translate jurnal reading

Upload: lidya-diantika

Post on 01-Nov-2015

64 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

w

TRANSCRIPT

JOURNAL READINGREVIEW : ACNE VULGARIS

Oleh:

Oktavia Sari 115070100111001Lidya Diantika S 115070100111064Aulia Yasmin 115070100111081Sanny Wahyu Utomo 115070100111088Novita Apramadha K.S 115070107111050

Pembimbing:dr. Firmina Kus Setianingrum

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYARUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWARMALANG2015

Pedoman Terbaru pada Pengobatan Acne Vulgaris : Mulai Pendekatan pada Fase Akut Sampai Pemeliharaan Keuntungan KlinisSuelen Montagner, Adilson Costa

AbstrakAcne adalah penyakit multifaktorial yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari oleh dokter umum dan, terutama, oleh dermatologist. Hal ini sudah menjadi fokus dalam pembelajaran, yang semakin meningkatkan pemahaman tentangpatofisiologi dan pengobatannya, dengan tujuan untuk mengetahui sebagian besar jika tidak semua faktor patogennya. Tujuan dari artikel ini adalah untuk berfokus kepada kombinasi pengobatan dan manajemen acne, dengan menyoroti karakter acne sebagai penyakit kronik, yang ditandai dengan keadaan penyakit yang berulang dan kebutuhan terhadap pengobatan yang berkesinambunga, yang tidak hanya efektif tetapi juga aman.PendahuluanSeperti yang ditetapkan oleh Global Alliance do Improve Outcomes in Acne (GAIOA) pada 2009, acne diperhitungkan sebagai penyakit kronik dan bukan keadaan yang hanya terbatas pada remaja. Penyakit ini terjadi dengan pola yang berulang dan terjadi dalam waktu lama, serta manifestasinya berupa erupsi akut atau permulaan yang tidak disadari, yang akan berdampak pada pasien secara psikologis maupun dampak sosial yang khas terjadi pada penyakit kronis. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa acne bertahan sampai dewasa pada 50% individu. Acne akhir-akhir ini menjadi fokus pembelajaran untuk terus meningkatkan pemahaman tentang patofisiologi dan pengobatannya. Terapi kombinasi telah direkomendasikan sebagai pilihan utama pengobatan acne. Pengobatan harus dimulai secara agresif dengan tujuan untuk menurunkan dampak fisik dan emosional pada pasien. Dalam rangka untuk meminimalisasikan resiko pengulangan dan untuk hasil yang lebih baik, pemeliharaan pengobatan sangatlah penting.PatofisiologiAda empat faktor yang berperan pada patogenesis acne, yaitu : hipersekresi kelenjar sebaceous, perubahan pada proses keratinisasi, kolonisasi Propionibacteriumacnes (P acnes), dan pembebasan mediator inflamasi di kulit.

Hipersekresi SebaceousAcne menyerang terutama pada wajah, anterior thorax, dan dorsum area dengan konsentrasi folikel pilosebaceous yang banyak. Pada umur sekitar 7 tahun, kelenjar sebaceous dan folikularkeratinosit terstimulasi oleh hormon androgen, yang menyebabkan peningkatan produksi sebaceous danhiperkeratosisfolikular, mikrokomedo dan nantinya menjadi lesi inflamasi.Sel sebaceous dan keratinosit memiliki enzim 5-reduktase dan 3 dan 17 hidroksisteroid dehidrogenasi, yang mampu memetabolisme androgen.Seiring waktu, sel sebaceous berdiferensiasi dan pecah, membebaskan lipid di saluran sebaceous dan folikel. Pada umumnya, produksi sebaceous bergantung pada androgen yang tersirkulasi dan sebagai respons dari pilosebaceous unit.Lipids ebaceous diregulasi oleh reseptor yang diaktifkan oleh peroxisomeproliferator dan oleh faktor transkripsi SREBP (Sterol ResponsiveElementBinding Protein). Kelenjar sebaceous secara independen melakukan fungsi endokrinnya di kulit, dengan peran pentingnya dalam maturasi hormonal pada daerah kulit. Kelenjar sebaceous ikut berperan dalam mengontrol suatu organ melalui fungsi inflamatori-neuroendokrinnya yang akan berkordinasi dan mengeksekusi respons lokal terhadap stresKelainan Keratinisasi FolikularPembentukan komedo disebabkan karena adanya deklamasi abnormal dari korneosit yang terakumulasi di folikel sebaceous, hal ini akan berakibat pada pembentukan mikrokomedo, yaitu suatu lesi mikroskopik. Seiring waktu, folikel ini juga akan mengakumulasi lipid, bakteri, dan fragmen seluler. Folikel tersebut akan bertambah ukurannya dan berkembang menjadi komedo, suatu lesi yang dapat terdeteksi secara klinis, yang dapat berupa lesi inflamatori (komedo terbuka), disebabkan oleh karena proliferasi bakteri dan mediator inflamasi, atau noninflamatori (closedcomedo)Proliferasi BakteriP.acnes, bakteri gram positif anaerobik, berproliferasi di saluran folikular. Bakteri ini menghidrolisa trigliserida pada sebum melalui enzim esterase, proses ini akan menghasilkan asam lemak bebas yang akan mengiritasi dinding folikular dan menginduksi terjadinya keratinisasi.Respon imun alami tubuh adalah pertahanan lini pertama untuk melawan keadaan infeksi, dan P.acnes berperan dalam mengaktifkan respons imun alami ini. Komponen pada P acnes dapat mengaktifkan TLR (tollIike receptor-2), yang homolog dengan protein pada lalat Drosophila. Ada 11 tipe TLR, P acnes memiliki faktor solubel, yang dengan adanya limfosit CD14 dapat mengaktifkan TLR (terutama TLR -2 dan -4), dan menginduksi sintesis dari faktor proinflamatori lokal, seperti Tumor NecrosisFactor-, interleukin 1, prostaglandin, leukotrien, dan IL-8.Terlihat adanya korelasi antara penurunan P.acnes dengan perbaikan klinis ACNE, mungkin hal ini dikarenakan penurunan dari mediator inflamasi yang diinduksi oleh mikroorganisme itu sendiri.InflamasiLesi inflamasi, termasuk papul, pustul, atau nodul, dapat berkembang dari 1 tipe menjadi tipe lain, dan bahkan dapat menjadi jaringan parut. Lesi inflamasi dimulai dengan pembentukan papul, pada 80% kasus mikrokomedo muncul sebelumnya. Limfosit CD4 dan neutrofil menginvasi folikel, dan ruptur pada saluran tersebut akan mengeluarkan lipid, korneosit, dan bakteri ke dermis. Ada pembebasan dari sitokindan mediator neuroinflamatori, dikarenakan sebosit mengekspresikan neuropeptida seperti substansi P, yang akan mempengaruhi ukuran dari kelenjar sebaceous maupun produksi sebaceousnya. Dengan demikian, hal ini berkontribusi pada kelainan dari diferensiasi, proliferasi, dan sintesis lipid.Sebelumnya telah dibahas bahwa perubahan pada proses imunologi dan respons inflamasimempelopori terjadinya hiperproliferasikeratinosit sebagai salah satu patogenesis dari acne, hal yang serupa dengan respons imun tipe IV-delayedhypersensitivity. Produksi sebacea yang banyak dan perubahan integritas folikular berhubungan dengan terjadinya defisiensi asam linoleat. Sebagai respons terhadap defisiensi ini, akan terjadi peningkatan interleukin-1, yang berkontribusi pada terjadinya inflamasi. Lebih lanjut limfosit CD4 dan makrofag juga berperan pada produksi sitokin, yang akan mengaktifkan sel endotelial lokal dan menarik markerinflamasi seperti E-selection, VCAM-1, ICAM-1, dan HLA-DR pada vaskulatur di sekitar folikel. Metil metalloproteinase (MMPs) adalah endopeptida yang diproduksi oleh beberapa tipe sel, termasuk keratinosit, yang dapat menghancurkan komponen matriks ekstraseluler. Dengan adanya ruptur folikel pilosebaceous, MMP akan memperparah penyebaran inflamasi.

TerapiGuideline terbaru untuk pengobatan Acne Vulgaris menggunakan rekomendasi GAIOA (2009), yang membantu menentukan pilihan terapi untuk pasien dengan memperhatikan efikasi klinis dan keamanan klinis. Terapi Acne Vulgaris yaitu dibawah ini :1. Retinoid TopikalSaat ini, retinoid topikal (isolasi atau kombinasi) dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk acne ringan hingga sedang dan sering digunakan untuk mengurangi penggunaan antibiotik. Retinoid topikal bekerja mengontrol mikromedon, mengurangi lesi inflamasi dan pembentukan lesi baru. Retinoid topikal juga mengurangi deskuamasi folikel-folikel epitel dan memodulasi respon imun untuk menghasilkan efek anti inflamasi. Selain itu, retinoid topikal, seperti adapalene dan tretinoin, mengurangi asam lemak bebas yang dihasilkan metabolisme trigliserida oleh enzim lipase P. acne di mikromedon.Tetapi, biasanya mikromedon muncul lagi setelah penghentian obat. Maka dari itu, retinoid topikal digunakan untuk terapi pemeliharaan yang mencegah rekurensi.

2. Bakterisida dan Bakteristatik Topikal Benzoyl Peroxydase (BPO), produk bakterisidal, digunakan untuk pengobatan acne sejak 1934. Bakteri anaerobik dikurangi jumlahnya dengan mekanisme oksidatif. Formula topikal tersedia di konsentrasi 2,5;5;10; dan 20%. BPO memiliki efek iritasi. Asam azelaic berefek bakterisidal dan bukan antibiotik. Asam azelaic bekerja menormalkan keratinisasi ostium folikel. Efek sistemik tidak umum dan aman digunakan saat hamil dan menyusui. Antibiotik topikal, seperti clindamycin dan erythromycin, tersedia dalam bentuk solusi, lotion, gel, dan dikombinasi dengan BPO. Mereka mengurangi populasi P. acne di duktus pilosebaseus. Topikal antibiotik menyebabkan iritasi lokal, tetapi efek samping lain kurang signifikan dibanding antibiotik sistemik. 3. Antibiotik SistemikGuideline antibiotik sistemik menurut GAIOA pada tahun 2003 seperti dibawah iniLini pertamaAlternatif

Tetrasiklin 500 mg, 2x/sehariEritromisin 500 mg, 2x/sehari

Doksisiklin 50-100 mg, 2x/sehariTrimethoprim 300 mg, 2x/sehari

Limesiklin 150-300 mg, 1x/sehariSulfamethoxazole-Trimethoprim 800/160 mg

Minosiklin 50-100 mg, 2x/sehari

Peningkatan resistensi antimikroba terhadap eritromisin dan makrolid lain membatasi penggunaan di kasus sedangkan tetrasiklin terkontraindikasi pada kehamilan, menyusui, dan anak-anak. Pada beberapa kasus, sulfamethoxazole-trimethoprim dapat digunakan sebagai lini ketiga.Tetrasiklin generasi kedua, seperti minosiklin, doksisiklin dan limesiklin menghasilkan respon klinis lebih cepat dari generasi pertama. Ketika pembentukan lesi inflamasi baru sudah menurun, maka dosis juga harus diturunkan. Penggunaan retinoid topikal penting untuk mencegah rekurensi. Makrolid dan tetrasiklin dapat menyebabkan intoleransi gastrointestinal. Tetrasiklin juga dapat menghambat pertumbuhan axial di fetus dan diskolorisasi enamel pada anak dibawah 10 tahun. Minocycline mungkin dapat menyebabkan perubahan warna pada scar dan area yang terpapar cahaya, selain pada hipertensi intrakranial benign dan drug-induced lupus. Pada wanita, dapat pula menyebabkan kandidiasis selama periode aktif dari antibiotik. Lymecycline menunjukkan efektifitas setara dengan minocycline dan memiliki profil keamanan yang lebih baik.Antibiotik sistemik alternatif yang terekomendasi dan tervalidasi oleh GAIOA tidak terlalu menunjukkan kepentingan dalam efficacy atau keamanan dalam pertimbangan terapi acne. Namun demikian, di Brazil sebuah keputusan yang berani (namun tidak direkomendasikan) adalah pertumbuhan penggunaannya yang tidak terkontrol: terapi pulsasi dengan azithromycin-contoh paling popular dari kelas macrolide.Pemilihandari antibiotik tidak hanya berdasarkan pemahaman terhadap patogen dan suseptibilitasnya, namun juga berdasarkan spektrum dari antimikrobial itu dan farmakokinetiknya, dengan tujuan menghindarkan efek ekologis seperti seleksi bakterial. Macrolide adalah antibiotik bakteriostatik yang menunjukkan efektifitas melawan beberapa infeksi kulit. Mereka menghambat sintesis protein dari mikroorganisme.Untuk terapi acne vulgaris, azithromycin diberikan dengan dosis 500 mg/hari selama 3 hari, dengan total 3 siklus intermiten, dengan interval 7 hari. Terapi ini menunjukkan toleransi yang baik dan efektifitas yang baik, dimana juga meningkatakan kepatuhan pasien terhadap terapi. Banyak penelitian berusaha mengevaluasi efikasi azithromycin. Hasilnya, azithromycin aman dan efektif untuk terapi acne pada remaja dan anak, pada dosis 3 mingguan dengan dosis 500 mg selama 12 minggu atau 8 minggu, hasil serupa ditunjukkan pula pada penelitian pada remaja saja. Azithromycin (dosis 500 mg/hari, untuk 4 hari, pada 4 siklus dengan interval 10 hari) meununjukkan efektifitas dan toleransi serupa dengan minocycline (dosis 100 mg/hari selama 6 minggu).Beberapa penulis mengatakan, keuntungan peresepan azithromycin pada terapiklinis acne adalah pada kemudahan kepatuhan pasien terhadap dosis (1 kali sehari selama 3 hari). Namun, waktu paruhnya di plasma 68 jam (clarithromycin hanya 5-7 jam). Karakterisitik ini menunjukkan bahwa azithromycin dapat bertahan di plasma setidaknya 3-4 minggu setelah terapi terakhir.Persistensinya pada konsentrasi sub inhibitor menunjang resistensi streptococcal, dimana terjadi lebih lama pada azithromycin dibanding clarithromycin. Didapatkan pula laporan mengenai superioritasnya pada resistensi terhadap S.Aureus, Enterobacter spp dan Klebsiella spp.Secara umum, penggunaan antibiotik tidak aman. Macrolide sebagai contohnya, memiliki resiko meningkatkan resistensi bakterial. Ada beberapa mekanisme yang memicu resistensi. Salah satunya efflux aktif dari substansi oleh membran plasma backerial, di kode oleh gen mef (macrolide efflux). Mekanisme itu mempresentasikan resistensi rendah sampai sedang terhadap macrolide, meningkatkan konsentrasi inhibitor minimalnya. Mekanisme lain adalah berkaitan dengan gen erm (B), yang mengkode methylase, merubah linking site dari antibiotik pada subunit 50S pada ribosom bakteri. Azythromycin menyeleksi mikroorganisme secara kuantitatif segera setelah terapi, sedangkan claryhtromycin secara kualitatif melalui gen erm (B). Kedua antibiotic memiliki konsentrasi ekstra sel yang tinggi pada jaringan pernapasan seperti pada nasal dan membran mucus oral. Flora komensal ketika terpapar antimikrobial tersebut, dapat bekerja sebagai reservoir resisten terhadap bakteri pathogen potensial. Penggunaan azithromycin jangka panjang dapat meningkatkan resiko penyebaran resistensi mikroorganisme di komunitas.Studi terbaru di Finlandia mengevaluasi resistensi regional dari Streptococcus pneumonia terhadap macrolide, membandingkan pemakaian local semua macrolide kombinasi dan penggunaan terbatas azithromycin. Resistensi terhadap penisilin juga dievaluasi dan dibandingkan dengan penggunaan penisilin secara general, cephalosporin, semua berkaitan dengan beta-laktam dan semua yang berkaitan dengan macrolide.Penggunaan macrolide, termasuk azithromycin, berkorelasi dengan peningkatan resistensi terhadap macrolide, sedangkan pemakaian beta-laktam dan cephalosporin berkorelasi dengan peningkatan kecil pada resistensi S.pneumoniaeterhadap penisilin. Data ini menunjang argumen yang menyangkal peresepan yang tidak sesuai pada macrolide dan cephalosporin.Terapi hormone dan pengobatan untuk mengontrol resistensi insulin perifer. Terapi hormone baik untuk wanita yang mau menggunakan kontrasepsi oral atau sebagai alternative terhadap penggunaan isotretinoin berulang. Dapat juga diberikan pada wanita yang menunjukkan kasus seboroik serius dan tanda-tanda hiperandrogenisme, seperti andorgenetic alopecia, acne, dan hirsutism (contohnya: Saha Syndrome-seboroik, acne, hirsutism dan alopecia). Kondisi ini kadang mempengaruhi resistensi insulin perifer, yang harus diobati dengan obat yang di kombinasikan dengan kontrasepsi hormonal.Kita harus selalu memikirkan kelainan endokrin pada wanita dengan acne yang resisten terhadap terapi konvensional. Biasanya tergantung pada kemampuan pemeriksa dalam melihat adanya keluhan tambahan dan memeriksa pasien secara holistik untuk mengkonfirmasi diagnosis endokrinologi, tidak hanya terfokus di lesi acne yang Nampak pada saat kunjungan pasien. Ini menunjukkan pentingnya peranan pendidikan umum pada dermatologist.Pada kelas obat ini kita dapat menemukan: 1) antiandrogen; 2)penghambat hormone ovarian dan adrenal; 3) kontroler non-hormonal terhadap resistensi perifer insulin, dan di masa depan, 4) penghambat enzim yang berpengaruh dalam metabolisme androgen pada kulit.1) Antiandrogena) Cyproterone asetat: digunakan untuk dewasa dan jerawat yang serius atau suspek hipersensitif dari sebocytes ke androgen perifer. Ini adalah hydroxyprogesterone 17- derivatif (menghambat sekresi pusat gonadotropin dan aktivitas reduktase 5- di reseptor perifer). Yang paling sering digunakan kombinasi adalah 17- hidroksiprogesteron (2 mg) dengan etinil estradiol (35 mcg), yang pada umumnya membersihkan jerawat di 12 sampai 24 siklus. Peningkatan hirsutisme terjadi dalam 3 sampai 6 bulan pengobatan.b) Spironolactone: penggunaannya dapat bervariasi dari 2 sampai 24 bulan, dan dapat dikombinasikan dengan topikal dan atau perawatan sistemik, serta dengan pil KB hormonal. Dosis umum dapat bervariasi dari 100 ke 200 mg / hari. Apabila muncul keluhan lain maka dosis harus dikurangi (50 sampai 100 mg). Sebagian besar pasien tidak memiliki efek samping 57,7%; 17,5% berpengaruh pada menstruasi; dan 16,3% pada saat ini terjadi perubahan dari sistem saraf pusat, seperti kelesuan, kelelahan, pusing, dan cephalea. c) Lainnya: karena menggunakan obat yang tidak berlabel, tidak dapat dihindari penggunaanya (finasteride) dan yang telah dilarang di dermatologi (flutamide).2) Ovarium dan adrenal hormon blockera) pil KB hormonal: menghambat sekresi gonadotropin, androgen ovarium atau adrenal, selain merangsang sintesis hepatik hormon seks pengikat globulin (SHBG), yang mengurangi konsentrasi plasmatic dari testosterone. Kedua, mengurangi kadar IGF-1 dan reduktase 5-. Yang paling populer dan efektif adalah golongan: etinil estradiol (35 mg) dengan triphasic norgestimate (180mg / 215 mg / 250 mg); dan etinil estradiol (20 mg) dengan norethindrone (100 mg). Perbaikan klinis dapat diamati dalam waktu 3 sampai 6 bulan penggunaan terus-menerus. b) Gonadotrophin liberation agonist: jarang digunakan karena dapat menghilangkan fungsi ovarium, dan menjadi faktor pencetus gejala menopause. Kemungkinan obat-obatan termasuk buserelin, nafarelin atau leuprolide. Mengingat kompleksitas pada pasien, resep dan pengawasan terapi dilakukan oleh ahli endokrin atau dokter ahli kandungan di sebagian besar kasus.c) Glukokortikoid: dikombinasikan dengan pil KB hormonal. Obat ini menghambat produksi kortisol dan prekursor androgenik yang kuat. Obat ini cocok pada penderita adrenal hiperplasia kongenital karena defisiensi dari 11 atau 21-hidroksilase. Yang paling sering digunakan dan paling aman adalah prednison, 2,5-5 mg apabila pada keadaan yang memburuk.3) Kontrol Non-hormonal perifer resistensi terhadap insulina) Metformin: sebagai normoglycemiant oral, diklasifikasikan sebagai antidiabetes dari kelas biguanides. Dalam kasus Plycystic Ovary Syndrome, dapat mengakibatkan penurunan aktivitas luteinizing hormon, menghambat sekresi prolaktin, merangsang ovulasi, menghambat neoglycogenesis hepar, menghambat penyerapan glukosa usus, merangsang sensibilitas perifer terhadap insulin dan mengurangi kepadatan lipoprotein / triglicerydes, serta penurunan berat badan.Namun demikian, sering terjadi efek samping gastrointestinal, seperti diare, perut kembung, mual dan muntah yang diamati; Efek samping yang dosedependent dan beradaptasi dengan penggunaan terus menerus. Dosis umum bervariasi dari 1.500 sampai 2.550 mg / hari.b) Glibenklamid: sebagai hypoglicemiant oral, diklasifikasikan sebagai antidiabetes dari kelas sulphonylureas. Obat ini bekerja dengan merangsang sintesis insulin. Obat ini, berbeda dengan metformin, bisa menyebabkan gejala klasik hipoglikemia; apalagi, bisa menghasilkan reaksi hematopoietic- dan reaksi seperti disulfiram. Dengan dosis standart 2,5-5 mg / hari (maksimal 15 mg / hari).Retinoid oralDibuat di tahun 1955 isotretinoin, atau 13-cis-asamretinoad pertama kali dibuat di eropa di tahun 1976, tahun 1950 di US dan di tahun 1980 di Brazil. Isotretinoin adalah retinoid oral yang covok untuk jerawat nodular yang berat atau jerawat berat yang tidak bekerja dengan obat topikal. Cara kerjanya adalah dengan menurunkan skresi kelenjar sebasea menormalisasikan keratinisasi folikular dan mencegah pembentukan komedo baru. Dengan demikian jumlah p acne secara tidak langsung akan berkurangDosis awal bervariasi dari 1-2 mg /kg dengan kemungkinan dosis diturunkan setelah 45-60 hari dengan dosis harian minimal adalah 0,5 mg/kg/hari. Durasi minimal pengobatan adalah 5 bulan, tergantung dosis harian dan berat pasien, dengan dosis minimal adalah 120mg/kg-150mg/kgEfek samping yang minimal adalah kering pada mulut ceilitis,kering pada membran mukosa hidung (dapat menyebabkan mimisan), xerophthalmia, xirosis kulit dengan diskuamasi dan proritus, yang bisa lebih parah pada orang yang memiliki kecenderungan atopi, dan alopesia minorReaksi yang lebih jarang adalah cephalea, athralgia, nyeri otot, terutama pada atlet, cemas, insomnia, dan peningkatan kolesterol dan trigliseridaIni merupakan pengobatan teratogenik, untuk mengeksklusi resiko kehamilan sebelum pengobatan dimulai, penggunaan kontrasepsi oral harus diteruskan selama pengobatan sampai 30 hari setelah dosis terakhirBerdasarkan interaksi obatnya sangat penting untuk mengetahui bahwa vitamin A memperkuat efek toksik dari retinoid. Selain itu penggunaan bersamaan dengan tetrasiklin dapat menginduksi sindroma pseudotumor serebri. Rekurensi sering terjadi pada terapi isotretinoin. Sebagian berespon terhadap pengobatan ulang dengan terapi konvensional tetapi sebagian besar pasien, perlu siklus isoteritinoin yang baru.

Asosiasi dan Terapi Kombinasi : Pendekatan modern untuk terapi acne vulgarisSaat ini, penggunaan obat obatan dengan mekanisme kerja yang berbeda seperti kombinasi dari topikal retinoid dan antimikroba non antibiotik, dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk acne. Tujuannya adalah untuk mengatasi faktor faktor penyebab yang bervariasi dan pada saat yang bersamaan mengurangi lesi inflamasi maupun non inflamasi. Kombinasi terapi ini dapat digunakan pada semua stadium dan intensitas acne vulgaris (Tabel 1.7)Di sisi lain, perlu diperhatikan pentingnya penggunaan antibiotik topikal dan sistemik yang rasional untuk mencegah resistensi bakteri. Penggunaan antibiotik sistemik yang irasional akan memperburuk resistensi bakteri.Penggunaan antibiotik topikal direkomendasikan untuk dikombinasi dengan BPO, dengan pilihan antibiotik Clindamycin. Suatu penelitian 10 minggu, double-blind dan random menyimpulkan bahwa penggunaan BPO 5% dikombinasikan dengan Clindamycin 1% dalam bentuk gel pada pasien dengan acne stadium moderate dan severe dapat ditolerasi dengan baik dan lebih efektif daripada penggunaan BPO dan Clindamycin masing masing tanpa kombinasi.Suatu penelitian 16 minggu, double-blind, random membandingkan penggunaan Clindamycin 1% yang dikombinasikan dengan BPO 5% dibandingkan dengan Clindamycin 1% sebagai monoterapi. Terdapat 1,600% peningkatan resistensi P. acnes pada penggunaan monoterapi Clindamycin dibandingkan dengan kombinasi Clindamycin dan BPO. Hal ini semakin menguatkan pentingnya terapi kombinasi pada pengobatan acne.Berdasarkan tatalaksana terbaru mengenai pentingnya penggunaan antibiotik oral pada kasus yang berkepanjangan, direkomendasikan untuk digunakan antimikroba non antibiotik seperti BPO karena efek bakterisidal yang tinggi untuk mengurangi resistensi bakteri.Selama bertahun tahun, telah dibuktikan bahwa penggunaan retinoid dan adapalene dapat meningkatkan efficacy klinis dari terapi antibiotik, baik antibiotik topikal maupun sistemik.Penelitian klinis menunjukkan bahwa penggunaan adapalene topikal yang dikombinasikan dengan clindamycin topikal atau lymecycline sistemik lebih efektif daripada penggunaan clindamycin ataupun lymecycline sebagai monoterapi.Berdasarkan penelitian double-blind yang dipublikasikan tahun 2007 dan 2009, penggunaan topikal adapalene 0,1% yang dikombinasikan dengan BPO 2,5% memiliki hasil yang lebih superior jika dibandingkan dengan adapalene ataupun BPO sebagai monoterapi. Adapalene yang dikombinasikan dengan BPO akan mengurangi lesi inflamasi dan non infamasi dalam waktu satu minggu pengobatan. Efek anti inflamasi dari adapalene dan BPO akan menghasilkan: 1) eliminasi dari P. acnes oleh BPO dan 2) Efek downregulasi dari adapalene terhadap TLR-2, digunakan oleh P. acnes untuk menginduksi produksi sitokin inflamasi. Lebih lanjut, penetrasi BPO difasilitasi oleh retinoid.Penggunaan kombinasi dari 0,1% adapalene dengan 2,5% BPO (keduanya dalam dosis efektif terendah) dapat ditoleransi dengan baik sebagai aplikasi harian.

Kombinasi dari tiga obat akan menjadi terapi topikal yang lebih efektif pada pengobatan acne. Beberapa laporan klinis menyatakan keuntungan dalam pengobatan menggunakan adapalene atau tretinoin yang dikombinasikan dengan BPO dan clindamycin.Kombinasi terapi antara adapalene dengan BPO dan clindamycin sudah diteliti. Suatu penelitian multisentrik dengan tiga grup: 1) clindamycin/BPO selama 4 minggu yang diikuti oleh clindamycin/BPO dan adapalene, 2) adapalene sebagai monoterapi selama 12 minggu, 3) clindamycin/BPO dan adapalene selama 12 minggu. Grup tiga dilaporkan memiliki perbaikan lesi yang paling signifikan.Penelitian mengenai tretinoin yang dikombinasikan dengan BPO juga sudah dilakukan. Pada suatu penelitian terkontrol dengan tiga grup 1) clindamycin/BPO, 2) clindamycin/BPO dan tretinoin 0,025%, 3) clindamycin/BPO dengan tretinoin 0,025% dan clindamycin. Pada penelitian ini, kombinasi tiga terapi terbukti lebih efektif dalam mengurangi lesi inflamasi (69%), diikuti oleh grup satu (66%) dan kemudian grup tiga (52%). Lesi inflamasi yang dapat dikurangi dengan triple therapy sebanyak 61%, kemudian diikuti oleh clindamycin/BPO (57%) dan kemudian tretinoin dikombinasikan dengan clindamycin (50%). Tetapi penelitian penelitian tersebut masih sampai pada level III dan masih diperlukan penelitian lain untuk melihat keamanan dari kombinasi obat obatan ini.Terapi PemeliharaanLesi pada acne cenderung nampak kembali selama beberapa tahun, khususnya ketika penanganannya terganggu. Pada hal ini, terapi pemeliharaan merupakan cara untuk menghindari kemunculan kembali beberapa lesi. Pada waktu yang lama, antibiotik digunakan dalam periode yang lama pada pasien acne. Secara praktis, hal ini tidak direkomendasikan karena menginduksi resistensi mikroba. Sebaliknya pada retinoid, antibiotik tidak mencegah perkembangan prekursor mikro komeo pada lesi acne.Arahan internasional telah mengindikasikan bahwa retinoid topikal adalah obat pilihan untuk terapi pemeliharaan acne vulgaris sejak 2003. Karena retinoid topikal mencegah perkembangan lesi baru dan menangani lesi yang ada, maka retinoid sebaiknya dipilih sebagai monoterapi dalam terapi pemeliharaan pada acne. Berdasarkan keparahan inflamasi, agen antimikroba lain, seperti BPO atau kombinasi BPO dengan antibiotik, dapat dikombinasi dengan retinoid topikal. Retinoid topikal tersedia dalam beberapa konsentrasi dan formulasi. Pemilihannya sebaiknya berdasarkan kerutinan pasien untuk menjamin kepatuhan pengobatan yang lebih baik. Pasien juga lebih mungkin untuk mengikuti rencana pengobatan jika mereka memahami kegawatan dan perilaku klinis dari kondisi. Retinoid juga mengurangi hiperpigmentasi pasca inflamasi , yang dapat digunakan sebagai argumen yang kuat untuk menimbulkan kepatuhan pasien .KesimpulanAda sejumlah obat-obatan yang tersedia untuk mengontrol acne. Melalui pendekatan acne sebagai gangguan kronis, kami menekankan pentingnya terapi pemeliharaan untuk menghindari kemungkinan kekambuhan. Pada akhirnya, kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat diperlukan.Investasi dalam hubungan dokter-pasien mungkin sangat berharga dalam arti tersebut. Menjelaskan gangguan perilaku dan mengadaptasikan pemberian obat-obatan untuk pasien secara rutin juga dapat mendukung kepatuhan terhadap pengobatan.Acne merupakan bidang dalam penelitian permanen. Kemajuan dalam pemahaman patofisiologi berkontribusi dalam perbaikan terapi, yang terdiri dari peningkatan sejumlah faktor dan menyediakan pasien dengan hasil yang lebih baik.

Daftar Pustaka1. Gollnick H, Finlay AY, Shear N, Global Alliance to Improve Outcomes in Acne.Can we describe acne as a chronic disease? If so,how and when?. Am J Clin Dermatol. 2008;9(5):279-84.2. Centers for Disease Control and Prevention. Classifications of diseases and functioning and disability. In: Classifications of diseases and functioning and disability. Vol 2008. National Center for Health Statistics; 2001 definition of disability reference. Available at http://www.cdc.gov/nchs/icd9.htm. Accessed February 23, 2009.3. OHalloran J,Miller GC, Britt H.Defining chronic conditions for primary care with ICPC-2. Fam Pract.2004;21(4):381-6.4. Niemeier V, Kupfer J, Demmelbauer-Ebner M, Stangier U,Effendy I, Gieler U. Coping with acne vulgaris: evaluation of the chronic skin disorder questionnaire in patients with acne. Dermatology.1998;196(1):108-15.5. Goulden V, Stables GI, Cunliffe WJ. Prevalence of facial acne in adults. J Am Acad Dermatol. 1999;41(4):577-80.6. Gollnick H, Cunliffe W, Berson D, Dreno B, Finlay A, Leyden JJ, et al. Management of acne: a report from Global Alliance to Improve Outcomes in Acne. J Am Acad Dermatol. 2003;49(Suppl):S1-37.7. Thiboutot D,Gollnick H, Bettoli V, Drno B, Kang S, Leyden JJ, et al.New insights into the management of acne: An update from the Global Alliance to Improve Outcomes in Acne Group. J Am Acad Dermatol. 2009; 60(5 suppl): S1-50.8. Zhang JZ, Li LF, Tu YT, Zheng J. A successful maintenance approach in inflammatory acne with adapalene gel 0.1% after an initial treatment in combination with clindamycin topical solution 1% or after monotherapy with clindamycin topical solution 1%. J Dermatolog Treat. 2004;15(6):372-8.9. Leyden J,Thiboutot DM, Shalita AR,Webster G,Washenik K, Strober BE, et al.Comparison of tazarotene and minocycline maintenance therapies in acne vulgaris: a multicenter, double-blind, randomized, parallelgroup study. Arch Dermatol 2006;142(5):605-12.10. Thiboutot DM, Shalita AR, Yamauchi PS, Dawson C, Kerrouche N, Arsonnaud S, et al. Adapalene gel, 0.1%, as maintenance therapy for acne vulgaris: a randomized, controlled, investigator-blind follow-up of a recent combination study. Arch Dermatol 2006;142(5):597-602.11. Costa A, Alchorne MMA, Goldschmidt MCB. Fatores etiopatognicos da acne vulgar. An. Bras.Dermatol. 2008;83(5):451-9.12. Leyden JJ. New understandings of the pathogenesis of acne. J Am Acad Dermatol 1995;32(5 pt 3):S15-S25.13. Gollnick HPM, Zouboulis CC, Akamatsu H, Kurokawa I, Schulte A. Pathogenesis and pathogenesis-related treatment of acne. J Dermatol.1991;18(9):489-99.14. Cunliffe WJ, Gollnick H. Acne: diagnosis and management. London: Martin Dunitz, Ltd; 2001.15. Plewig G, Kligman AM. Acne and Rosacea. 3rd ed. New York: Springer- Verlag; 2000.16. Pochi PE, Strauss JS, Downing DT. Age related changes in sebaceous gland activity. J Invest Dermatol. 1979;73(1):108-11.17. Pochi PE, Strauss JS. Endocrinologic control of the development and activity of the human sebaceous gland. J Invest Dermatol. 1974;62(3):191-201.18. Thiboutot D, Harris G, Iles V, Cimis G, Gilliland K, Hagari S.Activity of the type 1 5-alpha-reductase exhibits regional differences in isolated sebaceous glands and whole skin. J Invest Dermatol. 1995;105(2):209-14.19. Thiboutot D,Knaggs H, Gilliland H, Lin G.Activity of 5--reductase and 17--hydroxysteroid dehydrogenase in the infraindibulum of subjects with and without acne vulgaris.Dermatology. 1998;196(1):38-42.20. Thiboutot DM, Knaggs H, Gilliland K, Hagari S. Activity of type 1 5-reductase is greater in the follicular infrainfundibulum compared with the epidermis. Br J Dermatol. 1997;136(2):166-71.21. Chen W, Zouboulis CC, Fritsch M, Kodelja V, Orfanos CE. Heterogeneity and quantitative differences of type 1 5-reductase expression in cultured skin epithelial cells.Dermatology. 1998;196(1):51-2.22. Fritsch M, Orfanos CE, Zouboulis CC. Sebocytes are the key regulators of androgen homeostasis in human skin. J Invest Dermatol. 2001;116(5):793-800.23. Trivedi NR,Cong Z, Nelson AM, Albert AJ, Rosamilia LL, Sivarajah S, et al. Peroxisome proliferator-activated receptors increase human sebum production. J Invest Dermatol. 2006;126(9):2002-9.24. Smith TM, Cong Z, Gilliland KL, Clawson GA,Thiboutot DM. Insulin-like growth factor-1 induces lipid production in human SEB-1 sebocytes via sterol response element-binding protein-1. J Invest Dermatol.2006;126(6):1226-32.25. Zouboulis CC, Chen WC, Thornton MJ, Qin K, Rosenfield R. Sexual hormones in human skin. Horm Metab Res. 2007;39(2):85-95.26. Zouboulis CC. The human skin as a hormone target and an endocrine gland.Hormones (Athens). 2004;3(1):926.27. Cunliffe WJ, Holland DB, Clark SM, Stables GI. Comedogenesis: some new aetiological, clinical and therapeutic strategies. Br J Dermatol.2000;142(6):1084-91.28. Plewig G, Fulton JE,Kligman AM.Cellular dynamics of comedo formation in acne vulgaris. Arch Dermatol Forsch.1971;242(1):12-29.29. Kurokawa I, Mayer-da-Silva A, Gollnick H, Orfanos CF. Occurrence and distribution of cytokeratins and filaggrin in the human pilosebaceous unit: an immunocytochemical study. In: Marks R, Plewig G, editors. Acne and related disorders. London:Martin Dunitz; 1989. p. 19-22.30. Downing DT,Stewart ME,Wertz PW,Strauss JS. Essential fatty acids and acne. J Am Acad Dermatol. 1986;14(2 pt 1):221-5.31. Costa A, Alchorne MMA, Michalany NS, Lima HC. Acne vulgar: estudo piloto de avaliao do uso oral de cidos graxos essenciais por meio de anlises clnica, digital e histopatolgica. An. Bras. Dermatol. 2007;82(2): 129-34.32. Thielitz A,Helmdach M,Roepke EM,Gollnick H. Lipid analysis of follicular casts from cyanoacrylate strips as a new method for studying therapeutic effects of antiacne agents.Br J Dermatol. 2001;145(1):19-27.33. Lavker RM,Leyden JJ. Lamellar inclusions in follicular horny cells:a new aspect of abnormal keratinization. J Ultrastruct Res. 1979;69(3):362-70.34. Kluznik AR,Wood EJ,Cunliffe WJ. Keratin characterization in the pilosebaceous ducts of acne patients. In:Marks R, Plewig G, editors.Acne and related disorders. London:Martin Dunitz; 1989. p. 113-5.35. Guy R, Kealey T. Modelling the infundibulum in acne. Dermatology. 1998;196(1):32-7.36. Ingham E, Eady EA, Goodwin CE. Pro-inflammatory levels of interleukin- 1 _ like bioactivity are present in the majority of open comedones in acne vulgaris. J Invest Dermatol .1992;98(6):895-901.37. Sampaio SAP, Rivitti EA. Dermatologia. 3ed. So Paulo: Artes mdicas; 2007. p. 384.38. Aderem A, Ulevitch RJ.Toll-like receptors in the induction of the innate immune response.Nature. 2000; 406(6797):7827.39. Koreck A, Pivarcsi A,Dobozy A, Kemeny L.The role of innate immunity in the pathogenesis of acne.Dermatology. 2003; 206(2):96105.40. Krutzik SR, Sieling PA,Modlin RL. The role of toll-like receptors in host defense against microbial infection. Curr Opin Immunol. 2001;13(1):1048.41. Kapetanovic R, Cavaillon JM. Early events in innate immunity in the recognition of microbial pathogens. Expert Opin Biol Ther. 2007;7(6):907-18.42. Zhang D, Zhang G, Hayden MS, Greenblatt MB, Bussey C, Flavell RA, et al. A toll-like receptor that prevents infection by uropathogenic bacteria. Science. 2004; 303(5663): 15226.43. Kim J, Ochoa MT, Krutzik SR, Takeuchi O, Uematsu S, Legaspi AJ, et al. Activation of toll-like receptor 2 in acne triggers inflammatory cytokine responses. J Immunol. 2002; 169(3):153541.44. Vowels BR,Yang S, Leyden JJ. Induction of proinflammatory cytokines by a soluble factor of Propionibacterium acnes: implications for chronic inflammatory acne. Infect Immun. 1995;63(8):3158-65.45. Webster GF, Tsai C-C, Leyden JJ. Neutrophil lysosomal release in response to Propionibacterium acnes. J Invest Dermatol. 1979;72:209.46. Webster GF, Kligman AM. A method for the assay of inflammatory mediators in follicular casts. J Invest Dermatol. 1979;73(4):266-8.47. Cunliffe WJ.The sebaceous gland and acne-40 years on.Dermatology. 1998;196(1):9-15.48. Toyoda M, Morohashi M. Pathogenesis of acne.Med Electron Microsc.2001;34(1):29-40.49. Jeremy AH, Holland DB, Roberts SG, Thomson KF, Cunliffe WJ.Inflammatory events are involved in acne lesion initiation. J Invest Dermatol. 2003;121(1):20-7.50. Charvat S, Serres M. Mtalloprotinases et piderme. In: Schmitt D. Biologie de la Peau Humaine. Inserm;1997. p. 10115.51. Kahari VM, Saarialho-Kere U. Matrix metalloproteinases in skin. Exp Dermatol 1997; 6(5):199213.52. Jugeau S,Tenaud I, Knol AC, Jarrousse V, Quereux G, Khammari A, et al. Induction of toll-like receptors by Propionibacterium acnes. Br J Dermatol. 2005;153(6):1105-13.53. Drno B, Bettoli V, Ochsendorf F, Layton A, Mobacken H, Degreef H, et al. European recommendations on the use of oral antibiotics for acne. Eur J Dermatol 2004; 14(6): 391-9.54. Ad Hoc Committee report: systemic antibiotics for treatment of acne vulgaris: efficacy and safety. Arch Dermatol. 1975; 111(12):1630-6.55. Taylor MB.Treatment of acne vulgaris.Guidelines for primary care physicians. Postgrad Med. 1991; 89(8): 40-2, 45-7.56. Oral treatment of acne. Agence Franaise de Securit Sanitaire des Produits de Sant. Presse Med. 1999; 28(37): 2044-5.57. Leeming JP, Holland KT, Cunliffe WJ. The microbial colonization of inflamed acne vulgaris lesions. Br J Dermatol.1988; 118(2): 205-8.58. Jappe U, Ingham E, Henwood J, Holland KT. Propionibacterium acnes and inflammation in acne; P. acnes has T-cell mitogenic activity. Br J Dermatol. 2002; 146(2): 202-9.59. American Academy of Dermatology. Guidelines for care of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol.1990; 22(4): 676-80.60. Sampaio SAP,Bagatin E. Experincia de 65 anos no tratamento da acnee de 26 anos com isotretinona oral. An Bras Dermatol. 2008;83(4):361-7.61. Worret WI, Fluhr JW. Acne therapy with topical benzoyl peroxide, antibiotics and azelaic acid. J Dtsch Dermatol Ges. 2006; 4(4): 293-30062. GONTIJO B. cido azelaico no tratamento da acne vulgar leve e moderada: experincia clnica brasileira. An bras Dermatol.1995;70(6):571-22.63. Detmar M, Mller R, Stadler R, Orfanos CE.Dicarboxilic acids modulate protein syntesis and inhibit proliferation of keratinocytes in vitro. J Invest Dermatol. 1986;87(1):136.64. Mayer-da-Silva A, Gollnick H Detmar M et al. Another antiacne property of azelaic acid: modulation of keratinization. In: Marks R, Plewig G, editors. Acne and related disorders. London: Martin Dunitz; 1989. p. 249-54.65. King K, Leeming JP, Holland KT, Cunliffe W J. The effect of azelaic acid on cutaneous microflora in vivo and in vitro. J Invest Dermatol.1985;84(5):438.66. Leeming JP, Holland KT, Bojar RA. The in vitro antimicrobial effect of azelaic acid. Br J Dermatol. 1986;115(5):551-6.67. Holland KT, Bojar RA. Cunliffe WJ. The interaction of azelaic acid with Propionibacteriun acnes. J Invest Dermatol 1989;9(3)2:446.68. Leyden J. A review of the use of combination therapies for the treatment of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol. 2003;49(3 suppl):S200-10.69. Toyoda M, Morohashi M. An overview of topical antibiotics for acne treatment.Dermatology. 1998;196(1):130-4.70. Kastner U; Guggenbichler JP. Influence of macrolide antibiotics on promotion of resistance in the oral flora of children. Infection. 2001;29(5): 251-6.71. Parsad D, Pandhi R, Dogra S. A Guide to Selection and apropriate Use of Macrolides in Skin Infections. Am J Clin Dermatol 2003;4(6): 389-97.72. Antonio JR,Pegas JR,Cestari TF,Do Nascimento LV.Azithromycin pulses in the treatment of inflammatory and pustular acne: efficacy, tolerability and safety. J Dermatolog Treat. 2008;19(4):210-5.73. Rafiei R,Yaghoobi R.Azithromycin versus tetracycline in the treatment of acne vulgaris. J Dermatolog Treat. 2006;17(4):217-21.74. Kapadia N, Talib A. Acne treated successfully with azithromycin. Int J Dermatol. 2004;43(10):766-7.75. Bardazzi F, Savoia F, Parente G, Tabanelli M, Balestri R, Spadola G, et al. Azithromycin: a new therapeutical strategy for acne in adolescents. Dermatol Online J. 2007;13(4):4.76. Gruber F, Grubisi?-Greblo H,Kastelan M, Brajac I, Lenkovi? M, Zamolo G. Azithromycin compared with minocycline in the treatment of acne comedonica and papulo-pustulosa. J Chemother. 1998;10(6):469-73.77. Kumar S, Lammens C, Coenen S, Herck VK, Goossens H. Effect of azithromycin and clarithromycin therapy on pharyngeal carriage of macrolide-resistant streptococci in healthy volunteers: a randomised, double-blind, placebo-controlled study.Lancet. 2007; 369(9560): 482-90.78. Bergman M, Huikko S, Huovinen P, Paakkari P, Seppl H. Macrolide and azithromycin use are linked to increside macrolide resistance in Streptococcus pneumoniae. Antimicrob Agents Chemother. 2006; 50(11):3646-50.79. S CMD. Acne: Tratamento Atualizado. In: S CMD. Acne: Tratamento Atualizado. EPUB; 2002. p. 45-5580. Yarak S, Bagatin E, Hassun KM, Parada MOAB, Talarico Filho S. Hiperandrogenismo e pele: sndrome do ovrio policstico e resistncia perifrica insulina. An Bras Dermatol. 2005;80(4):395-410.81. Medley [Internet]. Bula. [acesso 24 set. 2010]. Disponvel em: www.medley.com.br/bula/cloridrato_de_metformina_comp_rev.pdf82. Anvisa.org [Internet] Braslia: Ministrio da Sade, c 2003. [acesso 24set. 2010]. Disponvel em: www4.anvisa.gov.br/base/visadoc/.../ BM%5B26382-1-0%5D.PDF83. Ortonne JP. Oral isotretinoin treatment policy. Do we all agree? Dermatology. 1997;195(suppl 1):34-40.84. Cunliffe W, van de Kerkhof P, Caputo R, Cavicchini S, Cooper A, Fyrand OL, et al. Roaccutane treatment guidelines: results of an international survey.Dermatology 1997;194(4):351-7.85. Leyden JJ, McGinley KJ, Foglia AN. Qualitative and quantitative changes in cutaneous bacteria associated with systemic isotretinoin therapy foracneconglobata. J Invest Dermatol. 1986;86(4):390-3.86. Sampaio SAP, Rivitti EA. Dermatologia. 3ed. So Paulo: Artes mdicas, 2007. p. 1460.87. Pawin H, Beylot C, Chivot M, Faure M, Poli F, Revuz J, et al.Physiopathology of acne vulgaris: recent data, new understanding of the treatments. Eur J Dermatol. 2004; 14(1):412.88. Gollnick H, Draelos Z, Glenn M, Rosoph L,Kaszuba A,Cornelison R, et al. Adapalene-benzoyl peroxide, a unique fixed-dose combination topical gel for the treatment of acne vulgaris: a transatlantic, randomized, double-blind,controlled study in 1670 patients.Br J Dermatol;161(5):1180-9.89. Tschen EEH,Katz HI, Jones TM,Monroe EW,Kraus SJ,Connolly MA, et al. A combination benzoil peroxyde and clindamycin topical gel compared with benzoil peroxide, clyndamicin phosphate, and vehicle in the treatment of acne vulgaris. Cutis. 2001;67(2):165-9.90. Cunliffe WJ, Holland KT, Bojar R, Levy SF. A randomized, double-blind comparison of a clindamycin phosphate/benzoyl peroxide gel formulation and a matching lindamycin gel with respect to microbiologic activity and clinical efficacy in the topical treatment of acne vulgaris. ClinTher. 2002;24(7):117-33.91. Del Rosso JQ, Leyden JJ. Status report on antibiotic resistance: implications for the dermatologist.Dermatol Clin. 2007;25(2):127-32.92. Eady EA, Bojar RA, Jones CE, Cove JH, Holland KT, Cunliffe WJ. The effects of acne treatment with a combination of benzoyl peroxide and erythromycin on skin carriage of erythromycin-resistant propionibacteria. Br J Dermatol. 1996;134(1):107-13.93. Eady EA, Farmery MR, Ross JI, Cove JH, Cunliffe WJ. Effects of benzoyl peroxide and erythromycin alone and in combination against antibioticsensitive and -resistant skin bacteria from acne patients. Br J Dermatol.1994;131(3):331-6.94. Thiboutot D, Weiss J, Bucko A, Eichenfield L, Jones T, Clark S, et al. Adapalene-benzoyl peroxide, a fixed-dose combination for the treatment of acne vulgaris: results of a multicenter, randomized double-blind, controlled study. J Am Acad Dermatol. 2007;57(5):791-9.95. Andres P, Pernin C, Poncet M. Adapalene-benzoyl peroxide once-daily, fixed-dose combination gel for the treatment of acne vulgaris: a randomized,bilateral (split-face), dose-assessment study of cutaneous tolerability in healthy participants. Cutis.2008;81(3):278-84.96. Del Rosso JQ. Study results of benzoyl peroxide 5%/clindamycin 1% topical gel, adapalene 0.1% gel, and use in combination for acne vulgaris. J Drugs Dermatol. 2007;6(6):616-22.97. Bowman S, Gold M, Nasir A, Vamvakias G. Comparison of clindamycin/benzoyl peroxide, tretinoin plus clindamycin, and the combination of clindamycin/benzoyl peroxide and tretinoin plus clindamycin in the treatment of acne vulgaris: a randomized, blinded study. J Drugs Dermatol. 2005;4(5):611-8.98. Stone AC. Facing up to acne. Pediatr Nurs 1982;8(4):229-34.