translate jurnal

27
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sedangkan sinusitis maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari gigi ke arah sinus maksilaris. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. 1 Penyebab sinusitis maksilaris terutama adalah faktor rinogen. 2 Angka kejadian sinusitis yang bersumber dari odontogenik sebesar 10% dari keseluruhan kasus sinusitis maksilaris. 3,4 Meskipun sinusitis odontogenik adalah suatu kondisi yang relatif umum terjadi, namun patogenesisnya belum diketaui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana fitur-fitur klinis seperti jenis kelamin, usia, faktor etiologi, dan gejala sinusitis odontogenik berbeda dari sinusitis jenis lain. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa sajakah faktor-faktor pedisposisi dari sinusitis maksilaris odontogenik? 2. Bagaimana tanda dan gejala pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik?

Upload: meethoens

Post on 30-Nov-2015

121 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Translate Jurnal

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sedangkan sinusitis

maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari

gigi ke arah sinus maksilaris. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat

akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.

Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.1

Penyebab sinusitis maksilaris terutama adalah faktor rinogen.2 Angka kejadian sinusitis

yang bersumber dari odontogenik sebesar 10% dari keseluruhan kasus sinusitis maksilaris.3,4

Meskipun sinusitis odontogenik adalah suatu kondisi yang relatif umum terjadi, namun

patogenesisnya belum diketaui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki

bagaimana fitur-fitur klinis seperti jenis kelamin, usia, faktor etiologi, dan gejala sinusitis

odontogenik berbeda dari sinusitis jenis lain.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa sajakah faktor-faktor pedisposisi dari sinusitis maksilaris odontogenik?

2. Bagaimana tanda dan gejala pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik?

3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa sajakah faktor-faktor pedisposisi dari sinusitis maksilaris

odontogenik.

2. Mengetahui tanda dan gejala pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik.

3. Mengetahui penatalaksanaan pasien dengan sinusitis maksilaris odontogenik.

1.4 Manfaat

Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan

mulut pada khususnya mengenai sinusitis maksilaris odontogenik.

Page 2: Translate Jurnal

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abstrak

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaiman fitur-fitur klinis seperti

jenis kelamin, usia, faktor etiologi, dan gejala sinusitis odontogenik berbeda dari

sinusitis jenis lain. Selain itu, penelitian ini dirancang untuk menemukan metode untuk

mengurangi kejadian sinusitis odontogenik.

Bahan dan Metode: Analisis retrospektif dilakukan pada 27 pasien dengan sinusitis

odontogenik yang dirawat di Rumah Sakit Kangbuk Samsung antara bulan Februari

2006 sampai Agustus 2008.

Hasil: Sepuluh pasien (37,0%) memiliki implan gigi yang mengalami komplikasi dan 8

pasien (29,6%) memiliki komplikasi yang terkait dengan ekstraksi gigi. Nasal discharge

purulen unilateral merupakan gejala yang paling umum (66,7%). Penatalaksanaan

meliputi pembedahan transnasal endiscopic sinus pada 19 pasien (70,4%), dan operasi

Caldwell Luc pada 2 pasien (7,4%).

Kesimpulan: Dalam penelitian ini, tidak ada perbedaan yang signifikan pada insiden

antar jenis kelamin. Usia rata-rata pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi terjadi

pada dekade keempat. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis

odontogenik dengan sinusitis jenis lain. Namun, hampir semua pasien dengan sinusitis

odontogenik memiliki gejala unilateral. Penyebab iatrogenik, yang meliputi implan gigi

dan pencabutan gigi, merupakan faktor etiologi yang paling umum terkait dengan

perkembangan sinusitis odontogenik. Oleh karena itu, konsultasi praoperasi antara

rhinologist dan dokter gigi sebelum melakukan suatu prosedur pada gigi harus dapat

mengurangi timbulnya sinusitis odontogenik.

2.2 Introduksi

Sinusitis dianggap berasal dari rhinogenous. Pada beberapa kasus, infeksi gigi

merupakan faktor predisposisi utama. Angka kejadian sinusitis yang bersumber dari

odontogenik sebesar 10% dari keseluruhan kasus sinusitis maksilaris. Meskipun sinusitis

odontogenik adalah suatu kondisi yang relatif umum terjadi, namun patogenesisnya belum

diketaui secara pasti. Sinusitis odontogenik layak mendapatkan pertimbangan khusus karena

Page 3: Translate Jurnal

3

berbeda dengan penyakit sinus dengan penyebab yang lain dalam hal mikrobiologi,

patofisiologi, dan manajemennya. Studi terdahulu melaporkan bahwa insiden tersebut lebih

tinggi pada wanita, dan Kaneko melaporkan bahwa usia muda (dekade ketiga dan keempat)

tampaknya lebih rentan. Sinusitis odontogenik terjadi ketika membran Schneidarian

berlubang. Hal ini dapat terjadi pada orang dengan karies gigi rahang atas dan trauma gigi

rahang atas. Terdapat juga penyebab iatrogenik, seperti pemasangan implan gigi dan

pencabutan gigi.

2.3 Bahan dan Metode

Peneliti memeriksa 30 pasien yang terdiagnosis sinusitis odontogenik pada Departemen

Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgey dari bulan Februari 2006 hingga Agustus 2008.

Tiga kasus pansinusitis dengan polip hidung dikeluarkan dari penelitian ini. Sejumlah 23

(85,2%) dari 27 pasien terdiagnosa saat datang ke Departemen Otorhinolaryngology-Head

and Neck Surgey. Empat pasien merupakan rujukan dari praktek dokter gigi (14,8%).

Diagnosis sinusitis odontogenik didasarkan pada pemeriksaan gigi dan kesehatan secara

menyeluruh. Pemeriksaan ini mencakup evaluasi dari gejala-gejala pasien (menurut kriteria

dari American Academy of Otolaryngology-Headand Neck Surgery (AAO-HNS), diagnosis

rinosinusitis memerlukan setidaknya 2 faktor utama atau setidaknya 1 faktor mayor dan 2

faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis), sejarah masa lalu kesehatan gigi, dan

temuan radiologi, termasuk CT scan sinus paranasal. Selain itu, konsultasi dengan departemen

kedokteran gigi mendukung peneliti dalam membuat diagnosis sinusitis odontogenik.

2.4 Hasil

Pada penelitian ini, perbandingan rasio laki-laki dan perempuan adalah 15:12, dengan

insiden yang lebih tinggi pada pria. Distribusi usia yaitu 4-75 tahun, dengan usia rata-rata 42,9

tahun. Kejadian tertinggi terjadi pada dekade keempat. Semua pasien tidak memiliki sejarah

sinusitis sebelumnya. Periode follow-up berlangsung antara 2 bulan dan 6 bulan, dengan rata-

rata 4,5 bulan.

Dalam studi ini, kasus sinusitis odontogenik berjumlah 5,2% dari keseluruhan kasus

sinusitis maksilaris. Implan gigi yang megalami komplikasi merupakan penyebab paling

umum, yaitu 10 (37%) dari 27 pasien (Gambar 1A). Komplikasi yang terkait dengan ekstraksi

gigi merupakan penyebab kedua yang paling umum, yaitu 8 (29,6%) dari 27 pasien. Kista

dentigenous diderita oleh 3 pasien (11,1%). Kista radikuler, karies gigi, dan gigi tambahan

Page 4: Translate Jurnal

4

merupakan penyebab lain yang masing-masing ditemukan sebanyak 2 (7,4%) dari 27 pasien

(Gambar 2).

Interval waktu dari kunjungan pertama ke klinik rawat jalan untuk melakukan suatu

prosedur gigi dengan munculnya gejala adalah 1 bulan pada 11 kasus (40,8%), 1 sampai 3

bulan pada 5 kasus (18,5%), 3 bulan sampai 1 tahun pada 8 kasus (29,6%), dan lebih dari satu

tahun pada 3 kasus (11,1%).

Sebanyak 23 dari total 27 pasien telah terdiagnosa secara langsung setelah datang ke

otorhinolaryngology tanpa mendapatkan pengobatan gigi. Hanya 4 pasien yang terdiagnosis

sinusitis odontogenik setelah melalui konsultasi perawatan gigi. Sebanyak 25 dari 27 pasien

tidak pernah melakukan konsultasi praoperasi antara rhinologist dan dokter gigi sebelum

melakukan prosedur gigi.

Gejala sinusitis odontogenik yang paling umum adalah rhinorrhea purulen unilateral.

Rhinorrhea ini ditemukan pada 18 pasien (66,7%). Gejala ini diikuti dengan nyeri pipi pada 9

pasien (33,3%), bau yang menyengat pada 7 pasien (25,9%), hidung tersumbat unilateral pada

5 pasien (18,5%), postnasal drip pada 4 pasien (14,8%), dan pembengkakan dan discharge

gingiva atas pada 4 pasien (14,8%). Tidak ada pasien yang mengeluh memiliki gejala demam.

Satu pasien (3,7%) tanpa gejala terdiagnosis secara kebetulan melalui pemeriksaan radiografi

(Tabel 1). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis odontogenik dengan

sinusitis jenis lain. Namun, hampir semua pasien dengan sinusitis odontogenik memiliki

gejala yang bersifat unilateral.

Page 5: Translate Jurnal

5

Pemeriksaan CT sinus paranasal dilakukan pada semua kasus. Erosi tulang sinus

maksilaris terdapat pada 12 kasus (44,4%). Fistula oroantral terdapat pada 7 kasus (25,9%)

(Gambar 1B). Distribusi sinus paranasal yang menunjukkan kepadatan jaringan lunak adalah

sebagai berikut: sinus maksilaris pada 19 kasus (70,4%), sinus maksilaris dan ethmoid pada 5

kasus (18,5%), sinus maksilaris, ethmoid, dan frontal pada 2 kasus (7,4%), serta sinus

maksilaris, ethmoid, dan sphenoid pada 1 kasus (3,7%). Tidak ada kasus dimana semua sinus

paranasal menunjukkan kepadatan jaringan lunak.

Distribusi yang menunjukkan keterlibat gigi pada rahang atas adalah sebagai berikut:

molar ke-2 pada 11 kasus (40,8%), molar ke-1 pada 9 kasus (33,3%), premolar 2 dan molar 1

pada 3 kasus (11,1%), molar ke-1 dan molar ke-2 pada 2 kasus (7,4%), premolar ke-2 pada 1

kasus (3,7%), dan molar ke-3 dalam 1 kasus (3,7%) (Tabel 2).

Pada 14 dari total 27 pasien, didapatkan kultur bakteri intraoperatif. Organisme aerobik

saja pada 3 kasus (21,4%), bakteri anaerob saja pada 1 kasus (7,1%), dan campuran antara

bakteri aerobik dan anaerobic pada 3 kasus (21,4%). Bakteri aerobik yang dominan adalah S.

aureus. Bakteri anaerob yang dominan adalah basil gram-negatif dan Peptostreptococcus spp.

Tidak ada korelasi yang ditemukan antara faktor predisposisi odontogenik dan temuan

mikrobiologi. Modalitas terapi meliputi pembedahan transnasal endoscopic sinus pada 19

Page 6: Translate Jurnal

6

kasus (70,4%), dan operasi Caldwell Luc pada 2 kasus (7,4%), manajemen gigi meliputi

ekstraksi gigi dan pengangkatan implan gigi pada 2 kasus (7,4%), dan hanya pemberian

antibiotik pada 4 kasus (14,8%) (Tabel 3). Tidak ada kejadian rekurensi yang diamati selama

periode follow-up pada semua pasien. Enam pasien yang menolak dilakukan tindakan bedah

hanya diterapi dengan antibiotik. Antibiotik (cefditoren pivoxil 300 mg/hari atau amoksisilin-

sam klavulanat 1.875 mg/hari) digunakan secara rutin selama 3 minggu setelah operasi.

Periode follow-up dilakukan antara 2 bulan dan 6 bulan, dengan rata-rata 4,5 bulan.

2.4.1 Komplikasi yang terkait dengan implan gigi

Terdapat 10 kasus dengan implan gigi yang mengalami komplikasi. Kasus tersebut

meliputi 6 laki-laki dan 4 perempuan dengan rata-rata usia 52,3 tahun (rentang: 35-62 tahun).

Rentang waktu dari prosedur implan gigi sampai kunjungan pertama pasien ke klinik rawat

jalan dengan gejala adalah 1 bulan pada 6 kasus (60%), 1 sampai 3 bulan pada 2 kasus (20%),

3 bulan sampai 1 tahun pada 1 kasus (10%), dan lebih dari satu tahun pada 1 kasus (10%).

Terdapat 7 pasien yang menderita rhinorrhea purulen unilateral. Terdapat nyeri pipi dan

bau menyengat pada 4 kasus (Tabel 1). Yang paling banyak terlibat adalah gigi molar ke-2

pada rahang atas (4 kasus) (Tabel 2). Modalitas terapi meliputi pembedahan transnasal

endoscopic sinus pada 9 kasus dan manajemen gigi, meliputi ekstraksi gigi dan pembuangan

implan gigi pada 1 kasus (Tabel 3).

2.4.2 Komplikasi yang terkait dengan ekstraksi gigi

Terdapat 8 kasus komplikasi yang terkait dengan ekstraksi gigi. Kasus ini meliputi 4

laki-laki dan 4 perempuan dengan rata-rata usia 39,3 tahun (rentang: 22-61 tahun). Terdapat 5

pasien yang menderita rhinorrhea purulen unilateral. Terdapat nyeri pipi dan bau yang

menyengat pada 3 kasus (Tabel 1). Yang paling sering terlibat adalah gigi molar ke-2 rahang

Page 7: Translate Jurnal

7

atas (4 kasus) (Tabel 2). Modalitas terapi meliputi pembedahan transnasal endoscopic sinus

pada 7 kasus dan pengobatan antibiotik pada 1 kasus (Tabel 3).

2.5 Diskusi

Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa insiden lebih tinggi pada wanita, tetapi

dalam penelitian ini rasio perbandingan antara laki-laki untuk perempuan adalah 1,25 : 1.

Tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian antar jenis kelamin. Kaneko melaporkan

bahwa usia muda (dekade ketiga dan keempat) tampaknya lebih rentan. Pada penelitian ini,

rata-rata usia pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi pada dekade keempat.

Insiden sinusitis odontogenik yang terkait dengan infeksi sangat rendah meskipun

frekuensi infeksi gigi tinggi. Namun, kejadian ini secara bertahap meningkat. Pada penelitian

ini, penyebab paling umum (10 kasus) adalah implan gigi yang berkomplikasi.

Pada penelitian ini, 18 (66,7%) dari 27 pasien mengeluh mengalami rhinorrhea purulen

unilateral sebagai gejala utama. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis

odontogenik dengan sinusitis jenis lain. Pada penelitian ini, peneliti tidak bisa mendiagnosa

sinusitis odontogenik hanya berdasarkan pada gejala yang muncul saja. Namun, hampir

semua pasien dengan sinusitis odontogenik memiliki gejala unilateral. Kemungkinan sinusitis

odontogenik harus selalu dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala unilateral.

Penegakan diagnosa meliputi riwayat perawatan gigi, pemeriksaan radiologi, serta

pemeriksaan gigi.

Akar gigi molar ke-2 adalah bagian yang paling dekat dengan dasar sinus maksilaris,

diikuti oleh akar molar ke-1, premolar ke-2, dan premolar ke-1. Jarak yang pendek

menjelaskan mudahnya perluasan proses infeksi dari gigi ini ke sinus maksilaris. Pada kasus

dalam penelitian ini, molar ke-2 (40,8%) rahang atas adalah sumber infeksi yang paling

umum. Diagnosis sinusitis odontogenik didasarkan pada pemeriksaan yang meliputi evaluasi

gejala saat ini dan riwayat medis yang berhubungan dengan temuan fisik. Radiologi

merupakan alat penting untuk menegakkan diagnosis. CT merupakan alat yang sangat baik

untuk mendiagnosis sinusitis odontogenik. CT dapat menunjukkan sumber odontogenik ke

dasar sinus maxilaris yang mengalami kerusakan dan jaringan yang sakit. Pemeriksaan

tersebut juga dapat menentukan lokasi yang tepat dari benda asing pada sinus maxilaris.

Manajemen yang menyeluruh dari gigi penyebab dan sinusitis yang terkait akan

memberikan penyelesaian infeksi yang lengkap serta dapat mencegah kekambuhan dan

Page 8: Translate Jurnal

8

komplikasi. Kombinasi antara pendekatan medis dan bedah umumnya diperlukan untuk

pengobatan sinusitis odontogenik. Sumber infeksi harus dihilangkan untuk mencegah

kekambuhan. Pembuangan akar gigi dari sinus, atau perlakuan terhadap gigi yang terinfeksi

dengan ekstraksi atau terapi saluran akar, diperlukan untuk menghilangkan sumber infeksi.

Pada infeksi gigi biasanya terdiri dari campuran polimikrobial aerob dan anaerob. Antibiotik

oral efektif terhadap flora oral dan patogen sinus untuk 21 sampai 28 hari. Baru-baru ini,

pembedahan transnasal endiscopic sinus dianjurkan untuk pengobatan sinusitis odontogenik.

Pada penelitian ini, 70,4% pasien menjalani operasi transnasal endiscopic sinus, serta 7,4%

pasien dikelola dengan operasi Caldwell-Luc. Dalam hal ini, indikasi operasi Caldwell-Luc

adalah untuk membuang kista radikuler besar dan gigi tambahan yang terletak di lateral sinus

yang tidak dapat dilakukan dengan endoskopik. Enam pasien yang menolak pengobatan

bedah diobati hanya dengan antibiotik. Tidak ada kekambuhan selama periode follow-up pada

pasien ini.

Penyebab paling umum dari sinusitis odontogenik pada penelitian ini adalah komplikasi

terkait implan gigi. Sekarang diketahui bahwa kejadian sinusitis yang berhubungan dengan

implan gigi sangat rendah meskipun frekuensi dari implan gigi tinggi. Namun, kejadian ini

meningkat secara bertahap. Efek samping yang paling sering adalah infeksi jaringan lokal di

sekitar implan gigi. Hal ini mungkin terkait dengan resorpsi tulang sekitarnya. Implan gigi

yang ditempatkan sangat dekat dengan sinus maksilaris mungkin memudahkan penjalaran

infeksi dari rongga mulut ke sinus. Perpindahan dari gigi implan ke dalam sinus maksilaris

mungkin menjadi penyebab lain sinusitis maksila. Hal tersebut bereaksi sebagai benda asing

dan menghasilkan infeksi kronis. Implan yang terkait dengan sinusitis odontogenik memiliki

insiden lebih tinggi pada pasien yang memiliki faktor predisposisi, seperti dasar sinus

maksilaris yang tipis. Peneliti menganjurkan evaluasi praoperasi untuk pasien sinusitis yang

menderita gejala sebelumnya atau yang memiliki faktor predisposisi mengenai masalah

drainase dari sinus paranasal melalui observasi intranasal dan pemeriksaan radiologi. Hal

tersebut dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko perkembangan

sinusitis odontogenik.

Sebagai kesimpulan, tidak ada perbedaan yang signifikan insiden antara pria dan

wanita. Usia rata-rata dari pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi pada dekade keempat.

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis odontogenik dengan jenis sinusitis

lain. Namun, sebagian besar pasien dengan sinusitis odontogenik memiliki gejala unilateral.

Kemungkinan sinusitis odontogenik harus selalu dipertimbangkan ketika pasien memiliki

Page 9: Translate Jurnal

9

gejala hidung unilateral. Konsultasi antara rhinologist dan dokter gigi sebelum dilakukan

prosedur gigi berguna untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki faktor risiko sinusitis

odontogenik harus mampu untuk mencegah perkembangan sinusitis odontogenik, karena

penyebab paling umum dari sinusitis odontogenik adalah iatrogenik.

Page 10: Translate Jurnal

10

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi dan Etiologi Sinusitis Maksilaris Odontogen

Sinusitis merupakan inflamasi mukosa pada sinus paranasal. Umumnya disertai atau

dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Sinus maksila terletak dekat dengan

akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.

Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.1

Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi pada rahang atas, yaitu

premolar (P1 dan P2) dan molar (M1 dan M2) dan kadang-kadang juga gigi taring (C) dan

gigi molar M3. bahkan akar-akar gigi tersebut kadang-kadang menonjol ke dalam sinus,

sehingga infeksi dari gigi mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. 5

Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase tergantung

dari gerak silia. Proses drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit, infundibulum

adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah

ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 6

Gambar 3. Anatomi sinus Gambar 4. Anatomi Gigi

Infeksi odontogenik umumnya bermula dari infeksi periapikal gigi non vital, hanya

sebagian kecil saja yang berasal dari infeksi jaringan periodontal, atau akibat infeksi sekunder

pada tulang. Infeksi odontogenik dapat berlokasi hanya sekitar apeks gigi, atau menyebar ke

tulang sekitarnya, atau bahkan menembus korteks dan selanjutnya menyebar ke jaringan

lunak sekitarnya, atau pada kasus yang gawat, proses infeksi dapat sampai ke daerah yang

jauh letaknya dari infeksi primer.5

Page 11: Translate Jurnal

11

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan penyebaran infeksi odontogenik:5

Jenis dan virulensi kuman penyebab. Beberapa jenis kuman cenderung menetap pada fokus

infeksi primer, sedangkan jenis lainnya cenderung menyebar secara cepat ke jaringan

sekitarnya.

Daya tahan penderita. Penderita dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol, dan

penderita dengan sistem imunitas rendah, maka penyebaran infeksi akan terjadi lebih cepat

dan ekstensif.

Faktor anatomi juga sangat mempengaruhi penyebaran dan perluasan infeksi.

Infeksi gigi yang memegang peranan penting sebagai fokus infeksi adalah infeksi-

infeksi yang kronis yang biasanya berupa:2

A. Pulpitis Kronis

Pulpitis Kronis merupakan peradangan pulpa yang bersifat kronis akibat invasi kuman

atau toksinnya melalui karies gigi atau kerusakan gigi lainnya.

B. Penyakit Periapikal kronik

Periapikal adalah daerah lokal di sekitar apek akar gigi. Penyakit periapikal ini dapat

merupakan lanjutan dari pulpitis maupun periodontitis. Penyakit periapikal antara lain

meliputi granuloma periapikal, kista periapikal dan abses periapikal.

C. Penyakit periodontal kronik

Periodontitis kronik dapat dimulai dengan suatu gingivitis marginalis. Infeksi secara

kronik berjalan ke arah apikal disertai kerusakan membran periodontal dan resorbsi

procesus alveolaris yang menyebabkan terbentuknya saku periodontal, dimana eksudat

dan pus terkumpul dalam saku tersebut.

3.2 Manifestasi Klinis

3.2.1 Sinusitis odontogenik akut

Gejala klinis sinusitis odontogenik akut terjadi dalam beberapa hari dan menunjukkan

gejala umum suatu radang akut. Gejala klasik lokal adalah rasa penuh dibawah mata pada sisi

yang terlibat pada gerakan kepala, ingus yang keluar baunya mirip pus, rasa tidak enak di

mulut dan penyumbatan sisi dari lubang hidung. Disamping itu sinusitis didahului oleh sakit

gigi yang singkat dan jelas, dan dapat dirasakan sakit tumpul dan menjalar ke rahang atas dan

keluhan sakit saraf dari seluruh bagian wajah. Jarang sekali bengkak pipi dan pelupuk mata

bawah, kedua-duanya termasuk gejala periotitis yang berasal dari gigi penyebab.5

Page 12: Translate Jurnal

12

3.2.2 Sinusitis odontogenik subakut dan kronis

Pada sinusitis subakut dan kronis sering tidak terdapat gejala radang yang jelas. Dalam

menentukan diagnosa harus dipertimbangkan dulu apakah benar-benar terdapat sinusitis dan

apakah berasal dari odontogenik. Hampir semua penderita mengeluhkan perasaan sakit yang

sedang sampai berat pada separuh bagian wajah, dan perasaan penuh dibawah mata pada saat

membungkuk atau telah lama mempunyai keluhan sakit kepala. Kadang terdapat obstruksi

nasal yang memberikan perasaan pilek yang sulit sembuh dengan pengobatan. Pada

kebanyakan penderita terdapat aliran pus yang berbau busuk dan juga merasakan perasaan

tidak enak pada mulut, yang disebabkan pus dari nasofarings. Terdapat riwayar pernah

menderita sakit gigi pada gigi penyebabnya, terkadang diikuti dengan bengkak pada wajah.

Pada pemeriksaan intra oral, gigi dapat terasa sakit ringan pada perkusi.5

3.3 Penegakan Diagnosa

Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,

pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.

Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior.

Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology & American

Rhinologic Society adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Kriteria Diagnosis

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada

pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius. Pemeriksaan pembantu yang penting

adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA atau lateral, umumnya hanya

mampu menilai kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas

Page 13: Translate Jurnal

13

udara-cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standart diagnosis

sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan

sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya dikerjakan sbagai

penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi

sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret dari meatus

medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil dari

pungsi sinus maksila.7

3.4 Penatalaksanaan Sinusitis Maksilaris

Tujuan terapi ialah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan

mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan sehingga

drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Bila sudah kronis, cara terbaik adalah

dengan melakukan operasi. Pengobatan medikamentosa (terapi konservatif) ditujukan untuk

menurunkan faktor predisposisi, mengobati serangan infeksi berulang, mengurangi edem

jaringan sinus, serta memfasilitasi drainase sekresi sinus.

3.4.1 Terapi Konservatif

Terapi ini diberikan pada sinusitis maksila kronis dengan perubahan mukosa yang

reversible. Prinsip pengobatan ini adalah untuk memberantas infeksi, memfasilitasi drainase

dan memperbaiki fungsi silia. Harapan dari terapi konservatif ini adalah terjadinya regenerasi

dari mukosa sehingga fungsi silia menjadi baik dan drainase serta aerasi menjadi normal.8

Secara praktis terapi konservatif sinusitis maksila kronis meliputi:9

1. Pemakaian Antibiotika

1. Pemakaian antibiotika sebaiknya didahului dengan pemeriksaan bakteri, kultur dan tes

sensitivitas. Antibiotika diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.

Antibiotik yang digunakan adalah antibiotic spektrum luas, seperti: amoxicillin,

ampicillin, atau eritromisin. Alternatif lain berupa amoxicillin/klavulanat, sefaklor,

sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamid.

2. Pemberian nasal dekongestan

2. Nasal dekongestan digunakan untuk mencegah/ mengatasi edem mukosa sehingga ostium

akan terbuka dan drainase sinus menjadi lancar. Dekongestan yang dapat diberikan antara

Page 14: Translate Jurnal

14

lain: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin (neosynephrine) atau oksimetazolin dapat

diberikan selama beberapahari pertama infeksi namun kemudian harus dihentikan.

3. Pemberian Antihistamin

Antihistamin pada penderita sinusitis maksila kronik karena alergi diberikan dalam

jumlah besar untuk menghilangkan gejala-gejala alergi, kecuali bila terjadi efek samping

dosisnya dikurangi.

4. Pemberian steroid

Pemberian steroid dimaksudkan sebagai anti udem mukosa, sehingga ostium terbuka dan

selanjutnya memperbaiki drainase. Steroid hendaknya diberikan bersama antibiotika dan

jangan pada penderita anak-anak untuk jangka waktu lama.

5. Pemberian analgesik

Analgesik bersifat simptomatis, untuk mengurangi rasa nyeri, seperti aspirin dan

asetaminofen.

6. Irigasi Antrum

Irigasi antrum merupakan prosedur bedah paling sederhana yang dianjurkan bagi kasus

sinusitis maksila kronis yang telah mendapat terapi medikasi tetapi tidak sembuh/

mengalami kegagalan.

3.4.2 Terapi Radikal

Yang dimaksud terapi radikal di sini adalah operasi Caldwell-Luc. Indikasi terapi

radikal pada sinusitis maksila kronis adalah :

1. Jelas terlihat perubahan mukosa yang ireversibel

2. Perubahan mukosa menunjukkan reversibilitas, tapi dengan terapi konservatif tidak

membawa hasil, atau terapi berhasil tetapi kambuh lagi.

3. Penyebabnya odontogen

Operasi ini Caldwell-Luc dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih

dari 2 cm diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 sampai molar 1. Sayatan dilanjutkan

sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke atas.

Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut mukosa yang

inversibel dibersihkan.

Page 15: Translate Jurnal

15

3.4.3 Terapi Obliteratif

Operasi obliterasi, yaitu menghilangkan bangunan sinus sama sekali, merupakan

alternatif terakhir bila terapi radikal gagal atau mengalami rekurensi. Di sini setelah mukosa

sinus diangkat sempurna, ruang sinus ditimbun dengan lemak yang diambil dari dinding

ventral abdomen.

3.4.4 Terapi Odontogen

Sinusitis maksilaris yang dicurigai disebabkan oleh infeksi gigi, sebaiknya disarankan

untuk mengatasi kerusakan gigi terlebih dahulu. Infeksi pada gigi yang tidak segera ditangani

bisa menyebabkan abses dengan penimbunan nanah karena infeksi bakteri. Abses pada rahang

atas inilah yang bila tidak segera ditangani bisa mengakibatkan sinusitis. Gigi dengan infeksi

saluran akar gigi atau dengan kantong-kantong periodontal harus diekstraksi, sebab kerusakan

tulang yang terjadi pada sinusitis odontogenik akan menyembuh kembali bila fokus infeksi

dihilangkan.10

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sedangkan sinusitis

maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari

gigi ke arah sinus maksilaris. Penyebab paling umum dari sinusitis odontogenik pada

Page 16: Translate Jurnal

16

penelitian ini adalah komplikasi terkait implan gigi. Pada kasus dalam penelitian ini, molar

ke-2 rahang atas adalah sumber infeksi sinusitik maksilaris odontogen yang paling umum.

Dari penelitian didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada

insiden antara pria dan wanita. Usia rata-rata dari pasien adalah 42,9 tahun. Insiden tertinggi

pada dekade keempat. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala sinusitis

odontogenik dengan jenis sinusitis lain. Namun, sebagian besar pasien dengan sinusitis

odontogenik memiliki gejala unilateral. Kemungkinan sinusitis odontogenik harus selalu

dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala hidung unilateral. Konsultasi antara

rhinologist dan dokter gigi sebelum dilakukan prosedur gigi berguna untuk mengidentifikasi

pasien yang memiliki faktor risiko sinusitis odontogenik harus mampu untuk mencegah

perkembangan sinusitis odontogenik, karena penyebab paling umum dari sinusitis

odontogenik adalah iatrogenik.

Manajemen yang menyeluruh dari gigi penyebab dan sinusitis yang terkait akan

memberikan penyelesaian infeksi yang lengkap serta dapat mencegah kekambuhan dan

komplikasi.

4.2 Saran

1. Disarankan untuk melakukan konsultasi dengan dokter gigi dan dokter ahli sebelum

melakukan sutu prosedur pada gigi untuk menghindari komplikasi.

2. Individu yang memiliki kelainan pada giginya seperti karies gigi atau infeksi gigi harus

segera melakukan tindakan perawatan gigi supaya tidak terjadi penyebaran infeksi.

3. Disarankan untuk mengunjungi dokter gigi secara rutin setiap 6 bulan sekali.

Page 17: Translate Jurnal

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS

Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,

1997.

2. Daud ME. Infeksi Fokal Gigi dan Kemungkinan Terjadinya Infeksi Sekunder dalam :

Simposium Gigi Sebagai Fokus Infeksi. FK UNDIP Semarang. 16 : 83.

3. Lopatin AS, Sysolyatin SP, Sysolyatin PG, Melnikov MN. Chronic maxillary sinusitis

of dental origin; is external surgical approach mandatory? Laringoscope 2002;

112:1056-9

4. Mehra P, Murad H. maxillary sinus disease of odontogenic origin. Otolaryngol Clin

North Am 2004;37:347-64

5. Hadimartana L. Pengaruh Infeksi Odontogen Pada Sinus Maksilaris. 2009. Available

at : http://www.geocities.com/rangkinariwebsite/pengaruh_infeksi.html

6. Foster TD. Buku Ajar Ortodonsi. Penerbit Buku Kedokteran EGC 1999 : 10 : 2.

7. Merry AJ. 2001. The Maxillary Antrum. In: Oral Maxillofacial Surgery. An Objective-

Based Textbook. Churchill Livingstone. Edinburg; 211-23.

8. Bellenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14 th. Philadelphia : Lea

and Febiger Co. 1991. 184-6

9. Mangunkusumo, et al. Sinus Paranasal dalam Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher Edisi 5. Balai Penerbit FK UI Jakarta. 2007 : 149 : 52

10. Rahardja A. Sinusitis Maksilaris Odontogen dalam Kumpulan Karya Ilmiah. FK

UNDIP, Semarang 1997