talasemia β mayor

28
i i RESPONSI KASUS TALASEMIA β MAYOR Pembimbing: dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD-KHOM Oleh: Gusti Ayu Sri Ari Swandewi (1902611077) Ida Ayu Dewi Dhyani (1902611086) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR 2019

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TALASEMIA β MAYOR

i

i

RESPONSI KASUS

TALASEMIA β MAYOR

Pembimbing:

dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD-KHOM

Oleh:

Gusti Ayu Sri Ari Swandewi (1902611077)

Ida Ayu Dewi Dhyani (1902611086)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR

2019

Page 2: TALASEMIA β MAYOR

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi yang

berjudul “Talasemia β Mayor” ini tepat pada waktunya. Laporan responsi kasus

ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF

Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Dalam penulisan laporan responsi kasus ini penulis banyak mendapatkan

bimbingan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah.

3. dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD-KHOM selaku pembimbing dalam

penyusunan responsi ini.

4. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas

masukannya.

5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan responsi kasus ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya

penulis mengharapkan semoga laporan responsi kasus ini dapat bermanfaat di

bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, 23 Mei 2019

Penulis

Page 3: TALASEMIA β MAYOR

1

BAB I

PENDAHULUAN

Talasemia adalah suatu kelainan genetik yang ditandai dengan

penurunan sintesis rantai α dan β dari globin yang membentuk

hemoglobin. Penurunan sintesis rantai globin tersebut mengakibatkan

hemoglobinopati atau hemoglobin yang terbentuk berfungsi abnormal.

Hemoglobinopati Talasemia merupakan penyakit keturunan yang paling

sering dijumpai di seluruh dunia. Talasemia paling tinggi terjadi pada

populasi di wilayah-wilayah Mediterania, Timur Tengah, Transkaukasus,

Asia Tengah, Sub-benua India, dan Timur Jauh. Sedangkan di Indonesia,

Palembang merupakan wilayah dengan frekuensi pembawa sifat Talasemia

β terbanyak. yaitu sebesar 9,2%. Lalu diikuti oleh Bangka dan Sumbawa

dengan masing-masing 5,4% dan 5,1%. Sedangkan di Bali, pembawa sifat

Talasemia β sebesar 1,2% dari populasi.

Berdasarkan penurunan sintesis rantai globin, Talasemia dibagi

menjadi Talasemia α dan Talasemia β. Penurunan sintesis rantai globin

terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada kromosom manusia.

Gen β-globin adalah penghasil rantai globin β yang merupakan bagian dari

sekelompok gen yang terletak pada kromosom 11. Jika gen β-globin tidak

diproduksi secara normal pada kelainan kromosom 11, maka dapat

menyebabkan munculnya sindrom Talasemia β. Talasemia β dapat dibagi

menjadi 3, yaitu Talasemia β Mayor (Cooley’s anemia), Talasemia β

intermedia, dan Talasemia β minor (trait).

Pasien Talasemia β mayor umumnya menunjukkan gejala-gejala

berupa badan lemah, cepat lelah, kulit dan sklera kekuningan ( jaundice),

urin gelap, denyut jantung meningkat, sesak napas, pusing, sakit kepala,

hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat

hepatosplenomegali dengan wajah yang khas (frontal bossing), mulut

tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi.

Page 4: TALASEMIA β MAYOR

2

Keluhan anemia pada pasien Talasemia β mayor dapat dikurangi

dengan pemberian terapi transfusi darah rutin. Namun, transfusi darah

rutin tersebut dapat mengakibatkan terjadinya iron overload atau

penumpukan besi di jaringan yang dapat berbahaya bagi pasien. Sehingga

biasanya transfusi darah yang lama juga dibarengi dengan pemberian

terapi kelasi besi untuk mengikat besi-besi yang tertimbun sehingga tidak

berbahaya. Penderita Talasemia β mayor umumnya meninggal pada usia

muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3. Namun apabila fasilitas

transfusi darah memadai dan perawatan dengan kelasi besi yang baik , usia

dapat mencapai dekade ke-5 dan kualitas hidup juga lebih baik.

Page 5: TALASEMIA β MAYOR

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Talasemia

Talasemia adalah suatu kelainan genetik yang ditandai dengan penurunan

sintesis rantai α dan β dari globin yang membentuk hemoglobin. Penurunan

sintesis rantai globin tersebut mengakibatkan hemoglobinopati atau hemoglobin

yang terbentuk berfungsi abnormal. Gejala-gejala mulai muncul karena

hemoglobin yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berfungsi

secara normal, sehingga transportasi oksigen ke jaringan menurun.1

2.2 Epidemiologi Talasemia

Hemoglobinopati Talasemia merupakan penyakit keturunan yang paling

sering dijumpai di seluruh dunia. Talasemia paling tinggi terjadi pada populasi di

wilayah-wilayah Mediterania, Timur Tengah, Transkaukasus, Asia Tengah, Sub-

benua India, dan Timur Jauh. Pada area-area tersebut frekuensi pembawa sifat

Talasemia β berkisar antara 1-20% dari populasi, dan masih dapat lebih tinggi.

