volatile food kppu

21
1 VOLATILE FOOD: STUDI KASUS JAWA TIMUR 1 Oleh: CANDRA FAJRI ANANDA 2 A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu pusat perhatian dalam penyumbang inflasi. Pangan dikategorikan sebagai bahan-bahan makanan yang diolah untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan nutrisi bagi tubuh manusia. Pangan yang tergolong sebagai bahan-bahan makanan pokok diklasifikasikan menjadi sembilan bahan pokok (sembako) yang terdiri dari: beras, telur, gula, bawang merah, bawang putih, cabe, tepung terigu, daging, dan minyak goreng. Sembilan bahan makanan pokok tersebut memiliki fluktuasi harga yang sangat sensitif. Ketika pada tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, menjelang Natal dan Tahun Baru, dan hari-hari besar lainnya, permintaan kebutuhan pangan sangat tinggi sehingga mendorong kenaikan harga pangan. Kenaikan harga pangan, juga dapat dilihat dari sisi supply-nya. Iklim dan cuaca yang sulit diprediksi berdampak pada produksi pangan. Gagal panen karena faktor cuaca, serangan hama, dan bencana alam berdampak pada berkurangnya produksi pangan sehingga menipisnya supply pangan berdampak pada melambungnya harga pangan. Kasus- kasus seperti ini seringkali muncul, misalnya kenaikan harga cabe, daging sapi, kedelai, dan sebagainya. Kondisi ini diperparah dengan konversi lahan yang semakain tinggi, dimana lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi daerah kawasan industri, kawasan perkantoran, dan perumahan. Dampak akhirnya, kenaikan harga pangan mendorong kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi. Kenaikan harga pangan tidak hanya terjadi di daerah bukan penghasil pangan, akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah penghasil pangan seperti Jawa Timur. Jawa Timur merupakan salah satu penyangga pangan nasional. Jawa Timur merupakan penghasil 1 Disampaikan dalam konsinyering kajian volatile food yang diselenggarakan oleh KPPU Wilayah Kerja KPD Surabaya. 2 Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Brawijaya

Upload: diassatria

Post on 06-Aug-2015

250 views

Category:

Economy & Finance


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Volatile food kppu

1

VOLATILE FOOD: STUDI KASUS JAWA TIMUR1

Oleh: CANDRA FAJRI ANANDA2

A. Latar Belakang

Pangan merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu pusat perhatian

dalam penyumbang inflasi. Pangan dikategorikan sebagai bahan-bahan makanan yang

diolah untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan nutrisi bagi tubuh manusia. Pangan yang

tergolong sebagai bahan-bahan makanan pokok diklasifikasikan menjadi sembilan bahan

pokok (sembako) yang terdiri dari: beras, telur, gula, bawang merah, bawang putih, cabe,

tepung terigu, daging, dan minyak goreng. Sembilan bahan makanan pokok tersebut

memiliki fluktuasi harga yang sangat sensitif. Ketika pada tertentu, seperti menjelang bulan

Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, menjelang Natal dan Tahun Baru, dan hari-hari besar

lainnya, permintaan kebutuhan pangan sangat tinggi sehingga mendorong kenaikan harga

pangan.

Kenaikan harga pangan, juga dapat dilihat dari sisi supply-nya. Iklim dan cuaca

yang sulit diprediksi berdampak pada produksi pangan. Gagal panen karena faktor cuaca,

serangan hama, dan bencana alam berdampak pada berkurangnya produksi pangan

sehingga menipisnya supply pangan berdampak pada melambungnya harga pangan. Kasus-

kasus seperti ini seringkali muncul, misalnya kenaikan harga cabe, daging sapi, kedelai, dan

sebagainya. Kondisi ini diperparah dengan konversi lahan yang semakain tinggi, dimana

lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi daerah kawasan industri, kawasan

perkantoran, dan perumahan. Dampak akhirnya, kenaikan harga pangan mendorong

kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi.

Kenaikan harga pangan tidak hanya terjadi di daerah bukan penghasil pangan,

akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah penghasil pangan seperti Jawa Timur. Jawa Timur

merupakan salah satu penyangga pangan nasional. Jawa Timur merupakan penghasil

1 Disampaikan dalam konsinyering kajian volatile food yang diselenggarakan oleh KPPU Wilayah

Kerja KPD Surabaya.

2 Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Brawijaya

Page 2: Volatile food kppu

2

utama komoditi pangan seperti beras, gula, daging, telur, dan kedelai, jagung, serta

komoditi pangan lainnya.

B. Volatile Food: Perspektif Toeri

a. Permintaan dan Penawaran

Permintaan adalah kebutuhan masyarakat/individu terhadap suatu jenis barang,

dan tergantung kepada factor-faktor antara lain: Harga barang itu sendiri (Px), Harga

barang lain (Py), Pendapatan konsumen (Inc), Cita rasa (T), Iklim (S), Jumlah penduduk

(Pop), Ramalan masa yang akan datang (F), sehingga fungsi permintaan adalah:

Dalam konteks pergerakan harga pangan, ketika pendapatan masyarakat naik, maka

dapat menyebabkan kenaikan harga barang, asumsinya dari sisi suplly tidak ada

perubahan. Kondisi ini dapat terjadi ketika di negara-negara berkembang seperti

Indonesia karena sebagian masyarkatnya masih tergolong menengah ke bawah,

sehingga ketika pendapatan naik maka proporsi pendapatan yang digunakan untuk

konsumsi juga ikut naik.

