelajaran Biologi melalui Penerapan Accelerated Learning Siswa Kelas X SMA

Negeri Karangpandan Karanganyar. Jurnal Pendidikan Biologi, 7 (2), 56-67.

Huda, M. (2013). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-Isu Metodis dan

Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2015).

Indonesia Peringkat ke-57 EDI dari 115 Negara Tahun 2014. Diakses melalui

https://www.kemenkopmk.go.id/artikel/indonesia-peringkat-ke-57-edi-dari-115-

negara-tahun-2014 Pada tanggal 18 November 2016.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Silabus Mata Pelajaran Sekolah

Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA): Mata Pelajaran Kimia. Jakarta:

Kemdikbud.

Lubis, R. M., & Ginting, E. M. (2015). Pengaruh Metode Accelerated Learning dengan

Pendekatan SAVI terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi Pokok Tekanan di Kelas

VIII Semester II SMP Negeri 1 Selesai T.A. 2013/2014. Jurnal Inpafi , 3 (1), 155-

161.

Marjohan. (2009). School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah. Yogyakarta: Pustaka

Insan Madani.

Meier, D. (2000). The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-Hill.

Nichiols, G. (2010). Accelerated Learning and eLearning: An Overview. Diakses melalui

Page 145: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

133

http://www.gingernichols.com/wp-content/uploads/accelerated-learning-final.pdf

Pada tanggal 11 Oktober 2016

Politis, J., & Houtz, J. C. (2015). Effects of Positive Mood on Generative and Evaluative

Thinking in Creative Problem Solving. Diakses melalui

http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/2158244015592679 Pada tanggal 4

Januari 2017

Suardipa, I. P., Lasmawan, I. W., & Suarni, N. K. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran

Accelerated Learning Berbasis Peta Konsep terhadap Motivasi Berprestasi dan Hasil

Belajar IPS. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 1

(3), 1-10.

Tanjung, Y. I. (2015). Pengaruh Konsep Accelerated Learning Teaching Model MASTER

terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa di MAN 2 Model Medan. Jurnal Ikatan Alumni

Fisika Universitas Negeri Medan , 1 (1), 50-54.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. (2012). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian

III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Bandung: Imperial Bhakti Utama.

Page 146: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

134

VALIDITAS INSTRUMEN PENILAIAN MATERI ZAT ADITIF DAN

ZAT ADIKTIF UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN BERPIKIR

KREATIF

Validity of Assessment Instrument on Additive and Addictive Substances to

Train Creative Thinking Skills

Lia Amalia, Ahmad Rusyadi

Magister Keguruan IPA Universitas Lambung Mangkurat

Email: [email protected]

Abstrak: Instrumen penilaian memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian

hasil belajar peserta didik, khususnya dalam melatih keterampilan berpikir kreatif yang

merupakan karakter pembelajarankurikulum 2013. Tidak adanya instrumen penilaian

berpikir kreatif secara khusus membuat keterampilan berpikir kreatif peserta didik

rendah. Hal ini melatarbelakangi pengembangan penilaian instrumen pada materi zat

aditif dan zat adiktif yang mampu melatihkan keterampilan berpikir kreatif peserta

didik.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan validitas instrumen penilaian

yang dikembangkan meliputi validitas isi dan validitas kostruk. Data diperoleh melalui

lembar validasi instrumen penilaian. Teknik analisis data adalah analisis deskriptif

validitas instrumen penilaian. Hasil penelitian menunjukkan validitas instrumen

penilaian untuk melatihkan keterampilan berpikir kreatif termasuk dalam kategori

valid, sehingga bisa digunakan untuk penelitian selanjutnya.

Kata kunci: instrumen penilaian, zat aditif dan zat adiktif, keterampilan berpikir kreatif

Abstract: Assessment instrument has a very important role in the achievement of

learning outcome of learners, especially in training creative thinking skills which is the

characters of learning curriculum 2013. The absence of a creative thinking skills makes

the learners creative thingking skills low. This is the reasonfordeveloping assessment

instrument onadditive and addictive substances in training creative thinking skills of

learners. This research aims to describe the validation of assessment instrument

developed by content validiy and construct validity. The data obtained through

validation sheet of assessmentinstrument. The technique of analysis data is descriptive

analysisof validity assessment instrument. The result shows that the validity of the

assessment instrument to train creative thinking skills is in the valid category, so that it

can be applied for the next research.

Keyword:assessment instrument, additives and addictives substance, creative thinking

skills

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat di abad ini mengharuskan

pemerintah untuk meningkatkan kualitas di semua sektor, tak terkecuali sektor Pendidikan.

Masalah utama yang menjadi perhatian pada sektor Pendidikan formal (sekolah) saat ini

adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rerata hasil belajar

peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Hasil belajar ini tentunya

merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh

ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Satu diantara paradigma tersebut adalah orientasi

pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada

peserta didik (student centered) dan pendekatan yang semula bersifat tekstual berubah

menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu

pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan (Trianto, 2013).

Masalah utama Pendidikan tersebut dibuktikan data akurat yang menunjukkan

rendahnya hasil belajar IPA pada peserta didik yaitu hasil studi Programme for International

Student Assessment (PISA). Hasil IPA PISA 2015 menunjukkan peserta didik Indonesia

berada pada peringkat 62 dari 70 Negara dengan rata-rata nilai 403, di bawah rata-rata

Page 147: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

135

Organisation for Economic Co-operation and Development sebesar 493 (OECD, 2015:5).

Berdasarkan data Global Creativity Index 2015 Indonesia berada pada peringkat 115 dari 139

Negara (Florida dkk, 2015:57). Rata-rata peserta didik Indonesia hanya mampu mengenali

sejumlah fakta dasar tetapi belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik

IPA, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak. Rendahnya hasil

yang dicapai tersebut tidak terpisah dari keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.

Keterampilan berpikir sangat penting bagi perubahan pola pikir peserta didik untuk mencapai

keberhasilan. Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

suatu permasalahan menurut Ramirez dan Ganaden (2008:5) adalah keterampilan berpikir

kreatif. Menurut Almeida (2008:2) orientasi berpikir kreatif terdiri atas 4 indikator, yaitu

fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Keterampilan berpikir kreatif perlu

dikembangkan melalui proses pembelajaran, karena dapat menjadi bekal untuk menghadapi

persoalan dalam kehidupan sehari-hari.

Proses pembelajaran IPA yang dilakukan di sekolah menjadi faktor utama yang

menentukan mutu hasil belajar peserta didik. Hal ini karena IPA memiliki peranan yang

penting dalam membekali peserta didik berpikir kreatif, karena menurut Pane (2014:1) IPA

memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat antar konsepnya yang memungkinkan peserta

didik terampil berpikir rasional dan berpikir secara aktif dengan kemampuan-kemampuan

yang bersifat ideasional. Menyadari akan pentingnya IPA dalam perkembangan zaman

mengharuskan guru mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan

keterampilan berpikir. Materi pelajaran IPA yang dianggap sulit dan membosankan menurut

Darminto & Side (2012:2) adalah kimia, karena bersifat abstrak dan selalu dianggap negatif

dan berbahaya. Padahal menurut Wood (2006:1) pembelajaran kimia itu sangat menarik dan

unik karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Materi pokok IPA yang berkaitan dengan

kehidupan sehari-hari satu diantaranya adalah zat aditif dan zat adiktif, yang dapat membuat

peserta didik berpikir kreatif dalam memecahkan permasalahan yang terjadi.

Pemecahan masalah damalam proses pembelajaran dapat dinilai berdasarkan rubrik

penilaian berpikir kreatif. Berdasarkan Permendikbud (2015:13) penilaian proses

pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (autentic assesment) yang menilai

kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan ketiga ranah tersebut

akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar peserta didik yang mempu

menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) pada aspek pengetahuan dan

dampak pengiring (nurturant effect) pada aspek sikap. Sehingga diperlukan adanya

pengembangan instrumen penilaian yang dapat melatihkan keterampilan berpikir kreatif

peserta didik pada materi zat aditif dan zat adiktif. Pengembangan instrumen penilaian yang

dilakukan oleh guru sudah semestinya dimulai dari suatu perencanaan proses pembelajaran,

sebagai upaya mengatasi kesulitan dalam proses pembelajaran yang dilakukan secara nyata,

bukan hanya sekedar mengamati dan mendeskripsikan fenomena yang terjadi. Tahap dalam

penelitian ini yaitu tahap studi pendahuluan, tahap perancangan dan pengembangan instrumen

penilaian dan tahap validasi.

Page 148: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

136

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research of Development). Desain

Penelitian disajikan pada Diagram 1 sebagai berikut.

Diagram 1. Bagan desain penelitian

Validasi instrumen penilaian materi pokok zat aditif dan zat adiktif beserta LKPD

dilakukan oleh 3 orang validator yaitu 3 orang dosen (pakar pengembangan perangkat, pakar

kimia anorganik, dan pakar pendidikan ipa). Validasi dilakukan berdasarkan instrumen

validasi yang telah dibuat oleh peneliti, setiap instrumen terdapat indikator-indikator penilaian

validasi yang merupakan kondisi dari instrumen penilaian yang akan divalidasi dengan nilai

minimum 1 dan nilai maksimum 4. Data yang diperoleh dari validator dihitung berdasarkan

modus untuk tiap indikatornya. Indikator keberhasilan penelitian ini adalah jika hasil validasi

ahli mencapai kriteria valid. Tabel 1. Kategori validitas instrumen penilaian

Skor Kategori Keterangan

4 Sangat valid Dapat digunakan tanpa revisi

3 Valid Digunakan namun perlu revisi kecil

2 Kurang valid Tidak boleh digunakan, perlu revisi besar-besaran

1 Tidak valid Tidak boleh dipergunakan

(Adaptasi Sunarti & Rahmawati, 2014:43)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Instrumen penilaian berpikir kreatif berkaitan dengan Lembar Kerja Peserta Didik

(LKPD) yang dikembangkan untuk memudahkan guru dalam melaksanakan kegiatan

pembelajaran. Hasil validasi instrumen penilaian berpikir kreatif dan LKPD materi pokok zat

aditif dan zat adiktif dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2.

Tabel 1. Hasil Validasi Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Kreatif

No Aspek yang diamati Validator Modus Hasil Validasi

Tahap I

Studi pendahuluan Permasalahan Peneitian

Studi Literatur Studi Lapangan

Analisis Kurikulum

Identifikasi Kebutuhan

Pembelajaran IPA di SMP

Instrumen Penilaian

Tahap II

Perencanaan

Merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan instrumen penilaian

Tahap III

Pengembangan

Membuat instrumen penilaian materi pokok zat aditif dan zat adiktif

beserta perangkat pembelajaran

Tahap IV

Validasi Melakukan validasi instrumen penilaian

Tahap V

Analisis Data

Tahap pengolahan data, analisis dan interpretasi data, refleksi dan

evaluasi terhadap instrumen penilaian yang dikembangkan

Page 149: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

137

1 2 3

1 Kategori penilaian sesuai dengan

indikator berpikir kreatif 4 4 4 4 Sangat valid

2 Kategori penilaian dapat menilai

(dijadikan patokan) setiap jawaban

peserta didik

4 4 4 4 Sangat valid

3 Penilaian kategori indikator jelas

(dapat mengukur keterampilan

berpikir kreatif peserta didik)

4 4 4 4 Sangat valid

4 Mencantumkan sumber yang sesuai 4 4 4 4 Sangat valid

Tabel 2. Hasil Validasi LKPD

No Aspek yang diamati Validator

Modus Hasil Validasi 1 2 3

1 LKPD memberikan penekanan pada

aspek proses untuk menemukan

konsep

4 4 4 4 Sangat valid

2 Keakuratan kasus yang disajikan 3 3 3 3 Valid

3 Kesistematisan urutan (orientasi

masalah, rumusan masalah,

hipotesis, alat dan bahan, prosedur,

hasil pengamatan/pengumpulan

data, analisis data, dan kesimpulan)

4 4 4 4 Sangat valid

4 Penggunaan gambar yang menarik

dan mendukung materi/kasus yang

disajikan

4 4 4 4 Sangat valid

5 Penggunaan bahasa sesuai dengan

EYD 3 4 4 4 Sangat valid

6 Kesederhanaan struktur kalimat 3 4 3 3 Valid

7 Tampilan LKPD menarik 4 4 4 4 Sangat valid

8 Efisiensi LKPD dalam kaitannya

dengan waktu 3 4 4 4 Sangat valid

9 Efisiensi LKPD dalam kaitannya

dengan biaya 4 4 4 4 Sangat valid

10 Efisiensi LKPD dalam kaitannya

dengan tenaga 4 4 4 4 Sangat valid

Lembar penilaian keterampilan berpikir kreatif dan LKPD yang dikembangkan

divalidasi tidak hanya pada validasi isi, tetapi juga melaksanakan validasi kontsruk. Akker

(2010:28) menyatakan bahwa validitas dibagi menjadi dua yaitu validitas isi (content

validity) dan validitas konstruk (construct validity). Validitas isi merupakan kelayakan yang

ditinjau berdasarkan kesesuaian antara yang divalidasi dengan pengetahuan. Validitas isi ini

ditunjukkan dengan lembar validasi pada aspek materi, sedangkan validitas kontruk

merupakan kelayakan yang ditinjau dari rancangan yang dirancang secara logis. Validitas

konstruk ini ditunjukkan pada aspek umum dan teknis pada lembar validasi.

Validasi yang dilakukan tidak hanya pada instrumen penilaian berpikir kreatif,

tetapi juga pada LKPD yang dibuat pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif. Pada LKPD

yang dikembangkan peneliti menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) dalam upaya meningkatkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik pada materi

pokok zat aditif dan zat adiktif. Model CPS ini dipilih karena sesuai dengan langkah indikator

berpikir kreatif. Proses pembelajaran yang terjadi berdasarkan LKPD yang dikembangkan

menuntut peserta didik untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan

permasalahan dan guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Hasil validitas ini

sejalan dengan Hariawan, dkk (2013:4) yang menyatakan bahwa pembelajaran menggunakan

model Creative Problem Solving membuat siswa berperan aktif dan secara kreatif berusaha

menemukan solusi dari permasalahan yang diajukan, saling berinteraksi dengan teman

maupun guru, saling bertukar pikiran, sehingga wawasan dan daya pikir mereka berkembang

Page 150: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

138

dan menyadari banyak hal atau kejadian yang dapat mereka jumpai dalam kehidupan sehari-

hari yang berkaitan dengan konsep.

Keterampilan berpikir kreatif perlu dikembangkan sejak dini karena diharapkan

dapat menjadi bekal untuk menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut

Almeida (2008:2) orientasi berpikir kreatif terdiri atas 4 indikator, yaitu fluency, flexibility,

originality, dan elaboration. Fluency merupakan banyaknya jumlah tanggapan yang benar

secara logika, flexibility merupakan banyaknya kategori tanggapan yang bervariasi,

originality merupakan pertimbangan tanggapan baru yang tidak biasa namun relevan, dan

elaboration merupakan jumlah rincian yang digunakan untuk memperpanjang tanggapan.

Keempat indikator tersebut merupakan indikator berpikir kreatif yang dapat merangsang

peserta didik dalam memecahkan permasalahan.

Berdasarkan hasil penilaian validator terhadap LP berpikir kreatif pada Tabel 1

menunjukkan bahwa 4 indikator yang dinilai semuanya dinyatakan sangat valid, hal ini

karena indikator dan deskriptif dari tiap skor telah sesuai. LP berpikir kreatif yang

dikembangkan ada 2, yaitu berpikir kreatif sesuai dengan indikator dari Triffinger yang

terbagi menjadi 4 indikator meliputi fluency, flexibility, ogirinality, dan elaboration, serta

berpikir kreatif dalam membuat hasil evaluasi berupa mind mapping, yang meliputi indikator

kata kunci, hubungan cabang utama dengan cabang lainnya, dan desain (warna/gambar).

Berdasarkan hasil penilaian validator terhadap LKPD pada Tabel 2 menunjukkan

dari 10 indikator yang dinilai ada 8 indikator yang dinyatakan sangat valid dan 2 indikator

dinyatakan valid, dengan revisi kecil berupa saran dari para validator, yaitu permasalahan

yang disajikan pada LKPD hendaknya disesuai dengan percobaan yang akan dilakukan dan

kalimat pada permasalahan lebih disederhanakan lagi agar mudah dimengerti oleh peserta

didik. LKPD yang dikembangkan disesuaikan dengan model Creative Problem Solving,

dengan sintaks fact finding, problem finding, idea finding, solution finding, dan acceptance

finding (Mitchel & Kowalik, 1999:4). Pemilihan model ini dipilih karena sesuai dengan

indikator berpikir kreatif Triffinger. Selain itu, isi LKPD juga dirancang untuk melakukan

percobaan secara berkelompok sebagai pembuktian terhadap permasalahan yang ada dalam

LKPD. Perancangan pada LKPD ini diharapkan dapat membuat peserta didik aktif bekerja

sama selama proses pembelajaran dan mampu melatihkan keterampilan berpikir kreatif

peserta didik.

Pemaparan mengenai instrumen penilaian dinyatakan sangat valid, yang artinya

instrumen penilaian yang dikembangkan dapat mengukur apa yang ingin diukur, relevan

dengan tujuan yang diinginkan dan tiap komponennya sesuai satu sama lain. Instrumen

penilaian yang telah mencapai kategori sangat valid ini didapat karena peneliti pada proses

pengembangan telah menyusun instrumen berdasarkan identifikasi kebutuhan peserta didik

di masa akan datang yang juga telah disesuaikan dengan Kurikulum 2013. Perangkat

pembelajaran yang dikembangkan dinyatakan sangat valid merupakan indikator bahwa

instrumen penilaian telah mampu menjadi fasilitas untuk melatihkan keterampilan berpikir

kreatif peserta didik. Proses pembelajaran yang mampu melatihkan keterampilan berpikir

peserta didik tidak terlepas dari adanya instrumen penilaian dan LKPD yang mendukung.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan kesimpulan

bahwa validasi instrumen penilaian dan LKPD yang dikembangkan secara keseluruhan

termasuk dalam kategori sangat valid, sehingga dapat digunakan dalam pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Almeida, L.S., L.P. Prieto, M. Ferrando, E. Oliveira, dan C. Ferrandiz. 2008. Torrance Test

of Creativity: The Question of Its Construct Validity. Journal Thingking Skills and

Creativity. (http://www .elsevier.com/locate/tsc).

Akker, J.V.D., B. Bannan, A.E. Kelly, N. Nieveen, dan T. Plomp. 2010. An Introduction to

Educational Design Research. Netherland: SLO.

Page 151: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

139

Darmanto dan S. Side. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Kimia SMP

Berbasis Kontekstual pada Materi Pokok Bahan Kimia di Rumah. Jurnal

Chemica. Vol 13. 55-62. (http://download.portalgaruda.

org/article.php?article=57888danval=4338). Depdikbud. 2017. Standar Proses

Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Menpenkeb.

Florida, R., C. Mellander, dan K. King. 2015. Global Creativity indeks 2015. Martin

Prosperity Institude: Rotman.

Mitchel W.E. dan T.F. Kowalik. 1999. Creative Problem Solving. MacIntosh 2.1v4. Graphics

by Genigraphics Inc.(online), (https://www.geocities.ws%2

Fjdkilp%2FCreative_Problem_Solving.pdfdanusg=AFQjCNEylTrJi3luca_ZBrB

tk2E2gZVUzQdansig2=U7GIWHdmvHORUdlBRAIZwQdanbvm=bv.1190284

48,d.c2E).

OECD. 2015. PISA 2015 Result in Focus What 15-year-olds Know and What They can

Dowith What They Know.

Pane, A. 2014. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dengan Menerapkan Model

Pembelajaran Quantum Learning materi Sains. IAIN, Padang. Vol 2 No.1. Jurnal

Logaritma. (http://jurnal.iain-

padangsidimpuan.ac.id/index.php/LGR/article/view/210/191).

Ramirez, R.P.B. dan M.S. Ganaden. Creative Activities and Students High Order Thinking.

U.P. College of Education. Journal Education Quarterly. Vol. 66 (1), 22-33.

(journals.upd.edu.ph/index.php/edq/article/download/

1562/1511+dancd=4danhl=iddanct=clnk).

Trianto. 2013. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta.: Kencana.

Wood, C. 2006. The Development of Creative Problem Solving in Chemistry. Centre for

Science Eduaction. University of Glasgow. Journal The Royal of Society and

chemistry. Vol 7 No. 2. (http://www.rsc.org/

images/wood%20paper%20final_tcm18-52110.pdf).

Page 152: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

140

POTENSI TANAMAN ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) UNTUK

PRODUKSI BIOETANOL GENERASI DUA

Potency of Alang-alang (Imperata Cylindrica) for Second-Generation

Bioethanol Production

Asma Fauziah, Asma Nadia, Ersha Mayori, Sunardi*

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia

70714

*email: [email protected] ; [email protected]

Abstrak. Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tumbuhan liar dengan jumlah

melimpah dan merupakan sumber lignoselulosa yang potensial untuk produksi

bioetanol generasi dua. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol saat ini

menjadi perhatian karena bioetanol dapat digunakan sebagai aditif atau pengganti bahan

bakar bensin. Lignoselulosa alang-alang terdiri atas tiga komponen utama yaitu

selulosa, hemiselulosa dan lignin. Secara umum bioetanol diperoleh melalui tahapan

perlakuan awal untuk menghilangkan lignin, hidrolisis selulosa menjadi gula pereduksi,

fermentasi gula pereduksi menjadi bioetanol dan pemurnian bioetanol. Produksi

bioetanol hingga saat ini memiliki berbagai tantangan, terutama dari penyediaan bahan

baku dan teknologi prosesnya yang relatif masih berbiaya tinggi. Tanaman alang-alang

sangat mudah tumbuh dan penyebarannya relatif sangat cepat dalam segala kondisi

tanah. Luas lahan alang-alang di Indonesia mencapai 8,5 juta hektar dari 35 juta hektar

luas padang alang-alang di Asia. Namun hingga saat ini tanaman alang-alang belum

dimanfaatkan dengan optimal dan masih dianggap sebagai tanaman

pengganggu/gulma. Potensi pengembangan dan pemanfaatan alang-alang sebagai

sumber bahan baku pembuatan bioetanol generasi dua dibahas dalam artikel ini.

Kata kunci: alang-alang, lignoselulosa, Imperata cylindrica, bioetanol generasi dua

Abstract. Imperata cylindrica (in Indonesian namely alang-alang) is a wild plant that

abundant and a potential lignocellulose biomass to produce second-generation

bioethanol. Recently, conversion of lignocellulose to bioethanol is on concern because

bioethanol can be further used as biofuel to subtitute and as additives of gasoline for

transportation. Alang-alang is composed of three main components: cellulose,

hemicellulose, and lignin. Generally, bioethanol from lignocellulose was obtained

through pretreatment of biomass to remove lignin, hydrolysis to convert cellulose into

sugar, fermentation process to convert sugar into bioethanol, and purification of

bioethanol. Production of bioethanol currently has considerable challenges and costs

mainly from provision of raw material and therefore, many researches have been

conducted to improve the conversion process. Alang-alang grows easily and its spread

fastly. The areas of alang-alang in Indonesia reaches 8.5 million hectares from 35

million hectares in Asia. However, currently alang-alang has not been well utilized

optimally as a raw material of bioethanol and consider as herbs/weeds. Opportunity to

develop and use alang-alang as raw material to produce second-generation bioethanol

will discuss in this article.

Keyword: alang-alang, lignocelullose, Imperata cylindrica, second-generation

bioethanol

PENDAHULUAN

Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tumbuhan liar yang relatif dapat

tumbuh dalam segala kondisi tanah dan iklim dengan jumlah melimpah. Luas lahan alang-

alang di Asia mencapai 35 juta hektar dan Indonesia memiliki lahan alang-alang terluas

sebesar 8,5 juta hektar (Garrity et al.,1997). Saat ini alang-alang telah dimanfaatkan sebagai

bahan baku obat-obatan (Windadri, 2006), bahan baku pulp dan kertas (Sutiya et al., 2012),

pupuk (Puspitasari et al., 2013) dan selebihnya dibasmi karena merupakan hama yang

menghambat pertumbuhan tanaman utama. Alang-alang merupakan sumber lignoselulosa

Page 153: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

141

yang potensial untuk dikonversi sebagai sumber bioetanol generasi kedua. Lignoselulosa

mengandung tiga komponen utama yaitu selulosa, lignin dan hemiselulosa. Kandungan kimia

pada tanaman alang-alang antara lain α-selulosa 40,22%, holoselulosa 59,62%, hemiselulosa

(pentosan) 18,40%, dan lignin 31,29% (Sutiya et al., 2012). Haque et al. (2015) juga

melaporkan kandungan kimia pada tanaman alang-alang antara lain selulosa 40,50%,

hemiselulosa 23,45%, dan lignin 19,40%. Berdasarkan data diatas dapat dilihat kandungan

selulosa dan hemiselulosa yang lebih dari 50% menunjukan potensi alang-alang sebagai

sumber gula pereduksi untuk bahan dasar pembuatan bioetanol.

Gambar 1. Lahan dan tanaman alang-alang

Saat ini penelitian mengenai energi baru terbarukan, khususnya bioetanol generasi

kedua sedang diteliti dengan intensif. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah

penyediaan pasokan akan energi yang tak terbaharukan (minyak, gas dan batubara) tidak

mampu mengimbangi kebutuhan dan konsumsi energi yang terus meningkat, bahan

lignoselulosa sebagai sumber bioetanol tersedia melimpah karena berasal dari kayu-kayuan,

limbah pertanian dan perkebunan lain yang tidak bersaing dengan bahan pangan. Bioetanol

memiliki nilai oktan dan efisisensi pembakaran yang lebih tinggi dibandingkan bensin

(Hambali et al., 2007). Selain itu, penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah

kaca (Costello & Chum, 1998; Hambali et al., 2007).

Produksi bioetanol generasi kedua dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu

pretreatment, sakarifikasi, fermentasi dan pemurnian. Pretreatment dilakukan untuk

menghilangkan lignin dan melepaskan ikatan hemiselulosa dari selulosa (Liu et al., 2007;

Long et al., 2009). Tahap sakarifikasi dilakukan untuk mengkonversi selulosa dan

hemiselulosa menjadi gula sederhana berupa glukosa, xylosa dan lainnya (Fojas & Rosario.,

2013). Selanjutnya dilakukan tahap fermentasi dengan bantuan mikroorganisme untuk

mengkonversi gula sederhana menjadi bioetanol. Tahap terakhir adalah pemurnian untuk

mendapatkan bioetanol dengan kemurnian yang lebih tinggi, pemurnian dapat dilakukan

dengan proses distilasi atau dehidrasi (Hermiati et al., 2010).

Melihat potensi pengembangan bioetanol generasi kedua yang berasal dari

lignoselulosa yang sangat besar, saat ini banyak kajian dilakukan untuk memperoleh sumber

lignoselulosa yang murah dan melimpah, termasuk pemanfaatan tanaman alang-alang.

Makalah ini berisi tentang kajian terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan para peneliti

untuk memanfaatkan alang-alang sebagai sumber bioetanol generasi kedua dengan fokus

bahasan pada potensi, karakteristik lignoselulosa tanaman alang-alang, pemanfaatan alang-

alang sebagai sumber bioetanol generasi kedua dan potensi pengembangannya.

POTENSI ALANG-ALANG

Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tanaman yang tumbuh dengan liar di

hutan atau ladang terutama pada tanah tandus, kering serta terkena paparan sinar matahari

(Osvaldo et al., 2012). Luas lahan alang-alang di Asia mencapai 35 juta hektar dan Indonesia

memiliki lahan alang-alang terluas sebesar 8,5 juta hektar (Garrity et al.,1997). Hingga saat

ini pemanfaatan alang-alang masih sangat terbatas, meskipun alang-alang bisa dimanfaatkan

sebagai bahan baku pembuatan bioetanol generasi kedua. Alang-alang yang semula hanya

Page 154: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

142

dianggap sebagai gulma bisa memberikan nilai ekonomis yang tinggi jika diolah menjadi

produk yang lebih bermanfaat.

Alang-alang merupakan tanaman yang mampu menjadi tanaman perintis pada lahan

marginal maupun lahan sub optimal walaupun memerlukan waktu yang lama (Osvaldo et al.,

2012). Hingga saat ini alang-alang dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan (Windadri,

2006), bahan baku pulp dan kertas (Sutiya et al.,2012), pupuk (Puspitasari et al., 2013),

bioetanol (Wong et al., 2016) dan selebihnya dibasmi karena merupakan hama yang

menghambat pertumbuhan tanaman utama. Berdasarkan penelitian Wong et al. (2016)

dilaporkan bahwa alang-alang dapat menghasilkan 54,84 (L/ton) bioetanol. Berdasarkan data

tersebut, maka jika luas lahan alang-alang di Indonesia mencapai 8,50 juta hektar dan 1 hektar

alang-alang dapat dihasilkan biomassa alang-alang sebesar 60 ton, maka dalam 1 tahun

Indonesia dapat menghasilkan sekitar 27,96 juta liter bioetanol generasi kedua.

ALANG-ALANG DAN KARAKTERISTIKNYA

Alang-alang mengandung komponen kimia seperti selulosa, hemiselulosa dan

lignin. Komposisi kimia pada alang-alang secara detail dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan kimia alang-alang (Imperata cylindrica)

No Kandungan Kimia Presentase (%)

Sutiya et al. (2015) Haque et al. (2015)

1. Ekstraktif 8,09 7,00

2. Lignin 31,29 19,00

3. Holoselulosa 59,62 63,00

4. Alfa Selulosa 40,22 40,00

5.

6.

Hemiselulosa

Kadar air

18,40

93,76

23,00

-

Sumber: (Sutiya et al., 2012; Haque et al., 2015).

Holoselulosa

Kadar holoselulosa dalam biomassa menyatakan jumlah senyawa karbohidrat atau

polisakarida yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin (Prawirohatmodjo, 1997).

Dalam produksi bioetanol diperlukan kadar holoselulosa yang tinggi, kadar holoselulosa

alang-alang sebesar 59,62% (Sutiya et al., 2012) dan 63,95% (Haque et al.,2015), lebih

rendah dibandingkan dengan kayu yang berkisar 60-80%. Melihat alang-alang merupakan

bahan bukan kayu maka wajar jika nilai kandungan holoselulosa alang-alang dibawah kayu

dan nilai kadar holoselululosa yang tidak jauh berbeda maka alang-alang masih mungkin

digunakan sebagai bahan baku produksi bioetanol generasi kedua (Sutiya et al., 2012).

Selulosa

Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan

oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan

tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Secara

umum, selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperi hemiselulosa atau lignin

membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 1993).

Selulosa merupakan salah satu polisakarida penting dalam bahan baku pembuatan

bioetanol, banyaknya kandungan selulosa menggambarkan seberapa banyak bioetanol yang

dapat dihasilkan. Kadar selulosa dari tanaman alang-alang cukup besar dilaporkan sebesar

40,22% (Sutiya et al., 2012) dan 40,50% (Haque et al.,2015). Berdasarkan derajat

polimerisasi, maka selulosa dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:

1) Alfa selulosa adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH

17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi sebesar 600-1500. Alfa

selulosa digunakan sebagai penentu atau penduga tingkat kemurnian selulosa.

2) Beta selulosa adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau

basa kuat dengan derajat polimerisasi berkisar 15-90, dapat mengendap jika

dinetralkan.

3) Gamma selulosa adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5%

atau basa kuat dengan derajat polimerisasi kurang dari 15.

(Paskawati, 2010).

Page 155: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

143

Selulosa merupakan polisakarida yang dapat dikonversi menjadi produk bernilai

ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan

menghidrolisis selulosa menggunakan bantuan enzim selulase sebagai biokatalisator atau

dengan hidrolisis asam/basa (Osvaldo et al., 2012).

Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan senyawa jenis polisakarida yang terdapat pada semua

jenis serat, mudah larut dalam air dan mudah terhidrolisis oleh asam mineral menjadi gula

ataupun senyawa lain. Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa, dan dapat diisolasi

dari kayu dangan ekstraksi (Muzzie, 2006). Hemiselulosa adalah polisakarida terbanyak

setelah selulosa yang ditemukan pada tumbuhan (Nareswari, 2007). Hemiselulosa berikatan

secara kuat dengan lignin dan selulosa.

Hemiselulosa merupakan salah satu komponen yang dapat dimanfaatkan sebagai

sumber bahan baku bioetanol. Pada tanaman alang-alang kandungan dari hemiselulosa tidak

begitu besar sekitar 18,40% (Sutiya et al., 2012) dan 23,45% (Haque et al., 2015). Komponen

terbesar hemiselulosa adalah xylan yang merupakan polimer dari β(1-4) D-xylopiranosa

(xylose) dengan ikatan β-1,4- glikosida. Rantai xylan bercabang, kompleks dan strukturnya

tidak berbentuk kristal, sehingga mudah dimasuki pelarut (Pastor et al., 2007).

Xylan akan dihidrolisis menjadi xylose dengan bantuan larutan asam maupun secara

enzimatik. Xylose merupakan gula pentosa sekaligus merupakan polimer utama penyusun

hemiselulosa pada tanaman (Wenzl, 1990). Xylose dapat difermentasi menjadi bioetanol

sama halnya dengan glukosa, tetapi menggunakan ragi yang berbeda seperti Pichia stipitis

atau Candida shehatae (Hahn-Hagerdal et al., 1993).

Lignin

Lignin merupakan polimer aromatik yang berasosiasi dengan polisakarida pada

dinding sel sekunder tanaman. Komponen lignin pada sel tanaman berpengaruh terhadap

pelepasan dan hidrolisis polisakarida. Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari

unit penylphropane yang terikat dalam struktur tiga dimensi (Osvaldo et al., 2012).

Lignin merupakan material yang terikat sangat kuat dalam biomassa dan bersifat

sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Dalam

proses produksi bioetanol berbahan dasar lignoselulosa (lignin, hemiselulosa dan selulosa)

perlu dilakukan pretreatment untuk menghilangkan lignin yang terkandung dalam suatu

bahan, karena adanya lignin akan menyebabkan bahan lignoselulosa sulit dihidrolisis

(Hermiati et al., 2010). Tabel 2. Kandungan Kimia alang-alang dan beberapa kayu

No Kandungan Kimia Presentase (%)

Lignin Selulosa Hemiselulosa

1. Alang-alang (Imperata cylindrica) a19,00 a 40,00 a 23,00

2. Sempur Lilin (Dillenia obovata) b30,06 b 49,64 b 16,62

3. Cangcaratan (Lithocarpus sundaicus) b 31,84 b 51,67 b 15,31

4 Ki Pasang (Prunus javanica ) b 30,77 b 45,42 b 16,82

(Sumber: aHaque et al., 2015; bHastuti et al., 2015).

Kandungan lignin dari tanaman alang-alang sebesar 19,00% (Haque et al., 2015),

relatif lebih kecil dibandingkan kandungan lignin dari tiga jenis kayu yang mencapai 30,06-

31,84% (Hastuti et al., 2015). Sutiya et al. (2012) melaporkan kandungan lignin dari alang-

alang sebesar 31,50%, hasil yang diperoleh relatif tinggi, akan tetapi termasuk kategori kelas

sedang jika dibandingkan dengan kandungan kimia pada kayu jarum sebesar 25-35%

(Prawirohatmodjo, 1997). Secara umum komposisi lignin alang-alang lebih kecil dibanding

lignin dalam kayu, sehingga proses delignifikasinya lebih mudah dan murah.

Alang-alang memiliki kandungan lignin yang lebih rendah dibanding bahan kayu,

selain akan menghasilkan produk yang maksimal, rendahnya kadar lignin akan

mempersingkat waktu dan tahap produksi bioetanol. Lignin memiliki struktur ikatan aril-

alkil dan ikatan eter sehingga dapat melindungi komponen lain yang berada disekitarnya,

sehingga proses hidrolisis akan sulit dilakukan (Hastuti et al., 2015).

Page 156: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

144

TEKNOLOGI KONVERSI BIOETANOL GENERASI KEDUA

Produksi bioetanol dari sumber lignoselulosa termasuk alang-alang dilakukan

melalui beberapa tahap yaitu pretreatment, sakarifikasi, fermentasi dan pemurnian. Tahap

pretreatment dilakukan untuk menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa dan

meningkatkan porositas bahan. Selanjutnya adalah tahap sakarifikasi/hidrolisa yang

bertujuan untuk mengkonversi selulosa menjadi gula sederhana. Tahap terakhir adalah proses

fermentasi untuk mengkonversi gula-gula sederhana (xylose, arabinose, glukosa) menjadi

bioetanol dan pemurnian dengan tujuan untuk mendapatkan etanol dengan konsentrasi yang

tinggi (Osvaldo, 2012).

