tinjauan pustaka yang dapat menghambat metabolisme sel bakteri, contohnya sulfonamid, trimetropim,...

15
TINJAUAN PUSTAKA Susu Segar Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing dan bahan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan setelah dilahirkan (Misgiyarta et al. 2005). Susu mengandung 87.90% air yang berfungsi sebagai pelarut bahan kering dan berfungsi sebagai penentu nilai gizi susu. Susunan lemak susu terdiri dari lemak majemuk, yaitu lemak murni yang terdiri atas tiga molekul asam lemak yang terikat pada suatu molekul gliserin (Saleh 2004). Konsumen biasanya mengkonsumsi susu, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan. Konsumen yang mengkonsumsi susu atau produk olahan susu dilindungi oleh pemerintah dengan ditetapkannya standar mutu susu dan produk olahannya dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Rahardjo (1998) standar mutu merupakan rincian persyaratan produk yang mencakup kriteria 1) organoleptik, antara lain: bau, rasa, kenampakan, dan warna; 2) fisika, yaitu bentuk, ukuran, dan kotoran; 3) kimia, antara lain: pH, kadar nutrisi atau senyawa kimia; dan 4) mikrobial, antara lain: jumlah kapang/jamur, yeast, bakteri yang ditetapkan dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan konsitensi mutu dari waktu ke waktu. Susu mengandung komponen yang sangat penting bagi tubuh yaitu lemak, protein susu, laktosa, mineral, dan vitamin. Susu merupakan sumber vitamin yang cukup baik bagi tubuh. Susu mengandung vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, dan E). Kandungan vitamin susu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan vitamin dalam susu segar (Buckle et al. 1987) No. Vitamin kandungan per 100g susu 1. vitamin A 160 IU (International Unit) 2. vitamin C 2.0 mg 3. vitamin D 0.5-4.4 IU 4. vitamin E 0.08 mg 5. vitamin B Riboflavin Asam pantotenat Asam folat Biotin Vitamin B 12 0.17 mg 0.35 – 0.45 mg 3-8 μg 0.5 μg 0.5 μg

Upload: trinhkhue

Post on 20-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

3

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Segar

Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing dan bahan makanan pertama

bagi bayi manusia dan hewan setelah dilahirkan (Misgiyarta et al. 2005). Susu

mengandung 87.90% air yang berfungsi sebagai pelarut bahan kering dan

berfungsi sebagai penentu nilai gizi susu. Susunan lemak susu terdiri dari lemak

majemuk, yaitu lemak murni yang terdiri atas tiga molekul asam lemak yang

terikat pada suatu molekul gliserin (Saleh 2004). Konsumen biasanya

mengkonsumsi susu, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan.

Konsumen yang mengkonsumsi susu atau produk olahan susu dilindungi oleh

pemerintah dengan ditetapkannya standar mutu susu dan produk olahannya dalam

bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Rahardjo (1998) standar mutu

merupakan rincian persyaratan produk yang mencakup kriteria 1) organoleptik,

antara lain: bau, rasa, kenampakan, dan warna; 2) fisika, yaitu bentuk, ukuran, dan

kotoran; 3) kimia, antara lain: pH, kadar nutrisi atau senyawa kimia; dan 4)

mikrobial, antara lain: jumlah kapang/jamur, yeast, bakteri yang ditetapkan

dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan konsitensi mutu dari waktu ke waktu.

Susu mengandung komponen yang sangat penting bagi tubuh yaitu lemak,

protein susu, laktosa, mineral, dan vitamin. Susu merupakan sumber vitamin yang

cukup baik bagi tubuh. Susu mengandung vitamin yang larut dalam air (vitamin B

dan C) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, dan E). Kandungan

vitamin susu disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan vitamin dalam susu segar (Buckle et al. 1987)

No. Vitamin kandungan per 100g susu 1. vitamin A 160 IU (International Unit) 2. vitamin C 2.0 mg 3. vitamin D 0.5-4.4 IU 4. vitamin E 0.08 mg 5. vitamin B

Riboflavin Asam pantotenat Asam folat Biotin Vitamin B12

0.17 mg

0.35 – 0.45 mg 3-8 µg 0.5 µg 0.5 µg

4

Susu mengandung zat-zat mineral yang sangat esensial dan penting untuk

dikonsumsi manusia. Mineral dalam susu dibedakan menjadi makromineral dan

mikromineral. Makromineral yang penting dalam susu adalah kalsium (Ca), fosfor

(P), natrium (Na), klor (Cl), dan magnesium (Mg). Ca dan P berperan penting

dalam pembentukan tulang dan gigi. Mikromineral yang penting adalah zat besi

(Fe), iodium (I), seng (Zn), selenium (Se), tembaga (Cu), kobalt (Co), dan flour

(F). Zat besi merupakan mikromineral yang merupakan komponen hemoglobin sel

darah merah (Buckle et al 1987). Kandungan beberapa mineral dalam susu dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan beberapa mineral dalam susu (Buckle et al. 1987) No. Unsur % 1. Potasium 0.140 2. Kalsium 0.125 3. Klorin 0.103 4. Fosfor 0.096 5. Sodium 0.056 6. Magnesium 0.012 7. Sulfur 0.025

Susu yang baik adalah susu yang mengandung sedikit bakteri, tidak

mengandung spora mikroba patogen, bersih dari debu atau kotoran lainnya,

mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, tidak dipalsukan, dan tidak mengandung

residu antibiotik. Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman

dikonsumsi dan dapat digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Persyaratan

kualitas susu untuk menjadi suatu produk olahan mencakup persyaratan: fisika-

kimia (chemico-physical-requirement) dan keberadaan bakteri (bacteriological

requirement). Pertumbuhan bakteri yang cepat pada susu segar menyebabkan bau

yang tidak enak (Saleh 2004).

5

Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 (BSN 2011) No. Karakteristik Syarat

1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) 10.270 2. Kadar lemak minimum 3.0% 3. Kadar bahan kering tampa lemak minimum 7.8% 4. Kadar protein minimum 2.8% 5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan 6. Derajat asam 6-7.5 °SH 7. Uji alkohol (70%) Negatif 8. pH 6.3-6.75 9. Cemaran mikroba maksimum:

a. Total kuman 1 x 106 CFU/ml

b. Salmonella Negatif

c. E.coli (patogen) negatif

d. Koliform 1 x 103 CFU/ml

10. Jumlah sel somatis maksimum 4 x 105 sel/ml 11. Cemaran logam berbahaya, maksimum

a. Timbal (Pb) 0.02 ppm

b. Merkuri (Hg) 0.03 ppm

c. Arsen (As) 0.1 ppm

12. Residu antibiotik (golongan β laktam, negatif

tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida)

13. uji pemalsuan negatif 14. Titik beku -0.520 °C s/d -0.560 °C 15. Uji peroksidase positif

Keju

Keju merupakan nama umum yang digunakan untuk sekelompok produk

makanan berbasis susu fermentasi yang diproduksi dalam berbagai rasa dan

bentuk di seluruh dunia. Pembuatan keju dilakukan dengan menggunakan enzim

untuk menggumpalkan dadih susu yang diikuti dengan pemisahan “whey” dari

koagulan yang terbentuk untuk menghasilkan dadih yang lebih padat dan kompak.

Keju merupakan satu-satunya bahan pangan asal susu yang mempunyai daya

simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan

vitamin-vitamin lainnya (Daulay 1991).

6

Tahapan dalam pembuatan keju diantaranya adalah persiapan susu segar,

pasteurisasi, penambahan enzim untuk pembentukan curd (koagulan), pemotong-

an curd, pemasakan curd, dan pengurangan whey. Proses berikutnya bergantung

pada jenis keju yang akan dihasilkan. Koagulasi susu dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah pH, suhu, ketersediaan ion kalsium, dan kualitas susu

itu sendiri. Starter keju adalah kultur aktif dari mikroorganisme non-patogen yang

ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan

karakteristik dan mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991).

Keju dibuat dengan cara menggumpalkan protein susu dengan

menggunakan enzim renin (Winarno 1993). Enzim renin dapat diperoleh dalam

bentuk rennet. Enzim ini bekerja dengan cara merusak dispersi koloidal kalsium

fosfokaseinat sehingga terbentuk gel atau tahu susu. Jenis keju bergantung pada

perlakuan tahu susu, misalnya lamanya tahu tersebut pada saat dikenakan dalam

suasana asam, panas, dan kondisi-kondisi pematangan (Buckle et al. 2009).

Suhu optimum yang diperlukan untuk penggumpalan yaitu 40°C (Winarno

1993). Susu yang akan digumpalkan tidak boleh dipanaskan tertalu lama karena

akan menyebabkan perubahan disposisi ion kalsium dalam susu. Endapan atau gel

akan terjadi saat ion kalsium bereaksi dengan protein. Meskipun sebagian besar

keju dibuat dengan renin, ada juga beberapa keju yang dibuat dengan

menambahkan asam pada susu. Faktor lain yang turut menentukan jenis keju

adalah keterlibatan mikroba dan proses peraman keju (Winarno 1993).

Saat ini umumnya keju dibuat dengan menggunakan susu yang telah

dipasteurisasi karena pasteurisasi dapat mematikan bakteri patogen yang terdapat

dalam susu, tetapi pateurisasi juga dapat mematikan organisme dan enzim yang

ikut dalam membantu proses pematangan. Jenis-jenis keju bergantung pada proses

keju tersebut dibuat, termasuk jenis susu yang dipakai, metode pembuatan, dan

perlakuan yang digunakan dalam pematangan. Klasifikasi keju dapat dilihat dari

sifat teksturnya atau cara pematangannya. Keju dianggap “lunak” jika kadar air

lebih besar dari 40%, setengah lunak jika kadar air 36-40%, “keras” jika kadar air

25-36%, dan “sangat keras” jika kadar air kurang dari 25% (Buckle et al. 1987).

7

Antibiotik

Antibiotik adalah suatu zat yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik seperti

bakteri dan jamur yang dapat membasmi dan membunuh mikroba lain. Saat ini

banyak antibiotik yang dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh (Ganiswarna

et al. 1995). Antibiotik yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut

antibiotik alami, sedangkan antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut

antibiotik sintesis, misalnya sulfonamid dan kuinolon.

Menurut Ganiswarna et al. (1995), antibiotik dapat diklasifikasikan

berdasarkan sifat toksisitas selektif, yaitu antibiotik yang bersifat menghambat

pertumbuhan mikroba yang disebut sebagai aktivitas bakteriostatik dan antibiotik

yang bersifat membunuh mikroba disebut sebagai aktivitas bakterisid.

Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu :

a. Antibiotik yang dapat menghambat metabolisme sel bakteri, contohnya

sulfonamid, trimetropim, asam p-aminosalisilat (PAS), dan sulfon.

b. Antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, contohnya penisilin,

sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.

c. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri, contohnya

polimiksin.

d. Antibiotik yang menghambat sintesa protein sel mikroba, contohnya golongan

aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.

e. Antibiotik yang menghambat sintesa asam nukleat sel bakteri, contohnya

rifampisin dan golongan kuinolon.

Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibiotik di industri peternakan bertujuan untuk pengobatan

sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi sehat kembali. Selain

untuk pengobatan, antibiotik juga digunakan sebagai imbuhan pakan yang dapat

mempercepat pertumbuhan ternak dan meningkatkan produksi hasil ternak serta

mengurangi biaya pakan (Yuningsih 2005). Penggunaan antibiotik untuk

keperluan pengobatan tidak dapat dihindari dari proses pra-produksi ternak.

Penggunaan antibiotik tersebut bertujuan untuk mengobati penyakit infeksi yang

disebabkan oleh bakteri, misalnya mastitis (Yamani 1999).

8

Lebih dari 90% kasus mastitis disebabkan oleh infeksi intramammary,

terutama disebabkan oleh spesies Streptococcus dan Staphylococcus. Pengobatan

dengan antibiotik selama laktasi dan pada inisiasi periode kering kandang adalah

praktek manajemen yang umum dilakukan sehingga kemungkinan besar akan

terdapat residu antibiotik pada saat pemerahan susu sapi. Susu yang memiliki

residu antibiotik akan mengalami penyingkiran karena susu yang mengandung

antibiotik dapat merugikan industri dan juga berbahaya bagi kesehatan konsumen

(Brady & Katz 1988). Jenis-jenis residu antibiotik yang umum terdapat dalam

susu antara lain:

1. Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur genus penisilin (Penicillium notatum) dan

diperoleh dari ektraksi kultur gabungan yang ditumbuhkan dalam media tertentu

(Brooks et al. 2001). Penisilin efektif terutama terhadap mikroba Gram positif.

Penisillin didistribusikan luas di dalam tubuh. Penisilin didistribusikan dengan

cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh dengan persentase volume

distribusi sebesar 50%. Sebagian besar penisilin akan diekskresikan melalui

ginjal, yaitu sekitar 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi

melalui kelenjar susu hanya 16% dari yang ada di dalam plasma (Admin 2007).

Ikatan protein penisilin ialah 65% (Ganiswarna et al. 1995). Menurut

Brooks et al. (2001) penisilin sebagai obat antimikroba dikelompokkan menjadi

empat kelompok utama:

a. Penisilin G, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas terkuat melawan

organisme Gram positif, Spirochaeta tetapi rentan terhadap hidrolisa oleh β-

lactamase dan labil terhadap asam.

b. Nafsilin, yaitu penisilin yang relatif tahan terhadap β-lactamase tetapi

aktivitas lebih rendah melawan organisme Gram positif dan tidak aktif

melawan organisme Gram negatif.

c. Ampisilin dan Piperasilin, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas yang

tinggi melawan kedua organisme Gram positif dan Gram negatif tetapi dapat

dirusak oleh β-lactamase.

9

d. Penisilin V, Kloksasilin, dan Amoksisilin, yaitu penisilin yang relatif stabil

pada asam lambung dan cocok untuk pemberian oral.

Menurut Brooks et al. (2001) penisilin alami yang paling sering digunakan

adalah penisilin G. Penisilin ini merupakan obat pilihan untuk infeksi-infeksi yang

disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus, Meningococcus, Spirochaeta,

Clostridia, bakteri Gram positif aerob, Staphylococcus, dan Aktinococcus yang

bukan penghasil penisilinase.

2. Tetrasiklin

Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan bakteri

Gram positif dan bakteri Gram negatif serta merupakan obat pilihan untuk infeksi

yang disebabkan oleh riketsia, klamidia, dan mikoplasma. Menurut Mutschler

(1991) tetrasiklin adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi bruselosis

pada peternakan sapi perah. Tetrasiklin diabsorbsi dari saluran usus dan

didistribusikan secara luas pada jaringan tubuh. Obat ini akan dieksresikan

terutama lewat empedu dan tinja (Brooks et al. 2001). Menurut Karlina et al.

(2009) golongan tetrasiklin akan diekresikan juga melalui susu karena obat ini

dapat menembus membran barrier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang

relatif tinggi.

3. Sulfonamid

Sulfonamid adalah salah satu antibiotik yang pemakaiannya sangat luas

untuk pengobatan penyakit akibat bakteri. Sulfonamid banyak digunakan karena

harganya murah, efisien, dan memiliki efek yang unggul dalam mencegah dan

mengobati penyakit infeksius. Sulfonamid bekerja dengan cara menghambat

sintesis asam folat oleh bakteri (Dalimunthe 2009).

Kebanyakan sulfonamid diaplikasikan secara oral dan diabsorbsi di usus.

Absorbsi yang lambat dialami oleh ruminansia dewasa atau ketika diberikan

bersamaan dengan makanan pada hewan monogastrik. Sulfonamid didistribusikan

ke seluruh tubuh, dapat melewati plasenta, menembus cairan serebrospinal, dan

sebagian didistribusikan ke dalam susu (Brooks et al. 2001).

10

4. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan antibiotik yang bekerja secara langsung pada

ribosom, membran sel, dan menghambat sintesis protein pada bakteri sehingga

menyebabkan kematian pada bakteri. Penerapan antibiotik ini dilakukan secara

injeksi, baik secara subkutan maupun intramuskular. Aminoglikosida bersifat

bakterisida yang berspektrum luas (Wiraternak 2011). Aminoglikosida sering

digunakan dalam penanggulangan infeksi berat oleh bakteri Gram negatif.

Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamar terutama dalam bentuk kering,

misalnya streptomisin. Absorbsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral

sehingga absorbsi terjadi dengan cepat dan tuntas. Rute ekskresi dari

aminoglikosida adalah melalui susu dan ginjal (Adams 2001).

5. Makrolida

Makrolida merupakan antibiotik berspektrum sempit, namun cukup efektif

untuk membunuh bakteri Gram positif dan mikoplasma. Makrolida bekerja

dengan mengganggu proses sintesis protein pada bakteri yang kemudian akan

menyebabkan kematian pada bakteri (Wiraternak 2011). Makrolida diabsorbsi di

usus halus setelah pemberian melalui oral (Plumb & Pharm 1999). Makrolida

diekskresikan terutama melalui empedu dan sekitar 50% dapat ditemukan di

dalam susu.

Penggunaan antibiotik di dunia peternakan sebagai pengobatan dan sebagai

imbuhan pakan dapat menjadi masalah apabila pemakaiannya tidak sesuai

ketentuan yang berlaku. Sesuai peraturan, antibiotik untuk pengobatan ternak

hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter hewan. Pada kenyataannya

banyak jenis antibiotik dapat diperoleh dengan mudah di toko obat hewan (poultry

shop) atau dari koperasi peternak seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau

Koperasi Pengumpul Susu (Murdiati & Bahri 1991). Hal ini dapat menyebabkan

penggunaan antibiotik secara tidak tepat karena tanpa resep dari dokter hewan.

Masalah yang akan terjadi adalah adanya residu antibiotik yang ditemukan dalam

susu apabila pemberian antibiotik tidak sesuai aturan dan tidak mematuhi

withdrawal time. Withdrawal time merupakan kurun waktu saat pemberian obat

11

terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri et

al. 2005).

Hewan ternak yang diobati menggunakan preparat antibiotik seharusnya

dibiarkan selama waktu yang ditetapkan dan susu tersebut tidak boleh dikonsumsi

sampai bebas dari bahan-bahan antibiotik (Scarya et al. 2009). Withdrawal time

beberapa antibiotik di dalam susu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu Nama antibiotik Withdrawal time Sumber Penisilin 96 jam Bishop (2005) Eritromisin 36 jam Bishop (2005) Tetrasiklin 86 jam Scarya et al. (2009) Streptomisin 48 jam Bishop (2005) Tylosin 204 jam Litterio et al. (2007)

Dampak Residu Antibiotik dalam Susu Segar sebagai Bahan Baku

Pembuatan Keju

Starter yang digunakan untuk pembuatan keju sangat sensitif terhadap

keberadaan residu antibiotik yang terdapat dalam susu yang akan digunakan

sebagai bahan dasar pembuatan keju. Keberadaan antibiotik atau agen kemoterapi

lainnya dalam susu akan menghambat pertumbuhan atau membunuh

mikroorganisme yang diperlukan untuk pembentuan keasaman dan

pengembangan cita rasa dan aroma pada keju (Tamime & Deeth 1980).

Kehadiran residu antibiotik penisilin dalam susu yang digunakan sebagai

bahan dasar pembuatan keju akan menghambat atau membunuh starter yang

digunakan, misalnya Lactococcus lactis subspesies cremoris ketika kultur

ditumbuhkan. Hal inilah yang menjadi alasan perusahaan untuk menggunakan

susu bebas residu antibiotik sebagai bahan dasar pembuatan keju. Kualitas bahan

pangan asal ternak yaitu keju yang berbahan dasar susu harus memperhatikan asas

aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Bahan pangan seperti ini dapat memberi

nilai gizi yang tinggi dan memberikan kepuasan bagi konsumen. Kelayakan

pangan sebaiknya diperhatikan dari segi kuantitas dan kualitas bahan pangan serta

bebas dari cemaran mikrobiologi, bahan kimia, logam berat, toksin, dan residu

antibiotik.

12

Menurut Thahir et al. (2005) suatu konsep jaminan mutu yang diterapkan

untuk pangan dikenal dengan hazard analysis critical control points (HACCP).

Hazard analysis critical control points merupakan suatu sistem pengawasan mutu

industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau

resiko yang mungkin timbul serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha

pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan.

Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama baik dari pihak

pemerintah, produsen, dan konsumen. Sumber daya manusia sangat penting dalam

meningkatkan keamanan pangan terutama di bidang industri. Usaha peningkatan

sumber daya manusia dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan

melalui pendidikan (formal) dan pelatihan sangat penting dilaksanakan.

Dampak Residu Antibiotik dalam Keju terhadap Kesehatan Konsumen

Residu antibiotik dalam pangan menjadi ancaman potensial terhadap

kesehatan, yaitu dari aspek toksikologi, aspek mikrobiologi, dan aspek

imunopatologis (Murdiati & Bahri 1991). Dilihat dari aspek toksikologi, residu

antibiotik bersifat toksik terhadap organ tubuh seperti hati, ginjal, dan pusat

hemopoiesis (pembentukan darah). Reaksi toksik atau keracunan dapat

disebabkan oleh antibiotik golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Golongan

antibiotik ini dapat menyebabkan reaksi keracunan dan iritasi lambung sehingga

dapat menyebabkan diare. Gejala lain yang sering terlihat adalah gangguan

pembentukan darah, reaksi neurologik, kerusakan ginjal, dan hepatotoksisitas.

Ditinjau dari aspek mikrobiologis, residu antibiotik dapat mengganggu

mikroflora saluran pencernaan dan menyebabkan resisten mikroorganisme.

Gangguan mikrobiologis ditandai dengan adanya bakteri yang resisten terhadap

antibiotik karena penggunaan yang terlalu sering. Antibiotik yang terdapat dalam

susu dapat membunuh mikroflora dalam usus. Mikroflora mempunyai

kepentingan dalam membantu proses metabolisme (Kielwein 1981), sedangkan

dari aspek imunopatologis, residu antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi

(Lukman & Purnawarman 2009). Reaksi alergi merupakan efek samping yang

disebabkan antibiotik penisilin G (Ganiswarna et al. 1995). Hal ini dikarenakan

penisilin mempunyai aktivitas antigen yang sangat kuat. Penisilin merupakan

13

kelompok antibiotik β-laktam yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding

sel. Diperkirakan 4-10% populasi manusia di dunia telah alergi terhadap penisilin

dan turunannya, padahal obat golongan penisilin masih banyak digunakan baik

pada manusia maupun ternak (Sudarwanto 1990).

Ruegg dan Tabone (2005) melaporkan bahwa pemberian antibiotik secara

oral tidak menimbulkan respon imun yang cepat dibandingkan pemberian

antibiotik secara sistemik. Reaksi alergi (dermatitis, pruritis, dan urtikaria) dari

pre-sensitivitas individu yang disebabkan oleh residu β-lactam dalam susu telah

terjadi pada beberapa orang (Dewdney & Edwards 1984).

Residu streptomisin adalah salah satu jenis residu antibiotik yang sangat

umum di dalam susu. Residu antibiotik ini sangat berbahaya karena dapat

menyebabkan reaksi alergi, hilangnya kemampuan pendengaran, keseimbangan

tubuh, dan resisten terhadap bakteri. Streptomisin tahan terhadap pemanasan

tinggi dan sering terdapat dalam susu pasteurisasi serta susu evaporasi (Roostita et

al. 2005).

Streptomisin memiliki titik didih yang sangat tinggi, maka sangat sulit untuk

menurunkan konsentrasi residu jika menggunakan suhu pemanasan (Sundlof et al.

1995; Mitchell et al. 1998). Menurut Lukman & Sudarwanto (1992) penurunan

konsentrasi residu streptomisin dapat dilakukan dengan suhu pemanasan 120 °C

selama 5 menit. Menurut Roostita et al. (2005) cara terbaik untuk mengurangi

konsentrasi residu antibiotik streptomisin adalah dengan proses high temperature

short time (HTST) (90 °C selama 25 detik) karena dapat menurunkan residu

streptomisin dari 100% menjadi 85.73%. Moats (1988) menyatakan inaktivasi

100% antibiotik golongan penisilin memerlukan waktu 1.705 menit dengan suhu

pasteurisasi 71 °C dan akan lebih cepat apabila suhu yang digunakan lebih tinggi.

Aspek lain akibat residu antibiotik adalah aspek karsinogenik seperti residu

antibiotik sulfonamid. Sulfonamid merupakan N-derivat dari 4-amino-benzen

sulfonamid dan terdiri dari banyak kelas antibiotik sintesis. Sulfonamid biasa

dipakai di dunia kedokteran hewan sebagai pengobatan yang disebabkan infeksi

dan juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Samanidou et al. (2008)

melaporkan bahwa residu antibiotik sulfonamid dalam makanan mendapat

perhatian yang besar karena sulfonamid memiliki sifat karsinogen yang potensial

14

dan dapat menyebabkan resistensi antibiotik pada flora usus manusia. Golongan

dari sulfonamid, yaitu sulfamethazin dan sulfadimin pernah dilaporkan dapat

menyebabkan tumor pada uji bioassay hewan rodensia dan juga sangat toksik

pada kelenjar tiroid.

Kehadiran residu antibiotik dalam susu menjadi perhatian besar karena

berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan kerugian

pada peternak. Semakin besar penggunaan antibiotik, baik untuk pengobatan

(terapi) maupun sebagai imbuhan pakan, semakin besar pula manfaat yang

diperoleh namun semakin besar resiko dalam keamanan pangan (Yuningsih

2005). Terjadinya resiko pada keamanan pangan yang disebabkan oleh residu

antibiotik menjadi masalah yang harus benar-benar diperhatikan. Menurut Sridadi

(1990) perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan penggunaan antibiotik

dalam peternakan untuk mendapat manfaat yang maksimal dari penggunaan

antibiotik dan meminimalkan resiko. Langkah-langkah tersebut adalah:

a. Langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit infeksi.

Penggunaan antibiotik untuk terapi harus didasarkan pada diagnosa yang

tepat dan penggunaannya yang lebih selektif, seperti: pembatasan dalam

pemakaian, pergiliran antibiotik yang dipakai, diversifikasi dengan

memanfaatkan penemuan antibiotik yang baru dan kombinasi antibiotik

yang telah teruji.

b. Langkah pengamananan penggunaan antibiotik dalam terapi profilaksis.

Pengobatan dan pencegahan penyakit sebaiknya dilakukan pada saat sapi

dalam masa kering kandang dengan dosis yang besar sehingga pada saat

laktasi tidak terjadi residu antibiotik, misalnya pada saat pengobatan

mastitis.

Selain langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit

infeksi dan profilaksis, ada juga pengamanan penggunaan antibiotik sebagai

pemicu pertumbuhan (growth promotor) melalui langkah-langkah standarisasi

pemakaian antibiotik sebagai imbuhan pakan, pemberian informasi yang jelas

mengenai withdrawal time periode untuk masing-masing antibiotik yang

digunakan, dan pemberian informasi tentang daya kerja antibiotik untuk

mengurangi dampak residu.

15

Metode Pengujian Residu Antibiotik

Banyak metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi residu antibiotik

dalam susu segar sapi. Metode-metode tersebut diantaranya uji yoghurt test

(Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008), bioassay (Eenennaam et al. 1993),

enzyme-liked immunosorbent assay (Wang et al. 2009), dan high performance

liquid chromatography (Wehr & Frank 2004).

Yoghurt Test

Menurut Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008) proses dari yoghurt test ini

yaitu susu dengan pH 6.0, dipanaskan dengan penangas air untuk beberapa saat

pada 45 °C dan diinokulasikan dengan yoghurt culture yang terdiri dari campuran

Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus.

Yoghurt test disiapkan dengan campuran 1 g biakan yoghurt culture segar dengan

99 ml susu skim yang telah dipanaskan pada suhu 95 °C selama 5 menit. Setelah

semua tercampur secara homogen, yoghurt culture ditempatkan dalam penangas

air pada suhu 42 °C selama 2.5 jam untuk memroduksi asam dalam susu.

Kemudian diamati konsistensi susu antara kental atau encer. Hasil kultur disimpan

pada suhu 5 °C.

Penelitian yang dilakukan Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008)

menyatakan bahwa yoghurt test memiliki kemampuan mendeteksi residu

antibiotik di dalam susu. Yoghurt test memiliki sensitivitas terhadap 15 jenis

antibiotik, yaitu penisilin-G, ampisilin, amoksisilin, sefaleksin, sefazolin,

oxytetrasiklin, klortetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, sulfadimidin, gentamisin,

spektinomisin, eritromisin, tylosin, dan kloramfenikol. Uji ini merupakan salah

satu uji untuk menentukan keberadaan residu antibiotik secara umum.

Yoghurt test memiliki kepekaan yang baik terhadap antibiotik

kloramfenikol, oksitetrasiklin, dan eritromisin dibandingkan terhadap antibiotik

lainnya sedangkan kepekaan terhadap antibiotik penisilin dan ampisilin sangat

rendah (Yamani et al. 1999). Keuntungan dari yoghurt test yaitu, sederhana,

murah, dan mudah untuk dilakukan (Yamani et al. 1999). Yoghurt test juga

memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap golongan antibiotik β-laktam

(Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008)

16

Bioassay

Bioassay merupakan salah satu metode pengujian yang menggunakan

mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif (BSN

2008). Menurut Zulfianti (2005) prinsip uji bioassay adalah adanya daya hambat

terhadap pertumbuhan bakteri oleh antibiotik yang terkandung dalam produk

peternakan yang menunjukkan positif adanya residu. Besarnya diameter daerah

hambat dapat dilihat dan diukur di sekitar kertas cakram. Besarnya diameter ini

menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Sebaliknya,

jika tidak ada daya hambat pertumbuhan bakteri oleh antibiotik, maka produk

peternakan dinyatakan tidak mengandung residu antibiotik atau negatif terhadap

residu antibiotik.

Enzyme-liked immunosorbent assay

Enzyme-liked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu uji

untuk diagnosis dalam pengendalian penyakit hewan, deteksi residu antibiotik,

hormon, dan residu pestisida yang terdapat dalam susu sebagai akibat dari

pengobatan atau pemacu pertumbuhan pada hewan. Metode ELISA merupakan

metode yang sederhana, cepat, spesifik, dan memiliki sensitivitas yang tinggi

untuk menganalisa beberapa sampel dalam waktu yang sama (Cliquet et al. 2001).

Prinsip ELISA adalah menggunakan antigen atau antibodi yang akan

diikatkan pada matriks padat (mikrowell plate) untuk menangkap antigen atau

antibodi yang ada di dalam larutan sampel. Kompleks antigen-antibodi atau

antibodi-antigen yang terbentuk akan dideteksi dengan menggunakan antibodi

atau antigen yang sudah dilabel dengan enzim. Konsentrasi ikatan komplek

antigen-antibodi atau sebaliknya akan dibantu oleh substrat enzim yang dibaca

dalam ELISA plate reader (Latif 2004).

High Performance liquid Chromatography

High performance liquid chromatography (HPLC) atau kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT) merupakan metode yang dapat menganalisis hampir semua

golongan antibiotik, misalnya golongan makrolida, β-laktam, kloramfenikol, dan

antibiotik lainnya (Yuningsih 2005). Metode HPLC ini memiliki tiga tahapan

17

selama proses uji, yaitu tahap ekstraksi, pemurnian, dan deteksi. Tahap ekstraksi

merupakan tahap pemisahan antibiotik dari matriks lain (lemak, protein, dan lain-

lain) dengan bahan larutan buffer atau bahan organik lain (pelarut antibiotik)

melalui pengocokan, biasanya menggunakan alat shaker atau vortex. Tahap

pemurnian dilakukan dengan teknik yang cepat dan efisien dalam pemakaian

bahan kimia, yaitu teknik solid phase extraction (SPE) dengan menggunakan

catridge C18. Tahap deteksi dilakukan dengan menginjeksikan hasil pemurnian

pada alat KCKT dan diikuti dengan injeksi larutan standar antibiotik sebagai

pembanding serta larutan fase gerak yang spesifik pada tiap jenis antibiotik.