Sedangkan Penawaran dalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada

suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu. Faktor-

faktor yang mempengaruhi penawaran adalah Harga( Px), Harga barang lain (Py), biaya

faktor produksi (Fp), Teknologi (T), Tujuan perusahaan, dan Ekspektasi (ramalan).

Secara matematis fungsi penawaran adalah:

Qs = F (Px, Py, Fp, T ....... )

Teknologi pada sektor pproduksi pangan (on farm) saat ini masih relatif tradisional,

sehingga hal ini berpengaruh pada kurang maksimalnya produksi pangan.

b. Inflasi

Secara teori inflasi dapat didefinisikan suatu keadaan dimana peredaran uang

secara umum lebih besar dibandingkan peredaran barang di suatu negara/wialyah pada

periode tertentu. Dapat dikatan inflasi apabila memenuhi 3 (tiga) syarat utama yaitu: 1)

Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F

Page 3: Volatile food kppu

3

terjadi kenaikan harga; 2) Terjadi secara umum; dan 3) Berlangsung terus menerus. Jika

dari salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara/wilayah tidak dapat

dikatakan mengalami inflasi. Sebagai contoh, Misalkan terjadi kenaikan harga cabe sebesar

20% di Indonesia. Bila kenaikan harga cabe tidak diikuti dengan kenaikan komoditas atau

barang - barang secara umum maka tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami

inflasi. Seandainya juga terjadi kenaikan BBM yang mendorong harga - harga barang secara

umum naik namun hanya berlangsung sesaat juga tidak dapat dikatakan sebagai suatu

keadaan dimana negara berada dalam keadaan inflasi

Inflasi bila ditinjau dari tarikan permintaan dan penawaran, maka penyebab inflasi

dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1) Demand pull inflation, merupakan suatu

keadaan dimana inflasi di sebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang lebih besar

daripada kenaikan penawaran agregat; 2) Cost push inflation merupakan suatu keadaan

dimana penawaran agregat mengalami penurunan; 3) Mixed Inflation,

Merupakan gabungan antara demand pull inflation dan cost push inflation.

Permasalahan inflasi selalu dihadapi oleh setiap negara. Berbagai negara

memberikan perhatian serius terhadap inflasi, salah satu kebijakan yang umum digunakan

oleh negara-negara didunia adalah dengan menerapkan Inflation Targeting Framework

(ITF). Secara umum, Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja

kebijakan moneter yang secara eksplisit mentargetkan inflasi dan kebijakan moneter

secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi dimaksud.

Meskipun definisi berbeda secara rinci, terdapat konsensus umum mengenai karakteristik

pokok dari rezim kebijakan moneter ini, yaitu: adanya sasaran inflasi yang secara eksplisit

menjadi tujuan utama pemeliharan kestabilan harga oleh bank sentral, terbatasnya

dominasi fiskal dan tidak adanya sasaran nominal yang lain, dan otoritas moneter yang

dibekali dengan independensi instrumen dan beroperasi secara transparan dan terbuka

kepada publik.

Negara-negara yang menerapkan kebijakan Inflation Targeting

mengimplementasikan suatu “rule”, seperti Taylor rule dalam merespon terhadap tekanan

inflasi ke depan. Secara spesifik, instrumen suku bunga digunakan untuk melengkapi

kebijakan moneter, yang disesuaikan apabila terjadi deviasi antara prakiraan inflasi yang

Page 4: Volatile food kppu

4

akan datang (forecast inflasi) dengan target inflasi yang telah ditetapkan, serta apabila

proyeksi atas aggregat permintaan telah melebihi kapasitas perekonomian.

Dalam memperkuat kekuatan model dalam pencapaian target inflasi diperlukan

set indicator variables yang penting sebagai information variables. Secara umum

information variables merupakan sebuah set variabel indikator yang mempunyai

kandungan informasi untuk memprediksi inflasi yang akan datang. Sebuah variabel dapat

berperan sebagai information variabel ataupun sebagai intermediate target, tergantung

dari framework kebijakan moneter yang digunakan.

Sebagai contoh, nilai tukar dalam rezim nilai tukar tetap merupakan intermediate

target, namun dalam rezim nilai tukar fleksibel merupakan information variable. Contoh

lain, uang beredar yang berperan sebagai intermediate target dalam framework monetary

targeting, dapat berperan sebagai information variable dalam framework Inflation

Targeting. Peranan dari suatu variable “hanya” sebagai information variable berbeda

dengan peranannya sebagai intermediate target. Dalam framework intermediate targeting,

variabel tersebut harus memiliki hubungan struktural dengan variabel yang menjadi

sasaran akhir yaitu inflasi, lebih dari sekedar memiliki ‘forecasting power’ atau ‘leading

indicator’ inflasi. Lebih dari itu hubungan struktural tersebut harus stabil. Tentu saja

variabel yang menjadi intermediate target harus dapat dikontrol oleh bank sentral melalui

instrumen yang dimiliki, sehingga intermediate target itu berupa variabel finansial, seperti

suku bunga jangka panjang atau uang beredar.

Sementara itu, variabel yang berperan sebagai information variabel tidak

memerlukan hubungan struktural yang stabil dengan inflasi namun cukup memerlukan

forecasting power terhadap inflasi. Di samping itu, salah satu keuntungan penggunaan

information variable di dalam Inflation Targeting adalah dimungkinkannya untuk

memasukkan indikator nonfinansial.

