iipress.polinema.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/download-file.pdf · penerbit polinema press,...
TRANSCRIPT
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
ii ProsIding
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
iii ProsIding
PROSIDING
(Seminar Nasional Isu-isu Kontemporer
dalam Upaya Tri Dharma Perguruan Tinggi)
Hak Cipta ©Hak ada pada penulisnya
Hak Terbit pada POLINEMA PRESS
Penerbit POLINEMA PRESS, Politeknik Negeri Malang Jl. Soekarno-Hatta no.09 PO BOX 04 Malang 65141
Telp. (0341) 404424, 404425
Fax. (0341) 404420
UPT. Percetakan dan Penerbitan Gedung AU ground floor
www.polinemapress.org
press.polinema.ac.id
Anggota APPTI (Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia) no. 207/KTA/2016
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) no.
177/JTI/2017
Cetakan Pertama, Oktober 2017
ISSN : 2614-5200
xiii; 254 hlm.; 15,5 x 23 cm
Setting & Layout : Fanda Nuriansyah, SE.
Cover Design : S. Haryanto
Editor : 1. Bambang D. Prasetyo 2. Zulkarnain Nasution
3. Dr. Mohammad Sinal, S.H.,M.H., M.Pd
4. Abdul Muqit
Steering Committee : 1. Darsono Wisadirana
2. Tundung SUbali Patma
3. Stefanus Yufra Taneo
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini
dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Pengutipan harap menyebutkan sumber.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
iv ProsIding
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
v ProsIding
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakaatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
taala, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya
kepada kita, sehingga dapat menyelenggarakan Seminar Nasional
dengan tema “Isu-Isu Kontemporer dalam Upaya Penguatan Tri
Dharma Perguruan Tinggi”. Seminar nasional ini merupakan
kegiatan yang diselenggarakan Asosia Dosen Indonesia (ADI) Jawa
Timur.
Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan seminar adalah ingin
menghimpun informasi dan menyatukan pemikiran, gagasan, dan
solusi kreatif terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi meliputi:
pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Peran strategis pendidikan dalam menyiapkan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bangsa, serta dengan
demikian mendorong kemajuan bangsa. Pentingnya lain dari
pendidikan, yaitu perannya dalam mendukung kemajuan bangsa
melalui dukungannya dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan
politik. Melalui pendidikan kita dapat menanamkan sikap yang pas
dan memberikan bekal kompetensi yang diperlukan kepada
manusia-manusia yang menjalankan fungsi institusi-institusi yang
menentukan kemajuan bangsa.
Penelitian dan pengembangan adalah aktivitas jantungnya
civitas akademik. Perguruan tinggi tanpa adanya penelitian akan
dianggap sebagai perguruan tinggi yang tidak produktif. Pentingnya
sebuah penelitan dan pengembangan juga terletak pada
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
vi ProsIding
updatenya keilmuan. Kampus dituntut menjadi problem
solving sehingga mau tidak mau harus lebih cepat merespon isu-isu
global, memberikan pencerahan, penjelasan dan sikap yang tepat
untuk masyarakat mengenai apa yang sedang terjadi. Mengingat
derasnya arus perkembangan zaman yang sering berubah, sebuah
penelitian biasanya belum tentu dapat dipraktikkan. Oleh sebab itu,
adanya penelitian dan pengembangan diikhtiarkan dapat menjadi
penelitian yang bisa secara riil menyelesaikan masalah.
Pengabdian inilah yang menuntut para akademisi untuk
mempraktikkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari di kampus. Oleh
sebab itu, seorang akademisi benar-benar harus menjadi teladan bagi
para akademisi lainnya terkhusus kepada masyarakat yang notabene
adalah warga yang bias hidup bersama sehari-hari.
Akhir kata, semoga kegiatan seminar nasional ini
mendapatkan ridha dari Allah Subhanahi wa taala, dan memiliki
manfaat yang besar untuk penyelenggaraan dan peningkatan kualitas
pendidikan. Kami mengucapkan terima kasih yang setinggi-
tingginya kepada segenap jajaran panitia, pemateri, partisipasi,
peserta, dan seluruh komponen yang mendukung terhadap
pelaksanaan kegiatan seminar nasional ini.
Wassalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Salam sejahtera untuk kita semua
Malang, 25 September 2017
Ketua ADI Wilayah Jatim,
Prof. Dr. H. Darsono Wisadirana, MS
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
vii ProsIding
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
PERAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM
MENGURANGI KESMISKINAN DI INDONESIA
Nurhajati 1 – 16
PENINGKATAN JABATAN AKADEMIK DAN PANGKAT
DOSEN BERBASIS PUBLIKASI HASIL PENELITIAN
Zulkarnain Nasution 17 – 30
SELF-DIRECTED LEARNING AS A MEANS TO ENHANCE
EFL LERNER’S AUTONOMY ACROSS GENDERS
Aulia Nourma Putri & Nur Salam 31 – 63
PENGARUH REPUTASI DAN RELATIONSHIP VALUE
TERHADAP KEPERCAYAAN MITRA ALIANSI PADA
INDUSTRI PARIWISATA
Ratih Juliati 64 – 84
PROGRAM MAHASISEA MENGAJAR: PERAN LEARNING
RESOURCES MUSYRIF MA’HAD UIN MALANG
Umi Machmudah 85 – 101
STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN STOP-SIT DESA
WISATA DALAM KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT
LPPM UNIVERSITAS ISLAM BALITAR BLITAR DI KAMPUNG
ANGGREK DESA SEMPU KECAMATAN NGANCAR
KABUPATEN KEDIRI
Andiwi Meifilina 102 - 113
PENGUATAN SOFT SKILL BERBASIS RELIGIUS DALAM
MEWUJUDKAN CALON GURU KOMPETITIF DI ERA
GLOBAL
Indah Aminatuz Zuhriyah 114 - 131
PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA DAN
MOTIVASI TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA MAN 2
BATU PADA MATA PELAJARAN SOSIOLOGI
Ni’matuz Zuhroh 132 - 147
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
viii ProsIding
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN HYPERTEXT DAN
HYPERMEDIA DENGAN BLENDED LEARNING TERHADAP
HASIL BELAJAR
Samsul Susilawati 148 - 170
OPTIMALISASI MANAJEMEN MUTU KELEMBAGAAN
MELALUI AUDIT KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM
MENINGKATKAN REPUTASI PERGURUAN TINGGI
Bambang D. Prasetyo 171 - 184
PENERAPAN METODE SERVEQUAL (SERVICE QUALITY/
KUALITAS LAYANAN) UNTUK PENINGKATAN KUALITAS
LAYANAN TERHADAP KEPUASAN JEMAAT DI KALANGAN
REMAJA DAN PEMUDA YAYASAN ABC
Bambang Sugiyono Agus Purwono 185 - 197
MEMBANGUN BASIS MANAJEMEN EKONOMI PROFETIK
Afif Hasan 198 - 208
ANALISIS DEKONSTRUKSI PADA NOVEL ORANG-ORANG
PROYEK KARYA AHMAD TOHARI
Abd.Muqit 209 - 226
PENGARUH DINNING ATMOSPHERE TERHADAP
KEPUASAN PENGUNJUNG
Sunarti 227 - 241
IMPLEMENTASI TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI
DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Mohamad Sinal 242 - 254
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
1 ProsIding
PERAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN
DALAM PENGURANGI KEMISKINAN DI
INDONESIA
Oleh
Prof. Dr. Nurhajati, S.E., M.S.
Guru Besar Ilmu Ekonomi, Universitas Islam Malang dan
Pengurus KADIN Kota Malang
E-mail: [email protected]
Abstrak: Tenaga kerja terdidik lulusan perguruan juga mengalami
persoalan yang sama dengan permasalahan umum bangsa Indonesia.
Jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana)
relatif besar. Angka partisipasi pendidikan tinggi makin meningkat
dari tahun ke tahun. Artinya, pengangguran terdidik juga akan makin
bertambah, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah pengangguran
di Indonesia. Melihat pentingnya peran kewirausahaan dalam
mengurangi kemiskinan maka pemerintah telah melakukan berbagai
upaya untuk menggalakkan kewirausahaan di Indonesia. Pada tahun
1995 Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4
tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan
Kewirausahaan. Tujuan penulisan: Menganalisis makna kemiskinan,
kaitan kewirausahaan dan kemiskinan, pendidikan kewirausahaan,
dan pengembangan kompetensi kewirausahaan dengan peran
perguruan tinggi. Kesimpulan: (1) Keberhasilan pendidikan
kewirausahaan sangat bergantung pada kerjasama semua pihak:
peserta didik, pengajar, institusi pendidikan, pemerintah, orang tua,
dan sector swasta yang mendukung iklim kewirausahaan, (2)
Pendidikan kewirausahaan seharusnya dimulai sejak dini sehingga
jiwa kewirausahaan dapat dikembangkan sesuai dengan bakat dan
minat generasi muda, (3) Perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan
terakhir memiliki tanggungjawab yang besar untuk membentuk dan
menghasilkan generasi muda yang mandiri, (4) Kemandirian lulusan
tidak hanya berguna untuk diri sendiri tetapi untuk masyarakat luas
serta bangsa dan negara melalui penciptaan lapangan kerja untuk
mengurangi pengangguran dan akhirnya mengurangi kemiskinan.
Kata kunci: Pendidikan, kewirausahaan, kemiskinan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
2 ProsIding
A. Pendahuluan
Salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat
ini adalah besarnya jumlah penduduk miskin dan tingginya angka
pengangguran.Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan
pada bulan September tahun 2012 adalah 28,59 juta atau 11,66%.
Pada saat yang sama, dari jumlah angkatan kerja yang mencapai
118,053,110juta jumlah pengangguran sama sekali tidak bekerja
atau pengangguran terbuka mencapai 7,244,956juta atau 6,14%
(Berita Resmi Statistik September 2012).
Tenaga kerja terdidik lulusan perguruan juga mengalami
persoalan yang sama dengan permasalahan umum bangsa Indonesia.
Jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi (diploma dan
sarjana) relatif besar. Menurut BPS (2012) jumlah penganggur
lulusan perguruan tinggi selama lima tahun terakhir berkisar 8 – 13%
(Tabel 1). Proporsi ini bervariasi antar tahun karena lulusan
perguruan tinggi berlangsung sepanjang tahun.Pada awal tahun
berbeda dengan akhir tahun sebab ada lulusan yang langsung bekerja
dan ada pula yang tidak.
Tabel 1. Tingkat Pengangguran Terbuka Lulusan Perguruan
Tinggi (Diploma dan Sarjana selama 5 Tahun Terakhir
Tahun
Total
pengangguran Diploma
% terhadap
total Sarjana
%
terhadap
total
Ags.2008 9,394,515 362,683 3,86 598,318 6,37
Ags.2009 8,962,617 441,100 4,92 701,651 7,83
Ags.2010 8,319,779 443,222 5,33 710,128 8,54
Ags.2011 7,700,086 244,687 3,18 492,343 6,39
Ags.2012 7,244,956 196,780 2,72 438,210 6,05
Sumber: Data Strategis BPS (2012), diolah.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
3 ProsIding
Angka partisipasi pendidikan tinggi makin meningkat dari
tahun ke tahun. Artinya, pengangguran terdidik juga akan makin
bertambah, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah pengangguran
di Indonesia. Tingginya pengangguran terdidik disebabkan
rendahnya mentalitas kewirasahaan lulusan perguruan tinggi
(Ciputra, 2007; Wijanto, 2009).Lulusan perguruan tinggi memiliki
pola pikir sebagai pencari kerja bukan pencipta kerja.Lulusan yang
bekerja ternyata sebagian besar menjadi karyawan dan sedikit yang
menjadi wirausahawan. Majalah Tempo edisi 26-27 Agustus 2007
mengungkapkan bahwa pada tahun 2006 dari seluruh lulusan
perguruan tinggi yang terserap dunia kerja, sebanyak 83,1% dari
mereka bekerja sebagai karyawan, sedangkan yang berwirausaha
hanya 5,8%. Hal ini mengindikasikan bahwa wirausaha belum
menjadi tujuan atau cita-cita mahasiswa.
Melihat pentingnya peran kewirausahaan dalam mengurangi
kemiskinan maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
menggalakkan kewirausahaan di Indonesia.Pada tahun 1995
Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4
tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan
Kewirausahaan. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan sejak tahun 2007 telah mengembangkan berbagai
program untuk menumbuhkan minat kewirausahaan mahasiswa,
baik melalui program kurikuler (kuliah kewirausahaan) maupun
ekstra kurikuler (magang, kuliah kerja usaha, dan lain-lain.
Jika pendidikan dipandang sebagai sebuah proses perubahan
kearah yang lebih baik: dari tidak tahu menjadi tahu, tidak mau
menjadi mau, dari kurang baik menjadi lebih baik, dari tidak berdaya
menjadi berdaya, maka pendidikan kewirausahaan tidak hanya
terbatas pada pendidikan formal di perguruan tinggi. Pendidikan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
4 ProsIding
nonformal melalui pelatihan dan pendidikan informal dalam bentuk
pendampingan pada masyarakat secara luas, utamanya kepada
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang merupakan unit
terbanyak di Indonesia, sangat diperlukan. Pelatihan-pelatihan
kewirausahaan yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang
berdasarkan hasil penelitian atau kajian akan lebih efektif dalam
mendorong tumbuh kembangnya kewirausahaan.
Makalah ini bertujuan mengemukakan peran perguruan tinggi
melalui kegiatan tridharma yang berfokus pada pendidikan dalam
mengurangi kemiskinan di Indonesia. Untuk itu, pembahasan
selanjutnya adalah makna dan potret kemiskinan di Indonesia,
kewirausahaan dan kemiskinan, pendidikan kewirausahaan,
pengembangan kompetensi kewirausahaan, dan penutup.
1. Makna Kemiskinan
Kemiskinan bisa dimaknai beragam oleh setiap orang atau
lembaga dari berbagai sudut pandang.Kemiskinan tidak saja
dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga
ke dimensi social, kesehatan, pendidikan, dan politik. Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan
memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi
kebutuhan makanan maupun non makanan. Menurut UNDP (the
United Nations Development Program), kemiskinan adalah ketidak
mampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain
dengan memasukan penilaian tidak adanya partisipasi dalam
pengambilan kebijak public sebagai salah satu indicator kemiskinan.
Pada dasarnya kemiskinan dikelompokkan kedalam dua
kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Pada
B. Makna Kemiskinan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
5 ProsIding
kemiskinan absolut, kemiskinan dikaikan dengan perkiraan tingkat
pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan
pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan
seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan
diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya yakni makanan, pakaian, dan perumahan agar dapat
menjamin kelangsungan hidupnya. Bank Dunia mendefinisikan
kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD
$1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan di bawah
$2/hari. Sementara Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan
absolut sebagai sebuah kondisi yang dicirian dengan kekurangan
parah pada kebutuhan dasar manusia termasuk makanan, air minum
yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan
informasi.
Kemiskinan relatif dilihat dari aspek ketimpangan sosial
karena ada orang yang suah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat
sekitarnya. Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan
golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula
jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin sehingga
kemiskinan relatif erat hubungannya dengan maslah distribusi
pendapatan.
C. Kewirausahaan dan Kemiskinan
Terdapat hubungan yang kuat antara tingkat kewirausahaan
dan penurunan tingkat kemiskinan.Analisis statistic terhadap 50
negara bagian di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa Negara
bagian dengan persentase wirausahawan yang lebih besar memiliki
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
6 ProsIding
tingkat penurunan kemiskinan yang lebih besar (Slivinski,
2012).Hasil analisis terhadap kondisi ekonomi Amerika Serikat
dalam kurun waktu 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan bahwa
untuk setiap kenaikan 1% tingkat kewirausahaan diikuti dengan
penurunan tingkat kemiskinan sebesar 2%. Di negara bagian yang
kecil seperti Arizona, kenaikan tingkat kewirausahaan dari 16
menjadi 20% berarti akan ada tambahan 100.000 wirausaha baru
yang memulai bisnis.
Tujuan utama pembangunan adalah mengurangi
kemiskinan.Oleh karena itu, upaya mendorong dan meningkatkan
kewirausahaan perlu menjadi prioritas pembangunan.Menurut
David McClelland dalam Ondracek et al. (2011) suatu negara akan
mencapai tingkat kemakmuran apabila jumlah wirausahawannya
paling sedikit 2% dari jumlah penduduknya. Data berikut ini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat
kewirausahaan dengan kemajuan suatu bangsa:
Tabel. Tingkat Entrepreneur dari Beberapa Negara
Negara Wirausaha
Amerika Serikat 12%
Cina 10%
Jepang 10%
Singapura 7%
India 7%
Malaysia 3%
Indonesia 0,24%
Sumber: Kemenkop dan UKM, BPS, diolah
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
7 ProsIding
Indonesia dengan jumlah penduduk sebesar 238 juta pada
tahun 2012, membutuhkan sedikitnya 4,07 juta wirausaha untuk
dapat mencapai 2% entrepreneur dari jumlah penduduk.Tidak
mudah untuk mencapai angkat entreprenenur minimal tersebut,
apabila dilihat dari tingkat pendidikan yang berhasil diselesaikan
oleh angkatan kerja di Indonesia.Data pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa pengangguran terdidik sekitar 10%, maka sebagian besar
(90%) adalah pengangguran dengan tingkat pendidikan yang
rendah.Rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu sebab
rendahnya kewirausahaan karena keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan manajerial.
Kondisi ini menjadi salah satu dasar yang kuat bahwa
pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi maupun dari sekolah
menangah, bahkan sekolah dasar, adalah sangat penting dalam
rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
D. Pendidikan Kewirausahaan
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan
Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan
merumuskan kewirausaan sebagai berikut: “Kewirausahaan adalah
semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam
menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya
mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk
baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan
pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang
lebih besar”.Pengertian ini sangat jelas ditujukan kepada semua
lapisan masyarakat Indonesia. Untuk menjadikan kewirausahaan
sebagai perilaku dalam usaha maka diperlukan suatu proses, dan
disinilah pentingnya pendidikan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
8 ProsIding
Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3
menyebutkan bahwa
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.”
Dua kata kunci dalam tujuan pendidikan nasional yang
merupakan bagian sangat penting dari kewirausahaan adalah kreatif
dan mandiri.Seorang wirausahawan adalah orang yang kreatif dalam
menciptakan dan mengembangkan sesuatu sebagai inovasi dan
tentunya mandiri di dalam menciptakan, membangun, dan/atau
mengembangkan usahanya.
Sampai dengan saat ini pendidikan kewirausahaan baru
diajarkan di perguruan tinggi, sedangkan di tingkat sekolah
menengah masih merupakan pelajaran tambahan, itupun tidak semua
sekolah menengah mengajarkan kewirausahaan.Pendidikan
kewirausahaan idealnya diajarkan sedini mungkin.Namun pada
rancangan kurikulum baru tahun 2013, pendidikan kewirausahaan
hanya diajarkan pada Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi,
sementara di sekolah dasar tidak secara eksplisit menyebut
kewirausahaan melainkan diajarkan melalui pembentukan
kreativitas anak.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
9 ProsIding
Pendidikan seharusnya bervisi pendidikan.Kurikulum
Pendidikan Bervisi Kewirausahaan dapat diartikan sebagai
kurikulum pendidikan yang mengajarkan kemauan dan kemampuan
kewirausahaan kepada peserta didik sejak duduk di bangku Sekolah
Dasar hingga Perguruan Tinggi secara terintegrasi, sehingga
keluarannya diharapkan dapat berwirausaha, mandiri, serta
menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya dan masyarakat.
Tujuan akhir dari gagasan Kurikulum Pendidikan Bervisi
Kewirausahaan ini adalah untuk mengatasi banyaknya
pengangguran di Indonesia. Gagasaan ini sejalan dengan hasil
pertemuan Asia Entreprenenurship Forum di Makau pada tanggal
20 September 2012 (Kompas, 21 september 2012).Forum ini digelar
oleh Enterprise Asia, sebuah lembaga nirlaba di bidang
kewirausahaan di Asia Pasifik, yang dihadiri lebih kurang 200
peserta dari kawasan Asia Pasifik.Mereka terdiri dari wakil
pemerintah, penggerak sektor usaha kecil dan menengah, serta
sejumlah ekonom.Forum ini menyimpulkan bahwa “Kewirausahaan
menjadi salah satu kunci masa depan Asia dan Pasifik.Dengan
dukungan pasar domestik yang besar dan kesempatan untuk kembali
tumbuh semakin besar ketika pasar global pulih, kewirausahaan
memberi dukungan strategis dalam mengurangi kemiskinan di
Asia.Secara esensial, kewirausahaan memiliki potensi untuk
mengurangi kemiskinan.Sebab, kewirausahaan juga mempunyai
akses untuk menumbuhkembangkan pendidikan dasar dan pelatihan
sekaligus membuka kesempatan kerja”.
Setiap keluaran dari pendidikan, diharapkan mempunyai
kemauan dan kemampuan sesuai dengan bidangnya masing-masing
untuk mengembangkan diri dengan cara berwirausaha. Sistem
pendidikan ini akan memperbaiki mental generasi muda agar tidak
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
10 ProsIding
hanya mencari pekerjaan tetapi melatih generasi muda untuk
mengembangkan sumber daya di sekitarnya untuk kemakmurannya
sendiri dan pada akhirnya berguna untuk kemakmuran masyarakat
dan lingkungannya.
Hal-hal pokok pendidikan kewirausahaan pada berbagai
tingkat pendidikan secara singkat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan
Tingkat Pendidikan Inti Pendidikan Kewirausahaan
Sekolah Dasar • Perkenalan awal tentang kewirausahaan
• Pengarahan pandangan dan pola pikir siswa
tentang kewirausahaan dan profesi lain
• Pemberian motivasi kewirausahaan kepada
siswa
Sekolah Menengah
Pertama
• Siswa mulai diberi kesempatan untuk berdiskusi
aktif tentang kewirausahaan secara teoritis
• Siswa dilatih untuk membuat proposal rencana
bisnis
Sekolah Menengah
Atas/Sekolah Kejuruan
• Penelusuran minat dan bakat siswa
• Pengembangan minat dan bakat siswa untuk
diintegrasikan pada kegiatan kewirausahaan
• Praktik kewirausahaan dan presentasi secara
kontinyu di depan forum
Perguruan Tinggi • Tahap pengembangan wirausaha secara nyata
• Pendidikan kewirausahaan yang inklusif,
dengan melibatkan berbagai pihak terkait
terutama dunia usaha dan pemerintah lokal
Sumber: Diadopsi dan diolah kembali dari Honig (2004), Ondracek
et al. (2011), Rahadian (2012)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
11 ProsIding
E. Pengembangan Kompetensi Kewirausahaan dan Peran
Perguruan Tinggi
Keberhasilan kewirausahaan ditentukan oleh banyak
faktor.Salah satu faktor penting yang tampaknya menjadi
penghalang berkembangnya kewirausahaan di Indonesia adalah
masih rendahnya kompetensi kewirausahaan yang dimiliki para
pelaku usaha utamanya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Inyang et al. (2007:6) menyatakan “entrepreneurial competency is
the ability to conceptualized and plan effectively; ability to manage
other individuals, ability to manage time effectively and learn new
technologies in handling business operations; and ability to adapt to
change and to handle changes in environment”.Kompetensi inilah
yang masih perlu ditingkatkan baik melalui pendidikan
kewirausahaan secara formal maupun nonformal dan informal
sehingga meningkatkan efektivitas hasil pembelajaran.
Menurut Purnomo (2009) terdapat Sembilan dimensi
kompetensi kewirausahaan, yang dibagi kedalam tiga klaster, yaitu
(1) klaster inti, terdiri dari kepemimpinan, pengambilan keputusan,
dan komunikasi; (2) klaster manajerial terdiri dari manajemen
waktu, manajemen sumber daya manusia, manajemen pemasaran
dan manajemen keuangan; dan (3) klaster etika terdiri dari etika
bisnis dan tanggung jawab sosial.
Dimensi-dimensi kompetensi pada klaster ini sangat penting
bagi seorang wirausahawan yang umumnya memiliki pandangan
atau visi yang jauh ke depan. Visi itu perlu dikomunikasikan dengan
baik kepada orang lain. Di dalam upaya pencapaian visi sangat
diperlukan kemampuan mengambil keputusan.
Dimesi-dimensi kompetensi pada klaster manajerial sangat
diperlukan dalam kegiatan operasional usaha.Kemampuan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
12 ProsIding
mengelola sumber daya yang digunakan sangat penting untuk
mencapai efisiensi dan efektivitas usaha yang tinggi.Dalam hal ini
seringkali waktu tidak dipandang sebagai suatu sumber daya penting
sehingga manajemen waktu masih sangat lemah.
Sebuah usaha akan berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh
dimensi-dimensi etika, yakni etiks bisnis dan tanggung jawab sosial.
Bahkan Inyang et al. (2007: 13) secara eksplisit menyatakan “the
business operators have a responsibility to protect and improve
society, and their actions should not in anyhow endanger a
community or society”, yang intinya bahwa wirausahawan harus
mampu melindungi dan memperbaiki masyarakat.
Dimensi-dimensi kompetensi kewirausahaan tersebut di atas
seharusnya diberikan dan mendapat perhatian lebih dalam proses
pendidikan pada semua jalur pendidikan (formal, nonformal, dan
informal) dan semua jenjang pendidikan.
Perguruan Tinggi dapat berperan dalam meningkatkan
kompetensi kewirausahaan baik melalui mahasiswa maupun usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan masyarakat pada
umumnya. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun
2006 telah merumuskan model pengembangan budaya
kewirausahaan melalui kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler
seperti disajikan pada Gambar 1 dengansasarannya adalah wirausaha
mandiri bagi lulusan perguruan tinggi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
13 ProsIding
Gambar 1. Model Pengembangan Budaya Kewirausahaan di
Perguruan Tinggi
Sumber: DP2M, Dikti (2006)
Pada tahun 2012 model proses pembudayaan kewirausahaan
(Gambar 2) diperluas dengan output yang diharapkan adalah
wirausaha berpendidikan tinggi dan terciptanya lembaga pengelola
kewirausahaan mahasiswa.
Sumber: Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun
2012.
Berdasarkan model-model tersebut dan trdidharma, maka
Perguruan Tinggi dapat berperan dalam meningkatkan budaya
kewirausahaan melalui berbagai program sebagai berikut:
1. Kegiatan kurikuler: Kuliah Kewirausahaan (KWU
2. Kegiatan ekstra kurikuler:
a. Magang Kewirausahaan (MKU
b. Kuliah Kerja Usaha (KKU)
c. Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK)
d. Wira Usaha Mandiri (WUM)
e. Inkubator Wira Usaha Baru (INWUB)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
14 ProsIding
f. Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK)
g. Wira Usaha Mandari (WUM)
3. Pendidikan dan pelatihan (diklat)
4. Pendirian usaha baru dalam bentuk pendirian modal awal
kepada mahasiswa untuk belajar memulai usaha baru.
5. Pendampingan usaha terpadu dan berkelanjutan.
Sebenarnya program-program Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan sudah cukup lengkap dan bagus.Hal yang masih perlu
diperhatikan untuk ditingkatkan adalah monitoring dan evaluasi
terhadap efektivitas pelaksanaan program-program
tersebut.Diharapkan program-program tersebut dilaksanakan secara
intensif dan berkesinambungan, bukan bersifat parsial apalagi hanya
sekedar memenuhi program rutin tahunan.
Pada program kreativitas mahasiswa tahun 2012 telah
memasukkan UKM sebagai partner perguruan tinggi dalam
pengembangan budaya kewirausahaan.Pelaku ekonomi khususnya
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang rendah
pendidikan formalnya, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan dan
pendampingan dari perguruan tinggi bekerjasama dengan
pemerintah.UMKM merupakan sektor paling potensial untuk
mengurangi kemiskinan. Data Kementrian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah unit
UMKM pada tahun 2011 sebanyak 55.206.444 atau 99,99% dari
total unit usaha yang ada di Indonesia, dan menyerap tenaga kerja
sebanyak 101.722.458 orang atau 97,24% dari total tenaga kerja
pada tahun 2011. Sementara usaha besar hanya 4.952 unit usaha
atau 0,01% dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2.891.224 orang
atau 2,76% terhadap total tenaga kerja.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
15 ProsIding
Apabila UMKM dikelola dengan baik dan meningkatkan
hanya 25% dari UMKM (13.801.611 unit usaha) yang dikelola
dengan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja satu orang per
unit usaha, maka akan terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja
sekitar 13,8 juta orang. Jumlah ini melebihi angka pengangguran
terbuka di Indonesia pada kondisi Agustus tahun 2011, yaitu
7.244.956.Tentu tidak semua penganggur terbuka memilih bekerja
di sektor UMKM, tetapi data ini menunjukkan potensi UMKM
dalam mengatasi pengangguran sekaligus menguransi kemiskinan di
Indonesia.
Realisisai potensi UMKM di atas sangat bergantung pada
banyak faktor dan berbagai pihak.Dalam hal ini perguruan tinggi
dapat berperan melalui tridharma perguruan tinggi. Pendidikan dan
pelatihan yang dilakukan perguruan tinggi untuk meningkatkan
keterampilan manajerial UMKM akan sangat berguna mewujudkan
sebagian potensi UMKM tersebut.
F. Penutup
Keberhasilan pendidikan kewirausahaan sangat bergantung
pada kerjasama semua pihak: peserta didik, pengajar, institusi
pendidikan, pemerintah, orang tua, dan sector swasta yang
mendukung iklim kewirausahaan.Pendidikan kewirausahaan
seharusnya dimulai sejak dini sehingga jiwa kewirausahaan dapat
dikembangkan sesuai dengan bakat dan minat generasi muda.
Perguruan Tinggi sebagai jenjang pendidikan terakhir
memiliki tanggungjawab yang besar untuk membantuk dan
menghasilkan generasi muda yang mandiri.Kemandirian lulusan
tidak hanya berguna untuk diri sendiri tetapi untuk masyarakat luas
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
16 ProsIding
serta bangsa dan negara melalui penciptaan lapangan kerja untuk
mengurangi pengangguran dan akhirnya mengurangi kemiskinan.
G. Referensi
Badan Pusat Statistik, 2012. Berita Resmi Statistik September 2012.
Ciputra. 2007. “Entrepreneurial Education to Solve the Problem of
Poverty and Unemployment in Indonesia”, Makalah
disampaikan pada Ina-ICDF Internatioanl Seminar. Institut
Pertanian Bogor.
Honing, Benson. 2004. “Entreprenenurship Education: Toward a
Model of Contingency-Based Business Planning”, Academy of
Management Learning and Education, Vol. 3, No. 3, pp.258-
273.
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
Jakarta.
Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah:
Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2010 – 2011.
http://www.depkop.go.id (diakses tanggal 12 Februari 2013).
Kompas, 21 September 2012. “Kewirausahaan Kurangi
Kemiskinan”.
Inyang, B.J. Oden, S.N.I & Esu, B. 2003. Essentials of Business
Communication, Calabar: Merb Publisher.
Ondracek, J., A. Bertsch, M. Saeed. 2011. “Entrepreneurship
Education: Culture’s Rise, Fall, and Unresolved Role”,
International Journal of Contemporary Research in Business,
Vol. 3, No. 5, pp.
Slivinski, Stephen. 2012. “Increasing Entrepreneurship is a Key to
Lowering Poverty Ratse”. Goldwater Institute, No. 254,
November 13, 2012.
Tempo, Edisi 26-27 Agustus 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Wijanto. 2009. Pengantr Entrepreneurship. Jakarta: Grasindo.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
17 ProsIding
PENINGKATAN JABATAN AKADEMIK
DAN PANGKAT DOSEN BERBASIS PUBLIKASI
HASIL PENELITIAN
Zulkarnain Nasution
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
Abstrak: Dosen sebagai salah satu komponen terpenting
dalam pendidikan tinggi mempunyai peran yang sangat
penting bagi perguruan tinggi untuk menjalankan
fungsinya. Peran dan tugas pokok dosen yang semula lebih
ditekankan pada tugas mengajar menjadi pendidik
profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui
pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. prestasi seorang dosen dalam penelitian dan
publikasi menjadi tolak ukur yang menggambarkan
profesionalisme dosen sebagai ilmuwan. Tujuan penulisan
artikel ini adalah sebagai berikut: (1) Mendeskripiskan
landasan hukum kenaikan pangkat/jabatan fungsional
dosen pada unsur penelitian dan publikasi ilmiah; (2)
Mendeskripsikan hasil penelitian dosen berbasis publikasi
jurnal penelitian. Kesimpulan: Pertama, Landasan hukum
yang menjadi dasar penyusunan peraturan perundang-
undangan menuntut kinerja seorang dosen dalam penelitian
dan publikasi menjadi tolak ukur utama yang
menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan.
Kedua, Peningkatan kinerja dosen melalui publikasi ilmiah
dilakukan oleh dosen dan secara kelembagaan oleh
perguruan tinggi didukung oleh pemerintah. Dosen
diharapkan meningkatkan pemahaman, keterampilan, dan
sikap yang mendukung kemampuan publikasi karya ilmiah
untuk meningkatkan kinerjanya.
Kata kunci: Jabatan akademik, publikasi penelitian.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
18 ProsIding
PENDAHULUAN
Perguruan Tinggi (PT) sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional diharapkan mempunyai peran penting dan
strategis untuk mencapai tujuan pendidikan. Dosen sebagai salah
satu komponen terpenting dalam pendidikan tinggi mempunyai
peran yang sangat penting bagi perguruan tinggi untuk menjalankan
fungsinya. Peran dan tugas pokok dosen yang semula lebih
ditekankan pada tugas mengajar menjadi pendidik profesional dan
ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni melalui pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat.
Perubahan yang bersifat mendasar ini menuntut penyesuaian
yang bersifat mendasar pula terhadap pemahaman dan persyaratan
jabatan akademik dosen. Berdasarkan Pedoman Operasional
Penilain Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen
(Dirjen Dikti Kemendikbud, 2014) ada 4 (empat) kompetensi dasar
yang harus dimiliki oleh seorang dosen, yakni: kompetensi
peadagogik, koptensi profesional, kompetensi kepribadian, dan
komptensi sosial. Makna dari komptensi tersebut, maka dosen
mempunyai karakteristik umum sebagai pendidik dengan ciri
pembeda utama (discriminant trait) sebagai ilmuwan. Selain itu
seorang dosen harus memiliki kinerja, integritas, etika, dan tata
krama, serta tanggung jawab dalam melaksanakan tugas.
Tugas utama dosen sebagai tenaga pendidik di perguruan
tinggi dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi merupakan
satu kesatuan kegiatan, karena ketiga dharma tersebut hanya dapat
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
19 ProsIding
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan
mendukung satu sama lain. Dharma pendidikan dan pengajaran akan
menghasilkan problematik dan konsep-konsep yang dapat
menggerakkan penelitian untuk menghasilkan publikasi ilmiah,
sebaliknya dari penelitian dan publikasi ilmiah akan memperkaya
dan memperbaharui khasanah ilmu untuk digunakan dalam
pendidikan dan pengajaran. Hasil penelitian dan publikasiakan
menghasilkan bahan pengajaran yang terbaharui terus menerus dan
mutakhir. Di sisi lain hasil dharma penelitian akan dapat
diaplikasikan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat serta
berlaku sebaliknya, hasil dharma pengabdian kepada masyarakat
akan memberikan inspirasi dan gagasan dalam penelitian. Oleh
sebab itu, hal tersebut menunjukkan bahwa prestasi seorang dosen
dalam penelitian dan publikasi menjadi tolak ukur yang
menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan.
Tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai berikut: (1)
Mendeskripsikan landasan hukum kenaikan pangkat/jabatan
fungsional dosen pada unsur penelitian dan publikasi ilmiah; (2)
Mendeskripsikan hasil penelitian dosen berbasis publikasi jurnal
penelitian?
PEMBAHASAN
Landasan Hukum Kenaikan Jabatan Fungional Dosen Unsur
Publikasi Hasil Penelitian
Peraturan perundangan yang menjadi dasar dalam
penyusunan petunjuk teknis penilaian angka kredit kenaikan jabatan
akademik/pangkat dosen berdasarkan: (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
20 ProsIding
Pendidikan Nasional, (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (3) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
tinggi, (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2009 tentang Dosen, (5) Peraturan Bersama Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor 4/VIII/PB/2014 dan Nomor 24 Tahun
2014 tentang ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Dosen dan
Angka Kreditnya, (6) Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor
17 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dengan Permenpan dan
Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen
dan Angka kreditnya, (7) Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan
Fungsional Dosen, dan (3) Pedoman Operasional Penilaian Angka
Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen Ditjen Dikti,
Kemdikbud Tahun 2014.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada pasal 20: “Perguruan tinggi berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat”, Pasal 39 menjelaskan bahwa “Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi”.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
21 ProsIding
Kemudian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 menjelaskan
bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, peneltian,
dan pengabdian kepada masyarakat”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan tinggi sebagaimana tertuang dalam pasal 12 ayat
2 menjelaskan: “Dosen sebagai ilmuwan
memiliki tugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan
dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta
menyebarluaskannya”. Kemudian pada ayat pasal 12 ayat 3
dijelaskan bahwa “Dosen secara perseorangan atau berkelompok
wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh
perguruan tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu
sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta
pembudayaan kegiatan baca tulis bagi sivitas akademika”.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2009 tentang Dosen pada pasal 1 menjabarakan bahwa “Dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat”.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Angka Kredit Jabatan Fungsional dosen diatur dalam
beberapa pasal, yakni: (1) Pasal 9 ayat (1) dijelaskan bahwa kenaikan
jabatan akademik secara reguler dari Lektor ke Lektor Kepala dapat
dipertimbangkan apabila telah memenuhi syarat salah satunya pada
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
22 ProsIding
poin C memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal
ilmiah nasional terakreditasi atau internasional sebagai penulis
pertama bagi yang memiliki kualifikasi akademik doktor (S3), dan
poin D menjelaskan bahwa memiliki karya ilmiah yang
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional atau internasional
bereputasi sebagai penulis pertama bagi yang memiliki kualifikasi
akademik magister (S2). (2) dalam Pasal 10 ayat (1) Kenaikan
jabatan akademik dosen secara reguler dari Lektor Kepala ke
Profesor dapat dipertimbangkan, apabila telah memenuhi 7 (tujuh)
syarat salah satunya dalam butir f adalah memiliki karya ilmiah yang
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional bereputasi sebagai
penulis pertama. Selanjutnya pada pasal 11 tentang Loncat jabatan
ayat (1) menjelaskan bahwa dosen yang berpretasi luar biasa dapat
dinaikkan ke jenjang jabatan akademik dua tingkat lebih tinggi
(loncat jabatan) dari Asisten Ahli ke Lektor Kepala atau dari Lektor
ke Profesor dan pangkatnya dinaikkan setingkat lebih tinggi dengan
peraturan perundangan, kemudian ayat (3) dijelaskan kenaikan
jabatan akademik dari Lektor ke Profesor dapat dipertimbangkan
salah satunya pada poin b adalah memiliki paling sedikit 4 (empat)
karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional
bereputasi sebagai penulis pertama.
Landasan hukum kenaikan jabatan fungsional dosen yang
dipaparkan di atas tidak berlebihan jika prestasi seorang dosen dalam
penelitia dan publikasi menjadi tolak ukur utama yang
menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan.
Hasil Penelitian Dosen Berbasis Publikasi Jurnal Penelitian
Dosen sebagai anggota sivitas akademika perguruan tinggi
memiliki tugas mentransformasikan ilmu pengetahuan dan/atau
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
23 ProsIding
teknologi yang dikuasainya kepada mahasiswa dengan mewujudkan
suasana belajar dan pembelajaran sehingga mahasiswa aktif
mengembangkan potensinya. Dosen sebagai ilmuwan memiliki
tugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau
teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta
menyebarluaskannya. Dosen secara perseorangan atau berkelompok
wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang dipublikasikan sebagai
salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya
akademik serta pembudayaan sivitas akademika. Sejalan dengan
fungsi pendidikan tinggi mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dosen memiliki tugas mengembangkan suatu cabang ilmu
pengetahuan dan/atau teknologi melalui penelitian ilmiah serta
mempublikasikan karya ilmiahnya. Dengan demikian peningkatan
kinerja dosen berkaitan dengan publikasi karya ilmiah.
Hasil penelitian dan publikasi akan menghasilkan bahan
pembelajaran yang terbaharui terus menerus dan mutakhir. Di pihak
lain hasil dharma penelitian akan dapat diimplementasikan dalam
dharma pengabdian kepada masyarakat. Sebaliknya, hasil dharma
pengabdian kepada masyarakat akan memberikan inspirasi dan gagasan
untuk dilakukan penelitian. Oleh karena itu tampak dengan jelas bahwa
dharma penelitian memberikan sumbangan cukup besar pada dharma
yang lain. Sehingga tidak berlebihan jika prestasi seorang dosen dalam
penelitian dan publikasi menjadi tolok ukur utama yang
menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan (Dikti, 2014).
Karya ilmiah adalah hasil penelitian atau pemikiran yang
dipublikasikan dan ditulis dengan memenuhi kaidah ilmiah dan etika
keilmuan. Hal ini berarti selain jurnal sebagai tempat publikasi,
kualitas dan teknik penulisan artikel ilmiah merupakan parameter
penting yang diperhatikan dalam penulisan. Jurnal atau berkala
ilmiah atau majalah ilmiah yang selanjutnya disebut sebagai jurnal
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
24 ProsIding
adalah bentuk terbitan yang berfungsi meregistrasi kegiatan
kecendekiaan, mensertifikasi hasil kegiatan yang memenuhi
persyaratan ilmiah minimum, mendiseminasikannya secara meluas
kepada khalayak ramai, dan mengarsipkan semua temuan hasil
kegiatan kecendekiaan ilmuwan yang dimuatnya. Untuk proses
penilaian karya ilmiah dalam jabatan akademik dosen jurnal
dibedakan menjadi: (1) jurnal nasional, (2) jurnal nasional
terakreditasi, (3) jurnal internasional, dan (4) jurnal internasional
bereputasi
Pada setiap jurnal ada ketentuan yang berlaku, semakin
tinggi kualitas jurnal semakin menuntut persyaratan yang semakin
bermutu. Demikian pula jenis karya ilmiah sebagai syarat utama
menduduki jenjang jabatan akademik tertentu dapat berbeda satu
dengan yang lainnya. Untuk karya ilmiah tertentu yang digunakan
dalam kenaikan jabatan akademik diberlakukan batas maksimal
yang diakui.
Kinerja dosen merupakan suatu konstruksi multidimensi
yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhi (Mangkuprawira
dan Hubeis, 2007: 155-156) yakni: faktor kemampuan dan motivasi
sebagai faktor internal dan kesempatan dari lingkungan sebagai
faktor eksternal. 9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Martono
(2013) kinerja dosen dipengaruhi oleh faktor-faktor internal
(pendidikan, pengalaman kerja, dan motivasi) seera faktor-faktor
eksternal (kompensasi, kepemimpinan, iklim kerja, dan supervisi).
Faktor lain seperti kapasitas perhatian dosen dalam mengajar,
ternyata dapat terganggu akibat dari tingginya dosen yang
mempunyai pekerjaan sampingan di tempat lain yaitu sebesar 62,5
persen, sebagai upaya meningkatkan penghasilannya, ini tentunya
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
25 ProsIding
berkaitan dengan persepsi gaji atau penghasilan dosen yang
dirasakan masih kurang.
Dalam rangka peningkatan kinerja dosen melalui publikasi
karya ilmiah dari faktor internal pada dosen dapat dilakukan
peningkatan pemahaman, ketrampilan, dan sikap untuk mendukung
dalam melaksanakan publikasi karya ilmiah. Santoso (2014)
menjelaskan peningkatan pemahaman dosen melaksanakan
publikasi karya ilmiah meliputi antara lain pemahaman tentang
jenis-jenis jurnal, jenis-jenis artikel dalam jurnal, jurnal berdasarkan
peringkatnya, memilih jurnal untuk publikasi karya ilmiah, dan
teknik penulisan karya ilmiah baik hasil pemikiran maupun hasil
penelitian; peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, peningkatan penguasaan metodologi penelitian serta
pemahaman dalam mengembangkan jejaring untuk akses publikasi
karya ilmiah. Peningkatan ketrampilan publikasi karya ilmiah terkait
dengan ketrampilan membuat artikel ilmiah baik hasil pemikiran
maupun hasil penelitian antara lain meliputi ketrampilan memilih
jurnal, membuat judul, menulis abstrak, menulis pendahuluan,
menulis pembahasan, membuat simpulan dan implikasi, dan menulis
daftar pustaka artikel ilmiah; ketrampilan menulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing mendukung
penyusunan artikel ilmiah terutama bahasa Inggris; ketrampilan
menggunakan teknologi informatika komputer; serta ketrampilan
menyiapkan dan penyelesaian naskah artikel ilmiah. 12 Peningkatan
sikap yang mendukung dalam melaksanakan publikasi karya ilmiah
antara lain: mengembangkan motivasi untuk meneliti dan membuat
artikel ilmiah, mempunyai niat dan minat menulis artikel dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing terutama bahasa
Inggris, meningkatkan kesadaran terhadap kewajiban dosen untuk
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
26 ProsIding
mempublikasikan karya ilmiahnya, meningkatkan kreativitas dalam
menyusun artikel ilmiah baik dari hasil pemikiran maupun hasil
penelitian, keberanian untuk mengungkapkan gagasan dan ide-ide
dan implikasinya yang dapat berdampak meluas, mengembangkan
budaya meneliti dan membuat karya ilmiah, serta memiliki motivasi
membaca dan mengikuti forum ilmiah.
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Dikti Kemdikbud (2013) mengharapkan perguruan tinggi mampu
meningkatkan kinerja dosen melalui publikasi karya ilmiah dengan
semangat otonomi dan desentralisasi untuk menghadapi tantangan
perguruan tinggi ke depan. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan
kemampuan dan keberhasilan perguruan tinggi dalam mengelola
proses kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat serta
publikasi ilmiah baik secara manajerial maupun operasional, mulai
dari peningkatan kemampuan dosen peneliti dan pelaksana
pengabdian kepada masyarakat hingga membuat karya-karya ilmiah
yang dipublikasikan di Jurnal Nasional maupun Internasional yang
terakreditasi, melakukan proses seleksi secara transparan dan
akuntabel, penetapan prioritas yang dikaitkan dengan
potensi/kepentingan regional, membangun dan melaksanakan sistem
penjaminan mutu secara berkelanjutan, melakukan monitoring dan
evaluasi.
Direktorat Tenaga Pendidik dan Kependidikan Ditjen Dikti
(2014) menegaskan perlu dilakukan peningkatan kinerja dosen
melalui publikasi karya ilmiah untuk meningkatkan kemampuan
perguruan tinggi menghadapi persaingan global. Untuk itu perlu
perubahan paradigma secara filosofi tentang tugas dosen yang
semula sebagai pendidik dengan tugas utama mengajar, diubah
menjadi sebagai pendidik profesional dan ilmuwan yang mempunyai
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
27 ProsIding
tugas mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah
melakukan regulasi: peningkatan infrastruktur, peningkatan
kapasitas peneliti, peningkatan akses agar jumlah perguruan tinggi
yang mempunyai jurnal bereputasi meningkat. Karena ada
keterkaitan kuat antara produktivitas publikasi dengan kondisi
ekonomi suatu negara Publikasi pada Jurnal Internasional bereputasi
merupakan salah satu tolok ukur daya saing bangsa.
Upaya peningkatan kinerja dosen melalui publikasi karya tulis
ilmiah dilakukan dengan merevitalisasi fungsi pendidikan tinggi
antara lain mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dengan cara: peningkatan kemanfaatan penelitian, peningkatan dana
penelitian: pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari dana bantuan operasional PTN untuk dana
Penelitian di PTN dan PTS, menetapkan kewajiban dosen baik
secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau
buku teks, yang diterbitkan oleh perguruan tinggi dan/atau publikasi
ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan
budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi sivitas
akademika, menetapkan aturan bahwa hasil penelitian wajib
disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau
dipatenkan oleh perguruan tinggi, kecuali hasil penelitian yang
bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau membahayakan kepentingan
umum.
Peningkatan kinerja dosen melalui publikasi karya ilmiah
juga dipatenkan melalui berbagai standar nasional untuk perguruan
tinggi antara lain Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Standar Proses dan Hasil Penelitian, serta Standar Peneliti. Dalam
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
28 ProsIding
Standar Pendidik dan Kependidikan ditegaskan bahwa dosen
program doktor dan program doktor terapan: yang menjadi
pembimbing utama, harus sudah pernah mempublikasikan paling
sedikit 2 (dua) karya ilmiah pada jurnal internasional terindeks yang
diakui oleh Direktorat Jenderal. Pada Standar Proses Penelitian
dijelaskan bahwa proses penelitian merupakan kegiatan yang
memenuhi kaidah dan metode ilmiah secara.
Demikian pula Petunjuk Teknis Penilaian Angka Kredit Jabatan
Fungsional Dosen dapat menguatkan peningkatan kinerja melalui
publikasi karya ilmiah, semakin tinggi timgkatan jabatan akademik
dosen maka semakin banyak tuntutan kegiatan penelitiannya. Hal ini
dapat pada ringkasan ketentuan prosentase kegiatan penelitian untuk
kenaikan setiap tingkat jabatan fungsional dosen sebagai berikut:
Asisten Ahli ≥ 25 %, Lektor ≥ 35 %, Lektor Kepala≥ 40 %, dan
Profesor ≥ 45 %. Selain itu juga ada ketentuan tentang tuntutan jenis
jurnal, semakin tinggi tingkatan jabatan akademik dosen maka
semakin banyak tuntutan jenis jurnalnya baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya.
Penutup
Kesimpulan
Pertama, Landasan hukum yang menjadi dasar penyusunan
peraturan perundang-undangan menuntut kinerja seorang dosen
dalam penelitian dan publikasi menjadi tolak ukur utama yang
menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan.
Kedua, Peningkatan kinerja dosen melalui publikasi ilmiah
dilakukan oleh dosen dan secara kelembagaan oleh perguruan tinggi
didukung oleh pemerintah. Dosen diharapkan meningkatkan
pemahaman, keterampilan, dan sikap yang mendukung kemampuan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
29 ProsIding
publikasi karya ilmiah untuk meningkatkan kinerjanya.
Saran
Dosen diharapkan melaksanakan Tridharma sebagai tiga
kegiatan yang saling mendukung, dan tuntutan kinerja dosen dewasa
ini kegiatan penelitian dan publikasi karya ilmiah perlu mendapat
perhatian dengan prioritas penyelesaian yang lebih besar. Oleh
karena, dosen diharapkan memiliki beban mengajar sesuai
ketentuan, tidak mengejar untuk mendapatkan kelebihan mengajar
yang berlebihan maupun kegiatan lainnya yang mengganggu
terhadap pernyelesaian tugas pokoknya.
Bagi perguruan tinggi, fakultas, dan program studi
diharapkan memberikan pekerjaan yang mendukung terhadap
penyelesaian tugas pokok dosen, khususnya pada dharma penelitian
dan publikasi karya ilmiah. Dengan demikian diharapkan jenjang
karir dosen dapat meningkat. Yang selanjutnya berdampak
meningkatkan kesejahteraan dan memberikan konstribusi yang
bermanfaat bagi perguruan tinggi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
30 ProsIding
Daftar Pustaka
Dikti. 2014. Pedoman Operasional Penilaian Kenaikan
Pangkat/Jabatan Fungsional Dosen. Jakarta: Dikti.
Direktorat Tenaga Pendidik dan Kependidikan Ditjen Dikti . 2014.
Pengembangan Karir Dosen Menuju Universitas Berdaya Saing
Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti.
Hariandja, Marihot Tua Efendi. 2007. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan
Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: Grasindo.
Mangkuprawira, Sjafri dan Aida Vitalaya Hubies. 2007. Manajemen
Mutu Sumber Daya Manusia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Patimah, Siti. 2009. Pengaruh Pelaksanaan Rekrutmen dan Seleksi
Kepala Sekolah terhadap Kinerja Kepala Sekolah di Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kota Bandar Lampung. Jurnal Tenaga
Kependidikan. Agustus 2009.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2009
tentang Dosen
Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia dan Kepala
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
31 ProsIding
Self-Directed Learning as a Means to
Enhance EFL Learners’ Autonomy
across Genders
Aulia Nourma Putri1, Nur Salam2
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstract: This study reveals useful information about the contribution of
self-directed learning to EFL learners’ autonomy across genders. Through
quantitative research using ex-post facto design, results shows that ninety
English Department EFL students as the subjects of the study are the
correlation between self-directed learning and autonomous learning is
small and there are no difference between males and females regarding
their autonomous learning and self-directed learning. Self-directed
learning is not the only one influential factor which contributes EFL
learners’ autonomy and there is no relationship between gender with
autonomous learning and self-directed learning.
Key Words: self-directed learning, EFL learner’s autonomy, gender
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
pengaruh self-directed learning pada kemandirian siswa dalam belajar
bahasa Inggris dilihat dari perbedaan gender. Melalui penelitian kuantitatif
menggunakan desain ex-post facto, hasil analisis menunjukkan bahwa
sebanyak sembilan puluh siswa sebagai subjek penelitian adalah korelasi
antara self-directed learning dan kemandirian siswa kecil dan tidak
terdapat perbedaan antara pria dan wanita terhadap kemandirian belajar.
Self-directed learning bukan satu-satunya faktor penentu dalam
meningkatkan kemandirian belajar bahasa Inggris dan tidak terdapat
hubungan antara gender dengan kemandirian belajar dan self-directed
learning.
Kata kunci: self-directed learning, kemandirian belajar bahasa Inggris,
gender
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
32 ProsIding
INTRODUCTION
Language learners must be made aware of the fact that they
are the most important factor in their learning process (Ceylan, 2015)
so they should learn how to be autonomous for their own success in
the English language learning. Autonomous learning is a concept
which deals with the learners’ responsibility for their own learning
(Holec, 1981: 3). He describes autonomy as the ability to take charge
of one’s learning. He further describes an autonomous learner in
various aspects as the learner who is capable of determining the
objectives, defining the contents and progressions, selecting
methods and techniques to be used, monitoring the procedure of
acquisition, and evaluating what has been acquired. Meanwhile,
Benson & Voller (1997: 2) claim that the term autonomy has been
used in at least five ways in which the learners study entirely on their
own, for a set of skills which can be learned and applied in self-
directed learning. Therefore, we can define autonomy as the
learners’ willingness and capacity to control or oversee their own
learning.
Furthermore, during EFL learner’s learning process to
achieve language proficiency, particularly in EFL context, there are
many factors which can be categorized as internal factors when they
come from the learners themselves and external factors when they
come from the environment. Mayer (2008) states the internal factors
cover the skills acquired by individuals involving cognitive and
problem solving skills which learners use to organize their learning
while external factors can be their teachers, parents, friends, culture
and environment. To be more detailed, the internal factors which are
assumed autonomous learners have are self-directed learning, self-
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
33 ProsIding
learning habit, self efficacy, and independent (Nunan, 2000; Benson,
2001; Brown, 2007 and Oanh, 2007). To be more specific, this
autonomous learning is connected to a concept of self-directed
learning which deals with the role of the learners in having primary
responsibility for planning, implementing, and even evaluating the
effort to learn EFL (Rothwell and Sensenig, 1999). This is why the
researcher has the urge to conduct present study in investigating the
contribution of self-directed learning on EFL learners’ autonomy
across genders.
A. Learner Autonomy
The idea of autonomy has been defined in different ways by
researchers as follows: Autonomous learning is a concept which
deals with the learners’ responsibility for their own learning (Holec,
1981: 3). He describes autonomy as the ability to take charge of
one’s learning. He further describes an autonomous learner in
various aspects as the learner who is capable of determining the
objectives, defining the contents and progressions, selecting
methods and techniques to be used, monitoring the procedure of
acquisition, and evaluating what has been acquired. Meanwhile,
Benson & Voller (1997: 2) claim that the term autonomy has been
used in at least five ways in which the learners study entirely on their
own, for a set of skills which can be learned and applied in self-
directed learning. Therefore, we can define autonomy as the
learners’ willingness and capacity to control or oversee their own
learning.
Another researcher, Benson (2001: 17-18) states that
learning autonomy plays an important role in the learners’ learning
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
34 ProsIding
process. He further explains that the on-going rapid changes in
education systems and language teaching practices such as the
growth of technology in education, the shift towards learner-
centered approach and communicative language teaching and the
ways of how knowledge is constructed and exchanged can really
change the way how a language learner construct knowledge
(Benson, 2001: 19). Besides, some other researchers such as: Boud
(1988), Kohonen (1992) and Knowles (1975) claim that an
autonomous learner takes an active role in the learning process,
generating ideas and availing himself of learning opportunities,
rather than simply reacting to various stimuli of the teacher. Then,
Benson (2001: 1) states that autonomy is a precondition for effective
learning. It means that when a learner succeeds in developing
autonomy, he/she becomes not only a better language learner but a
more responsible and critical member of the communities in which
he/she lives.
The concept of learner autonomy has attracted much
attention and interest within the context of L2 learning as many
researchers show that learner autonomy influences students’
language proficiency. Lowe (2009), in the study of the relationship
between learner autonomy and academic performance, shows
significant correlation between the Learner Autonomy Profile form
total score and students’ total GPA, indicating a significant
relationship between learner autonomy and academic performance.
Another study conducted by Dincer, Yesilyurt, & Takkac, (2012) in
Turkey which finds out the effects of autonomy-supportive climates
on EFL learners’ engagement, achievement and competence in
English speaking classrooms. The findings show that speaking
course teachers create an autonomous environment and the students
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
35 ProsIding
have high level perceived competence in speaking rather than the
other group.
Autonomous learning nowadays is no longer exception to the
Indonesian education setting. Indonesia in its national education
system has consciously incorporated autonomy as one of the goals
of its national education. It is obviously stated in Indonesian Laws
number 20 of the year 2003 that learning autonomy has become an
important goal of the Indonesian education system. Myartawan
(2013) conducts a study concerning to the relationship between
Indonesian autonomous EFL learners and their English proficiency.
He finds that they are positively correlated. In other words, it can be
stated that the more autonomous Indonesian EFL learners are the
higher their English proficiency is. Meanwhile, Rahmawati and
Wulyani (2013) conduct a study of applying autonomous learning
strategy to improve students’ reading ability. It shows that the
implementation of autonomous learning strategy in reading can
effectively help the students in comprehending a narrative text.
Besides, autonomous strategy can also encourage the students to
contribute actively in reading activities and demonstrated
independent learning.
Onozawa (2014) adds that no one has an inborn ability to
learn autonomously but people can develop autonomy through their
experience with the teacher’s help as an advisor. Autonomy may be
effective in improving the learner’s motivation, increasing the
learner’s learning by giving them learning strategies and improving
the learner’s confidence to work independently. Therefore, the EFL
learners should be able to change the teacher-centered learning to the
student-centered one. In other words, the concept of autonomous
learning is the ability to take charge of one’s own decision about
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
36 ProsIding
what to do rather than being influenced by someone else. It simply
implies the students’ active role in EFL learning processes.
B. Self-Directed Learning
Autonomous learning is connected to a concept namely self-
directed learning (SDL) which deals with the role of the learners in
having primary responsibility for planning, implementing, and even
evaluating the effort to learn EFL (Rothwell and Sensenig, 1999). In
this case, they will be able to set the learning objectives and learning
schedules outside the classrooms, choose the English materials to
read, and have their own learning technique.
Holec (1981) supports this argument by stating that learners
who have self-directed learning refer to them who are able to
determine the objectives, define the contents and progressions, select
methods and techniques to be used, monitor the procedures of
acquisition, and evaluate what has been acquired. Leni Dam (1990)
also says that someone qualifies as self-directed learners when they
independently choose aims and purposes, set goals, choose
materials, methods and tasks, and choose criteria for evaluation.
Moreover, SDL plays important roles for both the teacher
and the students in choosing teaching materials for the course
(Benson, 2001). In this case, the teacher decides what English books
would be suitable for different students. Then, the students' opinions
on the books will be taken into account by the teacher. By this way,
the teacher will be able to help the students make decisions which
books are suitable with their levels of difficulties and with their
interests so that this autonomous learning can motivate the students
learn more effectively and they will surely feel more secure in their
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
37 ProsIding
EFL learning (Cotterall, 2000). Besides, the teachers who have to
face too many students in the classrooms will be able to transfer parts
of their responsibility and will become facilitators, counsellors or
resources (Benson and Voller, 1997).
Holec (1981:3) defines self-directed learning as to have and
to hold the responsibility for all the decisions concerning all aspects
of this learning including setting up the objectives of learning,
determining contents and progression, selecting methods of learning,
monitoring learning progress, and evaluating what has been learned.
He also makes a clearer definition by highlighting the distinction
between these two-often-confusing terms, self-directed learning and
autonomous learning, by stating that self-directed learning involves
autonomous learning, but autonomous learning does not necessarily
indicate self-directed learning by stating that a learner may have the
ability to take charge of his learning without necessarily utilizing this
ability to the full when he decides to learn (1981: 4). Different
degrees of self-directed learning may be due to the different degrees
of autonomy or from different degrees of exercise of autonomy.
C. Gender in Language Learning
The influence of language and genders can be dated back to
the Bible, but the systematic study of language and gender began in
the middle of the 1970s. The first influential study of language use
was introduced by Lakoff (1975), who pointed out that females were
expected to use more tag questions, hedges, intensifier, embedded
imperative, color terms and adjectives than males (cited by Pan,
2011, p. 1016). Tannen (1990) claims that men and women use
different ways to express themselves and to interpret others’ words
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
38 ProsIding
based on their cultural assumptions. For example, in women’s
subculture, they would like to speak in a way which could build their
equal relationship. On the contrary, males prefer to using languages
to build hierarchical relationship (Tannen, 1990).
Reid (1987), in a study, concludes that there is a difference
in the use of tactile learning style category between males and
females with males being more tactile than females. Maubach and
Morgan (2001) maintain that males and females are different
regarding their learning style preferences; males are more willing to
take risks and speak spontaneously. They are also self-confident
about asking questions to aid their own understanding, whereas the
female students were more interested in reading and presenting well-
organized written work.
In addition, males are usually more field-independent and
females are more field-dependent (Good & Brophy, 1987; Shipman,
Krantz, & Silver, 1992). Females are more likely than males in using
thinking approach (analytic, impersonal, objective, and factual) and
feeling approach (emotional, personal, subjective, and empathic).
McCaulley (1990) believes that females have a higher degree of
empathy and skills in cooperative learning. Also, females tend to use
social and affective strategies more often than males (Oxford, Park-
Oh, Ito, & Sumrall, 1993). Oxford (1995) claims that males are
somewhat more logically minded in processing language, while
females behave more field-sensitive, globally-patterned, subjective,
and emotional.
Departing from the previous discussions, the researcher
decides to conduct a study about the contribution of self-directed
learning to enhance EFL learner’s autonomy across genders. The
study posed the following research questions:
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
39 ProsIding
1. Does the student having higher self-directed learning become
higher learner’s autonomy?
2. Are there any differences in autonomous learning caused by
the learner’s gender?
3. Are there any differences in self-directed learning caused by
the learner’s gender?
METHOD
This study aims to investigate the contribution of self-
directed learning on EFL learner’s autonomy and the difference
between males and females regarding their autonomous learning and
self-directed learning with a view of establishing causal or
correlation link between them. Therefore, an ex-post facto research
design is used in conducting this study. Ex post facto research is also
appropriate when the variable can be manipulated but it is not
because it is unethical or irresponsible to do so. In addition, this
study also uses an ex-post facto design because the fact says that ex-
post facto studies have been used frequently to study the differences
between males and females.
This study was conducted at English Department of State
University of Malang and Brawijaya University of Malang which are
categorized as two of reputable state universities in Malang, East
Java. The research subjects are the learners in the seventh semester
due to the assumption that they have taken many English courses
since the first semester so their English proficiency is regarded good.
At least, they had passed almost all major courses in English
Department. The English Department students involved in this
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
40 ProsIding
research are those who are sitting in their seventh semester enrolled
in the university academic year program 2013/2014.
In the present study, learner autonomy was measured using
Learner Autonomy Questionnaire and self-directed learning was
measured by using Self-Directed Learning Readiness Scale. These
questionnaires have been validated by the expert and modified based
on the result of validation. The test was validated by an English
lecturer at State University of Malang who has expertise in the field
of testing and assessment and years of experience in teaching those
fields.
RESULTS
A. The Contribution of Self-Directed Learning on EFL Learner’s
Autonomy
EFL learners’ perception toward their autonomy in learning
was investigated by using Learning Autonomy Questionnaire (LAQ)
while their perception toward their self-directed learning was
investigated by using Self-Directed Learning Readiness Scale
(SDLRS). Items number 1, 6, 7, 8, 10, 11, and 12 covered the
students’ perception toward independence of learning. Meanwhile,
the items number 2, 3, 4, 5, and 9 were in regard to the students’
perception toward the study habit in the process of increasing their
learning autonomy. Based on the result of LAQ, the students who
were considered as high autonomous learners were 70 students.
After getting the result of high autonomous learners, they
were asked to fill in the second questionnaire namely Self-Directed
Learning Readiness Scale. This questionnaire is divided into eight
categories, in which love of learning; self-concept as an effective and
independent learner; tolerance of risk, ambiguity, and complexity in
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
41 ProsIding
learning; creativity; view of learning as a lifelong beneficial process;
initiative in learning; self-understanding; and acceptance of
responsibility for one’s own learning.
The first linearity testing was done to show the contribution
of self-directed learning in enhancing the students’ learning
autonomy. It was computed in SPSS 20.0 program. The relationship
of the data was linear if the p value was greater than 0.05 significance
level (p value > sig .05), while the relationship of the data was not
linear if the p value was lower than 0.05 significance level (p value
< sig .05). The result of the linearity test is displayed in Table 1.
Table 1 The Result of the Linearity Test
Sum of
Squares
Df Mean
Square
F Sig.
Self-Directed
Learning *
Autonomous
Learning
Between
Groups
(Combined)
Linearity
Deviation
from
Linearity
4912.424
2747.715
2164.710
12
1
11
409.369
2747.715
196.792
1.676
11.249
.806
.097
.001
.634
Within
Groups
13922.661 57 244.257
Total 18835.086 69
The result of the linearity test displayed in Table 3.1 showed
that the p value was 0.634, which was greater than 0.05 level of
significance. Therefore, the relationship between the students’
autonomous learning and self-directed learning was linear.
Hypothesis testing then was conducted to make decisions of
the first research problem about how self-directed learning
contribute to EFL learner’s autonomy could be answered. The result
of the data analysis is reported in Table 2.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
42 ProsIding
Table 2 The Result of T-test Analysis on the Relationship between
Students’ Autonomous Learning and their
Self-Directed Learning
Based on the result of T-test analysis shown in Table 2, the
obtained t of -90.802, with df = 69, resulted in a p value of .000. The
p value was lower than .05 level of significance (p value < sig .05),
which indicated that the p value of .000 was statistically significant.
Consequently, the null hypothesis, which stated that there is no
significant contribution of self-directed learning on EFL learner’s
autonomy, was rejected. It was concluded that self-directed learning
contributes to EFL learner’s autonomy. However, self-directed
learning does not really contribute to EFL learner’s autonomy. It
could be seen from the result of T-test on Table 3.
Table 3 The Result of T-test
N Correlation Sig.
Pair
1
Autonomous Learning &
Self-Directed Learning
70 .382 .001
Based on the result of T-test above, it was stated that the
correlation between self-directed learning and EFL learner’s
autonomy was only .382 which means self-directed learning does not
really affect on EFL learner’s autonomy.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
43 ProsIding
B. The Difference between Males and Females Regarding their
Autonomous Learning
After analyzing the relationship between the students’
autonomous learning and their self-directed learning, the researcher
analyzed whether any difference between males and females
regarding their autonomous learning based on the result of Learner
Autonomy Questionnaire. High autonomous learners based on the
result of LAQ consisted 19 males and 51 females.
The second linearity testing was done to show the difference
between males and females regarding their autonomous learning. It
was computed in SPSS 20.0 program. The relationship of the data
was linear if the p value was greater than 0.05 significance level (p
value > sig .05), while the relationship of the data was not linear if
the p value was lower than 0.05 significance level (p value < sig .05).
The result of the linearity test is displayed in Table 4.
Table 4 The Result of Linearity Test
Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
LAQ_male *
LAQ_female
Between
Groups
(Combined)
Linearity
Deviation
from
Linearity
54.798
17.312
37.487
8
1
7
6.850
17.312
5.355
1.494
3.777
1.168
.271
.081
.398
Within
Groups
45.833 10 4.583
Total 100.632 18
The result of the linearity test displayed in Table 4 showed
that the p value was 0.398, which was greater than 0.05 level of
significance. Therefore, the relationship between males and females
regarding their autonomous learning was linear.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
44 ProsIding
The second hypothesis testing was conducted to make
decisions of the second research problem about the difference
between males and females regarding their autonomous learning
could be answered. It was performed using SPSS 20.0 by using T-
test. If the observed significance value or p value from the test was
lower than significance level of .05, the decision was to reject the
established null hypothesis. Otherwise, if the p value was greater
than the .05 level of significance, the null hypothesis was accepted.
The result of the data analysis is reported in Table 5.
Table 5 The Result of T-test Analysis on the Difference between
Males and Females Regarding their
Autonomous Learning
Paired Differences
t df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
LAQ_male
– LAQ_
Female
-.316 3.284 .753 -1.899 -1.267 -419 18 .680
Based on the result of T-test analysis shown in Table 3.4, the
obtained t of -419, with df = 18, resulted in a p value of .680. The p
value was greater than .05 level of significance (p value > sig .05),
which indicated that the p value of .680 was not statistically
significant. Consequently, the null hypothesis, which stated that
there is no significant difference between males and females
regarding their autonomous learning, was accepted. It was concluded
that there is no significant difference between males and females
regarding their autonomous learning.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
45 ProsIding
C. The Difference between Males and Females Regarding their Self-
Directed Learning
Table 6 The Result of Linearity Test
Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
SDLRS_male *
SDLRS_female
Between
Groups
(Combined)
Linearity
Deviation
from
Linearity
4559.500
825.948
3733.552
17
1
16
268.206
825.948
233.347
59.601
183.544
233.347
.102
.047
.109
Within
Groups
4.500 1 4.583
Total 4564.000 18
The result of the linearity test displayed in Table 3.6 showed
that the p value was 0.109, which was greater than 0.05 level of
significance. Therefore, the relationship between males and females
regarding their self-directed learning was linear.
The third hypothesis testing was conducted to make
decisions of the second research problem about the difference
between males and females regarding their self-directed learning
could be answered. It was performed using SPSS 20.0 by using T-
test. If the observed significance value or p value from the test was
lower than significance level of .05, the decision was to reject the
established null hypothesis. Otherwise, if the p value was greater
than the .05 level of significance, the null hypothesis was accepted.
The result of the data analysis is reported in Table 7.
Table 7 The Result of T-test Analysis on the Difference between
Males and Females Regarding their Self-Directed Learning
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
46 ProsIding
Paired Differences
t df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
SDLR_
male –
SDLR_
female
-7.63158 16.5570 3.79844 -
15.6118
.34864 -
2.009
18 .060
Based on the result of T-test analysis shown in Table 7, the
obtained t of -2.009, with df = 18, resulted in a p value of .060. The
p value was greater than .05 level of significance (p value > sig .05),
which indicated that the p value of .060 was not statistically
significant. Consequently, the null hypothesis, which stated that
there is no significant difference between males and females
regarding their self-directed learning, was accepted. It was
concluded that there is no significant difference between males and
females regarding their self-directed learning.
DISCUSSIONS
A. The Contribution of Self-Directed Learning on EFL Learner’s
Autonomy
This study examined the contribution of self-directed
learning on EFL learner’s autonomy. As regards the first formulated
research problem, this study revealed that the higher self-directed
learning, the higher learner’s autonomy is. This is the evidence from
the result of the first hypothesis testing which indicated that there
was significant contribution of self-directed learning on the students’
autonomous learning. However, the result of T-test showed the
contribution of self-directed learning on the students’ autonomy was
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
47 ProsIding
only .382. It means that self-directed learning does not really
contribute to enhance EFL learner’s autonomy.
This finding is proofed by Chan (2001) who states that
autonomous learners must have these characteristic in which highly
motivated, goal oriented, well organized, hard-working, initiative,
enthusiastic about learning, flexible, active, willing to ask questions,
and making use of every opportunities to improve their learning. It
shows that self-directed learning is not the only factor which
contribute significantly to enhance EFL learner’s autonomy. There
are still many influencing factors to enhance their autonomy in
learning.
The factors which influence EFL learner’s in their learning
process, particularly in EFL context, to achieve language proficiency
including age, gender, motivation, intelligence, anxiety level,
learning strategies and language learning styles that determine the
academic success of learners (Sharp, 2004). Moreover, the factors of
autonomous learning can be categorized as internal factors when
they come from the learners themselves and external factors when
they come from the environment.
Mayer (2008) states the internal factors cover the skills
acquired by individuals involving cognitive and problem solving
skills which learners use to organize their learning while external
factors can be their teachers, parents, friends, culture and
environment. The internal factors which are assumed autonomous
learners have are self-directed learning, self-learning habit, self-
efficacy, and independent (Nunan, 2000; Benson, 2001; Brown,
2007 & Oanh, 2007). Therefore, an autonomous learner should cover
all factors which influence autonomous learning, not only have self-
directed learning.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
48 ProsIding
Based on the result of Learner Autonomy Questionnaire
(LAQ), the students enjoy new learning experiences and finding new
information. It is in line with Benson’s idea (2001) which states that
learners who are independent can organize their own learning in
order to accomplish task so they can value their own learning and do
not depend on the information given by their teacher or peers.
Besides, successful language learning must start from the learners
themselves because language learning cannot be understood without
having goals and purposes of a person who is attempting to gain this
knowledge. Therefore, EFL learner must be independent to be
successful in language learning process.
Furthermore, the students also considered the importance of
taking responsibility for their learning experiences for being an
autonomous learner. Benson (2001) states that the development of
taking control over one’s own learning is beneficial to learning. It is
simply because taking responsibility for their own learning will
prepare them for their unexpected future. Taking responsibility in
learning means acknowledging that someone is responsible for his
life as a student.
The result of LAQ also showed that the students are happy to
work by their own. It indicates that they have their own style and
strategies in learning. These two factors also lead the students to the
success in the learning process. As stated by Oxford (2003),
language learning styles and strategies help the students to determine
how and how well they learn a second or foreign language.
Learning styles are the students’ ways in their learning
behavior. Students learn in different ways - by seeing and hearing;
reflecting and acting; reasoning logically and intuitively;
memorizing and visualizing etc. (Karthigeyan & Nirmala, 2013).
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
49 ProsIding
The ways of individual characteristically acquires and retrieves
information are considered as the individual’s learning style.
Therefore, if this style of learning is well accommodated, it can result
in the success of learning.
Learning styles then influence significantly on learner’s
learning strategy choices (Li & Qin, 2006) because they use their
own learning strategies to reflect their learning style. Cohen and
Dornyei (2002) also agree that learners may employ their own
strategies for improving their academic performances when learning
or using L2. It indicates that if the learners have their own learning
strategies, they have efforts to take control of their learning. It also
implies that every individual has an effective learning strategy which
might not be suitable for others, or it can be possible that this strategy
is applicable to others who have similar characteristics.
Furthermore, the result of Self-Directed Learning Readiness
Scale (SDLRS) questionnaire showed the students’ positive
perception on the desire of learning more to keep growing as a
person. Love of learning describes the way in which an individual
engages the new information and knowledge. Language learners
must be made aware of the fact that they are the most important
factor in their learning process (Ceylan, 2015:86). Therefore, they
should know the way how they love finding information for their
own success of language learning.
However, this study showed negative perception on the role
of teacher in the classroom. Most students expect the teacher to tell
them what to do exactly at all times in the classroom. It is
contradicted with Benson (2001: 19) who states “the successful
learner is increasingly seen as a person who is able to construct
knowledge directly from experience of the world, rather than one
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
50 ProsIding
who responds well to instruction.” It indicates that EFL learners in
Indonesia are still depended on the teacher’s instruction. They are
still not ready to be independent without the teacher’s involvement
in their learning process whereas an autonomous learner takes a (pro-
) active role in the learning process, generating ideas and availing
himself of learning opportunities, rather than simply reacting to
various stimuli of the teacher (Boud, 1988; Kohonen, 1992;
Knowles, 1975).
Autonomy support by teacher in learning process can
contribute some benefits. Students, in classroom environments
where autonomy support is provided, feel more competent and
develop a higher level of self-esteem, increase their interests to the
material, become more creative, nurture more positive feelings, and
their physical and psychological well-being become better (Deci &
Ryan, 1987). It can be concluded that autonomy support from
teachers in learning environments could help students develop their
autonomous learner behavior.
In the category of self-concept as an effective and
independent learner, the students put their attention on the statements
‘if there is something I want to learn, I can figure out a way to learn
it’and ‘I’m happy with the way I investigate problems’. These
statements reflect that the students have self-efficacy. This
characteristic refers to an individual's belief in his or her capacity to
execute behaviors which the researcher thinks are very important to
produce specific performance attainments (Bandura, 1997). It
reflects confidence in one’s ability to succeed in specific situations
or accomplish a task. People with high self-efficacy who believe
they can perform well in their learning are more likely to view
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
51 ProsIding
difficult tasks as something to be mastered rather than something to
be avoided.
It is proofed by the students’ answer on the statement
‘difficult study doesn’t bother me if I’m interested in something’.
Risk taking is one of the most important features of a good language
learner. Learner’s ability to take risk appears as an important
individual difference, which has been considered a predictor variable
of success in second language learning (Gass & Selinker, 2008).
Risk taking refers to the willingness to be risky in certain
circumstances. They accept what they do not know in which the
ambiguity of language and they focus on what they do.
In the field of second language learning, academic risk taking
has been defined as a situation-based process that can be moderated
by providing the appropriate contexts for its application (Lee & Ng,
2010). The contexts may range from the ones in which the learner
knows what skill to use and under what conditions to the ones
learning occurs in a probabilistic setting.
The result of the category of creativity in SDLRS showed
that most students agree that learners are readers. Autonomous
learning is closely related to the literacy due to the importance of
reading. This autonomous learning is believed to be able to help the
learners gain a lot of information and knowledge. Rivers (1987)
believes that reading comprehension is one of the most essential
skills for the learners at different levels, yet it is common to find
students who are unable to read in a comprehensive and autonomous
way (Pang, 2008). Kaplan (2002) extends the definition of reading
to a rapid, strategic, interactive and purposeful process that requires
sufficient knowledge of language and world, extensive time on task,
and efficient as well as strategic processing.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
52 ProsIding
In addition, Cahyono and Widiati (2006) state that in the
process of EFL learning, the learners should be “reading to learn”
instead of “learning to read”. Verdugo (2004) asserts that through
education, learners should practice to read autonomously by
integrating metacognitive, cognitive and socio-affective strategies
which are necessary for a better understanding of a text. Therefore,
autonomy in learning EFL is assumed to be achieved through the
autonomy in reading. What the learners do when learning generally
can be related to what they do when learning reading.
Furthermore, most students believe that learning is a lifelong
beneficial process. Knowles (2001) says, “One of our main aims in
education is ‘helping individuals to develop the attitude that learning
is a life-long process and to acquire the skill of self-directed
learning’” (as cited by William & Burden, 1997: 147). Thus,
learning is not a product of schooling but the lifelong attempt to
acquire it because knowledge always changes.
The category of initiative in learning also got positive
perception from the students. It was proofed by the students’ answer
on the statement ‘I know what I want to learn’. By knowing what to
learn, a learner could be identified as a self-directed learner. In self-
directed learning (SDL), the learners take the initiative and the
responsibility for what occurs in their learning process. Holec (1981)
supports this argument by stating that learners who have self-
directed learning refer to them who are able to determine the
objectives, define the contents and progressions, select methods and
techniques to be used, monitor the procedures of acquisition, and
evaluate what has been acquired. Leni Dam (1990), like Holec, says
that someone qualifies as self-directed learners when they
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
53 ProsIding
independently choose aims and purposes, set goals, choose
materials, methods and tasks, and choose criteria for evaluation.
It is also supported by the students’ answer on the statement
‘I know when I need to learn more about something’. This statement
implies self-esteem which means a feeling of satisfaction that
someone has in himself or herself to his or her ability. Rosenberg
(1956: 30) defined self-esteem as a ‘positive or negative attitude
toward … the self.’
To sum up, EFL learners should cover all the influential
factors of autonomous learning for being successful in language
learning, not only the internal factors but also they should be
surrounded by environment which support them to be autonomous.
Teacher, parents, family members, friends, and also classroom
environment should create highly effective learning environment
which EFL learners can boost their autonomy.
B. The Difference between Males and Females Regarding their
Autonomous Learning
This study also examined the difference of males and females
regarding their autonomous learning. The sample which considered
as high autonomous learner based on the result of Learner Autonomy
Questionnaire consist of 19 males and 51 females. The homogeneity
test showed that there was no significant difference between males
and females regarding their autonomy in learning. It is supported by
some studies which indicate that there are no significant differences
between males and females in language comprehension (Aslan,
2009) because superiority in learning language is determined by
learning strategies and motivation.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
54 ProsIding
It is not in line with many researchers’ theory about the
influence of gender on language learning. Gender is considered as
one of the main factors that influence second language learning
(Andreou, Vlachos & Andreou, 2005). Different views about why
gender differences influence learning have been emerged. Some
point to biological characteristics (Ning, 2010). On the other hand,
may reject this relationship, suggesting instead that social and
cultural reasons cause the huge gap between men and women in
many fields including language learning (Ning, 2010; Kaiser, 2006).
Many researchers, however, agree that males and females
differ when it comes to language learning strategies, comprehension,
and motivation. This study showed males are harder to plan their
time to study effectively. Females have their own way to study
effectively. It is proofed by Liyanage and Bartlett (2011) who find
that females use a wider range of strategies than males. Males and
females tend to use different types of language learning strategies
(Aslan, 2009) and females used much more strategies than males
(Green & Oxford, 1995). Ray and Oxford (as cited in Studenska,
2011: 1351) say that females use memory, cognitive, metacognitive,
social and compensation strategies more frequently than males do.
Furthermore, the analysis in this study also showed that
females were slightly more autonomous than males. It is supported
by several studies which have demonstrated female superiority
(Kaiser, 2006) due to the use of wider range of strategies in language
learning. As a result, it is not surprising that females are better than
males in the acquisition of English (Liyanage & Bartlett, 2011;
Catalan, 2003; Yilmaz, 2010; Aslan, 2009). In brief, males and
females are different in language strategies and comprehension.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
55 ProsIding
Moreover, they are not equal in terms of motivation which results on
their autonomy in learning.
C. The Difference between Males and Females Regarding their Self-
Directed Learning
This study also examined the difference of males and females
regarding their self-directed learning. The sample which considered
as high autonomous learner based on the result of Learner Autonomy
Questionnaire are then given Self-Directed Learning Readiness
Scale questionnaire. The homogeneity test showed that there was no
significant difference between males and females regarding their
self-directed learning.
The result of SDLRS homogeneity test is supported by Gipps
and Murphy (1994) who note that the range of differences is small
compared to the similarities existing between the sexes. William
(2000) likewise suggests that sex differences in cognition are small.
Hyde (2005) then holds that males and females are quite similar on
most, although not all, psychological variables. Therefore, it is
difficult to account for educational differences between sex because
‘the pattern of sex differences is often unstable across cultures,
across time within cultures, and also through time in the
development of children’ (Arnot et al. 1999, p. 57). Findings of this
study are also agreed with the study of Chen et al. (2006) in Taiwan
and Roberson and Merriam (2005) in USA who found that gender,
age, and educational degrees were not correlated with self-directed
learning.
However, there were a few differences between males and
females seen from the mean compared. Females are slightly better
than males in terms of self-directed learning. Females approach their
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
56 ProsIding
learning differently, relying on different perspectives about emotion,
internalization, learning behavior, expected community or self-
identified roles and even their expectations for what kinds of further
learning or engagement is appropriate for them (Hayes & Flannery,
2000). While males and females may be different for community
normed behavior (Menedez, Wagner, Yales & Walcott, 2012), their
approach to find learning opportunities also can be different so their
self-directed learning are also not equal. The result which reported
that females have a higher level of self-directed learning means that
females are more conscious of how they go about directing their own
learning.
CONCLUSION AND SUGGESTION
Conclusion
This present study aimed to investigate the contribution of self-
directed learning on EFL learner’s autonomy across gender. Several
conclusions are drawn from the findings of the study. The first
conclusion is there was significant contribution of self-directed
learning on EFL learner’s autonomy, but self-directed learning does
not really contribute to enhance EFL learner’s autonomy. The
findings indicated that self-directed learning is not the only one
factor which contribute significantly on autonomous learning. There
were still many influential factors which must be covered by EFL
learner to be autonomous in language learning, i.e. independent,
learning styles, learning strategies, motivation, taking responsibility,
feeling confidence to take decision in learning, enthusiastic about
learning, self-efficacy and self-esteem. Moreover, EFL learners
should be surrounded by environment which can create highly
effective learning environment that can support them to boost their
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
57 ProsIding
autonomy in learning, for example parents, family members, teacher,
friends and classroom environment.
The second conclusion is there was no significant difference
between males and females regarding their autonomy in learning.
However, the analysis from the result of Learner Autonomy
Questionnaire (LAQ) showed that females were slightly more
autonomous in learning than males because they used more
strategies in learning.
Similar to the previous conclusion, gender does not affect
significantly on self-directed learning because there was no
significant difference between the result of males and females.
Moreover, the analysis of Self-Directed Learning Readiness Scale
(SDLRS) showed that females are more superior than males
regarding their self-directed learning.
Overall, EFL learners should have their own awareness and be
surrounded by effective learning environment to be autonomous
learner because they are the only key to be successful in language
learning process. Gender then is not regarded as an influential factor
which can categorize an EFL learner as an autonomous learner nor
self-directed learner.
Suggestion
This study finally gives contribution to the theory of
autonomous learning and rejects the theory of self-directed learning
which can be the most this significant factor to enhance EFL
learner’s autonomy. This study also rejects the theory of gender as
one of influential factors to increase autonomous learning and self-
directed learning.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
58 ProsIding
Several suggestions are addressed to English teachers as
regards the importance of teacher role in increasing EFL learner’s
autonomy. It has been stated that teacher plays role in facilitating
learner’s autonomy by improving the learner’s motivation,
increasing the learner’s enthusiastic in learning by giving them
activities which improving their enthusiastic in learning and
improving the learner’s confidence to work independently. Thus, it
is suggested that English teachers have adequate knowledge and
understanding on the importance of autonomous learning in
language learning process and how to improve it. English teachers
can also identify their students’ learning styles and group them to
achieve more effective functioning of group work and to allow the
students with different learning styles to learn from each other so
they can explore more learning strategies which is suitable for them.
Following the suggestions for English teachers, some
suggestions are then
addressed to the future researchers. It is suggested that future
researchers conduct the similar study by using experimental design
because it involves treatment to the subject. It is different from ex-
post facto design which does not need treatment, so it is hoped that
the future study will give different result. Moreover, the future
researcher is hoped to conduct the study of the contribution of
external factors on EFL learner’s autonomy. It is due to the previous
studies on autonomous learning mostly focuses on the internal
factors of the learners whereas the learner’s environment also affects
significantly on their autonomy in learning.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
59 ProsIding
REFERENCES
Ahmad, B. E., & Majid, F. A. 2010. Self-directed Learning and
Culture: A Study on Malay Adult Learners. Social and
Behavioral Sciences, 7: 254-263.
Ary, et al. 2010. Introduction to research in education (8th ed.).
belmot, CA: Wadsworth/Thomson Learning.
Bandura, A. 1997. Self-efficacy: The Exercise of Control. New
York: Freeman.
Barrantes, E. L., & Olivares, G. C. 2013. A Closer Look into Learner
Autonomy in the EFL Classroom. Revista De Lenguas
Modernas, 19, 325-343.
Benson, P. & Voller, P. 1997. Autonomy and Independence in
Language Learning. Essex: Longman.
Benson, P. 2001. Teaching and Researching Autonomy in Language
Learning. Essex: Pearson Education.
Boud, D. 1988. Moving towards Autonomy in: Boud, D.
ed.Developing Student Autonomy in Learning. 2nd edition.
London: Kogan Page.
Brockett, R. G., & Hiemstra, R. 1991. Self-direction in adult
learning: Perspective on theory, research and practice.
London, England and New York, NY: Routledge. Retrieved
from http://www-distance.syr.edu/sdlindex.html
Brown, H. D. 1994. Teaching by Principles: An Interactive
Approach to Language Pedagogy. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall Regents.
Brown, H. D. 2007. Principles of Language Learning and Teaching.
New York: Pearson Education.
Cahyono, B. Y. & Widiati, U. 2006. The Teaching of EFL Reading
in the Indonesian Context: The State of the Art. TEFLIN
Journal, 7 (1):36-58.
Ceylan, N. O. 2015. Fostering Learner Autonomy. Procedia – Social
and Behavioral Sciences, 199, 85-93.
Chen, H. 2015. Learner Autonomy and the Use of Language
Learning Strategies in a Taiwanese Junior High School.
Journal of Studies in Education, 5 (1): 52-64.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
60 ProsIding
Chou, P., & Chen, W. 2008. Exploratory Study of the Relationship
between Self-directed Learning and Academic Performance in
a Web-based Learning Environment. Online Journal of
Distance Learning Administration, 11 (1). Retrieved from
http://www.westga.edu/-
distance/ojdla/spring111/chou111.html
Cotteral, S. 2000. Promoting Learner Autonomy through the
Curriculum: Principles for Designing Language Courses. ELT
Journal, 54 (2): 109-117
Dam, L. 1990. Learner Autonomy in Practice. In gathercole, I. (ed.).
Great Britain: Bourne Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. 1987. The Support of Autonomy and the
Control of Behavior. Journal of Personality and Social
Psychology, 53(6), 1024-1037.
Delahaye, B. & Choy, S. 2000. The Learning Preference Assessment
(Self-Directed Learning Readiness Scale). Wales: Edwin
Mellen Press.
Dincer, A., Yesilyurt, S., & Takkac, M. 2012. The Effects of
Autonomy-Supportive Climates on EFL Leaner’s
Engagement, Achievement and Competence in English
Speaking Classrooms. 4th World Conference on Educational
Sciences, 46: 3890-3894.
Dornyei, Z. 2007. Research Methods in Applied Linguistics. Oxford:
Oxford University Press.
Douglass, C. & Morris, S. R. 2014. Student Perspectives on Self-
directed Learning. Journal of the Scholarship of Teaching and
Learning, 14 (1): 13-25.
Frankel, et al. 2012. Conserved regulatory architecture underlies
parallel genetic changes and convergent phenotypic evolution.
109 (51): 20975-20979.
Gall, et al. 2003. Educational research: An Introduction (7th ed.).
White Plains, NY: Longman Publisher.
Good, T., L. 1987. Two Decades of Research on Teacher
Expectations: Findings and Future Directions. Journal of
Teacher Education, 38 (32): 32-47.
Gremmo, M. J., & Riley, P. 1995. Autonomy, Self-Direction and
Self-Access in Language Teaching and Learning: The History
of an Idea. System, 23(2), 151-164.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
61 ProsIding
Grover, K. S., & Miller, M. T. 2014. Gender differences in self-
directed learning practices among community members.
Journal of Adult Education, 23: 19-32.
Guglielmino, L. M. 1977. Development of the Self-directed Learning
Readiness Scale. (Doctoral dissertation, University of
Georgia).
Holec, H. 1981. Autonomy in Foreign Language Learning. Oxford:
OUP.
Hiemstra, R. 1994. Self-directed Learning. in T. Husen & T. N.
Postlethwaite (eds.). The International Encyclopedia of
Education (second edition). Oxford: Pergamon Press.
Joshi, K. 2011. Learner Perceptions and Teacher Beliefs about
Learner Autonomy in Language Learning. Journal of NELTA,
16(1-2), 13-29.
Knowles, M. 1975. Self-Directed Learning. Chicago: Follet.
Kohonen, V. 1992. Experiential Language Learning: Second
Language Learning as Cooperative Learner Education. In
Nunan, D. (ed.), Collabrative Language Learning and
Teaching. Cambridge: CUP, 14-39.
Kormos, J., Csizér, K. 2014. The Interaction of Motivation, Self-
Regulatory Strategies, and Autonomous Learning Behavior in
Different Learner Groups. TESOL Quarterly, 48(2), 275-299.
Lakoff, R. 1975. Language and Woman’s Place. New York: Harper
& Row.
Latief, A. 2010. Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang:
UM Press.
Li, P. & Pan, G. 2009. The Relationship between Motivation and
Achievement: A Survey of the Study Motivation of English
Majors in Qingdao Agricultural University (Online)
www.ccsnet.org/journal.html
Little, D. 1991. Learner Autonomy 1: Definitions, Issues and
Problems. Dublin: Authentik.
Little, D. 1995. Learning as Dialogue: The Dependence of Learner
Autonomy on Teacher Autonomy. System, 23 (2): 175-182.
Littlejohn, A. 1985. Learner Choice in Language Study. ELT
Journal, 39 (4): 253-261.
Lodico, et al. 2006. Methods in Educational Research: From Theory
to Practice. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Wiley.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
62 ProsIding
Lu, J. & Fan, S. 2013. Gender Differences in Autonomous Learning:
A tudy of Non-English Majors in a Chinese University
Discourse. The Internet Journal Language, Culture and
Society, 36: 18-27.
Macaskill, A., & taylor, E. 2010. Development of a measure of
autonomous learning. Studies in Higher Education, 35: 351-
361.
Maubach, A. M. & Morgan, C. 2001. The Relationship between
Gender and Learning Styles amongst: A Level Modern
Languages Students. Language Learning Journal, 23 (1): 41-
47.
Mayer, L. 2008. What is Independent Learning and What are the
Benefits for Pupils? London Department for Children Schools
and Families Research Report 051, 2008.
McCaulley, M. H. 2000. A bridge between Counseling and
Consulting. Consulting Psychology Journal: Practice and
Research, 52 (2): 117-132.
Muijs, D. 2004. Doing Quantitative Research in Education with
SPSS. University of Southampton: SAGE Publications Ltd.
Myartawan, W., Latief, M.A. & Suharmanto. 2013. The Correlation
between Learner Autonomy and English Proficency of
Indonesian EFL College Learners. TEFLIN Journal, 24 (1):
63-81.
Nunan, D. 2000. Autonomy in Language Learning. Paper Presented
at Plenary Presentation ASOCOPI, Columbia.
Oanh, D. T. H. 2007. Learner Autonomy in Asian Context:
Independent and Independent Work at the University Level
(Vietnam). In Farrel, T.S.C. (ed). Language Teacher Research
in Asia: Language Teacher Series. Virginia: TESOL Inc.
Oğuz, A. 2013. Developing a Scale for Learner Autonomy Support.
Educational Sciences: Theory and Practices, 13(4), 2187-
2194.
Onozawa, C. 2014. Promoting Autonomy in the Language Class.
The Social Sciences, 9 (2): 124-128.
Oxford, R. L. 1990. Language learning strategies: What every
teacher should know. Boston, MA: Heinle & Heinle
Publishers.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
63 ProsIding
Oxford, R. L., Park-Oh, Y., Ito, S., & Sumrall, M. 1993. Learning a
language by satellite: What influences achievement? System,
21 (1): 31-48.
Reid, J., M. 1987. The Learning Style Preferences of ESL Students.
TESOL Quarterly, 21 (1): 87-110.
Rivers, W. 1987. Interactive Language Teaching. New York:
Cambridge University Press.
Rothwell, W. J. & Sensenig, K. J. 1999. The Sourcebook for Self-
directed Learning. Amherst, Massachusetts: HRD Press.
Scharle, A. & Szabo, A. 2000. Learner Autonomy: A Guide to
Developing Learner Responsibility. Cambridge: Cambridge
University Press.
Shipman, S. F., Krantz, D. H., & Silver, R. 1992. Mathematics
Anxiety and Science Careers among able College Women.
Psychological Science, 3, 292-295.
Slavin, R. E. 2010. Educational Psychology for Learning and
Teaching. Melbourne: Cengage Learning.
Stockdale, S., & Brocket, R. G. 2011. Development of the PRO-
SDLS: A measure of self-direction in learning based on the
personal responsibility orientation model. Adult Education
Quarterly, 61 (2): 161-180.
Tannen, D. 1990. Researching Gender-Related Patterns in
Classroom Discourse. TESOL Quarterly, Vol. 30, No. 2, pp.
341-344.
Thanasoulas, D. 2000. What is Learner Autonomy and How It Can
Be Fostered? TESL Journal, 6 (11): …
Tough. A. 1971. The Adult’s Learning Projects: A fresh approach to
theory and practice in adult learning. Toronto: OISE.
Wenden, A. 1991. Learner Strategy for Learner Autonomy. New
York: Prentice Hall International English Language Teaching.
Williams, M. & Burden, R. L. 2000. Psychology for Language
Teachers: A Social Constructivist Approach. The People’s
Education Press, Foreign Language Teaching Research Press
and Cambridge University Press.
Yang, T. 2005. An Overview of Learner Autonomy: Definitions,
Misconceptions, and Identifications. Ryukoku International Center
Research Bulletin, 14, 69-83.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
64 ProsIding
PENGARUH REPUTASI DAN RELATIONSHIP VALUE
TERHADAP KEPERCAYAAN MITRA ALIANSI PADA
INDUSTRI PARIWISATA
Ratih Juliati
Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]
Abstrak: Fenomena bisnis dalam industri pariwisata memiliki
tingkat ketergantungan dengan usaha jasa lainnya dan memiliki
karakteristik yang unik, yaitu jasa pariwisata yang berbeda satu
dengan yang lain, namun dalam implementasi operasionalnya
saling terkait. Penelitian bertujuan untuk: (1) Menguji dan
menganalisis pengaruh reputasi terhadap kepercayaan mitra
aliansi; (2) Menguji dan menganalisis pengaruh relationship values
terhadap kepercayaan mitra alinsi; (3) Menguji dan menganalisis
pengaruh yang dominan, reputasi atau relationship values terhadap
kepercayaan mitra aliansi. Lokasi penelitian meliputi: Kabupaten
Malang, Kota Malang dan Kota Batu. Populasi penelitian ini
sebanyak 625 usaha jasa pariwisata di Malang Raya yang terdiri
dari tiga kelompok, yaitu: (1) Jasa Keramah-tamahan (Hospitality
Services); (2) Organisasi Usaha Perjalanan Wisata (Tour and
Travel Organization); dan (3) Jasa Kunjungan Tujuan Wisata
(Visitor Services). Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan unit analisisnya adalah kerjasama (aliansi). Kerjasama
minimal satu tahun oleh para pengambil keputusan, yaitu: pemilik
(owner) atau direktur utama/general manajer. Teknik pengambilan
sampel dengan cara proporsional random sampling. Adapun
sampel dalam penelitian ini sebanyak 244 responden. Responden
adalah pengambil keputusan yaitu eksekutif pada usaha jasa
pariwisata (mitra aliansi) di Malang Raya. Metode pengumpulan
data dengan kuesioner yang telah di uji validitas dan reliabilitas-
nya serta dibantu dengan wawancara. Hasil studi menunjukkan
bahwa, secara parsial nilai t hitung pada reputasi mitra aliansi
adalah 2,03 dan relationship value mitra aliansi adalah 12,76
dengan nilai t tabel adalah 1,65. Artinya, reputasi mitra aliansi
memberikan pengaruh positif terhadap kepercayaan mitra aliansi,
begitu juga dengan relationship value mitra aliansi memberikan
pengaruh positif terhadap kepercayaan mitra aliansi. Tetapi dalam
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
65 ProsIding
kenyataan nilai Standardized Coefficients Beta untuk masing-
masing variabel, yaitu reputasi mitra aliansi sebesar 0,10 dan
releationship value mitra aliansi sebesar 0,63 ini menunjukkan
bahwa relationship value merupakan penentu keberlangsungan
kerjasama antar para eksekutif usaha jasa pariwisata (mitra aliansi)
terhadap kepercayaan mitra aliansi, dibanding reputasi pada usaha
jasa dalam industri pariwisata di Malang Raya.
