teks-teks sufistik junaid...

22
TEKS-TEKS SUFISTIK JUNAID AL-BAGHDADI Makalah Disampaikan pada Diskusi Bulanan Dosen Tanggal, 18 Oktober 2013 Oleh : Muhamad Nur, S.Ag., M.S.I NBM : 1072933 SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) MUHAMMADIYAH KENDAL 2013

Upload: lyphuc

Post on 27-Jun-2019

239 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

TEKS-TEKS SUFISTIK

JUNAID AL-BAGHDADI

Makalah

Disampaikan pada Diskusi Bulanan Dosen

Tanggal, 18 Oktober 2013

Oleh :

Muhamad Nur, S.Ag., M.S.I

NBM : 1072933

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)

MUHAMMADIYAH KENDAL

2013

1

TEKS-TEKS SUFISTIK

JUNAID AL-BAGHDADI

Oleh : Muhamad Nur, S.Ag, M.S.I

Abstrak: Imam Junaid al-Bagdadi adalah tokoh legendaris tasawuf

atau sosok sufisme papan atas yang merupakan peletak jalan tasawuf

dan tarekat di atas fondasi al-Quran dan sunnah. Hal ini yang menjadi

faktor utama yang melatarbelakangi sikap akomodatif sebagaian besar

kaum muslimin terhadap pendapat-pendapatnya. Imam Junaid al-

Bagdadi bin Muhammad, pemuka golongan sufi, tokoh garda depan

jamaah sufi, imam ahli hirfah (teknokrat), syaikh tarekat tasawuf, ikon

wali pada masanya, dan pahlawan kaum arif. Imam Junaid al-Bagdadi

bin Muhammad meninggal tahun 298 Hijriyah, dengan menyandang

gelar mulia sebagai “Sayyid ath-Tha`ifah” (pemuka golongan) di

kalangan kaum sufi.

Kata Kunci: Integrasi Tasawuf dengan Syariat, Maqamat, Ahlwal.

A. PENDAHULUAN

Imam Junaid al-Baghdadi hidup pada awal abad ke-3 Hijriyah. Al-Junaid

yang nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Junaid

al-Khazzaz al-Qawariri dikenal dengan pendapat-pendapat sufistiknya yang jelas

dan elaboratif dalam banyak sisinya sehingga kemudian dikenal dalam sejarah

dengan julukan Syeikh al-Thaifah (Ketua Rombongan Suci).1

Predikatnya sebagai tokoh legendaris tasawuf atau sufi papan atas

menjadikan beberapa aspek penting dari ujaran-ujaran Junaid al-Bagdadi yang

menjadi alasan penghormatan sebagian besar kaum muslimin terhadapnya, baik

ketika masih hidup atau sesudah wafatnya. Penjelasannya mengenai rambu-rambu

jalan menuju Allah, paparannya tentang makna-makna maqamat atau maksud dari

ahwal, seruannya untuk ber-mujahadah secara berkesinambungan, atau

Makalah dipresentasikan pada Acara Diskusi Dosen STIT Muhammadiyah Kendal

tanggal 18 Oktober 2013

Dosen STIT Muhammadiyah Kendal 1 Muhammad Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 24. Ulama yang lain menyebutnya Sayyid ath-Tha`ifah (Pemuka

Golongan Kaum Sufi), atau Taj al-`Arifin (Mahkota Kaum Arif), lihat Muhammad Fauqi Hajaj,

Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta : Amzah, 2011), hlm. 75 dan 89.

2

deklarasinya bahwa jalan tasawuf berlandaskan al-Quran dan sunnah,

apresiasianya terhadap ilham, perhatiannya pada proses pembelajaran normatif,

dan isu-su lain yang menuntun umat Islam pada keagungan posisinya di ranah

tasawuf.

Penting juga mengidentifikasi sikap al-Junaid murid dari Sari al-Saqati,

al-Muhasibi, Muhammad al-Qassab, Ibn al-Qaranbi, dan al-Qantari. Al-Saqati

terhadap beberapa isu yang menunai kritik tajam terhadap sekelompok sufi

generasi belakangan (yang datang setelahnya), misalnya masalah fana`, hulul,

tauhid, dan masalah-masalah lainnya yang menunjukkan sisi kebenaran pemikiran

sufistiknya.

B. PEMBAHASAN

1. Biografi Junaid al-Baghdadi

Junaid al-Baghdadi, nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin

Muhammad al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di kota

Baghdad, Iraq. Al-Junaid berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di

Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn al-Junaid,

seorang pedagang barang pecah belah yang sangat arif. Al-Junaid sendiri mata

pencahariannya adalah pedagang sutera di kota Baghdad.2

Al-Junaid memperoleh didikan agama dari pamannya Sari al-Saqati,

seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan

al-Junaid, seluruh pelajaran agama yang diberikan paman diserapnya dengan baik.

Menginjak usia 20 tahun al-Junaid belajar ilmu Hadits dan Fiqh kepada

Abu Thawr seorang faqih terkenal di Baghdad. Al-Junaid tumbuh menjadi

seorang faqih di bawah bimbingan guru ini. Menguasai ilmu Fiqh, bagi al-Junaid,

mempunyai arti penting untuk menguasai ilmu tasawuf. Menurut al-Junaid,

dengan menguasai ilmu fiqih terlebih dahulu, maka praktik ajaran sufisme akan

tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor al-Quran dan Hadits. 3

2 Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka,

1985), hlm. 110 3 Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual, Menuju Insan Kamil, (Semarang : Pustaka

Nuun, 2004), hlm. 58.

3

Mengenai Al-Junaid, diakui oleh Fazlurrahman, sebagai contoh sufi-sufi

profesional yang gemilang dengan sikap dan pembaharuan yang teguh dan

dilakukan untuk menyelesaikan ketegangan dan tantangan pada masanya.4 Al-

Junaid juga merupakan guru sufi yang mengajarkan kebijakan dan sistem klasikal

penempuhan jenjang kesufian secara sempurna.

