translate jurnal
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sedangkan sinusitis
maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari
gigi ke arah sinus maksilaris. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat
akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.1
Penyebab sinusitis maksilaris terutama adalah faktor rinogen.2 Angka kejadian sinusitis
yang bersumber dari odontogenik sebesar 10% dari keseluruhan kasus sinusitis maksilaris.3,4
Meskipun sinusitis odontogenik adalah suatu kondisi yang relatif umum terjadi, namun
patogenesisnya belum diketaui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki
bagaimana fitur-fitur klinis seperti jenis kelamin, usia, faktor etiologi, dan gejala sinusitis
odontogenik berbeda dari sinusitis jenis lain.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sajakah faktor-faktor pedisposisi dari sinusitis maksilaris odontogenik?
2. Bagaimana tanda dan gejala pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa sajakah faktor-faktor pedisposisi dari sinusitis maksilaris
odontogenik.
2. Mengetahui tanda dan gejala pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik.
3. Mengetahui penatalaksanaan pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik.
1.4 Manfaat
Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan
mulut pada khususnya mengenai sinusitis maksilaris odontogenik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abstrak
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaiman fitur-fitur klinis seperti
jenis kelamin, usia, faktor etiologi, dan gejala sinusitis odontogenik berbeda dari
sinusitis jenis lain. Selain itu, penelitian ini dirancang untuk menemukan metode untuk
mengurangi kejadian sinusitis odontogenik.
Bahan dan Metode: Analisis retrospektif dilakukan pada 27 pasien dengan sinusitis
odontogenik yang dirawat di Rumah Sakit Kangbuk Samsung antara bulan Februari
2006 sampai Agustus 2008.
Hasil: Sepuluh pasien (37,0%) memiliki implan gigi yang mengalami komplikasi dan 8
pasien (29,6%) memiliki komplikasi yang terkait dengan ekstraksi gigi. Nasal discharge
purulen unilateral merupakan gejala yang paling umum (66,7%). Penatalaksanaan
meliputi pembedahan transnasal endiscopic sinus pada 19 pasien (70,4%), dan operasi
Caldwell Luc pada 2 pasien (7,4%).
Kesimpulan: Dalam penelitian ini, tidak ada perbedaan yang signifikan pada insiden
antar jenis kelamin. Usia rata-rata pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi terjadi
pada dekade keempat. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis
odontogenik dengan sinusitis jenis lain. Namun, hampir semua pasien dengan sinusitis
odontogenik memiliki gejala unilateral. Penyebab iatrogenik, yang meliputi implan gigi
dan pencabutan gigi, merupakan faktor etiologi yang paling umum terkait dengan
perkembangan sinusitis odontogenik. Oleh karena itu, konsultasi praoperasi antara
rhinologist dan dokter gigi sebelum melakukan suatu prosedur pada gigi harus dapat
mengurangi timbulnya sinusitis odontogenik.
2.2 Introduksi
Sinusitis dianggap berasal dari rhinogenous. Pada beberapa kasus, infeksi gigi
merupakan faktor predisposisi utama. Angka kejadian sinusitis yang bersumber dari
odontogenik sebesar 10% dari keseluruhan kasus sinusitis maksilaris. Meskipun sinusitis
odontogenik adalah suatu kondisi yang relatif umum terjadi, namun patogenesisnya belum
diketaui secara pasti. Sinusitis odontogenik layak mendapatkan pertimbangan khusus karena
3
berbeda dengan penyakit sinus dengan penyebab yang lain dalam hal mikrobiologi,
patofisiologi, dan manajemennya. Studi terdahulu melaporkan bahwa insiden tersebut lebih
tinggi pada wanita, dan Kaneko melaporkan bahwa usia muda (dekade ketiga dan keempat)
tampaknya lebih rentan. Sinusitis odontogenik terjadi ketika membran Schneidarian
berlubang. Hal ini dapat terjadi pada orang dengan karies gigi rahang atas dan trauma gigi
rahang atas. Terdapat juga penyebab iatrogenik, seperti pemasangan implan gigi dan
pencabutan gigi.
2.3 Bahan dan Metode
Peneliti memeriksa 30 pasien yang terdiagnosis sinusitis odontogenik pada Departemen
Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgey dari bulan Februari 2006 hingga Agustus 2008.
Tiga kasus pansinusitis dengan polip hidung dikeluarkan dari penelitian ini. Sejumlah 23
(85,2%) dari 27 pasien terdiagnosa saat datang ke Departemen Otorhinolaryngology-Head
and Neck Surgey. Empat pasien merupakan rujukan dari praktek dokter gigi (14,8%).
Diagnosis sinusitis odontogenik didasarkan pada pemeriksaan gigi dan kesehatan secara
menyeluruh. Pemeriksaan ini mencakup evaluasi dari gejala-gejala pasien (menurut kriteria
dari American Academy of Otolaryngology-Headand Neck Surgery (AAO-HNS), diagnosis
rinosinusitis memerlukan setidaknya 2 faktor utama atau setidaknya 1 faktor mayor dan 2
faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis), sejarah masa lalu kesehatan gigi, dan
temuan radiologi, termasuk CT scan sinus paranasal. Selain itu, konsultasi dengan departemen
kedokteran gigi mendukung peneliti dalam membuat diagnosis sinusitis odontogenik.
2.4 Hasil
Pada penelitian ini, perbandingan rasio laki-laki dan perempuan adalah 15:12, dengan
insiden yang lebih tinggi pada pria. Distribusi usia yaitu 4-75 tahun, dengan usia rata-rata 42,9
tahun. Kejadian tertinggi terjadi pada dekade keempat. Semua pasien tidak memiliki sejarah
sinusitis sebelumnya. Periode follow-up berlangsung antara 2 bulan dan 6 bulan, dengan rata-
rata 4,5 bulan.
Dalam studi ini, kasus sinusitis odontogenik berjumlah 5,2% dari keseluruhan kasus
sinusitis maksilaris. Implan gigi yang megalami komplikasi merupakan penyebab paling
umum, yaitu 10 (37%) dari 27 pasien (Gambar 1A). Komplikasi yang terkait dengan ekstraksi
gigi merupakan penyebab kedua yang paling umum, yaitu 8 (29,6%) dari 27 pasien. Kista
dentigenous diderita oleh 3 pasien (11,1%). Kista radikuler, karies gigi, dan gigi tambahan
4
merupakan penyebab lain yang masing-masing ditemukan sebanyak 2 (7,4%) dari 27 pasien
(Gambar 2).
Interval waktu dari kunjungan pertama ke klinik rawat jalan untuk melakukan suatu
prosedur gigi dengan munculnya gejala adalah 1 bulan pada 11 kasus (40,8%), 1 sampai 3
bulan pada 5 kasus (18,5%), 3 bulan sampai 1 tahun pada 8 kasus (29,6%), dan lebih dari satu
tahun pada 3 kasus (11,1%).
Sebanyak 23 dari total 27 pasien telah terdiagnosa secara langsung setelah datang ke
otorhinolaryngology tanpa mendapatkan pengobatan gigi. Hanya 4 pasien yang terdiagnosis
sinusitis odontogenik setelah melalui konsultasi perawatan gigi. Sebanyak 25 dari 27 pasien
tidak pernah melakukan konsultasi praoperasi antara rhinologist dan dokter gigi sebelum
melakukan prosedur gigi.
Gejala sinusitis odontogenik yang paling umum adalah rhinorrhea purulen unilateral.
Rhinorrhea ini ditemukan pada 18 pasien (66,7%). Gejala ini diikuti dengan nyeri pipi pada 9
pasien (33,3%), bau yang menyengat pada 7 pasien (25,9%), hidung tersumbat unilateral pada
5 pasien (18,5%), postnasal drip pada 4 pasien (14,8%), dan pembengkakan dan discharge
gingiva atas pada 4 pasien (14,8%). Tidak ada pasien yang mengeluh memiliki gejala demam.
Satu pasien (3,7%) tanpa gejala terdiagnosis secara kebetulan melalui pemeriksaan radiografi
(Tabel 1). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis odontogenik dengan
sinusitis jenis lain. Namun, hampir semua pasien dengan sinusitis odontogenik memiliki
gejala yang bersifat unilateral.
5
Pemeriksaan CT sinus paranasal dilakukan pada semua kasus. Erosi tulang sinus
maksilaris terdapat pada 12 kasus (44,4%). Fistula oroantral terdapat pada 7 kasus (25,9%)
(Gambar 1B). Distribusi sinus paranasal yang menunjukkan kepadatan jaringan lunak adalah
sebagai berikut: sinus maksilaris pada 19 kasus (70,4%), sinus maksilaris dan ethmoid pada 5
kasus (18,5%), sinus maksilaris, ethmoid, dan frontal pada 2 kasus (7,4%), serta sinus
maksilaris, ethmoid, dan sphenoid pada 1 kasus (3,7%). Tidak ada kasus dimana semua sinus
paranasal menunjukkan kepadatan jaringan lunak.
Distribusi yang menunjukkan keterlibat gigi pada rahang atas adalah sebagai berikut:
molar ke-2 pada 11 kasus (40,8%), molar ke-1 pada 9 kasus (33,3%), premolar 2 dan molar 1
pada 3 kasus (11,1%), molar ke-1 dan molar ke-2 pada 2 kasus (7,4%), premolar ke-2 pada 1
kasus (3,7%), dan molar ke-3 dalam 1 kasus (3,7%) (Tabel 2).
Pada 14 dari total 27 pasien, didapatkan kultur bakteri intraoperatif. Organisme aerobik
saja pada 3 kasus (21,4%), bakteri anaerob saja pada 1 kasus (7,1%), dan campuran antara
bakteri aerobik dan anaerobic pada 3 kasus (21,4%). Bakteri aerobik yang dominan adalah S.
aureus. Bakteri anaerob yang dominan adalah basil gram-negatif dan Peptostreptococcus spp.
Tidak ada korelasi yang ditemukan antara faktor predisposisi odontogenik dan temuan
mikrobiologi. Modalitas terapi meliputi pembedahan transnasal endoscopic sinus pada 19
6
kasus (70,4%), dan operasi Caldwell Luc pada 2 kasus (7,4%), manajemen gigi meliputi
ekstraksi gigi dan pengangkatan implan gigi pada 2 kasus (7,4%), dan hanya pemberian
antibiotik pada 4 kasus (14,8%) (Tabel 3). Tidak ada kejadian rekurensi yang diamati selama
periode follow-up pada semua pasien. Enam pasien yang menolak dilakukan tindakan bedah
hanya diterapi dengan antibiotik. Antibiotik (cefditoren pivoxil 300 mg/hari atau amoksisilin-
sam klavulanat 1.875 mg/hari) digunakan secara rutin selama 3 minggu setelah operasi.
Periode follow-up dilakukan antara 2 bulan dan 6 bulan, dengan rata-rata 4,5 bulan.
2.4.1 Komplikasi yang terkait dengan implan gigi
Terdapat 10 kasus dengan implan gigi yang mengalami komplikasi. Kasus tersebut
meliputi 6 laki-laki dan 4 perempuan dengan rata-rata usia 52,3 tahun (rentang: 35-62 tahun).
Rentang waktu dari prosedur implan gigi sampai kunjungan pertama pasien ke klinik rawat
jalan dengan gejala adalah 1 bulan pada 6 kasus (60%), 1 sampai 3 bulan pada 2 kasus (20%),
3 bulan sampai 1 tahun pada 1 kasus (10%), dan lebih dari satu tahun pada 1 kasus (10%).
Terdapat 7 pasien yang menderita rhinorrhea purulen unilateral. Terdapat nyeri pipi dan
bau menyengat pada 4 kasus (Tabel 1). Yang paling banyak terlibat adalah gigi molar ke-2
pada rahang atas (4 kasus) (Tabel 2). Modalitas terapi meliputi pembedahan transnasal
endoscopic sinus pada 9 kasus dan manajemen gigi, meliputi ekstraksi gigi dan pembuangan
implan gigi pada 1 kasus (Tabel 3).
2.4.2 Komplikasi yang terkait dengan ekstraksi gigi
Terdapat 8 kasus komplikasi yang terkait dengan ekstraksi gigi. Kasus ini meliputi 4
laki-laki dan 4 perempuan dengan rata-rata usia 39,3 tahun (rentang: 22-61 tahun). Terdapat 5
pasien yang menderita rhinorrhea purulen unilateral. Terdapat nyeri pipi dan bau yang
menyengat pada 3 kasus (Tabel 1). Yang paling sering terlibat adalah gigi molar ke-2 rahang
7
atas (4 kasus) (Tabel 2). Modalitas terapi meliputi pembedahan transnasal endoscopic sinus
pada 7 kasus dan pengobatan antibiotik pada 1 kasus (Tabel 3).
2.5 Diskusi
Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa insiden lebih tinggi pada wanita, tetapi
dalam penelitian ini rasio perbandingan antara laki-laki untuk perempuan adalah 1,25 : 1.
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian antar jenis kelamin. Kaneko melaporkan
bahwa usia muda (dekade ketiga dan keempat) tampaknya lebih rentan. Pada penelitian ini,
rata-rata usia pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi pada dekade keempat.
Insiden sinusitis odontogenik yang terkait dengan infeksi sangat rendah meskipun
frekuensi infeksi gigi tinggi. Namun, kejadian ini secara bertahap meningkat. Pada penelitian
ini, penyebab paling umum (10 kasus) adalah implan gigi yang berkomplikasi.
Pada penelitian ini, 18 (66,7%) dari 27 pasien mengeluh mengalami rhinorrhea purulen
unilateral sebagai gejala utama. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis
odontogenik dengan sinusitis jenis lain. Pada penelitian ini, peneliti tidak bisa mendiagnosa
sinusitis odontogenik hanya berdasarkan pada gejala yang muncul saja. Namun, hampir
semua pasien dengan sinusitis odontogenik memiliki gejala unilateral. Kemungkinan sinusitis
odontogenik harus selalu dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala unilateral.
Penegakan diagnosa meliputi riwayat perawatan gigi, pemeriksaan radiologi, serta
pemeriksaan gigi.
Akar gigi molar ke-2 adalah bagian yang paling dekat dengan dasar sinus maksilaris,
diikuti oleh akar molar ke-1, premolar ke-2, dan premolar ke-1. Jarak yang pendek
menjelaskan mudahnya perluasan proses infeksi dari gigi ini ke sinus maksilaris. Pada kasus
dalam penelitian ini, molar ke-2 (40,8%) rahang atas adalah sumber infeksi yang paling
umum. Diagnosis sinusitis odontogenik didasarkan pada pemeriksaan yang meliputi evaluasi
gejala saat ini dan riwayat medis yang berhubungan dengan temuan fisik. Radiologi
merupakan alat penting untuk menegakkan diagnosis. CT merupakan alat yang sangat baik
untuk mendiagnosis sinusitis odontogenik. CT dapat menunjukkan sumber odontogenik ke
dasar sinus maxilaris yang mengalami kerusakan dan jaringan yang sakit. Pemeriksaan
tersebut juga dapat menentukan lokasi yang tepat dari benda asing pada sinus maxilaris.
Manajemen yang menyeluruh dari gigi penyebab dan sinusitis yang terkait akan
memberikan penyelesaian infeksi yang lengkap serta dapat mencegah kekambuhan dan
8
komplikasi. Kombinasi antara pendekatan medis dan bedah umumnya diperlukan untuk
pengobatan sinusitis odontogenik. Sumber infeksi harus dihilangkan untuk mencegah
kekambuhan. Pembuangan akar gigi dari sinus, atau perlakuan terhadap gigi yang terinfeksi
dengan ekstraksi atau terapi saluran akar, diperlukan untuk menghilangkan sumber infeksi.
Pada infeksi gigi biasanya terdiri dari campuran polimikrobial aerob dan anaerob. Antibiotik
oral efektif terhadap flora oral dan patogen sinus untuk 21 sampai 28 hari. Baru-baru ini,
pembedahan transnasal endiscopic sinus dianjurkan untuk pengobatan sinusitis odontogenik.
Pada penelitian ini, 70,4% pasien menjalani operasi transnasal endiscopic sinus, serta 7,4%
pasien dikelola dengan operasi Caldwell-Luc. Dalam hal ini, indikasi operasi Caldwell-Luc
adalah untuk membuang kista radikuler besar dan gigi tambahan yang terletak di lateral sinus
yang tidak dapat dilakukan dengan endoskopik. Enam pasien yang menolak pengobatan
bedah diobati hanya dengan antibiotik. Tidak ada kekambuhan selama periode follow-up pada
pasien ini.
Penyebab paling umum dari sinusitis odontogenik pada penelitian ini adalah komplikasi
terkait implan gigi. Sekarang diketahui bahwa kejadian sinusitis yang berhubungan dengan
implan gigi sangat rendah meskipun frekuensi dari implan gigi tinggi. Namun, kejadian ini
meningkat secara bertahap. Efek samping yang paling sering adalah infeksi jaringan lokal di
sekitar implan gigi. Hal ini mungkin terkait dengan resorpsi tulang sekitarnya. Implan gigi
yang ditempatkan sangat dekat dengan sinus maksilaris mungkin memudahkan penjalaran
infeksi dari rongga mulut ke sinus. Perpindahan dari gigi implan ke dalam sinus maksilaris
mungkin menjadi penyebab lain sinusitis maksila. Hal tersebut bereaksi sebagai benda asing
dan menghasilkan infeksi kronis. Implan yang terkait dengan sinusitis odontogenik memiliki
insiden lebih tinggi pada pasien yang memiliki faktor predisposisi, seperti dasar sinus
maksilaris yang tipis. Peneliti menganjurkan evaluasi praoperasi untuk pasien sinusitis yang
menderita gejala sebelumnya atau yang memiliki faktor predisposisi mengenai masalah
drainase dari sinus paranasal melalui observasi intranasal dan pemeriksaan radiologi. Hal
tersebut dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko perkembangan
sinusitis odontogenik.
Sebagai kesimpulan, tidak ada perbedaan yang signifikan insiden antara pria dan
wanita. Usia rata-rata dari pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi pada dekade keempat.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis odontogenik dengan jenis sinusitis
lain. Namun, sebagian besar pasien dengan sinusitis odontogenik memiliki gejala unilateral.
Kemungkinan sinusitis odontogenik harus selalu dipertimbangkan ketika pasien memiliki
9
gejala hidung unilateral. Konsultasi antara rhinologist dan dokter gigi sebelum dilakukan
prosedur gigi berguna untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki faktor risiko sinusitis
odontogenik harus mampu untuk mencegah perkembangan sinusitis odontogenik, karena
penyebab paling umum dari sinusitis odontogenik adalah iatrogenik.
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi dan Etiologi Sinusitis Maksilaris Odontogen
Sinusitis merupakan inflamasi mukosa pada sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Sinus maksila terletak dekat dengan
akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.1
Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi pada rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2) dan molar (M1 dan M2) dan kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3. bahkan akar-akar gigi tersebut kadang-kadang menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi dari gigi mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. 5
Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase tergantung
dari gerak silia. Proses drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit, infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah
ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 6
Gambar 3. Anatomi sinus Gambar 4. Anatomi Gigi
Infeksi odontogenik umumnya bermula dari infeksi periapikal gigi non vital, hanya
sebagian kecil saja yang berasal dari infeksi jaringan periodontal, atau akibat infeksi sekunder
pada tulang. Infeksi odontogenik dapat berlokasi hanya sekitar apeks gigi, atau menyebar ke
tulang sekitarnya, atau bahkan menembus korteks dan selanjutnya menyebar ke jaringan
lunak sekitarnya, atau pada kasus yang gawat, proses infeksi dapat sampai ke daerah yang
jauh letaknya dari infeksi primer.5
11
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan penyebaran infeksi odontogenik:5
Jenis dan virulensi kuman penyebab. Beberapa jenis kuman cenderung menetap pada fokus
infeksi primer, sedangkan jenis lainnya cenderung menyebar secara cepat ke jaringan
sekitarnya.
Daya tahan penderita. Penderita dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol, dan
penderita dengan sistem imunitas rendah, maka penyebaran infeksi akan terjadi lebih cepat
dan ekstensif.
Faktor anatomi juga sangat mempengaruhi penyebaran dan perluasan infeksi.
Infeksi gigi yang memegang peranan penting sebagai fokus infeksi adalah infeksi-
infeksi yang kronis yang biasanya berupa:2
A. Pulpitis Kronis
Pulpitis Kronis merupakan peradangan pulpa yang bersifat kronis akibat invasi kuman
atau toksinnya melalui karies gigi atau kerusakan gigi lainnya.
B. Penyakit Periapikal kronik
Periapikal adalah daerah lokal di sekitar apek akar gigi. Penyakit periapikal ini dapat
merupakan lanjutan dari pulpitis maupun periodontitis. Penyakit periapikal antara lain
meliputi granuloma periapikal, kista periapikal dan abses periapikal.
C. Penyakit periodontal kronik
Periodontitis kronik dapat dimulai dengan suatu gingivitis marginalis. Infeksi secara
kronik berjalan ke arah apikal disertai kerusakan membran periodontal dan resorbsi
procesus alveolaris yang menyebabkan terbentuknya saku periodontal, dimana eksudat
dan pus terkumpul dalam saku tersebut.
3.2 Manifestasi Klinis
3.2.1 Sinusitis odontogenik akut
Gejala klinis sinusitis odontogenik akut terjadi dalam beberapa hari dan menunjukkan
gejala umum suatu radang akut. Gejala klasik lokal adalah rasa penuh dibawah mata pada sisi
yang terlibat pada gerakan kepala, ingus yang keluar baunya mirip pus, rasa tidak enak di
mulut dan penyumbatan sisi dari lubang hidung. Disamping itu sinusitis didahului oleh sakit
gigi yang singkat dan jelas, dan dapat dirasakan sakit tumpul dan menjalar ke rahang atas dan
keluhan sakit saraf dari seluruh bagian wajah. Jarang sekali bengkak pipi dan pelupuk mata
bawah, kedua-duanya termasuk gejala periotitis yang berasal dari gigi penyebab.5
12
3.2.2 Sinusitis odontogenik subakut dan kronis
Pada sinusitis subakut dan kronis sering tidak terdapat gejala radang yang jelas. Dalam
menentukan diagnosa harus dipertimbangkan dulu apakah benar-benar terdapat sinusitis dan
apakah berasal dari odontogenik. Hampir semua penderita mengeluhkan perasaan sakit yang
sedang sampai berat pada separuh bagian wajah, dan perasaan penuh dibawah mata pada saat
membungkuk atau telah lama mempunyai keluhan sakit kepala. Kadang terdapat obstruksi
nasal yang memberikan perasaan pilek yang sulit sembuh dengan pengobatan. Pada
kebanyakan penderita terdapat aliran pus yang berbau busuk dan juga merasakan perasaan
tidak enak pada mulut, yang disebabkan pus dari nasofarings. Terdapat riwayar pernah
menderita sakit gigi pada gigi penyebabnya, terkadang diikuti dengan bengkak pada wajah.
Pada pemeriksaan intra oral, gigi dapat terasa sakit ringan pada perkusi.5
3.3 Penegakan Diagnosa
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior.
Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology & American
Rhinologic Society adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Kriteria Diagnosis
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius. Pemeriksaan pembantu yang penting
adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA atau lateral, umumnya hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas
13
udara-cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standart diagnosis
sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya dikerjakan sbagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi
sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret dari meatus
medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil dari
pungsi sinus maksila.7
3.4 Penatalaksanaan Sinusitis Maksilaris
Tujuan terapi ialah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan sehingga
drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Bila sudah kronis, cara terbaik adalah
dengan melakukan operasi. Pengobatan medikamentosa (terapi konservatif) ditujukan untuk
menurunkan faktor predisposisi, mengobati serangan infeksi berulang, mengurangi edem
jaringan sinus, serta memfasilitasi drainase sekresi sinus.
3.4.1 Terapi Konservatif
Terapi ini diberikan pada sinusitis maksila kronis dengan perubahan mukosa yang
reversible. Prinsip pengobatan ini adalah untuk memberantas infeksi, memfasilitasi drainase
dan memperbaiki fungsi silia. Harapan dari terapi konservatif ini adalah terjadinya regenerasi
dari mukosa sehingga fungsi silia menjadi baik dan drainase serta aerasi menjadi normal.8
Secara praktis terapi konservatif sinusitis maksila kronis meliputi:9
1. Pemakaian Antibiotika
1. Pemakaian antibiotika sebaiknya didahului dengan pemeriksaan bakteri, kultur dan tes
sensitivitas. Antibiotika diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Antibiotik yang digunakan adalah antibiotic spektrum luas, seperti: amoxicillin,
ampicillin, atau eritromisin. Alternatif lain berupa amoxicillin/klavulanat, sefaklor,
sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamid.
2. Pemberian nasal dekongestan
2. Nasal dekongestan digunakan untuk mencegah/ mengatasi edem mukosa sehingga ostium
akan terbuka dan drainase sinus menjadi lancar. Dekongestan yang dapat diberikan antara
14
lain: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin (neosynephrine) atau oksimetazolin dapat
diberikan selama beberapahari pertama infeksi namun kemudian harus dihentikan.
3. Pemberian Antihistamin
Antihistamin pada penderita sinusitis maksila kronik karena alergi diberikan dalam
jumlah besar untuk menghilangkan gejala-gejala alergi, kecuali bila terjadi efek samping
dosisnya dikurangi.
4. Pemberian steroid
Pemberian steroid dimaksudkan sebagai anti udem mukosa, sehingga ostium terbuka dan
selanjutnya memperbaiki drainase. Steroid hendaknya diberikan bersama antibiotika dan
jangan pada penderita anak-anak untuk jangka waktu lama.
5. Pemberian analgesik
Analgesik bersifat simptomatis, untuk mengurangi rasa nyeri, seperti aspirin dan
asetaminofen.
6. Irigasi Antrum
Irigasi antrum merupakan prosedur bedah paling sederhana yang dianjurkan bagi kasus
sinusitis maksila kronis yang telah mendapat terapi medikasi tetapi tidak sembuh/
mengalami kegagalan.
3.4.2 Terapi Radikal
Yang dimaksud terapi radikal di sini adalah operasi Caldwell-Luc. Indikasi terapi
radikal pada sinusitis maksila kronis adalah :
1. Jelas terlihat perubahan mukosa yang ireversibel
2. Perubahan mukosa menunjukkan reversibilitas, tapi dengan terapi konservatif tidak
membawa hasil, atau terapi berhasil tetapi kambuh lagi.
3. Penyebabnya odontogen
Operasi ini Caldwell-Luc dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih
dari 2 cm diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 sampai molar 1. Sayatan dilanjutkan
sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke atas.
Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut mukosa yang
inversibel dibersihkan.
15
3.4.3 Terapi Obliteratif
Operasi obliterasi, yaitu menghilangkan bangunan sinus sama sekali, merupakan
alternatif terakhir bila terapi radikal gagal atau mengalami rekurensi. Di sini setelah mukosa
sinus diangkat sempurna, ruang sinus ditimbun dengan lemak yang diambil dari dinding
ventral abdomen.
3.4.4 Terapi Odontogen
Sinusitis maksilaris yang dicurigai disebabkan oleh infeksi gigi, sebaiknya disarankan
untuk mengatasi kerusakan gigi terlebih dahulu. Infeksi pada gigi yang tidak segera ditangani
bisa menyebabkan abses dengan penimbunan nanah karena infeksi bakteri. Abses pada rahang
atas inilah yang bila tidak segera ditangani bisa mengakibatkan sinusitis. Gigi dengan infeksi
saluran akar gigi atau dengan kantong-kantong periodontal harus diekstraksi, sebab kerusakan
tulang yang terjadi pada sinusitis odontogenik akan menyembuh kembali bila fokus infeksi
dihilangkan.10
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sedangkan sinusitis
maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari
gigi ke arah sinus maksilaris. Penyebab paling umum dari sinusitis odontogenik pada
16
penelitian ini adalah komplikasi terkait implan gigi. Pada kasus dalam penelitian ini, molar
ke-2 rahang atas adalah sumber infeksi sinusitik maksilaris odontogen yang paling umum.
Dari penelitian didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada
insiden antara pria dan wanita. Usia rata-rata dari pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi
pada dekade keempat. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis
odontogenik dengan jenis sinusitis lain. Namun, sebagian besar pasien dengan sinusitis
odontogenik memiliki gejala unilateral. Kemungkinan sinusitis odontogenik harus selalu
dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala hidung unilateral. Konsultasi antara
rhinologist dan dokter gigi sebelum dilakukan prosedur gigi berguna untuk mengidentifikasi
pasien yang memiliki faktor risiko sinusitis odontogenik harus mampu untuk mencegah
perkembangan sinusitis odontogenik, karena penyebab paling umum dari sinusitis
odontogenik adalah iatrogenik.
Manajemen yang menyeluruh dari gigi penyebab dan sinusitis yang terkait akan
memberikan penyelesaian infeksi yang lengkap serta dapat mencegah kekambuhan dan
komplikasi.
4.2 Saran
1. Disarankan untuk melakukan konsultasi dengan dokter gigi dan dokter ahli sebelum
melakukan sutu prosedur pada gigi untuk menghindari komplikasi.
2. Individu yang memiliki kelainan pada giginya seperti karies gigi atau infeksi gigi harus
segera melakukan tindakan perawatan gigi supaya tidak terjadi penyebaran infeksi.
3. Disarankan untuk mengunjungi dokter gigi secara rutin setiap 6 bulan sekali.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS
Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
1997.
2. Daud ME. Infeksi Fokal Gigi dan Kemungkinan Terjadinya Infeksi Sekunder dalam :
Simposium Gigi Sebagai Fokus Infeksi. FK UNDIP Semarang. 16 : 83.
3. Lopatin AS, Sysolyatin SP, Sysolyatin PG, Melnikov MN. Chronic maxillary sinusitis
of dental origin; is external surgical approach mandatory? Laringoscope 2002;
112:1056-9
4. Mehra P, Murad H. maxillary sinus disease of odontogenic origin. Otolaryngol Clin
North Am 2004;37:347-64
5. Hadimartana L. Pengaruh Infeksi Odontogen Pada Sinus Maksilaris. 2009. Available
at : http://www.geocities.com/rangkinariwebsite/pengaruh_infeksi.html
6. Foster TD. Buku Ajar Ortodonsi. Penerbit Buku Kedokteran EGC 1999 : 10 : 2.
7. Merry AJ. 2001. The Maxillary Antrum. In: Oral Maxillofacial Surgery. An Objective-
Based Textbook. Churchill Livingstone. Edinburg; 211-23.
8. Bellenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14 th. Philadelphia : Lea
and Febiger Co. 1991. 184-6
9. Mangunkusumo, et al. Sinus Paranasal dalam Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 5. Balai Penerbit FK UI Jakarta. 2007 : 149 : 52
10. Rahardja A. Sinusitis Maksilaris Odontogen dalam Kumpulan Karya Ilmiah. FK
UNDIP, Semarang 1997