tutorial graves disease

46
BAB I PENDAHULUAN Pada tubuh manusia terdapat pengaturan terhadap metabolisme, pertumbuhan, dan berbagai fungsi yang ada di tubuh. Pengaturan ini menggunakan saraf, dan hormon. Hal yang sangat penting dalam pengaturan fungsi tubuh adalah hormon. Hormon dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin yang tidak mempunyai saluran sendiri, karena hasil produksinya akan langsung masuk ke darah. Hormon mempunyai efek yang sangat penting karena mampu merangsang sel target untuk menjalankan, atau menghentikan aktivitanya. Meskipun kadarnya dalam darah sangat kecil, hormon mampu mengaktifkan dengan kuat sel targetnya. Salah satu hormon yang mengatur metabolisme tubuh adalah hormon tiroksin dan hormon triidotironin yang diproduksi oleh hormon tiroid yang berada pada leher bagian depan. Produksi hormon ini diatur oleh kelenjar hipofisis di hipotalamus dan hormon tiroid yang dihasilkan oleh dirinya sendiri dengan cara memacu atau mengahambat produkinya dengan mengeluarkan Thyroid Stimulating Hormone, Thyroid Releasing Hormone. Hormon thyroid ini diprodiksi dengan menggunakan bahan baku salah satunya iodine, maka jumlah konsumsi iodine seseorang dapat berpengaruh terhadap jumlah produksi 1

Upload: inuy

Post on 17-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hipertiroidsme

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUANPada tubuh manusia terdapat pengaturan terhadap metabolisme, pertumbuhan, dan berbagai fungsi yang ada di tubuh. Pengaturan ini menggunakan saraf, dan hormon. Hal yang sangat penting dalam pengaturan fungsi tubuh adalah hormon. Hormon dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin yang tidak mempunyai saluran sendiri, karena hasil produksinya akan langsung masuk ke darah. Hormon mempunyai efek yang sangat penting karena mampu merangsang sel target untuk menjalankan, atau menghentikan aktivitanya. Meskipun kadarnya dalam darah sangat kecil, hormon mampu mengaktifkan dengan kuat sel targetnya.Salah satu hormon yang mengatur metabolisme tubuh adalah hormon tiroksin dan hormon triidotironin yang diproduksi oleh hormon tiroid yang berada pada leher bagian depan. Produksi hormon ini diatur oleh kelenjar hipofisis di hipotalamus dan hormon tiroid yang dihasilkan oleh dirinya sendiri dengan cara memacu atau mengahambat produkinya dengan mengeluarkan Thyroid Stimulating Hormone, Thyroid Releasing Hormone. Hormon thyroid ini diprodiksi dengan menggunakan bahan baku salah satunya iodine, maka jumlah konsumsi iodine seseorang dapat berpengaruh terhadap jumlah produksi hormon tiroid. Efek-efek fisiologis yang dipunyai hormon tiroksin dan triidotironin sangat luas dan berpengaruh terhadapap seluruh tubuh. Secara umum, efek yang dihasilkan oleh rangsangan hormon ini terhadap saraf simpatis serta rangsangan terhadap tingkat metabolisme dari sel tubuh.Keadaan patologis yang mungkin terjadi pada seseorang meliputi hipertiroid dan hipotiroid. Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010). Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara prinsip berbeda. Hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi dibanding yang non Asia (12% versus 2.5%). Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis (80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5% karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua.Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang meningkat, tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang meningkat, disebut sebagai tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan defisiensi yodium). Status tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukpuan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar normal hormone tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan atas tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang dapat dihambat oleh PTU.Kedua hal tersebut mempunyai efek yang merugikan bagi tubuh dan perlu dipelajari bagaimana hal tersebut bisa terjadi, serta proses patogenesis dan patofisiologisnya sampai ke penatalaksanaannya

BAB IIKASUS

A. IDENTITAS PASIENNama: Ny. Y STanggal Lahir: 03/03/15Umur: 24 tahunJenis kelamin: PerempuanStatus: MenikahAlamat: Pulogadung, Jakarta TimurTgl Masuk RS: 20/05/2015

B. ANAMNESIS Autoanamnesis Pada Tanggal 20/05/2015Keluhan Utama: Benjolan pada bagian tengah leher sejak 7 bulan yang laluKeluhan Tambahan: Demam Riwayat penyakit sekarang: Satu tahun sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien merasakan kedua bola mata menjadi lebih menonjol dibandingkan sebelumnya secara perlahan, semakin lama semakin menonjol. Pasien menyangkal adanya demam, gemetaran, jantung berdebar, lemas badan, mual muntah, BAB dan BAK normal dan peururan BB.Tujuh bulan SMRS keluhan masih sama tidak ada perubahan., tetapi pasien baru menyadari terdapat benjolan di leher bagian tengah sebesar telur puyuh, menurut pasien benjolan tersebut tidak nyeri dan tidak dapat digerakkan, benjolan tersebut sangat mengganggu, pasien tidak mengeluh adanya gangguan menelan, sesak, dan suara serak.Satu bulan SMRS keluhan tetap sama namun benjolan pada pasien mulai berkurang, sebesar kelerang dan hampir tidak terlihat. Pasien juga mengeluh mudah lemas dan lelah, jantung berdebar, suami pasien mengatakan istrinya belakangan ini mudah tersinggung dan marah serta gemetaran pada kedua tangan pasien, nafsu makan meningkat, tetapi terdapat penurunan berat badan, BAK dan BAB lancar. Sehingga pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi.Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi atas konsulan dari dr. Tanggo Meri, Sp.PD, KR dengan keluhan tambahan demam 1 hari SMRS demam dirasakan mendadak dan berangsur turun tanpa penurun panas. Riwayat Penyakit Dahulu: Keluhan yang sama pernah diderita sebelumnya disangkal Riwayat TB disangkal Riwayat DM disangkal Riwayat hipertensi disangkal Riwayat Asma DisangkalRiwayat Penyakit keluarga: Keluhan yang sama seperti pasien di dalam keluarga disangkal. Riwayat TB di keluarga disangkal Riwayat DM di keluarga disangkal Riwayat asma di keluarga di sangkalRiwayat Psikososial: Riwayat merokok oleh pasien disangkal Riwayat konsumsi alcohol sebelumnya disangkal Riwayat konsumsi garam berlebihan disangkal

Riwayat Pengobatan: Pasien sudah berobat ke RSIJ Pondok Kopi diberikan Propiltiourasil 3x 100 mg dan Propanolol 1 x 40 mg dan keluhan pasien berkurang.Riwayat Alergi: Riwayat Alergi obat, cuaca dan makanan disangkal

C. PEMERIKSAAN FISISKeadaan umum: tampak sakit ringanKesadaran: composmentisTanda vital: Suhu: 36.8 oC Nadi: 80 x/menit RR: 18 x/menit TD: 130/80 mmHg

Status Gizi : BB: 47 kg 45kg (turun dalam satu bulan) TB: 150 cm IMT : 20.0 (Gizi Baik)Status Generalis Kepala: Norrmochepal Rambut: Hitam, tersebar merata, tidak mudah di cabut Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor, Eksoftalmus (+) Hidung: Septum Deviasi (-/-), Sekret (-/-), Epistaksis (-/-), konka normal Telinga: Normotia, Serumen (-/-), hiperemis (-/-). Mulut: Bibir Kering (+), Sianosis (-), Stomatitis (-), Tonsil ( T1 / T1 ), Caries dentis (+) Leher: Pembesaran KGB jugular (+) diameter 3x2 cm nyeri tekan (-), Pembesaran Kelenjar Tiroid (+) Inspeksi : tidak terlihat benjolan, Palpasi : teraba benjolan di depan trakea, di bawah cartilago cricoidea, ukuran 2x1x1 cm, terfiksir, permukaan rata, benjolan bergerak saat menelanAuskultasi : bising tiroid (tidak dilakukan) Dada: Inspeksi: Dada simetris (+), Retraksi Dinding Dada (-), Bagian yang tertinggal saat inspirasi (-) Palpasi: Vocal fremitus sama kanan dan kiri (+) Perkusi: Sonor (+) Auskultasi: Vesikuler (+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Jantung: Inspeksi: Ictus Cordis Terlihat (-) Palpasi: Ictus Cordis Teraba (+) di ICS V linea Midclavicula sinistra Perkusi: batas kanan jantung relatif di ICS V linea parasternal dextra batas kiri jantung relatif di ICS V linea midclavicula sinistra Auskultasi: Bunyi Jantung I dan II Murni (+), Mur-mur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi: Perut datar (+) Auskultasi: Bising Usus (+), Normal Palpasi:Abdomen Supel, nyeri tekan epigastrium (-), Hepatosplenomegali (-) Perkusi: Timpani pada keempat kuadran Abdomen

Ekstremitas Atas: Akral: Hangat CRT: 20 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Pemeriksaan FisikKeadaan umum lemahEksoftalmos +/+Benjolan pada colli anteriorTremor di kedua tangan

Hipertiroid

Dari anamnesis : Satu tahun sebelum masuk rumah sakit : Bola mata menonjol Tidak ada demam Tidak gemetaran Jantung tidak berdebar-debar Badan lemas Mual muntah disangkal BB menurun disangkal

Tujuh bulan sebelum masuk rumah sakit : Keluhan masih sama Terdapat benjolan pada leher sebesar telur Benjolan tidak nyeri Benjolan tidak dapat digerakan tidak mengeluh adanya gangguan menelan, sesak, dan suara serak.

Satu bulan sebelum masuk rumah sakit :- Benjolan berkurang- mudah lemas- jantung berdebar- mudah tersinggung- demam 1 hari- nafsu makan meningkat- BB menurun

Gambaran Klinis Graves DiseasePada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS): a. Tidak ada gejala dan tandab. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)c. Perubahan jaringan lunak orbitad. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocularf. Perubahan pada kornea (keratitis)g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3, ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan (Shahab, 2002).Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan (Shahab, 2002).Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut:

Tabel 1: Indeks WayneIndeks Wayne

NoGejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah BeratNilai

1Sesak saat kerja+1

2Berdebar+2

3Kelelahan+2

4Suka udara panas-5

5Suka udara dingin+5

6Keringat berlebihan+3

7Gugup+2

8Nafsu makan naik+3

9Nafsu makan turun-3

10Berat badan naik-3

11Berat badan turun+3

NoTandaAdaTidak Ada

1Tyroid teraba+3-3

2Bising tyroid+2-2

3Exoptalmus+2-

4Kelopak mata tertinggal gerak bola mata+1-

5Hiperkinetik+4-2

6Tremor jari+1-

7Tangan panas+2-2

8Tangan basah+1-1

9Fibrilasi atrial+4-

10Nadi teratur< 80x per menit80 90x per menit> 90x per menit --+3-3--

Hipertyroid jika indeks 20

1. Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan LaboratoriumAutoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab, 2002). Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).2. Pemeriksaan Penunjang LainDiagnosis laboratorik : a. Pemeriksaan metabolisme basalpemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah, untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit (severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut, penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher, pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab laind. Sidik tiroid jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan. Graves selalu dengan gondok hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAbe. Pemeriksaan terhadap antibodi. Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai berikut: 1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb (yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali fosfatase meningkat.

2. ASPEK TERAPI

Riwayat Pengobatan: Pasien sudah berobat ke RSIJ Pondok Kopi diberikan Propiltiourasil 3x 100 mg dan Propanolol 1 x 40 mg dan keluhan pasien berkurang.Penatalaksanaan Graves DiseaseFaktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).1. Obat obatana. Obat Antitiroid : Golongan TionamidTerdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikisPropylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut:1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal. 2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah. 3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

b. Obat Golongan Penyekat BetaObat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol (Subekti, 2001; Shahab, 2002).Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

c. Obat-obatan LainObat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif (Shahab, 2002).Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT (Shahab, 2002).

2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksinYang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7% pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001).

3. Pembedahan Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).4. Terapi Yodium Radioaktif Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di dalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif (Shahab, 2002). Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT (Shahab, 2002). Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab, 2002). Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme (Shahab, 2002).Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah:1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131 2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi) 3. Gastritis radiasi (jarang terjadi) 4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung. Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).5. Pengobatan Oftalmopati GravesDiperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata (Shahab, 2002). Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya (Shahab, 2002).

6. Pengobatan Krisis TiroidPengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu (Shahab, 2002).7. Penyakit Graves Dengan KehamilanWanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme (Shahab, 2002).Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan mekanisme yang belum diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).

BAB IVKESIMPULAN

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama pada usia 20 40 tahun.Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131). Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease, Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5Weetman P. A., Graves Disease. The New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2000.

1

10