- amanullah ginanajar 070417444 (bc)

Upload: fathur-rahman-pamungkas

Post on 08-Jan-2016

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Artikel Jurnal

TRANSCRIPT

PENGGAMBARAN PERANG DALAM ANIME GRAVE OF THE FIREFLIES

Oleh: Amanullah Ginanjar Wicaksono (070417444)

[email protected] ABSTRAKSebagai salah satu media komunikasi massa, film dikenal karena kemampuannya menyampaikan pesan kepada audiens, mulai dari kampanye, propaganda, hingga kritik. Perang tidak luput dari kritik. Salah satunya direpresentasikan melalui anime atau film animasi Jepang berjudul Grave of the Fireflies. Dalam anime yang berkisah mengenai akhir Perang Dunia II ini, tema anti-perang digambarkan melalui berbagai macam adegan. Peneliti berupaya menunjukkan bagaimana bangsa Jepang merepresentasikan perang melalui anime Grave of the Fireflies dengan menggunakan kerangka analisis tiga level Fiske. Dari hasil analisa anime Grave of the Fireflies, diperoleh beberapa gambaran mengenai bagaimana bangsa Jepang merepresentasikan perang di mana mereka terlibat di dalamnya melalui karya audio visual. Pertama, bagaimana bangsa Jepang menggambarkan musuh. Kedua, bagaimana mereka memotret perang. Ketiga, perjuangan rakyat sipil di garis belakang (di dalam negeri). Penelitian ini diharapkan bisa memberi gambaran bagaimana bangsa Jepang merepresentasikan perang dan bisa menjadi sumber wacana bagi penelitian lebih lanjut mengenai penggambaran perang dalam film.

Kata kunci: film, anime, perang, representasiPENDAHULUANFilm menjadi media untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak karena kemampuannya untuk menggerakkan dan mempengaruhi khalayak luas. Mulai dari kampanye, propaganda, hingga kritik. Film dianggap sangat efektif dalam menyampaikan pesan karena kedekatan dengan audiens dan sifatnya yang masif. Film juga dapat dimaksudkan sebagai sarana kritik sosial.Perang, konflik, dan segala tragedi kekerasan yang terjadi di dunia pada masa-masa ini tidak luput dari kritik. Beberapa film perang menyeimbangkan antara pencarian identitas, konsekuensi tragis, dan pergolakan batin di dalam kombatan atau karakter yang digabungkan dengan aksi, drama, dan ilustrasi menegangkan dan penuh pergolakan di medan perang. Beberapa film perang juga lebih berkonsentrasi pada kampung halaman daripada konflik pada garis depan peperangan. Meski demikian, banyak di antara keduanya yang memberikan kritikan terhadap peperangan yang tidak berperasaan.

Tidak hanya sineas-sineas Barat yang memandang perang sebagai peristiwa tragis dan sia-sia, dan mengkritiknya melalui film karya mereka. Jepang pun sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, memiliki trauma mendalam terhadap perang, terutama akibat dijatuhkannya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara Sekutu. Trauma tersebut membuat bangsa Jepang modern mengembangkan budaya anti-perang yang kuat. Sentimen anti-perang meresap ke dalam setiap sendi budaya masyarakat Jepang modern, dan kadang menjelma dalam bentuk hiburan populer, termasuk film.

Sentimen tersebut tidak hanya diwujudkan dalam film atau sinema konvensional. Sineas Jepang juga memunculkan tema anti-perang dalam bentuk lain budaya populer di masyarakat Jepang, yaitu anime atau film animasi. Dari beberapa anime bertema anti-perang yang ada, anime Grave of the Fireflies memiliki sebuah catatan menarik. . Grave of the Fireflies, atau dalam bahasa Jepang disebut Hotaru no Haka, diproduksi oleh Studio Ghibli pada tahun 1988, dengan Isao Takahata sebagai sutradara dan penulis. Grave of the Fireflies yang diangkat dari novel karya Akiyuki Nosaka ini meraih berbagai penghargaan dalam festival film internasional. Selain itu, sutradara Isao Takahata dan penulis Akiyuki Nosaka juga termasuk dalam generasi yang telah merasakan pahitnya Perang Dunia II. Nosaka membuat novel Hotaru no Haka ini sebagai semi-otobiografi dirinya, sebagai bentuk permintaan maaf pada adik perempuannya, yang meninggal akibat kurang gizi, pada tahun 1945.

Grave of Fireflies bercerita tentang kehidupan dua orang kakak beradik, Seita dan Setsuko Yokokawa, di masa akhir Perang Dunia II. Terpisah dari Ayah mereka yang menjadi perwira dalam Angkatan Laut Kerajaan Jepang, dan kehilangan sang Ibu akibat serangan udara pasukan Sekutu, membuat Seita sangat melindungi adik perempuannya, Setsuko. Seita dan Setsuko harus menjalani kehidupan yang berat di masa akhir Perang Dunia II.Anime dipilih sebagai obyek penelitian karena anime adalah bentuk budaya populer yang mudah diterima oleh berbagai kalangan. Anime dapat menembus berbagai barrier seperti ras, budaya, usia, dan negara. Anime bisa ditonton oleh anak-anak maupun orang dewasa. Hal lain yang membuat anime menjadi istimewa adalah kemampuannya melewati batas ras, budaya, dan negara.Melihat latar belakang yang telah dijabarkan, peneliti ingin memperlihatkan sudut pandang lain dari sebuah anime dalam menanggapi suatu pesan yang serius. Peneliti ingin memperlihatkan bahwa anime tidak selamanya hanya menampilkan kekerasan belaka. Namun di balik penggambaran kekerasan tersebut diharapkan dapat juga diperlihatkan suatu pesan mulia bagi dunia.

Maka dengan dilakukannya penilitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan pesan anti-perang dalam anime Grave of the Fireflies, sehingga didapat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana penggambaran perang oleh bangsa Jepang melalui anime Grave of the Fireflies?Masyarakat Jepang dan Gerakan Anti-Perang

Jepang mengembangkan sikap anti-perang setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II. Sebagai negara yang kalah perang, Jepang harus melucuti persenjataannya, dan dipaksa menandatangani perjanjian yang mencegah negara tersebut mempersenjatai diri kembali.

Jepang merupakan satu-satunya negara di dunia yang pernah menjadi korban serangan bom nuklir. Dua bom nuklir yang dijatuhkan di Kota Hiroshima dan Kota Nagasaki menyebabkan ribuan orang tewas, lingkungan rusak, dan kehancuran yang masif.

Selain trauma akibat pengeboman nuklir terhadap Kota Hiroshima dan Nagasaki, bagi generasi-generasi yang pernah hidup pada masa perang juga masih mengingat penderitaan paling membuat putus asa pada masa akhir perang, yaitu bencana kelaparan. Bencana kelaparan sebagai salah satu pengalaman paling akrab (dan paling panjang untuk diingat) bagi masyarakat Jepang selama tahun-tahun peperangan dan periode-periode selanjutnya (Kosaka, 1972: 14).

Trauma-trauma sejarah semacam itu membentuk suatu budaya baru dalam diri bangsa Jepang. Tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya, bangsa Jepang memutuskan untuk memulai suatu hal baru usai perang. Meskipun mengalami kekalahan, bangsa Jepang tidak yakin bahwa semuanya hilang, mereka justru yakin ada sesuatu yang dapat mereka lakukan.Pendekatan Semiotik dalam Film

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model semiotik Peirce. Model ini dapat diterapkan pada gejala yang tidak dihasilkan oleh manusia, seperti gejala meteorologis dan macam indeks lain. Dikarenakan anime memiliki simbol-simbol yang kompleks, maka semiotik Peirce yang akan digunakan untuk penelitian ini. Terlebih lagi, semiotik Peirce lebih sering digunakan untuk meneliti bahasa, gambar, penampilan, dan ekspresi lain, yang banyak terdapat pada karya-karya seni, terutama film.

Model semiotik Peirce menjelaskan hubungan antara tanda atau lambang, obyek, dan interpretan, yang dijelaskan melalui model segitiga Peirce berikut:

Model semiotik Charles Saunders Peirce

Sign

Interpretant

Object

Panah bolak-balik menjelaskan bahwa ketiga elemen hanya bisa dipahami bila antar ketiganya saling berhubungan. Sign mengacu pada sesuatu di luar dirinya, yaitu object yang dipahami oleh seseorang yang memakai atau menerimanya, yang disebut interpretant. Interpretant dalam hal ini bukanlah pemakai tanda, melainkan suatu konsep mental yang diproduksi oleh tanda maupun pengalaman pemakai tanda tentang obyek yang dimaksud. Object sendiri dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

Ikon (icon), ketika sign berhubungan dengan obyek berdasarkan kemiripan

Simbol (symbol), yaitu ketika sign berhubungan dengan obyek berdasar makna yang konvensional atau disepakati

Index, yaitu ketika sign berhubungan dengan sebab akibat dengan obyek.

Ikon dijelaskan sebagai tanda yang berarti sesuatu yang lain karena ia mirip dengan sesuatu tersebut, sesuatu yang ambil bagian dalam membentuk sifat-sifat obyek itu, atau sebagai tanda yang kualitasnya mirip dengan kualitas obyek itu, dan membangkitkan sensasi yang sama dari dalam pemikiran karena kesamaannya. Dengan kata lain, ikonisitas mencakup kemiripan hubungan-hubungan abstrak atau homologi-homologi struktural (Noth, 2006: 122-123).Jika model segitiga Peirce dikaitkan dengan konteks penelitian tema anti-perang dalam anime Grave of the Fireflies, maka tema anti-perang merupakan interpretasi atas pengalaman dan pengetahuan pemakai atau penerima pesan. Sementara, tema anti-perang yang dipahami oleh pemakai atau penerima pesan merupakan obyek. Sign, sebagai sesuatu yang mengacu pada obyek dalam hal ini tema anti-perang merupakan cara untuk merepresentasikan tema anti-perang dalam anime Grave of the Fireflies. Ikon digunakan sebagai representasi tema anti-perang karena adanya kemiripan, simbol digunakan sebagai representasi tema anti-perang karena adanya kesepakatan, dan index digunakan sebagai representasi hubungan sebab akibat dengan tema anti-perang.RepresentasiRepresentasi merupakan penghubung antara konsep dam bahasa yang memungkinkan kita untuk merujuk kepada obyek asli, manusia atau kejadian, atau bahkan dunia imajiner dari obyek, manusia dan kejadian fiksi.

Salah satu teori yang menjelaskan proses representasi melalui bahasa adalah constructionist approach. constructionist approach menganggap bukan obyek atau pengguna bahasa yang dapat menjelaskan makna dalam bahasa. Benda-benda dan hal-hal tidak bermakna, namun kitalah yang menkonstruksi makna, menggunakan sistem representasi, melalui konsep dan tanda.

Constructionist approach ini sangat sesuai digunakan untuk menganalisa bahasa dan sistem tanda dalam anime, karena menganggap manusia atau komunikatorlah yang memberi makna pada obyek. Komunikator, dalam hal ini kreator anime, dapat memberi makna dan merepresentasikan konsep anti perang melalui anime karyanya.

Analisis semiotik yang diterapkan untuk film animasi bisa disetarakan dengan analisis semiotik pada film di layar lebar atau televisi dan analisis tersebut terbagi dalam tiga level yaitu

1. Level realitas (reality). Realitas bisa berupa lingkungan, perilaku, ucapan, gestur, ekspresi, suara, dan sebagainya.

2. Level representasi (representation), meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dialog, suara, dan narasi.

3. Level ideologi (ideology) diorganisasikan ke dalam kesatuan atau koherensi dan penerimaan sosial (social acceptability), yang dalam penelitian ini adalah pesan anti-perang.

Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Mengamati simbol-simbol yang ditampilkan dan dialog yang diucapkan oleh karakter-karakter dalam Grave of the Fireflies, melalui DVD anime Grave of the Fireflies.

2. Studi kepustakaan sebagai acuan dalam menganalisa sistem tanda yang diperlihatkan oleh karakter-karakter dalam anime Grave of the Fireflies, untuk dihubungkan dengan pandangan tema anti-perang.

Analisa data dilakukan secara kualitatif, dengan cara peneliti mengamati signs atau sistem tanda yang tampak dalam karakter-karakter Grave of the Fireflies, kemudian pemaknaan dilakukan melalui interpretasi terhadap signal sistem tanda tersebut sesuai dengan frame of reference dan field of experience peneliti.PEMBAHASANEfek Perang dalam Masyarakat

Rangkaian adegan-adegan merupakan awal film Grave of the Fireflies, menggambarkan suasana akhir Perang Dunia II, di mana Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Saat itu Jepang menunggu proses peradilan dan pengalihan kekuasaan, bahan makanan menjadi langka, kelaparan terjadi di mana-mana, kriminalitas merajalela, dan banyak korban yang berjatuhan. Kematian karena kelaparan dan gelandangan setiap hari terlihat, sehingga menjadi pemandangan biasa. Dalam keadaan sulit tersebut, orang-orang menjadi lebih mementingkan diri sendiri, karena bagi mereka pun hidup sudah sangat keras dan sulit, sehingga menolong orang lain menjadi prioritas terakhir.Film yang dibuka dengan kemunculan tokoh utama dalam wujud roh di dekat tubuhnya sendiri yang sedang sekarat menunjukkan bagaimana film ini berakhir. Roh Seita yang menunjukkan wajah tanpa ekspresi ketika melihat dirinya sendiri sekarat memperlihatkan kepasrahan dan ketidakberdayaan dirinya sendiri menghadapi nasib dan kekejaman perang. Ekspresi Seita itu memperkuat kesan ketidakberayaan, penderitaan, dan patut dikasihani.

Anihilisme (Gambaran Samar) tentang Musuh

Dalam film ini, meskipun perang sedang berlangsung dengan sengit, bom-bom berjatuhan, rumah-rumah terbakar, penduduk mengungsi, sosok musuh yang menjatuhkan bom atau melakukan serangan sama sekali tidak terlihat. Sesekali terlihat adanya pesawat-pesawat yang melakukan penyerangan, namun pesawat-pesawat tersebut digambarkan dari jarak yang sangat jauh, berwarna gelap, dan tidak membawa lambang apa pun yang menunjukkan identitas pesawat tersebut.

Bisa dikatakan, bangsa Jepang dalam menggambarkan perang melalui film, di mana mereka terlibat di dalamya, mereka sama sekali tidak menunjuk secara langsung siapa musuh mereka. Meskipun dalam sejarah tertulis dengan jelas mereka berperang melawan siapa, dalam film buatan mereka sama sekali tidak ditunjukkan siapa yang mereka perangi. Hal ini, jika dilihat dari perspektif bangsa Jepang setelah masa Perang Dunia II yang menolak perang, bisa berarti menggambarkan dalam Perang Dunia II bangsa Jepang berperang atau berjuang melawan diri sendiri demi menunjukkan sisi kemanusiawian tokoh utama (Masters, dalam Dissanayake, 1994: 2).

Anime ini banyak menunjukkan akibat buruk perang yang harus ditanggung oleh rakyat sipil. Pemandangan kota yang hancur disajikan dengan pengambilan gambar secara medium long-shot dan extreme long-shot untuk menunjukkan kerusakan secara keseluruhan. Rasa kehilangan dan kegamangan karena tercerabut dari akar-akar sosial terlihat dari dialog tokoh utama ketika menjelajahi kota.

Kehilangan rumah dan harta benda membuat tokoh utama dalam film ini menjadi seorang pengungsi. Sebagai pengungsi, mereka akan hidup bersama dalam suatu komunitas besar. Secara psikologis mereka tidak lagi memiliki batasan-batasan privasi. Para pengungsi juga tidak tahu akan dibawa ke mana masa depan mereka. Kehilangan pegangan dan hal-hal pribadi yang mereka kenal selama ini membuat pengungsi bingung akan masa depan mereka. Hal inilah yang menimbulkan kegamangan seseorang yang hidup dalam pengungsian.

Isu-isu Moral dan Kemanusiaan dalam Perang

Jepang pada masa Perang Dunia II dikuasai oleh paham fasisme. Pada masa itu pula, perang dan penaklukan terhadap bangsa lain dianggap sebagai tujuan nasiona bangsa Jepang. Bangsa Jepang menganggap diri sebagai keturunan Dewa Matahari, menganggap diri bertanggung jawab untuk menyebarkan buah modernisasi yang telah mereka raih kepada bangsa lain yang masih tertinggal di Asia Timur.

Selama masa Perang Dunia II, rakyat Jepang diharuskan memberi kontribusi kepada negara dan tujuan nasional. Rakyat diwajibkan membantu usaha perang negara baik dengan tenaga maupun materi. Imbalannya, mereka mendapatkan bantuan, jabatan, dan berbagai fasilitas dari pihak militer. Sementara, bagi mereka yang menolak pandangan perang, akan ditangkap, dipenjara, dijauhi, dan diasingkan oleh komunitas.

Ini juga yang terjadi dalam film itu. Ketika ibu tokoh utama tewas, dia harus pindah ke desa dan tinggal di rumah bibinya. Bibi tokoh utama ini adalah salah seorang pendukung upaya perang negara. Sang tokoh ini kemudian memutuskan pindah dari rumah sang bibi ke tempat perlindungan menggambarkan keinginannya untuk menjauh dan menolak komunitas yang mendukung perang.

Tokoh utama memilih meninggalkan aturan dalam masyarakat dan hidup dengan caranya sendiri, sekalipun mereka harus terasing dari masyarakat. Bahkan, ketika dalam keadaan sulit dan mereka ditawari untuk kembali ke bibinya dan mendukung perang, dia lebih memilih hidup dengan jalan mereka sendiri. Secara simbolik, perpindahan ini menunjukkan sikap menolak perang.KESIMPULANTidak seperti film perang biasa yang berfokus pada perjuangan di garis depan pertempuran, anime Grave of the Fireflies ini lebih berkonsentrasi pada perjuangan hidup di kampung halaman. Thompson dan Bordwell menyebutkan, film anti-perang biasanya memasukkan tema-teman mengenai perjuangan dan pengorbanan, kekerasan dan ketidakmanusiawian dalam peperangan, efek perang dalam masyarakat, dan eksplorasi mendalam terhadap isu-isu moral dan kemanusiaan.

Dalam film ini, sosok musuh yang harus diperangi sama sekali tidak terlihat atau disamarkan. Bangsa Jepang dalam menggambarkan perang melalui film, di mana mereka terlibat di dalamya, sama sekali tidak menunjuk secara langsung siapa musuh mereka. Meskipun dalam sejarah tertulis dengan jelas mereka berperang melawan siapa, dalam film buatan mereka sama sekali tidak ditunjukkan siapa yang mereka perangi. Hal ini, bisa berarti menggambarkan dalam Perang Dunia II bangsa Jepang berperang atau berjuang melawan diri sendiri demi menunjukkan sisi kemanusiawian tokoh utama.

Isu-isu moral selalu muncul pada masa perang. Bisakah perang menjadi cara untuk mencapai kedamaian? Pertanyaan utama yang selalu muncul dalam konflik negara, sama seperti yang dihadapi oleh tokoh utama dalam film ini. Meski demikian, tokoh utama dalam film ini menjawab dengan cara mereka sendiri. Ketika lingkungan mereka menyetujui dan mendukung perlunya perang, mereka memilih untuk menolak ide tersebut dan hidup sendiri dengan cara mereka. Bahkan, film ini menunjukkan pada akhirnya tokoh utama menjadi korban yang tidak bersalah dari peperangan yang dilakukan atas dasar hasrat dan ambisi. Dengan kata lain, film ini merepresentasikan ketidaksetujuan pada perang.DAFTAR PUSTAKADissanayake, Wimal (editor). 1994. Colonialism and Nationalism in Asian Cinema. Bloomington and Indianapolis. Indiana University Press.

Hall, Stuart. 2002. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London. Sage Publications.

Kosaka, Masakata. 1972. 100 Million Japanese. Tokyo. Kodansha International Ltd.

Maruyama, Masao. 1979. Thought and Behaviour in Modern Japanese Politics. Tokyo. Oxford University Press.

McQuail, Denis. 2000. McQuails Mass Communication Theory. London. Sage Publications.

Noth, Winfried. 2006. Semiotik. Surabaya. Airlangga University Press.

Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Thompson, Kristin & Bordwell, David. 2003. Film History: An Introduction. New York. McGraw-Hill

Thwaites, Tony, Davis, Lloyd & Mules, Warwick. 1994. Tools for Cultural Studies: An Introduction. Australia. MacMillan Education

Woito, Robert S. 1982. To End War: A New Approach to International Conflict. New York. Pilgrim Press.

Lu, Amy Shirong, 2007. Animation: An Interdisciplinary Journal, The Many Faces of Internationalization in Japanese Anime. London, Los Angeles, New Delhi, and Singapore. Sage Publications.