lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...pendidikan-politik-yunani-untuk-masa-kini.pdf · (lagi), seorang...

52

Upload: hoangbao

Post on 12-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul
Page 2: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul
Page 3: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul
Page 4: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

PENDIDIKAN POLITIK YUNANI

UNTUK MASA KINI

PembinaIrsyad Ridho

Penanggung JawabRizal Syam

PemateriA. Setyo Wibowo

Penata LetakNu’man Nafis

Foto Setyosalihara.org/

Sampulwww.wallhere.com/

Aula Maftuchah, Universitas Negeri Jakarta

LEMBAGA KAJIAN MAHASISWAKampus A, Gedung G 305Universitas Negeri JakartaJl.Rawamangun Muka,Jakarta Timur 13220

WWW.LKMUNJ.ORG/

LKM UNJ

lkmunj

@dxk350lv

Page 5: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

DAFTAR ISI

Pengantar Kuliah Umum Lembaga Kajian Mahasiswa (5), Asal-Usul Demokrasi di Yunani: Pertaruhan Demokrasi di

Era Global (9), A. Setyo Wibowo (48).

Page 6: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul
Page 7: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

5

Pengantar Kuliah UmumLembaga Kajian Mahasiswa

Salam Literasi!

Lembaga Kajian Mahasiswa kali ini menghadirkan Kuliah Umum dengan tema Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini. Acara ini merupakan program unggulan setiap tahunnya yang diselenggarakan di kampus Universitas Negeri Jakarta.

Kuliah Umum, atau barat menyebutnya dengan Studium Generale, adalah sebuah tradisi khas kehidupan kampus-kampus di Eropa atau Amerika. Yang didalamnya membahas suatu wawasan atau gagasan yang dikembangkan sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman. Lembaga Kajian Mahasiswa menjadikan Kuliah Umum ini sebagai salah satu bentuk untuk merawat atau menjaga tradisi akademik kampus itu sendiri. Oleh karena itu, kami berusaha mendatangkan pemikir-pemikir dan narasumber berkualitas dan berintelektual tinggi yang sesuai bidangnya.

Pada tahun 2016, kami mendatangkan Bandung Mawardi, seorang Budayawan, kuncen di Bilik Literasi Solo, yang berkisah panjang lebar mengenai iklan-iklan dan godaannya pada kurun tempo dulu. Setahun kemudian, diawali dengan kegelisahan dengan maraknya hal negatif pada media sosial, kami juga menghadirkan beberapa narasumber yang memandang kejadian tersebut melalui kacamatanya, yaitu: Geger Riyanto, Ignatius Haryanto, dan Setyo Wibowo.

Page 8: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

6

Di tahun ini, yang banyak dikatakan sebagai tahun politik, membuat orang-orang disibukkan dengan pencarian dan penelusuran untuk memilih siapa yang pantas dipilih dalam pesta demokrasi. Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apa yang disebut dengan pesta demokrasi? Dan apa yang dikatakan dengan demokrasi?

Alkisah di Athena, di saat kegaduhan tentang masalah ekonomi dan kekerasan, muncul seorang aristokrat yang mengubah hukum lisan digantikan menjadi hukum tertulis. Barangkali kejadian tersebut menandai cikal-bakal terbentuknya demokrasi yang sedang digunakan di negeri ini. Demokrasi seakan pilihan terbaik dibanding sistem lainnya, Fasisme, Komunisme, atau Otorianisme. Meskipun demokrasi sendiri diakui bukanlah sistem yang paling sempurna.

Awalnya, negeri ini pun dibingungkan untuk menganut sistem demokrasi macam apa. Akan tetapi, negeri dengan segala kemajemukannya memilih demokrasi yang sesuai dengan kultur dan nilai luhur bangsanya, demokrasi yang cocok dan disesuaikan dengan karakter keindonesiannya, yakni demokrasi kekeluargaan berlandaskan permusyawaratan.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, alinea ini tercantum jelas dalam sila ke-4, yang menandakan bahwa kedaulatan berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan. Namun, Mahfud MD, pada Pidato Kebudayaan tahun 2012 menilai demokrasi di Indonesia hanya dirasakan oleh elit politik semata. “demokrasi kita hanya memberi ruang bagi rakyat sangat terbatas, yakni hanya pada momentum pemilu saat rakyat berada di balik suara di tempat pemungutan suara.” Tulis Mahfud.

Karenanya, untuk menjawab pertanyaan itu, Lembaga Kajian Mahasiswa dalam kesempatan Kuliah Umum kali ini menghadirkan Augustinus Setyo Wibowo (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul demokrasi. Dengan harapan dapat terjawab pertanyaan yang muncul akibat penasaran akan politik atau demokrasi sebelum memasuki ruang ini, kemudian diakhiri dengan timbul banyak pertanyaan-pertanyaan (lagi) ketika hendak keluar ruangan ini.

Page 9: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

7

Semoga acara tahunan ini dapat membantu kita semua untuk membuka cakrawala dan memperkaya penalaran seluruh civitas akademika sebagai peserta Kuliah Umum ini. Kiranya kalimat “saya berpikir, maka saya ada”, merupakan kalimat yang pas untuk kita sebagai makhuk pembelajar.

Akhir kata, atas nama Lembaga Kajian Mahasiswa, saya selaku ketua umum pengurus harian Lembaga Kajian Mahasiswa mengucapkan terimakasih kepada Romo Setyo Wibowo yang telah bersedia memenuhi undangan kami, dan tentunya tak lupa apresiasi juga kami haturkan kepada rekan-rekan, handai tolan, dan seluruh pendengar Kuliah Umum ini.

Sekian.

Rizal SyamKetua Umum Pengurus HarianLembaga Kajian Mahasiswa2018/2019

Page 10: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul
Page 11: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

9

I. Pengantar

I. A. Musuh-Musuh Demokrasi

Pesta demokrasi sudah dekat, ribuan caleg sibuk menyiapkan kampanye. Capres dan cawapres mulai bergerilya perang di darat maupun di udara (di medsos). Survey publik maupun survey internal digelar untuk menyambut pesta demokrasi 2019 mendatang.

Selain hingar bingar rutin demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia sejak 1998 (Reformasi), kita sekarang makin sadar dengan adanya tantangan rezim Khilafah yang diusung oleh kelompok-kelompok radikal (semisal HTI yang eksistensinya telah dilarang pemerintah RI sejak 2018 ini). Tantangan ini serius. Sejak era Orde Baru (1966) sampai sekarang, belum pernah ada gerakan seterbuka HTI yang terang-terangan menuduh sistem demokrasi sebagai thogut (atau thagut). Di mata HTI, mempercayai demokrasi artinya mempersekutukan Allah. Dan bagi mereka, menduakan Allah adalah tindakan yang tak bisa ditolerir. Dalam ingat saya, selama hampir 50 tahun ini, belum pernah ada gerakan seperti HTI yang terang-terangan hendak mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah. Bila melihat penetrasi gerakan HTI di kampus-kampus (dari level mahasiswa sampai profesor), serta pengaruh mereka di partai-partai politik serta ormas, kita layak menimbang dan belajar lagi “apa ide dasar demokrasi” itu?

Ada beberapa ironi dari gerakan HTI. Pertama, mereka menolak demokrasi dan menyebutnya sebagai sistem kafir. Namun, lucunya, mereka berlindung di balik dalih-dalih demokrasi (semisal kebebasan berpendapat, kebebasan berdemonstrasi, HAM) saat mempromosikan ide-ide mereka yang anti-demokrasi. Mirip kisah perang Troya, taktik HTI mirip dengan taktik tentara Yunani menggunakan Patung Kuda untuk menyusup dalam benteng kota Troya yang tak bisa mereka taklukkan selama 10 tahun. HTI menjadikan demokrasi sebagai ”kuda Troya” untuk menyusup ke dalam benteng NKRI guna menaklukannya, seperti yang dilakukan orang Yunani mengalahkan Troya. Kedua, mereka anti Pancasila, dan mengatakan bahwa Khilafah adalah sistem terbaik. Tetapi klaim ini apakah memiliki bukti? Di mana sistem Khilafah berjalan dengan baik? Di Kerajaan Ottoman-Turki abad 18? Yang dipraktekkan ISIS pada tahun 2014-2016? Kalau HTI mengklaim sebagai sistem terbaik, apakah ada buktinya? Padahal sebagai orang Indonesia

Asal Usul Demokrasi di Yunani:Pertaruhan Demokrasi di Era Global

Oleh :

A. Setyo WibowoDosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Page 12: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

10 kita telah mengalami bahwa Pancasila menopang eksistensi bangsa Indonesia yang multietnis dan multireligi. Pancasila adalah sebagai sistem unik yang defakto menopang NKRI selama 70 tahun terakhir. Apakah pengalaman berbangsa dan bernegara selama 70 tahun akan kita tukar begitu saja dengan janji-janji yang tidak ada buktinya?

Mungkin masih banyak hal lain lagi yang bisa didiskusikan berkenaan dengan sistem Khilafah. Dan inilah ironi terakhir: sejauh ini kita masih bisa berdebat dan berdiskusi berkat demokrasi. HTI bertahun-tahun membuat website, pengajian, ceramah dan menerbitkan berbagai hal yang menentang demokrasi. Para pendukung NKRI membantah dan menunjukkan argumen sebaliknya. Hukum lalu bekerja dan akhirnya melarang organisasi HTI (dan sampai saat ini tidak ada satu orang pun eks HTI yang dibunuh atau dipenjara. Yang dilarang idenya, bukan orangnya). Bayangkan bila saat ini Indonesia sudah memakai sistem khilafah HTI. Apakah mungkin dalam rezim Khilafah orang berbeda pendapat dan berdebat? Apakah mungkin orang non muslim berbicara dan mengeluarkan pendapat? Apakah mungkin orang muslim lain (yang berbeda aliran dengan HTI) memiliki hak bicara? Jawabannya sederhana: tidak mungkin. Begitu sistem Khilafah berdiri, yang hilang pertama kali adalah demokrasi (dengan sistem pemilu dan hukum yang berdasarkan HAM). Selamat tinggal kebebasan, selamat tinggal hak-hak asasi manusia, selamat tinggal diskusi dan debat.

Musuh demokrasi bukan hanya sistem Khilafah (atau Theokrasi). Banyak rezim-rezim totaliter yang menjadi musuh demokrasi: Fasisme (era Nazi Jerman dan Benitto Musolini di Italia), Komunisme (era USSR, Vietnam, Cina), Otoritarianisme (seperti Orde Baru zaman Suharto, rezim di Singapura, di Korea Utara, di Laos dan banyak tempat lainnya lagi).

Fokus kita saat ini hendak belajar mengenai demokrasi. Mengapa kita ingin mempertahankan demokrasi di negara multietnis dan multireligi yang telah ditopang kokoh oleh Pancasila? Ada baiknya kita melacak makna dan arti demokrasi yang berasal dari Athena. Harapannya, dengan belajar sejarah, dengan melihat segala kekurangan dan kelebihannya, kita bisa mengapresiasi sekaligus memperbaiki sistem demokrasi yang telah kita hidupi sejak 1998 ini. Demokrasi memang tidak pernah mengklaim diri sebagai rezim ideal. Ia hanyalah rezim yang paling kurang buruknya dibandingkan rezim-rezim lain (aristokrasi, oligarki, otoritarianisme, fasisme, komunisme).

I. B. Kilas Singkat sejarah Demokrasi di Athena

Sejak zaman polis (Negara/Kota) Athena abad 5 SM, demokrasi adalah sistem politik di mana pemerintahan berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Di zaman sekarang ini, salah satu ujud dari prinsip demokrasi tersebut adalah pergantian penguasa (legislator dan presiden) lewat pemilihan umum. Ujud lain yang tak boleh dilupakan di demokrasi era zaman sekarang adalah : hukum yang mengakui Hak-Hak Asasi Manusia.

Page 13: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

11

Para abad 6 SM (sekitar tahun 507 SM), pilihan Athena untuk memerintah dirinya sendiri sangat unik. Polis-polis lain – juga Imperium Besar di Timur (yaitu Persia) – memakai sistem aristokrasi (para keluarga bangsawan memerintah secara turun temurun). Lebih sering, polis diperintah dengan sistem oligarki (sekelompok kecil orang berpengaruh/kaya). Banyak juga polis yang dikendalikan oleh seorang tiran (istilah turannos merujuk pada satu orang yang merebut kekuasaan dan memerintah secara sendirian. Pada awalnya, istilah itu tidak selalu berarti negatif. Seorang turannos menggulingkan aristokrasi atau oligarki karena ia ingin memperjuangkan orang-orang miskin). Pilihan Athena menggunakan sistem demokrasi adalah pilihan unik. Tentu saja, dalam sejarah, pilihan ini tidak berumur panjang. Saat Philippos – raja Makedonia (ayah Alexander Agung) – menyerbu dan mengalahkan Athena, maka demokrasi Athena berakhir di sekitar tahun 320-an SM.

Page 14: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

12 Sistem unik di Athena berkembang dalam sejarah yang tidak linear. Pada awalnya, polis Athena diperintah sama seperti polis lainnya (secara aristokratis). Pada tahun 620 SM, muncul seorang archon (pemimpin dari kalangan aristokrat) bernama Drakon. Ia hendak menyelesaikan problem ekonomi dan kekerasan yang sulit dikendalikan saat itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Athena, hukum lisan (utamanya tentang « hukum darah ganti darah ») digantikan oleh Hukum Tertulis. Drakon dikenal sebagai Sang Legislator (The Lawgiver) pertama untuk Athena. Untuk pertama kalinya di Athena ada hukum tertulis untuk semua warga negara, dan orang diadili oleh sebuah lembaga yang menanganinya (Aeropagos). Hukum tertulis yang dibuat Drakon sedemikian keras, sehingga pencurian kubis pun ancamannya hukuman mati. Kita tidak tahu persisnya bagaimana hukum ini diterapkan, dan bagaimana orang Athena menaati atau melawan pasal-pasal draconian (yang sangat keras) ini.