Berbeda dengan intermediate targeting dimana kebijakan moneter dilakukan

secara pasif seperti misalnya Friedman’s money supply rule, pendekatan information

variables berhubungan dengan penggunaan kebijakan moneter yang aktif seperti dalam

Inflation Targeting dimana respon kebijakan moneter merupakan hasil ‘feedback’ dari

variabel indikator. Information variables ini diharapkan dapat memberikan signal kepada

Page 5: Volatile food kppu

5

otoritas moneter sehingga otoritas moneter dapat melakukan tindakan preventif jika

terjadi “shock” yang dapat mempengaruhi target inflasi. Atas dasar informasi tersebut,

otoritas moneter diharapkan dapat memperbaiki policy stance yang diperlukan.

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi IHK

Sumber: Bank Indonesia, 2000

Jika dibreakdown, komponen dalam inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) terdiri

dari inflasi administrated prices, inflasi inti dan inflasi volatile foods. Inflasi administrated

price secara umum adalah inflasi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah semisal

kebijakan dalam kenaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), kebijakan harga angkutan

umum dll. Selanjutnya inflasi volatile foods merupakan inflasi yang disebabkan oleh

kenaikkan harga yang disebabkan di sisi penawaran semisal tata niaga, gagal panen dll.

Yang terakhir adalah inflasi inti, yaitu inflasi yang disebabkan oleh output gap dan

ekspektasi inflasi.

Berkaitan dengan volatile food, terdapat beberapa penelitian yang menekankan

pengaruh volatile food terhadap inflasi. Penelitian KBI Batam (2008), dalam kajiannya

tentang ‘’Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Volatile Food Kota Batam”

memperoleh kesimpulan bahwa dalam jangka pendek harga volatile food sangat berperan

Inflasi Periode

Target Inflasi

BI

Ekspektasi Inflasi

Inflasi Administered

Output Gap

Inflasi Barang Impor

Nilai tukar rupiah

Inflasi luar negeri

Inflasi inti

Inflasi Volatile foods

Inflasi IHK

Page 6: Volatile food kppu

6

besar terhadap inflasi, sedangkan faktor seperti keterbukaan pasar, nilai tukar SGD dan

impor antar pulau sangat berpengaruh terhadap perubahan indeks harga volatile food,

sehingga untuk mengendalikan inflasi komoditi volatile food pemerintah daerah dalam

jangka pendek melakukan operasi pasar rutin secara berkala. Di samping itu, adanya shock

impor pulau dan keterbukaan pasar pangan maka dapat ditekan dengan membuka akses

yang lebih luas bagi masuknya bahan pangan dari daerah (provinsi) lain, maupun dari luar

negeri atau dapat ditempuh dengan pembentukan lembaga yang sebagai bufferuntuk

mempengaruhi perilaku pembentukan harga volatile food yang tercipta dalam struktur

pasar oligopoli.

sementara itu, penelitian Nugroho Joko Prastowo, Tri Yanuarti dan Yoni Depari

(2008) dalam papernya yang berjudul “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga

Komoditas Dan Implikasinya Terhadap Inflasi” memperoleh beberapa kesimpulan

diantaranya pertama, volatile food berpengaruh signifikan terhadap terbentuknya inflasi.

Kedua, faktor supply shock sangat berpengaruh terhadap tekanan gejolak harga kelompok

volatile food. Ketiga, berkurangnya peran pemerintah dalam pengendalian harga

komoditas mengakibatkan harga kelompok volatile food meningkat. Keempat,

pembentukan harga lima komoditas utama penyumbang inflasi kelompok volatile foods

berdasarkan hasil estimasi bahwa (i) semakin cepat rusak/busuk (perishable) suatu

komoditas tingkat fluktuasi harganya semakin; (ii) manajemen stok atas suatu komoditas

(seperti yang dilakukan Bulog dalam komoditas beras) dapat mengurangi tekanan gejolak

harga; (iii) pola produksi yang tidak dipengaruhi oleh faktor musiman dan pola distribusi

yang bersifat lokal (seperti komoditas daging sapi) mengurangi fluktuasi harga; (iv) harga

komoditas yang porsi ekspor-impornya cukup tinggi terkait erat dengan perkembangan

harga di pasar internasional.

Penelitian Hylda Christanty (2013) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul ‘’Pengaruh

Volatilitas Harga Terhadap Inflasi Di Kota Malang: Pendekatan Model ARCH/GARCH”

memperoleh kesimpulan dengan adanya volatilitas harga yang semakin besar dari

komoditas pangan (khususnya, beras dan kentang), maka akan berpengaruh signifikan

terhadap besarnya persentase inflasi, yang mana untuk membuktikan bahwa harga beras

dan kentang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Kota Malang, dapat dilihat

pergerakan harga di Giant dan Pasar Dinoyo.

Page 7: Volatile food kppu

7

Berdsarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa volatile food sangat

berpengaruh di dalam pergerakan laju inflasi. Oleh karena itu, kebijakan yang

komprehensif perlu diberikan untuk mengendalian inflasi akibat volatile food.

C. Gambaran Inflasi Jawa Timur

Laju inflasi Jawa Timur pada triwulan I 2013 mencapai 6,75% (yoy). Tingginya inflasi

ini disepbabkan oleh adanya pelaksanaan kebijakan pemerintah yang turut mendorong

ekspektasi dan pasokan komoditas pada kelompok bahan makanan. Pertumbuhan

ekonomi yang meningkat dan masih terbatasnya kapasitas produksi pertanian untuk

memenuhi permintaan konsumsi rumah tangga dan industri sehingga harus dipenuhi

melalui impor berdampak pada mekanisme pembentukan harga di pasar.

Tabel 1

Inflasi Jawa Timur per Kelompok Barang

Sumber: Kerjatim BI Tw I, 2013

Laju inflasi pada triwulan I Jawa Timur disumbang oleh kenaikan harga pada

kelompok bahan makanan (14,98% - yoy) serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok

dan tembakau (7,18%). Sedangkan beberapa kelompok mengalami inflasi dalam batas

normal, meliputi kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (4,75%), kelompok

kesehatan (3,10%) serta kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga (4,50%). Dari data

tersebut nampak bahwa kelompok bahan makan merupakan penyumbang inflasi terbesar

di Jawa Timur. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah emmperhatikan secara lebih serisu

terhadap pergerankan harga bahan makanan.

Page 8: Volatile food kppu

8

Gambar 2

Infalasi Jawa Timur dan Nasional

Tekanan inflasi IHK di sepanjang triwulan I-2013 mengalami tekanan cukup tinggi

sehingga secara tahunan mencapai 6,75% (yoy), lebih tinggi dibandingkan nasional (5,90%).

Secara triwulanan, inflasi di Jatim mencapai 2,87% (qtq), lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya (0,91% - qtq) serta inflasi nasional (2,98% - qtq). Selaian kenaikan harga bahan

pangan, inflasi Jawa timur di awal 2013 ini disebakan oleh meningkatnya ekspektasi pelaku

usaha pasca penetapan Upah Minimum Kota (UMK) dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).

Di sisi lain, meningkatnya tekanan inflasi terutama didorong oleh kenaikan harga

pada kelompok volatile food (20,32% - yoy). Melampaui rata-rata inflasi dalam 5 (lima)

tahun terakhir, sebagaimana diuraikan sebelumnya berkurangnya pasokan di tengah masih

minimnya produksi/panen dalam negeri turut mempengruhi level harga kelompok ini.

Selanjutnya, tekanan inflasi pada kelompok administered price sedikit meningkat didorong

oleh kenaikan harga padasub kelompok bahan bakar, penerangan dan air sebagai respon

ataskebijakan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) di awal tahun. Penurunan harga emas

perhiasan turut mempengaruhi inflasi kelompok core inflation yang tertahan pada level

4,54% (yoy) (KER Jatim Tw I, KBI Surabaya 2013).

Page 9: Volatile food kppu

9

D. Siapa Penikmat Kenaikan Harga Pangan?

Kenaikan harga pangan yang tinggi seharusnya dinikmati pula oleh produsen

(petani), namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penelitian

INSEF (2008), menunjukkan bahwa pembentukan harga paling besar dilakukan oleh

pedagang besar untuk setiap komoditi yang disurvey, hal ini dibuktikan dari rata-rata

margin yang mereka tetapkan. Rata-rata margin paling besar terdapat pada komoditas

cabe (53%) yang kemudian di ikuti oleh komoditas ayam potong (47%). Pada lini

berikutnya, distributor, pedagang kecil dan pengecer rata-rata margin yang mereka

tetapkan berangsur-angsur menurun dan pola ini hampir sama disemua jenis komoditas.

Dari fakta di atas dapat diambil catatan bahwa untuk kelima komoditas bahan makanan

mekanisme pembentukan harga pada harga tertinggi selalu dilakukan pada level pedagang

besar. Hal ini disebabkan pedagang besar memiliki kekuatan baik dari sisi modal, teknik

pengemasan, skala penjualan dan pemasaran yang sangat kuat.

Penelitian tersebut memberikan nformasi ini menjadi sangat penting untuk melihat

keuntungan yang didapat dari masing-masing rantai dalam tata niaga, sehingga informasi

ini dapat dijadikan bahan analisis untuk menilai kekuatan penciptaan harga oleh setiap

rantai dalam tata niaga. Adapun hasil perhitungan rata-rata margin harga tersebut dapat

disampaikan melalui Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata Harga dan Margin Harga di Masing-masing Lini Jalur Distribusi

Sumber: Penelitian INSEF (Data diolah)

Harga Margin Harga Margin Harga Margin Harga Margin Harga Margin

Produsen 4000 - 9500 - 9000 - 8500 - 9500 -

Pedagang Besar 4800 20% 14000 47% 10000 11% 13000 53% 10300 8%

Distributor 5000 4% 16000 14% 10500 5% 14000 8% 10500 2%

Pedagang Kecil 5200 4% 17000 6% 10600 1% 15000 7% 11000 5%

Pengecel 5300 2% 18000 6% 11500 8% 15500 3% 12000 9%

Jenis Pedagang Ayam Potong Beras Cabe Merah Minyak GorengTelur

Komoditas

Page 10: Volatile food kppu

10

1. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Beras3

Jawa Timur merupakan provinsi penyumbang produksi beras nasional yang cukup

tinggi. Di mana salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur merupakan penyumbang

beras nasional, yaitu Jember. Apabila diruntut tata niaga yang terjadi mulai dari gabah

basah menjadi beras sangatlah panjang. Hal ini disebabkan banyaknya institusi formal dan

informal yang terlibat di wilayah tata niaga, seperti Bulog, Wholesale/Pengepul, pengecer

dan sebagainya.

Dalam tata niaga yang terbentuk di pasar beras terutama di Jember, wholesale

tidak menentu menjualnya diakibatkan permintaan pasar, harga yang lebih tinggi di daerah

lain atau stok gudang yang sudah penuh, dampaknya wholesale menjual barangnya keluar

kota. Dan tujuan utama mereka adalah penjual partai besar dan pengecer, di mana untuk

mendapatkan targetnya harus bersaing dengan 5-20 wholesale yang ada di Jawa Timur,

tapi masalah tersebut dapat teratasi bila terdapat modal sosial yang kuat.

Secara umum tata niaga beras dapat dijelaskan seperti sebagai berikut, petani

menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kepada tengkulak. Jika tengkulak tersebut

tidak memiliki mesin giling, maka gabah dijual kepada pengusaha penggilingan padi (selep).

Setelah gabah digiling menjadi beras, pengusaha selep akan menjualnya kepada pasar

(pengertian pasar secara umum: toko, pengecer, pasar besar, dan sebagainya)/BULOG.

Tata niaga beras di Jawa Timur selama ini mengikuti mekanisme pasar yang ada.

Karena dalam penentuan harga beras, para penjual menjadi price taker yang sudah

ditentukan oleh pembeli yang menjadi price maker. Sehingga hal ini menjadikan wholesale

yang merupakan pembeli utama dari petani memiliki peran yang tidak signifikan terhadap

penjualan beras dalam pasar utamanya. Hal ini disebabkan beberapa hal yang menjadi

pertimbangan konsumen yaitu harga yang bergantung pada jumlah produk yang dibeli,

dalam bentuk apa pembeliannya seperti pembelian dalam bentuk gabah atau beras,

kualitas dan hubungan kerjasama yang sudah lama ada.

3 Dalam penelitian PPKE FEB – UB dengan Biro Administrasi Perekonomian Sekda Jatim

Page 11: Volatile food kppu

11

Gambar 2

Mekanisme Tata Niaga Komoditas Beras

Sumber: hasil pengamatan, 2011

Terkadang wholesale memiliki kekuatan untuk menjadi price maker, yang dapat

diakibatkan cuaca, event tertentu, harga beli atau harga pesaing yang terlalu rendah atau

tinggi, serta permintaan pasar atau pun biaya faktor-faktor produksi. Dari beberapa faktor

yang ada tersebut petani tidak bisa leluasa menjual produknya secara langsung ke pelaku

yang memiliki kedudukan lebih tinggi seperti pengusaha selep, karena biaya faktor

produksi yang cukup besar. Akibatnya penentu harga di pasar dalam keadaan normal

adalah pedagang terakhir yaitu pedagang eceran atau penjual partai besar. Hal ini dapat

ditunjukkan pada gambar 2.

Selanjutnya, untuk menjaga stabilitas harga-harga gabah dan beras pemerintah

melalui Bulog melakukan kebijakan membeli excess supply gabah petani, sekaligus untuk

mengisi stok pasokan di seluruh wilayah Jawa Timur. Pada musim paceklik, pemerintah

melaksanakan operasi pasar untuk meredam excess demand yang dapat melonjakkan

harga secara liar dan selama beberapa dekade, instrumen seperti ini berjalan mulus.

Page 12: Volatile food kppu

12

2. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Cabe

Komoditi yang satu ini sempat memberi shock pada masyarakat terutama

pengusaha yang menjual makanan pedas, diakibatkan harganya yang menembus Rp

100.000,00 di akhir tahun 2010 hingga awal 2011. Di mana di Jawa Timur sendiri memiliki

banyak petani cabe yang diuntungkan akibat melambungnya harga tersebut. Di mana salah

satu kabupaten di Jawa Timur yang banyak memiliki petani cabe adalah Batu.

Dalam tata niaga cabe yang terdapat di Batu, wholesale sangat berperan dalam

menentukan harga di mana faktor yang mempengaruhinya adalah cuaca, permintaan

pasar, harga beli dan harga pesaing. Dan tujuan utama penjualan wholesale adalah

pengecer, di mana kekuatan peengecerlah yang menentukan harga secara riil di pasar

karena pengecer sering mempermainkan harga.

Melambungnnya harga yang begitu tinggi saat akhir 2010 hingga awal 2011

menurut para wholesale diakibatkan banyaknya penyakit yang menghinggapi tanaman

cabe tersebut. Di mana petani menaikkan harga yang umumnya berkisar Rp 6.000,00

menjadi Rp 35.000,00 yang akhirnya membuat harga cabe di pasar melambung tinggi.

Peran penting terdapat pada wholesale karena ada pula wholesale yang menimbun dahulu

cabe yang ada dan menunggu hingga harga yang diharapkan.

Sehingga secara umum tata niaga cabe dapat dijelaskan seperti sebagai berikut,

petani menjual hasil panennya kepada tengkulak dengan kesepakatan tertentu apakah

yang memberikan harga adalah petani atau wholesale sendiri. Bila yang menentukan harga

adalah petani, hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang mengganggu produksinya.

Sedangkan bila yang menentukan adalah wholesale, hal ini disebabkan modal sosial yang

sudah lama terbentuk antara wholesale dengan petani atau petani tidak memiliki kekuatan

untuk menentukan harga. Setelah dari wholesale, maka para wholesale akan menjualnya

kepada pasar (pengertian pasar secara umum: toko, pengecer, pasar besar, dan

sebagainya). Hal ini ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3 Mekanisme Tata Niaga Cabe

Page 13: Volatile food kppu

13

Tata niaga cabe di Jawa Timur selama ini cenderung mengikuti mekanisme pasar

yang ada. Karena dalam penentuan harga cabe, wholesale atau petani yang menentukan

harga berdasarkan permintaan, harga dan kualitas cabe yang ada. Sehingga dala hal ini

wholesale dapat mempengaruhi pasar berkisar 20-30%. Sehingga dibutuhkan suatu

kebijakan untuk menghadapi lonjakkan harga secara liar dan mendadak agar tidak

merugikan masyarakat seperti yang terjadi pada akhir 2010 hingga awal 2011.

3. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Ayam Potong dan Telur

Di Jawa Timur, produksi ayam potong dan telur secara komersial mulai nampak

menggembirakan setelah pemerintah melalui dinas peternakan memberikan perhatian

khusus pada pengembangan produksi komoditas ayam potong dan telur. Sehingga dari

tahun ke tahun telah terjadi kenaikan produksi ayam potong dan telur yang diindikasikan

oleh banyak bermunculannya industri peternakan ayam yang efisien dengan dukungan

prasarana dan sarana yang cukup memadai.

Produksi ayam potong dan telur pada bangsa unggas sangat berkaitan dengan

waktu. Hubungan antara waktu produksi dengan jumlah produksi ayam potong dan telur

selam masa produksi tersebut dinamakan lintas produksi. Sedangkan kecepatan

pertambahan dan kecepatan penurunan produksi ayam potong dan telur itu dinamakan

laju produksi. Bila lintas produksi dapat diukur dengan fungsi produksi maka pada laju

produksi diukur dengan produktivitas marginalnya. Keduanya sangat bermanfaat untuk

merencanakan produksi ayam potong dan telur yang optimal.

Setiap peternak ayam potong dan telur menyadari bahwa usahanya tidak berdiri

sendiri akan tetapi juga tergantung pada rantai bisnis lain yang terlibat dalam jalur tata

niaga. Dalam pelaksanaannya, jalur distribusi dan sistem tata niaga komoditas ayam

potong dan telur di Jawa Timur tidak banyak berbeda dengan daerah lainnya. Secara

umum, mata rantai distribusi dan tata niaga tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut dan

Gambar 4:

a. Pemasaran penjual besar atau yang biasa dikenal dengan kemitraan. Jalur ini

dilakukan dari berbagai arah. Petani peternak memperoleh modal berupa bibit dan

pakan dari perusahaan pakan ternak, pengolahan dan pembibitan (Japfa,

Wonokoyo, Pokphan, Sierat, dll). Produksi dari petani akan diterima oleh

Page 14: Volatile food kppu

14

perusahaan tersebut dan kemudian dipasarkannya. Kelak merekalah yang

mendistribusikan kepada pengecer, swalayan dan agen di pasar. Peran petani

peternak hanya menyediakan modal berupa lahan peternakan dan modal

penyertaan lain. Aktivitas dan operasional selalu dalam pengawasan dan kontrol

perusahaan manufaktur tersebut, perusahaan juga memberikan kriteria-kriteria

tertentu untuk menjamin kualitas dan mutu produksi ayam potong dan telur.

Penetapan harga akhir ayam potong dan telur berada di tangan perusahaan yang

kemudian disesuaikan dengan margin keuntungan yang hedak diperoleh agen,

pengecer di pasar.

b. Pemasaran ayam potong dan telur melalui pedagang pengepul. Cara ini sangat

lazim terjadi terutama di daerah perdesaan. Peternakan ayam ras secara komersial

terutama yang berskala kecil dan menengah juga menjual melalui jalur ini. Bila

langkah ini yang diambil, maka harga ayam potong dan telur yang disepakati adalah

“Harga Peternak” atau “Farm Gate Price”. Harga peternak berada di bawah harga

ayam potong dan telur di pasar eceran dan banyak kasus harga tersebut ditentukan

oleh si pedagang pengepul. Selain itu, pedagang pengepul menentukan harga juga

berdasarkan harga yang umum terjadi di kalangan mereka. Pemilihan peternak

memasarkan ayam potong dan telurnya melalui pedagang pengepul umumnya

berdasarkan dua alasan yaitu: i) Jumlah ayam potong dan telur yang hendak dijual

tidak banyak sehingga menjadi tidak efisien bila dipasarkan secara langsung yang

mengakibatkan mereka juga harus menanggung biaya transportasi; 2) Perlindungan

sistem eceran yang ada di pasar. Setiap pengecer di pasar sudah di “blokir” untuk

tidak menerima ayam potong dan telur dari sembarang peternak atau pemasok

lain. Blokir semacam ini dapat dihilangkan bila terdapat pelaku/distributor baru

yang memberikan harga lebih kompetitif dengan kontinyuitas pasokan yang stabil.

c. Pemasaran ayam potong dan telur langsung ke pengecer dan langsung ke

konsumen akhir. Jalur terakhir ini akan memotong biaya tata niaga yang tidak perlu

atau biaya yang seharusnya terbuang di jalur tata niaga itu akan menjadi bagian

penerimaan untuk peternak. Untuk menempuh jalur ini memang tidak mudah

karena para pengecer telah mempunyai kedudukan yang kuat sehingga kiat dan

pendekatan intensif harus terus dilakukan. Sedangkan ke konsumen langsung

umumnya melalui langganan atau jalur lain yang bersifat khusus/kepercayaan. Jalur

Page 15: Volatile food kppu

15

ketiga ini biasanya untuk distribusi terbatas dan dilakukan untuk pemasaran ayam

potong dan telur ayam ras. Kelemahan jalur ini adalah petani tidak memiliki akses

luas untuk memasarkan produknya ke sejumlah konsumen skala besar. Selain itu

semua biaya di luar biaya produksi dihitung berdasarkan perhitungan petani yang

bersifat sederhana sesuai dengan prespektif petani. Bila harga yang berlaku di pasar

lebih tinggi dari biaya produksi maka margin harga ini akan menjadi keuntungan

yang langsung diterima oleh petani.

Gambar 4. Mekanisme Tata Niaga Komoditas Ayam Potong dan Telur

Sumber: hasil pengamatan, 2011

Banyak peternak ayam potong menggunakan jalur kemitraan karena lebih

menjamin keberlangsungan dan efisien bila dibandingkan dengan mempergunakan jalur

mandiri saja, diakibatkan saat mengambil jalur mandiri harganya terlalu berfluktuatif yang

mengakibatkan peternak kesusahan untuk meenyesuaikan. Sedangkan kebanyakan dari

peternak ayam petelur lebih memilih jalur independen, diakibatkan harga makanan ayam

petelur yang diimpor sehingga standar yang digunakan adalah bergantung pada kurs yang

berlaku. Adapun untuk mengukur efisiensi tata niaga dapat dilihat dengan

memperbandingkan biaya yang terjadi antar alternatif kombinasi penggunaan jalur

distribusi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan:

Mall/Swalayan

Pasar

Pengecer

Pedagang/Toko

KonsumenProduk Akhir

Pe

tani d

en

gan m

od

el

kem

itra

an

Peta

ni t

an

pa

kem

itra

an

Animal feed, chicken breeding,poultry processing manufacture

Prod.Telur

Bibit, pakan, dll

Pengepul

Pengepul

Pengepul

Agen dan distributor menegah

Agen dan distributor menegah

Agen dan distributor menegah

Agen dan distributor menegah

Bibit, Pakan,dll

Prod. Telur

Page 16: Volatile food kppu

16

1. Menghitung biaya tata niaga, yaitu mulai saat ayam potong dan telur keluar gudang

hingga tiba di salah satu jalur tata niaga. Yang termasuk disini adalah biaya

transportasi termasuk sewa kendaraan, upah jasa transportasi atau bahan bakar;

kemasan tambahan untuk jarak jauh; promosi dan usaha pendekatan lainnya.

Seluruh biaya ini diketahui dari catatan atau administrasi usaha peternakan;

2. Menjumlahkan semua biaya pada poin satu di atas dan dibagi dengan total ayam

potong dan telur yang dijual melalui jalur tersebut (Rp/kg);

3. Menambahkan biaya pada poin satu dengan harga ayam potong dan telur

dipeternakan atau “Farm Gate Price” (Rp/kg);

4. Hasil penjumlahan pada poin ketiga kemudian dibandingkan dengan harga ayam

potong dan telur yang berlaku di pasar sehingga akan dapat terlihat apakah lebih

rendah atau justru lebih tinggi sehingga hasil akhirnya adalah :

a. Bila lebih rendah maka jalur tata niaga dapat dipertahankan (efesiensi);

b. Bila hasilnya relatif sama atau mendekati jalur tata niaga maka jalur yang kita

pilih masih bisa dibandingkan dengan jalur lain;

c. Bila hasilnya lebih tinggi maka jalur yang dicoba itu salah sehingga terjadi

pemborosan.

Umumnya biaya tata niaga membesar akibat banyaknya biaya yang dikeluarkan

untuk transportasi dan risiko kerusakan akibat ayam potong dan telur yang dijual adalah

ayam potong mati dan telur mentah yang tanpa dikemas secara rapi. Faktor lain adalah

“jalur yang tertutup” yang sulit untuk ditembus oleh orang lain. Hal ini kadangkala

membuat pedagang/ distributor harus tetap mempergunakan jalur tata niaga yang sudah

ada sekalipun penerimaan yang diperoleh minim. Kondisi semacam ini memang umum

terjadi pada pemasaran dan jalur-jalur pemasaran produk-produk pertanian lainnya.

Bertemunya penawaran dan permintaan akan menghasilkan harga. Sudah tentu

tidak akan berjalan dengan cepat sebelum ada proses pergerakan permintaan dan

penawaran hingga akhirnya diperoleh harga kesepakatan yang disebut harga pasar.

Misalnya pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan secara umum permintaan akan

naik. Keadaan ini akan mengganggu harga pasar dan menyebabkan kenaikan. Dalam

keadaan demikian peternak tidak dapat berbuat banyak karena tidak dapat meningkatkan

pasokan ayam potong dan telur dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena

Page 17: Volatile food kppu

17

menambah produksi ayam potong dan telur berarti harus menambah jumlah ayam atau

unggas potong dan telur produktif dan ini membutuhkan waktu paling cepat 16 minggu

untuk memperoleh ayam potong dan telur. Karena faktor inilah mengapa begitu

permintaan naik harga ayam potong dan telur di pasar juga langsung naik.

Bila dalam keadaan ini peternak tertarik untuk memproduksikan ayam potong dan

telur lebih banyak dan dilakukan serentak maka dalam waktu sekitar 18 minggu kemudian

pasokan ayam potong dan telur akan tersedia melimpah di pasar sehingga akan memaksa

harga turun kembali. Hal ini disebabkan karena penawaran lebih besar daripada

permintaan dan harga pasar membentuk keseimbangan baru di bawah harga lama.

Penurunan harga itu membuat peternak marginal tidak tertarik lagi untuk beternak

akibatnya di masa 18 minggu kemudian pasokan ayam potong dan telur ke pasar

berkurang dan permintaan lebih tinggi dari penawaran sehingga harga pasar kembali naik.

Begitu keadaan seterusnya hingga akhirnya diperoleh harga keseimbangan lagi. Prinsip

inilah yang dikenal dengan “Cob Web Theory” yang banyak terjadi di produk-produk

pertanian umumnya.

4. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Minyak Goreng

Lebih dari 95 persen produksi minyak goreng di Indonesia berasal dari bahan baku

kelapa dan kelapa sawit. Hal itu berarti perkembangan produksi minyak goreng berbanding

lurus dengan perkembangan kedua komoditas tersebut. Secara potensial produksi minyak

goreng dan CPO di Indonesia telah mampu mencukupi kebutuhan domestik, dan bahkan

terdapat kelebihan produksi sehingga Indonesia juga merupakan eksportir CPO terbesar

kedua di dunia setelah Malaysia. Hasil produksi Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia

mencapai 85% produksi dunia.

CPO tersebut dapat dirubah menjadi minyak goreng yang sangat bermanfaat bagi

rumah tangga, sehingga tidak dapat dielakkan bahwa minyak goreng merupakan

komoditas yang sangat penting. Dalam tata niaga komoditas minyak goreng yang ada di

Indonesia merupakan penganut struktur pasar oligopoli. Di mana struktur pasar tersebut

dapat menyengsarakan masyarakat atau konsumen karena harga yang terjadi di pasar

lebih tinggi daripada harga pasar bersaing, sehingga harga pasar yang terbentuk tidak

mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang sesungguhnya.

Page 18: Volatile food kppu

18

Di daerah Jawa Timur terbentuknya harga ditentukan oleh situasi luar negeri,

dimana setiap hari mengalami fluktuatif. Diakibatkan penghitungan harga yang dilakukan

setiap hari berdasarkan harga minyak dunia yang menyebabkan perubahan harga yang ada

di perusahaan pemasok. Sehingga penyumbang fluktuasi harga minyak goreng adalah

faktor harga bahan baku, yang harga tertingginya di tahun 2010 sebesar Rp 10.500,00 dan

terendah Rp 8.300,00.

Di mana stock bahan baku wholesale minyak goreng ini berdasarkan produsen

minyak goreng dari Gresik, yang dapat tiap hari diambil sebanyak apa pun. Adapun

perubahan harga yang terjadi pada wholesale dipengaruhi beberapa faktor seperti harga

beli, harga pesaing dan permintaan akan minyak goreng. Sedangkan pendistribusian yang

dilakukan oleh wholesale yang ada di Surabaya hanya berada di daerahnya saja tanpa perlu

keluar daerah, disebabkan perbedaan harga yang tidak menguntungkan. Bila wholesale

tersebut memaksakan maka harganya tidak akan bersaing dan biaya pendistribusiannya

terkadang lebih tinggi dari keuntungannya. Struktur tata niaga minyak goreng tersebut

dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5

Mekanisme Tata Niaga Minyak Goreng

Akibat penentu harga yang fluktuatif seperti penjelasan di atas, maka dibutuhkan

regulasi untuk melindungi para konsumen. Tujuan dari adanya kebijakan pemerintah pada

hakikatnya adalah untuk mengatasi segala persoalan yang sedang dihadapi. Dalam

kaitannya dengan regulasi dan tata niaga pada komoditas minyak goreng, campur tangan

pemerintah mengendalikan pasokan CPO di dalam negeri melalui pembatasan ekspor

dalam rangka menjamin stabilitas harga minyak goreng, serta mencegah terjadinya distorsi

pasar mengingat bahwa pasar CPO dan minyak goreng lebih cenderung pada struktur pasar

oligopoli dan oligopsoni.

Page 19: Volatile food kppu

19

E. Konsep Identifikasi Penyebab Kenaiakn Harga Pangan

Sebagai upaya mengidentifikasi penyebab kenaikan harga pangan, apakah

disebakan oleh faktor supply dan deman atau oleh faktor tataniga dan distribusi, maka

dapat diidentifikasi melalui sebuah konsep sebagaimana nampak pada gambar 6.

Secara sederhana konsep diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Informasi harga bahan pangan, permintaan, dan produksi menjadi sangat

penting untuk bahan pengamatan dan analisisnya.

2. Dari hasil analisis dapat diamati bahwa apakah kenaikan harga disebabkan oleh

kenaikan permintaan atau terbatasnya produksi/paskan bahan makanan di

wilayah tersebut.

3. Jika kenaikan harga tidak dipengaruhi oleh permintaan maupun penawaran,

maka dapat dilakukan analisis selanjutnya untuk mengidenfikasi faktor

penyebab kenaikan harga, apakah faktor tataniaga atau struktur pasarnya.

4. Kenaikan harga harus secara cepat dan tepat dicarikan solusinya, baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang.

5. Pengemabil kebijakan harus mampu mensinergikan berbagai SKPD/instansi dan

lembaga terkait di dalam menjaga dan mengendalikan pergerakan harga.

Page 20: Volatile food kppu

20

WHAT?

Kenaikan Harga pangan

WHY?

Mengapa bisa terjadi dan apa saja

penyebabnya

HOW?

Bagaimana solusinya

WHO?

Siapa melakukan apa

0fficial

resp

on

sibility

Base

on

ide

ntificatio

n

resu

lt

Fakta &

Data

Ide

ntifikasi

Aw

al

Jika tidak ada masalah terkait

stock/supply/produksi, maka perlu

identifikasi lanjutan

1. Berapa % kenaikan demand? 2. Stock/supply/produksi yg ada

mencukupi kenaikan demand?

Pendekatan supply & demand

Informasi Daftar harga bahan pangan

Informasi jumlah permintaan RT dan Industri

Informasi stock, produksi bahan pangan

Pendekatan Sistem

Tata Niaga

Short term:

Langkah cepat dan tepat meredam gejolak harga (ex.: Market operation, etc.)

Long Term:

How to improvement market structure

Bagaimana memperbaiki sistem tata niaga

Bagaimana meningkatan produksi komoditi pangan

Bagaimana memperbaiki manajemen stock,supply, and ditribusi

Ide

ntifikasi

lanju

tan

Pendekatan

Struktur Pasar

Legal institution seperti

Sekretariat gabungan (setgab)

untuk mengatur pelaksanaan dan

pengawasan

GAMBAR 6. Konsep Indentifikasi Penyebab Kenaikan Harga Pangan

Page 21: Volatile food kppu

21