tesis kebijakan hukum pidana dalam penanganan …
TRANSCRIPT
TESIS
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN
CRIMINAL LAW POLICY IN THE SETTLEMENT OF A CRIME OF
MEDICAL MALPRACTICE
MUHAMMAD AMIR RAHIM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Master
Program Studi Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD AMIR RAHIM
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
TESIS
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN
Disusun dan diajukan oleh:
MUHAMMAD AMIR RAHIM Nomor Pokok P0907211704
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 19
Juli 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasehat,
________________________
Prof. Dr. Aswanto, SH,M.Si,DFM
Ketua
________________________
Prof. Dr.H.M.Said Karim, SH,MH
Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
________________________
Prof.Dr.Marthen Arie,SH,MH
____________________
Prof.Dr.Ir.Mursalim,Msi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Amir Rahim
Nomor mahasiswa : P0907211704
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain,saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Maret 2013
Yang menyatakan
(Muhammad Amir Rahim)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya tesis ini.
Gagasan yang mendasari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil
pengamatan penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin bahwa kasus malpraktik akhir-akhir ini kian
marak diberitakan media massa dengan pasien sebagai korban.Namun
alangkah mirisnya, hukum positif yang berlaku belum mampu
memberikan perlindungan terhadap korban malpraktik akibat belum
adanya aturan khusus yang mengatur tentang malpraktik kedokteran yang
dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam menangani
dugaan kasus malpraktik,sehingga tulisan ini bermaksud menyumbangkan
beberapa konsep atau gagasan yang dapat dijadikan masukan bagi
pembuat undang-undang dalam rangka menyusun kebijakan yang
berkaitan dengan malpraktik kedokteran di masa yang akan datang.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka penyusunan
tesis ini,dan hanya atas bantuan berbagai pihak,maka tesis ini dapat
selesai pada waktunya.Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus
menyampaikan terima kasih kepada Prof.DR.Aswanto,SH,MSi,DFM
selaku Ketua Komisi Penasihat dan Prof.DR.H.M.Said Karim,SH,MH
sebagai Anggota Komisi Penasihat atas petunjuk dan bimbingan yang
telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan
penelitian ini,pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.
Demikian juga ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam hal pengumpulan data dan referensi terkhusus kepada
pengelola perpustakaan Fakultas Hukum Unhas yang telah memberikan
kemudahan kepada saya dalam memperoleh buku-buku yang saya
butuhkan,semoga bantuan yang anda berikan mendapat ganjaran yang
mulia dari Allah Yang Maha Kuasa.Amin
Terakhir,ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mereka
yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar,Maret 2013
Muhammad Amir Rahim
ABSTRAK
MUHAMMAD AMIR RAHIM.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran (dibimbing oleh Aswanto dan Said Karim) Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini dalam menangani tindakan malapraktik kedokteran, (2)kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran,(3)mekanisme penyelesaian kasus malapraktik kedokteran. Penyusunan tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penulis meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder yang lebih dikenal dengan istilah penelitian hukum kepustakaan, Dengan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa : a) Pengaturan di dalam hukum positif saat ini dalam menangani tindakan
malapraktik kedokteran adalah Pasal 267, Pasal 322, Pasal 344,Pasal 345, Pasal 349, Pasal 359, Pasal 360, Pasal 386, Pasal 531 KUHP, Pasal 190,Pasal 192,Pasal 193,Pasal 194,Pasal 195,Pasal 196 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009,Pasal 75,Pasal 76,Pasal 77,Pasal 78,Pasal 79,Pasal 80 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004;hukum positif Indonesia baik KUHP, Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasca putusan Mahkamah Konstitusi belum mengatur secara khusus tentang malapraktik.
b) Kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran adalah yang bersumber dari hukum positif, dalam hal ini Pasal 575,Pasal 576,Pasal 578,Pasal 589,Pasal 592,dan Pasal 593 Konsep KUHP 2008.
c) Mekanisme penyelesaian kasus malapraktik kedokteran Suatu tuntutan hukum perdata maupun pidana, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).
Kata kunci: Malapraktik,kebijakan,dokter
ABSTRACT
MUHAMMAD AMIR RAHIM. Criminal Law Policy In the Settlement of a Crime of Medical Malpractice (supervised by Aswanto and Said Karim) The study aims to determine (1) the applicable current criminal law policy concerning the medical malpractice. (2) the future criminal law concerning the medical malpractice,and (3) the mechanism for medical malpractice settlement. The study uses normative juridical approach that is bibliographical review to obtain the secondary data. The study reveals that: 1. The settlement of medical malpractice in the current positive law is
in the articles : 267, 322, 344, 345, 349, 359, 360, 386, and 531 of the Criminal Code, and Articles : 190,192,193,194,195, and 196 of the Law No. 36 of 2009 of Health, articles 75,76,77,78,79, and 80; Law No. 29 of 2004;Indonesian positive law of either Penal Code, Law No. 36 of 2009 on Health, Law No. 29 of 2004 on Medical Practice Law,or the post-verdict of Constitutional Court has not specifically covered malpractice.
2. The future criminal law policy in the settlement of medical malpractice has to be driven from the positive law, particularly Articles 575,576,578,589,592, and 593 of Penal Code draft of 2008.
3. The mechanism of malpractice case settlement for both criminal and civil law suit between doctors and hospitals against the patients and the family or their representatives can be done either in litigation (in court) or in non-litigation (outside court).
Keywords: malpractice, policy, doctor
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL..................................................................................... ...i
HALAMAN JUDUL......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.............................................. iv
PRAKATA ………………………………………………………………………… .. v
ABSTRAK …………………………………………………………………………. vii
ABSTRACT................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….... xi.
I.PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 1
A.Latar Belakang………………………………………………………………... 1
B.Rumusan Masalah………………………………………………………….. 13
C.Tujuan Penelitian…………………………………………………………… 13
D.Manfaat Penelitian…………………………………………………………… 14
II.TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………. 15
A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana…………………………………….. 15
B. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien…………………………… 26
C. Tinjauan Tentang Malapraktik Kedokteran………………………………. 32
D. Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana……………………………. 36
E.Prosedur Operasional Standar……………………………………………. 57
F.Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medis..……………………....... 59
G.Persetujuan Tindakan Medik……………………………………………..... 61
H.Kerangka Konsep…………………………………………………………... 63
III.METODE PENELITIAN………………………………………………………. 68
A.Rancangan Penelitian……………………………………………………….. 68
B.Spesifikasi Penelitian………………………………………………………… .68
C.Jenis dan Sumber Data……………………………………………………… .69
D.Metode Pengumpulan Data…………………………………………………. .70
E.Metode Analisa Data………………………………………………………… .70
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………………… .71
1.Kebijakan Hukum Pidana Saat Ini dalam Penanganan Tindak
Pidana Malpraktik Kedokteran……………………………………………… .71
2.Kebijakan Hukum Pidana Yang Akan Datang dalam Penanganan
Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran………………………………........ 131
3.Mekanisme Penyelesaian Kasus Malapraktik Kedokteran…………....... 147
V.PENUTUP…………………………………………………………………........ 150
A.Kesimpulan…………………………………………………………………… 150
B.Saran…………………………………………………………………………... 153
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 154
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pasal tentang Penyelesaian Kasus Kelalaian Tenaga Kesehatan……... 115
2. Pasal mengenai Hak Ganti Rugi atas Kesalahan / Kelalaian oleh
Tenaga Kesehatan…………………………………………………………… 117
3. Pasal tentang Larangan Melakukan Aborsi……………………………….. 122
4. Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan…………………………………. 134
5. Perbedaan Resiko Medik dengan Malapraktik…………………………… 136
6. Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan yang Dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan…………………………………………………………… 140
7. Sanksi Pidana Kelalaian yang Menyebabkan Kematian dan Luka
Berat…………………………………………………………………………… 142
8. Sanksi Pidana Perampasan Nyawa atas Permintaan Korban…………...145
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang
kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat
beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak
mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk, dan kadang-kadang
akan berakhir dengan kematian. Kasus tindak pidana di bidang medik
yang banyak terjadi dan diekspos di berbagai media hanya merupakan
beberapa kasus yang menguap, sehingga dapat dikatakan seperti gunung
es (iceberg).Merebaknya kasus-kasus tindak pidana tersebut juga
merupakan suatu pertanda kemajuan dalam masyarakat, atas
kesadarannya akan hak-haknya yang berkenaan dengan kesehatan dan
pelayanan medik.
Berlakunya Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan,memberi peluang bagi pengguna jasa atau pasien untuk
mengajukan gugatan / tuntutan hukum terhadap pemberi pelayanan
kesehatan apabila terjadi konflik antara pasien dengan pemberi pelayanan
kesehatan yang dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat
melakukan / tidak melakukan/terlambat melakukan sesuatu yang
menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa / barang, baik kerugian harta
benda atau cedera atau bisa juga kematian. Hal Ini memberikan arti
bahwa pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat
menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya
jika terjadi konflik.
Pada era global dewasa ini, tenaga medik merupakan salah satu
profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat
pengabdiannya kepada masyarakat sangat kompleks.Akhir-akhir ini,
masyarakat banyak yang menyoroti kinerja tenaga medik, baik sorotan
yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui
media cetak maupun media elektronik.Kebanyakan orang kurang dapat
memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan
tenaga medik yang dapat mempengaruhi hasil upaya medik, seperti
misalnya stadium penyakit,kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat
dan juga kepatuhan pasien untuk menaati nasehat dokter. Faktor-faktor
tersebut dapat mengakibatkan upaya medik (yang terbaik sekali pun)
menjadi tidak berarti apa-apa.Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian
dikatakan bahwa hasil suatu upaya medik penuh dengan ketidakpastian
(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik1.Begitu
pula halnya dengan proses diagnosis (mencari dan mendefinisikan
gangguan kesehatan), yang pada hakikatnya merupakan bagian dari
pekerjaan tenaga medik yang paling sulit. Meskipun sudah banyak alat
1S.Sutrisno,Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-Segi Hukum
Pembuktian, Makalah dalam Seminar Malpraktik Kedokteran, Semarang 29 Juni 1991, hlm.
22
canggih yang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan ini,tetapi tidak
menutup kemungkinan terjadinya tingkat kesalahan (perbedaan klinik dan
diagnosis otopsi klinik) di berbagai rumah sakit dinegara-negara maju.
Sama halnya dengan tindakan terapi, hasil diagnosis yang salah juga
tidak secara otomatis menimbulkan adanya tindak pidana.Harus dilakukan
penelitian terlebih dahulu apakah kesalahan tersebut merupakan akibat
tidak dilaksanakannya standar prosedur diagnosis.
Pada kenyataan sehari-hari sering terdengar keluhan-keluhan dari
masyarakat tentang mutu pelayanan yang diterima dari rumah
sakit.Keluhan tersebut antara lain mengenai pelayanan rawat inap yang
dianggap kurang nyaman, jarang/tidak adanya kunjungan dokter ahli atau
fasilitas yang diterima tidak sesuai dengan mahalnya biaya yang
dikeluarkan pasien. Ada juga keluhan mengenai petugas penerima pasien
yang mewajibkan pembayaran uang muka untuk 10 (sepuluh) hari
kedepan.Keluhan juga disampaikan mengenai pelayanan IGD/UGD yang
dianggap tidak cekatan dan tidak manusiawi. Dikeluhkan bahwa petugas
UGD tidak segera memberikan pertolongan pada pasien kecelakaan lalu
lintas dengan alasan menunggu keluarga dekatnya. Setelah keluarga
dekat pasien datang, petugas tersebut menanyakan pada mereka
mengenai siapa yang bertanggungjawab atas biaya rumah sakit. Keluhan
keluhan tersebut tidak seluruhnya benar, misalnya dalam kasus petugas
UGD.Secara faktual petugas tidak bisa disalahkan apabila menanyakan
pada pasien apakah membawa uang atau tidak, tetapi bukan karena
khawatir pasien tidak akan membayar biaya pengobatan/perawatan, tetapi
karena ada resep yang cukup mahal yang harus ditebus di
apotek.Ternyata pula, pasien bukannya ditelantarkan, bahkan telah
dilakukan pertolongan pertama, dan tindakan selanjutnya menunggu
ditebusnya resep tersebut.Selain itu, pihak rumah sakit selalu
dipersalahkan apabila terjadi akibat buruk pada pasien yang terjadi saat
atau setelah mendapat pengobatan/perawatan/tindakan medik yang
berupa keadaan penyakit yang semakin parah, timbul cedera atau bahkan
kematian.
Permasalahannya adalah apabila seorang tenaga medik dianggap
selalu harus bertanggungjawab jika terjadi akibat buruk pada pasien, atau
tidak berhasil menyembuhkan pasien, maka hal ini justru dapat merugikan
pasien yang bersangkutan.Penilaian pasien terhadap rumah sakit/tenaga
medik yang dikeluhkan tersebut di atas, sudah barang tentu tidak
seluruhnya benar dan bersifat subyektif. Namun keluhan tersebut secara
faktual tidak dapat diabaikan begitu saja agar tidak menimbulkan konflik
hukum yang berkepanjangan dan melelahkan.Sebagai contoh kasus
malapraktik yang dialami oleh Prita Mulyasari yang membuat masyarakat
memandang negatif terhadap profesi tenaga medik terusik. Kasus
tersebut bermula ketika adanya kesalahan diagnosis karena adanya
kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium,kemudian dirawat namun tidak
kunjung membaik bahkan menyebabkan kondisi pasien semakin
memburuk dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit lain. Hal tersebut
mengundang banyak pertanyaan dalam masyarakat, mengingat awal
mulanya adalah untuk menyembuhkan,namun berakibat pada kejadian
yang makin parah. Kasus-kasus demikian merupakan contoh yang
menggambarkan sikap kurang hati-hati, kurang teliti, kesembronoan, dan
kecerobohan dari tenaga medik, baik yang dilakukan oleh dokter maupun
tenaga medik rumah sakit, yang seringkali dikenal dengan istilah
malapraktik medik (medical malpractice).Tindakan malapraktik
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil di pihak pasien
atau keluarga pasien sebagai korban.Kasus malapraktik yang ada
seringkali berujung kepada penderitaan pasien.Oleh karena itulah kiranya
perlu dikaji bagaimana rumusan undang-undang tentang malapraktik,
terutama yang menyangkut masalah hubungan hukum pasien dengan
rumah sakit, hak dan kewajiban para pihak, pertanggungjawaban dan
aspek penegakan hukumnya.
Tujuan utama dari pengaturan itu adalah untuk melindungi
masyarakat dalam hal ini pasien dari praktek pengobatan yang tidak
bermutu, bersifat coba – coba atau yang dapat membahayakan
kesehatan.Begitu juga apabila dokter atau tenaga kesehatan dalam
melakukan tindakan atau pelayanan medik terhadap pasien dapat
menggunakan ketrampilan dan pengetahuannya dengan baik dan berhati
– hati agar tidak menimbulkan kesalahan yang dapat merugikan dokter
sendiri maupun pasien.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk
melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit,
termasuk di dalamya pelayanan medik yang didasarkan atas dasar
hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan
kesembuhan atas penyakit yang dideritanya.Dokter merupakan pihak
yang mempunyai keahlian di bidang medik atau kedokteran yang
dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan
medik. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan
penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan
disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban
memberikan pelayanan medik yang sebaik-baiknya bagi pasien.Dalam
memberikan pelayanan tersebut kadang timbul akibat yang tidak
diharapkan meskipun dokter telah berupaya semaksimalmungkin dengan
menggunakan ilmu dan tekhnologi kedokteran yang setinggi-tingginya dan
dengan mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional
Namun selain itu dapat terjadi kealpaan atau kelalaian dari dokter
atau tenaga kesehatan lain yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak
berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang
terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niat jahat dari
pelaku.Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan
tindakan medik menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap
dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi
kedokteran.Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian
berada pada pihak pasien.
Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan siapa
saja, tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran
yang berkompeten dan memenuhi standar tertentu.Secara teoritis terjadi
sosial kontrak antara masyarakat profesi dengan masyarakat
umum.Dengan kontrak ini, memberikan hak kepada masyarakat profesi
untuk mengatur otonomi profesi, standar profesi yang disepakati.
Sebaliknya masyarakat umum (pasien) berhak mendapatkan pelayanan
sesuai dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat profesional
tadi.Dengan demikian dokter memiliki tanggungjawab atas profesinya
dalam hal pelayanan medik kepada pasiennya.Dokter sebagai profesi
mempunyai tugas untuk menyembuhkan penyakit pasiennya.Kadangkala
timbul perbedaan pendapat karena berlainan sudut pandang, hal ini bisa
timbul karena banyak faktor yang mempengaruhinya, mungkin ada
kelalaian pada sementara dokter, atau penyakit pasien sudah berat
sehingga kecil kemungkinan sembuh, atau ada kesalahan pada pihak
pasien. Selain itu masyarakat atau pasien lebih melihat dari sudut
hasilnya, sedangkan dokter hanya bisa berusaha, tetapi tidak menjamin
akan hasilnya asalkan dokter sudah bekerja sesuai dengan standar
profesi medik yang berlaku.Kemajuan teknologi bidang biomedik disertai
dengan kemudahan dalam memperoleh informasi dan komunikasi pada
era globalisasi ini memudahkan pasien untuk mendapatkan second
opinion dari berbagai pihak,baik dari dalam maupun dari luar negeri , yang
pada akhirnya bila dokter tidak hati – hati dalam memberikan penjelasan
kepada pasien, akan berakibat berkurangnya kepercayaan pasien kepada
para dokter tersebut .
Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat
dirumuskan secara mandiri sehingga batasan – batasan mengenai
malapraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian dan batasan
– batasan malapraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi
mana orang memandangnya.2UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran juga tidak memuat tentang ketentuan malapraktik
kedokteran.Pasal 66 ayat(1) mengandung kalimat yang mengarah pada
kesalahan praktik dokter yaitu“Setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” Norma ini hanya
memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya
apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan
pula sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal
itu hanya mempunyai arti dari sudut hukum administrasi praktik
kedokteran.Pasal 29 Undang Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009
hanya menyinggung tentang kelalaian yang berbunyi “Dalam hal tenaga
2 Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam
tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran 2004.hlm. 21
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya,kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi.”Selanjutnya Pasal 58 ayat (1) undang-undang yang sama
berbunyi “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang,tenaga kesehatan,dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya.”Sampai saat ini belum ada pasal dalam
Undang-Undang Kesehatan,Undang-Undang Praktik Kedokteran maupun
KUHP yang secara eksplisit menyebut kata malapraktik demikian pula
dalam penjelasannya.
Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter
yang melakukan tindakan malapraktik medik selain memberi perlindungan
hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai
kedudukan yang lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut
dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan
terbukti tidak melakukan perbuatan malapraktik akan dapat
mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena
hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa
atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan dan kerahasiaan.
Malapraktik kedokteran memang merupakan konsep pemikiran
barat khususnya Amerika. Dalam kepustakaan Amerika secara jelas
menggunakan medical malpractice karena istilah ini berkembang dari
sistem hukum tort atau sistem juri yang mana tidak dikenal dalam sistem
hukum di Indonesia .Sistem hukum Indonesia yang salah satu
komponennya adalah hukum substantif, diantaranya hukum pidana,
hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum
malapraktik. Justru yang utama dan mendasar ada di dalam hukum
kesehatan Indonesia yang berupa Undang – Undang Kesehatan No 36
Tahun 2009 secara resmi menyebut kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesi dalam Pasal 29 dan 58 , lebih – lebih apabila
ditinjau dari budaya hukum di Indonesia malapraktik merupakan sesuatu
yang asing karena batasan mengenai malapraktik yang diketahui dan
dikenal oleh kalangan profesi kedokteran dan hukum itu berasal dari alam
pikiran barat.Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna
memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malapraktik .
Tuntutan terhadap malapraktik kedokteran seringkali kandas di
tengah jalan karena sulitnya pembuktian.Dalam hal ini pihak dokter
membela diri dan mempertahankan hak – haknya dengan mengemukakan
alasan–alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien,
pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam
menghadapi masalah malapraktik kedokteran ini, terutama dari sudut
teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan.
Masalahnya terletak pada belum adanya hukum dan kajian hukum khusus
tentang malapraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman dalam
menentukan dan menangani adanya malapraktik kedokteran di
Indonesia.Untuk itu maka perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum
pidana yang dapat dikaitkan dengan kelalaian atau malapraktik
kedokteran.
Karena itulah maka perlu dibahas mengenai malapraktik
kedokteran dari sudut kajian hukum pidana,karena kajian malapraktik
kedokteran dari sudut hukum sangatlah penting. Persoalan malapraktik
kedokteran lebih dititikberatkan pada permasalahan hukum,karena
malapraktik kedokteran adalah praktik kedokteran yang mengandung sifat
melawan hukum sehingga menimbulkan akibat fatal bagi pasien.Kasus-
kasus malapraktik seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul
dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan
dokter atau tenaga medik lainnya yang berpotensi merupakan malapraktik
yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi
masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum
tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang
kedudukannya tentu tidak setara dengan dokter.Akan sangat sulit
terkadang dipahami oleh pasien yang menjadi korban dari tindakan
malapraktik atau masyarakat awam lainnya mengapa sangat tidak mudah
membawa masalah malapraktik medik ini ke jalur hukum.Masyarakat
kemudian mengambil penilaian bahwa aparat penegak hukum kurang
serius menanggapi kasus malapraktik medik ini.Untuk menetapkan
seorang menjadi tersangka atau terdakwa tentu bukan hal yang mudah
apalagi untuk perkara malapraktik yang menyangkut aspek medik yang
kadang kurang dipahami penegak hukum.Dari segi hukum, kelalaian atau
kesalahan akan terkait dengan sifat perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang
dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari makna
yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan
sebagai “criminal malpractice” apabila memenuhi rumusan delik pidana
yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan
dilakukan dengan sikap batin yang salah berupa kesengajaan,
kecerobohan atau kealpaan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas agar permasalahan mengenai
penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran menjadi jelas perlu
penjabaran lebih rinci terutama dalam hal perlindungan hukum terhadap
pasien atau korban malapraktik.Masyarakat yang dirugikan atas adanya
malapraktik kedokteran membutuhkan perlindungan hukum yang telah
mengakibatkan kerugian atau penderitaan lebih lanjut pada pasien, Untuk
menciptakan suatu bentuk kepastian hukum dan menjamin pelayanan
upaya kesehatan dan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut selain
KUHP pemerintah telah mengeluarkan undang – undang di bidang
kesehatan dan undang – undang praktik dokter, yaitu Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 1992 Jo Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Dokter.Bagi masyarakat terutama para korban pertanyaan yang
menjadi perhatian adalah mengapa begitu sulit membawa kasus
malapraktik “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat hukum
dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa
persoalan malapraktik medik ke ranah hukum terutama hukum pidana,
untuk itu perlu dikaji kembali mengenai kebijakan yang ada saat ini
(undang-undang yang berkaitan dengan malapraktik kedokteran) dan
kebijakan yang akan datang di dalam menangani tindak pidana
malapraktik kedokteran.
Berdasarkan deskripsi permasalahan sebagaimana diuraikan di
atas,maka penulis mempunyai ketertarikan untuk mengadakan penelitian
yang hasilnya ditulis dalam bentuk tesis dengan judul : Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana saat ini dalam menangani
tindak pidana malapraktik kedokteran?
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam
menangani tindak pidana malapraktik kedokteran?
3. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian hukum bila terjadi dugaan
malapraktik kedokteran?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana yang berlaku
saat ini dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran; .
2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana yang akan
datang dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran;.
3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian hukum bila terjadi dugaan
malapraktik kedokteran;
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini
dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah
bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana,
khususnya pemahaman teoritis tentang tindak pidana dibidang medik
bagi aparat penegak hukum ,pemerintah dan masyarakat, khususnya
dalam malapraktik kedokteran yang terjadi di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran
dan pertimbangan dalam menangani kasus malapraktik kedokteran
dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak
hukum dan pemerintah khususnya dalam upaya penanganan tindak
pidana malapraktik kedokteran di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Beberapa tulisan menterjemahkan istilah kebijakan dengan
"politik"3,"policy","politick"4, "beleid” Oleh karena itu kebijakan hukum
pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana, penal
policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek5. Dengan demikian
istilah-istilah yang diberikan untuk kebijakan hukum pidana adalah "politik
hukum pidana", "penal policy", "criminal law policy” atau
"strafrechtspolitiek". Membicarakan masalah politik hukum pidana, maka
akan terkait dengan politik hukum dan politik kriminal. Politik hukum terdiri
atas rangkaian kata politik dan hukum Mahfud menjelaskan sebagaimana
yang dikutip Teguh P. dan Abdul H.B., bahwa hukum merupakan produk
politik.Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel
berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan
politik hukum sebagai:Kebijakan hukum yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian
tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
3Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Penerbit
Sinar Baru, 1983,hlm.16
4Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ,Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti,2005.hlm. 24
5Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.Cit.hlm.25
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan
hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-
pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin
sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-
pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya6.
Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu 7
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan8.
Melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa
yang akan datang9.
6Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Diskriminalisasi, Cetakan 1,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005. hlm.12
7Sudarto, Hukum Pidana dan Op.Cit., hlm 20. Lihat juga Barda Nawawi Aiief,
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.Cit, hlm. 25
8Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung:Alumni,1981. hlm.161
9Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana,Op.Cit.,hlm 159. Lihat juga Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit.,hlm. 24-25
Definisi politik hukum pidana dari Sudarto di atas sesuai dengan definisi
yang diberikan oleh Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief
yang menyatakan bahwa "penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya
dinyatakan olehnya :"Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di
satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak,
ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki
fenomena legislalif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para
sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat
bekerja sama tidak sebagai: pihak yang saling berlawanan atau saling
berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas
bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang
realistik, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.
Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Marc
Ancel merupakan salah satu dari modern criminal science.Modern
criminal science menurut beliau terdiri dari 3 (tiga komponen) yaitu
criminology, criminal law dan penal policy.
Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait
dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal
policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti
sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :
a. dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur
penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
polisi;
c. dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat10
Secara singkat Sudarto memberikan definisi politik criminal sebagai
usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam menangani
kejahatan tindak pidana11. Definisi serupa juga dikemukakan oleh Marc
Ancel yang dikutip Muladi sebagai "the rational organization of the control
of crime by society” 12.Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan
pemilihan dari sekian banyak alternatif,mana yang paling efektif dalam
usaha penanganan tindak pidana tersebut13.Dengan demikian politik
hukum pidana dilihat dari bagian politik hukum mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Sedangkan dilihat dari sudut
10 Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung:Alumni.1986, hlm.113-114
11
Sudarto.Hukum dan Hukum Pidana Op.Cit, hlm 38. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Op.Cit.,hlm.1
12Muladi.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.Semarang:Badan Penerbit
Universitas Diponegoro 2002.hlm 7
13
Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana.Op.Cit.,hlm.114
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
"kebijakan penanganan tindak pidana dengan hukum pidana"14 .
Sehubungan dengan keterkaitan antara politik hukum pidana
dengan politik hukum, politik hukum itu sendiri berkaitan dengan
pembaharuan hukum.la memberi petunjuk apakah perlu ada.
pembaharuan hukum, sampai berapa jauh pembaharuan itu harus
dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaharuan tersebut. Demikian
pula dengan politik hukum pidana terkait dengan pembaharuan hukum
pidana sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarto bahwa dalam politik
hukum pidana akan muncul pertanyaan-pertanyaan misalnya apakah
perlu ada pembaharuan hukum pidana. Kalau perlu, bidang-bidang
apakah yang perlu diperbaharui atau direvisi15.
Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaharuan
hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk bidang "penal
policy" yang merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement
policy / "criminal policy" dan "social policy".Hal ini berarti pembaharuan
hukum pidana merupakan:
a. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi
hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum;
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:
Alumni. 1992, hlm. 25-26.
15
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm. 159
b. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/
menangani tindak pidana dalam rangka perlindungan masyarakat;
c. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial
dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan
nasional (yaitu "social defence" dan "social welfare"):
d. Upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan reevaluasi")
pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosio-
filosofik,sosio-politik dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan
kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.
Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai
dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai
dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WVS)16.
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung
makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum
pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik
dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.Secara
singkat beliau menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada
nilai (value-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada
16Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Bandung : PT Citra Adhya Bakti, 2005, hlm. 3
kebijakan (policy oriented approach}17.Selanjutnya Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan
pendekatan kebijakan karena memang pada hakikatnya pembaharuan
hukum pidana hanya merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik
hukum pada umumnya, dan khususnya bagian dari politik hukum pidana
(criminal law/penal policy atau strafrechtspolitiek). Lebih luas lagi, politik
hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari politik penegakan hukum, politik kriminal dan politik
sosial.Didalam setiap kebijakan (policy atau politik) dipertimbangkan
berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan hukum pidana harus pula
berorientasi pada pendekatan nilai.18
Di dalam bukunya yang lain, Barda Nawawi Arief menjelaskan
bahwa pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-
kebijakan adalah :
a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya);
17
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan,Dalam : Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994, hlm. 2
18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.Cit, hlm. 28-29
b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanganan tindak pidana);
c. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.
Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-
nilai merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali
(reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik,sosio-filosofik dan
sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif
dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan19.
Dalam menangani masalah tindak pidana, sekiranya hukum pidana
yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka kebijakan
hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan yang lebih luas yaitu
politik kriminal. Dapat dikatakan kebijakan hukum pidana merupakan sub
sistem dari politik kriminal sehingga wajar kalau tujuan kebijakan hukum
pidana tidak boleh lepas dari tujuan politik kriminal,sedangkan politik
kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang lebih luas
yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy). Demikian pula dengan kebijakan
penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan
19Barda Nawawi Arif.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta:Kencana.2010.hlm.30
sosial (social policy) yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat
(social welfare dan social defence).Hal ini sesuai dengan pendapat
Sudarto yang menyatakan, apabila hukum pidana hendak digunakan,
hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal atau social
defence, planning yang inipun harus merupakan bagian integral dari
rencana pembangunan nasional"20.
Kebijakan kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan
yang lebih besar yaitu kebijakan penegakan hukum dan kebijakan
sosial.Dengan demikian, di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
penegakan hukum, harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
yang tercakup di dalamnya perlindungan masyarakat.Menurut Barda
Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanganan tindak pidana atau
politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka
kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial
(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan
sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (social defence policy).
Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement
policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi
(kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) dan tahap
eksekusi (kebijakan eksekutif / administratif).Tahap formulasi adalah tahap
20
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm.104
penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang
atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang.Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum
pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan
sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap
pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.Dari
ketiga tahap tersebut, tahap formulasi sebagaimana dikatakan oleh Barda
Nawawi Arief merupakan tahap yang paling strategis dari upaya
pencegahan dan penanganan tindak pidana melalui kebijakan hukum
pidana. Kesalahan kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan
strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanganan tindak pidana pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : dalam tahap formulasi ini
peraturan perundang-undangan pidana dibuat. Dengan dibuatnya
peraturan tersebut maka sudah ditentukan perbuatan apa saja yang
merupakan perbuatan yang dilarang atau diperbolehkan oleh hukum
pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi yang mengatur baik
ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum,
pertanggungjawaban pidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan baik
berupa pidana maupun tindakan.Dengan terbentuknya peraturan
perundang-undangan pidana tersebut maka akan berlanjut pada tahap
aplikasi yaitu penerapan peraturan perundang-undangan pidana tersebut
oleh hakim. Peraturan perundang-undangan pidana yang diterapkan oleh
hakim akan dilaksanakan pada tahap eksekusi. Dengan demikian tahap
formulasi merupakan awal dari upaya penanganan dan pencegahan
kejahatan.Apabila upaya awal ini tidak tepat dalam menetapkan perbuatan
pidana,maka akan mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya.Oleh karena
itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang-undangan
pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap
peraturan perundang-undangan bahkan peraturan perundang-undangan
pidana itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga
tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang merupakan
proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai
pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau
mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa
untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu.Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa undang-undang mempunyai dua fungsi yaitu
fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, Roeslan Saleh
mengatakan bahwa jika undang-undang dijadikan sesuatu yang dapat
digunakan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam
masyarakat,maka perundang-undangan akan merupakan bagian dari
suatu kebijaksanaan tertentu. Undang-undang merupakan salah satu dari
serangkaian alat-alat yang ada pada pemerintah untuk dapat melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan. Berkaitan dengan hukum pidana, Roeslan
Saleh mengatakan bahwa :"Sanksi-sanksi pidana dalam perundang-
undangan biasanya dipandang sebagai bagian penutup dari suatu
rangkaian peraturan-peraturan administratif dan sanksi-sanksi.Tentang ini
kelihatan dengan jelas sekali pada undang-undang yang mengandung
stelsel perizinan.Sanksi-sanksi yang ada di dalamnya sebenarnya bersifat
administratif, tetapi sanksi pidana itu dipandang perlu sekali untuk
melengkapkan.Jadi menempatkan sanksi-sanksi pidana di dalam undang-
undang itu oleh karenanya merupakan suatu komplemen mutlak dari
pemberian wewenang kepada alat pemerintah. Dengan kemungkinan-
kemungkinan seperti dikemukakan di atas, maka undang-undang akan
merupakan dasar juridis di atas mana ditegakkan pelaksanaan
kebijaksanaan pemerintah.Dengan demikian penggunaan hukum pidana
untuk menegakan peraturan-peraturan dalam hukum administrasi
merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sesuai dengan tujuan tersebut maka dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan hukum pidana harus dapat menampung
aspirasi masyarakat sesuai dengan falsafah dan norma hukum dasar
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
B. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien
Ada 3 model hubungan dokter-pasien menurut Robert T.Francoeur,yaitu:
1. Model hubungan rekayasa
Model hubungan ini,dokter melepaskan tanggungjawab moralnya dan
memberikan informasi kepada pasien sesuai fakta dan selanjutnya
pasien sendiri yang menentukan keputusan untuk dirinya.Model ini
mempunyai kekurangan dikarenakan dokter dianggap dapat menolong
pasien untuk melakukan bunuh diri karena dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral atau
dengan kata lain dokter dapat saja melanggar kode etik sendiri.
21
2. Model hubungan paternalistik
Dalam model ini dokter dianggap ahli dalam bidangnya dan dianggap
selalu mengetahui apa yang terbaik bagi pasiennya.22
3. Model hubungan perjanjian(kontraktual)
Model hubungan ini menekankan kepada etik bagi hubungan interaksi
manusia.23
Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama
dokter, memang merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi
jasa.Hubungan antara dokter dan pasien pada umumnya berlangsung
sebagai hubungan biomedik aktif-pasif24.Namun perlu disadari bahwa
dokter tidak bisa disamakan dengan pemberi/penjualan jasa pada
umumnya.Hubungan ini terjadi pada saat pasien mendatangi dokter/pada
saat pasien bertemu dengan dokter dan dokterpun memberikan
pelayanannya maka sejak itulah telah terjadi suatu hubungan hukum.
21
Slamet Sampurno Suwondo,Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan diIndonesia,Suatu Tinjauan Yuridis.Makassar: PUKAP.hlm.24-25
22
Ibid, 23
Ibid,hlm.74
24
Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran,Bandung: Mandar Maju 1996, hlm. 42
Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha
(Inspannings-verbintenis) yaitu di mana dalam melaksanakan tugasnya
dokter berusaha untuk menyembuhkan atau memulihkan kesehatan
pasien.Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan tidak mungkin
dapat memberikan jaminan/garansi kepada pasiennya. Dan dokter juga
tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak
sesuai dengan yang diharapkan sepanjang dalam melakukannya dokter
telah mematuhi standar profesi dan standar prosedur operasional (Pasal
50 butir (a) dan (b) UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).
Hubungan antara dokter dan pasien secara yuridis dapat dimasukkan ke
dalam golongan kontrak .Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran
(meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal. Pihak pertama
mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan , sedangkan pihak kedua
menerima pemberian pelayanan tersebut.Timbulnya perikatan medik atau
kontrak terapeutik ini dapat terjadi melalui 2 bentuk yaitu:
1. Berdasarkan perjanjian atau persetujuan yaitu hubungan hukum yang
terjadi sejak saat pasien datang ke tempat praktik dokter atau ke
rumah sakit serta telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter.
2. Berdasarkan undang-undang,yaitu apabila ada pasien gawat yang
membutuhkan pertolongan dokter secepatmungkin ,kalau tidak segera
diberikan pertolongan nyawanya akan terancam.Dalam keadaan
semacam ini,undang-undang mewajibkan dokter segera melakukan
pertolongan baik dengan ataupun tanpa persetujuan pasien.
Dalam keadaan biasa (bukan kondisi darurat) pasien datang kepada
dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan sedangkan dokter setuju
untuk memberikan pengobatan.
Selain itu, dokter sebagai profesional menjadi anggota organisasi
profesi yang memiliki peraturan sendiri (Self Regulation) yang diakui
keabsahannya yang disebut sebagai Kode Etik. Dokter juga memiliki
sumpah/janji yang harus diucapkan dan dihayati dalam hati serta dipakai
sebagai pedoman dalam perilakunya.Tidak kalah pentingnya adalah
fungsi sosial yang melekat pada rumah sakit sebagaimana diatur dalam
Pasal 29 ayat 1 butir (f) UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
berbunyi “Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban melaksanakan
fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien
tidak mampu/miskin,pelayanan gawat darurat tanpa uang muka,ambulan
gratis,pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa,atau bakti sosial
bagi misi kemanusiaan”
Menurut ketentuan undang-undang, rumah sakit milik swasta juga
harus memberikan pelayanan kesehatan kepada golongan masyarakat
tidak mampu dengan tidak mencari keuntungan.Ketentuan UU Rumah
Sakit ini sesuai pula dengan Pasal 3 Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang menyatakan bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya
tidak boleh mempertimbangkan keuntungan pribadi. Sedangkan bagi
rumah sakit telah diatur pula pada Pasal 3 Kode Etik Rumah Sakit
Indonesia (KODERSI), yang berbunyi:“Rumah Sakit harus mengutamakan
pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta tidak
mendahulukan biaya “.
Dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Rumah Sakit
yang kemudian dipertegas dengan Kode Etik Kedokteran dan Kode Etik
Rumah Sakit Indonesia, maka jelas bahwa rumah sakit/dokter baik
pemerintah maupun swasta harus memberikan pelayanan kesehatan
tanpa mempertimbangan keuntungan pribadi .
B.1 Pola Dasar Hubungan Antara Dokter dan Pasien
Pola dasar hubungan dokter pasien terutama berdasarkan keadaan
sosial budaya dan penyakit pasien,menurut Szas dan Hollender (1956)
,dapat dibedakan menjadi tiga,yaitu :25
1. Activity – Passivity
Pola hubungan ini terjadi pada pasien yang keselamatan jiwanya
terancam,atau sedang tidak sadar,atau menderita gangguan mental
berat.Pola terapi terjadi dalam keadaan pasien tidak berdaya.
2. Guidance – Cooperation
Hubungan membimbing-kerjasama,seperti halnya hubungan antara
orangtua dengan remaja.Pola ini terjadi bila keadaan penyakit pasien
tidak terlalu berat,misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut
lainnya.Meskipun sakit,pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta
kemauan sendiri.Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan
bersedia bekerjasama.Walaupun dokter mengetahui lebih banyak,ia
25
AriYunanto,Helmi.HukumPidanaMalpraktik Medik.Yogyakarta:Andi.2010.hlm.15
tidak semata-mata menjalankan wewenangnya,namun mengharapkan
kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dan
anjuran dokter.
3. Mutual Participation
Filosofi dasar dari pola pendekatan ini adalah berdasarkan pemikiran
bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama.Pola ini
terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatan dengan
melakukan medical check up atau pada pasien yang menderita
penyakit kronis seperti hipertensi atau diabetes mellitus.Pasien secara
sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya sendiri.
B.2. Tidak Terdapat Hubungan Dokter dan Pasien
Beberapa keadaan dimana dianggap tidak terdapat hubungan dokter
pasien adalah :26
1. Suatu pemeriksaan kesehatan sebelum masuk bekerja untuk
menentukan apakah calon tersebut cocok atau tidak masuk lowongan
pekerjaan tersebut.
2. Pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah seseorang memenuhi
syarat untuk asuransi, tidak menimbulkan hubungan dokter – pasien.
3. Apabila seorang dokter ditunjuk oleh pengadilan untuk memeriksa
apakah tertuduh menderita penyakit jiwa atau tidak dan melaporkan
kepada pengadilan, maka tidak terdapat hubungan dokter – pasien.
26Indar, Etika dan Hukum Kesehatan.Makassar : Lembaga Penerbitan
Unhas,2010 ,hlm.160
4. Seorang spesialis bedah yang melakukan suatu otopsi terhadap suatu
tubuh mayat, tidak terdapat hubungan dokter pasien.
5. Suatu tanya jawab dalam percakapan antara seorang dokter dengan
seseorang tidak menciptakan hubungan dokter pasien.
C. Tinjauan Tentang Malapraktik Kedokteran
Malapraktik kedokteran adalah suatu tindakan medik yang
dilakukan oleh tenaga medik yang tidak sesuai dengan standar tindakan
sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau
kesengajaan dalam hukum pidana.27
Malapraktik medik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi
undang-undang atau kode etik.28.Selain itu ada beberapa pendapat
sarjana mengenai pengertian malapraktik:
a. Veronica memandang malapraktik sebagai kesalahan dalam
menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban –
kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.29
b. Safitri Hariyani megemukakan bahwa seorang dokter dianggap
melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan
,tidak mendiagnosis,tidak melakukan sesuatu,atau tidak membiarkan
27Bambang Tri Bawono.Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanganan
Malpraktik Profesi Medis.Jurnal Hukum Vol XXV.No.1,April 2011.Universitas Islam Sultan Agung(Unissula).Semarang
28Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,Depdikbud, Jakarta, 1990 Cetakan ke 3, hlm.551
29
Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter,Jakarta:Sinar Harapan,1989
sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan
situasi dan kondisi yang sama akan melakukan pemeriksaan dan
diagnosis serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut.30
c. Ngesti Lestari mengartikan malapraktik secara harfiah sebagai
pelaksanaan atau tindakan yang salah.31
Sedangkan menurut J. Guwandi malapraktik medik meliputi tindakan-
tindakan sebagai berikut:
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh
seorang tenaga kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban.
3. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.32
Selanjutnya dari beberapa pendapat pakar Guwandi memberikan
pengertian bahwa malapraktik dalam arti luas dibedakan antara tindakan
yang dilakukan33:
a. Dengan sengaja (dolus, Vorsatz, intentional) yang dilarang oleh
peraturan perundang-undangan, seperti dengan sengaja melakukan
abortus tanpa indikasi medik, euthanasia, memberikan keterangan
medik yang isinya tidak benar.
30
Safitri Hariyani.Sengketa Medik,Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien.Jakarta:Diadit Media.2005.hlm.63
31Ngesti Lestari, ”Masalah Malpraktik Etik Dalam Praktek Dokter ”, Kumpulan
Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001
32J.Guwandi, Hukum Medik (Medical Law),Jakarta:Fakultas Hukum Universitas
Indonesia 2004,hlm. 24 33
Ibid.hlm.24
b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misal
:menelantarkan pengobatan pasien,sembarangan dalam mendiagnosis
penyakit pasien.
Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malapraktik murni dengan
kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai
berikut34 :
a. Pada malapraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara
sadar, dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat
yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap
akibatnya,walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui
bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku.
b. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk
menimbulkan akibat.Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya Dengan demikian di dalam
malapraktik medik terkandung unsur-unsur kesalahan yang tidak
berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu
adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil terhadap
pasien.
Dalam perkembangannya malapraktik medik harus dibedakan
dengan kecelakaan medik (medical mishap, misadventure, accident).Hal
ini oleh karena keduanya sepintas tampak sama, walaupun sebenarnya
34Ibid.hlm.25
mempunyai unsur yang berbeda sehingga mempengaruhi
pertanggungjawaban pidananya. Dalam malapraktik medik (medical
malpractice) dokter yang melakukannya telah memenuhi unsur-unsur
kesalahan, seperti adanya kesengajaan dan kelalaian, kecerobohan serta
tidak melakukan kewajibannya (omissi) sebagaimana ditentukan dalam
standar pelayanan medik dan standar prosedur operasional dalam
menangani penyakit pasien, sehingga peristiwa malapraktik dapat dituntut
pertanggungjawaban pidana.
Sementara itu kecelakaan medik (medical mishap/medical
accident) merupakan sesuatu yang dapat dimaafkan dan tidak
dipersalahkan, karena dalam kecelakaan medik dokter sudah bersikap
hati-hati, teliti dengan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan
timbulnya akibat-akibat pada pasien sesuai dengan standar pelayanan
medik dan standar prosedur operasional, namun kecelakaan (akibat yang
tidak diharapkan) timbul juga. Hal ini mengingat setiap tindakan medik
sekecil apapun selalu mengandung risiko, dan dalam kecelakaan medik
dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya karena risiko yang
terjadi merupakan risiko yang ditanggung oleh pasien (inherent risk)
seperti reaksi alergik, shock anafilaktik, hipersensitif terhadap obat yang
sukar diduga sebelumnya yang dapat berakibat fatal seperti kematian,
cardiac arrest, kerusakan otak, koma, lumpuh, dan sebagainya.
D. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
D.1. Sistem Pertanggungjawaban Berdasarkan Asas Kesalahan
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana (teorekenbaardheid)
mempunyai maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau
tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi
atau tidak.Untuk dapat dipidananya sipelaku,diharuskan tindak pidana
yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan
dalam undang-undang.Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang
dilarang,seseorang yang akan dipidana tidak cukup dengan alasan
karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum atau bersifat melawan hukum saja,tetapi masih perlu adanya
syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah .Hal tersebut sesuai dengan asas “ nulla poena
sine culpa” yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini dianut oleh
KUHP Indonesia dan juga negara – negara lain, meskipun asas tersebut
tidak tertulis dan tidak terdapat dalam KUHP kita.Kesalahan adalah
kondisi psikologis seseorang ketika melakukan tindak pidana.Kesalahan
tersebut dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Orang tidak mungkin
dipertanggunggjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana,
tidak otomatis dapat dipidana.Ini artinya tergantung pada apakah ia
mempunyai kesalahan atau tidak.Unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana :
1. Mampu bertanggungjawab
2. Ada kesalahan
3. Tidak ada alasan pemaaf.35
Kesalahan dianggap ada,apabila dengan sengaja atau karena
kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau
akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu
bertanggungjawab.
Didalam hukum pidana,menurut Mulyatno kesalahan dan kelalaian
seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu
bertanggungjawab,yaitu bila tindakannya memenuhi 4 (empat)
unsur,yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab;
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan,atau
kealpaan/kelalaian;
4. Tidak adanya alasan pemaaf36
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung
jawab harus ada :
a. Kemampuan untuk membeda – bedakan antara perbuatan yang baik
dan yang buruk , sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baikdan buruknya perbuatan tadi.37
35
Amir Ilyas.2012.Asas-Asas Hukum Pidana.Cetakan Pertama.Yogyakarta: Rankang Education,hlm.75
36 Ibid.hlm.78
Bentuk – bentuk kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kealpaan .
a. Kesengajaan
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan
(opzet).Hal ini wajar karena yang pantas mendapat hukuman adalah
orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.Kesengajaan ini harus
mengenai ketiga unsur tindak pidana,yaitu:
1. Perbuatan yang dilarang
2. Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu
3. Perbuatan itu melanggar hukum38
Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa
melakukan perbuatan yang dilarang,dengan dikehendaki dan diketahui 39.
Kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi tiga, yaitu 1)
kesengajaan sebagai tujuan (dolus directus), 2)kesengajaan dengan
sadar kepastian, 3) kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis) .
b. Kealpaan
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul
karena pelakunya tidak memenuhi standar prilaku yang telah ditentukan
menurut undang-undang,kelalaian itu terjadi dikarenakan prilaku orang itu
sendiri.
37
Ibid,hlm.178 38
Amir.Op.cit.hlm.78
39 Ibid,hlm.185
Dalam pelayanan kesehatan misalnya yang menimbulkan kelalaian
adalah karena kurangnya pengetahuan,kurangnya pengalaman,atau
kurangnya kehati-hatian padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi
profesionalisme,seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan
ilmunya.Menurut Moeljatno kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan
jenis dari kealpaan, akan tetapi dasarnya sama yaitu adanya perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan
bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain.
Dalam kesengajaan , sikap batin orang menentang larangan. Dalam ke
alpaan kurang mengindahkan larangan sehingga kurang berhati – hati
dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan
yang dilarang.40
Beberapa contoh kelalaian yang sering terjadi
a. Kelalaian tidak merujuk.
Apabila keadaan pasien secara wajar dapat diatasi oleh dokternya,
maka ia tidak wajib untuk merujuk pasien itu kepada seorang dokter
spesialis. Oleh karena pasien tidak responsive terhadap pengobatan
yang diberikan, tidaklah langsung berarti bahwa ia wajib merujuknya
kepada seorang dokter spesialis. Namun apabila seorang dokter
mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kondisi atau kasus
pasien itu berada di luar kemampuannya dan dengan merujuknya
kepada dokter spesialis akan dapat menolongnya, maka ia wajib
40 Moeljatno Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:Rineka Cipta.2009. hlm. 215-216
melakukannya. Namun, segala sesuatu juga tergantung keadaan
finansial pasien, keadaan emosi pasien dan keberadaan dokter
spesialisnya.
b. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terdahulu.
Kadang-kadang seorang pasien sudah pernah berada di bawah
pengobatan dari dokteratau beberapa dokter lain yang memberikan
obat-obatan tertentu atau telah melakukan prosedur pembedahan.
Untuk mencegah adanya resiko di dalampenerapan suatu prosedur
pengobatan adalah sangat dianjurkan untuk mengadakan konsul
kepada dokter-dokter terdahulu yang telah memberikan pengobatan
sebelumnya.
c. Lalai tidak merujuk pasien ke rumah sakit dengan peralatan/tenaga
yang terlatih.
Seorang dokter tidak hanya harus sadar akan ilmu pengetahuannya
secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga akan peralatan yang
sesuai dalam menangani pasien. Di dalam praktek seorang dokter bias
saja berhadapan dengan suatu pasien yang penanganannya
memerlukan instrument tertentu khusus dan prosedur yang ia tidak
punyai. Atau juga memerlukan asisten dalam menanganinya. Praktek
yang baik menuntut agar dokter itu merujuk pasien itu ke suatu rumah
sakit dimana tersedia peralatan dan asisten terlatih.
d. Tidak mendeteksi adanya infeksi.
Kegagalan seorang dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita
semacam infeksi, tidak selalu berarti kelalaian. Apabila tidak
terdeteksinya infeksi tersebut disebabkan karena keadaannya tidak
memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang singkat pun, maka
tanpa adanya justifikasi yang dapat diterima, ia dapat dipersalahkan
karena kekurangan ketelitian. Sebaiknya apabila seorang dokter telah
melakukan segala macam pemeriksaan yang oleh para dokter lain juga
akan melakukan hal yangh sama apabila berhadapan dengan gejala-
gejala sama, maka ia tidak dapat dianggap bertanggung jawab, apabila
infeksi itu tidak ditemukan untuk beberapa waktu.
e. Instruksi per telepon.
Adalah merupakan suatu praktek bahaya bagi dokter untuk
memberikan pengobatan atau resep kepada pasien per telepon. Selain
bertentangan dengan etik, praktek semacam inipun termasuk di bawah
standar profesi medik. Demikian pula tidak dianjurkan jika dokter
memberikan instruksi kepada perawat dan penjaganya per telepon.
Bisa saja perawat yang menerima instruksi per telepon tersebut
melakukannya, tetapi hal ini dilakukan atas resikonya sendiri.
f. Tidak bisa dihubungi per telepon.
Seorang pasien diperbolehkan pulang setelah menjalani suatu bedah
plastik untuk membuang lemak dibawah mata. Dokter memberikan
instruksi bahwa apabila timbul perdarahan didalam waktu 48 jam, maka
dokter spesialis itu harus dihubungi. Instruksi ini ini adalah wajar dan
penting, karena apabila terjadi perdarahan, maka harus ditangani
segera untuk mencegah terjadinya kegagalan operasi. Sebelum 48 jam
lewat terjadilah perdarahan, sang pasien menelpon dokter bedah
tersebut tetapi tidak mendapatkan jawaban karena dokternya tidak di
tempat. Hakim berpendapat bahwa adalah kewajiban dokter bedah itu
termasuk pengawasan pasca bedah. Lagipula sudah disetuji bahwa
apabila dalam waktu 48 jam terjadi perdaraha, dokter itu minta
dihubungi per telepon.
g. Lalai karena kurang pengalaman
Kurangnya pengalaman tidak bias dipakai sebagai pemaaf kelalaian.
Hakim banding secara tegas menolak pendapat bahwa adanya variasi
dalam standar profesi medic. Hal ini diparalelkan dengan seorang
pengendara mobil yang walaupun telah berusaha untuk mengendarai
sebaik mungkin, namun ukuran standar adalah sama seperti seorang
pengendara lain yang pandai dan berpengalaman.41
D.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Menyimpang dari Asas
Kesalahan
Penerapan pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan itu adalah
demi perlindungan masyarakat, karena untuk delik –delik tertentu sangat
sulit untuk dibuktikan adanya unsur kesalahan. Ada tiga macam model
atau bentuk sistem pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari
asas kesalahan,yaitu strict liability (pertanggungjawaban ketat), vicarious
41Guwandi.Dokter,Pasien,dan Hukum.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.1996.hlm.53-60
liability (pertanggungjawaban pengganti),enterprise corporate liability
(pertanggungjawaban korporasi ).42 .
D.2.a. Pertanggungjawaban Pidana Ketat ( Strict Liability )
Inti dari konsep strict liability ialah bahwa dalam hal seseorang
menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai
extrahazardous atau ultrahazardous atau abnormally dangerous, ia
diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan, walaupun ia telah
bertindak sangat hati-hati untuk mencegah segala bahaya atau kerugian
tersebut, dan walaupun kerugian itu timbul tanpa adanya kesengajaan.
Dengan demikian dalam strict liability terdapat suatu kewajiban pelaku
untuk memikul tanggung jawab atas kerugian yang tidak dihubungkan
dengan apa kesalahannya. Menurut Munadjat,kewajiban pelaku untuk
memikul tanggung jawab atas kerugian ini timbul secara langsung dan
seketika, begitu terdapat fakta bahwa memang telah terjadi peristiwa yang
menyebabkan timbulnya kerugian. Asas strict liability muncul dari adanya
kesadaran pada masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang
dilakukan baik itu oleh perseorangan maupun kelompok, maka orang atau
kelompok tersebut tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab
untuk setiap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Biasanya
asas ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi.Melalui konsep ultrahazardous,
tort law membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan
42Priharto Adi. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam rangka Penanganan
Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran (Tesis) .Semarang:Universitas Diponegoro. 2010. hlm. 57
bahaya dalam derajat yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak
yang telah bertindak hati-hati atau pihak yang mungkin menjadi korban.
Contoh yang baik untuk strict liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh
tetangga yang memelihara macan di rumahnya. Area strict liability telah
mendorong pihak yang menjalankan kegiatan yang digolongkan
extrahazardous untuk membuat beberapa alternatif yang dapat
mengurangi derajat bahaya. Pelaku akan melakukan tindakan pencegahan
pada level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan di
bawah level yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus
ditanggungnya.John D. Blackburn, Elliot I. Klayman, dan Martin H. Malin
dengan merujuk pada Pasal 520 Restatement of The Law of Torts di
Amerika menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan
termasuk kegiatan yang berbahaya(abnormally dangerous), sehingga
dapat dikenakan asas strict liability terdapat beberapa faktor yang dapat
dijadikan faktor penentu, yaitu
1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi
manusia,tanah, atau benda bergerak orang lain
2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai
kemungkinan untuk menjadi besar
3. Risiko tidak dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang layak
sudah diterapkan
4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim
5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu
dilakukan
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat
Dari uraian tersebut dapat ditegaskan , bahwa dalam perbuatan pidana
yang bersifat strict liability tidak dipersoalkan adanya mens – rea,
sehingga dengan demikian tidak perlu adanya unsur kesengajaan atau
kelalaian. Unsur pokok dalam strict liability crime adalah perbuatan (actus
reus).Pada tanggungjawab seperti ini biasanya berlaku “product sold”
dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka
akibat produk yang dihasilkan,kecuali produsen telah memberikan
peringatan akan kemungkinan terjadinya resiko tersebut.Strict liability
menurut Roeslan Saleh :“…… dalam praktik pertanggungjawaban pidana
menjadi lenyap jika ada salah satu keadaan – keadaan yang memaafkan.
Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan – keadaan
mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana,
sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk
pengenaan pidananya cukup dengan strict liability.Yang dimaksud dengan
ini adalah kejahatan yang dalam hal terjadinya itu keadaan mental
terdakwa tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk
melakukan perbuatan pidana.Sekalipun demikian dia tetap dipandang
bertanggungjawab atas kejadian perbuatan yang terlarang itu,walaupun ia
tidak bermaksud sama sekali untuk melakukan suatu perbuatan yang
ternyata adalah kejahatan.Biasanya ini untuk kejahatan – kejahatan kecil
atau pelanggaran.Perbuatan pidana ini tidak dipandang sebagai
perbuatan pidana dalam arti sebenarnya.Ia telah harus
dipertanggungjawabkan hanya karena dipenuhi unsur – unsur delik oleh
perbuatannya, tanpa memeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan
yang dapat meniadakan pengenaan pidana43.
Ada pendapat yang menyatakan,strict liability adalah prinsip
tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan.Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan
untuk dibebaskan dari tanggungjawab misalnya pada keadaan force
majeure.Berbeda dengan absolute liability adalah prinsip tanggung jawab
tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut E.Suherman,
strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak
ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggungjawab,kecuali
apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan
sendiri.44
Kriteria Strict Liability
1. Ketentuan undang – undang sendiri menentukan
2. Pada umumnya penerapannya terhadap delik-delik terhadap
kesejahteraan umum45
43
Roeslan Saleh, Pikiran – Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982, hlm 21
44http://www.ml.scribd.com/doc/.../Tanggung-Jawab-Hukum-Perdataby Sanditia Gumilang diakses tanggal 2 Maret 2013
45Muladi,Dwidja Priyatno,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.Jakarta:PT. Kencana Prenada Media Group:hlm. 109
Dalam doktrin dianut bahwa rumah sakit bertanggungjawab atas semua
kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut.Disini berlaku asas
“Res Ipsa Loquitor”yaitu fakta yang berbicara.Ada beberapa pedoman
yang menjadi landasan penerapan strict liability crime diantaranya :
a. Perbuatan bersifat terbatas dan tertentu
b. Perbuatan merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang –
undang
c. Perbuatan yang dilakukan nyata – nyata melawan hukum
d. Perbuatan yang dilakukan sangat potensial mendatangkan bahaya
terhadap kesehatan ,keselamatan atau moral masyarakat.
e. Perbuatan itu tidak dibarengi dengan pencegahan yang wajar46
D.2.b. PertanggungJawaban Pidana Pengganti (Vicarious liability)
Vicarious liability adalah pertanggungjawaban hukum seseorang
atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain dengan syarat orang
tersebut harus mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan
bawahan atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh
pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Prinsip utama doktrin ini adalah atasanlah yang bertanggungjawab
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan oleh bawahan.Keputusan
Hoge Raad tertanggal 28 Desember 1899 menyatakan bawahan adalah
pihak-pihak yang tidak dapat bertindak secara sendiri dalam hubungan
dengan atasannya karena memerlukan pengawasan atau petunjuk-
46
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum ,Bandung:PT Citra Aditya Bakti 1997, hlm. 37 – 38
petunjuk tertentu.Jika dihubungkan dengan pelayanan kesehatan maka
rumah sakit bertindak sebagai atasan dari staf rumah sakit yang bertindak
sebagai bawahan.
Dalam kaitan dengan pelayanan medis,rumah sakit dapat
bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan
yang bekerja dalam kedudukan sebagai karyawan(employee).47
D.3.Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate
liability)
Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi , terdapat model
pertanggungjawaban korporasi sebagai berikut :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;dan
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab48
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah
yang bertanggung jawab kepada pengurus korporasi dibebankan
kewajiban tertentu.Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah
kewajiban dari korporasi.Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu
diancam dengan pidana.Ketentuan yang mengatur hal tersebut dalam
KUHP terdapat pada Pasal 169 yang berbunyi :
47
Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran. Yogyakarta:2009.hlm.52
48 Muladi,Op.cit.hlm.83
1) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan
kejahatan,atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang
oleh aturan-aturan umum,diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun;
2) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan
pelanggaran,diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
3) Terhadap pendiri atau pengurus,pidana dapat ditambah sepertiga
Tindak pidana dalam Pasal 169 KUHP Dalam sistem ini terdapat
alasan yang menghapuskan pidana.Sedangkan dasar pemikirannya
adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap
suatu pelanggaran,melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik
itu,Dan,karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggungjawab,maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai
pembuat.Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab.Yang
dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat
perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran
dasarnya.Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh orang tertentu sebagai pengurus dari badan
hukum tersebut.Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu
adalah onpersoonlijk.Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab
pidana,terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya
perbuatan itu.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan
perkembangan korporasi itu sendiri , yaitu bahwa ternyata untuk delik-
delik tertentu,ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana
ternyata tidak cukup,karenanya diperlukan pula untuk memidana korporasi
dan pengurus atau pengurus saja.49
D.4. Pertanggungjawaban Pidana Malapraktik Kedokteran
Seorang dokter yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan
standar operasional prosedur dan standar pelayanan medik berarti telah
melakukan kesalahan atau kelalaian, yang selain dapat dituntut secara
hukum pidana, juga dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal
pasien menderita kerugian.Penuntutan pertanggungjawaban pidana
hanya dapat dilakukan jika pasien menderita cacat permanen atau
meninggal dunia, sedangkan gugatan secara perdata dapat dilakukan asal
pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil.50
Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana bagi seorang
dokter yang melakukan perbuatan malapraktik , diperlukan pembuktian
adanya unsur-unsur kesalahan, yang dalam hukum pidana dapat
berbentuk kesengajaan dan kelalaian.
49
Ibid. hlm.86-88 50
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung : Mandar Maju,2001,
hlm.43
Definisi kelalaian medik menurut Leenen sebagai kegagalan dokter
untuk bekerja menurut norma “medikche profesionele standard”yaitu
bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut ukuran standar medik dari
seorang dokter dengan kepandaian rata-rata dari golongan yang sama
dengan menggunakan cara yang selaras dalam perbandingan dengan
tujuan pengobatan tersebut51 sehingga seorang dokter dapat disalahkan
dengan kelalaian medik apabila dokter menunjukkan kebodohan serius,
tingkat kehati-hatian yang sangat rendah dan kasar sehingga sampai
menimbulkan cedera atau kematian pada pasien. Hal ini oleh karena
seorang dokter disyaratkan mempunyai tingkat kehati-hatian yang harus
lebih tinggi dari orang awam, yang disetarakan dengan tingkat kehati-
hatian dokter rata-rata dan bukan dengan dokter yang terpandai atau
terbaik.
Menurut Soekanto terdapat banyak definisi tentang kelalaian
medik,namun beliau memberikan 4 elemen yang dapat digunakan untuk
menbuktikan adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan dalam hukum
pidana yang mendasari terjadinya malapraktik medik:52
1. Ada kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian
Kewajiban dari profesi medik untuk menggunakan segala ilmu
penyembuhan pasien, atau setidaknya meringankan penderitaan pasien
dengan segala implikasinya dengan kepandaian yang dimiliki oleh
profesional sejenis sebagaimana ditentukan dalam standar profesi medik.
51
J. Guwandi, Opcit, hlm. 32 52
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : 2005, hlm. 20
Seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasien, harus
berdasarkan indikasi medik, bertindak secara hati-hati dan teliti, cara
bekerja harus berdasarkan profesi medik, dan harus ada informed
consent. Seorang dokter dapat dikatakan lalai jika tidak memenuhi
kewajiban yang dituntut sesuai standar medik, dan apabila kelalaiannya
mengakibatkan kematian atau cedera pada pasien maka telah terjadi
malapraktik.
2. Ada pelanggaran kewajiban
Misalnya dokter telah gagal bertindak sesuai norma yang telah ditentukan
disebabkan kesengajaan atau kelalaian,contohnya perbuatan dokter yang
telah melanggar standar perawatan bagi pasiennya.Seorang dokter
dikatakan melakukan penyimpangan/pelanggaran terhadap kewajibannya
jika telah menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi
medik, sehingga dokter yang bersangkutan dapat dipersalahkan dan
dituntut pertanggung jawabannya. Untuk menentukan ada/tidaknya
penyimpangan kewajiban, harus didasarkan pada fakta-fakta yang
meliputi kasusnya dengan bantuan pendapat ahli dan saksi ahli.Seringkali
pasien atau keluarganya menganggap bahwa akibat negatif yang timbul
adalah sebagai akibat dari kesalahan dokter, hal ini tidak selalu demikian,
karena harus dibuktikan dahulu adanya hubungan kausal antara
cedera/kematian pasien dengan unsur-unsur kelalaian.
3. Ada penyebab
Hubungan sebab akibat yang paling langsung dapat timbul dalam
hubungan dokter dengan pasien,yaitu apabila dari perbuatan dokter
timbul akibat yang merugikan pasien. Untuk mempersalahkan seorang
dokter harus ada hubungan kausal (secara langsung/adekuat) antara
penyebab (tindakan dokter) dengan kerugian (cedera/kematian)
pasien, dan harus tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya.
Dalam hal demikian maka penilaian fakta-faktanya, yang akan
menentukan ada/tidaknya suatu penyebab yang adekuat yang dapat
dijadikan sebagai bukti.Kelalaian (negligent/culpa) yang seringkali
mendasari terjadinya malapraktik kedokteran memerlukan pembuktian
yang rumit.Namun tidak jarang terjadi seorang dokter melakukan
kelalaian dengan begitu jelas, sehingga orang awan pun dapat menilai
bahwa telah terjadi kelalaian. Dalam hal ini berlaku asas “Res
ipsaLoquitur” yang berarti the “thing speaks for it self” (faktanya sudah
berbicara), sehingga pembuktian adalah pembuktian terbalik, dokter
harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kelalaian.
4. Timbul Kerugian
Akibat dari perbuatan dalam hubungan dokter dengan pasien dapat
timbul kerugian, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.
Kerugian itu dapat mengenai tubuh pasien sehingga menimbulkan
rasa tidak enak. Tindakan ini merupakan tindakan langsung yang
menyebabkan kerugian / penderitaan pasien, hal ini disebabkan oleh
dokter / tenaga medik lainnya yang melalaikan kewajibannya yang
seharusnya ia laksanakan.
Malapraktik kedokteran ditinjau dalam hukum pidana , diantaranya :
a. Pasal 322 KUHP yaitu membocorkan rahasia kedokteran yang
diadukan oleh penderita.
b. Pasal 359,360,361 KUHP yaitu karena kelalaiannya sehingga
mengakibatkan kematian atau luka-luka.
c. Pasal 531 KUHP yaitu tidak memberikan pertolongan kepada orang
yang berada dalam keadaan bahaya maut.
Perbuatan – perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik pidana
yaitu pertama , perbuatan tersebut baik positif maupun negatif merupakan
perbuatan tercela (Actus Reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin
yang salah yaitu berupa kesengajaan (Intensional), kecerobohan
(Recklessness) atau kealpaan (Negligence) sehingga tanggung jawab
selalu bersifat individual dan personal . dan tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit.
Menurut Bambang Purnomo tanggung jawab kesehatan di dalam
rumah sakit menurut doktrin kesehatan yaitu53:
a. Personal Liability yaitu tanggung jawab yang melekat pada
Individu,artinya siapa yang berbuat dialah yang bertanggungjawab;
b. Strict Liability yaitu tanggung jawab tanpa kesalahan (liability
without fault).Pada tanggungjawab seperti ini biasanya berlaku
53
Nusye.Loc.cit.hlm.52
product sold atau article of commerce,dimana produsen harus
membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang
dihasilkan,kecuali produsen telah memberikan peringatan akan
kemungkinan terjadinya resiko tersebut.Seperti produsen rokok
(dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya
kanker paru-paru, kecuali pabrik telah memberikan peringatan akan
kemungkinan terjadinya resiko seperti itu).Di negara-negara
Common Law,produk darah dikategorikan sebagai produk sold
sehingga produsen yang mengolah darah harus bertanggungjawab
untuk setiap transfusi darah olahan yang menularkan virus hepatitis
atau HIV.
c. Vicarious Liability yaitu tanggung jawab yang timbul akibat
kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya (subordinate).Dalam
kaitannya dengan pelayanan medis,maka rumah sakit dapat
bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga
kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai subordinate
(employee).
d. Respondent Liability yaitu tanggung jawab tanggung renteng.
Sebagai contoh ,sebuah rumah sakit dapat menjadi subyek
tanggung renteng tergantung dari pola hubungan kerja antara
tenaga kesehatan dengan rumah sakit,yang mana pola hubungan
tersebut akan menentukan hubungan terapeutik dengan pihak
pasien yang berobat di rumah sakit,misalnya dokter bekerja
sebagai mitra (attending physician),dimana posisi rumah sakit
hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas. Hubungan ini
menempatkan kedudukan dokter sederajat dengan rumah
sakit.Konsep dari pola ini bahwa dokter menyewa fasilitas rumah
sakit untuk digunakan merawat pasien.Pola ini banyak dianut oleh
rumah sakit swasta dimana dokter mendapat penghasilan
berdasarkan perhitungan pasien serta kuantitas dan kualitas
tindakan medis yang dilakukan. Jika dalam satu bulan tidak ada
seorang pasienpun yang dirawat maka dalam bulan itu dokter tidak
memperoleh penghasilan apa-apa.
e. Corporate Liability yaitu tanggung jawab yang berada pada
pemerintah, dalam hal ini kesehatan menjadi tanggungjawab
Menteri Kesehatan.Misalnya lambatnya penanganan kasus flu
burung disuatu daerah karena kurang tersedianya obat,vaksin,dan
rendahnya sumber daya manusia yang tersedia merupakan
tanggungjawab pemerintah.
f. Rep Ipso Liquitor Liability yaitu tanggungjawab yang diakibatkan
perbuatan melebihi wewenang atau dengan kata lain perbuatan
lancang.Misalnya seorang residen secara diam-diam melakukan
tindakan seolah-olah sebagai dokter ahli,padahal ada dokter
ahlinya.
E. Prosedur Operasional Standar (POS)
Istilah Prosedur Operasional Standar atau POS bukanlah istilah
yang asing lagi dalam kalangan masyarakat. Istilah Prosedur Operasional
Standar atau POS digunakan dalam berbagai bidang kerja. Biasanya,
istilah yang digunakan juga berbeda tergantung bidang kerjanya, seperti
Protap (prosedur tetap) biasa dipakai di kalangan kemiliteran, kepolisian
dan birokrasi, SPO (Standar Prosedur Operasi) biasa dipakai di kalangan
perkebunan, SOB (Standar Operasional Baku) biasa dipakai di kalangan
industri, SOP (Standar Operasional Prosedur) biasa dipakai di kalangan
pendidikan. Dalam kalangan kedokteran juga biasa digunakan istilah SOP
(Standar Operasional Prosedur).54
Istilah SOP berasal dari bahasa Inggris SOPs yang merupakan
kepanjangan dari Standard Operating Procedures atau Standing
Operating Procedures. Secara umum, SOP merupakan gambaran
langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang
diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan instansi
pemerintah. SOP merupakan suatu sistem prosedur operasi yang bertitik
tolak pada kualitas (operating procedures based on quality).SOP
berlandaskan pada pencegahan kesalahan.55Sementara menurut
penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran,yang dimaksud
54.<http://www.docstoc.com/docs/53290971/Standar Operasional Prosedur
(SOP) Sebagai Pedoman Pelaksanaan Administrasi Perkantoran dalam Rangka Peningkatan Pelayanan dan Kinerja Organisasi Pemerintah oleh Insani.2010 (diakses pada tanggal 7 Maret 2013).
55<http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/STANDA
R OPERASIONAL PROSEDUR.pdf>oleh Atmoko T. Standar oprasional prosedur (SOP) dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. (diakses tanggal 7 Maret 2013).
dengan Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin tertentu.Standar Prosedur Operasional memberikan
langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk
melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.56
Fungsi dari Standar Operating Procedure adalah untuk
mendefinisikan semua konsep dan teknik yang penting serta persyaratan
yang dibutuhkan, yang ada dalam setiap kegiatan yang dituangkan ke
dalam suatu bentuk yang langsung dapat digunakan oleh karyawan dalam
pelaksanaan kegiatan sehari-hari 57
Tujuan dari Standard Operating Procedure yaitu untuk mengetahui
dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, agar
petugas menjaga konsistensi dan tingkat kinerja staff atau operator dalam
organisasi atau unit, melindungi organisasi dan staf dari malapraktik atau
kesalahan administrasi lainnya, untuk menghindari kegagalan/kesalahan,
keraguan, duplikasi dan inefisiensi. memperjelas alur tugas, wewenang
dan tanggung jawab dari staff atau operator terkait.58
56
Penjelasan pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran 57
<http://id.shvoong.com/businessmanagement/technologyoperationsmanagem nt/2188 180 definisi-fungsi-dan-tujuan-standard/> oleh Satria. 2011. Definisi, fungsi dan tujuan Standard Operating Procedure (SOP). (diakses pada tanggal 9 Januari 2012).
58 Ibid
F.Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medis
Pengertian
Semua professional termasuk dokter dalam melaksanakan
pekerjaannya harus dengan apa yang dinamakan standar (ukuran)
profesi.Ada beberapa pendapat tentang Standar Profesi diantaranya:
1. Menurut Veronica,Standar profesi adalah pedoman yang harus
digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara
baik.Berkenaan dengan pelayanan medik,pedoman yang digunakan
adalah standar pelayanan medik yang terutama dititikberatkan pada
proses tindakan medik59
Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini dipakai
sebagai acuan oleh Rumah Sakit karena prosedur tetap didalam
standar profesi dibuat sesuai dengan setiap bidang
spesialisasi,fasilitas dan sumber daya yang tersedia.
2. Pengertian standar profesi medis menurut Leenen,seorang pakar
Hukum Kesehatan dari Belanda adalah:
a. Terapi (berupa tindakan medik tertentu) harus teliti;
b. Harus sesuai dengan ukuran medis
c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki oleh seorang
dokter dengan kategori keahlian medis yang sama;
d. Dalam kondisi yang sama;
59
D.Veronica Komalawati (II).Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien)Suatu Tinjauan Yuridis,Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung.2002,hlm.177
3. Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Praktik
Kedokteran,standar profesi adalah batasan kemampuan minimal yang
harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi.
e. Dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan
konkrit tindakan medis tersebut60
Ruang lingkup Standar Profesi
Standar Profesi yang merupakan standar pelayanan medis
mencakup standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan
penunjang.Keduanya akan selalu berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi.Oleh karena itu,agar standar profesi ini selalu
mengikuti perkembangan teknologi dibidang kedokteran,maka perlu
dilakukan evalusi secara berkala untuk kemudia diubah sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi setempat berdasarkan evaluasi
tersebut.61
Tujuan Standar Profesi.
Tujuan ditetapkannya standar profesi dan standar pelayanan medis
adalah:
1. Untuk melindungi masyarakat (pasien) dari praktik yang tidak sesuai
dengan standar profesi medis;
60
Wila Chandrawila Supriadi, Op.cit.hllm.4 61
Anny Isfandyari. Malpraktek dan Resiko Medik. Prestasi Pustaka. Jakarta: 2005. hlm. 26
2. Untuk melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar;
3. Sebagai pedoman dalam pengawasan,pembinaan dan peningkatan
mutu pelayanan kedokteran;
4. Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien.62
Landasan pola pikir dalam pelaksanaan standar profesi adalah:
1. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran,kearah
tujuan pengobatan atau perawatan yang konkrit,artinya upaya yang
dilakukan harus profesional dengan hasil yang ingin dicapai;
2. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran saat ini;
3. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati,tanpa
kelalaian,yang tolak ukurnya adalah dengan membandingkan apa
yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter lain dari bidang
keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata bila berhadapan
dengan kasus seperti itu dengan situasi dan kondisi yang sama.63
G.Persetujuan Tindakan Medik
Soedjatmiko menyatakan bahwa,melakukan tindakan medik tanpa
persetujuan tindakan medik merupakan salah satu keadaan yang dapat
menyebabkan terjadinya tuntutan malapraktik pidana karena
kecerobohan.Persetujuan tindakan medik yang lebih dikenal dengan
62
Ibid.hlm.26 63
Danny Wiradharma. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Penerbit Buku kedokteran EGC.Jakarta.1999.hlm.7-8
informed consent,secara istilah dapat diuraikan menjadi consent yang
artinya persetujuan dan informed yang berarti informasi sehingga informed
consent berarti persetujuan atas dasar informasi.
Persetujuan tindakan medik baru diakui setelah setelah pasien
mendapatkan informasi yang jelas tentang tindakan medic yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.Dalam pemberian informasi ini,dokter
berkewajiban untuk mengungkapkan dan menjelaskan kepada pasien
dalam bahasa sesederhana mungkin sifat penyakitnya,sifat pengobatan
yang disarankan,kemungkinan dan resiko yang dapat timbul serta
komplikasi-komplikasi yang tak terduga.
Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009
menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.”Namun hal ini tidak berlaku mutlak
karena ada pengecualian-pengecualian dimana hak menerima atau
menolak tindakan tersebut tidak berlaku (Pasal 56 ayat (2).Keadaan
tersebut adalah :
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular
ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri;atau
c. Gangguan mental berat
H. Kerangka Konsep
Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum,
dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya
tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja
sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi
persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malapraktik yang kita
jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah
pidana.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-
langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter
maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya.
Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negatif terhadap
pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat
secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter
hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga
pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran
norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad
berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas
pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik
dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut,
menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan
dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh
dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi
kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas
pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau
keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak
puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak
menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan
sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila
pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama
bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau
kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya
fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap
dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang
bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi)
kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter
tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien
dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk
menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila
pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan
mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi
terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun
bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap
sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedokteran dianggap
sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode
Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi
dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum
tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi
kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum.
Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka
menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam
suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah
perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab
hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal
ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam
kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah
medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis
profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang
mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis
penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah
dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu
menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-
kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter
sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu
dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni
tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-
keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya.
Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan
antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu
sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati
kebenaran.Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran
merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang
dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian sebagai
akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar
profesi kedokteran sebagai malapraktik medik.
Hal tersebut mendorong perlunya lebih memahami bagaimana
aspek hukum dan upaya yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan
kesalahan dokter, perlu diketahui pula apa sesungguhnya
malapraktik,bagaimana penanganan malapraktik yang dilakukan oleh
dokter dan apa kriteria serta bagaimana pengaturannya selama ini di
dalam KUHP, Undang-Undang Kesehatan maupun Undang-Undang
Praktik Kedokteran.
DIAGRAM KERANGKA PIKIR PENELITIAN
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK
KEDOKTERAN
MALAPRAKTIK KEDOKTERAN
KUHP
Undang-UndangKesehatan Nomor
36 Tahun 2009
Undang-UndangPraktik KedokteranNomor 29 Tahun
2004
KUHP Konsep
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dapat
ditentukan bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach).
Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis normatif atau penelitian
kepustakaan yang bertumpu pada data sekunder karena sasaran utama
dalam penelitian ini pada masalah kebijakan yaitu mengenai perundang-
undangan dalam menetapkan dan merumuskan tindak pidana malapraktik
kedokteran.
Pendekatan yuridis normatif yaitu dengan mengkaji atau
menganalisis data sekunder yang berupa bahan – bahan hukum sekunder
dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma
positif di dalam perundang – undangan yang berlaku.64
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam tesis ini adalah termasuk deskriptif
analitis, yaitu menggambarkan kedudukan suatu undang-undang
sebagaimana keadaanya sekarang.
64
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, Jakarta : Raja Grafindo,1985, hlm.15
C. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka jenis data
yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang diteliti adalah
sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari :
a. Norma (dasar) atau kaidah dasar,yaitu Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945;
b. Peraturan Dasar , seperti Batang Tubuh Undang Undang Dasar
1945,Ketetapan-ketetapan MPR
c. Peraturan Perundang-undangan, seperti undang-undang dan
peraturan yang setaraf,Peraturan Pemerintah dan peraturan
yang setaraf, Keputusan Presiden dan peraturan yang
setaraf,peraturan-peraturan daerah;
d. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang,hasil-hasil
penelitian,hasil karya dari kalangan hukum,dan sebagainya
3. Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus ,ensiklopedia ,indeks kumulatif ,dan sebagainya.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini ditempuh dengan melakukan
penelitian kepustakaan.Di dalam pengumpulan data, sebanyak mungkin
data yang diperoleh dan dikumpulkan diusahakan mengenai masalah-
masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.
Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini,
maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan
mengolah secara sistematis bahan - bahan kepustakaan serta dokumen -
dokumen yang berkaitan. Data , asas - asas , konsep - konsep ,
pandangan - pandangan , doktrin - doktrin hukum serta isi kaidah hukum
diperoleh melalui dua referensi utama yaitu :
a) Bersifat umum, terdiri dari buku - buku , teks , ensiklopedia
b) Bersifat khusus terdiri dari laporan hasil penelitian, majalah maupun
jurnal.
E. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dikumpulkan dan dilakukan
analisis dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan
yang terdapat dalam dokumen dan perundang - undangan. Normatif
karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada
sebagai norma hukum positif dan mempertanyakan apakah hukum yang
berlaku saat ini memang sudah seharusnya, sedangkan kualitatif berarti
analisa data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas - asas dan
informasi baru yang berhubungan dengan fokus penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kebijakan Hukum Pidana Saat ini Dalam Penanganan Tindak
Pidana Malapraktik Kedokteran
a. Definisi malapraktik dari segi medik dan hukum
Ada beberapa definisi yang berbeda dalam memberikan pengertian
malapraktik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, malapraktik diartikan
sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat,
menyalahi undang-undang atau kode etik. Secara harfiah “mala”
mempunyai arti “salah” atau “buruk” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malapraktik berarti “pelaksanaan
atau tindakan yang salah atau buruk”.Definisi malapraktik profesi
kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama
(Valentin v.La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California ,1956).65
Malapraktik merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak
memenuhi standar medis yang telah ditentukan maupun standar
operasional prosedur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian
65
http//www.welcome.makalahmalpraktik.com oleh uuz diakses tanggal 2 Maret 2013
berat yang membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang
diderita oleh pasien.66 Sedangkan Hyat berpendapat bahwa malapraktik
oleh dokter adalah :
1. Kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan
pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat
yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani
pasien;
2. Atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian
(kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan
ketrampilannya serta penerapan pengetahuannya;
3. Atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam
menangani kasus yang dipercayakan kepadanya;
4. Atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta
perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para
dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang
sama.67
Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan bahwa dalam mengartikan
malapraktik oleh seorang dokter harus dipenuhi beberapa syarat yaitu :68
a. Adanya hubungan dokter dan pasien;
b. Kehati-hatian standar yang dapat dipakai dalam pelanggarannya;
66
Cahya Wulandari.Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik dan Kendala dalam Pembuktiannya. Makalah.vol.4 No.2.Universitas Negeri Semarang. 2010.hlm.2
67
Komalawati,Veronica.Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. cet.1.1989.hlm.19-20
68Ibid
c. Kerugian yang dapat dituntut ganti rugi,suatu hubungan kausal antara
pelanggaran kehati-hatian dan kerugian yang diderita.
Menurut Coughlin's Dictionary of Law:69
''Malpractice is professional misconduct on the part of a professional
person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist,
veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of
skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong
doing or illegal or unethical practice''. Terjemahan bebasnya: Malapraktik
adalah sikap-tindak profesional yang salah dari seorang profesional,
seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, akuntan, dokter gigi, dokter
hewan. Malapraktik bisa sebagai akibat ketidaktahuan, kelalaian, atau
kekurangan pengetahuan atau kesetiaan dalam pelaksanaan tugas-tugas
profesional; kesalahan berbuat yang disengaja atau praktik yang tidak
etis.
Pengertian malapraktik banyak diambil dari literatur luar negeri
(WMA,1992):70 ''medical malpractice involves the physician's failure to
conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or
lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient''. (adanya kegagalan dokter untuk
menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya
keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab
langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
69Cahya Wulandari.Op.cit.hlm.2
70
Ibid.
Selama ini belum ada kesamaan batasan yang baku dari istilah
malapraktik. Dan karena belum adanya batasan yang jelas mengenai
definisi malapraktik inilah yang menyulitkan korban menggugat dokter ke
pengadilan.
Sementara itu, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan
dokter bisa disebut melakukan malapraktik apabila melanggar standar
prosedur. Prosedur standar sebelum melakukan tindakan medis, yaitu
melakukan Informed Consent, memberi penjelasan mengenai tindakan
yang akan dilakukan termasuk risikonya, serta meminta persetujuan
pasien atau keluarganya. Selain itu, menanyakan obat apa saja yang
diminum dalam waktu dekat untuk mengetahui adanya obat yang bisa
berinteraksi dengan obat anestesi. Jika ada keraguan, darah pasien perlu
diperiksa untuk mengetahui adanya sisa obat.
Definisi malapraktik masih beragam tergantung dari sudut pandang
mana malapraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum ataukah
dari segi medis sendiri. Ada kalanya tindakan seorang dokter
dikategorikan malapraktik medik jika memberikan pelayanan di bawah,
atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik yang berlaku,
melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau
melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. Malapraktik
juga menunjuk pada tindakan-tindakan secara sengaja dan melanggar
undang-undang terkait, misalnya, UU No.36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku
norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan
adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari
sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut
yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi
tenaga medis berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila
ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar
menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sanksi, maka ukuran normatif
yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap
ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord
Chief Justice,1893).71
B.1Jenis Malapraktik Medik72
1. Malapraktik Etik
Yang dimaksud dengan malapraktik etik adalah dokter melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran.Sedangkan etika
kedokteran yang dituangkan dalam KODEKI merupakan seperangkat
standar etis,prinsip,aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
71
http//www.welcome.makalahmalpraktik.com by uuz diakses tanggal 6 Maret 2013
72Anny Isfandyarie.Op.Cit..2005.hlm.31-35
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran
yang merupakan malapraktik etik antara lain :
a) Di bidang diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien,kadangkala
tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih
teliti.Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan
“hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya,maka dokter
tergoda untuk mengirimkan pasiennya ke laboratorium.
b) Di bidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotik kepada dokter
dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau
menggunakan obat tersebut,kadang mempengaruhi pertimbangan
dokter dalam memberikan terapi.
2. Malapraktik Yuridik (Malapraktik dibidang hukum)
Untuk malapraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice,
civil malpractice dan administrative malpractice.
Soedjatmiko membedakan malapraktik yuridik menjadi :
a. Criminal malpractice (Malapraktik Pidana)
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik
pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reclessness) atau kealpaan
(negligence).
Contoh dari criminal malpractice yang sifatnya kesengajaan adalah:73
a. Melakukan aborsi tanpa indikasi medik (Pasal 299,349 KUHP)
b. Membocorkan rahasia kedokteran (Pasal 322 KUHP)
c. Tidak melakukan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan
darurat meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan menolongnya
(Pasal 304,531 KUHP)
d. Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar (Pasal 263
KUHP)
e. Mengedarkan obat palsu (Pasal 386 KUHP)
f. Melakukan penipuan terhadap pasien (Pasal 378 KUHP)
g. Memberikan keterangan yang tidak benar disidang pengadilan dalam
kapasitasnya sebagai ahli (Pasal 242 ayat (2)
h. Melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP)
Contoh dari criminal malpractice yang bersifat kecerobohan :
a. Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis
b. Melakukan tindakan medik tanpa informed consent
Recklessness (kecerobohan) apabila seseorang mengambil dengan
sengaja suatu resiko yang tidak dapat dibenarkan (deliberate taking of
73
Sofwan Dahlan,Malpraktik (dalam Hukum Kesehatan,Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter).Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang:2001.hlm.59-62
unjustifiable risk),di Inggris dapat disamakan dengan bewuste schuld
(kealpaan/kesalahan yang disadari atau advertent negligence (kealpaan
yang penuh perhatian/kehati-hatian) dan dalam beberapa hal dapat
disamakan dengan dolus eventualis.Untuk adanya kecerobohan harus
dibuktikan bahwa sipelaku sebenarnya menyadari suatu keadaan dan
mengetahui atau dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat
akan tetapi ia sembrono atau tidak peduli terhadap keadaan atau akibat
tersebut.
Contoh dari criminal malpractice yang bersifat kealpaan :
a. Kurang hati – hati sehingga menyebabkan pasien luka – luka.
b. Kurang hati – hati sehingga menyebabkan pasien meninggal dunia.
b. Civil Malpractice (Malapraktik Perdata)
Disebut civil malpractice jika dokter tidak melaksanakan
kewajibannya,yaitu memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (wanprestasi) atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechmatigedaad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian adalah:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat memenuhinya atau tidak tepat waktu.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pada civil malpractice, tanggung gugat bersifat individual atau
korporasi.Selain itu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan
principle of vicarious liability. Dengan prinsip ini, maka rumah sakit dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokternya, asalkan
dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter dalam rangka melaksanakan
kewajiban rumah sakit.Dasar hukum civil malpractice adalah transaksi
dokter dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, dimana
dokter bersedia memberikan pelayanan medik kepada pasien dan pasien
bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang merasa
dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang tidak
melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan kesalahan
professional.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum
harus memenuhi beberapa syarat seperti :
a. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kewajiban
profesionalnya
b. Melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesionalnya
c. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
d. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam
masyarakat.74
74
Anny.Op.Cit.hlm.92
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktian adanya
malapraktik dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.Cara langsung,
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4
D yakni:
a) Duty (kewajiban).
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter
haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standar profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c) Direct Cause (penyebab langsung)
d) Damage (kerugian)
Untuk dapat menyalahkan dokter, haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang
diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. 75
Hasil (outcome) negatif tidak dapat dijadikan dasar menyalahkan dokter.
Sebagaimana adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktian adanya kesalahan dibebankan kepada si penggugat (pasien).
c) Cara tidak langsung.
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res
ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada / terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain
tidak ada contributory negligence.
c. Administrative Malpractice (Malapraktik Administrasi)
Dikatakan administrative malpracticejika dokter melanggar hukum tata
usaha negara. Contoh tindakan yang dikategorikan administrative
malpractice adalah :
a. Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin
b. Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi yang dimiliki
75http//www.welcome.makalah malpraktik.com oleh uuz diakses tanggal 2 Maret
2013
c. Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan izin yang sudah
tidak berlaku
d. Tidak membuat rekam medik.
Jenis – jenis lisensi mempunyai batas kewenangan sendiri – sendiri.Tidak
dibenarkan melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan
yang telah ditentukan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka dokter
dianggap melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi
administratif.
Walaupun masalah dugaan malapraktik medik, akhir-akhir ini,
sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang
tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa Undang-
Undang Praktik Kedokteran itu akan mengatur masalah malapraktik
medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin yang
bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis
Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja.
Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) bila terjadi tindak pidana.
Tidak tercantumnya istilah dan definisi menyeluruh tentang
malapraktik dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik
dan malapraktik yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang
malapraktik yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang
relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya
merupakan tugas besar bagi pemerintah.Dibutuhkan inovasi yang cerdas
dari pemerintah guna menangani kasus malapraktik dan sengketa medik
yaitu dengan lahirnya Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran
yang baru.
Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang baru ini
diharapkan menciptakan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan
medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas
terjadinya malapraktik dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan
dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi
tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah
dugaan malapraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law
dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum
tertulis,seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan
kesehatan, DPR harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan
berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malapraktik Medik,
sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.Mengenai materinya, kita bisa
belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal
tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat
tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para
medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai
undang-undang.
Aspek Etik Malapraktik
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang
pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah
ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang
menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku
dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis
Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental :
bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf
kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya,
karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara
tertukar-tukar.Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku
orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional
termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan
tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat,
serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah
satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan
penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan
tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap
organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah
dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat.
Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku jugauntuk
eksekutif lain dirumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah
kesepakatan bersama dan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua
anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam
pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malapraktik meliputi pelanggaran
kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort),
dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada
ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah
suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa
kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat
menerimanya.
Aspek Hukum Malapraktik
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai
keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur
perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan
sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum
itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya
untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua
malapraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang
harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada
kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis
yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga
medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan
hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai
kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat
menempatkan malapraktik medik dengan hukum pidana adalah syarat
akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-
luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi
unsur tindak pidana.76Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat
melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak.
Secara umum sifat melawan hukum malapraktik medik terletak pada
dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.Dari sudut
hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan
atau hubungan inspanning verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha
untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar
profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam
dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan
kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu
pelanggaran kewajiban (wanprestasi).Ada perbedaan akibat kerugian oleh
malapraktik perdata dengan malapraktik pidana. Kerugian dalam
malapraktik perdata lebih luas dari akibat malapraktik pidana. Akibat
malapraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas
kerugian materil dan immateril, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan
secara khusus dalam undang-undang. Berbeda dengan akibat malapraktik
pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi
76
http//www.tanggungjawabhukummalpraktikkedokteran.com oleh adami chazawi.diakses tanggal 4 Maret 2013
unsur pasal tersebut. Malapraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak
pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi
syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan
malapraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang
mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan mata
pencaharian merupakan unsur tindak pidana.Jika dokter hanya melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah
melakukan malapraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian
karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya
suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar
standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah
menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.Terkadang
penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam
hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself),
misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut
pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini
dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
Maraknya dugaan kasus malapraktik di Indonesia membuat
masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia.
Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis
Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut
berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena
kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak
jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat
suatu tindakan medis. Pasienpun enggan berkomunikasi dengan tenaga
medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan
perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat
tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.Sekarang ini tuntutan
professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan
serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis
bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah
malapraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang
melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang
menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastik
dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit
kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga
medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan
oleh demonstrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malapraktik
medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut
terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malapraktik yang pernah
dilaporkan masyarakat.Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat
dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malapraktik medik yang
diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana
atau dengan hukum administrasi.Di wilayah hukum Polda Metro Jaya
sendiri disepakati bahwa pada setiap kasus malapraktik medik diajukan
dua orang saksi ahli dibidang yang dibutuhkan,satu berasal dari
organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen
fakultas kedokteran).
Saat ini kita hidup di zaman globalisasi, zaman yang penuh
tantangan, zaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi
produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita
kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak
pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring masuknya
zaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran
peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan
peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan
tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan
canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat
mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi
sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan
terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut,
maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi
saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam
pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan
malapraktik. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan
pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk
menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malapraktik, perlu
adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai
masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan
dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah
perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan
belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan
peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malapraktik. Hal ini dapat
direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain
pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah
eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, di zaman globalisasi ini memberikan pintu
terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu
pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan
mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini,
dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja,
tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang
mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan
ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia
tempati, terjadilah malapraktik. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik
tenaga medis tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia.
Oleh karenanya peran dari pemerintah pada umumnya dan peran dari
Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga
kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini sangat
dibutuhkan.
Dari beberapa pengertian dan pendapat di atas, terlihat adanya
perbedaan dalam melihat pengertian dari malapraktik dan kelalaian dalam
profesi kedokteran.
Kriteria dan Unsur Malapraktik
Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan
apakah suatu perbuatan itu termasuk kategori malapraktik atau tidak,
biasanya dipakai 4 (empat) kriteria, antara lain :77
a. Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (a duty of
due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh
pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang
diharapkan
b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty)
c. Apakah itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation)
d. Adanya ganti rugi (damages)
Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi
(malapraktik) apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi
Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga “kunstfout”. Standar
Profesi Kedokteran menurut rumusan Leneen:78
a. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan culpa/kelalaian.
Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak teliti, tidak
berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak
berhati-hati ia memenuhi culpa lata.
b. Sesuai ukuran ilmu medik
c. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama
d. Situasi dan kondisi yang sama
e. Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkret
tindakan atau perbuatan tersebut.
77
Maryanti, Ninik. Malpraktik Kedokteran, cet. 1, Jakarta : Bina Aksara,1988. hlm.54
78Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta:Grafika Tama Jaya,
cet.1,1991.hlm. 87
Apabila ada dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dokter maka
kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu
perbuatan medik merupakan malapraktik atau tidak.79 Dalam pembuktian
malapraktik dipakai 5 (lima) unsur standar profesi kedokteran yang
dirumuskan Leneen.
Istilah malapraktik medik berasal dari istilah dalam bahasa Inggris
yaitu medical malpractice.Pengertian malapraktik medik tidak terdapat
secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang undangan di
Indonesia. Malpractice berasal dan tumbuh dalam sistem hukum yang
mengenal juri ( jury system ) yang hanya ada dalam sistim hukum Anglo
Saxon.80
Pengertian malapraktik dokter menurut kamus hukum atau
Dictionary Of Law 81 yaitu semua tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter atau oleh orang – orang dibawah pengawasannya atau oleh
penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya baik dalam
hal diagnosis, terapeutik, atau manajemen penyakit yang dilakukan secara
melanggar hukum, kepatutan , kesusilaan,dan prinsip – prinsip profesional
baik dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati – hatian, yang
menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka , cacat, kematian, kerusakan
pada tubuh dan jiwa atau kerugian lainnya dari pasien dalam
perawatannya.Pengertian malapraktik di atas hampir sama dengan apa
yang diungkapkan oleh M.Yusuf Hanafiah, malapraktik dokter yaitu
79 Hariyani, Safitri. Sengketa Medik, Jakarta: Diadit Media, 2005.hlm.64
80(http://www.ilunifk83.com/t315p15-hukum-kesehatan.Tanya Jawab Hukum
Kesehatan oleh dr. Dwi Ratna Sarashvati M.Sc, SH.13 pebruari 2013
81 Marwan.M dan Jimy P, Surabaya. Dictionary Of Law Completed Edition.2009
kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan
ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.82
Berikut ini diuraikan mengenai kebijakan hukum pidana dalam hal
ini hukum positif terutama yang berkaitan atau bersinggungan dengan
penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran. Hukum positif itu
diantaranya Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP) , Undang –
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan , Undang – Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
1. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP )83
a. Kejahatan Terhadap Pemalsuan Surat
Pasal 267 KUHP
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat,diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan
seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu
,dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan
(3) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa yang dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah – olah isinya
sesuai dengan kebenaran
82
M.Yusuf Hanafiah & Amri Amir , Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Egc, , 1999
83
Moeljatno,KUHP . Penerbit Bumi Aksara,1999
Pasal 267 KUHP ayat (1) dan (2) adalah pasal yang subyeknya khusus
dikenakan bagi dokter..Ayat (1) mensyaratkan bahwa harus ada
kesengajaan dalam melakukan perbuatan tersebut agar Pasal 267 ini
bisa dikenakan kepada dokter, sehingga dokter tidak dapat dituntut jika
dalam menerbitkan surat keterangan tersebut tidak dengan sengaja.
Sebagai contoh misalnya seorang dokter setelah memeriksa pasien tidak
menemukan kelainan dalam hal ini penyakit pada tubuh pasien sehingga
dokter membuat surat keterangan sehat untuk pasien,tapi ternyata
kemudian pasien sebenarnya penyakit hemophilia yang tidak diketahui
oleh dokter tersebut.Dalam hal ini tindakan dokter tersebut tidak dapat
dikenakan Pasal 267 KUHP karena dokter tidak sengaja
melakukannya.Untuk dapat dinyatakan dokter melakukan kejahatan
pemalsuan seperti yang tertera pada Pasal 267 KUHP,unsur
kesengajaannya harus dibuktikan bahwa palsunya keterangan dalam
surat merupakan perbuatan yang dikehendaki, disadari dan disetujui oleh
dokter yang bersangkutan.Dengan kata lain dokter sebenarnya sadar
bahwa surat keterangan yang dibuatnya bertentangan dengan yang
sebenarnya.Dalam hal ini dokter hanya dapat dituntut karena kelalaian
dalam menentukan diagnosa manakala terbukti ada kelalaian dalam
proses menentukan diagnosa misalnya dengan tidak mengikuti standar
operasional prosedur yang telah ditetapkan.
Dalam praktik sehari-hari,adakalanya surat keterangan dokter diisi
oleh perawat yang melaksanakan perintah dokter,tetapi yang
menandatangani surat keterangan tersebut adalah dokter.Bila perawat
yang mengisi surat keterangan dokter tersebut tidak mengetahui tentang
ketidakbenaran isi dari surat tersebut,maka perawat tidak ikut
bertanggungjawab,Tetapi bila perawat mengetahui bahwa isi surat
keterangan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan
kenyataan,maka terhadap perawat juga dapat dikenakan sanksi sebagai
pelaku yang turut serta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1)
KUHP84
b. Pengguguran Kandungan
Pasal 299
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan,
atau jika dia seorang tabib, bidan atau juruobat, pidananya dapat
ditambah sepertiga
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencariannya, dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
84
Ari Yunanto,Helmi.Op.cit.hlm.51
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun
Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut
,diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 346, 347, dan 348 tidak menentukan subyek khusus pelaku karena
perbuatan tersebut dapat saja dilakukan oleh orang yang tidak
berkualifikasi sebagai dokter,baik oleh masyarakat biasa atau dukun
beranak sekalipun.Pasal 347 dan 348 KUHP mengatur keterlibatan orang
lain dalam tindak pidana aborsi.Apabila seseorang melakukan aborsi
tanpa persetujuan dari perempuan yang kandungannya diaborsi,maka
pertanggungjawaban pidananya berdasarkan Pasal 347 KUHP,namun
apabila dengan persetujuan perempuan itu maka pertanggungjawaban
pidananya berdasarkan Pasal 348 KUHP.Adapun Pasal 299 ayat (2) dan
Pasal 349 KUHP85 mengancam kepada dokter,bidan, atau juru obat yang
melakukan pengguguran kandungan yang menjadikan kegiatan tersebut
sebagai sumber pencarian dengan ancaman yang lebih berat dengan
ditambah sepertiga dari ancaman maksimalnya.
Dalam hal memberikan harapan pengguguran kehamilan kepada
seorang wanita hamil diatur dalam Pasal 299 KUHP, bahwa barangsiapa
baik dokter atau bukan yang sengaja mengobati perempuan yang sedang
mengandung, atau menyuruh mengobati dengan memberi harapan bahwa
dengan pengobatan itu dapat menggugurkan kandungan,diancam dengan
pidana yang cukup berat, yaitu empat tahun penjara.Sebagai contoh
kasus,misalnya seorang pasien wanita datang kepada dokter dengan
pernyataan bahwa wanita tersebut hamil,dan meminta kepada dokter
untuk memberikan obat agar kehamilannya tidak berlanjut.Dokter
85Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
kemudian memberikan resep dengan keterangan bahwa setelah obat
yang tertulis didalam resep tersebut diminum,kehamilan wanita tersebut
akan berakhir.Walaupun resep tersebut belum dibeli dan belum sempat
diminum oleh pasien,perbuatan dokter yang memberi harapan pada
pasien bahwa karena obat tersebut kehamilannya dapat digugurkan,dapat
dituntut dengan Pasal 299 ini.Dengan demikian,berdasar pasal tersebut
,dokter yang bersangkutan dapat diancam dengan pidana penjara selama-
lamanya empat tahun ditambah sepertiga dan dapat pula ditambah
dengan pencabutan hak melakukan pekerjaan sebagai dokter.
Agar ketentuan ini tidak menimbulkan ketakutan bagi dokter dalam
melakukan tugas menyelamatkan jiwa Ibu hamil dengan jalan satu-
satunya menggugurkan kandungan maka sebaiknya ketentuan ini diberi
pengecualian bagi dokter apabila ada indikasi medis seperti yang terdapat
dalam Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 75 ayat (2)
dan pada KUHP Konsep Pasal 580 ayat (2).Dengan demikian dapat
memberikan perlindungan hukum bagi dokter,bidan,atau paramedis
lainnya jika dalam kondisi darurat melakukan pengguguran kandungan
untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan sekaligus menghindari tuduhan
adanya malapraktik kedokteran.
c. Tentang Penganiayaan
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Seorang dokter bedah ketika melakukan pembedahan dengan melukai
tubuh pasien sebenarnya memenuhi unsur penganiayaan hanya saja sifat
melawan hukum perbuatan dihilangkan manakala ada persetujuan dari
pasien atau keluarganya dan ada indikasi medis sehingga mempunyai
tujuan untuk menyehatkan.Disini berlaku asas subsidiariteit dengan
memilih salah satu tindakan yang lebih bermanfaat.Seorang dokter hanya
dapat dituduh melakukan penganiayaan manakala dengan sengaja
melukai tubuh seseorang tanpa indikasi medis dan tanpa persetujuan
orang yang bersangkutan.
d. Kealpaan Yang Menyebabkan Mati atau Luka – luka
Pasal 359
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mati,diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.86
Dalam upaya penyembuhan,sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada
dokter yang dengan sengaja melakukan kesalahan terhadap
pasien.Apabila terjadi kematian/cacat/luka dan diduga keadaan tersebut
karena kesalahan dokter,maka yang paling penting adalah membuktikan
adanya grove schuld atau sikap kurang hati-hati yang besar atau sangat
sembrono dalam upaya penyembuhan (culpa lata),sedangkan suatu
kesalahan ringan/biasa tidak dapat dijadikan dasar untuk meminta
pertanggungjawaban hukum.
Adanya hubungan kausal telah lazim dikenal dengan istilah akibat a
langsung atau akibat yang ditimbulkan oleh sebab-sebab yang masuk akal
dan menurut kelayakan.Hal ini dapat disebut sebagai akibat dari suatu
sebab.Khusus dalam mencari causal verband antara tindakan medic
dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medik maka digunakan ilmu
kedokteran sendiri.Adanya akibat kematian,apakah dari sebab diberikan
suntikan obat tertentu dengan dosis tertentu ,tidak cukup dengan akal
orang awam,tetapi harus menggunakan ilmu kedokteran.Akan
tetapi,adakalanya cukup digunakan akal orang awam sekalipun,seperti
kasus tertinggalnya kasa pada suatu pembedahan.Adanya kasa yang
86
Pasal 359 KUHP
tertinggal dalam tubuh setelah pembedahan sudah cukup membuktikan
akibat dari pembedahan yang tidak teliti.87
Pasal 360
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mendapat luka – luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain luka –luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit
atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
.Dari rumusan Pasal 360 KUHP ayat (1) dapat dirinci unsur-unsurnya,yaitu
1. Adanya kelalaian
2. Adanya wujud perbuatan
3. Adanya akibat luka berat
4. Adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud perbuatan
Rumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur :
1. Adanya kelalaian
2. Adanya wujud perbuatan
87
Ari Yunanto,Helmi.Op.cit.hlm.62
3. Adanya akibat yaitu,luka yang menimbulkan penyakit dan luka yang
menimbulkan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu
4. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat.
Adapun kriteria luka berat menurut Pasal 90 adalah :
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan
sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut;
2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalani tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian;
3. Kehilangan salah satu panca indra;
4. Menderita sakit lumpuh;
5. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu atau lebih;
6. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Sebagai alternatif,luka yang mendatangkan penyakit adalah luka yang
menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian.Ukuran jenis luka ini bukan pada penyakit,tetapi pada halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.Ukurannya lebih
mudah,yakni terganggunya pekerjaan yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter bahwa orang itu perlu istirahat karena adanya
gangguan pada fungsi organ tubuhnya karena luka yang diderita.
Unsur kelalaian dalam Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP
mensyaratkan adanya perbuatan tidak berhati-hati.Untuk menilai
perbuatan seseorang berhati-hati atau sebaliknya harus dibandingkan
dengan perbuatan orang lain.
Pasal 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah
dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
Berdasarkan Pasal 361 KUHP,dokter yang telah menimbulkan cacat atau
kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya
diancam dengan pidana sepertiga lebih berat,dan selain itu hakim dapat
menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan
yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan
pengumuman putusan hakim.
e. Meninggalkan orang yang perlu ditolong
Pasal 304
Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Pasal 531
Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang
menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan
padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau
orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan
pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 304 dan Pasal 531 ini merupakan pasal pembiaran yang dapat
diberlakukan kepada dokter yang tidak memberikan pertolongan kepada
pasien yang membutuhkan pertolongan karena luka atau sakit yang
membahayakan nyawa atau jiwa pasien tersebut dan sipenolong tidak
akan terancam jiwanya jika melakukan pertolongan itu.Dokter yang tidak
memberikan pertolongan darurat atas dasar prikemanusiaan dan tidak
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya adalah
melakukan pelanggaran hukum yang bertentangan dengan Pasal 51
Undang Praktik Kedokteran tentang kewajiban dokter,juga termasuk
pelanggaran disiplin dan kode etik kedokteran Pasal 13 KODEKI
f. Tentang Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa
Pasal 338
Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun
Pasal 340
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana ,dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu,paling lama dua puluh tahun.
Pasal 344
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
Pasal 345
Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh
diri,menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun,kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal ini dapat dihubungkan dengan euthanasia yang merupakan salah
satu permasalahan yang menjadi polemik dikalangan kedokteran saat ini.
Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien
menderita penyakit yang secara medis tidak dapat diobati lagi, Pasien
tersebut meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya. Hukum Indonesia
tidak mengenal dan tidak dapat membenarkan alasan atau motivasi
euthanasia baik aktif maupun pasif.Pasal 344 KUHP melarang segala
bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaan sendiri
dengan rumusan sebagai berikut : “Barangsiapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.”Nilai kejahatan pembunuhan atas permintaan korban ini sedikit
lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)yang diancam
dengan pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara dan jauh lebih
berat daripada kelalaian yang menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP)
yang diancam pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara.Faktor lebih
ringan (dua tahun)dari pembunuhan biasa disebabkan oleh pembunuhan
atas permintaan korban ini terdapat unsure “atas permintaan korban itu
sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.”Permintaan korban itu
oleh hukum masih dihargai dengan diberi ancaman pidana dua tahun
lebih ringan daripada pembunuhan biasa,dibanding jika kematian tidak
dikehendaki oleh korban.88
g.Membocorkan rahasia jabatan
Pasal 322
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang
sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
88
Ari Yunanto,Helmi..Op.Cit hlm.59
Pasal ini adalah delik aduan,dimana dokter hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan dari orang yang dirugikan dalam hal ini pasien.
Ada perbedaan antara rahasia jabatan dengan rahasia
pekerjaan.Rahasia jabatan merupakan sesuatu rahasia yang diketahui
karena jabatan atau kedudukan seseorang,seperti pegawai negeri.Adapun
rahasia pekerjaan merupakan rahasia yang diketahui karena
pekerjaan.Apabila rahasia pekerjaan tersebut di bidang kedokteran maka
disebut rahasia kedokteran (rahasia medis).Rahasia kedokteran (rahasia
medis)merupakan sesuatu yang diketahui berdasarkan informasi yang
disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien
ketika berobat),termasuk juga segala sesuatu yang dilihat (diketahui)
ketika memeriksa pasien.Menurut Guwandi,asal mula rahasia medis
adalah dari pasien itu sendiri yang menceritakan kepada dokter sehingga
sewajarnya pasien itu sendiri adalah pemilik rahasia medis atas dirinya
sendiri dan bukan dokter.Kewajiban menyimpan rahasia pasien juga diatur
dalam Pasal 48 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal
57.Pasal 48 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.Sementara ayat (2) menyatakan bahwa
rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
pasien,memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum,permintaan pasien sendiri,atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.Hal ini selaras dengan Pasal 57 ayat (2)UU
Kesehatan No.36 Tahun 2009.
Ketentuan UU No.29 Tahun 2004 tersebut tidak menganulir
ketentuan Pasal 322 KUHP sehingga ketentuan Pasal 322 KUHP juga
dapat diberlakukan terhadap pekerjaan dokter (rahasia kedokteran)
sebagai tuntutan subsider oleh penuntut umum.Pendapat ini berbeda
dengan pendapat Anny Isfandyarie yang menyatakan bahwa dengan
adanya ketentuan dalam UU tersebut sebagai lex spesialis,maka Pasal
322 KUHP tidak berlaku bagi dokter dan dokter gigi,tetapi dapat
diberlakukan bagi tenaga kesehatan diluar dokter dan dokter gigi.
Menurut Adami Chazawi,dalam perkara pidana jika pengadilan
meminta dokter sebagai ahli memberikan keterangan yang didalamnya
ada keterangan yang wajib disimpannya,misalnya tentang penyakit yang
menyebabkan pasien meninggal,tidak dipidana.Hal ini bukan berarti
dokter tidak melakukan tindak pidana sebagaimana rumusan Pasal 322
KUHP,tetapi tidak dipidananya perbuatan memberikan keterangan ahli
karena kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan.Pertimbangannya
adalah apabila dokter tetap bertahan pada rahasia jabatan
didepan siding pengadilan maka ia melanggar kepentingan hukum yang
lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk tegaknya keadilan.89
h.Menjual dan mengedarkan obat palsu
89 Ari Yunanto,Helmi.Op.cit.hlm.54
Pasal 386
(1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang
makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu
dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu jika nilainya
atau faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan
sesuatu bahan lain.
Pasal ini sebenarnya berlaku umum dan tidak hanya khusus kepada
dokter,tetapi penulis menganggap bahwa dalam hal obat-obatan
dokter lebih mengetahui daripada orang biasa apakah obat tersebut
palsu atau bukan, sehingga kemungkinan besar subyek yang dapat
melakukan kejahatan ini adalah dokter.Meskipun demikian dalam hal
tertentu dokter bisa saja tidak tahu bahwa obat yang diberikan kepada
pasien itu sebenarnya adalah palsu.Dalam kasus seperti ini dokter
tidak dapat dituntut karena pasal ini mensyaratkan adanya
pengetahuan kepada pelaku bahwa obat yang dijualnya adalah obat
palsu.
2. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Berikut akan diuraikan ketentuan pidana yang terdapat di dalam Undang –
Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009:
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan / atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau
Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.00 ( dua
ratus juta rupiah )
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan / atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun,dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar
rupiah )
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda,luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan
rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah )
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat ( 2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah
dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah ).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar dan / atau persyaratan keamanan,khasiat atau
kemanfaatan,dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak
memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas ) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 ( satu miliar lima
ratus juta rupiah )
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 ( seratus juta rupiah )
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah );
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa
rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda
paling banyak Rp 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah )
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program
pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah )
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190
ayat (1), Pasal 191,Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi,selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya,pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 190 ayat (1),Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal
197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
a. Pencabutan izin usaha dan / atau
b. Pencabutan status badan hukum. 90
Penanganan kasus malapraktik yang dilakukan oleh dokter
terdapat dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan . Berikut akan diuraikan lebih lanjut mengenai kebijakan yang
baru di dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang berkaitan
dengan kebijakan penanganan kasus malapraktik dokter atau tenaga
kesehatan.
a. Tentang Kelalaian
Pasal 29 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi.
Pasal 29 tersebut merupakan kebijakan hukum yang baru dalam rangka
menyelesaikan kasus sengketa medis dalam hal kelalaian yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan sehingga tidak mengharuskan sengketa medik
yang timbul karena kelalaian diselesaikan melalui jalur hukum. Pasal
mengenai kelalaian ini juga terdapat di Pasal 54 Undang – Undang Nomor
23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan .
90 Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
Tabel 1. Pasal tentang Penyelesaian Kasus Kelalaian Tenaga Kesehatan
a. Tentang Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat
menular kedalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
Undang – Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
Pasal 29 Pasal 54
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya
yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
c. Tentang Ganti Rugi
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang
dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Didalam Undang – Undang Kesehatan yang baru yaitu Undang – Undang
Nomor 36 Tahun 2009 diatur kebijakan hukum kesehatan secara khusus
mengenai perlindungan terhadap pasien yang terdapat di dalam Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 91.
Tabel 2. Pasal mengenai Hak Ganti Rugi atas Kesalahan / Kelalaian oleh
Tenaga Kesehatan
Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
Undang – Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
Pasal 58 (1) Setiap orang berhak
menuntut ganti rugi terhadap seseorang,tenaga kesehatan , dan / atau penyelenggara kesehatanyang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Pasal 55 (1) Setiap orang berhak atas
ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
d. Mengenai Transplantasi Organ
Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan
melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat
91 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009
dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta
penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan
dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan
dalih apapun.
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(1) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor
harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan
mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
hewan,hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan
kemanfaatannya.
Pengaturan mengenai transplantasi organ juga diatur dalam
undang – undang yang baru ini dimana bagi yang melanggar ketentuan
pasal – pasal tersebut di atas dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal
192 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,“Setiap
orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Hal ini juga banyak menjadi polemik dimasyarakat karena banyak
kasus akibat desakan ekonomi seseorang rela menggadaikan kesehatan
dan mengorbankan tubuhnya dengan menjual salah satu organ tubuhnya
demi mempertahankan hidup.Padahal menurut undang-undang diatas hal
ini termasuk perbuatan pidana yang dilarang dengan dalih apapun
termasuk alasan ekonomi.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh
manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan,baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang
tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal – pasal tentang aborsi di atas diatur secara rinci di dalam Undang –
Undang Kesehatan yang baru yaitu Undang – Undang Nomor 36 Tahun
2009 dan bagi pelakunya dapat dikenakan Pasal 194 Undang – Undang
Nomor 36 Tahun 2009 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).Ada perbedaan antara Undang – Undang Nomor 36 Tahun
2009 dengan Undang – Undang 23 Tahun 1992 mengenai aborsi yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.Pasal tentang Larangan Melakukan Aborsi
Undang – Undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009
Undang – Undang Kesehatan
Nomor 23 Tahun 1992
Pasal 75 Pasal 15
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat dikecualikan berdasarkan :
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,baik yang mengancam nyawa ibu dan / atau janin , yang menderita penyakit genetik berat dan / atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan ;atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan;
(3)Tindakansebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan Pemerintah.
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut ;
b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, pada sarana kesehatan tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
3.Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan keluarnya putuan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU/-V/2007
maka sebagian ketentuan-ketentuan pidana dalam UU Praktik Kedokteran
menjadi batal.Keputusan ini membuat kontroversi dikalangan kedokteran
dan kesehatan bahkan dikalangan hukum yang menganggap putusan ini
mengabaikan kepastian hukum.Sementara dari kalangan kedokteran
merasa nyaman dan merasa tidak dikriminalisasi dengan adanya
ketentuan pidana tersebut.
Berikut akan diuraikan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan
penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran pasca putusan
Mahkamah Konstitusi No 4/PUU/ - V/2007 terhadap uji materiil Undang –
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU/ - V/2007 terhadap uji materiil
Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan permohonan
para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai
kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79
sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-
kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-
kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang
mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Putusan perkara yang dimohonkan oleh dr.Anny Isfandyarie
Sarwono,Sp.An,SH,dkk tersebut diucapkan dalam persidangan terbuka
untuk umum pada hari Selasa tanggal 19 Juni 2007 di Ruang Sidang
Mahkamah Konstitusi Jl.Medan Merdeka Barat No.7 Jakarta Pusat.
Dengan keluarnya putusan ini sebenarnya merupakan kerugian besar bagi
seorang dokter karena setiap perbuatan dokter yang memenuhi unsur
malapraktik akan dilakukan penuntutan dengan menggunakan pasal yang
ada dalam KUHP yang memiliki sanksi yang lebih berat daripada sanksi
yang diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban92 :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik , apabila tidak mampu melakukan
pemeriksaan atau pengobatan.
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,bahkan
juga setelah pasien meninggal dunia
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
Pasal 75
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat(1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000 ( Seratus Juta Rupiah )
Surat Tanda Registrasi (STR) memberikan hak atau kewenangan pada
dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran atau praktik
kedokteran gigi diIndonesia.Apabila yang bersangkutan tidak memiliki STR
92
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
dari sudut hukum administrasi kedokteran maka tidak berwenang untuk
melakukan praktik.Oleh karena itu perbuatan demikian diancam dengan
sanksi pidana,sehingga perbuatan tersebut menjadi/ mengandung sifat
melawan hukum pidana.Apabila praktik dokter tanpa STR membawa akibat
penderitaan pasien berupa luka-luka,rasa sakit atau kematian,maka terjadi
malapraktik kedokteran walaupun telah mendapat informed consent dari
pasien dan tidak melanggar standar profesi dan standar prosedur.Dari
pelanggaran hukum administrasi menjadi tindak pidana oleh pembentuk
undang-undang mempunyai maksud sebagai upaya preventif
menghindarkan dokter/dokter gigi dari malapraktik kedokteran sekaligus
mencegah munculnya korban malapraktik kedokteran.
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki izin praktik kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3( tiga )tahun atau denda paling banyak Rp.
100.000.000 ( Seratus Lima Puluh Juta Rupiah)
Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu
memiliki Surat Izin Praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di
Indonesia.Kewajiban dokter ini semula merupakan kewajiban hukum
administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena
pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam sanksi pidana.Ketentuan
mengenai SIP diatur dalam Pasal 37 dan 38 Undang-Undang Praktik
Kedokteran yaitu :
1) SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di
kabupaten/kota tempat praktik kedokteran/kedokteran gigi akan
dilaksanakan (Pasal 37 ayat 1)
2) SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat (Pasal 37 ayat 2)
3) Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (Pasal 37 ayat 3)
4) Untuk memiliki SIP harus memenuhi tiga syarat,yakni (1)memiliki STR
yang masih berlaku,(2)memiliki tempat praktik,(3)memiliki rekomendasi
dari organisasi profesi (Pasal 38 ayat 1)
5) SIP tetap berlaku sepanjang (1)STR masih berlaku,dan (2)tempat praktik
masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (Pasal 38 ayat 2)
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa
gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (
lima ) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000 ( Seratus
Lima Puluh Juta Rupiah )
Pasal 77 Undang – Undang Praktik Kedokteran ini menerangkan larangan
menggunakan identitas berupa gelar yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter.Unsur
“perbuatan menggunakan gelar” harus memenuhi dua syarat,yaitu:
1) Gelar yang digunakan harus berupa gelar yang ada hubungannya
dengan ilmu kedokteran.Suatu gelar yang diketahui umum dapat
menunjukkan bahwa pemilik gelar menguasai bidang kedokteran;
2) Sipembuat sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut.
Demikian juga pada alternatif dari menggunakan gelar in casu disebut
sebagai “menggunakan identitas bentuk lain”.Unsur ini sangat terbuka dan
dapat mengikuti apa yang berlaku di bidang praktik kedokteran.Identitas
bentuk lain harus identitas yang diketahui umum sebagai identitas para
dokter,misalnya pakaian khas dokter yang berupa jas atau jubah
putih,mengalungkan stetoskop dileher,pada mobilnya terpampang lambing
IDI atau asosiasi kedokteran lainnya yang menimbulkan kesan seolah-olah
seorang dokter. Pasal 77 ini selain berlaku pada orang yang bukan
dokter,juga berlaku pada dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR
dan/atau SIP yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran.Hal ini
karena dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR dan/atau SIP
merupakan satu kalimat yang artinya tidak dapat dipisahkan.93Pertanyaan
yang muncul adalah bagaimana dengan tenaga kesehatan lain seperti
perawat yang dalam melakukan tugasnya kadang tampak seperti
dokter,misalnya ketika melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan
menggunakan alat-alat kedokteran?Dilain pihak banyak praktik-praktik
pengobatan alternatif yang dalam praktiknya memeriksa pasien juga
93
Anny Isfandyarie.Op.cit.hlm.186
menggunakan alat-alat kedokteran layaknya seorang dokter yang
memeriksa pasien padahal dia bukan seorang dokter.Jadi menurut penulis
pasal ini harus dilengkapi dengan larangan mempergunakan alat-alat
kedokteran pada praktik-praktik pengobatan yang bukan dilakukan oleh
dokter,sehingga masyarakat secara terang dapat membedakan pengobatan
yang dilakukan oleh dokter dan bukan dokter,kecuali bila alat pemeriksaan
itu hanya digunakan untuk kepentingan sendiri seperti alat periksa gula
darah dan sejenisnya.
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau
cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat ( 2 )dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 ( lima ) tahun atau denda paling banyak Rp.
150.000.000 ( Seratus Lima Puluh Juta Rupiah )
Sebagaimana Pasal 77,selain pada orang yang bukan dokter,pasal ini dapat
diartikan berlaku juga bagi dokter/dokter gigi yang tidak mempunyai STR
dan / atau SIP seperti bunyi Pasal 73 ayat (2): “ Setiap orang dilarang
menggunakan alat,metode,atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter/dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik.”
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun
atau denda paling banyak Rp 50.000.00000 ( Lima Puluh Juta Rupiah
) , setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat ( 1 )
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat ( 1 )
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 Huruf a, huruf b , huruf c,d atau huruf
e.
Tujuh macam tindak pidana pada Pasal 79 bersumber pada kewajiban
hukum administrasi yang apabila dilanggar menjadi tindak pidana dengan
diberi ancaman pidana.Sebagaimana disebutkan pada Pasal 41 ayat (1)
dan Pasal 46 ayat (1) yang mewajibkan pemasangan papan nama dan
rekam medik pada dokter praktik,demikian juga Pasal 51 huruf a-e yang
menyebutkan adanya kewajiban dokter dalam melaksanakan praktik jika
dilanggar dapat menjadi tindak pidana bahkan sebagian dapat menjadi
syarat terjadinya malapraktik kedokteran apabila dari pelanggaran
administrasi tersebut menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan pasien,baik
berupa luka ataupun kematian.94
94
Ari Yunanto,Helmi.Op.Cit.hlm.82
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau
dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun atau denda paling
banyak Rp. 300.000.000 ( Tiga Ratus Juta Rupiah )
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh korporasi , maka pidana yang dijatuhkan adalah
pidana denda sebagaimana pada ayat ( 1) ditambah sepertiga atau
dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
2.Kebijakan Hukum Pidana yang akan Datang dalam Penanganan
Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy).Makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.Latar belakang
dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari
aspek sosiopolitik,sosiofilosofis,sosiokultural,atau dari berbagai aspek
kebijakan (khususnya kebijakan sosial,kebijakan kriminal,dan kebijakan
penegakan hukum).Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu.Artinya,pembaharuan
hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari
perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakanginya itu.95 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan
hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanganan kejahatan, jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain dilihat dari
sudut politik kriminal,maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
kebijakan penanganan kejahatan dengan hukum pidana.
Disamping hal tersebut diatas usaha penanganan kejahatan melalui
pembuatan undang - undang pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat dan usaha mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran dalam Konsep
KUHP
a. Tentang pengguguran kandungan seorang wanita
Pasal 578 Konsep
(1) Seorang perempuan yang menggugurkan kandungan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan
atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 ( empat ) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori IV
(2) Setiap orang yang menggugurkan kandungan atau mematikan
95Barda Nawawi Arief.Op.Cit. 2010.hlm.29
kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama
12 ( dua belas ) tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak
pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga ) tahun
dan paling lama 15 ( lima belas ) tahun
Dalam Pasal 578 konsep ayat (1) diatas termasuk delik propria dimana yang
menjadi subyek (pelaku delik) adalah seorang perempuan,yaitu perempuan
yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang
lain untuk mematikan kandungannya.Subyek delik tidak bersifat umum
(biasanya menggunakan kata barangsiapa/setiap orang) sehingga tidak
dapat diterapkan terhadap orang yang tidak memenuhi kualifikasi subyek ini
(seorang perempuan).Hal ini berbeda dengan ayat (2) yang termasuk delik
communia karena subyeknya bersifat umum (setiap orang).
Dalam konstruksi delik ini ditentukan akibat ,yaitu mengakibatkan
gugurnya kandungan dan mengakibatkan matinya kandungan siperempuan
tersebut.Untuk timbulnya suatu akibat,baik gugur kandungan atau matinya
kandungan tentu ada perbuatan yang dilakukan,sehingga ada hubungan
kausal antara perbuatan dengan akibat.Tindak pidana dalam ayat ( 1 ) sama
dengan tindak pidana dalam Pasal 346 KUHP,akan tetapi sistem
perumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP rumusan pidananya secara
pidana tunggal yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ,
sedangkan dalam konsep 2008 pidana penjara 4 (empat) tahun
dialternatifkan dengan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (Tujuh Puluh
Lima Juta Rupiah).Tindak pidana dalam ayat (2) dan ayat (3) sama dengan
tindak pidana dalam Pasal 347 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, dengan
rumusan pidana secara tunggal yaitu pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun. Perbedaannya dalam Pasal 578
ayat ( 2) dan ayat (3) Konsep,ada sistem pidana minimum khusus yaitu 3
(tiga) tahun.Hal ini menurut penulis sangat baik untuk menghindari hakim
memutus perkara dibawah dari pidana minimum khusus untuk pelaku
kejahatan ini, karena menurut konsep kejahatan ini termasuk kejahatan
dengan bobot kategori “Berat”.Hal ini wajar karena menyangkut kejahatan
terhadap nyawa manusia.
Tabel 4.Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan
Konsep KUHP
KUHP
Pasal 578 ayat 1 Pasal 346
Seorang perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 ( empat ) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
Pasal 578 Ayat 2 Pasal 347 ayat 1
Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
(dua belas) tahun
Pasal 578 Ayat 3 Pasal 347 ayat 2
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat ( 2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama 15 ( lima belas ) tahun.
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut , diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
Pengguguran kandungan kadang menjadi keharusan bagi dokter untuk
melakukannnya demi untuk menyelamatkan jiwa ibu yang menderita
penyakit tertentu misalnya penyakit jantung dan keracunan kehamilan
sehingga dokter tidak dapat dituntut secara pidana karena melakukannya
(abortus terapeutis).Dalam KUHP Pasal 90 gugur atau matinya kandungan
seorang perempuan juga masuk dalam kategori luka berat yang diancam
dengan pidana.Adapun luka berat, atau bahkan meninggalnya pasien
seringkali dikaitkan dengan malapraktik oleh pasien atau keluarganya.
Adapun akibat tindakan medik yang dapat membahayakan nyawa dapat
dianggap sebagai malapraktik dapat pula merupakan risiko dari tindakan
medik tersebut.Hal ini karena setiap tindakan medik yang besar seperti
operasi pasti mempunyai resiko kematian sehingga fokus hukum pidana
dalam pelayanan kesehatan bukan pada akibat tetapi pada
kausanya.Disinilah perlunya Standar Profesi dan Standar Operasional
Prosedur atau Standar Pelayanan Medik sehingga walaupun terjadi
kematian, dokter tidak dapat dituntut bilamana sudah melaksanakan
tugasnya sesuai dengan standar profesi.
Sebagai contoh resiko yang terjadi pada pelayanan medik ataupun
tindakan medik yang dilakukan oleh dokter kepada pasien adalah sebagai
berikut :
a. Resiko yang melekat, misalnya rambut rontok akibat pemberian
sitostatika ( obat pembunuh sel kanker )
b. Reaksi hipersensitivitas, misalnya respon imun ( kekebalan tubuh yang
berlebihan atau menyimpang terhadap masuknya bahan asing (obat).
Oleh karena itu,menurut Anny Isfandyarie,malapraktik harus dibedakan
dengan resiko medik agar masyarakat atau pasien lebih memahami apakah
hasil tindakan dokter merupakan tindakan malapraktik atau memang sudah
menjadi resiko medik.96
Berikut tabel perbandingan antara malapraktik dan resiko medik:
Tabel 5. Perbedaan Resiko Medik dengan Malapraktik97
RESIKO MEDIK
MALAPRAKTIK
1) Sesuai standar pelayanan medis 1) Tidak sesuai standar pelayanan medis
2) Ada antisipasi atau penduga-duga atau penghati-hati
2) Tidak ada antisipasi atau penduga-duga atau penghati-hati
3) Bukan kelalaian atau kesalahan 3) Terdapat kelalaian atau kesalahan
4) Ada upaya penanganan yang telah disiapkan
4) Tidak ada upaya penanganan yang disiapkan
5) Terjadi Contributory Negligence 5) Tidak terjadi Contributory Negligence
6) Ada alasan pembenar dan alas an pemaaf
6) Tidak ada alasan penghapus pidana ( Pasal 359,360,361 KUHP )
96Anny Isfandyarie.Op.Cit. hlm. 129
97 Ibid
Menurut Danny,beliau menyebutkan bahwa ada 2 dasar peniadaan
kesalahan dokter,yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang
dijelaskan sebagai berikut :
1) Alasan pembenar,yaitu alasan yang meniadakan sifat melawan hukum
dari suatu perbuatan,sehingga yang dilakukan pelaku menjadi perbuatan
yang patut dan benar.Alasan pembenar yang dapat dipakai untuk
meniadakan kesalahan dokter adalah :
a) Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP),misalnya
: dokter membuka rahasia jabatan karena melaksanakan ketentuan
undang-undang tentang keharusan melapor adanya kasus penyakit
AIDS kepada pihak yang berwenang.
b) Melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1
KUHP),misalnya : dalam rangka mengajar mahasiswa,dokter
menceritakan penyakit seseorang kepada mahasiswanya,dokter ahli
bedah melukai tubuh pasien untuk mengeluarkan tumor
c) Adanya efek samping yang merupakan resiko pengobatan,misalnya ;
resiko hipersensitif seperti yang terjadi pada kasus dr Setianingrum
d) Contributory negligence,yaitu pasien memberikan penjelasan yang
tidak benar tentang penyakitnya kepada dokter,sehingga dokter keliru
dalam menentukan diagnosa dan terapi atas diri pasien tersebut
e) Volenti non fit iniura,asumption of risk (pasien menghendaki pulang
paksa,lalu meninggal dunia tak lama kemudian setelah pulang)
2) Alasan pemaaf,yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
pelaku,perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum,tetapi
karena orangnya dimaafkan,maka ia tidak dihukum.Yang termasuk
alasan pemaaf antara lain :
a) Daya paksa,misalnya : adanya ancaman dalam membuat surat
keterangan medis,sehingga dokter yang membuat surat keterangan
medis palsu tidak dihukum karena Pasal 48 KUHP memaafkan
kesalahan tersebut.
b) Non-negligenty clinical error of judgement ( kekeliruan penilaian
klinis).Sebagai manusia biasa dokter dapat juga melakukan kesalahan
dalam penilaian klinis pasiennya,misalnya : pada waktu dokter
melakukan tindakan melahirkan bayi,ia mengalami kesulitan sehingga
bayinya cacat.
c) Accident (kecelakaan), dokter sudah berhati-hati, tetapi operasi memang
sangat sulit sehingga akibat yang fatal tidak bisa dihindari.
Dari pendapat Danny Wiradarma tersebut,dapat diartikan bahwa
resiko pengobatan dalam hukum pidana dapat digolongkan sebagai alasan
pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan
dokter.Disamping itu,terjadinya accident (kecelakaan) pada operasi yang
sulit dapat digolongkan sebagai alasan pemaaf yang menghapuskan
kesalahan dokter yang melakukan operasi tersebut.98
Pasal 580 Konsep KUHP
98 ibid.hlm.127
1) Dokter, bidan, paramedis, apoteker atau juru obat yang membantu
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578
ayat (1) atau melakukan atau membantu melakukan salah satu tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578 ayat (2) dan ayat (3)
dan Pasal 579, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu pertiga) dan
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
(2) Tidak dipidana, dokter yang melakukan tindakan medis tertentu
dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan/atau janinnya.
Pasal 580 ini mengancam pidana yang lebih berat kepada pelaku yang
berprofesi sebagai dokter ,bidan,paramedis,apoteker atau juru obat.Tapi hal
baru yang memang menjadi pelengkap pasal ini adalah bahwa dokter yang
melakukan pengguguran kandungan karena alasan medis (abortus
terapeutis) sesuai dengan ketentuan undang – undang tidak
dipidana.Ketentuan ini menurut penulis sangat baik karena dapat membuat
dokter lebih nyaman dalam bekerja.
Ketentuan dalam Pasal 580 ayat (1) Konsep sama dengan ketentuan
dalam Pasal 349 KUHP. Dokter , bidan ,atau juru obat yang “ membantu
melakukan “ pengguguran kandungan, sanksi pidananya sama dengan
dokter,bidan,paramedis, apoteker atau juru obat yang “melakukan “ yaitu
diperberat dimana pidananya ditambah sepertiga. Hal ini berbeda dengan
ketentuan umum mengenai “ membantu melakukan “ yang diatur dalam
Pasal 57 ayat (1) KUHP, dimana orang yang membantu melakukan
kejahatan, pidananya dikurangi sepertiga.Selain itu, dokter , bidan ,
paramedis, apoteker atau juru obat dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan hak untuk menjalankan profesi mereka.Tetapi pada Pasal 349
KUHP tidak menyebut kata paramedis hanya dokter,bidan,dan juru
obat,meskipun bidan termasuk paramedis tetapi penulis menganggap
penting untuk menyebut kata paramedis karena selain bidan,paramedis
yang sering memberi pelayanan kesehatan langsung kepada pasien adalah
perawat.
Tabel 6.Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan yang Dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan
Konsep KUHP KUHP
Pasal 580 ayat 1 Pasal 349
Dokter, bidan, paramedis, apoteker atau juru obat yang membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578 ayat (1) atau melakukan atau membantu melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 579, pidananya dapat ditambah 1/3 (satupertiga) dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal – pasal dalam konsep KUHP 2008 di atas lebih menekankan pada
penanganan malapraktik yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan
lain dalam hal ini perawat,bidan,juru obat.
Untuk menghindari tuntutan malapraktik,sebelum melakukan
tindakan medik dokter harus menginformasikan kepada pasien tentang efek
samping yang mungkin terjadi dari tindakan yang dilakukannya.Karena baik
pada resiko medik dan malapraktik medik terkandung wujud perbuatan
yang sama – sama berakibat luka berat maupun matinya orang lain.
b. Tentang Mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan
Pasal 592 Konsep KUHP 2008
(1) Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain
luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
jabatan,profesi,atau mata pencaharian selama waktu tertentu ,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori III
(2) Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain
luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV
(3) Setiap orang yang karena kealpaanya mengakibatkan matinya orang
lain ,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1( satu ) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit
kategori III dan paling banyak kategori IV
Pasal 593 Konsep KUHP 2008
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 592
dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi, maka
pidananya dapat ditambah dengan 1/3 ( satu pertiga )
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
juga dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim
sebagaima dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c dan
pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
huruf g.
Tabel 7. Sanksi Pidana Kelalaian yang Menyebabkan Kematian dan Luka
Berat
Konsep KUHP KUHP
Pasal 592 Pasal 359
Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan, profesi, atau mata pencaharian selama waktu tertentu , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2( dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 593 Pasal 360
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 592 dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi, maka pidananya dapat ditambah 1/3 ( satupertiga )
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka – luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
Tindak pidana dalam Pasal 592 dan 593 Konsep mirip dengan tindak pidana
yang diatur didalam Pasal 359,360 dan Pasal 361 KUHP tentang perbuatan
menyebabkan mati atau luka – luka karena kealpaannya. Keduanya
merumuskan pidananya secara alternatif.
Pasal 593 Konsep 2008 merupakan pasal pemberatan pidana bagi
pelaku dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian yang
melakukan tindak pidana yang disebut dalam Pasal 592 Konsep. Pidana
bagi pelaku yang melakukan perbuatan dalam menjalankan suatu jabatan
atau profesi ditambah 1/3 ( sepertiga ) dari pidana bagi pelaku yang bukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi. Dalam membuktikan adanya
malapraktik maka dereliction of duty menjadi unsur yang sangat penting dan
mutlak untuk dibuktikan, sementara dereliction of duty itu sendiri diukur
berdasarkan terpenuhi atau tidaknya standar layanan yang ada .Atas dasar
itulah maka pemenuhan standar layanan kesehatan di rumah sakit
merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah terjadinya dugaan
malapraktik .
Dalam memahami hakekat kesalahan dalam menjalankan profesi
atau malapraktik, kita harus meletakkannya berhadapan dengan kewajiban
dalam menjalankan profesi sebab kesalahan itu timbul karena adanya
kewajiban – kewajiban yang harus dilakukan dokter.Berdasarkan pengertian
malapraktik maka dapat disimpulkan bahwa malapraktik terdiri dari unsur –
unsur sebagai berikut :99
1. Adanya unsur kesalahan/ kelalaian dokter
2. Adanya wujud perbuatan tertentu ( mengobati pasien )
3. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain yaitu pasien .
4. Adanya hubungan kausal
99 Anny Isfandiyarie,Op.cit.hlm.128
b. Tentang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut atau keluarganya
Pasal 575 Konsep KUHP
Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak
sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun
Pasal 576 Konsep KUHP
Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
Pasal 575 dan Pasal 576 Konsep KUHP ini merupakan pasal yang bisa
dikaitkan dengan euthanasia . Euthanasia merupakan suatu tindakan yang
dilarang dilakukan, walaupun atas permintaan orang yang bersangkutan
atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang yang bersangkutan tidak
sadar.Tindak pidana dalam Pasal 575 Konsep KUHP sama dengan tindak
pidana dalam Pasal 344 KUHP yang telah disebutkan di atas. Sistem
perumusan pidananya sama keduanya secara tunggal , yaitu pidana
penjara, namun yang membedakannya adalah mengenai ancaman
pidananya. Pasal 576 Konsep merupakan hal yang baru , yang belum diatur
dalam KUHP, dimana seorang dokter yang melakukan tindak pidana
euthanasia, dipidana lebih berat daripada pelaku yang bukan dokter . Dalam
KUHP , baik dokter maupun bukan dokter yang melakukan tindak pidana
tersebut , ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 12
tahun. Dalam Konsep apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang
bukan dokter , ancaman pidananya lebih ringan yaitu paling lama 9
(sembilan) tahun , sedangkan oleh dokter , ancaman pidananya adalah
pidana penjara 12 (dua belas) tahun. Berarti pidana untuk dokter diperberat
atau ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal ini mirip dengan tindakan euthanasia
aktif, karena ada tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup sipasien . Tindakan
tersebut dapat diancam dengan pidana meskipun dilakukan atas permintaan
sendiri yang dinyatakan dengan nyata dan sungguh-sungguh.
Tabel 8.Sanksi Pidana Perampasan Nyawa atas Permintaan Korban
Konsep KUHP KUHP
Pasal 575 Pasal 344
Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 ( sembilan ) tahun
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun)
.Penulis melihat bahwa ancaman pidana dalam konsep bagi dokter lebih
berat dari pada yang bukan dokter. Pasal – pasal kejahatan terhadap nyawa
tersebut di atas dapat dikaitkan dengan euthanasia yaitu Pasal 338,
340,344,345,359 KUHP jika dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai
upaya penanganan tindak pidana malapraktik di Indonesia. yang
menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan
adalah dilarang.Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Ini merupakan suatu bentuk penanganan tindak pidana malapraktik
kedokteran yang baik yang dapat dipakai dalam rangka pembaharuan
hukum pidana di masa yang akan datang.
Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang akan datang yang
berhubungan dengan penanganan kesalahan dalam dunia kedokteran
dirasakan perlu menggunakan sistem pidana minimum khusus
sebagaimana di dalam konsep. Menurut Barda Nawawi Arief adanya pidana
minimum khusus untuk delik – delik tertentu didasarkan pada pokok
pemikiran antara lain :
1) Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok
untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya;
2) Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general,khususnya bagi
delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan
masyarakat;
3) Dianalogkan dengan pemikiran bahwa apabila dalam hal-hal tertentu
maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat,maka
minimum pidanapun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal
tertentu.100
Pemberatan pidana yang berhubungan dengan penanganan kesalahan oleh
100 Barda Nawawi Arief,Op.cit.hlm.123
dokter sebaiknya tetap dipertahankan mengikuti KUHP Indonesia yang
sudah ada dan konsep KUHP yaitu dengan pidana ditambah1/3 (sepertiga)
bagi dokter, bidan dan paramedis, apoteker, atau juru obat.Hal ini sangat
baik di dalam memberikan efek jera terhadap pelaku malapraktik
kedokteran.101
3. Mekanisme Penyelesaian Kasus Malapraktik Kedokteran
Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak
dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau
kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui
proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).
Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka
penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah
kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun
tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan
tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-
based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang “layak”
dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan
benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan
yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu
kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim
akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal
1370-1371 KUH Perdata).
101 Priharto Adi.Op.Cit.hlm.145
Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute
resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang
penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai
dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau
negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara
kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan
arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam
proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung
berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win
solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya
menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-
akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.
Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum
pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan
menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya
penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-
tindakan, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan
dokumen (bukti surat seperti kartu berobat,rekam medis,resep,informed
consent,visum et repertum bila ada), serta pemeriksaan saksi ahli. Berkas
hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum
untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan
bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau
penghentian penyidikan.
Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus
medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk
dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa
mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam
proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau
administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi –
tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai
penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara profesi
umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi
kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi
kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan
dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya
dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MKDKI,
dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan
profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka
putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan
pembelaan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari keseluruhan uraian yang telah disajikan dalam tesis ini maka dapat
disimpulkan hal – hal sebagai berikut :
1. Kebijakan Hukum Pidana Saat Ini dalam Penanganan Tindak Pidana
Malapraktik Kedokteran
Kebijakan hukum pidana saat ini dalam KUHP, Undang – Undang Nomor
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun
2004 dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil Undang –
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dapat
disimpulkan bahwa perbuatan – perbuatan yang diatur selama ini yang
berkaitan dengan penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran yang
dilakukan oleh seorang dokter yaitu :
a. Hukum positif saat ini yang mengatur tentang malapraktik kedokteran
adalah kejahatan terhadap pemalsuan surat keterangan sehat yang
dilakukan dokter (Pasal 267 KUHP) , membuka rahasia kedokteran
tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang (Pasal 322
KUHP),kesalahan/kelalaian yang menyebabkan kematian/luka berat
(Pasal 359,360 KUHP),tidak memberikan pertolongan darurat kepada
orang dalam keadaan bahaya (Pasal 531 KUHP,Pasal 190 Undang-
Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009),membantu orang lain melakukan
bunuh diri karena permintaan atau tidak (Pasal 344 KUHP), dengan
sengaja mengobati atau menyuruh mengobati dengan harapan karena
pengobatan itu kandungan seorang wanita dapat digugurkan (Pasal
299,Pasal 345 KUHP), dengan sengaja menggugurkan kandungan tanpa
persetujuan wanita hamil yang bersangkutan (Pasal 347 KUHP), dengan
sengaja menggugurkan kandungan dengan persetujuan wanita hamil
yang bersangkutan (Pasal 348,349 KUHP),dengan sengaja melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas
seseorang (Pasal 193 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009), dengan
sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil, tidak
berdasarkan indikasi medis,tidak sesuai dengan ketentuan ( Pasal 194
Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009), dengan tujuan komersial
melakukan transplantasi organ tubuh, jaringan tubuh,atau transfusi darah
(Pasal 192,195 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 ) , dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa surat tanda registrasi , izin
praktik , tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis atau
tidak memenuhi kewajiban sebagai dokter ( Pasal 75,Pasal 76,Pasal 79
Undang – Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004),dengan
sengaja menggunakan identitas, alat atau metode dalam memberi
pelayanan seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter yang telah
memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat izin praktik (Pasal 77
Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004),dengan
sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat
izin praktik di sarana pelayanan kesehatan, ( Pasal 80 Undang – Undang
Nomor 29 Tahun 2004 );
b. Pasal yang mengatur tentang sanksi terhadap korporasi terdapat dalam
Pasal 80 Undang - Undang Praktik Kedokteran tentang pelanggaran
Surat Izin Praktik yang dilakukan oleh dokter,Pasal 201 Undang-Undang
Kesehatan tentang sanksi terhadap korporasi yang melakukan
pelanggaran Pasal 190 ayat (1),Pasal 191,Pasal 192,Pasal 196,Pasal
197,Pasal 198,Pasal 199,dan Pasal 200 Undang-Undang Kesehatan dan
sanksi terhadap pelanggaran kewajiban rumah sakit adalah sanksi
administratif seperti terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
2. Kebijakan Hukum Pidana yang akan Datang dalam Penanganan
Malapraktik Kedokteran
Kebijakan hukum pidana yang akan datang adalah yang bersumber dari
hukum positif, dalam hal ini Konsep KUHP,Undang – Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
Kebijakan tersebut dalam Konsep KUHP adalah pengguguran
kandungan (Pasal 578), dokter, bidan, paramedis, apoteker juru obat yang
membantu melakukan pengguguran kandungan (Pasal 580),karena
kealpaan mengakibatkan luka berat (Pasal 592),kelalaian menjalankan
profesi atau jabatan yang mengakibatkan luka berat (Pasal 593),merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang tersebut (Pasal 575),dokter yang
melakukan perampasan nyawa atas permintaan orang tersebut (Pasal 576).
3. Mekanisme Penyelesaian Kasus Malapraktik Kedokteran
Suatu dugaan kasus malapraktik kedokteran pada dasarnya dapat
diselesaikan dengan cara :
1) Litigasi (jalur pengadilan)
2) Non litigasi (diluar jalur pengadilan)
B. SARAN
1. Sebaiknya di dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dirumuskan tentang malapraktik kedokteran berikut
penjelasannya agar masyarakat umum, dokter, dan dunia kesehatan
menjadi paham dan tahu kriteria tindak pidana malapraktik kedokteran .
2. Kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam hal “membantu
melakukan“ atau “yang melakukan” tindak pidana yang berhubungan
dengan pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya praktik dokter
sebaiknya mengikuti KUHP Indonesia yang sudah ada dan KUHP
Konsep yaitu ditambah 1/3 bagi dokter, bidan, paramedis , dan apoteker
atau juru obat
3. Dalam menghadapi kasus dugaan malapraktik kedokteran, sebaiknya
diselesaikan melalui jalur nonlitigasi karena lebih praktis dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Adi.P.2010.Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam rangka Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran (Tesis).Semarang:Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Achadiat,C.M. 1996. Pernik – pernik Hukum Kedokteran Melindungi
Pasien dan Dokter.Widya Medika.Jakarta. ______2004.Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan
Zaman, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta . Ameln,Fred.1991.Kapita Selekta Hukum Kedokteran, ctk.Pertama,
Grafika Tama Jaya, Jakarta Amir,A.1997.Bunga Rampai Hukum Kesehatan.Widya Medika.Jakarta. Arief,B.N.1994.Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik
AduanDalam Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP.Semarang ______2005.Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, PT Citra Adhya Bakti.Bandung. ______2008.Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanganan Kejahatan.Kencana Prenada Media Group, Jakarta. ______2008.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta ______2010.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta Chazawi,A.2000.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.PT Raja Grafido
Persada.Jakarta. ______.2001.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta Dahlan,S.2001.Malpraktik Hukum Kesehatan Rambu – Rambu Bagi
Profesi Dokter.Badan Penerbit Undip.Semarang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia,Depdikbud. Jakarta. Guwandi.J.991.Etika dan Hukum Kedokteran.Balai Penerbit FKUI.Jakarta.
_______1992.Trilogi Rahasia Kedokteran .Balai Penerbit FKUI.Jakarta. _______1996.Dokter Pasien dan Hukum.Fakultas Kedokteran UI.Jakarta. _______2003.Misdiagnosis atau Malapraktik?Jurnal Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia. _______2010.Hukum Medik.FKUI.Jakarta Hanafiah.Y & Amri Amir , Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
Jakarta: Egc, , 1999Harahap,Y.1997.Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum.PT Citra Aditya Bakti.Bandung.
Hariyani, S. 2005.Sengketa Medik, Allternatif Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter Dengan Pasien,Diadit Media,Jakarta Ilyas.A.2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang Offset.
Yogyakarta Indar.2010.Etika dan Hukum Kesehatan.Lembaga Penerbitan
Unhas.Makassar Isfandyarie.A. 2005.Malapraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum
Pidana.Prestasi Pustaka. Jakarta _____Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter. Prestasi Pustaka.
Jakarta Jayanti,N.KI.2009.Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik
Kedokteran.Pustaka Yustisia.Yogyakarta. Komalawati,V.1989.Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter, Sinar
Harapan.Jakarta __________2002.Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien)Suatu Tinjauan Yuridis,Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung. Marwan.M.,Jimy P, 2009.Dictionary Of Law Completed Edition. Surabaya. Maryanti,N.1988.MalapraktikKedokteran, ctk. Pertama,BinaAksara.Jakarta Moeljatno, 1999.KUHP . Penerbit Bumi Aksara,Jakarta _______.2000.Asas-Asas Hukum Pidana.Cetakan Kedelapan. Penerbit
Rineka Cipta.Jakarta.
Muladi.,Arief,B.N.1992.Bunga Rampai Hukum Pidana.Penerbit Alumni,
Bandung. Muladi,Priyatno.D.2010.Pertanggunjawaban Pidana Korporasi.Kencana. Jakarta Muladi.1998.Teori -Teori dan Kebijakan Pidana.Cetakan Kedua.Penerbit
Alumni.Bandung ______.2002.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.Cetakan II.Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang. Nasution,B.J.2005.Hukum Kesehatan Pertanggung jawaban Dokter.
PT.Rineka Cipta Jakarta. Prasetyo,T dan Barkatullah,A.H.2005.Politik Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Diskriminalisasi, Cetakan 1. Pustaka Pelajar.Yogyakarta
Saleh,R.1982.Pikiran–Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana.
Ghalia Indonesia.Jakarta. _______1983.Suatu Reorentasi Dalam Hukum Pidana.Aksara
Baru.Jakarta. Sudarto.1981. Hukum dan Hukum Pidana.Alumni.Bandung. -------------1983.Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat.Penerbit
Sinar Baru. Bandung. _______1986.Kapita Selekta Hukum Pidana.Alumni.Bandung. Soekanto,S.1985.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Raja
Grafindo.Jakarta. Supriadi,W.C.2001.Hukum Kedokteran. Mandar Maju.Bandung. Suwondo,S.S.Tanpa Tahun.Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan
diIndonesia,Suatu Tinjauan Yuridis.PUKAP.Makassar. Wiradharma,D. 1996. Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung. _________.1999.Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan
Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.
Yunanto.A,Helmi.2010.Hukum Pidana Malpraktik Medik.Andi.Yogyakarta. Internet : Anggel.2012.HukumRahasiaJabatan(online)(http://anggel0212.blogspot.c
om/2012/11/hukum-rahasia-jabatan.html, diakses tanggal 3 Maret 2013)
Atmoko T.2012 Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Akuntabilitas KinerjaInstansiPemerintah.(online),(http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/STANDAR%20OPERASIONAL%20PROSEDUR.pdf>diakses pada tanggal 20 Pebruari 2013).
Bawono.B.T.2011.Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanganan
Malapraktik Profesi Medis.Jurnal Hukum (online) Vol.XXV.No.1(http:/dokterochi.blogspot.com/2011/07/blog-spot.html,diakses 20 Desember 2012
Chazawi.A.http//www.tanggungjawabhukummalapraktikkedokteran.com
diakses tanggal 4 Maret 2013 Gumilang.S.2013.http://www.ml.scribd.com/doc/.../TanggungJawab-
Hukum-Perdata diakses tanggal 2 Maret 2013 Insani I. 2010. Standar operasional prosedur (SOP) sebagai pedoman
pelaksanaan administrasi perkantoran dalam rangka peningkatanpelayanandankinerjaorganisasipemerintah.(http://www.docstoc.com/docs/53290971/STANDAR.OPERASIONALPROSEDUR(SOP)SEBAGAI.PEDOMANPELAKSANANADMINISTRASIPERKANTORANDALAMRANGKAPENINGKATANPELAYANANDANKINERJAORG NISASIPEMERINTAH> (diakses pada tanggal 19 Pebruari 2013).
http//www.welcome.makalahmalapraktik.com diakses tanggal 2 Maret
2013 Satria.2011.Definisi, fungsi dan tujuan Standard Operating Procedure
(SOP)(http://id.shvoong.com/business-management/technology operation-management/2188180-definisi-fungsi-dan tujuanstandard/> diakses pada tanggal 23 Pebruari 2013)
Sofwan Dahlan.2008. Hospital Liability Hukum Kesehatan (Online)
(http//www.hospitalliability.com.diakses tanggal 10 Maret 2013)
Wulandari.C.2010.Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala dalamPembuktiannya.Makalah.vol.4.No.2Desember2010.Universitas Negeri Semarang(http.www. Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala dalamPembuktiannya.diakses tanggal 5 Pebruari 2013)
Makalah : Lestari,N.2001.Masalah Malapraktik Etik Dalam Praktek Dokter .Kumpulan
Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar.Malang.
Sutrisno,S.1991.Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-
segi Hukum Pembuktian,Makalah disajikan dalam Seminar Malapraktik Kedokteran, Semarang 29 Juni1991.
Peraturan-Peraturan : KUHP Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran