translate jurnal mineral pada jerapah

21
Bisakah prilaku osteophagia menyediakan kebutuhan Kalsium dan fosfor bagi jerapah ? ABSTRAK BREDIN, I.P., SKINNER, J.D. & MITCHELL, G. 2008. Bisakah prilaku osteophagia menyediakan kebutuhan fosfor dan kalsium bagi jerapah ?, 75:1–9 Jerapah membutuhkan kalsium dan fosfor setiap hari untuk mempertahankan pertumbuhan dan pemeliharaan kerangka mereka yang besar. Sumber kalsium yang didapat hanya dari pakan rumput. Sumber fosfor yang diperlukanpun tidak jelas, tetapi dengan prilaku osteophagia bisa memenuhinya, hal ini sering ditemukan pada prilaku jerapah. Kami melakukan penelitian apakah penghancuran tulang akibat osteophagia dapat dicerna dalam rumen. Sampel tulang yang diambil yaitu cancellous (tulang leher) dan tulang padat (poros metacarpal/ jari tangan) direndam dalam rumen pada lima ekor domba, untuk jangka waktu hingga 30 hari, dan efeknya dibandingkan dengan perendaman dalam air suling dan saliva buatan selama 30 hari. Namun air suling tidak berpengaruh pada tulang. Pada sampel tulang padat dapat melunak oleh paparan air liur dan cairan rumen, tetapi tidak menurunkan kadar Ca atau fosfor. Dalam air dan cairan rumen sampel tulang cancellous juga melunak, massa dan Volume tulang menurun sebagai akibat dari paparan air liur, tetapi tulang juga tidak terdapat perubahan kadar kalsium dan fosfor secara signifikan. Kami menyimpulkan bahwa meskipun air liur dan cairan rumen dapat melunakkan tulang, ada pencernaan tulang yang lebih signifikan yaitu dalam rumen. Kata kunci: Kalsium, jerapah, osteophagia, fosfor PENDAHULUAN Jerapah, Giraffa camelopardalis, (Linnaeus, 1758) membutuhkan sekitar 20 g kalsium (Ca) dan 10 g fosfor (P) per hari dari lahir sampai usia 5 tahun untuk pertumbuhan kerangka mereka, dimana untuk mempertahankan kepadatan tulang tersebut dibutuhkan rasio Ca : P dalam tulang adalah 2 : 1 (Mitchell & Skinner 2003; Mitchell, Van Schalkwyk & Skinner 2005). Persyaratan setelah itu, kebutuhan harian jerapah jantan lebih rendah dibandingkan dengan jerapah betina yang lebih

Upload: riza

Post on 24-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

translate jurnal fisiologi 2

TRANSCRIPT

Page 1: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Bisakah prilaku osteophagia menyediakan kebutuhan

Kalsium dan fosfor bagi jerapah ?

ABSTRAK

BREDIN, I.P., SKINNER, J.D. & MITCHELL, G. 2008. Bisakah prilaku osteophagia menyediakan kebutuhan fosfor dan kalsium bagi jerapah ?, 75:1–9

Jerapah membutuhkan kalsium dan fosfor setiap hari untuk mempertahankan pertumbuhan dan pemeliharaan kerangka mereka yang besar. Sumber kalsium yang didapat hanya dari pakan rumput. Sumber fosfor yang diperlukanpun tidak jelas, tetapi dengan prilaku osteophagia bisa memenuhinya, hal ini sering ditemukan pada prilaku jerapah. Kami melakukan penelitian apakah penghancuran tulang akibat osteophagia dapat dicerna dalam rumen. Sampel tulang yang diambil yaitu cancellous (tulang leher) dan tulang padat (poros metacarpal/ jari tangan) direndam dalam rumen pada lima ekor domba, untuk jangka waktu hingga 30 hari, dan efeknya dibandingkan dengan perendaman dalam air suling dan saliva buatan selama 30 hari. Namun air suling tidak berpengaruh pada tulang. Pada sampel tulang padat dapat melunak oleh paparan air liur dan cairan rumen, tetapi tidak menurunkan kadar Ca atau fosfor. Dalam air dan cairan rumen sampel tulang cancellous juga melunak, massa dan Volume tulang menurun sebagai akibat dari paparan air liur, tetapi tulang juga tidak terdapat perubahan kadar kalsium dan fosfor secara signifikan. Kami menyimpulkan bahwa meskipun air liur dan cairan rumen dapat melunakkan tulang, ada pencernaan tulang yang lebih signifikan yaitu dalam rumen.

Kata kunci: Kalsium, jerapah, osteophagia, fosfor

PENDAHULUAN

Jerapah, Giraffa camelopardalis, (Linnaeus, 1758) membutuhkan sekitar 20 g kalsium (Ca) dan 10 g fosfor (P) per hari dari lahir sampai usia 5 tahun untuk pertumbuhan kerangka mereka, dimana untuk mempertahankan kepadatan tulang tersebut dibutuhkan rasio Ca : P dalam tulang adalah 2 : 1 (Mitchell & Skinner 2003; Mitchell, Van Schalkwyk & Skinner 2005). Persyaratan setelah itu, kebutuhan harian jerapah jantan lebih rendah dibandingkan dengan jerapah betina yang lebih meningkat dalam keadaan tertentu seperti laktasi (Mitchell et al. 2005). Analisis baru-baru ini tentang skeletal biologi jerapah (Van Schalkwyk, Skinner & Mitchell 2004; Mitchell et al. 2005) menyatankan bahwa bila jerapah yang dibebaskan di alam kemungkinan dapat memperoleh Ca yang cukup untuk pertumbuhan tulang. Sumber P yang cukup dapat diketahui dengan jelas. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa mereka mendapatkan P dengan makan tulang. Osteophagia merupakan perilaku yang sering dilakukan jerapah (Pola 1940; Nesbitt-Evans 1970; Barat 1971; Wyatt 1971; Leuthold & Leuthold 1972; Hall-Martin 1974; Kok & Opperman 1980; Hampton 2002), dan tampaknya prilaku ini lebih sering dilaporkan terjadi pada jerapah dari hampir semua ruminansia lainnya kecuali untuk hewan domestik di daerah kekurangan padang rumput mengenai masalah P. Kejadian tersebut meningkat di bulan-bulan musim dingin ketika kualitas gizi dengan makan rumput menurun (Langman 1978). Osteophagia memiliki banyak penyebab. Kebosanan, kebiasaan dan rasa berkontribusi, tapi Theiler, Green & Du Toit (1924) melakukan penelitian bahwa osteophagia pada sapi (Bos taurus / indicus), bisa dihilangkan dengan pemberian makanan tambahan yang mengandung P dalam bentuk tepung tulang. Setelah diamati ternak yang kekurangan P tidak mau makan tepung tulang hal ini bisa terjadi karena bawaan, khusus dan yang paling utama karena bau tulang tersebut.

Page 2: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Masalah defisiensi ini dikaitkan dengan penurunan fraksi fosfat anorganik dalam plasma darah, sehingga terjadin penarikan Ca dan P dari cadangan di tulang (Denton, Blair-Barat, McKinley & Nelson 1986; Blair-Barat, Denton, Nelson, McKinley, Radden & Ramshaw 1989; Underwood & Suttle 1999). Diet jerapah rata-rata memiliki rasio Ca : P 7,7: 1 (Pellew 1984; Mitchell & Skinner 2003), dan jika diet ini dilakukan pada ternak dengan rasio Ca : P akan menghasilkan tanda-tanda klinis defisiensi fosfat dan osteophagia (McDowell 1992; Underwood & Suttle 1999).

Osteophagia merupakan prilaku adaptif yang efektif untuk memasok P (dan / atau Ca), dimana asumsi tulang yang tertelan atau fragmen tulang memasuki rumen harus cukup halus untuk melewati rumen ke abomasum, atau harus dapat dicerna dalam rumen, sehingga P dan Ca dapat diserap dalam bentuk larutan. Fosfor dapat diserap oleh rumen (Wadhwa & Perawatan 2002). Namun, pemindahan Ca dan P dari tulang dan penyerapan yang paling baik dilakukan dalam lingkungan pH yang rendah. Pada karnivora, misalnya, pH lambungnya adalah 2 dimana tulang dan fragmen tulang dapat mudah mencapai perut untuk dirombak. Pada abomasum ruminansia memiliki pH yang lebih tinggi. Sedangkan pada jerapah sekitar 3,6 ± 0,1 dan identik dengan lima spesies ruminansia liar lainnya (3,6 ± 0,4) (Maloiy, Clemens & Kamau 1982), namun demikian tetap cukup asam untuk melarutkan tulang dan melepaskan P dari tulang. Akan Tetapi, ruminansia sama seperti hewan monogastrik, tulang tidak bisa langsung masuk ke abomasum. Menghaluskan tulang juga cenderung tergantung pada mengunyah dan mungkin memamah biak, akan tetapi proses ini hanya dalam waktu yang singkat dan berselang. Kontak yang sangat lama dalam rumen itu sendirilah lebih memungkinan terjadinya proses pencernaan.

Disini kami melaporkan bahwa pada penelitian apakah Ca dan P yang tertelan dalam bentuk tulang utuh dapat dilepaskan didalam rumen dalam jumlah yang signifikan dibandingkan dengan tulang yang telah halus yang dapat mencapai abomasum dan usus kecil. Namun sejauh ini tidak ada pengetahuan yang didapat karena sebelumnya tidak banyak studi tentang pencernaan tulang di rumen. Sehingga penelitian kami menunjukkan banyak kekurangan.

BAHAN DAN METODE

Sampel berupa ekstraksi kalsium dan P dari dua jenis tulang berupa yaitu cancellous (poros tulang leher) dan tulang kompak (padat), meniru jenis tulang yang dikonsumsi oleh jerapah. Sampel tulang diperoleh dari tulang jerapah yang digunakan dalam studi kami sebelumnya untuk membentuk komposisi mineral Ca dan P, (Van Schalkwyk et al 2004;. Mitchell et al.2005). Untukpembelajaran ini, tulang cancellous diperoleh dari tulang leher ketiga, keempat dan kelima dan tulang kompak dari poros Metakarpus (pergelangan) tunggal.

Untuk standarisasi area permukaan, sampel tulang dipotong dadu, panjang sisi yang sekitar 1,7 cm. Luas permukaan masing-masing kubus sekitar 17,5 cm³ dan volume tulang sekitar 5 cm³ (Gambar 1;. Tabel 3 dan 4).

Pengukuran pencernaan

Pencernaan dinilai dari perubahan massa tulang, volume dan kepadatan, dan dari perubahan komposisi Ca dan P.

Massa tulang, volume dan kepadatan

Massa awal sampel tulang direkam menggunakan alat Mettler Toledo Blok PB skala 153-S (Mettler, Microsep, RSA) dengan akurasi 0,1 g. Volume sampel tulang ditentukan oleh perpindahan air dalam botol volumetrik, diukur perubahan volume 0,1 mℓ. Berat jenis dihitung dengan membagi massa

Page 3: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

kering dengan volume air yang dipindahkan, dengan asumsi bahwa pada 20 ° C kepadatan air adalah 1 g / mℓ. (Khan, Khan, Khan & Khanam 1997), mencatat dalam satuan g / cm³. Untuk pengukuran volume, massa, dan kepadatan dilakukan pengulangan baik sebelum dan sesudah perlakuan untuk menentukan perubahan yang signifikan. Pasca perlakuan, semua sampel dikeringkan dalam oven menurut Harris (1970) setelah pengukuran volume dan sebelum massa ditentukan.

Analisis Ca dan P pada tulang

Setelah massa awal dan volume diukur, semua sampel tulang dihilangkan seluruh lemaknya menggunakan bahan kimia eter seperti yang dijelaskan oleh Asosiasi Resmi Kimiawan analitis (AOAC), metode resmi 945,16 (Horwitz 2000) di Nutrilab, Departemen Hewan dan Wildlife Ilmu, Fakultas Alam dan budaya Agri Ilmu, Universitas Pretoria. Sampel bebas dari lemak ditimbang (± 0.001 g) dan kemudian dikeringkan dengan metode Harris (1970).

Sampel tulang cancellous dibuat bubuk menggunakan alu besi dan mortir. Untuk sampel tulang kompak menggunakan metode ini menghasilkan serbuk kasar, untuk lebih lanjut menggunakan pabrik motor-driven (Mikro-Feinmühle-Culatti MFC, Janke IKA®-Labortechnik, 50/60 Hz, 200 W) sehingga dapat memperhalus dalam ukuran sekitar 1 mm³.

Duplikat sampel tulang abu, ditimbang beratnya sekitar 0,5 ± 0,003 g setelah dioven dan menjadi abu selanjutnya direndam dalam tungku pada suhu 550 ° C selama 4 jam. Teknik pengeringan abu mengikuti metode resmi AOAC 999,11 (Horwitz 2000). Sampel yang tersisa didinginkan semalaman dan ditempatkan dalam desikator selama 30 menit sebelum menentukan massa abu. Residu abu dilarutkan dalam larutan asam, disaring dan diencerkan dengan volume 100 mℓ. Pada abu yang terlarut untuk analisis Ca diencerkan 50 kali dengan air suling dan selanjutnya diencerkan sepuluh kali dengan lantanum klorida (LaCl3, 0,5%). Untuk analisis P diencerkan 50 kali dengan air suling.

Konsentrasi fosfor diukur dengan menggunakan Auto Analyser II (Techicon ™, Bran & Lübbe, Jerman) sesuai dengan metode resmi AOAC 965,17 (Horwitz 2000). Konsentrasi kalsium diukur dengan Absorption Spectrophotometer Atom (Perkin Elmer-5100PC, USA) dengan menggunakan metode resmi AOAC Metode 935,13 (Horwitz 2000).

Pada kedua kasus tersebut didapat perbedaan kurang dari 10% antara duplikat sehingga dapat diterima. Bagi beberapa orang jika terjadi perbedaan analisis yang besar maka dilakukan pengulangan. konsentrasi Kalsium dan P yang diukur dirubah dalam satuan mg/ g ([Volume x pengenceran x membaca] ÷ massa sampel), dan dinyatakan dalam persen. Dapat diartikan bahwa persentase dikalikan dengan massa asli sampel tulang untuk menghitung jumlah Ca (g), total P (g), dan jumlah mineral non Ca + P (g) di setiap sampel tulang.

Hewan percobaan

Lima ekor domba dewasa, dengan rumen-berfistula Merino wethers yang digunakan untuk percobaan (Komite Perawatan Hewan Penggunaan dan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Pretoria nomor persetujuan V068 / 04). Domba yang digunakan sebagai hewan percobaan memiliki rumen dengan Komposisi cairan yang identik dengan ruminansia liar termasuk jerapah (Giesecke & Van Gylswyk 1975) (Tabel 5) dan juga mereka menunjukkan prilaku osteophagia (Brothwell 1976; Bazely 1989). Hewan-hewan itu bertempat di Kebun Percobaan Fakultas Biologi dan Ilmu Pertanian, Universitas

Page 4: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Pretoria, di bawah pengawasan Departemen Hewan dan Ilmu Wildlife, Fakultas Alam dan Ilmu Pertanian, Universitas Pretoria. Domba tersebut ditempatkan secara individual di kandang lantai semen (3 x 2 m), yang ditutupi oleh atap, dan jatah makan dengan kualitas tef (Eragrostis tef) (Tabel 1). Air tersedia dalam libitum. Jerami digiling dengan panjang 1 cm. Domba juga diberi makan ransum selama 16 hari sebelum diberi perlakuan. Konsumsi pakan diberikan tingkatan kira-kira sekitar 2 kg per cuaca per hari, berada di atas konsumsi normal untuk domba betina pada diet pemeliharaan (Perry, Cullison & Lowery 1999).

Domba ditimbang pada awal perlakuan dan tiga kali setelah itu (10, 20 dan 30 hari). Massa tubuh domba berkisar antara 72,0 kg menjadi 38,1 kg pada mulai perlakuan hingga mereka mempertahankan massa tubuh untuk durasi percobaan. pH cairan rumen (sebagai penanda kesehatan rumen) adalah diukur pada setiap interval waktu menggunakan model genggam IQ 150 pH / mV / Temperature meter atau model meter IQ 120 pH dengan sensor chip silikon (I.Q. Scientific Instruments, Inc., San Diego, Amerika Serikat). Sampel darah dari semua lima domba yang diambil dari awal perlakuan hingga pada interval waktu masing-masing untuk menentukan plasma Ca dan konsentrasi P. Setelah pengumpulan, sampel darah disentrifugasi dalam 1 jam dan disimpan dalam es. Persiapan plasma darah untuk analisis P anorganik dilakukan mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Lit tle, Robison, Playne & Haydock (1971). Setelah terjadi pengendapan selanjutnya disaring dengan kertas microfibre kaca (9,0 cm GF / A Whatman Ltd, tanah Eng) dibersihkan dengan asam 30 mℓ. Botol McCartney. Sisa plasma di tabung disentrifugasi diambil dengan pipet ke satu tempat, tabung sealable digunakan untuk analisis kadar Ca anorganik. Semua sampel didinginkan pada suhu 5 ° C. konsentrasi kalsium dan P dalam plasma dianalisis dengan menggunakan metode yang sama seperti penjelasan di atas pada analisis sampel tulang yaitu sampel plasma untuk analisis Ca diencerkan 50 kali dengan lanthanum klorida (LaCl3, 0,1%) kecuali untuk meminimalkan gangguan oleh P pada spektrofotometer.

TABEL 1. Eragrostis tef jerami diumpankan ke domba selama perlakuan. Semua nilai diambil secara DM.

1 Menurut J. van Ryssen (komunikasi pribadi 2006)

2 "Dumas" Metode yang digunakan untuk analisis protein kasar (metode Resmi 990,03, Horwitz 2000)

Rancangan percobaan

Asumsi ini dibuat untuk membuktikan bahwa ada perbedaan pencernaan dalam tiga cairan yang digunakan, yaitu. cairan rumen, saliva buatan dan air suling, sampel tulang dadu direndam selama 30 hari dalam air liur buatan dan air suling yang digunakan untuk mengendalikan efek pencernaan dalam rumen. Tulang terkena air liur saat menelan dan mungkin pada interval selama memamah biak. Saliva memiliki pH dan osmolaritas yang sama dengan cairan rumen, dan mengandung bahan kimia yang mirip dengan cairan yang ditemukan didalam rumen, meskipun pada konsentrasi yang berbeda (Wadhwa & Perawatan 2002).

Page 5: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Semua sampel yang digunakan ditempatkan disebuah tas nilon (ukuran pori 53 um; Nutrilab) dan disimpan dalam air suling, saliva buatan sedangkan pada cairan rumen disimpan dalam rumen fistula selama 10, 20 dan 30 hari. Sejumlah sampel tulang yang didehidrasi sesuai interval waktu masing-masing untuk menghilangkan cairan yang terkandung didalamnya. Sampel dicuci di bawah air keran dilanjutkan dengan pengering dalam oven menurut metode Harris '(1970) untuk analisis. Lima belas sampel dari setiap jenis tulang secara acak dilakukan untuk tiga perlakuan. Lima dari setiap jenis tulang dianalisis pada setiap interval waktu sebagai berikut, Lima belas sampel dari setiap jenis ditempatkan dalam air suling pada pH 5,86-6,38 dan 39 ° C. 15 sampel lain masing-masing jenis ditempatkan dalam saliva buatan dan diinkubasi pada 39 ° C. Percobaan ini tidak terdapat enzim saliva tetapi berisi 9,8 g / ℓ Na HCO3, 0.57 g / ℓ KCl, 0,47 g / ℓ NaCl, 0,12 g / ℓ MgSO4.7H2O, 0,04 g / ℓ CaCl2 anhidrat dan 3.17 g / ℓ anhidrat Na2HPO4, 4 mℓ / ℓ asam klorida ditambahkan untuk mengurangi pH rumen dengan pH 6,5 (McDougall 1948). 15 sampel terakhir dari masing-masing jenis tulang dihentikan perendamannya dari rumen domba. tas nilon yang berisi sampel tersebut dipasang untuk massa 120 g sehingga mereka akan tetap terendam seperti dalam cairan rumen.

Analisis statistik

Mahasiswa melakukan T-tes pada dua ekor domba untuk membandingkan perbedaan antara sampel kontrol dan sampel uji. P-nilai <0,05 dianggap signifikan.

HASIL

Rumen, air liur, air suling dan kimia darah

Air suling dan pH rumen tetap konstan selama 30 hari percobaan (Tabel 2). Namun pH air liur meningkat dari waktu ke waktu 6,8-7,3.

TABEL 2. Rumen, air liur, air suling (DH2O) dan kimia darah

Jenis cairan N Sebelum perlakuan

10 hari 20 hari 30 hari

Rumen pH (mean ± SD)Saliva pH (mean ± SD)DH2O pH (mean ± SDPlasma Ca (mmol/ℓ)Plasma P (mmol/ℓ)

5

7

7

55

6.4 ± 0.2

6.8 ± 0.2

6.5 ± 0.1

2.4 ± 0.21.4 ± 0.4

6.5 ± 0.2

7.0 ± 0.2

6.1 ± 0.4

2.4 ± 0.11.4 ± 0.3

6.5 ± 0.3

7.4 ± 0.2

6.5 ± 0.7

2.4 ± 0.11.7 ± 0.7

6.5 ± 0.3

7.3#

6.4 ± 0.4

2.5 ± 0.31.5 ± 0.5

# hanya 2 pengukuran

Page 6: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Tabel 3. Pengaruh air suling (DH2O), saliva buatan, dan cairan rumen pada sampel poros tulang Metakarpus

Variabel tulang Sebelum perlakuan³

DH2Osetelah 30 hari

saliva buatansetelah 30 hari

cairan rumensetelah 30 hari

Massa (g)Volume (mℓ)Kepadatan (g/cm3)Abu total (g per sample)% Ca% PTotal Ca (g per sample)Total P (g per sample)Non-Ca + P (g per sampel)

9.8 ± 0.95.2 ± 0.51.9 ± 0.17.0 ± 1.0

25.6 ± 0.911.6 ± 0.22.5 ± 0.4

1.1 ± 0.23.3 ± 0.5

9.5 ± 1.35.0 ± 0.61.9 ± 0.16.9 ± 0.9

25.4 ± 0.511.5 ± 0.22.5 ± 0.3

1.1 ± 0.23.4 ± 0.4

10.7 ± 0.45.5 ± 0.41.9 ± 0.17.6 ± 0.3

24.7 ± 1.011.7 ± 0.22.7 ± 0.1

1.3 ± 0.13.7 ± 0.1

10.0 ± 1.45.3 ± 0.51.9 ± 0.17.2 ± 1.1

25.6 ± 1.411.4 ± 0.52.6 ± 0.5

1.1 ± 0.23.4 ± 0.5

¹ Empat puluh lima sampel tulang yang digunakan untuk menentukan pre-treatment berarti untuk massa, volume dan kepadatan, dan lima untuk penilaian. Efek cairan pada massa, volume dan kepadatan pada 30 hari. Lima belas sampel digunakan untuk menentukan mineral pre-treatment konten dan lima untuk efek cairan pada kandungan mineral pada 30 hari.

Bold = signifikan (P <0,05) dengan menggunakan T-test, dibandingkan dengan sampel sebelum perlakuan.

Kenaikan pH cairan air liur yang signifikan tidak dipengaruhi oleh terdapatnya tulang, pH air liur tetap kosntan meskipun ada atau tidaknya tulang. Konsentrasi plasma Ca tetap konstan pada 2,4 ± 0,1 mmol / ℓ (Tabel 2). Konsentrasi P dalam plasma lebih bervariasi, mulai dari 1,4 ± 0,3-1,7 ± 0,7 mmol / ℓ (Tabel 2). Nilai-nilai Ca dan P berada dalam kisaran normal untuk domba (Hurwitz 1996; Underwood & Suttle 1999).

Sampel tulang

Tidak ada efek signifikan pada perendaman yang terukur setelah perlakuan selama 10 dan 20 hari. beberapa efek terlihat setelah 30 hari (Gambar 1;. Tabel 3 dan 4).

Page 7: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Gambar. (B) penampilan fisik dari tulang leher dan poros Metakarpus (A) setelah 30 hari a = sampel tulang sebelum perendaman dalam cairan, b = sampel tulang direndam dalam air suling selama 30 hari, c = sampel tulang direndam dalam cairan rumen selama 30 hari, dan d =sampel tulang direndam dalam saliva buatan selama 30 hari.

TABEL 4. Efek dari air suling (DH2O), saliva buatan, dan cairan rumen pada sampel tulang leher.

Variabel tulang Sebelum perlakuan¹

DH2Osetelah 30 hari

saliva buatansetelah 30 hari

cairan rumensetelah 30 hari

Mass (g)Volume (mℓ)Density (g/cm3)Total ash (g per sample)% Ca% PTotal Ca (g per sample)Total P (g per sample)Non-Ca + P (g per sample)

5.1 ± 0.74.9 ± 0.81.1 ± 0.12.6 ± 0.421.1 ± 0.79.5 ± 0.61.0 ± 0.10.4 ± 0.11.2 ± 0.2

5.2 ± 0.65.4 ± 0.91.0 ± 0.13.4 ± 0.522.0 ± 0.810.2 ± 0.81.2 ± 0.20.6 ± 0.11.6 ± 0.2

3.5 ± 0.53.5 ± 0.51.0 ± 0.13.0 ± 0.425.5 ± 1.911.6 ± 1.11.1 ± 0.20.5 ± 0.11.4 ± 0.1

5.6 ± 0.45.7 ± 0.41.0 ± 0.13.2 ± 0.221.8 ± 0.89.7 ± 0.51.2 ± 0.10.5 ± 0.11.6 ± 0.1

¹ Empat puluh lima sampel tulang yang digunakan untuk menentukan pre-treatment untuk massa, volume dan kepadatan, dan lima untuk penilaian efek cairan pada massa, volume dan kepadatan pada 30 hari. Lima belas sampel digunakan untuk menentukan mineral pre-treatment konten dan lima untuk efek cairan pada kandungan mineral pada 30 hari.

Bold = signifikan (P <0,05) dengan menggunakan T-test, dibandingkan dengan sampel pra-perlakuan.

TABEL 5. Komposisi cairan rumen pada ruminansia liar dan domba.

Page 8: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

variabel timurAfrika *

SelatanAfrika #

jerapah ◊ domba ‡

Rumen pHRumen DM (%)Rumen NH3-N mg.100 mℓ–1Fermentation rate (mℓ gas.gDM–1.h–1Total VFA mmol.ℓ–1% acetic acid% propionic acid% butyric acid

6.5 ± 0.217.6 ± 3.218.8 ± 3.7

4.7 ± 1.0

156.3 ± 5.3

75.0 ± 1.615.0 ± 1.79.2 ± 0.8

6.5 ± 0.117.0 ± 1.210.0 ± 6.6

4.2 ± 0.5

137.9 ± 11.8

73.8 ± 3.815.3 ± 2.39.8 ± 3.6

6.5 ± 0.213.813.6 ± 2.9–24.6 ±2.1

3.8 ± 0.1

158.3 ± 3.5

75.814.29.0

6.5 ± 0.310.1–10.512.4 ± 5.8–18.2 ± 8.33.6–6.0

113–126

77–8113–192–4

* Spesies di Afrika Timur adalah kerbau, eland, waterbuck, oryx, gerenuk, kambing, dan jerapah (data dari Maloiy et al. 1982)

# Spesies di Afrika Selatan adalah kerbau, rusa kutub, oryx, impala, springbok, dan kudu (data dari Giesecke & Van Gylswyk 1975)

◊ Data dari Maloiy et al. 1982; Odenyo et al. 1999

‡ Data penelitian ini, dari Hungate (1966), Gereja (1979), dan Odenyo et al. 1999

sampel metakarpal setelah terpapar air liur buatan. Hasil ini berhubungan dengan perubahan signifikan pada massa yang lebih tinggi dari tulang yang dianalisis namun ini bukan efek biologis.

Sampel tulang Cancellous, di sisi lain terkena paparan cairan yang sangat minim. Air suling tidak memiliki efek menyimpang pada peningkatan jumlah abu dan mineral non-Ca + P . Pada saliva buatan memiliki beberapa efek signifikan. Massa dan volume sampel menurun secara signifikan selama periode 30-hari, yang membenarkan efek dari air liur terlihat pada Gambar. 1A. Persentase Ca dan P dari sampel meningkat secara signifikan selama periode tersebut, baik karena Ca dan P diserap larutan air liur dari sampel tulang atau karena kehilangan beberapa komponen lain seperti protein. Namun pada teori kenaikan persentase Ca dan P dapat dilihat pada peningkatan mutlak jumlah Ca dan P karena massa tulang menurun. Jumlah Ca dan P yang hilang dari tulang sebagai akibat dari perubahan massa dihitung menjadi 0,5 g Ca dan 0,1 g P selama 30 hari periode, yang merupakan jumlah yang sedikit dibandingkan dengan harian persyaratan fisiologis. Dalam cairan rumen total kadar abu dari tulang cancellous meningkat mungkin karena penyerapan mineral selain Ca dan P dari cairan rumen berupa fraksi abu non-Ca dan P yang meningkat. Kemungkinan lain untuk peningkatan ini adalah bahwa hal itu mewakili konsekuensi dari kolonisasi sampel tulang oleh mikroba. Kami tidak menganalisis kemungkinan ini.

PEMBAHASAN

Page 9: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Jerapah memiliki kerangka yang unik karena proporsi kerangka jerapah lebih besar dari massa tubuhnya dibanding pada mamalia berukuran serupa, dan lebih cepat memanjang dari pada kerangka mamalia lainnya. Jumlah mutlak Ca dan P yang dibutuhkan oleh jerapah yang mendukung pertumbuhanya adalah 02:58 kali lipat lebih banyak dari jumlah yang diperlukan oleh mamalia berukuran serupa seperti kerbau (Van Schalkwyk et al 2004; Mitchell et. al. 2005). Sumber Ca yang dibutuhkan sudah pasti terdapat didalam rumput. Sumber P yang dibutuhkan kurang jelas, meskipun Pellew (1984) melakukan seleksi yang signifikan pada sapi dan jerapah untuk pakan yang kaya akan P di musim hujan Afrika Timur, dan pada banteng pada setiap tahun. Sumber P alternatif yang mungkin didapat adalah dengan prilaku osteophagia.

Osteophagia adalah fenomena yang didokumentasikan dalam Ungulates Afrika dan terjadi pada semua jenis ruminansia baik domestik dan liar, terutama pada jerapah (Theiler et al 1924;. Nesbitt-Evans 1970; Barat 1971; Wyatt 1971; Leuthold & Leuthold 1972; Sutcliffe 1973; Hall-Martin 1974; Sekulic & Estes 1977; Langman 1978; Kok & Opperman 1980; Hampton 2002). Hal ini dikarenakan adanya distribusi geografis yang berbeda dan sangat tergantung pada kandungan P pada tanah di mana tanaman pangan tumbuh (Sutcliffe 1973), dan faktor-faktor seperti kelebihan Ca, aluminium atau besi, yang dapat mengurangi ketersediaan P untuk tanaman (Sutcliffe 1973). Kebiasaan memakan tulang bisa dikaitkan dengan defisiensi P (Theiler et al. 1924; Denton 1982; Denton et al. 1986), namun Fungsi terkait yang lebih tepat adalah untuk mempertahankan rasio Ca : P dari sekedar meningkatkan asupan salah satu dari dua mineral tersebut (Barrette1985). Kejadian osteophagia berbeda-beda di setiap musim dimana di musim dinginlah yang lebih umum terjadi daripada musim panas (Langman 1978). Faktanya lebih sering jerapah dilaporkan melakukan osteophagia daripada ruminansia liar lainnya, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan P yang sangat tinggi pada pertumbuhan kerangka jerapah sebagai penyebabnya.

Jika osteophagia telah berkembang sebagai adaptasi untuk menyediakan mineral dan khususnya P, sangat diharapkan untuk diarahkan secara selektif. Tambahan Pula, bila tulang tertelan atau fragmen tulang terlalu besar untuk masuk saluran pencernaan yang lebih rendah (abomasum dan usus dua belas jari) harus dipastikan tulang dapat dicerna pada saluran pencernaan bagian atas (retikulo-rumen). Namun semua ini tidak dapat dibuktikan ataupun dipastikan karena jerapah tidak dapat memilih makanannya misalnya jerapah hanya memakan tulang cancellous saja karena lebih mudah untuk dihancurkan, tulang padat saja, ataupun tulang yang telah dihaluskan dengan mesin canggih sehingga tidak sulit untuk dimakan. Banyak pengamatan mengenai osteophagia pada jerapah dimana tulang yang dipilih berkisar dari yang segar, padat, berpori hingga yang rapuh tergantung keadaan cuaca. Selanjutnya jerapah dan ruminansia pada umumnya tidak memiliki bagian mulut yang dirancang untuk menghancurkan dan penggilingan tulang. Gigi molar mereka diadaptasi untuk menggiling daun-daunan, Sutcliffe (1973) meskipun menurut laporan bahwa rusa mengunyah tulang dengan "cara seperti cerutu ".

Tulang merupakan sumber potensial besar mineral dan terdiri dari sekitar 460 g mineral per kg, 360 g protein per kg, dan 180 g lemak per kg (McDonald, Edwards, Greenhalg & Morgan 2002). Kalsium dan P adalah dua elemen mineral yang paling berlimpah sekitar 36% dan 17%, masing-masing merupakan komponen mineral tulang kita hingga dewasa (Underwood & Suttle 1999). Dengan demikian, jika tulang yang dicerna dalam rumen dengan ukuran yang memungkinkan mereka untuk melewati reticulo-omasum yang bermuara di omasum untuk memasuki abomasum dan usus halus di mana pencernaan dan penyerapan dilakukan, maka osteophagia akan menjadi perilaku yang sangat menguntungkan, terutama jika rumen itu sendiri diadaptasi untuk mencerna tulang.

Page 10: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Hasil penelitian kami menunjukkan, bahwa ada sedikit pencernaan tulang baik saliva buatan ataupun rumen dalam 30 hari pertama perendaman. Bukan berarti jumlah Ca dan P dihilangkan. Kedua jenis tulang melunak dalam rumen tapi pencernaan ini tidak terkait dengan kehilangan yang signifikan dari Ca atau P. Perendaman dalam air liur buatan menghasilkan beberapa pencernaan. Tulang cancellous dalam air liur tidak hanya melunak, tetapi massa dan volume juga menurun, Ca dan P hilang secara proporsional dengan penurunan massa (kepadatan tulang tetap konstan), meskipun jumlah mutlak yang dihasilkan sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari. Efek ini ditimbulkan karena tidak adanya enzim pencernaan biasanya ditemukan dalam air liur. Elusi mineral dengan air liur bisa terjadi karena pengaruh pH, tetapi ini tidak mungkin dilakukan. Pada awal percobaan pH air suling, air liur dan cairan rumen adalah asam dan sama, menurut laporan hanya air liur yang memiliki efek. Tambahan, bahwa pH larutan saliva menjadi lebih basa karena pengaruh waktu (Tabel 2).

Pelunakan tulang cancellous dan tulang padat, diambil bersama-sama, menurut pengamatan kami bahwa sampel menjadi lebih lembut jika semakin lama mereka berada di dalam cairan, hal ini menunjukkan bahwa perendaman bisa memfasilitasi mekanik pencernaan selama memamah biak. Oleh karena itu, kemungkinan air liur jerapah mengandung enzim pencernaan dan komposisi kimianya mirip dengan air liur buatan yang digunakan dalam penelitian ini dan melalui efek mekanik mengunyah, aksi kimia air liur, mineral ini dapat dilepaskan dari tulang terutama tulang cancellous. Konsekuensi penting yang berpotensi dari efek ini adalah bahwa dengan kembali dikunyah, melunak, tulang bisa lebih rentan terhadap rumen pencernaan dan tulang dapat lebih halus dan bisa melewati rumen tanpa pencernaan lebih lanjut untuk masuk saluran pencernaan yang lebih rendah. tulang mungkin lebih rentan pada pencernaan asam dalam abomasum. Yang kami ragukan meskipun ini mungkin hanya skenario. Dalam jangka waktu yang panjang dan paparan terus-menerus dengan saliva (10 atau hari lagi) jelas tidak terjadi.

Alasan yang paling masuk akal kurangnya efek dalam penelitian ini adalah bahwa tulang-tulang tersebut tidak memperoleh waktu yang cukup lama saat proses pencernaan, atau karena rendahnya aktivitas proteolitik oleh populasi mikroba dalam rumen domba, dan atau cairan rumen domba berbeda dengan jerapah dan ruminansia lainnya. Lama waktu yang diperlukan untuk pencernaan tampaknya tidak mungkin menjadi penyebab tetapi tidak bisa dikesampingkan oleh data yang diperoleh. Mineral yang dihasilkan setelah 30 hari jumlahnya hanya sedikit, dan tingkat pencernaan tulang minim. Kami tidak yakin bahwa perlakuan yang lebih lama akan merubah temuan ini secara signifikan. Mengurangi terjadinya proteolisis adalah alasan yang tepat. Proteolisis akan melepaskan Ca dan P dari tulang. Diet yang dilakukan relatif rendah protein (7% dari DM) dan terjadinya proteolisis mungkin dalam keadaan lebih rendah dari itu, rendah protein dikaitkan dengan rumen yang rendah produksi amonia-N dan merupakan penanda adanya aktivitas proteolitik (Van Gylswyk 1970). Namun, secara akurat diet ini meniru komposisi pakan yang dikonsumsi jerapah selama musim dingin. Jadi inilah alasan untuk kurangnya hasil pencernaan tulang, kemungkinan bahwa pencernaan yang rendah sama seperti yang terjadi pada rumen jerapah di musim dingin.

Komposisi cairan rumen pada domba telah dipelajari secara rinci oleh Gereja (1979) dan Hungate (1966). Giesecke & Van Gylswyk (1975), Maloiy et al. (1982) dan Odenyo, McSweeney, Palmer, Negassa & Osuji (1999) telah menganalisis isi rumen dari sepuluh spesies ruminansia liar termasuk jerapah, domba dan kambing di Afrika Timur (Maloiy et al 1982;. Odenyo et al., 1999) dan Afrika Selatan (Giesecke & Van Gylswyk 1975).

Kesimpulan

Page 11: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Spesies ini termasuk pengumpul selektif (jerapah dan gerenuk), massal atau serat pengumpan (kerbau, waterbuck, rusa kutub, kijang, domba) dan pengumpan menengah (eland, kudu, impala dan springbok). Seperti Tabel 5 menunjukkan komposisi cairan rumen yang memiliki sedikit variasi di antara spesies. Satu-satunya laporan yang tidak konsisten pada data ini yaitu Jones, Meyer, Bechaz, Stoltz, Palmer & Van der Merwe (2001) yang menyatakan bahwa pH rumen, termasuk jerapah lebih rendah (5,8 ± 0,1) dibandingkan dengan pemakan rumput lainnya (6,7 ± 0,1). Mereka menemukan adanya konsekuensi dari pH rendah, namun data kami menunjukkan bahwa pH itu sendiri memiliki sedikit efek pada pencernaan tulang. Memang, Jones et al. (2001) menunjukkan bahwa pada pH dan nitrogen yang lebih tinggi dapat mencerna bahan kering lebih cepat dibandingkan proses pencernaan dengan pH rendah.

Kesimpulan umumnya adalah ada sedikit perbedaan dalam cairan antara rumen ruminansia Afrika dengan adaptasi morfologi dari usus ruminansia liar dan domestik, atau antara hewan-hewan dari ukuran yang berbeda, atau karena adanya lokalitas (Giesecke & Van Gylswyk 1975; Gordon & Illius 1994; Robbins, Spalinger & Van Hoven 1995). Kami menyimpulkan bahwa perbedaan antara cairan rumen tidak terlalu berpengaruh, dan tidak berdasarkan kurangnya pencernaan tulang dalam penelitian kami, dan perbedaan pencernaan dalam rumen antara spesies, jika ada, tidak mungkin menjadi sangat berbeda.

Data yang disajikan di sini menunjukkan, bahwa meskipun osteophagia merupakan sumber potensial besar Ca dan P untuk ruminansia, ada sedikit pencernaan tulang dalam rumen, setidaknya ada dalam contoh dan untuk jangka waktu yang digunakan di sini. Ada kemungkinan bahwa jika besar jumlah tulang diinkubasi di rumen untuk waktu yang lama setelah paparan berulang dengan air liur, setelah dianalisis proses pencernaan mungkin akan terjadi. Data kami menunjukkan, bahwa bahkan skenario ini mungkin untuk memberikan asupan P yang cukup untuk pertumbuhan tulang. untuk memperoleh P (dan Ca) dari tulang atau fragmen tulang maka tulang harus mencapai abomasum untuk proses pencernaan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami berterima kasih atas bantuan At Dekker dari Direktorat Kesehatan Hewan Negara, Skukuza; Louis van Schalk Wyk dari Taman Perdamaian Foundation, Hoedspruit; Prof W. van Niekerk, Prof. J. van Ryssen, Roelf Coertze dan Jacqueline Els Departemen Hewan dan Wildlife Ilmu, Fakultas Alam dan Ilmu Pertanian, Universitas Pretoria; Elise Ferreira, Truida Smit, Carol Semenya, Tilla Basson dan Alpheus Phosa dari Nutrilab, Uni hayati Pretoria; dan Proff. H. Groeneveld dan M. van der Linde bantuan statistik. AKU P. Bredin adalah penerima Beasiswa Blundell Memorial, Eriksen Kepercayaan dan University of Pretoria Pascasarjana Beasiswa. Dana untuk mendukung penelitian ini disediakan oleh University of Wyoming.

REFERENSI

BARRETTE, C. 1985. Antler eating and antler growth in wild Axisdeer. Mammalia, 49:491–499.

BAZELY, D.R. 1989. Carnivorous herbivores: Mineral nutritionand the balanced diet. Tree, 4:155–156.

BLAIR-WEST, J.R., DENTON, D.A., NELSON, J.F., McKINLEY,M.J., RADDEN, B.G. & RAMSHAW, E.H. 1989. Recent studies

Page 12: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

of bone appetite in cattle. Acta Physiologica Scandinavica,136 (Supplement), 583:53–58.

BROTHWELL, D. 1976. Further evidence of bone chewing byungulates: the sheep of North Ronaldsay, Orkney. Journal ofArchaeological Science, 3:179–182.

CHURCH, D.C. 1979. Digestive physiology and nutrition of ruminants.2. Oregon: O&B Books.

DENTON, D. 1982. The hunger for salt: An anthropological,physiological and medical analysis. Berlin, Heidelberg, NewYork: Springer-Verlag.

DENTON, D.A., BLAIR-WEST, J.R., McKINLEY, M.J. & NELSON,J.F. 1986. Physiological analysis of bone appetite (osteophagia),BioEssays, 4:40–42.

GIESECKE, D. & VAN GYLSWYK, N.O. 1975. A study of feedingtypes and certain rumen functions in six species of SouthAfrican wild ruminants. Journal of Agricultural Science (Cambridge),85:75–83.

GORDON, I.J. & ILLIUS, A.W. 1994. The functional significanceof the browser-grazer dichotomy in African ruminants. Oecologia,98:167–175.

HALL-MARTIN, A.J. 1974. Food selection by Transvaal lowveldgiraffe as determined by analysis of stomach contents. Journalof the South African Wildlife Management Association, 4:191–202.

HAMPTON, C. 2002. Carnivorous giraffe, or natural phenomenon?Endangered Wildlife, 40:22–25.

HARRIS, L.E. 1970. Nutrition research techniques for domesticand wild animals. 1. An international record system and proceduresfor analysing samples. Logan: Utah State University.

HORWITZ, W. 2000. Official methods of analysis of the Associationof Official Analytical Chemists. I & II. Gaitersburg: AOACInternational.

HUNGATE, R.E. 1966. The rumen and its microbes. New York:Academic Press.

Page 13: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

HURWITZ, S. 1996. Homeostatic control of plasma calcium concentration.Critical Reviews of Biochemistry and MolecularBiology, 31:41–100.

JONES, R.J., MEYER, J.H.F., BECHAZ, F.M., STOLTZ, M.A.,PALMER, B. & VAN DER MERWE, G. 2001. Comparison ofrumen fluid from South African game species to digest tanniniferousbrowse. Australian Journal of Agricultural Research,52:453–460.

KHAN, A., KHAN, R., KHAN, M.F. & KHANAM, F. 1997. A clustermodel explaining quantitatively the anomalous variation ofdensity of water with temperature. Chemistry and PhysicsLetters, 266:473–480.

KOK, O.B. & OPPERMAN, D.P.J. 1980. Feeding behaviour ofgiraffe Giraffa camelopardalis in the Willem Pretorius GameReserve, Orange Free State. South African Journal of WildlifeResearch, 10:45–55.

LANGMAN, V.A. 1978. Giraffe pica behaviour and pathology asindicators of nutritional stress. Journal of Wildlife Management,42:141–147.

LEUTHOLD, B.M. & LEUTHOLD, W. 1972. Food habits of giraffein Tsavo National Park, Kenya. East African Wildlife Journal,10:129–141.

LITTLE, D.A., ROBISON, P.J., PLAYNE, M.J. & HAYDOCK, K.P.1971. Factors affecting blood inorganic phosphorus determinationin cattle. Australian Veterinary Journal, 47:153–156.

MALOIY, G.M.O, CLEMENS, E.T. & KAMAU, J.M.Z. 1982.Aspects of digestion and in vitro rumen fermentation rate insix species of East African wild ruminants. Journal of Zoology(London), 197:345–353.

McDONALD, P., EDWARDS, R.A., GREENHALG, J.F.D. & MORGAN,C.A. 2002. Animal nutrition, 6th ed. Harlow: Oliver &Boyd.

McDOUGALL, E.I. 1948. Studies on ruminant saliva. 1. The compositionand output of sheep’s saliva. Biochemical Journal,43:99–109.

McDOWELL, L.R. 1992. Minerals in animal and human nutrition.San Diego: Academic Press.

Page 14: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

MITCHELL, G. & SKINNER, J.D. 2003. On the origin, evolutionand phylogeny of giraffe Giraffa camelopardalis. Transactionsof the Royal Society of South Africa, 58:51–73.

MITCHELL, G., VAN SCHALKWYK, O.L. & SKINNER, J.D. 2005.The calcium and phosphorus content of giraffe (Giraffa camelopardalis)and buffalo (Syncerus caffer) skeletons. Journalof Zoology (London), 267:55–61.

NESBIT-EVANS, E.M. 1970. The reaction of a group of Rothschild’sgiraffe to a new environment. East African WildlifeJournal, 8:53–62.

ODENYO, A.A., McSWEENEY, C.S., PALMER, B., NEGASSA,D. & OSUJI, P.O. 1999. In vitro screening of rumen fluidsamples from indigenous African ruminants provides evidencefor rumen fluid with superior capacities to digest tannin-rich fodders. Australian Journal of Agricultural Research,50:1147–1157.

PATTERN, R.A. 1940. Breeding the giraffe (Giraffa camelopardalis).Australian Zoology, 9:452–454.

PELLEW, R.A. 1984. The feeding ecology of a selective browser,the giraffe (Giraffa camelopardalis tippelskirchi). Journal ofZoology (London), 202:57–81.

PERRY, T.W., CULLISON, A.E. & LOWERY, R.S. 1999. Feedsand feeding, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall.

ROBBINS, C.T., SPALINGER, D.E. & VAN HOVEN, W. 1995.Adaptation of ruminants to browse and grass diets: are anatomical-based browser-grazer interpretations valid? Oecologia,103:208–213.

SEKULIC, R. & ESTES, R.D. 1977. A note on bone chewing inthe sable antelope in Kenya. Mammalia, 41:537–539.

SUTCLIFFE, A.J. 1973. Similarity of bones and antlers gnawedby deer to human artefacts. Nature, 246:428–430.

THEILER, A., GREEN, H.H. & DU TOIT, P.J. 1924. Phosphorusin the livestock industry. South African Department of AgricultureJournal, 8:460–504.

UNDERWOOD, E.J. & SUTTLE, N.F. 1999. The mineral nutritionof livestock. Penicuik: CABI.

VAN GYLSWYK, N.O. 1970. The effect of supplementing a low

Page 15: Translate Jurnal Mineral Pada Jerapah

protein hay on the cellulolytic bacteria in the rumen of sheepand on the digestibility of cellulose and hemicellulose. Journalof Agricultural Research (Cambridge), 74:169–180.

VAN SCHALKWYK, O.L., SKINNER, J.D. & MITCHELL, G. 2004.A comparison of the bone density and morphology of giraffe(Giraffa camelopardalis) and buffalo (Syncerus caffer) skeletons.Journal of Zoology (London), 264:307–315

WADHWA, D.R. & CARE, A.D. 2002. The absorption of phosphateions from the ovine reticulorumen. The Veterinary Journal,163:182–186.

WESTERN, D. 1971. Giraffe chewing a Grant’s gazelle carcass.East African Wildlife Journal, 9:156–157.

WYATT, J.R. 1971. Osteophagia in Masai giraffe. East AfricanWildlife Journal, 9:157.