Guru al-Junaid tentang ilmu tasawuf adalah Sari al-Saqati, al-Muhasibi,

Muhammad al-Qassab, Ibn al-Qaranbi, dan al-Qantari. Al-Saqati, paman dan guru

al-Junaid adalah orang Persia, sedang al-Muhasibi merupakan guru tasawuf al-

Junaid yang berasal dari keturunan Arab, namun lahir di Basrah, sementara

Muhammad al-Qassab (wafat 275 H) menurut al-Junaid adalah guru sufi yang

paling utama baginya. Adapun murid-murid al-Junaid yang terkenal antara lain

`Amru ibnu `Ustman al Makki, Abu Muhammad al-Jariri, Abu al-`Abbas ibnu

`Atha al-Adami, Abu Bakar al-Washiti, Abu `Ali al-Rudbari, Abu Bakar al-

Kattani, Abu Ya`qub al-Nahrjudi, al-Shibli, dan al-Hallaj.5

2. Karya-karya Junaid al-Baghdadi

Al-Junaid pernah menulis kitab berjudul al-Munajat dan Shar Shathiyat

Abi Yazid al-Bistami. Al-Junaid juga menulis buku berjudul Tashih al-Iradhah,

Dawa Al-Tafit, dan al-Rasa’il. Al-Rasa`il selain berisi surat-surat al-Junaid yang

dikirimkannya kepada para murid dan sahabatnya seperti `Amru ibnu `Ustman al

Makki, Yahya ibnu Mu`adz al-Razi, Ya`qub Yusuf ibnu Husain al-Razi, kitab ini

juga memuat ajaran-ajaran al-Junaid sendiri berupa tulisan para muridnya ketika

menerima pelajaran.6

3. Teks-teks Sufistik Junaid al-Baghdadi

a. Rambu-rambu Jalan Menuju Allah

Jalan menuju Allah menurut al-Junaid dimulai dengan taubat nashuha

yang sesungguh-sungguhnya, yaitu komitmen melepaskan diri dari segala dosa,

kemudian takut kepada Allah yang mengapus rasa ghurur seorang hamba

4 Triyoga A. Kuswanto, Neo-Sufisme Jalan Sufi Nurcholish Madjid, (Yogyakarta : Pilar

Media, 2007), hlm. 112. 5 Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Op. Cit, hlm. 258.

6 Ali Hasan Abdul Qadir, Rasail al-Junaid, hlm. pendahuluan.

4

terhadap amalnya, kemudian berharap kepada Allah yang mengacu ketaatan,

dan muraqabah yang mengisi relung hati hamba sehingga membuatnya selalu

memandang kebesaran Allah SWT.7

Jalan menuju Allah memuat jenjang-jenjang maqamat dan ahwal yang

harus dilalui para murid untuk mencapai kedekatan dengan Allah, sehingga

menumbuhkan cinta kepada Allah (mahabbah lillah).

Penjelasan Imam Junaid al-Baghdadi mengenai mahabbah lillah ini

berbeda dengan pandangan umum masyarakat. Mahabbah lillah menurut

penafsiran al-Junaid adalah mencintai sesuatu yang dicintai Allah pada hamba-

hamba-Nya dan membenci sesuatu yang dibenci Allah pada hamba-hamba-

Nya.8 Penjelasannya yang lugas dan jelas tentang mahabbah tersebut, sengaja

dilakukan al-Junaid agar tidak memancing perdebatan dengan ahli Fiqh pada

zamannya yang tidak bisa menerima model syair ghazl (rayuan) yang

diungkapkan tokoh sufi mengenai mahabbah .

Jalan tasawuf secara umum tersimpul pada usaha murid sendiri dalam

menjalani perilaku riyadhah dan mujahadah, kesiapannya untuk berperilaku

zuhud terhadap keduniaan, dedikasinya dalam mendekatkan diri kepada Allah

dengan ibadah. Al-Junaid berkata :

“Kami tidak mempelajari tasawuf dengan omong kosong, akan tetapi

dengan lapar, meninggalkan keduniaan, memutus hal-hal yang sudah

terbiasa dan bersifat tersier. Sebab tasawuf adalah kesucian interaksi

bersama Allah yang berpangkal pada keberpalingan dari dunia. Aku

palingkan diri dari dunia, lalu aku bergadang mengarungi malamku

dan berlapar dahaga mengarungi siang”.9

Penjelasan al-Junaid mengenai jalan tasawuf sangat jelas dan lugas

sehingga bisa dipahami oleh kalangan khusus maupun kalangan umum

(meskipun ada statement al-Junaid yang memerlukan isyarat mendalam tentang

tauhid al-khashshah yang sangat sulit sekali dicerna oleh sebagian kalangan).

Kompetensi ini merupakan salah satu keistimewaan tersendiri bagi al-Junaid

7 Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000),

hlm. 70. 8 Ibid, hlm. 73.

9 Muhammad Amin Syukur dan Masyharuddin, Op. Cit, hlm. 26.

5

yang membuatnya disegani dan dihormati oleh kalangan pendukung tasawuf

maupun kalangan penentang tasawuf.

b. Maqamat Sufi

Maqamat dan ahwal merupakan subtansi jalan tasawuf. Al-Junaid

memberi wawasan lebih jelas ketika menafsirkan maqamat yang bersama-sama

dengan ahwal merupakan subtansi jalan bagi murid dalam mendaki jalan sufi.

1) Taubat

Taubat menurut al-Junaid memiliki tiga pengertian : (1) sesal; (2) tekad

untuk tidak mengulangi perbuatan yang dilarang Allah; dan (3) usaha

mengembalikan mazhalim (orang yang dizalimi).10

Konsep taubat tersebut menunjukkan seseorang yang bertaubat harus

menyesali tidak kelalaian terhadap Allah yang telah terjadi, disertai tekad kuat

melekatkan diri dengan jalan tasawuf, dan usaha serius mengembalikan sesuatu

yang dahulu diperolehnya secara tidak sah kepada pemilik aslinya.

Landasan jalan tasawuf yang benar adalah taubat sesungguh-sungguhnya

yang menjadi titik tolak seorang hamba dalam meninggalkan dosa-dosa secara

total. Setelah itu orang yang bertaubat harus menaiki tangga-tangga jalan

tasawuf dan jenjang-jenjang irfan sehingga bisa melupakan maksiat yang

sebelumnya telah menghalangi dari pencapaian. Saat kondisi seperti ini, orang

tersebut menduduki satu posisi spiritual yang membuatnya tidak ingat apa-apa

selain Allah (fana), yaitu martabat al-muthaqqiqin.

2) Al-Wara`

Al-wara` menurut penafsiran al-Junaid tidak terbatas pada pencarian rizki

yang halal dengan menghindari syubhat-syubhat di dalamnya, melainkan juga

mencakup komitmen menjaga diri untuk tidak mengucapkan kata-kata/hal-hal

yang tidak diridhai Allah. Al-Junaid mengatakan : Menjaga sikap al-wara`

dalam berbicara lebih berat daripada al-wara` dalam bekerja mencari rizki.11

10

Abu al-Qasim al-Qusaeri, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (Mesir : Dar al-Khatib al-Arabi,

1996), hlm. 258-259. 11

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 221

6

3) Zuhud

Zuhud menurut penafsiran al-Junaid berpangkal pada pemurnian hati dari

ketertarikan yang sangat pada dunia agar manusia tidak berpaling dari Allah

dan tidak terkotori kesuciannya bersama Allah. Zuhud sangat erat dengan

makna qana`ah yang ditafsirkan al-Junaid sebagai mencukupkan diri dengan

apa yang ada saat ini tanpa menatap ke masa depan yang jauh karena percaya

sepenunya dengan rezeki yang dijamin Allah bagi setiap makhluk. 12

Sikap al-Junaid ini sarat dengan hikmah dan kebenaran sebab menatap ke

masa depan dengan penuh ambisi akan menimbulkan depresi psikologis bagi

pelakunya sehingga tergelincir pada hal-hal yang diharamkan. Apa yang

dikemukakan al-Junaid mengandung pesan bahwa ambisi besar mencari

kekayaan bisa menyeret pelakunya untuk menghalalkan segala macam cara,

termasuk cara-cara ilegal yang bertentangan dengan hukum Islam.

Zuhud yang berarti kekosongan hati dari cinta dunia termasuk langkah

membantu seseorang menyiapkan hatinya agar bisa menerima hikmah dari

Allah sebab hatinya kosong dari selain Allah.

4) Fakir

Fakir menurut penafsiran al-Junaid merupakan simbul atau jargon orang-

orang yang menghadap Allah dengan lebih banyak ibadah dalam khalwat.

Kadang-kadang kefakiran memiliki indikator lahiriyah yang bisa membedakan

sebagian kaum dengan yang lain sebab mereka adalah orang-orang yang

membutuhkan Allah secara lahir dan batin. Al-Junaid menginginkan setiap

fakir meluruskan hubungannya dengan Tuhannya sehingga lahiriyahnya

menunjukkan apa yang ada di batinnya, dan batinnya membenarkan apa yang

ditunjukkan lahirnya. Konsep ini menunjukkan bahwa setiap fakir harus harus

bebas dari klaim atau pengakuan. Al-Junaid berkata : Wahai orang-orang fakir

sekalian, kalian mengenal Allah dan memuliakan Allah maka perhatikanlah

bagaimana kalian bersama Allah saat kalian menyendiri dengan-Nya.13

Ketulusan dalam status kefakiran yang hanya ditujukan kepada Allah saja

membuat sang fakir sejati tidak mau mengemis dan meminta-minta pada

12

Ibid. hlm. 222. 13

Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit., hlm. 539.

7

manusia karena sudah merasa sudah cukup kaya dengan apa yang diperolehnya

di sisi Allah. Sikap ini juga mendorongnya untuk tidak berdebat dan bersilaf

lidah dalam masalah agama sehingga orang fakir adalah orang yang tidak

memusuhi siapapun, dan jika dimusuhi orang fakir sejati diam.

5) Sabar

Idealisme orang yang sabar adalah mampu menanggung penderitaan

sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah sampai duka berlalu. Jalan

menuju Allah berasaskan iman kepada-Nya, dan setiap mukmin bisa meniti

jalan tersebut jika memang mau bersabar, mengingat penapakan jenjang-

jenjang di dalamnya membutuhkan kesabaran ekstra. Kondisi tersebut

umumnya jarang dimiliki oleh kebanyakan orang karena jalan ini menuntut

seseorang untuk lebih banyak lagi menghadap kepada Allah dengan khalwat

dan dzikir. Sabar juga memuat segala jenis riyadhah untuk mendidik nafsu, dan

setelah sampai maka diperoleh kasyf atau musyahadah, lalu terkadang sebagian

orang menuturkan ilham yang diperolehnya tersebut saat kondisi tidak sadar

dengan ungkapan yang musykil. Semua ini menuntut kesabaran, dan kesabaran

yang paling berat adalah kesabaran bersama Allah. Al-Junaid menegaskan :

Perjalanan dari dunia ke akhirat mudah dan ringan bagi orang mukmin,

meninggalkan khalayak manusia di sisi Allah berat. Perjalanan dari nafsu ke

Allah sulit dan berat, namun lebih berat lagi kesabaran bersama Allah.14

6) Ridha

Ridha menurut al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan penyerahan diri

seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah ditetapkan sejak zaman azali.

Ridha berarti melepas ikhtiar. Melapas ikhtiar tidak berarti bahwa seseorang

menjadi fatalis dalam segala perbuatan yang dilakukannya. Melepas ikhtiar

dalam perspektif al-Junaid berarti ridha dengan qadha Allah dalam bentuk

cobaan-cobaan yang diujikannya kepada hamba-Nya, terkait insiden-insiden di

mana manusia tidak memiliki peran/otoritas intervensi dalam pelaksanaannya.

Ridha dalam pengertian ini menurut al-Junaid merupakan salah satu

derajat ma`rifah billah, jalan kesinambungan ma`rifah billah, dan sarana

14

Ibid, hlm. 397-398.

8

meraih keabadian ridha-Nya. Ridha juga menjadi sarana meraih kebahagiaan

hidup, karena buah dari ridha menurut al-Junaid adalah kehidupan yang

nyaman dan menenteramkan hati. 15

7) Tawakal

Tawakal menurut al-Junaid berarti percaya sepenuhnya kepada Allah

sebagai penjamin rezeki bagi setiap makhluk hidup. Tawakal adalah

kebersandaran hati pada Allah, yakni perasaan kuat terhadap Allah yang

memenuhi segenap diri seseorang sehingga membuatnya selalu menyandarkan

hatinya kepada Allah.16

Tawakal yang ditawarkan al-Junaid ini sesuai dengan konsep Islam yang

mengharuskan seseorang bekerja sekaligus bersandar kepada Allah dalam hati.

Al-Junaid sendiri merupakan contoh nyata orang yang bertawakal, tetap

bekerja sambil aktif beribadah. Sambil menunggu kiosnya, wiridnya tiga ratus

rakaat dan seribu bacaan tasbih.

c. Ahwal Sufi

Imam al-Junaid memberikan penjelasan tentang perilaku-perilaku spiritual

(al-ahwal) yang bersama-sama dengan maqamat merupakan inti hakikat tasawuf.

1) Muraqabah Lillah

Al-Junaid menyebutkan bahwa muraqabah lillah merupakan langkah

pertama realisasi tauhid. Muraqabah Lillah adalah perasaan berlimpah bahwa

segala sesuatu yang ada mengambil wujud dan kelangsungan eksistensinya dari

Allah Yang Maha Esa. Muraqabah Lillah merupakan sikap ihsan dalam

beribadah sebab Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.17

Orang yang benar-benar dalam kondisi muraqabah, hatinya fokus kepada

Allah SWT dan tidak menengok kepada siapapun selain kepada Allah SWT.

Seseorang tidak akan sedih atas bagian nafsu diri yang tidak diperolehnya

sebab seluruh pikirannya hanya terfokus pada pendedikasian diri dalam

muraqabah lillah.

15

Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Op. Cit, hlm.131. 16

Triyoga A. Kuswanto, Op. Cit., hlm. 79 17

Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit, hlm 87..

9

2) Al-Qurb (Kedekatan Allah)

Kedekatan Allah menurut al-Junaid adalah kedekatan ke hati yang

semarak dengan keimanan. Semakin banyak intensitas seseorang mendekatkan

diri kepada Allah maka semakin bertambah kedekatan Allah ke hatinya.

Perasaan seseorang akan kedekatan Allah dengannya jika terus menguat

maka orang tersebut telah berada dalam status wajd atau dzauq, di mana

berbagai jenis pengetahuan tersingkap di hadapannya, juga rahasia-rahasia

tauhid yang terlalu rumit/njilmet untuk digambarkan sebab kerumitan tauhid

tersebut termasuk kategori isyarat. Inilah yang disebut kaum sufi dengan istilah

jam`. Perasaan seseorang akan kedekatan dengan Allah dengannya, baik dalam

kondisi jam` atau kondisi lainnya, seyogyanya tetap berada dalam bingkai

pensucian Allah sepenuhnya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya. Dekat

namun tidak saling bersua, jauh namun tidak terpisah.18

3) Mahabbah Lillah (Cinta Allah)

Cinta Allah menurut al-Junaid dalam pengertian yang paling tinggi

berarti ke-fana`-an seseorang yang mencintai dari melihat dirinya atau dari

keberpalingan dari bagian-bagiannya karena larut dengan kesibukannya

mencintai Tuhannya, terus berdzikir, menunaikan hak-hak Allah dengan

melakukan ketaatan ekstra, dan penengokan hatinya kepada-Nya sehingga

seorang menjadi bersih dan murni, tergila-gila oleh cinta Allah, dan terbakar

hatinya di dalamnya. Jika berbicara, hanya tentang Allah, dan jika diam, hanya

karena Allah. Bergerak dengan Allah dan diam bersama Allah. Seluruh

hidupnya dipenuhi perasaan yang kuat akan Allah dan kecintaan kepada-Nya.19

Kondisi mahabbah lillah di mana pecinta Allah merasakan fana` dari

melihat dirinya dan selain Allah, sesekali bisa membawa seorang sufi pada

kondisi mabuk, kemudian berbicara dengan ucapan yang musykil yang susah

dipahami akibat mabuk asmara atau terlalu cinta sehingga ditentang oleh

kalangan kontra-tasawuf. Padahal seseorang tidak mengucapkan hal tersebut

kecuali karena kesejatian cintanya kepada Tuhannya, tanpa unsur pantheisme.

18

Muhammad Shalikhin, Op. Cit, hlm. 122. 19

Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit, hlm. 89.

10

4) Khauf min Allah (Takut kepada Allah)

Perasaan takut kepada Allah menurut al-Junaid seyogyanya memenuhi

setiap diri seorang hamba sehingga selalu mawas diri mengantisipasi

kemungkinan jatuhnya siksa Allah setiap saat. Al-Junaid mengatakan bahwa

takut adalah mengantisipasi turunnya siksa pada saat napas mengalir.20

Takut kepada Allah memacu seseorang untuk tidak cepat puas dengan

amal-amal salihnya, sehingga bisa membebaskan diri rasa „ujub

(membanggakan diri).

5) Raja` Fillah (Berharap Penuh kepada Allah)

Sikap berharap penuh terhadap Allah menurut al-Junaid seyogyanya

membangkitkan gairah seseorang untuk mencari lebih banyak amal kesalihan,

bukan sebaliknya, meremehkan kewajiban-kewajiban atau melanggar

keharaman karena tamak dengan rahmat-Nya atau optimis mendapat ampunan-

Nya. Al-Junaid mengatakan bahwa jalan menuju Allah adalah harap yang

memotivasi ke jalan kebajikan.21

6) Syauq Ilallah (Rindu Allah)

Kerinduan kepada Allah menurut al-Junaid adalah kondisi emosional

yang memacu seseorang pada hasrat yang menggebu-gebu untuk mencapai

kebersamaan, meskipun banyak sekali rintangan yang menghadang

perjalanannya menuju Allah.22

Al-Junaid kurang menyukai banyaknya isyarat-isyarat kaum musytaqin

pada saat dilanda wajd (ekstase) karena ucapan-ucapan yang terlontar dari

mulutnya seringkali tidak bisa dipahami (musykil).

7) Al-Uns Billah

Menurut al-Junaid al-Uns billah juga merupakan kondisi emosional yang

mengkombinasikan antara perasaan bahagia secara spiritual dan perasaan segan

dengan Allah.23

Selama perasaan segan terhadap Allah masih ada ketika

20

Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit., hlm. 310 21

Sudirman Teba, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa,

(Jakarta : Yayasan Paramadina, 2004), hlm. 134-135. 22

Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit, hlm. 89. 23

Syaikh Fadhlalla Haeri, Op. Cit., hlm. 72

11

seseorang mengalami kondisi uns maka menurut kaum sufi penghormatan tetap

ada , tanzih (pensucian Allah dari hal-hal yang tidak selayaknya diniscayakan,

dan hulul (kesatuan hamba dan Tuhan) ditolak.