Keyword : Strategi aliansi, business-to-business, reputasi,
relationship value, dan kepercayaan
PENDAHULUAN
Aliansi strategis adalah suatu perjanjian terbuka dengan dua
atau lebih perusahaan/ usaha jasa yang memungkinkan kerjasama
dengan berbagi sumber daya yang saling menguntungkan, serta
peningkatan posisi kompetitif dari semua organisasi dalam aliansi
(Das and Teng, 2002). Aliansi strategi dibutuhkan, ketika sebuah
perusahaan/ usaha jasa sudah tidak mampu melakukan aktivitasnya
sendiri, maka perusahaan/ usaha jasa yang akan mencari partner/
mitra aliansi sebagai salah satu cara untuk bersinergi dan saling
melengkapi satu sama lain, melalui sumberdaya atau kapabilitas
untuk meraih keunggulan kompetitif.
Studi ini, memberi kontribusi pengetahuan tentang
bagaimana menghubungkan konstruk dan mengeksplorasi
hubungan ini dalam konteks business-to-business (B2B) dengan
menganalisis usaha jasa industri pariwisata di Malang Raya.
Reputasi (Saxton, Todd., 1997; Bennett et al, 2001;Lambe, Spekman
and Hunt 2002; Babakhani, et al., 2011; Miremadi et al., 2011;
Kelly, 2014, Park, et al.,2016) dan relationship value (Ryssel et al.,
(2004); Golicic and Mentzer (2006);Ulaga and Eggert,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
66 ProsIding
2006;Grönroos et al.,2006; Berry and Terry 2008; Sun et al., 2014;
Gil- Saura, 2014) sebagai net-income atau variabel yang
mempengaruhi kepercayaan. Kepercayaan berdasarkan teori
(Morgan and Hunt, 1994) dan beberapa penelitian terdahulu, seperti;
(Bennett et al., 2001; Gilliland dan Bello, 2002;D.Hunt et al.,
2002;Ulaga and Eggret 2006; Grönroos et al., 2006; Mehta et al.,
2006; Pansiri, 2008; Abosag et al., 2012; Gil Saura, 2014; Cullen,et
al., 2015; Park, et al., 2016), sebagai mediating dalam pertukaran
relasional. Namun dalam hubungan kerjasama dalam studi ini
sebagai outcome.
Hubungan kerjasama dalam pemasaran relasional pada
lingkup industri pariwisata memiliki karakteristik unik, yaitu usaha
jasa yang berbeda satu dengan yang lain, namun dalam implementasi
operasionalnya saling terkait, karena hubungan kerjasama dengan
usaha jasa saling melengkapi (Kenneth 2004). Adapun tiga
kelompok usaha jasa yang berbeda dalam industri pariwisata, yaitu;
(1) Hospitality services, (Food and Beverage, Akomodation), (2)
Tour and Travel(Wholesaller /Retailer,Operators) dan (3) Visitor
Services (Destination andAttractios, Events, and TourismAgencies)
(Stokes, 2006). Selanjutnya, usaha jasa dalam industri pariwisata
saling melengkapi, sehingga dengan pertimbangan rasional akan
menjalin hubungan kerjasama yang dilandasi dengan motif ekonomi.
(Tsang 2000; Hitt et al., 2003; Davis-Sramek et al., 2009).
Hubungan kerjasama mitra aliansi yang dilandasi motif
ekonomi lebih memilih bekerja sama dengan usaha jasa/mitra aliansi
yang memiliki reputasi mitra aliansi, terutama untuk meminimalkan
resiko pada suatu hubungan jangka panjang (Bennet and Gabriel,
2001). Park, et al., (2016) menyatakan bahwa kepercayaan, reputasi
dan komitmen sebagai mediating dalam kegagalan aliansi. Namun
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
67 ProsIding
berbeda dengan beberapa temuan bahwa reputasi sebagai net-
income, seperti; Ganesan (1994), Bennet and Gabriel (2001), Sharif
(2005), Tian et al., (2008), Keh and Xie (2009), dan Wagner et al.,
(2011); menyatakan bahwa reputasi berpengaruh positif terhadap
kepercayaan yang akan mengarah pada terciptanya hubungan jangka
panjang. Berdasarkan temuan yang yang bervariasi tersebut, maka
perlu dilakukan penelitian kembali, studi ini mengacu pada pendapat
terakhir, yaitu reputasi berpengaruh terhadap kepercayaan.
Selain itu, manfaat atau nilai (value) digambarkan sebagai
"relationship value" (Payne and Holt, 2001; Ulaga, 2003).
Relationship value lahir dari hubungan kerjasama jangka panjang
dengan kedua belah pihak, sehingga dapat menciptakan kualitas nilai
(Hogan, 2001). Relationship value juga sangat berperan dalam
menciptakan hubungan yang kuat dan hubungan jangka panjang
(Gill-Saura et al., 2009). Beberapa temuan penelitian terdahulu
relationship value sebagai mediating, seperti; Barry and Terry,
(2008). Selanjutnya relationship value sebagai net-income, seperti;
Ulaga and Eggert (2006) dan Gil-Saura et al., (2009) menemukan
bahwa relationship value berpengaruh secara signifikan dan positif
terhadap kepercayaan mitra aliansi. Berdasarkan temuan yang
bervariasi, maka perlu dilakukan penelitian kembali, studi ini
mengacu pada pendapat terakhir, yaitu relationship value
berpengaruh terhadap kepercayaan.
Bagaimana pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
mampu mempersiapkan diri, termasuk Malang Raya turut
mengambil peran dengan cara; pemerintah daerah sebagai motor
penggerak yang selanjutnya memberikan kewenangan penuh kepada
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah untuk menentukan
strategis pembangunan pariwisata. Malang Raya memiliki destinasi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
68 ProsIding
wisata, dimana satu sama lain mempunyai ciri khas, seperti; kota
Malang dengan wisata belanja nya dan warisan budaya (heritage),
kabupaten Malang dengan wisata alamnya dan kota Batu dengan
beberapa wisata alam dan cenderung wisata buatan. Berdasarkan
uraian diatas, studi ini akan mengeksplorasi kepercayaan pelaku
usaha jasa pariwisata, maka pertanyaan penelitian yang diajukan
dalam studi ini, sebagai berikut: “Bagaimana upaya membangun
kerjasama dengan kepercayaan mitra aliansi yang dilandasi oleh
reputasi dan relationship values dalam industri pariwisata di Malang
Raya ? ”
METODE
Malang Raya merupakan salah satu Objek Daya Tarik
Wisata (ODTW) di propinsi Jawa Timur yang menjadi pertimbangan
untuk dikunjungi para wisatawan. Lokasi penelitian ini diMalang
Raya, yaitu terdiri dari 3 wilayah, Lokasi penelitian di Malang Raya,
terdiri dari 3 wilayah, yakni: Kota Malang terdiri dari 4 kecamatan,
Kabupaten Malang terdiri dari 15 kecamatan dan Kota Batu terdiri
dari 3 kecamatan, yang selanjutnya akan menjadi daerah penelitian.
Pelaksanaan penelitian pada pelaku usaha jasa di Malang Raya
dilakukan selama 3 (tiga) bulan terdiri dari bulan pertama uji coba
kuesioner dan bulan ke dua sampai bulan ke tiga, yaitu persiapan dan
pelaksanaan serta pengumpulan data. Populasi dalam studi ini adalah
seluruh usaha jasa/ mitra aliansi dalam industri pariwisata di Malang
Raya terdiri dari: Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu.
Adapun usaha jasa/ mitra aliansi yang menjadi sasaran penelitian
dalam lingkup industri pariwisata terbagi dalam tiga kelompok, yaitu
jasa keramah-tamahan (Hospitality Services),jasa perjalanan wisata
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
69 ProsIding
(Tour and Travel Organization), jasa kunjungan wisata (Visitors
Services). Ketiga kelompok ini merupakan pelaku usaha jasa/ mitra
aliansi yang berorientasi laba (profit oriented) dan telah tergabung
dalam Asosiasi PHRI dan ASITA serta DEPERINDAG di Malang
Raya sebanyak 625 anggota.
Sampel diambil dari populasi dengan menggunakan teknik
probability sampling dengan cara proporsional random sampling.
Pendekatan yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah menggunakan cara persentase.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran sampel yang diambil, menggunakan model
statistik dari Slovin sebanyak 244 responden. Sedangkan
pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini melalui
dua sumber, yaitu : data primer dari responden dan data sekunder
yang telah dipublikasikan, seperti data DEPBUDPAR, PHRI,
ASITA, dan DEPERINDAG, maupun dari publikasi media. Teknik
analisis data adalah analisis deskriptif Distribusi jawaban responden
pada variabel dependen dan variabel independen diperoleh dengan
cara menggunakan frekuensi jawaban responden dengan indeks
persepsional dan menggunakan skala jawaban 1 sampai 5, yaitu pada
tabel 1 sebagai berikut
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
70 ProsIding
Tabel 1
Distribusi Jawaban Responden
MenurutVariabel Reputasi
Reputasi Mitra Aliansi 1 2 3 4 5 Total
Nilai
Indeks
∑(FxI)/5
x1.1
Mitra usaha/aliansi saya,
sangat kompeten/mampu di
bidangnya
F 0 3 29 142 70 244
202,2 F x
I 0 6 87 568 350 1.011
%F 0 0,01 0,12 0,58 0,29 1
x1.2
Mitra usaha/aliansi saya,
lebih unggul di bidangnya
F 0 0 28 133 83 244
206,2 F x
I 0 0 84 532 415 1.031
%F 0 0 0,12 0,54 0,34 1
x1.3
Mitra usaha/aliansi saya,
lebih pengalaman di
bidangnya
F 0 9 85 86 64 244
187,4 F x
I 0 18 255 344 320 937
%F 0 0,04 0,35 0,35 0,26 1
x1.4
Mitra usaha / aliansi saya,
lebih luas akses (jalan
masuk) pasar di bidangnya
F 0 2 72 96 74 244
194,8 F x
I 0 4 216 384 370 974
%F 0 0,01 0,29 0,4 0,3 1
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Pada tabel 1 menunjukan bahwa nilai indeks tertinggi
terdapat pada 𝑥1.2 yaitu sebesar 206,2 hal tersebut menunjukkan
bahwa mitra aliansi yang memiliki keunggulan dibidangnya
dipersepsikan paling penting oleh responden dalam variabel reputasi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
71 ProsIding
mitra aliansi. Selanjutnya nilai indeks terendah terdapat pada 𝑥1.3
yaitu sebesar 87,4 hal tersebut menunjukkan bahwa mitra aliansi
yang kurang berpengalaman di bidangnya.
Tabel 2
Distribusi Jawaban Responden
Menurut Variabel Relationship Value
Relationship Value Mitra Aliansi 1 2 3 4 5 Total
Nilai Indeks
∑(FxI)/5
x2.1
Mitra usaha/aliansisaya,
selalu memberi nilai
subyektif atau perlakuan
istimewa saat menjalin
hubungan kerja sama
F 0 0 34 127 83 244
205 F x
I 0 0 102 508 415 1.025
%F 0 0 0,14 0,52 0,34 1
x2.2
Mitra usaha/aliansi saya,
selalu memberi nilai
manfaat saat menjalin
hubungan kerja sama
F 0 4 41 122 77 244
200,8 F x
I 0 8 123 488 385 1.004
%F 0 0,02 0,17 0,5 0,31 1
x2.3
Mitra usaha/aliansi saya,
selalu memberi nilai
kredibilitas (informasi yang
dapat dipercaya) saat
menjalin hubungan
kerjasama
F 0 10 148 49 37 244
169 F x
I 0 20 444 196 185 845
%F 0 0,04 0,61 0,2 0,15 1
x2.4
Mitra usaha/aliansi saya,
selalu memberi nilai (rasa
aman) saat menjalin
hubungan kerjasama
F 0 0 66 110 68 244
195,6 F x
I 0 0 198 440 340 978
%F 0 0 0,27 0,45 0,28 1
Sumber: data primer yang diolah (2017)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
72 ProsIding
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa nilai indeks tertinggi
terdapat pada indikator 𝑥2.1 yaitu sebesar 205, hal ini menunjukkan
bahwa dengan memberi nilai subyektif atau perlakuan istimewa saat
menjalin hubungan kerjasama dipersepsikan paling penting oleh
responden, sehingga mitra aliansi merasa lebih diperhatikan saat
menggunakan jasanya. Selanjutnya nilai indeks terendah terdapat
pada 𝑥2.3 yaitu sebesar 169, hal ini menunjukkan bahwa dengan
memberi nilai kredibilitas saat menjalin hubungan kerjasama
dipersepsikan kurang penting oleh responden.
Tabel 3
Distribusi Jawaban Responden
Menurut Variabel Kepercayaan Mitra Aliansi
Kepercayaan Mitra Aliansi 1 2 3 4 5 Total
Nilai
Indeks
∑(FxI)/5
y1.1
Kami menjunjung tinggi
kejujuran saat melakukan
perjanjian dalam hubungan
kerja sama
F 0 3 20 136 85 244
207 F x
I 0 6 60 544 425 1.035
%F 0 0,01 0,08 0,56 0,35 1
y1.2
Kami menjunjung tinggi
keadilan saat melaksanakan
hak dan kewajiban dalam
hubungan kerja sama
F 0 0 20 131 93 244
209,8 F x
I 0 0 60 524 465 1.049
%F 0 0 0,08 0,54 0,38 1
y1.3
Kami menjunjung tinggi
saat pembagian hak secara
proporsional (sebanding)
dalam hubungan kerja
sama
F 0 3 60 68 113 244
204,6 F x
I 0 6 180 272 565 1.023
%F 0 0,01 0,25 0,28 0,46 1
y1.4 F 0 3 67 83 91 244 198,8
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
73 ProsIding
Kami menjunjung tinggi
ketepatan janji saat
melakukan transaksi dalam
hubungan kerjasama
F x
I 0 6 201 332 455 994
%F 0 0,01 0,27 0,34 0,38 1
y1.5
Kami menjunjung tinggi
ketelitian saat menghitung
transaksi dengan
tepat/benar dalam
hubungan kerja sama
F 0 10 77 106 51 244
186 F x
I 0 20 231 424 255 930
%F 0 0,04 0,32 0,43 0,21 1
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Pada tabel 3, menunjukkan bahwa nilai indeks tertinggi
terdapat pada indikator 𝑦1.2 yaitu sebesar 209,8 hal ini
menunjukkan bahwa mitra aliansi sangat menjunjung tinggi keadilan
saat melaksanakan hak dan kewajiban dipersepsikan paling penting
oleh responden dalam variabel relationship value agar masing-
masing pihak tidak ada yang dirugikan. Selanjutnya nilai indeks
terendah terdapat pada indikator 𝑦1.5 yaitu sebesar 186 hal ini
menunjukan bahwa responden kurang menjunjung tinggi ketelitian
dalam menghitung transaksi.
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk
mengetahui ada atau tidak ada pengaruh antara variabel independen
atau variabel Reputasi Mitra Aliansi (RMA) dan variabel
Relationship Value Mitra Aliansi (RVMA) terhadap variabel
dependen atau variabel Kepercayaan Mitra Aliansi (KMA) dengan
menggunakan SPSS 21 for Windows. Hasil dari uji regresi linear
berganda dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
74 ProsIding
Tabel 4
Hasil Uji Regresi Linear Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 6,154 1,211 5,082 ,000
X1.total ,121 ,060 ,101 2,032 ,043
X2.total ,792 ,062 ,633 12,763 ,000
a. Dependent Variable: Y1.total
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Dari hasil pengujian tersebut, maka persamaan regresi
dirumuskan y = a + b1𝑥1+ b2𝑥2 sehingga y = 6,154 + 0,121x1 +
0,792x2. Persamaan regresi dijelaskan sebagai berikut:
1. Konstanta sebesar 6,154;artinya jika Reputasi Mitra Aliansi (x1)
dan Relationship Value Mitra Aliansi (x2) nilainya adalah 0,
maka Kepercayaan Mitra Aliansi (y1) nilainya adalah 6,154.
2. Koefisien regresi variabel Reputasi Mitra Aliansi (x1) sebesar
0,121; artinya jika variabel independen x1 berubah sebesar 1
satuan maka variabel dependen akan berubah sebesar 0,121
dengan asumsi variabel lain tetap.Interpretasinya jika Reputasi
Mitra Aliansi naik sebesar 1 satuan akan mengakibatkan
kenaikanKepercayaan Mitra Aliansi sebesar 0,121 atau 12,1%.
Independen lain nilainya tetap dan Reputasi Mitra Aliansi
mengalami kenaikan 1%, maka Kepercayaan Mitra Aliansi (y1)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
75 ProsIding
akan mengalami peningkatan sebesar 0,121. Koefisien bernilai
positif artinya terjadi hubungan positif antara Reputasi Mitra
Aliansi dengan Kepercayaan Mitra Aliansi, semakin naik
Reputasi Mitra Aliansi maka semakin naik Kepercayaan itra
Aliansi. Koefisien variabel RMA(𝑥1) mempengaruhi secara
signifikan variabel KMA, karena tingkat signifikansi variabel
RMAsebesar 0,043 yang lebih kecil dari pada 0,05
(0,043<0,05). Jika semakin tinggiReputasi Mitra Aliansi maka
semakin tinggitingkat Kepercayaan Mitra Aliansi dalam
mengambil suatu keputusan bisnis.
3. Koefisien regresi variabel Relationship Value Mitra Aliansi (x2)
sebesar 0,792; artinya jika variabel independen lain nilainya
tetap dan Relationship Value Mitra Aliansi mengalami kenaikan
1%, maka Kepercayaan Mitra Aliansi (y1) akan mengalami
peningkatan sebesar 0,792. Koefisien bernilai positif artinya
terjadi hubungan positif antara RVMA dengan KMA, semakin
naik Relationship Value Mitra Aliansi maka semakin naik
Kepercayaan Mitra Aliansi. Koefisien variabel RVMA(x2)
mempengaruhi secara signifikan variabel KMA (y1), karena
tingkat signifikansi variabel RVMA sebesar 0,000 yang lebih
kecil dari pada 0,05 (0,000<0,05). Jika semakintinggi
Relationship Value Mitra Aliansimaka semakin tinggitingkat
Kepercayaan Mitra Aliansi dalam mengambil suatu keputusan
bisnis.
Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk memprediksi
seberapa besar kontribusi pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen. Kontribusi pengaruh tersebut terlihat pada angka
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
76 ProsIding
adjusted r square. Berikut adalah hasil pengujian dapat dilihat pada
tabel 5 sebagai berikut:
Tabel 5
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,663a ,440 ,436 2,01822
a. Predictors: (Constant), X2.total, X1.total
b. Dependent Variable: Y1.total
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Dari table 5, diketahui bahwa nilai R Square 0,440. Hal ini
menunjukkan bahwa kepercayaan mitra aliansi ditentukan oleh
reputasi mitra aliansi dan relationship value mitra aliansi sebesar 44
% sedangkan sisanya 56 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
termasuk dalam penelitian ini.
Tidak ada ukuran yang pasti berapa besarnya R2 untuk
mengatakan bahwa suatu pilihan variabel sudah tepat. Jika
R2 semakin besar atau mendekati 1, maka model cenderung tepat.
Untuk data survei yang berarti bersifat cross section data yang
diperoleh dari banyak responden pada waktu yang sama, maka nilai
R2 = 0,2 (20%) atau 0,3 (30%) sudah cukup baik. Keputusan ini
dapat diterima jika uji F menunjukkan nilai yang besar atau
signifikan. Menurut Gujarati (1995) keputusan untuk menerima
model tersebut baik atau tepat harus dilihat bersama antara besarnya
nilai F dan R2 artinya nilai koefisiensi determinasi digunakan
memprediksi besarnya kontribusi pengaruh reputasi mitra aliansi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
77 ProsIding
dan relationship value mitra aliansi terhadap kepercayaan mitra
aliansi dengan asumsi apabila hasil uji F bernilai signifikan.
Uji F dikenal dengan uji Serentak atau uji model/
uji Anova, yaitu uji untuk melihat bagaimanakah pengaruh
semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel
terikatnya. Atau untuk menguji apakah model regresi yang dibuat
bersifat baik/signifikan atau tidak baik/non-signifikan. Dalam
penelitian ini menggunakan SPSS 21.00 for Windows Software.
Kriteria pengujian hipotesis berdasarkan nilai probabilitas F hitung,
jika nilai probabilitas F hitung lebih kecil dari tingkat kesalahan/eror
(alpha) 0,05, maka dapat dikatakan bahwa model regresi yang
diestimasi layak, sedangkan apabila nilai probabilitas F hitung lebih
besar dari tingkat kesalahan/eror (alpha) 0,05, maka dapat dikatakan
bahwa model regresi yang diestimasi tidak layak (Iqbal, 2015).
Berikut adalah hasil pengujian dilihat pada tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Uji F
ANOVAa
Model Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
1
Regression 771,913 2 385,956 94,755 ,000b
Residual 981,640 241 4,073
Total 1753,553 243
a. Dependent Variable: Y1.total
b. Predictors: (Constant), X2.total, X1.total
Sumber:data primer yang diolah (2017)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
78 ProsIding
Dari tabel 6, diketahui bahwa nilai probabilitas F hitung
lebih kecil dari tingkat kesalahan/eror (alpha) 0,05 (0,000 < 0,05),
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara Reputasi Mitra Aliansi (X1) dan Relationship Value Mitra
Aliansi (X2) secara simultan terhadap Kepercayaan Mitra Aliansi
(Y).
Uji t dikenal dengan uji parsial, yaitu untuk menguji
bagaimana pengaruh masing-masing variabel. Dalam penelitian ini
menggunakan Variabel Reputasi Mitra Aliansi(x1) dan Relationship
Value Mitra Aliansi (x2) secara sendiri-sendiri terhadap variabel
Kepercayaan dengan Mitra Aliansi (y1). Kriteria pengujian hipotesis
ini jika nilai signifikan lebih kecil dari tingkat kesalahan (alpha) 0,05
(yang telah ditetapkan), maka dapat dikatakan bahwa variabel bebas
berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya (Iqbal, 2015).
Berikut adalah hasil uji parsial (uji t) dapat dilihat pada tabel 7
sebagai berikut.
Tabel 7
Hasil Uji t Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 6,154 1,211 5,082 ,000
X1.total ,121 ,060 ,101 2,032 ,043
X2.total ,792 ,062 ,633 12,763 ,000
a. Dependent Variable: Y1.total
Sumber: data primer yang diolah (2017)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
79 ProsIding
Nilai t hitung pada tabel 7 di atas adalah 2,032 untuk X1
dan 12,763 untuk X2, sedangkan nilai t tabel adalah 1,65. Jika t
hitung lebih besar dari t tabel (X1 = 2,032 > 1,65 dan X2 = 12,763 >
1,65), maka disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara Reputasi Mitra Aliansi (X1) dan Relationship Value Mitra
Aliansi (X2) secara parsial (sendiri-sendiri) terhadap Kepercayaan
Mitra Aliansi (Y).
Uji Variabel Dominan. Dalam penelitian ini juga dihitung
sumbangan efektif (SE) yang digunakan untuk menguji variabel
bebas mana yang dominan mempengaruhi variabel terikat. Adapun
perhitungannya diperoleh dengan cara menguadratkan koefisien
parsial. Berikut adalah hasil uji variabel dominan dapat dilihat pada
tabel 8 sebagai berikut :
Tabel 8
Hasil Uji Variabel Dominan
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 6,154 1,211 5,082 ,000
X1.total ,121 ,060 ,101 2,032 ,043
X2.total ,792 ,062 ,633 12,763 ,000
a. Dependent Variable: Y1.total
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan nilai Standardized
Coefficients Beta untuk masing-masing variabel, yaitu Reputasi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
80 ProsIding
Mitra Aliansi (X1) sebesar 0,101 dan Releationship Value Mitra
Aliansi (X2) sebesar 0,633. Ini berarti bahwa variabel Relationship
Value Mitra Aliansi(X2) lebih besar dari variabel Reputasi Mitra
Aliansi (X1) artinya variabel Relationship Value Mitra Aliansi
memiliki pengaruh yang dominan terhadap Kepercayaan Mitra
Aliansi (usaha jasa) pariwisata di Malang Raya.
PENUTUP
Hasil studi menunjukkan bahwa, secara parsial nilai t
hitung pada reputasi mitra aliansi adalah 2,03 dan relationship value
mitra aliansi adalah 12,76 dengan nilai t tabel adalah 1,65. Artinya,
reputasi mitra aliansi memberikan pengaruh positif terhadap
kepercayaan mitra aliansi, pada usaha jasa pariwisata di Malang
Raya. Reputasi yang baik merupakan awal yang mendasari penilaian
dalam menentukan, apakah suatu usaha jasa tersebut layak untuk
menjadi mitra aliansi. Begitu juga dengan relationship value mitra
aliansi memberikan pengaruh positif terhadap kepercayaan mitra
aliansi. Kemampuan satu pihak untuk memberi nilai atau manfaat
yang besar membuat pihak lain menilai bahwa pihak tersebut
memiliki kompetensi dan kapabilitas yang tinggi terhadap
pekerjaannya, sehingga menunjukkan relationship value yang tinggi
akan berdampak pada kepercayaan mitra aliansi yang tinggi pada
usaha jasa pariwisata di Malang Raya.
Tetapi dalam kenyataan, nilai Standardized Coefficients Beta
untuk masing-masing variabel, yaitu reputasi mitra aliansi sebesar
0,10 dan reletionship value mitra aliansi sebesar 0,63 , artinya
reletionship value mempunyai pengaruh dominan dalam hubungan
kerja sama (kemitraan) antar para eksekutif (para mitra aliansi).
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
81 ProsIding
Beberapa indikator yang mampu mencerminkan makna dari
reletionship value,yaitu menunjukan bahwa nilai subjektif
(perlakuan istimewa) yang dirasakan mitra aliansi saat melakukan
hubungan kerjasama (kemitraan) sangat dibutuhkan dalam
kerjasama ini, ditambah nilai manfaat yang benar-benar dirasakan
kedua belah pihak, selain itu nilai kredibilitas (informasi yang dapat
dipercaya) yang dirasakan mitra aliansi kurang dibutuhkan karena
mereka sudah sama-sama percaya, dan nilai aman yang dirasakan
mitra aliansi juga dibutuhkan dalam setiap kerjasama agar
berkelanjutan. Oleh karena itu relationship value merupakan
penentu bagi keberlangsungan hubungan kerjasama (kemitraan)
antar para eksekutif usaha jasa pariwisata (mitra aliansi) terhadap
kepercayaan mitra aliansinya, dibanding reputasi pada usaha jasa
dalam industri pariwisata di Malang Raya.
.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
82 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Albaum, Gerald and Edwin Duerr, 2011.“Internasional Marketing
and Export Management“, Seventh Edition.Financial Time
Press. England:Pearson.
Alimuddin Rizal Riva’i, 2010. Kekuatan Memaksa dalam
Pemasaran Relasional dan Dampaknya pada Strategic
MarketingOutcomes (Studi Empirik pada Industri
Pariwisata di Indonesia), Disertasi, Universitas Diponegoro
Semarang.
Anshori Muslich, Iswati Sri, 2009. Buku Ajar; Metode Penelitian
Kuantitatif, Edisi Pertama, Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unversitas Airlangga Surabaya.
Baron S, Conway T and Warnaby G, 2010. RelationshipMarketing:
A Consumer Experience Approach. Cornwall, England:
SAGE Publication, Inc.
Bennet R and Gabriel H, 2001. Reputation, Trust and Supplier
Commitment The Case of Shipping Company/Seaport
Relations. Journal of Business and Industrial Marketing,
Vol. 16, No.6 pp 424-438.
Dolphin RR, 2004.Corporate Reputation –A Value Creating
Strategy.Corporate Governance, Vol. 4, No. 3, pp. 77-92.
Falkenreck C, 2010. Reputation Transfer to Enter New B-to-B
Markets: Measuring and Modelling Approaches.
Heidelberg, Germany: Springer.
Gibbs.R and Humphries.A, 2009. Strategic Alliances & Marketing
Partnerships, First published in Great Britain and the
United States by Kogan Page Limited, ISBN 978 0 7494
5484 5. www.koganpage.com
Gil-Saura I, Frasquet-Deltoro M and Cervera-Taulet A, 2009. The
value of B2B Relationship. Industrial Management and
Data Systems, Vol. 109 No. 5, pp. 593-609.
Graham Hooley, Nigel F.Piercy, Brigitte Nicoulaud, 2008. “
Marketing Strategy and Competitive Positioning, Fourth
Edition. Printice Hal.
Hui-Mei Chena,Chian-Hau Tsengb, 2003.The performance of
marketing alliances between the tourism industry and credit
card issuing banks in Taiwan Elsevier Ltd. All rights
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
83 ProsIding
reserved. *Corresponding author see front matter, Elsevier
Ltd. All rights reserved.
Hutt MDand Speh TW, 2010. Business Marketing Management
:B2B .Tenth Edition, Ohio, USA, Cengage Learning.
Kevin E. Voss, 2006, Relational exchange in US-Japanese
marketing strategic alliances, Oklahoma, USA,
Washington, USA, and Tokyo, Japan.
Kotler.Bowen.J, Makens.J, 2006, Marketing for Hospitality and
Tourism, Fourth Edition, Pearson Education International.
________.Kevin L. Keller, 2012. Marketing Management, (14th ed)
Global Edition, Pearson Education Limited. Edinburgh
Gate, England.
Michael A.Hiit, 2011. A Volume in Research in Strategic Alliances
Strategic Alliances in A Globalizing World, Edit by
T.K.DAS. Series Foreword By.IAP-Information Age
Publishing, Inc, (e-book) Printed in The United State of
America.
Miremadi A, Babakhani N, Yousefian M, and Fotoohi H, 2011.
Importance of the Corporate Reputation in B2B Context in
Iran: an Emprical Study. International Journal of
Marketing Studies, Vol. 3, No.4,pp.146-157.
Morgan, Rob.M, and Shelby D. Hunt, 1994. The Commitment-Trust
Theory of Relationship Marketing, Journal of Marketing.
Vol.58, no 3 (July), pp. 20-38.
Morrison, Alastair M, 2010. Hospitality and Travel Marketing, 4 th
, Edition, New York, Delmar Cengage, Learning.
Piercy Nigel F, 2002. Market-Led Strategic Change; A Guide to
Transforming the Process of Going to Market, Third
edition, Butterworth-Heinemann, Linacre House, Jordan
Hill, A division of Reed Educational &Professional
Publishing Ltd.
Qizhi Dai, 2010. Understanding B2B e-market alliance strategies,
Doctoral Candidate, Information and Decision
Sciences, Carlson School of
Suleiman A. Al Khattab1, 2012 . Marketing Strategic Alliances: The
Hotel Sector in Jordan, E-mail: [email protected]
International Journal of Business and Management Vol. 7,
No. 9, May 2012.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
84 ProsIding
Ulaga W and Eggert A, 2006. Relationship Value and Relationship
Quality: Broadening The Nomological Network
of Business-to-Business Relationship. European Journal of
Marketing, Vol. 40, no.3 Issue 4, pp. 311-327.
Vellas Francoois dan Lionel Becherel, 2008.Pemasaran Pariwisata
Internasional Sebuah pendekatan Strategis, Edisi Indonesia
dan edisi pertama, Penerbit Yayasan Obor Indonesia
Anggota IKAPI DKI, http://www.obor.or.id.
Walsh G and Beatty SE, 2007. Customer-Based Corporate
Reputation of A Service Firm: Scale Development and
Validation. Journal of the Academic Marketing Science,
Vol. 35,pp. 127-143.
Wagner SM, Coley LS and Lindemann E, 2011. Effects 0f
Suppliers Reputation on The Future of uyer-Supplier
Relationship: The Mediating Roles of Outcome Fairness
and Trust. Journal of Supply Chain Management, Vol. 47,
No, 2, pp. 29-48.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
85 ProsIding
PROGRAM MAHASISWA MENGAJAR: PERAN
LEARNING RESOURCES
MUSYRIF MA’HAD UIN MALANG
Umi Machmudah
Dosen Bahasa Arab Jurusan PBA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, alumni S3 Universitas Negeri
Malang Prodi: Teknologi Pembelajaran.
Email: [email protected]
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian strategis untuk membangun
manusia seutuhnya1 dan sebagai media yang sangat ampuh dalam
membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia agar
menjadi lebih baik dan unggul2. Proses pendidikan bagi umat Islam
bukan saja merupakan kebutuhan akan tetapi lebih dari itu
merupakan realisasi ketaatan dan realisasi keimanannya pada Allah.
Mahasiswa adalah kelompok usia muda yang sedang
mengenyam pendidikan di level perguruan tinggi. Mereka
menempati 18% dari jumlah penduduk dunia, kira- kira 1.2 milyar3.
Pemuda menurut pakar pendidikan Islam dunia “Musthofa Al
Ghulaayainy” memiliki kedudukan yang amat penting dalam
kehidupan “inna fi yadisy syubbaan amral ummah wa fi aqdaamihim
hayaataha”, bahwa maju mundurnya suatu bangsa ada di tangan
pemuda. Mahasiswa sebagai pemuda memerankan beberapa peran,
1. Rahardjo, Mudjia. 2010. Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer. Malang: UIN
Maliki Press: vii 2. Azzet, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakterdi Indonesia.
Jogjakarta: Ar-Ruz Media: 9 3. Al Yunesco wa Asy Syabaab. 2017: Al Istiraatiijiyyah. Unesco: 2: 23..
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
86 ProsIding
Agent of change4 bahwa mahasiswa sebagai agen dari suatu
perubahan, social control dimana mahasiswa menjadi panutan dalam
masyarakat, dengan berlandaskan pengetahuan, sesuai tingkat
pendidikan, norma-norma yang berlaku disekitarnya, dan iron stock
bahwa mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh
yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat
menggantikan generasi-generasi sebelumnya.
Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, barang siapa yang
diberi Allah hikmah maka sungguh dia telah mendapatkan kebaikan
yang banyak 5. Artinya ilmu tersebut bermanfaat baik untuk diri
sendiri maupun orang- orang sekitarnya (keluarga/ asrama/ ma’had/
lingkungan terdekat dimana dia berada bahkan untuk bangsa dan
negara). Kemanfaatan akan terjadi jika ilmu tersebut oleh pelaku
(yang punya ilmu) dan orang yang diajaknya bisa dijadikan sebagai
sarana untuk melakukan amal sholeh. Sarana mencapai hikmah yang
efektif adalah dengan “mengajar” Yu’til haikmata man yasyaa’ wa
man yu’tal hikmata faqad uutiya khairan katsiiro6. Mahasiswa
sebagai pemuda secara umum adalah usia yang sangat potensial dan
produktif, sehingga sangat strategis untuk diberdayakan, dilibatkan
dalam proses pembangunan, mulai dari lingkungan dia berada yakni
“kampus”. Pengajar adalah bagian dari sumber belajar7, dimana
keberadaannya adalah sangat penting dalam proses belajar mengajar
karena merupakan sumber invormasi, pengetahuan, keterampilan,
sikap bahkan spiritual.
4. Daurusy Syabaab fi ‘Amaliyyati At Taghyiir Al Mujtama’. 2016 :Wakaalatul Anba’ wal
Ma’luumat Al Falthiiniyyah. 11-16 5. Ash-shobuny Muhammad Ali. 2001. Shofawatut Tafaasiir I. Qohirah: Al
Ashdiqo’Lith- thibaa’ah wan Nasyr wat Tauzii’:143 6. QS Al BAqarah. 269. 7. Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya. Jakarta:
PT Rineka Cipta: 209.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
87 ProsIding
Melalui pendekatan kualitatif, secara deskriptif baik dengan
cara pengamatan, wawancara dan kajian dokumen, makalah ini
ditulis melalui penelitian yang dilakukan di ma’had al Jami’ah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang pada mahasiswa musyrif/ musyrifah
(pembimbing), bertujuan untuk menemukan beberapa hal: 1) Peran
learning resources oleh mahasiswa pembimbing (musyrif/
musyrifah) dalam rangka pembelajaran pada mahasantri, 2)
Kemanfaatan yang diperoleh mahasiswa pembimbing (musyrif/
musyrifah) 3) Kemanfaatan yang diperoleh mahasantri yang
dibimbing oleh mahasiswa pembimbing (musyrif/ musyrifah).
B. Pembahasan
1. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan program
“Mahasiswa Mengajar”
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai salah satu
perguruan tinggi Islam di Indonesia, memiliki cita- cita luhur yakni
menjadikan perguruan tinggi sebagai Center of Excellence dan
Center of Islamic Civilization sekaligus mengimplementasikan
ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Tujuan mulia ini
digambarkan dalam visinya yakni: menjadi universitas Islam
terkemuka dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat untuk menghasilkan
lulusan yang memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak,
keluasan ilmu, dan kematangan profesional, dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang
bernafaskan Islam serta menjadi penggerak kemajuan masyarakat8.
Adapun kedua visi tersebut dijabarkan ke dalam misi utama,
yakni: 1) Mengantarkan mahasiswa memiliki kedalaman spiritual,
8. Statuta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2017.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
88 ProsIding
keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional. 2)
Memberikan pelayanan dan penghargaan kepada penggali ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni
yang bernafaskan Islam. 3) Mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pengkajian dan penelitian ilmiah. 4)
Menjunjung tinggi, mengamalkan, dan memberikan keteladanan
dalam kehidupan atas dasar nilai-nilai Islam dan budaya luhur
bangsa Indonesia.
Keempat visi di atas direalisasikan dalam “Tujuan
Pendidikan” sebagai berikut: 1) Menyiapkan mahasiswa agar
menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan,
dan/atau menciptakan ilmu penge-tahuan dan teknologi serta seni
dan budaya yang bernafaskan Islam. 2) Mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan
budaya yang bernafaskan Islam, dan mengupayakan penggunaannya
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional9.
Ma’had sebagai bagian integral dari UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang memiliki peran yang tak kalah pentingnya dalam
merealisasikan visi, misi serta tugas dalam mewujudkan pendidikan
UIN Malang. Dalam merealisasikan tugasnya, ma’had dibantu oleh
musyrif dan musyrifah (pembimbing) yang mereka itu mahasiswa
dari semester 3, 5, 7 dan mahasiswa senior yang memiliki kualifikasi
rajin ibadah, santun pada guru dan seniornya, sayang kepada adik
kelas dan sesamanya serta cakap dalam disiplin ilmu yang diminati
dan bahasa asing (arab/ inggris) dan menjunjung tinggi nilai- nilai
9. Statuta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2017.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
89 ProsIding
akademik serta merupakan kepanjangan tangan pengasuh dalam
proses kepengasuhan10.
Jadi program “mahasiswa mengajar” yang dimaksud
pemakalah di sini adalah peran “learning resources” oleh
mahasiswa pembimbing (musyrif/ musyrifah) di ma’had UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Peran learning resources oleh Mahasiswa Pembimbing
(musyrif/ musyrifah) dalam Pembelajaran pada
Mahasantri.
Belajar merupakan upaya atau proses perubahan perilaku
seseorang sebagai akibat interaksi peserta didik dengan berbagai
sumber belajar (learning resources) yang ada di sekitarya. Dalam
aktifitas belajar, ada kegiatan yang membelajarkan yang meliputi:
mengingat, memahami, menerapkan (melakukan,
mempraktekkan)11 .Sedang pembelajaran (istilah lain dari
mengajar): adalah upaya untuk menjadikan orang lain agar belajar12
. Dengan merujuk pada dua definisi (belajar dan mengajar) ini, maka
antara definisi belajar dan mengajar secara essensi bisa
dipertemukan, karena mengajar adalah belajar untuk
mempraktekkan dari pengetahuan yang sudah diketahui,
menerapkan keterampilan yang telah dikuasai dan mempraktekkan
pengalaman yang telah dialami saat belajar. Senada dengan pendapat
di atas, adalah Syekh Zarnuji ulama yang lebih dahulu telah
menetapkan konsep belajar dengan “mengajar” yakni “ta’liimul
10. Buku Pendampingan Mahasantri. Pusat Ma’had Al Jami-ah 2016/ 2017. 11. Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran Landasa dan Aplikasinya. Jakarta:
PT Rineka Cipta: 208 12. Degeng, I.N.S. 2013. Teori Pembelajaran 1: Taksonomi Variabel, Bandung: Kalam
Hidup:3
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
90 ProsIding
muta’allim” bahwa mengajar adalah “membelajarkan orang yang
belajar” Artinya belajar itu baru benar- benar terjadi tatkala siswa/
santri/ mahasiswa mampu membelajarkan dirinya .
Imam mujtahid Abu Hanifah, tatkala ditanya tentang “apa
resep keberhasilannya” menjadi tokoh terkenal dalam ilmu fiqh,
Jawabnya secara singkat adalah: “Ma istankaftu minal istifaadati wa
maa bakhiltu minal ifaadati” yang maksudnya “Saya tidak malu
untuk cari ilmu pengetahuan (belajar) dan saya tidak bakhil tatkala
diminta untuk memberi pengetahuan (mengajar)”13 Islam tidak
memisahkan antara aktifitas belajar dengan mengajar. Tatkala
seseorang mengajar maka dia sudah pasti belajar.
Pembelajaran juga didefinisikan dengan upaya
menghidupkan proses belajar. Istilah ini muncul karena yang
membelajarkan adalah guru (atau orang yang menduduki posisi
guru: pembimbing/ tutor sebaya/ musyrif) Pembelajaran berjalan
bertahap dan progressif dari pengalaman langsung hingga ke
penggunaan bahasa simbol yang bermakna abstrak (Brunner yang
dikutipoleh Heinich, Molenda, dan Russell (1986 Edisi Kedua)14.
Selanjutnya dari sumber yang sama Dale dengan teori “kerucut
pengalamannya”/ “Cone of Experience” 15.
13. Zarnuji, Syekh. Ta’liimul Muta’allim. Tt. 6. 14. Heinich, Robert, Michael Molenda & James D Russell. 1986. Instructional Media and
The New Technologies for Instruction. 2nd ed. New York: Mac Millan Publ. Co. 15. Prawiradilaga, Dewi Salma. Wawasan Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 85
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
91 ProsIding
Kerucut pengalaman (cone of experience) dari Edgar ‘Dale
“Ana madiinatul Ilmi wa ‘Aliyyun baabuha” Saya (Nabi
Muhammad saw) adalah kotanya ilmu sedangkan ‘Ali ra adalah
pintunya. Hadits ini pernah menjadi nasyid yang dilagukan oleh
Haddad ‘Alwy tahun 2010 an. Arti singkat dari nasyid ini adalah
barang siapa yang menginginkan ilmu maka hendaklah mendatangi
ahlinya/ pakar/ (nara) sumbernya (learning resources).
Pengertian sumber belajar sangatlah sempit jika diartikan
sebagai semua sarana pengajaran yang dapat menyajikan pesan
secara auditif maupun visual saja, misalnya OHP, slides, vidio, film
dan perangkat keras (hadware) lainnya. Pengertian yang lebih luas
tentang sumber belajar diberikan oleh Edgar Dale yang menyatakan
bahwa pengalaman itu adalah sumber belajar16.Sesungguhnya
sumber belajar itu banyak jenisnya. Adapun sumber belajar itu
meliputi pesan (message), orang (people), bahan
(materials/software), alat (devices/hadware), teknik (tehnique), dan
16. Sudjana, Nana, Rivai, Ahmad. 2009. Teknologi Pengajaran. Bandung:Sinar Baru
Algensindo:76
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
92 ProsIding
lingkungan (setting)17. Berikut uraian singkat dari keenam hal
tersebut:
a. Pesan adalah informasi pembelajaran yang akan disampaikan
yang dapat berupa ide, fakta, ajaran, nilai dan data. Dalam sistem
persekolahan, pesan ini berupa seluruhmata pelajaran yang
disampaikan kepada peserta didik.
b. Orang adalah manusia yang berperan sebagai pencar,
penyimpan, pengolah, dan penyaji pesan. Contohnya guru,dosen,
tutor, pustakawan, laboran, instruktur, widyaiswara, pelatih
olahraga tenaga ahli, produser, peneliti dan masih banyak lagi,
bahkan termasuk peserta didik itu sendiri.
c. Bahan adalah merupakan perangkat lunak (software) yang
mengandung pesan-pesan pembelajaran yang biasanya disajikan
melalui peralatan tertentu ataupun oleh dirinya sendiri.
Contohnnya, buku teks, modul, transparasi (OHT), kaset program
audio, kaset program vidio, program slide suara, programmed
instruction, CAI (pembelajaran berbasis komputer), film dan lain-
lain.
d. Alat adalah perangkat keras (hadware) yang digunakan untuk
menyajikan pesan yang tersimpan didalam bahan. Contohnya,
OHP, proyektor film dan lain-lain.
e. Teknik adalah prosedur atau langkah-lagkah tertentu yang
disiapkan dalam menggunakan bahan, alat, lingkungan dan orang
untuk menyampaikan pesan. Misalkan demonstrasi, diskusi,
praktikum, pembelajaran mandiri, sistem pendidikan
terbuka/jarak jauh, tutorial tatap muka dan sebagainya.
17. Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran Landasa dan Aplikasinya. Jakarta:
PT Rineka Cipta: 209-210.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
93 ProsIding
f. Latar/lingkungan adalah situasi di sekitar terjadinya proses
pembelajaran tempat peserta didik menerima pesan
pembelajaran. Lingkungan dibedakan menjadi dua macam, yaitu
lingkungan fisik dan lingkungan nonfisik. Lingkungan fisik
contohnya, gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, aula,
bengkel dan lain-lain. Sedangkan lingkungan nonfisik contohnya,
tata ruang belajar, vasilitas udara, cuaca, suasana lingkungan
belajar dan lain-lain.
Dari klasifikasi sumber belajar di atas dapatlah disimpulkan
bahwa mahasiswa pembimbing (musyrif/ musyrifah) adalah
merupakan sumber belajar yakni kategori “Orang”
Melalui pengamatan, wawancara dan diperkuat dokumen yang
ada, didapatkan data bahwa peran “learning resources” oleh
mahasiswa pembimbing (musyrif/ musyrifah) dalam rangka
pembelajaran pada mahasantri adalah sebagai berikut:
1) Pendampingan ibadah dan spiritual, yang meliputi:
a) mendampingi untuk mengikuti sholat maktubah (sholat
fardhu) dan sholat sunnah berjama’ah,
b) mencatat ketidak hadiran santri dalam sholat
berjama’ah
2) Pendampingan akademik yang meliputi:
a) kebahasaan:
i. menjadi tutor sebaya dalam acara shobahul
lughoh/ english morning
ii. melaksanakan evaluasi dan monitiring kebahasaan
b) ta’lim Al Qur-an dan al Afkar al Islamy:
i. menjadi tutor sebaya dalam kegiatan ta’lim al qur-
an dan afkar islamiyah
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
94 ProsIding
ii. melaksanakan evaluasi dan monitiring ta’lim al
qur-an dan afkar islamiyah
3) Kesantrian:
a) memfasilitasi kreatifitas santri sesuai bakat dan
minat
b) mengadakan study club antar jurusan di masing-
masing mabna/ gedung asrama
4) Keamanan:
Mengajarkan perihal keamanan, dengan cara:
a) bertanggung jawab atas keamanan masing-masing
mabna
b) mengadakan razia barang-barang yang dilarang di
masing-masing mabna gedung asrama secara
berkala
c) menjaga pos keamanan putra (musyrif) dan putri
(musyrifah) di malam hari
5) Kerumahtanggaan/ inventarisasi:
Mengajarkan perihal kerumahtanggaan/ inventarisasi,
dengan cara:
a) bertanggung jawab, menghimpun, menelaah,
menginformasikan dan menggandakan serta
menyebarluaskan peraturan di bidang hukum, tata
laksana rumah tangga, tata usaha, pengelolaan dan
pemeliharaan asset ma’had
b) memonitoring dan mengevaluasi secara rutin
tentang kebersihan, keindahan, dan pertamanan
yang ada di lingkungan ma’had
Data di atas memberikan informasi bahwa fungsi yang
diperankan oleh mahasiswa pembimbing (musyrif/ musyrifah)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
95 ProsIding
sebagai sumber belajar dalam rangka pembelajaran pada mahasantri
tidak pada aspek pengetahuan saja (tutor sebaya), karena ada 6 profil
yang harus dimiliki oleh musyrif/ musyrifah: 1) uswah hasanah, 2)
akhlak karimah, 3) memiliki akademik yang tinggi, 4) mampu
berbahasa Arab/ inggris, 5) tutor/ kakak/ dan sahabat mahasantri, 6)
spiritual yang tinggi18. Peran guru dalam model ini selain sebagai
ustadz/ tutor sebaya, juga dituntut untuk menjadi mu’allim,
murobby, mursyid, mudarris, dan muaddib19. Adapun makna dari
beberapa terminologi di atas adalah: mu’allim ia akan melakukan
transfer ilmu/ pengetahuan/ nilai, serta melakukan internalisasi atau
penyerapan/ penghayatan ilmu, pengetahuan, dan nilai ke dalam diri
sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan
semangat dan motivasi mereka untuk mengamalkannya (amaliyah/
implementasi). Murobby, ia akan berusaha menumbuh kembangkan,
mengatur dan memelihara potensi, minat dan bakat serta
kemampuan peserta didik kearah aktualisasi potensi, minat, bakat,
serta kemampuannya secara optimal melalui kegiatan- kegiatan
penelitian, experiment di labolatorium, problem solving dsb
sehingga menghasilkan nilai- nilai positif, yang bersifat rasional
empirik, obyektif empirik, dan obyektif matematis. Kemudian
mursyid, yakni dia akan melakukan transinternalisasi akhlak kepada
peserta didiknya. Sebagai muaddib, dia sadar bahwa perannya
adalah membangun peradaban yang berkualitas di masa depan
melalui kegiatan pendidikan. Mudarris dia berusaha mencerdaskan
peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas
18. Buku Pendampingan Mahasantri. Pusat Ma’had Al Jami-ah 2016/ 2017. 19. Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan.
