tesis kebijakan hukum pidana dalam penanganan …

169
TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN CRIMINAL LAW POLICY IN THE SETTLEMENT OF A CRIME OF MEDICAL MALPRACTICE MUHAMMAD AMIR RAHIM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

TESIS

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN

CRIMINAL LAW POLICY IN THE SETTLEMENT OF A CRIME OF

MEDICAL MALPRACTICE

MUHAMMAD AMIR RAHIM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

Page 2: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Master

Program Studi Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD AMIR RAHIM

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

Page 3: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

TESIS

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN

Disusun dan diajukan oleh:

MUHAMMAD AMIR RAHIM Nomor Pokok P0907211704

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 19

Juli 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasehat,

________________________

Prof. Dr. Aswanto, SH,M.Si,DFM

Ketua

________________________

Prof. Dr.H.M.Said Karim, SH,MH

Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

________________________

Prof.Dr.Marthen Arie,SH,MH

____________________

Prof.Dr.Ir.Mursalim,Msi

Page 4: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muhammad Amir Rahim

Nomor mahasiswa : P0907211704

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain,saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, Maret 2013

Yang menyatakan

(Muhammad Amir Rahim)

Page 5: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

selesainya tesis ini.

Gagasan yang mendasari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil

pengamatan penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin bahwa kasus malpraktik akhir-akhir ini kian

marak diberitakan media massa dengan pasien sebagai korban.Namun

alangkah mirisnya, hukum positif yang berlaku belum mampu

memberikan perlindungan terhadap korban malpraktik akibat belum

adanya aturan khusus yang mengatur tentang malpraktik kedokteran yang

dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam menangani

dugaan kasus malpraktik,sehingga tulisan ini bermaksud menyumbangkan

beberapa konsep atau gagasan yang dapat dijadikan masukan bagi

pembuat undang-undang dalam rangka menyusun kebijakan yang

berkaitan dengan malpraktik kedokteran di masa yang akan datang.

Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka penyusunan

tesis ini,dan hanya atas bantuan berbagai pihak,maka tesis ini dapat

selesai pada waktunya.Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus

menyampaikan terima kasih kepada Prof.DR.Aswanto,SH,MSi,DFM

selaku Ketua Komisi Penasihat dan Prof.DR.H.M.Said Karim,SH,MH

sebagai Anggota Komisi Penasihat atas petunjuk dan bimbingan yang

telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan

penelitian ini,pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.

Page 6: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Demikian juga ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang

membantu dalam hal pengumpulan data dan referensi terkhusus kepada

pengelola perpustakaan Fakultas Hukum Unhas yang telah memberikan

kemudahan kepada saya dalam memperoleh buku-buku yang saya

butuhkan,semoga bantuan yang anda berikan mendapat ganjaran yang

mulia dari Allah Yang Maha Kuasa.Amin

Terakhir,ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mereka

yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

Makassar,Maret 2013

Muhammad Amir Rahim

Page 7: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

ABSTRAK

MUHAMMAD AMIR RAHIM.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran (dibimbing oleh Aswanto dan Said Karim) Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini dalam menangani tindakan malapraktik kedokteran, (2)kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran,(3)mekanisme penyelesaian kasus malapraktik kedokteran. Penyusunan tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penulis meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder yang lebih dikenal dengan istilah penelitian hukum kepustakaan, Dengan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa : a) Pengaturan di dalam hukum positif saat ini dalam menangani tindakan

malapraktik kedokteran adalah Pasal 267, Pasal 322, Pasal 344,Pasal 345, Pasal 349, Pasal 359, Pasal 360, Pasal 386, Pasal 531 KUHP, Pasal 190,Pasal 192,Pasal 193,Pasal 194,Pasal 195,Pasal 196 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009,Pasal 75,Pasal 76,Pasal 77,Pasal 78,Pasal 79,Pasal 80 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004;hukum positif Indonesia baik KUHP, Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasca putusan Mahkamah Konstitusi belum mengatur secara khusus tentang malapraktik.

b) Kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran adalah yang bersumber dari hukum positif, dalam hal ini Pasal 575,Pasal 576,Pasal 578,Pasal 589,Pasal 592,dan Pasal 593 Konsep KUHP 2008.

c) Mekanisme penyelesaian kasus malapraktik kedokteran Suatu tuntutan hukum perdata maupun pidana, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Kata kunci: Malapraktik,kebijakan,dokter

Page 8: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

ABSTRACT

MUHAMMAD AMIR RAHIM. Criminal Law Policy In the Settlement of a Crime of Medical Malpractice (supervised by Aswanto and Said Karim) The study aims to determine (1) the applicable current criminal law policy concerning the medical malpractice. (2) the future criminal law concerning the medical malpractice,and (3) the mechanism for medical malpractice settlement. The study uses normative juridical approach that is bibliographical review to obtain the secondary data. The study reveals that: 1. The settlement of medical malpractice in the current positive law is

in the articles : 267, 322, 344, 345, 349, 359, 360, 386, and 531 of the Criminal Code, and Articles : 190,192,193,194,195, and 196 of the Law No. 36 of 2009 of Health, articles 75,76,77,78,79, and 80; Law No. 29 of 2004;Indonesian positive law of either Penal Code, Law No. 36 of 2009 on Health, Law No. 29 of 2004 on Medical Practice Law,or the post-verdict of Constitutional Court has not specifically covered malpractice.

2. The future criminal law policy in the settlement of medical malpractice has to be driven from the positive law, particularly Articles 575,576,578,589,592, and 593 of Penal Code draft of 2008.

3. The mechanism of malpractice case settlement for both criminal and civil law suit between doctors and hospitals against the patients and the family or their representatives can be done either in litigation (in court) or in non-litigation (outside court).

Keywords: malpractice, policy, doctor

Page 9: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL..................................................................................... ...i

HALAMAN JUDUL......................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.............................................. iv

PRAKATA ………………………………………………………………………… .. v

ABSTRAK …………………………………………………………………………. vii

ABSTRACT................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ix

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….... xi.

I.PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 1

A.Latar Belakang………………………………………………………………... 1

B.Rumusan Masalah………………………………………………………….. 13

C.Tujuan Penelitian…………………………………………………………… 13

D.Manfaat Penelitian…………………………………………………………… 14

II.TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………. 15

A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana…………………………………….. 15

B. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien…………………………… 26

C. Tinjauan Tentang Malapraktik Kedokteran………………………………. 32

D. Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana……………………………. 36

E.Prosedur Operasional Standar……………………………………………. 57

F.Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medis..……………………....... 59

G.Persetujuan Tindakan Medik……………………………………………..... 61

H.Kerangka Konsep…………………………………………………………... 63

III.METODE PENELITIAN………………………………………………………. 68

A.Rancangan Penelitian……………………………………………………….. 68

B.Spesifikasi Penelitian………………………………………………………… .68

C.Jenis dan Sumber Data……………………………………………………… .69

D.Metode Pengumpulan Data…………………………………………………. .70

Page 10: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

E.Metode Analisa Data………………………………………………………… .70

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………………… .71

1.Kebijakan Hukum Pidana Saat Ini dalam Penanganan Tindak

Pidana Malpraktik Kedokteran……………………………………………… .71

2.Kebijakan Hukum Pidana Yang Akan Datang dalam Penanganan

Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran………………………………........ 131

3.Mekanisme Penyelesaian Kasus Malapraktik Kedokteran…………....... 147

V.PENUTUP…………………………………………………………………........ 150

A.Kesimpulan…………………………………………………………………… 150

B.Saran…………………………………………………………………………... 153

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 154

Page 11: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pasal tentang Penyelesaian Kasus Kelalaian Tenaga Kesehatan……... 115

2. Pasal mengenai Hak Ganti Rugi atas Kesalahan / Kelalaian oleh

Tenaga Kesehatan…………………………………………………………… 117

3. Pasal tentang Larangan Melakukan Aborsi……………………………….. 122

4. Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan…………………………………. 134

5. Perbedaan Resiko Medik dengan Malapraktik…………………………… 136

6. Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan yang Dilakukan oleh

Tenaga Kesehatan…………………………………………………………… 140

7. Sanksi Pidana Kelalaian yang Menyebabkan Kematian dan Luka

Berat…………………………………………………………………………… 142

8. Sanksi Pidana Perampasan Nyawa atas Permintaan Korban…………...145

Page 12: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang

kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat

beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak

mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk, dan kadang-kadang

akan berakhir dengan kematian. Kasus tindak pidana di bidang medik

yang banyak terjadi dan diekspos di berbagai media hanya merupakan

beberapa kasus yang menguap, sehingga dapat dikatakan seperti gunung

es (iceberg).Merebaknya kasus-kasus tindak pidana tersebut juga

merupakan suatu pertanda kemajuan dalam masyarakat, atas

kesadarannya akan hak-haknya yang berkenaan dengan kesehatan dan

pelayanan medik.

Berlakunya Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan,memberi peluang bagi pengguna jasa atau pasien untuk

mengajukan gugatan / tuntutan hukum terhadap pemberi pelayanan

kesehatan apabila terjadi konflik antara pasien dengan pemberi pelayanan

kesehatan yang dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat

melakukan / tidak melakukan/terlambat melakukan sesuatu yang

menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa / barang, baik kerugian harta

benda atau cedera atau bisa juga kematian. Hal Ini memberikan arti

Page 13: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

bahwa pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat

menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya

jika terjadi konflik.

Pada era global dewasa ini, tenaga medik merupakan salah satu

profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat

pengabdiannya kepada masyarakat sangat kompleks.Akhir-akhir ini,

masyarakat banyak yang menyoroti kinerja tenaga medik, baik sorotan

yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui

media cetak maupun media elektronik.Kebanyakan orang kurang dapat

memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan

tenaga medik yang dapat mempengaruhi hasil upaya medik, seperti

misalnya stadium penyakit,kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat

dan juga kepatuhan pasien untuk menaati nasehat dokter. Faktor-faktor

tersebut dapat mengakibatkan upaya medik (yang terbaik sekali pun)

menjadi tidak berarti apa-apa.Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian

dikatakan bahwa hasil suatu upaya medik penuh dengan ketidakpastian

(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik1.Begitu

pula halnya dengan proses diagnosis (mencari dan mendefinisikan

gangguan kesehatan), yang pada hakikatnya merupakan bagian dari

pekerjaan tenaga medik yang paling sulit. Meskipun sudah banyak alat

1S.Sutrisno,Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-Segi Hukum

Pembuktian, Makalah dalam Seminar Malpraktik Kedokteran, Semarang 29 Juni 1991, hlm.

22

Page 14: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

canggih yang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan ini,tetapi tidak

menutup kemungkinan terjadinya tingkat kesalahan (perbedaan klinik dan

diagnosis otopsi klinik) di berbagai rumah sakit dinegara-negara maju.

Sama halnya dengan tindakan terapi, hasil diagnosis yang salah juga

tidak secara otomatis menimbulkan adanya tindak pidana.Harus dilakukan

penelitian terlebih dahulu apakah kesalahan tersebut merupakan akibat

tidak dilaksanakannya standar prosedur diagnosis.

Pada kenyataan sehari-hari sering terdengar keluhan-keluhan dari

masyarakat tentang mutu pelayanan yang diterima dari rumah

sakit.Keluhan tersebut antara lain mengenai pelayanan rawat inap yang

dianggap kurang nyaman, jarang/tidak adanya kunjungan dokter ahli atau

fasilitas yang diterima tidak sesuai dengan mahalnya biaya yang

dikeluarkan pasien. Ada juga keluhan mengenai petugas penerima pasien

yang mewajibkan pembayaran uang muka untuk 10 (sepuluh) hari

kedepan.Keluhan juga disampaikan mengenai pelayanan IGD/UGD yang

dianggap tidak cekatan dan tidak manusiawi. Dikeluhkan bahwa petugas

UGD tidak segera memberikan pertolongan pada pasien kecelakaan lalu

lintas dengan alasan menunggu keluarga dekatnya. Setelah keluarga

dekat pasien datang, petugas tersebut menanyakan pada mereka

mengenai siapa yang bertanggungjawab atas biaya rumah sakit. Keluhan

keluhan tersebut tidak seluruhnya benar, misalnya dalam kasus petugas

UGD.Secara faktual petugas tidak bisa disalahkan apabila menanyakan

pada pasien apakah membawa uang atau tidak, tetapi bukan karena

Page 15: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

khawatir pasien tidak akan membayar biaya pengobatan/perawatan, tetapi

karena ada resep yang cukup mahal yang harus ditebus di

apotek.Ternyata pula, pasien bukannya ditelantarkan, bahkan telah

dilakukan pertolongan pertama, dan tindakan selanjutnya menunggu

ditebusnya resep tersebut.Selain itu, pihak rumah sakit selalu

dipersalahkan apabila terjadi akibat buruk pada pasien yang terjadi saat

atau setelah mendapat pengobatan/perawatan/tindakan medik yang

berupa keadaan penyakit yang semakin parah, timbul cedera atau bahkan

kematian.

Permasalahannya adalah apabila seorang tenaga medik dianggap

selalu harus bertanggungjawab jika terjadi akibat buruk pada pasien, atau

tidak berhasil menyembuhkan pasien, maka hal ini justru dapat merugikan

pasien yang bersangkutan.Penilaian pasien terhadap rumah sakit/tenaga

medik yang dikeluhkan tersebut di atas, sudah barang tentu tidak

seluruhnya benar dan bersifat subyektif. Namun keluhan tersebut secara

faktual tidak dapat diabaikan begitu saja agar tidak menimbulkan konflik

hukum yang berkepanjangan dan melelahkan.Sebagai contoh kasus

malapraktik yang dialami oleh Prita Mulyasari yang membuat masyarakat

memandang negatif terhadap profesi tenaga medik terusik. Kasus

tersebut bermula ketika adanya kesalahan diagnosis karena adanya

kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium,kemudian dirawat namun tidak

kunjung membaik bahkan menyebabkan kondisi pasien semakin

memburuk dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit lain. Hal tersebut

Page 16: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

mengundang banyak pertanyaan dalam masyarakat, mengingat awal

mulanya adalah untuk menyembuhkan,namun berakibat pada kejadian

yang makin parah. Kasus-kasus demikian merupakan contoh yang

menggambarkan sikap kurang hati-hati, kurang teliti, kesembronoan, dan

kecerobohan dari tenaga medik, baik yang dilakukan oleh dokter maupun

tenaga medik rumah sakit, yang seringkali dikenal dengan istilah

malapraktik medik (medical malpractice).Tindakan malapraktik

menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil di pihak pasien

atau keluarga pasien sebagai korban.Kasus malapraktik yang ada

seringkali berujung kepada penderitaan pasien.Oleh karena itulah kiranya

perlu dikaji bagaimana rumusan undang-undang tentang malapraktik,

terutama yang menyangkut masalah hubungan hukum pasien dengan

rumah sakit, hak dan kewajiban para pihak, pertanggungjawaban dan

aspek penegakan hukumnya.

Tujuan utama dari pengaturan itu adalah untuk melindungi

masyarakat dalam hal ini pasien dari praktek pengobatan yang tidak

bermutu, bersifat coba – coba atau yang dapat membahayakan

kesehatan.Begitu juga apabila dokter atau tenaga kesehatan dalam

melakukan tindakan atau pelayanan medik terhadap pasien dapat

menggunakan ketrampilan dan pengetahuannya dengan baik dan berhati

– hati agar tidak menimbulkan kesalahan yang dapat merugikan dokter

sendiri maupun pasien.

Page 17: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk

melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit,

termasuk di dalamya pelayanan medik yang didasarkan atas dasar

hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan

kesembuhan atas penyakit yang dideritanya.Dokter merupakan pihak

yang mempunyai keahlian di bidang medik atau kedokteran yang

dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan

medik. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan

penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan

disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban

memberikan pelayanan medik yang sebaik-baiknya bagi pasien.Dalam

memberikan pelayanan tersebut kadang timbul akibat yang tidak

diharapkan meskipun dokter telah berupaya semaksimalmungkin dengan

menggunakan ilmu dan tekhnologi kedokteran yang setinggi-tingginya dan

dengan mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional

Namun selain itu dapat terjadi kealpaan atau kelalaian dari dokter

atau tenaga kesehatan lain yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak

berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang

terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niat jahat dari

pelaku.Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan

tindakan medik menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap

dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi

Page 18: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kedokteran.Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian

berada pada pihak pasien.

Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan siapa

saja, tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran

yang berkompeten dan memenuhi standar tertentu.Secara teoritis terjadi

sosial kontrak antara masyarakat profesi dengan masyarakat

umum.Dengan kontrak ini, memberikan hak kepada masyarakat profesi

untuk mengatur otonomi profesi, standar profesi yang disepakati.

Sebaliknya masyarakat umum (pasien) berhak mendapatkan pelayanan

sesuai dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat profesional

tadi.Dengan demikian dokter memiliki tanggungjawab atas profesinya

dalam hal pelayanan medik kepada pasiennya.Dokter sebagai profesi

mempunyai tugas untuk menyembuhkan penyakit pasiennya.Kadangkala

timbul perbedaan pendapat karena berlainan sudut pandang, hal ini bisa

timbul karena banyak faktor yang mempengaruhinya, mungkin ada

kelalaian pada sementara dokter, atau penyakit pasien sudah berat

sehingga kecil kemungkinan sembuh, atau ada kesalahan pada pihak

pasien. Selain itu masyarakat atau pasien lebih melihat dari sudut

hasilnya, sedangkan dokter hanya bisa berusaha, tetapi tidak menjamin

akan hasilnya asalkan dokter sudah bekerja sesuai dengan standar

profesi medik yang berlaku.Kemajuan teknologi bidang biomedik disertai

dengan kemudahan dalam memperoleh informasi dan komunikasi pada

era globalisasi ini memudahkan pasien untuk mendapatkan second

Page 19: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

opinion dari berbagai pihak,baik dari dalam maupun dari luar negeri , yang

pada akhirnya bila dokter tidak hati – hati dalam memberikan penjelasan

kepada pasien, akan berakibat berkurangnya kepercayaan pasien kepada

para dokter tersebut .

Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat

dirumuskan secara mandiri sehingga batasan – batasan mengenai

malapraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian dan batasan

– batasan malapraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi

mana orang memandangnya.2UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran juga tidak memuat tentang ketentuan malapraktik

kedokteran.Pasal 66 ayat(1) mengandung kalimat yang mengarah pada

kesalahan praktik dokter yaitu“Setiap orang yang mengetahui atau

kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam

menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada

ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” Norma ini hanya

memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya

apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan

pula sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal

itu hanya mempunyai arti dari sudut hukum administrasi praktik

kedokteran.Pasal 29 Undang Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009

hanya menyinggung tentang kelalaian yang berbunyi “Dalam hal tenaga

2 Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam

tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran 2004.hlm. 21

Page 20: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan

profesinya,kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui

mediasi.”Selanjutnya Pasal 58 ayat (1) undang-undang yang sama

berbunyi “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap

seseorang,tenaga kesehatan,dan/atau penyelenggara kesehatan yang

menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan

kesehatan yang diterimanya.”Sampai saat ini belum ada pasal dalam

Undang-Undang Kesehatan,Undang-Undang Praktik Kedokteran maupun

KUHP yang secara eksplisit menyebut kata malapraktik demikian pula

dalam penjelasannya.

Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter

yang melakukan tindakan malapraktik medik selain memberi perlindungan

hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai

kedudukan yang lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut

dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan

terbukti tidak melakukan perbuatan malapraktik akan dapat

mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena

hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa

atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan dan kerahasiaan.

Malapraktik kedokteran memang merupakan konsep pemikiran

barat khususnya Amerika. Dalam kepustakaan Amerika secara jelas

menggunakan medical malpractice karena istilah ini berkembang dari

sistem hukum tort atau sistem juri yang mana tidak dikenal dalam sistem

Page 21: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

hukum di Indonesia .Sistem hukum Indonesia yang salah satu

komponennya adalah hukum substantif, diantaranya hukum pidana,

hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum

malapraktik. Justru yang utama dan mendasar ada di dalam hukum

kesehatan Indonesia yang berupa Undang – Undang Kesehatan No 36

Tahun 2009 secara resmi menyebut kesalahan atau kelalaian dalam

melaksanakan profesi dalam Pasal 29 dan 58 , lebih – lebih apabila

ditinjau dari budaya hukum di Indonesia malapraktik merupakan sesuatu

yang asing karena batasan mengenai malapraktik yang diketahui dan

dikenal oleh kalangan profesi kedokteran dan hukum itu berasal dari alam

pikiran barat.Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna

memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malapraktik .

Tuntutan terhadap malapraktik kedokteran seringkali kandas di

tengah jalan karena sulitnya pembuktian.Dalam hal ini pihak dokter

membela diri dan mempertahankan hak – haknya dengan mengemukakan

alasan–alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien,

pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam

menghadapi masalah malapraktik kedokteran ini, terutama dari sudut

teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan.

Masalahnya terletak pada belum adanya hukum dan kajian hukum khusus

tentang malapraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman dalam

menentukan dan menangani adanya malapraktik kedokteran di

Indonesia.Untuk itu maka perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum

Page 22: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pidana yang dapat dikaitkan dengan kelalaian atau malapraktik

kedokteran.