Frekuensi pembawa sifat Talasemia α lebih tinggi dibanding Talasemia β,

bervariasi mulai dari 10%-20% di Sub-Sahara Afrika, 40% pada populasi Timur

Tengah dan India. Bahkan di Papua Nugini dan beberapa daerah terisolasi di India

Utara, populasi penduduk karier Talasemia dapat mencapai 80%.2 Sedangkan data

World Bank menunjukkan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan pembawa

sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai

dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal

akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang.

Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara

dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini

terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa

frekuensi gen talasemia beta berkisar antara 3-10%. Sedangkan di Indonesia,

Palembang merupakan wilayah dengan frekuensi pembawa sifat Talasemia β

terbanyak. yaitu sebesar 9,2%. Lalu diikuti oleh Bangka dan Sumbawa dengan

masing-masing 5,4% dan 5,1%. Sedangkan di Bali, pembawa sifat Talasemia β

Page 6: TALASEMIA β MAYOR

4

sebesar 1,2% dari populasi.3 Talasemia umumnya lebih sering terjadi di daerah

terisolasi dimana perkawinan dengan garis keturunan yang cukup dekat sering

terjadi. Talasemia menjadi semakin sering terjadi karena adanya pernikahan antar

sesama karier Talasemia, di mana pernikahan tersebut akan menghasilkan

keturunan dengan peluang sebesar 25% untuk memiliki Talasemia Mayor, 50%

Talasemia minor atau karier, dan 25% normal.

2.3 Klasifikasi Talasemia

Terdapat 2 tipe utama talasemia, yaitu:

1. Talasemia alfa: penurunan sintesis rantai alfa.

Sindrom talasemia α biasanya disebabkan oleh delesi gen globin pada

kromosom 16. Oleh karena pada keadaan normal terdapat empat salinan gen

globin α, keparahan klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah gen yang

tidak ada atau tidak aktif.

Jenis talasemia alfa berdasarkan jumlah gen yang tidak ada:

a) Mutasi empat gen (talasemia α mayor). Hilangnya keempat gen

menekan sintesis rantai α secara keseluruhan dan karena rantai α esensial pada

hemoglobin janin dan dewasa, keadaan ini menyebabkan kematian dalam rahim

(hidrops fetalis).

b) Mutasi tiga gen (penyakit HbH). Delesi tiga gen α menyebabkan

anemia mikrositik hipokromik dengan tingkat keparahan sedang berat

(hemoglobin 7-11 g/dL). Keadaan ini dikenal sebagai penyakit HbH karena

hemoglobin H (β4) dapat dideteksi dalam eritrosit pasien-pasien ini dengan

elektroforesis atau preparat retikulosit. Pada kehidupan janin, ditemui Hb Barts

(γ4).

c) Mutasi dua gen. Pembawa sifat (trait) talasemia α disertai dengan

anemia mikrositik ringan menyerupai defisiensi besi tetapi dengan kapasitas

peningkatan besi yang normal dan kadar besi serum yang meningkat/normal.

d) Mutasi satu gen (silent carrier). Pembawa sifat (trait) talasemia α yang

secara klinis tidak tampak gejala, tanpa adanya mikrositosis atau anemia.

Page 7: TALASEMIA β MAYOR

5

e) Bentuk talasemia α non-delesi akibat mutasi titik yang menyebabkan

disfungsi gen atau mutasi yang menyebabkan terminasi translasi, menghasilkan

suatu rantai yang lebih panjang tetapi tidak stabil.4

2. Talasemia beta: penurunan sintesis rantai beta.

Gen globin β terletak di lengan pendek kromosom 11. Talasemia β terjadi

oleh karena mutasi resesif dari satu atau dua rantai globin β tunggal pada

kromosom 11.

Jenis talasemia β dibagi menjadi:

a) Talasemia β mayor (Cooley’s Anemia). Kedua gen mengalami mutasi

sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul

pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.

b) Talasemia intermedia. Kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa

memproduksi sedikit rantai beta globin. Derajat anemia tergantung derajat mutasi

gen yang terjadi.

c) Talasemia β minor (trait). Penderita memiliki satu gen normal dan satu

gen yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia mikrositik ringan.4

2.4 Etiologi Talasemia β Mayor

Talasemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada

kromosom manusia. Gen β-globin adalah bagian dari sekelompok gen yang

terletak pada kromosom 11. Bentuk daripada gen β-globin ini diatur oleh locus

control region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau pada unsur-unsur dasargen

menyebabkan cacat pada inisiasi atau pengakhiran transkripsi, pembelahan RNA

yang abnormal, substitusi, dan frameshifts. Hasilnya adalah penurunan atau

pemberhentian daripada penghasilan rantai β-globin, sehingga menimbulkan

sindrom talasemia β.

Mutasi Beta-zero (β0) ditandai dengan tidak adanya produksi β-globin,

yang biasanya akibat mutasi nonsense, frameshift, atau splicing. Sedangkan

mutasi beta-plus (β+) ditandai dengan adanya produksi beberapa β-globin tetapi

dengan sedikit cacat splicing. Mutasi yang spesifik memiliki beberapa hubungan

dengan faktor etnis atau kelompok berbeda yang lazim di berbagai belahan dunia.

Page 8: TALASEMIA β MAYOR

6

Seringkali, sebagian besar individu yang mewarisi penyakit ini mengikuti pola

resesif autosomal, dengan individu heterozigot memiliki kelainan gen tersebut,

sedangkan pada individu heterozigot atau individu compound homozigot, kelainan

itu memanifestasi sebagai penyakit talasemia β mayor atau intermedia.4

2.5 Patofisiologi Talasemia β Mayor

Dalam keadaan normal, HbF (fetal hemoglobin) yang terdiri dari dua

rantai α dan dua rantai γ terdapat pada eritrosit janin mulai dari minggu keenam

kehamilan. Kemudian HbF mulai digantikan oleh HbA (adult hemoglobin) yang

terdiri dari dua rantai α dan dua rantai β sejak sebelum kelahiran. Rantai γ

digantikan dengan rantai β, berikatan dengan rantai α membentuk HbA.

Reduksi dari rantai globin β menyebabkan penurunan sintesis dari HbA

serta meningkatnya rantai globin α bebas. Hal ini menyebabkan terbentuknya

eritrosit yang hipokromik dan mikrositik. Ketidakseimbangan sintesis rantai

globin α dan β mempengaruhi derajat talasemia. Presipitat yang terbentuk dari

akumulasi rantai α membentuk badan inklusi pada eritrosit, menyebabkan

kerusakan membran eritrosit serta destruksi dini eritroblas yang sedang

berkembang di sumsum tulang. Kerusakan membran menyebabkan

imunoglobulin dan komplemen berikatan dengan membran, memberi sinyal

kepada makrofag untuk menyingkirkan prekursor eritroid dan eritrosit yang rusak.

Sel retikuloendotelial menyingkirkan eritrosit abnormal dari limpa, hati, dan

sumsum tulang sebelum masa hidupnya berakhir, sehingga tercipta keadaan

anemia hemolitik. Eritropoiesis yang tidak efektif serta hemolisis inilah tanda

utama dari talasemia β.

Eritrosit masih dapat mempertahankan produksi rantai γ, dimana rantai γ

mampu berikatan dengan rantai α bebas yang berlebihan membentuk HbF. Karena

pengikatan tersebut, kadar rantai α bebas turun sehingga mengurangi gejala

penyakit dan menyediakan hemoglobin tambahan yang mampu mengikat oksigen.

Namun, kenaikan kadar HbF ini juga berakibat meningkatnya afinitas oksigen

yang mengakibatkan terjadinya hipoksia. Keadaan anemia beserta hipoksia

menstimulasi produksi eritropoietin. Eritropoietin merupakan sitokin yang

menginduksi eritropoiesis, menghambat apoptosis dan mengizinkan sel progenitor

Page 9: TALASEMIA β MAYOR

7

eritroid berproliferasi. Eritropoiesis yang tidak efektif meningkat, menyebabkan

perluasan dan deformitas tulang.

Gambar 1 . Mekanisme eritropoiesis inefektif dan hemolisis pada talasemia

Pada pasien yang tidak rutin menjalani transfusi, terjadi peningkatan

eritropoiesis lebih dari normal. Akibatnya, terjadi hiperplasia sumsum tulang 15-

30 kali normal dengan manifestasi berupa fasies talasemia, penipisan korteks pada

;banyak tulang dengan kecenderungan terjadinya fraktur, dan penonjolan tulang

tengkorak dengan penampakan “rambut berdiri/hair-on-end” pada foto sinar X.5

Fasies talasemia, atau disebut facies Cooley, khas pada talasemia akibat

pembesaran tulang tengkorak dan tulang wajah dengan bentuk muka mongoloid.

Pembesaran abdomen akibat pembesaran hati dan limpa terjadi karena destruksi

Page 10: TALASEMIA β MAYOR

8

eritrosit yang berlebihan dan hemopoiesis ekstramedular. Hemolisis ini juga

menyebabkan ikterik. Eritropoiesis yang tidak efektif menghambat produksi

hepcidin oleh hati. Hepcidin bertugas menghambat absorpsi besi dan pelepasan

besi dari makrofag serta hepatosit. Maka, pada talasemia β terjadi peningkatan

absorpsi besi serta pelepasan besi dari makrofag, berakibat penumpukan besi pada

sirkulasi dan kemudian pada organ-organ. Besi disimpan dalam jaringan dalam

bentuk ferritin, yang kemudian terdegradasi menjadi hemosiderin, sehingga pada

talasemia β kadar ferritin serta hemosiderin meningkat.

Gambar 2 . Patofisiologi Talasemia β Mayor

Mulainya gejala klinis talasemia β mayor terjadi berangsur-angsur. Pada

umur 6-12 bulan, bayi tampak pucat, iritabel, anoreksia, demam, dan adanya

pembesaran abdomen. Anemia berat menjadi nyata 3-6 bulan setelah lahir pada

saat sintesis rantai γ tidak digantikan oleh sintesis rantai β. Pada pemeriksaan

laboratorium ditemukan gambaran anemia hipokromik berat dan mikrositosis.

Karakteristik talasemia mayor adalah berkurangnya kadar hemoglobin <7 g/dl

yaitu saat hipoksia mulai terjadi. Morfologi eritrosit abnormal, dengan banyak

mikrosit, poikilosit bizzare, teardrop cells, dan sel target. Rendahnya kadar

Page 11: TALASEMIA β MAYOR

9

hemoglobin dapat menimbulkan gejala seperti pusing, lesu, lelah, dan

ketidakmampuan untuk berolahraga. Gangguan tumbuh kembang umum terjadi

pada pasien talasemia mayor anak dan remaja disebabkan oleh anemia kronik dan

penumpukan besi akibat transfusi rutin.4

2.6 Manifestasi Klinis Talasemia β Mayor

Pasien Talasemia β mayor umumnya menunjukkan gejala-gejala berupa

badan lemah, cepat lelah, kulit dan sklera kekuningan (jaundice), urin gelap,

denyut jantung meningkat, sesak napas, pusing, sakit kepala, hambatan

pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat hepatosplenomegali

dengan wajah yang khas (frontal bossing), mulut tongos (rodent like mouth),

bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi akibat sumsum tulang

yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel darah merah, pada Talasemia

bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang-tulang pipih

yang aktif memproduksi sel-sel darah pada orang dewasa, seperti tulang pada

kepala dan wajah. Kepala pasien Talasemia β mayor menjadi terlihat lebih besar

dengan penonjolan pada tulang frontal dan pelebaran diploe (spons tulang) tulang

tengkorak sehingga menjadi beberapa kali lebih besar dari orang normal. Selain

itu, anak dengan Talasemia β Mayor akan mengalami pertumbuhan terhambat.

Akibat dari anemia kronis dan transfusi berulang, maka pasien akan mengalami

kelebihan zat besi yang kemudian akan tertimbun di setiap organ, terutama otot

jantung, hati, kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk hormon lainnya, yang

dikemudian hari akan menimbulkan komplikasi.5,6

Page 12: TALASEMIA β MAYOR

10

2.7 Diagnosis Talasemia

Gambar 2 . Alur Diagnosis Talasemia

* Bila sudah transfusi, dapat dilakukan pemeriksaan DPL dan dilanjutkan pemeriksaan analisis Hb

kedua orangtua.

** Pemeriksaan DNA dilakukan apabila telah transfusi darah berulang, hasil skrining orangtua

sesuai dengan pembawa sifat thalassemia, hasil pemeriksaan esensial tidak khas (curiga ke arah

thalassemia α delesi 1 gen atau mutasi titik).

Page 13: TALASEMIA β MAYOR

11

2.8 Penatalaksanaan Talasemia

2.8.1 Transfusi Darah

Tujuan dari terapi transfusi pada penderita talasemia yaitu untuk

mengkoreksi anemia, menekan eritropoiesis dan menghambat absorbsi besi

gastrointestinal, yang akan terjadi apabila pasien talasemia mayor tidak menerima

terapi transfusi. Terapi transfusi dimulai jika diagnosis talasemia sudah

ditegakkan, atau munculnya anemia (Hb<7 g/dL selama lebih dari dua minggu,

mengecualikan faktor lain yang berkontribusi misalnya infeksi). Namun, pada

pasien dengan Hb>7 g/dL, perlu juga dipertimbangkan faktor lainnya sebagai

indikasi transfusi, seperti perubahan fasial, pertumbuhan yang buruk, bukti dari

ekpansi tulang dan meningkatnya splenomegali. Keputusan memulai transfusi

berdasarkan adanya ketidakmampuan untuk mengkompensasi kadar hemoglobin

yang rendah (adanya tanda peningkatan usaha kerja jantung, takikardi,

berkeringat, makan yang buruk, dan pertumbuhan yang buruk). Anemia sendiri

tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikasi untuk memulai transfusi.

Target yang ingin dicapai dari transfusi adalah kadar Hb sebelum transfusi

9-10.5 g/dL dan kadar Hb setelah transfusi 13-14 g/dL untuk mencegah adanya

gangguan pertumbuhan, deformitas tulang dan kerusakan organ, sehingga

meningkatkan kualitas hidup pasien dan pasien dapat beraktivitas dengan normal.

Frekuensi transfusi biasanya setiap 2-5 minggu. Jumlah darah yang ditransfusi

bergantung dari beberapa faktor seperti berat badan, kadar Hb sebelum transfusi,

target kenaikan kadar Hb, serta usia. Secara umum, kadar sel darah merah yang

ditransfusikan tidak boleh melebihi 15-20 ml/kg/hari, diinfuskan maksimal 5

ml/kg/jam, untuk menghindari peningkatan cepat dari volume darah.

Untuk memonitor keefektifan terapi transfusi, perlu dilakukan pencatatan

beberapa indeks setiap kali transfusi, seperti Hb sebelum dan sesudah transfusi,

jumlah dan hematokrit unit darah, penurunan Hb harian, dan interval transfusi.

Dari pengukuran-pengukuran tersebut dapat dihitung jumlah sel darah merah dan

besi yang dibutuhkan.7,8

Page 14: TALASEMIA β MAYOR

12

2.8.2 Kelasi Besi

Kelasi besi digunakan sebagai satu-satunya strategi untuk membuang besi

yang berlebihan dalam tubuh pada pasien talasemia yang rutin menjalani

transfusi. Bila seorang pasien talasemia tidak mendapatkan kelasi besi, akan

terjadi penimbunan besi pada organ yang dapat menyebabkan disfungsi pada hati,

jantung, dan kelenjar endokrin yang progresif berakibat timbulnya fibrosis hati,

sirosis hati, gagal jantung, diabetes melitus, hipogonadisme, hipotiroidisme,

hipoparatiroidisme hingga kematian. Terapi kelasi besi dimulai segera setelah

pasien mendapatkan 10-20 kali transfusi darah atau ketika kadar ferritin > 1000

ng/ml.

Tiga kelas umum kelasi besi yaitu: hexadentate (deferoxamine), bidentate

(deferiprone), dan tridentate (deferasirox). Hanya satu molekul hexadentate yang

dibutuhkan untuk mengikat satu atom besi, tetapi butuh tiga molekul bidentate

untuk mengikat satu atom besi dan butuh dua molekul tridentate untuk mengikat

satu atom besi. Deferoxamine (DFO) diberikan melalui infus, sedangkan

deferiprone (DFP) dan deferasirox (DFX) merupakan sediaan oral.7

Tabel 1. Jenis-Jenis Obat Kelasi Besi

Ciri Deferoxamine Deferiprone Deferasirox

Kemampuan

mengikat besi

1:1 3:1 2:1

Rute pemberian Subkutan/

intravena

Oral Oral

Dosis umum 20-50 mg/kg per

hari

75-100 mg/kg

per hari

20-40 mg/kg per

hari

Jadwal

pemberian

Selama 8-10

jam, 5-7 hari per

minggu

3x/hari 1x/hari

Efek samping Reaksi lokal

Oftalmologi

Auditori

Pulmonal

Neurologi

Agranulositosis

/ neutropenia

Arthralgia /

arthritis

Gangguan

gastrointestinal

Insufisiensi

ginjal

Page 15: TALASEMIA β MAYOR

13

Infeksi

Keuntungan Tersedianya

data jangka

panjang

Lebih baik

dalam

membuang besi

pada jantung

Pemberian

hanya 1x/hari

Kerugian Toksisitas

Masalah

kepatuhan

Perlu sering

memantau

hitung darah

Kurangnya data

jangka panjan

2.10 Komplikasi Talasemia

Komplikasi pada talasemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat

pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi yang

terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi

anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur

patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek,

dan pembesaran organ-organ abdomen yang menekan organ sekitarnya.

Komplikasi akibat transfusi darah pun dapat terjadi seperti transfusion-

transmitted disease, alloimunisasi, reaksi febril, dan iron overload atau kelebihan

besi yang dapat menyebabkan kematian. Transmisi berbagai virus melalui

transfusi juga dapat terjadi, khususnya hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV.

Risiko saat transfusi seperti kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat juga

dapat menimbulkan gagal jantung, dan dapat terjadi reaksi hemolitik akibat

ketidakcocokan darah yang diberikan. Kelebihan besi merupakan komplikasi

mayor yang berhubungan dengan terapi transfusi. Penumpukan besi pada organ-

organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal dan lainnya, dapat menimbulkan

gangguan fungsi pada organ-organ tersebut. Penumpukan besi pada lapisan basal

epidermis serta di sekitar kelenjar keringat dapat menyebabkan hiperpigmentasi

kulit. Kulit tampak berwarna perunggu kecoklatan atau keabu-abuan. Kelebihan

besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi karena hanya

sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan

Page 16: TALASEMIA β MAYOR

14

memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke

tingkat yang aman.

Gambar 4. Pemantauan Fungsi Organ Akibat Iron Overload

** DFO = desferoksamin, DFP = deferipron, DFX = deferasiroks, TTGO = tes toleransi glukosa

oral, PP = post-prandial.

** Pemantauan dilakukan dengan dukungan dan kerjasama lintas departemen: Ilmu Penyakit

Dalam, Psikiatri (terutama untuk anak dan remaja), Kebidanan dan Kandungan (fetomaternal),

THT, Gigi dan Mulut.

Page 17: TALASEMIA β MAYOR

15

Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang

diberikan. Deferoxamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran,

gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan fungsi hati dan ginjal,

serta menyebabkan gangguan pertumbuhan. Deferiprone terutama menyebabkan

neutropenia, atralgia, gangguan fungsi hati, dan ginjal. Deferasiroks dapat

menyebabkan gangguan gastrointestinal serta insufisiensi ginjal.4

2.11 Prognosis Talasemia β Mayor

Umumnya prognosis pada penderita Talasemia minor adalah baik dengan

harapan hidup sama dengan populasi umum. Anemia ringan yang terjadi tidak

memerlukan pengobatan dan penyakit tidak memiliki risiko untuk terjadi

perburukan. Penderita Talasemia β mayor umumnya meninggal pada usia muda

dan jarang mencapai usia dekade ke 3, walaupun digunakan antibiotik untuk

mencegah infeksi dan pemberian kelasi besi untuk mengurangi efek racun dari

iron overload. Namun apabila fasilitas transfusi darah memadai dan perawatan

dengan kelasi besi yang baik, usia dapat mencapai dekade ke 5 dan kualitas hidup

juga lebih baik.4

Page 18: TALASEMIA β MAYOR

16

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : AAMRS

Umur : 27 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pendidikan : SMA

Status Perkawinan : Belum Menikah

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Br. Timbul, Pupuan, Tegalalang, Gianyar

Tanggal MRS : 6 Mei 2019

Tanggal Pemeriksaan : 10 Mei 2019 pukul 10.30 WITA

II. ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA

Nyeri kepala

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke Polikinik HOM RSUP Sanglah Denpasar dengan

keluhan nyeri kepala sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (4 Mei 2019).

Nyeri kepala dirasakan seperti berdenyut pada sisi kanan dan kiri yang

terjadi secara hilang timbul. Pasien sudah sering mengalami hal serupa

namun sudah rutin melakukan transfusi darah di RSUP Sanglah 1 bulan

sekali tetapi pasien sempat sibuk sehingga tidak dapat melakukan transfusi

darah pada bulan April. Pasien mengatakan bahwa nyeri kepala tersebut

membaik dengan tidur. Nyeri kepala dapat memburuk sehingga pasien

merasa lemas untuk melakukan aktivitis sehingga pasien lebih sering

menghabiskan waktunya di rumah.

Pasien juga mengeluh demam bersamaan dengan nyeri kepalanya

yang disertai dengan mual, batuk kering dan nyeri pada sendi lutut dan

Page 19: TALASEMIA β MAYOR

17

pinggang. Demam terjadi secara naik turun dengan suhu tertinggi 38,3oC

terukur dengan thermometer. Pasien sempat mengonsumsi obat Paracetamol

untuk demamnya namun hanya membaik secara sementara. Keluhan lain

seperti muntah, nyeri perut, mimisan dan gusi berdarah disangkal.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU DAN PENGOBATAN

Pasien terdiagnosis sebagai “Thalasemia β Mayor” sejak umur 3 tahun

namun sudah rutin melakukan transfusi darah di RSUP Sanglah setiap 1

bulan sekali. Pasien mengatakan bahwa sering mengalami hal serupa

apabila pasien tidak melakakukan transfusi darah yang sudah dijadwalkan.

Pasien rutin mengonsumsi obat Asam Folat 1 x 2 mg dan Exjade

(Deferasirox) 2 x 250 mg. Semenjak nyeri kepala dan demam, pasien

mengonsumsi Paracetamol.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Pasien menyangkal adanya riwayat Talasemia pada orang tua dan

kakak kandung kedua pasien. Kakak kandung pertama pasien sudah

meninggal sejak umur 5 tahun dengan diagnosis “Leukemia”. Riwayat

penyakit sistemik seperti hipertensi ada pada Ibu dan Bapaknya. Riwayat

diabetes mellitus ada pada keluarga Ibu. Riwayat penyakit ginjal dan

penyakit jantung dalam keluarga disangkal.

RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL

Pasien sehari-hari bekerja sebagai pegawai swasta namun saat

keluhan memberat pasien tidak bekerja dan lebih sering diam di rumah.

Riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol dan kopi disangkal pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK (10/05/2019)

Status Present

Keadaan umum : Lemah

Gizi : Baik

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4V5M6

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 88 kali / menit

Page 20: TALASEMIA β MAYOR

18

Respirasi : 18 kali / menit

Suhu axila : 36,2 0 Celcius

VAS : 0/10

BB : 48 kg

TB : 145 cm

BMI : 22,82 kg/m2

Status General

Mata : Konjungtiva anemis +/+, Ikterus +/+, Reflek Pupil +/+

isokor, edema palpebra -/-

Telinga : Daun telinga N/N, Cairan -/-

Hidung : Hidung luar N/N, Cairan -/-

Wajah : Frontal bossing (+) belum parah

Tenggorok : Tonsil T1/ T1, hiperemi -/-permukaan rata

Faring : dalam batas normal

Mulut :

• Bibir sianosis : (-)

• Mukosa mulut : Dalam batas normal

• Gusi : Dalam batas normal

• Gigi geligi : Gigi berlubang (-), berwarna kehitaman (-), gigi

ompong (-)

• Lidah : Dalam batas normal

Leher : Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening

(-)

kelenjar tiroid dalam batas normal,

vena jugularis : PR + 0 cmH2O

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Cor :

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Teraba iktus kordis di ICS V MCL Sinistra

Perkusi : Batas bawah jantung setinggi ICS V

Batas kanan jantung PSL kanan

Page 21: TALASEMIA β MAYOR

19

Batas kiri jantung ICS V MCL kiri

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo :

Inspeksi : Pergerakan dada simetris (statis dan dinamis)

Palpasi : Pergerakan simetris, taktil vokal fremitus normal

simetris

Perkusi : Batas bawah kanan ICS V, batas bawah kiri ICS V

sonor/sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki-/-, Wheezing -/-

Abdomen :

Inspeksi : distensi (-), scar (-), massa (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar tidak teraba,

splenomegali schuffner III

Perkusi : shiftingdullness (-), liverspan 11cm

normal

Ekstremitas : Hangat Edema

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Darah Lengkap (5/5/2019 pukul 03.39 WITA)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

WBC

9.28

103/µL

4.1 – 11.0

- NE% 70,56 % 47 – 80

- LY% 14,53 % 13 – 40

- -

- -

+ +

+ +

Page 22: TALASEMIA β MAYOR

20

- MO% 10,20 % 2.0 – 11.0

- EO% 4,18 % 0.0 – 5.0

- BA% 0,53 % 0.0 – 2.0

- NE# 6,55 103/µL 2.50 – 7.50

- LY# 1,35 103/µL 1.00 – 4.00

- MO# 0.95 103/µL 0.10 – 1.20

- EO# 0.39 103/µL 0.00 – 0.50

- BA# 0,05 103/µL 0.0 – 0.1

RBC 3,40 106/µL 4.0 – 5.2 Rendah

HGB 10,38 g/dL 13.5 – 17.5 Rendah

HCT 31,60 % 36.0 – 46.0 Rendah

MCV 92,94 fL 80,0 – 100,0

MCH 30,53 Pg 26.00–34.00

MCHC 32,85 g/dL 31.00 – 36.00

RDW 11,81 % 11.6 – 14.8

PLT 239,00 103/µL 140 – 440

B. Kimia Darah dan Analisa Gas Darah (17/5/2018 pukul 01.20)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

AST/SGOT 38,0 U/L 11.00 – 27.00 Tinggi

ALT/SGPT 34,9 U/L 11.00 – 50.00

Glukosa Acak 164 mg/dL 70 – 140 Tinggi

BUN 39.00 mg/dL 8.00 – 23.00 Tinggi

Page 23: TALASEMIA β MAYOR

21

Kreatinin 1,75 mg/dL 0.50 – 0.90 Tinggi

Asam Urat 7,1 mg/dL 2,00 - 7,00 Tinggi

Albumin 3,08 g/dL 3,40 – 4.80 Rendah

Ph 7,42 7,35 – 7,45

pCO2 38,0 mmHg 35,00-45,00

pO2 153,40 mmHg 80,00-100,00 Tinggi

Beecf -0,6 mmol/L -2 – 2

HCO3- 23,90 mmol/L 22,00-26,00

SO2C 99,0 % 95%- 100%

TCO2 25,10 mmol/L 24.00-30.00

Natrium (Na) 139 mmol/L 136 – 145

Kalium (K) 2,93 mmol/L 3.50 – 5.10 Rendah

Klorida (Cl) 86 mmol/L 96 – 108 Rendah

Procalcitonin 0,63 mg/mL <0,15 Tinggi

V. DIAGNOSIS

A/1 . Thalasemia B mayor transfusi dependent

Observasi febris hari 3 ec susp viral

VI. PENATALAKSANAAN

Terapi :

IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit

Transfusi PRC 6 Koff per hari

Asam folat 2 mg tiap 12 jam intra oral

Deferasirox 500 mg tiap 12 jam intra oral

Paracetamol 500 mg tiap 8 jam intra oral bila suhu ≥ 38oC

Monitoring

Page 24: TALASEMIA β MAYOR

22

Keluhan, tanda vital

Ulangi pemeriksaan darah lengkap

VII. PLANNING

1. DL ulang

VIII. MONITORING

- Keluhan

- Vital Sign

- Ulangi pemeriksaan darah lengkap

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : malam

Page 25: TALASEMIA β MAYOR

23

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada anamnesis pasien menyatakan telah melakukan transfusi rutin sejak

usia 3 tahun karena diagnosis menderita Talasemia β Mayor. Talasemia β Mayor

merupakan penyakit yang bersifat genetik. Sedangkan pada keluarga pasien tidak

ditemukan adanya gejala serupa yang dapat menunjukkan bahwa anggota

keluarga pasien juga memiliki Talasemia β Mayor. Hal tersebut berarti kedua

orang tua pasien memiliki gen pembawa Thalasemia atau disebut karier

Talasemia β. Sehingga kemungkinan hanya memiliki gejala-gejala ringan atau

mungkin tidak bergejala sehingga tidak dapat diketahui. Kakak kedua pasien

hidup dengan normal tanpa keluhan seperti pasien sehingga kemungkinan kakak

kedua pasien normal atau karier Talasemia β. Kakak pertama pasien dikatakan

meninggal pada usia 5 tahun dengan diagnosis Leukimia yang merupakan

keganasan hematologi. Beberapa literatur menyatakan pasien dengan Talasemia β

dapat saja juga mengalami keganasan hematologi seperti Hodkin disease,

Limfoma, Seminoma, dan Leukemia. Namun hal tersebut merupakan kasus yang

cukup jarang. Hal tersebut biasanya dijelaskan sebagai interaksi antara genetik

dengan lingkungan, atau terkadang hal tersebut hanya dianggap sebagai sebuah

„kebetulan‟.9 Namun, hingga saat ini belum ada literatur yang membahas

mengenai hubungan antara pasien dengan Talasemia β Mayor dengan anggota

keluarga dengan Leukemia. Terlebih lagi kakak kandung pertama pasien tidak

diketahui menderita Talasemia β Mayor atau tidak, sehingga kejadian tersebut

masih belum dapat dijelaskan secara pasti.

Gejala dan tanda Talasemia β Mayor yang dapat ditemukan pada pasien

yaitu badan lemah, di mana pasien menyatakan badan sering lemas dan mudah

lelah saat beraktivitas sehingga pasien lebih sering hanya diam di rumah dan tidak

bekerja. Kondisi pasien semakin lemas karena pasien tidak melakukan transfusi

darah rutin pada bulan April 2019. Pada pasien juga terdapat gejala nyeri kepala

yang terkadang dapat ditemui pada pasien Talasemia β Mayor. Pada pemeriksaan

fisik ditemukan konjungtiva anemis dan juga sclera kekuningan (ikterik) yang

sering dijumpai pada pasien Talasemia β Mayor. Pasien juga telah menunjukkan

Page 26: TALASEMIA β MAYOR

24

Frontal bossing namun belum terlalu jelas. Pada pasien juga dijumpai adanya

pembesaran limpa atau splenomegali yang dapat dipalpasi pada Scuffner III akibat

hiperaktivitas dari limpa itu sendiri dalam menghancurkan sel-sel darah.

Splenomegali apabila dalam jangka waktu yang lama dapat memperparah anemia

yang dialami oleh pasien, serta menyebabkan leukopenia serta trombositopenia.

Namun, pada pasien tidak ditemukannya hasil laboratorium yang menunjukkan

leukopenia serta trombositopenia. Pasien juga dahulu mengalami hambatan

pertumbuhan yang dapat dilihat dari tinggi badan pasien yang hanya 145 cm

dengan usia 27 tahun. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hemoglobin

rendah, namun pada hapusan darah tidak ditemukan tampilan eritrosit

Hipokromik-Mikrositer yang sering kali ditemukan pada pasien dengan

Talasemia. Hal tersebut kemungkinan besar dikarenakan transfusi darah rutin

yang telah dilakukan pasien.

Dalam kasus ini, pasien diberikan tatalaksana berupa transfusi darah PRC

6 koff per hari. Dan dibarengi dengan pemberian kelasi besi jenis tridentate

(Deferasirox) dengan dosis 500 mg tiap 12 jam intra oral untuk mencegah

penumpukan besi dalam jaringan dan komplikasi lebih lanjut.

Pasien dengan transfusi darah rutin sejak usia 3 tahun sehingga sekarang

telah mencapai usia 27 tahun. Namun, iron overload tidak dapat dihindari dari

sekian lama pemberian transfusi darah, sehingga pasien diberikan kelasi besi

untuk mengikat besi berlebih dalam tubuh pasien. Jika terapi tersebut rutin

dilanjutkan dengan pengawasan kadar Hemoglobin dan besi yang ketat tiap

bulannya, maka berdasarkan literatur pasien dapat mencapai angka harapan hidup

hingga usia di atas 50 tahun.

Page 27: TALASEMIA β MAYOR

25

BAB V

SIMPULAN

Pasien dengan diagnosis Thalasemia β mayor sejak usia 3 tahun. Hingga

saat ini berusia 27 tahun pasien telah rutin melakukan transfusi darah tiap

bulannya. Pasien mengalami perburukan kondisi karena tidak melakukan transfusi

darah sesuai jadwal. Beberapa kondisi pasien sesuai dengan teori mengenai

Talasemia β mayor. Pasien juga telah diberikan terapi kelasi besi untuk

menghindari komplikasi lain akibat penumpukan Besi dalam jaringan.Prognosis

pada pasien ini cukup baik dengan kualitas hidup baik jika pasien tetap

melanjutkan terapi transfusi rutin dan kelasi besi dengan kontrol darah rutin serta

fungsi organ.

Page 28: TALASEMIA β MAYOR

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Helmi N, Bashir M, Shireen A, Mirza Ahmed I. Thalassemia review:

features, dental considerations and management. Electron physician.

2017;9(3):4003–4008.

2. Sanctis V De, Kattamis C, Canatan D, Soliman AT, Elsedfy H, Karimi M,

et al. β-Thalassemia Distribution in the Old World: an Ancient Disease Seen from

a Historical Standpoint. Mediterr J Hematol Infecttious Dis. 2017;9:1–14.

3. Kepmenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana

Thalasemia. 2018:3-90.

4. Angastiniotis M, Lobitz S. Thalassemias: An Overview. Int J Neonatal

Screen. 2019;5(1):16.

5. Nienhuis AW, Nathan DG. Pathophysiology and Clinical Manifestations

of the b-Thalassemias. Cold Spring Harb Perspect Med. 2012;2:1–13.

6. Muncie HL. Beta Thalassemia. National Organization for Rare Disorder.

2019. Available at: https://rarediseases.org/rare-diseases/thalassemia-major.

7. Nigam N, Nigam S, Agarwal M, Singh PK. β-Thalassemia: From Clinical

Symptoms to the Management. Int J Contemp Med Res. 2017;4(5):2454–7379.

8. Rund D. Thalassemia 2016: Modern medicine battles an ancient disease.

Am J Hematol. 2016;91(1):15–21.

9. Tuğcu D, Karakaş Z, Gökçe M, Ağaoğlu L, Ünüvar A, Sarıbeyoğlu E, et

al. Thalassemia Intermedia and Acute Lymphoblastic Leukemia : Is it a

Coincidental Double Diagnosis ? Talasemi İntermedia ve Akut Lenfoblastik

Lösemi Rastlantısal Çift Tanı mı ? Turk J Hematol. 2014;311–3.