Bandung: Nuansa: 66.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
96 ProsIding
kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka, baik melalui
kegiatan pendidikan, pengajaran maupun pelatihan.
3. Kemanfaatan yang diperoleh Mahasiswa Pembimbing
(musyrif/ musyrifah)
Adapun kemanfaatan yang didapatkan oleh mahasiswa
pembimbing (musrif/ musrifah) adalah sebagai berikut:
1. Mampu meningkatkan kemampuan dalam public
speaking.
2. Meningkatkan keterampilan dalam berbahasa karena
ketika mengajar juga diiringi dengan belajar
memperbaiki kualitas bahasa yang digunakan.
3. Meningkatkan kemampuan dalam mengatur waktu.
Sebagai mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah)
harus mampu membagi waktu untuk kegiatan regular,
extra, persiapan sebelum ta’lim afkar dan pekerjaan
rumah.
4. Untuk ta’lim afkar dan kajian kitab-kitab lain mahasiswa
pembimbing (musrif/ musrifah) bertugas mendampingi
sedangkan pengajarnya dari luar musrif. Sehingga lebih
dari sekedar mempelajari materi- materi ta’lim afkar.
5. Melatih keikhlasan. Menjadi mahasiswa pembimbing
(musrif/ musrifah) tidak dibayar sepeserpun, sehingga
mengajar untuk berbuat secara ikhlas tanpa mengharap
balasan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
97 ProsIding
4. Kemanfaatan yang diperoleh Mahasantri yang dibimbing
oleh Mahasiswa Pembimbing (musyrif/ musyrifah).
Adapun kemanfaatan yang diperoleh mahasantri yang
dibimbing oleh mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) adalah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) mampu berperan
sebagai bapak/ ibu bagi para mahasantri. Ketika mahasantri
mempunyai keluhan kesehatan atau bahkan sakit, mereka
dapat meminta bantuan kepada mahasiswa pembimbing
(musrif/ musrifah), dan mereka dengan tanggap akan segera
menangani.
2. Mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) juga mampu
berperan sebagai kakak atau sahabat mahasantri. Kehadiran
mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) mampu menjadi
tempat berkeluh kesah dan berbagi curahan hati mahasantri
terkait masalah pelajaran maupun masalah pribadi.
3. Mahasantri dapat meminta bantuan mahasiswa pembimbing
(musrif/ musrifah) dalam mengarahkan atau permasalahan
akademik hal yang lain.
4. Kegiatan ibadah mahasantri seperti sholat berjamaah, tadarus
Al-Quran, dll semakin terkontrol
5. Mahasantri terlatih untuk hidup dalam kemandirian dan
kebersamaan.
Beberapa kemanfaatan di atas, bisa dikembalikan pada 3
fungsi pendidikan yaitu: 1) socialization artinya pendidikan sebagai
sarana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai- nilai kelompok , 2)
schooling yaitu mempersiapkan anak didik untuk mencapai dan
menduduki posisi ekonomi tertentu, 3) education yaitu untuk
menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
98 ProsIding
kontribusi besar bagi kelanjutan program pembangunan20. Secara
umum orang yang belajar kualitas hidupnya lebih baik dari
sebelumnya baik dari segi pengetahua, keterampilan, maupun
pengalaman, dan merea lebih interaktif dengan lingkugan21.
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas bisa disimpulkan, bahwa
a. Peran “learning resources” oleh mahasiswa pembimbing
(musyrif/ musyrifah) dalam rangka pembelajaran pada
mahasantri adalah: 1) Pendampingan ibadah dan spiritual, 2)
Pendampingan akademik yang meliputi: a) kebahasaan b) ta’lim
Al Qur-an dan al Afkar al Islamy, 3) Kesantrian, 4) Keamanan,
5) Kerumah tanggaan
b. Kemanfaatan yang didapatkan oleh mahasiswa pembimbing
(musrif/ musrifah) adalah: a) Meningkatkan kemampuan dalam
public speaking, b) Meningkatkan keterampilan dalam
berbahasa karena ketika mengajar juga diiringi dengan belajar
memperbaiki kualitas bahasa yang digunakan. c) Meningkatkan
kemampuan dalam mengatur waktu. d) Untuk ta’lim afkar dan
kajian kitab-kitab lain mahasiswa pembimbing (musrif/
musrifah) bertugas mendampingi. e) Melatih keikhlasan.
c. Kemanfaatan yang diperoleh mahasantri yang dibimbing oleh
mahasiswa pembimbing (musyrif/ musyrifah) adalah: a)
Mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) mampu berperan
sebagai bapak/ ibu bagi para mahasantri, b) Mahasiswa
pembimbing (musrif/ musrifah) juga mampu berperan sebagai
20. Azra, Azyumardi. 1996. Pembaharuan Pendidikan Islam . Jakarta: Amissco. 3 21. Hughes, Arthur George. 1982.At Ta’allum wa At Ta’lim Madkhal fi At Tarbiyyah wa
Ilm Nafsi.Tarj. Ad Dajiili, Hasan. Riyadh: ‘Amaadah Syu’uun al Maktabaat:
421.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
99 ProsIding
kakak atau sahabat mahasantri. c) Mahasantri dapat meminta
bantuan mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) dalam
mengarahkan atau permasalahan akademik hal yang lain. d)
Kegiatan ibadah mahasantri seperti sholat berjamaah, tadarus
Al-Quran, dll semakin terkontrol, e) Mahasantri terlatih untuk
hidup dalam kemandirian dan kebersamaan.
D. Saran
Peran mahasiswa pembimbing (musrif/ musrifah) bisa
lebih dimaksimalkan seiring dengan upaya peningkatan kualitas
hidupnya melalui pemberian reward dan upaya evaluasi yang
berkelanjutan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
100 ProsIding
DAFTAR RUJUKAN
Arsyad, A. 2007. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya,
Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Azra, Azyumardi. 1996. Pembaharuan Pendidikan Islam . Jakarta:
Amissco
Azzet, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakterdi
Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Ash-shobuny Muhammad Ali. 2001. Shofawatut Tafaasiir I.
Qohirah: Al Ashdiqo’Lith- thibaa’ah wan Nasyr wat
Tauzii’:143
Buku Pendampingan Mahasantri. Pusat Ma’had Al Jami-ah 2016/
2017.
Daurusy Syabaab fi ‘Amaliyyati At Taghyiir Al Mujtama’. 2016
:Wakaalatul Anba’ wal Ma’luumat Al Falthiiniyyah. 11-16
Degeng, I.N.S. 2013. Teori Pembelajaran 1: Taksonomi Variabel,
Bandung: Kalam Hidup.
Ghazali Said, Imam. 2005. Bahasa dan Sastra Arab Sebagai Basis
Kemandirian (Belajar dari Pengalaman). Malang: Jurursan
Sastra Fakultas Sastra. Uniersitas Negeri Malang.
Heinich, Robert, Michael Molenda & James D Russell. 1986.
Instructional Media and The New Technologies for
Instruction. 2nd ed. New York: Mac Millan Publ. Co.
Hughes, Arthur George. 1982.At Ta’allum wa At Ta’lim Madkhal fi
At Tarbiyyah wa Ilm Nafsi.Tarj. Ad Dajiili, Hasan. Riyadh:
‘Amaadah Syu’uun al Maktabaat
Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam:
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga
Redifinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa.
Prawiradilaga, Dewi Salma. Wawasan Teknologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Pemikiran Kebijakan Pendidikan
Kontemporer. Malang: UIN Maliki Press.
Sholeh, UG. 2005. Keluar dari Belenggu Kembali Pada Diri
Sendiri. Jurursan Sastra Fakultas Sastra. Uniersitas Negeri
Malang.
Slavin, E Robert. 1994. Educational Psychology Theory and
Practice. London: Allyn and Bacon.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
101 ProsIding
Sudjana, Nana, Rivai, Ahmad. 2009. Teknologi Pengajaran.
Bandung:Sinar Baru Algensindo.
Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran Landasa dan
Aplikasinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Zarnuji, Syekh. Ta’limul Muta’allim. Tt.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
102 ProsIding
STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN STOP-SIT DESA
WISATA DALAM KEGIATAN PENGABDIAN
MASYARAKAT LPPM UNIVERSITAS ISLAM BALITAR
BLITAR DI KAMPUNG ANGGREK DESA SEMPU
KECAMATAN NGANCAR KABUPATEN KEDIRI
Andiwi Meifilina
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Balitar Jl. Majapahit No. 4A Blitar
Email:
Abstract: The existence of problems that occur between natural
resources with human resources is the manager or the community is
less able to optimize marketing communication strategy it is seen
from the visiting community does not show a very high tourist spike.
The emergence of many tourist villages which in fact is not a village
and only a branding of a particular commodity area then researchers
will use STOP-SIT analysis because it is widely used in an effort to
know the mapping of marketing positioning to get an interpretation
of how the strategy has been run. STOP-SIT analysis is done to see
the strategy and tactics of the marketing or marketing division in the
village of orchid of Sempu village, Ngancar Subdistrict, Kediri
Regency, because there is possibility of positioning that will be
attached to the mind of the audience or the tourists.
From the above description the researcher focused on knowing
STOP-SIT implentation on marketing communication strategy in its
programs so that attract many buyers. With the marketing
communication strategy STOP-SIT (Segmentation, Targeting,
Objectives, Positioning, Sequence of Tools, Integrating, Tools)
which will be expected adan visitors or loyal tourists who always
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
103 ProsIding
want to see and get education from orchid tourism in Kampung
Anggrek Desa Sempu District Ngancar Kediri.Metodologi research
used in this study is descriptive qualitative by using the paradigm
Non Positivismemakna behavior, symbols, and phenomena with the
type of descriptive qualitative research.Penggunaan marketing
communication strategy STOP SIT in the village orchid Sempu
District Ngancar District Kediri is Segmentation, Targeting,
Objectives, Positioning, Sequence of Tools, Integrating, Tools in
improving marketing in achieving the purpose of orchid villages
through marketing programs that are instrumental in marketing
communication strategy, so the orchid village can know keleb ihan
and the dullness of the marketing communication strategy, so the
company can take the way or make other marketing programs to
achieve the vision and mission of the orchid village. By doing a study
of strengths and weaknesses, identifying all the opportunities and
constraints or threats faced. Promotion or marketing development
programs are prepared by considering various aspects, and analyzing
the target market.
Keywords: Marketing Communication Strategy STOP-SIT,
Community Service, village orchid village Sempu District Ngancar
Kediri
Abstrak: Adanya permasalahan yang terjadi antara sumber daya
alam dengan sumber daya manusia adalah pengelola atau
masyarakat kurang dapat menggoptimalkan strategi komunikasi
pemasarannya hal ini terlihat dari masyarakat yang berkunjung tidak
menunjukkan lonjakan wisatawan yang sangat tinggi. Munculnya
banyak kampung wisata yang faktanya bukan sebuah perkampungan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
104 ProsIding
dan hanya sebuah branding dari kawasan komoditi tertentu maka
peneliti akan menggunakan analisis STOP-SIT karena banyak
digunakan dalam upaya mengetahui pemetaan positioning
pemasaran untuk mendapat penafsiran bagaimana strategi yang telah
dijalankan. Analisa STOP-SIT dilakukan untuk melihat strategi dan
taktik dari divisi marketing atau pemasaran yang ada di kampung
anggrek desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri karena
dimungkinkan ada positioning (posisi) yang akan menempel kepada
benak khalayak atau wisatawan.
Dari keterangan diatas peneliti terfokus untuk mengetahui
implentasi STOP-SIT pada strategi komunikasi pemasaran dalam
program- programnya sehingga menarik banyak pembeli. Dengan
adanya strategi komunikasi pemasaran STOP-SIT ( Segmentation,
Targeting, Objectives, Positioning, Sequence of Tools, Integrating,
Tools ) yang nantinya diharapkan adan pengunjung atau wisatawan
yang loyal yang selalu ingin melihat dan mendapatkan edukasi dari
wisata tanaman anggrek di Kampung Anggrek Desa Sempu
Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri.Metodologi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
menggunakan paradigma Non Positivisme/ Naturalistik/
Interpretatif. Paradigma Interpretatif bertujuan untuk memahami
makna perilaku, symbol-simbol, dan fenomena-fenomena dengan
jenis penelitian deskriptif kualitatif.Penggunaan strategi komunikasi
pemasaran STOP SIT di kampung anggrek desa Sempu Kecamatan
Ngancar Kabupaten Kediri yaitu Segmentation, Targeting,
Objectives, Positioning, Sequence of Tools, Integrating, Tools dalam
meningkatkan pemasaran dalam mencapai tujuan kampung anggrek
melalui program-program pemasaran yang sangat berperan dalam
strategi komunikasi pemasaran, sehingga kampung anggrek dapat
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
105 ProsIding
mengetahui kelebihan dan kekerungan dari strategi komunikasi
pemasaran tersebut, sehingga perusahaan dapat mengambil cara atau
membuat program-program pemasaran lainnya untuk mencapai visi
dan misi dari kampung anggrek. Dengan melakukan kajian kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki, mengidentifikasi semua peluang dan
hambatan atau ancaman yang dihadapi. Program promosi atau
pengembangan pemasaran dipersiapkan dengan mempertimbangkan
berbagai aspek,dan menganalisa pasar yang di tuju.
Kata kunci: Komunikasi, pemasaran, STOP-SIT
PENDAHULUAN
Strategi komunikasi pemasaran merupakan konsep yang
sangat sederhana yaitu bagaimana pengembangan strategi
pemasaraan perusahaan itu sendiri secara makro.Strategi pemasaran
perusahaan itu sendiri sangat tergantung pada bagaimana strtaegi
yang dikaitkan dengan perencanaan bisnis perusahaan tersebut.
Dengan demikian, jelas bahwa komunikasi pemasaran perusahaan
akan mengarah kepada visi dan misi perusahaan dalam mencapai
tujuan mereka ke depan. Perusahaan yang tidak memiliki
perencanaan bisnis sudah dipastikan akan memiliki strategi
komunikasi pemasaran yang tidak jelas, terarah dan sistematik.
Pada saat iniorientasi pemasaran dewasa ini selain harus
bersifat compotition oriented. Bagaimanapun juga, peta persaingan
mesti diperhitungkan bila tidak ingin tergilas oleh kegiatan
pemasaran perusahaan pesaing.Dan persaingan itu dapat berbagai
bentuk diantaranya adalah persaingan untuk merebutkan hati atau
minat konsumen.Dan pelaku usaha berlomba-lomba berupaya
memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan konsumen sehingga
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
106 ProsIding
para produsen dapat memastikan bahwa pelanggannya tetap loyal
meski terjadi perubahan selera konsumen dan perubahan yang terjadi
dilingkungan sekitar.
Salah satu kegiatan pemasaran dan penjualan yang
langsung berhubungan dengan konsumen dan mempunyai peranan
yang cukup besar dalam menciptakan faedah suatu barang adalah
saluran distribusi dan penjualan. Saluran distribusi dan penjualan
tersebut merupakan sub bagian dari variabel komunikasi pemasaran
atau bauran pemasaran yaitu tempat, distribusi dan penjualan.
Pemasaran merupakan tulang punggung perusahaan
sehingga keberhasilan perusahaan tergantung dengan keberhasilan
penjualan, selain itu juga perlu diperhatikan mengenai citra produk.
Para pengusaha harus jeli memanfaatkan peluang bisnis yang ada,
mengidentifikasikan kebutuhan individu untuk mendapatkan dan
menggunakan barang maupun jasa di dalam proses keputusan
pembelian konsumen. Perusahaan tentu saja ingin mempertahankan
eksistensi kinerjanya untuk dapat mencapai tingkat pertumbuhan
yang diinginkan. Pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh perusahaan dan usahanya mempertahankan
kelangsungan hidup dalam persaingan usaha yang semakin ketat dan
untuk mengembangkan usahanya.
Banyaknya pelaku bisnis membuat pelaku usaha wajib
menerapkan strategi pemasaran yang inovatif agar dapat bersaing
dan mampu melangsungkan bisnisnya dengan mempertahankan
konsumen sehingga konsumen tetap loyal terhadap produk yang
ditawarkan.Dengan meningkatnya kualitas produk dan pelaku bisnis
di pasar, maka tingkat persaingan semakin meningkat tajam dari
tahun ke tahun.Pendapatan laba yang maksimal dilakukan melalui
penguasaan pangsa pasar dengan strategi pemasaran dan pelayanan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
107 ProsIding
Stategi komunikasi pemasaran juga berkembangan pada dunia
pariwisata dan pada saat ini juga diikuti di daerah pedesaan seperti
bermunculan desa wisata yang semakin berkembang. Desa yang
memiliki keunikan dan sifat khas juga tidak kalah untuk menarik
wisatawan sehingga desa memiliki peluang untuk berkembang baik
dari sisi sarana dan prasarana..
Permasalahan yang terjadi antara sumber daya alam
dengan sumber daya manusia adalah pengelola atau masyarakat
kurang dapat menggoptimalkan strategi komunikasi pemasarannya
hal ini terlihat dari masyarakat yang berkunjung tidak menunjukkan
lonjakan wisatawan yang sangat tinggi. Munculnya banyak
kampung wisata yang faktanya bukan sebuah perkampungan dan
hanya sebuah branding dari kawasan komoditi tertentu maka peneliti
akan menggunakan analisis STOP-SIT karena banyak digunakan
dalam upaya mengetahui pemetaan positioning pemasaran untuk
mendapat penafsiran bagaimana strategi yang telah dijalankan.
Analisa STOP-SIT dilakukan untuk melihat strategi dan taktik dari
divisi marketing atau pemasaran yang ada di kampung anggrek desa
Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri karena dimungkinkan
ada positioning (posisi) yang akan menempel kepada benak
khalayak atau wisatawan.
Dari latar belakang tersebut pentingnya penelitian ini
untuk mengetahui implentasi STOP-SIT pada strategi komunikasi
pemasaran dalam program- programnya sehingga menarik banyak
pembeli. Dengan adanya strategi komunikasi pemasaran STOP-SIT
(Segmentation, Targeting, Objectives, Positioning, Sequence of
Tools, Integrating, Tools ) yang nantinya diharapkan adan
pengunjung atau wisatawan yang loyal yang selalu ingin melihat dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
108 ProsIding
mendapatkan edukasi dari wisata tanaman anggrek di Kampung
Anggrek Desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri.
Tujuan Penelitian menganalisis strategi komunikasi
pemasaran Desa Wisata dalamrangka pengabdian masyarakat di
kampung anggrek desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten
Kediri.
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan paradigma Non
Positivisme/ Naturalistik/ Interpretatif. Paradigma Interpretatif
bertujuan untuk memahami makna perilaku, symbol-simbol, dan
fenomena-fenomena. Paradigma ini menekankan hakekat kenyataan
sosial yang didasarkan pada definisi subjektif dan penilaiannya
dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahwa Strategi Komunikasi Pemasaran Desa Wisata dalam
rangka pengabdian masyarakat di kampong anggrek desa Sempu
Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri menggunakan analisis
STOP-SIT yaitu sebagai berikut.
1. S - Segmentation
Segmentasinya dari kampong anggrek di tujukan
semua lapisan masyarakat baik masyarakat ekonomi lemah,
sedang dan keatas. Dengan segmentasi ini maka
dimungkinkan untuk lebih terfokus dalam mengalokasi
sumber daya, terutama sumber daya manusianya. Dan
segmentasi dapat merupakan basis untuk mennetukan
komponen-komponen strategi, taktik dan value secara
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
109 ProsIding
keseluruhan. Dengan segmentasi perencanaan strategi
komunikasi pemasaran akan lebih terencana. Kemudian
segmentasi merupakan faktor kunci untuk mengalahkan
pesaing, dengan memandang pasar dari sudut unik dan cara
yang berbeda dari yang lain sehingga dengan segmentasi
maka akan melihat pasar secara bijak, cepat dan tepat.
2. T- Targeting
Salah satu target dari kampung anggrek adalah produksi,
kampung anggrek memiliki sebuah laboratorium kultur jaringan
untuk memperbanyak anggrek dan 4 greenhouse untuk
aklimatisasi atau tahap penyesuaian tanaman dan laboratorium
ke alam. Targeting dalam analisis ini adalah menentukan siapa
sasaran yang hendak dituju. Biasanya proses targeting ini lebih
ditunjukkan kepada pemiliharaan DMU (Decision Making Unit)
atau dalam komposisi khalayak adalah opinion leader.
3. O-Objectives
Objectives bahwa strategi yang dilakukan dalam
komunikasi pemasaran kampung sudah mempunyai tujuan
sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada di kampung anggrek.
Bahwa area 10 hektar yang awal mulanya berfungsi sebagai
perumahan karyawan ini disulap sebagai pusat budidaya anggrek
dengan kemampuan produksi satu juta tanaman pertahun.
Dengan tempat yang teduh dan asri juga sangat cocok untuk
tujuan rekreasi keluarga.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
110 ProsIding
4. P- Positioning
Positioning di kampung anggrek dimana kedudukannya
positioning sebagaimana posisi komunikator dan komunikan
dalam hubungan-hubungan yang ada serta bagaimana
komunikator dipersepsikan dan apa yang diinginkan, hal ini
memerlukan strategi yang jitu dan tepat. Penanm benak kepada
wisatawan sangat penting untuk membuat wisatawan yang loyal.
Bahwa di kampung anggrek merupakan kawasan wisata dilereng
gunung Kelud tersedia ribuan tanaman anggrek berbunga yang
siap di bawa pulang untuk menambah koleksi. Tempat yang
teduh dan asri yang cocok untuk tujuan rekreasi keluarga.
Kampung anggrek memiliki aneka bunga anggrek koleksi langka
maupun anggrek silangan atau hybrid. Ada enam (6) jenis
anggrek yang dikembangkan secara missal yakni anggrek bulan
(phalaenopsis), dendrobium, vanda cymbidium, oncidium dan
cattleya.
5. S- Sequence of Tools
Sequence of Tools di kampung anggrek dengan
melakukan taktik yang dihubungkan dengan sarana-sarana yang
lain, apakah yang menggunakan sosialisasi kampanye eksternal
dan internal. Adapun sarana kampanye yang digunakan dengan
menggunakan media sosial seperti facebook, instragam dan lain-
lain. Penggunaan rute yang dapat dilakukan dengan menggnakan
google maps. Saran yang lainnya adalah adanay kebun nanas
yang unik dimana daun nanas ini berbeda dengan nanas yang
biasanya daunnya berduri. Daun nanas di kampung anggrek
tidak ada durinya yang tajam. Disebelah nanas banyak pohon-
pohon bonsai yang dipajang selain itu juga ada istana kelinci dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
111 ProsIding
hamster yang cukup banyak. Ada juga patung gorilla jagung
raksasa dan bursa bibit buah-buahan untuk ditaman dengan harga
yang bervariatif. Selain itu juga ada kolam ikan yang menuju
sebuah green house yang berisi beragam tanaman anggrek, mulai
dari yang belum berbungan hingga yang bunganya bermekaran
tersedia juga dikampung anggrek yang dijual mulai harga Rp.
80.000, - ke atas. Kemudian ada laboratorium anggrek yang
menggunakan teknik kultur untuk pengembangbiakannya.
6. I-Integrating
Integrating di kampung anggrek harus disesuaikan
dengan bagaimana perencanaan dalam melakukan transfer pesan
guna mengintegrasikan kesatuan program. Sering terjadi,
program sosialisasi strategi tidak sesuai antara yang satu dengan
yang lain, sedangkan dalam pola integrating ini adalah adanya
upaya kegiatan mengkrucut kepada tujuan.Satu tujuan makro
dalam strategi komunikasi pemasaran yang ada. Tujuan dari
kampung anggrek dengan system yang dimiliki maka dapat
menyediakan satu juta tanaman tiap tahun dimana kedepannya
mengembangkan berbagai flora untuk memanjakan wisatawan.
7. T- Tools
Pemilihan sarana di kampung anggrek harus sesuai
dengan waktu serta beberapa tuntas keinginan yang dicapai perlu
distrategikan dalam jangka waktu tertentu pada tools ini lebih
difokuskan pada sarana yang cocok dengan situasi dan kondisi
lapangan. Berkunjung ke kampung anggrek ini tidak dipungut
biaya hanya membayar parker kendaraan saja. Tersedia gazebo
yang dilengkapi kantin dan permaina anak. Dari pihak LPPM
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
112 ProsIding
Universitas Islam Balitar memberikan rintisan untuk kandang
Hewan Kalkun dan Hidroponik untuk jangka waktu kedepannya.
Dengan menggunakan analisis STOP-SIT pada kampung
anggrek desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri oleh
LPPM Universitas Islam Balitar Blitar maka dapat diketahui bahwa
program-program yang sangat berperan dalam strategi komunikasi
pemasaran, sehingga kampung anggrek dapat mengetahui kelebihan
dan kekerungan dari strategi komunikasi pemasaran tersebut,
sehingga perusahaan dapat mengambil cara atau membuat program-
program pemasaran lainnya untuk mencapai visi dan misi dari
kampung anggrek
.
KESIMPULAN
1. Adanya penggunaan strategi komunikasi pemasaran STOP SIT di
kampung anggrek desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten
Kediri yaitu Segmentation, Targeting, Objectives, Positioning,
Sequence of Tools, Integrating, Tools dalam meningkatkan
pemasaran dalam mencapai tujuan kampung anggrek.
2. Kampung anggrek desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten
Kediri melakukan kajian kekuatan dan kelemahan yang dimiliki,
mengidentifikasi semua peluang dan hambatan atau ancaman
yang dihadapi. Program promosi atau pengembangan pemasaran
dipersiapkan dengan mempertimbangkan berbagai aspek,dan
menganalisa pasar yang di tuju.
3. Program Strategi Komunikasi Pemasaran STOP SIT di kampung
anggrek desa Sempu Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan serius dengan di tunjang
sarana kampung anggrek yang memadahi untuk memudahkan
layanan terhadap wisatawan kampung anggrek
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
113 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Alifahmi, Hifni.2008. Marketing Communications Orchestra:
Harmonisasi Iklan, Promosi, dan Marketing Public
Relations.Bandung: ExamediaPublishing
Belch, Michael A., & George E. Belch. 2001. Advertising and
Promotion: An Integrated Marketing Communications
Perspective. 5th Ed. New York: McGraw-Hill
Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti
Kotler, Philip. 1992. Manajemen Pemasaran: Analisis,
Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Edisi
Keenam. (Diterjemahkan oleh Drs. Jaka Wasana,MSM)..
Jakarta: Penerbit Erlangga
Kasali, Rhenald, 2000. Marketing Management.The Millennium Ed. New Jersey: Prentice- Hall
Morissan. (2010). Manajemen Public Relation Strategi Menjadi
Humas Profesional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Prisgunanto, Ilham, 2006. Komunikasi Pemasaran Strategi dan
Taktik, Galia Indonesia, Bogor
Ratminto, Winarsih, A. S. (2005). Managemen Pelayanan Model
Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter & Standar
Pelayanan Minimal.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stanton, William J. 2001. Prinsip Pemasaran, Jakarta, Erlangga
Sunarto, Andi, 2006. Pengantar Manajemen Pemasaran,
Yogyakarta, UST Press
Swasta, Basu dan Irawan, 2005.Manajemen Pemasaran Modern,
Liberty, Yogyakarta
Tjiptono, Fandy. (1999). Kualitas Jasa: Pengukuran Keterbatasan
dan Implikasi Manajenal. Usaha Indonesia.No. 03 tahun
XXVIII. Maret 1999
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
114 ProsIding
PENGUATAN SOFT SKILL BERBASIS RELIGIUS DALAM
MEWUJUDKAN CALON GURU KOMPETITIF DI ERA
GLOBAL
Indah Aminatuz Zuhriyah
Dosen Tetap FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrak: Era globalisasi telah mendorong persaingan semakin
kompetitif dalam semua sektor, termasuk sektor pendidikan. Guru
harus terus memacu kompetensinya agar lebih meningkat di segala
situasi yang sedang berlangsung. kompetensi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu hard skill dan soft skill, yang
termasuk hard skill adalah kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional, sementara yang termasuk soft skill adalah kompetensi
kepribadian dan kompetensi sosial. Dunia kerja tidak hanya
memprioritaskan pada kemampuan akademik (hard skills) yang
tinggi saja, tetapi juga memperhatikan kecakapan dalam hal nilai-
nilai yang melekat pada seseorang atau sering dikenal dengan aspek
soft skills. Hasil penelitian mengungkapkan, bahwa kesuksesan
hanya ditentukan sekitar 20% dengan hard skill dan sisanya 80%
dengan soft skill. Berdasarkan permasalahan tersebut, tulisan ini
membahas bagaimana menguatkan soft skill dengan berbasis religius
untuk mewujudkan calon guru kompetitif.
Kata kunci: soft skill, religius, guru kompetitif, era global
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
115 ProsIding
PENDAHULUAN
Era globalisasi bukan hanya mengubah paradigma berpikir,
namun lebih kepada mendorong umat manusia agar beranjak dari
cara hidup dengan wawasan lama menuju gaya hidup mendunia
(global), yang kini berlangsung tanpa batasan ruang dan waktu.
Persaingan makin kompetitif dalam semua sektor, termasuk sektor
pendidikan. Peran guru mejadi sangat vital dalam kontribusi
pencapaian tujuan pendidikan nasional. Guru harus terus memacu
kompetensinya agar lebih meningkat di segala situasi yang sedang
berlangsung. Selain itu juga termotivasi untuk dapat mengikuti
perkembangan zaman dengan segala kecanggihannya di bidang
teknologi. Artinya, guru harus memacu diri dan harus terus belajar
sepanjang hayat (Life Long Education).
Kompetensi yang wajib dimiliki seorang guru tersebut
meliputi empat kompetensi; kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Keempat kompetensi tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Hanya saja kompetensi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu hard skill dan soft skill, yang termasuk hard skill adalah
kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, sementara yang
termasuk soft skill adalah kompetensi kepribadian dan kompetensi
sosial.
Sebuah hasil penelitian dari Harvard University Amerika
Serikat mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya ditentukan
sekitar 20% dengan hard skill dan sisanya 80% dengan soft skill. Hal
ini diperkuat sebuah buku berjudul Lesson From The Top karangan
Neff dan Citrin (1999) yang memuat sharing dan wawancara
terhadap 50 orang tersukses di Amerika. Mereka sepakat bahwa
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
116 ProsIding
yang paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis
melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan lunak
(soft skills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain
(people skills).22
Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling penting
untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dalam
mencapai kesuksesan di era globalisasi. Oleh sebab itu, pendidikan
harus menjadi prioritas bagi pembangunan, dengan tidak
mengesampingkan sektor lain. Untuk memajukan pendidikan tidak
hanya mengubah kurikulum dan melengkapi sarana prasarana saja,
melainkan juga memperhatikan pembangunan sumber daya manusia
yang akan mengemban pendidikan tersebut. Suatu bangsa dikatakan
semakin maju apabila sumber daya manusianya memiliki
kepribadian bangsa, beraklak mulia, dan memiliki kualitas
pendidikan yang tinggi.
PEMBAHASAN
Urgensi Soft Skill Bagi Calon Guru di Era Kompetisi Global
Era Globalisasi sering diartikan dengan era tidak ada batas
negara atau sering juga disebut dengan era informasi, era
keterbukaan, era liberalisasi, era pasar bebas, era kompetisi, dan
era kerjasama regional maupun global. Pada era tersebut terjadi
apa yang disebut dengan “mega-competition society”, yaitu
kerjasama dan kompetisi antar bangsa yang sangat dahsyat dalam
segala sektor pembangunan bangsa. Di satu sisi, dengan era
globalisasi semua manusia diberi peluang besar untuk berlomba-
berlomba melalukan kebaikan (fastabiqul khairat) dan memenuhi
tantangan Allah kepada manusia dan jin, sebagaimana difirmankan
22Mudlofir, Ali. 2012. Pendidik Profesional. Surabaya: Rajawali Pers.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
117 ProsIding
Allah di dalam Al-Qur’an, yang artinya “Hai jama’ah jin dan
manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
melainkan dengan kekuatan”.23
Di sisi lain, situasi dan kondisi tersebut menyebabkan
permintaan dunia kerja terhadap kriteria calon pekerja dirasa
semakin tinggi saja. Dunia kerja tidak hanya memprioritaskan pada
kemampuan akademik (hard skills) yang tinggi saja, tetapi juga
memperhatikan kecakapan dalam hal nilai-nilai yang melekat pada
seseorang atau sering dikenal dengan aspek soft skills. Kemampuan
ini dapat disebut juga dengan kemampuan non teknis yang tentunya
memiliki peran tidak kalah pentingnya dengan kemampuan
akademik. Tentu saja tuntutan tersebut juga berlaku bagi calon guru,
bahkan seorang guru profesional pun harus terus mengasah soft skill-
nya jika ingin unggul di era kompetisi global.
Secara umum soft skill dimaknai sebagai keterampilan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal
skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri
(intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja
secara maksimal. Dikaitkan dengan kompetensi guru, kompetensi
kepribadian merupakan bentuk dari intrapersonal skills, semenatra
kompetensi social merupakan wujud dari interpersonal skills. Di
antara contoh intrapersonal skills adalah jujur, tanggung jawab,
toleransi, menghargai orang lain, kemampuan bekerja sama,
bersikap adil, kemampuan mengambil keputusan, kemampuan
memecahkan masalah, mengelola perubahan, mengelola stres,
mengatur waktu, melakukan transformasi diri, dan toleransi.
23QS: Ar Rahmaan, ayat 33.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
118 ProsIding
Sementara itu, di antara wujud interpersonal skills adalah
keterampilan bernegosiasi, presentasi, melakukan mediasi,
kepemimpinan, berkomunikasi dengan pihak lain, dan berempati
dengan pihak lain. Kedua jenis soft skills tersebut sangat diperlukan
oleh setiap orang, apa pun profesinya. Setiap orang harus
mempunyai komitmen, tanggung jawab, jujur, disiplin, mampu
mengambil keputusan, dan memecahkan masalah, apa pun
profesinya. Perbedaan antara profesi satu dengan yang lain justru
hard skills. Sebab, hard skills terkait dengan penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis yang berhubungan
dengan bidang ilmunya.
Penguatan Soft Skill Berbasis Religius Dalam Mewujudkan
Calon Guru Kompetitif
Soft skill yang dimiliki setiap profesi harus senantiasa
dikembangkan dan diberikan penguatan. Dalam hal ini, penulis
menggunakan perspektif Islam sebagai basis religius dalam
memperkuat soft skill calon guru maupun guru profesional. Guru
yang profesional dalam melakukan perubahan sosial – amar ma’ruf
(memerintah kepada yang baik) yang diimbangi dengan nahi `an al-
munkar (mencegah kemunkaran/kejelekan) – menjadikan prinsip
tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi Iman, Islam, dan
Ihsan.24 Sebagaiman Allah berfirman:
ة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون كنتم خير أم
ولو آمن أهل الكتاب لك ان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون بالل
24Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
119 ProsIding
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik”.25
Berdasarkan firman Allah tersebut, guru yang profesional
di dalam menjalankan profesinya bukan semata-mata untuk kerja
memenuhi hajat hidup manusia (profane), atau mengejar gengsi dan
gaji, tetapi kesadaran kerja berlandaskan semangat tauhid dan
tanggung jawab ketuhanan. Semua aktivitas keseharian diniatkan
dan diorientasikan sebagai bentuk ibadah untuk mencapai rida-Nya.
Sebagai seorang manusia, calon guru bahkan guru yang profesional
dapat berubah menjadi bertempat serendah-rendahnya karena
dengan kesempurnaan yang telah diberikan kepadanya itu ia
menjatuhkan martabatnya sendiri. Sebagaimana ditegaskan di dalam
al-Qur`an: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”.26
Demikian juga dalam ayat berikut: “Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian”.27
Al-Qur`an menyebutkan bahwa kelemahan manusia yang
paling dasar dan yang menyebabkan semua dosa-dosa besarnya
adalah kepicikan dan kesempitan pikiran. Al-Qur`an secara tak
henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dalam bentuk-bentuk
25QS. Ali-Imran, ayat: 110. 26 QS. al-‘Alaq, 6-7. 27 QS. al-Ashr, 2.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
120 ProsIding
dan konteks-konteks yang berbeda-beda.28 Baik kesombongan
manusia karena memandang dirinya sebagai hukum tertinggi
maupun keputusasaannya adalah akibat dari kepicikan manusia yang
mementingkan diri sendiri, namun akhirnya merugikan diri sendiri,
dan kekhawatiran yang terus menerus menghantuinya.29 Sifat
terburu nafsu inilah menyebabkan manusia menjadi sombong atau
putus asa. Tidak ada makhluk lain yang dapat menjadi sombong dan
berputus asa sedemikian mudahnya seperti manusia.30
Sebagai solusi atas karakteristik sifat manusia yang negatif
tersebut, al-Qur`an telah memberikan petunjuk agar manusia selamat
yaitu dengan senantiasa melakukan salat. Sebagaimana ditegaskan
dalam al-Qur`an berikut: “Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir.
Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu
tetap mengerjakan shalatnya.31
Allah juga telah berjanji dan menetapkan tentang
keberuntungan orang-orang yang beriman. Ketetapan itu tidak
mungkin seorang pun menghadangnya. Kemenangan dan
keberuntungan di dunia dan juga di akhirat. Kemenangan dan
keberuntungan sebagai pribadi mukmin, dan juga kemenangan dan
keberuntungan sebagai jamaah mukmin. Kemenangan dan
keberuntungan yang dirasakan oleh setiap mukmin dengan hatinya
28 Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang hal ini, antara lain: QS. an-Nisa (4:128); QS. al-Hasyr (59:9); QS. at-Taghabun (64:16); QS. al-Kahfi (17:100). 29 Fazlur Rahman. 1996. Tema Pokok Al-Qur`an. Bandung: Pustaka. Hal. 38-39. 30 QS. Hud (11: 9-11); QS. Fusshilat (41: 49-51); QS. al-Isra’ (17:83); QS. Yunus (10:12) dan ayat-ayat lainnya. 31 QS. al-Ma`arij, 19-23
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
121 ProsIding
dan dia mendapatkan faktanya dalam kenyataan hidupnya.32 Orang-
orang yang beriman tersebut adalah sebagaimana digambarkan
dalam al-Qur`an berikut: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam salatnya”.33
Salat memiliki sisi lahir dan sisi batin. Bentuk lahiriyah salat
adalah: gerakan-gerakan dalam salat yang diawali dengan takbiratul
ikhram dan diakhiri dengan salam. Adapun bentuk batiniah salat
adalah: ikhlas, kehadiran hati, berzikir kepada Allah, memberi
hormat kepada-Nya, bergantung kepada wujud yang abadi serta
meleburkan diri dalam zat yang Maha Esa dan berdiri dihadapan
keagungan dan kebesaran-Nya.34
Dalam salat seorang manusia akan mencapai kesadaran
puncak sebagai seorang hamba Allah yang berserah diri sepenuhnya
kepada–Nya, jika mampu melaksanakan salat dengan khusyu’ dan
memenuhi persyaratan syariat. Di saat itulah seorang manusia dapat
memompa motivasi untuk mengembangkan diri, melejitkan potensi
yang dianugerahkan Allah SWT. Parameter-parameter potensial
salat yang dapat mendukung kesuksesan itu antara lain:35
1. Berwudhu
Apabila dikaji secara mendalam makna yang terkandung dalam
berwudhu, maka dapat dipahami betapa pentingnya kebersihan,
yang meliputi kebersihan fisik, kebersihan pikiran, dan
kebersihan hati. Hal tersebut menunjukkan seolah-seolah Allah
SWT. menempa manusia agar selalu dalam keadaan bersih,
32 Tafsir Fi Zhilali Qur`an VIII . hal. 157. 33 QS. al-Mu’minun, 1-2. 34 Musthafa Khalili, Berjumpa Allah Dalam Shalat, (Jakarta: Zahra, 2006), hlm. 16. 35Purnomo, Deddy Hari. 2011. Meraih Kesuksesan dengan Shalat Khusyu’. https://deddyhp.wordpress.com
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
122 ProsIding
bersih dari barang yang sia-sia, bersih dari perbuatan sia-sia,
bersih dari pikiran sia-sia; terlebih dari segala hal yang bersifat
haram. Di sini pula, Allah mendidik kita agar hidup sehat, bersih
dari penyakit fisik dan penyakit hati, seperti iri, dengki, buruk
sangka, dendam, dan sebagainya. Kemudian untuk menuju
sebuah kesuksesan diperlukan adanya “ruang spiritual” untuk
menumbuhkan gelombang dahsyat ¾ potensi-potensi special
yang khusus diberikan kepada manusia yaitu kesadaran diri,
imajinasi, suara hati, dan kehendak bebas.
2. Diawali dengan meluruskan niat dan takbiratul ihram
Hikmah dalam hal ini adalah bahwa manusia harus menetapkan
tujuan yang jelas dalam melakukan setiap aktifitas. Untuk
mencapai kesuksesan tidak dapat sembarangan menentukan
tujuan, tetapi tujuan tersebut harus merujuk pada tujuan akhir.
Sebagai manusia muslim dapat bersyukur karena mempunyai
tujuan akhir yang lurus yaitu Alllah SWT., betapa nikmat hidup
ini apabila seluruh aktifitas merujuk pada Allah, maka akan
lenyap kesombongan, sikap pelit, bangga trehadap diri dan
kelompok, dan karakteristik sifat-sifat buruk yang lainnnya.
Selanjutnya, segera dapat merenda kehidupan penuh dengan
kasih sayang, persahabatan, toleransi, dan sinergi (kerjasama).
Salat yang selalu berawal dari takbiratul ihram seolah
menyiratkan ikrar bahwa Allah SWT. memiliki positioning
paling agung dan istimewa, sehingga mengarahkan diri pada
sikap rendah hati, pemaaf, dan empatik. Lenyaplah sikap selalu
ingin menang sendiri (otoriter), ingin selalu diistimewakan oleh
orang lain, dan merasa selalu paling benar. Takbir yang terucap
tentunya akan melatih diri bahwa tidak setiap apa yang manusia
anggap terbaik menurut pikirannya adalah yang paling tepat dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
123 ProsIding
benar, sangat mungkin hal tersebut merupakan sesuatu yang
sangat buruk dalam pandangan manusia tetapi sebenarnya
merupakan yang terbaik menurut Allah SWT. Secara praktis hal
tersebut melatih manusia untuk lebih terbiasa dalam perbedaan,
menerima hal-hal yang tidak selalu sesuai dengan kehendak
manusia.
3. Melaksanakan salat tepat pada waktunya
Pertanyaan mendasar dalam hal ini, mengapa Allah SWT begitu
menghargai waktu? Berlalunya waktu subuh menjadi dzuhur,
berlanjut melintas hingga ashar dan berikutnya tak terasa maghrib
pun tiba, manusia segera tersadar bahwa siang hari telah lewat,
kegiatan apakah yang telah seharian dilakukan? Kegiatan mana
saja yang telah benar-benar bermanfaat untuk saat ini, esok, masa
depan, dan kehidupan pasca kematian? Sudahkan mengisi “ruang
spiritual” yang dimiliki dengan hal-hal yang berharga atau
dorongan-dorongan yang lebih tinggi dan progresif?
Kuntowijoyo mengingatkan bahwa sudah semestinya manusia
memiliki kesadaran tentang perubahan dan kesadaran sejarah;
kesadaran tentang perubahan yaitu bahwa berlalunya waktu telah
mengubah peran dan kualifikasi setiap entitas, seperti orangtua,
guru, pimpinan, keluarga dan sebagainya, bahkan diri sendiri;
kesadaran sejarah yaitu bahwa umat sebagai kolektifitas adalah
unit sejarah yang mau tidak mau terlibat dalam arus
perkembangan sejarah. Kesadaran sejarah berarti bahwa umat
harus menjadi subjek yang menentukan sejarahnya sendiri, tidak
hanya menunggu untuk dikendalikan sebagai objek oleh kekuatan
sejarah lain. Secara praktis, bahwa dalam salat Allah
menanamkan perlunya mengatur waktu secara efektif dan efisien
untuk menentukan sejarah diri sendiri sebagai individu dan umat,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
124 ProsIding
dengan mengisinya melalui berbagai ragam aktifitas yang
progresif dan konstruktif.
4. Melaksanakan salat dengan khusyu’ dan tuma’ninah
Salat merupakan salah satu proses komunikasi manusia dengan
Allah, kemudian mengapa dalam komunikasi tersebut harus
dilakukan secara khusyu’ dan tuma’ninah? Sebenarnya nilai-nilai
apakah yang hendak Allah berikan? Untuk menyibak rahasia
dibalik itu ada baiknya merujuk pendapat Jalaluddin Rakhmat,
bahwa Allah sebenarnya memberikan prinsip-prinsip komunikasi
di dalam al-Qur`an bagi generasi unggul, yaitu prinsip qaulan
sadiidan (QS. 4:9), qaulan balighan (QS. 4:63), qaulan maysuran
(QS. 17:28), qaulan layyinan (QS. 20:44), qaulan kariman (QS.
17:23) dan qaulan ma’rufan (QS. 4:5). Prinsip komunikasi efektif
adalah bersifat benar dan jujur (sadiidan), mampu mengenai
sasaran (balighan), pantas dan tidak mengecewakan (maysuran),
lemah lembut (layyinan), mulia (kariman) dan baik (ma’ruf).
Dengan demikian, dapat digarisbawahi agar hidup manusia
dengan berbagai aktifitasnya, termasuk salat, memiliki kualitas
tinggi maka prinsip-prinsip komunikasi di atas merupakan sebuah
tuntutan yang tidak dapat dihindari, dan itulah pilihan cara
terbaik. Di sini pula Allah menyiratkan untuk mencapai kualitas
komunikasi yang baik, termasuk ketika salat maupun ibadah-
ibadah lain, maka kredibiltas komunikator pun harus memenuhi
kriteria agar yang diajak berkomunikasi percaya dan memahami
yang dia kehendaki. Kekhusyu’an salat akan mengantarkan
manusia mencapai kualitas hidup yang tinggi dan terhindar dari
frustasi, demoralisasi, alienasi, dan sebagainya.
5. Melaksanakan tata tertib salat dengan berurutan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
125 ProsIding
Filosofi salat apabila ditelaah secara mendalam sebenarnya
memberikan latihan-latihan bagi manusia untuk menata hidup
menjadi tahapan-tahapan yang sistematis, dalam hal ini dapat
dirancang flowchart sejarah kehidupannya. Untuk itu perlu
merumuskan visi dan misi, tujuan, tata tertib, strategi, program
kerja (jangka pendek, menengah, dan panjang), yang selanjutnya
dapat diterjemahkan ke dalam aktifitas. Hal itu belum cukup,
karena tahapan demi tahapan tadi perlu dievaluasi untuk
diperbaiki kelemahan-kelemahannya dan dipertajam potensi
kekuatan yang mendukung peluang-peluang menuju
keberhasilan.
6. Mengutamakan salat berjama’ah dan mengutamakan kerapatan
shaff serta mengutamakan shaff terdepan
Dalam salat berjamaah banyak manfaat yang dapat diperoleh,
misalnya tali persaudaraan tetap terjaga, komunikasi dan
informasi antar individu berlangsung dinamis, sehingga tumbuh
suasana saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum),
dan saling tolong-menolong (ta’awun). Kebiasaan-kebiasaan
dalam membangun sinergi dan kebersamaan di atas tentu
merupakan stimulant positif yang dapat melahirkan jaringan-
jaringan konstruktif, seperti jaringan keilmuan/intelektual,
jaringan bisnis, jaringan social dan pemberdayaan umat, dan
sebagainya. Dalam kebersamaan jama`ah akan tumbuh dinamika
belajar yang berlangsung secara interaktif, di mana masing-
masing individu dapat berperan menjadi yang terbaik, dan situasi
ini sangat mendukung bagi kesuksesan bersama. Setiap individu
mendapatkan independensinya, namun mereka tetap berada
dalam interdependensi. Di saat itulah, manusia dapat membangun
accelerated learning group untuk mengembangkan diri meliputi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
126 ProsIding
aspek fisik, social/emosional, intelektual dan mental, serta
spiritual.
7. Mengakhiri dengan salam dan do`a
Ada makna yang sangat mengesankan dari ucapan salam, yaitu
salam merupakan do’a yang dipanjatkan kepada Allah SWT. atas
keselamatan dunia hingga akhirat bagi sesama yang berada di
sekitar. Salam merupakan bagian dari salat, agar salat tersebut
diterima Allah SWT. maka hendaklah dalam mengucapkan salam
¾ sebagai bagian dari salat ¾ dengan niat tulus ikhlas dan
sungguh-sungguh. Secara otomatis, perilaku pun akan merujuk
pada “salam”, yaitu bersifat memberikan keselamatan bagi
sesama, baik dalam pergaulan, bisnis atau dalam sektor lain.
Implikasi dari “salam” adalah terciptanya sinergi dan terhindar
dari sikap saling mencela, menghujat, memeras, menindas,
mengintimidasi, dan pemaksaan. Sehingga setiap individu
memiliki misi pengabdian terhadap sesama, inilah wujud
kesuksesan yang dibangun melalui paradigma
kesalingtergantungan.
Salat merupakan sebuah sistem yang dikaruniakan Allah
untuk mengasah dan melejitkan potensi-potensi unggul yang
dimiliki calon guru, dan tentunya akan dapat terus mengeksplorasi
sistem-sistem unggul lainnya, bahkan menciptakan sistem unggul
baru, demi mencapai kesuksesan di era global. Di samping itu, salat
yang khusyu’ dapat memberikan energi untuk bersaing secara
positif. Dalam hal ini calon guru maupun guru profesional memiliki
komitmen bahwa competitor merupakan sebuah entitas yang
berguna untuk meng-compare kecepatan diri sendiri, sehingga
semakin termotivasi untuk melakukan percepatan diri dan terus
mencari bahkan meng-create sistem yang lebih unggul.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
127 ProsIding
Profil Calon Guru Kompetitif di Era Global
Arah pembangunan pendidikan nasional 2025 adalah insan
Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Ada empat
kecerdasan yang dimaksud dengan cerdas komprehensif tersebut,
yaitu cerdas spiritual, cerdas sosio-emosional, cerdas intelektual,
dan cerdas kinestetis-estetis. Aneka indikator capaian setiap
kecerdasan tersebut telah diuraikan di dalam RPJPN 2025,
sebagaimana dapat dirangkum dan divisualisasikan pada Tabel 1.36
Makna Insan Indonesia Cerdas Makna Insan
Indonesia
Kompetitif
Cerdas
spiritual
• Beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu
untuk menumbuhkan dan memperkuat
keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia
termasuk budi pekerti luhur dan
kepribadian unggul.
• Berkepribadian
unggul dan
gandrung akan
keunggulan
• Bersemangat
juang tinggi
• Jujur
• Mandiri
• Pantang
menyerah
• Pembangun
dan pembina
jejaring
• Bersahabat
dengan
perubahan
Cerdas
emosional
dan sosial
• Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk
meningkatkan sensitivitas dan
apresiativitas akan kehalusan dan
keindahan seni, nilai-nilai budaya, serta
kompetensi untuk mengekspresikannya.
• Beraktualisasi diri melalui interaksi
sosial yang (a) membina dan memupuk
hubungan timbal balik; (b) demokratis;
(c) empatik dan simpatik; (d)
menjunjung tinggi hak asasi manusia; (e)
ceria dan percaya diri; (d) menghargai
kebhinekaan dalam bermasyarakat dan
bernegara; (e) berwawasan kebangsaan
36Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Menyiapkan Generasi Emas 2045: Memori Akhir Masa Jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2010—2014. Jakarrta: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
128 ProsIding
dengan kesadaran akan hak dan
kewajiban warga negara.
• Inovatif dan
menjadi agen
perubahan
• Produktif
• Sadar mutu
• Berorientasi
global
• Pembelajaran
sepanjang
hayat
• Menjadi rahmat
bagi semesta
alam
Cerdas
intelektual
• Beraktualisasi diri melalui olah pikir
untuk memperoleh kompetensi dan
kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi.
• Aktualisasi insan intelektual yang kritis,
kreatif, inovatif, dan imajinatif.
Cerdas
kinestetis
• Beraktualisasi diri melalui olah raga
untuk mewujudkan insan yang sehat,
bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan
trengginas.
• Aktualisasi insan adiraga.
Berdasarkan tuntutan dan harapan tersebut diperlukan
sumber daya manusia calon guru yang unggul dan inspiratif.
Menurut Sri Mulyani Endang Susilowati,37 guru inspiratif adalah
guru yang mampu memberikan stimulasi mental pada siswa-
siswanya. Stimulasi mental ini mempengaruhi siswa tidak hanya
pada aspek kognitif tetapi melibatkan rasa atau emosi positif
sehingga memberi dampak yang lebih kuat terhadap pemahaman
siswa.semakin banyak emosi positif yang dirasakan oleh siswa pada
waktu belajar, maka penguasaan materi pelajaran akan semakin baik.
Dalam era kompetisi global, guru memiliki banyak peran.
Dalam kependidikan Islam, peran calon guru maupun guru yang
profesional (ustadz) harus selalu tercemin dalam segala aktivitasnya
sebagai, murabbiy, mu`allim, mursyid, mudarris, dan mu`addib.
Sebagai ustadz, guru akan selalu komitmen terhadap profesionalitas,
yang melekat pada dirinya dedikatif, komitmen terhadap mutu
37Sri Mulyani Endang Susilowati. 2016. Guru Inspiratif Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Berdaya Saing Di Era MEA. http.//www.researchgate.net.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
129 ProsIding
proses dan hasil kerja, serta sikap continous quality improvement
(peningkatan kualitas secara terus menerus). Sebagai mu`allim, guru
harus menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta
menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi
teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer
ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliah (implementasi).
Sebagai murabbiy, guru harus mampu mendidik dan menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan
memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka
bagi masyarakat dan alam sekitarnya. Sebagai mursyid, guru akan
mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi
pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. Sebagai
mudarris, guru harus memiliki kepekaan intelektual dan informasi,
serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara
berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilansesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. Sedangkan sebagai
muaddib, guru harus mampu bertanggung jawab dalam membangun
peradaban yang berkualitas di masa depan.38
Melalui latihan penguatan soft skill berbasis religius secara
terus menerus atau kontinu maka calon guru akan memiliki
kepercayaan diri dan komitmen yang teguh untuk menjalankan peran
tersebut dalam rangka mewujudkan sumber daya insan kompetitif di
era global. Penguatan soft skill berbasis religius ini dapat
dipraktikkan secara mandiri (di luar program akademik) baik oleh
38Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 208-209.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
130 ProsIding
setiap individu calon guru ataupun pada profesi yang lain dalam
menguatkan soft skills pribadi.
PENUTUP
Soft skill yang dimiliki setiap profesi harus senantiasa dikembangkan
dan diberikan penguatan. Dalam hal ini, penulis menggunakan
perspektif Islam sebagai basis religius dalam memperkuat soft skill
calon guru maupun guru profesional. Guru ataupun calon guru
sebagai manusia merupakan sebaik-baiknya ciptaan Allah. Namun
dapat berubah menjadi bertempat serendah-rendahnya jika tidak
mampu menjaga kualitas keimanan dan amal saleh. Salah satu solusi
untuk mengembalikan ke posisi tertingginya tersebut sekaligus
menguatkan soft skills yang dimilikinya, al-Qur`an telah
menunjukan untuk supaya melakukan salat dengan khusyu’.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
131 ProsIding
Daftar Rujukan
Al-Qur`an Al-Karim
Fazlur Rahman. 1996. Tema Pokok Al-Qur`an. Bandung: Pustaka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Menyiapkan
Generasi Emas 2045: Memori Akhir Masa Jabatan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2010—2014.
Jakarrta: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri,
Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Mudlofir, Ali. 2012. Pendidik Profesional. Surabaya: Rajawali Pers.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005).
Musthafa Khalili, Berjumpa Allah Dalam Shalat, (Jakarta: Zahra,
2006), Purnomo, Deddy Hari. 2011. Meraih Kesuksesan
dengan Shalat Khusyu’. https://deddyhp.wordpress.com
Sri Mulyani Endang Susilowati. 2016. Guru Inspiratif Untuk
Mewujudkan Pendidikan Yang Berdaya Saing Di Era
MEA. http.//www. Research gate.net.
Tafsir Fi Zhilali al-Qur`an VIII.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
132 ProsIding
PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA DAN
MOTIVASI TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA
MAN 2 BATU PADA MATA PELAJARAN SOSIOLOGI
Ni’matuz Zuhroh
Dosen Universitas Islam Negeri Malang Maulana Malik Ibrahim
Abstract: The effort to achieve optimal learning achievement from student
learning process can also be influenced by internal and external factors. Internal
factors are factors that arise from within the students themselves while external
factors are factors that arise from outside the student self that is the cultural social
environment, including the family environment, school environment and
community environment and motivasi.This research was conducted in MAN 2
BATU by proposing three research foci: 1. Is there a significant influence socio-
cultural environment with the achievement of learning subjects Sociology MAN
2 Department of Social Science Batu 2.Apakah no significant influence motivation
learn denngan Achievement learning subjects Sociology MAN 2 Department of
IPS Batu, 3 . Is there a significant influence socio-cultural environment and
learning motivation on the achievement of learning subjects Sociology MAN 2
Department of Social Science Batu City. The method of this study is a quantitative
approach. The data consists of primary data covering the results of test / report
cards of secondary students of this study include the available sources can be
interviews, documentation, etc. While the data source consists of respondents ie
people who provide responses (responses) to the questions posed. Respondents in
this research will consist of class XI students who are in IPS majors, As Based on
the analysis and discussion that has been done in the previous chapter it can be
concluded as follows: From the linear regression equation as follows Y = 36.680
+ 0.297X1 + 0.974X2 . Based on the equation it is seen that the regression
coefficient of each social and cultural environment variables and motivation to
learn have a significant effect on student achievement of IPS Department of
Sociology Subject MAN 2 Batu Town, Socio-Cultural Environment has a
significant positive effect on student achievement of IPS Department of Sociology
Subject MAN 2 City of Stone proved by tcount = 2,385> ttable = 1,98 and sig
value 0,01 <0,05, Motivation have positive significant effect on student
achievement of IPS Department of Sociology Subject MAN 2 Batu City proved
by titung value = 10,31> ttable = 1,98 and sig value 0,00 <0,05.
Keywords: socio-cultural environment, motivation and learning achievement.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
133 ProsIding
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilaksanakan dan
dikembangkan secara komprehensif dalam mencapai kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bertanah air dengan baik. UU No 20
tahun 2003 tentnag Sisdiknas mengamanahkan bahwa tujuan
Pendidikan Nasional adalah:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis.39
Perkembangan pendidikan di Indonesia yang begitu pesat
menunjukkan adanya inovasi dan keinginan masyarakat untuk
memperoleh hidup lebih baik. Kondisi ini menunjukkan adanya
pergerakkan dinamis dalam dunia pendidikan, sejak tahun 2006-
2014 jumlah Madrasah Aliyah (MA) dibawah lingkungan
Kementerian Agama berjumlah 7.260 dengan 132.277 guru dan
1.099.366 murid.40 Untuk daerah Jawa Timur tercatat 1.455 MA,
25.846 guru dan 247.948 murid. Sedangkan di kota Batu hanya ada
1 Madrasah Aliyah Negeri (MAN), yaitu MAN 2 Kota Batu dengan
679 Murid dan 43 Guru.41 Letak Madrasah yang strategis dan satu-
satunya yang berada di kota Batu memiliki keuntungan tersendiri
bagi lembaga sehingga murid yang belajar di MAN 2 tidak hanya
39 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas 40 Data dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1534 update data 09 September 2015 diakses pada 15 Maret 2016. 41 BPS Provinsi Jawa Timur yang dipublikasikan melalui website jatim.bps.go.id
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
134 ProsIding
dari daerah setempat namun dari berbagai wialayah di Jawa Timur.
Konsep pembelajaran dengan peraduan pendidikan formal
(Madrasah Aliayah Umum) dan pondok pesantren yang
dikembangkan juga menjadi daya tarik bagi orang tua untuk
menyekolahkan anak-anaknya di MAN 2 Kota Batu. Madrasah ini
menjadi destinasi pilihan pertama bagi orang tua yang menginginkan
anaknya memperoleh pendidikan umum dan pendidikan agama
secara formal.
Jumlah murid yang begitu banyak dan berasal dari berbagai
kota/kabupaten tentu mempunyai karakter yang berbeda karena
hidup dan tumbuh di lingkungan sosial-budaya yang beragam. Oleh
karena itu, setiap murid mempunyai kepribadian dan pola belajar
yang berbeda. Kepribadian seseorang akan terbentuk melalui
hubungan sosial dimana ia berada dan sangat tergantung pada
kebiasaan yang diterapkan di lingkungan sosial budayanya. Salah
satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian seseorang
adalah faktor lingkungan sosial budaya, baik lingkungan keluarga,
masyarakat maupun lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga
adalah tempat pertama yang digunakan seorang anak dalam proses
pembelajarannya. Lingkungan masyarakat dimana anak berinteraksi
dengan seluruh anggota masyarakat yang sangat heterogen, akan
sangat mempengaruhi perilaku dan sikap anak tersebut. Karakter
manusia banyak dipengaruhi lingkungan alam dimana ia tinggal,
sebab dengan siapa anak tinggal dan dengan siapa anak
berinteraksi.42
Adanya pola dan gaya belajar yang berbeda akan berpengaruh
pada capaian prestasi beragam yang diraih oleh siswa. Oleh karena
42 Gunawan, Ary H., 2000, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.hml. 60
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
135 ProsIding
itu, upaya lembaga memadukan konsep pendidikan formal dan
pesantren mempunyai peran penting dalam mendukung proses
perkembangan siswa. Hamalik menyebutkan bahwa “prestasi belajar
adalah hasil atas kepandaian atau ketrampilan yang dicapai oleh
individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru,
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu dalam
interaksinya dengan lingkungan”.43 Pada dasarnya prestasi
merupakan hasil dari usaha belajar siswa yang aktif dalam
meningkatkan prestasinya.
Usaha untuk mencapai prestasi belajar yang optimal dari proses
belajar mengajar seorang siswa dapat juga dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang timbul dari
dalam diri siswa itu sendiri sedangkan faktor eksternal yaitu faktor
yang timbul dari luar diri siswa yaitu faktor lingkungan sosial
budayanya, termasuk lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat.
Asrama siswa atau lingkungan pesantren tempat para
siswa/santri melakukan berbagai aktivitas dan interaksi sosial
didesain sedemikian rupa untuk mendukung proses belajar dan
pembentukan kepribadian siswa. Melalui aktivitas sehari-hari di
lingkungan Asrama dan interaksi antar siswa akan terbentuk suatu
kebiasaan-kebiasaan yang menjadi budaya, seperti budaya belajar.
Terlihat di sudut-sudut dinding Asrama di luar jam
pelajaran para santri memegang buku, kitab kuning dan
membaca al-qur’an serta ada sebagian santri yang senda
gurau sambil bermain-main di halaman Asrama.44
43 Hamalik, Oemar. 2003. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.hlm.45 44 Observasi awal pada tanggal 8 Januari 2016 (saat mengantarkan mahasiswa PKL)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
136 ProsIding
Budaya belajar yang diciptakan oleh MAN 2 Kota Batu
melalui berbagai kegiatan di Asrama/Pesantren siswa telah terbentuk
dengan baik meskipun belum semua santri/siswa terlihat aktif. Ada
sebagian santri/siswa lebih suka belajar di kamar dan sebagian
belajar di malam hari saat suasana sepi.
Iya, betul banyak santri/siswa yang belajar di malam hari,
Bu. Biasanya anak-anak itu qiyamul lail dilanjutkan
dengan sholat subuh, ngaji dan belajar secara mandiri.
Dari uraian latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) Mengetahui pengaruh secara signifikan
lingkungan sosial budaya dengan Prestasi belajar mata pelajaran
Sosiologi MAN 2 Jurusan IPS Kota Batu; (2) Mengetahui pengaruh
secara signifikan motivasi belajar denngan Prestasi belajar mata
pelajaran Sosiologi MAN 2 Jurusan IPS Kota Batu; (3) Mengetahui
pengaruh secara signifikan lingkungan sosial budaya dan motivasi
belajar terhadap prestasi belajar mata pelajaran Sosiologi MAN 2
Jurusan IPS Kota Batu.
METODE
Jenis Penelitian kuantitatif datanya terdiri dari data primer
meliputi hasil ulangan/ raport siswa data sekunder dari penelitian ini
meliputi sumber-sumber yang ada bisa berupa wawancara,
dokumentasi dll. Sedangkan sumber data terdiri dari responden
yaitu orang yang memberikan tanggapan (respon) terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Responden dalam penelitian
yang akan dilakukan ini terdiri dari siswa kelas XI yang berada pada
jurusan IPS yang dijadikan sampel dalam penelitian yang akan
dilakukan ini.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
137 ProsIding
Adapun jabaran dari Data dan Sumber Data yang digunakan
dalam Penelitian ini dapat dilihat pada table 3.1 berikut:
Tabel 3.1 Data, Sumber Data dan Data Pendukung
No Data Sumber Data Data Pendukung
1 Lingkungan Sosial
Budaya
Siswa (Angket) Observasi dan
wawancara dengan
mahasiswa
praktikkan
2 Motivasi Siswa (Angket)
3 Prestasi Belajar Dokumen (Nilai Siswa)
Populasi dan Sampel, populasi dalam penelitian ini adalah
keseluruhan siswa IPS di MAN 2 Kota Batu, tapi dalam hal ini yang
akan diambil peneliti adalah Kelas XI IPS di MAN 2 Kota Batu.
Sedangkan pengambilan sampelnya secara acak atau random
sampling. Dikatakan simple ( sederhana) karena pengambilan
sampel dari populasi secara acak namun sampel tersebut sudah
representative.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis 1 yang telah dilakukan
dan didapatkan bahwa lingkungan sosial budaya (LSB) siswa
berpengaruh secara nyata terhadap perubahan prestasi yang
diperoleh siswa. Lingkungan social budaya merupakan tempat
terjadinya proses interaksi dan aktivitas kehidupan yang terjadi
secara berulang-ulang. Proses interaksi ini berdampak pada pola
perilaku, kebiasaan dan gaya belajar siswa.
Pada dasarnya lingkungan kondusif terbentuk dari kondisi
fisik, sarana dan letak geografis yang memadai. Siswa yang berada
di lingkungan kondusif akan merasa nyaman dalam berinteraksi dan
melakukan proses pembelajaran sehingga proses belajar mengajar
menjadi efektif.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
138 ProsIding
Proses pembelajaran yang efektif akan berpengaruh terhadap
prestasi belajar yang diperoleh siswa. Dengan demikian, prestasi
belajar siswa yang ditunjukkan melalui perolehan nilai Ulangan
Harian, Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Nilai
siswa selanjutnya diolah oleh guru Mata Pelajaran Sosiologi
sehingga menjadi satu nilai akhir dan nilai akhir inilah yang
dijadikan dasar penentuan prestasi belajar siswa.
Dari hasil olah data untuk variabel lingkungan sosial budaya
yang diwakili 10 item pertanyaan/pernyataan dalam angket, yaitu
dukungan orang tua terhadap anak dalam belajar, fasilitas belajar
yang disediakan oleh orang tua, pemenuhan kebutuhan dalam proses
belajar oleh orang tua, himbauan orang tua untuk belajar, partisipasi
siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, keaktifan dalam organisasi
sekolah, keaktifan dalam kegiatan masyarakat (sekolah), manfaat
aktif di masyarakat dalam mendukung proses belajar siswa,
pemanfaatan sarana dan fasilitas yang disediakan sekolah serta
interaksi siswa dengan guru.
Hasil olah data menunjukkan bahwa LSB ada pengaruh
secara nyata dan berarah positif terhadap prestasi belajar siswa, yaitu
nilai siswa akan meningkat sebesar 29,7% jika LSB naik 1% dengan
catatan faktor lain diabaikan (cateris paribus). Hasil ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto (2015) bahwa
fasilitas, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial berpengaruh
secara positif signifikan terhadap hasil belajar IPS begitu pula
dengan hasil penelitian Siti Khurotun Azizah (2013) serta Bayu
Winarno (2012) yang melakukan penelitian di tempat berbeda dan
kondisi yang berbeda. Dengan demikian, hasil lapangan
menunjukkan kesepadanan dengan teori artinya LSB mempunyai
penagaruh terhadap hasil/prestasi belajar siswa.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
139 ProsIding
Berdasarkan deskripsi tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa LSB berpengaruh terhadap Prestasi Belajar
Siswa Jurusan IPS pada Mata Pelajaran Sosiologi MAN 2 Kota Batu.
Selanjutnya, pengujian hipotesis kedua, yaitu motivasi
berpengaruh secara positif signifikan terhadap prestasi belajar siswa
menunjukkan adanya perubahan berdasarkan hasil pengujian yang
telah dilakukan didapat bahwa prestasi siswa akan meningkat
sebesar 0,974% jika motivasi belajarnya dinaikkan sebesar 1%
dengan catatan faktor lain diabaikan. Variabel motivasi dalam hal ini
diwakili dengan 10 item pernyataan/pertanyaan dalam angket, yaitu
kesadaran siswa dalam belajar, usaha menyelesaikan tugas dari guru,
upaya memperoleh nilai yang baik, kegemaran membaca buku,
keinginan untuk naik kelas, partisipasi dalam KBM, kenyamanan
suasana belajar, pengulangan materi pelajaran di rumah, kegemaran
berdiskusi dan kesenangan dalam mengerjakan latihan-latihan soal.
Kenaikkan 1% motivasi siswa dapat diperoleh melalui salah satu
indikator variabel, misalnya kegemaran berdiskusi dan latihan
mengerjakan soal latihan. Kedua indikator ini mudah untuk
dilakukan karena melibatkan orang ketiga yaitu guru dengan
memanfaatkan strategi pembelajaran cooperative learning (jigsaw)
dan memberikan soal latihan lebih banyak.
Motivasi merupakan keadaan psikis seseorang dalam
berusaha menyelesaikan berbagai permasalahan dan persoalan
kehidupannya. Motivasi belajar dapat tumbuh dari dorongan diri
pribadi seseorang atau dari orang lain yang mampu memberikan
stimulus. Faktor internal dapat berupa kesadaran diri tentang
kewajiban dan tanggungjawab sebagai pelajar, rasa keinginan yang
kuat untuk memperoleh nilai tinggi dan naik kelas. Sedangkan faktor
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
140 ProsIding
eksternal yang dapat menumbuhkan motivasi belajar dapat berupa
dukungan orang tua, fasilitas belajar, dukungan guru dan teman.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Siti Khurotun
Azizah (2013) dan Bayu Winarno (2012) bahwa motivasi mempunyai
pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Namun, terdapat perbedaan pada
tingkat pengaruhnya di MAN 2 Kota Batu pengaruh motivasi sangat tinggi
yaitu 97,4% dan hanya 2,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Tingginya
pengaruh motivasi terhadap hasil/prestasi belajar siswa dapat menjadi
rujukan bagi pihak lembaga untuk mengambil keputusan dalam berupaya
meningkatkan akademik sekolah. Dengan kondisi sarana dan fasilitas yang
tersedia saat ini prestasi siswa juga cukup tinggi, apalagi jika pihak
lembaga meningkatkan ketersediaan sarana dan fasilitas yang lebih
memadai maka nilai siswa juga akan meningkat. Misalnya, melengkapi
referensi di perpustakaan, menambahkan ruang khusus santai untuk
berdiskusi dan studi lapangan ke kawasan/lembaga tertentu.
Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan siswa dalam
belajar atau hasil interaksi antara berbagai faktor yang
mempengaruhinya baik dari dalam maupun dari luar. Adanya
interaksi tersebut berdampak pada perolehan nilai yang diperoleh
siswa selama melakukan proses KBM. Nilai akhir dijadikan patokan
untuk menentukan keberhasilan siswa dalam belajar, menentukan
predikat, menentukan ketuntasan belajar dan kelulusan. Oleh karena
itu, setiap siswa pasti memiliki nilai yang berbeda karena adanya
motivasi belajar yang berbeda dan latar budaya yang berbeda.
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis ketiga,
didapatkan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh LSB dan
Motivasi. Secara matematis diperoleh Fhitung = 67,154 > Ftabel = 0,323
dan nilai sig 0,000 < 0,05 menunjukkan adanya penagruh yang kuat
dari LSB dan Motivasi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
141 ProsIding
Pengaruhnya LSB dan Motivasi yang dilakukan secara
bersama-sama sebesar 58,1% dan 41,9% dipengaruhi oleh faktor
lain. Tingginya tingkat pengaruh LSB dan Motivasi terhadap
Prestasi Belajar Siswa Jurusan IPS Kelas XI/2-4 mengindikasikan
kualitas pembelajaran di MAN 2 Kota Batu sangat baik. Temuan ini
juga sejalan dengan hasil penelitian Sugiyanto, S.Pd. SD., S.Sos., M.Pd
(2015), Siti Khurotun Azizah (2013) dan Bayu Winarno (2012). Apabila
LSB dan Motivasi dinaikkkan sebesar 1% maka prestasi belajar siswa akan
meningkat sebesat 58,1%. Angka ini cukup tinggi jika pihak lembaga
mampu memanfaatkan secara maksimal potensi yang dimiliki oleh para
siswa.
Pembahasan
Temuan penelitian, peran lingkungan sosial budaya dalam
mendukung proses belajar siswa sangat tinggi. Seorang siswa yang
berasal dari keluarga harmonis dan adanya dukungan orang tua
untuk belajar cenderung lebih tekun, disiplin dan tanggungjawab.
Siswa yang merasa nyaman dan tenang tinggal di tengah-tengah
keluarga harmonis sangat berdampak pada pola pikir, prilaku dan
sikapnya sehingga gaya belajarnya pun juga cenderung lebih baik
dibandingkan siswa yang tidak memperoleh perhatian oraang tua.
Ketengan pikiran dan gaya belajar yang baik akan membantu
siswa dalam proses KBM di sekolah sehingga dia menemukan
kenyamanan dalam belajar. Siswa yang merasa enjoy dan nyaman
dalam belajar cenderung memiliki prestasi yang cukup bagus. Oleh
karena itu, suasana harmonis dalam keluarga sangat dibutuhkan bagi
seorang anak yang sedang menuntut ilmu.
Sarana dan fasilitas yang disediak oleh orang tua juga dapat
mendukung proses pembelajaran seorang siswa. Apabila siswa
memilki fasilitas yang memadai, seperti kelengkapan alat tulis, buku
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
142 ProsIding
referensi dan media informasi yang memadai mempunyai
kecenderungan berpengetahuan cukup luas dibandingkan siswa
yang memiliki fasilitas dan akses informasi terbatas. Namun, perlu
diperhatikan juga oleh setiap orang tua dalam menyediakan fasilitas
kemudahan akses informasi seperti internet, yaitu tetap memberikan
pemahaman, pengertian dan pendampingan saat anak menggunakan
media tersebut.
Jaringan internet yang cukup luas, bebas dan terbuka sebagai
sarana informasi pengetahuan bagi anak juga mempunyai dampak
negatif apabila pemanfaatannya tidak diarahkan dan didampingi.
Peran serta guru dalam mengarahkan dan mendampingi
pemanfaatan media informasi internet juga dibutuhkan. Oleh karena
itu, guru perlu memiliki kemampuan atau kompetensi penggunaan
IT secara baik. Selain itu sarana informasi internet juga baik
digunakan sebagai salah satu sumber pembelajaran. Perkembangan
IT saat ini tidak dapat dibendung seolah dunia berada dalam
genggaman tangan. Untuk itu, perhatian, pendampingan dan
pengarahan secara intens oleh guru dan orang tua menjadi lokomotif
utama memfilter informasi yang tidak perlu bagi anak. Umar bin
Khatthab pernah mengeluarkan sebuah steatment tentang pola
medidik anak. Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup
pada zaman yang berbeda dengan zamanmu.” “dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS. 31:13)
Melihat perkembangan teknologi yang semakin bebas dan
kemudahan dalam mengakses berbagai informasi positif dan negatif
menjadi momok bagi setiap orang tua. Pendidikan agama dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
143 ProsIding
pengetahuan keagamaan secara baik juga akan membantu memfilter
secara efektif. Pola pendidikan yang memadukan formal dan
pesantren merupakan upaya lembaga penyelenggara pendidikan
untuk menjaga moral dan akhlak siswa. MAN 2 Kota Batu sebagai
lembaga yang melaksanakan pedidikan model formal dan pesantren
memberikan kontribusi cukup baik bagi perkembangan akhlak dan
moral siswa.
Pendidikan sekolah/madrasah merupakan serangkaian
aktivitas proses pembelajaran dan interaksi siswa dengan warga
sekolah (guru, siswa, kepala sekolah dan pegawai). Proses interaksi
antar siswa terjadi saat proses pembelajaran dan kegiatan
keorganisasian sekolah seperti Osis, Pramuka, PMR, Remaja
Masjid, Kopsis dan Paskibra adalah wadah bagi siswa untuk belajar
secara kontekstual.
Kegiatan keorganisasian untuk siswa mendukung proses
belajar siswa lebih cepat, dimana secara tidak langsung siswa akan
belajar disiplin, tanggungjawab dan manajerial kepemimpinan.
Selain itu, kesibukan siswa diluar jam pelajaran di organisasi juga
bermanfaat dalam mengurangi perilaku negative: “Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”.
Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu.
kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah)." (QS. 30:41-42)
Perilaku dan moral seseorang sangat dipengaruhi
pengetahuan yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
144 ProsIding
pengetahuan luas dan berpendidikan cenderung mempunyai sikap
dan akhlaq yang baik. Pengetahuan yang baik dapat diperoleh dari
proses belajar secara sistematis, terarah dan continue di sarana yang
memadai.
Semangat belajar dan tingginya keinginan untuk
berpengetahuan secara luas menjadi landasan utama bagi seorang
siswa untuk memperoleh hasil belajar yang baik. Kesadaran
terhadap tanggungjawab sebagai pelajar memberikan dorongan bagi
seorang siswa untuk mengikuti proses pembelajaran dengan baik
sehingga prestasi akademik akan dicapai. Seorang siswa yang
memiliki kesadaran diri akan terpacu untuk mengerjakan dan
menyelesaikan berbagai tugas yang diberikan oleh guru. Ketika
proses pembelajaran mampu dijalani dengan baik, maka nilai akan
diraih dengan mudah dan prestasi akademik sesuai harapan juga
akan tercapai.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan
pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari persamaan regresi linier sebagai berikut Y = 36,680 +
0,297X1 + 0,974X2. Berdasar persamaan tersebut terlihat bahwa
koefisien regresi masing-masing variabel lingkungan social
budaya dan motivasi belajar berpengaruh signifikan terhadap
prestasi belajar siswa Jurusan IPS Mata Pelajaran Sosiologi
MAN 2 Kota Batu.
2. Lingkungan Sosial Budaya berpengaruh secara positif
signifikan terhadap prestasi belajar siswa Jurusan IPS Mata
Pelajaran Sosiologi MAN 2 Kota Batu yang dibuktikan dengan
nilai thitung = 2,385 > ttabel = 1,98 dan nilai sig 0,01 < 0,05.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
145 ProsIding
3. Motivasi berpengaruh secara positif signifikan terhadap prestasi
belajar siswa Jurusan IPS Mata Pelajaran Sosiologi MAN 2
Kota Batu yang dibuktikan dengan nilai thitung = 10,31 > ttabel =
1,98 dan nilai sig 0,00 < 0,05.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, beberapa saranyang diberikan
adalah. Pertama, saran ditujukankepada orangtua. Karena hasil
penelitianmembuktikan bahwa intensitas interaksi sosialanak
dengan orangtua mempengaruhi prestasibelajar anak, maka
hendaknya orang tua selaluberusaha untuk dapat menjalin interaksi
yangharmonis dengan anak-anaknya supaya merekamerasa aman,
nyaman, terlindungi, sehingga prestasi belajarnya meningkat.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
146 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung :
Alfabeta.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Aziz, Abdul. 1998. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi
Kasus: Kumpulan Materi Pelatihan Metode Kualitatif.
Surabaya: BMPTSI Wilayah VII Jawa Timur.
Bafadal, I. 1994. Proses Perubahan di Sekolah: Studi Multi Situs
pada Tiga Sekolah yang Baik di Sumekar. Disertasi: Tidak
dipublikasikan. Malang: PPS UM.
Bloom, B. S. ed. et all. 1977. Taxonomy of Educational Objectives:
Handbook I, Cognitive Domain. New York: David McKay.
Catherine Lewis. 2004. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Dalam http://www.sowi-
online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm, diunduh 12
Februari 2010.
Cholid Narkubo, et.al. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara.
Dimyati dan Mudjiono, 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Elly M.Setiadi, 2005, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,Bandung:
Prenada Media Group.
Herimanto, 2014, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta : Bumi
Aksara.
Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly
Hill, California: Sage Publication, Inc.
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode
Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy. J. 1985. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Moh.Padil, 2007, Sosiologi Pendidikan, Malang: UIN Press
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.
Bandung: PT Tarsito.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
147 ProsIding
Putu Ashintiya Widhiartha, et.al. 2008. Lesson Study, Sebuah Upaya
Peningkatan Mutu Pendidik, Pendidikan Non Formal.
Surabaya: Prima Printing.
Robert C. Bogdan dan Sari R. Biklen. 1982. Qualitative Research
for Education: An Introduction to Theory and Methods.
Boston Allyn and Bacon.
Simplemag, Johny, Proses Pembentukan Kepribadian ( http://
creating websitemaskolis. Blogspot.com ( diakses 7 Maret
2016).
Sugiyono.2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan
R&D. Bandung Alfabeta
.Sevilla Consuelo G., 1993. Pengantar Metode Penelitian
(terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian . Yogyakarta: Gajah
Mada Univercity Press.
Nasution. S 2007. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
.Sutrisno Hadi. 1981. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi
Ofset. Rosda Karya,1995).
Syah, Muhibbin,1995. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan
Baru (Bandung: Remaja
Syuhadi. TT. “Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS)”, dalam
http://id.wordpress.com/tag/ lesson-study-berbasis-
sekolah/, diunduh tanggal 26 Agustus 2014.
Wahidmurni. 2008. Menulis Proposal dan Laporan Penelitian
Lapangan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif: Skripsi,
Tesis, dan Desertasi. Malang: Progam Pascasarjana UIN
Malang.
Zuhroh,Ni’matuz 2014,Perilaku Sosial Budaya politik dan Aktivitas
Religi Masyarakat Indonesia, J-PIPS, ISSN 255-8245,
Volume 1 no 1 Januari- Juni 2014
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
148 ProsIding
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN HYPERTEXT
DAN HYPERMEDIA DENGAN BLENDED LEARNING
TERHADAP
HASIL BELAJAR
Samsul Susilawati
Abstract: Hypertext and hypermedia are kinds of media software that interlink of
text, image, graphic, video, and audio. The use of hypertext and hypermedia as a
method on a blended learning situation make learning activity more interactive.
Users can make connection between text, image, audio clips and video clips as a
link or hyperlink. Cooperative skills of students in the methods Hypertex and
Hypermedia through Blended Learning in social studies integrated together and
learning process with the full meaning, because it is not only related to the
achievement of the learning material, but students also learn to operate the
computer well and social life when discussions group.The use of hypertext and
hypermedia is effective to motivate students learning on of social science. It can
also effective to enhance students learning achievement on social science.
Key words: Hypertext and hyperlink; blended learning
PENDAHULUAN
Ilmu Sosial adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang
merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi yang
diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-
keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan
Ekonomi.
Geografi, sejarah, dan anpropologi merupakan disiplin ilmu
yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi
memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-
wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi
meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
149 ProsIding
kepercayaan, struktur social, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi
politik, ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda
budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi
tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-
aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi
dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti
konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol
peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial. Secara
intesif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan
studi-studi sosial.
Bentuk pemanfaatan TIK yang mutakhir dalam
pembelajaran adalah proses pembelajaran maya atau yang dikenal
dengan istilah virtual learning (dikenal juga sebagai e-learning).
Proses pembelajaran maya terjadi pada kelas maya (virtual
classroom) dan atau universitas maya (virtual university) yang
berada dalam cyberspace (dunia cyber) melalui jaringan internet.
Proses pembelajaran maya berintikan keterpisahan ruang dan waktu
antara mahasiswa dan dosen, serta sistem belajar terbuka – yang
berintikan akses yang terbuka dan kebebasan memilih ragam sumber
belajar serta alur proses belajar oleh mahasiswa. Pembelajaran maya
yang memanfaatkan the world wide web (www) pada prinsipnya
memberikan apa yang diinginkan setiap orang (dalam beragam
bentuk), di tempat yang diinginkannya, pada saat yang
diinginkannya (to give what people want, where they want it, and
when they want it – www).
Ketika mengajarkan suatu mata pelajaran tertentu, materi
dapat didistribusikan dalam bentuk hypertext dan hypermedia. Jika
si belajar merasa kurang dalam bagian materi tersebut, maka si
belajar yang bersangkutan bisa mengunjungi halaman tersebut untuk
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
150 ProsIding
pendalaman atau pemerkayaan pengetahuannya. Hal seperti ini
sudah cukup banyak dilakukan di dunia industri teknologi informasi,
dimana vendor-vendor besar teknologi seperti Microsoft, Oracle,
ataupun Cisco banyak membuat buku-buku elektronik berbasis
Hypertext atau yang sejenisnya untuk memudahkan orang dengan
latar belakang kemampuan yang berbeda mempelajari sesuatu
teknologi yang sama.
Bentuk pembelajaran model blended ini, mampu
mengkombinasikan interaksi personal dalam pertemuan di kelas
secara langsung dengan pendidikan online yang mempunyai
fleksibilitas belajar yang tinggi. Proses belajar dapat ditingkatkan
dengan cara mengaitkan materi pembelajaran yang tersedia secara
online pada saat apapun ketika pebelajar butuh untuk mengaksesnya
(Bender, 2006: 114).
Studi terhadap kompetensi dan perilaku manusia dalam
menggunakan teknologi informasi telah banyak dilakukan dan pada
umumnya mengacu pada teori kognitif sosial yang dikemukakan
oleh Albert Bandura. Bandura (1986), mengajukan konsep self
efficacy untuk menjelaskan keyakinan individu akan kemampuan
dirinya dalam mengerjakan sesuatu. Compeau and Higgins (1995),
mengadopsi konsep self efficacy Bandura untuk menjelaskan
kompetensi dan perilaku manusia dalam menggunakan komputer.
Konsep Compeau and Higgins ini dikenal sebagai Computer Self
Efficacy (CSE). Studi lanjutan berkaitan dengan CSE seseorang
telah banyak dilakukan dan pada umumnya mengacu pada dimensi-
dimensi CSE yaitu : pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
kemampuan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan diangkat tema
penelitian tentang “Pengaruh Model Pembelajaran Hypertext dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
151 ProsIding
Hypermedia dengan blended learning terhadap Hasil Belajar Siswa
yang memiliki Computer Self Effiacy Berbeda mata pelajaran IPS.”.
PEMBAHASAN
A. Hypertext dan Hypermedia
Hypertext dan Hypermedia merupakan salah satu konsep
multimedia yang berbasis komputer. Smaldino, et.al (2005) dan
Roblyer (2006) mengemukakan bahwa hypertext dan hypermedia
adalah software computer yang mengandung komponen multimedia
(teks, grafis, video dan audio) yang dikaitkan satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga pengguna mudah berpindah dalam
mengakses informasi. Clark dan Mayer (2003) menguraikan secara
lebih rinci komponen multimedia menjadi dua, yaitu kata (words)
yang bisa berupa narasi atau teks di layar, dan grafis yang terdiri dari
gambar ilustrasi, photo, animasi atau media. Dengan demikian,
Hypertext dan Hypermedia merupakan multimedia interaktif
berbasis komputer termasuk teknologi terpadu, yaitu salah satu
komponen kawasan pengembangan dari teknologi pembelajaran.
Teknolog terpadu ini mempunyai karateristik khusus yang
membedakannya dengan multimedia lain, yaitu sifatnya yang non
linear, interaktif, integrative dan adaptif. (Seels dan Richey, 1994).
Hypertext dan Hypermedia, demikian juga perangkat
pembelajaran untuk e-learning lainnya, disamping memuat konten
(isi dan informasi), juga memuat metode pembelajaran untuk
membantu pembelajaran (Clark & Mayer, 2003). Dengan demikian
hypertext dan hypermedia tidak semata-mata perangkat yang static,
tetapi juga perangkat untuk menyampaikan pembelajaran
(delivering). Dalam hal ini, hypertext dan hypermedia bisa
merupakan bentuk utuh dari teori desain pembelajaran.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
152 ProsIding
Interaktivitas dan kekayaan format informasi yang dimiliki
Hypertext dan Hypermedia menjadikannya sangat fleksibel
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Empat potensi metode
pembelajaran yang dapat disampaikan melalui Hypertext dan
Hypermedia/ multimedia interaktif berbasis komputer adalah: (1)
visualisasi untuk mendukung penjelasan, (2) pembelajaran
menggunakan simulasi untuk mempermudah penguasaan materi, (3)
pembelajaran problem solving yang dilengkapi dengan feedback
secara otomatis, dan (4) pengintegrasian antara pembelajaran
kolaboratif dan mandiri (Kozma & Russell, 2004; Clark & Mayer,
2003).
Menurut Gagne dan Briggs (1979: 49-50) ada lima kategori
kapabilitas hasil belajar, yaitu: (1) keterampiln intelektual
(intelectual skills) (2) strategi kognitif (cognitive strategies), (3)
informasi verbal (verbal information), (4) keterampilan motorik
(motor skills) dan (5) sikap (attitudes). Sementara Reigeluth (1983:
15) berpendapat bahwa hasil belajar atau pembelajaran dapat juga
dikatakan sebagai pengaruh yang memberikan suatu ukuran nilai
dari metode (strategi) alternatif dalam kondisi yang berbeda, ada
hasil nyata dan diinginkan. Hasil nyata adalah hasil-hasil kehidupan
nyata dari menggunakan metode (strategi) spesifik dalam kondisi
yang spesifik pula. Sedangkan hasil diinginkam adalah tujuan-tujuan
(goals) yang umumnya berpengaruh pada pemilihan suatu metode.
Ini berarti hasil belajar sangat erat kaitannya dengan metode
(strategi) yang digunakan pada sesuatu kondisi pembelajaran
tertentu. Ketepatan pemilihan metode atau strategi pembelajaran
pada suatu kondisi, maka akabn semakin baik pula hasil belajar yang
diperoleh.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
153 ProsIding
Selanjutnya Reigeluth (1983: 94) mengatakakan secara
spesifik, hasil belajar adalah suatu kinerja (performance) yang
diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang telah
diperoleh. Hasil belajar terebut selalu dinyatakan dalam bentuk
tujuan-tujuan (khusus) perilaku (unjuk kerja).
Percival dan Ellington (1984) memberikan pengertian hasil
belajar merupakan kapasitas terukur dari perubahan individu yang
diinginkan berdasarkan ciri-ciri (sifat-sifat) variabel bawaannya
melalui perlakuan/pem-belajaran tertentu. Dalam pengertian ini
hasil yang diperoleh adalah hasil kegiatan dalam belajar pebelajar
dalam bentuk pengetahuan sebagai akibat dari
perlakuan/pembelajaran tersebut.
Berdasarkan paparan teori tentang hasil belajar di atas,
peneliti membuat definsi konseptual hasil belajar sebagai suatu
kesimpulan, bahwa hasil belajar adalah merupakan perilaku berupa
pengetahuan, keterampilan, sikap, informasi dan atau strategi
kognitif yang baru dan diperoleh pebelajar setelah berinteraksi
dengan lingkungan dalam suasana atau kondisi pembelajaran.
Pengetahuan, keterampilan, sikap, informasi dan atau strategi
kognitif tersebut adalah baru, artinya bukan yang telah dimiliki
pebelajar sebelum memasuki kondisi atau situasi pembelajaran
dimaksud.
Hasil belajar tersebut bisa juga berbentuk kinerja atau unjuk
kerja (performance) yang ditampilkan seseorang setelah selesai
mengikuti proses pembelajaran atau pelatihan. Dalam penelitian ini
hasil belajar yang akan diukur adalah hasil ranah kognitif pada
jenjang pengetahuan, pemahaman, analisis dan evaluasi yang
disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK).
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
154 ProsIding
B. COMPUTER SELF EFFICACY (CSE)
Menurut Compeau dan Higgins (1995) CSE (computer self
efficacy) didefinisikan sebagai judgement kapabilitas seseorang
untuk menggunakan komputer/sistem informasi/teknologi
informasi. Didasarkan pada teori kognitif social yang
dikembangkan oleh Bandura (1986), self efficacy dapat
didefinisikan sebagai kepercayaan seseorang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan perilaku tertentu. Bandura
menyatakan bahwa self efficacy yang dirasakan seseorang,
memainkan peran penting dalam mempengaruhi motivasi dan
perilaku (Igbaria dan Livari, 1995). Hal ini bukan merupakan
judgement pada masa lalu seseorang dalam menggunakan
komputer, tetapi menyangkut judgement yang akan dilakukan
pada masa depan. Hasil riset Campeau dan Biggins (1995)
menunjukkan, bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengarubi
CSE, yaitu: (1) dorongan dari pihak lain (2) pihak lain sebagai
pengguna (3) dukungan.
Dorongan dari pihak lain mengacu pada kelompok dan
menggunakan persuasi verbal. Pada faktor kedua, seseorang
dapat meningkatkan CSE-nya karena mengobservasi dan meniru
model perilaku. Ini merupakan cara yang ampuh untuk mengakuisisi
perilaku sebagai model pembelajaran. Sedangkan faktor terakhir
yaitu adanya dukungan dari organisasi bagi pengguna komputer
yang dapat meningkatkan CSE. Dukungan ini dapat berupa
ketersediaan dari pihak organisasi untuk membantu individu yang
membutuhkan peningkatan kemampuan dan juga persepsi
kemampuan diri.
Compeau dan Biggins juga menjelaskan ada tiga dimensi
CSE, yaitu: (1) magnitude (2) strength dan (3) generalibility.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
155 ProsIding
Dimensi magnitude mengacu pada tingkat, kapabilitas yang
diharapkan dalam penggunaan komputer. Individu yang mempunyai
magnitude CSE yang tinggi diharapkan mampu menyelesaikan
tugas-tugas komputasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan
individu yang mempunyai level magnitude CSE yang rendah
karena kurangnya dukungan maupun bantuan. Dimensi ini juga
menjelaskan, bahwa tingginya magnitude CSE seesorang
dikaitkan dengan level yang dibutuhkan untuk memahami suatu
tugas. Pada individu yang memiliki level magnitude CSE tinggi
mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan rendahnya
dukungan dan bantuan dari orang lain, dibandingkan dengan
level magnitude CSE yang rendah. Pada dimensi kedua yakni
strength, ini mengacu pada level keyakinan tentang judgement
atau kepercayaan individu untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas
komputasinya dengan baik. Dimensi terakhir adalah
generazability yang mengacu pada tingkat judgement user yang
terbatas pada domain khusus aktifitas. Dalam konteks komputer,
domain ini mencerminkan perbedaan konfigurasi hardware dan
software, sehingga individu yang mempunnyai level generazability
CSE yang tinggi diharapkan dapat secara kompeten menggunakan
paket-paket software dan sistem komputer yang berbeda.
Sebaliknya tingkat generazability CSE yang rendah menunjukkan
kemampuan individu dalam mengakses paket-paket software dan
sistem komputer secara terbatas.
Marakas et al, (1998) dalam Agarwal et al. (2000) membagi
CSE dalam dua jenis, yaitu general CSE dan spesific CSE. Kedua
jenis ini dikonstruksikan berhubungan dengan perbedaan tugas-
tugas komputer. Secara umum CSE didefinisikan sebagai judgement
keahlian individu dalam menggunakan berbagai aplikasi komputer.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
156 ProsIding
Sedangkan spesific CSE adalah kemampuan untuk membuat tugas-
tugas yang berhubungan dengan komputer secara spesifik dalam
domain komputasi umum.
Ada empat sumber informasi self efficacy menurut
Bandura seperti yang dikutip oleh Compeau dan Higgins (1995),
yaitu: (1) guided mastery, (2) behavior modeling, (3) social
persuasion dan physiological states. Sumber informasi terkuat
adalah guide master yang merupakan pengalaman kesuksesan
nyata dalam kaitannya dengan perilaku. Interaksi yang berhasil
antara individu dengan komputer menyebabkan individu
mengembangkan self efficacy-nya lebih tinggi. Dengan demikian
praktik langsung merupakan komponen penting dalam
pelatihan, sehingga individu membangun kepercayaan diri sesuai
dengan kemampuannya. Sumber informasi self efficacy yang kedua
adalah pemodelan perilaku/behavior modeling, yang meliputi
pengamatan terhadap orang lain dalam membentuk perilaku
sebagai proses pembelajaran. Compeau dan Higgins (1995)
menunjukan bahwa pendekatan pemodelan perilaku untuk pelatihan
komputer dapat meningkatkan persepsi self efficacy dan kinerja
dalam kontek pelatihan. Sumber yang ketiga adalah pendekataan
persuatif dapat juga mempengaruhi self efficacy. Jaminan ulang bagi
user yang punya kemampuan tentang teknologi dan
menggunakannya dengan sukses dapat membantu para user untuk
membangun kepercayaan. Sumber informasi self efficacy yang
terakhir adalah physiological states, yang menunjukkan perasaan
kecemasan/anxiety yang berdampak negatif terhadap self efficacy.
Bandura (1986) menyatakan bahwa individu yang mempunyai
perasaan anxiety yang tinggi menunjukkan kurangnya kemampuan
diri. Jadi jika individu merasa cemas/anxiety dalam penggunaan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
157 ProsIding
komputer, maka is memiliki alasan untuk merasa cemas sehingga
menunjukkan self efficacy yang rendah. Berdasarkan penelitian
Webster et al. (1990) dalam Compeau dan Higgins (1995)
menemukan hasil, bahwa computer anxity dalam proses pelatihan
dapat dikurangi dengan mendorong user untuk berperilaku yang
menyenangkan.
C. Pembelajaran dengan Metode Hypertex dan Hypermedia
Pembelajaran interaktif pada mata pelajaran IPS terpadu
yang dapat membantu proses kegiatan belajar mengajar dan
mempermudah penyampaian materi pelajaran yang lebih efektif dan
efisien serta dapat memotivasi siswa dalam menerima pelajaran.
