trauma maksilofasial (fraktur kompleks zigomatikum maksila, fraktur nasoethmodial, fraktur blow out)

25
TUGAS BEDAH MULUT 2 TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT) Disusun Oleh : Repika Ayu Yulanda (04121004057) Bebbi Arisyah A (04121004058) Harentya Suci S (04121004059) Haritsa Budiman (04121004060) Febri Rusdi (04121004061) Meilani (04121004062) Gabriela Maretta (04121004063) Fina Rachma Husaina (04121004064) Resty Wahyu Veriani (04121004065) Heztri Shella Prima (04121004066) Sheilladelia Shavira (04121004067) Khairanissa Trisna (04121004068) Catharine Swasti (04121004069) Siti Firdha Bimariska (04121004070) Intan Ardita (04121004071) Karlina Dwi Putri (04121004072) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2014

Upload: resty-wahyu-veriani

Post on 26-Dec-2015

307 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

added on December 12th, 2014

TRANSCRIPT

Page 1: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

TUGAS BEDAH MULUT 2

TRAUMA MAKSILOFASIAL

(FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA,

FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

Disusun Oleh :

Repika Ayu Yulanda (04121004057)

Bebbi Arisyah A (04121004058)

Harentya Suci S (04121004059)

Haritsa Budiman (04121004060)

Febri Rusdi (04121004061)

Meilani (04121004062)

Gabriela Maretta (04121004063)

Fina Rachma Husaina (04121004064)

Resty Wahyu Veriani (04121004065)

Heztri Shella Prima (04121004066)

Sheilladelia Shavira (04121004067)

Khairanissa Trisna (04121004068)

Catharine Swasti (04121004069)

Siti Firdha Bimariska (04121004070)

Intan Ardita (04121004071)

Karlina Dwi Putri (04121004072)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014

Page 2: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

2

TRAUMA MAKSILOFACIAL(FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM

MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

Trauma maksilofacial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah

atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar.

Trauma maksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun

kulit dan jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat

terpengaruh. Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan

pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan

gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti

halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan

lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah

(mandibula) dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang

kuat untuk mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan

tulang-tulang lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi

temporomandibular yang menempel ke tengkorak.1,2

Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk

melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang

terkait karena trauma maksilofacial dapat menjadi kasus yang kompleks dan

mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.2,3

Trauma maksilofacial dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu2 :

1. Fraktur tulang hidung

2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma

3. Fraktur tulang maksila (mid facial)

4. Fraktur tulang orbita

5. Fraktur tulang mandibula

Trauma maksilofacial merupakan salah satu tantangan terbesar untuk

pelayanan kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena insidennya yang tinggi.

Dari penelitian dilaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab

utama dari trauma maksilofacial. Selain itu penyebab lainnya yang tersering ialah

kekerasan fisik, konsumsi alkohol yang dapat memicu terjadinya tindakan

kekerasan dan kecelakaan, serta trauma maksilofacial akibat olahraga.4

Page 3: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

3

Etiologi

Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma

oromaksilofasial. Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa terdapat

hubungan antara posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan

terhadap keparahan dari cedera oromaksilofasial yang dialami pasien kecelakaan

lalulintas.5

Penilitian Rabi dan Khateery (2002), juga menunjukan bahwa diantara

beberapa etiologi trauma oromaksilofacial, kecelakaan lalulintas merupakan

penyebab utama terjadinya trauma, diikuti dengan penyebab lainnya seperti

trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri,

kecelakaan sewaktu berolahraga, dan lain-lain.

Kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik mengaliri

tubuh,karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan tinggi,antara

lain akibat petir.pada kecelakaan tersengat arus listrik didaerah kepala,penderita

dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas.dapat juga terjadi oedem

otak.akibat samping yang lama timbulnya katarak.destruksi terjadi dekat luka

masuk dan keluar arus listrik paling kuat.5,6

Kecelakaan akibat bahan kimia biasanya luka bakar dan ini dapat terjadi

akibat kelengahan,pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan di industri,

kecelakan dil laboratorium dan akibat penggunaan gas beracun pada

peperangan.Bahan kimia dapat bersifat oksidator seperti fenol dan fosfor putih,

juga larutan basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi protein.asam

sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air.Gas yang dipakai dalam

peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak

dengan kulit atau mukosa.beberapa bahan dapat menyebabkan keracunan

sistemik. Asam fluorida dan oksalat dapat menyebabkan hipokalsemia. Asam

tanat, kromat, formiat, pikrat, dan posfor dapat merusak hati dan ginjal kalau di

absorbsi tubuh. Lisol dapat menyebabkan methemoglobenemia3,6

.

1. Fraktur Kompleks Zigomatikum Maksila (ZMCs)

a. Definisi

Fraktur Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs) menyebabkan patah

Page 4: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

4

tulang dari trauma langsung.Fraktur Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs),

melibatkan zygoma beserta suturanya.7Garis fraktur jahitan memperpanjang

melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan

artikulasi dengan tulang sphenoid.Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui

foramen infraorbital dan lantai orbit.Cedera mata serentak yang umum.

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang

dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat

bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini

disebut “fraktur kompleks zigomatik”.

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta

suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura

zigomatikomaksilar.Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya

perpindahan tempat dari tulang zigomatik.

Gambar 1. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 2. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”,

namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang

Page 5: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

5

berlainan.Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita,

penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.

Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur

zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang

hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis

berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat

perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda

pada beberapa penelitian.Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-

kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil

penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma

sebesar 42% dan 7,9%.

b. Etiologi

Umum :benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada

tonjolan tulang pipi.1

c. Diagnosa

Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan

pemeriksaan penunjang.8 Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi

kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda

klinis.7

Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya

penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat

mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif

terhadap adanya fraktur zigoma.8

Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan

kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral

sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma

komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering

mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior.9

Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan

dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan

ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita

dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,

abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala

Page 6: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

6

yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.

Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan

prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang

normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus.

Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada

tepi orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk

dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang

oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat

melakukan pemeriksaan ini.7,8

Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan

diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.10

CT scan

pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien

dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat

pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat

memperlihatkan keadaan pilar dari midfasial:

pilar nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal,

zygomaticosphenoid, danzygomaticotemporal.9

Penilaian radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat menggunakan

foto waters (Gambar XZ), caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters

dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto

caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus.

Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.7

Gambar 3. Proyeksi Waters menunjukkan adanya opasitas pada sinus maxillaris yang terkena

(tanda panah)

Page 7: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

7

Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah Mulut.Jakarta:

EGC.1996

Secara radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus

maxillaries yang terkena (Gambar X1). Pengamatan yang lebih cermat pada

dinding lateral antrum pada regio pendukung (buttres) (basis os.zygomaticum)

sering menunjukkan diskontinuitas atau step. Pergeseran yang umumnya terjadi

adalah inferomedial yang mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke dalam

sinus maxilaris dan mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar apabila

tidak/kurang dirawat dengan baik. Keadaan yang lebih parah lagi adalah

terjadinya diplopia yang persisten.9

Gambar 4.A.Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris ditunjukkan dengan

adanya gambaran opak yang kabur pada sinus maxillaries yang terserang dan pemisah

sutura (tanda panah), B. CT aksial menunjukkan adanya fraktur kompleks

zygomaticomaxillaris.Terlihat garis fraktur (tanda panah) dan daerah dalam sinus

maxillaries. C. Pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur kompleks zygomaticomaxillaria

adalah kea rah inferomedial. D. sesudah dilakukan reduksi, elemen fraktur di stabilisasi

dengan kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis.

Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah

Mulut.Jakarta: EGC.1996

d. Gambaran klinis

Penemuan klinis yang bisa ditemukan10

:

Page 8: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

8

1) Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan

rahang.

2) Tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.

3) Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.

4) Keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan

padakelopak mata, dan proptosis (eksoptalmus).

5) Gangguan penglihatan yakni diplopia (penglihatan ganda) disebabkanfraktur lantai dasar orbita dengan penggeseran bola

mata dan luka atau terjepitnya otot ekstraokuler inferior. (gambar

XX) 6) Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan

kelainanpada nervus infraorbital.

7) Diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus

rektus inferior.

8) Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di

mandibula.

9) Ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.

Gambar 5. Pergeseran Bola mata ke arah posteroinferior (tanda panah) yang

terjadi setelah fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang melibatkan rima orbitalis dan

dasar orbita (enophthalmos).

Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah

Mulut.Jakarta: EGC.1996

Page 9: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

9

e. Penatalaksanaan

Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris biasanya memerlukan

pengungkitan dan pergeseran lateral pada waktu reduksi. Fraktur dengan

pergeseran minimal dan sedang yang tidak mengakibatkan gangguan penglihatan

bias direduksi secara konservatif dengan pengangkatan, disertai insersi pengait

tulang atau trakeal melalui kulit (gambar X). Apabila pergeseran tulang lebih

parah, beberapa jalur lain bisa dipilih misalnya metode Gilles (jalan masuk

melalui kulit dengan melakukan diseksi mengikuti fascia temporalis profundus ke

aspek medial corpus zygomaticus dan arcus zygomaticus).10

Perbaikan fraktur

komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa

diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun langkah-langkah teknik

Gillies yang meliputi:

1) Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,

2) Mengidentifikasi fasia temporalis,

3) Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari

aspekdalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam

untuk fasial, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus

dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang

lebih normal.

Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen harus

direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu

dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung

akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

Gambar 6.Fraktur Kompleks zygomaticus tertentu direduksi dengan insersi

pengait (hook) tulang dibawah korpus zygomaticus secara perkutan.Tindakan ini

memungkinkan terjadinya mobilisasi fragmen fraktur dalam arah superolateral.

Page 10: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

10

Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah

Mulut.Jakarta: EGC.1996

Gambar 6.Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus,

A.Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superficial dibawah fasia temporal

bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator.

2. Fraktur Nasoethmoid

a. Definisi

Fraktur nasoethmoid adalah fraktur yang terjadi jika nasal piramid rusak

karena tekanan beban berat yang akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang

hidung, prosessus frontal maksila, dan prosessus frontal nasal. Bagian dari nasal

piramid yang terletak diantara dua bola mata akan terdorong ke belakang11

.

Fraktur nasoethmoid melibatkan aspek medial orbita.Cedera ini kadang-

kadang terlewati apabila terjadi bersamaan dengan fraktur nasal atau Le fort II

atau Le Fort III.Gejala yang terjadi biasanya meliputi ekhimosis periorbital,

turunnnya pendataran radiks nasi, bertambah lebarnya jarak antar canthus.

Walaupun setengah jarak antar canthus melebihi 35 mm adalah indikator

terjadinya traumatik telecanthus, sedangkan jarak 40 mm benar-benar sudah

bersifat diagnostik. Gangguan yang mungkin terjadi pada kasus ini disebabkan

karena rusaknya lamina cribrosa11

.

b. Etiologi

Fraktur nasoethmoid biasanya disebabkan oleh pukulan kuat pada aspek

sentral dari bagian tengah wajah.Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan

Page 11: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

11

sumber yang paling umum dari cedera, diikuti dengan benturan keras pada bagian

tengah wajah11

.

c. Patofisiologi

Tulang hidung dan tulang rawan sangat rentan terkena fraktur karena

tulang hidung sangat lemah dan terletak di tengah wajah juga karena tahanannya

yang rendah.Jenis fraktur yang terjadi bervariasi tergantung dari momentum

pukulan dan densitas tulang yang terkenal (Murray, 1984). Begitu juga pada

tulang wajah, penderita dengan umur yang lebih muda akan menderita fraktur

daerah nasoseptal yang lebih besar, sedangkan pada penderita dengan umur yang

lebih tua, fraktur lebih cenderung berbentuk kominutif (Cummings, 1998).

Daerah terlemah pada hidung terletak pada jaringan kartilago dan antara

kartilago lateral atas dengan os nasal, juga kartilago septum yang berada pada

krista maksilaris. Tempat-tempat lemah ini meningkatkan risiko timbulnya fraktur

atau dislokasi setelah trauma hidung. Tenaga yang kuat dari arah manapun akan

menyebabkan fraktur kominutif tulang hidung dan deformitas septum nasal yang

berbentuk C12

.

d. Komplikasi

Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi atau gejala sisa dibelakang hari.

Komplikasi tersebut adalah13

:

a. Komplikasi neurologis

a. Robeknya duramater

b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya

meningitis

c. Pneumosefalus

d. Laserasi otak

e. Avulsi dari nervus olfaktorius

f. Hematom epidural atau subdural

g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak

b. Komplikasi pada mata

a. Telekantus traumatika

b. Hematom pada mata

c. Kerusakan nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan

Page 12: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

12

d. Epifora

e. Ptosis

f. Kerusakan bola mata

g. Dan lain-lain

c. Komplikasi pad hidung

a. Perubahan bentuk hidung

b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi

atau hematom pada septum

c. Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia)

d. Epistaksis posterior yang hebat yang disebabkan karena robeknya

arteri ethmoidalis

e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis

frontalis atau mukokel.

e. Klasifikasi

Gambar 7. Klasifikasi fraktur nasoethmodial.

FrakturNasoethmoidaldiklasifikasikan menurutpolayang ditetapkan

olehMarkowitzdan Manson dibagi menjadi tipeI-III.

Tipe Iadalahpatah tulangyang tidak lengkap, sebagian besarunilateraltetapi

kadang-kadangbilateral, yang hanyamengalami displace

inferiordiinfraorbitalrimdanPiriformmarjin.

Page 13: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

13

Gambar 8. Fraktur Nasoethmodial tipe I.

Frakturorbitalnasoethmoidalbilateraldapatbagianseluruh

wilayahnasoethmoidalsebagai satu kesatuan. Ini bukanpatah

tulangorbitalnasoethmoidal yang sesungguhnya, karena telecanthustidak dapat

terjadi. Seluruhfragmensentralbiasanyamengalami rotasi dandisplace di bagian

posterior, dan terjadi distorsicanthal. Secara konseptual, ini perawatannya

denganmenopang dan menyatukan bagiansuperior dan inferioryang

mengalamifraktur. Jenispatah tulangtidak

memerlukanreposisicanthalkarenacanthustidakstabildan tetapmelekat

padafragmentulang besar.

TipeIIfrakturorbitalnasoethmoidaladalahpatah

tulangnasoethmoidalcomminuteddengansisaluarinsersio canthalligamenpatah

tulang. Fragmensentraldapatditanganisebagaifragmentulangyang cukup besardan

bersatudenganfragmenligamen-bearing canthaldarisisi laindengan

pengurangankawattransnasal.

Sisapotongankerangkaorbitalnasoethmoidaldikurangidankemudian

distabilisasioleh platjunctionaldan sekrupfiksasipada tulangfrontal,

riminfraorbitaldantingkatLeFortIrahang atas. Dapat terjadiunilateralataubilateral.

Page 14: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

14

Gambar 9. Fraktur Nasoethmodial tipe II.

Tipe III fraktur orbital nasoethmoidal dapat terjadi avulsi ligamentum

canthal (jarang) atau patah tulang yang memanjang di bawah isersio canthal

ligamen. Fragmen fraktur cukup kecil bahwa pengurangan akan mengharuskan

canthus yang terlepas untuk mencapai pengurangan tulang. Oleh karena itu,

canthal reattachment ligamen diperlukan, langkah terpisah dicapai dengan

pengaturan yang terpisah dari kabel transnasal untuk kedua tulang orbital medial

rim dan canthus tersebut. Secara umum, pengurangan tulang jarak dengan

intercanthal harus 5-7 mm, tidak boleh mengambil jaringan lunak berlebihan13,14

.

Gambar 10. Fraktur Nasoethmodial tipe III.

f. Gambaran klinis

1. Depresi Frontal / atau pelebaran ruang interorbital

2. deformitas nasal

3. displace septum nasal

4. krepitasi dan mobilitas kompleks NOE

5. Epistaksis

6. hematoma Periorbital

7. Traumatic telecanthus

8. Cerebrospinal fluid rhinorrhoea

9. Pneumocephalus

10. Diplopia

11. Perdarahan

g. Pemeriksaan

Page 15: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

15

Pemeriksaan fisik

inspeksi visual daerah NOE

ecchymosis lokal dan edema

perdarahan periorbital dan subconjunctival

laserasi atasnya tendon canthal medial

kehilangan proyeksi dan tinggi hidung

dorsum nasal rata, meningkatkan elevasi lebar nasal tip

palpasi langsung dari tepi medialorbital dan persepsi krepitus atau

pergerakan

Amati hematoma septum

Pemeriksaan bimanual atau palpasi skeleton nasoethmoid. Teknik

pemeriksaan bimanual :

- penjepit Kelly ditempatkan secara internal terhadap rim orbital medial

- finger Indeks ditempatkan secara eksternal melewati insersi ligamen

canthal medial

- Stabilitas dievaluasi dengan menilai gerakan kompleks

Evaluasi Ophthalmologic:

Penilaian ketajaman visual

Kecepatan dan simetri reaksi pupil

Lapang pandang

Tekanan intraoccular

Enophthalmos

Diplopia

Pemeriksaan canthus medial

tarik pangkal kelopak mata

Sudut tajam yang terbentuk di daerah canthal medial (Normal)

Sudut canthal medial tetap bulat (tidak stabil / terganggu)

Jarak Intercanthal

Page 16: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

16

35 mm indikasi penyebaran canthal

40 mm diagnostic

Penilaian radiologi

Computerized Tomography (CT)

radiografi lateral skull

Occipitomental views (10 dan 45 derajat)

Film oklusal (menunjukkan gangguan ethmoid)

seri X-ray trauma standar

Gambar 11. Pemeriksaan radiografi fraktur nasoethmodial.

g. Penatalaksanaan

Dengan bertambahnya jarak antar-canthus, reduksi terbuka yang

memungkinkan dilakukannya pemeriksaan dari rima orbitalis medial, tendon

canthus medial, dan ductus lacrimalis, biasanya merupakan indikasi. Pengawatan

transoseus digunakan untuk menstabilkan segmen tulang fraktur, sedangkan cacat

pada saccus, canaliculi, dan ductus nasolacrimalis diperbaiki dengan

penjahitan.Pengawatan transoseus diinsersi dan disimpul di atas pelat hidung

bilateral atau tombol untuk fiksasi ligament canthus yang bergeser.Pada situasi

Page 17: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

17

tertentu yang disertai pergeseran, reduksi tertutup dilakukan dengan cara

memasang pengawatan transethmoidalis dan mengkatnya di atas pelat pada regio

canthus medial14

.

3. Fraktur Blow Out

a. Definisi

Fraktur blow out atau fraktur dinding orbital adalah terputusnya

kontuinuitas antara jaringan-jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa

penglihatan tulang-tulang di daerah sekitarnya. Fraktur dasar orbita blow out

dapat merupakan trauma yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari

kehancuan tulang wajah yang luas. Fraktur dasar orbita blow out dapat timbul

bersamaan dengan fraktur lengkung zygomatik, fraktur daerah midfasial Le Fort

II dan III, atau bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita rim.19

Fraktur orbita pada maksilofasial merupakan fraktur yang sering

ditemui.Perawatannya tergantung dari aspek penatalaksanaan trauma kraniofasial.

Jika penatalaksanaanya tidak benar maka masalah kosmetik dan fungsi menjadi

mustahil untuk diperbaiki.15,16

b. Etiologi dan Mekanisme

Fraktur dasar orbita blow out yang murni (fraktur dasar orbita yang berdiri

sendiri), terjadi karena jejas benturan terhadap bola mata dan kelopak mata atas.

Benda yang membentur biasanya cukup besar untuk tidak mengakibatkan

perforasi bola mata dan cukup kecil untuk tidak mengakibatkan fraktur rim orbita.

Fraktur dasar orbita blow out saja atau bersamaan dengan fraktur tulang fasial

lainnya paling sering ditemukan pada fraktur midfasial, setelah fraktur nasal.20

Mekanisme terjadinya fraktur blow out terbagi menjadi dua teori, yaitu:

1. Teori Buckling

Teori ini menyatakan bahwa jika kekuatan membentur lingkaran orbita,

kekuatan tersebut akan menyebabkan dinding orbita mengalami efek

beriak. Kekuatan yang membentur lingkar tersebut akan menyalurkan

dayanya ke tulang paling lemah, dinding yang tipis seperti kertas (trauma

dasar), menyebabkan tulang tersebut berubah bentuk dan bahkan fraktur.

Page 18: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

18

Gambar 12. Teori Buckling

2. Teori Hidrolik

Teori ini dikemukakan oleh Pfeiffer tahun 1943 sebagai perbandingan atas

hipotesa Le Fort.Pfeiffer menyimpulkan bahwa sangat jelas tekanan

benturan diterima oleh bola mata disalurkannya ke dinding orbita dengan

fraktur yang lembut.Oleh karena itu dibutuhkan tekanan pada bola mata

untuk menyebabkan luka secara langsung.

Gambar 13. Teori Hidrolik

c. Tanda-Tanda Klinis

Tanda klinis fraktur orbita adalah:

- Diplopia yang disebabkan oleh restrictive strabismus

- Mati rasa pada daerah infra orbita disebabkan kontusio saraf yang

bersebelahan dengan atau terletak pada lokasi fraktur

- Ekomosis periorbita

Kebanyakan penderita yang mengalami trauma dasar orbital blow out

mempunyai gambaran sebagai berikut:

- Berkurangnya kemampuan visual.

- Bleparoptosis.

- Diplopia binocular vertical atau oblik.

Page 19: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

19

- Hyperthesia ipsilateral, dysesthesia atau hyperalgesia sesuai dengan

distribusi nervus infraorbitalis.

- Epistaksis.

- Pembengkakan pada kelopak mata setelah meniupkan udara ke hidung.

- Edema dan ecchymosis periorbita yang disertai dengan rasa sakit

merupakan gejala dan tanda eksternal.

- Enophtalmos mungkin juga terlihat tapi awalnya terjadi pembengkakan

jaringan disekelilingnya. Pembengkakan juga akan membatasi gerak otot

ekstraokuler.

- Proptosis juga bisa terjadi dari perdarahan retrobulbar atau peribulbar.

d. Pemerikasaan

A. Pemeriksaan fisik

Saat pemeriksaan ditemukan adanya:

- Enophthalmos atau exophthalmos

- Motility mata terbatas (terutama dengan gerakan mata terbatas)

- Nyeri (terutama dengan pergerakan ocular vertikal)

- Pembengkakan kelopak mata (memburuk setelah pukulan pada

hidung) dengan emphysema subcutaneous

- Parestesis infraorbital, hypesthesia gusi dan bibir atas

- Step-off yang jelans pada lingkaran tulang orbita

- Daerah yang lunak

B. Pemeriksaan radiologis

Penegakan diagnosis fraktur blow out juga membutuhkan pemeriksaan

penunjang berupa:

1. Foto AP orbita biasanya diambil dengan berbagai variasi angulasi sinar

Gambar 14. Fraktur orbita kiri

Page 20: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

20

2. Paling umum digunakan adalah proyeksi Cadwell dan Waters.

Proyeksi Cadwell memperlihatkan visualisasi dasar orbita dan

prosessus zygomatiko-orbitalis di atas densitas petrosus pyramidalis.

Gambaran yang lebih luas dari orbita bisa didapatkan dari proyeksi

Waters. Proyeksi ini menempatkan petrosus pyramidalis di bawah

sinus maksilaris sehingga memudahkan evaluasi dasar orbita, prolaps

isis orbita, dan tingkat cairan udara dalam sinus maksilaris

3. CT-Scan masih merupakan pemeriksaan imaging yang dipilih untuk

evaluasi trauma orbita karena kemampuannya untuk melihat detail

struktur tulang, walaupun MRI bisa memperlihatkan detail regio orbita

dengan sangat halus.15,16

Gambar 15. Fraktur dasar orbita kanan dan ekstensi posterior dasar orbita

Jika CT-Scan mempunyai hasil yang samar-samar saat mengevaluasi

pasien yang dicurigai terjadii entrapment, dilakukan test forced duction

yaitu dengan menilai secara langsung kemampuan atau

ketidakmampuan lebih jauh mata saat pasien diinstruksikan untuk

meliki ke atas, test ini dapat menghasilkan konfirmasi klinis yang

penting mengenai adanya otot atau jaringan yang terperangkap.

Gambar 16.Forced duction test

Page 21: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

21

e. Penatalaksanaan

Penanganan fraktur blow out sebaiknya dilakukan sesegera mungkin

setelah kita mengetahui bahwa itu membutuhkan perbaikan. Adanya fraktur blow

out itu sendiri bukan merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan. Jika

didapatkan fraktur blow out dengan diplopia, tetapi tidak terdapat enopthalmos,

tunggu 5 hari untuk melihat apakah diplopianya berubah atau tidak. Sering sekali

pembengkakan dan perdarahan di dalam rongga orbita mereda, pergerakan bola

mata membaik dan diplopia menghilang. Jika diplopia tidak menghilang, lakukan

force duction test untuk menentukan apakah diplopia ini dikarenakan paresis otot

atau retriksi. Jika bola mata dapat bergerak bebas, maka didapatkan parese

otot.Bandingkan mata kanan dan kiri untuk simetrisnya jika retriksi tidak nyata.

Jika diplopia membaik dan retriksi minimal, tunggu beberapa hari untuk

perbaikan diplopia. Pada anak-anak dan remaja, sebaiknya perbaikan fraktur blow

out dengan restriksi dilakukan sesegera mungkin, karena jaringan parut dapat

terjadi dengan cepat. Jika restriksinya sangat nyata dan secara subjektif tidak

terdapat perbaikan seperti berkurangnya pembengkakan, sebaiknya segera

dilakukan pembedahan.Pasien dengan parese otot pembedahan bukan merupakan

indikasi pembedahan.

Jika pada awal pemeriksaan didapat enopthalmos, lakukan CT-

Scan.Biasanya didapat fraktur yang besar pada dasar orbita, pembedahan

dilkaukan untuk mengoreksi enopthalmos.Tidak perlu menunggu terlalu lama.Jika

enopthalmos berkembang selama minggu pertama, curiga ada fraktur yang besar.

Lakukan pengukuran dengan ukuran mata kiri dan kanan lebih dari 2 mm lakukan

pembedahan untuk koreksi enopthalmosnya.18

Hypestesia saraf infra orbital bukan merupakan indikasi pembedahan.

Kebanyakan mati rasa ini akan hilang dalam waktu 6-12 bulan.

Ada beberapa jalan yang merupakan akses ke dinding orbita.Hal ini

tergantung dari tipe fraktur, luas fraktur, pertimbangan estetik dan perkiraan luas

sayatan.Pada dasar orbita, akses surgical terbagi menjadi subcilliary, subtarsal,

transconjuctival. Pendekatan-pendekatan ini berdasarkan langkah-langkah yang

dibuat dalam bidang yang terlibat: kulit, obicularis occuli dan periosteum. Hal ini

Page 22: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

22

akan mengurangi resiko pembentukan jaringan parut dan pemendekan kelopak

mata bawah atau pembalikan yang dikenal sebagai ectropion.16,17

Pendekatan subcilliary dan subtarsal sangat mirip.Perbedaannya hanya ada

pada lokasi insisi.

1. Pendekatan transconjuctival

Pendekatan ini diawali dengan insisi curvilinear kira-kira 3 mm di bawah

tarsal plate parallel terhadap tonjolan kelopak mata (lid punctum) bawah.

Gambar 17. Pendekatan Transkonjungtival

Keuntungan metode ini yaitu tidak adanya jaringan parut yang terlihat dan

mengurangi resiko retraksi kelopak mata bawah.Kerugiannya adalah

keterbatasan akses.

2. Pendekatan kutaneus

Pendekatan kutaneus dimulai dengan elevasi flap kulit-otot melalui insisi

2-3 mm di bawah kelopak mata bawah.Angkat diseksi ini ke anterior

terhadap septum orbita hingga orbita rim terlibat. Insisi periosteum dan

bebaskan dari perlekatannya terhadap tulang seperti yang digambarkan

pada pendekatan transkonjungtival.17

Gambar 18. Pendekatan Kutaneus

3. Pendekatan Transantral

Pendekatan ini membuat akses terhadap dasar orbita melalui sinus

maksilaris.

Page 23: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

23

Gambar 19. Pendekatan Transantral

KESIMPULAN

Selain fraktur Le Fort I, II, dan III fraktur yang dapat terjadi pada

maksilofacial juga terdapat fraktur zigomatikum maksilla kompleks, fraktur

nasoethmoidal, dan fraktur blow out seperti yang dibahas pada makalah ini.

fraktur zigomatikum maksilla kompleks (ZMK) merupakan fraktur yang terjadi

pada zigoma dan melibatkan maksila. Fraktur nasoethmodial merupakan fraktur

yang terjadi pada tulang hidung. Fraktur blow out merupakan fraktur pada dinding

orbital yang menyebabkan diskontinuitas jaringan pada dinding orbital. Macam-

macam fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma seperti benturan, pukulan,

ataupun karena kecelakaan berkendara atau kecelakaan kerja.Untuk melakukan

pemeriksaan pada kasus fraktur maksilofacial, dapat dilakukan dengan

pemeriksaan klinis, dan dapat juga dengan pemeriksaan penunjang yaitu

radiografis serta dilakukan CT scan pada pasien. Penatalaksaan dan pembedahan

yang tepat pada kasus fraktur dapat dilakukan untuk menangani kasus fraktur

maksilofacial khususnya fraktur zigomatikum maksilla kompleks (ZMK), fraktur

nasoethmodial, dan fraktur blow out.

Page 24: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

24

DAFTAR PUSTAKA

1. http://medical-

dictionary.thefreedictionary.com/maxillofacial+trauma.Maxillofacial

Trauma.

2. Soepardi AE., Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti RD. Trauma Muka dalam

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed

6. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. http://www.patient.co.uk/doctor/Maxillofacial-Injuries.htm. Maxillofacial

Injuries.

4. LELES Jose Luiz Rodrigues, SANTOS Enio Jose dos, JORGE Fabrício

David, SILVA Erica Tatiane da, LELES Cláudio Rodrigues. Risk factors for

maxillofacial injuries in a Brazilianemergency hospital sample. 2009, August

11st.

5. Higles Adams BOIES. Trauma Rahang-Wajah dalam Buku Ajar Penyakit

THT. Ed.6. 1997. Jakarta : EGC.

6. Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier

Saunders. 2005.

7. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks

zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb

2005 no 1 tahun IX hal 41-50.

8. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al.

oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005

9. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex

Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and

Maxillofacial Surgery 2nd

. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004

10. Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah

Mulut.Jakarta: EGC.1996

11. Sargent LA. Nasoethmoid orbital fractures: diagnosis and treatment. Plast

Reconstr Surg. 2007. Vol. 120

12. Smith JE, Perez CL. Nasal Fracture.eMedicine Spesialties. Available from:

http://www.emedicine.com/. Access on: July 6, 2007.

Page 25: TRAUMA MAKSILOFASIAL (FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

25

13. Thamrin M, Widiarni D, Munir M. Trauma Muka. In: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5th ed. Balai Penerbit

FKUI. Jakarta. 2003. p:161-164

14. Gordon W. Pedersen, D.D.S., M.S.D. 1998. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut.

Jakarta: EGC

15. Cohen, AJ. 2005. Facial Trauma, Orbital Floor Fracture (Blow out).

16. Archer, HW. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th

Edition. WB

Saunders Company; Philadelphia, London, Toronto.

17. Kang, DB. A Case of Blow out Fracture of The Orbital All with Eyeball

Entrapted within The Ethmoid Sinus. Korean J ophthalmo. Vol. 17:2003.

18. Peterson. Principle of Oral and Maxillofacial Surgery. Editor: Michael

Miroro. BC Decker, London: 2004.

19. Dahlan, Rinaldi. Blow our Fracture. Ocular: Media Komunikasi Internal

Rumah Sakit Cicendo. Edisi ke-5. Bandung: 2006.

20. Zubair, Feharza. Orbital Trauma: The Blow out Fracture. University of

Glasbow: 2004.