8) Musyahadah

Musyahadah menurut al-Junaid adalah jenis pengetahuan tentang alam

ghaib dengan media mata bathin (al-asrar). Musyahadah merupakan

penjangkauan alam ghaib dengan medium kebeningan cahaya yang masuk ke

dalam hati sebagai buah kebersihan hati dari segala sesuatu selain Allah dan

konsentrasi himmah pada Allah. Al-Junaid berkata :

Hakikat musyahadah adalah eksisitensi al-Haqq dan ketiadaan seseorang.

Musyahadah merupakan penyaksian perkara ghaib dengan medium

cahaya-cahaya mata bathin (anwar al-asrar) yang terpancar dari dalam

hati yang murni dari noda kotoran dan bersih dari selain Allah sehingga

seolah-olah melihat alam ghaib dari balik satir tipis karena beningnya

pengetahuan tersebut.24

9) Yaqin.

Yaqin menurut al-Junaid berarti pembenaran dan determinasi dalam

akidah atau yakin berarti ketiadaan ragu sama sekali. Hanya saja, dalam

konteks sufisme, hal itu diperoleh dengan meniti jalan tashfiyyah (purifikasi

hati) yang mengantarkan pelakunya pada kasyf dan ilham, bukan dengan

deretan bukti-bukti demonstratif (burhan) atas masalah-masalah teologis yang

disampaikan Rasulullah, karena metode tersebut mengandalkan pemosisian

masalah-masalah teologis dalam bingkai penelitian dan pengamatan, sementara

pemosisian di depan akal manusia pada level tertentu mengisyaratkan bahwa

persoalan teologis tersebut tidak bisa diterima kebenarannya secara aksiomatik

(apa adanya). Upaya melalui metode burhan tersebut berarti mengisyaratkan

pelakunya masih menyimpan keraguan atau belum yakin seratus persen.25

d. Apresiasi terhadap Ilham

Salah satu ciri khas kaum sufi adalah selalu mengembalikan setiap

permasalahan musykil yang ditemui dalam wacana keilmuan pada ilham

24

Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit.,hlm. 311. 25

Sudirman Teba, Op. Cit., hlm. 102

12

(sebagai terminal akhir). Hal ini pula yang dilakukan oleh al-Junaid.

Ilmu hakikat yang hanya dimiliki oleh kaum sufi minus ulama-ulama

lain bersumber dari Allah karena dedikasi dan konsistensi dalam menjalankan

amal ketaatan ekstra dan komitmen menapaki ahwal. 26

Pada faktanya, isu yang diusung Imam al-Junaid dan kaum sufi di setiap

masa ini mengandung banyak kebenaran. Sejauh apa pun akal manusia

berkutat dalam penelitian tentang masalah ilahiyat (ketuhanan) atau masalah-

masalah metafisik, ia tidak mampu memberikan kepuasan batin atau

menghasilkan hal baru yang mewujudkan kebahagiaan bagi manusia selain apa

yang telah diwartakan oleh wahyu. Atas pertimbangan itulah, kalangan

munshifin (yang jujur dan objektif) kemudian mencukupkan diri dengan apa

yang disampaikan oleh syara' dalam konteks persoalan-persoalan ghaib, dan

mendeklarasikan keterbatasan akal dalam mencapai pengetahuan tentang

masalah metafisik (al-ghaibiyyat) yang jika seseorang ngotot menggelutinya

maka ia hanya akan menuai kebingungan dan kegelisahan.

Melalui jalur ilham, orang-orang 'arif billah diberitahu dan

diperlihatkan oleh Allah tentang rahasia-rahasia selain mereka untuk

membantu mereka dalam meluruskan diri dan mendidiknya, serta dalam

mengatasi penyakit-penyakit hati dan petaka-petakanya, dan semua itu

merupakan rahmat khusus yang dianugerahkan Allah.

Perlu juga disyaratkan bahwa sebagian besar kalangan yang

memberikan sejumlah catatan keberatan terhadap kaum sufi, semisal Ibnu al-

Jauzi, Ibnu Taimiyyah, dan asy-Syaukani, tetap mengakui kebenaran fakta

perolehan ilham oleh tokoh-tokoh sufi sejati (ash-shidiqin).27

e. Konsep tentang Fana dalam Tauhid

Pembicaraan tentang fana, para sufi abad ke ketiga dan keempat

Hijriyah dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang

berpegang teguh pada syariat dan tidak beralih pada aliran-aliran yang

26

Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit., hlm. 104 27

Muhammad Amin Syukur dan Masyharuddin, Op. Cit., hlm. 195-196.

13

sekalipun lahiriyahnya bertentangan dengan tauhid. Sementara kelompok

kedua cenderung menyatakan berlangsungnya persatuan atau hulul. Kelompok

pertama diwakili oleh al-Junaid, sementara kelompok kedua diwakili oleh Abu

Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.

Konsep fana yang dikembangkan al-Junaid mendasari konsep tauhid

yang dikembangkannya. Tauhid menurut al-Junaid adalah pribadi-pribadi yang

bersatu, yang merealisasikan kebersatuan-Nya dengan kesempurnaan

kebersendiriannya, berkeyakinan bahwa Allah Yang Maha Esa, Dia tidak

beranak dan tidak diperanakkan, dan Dia negasikan segala yang terbilang

banyak, berhitungan, bisa disamai, segala sesuatu yang disembah selain-Nya,

yang tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan, dan dibuatkan contoh-

Nya, Dia tanpa padanan, dan Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan

Maha Melihat.28

Konsep tauhid di atas menurut Imam al-Junaid adalah buah dari

kefanaan dan semua yang selain Allah. Pemisahan dari yang dahulu dengan

yang baru, keluar dari tanah asal. Penghindaran apa yang dicintai manusia, dan

penjauhan dari apa yang diketahui dengan apa yang tidak diketahui. Dan

hendaklah yang Maha Benar menjadi tempat bagi semuanya. Hendaklah hamba

Allah yang terkemudian kembali pada hamba yang terdahulu, sehingga dia

menjadi seperti apa yang ada (pada alam dahulu) sebelum dia menjadi ada

(pada alam ini).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa seseorang dalam bertauhid

hendaknya menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala

keberlakuan-Nya berlaku bagi dirinya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali

dengan membuat dirinya fana dari dirinya sendiri dan dari seruan makhluk

kepadanya, dengan sirnanya perasaan dan gerakannya, akibat apa yang dia

kehendaki dikendalikan Yang Maha Benar.

Kefanaan dalam tauhid menurut Imam al-Junaid adalah pengetahuan

teoritis yang bisa dicapai jiwa manusia dalam alam lain, sebelum jiwa berpadu

dengan tubuh dalam alam ini. Pemikiran al-Junaid menurut Al-Taftazani, mirip

28

Imam Abu Qasim al-Junaid, Rasail al-Junaid, Tahqiq : Ali Hasan Abdul Qadir, hlm. 33

14

dengan ide Plato tentang telah adanya jiwa manusia dalam alam ideal, sebelum

turun ke dalam tubuh, dan tercapainya hal tersebut dalam alam ideal dengan

pengetahuan hakiki.29

Fana yang dikembangkan al-Junaid adalah apabila seorang manusia

sampai pada akhir perjalanannya kepada Allah, dan di dalam Allah orang

tersebut tenggelam dalam ilmu dan makrifat, di mana dirinya tetap bertahan

dalam diri-Nya dan sifatnya dalam sifat-Nya. Dan dia gaib dari segala sesuatu

yang selain Allah, dan tidak melihat wujud ini melainkan Allah. Itulah yang

disebut sebagai istilah fana seseorang dalam tauhid, sebagai jalan ilmu dan

makrifah, keadaan dan kesempurnaan, yang kepadanya tidak datang kebatilan

baik dari depannya maupun dari belakangnya, dan tidak ada penyimpangan

baik permulaannya maupun penghujungnya.30

f. Statement dalam Masalah Tauhid

Imam al-Junaid memiliki banyak statement dalam masalah tauhid yang

bisa dikategorikan dalam dua pola: Pertama, jelas dan lugas; sehingga bisa

dipahami baik oleh kalangan awam maupun kalangan khashsh. Kedua, samar-

samar dan njimet sehingga sulit sekali dipahami bahkan oleh sebagian tokoh

terkemuka sufi sekaliber Ibnu Arabi. Pola kedua inilah yang menjadi salah satu

pemicu sikap antipati sebagian kalangan terhadap al-Junaid.

Statement al-Junaid masalah tauhid berciri jelas dan lugas antara lain

tampak dalam statement-nya mengenai perbedaan antara Khaliq dan makhluk

dari segi dzat, sifat-sifat, dan perbuatan (sebagaimana halnya yang disuarakan

para teolog Islam). Al-Junaid misalnya, mengatakan: Tauhid adalah ifrad al-

qidam min al huduts (pemisahan (penyendirian) kekekalan dari kebaruan).31

Al-Junaid menyatakan keharusan mensucikan Allah secara utuh dari

segala hal yang tidak pantas bagi-Nya. Tauhid adalah pengesaan Sang

Muwahhad dengan mengafirmasi secara determinatif kemahaesaan

(wandaniyyah)-Nya, yakni dengan kesempurnaan kemahatunggalan

(ahadiyyah)-Nya bahwa Dia Dzat Mahatunggal (Wahid) yang tidak beranak

29

Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Op. Cit, hlm. 112. 30

Imam Abu Qasim al-Junaid, Op. Cit., hlm. 32-33 31

Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit., hlm. 24.

15

dan diperanakkan; dengan menafikan segala lawan, tandingan, dan keserupaan.

Imam al-Junaid fokus pada satu poin penting saat berbicara tentang

tauhid bahwa Allah adalah Sang Aktor sesungguhnya, sebagaimana

kesendirian-Nya dalam berbuat pada zaman azali. Al-Junaid mengatakan:

"Tauhid adalah kesadaran dan pengakuanmu bahwa Allah Mahatunggal dalam

ke-azali-an-Nya; tidak ada oknum lain yang bersama-Nya, dan tidak ada

sesuatu yang berbuat seperti yang Dia buat.

Demikian sampel statement imam al-Junaid dalam wacana tauhid yang

tergolong jelas dan lugas; dan ini bukan satu-satunya, akan tetapi juga memiliki

gaya penyampaian lain yang cukup rumit yang diisyaratkan sebagai tauhid al-

khawwash (gaya bertauhid kalangan elite/nonawam). Dalam konteks ini, al-

Junaid mengaitkan pembicaraannya tentang tauhid dengan refleksi-refleksinya

dalam masalah azali. Menurutnya, kalangan elite lebih tinggi tingkat tauhid

mereka daripada kalangan awam karena kefanaan mereka dari ego diri mereka

dan penerimaan mereka secara total terhadap takdir seperti saat mereka berada

di zaman azali sebelum penciptaan; tanpa tindakan dan tanpa gerak sebab yang

ada di sana hanyalah Kehendak Ilahi yang berlaku pada mereka sehingga yang

ada hanya Allah dan tidak ada sesuatu yang bersama-Nya.32

Dalam hal ini, Imam at-Junaid mengatakan: "Tauhid adalah pemosisian

diri hamba sebagai syabh 'wayang' di hadapan Allah yang dijalankan oleh tata

kendali pengaturan-Nya dalam alur hukum-hukum qudrah kekuasaan-Nya di

palung-palung kedalaman samudera tauhid-Nya, dengan menihilkan diri (fana)

dari ego dirinya, dari panggilan makhluk kepadanya, dan dari responsnya akan

hakikat-hakikat wujud dan keesaan-Nya dalam hakikat kedekatan-Nya, dengan

meniadakan indra dan geraknya karena al-Haqq, bertindak untuknya dalam

hal-hal yang Dia kehendaki darinya, yaitu kembalinya akhir hamba ke awalnya

sehingga ia berstatus seperti statusnya dahulu sebelum ia eksis.

Apa yang diisyaratkan al-Junaid mengenai tauhid al-khawwash dalam

pandangannya merupakan taraf keyakinan yang sempurna. Di sini, al-Junaid

mengutip pernyataan seorang ulama yang mendefinisikan tauhid sebagai yaqin

32

Imam Abu Qasim al-Junaid, Op. Cit., hlm. 61

16

dengan penjelasan: "(Tauhid dalam arti yaqin berarti) kesadaranmu bahwa

seluruh gerak dan diam makhluk merupakan perbuatan Allah Yang Maha Esa

dan tiada sekutu bagi-Nya. Jika kau telah melakukan ini maka kau telah

mengesakan-Nya.33

Jika merenungi isyarat-isyarat al-Junaid mengenai tauhid al-khawwash

maka jelas sekali bahwa ia mengangkat derajat si muwahhid ke martabat luhur,

di mana perasaannya begitu mendalam akan kemahaesaan-Nya sehingga ia

seolah tidak menyaksikan apa-apa di semesta wujud selain Sang Maha Esa nan

Tunggal. Saat ditanya tentang apa itu tauhid, al-Junaid misalnya,

mendefinisikannya sebagai makna yang menghilang di dalamnya segala bentuk

planning dan mewujud di dalamnya segala macam pengetahuan, sementara

Allah tetap eksis seperti sediakala sejak zaman azali.34

Imam al-Junaid juga memiliki pernyataan sebagai jawaban atas

persoalan tauhid yang dikemasnya dalam bahasa simbol dan isyarat yang sulit

sekali dipahami orang yang mendengarkannya sehingga mereka kemudian

mengingkari apa yang dikatakannya. Mereka pun berpersepsi bahwa apa yang

diucapkannya dalam konteks ini jauh dari al-Quran sehingga mereka pun

memusuhinya.

Contoh model statement ini antara lain dikutip oleh al-Qusyairi,

tuturnya: Imam al-Junaid pernah ditanya mengenai tauhid, lalu ia wenjawab,

"Aku mendengar seseorang berkata -dalam senandung :

Kaya aku dari hatiku; aku kaya seperti dia kaya

Kami ada di mana mereka berada; dan mereka ada di mana kami ada

Syair tersebut mengisyaratkan bahwa kaum sufi tenggelam dengan hati

nuraninya dalam menyaksikan al-wahdaniyyah, dan melongok dengan hati

mereka atas status arwah mereka saat berada di alam dzarr sebelum penciptaan

jisim yang masih memegang tauhid murni kepada Allah, yakni ketika Allah

mengambil sumpah anak turun Adam di zaman azali, ”Bukankah Aku adalah

33

Ibid. 34

Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit., hlm. 109.

17

Tuhan kalian ?” Lalu mereka menjawab dengan penuh pengakuan akan

ketuhanan yang sempurna dan keesaan mutlak, ”Ya”.35

Ayat di atas yang menjadi titik tolak al-Junaid dalam isyaratnya tentang

tauhid yang terkandung dalam syair yang dikutipnya. Bait kedua syair tersebut

berarti bahwa kaum sufi di masa kini mereka sama seperti status mereka di

masa lalu mereka sebelum diciptakan, yakni mengesakan Allah secara

sempurna : ”Kami di mana mereka berada, dan mereka dimana kami ada”.

Artinya, dengan riyadhah dan mujahadah kami mengesakan Allah dengan

sebenar-benar tauhid, sebagaimana arwah kami yang juga mengesakan Allah

dengan tauhid yang sempurna di alam dzarr sebelum menyatu dengan badan.36

Pernyataan al-Junaid tersebut membimbing manusia pada suatu fakta

penting bahwa ujaran kaum sufi dalam konteks tauhid al-khawwash dan ahwal

lain yang mereka saksikan harus dilihat secara objektif dengan mata

bathin/dzauq, bukan dengan perspektif penalaran akal. Orang yang ingin

memahami isyarat-isyarat mereka harus pernah mengalami pengalaman

spiritual mereka agar bisa merasakan apa yang mereka rasakan/mampu

memahami yang mereka katakan.

g. Penolakan al-Junaid Terhadap Paham Pantheisme (Hulul)

Imam al-Junaid menyatakan bahwa Allah tersucikan (munazzah) dari

segala kesalahan dan Dia tidak hulul (menitis) di dalam entitas wujud apa pun.

Karenanya, setinggi apa pun taraf spiritual yang dicapai seseorang dan

sebanyak apa pun hakikat yang tersingkap di hadapannya, ia tetap tidak

diperbolehkan sama sekali keluar dari martabat kehambaan kepada Allah

dengan mengklaim sebagai titisan Tuhan. Sebaliknya, penghambaannya

kepada Allah justru harus semakin nyata. Al-Junaid mengatakan: "Tidak ada

seorang pun yang mencapai derajat hakikat kecuali ia wajib membatasi diri

dengan hak-hak penghambaan dan hakikatnya, bahkan ia dituntut lebih banyak

lagi untuk menjalankan beragarn adab (tata krama).37

Al-Junaid bersikap tegas dan keras terhadap setiap orang yang

mengklaim hulul atau Ittihad dari kalangan pseudo-sufi yang secara sepihak

35

Q.S. al-A`raf ayat 172. 36

Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit., hlm. 110. 37

Al-Kawakib, Juz I, hlm. 214

18

dan palsu menisbatkan diri pada tasawuf. la mengatakan: 'Andai aku

memegang otoritas kekuasaan maka akan kupenggal kepala setiap orang yang

menyatakan: Tidak ada di sana kecuali Allah karena secara eksplisit

pernyataannya ini berkonsekuensi menafikan makhluk dari menafikan seluruh

tatanan hukum syariat yang berkaitan dengan mereka.38

h. Pendapat al-Junaid tentang Sama`

Imam al-Junaid memiliki pendapat moderat dalam masalah sama' yang

menunjukkan bahwa ia merupakan sosok yang mampu mengontrol diri saat

menyimak lantunan jenis syair tertentu yang biasanya memacu emosi sebagian

sufi sezamannya.

Muhammad al-Jariri bercerita: Aku berada di tempat Imam al-Junaid al-

Baghdadi, dan di sana sudah ada Ibnu Masruq dan tokoh sufi terkenal lainnya.

Di sana juga ada qawwal yang biasa melantunkan al-Quran dan syair yang

memacu emosi hadirin hingga mengalami ekstase. Ibnu Masruq dan yang lain

langsung bereaksi, sementara al-Junaid tetap tenang. Aku tanya, "Ya Sidi,

apakah anda tidak terpengaruh sama' sama sekali?" Ia menjawab, dengan

menyitir firman Allah : "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia

tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan (QS. an-

Naml : 88).39

Dari cerita ini terpapar jelas bahwa kondisi Imam al-Junaid dalam

perilaku sama` tetap sempurna (tanpa emosi berlebihan sampai menggerak-

gerakkan anggota tubuh dan menari-nari). Namun, ia tidak serta-merta

menyalahkan rekan-rekannya sesama sufi yang mengalami ekstase spiritual

saat mendengarkan syair atau petuah yang baik karena efek psikologis tersebut

sudah ada latar historisnya sejak sebelum manusia diciptakan di alam ruh. Ia

mengatakan: "Ketika Allah berbicara kepada penghuni alam dzarr pada

perjanjian pertama dengan firman-Nya: "Bukankah Aku Tuhan kalian?!", ruh

mereka langsung berguncang merasakan kenikmatan mendengar firman

38

Ibid. 39

Abu al-Qasim al-Qusaeri, Risalah al-Qusyairiyah, Op. Cit, hlm. 201

19

tersebut sehingga setiap mendengar sama', memori tersebut langsung aktif dan

menggerakkan mereka.40

i. Tanggapan al-Junaid atas Sejumlah Kritik terhadap Muridnya

Beberapa murid al-Junaid mendapat sejumlah kritik dan keberatan

kalangan internal sufi. Imam al-Junaid pun menanggapinya dengan jawaban-

jawaban yang detail dan bijaksana sehingga menghilangkan rasa bimbang dari

diri para pengikutnya dan membungkam mulut lawan-lawan mereka.

Kritik dan tanggapan tersebut direkam oleh asy-Sya'rani, ia bercerita

suatu kali, al-Junaid ditanya, "Mengapa murid-murid Anda banyak makan?"

"Karena mereka sering lapar." Jawab al-Junaid.

“Mengapa mereka tidak acuh pada kekuatan syahwat?"

"Karena mereka tidak pernah mencicipi rasa perzinaan dan makan makanan

yang halal." Jawab al-Junaid

"Mengapa mereka tidak menunjukkan reaksi kegembiraan saat menyimak al-

Quran ?

“Bagian mana dalam al-Quran yang menggugah emosi kegembiraan di dunia.

Al-Quran adalah kebenaran (haqq) yang turun dari sisi Sang Mahabenar

sehingga tidak layak ditempeli dengan sifat-sifat makhluk. Pada tiap hurufnya,

makhluk dibebani kewajiban yang tidak mengeluarkan mereka darinya kecuali

menepatinya karena Allah. Barulah saat mereka mendengarkannya kelak di

akhirat langsung dari Penuturnya, ia bisa menggugah emosi kegembiraan

mereka." Jawab al-Junaid.

“Tetapi mengapa berjingkrak gembira saat mendengarkan qashidah, dan

nyanyian?"

“Karena ia dibuat oleh tangan mereka sendiri, dan ia merupakan ujaran para

pecinta yang sedang kasmaran”. Jawab al-Junaid

"Mengapa mereka (muridmu itu) terdeprivasi dari harta kekayaan manusia?"

"Karena Allah SWT tidak ridha dengan apa yang ada di tangan manusia bagi

mereka, agar mereka tidak cenderung pada makhluk, lalu putus hubungan

40

Ibnu Sa`ad, Ath-Thabaqat al-Kubra, Juz I, (Beirut : Himmah, 1376 H), hlm. 73

20

dengan Allah sebab Dia menuntut mereka untuk menyatukan .orientasi hanya

kepada-Nya sebagai bentukperhatian terhadap mereka.” Jawab al-Junaid.41

Lepas dari kuat-lemahnya kritik-kritik di atas beserta jawabannya,

paparan teks di atas menunjukkan kepada kita upaya sebagian kalangan sejak

dahulu untuk mencari-cari kesalahan kaum sufi. Dan semua itu dikarenakan

perbedaan antar manusia dari segi karakter fitrah mereka yang bersifat khas.

Sebagian masyarakat menyukai perilaku zuhud terhadap keduniaan sehingga

mereka bersimpati kepada kaum sufi dan cenderung memaafkan kesilafan-

kesilafan mereka yang bersifat syakli (tidak subtansial) selama perilaku

kezuhudan mereka tidak mengeluarkan mereka dari lingkaran syara` baik

dalam perilaku maupun keyakinan. Sebagian lagi memiliki kerakter dan

pembawaan yang berbeda dengan kecenderungan ini sehingga mereka

cenderung bersikap kritis, evaluatif, dan antipati terhadap kaum sufi, baik

dalam masalah periperal maupun subtansial.

C. PENUTUP

Imam Junaid al-Bagdadi adalah tokoh legendaris tasawuf atau sosok

sufisme papan atas yang merupakan peletak jalan tasawuf dan tarekat di atas

fondasi al-Quran dan sunnah. Hal ini yang menjadi faktor utama yang

melatarbelakangi sikap akomodatif sebagaian besar kaum muslimin terhadap

pendapat-pendapatnya.

Tajuddin As-Subki mengatakan : “Al-Junaid bin Muhammad, pemuka

golongan sufi, tokoh garda depan jamaah sufi, imam ahli hirfah (teknokrat),

syaikh tarekat tasawuf, ikon wali pada masanya, dan pahlawan kaum arif”.

Imam Junaid al-Bagdadi meninggal tahun 298 Hijriyah, dengan

menyandang gelar mulia sebagai “Sayyid ath-Tha`ifah” (pemuka golongan) di

kalangan kaum sufi.

41

Ibid.

21

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010

Al-Junaid, Imam Abu Qasim, Rasail al-Junaid, Tahqiq : Qadir, Ali Hasan Abdul,

t.th.

Al-Qusaeri, Abu al-Qasim, Ar- Risalah al-Qusyairiyyah, Mesir : Dar al-Khatib al-

Arabi, 1996.

al-Taftazani, Abu al-Wafa` al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung :

Pustaka, 1985

Haeri, Syaikh Fadhlalla, Jenjang-jenjang Sufisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2000

Hajaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta : Amzah, 2011

Kuswanto, Triyoga A., Neo-Sufisme Jalan Sufi Nurcholish Madjid, Yogyakarta :

Pilar Media, 2007

Sa`ad, Ibnu, Ath-Thabaqat al-Kubra, Juz I, Beirut : Himmah, 1376 H

Sholikhin, Muhammad, Tasawuf Aktual, Menuju Insan Kamil, Semarang :

Pustaka Nuun, 2004

Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta : Depag RI, 2003

Sudirman Teba, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru

Bangsa, Jakarta : Yayasan Paramadina, 2004

Syukur, Muhammad Amin, dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002