Hypertext dan Hypermedia merupakan salah satu konsep
multimedia yang berbasis komputer. Smaldino, et.al (2005) dan
Roblyer (2006) mengemukakan bahwa hypertext dan hypermedia
adalah software computer yang mengandung komponen multimedia
(teks, grafis, video dan audio) yang dikaitkan satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga pengguna mudah berpindah dalam
mengakses informasi. Clark dan Mayer (2003) menguraikan secara
lebih rinci komponen multimedia menjadi dua, yaitu kata (words)
yang bisa berupa narasi atau teks di layar, dan grafis yang terdiri dari
gambar ilustrasi, photo, animasi atau media. Dengan demikian,
Hypertext dan Hypermedia merupakan multimedia interaktif
berbasis komputer termasuk teknologi terpadu, yaitu salah satu
komponen kawasan pengembangan dari teknologi pembelajaran.
Teknolog terpadu ini mempunyai karateristik khusus yang
membedakannya dengan multimedia lain, yaitu sifatnya yang non
linear, interaktif, integrative dan adaptif. (Seels dan Richey, 1994).
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
158 ProsIding
Keberhasilan penerapan metode pembelajaran hypertext dan
hypermedia melalui blended learning pada mata pelajaran IPS
terpadu ini tidak terlepas dari adanya pandangan konstruktivisme
dan prinsip pembelajaran demokrasi dalam metode ini sehingga
pembelajaran berlangsung tidak kaku akan tetapi penuh
kesepakatan. Implementasi strategi belajar hypertext dan
hypermedia melalui blended learning dalam pembelajaran IPS
terpadu, secara umum dengan 6 (enam) langkah, yaitu: (1)
mengidentifikasi topik dan mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok dalam beberapa computer (para siswa menelaah sumber-
sumber informasi, memilih topik, dan mengkategorisasi saran-saran;
para siswa bergabung ke dalam kelompok belajar dengan pilihan
topik yang sama; komposisi kelompok didasarkan atas ketertarikan
topik yang sama dan heterogen; guru membantu atau memfasilitasi
dalam memperoleh informasi), (2) merencanakan tugas-tugas
belajar (direncanakan secara bersama-sama oleh para siswa dalam
kelompoknya masing-masing, yang meliputi: apa yang kita selidiki;
bagaimana kita melakukannya, siapa sebagai apa –pembagian kerja;
untuk tujuan apa topik ini diinvestigasi), (3) melaksanakan
investigasi (siswa mencari informasi, menganalisis data, dan
membuat simpulan; setiap anggota kelompok harus berkontribusi
kepada usaha kelompok; para siswa bertukar pikiran,
mendiskusikan, mengklarifikasi, dan mensintesis ide-ide), (4)
menyiapkan laporan akhir (anggota kelompok menentukan pesan-
pesan esensial proyeknya; merencanakan apa yang akan dilaporkan
dan bagaimana membuat presentasinya; membentuk panitia acara
untuk mengkoordinasikan rencana presentasi), (5)
mempresentasikan laporan akhir (presentasi dibuat untuk
keseluruhan kelas dalam berbagai macam bentuk; bagian-bagian
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
159 ProsIding
presentasi harus secara aktif dapat melibatkan pendengar (kelompok
lainnya); pendengar mengevaluasi kejelasan presentasi menurut
kriteria yang telah ditentukan keseluruhan kelas), (6) evaluasi (para
siswa berbagi mengenai balikan terhadap topik yang dikerjakan,
kerja yang telah dilakukan, dan pengalaman-pengalaman afektifnya;
guru dan siswa berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran;
asesmen diarahkan untuk mengevaluasi pemahaman konsep dan
keterampilan berpikir kritis). Dalam hypertext dan hypermedia
melalui blended learning tersebut, MTs Surya Buana Malang sudah
melaksanakannya dengan baik.
D. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran IPS Terpadu dengan
Metode hypertext dan hypermedia melalui blended learning
Pembelajaran IPS terpadu ini mampu meningkatkan
kreativitas siswa di kelas, khususnya dalam proses pembelajaran
berlangsung. Sebagaimana awal mulanya dimulai oleh guru dengan
bentuk; pertama, guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk
memberi kontribusi apa yang akan mereka selidiki. Kelompok
dibentuk berdasarkan heterogenitas. Dengan pembagian kelompok
tersebut, para siswa mampu meningkatkan prestasi yang mereka
milikinya, karena dengan pembelajaran tersebut, mereka bisa
berkreasi sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Kedua, kelompok akan membagi sub topik kepada seluruh
anggota. Kemudian membuat perencanaan dari masalah yang akan
diteliti, bagaimana proses dan sumber apa yang akan dipakai.
Ketiga, siswa mengumpulkan, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan
bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi
masalah kelompok.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
160 ProsIding
Keempat, setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir yang
akan dipresentasikan di depan kelas. Sehingga setiap kelompok
melakukan sebuah diskusi kecil dengan teman-temannya sebelum
melakukan atau mempresentasikan didepan kelompok yang lain.
Ternyata pembelajaran ini sangat efektif dan mampu meningkatkan
prestasi mereka kepada yang lebih baik.
Kelima, siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok
lain tetap mengikuti. Keenam, soal ulangan mencakup seluruh topik
yang telah diselidiki dan dipresentasikan. Pembelajaran IPS terpadu
ini memang sangat berat khususnya bagi par guru untuk mengelola
sistem pembelajaran tersebut, namun dalam sisi lain mampu dan bisa
mengepresikan kualitas dari para siswa terpendam.
Dengan enam tahapan kemajuan siswa dalam pembelajaran
kooperatif dengan metode hypertext dan hypermedia melalui
blended learning pada mata pelajaran IPS terpadu MTs Surya Buana
Malang tersebut di atas mampu meningkatkan prestasi siswa yang
lebih baik.
Model pembelajaran yang akan dipakai dalam pembelajaran
IPS terpadu dengan kompetensi dasar. Menganalisis hubungan
antara perkembangan paham-paham baru dan transporasi sosial
dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan adalah metode
hypertext dan hypermedia melalui blended learning. Namun
sebelum dijabarkan apa itu metode hypertext dan hypermedia
melalui blended learning akan ditinjau terlebih dahulu mengenai
munculnya teori metode hypertext dan hypermedia melalui blended
learning itu sendiri. Metode hypertext dan hypermedia melalui
blended learning Hypertext dan Hypermedia merupakan salah satu
konsep multimedia yang berbasis komputer. Smaldino, et.al (2005)
dan Roblyer (2006) mengemukakan bahwa hypertext dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
161 ProsIding
hypermedia adalah software computer yang mengandung komponen
multimedia (teks, grafis, video dan audio) yang dikaitkan satu
dengan yang lain sedemikian rupa sehingga pengguna mudah
berpindah dalam mengakses informasi. Clark dan Mayer (2003)
menguraikan secara lebih rinci komponen multimedia menjadi dua,
yaitu kata (words) yang bisa berupa narasi atau teks di layar, dan
grafis yang terdiri dari gambar ilustrasi, photo, animasi atau media.
Dengan demikian, Hypertext dan Hypermedia merupakan
multimedia interaktif berbasis komputer termasuk teknologi terpadu,
yaitu salah satu komponen kawasan pengembangan dari teknologi
pembelajaran. Teknolog terpadu ini mempunyai karateristik khusus
yang membedakannya dengan multimedia lain, yaitu sifatnya yang
non linear, interaktif, integrative dan adaptif. (Seels dan Richey,
1994).
Hypertext dan Hypermedia, demikian juga perangkat
pembelajaran untuk e-learning lainnya, disamping memuat konten
(isi dan informasi), juga memuat metode pembelajaran untuk
membantu pembelajaran (Clark & Mayer, 2003). Dengan demikian
hypertext dan hypermedia tidak semata-mata perangkat yang static,
tetapi juga perangkat untuk menyampaikan pembelajaran
(delivering). Dalam hal ini, hypertext dan hypermedia bisa
merupakan bentuk utuh dari teori desain pembelajaran.
penerapan metode mengajar ini dalam mengajar, bahwa
dalam metode ini berjalan dalam fase yang berbeda. Penerapan
dimulai dengan menghadapkan siswa kepada masalah, yang dari
sumber-sumber yang berbeda. Masalah itu bisa dalam bentuk verbal
ataupun merupakan bagian dari suatu pengalaman. Hal itu dapat
disediakan oleh guru ataupun muncul dari kelas. Jika siswa bereaksi
terhadap masalah tersebut, maka guru menarik perhatian mereka
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
162 ProsIding
terhadap reaksi yang berbeda. Jika siswa telah menunjukkan miant
terhadap reaksi-reaksi yang berbeda itu maka guru mendorong siswa
untuk merumuskan masalah untuk diri mereka. Setelah merumuskan
siswa mengkajinya dengan memperhatikan peranan dan
mengorganisasi dirinya. Kemudian bertindak dan melaporkan
hasilnya inilah yang mungkin merupakan cikal-bakalnya pendekatan
proses yang lazim digunakan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) terpadu dan merupakan salah satu ciri kurikulum tahun
1975.
Adapun sintaks dalam proses pembelajarn tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut: 1) Student encountrn puzzling stuation,
2) Student explore to the stuation, 3) Student formulate study talk
and organize for study (problem definition role, assigments, etc), 4)
Endependent end growth study, 5) Study alalyze programs end
producs, dan 6) Recycle activity.
Akhirnya kelompok menilai keputusan-keputusan dalam
kaitannya dengan tujuan kelompok semula. Beberapa hal yang dapat
ditarik dari metode ini adalah:
Pertama, sistem sosial. Metode ini adalah demokratik.
Masalah dimunculkan oleh guru atau ditentukan oleh guru sebagai
objek pengajaran. Guru dan siswa mempunyai status yang sama.
Kedua, prinsip-prinsip reaksinya adalah guru bertindak
sebagai konselor tanpa mengganggu struktur yang ada.
Ketiga, sistem yang menunjang. Dukungan yang diberikan
oleh guru ekstensif dan responsif terhadp kebutuhan siswa.
Perpustakaan yang baik merupakan kebutuhan yang esensi bagi
model tersebut. Di samping itu hubungan dan kontak-kontak dengan
lembaga-lembaga di luar sekolah dan juga pribadi-pribadi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
163 ProsIding
diperlukan oleh siswa untuk memecahkan masalah yang menjadi
fokus pelajaran.
Keempat, metode yang dapat digunakan untuk semua bidang
pelajaran dan juga dapat digunakan sebagai aspek di dalam
merumuskan dan memecahkan masalah. Dengan melihat bahwa ada
berbagai keuntungan dari model ini maka juga dapat diterapkan
dalam pengajaran IPS yang sering menggunakan metode pemecahan
masalah.
Dengan demikian, metode hypertext dan hypermedia dapat
juga diterapkan pada proses pembelajaran IPS terpadu, karena
metode ini berorientasi terhadap pemecahan masalah. Jadi siswa
dapat mencari makna terhadap proses pembelajaran IPS terpadu dan
model ini sesuai dengan apa yang diharapkan, bahwa belajar
menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan
melalui hypertext dan hypermedia interaksi sosial dengan orang
lain.
E. Keterampilan penggunaan Hypertext dan Hypermedia
Siswa dalam Pembelajaran
Salah satu bentuk pembelajaran Hypertext dan Hypermedia
merupakan multimedia interaktif berbasis komputer termasuk
teknologi terpadu, yaitu salah satu komponen kawasan
pengembangan dari teknologi pembelajaran. Teknolog terpadu ini
mempunyai karateristik khusus yang membedakannya dengan
multimedia lain, yaitu sifatnya yang non linear, interaktif, integrative
dan adaptif. (Seels dan Richey, 1994).
Hypertext dan Hypermedia, demikian juga perangkat
pembelajaran untuk e-learning lainnya, disamping memuat konten
(isi dan informasi), juga memuat metode pembelajaran untuk
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
164 ProsIding
membantu pembelajaran (Clark & Mayer, 2003). Dengan demikian
hypertext dan hypermedia tidak semata-mata perangkat yang static,
tetapi juga perangkat untuk menyampaikan pembelajaran
(delivering). Dalam hal ini, hypertext dan hypermedia bisa
merupakan bentuk utuh dari teori desain pembelajaran.
Interaktivitas dan kekayaan format informasi yang dimiliki
Hypertext dan Hypermedia menjadikannya sangat fleksibel
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Empat potensi metode
pembelajaran yang dapat disampaikan melalui Hypertext dan
Hypermedia/ multimedia interaktif berbasis komputer adalah: (1)
visualisasi untuk mendukung penjelasan, (2) pembelajaran
menggunakan simulasi untuk mempermudah penguasaan materi, (3)
pembelajaran problem solving yang dilengkapi dengan feedback
secara otomatis, dan (4) pengintegrasian antara pembelajaran
kolaboratif dan mandiri. Metode group investigation merupakan
model pembelajaran kooperatif yang kompleks karena memadukan
antara prinsip belajar kooperatif dengan pembelajaran yang berbasis
konstruktivisme dan prinsip pembelajaran demokrasi. Metode group
investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan
berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai
dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran akan memberi
peluang kepada siswa untuk lebih mempertajam gagasan dan guru
akan mengetahui kemungkinan gagasan siswa yang salah sehingga
guru dapat memperbaiki kesalahannya.
Dalam kaintannya dengan mengajar IPS terpadu, maka guru
dapat mengembangkan metode mengajarnya yang dimaksudkan
sebagai upaya mempengaruhi perubahan yang baik dalam perilaku
siswa. Pengembangan model tersebut adalah dimaksudkan untuk
membantu guru meningkatkan kemampuannya untuk lebih
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
165 ProsIding
mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih bervariasi
bagi kepentingan belajar siswa.
Desain pembelajaran pada penelitian ini merujuk pada
standar standar kompetensi (SK); menganalisis perkembangan
bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat dengan penduduk
Jepang, dengan kompetensi dasar (KD) yaitu; menganalisis
hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan
transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan.
Adapun indikator yang akan dipelajari adalah kemampuan siswa
dalam menganalisis bentuk-bentuk organisasi pada masa pergerakan
kebangsaan di Indonesia.
Sesuai dengan apa yng dipaparkan pada bagian sebelumnya,
bahwa desain yang digunakan dalam proses pmbelajaran yang
terkait dengan kompetensi dasar di atas adalah merujuk pada
pendekatan yang dilakukan Vygotsky, melalui pendekatan atau
metode hipertex dan hypermedia dalam proses pengajaran. Penulis
merujuk pada pendekatan ini dengan alasan bahwa dalam proses
pembelajaran IPS terpadu yang sifatnya adalah melakukan
pemecahan terhadap suatu masalah akan mampu menciptakan
suasana belajar yang dirasa sangat kondusif apabilan menggunakan
pendekatan atau metode hipertex dan hypermedia karena pada
dasarnya pembelajaran IPS terpadu akan lebih bermakna apabila
dilakukan dengan proses belajar kolaboratif, jadi siswa yang belum
jelas akan suatu permasalahan maka ia akan bertanya dengan teman
satu kelompoknya yang dirasa sudah memahami suatu konsep, dan
dekimian juga gurunya yang selalu siap menjadi fasilitator bagi
siswa yang mengalami permasalahan dalam proses pembelajaran
yang terkait dengan kompetensi dasar tersebut.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
166 ProsIding
Hal ini sesuai dengan pembelajaran konstruktivisme yang
diutarakan oleh Vygotsky, bahwasanya siswa akan mudah
memahami suatu konsep apabila dalam proses belajar menekankan
pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui media
computer interaksi sosial dengan orang lain. Dengan demikian,
siswa dapat dikatakan sudah melakukan proses belajar bermakna,
karena tidak saja terkait dengan ketercapaian materi belajar, namun
siswa juga belajar hidup sosial ketika melakukan diskusi kelompok.
Untuk menghasilkan tujuan yang diharapkan, jika pada bagian
sebelumnya telah dijelaskan pendekatan apa yang digunakan dalam
desain pembelajaran sejarah terkait dengan kompetensi dasar
menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru
dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan
kebangsaan. Maka berikutnya akan dibahas mengenai metode apa
yang akan digunakan dalam desain pembelajaran tersebut.
Dengan melihat pandangan di atas, sekiranya metode
tersebut cocok untuk diterapkan pada proses pembelajaran IPS
terpadu karena tujuan dari proses pembelajaran IPS terpadu adalah
mendidik dan membekali siswa dengan seperangkat pengetahuan,
sikap, nilai, moral, dan keterampilan untuk memahami lingkungan
sosial masyarakat dapat dicapai. Dengan menggunakan hipertex dan
hypermedia dapat menjadikan pembelajaran IPS terpadu lebih
menarik, penuh tantangan dan bergairah dalam mempelajarinya,
sehingga timbul harapan adanya pengembangan potensi siswa secara
optimal dalam belajar mandiri serta belajar bersama untuk mencapai
tujuan bersama.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
167 ProsIding
KESIMPULAN
Pertama, dalam keberhasilan penerapan metode
pembelajaran Hypertex dan Hypermedia melalui Blended Learning
pada mata pelajaran IPS terpadu tidak terlepas dari adanya
pandangan konstruktivisme dan prinsip pembelajaran demokrasi
dalam metode ini sehingga pembelajaran berlangsung tidak kaku
akan tetapi penuh kesepakatan.
Kedua, aktivitas siswa dalam pembelajaran metode Hypertex
dan Hypermedia melalui Blended Learning dengan membagi sub
topik kepada seluruh anggota. Kemudian membuat perencanaan dari
masalah yang akan diteliti, bagaimana proses dan sumber apa yang
akan dipakai. Siswa mengumpulkan, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan
bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi
masalah kelompok. Terakhir para siswa mempresentasikan hasil
kerjanya dan kelompok lain tetap mengikutinya.
Ketiga, keterampilan kooperatif siswa dalam metode
Hypertex dan Hypermedia melalui Blended Learning pada mata
pelajaran IPS terpadu sama-sama melakukan proses belajar tersebut
dengan penuh bermakna, karena tidak saja terkait dengan
ketercapaian materi belajar, namun siswa juga belajar
mengoperasikan computer dengan baik dan hidup sosial ketika
melakukan diskusi kelompok.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
168 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, Rithu, V. Sambamurthy and R.M. Stair. 2000. "Reserach
Report: The Solving Relationship between General and
Specific Computer Self Efficacy - An Empirical
Assessment", Information Systems Research, Vol. 11,No. 4.
Bender, D. M., & Vredevoogd, J. D. 2006. Using Online Education
Technologies to Support Studio Instruction. Educational
Technology & Society, 9 (4), 114-122.
Bersin, Josh. 2004. The Blended Beaming Book: Best
Bractices, Proven Methodologies, and Lessons
Learned. San Francisco: Pfeiffer
Clark, R. C & Mayer, R. E. 2003. E-Learning and The Science of
Instruction. San Francisco: Jossey-Bass/Pfeiffler.
Compeau, Deborah R. and C.A. Higgins. 1995. "Computer Self
Efficacy: Development of Measure and Initial Test", MIS
Quartely, Vol.19, No.12.
Dabbagh, N. & Bannan-Ritland, B. 2005. Online Learning,
Concepts, Strategies and Application. Upper Saddle River:
Pearson Education Inc.
Degeng, INS., 1989. Teori Pembelajaran: Taksonomi Variabel.
Jakarta: Program Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Terbuka.
Dwiyogo, Wasis D. 2011. Pembelajaran Berbasis Blended
Learning. Makalah disampaikan pada Seminar dan
Lokarkarya Peningkatan Kualitas Pembelajaran melalui
Blended Learning Model, FKM PPS Universitas Negeri
Malang, 26 Maret 2011.
Elliot, S. N., Kratchwill, T. R., Cook, J. L., & Traver, J. E. 2000.
Educational Psychology: Effective Teaching, Effective
Learning. Boston: Mc.Graw-Hill Higher Education.
Gagne, R. M & Briggs, L. J. 1979. Principles of Instructional
Design: New York; Holt, Pinehart and Winstone.
Gallegher, D. 2007. Learning Styles, Self-Efficacy and Satisfaction
with Online Learning: Is online Learning for Everyone?.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
169 ProsIding
Dissertation. Graduate College of Bowing Green State
University.
Igbaria, M., dan J. Livari. 1995. "The Effect of Self Efficacy on
Computer Usage", Omega, Vol.23, No.6.
Kerlinger, F. N. 1986. Fondations of Behavioural Research. New
York: CBS College Publishing.
Kozma, R. B., & Russell, J. 2004. Multimedia Learning of
Chemistry. Dalam R. E. Mayer. Cambridge Handbook of
Multimedia Learning, (online),
(http://chemsense.org/abaout/papres/KozmaRussellMultim
edia2004.pdf, diakses 4 Agustus 2007).
Percival, F & Ellington, H. Buku Pegangan Teknologi Pendidikan,
(Terjemahan Sudjawro dan sarawati). London: Kogan Page
(tanpa tahun)
Reigeluth, C. M. 1983. Instructional-Design Theories and Models:
An Overview of their Current Status. New jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc.
Roblyer, M. D. 2006. Integrating Educational Technology into
Teaching (Foutrh Ed.) Upper Saddle River: Pearson
Education Inc.
Schunck, D. H. 1983. Ability versus Effort Attrributional Feedback:
Differential Effect, Effect on Self-Efficacy and
Achievement. Journal of Educational Psychology, 76, 3,
848-856.
Seels, Berbara B. & Richey, Rita C. 1994. Instructional technology:
The Definition of Domain of The Field. Washington DC,:
Association for Educational Communications naf
Technology (AECT).
Sheng, Y.H.P., J.M. Pearson; L. Crosby. 2003. `Organization
Culture and Emplotee's Computer Self Efficacy: an
Emperical Study", Information Resources Management
Journal. Vol. 16, No. 3.
Smaldino, S. E., Russel, J. D., Heinich, R. & Molenda, M. 2005.
Instructional Technology and Media for Learning (8th Ed.).
Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
170 ProsIding
So, H.-J., & Bonk, C. J. 2010. Examining the Roles of Blended
Learning Approaches in Computer-Supported
Collaborative Learning (CSCL) Environments: A Delphi
Study. Educational Technology & Society, 13 (3), 189–200.
Stone, N., V Arunachalam & John S. Chandler. 1996. "Crosscultural
Comparisons: An Empirical Investigationf Knowledge,
Skill, Self Efficacy and Computer Anxiety in Accounting
Education", Issues lit Accounting Education. Vol. 11, No.2.
Thorne, Kaye. 2003. Blended Learning: How to integrate
online & traditional learning. London: Kagan Page
Limited.
Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. (fifth
edition). Orlando: Harrcourt Brace College Publisher.
Wijaya, Tony. 2003. Pengaruh Computer Anxiety terhadap
Keahlian Dosen dalam Penggunaan Komputer:
Perspektif Gender. Skn'psl S1—Fe UAJY. tidak
dipublikasikan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
171 ProsIding
OPTIMALISASI MANAJEMEN MUTU KELEMBAGAAN
MELALUI AUDIT KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM
MENINGKATKAN REPUTASI
PERGURUAN TINGGI *
Oleh :
Bambang D. Prasetyo*
*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang; Ketua Program Doktor
Ilmu Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya; Anggota Unit Jaminan Mutu
Universitas Brawijaya; Sekretaris Umum Asosiasi Dosen Indonesia Wilayah Jawa
Timur; Ketua Kurikulum Prodi S1 ASPIKOM Indonesia; Anggota Tim Pembina
ASPIKOM Jawa Timur.
E Mail : [email protected]
Abstrak: Membahas persoalan pendidikan secara umum, sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dalam konteks dan perspektif. Kebudayaan dan pendidikan pada
dasarnya memiliki dimensi fenomenal mengingat kajian keduannya tidak dapat
dipisahkan dengan aspek aktualitas kehidupan masyarakat saat ini, bahkan pada
masa mendatang. Karena itu, mengulas pendidikan sebaiknya juga mengulas
budaya terlebih dahulu, eksistensi pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dari
eksistensi kebudayaan. Tujuan penulisan artikel ini mengupas tentang: (1) Budaya
mutu di pendidikan tinggi, (2) Audit Komunikasi dan Budaya Mutu.
Kesimpulan dari hasil penulisan ini adalah Urgensi audit komunikasi dalam
perguruan tinggi diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana standar mutu
yang tercipta dilembaga tersebut berbasiskan data yang benar. Karena bicara mutu
kita bicara tentang situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing lembaga.
Keterkaitan mutu dengan kondisi lembaga ini tidak bisa dielakkan karena ada
lembaga yang terbangun dan telah terbudaya pemahaman konsep mutu disetiap
civitas akademikannya, namun tidak menutup mata bahwa ada lembaga-lembaga
yang masih belum menempatkan proses mutu sebagai pelaksanaan aktivitasnya
karena berbagai kendala yang dihadapi. Dengan demikian, perlakukan terhadap
mutu akhirnya bisa “berbeda”, nah hal ini perlu kearifan dalam menyikapinya.
Namun demikian semua unsur harus tetap memegang komitmen mutu dalam
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
172 ProsIding
operasionalisasi manajemen pendidikannya, sebagaimana dikemukakan oleh
Direktur Penjaminan Mutu Aris Junaidi “Semua unsur di dalam perguruan tinggi
harus berkomitmen agar kondisi penjaminan mutu dapat berjalan dengan baik.
Mari manfaatkan momen ini dengan baik dan mengimplementasikannya di
perguruan tinggi masing-masing,”
Kata kunci: anajemen mutu, audit komunikasi, organisasi, reputasi.
Siaran pers yang dikemukakan oleh Direktorat Penjaminan
Mutu-Layanan Informasi, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan
Tinggi, tanggal 5 Mei 2017, menjelaskan bahwa “Mutu perguruan
tinggi dan program studi di Indonesia saat ini belum pada kondisi
yang ideal. Disparitas mutu pendidikan tinggi bisa dilihat dari hasil
akreditasi perguruan tinggi dan program studinya, dari 4.472
perguruan tinggi di Indonesia saat ini baru 50 perguruan tinggi yang
memiliki akreditasi A dan program studi terakreditasi A sebanyak
2.512 (12% dari 20.254 prodi terakreditasi)”. Selanjutnya
dikemukakan, terdapat korelasi antara akreditasi perguruan tinggi
dan program studi dengan output lulusan yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi. Selanjutnya dikemukakan bahwa “data hasil
kelulusan uji kompetensi bidang kesehatan, ada korelasi antara
akreditasi perguruan tinggi asal peserta. Semakin baik akreditasi
perguruan tinggi semakin tinggi prosentase kelulusannya dan
sebaliknya, perguruan tinggi terakreditasi A kelulusannya di atas
80%, PT terakreditasi B mencapai kelulusan 70%, sedangkan PT
terakreditasi C kelulusannya di bawah 30%”.
Hal ini tentu bukan hanya untuk perguruan tinggi di bidang
kesehatan, namun kalau melihat data yang ada, kondisi tersebut bisa
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
173 ProsIding
saja kita maknai cermin dari pendidikan secara umum. Di Indonesia
saat ini terdapat 124 Perguruan Tinggi (PT) Negeri, 3.127 PT
Swasta, 175 PT Kementerian/ Lembaga, 968 PTAS, dan 78 PTAN
(Data PDDikti, 11 Maret 2017). Data yang ada itu menunjukkan
bahwa hanya 1.131 yang terakreditasi dengan rincian 50 PT
mempunyai akreditasi A (4%), 345 PT berakreditasi B (31%), dan
736 PT berakreditasi C (65%), dan sisanya 3.340 belum
terakreditasi. Terdapat 26.672 prodi (PDDikti, 4 Mei 2017) dengan
sejumlah 20.254 prodi terakreditasi dengan rincian jumlah prodi
dengan akreditasi A sebanyak 2.512 (12%), akreditasi B sebanyak
9.922 (49%), dan akreditasi C sebanyak 7.820 (39%), bahkan ada
5.000an prodi yang tidak terakreditasi. (BAN-PT, 3 Mei 2017).
Kalau mengaca dari data yang ada maka kita mengetahui bahwa
mutu sebagian besar PT dan prodi di Indonesia masih kurang
optimal, karena itu upaya sistematis, serius dan terprogram harus
segera ditempuh.
Membahas persoalan pendidikan secara umum, sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dalam konteks dan perspektif. Kebudayaan dan
pendidikan pada dasarnya memiliki dimensi fenomenal mengingat
kajian keduannya tidak dapat dipisahkan dengan aspek aktualitas
kehidupan masyarakat saat ini, bahkan pada masa mendatang.
Karena itu, mengulas pendidikan sebaiknya juga mengulas budaya
terlebih dahulu, eksistensi pendidikan juga tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi kebudayaan.
Definisi kebudayaan disinyalir sekitar 250 definisi, yang
berkaitan dengan tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hirarkhi, waktu, peranan, hubungan ruang,
konsep alam semesta, obyek-obyek materi dan milik yang diperoleh
sekelompok besar orang dari gererasi ke generasi melalui usaha
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
174 ProsIding
individu dan kelompok. (Richard E. Porter & Larry A. Samowar,
1982). Kebudayaan berasal dari makna kata budaya yang memiliki
kaitan erat dengan komunikasi (komunikasi pendidikan). Budaya
dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik. Budaya menjadi
bagian dari perilaku komunikasi dan komunikasi turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. “culture is
communication” dan “communication is culture” (Edward T. Hall,
1959). Lebih lanjut, karakteristik budaya seperti dikemukakan
Harris & Moran (1982) terdiri dari; komunikasi & bahasa, pakaian
& penampilan, makanan & kebiasaan makan, waktu & kesadaran
akan waktu, penghargaan & pengakuan, hubungan-hubungan, nilai-
nilai norma, rasa diri & ruang, proses mental & belajar, Kepercayaan
& sikap.
Dengan kemajuan budaya, maka perkembangan dan
perubahan akan terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang difasilitasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni, dan pergaulan internasional yang semakin
transparan dan cepat. Hal ini tidak terkecuali kemajuan dalam dunia
pendidikan dimana banyak terjadi perubahan seiring dengan
perputaran kualitas kehidupan global. Perubahan yang berlangsung
secara terus menerus ini menuntut perbaikan sistem pendidikan
nasional termasuk pendidikan tinggi, guna mewujudkan masyarakat
yang mampu bersaing dan menyesuikan diri dengan perubahan
zaman. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan harus
dilakukan secara holistik mencakup aspek moral, akhlak, budi
pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olahraga dan prilaku.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 tahun 2003, pasal 54, 55, dan 56 diamanatkan bahwa peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
175 ProsIding
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksana dan sebagai pengguna hasil pendidikan.
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis
masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat,
pemerintah, pemerintah daerah dan atau sumber lain yang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga
pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
pemerintah dan atau pemerintah daerah.
PEMBAHASAN
Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi sebagai daerah otonom.
Dalam peraturan itu kewenangan pemerintah dalam pendidikan
meliputi; penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar,
serta pengaturan kurikulum nasional, dan penilaian hasil belajar
secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya; penetapan standar
materi pelajaran pokok, dan penetapan kalender tahun bagi
pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah. Menilik dari
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tersebut serta Undang-
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
176 ProsIding
undang No. 22 tahun 1999 berimplikasi terhadap kebijaksanaan
pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke
desentralistik, dari yang terstruktur mekanistik kearah yang lebih
sirkuler dengan paradigma “otonomi”. Kebijakan ini harus disambut
baik oleh pengelola pendidikan agar pergeseran pengelolaan dapat
dimaknai sebagai upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam
peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah dan
menyeluruh.
Sehingga rasanya kurang adil jika kesempatan yang
diberikan oleh pemerintah sedemikian besar untuk mengembangkan
pendidikan yang bermutu, tetapi dalam implikasinya banyak
lembaga penyelenggara pendidikan yang kurang maksimal
mamainkan perannya untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat
bangsa ini.
Sebagaimana dikemukakan I Wayan Rika (2006), rendahnya
mutu pendidikan kita antara lain disebabkan oleh lemahnya
komitmen warga sekolah dalam mewujudkan budaya sekolah dan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pendidikan sehingga
akan berdampak pada rendahnya peran serta dan partisipasi
masyarakat terhadap pendidikan baik secara moril maupun materiil.
Masyarakat atau orang tua siswa seolah-olah memandang bahwa
pendidikan itu cukup diserahkan kepada pihak sekolah dan
pemerintah saja. Padahal kemampuan pemerintah sangat terbatas,
sehingga bantuan pemerintah menjadi tidak merata.
Untuk mengatasi hal tersebut dipandang perlu adanya
penyamaan persepsi kepada warga sekolah dan masyarakat melalui
wadah komite sekolah. Munculnya komite sekolah ini memberikan
kesempatan terbuka bagi masyarakat dan orang tua peserta didik
untuk mengevaluasi proses pendidikan, memungkinkan munculnya
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
177 ProsIding
partisipasi masyarakat sekitar dan khususnya orang tua peserta didik
dalam menyelenggarakan pendidikan. Kegiatan yang bisa
dimunculkan seperti, sekolah bisa mengundang orangtua dan
masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam menentukan
kebijakan dan oprasionalisasi kegiatan sekolah. Mendorong
orangtua dan masyarakat yang mampu diajak berpartisipasi dalam
pembiayaan pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah yang
terbatas nantinya akan diarahkan pada sekolah-sekolah yang
memiliki peserta didiknya dari keluarga yang berlatar belakang
kurang mampu. Sedangkan bagi sekolah-sekolah yang peserta
didiknya terdiri dari orangtua yang berlatar belakang ekonomi
mampu, diharapkan bisa self-supporting dalam pembiayaan sekolah.
Budaya Mutu di Pendidikan Tinggi
Sebagaimana dikemukakan oleh Samovar (2001), Budaya
merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu
kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, prilaku, sikap,
nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Clifford
Geertz mendefinisikan budaya sebagai suatu pola pemahaman
terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit dan
implisit, mencakup nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan
kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang
sekolah. Budaya juga dapat dilihat sebagai suatu prilaku, nilai-nilai,
sikap hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan
sekaligus cara untuk memandang permasalahan dan cara
pemecahannya. Konsekuensinya, ketika kita sepakat tentang
pengembangan budaya mutu pendidikan, maka elemen-elemen yang
terkait dengan budaya itu harus kita identifikasi, temu kenali
kelebihan dan kelemahannya, carikan alternatif pemecahan masalah,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
178 ProsIding
dan solusi masalah yang nantinya akan permanen sebagai pedoman
dalam kegiatan operasional pendidikan tinggi. Elemen-elemen
budaya pendidikan tinggi itu misalnya saja berkaitan dengan (1)
kapasitas kelembagaan, (2) sistem dan prosedur yang digunakan
dalam proses kelembagaan, (3) kebijakan atau aturan-aturan yang
dikembangkan, (4) pola komunikasi intensif baik intra maupun
ekstra kelembagaan, (5) interelasi dengan jejaring social yang saling
menguatkan, (6) penguatan SDM, (7) penguatan teknologi, (8)
kemampuan adaptasi terhadap perubahan, (9) penguatan riset yang
berbasiskan kemampuan dan sumberdaya yang ada dan (10)
penataan struktur fisik yang kondusif yang mampu menciptakan
budaya berkreasi secara maksimal.
Deal dan Kennedy berpendapat budaya pendidikan adalah
keyakinan, nilai dan norma milik bersama yang menjadi pengikat
kuat kebersamaan sebagai warga masyarakat. Nilai-nilai dominan
dan nilai-nilai subordinasi bisa sejalan dengan baik jika dipelihara
secara simultan. Dengan kata lain, budaya pendidikan tinggi bisa
mencakup persoalan pola nilai, keyakinan dan tradisi yang terbentuk
melalui sejarah panjang lembaga tersebut, pola makna yang
dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan,
seremonial, ritual, tradisi dan mitos dalam derajat yang bervariasi
oleh seluruh stakeholders dan warga kampus. Budaya pendidikan
tinggi adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi penemuan atau
pengembangan oleh suatu kelompok tertentu, dan merupakan kreasi
bersama, dapat dipelajari dan teruji dalam mengatasi masalah.
Audit Komunikasi dan Budaya Mutu
Pikiran kita ketika membahas audit tentu terkait dengan
keuangan. Pahadal tidak selalu demikian, karena audit dalam makna
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
179 ProsIding
tertentu bisa kita padupadankan dengan istiah “diagnose”. Istilahnya
bisa beda, namun substansi pekerjaannya sama, melihat, mengamati,
menemukan, dan menyelesaikan masalahnya. Terkait dengan audit
komunikasi tentu obyek dan subyek kajiannya adalah bagaimana
peprilaku komunikasi atauproses komunikasi yang sedang
berlangsung didalam organisasi berjalan optimal atau tidak.
Komunikasi yang efektif optimal akan menghasilkan sinergi mutu
yang relevan. Demikian kira-kira pemikirannya.
Menurut beberapa pakar, istilah audit komunikasi pertama
kali dimunculkan oleh George Odioerne yang ingin menunjukkan
bahwa, proses-proses komunikasi yang terjadi dalam organisasi,
dapat diperiksa, dievaluasi dan diukur secara cermat dan sistemati.
Menurutnya kegiatan-kegiatan komunikasi sebagai pelaksanaan dari
sistem komunikasi, ataupun program komunikasi khusus dapat
diukur, sehingga kualitas dan kinerja para eksekutif, pejabat dan staf
komunikasi, dapat diketahui dan bila diperlukan, dapat diperbaiki
secara sistematik sehingga efektivitas maupun efisiensi
komunikasipun dapat meningkat. Audit komunikasi diperlukan
untuk mempelajari secara detail bagaimana, apa dan kepada siapa
perusahaan melakukan komunikasi. Suatu audit dapat memberikan
gambaran yang jelas, apa yang telah dilakukan saat ini, juga sebagai
dasar untuk memutuskan, perubahan apa yang perlu dilakukan.
Dalam perspektif lain, audit komunikasi sebagai suatu
analisis lengkap mengenai komunikasi internal dan eksternal guna
mendapatkan gambaran mengenai kebutuhan komunikasi,
kebijakan, tindakan dan kemampuan serta untuk mengetahui data
yang perlu, yang memungkinkan pimpinan perusahaan membuat
kebutuhan berdasarkan informasi yang tepat, ekonomis mengenai
tujuan masa depan komunikasi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
180 ProsIding
Sedangkan Andre Hardjana (2000), menjelaskan bahwa
audit komunikasi diperlukan untuk (1). mengetahui apakah program
komunikasi berjalan dengan baik (2). membuat diagnosis tentang
masalah yang terjadi atau berpotensi dan peluang yang mungkin
terbuang. (3). mengevaluasi kebijakan baru atau praktek komunikasi
yang terjadi. (4). memeriksa hubungan antara komunikasi dengan
tindakan operasional lain. (5). menyusun angaran kegiatan
komunikasi. (6). menetapkan patok banding. (7). mengukur
kemajuan dan perkembangan dengan membandingkan dengan patok
banding tadi. (8). mengembangkan atau melakukan restrukturisasi
fungsi-fungsi komunikasi. (9). membangun landasan dan latar
belakang guna mengembangkan kebijakan dan program komunikasi
baru.
Dalam pandangan lain, audit komunikasi bisa dilakukan
untuk mengetahui bagaimana praktek budaya komunikasi (umum)
yang sedang terjadi pada organisasi, sampai dalam kategori tertentu,
budaya komunikasi yang tersistem akan mempengaruhi proses
system-sistem selanjutnya, termasuk system budaya mutu. Audit
komunikasi yang berhasil tentu akan menemukan persoalan prinsip
dalam pengembangan budaya komunikasi yang menyangkut banyak
aspek termasuk budaya komunikasi yang berkaitan dengan mutu
atau kualitas kelembagaan yang selama ini ada.
Meskipun demikian, pelaksanaan audit tentu tidak mudah
karena, audit komunikasi itu bersifat kompleks mulai karena
meliputi beberapa beberapa aspek sepeti sumber, media, proses arti
dan pesan bentuk komunikasi, dampak dan konteks komunikasi
sehingga audit komunikasi terdiri dari banyak kegiatan dilakukan
secara bertahap sehingga membutuhkan waktu yang lama.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
181 ProsIding
Terkait dengan peningkatan mutu kelembagaan dan reputasi
yang perlu dimiliki organisasi, maka proses audit komunikasi
menjadi hal yang sangat penting. Minimal dengan audit itu bias
diketahaui budaya mutu yang terkait dengan reputasi sebuah
kelembagaan pendidikan tinggi. Kegiatan ini perlu dilakukan apalagi
pemerintah sudah membuat program yang sistematis melalui
Direktorat Penjaminan Mutu telah merancang berbagai Program
Prioritas untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi dan kompetensi
lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Sebagaimana diketahui,
dalam Rencana Strategis Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi tahun 2015, untuk mencapai target 13.000
program studi unggul tahun 2017 dan prosentase lulusan
bersertifikat kompetensi dan profesi (65% dari peserta uji
kompetensi, target tahun 2017 sebanyak 145.000 peserta), maka
dirumuskan 4 (empat) program prioritas, yaitu : (1) Program Asuh
PT Unggul, (2) Program Penguatan Kopertis, (3) Klinik Sistem
Penjaminan Mutu Internal (SPMI) Online, (4) Uji Kompetensi
Lulusan. Keempat program prioritas penjaminan mutu. Terkait
dengan program Asuh menuju Prodi Unggul, fokus pada
peningkatkan layanan, menumbuhkan budaya serta meningkatkan
mutu program studi melalui penguatan sistem penjaminan mutu
internal pada perguruan tinggi, yang dilaksanakan dengan program
pengasuhan oleh perguruan tinggi unggul. Sementara itu program
Penguatan Kopertis dalam Penjaminan Mutu Prodi merupakan
program peningkatan mutu program studi Sistem Penjaminan Mutu
Internal (SPMI) dengan menyusun model kerja penjaminan mutu di
Kopertis yang akan memudahkan Direktorat Penjaminan Mutu
menyebabarluaskan, mendiseminasikan, dan mengimplementasikan
SPMI sehingga tercipta budaya mutu di setiap program studi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
182 ProsIding
Sedangkan klinik Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah
layanan yang bertujuan agar mereka lebih memahami Sistem
Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi (SPM-Dikti) dalam membangun budaya mutu.
Uji Kompetensi Lulusan dimaksudkan agar terjaminnya
lulusan pendidikan tinggi yang kompeten dan terstandar secara
nasional; menguji pengetahuan dan keterampilan sebagai dasar
untuk praktik kerja dan mendorong pembelajaran sepanjang hayat
serta sebagai metode asesmen untuk pengelolaan pelayanan kepada
masyarakat yang aman dan efektif.
Keempat kegiatan prioritas dimaksud merupakan mata
rantai yang saling terkait dalam meningkatkan layanan,
menumbuhkan budaya serta meningkatkan mutu program studi
melalui penguatan sistem penjaminan mutu internal (SPMI) pada
perguruan tinggi, yang dilaksanakan dengan program pengasuhan
oleh perguruan tinggi unggul, yang selanjutnya di uji secara
nasional sehingga menghasilkan lulusan yang kompeten.
PENUTUP
Urgensi audit komunikasi dalam perguruan tinggi
diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana standar mutu yang
tercipta dilembaga tersebut berbasiskan data yang benar. Karena
bicara mutu kita bicara tentang situasi dan kondisi yang dihadapi
oleh masing-masing lembaga. Keterkaitan mutu dengan kondisi
lembaga ini tidak bisa dielakkan karena ada lembaga yang terbangun
dan telah terbudaya pemahaman konsep mutu disetiap civitas
akademikannya, namun tidak menutup mata bahwa ada lembaga-
lembaga yang masih belum menempatkan proses mutu sebagai
pelaksanaan aktivitasnya karena berbagai kendala yang dihadapi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
183 ProsIding
Dengan demikian, perlakukan terhadap mutu akhirnya bisa
“berbeda”, nah hal ini perlu kearifan dalam menyikapinya. Namun
demikian semua unsur harus tetap memegang komitmen mutu dalam
operasionalisasi manajemen pendidikannya, sebagaimana
dikemukakan oleh Direktur Penjaminan Mutu Aris Junaidi “Semua
unsur di dalam perguruan tinggi harus berkomitmen agar kondisi
penjaminan mutu dapat berjalan dengan baik. Mari manfaatkan
momen ini dengan baik dan mengimplementasikannya di perguruan
tinggi masing-masing,”
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
184 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Bobbi De Porter & Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning, New
York: Dell st
Colin Rose, Malcolm J. Nicholl. 1997. Accelerated Learning for the
21 Century, London: Judy Platkus.
Dimitri Mahayana. 2003. Quantum Quotient, Jakarta: Bagian Proyek
Perluasan dan Peningkatan mutu SMU.
Dave Meier.2000. The Accelerated Learning Handbook: Panduan
kreatif dan efektif merancang program pendidikan dan
pelatihan. Kaifa. Bandung.
Deddy Mulyana & Jalaluddin rakhmat. 2002. Komunikasi
Antarbudaya. Rosda.Bandung
Indra Djati Sidi. 2003. Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Bagian
Proyek Perluasan dan peningkatan Mutu SMU. I Wayan Rika. 2006. Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui
Pengembangan Kultur Sekolah menuju Sekolah Mandiri.
Makalah Seminar.
J. Sumardianta,2006. Pembiasaan Membaca dan menulis;
pengalaman guru sosialogi; Makalah Seminar.
Jallaluddin Rakhmat, 2000. Psikologi Komunikasi. Remadja
Rosdakarya. Bandung.
Malik Fadjar. 2003. School Based Management, Jakarta: Bagian
Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SMU.
Onong U. Effendy.2001. Ilmu Komunikasi.Remadja Rosdakarya.
Piet A. Sahertian. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi
Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Robert S. Cutler. 1993. Technology Management In Japan, Boston:
Hynes Convention Center.
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jakarta: Bagian
Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SMU.
https://www.ristekdikti.go.id/mutu-perguruan-tinggi-menentukan-
kompetensi-lulusan/#323kyoFljgII7BC5.99
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
185 ProsIding
Penerapan Metode SERVQUAL (Service Quality/Kualitas
Layanan) untuk Peningkatan Kualitas Layanan
Terhadap Kepuasan Jemaat di Kalangan
Remaja dan Pemuda Yayasan ABC
Oleh:
Dr. Ir. Bambang Sugiyono Agus Purwono, M Sc
Jurusan Teknik Mesin
Politeknik Negeri Malang
e-mail: [email protected]
Abstrak
Tuntutan jemaat adalah bagaimana melakukan evaluasi dan monitoring terhadap
kegiatan di semua bidang serta anggaran dapat dilakukan dengan baik dan benar?
Hal ini merupakan suatu permasalahan tersendiri. Bagaimana peningkatan
kualitas layanan bisa dievaluasi? Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi, mengukur kesenjangan, dan menganalisis pengaruh kepuasan
jemaat di Yayasan ABC. Ada 5 (lima) variabel penelitian adalah Tangibles (bukti
langsung), Reliability (Keandalan), Responsiveness (daya tanggap), Assurance
(jaminan), dan Empathy. Metode penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Hasil penelitian adalah Rata-rata nilai persepsi untuk
variabel Bukti Langsung, Daya Tanggap, Keandalan, Jaminan, dan Empati di
atas rata-rata artinya di atas baik. Selisih antara persepsi dan harapan dari seluruh
variabel negatif, dengan selisih berturut-turut (dari terbesar) adalah variabel Bukti
Langsung sebesar -1,225, Empati sebesar -0,9598, Keandalan sebesar -0,8828,
Daya Tanggap sebesar -0,7758, dan Jaminan sebesar -0,7424 masih di bawah -1,4
artinya ada gap di bawah sedang. Proposisi utama adalah semakin meningkat
Bukti Langsung, Daya Tanggap, Keandalan, Jaminan, dan Empati akan semakin
meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan remaja.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
186 ProsIding
I. PENDAHULUAN
Mendirikan suatu yayasan merupakan suatu persoalan yang
tidak sulit juga tidaklah sederhana, tetapai bagaimana mengukur
kualitas pelayanan di dalam melaksanakan organisasi nir laba
merupakan sesuatu perhatian khusus.
1.1. Latar Belakang
Pengembangan dan peningkatan serta pertumbuhan jemaat
merupakan suatu usaha perbaikan pelayanan yang tiada henti-
hentinya serta berkelanjutan (continuous improvement). Yayasan
ABC melalui Program Kegiatan Tahunan (PKT) tiada hentinya
untuk meningkatkan jumlah kegiatan di semua bidang (Teologia,
Persekutuan, Kesaksian, Penatalayanan, dan Lintas bidang) serta
peningkatan besaran anggaran.
Tuntutan jemaat adalah bagaimana melakukan evaluasi dan
monitoring terhadap kegiatan di semua bidang serta anggaran dapat
dilakukan dengan baik dan benar? Hal ini merupakan suatu
permasalahan tersendiri. Bagaimana peningkatan kualitas layanan
bisa dievaluasi, tentunya merupakan suatu fokus bahasan sendiri.
Apakah kegiatan dan anggaran yang telah dialokasikan untuk
Bidang Persekutuan, khususnya Komisi Pembinaan Anak dan
Remaja (KPAR) dan Komisi Pembinaan Pemuda dan Mahasiswa
(KPPM) yang diperoleh telah menyentuh atau ada kesesuaian antara
kegiatan dan kebutuhan di kalangan Remaja dan Pemuda yang
bersangkutan? Apakah ada hambatan dan permasalahan yang
muncul serta keterlibatan yang signifikan ketika melaksanakan
berbagai kegiatan di kalangan Remaja dan Pemuda?
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
187 ProsIding
1.2. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Yakob Tomatala (Tomatala, Yakob,
2001), menyatakan bahwa: “Melihat dari sudut pandang atau
perspektif kemanusiaan, di mana kondisi agama XYZ yang sering
disebut minoritas dan terpuruk oleh tantangan dalam konteks
kehidupannya, orang boleh saja bersikap pesimistis dan berbicara
dengan nada miris.”