Pada tahun 590-an, muncul seorang archon lain bernama Solon. Pada saat itu, hukum yang dibuat Drakon masih berlaku. Solon akan dikenang sebagai pendasar utama rezim demokrasi karena ia mereformasi hukum buatan Drakon menjadi lebih manusiawi. Banyak pasal diubah. Yang masih dipertahankan adalah soal « pasal pembunuhan » (yang tentu saja wajar kalau hukumannya adalah hukuman mati atau pembuangan). Solon meletakkan dasar penting untuk demokrasi Athena.

Demokrasi mengandaikan kebebasan dari warga negara yang setara, berkuasanya hukum, dan sistem pergantian penguasa secara reguler. Kebebasan (kemandirian) politis terkait erat dengan kemandirian ekonomis. Di Athena, kemandirian politis, ketika tiap warga negara secara politis setara dengan warga lainnya, adalah buah perjalanan evolusi teknik bertempur yang menjadikan orang Yunani begitu bangga menyebut dirinya bangsa yang bebas. Solon mempertegas evolusi ini dengan membuat hukum yang melarang perbudakan antara sesama warga Athena. Ia melihat bahwa warga negara yang kehilangan akses ekonomi dan menjadi budak tidak akan bisa menjalankan peran politisnya! Jasa besar Solon adalah menjaga kemandirian politis dan kemandirian ekonomis pada level individu tiap warga negara. Solon melembagakan kesetaraan politis dengan menciptakan Boule (semacam Dewan Rakyat) beranggotanan 400 orang (dari perwakilan 4 Suku di Athena), ia menciptakan Ekklesia (Majelis Umum untuk semua warga negara Athena) dan Heliaia (Majelis Peradilan Rakyat). Ia juga mempertahankan lembaga kuno yang sebelumnya sudah ada: Aeropagos (isinya tetua para mantan archon). Sistem yang diciptakan Solon menjadi landasan kokoh demokrasi di Athena.

Namun sejarah tidak berjalan secara lempeng. Sepeninggal Solon (meninggal 558), muncul seorang Tiran bernama Pisistratos. Dengan alasan membela kepentingan rakyat miskin, ia mengambil alih kekuasaan pada tahun 546 SM. Sepeninggal Pisistratos (ia meninggal 527 SM) – yang mendapat dukungan rakyat miskin – anak-anaknya tidak sebagus ayahnya dalam berpolitik. Kekuasaan anak-anaknya akan membuat masalah besar, sehingga muncullah figur demokrat baru bernama Cleisthenes (508/507 SM). Ia akan lebih memperkuat lagi basis institusionalisasi demokrasi yang telah dibuat oleh Solon.

Page 15: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

13

Cleisthenes melihat 4 suku tradisional yang ada di Athena (sejak era Solon) membuat ide kesetaraan dalam demokrasi tidak berjalan efektif. Perbedaan kekayaan tiap daerah yang ditempati keempat suku (wilayah pantai, kota, dan pedalaman) membuat demokrasi berjalan timpang. Suara politis mereka-mereka yang tinggal di daerah kaya (pantai) selalu lebih dihitung daripada mereka yang berasal dari daerah miskin (pedalaman). Jasa besar Clisthenes (penerus Solon) adalah membuat kesetaraan ekonomis dan politis ini efektif pada tingkat polis! Clisthenes memiliki ide genius untuk membagi “daerah pemilihan” secara murni politis! Ia tidak membagi dapil dengan mengikuti wilayah geografis kuno (empat suku), melainkan membuat sedemikian rupa sehingga tiap dapil memiliki sepertiga wilayah pedalaman, sepertiga wilayah kota dan sepertiga wilayah pantai. Merobak sistem kuno, Clisthenes menciptakan sepuluh suku yang baru sebagai pembentuk polis Athena. Revolusi ini memantapkan kesetaraan politis dan ekonomis yang menjadi landasan kokohnya rejim demokrasi di Athena.

Page 16: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

14 Namun sejarah tidak berjalan secara lempeng. Sepeninggal Solon (meninggal 558), muncul seorang Tiran bernama Pisistratos. Dengan alasan membela kepentingan rakyat miskin, ia mengambil alih kekuasaan pada tahun 546 SM. Sepeninggal Pisistratos (ia meninggal 527 SM) – yang mendapat dukungan rakyat miskin – anak-anaknya tidak sebagus ayahnya dalam berpolitik. Kekuasaan anak-anaknya akan membuat masalah besar, sehingga muncullah figur demokrat baru bernama Cleisthenes (508/507 SM). Ia akan lebih memperkuat lagi basis institusionalisasi demokrasi yang telah dibuat oleh Solon.

Cleisthenes melihat 4 suku tradisional yang ada di Athena (sejak era Solon) membuat ide kesetaraan dalam demokrasi tidak berjalan efektif. Perbedaan kekayaan tiap daerah yang ditempati keempat suku (wilayah pantai, kota, dan pedalaman) membuat demokrasi berjalan timpang. Suara politis mereka-mereka yang tinggal di daerah kaya (pantai) selalu lebih dihitung daripada mereka yang berasal dari daerah miskin (pedalaman). Jasa besar Clisthenes (penerus Solon) adalah membuat kesetaraan ekonomis dan politis ini efektif pada tingkat polis! Clisthenes memiliki ide genius untuk membagi “daerah pemilihan” secara murni politis! Ia tidak membagi dapil dengan mengikuti wilayah geografis kuno (empat suku), melainkan membuat sedemikian rupa sehingga tiap dapil memiliki sepertiga wilayah pedalaman, sepertiga wilayah kota dan sepertiga wilayah pantai. Merobak sistem kuno, Clisthenes menciptakan sepuluh suku yang baru sebagai pembentuk polis Athena. Revolusi ini memantapkan kesetaraan politis dan ekonomis yang menjadi landasan kokohnya rejim demokrasi di Athena.

Page 17: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

15

Baik Solon maupun Clisthenes memantapkan rejim demokrasi Athena dalam kerangka hukum yang kokoh. Warga negara setara, bebas dan berdaulat hanya bisa hidup dalam sebuah komunitas politis bila semuanya takut dan taat pada satu hal: hukum. Bagaimana mungkin orang-orang bebas bisa berkomunitas bila tidak ada sesuatu yang mengikatnya? Bila dalam rejim monarki orang bersatu dalam sebuah negara karena patuh pada satu penguasa, bila dalam oligarki rakyat patuh pada sekelompok kecil orang kaya, bila di barak militer anggota tentara elit patuh pada satu komandan, pada rejim demokrasi bukankah rakyat tidak mungkin patuh pada sesama rakyat yang sama-sama bebas? Demokrasi hanya berjalan bila sesama warga yang setara dan berdaulat sepakat untuk mentaati satu

Page 18: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

16 hal yang sama bagi semua yaitu konstitusi (politeia) atau hukum (nomos). Dalam artinya yang ketat, rejim demokratis memang rejim yang muncul sebagai perlawanan orang Yunani terhadap monarki dan oligarki. Dan justru karena itu demokrasi menjadi semacam anarki! Maksudnya? Sejauh demokrasi menyatakan bahwa semua (rakyat) berkuasa, maka ketika semua berkuasa artinya tak seorangpun sepenuhnya berkuasa. Kalau ada sesuatu yang dianggap sepenuhnya berkuasa dalam rejim demokrasi ia bukanlah seseorang melainkan sesuatu yang abstrak, yaitu hukum. Oleh karena itu jelas bahwa bila dalam rejim demokrasi hukum tidak dianggap serius, pintu ke anarkisme terbuka lebar.

Pengalaman Yunani mengajarkan tentang perlunya hukum dan kesetaraan efektif (dalam arti ekonomis dan politis) sehingga ketika kekuasaan digilir lewat undian, mereka yang terpilih memang bisa menjalankan perannya. Kita akan melihat langkah demi langkah bagaimana demokrasi muncul di Yunani. Bermula dari sistem kerajaan, beralih ke polis (yang ditengarai sebagai waktu kelahiran demokrasi), lembaga-lembaga demokratis di Athena, dan bagaimana ekses-ekses demokrasi membuat Platon dan Aristoteles mereaksinya.. An-arkhe (ketiadaan prinsip yang mengomando) adalah istilah yang muncul pertama kali dalam konteks militer (Jacqueline de Romilly, Problème de la démocratie grecque, hl. 120). Saat tentara tidak disiplin, tidak tahu aturan, tidak patuh lagi pada perintah komandan, di situlah anarki terjadi. Demokrasi menjadi anarkis ketika hukum dikacaubalaukan,ketika konstitusi dikalahkan oleh dekrit-dekrit dadakan yang divoting atas nama “kedaulatan rakyat”. Kritik-kritik Platon dan Aristoteles memang tidak didengarkan sampai Athena akhirnya diserbu raja Philippos dari Makedonia (anaknya terkenal bernama Iskandar Agung atau Alexander Agung). Ketika demokrasi menjadi kebebasan anarkis di mana semua merasa bisa menjadi apa saja, saat kompetensi dikalahkan suara terbanyak, dan ketika kepentingan bersama disabot kepentingan sempit mayoritas, maka ia sedang melemahkan bentengnya sendiri. Dalam pengalaman Athena, serbuan pihak luar hanyalah sentilan akhir yang meruntuhkan benteng keropos karena digerogoti massa rayap demokratis.

II. Berkaca pada Yunani

Kronologi singkat sejarah demokrasi dari era Yunani Kuno sampai zaman kita.

Page 19: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

17

II. A. Munculnya Polis

Demokrasi muncul di Yunani. Kata hê démokratía merujuk demos (rakyat) dan kratos, kratein (kekuatan/kekuasaan, berkuasa/memerintah). Istilah yang dipilih sejak awal memang démokratía, dan bukan “dem-arkhia” mengingat pada jaman itu para pemimpin deme sudah disebut demarkhos, dan mengingat dalam sistem demokrasi memang tidak ditekankan soal “arkhe” (sehingga demokrasi dekat dengan anarki) melain soal kratos (kekuasaan). Untuk

Page 20: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

18 menekankan bahwa memang demos (seluruh warga negara) yang berkuasa, maka rejim ini bernama demokrasi. Kalau ada “arkhe” dalam demokrasi, ia ditemukan pada hukum yang disepakati dan ditaati oleh demos. Kapan persisnya demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan sistem politik mulai muncul? Bisa dipastikan bahwa demokrasi muncul ketika polis mulai ada di Yunani. Polis (hê polis) merujuk pada masyarakat kota, dan sejauh setiap kota saat itu memiliki politeia (konstitusinya) maka bisa dikatakan bahwa polis adalah sebuah Negara-Kota (bdk. karya Platon di The Republic, III 343d; The Laws, II, 667 a; The Laws VI 766d dan Aristoteles, Politics I, 1,1).

Namun kapan dan bagaimana polis Yunani muncul? Penelusuran sejarah Yunani, dari jaman arkhaik (abad 8 SM-abad 6 SM) ke jaman klasik (abad 5 SM – abad 4 SM) sangat berguna untuk menengarai kapan sistem yang khas Yunani itu mulai muncul. Yang jelas, polis tidak muncul begitu saja dari kekosongan. Polis muncul sebagai buah evolusi di mana masyarakat di Yunani berkembang dari sistem kerajaan-kerajaan kecil menjadi sistem yang lebih mandiri di mana warga negara terlibat aktif dalam urusan politik kotanya.

Berkaca dari dokumen yang bisa ditafsirkan, yaitu kisah Illiad dan Odysseos, kita bisa melihat unsur-unsur sejarah yang bisa ditafsirkan bagaimana kira-kira polis muncul dari sebuah sistem kuno berbentuk oikos. Epos Illiad dan Odysseos sendiri tidak memberi informasi apa-apa tentang kemunculan polis. Namun kisah itu memberikan elemen untuk melihat bagaimana masyarakat arkhaik Yunani diatur, dan nantinya, berdasarkan penemuan-peneman arkeologis lainnya, mulai muncul perubahan dengan adanya organisasi politis yang sama sekali lain (munculnya polis pada abad ke-8 SM).

Latar dunia epos Odysseos adalah kisah para pahlawan yang bertempur demi kelangsungan hidup oikos-nya. Oikos yang artinya « rumah », adalah kumpulan orang-orang segaris keturunan dengan harta miliknya, sebuah kesatuan yang menjamin keamanan dan kebutuhan material sehari-hari orang yang bergabung di dalamnya (sebuah kesatuan ekonomis). Oikos merujuk juga pada aturan-aturan (sosial maupun religius) yang harus dihormati oleh orang-orang yang bersatu di dalamnya. Ikut dalam sebuah oikos artinya memiliki jaminan hidup tetapi juga berarti terikat dengan kewajiban-kewajiban tertentu, serta lebih penting lagi memberikan eksistensi pada seseorang.

Oikos adalah sebuah kesatuan yang mencukupi dirinya sendiri: di oikos bahan kebutuhan sehari-hari diproduksi, ditimbun dan menjadi kekayaan bersama. Dasar kekayaan sebuah oikos adalah kepemilikan tanah (untuk peternakan maupun pertanian). Banyak sedikitnya pemilikan tanah menjadi dasar hierarki antar oikos. Hasil tanah maupun hasil pertukangan yang berlebih akan ditimbun menjadi harta kekayaan oikos. Harta inilah yang dipakai oleh pemimpin oikos untuk tukar menukar hadiah dengan oikos lainnya guna memperkuat aliansi antar oikos atau antar anggota di dalam oikos

Di dalam oikos, orang terkuat yang menjadi pemimpinnya bernama basileus (raja). Basileus merujuk pada orang pertama di antara para aristoi (“orang-orang terbaik”, atau kaum aristokrat). Sebagai “orang pertama”, basileus harus selalu meneguhkan kekuatan

Page 21: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

19

kekuasaannya, karena sekali ia kalah maka salah satu aristoi akan mengambil alih. Kisah Ulysses raja Ithaca yang pergi selama 10 tahun menunjukkan bahwa sepulangnya ke Ithaca ia harus membunuh aristoi lainnya di dalam oikosnya supaya ia bisa kembali meneguhkan posisinya sebagai pemimpin oikos. Dengan demikian, yang namanya kekuasaan melekat pada pribadi basileus, dan ia mempraktikkan kekuasaannya lewat adu kekuatan dan lewat pembuktian kemampuan untuk memberikan kebutuhan material oikosnya.

Oleh karena itu, dalam sistem oikos seorang basileus memiliki hak-hak khusus: menjadi pemutus dan pemimpin perang, dan mendapatkan bagian paling besar dalam pembagian jarahan perang. Tentu saja, pada masa itu sudah ada semacam “dewan” yang bisa dipanggil sewaktu-waktu oleh basileus guna berkonsultasi. Tetapi pada umumnya dewan itu hanya formalitas belaka karena basileus bisa memutuskan apa pun yang ia percayai benar.

Nilai-nilai yang dikembangkan pada jaman epik adalah ethos kepahlawanan. Di dalam epos Illiad, Akhilles menjadi model kepahlawanan untuk Yunani sedangkan Hektor bagi kerajaan Troya. Nilai kepahlawanan yang dimaksud adalah, pertama, menjadi manusia yang hormat kepada para dewa dan taat menjalankan ritual-ritual bagi para dewa, serta, kedua, secara sosial namanya terus hidup dalam ingatan komunitasnya. Artinya, ia diingat sebagai prajurit yang gagah berani, sebagai basileus yang penuh perhatian pada oikosnya, tuan rumah yang ramah tamah, atau manusia yang bertempur secara ksatria. Namun, lebih dari itu semua, hal yang paling diingat adalah: keberanian dan harga diri. Hidup kekal (immortalitas) seorang pahlawan diraih ketika kisah keberanian dan harga dirinya tidak hilang dari ingatan oikosnya.

Bagaimana proses pergantian dari model oikos dengan basileus ke model polis di mana kekuasaan ada di tangan warga polis? Bagaimana persisnya sebuah polis sebagai entitas politik muncul?Tidak ada satu jawaban yang disepakati semua orang. Para ahli bersilang pendapat. Henri Van Effenterre (La cité grecque, 1985) memberikan tahun sangat awal: sekitar tahun 1700 SM (artinya pada jaman peradaban Minoan di pula Kreta). Sebaliknya, Ph. Manville (The Origins of Citizenship in Ancient Athens, 1990) memberikan tanggal sangat akhir. Menurutnya, polis baru benar-benar muncul ketika hak-hak kewarganegaraan menjadi pasti. Artinya ini sekitar abad ke-6 SM. Pada umumnya, diterima bahwa sebuah polis dikatakan benar-benar muncul ketika organisasi masyarakat tidak lagi dipimpin secara mutlak oleh satu orang raja (basileus) dan ketika masyarakat meneguhkan kedaulatan mereka lewat sebuah otoritas kolektif (Majelis, Dewan Peradilan, dll). Posisi paling besar yang dianut para ahli mengatakan bahwa kemunculan polis sudah dimulai sejak awal abad ke-8 SM (sejak periode homerik dengan oikosnya).

Sedangkan bagaimana persisnya perubahan dari oikos menjadi polis tidak ada satu pun orang yang bisa dengan persis mengatakannya. Harus diakui, kebanyakan ahli memproyeksikan pikiran mereka sendiri tentang asal usul negara ketika mereka berusaha merekonstruksi kemunculan polis ini. Jadi misalnya F. Engels (L’origine de la famille, de la propriété foncière et de l’état, 1884), setia pada tradisi marxis, melihat bahwa polis muncul ketika ada perubahan dasariah pada struktur-struktur ekonomis oikos.

Page 22: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

20 Teks eksplisit yang mengatakan adanya sebuah polis diperoleh dari sebuah prasasti di Dreros (di Kreta) yang mengatakan: “Polis sudah memutuskan …” . Prasasti dari pertengahan akhir abad 7 SM ini mengisahkan tentang putusan-putusan hukum yang mengatur pelaksanaan aturan-aturan di sebuah polis. Hanya bagaimana persisnya terjadi perubahan dari hubungan sosial khas oikos menjadi khas polis, kita sulit mendeskripsikannya. Toh, ada satu teori yang menjadi bahan perbincangan para ahli yang bisa dilihat sebagai kunci untuk melihat bagaimana perubahan sistem oikos homerik ke model polis: “revolusi hoplitik”. Pola perubahan diterangkan lewat evolusi sosial, yaitu perubahan taktik bertempur.

II. B. Revolusi Hoplitik

Epos homerik memperlihatkan dua macam cara bertempur: di satu sisi ada kumpulan rakyat (laos) yang berhadap-hadapan, dan di sisi lain ada pahlawan-pahlawan (dari Yunani dan dari Troya) yang berkereta kuda lalu turun dan berduel di hadapan mereka. Dokumen ini merupakan catatan tentang perubahan model bertempur individual dengan kereta perang (dari jaman micenean) ke model bertempur para hoplites dalam formasi phalangis (dari jaman mulai munculnya polis). Formasi phalangis adalah formasi pasukan tempur berbentuk segi empat di mana para prajurit saling berdempetan dan saling melindungi rekannya (sebagaimana tergambar di sebuah vas dari Korinthus dari abad ke-7 SM). Sementara hoplites adalah nama bagi prajurit Yunani yang bersenjatakan tameng bulat (hoplon) berdiameter 1 m, mengenakan topi dan penutup dada serta penutup paha dari besi sebagai alat perlindungan diri. Sebagai pelengkap, hoplites membawa tombak sepanjang 2-2,5 meter dan pedang pendek bermata satu yang berbentuk melengkung. Menurut penemuan arkeologis, alat-alat perang ini sudah ada sejak akhir abad ke-8 SM (sekitar 725 SM).

Sepertinya perubahan ke cara bertempur dengan memakai prajurit hoplites tidak terjadi dalam sekejap. Dan kalau melihat alat-alat perang individual yang dikenakan, tampaknya cara bertempurpun ikut berubah. Para hoplites harus berbaris rapi dalam formasi yang berdempet-dempetan dan berlapis-lapis membentuk segi empat. Tameng (hoplon) digunakan melindungi sisi kiri tubuhnya, sementara sisi kanan tubuhnya dilindungi oleh tameng prajurit sebelahnya. Formasi perang ini membutuhkan solidaritas dan disiplin yang luar biasa. Perang dengan demikian menjadi urusan bersama di mana keutamaan seorang prajurit bukan lagi pada heroisme individual melainkan dalam disiplin diri mempertahankan posisinya di dalam barisan.

Page 23: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

21

Kebanyakan ahli sejarah menafsirkan bahwa model bertempur yang baru ini dengan sendirinya mengubah kesadaran cara berelasi mereka pada hidup sosial sehari-hari. Berkat model bertempur phalangis, pola relasi para prajurit-warga, dalam situasi damai, berubah. Tetapi mana yang lebih dahulu: penemuan teknik baru bertempur yang mengubah hubungan sosial ataukah sebaliknya ? Tidak ada jawaban. Mengikuti opini Y. Garlan (La guerre dans l’antiquité, 1972), cara bertempur phalangis bisa dilihat sebagai penyebab dan konsekuensi dari perubahan-perubahan sosial yang membuat warga oikos yang semula berkedudukan anak buah menjadi warga yang setara dan tidak tergantung lagi pada keahlian beberapa pahlawan. Perubahan sosial ini disebut sebagai « revolusi hoplitik » karena mulai pada saat itulah kekuasaan dan keputusan tidak lagi dimonopoli para pahlawan (kaum aristoi dan basileus) tetapi oleh semua warga yang setara.

II. C. Contoh Athena

Secara umum kelahiran polis dengan sistem demokrasinya disituasikan pada abad 8 sebelum Masehi. Untuk kasus Athena, sejak awal abad ke-8 (akhir jaman Micenean), Athena sebagai sebuah kesatuan sudah muncul (kesaksian dari Illiade). Ia meliputi wilayah seluas 2600 km²: membentang ke pegunungan Parnassos (1.400m) sampai ke pantai di Marathon dan memiliki wilayah terbuka menghadap lautan Aegea. Bagaimana presisnya kesatuan wilayah ini terjadi, tidak satu pun orang yang bisa menerangkannya. Demikian juga untuk evolusi politik Athena, tidak ada kepastian bagaimana periode raja-raja lalu digantikan oleh oligarki aristokatis, dan kemudian berubah ke pemerintahan yang demokratis. Yang jelas mulai sekitar 682/681 SM, kekuasaan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama dibagi di antara 9 pejabat hukum (magistrat), 9 archontes (salah satu dari archontes ini masih menggunakan titel basileus) yang jabatannya diganti tiap 10 tahun, dan sebuah lembaga bernama Areopagos (yang beranggotakan mantan-mantan archontes dan dijabat seumur hidup). Sementara itu, penduduk Athena dibagi dalam 4 suku (dengan kepala sukunya disebut phylobasileus), dan tiap suku di bagi lagi menjadi 3 trittyes. Selain suku-suku tersebut, Athena juga masih memiliki keluarga-keluarga aristokratis (ada 60-an nama yang terkenal) yang membentuk kelompok sendiri. Dari keluarga-keluarga aristokratis inilah para archontes dipilih. Dari mereka juga para pejabat keagamaan diambil. Singkatnya, kekuasaan para keluarga aristokrat melingkupi hampir semua kehidupan polis.

Page 24: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

22 Keluarga-keluarga aristokrat saling bersaing untuk mengambil kekuasaan. Tahun 630 SM, Cylon (dari keluarga aristokrat), dibantu dengan beberapa keluarga lain, mengambil alih Akropolis. Ini tidak disetujui oleh keluarga aristokrat yang lain. Maka Megacles dari keluarga Alcmeonides akan mengepung dan membunuh mereka di Akropolis. Periode ini menunjukkan betapa saat itu keluarga aristokrat saling bertempur untuk bisa merebut kekuasaan dan menjadi tiran (penguasa tunggal). Tahun 620 SM, seorang bernama Drakon mencoba memulai membuat peraturan untuk kejahatan kriminal. Peraturan yang dia buat, meski kebanyakan sudah tidak kita ketahui lagi, sangat keras (dari situlah muncul istilah “hukum draconian” untuk mengatakan sebuah peraturan yang drastis dan tanpa ampun). Namun peraturan yang dibuat Drakon ini belum bisa disebut sebagai “konstitusi” (politeia) sebagaimana dibuat di Sparta oleh Lycurgos.

Selain dua nama (Cylon dan Drakon), Athena tidak banyak memiliki tokoh menarik pada periode itu. Athena banyak berperang dengan polis-polis sekitarnya. Dan baru pada awal abad ke-6 muncul tokoh yang akan banyak mengubah Athena: Solon.

II. D. Reformasi oleh Solon (594-593 SM)

Problem utama di berbagai polis adalah soal tanah. Selain fakta bahwa tanah yang subur tidak banyak, tanah tersebut umumnya dikuasai oleh sekelompok kecil aristoi. Problem ini yang mendorong Lycurgos membuat undang-undang di Sparta untuk mendistribusikan tanah secara baik. Tetapi kebanyakan polis lain tidak seberani Sparta sehingga krisis tanah pun menjadi-jadi. Ada banyak kasus tanah di Athena. Para petani kecil yang tidak memiliki banyak tanah tidak bisa memberi makan pada keluarganya. Mereka terpaksa berhutang kepada kaum aristoi (hutang in natura nantinya harus dibayar in natura juga pada periode panenan berikutnya). Bila tidak bisa mengembalikan, maka ia akan dimintai untuk memberikan seperenam/hetemores dari tiap panenan berikutnya kepada si penghutang. Namun bila hutangnya makin menumpuk, si petani akan menjadi budak si penghutang. Tanah tetap dimiliki petani (karena tanah tidak bisa diperjualbelikan di Athena) tetapi hasil tanah itu diambil semuanya oleh si pemberi hutang.

Page 25: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

23

Krisis antara petani kecil dan para aristokrat yang memegang bukan hanya hasil bumi tetapi juga seluruh peraturan mengenai hidup bersama membutuhkan pemecahan. Solon (yang terpilih sebagai archon Athena pada tahun 594-593 SM) akan membuat beberapa reformasi penting. Solon dikenang sebagai Legislator Athena. Ia membuat undang-undang baru: menghapuskan semua hutang, menghapuskan status budak yang muncul akibat sistem hutang tersebut (terkenal dengan istilah seisachteia, penghapusan/peringanan beban). Peraturan ini bersifat retroaktif, sehingga menjadi dasar penting bagi “kesetaraan” warga Athena yang akan mengokohkan demokrasi. Dan peraturan ini praktis melarang munculnya lagi perbudakan antar warga negara dengan alasan hutang ekonomis. Dengan Undang-Undang ini Solon menghilangkan ancaman perang saudara akibat ketimpangan ekonomi di antara warga negara Athena.

Setelah Solon, karakter Athena yang didominasi oleh keluarga-keluarga aristokratis masih berjalan. Lembaga-lembaga khas polis masih ada, tetapi akan diselingi oleh munculnya berapa tiran. Seorang tiran (turannos) umumnya berasal dari salah satu keluarga aristokrat. Awal mulanya ia menjadi pemimpin secara resmi, tetapi kemudian memperpanjang kekuasaannya secara ilegal. Seorang tiran akan menidurkan lembaga-lembaga di polis yang sudah ada (dewan, pengadilan) dan bisa jadi lalu memusuhi keluarga asalnya sendiri. Tirani muncul biasanya dari konflik tanpa ujung keluarga-keluarga aristokrat, ia juga bisa muncul ketika pemerintahan oligarkis mengalami kegagalan. Tiran selalu digambarkan secara negatif sejak abad ke-7 SM. Solon sendiri mengaitkan tirani dengan kekerasan yang kejam dan kenistaan. Sepeninggal Solon, ada tiga keluarga aristokrat yang akan berkuasa silih berganti: keluarga Eteoboutades (dari dataran rendah), keluarga Alcmeonides (dari pantai), dan satu tokoh dari keluarga yang berasal dari pegunungan adalah Pisistratos.

Page 26: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

24 II. E. Revolusi oleh Clisthenes (508-507 SM)

Perubahan besar terjadi ketika Clisthenes (dari salah satu keluarga aristokrat Alcmeonides) mengambil alih pemerintahan. Ia membuat reformasi penting yang akan menandai peralihan jaman arkhaik ke jaman klasik Yunani (periode abad 5-4 SM).

Bila reformasi yang dibuat Solon sudah menstabilkan kesetaraan ekonomis tiap individu warga negara (supaya kesetaraan politis tiap individu juga terjamin), maka Clisthenes akan melakukan sesuatu yang lebih besar. Sistem suku (dari mana perwakilan warga negara dipilih untuk menempati kursi di Dewan dan Majelis) masih memungkinkan adanya kesenjangan peran politik mengingat setiap suku memiliki kekayaan alam yang berbeda-beda. Suku-suku yang secara geografis tinggal di pantai selalu lebih kaya secara ekonomis. Oleh karenanya, meskipun jumlah wakil mereka sama dengan wakil yang dari pedalaman (daerah miskin), pressure politik mereka akan lebih unggul karena mereka lebih kaya. Clisthenes akan melakukan perombakan penting supaya kesetaraan bisa dirasakan pada tingkatan polis secara menyeluruh. Clisthenes mendefinisikan ulang pemilahan populasi di Athena, kebijakan ini akan mengubah peran institusi politis yang sudah ada dan bahkan menciptakan beberapa lembaga yang baru.

Suku-suku yang pada periode arkhaik terbagi menjadi 4 dipilah ulang oleh Clisthenes menjadi 10. Dan masing-masing suku ini beranggotakan orang-orang yang berasal dari 3 wilayah berbeda (sub-suku ini disebut: trittye): dari daerah pantai (Paralie), daerah pedalaman (Mesogee) dan dari daerah kota (Astu). Dan di tiap-tiap trittye (sub-suku) terdiri dari beberapa deme (sebuah desa atau kampung dengan ladang-ladang pertaniannya). Clisthenes dengan demikian melepaskan kaitan antara wilayah dengan suku-suku tradisional yang menguasainya. Dengan demikian struktur baru yang diberikan Clisthenes tidak lagi didasarkan pada identitas geografis (keluarga dan wilayah mereka), tetapi murni politis. Setiap warga negara kemudian harus tercatat di deme masing-masing.

Page 27: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

25

Dan berdasarkan deme, trittye dan suku inilah perwakilan-perwakilan akan diambil dan diundi untuk mengisi lembaga-lembaga demokrasi yang ada.

Sejak Clisthenes ada 10 suku (he phule) yang diciptakan di Athena (yang mana tiap suku memiliki 3 trittyes berasal dari daerah pantai, pedalaman dan kota). Jika deme adalah basis kewarganegaraan, maka di tingkat suku inilah warga negara mempraktekkan hak dan kewajiban politis mereka. Tiap suku dikepalai oleh triumvirat yang berasal dari 3 trittyes yang menyusunnya. Tugas utama triumvirat setiap tahun adalah menunjuk perwakilan-perwakilan yang diutus untuk duduk di badan legislatif, eksekutif, yudikatif dan militer polis (memilih 50 orang untuk dikirim menjadi anggota Boule dan 600 orang untuk menduduki peradilan rakyat, Helaia). Untuk keperluan pasukan infanteri Athena (yang memiliki 10 resimen) tiap suku mesti menyediakan 1 resimen dengan komandannya. Yang agak berbeda adalah pola rekrutmen angkatan laut Athena. Anggotanya diambil terutama dari kelompok thetes (kaum miskin), dan direkrut dengan sistem lama (jaman aristokrasi).

Trittye (ho trittus) sebenarnya hanya berarti « sepertiga » dari suku. Struktur intermedier ini gunanya untuk mengumpulkan para warga negara yang berasal dari deme yang berbeda-beda. Organ ini tidak memiliki kekuasaan territorial, juga tidak memiliki majelis tertentu. Bahkan tidak ada kepala trittye secara khusus. Secara politis sebenarnya sulit untuk mengerti kegunaan institusi intermedier ini.Total ada 30 trittyes, dan jika ada 139 deme, maka tiap trittye meliputi 4 atau 5 deme di dalamnya.

Deme (ho demos) adalah entitas demografis dan geografis mirip sebuah paroki atau kelurahan. Awalnya, deme merujuk pada keluarga-keluarga yang hidup di wilayah tertentu. Clisthenes membuatnya menjadi entitas administratif. Selama periode demokrasi, deme menjadi kesatuan administratif terkecil yang menjadi dasar kewarganegaraan karena untuk menjadi “warga negara” seseorang harus tercatat di sebuah deme. Lewat deme inilah diusulkan nama-nama warga yang akan menjadi anggota Boule (Dewan 500 orang). Karena tiap suku dibatasi hanya menunjuk 50 perwakilan, maka tergantung populasi tiap deme, ada deme yang memiliki satu wakil tetapi ada deme lainnya yang mungkin mengirim 10 orang. Pemimpin deme adalah demarkhos yang ditunjuk setiap tahun oleh warga deme. Jumlah deme di Athena bervariasi antara 100 sampai 139 tergantung kenaikan jumlah populasi.

Athena di bawah Clisthenes memiliki 10 suku dan 100 deme. Dan tiap tahun, setiap suku harus mengirimkan 50 orang (untuk menjadi anggota Boule, Dewan Rakyat yang berisi 500 anggota, dan 600 orang untuk mengisi Helaia (Pengadilan Rakyat yang anggotanya 6000 orang). Dengan sistem ini Clisthenes mengakhiri logika aristokrasi dan oligarki. Dengan menerapkan organisasi geometris dan penunjukkan perwakilan secara aritmetis, Clisthenes memulai sesuatu yang benar-benar radikal. Beragam teori diajukan untuk menjelaskan mengapa Clisthenes melakukan pembagian ulang seperti ini. Aristoteles menafsir bahwa sistem baru ini adalah untuk “mencampur” penduduk Athena dan dengan demikian mengurangi pengaruh kaum aristokrat lokal di masing-masing wilayahnya. Keputusan-keputusan tidak bisa lagi di bawah pengaruh mereka, karena suku di mana mereka berada beranggotakan juga orang-orang yang bertempat tinggal saling berjauhan (di pantai, di kota

Page 28: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

26

III. Lembaga-Lembaga Demokratis Athena

III. A. Demos

Demos, rakyat, istilah merujuk pada warga negara dan bukan seluruh populasi di Athena. Ini penting disadari mengingat demos hanya khusus ditujukan bagi mereka yang menjadi warga negara resmi Athena. Oleh karena itu istilah demos tidak memasukkan di dalamnya anak-anak, wanita, budak dan orang asing. Selain itu, demos tertutup bagi warga negara yang terkena atimia (kena “kutukan publik” sehingga kehilangan hak politis selama 10 tahun). Demos juga tertutup bagi warga negara pasif (yaitu para pengecut perang, para pelacur, para penghutang, mereka yang tidak menghormati orang tuanya, atau mereka yang menghancurkan kekayaan warisan orang tuanya). Para pengkhianat polis dan para konspirator yang melawan konstitusi (politeia) juga tidak boleh menjadi anggota demos. Singkatnya, demos hanya diisi oleh warga negara laki-laki di atas 18 tahun yang berkelakuan baik.

dan di pedalaman).

Sumbangan besar yang dibuat oleh Clisthenes adalah melembagakan isonomia (kesederajatan di depan nomos, hukum). Pembaharuan-pembaharuan dibuat supaya lembaga yang ada benar-benar demokratis, mencerminkan kekuasaan rakyat. Setelah dua kali peperangan melawan Persia di mana Athena keluar sebagai pemenang (490 dan 480 SM), periode pemerintahan Pericles (479-431) memperkokoh Athena sebagai rezim demokrasi.

Page 29: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

27

Status kewarganegaraan diperoleh setelah seorang anak laki-laki yang terlahir dari ayah warga Athena mencapai 18 tahun. Menjadi aturan umum bahwa kewarganegaraan hanya diperoleh lewat keturunan. Nantinya, pada tahun 451 SM, Perikles akan mengetatkan aturan ini dan hanya mereka yang lahir dari laki-laki warga negara Athena dan wanita yang dulunya anak seorang warga negara Athena yang bisa mendapatkan status kewarganegaraan. Artinya, anak yang lahir dari ayah orang Athena tetapi ibu “orang asing” tidak akan pernah diakui sebagai warga negara Athena. Untuk mendapatkan kewarganegaraan, selain faktor keturunan, seorang anak laki-laki harus didaftarkan ke deme tertentu. Si ayah membawa anaknya yang 18 tahun ke depan majelis deme, dan majelis ini yang akan melakukan pemeriksaan sebelum memutuskan keabsahan permintaan tersebut. Pendaftaran di deme ini menjadi syarat utama sebelum akhirnya seseorang terdaftar di tryttie dan di suku tertentu. Setelah terdaftar resmi, anak muda (ephebe) ini mesti masuk 2 tahun wajib militer. Hanya dengan cara begitu, anak laki-laki ini kemudia bisa masuk ke Ekklesia. Semua warga negara Athena adalah tentara sampai ia berusia 60 tahun. Setiap saat mereka bisa dipanggil untuk bertempur membela polis-nya.

Selain menjadi tentara, warga negara Athena juga wajib menjalankan kewajiban-kewajiban politisnya. Pertama, ia pasti menjadi anggota Ekklesia; dan kedua, lewat sistem undian, ia kemungkinan besar pasti terpilih menjadi anggota Boule. Selain kewajiban legislatif (merancang dan memutuskan Undang-Undang), seorang warga Athena juga kemungkinan besar terpilih menjalankan tugas eksekutif (entah menjadi anggota Perbendaharaan Negara, Badan Pekerjaan Umum, Pengawas Timbangan dan Ukuran, Penjaga Gudang Pangan, Pengawas Pelabuhan, dll). Karena fungsi-fungsi eksekutif ini dijalankan hanya selama setahun, maka besar kemungkinan tiap warga negara mendapatkan giliran menjalakannya. Selain fungsi legislatif dan eksekutif, tiap warga negara juga mesti siap menjalankan fungis yudikatif (menjadi anggota dewan yuri di Majelis Peradilan, Heliaia, yang untuk tiap sidang – tergantung jenis perkara – memerlukan minimal 200 yuri. Ada berbagai macam persidangan, sehingga dibutuhkan banyak anggota yuri).

Page 30: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

28 Kewarganegaraan di Athena tidak diperoleh lewat ius sanguinis atau ius solis, tetapi lewat kedua-duanya. Seperti tumbuhan yang hanya tumbuh dari tanahnya sendiri, konsep “autochtoni” (artinya berasal dari tanah yang sama) sangat kuat, dan diperkokoh lagi pada abad ke-5 SM oleh Perikles (451 SM). Dari autochtoni inilah muncul isogonia: kesamaan asal-usul kelahiran. Kesamaan asal usul kelahiran (isogonia) memberikan hak yang sama untuk menjadi warga negara Athena. Isogonia tidak berarti bahwa semua warga Athena harus « sama » ! Isogonia bahkan juga tidak menjamin bahwa semua warga negara Athena bisa mempraktekkan hak-hak politis yang sama mengingat warisan sistem sosial sebelumnya masih ada (aristokrasi darah, oligarki atas dasar kekayaan). Misalnya dalam menjalankan tugas pertahanan kota sebagai tentara (kavaleri, infanteri atau angkatan laut), setiap warga sudah ditentukan menjadi tentara macam apa seturut kelas sosialnya. Kaum kaya bisa membeli kuda dan alat tempur yang lengkap sehingga bisa menjadi pasukan kavaleri. Kaum thetes (orang miskin) otomatis tidak bisa menjadi anggota kavaleri karena hak dan kewajibannya terkait dengan kemampuan sumbangan finansialnya kepada polis. Artinya, kalau orang miskin tidak bisa menjadi kavaleri itu bukan karena mereka tidak berhak melainkan justru dibebaskan dari beban finansial yang tidak mungkin ia tanggung. Kaum thetes otomatis akan direkrut menjadi pendayung kapal-kapal (angkatan laut Athena). Orang yang tidak terlalu miskin, seperti Sokrates, mampu membeli tameng (hoplon) dan pedang sehingga bisa menjadi pasukan infanteri (hoplites). Dalam polis Yunani, setiap warga negara wajib membela pertahanan kota dengan biaya sendiri. Saat itu belum ada tentara profesional sebagaimana dikenal mulai era Napoleon (abad 18).

Yang pokok dari konsep isogonia adalah bahwa semua warga negara Athena mempunyai hak untuk berpartisipasi pada Ekklesia (mengeluarkan pendapat, mem-voting di Majelis Umum) dan memiliki kewajiban yang sama untuk diadili oleh hukum yang berlaku untuk semua warga negara. Di depan hukum (nomos), semua warga negara memiliki beban yang sama. Inilah yang dimaksud dengan konsep isonomia. Tiap warga memiliki hak dan beban yang sama untuk kelangsungan polis, dan terutama di depan hukum. Artinya, ia wajib menjalankan bagian yang menjadi tugasnya di institusi-institusi demokratis Athena. Aspek isonomia (kesederajatan di depan hukum) yang terpenting adalah rujukannya pada isokratia: masing-masing sebagai warga sedejarat dalam memerintah dan diperintah. Dalam pertemuan-pertemuan Ekklesia atau di Agora setiap warga memiliki jatah waktu berbicara yang sama (isegoria), bisa mengusulkan sebuah peraturan baru untuk didiskusikan, mengusulkan perdamaian atau peperangan, bahkan mengusulkan nama orang yang tidak disukai untuk dibuang dari polis selama 10 tahun (prosedur yang dinamai ostrakisme).

Status kesetaraan (isogonia, isonomia, isokratia, isegora) adalah status yang istimewa. Menjadi isotes (setara sebagai sesama warga negara) adalah sesuatu yang diinginkan dan dibanggakan oleh banyak orang mengingat Athena justru dipenuhi oleh mayoritas non-warga negara (budak, anak-anak, wanita, kaum pengecut, orang yang kena atimia, orang asing, dll).

Page 31: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

29

III. B. Boule

Istilah Boule bisa diterjemahkan dengan Dewan atau Dewan Limaratus. Clisthenes yang menetapkan jumlah anggotanya 500 (tiap suku mengirimkan 50 bouleutes). Tempat mereka berkumpul disebut Bouleuterion, letaknya di Agora. Dewan Limaratus adalah organ perwakilan yang praktis menjadi organ permanen pemerintahan sehari-hari. Ini berbeda dengan Ekklesia yang berkumpul hanya secara periodik. Dalam periode masa kerja satu tahun, anggota Dewan Limaratus praktis bekerja sepanjang tahun. Berbeda dengan demokrasi modern, para bouleutes ini bukanlah orang yang dipilih. Mengapa ? Karena siapa saja yang berusia di atas 30 tahun bisa diundi menjadi anggotanya. Itu makanya, para bouleutes tidak dianggap sebagai kelas elit tersendiri. Semua warga negara entah kaya atau miskin, dari profesi apa pun, bisa menjadi anggota Dewan. Dalam hal ini prinsip isonomia, isogonia, isokratia dan isegoria sangat dijaga. Clisthenes juga mengintrodusir sumpah bagi anggota Boule untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan terutama berjanji untuk mencegah kembalinya setiap bentuk tirani.

Page 32: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

30 Berbeda dengan Ekklesia yang berfungsi secara periodik, sepertiga anggota Boule bekerja keras siang malam selama 1 prytanie (kurang lebih 36 hari). Berkumpul di Tholos (sebuah gedung bundar di depan Bouleuterion), secara bergiliran anggota-anggota Boule menjalankan fungsi yang terus menerus mengawasi jalannya pemerintahan selama 1 prytanie: mengawasi para petugas-petugas yang ditunjuk, mengawasi dan mengadili adanya pelanggaran korupsi, memeriksa kesiapan pasukan dan kapal, bekerja dengan berbagai komisi yang berfungsi (misalnya yang mengurus kontrak-kontrak publik, pertambangan, mengurusi urusan penyitaan harta benda). Boule juga mengawasi proses pemilihan para Jendral (pemimpin) yang diambil dari tiap suku. Pemilihan ini biasanya dilakukan dengan voting secara langsung (dengan mengangkat tangan). Fungsi utama Boule adalah menyiapkan rancangan undang-undang, peraturan atau dekrit yang akan di-voting di Ekklesia

III. C. Ekklesia

Istilah Ekklesia bisa diterjemahkan sebagai Majelis Umum di mana semua warga negara bisa menghadirinya secara langsung (untuk kasus-kasus penting, batas kuorum ditentukan 6000 orang). Ekklesia adalah sebuah badan konstitusional, yang memiliki aturan main sendiri, dan memiliki kalender pertemuan yang sudah ditetapkan. Ekklesia bukanlah kumpul-kumpul spontan warga negara. Demokrasi Athena adalah sebuah demokrasi langsung, dan dalam sistem ini, Dewan Limaratus (Boule) tidak memiliki kekuasaan legislatif secara riil. Dewan bisa mengusulkan atau mengagendakan sebuah rancangan hukum, tetapi tidak berhak mem-voting hukum tersebut. Diskusi hukum dan voting adalah hak khusus Ekklesia, sebuah instansi demokratis par excellence di mana suara tiap warga (siapa pun) dilembagakan, di mana lewatnya tiap warga terlibat dengan nasib polis yang adalah nasib mereka sendiri juga. Di Ekklesia warga negara memiliki ruang untuk berdiskusi dan mengambil keputusan untuk masalah-masalah yang sedang hangat di polis: soal pertahanan kota, soal ketersediaan candangan pangan, menerima duta dari negara lain, memutuskan peperangan atau perdamaian, dll.

Pertemuan di Ekklesia dimulai pagi hari. Para warga negara yang kebanyakan berkumpul di Agora akan dihela naik ke atas ke bukit Pnyx (yang ada di seberang Akropolis) oleh para budak yang membawa tali panjang yang basah dengan cat merah. Bila ada warga negara malas bergerak, jubah pakaian mereka akan terkena cat merah. Warga negara yang malas atau mengelak dari tugas di Ekklesia akan dikenai denda.

Page 33: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

31

Selain tugas legislatif seperti di atas, setahun sekali Ekklesia akan mengambil keputusan mengenai perlu tidaknya melakukan Ostrakisme. Selain undang-undang yang membolehkan orang Athena untuk membunuh siapa pun yang mendeklarasikan diri sebagai Tiran, para warga negara Athena yang demokratis juga memiliki mekanisme Ostrakisme untuk menyingkirkan siapa saja yang mereka anggap memiliki potensi membahayakan demokrasi. Bila dari kuorum 6000 warga ditemukan suara mayoritas untuk melakukan Ostrakisme, maka kemudian ditentukan kapan Ostrakisme hendak dijalankan. Sesuai kesepakatan, pada hari itu, tiap warga negara berkumpul di Agora, lalu menuliskan nama orang yang hendak mereka hukum di sebuah genteng (ostrakon). Bila ada lebih dari 6000 suara yang menghendaki seseorang dikenai Ostrakisme, maka orang itu akan dibuang selama 10 tahun keluar dari Athena. Prosedur yang bagus untuk menjaga demokrasi ini pada kenyataannya berubah menjadi “permainan politik” antara faksi untuk saling menyingkirkan saingan

Page 34: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

32

Tidak boleh dilupakan bahwa Ekklesia ini juga sebuah ruang eksklusif karena hanya warga negara yang boleh mengikutinya (mayoritas populasi di Athena seperti anak-anak, perempuan, orang asing, budak tidak berhak mengikuti sessi-sessi Ekklesia). Tempat pertemuannya juga khusus, di Pnyx (yang berati « tempat orang-orang banyak berdesak-desakan »). Pada abad ke-5 SM, pertemuan Ekklesia dilakukan hanya 10 kali setahun (pada setiap prytanie, atau tiap 36 hari), tetapi pada abad ke-4 SM Ekklesia bertemu 40 kali dalam setahun (empat kali dalam satu prytanie,atau tiap 9 hari). Apakah semua warga negara selalu hadir di Ekklesia? Bagaimana dengan mereka yang tinggal jauh dari Athena (penduduk di pantai Sounion, 70 km dari Athena, atau di Marathon, 40 km dari Athena) ? Bisa jadi mereka sulit untuk rutin hadir, tetapi bisa jadi juga mereka datang karena toh ada banyak urusan di kota Athena.

Page 35: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

33

Di Athena para warga negara kebanyakan yang memiliki pekerjaan normal sebagai petani, nelayan, atau tukang-tukang. Dengan banyaknya sessi pertemuan, bukankah mereka lalu tidak bisa bekerja untuk penghidupan mereka? Pertama, kebanyakan warga negara memiliki budak, artinya pekerjaan-pekerjaan kasar dan subsistensi ekonomis dijamin oleh para budak. Kedua, bagi warga thetes (yang miskin), akhirnya diputuskan untuk memberikan uang imbalan bila mereka menghadiri Ekklesia. Pemberian uang imbalan (misthos), mulai dilembagakan pada abad ke-5 SM oleh Perikles. Pada awalnya imbalan ini hanya untuk anggota Boule dan anggota Heliaia. Pada abad ke-4 SM misthos akhirnya juga diberikan kepada siapa saja yang menghadiri Ekklesia. Dengan demikian ada 3 macam misthos: misthos bouleutikos, misthos heliastikos, misthos ekklesiastikos. Jumlah uang yang diberikan bervariasi mulai 1 obole, 2, 3, 6 oboles (atau 1 drachma) bahkan sampai 9 oboles pada jaman Aristoteles. Banyak atau sedikitkah? Yang jelas dengan 5 oboles orang bisa hidup satu hari memenuhi kebutuhan minimum keluarganya. Banyak penulis kuno (Aristophanes, Platon, Aristoteles) mengritik sistem bayaran ini (terutama misthos ekklesiastikos). Ekklesia dipenuhi orang-orang miskin, kata mereka. Selain itu, ada juga imbalan uang yang diberikan untuk orang yang menghadiri perayaan-perayaan religius atau sipil (misalnya perayaan di teater Dionysos): theorikon.

Dari mana uang polis untuk membayar semua itu? Pada abad ke-6 SM dan awal abad ke-5 SM, tambang-tambang perak di Laurion menghasilkan cukup banyak uang bagi Athena. Setelah kemenangan dalam perang pertama melawan Persia, Athena membentuk Liga Delos (federasi seratus lebih polis di bawah hegemoni Athena). Uang pajak dari anggota Liga Delos ini memberi pemasukan cukup banyak dana kepada Perikles. Namun situasi akan berubah setelah perang Pelopponessos (perang saudara antara federasi polis di bawah pimpinan Athena melawan federasi polis di bawah pimpinan Sparta), di mana bukan hanya kalah, Athena juga kehilangan polis-polis yang selama ini menopang keuangannya.

Di luar pendapatan yang besar di atas, pada umumnya pembiayaan polis Athena ditanggung oleh warga polis sendiri. Ada pajak tahunan, eisphora; pajak yang dikenakan pada situasi khusus dan ditujukan terutama kepada warga negara yang kaya, proeisphora; pemasukan uang dari orang-orang kaya pada kesempatan (leitourgia) a) pendanaan pesta-pesta religius dan teatral (disebut khoregia), b) pendanaan untuk memelihara armada laut (trierarkhia), c) juga ada gimnasiarkhia dana yang diberikan untuk untuk memelihara gymnasium/tempat berlatih dan untuk perlombaan-perlombaan athletik.

III. D. Helaia

Helaia adalah Peradilan Rakyat yang selain menjadi tempat pengadilan juga memiliki fungsi politis. Hanya warga negara yang berhak menjadi anggotanya. Tiap tahun diundi 6000 heliastes, artinya tiap suku mesti mengirimkan 600 warga negaranya. Karena di Helaia ada 10 macam pengadilan (dikasteria), maka tiap dikasteria diisi 600 orang (atau 60 per suku). Tergantung kasus yang dihadapi, kadang satu dikasteria diisi sampai 2000 orang. Dan tiap hari para heliastes wajib hadir di salah satu pengadilan yang ada. Jika Ekklesia sedang berkumpul, maka tidak ada pertemuan di Helaia. Demikian juga mereka

Page 36: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

34 libur pada hari-hari pesta atau ketika ada bencana. Aristophanes dan Aristoteles dengan ironis menceritakan bahwa Helaia ini dipenuhi oleh kaum miskin (karena mereka tertarik dengan misthos heliastikos, imbalan harian menjadi heliastes). Tampaknya itu tidak benar, karena penemuan arkeologis (kepingan-kepingan potongan nama anggota heliastes yang harus dikenakan pada tiap saat mereka masuk ke pengadilan) membuktikan bahwa ada banyak pula warga kelas menengah yang meminati helaia ini. Berbeda dengan pengambilan keputusan secara terbuka di Ekklesia (voting dengan mengangkat tangan secara terbuka, cheirotonia), di Helaia keputusan diambil secara rahasia (caranya dengan menaruh batu kecil atau kepingan batu, psephos, ke dalam kotak suara). Prosedur ini diperkokoh pada abad ke-4 SM supaya para heliastes terhindarkan dari tekanan kolektif dalam menyatakan putusan pribadinya.

Sistem pengadilan di Athena adalah sistem di mana warga negara anggota pengadilan menjadi juri (metode “juri rakyat”). Sebagaimana tampak dalam pengadilan terhadap Sokrates, peran hakim hanyalah menjadi moderator. Hakim hanya mengatur supaya warga negara yang dituduh (Sokrates) bisa membuat pembelaannya di muka “juri rakyat” (anggota Helaia), dan para penuduh bisa membuktikan apa-apa yang mereka tuduhkan. Masing-masing mendapatkan waktu bicara yang sudah ditentukan dengan klepsydra (alat bantu mengukur waktu berbentuk seperti kendi yang ada pancurannya di bawah). Panjang pendeknya waktu berbicara biasanya ditentukan oleh penting tidaknya sebuah perkara. Untuk kasus-kasus yang nilainya di bawah 5000 drachma, waktu berbicara yang diberikan hanyalah 2 klepsydra (kurang lebih 6 menit). Di sinilah letak penting kemampuan retorika, kemampuan menyusun wacana argumentatif yang panjang lebar untuk meyakinkan publik (juri rakyat yang hadir). Setelah menimbang mana argumen yang lebih meyakinkan, juri rakyat akan memasukkan suara mereka ke kotak suara untuk memenangkan salah satu pihak.

Yang menarik dari lembaga-lembaga demokrasi di abad ke-5 SM dan ke-4 SM di Athena adalah: adanya akses yang besar bagi semua warga untuk terlibat menjadi pelakunya, sistem undian, dan rotasi kekuasaan yang cepat. Hal ini mengandaikan bahwa fungsi politis adalah fungsi yang biasa yang sama sekali tidak membutuhkan spesialisasi khusus. Selain itu, fungsi kontrol juga ada di mana-mana: dokimasia (prosedur untuk memverifikasi apakah seorang warga negara memenuhi syarat umur, menghormati kultus agama keluarganya, tidak dalam status hukuman, dll), laporan keuangan, ostrakisme, dan tentu saja hukuman bila ia melanggar tugasnya. Demos memperkokoh posisinya lewat sistem kontrol ini. Ostrakisme adalah sebuah prosedur pengusiran seorang warga negara lewat pemungutan suara secara rahasia di Ekklesia. Dengan menggunakan ostrakon (lempengan keramik untuk ditulisi), para warga negara mengusulkan nama orang-orang yang akan dikutuk dengan atimia (dikenai “kutukan publik”, dihapus hak-hak politisnya dan dibuang keluar dari polis selama 10 tahun). Setahun sekali, rakyat berkumpul, dan dengan cara mengangkat tangan secara terbuka akan menentukan apakah tahun ini akan ada prosedur ostrakisme atau tidak. Bila iya, dan kuorum 6000 warga negara terpenuhi, maka pemungutan secara rahasia akan dilakukan. Prosedur radikal, dan kadang tidak adil ini (karena orang-orang berkualitas seperti Miltiades dan Themistocles juga terkena prosedur ini), hanya menunjukkan betapa

Page 37: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

35

kekuasaan demos makin penting dalam institusionalisasi demokrasi di Athena. Besarnya kekuasaan demos juga diperlihatkan dengan dikuranginya wewenang Areopagos (sebuah Majelis Sesepuh peninggalan dari jaman arkhaik yang beranggotakan semua mantan archontes). Ephialtes adalah tokoh yang membuat aturan yang membuat pengaruh politis kaum aristokrat lewat Areopagos berhenti. Kecuali kekuasaan dalam hal religius, semua kekuasaan hukum dan yuridis Areopagos dipindahkan kepada Boule (Dewan Limaratus) dan Helaia (Peradilan Rakyat).

Sebagai catatan tambahan, meski semua institusi terbuka untuk seluruh warga negara, selain masih adanya Areopagos (yang hanya terdiri dari kaum aristokrat), Athena juga masih meneruskan beberapa institusi yang berasal dari jaman aristokratis. Beberapa profesi seperti archontes (ada 9 dengan 1 sekretaris), meski dipilih secara acak (undian), toh selalu hanya berasal dari warga negara dari kelas sosial paling kaya (pentacosiomedimnoi dan hippeis). Baru mulai tahun 458-457 SM kaum zeugites (warga yang hanya memiliki sepasang ternak) bisa juga dipilih. Demikian juga, kaum strategos (pemimpin perang) yang jumlahnya 10 (setiap suku memiliki satu) selalu dipilih dari mereka-mereka yang paling kaya. Pada perkembangannya, di abad ke-4 SM, strategos bisa dipilih tanpa mempertimbangkan sukunya. Apa artinya semua ini? Athena tetap berhadapan dengan kenyataan riil bahwa demokrasi memang terutama memberi kesempatan luas kepada orang-orang yang secara ekonomis berlebih, yang memiliki waktu senggang lebih banyak untuk berpolitik.

Page 38: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

36 IV. Catatan Akhir

Munculnya demokrasi di Yunani ditengarai bersamaan dengan munculnya polis, kira-kira pada abad 8 SM. Rekonstruksi yang dibuat juga tidak bisa begitu presis, karena diperkirakan ada semacam evolusi peradaban yang pelan-pelan beranjak dari sistem tiranik ke demokratis. Kalau ada satu teori untuk menggambarkannya, barangkali “revolusi hoplitik” bisa menjadi hipotesa menggambarkan munculnya kesadaran yang demokratis di antara warga negara yang setara. Itu pun bukan demokrasi dalam arti modern yang didasarkan pada ide tentang kesamaan kodrat manusia. Demokrasi Athena bersifat eksklusif (hanya untuk siapa yang menjadi warga negara), sementara mayoritas populasi yang bukan warga negara harus tunduk pada demos. Sisa-sisa tradisi aristokratis (keturunan darah) dan oligarkis (kekayaan) pun tidak pernah hilang begitu saja dalam praktek demokrasi di Athena.

Setiap warga negara Athena adalah sekaligus idiotes (individu) dan polites (warga polis). Ia memiliki urusan polis yang cukup menyita waktunya: mengikuti pertemuan di Ekklesia (bisa tiap 9 hari sekali), dan kalau ia terpilih menjadi anggota Dewan Limaratus ia juga harus sepanjang hari bekerja di Dewan yang siang malam memikirkan masalah-masalah polis. Warga negara tidak hanya menjalankan kekuasaan legislatif dan eksekutif, terkadang mereka juga harus menjadi yuri dalam sidang-sidang pengadilan yang digelar. Demikian pula untuk urusan agama, para warga negara juga bisa terpilih (lewat undian) untuk mengimami upacara-upacara keagamaan polis. Agama bukanlah urusan privat. Agama adalah urusan polis. Belum lagi kewajiban mempertahankan kota, yang menuntut mereka ikut bertempur dengan biaya sendiri.

Sekali lagi, yang dinamakan demos hanyalah sebagian kecil dari populasi polis Athena. Lagi pula di antara para warga setara itu praktis yang bisa sungguh-sungguh berpolitik adalah mereka-mereka yang secara ekonomis cukup mapan sehingga mampu meluangkan waktu untuk ke Agora. Orang bisa berpolitik sepenuhnya karena urusan perut (ekonomis) sudah tertangani dengan baik. Namun di Athena agak rumit, karena banyak orang miskin di polis ini. Akibatnya, kesediaan hadir para warga di Ekklesia tidak selalu murni karena mau berpolitik, melainkan sekedar mau mencari biaya tambahan (misthos).

Jadi, kalau kita mau berhandai-handai dengan teori modern yang membedakan ruang privat (oikos, ekonomi) dan ruang publik (Agora, politik), kita bisa belajar bahwa aktivitas politik (yang ditandai oleh isogonia, isonomia, isokratia, dan isegoria) di mana warga setara berdiskusi secara bebas memutuskan kepentingan bersama hanya dimungkinkan apabila urusan ekonomis (kebutuhan niscaya akan pangan, sandang dan papan) telah mapan.

Di soal ini kita berhadapan dengan dua ironi. Di satu sisi, kemapanan ekonomis para warga negara kaya di polis umumnya adalah berkat pekerjaan mayoritas penduduk yang tidak dianggap warga negara (wanita dan kaum budak). Beresnya urusan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari kaum “equals” adalah berkat hadirnya kaum “unequals”. Kesadaran modern kita dengan ironis melihat bahwa kebebasan politik sebagian kecil manusia yang

Page 39: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

37

hidup di polis (yang disebut warga negara) mensyaratkan adanya wanita, budak, orang asing dan anak-anak yang jumlahnya justru mayoritas dalam polis.

Di sisi lain, dalam soal kemapanan ekonomi ini, ternyata di Athena pun tidak banyak warga negara yang sungguh-sungguh bisa berpolitik. Bagi warga negara yang miskin (kaum zeugites dan thetes), aktivitas politik justru dijadikan aktivitas ekonomis (menjadi mata pencaharian untuk hidup). Agora yang semua diidealkan sebagai pasar sirkulasi bebas ide-ide berubah menjadi pasar tempat mencari uang. Rasanya problem ini juga aktual di negeri kita. Pada mulanya orang berpolitik mungkin karena butuh “second life” (setelah pensiun dari militer atau setelah seorang artis tidak laku lagi di layar kaca), tetapi lama-kelamaan keserakahan akan harta membuat orang menikmati hidup berpolitik. Berkaca pada pengalaman Yunani, ada bahaya bahwa bila demokrasi menjadi sekedar ajang mencari duit tanpa peduli hukum dan etika, kita sedang membunuh demokrasi kita sendiri (bdk. Suara Pembaharuan 17 Mei 2013, hl. 5, « Demokrasi Menuju Bunuh Diri : Perilaku Politisi Jauh dari Etika Politik » ).

V. Kritik atas Demokrasi

Dalam sejarah demokrasi ide tentang otonomi pemerintahan oleh rakyat serta supremasi politik – dengan kuasa kata-katanya di Agora – menjadikan demokrasi Athena selalu dikenang. Salah satu ciri demokrasi di Athena adalah kedaulatan mutlak warga negara sebagaimana tampak dalam pertemuan di Majelis Umum (Ekklesia). Keputusan-keputusan penting mengenai polis Athena relasinya dengan polis lain, keuangan dan keagamaan (yang menjadi bagian sangat penting dalam politik) diambil secara langsung di Ekklesia. Kata

Page 40: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

38 demos yang awalnya berarti rakyat, berubah menjadi Majelis dan akhirnya menjadi rejim pemerintahan. Meskipun begitu, kekuasaan warga negara yang berkumpul di Ekklesia juga terbatas! Batasnya adalah konstitusi (politeia) yang disepakati bersama sebagai landasan keberadaan polis. Konstitusi ini muncul dari perkembangan sejarah politik Athena, sehingga dianggap sangat penting. Dalam demokrasi yang makin radikal, kekuasaan warga negara di Ekklesia akan kebablasan sehingga produk undang-undang yang divoting secara aklamasi justru melawan konstitusi. Platon akan menunjukkan kritik tajamnya atas demagogi rakyat yang menjungkirbalikkan tatanan dengan munculnya dekrit-dekrit yang melawan konstitusi. Inilah penyakit politik! Ia selalu cenderung memperbesar kekuasaannya sendiri melampaui apa yang semula menjadi batas arena permainannya. Kekuasaan politis rakyat berubah menjadi merajanya massa rakyat, otonomi warga negara menggelembung menjadikan mereka tiran-tiran kecil. Demokrasi mengandungi paradoks: sistem ini bila diradikalkan justru akan membawa masyarakat mundur ke jaman pra-demokratis (jaman ketika yang berkuasa bukan hukum tetapi kekuatan okol khas hukum rimba).

Kemungkinan munculnya anarkisme disebabkan oleh ciri lain dari demokrasi yang dipertunjukkan oleh Athena yaitu: kebebasan dan kesetaraan. Kebebasan berarti independensi warga negara secara yuridis dan politis. Dibandingkan dengan nasib para budak yang tergantung pada pemiliknya, atau wanita dan anak-anak yang dianggap harta milik, maka warga negara yang bebas adalah manusia yang membuat hukum bagi dirinya sendiri sehingga bisa memilih jenis hidup yang ia kehendaki. Pada tingkat privat, ia bisa melakukan apa pun yang ia kehendaki. Namun pada tingkat di luar rumah, kebebasan ini menjadi bersifat politis dalam arti “bebas untuk ikut memerintah dan bebas untuk diperintah”. Mampu menunjukkan diri sebagai anggota warga yang baik maupun berpartisipasi aktif sebagai bagian pemerintahan adalah ciri seorang warga negara yang bebas.

Beberapa pemikir klasik mengritik dengan keras premis utama demokrasi: kebebasan akan melahirkan anarki yang pada gilirannya menghancurkan komunitas politis. Platon mengembangkan secara sistematis kritiknya terhadap demokrasi di The Republic. Demokrasi senyatanya hanya menjadi ajang kekuasaan para sofis (The Republic, VI 492b) yang tidak bertanggungjawab dan hanya menyetir massa rakyat dengan “senang atau tidak senang”. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang karut marut, bebas kebablasan, di mana kelas-kelas sosial saling bertempur tanpa henti (bdk. The Republic, buku VIII 555b-558c). Saat tidak mau lagi menerima “aturan atau paksaan apa pun dalam hidupnya” (The Republic VIII 561d), manusia demokratis yang hanya mencari apa yang menyenangkan bagi dirinya sendiri akan jatuh dalam “kebebasan yang kebabalasan” yang tidak lain adalah “perbudakan tanpa batas” (The Republic 564a; Letter VIII 354d; The Laws III 699e).

Prinsip kebebasan artinya ketika tiap warga bebas dan tidak tunduk pada kesewenang-wenangan warga lain. Dan supaya hidup bersama dimungkinkan, maka hukum menjadi jaminan untuk kebebasan setiap warga: di satu sisi ia dijaga kebebasannya, di sisi lain ia dilindungi dari kesewenangan orang lain. Masalahnya, karena terbiasa dilindungi dari kekerasan warga lain, seseorang yang bebas lalu terbiasa untuk hidup semau-maunya. Dan hukum yang prinsipnya menjaga kebebasan tidak bisa berbuat banyak terhadap orang

Page 41: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

39

seperti itu sejauh orang tersebut juga tidak berbuat yang membahayakan orang lain. Bila semua bertingkah seperti itu, akan ada krisis moral secara umum. Mungkin seseorang yang dipilih secara legal menjadi penguasa bisa menekan ekses dari kebebasan kebablasan warganya. Namun di Athena, saat penguasa hanya dipilih untuk setahun dan secara acak lewat undian, dapatkah ekses-ekses kebebasan ditangani? Platon memiliki penilaian keras: manusia demokratis adalah orang yang hidupnya nyantai (bisa omong apa saja seolah-olah tanpa konsekuensi apapun) dan immoral (bdk. The Republic 558c-562a).

Rezim demokrasi diumpamakan Platon seperti kapal yang diperebutkan ABK (anak buah kapal). Di buku Politeia (The Republic) 488a-e, ia berkisah tentang seorang pemilik kapal yang posturnya lebih tinggi dan lebih kuat daripada siapa pun yang ada di kapalnya. Namun sayang, ia tuli dan matanya rabun jauh.

Inilah gambaran untuk rakyat pemilik Negara. Dalam rezim demokrasi, rakyat adalah yang paling kuat dan paling tinggi kedudukannya. Namun, Platon menggambarkan bahwa rakyat itu tuli dan rabun jauh (ia hanya bisa melihat yang dekat-dekat saja, ia tak sanggup melihat terlalu jauh).

