teori gelombang & genesis_1

30
13 LANDASAN TEORI 3.1. Pasang Surut 3.1.1. Analisis Harmonik Pasang Surut Dalam analisis harmonik pasang surut, diperlukan data hasil pengamatan pasang surut di lapangan yang dilakukan pada lokasi yang representatif dengan waktu pengamatan 15 x 24 jam atau 30 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara mamasang alat duga muka air (peilschaal) yang dibaca setiap jam. Elevasi hasil pengamatan muka air selanjutnya diikatkan pada titik referensi yang ada (Bench Mark, BM). Dimana dari data pasang surut tersebut dapat ditentukan besar komponen pasang surut atau konstanta harmonik, yaitu besaran amplitudo dan fase dari tiap komponen pasang surut. Pasang surut di perairan dangkal merupakan superposisi dari pasang surut yang ditimbulkan oleh faktor astronomi, faktor meteorologi, dan pengaruh berkurangnya kedalaman perairan. Apabila tanpa memperhatikan faktor meteorologi, maka elevasi pasang surut merupakan penjumlahan dari komponen yang membentuknya dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut ini. ) cos( 1 0 i i f i i t G t A S Z (3.1) dengan : Z t = elevasi pasang surut fungsi dari waktu, S 0 = duduk tengah atau tinggi muka air rata-rata (mean sea level), f = jumlah komponen, A i = amplitudo komponen ke-i, ω i = frekuensi sudut komponen ke-i = 2π/T i , T i = periode komponen ke-i, t = waktu, G i = beda fase komponen ke-i. Analisis konstanta harmonik data pasang surut dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan metode Admiralty. Analisa data pasang

Upload: lamury

Post on 02-Dec-2015

152 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

13

LANDASAN TEORI

3.1. Pasang Surut

3.1.1. Analisis Harmonik Pasang Surut

Dalam analisis harmonik pasang surut, diperlukan data hasil pengamatan

pasang surut di lapangan yang dilakukan pada lokasi yang representatif dengan

waktu pengamatan 15 x 24 jam atau 30 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan

cara mamasang alat duga muka air (peilschaal) yang dibaca setiap jam. Elevasi hasil

pengamatan muka air selanjutnya diikatkan pada titik referensi yang ada (Bench

Mark, BM). Dimana dari data pasang surut tersebut dapat ditentukan besar

komponen pasang surut atau konstanta harmonik, yaitu besaran amplitudo dan fase

dari tiap komponen pasang surut. Pasang surut di perairan dangkal merupakan

superposisi dari pasang surut yang ditimbulkan oleh faktor astronomi, faktor

meteorologi, dan pengaruh berkurangnya kedalaman perairan. Apabila tanpa

memperhatikan faktor meteorologi, maka elevasi pasang surut merupakan

penjumlahan dari komponen yang membentuknya dapat dinyatakan dalam bentuk

persamaan seperti berikut ini.

)cos(1

0 ii

f

i

it GtASZ

(3.1)

dengan : Zt = elevasi pasang surut fungsi dari waktu,

S0 = duduk tengah atau tinggi muka air rata-rata (mean sea level),

f = jumlah komponen,

Ai = amplitudo komponen ke-i,

ωi = frekuensi sudut komponen ke-i = 2π/Ti,

Ti = periode komponen ke-i,

t = waktu,

Gi = beda fase komponen ke-i.

Analisis konstanta harmonik data pasang surut dapat dilakukan dengan

berbagai cara, salah satunya adalah dengan metode Admiralty. Analisa data pasang

14

surut menggunakan metode Admiralty, dilakukan dengan menyusun skema-skema

Admiralty sebagai berikut:

Skema 1

Berisi data pasang surut tiap jam yang telah dikoreksi (dilengkapi) sebanyak 29

piantan (satuan elevasi pasang surut yang digunakan adalah cm). Pada skema ini

ditentukan pula waktu pertengahan pengamatan.

Skema 2

Berisi nilai fungsi-fungsi X1, Y1, X2, Y2, X4, dan Y4 yang masing-masing

dikelompokkan berdasarkan tanda positif (+) dan negatif (-). Besarnya nilai

positif (+) dan negatif (-) konstanta diperoleh dengan cara mengalikan data

pengamatan pada saat tertentu (Skema 1) dengan besaran konstanta penyusun

Skema 2.

Tabel 3.1. Konstanta Pengali untuk Memperoleh Skema 2

Sumber : Ongkosongo, 1989

Skema 3

Merupakan penjumlahan dari komponen (+) dan (-) dari Skema 2.

Skema 4

Berisi nilai dari komponen Skema 2 dan Skema 3 yang ditambahkan suffix kedua

berupa 0, 2, b, 3 dan c berdasarkan tabel pembantu untuk menyusun Skema 4.

Seperti tampak pada Tabel 3.2.

Skema 5 dan 6

Skema 5 dan Skema 6 merupakan hasil perkalian matriks antara kolom pertama

skema-skema ini dengan tabel pembantu untuk menyusun Skema 5 dan Skema 6

Admiralty, dimana harga kolom pertama didapatkan dari hasil selisih aljabar

menurut suatu aturan tertentu dari komponen-komponen pada Skema 4.

15

Tabel 3.2. Konstanta Pengali untuk Memperoleh Skema 4 0 2 b 3 c 4 d

Pengali untuk B (29 piantan) -29 -1 0 -1 0 -1 0

Pengali untuk B (15 piantan) -15 1 0 5 0 1 0

1 1 0 -1 1 1 0

1 1 -1 -1 1 1 -1

1 1 -1 1 1 -1 -1

1 1 -1 1 1 -1 -1

1 -1 -1 1 1 -1 1

1 -1 -1 1 -1 1 1

1 -1 -1 1 -1 1 1

1 -1 0 -1 -1 1 0

1 -1 1 -1 -1 1 -1

1 -1 1 -1 -1 -1 -1

1 -1 1 -1 1 -1 -1

1 1 1 -1 1 -1 1

1 1 1 1 1 -1 1

1 1 1 1 1 1 1

1 1 0 1 0 1 0

1 1 -1 1 -1 1 -1

1 1 -1 1 -1 -1 -1

1 1 -1 -1 -1 -1 -1

1 -1 -1 -1 -1 -1 1

1 -1 -1 -1 1 -1 1

1 -1 -1 -1 1 1 1

1 -1 0 -1 1 1 0

1 -1 1 1 1 1 -1

1 -1 1 1 1 1 -1

1 -1 1 1 -1 -1 -1

1 1 1 1 -1 -1 1

1 1 1 1 -1 -1 1

1 1 1 -1 -1 1 1

1 1 1 1 -1 -1 1

1 1 0 -1 -1 1 0

Indeks kedua

Konstan

ta untu

k 1

5 p

iantan

Kon

stan

ta u

ntu

k 2

9 p

ian

tan

Waktu menengah ®

Sumber : Ongkosongo, 1989

Tabel 3.3. Konstanta Pengali untuk Memperoleh Kolom Pertama Skema 5 dan Skema 6

Penggunaan Perhitungan S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4

X00 1.00

X10 1.00 0.08

X12 - Y1b 0.07 0.02 1.00 0.02

X13 - Y1c

X20 0.03 1.00 0.03

X22 - Y2b 1.00 0.015 0.038 0.002 0.058 0.035

X23 - Y2c 0.06 1.00

X13 - Y4b 0.03 1.00

X44 - Y4d 1.00 0.08

Y10 1.00 0.08

Y12 + X1b 0.07 0.02 1.00 0.03

Y13 + X1c

Y20 0.03 1.00 0.03

Y22 + X2b 1.00 0.015 0.032 0.057 0.035

Y23 + X2c 0.06 1.00

Y23 + X4b 0.03 0.01 1.00

Y44 + X4d 1.00 0.08

Skema 7 P 696 559 448 566 439 565 507 535

Skema 7 P 333 345 327 173 160 307 318

Untuk Skema 6

harga P.R.Sin r

Untuk Skema 5

harga P.R.Cos r

o o o o o o o

Sumber : Ongkosongo, 1989

16

Skema 7 dan Skema 8

Merupakan tahap akhir dari proses mencari komponen pasang surut menurut

metode Admiralty. Aturan pengisian masing-masing kolom mengikuti rumus

yang tertera pada kolom pertama dari masing-masing skema ini.

3.1.2. Penentuan Tipe Pasang Surut

Konstanta pasang surut yang penting dalam menentukan karakteristik/tipe

pasang surut yang terjadi adalah K1, O1, M2, dan S2. Secara kuantitatif, tipe pasang

surut suatu daerah perairan dapat ditentukan oleh perbandingan atau nisbah antara

amplitudo komponen K1 dan O1 dengan amplitudo komponen M2 dan S2 . Nisbah ini

dikenal sebagai bilangan Formzahl Number atau Form Number, yaitu sebagai

berikut :

)()(

)()(

22

11

SAMA

OAKAFN

(3.2)

dengan :

FN = Formzahl Number atau Form Number,

A = amplitudo,

K1 = komponen pasut tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan

matahari,

O1 = komponen pasut tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik bulan,

M2 = komponen pasut ganda yang disebabkan oleh gaya tarik bulan,

S2 = komponen pasut ganda yang disebabkan oleh gaya tarik matahari.

Dari Persamaan (3.2) di atas, tipe pasang surut ditentukan melalui 4 kriteria

berikut ini.

1. FN < 0,25 : harian ganda (semi diurnal). Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang

dan 2 kali air surut dengan ketinggian hampir sama,

2. 0,25 < FN < 1,5 : campuran, condong harian ganda (mixed tide prevailing semi

diurnal). Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali surut dengan ke-

tinggian yang berbeda,

3. 1,5 < FN < 3,0 : campuran, condong harian tunggal (mixed tide prevailing

diurnal). Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut.

17

Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yang

besar pada tinggi dan waktu,

4. FN > 3,0 : harian tunggal (diurnal). Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1

kali air surut.

3.2. Gelombang

Gelombang merupakan salah satu fenomena proses fisik yang terjadi di

pantai. Gelombang pada perairan dapat didefinisikan sebagai perubahan elevasi

perairan secara harmonik yang ditimbulkan oleh beberapa gaya, yaitu gaya angin,

gaya gempa di laut, kapal yang bergerak, dan lain-lain.

3.2.1. Faktor Tegangan Angin (wind stress factor)

Data angin yang diperoleh dari BMG berupa kecepatan perlu dikoreksi untuk

mendapatkan faktor tegangan angin, UA (wind stress factor). Koreksi tersebut

meliputi :

a) Koreksi elevasi

Koreksi elevasi dilakukan jika data angin tidak diukur pada elevasi 10 m dari

permukaan laut, maka data tersebut perlu dikoreksi dengan persamaan :

7

1

y10y

10UU

(3.3)

dengan :

U10 = kecepatan angin hasil koreksi elevasi (m/det),

Uy = kecepatan angin yang tidak diukur pada ketinggian 10 m (m/det),

y = elevasi alat ukur di atas permukaan laut (m).

b) Koreksi perbedaan temperatur dan koreksi lokasi pengamatan

Koreksi stabilitas (RT) diperlukan karena adanya perbedaan temperatur

antara udara dan laut. Apabila data temperatur tidak diketahui, maka CERC (1984)

menyarankan penggunaan RT = 1.1. Sedangkan koreksi lokasi dilakukan karena

data angin yang digunakan adalah data angin daratan sehingga perlu adanya koreksi

18

lokasi untuk menjadikan data angin daratan menjadi data angin pengukuran di laut.

Berikut ini adalah persamaan yang digunakan untuk koreksi stabilitas :

10TL U.RU (3.4)

Sedangkan untuk menentukan kecepatan angin di laut, digunakan persamaan sebagai

berikut:

LLW U.RU (3.5)

dengan :

U10 = kecepatan angin hasil koreksi elevasi (m/det),

RT = rasio amplifikasi, (RT = 1.1),

UL = kecepatan angin di daratan (m/det),

RL = rasio kecepatan angin di atas laut dengan daratan, diperoleh dari kurva,

UW = kecepatan angin di laut ((m/det).

Adapun kurva rasio kecepatan angin di atas laut dengan di daratan, ditunjukkan pada

Gambar 3.1 di bawah ini.

Gambar 3.1. Kurva rasio kecepatan angin di atas laut dengan di daratan.

(Sumber : CERC, 1984)

19

c) Koreksi koefisien seret

Setelah data kecepatan angin melalui koreksi-koreksi di atas, maka data

kecepatan tersebut dikonversi menjadi wind stress factor (UA) dengan menggunakan

persamaan di bawah ini :

1.23

WA U0.71U (3.6)

dengan : UW = kecepatan angin di atas laut (m/det),

UA = wind stress factor (m/det).

3.2.2. Panjang Fetch

Panjang fetch didefinisikan sebagai daerah angin bergerak dengan arah dan

kecepatan angin yang relatif konstan. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di

laut, fetch dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah

pembentukan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang

sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin.

Perhitungan panjang fetch efektif dilakukan dengan menggunakan bantuan peta

topografi lokasi dengan skala yang cukup besar. Untuk menghitung fetch efektif

menggunakan persamaan di bawah ini :

cos

cosFF

i

eff (3.7)

dengan : Feff = fetch efektif,

Fi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi

gelombang ke ujung akhir fetch,

ά = deviasi pada kedua sisi arah angin, dengan menggunakan

pertambahan 3o sampai sudut sebesar 21

o pada kedua sisi arah

angin.

3.2.3. Penentuan Tinggi dan Perioda Gelombang

Pembentukan gelombang di laut dalam dianalisa dengan formula-formula

empiris yang diturunkan dari model parametrik berdasarkan spektrum gelombang

JONSWAP (CERC, 1984). Prosedur peramalan tersebut berlaku baik untuk kondisi

fetch terbatas (fetch limited condition) maupun kondisi durasi terbatas (duration

limited condition).

20

Pada kondisi fetch terbatas, angin bertiup secara konstan cukup jauh untuk

tinggi gelombang di ujung fetch dalam mencapai keseimbangan sedangkan pada

kondisi durasi terbatas, tinggi gelombang dibatasi waktu setelah angin bertiup.

Spektral tinggi gelombang signifikan (H0) dan periode puncak spektrum (Tp) adalah

parameter yang diramalkan dengan persamaan sebagai berikut :

2

1

2

2

0 0016.0

A

effA

U

Fg

g

UH (3.8)

3

1

22857.0

A

effAp

U

Fg

g

UT (3.9)

3

2

28.68

A

eff

A U

Fg

U

tg (3.10)

41015.7 xU

tg

A

(3.11)

Prosedur peramalan gelombang di laut dalam adalah sebagai berikut ini.

1. Melakukan analisis perbandingan hasil hitungan Persamaan (3.10) dengan

Persamaan (3.11). Jika tidak memenuhi Persamaan (3.11), maka gelombang yang

terjadi merupakan hasil pembentukan gelombang sempurna atau fully developed

sea (FDS). Penghitungan tinggi dan periode gelombangnya menggunakan

persamaan berikut:

g

UH A

2

0 2433.0 (3.12)

g

UT A

p 134.8 (3.13)

2. Jika hasil analisis perbandingan memenuhi Persamaan (3.11), maka gelombang

yang terjadi merupakan hasil pembentukan gelombang tidak sempurna atau non

fully developed sea (NFDS). Pembentukan gelombang tidak sempurna ini terdiri

dari dua jenis, yaitu pembentukan gelombang terbatas fetch (fetch limited) dan

21

terbatas durasi (duration limited). Untuk membedakannya perlu dihitung terlebih

dahulu durasi minimum (tmin), (Deo, 2007) sebagai berikut:

3

2

2min

8.68

A

effA

U

Fg

g

Ut (3.14)

3. Memeriksa durasi angin aktual yang ditentukan (td), lalu membandingkan

terhadap durasi hasil hitungan (tmin).

a. Jika td > tmin, maka gelombang yang terjadi merupakan gelombang hasil

pembentukan terbatas fetch. Pada pembentukan jenis ini, durasi angin yang

bertiup cukup lama. Penghitungan tinggi dan periode gelombangnya

dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.8) dan (3.9).

b. Jika td < tmin, maka gelombang yang terjadi merupakan gelombang hasil

pembentukan terbatas durasi. Pada pembentukan ini, durasi angin yang

bertiup tidak cukup lama. Penghitungan tinggi dan periode gelombangnya

dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.8) dan (3.9) dengan terlebih

dahulu mengganti panjang Feff dengan Fmin berikut ini:

2

3

2

2

min8.68

A

dA

U

tg

g

UF (3.15)

dengan :

Feff = panjang fetch efektif (m),

H0 = tinggi gelombang signifikan menurut teori spektral energi (m),

Tp = periode puncak spektrum (detik),

g = percepatan gravitasi = 9.81 (m/det2),

UA = wind stress factor (m/det),

ta = durasi angin (detik),

td = durasi angin aktual yang ditentukan (detik),

tmin = durasi angin kritik/minimum (detik).

Berikut ini adalah bagan alir proses peramalan gelombang dengan metode

JONSWAP seperti terlihat pada Gambar 3.2 berikut ini.

22

Gambar 3.2. Bagan alir peramalan gelombang.

3.2.4. Teori Gelombang Linier

Teori gelombang linier (Airy) diturunkan berdasarkan persamaan Laplace

untuk aliran tak rotasi (irrotational flow) dengan mengambil kondisi batas

(boundary condition) di permukaan air dan dasar laut. Kondisi batas di permukaan

air diperoleh dengan melinierkan persamaan Bernoulli untuk aliran tak mantap.

Penyelesaian persamaan tersebut memberikan potensial kecepatan periodik untuk

aliran tak rotasional. Potensial kecepatan ini kemudian digunakan untuk

menurunkan persamaan dari berbagai karakteristik gelombang seperti fluktuasi

muka air, kecepatan dan percepatan partikel, tekanan, kecepatan rambat gelombang,

dan sebagainya.

Start

Yes

Fetch Limited

Yes

NFDS

No

FDS

2

3

2

A

d2

Amin

U68.8

tg

g

UF

No

Duration Limited

g

U0.2433H

2

A0

g

U8.134T A

p

2

1

2

A

eff

2

A0

U

Fg

g

U0.0016H

3

1

2

A

effAp

U

Fg

g

U0.2857T

Feff = Fmin

Finish Finish

d

3

2

2

A

effAmin t

U

Fg

g

U68.8t

43

2

A

eff

A

7.15x 10U

gF68.8

U

gt

2

23

Teori gelombang ini dikembangkan dengan melakukan linierisasi persamaan

gelombang yang kompleks, sehingga diperoleh persamaan implisit yang disebut

dengan persamaan dispersi, seperti berikut ini.

kdgk tanh2 (3.16)

dengan : σ = frekuensi gelombang = 2π / T,

g = percepatan gravitasi (m/det2),

k = angka gelombang = 2π / L,

d = kedalaman dasar laut (m).

Jika persamaan frekuensi gelombang (σ) dan persamaan angka gelombang

(k) disubstitusikan ke dalam Persamaan (3.16), maka persamaan dispersi menjadi :

dLL

gT

2tanh

222

(3.17)

Oleh karena C = L/T, maka Persamaan (3.17) menjadi :

dL

LgC

2tanh

2

2 (3.18)

dengan : C = kecepatan rambat gelombang (m/det),

T = periode gelombang (det),

L = panjang gelombang.

Persamaan (3.18) menunjukkan laju penjalaran gelombang sebagai fungsi

kedalaman air (d) dan panjang gelombang (L).

Jika nilai k = σ/C = (2π/T)/C disubstitusikan ke dalam Persamaan (3.18),

akan didapat nilai kecepatan rambat gelombang (C) sebagai fungsi T dan d, seperti

berikut ini.

dL

TgC

2tanh

2 (3.19)

Dengan memasukan nilai k = 2π/L dan C = L/T ke dalam Persamaan (3.19), akan

diperoleh panjang gelombang (L) sebagai fungsi kedalaman (d), seperti berikut ini.

24

dL

TgL

2tanh

2

2

(3.20)

3.2.5. Klasifikasi Gelombang Linier

Gelombang yang menjalar dari laut dalam adalah gelombang sinusiodal.

Penjalaran gelombang di laut dalam tidak dipengaruhi oleh dasar, tetapi gelombang

di laut transisi dan laut dangkal penjalarannya dipengaruhi oleh dasar. Di daerah ini

apabila ditinjau suatu garis puncak gelombang, bagian dari puncak gelombang yang

berada di kedalaman yang lebih dangkal akan menjalar dengan kecepatan lebih kecil

daripada bagian yang menjalar di kedalaman yang lebih besar.

Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air d

dan panjang gelombang L, (d/L). Gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga

macam yaitu :

1. gelombang di laut dangkal jika d/L ≤ 0.05

2. gelombang di laut transisi jika 0.05 < d/L < 0.50

3. gelombang di laut dalam jika d/L ≥ 0.50

Untuk gelombang di laut dalam, apabila kedalaman relatif d/L lebih besar

dari 0.50, maka nilai tanh (2πd/L) = 1.0 sehingga Persamaan (3.19) dan (3.20)

menjadi :

20

gTC (3.21)

2

2

0

gTL (3.22)

Apabila percepatan gravitasi (g) = 9.81 m/det2, maka Persamaan (3.22) menjadi :

2

0 56.1 TL (3.23)

dengan : C0 = kecepatan rambat gelombang di laut dalam (m/det),

L0 = panjang gelombang di laut dalam (m).

Untuk gelombang di laut transisi, dengan nilai 0.05 < d/L < 0.50, maka

kecepatan rambat gelombang dan panjang gelombang adalah :

25

L

d

L

L

C

C 2tanh

00

(3.24)

Apabila kedua ruas dari Persamaan (3.24) dikalikan dengan d/L maka akan didapat :

L

d

L

d

L

d 2tanh

0

(3.25)

Untuk gelombang di laut dangkal, apabila kedalaman relatif d/L ≤ 0.05,

maka nilai tanh (2πd/L) =2πd/L sehingga Persamaan (3.19) dan (3.20) menjadi :

gdC (3.26)

TCTgdL (3.27)

3.2.6. Gelombang Pecah

Gelombang akan pecah jika kecepatan partikel air melebihi kecepatan jalar

gelombangnya. Pada saat itu partikel air di puncak gelombang mendahului bentuk

gelombang atau puncaknya sehingga gelombang tidak stabil dan pecah. CERC

(1984) menyatakan bahwa gelombang pecah di air dangkal terjadi pada Hb/db = 0.78

dengan angka 0.78 merupakan koefisien tinggi relatif gelombang pecah atau

koefisien gelombang pecah.

Ada beberapa persamaan empiris dalam menentukan tinggi gelombang pecah,

salah satunya adalah rumus empiris yang ditemukan oleh Kaminski dan Kraus

(1993) dalam Ahrens (1998) yakni sebagai berikut :

28.0

'46.0

'

O

O

O

b

L

H

H

H (3.28)

dengan : Hb = tinggi gelombang pecah (m),

H0’ = tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m),

L0 = panjang gelombang di laut dalam (m).

Penggunaan Persamaan (3.28) di atas untuk memperkirakan tinggi gelombang pecah

sedangkan untuk memperkirakan letak kedalaman gelombang pecah sebagai input

26

awal kedalaman kontur pada stasiun dalam grid GENESIS adalah menggunakan

kriteria yang dikembangkan oleh Weggel (1972) dalam USACE (2000) dengan

bentuk persamaan sebagai berikut :

2gT

Hab

d

H b

b

bb (3.29)

Triatmodjo (1999) menyarankan menggunakan grafik untuk menghitung

tinggi dan kedalaman pecah pada kedalaman tertentu, yang dituliskan dalam bentuk

persamaan sebagai berikut :

)/(

12gTaHbH

d

bb

b

(3.30)

dengan : tan19175.43 ea tan5.191

56.1

e

b

a dan b merupakan fungsi kemiringan dasar pantai (tanβ),

db adalah kedalaman gelombang pecah.

Untuk menentukan tinggi gelombang laut dalam ekivalen digunakan

persamaan berikut :

H0’ = H0 Kr (3.31)

Pemakaian gelombang ini bertujuan menetapkan tinggi gelombang yang mengalami

refraksi, difraksi dan transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi dan

deformasi gelombang dapat dilakukan dengan mudah.

Koefisien refraksi dihitung dengan menggunakan Snell’s Law seperti berikut ini.

sin θb = Cb/C0 sin θ0 (3.32)

dan koefisien refraksi adalah :

b

cos

cosK o

r (3.33)

dengan : Kr = koefisien refraksi,

θb = sudut datang gelombang pecah,

θ0 = sudut datang gelombang di laut dalam,

Cb = kecepatan rambat gelombang pecah (m/det).

27

3.3. Model Perubahan Garis Pantai

Formulasi matematis dari proses perubahan garis pantai akan melibatkan

persamaan aliran, persamaan angkutan sedimen dan persamaan konservasi massa

atau dikenal persamaan kontinyuitas. Pada penelitian ini, lingkup pembahasan

dibatasi untuk aliran dua dimensi, angkutan sedimen pada dasar saja dan material

berupa butiran lepas (non kohesif). Untuk mempresentasikan perubahan garis pantai

pada lokasi di sekitar pelabuhan Waren, maka program pemodelan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah model GENESIS. Model GENESIS ini dapat

mensimulasikan perubahan garis pantai yang terjadi dalam periode bulanan sampai

tahunan yang disebabkan oleh gelombang. Model GENESIS ini dijalankan melalui

program CEDAS-NEMOS namun sebelum proses model GENESIS di running,

terlebih dahulu harus melakukan pemodelan gelombang, dimana pemodelan

gelombang yang digunakan dalam kajian ini adalah model STWAVE (Steady-state

spectral WAVE model) yang include dalam program CEDAS-NEMOS.

3.3.1. Model STWAVE

Model STWAVE adalah model gelombang untuk mentransformasi dan

membangun spektrum gelombang steady-state. Model ini menggunakan metode

beda hingga (finite difference method) dengan berdasar pada pembangkitan dan

penjalaran dengan grid rektilinear dua dimensi. STWAVE mensimulasikan shoaling

dan refraksi gelombang akibat kedalaman, arus, gelombang pecah, difraksi,

pertumbuhan angin-gelombang, dan interaksi antar gelombang. Dan spektrum

gelombang dalam model STWAVE adalah representasi statistik dari kejadian

gelombang dan secara konseptual, spektrum adalah superposisi linier dari

gelombang monokromatik, dimana spektrum menggambarkan distribusi energi

gelombang sebagai fungsi dari frekuensi (spektrum satu dimensi) atau frekuensi dan

arah (spektrum dua-dimensi).

A. Asumsi dalam model STWAVE adalah :

a. Kemiringan dasar halus dan refleksi gelombang diabaikan (mild bottom

slope and negligible wave reflection).

28

b. Kondisi gelombang lepas pantai homogen secara spasial (spatially

homogeneous offshore wave conditions).

c. Gelombang, arus, dan angin dalam kondisi steady (steady-state waves,

currents, and winds).

d. Refraksi dan shoaling adalah linear (linear refraction and shoaling).

e. Arus untuk setiap kedalaman seragam (depth-uniform current).

f. Kekasaran dasar diabaikan (bottom friction is neglected).

g. Radiation stress dihitung berdasarkan teori gelombang linier (linear

radiation stress).

B. Persamaan Pembentuk

Interaksi gelombang dengan arus dianggap dalam frame referensi yang

bergerak. Parameter gelombang pada frame ini dilambangkan dengan subskrip r,

"relatif" untuk arus, dan parameter dengan frame yang tidak bergerak dilambangkan

dengan subskrip a, "absolut." Hubungan dispersi gelombang untuk frame yang

bergerak diberikan oleh Persamaan (3.16) namun pada notasi frekuensi gelombang

(σ) ditambah dengan subskrip r, seperti berikut ini :

kdgkr tanh2 (3.34)

Dan persamaan dispersi untuk frame referensi absolut adalah :

σa = σr + kU cos (δ-α) (3.35)

dengan: U = kecepatan arus,

δ = arah arus relatif untuk frame referensi (x- axis),

α = arah gelombang orthogonal (normal ke puncak gelombang)

(lihat Gambar 3.3).

29

Gambar 3.3. Sketsa definisi vektor gelombang dan arus.

Jumlah gelombang (k) diselesaikan dengan cara iterasi, dengan mensubstitusikan

Persamaan (3.34) ke dalam Persamaan (3.35). Jumlah gelombang dan panjang

gelombang (L = 2π/ k) adalah sama di kedua frame referensi.

Dalam frame referensi relatif terhadap arus, solusi untuk refraksi dan

shoaling juga kecepatan rambat gelombang (C) dan kecepatan group gelombang

(Cg), diselesaikan dengan persamaan berikut.

kCr

(3.36)

kd

kdCC rgr

2sinh

215.0 (3.37)

Arah untuk kecepatan relatif dan kecepatan kelompok gelombang adalah α terhadap

arah gelombang orthogonal. Dan untuk frame referensi absolut menggunakan

persamaan berikut ini.

Ca = Cr + U cos (δ - α) (3.38)

(Cga)i = (Cgr)i +(U)i (3.39)

dengan subskrip i adalah notasi tensor untuk komponen x dan y. Arah kecepatan

absolut termasuk dalam arah gelombang orthogonal. Kecepatan group absolut

30

mendefinisikan arah pancaran gelombang, seperti tampak pada Gambar 3.3 yang

didefinisikan sebagai berikut ini :

coscos

sinsintan 1

UC

UC

gr

gr (3.40)

Arah gelombang ortogonal untuk kondisi steady-state diberikan oleh (Mei,

1989 dan Jonsson, 1990) :

Dn

DU

k

k

Dn

Dd

kd

kC

DR

DC iir

ga 2sinh

(3.41)

dengan : D = derivasi,

R = koordinat ke arah pancaran gelombang,

n = koordinat normal ke orthogonal gelombang,

μ = arah pancaran gelombang.

Persamaan pengatur/pembentuk untuk konservasi kondisi steady-state akibat

gelombang spektral sepanjang pancaran gelombang diberikan oleh (Jonsson, 1990) :

rr

agaa

i

iga

SECC

xC

),()(cos)( (3.42)

dengan : E = kerapatan energi gelombang dibagi dengan (ρw g), dimana ρw

adalah rapat massa air

S = energi source dan sink

Refraksi dan Shoaling

Refraksi dan shoaling diimplementasikan dalam STWAVE dengan

menerapkan persamaan konservasi aksi gelombang. Pancaran ditelusuri secara

sepenggal, dari satu kolom grid ke grid berikutnya. Spektrum gelombang dua

dimensi yang ditetapkan sebagai masukan sepanjang kolom grid pertama (batas

lepas pantai). Untuk titik pada kolom grid kedua, spektrum dihitung dengan kembali

melacak pancaran untuk setiap komponen frekuensi dan arah spektrum. Arah

rambatan (μ), ditentukan oleh Persamaan (3.40). Hanya arah rambatan menyebar

31

menuju pantai dengan sudut (-87.5 sampai +87,5 derajat) yang disertakan dalam

model. Energi yang merambat menuju lepas pantai diabaikan.

Pancaran gelombang ditelusuri kembali ke kolom grid sebelumnya, dan

panjang segmen pancaran (DR) dihitung. Turunan dari komponen kedalaman dan

arus normal gelombang ortogonal diperkirakan (berdasarkan arah orthogonal pada

kolom 2) dan disubstitusikan ke Persamaan (3.41) untuk menghitung gelombang

arah orthogonal pada kolom 1. Kemudian, jumlah gelombang, kecepatan rambat dan

kecepatan kelompok gelombang, dan sudut rambat gelombang dalam kolom

sebelumnya dihitung. Energi gelombang shoaling dan refraksi dalam kolom 2

kemudian dihitung dengan Persamaan (3.42).

Difraksi

Difraksi include dalam STWAVE secara sederhana melalui smoothing energi

gelombang. Model smoothing energi dalam frekuensi dan arah mengikuti persamaan

berikut :

Ej (σa, α) = 0.55 Ej (σa, α) + 0.225[Ej+1 (σa, α) + Ej-1 (σa, α)] (3.43)

dengan E adalah kerapatan energi dalam frekuensi dan arah, dan subskrip j

menunjukkan indeks baris grid (posisi sejajar pantai). Persamaan (3.43)

menyediakan smoothing of strong gradients pada tinggi gelombang yang terjadi di

daerah terlindung/terhalang, tetapi tidak menyediakan pantulan gelombang.

Source / Sink

Kriteria gelombang pecah di surf zone diterapkan dalam STWAVE adalah

fungsi dari rasio tinggi gelombang terhadap kedalaman air :

64.0max d

H mo (3.44)

dengan Hmo adalah tinggi gelombang zero-moment dari spektral energi. Pada

entrance di pantai, dimana gelombang curam karena interaksi gelombang-arus,

gelombang pecah adalah bertambah karena kecuraman meningkat. Smith, Resio, dan

32

Vincent (1997) melakukan pengukuran laboratorium gelombang pecah tidak teratur

pada arus pasang surut dan menemukan bahwa hubungan gelombang pecah dalam

bentuk kriteria Miche (1951) yang sederhana, kuat, dan akurat :

kdLHmo tanh1.0max

(3.45)

Energi dalam spektrum berkurang pada setiap frekuensi dan arah sesuai

dengan proporsi jumlah energi gelombang sebelum pecah di setiap band frekuensi

dan arah. Transfer nonlinear energi untuk tinggi frekuensi yang terjadi selama pecah

tidak terwakili dalam model. Sel grid model mana tinggi gelombang dibatasi oleh

Persamaan (3.45) yang ditandai sebagai sel aktif gelombang pecah.

Gradien Tegangan Radiasi

Gradien tegangan radiasi (radition stress gradient) dihitung dalam model

STWAVE untuk memberikan gaya gelombang pada model sirkulasi eksternal

menuju arus dekat pantai dan perubahan elevasi muka air (misalnya, wave setup dan

wave setdown). Secara umum gelombang dan arus adalah penyebab dominan

angkutan sedimen di surf zone. Tensor radiation stress dihitung berdasarkan teori

gelombang linier :

dfdkd

kdfEgS wxx

5.0)1(cos

2sin

215.0),( 2 (3.46)

dfdkd

kdfEgS wxy

2sin

2sin

215.0

2

),( (3.47)

dfdkd

kdfEgS wyy

5.0)1(sin

2sin

215.0),( 2 (3.48)

Gradien tegangan radiasi dihitung sebagai :

y

S

x

S xyxxx

(3.49)

y

S

x

S yyxy

y

(3.50)

33

dengan nilai τx/ρw dan τy/ρw adalah output dari STWAVE yang digunakan dalam

sirkulasi model.

3.4. Model GENESIS

GENESIS merupakan model garis pantai tunggal (one line model) yang

mensimulasikan perubahan garis pantai atau maju mundurnya garis pantai

berdasarkan adanya angkutan sedimen sejajar pantai. Model numerik GENESIS ini

dapat mensimulasikan pengaruh bentuk pantai sendiri dan dibuat untuk memprediksi

daerah yang mengalami akresi dan erosi, (Hanson and Kraus, 1989).

A. Asumsi Dasar

Perubahan posisi garis pantai digambarkan oleh satu garis kontur, sedangkan

akresi dan erosi pantai digambarkan dengan volume suatu sedimen. Sedimen

dipindahkan sepanjang pantai di antara dua batas elevasi profil yang tertentu. Batas

ke arah pantai terletak pada bagian atas berm aktif dan batas ke arah laut terletak

pada kedalaman yang sudah tidak terjadi perubahan yang berarti (significant).

Pembatasan perpindahan profil di antara dua batas tersebut untuk menentukan

parameter perubahan volume pada tampang melintang pantai. Angkutan sedimen

sepanjang pantai semata-mata hanya dihasilkan oleh gelombang datang, tidak

memperhitungkan angkutan yang dihasilkan oleh arus pasang surut, angin atau

sumber gaya lainnya.

B. Persamaan Pembentuk

Untuk memperkirakan perubahan garis pantai diperlukan dua persamaan

dasar yaitu persamaan kontinyuitas sedimen dan persamaan laju angkutan sedimen

sejajar pantai. Persamaan kontinyuitas sedimen pembentuk posisi garis pantai

adalah :

0)(

1

q

x

Q

DDt

y

CB

(3.51)

dengan : ∂y = perubahan posisi pada garis pantai (m),

∂t = interval waktu (jam),

34

∂x = panjang segmen garis pantai (m),

Q = resultan laju volume transpor sedimen sejajar pantai (m3/tahun),

q = laju sedimen yang masuk dan keluar profil dari darat dan laut

(m3/det/m), q = qs + qo,

qs = laju sedimen yang masuk atau keluar selebar unit garis pantai

(m3/det/m),

qo = laju sedimen dari arah laut (m3/jam/m),

DB = tinggi berm dari MSL (m),

DC = tinggi dari MSL ke kedalaman profil yang terpindahkan (m),

Pada model perubahan garis pantai tunggal, asumsi dasar yang digunakan

adalah bahwa profil pantai aktif berpindah secara pararel sampai suatu kedalaman

tertentu, DS = DB + DC atau sampai profil tidak berubah lagi. DS dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan Hallermeier (1983) dalam Hung (2008) seperti

ditunjukkan pada Persamaan (3.54) berikut ini :

0

0

0 )90.1030.2( HL

HDS (3.52)

dengan : DS = kedalaman tertentu sampai profil pantai tidak berubah lagi (m),

H0 = tinggi gelombang di laut dalam (m),

L0 = panjang gelombang di laut dalam (m).

Laju perubahan volume adalah ,..

t

yxDs

t

V

dan perubahan ini dikontrol oleh

laju bersih pasir yang masuk dan keluar dari keempat sisi seperti ditunjukkan pada

Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Skematis perubahan garis pantai. (Sumber : Hanson and Kraus, 1989)

35

3.4.1. Analisis Transpor Sedimen Sejajar Pantai (Longshore Transport)

Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang

disebabkan oleh gelombang, arus dan pasang surut. Daerah transpor sedimen ini

terbentang dari garis pantai sampai tepat di luar daerah gelombang pecah

(Triatmodjo, 1999).

Transpor sedimen sepanjang pantai banyak menyebabkan permasalahan

seperti pendangkalan di pelabuhan, erosi pantai dan sebagainya. Oleh karena itu

prediksi transpor sedimen sepanjang pantai adalah sangat penting. Beberapa cara

yang biasa digunakan untuk memprediksi transpor sedimen sepanjang pantai adalah

sebagai berikut ini :

a. cara terbaik untuk memperkirakan transpor sedimen sejajar pantai pada suatu

tempat adalah mengukur debit sedimen di lokasi yang ditinjau.

b. peta atau pengukuran yang menunjukkan perubahan elevasi dasar dalam

suatu periode tertentu dan memberikan petunjuk tentang transpor sedimen.

Cara ini terutama baik apabila di daerah yang ditinjau terdapat bangunan

yang biasa menangkap transpor sediemen sepanjang pantai misalnya groin,

jetty, breakwater dan sebagainya.

c. rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang pecah di daerah

yang ditinjau.

Perumusan empiris untuk menghitung jumlah angkutan sedimen sejajar

pantai, menggunakan persamaan yang digunakan dalam GENESIS yakni :

b

bsbsbgx

HaacHQ

cos2sin)( 21

2 (3.53)

dengan : H = tinggi gelombang (m),

cg = kecepatan group gelombang (m/det),

Subskrip b = menunjukkan kondisi gelombang pecah,

θbs = sudut gelombang terhadap garis pantai.

Dan parameter non dimensi a1 dan a2 adalah :

2/5

11

)416.1()1()1(16 p

a

w

s

(3.54)

36

2/7

22

)416.1(tan)1()1(8

p

a

w

s

(3.55)

dengan : κ1, κ 2 = parameter kalibrasi,

ρs = rapat massa pasir (2.65 x 103 kg/m

3 untuk pasir kuarsa),

ρw = rapat massa air laut (1.03 x 103 kg/m

3),

p = porositas sedimen di dasar (0.40),

tan β = kemiringan dasar rerata pantai,

Faktor 1.416 = digunakan untuk konversi dari Hs ke Hrms.

3.4.2. Laju Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai

GENESIS memberikan output yang terdiri dari laju angkutan kotor (gross)

dan laju angkutan bersih. Laju angkutan kotor merupakan penjumlahan angkutan ke

kanan dan ke kiri melewati suatu titik pada garis pantai pada suatu periode yang

ditentukan. Persamaan laju angkutan kotor ditunjukkan oleh Persamaan (3.56)

sebagai berikut :

ltrtg QQQ (3.56)

dengan : Qg = laju angkutan sedimen kotor (gross),

Qrt = angkutan sedimen ke arah kanan,

Qlt = angkutan sedimen ke arah kiri.

Arah angkutan sedimen ke arah kanan (+) dan ke arah kiri (-) ditetapkan

berdasarkan arah kanan dan kiri pengamat yang berdiri di tepi pantai menghadap ke

arah laut.

Laju angkutan bersih adalah selisih antara pergerakan angkutan ke kiri dan

ke kanan melewati suatu periode waktu yang ditentukan. Laju angkutan bersih

menunjukkan suatu bagian pantai yang mengalami akresi atau erosi, karena laju

angkutan bersih merupakan jumlah vektor laju angkutan sedimen. Persamaan laju

angkutan bersih ditunjukkan oleh Persamaan (3.57) sebagai berikut :

37

ltrtn QQQ (3.57)

dengan : Qn = laju angkutan sedimen bersih (netto),

Qrt = angkutan sedimen ke arah kanan,

Qlt = angkutan sedimen ke arah kiri.