Karena itulah maka perlu dibahas mengenai malapraktik

kedokteran dari sudut kajian hukum pidana,karena kajian malapraktik

kedokteran dari sudut hukum sangatlah penting. Persoalan malapraktik

kedokteran lebih dititikberatkan pada permasalahan hukum,karena

malapraktik kedokteran adalah praktik kedokteran yang mengandung sifat

melawan hukum sehingga menimbulkan akibat fatal bagi pasien.Kasus-

kasus malapraktik seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul

dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan

dokter atau tenaga medik lainnya yang berpotensi merupakan malapraktik

yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi

masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum

tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang

kedudukannya tentu tidak setara dengan dokter.Akan sangat sulit

terkadang dipahami oleh pasien yang menjadi korban dari tindakan

malapraktik atau masyarakat awam lainnya mengapa sangat tidak mudah

membawa masalah malapraktik medik ini ke jalur hukum.Masyarakat

kemudian mengambil penilaian bahwa aparat penegak hukum kurang

serius menanggapi kasus malapraktik medik ini.Untuk menetapkan

seorang menjadi tersangka atau terdakwa tentu bukan hal yang mudah

apalagi untuk perkara malapraktik yang menyangkut aspek medik yang

kadang kurang dipahami penegak hukum.Dari segi hukum, kelalaian atau

Page 23: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kesalahan akan terkait dengan sifat perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang

dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari makna

yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan

sebagai “criminal malpractice” apabila memenuhi rumusan delik pidana

yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan

dilakukan dengan sikap batin yang salah berupa kesengajaan,

kecerobohan atau kealpaan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas agar permasalahan mengenai

penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran menjadi jelas perlu

penjabaran lebih rinci terutama dalam hal perlindungan hukum terhadap

pasien atau korban malapraktik.Masyarakat yang dirugikan atas adanya

malapraktik kedokteran membutuhkan perlindungan hukum yang telah

mengakibatkan kerugian atau penderitaan lebih lanjut pada pasien, Untuk

menciptakan suatu bentuk kepastian hukum dan menjamin pelayanan

upaya kesehatan dan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut selain

KUHP pemerintah telah mengeluarkan undang – undang di bidang

kesehatan dan undang – undang praktik dokter, yaitu Undang – Undang

Nomor 23 Tahun 1992 Jo Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan dan Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Dokter.Bagi masyarakat terutama para korban pertanyaan yang

menjadi perhatian adalah mengapa begitu sulit membawa kasus

malapraktik “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat hukum

Page 24: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa

persoalan malapraktik medik ke ranah hukum terutama hukum pidana,

untuk itu perlu dikaji kembali mengenai kebijakan yang ada saat ini

(undang-undang yang berkaitan dengan malapraktik kedokteran) dan

kebijakan yang akan datang di dalam menangani tindak pidana

malapraktik kedokteran.

Berdasarkan deskripsi permasalahan sebagaimana diuraikan di

atas,maka penulis mempunyai ketertarikan untuk mengadakan penelitian

yang hasilnya ditulis dalam bentuk tesis dengan judul : Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana saat ini dalam menangani

tindak pidana malapraktik kedokteran?

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam

menangani tindak pidana malapraktik kedokteran?

3. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian hukum bila terjadi dugaan

malapraktik kedokteran?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana yang berlaku

saat ini dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran; .

Page 25: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana yang akan

datang dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran;.

3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian hukum bila terjadi dugaan

malapraktik kedokteran;

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini

dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat

memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah

bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana,

khususnya pemahaman teoritis tentang tindak pidana dibidang medik

bagi aparat penegak hukum ,pemerintah dan masyarakat, khususnya

dalam malapraktik kedokteran yang terjadi di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran

dan pertimbangan dalam menangani kasus malapraktik kedokteran

dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak

hukum dan pemerintah khususnya dalam upaya penanganan tindak

pidana malapraktik kedokteran di Indonesia.

Page 26: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Beberapa tulisan menterjemahkan istilah kebijakan dengan

"politik"3,"policy","politick"4, "beleid” Oleh karena itu kebijakan hukum

pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana, penal

policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek5. Dengan demikian

istilah-istilah yang diberikan untuk kebijakan hukum pidana adalah "politik

hukum pidana", "penal policy", "criminal law policy” atau

"strafrechtspolitiek". Membicarakan masalah politik hukum pidana, maka

akan terkait dengan politik hukum dan politik kriminal. Politik hukum terdiri

atas rangkaian kata politik dan hukum Mahfud menjelaskan sebagaimana

yang dikutip Teguh P. dan Abdul H.B., bahwa hukum merupakan produk

politik.Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel

terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel

berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan

politik hukum sebagai:Kebijakan hukum yang akan atau telah

dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian

tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat

3Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Penerbit

Sinar Baru, 1983,hlm.16

4Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ,Bandung :

PT.Citra Aditya Bakti,2005.hlm. 24

5Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.Cit.hlm.25

Page 27: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan

hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-

pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus

dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin

sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-

pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya6.

Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut :

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu 7

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan8.

Melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik

dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa

yang akan datang9.

6Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Diskriminalisasi, Cetakan 1,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005. hlm.12

7Sudarto, Hukum Pidana dan Op.Cit., hlm 20. Lihat juga Barda Nawawi Aiief,

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.Cit, hlm. 25

8Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung:Alumni,1981. hlm.161

9Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana,Op.Cit.,hlm 159. Lihat juga Barda Nawawi

Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit.,hlm. 24-25

Page 28: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Definisi politik hukum pidana dari Sudarto di atas sesuai dengan definisi

yang diberikan oleh Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief

yang menyatakan bahwa "penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni

yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi

pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada

para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya

dinyatakan olehnya :"Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di

satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak,

ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki

fenomena legislalif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para

sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat

bekerja sama tidak sebagai: pihak yang saling berlawanan atau saling

berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas

bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang

realistik, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.

Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Marc

Ancel merupakan salah satu dari modern criminal science.Modern

criminal science menurut beliau terdiri dari 3 (tiga komponen) yaitu

criminology, criminal law dan penal policy.

Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait

dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal

Page 29: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti

sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :

a. dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi

dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur

penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan

polisi;

c. dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui

perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk

menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat10

Secara singkat Sudarto memberikan definisi politik criminal sebagai

usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam menangani

kejahatan tindak pidana11. Definisi serupa juga dikemukakan oleh Marc

Ancel yang dikutip Muladi sebagai "the rational organization of the control

of crime by society” 12.Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan

pemilihan dari sekian banyak alternatif,mana yang paling efektif dalam

usaha penanganan tindak pidana tersebut13.Dengan demikian politik

hukum pidana dilihat dari bagian politik hukum mengandung arti

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu

perundang-undangan pidana yang baik. Sedangkan dilihat dari sudut

10 Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung:Alumni.1986, hlm.113-114

11

Sudarto.Hukum dan Hukum Pidana Op.Cit, hlm 38. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Op.Cit.,hlm.1

12Muladi.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.Semarang:Badan Penerbit

Universitas Diponegoro 2002.hlm 7

13

Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana.Op.Cit.,hlm.114

Page 30: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

"kebijakan penanganan tindak pidana dengan hukum pidana"14 .

Sehubungan dengan keterkaitan antara politik hukum pidana

dengan politik hukum, politik hukum itu sendiri berkaitan dengan

pembaharuan hukum.la memberi petunjuk apakah perlu ada.

pembaharuan hukum, sampai berapa jauh pembaharuan itu harus

dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaharuan tersebut. Demikian

pula dengan politik hukum pidana terkait dengan pembaharuan hukum

pidana sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarto bahwa dalam politik

hukum pidana akan muncul pertanyaan-pertanyaan misalnya apakah

perlu ada pembaharuan hukum pidana. Kalau perlu, bidang-bidang

apakah yang perlu diperbaharui atau direvisi15.

Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaharuan

hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk bidang "penal

policy" yang merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement

policy / "criminal policy" dan "social policy".Hal ini berarti pembaharuan

hukum pidana merupakan:

a. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi

hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum;

14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:

Alumni. 1992, hlm. 25-26.

15

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm. 159

Page 31: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

b. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/

menangani tindak pidana dalam rangka perlindungan masyarakat;

c. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial

dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan

nasional (yaitu "social defence" dan "social welfare"):

d. Upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan reevaluasi")

pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosio-

filosofik,sosio-politik dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan

kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.

Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai

dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai

dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WVS)16.

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung

makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum

pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik

dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.Secara

singkat beliau menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada

nilai (value-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada

16Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Bandung : PT Citra Adhya Bakti, 2005, hlm. 3

Page 32: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kebijakan (policy oriented approach}17.Selanjutnya Barda Nawawi Arief

menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan

pendekatan kebijakan karena memang pada hakikatnya pembaharuan

hukum pidana hanya merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik

hukum pada umumnya, dan khususnya bagian dari politik hukum pidana

(criminal law/penal policy atau strafrechtspolitiek). Lebih luas lagi, politik

hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari politik penegakan hukum, politik kriminal dan politik

sosial.Didalam setiap kebijakan (policy atau politik) dipertimbangkan

berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan hukum pidana harus pula

berorientasi pada pendekatan nilai.18

Di dalam bukunya yang lain, Barda Nawawi Arief menjelaskan

bahwa pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-

kebijakan adalah :

a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

masyarakat dan sebagainya);

17

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan,Dalam : Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994, hlm. 2

18

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.Cit, hlm. 28-29

Page 33: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanganan tindak pidana);

c. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih

mengefektifkan penegakan hukum.

Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-

nilai merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali

(reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik,sosio-filosofik dan

sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif

dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan19.

Dalam menangani masalah tindak pidana, sekiranya hukum pidana

yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka kebijakan

hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan yang lebih luas yaitu

politik kriminal. Dapat dikatakan kebijakan hukum pidana merupakan sub

sistem dari politik kriminal sehingga wajar kalau tujuan kebijakan hukum

pidana tidak boleh lepas dari tujuan politik kriminal,sedangkan politik

kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang lebih luas

yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegakan

hukum (law enforcement policy). Demikian pula dengan kebijakan

penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan

19Barda Nawawi Arif.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta:Kencana.2010.hlm.30

Page 34: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

sosial (social policy) yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat

(social welfare dan social defence).Hal ini sesuai dengan pendapat

Sudarto yang menyatakan, apabila hukum pidana hendak digunakan,

hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal atau social

defence, planning yang inipun harus merupakan bagian integral dari

rencana pembangunan nasional"20.

Kebijakan kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan

yang lebih besar yaitu kebijakan penegakan hukum dan kebijakan

sosial.Dengan demikian, di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan

penegakan hukum, harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat

yang tercakup di dalamnya perlindungan masyarakat.Menurut Barda

Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanganan tindak pidana atau

politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka

kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial

(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan

sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk

perlindungan masyarakat (social defence policy).

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement

policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi

(kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) dan tahap

eksekusi (kebijakan eksekutif / administratif).Tahap formulasi adalah tahap

20

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm.104

Page 35: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang

atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan

pembuat undang-undang.Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum

pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan

sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap

pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.Dari

ketiga tahap tersebut, tahap formulasi sebagaimana dikatakan oleh Barda

Nawawi Arief merupakan tahap yang paling strategis dari upaya

pencegahan dan penanganan tindak pidana melalui kebijakan hukum

pidana. Kesalahan kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan

strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan

penanganan tindak pidana pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : dalam tahap formulasi ini

peraturan perundang-undangan pidana dibuat. Dengan dibuatnya

peraturan tersebut maka sudah ditentukan perbuatan apa saja yang

merupakan perbuatan yang dilarang atau diperbolehkan oleh hukum

pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi yang mengatur baik

ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum,

pertanggungjawaban pidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan baik

berupa pidana maupun tindakan.Dengan terbentuknya peraturan

perundang-undangan pidana tersebut maka akan berlanjut pada tahap

aplikasi yaitu penerapan peraturan perundang-undangan pidana tersebut

oleh hakim. Peraturan perundang-undangan pidana yang diterapkan oleh

Page 36: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

hakim akan dilaksanakan pada tahap eksekusi. Dengan demikian tahap

formulasi merupakan awal dari upaya penanganan dan pencegahan

kejahatan.Apabila upaya awal ini tidak tepat dalam menetapkan perbuatan

pidana,maka akan mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya.Oleh karena

itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang-undangan

pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap

peraturan perundang-undangan bahkan peraturan perundang-undangan

pidana itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga

tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang merupakan

proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai

pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau

mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa

untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu.Dengan demikian

dapatlah dikatakan bahwa undang-undang mempunyai dua fungsi yaitu

fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.

Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, Roeslan Saleh

mengatakan bahwa jika undang-undang dijadikan sesuatu yang dapat

digunakan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam

masyarakat,maka perundang-undangan akan merupakan bagian dari

suatu kebijaksanaan tertentu. Undang-undang merupakan salah satu dari

serangkaian alat-alat yang ada pada pemerintah untuk dapat melakukan

kebijaksanaan-kebijaksanaan. Berkaitan dengan hukum pidana, Roeslan

Saleh mengatakan bahwa :"Sanksi-sanksi pidana dalam perundang-

Page 37: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

undangan biasanya dipandang sebagai bagian penutup dari suatu

rangkaian peraturan-peraturan administratif dan sanksi-sanksi.Tentang ini

kelihatan dengan jelas sekali pada undang-undang yang mengandung

stelsel perizinan.Sanksi-sanksi yang ada di dalamnya sebenarnya bersifat

administratif, tetapi sanksi pidana itu dipandang perlu sekali untuk

melengkapkan.Jadi menempatkan sanksi-sanksi pidana di dalam undang-

undang itu oleh karenanya merupakan suatu komplemen mutlak dari

pemberian wewenang kepada alat pemerintah. Dengan kemungkinan-

kemungkinan seperti dikemukakan di atas, maka undang-undang akan

merupakan dasar juridis di atas mana ditegakkan pelaksanaan

kebijaksanaan pemerintah.Dengan demikian penggunaan hukum pidana

untuk menegakan peraturan-peraturan dalam hukum administrasi

merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan

pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Sesuai dengan tujuan tersebut maka dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan hukum pidana harus dapat menampung

aspirasi masyarakat sesuai dengan falsafah dan norma hukum dasar

dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

B. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien

Ada 3 model hubungan dokter-pasien menurut Robert T.Francoeur,yaitu:

1. Model hubungan rekayasa

Model hubungan ini,dokter melepaskan tanggungjawab moralnya dan

memberikan informasi kepada pasien sesuai fakta dan selanjutnya

Page 38: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pasien sendiri yang menentukan keputusan untuk dirinya.Model ini

mempunyai kekurangan dikarenakan dokter dianggap dapat menolong

pasien untuk melakukan bunuh diri karena dokter dalam memberikan

pelayanan kesehatan tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral atau

dengan kata lain dokter dapat saja melanggar kode etik sendiri.

21

2. Model hubungan paternalistik

Dalam model ini dokter dianggap ahli dalam bidangnya dan dianggap

selalu mengetahui apa yang terbaik bagi pasiennya.22

3. Model hubungan perjanjian(kontraktual)

Model hubungan ini menekankan kepada etik bagi hubungan interaksi

manusia.23

Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama

dokter, memang merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi

jasa.Hubungan antara dokter dan pasien pada umumnya berlangsung

sebagai hubungan biomedik aktif-pasif24.Namun perlu disadari bahwa

dokter tidak bisa disamakan dengan pemberi/penjualan jasa pada

umumnya.Hubungan ini terjadi pada saat pasien mendatangi dokter/pada

saat pasien bertemu dengan dokter dan dokterpun memberikan

pelayanannya maka sejak itulah telah terjadi suatu hubungan hukum.

21

Slamet Sampurno Suwondo,Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan diIndonesia,Suatu Tinjauan Yuridis.Makassar: PUKAP.hlm.24-25

22

Ibid, 23

Ibid,hlm.74

24

Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran,Bandung: Mandar Maju 1996, hlm. 42

Page 39: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha

(Inspannings-verbintenis) yaitu di mana dalam melaksanakan tugasnya

dokter berusaha untuk menyembuhkan atau memulihkan kesehatan

pasien.Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan tidak mungkin

dapat memberikan jaminan/garansi kepada pasiennya. Dan dokter juga

tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak

sesuai dengan yang diharapkan sepanjang dalam melakukannya dokter

telah mematuhi standar profesi dan standar prosedur operasional (Pasal

50 butir (a) dan (b) UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Hubungan antara dokter dan pasien secara yuridis dapat dimasukkan ke

dalam golongan kontrak .Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran

(meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal. Pihak pertama

mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan , sedangkan pihak kedua

menerima pemberian pelayanan tersebut.Timbulnya perikatan medik atau

kontrak terapeutik ini dapat terjadi melalui 2 bentuk yaitu:

1. Berdasarkan perjanjian atau persetujuan yaitu hubungan hukum yang

terjadi sejak saat pasien datang ke tempat praktik dokter atau ke

rumah sakit serta telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter.

2. Berdasarkan undang-undang,yaitu apabila ada pasien gawat yang

membutuhkan pertolongan dokter secepatmungkin ,kalau tidak segera

diberikan pertolongan nyawanya akan terancam.Dalam keadaan

semacam ini,undang-undang mewajibkan dokter segera melakukan

pertolongan baik dengan ataupun tanpa persetujuan pasien.

Page 40: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Dalam keadaan biasa (bukan kondisi darurat) pasien datang kepada

dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan sedangkan dokter setuju

untuk memberikan pengobatan.

Selain itu, dokter sebagai profesional menjadi anggota organisasi

profesi yang memiliki peraturan sendiri (Self Regulation) yang diakui

keabsahannya yang disebut sebagai Kode Etik. Dokter juga memiliki

sumpah/janji yang harus diucapkan dan dihayati dalam hati serta dipakai

sebagai pedoman dalam perilakunya.Tidak kalah pentingnya adalah

fungsi sosial yang melekat pada rumah sakit sebagaimana diatur dalam

Pasal 29 ayat 1 butir (f) UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang

berbunyi “Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban melaksanakan

fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien

tidak mampu/miskin,pelayanan gawat darurat tanpa uang muka,ambulan

gratis,pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa,atau bakti sosial

bagi misi kemanusiaan”

Menurut ketentuan undang-undang, rumah sakit milik swasta juga

harus memberikan pelayanan kesehatan kepada golongan masyarakat

tidak mampu dengan tidak mencari keuntungan.Ketentuan UU Rumah

Sakit ini sesuai pula dengan Pasal 3 Kode Etik Kedokteran Indonesia

yang menyatakan bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya

tidak boleh mempertimbangkan keuntungan pribadi. Sedangkan bagi

rumah sakit telah diatur pula pada Pasal 3 Kode Etik Rumah Sakit

Indonesia (KODERSI), yang berbunyi:“Rumah Sakit harus mengutamakan

Page 41: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta tidak

mendahulukan biaya “.

Dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Rumah Sakit

yang kemudian dipertegas dengan Kode Etik Kedokteran dan Kode Etik

Rumah Sakit Indonesia, maka jelas bahwa rumah sakit/dokter baik

pemerintah maupun swasta harus memberikan pelayanan kesehatan

tanpa mempertimbangan keuntungan pribadi .

B.1 Pola Dasar Hubungan Antara Dokter dan Pasien

Pola dasar hubungan dokter pasien terutama berdasarkan keadaan

sosial budaya dan penyakit pasien,menurut Szas dan Hollender (1956)

,dapat dibedakan menjadi tiga,yaitu :25

1. Activity – Passivity

Pola hubungan ini terjadi pada pasien yang keselamatan jiwanya

terancam,atau sedang tidak sadar,atau menderita gangguan mental

berat.Pola terapi terjadi dalam keadaan pasien tidak berdaya.

2. Guidance – Cooperation

Hubungan membimbing-kerjasama,seperti halnya hubungan antara

orangtua dengan remaja.Pola ini terjadi bila keadaan penyakit pasien

tidak terlalu berat,misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut

lainnya.Meskipun sakit,pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta

kemauan sendiri.Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan

bersedia bekerjasama.Walaupun dokter mengetahui lebih banyak,ia

25

AriYunanto,Helmi.HukumPidanaMalpraktik Medik.Yogyakarta:Andi.2010.hlm.15

Page 42: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

tidak semata-mata menjalankan wewenangnya,namun mengharapkan

kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dan

anjuran dokter.

3. Mutual Participation

Filosofi dasar dari pola pendekatan ini adalah berdasarkan pemikiran

bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama.Pola ini

terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatan dengan

melakukan medical check up atau pada pasien yang menderita

penyakit kronis seperti hipertensi atau diabetes mellitus.Pasien secara

sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya sendiri.

B.2. Tidak Terdapat Hubungan Dokter dan Pasien

Beberapa keadaan dimana dianggap tidak terdapat hubungan dokter

pasien adalah :26

1. Suatu pemeriksaan kesehatan sebelum masuk bekerja untuk

menentukan apakah calon tersebut cocok atau tidak masuk lowongan

pekerjaan tersebut.

2. Pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah seseorang memenuhi

syarat untuk asuransi, tidak menimbulkan hubungan dokter – pasien.

3. Apabila seorang dokter ditunjuk oleh pengadilan untuk memeriksa

apakah tertuduh menderita penyakit jiwa atau tidak dan melaporkan

kepada pengadilan, maka tidak terdapat hubungan dokter – pasien.

26Indar, Etika dan Hukum Kesehatan.Makassar : Lembaga Penerbitan

Unhas,2010 ,hlm.160

Page 43: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

4. Seorang spesialis bedah yang melakukan suatu otopsi terhadap suatu

tubuh mayat, tidak terdapat hubungan dokter pasien.

5. Suatu tanya jawab dalam percakapan antara seorang dokter dengan

seseorang tidak menciptakan hubungan dokter pasien.

C. Tinjauan Tentang Malapraktik Kedokteran

Malapraktik kedokteran adalah suatu tindakan medik yang

dilakukan oleh tenaga medik yang tidak sesuai dengan standar tindakan

sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau

kesengajaan dalam hukum pidana.27

Malapraktik medik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi

undang-undang atau kode etik.28.Selain itu ada beberapa pendapat

sarjana mengenai pengertian malapraktik:

a. Veronica memandang malapraktik sebagai kesalahan dalam

menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban –

kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.29

b. Safitri Hariyani megemukakan bahwa seorang dokter dianggap

melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan

,tidak mendiagnosis,tidak melakukan sesuatu,atau tidak membiarkan

27Bambang Tri Bawono.Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanganan

Malpraktik Profesi Medis.Jurnal Hukum Vol XXV.No.1,April 2011.Universitas Islam Sultan Agung(Unissula).Semarang

28Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia,Depdikbud, Jakarta, 1990 Cetakan ke 3, hlm.551

29

Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter,Jakarta:Sinar Harapan,1989

Page 44: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan

situasi dan kondisi yang sama akan melakukan pemeriksaan dan

diagnosis serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut.30

c. Ngesti Lestari mengartikan malapraktik secara harfiah sebagai

pelaksanaan atau tindakan yang salah.31

Sedangkan menurut J. Guwandi malapraktik medik meliputi tindakan-

tindakan sebagai berikut:

1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh

seorang tenaga kesehatan.

2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan

kewajiban.

3. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.32

Selanjutnya dari beberapa pendapat pakar Guwandi memberikan

pengertian bahwa malapraktik dalam arti luas dibedakan antara tindakan

yang dilakukan33:

a. Dengan sengaja (dolus, Vorsatz, intentional) yang dilarang oleh

peraturan perundang-undangan, seperti dengan sengaja melakukan

abortus tanpa indikasi medik, euthanasia, memberikan keterangan

medik yang isinya tidak benar.

30

Safitri Hariyani.Sengketa Medik,Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien.Jakarta:Diadit Media.2005.hlm.63

31Ngesti Lestari, ”Masalah Malpraktik Etik Dalam Praktek Dokter ”, Kumpulan

Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001

32J.Guwandi, Hukum Medik (Medical Law),Jakarta:Fakultas Hukum Universitas

Indonesia 2004,hlm. 24 33

Ibid.hlm.24

Page 45: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misal

:menelantarkan pengobatan pasien,sembarangan dalam mendiagnosis

penyakit pasien.

Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malapraktik murni dengan

kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai

berikut34 :

a. Pada malapraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara

sadar, dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat

yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap

akibatnya,walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui

bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku.

b. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk

menimbulkan akibat.Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang

sebenarnya terjadi di luar kehendaknya Dengan demikian di dalam

malapraktik medik terkandung unsur-unsur kesalahan yang tidak

berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu

adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang

menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil terhadap

pasien.

Dalam perkembangannya malapraktik medik harus dibedakan

dengan kecelakaan medik (medical mishap, misadventure, accident).Hal

ini oleh karena keduanya sepintas tampak sama, walaupun sebenarnya

34Ibid.hlm.25

Page 46: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

mempunyai unsur yang berbeda sehingga mempengaruhi

pertanggungjawaban pidananya. Dalam malapraktik medik (medical

malpractice) dokter yang melakukannya telah memenuhi unsur-unsur

kesalahan, seperti adanya kesengajaan dan kelalaian, kecerobohan serta

tidak melakukan kewajibannya (omissi) sebagaimana ditentukan dalam

standar pelayanan medik dan standar prosedur operasional dalam

menangani penyakit pasien, sehingga peristiwa malapraktik dapat dituntut

pertanggungjawaban pidana.

Sementara itu kecelakaan medik (medical mishap/medical

accident) merupakan sesuatu yang dapat dimaafkan dan tidak

dipersalahkan, karena dalam kecelakaan medik dokter sudah bersikap

hati-hati, teliti dengan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan

timbulnya akibat-akibat pada pasien sesuai dengan standar pelayanan

medik dan standar prosedur operasional, namun kecelakaan (akibat yang

tidak diharapkan) timbul juga. Hal ini mengingat setiap tindakan medik

sekecil apapun selalu mengandung risiko, dan dalam kecelakaan medik

dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya karena risiko yang

terjadi merupakan risiko yang ditanggung oleh pasien (inherent risk)

seperti reaksi alergik, shock anafilaktik, hipersensitif terhadap obat yang

sukar diduga sebelumnya yang dapat berakibat fatal seperti kematian,

cardiac arrest, kerusakan otak, koma, lumpuh, dan sebagainya.

Page 47: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

D. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

D.1. Sistem Pertanggungjawaban Berdasarkan Asas Kesalahan

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana (teorekenbaardheid)

mempunyai maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau

tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi

atau tidak.Untuk dapat dipidananya sipelaku,diharuskan tindak pidana

yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan

dalam undang-undang.Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang

dilarang,seseorang yang akan dipidana tidak cukup dengan alasan

karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum atau bersifat melawan hukum saja,tetapi masih perlu adanya

syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai

kesalahan atau bersalah .Hal tersebut sesuai dengan asas “ nulla poena

sine culpa” yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini dianut oleh

KUHP Indonesia dan juga negara – negara lain, meskipun asas tersebut

tidak tertulis dan tidak terdapat dalam KUHP kita.Kesalahan adalah

kondisi psikologis seseorang ketika melakukan tindak pidana.Kesalahan

tersebut dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Orang tidak mungkin

dipertanggunggjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan

perbuatan pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana,

tidak otomatis dapat dipidana.Ini artinya tergantung pada apakah ia

mempunyai kesalahan atau tidak.Unsur-unsur pertanggungjawaban

pidana :

Page 48: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

1. Mampu bertanggungjawab

2. Ada kesalahan

3. Tidak ada alasan pemaaf.35

Kesalahan dianggap ada,apabila dengan sengaja atau karena

kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau

akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu

bertanggungjawab.

Didalam hukum pidana,menurut Mulyatno kesalahan dan kelalaian

seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu

bertanggungjawab,yaitu bila tindakannya memenuhi 4 (empat)

unsur,yaitu:

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

2. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab;

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan,atau

kealpaan/kelalaian;

4. Tidak adanya alasan pemaaf36

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung

jawab harus ada :

a. Kemampuan untuk membeda – bedakan antara perbuatan yang baik

dan yang buruk , sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baikdan buruknya perbuatan tadi.37

35

Amir Ilyas.2012.Asas-Asas Hukum Pidana.Cetakan Pertama.Yogyakarta: Rankang Education,hlm.75

36 Ibid.hlm.78

Page 49: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Bentuk – bentuk kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kealpaan .

a. Kesengajaan

Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan

(opzet).Hal ini wajar karena yang pantas mendapat hukuman adalah

orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.Kesengajaan ini harus

mengenai ketiga unsur tindak pidana,yaitu:

1. Perbuatan yang dilarang

2. Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu

3. Perbuatan itu melanggar hukum38

Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa

melakukan perbuatan yang dilarang,dengan dikehendaki dan diketahui 39.

Kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi tiga, yaitu 1)

kesengajaan sebagai tujuan (dolus directus), 2)kesengajaan dengan

sadar kepastian, 3) kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus

eventualis) .

b. Kealpaan

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul

karena pelakunya tidak memenuhi standar prilaku yang telah ditentukan

menurut undang-undang,kelalaian itu terjadi dikarenakan prilaku orang itu

sendiri.

37

Ibid,hlm.178 38

Amir.Op.cit.hlm.78

39 Ibid,hlm.185

Page 50: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Dalam pelayanan kesehatan misalnya yang menimbulkan kelalaian

adalah karena kurangnya pengetahuan,kurangnya pengalaman,atau

kurangnya kehati-hatian padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi

profesionalisme,seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan

ilmunya.Menurut Moeljatno kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan

jenis dari kealpaan, akan tetapi dasarnya sama yaitu adanya perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan

bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain.

Dalam kesengajaan , sikap batin orang menentang larangan. Dalam ke

alpaan kurang mengindahkan larangan sehingga kurang berhati – hati

dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan

yang dilarang.40

Beberapa contoh kelalaian yang sering terjadi

a. Kelalaian tidak merujuk.

Apabila keadaan pasien secara wajar dapat diatasi oleh dokternya,

maka ia tidak wajib untuk merujuk pasien itu kepada seorang dokter

spesialis. Oleh karena pasien tidak responsive terhadap pengobatan

yang diberikan, tidaklah langsung berarti bahwa ia wajib merujuknya

kepada seorang dokter spesialis. Namun apabila seorang dokter

mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kondisi atau kasus

pasien itu berada di luar kemampuannya dan dengan merujuknya

kepada dokter spesialis akan dapat menolongnya, maka ia wajib

40 Moeljatno Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:Rineka Cipta.2009. hlm. 215-216

Page 51: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

melakukannya. Namun, segala sesuatu juga tergantung keadaan

finansial pasien, keadaan emosi pasien dan keberadaan dokter

spesialisnya.

b. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terdahulu.

Kadang-kadang seorang pasien sudah pernah berada di bawah

pengobatan dari dokteratau beberapa dokter lain yang memberikan

obat-obatan tertentu atau telah melakukan prosedur pembedahan.

Untuk mencegah adanya resiko di dalampenerapan suatu prosedur

pengobatan adalah sangat dianjurkan untuk mengadakan konsul

kepada dokter-dokter terdahulu yang telah memberikan pengobatan

sebelumnya.

c. Lalai tidak merujuk pasien ke rumah sakit dengan peralatan/tenaga

yang terlatih.

Seorang dokter tidak hanya harus sadar akan ilmu pengetahuannya

secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga akan peralatan yang

sesuai dalam menangani pasien. Di dalam praktek seorang dokter bias

saja berhadapan dengan suatu pasien yang penanganannya

memerlukan instrument tertentu khusus dan prosedur yang ia tidak

punyai. Atau juga memerlukan asisten dalam menanganinya. Praktek

yang baik menuntut agar dokter itu merujuk pasien itu ke suatu rumah

sakit dimana tersedia peralatan dan asisten terlatih.

d. Tidak mendeteksi adanya infeksi.

Page 52: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Kegagalan seorang dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita

semacam infeksi, tidak selalu berarti kelalaian. Apabila tidak

terdeteksinya infeksi tersebut disebabkan karena keadaannya tidak

memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang singkat pun, maka

tanpa adanya justifikasi yang dapat diterima, ia dapat dipersalahkan

karena kekurangan ketelitian. Sebaiknya apabila seorang dokter telah

melakukan segala macam pemeriksaan yang oleh para dokter lain juga

akan melakukan hal yangh sama apabila berhadapan dengan gejala-

gejala sama, maka ia tidak dapat dianggap bertanggung jawab, apabila

infeksi itu tidak ditemukan untuk beberapa waktu.

e. Instruksi per telepon.

Adalah merupakan suatu praktek bahaya bagi dokter untuk

memberikan pengobatan atau resep kepada pasien per telepon. Selain

bertentangan dengan etik, praktek semacam inipun termasuk di bawah

standar profesi medik. Demikian pula tidak dianjurkan jika dokter

memberikan instruksi kepada perawat dan penjaganya per telepon.

Bisa saja perawat yang menerima instruksi per telepon tersebut

melakukannya, tetapi hal ini dilakukan atas resikonya sendiri.

f. Tidak bisa dihubungi per telepon.

Seorang pasien diperbolehkan pulang setelah menjalani suatu bedah

plastik untuk membuang lemak dibawah mata. Dokter memberikan

instruksi bahwa apabila timbul perdarahan didalam waktu 48 jam, maka

dokter spesialis itu harus dihubungi. Instruksi ini ini adalah wajar dan

Page 53: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

penting, karena apabila terjadi perdarahan, maka harus ditangani

segera untuk mencegah terjadinya kegagalan operasi. Sebelum 48 jam

lewat terjadilah perdarahan, sang pasien menelpon dokter bedah

tersebut tetapi tidak mendapatkan jawaban karena dokternya tidak di

tempat. Hakim berpendapat bahwa adalah kewajiban dokter bedah itu

termasuk pengawasan pasca bedah. Lagipula sudah disetuji bahwa

apabila dalam waktu 48 jam terjadi perdaraha, dokter itu minta

dihubungi per telepon.

g. Lalai karena kurang pengalaman

Kurangnya pengalaman tidak bias dipakai sebagai pemaaf kelalaian.

Hakim banding secara tegas menolak pendapat bahwa adanya variasi

dalam standar profesi medic. Hal ini diparalelkan dengan seorang

pengendara mobil yang walaupun telah berusaha untuk mengendarai

sebaik mungkin, namun ukuran standar adalah sama seperti seorang

pengendara lain yang pandai dan berpengalaman.41

D.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Menyimpang dari Asas

Kesalahan

Penerapan pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan itu adalah

demi perlindungan masyarakat, karena untuk delik –delik tertentu sangat

sulit untuk dibuktikan adanya unsur kesalahan. Ada tiga macam model

atau bentuk sistem pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari

asas kesalahan,yaitu strict liability (pertanggungjawaban ketat), vicarious

41Guwandi.Dokter,Pasien,dan Hukum.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.1996.hlm.53-60

Page 54: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

liability (pertanggungjawaban pengganti),enterprise corporate liability

(pertanggungjawaban korporasi ).42 .

D.2.a. Pertanggungjawaban Pidana Ketat ( Strict Liability )

Inti dari konsep strict liability ialah bahwa dalam hal seseorang

menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai

extrahazardous atau ultrahazardous atau abnormally dangerous, ia

diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan, walaupun ia telah

bertindak sangat hati-hati untuk mencegah segala bahaya atau kerugian

tersebut, dan walaupun kerugian itu timbul tanpa adanya kesengajaan.

Dengan demikian dalam strict liability terdapat suatu kewajiban pelaku

untuk memikul tanggung jawab atas kerugian yang tidak dihubungkan

dengan apa kesalahannya. Menurut Munadjat,kewajiban pelaku untuk

memikul tanggung jawab atas kerugian ini timbul secara langsung dan

seketika, begitu terdapat fakta bahwa memang telah terjadi peristiwa yang

menyebabkan timbulnya kerugian. Asas strict liability muncul dari adanya

kesadaran pada masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang

dilakukan baik itu oleh perseorangan maupun kelompok, maka orang atau

kelompok tersebut tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab

untuk setiap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Biasanya

asas ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi.Melalui konsep ultrahazardous,

tort law membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan

42Priharto Adi. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam rangka Penanganan

Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran (Tesis) .Semarang:Universitas Diponegoro. 2010. hlm. 57

Page 55: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

bahaya dalam derajat yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak

yang telah bertindak hati-hati atau pihak yang mungkin menjadi korban.

Contoh yang baik untuk strict liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh

tetangga yang memelihara macan di rumahnya. Area strict liability telah

mendorong pihak yang menjalankan kegiatan yang digolongkan

extrahazardous untuk membuat beberapa alternatif yang dapat

mengurangi derajat bahaya. Pelaku akan melakukan tindakan pencegahan

pada level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan di

bawah level yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus

ditanggungnya.John D. Blackburn, Elliot I. Klayman, dan Martin H. Malin

dengan merujuk pada Pasal 520 Restatement of The Law of Torts di

Amerika menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan

termasuk kegiatan yang berbahaya(abnormally dangerous), sehingga

dapat dikenakan asas strict liability terdapat beberapa faktor yang dapat

dijadikan faktor penentu, yaitu

1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi

manusia,tanah, atau benda bergerak orang lain

2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai

kemungkinan untuk menjadi besar

3. Risiko tidak dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang layak

sudah diterapkan

4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim

Page 56: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu

dilakukan

6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan , bahwa dalam perbuatan pidana

yang bersifat strict liability tidak dipersoalkan adanya mens – rea,

sehingga dengan demikian tidak perlu adanya unsur kesengajaan atau

kelalaian. Unsur pokok dalam strict liability crime adalah perbuatan (actus

reus).Pada tanggungjawab seperti ini biasanya berlaku “product sold”

dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka

akibat produk yang dihasilkan,kecuali produsen telah memberikan

peringatan akan kemungkinan terjadinya resiko tersebut.Strict liability

menurut Roeslan Saleh :“…… dalam praktik pertanggungjawaban pidana

menjadi lenyap jika ada salah satu keadaan – keadaan yang memaafkan.

Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan – keadaan

mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana,

sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk

pengenaan pidananya cukup dengan strict liability.Yang dimaksud dengan

ini adalah kejahatan yang dalam hal terjadinya itu keadaan mental

terdakwa tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk

melakukan perbuatan pidana.Sekalipun demikian dia tetap dipandang

bertanggungjawab atas kejadian perbuatan yang terlarang itu,walaupun ia

tidak bermaksud sama sekali untuk melakukan suatu perbuatan yang

ternyata adalah kejahatan.Biasanya ini untuk kejahatan – kejahatan kecil

Page 57: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

atau pelanggaran.Perbuatan pidana ini tidak dipandang sebagai

perbuatan pidana dalam arti sebenarnya.Ia telah harus

dipertanggungjawabkan hanya karena dipenuhi unsur – unsur delik oleh

perbuatannya, tanpa memeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan

yang dapat meniadakan pengenaan pidana43.

Ada pendapat yang menyatakan,strict liability adalah prinsip

tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan.Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

untuk dibebaskan dari tanggungjawab misalnya pada keadaan force

majeure.Berbeda dengan absolute liability adalah prinsip tanggung jawab

tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut E.Suherman,

strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak

ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggungjawab,kecuali

apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan

sendiri.44

Kriteria Strict Liability

1. Ketentuan undang – undang sendiri menentukan

2. Pada umumnya penerapannya terhadap delik-delik terhadap

kesejahteraan umum45

43

Roeslan Saleh, Pikiran – Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982, hlm 21

44http://www.ml.scribd.com/doc/.../Tanggung-Jawab-Hukum-Perdataby Sanditia Gumilang diakses tanggal 2 Maret 2013

45Muladi,Dwidja Priyatno,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.Jakarta:PT. Kencana Prenada Media Group:hlm. 109

Page 58: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Dalam doktrin dianut bahwa rumah sakit bertanggungjawab atas semua

kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut.Disini berlaku asas

“Res Ipsa Loquitor”yaitu fakta yang berbicara.Ada beberapa pedoman

yang menjadi landasan penerapan strict liability crime diantaranya :

a. Perbuatan bersifat terbatas dan tertentu

b. Perbuatan merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang –

undang

c. Perbuatan yang dilakukan nyata – nyata melawan hukum

d. Perbuatan yang dilakukan sangat potensial mendatangkan bahaya

terhadap kesehatan ,keselamatan atau moral masyarakat.

e. Perbuatan itu tidak dibarengi dengan pencegahan yang wajar46

D.2.b. PertanggungJawaban Pidana Pengganti (Vicarious liability)

Vicarious liability adalah pertanggungjawaban hukum seseorang

atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain dengan syarat orang

tersebut harus mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan

bawahan atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh

pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Prinsip utama doktrin ini adalah atasanlah yang bertanggungjawab

terhadap semua kerugian yang ditimbulkan oleh bawahan.Keputusan

Hoge Raad tertanggal 28 Desember 1899 menyatakan bawahan adalah

pihak-pihak yang tidak dapat bertindak secara sendiri dalam hubungan

dengan atasannya karena memerlukan pengawasan atau petunjuk-

46

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum ,Bandung:PT Citra Aditya Bakti 1997, hlm. 37 – 38

Page 59: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

petunjuk tertentu.Jika dihubungkan dengan pelayanan kesehatan maka

rumah sakit bertindak sebagai atasan dari staf rumah sakit yang bertindak

sebagai bawahan.

Dalam kaitan dengan pelayanan medis,rumah sakit dapat

bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan

yang bekerja dalam kedudukan sebagai karyawan(employee).47

D.3.Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate

liability)

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat

pertanggungjawaban pidana korporasi , terdapat model

pertanggungjawaban korporasi sebagai berikut :

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;dan

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang

bertanggungjawab48

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah

yang bertanggung jawab kepada pengurus korporasi dibebankan

kewajiban tertentu.Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah

kewajiban dari korporasi.Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu

diancam dengan pidana.Ketentuan yang mengatur hal tersebut dalam

KUHP terdapat pada Pasal 169 yang berbunyi :

47

Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran. Yogyakarta:2009.hlm.52

48 Muladi,Op.cit.hlm.83

Page 60: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

1) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan

kejahatan,atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang

oleh aturan-aturan umum,diancam dengan pidana penjara paling lama

enam tahun;

2) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan

pelanggaran,diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;

3) Terhadap pendiri atau pengurus,pidana dapat ditambah sepertiga

Tindak pidana dalam Pasal 169 KUHP Dalam sistem ini terdapat

alasan yang menghapuskan pidana.Sedangkan dasar pemikirannya

adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap

suatu pelanggaran,melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik

itu,Dan,karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus

bertanggungjawab,maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai

pembuat.Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab.Yang

dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat

perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran

dasarnya.Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak

pidana yang dilakukan oleh orang tertentu sebagai pengurus dari badan

hukum tersebut.Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu

adalah onpersoonlijk.Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab

Page 61: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pidana,terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya

perbuatan itu.

Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang

bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan

perkembangan korporasi itu sendiri , yaitu bahwa ternyata untuk delik-

delik tertentu,ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana

ternyata tidak cukup,karenanya diperlukan pula untuk memidana korporasi

dan pengurus atau pengurus saja.49

D.4. Pertanggungjawaban Pidana Malapraktik Kedokteran

Seorang dokter yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan

standar operasional prosedur dan standar pelayanan medik berarti telah

melakukan kesalahan atau kelalaian, yang selain dapat dituntut secara

hukum pidana, juga dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal

pasien menderita kerugian.Penuntutan pertanggungjawaban pidana

hanya dapat dilakukan jika pasien menderita cacat permanen atau

meninggal dunia, sedangkan gugatan secara perdata dapat dilakukan asal

pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil.50

Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana bagi seorang

dokter yang melakukan perbuatan malapraktik , diperlukan pembuktian

adanya unsur-unsur kesalahan, yang dalam hukum pidana dapat

berbentuk kesengajaan dan kelalaian.

49

Ibid. hlm.86-88 50

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung : Mandar Maju,2001,

hlm.43

Page 62: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Definisi kelalaian medik menurut Leenen sebagai kegagalan dokter

untuk bekerja menurut norma “medikche profesionele standard”yaitu

bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut ukuran standar medik dari

seorang dokter dengan kepandaian rata-rata dari golongan yang sama

dengan menggunakan cara yang selaras dalam perbandingan dengan

tujuan pengobatan tersebut51 sehingga seorang dokter dapat disalahkan

dengan kelalaian medik apabila dokter menunjukkan kebodohan serius,

tingkat kehati-hatian yang sangat rendah dan kasar sehingga sampai

menimbulkan cedera atau kematian pada pasien. Hal ini oleh karena

seorang dokter disyaratkan mempunyai tingkat kehati-hatian yang harus

lebih tinggi dari orang awam, yang disetarakan dengan tingkat kehati-

hatian dokter rata-rata dan bukan dengan dokter yang terpandai atau

terbaik.

Menurut Soekanto terdapat banyak definisi tentang kelalaian

medik,namun beliau memberikan 4 elemen yang dapat digunakan untuk

menbuktikan adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan dalam hukum

pidana yang mendasari terjadinya malapraktik medik:52

1. Ada kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian

Kewajiban dari profesi medik untuk menggunakan segala ilmu

penyembuhan pasien, atau setidaknya meringankan penderitaan pasien

dengan segala implikasinya dengan kepandaian yang dimiliki oleh

profesional sejenis sebagaimana ditentukan dalam standar profesi medik.

51

J. Guwandi, Opcit, hlm. 32 52

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : 2005, hlm. 20

Page 63: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasien, harus

berdasarkan indikasi medik, bertindak secara hati-hati dan teliti, cara

bekerja harus berdasarkan profesi medik, dan harus ada informed

consent. Seorang dokter dapat dikatakan lalai jika tidak memenuhi

kewajiban yang dituntut sesuai standar medik, dan apabila kelalaiannya

mengakibatkan kematian atau cedera pada pasien maka telah terjadi

malapraktik.

2. Ada pelanggaran kewajiban

Misalnya dokter telah gagal bertindak sesuai norma yang telah ditentukan

disebabkan kesengajaan atau kelalaian,contohnya perbuatan dokter yang

telah melanggar standar perawatan bagi pasiennya.Seorang dokter

dikatakan melakukan penyimpangan/pelanggaran terhadap kewajibannya

jika telah menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak

melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi

medik, sehingga dokter yang bersangkutan dapat dipersalahkan dan

dituntut pertanggung jawabannya. Untuk menentukan ada/tidaknya

penyimpangan kewajiban, harus didasarkan pada fakta-fakta yang

meliputi kasusnya dengan bantuan pendapat ahli dan saksi ahli.Seringkali

pasien atau keluarganya menganggap bahwa akibat negatif yang timbul

adalah sebagai akibat dari kesalahan dokter, hal ini tidak selalu demikian,

karena harus dibuktikan dahulu adanya hubungan kausal antara

cedera/kematian pasien dengan unsur-unsur kelalaian.

3. Ada penyebab

Page 64: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Hubungan sebab akibat yang paling langsung dapat timbul dalam

hubungan dokter dengan pasien,yaitu apabila dari perbuatan dokter

timbul akibat yang merugikan pasien. Untuk mempersalahkan seorang

dokter harus ada hubungan kausal (secara langsung/adekuat) antara

penyebab (tindakan dokter) dengan kerugian (cedera/kematian)

pasien, dan harus tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya.

Dalam hal demikian maka penilaian fakta-faktanya, yang akan

menentukan ada/tidaknya suatu penyebab yang adekuat yang dapat

dijadikan sebagai bukti.Kelalaian (negligent/culpa) yang seringkali

mendasari terjadinya malapraktik kedokteran memerlukan pembuktian

yang rumit.Namun tidak jarang terjadi seorang dokter melakukan

kelalaian dengan begitu jelas, sehingga orang awan pun dapat menilai

bahwa telah terjadi kelalaian. Dalam hal ini berlaku asas “Res

ipsaLoquitur” yang berarti the “thing speaks for it self” (faktanya sudah

berbicara), sehingga pembuktian adalah pembuktian terbalik, dokter

harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kelalaian.

4. Timbul Kerugian

Akibat dari perbuatan dalam hubungan dokter dengan pasien dapat

timbul kerugian, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Kerugian itu dapat mengenai tubuh pasien sehingga menimbulkan

rasa tidak enak. Tindakan ini merupakan tindakan langsung yang

menyebabkan kerugian / penderitaan pasien, hal ini disebabkan oleh

Page 65: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dokter / tenaga medik lainnya yang melalaikan kewajibannya yang

seharusnya ia laksanakan.

Malapraktik kedokteran ditinjau dalam hukum pidana , diantaranya :

a. Pasal 322 KUHP yaitu membocorkan rahasia kedokteran yang

diadukan oleh penderita.

b. Pasal 359,360,361 KUHP yaitu karena kelalaiannya sehingga

mengakibatkan kematian atau luka-luka.

c. Pasal 531 KUHP yaitu tidak memberikan pertolongan kepada orang

yang berada dalam keadaan bahaya maut.

Perbuatan – perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik pidana

yaitu pertama , perbuatan tersebut baik positif maupun negatif merupakan

perbuatan tercela (Actus Reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin

yang salah yaitu berupa kesengajaan (Intensional), kecerobohan

(Recklessness) atau kealpaan (Negligence) sehingga tanggung jawab

selalu bersifat individual dan personal . dan tidak dapat dialihkan kepada

orang lain atau kepada rumah sakit.

Menurut Bambang Purnomo tanggung jawab kesehatan di dalam

rumah sakit menurut doktrin kesehatan yaitu53:

a. Personal Liability yaitu tanggung jawab yang melekat pada

Individu,artinya siapa yang berbuat dialah yang bertanggungjawab;

b. Strict Liability yaitu tanggung jawab tanpa kesalahan (liability

without fault).Pada tanggungjawab seperti ini biasanya berlaku

53

Nusye.Loc.cit.hlm.52

Page 66: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

product sold atau article of commerce,dimana produsen harus

membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang

dihasilkan,kecuali produsen telah memberikan peringatan akan

kemungkinan terjadinya resiko tersebut.Seperti produsen rokok

(dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya

kanker paru-paru, kecuali pabrik telah memberikan peringatan akan

kemungkinan terjadinya resiko seperti itu).Di negara-negara

Common Law,produk darah dikategorikan sebagai produk sold

sehingga produsen yang mengolah darah harus bertanggungjawab

untuk setiap transfusi darah olahan yang menularkan virus hepatitis

atau HIV.

c. Vicarious Liability yaitu tanggung jawab yang timbul akibat

kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya (subordinate).Dalam

kaitannya dengan pelayanan medis,maka rumah sakit dapat

bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga

kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai subordinate

(employee).

d. Respondent Liability yaitu tanggung jawab tanggung renteng.

Sebagai contoh ,sebuah rumah sakit dapat menjadi subyek

tanggung renteng tergantung dari pola hubungan kerja antara

tenaga kesehatan dengan rumah sakit,yang mana pola hubungan

tersebut akan menentukan hubungan terapeutik dengan pihak

pasien yang berobat di rumah sakit,misalnya dokter bekerja

Page 67: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

sebagai mitra (attending physician),dimana posisi rumah sakit

hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas. Hubungan ini

menempatkan kedudukan dokter sederajat dengan rumah

sakit.Konsep dari pola ini bahwa dokter menyewa fasilitas rumah

sakit untuk digunakan merawat pasien.Pola ini banyak dianut oleh

rumah sakit swasta dimana dokter mendapat penghasilan

berdasarkan perhitungan pasien serta kuantitas dan kualitas

tindakan medis yang dilakukan. Jika dalam satu bulan tidak ada

seorang pasienpun yang dirawat maka dalam bulan itu dokter tidak

memperoleh penghasilan apa-apa.

e. Corporate Liability yaitu tanggung jawab yang berada pada

pemerintah, dalam hal ini kesehatan menjadi tanggungjawab

Menteri Kesehatan.Misalnya lambatnya penanganan kasus flu

burung disuatu daerah karena kurang tersedianya obat,vaksin,dan

rendahnya sumber daya manusia yang tersedia merupakan

tanggungjawab pemerintah.

f. Rep Ipso Liquitor Liability yaitu tanggungjawab yang diakibatkan

perbuatan melebihi wewenang atau dengan kata lain perbuatan

lancang.Misalnya seorang residen secara diam-diam melakukan

tindakan seolah-olah sebagai dokter ahli,padahal ada dokter

ahlinya.

Page 68: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

E. Prosedur Operasional Standar (POS)

Istilah Prosedur Operasional Standar atau POS bukanlah istilah

yang asing lagi dalam kalangan masyarakat. Istilah Prosedur Operasional

Standar atau POS digunakan dalam berbagai bidang kerja. Biasanya,

istilah yang digunakan juga berbeda tergantung bidang kerjanya, seperti

Protap (prosedur tetap) biasa dipakai di kalangan kemiliteran, kepolisian

dan birokrasi, SPO (Standar Prosedur Operasi) biasa dipakai di kalangan

perkebunan, SOB (Standar Operasional Baku) biasa dipakai di kalangan

industri, SOP (Standar Operasional Prosedur) biasa dipakai di kalangan

pendidikan. Dalam kalangan kedokteran juga biasa digunakan istilah SOP

(Standar Operasional Prosedur).54

Istilah SOP berasal dari bahasa Inggris SOPs yang merupakan

kepanjangan dari Standard Operating Procedures atau Standing

Operating Procedures. Secara umum, SOP merupakan gambaran

langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang

diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan instansi

pemerintah. SOP merupakan suatu sistem prosedur operasi yang bertitik

tolak pada kualitas (operating procedures based on quality).SOP

berlandaskan pada pencegahan kesalahan.55Sementara menurut

penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran,yang dimaksud

54.<http://www.docstoc.com/docs/53290971/Standar Operasional Prosedur

(SOP) Sebagai Pedoman Pelaksanaan Administrasi Perkantoran dalam Rangka Peningkatan Pelayanan dan Kinerja Organisasi Pemerintah oleh Insani.2010 (diakses pada tanggal 7 Maret 2013).

55<http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/STANDA

R OPERASIONAL PROSEDUR.pdf&gt;oleh Atmoko T. Standar oprasional prosedur (SOP) dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. (diakses tanggal 7 Maret 2013).

Page 69: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dengan Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat

instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu

proses kerja rutin tertentu.Standar Prosedur Operasional memberikan

langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk

melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh

sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.56

Fungsi dari Standar Operating Procedure adalah untuk

mendefinisikan semua konsep dan teknik yang penting serta persyaratan

yang dibutuhkan, yang ada dalam setiap kegiatan yang dituangkan ke

dalam suatu bentuk yang langsung dapat digunakan oleh karyawan dalam

pelaksanaan kegiatan sehari-hari 57

Tujuan dari Standard Operating Procedure yaitu untuk mengetahui

dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, agar

petugas menjaga konsistensi dan tingkat kinerja staff atau operator dalam

organisasi atau unit, melindungi organisasi dan staf dari malapraktik atau

kesalahan administrasi lainnya, untuk menghindari kegagalan/kesalahan,

keraguan, duplikasi dan inefisiensi. memperjelas alur tugas, wewenang

dan tanggung jawab dari staff atau operator terkait.58

56

Penjelasan pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran 57

<http://id.shvoong.com/businessmanagement/technologyoperationsmanagem nt/2188 180 definisi-fungsi-dan-tujuan-standard/&gt; oleh Satria. 2011. Definisi, fungsi dan tujuan Standard Operating Procedure (SOP). (diakses pada tanggal 9 Januari 2012).

58 Ibid

Page 70: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

F.Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medis

Pengertian

Semua professional termasuk dokter dalam melaksanakan

pekerjaannya harus dengan apa yang dinamakan standar (ukuran)

profesi.Ada beberapa pendapat tentang Standar Profesi diantaranya:

1. Menurut Veronica,Standar profesi adalah pedoman yang harus

digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara

baik.Berkenaan dengan pelayanan medik,pedoman yang digunakan

adalah standar pelayanan medik yang terutama dititikberatkan pada

proses tindakan medik59

Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini dipakai

sebagai acuan oleh Rumah Sakit karena prosedur tetap didalam

standar profesi dibuat sesuai dengan setiap bidang

spesialisasi,fasilitas dan sumber daya yang tersedia.

2. Pengertian standar profesi medis menurut Leenen,seorang pakar

Hukum Kesehatan dari Belanda adalah:

a. Terapi (berupa tindakan medik tertentu) harus teliti;

b. Harus sesuai dengan ukuran medis

c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki oleh seorang

dokter dengan kategori keahlian medis yang sama;

d. Dalam kondisi yang sama;

59

D.Veronica Komalawati (II).Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien)Suatu Tinjauan Yuridis,Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung.2002,hlm.177

Page 71: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

3. Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Praktik

Kedokteran,standar profesi adalah batasan kemampuan minimal yang

harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan

profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh

organisasi profesi.

e. Dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan

konkrit tindakan medis tersebut60

Ruang lingkup Standar Profesi

Standar Profesi yang merupakan standar pelayanan medis

mencakup standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan

penunjang.Keduanya akan selalu berkembang seiring dengan

perkembangan teknologi.Oleh karena itu,agar standar profesi ini selalu

mengikuti perkembangan teknologi dibidang kedokteran,maka perlu

dilakukan evalusi secara berkala untuk kemudia diubah sesuai dengan

perkembangan situasi dan kondisi setempat berdasarkan evaluasi

tersebut.61

Tujuan Standar Profesi.

Tujuan ditetapkannya standar profesi dan standar pelayanan medis

adalah:

1. Untuk melindungi masyarakat (pasien) dari praktik yang tidak sesuai

dengan standar profesi medis;

60

Wila Chandrawila Supriadi, Op.cit.hllm.4 61

Anny Isfandyari. Malpraktek dan Resiko Medik. Prestasi Pustaka. Jakarta: 2005. hlm. 26

Page 72: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

2. Untuk melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar;

3. Sebagai pedoman dalam pengawasan,pembinaan dan peningkatan

mutu pelayanan kedokteran;

4. Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang

efektif dan efisien.62

Landasan pola pikir dalam pelaksanaan standar profesi adalah:

1. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran,kearah

tujuan pengobatan atau perawatan yang konkrit,artinya upaya yang

dilakukan harus profesional dengan hasil yang ingin dicapai;

2. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan

dan teknologi kedokteran saat ini;

3. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati,tanpa

kelalaian,yang tolak ukurnya adalah dengan membandingkan apa

yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter lain dari bidang

keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata bila berhadapan

dengan kasus seperti itu dengan situasi dan kondisi yang sama.63

G.Persetujuan Tindakan Medik

Soedjatmiko menyatakan bahwa,melakukan tindakan medik tanpa

persetujuan tindakan medik merupakan salah satu keadaan yang dapat

menyebabkan terjadinya tuntutan malapraktik pidana karena

kecerobohan.Persetujuan tindakan medik yang lebih dikenal dengan

62

Ibid.hlm.26 63

Danny Wiradharma. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Penerbit Buku kedokteran EGC.Jakarta.1999.hlm.7-8

Page 73: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

informed consent,secara istilah dapat diuraikan menjadi consent yang

artinya persetujuan dan informed yang berarti informasi sehingga informed

consent berarti persetujuan atas dasar informasi.

Persetujuan tindakan medik baru diakui setelah setelah pasien

mendapatkan informasi yang jelas tentang tindakan medic yang akan

dilakukan terhadap pasien tersebut.Dalam pemberian informasi ini,dokter

berkewajiban untuk mengungkapkan dan menjelaskan kepada pasien

dalam bahasa sesederhana mungkin sifat penyakitnya,sifat pengobatan

yang disarankan,kemungkinan dan resiko yang dapat timbul serta

komplikasi-komplikasi yang tak terduga.

Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009

menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak menerima atau menolak

sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan

kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai

tindakan tersebut secara lengkap.”Namun hal ini tidak berlaku mutlak

karena ada pengecualian-pengecualian dimana hak menerima atau

menolak tindakan tersebut tidak berlaku (Pasal 56 ayat (2).Keadaan

tersebut adalah :

a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular

ke dalam masyarakat yang lebih luas;

b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri;atau

c. Gangguan mental berat

Page 74: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

H. Kerangka Konsep

Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum,

dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya

tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja

sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi

persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malapraktik yang kita

jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah

pidana.

Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-

langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter

maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya.

Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negatif terhadap

pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat

secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter

hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga

pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran

norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad

berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas

pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.

Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik

dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut,

menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan

Page 75: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh

dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi

kedokteran.

Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas

pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau

keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak

puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak

menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan

sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila

pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama

bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau

kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya

fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap

dokter dengan pasiennya.

Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang

bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi)

kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter

tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien

dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk

menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila

pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan

mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi

terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun

Page 76: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap

sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedokteran dianggap

sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode

Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi

dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum

tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi

kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum.

Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka

menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam

suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah

perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab

hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal

ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam

kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah

medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis

profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.

Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang

mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis

penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah

dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu

menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-

kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter

sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu

Page 77: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni

tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-

keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya.

Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan

antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu

sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati

kebenaran.Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran

merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang

dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian sebagai

akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar

profesi kedokteran sebagai malapraktik medik.

Hal tersebut mendorong perlunya lebih memahami bagaimana

aspek hukum dan upaya yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan

kesalahan dokter, perlu diketahui pula apa sesungguhnya

malapraktik,bagaimana penanganan malapraktik yang dilakukan oleh

dokter dan apa kriteria serta bagaimana pengaturannya selama ini di

dalam KUHP, Undang-Undang Kesehatan maupun Undang-Undang

Praktik Kedokteran.

Page 78: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

DIAGRAM KERANGKA PIKIR PENELITIAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK

KEDOKTERAN

MALAPRAKTIK KEDOKTERAN

KUHP

Undang-UndangKesehatan Nomor

36 Tahun 2009

Undang-UndangPraktik KedokteranNomor 29 Tahun

2004

KUHP Konsep

Page 79: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dapat

ditentukan bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach).

Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis normatif atau penelitian

kepustakaan yang bertumpu pada data sekunder karena sasaran utama

dalam penelitian ini pada masalah kebijakan yaitu mengenai perundang-

undangan dalam menetapkan dan merumuskan tindak pidana malapraktik

kedokteran.

Pendekatan yuridis normatif yaitu dengan mengkaji atau

menganalisis data sekunder yang berupa bahan – bahan hukum sekunder

dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma

positif di dalam perundang – undangan yang berlaku.64

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam tesis ini adalah termasuk deskriptif

analitis, yaitu menggambarkan kedudukan suatu undang-undang

sebagaimana keadaanya sekarang.

64

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, Jakarta : Raja Grafindo,1985, hlm.15

Page 80: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

C. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka jenis data

yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang diteliti adalah

sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri

dari :

a. Norma (dasar) atau kaidah dasar,yaitu Pembukaan Undang

Undang Dasar 1945;

b. Peraturan Dasar , seperti Batang Tubuh Undang Undang Dasar

1945,Ketetapan-ketetapan MPR

c. Peraturan Perundang-undangan, seperti undang-undang dan

peraturan yang setaraf,Peraturan Pemerintah dan peraturan

yang setaraf, Keputusan Presiden dan peraturan yang

setaraf,peraturan-peraturan daerah;

d. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih

berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang,hasil-hasil

penelitian,hasil karya dari kalangan hukum,dan sebagainya

3. Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus ,ensiklopedia ,indeks kumulatif ,dan sebagainya.

Page 81: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini ditempuh dengan melakukan

penelitian kepustakaan.Di dalam pengumpulan data, sebanyak mungkin

data yang diperoleh dan dikumpulkan diusahakan mengenai masalah-

masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini,

maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan

mengolah secara sistematis bahan - bahan kepustakaan serta dokumen -

dokumen yang berkaitan. Data , asas - asas , konsep - konsep ,

pandangan - pandangan , doktrin - doktrin hukum serta isi kaidah hukum

diperoleh melalui dua referensi utama yaitu :

a) Bersifat umum, terdiri dari buku - buku , teks , ensiklopedia

b) Bersifat khusus terdiri dari laporan hasil penelitian, majalah maupun

jurnal.

E. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian dikumpulkan dan dilakukan

analisis dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan

yang terdapat dalam dokumen dan perundang - undangan. Normatif

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada

sebagai norma hukum positif dan mempertanyakan apakah hukum yang

berlaku saat ini memang sudah seharusnya, sedangkan kualitatif berarti

analisa data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas - asas dan

informasi baru yang berhubungan dengan fokus penelitian.

Page 82: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kebijakan Hukum Pidana Saat ini Dalam Penanganan Tindak

Pidana Malapraktik Kedokteran

a. Definisi malapraktik dari segi medik dan hukum

Ada beberapa definisi yang berbeda dalam memberikan pengertian

malapraktik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, malapraktik diartikan

sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat,

menyalahi undang-undang atau kode etik. Secara harfiah “mala”

mempunyai arti “salah” atau “buruk” sedangkan “praktik” mempunyai arti

“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malapraktik berarti “pelaksanaan

atau tindakan yang salah atau buruk”.Definisi malapraktik profesi

kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk

mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam

mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap

pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama

(Valentin v.La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,

California ,1956).65

Malapraktik merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak

memenuhi standar medis yang telah ditentukan maupun standar

operasional prosedur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian

65

http//www.welcome.makalahmalpraktik.com oleh uuz diakses tanggal 2 Maret 2013

Page 83: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

berat yang membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang

diderita oleh pasien.66 Sedangkan Hyat berpendapat bahwa malapraktik

oleh dokter adalah :

1. Kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan

pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat

yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani

pasien;

2. Atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian

(kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan

ketrampilannya serta penerapan pengetahuannya;

3. Atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam

menangani kasus yang dipercayakan kepadanya;

4. Atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta

perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para

dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang

sama.67

Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan bahwa dalam mengartikan

malapraktik oleh seorang dokter harus dipenuhi beberapa syarat yaitu :68

a. Adanya hubungan dokter dan pasien;

b. Kehati-hatian standar yang dapat dipakai dalam pelanggarannya;

66

Cahya Wulandari.Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik dan Kendala dalam Pembuktiannya. Makalah.vol.4 No.2.Universitas Negeri Semarang. 2010.hlm.2

67

Komalawati,Veronica.Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan. cet.1.1989.hlm.19-20

68Ibid

Page 84: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

c. Kerugian yang dapat dituntut ganti rugi,suatu hubungan kausal antara

pelanggaran kehati-hatian dan kerugian yang diderita.

Menurut Coughlin's Dictionary of Law:69

''Malpractice is professional misconduct on the part of a professional

person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist,

veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of

skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong

doing or illegal or unethical practice''. Terjemahan bebasnya: Malapraktik

adalah sikap-tindak profesional yang salah dari seorang profesional,

seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, akuntan, dokter gigi, dokter

hewan. Malapraktik bisa sebagai akibat ketidaktahuan, kelalaian, atau

kekurangan pengetahuan atau kesetiaan dalam pelaksanaan tugas-tugas

profesional; kesalahan berbuat yang disengaja atau praktik yang tidak

etis.

Pengertian malapraktik banyak diambil dari literatur luar negeri

(WMA,1992):70 ''medical malpractice involves the physician's failure to

conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or

lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the

direct cause of an injury to the patient''. (adanya kegagalan dokter untuk

menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya

keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab

langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).

69Cahya Wulandari.Op.cit.hlm.2

70

Ibid.

Page 85: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Selama ini belum ada kesamaan batasan yang baku dari istilah

malapraktik. Dan karena belum adanya batasan yang jelas mengenai

definisi malapraktik inilah yang menyulitkan korban menggugat dokter ke

pengadilan.

Sementara itu, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan

dokter bisa disebut melakukan malapraktik apabila melanggar standar

prosedur. Prosedur standar sebelum melakukan tindakan medis, yaitu

melakukan Informed Consent, memberi penjelasan mengenai tindakan

yang akan dilakukan termasuk risikonya, serta meminta persetujuan

pasien atau keluarganya. Selain itu, menanyakan obat apa saja yang

diminum dalam waktu dekat untuk mengetahui adanya obat yang bisa

berinteraksi dengan obat anestesi. Jika ada keraguan, darah pasien perlu

diperiksa untuk mengetahui adanya sisa obat.

Definisi malapraktik masih beragam tergantung dari sudut pandang

mana malapraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum ataukah

dari segi medis sendiri. Ada kalanya tindakan seorang dokter

dikategorikan malapraktik medik jika memberikan pelayanan di bawah,

atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik yang berlaku,

melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau

melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. Malapraktik

juga menunjuk pada tindakan-tindakan secara sengaja dan melanggar

undang-undang terkait, misalnya, UU No.36 tahun 2009 tentang

Kesehatan.

Page 86: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku

norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan

adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari

sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang

etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut

yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi

tenaga medis berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila

ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena

antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar

menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sanksi, maka ukuran normatif

yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical

malpractice dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap

ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua

bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord

Chief Justice,1893).71

B.1Jenis Malapraktik Medik72

1. Malapraktik Etik

Yang dimaksud dengan malapraktik etik adalah dokter melakukan

tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran.Sedangkan etika

kedokteran yang dituangkan dalam KODEKI merupakan seperangkat

standar etis,prinsip,aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.

71

http//www.welcome.makalahmalpraktik.com by uuz diakses tanggal 6 Maret 2013

72Anny Isfandyarie.Op.Cit..2005.hlm.31-35

Page 87: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran

yang merupakan malapraktik etik antara lain :

a) Di bidang diagnostik

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien,kadangkala

tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih

teliti.Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan

“hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya,maka dokter

tergoda untuk mengirimkan pasiennya ke laboratorium.

b) Di bidang terapi

Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotik kepada dokter

dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau

menggunakan obat tersebut,kadang mempengaruhi pertimbangan

dokter dalam memberikan terapi.

2. Malapraktik Yuridik (Malapraktik dibidang hukum)

Untuk malapraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3

kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice,

civil malpractice dan administrative malpractice.

Soedjatmiko membedakan malapraktik yuridik menjadi :

a. Criminal malpractice (Malapraktik Pidana)

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal

malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik

pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan

Page 88: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

perbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa

kesengajaan (intensional), kecerobohan (reclessness) atau kealpaan

(negligence).

Contoh dari criminal malpractice yang sifatnya kesengajaan adalah:73

a. Melakukan aborsi tanpa indikasi medik (Pasal 299,349 KUHP)

b. Membocorkan rahasia kedokteran (Pasal 322 KUHP)

c. Tidak melakukan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan

darurat meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan menolongnya

(Pasal 304,531 KUHP)

d. Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar (Pasal 263

KUHP)

e. Mengedarkan obat palsu (Pasal 386 KUHP)

f. Melakukan penipuan terhadap pasien (Pasal 378 KUHP)

g. Memberikan keterangan yang tidak benar disidang pengadilan dalam

kapasitasnya sebagai ahli (Pasal 242 ayat (2)

h. Melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP)

Contoh dari criminal malpractice yang bersifat kecerobohan :

a. Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis

b. Melakukan tindakan medik tanpa informed consent

Recklessness (kecerobohan) apabila seseorang mengambil dengan

sengaja suatu resiko yang tidak dapat dibenarkan (deliberate taking of

73

Sofwan Dahlan,Malpraktik (dalam Hukum Kesehatan,Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter).Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang:2001.hlm.59-62

Page 89: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

unjustifiable risk),di Inggris dapat disamakan dengan bewuste schuld

(kealpaan/kesalahan yang disadari atau advertent negligence (kealpaan

yang penuh perhatian/kehati-hatian) dan dalam beberapa hal dapat

disamakan dengan dolus eventualis.Untuk adanya kecerobohan harus

dibuktikan bahwa sipelaku sebenarnya menyadari suatu keadaan dan

mengetahui atau dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat

akan tetapi ia sembrono atau tidak peduli terhadap keadaan atau akibat

tersebut.

Contoh dari criminal malpractice yang bersifat kealpaan :

a. Kurang hati – hati sehingga menyebabkan pasien luka – luka.

b. Kurang hati – hati sehingga menyebabkan pasien meninggal dunia.

b. Civil Malpractice (Malapraktik Perdata)

Disebut civil malpractice jika dokter tidak melaksanakan

kewajibannya,yaitu memberikan prestasinya sebagaimana yang telah

disepakati (wanprestasi) atau terjadinya perbuatan melanggar hukum

(onrechmatigedaad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien

Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian adalah:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi

terlambat memenuhinya atau tidak tepat waktu.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi

tidak sempurna.

Page 90: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya

dilakukan.

Pada civil malpractice, tanggung gugat bersifat individual atau

korporasi.Selain itu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan

principle of vicarious liability. Dengan prinsip ini, maka rumah sakit dapat

bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokternya, asalkan

dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter dalam rangka melaksanakan

kewajiban rumah sakit.Dasar hukum civil malpractice adalah transaksi

dokter dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, dimana

dokter bersedia memberikan pelayanan medik kepada pasien dan pasien

bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang merasa

dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang tidak

melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan kesalahan

professional.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum

harus memenuhi beberapa syarat seperti :

a. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kewajiban

profesionalnya

b. Melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesionalnya

c. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan

d. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam

masyarakat.74

74

Anny.Op.Cit.hlm.92

Page 91: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktian adanya

malapraktik dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

1.Cara langsung,

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4

D yakni:

a) Duty (kewajiban).

Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter

haruslah bertindak berdasarkan:

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang

seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan

menurut standar profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.

c) Direct Cause (penyebab langsung)

d) Damage (kerugian)

Untuk dapat menyalahkan dokter, haruslah ada hubungan kausal

(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang

Page 92: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela

diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. 75

Hasil (outcome) negatif tidak dapat dijadikan dasar menyalahkan dokter.

Sebagaimana adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka

pembuktian adanya kesalahan dibebankan kepada si penggugat (pasien).

c) Cara tidak langsung.

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi

pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya

sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res

ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi

kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada / terjadi apabila dokter tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain

tidak ada contributory negligence.

c. Administrative Malpractice (Malapraktik Administrasi)

Dikatakan administrative malpracticejika dokter melanggar hukum tata

usaha negara. Contoh tindakan yang dikategorikan administrative

malpractice adalah :

a. Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin

b. Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi yang dimiliki

75http//www.welcome.makalah malpraktik.com oleh uuz diakses tanggal 2 Maret

2013

Page 93: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

c. Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan izin yang sudah

tidak berlaku

d. Tidak membuat rekam medik.

Jenis – jenis lisensi mempunyai batas kewenangan sendiri – sendiri.Tidak

dibenarkan melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan

yang telah ditentukan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka dokter

dianggap melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi

administratif.

Walaupun masalah dugaan malapraktik medik, akhir-akhir ini,

sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang

tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa Undang-

Undang Praktik Kedokteran itu akan mengatur masalah malapraktik

medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin yang

bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis

Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja.

Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) bila terjadi tindak pidana.

Tidak tercantumnya istilah dan definisi menyeluruh tentang

malapraktik dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik

dan malapraktik yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang

malapraktik yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang

relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya

merupakan tugas besar bagi pemerintah.Dibutuhkan inovasi yang cerdas

Page 94: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dari pemerintah guna menangani kasus malapraktik dan sengketa medik

yaitu dengan lahirnya Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran

yang baru.

Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang baru ini

diharapkan menciptakan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan

medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas

terjadinya malapraktik dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan

dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi

tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.

Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah

dugaan malapraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law

dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum

tertulis,seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.

Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan

kesehatan, DPR harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan

berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malapraktik Medik,

sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.Mengenai materinya, kita bisa

belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal

tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat

tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para

medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai

undang-undang.

Page 95: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Aspek Etik Malapraktik

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang

pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah

ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang

menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku

dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis

Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha

manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental :

bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf

kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya,

karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara

tertukar-tukar.Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku

orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional

termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan

tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat,

serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah

satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan

penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan

tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap

organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah

dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat.

Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku jugauntuk

Page 96: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

eksekutif lain dirumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah

kesepakatan bersama dan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua

anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam

pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malapraktik meliputi pelanggaran

kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort),

dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada

ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah

suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa

kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat

menerimanya.

Aspek Hukum Malapraktik

Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai

keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur

perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan

sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum

itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya

untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).

Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua

malapraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang

harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada

kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis

yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga

medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan

Page 97: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai

kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat

menempatkan malapraktik medik dengan hukum pidana adalah syarat

akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-

luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi

unsur tindak pidana.76Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat

melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak.

Secara umum sifat melawan hukum malapraktik medik terletak pada

dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.Dari sudut

hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan

atau hubungan inspanning verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha

untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar

profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam

dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan

kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu

pelanggaran kewajiban (wanprestasi).Ada perbedaan akibat kerugian oleh

malapraktik perdata dengan malapraktik pidana. Kerugian dalam

malapraktik perdata lebih luas dari akibat malapraktik pidana. Akibat

malapraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas

kerugian materil dan immateril, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan

secara khusus dalam undang-undang. Berbeda dengan akibat malapraktik

pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi

76

http//www.tanggungjawabhukummalpraktikkedokteran.com oleh adami chazawi.diakses tanggal 4 Maret 2013

Page 98: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

unsur pasal tersebut. Malapraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak

pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi

syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan

malapraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang

mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan mata

pencaharian merupakan unsur tindak pidana.Jika dokter hanya melakukan

tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah

melakukan malapraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian

karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya

suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar

standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah

menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.Terkadang

penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam

hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself),

misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut

pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini

dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Maraknya dugaan kasus malapraktik di Indonesia membuat

masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia.

Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis

Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut

berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena

kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak

Page 99: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat

suatu tindakan medis. Pasienpun enggan berkomunikasi dengan tenaga

medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan

perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat

tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.Sekarang ini tuntutan

professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan

serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis

bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah

malapraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang

melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang

menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastik

dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit

kandungan.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga

medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan

oleh demonstrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malapraktik

medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut

terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malapraktik yang pernah

dilaporkan masyarakat.Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat

dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malapraktik medik yang

diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana

atau dengan hukum administrasi.Di wilayah hukum Polda Metro Jaya

sendiri disepakati bahwa pada setiap kasus malapraktik medik diajukan

Page 100: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dua orang saksi ahli dibidang yang dibutuhkan,satu berasal dari

organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen

fakultas kedokteran).

Saat ini kita hidup di zaman globalisasi, zaman yang penuh

tantangan, zaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi

produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita

kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak

pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring masuknya

zaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran

peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan

peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan

tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan

canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat

mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi

sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan

terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut,

maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi

saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam

pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan

malapraktik. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan

pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk

menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malapraktik, perlu

adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai

Page 101: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan

dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah

perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan

belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan

peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malapraktik. Hal ini dapat

direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain

pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah

eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang

disebutkan sebelumnya, di zaman globalisasi ini memberikan pintu

terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu

pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan

mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini,

dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja,

tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang

mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan

ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia

tempati, terjadilah malapraktik. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik

tenaga medis tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia.

Oleh karenanya peran dari pemerintah pada umumnya dan peran dari

Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga

kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini sangat

dibutuhkan.

Dari beberapa pengertian dan pendapat di atas, terlihat adanya

Page 102: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

perbedaan dalam melihat pengertian dari malapraktik dan kelalaian dalam

profesi kedokteran.

Kriteria dan Unsur Malapraktik

Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan

apakah suatu perbuatan itu termasuk kategori malapraktik atau tidak,

biasanya dipakai 4 (empat) kriteria, antara lain :77

a. Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (a duty of

due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh

pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang

diharapkan

b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty)

c. Apakah itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation)

d. Adanya ganti rugi (damages)

Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi

(malapraktik) apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi

Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga “kunstfout”. Standar

Profesi Kedokteran menurut rumusan Leneen:78

a. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan culpa/kelalaian.

Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak teliti, tidak

berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak

berhati-hati ia memenuhi culpa lata.

b. Sesuai ukuran ilmu medik

c. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama

d. Situasi dan kondisi yang sama

e. Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkret

tindakan atau perbuatan tersebut.

77

Maryanti, Ninik. Malpraktik Kedokteran, cet. 1, Jakarta : Bina Aksara,1988. hlm.54

78Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta:Grafika Tama Jaya,

cet.1,1991.hlm. 87

Page 103: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Apabila ada dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dokter maka

kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu

perbuatan medik merupakan malapraktik atau tidak.79 Dalam pembuktian

malapraktik dipakai 5 (lima) unsur standar profesi kedokteran yang

dirumuskan Leneen.

Istilah malapraktik medik berasal dari istilah dalam bahasa Inggris

yaitu medical malpractice.Pengertian malapraktik medik tidak terdapat

secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang undangan di

Indonesia. Malpractice berasal dan tumbuh dalam sistem hukum yang

mengenal juri ( jury system ) yang hanya ada dalam sistim hukum Anglo

Saxon.80

Pengertian malapraktik dokter menurut kamus hukum atau

Dictionary Of Law 81 yaitu semua tindakan medis yang dilakukan oleh

dokter atau oleh orang – orang dibawah pengawasannya atau oleh

penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya baik dalam

hal diagnosis, terapeutik, atau manajemen penyakit yang dilakukan secara

melanggar hukum, kepatutan , kesusilaan,dan prinsip – prinsip profesional

baik dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati – hatian, yang

menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka , cacat, kematian, kerusakan

pada tubuh dan jiwa atau kerugian lainnya dari pasien dalam

perawatannya.Pengertian malapraktik di atas hampir sama dengan apa

yang diungkapkan oleh M.Yusuf Hanafiah, malapraktik dokter yaitu

79 Hariyani, Safitri. Sengketa Medik, Jakarta: Diadit Media, 2005.hlm.64

80(http://www.ilunifk83.com/t315p15-hukum-kesehatan.Tanya Jawab Hukum

Kesehatan oleh dr. Dwi Ratna Sarashvati M.Sc, SH.13 pebruari 2013

81 Marwan.M dan Jimy P, Surabaya. Dictionary Of Law Completed Edition.2009

Page 104: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan

ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau

orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.82

Berikut ini diuraikan mengenai kebijakan hukum pidana dalam hal

ini hukum positif terutama yang berkaitan atau bersinggungan dengan

penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran. Hukum positif itu

diantaranya Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP) , Undang –

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan , Undang – Undang

Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

1. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP )83

a. Kejahatan Terhadap Pemalsuan Surat

Pasal 267 KUHP

(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu

tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat,diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun

(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan

seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu

,dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan

(3) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa yang dengan

sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah – olah isinya

sesuai dengan kebenaran

82

M.Yusuf Hanafiah & Amri Amir , Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Egc, , 1999

83

Moeljatno,KUHP . Penerbit Bumi Aksara,1999

Page 105: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 267 KUHP ayat (1) dan (2) adalah pasal yang subyeknya khusus

dikenakan bagi dokter..Ayat (1) mensyaratkan bahwa harus ada

kesengajaan dalam melakukan perbuatan tersebut agar Pasal 267 ini

bisa dikenakan kepada dokter, sehingga dokter tidak dapat dituntut jika

dalam menerbitkan surat keterangan tersebut tidak dengan sengaja.

Sebagai contoh misalnya seorang dokter setelah memeriksa pasien tidak

menemukan kelainan dalam hal ini penyakit pada tubuh pasien sehingga

dokter membuat surat keterangan sehat untuk pasien,tapi ternyata

kemudian pasien sebenarnya penyakit hemophilia yang tidak diketahui

oleh dokter tersebut.Dalam hal ini tindakan dokter tersebut tidak dapat

dikenakan Pasal 267 KUHP karena dokter tidak sengaja

melakukannya.Untuk dapat dinyatakan dokter melakukan kejahatan

pemalsuan seperti yang tertera pada Pasal 267 KUHP,unsur

kesengajaannya harus dibuktikan bahwa palsunya keterangan dalam

surat merupakan perbuatan yang dikehendaki, disadari dan disetujui oleh

dokter yang bersangkutan.Dengan kata lain dokter sebenarnya sadar

bahwa surat keterangan yang dibuatnya bertentangan dengan yang

sebenarnya.Dalam hal ini dokter hanya dapat dituntut karena kelalaian

dalam menentukan diagnosa manakala terbukti ada kelalaian dalam

proses menentukan diagnosa misalnya dengan tidak mengikuti standar

operasional prosedur yang telah ditetapkan.

Dalam praktik sehari-hari,adakalanya surat keterangan dokter diisi

oleh perawat yang melaksanakan perintah dokter,tetapi yang

Page 106: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

menandatangani surat keterangan tersebut adalah dokter.Bila perawat

yang mengisi surat keterangan dokter tersebut tidak mengetahui tentang

ketidakbenaran isi dari surat tersebut,maka perawat tidak ikut

bertanggungjawab,Tetapi bila perawat mengetahui bahwa isi surat

keterangan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan

kenyataan,maka terhadap perawat juga dapat dikenakan sanksi sebagai

pelaku yang turut serta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1)

KUHP84

b. Pengguguran Kandungan

Pasal 299

1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau

menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan

harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,

diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana

denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.

2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau

menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan,

atau jika dia seorang tabib, bidan atau juruobat, pidananya dapat

ditambah sepertiga

3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan

pencariannya, dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

84

Ari Yunanto,Helmi.Op.cit.hlm.51

Page 107: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan

pidana penjara paling lama empat tahun

Pasal 347

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut

,diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

Pasal 348

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungan seorang wanita dengan persetujuannya diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan

kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau

membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan

dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam

pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak

untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Page 108: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 346, 347, dan 348 tidak menentukan subyek khusus pelaku karena

perbuatan tersebut dapat saja dilakukan oleh orang yang tidak

berkualifikasi sebagai dokter,baik oleh masyarakat biasa atau dukun

beranak sekalipun.Pasal 347 dan 348 KUHP mengatur keterlibatan orang

lain dalam tindak pidana aborsi.Apabila seseorang melakukan aborsi

tanpa persetujuan dari perempuan yang kandungannya diaborsi,maka

pertanggungjawaban pidananya berdasarkan Pasal 347 KUHP,namun

apabila dengan persetujuan perempuan itu maka pertanggungjawaban

pidananya berdasarkan Pasal 348 KUHP.Adapun Pasal 299 ayat (2) dan

Pasal 349 KUHP85 mengancam kepada dokter,bidan, atau juru obat yang

melakukan pengguguran kandungan yang menjadikan kegiatan tersebut

sebagai sumber pencarian dengan ancaman yang lebih berat dengan

ditambah sepertiga dari ancaman maksimalnya.

Dalam hal memberikan harapan pengguguran kehamilan kepada

seorang wanita hamil diatur dalam Pasal 299 KUHP, bahwa barangsiapa

baik dokter atau bukan yang sengaja mengobati perempuan yang sedang

mengandung, atau menyuruh mengobati dengan memberi harapan bahwa

dengan pengobatan itu dapat menggugurkan kandungan,diancam dengan

pidana yang cukup berat, yaitu empat tahun penjara.Sebagai contoh

kasus,misalnya seorang pasien wanita datang kepada dokter dengan

pernyataan bahwa wanita tersebut hamil,dan meminta kepada dokter

untuk memberikan obat agar kehamilannya tidak berlanjut.Dokter

85Kitab Undang - Undang Hukum Pidana

Page 109: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kemudian memberikan resep dengan keterangan bahwa setelah obat

yang tertulis didalam resep tersebut diminum,kehamilan wanita tersebut

akan berakhir.Walaupun resep tersebut belum dibeli dan belum sempat

diminum oleh pasien,perbuatan dokter yang memberi harapan pada

pasien bahwa karena obat tersebut kehamilannya dapat digugurkan,dapat

dituntut dengan Pasal 299 ini.Dengan demikian,berdasar pasal tersebut

,dokter yang bersangkutan dapat diancam dengan pidana penjara selama-

lamanya empat tahun ditambah sepertiga dan dapat pula ditambah

dengan pencabutan hak melakukan pekerjaan sebagai dokter.

Agar ketentuan ini tidak menimbulkan ketakutan bagi dokter dalam

melakukan tugas menyelamatkan jiwa Ibu hamil dengan jalan satu-

satunya menggugurkan kandungan maka sebaiknya ketentuan ini diberi

pengecualian bagi dokter apabila ada indikasi medis seperti yang terdapat

dalam Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 75 ayat (2)

dan pada KUHP Konsep Pasal 580 ayat (2).Dengan demikian dapat

memberikan perlindungan hukum bagi dokter,bidan,atau paramedis

lainnya jika dalam kondisi darurat melakukan pengguguran kandungan

untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan sekaligus menghindari tuduhan

adanya malapraktik kedokteran.

c. Tentang Penganiayaan

Pasal 351

Page 110: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua

tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana

Seorang dokter bedah ketika melakukan pembedahan dengan melukai

tubuh pasien sebenarnya memenuhi unsur penganiayaan hanya saja sifat

melawan hukum perbuatan dihilangkan manakala ada persetujuan dari

pasien atau keluarganya dan ada indikasi medis sehingga mempunyai

tujuan untuk menyehatkan.Disini berlaku asas subsidiariteit dengan

memilih salah satu tindakan yang lebih bermanfaat.Seorang dokter hanya

dapat dituduh melakukan penganiayaan manakala dengan sengaja

melukai tubuh seseorang tanpa indikasi medis dan tanpa persetujuan

orang yang bersangkutan.

d. Kealpaan Yang Menyebabkan Mati atau Luka – luka

Pasal 359

Page 111: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

orang lain mati,diancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.86

Dalam upaya penyembuhan,sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada

dokter yang dengan sengaja melakukan kesalahan terhadap

pasien.Apabila terjadi kematian/cacat/luka dan diduga keadaan tersebut

karena kesalahan dokter,maka yang paling penting adalah membuktikan

adanya grove schuld atau sikap kurang hati-hati yang besar atau sangat

sembrono dalam upaya penyembuhan (culpa lata),sedangkan suatu

kesalahan ringan/biasa tidak dapat dijadikan dasar untuk meminta

pertanggungjawaban hukum.

Adanya hubungan kausal telah lazim dikenal dengan istilah akibat a

langsung atau akibat yang ditimbulkan oleh sebab-sebab yang masuk akal

dan menurut kelayakan.Hal ini dapat disebut sebagai akibat dari suatu

sebab.Khusus dalam mencari causal verband antara tindakan medic

dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medik maka digunakan ilmu

kedokteran sendiri.Adanya akibat kematian,apakah dari sebab diberikan

suntikan obat tertentu dengan dosis tertentu ,tidak cukup dengan akal

orang awam,tetapi harus menggunakan ilmu kedokteran.Akan

tetapi,adakalanya cukup digunakan akal orang awam sekalipun,seperti

kasus tertinggalnya kasa pada suatu pembedahan.Adanya kasa yang

86

Pasal 359 KUHP

Page 112: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

tertinggal dalam tubuh setelah pembedahan sudah cukup membuktikan

akibat dari pembedahan yang tidak teliti.87

Pasal 360

(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

orang lain mendapat luka – luka berat, diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama

satu tahun

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

orang lain luka –luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit

atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian

selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau

pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

.Dari rumusan Pasal 360 KUHP ayat (1) dapat dirinci unsur-unsurnya,yaitu

1. Adanya kelalaian

2. Adanya wujud perbuatan

3. Adanya akibat luka berat

4. Adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud perbuatan

Rumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur :

1. Adanya kelalaian

2. Adanya wujud perbuatan

87

Ari Yunanto,Helmi.Op.cit.hlm.62

Page 113: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

3. Adanya akibat yaitu,luka yang menimbulkan penyakit dan luka yang

menimbulkan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian

selama waktu tertentu

4. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat.

Adapun kriteria luka berat menurut Pasal 90 adalah :

1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan

sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut;

2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalani tugas jabatan atau

pekerjaan pencaharian;

3. Kehilangan salah satu panca indra;

4. Menderita sakit lumpuh;

5. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu atau lebih;

6. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Sebagai alternatif,luka yang mendatangkan penyakit adalah luka yang

menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencarian.Ukuran jenis luka ini bukan pada penyakit,tetapi pada halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.Ukurannya lebih

mudah,yakni terganggunya pekerjaan yang dibuktikan dengan surat

keterangan dokter bahwa orang itu perlu istirahat karena adanya

gangguan pada fungsi organ tubuhnya karena luka yang diderita.

Unsur kelalaian dalam Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP

mensyaratkan adanya perbuatan tidak berhati-hati.Untuk menilai

Page 114: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

perbuatan seseorang berhati-hati atau sebaliknya harus dibandingkan

dengan perbuatan orang lain.

Pasal 361

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam

menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah

dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk

menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan

hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Berdasarkan Pasal 361 KUHP,dokter yang telah menimbulkan cacat atau

kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya

diancam dengan pidana sepertiga lebih berat,dan selain itu hakim dapat

menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan

yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan

pengumuman putusan hakim.

e. Meninggalkan orang yang perlu ditolong

Pasal 304

Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi

kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,

diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.

Page 115: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 531

Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang

menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan

padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau

orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan

pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 304 dan Pasal 531 ini merupakan pasal pembiaran yang dapat

diberlakukan kepada dokter yang tidak memberikan pertolongan kepada

pasien yang membutuhkan pertolongan karena luka atau sakit yang

membahayakan nyawa atau jiwa pasien tersebut dan sipenolong tidak

akan terancam jiwanya jika melakukan pertolongan itu.Dokter yang tidak

memberikan pertolongan darurat atas dasar prikemanusiaan dan tidak

ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya adalah

melakukan pelanggaran hukum yang bertentangan dengan Pasal 51

Undang Praktik Kedokteran tentang kewajiban dokter,juga termasuk

pelanggaran disiplin dan kode etik kedokteran Pasal 13 KODEKI

f. Tentang Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa

Pasal 338

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,

diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama

lima belas tahun

Page 116: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 340

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

rencana ,dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu,paling lama dua puluh tahun.

Pasal 344

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam

dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

Pasal 345

Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh

diri,menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana

kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama

empat tahun,kalau orang itu jadi bunuh diri.

Pasal ini dapat dihubungkan dengan euthanasia yang merupakan salah

satu permasalahan yang menjadi polemik dikalangan kedokteran saat ini.

Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien

menderita penyakit yang secara medis tidak dapat diobati lagi, Pasien

tersebut meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya. Hukum Indonesia

tidak mengenal dan tidak dapat membenarkan alasan atau motivasi

euthanasia baik aktif maupun pasif.Pasal 344 KUHP melarang segala

bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaan sendiri

dengan rumusan sebagai berikut : “Barangsiapa merampas nyawa orang

Page 117: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan

kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas

tahun.”Nilai kejahatan pembunuhan atas permintaan korban ini sedikit

lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)yang diancam

dengan pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara dan jauh lebih

berat daripada kelalaian yang menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP)

yang diancam pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara.Faktor lebih

ringan (dua tahun)dari pembunuhan biasa disebabkan oleh pembunuhan

atas permintaan korban ini terdapat unsure “atas permintaan korban itu

sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.”Permintaan korban itu

oleh hukum masih dihargai dengan diberi ancaman pidana dua tahun

lebih ringan daripada pembunuhan biasa,dibanding jika kematian tidak

dikehendaki oleh korban.88

g.Membocorkan rahasia jabatan

Pasal 322

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib

disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang

sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara

paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak

sembilan ribu rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka

perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

88

Ari Yunanto,Helmi..Op.Cit hlm.59

Page 118: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal ini adalah delik aduan,dimana dokter hanya dapat dituntut apabila

ada pengaduan dari orang yang dirugikan dalam hal ini pasien.

Ada perbedaan antara rahasia jabatan dengan rahasia

pekerjaan.Rahasia jabatan merupakan sesuatu rahasia yang diketahui

karena jabatan atau kedudukan seseorang,seperti pegawai negeri.Adapun

rahasia pekerjaan merupakan rahasia yang diketahui karena

pekerjaan.Apabila rahasia pekerjaan tersebut di bidang kedokteran maka

disebut rahasia kedokteran (rahasia medis).Rahasia kedokteran (rahasia

medis)merupakan sesuatu yang diketahui berdasarkan informasi yang

disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien

ketika berobat),termasuk juga segala sesuatu yang dilihat (diketahui)

ketika memeriksa pasien.Menurut Guwandi,asal mula rahasia medis

adalah dari pasien itu sendiri yang menceritakan kepada dokter sehingga

sewajarnya pasien itu sendiri adalah pemilik rahasia medis atas dirinya

sendiri dan bukan dokter.Kewajiban menyimpan rahasia pasien juga diatur

dalam Pasal 48 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran dan Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal

57.Pasal 48 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa setiap

dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib

menyimpan rahasia kedokteran.Sementara ayat (2) menyatakan bahwa

rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan

pasien,memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka

penegakan hukum,permintaan pasien sendiri,atau berdasarkan ketentuan

Page 119: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

perundang-undangan.Hal ini selaras dengan Pasal 57 ayat (2)UU

Kesehatan No.36 Tahun 2009.

Ketentuan UU No.29 Tahun 2004 tersebut tidak menganulir

ketentuan Pasal 322 KUHP sehingga ketentuan Pasal 322 KUHP juga

dapat diberlakukan terhadap pekerjaan dokter (rahasia kedokteran)

sebagai tuntutan subsider oleh penuntut umum.Pendapat ini berbeda

dengan pendapat Anny Isfandyarie yang menyatakan bahwa dengan

adanya ketentuan dalam UU tersebut sebagai lex spesialis,maka Pasal

322 KUHP tidak berlaku bagi dokter dan dokter gigi,tetapi dapat

diberlakukan bagi tenaga kesehatan diluar dokter dan dokter gigi.

Menurut Adami Chazawi,dalam perkara pidana jika pengadilan

meminta dokter sebagai ahli memberikan keterangan yang didalamnya

ada keterangan yang wajib disimpannya,misalnya tentang penyakit yang

menyebabkan pasien meninggal,tidak dipidana.Hal ini bukan berarti

dokter tidak melakukan tindak pidana sebagaimana rumusan Pasal 322

KUHP,tetapi tidak dipidananya perbuatan memberikan keterangan ahli

karena kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan.Pertimbangannya

adalah apabila dokter tetap bertahan pada rahasia jabatan

didepan siding pengadilan maka ia melanggar kepentingan hukum yang

lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk tegaknya keadilan.89

h.Menjual dan mengedarkan obat palsu

89 Ari Yunanto,Helmi.Op.cit.hlm.54

Page 120: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 386

(1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang

makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu

dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

(2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu jika nilainya

atau faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan

sesuatu bahan lain.

Pasal ini sebenarnya berlaku umum dan tidak hanya khusus kepada

dokter,tetapi penulis menganggap bahwa dalam hal obat-obatan

dokter lebih mengetahui daripada orang biasa apakah obat tersebut

palsu atau bukan, sehingga kemungkinan besar subyek yang dapat

melakukan kejahatan ini adalah dokter.Meskipun demikian dalam hal

tertentu dokter bisa saja tidak tahu bahwa obat yang diberikan kepada

pasien itu sebenarnya adalah palsu.Dalam kasus seperti ini dokter

tidak dapat dituntut karena pasal ini mensyaratkan adanya

pengetahuan kepada pelaku bahwa obat yang dijualnya adalah obat

palsu.

2. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Berikut akan diuraikan ketentuan pidana yang terdapat di dalam Undang –

Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009:

Page 121: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 190

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan / atau tenaga

kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas

pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan

pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat

darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau

Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2

(dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.00 ( dua

ratus juta rupiah )

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,pimpinan

fasilitas pelayanan kesehatan dan / atau tenaga kesehatan tersebut

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun,dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar

rupiah )

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan

kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga

mengakibatkan kerugian harta benda,luka berat atau kematian

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ).

Page 122: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau

jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah)

Pasal 193

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan

rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana

penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak

Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah )

Pasal 194

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai

dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat ( 2)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun

dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).

Pasal 195

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah

dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat

(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah ).

Page 123: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak

memenuhi standar dan / atau persyaratan keamanan,khasiat atau

kemanfaatan,dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98

ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah)

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak

memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas ) tahun

dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 ( satu miliar lima

ratus juta rupiah )

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk

melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp

100.000.000,00 ( seratus juta rupiah )

Pasal 199

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Page 124: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan

berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114

dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah );

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa

rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda

paling banyak Rp 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah )

Pasal 200

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program

pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah )

Pasal 201

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190

ayat (1), Pasal 191,Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198,

Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi,selain pidana

penjara dan denda terhadap pengurusnya,pidana yang dapat

dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan

pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 190 ayat (1),Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal

197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat

(1),korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :

Page 125: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

a. Pencabutan izin usaha dan / atau

b. Pencabutan status badan hukum. 90

Penanganan kasus malapraktik yang dilakukan oleh dokter

terdapat dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan . Berikut akan diuraikan lebih lanjut mengenai kebijakan yang

baru di dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang berkaitan

dengan kebijakan penanganan kasus malapraktik dokter atau tenaga

kesehatan.

a. Tentang Kelalaian

Pasal 29 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan

terlebih dahulu melalui mediasi.

Pasal 29 tersebut merupakan kebijakan hukum yang baru dalam rangka

menyelesaikan kasus sengketa medis dalam hal kelalaian yang dilakukan

oleh tenaga kesehatan sehingga tidak mengharuskan sengketa medik

yang timbul karena kelalaian diselesaikan melalui jalur hukum. Pasal

mengenai kelalaian ini juga terdapat di Pasal 54 Undang – Undang Nomor

23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan .

90 Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009

Page 126: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Tabel 1. Pasal tentang Penyelesaian Kasus Kelalaian Tenaga Kesehatan

a. Tentang Perlindungan Pasien

Pasal 56

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau

seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya

setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan

tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berlaku pada:

a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat

menular kedalam masyarakat yang lebih luas;

b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau

c. gangguan mental berat.

(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009

Undang – Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992

Pasal 29 Pasal 54

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin

Page 127: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 57

(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya

yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan

kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan;

c. izin yang bersangkutan;

d. kepentingan masyarakat; atau

e. kepentingan orang tersebut.

c. Tentang Ganti Rugi

Pasal 58

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,

tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang

menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam

pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan

penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang

dalam keadaan darurat.

Page 128: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Didalam Undang – Undang Kesehatan yang baru yaitu Undang – Undang

Nomor 36 Tahun 2009 diatur kebijakan hukum kesehatan secara khusus

mengenai perlindungan terhadap pasien yang terdapat di dalam Pasal 56,

Pasal 57, Pasal 58 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 91.

Tabel 2. Pasal mengenai Hak Ganti Rugi atas Kesalahan / Kelalaian oleh

Tenaga Kesehatan

Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009

Undang – Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992

Pasal 58 (1) Setiap orang berhak

menuntut ganti rugi terhadap seseorang,tenaga kesehatan , dan / atau penyelenggara kesehatanyang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Pasal 55 (1) Setiap orang berhak atas

ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan

d. Mengenai Transplantasi Organ

Pasal 64

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan

melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat

91 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009

Page 129: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta

penggunaan sel punca.

(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan

dan dilarang untuk dikomersialkan.

(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan

dalih apapun.

Pasal 65

(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan

oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(1) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor

harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan

mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau

keluarganya.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan

transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 66

Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari

hewan,hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan

kemanfaatannya.

Page 130: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pengaturan mengenai transplantasi organ juga diatur dalam

undang – undang yang baru ini dimana bagi yang melanggar ketentuan

pasal – pasal tersebut di atas dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal

192 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,“Setiap

orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh

dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Hal ini juga banyak menjadi polemik dimasyarakat karena banyak

kasus akibat desakan ekonomi seseorang rela menggadaikan kesehatan

dan mengorbankan tubuhnya dengan menjual salah satu organ tubuhnya

demi mempertahankan hidup.Padahal menurut undang-undang diatas hal

ini termasuk perbuatan pidana yang dilarang dengan dalih apapun

termasuk alasan ekonomi.

Pasal 68

(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh

manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas

pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan

pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Page 131: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 75

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan

berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini

kehamilan,baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,

yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,

maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi

tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat

dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang

dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan

perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat

dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari

pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

Page 132: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan

kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang

ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang

tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta

bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal – pasal tentang aborsi di atas diatur secara rinci di dalam Undang –

Undang Kesehatan yang baru yaitu Undang – Undang Nomor 36 Tahun

2009 dan bagi pelakunya dapat dikenakan Pasal 194 Undang – Undang

Nomor 36 Tahun 2009 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan

aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).Ada perbedaan antara Undang – Undang Nomor 36 Tahun

2009 dengan Undang – Undang 23 Tahun 1992 mengenai aborsi yang

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Page 133: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Tabel 3.Pasal tentang Larangan Melakukan Aborsi

Undang – Undang Kesehatan

Nomor 36 Tahun 2009

Undang – Undang Kesehatan

Nomor 23 Tahun 1992

Pasal 75 Pasal 15

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat dikecualikan berdasarkan :

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,baik yang mengancam nyawa ibu dan / atau janin , yang menderita penyakit genetik berat dan / atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan ;atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan;

(3)Tindakansebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan Pemerintah.

(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

(2) Tindakan medis tertentu dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :

a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut ;

b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, pada sarana kesehatan tertentu.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Page 134: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

3.Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dengan keluarnya putuan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU/-V/2007

maka sebagian ketentuan-ketentuan pidana dalam UU Praktik Kedokteran

menjadi batal.Keputusan ini membuat kontroversi dikalangan kedokteran

dan kesehatan bahkan dikalangan hukum yang menganggap putusan ini

mengabaikan kepastian hukum.Sementara dari kalangan kedokteran

merasa nyaman dan merasa tidak dikriminalisasi dengan adanya

ketentuan pidana tersebut.

Berikut akan diuraikan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan

penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran pasca putusan

Mahkamah Konstitusi No 4/PUU/ - V/2007 terhadap uji materiil Undang –

Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU/ - V/2007 terhadap uji materiil

Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan permohonan

para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai

kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79

sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu)

tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-

kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,Tambahan Lembaran Negara

Page 135: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Republik Indonesia Nomor 4431) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;

Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-

kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang

mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta

Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

Putusan perkara yang dimohonkan oleh dr.Anny Isfandyarie

Sarwono,Sp.An,SH,dkk tersebut diucapkan dalam persidangan terbuka

untuk umum pada hari Selasa tanggal 19 Juni 2007 di Ruang Sidang

Mahkamah Konstitusi Jl.Medan Merdeka Barat No.7 Jakarta Pusat.

Dengan keluarnya putusan ini sebenarnya merupakan kerugian besar bagi

seorang dokter karena setiap perbuatan dokter yang memenuhi unsur

malapraktik akan dilakukan penuntutan dengan menggunakan pasal yang

ada dalam KUHP yang memiliki sanksi yang lebih berat daripada sanksi

yang diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran.

Pasal 51

Page 136: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban92 :

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian

atau kemampuan yang lebih baik , apabila tidak mampu melakukan

pemeriksaan atau pengobatan.

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,bahkan

juga setelah pasien meninggal dunia

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan kecuali bila ia

yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi

Pasal 75

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan

praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat(1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun atau denda paling

banyak Rp. 100.000.000 ( Seratus Juta Rupiah )

Surat Tanda Registrasi (STR) memberikan hak atau kewenangan pada

dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran atau praktik

kedokteran gigi diIndonesia.Apabila yang bersangkutan tidak memiliki STR

92

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009

Page 137: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dari sudut hukum administrasi kedokteran maka tidak berwenang untuk

melakukan praktik.Oleh karena itu perbuatan demikian diancam dengan

sanksi pidana,sehingga perbuatan tersebut menjadi/ mengandung sifat

melawan hukum pidana.Apabila praktik dokter tanpa STR membawa akibat

penderitaan pasien berupa luka-luka,rasa sakit atau kematian,maka terjadi

malapraktik kedokteran walaupun telah mendapat informed consent dari

pasien dan tidak melanggar standar profesi dan standar prosedur.Dari

pelanggaran hukum administrasi menjadi tindak pidana oleh pembentuk

undang-undang mempunyai maksud sebagai upaya preventif

menghindarkan dokter/dokter gigi dari malapraktik kedokteran sekaligus

mencegah munculnya korban malapraktik kedokteran.

Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan

praktik kedokteran tanpa memiliki izin praktik kedokteran

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3( tiga )tahun atau denda paling banyak Rp.

100.000.000 ( Seratus Lima Puluh Juta Rupiah)

Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu

memiliki Surat Izin Praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di

Indonesia.Kewajiban dokter ini semula merupakan kewajiban hukum

administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena

pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam sanksi pidana.Ketentuan

mengenai SIP diatur dalam Pasal 37 dan 38 Undang-Undang Praktik

Page 138: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Kedokteran yaitu :

1) SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di

kabupaten/kota tempat praktik kedokteran/kedokteran gigi akan

dilaksanakan (Pasal 37 ayat 1)

2) SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat (Pasal 37 ayat 2)

3) Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (Pasal 37 ayat 3)

4) Untuk memiliki SIP harus memenuhi tiga syarat,yakni (1)memiliki STR

yang masih berlaku,(2)memiliki tempat praktik,(3)memiliki rekomendasi

dari organisasi profesi (Pasal 38 ayat 1)

5) SIP tetap berlaku sepanjang (1)STR masih berlaku,dan (2)tempat praktik

masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (Pasal 38 ayat 2)

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa

gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat

seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang

telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi

dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (

lima ) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000 ( Seratus

Lima Puluh Juta Rupiah )

Pasal 77 Undang – Undang Praktik Kedokteran ini menerangkan larangan

menggunakan identitas berupa gelar yang menimbulkan kesan bagi

masyarakat seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter.Unsur

Page 139: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

“perbuatan menggunakan gelar” harus memenuhi dua syarat,yaitu:

1) Gelar yang digunakan harus berupa gelar yang ada hubungannya

dengan ilmu kedokteran.Suatu gelar yang diketahui umum dapat

menunjukkan bahwa pemilik gelar menguasai bidang kedokteran;

2) Sipembuat sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut.

Demikian juga pada alternatif dari menggunakan gelar in casu disebut

sebagai “menggunakan identitas bentuk lain”.Unsur ini sangat terbuka dan

dapat mengikuti apa yang berlaku di bidang praktik kedokteran.Identitas

bentuk lain harus identitas yang diketahui umum sebagai identitas para

dokter,misalnya pakaian khas dokter yang berupa jas atau jubah

putih,mengalungkan stetoskop dileher,pada mobilnya terpampang lambing

IDI atau asosiasi kedokteran lainnya yang menimbulkan kesan seolah-olah

seorang dokter. Pasal 77 ini selain berlaku pada orang yang bukan

dokter,juga berlaku pada dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR

dan/atau SIP yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran.Hal ini

karena dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR dan/atau SIP

merupakan satu kalimat yang artinya tidak dapat dipisahkan.93Pertanyaan

yang muncul adalah bagaimana dengan tenaga kesehatan lain seperti

perawat yang dalam melakukan tugasnya kadang tampak seperti

dokter,misalnya ketika melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan

menggunakan alat-alat kedokteran?Dilain pihak banyak praktik-praktik

pengobatan alternatif yang dalam praktiknya memeriksa pasien juga

93

Anny Isfandyarie.Op.cit.hlm.186

Page 140: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

menggunakan alat-alat kedokteran layaknya seorang dokter yang

memeriksa pasien padahal dia bukan seorang dokter.Jadi menurut penulis

pasal ini harus dilengkapi dengan larangan mempergunakan alat-alat

kedokteran pada praktik-praktik pengobatan yang bukan dilakukan oleh

dokter,sehingga masyarakat secara terang dapat membedakan pengobatan

yang dilakukan oleh dokter dan bukan dokter,kecuali bila alat pemeriksaan

itu hanya digunakan untuk kepentingan sendiri seperti alat periksa gula

darah dan sejenisnya.

Pasal 78

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau

cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang

menimbulkan kesan seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter

atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau

surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 73 ayat ( 2 )dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 ( lima ) tahun atau denda paling banyak Rp.

150.000.000 ( Seratus Lima Puluh Juta Rupiah )

Sebagaimana Pasal 77,selain pada orang yang bukan dokter,pasal ini dapat

diartikan berlaku juga bagi dokter/dokter gigi yang tidak mempunyai STR

dan / atau SIP seperti bunyi Pasal 73 ayat (2): “ Setiap orang dilarang

menggunakan alat,metode,atau cara lain dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang

bersangkutan adalah dokter/dokter gigi yang telah memiliki surat tanda

Page 141: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

registrasi dan/atau surat izin praktik.”

Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun

atau denda paling banyak Rp 50.000.00000 ( Lima Puluh Juta Rupiah

) , setiap dokter atau dokter gigi yang :

a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 41 ayat ( 1 )

b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 46 ayat ( 1 )

c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 Huruf a, huruf b , huruf c,d atau huruf

e.

Tujuh macam tindak pidana pada Pasal 79 bersumber pada kewajiban

hukum administrasi yang apabila dilanggar menjadi tindak pidana dengan

diberi ancaman pidana.Sebagaimana disebutkan pada Pasal 41 ayat (1)

dan Pasal 46 ayat (1) yang mewajibkan pemasangan papan nama dan

rekam medik pada dokter praktik,demikian juga Pasal 51 huruf a-e yang

menyebutkan adanya kewajiban dokter dalam melaksanakan praktik jika

dilanggar dapat menjadi tindak pidana bahkan sebagian dapat menjadi

syarat terjadinya malapraktik kedokteran apabila dari pelanggaran

administrasi tersebut menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan pasien,baik

berupa luka ataupun kematian.94

94

Ari Yunanto,Helmi.Op.Cit.hlm.82

Page 142: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 80

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau

dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun atau denda paling

banyak Rp. 300.000.000 ( Tiga Ratus Juta Rupiah )

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan oleh korporasi , maka pidana yang dijatuhkan adalah

pidana denda sebagaimana pada ayat ( 1) ditambah sepertiga atau

dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

2.Kebijakan Hukum Pidana yang akan Datang dalam Penanganan

Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari

kebijakan/politik hukum pidana (penal policy).Makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan

urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.Latar belakang

dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari

aspek sosiopolitik,sosiofilosofis,sosiokultural,atau dari berbagai aspek

kebijakan (khususnya kebijakan sosial,kebijakan kriminal,dan kebijakan

penegakan hukum).Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum

pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu.Artinya,pembaharuan

hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari

perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang

Page 143: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

melatarbelakanginya itu.95 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan

hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanganan kejahatan, jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga

merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain dilihat dari

sudut politik kriminal,maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

kebijakan penanganan kejahatan dengan hukum pidana.

Disamping hal tersebut diatas usaha penanganan kejahatan melalui

pembuatan undang - undang pidana pada hakikatnya juga merupakan

bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat dan usaha mencapai

kesejahteraan masyarakat.

Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran dalam Konsep

KUHP

a. Tentang pengguguran kandungan seorang wanita

Pasal 578 Konsep

(1) Seorang perempuan yang menggugurkan kandungan atau

mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan

atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 ( empat ) tahun atau pidana denda paling

banyak kategori IV

(2) Setiap orang yang menggugurkan kandungan atau mematikan

95Barda Nawawi Arief.Op.Cit. 2010.hlm.29

Page 144: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama

12 ( dua belas ) tahun.

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak

pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga ) tahun

dan paling lama 15 ( lima belas ) tahun

Dalam Pasal 578 konsep ayat (1) diatas termasuk delik propria dimana yang

menjadi subyek (pelaku delik) adalah seorang perempuan,yaitu perempuan

yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang

lain untuk mematikan kandungannya.Subyek delik tidak bersifat umum

(biasanya menggunakan kata barangsiapa/setiap orang) sehingga tidak

dapat diterapkan terhadap orang yang tidak memenuhi kualifikasi subyek ini

(seorang perempuan).Hal ini berbeda dengan ayat (2) yang termasuk delik

communia karena subyeknya bersifat umum (setiap orang).

Dalam konstruksi delik ini ditentukan akibat ,yaitu mengakibatkan

gugurnya kandungan dan mengakibatkan matinya kandungan siperempuan

tersebut.Untuk timbulnya suatu akibat,baik gugur kandungan atau matinya

kandungan tentu ada perbuatan yang dilakukan,sehingga ada hubungan

kausal antara perbuatan dengan akibat.Tindak pidana dalam ayat ( 1 ) sama

dengan tindak pidana dalam Pasal 346 KUHP,akan tetapi sistem

perumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP rumusan pidananya secara

pidana tunggal yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ,

Page 145: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

sedangkan dalam konsep 2008 pidana penjara 4 (empat) tahun

dialternatifkan dengan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (Tujuh Puluh

Lima Juta Rupiah).Tindak pidana dalam ayat (2) dan ayat (3) sama dengan

tindak pidana dalam Pasal 347 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, dengan

rumusan pidana secara tunggal yaitu pidana penjara paling lama 12 (dua

belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun. Perbedaannya dalam Pasal 578

ayat ( 2) dan ayat (3) Konsep,ada sistem pidana minimum khusus yaitu 3

(tiga) tahun.Hal ini menurut penulis sangat baik untuk menghindari hakim

memutus perkara dibawah dari pidana minimum khusus untuk pelaku

kejahatan ini, karena menurut konsep kejahatan ini termasuk kejahatan

dengan bobot kategori “Berat”.Hal ini wajar karena menyangkut kejahatan

terhadap nyawa manusia.

Tabel 4.Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan

Konsep KUHP

KUHP

Pasal 578 ayat 1 Pasal 346

Seorang perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 ( empat ) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

Pasal 578 Ayat 2 Pasal 347 ayat 1

Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12

Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

Page 146: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

(dua belas) tahun

Pasal 578 Ayat 3 Pasal 347 ayat 2

Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat ( 2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama 15 ( lima belas ) tahun.

Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut , diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

Pengguguran kandungan kadang menjadi keharusan bagi dokter untuk

melakukannnya demi untuk menyelamatkan jiwa ibu yang menderita

penyakit tertentu misalnya penyakit jantung dan keracunan kehamilan

sehingga dokter tidak dapat dituntut secara pidana karena melakukannya

(abortus terapeutis).Dalam KUHP Pasal 90 gugur atau matinya kandungan

seorang perempuan juga masuk dalam kategori luka berat yang diancam

dengan pidana.Adapun luka berat, atau bahkan meninggalnya pasien

seringkali dikaitkan dengan malapraktik oleh pasien atau keluarganya.

Adapun akibat tindakan medik yang dapat membahayakan nyawa dapat

dianggap sebagai malapraktik dapat pula merupakan risiko dari tindakan

medik tersebut.Hal ini karena setiap tindakan medik yang besar seperti

operasi pasti mempunyai resiko kematian sehingga fokus hukum pidana

dalam pelayanan kesehatan bukan pada akibat tetapi pada

kausanya.Disinilah perlunya Standar Profesi dan Standar Operasional

Prosedur atau Standar Pelayanan Medik sehingga walaupun terjadi

kematian, dokter tidak dapat dituntut bilamana sudah melaksanakan

tugasnya sesuai dengan standar profesi.

Page 147: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Sebagai contoh resiko yang terjadi pada pelayanan medik ataupun

tindakan medik yang dilakukan oleh dokter kepada pasien adalah sebagai

berikut :

a. Resiko yang melekat, misalnya rambut rontok akibat pemberian

sitostatika ( obat pembunuh sel kanker )

b. Reaksi hipersensitivitas, misalnya respon imun ( kekebalan tubuh yang

berlebihan atau menyimpang terhadap masuknya bahan asing (obat).

Oleh karena itu,menurut Anny Isfandyarie,malapraktik harus dibedakan

dengan resiko medik agar masyarakat atau pasien lebih memahami apakah

hasil tindakan dokter merupakan tindakan malapraktik atau memang sudah

menjadi resiko medik.96

Berikut tabel perbandingan antara malapraktik dan resiko medik:

Tabel 5. Perbedaan Resiko Medik dengan Malapraktik97

RESIKO MEDIK

MALAPRAKTIK

1) Sesuai standar pelayanan medis 1) Tidak sesuai standar pelayanan medis

2) Ada antisipasi atau penduga-duga atau penghati-hati

2) Tidak ada antisipasi atau penduga-duga atau penghati-hati

3) Bukan kelalaian atau kesalahan 3) Terdapat kelalaian atau kesalahan

4) Ada upaya penanganan yang telah disiapkan

4) Tidak ada upaya penanganan yang disiapkan

5) Terjadi Contributory Negligence 5) Tidak terjadi Contributory Negligence

6) Ada alasan pembenar dan alas an pemaaf

6) Tidak ada alasan penghapus pidana ( Pasal 359,360,361 KUHP )

96Anny Isfandyarie.Op.Cit. hlm. 129

97 Ibid

Page 148: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Menurut Danny,beliau menyebutkan bahwa ada 2 dasar peniadaan

kesalahan dokter,yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang

dijelaskan sebagai berikut :

1) Alasan pembenar,yaitu alasan yang meniadakan sifat melawan hukum

dari suatu perbuatan,sehingga yang dilakukan pelaku menjadi perbuatan

yang patut dan benar.Alasan pembenar yang dapat dipakai untuk

meniadakan kesalahan dokter adalah :

a) Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP),misalnya

: dokter membuka rahasia jabatan karena melaksanakan ketentuan

undang-undang tentang keharusan melapor adanya kasus penyakit

AIDS kepada pihak yang berwenang.

b) Melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1

KUHP),misalnya : dalam rangka mengajar mahasiswa,dokter

menceritakan penyakit seseorang kepada mahasiswanya,dokter ahli

bedah melukai tubuh pasien untuk mengeluarkan tumor

c) Adanya efek samping yang merupakan resiko pengobatan,misalnya ;

resiko hipersensitif seperti yang terjadi pada kasus dr Setianingrum

d) Contributory negligence,yaitu pasien memberikan penjelasan yang

tidak benar tentang penyakitnya kepada dokter,sehingga dokter keliru

dalam menentukan diagnosa dan terapi atas diri pasien tersebut

e) Volenti non fit iniura,asumption of risk (pasien menghendaki pulang

paksa,lalu meninggal dunia tak lama kemudian setelah pulang)

2) Alasan pemaaf,yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan

Page 149: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pelaku,perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum,tetapi

karena orangnya dimaafkan,maka ia tidak dihukum.Yang termasuk

alasan pemaaf antara lain :

a) Daya paksa,misalnya : adanya ancaman dalam membuat surat

keterangan medis,sehingga dokter yang membuat surat keterangan

medis palsu tidak dihukum karena Pasal 48 KUHP memaafkan

kesalahan tersebut.

b) Non-negligenty clinical error of judgement ( kekeliruan penilaian

klinis).Sebagai manusia biasa dokter dapat juga melakukan kesalahan

dalam penilaian klinis pasiennya,misalnya : pada waktu dokter

melakukan tindakan melahirkan bayi,ia mengalami kesulitan sehingga

bayinya cacat.

c) Accident (kecelakaan), dokter sudah berhati-hati, tetapi operasi memang

sangat sulit sehingga akibat yang fatal tidak bisa dihindari.

Dari pendapat Danny Wiradarma tersebut,dapat diartikan bahwa

resiko pengobatan dalam hukum pidana dapat digolongkan sebagai alasan

pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan

dokter.Disamping itu,terjadinya accident (kecelakaan) pada operasi yang

sulit dapat digolongkan sebagai alasan pemaaf yang menghapuskan

kesalahan dokter yang melakukan operasi tersebut.98

Pasal 580 Konsep KUHP

98 ibid.hlm.127

Page 150: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

1) Dokter, bidan, paramedis, apoteker atau juru obat yang membantu

melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578

ayat (1) atau melakukan atau membantu melakukan salah satu tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578 ayat (2) dan ayat (3)

dan Pasal 579, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu pertiga) dan

dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

(2) Tidak dipidana, dokter yang melakukan tindakan medis tertentu

dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu

hamil dan/atau janinnya.

Pasal 580 ini mengancam pidana yang lebih berat kepada pelaku yang

berprofesi sebagai dokter ,bidan,paramedis,apoteker atau juru obat.Tapi hal

baru yang memang menjadi pelengkap pasal ini adalah bahwa dokter yang

melakukan pengguguran kandungan karena alasan medis (abortus

terapeutis) sesuai dengan ketentuan undang – undang tidak

dipidana.Ketentuan ini menurut penulis sangat baik karena dapat membuat

dokter lebih nyaman dalam bekerja.

Ketentuan dalam Pasal 580 ayat (1) Konsep sama dengan ketentuan

dalam Pasal 349 KUHP. Dokter , bidan ,atau juru obat yang “ membantu

melakukan “ pengguguran kandungan, sanksi pidananya sama dengan

dokter,bidan,paramedis, apoteker atau juru obat yang “melakukan “ yaitu

diperberat dimana pidananya ditambah sepertiga. Hal ini berbeda dengan

ketentuan umum mengenai “ membantu melakukan “ yang diatur dalam

Page 151: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Pasal 57 ayat (1) KUHP, dimana orang yang membantu melakukan

kejahatan, pidananya dikurangi sepertiga.Selain itu, dokter , bidan ,

paramedis, apoteker atau juru obat dapat dijatuhi pidana tambahan berupa

pencabutan hak untuk menjalankan profesi mereka.Tetapi pada Pasal 349

KUHP tidak menyebut kata paramedis hanya dokter,bidan,dan juru

obat,meskipun bidan termasuk paramedis tetapi penulis menganggap

penting untuk menyebut kata paramedis karena selain bidan,paramedis

yang sering memberi pelayanan kesehatan langsung kepada pasien adalah

perawat.