Pretreatment

Proses pretreatment dilakukan untuk mengurangi kandungan lignin (delignifikasi),

ukuran partikel dan meningkatkan kemampuan hidrolisis dari selulosa dan hemiselulosa

menjadi gula-gula sederhana (Fojas & Rosario, 2013). Proses pretreatment dapat dilakukan

melalui perlakuan secara fisik, fisik-kimiawi, kimiawi dan enzimatik (Mosier, 2005; Sun &

Cheng, 2002).

1) Pretreatment secara fisika seperti penghancuran secara mekanik (Penggerusan,

penggilingan, extruder) untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi

kristalinitas selulosa.

2) Pretreatment secara fisika-kimia (autohydrolisis) menggunakan steam explosion,

ammonia fiber explosion, dan CO2 explosion.

3) Pretreatment secara kimia dilakukan dengan menggunakan alkali, ozonolisis,

hidrolisis asam dan delignifikasi.

4) Pretreatment secara biologi dilakukan dengan bantuan mikroorganisme jamur

pelapuk coklat, jamur pelapuk putih dan jamur pelunak yang mendegradasi lignin

dan hemiselulosa yang ada didalam lignoselulosa.

Beberapa tahun terakhir ini berbagai teknik pretreatment telah dipelajari baik secara

kimia, fisika dan biologi. Menurut Sun & Cheng (2002) tahap pretreatment harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Meningkatkan kemampuan hidrolisis enzimatik atau pembentukan gula.

2) Meminimalisir degradasi atau kehilangan karbohidrat.

3) Meminimalisir terbentuknya produk samping yang dapat menghambat proses

hidrolisis dan fermentasi

4) Biaya yang diperlukan ekonomis

Sakarifikasi

Tahap berikutnya adalah tahap hidrolisis atau sakarifikasi yang dilakukan untuk

mengubah selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana seperti xylose, glukosa

dan arabinosa. Tahap hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis atau menggunakan

larutan asam (Fojas & Rosario., 2013). Hidrolisis secara enzimatis umumnya berlangsung

pada kondisi pH sekitar 4,80 dan suhu 45-50°C serta tidak menimbulkan masalah korosi.

Tetapi masalah yang dihadapi dari pengaplikasian proses hidrolisis secara enzimatis

adalah harga enzim yang mahal mencapai 53-65% dari biaya bahan kimia (Hermiati et

al, 2010).

Proses hidrolisis secara enzimatis dilakukan mengunakan enzim selulase yang

terdiri dari campuran 3 enzim yaitu endoglukonase, eksoglukonase dan β-glukosidase.

Enzim endoglukonase berkerja dengan memecah selulosa secara acak dan membentuk

ujung rantai. Enzim eksoglukonase berkerja dengan mendegradasi lebih lanjut molekul

tersebut dengan memindahkan unit-unit selebiosa dari ujung-ujung rantai bebas.

Sementara enzim β-glukosidase menghidrolisis selebiosa menjadi glukosa (Sun &

Cheng, 2005). Hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan bantuan mikroorganisme yang

menghasilkan mikroorganisme seperti Trichoderma reesei (Kodri et al., 2013),

Trichodeerma viridie (Saparianti et al., 2012), dan Aspergillus niger (Kodri et al., 2013).

Berbeda dengan hidrolisis secara enzimatis, hidirolisis menggunakanan asam encer

dilakukan pada suhu dan tekanan tinggi dalam waktu yang singkat sehingga

memungkinkan untuk dilakukan secara kontinu. Proses hidrolisis menggunakan asam

Page 157: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

145

pekat memerlukan suhu dan tekanan yang relatif rendah (Demirbas, 2005), akan tetapi

waktu reaksi menggunakan asam pekat relatif lebih lama dibandingkan menggunakan

asam encer. Kelemahan proses hidrolisis menggunakan asam dibanding secara enzimatis

adalah reaksi yang bersifat tidak spesifik. Sakarifikasi dengan asam menghasilkan

berbagai produk samping seperti furan, asam asetat dan fenolik (Chandel et al., 2007).

Fermentasi

Proses fermentasi merupakan tahap akhir yang dilakukan untuk memperoleh

bioetanol. Fermentasi dilakukan untuk mengkonversi gula-gula sederhana menjadi

bioetanol dengan menggunakan banguan ragi seperti Saccharomyces cerevisiae dan

bakteri Zymmomonas mobilis (Walker, 2010). Kondisi optimum untuk proses fermentasi

adalah pada suhu 30°C, pH 5, dan sedikit aerobik (Dahnum et al., 2015). Pada proses

fermentasi glukosa, satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul etanol dan dua

molekul karbon dioksida (CO2). Sementara xylose sebagai monomer dari hidrolisis

hemiselulosa dapat difermentasi menggunakan Pichia stipitis (Walker, 2010). Pada

fermentasi xylose tiga molekul xylose menghasilkan lima molekul etanol, lima dua

molekul karbon dioksida (CO2) dan lima molekul air (Mc. Millan, 1993).

SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation)

SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation) merupakan salah satu

teknologi konversi bioetanol yang mulai banyak digunakan dalam dunia industri. Pada

proses SSF, tahap hidrolisis atau sakarifikasi selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan

secara bertahap atau berpisah, tetapi secara simultan dalam satu reaktor. Proses

sakarifikasi dan fermentasi dilakukan dengan memasukan enzim selulase dan ragi S.

cerevisiae kedalam satu reaktor yang sama secara simultan dalam kondisi suhu optimal

adalah 38°C, yang diperoleh dari perpaduan suhu optimal hidrolisis 45-50°C dan suhu

optimal fermentasi 30°C (Sun & Cheng, 2002).

Proses SSF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses hidrolisis

dan fermentasi secara bertahap atau sering disebut dengan SHF (Separated Hydrolysis

and Fermentation) adalah:

1) Meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan mengonversi gula yang terbentuk dari

hasil hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase

2) Mengurangi kebutuhan enzim

3) Meningkatkan rendemen produk

4) Mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi

etanol

5) Waktu proses lebih pendek, volume reaktor, dan energi yang diperlukan lebih kecil

karena dalam proses hidrolisis dan fermentasi hanya digunakan satu reaktor dalam

waktu bersamaan secara simultan.

(Sun & Cheng, 2002).

6) Proses SSF lebih toleran terhadap inhibitor yang terbentuk dari proses pretreatment,

umumnya inhibitor mengganggu proses hidrolisis (Ohgren et al, 2007).

Walaupun proses SSF lebih disukai dalam dunia industri, ada beberapa kendala

yang perlu diatasi dari proses tersebut, diantaranya adalah:

1) Suhu hidrolisis dan fermentasi tidak sama

2) Toleransi mikroba terhadap etanol

3) Penghambatan kerja enzim oleh etanol

(Sun & Cheng, 2002).

4) Kesulitan memisahkan sel ragi dari sisa lignin dan serat dapat meningkatkan

kebutuhan ragi sehingga menurunkan produksi etanol.

(Nguyen, 1993).

Page 158: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

146

Gambar 1. Proses konversi 1 ton substrat alang alang menjadi bioetanol generasi kedua

(Haque et al., 2015).

KESIMPULAN

Sampai saat ini tanaman alang-alang yang keberadannya cukup melimpah di

Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Alang-alang memiliki komponen kimia

lignoselulosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol generasi kedua.

Akan tetapi produksi dan aplikasi bioetanol dari biomassa lignoselulosa termasuk alang-

alang masih menghadapi berbagai masalah seperti teknologi proses yang belum dikuasai

secara maksimal dan harga bioetanol yang cukup mahal. Oleh karena itu diperlukan

kerjasama oleh berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, peneliti dan pendidik untuk

mendorong pemanfaatan taanaman alang-alang sebagai sumber bahan baku bioetanol

generasi kedua.

DAFTAR PUSTAKA

Chandel, A. R. (2007). Detoxification of sugarcane bagasse hydrolysate improves ethanol

production by Candida shehatae NCIM 3501. Bioresource Technology, 1947-1950.

Costello & Chum. (1998). Biomass, bioenergy and carbon management. Bioenergy ’98:

Expanding Bioenergy Partnerships (hal. 11-17). Madison: Omni Press.

Fojas & Rosario. (2013). Optimization of Pretreatment and Enzymatic Saccharification of

Cogon Grass Prior Ethanol Production. International Journal of Chemical,

Molecular, Nuclear, Materials and Metallurgical Engineering, 296-299.

Garrity, D. S. (1997). The Imperata Grasslands of Tropical Asia: Area, Distribution and

Typology. Agroforestry systems, 3-29.

Hambali, E. S. (2007). Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Haque, M. A., Barman, D. N., & Kim, M. K. (2015). Cogon grass (Imperata cylindrica), a

potential biomass candidate for bioethanol: cell wall structural changes enhancing

hydrolysis in a mild alkali pretreatment regime. Sci Food Agric , 1790–1797.

Hastuti, N., Efiyanti, L., Pari, G., Saepuloh, & Setiawan, D. (2015). Chemical Component

and Potential Utilization of Five Lesser Known Wood. Jurnal Penelitian Hasil

Hutan, 15-27.

Page 159: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

147

Hermiati, D. M. (2010). Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi

Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 121-130.

Holtzapple, M. R. (2004). Methods and Systems for Pretreatment and Processing of Biomass.

Kodri, B. A. (2013). Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma Reseei dan Aspergillus

Niger sebagai Katalisator Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi dengan Pretreatment

Microwave. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, 36-43.

Liu, I. &. (2007). Cellulase Production By Trichoderma Koningii AS3.4262 In Solid-State

Fermentation Using Lignocellulosic Waste From The Vinegar Industry. Food

Technology, 420-425.

Long, Yueqin, O., Guo, P., Yuntao, Cui, L. J., Long, M., & Hu, Z. (2009). Cellulase

Production by Solid State Fermentation Using Bagasse With Penicillium decumbens

L-06. Annals of Microbiology, 517-523.

Millan, M. (1993). Xylose Fermentation to Ethanol: A Review. National Renewable Energy

Laboratory, 3.

Mosier, Wyman, N. C., Dale, B., Elander, R., Mosier, Y., Wyman, N. C., Y. (2005). Features

of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource

Technology, 673−686.

Muzzie. (2006). Hemiselulosa and Lignin,. New Jersey.

Nguyen. (1993). Economic analyses of integrating a biomass-to-ethanol plant into a pulp/saw

mill. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues (hal. 321–340). CAB

International, Wallingford: In J.N. Saddler (Ed.

Ohgren, Bura, K. R., Lesnicki, G., Saddler, J., & Zacchi, G. (2007). A comparison between

simultaneous saccharification and fermentation (SSF) and separate hydrolysis and

fermentation (SHF) using steam-pretreated corn stover. Proc. Biochem, 834–839.

Osvaldo, Putra, P., & Faizal, M. (2012). Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Proses

Hidrolisis dan Fermentasi Pembuatan Bioetanol dari Alang-alang. Jurnal Teknik

Kimia, 52-62.

Paskawati & Susyana. (2010). Skripsi: Pembuatan Pulp dari Sabut Kelapa sebagai Bahan

Baku Kertas Komposit. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik.

Pastor, F., Gallardo, O., Sanz-Aparicio, J., & Diaz, P. (2007). Xylanases : Molecular

Properties and Applications.

Prawirohatmodjo. (1997). Kimia. Yogyakarta: Yayasan Pembina Universitas Gajah Mada.

Puspitasari, P., Linda, R., & Mukarlina. (2013). Pertumbuhan Tanaman Pakchoy (Brassica

chinensis L.) dengan Pemberian Kompos Alang-Alang (Imperata cylindrica (L.)

Beauv) pada Tanah Gambut. Jurnal Protobiont, 42-48.

Saparianti, Dewanti, T., & Dhoni, S. K. (2012). Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Glukosa

Cair oleh Kapang Trichoderma viride. Jurnal Teknik Pertanian, 1-10.

Sun & Cheng. (2002). Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: A

review. Bioresource Technology, 1-11.

Sutiya, B. Istikowati, W. T., Rahmadi, A., & Sunardi. (2012). Kandungan Kimia dan Sifat

Serta Alang-alang (Imperata cylindrica) sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas.

Bioscientiae, 8-19.

Wenzl. (1990). The Chemical Technology of Wood. . London: Academic Press Inc.

Page 160: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

148

Windadri, Rahayu, M., & Uji, T. (2006). Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh

Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna,

Sulawesi Tenggara. Biodiversitas, 333-339.

Wong & Lim. (2016). Production of Bioethanol from Cogon Grass (Imperata cylindrical).

Asian J.Chem., 52-56.

Page 161: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

149

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERORIENTASI

LEARNER AUTONOMY PADA TOPIK OPTIKA GEOMETRI UNTUK

MELATIHKAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH

The Development of Instructional Materials oriented to Learner Autonomy on

Geometric Optics Subject to Train Problem Solving Skill

Abdul Salam M.1*, Sarah Miriam1, Misbah1 1Pendidikan Fisika FKIP ULM, Jalan Brigjend H. Hasan Basry, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran fisika

dasar topik Optika Geometri yang valid, praktis, dan efektif untuk melatihkan

keterampilan pemecahan masalah. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan

berorientasi pada learner autonomy. Penelitian ini dilaksanakan dengan one group

pretest and postest design. Subjek uji coba penelitian adalah mahasiswa semester dua

(2) program studi Pendidikan Fisika FKIP ULM tahun akademik 2016/2017. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan: (1) valid

berdasarkan penilaian pakar, (2) praktis berdasarkan hasil keterlaksanaan RPP, dan (3)

efektif berdasarkan peningkatan hasil belajar mahasiswa dengan gain score yang

berkategori sedang.

Kata kunci: learner autonomy, keterampilan pemecahan masalah, optika geometri

Abstract. This study was intended to develope a valid, practical, and effective

instructional material of fundamental physics on geometric optics subject to train

problem solving skill. The Instructional materials developed were oriented to learner

autonomy. This study was conducted in one group pretest and postest design. The

subject of this study is the second (2nd) semester student of Physics Education Study

Program of FKIP ULM at the academic year of 2016/2017. The study result showed

that the developed instructional materials were declared: (1) valid according to the

expert judgment, (2) practical according to the application lesson plan in classroom,

and (3) effective according to student achievement giving gain score of medium

category.

Keywords: learner autonomy, problem solving skill, geometric optics

PENDAHULUAN

Permendikbud nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses menegaskan bahwa

proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan

bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keseluruhan prinsip-

prinsip pembelajaran diatas bermuara pada pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan

mengembangkan segala potensi yang ada pada diri siswa atau peserta didik.

Mewujudkan pola pembelajaran yang mampu memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif di kelas adalah sesuatu yang tidak mudah. Diperlukan kemampuan guru

untuk menarik perhatian peserta didik, salah satunya dengan berupaya memunculkan

masalah pembelajaran yang memang berkaitan dengan kehidupan dan kebutuhan peserta

didik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penguasaan pengetahuan prasyarat oleh

peserta didik untuk memasuki sebuah topik baru. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka mustahil

pembelajaran yang berpusat pada siswa akan berjalan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi

guru/dosen untuk mengetahui seberapa besar kemampuan/pengetahuan prasyarat peserta

didik sehingga guru/dosen mampu merumuskan tugas dan tanggung jawab yang akan

diamanahkan kepada peserta didiknya.

(Howe & Jones, 1993) memperkenalkan sebuah konsep untuk mengatur tugas dan

tanggung jawab pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran dengan

Page 162: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

150

mempertimbangkan hal-hal diatas yang dikenal dengan istilah learner autonomy. Learner

autonomy didasarkan pada gagasan bahwa peserta didik harus dilibatkan dalam proses

pengambilan keputusan yang berkenaan dengan kompetensi yang akan dilatihkan

(Balcinkali, 2010). Dengan demikian sehingga siswa diharapkan lebih fokus dan

bertanggungjawab pada pembelajaran mereka sendiri. Dengan learner autonomy peserta

didik dikelompokkan ke dalam tingkatan-tingkatan berdasarkan kemampuan awal mereka

dan sekaligus mengatur tanggung jawabnya dalam proses pembelajaran. Learner autonomy

juga tidak lepas terhadap tanggung jawab pendidik, khususnya berkenaan dengan peran dan

tanggung jawabnya dalam kelas serta pemilihan model pembelajaran yang digunakan.

Model-model pembelajaran yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik peserta didik,

materi, dan lingkungan belajar.

Dalam konteks pembelajaran fisika di FKIP Universitas Lambung Mangkurat,

masalah memotivasi peserta didik agar aktif dan learner autonomy sangatlah penting

mengingat masih begitu rendahnya kompetensi dasar keilmuan yang dimiliki oleh

mahasiswa sebagai calon guru. Proses perkuliahan masih didominasi oleh dosen dengan

metode ceramah dan diikuti contoh soal, dan drill (latihan). Mahasiswa sebagai subjek belajar

lebih sering diposisikan sebagai pendengar sehingga menjadi tidak aktif. Selain itu, modul

praktikum yang digunakan di laboratonium juga sudah sangat lengkap dan sistematis.

Akibatnya, keterampilan proses sains siswa kurang bterlatih secara komprehensif (Salam M.,

Prabowo, & Supardi, 2015).

Penelitian yang dilakukan sebelumnya telah membuktikan bahwa pembelajaran

dengan learner autonomy efektif untuk meningkatkan kompetensi dasar keilmuan mahasiswa

pendidikan fisika pada perkuliahan fisika dasar topik listrik dinamis (Salam M., Prabowo, &

Supardi, 2015). Rancangan penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian pada topik fisika

dasar yang lain, yakni optika geometri. Peneliti memiliki keyakinan yang kuat bahwa masih

rendahnya penguasaan kompetensi dasar keilmuan mahasiswa khususnya keterampilan

pemecahan masalah bisa diatasi dengan perangkat pembelajaran yang dikembangkan

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk

mengembangkan perangkat pembelajaran topik Optika Geometri yang berorientasi pada

learner autonomy dan kearifan lokal untuk melatihkan keterampilan pemecahan masalah

mahasiswa. Penelitian mengadaptasi model pengembangan Dick & Carey (Dick, Carey, &

Carey, 2009) untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), Materi Ajar, dan Tes Hasil Belajar

(THB).

Tahapan pengembangan yang dilaksanakan meliputi: (1) menganalisis

tujuan/kompetensi dasar, (2) menganalisis perkuliahan, (3) menganalisis mahasiswa, (4)

merumuskan tujuan kinerja, (5) menyusun tes acuan patokan, (6) mengembangkan strategi

perkuliahan, (7) mengembangkan perangkat pembelajaran, (8) melaksanakan validasi, (9)

melaksanakan Uji Coba I, dan (10) melaksanakan uji Coba II. Artikel ini mendeskripsikan

hasil pelaksanaan Uji Coba I yang merupakan bagian dari pengembangan perangkat

pembelajaran secara utuh.

Subjek penelitian ini adalah perangkat pembelajaran berupa RPP, LKM, Materi Ajar,

dan THB. Objek Penelitian berupa kelayakan perangkat pembelajaran yang terdiri dari

validitas, kepraktisan, dan keefektifan dari perangkat pembelajaran yang dikembangkan.

Selanjutnya yang menjadi subjek uji coba perangkat pembelajaran adalah mahasiswa

Pendidikan Fisika yang memprogramkan mata kuliah Fisika Dasar II pada tahun akademik

2016/2017, sebanyak 20 orang.

Teknik analisi data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan masing-

masing data yang diperoleh selama tahapan pengembangan. Skor penilaian terhadap masing-

masing perangkat pembelajaran diperoleh dari hasil penilaian pakar dengan menggunakan

beberapa indikator. Skor tersebut dirata-ratakan kemudian diklasifikasikan berdasarkan

kategori pada tabel 1. Skor keterlaksanaan RPP juga dirat-ratakan kemudian diklasifikasikan

berdasarkan pengaktegorian pada tabel 1. Data tersebut dijadikan dasar untuk menentukan

Page 163: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

151

kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Selanjutnya Data hasil belajar baik

sebelum dan sesudah pembelajaran dianalisis secara deskriptif untuk menentukan nilai

maksimum, nilai minimum, rerata, dan standar deviasi. Selanjutnya dihitung nilai gain

ternormalisasi dengan menggunakan formula (Hake, 1998):

i

if

S

SSg

%%100

%%

Dengan g adalah gain ternormalisasi, fS adalah nilai postest, dan

iS adalah nilai

pretest. Nilai tersebut disesuaikan dengan nilai acuan gain pada tabel 3 untuk melihat kategori

efek peningkatan hasil belajar mahasiswa setelah diterapkannya perangkat pembelajaran

yang dikembangkan.

Tabel 1. Acuan validitas perangkat dan keterlaksanaan RPP

Rentang Skor Kategori

≥4,21

3,40 - 4,20

2,60 - 3,40

1,80 - 2,60

≤1,80

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang Baik

Tidak Baik

Diadaptasi dari Widoyoko, (2012: 238)

Tabel 2. Acuan nilai gain

Rentang Skor Kategori

0,70

0,7 ≥ g ≥ 0,3

< 0,3

Tinggi

Sedang

Rendah

(Hake, 1998)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi RPP,

LKM, Materi Ajar, dan THB. Perangkat pembelajaran ini diharapkan mampu melatihkan

keterampilan pemecahan masalah bagi mahasiswa pada topik Optika Geometri dengan

memperhatikan otonomi belajar bagi mahasiswa. Perangkat pembelajaran yang dirancang

selanjutnya divalidasi oleh ahli/pakar untuk memperoleh perangkat yang valid. Selanjutnya,

perangkat tersebut di uji coba pada kelas terbatas untuk mengetahui kepraktisan dan

keefektivannya.

1. Hasil validasi ahli/pakar

Proses validasi merupakan proses penelaahan oleh pakar menggunakan sejumlah

indikator untuk setiap jenis perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Rencana

pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan panduan yang didesain sedemikian rupa oleh

guru/dosen untuk mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Penelaahan pakar terhadap

RPP meliputi komponen tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, waktu, dukungan

antar perangkat pembelajaran, metode sajian, dan bahasa yang digunakan. Berdasarkan hasil

penilaian pakar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 4,18 yang berkategori baik dengan

reliabilitas sebesar 99,02%.

Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) adalah panduan sekaligus kertas kerja bagi

mahasiswa dalam melakukan pemecahan masalah. Pemecahan masalah disini terdiri atas

pemecahan masalah melalui kegiatan eksperimen dan pemecahan masalah soal-soal latihan

level kognitif C3 (penerapan) maupun C4 (analisis). Indikator dalam penilaian LKM

meliputi aspek petunjuk, kelayakan isi, prosedur, dan pertanyaan. Berdasarkan hasil

penilaian pakar, diperoleh nilai rata-rata LKM sebesar 3,86 yang berkategori baik dengan

reliabilitas sebesar 98,97%.

Materi Ajar Optika Geometri digunakan oleh mahasiswa sebagai salah satu sumber

belajar dalam proses belajar mengajar di kelas. Materi ajar yang dikembangkan terdiri atas

sampul, kata pengantar, daftar isi, tujuan pembelajaran, pembahasan materi yang dilengkapi

dengan gambar, contoh soal, latihan, rangkuman, daftar pustaka, dan glosarium. Materi ajar

Page 164: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

152

didesain sedemikian rupa untuk mengakomodir kebutuhan sumber belajar minimal yang

diperlukan dalam proses pembelajaran. Adapun indikator penilaian untuk materi ajar

meliputi: komponen kelayakan isi, kebahasaan, dan komponen penyajian. Hasil penilaian

pakar menunjukkan bahwa materi ajar yang dikembangkan berkategori baik dengan nilai

rata-rata sebesar 4,00 dan dengan reliabilitas sebesar 99,33%.

Perangkat pembelajaran yang terakhir adalah THB yang sekaligus merupakan

instrumen untuk menilai ketercapaian tujuan pembelajaran. THB yang dikembangkan

berupa soal essay berjumlah 6 nomor dengan level kognitif C2 sampai dengan C6. Indikator

penilaian terhadap THB meliputi aspek validitas isi, bahasa serta penulisan soal. Hasil

penilaian pakar menunjukkan bahwa THB yang dikembangkan berkategori baik dengan nilai

rata-rata sebesar 3,98 dan dengan reliabilitas sebesar 99,48%.

Berdasarkan hasil penilaian pakar terhadap perangkat pembelajaran, diketahui bahwa

keseluruhannya adalah berkategori baik. Dengan demikian seluruh perangkat pembelajaran

dinyatakan valid. Selanjutnya perangkat pembelajaran dapat digunakan/diimplementasikan

dalam proses pembelajaran pada tahap uji coba untuk mengetahui tingkat kepraktisan dan

efektivitasnya.

2. Hasil uji coba

Uji coba terbatas dilaksanakan dalam 3 kali tatap muka dengan alokasi waktu masing-

masing sebesar 150 menit. Pertemuan pertama membahas topik pemantulan cahaya dengan

menggunakan model pengajaran langsung. Tujuannya adalah untuk membekali mahasiswa

tentang keterampilan melakukan eksperimen yang berkaitan dengan hukum pemantulan

cahaya dan sifat-sifat bayangan yang terbentuk oleh cermin datar, cekung, dan cembung.

Selanjutnya secara bertahap, mahasiswa dibekali dengan kemampuan melakukan pemodelan

matematis terhadap hasil eksperimen yang dilakukan. Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa

keterlaksanaan RPP sudah berjalan dengan baik.

Tabel 3. Keterlaksanaan Pembelajaran Langsung

Fase Pembelajaran Skor Kategori

1. Menjelaskan tujuan dan mempersiapkan mahasiswa 4,25 Sangat Baik

2. Mendemonstrasikan pengetahuan/ keterampilan 4,25 Sangat Baik

3. Membimbing pelatihan 4,17 Baik

4. Mengecek pemahaman dan memberi umpan balik 4,00 Baik

5. Membimbing pelatihan lanjutan dan penerapan 3,80 Baik

Pada pertemuan kedua, dosen menggunakan model pembelajaran inquiry/discovery

learning tipe terbimbing. Pembelajaran ini terdiri atas 5 fase pembelajaran (Sutman,

Schmuckler, & Woodfield, 2008). Umumnya fase-fase pembelajaran berjalan dengan sangat

baik. Pertemuan kedua membahas tentang pembiasan cahaya oleh satu bidang permukaan

pembias yang diikuti dengan pemodelan matematis berdasarkan hasil eksperimen. Oleh

karena sifatnya yang masih terbimbing, maka LKM yang digunakan mahasiswa masih

dilengkapi dengan Rumusan masalah dan atau tujuan eksperimen, alat/bahan, serta prosedur

kerja.

Tabel 4. Keterlaksanaan Pembelajaran Inkuiri/Discovery Terbimbing

Fase Pembelajaran Skor Kategori

Menyampai-kan masalah (Inquiry) 4,00 Baik

Menjelaskan prosedur penyelidikan (Method) 4,50 Sangat baik

Melaksanakan penyelidikan (Investigation) 4,50 Sangat baik

Mempresenta-sikan hasil penyelidikan (Conclusion) 4,00 Baik

Mendiskusi-kan penerapan (Extension) 4,33 Sangat baik

Perkuliahan ketiga menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe group

investigation. Fase-fase pembelaran yang tampak pada tabel 5 adalah fase-fase pembelajaran

kooperatif secara umum. Adapun ciri khas dari langkah-langkah tipe group investigation

yang terdiri dari 6 langkah (Sharan, 1990) dilebur ke dalam fase-fase pembelajaran

kooperatif. Hasil pengamatan observer menunjukkan bahwa keterlaksanaan fase-fase

pembelajaran kooperatif telah berkategori sangat baik.

Page 165: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

153

Tabel 5. Keterlaksanaan Pembelajaran Kooperatif

Fase Pembelajaran Skor Kategori

Memotivasi mahasiswa dan menyampaikan tujuan 4,50 Sangat Baik

Menjelaskan informasi 4,50 Sangat Baik

Mengorganisasikan mahasiswa ke dalam tim-tim belajar 4,67 Sangat Baik

Membimbing kelompok bekerja dan belajar 4,33 Sangat Baik

Evaluasi 4,40 Sangat Baik

Memberikan penghargaan 3,67 Baik

Secara umum tipe-tipe pembelajaran kooperatif berada pada level otonomi tingkat II.

Namun demikian, khusus untuk pembelajaran kooperatif tipe kelompok investigasi (Group

Investigation) berada pada level III. Hal ini disebabkan karena salah satu tuntutan dari

pembelajaran kooperatif tipe ini adalah siswa yang harus bisa merencanakan sendiri

pemecahan masalah akademik yang diberikan bersama dengan kelompoknya. Investigasi

kelompok menempatkan siswa/mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk bekerja

sama merencanakan proyek, melaksanakan investigasi, menyajikan temuan dan

mengevaluasinya secara bersama (Doymus, Simsek, Karacop, & Ada, 2009). Dengan

demikian, jenis LKM yang digunakan dalam penelitian ini tidak mencantumkan tujuan, alat

dan bahan, prosedur kerja percobaan/ekesperimen. Mahasiswa diharapkan memaksimalkan

sumber daya yang ada atau yang dipersiapkan oleh dosen untuk memecahkan masalah

akademik yang diberikan. Intervensi dari dosen untuk menyiapkan beberapa alat dan bahan

ini dimungkinkan dengan pertimbangan waktu dan efektivitas penyelidikan. Berdasarkan pemaparan data diatas, terlihat bahwa keterlaksanaan fase-fase

pembelajaran berorientasi learner autonomy dapat terlaksana dengan baik, bahkan sebagian

besar fase-fase pembelajarannya bisa dilaksanakan dengan sangat baik. Hal ini menunjukkan

bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan tergolong praktis. Kesiapan mahasiswa

berupa pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan bisa terpenuhi sehingga

hambatan yang dialami pada setiap level otonomi dapat diatasi dengan baik.

Efektivitas perangkat pembelajaran dalam penelitian ini ditinjau dari hasil pretest dan

postest. Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa rerata pretest mahasiswa sebesar 12,2 dengan

deviasi standar sebesar 5,1. Selanjutnya nilai rerata postest adalah 69,8 dengan deviasi

standar sebesar 11,9. Dengan skor maksimum yang mungkin dicapai adalah 100, maka

peningkatan hasil belajar mahasiswa berdasarkan nilai gain ternormalisasi adalah 0,66 yang

termasuk dalam kategori sedang/efektif. Hal ini sejalan dengan temuan peneliti sebelumnya

bahwa pembelajaran inovatif yang mempertimbangkan learner autonomy efektif untuk

meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada topik listrik dinamis (Salam M., Prabowo, &

Supardi, 2015).

Tabel 5. Keterlaksanaan Pembelajaran Kooperatif

Nilai Pretest Postest

Nilai Maksimum 23 87

Rerata 12,6 70,0

Nilai Minimum 6 50

Deviasi standar 5,1 11,9

Gain score 0,66

Tes Hasil Belajar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 pertanyaan terdiri

atas level pertanyaan memahami (C2) sebanyak dua nomor, sedangkan level kognitif lainnya

(menerapkan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6)) masing-

masing diwakili satu nomor soal. Soal-soal pemecahan masalah yang disajikan dalam THB

memiliki proporsi paling besar. Kualifikasi soal C4 dan C5 dalam penelitian ini pada

dasarnya untuk menguji keterampilan mahasiswa menyelesaikan masalah yang memerlukan

kemampuan analisis matematis dan pemodelan dalam bentuk gambar jejak berkas cahaya.

Selain itu, mahasiswa juga dilatih pemecahan masalahnya melalui kreativitas menyusun

eksperimen sederhana yang berakar pada keterampilan proses sains (level C6).

Proporsi terendah dari rerata skor jawaban mahasiswa disumbangkan oleh pertanyaan

pada level C2 dan C3 yang menuntut siswa menggambarkan proses pembentukan bayangan

pada lensa dan cermin. Beberapa mahasiswa masih keliru menggunakan sinar-sinar istimewa

Page 166: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

154

pada lensa maupun cermin. Kebiasaan di sekolah menengah dan buku-buku penerbit yang

selalu menempatkan benda/objek diatas sumbu utama juga mengakibatkan mahasiswa keliru

menggambar ketika diminta membuat objek yang simetris terhadap sumbu utama. Untuk

pembentukan bayangan pada lup, beberapa mahasiswa masih keliru menempatkan

benda/objek sehingga bayangan yang terbentuk tidak diperbesar.

Hal-hal seperti ini tentu memerlukan pengulangan dan pembiasaan, sehingga

siswa/mahasiswa tidak hanya terpaku pada satu kondisi tertentu saja, namun bisa

menerapkan pemahamannya untuk berbagi situasi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan

hukum Law of exercise yang mengisyaratkan pentingnya pengulangan/latihan agar

seseorang memiliki pemahaman yang baik tentang sesuatu atau menjadi terampil. Selain itu,

menurut teori pemrosesan informasi kebiasaan menggunakan sebuah pengetahuan dan atau

keterampilan akan menjadikan pengetahuan/keterampilan tersebut tidak mudah untuk

dilupakan dan akhirnya bisa naik ke memori jangka panjang seseorang.

SIMPULAN

Berdasarkan pemaparan data dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

perangkat pembelajaran fisika topik optika geometri yang dikembangkan dengan

berorientasi pada learner autonomy dinyatakan layak (valid, praktis, dan efektif) untuk

digunakan pada uji coba sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Balcinkali, C. (2010). Learner Autonomy in Language Learning: Student Teachers' Beliefs.

Australian Journal of Teacher Education, 35(1); 90-103.

Dick, W., Carey, L., & Carey, J. O. (2009). The Systematic Design of Instruction, 7th edition.

New Jersey: Pearson.

Doymus, K., Simsek, U., Karacop, A., & Ada, a. S. (2009). Effects of Two Cooperative

Learning Strategies on Teaching and Learning Topics of Thermochemistry. World

Applied Sciences Journal , 7(1), 34-42.

Hake, R. R. (1998). Interactive-engagement vs traditional methods: A six-thousand student

survey of Mechanics test data for introductory physics courses. American Journal

of physics, 66(1), 64-74.

Howe, A. C., & Jones, L. (1993). Engaging Children In Science. New York: Macmillan

Publishing Company.

Salam M., A., Prabowo, & Supardi, Z. A. (2015). Pengembangan Perangkat Perkuliahan

Inovatif berdasarkan Tingkat Otonomi Pebelajar pada Perkuliahan Fisika Dasar.

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains, 4(1) 547-556.

Sharan, Y. S. (1990). Group Investigation Expands Cooperative Learning. Educational

Leadership, 47, 17-21.

Sutman, F. X., Schmuckler, J. S., & Woodfield, J. D. (2008). The Science Quest Using

Inquiry/Dizcovery to Enhance Student Learning. San Fransisco: John Wiley &

Sons.

Page 167: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

155

PENGARUH PENAMBAHAN LEMPUNG GAMBUT DAN TAR

SEBAGAI PEREKAT TERHADAP KUALITAS BRIKET BIOARANG

DARI ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes)

The Influence of The Addition of Clay and Tar as an Adhesive to The Quality of Briquette Bioarang from Water Hyacinth (Eichhornia crassipes)

Ajidannor1, Anisa Mauliyanti

2, Hesty Wijayanti

3*

Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70714 *Email: [email protected]

Abstrak. Briket bioarang dari eceng gondok memiliki potensial yang besar sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Penggunaan perekat dalam pembuatan briket akan mempengaruhi kualitas dari briket tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu optimum yang menghasilkan bioarang terbanyak dan bagaimana pengaruh variasi perekat dengan penambahan lempung gambut dan tar terhadap kualitas briket dari eceng gondok. Penelitian dilakukan dengan mengarangkan eceng gondok sebagai bahan bakunya. Kemudian perekat yang terbuat dari tepung kanji dan air akan dicampur dengan perekat lain berupa lempung gambut dan tar. Briket dengan variasi perekat tersebut akan diuji dengan uji proximat. Hasil yang diperoleh yaitu suhu optimum yang menghasilkan bioarang yaitu semakin tinggi suhu pirolisis yang digunakan maka akan menurunkan yield bioarang. Selain itu diperoleh kadar air terendah dari briket yang menggunakan perekat dengan campuran lempung gambut dan tar pada perbandingan 75%:12,5%:12,5%. Untuk kadar abu terendah pada briket yang menggunakan perekat tanpa ada campuran lempung maupun tar. Untuk kadar zat terbang terendah pada briket yang menggunakan perekat dengan campuran lempung gambut dengan perbandingan 75%:25%. Untuk fixed carbon tertinggi pada briket yang menggunakan perekat dengan campuran lempung gambut dan tar dengan perbandingan 25%:37,5%:37,5%.

Kata Kunci: eceng gondok, briket bioarang, pirolisis, lempung gambut, tar. Abstract. Bio-briquette from water hyacinth has great potential as alternative energy to replace fossil fuel. The use of adhesives in the manufacture of briquettes will affect the quality of the briquettes. This study aims to determine the optimum temperature that produces the most bioarang and how the influence of adhesive variation with the addition of peat clay and tar to the quality of briquettes from water hyacinth. Research is done by composing water hyacinth as its raw material. Then the glue made of starch and water will be mixed with other glue in the form of peat and tar clay. The briquettes with the adhesive variation will be tested with the proximate test and the calorific value test, so far the results obtained are the optimum temperature that produces bioarang is the higher the pyrolysis temperature used then it will decrease the yield bioarang. In addition, the lowest moisture content of briquettes using adhesives with mixture of peat clay and tar was compared to 75%: 12.5%: 12.5%. For the lowest ash content on briquettes that use adhesives without any mixture of clay and tar. For the lowest flying substance content on briquettes using adhesives with a mixture of peat clay with a ratio of 75%: 25%. For the highest fixed carbon in briquettes using adhesives with a mixture of peat clay and tar with a ratio of 25%: 37.5%: 37.5%.

Keywords: Water hyacinth, bio-briquette, pyrolysis, peat clay, tar.

Page 168: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

156

PENDAHULUAN

Seiring perkembangan zaman, konsumsi masyarakat akan bahan bakar fosil terus

meningkat. Banyaknya industri yang memakai bahan bakar fosil yang tidak dapat

diperbaharui membuat ketersediaannya semakin menipis. Kesadaran akan menjaga

lingkungan mendorong manusia untuk mengembangkan energi alternatif yang terbarukan

dan lebih ramah lingkungan. Beberapa jenis energi alternatif yang bisa dikembangkan yaitu

energi matahari, energi angin, energi panas bumi dan energi biomassa. Biomassa merupakan

sumber energi yang menjanjikan sebagai pengganti bahan bakar fosil. Biomassa

dikembangkan karena memanfaatkan hasil dari tumbuhan ataupun hewan yang komponen

utamanya karbohidrat. Biomassa umumnya memiliki keunggulan daripada bahan bakar

bakar fosil karena dapat diperbaharui, tidak menyebabkan polusi udara dan dapat

mengefesiensikan pemanfaatan limbah dari tumbuhan (Thoha and Fajrin, 2010)

Eceng gondok merupakan sumber biomassa potensial. Sumbernya sangat melimpah

terutama di daerah Kalimantan Selatan. Eceng gondok merupakan gulma di ekosistem

perairan karena pertumbuhannya yang sangat tinggi yang mencapai 3% perhari (Hendra,

2011). Walaupun potensial tetapi pemanfaatannya hingga saat ini belum maksimal sebagai

sumber energi.

Eceng gondok yang memiliki potensi sebagai biomassa menjadikan eceng gondok

dapat dikembangkan sebagai bahan baku briket bioarang. Bio arang memiliki kelebihan

dibanding arang biasa karena memiliki densitas yang lebih tinggi, dapat disimpan lama,

ringan dan mudah disimpan (Ristianingsih et al., 2015)

Selain biomassa sebagai bahan baku utama untuk pembuatan biobriket , penggunaan

perekat yang sesuai menentukan kulitas bio briket yang dihasilkan. Perekat yang umumnya

digunakan adalah tapioka. Namun, penggunaan perekat ini dapat menyerap air dari udara

sehingga dapat menurunkan nilai kalor dan tidak baik apabila berada dalam kelembaban

udara yang tinggi (mudah berjamur) (Pane et al., 2015).

Lempung gambut merupakan tanah lempung yang berada di bawah lapisan tanah

gambut. Lempung atau tanah liat umumnya digunakan sebagai bahan perekat briket. Jenis-

jenis lempung yang dapat dipakai untuk pembuatan briket terdiri dari jenis lempung warna

kemerah-merahan, kekuning-kuningan dan abu-abu (Wijayanti, 2009). Lempung merupakan

perekat anorganik yang dapat menjaga ketahanan briket selama pembakaran sehingga dasar

permeabilitas bahan bakar tidak terganggu.

Tar merupakan hasil pengembunan asap yang dihasilkan dari proses pirolisis. Tar

merupakan perekat organik. Penggunaan perekat organik menghasilkan abu yang lebih

sedikit setelah pembakaran biobriket (Thoha and Fajrin, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tanah lempung

gambut dan tar sebagai campuran dari perekat tapioka terhadap kualitas briket bioarang yang

dihasilkan. Kedua jenis perekat ini merupakan bahan yang potensial digunakan karena tar

merupakan produk samping dari pirolisis untuk pembuatan bioarang. Sedangkan sumber

lempung gambut tersedia melimpah terutama di daerah Kalimantan Selatan yang memiliki

lahan gambut cukup besar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia Program Studi

Teknik Kimia Universitas Lambung Mangkurat. Bahan baku eceng gondok pada penelitian

ini didapat dari daerah Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah reaktor pirolisis, neraca analitik,

pengaduk, alat penumbuk, ayakan, stopwatch, oven,, cawan porselen, beker gelas, gelas ukur

dan alat pencetak briket.

Bahan

Page 169: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

157

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah eceng gondok, tapioka, dan

lempung gambut.

Persiapan Sampel Eceng Gondok

Sampel eceng gondok dibersihkan dari kotoran yang terbawa dan dicuci dengan air bersih.

Kemudian dipisah batang dan daunnya dan dipotong kecil kecil Kemudian dikeringkan

dibawah sinar matahari selama 2 hari.

Pengarangan

Sampel yang telah dijemur kemudian dimasukkan kedalam reaktor pirolisis selama 1 jam

dengan variasi suhu 250, 300 dan 350 ˚C. Asap dari pirolisis kemudian diembunkan dan

diambil tarnya.

Perekatan

Setelah proses pengarangan sampel dihaluskan dan diayak dengan ayakan 250 mesh.

Kemudian masuk proses perekatan. Jumlah perekat yang digunakan dalam pembuatan briket

bioarang adalah sebanyak 10% dari berat arang yang akan digunakan dalam pembuatan briket

tersebut (Ndhara, 2009). Perekat dibuat dengan mencampurkan tepung tapioka dengan air

dengan perbandingan 1:8 (Ristianingsih et al., 2015). Arang eceng gondok yang telah

terbentuk kemudian dicampur dengan campuran perekat. Variasi campuran perekat yang

digunakan yaitu (menggunakan rasio berat) :

a. Perekat:lempung gambut (25% : 75%, 50% : 50%, 75%:25%)

b. Perekat:tar (25% : 75%, 50% : 50%, 75% : 25%)

c. Perekat:lempung gambut:tar

1. 75% : 12,5% : 12,5%

2. 50% : 25% : 25%

3. 25% : 37,5% : 37,5%

Pencetakan

Bioarang yang sudah tercampur dengan perekat dimasukkan ke dalam alat pencetak briket.

Bioarang dikompaksi dengan tekanan 800 kg/cm2. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada

suhu 80°C selama ± 10 jam. Lalu didinginkan (Ariyanto et al., 2014). Pada briket bioarang

yang dihasilkan dilakukan uji yield, kadar air (SNI 06-3730-1995), kadar abu (SNI 06-3730-

1995), kadar zat terbang (SNI No. 01-6235-2000), kadar fixed carbon dan nilai kalor

(Ristianingsih et al., 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan memvariasikan suhu pirolisis dan penambahan campuran

perekat. Variasi tersebut dilakukan dengan harapan mendapatkan kondisi operasi yang

optimum produk hasil pirolisis. Selain itu, dengan memvariasikan suhu dan jenis campuran

perekat yang digunakan dapat mengetahui karakteristik dari briket hasil penelitian.

Pengaruh Suhu Hasil Pirolisis Terhadap Char

Pirolisis adalah pembakaran pada kondisi tanpa oksigen (anaerob). Tujuannya

untuk melepaskan zat terbang (volatile matter) yang terkandung pada biomassa. Secara

umum kandungan zat terbang pada biomassa cukup tinggi. Produk proses pirolisis ini

berbentuk cair, gas dan padat. Produk padat dari proses ini berupa arang (char). Temperatur

pirolisis sangat berpengaruh terhadap yield arang yang dihasilkan (Ristianingsih et al., 2015).

Tabel 1. Variasi suhu pirolisis terhadap arang yang dihasilkan

No. Suhu (oC) Tar (gr) Arang (gr) Udara (gr) Waktu (jam)

1. 250 34 48 18 1

2. 300 40,3 47,8 11,9 1

3. 350 26,46 42,7 30,84 1

Page 170: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

158

Berdasarkan Tabel 4.1 semakin tinggi suhu pirolisis maka arang yang dihasilkan akan

semakin menurun. Nilai yield arang tertinggi dihasilkan pada suhu 250°C yaitu 48% dan nilai

yield arang terendah dihasilkan pada suhu 350°C yaitu 42.7%. Semakin tinggi suhu pirolisis

maka arang yang dihasilkan semakin berkurang, hal ini disebabkan semakin meningkatnya

dekomposisi dan atau meningkatnya reaksi lanjutan arang menjadi tar dan gas akibat suhu

tinggi (Noor et al., 2012). Hal ini sejalan dengan temperatur pirolisis untuk memperoleh

banyak arang yang direkomendasikan (Parikh et al., 2005) yaitu 300°C.

Analisa Kadar Air Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam suatu briket. Kadar air

dalam biomassa akan mempengaruhi kualitas suatu briket, yaitu semakin banyak kadar air suatu briket maka semakin sulit briket itu terbakar, sehingga waktu yang diperlukan untuk membakar briket tersebut akan semakin lama dan memerlukan lebih banyak energi untuk menyalakannya. Ini disebabkan panas yang diberikan pada briket digunakan terlebih dahulu untuk menguapkan kadar air di briket (Iriany and Firman Abednego S Sibarani, 2015).

Gambar 4.1 Nilai Kadar Air terhadap Variasi Perekat

Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diketahui kadar air yang terkandung pada briket

yaitu 4,3948%-5,5524%. Kadar air tersebut sudah di bawah standar SNI untuk kadar air (<8%) (Thoha and Fajrin, 2010). Kadar air tertinggi terdapat pada variasi perekat tanpa campuran tlempung gambut maupun tar. Hal ini disebabkan perekat dibuat dengan mencampurkan tapioka dan air dengan perbandingan berat 1:9. Dengan penambahan lempung, tar dan campuran lempung+tar, terjadi penurunan kadar air pada briket, disebabkan oleh komposisi air dalam perekat berkurang. Sedangkan kadar air terendah terdapat pada variasi perekat dengan campuran lempung gambut terbesar yaitu 25%:75%. Semakin banyak campuran lempung gambut pada perekat maka kadar airnya semakin rendah. Ini disebabkan karena penggunaan perekat hanya 25%, dan sebelum lempung digunakan terlebih dahulu dioven untuk mengurangi kadar air yang terdapat pada lempung, sehingga kandungan airnya paling sedikit dibandingkan variasi yang lain.

Campuran perekat dengan tar, memberikan nilai kadar air berkisar antara 4,5807%-4,8049 Semakin banyak tar yang ditambahkan juga menyebabkan kadar airnya semakin tinggi, karena tar yang merupakan hasil kondensasi gas pirolisis masih banyak mengandung air baik dari reaksi dehidrasi maupun reaksi pirolisis (Noor et al., 2012). Jadi variasi briket yang memberikan kadar air terendah adalah campuran perekat dengan lempung gambut perbandingan 25%:75%. 4.3 Analisa Kadar Abu

Kadar abu merupakan kandungan yang tidak dapat terbakar yang tertinggal setalah proses pembakaran. Kadar abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor suatu briket. Abu akan meninggalkan kerak pada peralatan, sehingga kadar abu tidak boleh terlalu tinggi (Thoha and Fajrin, 2010).

Page 171: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

159

Gambar 4.2 Nilai Kadar Abu terhadap Variasi Perekat

Berdasarkan Gambar 4.3 diatas kadar abu yang terkandung dalam briket ini yaitu

29,1681%-34,4109%. Kadar abu tersebut masih berada diatas standar SNI untuk kadar abu

(<15%) (Thoha and Fajrin, 2010). Kadar abu terendah terdapat pada variasi perekat dan tar

dengan perbandingan 25%:75%. Penambahan tar, akan menurunkan kadar abu, disebabkan

tar tersusun atas senyawa hidrokarbon yang mudah terbakar dan air yang mudah diuapkan,

sehingga abu yang tersisa menjadi lebih sedikit, walaupun asap yang terbentuk menjadi lebih

banyak. Secara umum kecenderungan penambahan lempung akan meningkatkan kadar abu,

karena dalam lempung mengandung mineral yang tidak dapat dibakar atau dioksidasi oleh

oksigen, seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, dan alkali, pengeringan bahan yang tidak homogen

(Ristianingsih et al., 2015). Sedangkan penambahan campuran lempung dan tar

mengakibatkan penurunan kadar abu, yang nilainya signifikan terhadap kenaikan komposisi

campuran lempung dan tar yang digunakan. 4.4 Analisa Kadar Volatile Matter

Kadar zat terbang adalah zat yang dapat menguap sebagai dekomposisi senyawa-senyawa yang masih terdapat di dalam arang selain air. Volatile matter (VM) ditentukan dengan kehilangan berat yang terjadi jika briket dipanaskan tanpa kontak dengan udara kurang lebih 950°C dengan laju pemanasan tertentu. Kandungan kadar zat terbang yang tinggi dalam briket arang akan menyebabkan asap yang lebih banyak pada saat dinyalakan, apabila CO bernilai tinggi hal ini tidak baik untuk kesehatan dan lingkungan sekitar. Hasil penelitian untuk parameter kadar zat terbang pada briket dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.3 Nilai Kadar Zat Terbang terhadap Variasi Perekat

Berdasarkan Gambar 4.4 diketahui bahwa kadar analisa zat terbang pada briket yaitu

34,1564%-36,5385%. Secara umum, penambahan lempung, tar maupun lempung dan tar mampu menurunkan kadar zat terbang. Tetapi, tinggi rendahnya campuran lempung, tar

Page 172: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

160

maupun lempung dan tar yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar zat terbang.

Tingginya kadar zat terbang yang terdapat pada briket hasil penelitian ini dipengaruhi oleh kadar air. Kadar air yang tinggi akan menghasilkan nilai zat terbang yang tinggi pula (Ristianingsih et al., 2015). Nilai kadar zat terbang dapat memberikan pengaruh terhadap kemudahan briket untuk dinyalakan dan banyaknya asap yang dihasilkan. Jika semakin besar kadar zat terbang, maka akan semakin mudah briket dinyalakan dan asap yang dihasilkan juga bertambah banyak (Thoha and Fajrin, 2010). 4.5 Analisa Kadar Fixed Carbon Fixed carbon atau dapat juga disebut karbon tertambat merupakan kadar karbon yang sebenarnya dikandung suatu briket dan memiliki pengaruh terhadap zat terbang dan suhu karbonisasi (Thoha and Fajrin, 2010). Hasil penelitian kadar fixed carbon pada bio briket dapat dilihat pada Gambar 4.4

Gambar 4.4 Nilai Kadar Fixed Carbon terhadap Variasi Perekat

Berdasarkan Gambar 4.4 diketahui analisa kadar fixed carbon pada briket yaitu

26,6306%-31,0878%. Penambahan lempung dan penambahan tar pada perekat menyebabkan kenaikan kadar fixed carbon. Sedangkan pada penambahan campuran tar dan lempung dengan komposisi <50%, pengaruhnya tidak signifikan, tetapi meningkat pada komposisi campuran tar dan lempung 75%. Kadar abu dan kadar zat terbang mempengaruhi nilai fixed carbon.Semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka semakin rendah kadar fixed carbon. 4.6 Analisa Nilai Kalor

Nilai kalor dinyatakan sebagai higherheating value (HHV). Semakin tinggi nilai kalornya maka semakin bagus kualitas briket yang dihasilkan. Untuk pengukuran nilai kalor dilakukan dengan bomb-calorimeter, namun dikarenakan proses analisa di Laboratorium Baristand belum selesai maka digunakan persamaan yang menggunakan nilai proximateanalysis untuk menghitung nilai kalor seperti dalam persamaan

HHV= 0.3536FC+0.1559VM-0.0078Ash (MJ/kg) ...(1)

Hasil penelitian parameter nilai briket dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Page 173: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

161

Gambar 4.5 Nilai Kalor terhadap Variasi Perekat

Berdasarkan gambar 4.5 diketahui analisa nilai kalor pada briket yaitu 10,8629-

12,2375 (MJ/kg), lebih tinggi dari nilai kalor eceng gondok (9,3192 MJ/kg) , walaupun sedikit lebih rendah dari nilai kalor arang serbuk hasil pirolisis (12,5347 MJ/kg). Penambahan lempung dan tar pada perekat menyebabkan kenaikan nilai kalor, namun pengaruh banyaknya penambahan terhadap nilai kalor kurang signifikan Sedangkan penambhan campuran lempung dan tar memberikan hasil yang lebih tinggi bila digunakan pada komposisi yang besar (dengan perbandingan tapioka:lempung:tar=25%:37,5%:37,5%). Komposisi tar yang terdiri dari senyawa hidrokarbon berkontribusi terhadap peningkatan nilai kalor.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah

1. Suhu temperatur pirolisis yang optimum adalah 300°C dengan yield arang 47.8%.

2. Penambahan lempung gambut akan menurunkan kadar air, meningkatkan kadar abu,

menurunkan kadar volatile matter, meningkatkan kadar fixed carbon dan meningkatkan nilai

kalor suatu briket dibandingkan dengan menggunakan 100% perekat tapioka.

3. Penambahan tar akan menurunkan kadar air, meningkatkan kadar abu, menurunkan kadar

volatile matter, meningkatkan kadar fixed carbon dan meningkatkan nilai kalor suatu briket

dibandingkan dengan menggunakan 100% perekat tapioka.

4. Penambahan lempung gambut dan tar akan menurunkan kadar air, meningkatkan kadar

abu, menurunkan kadar volatile matter, meningkatkan kadar fixed carbon dan meningkatkan

nilai kalor suatu briket dibandingkan dengan menggunakan 100% perekat tapioka.

DAFTAR PUSTAKA

ARIYANTO, E., KARIM, M. A. & FIRMANSYAH, A. 2014. BIOBRIKET ENCENG

GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) SEBAGAI BAHAN BAKAR ENERGI

TERBARUKAN. REAKTOR, 15, 59-63.

HENDRA, D. 2011. Pemanfaatan eceng gondok (Eichornia crassipes) untuk bahan baku

briket sebagai bahan bakar alternatif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29, 189-210.

IRIANY, M. & FIRMAN ABEDNEGO S SIBARANI, I. 2015. PENGARUH

PERBANDINGAN MASSA ECENG GONDOK DAN TEMPURUNG KELAPA

SERTA KADAR PEREKAT TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK

BRIKET. Jurnal Teknik Kimia USU, 5.

NDHARA, N. 2009. Uji Komposisi Bahan Pembuat Briket Bioarang Tempurung Kelapa Dan

Serbuk Kayu Terhadap Mutu Yang Dihasilkan. Universitas Sumatera Utara.

Medan.

Page 174: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

162

NOOR, N. M., SHARIFF, A. & ABDULLAH, N. 2012. Slow pyrolysis of cassava wastes

for biochar production and characterization. Iran. J. Energy Environ.(Special Issue

Environ. Technol.), 3, 60-65.

PANE, J. P., JUNARY, E. & HERLINA, N. 2015. Pengaruh Konsentrasi Perekat Tepung

Tapioka dan Penambahan Kapur dalam Pembuatan Briket Arang Berbahan Baku

Pelepah Aren (Arenga pinnata). Jurnal Teknik Kimia USU, 4.

PARIKH, J., CHANNIWALA, S. A. & GHOSAL, G. K. 2005. A correlation for calculating

HHV from proximate analysis of solid fuels. Fuel, 84, 487-494.

RISTIANINGSIH, Y., ULFA, A. & KS, R. S. 2015. PENGARUH SUHU DAN

KONSENTRASI PEREKAT TERHADAP KARAKTERISTIK BRIKET

BIOARANG BERBAHAN BAKU TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

DENGAN PROSES PIROLISIS. Konversi, 4, 16-22.

THOHA, M. Y. & FAJRIN, D. E. 2010. Pembuatan Briket Arang dari Daun Jati dengan Sagu

Aren sebagai Pengikat. Jurnal Teknik Kimia, 17.

WIJAYANTI, D. S. 2009. Karakteristik briket arang dari serbuk gergaji dengan penambahan

arang cangkang kelapa sawit.

Page 175: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

163

PENGARUH DARI MULTIPLE LAYER SILICA MEMBRANE TERHADAP

PROSES DESALINASI AIR LAUT ARTIFISIAL

Effect of Multiple Layer Silica Membrane to The Artificial Sea Water

Desalination Process

Muthia Elma1*, Nur Riskawati1, Marhamah1,

1Program Studi Teknik Kimia, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan

Selatan *email: [email protected]

Abstrak. Kelangkaan air bersih dimasyarakat menjadi masalah utama pada akhir-akhir

ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan menggunakan

teknologi membran melalui proses desalinasi dengan membran silika. Alasan dipilihnya

membran silika karena bahan dasar silika yang kuat dan tahan terhadap berbagai kondisi

dan cuaca. Penelitian ini dilakukan dengan menyiapkan silica sol pada pH 6 dengan

metode sol-gel menggunakan prekursor TEOS dan menggunakan “two-step acid and

base catalysed” yaitu HNO3 dan NH3. Silica thin-film yang dihasilkan dilapisi ke

permukaan membrane support dan dilakukan kalsinasi menggunakan metode RTP (Rapid

Thermal Process). Jumlah layer berdasarkan pengulangan proses dipcoating yang

bervariasi. Membran ini akan didesalinasi melalui proses pervaporasi menggunakan

larutan NaCl pada konsentrasi 0,3–3,5 wt%. Hasil performa membran menunjukkan

bahwa salt rejection meningkat dengan meningkatnya jumlah layer, sedangkan water

flux menurun dengan meningkatnya jumlah layer. Water flux pada membran 2 layer

berkisar (1,89–1,65kgm-2h-1) dengan salt rejection berkisar (96,62–95,67% ) sedangkan

water flux pada membran 4 layer yaitu (1,64–1,45kgm-2h-1) dengan salt rejection

berkisar (99,51–96,68%) pada konsentrasi 0,3– 3,5 wt%. Dapat disimpulkan bahwa

membran silika 2 dan 4 layer memiliki performa yang bagus dan kuat selama proes

desalinasi, sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam mengatasi

kesulitan air bersih.

Kata kunci: membran silika, desalinasi, pervaporasi, water flux dan salt rejection.

Abstract. Scarcity of clean water in community has become a major problem in recent

times. One way to overcome the problem is by applying membrane technology through

desalination process using silica membranes. The reason for choosing silica

membranes is due to strong material and resistant to various condition and weather.

This research was done by preparing silica sol at pH 6 with sol-gel method using TEOS

precursor and using "two-step acid and base catalysed" is HNO3 and NH3. The

resulting silica thin film is coated into membrane support surface and calcined using

the RTP (Rapid Thermal Process) method. The number of layers based on the repeated

multiplication of the dipcoating process. This membrane will be desalinated through a

pervaporation process using NaCl solution at concentration of 0.3-3.5 wt%. Membrane

performance results show that salt rejection increases with the increasing of layers,

while water flux decreases with the increasing number of layer. Water flux in membrane

2 layers ranged (1,89-1,65kgm-2h-1) with salt rejection range (96,62-95,67%) while

water flux on 4 layers membrane was (1,64-1,45kgm-2h-1) with salt rejection ranged

(99.51-96.68%) at concentrations of 0.3- 3.5 wt%. It can be concluded that the silica

membranes 2 and 4 layers showed good performance and strong material during the

desalination process, so it is highly recommended for use in overcoming the difficulty

of clean water.

Keywords: silica membrane, desalination, pervaporation, water flux and salt rejection

PENDAHULUAN

Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup yang paling penting untuk

keberlangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Berdasarkan kelarutan atau kadar

garam dalam air, maka air dapat dikelompokkan menjadi air tawar (freshwater), air payau

(brackish water), air asin (saline water) dan air yang sangat asin (brine water). Air tawar

Page 176: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

164

memiliki salinitas kurang dari 0,5 ppt (part per thousand), air payau atau brackish water

mempunyai salinitas antara 0,5 – 17 ppt, air laut memiliki salinitas sebesar 35 ppt dan brine

water memiliki salinitas di atas 35 ppt. Sekitar 75% tubuh manusia terdiri dari air yang

dibutuhkan untuk membantu proses metabolisme tubuh. Air yang diperlukan adalah air

bersih tanpa adanya zat-zat lain yang terkandung dalam air tersebut. Namun hanya 3% air

yang bisa digunakan untuk kebutuhan manusia, tanaman, dan hewan yang berupa air tawar,

sisanya 97% dari volume air adalah air garam (Kalogirou, 2004). Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO=World Health Organization) mengatakan bahwa lebih dari 15% dari populasi

dunia tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum yang layak.

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan air bersih yaitu dengan penerapan

teknologi pengolahan air yang sesuai. Desalinasi air adalah salah satu metode untuk

pengolahan air bersih. Desalinasi memiliki metode yang ramah lingkungan, hemat energi,

biaya operasi yang rendah dan penggunaan bahan kimia yang minim (K. Wang, Abdalla,

Khaleel, Hilal, & Khraisheh, 2012) sehingga metode ini menjadi pilihan yang menarik untuk

diteliti lebih lanjut. Teknologi membran lebih banyak dipilih untuk proses desalinasi karena

efisiensinya sangat tinggi, kemudahan dalam operasinya, hemat energi dan tidak

menggunakan bahan kimia (S. Wang, Wang, Smart, & Diniz da Costa, 2017). Teknologi

membran telah banyak diterapkan pada berbagai proses seperti pemisahan gas, pervaporasi,

membran pertukaran ion, reaktor membran dan pengolahan air limbah (Liu et al., 2017).

Desalinasi menggunakan membran silika anorganik adalah salah satu aplikasi baru terutama

untuk membran silika amorf (Duke, Mee, & da Costa, 2007). Silika amorf merupakan

membran anorganik yang berguna untuk mengurangi pemakaian energi dan meningkatkan

stabilitas membran (Duke et al., 2007). Silika amorf memiliki stabilitas yang lemah dalam

larutan air yang akan menghambat fungsinya sebagai membran pemisah, tetapi disisi lain

silika memiliki stabilitas termal yang baik dibandingkan lapisan organik lainnya (Ayral,

Julbe, Rouessac, Roualdes, & Durand, 2008). Membran silika dapat memisahkan molekul dengan baik dan proses pengolahannya

secara sederhana melalui pengolahan sol-gel (Elma, Yacou, Costa, & Wang, 2013).

Membran silika memiliki ukuran pori yang kecil, yang memungkinkan air dapat berdifusi

pada membran dan menghambat berjalannya ion garam (Lin, Ding, Smart, & Diniz, 2012).

Membran silika ini akan didesalinasi dengan proses pervaporasi. Pervaporasi adalah salah

satu teknologi pemisahan membran yang digunakan untuk memulihkan senyawa organik cair

menjadi uap dengan cara mengurangi tekanan pada sisi permeat-nya (Araki, Gondo,

Imasaka, & Yamamoto, 2016). Pervaporasi bekerja dengan menggunakan perbedaan

potensial kimia antara umpan dan permeat pada sisi membran (Jee, Kim, & Lee, 2016).

Umpan berupa campuran bahan organik yang memiliki titik didih yang berdekatan dan

pemisahan dilakukan berdasarkan kelarutan umpan pada membran sehingga digunakannya

membran rapat yang selektif terhadap salah satu komponen umpan (Aisyah, Hastuti,

Sastrohamidjojo, & Hidayat, 2012). Proses pervaporasi ini memiliki banyak keuntungan

seperti hemat energi yang dibutuhkan dan mengurangi biaya operasi (Jee et al., 2016).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Elma et al., 2013) menggunakan CTP

(Conventional Thermal Process) pada proses kalsinasi dengan kenaikan suhu 1oC/menit.

Proses ini memerlukan waktu yang lebih lama yaitu satu hari untuk menghasilkan 1 layer

membran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa water flux (salt rejection) menurun dengan

meningkatnya konsentrasi garam dengan nilai rata-rata 9,5 kg m-2 h-1 (99,6%) dan 1,55 kg m-

2 h-1 (89,2%) dari konsentrasi garam yang digunakan sebesar 0,3% dan 15%.

Pada penelitian ini menggunakan metode RTP (Rapid Thermal Process). Dengan

menggunakan metode ini, waktu yang diperlukan lebih singkat. Hal ini dikarenakan, pada

proses kalsinasi untuk mendapatkan membran dengan 1 layer, hanya diperlukan waktu 1 jam,

sehingga dapat menghemat waktu dan biaya yang diperlukan. Penelitian ini perlu dilakukan

untuk mengetahui performansi (water flux dan salt rejection) membran silika pada

konsentrasi air laut artifisial yang berbeda, agar dapat dipergunakan selanjutnya untuk

mengatasi permasalahan air bersih.

Page 177: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

165

METODE PENELITIAN

A. Pembuatan Membran

Silica sol dibuat dengan dua langkah proses sol-gel menggunakan katalis asam dan

basa. TEOS (Tetraethyl orthosilicate) sebanyak 18,66 gram ditambahkan ke dalam 20 mL

larutan etanol secara drop-wise dan diaduk selama 5 menit pada suhu 0oC, kemudian

dilanjutkan dengan menambahkan 0,00078N HNO3. Setelah semua sudah tercampur, sol

akan di-reflux dengan disertai pengadukan selama 1 jam pada suhu 50 oC. Kemudian,

memasukkan larutan NH3 0,0003N secara drop-wise dan dilakukan reflux kembali selama 2

jam. Sol yang dihasilkan akan didinginkan pada suhu ruang dan diukur pH-nya. Rasio molar

akhir dari TEOS : EtOH : HNO3 : H2O : NH3 yaitu 1 : 38 : 0,00078 : 5 : 0,0003. Sebanyak 20 mL

silica sol akan di-oven pada suhu 60 oC selama 24 jam hingga menjadi sol kering atau xerogel

(Elma et al., 2013).

Silica thin film yang dihasilkan akan dilapisi ke membrane support dengan proses

dipcoating. Dipcoater telah diatur pada kecepatan up-down 5 cm/s dengan waktu rendam selama

2 menit. Selanjutnya, membrane support yang telah di-dipcoating akan dikalsinasi pada suhu 600 oC selama 1 jam. Jumlah layer atau lapisan berdasarkan jumlah pengulangan proses dipcoating

dan kalsinasi yang bervariasi yaitu 2 dan 4 layer.

B. Karakterisasi Membran

Karakterisasi membran silika dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia dari

alumina yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan adalah:

• SEM (Scanning Electron Microscopy) yaitu untuk mengetahui morfologi : struktur

permukaan dan ketebalan membran silika.

• FTIR (Fourier Transform Infra Red) digunakan untuk mengetahui gugus fungsi pada

silica sol.

C. Desalinasi Membran

Menyiapkan sampel air garam pada 0,3%. Kemudian memasukkan ke dalam tangki

umpan. Kemudian menimbang coldtrap awal dan merangkai alat pervaporasi seperti pada

Gambar 1. Memulai pervaporasi pada membran 2 layer dan 4 layer selama 20 menit. Langkah

selanjutnya yaitu menghitung massa coldtrap akhir dan mengukur konduktivitas menggunakan

conductivity meter. Kemudian menghitung water flux dan salt rejection dan ulangi langkah di atas

dengan konsentrasi 1% dan 3,5%.

Gambar 1. Rangkaian Alat Desalinasi via Pervaporasi

Adapun perhitungan water flux yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

F = m

A x t

Sedangkan rumus perhitungan rejection yaitu :

R = (1 −𝐶𝑝

𝐶𝑓) x 100%

Keterangan:

1. Vacum pump

2. Cold trap

3. Feed tank

4. Membrane support

5. Peristaltic pump

6. Stirrer

Page 178: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

166

Keterangan : m : massa permeate (kg)

A : Luas Permukaan Membran (m2)

T : Waktu (Jam)

Cp : Konduktivitas Permeate

Cf : Konduktivitas Feed

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Silica sol

Metode sol-gel ini merupakan proses pembentukan sol dengan mereaksikan

precursor TEOS (tetraethyl orthosilicate) dalam larutan etanol dengan bantuan katalis asam

dan basa yaitu asam nitrat dan amonia sehingga menghasilkan silika sol. Pada pembuatan

silika sol, terjadi beberapa tahapan proses yaitu hidrolisis, kondensasi alkohol dan

kondensasi air. Pada reflux pertama, terjadi pembentukan silanol (Si – OH) pada kondisi

asam (pH ~ 4) dengan proses hidrolisis yaitu ketika precursor TEOS dilarutkan ke dalam

etanol dan akan terhidrolisis dengan penambahan air dan katalis asam nitrat. Hidrolisis ini

akan menggantikan gugus alkoksi (-OR) dengan gugus hidroksi (-OH). Selama proses

hidrolisis berlangsung, gugus (-OR) dari TEOS akan bereaksi dengan molekul air, sehingga

akan membentuk silanol. Adapun reaksinya dapat dilihat pada persamaan berikut ini.

Si – OR + H2O Si – OH + ROH

Pada reflux kedua, terjadi pembentukan siloxane ( Si – O – Si) dengan proses

kondensasi. Hasil dari reaksi hidrolisis yaitu (Si – OH) akan bereaksi kembali dengan TEOS

dan dengan dibantu katalis basa (amonia) sehingga terjadi kondensasi alkohol dan

menghasilkan siloxane. Penambahan amonia ini akan meningkatkan nilai pH lebih besar dari

4. Pada reaksi ini, etanol yang dihasilkan berlebih sehingga terjadi kembali proses

pembentukan siloxane dengan reaksi kondensasi air. Adapun reaksi yang terjadi dapat dilihat

pada persamaan berikut ini.

Si – OR + HO – Si Si – O – Si + ROH

Si – OH + HO – Si Si – O – Si + H2O

Hasil dari proses sol-gel ini akan menghasilkan silika sol yang memiliki nilai pH 6.

pH 6 merupakan pH yang optimum (Elma et al., 2013) karena pada pH ini akan

menghasilkan sol yang tidak terlalu viscous yang memiliki kandungan silanol dan siloxane.

Menurut penelitian (Elma et al., 2013), pada pH 7 (netral), kandungan silanol akan lebih

banyak dari pada siloxane, sedangkan pada pH yang lebih tinggi akan menghasilkan sol yang

agak viscous sehingga akan menyebabkan proses pembentukan gel yang cepat. Pada pH

rendah, kandungan silanol dan saloxane akan sedikit, sehingga pH 6 dipilih pada penelitian

ini. Warna yang dihasilkan dari silika sol ini yaitu bening dan sol yang dihasilkan tidak

terlalu kental dan tidak terlalu encer sehingga silica thin film ini dapat digunakan untuk

melapisi membran support.

B. Karakterisasi Xerogel

Karakterisasi xerogel dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan

silanol dan siloxane. Untuk mengetahui gugus silanol dan siloxane, maka dilakukan analisis

FTIR (Fourier Transform Infra Red). Analisis FTIR ini berfungsi untuk mengetahui gugus

fungsi yang ada pada silika sol. Adapun hasil dari analisis FTIR dapat dilihat pada gambar

berikut ini.

Page 179: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

167

Gambar 2. Analisis FTIR

Berdasarkan Gambar 2. dapat dilihat adanya puncak yang menandakan gugus

siloxane (Si – O- Si) pada panjang gelombang 1082 cm-1 dan 800 cm-1. Kemudian ditemukan

puncak yang lain yang diduga bahwa itu merupakan gugus silanol (Si – OH) pada panjang

gelombang 1001 cm-1. Dari hasil uji tersebu, dapat dilihat puncak silanol berada pada

panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada puncak siloxane. Hal ini dikarenakan

silanol yang bersifat microporous (memiliki ukuran pori yang kecil) sehingga lebih mudah

ditemukan pada panjang gelombang yang kecil jika dibnadingkan dengan siloxane yang

bersifat macroporous. Silanol ini harus ada dalam suatu membran, karena silanol dapat

berfungsi untuk menjerap partikel garam yang melewati permukaan membran, sedangkan

siloxane berfungsi untuk memperkuat dan memperkokoh struktur membran sehingga

membran tidak mudah rusak atau patah.

