©ukdwsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan...
TRANSCRIPT
![Page 1: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/1.jpg)
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam perspektif teori sosial sebuah wacana (diskursus) yang berkembang tentu saja
dipengaruhi dan mempengaruhi suatu konteks tertentu. Wacana tidak lahir dari kehampaan
melainkan dari kompleksitas relasi yang terjadi dalam masyarakat, bahkan menjadi representasi
dari realitas dan apa yang terjadi di dalamnya, seabstrak apapun sebuah wacana itu.1 Sebagai
produk dari dan di dalam realitas sosial, wacana sekaligus dipergunakan sebagai alat untuk
memandang dan memahami realitas itu. Rose McCloskey menegaskan hal ini dengan
menyatakan bahwa wacana merupakan seperangkat keyakinan, praktek, dan pengetahuan yang
membangun realitas dan menyediakan cara untuk memahami dunia. Dalam teori sosial kritis,
gagasan mengenai wacana sekaligus mengisyaratkan bahwa semua bahasa bersifat sosial, dan
bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini
berarti bahwa wacana tidak lahir dari pengalaman individu yang independen, tetapi merupakan
buah dari proses sosial yang sifatnya timbal-balik. Memang bahwa wacana dapat bersifat
personal, tetapi itu tidak berarti bahwa ia lepas dari konteks makro, justru sebaliknya memahami
wacana yang sifatnya personal itu harus diletakan dalam kerangka konteks yang lebih luas.3
Norman Fairclough memberi keterangan yang sangat jelas mengenainya. Ia menggunakan
istilah ‘wacana’ untuk menyebut bahasa, baik lisan (pemahaman) maupun tertulis. Menurutnya,
wacana merupakan sebuah cara bertindak (mode of action) seseorang terhadap yang lain.
Wacana juga dibentuk oleh struktrur sosial dan tidak hanya sekedar untuk merepresentasikan
atau merefleksikan dunia, dalam hal ini entitas dan hubungan sosial, melainkan juga turut
mengkonstruksi dan menyatukannya dalam kerangka makna.4 Dari sini ia melihat tiga fungsi
wacana yaitu, untuk mengkonstruksi identitas sosial dan mengatur posisi subjek sosial,
menciptakan hubungan sosial, serta membangun sistem pengetahuan dan kepercayaan. Ketiga
fungsi diskursif ini sejalan dengan sifat fungsional bahasa, yaitu fungsi identitas yang berkaitan
dengan bagaimana identitas sosial dibentuk, fungsi relasional yang berhubungan dengan
1 Theo van Leuween, Discourse and Practice: New Tools for Critical Discourse Analysis, (New York: Oxford
University Press, 2008), h.5. 2 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis”, Nurse Researcher Vol 16, 2008, h.24.
3 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis”, h.25.
4 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1993), h.64.
©UKDW
![Page 2: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/2.jpg)
3
bagaimana hubungan sosial terjadi, dan fungsi ideasional mengenai bagaimana teks menandai
dunia, serta proses, entitas, dan relasinya.5 James Paul Gee memberi komentar yang menarik
mengenai hal ini. Menurutnya, sebuah tindakan juga merupakan wacana. Ia mengungkapkan
bahwa wacana merupakan cara untuk mengkombinasi dan mengintegrasikan bahasa, tindakan,
interaksi, cara berpikir, keyakinan, penilaian, dan dengan menggunakan berbagai simbol, alat,
dan objek untuk memerankan identitas tertentu.6 Dalam konteks ini, ia memperluas pemahaman
mengenai wacana baik dalam aspek tekstual (meliputi tertulis dan lisan) maupun aspek praktek
(tindakan).
Sebuah wacana yang berkembang dipandang mengandung berbagai unsur dan kepentingan.
Kemunculannya tidak lepas dari pergulatan kepentingan demi tujuan melanggengkan
kepentingan tersebut. Kepentingan ini dianggap sebagai representasi dari kekuasaan atau
kekuatan dominatif yang ada. Sebuah wacana yang dikonsumsi secara publik tentu memuat
ideologi-ideologi baik sosial, politik, ekonomi, keagamaan, dll. yang tujuannya ialah
mempengaruhi komunitas. Kepentingan ideologis yang ditransfer melalui wacana ini berpotensi
untuk menimbulkan perubahan sosial yang signifikan. Asumsi mengenai wacana inilah yang
kemudian melahirkan berbagai studi analisa wacana, atau yang secara umum dikenal dengan
Discourse Analysis dan secara khusus Critical Discourse Analysis yang mengungkapkan
ideologi dan relasi kekuasaan di balik sebuah wacana.
Suatu konsepsi teologis atau doktrin keagamaan sebetulnya juga merupakan wacana. Ia tidak
lahir secara magic, bukan juga sebagai suatu pewahyuan(revelation), dan karenanya bersifat
ahistoris. Gagasan teologis, dogma, bahkan Alkitab sendiri merupakan sesuatu yang lahir dalam
proses pergumulan sejarah yang panjang. Leslie Houlden dalam respons kritisnya terhadap
upaya mistifikasi gagasan-gagasan kristologis juga menegaskan hal ini. Menurutnya,
pernyataan-pernyataan yang muncul tentang Yesus (terutama doktrin inkarnasi) sebetulnya
adalah pernyataan-pernyataan yang telah melewati proses pergumulan yang panjang dalam
pentas sejarah kekristenan, dan karena itu pernyataan itu adalah hasil dari pergumulan
kekristenan dan bukan pernyataan yang diberikan secara langsung oleh figur historis Yesus.7
Apa yang dikemukakan oleh John Hick mengenai inkarnasi juga mengindikasikan hal ini,
5 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.63-64.
6 Paul James Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, (New York: Routledge, 2005), h.21
7 Leslie Houlden, “The Creed of Experiences” dalam The Myth of God Incarnate, Ed. By John Hick, (London: SCM
Press, 1977), h.125-133.
©UKDW
![Page 3: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/3.jpg)
4
dimana ia menegaskan bahwa dogma inkarnasi pun bukanlah merupakan ajaran Yesus tetapi
produk gereja8, bahkan Don Cupitt sepakat dengan asumsi serupa dengan menandaskan bahwa
semua pernyataan yang disebutnya dengan ikon kristologis tidak lagi alkitabiah, melainkan telah
melewati proses inovasi yang membuatnya tidak lagi otentik, karena sekedar merupakan warisan
bapa-bapa gereja yang harus terus dipertahankan.9 Semua gagasan teologi yang lahir ini
mempengaruhi realitas dimana ia ada dan berkembang, terutama konteks hubungan kekristenan
dan agama-agama lain selama ini. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu wacana teologis bahkan
Alkitab sendiri lahir sebagai produk dari suatu konteks historis tertentu dimana di dalamnya ada
banyak unsur yang beragam, tentunya dengan ideologi-ideologi tertentu juga. Berdasarkan hal
ini dan dari teori kritis di atas dapat dinyatakan bahwa gagasan teologis tidak sepenuhnya
bersifat religius.
Bertolak dari pandangan inilah, maka saya tertarik untuk melihat wacana soterio-
kristologisatau paham keselamatan yang berkembang di kalangan pemuda Waai – Ambon.
Dalam pandangan komunitas ini, Yesus dilihat sebagai satu-satunya jalan keselamatan bagi
semua orang, termasuk komunitas berkepercayaan lain. Tidak hanya demikian, dalam
pemahaman mereka Yesus pun diyakini sebagai “sumber” dari keselamatan dan bukan sekedar
agen. Dalam konteks inilah ciri kristomonis10
dari pandangan komunitas menjadi jelas.
Konsekuensi dari wacana seperti ini ialah orang harus menjadi Kristen jika mau menerima
keselamatan. Di sinilah penekanan terhadap pentingnya identitas religius menjadi nampak.
Penitikberatan terhadap identitas religius ini sekaligus memperlihatkan bahwa praksis sosial
merupakan hal yang tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan identitas. Hal ini
dipengaruhi olehpemahamantentang Yohanes 14:1-14, terutama deklarasi “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup”. Deskripsi hasil wawancara dalam bab II nanti akan memperlihatkan
bagaimana hubungan intertekstualitas pandangan komunitas ini dengan teks Yohanes itu.
Selain itu, pandangan mengenai keselamatan komunitas ini juga cenderung menitikberatkan
pada dimensi futuris dimana hal itu dilihat sebagai suatu realitas yang tidak memiliki kaitan
dengan kehidupan sosial masa kini di dunia ini, tetapi sebaliknya akan terjadi pasca kematian
manusia. Berdasarkan observasi dan wawancara awal, ditemukan bahwa pandangan yang
8John Hick, A Christian Theology of Religions, (Louisville: Westminster John Knox, 1995), h.87.
9Don Cupitt, “The Christ of Christendom” dalam “The Myth of God Incarnation”, Ed. By John Hick, (London: SCM
Press, 1977), h. 134-146. 10
Kristomonisme ialah pandangan yang meletakan Yesus sebagai satu-satunya dan pusat atau sumber dari keselamatan.
©UKDW
![Page 4: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/4.jpg)
5
dominan mengenai keselamatan ialah hal yang berhubungan sesudah kematian, dalam bahasa
mereka, “di dunia lain” atau “bukan dunia yang berhubungan dengan dunia sekarang ini”.
Dalam kesadaran bahwa dalam konteks pluralisme agama dewasa ini pandangan bahwa
Yesus sebagai sumber atau satu-satunya jalan keselamatan dapat berpotensi membangun
eksklusifisme beragama yang mungkin saja dapat bermuara pada konflik, maka dalam tesis ini
saya akan melakukan kajian terhadap pandangan soterio-kristologis itu. Setelah itu akan
dilanjutkan dengan upaya hermeneutis terhadap teks Yohanes 14:1-14. Teks ini dipilih karena ia
seringkali dibaca secara harafiah, dan kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membenarkan
pandangan dan sikap eksklusifisme beragama.Setelah itu, di bagian akhir saya akan melihat,
bagaimana teks Yohanes dapat memberi kontribusi bagi konteks pluralisme di Indonesia. Oleh
karena itu ada tiga isu yang akan dieksplorasi ialah (1) bagaimana pandangan komunitas pemuda
mengenai soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dikonstruksikan; (2)
dari situ saya akan melakukan pengkajian hermeneutis terhadap wacana kristologis Yohanes
14:1-14; dan (3)melakukan dialog kritis antara wacana komunitas pemuda, Yohanes 14:1-14
dan wacana Hick, serta makna Yohanes 14:1-14 bagi konteks pluralisme agama. Dalam
deskripsi dan upaya hermeneutis nanti saya akan menggunakan pendekatan Critical Discourse
Analysis (CDA) yang ditawarkan oleh Norman Fairclough. Pemilihan atas pendekatan CDA
Fairclough didasarkan pada pertimbangan bahwa pendekatan ini secara kritis mengungkapkan
unsur dan pengaruh sosial yang ditimbulkan oleh suatu wacana, serta juga CDA sendiri dinilai
(oleh Heather) sebagai suatu model yang tepat dan berguna bagi studi agama-agama dan
hubungan antar agama.11
Komunitas Waai menjadi fokus dalam penelitian ini atas dua pertimbangan, yakni pertama,
dalam konteks konflik Maluku tahun 2000 jemaat ini menjadi salah satu jemaat yang mengalami
konflik secara langsung, terutama dengan komunitas Islamdi Tulehu dan Liang. Konflik ini
tidak hanya berdampak pada relokasi pemukiman, melainkan juga memakan korban jiwa yang
cukup banyak, menimbulkan kesulitan terhadap akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan, dan
berbagai dampak destruktif lainnya. Kedua, dalam konteks pasca-konflik intensitas relasi
komunitas ini dengan komunitas agama lain semakin tinggi. Perjumpaan itu sering tidak
terhindarkan dari ketegangan antar keduanya yang bermuara pada anarkisme dan kekerasan,
11
Dalam Frans Wijsen and Corry Nicolay, “Interreligious Worship in Friesland”, Studies in Interreligious Dialogue, Vol.
20/2010/1, h. 60.
©UKDW
![Page 5: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/5.jpg)
6
misalnya kasus Waai – Liang yang terjadi pada September 2010 dimana terjadinya aksi
pelemparan antara pemuda Waai dan Liang yang mengakibatkan terputusnya akses transportasi
dan ekonomi selama beberapa waktu lamanya. Kedua konteks ini, baik konflik maupun pasca-
konflik, sangat mempengaruhi pemahaman orang terhadap yang lain dan sekaligus juga terhadap
diri dan komunitasnya, sebab dalam situasi kritis seperti itu tentu saja orang sering membangun
gagasan-gagasan teologis (kristologis) yang pro terhadap keadaannya. Oleh karena itu,
pengkajian pada isu ini diharapkan pada akhirnya dapat memberi kontribusi untuk penghayatan
iman komunitas pada satu pihak, dan di pihak yang lain mendorong terciptanya relasi
interreligius yang harmonis berdasarkan penghayatan iman kristen.
1.2.Rumusan Masalah
Suatu wacana yang berkembang tentu saja mempengaruhi realitas. Begitu halnya juga
dengan konsep teologi yang terpelihara di dalam kekristenan, terutama wacana kristologis
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Wacana ini tentu saja lahir sebagai produk dari realitas
sosial tertentu dan dibentuk oleh banyak unsur yang masing-masing memiliki kepentingan.
Bertolak dari hal ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan dikaji di dalam tesis ini:
1. Apa dan bagaimana wacana soterio-kristologis pemuda Waai-Ambon mengenai “Yesus
sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dikonstruksikan?
2. Apa sebetulnya makna kristologi “Yesus sebagai jalan dan kebenaran dan hidup” dalam injil
Yohanes 14:1-14?
3. Bagaimana relevansi teks Yohanes 14:1-14 bagi konteks Pluralisme Agama di Indonesia?
1.3.Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan utama yang dibangun dalam penelitian ini ialah bagaimana wacana soterio-
kristologis pemuda Waai mengenai “Yesus ialah jalan, kebenaran, dan hidup” dibentuk? Apa
makna Yohanes 14:1-14 dan relevansinya bagi konteks pluralisme agama di Indonesia?
1.4.Tujuan Penelitian
Bertolak dari pertanyaan penelitian di atas maka tujuan tesis ini ialah:
1. Melihat bagaimana pandangan pemuda Waai mengenai soterio-kristologis “Yesus sebagai
jalan, kebenaran, dan hidup” dan bagaimana itu dikonstruksikan.
©UKDW
![Page 6: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/6.jpg)
7
2. Melakukan kajian hermeneutis terhadap wacana soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan,
kebenaran, dan hidup” dalam Yohanes 14:1-14?
3. Melakukan dialog kritis terhadap wacana soterio-kristologis pemuda Waai , Yohanes 14:1-
14, dan wacana soteriologi pluralisme John Hick, serta menemukan makna Yohanes 14:1-14
bagi konteks pluralisme agama.
1.5.Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan menjadi penting karena dua alasan berikut:
1. Sebagai bagian dari korban konflik yang memiliki relasi yang intens dengan komunitas
Islam sekitar, jemaat GPM Waai (terutama pemuda) memiliki pandangan tertentu yang akan
mempengaruhi pola relasi itu. Penelitian ini setidaknya akan menolong komunitas ini untuk
mengembangkan sikap-sikap pluralisme yang berakar pada pandangan teologi/kristologi.
2. Memberi kontribusi bagi Gereja Protestan Maluku sebagai pertimbangan dalam rangka
membangun teologi pluralisme yang mendukung hubungan antar agama di Maluku.
3. Dengan menggunakan CDA, maka penelitian ini juga menjadi penting, karena CDA akan
menolong untuk mengungkapkan pandangan-pandangan yang pro-kemapanan, dalam hal ini
ialah struktur sosial.
1.6.Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini sangat bergantung pada judul tesis ini, yakni: “AKULAH
JALAN DAN KEBENARAN DAN HIDUP”, dengan sub Judul:Wacana Soterio-Kristologis
Pemuda Waai-Ambon Pasca Konflik dan Yohanes 14:1-14: Sebuah Tinjauan Critical
Discourse Analysis (Analisa Wacana Kritis). Dengan begitu, penelitian ini dibatasi untuk
melihat bagaimana konsep soterio-kristologis pemuda Waai serta apa makna Yohanes 14:1-14
dan relevansinya.
1.7.Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, ada beberapa proses yang dilakukan:
1. Melakukan penelitian lapangan untuk menemukan informasi yang mendalam mengenai
pandangan kristologi pemuda Waai – Ambon dan konteks Waai secara umum.
a. Teknik Pengumpulan Data
©UKDW
![Page 7: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/7.jpg)
8
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan ialah wawancara pribadi dan focus group
discussion.
b. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku
Tengah, Maluku.
c. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ialah Januari – Februari 2013.
d. Sumber Data
Yang menjadi sumber data primer ialah pemuda Waai yang berlatar belakang tradisi
GPM, Pantekosta, dan Katolik.
2. Deskripsi, Analisa dan Dialog Kritis
a. Deskripsi Wacana Soterio-kristologis Pemuda Waai – Ambon
Setalah data dikumpulkan, akan dilakukan deksripsi terhadap wacana soterio-
kristologis pemuda Waai. Data yang dideskripsikan ini juga menggunakan kerangka
CDA Fairclough yang diadopsi oleh Frans Wijsen dalam penelitian interreligiusnya.
b. Kajian Analisis atas Yohanes 14:1-14
Berdasarkan deskripsi di atas tadi, maka dalam tahap ini akan dilakukan kajian
hermenutis terhadap Yohanes 14:1-14. Di sini penulis akan menggunakan pendekatan
CDA yang dimulai dari (1) Analisis Linguistik, (2) Analisa Praktek Wacana, dan (3)
Analisa Praktek Sosial.
c. Mendialogkan secara kritis antara Wacana Soterio-Kristologis Pemuda Waai, Wacana
Yohanes 14:1-14, dan WacanaTeologi Pluralisme John Hick.
1.8.Sistematika Penyajian
1. Bab I. Bab ini terdiri dari beberapa sub bagian yaitu; pendahuluan (latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian), metodologi penelitian, dan
kerangka teoritik.
2. Bab II. Bab ini terdiri dari deskripsi data mengenai wacana soterio-kristologis pemuda Waai.
3. Bab III. Bab ini berisi kajian analisiskritis terhadap wacana Yohanes 14:1-14.
©UKDW
![Page 8: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/8.jpg)
9
4. Bab IV. Bab ini berisi (1) deksripsi pandangan teologi John Hick; (2) dialog kritis antara
wacana pemuda Waai, wacana Yohanes 14:1-14, dan wacana John Hick; (3) kontribusi
Yohanes 14:1-14 bagi pluralisme agama di Indonesia.
5. Bab V.Bab ini berisi kesimpulan akhir, signifikansi pendekatan CDA dalam studi teologi,
dan beberapa pikiran rekomendasi.
1.9. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini saya akan bertumpu pada teori Norman Fairclough mengenai CDA
yang akan memberi arah bagi pengkajian baik wacana pemuda maupun wacana teks Yohanes
14:1-14. Sedangkan untuk meninjau secara kritis pandangan soterio-kristologis pemuda Waai,
saya akan menggunakan pandangan John Hick mengenai keselamatan dalam perspektif teologi
pluralisme. Untuk penafsiran terhadap teks saya akan menggunakan beberapa pendapat ahli
tafsir
a. Critical Discourse Analysis– Norman Fairclouh
Sebagaimana telah disinggung di atas, sebuah wacana yang berkembang baik secara
lisan ataupun tulisan sebetulnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial yang pada
akhirnya akan kembali mempengaruhi realitas itu juga. Hal ini juga berlaku bagi teologi
atau kristologi yang dikembangkan. Dari sini kemudian muncul berbagai pendekatan dalam
ilmu sosial dan linguistik yang mencoba mengkaji wacana. Chris Setevenson
memperlihatkan dua pendekatan dalam analisa wacana yang selama ini berkembang, yang
pertama pendekatan analisa wacana dalam tradisi para konstruktifis sosial dan dalam tradisi
Foucauldian. Bagi kelompok konstruktifis sosial, tidak ada sesuatu di balik teks dan realitas
pun tidak direpresentasikannya. Fokus analisa mereka pada apa yang dilakukan dengan
wacana yang ada itu. Berbeda dengan teori konstruktifis sosial, kelompok Foucauldian
menempatkan teks sebagai fokus dengan asumsi bahwa dunia dikonstruksi melalui wacana.
Wacana tidak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi juga berpotensi untuk membentuk
masyarakat dan di dalamnya ada relasi kekuasaan yang ter-manifest. Hal ini disebutnya
sebagai “praktek wacana”.12
12
Chris Stevenson, “Theoritical and MethodologicalApproaches in Discourse Analysis”, Nurse Researcher No. 2004,
h.19-21.
©UKDW
![Page 9: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/9.jpg)
10
Tiga dimensi utama pendekatan CDA Fairclough ialah analisa teks, praktek wacana,
dan praktek sosial. Teks tidak dapat dipisahkan dari praktek produksi dan interpretasi
terhadapnya (praktek wacana), begitu juga dengan praktek sosial. Keberadaan suatu teks
dianggap sebagai representasi dari suatu ideologi tertentu. Untuk menemukan ideologi
tersebut analisis terhadap konteks saat teks itu diproduksi, situasi institusi, dan bagaimana
peran sistem sosial yang ada diperlukan.
Dalam melakukan analisa teks, Fairclough menggunakan kerangka linguistik yang
sekaligus digunakan untuk menginterpretasi makna. Jika mengikuti kerangka linguistik,
maka ada empat aspek yang perlu dilihat dalam hal ini, yakni kosakata (vocabulary), tata
bahasa (grammar), kepaduan (cohesion), dan struktur teks (text structure). Kosakata
terutama berhubungan dengan kata-kata individu, tata bahasa dengan kombinasi kata-kata
di dalam klausa dan kalimat, kepaduan berkaitan dengan bagaimana klausa dan kalimat
berhubungan, dan struktur teks dengan sifat teks. Fairclough juga menambahkan bahwa
tiga aspek lain dalam analisa bahasa yaitu kekuatan ucapan (force), koherensi (coherence),
dan intertekstualitas (intertextuality).13
Fokus terhadap tata bahasa dalam analisa bahasa menjadi penting sebab bahasa
dibentuk dari klausa atau kalimat sederhana, sementara unsur yang paling utama dari klausa
disebutnya ‘kelompok kata’ atau ‘frase’. Kombinasi frase yang membentuk klausa, dan
klausa dengan klausa akan membentuk kalimat yang kompleks. Fairclough melihat klausa
bersifat multifungsional dan karena itu klausa merupakan kombinasi ideasional,
interpersonal (identitas dan relasi) serta makna teks. Pilihan seseorang atas design atau
struktur suatu klausa sekaligus merupakan cara dimana ia menandai dan membentuk
identitas sosial, hubungan sosial, pengetahuan, dan kepercayaan. Kajian tata bahasa akan
diikuti dengan kajian kosakata. Identifikasi kosakata sebetulnya dapat dilakukan dalam
banyak cara, hal ini karena satu kosakata dapat memiliki makna ganda dan tidak dapat
dibatasi dalam pengertian kamus sebab kosakata itu sendiri akan berkaitan dengan wilayah,
institusi, praktek, nilai, dan perspektif yang berbeda. Untuk merujuk pada analisa kosakata,
Fairclough menggunakan istilah “susunan kata” (wording) yang sekaligus menandai proses
leksikalisasi dan pengertian kata. Dalam analisa kosakata atau susunan kata, tiga fokus
utamanya ialah; (1) susunan kata serta makna politis dan ideologisnya. Di sini yang dilihat
13
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.73-78.
©UKDW
![Page 10: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/10.jpg)
11
ialah bagaimana suatu isu dalam wilayah pengalaman tertentu “diistilahkan” kembali
(reworded). (2) Fokus keduanya ialah terletak pada makna kata terutama bagaimana makna
kata-kata itu dikemukakan dalam konteks yang lebih luas. Di sini ia juga melihat hubungan
makna kata dengan bentuk hegemoni. (3) Fokus selanjutnya ialah pada metafor, pada
kepentingan ideologis dan politis dari suatu metafor tertentu, dan konflik antar metafor-
metafor alternatif.
Analisa tata bahasa dan kosakata diikuti dengan analisa kepaduan atau kohesi. Dalam
analisa kohesi, orang harus melihat hubungan klausa dengan klausa yang membentuk
kalimat, serta hubungan antar kalimat yang membentuk unit yang lebih besar dalam teks
(misalnya paragraf). Hubungan ini dicapai dalam banyak cara: (1) melalui penggunaan
kosakata, pengulangan kata, penggunaan sinonim yang lebih dekat, (2) melalui perangkat-
perangkat yang merujuk atau mengganti (kata ganti, artikel tertentu, kata ganti penunjuk,
dll.), (2) melalui kata penghubung (oleh karena itu, walaupun, dan, tapi, dll.). Fokus
terhadap kohesifitas merupakan cara dimana Foucault menunjuk pada skema retorik yang
beragam berdasarkan kelompok pernyataan yang dikombinasikan (bagaimana deskripsi,
deduksi, dan defenisi mencirikan arsitektur teks dihubungkan.
Analisa struktur teks juga menjadi penting untuk melihat bentuk atau design sebuah
wacana. Analisa ini juga meliputi bagaimana unsur-unsur atau episode dikombinasikan,
bagaimana rangkaiannya, dll. Dari analisa struktur teks kita juga akan dapat melihat bentuk
teks suatu teks ialah monolog ataukah dialog.
Analisa kedua dalam CDA Fairclough ialah analisis Praktek Wacana (Discursive
Practice). Asumsi dasar analisa ini ialah bahwa suatu teks dalam bentuknya yang sekarang
tentu saja telah melewati proses produksi, distribusi, dan konsumsi (termasuk interpretasi).
Semua proses yang menghasilkan berbagai wacana yang beragam tentu tidak terlepas dari
pengaruh faktor-faktor sosial (terutama konteks sosial). Fairclough memberi contoh artikel
suatu majalah tentu diproduksi di dalam rutinitas kolektif yang kompleks, melalui suatu tim
yang terdiri dari anggota-anggota yang berbeda, serta melalui suatu tahapan produksi yang
berbeda pula. Analisa produksi diperuntukan untuk melihat bagaimana wacana itu
dibangun dan siapa yang turut terlibat dalam mengembangkannya (baik personal maupun
kolektif). Sementara analisa konsumsi berkaitan dengan bagaimana wacana yang sama
berkembang dan dikonsumsikan oleh komunitas. Sama seperi produksi, konsumsi bisa
©UKDW
![Page 11: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/11.jpg)
12
bersifat individual maupun kolektif. Sebagian teks-teks yang dikonsumsi dapat direkam,
dicatat, dipelihara, dibaca kembali, dst. Sebaliknya ada juga yang setelah itu tidak lagi
dapat dipergunakan melainkan dibuang. Analisa terakhir dalam proses analisis terhadap
praktek wacana ialah analisa distribusi untuk melihat bagaimana proses sebuah wacana
(teks) dapat sampai kepada orang dalam konteks yang berbeda.14
Fairclough juga mengindikasikan bahwa interpretasi teks tidak dapat dilepaskan dari
analisa konteks. Konteks di sini ialah konteks teks. Dalam kaitan dengan analisa konteks
teks, ia menjelaskan tentang kekuatan (force) suatu pernyataan. Baginya, kekuataan suatu
teks merupakan bagian dari komponen yang sifatnya aksional. Berdasarkan analisa ini kita
dapat melihat sifat sebuah statement di dalam teks, apakah termasuk kategori memberi
perintah, mengajukan pertanyaan, janji, keyakinan, dll.
Jika ada yang melihat koherensi sebagai suatu ciri teks, maka Fairclough melihatnya
sebagai ciri interpretasi. Teks yang koheren ialah teks yang memiliki bagian-bagian yang
menyatu (episode dan kalimat) tentu yang berhubungan dengan teks secara keseluruhan dan
membentuk “makna”. Fairclough juga melihat aspek intertekstualitas. Secara mendasar,
intertekstualitas ialah ciri dari suatu teks yang punya hubungan dengan teks-teks lain, yang
mungkin dibatasi dan muncul secara eksplisit. Teks yang muncul sebelumnya sebetulnya
punya pengaruh terhadap suatu teks yang ada, dimana terjadi saling menanggapi serta
adanya antisipasi terhadap teks yang muncul kemudian. Dalam analisa intertekstual, ada
empat aspek yang turut mendapat perhatian (1) kutipan langsung ataupun tidak langsung,
(2) bahasa publik ataupun personal, (3) intertekstualitas yang manifest (meliputi
representasi wacana, pengandaian, negasi, ironi, dan metawacana), serta (4) interdiskursus
(meliputi genre, tipe aktifitas, gaya, dan wacana).
Analisa yang sangat penting dalam pendekatan Fairclough ialah Analisis Praktek Sosial
(Social Practice). Analisa ini diperlukan untuk melihat hubungan wacana dengan ideologi
dan kekuasaan, dan meletakkan wacana dalam pandangan kekuasaan sebagai hegemoni,
serta pandangan mengenai evolusi hubungan kekuasaan sebagai perjuangan hegemonis.
Untuk kepentingan ini, Fairclough mengikuti kerangka pikir Althusser dan Gramsci. Dalam
menganalisa suatu wacana, perhatian harus diarahkan terhadap: pertama, ideologi.
Pandangannya mengenai ideologi sangat dipengaruhi oleh Althusser yang memberi dasar
14
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.78-86.
©UKDW
![Page 12: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/12.jpg)
13
bagi perdebatan mengenai hal ini (sekalipun pada akhirnya tidak sepenuhnya pandangan
Althusser mengenai ideologi diadospsinya, terutama asumsi bahwa ideologi secara umum
ialah perekat sosial yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat). Mengenai ideologi,
Fairclough mengemukakan tigas asumsi dasar; (i) ideologi sebagai material berada di
dalam praktek institusi yang membantu untuk menginvestigasi praktek wacana sebagai
suatu bentuk material ideologi. (ii) Ideologi turut berkaitan dengan pandangan mengenai
keberadaan subjek. (iii) Alat-alat negara yang sifatnya ideologis (institusi seperti
pendidikan dan media) berada di dalam perjuangan ideologis.
Fairclough sendiri melihat bahwa ideologi ialah petunjuk atau konstruksi dari realitas
sosial (dunia fisik, hubungan sosial, dan identitas sosial) yang dibangun di dalam beragam
dimensi bentuk atau makna praktek wacana, dan turut berkontribusi terhadap produksi,
reproduksi, atau transformasi hubungan dominasi. Pandangan ini mirip dengan pandangan
Thompson yang melihat penggunaan bahasa dan bentuk-bentuk simbolik lainnya sebagai
yang bersifat ideologis sebab turut membangun dan mendorong hubungan kekuasaan.
Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa Fairclough berupaya untuk menyingkapkan
warisan-warisan ideologis yang termanifestasi di dalam wacana yang tujuannya cenderung
untuk memperkuat hubungan-hubungan kekuasaan serta melanggengkan dan
mentransformasikannya. Singkatnya, dalam suatu wacana tentu ada kepentingan-
kepentingan yang ter-manifest melalui ideologi.15
Fairclough juga meyakini bahwa ideologi terselip di dalam bahasa dalam cara serta
tingkatan yang beragam. Oleh karena itu, untuk menemukan ideologi, baginya, kita harus
berupaya mengidentifikasi apa yang dibahasakannya sebagai locations of ideology (tempat
ideologi). Ideologi suatu wacana umumnya dapat ditemukan di dalam; (1) Struktur dalam
wilayah ini fokus harus diarahkan terhadap kode-kode tertentu, struktur, serta formasi
wacana. Identifikasi akan hal ini tidaklah cukup, dan karena itu perlu juga melihat (2)
peristiwa atau ‘event’ yang menyoroti ideologi sebagai suatu proses, transformasi, dan
perubahan. Struktur (urutan wacana) menjadi penting sebab identifikasi terhadapnya akan
membantu kita menemukan akibat dari suatu proses di masa lampau serta kondisi saat ini,
sedangkan analisa peristiwa akan menolong untuk mereproduksi dan mentransformasi
struktur yang dikondisikan. Ada yang melihat juga bahwa ideologi berada di dalam teks.
15
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.86-91.
©UKDW
![Page 13: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/13.jpg)
14
Fairclough menolak asumsi ini dengan menyatakan bahwa tidak mungkin kita menemukan
ideologi di dalam teks (mungkin maksudnya ialah tulisan?) sebab makna baru dapat
diperoleh melalui interpretasi yang mungkin berbeda juga sesuai kepentingan ideologis.
Pertanyaan lain yang mendasar juga ialah dalam ciri serta tingkatan seperti apa suatu
ideologi ditanam. Fairclough melihat hal ini dengan menunjuk pada ‘makna’ atau ‘makna
kata’ (terkadang disebut dengan isi dan bukan bentuk). Baginya, makna suatu teks atau
wacana sangat ideologis. Aspek-aspek makna yang juga turut mengandung ideologi ialah
pengandaian, metafora, dan koherensi teks. Sekalipun begitu, perbedaan yang besar antara
isi, makna dan bentuk tidak harus selalu terjadi, sebab makna suatu teks sangat
berhubungan dengan bentuk teks tersebut. Bukan hanya makna, bentuk, dan isi, tapi juga
gaya (style) suatu teks bisa mengandung ideologi tertentu.
Fairclough akhirnya menyatakan bahwa tidak semua wacana mengandung ideologi
diskriminatif. Kandungan ideologis suatu wacana tergantung pada sejauh mana suatu
wacana memberi kontribusi dalam menopang dan merekonstruksi hubungan-hubungan
kekuasaan. Ideologi yang dibangun tentu berakar di dalam masyarakat dan dicirikan dalam
relasi dominasi kelas, gender, kultur, kelompok dan sebagainya. Ia juga melihat bahwa
subjek dalam wacana ditampilkan secara ideologis, namun di pihak lain subjek ini sendiri
memiliki kepentingan lain.
Hal yang kedua ialah dalam analisa praktek sosial ialah analisa hegemoni. Di sini
Fairclough turut dipengaruhi oleh pandangan Gramsci (1971). Ia melihat bahwa hegemoni
merupakan kepemimpinan atau dominasi atas berbagai wilayah publik dalam masyarakat,
seperti ekonomi, politik, kultural, dll. Hegemoni mendorong terjadinya perjuangan untuk
mencapai kepentingan tertentu. Perjuangan hegemoni dapat terjadi dalam lingkungan yang
lebih luas, meliputi institusi masyarakat sipil seperti pendidikan, keluarga, bahkan juga
institusi agama (mis. gereja), dll. Dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi terjadi
juga perjuangan hegemonis. Oleh karena itu, dalam analisa wacana diperlukan upaya untuk
melihat relasi-relasi hegemoni yang ada.16
16
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.91-96.
©UKDW
![Page 14: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/14.jpg)
15
b. Pandangan Keselamatan dalam Perspektif Pluralisme Agama – John Hick
Dalam perspektif teolog agama-agama, dalam hal ini John Hick, pandangan mengenai
keselamatan dalam konteks plralisme dewasa ini harusnya dimulai dengan observasi
terhadap realitas moralitas manusia pada umumnya yang menunjukkan bahwa kualitas
moral suatu penganut tradisi tertentu seperti kekristenan tidaklah lebih baik dari yang
lainnya, atau juga sebaliknya oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa di dalam
keduanya sama-sama ada yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, tidak dapat
disimpulkan bahwa kekristenan lebih superior dari tradisi-tradisi lain secara moral. Dalam
praksis penganut agama-agama lain sendiri esensi dari pengajaran Yesus bisa dijumpai;
memberi makan yang lapar dan minum pada yang haus, menerima orang asing, memberi
pakaian bagi yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara (Mat. 25:31-46)
merupakan praksis-praksis moral yang dikehendaki oleh Yesus. Praksis-praksis seperti ini
tidak partikular hanya dalam kekristenan saja, melainkan bersifat universal dan ditemukan
di agama-agama lain juga. Bahkan, dalam banyak hal pun orang Kristen sendiri terbukti
tidak lebih baik dari para penganut agama lain. Jika demikian, maka bagi Hick, pemahaman
mengenai keselamatan yang konvensional harus diubah ke pandangan yang universal,
sebab pertanyaan yang paling menggelisahkan di sini ialah bahwa “apakah penganut agama
lain yang secara moral baik bisa diselamatkan?”17
Hick melihat bahwa konsep keselamatan yang selama ini dikembangkan ialah
berdasarkan pada peristiwa Yesus di Salib. Jika keselamatan dideskripsikan dan
didefenisikan sebagai pengampunan dan penerimaan oleh Allah melalui kematian Yesus di
kayu salib, maka memang kita akan terjebak ke dalam semacam tautologi yang
menekankan posisi kekristenan sebagai satu-satunya agama yang mengenal dan
memberitakan keselamatan itu, sebab Yesus sebagai dasar iman Kristen dilihat sebagai
sumber keselamatan. Baginya, keselamatan harusnya diihat sebagai suatu realitas yang
terungkap dan termanifestasi di dalam relasi kehidupan manusia setiap hari dan ditandai
dengan “perubahan” atau “transformasi”. Yang dimaksudkan dengan transformasi di sini
ialah pergeseran dari “egosentrisme” atau self-centeredness menuju ke the Real-
centeredness. Egosentrisme sendiri merupakan akar dari seluruh kejahatan manusia,
17
John Hick, “ A Pluralist View”, dalam Four Views on Salvation in a Pluralistic World, Eds. By Dennis L. Okhlom
dan Timothy R. Philips, (Grand Rapids: Zondervan, 1995), h. 42.
©UKDW
![Page 15: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/15.jpg)
16
sedangkan the Real-centeredness menempatkan Allah sebagai yang utama. Pengutamaan
the Real akan berdampak pada “buah-buah roh”. Inilah yang kemudian akan mempengaruhi
perubahan yang signifikan dalam realitas.18
Jacques Dupuis mengatakan bahwa Hick
menggunakan istilah the Real untuk menunjuk kepada Realitas Terakhir yang dalam tradisi
Kristen dikenal dengan nama Allah. Substitusi istilah itu memiliki tujuan supaya merangkul
semua pandangan agama-agama mengenai tujuan akhir semua agama-agama.19
Jika keselamatan dimanifestasi di dalam “transformasi” realitas, maka Hick
berkesimpulan bahwa keselamatan dapat juga dijumpai di dalam agama-agama lain, bahkan
mungkin juga di luar tradisi-tradisi teistik, yang menempatkan transformasi kualitas sebagai
yang diprioritaskan. Kriteria yang paling umum untuk melihat manifestasi keselamatan
sekarang bukan lagi teori-teori teologis melainkan realitas yang dapat diamati dalam
kehidupan nyata manusia. Oleh karena itu, keselamatan bukan lagi merupakan suatu
“transaksi yuridis” di “sorga” ataupun suatu harapan-harapan di luar kehidupan sekarang
ini, tetapi merupakan perubahan yang holistik dalam struktur kehidupan realitas, baik
spiritual, moral, sosial, dan politik yang telah dimulai sekarang.
Istilah keselamatan (salvation) sendiri dinilai Hick sebagai istilah Kristen yang sejajar
dengan penebusan (redemption) dalam Yudaisme; ketaatan total kepada Allah (total
submission to God) yang dilihat sebagai pemberi hidup bagi manusia (dalam Islam);
pembebasan (liberation), pencerahan (enlightment), dan kebangkitan (awakening) dalam
agama-agama Timur. Semua istilah yang beragam yang menggambarkan keselamatan ini
bertujuan untuk menjelaskan hal yang sama, yakni the Real-centeredness yang
menghendaki transformasi dalam praksis. Dengan demikian, sekali lagi bahwa keselamatan
juga dapat dijumpai dalam agama-agama lain.
Dengan menyoroti the Real sebagai yang utama, maka Hick kembali menempatkan
Allah sebagai sumber keselamatan. Ia menggunakan beragam istilah untuk menyebut Allah
di samping the Real, mis. the Ultimate, the Transcendent, dan Ultimate Reality.
Penggunaan istilah-istilah yang beragam ini ialah untuk menegaskan bahwa Allah
melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia. Ia meminjam pendapat para bapa gereja dan
teolog tradisonal maupun kontemporer yang sama-sama menekankan bahwa pandangan
18
John Hick, “A Pluralist View”, h. 43. 19
Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll: Orbis Books, 1998), h. 308.
©UKDW
![Page 16: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022022804/5c8fa69209d3f28e0f8ce6e3/html5/thumbnails/16.jpg)
17
yang dikonstruksikan selama ini belumlah cukup apalagi sepenuhnya dapat memahami
realitas yang transenden itu, karena ia merupakan Notum Ignotum (yang dikenal dan tidak
dikenal)20
. Sebagai yang dikenal ia merepresentasikan dirinya melalui figur-figur tertentu
yang menjadi mediator dalam agama-agama, dan di pihak yang lain ia tetap menjadi the
Real a se – Allahpada diri-Nya tidak bisa dikenal secara utuh. Oleh karena itu, setiap
penganut agama hanya perlu menyembah Allah melalui figur yang dijumpai di dalam
agamanya.
Pandangan Hick mengenai keselamatan sebagai transformasi sosial tidak hanya
menegaskan posisi Allah sebagai sumber keselamatan, tetapi juga bahwa dimensi
keselamatan itu sendiri bersifat presentis, yakni sesuatu yang bukan di luar realitas duniawi
sekarang ini, serta mengambil wujudnya bukan dalam rumusan teologi atau identitas sosial,
melainkan praksis.
20
Paul F. Knitter, “Foundations for a Multifaith Pluralistic Theology”, dalam Toward a Planetary Theology, Ed. By. Jose
Maria Vigil, (Montreal: Dunamis Publisher, 2010), h. 77.
©UKDW