Hasil penelitian Yohanes Effendi Setiadarma (Setiadarma,
Yohanes Effendi, 2001 menyimpulkan bahwa: “……… tugas-tugas
pelayanan penggembalaan yang dituliskan dalam surat-surat
penggembalaan menyangkut beberapa hal yaitu: berdoa bagi semua
orang dan para pembesar (pemerintah), menasihati jemaat,
memperingatkan orang-orang kaya, mengajarkan ajaran-ajaran yang
sehat, melawan guru-guru palsu dan pengajar sesat, memilih dan
menetapkan para pelayan Tuhan, hidup harmonis dengan semua
orang, melakukan hal-hal yang baik, menghindari kemalasan,
menghindari perselisihan yang tidak berguna, dan mengatur
kehidupan berjemaat.” Bukanlah monopoli agama tertentu tetapai
merupakan tugas seluruh masyarakat Indonesia yang menghargai
keragaman di dalam memilih agama, golongan ataupun partai
tertentu.
1.3. Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan pada penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi variabel-variabel kualitas layanan yang
dibutuhkan Jemaat di kalangan Remaja dan Pemuda.
2. Mengukur kesenjangan yang terjadi antara kepuasan
layanan Jemaat terhadap Kualitas Layanan di kalangan
Remaja dan Pemuda antara persepsi dan harapan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
188 ProsIding
3. Menganalisis pengaruh Kepuasan Jemaat terhadap
Kualitas Layanan di kalangan Remaja dan Pemuda –
Yayasan ABC terhadap tingkat harapan pada kualitas
layanan antara persepsi dan harapan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kualitas
Definisi kualitas suatu produk atau jasa adalah sejauh mana
produk atau jasa memenuhi spesifikasi-spesifikasinya. Menurut
American Society for Quality Control, kualitas adalah keseluruhan
ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa
dalam hal kemampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
telah ditentukan.
Konsep kualitas sendiri pada dasamya bersifat relatif, yaitu
tergantung dari perspektif yang digunakan untuk menentukan
ciri-ciri dan spesifikasi. Terdapat tiga orientasi kualitas yang
seharusnya konsisten satu sama lain, yaitu: (1) persepsi konsumen,
(2) produk (barang dan/atau jasa, dan (3) proses.
2.2. Pelayanan
Eddy Paimoen (Paimoen, E, 1996: 1) menyatakan bahwa:
“…. Secara psikologis memang dapat dirasakan oleh semua orang
ketika sedang berada di jalan-jalan yang sedang mengalami
kemacetan lalu lintas secara total. Seringkali yang tampak pada
wajah seseorang adalah kelelahan dan kekecewaan yang disebabkan
oleh: 1. Terhambatnya mencapai tempat tujuan sesuai dengan jadwal
waktu; 2. terbuangnya waktu yang berharga; 3. kurang efisien dalam
bidang keuangan; 4. merasa jenuh dan gerah; dan akan berakibat: 1.
munculnya penyakit psikologis -- tegang dan emosional; 2. mudah
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
189 ProsIding
menyalahkan orang lain atau mencari kambing hitam; 3. kehilangan
kestabilan jiwa dan semangat bekerja; dan 4. menurunnya percaya
diri. Pada umumnya stagnasi dalam pelayanan selalu berakibat
fatal.”
2.4. Dimensi Kualitas Layanan
Ada lima dimensi kualitas layanan (Parasuraman, et.all,
1988), yaitu:
1. Tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
2. Reliability (Keandalan), meliputi kemampuan
memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera,
akurat, dan memuaskan.
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan para staf
untuk membantu para pelanggan/jemaat dan memberikan
pelayanan dengan tanggap.
4. Assurance (jaminan), meliputi pengetahuan,
kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang
dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko, atau
keragu-raguan.
5. Empathy, meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan
memahami kebutuhan para pelanggan/jemaat.
III. PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DATA DAN
ANALISIS
Sub bab ini berkaian dngan pengumpulan, pengolahan data,
dan analisis.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
190 ProsIding
3.1. Metode Pendekatan Penelitian
Ada dua macam pendekatan yang dikumpulkan, yaitu
kuantitatif dan kualitatif.
3.2. Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif diperoleh dari angket sebanyak 30
orang responden (Tabel 3.1).
Tabel 3.2 dan Gambar 3.1 adalah hasil hitungan statistik
deskriptif yang berkaitan dengan rata-rata dan gap untuk responden
wanita menjelaskan bahwa rata-rata skor persepsi untuk variabel
Bukti Langsung (3,35), Bukti Langsung (4,575), Daya Tanggap
(3,73), Bukti Langsung (4,51), Keandalan (3,62), Jaminan (3,67),
dan Empati (3,65) artinya di atas baik bahkan sebagian mendekati
sangat baik. Besarnya gap antara nilai persepsi dan harapan dari
seluruh variabel negatif, dengan selisih berturut-turut (dari terbesar)
adalah variabel Bukti Langsung sebesar -1,225, Empati sebesar -
0,9598, Keandalan sebesar -0,8828, Daya Tanggap sebesar -0,7758,
dan Jaminan sebesar -0,7424.
Tabel 3.1. Gambaran umum informan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
191 ProsIding
Tabel 3.2. Nilai Gap
Gambar 3.1. Gap Nilai Persepsi dan Harapan Responden Laki-laki
dan Wanita
3.3. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualitatif diperoleh dari wawancara terhadap 6 orang
partisipan sebagai informan.
Adapun proposisi yang dihasilkan adalah:
1. P1 : Semakin meningkat Bukti Langsung akan semakin
meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan
remaja.
2. P2: Semakin meningkat Daya Tanggap akan semakin
meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan
remaja.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
192 ProsIding
3. P3: Semakin meningkat Keandalan akan semakin
meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan
remaja.
4. P4: Semakin meningkat Jaminan akan semakin
meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan
remaja.
5. P5: Semakin meningkat Empati akan semakin
meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan
remaja.
Dan proposisi utama adalah semakin meningkat Bukti
Langsung, Daya Tanggap, Keandalan, Jaminan, dan Empati akan
semakin meningkatkan kepuasan layanan di kalangan pemuda dan
remaja di Yayasan ABC.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengolahan data
adalah:
1. Rata-rata nilai persepsi untuk variabel Bukti Langsung,
Daya Tanggap, Keandalan, Jaminan, dan Empati di atas
rata-rata artinya di atas baik.
2. Selisih antara persepsi dan harapan dari seluruh variabel
negatif, dengan selisih berturut-turut (dari terbesar)
adalah variabel Bukti Langsung sebesar -1,225, Empati
sebesar -0,9598, Keandalan sebesar -0,8828, Daya
Tanggap sebesar -0,7758, dan Jaminan sebesar -0,7424
masih di bawah -1,4 artinya ada gap di bawah sedang.
3. Proposisi utama adalah semakin meningkat Bukti
Langsung, Daya Tanggap, Keandalan, Jaminan, dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
193 ProsIding
Empati akan semakin meningkatkan kepuasan layanan
di kalangan pemuda dan remaja.
4.2.Saran
Beberapa saran yang disampaikan adalah:
1. Selain kualitas layanan perlu juga dilakukan penelitian
yang berkaitan dengan Indikator Kinerja Utama
(IKU/Key Performance Indocator/KPI) bagi organisasi
nir laba/Yayasan sosial, kemanusiaan maupun
keagamaan.
2. Sebaiknya juga melakukan gerakan perbaikan terus-
menerus (continuous improvement) pada organisasi nir
laba/Yayasan sosial, kemanusiaan maupun keagamaan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
194 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Amaratunga, D, Baldry, B., Sarshar, M, and Newton, R. 2002.
Quantitative and Qualitattive Research in the Built
Environment: Application of “Mixed” Research Approach,
Work study journal 51 (1): 17-31.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Edisi VI. Penerbit Rineksa Cipta. Jakarta.
Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Edisi Revisi. Penerbit
Rineksa Cipta. Jakarta.
Brannen, J. 1993. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative
Research. Avebury, Aldershot.
Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer.
Rajagrafindo Persada. Jakarta. Bungin, B. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik, serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Iilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
Cooper, D R, and Schinder, PS. 2006. Business Research Methods.
9th Edition. McGraw-Hill/Irwin. New York.
Creswell, J W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative,
and Mixed Methods Approaches, Third Edition, Sage
Publications, New Delhi.
Creswell, J W, and Clark VLP. 2007. Designing and Conducting:
Mixed Methods Research, Sage Publications, New Delhi.
Creswell, J W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative,
and Mixed Methods Approaches, Second Edition, Sage
Publications, New Delhi.
Creswell, J W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design:
Choosing Among Five Traditions, Sage Publications, New
Delhi.
Creswell, J W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches, Sage Publications, New Delhi.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
195 ProsIding
Dillon, WR. and Goldstein, M. 1984. Multivariate Analysis:
Methods and Applications, John Wiley and Sons, New York.
Eldabi, T, and Irani, Z, Paul, RJ, and Love, PED. 2002. Quantitative
and Qualitative decision making methods in simulation
modelling, Management Decision Journal 40 (1): 64-73.
Ferdinand, A. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Edisi 2. BP-
UNDIP. Semarang.
Farikah Nikmah, Mahmatul Himmah dan Yosi Afandi. 2013.
Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Kepuasan Mahasiswa
pada Jurusan Administrasi Niaga – Politeknik Negeri Malang.
Prosiding Pro Poltek, Tahun 2013 (pp. 134-139). Malang.
Gi-Du Kang and Jeffrey James. 2004. Service Quality dimensions:
an examination of Gronroos’s Service Quality Model.
Journal Managing Quality, Volume 14 No. 4 Tahun 2004
(pp. 266-277).
Gunawan, Herodion Pitrakarya. 1986. Pelayanan Kasih: Apa,
Mengapa Dan Bagaimana? Jurnal Pelita Zaman. Volume 1
No. 1 Tahun 1986. Jakarta.
Hanson, D, and Grimmer, M. 2007. The Mix of Qualitative and
Quantitative Research in Major Marketing Journals, 1992-
2002, European Journal of Marketing 41 (1/1): 58-70.
Hicks, C R. 1982. Fundamental Concepts in the Design of
Experiments, Holt, Rinehart and Winston, New York.
Houghton, JD., and Neck, CP. 2002. The Revised Self-Leadership
Questionnaire: Testing a Hierarchical Factor Structure for
Self-Leadership, Journal of Managerial Psychology 17 (8):
672-691.
Huriyati, Ratih. 2005. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen.
Penerbit Alfabeta. Bandung.
http://www.sabda.org/. Diakses 5 November 2013.
Ichwan, Juswantori. 1996. Kisah Tiga Hamba Tuhan. Jurnal Pelita
Zaman, Volume 11 No. 1 Tahun 1996. Jakarta
Lie, Tan Giok. 1996. Pandangan Alkitab Tentang Pelayanan Kaum
Awam. Jurnal Pelita Zaman. Volume 11 No. 1 Tahun 1996.
Jakarta.
Maxwell, JC, 2002. The Maxwell Leadership Bible, Maxwell
Motivation, Inc., Tennessee.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
196 ProsIding
Miller, I, and Freund, JE. 1985. Probability and Statistics for
Engineers. Third Edition. Prentice Hall of India. New Delhi.
Moleong, L J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.
Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Neuman, W L. 2000. Social research methods: Qualitative and
Quantitative approaches. Fourth edition. Allyn and Bacon.
Boston.
Paimoen, Eddy. 1996. Stagnasi dalam Pelayanan. Jurnal Pelita
Zaman. Volume 11 No. 1 Tahun 1996. Jakarta.
Parasuraman, A. 2002. Service Quality and productivity: a
synergistic perspective. Journal Managing Quality, Volume
12 No. 1 Tahun 2002 (pp. 6-9).
Rangkuti, Freddy. 2006. Measuring Customer Satisfaction. Teknik
Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan
plus Analisis Kasus PLN-JP. Penrbit PT Gramedia group.
Jakarta.
Rangkuti, Freddy. 2007. Riset Pemasaran, Gramedia group, Jakarta.
Ratcliff, D. 2002. Qualitative Research Resources, http:
//don.ratcliff.net/ qual/ expql.html. 12 Januari 2009.
Steers, R M. 1985. Introduction to Organizational Behavior. Scott,
Foresman and company. Oregon.
Stoner, JAF, and Freeman, RE, and Gilbert, DR. 1995. Management,
Sixth edition, Prentice-Hallo International, Inc. New Jersey.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R &
D. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Suri, RK. 2007. International Encyclopaedia of Organizational
Behaviour. Pentagon Press. New Delhi.
Setiadarma, Yohanes Effendi. 2001. Peranan Roh Kudus Terhadap
Doa Orang Percaya. Jurnal Pelita Zaman. Volume 16 No. 2
Tahun 2001. Jakarta.
Tomatala, Yakob. 2001. Kepemimpinan Kristen Dan Pengaruhnya
Di Abad XXI. Jurnal Pelita Zaman. Volume 16 No. 2 Tahun
2001. Jakarta.
Tashakkori, A, and Charles Teddlie. 2003. Handbook of Mixed
Methods: In Social and Behavioral Research. Sage
Publication. London.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
197 ProsIding
Walpole, R E. 1995. Introduction to Statistics, Third Edition,
Bambang Sumantri (Penerjemah). Pengantar Statistika, Edisi
ke-3, PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Veal, AJ. 2005. Business research Methods: A Managerial
Approach. Pearson Education Australia. Australia.
Yorke, M. 1995. Self-Scruting of Quality in Higher Education: a
Questionnaire, Journal of Quality Assurance in Education 3
(1): 10-13.
Zeithaml, Valerie A. and A Parasuraman, Leonard L Berry. 1990.
Delivering Quality Service. The Free Press. New York.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
198 ProsIding
MEMBANGUN BASIS MANAJEMEN EKONOMI
PROFETIK
Oleh : Dr. H. M. Afif Hasan, M.Pd45
Saudara Yang Berbahagia
Seandainya saya ditanya,− “Apa yang paling anda takuti
sepanjang hidup anda?”− saya jawab, bahwa yang paling saya
takuti adalah: (1) takut sakit (2) takut miskin (3) takut bodoh.
“Mangapa?” Karena sakit membuat seseorang menjadi miskin dan
bodoh; miskin membuat orang jadi bodoh dan sakit; begitu juga
bodoh membuat seseorang jadi sakit dan miskin. Demikian kata
Frances O.Gorman. Dalam tiorinya dia merekomendasikan agar kita
jangan sakit, jangan miskin, dan jangan bodoh, apa lagi menyakiti,
memiskinkan, dan membodohi orang. Kemudian dia menjelaskan
tiorinya dalam gambar berikut:
45 Dr. H. M. Afif Hasan, M.Pd adalah dosen Program Pascasarjana pada Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Sumenep Madura Madura
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
199 ProsIding
Ada gejala, sebuah rezim sedang mengadakan ritual
kemiskinan. Semua media melansir beritanya bahwa jumlah orang
miskin di negeri ini melesat naik. Kemiskinan ini bukan karena tidak
mempunyai aset atau tidak mampu bekerja (kemiskinan natural);
ataupun miskin yang disebabkan perilaku budaya (kemiskinan
kultural), tetapi mereka miskin karena ”sengaja” dibuat oleh otoritas
politik atau dimiskinkan oleh kebijakan sebuah rezim (kemiskinan
stuktural). Pasalnya kenaikan TDL memberikan efek domino atau
efek karambol terhadap kenaikan harga sembako, ancaman
pengangguran, dan lesunya pasar tradisional.
Berdasarkan standard BPS katagori miskin adalah seorang
dengan penghasilan kurang dari Rp.167.000/bulan. Dengan standard
ini maka angka kemiskinan saat ini 30 juta orang atau sekitar 13 %
dari 240 juta penduduk Indonesia. Menurut World Bank miskin
adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2
USD/Rp.500.000/bulan. Jika ukuran ini digunakan maka jumlah
Gambar: Lingkaran Kemiskinan, Diadaptasi dari F.O.Gorman
PENDIDIKAN
RENDAH Produktifitas
Rendah
Pendapatan
Rendah
Produksi
Rendah
Produksi
Rendah
Konsumsi
Terbatas SAKIT
Efisiensi
Rendah
Gizi
Kurang
Produksi
Rendah
Tabungan
Sedikit
Pertumbuhan
Kecil
Pendapatan
Rendah
INVESTASI
KECIL
MISKI
N
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
200 ProsIding
orang miskin di negeri ini mencapai 43 % atau sekitar 100 juta jiwa.
Inilah fakta yang terjadi di negara yang memiliki SDA lengkap dan
digambarkan sebagai sepotong surga yang dititipkan oleh Tuhan ke
Nusantara.
Bagi seorang yang bukan ekonom saja ―terlebih menurut
saudara sekalian yang sarjana ekonomi― bisa melihat fenomena ini
dengan jelas bahwa sistem ekonomi kapitalis yang makin mengarah
pada ekonomi liberal menjadi akar meningkatnya angka kemiskinan.
Dalam sistem ekonomi liberal pemerintah tidak lagi memerankan
sebagai pemelihara dan pelindung kebutuhan dasar rakyat, bahkan
pemerintah sering mengeluarkan kebijakan sosial yang so(k)sial dan
makin membebani rakyat. Misalnya, sejak April lalu pemerintah
menaikkan harga pupuk Urea sebesar 50 % dari sekitar Rp. 1.200/
kg menjadi Rp1.800/kg. Dampak kenaikan ini mulai terasa sebulan
berikutnya. Harga produk pertanian melambung tinggi, sementara
pendapatan masyarakat malah turun tajam karena harga produk
pertanian menurun sampai 10 %. Bagaimana petani bisa untung
dengan biaya produksi yang naik 50% sementara hasil panen mereka
cuma naik 10%?
Masalahnya tidak berhenti di sini, saat pemerintah
melepaskan tanggung jawab untuk masyarakat kecil justru dia lebih
berpihak kepada pemilik modal besar. Pasar tradisional semakin
tidak bergairah, sementara ”maret-maret” dan perdagangan sistem
wara laba dan sejenis lainnya bermunculan di mana-mana sampai ke
tingkat desa. Kita tahu bahwa jika pasar tradisonal lesu maka
perputaran uang rakyat ikut tidak bergerak. Sedangakan pasar
modern omzetnya lari ke pusat dan jantung kekuasaan.
Kekurang pedulian pemerintah kepada rakyat kecil semakin
nampak ketika kita mendengar bahwa ”Kita harus hemat energi,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
201 ProsIding
hemat segalanya. Penghematan harus dimulai sejak anak-anak,
apapun bentuknya” sementara pemborosan di mana-mana terus
terjadi, dari pemborosan air di hotel-hotel berbintang sampai
pemborosan uang belanja. Kita masih ingat pembelian mobil dinas
anggota kabinet, pembelian pesawat kepresidenan, anggaran
”plesiran”, permintaan kenaikan anggaran gaji anggora dewan,
permintaan gedung baru bagi dirinya dsb, sementara korupsi terjadi
dan rakyat menjerit di mana-mana karena banjir kekuarangan pupuk,
penyebrangan yang rawan kecelakaan dst.
Selain itu Pemerintah juga mengajukan kenaikan gaji pejabat
padahal kenaikan gaji pejabat itu belujm mampu meredam korupsi.
Triliyunan uang itu bisa digunakan untuk 76,4 juta jaminan
kesehatan masyarakat miskin selama 3 tahun atau 1,9 juta balita gizi
buruk dan 1,8 miliyar liter beras.
Saudara Yang Berbahagia
Melihat carut-marut dan silang sengkarut ekonomi itu, kita
masih belum terlambat. Apakah sistem yang kita adopsi selama ini
yang salah atau SDMnya yang kerap melanggar kerangka sistem
yang dibuat sendiri? Saatnya kita introspeksi dan merubah haluan ke
masa silam, mencoba menelaah perjalan baginda Rasul saw yang
relatif pendek namun gemilang dunianya dan akhiratnya, sebagai
landasan berfikir Kita pasti bisa membangun ekonomi sendiri
dengan apa yang disebut manajemen profetik
Banyak penulis buku yang mengungkap jejaknya itu hanya
dari sisi kerasulan, kepemimpinan, dan karir militernya. Aspek
bisnes dan perjalanan ekonominya luput dari perhatian banyak
orientalis maupun penulis muslim sendiri. Mungkin karena dianggap
kurang kontroversi dan tidak menarik dalam perdebatan teologis
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
202 ProsIding
atau karena terjadinya sebelum periode kenabian. Padahal 25 tahun
Muhammad saw menjadi ekonom dan pebisnes yang sukses dan
hanya 23 tahun beliau menjadi Rasulullah saw.
Perhatian terhadap bisnes dan ekonomi Muhammad saw
mengemuka seiring dengan munculnya kembali ekonomi Islam dan
menjamurnya bank-bank Islam walaupun secara embrional dua yang
terakhir ini memang sudah ada bersama dengan lahirnya Agama
Islam.
Perjalanan kehidupan Muhammad SAW yang konon
merupakan refleksi masa kecilnya yang bersentuhan dengan
perdagangan, penggembalaan dan manajmennya itu ternyata
berhasil dengan gemilang. Begitu juga dengan para nabi
sebelumnya.. Nabi SAW bersabda ”semua nabi pernah
menggembala ternak” Sahabat bertanya, ”Bagaimana dengan anda
Ya Rasul?” Beliau menjawab ”Allah tidak mengutus seorang nabi
melainkan dia pernah menggembala ternak”
Menggembala (kambing) memerlukan keahlian ledership
dan manajemen yang baik. Para peternak harus mempu
mengarahkan ternaknya ke padang rumput yang subur,
mengendalikannya agar tidak tersesat atau terpisah dari
kelompoknya, dan melindungi dari terkaman pemangsa atau
pencuri. Ternyata dalam angon kambing itu ditemukan unsur
manajemen yang luar biasa, hebatnya unsur-unsur ”manajemen
kambing” ini bisa diterapkan dalam kehidupan ekonomi, politik,
maupun pendidikan. Unsur-unsur manajemen Muhammad saw yang
dipetik dari angon kambing itu sebagaimana yang diadaptasi dari
Syafii Antonio adalah:
1. Finding = al-Thalab: mencari (padang rumput atau sabana yang
subur)
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
203 ProsIding
2. Directing = al-Qiyadah: mengarahkan (atau menggiring
gembalaannya ke hamparan rumput yang hijau)
3. Controling = al-Muraqabah: mengawasi (ternaknya agar tidak
tersesat dari kelompok dan habitatnya)
4. Protecting = al-Himayah: melindunginya (dari pemangsa,
panyakit, dan pencuri)
5. Reflecting = al-Tadabbur/ al-Tafakkur/ al-Muhasabah:
perenungan (menggunakan media alam semesta dan manusia
menuju sentralitas ke-Tuhan-an atau Tawhid)
Berbeda dengan unsur manajemen lain yang lebih populer di
kalangan para profesional, Manajemen POACE, yaitu: Planning,
Organizing, Actuating, Controling, dan Evaluating dan Manajemen
4P: Product, Price, Promotion, Place Bedanya yang paling
menonjol adalah bahwa manajemen modern berorientasi pada materi
murni dan tidak memasukkan unsur perlindungan, nilai-nilai
rohaniah, sakralitas & transendental
Saudara Yang Berbahagia
Mengapa Muhammad saw sukses sebagai pelaku ekonomi,
bisnes, dan pemimpin ummat. Ada sebuah statemen many greatmen
started as newspaper boys = banyak orang besar bermula sebagai
”pengasong koran”. Terlepas apakah ini hanya sebuah hipotesis atau
tiori, yang jelas model ini salah satunya jatuh kepada sosok
Muhammad saw, walaupun beliau bukan seorang loper koran.
Dimulai dari usia 12 tahun, beliau bekerja serabutan. Yang
paling menonjol menurut catatan sejarah adalah magang (internship)
dan menggembala kambing. Bagaimana kambing bisa memberikan
inspirasi manajerial dalam format kepemimpinan ummat dan
ekonomi? Kambing adalah hewan ternak yang paling ”nakal” di
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
204 ProsIding
antara hewan piaraan yang lain. Tidak bisa diajak Ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangon karso, tut wuri handayani. Jika dia ditarik
dari depan, dia mundur. Jika didorong dari belakang, dia mogok, jika
dibiarkan, dia berjalan zigzag, dan demonstratif berbunyi
mengembek. Nampaknya watak kambing mirip dengan sebagian
karakter manusia. Tidak sama dengan sapi, kuda dan kerbau. Mereka
ini berjalan lurus dan tunduk pada penggembalanya mengikuti lajur
jalan.
Di dalam beberapa buku Sirah (sejarah Nabi SAW) seperti
Muhammad as the Trader, (Afzalurrahman); Muhammad the Super
Leader and Super Manager, (S.Antonio) Muhammad: His Life
Based on The Earliest Sorces, (Martin Lings); dll. disebutkan bahwa
secara kronologis kehidupan Muhammad SAW adalah:
1. Magang/Apprentice = al-Mumahhan (usia 12 th)
2. Business/investment manager = Mudir al-Istitsmar (17 th)
3. Busines owner = Rijal/Malik al-A’mal (25 th)
4. Investor = al-Mustastmir (30 th)
5. Financial freedom = Ghany Mustmir, istilah Robert Kyosaky
(usia 37 tahun)
Sejak usia 37 tahun ini Muhammad saw mulai senang uzla
/tadabbur/tafakkur/ tadzakkur/refkelsi memikirkan ummat lebih
serius. Kehidupan berubah sedikit demi sedikit dari kaya – sedang –
ke sederhana. Hingga wafatnya beliau dalam keadaan yang amat
sederhana. Berbeda dengan dunia kita dewasa ini; berhenti dari suatu
jabatan atau pensiunan tertentu lebih kaya dari pejabat aktif.
Pensiunan nabi amat sederhana, karena habis untuk membesarkan
agamanya dan mensejahtrakan ummatnya. Sedangkan pensiunan
pejabat kita untuk membesarkan rumahnya, memperluas kebunnya,
dan mempermewah tunggangannya
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
205 ProsIding
Muhammad saw tidak miskin, seperti yang diintroduser oleh
banyak kalangan. Statemen Muhammad SAW miskin dibantah keras
oleh Allah dalam al-Dluha/93:8 …dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan/kekayaan. Kekayaannya terdiri dari: emas, perak,
makanan pokok, hewan ternak kebun, dan senjata. Jika kekayaan
tersebut dikonversi dengan mata uang kita sekarang ditaksir
mencapai 10 M rupiah. Begitu juga para nabi, rasul sebelumnya
mereka tidak miskin. Para sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar
ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, Abu Dzarr al-Ghiffari,
Abdurrahman bin ‘Auf, dll adalah para hartawan yang dermawan.
Para tokoh sufi sesudahnya banyak yang terdiri dari pengusaha besar
sehingga namanya diidentikkan dengan profesinya, seperti Abu
Hamid Muhammad al-Ghazzali (pengusaha tekstil), Abdullah bin
Alawy al-Haddad (pengusaha logam/besi), Fariduddin al-Aththar
(pengusaha parfum), dll. Hanya karena ulah Snouck Hurgronje alias
Abdul Ghaffar al-Hollany saja orang-orang suci dari kalangan nabi,
sahabat, dan sufi itu “diberitakan miskin” supaya kita mengikuti
jejaknya, menjadi lemah, tidak berdaya, dan menerima kemiskinan
sebagai keadaan yang harus ditempuh agar menjadi orang suci.
Karena kita lemah, pasti butuh, jika butuh apapun saja dijual
jangankan fisiknya agamanyapun digadaikan kada al-faqru an-
yakuna kufran. Namun demikian jika kita pernah miskin dan
sekarang kaya raya, simpanlah kemiskinan itu agar kita tetap rendah
hati dan tidak sombong.
Dari tinjaun spiritual bagaimana orang-orang besar dan suci
itu menjadi kaya? Karena mereka mentasarufkan kekayaannya
ketika diberi rizki oleh Allah swt diurut dimulai dari (1) Membayar
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
206 ProsIding
hutang/kewajiban lainnya (2) Mengeluarkan zakat/infak/sedekah (3)
Memenuhi kebutuhan pokok (4) Investasi (5) Menabung
Ini teladan agung sepanjang sejarahnya, mereka menandai
datangnya rizki Allah itu dengan syukur. Mereka percaya janji –Nya
bahwa siapa yang mensyukuri nikmat-Nya sungguh pasti Dia akan
menambahkannya (QS.Ibrahim/14:7); berbeda dengan kita, yang
mungkin urutan tsb dibalik atau nomor urut pertama adalah membeli
barang-barang konsumtif, terakhir (mungkin) membayar hutang atau
mengeluarkan zakat/infak.
Percobaan demi percobaan (untuk tidak menyebut riset)
dilakukan, sebuah usaha kecil berubah menjadi raksasa dengan
manajemen yaitu (1) Action, satu langkah lebih baik dari seribu
rencana (2) Tawakkal, membuat faktor penunjang agar yakin
berhasil dan tidak gagal (3) Sedekah, mengukur besar kecilnya
sedekah bukan dengan nominal melainkan dengan persentase.
Karena inilah sedekah bukan hanya ketika sedang surplus (4)
Manajemen 7-P: Pray, Parent, People, Promotion, Price, Product
and Place.
Saudara Yang Berbahagia
Nilai kekayaan dahulu dengan sekarang tidak ada selisih
yang berarti, karena kekayaan Muhammad saw sebagian besar
berupa emas dan ternak. Emas adalah alat tukar yang paling stabil
sejak dulu hingga sekarang. Nilainya tidak berubah, yang berubah
adalah harga mata uang dan barang. Dahulu 1 dinar (k.l. 4,25 gr
emas) dapat dibelikan seekor kambing standard kurban/aqiqah,
sekarang juga demikian. Karenanya banyak negara termasuk negara
sekuler yang mencoba mata uang Dinar (emas) menjadi alat tukar
baru dan bahkan bank-bank Islam (syari’ah) menjamur membawa
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
207 ProsIding
propmosi ”hujan emas”, tabungan emas, gadai emas, dll. Sekali lagi
karena ternyata emas paling stabil dan paling tahan goncangan.
Ekonomi AS kolep hingga hingga saat ini belum pulih –konon–
lantaran menganut sistem ekonomi kapitalis, transaksi ribawi, dan
menjadikan uang bukan hanya sebagai alat tukar tetapi dibuat sebagi
barang komoditas dan diperjual belikan.
Baginda Muhammad SAW berbisnes tanpa modal uang
melainkan hanya trust capital semata. Money is not number one
capital in business, the number one capital is trust. Jika dalam
pendidikan, modalitas kita cukup yang berkaitan dengan visual,
auditorial, dan kinestatik. Allah SWT dalam Surat al-Nahl/16:78
memberikan isyarat, maknanya “Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur”.
Menjadi sangat jelas bahwa untuk membangun ekonomi
bukan dari modalitas uang, tetapi kecerdasan jiwa, tanggung jawab,
dan kecerdasan spiritual atau kejujuran dan keterpercayaan. Sikap
ini kemudian tercerminkan dalam setiap tingkah laku. Sikap inilah
pula yang melahirkan sosok al-Amin semenjak sebelum beliau
menjadi Rasul. Artinya sifat profetik Muhammad saw tidak serta
merta datang bersamaan dengan turunnya “SK” sebagai Nabi dan
Rasul, tetapi telah dirintis sejak jauh sebelumnya, yakni sebelum
beliau masuk sekolah “SD” atau madrasah “MI”. Madrasah yang
dibangun oleh Rasulullah saw ini kemudian melahirkan generasi
pertama yang tangguh kuat dan berakhlak Islami seperti Abu Bakar
yang saleh, Umar yang cerdas, Usman yang santun, Ali yang tegas,
Aisyah yang pandai, Abu Hurairah yang genius, Abdurrahman bin
Auf yang kaya dll.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
208 ProsIding
Usianya yang ke-40 tahun dipandang sebagai usia yang stabil
dan ekonominyapun telah mapan, beliau berhenti mengurus
ekonomi pribadi; berganti mengurus ummat. Lihat QS..al-
Ahqaf/46:15. Dimulai dari usia 40 tahun waktunya bersyukur lebih
inten yakni “mengembalikan” nikmat-nimat yang telah dihimpun
sebelumnya kepada Yang Memberinya, yakni memanfaatkan segala
pemberian-Nya untuk yang diridlai-Nya. Karena hakikat penciptaan
itu adalah untuk mengabdi kepada-Nya (QS.Adz-Dzariat/51:56).
Dari sinilah bahwa mencari pahala dan ridla Allah itu bukan hanya
di area ritual murni seperti shalat dan dzikir, melainkan juga bisa
melalui berbagai jalan ekonomi, politik dsb dengan syarat dan
ketentuan berlaku.
Wassalamu ’Alaikum Wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
209 ProsIding
ANALISIS DEKONSTRUKSI PADA NOVEL
ORANG-ORANG PROYEK KARYA AHMAD TOHARI
Oleh: Abd. Muqit
Email: [email protected]
A. Pengantar
Memahami sebuah teks karya sastra merupakan aktifitas
yang rumit. Karya sastra terkadang memuat makna tidak seperti
yang pembaca maksudkan. Sebaliknya, ia memuat makna yang
sebenarnya amat berbeda sesuai dengan keinginan pegarang. Namun
demikian, Teks karya sastra memberikan kebebasan kepada
pembacanya untuk menafsirkan makna yang terkandung di
dalamnya. Makna sebuah teks tidak tunggal, akan tetapi beragam
dan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang pembacanya.
Teknik memahami dan membaca teks seperti di atas disebut dengan
membaca secara dekonstruktif.
Membaca teks karya sastra secara dekonstruktif berarti
membaca sebuah teks yang tidak memandang teks tersebut memiliki
makna tunggal, akan tetapi makna teks memungkinkan banyak dan
multi tafsir. Sebuah teks selalu memiliki wajah ganda. Ketika kita
berfikir mengenahi sebuah makna dan menarik kesimpulan dari
makna tersebut, sering kali di saat itulah teks menorehkan makna lain
yang berbeda dari makna yang kita ambil (Al-Fayyadl, 2005: 78).
Dengan demikian, makna sebuah teks tidak pernah satu atau tunggal
dan teks tersbut menyimpan potensi penasiran baru yang kadang kala
tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
210 ProsIding
Sesuai dengan tujuan utamanya bahwa pemahaman dengan
membaca secara dekonstruktif berusaha membongkar kemapanan
dalam arti bahwa pemahaman akan suatu suatu teks yang sudah
menjadi persepsi dan bahkan kepercayaan umum dipatahkan dengan
temuan-temuan baru yang tampaknya bertentangan dan bertolak
belakang. Sehingga secara umum, dekonstruksi dapat dipahami
sebagai upaya untuk memberdayakan pemaknaan tersirat-logika
yang cenderung dilupakan atau dipikirkan karena prioritas dan
pilihan tertentu sebuah teks. (Al-Fayyadl, 2005: 78). Pembacaan teks
dengan dekonstruksi memberikan suatu konsep bahwa teks tidak
mencerminkan keyataan, namun teks tapi membangun kenyataan
(Luxemburg, et.al. 1982: 60).
Karena karya sastra dapat membangun kenyataan, maka salah satu
karya yang dapat merefleksikan fenomena tersebut adalah novel
Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari. Novel ini
menggambarkan sekitar pembangunan proyek jembatan di Desa
Cibawor, perilaku korupsi, mitos, idealisme dan ironi yang muncul.
Berdasarkan pada gambaran di atas, makalah ini akan
membahas masalah oposisi biner yang merupakan salah satu aspek
pembacaan dekonstruktif dan ironi yang muncul dalam novel Orang-
Orang Proyek. .
B. Landasan Teori 1. Dekontruksi
Dekonstruksi adalah metode membaca teks secara sangat
cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis menjadi
landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradox dalam
menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan
(Sarup, 2008: 49). Pernyataan ini menyiratkan bahwa dekonstruksi
berupaya mencari ketidakutuhan teks atau pertentangan antara
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
211 ProsIding
maksud penulis dan makna yang ditafsirkan oleh pembacanya. Teks
dapat memiliki beragam makna sesuai dengan interpretasi yang
memacanya. Dengan pendekatan dekonstruksi ini, teks dipandang
memiliki otonomi luar biasa, segalanya hanya dimungkinkan oleh
teks (Junus, 1985: 98).
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks
terdapat titik-titik pengelakan (equavocation) dan kemampuan untuk
tidak memutuskan (undecidability), yang menghianati setiap
stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang
dalam teks yang ditulisnya (Lubis, 2008:4).
Sehubungan dengan pernyataan di atas, teks tidak mungkin
memiliki makna tunggal akan tetapi makna yang beragam sesuai
dengan aspek pembacaan yang diinginkan. Junus (1985: 99)
menyebutkan bahwa dekonstruksionisme sebagai berikut:
1. Sebuah teks punya banyak kemungkinan makna/arti, sehingga
teks itu mungkin sangat kompleks. Kesanggupan seorang
pembaca berbeda dari kesanggupan seoran pembaca lainnya
dalam usahanya menemukan berbagai kemungkinan makna/arti
itu. Ada yang dapat mengenal lebih banyak, tapi juga ada yang
pengenalannya sangat terbatas.
2. Seorang pembaca tidak akan mengkonkritkan satu makna/arti
saja, tapi akan membiarkan hidup segala kemungkinan
makna/arti yang ada. Ini sesuai dengan hakikat teks yang
otonomi, sehingga teks itu tetap ambiguous.
3. Meskipun tak dapat dikatakan mengabaikan keseluruhan teks,
namun memang ada kecendrungan untuk lebih menumpukan
perhatian kepada unsure-unsur dalam sebuah teks, terutama yang
bersifat bahasa. Bahkan dapat dikatakan bahwa mereka bertolak
dari unsure-unsur (bahasa) yang kecil untuk kemudian sampai
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
212 ProsIding
pada pandangan keseluruhan terhadap satu teks. Mereka lebih
meihat kemungkinan ambiguity disebabkan oleh unsur bahasa.
Derrida menyebut semua sistem pemikiran yang
mendasarkan diri pada suatu dasar, landasan, atau prinsip dasar
sebagai “pemikiran metafisik”. Prinsip dasar sering didefinisikan
berdasarkan apa yang ditolak, dengan semacam “oposisi biner” pada
konsep yang lain. Prinsip tersebut dan “oposisi biner” yang
dinyatakannya selalu dapat didekonstruksi (Sarup, 2008: 53).
Oposisi biner adalah cara pandang, agak mirip ideology. Kita tahu
ideology menarik garis batas yang tegas di antara oposisi konseptual,
seperti kebenaran dan kekeliruan, bermakna dan tidak bermakna,
pusat dan pinggiran (Sarup, 2008: 53). Menurut Derrida, oposisi
biner metafisik meliputi: penanda/petanda, yang dapat diindra/yang
dapat dinalar, ujaran/tulisan, percakapan (parole)/bahasa (langue),
diakroni/sinkroni, ruang/waktu, pasivitas/aktivitas (Sarup, 2008:
53).
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam sebuah teks
mengikuti langkah-langkah berikut. Pertama, mengidentifikasi
hirarki oposisi dalam teks di mana biasanya terlihat peristilahan
mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan diantara yang saling bertentangan atau
privelisenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau
gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori
oposisi lama (Norris, 2003: 14).
Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut di atas,
pembacaan dekonstruktif berbeda dengan pembacaan biasa.
Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks atau
bahkan kadang berusaha menemukan makna yang teks itu sendiri
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
213 ProsIding
barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan
dekonstruktif hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap
upaya teks menutupi diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Dia
hanya ingin menumbangkan susunan hierarki yang men-struktur-kan
teks (Norris, 2008: 15).
2. Ironi
Ironi merupakan suatu keadaan, berupa kata, kalimat, dan
pernyataan, yang memiliki arti yag berlawanan dengan kenyataan
yang dimakdsudkan. Ironi didefinisikan sebagai suatu serangan atau
pernyataan yang tampaknya berupa kesenangan dan kebanggaan
dalm konteks tertentu dan sebenarnya dimaksudkan untuk
menghujad (Little, 1985. 43). Ironi juga didefinsikan sebagai suatu
ketidaksesuaian secara tersirat antara apa yang diucapkan dan apa
yang dimaksudkan (www.tnellen.com).
Ada tiga macam ironi: verbal irony, dramatic irony, dan
irony of situation (www.tnellen.com).
1. Verbal irony berarti bahwa ketika seorang pengarang mengatakan
sesuatu dan berarti yang lainnya.
2. Dramatic irony dimaksudkan ketika pembaca menganggap
sesuatu tentang karkater di dalam kesusatraan tidak mengetahui.
3. Irony of situation adalah adanya ketidakselarasan antara apa yang
diinginkan dan hasil yang diperoleh.
C. Pembahasan
1. Oposisi Biner Dalam Novel Orang-Orang Proyek
a) Proyek pro Rakyat/proyek pro partai-pemerintah
Pembangunan proyek jembatan Cibawor memiliki
kekurangan dalam hal waktu (timing) pelaksanaannya.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
214 ProsIding
Karena itu proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat
banyak. Pelaksanaannya dimajukan saat terjadinya turun
hujan dan rawan terjadi banjir. Jika hujan, Sungai Cibawor
pasti banjir. Dengan adanya banjir, otomatis biaya
pelaksanaanya menjadi lebih besar. Mestinya pembangunan
tersebut menunggu hingga datangnya musim kemarau.
Dengan demikian biayanya bisa lebih murah dan efektif.
Pembangunan jembatan yang sedang dilaksanakan saat ini
adalah demi kepentingan partai tertentu (kepentingan pro
pemerintah yang berkuasa dan politis). Sehingga
pelaksanaannya tidak menunggu musim kemarau.
Pembangunan jembatan dilaksanakan pada musim hujan
dengan tujuan agar peresmiaan pembangunan jembatan
berbarengan dengan kampanya Partai Golongan Lestari
Menang (GLM).
Pembanguan jembatan Cibawor benar-benar
mengedepankan aspek politik yang notabennya adalah
politik partai penguasa (partai pemerintah). Namun
demikian, bilamana pembangunan tersebut benarbenar pro
rakyat, maka pelaksanaannya akan menunggu waktu musim
kemarau dengan logika bahwa akan menggunakan dana yang
lebih sedikit, efektif, efisien, dan kualitas yang lebih bagus.
Perhatikan petikan berikut ini:
“Oh, begitu? Rupaya sampeyan pusing karena banjir
telah merusak pekerjaan sampeyan?”
“Dan kerusakan itu membuat kerugian yang cukup
besar. Serta memerikan beban batin karena hasil
kerja beberapa hari dengan biaya jutaan lenyap
seketika.” “Tapi, Mas Kabul, banjir adalah urusan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
215 ProsIding
alam. Jadi buat apa disesali dan dibuat sedih?”.
“Karena kerugian itu sesungguhanya bisa
dihindarkan bila awal pelaksanaan pembangunan
jembatan itu ditunda sampai musim kemaru tiba
beberapa blan lagi. Itulah rekomendasi para
perancang. Namun rekmondasi diabaikan, konon
demi mengejar waktu.” “Maksudnya?” “Penguasa
yang punya proyek dan para peminpin politik lokal
menghendaki jembatan itu selesai sebelum pemili
1992. Karena saya kira peresmiannya akan
dimanfaatkan sebagai ajang kampanya partai
golongan penguasa.
Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan
teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik.”
(hlm. 10)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pembangunan
Jembatan Cibawor adalah dimaksudkan untuk kepentingan
politis, bukan atas nama kepentingan rakyat. Dengan
menggunakan unsur politis, maka aka nada satu pihak yang
diuntungkan, yaitu partai penguasa atau pihak pro penguasa
(pemenrintah). Maka dari itu pembangunan yang mestinya
didasarkan pada konsep ilmiah, sesuai dengan pemikiran
para pakar menunggu sampai musim kemarau tiba,
dikalahkan oleh kepentingan politik.
b) Jujur/curang
Kejujuran dalam proyek pembangunan Cibawor
direpresentasikan oleh Ir. Kabul, kepala pelaksana Proyek. Dia
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
216 ProsIding
orangnya sangat jujur. Kejujurannya dibuktikan dengan tidak
mengetahuinya akan perbuatan curang yang dilakukan oleh
orang-orang yang terlibat di dalampembangunan tersebut,
misalnya pekerja dan lainnya. Sebagai seorang kampus yang
idealis, Kabul menganggap orang lain seperti dirinya. Dirinya
begitu jujur, lugu, tidak menipu dan menghindari perbuatan
curang. Sebaliknya orang lain begitu serakah, dan punya
kecendrungan untuk menipu dan berbuat curang.
Perhatikan kutipa berikut ini.
“Mudah saja. Mengapa beberapa beberapa
penduduk di sekitar sini suka menyuap kuli-
kuli untuk mendapat, atau tepatnya, dicurikan
semen?” Mendapat pertanyaan yang tak
terduga Pak Tarya mengerutkan dahi.
“Begitu?” “Pura-pura tidak tahu”.
“Saya benar-benar tidak tahu.”
“Nah, sekarang sudah tahu kan?”
“Ya..! Hup!” (hlm.18)
Kejujuran Kabul sebagai kepala pelaksana proyek
terlihat ketika dia berhaapan dengan Insinyur Dalkijo,
atasannya. Dia tidak pernah bermain dengan berbuat
kecurangan dengan cara melakukan praktek kotor dengan cara
mengurangi jumlah material yang dibutuhkan oleh proyek
tersebut. Kabul tahu betul dampak dari kecurangan tersebut.
sehingga sebagai seorag yang tahu betul akibat dari
pengurangan material akan berdampak terhadap kualitas
bangunan. Bila praktek demikian terus dilakukan, maka
jembatan tersebut diak akan kuat dan bertahan lama.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
217 ProsIding
Pengurangan jumlah material bangunan (permaianan)
sebenarnya bertentatangan dengan konsep idealism insinyur
yang jujur. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak
semua permainan ini. Mutu bangunan menjadi
taruhan. Padahal bilamana mutu bangunan
dipermainkan, masyarakatlah yang pasti akan
meanggung akibat buruknya. Dan bagi Kabul hal
ini adalah penghianatan terhadap derajat
keinsinyurannya.” (hlm. 28) Kejujuran Kabul
dalam berpegang pada prinsipnya ditertawakan
oleh orang-orang yang tidak setuju dengan
idealismenya. Dia mengatakan bahwa dengan
idealisme Kabul, dia tidak akan mampu
menjawab persoalan kemiskinan yang ada di
sekiarnya. Walaupun demikian, dia tetap
berpegang pada prinsipnya dalam hal kejujuran
tanpa terpengaruh oleh bujukan kecurangan dari
orang lain. Pada suatu waktu Dalkijo memprotes
keujurannya dengan mengatakan “Apa
kejujuranmu cukup berarti untuk mengurangi
korupsi di negeri ini?” (hlm. 53).
Sebagai wujud kejujuran Kabul, dia tidak mau barang
yang masuk ke dalam raganya berasal dari barang haram, harta
yang tidak suci. Ketika dia mau ditraktir Wati, kekasihnya, dia
bertanya-tanya apakah uang yang dipakai untuk mentraktirnya
adalah uang haram. Mengingat ayahnya Wati adalah seorang
anggota DPRD. Perhatikan kutipan berikut ini:
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
218 ProsIding
“Dan Kabul merasa pahit ketika membayangkan,
janganjangan sebagaian uang rakyat itu kini ada
di dompet Wati dan siap membayar makan siang
Kabul kali ini. “Ah, mungkin aku terlalu
puritan,” Kata Kabul untuk dirinya sendiri.
“Tapir as ini nyata adan. Yakni rasa enggan bila
ditraktir bila uang Wati berasal dari gaji
ayahnya.” (hlm. 56)
Sebaliknya, kecurangan yang terjadi melawan
kejujuran Kabul, hampir terjadi di semua lini dan bergelobang.
Mulai dari par kuli yang melakukan kecurangan, sopir, kernit,
kondektur kendaraan proyek, mandor dan lainnya (yang
termasuk ke dalam kelas rendahan) sampai pada tingkatan
kelas atas. Mulai dari penanggung jawab utama Proyek, Ir.
Dalkijo, pemerintahan, para politisi, sampai penentu kebijakan
terlibat dalam kecurangan yang sistematis.
Sebagai contoh nyata dalam kegiatan curang yang
dilakukan oleh semua lini kehidupan adalah pada tataran
penentu kebijakan. Mereka juga terlibat dalam jual beli lelang.
Dengan penjuaan semacam ini akan terjadi pemberian
persentasi nilai jumlah proyek dengan orang yang memberikan
proyek. Sebagaimana diterangkan dalam kutipan berikut ini
perilaku curang tercermin secara nyata dalam bentuk
kongkalikong proyek.
“Yah, berapa kali harus saya katakana, seperti
proyek yang kita kerjakan sebelum ini, semuanya
selalu ermula dari permainan. Di tingkat lelang
pekerjaan, kita harus bermain. Kalau tidak, kita
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
219 ProsIding
tidak bakalan dapat proyek. Dan anggaran yang
turunnya diatur per termin, baru kita peroleh bila
kita tahu cara bermain. Kalau tidak, kita pun tak
akan dapat uang meski sudah menang lelang.”
(hlm. 27)
c) Penguasa/bawahan
Unsur penguasa dan bawahan tercermin di dalam novel
ini. Penguasa diwakili oleh partai Golongan Lestari Menang
(GLM). Sedangkan bawahan dialamatkan kepada Basar,
seorang kades di desa Cibawor. Partai ini meminta kepada
Basar untuk menyediakan segala keperluan kampanya
sekaligus peresmian jembatan Cibawor nantinya. Peresmian
jembatan direncanakan berbarengan dengan kampanya partai
GLM. Pimpinan parta GLM setempat meminta difasilitasi
semua keinginan kampanye partai dengan angkuhnya. Hal ini
membuat Basar, yang dianggap bawahannya tidak dapat
berbuat banyak untukmenolaknya. Dalam system
pemerintahan di bawah partai GLM, selurh perangkat desa,
PNS dan ABRI adalah onderbouw partai tersebut. Sebagai
bawahan yang tidak ingin kehilangan jabatannya, dia hanya
dapat menyetujuinya.
Perhatikan kutipan berikut ini:
“Sebagai kepala desa dan kader golongan, Anda sudah
tahu apa kewajiban Anda. Sejak saat ini Anda
masuk kelompok kami, panitia tingkat
kabupaten.”
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
220 ProsIding
Kami tahu, Anda mampu menggalang dan
mengerahkan semua potensi massa-serta-dan ini
sangat penting-potensi dana.” (hlm. 80)
Sebagai bawahan, Basar hanya dapat menyetujui
keinginan partai GLM. Dia tidak berani mengatakan tidak atas
keinginan partai. Sudah menjadi konsekwensi bahwa kepala
desa bertanggung jawab atas keberhasilan partai GLM. Dalam
kutipan dijelaskan bahwa “Basar mengangguk. Senyumnya
dangkal.” (hlm. 80)
d) Kenyataan/mitos
Bahwa pengerjaan jembatan dikebut dengan maksud mengejar
waktu yang sudah ditentukan oleh partai GLM. Maka Kabul
menyuruh kepada orangorang proyek yang bekerja di situ
untuk kerja lembur. Itu adalah fakta yang harus dilakukan
untuk mengejar waktu yang telah ditentukan. Tidak pedulu
kerja malam atau siang sama saja, penting dapat mengejar
target yang telah ditentutkan. Perhatikan kutipa berikut ini:
“Jadi selasa kemarin adalah Kliwon. Selasa
Kliwon. Pada malam itu berlangsung kesibukan
yang luar biasa di proyek dari sore hingga pagi
hari.” (hlm. 124).
Sedangkan mitos yang muncul di dalamnya adalah
bahwa pengerjaaan proyek yang berangsung malam hari,
lebih-lebih malam Kliwon dimotoskan bahwa telah meminta
korban. Dan pengerjaan malam hari dimitoskan agar tidak
diketahui orang lain prosesi penyerahan tumbal. Pada setiap
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
221 ProsIding
pengerjaan proyek dimitoskan bahwa proyek tersebut meminta
tumbal. Perhatikan kutipan berikut ini:
“ Seekor jengger harus dijadikan tumbal. Kang
Martasatang mengartikan jengger sama dengan
perjaka atau lelaki muda.” (hlm. 120)
Mitos yang diungkapkan di dalam novel ini adalah
bahwa mitas tersebut tejadi pada Sawin, seorang pekerja
proyek anak dari KangMartasatang. Dia menganggap anaknya
adalah dijadikan tumbal karena hilang. Sawin menghilang
tanpa member kabar entah kemana. Menurut ceritaSawin
mengikuti gadis yang menjual makanan di warung Mak
Sumeh, Sonah, pulang ke kampungnya. Akhirnya mitos
tersebut berakhir dengan kembalinya Sawin ke rumahnya
setlah mengantar Sonah.
e) Idealis/materialis
Idealis tercermin dalam perilaku dan sikap Kabul yang
berpegang pada prinsip kejujuran hati nurani. Kabul tidak mau
mengejar harta benda walaupun ada kemungkinan dia dapat
memperolehnya dengan mudah. Dia tetap berpegang teguh
pada komitmennya. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Apa dengan mempertahankan idealisme, orang-
orang miskin di sekeliling kita menjadi Baik?”
Seloroh Dalkijo suatu saat.”
(hlm. 53)
Sikap materialistis direpresentasikan oleh Dalkijo. Dia bersifat
pragmatis sekali karena dia takut mengalami kemiskinan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
222 ProsIding
seperti yang dia telah alami selama ini. Sebagaimana
diceritakan bahwa orang tua Dalkijo adalah penjual jamu
gendong. Sehingga setelah dia menjadi insinyur, dia tidak
ingin kembali mengalami kemiskinan seperti yang selama ini
dialaminya.
Perhatikan kutipan berikut ini:
“Jadi, Dik Kabul, bagi saya hanya sikap pragmatis
yang bisa menghentikan sejarah panjang kemiskinan
kelurga saya.”
(hlm. 30)
2. Ironi
Idealisme dan kejujuran yang dibawa oleh Kabul akhirnya
berakhir dramatis dan ironis. Semua usahanya gagal. Kegagalan
ini disebabkan oleh hanya dirinyalah yang memiliki perasaan
idealis. Dia hanya seorang diri dalam mengemban idealismenya.
Walaupun berpegang pada prinsip idealisme yang kuat, akhirnya
dia gagal juga.
Kegagalan tersebut ditandai dengan beberapa kenyataan.
Pertama, keluarnya Kabul dari proyek tersebut menunjukkan
bahwa dia gagal dalam mengemban misi idelisme dalam praktek
nyata. Kedua, tidak adanya dukungan dari beberapa pihak yang
mendukung konsep idelismenya. Walaupun dia keluar dari
proyek tersebut, pengerjaan jembatan Cibawor tetap berlangsung
dan berhasil. Dengan catatan bahwa keberhasilan pembangunan
jematan tersebut tentu saja tidak sesuai dengan konstruksi yang
sesuai dan ideal yang mengakibatkan jembatan tersebt akhrnya
runtuh. Ketiga, Kabul, sang idealis mengikuti juga prosesi
peresmian jembatan yang dia buat dulu.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
223 ProsIding
D. Kesimpulan
Dari gambaran dan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa novel Orang-Orang Proyek memiliki beberapa oposisi biner
dan ironi bilamana digunakan pendekatan konstruktif. Secara garis
besar oposisi biner tersebut tercermin dalam tokoh utamanya, yaitu
Kabul dan Dalkijo. Selanjutnya tokoh pendukung juga
mengalaminya seperti Kang Martasatang dan Basar.
Ironi yang tercermin dalam novel ini termasuk ke dalam
irony of situation, harapan yang diinginkan Kabul tidak sesuai
dengan kenyataannya.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
224 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayyadl, Muhammad, 2005. Derrida. Yogyakarta: LKIS
Junus, Umar, 1985. Resepsi Sastra, Sebuah Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia
Little, Graham, 1985. Approach to Literature, NWS: Science Press
Lubis, Akhyar Yusup, 2008. Fisafat Ilmu “Posmodernisme Lyotard”
FIB-UI
Luxemburg, et.al., 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT.
Gramedia Putaka
Norris, Christopher, 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques
Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Sarup, Madan, 2008. Postrukturalisme &
Posmodernisme..Yogyakarta: Jalasutra
www.textetc.com/theory/freud/html.
www.personalityresearch.org
www.panix.com
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
225 ProsIding
RINGKASAN CERITA
Kabul adalah seorang insinyur yang idealis. Dia mantan
aktivis kampus ketika menjadi mahasiswa. Sekarang dia sendang
menggarap suatu proyek prestisius yaitu pembangunan jembatan
Sungai Cibowor. Dia sebagai kepala pelaksana proyek tersebut dan
bertanggung jawab atas pekerjaan besar ini.
Saat dia menggarap proyek tersebut dia berhadapan dengan
kenyataan yang tidak dia perhitungkan sebelumnya. Semua-orang
yang terlibat di dalam proyek tersebut terlibat perbuatan korupsi.
Hanya dirinyalah yang tidak melakukan korupsi. Para kuli melakuan
korupsi dalam bentuk mencuri semen dan penduduk setempat
menjadi penadahnya. Para sopir, mandor, satpam dan lainnya
melakukan hal yang sama. Atasannya, insinyur Dalkijo melakukan
korupsi yang lebih parah lagi dari pada para pekerja. Dia bermain-
main korupsi dengan pihak-pihak yang memberikan proyek
kepadanya.
Akibat dari korupsi ini adalah kualitas jembatan yang sedang
dia bangun tidak sesuai dengan rancangan idealisnya. Dia dipaksa
bermain-main dengan anggaran yang menyebabkan keocoran di sana
sini. Partai politik yang berkuasa pun, GLM, juga bermain-main
dengan proyek tersebut. Bahkan ada orang yang meminta
sumbangan ke proyeknya untuk membangun sebuah masjid. Namun
demikian, dia tetap menolak memberikan sumbangan yang diminta
oleh utusan mesjid. Dia beranggapan bahwa mesjid seharusnya suci
dari korupsi.
Pembangunan jembatan yang sedang dia lakukan dimulai
pengerjaannya sebelum waktunya, sehingga terjadi kebocoran dan
membuang-buang anggaran jutaan rupiah. Pembangunannya
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
226 ProsIding
dipercepat demi mengejar waktu berbarengan dengan HUT GLM
yang dipusatkan di tempat itu dan peresmian dilakukan secara
bersamaan.
Kabul dipaksa atasannya, Dalkijo, untuk menggunakan
barang bekas untuk jembatan yang dia tangani. Tapi dia menolak dan
memilih untuk mengundurkan diri dari proyek tersebut karena dia
merasa pembangunan proyek tersebut tidak sesuai dengan kata
hatinya, ajaran moral, dan lain sebagainya.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
227 ProsIding
Pengaruh Dinning Atmosphere terhadap Kepuasan
Pengunjung
Oleh:
Dr. Sunarti, S.Sos, M.AB
1. Latar Belakang
Di Indonesia kaya akan keberagaman potensi alam dan kekayaan
budaya yang bisa dimanfaatkan dan dikembangkan ke dalam bingkai
kepariwisataan. Yoeti (2008:54) pariwisata merupakan kegiatan
multi sektoral yang hampir terkoneksi dengan semua kegiatan
bidang pembangunan sehingga pariwisata bisa menjadi sumber
alternative pembiayaan pembangunan daerah. The Word Travel and
Tourism Council, menyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara
dengan pertumbuhan pariwisata yang paling bagus jika
dibandingkan dengan Negara-negara anggota G20 (Widadio,2014).
Wisatawan yang berkunjung ke Indonesia mencari atau menikmati
keindahan pariwisata Indonesia dapat memberikan efek domino bagi
dalam ataupun luar negeri. Pariwisata merupakan salah satu
penyebab terbukanya lahan bisnis baru bagi pelaku bisnis.
Salah satunya Kota Batu Malang. Kota Batu merupakan salah
satu kota wisata yang dipilih karena dikenal dengan berbagai wisata
kulinernya yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung
sehingga Kota Batu merupakan salah satu destinasi wisata favorit
para pelancong di Indonesia. Dengan berkembangnya pariwisata di
Kota Batu semakin membuka bisnis-bisnis baru yang menunjang
pariwisata di daerah tersebut. Sejuknya udara Kota Malang menjadi
favorit masyarakat untuk berlibur atau sekedar merelaksasikan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
228 ProsIding
diri.Kota Malang saat ini juga didominasi oleh mahasiswa yang
sedang menitih pendidikan di bangku perkuliahan, maka dari itu
bisnis yang sangat menjanjikan untuk dibangun salah satunya adalah
bisnis kuliner. Banyaknya wisatawan maupun pendatang yang
datang ke kota Malang dapat menjadi peluang bagi seseorang pelaku
bisnis untuk menciptakan sebuah usaha khusus kuliner seperti café
atau restoran.
Perubahan gaya hidup, tata cara dalam menikmati hidangan pada
masyarakat khususnya penikmat kuliner, membawa para pelaku
bisnis kuliner ini kepada ide baru yang lebih kreatif dan inovatif,
mengenai restoran yang dianggap lebih modern dan disukai
konsumen pada umumnya. Pelaku bisnis dituntut untuk berinovasi
dan kreatif untuk menciptakan rasa nyaman kepada pengunjung
restoran, sehingga diharapkan konsumen akan betah berlama-lama
di dalam restoran tersebut. Salah satunya yang dapat dilakukan yaitu
menciptakan Dinning Atmosphere pada café atau restoran. Menurut
Levy and Weitz (2001:576) atmosphere refrers to design of an
environment via visual communication, lighting, colours, music, and
scent to simulate customers perception and emotional responses and
ultimately to affect their purchase behavior, yang berarti suasana
café melalui visual, penataan, cahaya, music dan aroma yang dapat
menciptakan lingkungan pembelian yang nyaman sehingga dapat
mempengaruhi persepsi dan emosi konsumen terhadap kepuasan
Salah satu café favorit di Kota Malang yaitu café Ria Djenaka.
Café ini memiliki keunggulan pada konsep ruangannya yang
berbasis tradisional Jawa sehingga diharapkan dengan adanya
konsep Tradisional Jawa ini pelangganakan mendapatkan
pengalaman yang unik dan menarik, ditambah dengan view indoor
dan outdoor nya dan juga konsep gerbong, dan resto. Café Ria
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
229 ProsIding
Djenaka juga dilengkapi dengan fasilitas tv cable dan nonton bareng,
free hot spot, serta live music setiap hari mulai pukul 19.00 WIB.
Dengan konsep ini cafe Ria Djenaka mampu bersaing dengan café
yang saat ini sudah banyak bermunculan di Kota Batu Malang.
Berdasarkan latar belakang yang telah diulas tersebut, tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui: Untuk mengetahui dan
menjelaskan pengaruh dari Dinning Atmosphere terhadap kepuasan
pelanggan café Ria Djeanaka.
2. KAJIAN PUSTAKA
Dinning Atmosphere
Berman and Evan (1992:462) menyatakan atmosphere refers to
the store’s physical characteristic that are used to develop and
image and to draw customers, yang berarti suasana café merupakan
karakteristik fisik yang digunakan untuk membangun kesan dan
menarik pelanggan. Menurut Cox R andBrittain P (2004:184),
atmosphere this is major component of store image and can be
defined as the dominan sensory effect created by the store design,
physical characteristics and merchandising activitie.Suasana
merupakan komponen penting dari sebuah toko atau cafe, maka
suatu café harus membentuk suasana terencana yang sesuai dengan
pasar sasarannya dan dapat menarik konsumen untuk membeli
ditoko tersebut.
Menurut Levy and Weitz (2001:576) atmosphere refrers to
design of an environment via visual communication, lighting,
colours, music, and scent to simulate customers perception and
emotional responses and ultimately to affect their purchase
behavior, yang berarti suasana café melalui visual, penataan, cahaya,
music dan aroma yang dapat menciptakan lingkungan pembelian
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
230 ProsIding
yang nyaman sehingga dapat mempengaruhi persepsi dan emosi
konsumen untuk melakukan pembelian.
Dari uraian tersebut dapat disumpulkan bahwa penciptaan
dinning atmosphere merupakan kegiatan merancang lingkungan
pembelian dalam suatau café dengan menentukan karakteristik
melalui pengaturan dan pemilihan fasilitas fisik
ruangan.Lingkungan pembelian yang terbentuk pada akhirnya
menciptakan image dari café, kemudian mempengaruhi emosi
konsumen untuk melakukan pembelian.dari pembelian tersebut
dapat tercipta citra dari café atau restoran sehingga ketika konsumen
menilai citra café tersebut baik, maka dapat dipastikan didapat
kepuasan terhadap konsumen.
Elemen-elemen atmosphere dapat dioperasionalkan pada café
sebagai objek dalam penelitian ini. Mowen dan Minor (2002:140)
menyebutkan elemen atmosphere terdiri dari:
1. Layout
Layout (tata letak) merupakan pengaturan secara fisik dan
penempatan barang dagangan, perlengkapan tetap.Bertujuan untuk
memberikan gerak pada konsumen, memperlihatkan barang
dagangan atau jasa, yang mampu menarik dan memaksimalkan
penjualan. Sebuah layout dapat nekerja dan mencapai tujuan yang
dimaksud apabila pesan-pesan yang akan disampaikan dapat
dipahami oleh pengunjung.
2. Suara
Suara merupakan keseluruhan music yang dihadirkan, kehadiran
music bagi usaha café sangat penting karena dapat memberikan
peningkatan kualitas pelayanan dalam menyajikan pengalaman
belanja atau menikmati produk yang menyenangkan bagi para
pengunjung sehingga mampu mempengaruhi emosi pengunjung
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
231 ProsIding
untuk melakukan pembelian.Menurut penjelasan tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa music adalah bagian penting untuk
melengkapi kenyamanan pengunjung.
3. Bau
Banyak keputusan yang didasarkan pada emosi, dan bau
memiliki dampak pada emosi konsumen.Bau lebih dari indera
lainnya sebagai penentu perasaan gembira, kelaparan, enggan untuk
mengkonsumsi, dan nostalgia.
4. Tekstur
Tekstur adalah unsur yang menunjukkan rasa permukaanbahan,
yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam sasaran untuk mencapai
bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada
permukaan bidang, pada perwajahan bentuk, pada karya seni rupa
secara nyata atau semu. Dengan pengolahan tekstur atau bahan yang
baik, maka tata ruang luarnya akan menghasilkan kesan dan kualitas
ruang yang lebih menarik dan mampu mempengaruhi pengunjung
berkunjung dan melakukan pembelian.
5. Desain Bangunan
Desain selalu dikaitkan dengan seni atau keindahan, dimana
eksterior adalah cermin awal dari pengunjung ataupun penyewa
dalam beraktivitas di sebuah pusat perbelanjaan.Desain memiliki
peran yang sangat penting untuk menimbulkan kesan nyaman, baik
untuk penyewa atau pengunjung dalam beraktivitas.
Saat ini banyak sekali restoran, café, dan bar yang saling
berlomba-lomba untuk menampilkan design konsep ruangnya
sebagus dan seunik mungkin untuk menarik banyak pengunjung.
Banyak restoran, café, dan bar yang menggunakan jasa interior
design dan arsitek handal untuk membantu mewujudkan sebuah
design yang diinginkan oleh pemilik usaha.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
232 ProsIding
2. Kepuasan Pelanggan
Kotler (2002) mendefinisikan kepuasan adalah perasaan
senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu produk setelah
pelanggan tersebut membandingkan kinerja produk tersebut dengan
harapannya. Sedangkan kepuasan pelanggan menurut Zetlhaml,
Bitner, dan Dwayne (2009:104) kepuasan pelanggan adalah
penilaian pelanggan tentang produk ataupun jasa dalam hal menilai
apakah produk atau jasa tersebut telah memenuhi kebutuhan dan
harapan pelanggan.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kepuasan pelanggan merupakan suatu perasaan atau penilaian
emosional dari pelanggan atas penggunaan dan kebutuhan mereka
yang terpenuhi. Jika kinerja gagal memenuhi ekspektasi, pelanggan
tidak akan puas. Jika kinerja sesuai dengan ekspektasi pelanggan
akan puas. Jika kinerja melebihi ekpektasi pelanggan akan sangat
puas atau senang.
Tingkat kepuasan pelanggan selalu didasarkan pada upaya-
upaya penyempitan gap antar keadaan yang diinginkan.Dalam hal
ini berarti antara harapan dengan keadaan yang dihadapi.Apapun
upaya yang dilakukan terhadap organisasi (penyedia).Satu hal yang
perlu diingat oleh organisasi adalah bahwa jaminan kepuasan
terhadap produk yang dihasilkan tidak dapat di tolak lagi.
Beberapa metode yang dapat digunakan perusahaan untuk
mengukur dan kepuasan konsumen menurut Kotler (1997:322):
1. Sistem keluhan
Media yang dapat digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan
di tempat strategis, menyediakan saluran telepon bebas pula, kontak
email.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
233 ProsIding
2. Survey Kepuasan Pelanggan
a) Directly reported satisfaction
Pengukuran secara langsung melalui pertanyaan-pertanyaan yang
berupa kuesioner
b) Derived satisfaction
Pertanyaan yang diajukan dua hal utama, yakni besarnya harapan
pelanggan pada atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka
rasakan.
c) Problem analysis
Responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok.
Pertama, masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan
penawaran perusahaan dan Kedua, saran untuk melakukan
perbaikan.
d) Importance performance analysis
Responden diminta untuk merangking berbagai elemen dari
penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut
dan respoden juga diminta untuk merangking seberapa naik
kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen atau atribut
tersebut.
3. Gosh Shopping
Metode ini dilakukan dengan cara memperkerjakan beberapa
orang untuk berperan sebagai konsumen potensial produk
perusahaan dan pesaing. Mereka akan menyampaikan laporan
tentang kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing
berdasarkan pengalaman saat mengkonsumsi produk tersebut. Selain
itu merka juga mengamati dan menilai cara pelanggan perusahaan
dan pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani
setiap keluhan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
234 ProsIding
4. Lost Customer Analysis
Perusahaan berusaha menguhubungi para pelanggannya yang
telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok untuk
mempelajari sebabnya.Informasi ini bermanfaat bagi perusahaan
untuk mengambil kebijaksanaan selanjutnya dalam rangka
meningkatkan kepuasan dan loyalitas.
Ada empat prinsip dasar dari kepuasan pelanggan (Bowie dan
Buttle, 2004) antara lain:
1. Mengidentifikasi pelanggan yang akan diberikan layanan
karena tidak semua pelanggan adalah penting bagi perusahaan
jasa.
2. Mengidentifikasi layanan terpenting yang akan diberikan bagi
pelanggan yang terpilih. Biasanya ada pelanggan yang ingin
makan siang dengan layanan cepat tetapi tidak pada saat
makan malam.
3. Get it right first yaitu harapan pelanggan harus dipenuhi oleh
penyedia jasa sebagai prioritas utama. Hindarkan layanan
lambat yang membuat tamu tidak puas.
4. Excellent recovery adalah setiap terjadi kegagalan layanan
harus segera ditindaklanjuti dengan baik untuk menghindari
word of mouth negative.
Hubungan antara Dinning Atmosphere terhadap kepuasan
Dinning atmosphere yang nyaman akan menimbulkan
kepuasan pada pelanggan sehingga bisa membuat pelanggan betah
berlama-lama dalam café. Dari kepuasan tersebut akan menarik
minat konsumen untuk dating kembali dan melakukan pembelian
ulang. Jika pelanggan sudah membeli dan harapannya terpenuhi
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
235 ProsIding
maka akan tercipta kepuasan konsumen, seperti yang dipaparkan
oleh Kotler and Andreasen (1995:50), kepuasan pelnggan adalah
tingkat perasan seseorang setelah membandingkan kinerja produk
yang ia rasakan dengan harapannya. Pelayanan yang akan
memberikan kepuasan kepada konsumen. Jika konsumen merasa
puas kemungkinan besar akan kembali membeli dan dari hal tersebut
terciptalah kepuasan pelanggan yang membeli lebih dari satu kali.
Model Hipotesis
Berdasarkan model hipotesis di atas maka dapat dirumuskan
rumusan hipotesis bahwa Dinning Atmosphere berpengaruh
signifikan terhadap kepuasan
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
eksplanatory dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih adalah café Ria Djenaka. Dengan
pertimbangan bahwa seiring dengan perubahan gaya hidup
masyarakat, tata cara serta selera dalam mengkonsumsi atau
menikmati barang atau jasa khususnya para mahasiswa dan pekerja
yang merupakan komunitas yang cukup berpotensi sebagai
pengguna produk dalam penetian ini, disamping pertimbangan
waktu, biaya dan tenaga. Berdasarkan penelitian terdahulu bahwa
café Ria Djenaka mempunyai dinning atmosphere yang unik dan
Dinning Atmosphere
X2
Kepuasan Pelanggan
Y
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
236 ProsIding
terkonsep untuk itu peneliti tertarik mengambil lokasi penelitian di
café Ria Djenaka.
Variabel Penelitian
Variabel Bebas atau Independen adalah Dinning Atmosphere
yaitu suasana café melalui visual, penataan, cahaya, music dan
aroma yang dapat menciptakan lingkungan pembelian yang nyaman
sehingga dapat mempengaruhi persepsi dan emosi konsumen untuk
melakukan pembelian. Sehingga disini diharapkan dengan adanya
dinning atmosphere dapat mempengaruhi emosional pelanggan
sehingga dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan café Ria
Djenaka.
Kepuasan merupakan perasaan seseorang setelah menerima
atau merasakan layanan atau poduk yang diberikan. Kepuasan ini
timbul apabila produk atau jasa yang diberikan sesuai atu bahkan
lebih dengan apa yang mereka harapkan. Konsep kepuasan dalam
penelitian ini berkaitan dengan hasil perbandingan antara dinning
atmosphere terhadap pelayanan dari café Ria Djenaka.
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pembeli yang telah
melakukan pembelian atau yang pernah berkunjung ke café Ria
Djenaka. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini ditentukan
dengan menggunakan rumus Machin and Champbell. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalan penelitian ini adalah
Accidental Sampling.
Analisis Data
Analisa data menggunakan analisis regresi linier.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
237 ProsIding
3. Hasil dan Pembahasan
Variabel Dining Atmosphere memilik 3 indikator yaitu Ambient
Condition (X2.1), Space/Function (X2.2) dan Signs, Symbols, and
Artefact yang terdiri dari 11 item yaitu, kenyamanan ruangan (X2.1.1),
kebersihan udara (X2.1.2), terhindar dari kebisingan (X1.3), musik
yang disajikan mendukung kenyamanan (X2.1.4), terhindar dari
aroma tidak sedap (X2.1.5), layout ruangan menarik (X2.2.1), keunikan
furniture (X2.2.2), dekorasi ruangan mempunyai konsep yang menarik
(X2.2.3), penanda mudah dikenali (X2.3.1), simbol yang digunakan
unik (X2.3.2), artifact yang digunakan menarik (X2.3.3).
Model
Unstandardized
coefficients
Standart
Coefficient
t
Sig.
B Std.Error Beta
1 (constant) 1,516 1,030 1,471 0,144
X2 0,075 0,022 0,244 3,346 0,001
Berdasarkan pada Tabel 4.11 didapatkan persamaan regresi sebagai
berikut:
Y = 1,516 + 0,075 X1
Dari persamaan di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
• Kostanta = 1,516 artinya pelanggan café Ria Djenaka tetap
merasa puas sebesar 1,516 meskipun tanpa memperhatikan
dining atmosphere dipersepsikan tidak begitu bagus, pelanggan
di café Ria Djenaka tetap merasa puas yaitu sebesar 1,516.
• X1 = 0,075 artinya bahwa setiap peningkatan 1 satuan dining
atmosphere akan meningkat 0,075 kepuasan pelanggan café Ria
Djenaka atau dengan kata lain, kepuasan pelanggan akan
meningkat seiring dengan peningkatan dining atmosphere.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
238 ProsIding
Petzer and Mackey (2014) yang menyatakan bahwa Dining
Atmospheric dianggap penting dalam mempengaruhi tingkat
kepuasan pelanggan, terutama karena respon pelanggan terhadap
lingkungan merupakan sebagaian pengalaman konsumsi mereka.
Hal ini berarti bagaimana café Ria Djenaka menciptakan suasana
café yang nyaman yang akan menimbulkan kepuasan pelanggan.
Dari tabel distirbusi frekuensi jawaban responden dapat diketahui
jika mayoritas pelanggan merasa puas berada di café Ria Djenaka
dengan suasana yang diciptakan tersebut dapat menimbulkan
kepuasan pelanggan.
Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan t test antara X2
(Dinning Atmosphere) terhadap Y (Kepuasan Pelanggan).
Berdasarkan hasil rekapitulasi regresi linier berganda, didapat nilai
sig. t (0,001) <α = 0,05 maka pengaruh X2 (Dining Atmosphere)
terhadap Kepuasan Pelanggan adalah signifikan. Hal ini berarti H0
ditolak dan H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa
Kepuasan Pelanggan dapat dipengaruhi secara signifikan oleh
Dining Atmosphere atau dengan meningkatkan Dining Atmosphere
maka Kepuasan Pelanggan akan mengalami peningkatan secara
nyata. Penelitian ini juga mendukung dari penelitian Petzer and
Mackey (2014) yang menyatakan bahwa Dining Atmospheric
berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pelanggan, apabila
restoran memperbaiki suasana restoran seperti desain, layout, light,
furniture, fitting colour maka kepuasan pelanggan akan mengalami
peningkatan.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
239 ProsIding
5. Penutup
Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui variable mana sajakah
yang mempunyai pengaruh pada Kepuasan Pelanggan. Dalam
penelitian ini variable bebas yang digunakan adalah variable Food
Quality (X1), Dining Atmosphere (X2) dan Kesesuaian Harga,
sedangkan variable terikat yang digunakan adalah Kepuasan
Pelanggan (Y).
Berdasarkan pada perhitungan analisis regresi linier berganda,
dapat disimpulkan Dining Atmosphere (X2) berpengaruh signifikan
terhadap Kepuasan Pelanggan (Y). Besarnya pengaruh Dinning
Atmosphere (X) terhadap Kepuasan Pelanggan (Y) adalah 0,075 atau
7,5%.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat dikemukakan beberapa
saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan maupun
bagi pihak-pihak lain. Adapun saran yang diberikan, Diharapkan
pihak perusahaan dapat mempertahankan serta meningkatkan
Dining Atmophere dan memperhatikan suasana seperti interior
maupun ekterior yang mendukung kenyamanan sehingga pelanggan
betah berlama-lama di dalam café RiaDjenaka Shining Batu,
Mengingat variable bebas dalam penelitian ini merupakan hal yang
sangat penting dalam mempengaruhi Kepuasan Pelanggan
diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi
peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian ini dengan
mempertimbangkan variabel-variabel lain yang merupakan variabel
lain diluar variabel yang sudah masuk dalam penelitian ini.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
240 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. 2009. Manajemen Pemasarandan Pemasaran Jasa.
Alfabeta: Bandung.
, 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2010. ProsedurPenelitian. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Berman, Barry and Joel R.Evans. 1992. Retail Management. Fifth
Edition. USA: Macmillian Publishing Company.
Kotler, Philip dan Kevin L. Keller. 2009. Manajemen Pemasaran.
Alih Bahasa: Bob Sabran. Jakarta: Erlangga.
Lovelock, Chriztopher and Jochen Wirtz,. 2004. Sixth Edition.
Service Marketing. Prentice Hall.
Malhotra, N.K. 2009.Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. Jilid
1.Alih bahasa: Damas Sihombing. Jakarta: Erlangga. Nazir, Moh. 2014. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia
Rangkuti, Freddy. 2005. Riset Pemasaran. Jakarta: Indeks
Gramedia.
Sardin.2014. Konsep Populasi dan Sampling, Serta Perhitungan
Varians.Tanpa
Penerbit
Simamora, Bilson. 2004. Riset Pemasaran. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sunyoto, Danang. 2013. Teori, Kuesioner dan Analisis Data.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tjiptono, Fandy dan Gregorious Chandra. 2011. Service, Quality
and Satisfaction. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Zulganef. 2008. Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Sugianto, Sugiono dan Sugiharto, Sugiono. 2013. Analisa Pengaruh
Service Quality, Food Quality dan Price Terhadap Kepuasan
Pelanggan Restoran
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
241 ProsIding
Yung Ho Surabaya. Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol. 1, No.2, 1-
10.
Petzer, Daniel and Mackey, Nedia. 2014. Dining Atmospherics and
Food and
Service Quality as Predictors of Customer Satisfaction at Sit-Down
Resturants. African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure,
Vol.3 (2).
Kumadji, Srikandi dan Putri. H., Lily. 2014. Pengaruh Store
Atmosphere Terhadap Keputusan Pembelian dan
Kepuasan Pelanggan.Jurnal Administrasi Bisnis, Vol.15, 1-9
Hanaysha, Jalal. 2016. Testing The Effect of Food Quality, Price
Fairness and Physical Environment On Customer Satisfaction
In Fast Food Restauranr
Industry.Asian Economic and Social Society, Vol.6, pp. 31-40.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
242 ProsIding
IMPLEMENTASI TRIDHARMA PERGURUAN
TINGGI DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN
PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Dr. Mohamad Sinal, S.H., M.H., M.Pd.
Abstrak
Upaya untuk mewujudkan peran Perguruan Tinggi di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui
beberapa usaha, salah satunya adalah melalui tridharma perguruan
tinggi. Tulisan ini bertujuan untuk mengalisis impementasi
tridharma perguruan tinggi dalam perspektif kebijakan nasional.
Analisis yang digunakan adalah tinjauan kritis terhadap masalah
yang ada berdasarkan teori atau konsep pendidikan dan kebijakan
penndidikan nasional yang ada.. Berdasarkan hasil kajian yang ada
diperoleh temuan sebagai berikut. Sinergi antarkomponen dalam
tridharma perguruan tinggi mutlak diperlukan. Hal ini agar ketiga
komponen tersebut tidak berdiri sendiri dan hasilnya dapat lebih
bermanfaat bagi masyarakat. Dalam implementasinya, kebijakan
pendidikan nasional yang ada merupakan salah satu parameter atau
ukuran agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang diharapkan atau dicitta-citakan. Salah satunya adalah
sesuai dengan tiga pilar kebijakan pendidikan nasional.
Kata Kunci: Tridharma Perguruan Tinggi, Kebijakan Pendidikan
Nasional,
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
243 ProsIding
I. Dikotomi Konservatif dan Liberalistik dalam Persoektif Ilmu
Pendidikan
Salah satu kegiatan di dalam kehidupan manusia yang selalu
dilakukan adalah pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan
suatu kegiatan yang bersifat universal di dalam kehidupan manusia.
Selain untuk memanusiakan dirinya sendiri agar menjadi manusia
yang berbudaya, pendidikan juga dapat menjamin kelangsungan
hidupnya. Selamanya pendidikan akan tetap menjadi alternatif
dalam mengembangkan dan meningkatkan sumber daya manusia,
terutama dalam mempersiapkan generasi mendatang yang mampu
menjawab tantangan zaman. (Sulham, 2006: 5)
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat dua perspektif dalam
ilmu pendidikan, yaitu konservatif dan kritis liberalistik. Perspektif
konservatif memaknai pendidikan sebagai agen pelestarian dari
budaya yang resmi dianut, sedangkan perspektif kritis liberalistik
memaknai pendidikan sebagai agen dari perubahan sosial yang anti
dominasi budaya tunggal. Munculnya perbedaan perspektif dalam
memaknai pendidikan itu tidak terlepas dari latar belakang yang
telah mempengaruhi perspektif tersebut, di antaranya adalah realita
sosial. Realita sosial telah ikut mengonstruksi pendidikan ke dalam
berbagai wujud yang berbeda, walaupun realita sosial dan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang pendidikan sebenarnya bukanlah
dua hal yang berdiri sendiri (tidak bisa dipisahkan).
Persoalannya adalah bukan pada perspektif mana yang paling
ideal? Namun, perspektif mana yang relevan dengan realitas
kontemporer kehidupan kita. Polemik tentang perspektif pendidikan
mana yang cocok untuk diterapkan di dunia pendidikan, menjadi
persoalan utama yang harus dijawab ketika berbicara tentang
pendidikan di Indonesia. Pendidikan tidak hanya terbatas pada
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
244 ProsIding
sebuah konsepsi tentang proses pembelajaran semata. Pendidikan
memiliki tugas utama untuk mendekatkan peserta didik dengan
Tuhannya. Dengan demikian, pendidikan memiliki dimensi
spiritual-transendental yang merupakan bagian dari pendidikan
keimanan yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
Oleh sebab itu, otoritas pendidikan tidak perlu terjebak pada
dikotomi konservatif dan liberalistik. Sebaliknya, pendidikan
hendaknya mengonstruksi landasan humanisme dan religiosisme
yang ada untuk membangun sistem pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila. Dengan demikian, pemikiran pendidikan konservatisme
dan liberalisme-kapitalisme harus diubah menjadi pendidikan kritis-
dialogis yang membebaskan peserta didik dari segala bentuk
keterikatan, baik melalui sistem maupun model pengajarannya.
II. Tiga Pilar Kebijakan Pendidiikan Nasional
Terdapar tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu: (1)
pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) peningkatan mutu,
relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan (3) peningkatan
tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan.
Ketiga pilar tersebut membuktikan bahwa Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka untuk mengatasi
permasalahan pendidikan yang semakin kompleks walaupun tidak
jarang dalam implementasinya kebijakan tersebut tidak berjalan
sesuai dengan harapan. Masalah mutu pendidikan, terutama di
perguruan tinggi masih menjadi kendala yang belum dapat
terpecahkan. Rendahnya mutu lulusan, mutu pengajaran, bimbingan
dan latihan dari dosen serta profesionalisme dosen menjadi
perkerjaan rumah pemerintah sampai saat ini. Ketiga pilar
pembangunan pendidikan tersebut, selayaknya menjadi rujukan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
245 ProsIding
dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan pendidikan
tinggi ke depan,
Di dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa Visi
Pendidikan Nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah. Berdasarkan Visi Pendidikan Nasional
tersebut selanjutnya dijelaskan kedalam misi pendidikan nasional,
yaitu: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat
Indonesia, (2) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi
anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam
rangka mewujudkan masyarakat belajar, (3) meningkatkan kesiapan
masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian bermoral, (4) meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap
dan nilai berdasarkan standar nasional dan global, dan (5)
memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Penjelasan Umum UU No 20 Tahun
2003).
Selain itu, di dalam Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP
II) yang berlangsung sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2019
yang akan datang, rasa cinta tanah air yang melandasi kesadaran
kebangsaan, semangat pengabdian, dan tekad untuk membangun
masa depan bangsa yang lebih baik harus terus dibangkitkan dan
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
246 ProsIding
dipelihara sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap
hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses
pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa guna memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa demi terwujudnya tujuan nasional
(Chairuddin, 2004: 2). Mencermati kandung isi yang terdapat dalam
PJP II tersebut selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang ada.
Di dalam tujuan pendidikan nasional disebutkan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
mandiri, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional,
bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani
serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa
patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan
semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial serta kesadaran
pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta
berorientasi pada masa depan (Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun
2003). Relevan dengan tujuan pendidikan nasional tersebut, ketiga
pilar kebijakan pendidikan nasional itu sangat mendukung sebagai
sarana untuk mencapai tujuan yang ada. Perluasan, peningkatan
mutu, dan citra publik pendidikan tinggi hendaknya dimuarakan bagi
kepentingan hajat hidup orang banyak agar pendidikan yang ada
dapat bermanfaat atau berguna bagia masyarakat.
III. Realitas Kontemporer dan Tridharma Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah salah satu dari subsistem pendidikan
nasional. Keberadaannya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
berperan sangat penting, terutama melalui penerapan Tridharma
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
247 ProsIding
Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Di dalam Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa perguruan tinggi berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Secara terminologi, Tridharma berarti tiga kewajiban yang
harus dijalankan dalam rangka mengembangkan budi pekerti luhur,
memberi pengalaman praktis yang mendoronng kepada pelakunya
untuk menemukan, mematuhi, menghayati sistem dan nilai yang
berkaitan erat dengan masyarakat. Tridharma perguruan tinggi
adalah dasar bagi setiap perguruan tinggi untuk melaksanakan
tanggung jawabnya yang dikembangkan secara simultan dan
bersama-sama civitas akademik agar dapat tercipta lingkungan yang
menyadari pentingnya Tridharma Perguruan Tinggi.
Hal tersebut hendaknya menjadi prioritas utama, sebab
eksistensi perguruan tinggi mempunyai peran yang sangat penting
untuk memengaruhi perubahan-perubahan terhadap masyarakat.
Peran dan fungsi perguruan tinggi merupakan implementasi dari
tridharma yang ada. Melalui tridharma tersebut perguruan tinggi
diharapkan mampu untuk mewujudkan dan membangun gerakan
pembelajaran terhadap masyarakat guna mendorong terciptanya
hubungan sosial serta terjaganya nilai-nilai budaya bangsa yang
berkelanjutan. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat
mengembangkan sebuah model dari pembangunan yang berbasis
pada keilmuan dan nilai-nilai budaya lokal dalam kerangka sistem
nilai-nilai budaya bangsa. Membangun sistem pengembangan
keilmuan yang sesuai dengan apa yang dibtuhkan masyarakat dalam
merespon perubahan global yang dinamis. Selain itu, juga
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
248 ProsIding
mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat dengan
melakukan pemanfaatan sumber daya serta nilai-nilai lokal yang
ada.
Di samping itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perguruan tinggi hendaknya ikut membantu pengembangan
kebijakan yang strategis, baik terhadap legislatif maupun eksekutif.
Selanjutnya, ikut mengontrol implementasi kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat. Perguruan tinggi hendaknya mampu berperan
dalam pengembangan strategi kebudayaan. Hal tersebut tersebut
diperlukan guna membangun peradaban bangsa yang lebih baik dan
bermutu sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Salah
satunya adalah membangun kembali nilai-nilai yang sejalan dengan
keberagaman yang sudah ada, bukan mempertentangkannya.
Dengan kata ain, membangun kembali peradaban yang berbasis pada
nilai-nilai etika serta nilai budaya yang sudah lama melekat dalam
jati diri bangsa Indonesia.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, terdapat tiga hal yang
seharusnya dilakukan oleh dunia perguruan tinggi, yaitu; (1)
menjunjung tinggi kebenaran bukan merasa paling benar, (2)
menumbuhkembangkan sikap dan perilaku yang selalu siap
menerima pendapat orang lain, bukan takut dikoreksi oleh orang
lain, dan (3) menjunjung tinggi sikap dan perilaku untuk mengakui
kesalahan diri sendiri tanpa harus menyalahkan keberadaan orang
lain. Hal tersebut seperti yang diamanatkan oleh Permendiknas
Nomor 17 Tahun 2010.
IV. Problem dalam Implementasi Tridharma Perguruan Tinggi
Dalam konsideran menimbang “b”, Undang-undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dinyatakan “bahwa
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
249 ProsIding
pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan
dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan
pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan”.
Implementasinya hal tersebut diwujudkan ke dalam Tridharma
Perguruan tinggi.
Tridharma perguruan tinggi terdiri dari tiga pilar dasar yang
menjadi pola pikir serta menjadi sebuah kewajiban bagi civitas
akademik untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, perguruan tinggi
merupakan salah satu ujung tombak perubahan bangsa Indonesiaa ke
arah yang lebih baik. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan
apabila kita melihat kembali sejarah bangsa ini di masa lalu.
Perubahan besar yang ada di negara kita dimulai oleh para
mahasiswa atau perguruan tinggi. Ketiga pilar dasar tersebut secara
rinci akan dijabarkan pada uraian berikut ini.
(1) Pendidikan
Perguruan tinggi merupakan tempat kaum intelektual bangsa
ini yang jumlahnya menduduki sekitar 5% dari jumlah atau populasi
warga negara Indonesia yang berkewajiban untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia secara berkelanjutan agar kulaitas bangsa
ikut meningkat. Secara umum hal tersebut dapat dicapai melalui
ilmu yang telah dipelajari selama proses pendidikan di kampus
masing-masing sesuai dengan bidang keilmuan tertentu. Keberadaan
bangsa dan pendidikan tinggi adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan karena perubahan-perubahan besar di dalam suatu
bangsa berasal dari perguruan tinggi yang ada. Berasal dari
pergutuan tinggi kegiatan keilmuan dan kemasyarakatan tumbuh dan
berkembang. Semua aktivitas yang ada didasari oleh adanya
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
250 ProsIding
pertimbangan yang rasional, bukan menggunakan kekuatan yang
bersifat irrasional atau di luar logika. Oleh sebab tiu, pola pikir dan
nalar suatu bangsa dibentuk.
(2) Penelitian
Ilmu yang sudah dikuasai melalui proses pendidikan yang
cukup panjang di perguruan tinggi harus diimplementasikan atau
diterapkan. Salah satunya adalah dengan cara-cara atau metode yang
ilmiah, yaitu melalui penelitian. Penelitian yang dilakukan di
perguruan tinggi bukan hanya akan mengembangkan dirinya sendiri,
tetapi juga memberikan banyak manfaat bagi kemajuan dan
kepentingan bangsa kita di dalam menyejahterakan bangsa
Indonesia. Selain dilakukan secara ilmiah, pengembangan diri juga
dilakukan secara akademis. Pergutuan tinggi hendaknya senantiasa
mengembangkan kemampuannya dalam hal bentuk softskill serta
kedewasaan yang berguna dalam menyelesaikan masalah yang ada.
Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus mengembangkan cara-cara
berpikir yang kritis terhadap segala fenomena yang ada serta mampu
mengkajinya secara ilmiah.
(3) Pengabdian pada Masyarakat
Dalam relasi kemasyarakatan, civitas akademika di perguruan
tinggi menempati lapisan yang kedua. Mereka mempunyai peran
untuk menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah.
Dunia perguruan tinggi merupakan elemen yang terdekat dengan
masyarakat yang diharpkan mampu memahami kondisi secara jelas
tentang kehidupan masyarakat tersebut. Kewajiban lain adalah
menjadi front line di dalam masyarakat yang bertugas untuk
mengkritisi kebijakan yang kurang tepat yang dibuat oleh
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
251 ProsIding
pemerintah terhadap rakyat. Pada tataran inilah pergiruan tinggi
memiliki peran untuk membela kepentingan masyarakat. Hal
tersebut tentu tidak dilakukan dengan jalan atau cara-cara kekerasan
serta aksi chaotic. Semuanya dijalankan dengan cara menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur pendidikan, mengkaji terlebih dahulu,
memahami, serta menyoalisasikan kepada masyarakat. Perguruan
tinggi merupakan tempat para ilmuwan yang memiliki strategi
mengenai permasalahan bangsa yang ada, sehingga keberadaannya
dapat membimbing atau membina masyarakat guna membantu
masalah-masalah yang dihadapi. Hal tersebut dapat dilakukan
sebagai bentuk pengabdian mereka kepada masyarakat.
Ketiga faktor di atas memiliki hubungan yang erat, karena
penelitian harus dilakukan dengan menjunjung tinggi kedua dharma
yang lain. Sehingga penelitian diperlukan di dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan serta penerapan teknologi. Untuk dapat
melakukan penelitian diperlukan adanya tenaga ahli yang dihasilkan
melalui proses pendidikan. Ilmu pengetahuan yang telah
dikembangkan sebagi salah satu hasil pendidikan dan penelitian
hendaknya digunakan melalui pengabdian pada masyarakat.
Sehingga masyarakat mampu memanfaatkan dan menikmati
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.
Upaya untuk mewujudkan peran Perguruan Tinggi di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui
beberapa usaha, salah satunya adalah kebebasan mimbar di kampus.
Kebebasan mimbar dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk
kegiatan ilmiah dalam kegiatan di Perguruan Tinggi. Hal ini guna
melatih atau mendidik kreatifitas mahasiswa yang selama
terabaikan. Selain itu, kebebasan mimbar ini diupayakan sebagai
salah satu usaha dalam merangsang kepekaan mahasiswa. Dalam
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
252 ProsIding
kehidupan kampus, pemanfaatan mimbar ilmiah dalam
meningkatkan kepekaan mahasiswa tidak terlepas dari karakter dan
fungsi Perguruan Tinggi itu sendiri dalam membentuk insan
akademik intelektual yang dapat mempertanggungjawabkan kualitas
keilmuannya dalam mengabdi kepada masyarakat. Sehingga dapat
diperoleh manfaat dari kegiatan mimbar ilmiah tersebut, yaitu untuk
merangsang kepekaan kualitas intelektual mahasiswa dan dosen
terhadap lingkungan sekitarnya. Keberadaan kebebasan mimbar ini
harus didukung oleh semua komponen yang ada Perguruan Tinggi,
utamanya oleh dosen, pimpinan perguruan tinggi, mahasiswa, serta
birokrat kampus sebagai pemegang kebijakan. Selain itu, kebebasan
mimbar juga harus didukung oleh kebebasan belajar dan kebebasan
berkomunikasi.
Mencermati keberadaan tridharma perguruan tinggi dapat
dikatakan bahwa kebedaan perguruan tinggi memiliki peran besar
dalam menjaga atau mewarisi proses berlangsungnya ilmu
pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kemudian,
untuk menghindari stagnasi ilmu pengetahuan yang berorientasi
pada tuntutan zaman, dalam proses berlangsungnya pewarisan ilmu
pengetahuan tersebut dibutuhkan pengembangan konsep atau teori
ke arah yang lebih baik. Usaha pengembangan teori atau konsep
tersebut dapat dilaksanakan secara sistematis dan melalui prosedur
ilmiah, yang disebut disebut penelitian.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa
Perguruan Tinggi mempunyai dua peran utama, yaitu sebagai
lembaga kajian dan lembaga layanan. Sebagai lembaga kajian,
Perguruan Tinggi mengembangkan ilmu sebagai sebuah proses.
Adapun sebagai lembaga layanan, Perguruan Tinggi menghasilkan
ilmu sebagai sebuah produk. Dalam keduaukannya sebagai lembaga
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
253 ProsIding
kajian dan lembaga layanan, Perguruan Tinggi berfungsi sebagai
konseptor, dinamisator, dan evaluator pembangunan masyarakat
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pada bagian akhir tulisan ini dapat dinyatakan bahwa kampus
sebagai tempat ilmuwan atau kaum intelektual, hendaknya tidak
hanya dijadikan tempat belajar mahasiswa semata-mata namun juga
dijadikan sarana pembelajaran yang efektif melalui pemecahan-
pemecahan masalah kehidupan yanaga ada. Pendidikan, penelitian,
dan pengabdian pada masyarakat diperlukan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi sehingga hasil penelitian
yang ada dapat fungional (berguna). Hal ini penting untuk
diperhatikan sebab penelitian yang ada telah dilakukan oleh tenaga
ahli yang dihasilkan melalui proses pendidikan. Oleh sebab itu, ilmu
pengetahuan yang dikembangkan sebagi hasil pendidikan dan
penelitian itu hendaknya diterapkan melalui pengabdian pada
masyarakat sehingga masyarakat dapat memanfaatkan dan
menikmati kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut. Ketiganya harus saling bersinergi agar pendidikan yang
dilakukan dan penelitian yang diperoleh dapat dimanfaatkan dengan
baik oleh masyarakat.
SEMINAR NASIONAL ISU-ISU KONTEMPORER DALAM UPAYA PENGUATAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
254 ProsIding
DAFTAR PUSTAKA
Chairuddin, Lubis P., 2004. “ Implementasi Tri Dharma Perguruan
Tinggi dalam Mendukung Disiplin Nasional”, Jurnal
Universitas Sumatera Utara.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Plagiat di Perguruan Tinggi.
Sulham, Najib, 2006. Pembangunan Karakter pada Anak,
Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif.
Surabaya: Intelektual Club.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi