tb atelektasis
DESCRIPTION
Kasus TB AtelektasisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian
WHO hingga saat ini. Pada tahun 2009, insidensi penyakit ini mencapai 9,4 juta
kasus, dengan angka rata-rata 137 kasus per 100.000 populasi. Penyebaran
penyakit ini terjadi 55% di Asia, 30% di Afrika, 7% di Mediterania, 4% di Eropa,
dan 3% di Amerika. Indonesia sendiri menempati urutan kelima setelah India,
China, Afrika Selatan, dan Nigeria. Insidensi TB pada tahun 2009 di Indonesia
mencapai 0,35-0,52 juta kasus dengan prevalensi mencapai 0,28-1,1 juta kasus
dan dengan angka kematian yang mencapai 36-95 ribu jiwa.1
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis di mana kuman ini merupakan kuman
berbentuk batang dengan sebagian besar dinding terdiri atas lipid yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan
asam (BTA).2,3
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. Penyakit TB disebabkan karena penderita terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis. Penyebaran ditularkan melalui droplet yang tersebar
ketika orang yang terinfeksi berbicara, bersin, batuk dan meludah (Soepandi,
2010; Depkes RI, 2009). Sehingga tanpa pengobatan yang memadai, setiap orang
dengan tuberkulosis aktif dapat menularkan penyakitnya kepada 10-15 orang lain
setiap tahunnya.4
Diagnosis TB ditegakkan melalui tanda dan gejala klinis yang didapatkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, serta pemeriksaan penunjang
(pemeriksaan darah, sputum, dan radiologi dengan X-foto thorax). Gold standard
penegakan diagnosis TB adalah dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan
mikroskopis sputum. Namun pemeriksaan tersebut seringkali memberikan hasil
negatif palsu oleh karena sulitnya mendapatkan spesimen sputum terutama pada
pasien anak. Sedangkan pada pemeriksaan fisik tuberkulosis, sering tidak
menunjukkan suatu kelainan, terutama pada kasus yang dini atau yang terinfiltrasi
1
secara asimptomatik. Oleh karena itu, saat ini pemeriksaan radiologis dada
memiliki peran diagnostik yang cukup penting untuk menemukan lesi
tuberkulosis.7,9,10
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit kronik jaringan paru yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.3,5 Mycobacterium
tuberculosis merupakan kuman yang khas, yaitu : berbentuk batang yang dalam
pengecatan bersifat tahan asam, tahan hidup pada suhu kamar yang lembab, yang
dapat hidup terutama pada paru atau diperbagai organ tubuh yang lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi, diidentifikasikan pertama kali
oleh Robert Koch, disebut Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas
yaitu tuberkel.7,8
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan
parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang
tinggi pada membran selnya sehingga menjadikan bakteri ini tahan asam dan
pertumbuhan kumannya berlangsung secara lambat. Bakteri ini mudah mati pada
air mendidih dan tidak tahan terhadap ultraviolet.3,6
2.1.2 Epidemiologi
Indonesia menempati urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan,
dan Nigeria. Insidensi TB pada tahun 2009 di Indonesia mencapai 0,35-0,52 juta
kasus dengan prevalensi mencapai 0,28-1,1 juta kasus dan dengan angka kematian
yang mencapai 36-95 ribu jiwa.1
2.1.3 Faktor Risiko
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukinan di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan yang biasanya terjadi
secara inhalasi dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Prevalensi
penyakit tuberkulosis masih tinggi juga dikarenakan tingkat infeksi yang masih
tinggi di masyarakat, penurunan daya tahan tubuh akibat kemiskinan, dan semakin
3
tingginya pola insidensi kasus resistensi tuberkulosis terhadap Obat Anti
Tuberkulosis.2,7
Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM. TB juga menyebabkan
resistensi insulin dan “brittle” diabetes. Akibat defek sistem imun pada penderita
DM, terjadi peningkatan virulensi kuman TB. Selain itu, keluhan dan tanda klinis
TB Paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap sebagai
TB Paru ringan oleh karena gangguan saraf otonom. 14
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan
sekitar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa.
Sementara berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan
mendapat TB adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal.
Hal ini menunjukkan bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi
faktor utama peningkatan resiko TB menjadi aktif. Kekurangan gizi pada
seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon
immunologik terhadap penyakit.14
Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang
berbahaya karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di
sekitarnya (Depkes IDAI, 2008: 12).
Gambar 1. Faktor Risiko TB
2.1.4 Klasifikasi
4
Klasifikasi tuberkulosis menurut American Tuberculosis Association yaitu :5
1. Tuberkulosis minimal
Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh
garis median, apeks, dan iga 2 depan : sarang-sarang soliter dapat berada
dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Tidak
ditemukan adanya kavitas.
2. Tuberkulosis lanjut sedang
Luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu
paru, sedangkan bila ada lubang, diameternya tidak melebihi 4cm.
3. Tuberkulosis sangat lanjut
Luas daerah yang dihinggapi sarang-sarang lebih dari klasifikasi kedua
diatas, atau bila ada lubang, diameter keseluruhan semua melebihi.
