wart a 201004

Upload: adliwira

Post on 11-Jul-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kerangka Kuda Nil koleksi Museum Geologi Bandung.Teks dan foto: T. Bachtiar

Kuda Nil Pernah Menjelajah Pulau JawaKuda Nil (hippopotamus), yang saat ini banyak berkubang di Lembah Nil, ternyata pernah menjelajahi kawasan yang kini dinamai Pulau Jawa. Kerangka dan taring binatang ini ditemukan di berbagai daerah di Pulau Jawa, seperti di Ci Jolang, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Rombongan binatang ini beriringan menuju Paparan Sunda ketika terjadi susut laut pertama. Belum ada informasi kapan dan mengapa Kuda Nil musnah di Pulau Jawa.

2 W a r t a

Geologi Desember 2010

3

Foto : A. Zaennudin Foto : Alwin Darmawan

Wasior, Banjir Bandang di Papua BaratBanjir Wasior bukan banjir biasa. Banjir ini terjadi secara mendadak dengan didahului longsor. Materialnya terdiri atas campuran batu, kayu serta batu kerikil dan lumpur. Banjir Wasior terjadi akibat pembendungan alamiah karena terakumulasinya endapan tanah dan batuan yang longsor. Peristiwa ini menelan korban manusia tewas 147 dan hilang 123. Begitu besarnya energi banjir bandang ini sehingga mampu mengalirkan bebatuan berukuran besar bahkan truk. Wasior berada di bawah bukit yang dikenal dengan nama Semenanjung Wandamen, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat.

Letusan Bromo di Penghujung 2010Gunung Bromo dengan ketinggian 2.329 m dpl. yang terletak di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur menutup rangkaian letusan gunung api Indonesia sepanjang tahun 2010. Sebelumnya telah meletus Gunung Krakatau di Selat Sunda, Karangetang dan Soputan di Sulawesi Utara, Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta Sinabung di Sumatera Utara. Gunung yang tumbuh di dalam Kaldera Tengger ini memiliki karakter berupa letusan pasir dan biasanya diakhiri dengan strombolian.

4 W a r t a

Geologi Desember 2010

5

Pengantar RedaksiPembaca yang budiman, Selamat berjumpa dengan Warta Geologi Desember tahun 2010. Seperti edisi-edisi sebelumnya, edisi penghujung tahun ini hadir dengan rubrik-rubrik Geologi Populer, Lintasan Geologi, Geofakta, Profil, Resensi Buku, dan Seputar Geologi. Fotofoto menarik juga kami coba tampilkan dalam edisi ini, seperti foto bencana Banjir Bandang Wasior dan letusan Gunung Bromo. Di halaman belakang kami tampilkan foto-foto spesial dari Gunung Merapi. Editorial WG kali ini mengupas isu pasokan energi di tanah air. Kendala utama permasalahan energi Indonesia dikupas secara mendalam oleh penulisnya, tantangannya, dan langkah-langkah strategis ke depan. Pembaca yang budiman, Rubrik Geologi Populer kali ini diisi 6 artikel, yaitu Panas Bumi, Energi Andalan Indonesia Masa Datang, Batu Gamping berubah menjadi Bijih Emas, Bencana Alam Geologi dan Pengaruhnya pada Budaya, Seruling Mbah Merapi, Carbon Capture Storage (CCS) Upaya Menyayangi Bumi, dan Rencana Kontinjensi Bencana Geologi: Suatu Upaya Meningkatkan Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Geologi di Daerah. Tulisan Panas Bumi, Energi Andalan Indonesia Masa Datang merupakan sumbangan dari R. Sukhyar, Kepala Badan Geologi. Tulisan yang dirangkum dari berbagai tulisan beliau di berbagai media massa ini menguraikan potensi Indonesia dalam bidang panas bumi sebagai pemain dan pengguna panas bumi. Sabtanto Joko Suprapto dalam WG edisi ini menyumbang tulisan berjudul Batugamping berubah menjadi Bijih Emas yang menguraikan proses terubahnya batugamping yang memiliki sifat kimia reaktif menjadi bijih emas oleh aliran fluida hidrotermal. Tulisan Bencana Alam Geologi dan Pengaruhnya pada Budaya merupakan tulisan Adjat Sudradjat. Dalam tulisannya itu Adjat mengungkapkan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, yaitu letusan gunung api dan gempa bumi. Menurutnya, rata-rata sebanyak 1 kali letusan gunung api mempengaruhi kehidupan penduduk di sekitar gunung. Sedangkan gempa bumi, hampir setiap tahun. Tulisan ketiga dalam Geologi Populer adalah Seruling Mbah Merapi dan merupakan hasil karya SR. Wittiri. Dalam tulisannya, Syamsul mencoba memaknai frekuensi letusan Merapi antara 2-7 tahun dengan nada-nada lagu diatonis. Sedangkan tulisan Carbon Capture Storage (CCS) Upaya Menyayangi Bumi dari Fatimah menjelaskan mengenai cara mengurangi emisi gas CO2 melalui CCS. Pembaca yang budiman, Ada dua kegiatan internasional yang digelar Badan Geologi di akhir tahun 2010, yaitu CCOP dan IGCP. Pertemuan CCOP diselenggarakan di Manado, sedangkan IGCP di Yogyakarta. Liputan kedua pertemuan ini kami sampaikan dalam Seputar Geologi. Sementara itu dalam rubrik profil kami tampilkan bincang-bincang WG dengan seorang pejabat fungsional penyelidik bumi dari Badan Geologi, Ir. Andiani, M.Sc. Pembaca yang budiman, Kami senantiasa mengundang para pembaca, khususnya para peneliti dan pengamat bidang geologi dari dalam maupun luar lingkungan Badan Geologi untuk menulis di Warta Geologi. Media cetak yang memposisikan diri sebagai majalah populerilmiah di bidang geologi ini sangat tepat kiranya dijadikan ajang menulis dalam bidang kebumian. Kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisannya di Warta Geologi kali ini, tak lupa kami dari redaksi mengucapkan terima kasih atas kontribusinya. Akhir kata, selamat menikmati Warta Geologi.n Salam Dewan RedaksiPengantar Redaksi 7

Foto dan teks: T. Bachtiar

Gunung PatuhaKunjungan Franz Wilhelm Junghuhn ke Kawah Putih (2.270 m.dpl.) di lereng Gunung Patuha, membuka tabir baru, Kawah Putih dapat menghasilkan belerang. Kawah yang berair putih kehijauan itu memiliki tingkat keasaman sangat tinggi. Ketika jumlah air kawahnya meningkat hingga meluber ke Ci Widey, sungai yang sangat vital bagi masyarakat di sana, maka Kawah Putih akan menjadi ancaman bagi perikanan di sepanjang sungai itu. Selain keindahan yang memesona, Gunung Patuha ini menyimpan potensi energi panas bumi dengan kapasitas 400 Mwe. Kawah Putih dapat dijangkau melalui perjalanan sejauh 46 km dari Bandung melewati Soreang dan Ciwidey. Keutuhan hutan hujan tropis Gunung Patuha harus dipertahankan untuk menjaga tata air, menjaga pasokan air ke dalam bumi agar energi panas buminya terus terjamin, serta untuk menjaga habitat macan tutul (Panthera pardus sondaicus).

6 W a r t a

Geologi Desember 2010

Editorial

Menimbang Sisi Pasokan Energi

A

mankah pasokan energi kita, minimal dalam periode 2010-2014 atau bahkan hingga 2025? Pertanyaan seputar kita itu tak mudah untuk dijawab. Selain harus mempertimbangkan dua sifat yang berlawanan sekaligus, yaitu laten dan dinamis, pembahasan isu strategis idealnya juga berlandaskan pada hasil analisis perubahan lingkungan strategis dan paradigma langkah organisasi,dan dilakukan dengan benchmarking kepada literatur akademis yang ada atau hasil-hasil sebelumnya. Suatu isu atau permasalahan yang strategis akan berdampak panjang, mencakup baik yang positif atau menguntungkan, maupun yang negatif atau merugikan. Namun, isu itu tidaklah selalu berupa sesuatu yang baru. Terdapat permasalahan strategis yang bersifat laten, seperti permasalahan ketahanan energi yang setiap saat kita hadapi. Isu strategis juga mungkin muncul dari kebutuhan yang sifatnya mendesak (trigged by urgency) atau sesuatu yang tidak terikat kepada hasil-hasil sebelumnya atau hasil yang lama terbuka untuk direvisi. Setelah melihat gambaran kondisi energi Indonesia dari sisi pasokan primer, isu dan kebijakan yang terkait, kita akan melihat tantangan isu energi itu terhadap bidang geologi. Kondisi Pasokan Energi Primer Ketersediaan energi idealnya selalu dalam keadaanmelebihi konsumsi atau kebutuhan energi. Dari sisi hulu, hal itu berarti ketersediaan harus siap untuk produksi yang mampu memasok kebutuhan konsumsi. Tentu saja, tautan bidang geologi lebih dominan pada aspek ketersediaan pasokan energi primer, khususnya sumber daya dan cadangan migas, batubara dan panas bumi. Meskipun demikian, bidang geologi, sisi hulu energi itu, sangatlah penting untuk memperhatikan juga sisi hilir energi, mulai dari pasokan, harga, aksesibilitas,konsumsi, hingga peranannya dalam ekonomi. Kondisi umum energi primer yang disajikan dibawah ini disarikan dari sumber informasiPusdatin (Handbook of Energy and Economic of Statistic of Indonesia) dan Ditjen Migas (www.migas.esdm.go.id) dan Badan Geologi. Konsumsi yang dimaksud di sini adalah konsumsi primer, yaitu total penggunaan domestik dan ekspor. Antara 2005-2009, ekspor minyak bumi turun dari 159.703 ribu barrel pada 2005 menjadi, 133.282 ribu barrel pada 2009 (1barrel setara dengan 159 liter). Konsumsi gas, sebaliknya, mengalami kenaikan pada ekspor gas dan domestik, yaitu masing-masing dari 251.303 dan 808.641 pada 2005 menjadi 294.109 dan 1.335.019 pada 2009; namun mengalami penurunan pada ekspor LNG, yaitu dari 1.136.484,72 pada 2005 menjadi 956.779,30 pada 2009 (semua satuan dalam MMSCF).8 W a r t a

Di sisi lain, konsumsi batubara dan panas bumi antara 2005 ke 2009 meningkat cukup penting. Ekspor batubara naik dari 110,79 menjadi 198,37 sedangkan konsumsi domestik naik dari 42,03 menjadi 57,88 (semua satuan dalam juta ton). Konsumsi panas bumi yang direpresentasikan oleh kapasitas terpasang meningkat dari 807 MW pada 2005 menjadi 1.189 MW pada 2009. Sebagai catatan, konsumsi batubara domestik masih jauh lebih kecil dibanding ekspornya (25% hingga 30% ekspor); dan panas bumi, sesuai karakteristik sumbernya, seluruhnya dialokasikan untuk pasokandomestik. Dari sisi ketersediaan atau pasokan primer, antara tahun 2005-2009 tampak bahwa cadangan minyak bumi dan gas bumi (migas) terus menurun. Bahkan untuk minyak, produksinya pun sudah turun.Produksi gasmeningkat sebagaimana sumber daya, cadangan dan produksi batubara. Hal yang sama, meskipun kurang begitu signifikan terjadi pada panas bumi, kecuali sumberdayanya. Produksi minyak bumi pada 2005 sebesar 386.483 menjadi 346.469 pada 2009; sementara itu, cadangannya sebesar 8.626.960 pada 2005 berkurang menjadi 7.998.490 pada 2009 (semua satuan dalam ribu barel). Impor minyak periode 2005-2009 mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat kembali pada 2009. Gas bumi pada periode yang sama, produksinya meningkat dari 2.985.341 MMSCF menjadi 3.060.879 MMSCF; dan cadangannya menurun dari 185.800x103 MMSCF menjadi 159.630 x 103 MMSCF. Pada 2005, sumber daya batubara, total untuk semua kualitas, tercatat 61.365,86 juta ton (JT), sedangkan cadangannya 6.758,90 JT, dan produksinya 152,72 JT. Pada tahun 2009, sumber daya, cadangan dan produksi batubara berturut-turut menjadi 104.940,22 JT, 21.131,84 JT, dan 256,18 JT atau meningkat masing-masing sebesar 71,01%, 2,13%, dan 67,74% dibanding 2005. Impor batubara yang kecil, berkisar pada angka 0,1 JT per tahun, kurang signifikan. Panas bumi pada 2005 memilik sumber daya sebesar 13.543 MW yang berkurang menjadi 13.486 MW pada 2009, sementara cadangannya sedikit meningkat dari 13.490 pada 2005 menjadi 15.042 MW pada 2009. Hasil tersebut diperoleh dari 253 lokasi panas bumi pada 2005 yang bertambah menjadi 265 lokasi panas bumi pada 2009. WKP (wilayah kerja panas bumi) total dari 2005 hingga 2009 sebesar 23 WKP. Kapasitas terpasang panas bumi meningkat dari 807 MW (dari lapangan-lapangan yang telah ada sebelumnya) pada 2005 menjadi total (kumulatif) 1.189 MW pada 2009. Pada akhir 2010 diperkirakan kondisi energi tersebut diatas tidak mengalami banyak perubahan dibanding

tahun 2009. Cadangan minyak status Januari 2010, misalnya, tercatat sebesar 7.764,48 MMSTB atau 7.764.480 ribu barel, yang berarti mengalami penurunan dibanding 2009 (7.998.490 ribu barel). Demikian pula, cadangan gas bumi pada 2010 tercatat sebesar 157,14 TSCF atau 157.140 x 103 MMSCF (cadangan pada 2009 sebesar 159.630 x 103 MMSCF) yang berarti mengalami penurunan. Batubara pada 2010 mencapai sekitar 105.187 juta ton (JT) sumber daya, 21.132 JT cadangan; 275 JT produksi, dan 67 JT konsumsi domestik. Ekspor batubara 2010 yang diprediksikan lebih dari 208 JT naik dibanding 2009.Peningkatan pada 2010 dibanding 2009 terjadi pada energipanas bumi, kecuali pada sumber dayanya. Perkiraan posisi panas bumi pada 2010 adalah 276 lokasi potensi, sumber daya dan cadangan masing-masing sebesar 13.171 MW dan 15.867 MW, tambahan WK3 lokasi, dan total (kumulatif) kapasitas terpasang sebesar 1.196 MW. Paparan diatas menunjukkan bahwa masalah penurunan pasokan energi primermenjadi salah satu isu ketahanan energi kita. Isu Ketahanan Energi Ketahanan energi secara eksternal berarti kemampuan untuk merespon dinamika perubahan energi global, sedangkan secara internal ketahanan energi adalah kemampuan untuk menjamin ketersediaan energi dengan harga yang wajar. Dalam rumusan para ahli energi global, kemandirian energi meliputi tiga aspek,yaitu (i) ketersediaan energi atau kemampuan menjamin pasokan energi; (ii) aksesibilitas energi atau kemampuan mendapatkan akses terhadap energi; dan (iii) daya beli atau kemampuan menjangkau harga energi. Ketahanan energi dan kemandirian energi memiliki hubungan timbal balik. Ketahanan energi adalah isu strategis Nasional karena kebutuhan energi yang semakin meningkat, produksi migas yang menurun, dan perkembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang belum optima.Permasalahan pasokan dan kebutuhan energi primer ini semakin diperberat oleh posisi target lifting migas, pertumbuhan ekonomi, asumsi harga minyak, elastisitas energi, dan subsidi BBM dalam APBN yang sangat menentukan ekonomi kita. Sebagai contoh, setiap penurunan produksi minyak dalam orde ribuan barrel per hari dari asumsi dalam APBN dapat menyebabkan defisit anggaran dalam orde ratusan milyar rupiah. Distribusi sumber energi yang tidak merata dan respon terhadap isu perubahan iklim merupakan permasalahan lainnya dalam isu ketahanan energi. Konsumsi energi kita, jika pasokan dari biomassa diabaikan, masih dominan (> 90%) berasal dari energi primer migas dan batubara. Hingga tahun 2020, kebutuhan energi kita diperkirakan tumbuh ratarata sebesar 5,2% per tahun. Angka tersebut sejalan

dengan angka pertumbuhan pasokan energi primer antara 2005-2009. Di sisi lain, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sesuai arah RPJMN, diperlukan pertumbuhan pasokan energi sekitar 6,37% per tahun. Seiring dengan perkembangan di tingkat global, permintaan migas dan batubara kita tetap akan tumbuh hingga 2030 bahkan 2050. Sementara itu, pasokan minyak kita diperkirakan hanya sampai 20 tahunan lagi, gas bumi diperkirakan bertahan sampai sekitar 50 tahun, dan batubara 70 tahun ke depan. Namun, beberapa kalangan meragukan angka-angka tersebut. Faktanya cadangan dan produksi minyak kita telah mengalami penurunan pada periode 2005-2009 dan diperkirakan akan berlanjut pada beberapa tahun ke depan. Kondisi batubara sedikit berbeda namun masih dibayangi dengan besarnya volume ekspor dibanding penggunaan dalam negeri. Sementara pasokan dari EBT masih belum berkembang pesat. Penurunan produksi migas antara lain dipicu oleh penurunan produksi alamiah dari cekungancekungan minyak yang hingga kini mencapai 7-12% per tahun karena sebagian besar lapangan migas itu sudah berada dalam tahapan mature. Namun, selain masalah kontrak dan perizinan lahan, ada masalah lain yang sama pentingnya, yaitu masalah data wilayah kerja (WK) atau blok migas yang ditenderkan. Sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media, pada lelang WK migasdi awal tahun 2008 sebanyak 21 lokasi dan akhir Mei 2008 dengan 25 lokasi, di saat harga minyak dunia mencapai US$ 147 per barel, ternyata jumlah WK yang menarik investor hanya separuhnya. Salah satu alasan investor yang mengemuka pada saat itu adalah kurang yakinnya mereka terhadap data cekungan migas dari masingmasing blok yang ditawarkan. Hingga akhir 2009, terdapat 232 WK produksi dan eksplorasi, meningkat 14% dibandingkan dengan 2008 yang hanya 203 blok. Namun potensi blok yang dapat berproduksi sebetulnya masih banyak. Pada tahun 2010 Pemerintah masih akan menawarkan 35 WK migas. Tingkat keberhasilan pengeboran migas di blok-blok yang sudah dieksplorasi juga masih tinggi, mencapai 46%. Selain itu, pada saat ini sudah teridentifikasi sebanyak 128 cekungan sedimen yang berpeluang memiliki kandungan migas cukup berarti. Persoalan data migas yang meliputi sumber daya dan cadangan menjadi isu selanjutnya dalam ketahanan energi. Berkaitan dengan batubara, mengemuka isu status sumber daya dan cadangan. Berapa sesungguhnya cadangan batu bara kita? Dan amankah cadangan tersebut jika jumlah dan pertumbuhan produksi seperti saat ini? Kriteria penilaian dan bagaimana cara memperoleh data sumber daya dan cadangan menjadi isu berikutnya. Data periode 2005-2009 menunjukkan masih kurang berimbangnya cadanganEditorial 9

Geologi Desember 2010

dibanding sumberdaya. Selain itu, data kualitas batubara juga isu penting mengingat keterkaitannya dengan alokasi penggunaan batubara. Kualitas batubara Indonesia sebagian besar (> 60%) adalah kalori sedang (5.100-6.100 kcal/kg). Cadangan batubara penting di Indonesia, terdapat di Sumatera (54,65%), khususnya Sumatera Selatan dan Kalimantan (45,35%), khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Lokasi pemanfaatan batubara yang umumnya jauh dari lokasi sumbernya menimbulkan permasalahan aksesibilitas. Isu lain berkaitan pada batubara adalah alokasi wilayah Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang merupakan amanah UU No 4 Tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi dan pengamanan pasokan energi nasional memerlukan strategi dan penetapan WP dan WPN batubara dengan mempertimbangkan konservasi dan diversifikasi energi. Apalagi tren ekspor batubara dari tahun ke tahun terus meningkat dan penggunaan domestik ke depan ditargetkan naik. Isu EBT, Panas Bumi, dan Perubahan Iklim Salah satu upaya untuk kemandirian energi adalah optimalisasi pemanfaatan energi setempat di luar energi konvensional; atau diversifikasi energi. Percepatan pemanfaatan panas bumi dan EBT lainnya menjadi isu yang strategis. Penyediaan data geosains dan informasi sumber daya untuk WKP panas bumi dirasakan masih kurang. Demikian pula percepatan pengungkapandan penilaian potensi coal bed methane (CBM), oil shale, dan shale gas masih masih sedikit. Salah satu penyebabnya, sebagaimana masalah dalam peningkatan WK migas, adalah keterbatasan sumber daya manusia, teknologi, dan anggaran survei dan eksplorasi. Khususnya untuk EBT panas bumi, kendala lainnya berkaitan dengan masalah tumpang tindih lahan untuk WKP atau potensi konflik lahan, khususnya dengan kehutanan dan Daerah. Saat ini terdapat 81 daerah panas bumi yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, dengan total potensi sebesar 12.069 MW atau 42,9% total potensi MW saat ini. Permasalahan lahan untuk pengembangan panas bumi, sebagaimana untuk energi konvensional, menjadi isu yang penting. Permasalahan konflik lahan ini berkaitan dengan penataan ruang kawasan pertambangan yang diakomodir dalam konsep kawasan peruntukan pertambangan (KPP). Isu KPP dan percepatannya menjadi isu berikutnya. Berkaitan dengan isu perubahan iklim, saat ini komitmen Pemerintah adalah pengurangan emisi gas CO2hingga tahun 2020 sebesar 26% dengan biaya sendiri atau hingga 41% jika mendapat bantuan finansial luar negeri, untuk mitigasi perubahan iklim. Komitmen ini jika tidak diiringi dengan aksi-aksi untuk pencapaiannya dapat menurunkan produksi migas dan10 W a r t a

batubara. Sebaliknya, dilihat dari sisi pengembangan panas bumi, komitmen itu merupakan peluang besar. Berkaitan dengan modeliklim yang masih berubah secara dinamis, semakin tingginya persaingan pasokan energi dunia, dan kemungkinan bencana alam yang menghancurkan fasilitas pasokan energi, maka batasan-batasan emisi CO2 itu kedepan dapat saja berubah.Isu climate change proof bergandengan dengan percepatan penggunaan energi baru yang lebih ramah lingkungan, dan implementasi carbon capture storage (CCS) menjadi isu-isu yang relevan. Isu-isu tersebut juga merupakan bagian dari isu resilince to climate change issue yang diperlukan guna menghindari sisi politis dari isu perubahan iklim. Secara umum, kendala atau permasalahan energi Indonesia meliputi ketergantungan yang masih tinggi pada minyak bumi, penggunaan EBT yang belum optimal, kebutuhan energi cukup besar dan terus naik, dan persaingan global dalam akses pasokan minyak yang semakin ketat, serta tuntutan komitmen respon atas perubahan iklim. Sementara itu, sumber daya energi fosil masih cukup memadai namun perlu investasi, teknologi dan sumber daya manusia dalam pengembangannya, dan potensi energi terbarukan cukup besar dan tersebar. Disamping demand side yang sekarang mulai menjadi prioritas, sisi pasokan (supply side) ini masih memegang peran penting dalam keamanan energi kita. Tantangan Sisi Hulu Ketahanan energi dan kemandirian energi merupakan prioritas Pembangunan Nasional. Dalam rangka mencapai ketahanan energi, lebih khusus lagi keamanan pasokan energi dalam negeri dan sebagai tindak lanjut UU tentang Energi, telah terbit Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam KEN telah ditetapkan antara lain sasaran terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional melalui peran minyak bumi berkurang menjadi kurang dari (