Tabel 6.Sanksi Pidana Pengguguran Kandungan yang Dilakukan oleh

Tenaga Kesehatan

Konsep KUHP KUHP

Pasal 580 ayat 1 Pasal 349

Dokter, bidan, paramedis, apoteker atau juru obat yang membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578 ayat (1) atau melakukan atau membantu melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 578 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 579, pidananya dapat ditambah 1/3 (satupertiga) dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal – pasal dalam konsep KUHP 2008 di atas lebih menekankan pada

penanganan malapraktik yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan

lain dalam hal ini perawat,bidan,juru obat.

Page 152: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Untuk menghindari tuntutan malapraktik,sebelum melakukan

tindakan medik dokter harus menginformasikan kepada pasien tentang efek

samping yang mungkin terjadi dari tindakan yang dilakukannya.Karena baik

pada resiko medik dan malapraktik medik terkandung wujud perbuatan

yang sama – sama berakibat luka berat maupun matinya orang lain.

b. Tentang Mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan

Pasal 592 Konsep KUHP 2008

(1) Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain

luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan

jabatan,profesi,atau mata pencaharian selama waktu tertentu ,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua) tahun atau

pidana denda paling banyak kategori III

(2) Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain

luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga)

tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

(3) Setiap orang yang karena kealpaanya mengakibatkan matinya orang

lain ,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1( satu ) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit

kategori III dan paling banyak kategori IV

Pasal 593 Konsep KUHP 2008

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 592

dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi, maka

pidananya dapat ditambah dengan 1/3 ( satu pertiga )

Page 153: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

juga dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim

sebagaima dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c dan

pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)

huruf g.

Tabel 7. Sanksi Pidana Kelalaian yang Menyebabkan Kematian dan Luka

Berat

Konsep KUHP KUHP

Pasal 592 Pasal 359

Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan, profesi, atau mata pencaharian selama waktu tertentu , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2( dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 593 Pasal 360

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 592 dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi, maka pidananya dapat ditambah 1/3 ( satupertiga )

Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka – luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

Tindak pidana dalam Pasal 592 dan 593 Konsep mirip dengan tindak pidana

yang diatur didalam Pasal 359,360 dan Pasal 361 KUHP tentang perbuatan

menyebabkan mati atau luka – luka karena kealpaannya. Keduanya

merumuskan pidananya secara alternatif.

Pasal 593 Konsep 2008 merupakan pasal pemberatan pidana bagi

Page 154: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pelaku dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian yang

melakukan tindak pidana yang disebut dalam Pasal 592 Konsep. Pidana

bagi pelaku yang melakukan perbuatan dalam menjalankan suatu jabatan

atau profesi ditambah 1/3 ( sepertiga ) dari pidana bagi pelaku yang bukan

dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi. Dalam membuktikan adanya

malapraktik maka dereliction of duty menjadi unsur yang sangat penting dan

mutlak untuk dibuktikan, sementara dereliction of duty itu sendiri diukur

berdasarkan terpenuhi atau tidaknya standar layanan yang ada .Atas dasar

itulah maka pemenuhan standar layanan kesehatan di rumah sakit

merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah terjadinya dugaan

malapraktik .

Dalam memahami hakekat kesalahan dalam menjalankan profesi

atau malapraktik, kita harus meletakkannya berhadapan dengan kewajiban

dalam menjalankan profesi sebab kesalahan itu timbul karena adanya

kewajiban – kewajiban yang harus dilakukan dokter.Berdasarkan pengertian

malapraktik maka dapat disimpulkan bahwa malapraktik terdiri dari unsur –

unsur sebagai berikut :99

1. Adanya unsur kesalahan/ kelalaian dokter

2. Adanya wujud perbuatan tertentu ( mengobati pasien )

3. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain yaitu pasien .

4. Adanya hubungan kausal

99 Anny Isfandiyarie,Op.cit.hlm.128

Page 155: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

b. Tentang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain

tersebut atau keluarganya

Pasal 575 Konsep KUHP

Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan

orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati

atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak

sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 9 (sembilan) tahun

Pasal 576 Konsep KUHP

Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun

Pasal 575 dan Pasal 576 Konsep KUHP ini merupakan pasal yang bisa

dikaitkan dengan euthanasia . Euthanasia merupakan suatu tindakan yang

dilarang dilakukan, walaupun atas permintaan orang yang bersangkutan

atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang yang bersangkutan tidak

sadar.Tindak pidana dalam Pasal 575 Konsep KUHP sama dengan tindak

pidana dalam Pasal 344 KUHP yang telah disebutkan di atas. Sistem

perumusan pidananya sama keduanya secara tunggal , yaitu pidana

penjara, namun yang membedakannya adalah mengenai ancaman

pidananya. Pasal 576 Konsep merupakan hal yang baru , yang belum diatur

dalam KUHP, dimana seorang dokter yang melakukan tindak pidana

euthanasia, dipidana lebih berat daripada pelaku yang bukan dokter . Dalam

Page 156: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

KUHP , baik dokter maupun bukan dokter yang melakukan tindak pidana

tersebut , ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 12

tahun. Dalam Konsep apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang

bukan dokter , ancaman pidananya lebih ringan yaitu paling lama 9

(sembilan) tahun , sedangkan oleh dokter , ancaman pidananya adalah

pidana penjara 12 (dua belas) tahun. Berarti pidana untuk dokter diperberat

atau ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal ini mirip dengan tindakan euthanasia

aktif, karena ada tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau

tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup sipasien . Tindakan

tersebut dapat diancam dengan pidana meskipun dilakukan atas permintaan

sendiri yang dinyatakan dengan nyata dan sungguh-sungguh.

Tabel 8.Sanksi Pidana Perampasan Nyawa atas Permintaan Korban

Konsep KUHP KUHP

Pasal 575 Pasal 344

Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 ( sembilan ) tahun

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun)

.Penulis melihat bahwa ancaman pidana dalam konsep bagi dokter lebih

berat dari pada yang bukan dokter. Pasal – pasal kejahatan terhadap nyawa

tersebut di atas dapat dikaitkan dengan euthanasia yaitu Pasal 338,

340,344,345,359 KUHP jika dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai

Page 157: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

upaya penanganan tindak pidana malapraktik di Indonesia. yang

menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan

adalah dilarang.Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.

Ini merupakan suatu bentuk penanganan tindak pidana malapraktik

kedokteran yang baik yang dapat dipakai dalam rangka pembaharuan

hukum pidana di masa yang akan datang.

Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang akan datang yang

berhubungan dengan penanganan kesalahan dalam dunia kedokteran

dirasakan perlu menggunakan sistem pidana minimum khusus

sebagaimana di dalam konsep. Menurut Barda Nawawi Arief adanya pidana

minimum khusus untuk delik – delik tertentu didasarkan pada pokok

pemikiran antara lain :

1) Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok

untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya;

2) Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general,khususnya bagi

delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan

masyarakat;

3) Dianalogkan dengan pemikiran bahwa apabila dalam hal-hal tertentu

maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat,maka

minimum pidanapun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal

tertentu.100

Pemberatan pidana yang berhubungan dengan penanganan kesalahan oleh

100 Barda Nawawi Arief,Op.cit.hlm.123

Page 158: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

dokter sebaiknya tetap dipertahankan mengikuti KUHP Indonesia yang

sudah ada dan konsep KUHP yaitu dengan pidana ditambah1/3 (sepertiga)

bagi dokter, bidan dan paramedis, apoteker, atau juru obat.Hal ini sangat

baik di dalam memberikan efek jera terhadap pelaku malapraktik

kedokteran.101

3. Mekanisme Penyelesaian Kasus Malapraktik Kedokteran

Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak

dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau

kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui

proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka

penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah

kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun

tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan

tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-

based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang “layak”

dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan

benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan

yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu

kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim

akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal

1370-1371 KUH Perdata).

101 Priharto Adi.Op.Cit.hlm.145

Page 159: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute

resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang

penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai

dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau

negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara

kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan

arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam

proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung

berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win

solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya

menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-

akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum

pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan

menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya

penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-

tindakan, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan

dokumen (bukti surat seperti kartu berobat,rekam medis,resep,informed

consent,visum et repertum bila ada), serta pemeriksaan saksi ahli. Berkas

hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum

untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan

bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau

penghentian penyidikan.

Page 160: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus

medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk

dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa

mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam

proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau

administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi –

tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai

penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara profesi

umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi

kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi

kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan

dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya

dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MKDKI,

dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan

profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka

putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan

pembelaan.

BAB V

Page 161: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari keseluruhan uraian yang telah disajikan dalam tesis ini maka dapat

disimpulkan hal – hal sebagai berikut :

1. Kebijakan Hukum Pidana Saat Ini dalam Penanganan Tindak Pidana

Malapraktik Kedokteran

Kebijakan hukum pidana saat ini dalam KUHP, Undang – Undang Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun

2004 dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil Undang –

Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dapat

disimpulkan bahwa perbuatan – perbuatan yang diatur selama ini yang

berkaitan dengan penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran yang

dilakukan oleh seorang dokter yaitu :

a. Hukum positif saat ini yang mengatur tentang malapraktik kedokteran

adalah kejahatan terhadap pemalsuan surat keterangan sehat yang

dilakukan dokter (Pasal 267 KUHP) , membuka rahasia kedokteran

tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang (Pasal 322

KUHP),kesalahan/kelalaian yang menyebabkan kematian/luka berat

(Pasal 359,360 KUHP),tidak memberikan pertolongan darurat kepada

orang dalam keadaan bahaya (Pasal 531 KUHP,Pasal 190 Undang-

Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009),membantu orang lain melakukan

bunuh diri karena permintaan atau tidak (Pasal 344 KUHP), dengan

sengaja mengobati atau menyuruh mengobati dengan harapan karena

Page 162: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

pengobatan itu kandungan seorang wanita dapat digugurkan (Pasal

299,Pasal 345 KUHP), dengan sengaja menggugurkan kandungan tanpa

persetujuan wanita hamil yang bersangkutan (Pasal 347 KUHP), dengan

sengaja menggugurkan kandungan dengan persetujuan wanita hamil

yang bersangkutan (Pasal 348,349 KUHP),dengan sengaja melakukan

bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas

seseorang (Pasal 193 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009), dengan

sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil, tidak

berdasarkan indikasi medis,tidak sesuai dengan ketentuan ( Pasal 194

Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009), dengan tujuan komersial

melakukan transplantasi organ tubuh, jaringan tubuh,atau transfusi darah

(Pasal 192,195 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 ) , dengan

sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa surat tanda registrasi , izin

praktik , tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis atau

tidak memenuhi kewajiban sebagai dokter ( Pasal 75,Pasal 76,Pasal 79

Undang – Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004),dengan

sengaja menggunakan identitas, alat atau metode dalam memberi

pelayanan seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter yang telah

memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat izin praktik (Pasal 77

Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004),dengan

sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat

Page 163: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

izin praktik di sarana pelayanan kesehatan, ( Pasal 80 Undang – Undang

Nomor 29 Tahun 2004 );

b. Pasal yang mengatur tentang sanksi terhadap korporasi terdapat dalam

Pasal 80 Undang - Undang Praktik Kedokteran tentang pelanggaran

Surat Izin Praktik yang dilakukan oleh dokter,Pasal 201 Undang-Undang

Kesehatan tentang sanksi terhadap korporasi yang melakukan

pelanggaran Pasal 190 ayat (1),Pasal 191,Pasal 192,Pasal 196,Pasal

197,Pasal 198,Pasal 199,dan Pasal 200 Undang-Undang Kesehatan dan

sanksi terhadap pelanggaran kewajiban rumah sakit adalah sanksi

administratif seperti terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

2. Kebijakan Hukum Pidana yang akan Datang dalam Penanganan

Malapraktik Kedokteran

Kebijakan hukum pidana yang akan datang adalah yang bersumber dari

hukum positif, dalam hal ini Konsep KUHP,Undang – Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Kebijakan tersebut dalam Konsep KUHP adalah pengguguran

kandungan (Pasal 578), dokter, bidan, paramedis, apoteker juru obat yang

membantu melakukan pengguguran kandungan (Pasal 580),karena

kealpaan mengakibatkan luka berat (Pasal 592),kelalaian menjalankan

profesi atau jabatan yang mengakibatkan luka berat (Pasal 593),merampas

nyawa orang lain atas permintaan orang tersebut (Pasal 575),dokter yang

Page 164: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

melakukan perampasan nyawa atas permintaan orang tersebut (Pasal 576).

3. Mekanisme Penyelesaian Kasus Malapraktik Kedokteran

Suatu dugaan kasus malapraktik kedokteran pada dasarnya dapat

diselesaikan dengan cara :

1) Litigasi (jalur pengadilan)

2) Non litigasi (diluar jalur pengadilan)

B. SARAN

1. Sebaiknya di dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran dirumuskan tentang malapraktik kedokteran berikut

penjelasannya agar masyarakat umum, dokter, dan dunia kesehatan

menjadi paham dan tahu kriteria tindak pidana malapraktik kedokteran .

2. Kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam hal “membantu

melakukan“ atau “yang melakukan” tindak pidana yang berhubungan

dengan pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya praktik dokter

sebaiknya mengikuti KUHP Indonesia yang sudah ada dan KUHP

Konsep yaitu ditambah 1/3 bagi dokter, bidan, paramedis , dan apoteker

atau juru obat

3. Dalam menghadapi kasus dugaan malapraktik kedokteran, sebaiknya

diselesaikan melalui jalur nonlitigasi karena lebih praktis dan efisien.

Page 165: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

DAFTAR PUSTAKA

Adi.P.2010.Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam rangka Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran (Tesis).Semarang:Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Achadiat,C.M. 1996. Pernik – pernik Hukum Kedokteran Melindungi

Pasien dan Dokter.Widya Medika.Jakarta. ______2004.Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan

Zaman, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta . Ameln,Fred.1991.Kapita Selekta Hukum Kedokteran, ctk.Pertama,

Grafika Tama Jaya, Jakarta Amir,A.1997.Bunga Rampai Hukum Kesehatan.Widya Medika.Jakarta. Arief,B.N.1994.Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik

AduanDalam Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP.Semarang ______2005.Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, PT Citra Adhya Bakti.Bandung. ______2008.Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanganan Kejahatan.Kencana Prenada Media Group, Jakarta. ______2008.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta ______2010.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta Chazawi,A.2000.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.PT Raja Grafido

Persada.Jakarta. ______.2001.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.PT Raja Grafindo

Persada. Jakarta Dahlan,S.2001.Malpraktik Hukum Kesehatan Rambu – Rambu Bagi

Profesi Dokter.Badan Penerbit Undip.Semarang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia,Depdikbud. Jakarta. Guwandi.J.991.Etika dan Hukum Kedokteran.Balai Penerbit FKUI.Jakarta.

Page 166: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

_______1992.Trilogi Rahasia Kedokteran .Balai Penerbit FKUI.Jakarta. _______1996.Dokter Pasien dan Hukum.Fakultas Kedokteran UI.Jakarta. _______2003.Misdiagnosis atau Malapraktik?Jurnal Perhimpunan Rumah

Sakit Seluruh Indonesia. _______2010.Hukum Medik.FKUI.Jakarta Hanafiah.Y & Amri Amir , Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,

Jakarta: Egc, , 1999Harahap,Y.1997.Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum.PT Citra Aditya Bakti.Bandung.

Hariyani, S. 2005.Sengketa Medik, Allternatif Penyelesaian Perselisihan

Antara Dokter Dengan Pasien,Diadit Media,Jakarta Ilyas.A.2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang Offset.

Yogyakarta Indar.2010.Etika dan Hukum Kesehatan.Lembaga Penerbitan

Unhas.Makassar Isfandyarie.A. 2005.Malapraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum

Pidana.Prestasi Pustaka. Jakarta _____Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter. Prestasi Pustaka.

Jakarta Jayanti,N.KI.2009.Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik

Kedokteran.Pustaka Yustisia.Yogyakarta. Komalawati,V.1989.Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter, Sinar

Harapan.Jakarta __________2002.Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien)Suatu Tinjauan Yuridis,Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung. Marwan.M.,Jimy P, 2009.Dictionary Of Law Completed Edition. Surabaya. Maryanti,N.1988.MalapraktikKedokteran, ctk. Pertama,BinaAksara.Jakarta Moeljatno, 1999.KUHP . Penerbit Bumi Aksara,Jakarta _______.2000.Asas-Asas Hukum Pidana.Cetakan Kedelapan. Penerbit

Rineka Cipta.Jakarta.

Page 167: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Muladi.,Arief,B.N.1992.Bunga Rampai Hukum Pidana.Penerbit Alumni,

Bandung. Muladi,Priyatno.D.2010.Pertanggunjawaban Pidana Korporasi.Kencana. Jakarta Muladi.1998.Teori -Teori dan Kebijakan Pidana.Cetakan Kedua.Penerbit

Alumni.Bandung ______.2002.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.Cetakan II.Badan

Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang. Nasution,B.J.2005.Hukum Kesehatan Pertanggung jawaban Dokter.

PT.Rineka Cipta Jakarta. Prasetyo,T dan Barkatullah,A.H.2005.Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Diskriminalisasi, Cetakan 1. Pustaka Pelajar.Yogyakarta

Saleh,R.1982.Pikiran–Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana.

Ghalia Indonesia.Jakarta. _______1983.Suatu Reorentasi Dalam Hukum Pidana.Aksara

Baru.Jakarta. Sudarto.1981. Hukum dan Hukum Pidana.Alumni.Bandung. -------------1983.Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat.Penerbit

Sinar Baru. Bandung. _______1986.Kapita Selekta Hukum Pidana.Alumni.Bandung. Soekanto,S.1985.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Raja

Grafindo.Jakarta. Supriadi,W.C.2001.Hukum Kedokteran. Mandar Maju.Bandung. Suwondo,S.S.Tanpa Tahun.Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan

diIndonesia,Suatu Tinjauan Yuridis.PUKAP.Makassar. Wiradharma,D. 1996. Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung. _________.1999.Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan

Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.

Page 168: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Yunanto.A,Helmi.2010.Hukum Pidana Malpraktik Medik.Andi.Yogyakarta. Internet : Anggel.2012.HukumRahasiaJabatan(online)(http://anggel0212.blogspot.c

om/2012/11/hukum-rahasia-jabatan.html, diakses tanggal 3 Maret 2013)

Atmoko T.2012 Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Akuntabilitas KinerjaInstansiPemerintah.(online),(http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/STANDAR%20OPERASIONAL%20PROSEDUR.pdf&gt;diakses pada tanggal 20 Pebruari 2013).

Bawono.B.T.2011.Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanganan

Malapraktik Profesi Medis.Jurnal Hukum (online) Vol.XXV.No.1(http:/dokterochi.blogspot.com/2011/07/blog-spot.html,diakses 20 Desember 2012

Chazawi.A.http//www.tanggungjawabhukummalapraktikkedokteran.com

diakses tanggal 4 Maret 2013 Gumilang.S.2013.http://www.ml.scribd.com/doc/.../TanggungJawab-

Hukum-Perdata diakses tanggal 2 Maret 2013 Insani I. 2010. Standar operasional prosedur (SOP) sebagai pedoman

pelaksanaan administrasi perkantoran dalam rangka peningkatanpelayanandankinerjaorganisasipemerintah.(http://www.docstoc.com/docs/53290971/STANDAR.OPERASIONALPROSEDUR(SOP)SEBAGAI.PEDOMANPELAKSANANADMINISTRASIPERKANTORANDALAMRANGKAPENINGKATANPELAYANANDANKINERJAORG NISASIPEMERINTAH&gt; (diakses pada tanggal 19 Pebruari 2013).

http//www.welcome.makalahmalapraktik.com diakses tanggal 2 Maret

2013 Satria.2011.Definisi, fungsi dan tujuan Standard Operating Procedure

(SOP)(http://id.shvoong.com/business-management/technology operation-management/2188180-definisi-fungsi-dan tujuanstandard/&gt diakses pada tanggal 23 Pebruari 2013)

Sofwan Dahlan.2008. Hospital Liability Hukum Kesehatan (Online)

(http//www.hospitalliability.com.diakses tanggal 10 Maret 2013)

Page 169: TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN …

Wulandari.C.2010.Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala dalamPembuktiannya.Makalah.vol.4.No.2Desember2010.Universitas Negeri Semarang(http.www. Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala dalamPembuktiannya.diakses tanggal 5 Pebruari 2013)

Makalah : Lestari,N.2001.Masalah Malapraktik Etik Dalam Praktek Dokter .Kumpulan

Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar.Malang.

Sutrisno,S.1991.Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-

segi Hukum Pembuktian,Makalah disajikan dalam Seminar Malapraktik Kedokteran, Semarang 29 Juni1991.

Peraturan-Peraturan : KUHP Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran