translate_japanese guidelines for atopic dermatitis

27
JAPANESE GUIDELINE FOR ATOPIC DERMATITIS Ichiro Katayama1, Yoichi Kohno2, Kazuo Akiyama3, Zenro Ikezawa4, Naomi Kondo5,Kunihiko Tamaki6 and Osamu Kouro7 Abstract Berdasarkan pentingnya diagnosis yang sesuai dan penilaian yang sesuai dari gejala kulit pada dermatitis atopic, dasar treatment di guidelines ini terdiri dari (1) investigasi dan penanganan penyebab dan faktor eksaserbasi, (2) koreksi dari disfungsi kulit (skincare), dan (3) farmakoterapi. Ketiga hal tersebut didasarkan pada konsep penyakit ini bahwa dermatitis atopic merupakan penyakit inflamasi pada kulit dengan eczema oleh atopic diathesis, multifaktorial pada onset dan bertambah parahnya penyakit, dan disertai dengan disfungsi kulit.Ketiga poin ini sama-sama penting dan seharusnya bisa dikombinasikan dengan gejala masing- masing pasien yang sesuai. Dalam treatment, sangat penting untuk memberitahu informasi tentang etiologi, patologi, fisiologi, atau terapi kepada pasien untuk menjalin hubungan yang nyaman dengan pasien atau keluarga pasien sehingga mereka bisa paham mengenai terapi yang akan diberikan. Guidelines ini mendiskusikan terutama tentang terapi dasar yang berhubungan dengan treatment penyakit ini. Tujuan utama dari treatment adalah supaya pasien dapat menjalani kehidupan social tanpa gangguan dan mengendalikan gejala kulitnya sehingga kualitas hidupnya dapat mencapai level kepuasan tinggi. Kata kunci: Dermatitis Atopik, Faktor Eksaserbasi, Penatalaksanaan , Phramacoterapy, peratan kulit Dasar terapi yang akan dibahas pada guidelines ini berdasarkan “Guidelines for the Treatment of Atopic Dermatitis 2008” oleh Health and Labour Science Research dan “Guidelines for the Management of Atopic

Upload: mekki-lazir-ilhdaf

Post on 07-Sep-2015

242 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Guidelines for Atopic Dermatitis

TRANSCRIPT

JAPANESE GUIDELINE FOR ATOPIC DERMATITIS

Ichiro Katayama1, Yoichi Kohno2, Kazuo Akiyama3, Zenro Ikezawa4, Naomi Kondo5,Kunihiko Tamaki6 and Osamu Kouro7

Abstract

Berdasarkan pentingnya diagnosis yang sesuai dan penilaian yang sesuai dari gejala kulit pada dermatitis atopic, dasar treatment di guidelines ini terdiri dari (1) investigasi dan penanganan penyebab dan faktor eksaserbasi, (2) koreksi dari disfungsi kulit (skincare), dan (3) farmakoterapi. Ketiga hal tersebut didasarkan pada konsep penyakit ini bahwa dermatitis atopic merupakan penyakit inflamasi pada kulit dengan eczema oleh atopic diathesis, multifaktorial pada onset dan bertambah parahnya penyakit, dan disertai dengan disfungsi kulit.Ketiga poin ini sama-sama penting dan seharusnya bisa dikombinasikan dengan gejala masing-masing pasien yang sesuai. Dalam treatment, sangat penting untuk memberitahu informasi tentang etiologi, patologi, fisiologi, atau terapi kepada pasien untuk menjalin hubungan yang nyaman dengan pasien atau keluarga pasien sehingga mereka bisa paham mengenai terapi yang akan diberikan. Guidelines ini mendiskusikan terutama tentang terapi dasar yang berhubungan dengan treatment penyakit ini. Tujuan utama dari treatment adalah supaya pasien dapat menjalani kehidupan social tanpa gangguan dan mengendalikan gejala kulitnya sehingga kualitas hidupnya dapat mencapai level kepuasan tinggi.

Kata kunci:

Dermatitis Atopik, Faktor Eksaserbasi, Penatalaksanaan , Phramacoterapy, peratan kulit

Dasar terapi yang akan dibahas pada guidelines ini berdasarkan Guidelines for the Treatment of Atopic Dermatitis 2008 oleh Health and Labour Science Research dan Guidelines for the Management of Atopic Dermatitis 2009 (ADGL 2009) oleh Atopic Dermatitis Guidelines Advisory Comitee, Japanese Society of Allergology.

1. Definisi/ Konsep Penyakit, Patofisiologi/ Etiologi Dermatitis Atopik

1.1. Definisi dan konsep penyakit

Pedoman ini mengadopsi dari Japanese Dermatological Association on Atopi Dermatitis, yang menyatakan bahwa Dermatitis Atopik adalah penyakit berulang dengan eksaserbasi dan remisi, karakteristik utama adalah gatal pada kulit, terutama ditujukan pada pasien dengan memiliki riwayat atopi.

1.2. Patofisiologi

1.2.1. Mekanisme Inflamasi

Dermatitis atopic adalah penyakit yang termasuk dalam kelompok dermatitis.Pengaturan dominan pada lesi dermatitis atopic diatur oleh Th2 sel yang berhubungan dengan sitokin seperti IL-4 dan IL-13 dan kemokin seperti TARC dan eotaxin. Bagaimanapun dalam hal ini, terjadi suatu proses patologi akut dan Th-1 memproduksi IFN- dan IL-12 ditemukan lebih dominan dalam keadaan kronik. Sel langerhans dan sel mast terlibat dalam respon inflamasi dengan mengekspresikan tingginya afinitis reseptor IgE (FcRI) yang menyebabkan munculnya antigen dan sel mast melepaskan histamine, sitokin, dll.Pada lesi eczematous dermatitis atopic, peptide antimikroba dihambat dalam pembentukan keratinosit.

1.2.2. Disfungsi Kulit

Ekspresi Ceramide dan Filaggrin mengalami penurunan di kulit pada dermatitis atopic, khususnya pada lesi dan dianggap sebagai penyebab utama disfungsi barrier.Hal ini dianggap sebagai sebagai fenomena sekunder yang terkait dengan peradangan dan sebagai penyebab utama dermatitis atopic.Dermatitis atopic disertai gatal akut diduga karena terjadi penurunan ambang gatal, dimana ada keterlibatan IL-31 sebagai penyebab diatas.

1.3. Etiologi

Dermatitis atopic disebabkan oleh pengaruh kombinasi genetic dan factor lingkungan.

1.3.1. Faktor Genetik

Kebanyakan pasien memiliki riwayat atau sejarah pribadi mengenai penyakit atopic.Pada awalnya penyakit cenderung diwariskan dari orang tua. Factor genetic dilaporkan saat ini meliputi mutasi -590C/T di bagian promotor IL-4 , subunit IL-4R dan kelainan gen filaggrin, komponen dari lapisan sel tandun, suatu komponen dari sel lapis.

1.3.2. Faktor penyebab dan kekambuhan

Berbagai macam factor etiologi dan hal memperburuk telah dikemukakan, dengan tingkat kepentingan masing-masing bervariasi antara setiap individu.Selain itu, radang terkait dengan penyakit ini dijelaskan dari mekanisme alergi dan non-alergi.Penyebab dan factor memperburuk bervariasi dalam setiap kelompok umur. Sedangkan factor yang dominan pada anak termasuk makananm berkeringat, iritasi fisik (termasuk menggaruk), factor lingkungan, mikroba, jamur, kontak dengan allergen, stress dan makanan. (gambar 1)

2. Epidemiologi Dermatitis Atopik

2.1. Prevalensi Dermatitis Atopik

Suatu survey epidemiologi (tahap 1) dilakukan pada tahun 1994-1996 oleh International Study of Asma dan Alergi in Childhood (ISAAC). Prevalensi secara global dalam usia 6-7 tahun berkisar 1,1% di Iran, 18,4% di swedia dan rata-ratanya 7,3%. Prevalensi global pada usia 13-14 tahun berkisar 0,8% di Albania dan 17,7% di Nigeria dan rata-rata 7,4%. Prevalensi tertinggi terlihat terutama pada Negara industri, terutama Swedia, Finlandia, Inggris, Jepang, Australia dan Selandia Baru. Dalam Survey epidemiologi (tahap II) yang dilakukan 2001-2003 oleh ISAAC, beberapa Negara menunjukkan penurunan yang signifikan dalam prevalensi usia 6-7 tahun dibandingkan dengan prevalensi dalam survey epidemiologi tahap I. dalam kelompok usia 13-14 tahun, beberapa Negara maju dengan prevalensi tinggi dilaporkan mengalami penurunan dalam tahap ke-II survey epidemiologi.

2.2. Survey Epidemiologi di jepang

Suatu survey prevalensi nasional yang dilakukan di Jepang (2000-2008) dengan menggunakan data pemeriksaan medis dari pusat kesehatan masyarakat, sekolah dasar dan universitas. (Gambar 2) menunjukkan prevalensi dalam kelompok usia. Selain itu survey dermatitis atopic pada dewasa dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan medis untuk 2943 orang dari 2 universitas. Gambar 3 menunjukkan rasio pasien dermatitis atopic yang dianalisis dari tingkat keparahannya untuk usia kelompok dari 1,5 tahun sampai ke kelompok usia universitas 20-an sampai 60s. Data megenai kejadian dan perkembangan dermatitis atopic infantile dilaporkan berdasarkan studi tindak lanjut padai bayi berumur 4 bulan sampai 3 tahun dilakukan di Health and Labour Sciences Research, dari 2006-2008, di Yokohama, Kota Chiba dana Kota Fukuoka. Laporan menunjukkan bahwa 16,2% dari bayi tersebut, yang mendapatkan pemeriksaan medis pada usia 4 bulan sebelum pasien berusia 18 bulan, meunjukkan perubahan yang sangan dinamis dalam perkembangan dermatitis atopic pada infant. Survey ini menunjukkanperubahan tingkat kejadian kumulatif sebelum usia 3 tahun, lebih sedikit dari 30%, sama dengan laporan dari luar negri.

3. Diagnosis Dermatitis Atopik

3.1. Kriteria Diagnostik untuk Dermatitis Atopik

1) Kriteria diagnostic diusulkan oleh hanifin dan Rajka: Kriteria diagnostic hanifin dan Rajkan yang paling popular di internasional

2) Kriteria diagnostic diusulkan oleh Japannese Dermatological Association mengembangkan criteria diagnostic pada tahun 1994, yang sebagian direvisi pada tahun 2008 (tabel 1). Dengan menggunakan criteria ini, semua penyakit yang memenuhi 3 persyaratan yaitu gatal, ruam yang berkarakter dan menyebar dan kronis berulang akan didiagnosis sebagai dermatitis atopi terlepas dari tingkat keparahan gejala.

3) Kriteria diagnostic dibawah The Studies on Psychosomatic Disorder by Ministry of Health and Welfare: Kriteria ini terbatas pada dermatitis atopic pada bayi sampai anak-anak. Criteria diagnostic terpisah pada bayi, anak-anak dan anak sekolah. Pedoman ini menggunakan criteria diagnostic Association or the Study in Psychosomatic Disorder by Ministry of Health and Welfare. Kedua criteria memiliki konsisten pada prinsipya.

3.2. Penggunaan Data Laboratorium sebagai Referensi untuk Diagnosis

1) Tingkat Total serum IgE: Tinggi dari IgE serum diamati pada sekitar 80% pasien dengan dermatitis atopi. Hal ini juga dilaporkan secara signifikan berkorelasi dengan tingkat keparahan (pembahasan SKOR Dermatitis Atopik (SCORAD).

2) Hitung jenis eosinofil: Eosinofilia terlihat pada darah dan jaringan ruam banyak tapi tidak pada semua pasien. Karena perubahan lebih cepat daripada IgE, disini menunjukkan penilaian perubahan dari kondisi penyakit.

3) Titer antibody spesifik IgE: Pasien dengan Dermatitis Atopik cenderung untuk menghasilkan IgE dalam respon terhadap allergen seperti tungau, makanan dan hewan peliharaan dan sering menunjukkan reaksi positif terhadap beberapa allergen. Pencegahan paparan allergen telah terbukti posited dapat meningkatkan atau mencegah eksaserbasi ruam.

4) Uji Tempel : Sebuah patch test bisa diterapkan terhadap allergen eksternal, seperti allergen inhalasi, termasuk tungau.

5) Lain-lain: Data palaporan Laboratorium digunakan sebagai referensi untuk kondisi penyakit termasuk Laktat Dehidrogenase (LDH), eosinofil kationik protein (ECP), larut IL-2R, larut E-selectin dan timus dan aktivasi diatur kemokin (TARC). Secara khusus, tingkat TARC serum telah dinyatakan untuk mencerminkan cepat atau pendeknya jangka penyakit dermatitis atopic.

3.3. Kriteria Dermatitis Atopik Berat

1) SCORAD : SCORAD adalah criteria internasional menganai tingkat keparahan yang paling popular. Kriteria kelas daerah ruam, tingkat keparahan ruam tersebut sebagai eritema/edema papul/eksudasi/plak likenifikasi, tanda awal, cutis xerosis dan gejala subjektif seperti gatal, insomnia, dengan pembobotan pada rasio 2:6:2

2) Tingkat keparahan dermatitis Atopik berdasarkan Japannese Dermatological Association: menilai tingkat keparahan berdasarkan total skor dari 3 ruam (eritema, papul akut, tuberkel. Likenifikasi) dan di daerah ruam tubuh dibagi menhadi 5 bagian: kepala dan leher, bagian anterior tubuh, bagian tubuh posterior, badan, tungkai atas dan bawah.

3) Indeks keparahan dalam pedoman ini: pedoman indeks mudah digunakan yang diusulkan oleh Health and Labour Sciences Research in the Guidelines for the Treatment of Atopic Dermatitis 2008 (tabel 2)

4. Gejala Klinis Dermatitis Atopik

Gejala klinis dermatitis atopic dibagi mejadi 3 kelompok umur, bayi (kurang dari 2 tahun), anak usia sekolah (2-12 tahun), remaja dewasa (13tahun dan lebih)

4.1. Cutaneus Symptom

Gejala yang paling khas padakulit adalah ruam dan gatal.

4.1.1. Ruam

Pernyataan tentang klasifikasi ruam dari dermatitis atopic dari 3 perspektif, yaitu: kelompok usia, morfologi dan distribusi dan situs.

1) Morfologi Ruam: Dermatitis atopic adalah kulit yang mengalami peradangan. Pasien dengan dermatitis atopic dengan pengobatan jangka panjang dengan steroid topical didapatkan efek samping seperti atrofi kulit dan telangiektasis. Gejala ini akan berkembang menjadi lebih rumit padakulit ketika terjadi penularan penyakit lain secara bersamaan.

2) Karakteristik ruam berdasarkan kelompok umur

a. Masa bayi (