C. Morfologi Membran

Morfologi membran bertujuan untuk mengetahui struktur dan ketebalan pada

membran. Ketebalan membran ini dipengaruhi saat proses dipcoating dan kalsinasi. Pada

saat dipcoating pertama, membran silika akan melapisi pori-pori membran support yang

lebih besar, sehingga akan membuat membran support lebih kuat. Hal ini dapat dilihat pada

Gambar 4.2 yang ditandai dengan warna putih yang merupakan proses infiltrate silika sol

pada membran support. Dipcoating kedua akan membentuk lapisan pertama pada membran

support, begitu pula seterusnya. Berikut ini merupakan hasil anasila SEM pada Gambar 3

Gambar 3. Analisa SEM

Page 180: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

168

Pada Gambar 3, ketebalan membran silika pada 2 layer diperkirakan ~1µm. Hasil

yang didapatkan pada penelitian ini lebih tebal jika dibandingkan pada penelitian (Elma et

al., 2013) dengan ketebalan membran ~470 nm. Hal ini dikarenakan proses kalsinasi pada

RTP (Rapid Thermal Process) yang dilakukan pada penelitian ini lebih singkat dibandingkan

dengan metode CTP (Conventional Thermal Process) yang dilakukan oleh (Elma et al.,

2013). Selain itu, proses RTP tidak menggunakan heating rate dan cooling rate seperti yang

dilakukan pada metode CTP. Ini menyebabkan proses evaporasi pelarut yang terdapat dalam

silica sol kurang sempurna dan dimungkinkan sisa-sisa pelarut masih melekat pada thin layer

membrane tersebut. Inilah yang menyebabkan lapisan membran menjadi lebih tebal. Selain

itu juga disebabkan proses kalsinasi yang langsung dilakukan pada suhu tinggi, sehingga

pelarut yang berada dalam silica sol (thin film) yang melapisi pada membrane support tidak

sempurna menguap karena kenaikan suhu yang secara mendadak.

D. Performansi Membran

Performa membran silika pada proses desalinasi dapat dilihat dari nilai rejection yang

diperoleh. Semakin tinggi nilai water flux dan salt rejection maka kemampuan dalam

mendesalinasi juga tinggi. Pada penelitian ini, membran akan diuji pada konsentrasi feed

yang berbeda, dari 0% (tawar), 0,3 – 1% (brackish) dan3,5% (sea). Berikut ini adalah grafik

yang menunjukkan nilai water flux dan salt rejection pada membran silika hasil dari

desalinasi via pervaporasi.

Gambar 4. Hubungan antara Water Flux dan Salt Rejection terhadap Feed Salt

Concentration yang berbeda pada Membran Silika

Hasil performa membran menunjukkan bahwa salt rejection meningkat dengan

meningkatnya jumlah layer, sedangkan water flux menurun dengan meningkatnya jumlah

layer. Water flux pada membran 2 layer berkisar (1,89 – 1,65 kg m-2 h-1) dengan salt rejection

berkisar (96,62 – 95,67 % ) sedangkan water flux pada membran 4 layer yaitu (1,64 – 1,45

kg m-2 h-1) dengan salt rejection berkisar (99,51 – 96,68%) pada konsentrasi 0,3– 3,5 wt%.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi feed, maka water

flux dan salt rejection yang dihasilkan akan semakin rendah. Pada konsentrasi feed 0,3%,

memiliki nilai water flux dan salt rejection paling tinggi, sedangkan konsentrasi feed 3,5 %

memiliki nilai water flux dan salt rejection paling rendah.

Pada penelitian (Elma et al., 2013), dengan metode CTP (Conventional Thermal

Process) nilai water flux dan salt rejection tertinggi yang dihasilkan pada konsentrasi feed

0,3% sebesar 9,5 kg m-2 h-1 dan 99%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat terlihat bahwa dengan

Page 181: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

169

metode CTP menghasilkan nilai water flux yang lebih tinggi daripada RTP (Rapid Thermal

Process). Hal ini dikarenakan pada proses RTP, proses kalsinasi yang dilakukan belum

sempurna karena langsung dilakukan pada suhu tinggi. Tetapi, membran silika dengan RTP

ini masih dapat dikatakan memiliki performa yang bagus dengan nilai salt rejection yang

tinggi sehingga masih direkomendasikan untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan

air.

Kinerja membran akan menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi feed.

Pengurangan water flux dan salt rejection ini dikarenakan efek polarisasi. Ketika air dengan

konsentrasi garam yang tinggi melalui membran, partikel garam akan menutupi pori-pori

membran sehingga air akan sulit untuk melewati membran. Oleh karena itu, efek polarisasi

garam ini akan mengurangi gaya dorong pada membran. Sehingga menyebabkan nilai water

flux dan salt rejection akan menurun. Selain itu, penurunan nilai water flux dengan

meningkatnya konsentrasi feed ini dikarenakan pada konsentrasi tinggi, molekul garam lebih

banyak dari pada molekul air sehingga nilai water flux dan salt rejection pada konsentrasi

feed yang tinggi akan menurun. Membran silika 4 layer memiliki nilai water flux yang

terendah dan salt rejection paling tinggi dari pada membran silika 2. Nilai water flux yang

rendah dikarenakan lebih banyak lapisan yang terbentuk sehingga menyebabkan air sulit

melalui membran. Sedangkan nilai salt rejection lebih tinggi dikarenakan pada membran

silika 4 layer memiliki lapisan yang lebih banyak, sehingga ketika air yang mengandung

garam melewati membran, maka molekul garam ini akan terperangkap pada layer, semakin

banyak layer maka proses penyaringan molekul garam akan lebih baik sehingga

menghasilkan salt rejection yang tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi water flux dan salt rejection yaitu konsentrasi feed

dan jumlah layer. Pada konsentrasi feed yang tinggi, nilai water flux dan salt rejection akan

rendah, begitu pula sebaliknya. Jumlah layer yang lebih banyak akan menyebabkan water

flux yang rendah dan salt rejection yang tinggi.

SIMPULAN

Membran silika telah berhasil dibuat dari silika sols pH 6 dengan menggunakan “a

two step sol gel process”. Silika sols ini kemudian di dipcoating dan dikalsinasi pada suhu

600oC dengan variasi layer. Hasil performa membran menunjukkan bahwa salt rejection

meningkat dengan meningkatnya jumlah layer, sedangkan water flux menurun dengan

meningkatnya jumlah layer. Water flux pada membran 2 layer berkisar (1,89 – 1,65 kg m-2

h-1) dengan salt rejection berkisar (96,62 – 95,67 % ) sedangkan water flux pada membran 4

layer yaitu (1,64 – 1,45 kg m-2 h-1) dengan salt rejection berkisar (99,51 – 96,68 %) pada

konsentrasi 0,3– 3,5 wt%. Secara keseluruhan, membran silika 2 dan 4 layer memiliki

performa yang bagus dan kuat selama proses desalinasi, sehingga sangat direkomendasikan

untuk digunakan dalam mengatasi kesulitan air bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Y., Hastuti, P., Sastrohamidjojo, H., & Hidayat, C. (2012). Pervaporation

Technology to Increase Patchouli Alcohol Content in Patchouli Oil Using. Agritech,

32(2), 207–214.

Araki, S., Gondo, D., Imasaka, S., & Yamamoto, H. (2016). Permeation properties of organic

compounds from aqueous solutions through hydrophobic silica membranes with

different functional groups by pervaporation. Journal of Membrane Science, 514,

458–466.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.memsci.2016.04.075

Ayral, A., A. Julbe, V. Rouessac, S. Roualdes, and J. Durand. 2008. Microporous Silica

Membrane: Basic Principles and Recent Advances. In Membrane Science and

Technology: Elsevier, 33-79.

Page 182: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

170

Duke, M. C., S. Mee, and J. C. D. da Costa. 2007. Performance of porous inorganic

membranes in non-osmotic desalination. Water Research 41 (17):3998-4004.

Elma, M., Yacou, C., Costa, J. C. D. da, & Wang, D. K. (2013). Performance and Long Term

Stability of Mesoporous SilicaMembranes for Desalination, 3, 136–150.

https://doi.org/10.3390/membranes3030136

Jee, K. Y., Kim, N., & Lee, Y. T. (2016). The effect of metal complex on pervaporation

performance of composite membrane for separation of n-butanol/water mixture.

Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 44, 155–163.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.jiec.2016.08.022

Kalogirou, S. A. (2004). Solar thermal collectors and applications (Vol. 30).

https://doi.org/10.1016/j.pecs.2004.02.001

Lin, C. X. C., Ding, L. P., Smart, S., & Diniz, J. C. (2012). Journal of Colloid and Interface

Science Cobalt oxide silica membranes for desalination. Journal of Colloid And

Interface Science, 368(1), 70–76. https://doi.org/10.1016/j.jcis.2011.10.041

Liu, G., Z. Jiang, K. Cao, S. Nair, X. Cheng, J. Zhao, H. Gomaa, H. Wu, and F. Pan. 2017.

Pervaporation performance comparison of hybrid membranes filled with two-

dimensional ZIF-L nanosheets and zero-dimensional ZIF-8 nanoparticles. Journal of

Membrane Science 523:185-196.

Wang, K., Abdalla, A. A., Khaleel, M. A., Hilal, N., & Khraisheh, M. K. (n.d.). Mechanical

properties of water desalination and wastewater treatment membranes. Desalination.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2016.06.032

Wang, S., D. K. Wang, S. Smart, and J. C. Diniz da Costa. 2017. Improved stability of ethyl

silicate interlayer-free membranes by the rapid thermal processing (RTP) for

desalination. Desalination 402:25-32.

Page 183: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

171

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KONSEP

EKOLOGI TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA

MA BANJARMASIN

The Development of Ecology Concept Learning Tool on Critical Thinking Skills

MA Students Banjarmasin

Hj. Dessy Abdumawaty1, Kaspul2

1MAN 2 Model Banjarmasin, Jl. Pramuka Rt. 20 No. 28, Banjarmasin 2FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Jln. Brigjend. H.Hasan Basry Kayu

Tangi, Banjarmasin

Email: [email protected]

Abstrak. Berdasarkan hasil supervise klinis di sekolah Madrasah Aliyah Negeri,

perangkat pembelajaran terdiri dari silabus, RPP, bahan ajar, LKS dan instrument masih

belum menggali kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini perlu dikembangkan

perangkat pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir kritis siswa.

Perangkat pembelajaran seperti ini diharapkan efektif dari hasil yang diperoleh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektivan perangkat pembelajaran hasil

pengembangan topik Ekologi di MAN 2 Model Banjarmasin. Penelitian ini merupakan

Educational Design Research (EDR) yaitu penelitian dengan menggunakan model

Tessmer. Data dikumpulkan melalui pengamatan, análisis data berupa data kuantitatif

dan kualitatif yang dianalisis sacara deskriptif. Hasil penelitian tergolong efektif

berdasarkan 1) penilaian keterampilan sosial dengan kategori sangat baik dan 2)

keterampilan berpikir kritis siswa dengan kategori baik.

Kata Kunci : Perangkat Pembelajaran, Ekologi, , Keterampilan Berpikir Kritis

Abstract. Based on the result of clinical supervision at Madrasah Aliyah Negeri, the

learning tools consisting of the syllabi, lesson plans, learning materials, student

worksheets and instruments hadnot explored students’ critical thinking skills.

Therefore, learning tools focusingon students’ critical thinking skills needs to be

developed. This developed kind of learning tools could be effective. The learning tools

as a development product have effective. This study aims to evaluate the effectiveness

of the learning tools development of ‘Ecology’topics at MAN 2 Model, Banjarmasin.

This study is an Educational Design Research (EDR) by using Tessmer model. The data

were collected through observations. The data, such as: quantitative and

qualitative,were analyzed descriptively. The study result from 1) the assessment of

social skills was categorized as very good,end 2) the students’ critical thinking skills

were categorized as good.

Keywords: learning tools, learning outcomes, critical thinking skills

PENDAHULUAN

Biologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menyediakan pengalaman belajar

untuk memahami konsep dan proses kehidupan (Ridwan, 2010). Di dalam pelaksanaan

pembelajaran guru masih menggunakan cara-cara lama yakni melaksanakan pembelajaran

dengan menekankan perolehan konsep dibanding proses. Guru terfokus pada pemenuhan

target kurikulum yang harus dicapai pada akhir tahun pelajaran. Diduga guru belum

menguasai dasar keterampilan yang diperlukan untuk memenuhi fenomena dan proses

kehidupan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Berdasarkan dari supervisi klinis terhadap perangkat pembelajaran di Madrasah Aliyah

Negeri 2 Banjarmasin, guru dalam menggunakan perangkat masih dari buatan bersama

melalui MGMP Kota Banjarmasin. Perangkat yang dibuat belum terdapat uraian indikator

dan penilaian tidak dirinci dari teknik, bentuk dan instrumennya serta langkah-langkah

Page 184: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

172

pembelajaran belum mencerminkan model yang dipakai untuk mendapatkan sintak

pembelajaran.

Perangkat pembelajaran perlu disiapkan oleh guru sesuai dengan tuntutan Kurikulum

2013, namun perangkat pembelajaran yang ada belum mampu mengali kemampuan berpikir

kritis siswa. Dalam menilai pun guru cenderung mengukur aspek kognitif (hapalan), namun

kurang memberikan latihan-latihan soal yang menantang seperti: melatih

kemampuan/keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan proses sains siswa,

keterampilan psikomotorik siswa, dan keterampilan dasar bekerja ilmiah atau berinkuiri

(Wisudawati, 2014).

Keterampilan berpikir kritis belum menjadi hal mutlak yang harus ada sebagai hasil

belajar siswa. Akibatnya siswa terbiasa menghapal fakta atau konsep tanpa memahami

artinya. Oleh karena itu perlu dikembangkan perangkat pembelajaran yang menekankan

pada keterampilan berpikir kritis siswa. Perangkat pembelajaran seperti ini diharapkan

efektif dari hasil yang diperoleh. Menurut Hartono (2014) pembelajaran dikatakan efektif

ketika pembelajaran telah mencapai tujuan yang diinginkan dalam jagat pendidikan, seperti

pada penguasaan IPTEK sebagai bahan ajar, pembentukan keterampilan atau kemampuan

belajar yang lebih efektif dan efesien.

Permendikbud No. 65 Tahun 2013, menyatakan proses pembelajaran pada satuan

pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik

serta psikologis peserta didik.

Salah satu prinsip yang berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi,

prinsip pembelajaran yang digunakan adalah dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar

menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar. Selain itu, pembelajaran juga diharapkan

mampu meningkatkan keterampilan berpikir, sehingga siswa tidak hanya mendapat

pengetahuan (kognitif), akan tetapi juga memiliki keterampilan dalam berpikir kritis. Maka

harus mengkaji solusinya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut. Salah

satu cara yang dapat digunakan adalah mengembangkan perangkat pembelajaran yang

memperhatikan kebutuhan siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013.

Keterampilan berpikir kritis menurut Rahma (2012) sangat penting dilatihkan karena

kemampuan berpikir kritis siswa pada penelitian pengembangan perangkat ini peneliti

menggunakan empat indikator yang sesuai dengan sintak inkuiri terbimbing di mana siswa

harus merumuskan masalah, membuat hipotesis, menganalisis dan menyimpulkan.

Kesuma (2010) menyatakan kemampuan berpikir kritis adalah aktivitas mental yang

membantu orang untuk memahami masalah, merumuskan masalah dan mendapatkan

jawabannya. Berpikir kritis dimulai dengan rasa ingin tahu, rasa ingin menemukan makna,

rasa ingin memperoleh jawaban. Orang yang berpikir kritis wajib mengajukan pertanyaan.

Langkah selanjutnya dari tahapan berpikir kritis adalah memeriksa jawaban,

mengevaluasinya, membandingkan dengan jawaban lainnya, menguraikannya menjadi

dugaan sementara termasuk hubungan sebab akibat atau tolak menolak kemudian

menyimpulkannya.

Sukmadinata (2010) berfikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur,

kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan,

memberikan keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Menurut Ambarsari

(2013) pendidikan tidak hanya ditekankan pada penguasaan materi, tetapi juga ditekankan

pada penguasaan keterampilan. Siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat

sesuatu dengan menggunakan proses dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai, dari learning

to know (pembelajaran untuk tahu) ke learning to do (pembelajaran untuk berbuat) harus

dicapai dalam kegiatan belajar mengajar.

Harapan yang dilakukan dalam penelitian pengembangan perangkat yaitu perlunya

tenaga pendidik dalam mengolah secara mandiri perangkat pembelajaran yang dapat

meningkatkan hasil belajar dengan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa yang

dikembangkan berdasarkan Permendikbud RI Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses

Pendidikan dasar dan Menengah.

Page 185: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

173

Pembelajaran konsep ekologi selama ini dilakukan secara ceramah tanpa membawa

anak untuk terjun langsung ke lingkungan sekolah, sehingga anak masih mengandalkan daya

khayalnya saja. Sebenarnya konsep ekologi dengan melalui inkuiri terbimbing terhadap

lingkungan sekitar sebagai sumber pembelajaran, diharapkan siswa dapat melakukan

penyelidikan secara langsung ke lingkungan sekitar. Inkuiri terbimbing merupakan salah

satu model yang dapat menggali keterampilan berpikir kritis siswa. Siswa dituntut untuk

belajar sendiri dan mengembangkan kreativitasnya guna memecahkan masalah yang

diberikan. Proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan inkuiri terbimbing

menimbulkan ketertarikan siswa dalam mempelajari materi karena pembelajaran ini lebih

mengutamakan proses untuk melatih keterampilan berpikir siswa (Saraswati, 2013). Jaya

(2014) menyebutkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan

kinerja ilmiah siswa. Pembelajaran dengan kegiatan inkuiri terbimbing tersebut dapat

membuat siswa menjadi lebih aktif terlibat secara langsung dalam pembelajaran. Model

inkuiri terbimbing bukan model yang baru dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, model

ini masih relevan digunakan untuk menggali keterampilan berpikir kritis siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti pengembangan

perangkat topik Ekologi menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing guna melatih

keterampilan berpikir kritis siswa yang dilakukan di sekolah MA yang efektif.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Desain Research) yaitu

Penelitian dengan menggunakan model Tessmer, yang dilaksanakan dalam 4 tahap yakni

evaluasi diri (self evaluation), uji perorangan (expert review dan one-to-one ), uji kelompok

kecil (small group), dan uji lapangan (field test).

Evaluasi diri ( Self evaluation), dilakukan berkenaan dengan mengembangkan draf

perangkat pembelajaran pada konsep ekologi yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku

dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Pada tahapan ini peneliti

melakukan observasi langsung yang sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan

menyangkut lingkungan belajar siswa, teknik dan strategi belajar serta model yang

digunakan. Selanjutnya peneliti akan merancang dan mengembangkan lembar penilaian

keterampilan berpikir kritis.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti selanjutnya di validasi oleh

tim ahli yang termasuk pada tahap berikutnya yaitu expert review (Uji perorangan ). Uji

perorangan berkenaan dengan pengkajian ulang perangkat pembelajaran yang telah disusun

peneliti oleh tim pakar.

Hasil penilaian pakar dan siswa di analisis untuk mengetahui validitas perangkat dan

selanjutnya direvisi sesuai saran dari pakar dan siswa, sehingga menghasilkan Draf II. Draft

II selanjutnya diujicobakan ke tahap uji kelompok kecil (Small group). Hasil dari uji

kelompok kecil diadakan revisi lagi yang akan menghasilkan draft III, dan akan digunakan

untuk uji lapangan.

Uji lapangan (field test) untuk mengetahui keefektivan perangkat yang disusun.

Pelaksanaan uji lapangan dilakukan dikelas X MIA 5 sebanyak 34 orang siswa, setelah

dilakukan perbaikan dilakukan lagi ujicoba di kelas X MIA 6 sebanyak 36 orang siswa. Hasil

uji lapangan bertujuan mengetahui hasil keterampilan berpikir kritis dalam kegiatan

pembelajaran. Perbaikan perangkat pada tahap akhir (uji lapangan) menghasilkan produk

berupa prototipe perangkat pembelajaran yang efektif.

Jenis data dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas jenis data

untuk menetapkan validasi perangkat pembelajaran keterampilan berpikir kritis siswa

diperoleh dari tiga orang pakar dan dikumpulkan melalui catatan pakar. Jenis data untuk

menetapkan keefektivan perangkat pembelajaran yaitu penilaian keterampilan berpikir kritis

dikumpulkan melalui hasil pengamatan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini

terdiri atas instrumen data validasi dan instrumen data keefektivan. Instrumen data untuk

menetapkan validasi perangkat pembelajaran oleh ketiga pakar diambil nilai modus dan

median (lampiran 1). Instrumen data untuk menetapkan keefektivan perangkat pembelajaran

Page 186: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

174

yaitu Instrumen lembar penilaian keterampilan berpikir kritis diperoleh dari hasil siswa dan

guru dalam mengerjakan LKS dengan menggunakan rubrik (lampiran 2).

Teknik analisis data untuk menetapkan validasi perangkat pembelajaran

menggunakan rumus:

skor perolehan

Persentase validasi = x 100 %

Skor ideal

(Adaptasi dari Akbar, 2013)

Hasil validasi yang telah diketahui persentasenya dicocokan dengan kriteria validitas

pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria validasi perangkat No Kriteria Validitas Tingkat Validitas

1 85,01% – 100,00 % Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi

2 70,01 %– 85,00 % Cukup valid, atau dapat digunakan namun

perlu direvisi kecil

3 50,01 %– 70,00 % Kurang valid, disarankan tidak dipergunakan

karena perlu revisi besar

4 01,00 %– 50,00 % Tidak valid, atau tidak boleh dipergunakan

Sumber: Akbar (2013)

Teknik analisis data untuk menetapkan keefektivan perangkat pembelajaran hasil

penilaian keterampilan berpikir kritis selama kegiatan belajar mengajar dianalisis secara

deskriptif dengan menggunakan kategori diadaptasi dari Purwanto (2012) yaitu < 54,00 =

kurang sekali, 54,00 – 60,00 = kurang, 60,01 – 75,00 = cukup, 75,01 – 85,00 = baik, dan >

85 = sangat baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada pengembangan perangkat pembelajaran dirancang berorientasi

pada sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) melalui model inkuiri

terbimbing dilihat dari validitas perangkat pembelajaran berupa keterampilan berpikir kritis

oleh tiga orang pakar. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan masukan, saran dan

penyempurnaan perangkat yang dikembangkan. Perangkat pembelajaran hasil validasi

(expert review) tersebut kemudian direvisi sesuai dengan saran validator. Hasil validasi

perangkat pembelajaran terhadap keterampilan berpikir kritis dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Keterampilan berpikir kritis siswa No Indikator/Aspek yang divalidasi Skor

Akhir

Kategori

1 Petunjuk dalam mengisi skor penilaian

keterampilan berpikir kritis diberikan dengan

runut dan jelas

4 Sangat valid

2 Aspek penilaian runut dan jelas 4 Sangat valid

3 Penggunaan bahasa sesuai dengan EYD 3 Valid

4 Kesederhanaan struktur kalimat dalam aspek

penilaian

4 Sangat valid

Total 15

Sumber: Hasil Olah Data

Keterangan :

Kriteria validasi di adaptasi dari Nur (2013)

4 = Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi

3 = valid, atau dapat digunakan namun perlu direvisi kecil

2 = cukup valid, disarankan tidak dipergunakan karena perlu revisi besar

1 = kurang valid, atau tidak boleh dipergunakan

Page 187: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

175

Keterampilan berpikir kritis yang dikembangkan dari kemampuan siswa dalam

mengerjakan LKS 1, 2 dan 3 yaitu pengamatan keterampilan berpikir kritis siswa ada 6

rincian seperti merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan,

melakukan percobaan untuk memperoleh informasi, mengumpulkan dan menganalisis data

serta membuat kesimpulan. Kinerja keterampilan berpikir kritis siswa dalam melakukan

percobaan dan kinerja keterampilan berpikir kritis siswa dalam membuat kesimpulan.

Validasi terhadap keterampilan berpikir kritis oleh ketiga pakar dari 4 komponen di

ambil modus, sehingga diperoleh kategori valid dan sangat valid tiap komponennya.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka keterampilan berpikir kritis siswa konsep

ekologi yang dikembangkan sudah dapat digunakan dalam pembelajaran biologi di

SMA/MA kelas X untuk menjadi rujukan bagi guru/pengembang lain dalam

mengembangkan perangkat dengan model inkuiri terbimbing dalam meningkatkan

keterampilan berpikir kritis siswa.

Keefektivan perangkat pembelajaran hasil kemampuan berpikir kritis siswa dapat

dilihat pada tabel 3 berikut pada kedua uji lapangan.

Tabel 3. Hasil Kemampuan Berpikir Kritis No Indikator Keterampilan berpikir

kritis

Jumlah

skor

Rata-

rata

Katego

ri

Uji Lap 1 Uji Lap 2

1 Merumuskan masalah 54.4 66.0 120.4 60.2 Cukup

2 Merumuskan hipotesis 56.3 64.4 120.7 60.4 Cukup

3 Merancang percobaan 75.4 94.0 169.4 84.7 Baik

4 Melakukan percobaan

untuk memperoleh

informasi

80.5 95.8 176.3 88.2

Sangat

baik

5 Mengumpulkan dan

menganalisis data 93.2 98.0 191.2 95.6

Sangat

baik

6 Membuat kesimpulan 52.7 70.5 123.2 61.6 Cukup

Rata-rata Keseluruhan 75. 1 Baik

Sumber: lampiran 2

Kategori : Penilaian diadaptasi dari Purwanto (2012) yaitu < 54,00 = kurang sekali,

54,00 – 60,00 = kurang, 60,01 – 75,00 = cukup, 75,01 – 85,00 = baik, dan > 85 = sangat

baik.

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa sudah mulai

baik secara keseluruhan pada kedua uji lapangan.

Hasil penelitian ini berupa ketercapaian tujuan penelitian yang diuraikan seberapa

jauh tujuan penelitian yang direncanakan tercapai. Ketercapaian ini dikaitkan dengan tingkat

validitas dan keefektivan perangkat pembelajaran dengan pendekatan model inkuiri

terbimbing.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti sudah memenuhi kriteria

tersebut, sehingga perangkat dapat digunakan pada penelitian selanjutnya, meskipun

sebelumnya sudah dilakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu pada saat validasi oleh

pakar. Aspek keefektivan juga sudah memenuhi kriteria keefektivan yakni kinerja berpikir

kritis berdasarkan tabel diperoleh rata-rata keseluruhan untuk kedua uji lapangan masing-

masing dalam satu kelompok adalah 75.1 % dengan kategori baik. Hasil ini menunjukkan

bahwa hasil belajar kinerja proses siswa selama proses pembelajaran pada konsep ekologi

dengan menggunakan model inkuiri untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa

sudah baik. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Ambarsari (2013) yang mengatakan bahwa

penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

keterampilan proses sains. Menurut Bekirog dan Arslan (2014) model pembelajaran berbasis

inkuiri dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan model pembelajaran inkuiri

tidak membuat perubahan pengetahuan konseptual siswa jika mereka sudah mengetahui isi

pengetahuan tersebut.

Page 188: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

176

Putra (2013) mengatakan bahwa inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan

mendapatkan informasi dengan melakukan observasi atau eksperimen guna mencari jawaban

maupun memecahkan masalah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dan keterampilan yang

diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari

menemukan sendiri.

Menurut Sanjaya (2006) strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan

pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari

dan menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang dipertanyakan. Pencapaian

tersebut disebabkan adanya peranan aktif siswa dalam keterampilan berpikir kritis yang

menyesuaikan dengan sintak inkuiri terbimbing. Hal ini sejalan dengan Trianto (2009) bahwa

pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses

ilmiah ke dalam waktu singkat.

SIMPULAN

Penelitian pengembangan ini bertujuan menghasilkan perangkat pembelajaran yang

valid dan efektif. Dari hasil validator terhadap keterampilan berpikir kritis siswa dengan

kategori sangat baik. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan tergolong efektif dilihat dari

keterampilan berpikir kritis siswa dengan kategori baik.

Pemanfaatan produk perangkat pembelajaran biologi khususnya MAN 2 dengan

model inkuiri terbimbing disarankan untuk dimanfaatkan secara lebih optimal oleh guru

Biologi sebagai contoh dalam mengembangkan perangkat pembelajaran dengan topik

lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ambarsari,W., Santosa, S., Maridi. (2013). The Application of Guided Inquiry Approach to

Basic Science Process Skills Of Students In Grade VIII Junior High school 7

Surakarta. Pendidikan Biologi.Volume 5, Nomor 1: 81-95.

Bekirog lu, Feral, O., & Arslan, A. (2014). ”Examination of the Effects of Model-Based

Inquiry on Student’ Outcomes: Scientific Process Skills and Conceptual Knowledge”.

Procedia-Social and Behavioral Sciences 141 (2014). Pp 1187 – 1191. diakses 6 Juni

2016.

Hartono, R. (2014). Ragam Model Belajar yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: Diva

Press.

Jaya, I. M., Sadia, I. W., & Arnyana I.B.P. (2014). Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Biologi Bermuatan Pendidikan Karakter Dengan Setting Guided Inquiry Untuk

Meningkatkan Karakter Dan Hasil Belajar Siswa SMP. e-Journal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. Volume 4 Tahun

2014.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 65 Tahun 2013 Tentang Standar

Proses untuk Satuan pendidikan Dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan

Nomor 69 Tahun 3013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum. Jakarta.

Kesuma, D. (2010). Contextual Teaching and Learning. RAHAYASA Research

&Taining.Yogyakarta.

Nur, M. (2011). Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:Universitas Negeri

Surabaya.

Purwanto, N. (2012). Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Putra, SR. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta: Diva press.

Rahma, A. N. (2012). Pengembangan Perangkat Pembalajaran Model Inkuiri

Berpendekatan Sets Materi Kelarutan dan Hasil kali Kelarutan Untuk Menumbuhkan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Empati Siswa Terhadap Lingkungan”. Journal

Educational Research and Evaluation. JERE.Vol. 1 No 2. (2012) 133-138.

Page 189: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

177

Ridwan. (2010). Naskah Akademik Biologi. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat kurikulum.

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Saraswati, L.N. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Hasil

Belajar Matematika Siswa Kelas III SD Di Gugus I Kecamatan Buleleng. Diakses dari

http://ejournal. undiksha.ac.id/index.php/JJPGSD/article/download/713/586, diakses

20 Juni 2016.

Sukmadinata, N.S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Cetakan ke 6. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Wisudawati, A.W. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Page 190: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

178

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN SELF EFFICACY SISWA

MELALUI PENDEKATAN SETS PADA MATERI REAKSI REDOKS

KELAS X IPA 3 SMA NEGERI 8 BANJARMASIN

Improving Learning Outcomes and Self Efficacy of Students through SETS

Approach on Redoks Reaction Materials Class X IPA 3 SMA Negeri 8

Banjarmasin

Rusmansyah1 , Ihda Nur Azizah1* 1Program Studi Pendidikan Kimia FKIP ULM Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang penggunaan pendekatan SETS pada materi

reaksi redoks. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui (1) peningkatan aktivitas

guru, (2) peningkatan aktivitas siswa, (3) peningkatan hasil belajar siswa dan (4)

peningkatan self efficacy siswa. Penelitian menggunakan rancangan penelitian tindakan

kelas (PTK) dengan dua siklus. Subjek penelitian adalah siswa kelas X IPA 3 SMA

Negeri 8 Banjarmasin dengan jumlah 31 orang. Instrumen penelitian berupa tes dan non

tes. Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kuantitatif dan analisis

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terjadi peningkatan aktivitas guru

dari 76% (baik) pada siklus I menjadi 85,61% (sangat baik) pada siklus II, (2) terjadi

peningkatan aktivitas siswa dari 69,51% (aktif) pada siklus I menjadi 75,16% (aktif)

pada siklus II, (3) terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar kognitif siswa sebesar

13,12% dan (4) terjadi peningkatan self efficacy siswa dilihat dari skor rata-rata angket

pada pra tindakan sebesar 72,45 menjadi 74,81 setelah tindakan.

Kata kunci: SETS, hasil belajar, self efficacy

Abstract. A study has been conducted on the use of SETS approach in redox reaction

materials. This study aims to determine (1) the increase in the activity of teachers, (2)

an increase in the activity of students, (3) an increase in students' science process skills,

(4) improving student learning outcomes, and (5) an increase in self-efficacy of

students. The study used a classroom action research design (PTK) with 2 cycles

consisting of planning, action, observation and reflection. Subjects of this study were

students of class X IPA 3 SMA Negeri 8 Banjarmasin with 31 people. Research

instruments are test and non test. Data were analyzed by quantitative descriptive

analysis technique and qualitative analysis. The results showed that (1) an increase in

the activity of teachers of 76% (good) in the first cycle to 85.61% (excellent) in the

second cycle, (2) an increase in the student activity of 69.51% (active) on a cycle I

became 75.16% (active) in the second cycle, (3) an increase in the thoroughness of

cognitive learning outcomes of students by 13.12% and (4) an increase in self-efficacy

of students seen from the average score of the questionnaire on pre-action amounted to

72.45 into 74.81 after action.

Keywords: SETS, learning outcomes, self efficacy

PENDAHULUAN

Berdasarkan keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016 dalam

silabus mata pelajaran kimia SMA mengenai kecakapan yang perlu dimiliki siswa setelah

menempuh pendidikan menengah, baik dalam hal pengetahuan, sikap, maupun keterampilan

diharapkan siswa dapat memahami dampak yang mungkin dari perkembangan sains dan

teknologi pada masa lalu, maupun potensi dampaknya di masa depan. Maka dari itu,

diperlukan suatu pembelajaran yang berwawasan lingkungan dan teknologi agar peserta

didik dapat memenuhi kompetensi tersebut.

Pembelajaran berwawasan lingkungan dan teknologi ini sudah mulai diintegrasikan

dalam proses pembelajaran, yaitu ditunjukkan dengan adanya perkembangan pendekatan

dalam pembelajaran misalnya, STS (Science, Thecnology, Society), EE (Environmental

Page 191: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

179

Education), STL (Scientific and Technological Literacy), dan yang sekarang ini sedang

dikembangkan adalah SETS (Science, Environmental, Technology, Society).

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan suatu pendekatan yang sesuai dengan

kriteria yang diperlukan untuk memenuhi kompetensi pada pembahasan sebelumnya.

Pendekatan yang dapat diterapkan adalah pendekatan SETS, karena pendekatan ini sudah

mencakup aspek-aspek penting yaitu science, environment, technology, dan society yang

perlu diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Pada pembelajaran yang menggunakan

pendekatan SETS, siswa akan dibimbing untuk melakukan kegiatan investigasi, analisis dan

penerapan konsep, kegiatan ini akan membantu meningkatkan hasil belajar dan self efficacy

siswa.

Kimia merupakan cabang dari sains. Banyak siswa yang menganggap pelajaran kimia

termasuk dalam salah satu mata pelajaran yang kompleks karena pembahasannya mencakup

pengetahuan konseptual dan algoritmik. Adanya kompleksitas materi ini yang membuat

siswa menjadi enggan untuk memahami konsep kimia, sehingga banyak siswa yang

melakukan berbagai cara negatif untuk mendapatkan hasil belajar tinggi, misalnya

mencontek. Kegiatan mencontek ini adalah gambaran atas ketidakyakinan siswa pada

kemampuan yang dimilikinya. Beberapa siswa lebih memilih melakukan kegiatan tersebut

daripada harus mempelajari konsep kimia yang kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan adanya

suatu konsep diri mengenai keyakinan atau kepercayaan dalam diri siswa untuk dapat

mempelajari kimia guna memperoleh hasil belajar yang maksimal.

Menurut Pintrich dan Schunk, self efficacy biasanya memiliki hubungan positif

dengan hasil belajar (Baanu, T.F., Oloyede, S.O & Adekunle, S.O, 2016). Jika demikian,

berarti self efficacy dapat mempengaruhi hasil belajar seseorang. Menurut teori sosial

kognitif Albert Bandura self efficacy memiliki kontribusi yang besar terhadap prestasi

akademik, motivasi, dan hasil belajar siswa. Teori self efficacy menjelaskan bahwa umumnya

orang hanya akan mencoba hal-hal yang mereka percaya bahwa mereka bisa melakukannya

dan tidak akan mencoba hal-hal yang mereka percaya bahwa mereka tidak bisa

melakukannya dan pasti akan gagal. Namun, orang-orang dengan self efficacy yang tinggi

akan percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas yang mereka rasa itu akan sulit

untuk dilakukan (Albert Bandura, 1994). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa

siswa dengan self efficacy yang tinggi dapat memperoleh hasil belajar kimia yang maksimal,

misalnya pada materi reaksi redoks yang berisi konsep dan algoritmik.

Kegiatan wawancara informal dengan guru kimia kelas X IPA SMA Negeri 8 Tahun

pelajaran 2016/2017 memperoleh hasil bahwa dari beberapa materi kelas X semester 2,

materi yang memiliki hasil belajar kognitif siswa paling rendah adalah materi reaksi redoks

khususnya pada kelas X IPA 3. Hasil belajar siswa dapat mencerminkan self efficacy siswa.

Berdasarkan uraian di atas, self efficacy siswa kemungkinan masih rendah karena hasil

belajarnya rendah dan dalam kegiatan belajarnya keterlibatan siswa masih belum maksimal.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk

membuktikan apakah hasil belajar dan self efficacy siswa dapat meningkat jika menggunakan

pembelajaran dengan pendekatan SETS. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian

dengan judul Meningkatkan Hasil Belajar dan Self efficacy Siswa melalui Pendekatan SETS

(Science, Environment, Thecnology, Society) pada Materi Reaksi Redoks Kelas X IPA 3

SMA Negeri 8 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2016/2017.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas

(classroom action research). Penelitian dilakukan dalam dua siklus, adapun untuk siklus I

terdiri atas 3 pertemuan dan pada siklus II terdiri atas 1 pertemuan. Penelitian dilaksanakan

mulai tanggal 14 Maret sampai 5 Mei 2017. Kegiatan evaluasi dilaksanakan setelah

pertemuan terakhir pada setiap siklus. Penelitian dilakuakn di kelas X IPA 3 SMA Negeri 8

Banjarmasin yang terdiri atas 12 laki-laki dan 19 perempuan.

Objek yang diteliti antara lain aktivitas guru, aktivitas siswa, hasil belajar dan self

efficacy. Instrumen dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktivitas guru dan siswa,

tes hasil belajar kognitif serta angket self efficacy. Data aktivitas guru dan siswa

Page 192: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

180

dideskripsikan dengan cara menghitung persentase dari hasil observasi. Data yang diperoleh

akan dikategorikan sesuai dengan interval penentuan aktivitas guru pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori level aktivitas guru dan siswa

Persentase untuk Rentang (1 –

5) Kategori

0 – 20 Sangat kurang baik atau sangat

kurang aktif

21 – 40 Kurang baik atau kurang aktif

41 – 60 Cukup baik atau cukup aktif

61 – 80 Baik atau aktif

81 - 100 Sangat baik atau sangat aktif

(Ratumanan, T.G & Laurent T, 2003)

Data yang diperoleh dari tes hasil belajar kognitif berupa skor mentah yang kemudian

dikonversi dalam skala 0-100. Berikut rumus yang digunakan.

Nilai = ∑ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎ℎ

∑ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑥 100

Data self efficacy diperoleh dari angket yang diberikan pada setiap pertemuan berupa

skor rata-rata. Angket berisi 21 pernyataan yang didalamnya mencakup tiga indikator, yaitu

Self Efficacy for Cognitive Skill (SCS), Self Efficacy for Psychomotor Skill (SPS), dan Self

Efficacy for Everyday Aplication (SEA) (Uzuntiryaki, E & Ye şim, Ç.A, 2008). Self efficacy

siswa dapat diidentifikasi menggunakan kategorisasi sesuai dengan kategori penilaian pada

Tabel 2.

Tabel 2. Kategori penilaian self efficacy siswa

Kelas Interval Kategori

21 – 37 Sangat kurang

38 – 54 Kurang

55 – 71 Sedang

72 – 88 Tinggi

89 – 105 Sangat tinggi

(Widoyoko, 2014)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Hasil Validasi Instrumen Penelitian

Secara keseluruhan instrumen penelitian telah memenuhi persayaratan kelayakan

instrumen berdasarkan hasil validasi dari kelima validator. Namun, sebelum instrumen

dinyatakan layak, telah dilakukan perbaikan pada beberapa item yang belum sesuai dengan

kriterian penilaian.

b. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data yang diperoleh selama pembelajaran antara lain: (1) angket self efficacy; (2) tes

hesil belajar kognitif; (3) observasi aktivitas guru; dan (4) observasi aktivitas siswa.

1. Data self efficacy siswa selama pembelajaran

Data ini diperoleh dari angket yang diberikan kepada siswa pada saat sebelum

diberikan tindakan (pembelajaran menggunakan pendekatan SETS) dan setelah diberikan

tindakan. Total pertemuan yang dilakukan pada siklus I dan siklus II sebanyak empat kali

pertemuan. Jadi, total angket self efficacy yang diberikan kepada siswa sebanyak lima jenis.

Perbedaan dari setiap angket yang diberikan terletak pada indikator pembelajaran yang telah

disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari pada setiap pertemuan. Data pengkategorian

self efficacy siswa diklasifikasikan dalam Tabel 3.

Page 193: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

181

Tabel 3. Data skor self efficacy siswa

Pemberian Angket Skor Total Skor

Rata-rata Kategori

Pra Tindakan 2246 72,45 Tinggi

Siklus I

Pertemuan 1 2221 71,65 Sedang

Pertemuan 2 2258 72,84 Tinggi

Pertemuan 3 2328 75,1 Tinggi

Siklus II Pertemuan 4 2319 74,81 Tinggi

Berdasarkan data pada Tabel 3, skor siswa pada pra tindakan hingga siklus II telah

mengalami peningkatan. Secara klasikal self efficacy siswa juga mengalami peningkatan dari

38,71% (12 dari 31 siswa) menjadi 83,87% (26 dari 31 siswa) yang telah masuk dalam

kategori tinggi, dengan demikian self efficacy siswa sudah melampaui batas minimal dari

indikator keberhasilan penelitian. Self efficacy siswa meningkat karena dari data hasil angket

pra tindakan sudah menunjukkan bahwa kategori siswa sebanyak 38,71% sudah

mendapatkan kategori tinggi. Menurut Baanu T.F, dkk (2016) siswa yang memiliki self

efficacy kuat akan lebih bekerja keras, mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan, dan

dapat mencapai tingkat pencapaian kompetensi yang lebih tinggi, oleh karena itu self efficacy

siswa dapat meningkat setelah diberikan tindakan.

2. Data hasil belajar kognitif siswa

Hasil belajar kognitif siswa diperoleh dari tes yang dilakukan pada ujian siklus I dan

siklus II. Soal tes terdiri dari 15 soal pilihan ganda yang telah disesuaikan dengan indikator

pembelajaran. Indikator pembelajaran dalam penelitian ini sebanyak lima indikator. Data

hasil tes hasil belajar kognitif selama pembelajaran siklus I dan II dapat dilihat pada Gambar

1.

Gambar 1. Persentase hasil belajar kognitif

Pendekatan SETS yang diterapkan pada materi reaksi redoks berdasarkan hasil

penelitian menunjukkan, dapat memudahkan siswa dalam memahami konsep pembelajaran,

perubahan ini terlihat pada saat kegiatan pembelajaran siswa menjadi lebih antusias dan

memiliki rasa ingin tau yang tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan SETS dapat

digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

Peningkatan hasil belajar juga dipengaruhi oleh self efficacy siswa karena menurut

teori sosial kognitif Albert Bandura self efficacy memiliki kontribusi yang besar terhadap

prestasi akademik, motivasi, dan hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self

efficacy siswa mengalami peningkatan dari skor rata-rata pada pra tindakan sebesar 72,45

menjadi 74,81 dengan kategori tinggi setelah diberikan tindakan. Hasil belajar siswa

meningkat seiring dengan peningkatan self efficacy siswa. Hasil penelitian ini sesuai dengan

teori sosial kognitif Albert Bandura. Menurut Baanu T.F, dkk (2016) mereka yang memiliki

self efficacy kuat dalam belajar atau melakukan tugas cenderung akan lebih kompeten dan

dapat berpartisipasi dengan mudah, lebih bekerja keras, mampu bertahan ketika mereka

menghadapi kesulitan dan dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi.

69,25

82,37

60,00

65,00

70,00

75,00

80,00

85,00

Siklus I Siklus II

Per

sen

tase

(%

)

Persentase Hasil Tes Kognitif

Page 194: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

182

3. Data hasil observasi

Kegiatan observasi yang dilakukan selama pembelajaran adalah aktisitas guru dan

aktivitas siswa. Data hasil observasi aktivitas guru selama pembelajaran pada siklus I dan II

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase aktivitas guru

Siklus I (%) Siklus II (%)

Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 Pertemuan 4

73,61 75,76 78,33 85,61

Rata-rata = 76

Kategori = Baik Kategori =

Sangat baik

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keterlaksanaan kagiatan mengajar guru

secara keseluruhan terjadi peningkatan. Peningkatan aktivitas guru terjadi karena pada siklus

II guru lebih mampu dalam melakukan kegiatan pembelajaran dengan baik dibandingkan

pada siklus I. Pada pembelajaran siklus II guru lebih baik dalam menarik perhatian siswa

saat memberikan apersepsi maupun memberikan permasalahan dalam lingkungan pada tahap

invitasi, dan suasana kelas sudah cukup kondusif pada saat diskusi maupun membuat

kesimpulan. Peningkatan aktivitas guru akan berpengaruh pada aktivitas siswa karena guru

sudah melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan lebih baik, sehingga siswa dapat

melakukan aktivitas dalam pembelajaran menggunakan pendekatan SETS dengan lebih

maksimal. Data hasil observasi aktivitas siswa selama pembelajaran pada siklus I dan II

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase aktivitas siswa

Siklus I (%) Siklus II (%)

Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 Pertemuan 4

66,69 68,46 73,39 75,16

Rata-rata = 69,51

Kategori = Aktif Kategori = Aktif

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas

dengan menggunakan pendekatan SETS dapat meningkatkan aktivitas siswa. Hasil penelitian

yang telah dilakukan oleh (Hasanah, Aan & Mahdian, 2013) juga menunjukkan perbedaan

aktivitas belajar siswa menggunakan pendekatan SETS membuat siswa lebih aktif

dibandingkan dengan aktivitas siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada

materi reaksi redoks.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terjadi

peningkatan pada (1) aktivitas guru dengan peningkatan persentase dari 76% termasuk

kategori baik menjadi 85,61% termasuk kategori sangat baik; (2) aktivitas siswa dengan

peningkatan persentase sktivitas dari 69,51% menjadi 75,16% termasuk dalam kategori aktif;

(3) self efficacy siswa dari 72,45 pada pra tindakan (sebelum pembelajaran) menjadi 74,81

setelah tindakan (setelah pembelajaran); dan (4) hasil belajar siswa dari 69,25 menjadi 82,37.

DAFTAR PUSTAKA

Baanu, T.F., Oloyede, S.O & Adekunle, S.O. (2016). Self Efficacy and Chemistry Students’

Academic School in North-Central, Nigeria. The Malaysian Online Journal of

Educational Science, 4(1).

Bandura, A. (1994). Self Efficacy. ln V.S. Ramachaudran (Ed), Encyclopedia of human

behavior (Vol.4, pp.71-81). New York: Academic Press.

Page 195: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

183

Hasanah, Aan & Mahdian. (2013). Penerapan Pendekatan SETS (Science, Environment,

Technology, and Society) pada Pembelajaran Reaksi Reduksi Oksidasi. Jurnal

Inovasi Pendidikan Sains, 4(1), 1-12.

Ratumanan, T.G & Laurent T. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan

Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press.

Uzuntiryaki, E & Ye şim, Ç.A. (2008). Development and Validation of Chemistry Self-

Efficacy Scale for College Students. Res Sci Educ, 539-551.

Widoyoko, E. (2014). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Page 196: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

184

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICT, OBSERVE,

EXPLAIN (POE) PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON

ELEKTROLIT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF

SISWA

Implementation Of Predict, Observe, Explain (POE) Model To Electrolyte And

Nonelectrolyte Material To Increase Students’ Cognitive Ability

Yudha Irhasyuarna1, Mahdian1 ,Evi Christina Gultom1*

1Pendidikan Kimia FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian tentang penerapan model Predict, Observe, Explain (POE) pada

materi larutan elektrolit dan non elektrolit kelas X IPA SMA Negeri 4 Banjarmasin ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan kognitif antara siswa yang belajar

menggunakan model Predict, Observe, Explain (POE) dan siswa yang belajar

menggunakan pembelajaran konvensional (ekspositori). Penelitian ini menggunakan

metode eksperimen semu dengan desain nonequivalent control group design. Sampel

penelitian adalah X IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 1 sebagai kelas kontrol.

Pengumpulan data menggunakan tes. Teknik analisis data menggunakan analisis

inferensial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan

kognitif yang signifikan antara siswa pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol.

Kata kunci: model predict, observe, explain (POE), kemampuan kognitif siswa

Abstract. The aim of this research about the implementation of Predict, Observe,

Explain (POE) model to electrolyte and nonelectrolyte material on the tenth of science

students in SMA Negeri 4 Banjarmasin is to know the differences of cognitive ability

among the students who learns electrolyte and nonelectrolyte material by using Predict,

Observe, Explain (POE) model and the students who learn electrolyte and

nonelectrolyte material by using conventional learning (expository). This research use

quasy experiment method with nonequivalent control group design. The sample of the

research is X IPA 2 as the experimental class and X IPA 1 as the controllig class. The

researcher used tests as the technique for collecting data. The data analysis technique

is inferential analysis. The results of this research indicate that there are significant

differences in cognitive ability among students in experimental class and controlling

class.

Keywords: predict, observe, explain (POE) model,cognitive ability

PENDAHULUAN

Secara umum sains dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat

langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis

melalui eksperimen, penarikan kesimpulan serta penemuan konsep dan teori (Trianto, 2014).

Ilmu kimia sebagai cabang ilmu sains merupakan ilmu yang mempelajari struktur, susunan,

sifat dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi, sehingga ilmu

kimia bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-

konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan dan

pengembangan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan harus melalui suatu

rangkaian kegiatan dalam metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen.

Namun fakta di lapangan memperlihatkan bahwa dalam mempelajari sains, siswa

cenderung lebih menghafal teori, konsep dan prinsip tanpa memaknai proses bagaimana cara

memperolehnya (Siwa, Muderawan, & Tika, 2013). Akibatnya siswa menjadi kurang terlatih

untuk berpikir dan menggunakan daya nalarnya dalam memahami fenomena alam yang

terjadi ataupun ketika menghadapi masalah. Pada saat diberi permasalahan baru, mereka

Page 197: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

185

hanya bisa memindahkan kalimat-kalimat dari buku teks ke kertas kosong (Siwa,

Muderawan, & Tika, 2013).

Hasil belajar siswa berdasarkan wawancara dengan salah satu guru Kimia kelas X

di SMA Negeri 4 Banjarmasin masih terbilang rendah, karena masih banyak siswa yang hasil

ulangannya belum mencapai KKM, yaitu 75. Hasil ulangan siswa kelas X rata-rata hanya

mencapai nilai 60 saja. Siswa juga masih pasif ketika proses pembelajaran berlangsung dan

kurang memaknai setiap proses pembelajaran yang mereka lakukan. Padahal, siswa sudah

seharusnya diberikan kesempatan untuk mengembangkan dan menunjukkan semua potensi

yang ada di dalam diri mereka, sehingga proses pembelajaran tidak terasa kaku dan

pembelajaran tidak penuh dengan instruksi-instruksi saja. Hal ini didukung oleh pernyataan

(Istiani, 2013) yang mengemukakan, bahwa pembelajaran dengan model konvensional

dengan menggunakan metode ceramah membuat siswa cenderung pasif dan tidak dapat

mengemukakan pendapatnya. Siswa belajar hanya dengan menggunakan hafalan mengenai

konsep-konsep, mencatat apa yang diceramahkan guru, pasif dan jarang menggunakan

pengetahuan awal sebagai dasar perencanaan pembelajaran.

Pembelajaran kimia yang berlangsung di sekolah juga masih berpusat pada guru

(teacher center), dimana guru masih mendominasi pembelajaran dengan menggunakan

metode ceramah sehingga siswa kesulitan untuk mengaitkan pembelajaran yang mereka

dapatkan dengan kehidupan sehari-hari, kurang aktif dalam bertanya dan memberikan

pendapat. Kondisi persoalan pembelajaran ini memerlukan suatu model pembelajaran yang

dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, dapat mengemukakan pendapat mereka dan

membuat siswa menjadi lebih leluasa dalam mengembangkan segala potensi yang ada di

dalam diri mereka dengan penyajian materi yang tidak membuat siswa bosan.

Model pembelajaran ini harus melibatkan pengalaman siswa dalam kehidupannya

sehari-hari secara langsung, sehingga siswa mampu menghubungkan konsep yang telah

mereka dapatkan dengan pengalaman yang mereka alami. Salah satu model pembelajaran

yang dapat digunakan adalah model pembelajaran Predict, Observe, Explain (POE). Model

pembelajaran POE ini merupakan suatu model pembelajaran yang berlandaskan pandangan

konstruktivisme yang dapat merangsang berpikir siswa serta menuntut siswa berperan aktif

dalam proses penemuan konsep dan melatih siswa untuk menggunakan pola pikir yang

terstruktur dan sistematis. Penemuan konsep pengetahuan yang mereka lakukan sendiri ini

dapat dilakukan dari hasil pengamatan yang mereka lakukan melalui metode demonstrasi

maupun eksperimen di laboratorium.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik untuk

mengkaji penerapan model pembelajaran Predict, Observe, Explain (POE) pada materi

Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan metode quasi experimental dengan rancangan penelitian

nonequivalent control group design. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan pre-test pada

kedua kelas untuk mengetahui pemahaman awal siswa. Setelah proses pembelajaran, siswa

diberikan tes akhir (post-test) untuk mengetahui pencapaian kemampuan kognitif siswa

setelah diterapkan model POE.

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 4 Banjarmasin kelas X IPA pada tahun

ajaran 2016/2017. Populasi penelitian adalah siswa SMA Negeri 4 Banjarmasin. Sampel

penelitian adalah siswa kelas X IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 1 sebagai kelas

kontrol.

Pengumpulan data menggunakan teknik tes. Instrumen penelitian diujicobakan untuk

mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Teknik analisis data yaitu analisis inferensial.

Analisis inferensial adalah uji-t. Sebelumnya dilakukan uji normalitas (Liliefors) dan uji

homogenitas.

Page 198: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

186

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data hasil tes kemampuan kognitif siswa diperoleh dari pre-test dan post-test pada

kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan kriteria dapat dilihat pada Tabel 1 dan tingkat

pemahaman siswa dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Hasil uji-t data kemampuan kognitif siswa

Hasil Kelas dB X SD2 tHitung tTabel (α

= 0,05) Keterangan

Pre-

test

Eksperimen 32 27,87 192,234 1,478 2,03

Tidak ada

perbedaan yang

signifikan Kontrol 32 23.33 110,416

Post-

test

Eksperimen 32 78,48 119,507 3,471 2,03

Ada perbedaan

yang signifikan Kontrol 32 67,27 214,204

Gambar 1. Presentase tingkat pemahaman siswa pada kedua kelas untuk setiap indikator

Keterangan tiap indikator:

1. Menentukan larutan elektrolit kuat dan non elektrolit

2. Menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya

3. Menganalisis jenis senyawa yang bersifat elektrolit berdasarkan jenis ikatannya

Berdasarkan Gambar 1 di atas terlihat bahwa tigkat pemahaman kelas eksperimen

pada setiap indikator lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Data pre-test kemampuan kognitif

siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol diuji menggunakan uji-t untuk mengetahui

apakah terdapat pebedaan kemampuan kognitif yang signifikan sebelum dilakukan perlakuan

menggunakan model Predict, Observe, Explain (POE) pada materi larutan elektrolit dan non

elektolit. Data post-test kemampuan kognitif siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol

juga diuji dengan menggunakan uji-t untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

kemampuan kognitif yang signifikan setelah kelas eksperimen mendapatkan perlakuan.

Sebelum dilakukan uji-t, data pre-test dan post-test kemampuan kognitif kelas

eksperimen dan kelas kontrol diuji terlebih dahulu dengan uji normalitas dan uji

homogenitas. Berdasarkan hasil analisis inferensial, dengan varian yang homogen dan data

yang berdistribusi normal perbedaan rata-rata kelas eksperimen dengan kelas kontrol berbeda

secara signifikan setelah dihitung dengan menggunakan uji-t. Selain itu, berdasarkan Standar

Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) presentase siswa yang mencapai ketuntasan pada kelas

eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Adanya perbedaan hasil

kemampuan kognitif ini dikarenakan adanya pengaruh penerapan model pembelajaran

Predict, Observe, Explain (POE) yang diberikan pada kelas eksperimen, sedangkan pada

kelas kontrol menerapkan strategi pembelajaran ekspositori.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Puriyandari,

Saputro, & Masykuri, 2014) yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan prestasi belajar

dalam aspek kognitif siswa dengan menggunakan model pembelajaran POE. Selain itu

87,9 86,87

65,971,7

81,82

52,3

0

20

40

60

80

100

Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3

Tin

gk

at

pem

ah

am

an

(10

0%

)

Eksperimen

Kontrol

Page 199: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

187

(Anisa, Masykuri, & Yamitnah, 2013) juga mengemukakan hal yang sama bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan dalam penerapan model pembelajaran POE dengan metode

eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini dikarenakan pada

pembelajaran dengan model pembelajaran POE menekankan aktivitas siswa untuk terlibat

secara aktif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan serangkaian metode ilmiah

guna membangun konsep larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Pembelajaran POE

menempatkan siswa sebagai subjek pembelajar dan guru berperan sebagai fasilitator,

pembimbing dan motivator sehingga siswa terlibat sendiri dalam proses penemuan konsep

dan mengkonstruksi pengetahuannya. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh (Marjan,

Arnyana, & Setiawan, 2014) bahwa pembelajaran sains yang dilakukan dengan proses

penemuan mampu meningkatkan pemahaman siswa karena adanya pengaruh kemampuan

pemahaman siswa yang dibangun dengan sendirinya. Berikut ini pembahasan lengkap

mengenai perbedaan tiap indikator antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

(a) Indikator 1

Indikator pertama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yaitu menentukan

larutan elektrolit kuat dan non elektrolit. Berdasarkan ranah kognitif yang dikemukakan oleh

Blomm bahwa siswa yang mampu mengaplikasikan suatu konsep harus mampu terlebih

dahulu mengingat dan memahami konsep yang mereka pelajari. Pada penelitian ini siswa

harus mampu memahami dasar-dasar pengelompokkan larutan elektrolit dan larutan non

elektrolit, dengan mengamati ciri-ciri yang ditunjukkan pada alat uji elektrolit melalui

percobaan yang dilakukan. Pengelompokkan ini dapat berdasarkan persamaan maupun

perbedaan ciri-ciri yang ditunjukkan. Ciri-ciri ini ini dapat berupa menyala atau tidaknya

bolam lampu dan ada atau tidaknya gelembung-gelembung gas pada elektroda. Selain itu,

siswa juga harus mampu memahami penyebab mengapa suatu larutan dapat menghantarkan

arus listrik, sehingga siswa tidak hanya sekedar dapat menentukan larutan elektrolit dan

larutan non elektrolit.

Siswa pada kelas eksperimen mengkonstruksi pengetahuan mereka dengan

memecahkan masalah melalui tahapan memprediksi, mengobservasi dan menjelaskan

melalui percobaan, sehingga siswa pada kelas eksperimen lebih mampu mengaplikasikan

konsep yang mereka peroleh. Aktivitas berpikir siswa dengan menemukan sendiri jawaban

dari suatu masalah yang dipertanyakan dapat membantu siswa lebih mudah memahami

materi atau konsep larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Selain itu, menurut (Slavin,

2008) dengan terlibatnya siswa secara aktif dalam proses penemuan konsep dapat

meningkatkan penyimpanan informasi dalam memori jangka panjang sehingga memperbesar

penguasaan konsepnya. Oleh karena itu, siswa pada kelas eksperimen lebih mampu

menentukan larutan elektrolit dan larutan non elektrolit.

Pada kelas kontrol siswa mengandalkan penjelasan dari guru melalui metode ceramah

dan tanya jawab. Pembelajaran yang tidak melibatkan siswa untuk membangun pengetahuan

mereka akan mengakibatkan siswa kurang memahami konsep yang mereka pelajari. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian (Istiani, 2013) bahwa pembelajaran konvensional

dengan metode ceramah membuat pengetahuan siswa tidak berkembang, karena dalam

proses pembelajaran siswa cenderung menjadi pasif sehingga tidak dapat mengkonstruksi

pengetahuan mereka sendiri.

(b) Indikator 2 dan 3

Indikator kedua adalah menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya.

Indikator ketiga adalah menganalisis jenis senyawa yang bersifat elektrolit berdasarkan jenis

ikatannya. Kelas eksperimen memiliki kemampuan menganalisis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan pembelajaran POE memberikan

kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam

memecahkan masalah sehingga akan mengembangkan pola pikir siswa. Pembelajaran yang

memberi kesempatan kepada siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep yang mereka

peroleh akan memberikan pengalaman kepada mereka untuk memiliki struktur konsep yang

dapat berguna dalam menganalisis suatu permasalahan. Untuk dapat menganalisis data hasil

pengamatan siswa harus menjawab semua pertanyaan yang terdapat dalam LKS dan

menghubungkan data hasil percobaan dengan kajian teori yang sesuai sehingga dapat

Page 200: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

188

membuktikan prediksi yang mereka buat, apakah diterima atau ditolak. Seperti yang

dikemukakan oleh Krathwohl (Lewy, Zulkardi, & Aisyah, 2009) bahwa salah satu indikator

untuk mengukur siswa dapat menganalisis adalah siswa dapat membagi-bagi atau

menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau

hubungannya.

Siswa mampu menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya harus

mampu terlebih dahulu menentukan dan memaknai penyebab suatu larutan dapat

dikategorikan sebagai larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Hal ini dapat dilakukan

dengan mengamati ciri-ciri yang ditunjukkan oleh alat uji elektrolit, kemudian siswa

menghubungkan dengan konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya yaitu mengenai

konduktor dan isolator. Apabila siswa mampu menghubungkan konsep konduktor dan

isolator dengan hasil pengamatan yang mereka peroleh dan dapat menjawab pertanyaan yang

disajikan pada LKS, maka siswa dapat dikatakan mampu menganalisis sifat larutan

berdasarkan daya hantar listriknya. Siswa mampu menganalisis jenis senyawa yang bersifat

elektrolit berdasarkan jenis ikatannya harus mampu terlebih dahulu memahami bagaimana

ikatan ion dan ikatan kovalen dapat terbentuk. Karakteristik larutan elektrolit yang diperoleh

saat percobaan kemudian dihubungkan dengan konsep ikatan ion dan ikatan kovalen untuk

dapat menentukan apakah larutan elektolit tersebut merupakan senyawa ion atau senyawa

kovalen.

SIMPULAN

Terdapat perbedaan kemampuan kognitif antara siswa yang belajar dengan

menggunakan model Predict, Observe, Explain (POE) dengan siswa yang belajar

menggunakan strategi ekspositori pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

DAFTAR PUSTAKA

Anisa, D. N., Masykuri, M., & Yamitnah, S. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran POE

(Predict, Observe, and Explanation) dan Sikap Ilmiah terhadap Prestasi Belajar

Siswa pada Materi Asam, Basa dan Garam Kelas VII Semester 1 SMPN 1 Jaten

Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal Pendidikan Kimia, 16-23.

Istiani, N. (2013). Perbedaan Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered

Heads Together (NHT) dan Metode Ceramah terhadap Hasil Belajar. Jurnal

Salatiga Universitas Kristen Satya Wacana.

Lewy, Zulkardi, & Aisyah, N. (2009). Pengembangan Soal untuk Mengukur Kemampuan

Berpikir Tingkat Tinggi Pokok Bahasan Barisan dan Deret Bilangan di Kelas IX

Akselerasi SMP Xaverius Maria Palembang . Jurnal Pendidikan Matematika, 14-

28.

Marjan, J., Arnyana, I. P., & Setiawan, I. N. (2014). Pengaruh Pembelajaran Pendekatan

Saintifik terhadap Hasil Belajar Biologi dan Keterampilan Proses Sains MA

Mu'allimat NW Pancor Selong Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. e-

Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

Puriyandari, D., Saputro, A. N., & Masykuri, M. (2014). Penerapan Model Pembelajaran

Prediction, Observation and Explanation (POE) dilengkapi Lembar Kerja Siswa

(LKS) untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Prestasi Belajar Materi Kelarutan dan

Hasil Kelarutan Siswa Kelas XI IPA 1 Semester Genap SMAN 1 Ngemplak. Jurnal

Pendidikan Kimia (JPK), 24-30.

Siwa, I., Muderawan, I., & Tika, I. (2013). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Proyek dalam

Pembelajaran Kimia terhadap Keterampilan Proses Sains ditinjau dari Gaya

Kognitif Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan

Ganesha, 3, 1-13.

Slavin, R. (2008). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik Edisi ke-8 diterjemahkan oleh

Marianto Samosir. Jakarta: Indeks.

Trianto. (2014). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Page 201: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

189

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL

BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PROCESS ORIENTED GUIDED

INQUIRY LEARNING (POGIL) MATERI LARUTAN PENYANGGA SMA

NEGERI 10 BANJARMASIN

Improving Skills of the Science Process and Learning Outcomes Using the

Process Oriented Guided Inquiry Learning Model (POGIL) Buffer Solution

In SMA Negeri 10 Banjarmasin

Mahdian1, Rilia Iriani1 ,Kumala Suryo Atmojo1* 1Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,

Indonesia

*email: [email protected]

Abstrak. Telah dilaksanakan penelitian tentang penggunaan model POGIL pada

pembelajaran materi larutan penyangga. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan

(1) aktivitas guru, (2) aktivitas siswa, (3) keterampilan proses sains, (4) hasil belajar

dan (5) mengetahui respon siswa. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas

(PTK) dengan 2 siklus kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin, dengan jumlah

32 orang. Instrumen penelitian berupa tes dan non tes serta dianalisis menggunakan

teknik observasi dan tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

(1) aktivitas guru dari kategori baik pada siklus I menjadi kategori sangat baik pada

siklus II, (2) aktivitas siswa dari kategori cukup aktif pada siklus I menjadi kategori

aktif pada siklus II, (3) observasi keterampilan proses sains dari kategori cukup terampil

pada siklus I menjadi kategori terampil pada siklus II. Hasil tes keterampilan proses

sains dari kategori terampil menjadi sangat terampil. (4) Hasil belajar secara klasikal

dari sebesar 71,86% pada siklus I menjadi sebesar 87,50% pada siklus II. (5) Siswa

merespon baik terhadap penggunaan model pembelajaran POGIL pada materi

larutan penyangga.

Kata kunci: Keterampilan proses sains, model POGIL, larutan penyangga.

Abstract. A research has been conducted about the use of POGIL Model on learning

of buffer solution lesson. This research aims to improve (1) teachers activity, (2)

students activity, (3) science process skills, (4) learning outcomes and (5) knowing the

students response. This Research using class action research (PKT) with 2 cycle which

consists students from class XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin with 32 people.

Research instrument consists of the test and nontest and data were analyzed with

technique of observation and test. Research result showed that there is an improvement

(1) teachers activity from good category on cycle I become very good category on cycle

II, (2) students activity from fairly active on cycle I become active category on cycle II,

(3) observation science skills from the fairly skilled category on cycle I become skilled

category on cycle II. Test results of science process skills from the skilled category

become very skillful. (4) learning outcomes classically from 71,86% on cycle I become

87,50% on cycle II. (5) students respond well to use POGIL learning model on the

buffer solution lesson.

Keyword: science process skills, POGIL model, buffer solution.

PENDAHULUAN

Kemampuan sains siswa di Indonesia masih rendah. Ditunjukkan oleh survey yang

dilakukan PISA (Programme for Internastional Student Assessment) 2012 yang

dipublikasikan oleh organisasi OECD tahun 2013 rata-rata nilai sains siswa 382 dan dari 65

negara perserta PISA Indonesia berada peringkat 64 (Ningsih, Siswoyo & Astra, 2015).

Survey terbaru PISA tahun 2015 bahwa rata-rata skor nilai sains siswa 403 dengan peringkat

62 dari 70 negara anggota PISA (OECD, 2016).

Berdasarkan hasil wawancara informal dengan Bapak Muhammad Kastalani dan

Ibu Heldaniah, ulangan harian materi larutan penyangga yang diikuti 18 orang siswa dengan

Page 202: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

190

nilai rata-rata 60,2 dari nilai KKM 75. Saat guru mengajar siswa ada yang mengantuk,

berbicara pada teman disampingnya, mendengarkan lagu dan mengerjakan tugas mata

palajaran yang lain secara diam-diam, walaupun guru sudah memperingatkan dan menasehati

tapi secara diam-diam mereka tetap melakukannya.

Aktivitas belajar siswa di kelas XI IPA 3 masih kurang aktif, ketika guru

mengajukan beberapa pertanyaan hanya dua atau tiga orang saja menjawab, pada saat diskusi

kelompok hanya satu atau dua kelompok saja yang aktif berdiskusi, dan hanya sebagian siswa

yang mengerjakan latihan-latihan yang diberikan guru saat pembelajaran. Menurut siswa

pembelajaran kimia jarang diadakan praktikum sehingga siswa kurang tertarik dalam

pembelajaran, guru kurang membimbing siswa dalam diskusi di kelas, guru kurang

mengadakan variasi dalam mengajar, dan kurang mengaitkan materi dengan fenonema yang

ada di sekitar siswa.

Menurut guru keterampilan proses sains di kelas XI IPA 3 jarang dilatih untuk

mengamati, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, menafsirkan, menerapkan

konsep dan berkomunikasi. Ini dibuktikan ketika diberikan suatu permasalahan kepada

mereka, mengamati permasalahan untuk mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis dan

menafsirkannya mereka binggung dan belum bisa merumuskannya. Siswa mengalami

kesulitan dalam mengerjakan soal-soal larutan penyangga dan sebagian lagi tidak menjawab.

Siswa diminta menjelaskannya di depan kelas hanya satu atau dua orang saja yang mau

bersedia sisanya hanya diam.

Model pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah

model POGIL (Process Oriented Guided Inquiry Learning). Model POGIL merupakan

pengabungan dan penyempurnaan dari inkuiri terbimbing dalam pelaksanaannya dapat

terapkan dengan mudah, baik pembelajaran di kelas atau di Laboratorium. Model POGIL

memiliki kelebihan dibandingkan model inkuri terbimbing karena berbasis dengan tim dan

lebih memperhatikan. Model POGIL melatih keterampilan proses sains, pemahaman siswa,

soft skill, tanggung jawab, manajemen siswa dan pemecahan masalah (Indraswari, Widodo

& Muchlis, 2015).

Menurut penelitian Indraswari, Widodo dan Muchlis (2015) pada penerapan

model POGIL mengalami peningkatan pada setiap pertemuannya pada pertemuan, kedua dan

ketiga berturut-turut yaitu baik, baik dan sangat baik dan siswa memberikan respons jawaban

positif sebesar 91%. Sedangkan menurut penelitian Marcelia, Margunayasa dan

Kusmariyatni (2016) siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional rata-rata skor

keterampilan proses sains sebesar 30,33 dan rata-rata skor keterampilan proses sains dengan

model POGIL sebesar 49,91.

Menerapkan model POGIL yang melibatkan keterampilan proses sains dapat

melatih keterampilan proses sains. Mengaplikasikan model POGIL dalam pembelajaran

diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang menarik, memotivasi siswa sehingga

diminati siswa, membantu pemahaman siswa yang lebih dalam, soft skill siswa, serta dapat

meningkatkan keterampilan proses sains bagi siswa. Berdasarkan permasalahan di atas, maka

peneliti melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model POGIL (Process

Oriented Guided Inquiry Learning) untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil

belajar pada materi larutan penyangga kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu

merupakan jenis penelitian yang menjelaskan proses maupun hasil penelitian untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran (Suharsimi, Suhardjono & Supardi, 2015).

Penelitian dilaksanakan dalam siklus I dan siklus II dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan,

sehingga untuk 2 siklus terdapat 4 kali pertemuan. Pengamatan dilakukan pada tiap

pertemuan dan evaluasi dilakukan setiap akhir siklus. Penelitian dilakukan di kelas XI IPA

3 SMA Negeri 10 Banjarmasin berjumlah 32 orang, terdiri dari 9 orang laki-laki dan 23 orang

perempuan. Objek dalam penelitian ini adalah aktivitas guru dan siswa, keterampilan proses

sains dan hasil belajar, serta respon siswa.

Page 203: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

191

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Guru

Penilaian aktivitas guru dinilai berdasarkan lembar aktivitas guru yang telah

disediakan dan diamati oleh satu orang observer. Hasil observasi aktivitas guru pada siklus

I dan siklus II pertemuan pertama dan kedua tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil observasi aktivitas guru

Walaupun ada beberapa tahapan pelaksanaan yang kurang maksimal tetapi

aktivitas guru meningkat dari pertemuan pertama sebesar 66,25% pada kategori cukup

baik dan pertemuan kedua sebesar 73,73% pada kategori baik. Secara keseluruhan proses

pembelajaran siklus I masih belum maksimal. Pada siklus II aktivitas guru mengalami

peningkatan pada pertemuan pertama yaitu sebesar 83,75% dengan kategori baik dan pada

pertemuan kedua menjadi sebesar 90,00% dengan kategori sangat baik. Aktivitas guru

pada siklus I kategori baik sebesar 70,00% dan meningkat menjadi kategori sangat baik

sebesar 86,88% pada siklus II. Perbaikan aktivitas guru berhasil dengan memperhatikan

pelaksanaan yang kurang optimal pada siklus I sehingga dapat meningkat aktivitas guru pada

siklus II.

Menurut Indraswati, Widodo dan Muchlis (2015) menunjukkan bahwa penerapan

model POGIL dalam setiap pertemuan mengalami peningkatan. Menurut Fujiati dan Mastur

(2014) pada pembelajaran model POGIL aktivitas guru dalam setiap pertemuan pada siklus

II terus meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Indraswari, Widodo dan Muchlis (2015)

bahwa hasil keterlaksanaan pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga berturut-turut yaitu

baik, baik dan sangat baik.

Aktivitas Siswa

Penilaian aktivitas siswa dinilai berdasarkan lembar aktivitas siswa yang telah

disedikan dan diamati oleh lima orang observer. Hasil observasi terhadap aktivitas siswa

tersaji pada Gambar 2.

66,25

83,75

73,75

90,00

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Siklus I Siklus II

Akti

vit

as g

uru

(%

)

Pertemuan 1 Pertemuan 2

Page 204: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

192

Gambar 2. Hasil observasi aktivitas siswa

Akivitas siswa kategori kurang aktif pada siklus I pertemuan pertama sebesar

47,13% dan siklus II kategori cukup aktif pada pertemuan kedua sebesar 57,14%. Pada

pertemuan kedua siswa sudah mulai memperhatikan guru dan merespon apersepsi yang

diberikan oleh guru jika dibandingkan pada pertemuan pertama aktivitas siswa. Selain itu,

siswa mulai aktif berdiskusi tetapi ada beberapa siswa yang masih pasif. Siswa masih sedikit

ragu dan belum begitu berani dalam presentasi dan menanggapi, tetapi siswa sudah cukup

mampu dalam kegiatan diskusi.

Aktivitas siswa dalam setiap pertemuan pada siklus II terus meningat. Aktivitas

siswa pada pertemuan pertama sebesar 74,29% dengan kategori aktif meningkat pada

pertemuan kedua menjadi sebesar 85,71% dengan kategori sangat aktif. Terjadi peningkatan

yang cukup signifikan, di mana pada siklus I sebesar 52,14% dengan kategori cukup aktif

meningkat pada siklus II sebesar 80,00% dengan kategori aktif. Peningkatan aktivitas

siswa ini sebesar 27,86%. Hal ini sesuai dengan penelitian Choirunnisa, Yanthi dan

Syahruddin (2016) berdasarkan hasil observasi, aktivitas siswa semakin meningkat pada

setiap siklusnya siswa melakukan, menyelidiki konsep secara mandiri kegiatan mencari dan

aktif dengan bimbingan guru.

Observasi Keterampilan Proses Sains

Keterampilan proses sains juga dinilai berdasarkan lembar penilaian

keterampilan proses sains dan diamati oleh dua orang observer. Hasil observasi pada siklus

I dan siklus II pertemuan pertama dan kedua tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil observasi keterampilan proses sains

47,14

74,28

57,14

80,00

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Siklus I Siklus II

Akti

vit

as s

isw

a (%

)

Pertemuan 1 Pertemuan 2

50,00

76,68

60,00

90,00

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Siklus I Siklus II

Ob

serv

asi

ket

eram

pil

an p

rose

s

sain

s (%

)

Pertemuan 1 Pertemuan 2

Page 205: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

193

Pada pertemuan pertama yaitu sebesar 50,00% dan pada kategori kurang

terampil. Indikator keterampilan proses sains yang paling rendah yaitu merumuskan

hipotesis, menafsirkan pada kategori kurang terampil. Pertemuan kedua yaitu sebesar 60,00%

pada kategori cukup terampil. Keterampilan proses sains pada siklus I mengalami

peningkatan sebesar 10,00% jika dibandingkan pertemuan pertama. Secara keseluruhan

keterampilan proses sains pada siklus I yaitu sebesar 55,00% dan pada kategori cukup

terampil. Indikator keterampilan proses sains mengamati terjadi peningkatan dibandingkan

pertemuan pertama, guru lebih seksama dalam melihat siswa melakukan penyelidikan

sehingga jika terdapat siswa yang kurang tepat dalam mengamati guru dapat menjelaskan

bagaimana cara mengamati dengan benar.

Pada siklus II pertemuan pertama yaitu sebesar 76,67% pada kategori terampil

dan pertemuan kedua yaitu sebesar 90,00% pada kategori sangat terampil. Pada siklus I rata-

rata siswa memperoleh skor 55,00% dengan kategori cukup terampil dan pada siklus II

sebesar 83,33% dengan kategori terampil. Ini mengalami peningkatan sebesar 28,33%. Guru

selalu melatih siswa untuk melakukan keterampilan proses sains secara berulang-ulang. Guru

berusaha meningkatkan minat, rasa percaya diri siswa, membimbing siswa, mengelola

waktu secara efektif dan efisien terhadap proses pembelajaran. Penelitian ini menunjukkan

dengan menggunakan model POGIL berhasil meningkatkan keterampilan proses sains dari

kategori cukup terampil menjadi terampil. Menurut Ozturk, Tezel dan Acat (2010)

keterampilan proses sains digunakan untuk membuat informasi yang didapat siswa, berfikir

mengenai memecahkan permasalahan dan merumuskan hipotesis bagaimana menyelesaikan

masalah tersebut.

Tes Keterampilan Proses Sains

Tes keterampilan proses sains, adapun indikator yang dilakukan tes yaitu

mengamati, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, menafsirkan, menerapkan

konsep dan berkomunikasi. Gambaran persentase keterampilan proses sains dalam setiap

siklus tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil tes keterampilan proses sains

Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus I ditinjau dari rentang nilai siswa,

sebanyak 26 siswa dengan nilai ≥ 60 atau sebesar 81,23% pada kategori terampil dan sangat

terampil sedangkan 6 siswa dengan nilai ≤ 60 atau sebesar 18,77% pada kategori cukup

terampil, kurang terampil dan tidak terampil. Tes keterampilan proses sains ditinjau, rata-

rata keberhasilan penguasaan konsep sebesar 66,61% pada kategori terampil.

Rentang nilai dan penguasaan indikator sudah berada kategori terampil tetapi

penguasaan indikator yang kurang diindikator keberhasilan adalah indikator mengajukan

pertanyaan dan menafsirkan yang terdiri dari 2 soal uraian. Hasil ini menunjukkan hasil

belajar pada siklus I belum berhasil karena masih ada indikator yang belum terampil yaitu

81,23

100

0

20

40

60

80

100

120

Siklus I Siklus II

Tes

ket

eram

pil

an p

rose

s sa

ins

(%)

Page 206: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

194

kategori cukup terampil sehingga harus diteruskan pada siklus II untuk melakukan

perbaikan. Perbaikan pembelajaran pada siklus II dilaksanakan berdampak pada

peningkatan keterampilan proses sains. Usaha guru pada siklus II dalam meningkatkan

pengelolaan waktu serta bimbingan menyeluruh kepada siswa selama proses pembelajaran.

Hal yang dilaksanakan guru untuk meningkatkan pemahaman maupun penguasaan siswa

pada siklus II hasil tes keterampilan proses sains sebesar 88,47% pada kategori sangat

terampil dan rentang nilai siswa yang mendapat nilai ≥60 sebesar 100% pada kategori sangat

terampil dan terampil.

Penelitian Marcelia, Margunayasa dan Kusmariyatni (2016) siswa yang diajarkan

dengan pembelajaran konvensional rata-rata skor keterampilan proses sains sebesar 30,33

dan rata-rata skor keterampilan proses sains dengan model POGIL sebesar 49,91.

Tyasning, Masykuri dan Mulyani (2015) mengatakan bahwa pada pembelajaran kimia

menggunakan model POGIL dapat meningkatkan kemampuan memori, kreativitas,

pengetahuan dan keterampilan pada siswa.

Tes Hasil Belajar

Pada siklus I setelah pembelajaran berakhir, dilakukan tes hasil belajar untuk

mengetahui pemahaman siswa dalam memahami materi yang telah dipelajari. Berdasarkan

kategori ketuntasan ideal, hanya 71,87% siswa yang tuntas atau hanya sebanyak 23 siswa

yang tuntas tidak memenuhi KKM, sehingga pada siklus II dilakukan beberapa perbaikan

dari kekurangan yang ada pada siklus I. Hasil tes siklus II ketuntasan ideal mengalami

peningkatan yaitu sebanyak 15,63% dari siklus I. Ketuntasan siswa pada siklus II sebesar

87,50% atau sebanyak 28 siswa dan yang tidak tuntas sebesar 12,50% atau sebanyak 4

siswa. Gambaran persentase ketuntasan hasil belajar secara klasikal pada siklus I dan siklus

II disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tes hasil belajar

Peningkatan hasil belajar pada setiap siklusnya karena guru berhasil

menumbuhkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model

POGIL. Menumbuhkan minat merupakan salah satu peranan guru sebagai motivator siswa

pada kegiatan pembelajaran. Menurut Sari, Nugroho, dan Masykuri (2016) tentang

penerapan pembelajaran POGIL dapat meningkatkan prestasi belajar, aspek pengetahuan

pada siklus I sebesar 53,8% dan pada siklus II sebesar 82,1%.

Respon Siswa

Hasil respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model POGIL

pada materi larutan penyangga yaitu sebagian besar siswa memberikan respon positif.

Gambaran respon siswa terhadap penggunaan model POGIL dapat dilihat pada Gambar 6.

71,87

87,50

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

Has

il b

elaj

ar (

%)

Page 207: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

195

Gambar 6. Respon siswa

Berdasarkan Gambar 6 respon siswa sangat baik sebesar 25,63%, baik sebesar

62,19%, cukup baik sebesar 5,63% serta kurang baik sebesar 6,25%. Sesuai penelitian

Indraswati, Widodo dan Muchlis (2015) respons siswa terhadap model POGIL tergolong

sangat baik sebesar 91%. Respon positif siswa terlihat bahwa pembelajaran dengan

menggunakan model POGIL pada materi larutan penyangga membuat siswa menjadi lebih

tertarik untuk mengikuti pembelajaran dan memudahkan siswa memahami materi

penyangga, siswa banyak yang menyatakan sangat setuju dan setuju.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu aktivitas guru, aktivitas siswa,

keterampilan proses sains, hasil belajar dan respon siswa maka diambil kesimpulan model

pembelajaran POGIL dapat meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa, keterampilan

proses sains, hasil belajar serta siswa merespon dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Choirunnisa, H., Yanthi, N., & Syahruddin, D. (2016). Model process oriented guided

inquiry

learning (POGIL) dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD. Jurnal

Antologi UPI, 1, 1-9.

Fujiati, I., & Mastur, A. (2014). Keefektifan pembelajaran model POGIL berbantuan alat

peraga dan berbasis etnomatematika te rhadap kemampuan komunikasi

matemat is s i swa. Unnes Journa l o f Mathematics Education, 3, 174-180.

Indraswati, R. A., Widodo, W., & Muchlis. (2015). Penerapan model pembelajaran proses oriented

guided inguiry learning (POGIL) untuk keterampilan proses sains materi kalor kelas

VII SMPN 22 Surabaya. Jurnal Pendidikan IPA, 18, 1-9.

Marcelia, W., Margunayasa., & Kusmariyatni. (2016). Pengaruh model POGIL dan minat

belajar terhadap keterampilan proses sains pada siswa kelas V SD. E-Journal PGSD

Universitas Pendidikan Ganesha, 4, 1-9.

Ningsih, P.E., Siswoyo & Astra, I.M. (2015) Pengaruh metode POGIL (proses oriented

guided inquiry learning) terhadap keterampilan proses sains siswa pada materi suhu

dan kalor kelas X SMA. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF20I5, 4,

67-71.

OECD. (2016). PISA 2015 results in focus. [online]. Tersedia: https://www.oecd.org

/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf. (28 Januari 2017)

Ozturk, N., Tezel, O., & Acat, M. B. (2010). Science process skill levels of primary school

seventh grade students in science and technology lesson. Journal of Turkish Science

Education, 7,15-28.

Sari, W.A., Nugroho, A., & Masykuri, M. (2016). Penerapan pembelajaran proses oriented

guided inquiry learning (POGIL) dilengkapi LKS untuk meningkatkan

kemandirian dan prestasi belajar siswa. Jurnal Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia

0

6,25 5,63

62,19

25,63

0

10

20

30

40

50

60

70

tidak baik kurang baik cukup baik baik sangat baik

Res

po

n s

isw

a (%

)

Page 208: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

196

(ISPI) Jawa Tengah, 3, 114-128. Tyasning. D. M., Masykuri, M., & Mulyani, S. (2015). Pembelajaran kimia menggunakan

model process orientied guided learning (POGIL) dan problem based learning (PBL)

ditinjau dari kemampuan memori dan kreativitas pada materi hidrokarbon kelas X

SMA. Jurnal Pedagogia, 18, 36-47.

Page 209: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

197

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DENGAN PENDEKATAN CHEMO-

ENTREPRENEURSHIP (CEP) BERORIENTASI GREEN CHEMISTRY

PADA MATERI ASAM BASA KELAS XI MIA DI SMA NEGERI 3

BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2016/2017

The Development of Learning Materials with Chemo-Entrepreneurship (CEP)

Approach to Oriented Green Chemistry on Acid Base Material of Class XI MIA

at SMA Negeri 3 Banjarmasin Academic Year 2016/2017

Rilia Iriani1, Yudha Irhasyuarna1 , Alya Amini1* 1Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang pengembangan bahan ajar dengan

pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry pada materi

asam basa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : kelayakan, kepraktisan dan

keefektifan pengembangan bahan ajar. Penelitian ini menggunakan rancangan research

& development dari Thiagarajan dan kawan-kawan (1974) yaitu menggunakan model

pengembangan 4-D yang dimodifikasi menjadi 3-D. Penelitian dilakukan di sekolah

SMAN 3 Banjarmasin. Sebanyak 10 siswa kelas XI MIA 1 dijadikan sampel penelitian

untuk uji skala kecil yang terdiri dari 2 siswa untuk uji perorangan dan 8 siswa untuk

uji kelompok kecil. Kemudian dilakukan penelitian uji coba kelas, sebanyak 35 siswa

XI MIA 2 dijadikan sampel penelitian untuk kelas eksperimen dan sebanyak 35 siswa

XI MIA 3 dijadikan sampel penelitian untuk kelas kontrol. Teknik pengumpulan data

menggunakan tes hasil belajar siswa dan angket. Berdasarkan hasil validasi oleh

validator handout yang dibuat memiliki rata-rata skor 143,4 dengan persentase 89,6%

sehingga dinyatakan valid atau layak. Hasil rata-rata skor uji keterbacaan siswa pada

uji skala kecil adalah 3,2 dengan kriteria tinggi sehingga dinyatakan praktis untuk

digunakan. Sedangkan handout dinyatakan efektif dilihat dari hasil belajar siswa kelas

eksperimen memiliki rata-rata skor N-gain sebesar 0,92 dalam kriteria tinggi dan

memperoleh hasil penumbuhan minat wirausaha dengan skor 3,02 dalam kriteria kuat.

Hal ini menunjukan bahwa pengembangan bahan ajar dengan dengan pendekatan

Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry dinyatakan layak, efektif

dan praktis digunakan sebagai sumber belajar siswa.

Kata kunci: Bahan ajar, pendekatan Chemo-Entrepreneurship, green chemistry, asam

basa

Abstract. Has done research about the development of learning materials with Chemo-

Entrepreneurship (CEP) approach oriented green chemistry on acid base materials.

This research aims to find out: feasibility, practicability and effectiveness of the

development of learning materials. This research uses research & development design

from Thiagarajan and friends (1974), that is using 4-D development model that are

modified into 3-D. The research was conducted at SMAN 3 Banjarmasin. As many as

10 students of class XI MIA 1 made a sample research for small scale test consisting of

2 students to test individuals and 8 students to test small groups. Then conducted

research trials, as many as 35 students of Class XI MIA 2 made a sample research to

the experimental class and as many as 35 students XI MIA 3 made a sample research

for the control class. Technique of collecting data using test result of student learning

and questionnaire. Based on the results of the validation by the validator handouts

created has an average score 143.4 with the percentage of 89.6% so it is declared valid

or feasible. The average result of the test scores of students' readability on small scale

test is 3.2 with high criterion so it is stated practical to use. While the handout is

effectively seen from the learning result of the experimental class students have the

average score of N-gain is 0.92 in the high criteria and obtain the result of the growth

of entrepreneur interest with score is 3.02 in the strong criteria. This indicates that the

development of learning materials with Chemo-Entrepreneurship (CEP) approach to

oriented green chemistry declared viable, effective and practical to be use as a learning

resource for student.

Page 210: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

198

Keywords: learning materials, Chemo-Entrepreneurship (CEP) approach, green

chemistry, acid-base

PENDAHULUAN

Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan yang akan

mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ataupun masuk dunia kerja.

Masalah yang nampak pada dunia pendidikan sekarang adalah banyaknya siswa yang

memilih ingin bekerja dibandingkan kuliah disebabkan siswa sekarang ini memiliki minat

balajar yang sangat kurang.

Salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa SMA adalah mata pelajaran

kimia. Menurut Rahmawana, Adlim dan Halim (2016) ilmu kimia itu bersifat abstrak

sehingga sukar untuk dipahami dan selama ini proses pembelajaran cenderung berpusat pada

guru yang kurang menuntut keterampilan siswa. Jadi salah satu upaya adalah perlu adanya

pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan siswa di sekolah.

Berdasarkan data yang diberikan guru kimia SMA Negeri 3 Banjarmasin, hasil

kognitif atau rekapan data nilai ulangan harian pada materi asam basa tahun pelajaran

2014/2015 adalah hanya sebesar 30% yang mencapai kriteria kelulusan minimum (KKM),

nilai KKM pada mata pelajaran kimia sendiri adalah 75. Materi asam basa merupakan materi

yang menganjurkan siswanya untuk memaksimalkan penguasaan konsep pada materi ini

dikarenakan materi ini adalah dasar untuk memahami materi yang selanjutnya seperti,

hidrolisis garam dan larutan penyangga. Model pembelajaran yang tepat dan bahan ajar yang

baik adalah faktor yang membuat siswa dapat menguasai konsep pada materi asam basa dan

memahami pelajaran kimia yang diajarkan. Berdasarkan wawancara dengan guru kimia

SMAN 3 Banjarmasin juga menunjukkan bahwa tidak banyak guru yang memanfaatkan

media pembelajaran baru atau mengembangkan bahan ajar khususnya sebagai penyampaian

materi pembelajaran. Guru lebih banyak mempergunakan media pembelajaran berupa

Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibagikan oleh sekolah dibandingkan buku paket.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan besar dalam pembelajaran kimia

di SMA Negeri 3 Banjarmasin. Menurut Widyaningrum, Sarwanto dan Karyanto (2014)

pembelajaran kimia pada dasarnya terdiri atas produk, proses, dan sikap yang menuntut siswa

melakukan penemuan dan pemecahan masalah. Solusi dari masalah-masalah tersebut yaitu

pembelajaran bisa dikemas dalam sebuah media pembelajaran berupa bahan ajar yang

menarik dan juga inovatif yang dapat membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran kimia.

Handout adalah sumber belajar yang sangat membantu siswa dalam kegiatan belajar

mengajar di sekolah selain materinya ringkas daripada buku pelajaraan biasa, handout juga

dapat meningkatkan kreativitas, memberikan informasi baru, serta adanya perpaduan teks

dan gambar yang beragam berbeda dengaan LKS yang menggunakan tampilan gambar hitam

putih. Pengembangan handout ini dipadukan dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship

(CEP) berorientasi green chemistry. Menurut Ningtias, Joharman dan Yahmi (2013) proses

pembelajaran dengan Chemo-entrepreneurship (CEP) membuat siswa memiliki kesempatan

untuk mempelajari suatu proses pengolahan bahan menjadi suatu produk yang bermanfaat,

bernilai ekonomi dan menumbuhkan semangat berwirausaha. Bahan ajar dengan

menggunakan konsep green cemistry, menurut Andraos dan Dicks (2012) adalah merupakan

ide dan konsep yang dapat dipelajari secara menyeluruh dengan konsep yang nyata

dikehidupan siswa dan siswa dapat belajar lebih untuk menangani masalah green chemistry

melalui pembelajaran. Maka bahan ajar dengan menggunakan konsep green chemistry dapat

memberikan efek positif pada siswa.

Selain bahan ajar yang inovatif, model pembelajaran juga dapat berperan penting

dalam meningkatkan minat belajar siswa di kelas. Model pembelajaran yang dijadikan

alternatif dalam inovasi pembelajaran ini adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing.

Menurut penelitian Kurnian, Wartono dan Diantoro (2014) menyatakan bahwa pengaruh

pembelajaran dengan menggunakan inkuiri terbimbing dapat meningkatkan pembelajaran

yaitu pada kemampuan penguasaan konsep belajar siswa dan kemampuan berpikir kritis

siswa

Page 211: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

199

Berdasarkan uraian di atas, perlu adanya penelitian pengembangan bahan ajar berupa

handout untuk pembelajaran kimia sebagai pengayaan materi asam basa dengan

menggunakan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry

pada model inkuiri terbimbing. Hal ini, dimaksudkan agar dapat membantu siswa dalam

memberikan informasi yang lebih jelas dan sistematis serta dapat dijadikan sebagai sumber

belajar. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian pengembangan bahan ajar

ini antara lain: (1) bagaimana kelayakan pengembangan bahan ajar diukur dari kevalidan

berdasarkan penilaian validator?, (2) bagaimana kepraktisan pengembangan bahan ajar yang

ditinjau dari kemudahan penerapannya berdasarkan uji keterbacaan siswa?, (3) bagaimana

keefektifan pengembangan bahan ajar yang tinjau dari hasil belajar siswa?. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kelayakan, kepraktisan dan keefektifan dari pengembangan

handout yang dibuat untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi asam basa.

METODE PENELITIAN

Metode pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dan

pengembangaan atau research & development dengan menggunakan model 4-D menurut

Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974). Model pengembangan 4-D memiliki 4 tahap yaitu

Define, terbagi menjadi lima langkah yaitu analisis awal, analisis siswa, analisis konsep,

analisis tugas dan spesifikasi tujuan, tahap Design yaitu penyususnan tes, pemilihan media,

dan desain awal, tahap selanjutnya adalah Development yaitu dilakukan dengan uji validasi

ahli, uji coba skala kecil, dan uji coba terbatas. Namun, tahap-tahap yang dilakukan dalam

penelitian ini hanya sampai tahap ketiga yaitu Development, sedangkan pada tahap keempat

yaitu Desiminasi atau tahap penyebaran tidak dilakukan karena penelitian ini hanya

menghasilkan produk prototipe. Maka rancangan atau desain penelitian 4-D dimodifikasi

oleh peneliti menjadi 3-D.

Penelitian ini dilaksanakan di XI MIA SMA Negeri 3 Banjarmasin dengan uji coba

sekala kecil dilakukan pada kelas XI MIA 1 sebanyak 10 orang siswa terdiri dari 2 siswa

untuk uji perorangan dan 8 siswa untuk uji kelompok kecil. sedangkan uji coba terbatas atau

kelas dilakukan pada kelas XI MIA 2 sebanyak 35 siswa untuk kelas eksperimen dan 35

siswa kelas XI MIA 3 untuk kelas kontrol. Desain uji coba bahan ajar yang digunakan adalah

model quasi experimental design. Metode dokumentasi yang digunakan selama penelitian

pengembangan ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Jenis data, teknik pengambilan data, dan instrumen

Data Teknik Pengambilan Data Instrumen

Identifikasi potensi

dan masalah

Hasil kognitif siswa dan

wawancara

Lembar nilai ulangan

siswa dan angket

wawancara

Validasi produk

bahan ajar

Validasi produk oleh para ahli

atau validator

Lembar validasi

Hasil uji coba skala

kecil produk

Uji keterbacaan siswa

Lembar angket

Penggunaan

produk pada uji

coba kelas

Penilaian hasil belajar siswa

(pemahaman konsep) dan

penilaian minat kewirausahaan

Lembar soal evaluasi

dan lembar angket

Validasi dilakukan dengan meminta pertimbangan dan penilaian dari validator yaitu

3 orang dari dosen Program Studi Pendidikan Kimia dan 2 orang dari guru kimia SMAN 3

Banjarmasin. Instrumen yang divalidasi terdiri atas (1) instrument tes berupa soal pretes dan

postes, (2) instrumen nontes berupa handout asam basa dengan pendekatan Chemo-

Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry. Validasi instrumen tes dihitung

menggunakan persamaan CVR (Content Validity Ratio) (Cohen, 2010). Nilai CVR yang

didapatkan hasil = 1 untuk validasi instrumen tes. Sedangkan untuk validasi instrumen

Page 212: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

200

nontes menggunakan angket uji kelayakan yaitu uji kelayakan isi, penyajian dan bahasa

dengan kriteria validasi uji kelayakan sebagai berikut pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria Validitas

(Sumber: Akbar, 2013)

Analisis uji kepraktisan handout dilihat dari uji keterbacaan siswa pada uji skala kecil

dengan kriteria tinggi pada skor >2,5. Dan analisis uji keefektifan dilihat dari hasil belajar

siswa pada uji coba terbatas dengan kriteria tinggi >2,5.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Produk pengambangan yang dihasilkan pada penelitian ini adalah bahan ajar berupa

handout dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry

pada materi asam basa Kelas XI MIA di SMA Negeri 3 Banjarmasin. Handout ini disusun

berdasarkan acuan penyusunan handout yang mengacu pada sumber dari (Depdiknas, 2008)

berisi materi yang dilengkapi dengan tugas mandiri, kolom motivasi, soal uji pemahaman,

info kimia, dan web kimia, desain tersaji dalam Gambar 1.

Gambar 1 Desain handout asam basa dengan pendekatan Chemo- Entrepreneurship (CEP)

berorientasi green chemistry

Hasil validasi kelayakan handoutdapat diketahui memalui penilaian yang dilakukan

oleh validator menggunakan lembar angket validasi yang mengacu pada tiga aspek yang

harus dimiliki yaitu kelayakan isi, kelayakan penyajian dan kelayakan bahasa. Saran yang

didapatkan daalam instrumen juga akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk

memperbaiki pengembangan handout ini. Hasil penilaian kelayakan oleh validator dilakukan

sebanyak dua kali, adapun rekapan hasil penilaiannya dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil penilaian validasi kelayakan handout

Aspek Skor kriteria

Kelayakan isi 90,67% Sangat valid

Kelayakan penyajian 92,9% Sangat valid

Kelayakan bahasa 85,4% valid

Rata-rata kelayakan 89,66% Sangat valid

Hasil penilaian validasi handout asam basa dari aspek kelayakan isi, penyajian dan

bahasa oleh validator diperoleh rata-rata skor 143,4. Diketahui persentase dari data tersebut

adalah 89,6%, maka bahan ajar berupa handout materi asam basa dengan pendekatan

Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry ini memiliki kriteria sangat

valid atau layak digunakan tanpa perlu revisi. Pada validasi pertama telah dilakukan

perbaikan sesuai dengan saran dan masukan dari validator seperti menambahkan

Skor Keterangan Validitas Keterangan

85.00 – 100 % Sangat valid Tidak perlu revisi

70.00 – < 85.00 % Valid Tidak perlu revisi

50.00 – < 70. 00 % Kurang valid Revisi kecil

01.00 – < 50.00 % Tidak valid Revisi besar

Page 213: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

201

karakteristik handout, menambahkan info karakter wirausaha disetiap bab, memperbaiki

kalimat-kalimat pada soal-soal serta penambahan soal tentang green chemistry dan membuat

contoh soal menjadi kolom pertanyaan untuk siswa.

Langkah selanjutnya handout diujicobakan kepada siswa yaitu tahap uji coba pertama

adalah uji coba skala kecil atau uji keterbacaan pada handout. Tujuannya adalah untuk

mengetahui keperaktisan dan untuk memperbaiki pengembangan handout asam basa dengan

pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry dengan

menghimpun informasi atau masukkan dari respon siswa serta dari hasil belajar siswa. Uji

coba skala kecil dilakukan dua tahap uji yaitu pertama dilakukan uji perorangan sebanyak 2

siswa dan kedua uji kelompok kecil sebanyak 8 siswa di kelas XI MIA 1. Dari hasil uji

keterbacaan dapat lihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Hasil uji keterbacaan siswa

Keterangan:

1. Desain cover sudah menarik dan menggambarkan isi yang ada di dalamnya

2. Gambar-gambar dalam bahan ajar menarik dan sesuai dengan topik yang dipelajari

3. Gambar yang disajikan dalam handout ini jelas atau tidak buram

4. Tulisan dalam handout menggunakan huruf yang jelas, kombinasi huruf, warna, dan

gambar sudah serasi

5. Kalimat di dalam handout mudah dipahami

6. Gambar-gambar terlihat jelas dalam handout dan mudah dipahami maknanya

7. Istilah-istilah dalam handout mudah dipahami

8. Materi yang disajikan dalam bahan ajar handout sudah runtut

9. Tidak ada kalimat yang menimbulkan makna ganda dalam handout ini

10. Materi pengayaan larutan asam basa dapat dipahami dengan mudah menggunakan

bahan ajar handout ini

Berdasarkan diagram di atar (Gambar 2) rata-rata skor siswa sebesar 3,2 dengan

persentasi 88%, maka diperoleh kesimpulan bahwa keterbacaan handout asam basa dengan

pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry ini menunjukkan

kriteria tinggi. Siswa juga memberikan saran bahwa rumus-rumusnya kurang dijabarkan atau

diberi keterangan sehingga perlu direvisi. Berdasarkan penelitian Rahmawanna, Adlim dan

Halim (2016) juga menyatakan bahwa hasil analisis angket respon siswa menunjukan bahwa

siswa tertarik terhadap pembelajaran dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP).

Ketertarikan tersebut ternyata dapat menandakan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan

Chemo-Entrepreneurship (CEP) sudah layak diterapkan.

Pada uji coba terbatas dilakukan pretest dan postest, hasil belajar kelas eksperimen

dibandingkan dengan hasil belajar kelas kontrol untuk melihat perbedaan hasil belajar dari

kedua kelas tersebut. Hasil perhitungan dapat dilihat dari Tabel 4.

32,8

3,53,3 3,2

3,53,1 3,2

3,43,2

0

1

2

3

4

Pertanyaan

Sko

r

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Page 214: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

202

Tabel 4 Perbandingan nilai kelas eksperimen dan kontrol

Kelas Rata-rata Standar Deviasi Uji-t N-gain

Kontrol 90,02 5,202 2,9958 (ttabel =

1,9955)

0,87

Eksperimen 93,53 4,575 0,92

Berdasarkan data uji-t untuk hasil belajar diatas (Tabel 4), diketahui bahwa harga

thitung lebih besar dari harga ttabel sehingga dikatakan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima berarti

terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai postest yang diperoleh pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sa’adah dan Supartono (2013) bahwa

terdapat perbedaan hasil belajar kimia pada kelas eksperimen yang lebih tinggi rata-rata

nilainya dibandingkan pembelajaran kelas kontrol dengan pembelajaran menggunakan

pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP). Hal ini, dikarenakan setelah pembelajaran

siswa menjadi lebih mudah memahami materi dan lebih mengerti aplikasi konsep yang

dipelajari. Hasil rata-rata nilai N-gain pada kelas kontrol adalah sebesar 0,87 maka pada

kelas kontrol menunjukkan terdapatnya selisih antara nilai pretest dan postest yang tinggi.

Tinggi rendahnya hasil N-gain secara individual dipengaruhi oleh tingkat pemahaman materi

pada siswa sebelum dan setelah pelajaran berlangsung. Berdasarkan data hasil penelitian

diperlihatkan bahwa secara umum ada peningkatan pemahaman konsep materi yang dicapai.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Wikhdah, Sumarti dan Wardani (2015) pembelajaran

dengan modul yang berorientasi Chemo-Entrepreneurship (CEP) dapat digunakan sebagai

sumber belajar yang layak dan baik untuk menumbuhkan minat wirausaha serta

meningkatkan pemahaman konsep siswa. selanjutnya penelitian ini juga sesuai dengan

penelitian Prayitno, Dewi dan Wijayati (2016) yang menyatakan bahwa pengembangan

modul dengan Chemo-Entrepreneurship (CEP) ini dapat meningkatkan motivasi belajar,

minat wirausaha, dan hasil belajar siswa. Melalui media pembelajaran berupa handout ini

siswa dimudahkan dalam pembelajaran dimana materinya singkat dan menarik, sehingga

siswa memahaminya.

Kegiatan pembelajaran pada uji skala besar di kelas eksperimen dilakukan penelitian

tentang tumbuhnya minat wirausaha siswa yang dilihat melalui angket yang diberikan pada

siswa. Angket yang diisi oleh siswa kemudian dianalisis. Berdasarkan hasil analisis minat

wirausaha siswa diperoleh rata-rata skornya adalah 3,02 dengan kriteria kuat. Berdasarkan

pengamatan dan hasil penilaian angket minat wirausaha siswa yang mempunyai kriteria

sangat kuat ada 7 orang dengan persentase 20%, Kuat ada 26 orang dengan persentase 74%,

lemah ada 2 orang dengan persentase 6% dan sangat lemah tidak ada atau 0%. Jadi, hasil

persentase klasikal angket minat wirausaha adalah sebesar 94%. Siswa yang mempunyai

minat wirausaha dengan kriteria sangat kuat dan kuat berarti telah mencapai ketuntasan

≥70%, maka pengembangan handout asam basa dengan pendekatan Chemo-

Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry dapat menumbuhkan minat wirausaha.

Sesuai dengan penelitian Ningtias, Joharman dan Yahmin (2013), yang meyatakan bahwa

adanya pertumbuhan minat berwirausaha siswa tersebut karena penerapan pendekatan

Chemo-Entrepreneurship (CEP) yang menuntut potensi siswa untuk belajar maksimal

sehingga mampu menampilkan kompetensi tertentu. Menurut Sumarti, Supartono, dan Diniy

(2014), menyatakan bahwa adanya praktikum yang menggunakan pendekatan Chemo-

Entrepreneurship (CEP) dalam pembelajaran, membuat siswa tidak hanya mengerti tentang

pemahaman konsep pelajaran ilmu kimia saja tetapi juga dapat memberikan pengalaman

yang nyata pada siswa, life skill (kerja sama, tanggung jawab, percaya diri, memecahkan

masalah, dan kreatifitas) , dan akan meningkatkan minat kewirausahaan siswa.

SIMPULAN

Pengembangan handout asam basa dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship

(CEP) berorientasi green chemistry yang dikembangkan sangat layak digunakan dalam

pembelajaran kimia khususnya pada materi asam basa. Hal ini dinyatakan bahwa handout

telah memenuhi aspek-aspek kelayakan yaitu kelayakan isi, penyajian dan bahasa. Handout

ini juga memiliki kepraktisan untuk digunakan dalam pembelajaran. Hal ini terlihat dari uji

keterbacaan pada uji coba skala kecil, siswa memberikan respon positif terhadap handout ini

Page 215: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

203

dengan penilaian tinggi. Dan handout ini efektif dalam meningkatkan pemahaman konsep

materi pada siswa dan dapat menumbuhkan minat wirausaha siswa. Hal ini terbukti dari hasil

uji coba skala besar yaitu diperoleh nilai hasil belajar siswa dimana hasil uji-t dan N-gain

yang diperoleh kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol dan penilaian minat

wirausaha siswa ≥ 70% dengan kriteria kuat dan sangat kuat, sehingga handout ini dapat

digunakan sebagai sumber belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Andraos, J., & Dicks, A. P. (2010). Green Chemistry Teaching in Higher Education: A

Riview Of Effective Practices. Chemistry Education, 69-79.

Cohen, R. J. (2010). Psychological Testing and Assessment. New York: McGraw-Hill.

Departemen, P. N. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.

Kurniawati, D. I., Wartono, & Diantoro, M. (2014). Pengaruh Pembelajaran Inkuiri

terbimbing Integrasi Peer Instruction Terhadap Penguasaan Konsep dan

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Pendidikan Fisika Indonesia, 36-46.

Ningtias, D., Joharman, R., & Yahmin. (2013). Pengaruh Pendekatan

Chemoentrepreneurship (CEP) dalm Model Student Teams Achievement Divisions

(STAD) terhadap Kemampuan Kognitif dan Minat Berwirausaha Siswa Kelas X

SMAN 10 Malang pada Materi Minyak Bumi. Ilmu Pendidikan, 1-10.

Prayitno, A., Dewi, K. N., & Wijayati, N. (2016). Pengembangan Modul Pembelajaran

Kimia Bervisi SETS Berorientasi Chemo-Entrepreneurship (CEP) pada Materi

Larutan Asam Basa. Inovasi Pendidikan Kimia, 1617-1628.

Rahmawanna, Adlim, & Halim, A. (2016). Pengaruh Penerapan Pendekatan Chemo-

Entrepreneurship (CEP) terhadap Sikap Siswa pada Pelajaran Kimia dan Minat

Berwirausaha. Pendidikan Sains Indonesia, 113-116.

Sa'adah, N., & Supartono. (2013). Penggunaan Pendekatan Chemoentrepreneurship pada

Materi Larutan Penyangga untuk Meningkatkan Life Skill Siswa. Chemistry in

Education, 112-116.

Sumarti, S. S., Supartono, & Diniy, H. (2014). Material Module Development of Colloid

Orienting on Locar-Advantage-Based Chemo-Entrepreneurship to Improve

Students Soft Skill. Hummanities and Management Sciences, 42-46.

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. I. (1974). Instructional Development for

Training Teachers of Expectional Children. Minneapolis: University of Minnesota.

Widyaningrum, R., Sarwanto, & Karyanto, P. (2014). Pengembangan modul Berorientasi

POE (Predict, Observe, Explain) pada Materi Pencemaran untuk Meningkatkan

Hasil Belajar Siswa. Inkuiri, 100-117.

Wikhdah, M. I., Sumarti, S. S., & Wardani, S. (2015). Pengembangan Modul Larutan

Penyangga Berorientasi Chemoentrepreneurship (CEP) untuk Kelas XI SMA/MA.

Inovasi Pendidikan Kimia, 1585-1595.

Page 216: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

204

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL

BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICT-

DISCUSS-EXPLAIN-OBSERVE-DISCUSS-EXPLAIN BERBANTUAN

MEDIA FLASH PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA

Increases The Skills Of Science Process And Learning Outcomes Using Predict-

Discuss-Observe-Discuss-Explain Models Assisted Media Flash Was On

Material Buffer

Parham Saadi1 , Salamat2*,

1Dosen/Pendidikan Kimia FKIP ULM Banjarmasin 2Mahasiswa/Pendidikan Kimia FKIP ULM Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian tentang penggunaan model predict-discuss-explain-observe-

discuss-explain berbantuan media flash pada pembelajaran larutan penyangga di kelas

XI IPA SMA PGRI 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017 bertujuan untuk

meningkatkan: (1) aktivitas guru (2) aktivitas siswa (3) keterampilan proses sains siswa

(4) hasil belajar siswa dan (5) mengetahui respon siswa. Metode penelitian ini

menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan dua siklus. Subjek penelitian

adalah siswa kelas XI IPA SMA PGRI 1 Banjarmasin dengan jumlah 30 orang.

Instrumen penelitian berupa tes dan nontes. Hasil penelitian menyatakan bahwa terjadi

peningkatan (1) aktivitas guru dari kategori aktif menjadi sangat aktif (2) aktivitas siswa

dari kategori aktif dengan persentase 68,2% menjadi kategori aktif dengan persentase

80,4% (3) keterampilan proses sains siswa dari kategori cukup menjadi baik (4) hasil

belajar kognitif dari kategori sedang menjadi sangat tinggi, hasil belajar afektif siswa

kategori cukup menjadi baik, hasil belajar psikomotor siswa pertemuan pertama siklus

I dengan kategori terampil (5) siswa memberikan respon yang positif terhadap

pembelajaran melalui penggunaan model PDEODE berbantuan media flash pada materi

larutan penyangga.

Kata kunci: keterampilan proses sains, model PDEODE, larutan penyangga

Abstract. Research on the use of the models predict-discuss-explain-observe-discuss-

explain with media flash support study of buffers in class XI IPA SMA 1 PGRI

Banjarmasin acdemic years 2016/2017 aims to increase: (1) the activity of the teacher

(2) student activity (3) Science process skills of students (4) learning result and (5)

knowing the student response. This research method using class action research design

consisting of two cycley. The subject of research is the grade XI IPA SMA 1 PGRI

Banjarmasin with total number of 30 persons. Research instrument in the form of tests

and nontes. Results of the study stated that an increase in (1) the activity of the teachers

from the active category is becoming very active (2) student activity from active

categories with percentages of 68.2% become active category with the percentage of

80.4% (3) of the science process skills of students from the category simply be good (4)

results of study of cognitive categories are very high, the results of a study of students '

affective categories quite well, psychomotor learning results students first encounter I

cycle with the skilled category (5) students give a positive response toward learning

through the use of model-assisted media PDEODE flash content solution buffer

Keywords: Science process skills, models PDEODE, Buffers

PENDAHULUAN

Hasil observasi yang dilakukan peneliti, menyatakan bahwa siswa di kelas XI IPA

SMA PGRI 1 Banjarmasin kurang mampu memproses informasi untuk memperoleh fakta,

konsep, dan prinsip. Hasil wawancara dengan guru kimia SMA PGRI 1 Banjarmasin

menyatakan bahwa banyak siswa beranggapan bahwa kimia itu sulit dan membosankan

Page 217: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

205

terutaman pada materi larutan penyangaa karena memadukan konsep, rumus-rumus dan

perhitungan. Siswa lebih banyak diam dan mendengarkan saja, sehingga siswa menjadi tidak

bersemangat dalam belajar. Akibatnya hasil ujian siswa tidak mencapai nilai KKM yaitu 70

dengan persentase nilai rata-rata materi larutan penyangga tahun ajaran 2015/2016 yaitu

53%.

Keterampilan proses sains penting diwujudkan oleh pengajar dalam pembelajaran

yang berfungsi untuk merancang keterampilan lain seperti kognitif, berpikir logis, penalaran

dan keterampilan pemecahan masalah (Rauf, Rasul, Mansor, Othman, dan Lyndon, 2013).

Wisudawati dan Sulistyowati (2014) juga menyatakan, dengan mengembangakan

keterampilan proses sains, maka akan membuat peserta didik untuk berpikir kreatif, dan

membantu peserta didik dalam belajar.

Kekurangan pendidikan sangat erat kaitannya dengan guru, karena guru merupakan

komponen pendidikan yang amat penting (Suparlan, 2006). Selain pengaruh guru,

Penggunaan variasi pembelajaran merupakan salah satu kunci dalam mengatasi berbagai

kekurangan yang dihadapi, penggunaan pendekatan, strategi, model, dan media yang

membuat siswa termotivasi dan tidak bosan sehingga siswa mudah dalam menerima

pelajaran.

Model Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain atau disingkat PDEODE

merupakan model pembelajaran yang berhaluan kontruktivisme yang memusatkan

pembelajaran kepada siswa. Model ini mempunyai enam tahapan pembelajaran yang

berurutan yaitu prediksi, diskusi I, jelaskan I, observasi, diskusi II, jelaskan I (Kolari,

Savender dan Ranne, 2003). Costu (2008) menyatakan bahwa pengajaran PDEODE

memfasilitasi siswa memahami situasi sehari-hari atau membantu siswa untuk mencapai

pemahaman konseptual yang lebih baik. Gustiani, (2013) menyatakan bahwa penerapan

metode PDEODE mempengaruhi keterampillan proses sains siswa melalui kegiatan

eksperimen.

Penggunaan multimedia materi kimia akan lebih mudah dipahami. Penggunaan media

berupa gambar, model atau alat-alat lain yang memberikan pengalam konkrit, memotivasi

serta mempertinggi daya serap atau yang kita kenal dengan alat bantu visual (Haryono, 2013).

Hal ini dibuktikan oleh Tasker dan Dalton (2006) yang menemukan bahwa penggunaan flash

dalam pembelajaran memudahkan siswa dalam memvisualisasikan reaksi kimia dalam

bentuk mikroskopis dan juga memudahkan siswa dalam menerapkan konsep untuk

memecahkan permasalahan dalam situasi yang baru.

Dengan demikian, penggunaan model PDEODE berbantuan media flash diyakini

dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar dalam pembelajaran kimia

terutama pada materi larutan penyangga

METODE PENELITIAN

Peneliti menggunakan teknik penelitian tindakan kelas (classroom action research)

di SMA PGRI 1 Banjarmasin yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Masing-masing terdiri dari

tahapan-tahapan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan tindakan (action), (3)

observasi dan evaluasi, (4) analisis dan refleksi (Arikunto, Suharjono dan Supardi, 2012).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juli 2017 di kelas XI IPA SMA PGRI yang

beralamat di Jl. Sultan Adam Komplek H. Andir Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Subjek

penelitian ini adalah 30 siswa kelas XI IPA yang terdiri dari 15 laki-laki dan 15 perempuan.

Pengumpulan data menggunakan tes dan non tes serta angket yang diberikan kepada

siswa. Tes yang diberikan berupa hasil belajar kognitif setelah melaksanakan pembelajaran

mengunakan model PDEEODE berbantuan media flash. Penggunaan non tes berupa

observasi terhadap aktivitas guru dan siswa, keterampilan proses sains, hasil belajar afektif

dan psikomotor serta angket berupa respon siswa setelah melakukan pembelajaran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil yang didapatkan pada siklus I dan siklus II yaitu aktivitas siswa dan guru,

keterampilan proses sains, hasil belajar kognitf, afektif dan psikomotor, serta respon siswa.

Aktivitas Guru

Page 218: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

206

Pembelajaran yang dilakukan oleh guru secara keseluruhan pada siklus I sudah

baik, namun masih perlu adanya perbaikan. Guru masih kurang bisa dalam mengelola kelas,

membimbing siswa dalam observasi, diskusi, dan presentasi sehingga hanya beberapa siswa

yang dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran padahal kegiatan tersebut penting dalam

meningkatkan ketrampilan proses sains.

Pada siklus II aktivitas guru semakin baik karena guru berusaha memperbaiki

pembelajaran yang dilakukan. Guru berusaha menerapkan tahapan-tahapan pembelajran

dengan baik, tegas dalam pengajaran, guru sudah optimal dalam meminta siswa menjawab

pertanyaan yang ada pada LKS dan merata membimbing satu persatu kelompok siswa yang

mengalami kesulitan dalam hal mengumpulkan data penyelidikan.

Persentase rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran meningkat

sebesar 12,5%, yakni siklus I 72,5% (kategori baik) menjadi 85% (sangat baik) pada siklus

II. Perbandingan persentase aktivitas guru pada siklus I dan II tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan aktivitas guru

Aktivitas guru terhadap pembelajaran menggunakan model PDEODE berbantuan

media flash pada setiap pertemuan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian

Budianto, Syahmani, Istiadji (2013) yang menyatakan bahwa penerapan model PDEODE

berbasis multimedia mempunyai persentase lebih daripada kelas kontrol, sehingga dapat

disimpulkan model PDEODE berbantuan media flash. dapat digunakan untuk meningkatkan

aktivitas guru dalam proses pembelajaran.

Aktivitas Siswa

Hasil aktivitas siswa siklus I tergolong dalam kategori aktif, namun masih banyak hal

yang perlu diperbaiki.Rendahnya kemampuan siswa dalam mengikuti pembelajaran

menggunakan model PDEODE berbantuan media flash karena siswa belum bisa beradaptasi

dengan model yang digunakan. Majid (2016) menyatakan bahwa model dijadikan sebagai

kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.

Memahami dan menerapkan model sesuai yang diharapkan, maka akan meningkatkan

aktivitas siswa.

Siswa cukup kesulitan dalam memperhatikan dan mempredeksi atau merumuskan

hipotesis, berdiskusi, dan melakukan kegiatan observasi dalam mengumpulkan data dan

siswa kurang dapat mengkomunikasikan hasil pengamatannya, hal ini berkaitan erat dengan

keterampilan proses sains siswa. Siswa kurang aktif dalam mendiskusikan pertanyaan yang

ada di LKS karena kegiatan masih didominasi oleh beberapa siswa yang aktif saja dalam

satu kelompok.

Pada siklus II perbaikan dilakukan oleh guru untuk meningkatkan aktvitas siswa,

sehingga aktivtas siswa semakin aktif. siswa sudah terbiasa dalam mengikuti setiap tahapan

dari model pembelajaran PDEODE berbantuan media flash yang diterapkan oleh guru. Siswa

aktif dalam mendiskusikan pertanyaan yang ada di LKS dan saling bekerjasama untuk

mengumpulkan data dan menjawab pertanyaan di LKS dalam satu kelompok. Tahapan siswa

mempresentasikan hasil kelompok sudah terbilang baik dengan adanya saling menanggapi

antar kelompok yang mempresentasikan dan yang memperhatikan.

Meningkatnya aktivitas siswa dibandingkan pertemuan sebelumnya dikarenakan

siswa telah aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk membangun pengetahuannya sendiri.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Siklus I Siklus II

Per

sen

tase

(%

) ak

tivit

as

gu

ru

Page 219: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

207

Aktivitas siswa saat pembelajaran diketahui bahwa hampir semua siswa sudah bisa membuat

hipotesis dan pada saat mengumpulkan data siswa sudah terlibat aktif.. Putra (2013) kondisi

siswa yang belajar dengan baik, maka akan dapat berpengaruh terhadap partisipasi dalam

proses pembelajaran. Perbandingan persentase aktivitas siswa pada siklus I dan II tersaji pada

Gambar 2.

Gambar 2. Perbandingan persentase aktivitas siswa pada siklus I dan II

Dari gambar 2 terlihat peningkatan aktivitas siswa dengan persentase sebesar 18,6%

dari 68,2% kategori baik pada siklus I menjadi 80,4% berkategori baik pada siklus II. Hal ini

sangat erat hubungannya dengan peningkatan aktivitas guru, jadi terbukti bahwa peningkatan

aktivitas guru juga akan meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Dipalaya, Susilo, Corebima (2016) yang menyatakan bahwa pembelajaran

menggunakan PDEODE membuat pembelajaran yang dilakukan siswa aktif.

Keterampilan Proses Sains

Berdasarkan penilaian keterampilan proses sains dengan observasi dan menggunakan

LKS disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sebasar 15,72%. Meningkat dari kategori cukup

dengan persentase 62,085% pada siklus I, menjadi kategori baik dengan persentase 77,85%

pada siklus II. Diagram perbandingan persentase keterampilan proses sains pada siklus I dan

siklus II dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan persentase keterampilan proses sains pada siklus I dan siklus II

Berdasarkan hasil observasi mengenai keterampilan proses sains siswa pada saat

pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa model PDEODE berbantuan media flash.

mampu melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran, khususnya pada saat percobaan dan

diskusi kelas. Seperti yang telah dikatakan oleh Fauziah (2016) bahwa model PDEODE

dapat meningkatkan proses sains siswa. Sejalan dengan penelitian Fauziah, Gustiani (2013)

Analisis hasil penelitian yang dilakukannya mengindikasikan bahwa metode PDEODE,

efektif untuk membantu siswa menghasilkan perubahan konseptual dan keterampilan proses

sains.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

Per

sen

tase

(%

)ak

tivit

as s

isw

a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

Per

sen

tase

(%

) k

eter

amp

ilan

pro

ses

sain

s

Page 220: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

208

Berdasarkan beberapa fakta dan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa

keterampilan proses sains mengalami peningkatan. Keterampilan proses sains dapat

terbentuk dengan kebiasaan yang dilakukan dan dilatih terus menerus, yang mana peran guru

dalam memberikan pengarahan kepada siswa dan penerapan model pembelajaran sangat

besar bagi peningkatan keterampilan proses sains. Selain itu, model pembelajaran PDEODE

berbantuan media flash lebih menitik beratkan pada kemampuan siswa dalam menggunakan

keterampilan proses sains pada kegiatan pembelajaran seperti berhipotesis, berkomunikasi

dan kegiatan lainnya.

Hasil Belajar Siswa

Kognitif Siswa

Hasil ini menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus II berlangsung sangat baik bila

dibanding dengan pembelajaran di siklus I. Dengan perbandingan perbandingan ketuntasan

60% pada siklus I menjadi 93,33% pada siklus II. Perbandingan ketuntasan hasil belajar

siklus I dan siklus II disajikan pada gambar 4.

Gambar 4 Perbandingan ketuntasan hasil belajar siklus I dan siklus II

Hal ini karena, dalam pembelajaran PDEODE berbantuan media flash. siswa

mendapat penjelasan dari materi yang telah dipelajari dengan berbagai representasi untuk

lebih memudahkan siswa dalam memahami materi yang dipelajari dalam berbagai cara atau

bentuk.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa model PDEODE berbantuan media flash.

dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Milartini (2013) yang menyatakan bahwa penerapan model PDEODE

berbantuan media flash. ini dapat meningkatkan hasil belajar teknologi informasi dan

komunikasi. Budianto, Syahmani, dan Istyadji. (2015) penggunaan strategi PDEODE

berbasis multimedia lebih efektif dari pada strategi eskpositori.

Afektif Siswa

Terjadi peningkatan hasil belajar afektif siswa pada setiap pertemuan. Secara

keseluruhan pada siklus I aspek afektif siswa dalam kategori cukup dengan persentase rata-

rata siklus I 65,22%. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas siswa karena aktivitas siswa yang

belum sesuai dengan yang diinginkan, kerjasama antar kelompok belum sepenuhnya terjalin,

siswa masih bersifat pasif, tanggung jawab yang diberikan oleh guru belum tercapai seperti

mengumpulkan tugas tidak pada waktu yang ditentukan.

Siklus II mengalami peningkatan dikarenakan guru memperbaiki kegiatan dan

memotivasi siswa pada setiap pertemuannya agar melakukan perbaikan dalam belajar.

Secara keseluruhan aspek afektif siswa pada siklus II dalam kategori baik dengan persentase

rata-rata 77,54%. Peningkatan terjadi 12,32% dari 65,22% kategori cukup pada siklus I

menjadi 77,54% berkategori baik pada siklus II. Penggunaan model PDEODE meningkatkan

semua aspek afektif siswa.

Langkah prediksi menimbulkan rasa ingin tahu baik, dan dibantu juga dengan

adanya media flash. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2015) terjadi peningkatan rasa

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I Siklus II

Per

sen

tase

(%

) H

asil

Bel

ajar

Page 221: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

209

ingin tahu siswa setelah diterapkan model PDEODE. Tanggung jawab muncul pada saat

siswa memberikan penjelasan dan observasi yang diserahkan teman lain serta saat

menerapkan konsep pada proses sains dan mengejakan tugas/PR. Bekerjasama siswa dilihat

saat melakukan diskusi. Perbandingan persentase afektif siswa pada siklus I dan II tersaji

pada Gambar 5.

Gambar 5. Perbandingan persentase afektif siswa pada siklus I dan II

Sejalan dengan penelitian, Mundirotun (2013) menyatakan bahwa afektif siswa

menggunaan model PDEODE lebih tinggi dari pada afektif siswa menggunakan model

konvensional. Oleh karena itu, dapat disimpulkan model pembelajaran PDEODE berbantuan

media flash. dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar afektif dalam proses

pembelajaran.

Psikomotor Siswa

Psikomotor siswa dinilai pada pertemuan pertama dalam kategori terampil dengan

total skor rata-rata aspek psikomotor siswa adalah 78,88%. Pada saat menggunakan pipet

tetes dalam hal mengambil larutan, siswa sudah terbilang baik dengan rata-rata siswa

memegang sudah benar namun saat melepaskan tekanan karet belum benar atau sebaliknya.

Saat menggunakan gelas ukur beberapa siswa tergesa-gesa dalam mengukur sehingga kurang

tepat dalam pengukuran. Sedangkan saat pengukuran pH rata-rata siswa sudah benar dalam

pengukuran, namun ada beberapa siswa yang kesalahan dalam pengukuran disebabkan

kesalahan dalam memasukkan larutan. Rata-rata hasil observasi aspek psikomotor siswa

pada pertemuan 1 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rata-rata hasil observasi aspek psikomotor siswa pertemuan 1

Psikomotor Persentase (%)

Menggunakan pipet tetes 74

Menggunakan gelas ukur 76,67

Penggunaan Indikator Universal 73,33

Persentase rata-rata 74,67

Kategori Terampil

Observasi aspek spiskomotor hanya sekali dalam penelitian ini, namun jika

dilanjutkan terus menerus peneliti meyakini akan meningkatkan aspek psikomotor, karena

sejalan dengan penelitian Muliartini (2013) yang menyatakan bahwa penerapan model

pembelajaran PDEODE dapat meningkatkan hasil belajar psikomotor siswa.

Respon Siswa

Terdapat 17 siswa yang memiliki respon positif terhadap pembelajaran dengan

persentase sebesar 56,68% dan respon sangat positif sebanyak 13 siswa dengan persentase

43,33%. Gambar 4. menunjukkan persentase respon siswa terhadap pembelajaran

menggunakan model PDEODE berbantuan media flash.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus I SiklusII

Pes

enta

se (

%)

afek

tif

sisw

a

Page 222: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

210

Gambar 6. Persentase respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan model PDEODE berbantuan

media flash.

SIMPULAN

Setelah penelitian yang dilaksanakan di SMA PGRI 1 Banjarmasin dapat disimpulkan

bahwa; (1) Aktivitas guru mengalami peningkatan dari kategori baik menjadi sangat baik.

(2) Aktivitas siswa mengalami peningkatan dari kategori aktif dengan persentase 68,2%

menjadi kategori aktif dengan persentase 80,4%. (3) Keterampilan proses sains siswa

mengalami peningkatan dari kategori cukup menjadi baik. (4) Ketuntasan hasil belajar

kognitif siswa mengalami peningkatan dari 60% menjadi 93,33%, afektif siswa mengalami

peningkatan dari kategori cukup menjadi baik dan psikomotor siswa pertemuan pertama

siklus I dengan kategori terampil. (5) Siswa memberikan respon yang positif DAFTAR PUSTAKA

Arikontu, S., Suhardjono dan Supardi. (2012). Penelilian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi

Aksara.

Budianto, A., Syahmani, dan Istyadji, M. (2015). Komparasi Hasil Belajar Antara Strategi

Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain (PDEODE) Berbasis

Laboratorium Dan Berbasis Multimedia Pada Pembelajaran Kelarutan Dan

Hasil Kali Kelarutan. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 6(1), 1-7.

Costu, B. (2008). Learning Science Through the PDEODE Teaching Strategy: Helping

Students Make Sense of Everyday Situations. Eurasia Journal of Mathematics,

Science & Technology Education, 4(1), 3-9.

Dipalaya, T., Susilo, H., dan Corebima, A.D. (2016). Pengaruh Strategi Pembelajaran

PDEODE (Predict-Discussexplain-Observe-Discuss-Explain) pada

Kemampuan Akademik Berbeda Terhadap Hasil Belajar Siswa SMA Di Kota

Makassar. Prosiding Seminar Nasional II Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi

FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas

Muhammadiyah Malang.

Fatimah, S. (2016, Januari 11). Personal interview.

Fauziah, N.H., Yanthi, N., dan Yuniarti, Y. (2016). Peningkatan Keterampilan Proses

Sains Melalui Penerapan Strategi Predict Discuss Explain Observe Discuss

Explain. Bandung: Antologi UPI.

Gustiani, I. (2013). Students’ Conceptual Change and Science Process Skills Acquisition

on Separation of Mixture Concept Through Predict-Discuss-Explain-Observe-

Discuss-Explain (PDEODE) Method. Thesis. Universitas Pendidikan

Indonesia.

Kolari, S. Savander dan Ranne. (2003). Promoting the Conceptual Understanding of

Engineering Students Through Visualization. Global Journal of Engineering

Education, 7, 189-199.

Majid, A. (2016). Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muliartini, N.W.S., Adnyawati, N.D.M.S., dan Wahyuni, D.S. (2013). Penerapan Model

Pembelajaran PDEODE (Predict Discuss Explain Observe Discuss Explain)

Negatif

Kurang Positif

Cukup Positif

Postif

Sangat Positif

Page 223: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

211

Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informat ika (KARMAPATI), 2(6).

Mundirotun, H. 2013. Keefektifan Strategi Pembelajaran Predict-Discussexplain-

Observe-Discuss-Explain (PDEODE) Untuk Mereduksi Miskonsepsi Siswa

Pada Pemahaman Konsep Materi Buffer Dan Hidrolisis Kelas XI SMAN 1

Kayen Pati. Skiripsi. Universitas Negeri Semarang.

Putra, S.R. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif BerbasisSains. Jakarta: DIVA Press.

Rauf, R.A., Rasul, M.S., Mansor, A.N., Othman, Z., dan Lyndon, N. (2013). Inculcation

of Science Process Skills in a Science Classroom. Asian Social Science.

Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing.

Tasker, R., dan Dalton, R. (2006). Research into Practice: Visualisation of the Molecular

World Using Animations. Chemistry Education Research and Practice, 7: 141-

159.

Wisudawati, A.W., & Sulistyowati, E. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta:

Bumi Aksara.

Page 224: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

212

IMPLEMENTASI MODEL ACCELERATED LEARNING TIPE MASTER

BERVISI SETS PADA MATERI REAKSI REDOKS TERHADAP HASIL

BELAJAR SISWA

The Implementation Of Accelerated Learning Model MASTER Type Vision

SETS On Redox Reaction Material To Student Learning Outcomes

Muhammad Kusasi1, Atiek Winarti1 ,Muhammad Zufri1*

1Pendidikan Kimia FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

*email: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui (1) signifikansi perbedaan hasil

belajar kognitif yang berorientasi High Order Thinking Skills (HOTS) dan afektif siswa

yang menggunakan model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS dengan

pembelajaran konvensional di kelas X IPA SMAN 1 Banjarmasin pada materi reaksi

redoks, (2) respon siswa terhadap implementasi model Accelerated Learning tipe

MASTER bervisi SETS. Penelitian ini menerapkan metode Quasi Experimental dengan

menggunakan pretest-posttest nonequivalent control group design. Sampel penelitian

yaitu masing-masing 35 siswa kelas X IPA 4 (kelas eksperimen) dan kelas X IPA 3

(kelas kontrol). Pengumpulan data menggunakan teknik tes, observasi, dan kuesioner.

Teknik analisis data menggunakan Uji-t untuk menganalisis perbedaan hasil belajar

kognitif siswa kelas eksperimen dan kontrol, dan analisis deskriptif untuk menganalisis

perbedaan hasil belajar afektif dan angket respon siswa. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa (1) Terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara siswa pada kelas

eksperimen dengan siswa pada kelas kontrol (2) Implementasi model Accelerated

Learning tipe MASTER bervisi SETS pada pembelajaran kimia mendapat respon positif

dari siswa.

Kata kunci: Accelerated Learning tipe MASTER, SETS, High Order Thinking Skills

(HOTS), hasil belajar siswa

Abstract. This research was conducted to find out (1) the significance of the difference

in cognitive learning outcomes oriented by High Order Thinking Skills (HOTS) and

affective of students using model Accelerated Learning type MASTER Vision of SETS

with conventional learning at class X IPA SMAN 1 Banjarmasin on redox reaction

material, 2) student's response to implementation of Accelerated Learning model

MASTER type vision SETS. This research applies Quasi Experimental method using

pretest-posttest nonequivalent control group design. The sample of this research are 35

students of class X IPA 4 (experiment class) and class X IPA 3 (control class). Data

collection uses test techniques, observations, and questionnaires. Data analysis

techniques used t-test to analyze differences in students cognitive learning outcomes of

experimental class and control, and descriptive analysis to analyze differences in

affective learning outcomes and student response questionnaires. The results showed

that (1) There were significant differences in learning outcomes between the students

in the experimental class and the students in the control class (2) implementation of

Accelerated Learning model MASTER with vision of SETS on chemistry learning got

positive response from students.

Keywords: Accelerated Learning type MASTER, SETS, High Order Thinking Skills

(HOTS), students learning result

PENDAHULUAN

Mata pelajaran kimia turut ikut serta dalam peran peningkatan kualitas sumber daya

manusia. Menurut Sastrawijaya (1988), pengajaran ilmu kimia memiliki tujuan memperoleh

pemahaman perihal berbagai fakta, memecahkan masalah, memiliki keterampilan dan sikap

ilmiah yang berguna bagi kehidupan sehari-hari (Astuti, Subiyanto, & Binadja, 2013).

Dengan demikian, pembelajaran kimia di sekolah turut berperan aktif dalam membantu dan

Page 225: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

213

menyiapkan siswa untuk menghadapi kesulitan dan tantangan hidup yang semakin kompleks

dikemudian hari.

Menurut Trianto (2014), pembelajaran di era globalisasi saat ini masih berorientasi

pada guru dan menutup akses bagi peserta didik untuk mengembangkan proses berpikirnya

secara mandiri sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa belum mampu

dimaksimalkan. Peserta didik masih belum mampu mencari dan mengolah informasi secara

mandiri sehingga kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan kreatif untuk belajar mandiri

belum tercapai dengan baik. Hal tersebut berdampak pada kurang maksimalnya pemahaman

peserta didik pada materi mata pelajaran.

Kurangnya optimalisasi proses pembelajaran keterampilan tingkat tinggi akan

mengakibatkan kurangnya sensitivitas siswa dalam menyelesaikan masalah sosial dan

personal secara kognitif maupun afektif. Masalah tersebut merupakan hasil dari metode

pengajaran yang masih mengarah pada teacher centered dan terpusat secara eksklusif pada

isi bukan pada proses, serta sistem pendidikan yang masih belum maksimal dalam

mengajarkan peserta didik bagaimana mereka seharusnya belajar dan berpikir (Rose dan

Nicholl, 2012).

Keterampilan berpikir dalam hal ini ialah berpikir tingkat tinggi atau High Order

Thinking (HOT) yang sangat perlu diajarkan kepada peserta didik agar mereka dapat

menyelesaikan masalah secara aktif dan mampu mengembangkan potensi dirinya sendiri.

Keterampilan tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas untuk mencapai

hasil belajar yang baik, namun juga sebagai landasan untuk belajar bagaimana memperbaiki

cara peserta didik belajar sehingga mampu membuat pembelajaran menjadi bermakna.

Model pembelajaran adalah suatu jalan untuk menggapai tujuan tersebut namun

model pembelajaran juga harus mampu membuat peserta didik dapat memetik manfaat

belajar bagaimana belajar dan belajar bagaimana berpikir tidak harus selalu mendapat nilai

hasil yang baik saja sehingga peserta didik dapat memperbaiki dan mengembangkan potensi

dan cara belajarnya dengan lebih baik (Rose dan Nicholl, 2012).

Accelerated Learning adalah salah satu model pembelajaran yang menuntut keaktifan

siswa dalam kegiatan belajar mengajar dan bersifat menyenangkan. Menurut Russel (2011)

Accelerated Learning berarti pembelajaran dipercepat, yakni pembelajaran yang mengubah

kebiasan belajar peserta didik sehingga mampu meningkatkan kemampuan menyerap dan

menangkap informasi oleh peserta didik dengan lebih cepat. Sedangkan, MASTER adalah

salah satu tipe dalam model Accelerated Learning, yang memiliki 6 langkah MASTER dalam

pelaksanaannya, yakni meliputi: Mind (memotivasi pikiran), Acquire (memperoleh

informasi), Search out (menyelidiki makna), Trigger (memicu memori), Exhibit

(memamerkan apa yang diketahui), dan Reflect (merefleksi bagaimana cara belajar). Visi

SETS dalam pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar yang mengarahkan

pemahaman bahwa apa yang dipelajari oleh siswa mengandung aspek science, environment,

technology, dan society sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi secara timbal balik.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini dilaksanakan sebagai upaya

mengetahui pengaruh implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS

terhadap hasil belajar siswa yang berorientasi HOTS pada materi reaksi redoks di kelas X

SMAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan desain pretest-

posttest nonequivalent control group (Sugiyono, 2014). Populasi pada penelitian ini adalah

siswa SMAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017. Di antara empat kelas X di SMAN

1 Banjarmasin tersebut, diambil dua kelas sebagai sampel di mana masing-masing 35 siswa

kelas X IPA 4 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 3 sebagai kelas kontrol. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yakni

teknik pengambilan sampel dengan atas saran dari guru kimia SMAN 1 Banjarmasin.

Pengumpulan data menggunakan teknik tes dan nontes. Teknik tes yang digunakan

berbentuk 5 butir soal tes urain dengan 1 buah sub soal untuk tes hasil belajar kognitif pada

saat pre-test dan post-test. Instrumen tes hasil belajar kognitif ini mengacu pada soal HOTS,

Page 226: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

214

yakni dalam ranah kognitif yang melibatkan kemampuan analisis (C4), evaluasi (C5), dan

mencipta (C6). Teknik nontes dilakukan dengan lembar observasi afektif dengan

menggunakan skala 1-5 dan lembar respon siswa terhadap pembelajaran dengan

menggunakan skala Likert.

Pada analisis inferensial dilakukan analisa data pre-test dan post-test yaitu uji

normalitas, uji homogenitas, dan Uji-t. Berdasarkan uji hipotesis diketahui perbedaan yang

signifikan pengaruh implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS

terhadap hasil belajar siswa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa data, yaitu: hasil belajar kognitif,

afektif dan data respon siswa terhadap pembelajaran. Tes hasil belajar kognitif yang

digunakan adalah soal yang berorientasi pada HOTS (High Order Thinking Skills). Oleh

karena itu, hasil belajar kognitif dalam penelitian ini juga menggambarkan kemampuan

berpikir tingkat tinggi siswa. Butir-butir soal tes hasil belajar kognitif juga mengacu pada

penerapan konsep reaksi redoks dikehidupan sehari-hari atau masalah yang sering terjadi

dilingkungan, dalam hal ini tertuang di dalam visi SETS

Gambar 1. Rata-rata hasil belajar kognitif siswa kelas eksperimen dan kontrol.

Pada Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pre-test kelas eksperimen

maupun kontrol memiliki hasil relatif sama. Setelah dilakukan pembelajaran, diperoleh hasil

post-test kelas eksperimen mendapatkan nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 85,91 dan pada

kelas kontrol adalah 62,96. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan proses kegiatan

belajar mengajar pada kedua kelas tersebut sehingga mempengaruhi nilai yang diperoleh

siswa. Adapun data hasil tes kognitif siswa yang diperoleh dari pre-test dan post-test

berdasarkan kriteria dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar nilai pre-test dan post-test hasil belajar kognitif siswa

Hasil

belajar Tingkat

Frekuensi

Eksperimen Kontrol

Pre-test Post-test Pre-test Post-test

< 75 Kurang 35 3 35 26

75 – 83 Cukup 0 13 0 8

84 – 92 Baik 0 8 0 1

≥ 93 Sangat baik 0 11 0 0

Berdasarkan data Tabel 1 diketahui bahwa nilai pre-test hasil belajar kognitif pada

kelas eksperimen maupun kontrol seluruhnya berada pada tingkat kurang. Setelah diberikan

perlakuan siswa pada kelas eksperimen mengalami pengurangan frekuensi nilai pada tingkat

kurang lebih besar dibanding kelas kontrol. Berdasarkan ketuntasan hasil belajar kognitif,

kelas eksperimen memiliki persentase lebih besar yaitu 91%, daripada kelas kontrol yang

hanya sebesar 26%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen mampu mencapai

0

20

40

60

80

100

Pre-Test Post-Test

26,11

85,91

23,25

62,96

Nil

ai

Hasi

l B

elaja

r K

og

nit

if

R A T A - R A T A H A S I L B E L A J A R K O G N I T I F

Eksperimen Kontrol

Page 227: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

215

nilai ketuntasan dengan lebih baik daripada kelas kontrol.

Perbedaan hasil belajar kognitif (post-test) yang didapat menunjukkan bahwa model

Accelerated Learning tipe MASTER berpengaruh signifikan pada hasil belajar kognitif siswa

pada materi redoks. Perbedaan yang signifikan ini disebabkan adanya kegiatan pembelajaran

(kelas eksperimen) yang mampu membangkitkan motivasi, ketertarikan, dan keaktifan siswa

dalam kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan

meningkatkan pemahaman siswa pada materi.

Kegiatan belajar mengajar dengan model Accelerated Learning tipe MASTER lebih

menekankan pada aktivitas, emosi, permainan peran, visualisasi warna, peta konsep, cara

berpikir positif, dan suasana emosional siswa yang menyenangkan, yakni tertuang di dalam

kegiatan pembelajaran dan pada bahan ajar siswa. Hal ini mampu menciptakan pembelajaran

yang lebih bermakna sehingga dapat meningkatkan daya ingat peserta didik menjadi lebih

kuat (Rose & Nicholl, 2012). Wlodkowski dan Kasworm (2013) menyebutkan bahwa

pembelajaran Accelerated Learning jauh lebih menyenangkan, nyaman, fleksibel, dan efektif

daripada metode ceramah, sehingga berdampak pada hasil belajar yang lebih baik.

Berdasarkan soal hasil belajar kognitif siswa yang berorientasi pada High Order

Thinking Skills (HOTS) untuk setiap indikator kemampuan berpikir yang diukur, kelas

eksperimen memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan kelas kontrol. Hasil tersebut dapat

dilihat pada Gambar 2 tentang rata-rata tingkat kemampuan berpikir siswa yang diukur

dengan soal HOTS. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembelajaran Accelerated

Learning tipe MASTER bervisi SETS, siswa terlatih untuk berpikir kritis dan kreatif. Selain

itu, siswa juga dimotivasi, dibimbing untuk memberikan makna setiap materi yang dipelajari

dan menguji diri maupun presentasi, sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan

nyaman. Siswa juga dibimbing untuk berdiskusi, memecahkan masalah, dan mencari

informasi secara mandiri, dengan begitu siswa dilatih untuk berpikir kritis dan kreatif siswa.

Hasil penelitian Hadinansyah, Rustini, dan Komariah (2016) mengungkapkan bahwa

model Accelerated Learning tipe MASTER mampu melatih kemampuan berpikir siswa yang

ditandai dengan meningkatnya hasil belajar kognitif. Sejalan dengan hal tersebut, Anggreni,

Dantes, dan Candisa (2014) menyebutkan bahwa pembelajaran yang menyenangkan mampu

meningkatkan kompleksitas perkembangan kemampuan berpikir siswa.

Signifikansi perbedaan hasil belajar kognitif antara kelas eksperimen dan kontrol juga

dipengaruhi dengan adanya pembelajaran bervisi SETS (Science, Environment, Technology,

dan Society). Pada proses pembelajaran dengan bervisi SETS, siswa diajak untuk mencari

informasi secara mandiri dan memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitarnya

dengan membuat bagan keterhubungan SETS. Visi SETS juga dapat memberi peluang siswa

untuk memperoleh informasi, memecahkan masalah, dan bertindak serta memberi wadah

siswa untuk menuangkan ide-ide maupun inovasi (Khomsyatun, Tjahyo, & Edy, 2012).

020

40

60

80

100

Kemampuan

Analisis (C4)

Kemampuan

Evaluasi (C5)

Kemampuan

Kreasi/Mencipta

(C6)

95

7183

75

4558

Tin

gk

at

Kem

am

pu

an

(%

)

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi atau High Order Thinking Skills

(HOTS)

Eksperimen Kontrol

Gambar 2. Persentase tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) siswa kelas

eksperimen dan kelas kontrol untuk setiap ranah kognitif yang diukur.

Page 228: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

216

Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan peningkatan berdasarkan nilai N-gain hasil

belajar kognitif siswa pada kelas eksperimen dan kontrol. Berdasarkan rata-rata gain, kelas

eksperimen mendapatkan nilai 0,71 dengan kategori tinggi, sedangkan pada kelas kontrol

sebesar 0,49 yang termasuk dalam kategori sedang. Hasil tersebut membuktikan bahwa kelas

eksperimen mampu meningkatan hasil belajar kognitif yang lebih baik daripada kelas

kontrol. Pencapaian ini terjadi karena siswa memiliki motivasi dan minat dalam proses

pembelajaran yang dapat mempengaruhi peningkatan hasil belajar.

Tabel 2. Harga N-gain hasil belajar kognitif kelas eksperimen dan kontrol

Kelompok

Rata-rata kelas eksperimen Rata-rata kelas control

Pre-

test

Post-

test <g> Kategori

Pre-

test

Post-

test <g> Kategori

Tinggi 41 92 0,87 Tinggi 16 78 0,73 Tinggi

Sedang 36 77 0,63 Sedang 24 62 0,50 Sedang

Rendah - - - - 21 40 0,25 Rendah

Rata-rata 0,75 Tinggi Rata-rata 0,49 Sedang

Menurut Rokhanah, Supriyanto, dan Priyono (2015), meningkatnya hasil belajar dan

sikap kritis siswa dipengaruhi oleh adanya rasa senang, motivasi dan pengalaman baru dalam

pembelajaran. Sejalan dengan hal ini, Ismawati, Binadja, dan Saptorini (2016) menyebutkan

bahwa visi SETS juga mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang ditandai

dengan peningkatan skor N-gain.

Data pre-test dan post-test yang terdistribusi normal, serta memiliki varian yang

homogenadilakukan analisis inferensial dengan uji-t. Analisis ini bertujuan untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan sebelum dan

sesudah dilakukan perlakuan menggunakan model Accelerated Learning tipe MASTER

bervisi SETS dan pembelajaran konvensional pada materi reaksi redoks. Hasil analisa

dengan uji-t terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji-t data pre-test dan post-test hasil belajar kognitif siswa

Hasil Kelas Db �̅� SD2 thitung ttabel

5% Kesimpulan

Pre-

test

Eksperimen 68

26,108 89,030 1,383 2

Tidak

signifikan Kontrol 23,251 60,392

Post-

test

Eksperimen

68

85,911 80,696

9,154 2 Signifikan Kontrol 62,956

139,43

0

Berdasarkan hasil post-test didapatkan harga thitung dan ttabel. Di mana, thitung > ttabel

(9,154 > 2) maka disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat dikatakan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil tes kognitif siswa sesudah diberikan

perlakuan.

Page 229: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

217

Hasil belajar afektif siswa juga dinilai dalam penelitian ini, yakni aspek yang diamati

terdiri rasa ingin tahu, tanggung jawab, kerja sama dan teliti. Penilaian dilakukan pada setiap

pertemuan yang dilakukan oleh empat orang observer. Adapun persentase rata-rata skor hasil

belajar afektif siswa dapat dilihat pada Gambar 3.

Nilai rata-rata hasil belajar afektif secara keseluruhan kelas eksperimen maupun

kontrol termasuk dalam kategori baik. Akan tetapi, berdasarkan Gambar 3 menunjukkan

bahwa persentase skor afektif kelas eksperimen memiliki persentase yang lebih baik

daripada dengan kelas kontrol.

Gambar 4.3 Persentase respon siswa kelas eksperimen

Pada Gambar 4 menunjukkan persentase angket respon dan level respon siswa

terhadap implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS. Respon

setuju sangat dominan dengan 63% dari keseluruhan siswa kelas eksperimen diikuti ragu-

ragu dan sangat setuju, yakni 19% dan 17% serta responden tidak setuju hanya sekitar 1%.

Hal ini sebanding dengan banyaknya respon positif dan sangat positif terhadap kegiatan

belajar mengajar dengan menggunakan model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi

SETS.

SIMPULAN

Hasil penelitian dan pembahasan menemukan bahwa terdapataperbedaan

hasilcbelajardsiswaeyangffsignifikan antara kelas yang menerapkan model Accelerated

Learning tipe MASTER bervisi SETS dengan kelas yang menerapkan pembelajaran

konvensional pada materi reaksi redoks di kelas X SMAN 1 Banjarmasin. Hal ini sejalan

83,2480,38 81,33

77,7171,62 73,14

70,29 70,10

60,00

70,00

80,00

90,00

Rasa Ingin Tahu Tanggung Jawab Bekerjasama Teliti

Per

sen

tase

(%

)

Aspek yang diamati

Rata - Rata Hasil Belajar Afektif

Eksperimen Kontrol

Gambar 3. Perbandingan persentase afektif siswa kelas eksperimen dan kontrol

17%

63%

19%

1%0%

A N G K E T R E S P O N S I S W A

Sangat Setuju

Setuju

Ragu-Ragu

Tidak Setuju

Sangat Positif23%

Positif 71%

Cukup Positif6%

LEVEL RESPON SISWA

Page 230: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

218

dengan respon yang positif oleh siswa terhadap implementasi model pembelajaran

Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS pada kelas X SMAN 1 Banjarmasin.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, A. P., Subiyanto, & Binadja, A. (2013). Pengaruh Penggunaan Pendekatan POE

Bervisi SETS Pokok Bahasan Reaksi Redoks. Jurnal Pendidikan Sains UMS 1 (1),

46-52. Hadinansyah, H., Rustini, T., & Komariah. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran MASTER

Berbasis Multisensor Terhadap Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran IPS Topik

SUmber Daya Alam. Artikel Skripsi PGSD UPI.

Ismawati, S., Binadja, A., & Saptroni. (2016). Pengaruh Pembelajaran Guided Inquiry

Bervisi SETS Terintegrasi Pendidikan Karakter. Journal of Chemistry in Education

Unnes 5 (1), 15-22.

Khomsyatun, M., Tjahyo, S., & Edy, C. (2012). Penerapan Mindscaping Bervisi Science

Environment Technology Society Terhadap Pencapaian Kompetensi Larutan

Penyangga. Unnes Science Education Journal 1 (2), 96-102.

Rokhanah, S., Supriyanto, & Priyono, B. (2015). Pengaruh Penerapan Metode Master

dengan Pendekatan Saintifik Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Pada Materi

Invertebrata di SMA. Unnes Journal of Biology Education, 231-236.

Rose, C., & Nicholl, M. J. (2012). Accelerated Learning for The 21th Century : Cara Belajar

Cepat Abad XXI. (D. Ahimsa, Penerj.) Bandung: Nuansa Cendekia.

Russel, L. (2011). The Accelerated Learning Fieldbook : Panduan Pembelajaran Cepat. (M.

I. Zakkie, Penerj.) Bandung: Nusa Media.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Trianto. (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual.

Jakarta: Prenadamedia Group.

Wlodkowski, R. J., & Kasworm, C. E. (2017). Accelerated Learning: Future Roles and

Influences. New Directions for Adult and Continuing Education Journal 2017

(154), 93-97.

Page 231: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

219

MULTIMEDIA INTERAKTIF VERSUS KERJA LABORATORIUM

UNTUK MENDORONG KETERLIBATAN SISWA BELAJAR LAJU

REAKSI, MANA YANG LEBIH UNGGUL ?

Interactive Multimedia Versus Working Laboratory To Encourage Student

Learning Involvement Reaction Rate, Which Are More Excellent?

Maya Istyadji2, Arif Sholahuddin2 Wulandari1*

1Mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarmasin, Indonesia 2Dosen Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarmasin, Indonesia

*email:

[email protected]

Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang pembelajaran model ekspositori

menggunakan multimedia interaktif dengan model inkuiri terbimbing menggunakan

praktikum di SMAN 4 Banjarmasin. Penelitian ini bertujuan untuk mengethaui (1)

perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen 1 (2) perbedaan

hasil belajar antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen 2 (3) perbedaan hasil belajar

siswa antara ketiga kelas (4) respon siswa pada kelas eksperimen 1 dan kelas

eksperimen 2. Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan

rancangan pretest-posttest nonequivalent control group design. Sampel penelitian

sebanyak 99 siswa, diambil dari kelas XI IPA 1 sebagai kelas kontrol, XI IPA 2 sebagai

kelas eksperimen 1 dan XI IPA 3 sebagai kelas eksperimen 2. Sampel diambil dengan

teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik tes dan non

tes. Teknik analisis data menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji-t. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa (1) Tidak terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang

signifikan antara kelas eksperimen 1 dengan kelas kontrol (2) Terdapat perbedaan yang

signifikan antara kelas eksperimen 2 dengan kelas kontrol, (3) Terdapat perbedaan yang

signifikan antar ketiga kelas dan (4) Siswa memberikan respon yang positif terhadap

pembelajaran yang dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan

model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum pada materi laju reaksi.

Kata Kunci: model pembelajaran inkuiri terbimbing, model pembelajaran

ekspositori, multimedia interaktif, eksperimen, hasil belajar dan laju

reaksi.

Abstract. The research about teaching and learning expository model using interactive

media and guided inquiry model using lab work in SMAN 4 Banjarmasin has been done.

This research was aimed to find out (1) students’ results between control class and

experiment 1 class (2) students’ results between control class and experiment 2 class

(3) students’ results among three classes (4) responses on experiment 1 class and

experiment 2 class. This research was a Quasi Experimental and designed usingpretest-

posttest nonequivalent control group design. The subjects were 99 students from XI

Science 1 as control class, XI Science 2 as experiment class 1 and XI Science 3 as

sample experiment 2. Samples were taken by purposive sampling technique. The

researcher used test and non-test in order to collect the data. The researcher used

normality test, homogeneity test, and T-test. The research result showed that (1) there

was no significant differencebetween students’ cognitive results on experiment class

and control class. (2) There was a significant difference between experiment class 2

and control class (3) There was a significant difference among three classes and (4)

students gave positive response toward the teaching learning program used expository

using interactive multimedia and guided inquiry using lab work on reaction rate

material.

Keywords :guided inquiry learning model, expository learning model, interactive

multimedia, experiment, students’ results and reaction rate.

Page 232: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

220

PENDAHULUAN

Laju reaksi merupakan materi untuk kelas XI IPA pada semester ganjil yang

memuat tentang konsep dan perhitungan. Menurut Sutiono, dkk. (2013) materi laju reaksi

pada dasarnya memerlukan pengetahuan dan pemahaman konsep dasar yang kuat, hal ini

dikarenakan cakupan materi yang sangat luas yaitu meliputi laju reaksi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya, penentuan persamaan reaksi, tetapan laju reaksi dan orde reaksi.

Pemahaman konsep erat kaitannya dengan hasil belajar kognitif. Jika seorang

siswa hasil belajar kognitif nya rendah, maka dapat dikatakan bahwa kurangnya pemahaman

siswa akan materi yang diajarkan (Listawati, 2013).

Menurut Prasetyo (2016) pemahaman siswa dapat ditingkatkan melalui interaksi

yang baik antara guru dan siswa. Guru dapat beinteraksi dengan memberikan dorongan

(support), serta pengawasan atau binaan (supervisor) kepada siswa. Diperkuat oleh hasil

penelitian Suyatno bahwa interaksi guru dan siswa dapat dimaksimalkan dengan model

pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, tujuan dan kondisi pembelajaran yang akan

dilangsungkan (Supriyatun, 2013).

Model pembelajaran yang tepat dengan yang dimaksud Suyatno ialah model

pembelajaran dimana guru sebagai pusat dalam suatu proses belajar mengajar (teacher

oriented), atau guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Model pembelajaran tersebut

adalah model pembelajaran ekspositori.

Model pembelajaran pilihan lain yang juga merupakan salah satu model yang

tepat untuk meningkatkan pemahaman siswa yaitu model inkuiri terbimbing, karena menurut

Suardiantini (2014) model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) memilik tujuan

umum yaitu membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan

intelektual dan kemampuan-kemampuan lainnya, seperti bertanya dan mencari jawaban yang

berasal dari keingintahuan mereka dan menciptakan proses belajar yang bermakna di dalam

kelas sehingga materi yang dipelajari oleh siswa lebih mudah dipahami dan diingat dengan

kata lain pembelajaran yang bermakna ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Materi pelajaran laju reaksi mengandung konsep-konsep yang bersifat abstrak

(tidak dapat diamati secara langsung tanpa alat bantu). Oleh karena itu, perlu dibantu dengan

menggunakan ilustrasi animasi agar konsep-konsep dapat disimulasikan dalam bentuk

animasi flash dalam program multimedia sehingga proses belajar yang dilakukan lebih

bermakna. Menurut Febriana, dkk (2015) dalam proses belajar mengajar media menjadi

bagian integral yang bertumpu pada materi, tujuan, model, pendekatan dan evaluasi

pembelajaran. Media berfungsi sebagai sumber belajar siswa dalam proses pembelajaran,

sehingga mempermudah siswa untuk mengartikan konsep yang bersifat abstrak

Multimedia memilik beberapa keunggulan di antaranya adalah adanya hubungan

langsung dengan organ tubuh seperti mata (visual) , telinga (audio), dan tangan (kinetik)

dalam proses belajar sehingga dapat membuat informasi lebih mudah dimengerti (Arsyad,

2005)

Pembelajaran yang menggunakan model dan media mampu menambah

ketertarikan siswa dalam belajar sehingga proses belajar dapat lebih bermakna dan akan

memberi pengaruh pada hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk menentukan model dan

media yang tepat dapat dilakukan beberapa eksperimen dengan menjadikan kelas kontrol

sebagai perbandingan.

Berdasarkan paparan di atas, maka penelitiakan menguji perbedaan hasil belajar

pada materi laju reaksi antara penerapan model ekspositori menggunakan media dengan

model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum di SMAN 4 Banjarmasin.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berjenis Quasi Experimental dengan rancangan pretest-posttest

nonequivalent control group design. Sebelum proses pembelajaran dimulai untuk

mengetahui kemampuan awal siswa dalam pemahaman materi laju reaksi maka sampel

diberikan tes awal (pretes). Setelah proses pembelajaran, maka sampel diberikan tes akhir

(postes) untuk mengetahui pencapaian hasil belajar setelah diberi perlakuan.

Page 233: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

221

Siswa kelas XI IPA SMA Negeri 4 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017

sebagai populasi dalam penelitian ini dengan sampel yaitu XI IPA 2 menjadi kelas

eksperimen 1, XI IPA 3 menjadi kelas eksperimen 2 dan XI IPA 1 menjadi kelas kontrol

yang masing-masing berjumlah 33 orang. Sampel diambil dengan teknik sampling porposive

Instrumen tes yang berupa tes hasil belajar kognitif yang berbentuk soal pilihan

ganda sebanyak 15 soal terlebih dahulu dilakukan validasi untuk mendapatkan hasil tes yang

valid. FKIP ULM Banjarmasin dan dua orang guru kimia dari SMA PGRI 1 Banjarmasin.

Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan CVR (Content Validity Ratio) didapatkan

hasil = 1. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen hasil belajar kognitif valid untuk digunakan

(Cohen, 2010). Instrumen nontes berupa lembar angket respon. Hasil validasi instrumen

nontes bahwa setiap pernyataan pada instrumen memiliki CVR sama dengan 1, sehingga

instrumen nontes tersebut layak digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini.

Instrumen yang sudah valid selanjutnya diuji cobakan sebelum digunakan dalam

penelitian untuk mengetahui tingkat reliabilitas. Berdasarkan hasil perhitungan dengan

rumus Alpha Cronbach maka diperoleh nilai derajat instrumen tes hasil belajar kognitif

dengan perhitungan menggunakan rumus Kuder-Richardson 20 diperoleh 0,658. Instrumen

tersebut berada pada kategori sedang.

Analisis deskriptif dan analisis inferensial digunakan untuk teknik analisis data.

Analisis inferensial yang digunakan pada penelitian ini adalah uji-t dan uji anava 1 jalur.

Syarat uji-t dan uji anava 1 jalur adalah normalitas dan homogenitas data. Uji ini bertujuan

untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang dihasilkan antara kelompok kontrol dengan

kelompok eksperimen.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian terkait rata-rata nilai hasil kognitif, perolehan pencapaian, uji-t

hasil belajar kognitif dan uji anva 1 jalur dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3 dan

Tabel 4.

Tabel 1. Rata-rata nilai hasil belajar kognitif

Nilai Kelas Kontrol

Kelas

Eksperimen 1

Kelas

Eksperimen 2

Pretes Postes Pretes Postes Pretes Postes

Skor Terendah 6,67 60,00 13,33 60,00 6,67 66,67

Skor Tertinggi 40,00 93,33 46,67 93,33 46,67 93,33

Rata-rata (X̅) 25,66 75,76 30,10 77,58 27,07 82,02

Selisih rata-rata 50,10 47,78 54,95

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata-rata nilai postes pada kelas eksperimen 1

dan kelas eksperimen 2 lebih tinggi dibanding kelas kontrol.

Tabel 2. Harga N-gain hasil belajar kognitif siswa

Kelas Kriteria Rata-rata N-

gain

Kriteria rata-

rata Tinggi (%) Sedang (%) Rendah (%)

Kontrol 42,42 57,58 - 0,67 Sedang

Eksperimen 1 36,36 63,64 - 0,68 Sedang

Eksperimen 2 63,64 36,36 - 0,75 Tinggi

Page 234: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

222

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol

mengalami peningkatan hasil belajar kognitif yang sama yaitu hingga taraf pencapaian

sedang. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 mengalami peningkatan hasil belajar kognitif

hingga taraf pencapaian tinggi.

Tabel 3. Hasil uji-t data pretes dan postes hasil belajar kognitif siswa

Hasil Kelompok T hitung Ttabel Kesimpulan

Pretes

Kontrol 1.91 2

Tidak ada perbedaan yang

signifikan

Eksperimen 1

Kontrol 0,57 2

Eksperimen 2

Postes

Kontrol 1.90 2

Tidak ada perbedaan yang

signifikan Eksperimen 1

Kontrol 3,04 2 Berbeda secara signifikan

Eksperimen 2

Berdasarkan Tabel 3 pada data pretes hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas

kontrol dan kelas eksperimen 1. Hal ini juga berlaku untuk kelas kontrol dan kelas

eksperimen 2. Sedangkan, pada data postes hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen 1 dengan kelas kontrol terhadap

hasil belajar kognitif, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen 2

dengan kelas kontrol terhadap hasil belajar kognitif.

Tabel 4. Hasil anava 1 jalur data pretes dan postes hasil belajar kognitif siswa

Hasil Sumber Jumlah kuadrat db Rerata

kuadrat Fhitung F Tabel (5%) Kesimpulan

Pretes

Antar

kelompok 340,27 2 170,13

1,65 3,09

Tidak ada

perbedaan

signifikan Dalam

kelompok 9883,18 96 102,95

Total 10223,45 98 - - - -

Postes

Antar

kelompok 685,10 2 342,55

4,99 3,09 Berbeda

signifikan Dalam

kelompok 6588,72 96 68,63

Total 7273,81 98 - - - -

Pada Tabel 4 data pretes hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan kemampuan awal hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas kontrol, kelas

eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Sedangkan, pada data postes hasil belajar kognitif

menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas kontrol,

kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 sesudah pembelajaran.

Respon yang diberikan siswa setelah proses pembelajaran dengan model

ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing menggunakan

praktikum dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 235: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

223

Tabel 5. Persentase respon siswa

Persentase (%) Kriteria ∑ Siswa

Eksperimen 1 Eksperimen 2

84 - 100 Sangat Baik 24 15

68 – 83 Baik 9 18

52 - 67 Cukup - -

36 – 51 Kurang - -

20 - 35 Sangat Kurang - -

Rata-rata (%) 80,00 77,37

Kriteria Baik Baik

Secara seluruh siswa dari kedua kelas memberikan respon yang positif terhadap

pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model

inkuiri terbimbing menggunakan praktikum. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu respon

siswa yang berada dalam kategori baik untuk kedua kelas.

Pembahasan

Pembelajaran ekspositori menggunakan multimedia interaktif diterapkan di kelas

eksperimen 1. Pembelajaran inkuiri terbimbing menggunakan pratikum diterapkan di kelas

eksperimen 2. Sementara itu, pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran ekspositori

menggunakan praktikum. Dalam pelaksanaannya, yang membedakan adalah model

pembelajaran dan metode yang digunakan.

Penelitian kuasi eksperimen ini dilakukan untuk membuktikan adanya perbedaan

hasil belajar kognitif pada kelas yang mendapat perlakuan berbeda yaitu kelas kontrol dengan

kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol dengan kelas eksperimen 2.

Pada pembahasan pertama yaitu antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 1.

Pengujian menggunakan statistik uji-t menunjukkan bahwa model ekspositori menggunakan

multimedia interaktif tidak ada beda dengan model ekspositori menggunakan praktikum

dalam mencapai pemahaman siswa. Namun, siswa yang belajar dengan model ekspositori

menggunakan multimedia interaktif memiliki rata-rata nilai hasil belajar kognitif sedikit

lebih tinggi dibanding siswa yang belajar dengan model ekspositori menggunakan praktikum,

meskipun demikian model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model

ekspositori menggunakan praktikum sama-sama memberi pengaruh yang baik terhadap

pemahaman siswa, hal ini dibuktikan dengan tingginya persentase ketuntasan siswa di atas

50%. Perbedaan rata-rata nilai hasil belajar ini dijelaskan oleh Farid (2016) bahwa

menggunakan multimedia interaktif dapat mempermudah siswa dalam mengerti materi

karena konsep yang bersifat kasat mata (abstrak) dapat disimulasikan dalam bentuk animasi

yang mampu membuat konsep menjadi lebih realistis. Hal ini juga sesuai dengan penelitian

Sanjaya (2016) bahwa rata-rata hasil belajar kelompok yang belajar dengan multimedia

interaktif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok belajar konvensional.

Pembahasan kedua yaitu antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 2, di mana

model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum memberikan pengaruh terhadap

perolehan hasil belajar kognitif yang lebih optimal dibanding dengan model ekspositori

menggunakan praktikum. Menurut Suardiantini (2014) model pembelajaran inkuiri

terbimbing (guided inquiry) memilik tujuan umum yaitu membantu siswa dalam

menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan

lainnya, seperti bertanya dan mencari jawaban yang berasal dari keingintahuan mereka dan

menciptakan proses belajar yang bermakna di dalam kelas sehingga materi yang dipelajari

oleh siswa lebih mudah dipahami dan diingat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Listawati

(2013) bahwa pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing berpengaruh positif terhadap

pemahaman siswa kelas XI IPA SMA Laboratorium UM Malang.

Model inkuiri terbimbing memiliki 6 fase yang harus diterapkan pada proses

pembelajaran. Pada fase pertama (orientasi) siswa diberikan apersepsi. Fase kedua

(merumuskan masalah) siswa disajikan permasalahan yang berkaitan dengan apersepsi. Fase

ketiga (mengajukan hipotesis) siswa diberikan petunjuk agar siswa dapat merumuskan

Page 236: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

224

hipotesis. Fase keempat (mengumpulkan data) siswa melakukan percobaan untuk

membuktikan hipotesis yang dibuat. Fase kelima (menguji hipotesis) diberikan pertanyaan

pengarah, kemudian beberapa kelompok memnyampaikan hasil diskusi kelompok dan tugas

kelompok lain menanggapi. Fase terakhir (membuat kesimpulan) diberikan kesempatan

untuk menyampaikan kesimpulan berdasarkan hasil diskusi kelas. Siswa diminta

menghubungkan hasil percobaan dengan kesimpulan yang dibuat sehingga sesuai dengan

tujuan yang disampaikan oleh guru pada awal pembelajaran. Petunjuk pada fase kedua

sampai fase terakhir terdapat pada LKS terstruktur, siswa diminta mengikuti petunjuk-

petunjuk tersebut. Keenam fase tersebut dilakukan oleh siswa secara berkelompok

Berbagai macam penelitian mengenai penerapan model ekspositori menggunakan

multimedia interaktif begitu pula dengan penelitian yang mengenai penerapan model inkuiri

terbimbing menggunakan praktikum menunjukkan. Oleh karena itu, penting bagi seorang

guru untuk mencari tahu bagaimana efektivitas dari perlakuan-perlakuan tersebut terhadap

siswa agar menjadi pertimbangan dalam mengajar pada kesempatan berikutnya. Berikut

adalah analisis dari proses pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum

dan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif da juga analisis dari proses

pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum dan model inkuiri

terbimbing menggunakan praktikum terhadap hasil belajar kognitif dan respon siswa:

Hasil Belajar Kognitif Siswa

Tes hasil belajar kognitif, untuk tes ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum

dan sesudah pembelajaran. Berdasarkan hasil uji homogenitas, kemampuan awal siswa kelas

eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol adalah sama.

Tabel 1 menunjukkan rata-rata postes kelas eksperimen 1 sedikit lebih tinggi

dibanding kelas kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran dengan multimedia

interaktif lebih mampu mencapai hasil belajar kognitif siswa. Dari Tabel 1 diketahui pula

bahwa rata-rata postes kelas eksperimen 2 lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini

membuktikan bahwa model inkuiri terbimbing lebih mampu mengoptimalkan pencapaian

hasil belajar kognitif siswa daripada model ekspositori.

Tabel 2 menunjukkan persentase harga N-gain untuk hasil belajar kognitif. Dari

data N-gain dapat diketahui bagaimana perkembangan peserta didik selama proses

pembelajaran. Persentase kriteria tinggi didominasi oleh siswa kelas eksperimen 2.

Persentase kriteria sedang tertinggi didominasi oleh kelas eksperimen 1. Tidak ada siswa

dengan kriteria rendah pada kelas eksperimen 1, eksperimen 2 maupun kelas kontrol.

Hasil perhitungan uji-t pada Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan pada data pretes di antara ketiga kelas, baik antara kelas kontrol dengan kelas

eksperimen 1, kelas kontrol dengan kelas eksperimen 2 Namun, dari tabel diketahui pula

bahwa ada perbedaan yang signifikan pada data postes hasil belajar kognitif.

Pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa terdapat hasil belajar kognitif berbeda

signifikan pada data postes terjadi antara kelas eksperimen 2 dengan kelas kontrol. Namun,

tidak terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas eksperimen 1 dan

kelas kontrol. Meskipun pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia

interaktif memiliki rata-rata nilai lebih tinggi daripada pembelajaran dengan model

ekspositori menggunakan praktikum akan tetapi hasil uji-t menunjukkan bahwa antar kedua

kelas tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena menurut Fan &

David (2012) animasi digunakan sebagai simulasi kegiatan eksperimen secara nyata sehingga

dapat mempermudah siswa dalam memahami konsep suatu materi pembelajaran. Maka dari

itu, baik pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan

pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum keduanya memberikan

pengalam praktikum kepada siswa meskipun dengan cara yang berbeda sehingga meski hasil

dengan menggunakan multimedia interaktif lebih tinggi dikarenakan siswa mendapat

pengetahuan mengenai hal-hal yang abstrak akan tetapi keduanya tidak menunjukkan

perbedaan yang berarti.

Hasil belajar kognitif antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 2 berbeda

signifikan, hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model inkuiri terbimbing

Page 237: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

225

memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil belajar kognitif. Pembelajaran dengan

model inkuiri terbimbing lebih mengoptimalkan pencapaian hasil belajar kognitif daripada

pembelajaran dengan model ekspositori. Hal ini sesuai dengan penelitian Sofiani (2011) yang

menyatakan bahwa siswa yang diberi perlakuan menggunakan model inkuiri terbimbing

memiliki hasil belajar lebih tinggi dibanding siswa yang yang diberi perlakuan menggunakan

model ekspositori.

Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa data pretes antar ketiga kelas

memiliki perbedaan yang signifikans. Namun, dari tabel diketahui pula bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan pada data postes hasil belajar kognitif ketiga kelas. Hal ini

menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan mempengaruhi perbedaan hasil belajar kognitif

siswa.

Respon Siswa

Respon yang ditunjukkan oleh kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 berada

dalam kriteria baik. Berdasarkan Tabel 5, tampak bahwa persentase respon siswa yang

menggunakan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif lebih tinggi dibanding

model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum.

Respon positif terjadi karena selama proses pembelajaran timbul rasa ketertarikan

siswa untuk mengikuti proses pembelajaran menggunakan multimedia interaktif, karena

merupakan pengalaman yang baru bagi siswa. Materi yang disajikan dapat divisualisasikan

hingga tingkat mikroskopis sehingga media tersebut dapat memunculkan motivasi belajar

siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumargo & Yuanita (2014) bahwa dengan adanya

laboratorium virtual siswa lebih termotivasi untuk mempelajari kimia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka penemuan yang diperoleh:

(1) Model pembelajaran ekspositori menggunakan multimedia interaktif mempunyai

kemampuan yang sama dengan model pembelajaran ekspositori menggunakan

praktikum dalam memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar kognitif siswa.

(2) Model pembelajaran inkuiri terbimbing menggunakan metode praktikum

memberikan pengaruh terhadap perolehan hasil belajar kognitif secara optimal.

(3) Respon siswa terhadap penerapan model ekspositori menggunakan multimedia

interaktif model adalah positif. Hal ini juga berlaku pada respon siswa terhadap

penerapan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan:

(1) Hasil belajar kognitif antara pembelajaran yang menggunakan model ekspositori

menggunakan praktikum dengan model ekspositori menggunakan multimedia

interaktif pada materi laju reaksi tidak berbeda signifikan.

(2) Hasil belajar kognitif antara pembelajaran yang menggunakan model ekspositori

menggunakan praktikum dengan model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum

pada materi laju reaksi berbeda signifikan.

(3) Hasil belajar kognitif antara pembelajaran yang menggunakan model ekspositori

menggunakan praktikum, model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan

model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum berbeda signifkan.

(4) Respon siswa terhadap pembelajaran yang dengan model ekspositori menggunakan

multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum pada

materi laju reaksi baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A. (2005). Media pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fan, X., & Geelan, D. (2012). Integrating information technology and science education for

the future: a theoritical review on the educational use of interactive simulation.

ACEC, 1-9.

Page 238: PROSIDINGeprints.ulm.ac.id/8952/2/5.2. Peran Knowledge, Skill dan... · 2020. 4. 22. · iv KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya

226

Farid, M. (2016). Pengaruh model pembelajaran problem solving berbantuan multimedia

interaktif terhadap keterampilan generik sains dan hasil belajar siswa pada

materi hidrolisis garam kelas XI IPA SMA Negeri 1 Banjarmasin tahun pelajaran

2015/2016. Skripsi Sarjana. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.

Tidak dipublikasikan.

Febriana, D., Sajidan, & Prayitno, B. A. (2015). Pengembangan multimedia interaktif

berbasis group discovery learning (gdl) pada materi protista kelas X SMA Negeri

Karangpandan . Jurnal Inkuiri, 97-108.

Listawati, R. M., Mahanal, S., & Sarwono. (2013). Pengaruh metode pembelajaran inkuiri

terbimbing (guided inquiry) terhadap hasil belajar kognitif dan retensi siswa kelas

XI IPA SMA laboratorium Um Malang. Skripsi Sarjana. Malang: Universitas

Negeri Malang. Tidak dipublikasikan.

Prasetyo, S. (2016). Penerapan strategi pembelajaran ekspositori untuk meningkatkan hasil

belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 8 Lubuklinggau tahun pelajaran

2015/2016. Skripsi Sarjana. Lubuklinggau: Universitas Lubuklinggau. Tidak

dipublikasikan.

Sanjaya, R. (2016). Multimedia interaktif pelatihan service excellent menggunakan

pendekatan story based learning. Jurnal Informatika, 100-106.

Sofiani, E. (2011). Pengaruh model inkuiri terbimbing (guided inquiry) terhadap hasil

belajar fisika siswa pada konsep listrik dinamis. Skripsi Sarjana. Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Tidak dipublikasikan.

Suardiantini, N. P. N. (2014). Pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing

(guided inquiry) divariasikan dengan media mind mapping terhadap minat

belajar biologi siswa kelas VII SMP PGRI 4 Denpasar tahun ajaran 2013/2014.

Skripsi Sarjana. Denpasar: Universitas Mahasaraswati Denpasar. Tidak

dipublikasikan.

Sumargo, E., & Yuanita, L. (2014). Penerapan media laboratorium virtual (PhET) pada

materi laju reaksi dengan model pengajaran langsung. Unesa Journal of Chemical

Education, 119-133.

Supriyatun, (2013). Penerapan model pembelajaran problem based intruction (PBI) untuk

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 13

Lubuklinggau. Skripsi Sarjana. Lubuklinggau: Universitas Lubuklinggau. Tidak

dipublikasikan

Sutiono, A., Sihaloho, M., & Duengo, S. (2013). Identifikasi kesalahan pemahaman konsep

siswa kelas XI SMA Negeri 1 Gorontalo pada materi laju reaksi. Gorontalo:

Universitas Negeri Gorontalo.