3.5. Model NEMOS versi 4.03

NEMOS (Nearshore Evolution MOdeling System) adalah salah satu bagian

dari modul pantai (beach) yang terdapat dalam software CEDAS. Dalam NEMOS

tersebut terdapat beberapa komponen sistem model, namun yang digunakan dalam

penelitian ini, terdiri dari dua komponen model yakni :

a. GENESIS (GENEralized model for SImulating Shoreline change),

b. STWAVE (STeady state spectral WAVE) yang merupkan sub modul untuk

transformasi dan membangun spektrum gelombang steady-state. Modul ini

menggunakan metode beda hingga (finite difference method) dengan berdasar

pada pembangkitan dan penjalaran dengan grid rektilinear 2 dimensi.

Dalam menjalankan kedua model tersebut diperlukan beberapa perangkat

lunak/modul-modul untuk mensimulasikan perubahan garis pantai yaitu :

GRIDGEN (Grid Generation) adalah sub modul dalam NEMOS untuk

membangun spatial domain dari wilayah kajian.

SPECGEN (Spectra Generation) adalah sub modul untuk impor data,

membangun dan menampilkan spektrum gelombang untuk STWAVE.

WSAV (Wave Statistical Analysis and Visualisation) adalah sub modul untuk

analisis statistik dari data seri kejadian gelombang, menampilkan grafik hasil

analisis serta menghasilkan kejadian gelombang yang representative untuk

simulasi.

WMV (Wave Model Visualization) adalah aplikasi untuk menampilkan hasil

simulasi dalam bentuk gambar maupun grafik.

WWWL (Wave, Wind, & Water Level editor) adalah sub modul yang digunakan

untuk editing data gelombang, angin, dan tinggi muka air.

38

WISPH3 (Wave Information System Phase 3 Transformation) adalah sub modul

untuk transformasi spektral data gelombang.

Uraian di atas dapat dilihat dalam program CEDAS versi 4.03, seperti tampak

pada Gambar 4.5 berikut ini.

Gambar 3.5. Modul beach dalam program CEDAS versi 4.03.

3.5.1. Prosedur Pemodelan Perubahan Garis Pantai

Dalam penelitian ini, prosedur untuk pemodelan perubahan garis pantai

39

(Shoreline Change Modeling) dalam perangkat lunak CEDAS version 4.03 adalah

sebagai berikut :

a. Menetapkan time series gelombang di laut lepas (offshore)

Impor ke dalam NEMOS,

Analisis statistik.

b. Menetapkan input data untuk model gelombang

Grid Generation (GRIDGEN) dengan langkah/step sebagai berikut :

Import to bathymetry, triangulate, inspect/modify, define grid region,

generate grid, inspect/modify, save Spatial Domain file. Specify station

locations, inspect/modify, sort station, save Station file. GRIDGEN allows

automated station selection and GENESIS grid generation-save GENESIS

Spatial Domain file,

Input spectra (SPECGEN) dengan step sebagai berikut :

Import wave information, transform (WISPH3), filter, Statistically analyze

(WSAV), save Permutation file, generate input spectra (SPECGEN), save

Spectrum file.

c. Configurasi model gelombang (Configure Wave Model), STWAVE

Model Settings / File associations dengan step sebagai berikut :

Title, wind, and water level specifications, input and ouput file associations,

save Configuratuon file,

Simulasi, visualisasi (WMV).

d. Menetapkan input untuk GENESIS

Configuration / Set-up dengan urutan sebagai berikut :

a) Simulation title, units, Start/End dates, time step, animation time step,

b) Offshore and nearshore wave, print ouput, and visualization file

associations,

c) Beach, sand, and transport specifications,

d) Boundary condition, BC (kondisi batas), terdiri dari 2 (dua) yakni:

Seaward BC Wave Data dan Lateral BC.

Spatial Domain :

a) Shoreline position information –import, coordinate transformation, model

40

reach preparation,

b) Structure –position in grid, length, permeability, transmission, etc.,

c) Engineering activities –beach fill, bypassing, etc.,

Calibrate / Veryfy (kalibrasi / verifikasi),

Simulate / Forecast (simulasi / prediksi).

Secara umum proses pengoperasian model GENESIS dan model STWAVE

dapat dilihat pada Gambar 3.6 dan Gambar 3.7 berikut ini.

Gambar 3.6. Bagan alir model GENESIS.

41

Gambar 3.6. Bagan alir model STWAVE.

3.5.2. Kalibrasi Model

Kalibrasi model adalah proses pengujian parameter-parameter kalibrasi

model, sehingga hasil keluaran model mendekati kenyataan yang ada. Kalibrasi

sangat diperlukan untuk mendapatkan parameter-parameter yang akan digunakan

sebagai data input untuk pemodelan prediksi perubahan garis pantai dengan program

GENESIS. Pada model GENESIS parameter kalibrasi adalah κ1 dan κ2 serta nilai

penghalusan (smoothing) kontur lepas pantai. Parameter-parameter lain yang

dianggap berpengaruh dalam penentuan hasil keluaran model adalah D50, DB

(berm elevation) dan DC (depth of closure) yang ditentukan berdasarkan karakteritik

data lapangan dan hasil survei profil. Data input yang menghasilkan nilai kesalahan

terkecil pada hasil kalibrasi akan digunakan sebagai data input/masukan untuk

prediksi perubahan garis pantai pada tahun berikutnya.

42

3.5.3. Interpretasi Hasil

Interpretasi hasil simulasi/prediksi dilakukan berdasarkan hasil ukuran

model dalam bentuk angka yang terdapat dalam file keluaran model dalam

perangkat lunak NEMOS. Tampilan grafis terutama digunakan untuk interpretasi

hasil secara kualitatif dan keluaran berupa angka digunakan untuk interpretasi

secara kuantitatif. Hasil keluaran model meliputi posisi garis pantai untuk

berbagai interval waktu simulasi/prediksi, besarnya volume perubahan garis pantai,

besarnya angkutan sedimen bersih dan kotor dan arah angkutan/transpor sedimen

sejajar pantai untuk setiap sel grid.