tinjauan yuridis pertimbangan hakim kasasi dalam …/tinjauan... · aspek, yaitu aspek teori,...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

i
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM KASASI
DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA
PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN
DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH
KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406 K/Pid/2005)
Penulisan Hukum (Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : HANURING AYU ARDHANI
E1106130
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM KASASI DALAM
MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN
TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG
DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406
K/Pid/2005)
Oleh : HANURING AYU ARDHANI
E1106130
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, , 2010
Dosen Pembimbing,
Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 195706291985031002

iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi )
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM KASASI DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406 K/Pid/2005)
Oleh :
HANURING AYU ARDHANI E1106130
Telah diterima dan dipertahankan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Pada :
Hari : Selasa Tanggal : 13 juli 2010
DEWAN PENGUJI
(1) Kristiyadi, S.H.,M.H ( ) Nip: 195812251986011001
Ketua
(2)Bambang Santoso, S.H.,M.Hum ( ) Nip: 196202091989031001 Sekretaris
(3)Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ) NIP. 195706291985031002 Anggota
Mengetahui :
Dekan
(Moh. Jamin, S.H., M.Hum.) Nip : 196109301986011001

iv
PERNYATAAN
Nama : Hanuring Ayu Ardhani Putri
Nim : E1106130
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM KASASI DALAM
MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN TENTANG
LEGALITAS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN
OLEH KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406 K/Pid/2005) adalah betul
betul karya sendiri. Hal hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi ) ini.
Surakarta, Juli 2010
Yang membuat pernyataan
Hanuring Ayu Ardhani Putri
NIM E1106130

v
ABSTRAK Hanuring Ayu Ardhani Putri E1106130. TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM KASASI DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406 K/Pid/2005) Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang dasar pengujian terhadap syarat formil dan syarat materiil untuk mengetahui keabsahan tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik dalam praperadilan dan mengetahui implikasi jika hasil pengujian tidak menunjukan terpenuhinya syarat formil dan syarat materil dalam praperadilan
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Setelah data diperoleh lalu dilakukan analisa data yaitu menggunakan teknik analisa data dengan metode kualitatif, artinya dalam penulisan ini tidak menggunakan rumus statistik dan angka-angka.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa peran lembaga Praperadilan sangat bermanfaat dalam penegakan hukum. Praperadilan merupakan lembaga yang memberi wewenang kepada Pengadilan Negeri dalam memeriksa sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam perkara Praperadilan yang diputus oleh Pengadilan Negeri mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Dasar pengujian terhadap syarat formil dan syarat materiil tindakan penangkapan oleh penyidik dalam praperadilan adalah pasal 16 , pasal 17, pasal 18, pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pertimbangan Hakim Kasasi dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Pra Peradilan tentang Legalitas Penangkapan dan Penahanan yang Dilakukan oleh Kepolisian dalam Putusan No. 406 K/Pid/2005 adalah bahwa berdasarkan Pasal 45 A ayat (1) jo ayat (2) a Undang Undang No.5 tahun 2004 putusan Praperadilan tidak dapat dikasasi, maka permohonan kasasi formil tidak dapat diterima. Dengan putusan tersebut nampak bahwa Hakim MA dalam kontsruksi berpikirnya menggunakan metode deduksi, yaitu konsep berpikir dari yang umum ke khusus.
Keyword : Praperadilan ; Penangkapan ; Penahanan

vi
ABSTRACT
Hanuring Ayu Archani Putri E1106130. A JURIDICAL REVIEW ON THE FORMAL AND MATERIAL ELIGIBILITY TESTING TO FIND OUT THE VALIDITY OF ARRESTMENT OR DETAINMENT ACTION BY THE INVESTIGATORS IN PRETRIAL. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret Univrsity, 2010.
This research aims to find out the rationale of formal and material eligibility testing for finding out the validity of arrestment or detainment action by the investigator during the pretrial and to find out the implication if the result of test does not indicate the formal and material requirement fulfillment in the pretrial.
The study belongs to a normative or doctrinal law research, that is, the one studying the written law from various aspects of theoretical, historical, philosophical, comparative, structural and composition, scope and material, consistency, general description and article by article, formality and law’s binding power, as well as the legal language it uses, but it does not study the application or implementation aspect. The data obtained was then analyzed using qualitative method, meaning that this writing did not use statistical formulas and numbers.
Considering the result of research it can be seen that the role of Pretrial
institution is very useful in the law enforcement. Pretrial is the institution giving the first instance court the authority to examine the validity of arrestment, seizing, investigation discontinuing, and indictment discontinuing, arrestment and seizing done by the investigator. In the pretrial case decided by The First Instance Court about the validity of investigation and indictment discontinuing.
The rationale of formal and material requirements examination of
arrestment action by the investigator in the pretrial includes articles 16, 17, 18, and 19 of Penal Code.
The rationale of formal and material requirements examination of
detainment action by the investigator in the pretrial includes articles 20, 21, 22, 23, and 24 of Penal Code.
Someone arrested, detained, indicted or trialed without statutory rationale
or because of the fault in the person or law he/she applies, has the right to propose the compensation and rehabilitation. Keywords: Pretrial; Arrestment; Detainment

vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam
atas segala Penciptaan-Nya, Keagungan dan Kebesaran-Nya. Shalawat serta
salam bagi sang teladan Nabi Muhammad SAW. Atas rahmat dan pertolongan-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM KASASI DALAM
MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN TENTANG
LEGALITAS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN
OLEH KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406 K/Pid/2005)
Seiring dengan telah selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala
kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya, baik moril maupun
materiil, dalam penulisan hukum ini :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto , S.H.,M.H, selaku ketua bagian hukum acara
sekaligus selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Djuwityastuti, S.H, selaku Pembimbing Akademik
4. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta, yang telah banyak menyalurkan ilmu dan
pengetahuannya kepada penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum.
5. Bapak ibu dan adik tercinta,yang telah memberikan segalanya kepada
penulis. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, dukungan, dan
semangat

viii
6. Mas Zen, mas Damar, mas Peners, mas Aris, yang selalu membantu
penulis jika penulis dalam kesulitan dan yang selalu memberi semangat
dan dukungan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini
7. Teman teman seperjuangan KMM angkatan 8 tahun 2010 ; dewi, nasrul,
ucup, tias, juni, wahyu, yanuar, erika, rusi. ;
8. Sahabat-sahabatku Dewi ndut, adi komo, ira, bapak api, mbak indri, yoga
stoom, nindya, reynaldi yang selalu menemaniku dan memberikan
semangat dan dukungan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, makasih
buat persaudaraan dan persahabatan selama beberapa tahun ini, moga
persaudaraan ini tidak akan lapuk dimakan usia dan waktu.
9. personil vpro ; kalian adalah inspirasiku,terima kasih sudah mengajari
aku hidup dengan semangat dan keringat.
10. blankon organizer : we are maker even in solo
11. Keluarga Besar angkatan ’06 Nonreg yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang telah memberi warna baru dalam hidup ku
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuannya bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam
penyelesaian penulisan hukum ini. Terimakasih.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga tidak
menjadi suatu karya yang sia-sia.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta, juli 2010
Penulis

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 6
E. Metode Penelitian ................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................... 11
1. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan ............................ 11
2. Tinjauan Umum Tentang penahanan .............................. 12
3. Tinjuan Umum upaya hukum kasasi ................................. 14
4. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan ............................. 17
B. Kerangka Pemikiran ............................................................... 20
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. tinjauan yuridis pertimbangan hakim kasasi dalam memeriksa
dan memutus perkara pra peradilan tentang legalitas penangkapan
dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian (studi putusan no.
406 k/pid/2005) 22
1.Kasus posisi .22

x
2. Identitas Pemohon 22
3. Identitas Temohon 22
4. Isi Permohonan Pra Peradilan 22
5. Jawaban Termohon Pra Peradilan I 23
6. Isi Permohonan Termohon I 25
7. Amar Putusan Pengadilan Negeri 25
8. Alasan-Alasan Pengajuan Kasasi 25
9. Pertimbangan Hakim Kasasi 33
10. Amar Putusan Kasasi 33
11. Pembahasan 33
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 42
B. Saran ....................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ...................................................... 20

1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya diciptakan dengan memiliki martabat dan
kedudukan yang sama. Sejak lahir , makhluk Tuhan yang paling sempurna ini
telah dianugerahi seperangkat hak–hak dasar dalam kehidupannya. Hak–hak
yang asasi tersebut dimiliki tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, antar
golongan, kebangsaan, usia, maupun jenis kelamin. “Piagam PBB mengenai
Deklarasi Hak–hak Asasi Manusia memberikan pengakuan secara menyeluruh
terhadap hak–hak dasar manusia.” Bahwa hak-hak dasar merupakan bagian
esensial dalam kehidupan setiap manusia. Maka setiap orang memiliki
kebebasan bergerak tanpa pembatasan apapun dari orang lain. “Pembatasan
kebebasan bergerak seseorang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh Negara.”.
Penegakan hukum pidana pada dasarnya adalah memberlakukan /
menerapkan norma hukum pidana (hukum pidana materiil) menurut cara-cara
yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (hukum pidana
formil) pada suatu kejadian atau peristiwa nyata yang telah diperbuat oleh
orang atau orang-orang yang memenuhi syarat sebagai suatu tindak pidana.
Jadi harus ada tiga komponen atau aspek yang merupakan syarat esensial dari
penegakan hukum pidana sebagai berikut :
1. Adanya ketentuan (dalam peraturan perundang-undangan) yang mengatur
(maksudnya melarang) membuat suatu kejadian (hukum pidana materiil)
2. Adanya peristiwa / kejadian, konkret yang diperbuat oleh orang yang
menurut ketentuan mengandung muatan syarat-syarat sebagai tindak
menurut ketentuan UU.
3. Adanya aturan yang mengatur mengenai cara memberlakukan /
menerapkan larangan tersebut kepada orang atau si pembuat kejadian tadi.

2
Dilihat dari segi pihak yang menerapkan hukum pidana yakni negara
dan pihak pembuat kejadian, maka di dalam aturan mengenai cara menerapkan
aturan mengenai larangan tersebut terdapat dua aspek yakni (1) aspek apa yang
harus dan boleh dilakukan negara dan (2) aspek apa yang harus dan boleh
dilakukan oleh pembuat kejadian.
Dalam menjalankan tugasnya, aparat penegak hukum tidak terlepas dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
perundang–undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin
perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam
proses peradilan pidana adalah melalui lembaga praperadilan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Praperadilan merupakan lembaga yang lahir dari pemikiran untuk
mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar
dalam melaksanankan kewenanganya tidak menyalahgunakan wewenang,
karena tidaklah cukup suatu pengawasan intern dalam instansi perangkat
aparat hukum itu sendiri, namun juga dibutuhkan pengawasan silang antara
sesama aparat penegak hukum. Didalam KUHAP disamping mengatur
ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan
kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang
dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka pada tingkat penyidikan.
Dihubungkan dengan kegiatan Penyidik yang implementasinya dapat
berupa, misalnya, penangkapan bahkan penahanan, maka hukum acara pidana
melalui ketentuan-ketentuan yang sifatnya memaksa menyingkirkan hak
kebebasan seseorang. Hukum acara pidana memberikan hak kepada pejabat
tertentu untuk menahan tersangka atau terdakwa dalam rangka melaksanakan
hukum pidana materiil guna mencapai ketertiban dalam masyarakat.
Dengan kata lain pembatasan kebebasan bergerak seseorang menjadi suatu
hal yang diperbolehkan oleh hukum dalam rangka proses peradilan pidana,
mengingat upaya Penyidik, seperti penangkapan dan penahanan, menjadi
salah satu sarana dalam melakukan pemeriksaan perkara pidana. Selain itu,
berdasarkan hukum acara juga diatur mengenai pembatasan terhadap hak

3
milik seseorang. Hal ini dilakukan melalui ketentuan mengenai upaya
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.
Seseorang menguasai dan menggunakan benda yang merupakan miliknya
secara sah menurut hukum dalam rangka proses peradilan ternyata dapat
disimpangi dengan dilakukannya ketiga upaya tersebut. Namun demikian,
upaya tersebut harus mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan, sehingga seseorang yang disangka atau didakwa telah
melakukan tindak pidana mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh
mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan
upaya tersebut. Upaya Penyidik yang diatur dalam hukum acara pidana
Indonesia antara lain terdiri dari penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan surat. Penyidik dalam pelaksanaan tugasnya, baik
misalnya berupa penyidikan maupun penyelidikan, selalu ada kemungkinan
perenggutan hak hak asasi manusia.
Namun demikian, hakekat penegakan hukum adalah untuk melindungi
hak asasi manusia, sehingga sudah sepatutnya apabila perenggutan hak-hak
asasi manusia tersebut juga diupayakan agar tidak berlebihan dan dilakukan
secara proporsional sesuai tujuan awal dilaksanakanya penyidikan maupun
penyelidikan itu sendiri.
Hukum acara pidana merupakan bidang hukum yang paling banyak
menyangkut perlindungan hak asasi manusia dibandingkan dengan bidang
hukum lainnya, sebab dalam bidang hukum acara pidana lah diatur tentang
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penuntutan, peradilan
dan lain sebagainya. Diantara sekian banyak hal yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang paling menyentuh rasa
kemanusiaan masyarakat adalah masalah pelaksanaan penangkapan dan
penahanan terhadap seseorang. Dengan dilaksanakannya penangkapan dan
penahanan terhadap seseorang, maka orang tersebut akan menderita baik fisik
dan batin bahkan dapat memberikan dampak buruk bagi keluarga dan
lingkungannya.

4
Hal ini disebabkan karena penangkapan dan penahanan tersebut
mengurangi hak-hak asasi manusia seseorang. Tetapi pada kenyataannya,
tindakan-tindakan upaya paksa tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang diatur oleh undang-undang. Untuk itulah didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur tentang adanya lembaga
praperadilan untuk tersangka yang merasa haknya dilanggar karena dikenai
tindakan upaya paksa diberi kesempatan untuk melakukan permohonan
pemeriksaan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara,
memerlukan adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga
segala bentuk kejahatan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan
adanya hukum dapat menghindarkan pelanggaran yang dapat dilakukan oleh
masyarakat ataupun penegak hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya
kaidah-kaidah hukum yang dapat dipergunakan oleh negara Indonesia dalam
mengatur tatanan kehidupan dalam masyarakat.
Sebagai negara yang berdasarkan hukum membawa konsekuensi bahwa
setiap pelanggaran terhadap ketertiban umum harus ditindak menurut hukum
yang berlaku. Penindakan terhadap perbuatan yang melanggar ketertiban
umum dilakukan dalam bentuk penegakan hukum (law enforcement) oleh
aparat penegak hukum. Di dalam melaksanakan penegakan hukum, aparat
penegak hukum harus berpedoman hukum acara pidana yang berlaku, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, aparat penegak hukum oleh
KUHAP diberikan sejumlah kewenangan berupa tindakan upaya paksa. Salah
satu jenis wewenang upaya paksa yang dimiliki penegak hukum adalah
melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Penahanan
merupakan tindakan yang membatasi kebebasan bergerak seseorang. Untuk itu
KUHAP memberi rambu-rambu pengaturan agar tidak terjadi penyimpangan
dalam pelaksanaan penahanan oleh penegak hukum. KUHAP secara tegas
telah mengatur jangka waktu dan syarat-syarat penahanan. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut akan memberikan hak kepada tersangka/terdakwa

5
untuk mengajukan pemeriksaan pra peradilan kepada pejabat penegak hukum
yang secara yuridis bertanggung jawab atas penahanan.
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu ciri baru dalam hukum acara pidana, yang
diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum.
Praperadilan dalam KUHAP, diatur di dalam Bab X, Bagian kesatu, sebagai
salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi pengadilan negeri.
Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan
lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat
peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu
kasus peristiwa pidana. Eksistensi atau keberadaan dan kehadiran
praperadilan, bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menelitinya dan
menyusunnya dalam skripsi dengan judul ‘TINJAUAN YURIDIS
PERTIMBANGAN HAKIM KASASI DALAM MEMERIKSA DAN
MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS
PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH
KEPOLISIAN (STUDI PUTUSAN NO. 406 K/Pid/2005)
B. RUMUSAN MASALAH :
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah penulis membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan
dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah, dan mendapatkan hasil
seperti yang diharapkan.
Dalam penelitian ini perumusan masalah dapat dirumusakan sebagai
berikut: Bagaimanakah pertimbangan Hakim Kasasi dalam memeriksa dan
memutus perkara pra peradilan tentang legalitas penangkapan dan penahanan
yang dilakukan oleh Kepolisian dalam Putusan No. 406 K/Pid/2005.

6
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam suatu kegiatan penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu, dari
penelitian diharapkan dapat disajikan data yang akurat sehingga dapat
memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berpijak dari hal
tersebut maka penelitian mempunyai tujuan untuk menjawab masalah yang
telah dirumuskan secara tegas dalam rumusan masalah, agar dapat tercapai
tujuan dari penelitian. Begitu juga penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu :
Tujuan Objektif :
1. Untuk mengetahui dasar pengujian terhadap syarat formil dan syarat materiil
untuk mengetahui keabsahan tindakan penangkapan atau penahanan oleh
penyidik dalam praperadilan
2. Untuk mengetahui apa implikasi jika hasil pengujian tidak menunjukan
terpenuhinya syarat formil dan syarat materil dalam praperadilan
Tujuan subjektif :
1. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dalam penelitian hukum khususnya
dalam hukum acara pidana dengan harapan bermanfaat di kemudian hari serta
untuk meningkatkan kemampuan berfikir secara normatif penulis sebagai
landasan argumen yang kuat bagi praktisi hukum.
2. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu
hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan mempunyai nilai apabila penelitian tersebut
memberi manfaat bagi para pihak. Adapun manfaat yang diharapkan dengan
adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang pentingnya praperadilan
sebagai upaya kontrol bagi penyidik dalam perkara pidana.
b. Memberi masukan serta manfaat bagi ilmu penegetahuan di bidang hukum,
khususnya hukum pidana.

7
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai referensi bagi mahasiswa dan masyarakat, khususnya mengenai
praperadilan dalam hukum pidana.
b. Untuk memberikan jawaban melalui data-data yang diperoleh dan
disajikan atas permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Metode adalah salah satu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan dengan menggunakan alat – alat tertentu. Sedangkan
penelitian adalah salah satu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala, atau hipotese, usaha mana
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (sutrisno hadi , 1989 : 4)
Metode adalah pedoman cara ilmuwan mempelajari dan
memahami lingkungan – lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto ,
1986 : 6). Maka dalam penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu
penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan
metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian normative. Penelitian hukum normative adalah penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
yang terdiri dari bahan hokum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Bahan – bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji
kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji , 2001 : 13-14)

8
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap
dan sistematis terhadap objek yang diteliti
3. Jenis Data
Pengertian data secara umum yaitu semua informasi mengenai
variable atau objek yang diteliti. Lazimnya dalam penelitian dibedakan
antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari buku
pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat disebut data
primer dan data yang diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder
( Soerjono Soekanto , 1986 : 11). Data yang diperoleh dalam penelitian
ini adalah data dasar yang berupa data sekunder. Data sekunder
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas meliputi data atau informasi,
penelaahan dokumen, hasil penelitian sebelumnya dan bahan
kepustakaan seperti buku buku literature, koran, majalah, dan arsip yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer
bahan hukum primer adalah bahan hukum atau pustaka yang
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis
gunakan adalah Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana,
Putusan No. NO. 406 K/Pid/2005
b. Bahan hukum sekunder
bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
hukum primer seperti yang penulis gunakan adalah hasil penelitian
c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif
dan seterusnya.

9
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, tehnik pengumpulan datanya adalah
dengan dokumentasi yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara
mengumpulan bahan – bahan yang berupa buku – buku dan bahan
pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti
yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan
data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa
pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi objek penelitian
seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan
hal hal yang perlu diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah langkah untuk mengolah hasil penelitian,
kemudian data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga
dapat menyimpulkan persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.
Analisis data yang penulis gunakan adalah analisis data kualitatif, berupa
keterangan-keterangan baik secara lisan ataupun tertulis dan juga perilaku
nyata yang diteliti. Analisis data kualitatif dilakukan di lapangan-lapangan
bersamaan dengan proses pengumpulan datanya. Kemudian menghubung-
hubungkan dengan teori yang berhubungan dengan masalahnya dan
kemudian menarik kesimpulan untuk menentukan hasilnya sehingga
melibatkan data yang lengkap untuk mengatur, membaginya dalam unit-
unit yang dibuat, membuat sintesa, mencari pola, menemukan pokok-
pokok penting yang akan disajikan kepada orang lain.
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai penulisan hukum
ini penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap - tiap bab terdiri dalam
sub sub bagian yang di maksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah
sebagai berikut :

10
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah
mengenai gambaran umum tentang keadaan di Negara Indonesia,
gambaran umum mengenai kasus penangkapan dan penahanan
dalam masyarakat , perumusan masalah yang penulis ambil ,
tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian antara
lain jenis penelitian normatif, sifat penelitian deskriptif, tehnik
pengumpulan data dengan analisis kualitatif dan sistematika
penulisan hukum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang pengertian
penangkapan, syarat formil dan syarat materiil penangkapan,
tentang pengertian penahanan, tentang syarat formil dan syarat
materiil penahanan, tentang jenis penahanan, tentang jangka
waktu penahanan, mengenai pengertian penyidikan mengenai
pengertian penyelidikan, tentang wewenang penyidik dan
wewenang penyelidikan, tentang pengertian praperadilan, dan
wewenang praperadilan.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi tentang kasus posisi, putusan pengadilan
negeri pertimbangan hukum oleh hakim penulis akan membahas
dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya :
Bagaimanakah pertimbangan Hakim Kasasi dalam memeriksa
dan memutus perkara pra peradilan tentang legalitas
penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian
dalam Putusan No. 406 K/Pid/2005
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang
menjadi objek penelitian penulis dan saran saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

11
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang Penangkapan
Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi ‘penangkapan’ sebagai
berikut : penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat culup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini.
Bahwa untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
berwenang melakukan penangkapan. Hal ini sesuai dengan pasal 16 ayat (1)
KUHAP. Bahwa penangkapan dilakukan teradap seseorang yang diduga
melakukan suatu tindak pidana harus berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.
Pelaksanaan tugas penangkapan ini dilakukan oleh petugas
kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas penangkapan kemudian
memberikan surat tugas penangkapan tersebut kepada tersangka yang
bersangkutan. Surat tugas penangkapan tersebut juga tercantum identitas
tersangka dan menyebutkan alasan berserta uraian singkat perkara kejahatan
yang di persangkakan kepada tersangka beserta tempat pemeriksaan
tersangka. Kemudian juga memberikan tembusan surat perintah
penangkapan kepada keluarga tersangka. Apabila tersangka tertangkap
tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dan penangkap harus
segera menyerahkan tertangkap berserta barang bukti kepada penyidik
pembantu terdekat.
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka
waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak
kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formal yang harus
dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah
adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak

12
pidana. Sedangkan syarat formal adalah adanya surat tugas, surat perintah
penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24
jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan
penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
Syarat Formil penangkapan :
1.Petugas membawa surat perintah penangkapan;
2. Dalam surat perintah disebutkan nama petugas dan tersangka yang akan
ditangkap;
3.Termasuk alasan penangkapan dan pasal yang dituduhkan;
4.Surat perintah dibuat atau dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
Syarat materiil penangkapan :
Adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak
pidana. Bukti permulaan yang cukup. Adalah alat bukti untuk menduga
adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan adanya minimal laporan
Polisi ditambah salah satu alat bukti yang sah.
b. Tinjauan Umum Mengenai Penahanan
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 1
butir 21 KUHAP). penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim.(petranase.
2000. hlm:90)
Syarat Penahanan :
1. Syarat Obyektif, yaitu syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh
orang lain;

13
2. Syarat Subyektif, yaitu karena hanya tergantung pada orang yang
memerintahkan penahanan tadi apakah syarat itu ada atau tidak
(Moeljanto (1978:25);
Syarat Penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP : “Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidaa berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Syarat-syarat untuk dapat dilakukan penahanan dibagi dalam 2 syarat,
yaitu:
1. Syarat Subyektif. dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada
orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak.
Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu:
a. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
b.Berdasarkan bukti yang cukup;
c.Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka/terdakwa:
1) Akan melarikan diri;
2) Merusak atau menghilangkan barang bukti;
3) Mengulangi tindak pidana;
Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa Laporan
Polisi ditambah dua alat bukti lainnya, seperti: Berita Acara Pemeriksaan
Tersangka/Saksi, Berita Acara ditempat kejadian peristiwa, atau barang bukti
yang ada.
2. Syarat Obyektif. Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji
ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif Ini diatur dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP yaitu:

14
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3) , pasal 296,
pasal 335 ayat (1), pasal 351 (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378,
pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 459, pasal 480, dan pasal 506 kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 25 dan 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad tahun 1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2, dan pasal 4 Undang –
Undang no 8 Drt tahun 1955, Lembaran Negara tahun 1955 no 8), pasal 36
ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47, dan pasal 48 Undang-Undang
no 9 tahun 1976 tentang narkotika (lembaran Negara tahun 1976 no 37,
tambahan lembaran Negara nomor 3086)
Jenis-Jenis Penahanan (Pasal 22 ayat 1 KUHAP) :
1. Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
2. Penahanan Rumah
3. Penahanan Kota
Jangka Waktu Penahanan :
1. Penyidik maksimum 20 hari Perpanjangan oleh PU maksimum 40 hari;
2. Penuntut Umum Maksimum 20 hari perpanjangan oleh ketua PN maks 30 hari;
3. Hakim PN maks 30 hari perpanjangan oleh ketua PN maks 60 hari;
4. Hakim PT maks 30 hari perpanjangan oleh ketua PT maks 60 hari;
5. Hakim MA maks 50 hari perpanjangan oleh ketua MA 60 hari ;
c. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi
Pengertian upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 butir 12
KUHAP.
Di dalam KUHAP dibedakan antara upaya hukum biasa dan luar biasa.
Upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII meliputi banding dan kasasi,

15
sedangkan untuk upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII berupa
peninjauan kembali.
Kasasi merupakan upaya hukum biasa. Kasasi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh
Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau
tidak sesuai benar dengan Undang-Undang, hak kasasi hanyalah hak
Mahkamah Agung. Terhadap arti kasasi perlu juga melihat perumusan Pasal
29 dan Pasal 30 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 yang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Maka arti “kasasi” adalah pembatalan putusan/penetapan pengadilan tingkat
banding atau tingkat terakhir karena tidak sesuai dengan ketentuan
perUndang-Undangan yang berlaku.
“Tidak sesuai dengan ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku “.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) huruf a, b,
dan c dapat terjadi berupa :
1) Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
PerUndang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum
dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan Undang-
Undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Alasan untuk melakukan
adalah :
1) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);
2) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada
pelaksanaannya;
3) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara
yang ditentukan Undang-Undang.

16
Dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan :
1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan sebagaimana mestinya;
2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan Undang-Undang;
3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya;
Jika permohonan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan
alasan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili atau melampaui batas
wewenangnya, maka Mahkamah Agung akan menetapkan bahwa pengadilan
lain yang berwenang mengadilinya. Jika Pengadilan salah menerapkan atau
ada aturan hukum yang disimpangi atau dilanggar atau lalai dalam
menentukan syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang, maka Mahkamah
Agung akan mengadili sendiri terhadap perkara yang dimintakan kasasi.
Dalam hal Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara yang dimintakan
kasasi, putusan Mahkamah Agung dapat berupa : Menolak permohonan
kasasi, Menerima permohonan kasasi (memperbaiki putusan pengadilan
sebelumnya atau membatalkan putusan pengadilan sebelumnya), dan
Pernyataan tidak dapat diterima permohonan kasasi.
Berbeda dengan apa yang diatur dalam Pasal 255 Jo 256 KUHAP, jika
cara mengadili dilaksanakan dengan tidak menurut Undang-Undang atau
ketentuan perundangan yang mengaturnya, maka Mahkamah Agung akan
menetapkan yang disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara
yang bersangkutan memeriksa kembali, dan mengenai bagian yang dibatalkan
atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara
tersebut diperiksa pengadilan setingkat yang lain (Andi Hamzah dan Irdan
Dahlan, 1987:105).
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang
lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan

17
perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan
dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang
mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8
Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Kasasi merupakan suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari
Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan terdahulu dan
ini merupakan peradilan terakhir. Permohonan ini diajukan dalam kurung
waktu 14 hari setelah vonnis dibacakan. Pada pengajuaan kasasi, terdakwa
diwajibkan membuat memori kasasi yang diserahkan kepada panitera
pengadilan negeri dan untuk itu panitera memberi suarat tanda terima.
Alasan kasasi diajukan, karena pengadilan tidak berwenang atau melampau
batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan (pasal 253:1).
d. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan
Dalam pengertian umum telah dicantumkan dalam Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 butir 10 bahwa praperadilan adalah wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang Kewenangan pra peradilan adalah untuk:
1) Memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan);
2) Memeriksa sah tidaknya upaya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
3) Memeriksa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan penangkapan atau
penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum; penggeledahan

18
atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum; kekeliruan
mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan, atau diperiksa;
4) Memeriksa permintaan rehabilitasi
Yang berhak mengajukan upaya pra peradilan untuk memeriksa sah
tidaknya upaya paksa, tuntutan ganti kerugian, dan permintaan rehabilitasi
adalah
1) Tersangka atau;
2) Keluarga tersangka atau;
3) Ahli waris tersangka atau;
4) Kuasa hukum tersangka atau;
5) Pihak ketiga yang berkepentingan;
Yang berhak mengajukan upaya gugatan pra peradilan untuk sah tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah
1) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan;
2) Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan;
Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan adalah
2) Saksi korban tindak pidana atau;
3) Pelapor atau;
4) Organisasi non pemerintah (ornop/lsm); ini dimaksudkan untuk memberi hak
kepada kepentingan umum terkait tindak pidana korupsi, lingkungan, dll. Untuk
itu sangat layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum
yang diwakili ornop;
Seperti yang kita ketahui praperadilan adalah wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang :
a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi
tegaknya hukum dan keadilan ;

19
b) Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas
permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ;
c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan;
Selanjutnya menurut KUHAP yang termasuk dan menjadi lingkup
praperadilan meliputi perkara:
1) Sah atau tidaknya penangkapan;
2) Sah atau tidaknya penahanan;
3) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
4) Sah atau tidaknya penghentian penuntutan
5) Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan
pada tingkat penyidikan;
6) Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan
pada tingkat penuntutan;
7) Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan;
8) Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penuntutan;
Sehingga dalam konteks ini pra-peradilan lengkapnya diatur dalam pasal 1
butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16
Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 KUHAP. Dalam
konteks ini pra peradilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi,
akan tetapi upaya pra-pradilan dapat juga dilakukan terhadap adanya kesalahan
penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. ( Vide : Keputusan Menkeh RI
No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ), atau akibat adanya tindakan lain yang
menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan
penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

20
2.Kerangka Pemikiran
Dalam suatu peristiwa yang terjadi, dapat teridentifikasi apakah peristiwa
terjadi tersebut termasuk dalam suatu peristiwa tindak pidana atau peristiwa
bukan tindak pidana. Tersangka tindak pidana akan menjalani penyelidikan jika
peristiwa
tIndak pidana
Penegakan Hukum
Upaya paksa
Sah / tidaknya penangkapan
Sah / Tidak nya penahanan
praperadilan
Putusan praperadilan
KASASI

21
peristiwa yang terjadi tersebut termasuk peristiwa tindak pidana. Kemudian
tersangka akan menjalani penyidikan. Di dalam penyidikan tersebut ada upaya
paksa. Upaya paksa tersebut yang berupa penangkapan dan penahanan. Kemudian
dari penangkapan dan penahanan tersebut di identifikasi apakah penangkapan atau
penahanan tersebut sah atau tidak sah sesuai aturan yang berlaku. Kemudian dari
proses sah atau tidaknya itu di uji lagi di dalam proses selanjutnya yang di
namakan praperadilan hingga menghasilkan suatu putusan praperadilan atas
peristiwa pidana tersebut..

22
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pertimbangan Hakim Kasasi dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Pra
Peradilan tentang Legalitas Penangkapan dan Penahanan yang Dilakukan
oleh Kepolisian dalam Putusan No. 406 K/Pid/2005
1. Deskripsi Kasus
a. Identitas Pemohon
Nama : HUTABAGAS alias BANGSA SAGALA
Tempat lahir : Sumbul
Umur / tanggal lahir : 45 tahun / 13 Maret 1959
Jenis kelamin : Laki laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : jl. Tigalingga KM 2,5 dusun Sikerbo Desa Lae
meang Kecamatan Siempat Nempu hulu
Agama : Islam
Pekerjaan : Bertani
b. Identitas Termohon
1) Termohon 1
Pemerintah RI di jakarta, Cq. Kepala kepolisian RI di jakarta Cq. Kepala
kepolisian daerah sumatera utara di medan Cq. Kepala kepolosian resort
dairi di sidikalang
2) Termohon 2
Pemerintah RI di jakarta, Cq. Kepala kepolisian RI di jakarta Cq. Kepala
kepolisian daerah sumatera utara di medan
c. Isi Permohonan Pra Peradilan
1. mengabulkan permohonan Praperadilan dari pemohon ini untuk seluruhnya
2. menyatakan tindakan Termohon I dan jajarannya yang telah melakukan
rekayasa kasus sehingga memaksa / menyiksa dan mengejar pengakuan
Pemohon sebagai “otak pelaku” pembunuhan dan pemerkosaan sadis
bersangkutan adalah perbuatan melawan hukum.

23
3. menyatakan tindakan Termohon I dan jajarannya tidak menindaklanjuti
proses hukum atas diri Pemohon dan Monang Saragih serta Nurhayati
br.Saragih adalah perbuatan melawan hukum dalam bentuk ‘ikut’ berperan
aktif dan juga melakukan pembiaran’ terhadap adanya tindak kejahatan
yang terjadi dan pemetieskan kasus Pemohon sehingga Pemohon
mengalami kerugian secara hukum baik secara moril maupun secara
materiil.
4. menyatakan tindakan penahanan atas diri Pemohon selama 117 (seratus
tujuh belas) hari merupakan proses yang keliru dan atau penerapan hukum
yang salah dilakukan oleh Termohon I
5. memerintahkan Termohon I untuk segera melakukan tindak lanjut proses
penyelidikan dan penyidikan atas diri Pemohon dan jikalau tidak dapat
membuktikan segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(sp-3) atas nama Pemohon
6. menghukum Termohon II selaku atasan Termohon I melakukan penindakan
hukum dan penertiban secara administratif maupun secara hukum atas
tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Termohon I selaku
bawahan
d. Jawaban Termohon Pra Peradilan I
1. bahwa Termohon menolak dengan tegas serta menyangkal semua dalil dalil
dikemukakan Pemohon dalam permohonannya kecuali yang diakui secara
tegas dalam jawaban ini ;
2. bahwa benar telah terjadi kasus pembunuhan dan pemerkosaan a.n. korban
Fitri br.Kaloko pada tanggal 23 juli 2001 sekira pukul 14.00 wib di dusun
Sikerbo Julu Desa Lae Nuaha kec. Siempat Nempu hulu , Kab. Dairi;
3. bahwa atas kejadian tersebut, atas nama Termohon I, Ipda Arjo selaku
Pamapta yang bertugas pada saat itu menerima laporan pengaduan dengan
surat laporan polisi no.LP/170/VII/2001/PMT dan selanjutnya dilakukan
penyedilikan dan penyidikan atas kasus tersebut di Polres Dairi;

24
4. bahwa dalam penanganan kasus tersebut , Pemohon merupakan salah
seorang Tersangka dalam kasus tersebut yang merupakan hasil dari
pemeriksaan saksi saksi;
5. bahwa pemeriksaan saksi a.n. Sumardi Saragih menyatakan bahwa ianya
disuruh oleh Pemohon untuk melakukan pembunuhan dan pemerkosaan
terhadap korban a.n. Fitri br.Kaloko;
6. bahwa pemeriksaan saksi a.n. Julham Hutabarat menyatakan bahwa benar
ianya disuruh oleh Pemohon untuk melakukan pembunuhan dan
pemerkosaan terhadap korban a.n. Fitri br. Kaloko;
7. bahwa atas keterangan saksi saksi tersebut , maka dilakukan penahanan
terhadap Pemohon dengan masa penahanan selama 117 (seratus tujuh
belas) hari dimana penahanan terhadap diri Pemohon telah memenuhi
prosedur sesuai dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan
Pasal 21 ayat (1) KUHAP;
8. bahwa dengan petunjuk umum yang menyatakan bahwa berkas perkara a.n
Pemohon belum lengkap sesuai dengan surat P-19 no: B-
1644/N.2.18/Epp.1/10/2001 tertanggal 18 oktober 2001, sedangkan
penahanan terhadap diri Pemohon akan segera habis, maka oleh Penyidik
pada saat itu dilakukan penangguhan penahanan atas diri Pemohon sesuai
dengan Surat Perintah Penangguhan Penahanan No.Pol:
SPPP/96.d/XI/2001/Res, tertanggal 16 november 2001;
9. bahwa berkas perkara tersebut hingga saat ini masih dalam penanganan
Penyidik Kepolisian Resort Dairi untuk dilengkapi dan apabila sudah
lengkap akan dilimpahkan segera ke Penuntut Umum;
10. bahwa berdasar Pasal 77 KUHAP bahwasanya yang merupakan substansi
dari Praperadilan adalah mengenai sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maka:
a. bahwa tuntutan Pemohon dalam pemohonan Praperadilanya selain
mengenai penahanan tidak mendasar sesuai dengan Pasal 77 KUHAP;

25
b. bahwa penahanan atas diri Permohonan sesuai dengan prosedur yang
berdasarkan keterangan dari saksi saksi yang menyatakan dalam
pemeriksaan Penyidik pada saat itu;
e. Isi Permohonan Termohon I
1. menolak seluruhnya atau setidak tidaknya dinayatakan tidak dapat diterima
permohonan Preperadilan dari Pemohon
2. menyatakan bahwa para Termohon telah melakukan tugasnya selaku
Penyidik sesuai dengan Undang Undang no.8 tahun 1981 tentang KUHAP
3. menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara seluruhnya
f. Amar Putusan Pengadilan Negeri
1. menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. membebankan biaya permohonan ini kepada Pemohon sebesar
Rp,100.000,- (seratus ribu rupiah)
g. Alasan-Alasan Pengajuan Kasasi
1. adanya proses penerapan hukum yang keliru sehingga mengakibatkan tidak
sahnya / cacatnya proses penangkapan dan penahanan
2. bahwa Pengadilan Negeri Sidikalang dalam putusannya tersebut kurang
cermat dalam mempertimbangkan hukumnya perihal penerapan suatu
peraturan hukum atau diterapkannya peraturan hukum tidak bagaimana
mestinya
3. bahwa dalam pertimbangan hukumnya Pengadilan Negeri Sidikalang
halaman 13 alinea ke-3 dihubungkan dengan isi Pasal 77 Undang Undang
No.8 tahun 1981 tentang KUHAP maka isi permohonan Praperadilan
pemohon kasasi menurut Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang
bukanlah subtansi dari praperadilan karena hanyalah tentang penyiksaan
dan ketidakjelasan tindak lanjut perkara atas nama Pemohon kasasi;
4. bahwa penilaian dan pertimbangan hukum Hakim Tunggal Pengadilan
Negeri Sidikalang tersebut jelas keliru, menyesatkan dan tidak cermat
karena dalam posita permohonan Praperadilannya, Pemohon kasasi secara
rinci menjelaskan proses penangkapan, penahanannya kemudian peristiwa
peristiwa apa saja yang terjadi / dialami oleh Pemohon kasasi, saksi

26
Lambok Nadapdap dan Julham Hutabarat serta bagaimana Termohon kasasi
I telah melampui batas tugas dan wewenangnya dalam proses penyelidikan
dan penyidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang no.2
tahun 2002 tentang Kepolisian
5. bahwa dalam kasus a quo telah terjadi penyimpangan atas hukum acara
pidana dimana Termohon kasasi I hanya mengejar ‘pengakuan’ dari
Pemohon kasasi. Lambok Nadapdap dan Julham Hutabarat tanpa melihat
bukti bukti maupun saksi saksi yang ada.
6. Bahwa setelah menerima adanya laporan tindak pidana pemerkosaan dan
pembunuhan sadis pada tanggal 22 juli 2001, Termohon kasasi I kemudian
malam harinya menangkap saksi Lambok Nadapdap (umur 16 tahun)
kemudian dibawa kepuncak daerah Sidangkut (perbatasan aceh) lalu telinga
kanan dan kiri saksi ditempati dengan pistol yang kemudian ditembakan
hingga telinga kiri saksi mengeluarkan darah (hal yang sama dialami oleh
Pemohon kasasi sebagaimana tercantum dalam posita permohonan
Praperadilan poin ke 24) setelah itu saksi dibawa ke kantor Termohon
kasasi I dan dimulai pemeriksaan atas diri saksi Lambok Nadapdap;
7. Bahwa kemudian oleh Termohon kasasi I ditangkaplah Sumardi Saaragih
dan Julham Hutabarat pada malam hari itu juga dan kemudian baru
Pemohon kasasi ditanggap tanggal 23 juli 2001;
8. Bahwa selanjutnya dimulailah penyiksaan peyiksaan selama proses
penyidikan sebagaimana dijelaskan dalam posita. Permohonan Praperadilan
poin 18 (juga dialami oleh saksi Lambok Nadapdap). Bukti P-1, bukti P-II,
bukti P-III dan bukti P-IV dan didukung oleh keterangan saksi Lambok
Nadapdap dan Sembiring di persidangan;
9. Bahwa seyogyanya tugas Termohon kasasi I selaku penyidik adalah untuk
membuat terang suatu perkara dimana untuk mencari barang bukti yang
belum ada (sedang dicari) perkaranya belum terang dan Tersangkanya
belum ditemukan (perkara tersebut masih samar samar) sehingga membuat
perkara tersebut jadi terang (vide Pasal 1 point 1);

27
10. Bahwa dalam kasus yang diajukan kasasi ini Termohon kasasi I elah
mendapatkan barang bukti, perkaranya telah terang dan Tersangka
‘sebenarnya’ sudah dihukum (vide bukti T.1 s/d T.9 dan bukti P.VIII)
11. Bahwa timbul dilema hukum / buah simalakama bagi Termohon kasasi I
tehadap proses hukum yang sedang berjalan atas perkara Pemohon kasasi
dan Julham Hutabarat yang telah ditangkap, ditahan selama 117 (seratus
tujuh belas) hari di Rumah Tahanan Polisi (RTP) Termohon kasasi I
kemudian diperiksa secara terus menerus serta mengalami penyiksaan yang
diluar batas kemanusiaan namun berharap Bukti P-VIII dan keterangan
saksi Lambok Nadapdap serta Sumardi Saragih di persidangan dan ayah
kandungnya Monang Saragih atas suruhan Nurhayati br. Saragih
12. Bahwa memang benar kasus Sumardi Saragih dan Lambok Nadapdap
yang telah dipersidangkan displit dari berkas atas nama Pemohon kasasi
dan Julham Hutabarat karena keduanya masih diabwah umur namun
uniknya hingga sekarang perkara atas nama Pemohon kasasi dan Julham
Hutabarat yang sudah lengkap dan terang perkaranya setalah adanya
putusan pidana no.68/Pid.B/2001/PN.SDK (bukti P-VIII) tidak dapat
disidangkan karena berkas perkaranya dikembalikan oleh Jaksa Penuntut
Umum (JPU) sebab pelaku sebenarnya telah dihukum oleh Pengadilan
Negeri Sidikalang (vide bukti P-X bukti T-10, dan T-11 serta bukti P-VIIII)
13. Bahwa ironisnya Majeis Hakim Pengadilan Negeri Sidikalang yang
memeriksa dan mengadili perkara Sumardi Saragih dan Lambok Nadapdap
(perkara no.68/Pid.B/2001/PN.SDK) telah menyerahkan Monang Saragih
dalam persidangan untuk diproses secara hukum sebagai otak pelaku tindak
pidana pemerkosaan dan pembunuhan Pitri br.Kaloko namun Termohon
kasasi I tidak memprosesnya dengan alasan tidak adanya berita acara
penyerahan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidikalang tersebut
kepada Termohon kasasi I sebagaimana jugga keterangan saksi Lambok
Nadapdap dan Sri Ulina br.Sembiring di persidangan;
14. Bahwa Pemohon kasasi menyayangkan pertimbangan hukum Hakim
Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang yang memeriksa dan mengadili

28
permohonan Praperadilan a quo dimana menutup mata atas adanya tindakan
Termohon kasasi I tidak sesuai dengan jiwa dan asas asas hukum yang
terdapat dalam KUHAP, pelanggaran pasal pasal dalam Undang Undang
No.5 tahun 1998 tentang Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman Lain yang kejam termasuk pelanggaran pasal pasal dalam
Undang Undang no.2 tahun 2002 tentang Kepolisian dimana tidak
menghendaki perlakuan seperti itu, baik KUHAP dan Konvensi Anti
Penyiksaan menjunjung tinggi harkat martabat manusia yang tidak
menghendaki seseorang diperiksa terus menerus sehingga berada dalam
keadaan kelelahan bahkan dengan menggunakan cara penyiksaan agar
didapatka ‘pengakuan’ seseorang;
15. Bahwa dalam perkara yang dimohonkan kasasi ini juga erdaat
‘keistimewaan ttersendiri’ dimana Termohon kasasi I berperan aktif
memanipulasi / merekayasa kasus tersebut agar Pemohon kasasi, saksi
Lambok Nadapdap dan Zulham Hutabarat harus mau ‘mengikuti’ sebagai
otak pelaku dan pelaku atas tindak pidana pembunuhan dan pemerkosaan
Pitri br. Kaloko
16. Bahwa lebih lanjut Pemohon kasasi dalam persidangan menyatakan
keberatan atas bukti bukti surat Termohon kasasi I, terutama Bukti P-7
tentang surat Perintah Penahanan no.pol : SP.HAN/96/VII/2001/Serse
tertanggal 25 juli 2001 berbeda nomornya dengan bukti P-V yaitu surat
Perintah Penahanan No.Pol : SP.HAN/95/VII/2001/Serse tertanggal 24 juli
2001 dari Termohon kasasi I tidak ada ditujukan dalam persidangan namun
tidak ditanggapi oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang
17. Bahwa adalah aneh/janggal/tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat
apabila dalam kasus pembunuhan ataupun pembunuhan berencana terjadi
penangguhan dan peengeluaran dari tahanan terhadap seorang pelaku tindak
pidana tersebut sejak november 2001 hingga sekarang oktober 2004
(hingga adanya putusan no.01/Pid.Pra/2004/PN/SDK) kasus ini belum juga
diajukan ke pengadilan atau dengan kata lain berhenti begitu saja;

29
18. Bahwa Termohon kasasi I sejak november 2001 setelah Pemohon kasasi
dan Julham Hutabarat ditangguhkan penahanannya, terakhir kali mengirim
berkas perkaranya kepada pihak Kejaksaan Negeri Sidikalang tanggal 20
febuari 2002 (vide bukti T.13 dan 14)
19. Bahwa sedangkan pihak Kejaksaan Negeri Sidikalang mengembalikan
berkas perkara tersebut kembali kepada Termohon kasasi I tanggal 24 mei
2002 dan sejak itu Termohon kasasi I tidak pernah lagi melengkapi bekas
perkara tersebut dan membiarkan perkara itu hingga sekarang
20. Oleh karena pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Sidikalang
tidak menerupakan suatu peraturan hukum atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya serta cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan Undang Undang maka oleh karena itu putusan tersebut harus
dibatalkan.
21. adanya Penghentian perkara terhadap proses penyelidikan secara diam
diam;
22. bahwa sebagaimana dikemukakan di atas, setelah dikembalikannya
berkas perkara tersebut tanggal 24 mei 2002 (bukti P-X) tidak ada upaya
lain dari Termohon kasasi I untuk melengkapi berkas perkara Pemohon
kasasi dan Julham Hutabarat karena mengalami jalan buntu akibat
penyimpangan proses hukum yang dilakukan oleh Termohon kasasi I
sendiri dimana Termohon kasasi I mengalami dilema atas proses hukum
perkara a quo sehingga membiarkan / menghentikan secara diam diam /
mempetieskan perkara itu hingga sekarang;
23. bahwa untuk itu demi mendukung Termohon kasasi I maka dalam
pertimbangan hukum putusan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri
Sidikalang halaman 15 pada alinea ke-3 dari atas, Hakim Tunggal
menyatakan berkas Pemohon kasasi dan Julham Butabarat telah dilakukan
proses untuk melengkapi berkas perkaranya yaitu dengan mendengar
keterangan saksi saksi dan keterangan Tersangka, telah pula dikonfrontir
serta telah pula dilakukan tindakan rekonstruksi terjadinya perkara (vide

30
bukti T.2 , T.3, T.4, T.5 dan T.6) dan dilakukannya penyidikan dalam
perkara a quo adalah berdasarkan laporan polisi (bukti T-1);
24. bahwa kemudian pertimbangan hukum hakim Tunggal Pengadilan
Negeri Sidikalang alinea ke5 menyatakan bahwa benar putusan perkara
no.68/Pid.B/2001/PN.SDK adalah mempunyai kaitan dengan perkara
incasu atas nama Pemohon kasasi namun dengan mencermati bahwa berkas
perkara atas nama Pemohon kasasi dengan putusan incasu (displit) maka
secara hukum perkara atas nama Pemohon kasasi adalah diluar dari person
person Terdakwa dalam perara tersebut;
25. bahwa pada alinea selanjutnya (alinea ke-6 pada halaman 15-nya)
pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Negeri Sidikalang menyatakan
dari bukti bukti surat baik yang diajukan Pemohon kasasi maupun yang
diajukan oleh Termohon kasasi I dan Termohon kasasi II serta dari
keterangan saksi saksi, tidak ada bukti surat atau keterangan saksi yang
menerangkan bahwa dalam perkara atas nama Pemohon kasasi telah terbit
‘Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3);
26. bahwa sebenarnya berdasarkan Bukti P-VIII (vide putusan perkara
no.68/Pid.B/2001/PN.SDK) jalan buntu dimaksud di atas dapat diatasi oleh
Termohon kasasi I apabila Termohon kasasi I melakukan proses hukum
terhadap Monang Saragih dan Nurhayati br.Saragih sebagai pelaku tindak
pidanaa pembunuhan dan pemerkosaan yang sebenarnya dimana dalam
persidangan perkara no. 68/Pid.B/2001/PN.SDK telah diserahkan oleh
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut kepada
Termohon kasasi I namun hingga sekarang tidak dilakukan oleh Termohon
kasasi I;
27. bahwa sebenarnya juga KUHAP memberikan jalan keluar yaitu dengan
cara menghentikan penyidikan dengan alasan tidak dapat ditemukan barang
bukti, perkara yang disidik bukan merupakan perkara pidana atau perkara
dihentikan penyidikannya demi hukum (vide Pasal 109 (2) KUHAP);

31
28. bahwa akan tetapi menerbitkan SP-3 atas berkas perkara Pemohon kasasi
dan Julham Hutabarat jelas menempatkan posisi Termohon kasasi I terjepit
karena akan menuai tuntutan dari Pemohon kasasi dan Julham Hutabarat;
a. bahwa Pemohon kasasi I menempuh upaya praperadilan dan kasasi ini
dimaksudkan untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui
sarana pengawasan horizontal sebagaimana diatur dalam Pasal 80
KUHAP;
b. bahwa memang benar pertimbangan hukum Hakim Tunggal Pengadilan
Negeri Sidikalang tidak ada SP3 yang diterbitkan Termohon kasasi I
dimana perkara ini masih dalam proses melengkapi berkas perkara tetapi
beberapa pertanyaan muncul adalah :
· mengapa Termohon kasasi I tidak melengkapi berkas perkara tersebut
kembali, terakhir pada tanggal 15 Febuari 2002 (Bukti T.13.) sampai
sekarang?
· apakah langkah hukum Termohon kasasi I setelah JPU
mengembalikan berkas perkara tanggal 24 mei 2002 dengan petunjuk
untuk mencari keterangan saksi lain karena Terdakwa Sumardi
Saragih dan Terdakwa Lambok Nadapdap tidak ada menyebut nama
Pemohon kasasi ataupun Julham Hutabarat sebagai otak pelaku /
pelaku pembunuhan dan pemerkosaan Pitri br.Kaloko pada tanggal
22 juli 2001 (Bukti P-II, P-III, P-VIII dan P-X) ? ;
· mengapa bisa terjadi bukti surat Penahanan bisa berbeda nomor
suratnya dengan tuntutan / tembusan yang ada pada Pemohon kasasi
dan surat Penangkapan yang tidak ada ditunjukan dalam persidangan
(Bukti T.7 dan Bukti P-IV) ?;
· mengapa Termohon kasasi I tidak menindaklanjuti atas proses hukum
terhadap Monang saragih yang diserahkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Sidikalang yang mengadili perkara no.
68/Pid.B/2001/PN.SDK?;
· mengapa Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang tidak
mengacu dan mempedomani putusan perkara no

32
68/Pid.B/2001/PN.SDK yang merupaka putusan rekan sejawatnya di
Pengadilan Negeri Sidikalang juga yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dimana menyatakan pelaku tindak pidana pembunuhan
dan pemerkosaan Pitri br.Kaloko sebenarnya adalah Sumardi Saragih
dan Monang Saragih ?
· apa guna bekas perkara Pemohon kasasi dan Julham Hutabarat
dibiarkan / dipetieskan / dihentikan secara diam diam sejak bulan Mei
2002 hingga saat ini sedangkan Termohon kasasi I telah diberi
kewenangan oleh Undang Undang untuk menghentikannya apabila
memenuhi unsur unsur yang disyaratkan dalam Pasal 109 (2)
KUHAP ? ;
· apakah Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang berdasarkan
fakta fakta yang terungkap di persidangan maupun bukti bukti serta
keterangan saksi yang ada dapat berdiri pada posisi netral dan
bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam mengadili
dan memutus pemohonan praperadilan a quo ?;
c. bahwa seharusnya Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang dituntut
menjadi penterjemah yang baik dari rasa keadilan masyarakat, oleh karena
Pemohon kasasi juga adalah sebagai bahagian dari masyarakat (bangsa)
Indonesia merasa sangat dirugikan dengan tidak diterbitkannya SP3 oleh
Termohon kasasi I dengan alasan belum lengkapnya berkas perkara
(namun sebenarnya sejak tanggal 24 mei 2002 tidak ada upaya Termohon
kasasi I untuk melengkapinya hingga sekarang) terlebih lagi dengan
putusan Pengadilan Negeri Sidikalang menolak pemohonan praperadilan
Pemohon kasasi;
d. bahwa lebih lanjut hakim sebagai penegak hukum wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
serta mengintregrasikan diri dalam masyarakat untuk benar benar
mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayom;
e. bahwa oleh karena Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidikalang terbukti
tidak menerapkan peraturan hukum yang ada atau tidak menerapkan

33
hukum sebagaimana mestinya dan mengadili kasus a quo tidak menurut
ketentuan Undang Undang (vide Pasal 253 ayat (1) point a dan b) maka
cukup beralasan bagi Majelis Hakim Agung untuk membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Sidikalang yang bersangkutan;
h. Pertimbangan Hakim Kasasi
1. berdasarkan Pasal 45 A ayat (1) jo ayat (2) a Undang Undang no.5 tahun
2004 putusan Praperadilan tidak dapat dikasasi maka permohonan kasasi
formil tidak dapat diterima.
2. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon kasasi tidak dapat
diterima maka pemohon kasasi / pemohon praperadilan dihukum untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
3. memperhatikan Undang Undang no.4 tahun 2004, Undang Undang no.14
tahun 1985 sebagamana telah dirubah dengan Undang Undang no.5 tahun
2004 dan Undang Undang serta peraturan lain yang bersangkutan
i. Amar Putusan Kasasi
1. menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi : HUTABAGAS alias
BANGSA SAGALA tersebut tidak dapat dterima
2. menghukum Pemohon kasasi / Pemohon Praperadilan untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500 ,- (dua ribu lima
ratus rupiah)
2. Pembahasan
Praperadilan merupakan hal baru bagi kehidupan penegakan hukum di
Indonesia. Setiap hal yang baru, tentu mempunyai motivasi tertentu. Pasti ada
yang dituju dan hendak dicapainya. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa
didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya dengan pelembagaan
praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan
diperlindunginya, yaitu tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka
dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Seperti yang sudah diketahui, demi terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada

34
penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa
penangkapan, penahanan. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa. Tindakan upaya paksa
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka,
maka harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan
undang-undang yang berlaku.
Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan
undang-undang adalah merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Untuk mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan
dengan hukum itu tentu diperlukan diadakan suatu lembaga yang diberi
wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan
kepada tersangka. Menguji dan menilai sah atau tidaknya tindakan paksa yang
dilakukan penyidik atau penuntut umum tersebutlah yang dilimpahkan kepada
lembaga praperadilan.
Pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan
suatu lembaga yang khusus diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian,
pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan pejabat
penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama pemeriksaan
berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan. Pelembagaan
yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang
dilakukan pejabat dalam tarap proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan
inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada praperadilan. Pada prinsipnya tujuan
utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP ialah untuk melakukan
pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap
tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan,
agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan
undang-undang.
Tentang wewenang praperadilan, sepintas sudah pernah dikemukakan
ketentuan Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP, bersumber dari pasal-pasal
dimaksudlah kewenangan yang ada pada lembaga praperadilan, wewenang
yang diberikan oleh undang-undang kepada praperadilan yaitu: a) memeriksa

35
dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa, apabila, seseorang tersangka yang
dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, pengeledahan atau penyitaan,
dapat meminta kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
tindakan yang dilakukan oleh penyidik kepadanya, b) memeriksa sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, kasus lain yang
termasuk kedalam ruang lingkup kewenangan praperadilan adalah memeriksa
dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat
penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang
dilakukan oleh penuntut umum, seperti yang diterangkan, c) berwenang
memeriksa tuntutan ganti kerugian, Pasal 95 mengatur tentang tuntutan ganti
kerugian yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya
praperadilan.
Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka kepada praperadilan
didasarkan atas alasan karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orang yang
sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa, d) memeriksa permintaan
rehabilitasi, praperadilan juga berwenang memeriksa dan memutus permintaan
rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya
atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-
undang, atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yamg perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. (M.Yahya
Harahap, 1988:515-521)
Sudah dijelaskan ada putusan Praperadilan yang dapat diminta banding
dimana Pengadilan Tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam
tingkat akhir. Ada yang berpendapat permintaan kasasi atau putusan
Praperadilan tidak dapat dikasasi atas putusan Praperadilan. Barangkali sumber
selisih pendapat ini terjadi, bertitik tolak tentang ’materi’ yang diperiksa dan
diputus Praperadilan bukan ’materi perkara pidana’.

36
Sedang menurut Pasal 244 KUHAP permintaan kasasi hanya dapat
diajukan terhadap putusan pengadilan yang berbentuk ’putusan perkara pidana’.
Oleh karena putusan Praperadilan bukan mengenai perkara pidana, akan tetapi
hanya tentang sah atau tidaknya tindakan pejabat yang terlibat dalam
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan berarti putusan Praperadilan benar
benar berada di luar ruang lingkup Pasal 244 KUHAP.
Tetapi ada yang mempersoalkan bukan dari segi materi putusan.
Mereka bertitik tolak dari pengertian fungsi yustisial. Ditinjau dari segi
yustisial, setiap pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan badan paradilan,
dengan sendirinya termasuk tindakan yustisial. Setiap putusan yang dijatuhkan
badan peradilan tanpa mempersoalkan bentuk dan materi putusan adalah
tindakan penyelesaian fungsi peradilan atau fungsi yustisial. Lain hal nya jika
tindakan pengadilan itu tidak dituangkan dalam bentuk putusan atau penetapan.
Tindakan yang seperti itu belum dapat disebut tindakan yustisial. Paling
dapat disebut tindakan pelaksanaan adsminstrasi yustisial. Oleh karena
Praperadilan dalam memeriksa hal hal yang termasuk ke dalam bidang
kewenangannya menjatuhkan putusan yang berbentuk penetapan, tindakan itu
tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi yustisial.
Kalau begitu, penetapan yang dijatuhkan Praperadilan tercakup ke
dalam pengertian penjelasan Pasal 2 Undang Undang no 14 tahun 1970.
penjelasan tersebut menyatakan ’penyelesaian setiap perkara yang diajukan
kepada Badan Badan peradilan mengandung pengetian di dalamnya
penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi volunteer’.
Bukanlah ke dalam pengertian penyelesaian yang volunteer dapat diajukan
permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Dalam bidang perdata misalnya,
penetepan ahli waris atau mengenai status anak yang dijatuhkan Pengadilan
Negeri dikategorikan yurisdiksi volunteer dan dianggap sebagai tindakan
pengadilan dalam menyelesaikan perkara.
Terhadap putusan yang seperti itu, dapat diajukan permintaan kasasi.
Kalau begitu bertitik tolak dari penjelasan Pasal 2 Undang Undang no 14
Tahun 1970 serta dihubungkan dengan praktek peradilan yang

37
memperkenankan permintaan kasasi atas penetapan pengadilan yang bersifat
yuisdiksi volunteer di bidang perdata, tidak salah jika diterapkan dalam bidang
pidana.
Kira kira demikian gambaran jalan pemikiran yang mendasari
argumentasi kelompok yang berpendirian terhadap putusan Praperadilan dapat
diajukan permintaan kasasi. Pendapat ini memang beralasan, terutama jika
dikaitkan dengan tindakan pengawasan atas putusan Praperadilan, membuka
kemungkinan adanya koreksi atas putusan Praperadilan. Sekalipun kita
beranggapan penetapan itu tidak bisa dipisahkan dengan fungsi yustisial.
Di dalam setiap tindakan pelaksanaan fungsi yustisial tidak bisa terlepas
dari pengawasan dan koreksi penetapan hukum atau cara melaksanakan
peradilan menurut ketentuan undang undang. Walaupun yang diperiksa hanya
terbatas menyangkut ganti kerugian maupun rehabilitasi, pemeriksaan dan
putusan yang umum atau tuntutan ganti kerugian maupun rehabilitasi
pemeriksaan dan putusan yang diambil tidak terlepas dari masalah penerapan
hukum maupun atas kelalaian melaksanakan cara mengadili sesuai dengan
digariskan undang undang.
Oleh karena pengawasan dan koreksi atas putusan Praperadilan tidak
dapat dilakukan Pengadilan Tinggi, wajar pengawasan dan koreksi itu langsung
diminta kepada Mahkamah Agung. Sebab Pasal 83 ayat (1) tidak membuka
kemungkinan bagi Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan dan koreksi
sebaiknya hal itu diberikan kepada Mahkamah Agung.
Bagaimana sikap Mahkamah Agung mengenai masalah tersebut?
Sampai saat sekarang peradilan tertinggi itu lebih cenderung pada pendirian,
tidak memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Untuk
mengetahui jalan pikiran Mahkamah Agung dapat dilihat ungkapan
pertimbangan yang tertuang dalam salah satu putusan tanggal 29 marer 1983 no
227 /K/KR/1982. Dari putusan ini dapat disadur pertimbangan sebagai berikut :
a. Mahkamah Agung berpendapat, terhadap putusan putusan Praperadilan tidak
dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara

38
Praperadilan tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan
kasasi.
b. Wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh Praperadilan
dimaksudkan hanya sebagai wewenang pengawasan secara horisontal
terhadap tindakan pejabat penegak hukum lainnya.
c. Juga Pasal 244 KUHAP tidak membuka kemungkinan melakukan
pemeriksaan kasasi terhadap putusan Praperadilan karena pemeriksaan kasasi
yang diatur Pasal 244 hanya mengenai putusan perkara pidana yang benar
benar diperiksa dan diputus Pengadilan Negeri atau Pengadilan selain dari
Mahkamah Agung
d. Selain dari pada itu, menurut hukum acara pidana, baik mengenai pihak
pihak maupun acara pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannya jika
dibandingkan dalam pemeriksaan Praperadilan
Itulah kira kira saduran pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan
tersebut. Dari pertimbangan dimaksud dapat dilihat pendirian, permintaan
kasasi terhadap putusan Praperadilan ’tidak dapat diterima’. Pendirian yang
seperti ini dapat juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 10 mei
1984 Reg 680 K/Pid/1983. Salah satu bagian pertimbangannya berbunyi ;
bahwa menurut yurisprudensi tetap terhadap putusan putusan Praperadilan
tidak dapat dimintakan kasasi, sehingga permohonan kasasi dari pemohon
kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dari bunyi pertimbangan ini, semakin memperjelas pendirian Mahkamah
Agung, permintaan kasasi terhadap putusan Praperadilan tidak dimungkinkan
dan dinyatakan tidak dapat diterima. Bahkan pendirian itu sudah merupakan
yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. Kalau begitu mau tidak mau, praktek
peradilan terpaksa menyesuaikan diri dengan pendirian tersebut.
Alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum sepanjang menyangkut
berat dan ringannya pemidanaan yang dijatuhkan merupakan wewenang judex
factie. Terhadap kesalahan dalam penerapan hukum, alasan kasasi
Jaksa/Penuntut Umum dapat dibenarkan kerena judex factie telah menjatuhkan
selain pidana penjara dan denda yang ditentukan oleh Undang-Undang serta

39
mengenai ketentuan pidana pengganti denda bukanlah pidana kurungan
sebagaimana dalam putusan judex factie, tetapi pidana penjara. Sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP huruf a yang berbunyi sebagai
berikut “apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya”, disini maka Mahkamah Agung akan mengadili
sendiri perkara tersebut;
Hakim dalam memutus suatu perkara memiliki kebebasan karena
kedudukan hakim secara konstutisional dijamin oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal
25 yang berbunyi bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-
Undang tentang kedudukan para hakim. Hal ini sesuai dengan ciri dari Negara
hukum itu sendiri yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak
memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.
Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat
melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang
ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang
berlaku.
Dalam hal kebebasan hakim ini, juga berarti bahwa hakim harus dapat
memberi penjelasan dalam menerapkan Undang-Undang terhadap suatu
perkara yang ditanganinya. Penjelasan tersebut diberikan berdasarkan
penafsiran dari hakim itu sendiri. Penafsiran disini bukan semata-mata
berdasaran akal, ataupun sebuah uraian secara logis, namun hakim dalam hal
ini harus bisa memilih berbagai kemungkinan berdasarkan keyakinannya.
Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan
ke pengadilan, dalam menjatuhkan putusan harus memiliki pertimbangan-
pertimbangan. Adapun pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, di
samping berdasarkan pasal-pasal yang diterapkan terhadap terdakwa
sesungguhnya juga didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu
sendiri. Hakim dalam mengadili suatu perkara berdasarkan hati nuraninya.

40
Sehingga hakim yang satu dengan yang lain memiliki pertimbangan yang
berbeda-beda dalam menjatuhkan suatu putusan.
Terhadap putusan yang oleh Hakim pengadilan tingkat pertama, maka
baik terdakwa atau penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan
keberatan atau menolak putusan atau yang dalam KUHAP dikenal dengan
istilah upaya hukum. Lembaga upaya hukum ini di dalam KUHAP telah diatur
secara lengkap dan terperinci. Hak untuk mengajukan upaya hukum
merupakan hak baik bagi terdakwa maupun penuntut umum. Upaya hukum ini
menurut KUHAP ada dua macam, yaitu upaya hukum biasa dan luar biasa.
Salah satu jenis upaya hukum biasa ini disebut dengan kasasi.
Upaya kasasi adalah hak yang diberikan hukum kepada terdakwa
maupun kepada penuntut umum. Penggunaan hak tersebut tergantung
sepenuhnya kepada terdakwa dan penuntut umum. Apabila mereka bisa
menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim, mereka dapat tidak
mempergunakan hak tersebut. Sebaliknya jika mereka tidak bisa menerima
putusan tersebut, maka dapat mempergunakan hak untuk mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Menurut M. Yahya Harahap (1988;1101), ada tiga tujuan utama dari
lembaga upaya hukum kasasi, yaitu :
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan
Kasasi dimaksudkan untuk memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar peraturan hukum benar-benar diterapkan
sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar
dilakukan menurut ketentuan undang-undang.
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru
Disamping tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam
peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan
kaidah hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Hal demikian dikenal
dengan istilah “judge making law”. Mahkamah Agung menciptakan
hukum baru guna mengisi kekosongan hukum maupun dalam rangka
mensejajarkan kebutuhan pesatnya perkembangan nilai dan kesadaran

41
masyarakat. Kehidupan peradilan di Indonesia memang tidak menganut
prinsip precedent, yaitu prinsip yang mengharuskan peradilan bawahan
mengikuti putusan Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi. Dalam
prakteknya, putusan Mahkamah Agung selalu dijadikan pedoman atau
panutan. Setiap penyimpangan dari yurisprudensi, sudah pasti akan
kembali diluruskan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. Dengan
demikian secara psikologis pengadilan bawahan dalam mengambil putusan
akan selalu cenderung mengkikuti dan mendekati putusan Mahkamah
Agung.
3. Pengawasan terciptanya keseragam penerapan hukum
Tujuan lain dari pemeriksaan kasasi dimaksudkan untuk mewujudkan
kesadaran keseragaman penerapan hukum. Dengan adanya keputusan
kasasi yang menciptakan yurisprudensi, sedikit banyak akan
mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak dalam penerapan
hukum. Dengan adanya upaya hukum kasasi dapat dihindari adanya
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim
yang tergoda oleh kebebasan kedudukan yang dimilikinya.

42
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan di dalam Bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka Penulis merumuskan simpulan sebagai berikut :
Pertimbangan Hakim Kasasi dalam Memeriksa dan Memutus
Perkara Pra Peradilan tentang Legalitas Penangkapan dan Penahanan yang
Dilakukan oleh Kepolisian dalam Putusan No. 406 K/Pid/2005 adalah
bahwa berdasarkan Pasal 45 A ayat (1) jo ayat (2) a Undang Undang No.5
tahun 2004 putusan Praperadilan tidak dapat dikasasi, maka permohonan
kasasi formil tidak dapat diterima. Dengan putusan tersebut nampak bahwa
Hakim MA dalam kontsruksi berpikirnya menggunakan metode deduksi,
yaitu konsep berpikir dari yang umum ke khusus.
Karena permohonan kasasi dari Pemohon kasasi tidak dapat diterima
maka pemohon kasasi / pemohon praperadilan dihukum untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.
B. Saran-Saran
1. Hendaknya aparat penegak hukum khususnya kepolisian menjunjung
tinggi azas praduga tidak bersalah dalam melakukan upaya paksa terhadap
tersangka sesuai dengan ketentuan hukum dan undang-undang, selain itu
mencegah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena pada
dasarnya setiap tindakan paksa merupakan perampasan kemerdekaan dan
kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi seseorang.
2. Perlunya pengaturan yang lebih terperinci, jelas, dan tegas mengenai
upaya hukum terhadap putusan Praperadilan dalam KUHAP, sehingga
diharapkan dengan adanya Rancangan Undang-Undang tentang KUHAP
mendatang lebih jelas dalam mengatur upaya hukum Praperadilan.
3. Diperlukan suatu pengaturan yang lebih sistematis, jelas dan terperinci
mengenai pengawasan horizontal, terlepas apakah nantinya akan tetap
dinamakan Praperadilan, hakim komisaris atau nama lain, seperti halnya

43
lembaga Praperadilan Rechter Commissaris di Belanda dan Judge d’
Instruction di Prancis yang memiliki kewenangan yang lebih luas karena
selain menilai sah tidaknya tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik, juga dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap suatu
perkara.

44
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Hamzah, Andi. 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
Hamzah, andi,1984. bunga rampai hukum pidana dan acara pidana.Jakarta:
Ghalia Indonesia
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Harahap , Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ;
praperadilan , banding, kasasi, pemeriksaan kembali. Jakarta : sinar grafika
Harahap , Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ;
penyidikan dan pemyelidikan. Jakarta : sinar grafika
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
Loeby Loeqman. 1990 , Praperadilan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara Pidana.
Indralaya: Universitas Sriwijaya.
Ratna Nurul Alfiah. 1986 , Praperadilan dan Ruang Lingkupnya,Jakarta :
Akademika Pressindo C.V..
Soerjono Soekanto. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 406 K/Pid/2005)
INTERNET:
http://anggara.org/2007/09/25/tentang-pra-peradilan/
www.kantorhukum-lhs.com
http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2007/02/sekilas_tentang_praperadilan.htm
l
http://ebdosama.blogspot.com/2009/02/analisis-data-kualitatif-pengenalan.html