Dalam perumpamaannya tentang kapal, Platon bertutur bahwa meski pemilik kapal itu kuat, namun ia tuli dan rabun jauh. Akibatnya para ABK saling berebut untuk mengambil alih kendali kemudi kapal. Meski tak seorangpun tahu benar teknik berlayar, para ABK saling jual kata-kata dan program seolah-olah merekalah yang paling paham bagaimana mengemudikan sebuah kapal. Mereka berusaha membujuk rayu si pemilik kapal (yang tuli, namun kuat) dengan argumen masing-masing supaya kendali kemudi kapal diserahkan pada mereka. Dalam rezim seperti ini, kadang-kadang ada kelompok yang berhasil mempengaruhi si pemilik kapal. Bila kelompok ini menang, mereka segera menyingkirkan dan melempar keluar kapal kelompok lawannya. Setelah mengambil alih kemudi, kelompok yang menang akan menawan si pemilik kapal (dengan jampi-jampi atau minuman memabukkan lainnya). Para pemenang kemudian berpesta pora, makan dan minum, dan menjalankan kapal seperti mau mereka sendiri. Mereka akan saling memuji dan mengatakan bahwa “pelayaran yang mereka lakukan” adalah hasil dari teknik pelayaran yang terbaik. Bila ada orang lain yang tidak sepakat, bahkan mengritik kebijakan tersebut, mereka atau membuangnya dari kapal, atau menuduhnya sebagai “orang tak berguna”. Pun bila ada seseorang yang benar-benar memiliki sertifikat Juru Mudi yang sejati, orang semacam ini hanya akan dijadikan bahwan tertawaan oleh para pemenang (pemegang kendali kapal dan teman-temannya).

Itulah gambaran rezim demokrasi. Rakyat itu kuat, pemegang kedaulatan tertinggi. Namun sayang, ia tak tahu ilmu memerintah (teknik pelayaran). Rakyat juga cenderung hanya bisa melihat “yang dekat-dekat saja”. Rezim demokrasi dengan demikian menjadi ajang rebutan mereka-mereka yang berhasrat bisa mengendalikan kapal. Apa motifnya? Dikatakan Platon: “they rule the ship, using what’s in it; and drinking and feasting” (Politeia, 488c). Motif para perebut kemudi kapal sederhana: menguasai harta benda yang ada di kapal, untuk berpesta pora menikmatinya. Dan supaya mereka bisa mengendalikannya dengan total, maka si pemilik kapal (rakyat) dibuatnya lumpuh lewat “jampi-jampi” (istilah

Page 42: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

40 Platon untuk menyebut retorika, keahilan berkata-kata yang membuat orang terperdaya, lumpuh dan ikut saja omongan orang lain), atau dibuat mabuk lewat “minuman” (disenang-senangkan sehingga akhirnya sempoyongan tak sadarkan diri).

Figur negarawan jelas tidak ditemukan dalam diri para ABK yang saling berebut kemudi guna menjarah isi kapal dan memakainya untuk bersenang-senang. Figur negarawan, bisa dibayangkan, adalah orang yang paham betul mengenai seni mengemudikan kapal (tahu tentang arah angin, arus, cuaca dan perbintangan), dan tentu saja punya pengalaman mengemudikan kapal. Figur negarawan adalah dia yang menjalankan kapal bukan untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi kepentingan si pemilik kapal (rakyat). Ia hanya menjalankan “mandat” (dari bahasa Latin: mandatum, sesuatu yang diperintahkan, sesuatu untuk dikirimkan). Figur negarawan adalah juru mudi yang dengan seluruh kepandaiannya menjalankan perintah orang lain (yaitu rakyat). Ia adalah “petugas suruhan rakyat”. Ia memimpin dan mengarahkan (serta mendidik) para ABK lainnya agar kelak mereka juga bisa menjadi juru mudi yang baik.

Namun tidak mudah menjalankan mandat rakyat. Mampukah seorang juru mudi sejati (negarawan) membujuk rakyat (si pemilik kapal) yang “tinggi, besar, kuat, namun tuli dan rabun jauh”?

Tidak gampang meyakinkan mahkluk seperti itu.

Di teks lain, ada gambaran lebih sulit mengenai rakyat. Di Politeia 493a-b Platon memberikan gambaran rakyat sebagai “a great, strong beast”. Rakyat itu mirip binatang buas, yang hidup mengikuti insting kebinatangan yang tak lain adalah “prinsip nikmat/sakit”. Binatang tidak hidup mengikuti rasio, ia mencari nikmat (makan, minum dan seks) dan menghindari rasa sakit. Satu-satunya cara menaklukkan binatang adalah dengan mengetahui secara persis kecenderungan dan naluri kebinatangan tersebut.

Page 43: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

41

Gambaran ini boleh jadi mengejutkan dan mengganggu kenyamanan kita yang biasa membayangkan rakyat sebagai hal yang suci, tak bercela dan serba inosen. Setelah hampir 20 tahun Reformasi, kita menjadi sedikit lebih sadar bahwa gambaran Platon tentang rakyat itu benar adanya.

Coba bayangkan sekarang rakyat netizen di WA group atau di Facebook, Twitter atau medsos lainnya. Bukankah opini yang sliweran di situ serba ganas, mengerikan dan penuh emosi. Kampretos dan Cebongers saling lempar opini untuk membesarkan egonya sendiri sembari mengecilkan pihak lainnya.

Dulu orang percaya bahwa internet dan medsos akan meningkatkan rasionalitas rakyat. Akses yang bebas pada buku dan pengetahuan, serta kemudahan berbagi opini secara instan diharapkan makin mendemokratisir rakyat. Namun apa yang diminati warga netizen? Para ahli jelas mengamati bahwa di medsos hanya hal-hal yang lucu atau scandalous (membuat marah dan emosi) yang cepat di-share dan di-forward oleh rakyat. Benarlah kata Platon, rakyat memang hidup dengan naluri-nalurinya: marah, kesal, dan nikmat melucu. Cobalah amati posting-an yang rasional, panjang, argumentatif. Apakah Anda berminat membacanya? Apalagi mem-forward-nya? Dengan garuk-garuk kepala Anda akan mencari pembenaran mengapa Anda tidak suka dengannya: WA group kan cuma buat bersenang-senang, jangan serius-serius dong.

Untuk kampanye Pilpres 2019, selama Oktober-November 2018 ini kita melihat metode dumbing down yang dilakukan oleh Capres-Cawapres dari kedua kubu dengan ide-ide yang lucu-lucu dan scandalous. Di satu kubu : tempe setipis ATM ; berfoto dengan wig petai di pasar ; menyatakan harga nasi ayam di Jakarta lebih mahal daripada Singapura ; mengritik pelaku kekerasan atas Ratna Sarumpaet, lalu minta maaf ; mengritik Menteri Susi soal nelayan, lalu meminta maaf ; mengritik tampang miskin orang Boyolali, lalu minta maaf. Di kubu lain: berfoto naik motor gaya anak muda ; menuduh politik sontoloyo ; menuduh politik Gendruwo ; menuduh orang lain budek (bdk. tema-tema yang lagi ramai itu di « Perang Kata-Kata », Koran Tempo, Selasa, 13 November 2018, hlm. 5)

Jangan dikira kampanye gaya mbodoni (sok bodo) seperti itu tidak laku! Justru laku. Kaum millennial ideologinya satu: viral berarti benar. Apa yang viral berarti keren dan pasti oke. Bila melihat apa yang selama Oktober-November viral di HP kita (entah viral karena konyol, viral karena bodoh, viral karena jadi objek celaan, viral karena dikomentari sebagai konyol) maka capres yang sering minta maaf malah lebih viral dari capres lainnya. Dan bisa dipahami kalau mereka lebih menang di level medsos kaum millennial. Logika pesan-pesan subliminal masuk dengan gampang di kalangan orang yang jarang menggunakan rasionya atau di kalangan orang yang belum terlatih rasionya atau juga di kalangan orang yang sudah tidak peduli dengan rasio. Pesan subliminal sangat ampuh mempengaruhi pilihan-pilihan seseorang. Koran Jawa Pos 12 November 2018 memuat headline : « Penyebar Hoax Mayoritas Ibu-Ibu » atau sering dikenal dengan istilah « emak-emak ».

Page 44: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

42 DPR? Coba dengarkan komentar para anggota dewan terhormat terhadap sebuah isyu. Kata-kata keras seperti “pencitraan, bohong, kardus, demi Allah, sumpah pocong” menjadikan bulu kuduk kita merinding. Petinggi DPR malah memforward video berisi lagu Potong Bebek Angsa yang isinya benar-benar jauh dari nalar waras (menuduh Presiden PKI, itu kan benar-benar membuat kita garuk garuk kepala).

Bagaimana dengan para ulama dan para penganut agama di negeri ini? Apakah mereka mahkluk cinta damai, saling mengasihi, mengampuni dan berbakti sepenuh hati mengorbankan diri demi sesama? Jauh panggang dari api !

Bagaimana dengan TNI dan Polri serta Aparatur Sipil Negara lainnya? Lha malah ada yang memposting isyu-isyu radikal dan memelihara TK yang mengajarkan latihan perang-perangan dengan cadar dan senjata.

Bagaimana pula dengan pilar keempat demokrasi: media? Lebih pusing lagi kalau kita melihat bagaimana media dengan cover both sides-nya seringkali tajam menusuk kebijakan apa pun yang dilakukan pemerintah. Pemimpin redaksi seolah-olah paling ngerti bagaimana mesti menjalankan pemerintahan. Wartawan ? Jangan-jangan mereka sudah menjadi buzzer pihak tertentu.

Bagaimana dengan para ilmuwan yang sekarang menanggalkan rasionya? Sementara ilmu pengetahuan dan teknologi berlari kencang di luar sana, apa yang diributkan para ilmuwan di sini? Soal vaksin? Bagaimana dengan proses belajar mengajar di kampus? Apa yang sekarang menjadi isyu paling hot di kampus? Jangan-jangan kampus kampus negeri yang dulu dikenal maju sekarang menjadi fakultas agama semua? Jangan-jangan SMA Negeri sudah menjadi madrasah sekarang ini.

Kalau kita membayangkan diri sebagai seorang Jokowi (yang defakto menjadi Pemimpin saat ini), bagaimana Anda akan menghadapi binatang buas bernama rakyat ini? Yang hasratnya serba tak terpuaskan. Satu diberi, yang lain meraung minta bagian. Parpol satu dikasih bagian, parpol lain bergerilya mengancam kudeta. Satu diterima, yang lain berunjuk rasa teriak memakai mobil komando “siap perang jihad” segala.

Dalam situasi rezim demokrasi seperti itu, Platon memberi gambaran tentang perilaku oportunis seorang pawang. Di depan binatang ganas, seorang pawang mengenal betul hasrat-hasrat si binatang. Ia tahu kapan mesti menjauh mengalah (saat si binatang marah), namun tahu juga bagaimana membuat binatang itu jinak dan takluk lewat makanan dan ancaman cambuk. Dengan mengamati kebiasaan binatang, si pawang bisa mengendalikan kapan mesti keras dan kapan mesti bersikap lembut terhadapnya.

Ilmu pintar untuk menaklukkan binatang lewat pendekatan “hasrat nikmat dan takut” ini dikatakan Platon sebagai ilmu kaum Sofis. Kalangan terakhir ini pintar memahami suka-duka, kemarahan dan kenikmatan rakyat/binatang. Ia pintar mendekati dan menjinakkan rakyat/ binatang, ia mahir mengeluarkan kata-kata yang membuat rakyat/ binatang luluh terharu atau terbakar amarahnya. Ilmu menaklukkan rakyat (binatang) ini lantas mereka

Page 45: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

43

sebut “filsafat”. Meskipun, lewat semua itu, ujung-ujungnya binatang /rakyat dijadikan tontonan sirkus.

Para konsultan politik, ahli polling minat, selera dan kecenderungan pilihan rakyat bisa jadi memerangkan tugas kaum sofis yang pintar memetakan hasrat sang binatang.

Platon sangat kecewa dengan kaum Sofis. Di Politeia 489c, ia menulis: “serangan paling hebat terhadap filsafat datang dari mereka-mereka yang mempraktikkannya”. Dengan menjalankan “filsafat” seperti itu, orang lantas diberi pemahaman bahwa “filsafat” adalah ilmu yang licik, yang hanya main-main pelintir kata dan istilah saja, sehingga kalau bukan “ilmu yang jahat” tuduhan paling lunak padanya adalah “ilmu tanpa guna”.

Seorang Negarawan tentu tidak akan menaklukkan rakyat seperti itu (memperdayai rakyat untuk dijadikan tontontan sirkus, “ngerjain rakyat” untuk ujung-ujungnya mendapatkan penghasilan dari tontonan sirkus).

Pendekatan lain – yang tidak ditulis Platon, namun bisa kita bayangkan – adalah memasukkan si binatang kuat dan ganas ini ke dalam kerangkeng. Bila binatang dimasukkan kerangkeng, maka dengan sendirinya binatang akan tunduk dan tidak berdaya. Buat apa mengerangkeng binatang? Tentu supaya bisa dijual kepada siapa saja yang membutuhkannya (entah itu dijadikan binatang sirkus, atau untuk dikirim ke rumah jagal guna disembelih dan didagangkan di pasar).

Seorang Negarawan tentu tidak akan menjadi diktator terhadap rakyatnya. Seorang Negarawan tidak akan bertindak otoriter secara sinis seperti yang dulu kita alami selama Orde Baru. Selain menolak demokrasi (yang rentan dikangkangi oleh para “gembala egois”), Platon juga menolak rezim Tirani (yang terang-terangan dipegang oleh satu tangan gembala ngawur yang tak segan menjual domba-dombanya).

Page 46: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

44 Sedangkan bagi Aristoteles, demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dibagi-bagi di antara kelas-kelas yang ada di masyakarat. Akibatnya, sistem ini tidak pernah bisa berjalan, karena tiap kepentingan kelas yang berbeda akan saling menyandera keputusan apa pun yang hendak ditelurkan (bdk. Aristoteles, Politics, III, 11-13 dan IV, 4). Berkenaan dengan kesetaraan, kritikan yang diberikan adalah bahwa warga negara yang setara dalam satu bidang (politik), lalu menganggap dirinya memiliki kemampuan yang sama dalam segala hal lainnya (Aristoteles, Politics V 1 3). Karena menganggap diri semua warga adalah setara, mereka membutakan diri tidak mau memilih individu-individu yang sebenarnya memiliki kemampuan dan jasa yang lebih bagi tugas-tugas tertentu yang cocok bagi mereka. Kita semua menjadi sedikit platonisian dan aristotelisian ketika meyakini bahwa urusan politik seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan tidak dipilih secara acak model undian seperti di Athena.

Prinsip kesetaraan tentu cocok dengan prinsip supremasi hukum, dan persis hukum memang fungsinya untuk menjamin bahwa semua warga setara di hadapannya. Namun prinsip kesetaraan ini secara alamiah bertentangan dengan kehidupan sosial yang pasti berjenjang dan hierarkis. Hormat kepada orang tua adalah prinsip umum di mana-mana yang bisa dimentahkan begitu saja oleh kesetaraan. Buat apa hormat pada orang tua kalau secara hukum kita semua dijamin setara? Lebih luas lagi, buat apa menghormati penegak hukum apabila, seperti di Athena, ia hanya dipilih setahun sekali secara undian? Kalau semua warga setara, baik warga yang saleh maupun warga yang nyleneh, mengapa harus sok suci menggabungkan diri dalam kelompok warga setara yang saleh? Prinsip kesetaraan memang mempersulit orang untuk mudah taat. Kehadiran kaum sofis di Athena hanya memperparah krisis moral dan membuat orang cenderung meremehkan hukum.

Prinsip utama demokrasi yang adalah kebebasan dan kesetaraan memang secara alamiah dengan mengandungi penyakit bernama anarkisme (Jacqueline de Romilly, hl. 149). Namun lebih dari itu, inti kritikan Platon dan Aristoteles sebenarnya dilandaskan pada sebuah cara pandang tertentu. Platon dan Aristoteles yakin bahwa tatanan sosial harus dibentuk sesuai prioritas: ada tingkat kehidupan yang berorientasi pada kesenangan (sebuah hidup yang inferior), ada tingkat kehidupan praktis (di mana politik mendapatkan tempat) yang lebih tinggi, dan akhirnya tingkat hidup teoretis (atau filosofis, yang merupakan bentuk kehidupan tertinggi) (bdk. Platon, The Republic VI 496b-d dan VII 519d-521b; Aristoteles, Ethica Nikomaxeia X 7 dan Politics VII 2). Bukan maksud para pemikir itu untuk mengatakan bahwa vita contemplativa tidak cocok dengan vita activa! Platon sendiri berbicara tentang keharusan para filsuf untuk “turun kembali ke goa” (artinya, para filsuf pun harus terlibat dalam kehidupan politik masyarkatnya, The Republic VII). Baginya, seni berpolitik adalah seni merajut secara tepat antara benang yang tipis halus dengan benang yang kasar (Platon, Politique, 311c-e). Aristoteles juga mengidealkan sebuah cara hidup yang “campuran” (Politics VII, 2-3). Setia dengan prinsip jalan tengah, Aristoteles mengidealkan sebuah komunitas politik yang merupakan campuran antara demokrasi dan oligarki. Di balik itu semua, mereka hendak menggarisbawahi bahwa sebuah rejim politik hendaknya mengakui supremasi intrinsik ilmu filsafat. Tuntutan yang tidak mudah, karena kita tahu bahwa rejim demokrasi Athenalah yang menghukum mati Sokrates, guru Platon. Dan

Page 47: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

45

Aristoteles pun terpaksa lari dari Athena saat merasakan bahwa rejim demokratis Athena sedang mencurigainya sebagai kolaborator Makedonia. Konon alasan Aristoteles: “supaya warga Athena tidak jatuh dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya”.

V. Epilog: Mencari Pemimpin yang Tepat?

Menurut Platon, ada orang yang berkuasa, menjadi gembala, karena “terpaksa”. Ia bukan orang yang suka pada uang, bukan pula pencari kehormatan. Ia menjadi gembala, masuk ke kekuasaan, karena dipaksa oleh keadaan (Platon, The Republic 347c-d). Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dikejar karena dianggap baik, melainkan diterima sebagai lesser evil (hal buruk yang mau tak mau harus dilakoni, karena bila tidak diambil, bigger evil akan terjadi). Ia terpaksa turun tangan karena bila tidak, hal lebih buruk akan terjadi. Oleh karena “terpaksa”, bila kekuasaan sudah saatnya berhenti, dengan cepat ia menyingkir. Ibarat menjalani “hukuman”, posisi pemimpin politik tidak pernah menjadi minat utamanya, namun harus dijalani, karena kondisi memaksanya untuk turun.

Dalam arti itulah, menjadi pemimpin berarti memberikan diri demi kepentingan orang lain. Manusia pada dasarnya egois. Motif utama kekuasaan umumnya adalah melayani kepentingan diri (dalam ujud uang atau kehormatan). Hanya kondisi keterpaksaan yang memastikan bahwa orang berkuasa “demi orang lain”. Figur kalos kagathos adalah orang yang masuk ke kekuasaan karena terpaksa.

Dan dalam pelayanannya untuk orang lain (yaitu rakyat), karena motif ia memimpin adalah motif yang altruis, maka ia tidak mudah tunduk begitu saja untuk sekedar menyenang-nyenangkan rakyatnya. Pemimpin yang caper (cari perhatian) akan selalu berusaha menyenang-nyenangkan rakyatnya. Pemimpin yang Negarawan tahu bahwa rakyat itu kuat, buas, gampang disetir hasratnya lewat kenikmatan. Namun ia tidak tunduk begitu saja pada apa yang menjadi hasrat rakyatnya (karena ia juga sadar bahwa rakyat itu “rabun jauh”). Di sinilah pentingnya bahwa seorang Negarawan dalam mencari “kebaikan sejati bagi rakyatnya” mengarahkan segala daya pikir dan tindakannya untuk mencari apa-apa yang benar-benar baik (dan bukan “sekedar tampak baik” saja). Dalam arti inilah, selain sebagai pelayan Negarawan adalah juga pendidik. Ia mengajak rakyatnya maju ke arah yang lebih baik (kadang-kadang jauh melampaui apa yang saat ini dipahami rakyatnya). Ia pemimpin yang visioner: melihat jauh ke depan, dan visinya menariknya ke arah yang mungkin saat ini tidak banyak rakyat sanggup melihatnya (karena rabun jauh).

Di tahun 1920-an, pemuda Soekarno membangun visinya tentang sebuah Negara Indonesia yang ber-Pancasila. Pulau yang sedemikian banyak, suku yang sedemikian beragam, agama yang macam-macam tak membuatnya surut mengikutinya visinya: memerdekakan Indonesia yang satu. Meski di tahun 20-an sampai 40-an suku-suku terpecah belah, mayoritas penduduk tak sekolah, dan nyaris semuanya miskin, serta tak memiliki kekuatan militer apa pun, Soekarno membiarkan dirinya ditarik oleh visinya: kemerdekaan Indonesia. Ia harus keluar masuk penjara dan tak pernah hidup kaya demi kemerdekaan Indonesia. Saya kira kita mudah sepakat untuk mengatakan bahwa Soekarno adalah figur

Page 48: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

46 Negarawan yang pelayan. Ia juga mendidik dan memberi harga diri kepada bangsa ini di tengah segala bangsa lain lewat Pancasilanya, sehingga sampai sekarang Indonesia eksis.

Pancasila jelas bukan ideologi untuk mendirikan Negara Agama. Pancasila juga bukan visi ideologis yang murni sekular. Pancasila adalah “filsafat dasar bernegara” yang penuh kompromi di antara dua tarikan tersebut. Sifat kompromi ini sangat khas Indonesia. Memang terasa tidak ideal, namun dalam hidup konkret betulkah politik bisa dipastikan dan diidealkan sebagaimana 2 + 2 harus 4? Anggaplah Anda sekarang menjadi seorang politisi sekaligus ayah/ibu rumah tangga. Anda memiliki 2 anak. Apakah uang saku untuk dua anak harus sama persis supaya adil? Kalau mengikuti matematika, bila anak Anda 2, dan Anda punya uang 100.000, idealnya setiap anak mendapat jatah 50.000. Tetapi kalau anak Anda yang satu kuliah, yang satu masih SD, apa seperti itu pembagiannya? Berkaca dari tiga jenis ilmu yang diungkapkan Aristoteles – Poiesis, Praxis dan Theoreia – politik ada di ranah praxis (ranah human action, tindakan manusia) di mana kebenaran dan kegunaannya bersifat abu-abu dan mesti dibawa ke « kurang lebih putih » bergantung pada karakter si pelaku. Bila di ranah yang abu-abu ini orang hendak menerapkan kebenaran matematika atau kebenaran teologi, di situ ada pencampuradukkan ranah yang berbahaya. Resep politisi dengan ideologi totaliter adalah menerapkan matematika dan teologi dalam hidup nyata. Hati-hati, kita jadi korban pertama.

Page 49: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

47

SUMBER:

Sebagian besar bahan sudah pernah terbit dalam A. Setyo Wibowo, « Kepublikan dan Keprivatan di dalam Polis Yunani Kuno », Ruang Publik: Melacak ‘Partisipasi Demokratis’ dari Polis sampai Cyberspace (ed. F. Budi Hardiman), Penerbit Kanisius : 2010, hlm. 23-61. Artikel ini diterbitkan ulang di Majalah Basis, « Asal-usul Demokrasi di Yunani », Nomor 07-08, 09-10, 11-12 Tahun ke-62, 2013 dan Nomor 1-2 dan 3-4 Tahun ke-63, 2014. Sumber utama dari naskah pokok ini berasal dari buku karya Claude Orrieux dan Pauline Schmitt Pantel, Histoire grecque, Paris : PUF, 2002, hlm. 46 – 174.

Materi tentang kritik Platon atas demokrasi pernah disampaikan dalam “Diskusi Publik: Republik & Negarawan” tanggal 20 Agustus 2018, pk. 13.00-15.00 di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Forum Filsafat Clarus. Pembicara lain di forum ini adalah Mochtar Pabotingi. Materi yang sama diperdalam dan dipresentasikan di Sunken Court, Institut Teknologi Bandung, 28 September 2018, pk. 19.30-21.30 di depan mahasiswa-mahasiswi ITB.

Sumber lain : Jean-François Kervégan, « Démocratie » dalam Dictionnaire de philosophie politique (sous la direction de Philippe Raynaud et Stéphane Rials), Paris: PUF, 1996, hl. 127-133 ; Jacqueline de Romilly, Problèmes de la démocratie grecque, Paris: Hermann-Agora, 1975 ; Ivan Gobry, Le vocabulaire grec de la philosophie, Paris: Ellipses, 2000 ; Mabel Lang, The Athenian Citizen : Democracy in the Athenian Agora, American School of Classical Studies, 2004.

Page 50: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

48Augustinus Setyo Wibowo

A. Setyo Wibowo atau akrab dipanggil Romo Setyo, lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, adalah seorang imam katolik dari tarekat Serikat Yesus (ditahbiskan pada tahun 1999). Pendidikan S-1 Filsafat ia terima dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (1990-1994). Untuk tingkat S-2 ia menjalankan pendidikanya di Paris (tahun pertama, Licence en Philosophie di Institut Catholique de Paris (1999-2000), dan tahun kedua ia menjalani Maîtrise en Philosophie (2000-2001) di Panthéon-Sorbonne, Paris, Prancis. Setelah itu ia mengikuti program pradoktoral (DEA en Philosophie pada tahun 2002-2003) dan akhirnya menyelesaikan studi S-3-nya dengan menerima gelar Docteur en Philosophie pada tanggal 3 Juli 2007 di Paris I – Panthéon Sorbonne, Paris, Prancis di bawah bimbingan Luc Brisson. Sejak S-2 dan S-3 ia mengambil spesialisasi studi Filsafat Yunani-Hellenistik (khususnya Platon dan Plotinos).

Sepulang ke tanah air, sejak 2007 ia mengajar di alma maternya, STF Driyarkara, mengampu Mata Kuliah Sejarah Filsafat Yunani dan Metafisika. Ia mejadi Kaprodi S-1 Filsafat di STF Driyarkara sejak 2011. Selain mengajar di STF Driyarkara, ia menjadi dosen tamu untuk Prodi S-2 di Universitas Pertahanan (Sentul, Bogor) mengajar Mata Kuliah Filsafat Konflik dan Resolusi, dan menjadi dosen tamu untuk Prodi S-3 di STIK-PTIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) di Jakarta, serta di Prodi S-1 Fakultas Teologi Sanata Dharma, di Yogyakarta.

Selain mengajar, ia juga menjadi pemimpin redaksi Majalah Basis (Yogyakarta). Sejak 2008, ia juga aktif mengadakan Kelas Filsafat di Salihara ; dan sejak 2016 ia aktif menyelenggarakan Kelas Filsafat di Teater Utan Kayu, Jakarta.

Beberapa buku karangan dan terjemahannya : Gaya Filsafat Nietzsche (2004), Arete : Hidup Sukses Menurut Platon (2011), Lysis (Tentang Persahabatan) (2009, 2015), Xarmides (Tentang Keugaharian) (2015), Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon (2017). Saat ini, buku terbarunya tentang Ataraxia : Bahagia Menurut Stoikisme sedang dalam proses penerbitan.

Page 51: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pend

idika

n Poli

tik Yu

nani

Untu

k Mas

a Kini

49

Page 52: lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/...Pendidikan-Politik-Yunani-Untuk-Masa-Kini.pdf · (lagi), seorang yang menggeluti studi Filsafat Yunani-Hellenistik, untuk berbincang mengenai asal-usul

Pendidikan Politik Yunani Untuk Masa Kini

50