Berdasarkan Konsensus TB paru tahun 2003, maka TB dikategorikan
menjadi 4 kelompok : 5
1. Kategori I : TB baru BTA (+) / (-), TB ekstra paru berat
2. Kategori II : TB kambuh, lalai berobat, gagal pengobatan
3. Kategori III : TB paru BTA (-) dengan lesi minimal
4. Kategori IV : TB kronik dan Multi Dose Resistant (MDR)
Di Indonesia, klasifikasi yang dipakai untuk TB paru adalah sebagai
berikut:5
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas Tuberkulosis paru
3. Tersangka Tuberkulosis paru, yang terbagi menjadi diobati dan tidak diobati
Dalam klasifikasi ini perlu disebutkan:5
- Status bakteriologis (mikroskopis sputum BTA, biakan BTA)
- Status radiologis, kelaian yang relevan dengan tuberkulosis paru
- Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT.
5
2.1.5 PatofisiologiI. Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.4
Bila partikel ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas
atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari trakeo-bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Kuman juga
dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang
terjadi.4,14
Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini dapat terjadi dibagian mana saja jaringan paru dimana akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer +
limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer.4 Kompleks primer ini
selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus atau kompleks sarang Ghon.4
Penyebaran tuberkulosis dapat melalui beberapa cara sebagai berikut:
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus.
c. Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya
d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
6
II. Tuberkulosis Post-primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis
post-primer). Tuberkulosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.4
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.4
II.1.6Prosedur Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis, maka tuberkulosis perlu diketahui dan
dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:7
a. Anamnesis
Gejala umum
- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam satu
bulan dengan penanganan gizi.
- Nafsu makan tidak ada (anoreksia), dengan penurunan berat badan.
- Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, dapat disertai
keringat malam.
- Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit.
- Gejala respiratorik seperti batuk yang lama lebih dari tiga bulan atau
tanda cairan di dada, nyeri dada.
- Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare atau benjolan/massa di abdomen atau tanda-
tanda cairan dalam abdomen. 5
Gejala spesifik
- Tuberkulosis kulit atau sklofuroderma.
- Tuberkulosis tulang dan sendi misalnya gibbus, coxitis
- Tuberkulosis otak atau saraf, dengan gejala iritabel, kaku kuduk,
muntah-muntah dan kesadaran menurun.
7
- Gejala mata misalnya konjungtivitis fliktenularis (mata gatal dan
merah), tuberkel koroid.
- Tuberkulosis organ - organ lainnya. 5
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tuberkulosis, sering tidak menunjukkan suatu
kelainan, terutama pada kasus yang dini atau yang terinfiltrasi secara
asimptomatik. Tempat yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang luas, didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara bronchial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah
dan nyaring. Tetapi bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas akan
menjadi vesikuler melemah. Bila terjadi kavitas yang cukup besar, perkusi
menjadi hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amorfik.5-7
Bila terdapat jaringan fibrotik sangat luas yang mengakibatkan hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan, akan ditemukan tanda-tanda seperti takipnea,
takikardia, sianosis, right ventricular lift, right arterial gallop, murmur, bunyi P2
yang mengeras, tekanan vena jugularis meningkat, hepatomegali, ascites, dan
edema.2
Pada pemeriksaan efusi pleura akan ditemukan stem fremitus yang
menurun, perkusi yang pekak, tanda-tanda pendorongan mediastinum, suara nafas
yang menghilang pada auskultasi.2
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah :
1. Darah
- LED meningkat saat aktif, menurun saat regresi/menyembuh.
- Serologis yang dipakai adalah reaksi Takahashi (aktif atau tidak).
2. Sputum
Bila dari sputum ditemukan BTA, diagnosis dapat dipastikan. Kriterianya
adalah sekurang-kurangnya 3 kuman /sediaan, atau dalam 1ml sputum
diperlukan 5000 kuman untuk menyatakan positif. Dengan cara ini 30-
70% penderita TB positif terdeteksi secara bakteriologis. Pewarnaan
8
dapat dilakukan degan cara Tan Thiam Hok (modifikasi Kinyoun
Gibbet).
Biakan dapat mengatakan positif bila ditemukan 50-100 kuman /ml
sputum, jadi kepekaannya lebih tinggi dari mikroskopik. Sputum
dibiakkan dalam medium Lowenstein-Jensen. Pada minggu ke 4-6 akan
tampak koloni dari M. tuberculosis, dan bila dalam 8 minggu tidak
tumbuh, dinyatakan negatif.
Bila dalam proses pengambilan, transportasi, dan pengeraman ada
gangguan, dapat terjadi fenomena dead bacilli atau non culturable bacilli.
Bahan lain yang dapat diambil adalah bilasan lambung, cairan bronkus,
jaringan paru, pleura, jaringan kelenjar, LCS, urin, dan juga feses.5-7
Pemeriksaan Radiologis
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis.Lokasi lesi tuberkulosis umumnya berada di daerah
apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah). Tapi
dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau daerah hilus menyerupai
tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).9,10
Pada awal penyakit, di mana lesi masih merupakan sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologisnya berupa bercak-bercak seperti awan dengan
batas tidak tegas yang dapat bertumpuk dengan bayangan klavikula dan costa.
Membandingkan densitas paru kanan dan kiri dapat menolong dan memperjelas.11
Bila proses penyakit telah berlanjut, bercak-bercak awan menjadi lebih
padat dan batasnya menjadi lebih tegas. Bila lesi telah diliputi jaringan ikat dan
terlihat bayangan berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma teretak 85% di segmen apikal dan posterior dari lobus atas, 10%
segmen superior lobus bawah, 5% gabungan dari segmen posterior dan anterior
lobus atas.11
9
Gambar 2. Gambaran TB paru aktif
Pada foto thoraks di atas tampak konsolidasi disertai kavitas didalamnya
(panah), yang letaknya di lapangan tengah dan bawah paru kanan. Gambaran ini
sesuai dengan TB paru lesi luas aktif.13
Kavitas warna bayangan lusen berupa cincin yang mula-mula berdinding
tipis, lama kelamaan menjadi sklerotik dan dinding terlihat menebal. Bila terjadi
fibrosis terlihat bayangan opak bentuk garis-garis. Pada kalsifikasi bayangan
tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis
terlihat seperti fibrosis luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.9,10
Gambaran tuberkulosis milier berupa bercak-bercak opak milier halus yang
pada umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis
yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis),
massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radiolusen di pinggir paru atau pleura (pneumothoraks). Selain itu terlihat
atelektasis pada foto dada yang merupakan pengurangan volume bagian paru baik
lobaris, segmental, atau seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga
memberi bayangan yang lebih suram dengan penarikan mediastinum kearah
atelektasis, sedangkan diafragma tertarik keatas dan sela iga menyempit.9,12
10
Gambar 3. Gambaran TB Paru Lama
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada satu tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan
emfisema.9
Pada pemeriksaan foto thoraks, efusi pleura memperlihatkan adanya
gambaran cairan pleura yang tampak berupa perselubungan homogen menutupi
struktur paru bawah yang biasanya relatif radiopak dengan permukaan atas
cekung berjalan dari lateral atas kearah medial bawah. Karena cairan mengisi
ruang hemithoraks sehingga jaringan paru akan terdorong ke arah sentral atau
hillus. Kadang-kadang mendorong mediastinum ke arah kontralateral.12
Manifestasi radiologis pada tuberkulosis primer adalah:
1. Inaktif
Fokus primer biasanya terjadi lebih awal yaitu berupa jaringan parut minor.
Foto thoraks tampak normal. Kasifikasi pada parenkim dapat berupa satu
atau lebih nodul homogen. Biasanya diameternya kurang dari 5 mm dan
dapat terjadi di mana saja. 8
2. Konsolidasi
11
Konsolidasi dapat terjadi di mana saja dan bentuknya tidak spesifik.
Konsolidasi biasanya homogen, ukurannya kurang dari 10 mm sampai
lobaris. Kavitasi jarang terjadi dan terjadinya kavitasi menandakan penyakit
primer yang progresif. 8
Gambar 4. Gambaran Konsolidasi
3. Limfadenopati
Limfadenopati sering terjadi dengan atau tanpa konsolidasi. Nodus yang
terkena adalah nodus yang sebelumnya mendrainase area yang
terkonsolidasi.Limfadenopati biasanya mengenai hilus unilateral, hilus
unilateral dengan paratrakeal kanan, atau paratrakeal kanan. 8
Tekanan nodus dan erosi menyebabkan komplikasi pada organ sekitarnya:
a. Saluran napas
Saluran napas yang terdekat dapat mengalami obstruksi atau kolaps
segmental/lobar.Biasanya pada bagian kiri, kemudian menyerang segmen
anterior lobus atas dan lobus tengah.Konsolidasi segmental mengikuti
terjadinya perforasi bronkial dan aspirasi distal material kaseosa yang
infektif.Penyembuhan pada lesi bronkial dan segmental walaupun jarang
tanpa sekuele namun sering mendahului terjadinya berbagai kombinasi
seperti bronkostenosis, bronkiektasis dan fibrosis parenkim dengan
kehilangan volume yang banyak serta pembentukan bulla.
b. Pembuluh darah
Penyebaran hematogen dari nodus dapat menyebabkan TB milier atau
lesi yang terisolasi seperti abses pada jaringan lunak. Metastase dari
12
nodus dapat mengalami masa dorman selama beberapa tahun dan akan
menjadi aktif, sebagian dapat berupa TB tulang atau TB renal.
c. Perikardium
Erosi pada nodus ke perikardium dapat menyebabkan perikarditis.
d. Pleura
Erosi pada pleura karena sebuah nodus merupakan satu dari beberapa
mekanisme terjadinya efusi pleura pada TB primer.
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah paresis n.phrenicus, n.recurrent
laryngeus dan obstruksi v.cava superior serta pambentukan fistula. 8
Gambar 5. Gambaran Limfadenopati Perihiler
4. Efusi pleura
Efusi pleura adalah manifestasi yang sering dijumpai pada anak- anak,
dimana kejadiannya menyerang parenkim paru dan pada remaja yang
diisolasi lebih sering terjadi. Pada bentuk kronis, akumulasi terjadi dengan
pelan dan tanpa nyeri, sehingga efusi nampak lebih luas. Efusi biasanya
terjadi unilateral kecuali bila efusi merupakan komplikasi dari tuberkulosis
milier. Penegakan diagnosa paling tepat dengan biopsi pleura dan kultur.
Prognosis untuk jangka pendek bagus meskipun tanpa terapi akan
memberikan hasil yang bersih, tapi pada 30 – 50 % kasus tuberkulosis post
primer harus diawasi selama 2 tahun. Gejala sisa dari pleura biasanya tidak
13
terjadi. Penebalan dan pengapuran lebih sering terjadi pada tuberkulosis
empyema. 8
Gambar 6. Gambaran Efusi Pleura
5. Tuberkulosis Milier
Walaupun biasanya merupakan manifestasi penyakit primer, tuberkulosis
sekarang sering terlihat sebagai proses post primer pada pada pasien usia
lanjut. Pada awalnya gambaran thoraks mungkin normal sebelun terbentuk
nodul multipel kecil- kecil(±1mm) yang menyebar dikedua lapangan paru.
Sebaliknya pada tuberkulosis primer lain mungkin bisa terdapat nodus besar
tapi jarang terjadi. Dengan terapi nodul dapat hilang tapi perlu waktu
sampai beberapa bulan tanpa memberikan gejala sisa.12
Gambar 7. Gambaran TB Milier
14
Prosedur diagnostik tuberkulosis paru di atas dapat dirangkum dalam bagan
diagnosis TB paru sebagai berikut.
Gambar 8. Diagnosis TB
2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:7
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebihmenguntungkan dan sangat dianjurkan.
15
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
o Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
o Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangkawaktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegahterjadinya kekambuhan.
Tabel 1. Jenis OAT
16
2.1.8 Pemantauan Kemajuan Pengobatan
Dilihat dari :
a. Keluhan
Dari anamnesis pada pasien dapat diketahui perbandingan keluhan saat
sebelum dan sesudah pengobatan.
b. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik sebelum dan sesudah pengobatan, dapat
ditemukan adanya perbaikan atau tidak.
c. Laboratorium
Pada hasil laboratorium sesudah dan sebelum pengobatan, dapat
diketahui adanya perbaikan atau tidak.
d. Radiologi
Secara radiologi dilihat 2 – 6 bulan pasca terapi
2.2 ATELEKTASIS PARU
2.2.1 Definisi
Atelektasis berasal dari bahasa Yunani “ateles” dan “ektasis” yang berarti
ekpansi inkomplit. Atelektasis didefinisikan sebagai berkurangnya volume dari
sebagian paru atau seluruh paru, terjadi hambatan berkembang secara sempurna
sehingga aerasi paru berkurang, atau sama sekali tidak terisi udara.. Atelektasis
pulmonal merupakan salah satu kelainan yang banyak ditemukan pada
pemeriksaan radiologi thorak. Mengenali kelainan yang berhubungan dengan
atelektasis pada gambaran x foto thoraks sangat penting untuk memahami
patologi yang mendasari. 13,15
2.2.2 Klasifikasi
Atelekstasis secara penyebab fisiologis dibagi menjadi atelektasis obstruksi
dan nonobstruksi. 13,15
a. Atelektasis obstruksi
Merupakan tipe yang paling banyak terjadi dan merupakan hasil reabsorpsi
udara di alveoli jika terjadi obstruksi antara alveoli dan trakea. Obstruksi dapat
17
terjadi pada bronkus utama ataupun cabang bronkus. Penyebab atelektasis
obstruksi misalnya benda asing, tumor, dan sumbatan mukus. Tingkat
progresifitasnya tergantung dari beberapa faktor, termasuk adanya hubungan
kolateral dan komposisi udara yang terhirup. Obstruksi bronkus lobaris
memungkinkan terjadinya atelektasis lobaris. Obstruksi segmen bronkus
menyebabkan atelektasis segmentalis. Karena adanya kolateral antara lobus
ataupun segmen, pola atelektasis sering tergantung pada aliran kolateral, yang
didukung oleh pores of Kohn dan canalis Lambert.
Setelah terjadi obstruksi bronkus, aliran darah mengabsorbsi udara di alveoli
perifer menyebabkan terjadinya retraksi paru dan kondisi tanpa udara selama
beberapa jam. Pada fase awal, perfusi darah pada paru yang tak terisi udara
menyebabkan adanya ketidakseimbangan perfusi – ventilasi dan hipoksemia
arteri. Mungkin terjadi pengisian alveolar space dengan sekret dan jaringan, yang
dapat mencegah kolaps komplit paru yang atelektasis. Jaringan sekitar paru yang
tidak terlibat mengalami distensi dan menggantikan struktur yang rusak. Jantung
dan mediastinum bergeser ke arah paru yang mengalami atelektasis, diafragma
bergeser ke kranial dan rongga dada mendatar. Jika obstruksi berhasil
dihilangkan,bisa terjadi infeksi sebagai komplikasi pasca obstruksi dan paru bisa
kembali pada bentuk normal. Jika obstruksi menetap dan timbul infeksi, timbul
fibrosis pada paru dan paru menjadi bronkiektasis.
b. Atelektasis nonobstruksi
Disebabkan oleh hilangnya kontak antara pleura visceral dan parietal,
kompresi, hilangnya surfaktan, dan penggantian jaringan parenkim oleh infiltrat.
Di bawah ini adalah beberapa contoh dari atelektasis nonobstruksi.
Atelektasis pasif terjadi pada efusi pleura atau pneumothoraks yang
menghilangkan kontak antara pleura visceral dan parietal. Kolapsnya lobus
medius dan inferior disebabkan efusi pleura. Jika lobus superior yang kolaps
disebabkan oleh pneumothoraks.
Atelektasis kompresi terjadi jika ada massa thorak yang menekan paru dan
mendesak udara keluar dari alveoli. Mekanismenya mirip dengan atelektasis pasif.
18
Atelektasis adesiva merupakan akibat dari kekurangan surfactan. Surfaktan
memiliki fosfolipid dipalmitoil fosfatidilkoline yang normalnya berfungsi untuk
mereduksi tegangan permukaan alveolis sehingga mengurangi kecenderungan
terjadinya kolaps pada struktur paru. Berkurangnya produksi atau tidak
berfungsinya surfaktan menyebabkan alveoli menjadi tidak berfungsi dan kolaps,
yang dapat terjadi pada kasus “acute respiratory distress syndrome (ARDS)”,
pneumonitis radiasi, dan blunt trauma paru sehingga menyebabkan alveoli tidak
stabil dan kolaps.
Atelektasis sikatrik merupakan hasil dari beberapa atau sejumlah besar
parenkim yang mengalami sikatrik yang biasanya disebabkan oleh penyakit
granulomatosa atau necrotizing pneumonia. Replacement atelektasis terjadi jika
seluruh alveoli dipenuhi dengan massa tumor , contoh bronchioalveolar cell
carcinoma, yang mengakibatkan berkurangnya volume paru.
Beberapa jenis atelektasis lainnya adalah sebagai berikut:15
Sindrom lobus medius kanan
Kelainan atelektasis yang rekuren ataupun menetap yang melibatkan lobus
medius kanan ataupun lingula. Dapat disebabkan oleh ekstraluminal (kompresi
bronkial yang dikelilingi nodus limfatikus) atau obstruksi intraluminal bronkial.
Dapat terjadi bronkus lobaris patent tanpa obstruksi yang dapat diidentifikasi.
Proses inflamasi dan defek pada anatomi bronkus dan aliran kolateral merupakan
penyebab nonobstruksi sindrom lobus medius.
Sindroma lobus medius ( atelektasis rekuren dan / atau bronkiektasis pada
lobus medius kanan dan / atau lingula ) dilaporkan sebagai manifestasi primer dari
Sjorgen syndrome. Biopsi transbronchial menyebabkan bronkiolitis limfositik
pada lobus yang atelektasis. Atelektasis berespon baik pada terapi glukokortikoid.
Rounded atelektasis
Tampak jaringan paru yang mengalami atelektasis dipenuhi jaringan fibrous
dan menempel pada pleura visceral. Insidensinya sangat tinggi pada pekerja asbes
dan menyebabkan pleuritis. Biasanya tampak pada pasien usia 60 tahun ke atas.
Platelike atelectasis
19
Disebut juga atelektasis discoid atau subsegmental. Tipe ini yang lebih
sering dilihat pada x- foto thoraks. Mungkin terjadi akibat obstruksi cabang
bronkus dan terjadi keadaan hipoventilasi, emboli pulmo, atau infeksi traktus
respiratori bawah. Area kecil dari atelektasis terjadi karena ventilasi yang
inadekuat dan abnormalitas surfaktan yang terbentuk akibat hipoksia, iskemik,
hiperoksia, dan paparan terhadap toksin tertentu. Abnormalitas pertukaran gas
yang ringan – berat terjadi karena ketidakseimbangan perfusi – ventilasi dan
intrapulmonary shunt.
Atelektasis postoperatif
Merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien post operasi daerah
thoraks dan abdomen bagian atas. General anestesi dan manipulasi bedah
menyebabkan atelektasis dengan adanya disfungsi diafragma dan berkurangnya
aktifitas surfaktan. Atelektasis yang terjadi tipe basiler dan segmental.
2.2.3 Prosedur Diagnostik 13,15
a. Gejala dan Tanda15
Gejala dan tanda ditentukan oleh oklusi bronkial yang terjadi, luas lapangan
paru yang terkena, serta ada tidaknya komplikasi infeksi. Oklusi bronkial yang
cepat dengan sebagian besar area paru kolaps menyebabkan nyeri pada sisi yang
terkena, dispneu akut, dan sianosis. Hipotensi, takikardia, demam, dan syok juga
dapat terjadi. Perkembangan atelektasis yang lambat mungkinterjadi secara
asimtomatik atau hanya menyebabkan gejala ringan. Sindrom lobus tengah sering
asimtomatik, meskipun iritasi pada bronkus kanan tengah dan atas dapat
menyebabkan batuk nonproduktif yang parah.
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan kepekakana pada perkusi di daerah dada
yang terkena dan berkurang atau hilangnya suara pernapasan. Stem fremittus di
daerah ini berkurang atau tidak ada. Trakea dan jantung menyimpang ke sisi yang
terkena.
Penyebab utama dari atelektasis akut atau kronis adalah obstruksi bronkus
akibat benda asing, endobronchial tumor, serta tumor, kelenjar getah bening, atau
aneurisma yang menekan bronkus dan distorsi bronkial. Kompresi paru eksternal
20
oleh cairan pleural atau udara (misalnya, efusi pleura, pneumotoraks) juga dapat
menyebabkan atelektasis. Kelainan produksi surfaktan yang mengakibatkan
ketidakstabilan alveolar dapat menyebabkan atelektasis. Kelainan ini biasanya
terjadi dengan toksisitas oksigen dan distres respirasi.
Atelektasis resorptive disebabkan oleh hal-hal berikut:
Karsinoma bronkhogenik
Bronkial obstruksi dari metastasis neoplasma (misalnya, adenokarsinoma
payudara atau tiroid, hypernephroma, melanoma)
Inflamasi (misalnya, tuberkulosis, infeksi jamur)
Aspirasi benda asing
Malposisi endotrakeal tube
Kompresi saluran napas oleh neoplasma, limfadenopati, aneurisma aorta,
atau pembesaran jantung
Atelektasis relaksasi disebabkan oleh hal-hal berikut:
Efusi pleura
Pneumotoraks
Bula emphysematous yang besar
Atelektasis kompresi disebabkan oleh hal-hal berikut:
Massa dinding dada, pleura, atau intraparenkim
Efusi pleura yang terlokalisasi
Atelektasis Adhesive disebabkan oleh hal-hal berikut:
hialin membran disease
distres respirasi
Asap inhalasi
operasi jantung bypass
Uremia
21
Pembentukan jaringan sikatrik pada atelektasis disebabkan oleh hal-hal
berikut:
Idiopathic pulmonary fibrosis
TBC kronis
Infeksi jamur
Berikut ini merupakan kelainan-kelainan yang harus dibedakan dari
atelektasis:15
Karsinoma bronkogenik, yang mungkin menyertai atelektasis, harus
disingkirkan pada pasien yang lebih tua dari 35 tahun.
Pneumotoraks spontan menghasilkan temuan klinis yang mirip dengan
atelektasis, tetapi selama pemeriksaan fisik didapatkan perkusi yang
hipersonor, jantung dan mediastinum didorong ke sisi yang berlawanan.
Efusi pleura masif dapat menyebabkan dyspnea, sianosis, kelemahan,
kebodohan atas hemithorax, dan suara napas tidak ada. Namun, jantung dan
mediastinum yang menyimpang jauh dari daerah yang terlibat.
b. Pemeriksaan Laboratorium 15
Atelektasis yang memiliki ukuran signifikan menyebabkan terjadinya
hipoksemia, yang dapat dideteksi dari analisa gas darah arterial. Kadar PaCO2
biasanya normal atau rendah.
c. Pemeriksaan Radiologi 13,15
Pemeriksaan X foto thorak dan CT scan menunjukkan tanda langsung dan
tanda tidak langsung dari lobus yang kolaps.
Tanda langsung kolapasnya lobus berupa pergeseran fisura dan opasifikasi
dari lobus yang kolaps. Pada atelektasis terjadi pengurangan volume bagian paru,
baik lobaris, segmental, atau seluruh paru, akibatnya terjadi pengurangan aerasi
sehingga memberikan bayangan dengan densitas yang lebih tinggi.
Tanda tidak langsung berupa bergesernya hilus, pergeseran mediatinum
menuju sisi lesi, pengurangan vulume hemithorak ipsilateral, elevasi diafragma
22
ipsilateral, sela iga menyempit, hiperlusensi kompensatorik pada lobus sehat, dan
tanda siluet diafragma atau batas jantung.
Atelektasis komplit pada seluruh lapangan paru menunjukkan gambaran
opasifikasi pada seluruh hemithorak dan pergeseran mediastinum ipsilateral.
Adanya pergeseran mediastinum membedakan atelektasis dari efusi plura masif.
Gambar 9. Atelektasis komplit pada paru kiri
Atelektasis lobus kanan atas memberikan gambaran densitas tinggi dengan
elevasi hilus kanan dan tanda penarikan fisura minor ke atas. Fisura minor
biasanya berbentuk konveks pada bagian superior, namun dapat pula berbentuk
konkaf karena adanya massa sehingga memberikan gambaran Golden S sign
(Gambar 10). Selain itu, dapat pula terjadi tenting pada puncak pleura
diafragmatik jukstafrenikus. Pada CT scan, kolaps lobus kanan atas tampak
sebagai opasitas pada paratrakea kanan dan fisura minor tampak konkaf pada
bagian lateral. Terkadang dijumpai kolaps lobus kanan atas bagian lateral
sehingga menyerupai gambaran loculated efusi pleura.
Gambar 10. Atelektasis lobus kanan atas dengan Golden S sign
23
Atelektasis lobaris kanan tengah eering disebabkan oleh peradangan
bronkus, atau penekanan bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar.
Atelektasis pada lobus kanan tengah menyebabkan batas kanan jantung kabur
pada proyeksi PA. Terkadang dapat terlihat opasitas berbentuk segitiga yang
superposisi dengan jantung pada proyeksi lateral, akibat pergeseran fisura mayor
ke atas dan fisura minor ke bawah (Gambar 12).
Gambar 12. Atelektasis lobus kanan tengah proyeksi PA dan lateral
Atelektasis lobaris kanan bawah memberikan gambaran fisura mayor yang
biasanya tidak terlihat. Struktur mediastinum bagian atas tertarik ke kanan, dan
bayangan sepertiga posteror hemidiafragma kanan menjadi tidak jelas.
Gambar 13. Atelektasis lobus kanan bawah
24
Atelektasis lobus kiri atas memberikan gambaran opasitas pada hemithotak
kiri atas, yang mengaburkan batas kiri jantung. Lobus yang kolaps bergeser ke
anterior dan ke superior. Pada proyeksi lateral, fisura mayor bergeser ke anterior
dan lobus kanan atas yang mengalami hiperekspansi tampak melewati garis
tengah.
Gambar 14. Atelektasis lobus kiri atas
Atelektasis lobus kiri bawah opasitas retrokardial yang meningkat
memberikan tanda siluet (+) untuk arteri pulmonalis lobus kiri dan hemidiafragma
kiri. Terjadi pergeseran hilus ke bawah, pendataran pinggang jantung akibat rotasi
jantung, mediastinum superior dapat bergeser dan mengaburkan bayangan arcus
aorta. Pada proyeksi lateral, bayangan sepertiga posterior hemidiafragma kiri tidak
jelas.
Gambar 15. Atelektasis lobus kiri bawah
25
Atelektasis segmental sulit terlihat dari foto toraks proyeksi PA,
memerlukan proyeksi lain seperti lateral atau oblik, untuk melihat bagian yang
terselubung dengan penarikan fissura interlobaris.
Atelektasis lobularis/ plate like terjadi bila terdapat penyumbatan pada
bronkus kecil untuk sebagian segmen paru, sehingga terbentuk bayangan
horizontal tipis, biasanya di lapangan bawah paru yang sering sulit dibedakan
dengan proses fibrosis.
2.2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atelektasis tergantung pada penyebab dari atelektasis
tersebut. Untuk atelektasis posoperatif, pencegahan merupakan tindakan terbaik
yang dapat dilakukan, selain pemberian oksigen adekuat dan reekspansi segmen
paru. Jika dari hasil pemeriksaan sputum atau sekresi bronkus dijumpai patogen
spesifik, maka pemberian antibiotik merupakan penanganan utama.15
Penanganan yang dapat dilakukan:8,15
1. Berbaring pada sisi paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena
kembali bisa mengembang
2. Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun
prosedur lainnya
3. Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
4. Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
5. Postural drainase
6. Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
7. Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
8. Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang,
menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka perlu dilakukan
reseksi segmental atau lobektomi.
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang
mengalami atelektasis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa
pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.8
26
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 80 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl.Plamongan ,Semarang
MRS : 26 September 2012
3.2 Data Dasar
A. Anamnesis
Keluhan Utama : batuk
Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 55 tahun yang lalu, pasien menderita batuk lama. Batuk disertai dahak dan
bercampur sedikit darah. Batuk ngekel terus menerus. Batuk dirasakan
mengganggu aktivitas. Batuk dirasakan bertambah berat jika pasien kelelahan.
Terkadang pasien merasakan sesak jika udara dingin dengan suara mengi (+).
Demam (-), keluar keringat pada malam hari (+), penurunan berat badan (+).
Pasien sudah memeriksakan diri ke puskesmas dan diberi obat batuk cair. Namun,
keluhan dirasakan tidak membaik. Pasien memeriksakan diri ke RS dan teratur
berobat sejak ± 20 tahun yang lalu. Pasien juga telah menjalani pemeriksaan
dahak beberapa kali, namun hasilnya negatif.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat menderita batuk lama (+)
Riwayat mendapatkan pengobatan untuk batuk lama (+)
Riwayat tekanan darah tinggi (+)
Riwayat asma (+), serangan timbul pada saat udara dingin.
Riwayat kencing manis disangkal
27
Riwayat Penyakit Keluarga :
Suami penderita meninggal karena kista di ginjal, batuk lama dan tekanan
darah tinggi.
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit seperti ini
Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, asma, dan keganasan pada
keluarga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien memiliki 3 orang anak yang sudah mandiri. Suami pasien sudah
meninggal. Pasien tinggal dengan salah seorang anaknya. Pasien sudah tidak
bekerja. Biaya pengobatan ditanggung ASKES.
Kesan : sosial ekonomi cukup.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2012
Keadaan umum : sadar (GCS 15, E4M6V5)
Tanda Vital : TD : 170/90 mmHg RR : 20x/mnt
N : 76 x/menit, reg, i/t cukup t : afebris
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung : napas cuping (-), epistaksis (-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher : pembesaran nnll (-), kaku kuduk (-)
Dada : simetris, statis, dinamis, retraksi suprasternal, intercostal, dan
epigastrial (-)
Cor : IC teraba di SIC V 2 cm medial LMCS, bunyi jantung I – II
normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : simetris, statis, dinamis,
retraksi suprasternal, intercostal, dan epigastrial (-)
Palpasi : stem fremitus kiri > kanan
28
Depan Belakang
RBK
Perkusi : redup pada lapangan atas paru kiri, sonor pada lapangan
paru kanan
Auskultasi : SD vesikuler (+/+) , ST ronkhi basah kasar (+/+) di kedua
lapangan basal paru kanan dan seluruh lapangan paru kiri
Abdomen : datar, supel, BU (+) N
Hepar : tak teraba
Lien : S0
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin - -
Sianosis - -
Cap. Refill <2” <2”
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan x-foto thorax PA dan lateral
29
Cor : CTR tidak dievaluasi, posisi jantung tampak bergeser ke lateral kiri
Retrosternal space dan retrokardial space tak tampak menyempit
Pulmo : Corakan vaskuler meningkat.
Tampak bercak pada lapangan atas paru kiri disertai garis fibrotik dan
multiple cavitas.
Tampak opasitas pada lapangan atas bagian medial (paratrakea) paru kiri
disertai penarikan trakhea dan mediastinum ke kiri.
Hemidiafragma kanan setinggi kosta 10 posterior
Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri superposisi dengan bayangan jantung
Kesan:
Posisi jantung tampak bergeser ke lateral kiri
Gambaran TB paru lama aktif disertai atelektasis dan multiple cavitas
3.3 Diagnosis
TB paru lama aktif dengan atelektasis paru kiri
3.4 Penatalaksanaan
- Istirahat
- Usul pemeriksaan BTA
- Cefadroxil 2x500mg
- Ambroxol 3x30mg
- OBH 3x1
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang perempuan berumur 80 tahun dengan keluhan utama batuk lama
disertai dahak bercampur darah sejak ±55 tahun yang lalu. Keluhan memberat
terutama saat kelelahan. Pasien mengeluh sesak nafas saat udara dingin, sesak
disertai suara mengi. Pasien berobat ke puskesmas diberi obat batuk cair namun
keluhan tidak membaik. Pasien kemudian berobat ke RS dan teratur menjalani
pengobatan selama 20 tahun terakhir. Pasien menjalani beberapa kali pemeriksaan
sputum, namun hasilnya negatif. Terdapat riwayat batuk lama, penurunan berat
badan dan keringat malam hari. Tidak ada riwayat pengobatan TB paru
sebelumnya. Suami pasien menderita batuk lama.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya stem fremitus kiri lebih
dari kanan, pada perkusi terdapat redup pada lapangan paru atas, pada
pemeriksaan auskultasi terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar di seluruh
lapangan paru kiri dan basal lapangan paru kanan.
Pemeriksaan x-foto thorax proyeksi PA dan lateral menunjukkan
peningkatan corakan vaskuler paru kanan-kiri, tampak bercak pada lapangan atas
paru kiri dan multiple cavitas yang mendukung adanya proses aktif dari TB paru.
Selain itu terdapat garis fibrotik yang menunjukkan kelainan tersebut berjalan
lama dan sudah pernah mengalami proses tenang. Tampak opasitas pada lapangan
atas bagian medial (paratrakea) paru kiri disertai penarikan trakhea dan
mediastinum ke kiri. Hal ini menunjukkan gambaran atelektasis lobus atas paru
kiri. Dari gambaran tersebut diatas menunjukkan kesan gambaran TB paru lama
aktif disertai atelektasis dan multiple cavitas. Namun diagnosis pasti TB dari
pasien ini belum dapat ditegakkan, karena hasil pemeriksaan mikroskopis sputum
menunjukkan hasil negatif.
Saat ini pasien mendapatkan terapi cefadroxil 2x500mg, ambroxol
3x30mg, OBH 3x1 dan diusulkan pemeriksaan BTA ulang.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Indonesian Tuberculosis Profile. Diunduh dari:
http//:www.who.int/tb/data. 2010.
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006
3. Fauci AS, Kasper DL, et al. Tuberkulosis. Harrison’s: Principal of Internal
Medicine, 17thed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008
4. Palomino, J. Tuberculosis 2007 from basic science to patient care. Diunduh
dari: http://www.TuberculosisTextbook.com. 2007
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi ke-2. Jakarta: Depkes RI. 2006
6. Sutton, David. Textbook Book Of Radiology and Medical Imaging. Churchill
Livingstone Vol I, 1785-1786.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. 2006. Avalable form :
http://tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf
8. Rachmatullah P. Seri Ilmu Penyakit Dalam, Buku ajar: Ilmu Penyakit Paru
(Pulmonologi). Semarang: BP UNDIP. 1997
9. Soeparman, Waspadji S. Tuberkulosis Paru Dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Jakarta: PB FKUKI. 1990
10. Tjenol, P. Naskah Lengkap Simposium Penatalaksanaaan TBC Masa Kini.
Semarang: BP UNDIP. 1989
11. Grainger RG, Allison J. Diagnostic Radiology, a textbook of medical
imaging. Second edition. Vol.2. Churchil Livingstone. 1992
12. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 ed.3. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000
13. Rasad Sjahriar, Kartoleksono-Sukonto. Radiologi Diagnostik. Jakarta: FK UI.
2000
14. Medison, Irvan. Tuberkulosis Paru. Available from: http://www.parupadang.
com/unduh/Kuliah_TB_Paru.pdf
15. Madappa, Tarun. Atelectasis. 2008. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/296468 (Updated 30 Maret 2012)
32