talasemia β mayor
TRANSCRIPT
i
i
RESPONSI KASUS
TALASEMIA β MAYOR
Pembimbing:
dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD-KHOM
Oleh:
Gusti Ayu Sri Ari Swandewi (1902611077)
Ida Ayu Dewi Dhyani (1902611086)
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi yang
berjudul “Talasemia β Mayor” ini tepat pada waktunya. Laporan responsi kasus
ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan laporan responsi kasus ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD-KHOM selaku pembimbing dalam
penyusunan responsi ini.
4. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
masukannya.
5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan responsi kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga laporan responsi kasus ini dapat bermanfaat di
bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Denpasar, 23 Mei 2019
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Talasemia adalah suatu kelainan genetik yang ditandai dengan
penurunan sintesis rantai α dan β dari globin yang membentuk
hemoglobin. Penurunan sintesis rantai globin tersebut mengakibatkan
hemoglobinopati atau hemoglobin yang terbentuk berfungsi abnormal.
Hemoglobinopati Talasemia merupakan penyakit keturunan yang paling
sering dijumpai di seluruh dunia. Talasemia paling tinggi terjadi pada
populasi di wilayah-wilayah Mediterania, Timur Tengah, Transkaukasus,
Asia Tengah, Sub-benua India, dan Timur Jauh. Sedangkan di Indonesia,
Palembang merupakan wilayah dengan frekuensi pembawa sifat Talasemia
β terbanyak. yaitu sebesar 9,2%. Lalu diikuti oleh Bangka dan Sumbawa
dengan masing-masing 5,4% dan 5,1%. Sedangkan di Bali, pembawa sifat
Talasemia β sebesar 1,2% dari populasi.
Berdasarkan penurunan sintesis rantai globin, Talasemia dibagi
menjadi Talasemia α dan Talasemia β. Penurunan sintesis rantai globin
terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada kromosom manusia.
Gen β-globin adalah penghasil rantai globin β yang merupakan bagian dari
sekelompok gen yang terletak pada kromosom 11. Jika gen β-globin tidak
diproduksi secara normal pada kelainan kromosom 11, maka dapat
menyebabkan munculnya sindrom Talasemia β. Talasemia β dapat dibagi
menjadi 3, yaitu Talasemia β Mayor (Cooley’s anemia), Talasemia β
intermedia, dan Talasemia β minor (trait).
Pasien Talasemia β mayor umumnya menunjukkan gejala-gejala
berupa badan lemah, cepat lelah, kulit dan sklera kekuningan ( jaundice),
urin gelap, denyut jantung meningkat, sesak napas, pusing, sakit kepala,
hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat
hepatosplenomegali dengan wajah yang khas (frontal bossing), mulut
tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi.
2
Keluhan anemia pada pasien Talasemia β mayor dapat dikurangi
dengan pemberian terapi transfusi darah rutin. Namun, transfusi darah
rutin tersebut dapat mengakibatkan terjadinya iron overload atau
penumpukan besi di jaringan yang dapat berbahaya bagi pasien. Sehingga
biasanya transfusi darah yang lama juga dibarengi dengan pemberian
terapi kelasi besi untuk mengikat besi-besi yang tertimbun sehingga tidak
berbahaya. Penderita Talasemia β mayor umumnya meninggal pada usia
muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3. Namun apabila fasilitas
transfusi darah memadai dan perawatan dengan kelasi besi yang baik , usia
dapat mencapai dekade ke-5 dan kualitas hidup juga lebih baik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Talasemia
Talasemia adalah suatu kelainan genetik yang ditandai dengan penurunan
sintesis rantai α dan β dari globin yang membentuk hemoglobin. Penurunan
sintesis rantai globin tersebut mengakibatkan hemoglobinopati atau hemoglobin
yang terbentuk berfungsi abnormal. Gejala-gejala mulai muncul karena
hemoglobin yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berfungsi
secara normal, sehingga transportasi oksigen ke jaringan menurun.1
2.2 Epidemiologi Talasemia
Hemoglobinopati Talasemia merupakan penyakit keturunan yang paling
sering dijumpai di seluruh dunia. Talasemia paling tinggi terjadi pada populasi di
wilayah-wilayah Mediterania, Timur Tengah, Transkaukasus, Asia Tengah, Sub-
benua India, dan Timur Jauh. Pada area-area tersebut frekuensi pembawa sifat
Talasemia β berkisar antara 1-20% dari populasi, dan masih dapat lebih tinggi.
Frekuensi pembawa sifat Talasemia α lebih tinggi dibanding Talasemia β,
bervariasi mulai dari 10%-20% di Sub-Sahara Afrika, 40% pada populasi Timur
Tengah dan India. Bahkan di Papua Nugini dan beberapa daerah terisolasi di India
Utara, populasi penduduk karier Talasemia dapat mencapai 80%.2 Sedangkan data
World Bank menunjukkan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan pembawa
sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai
dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal
akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang.
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara
dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini
terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa
frekuensi gen talasemia beta berkisar antara 3-10%. Sedangkan di Indonesia,
Palembang merupakan wilayah dengan frekuensi pembawa sifat Talasemia β
terbanyak. yaitu sebesar 9,2%. Lalu diikuti oleh Bangka dan Sumbawa dengan
masing-masing 5,4% dan 5,1%. Sedangkan di Bali, pembawa sifat Talasemia β
4
sebesar 1,2% dari populasi.3 Talasemia umumnya lebih sering terjadi di daerah
terisolasi dimana perkawinan dengan garis keturunan yang cukup dekat sering
terjadi. Talasemia menjadi semakin sering terjadi karena adanya pernikahan antar
sesama karier Talasemia, di mana pernikahan tersebut akan menghasilkan
keturunan dengan peluang sebesar 25% untuk memiliki Talasemia Mayor, 50%
Talasemia minor atau karier, dan 25% normal.
2.3 Klasifikasi Talasemia
Terdapat 2 tipe utama talasemia, yaitu:
1. Talasemia alfa: penurunan sintesis rantai alfa.
Sindrom talasemia α biasanya disebabkan oleh delesi gen globin pada
kromosom 16. Oleh karena pada keadaan normal terdapat empat salinan gen
globin α, keparahan klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah gen yang
tidak ada atau tidak aktif.
Jenis talasemia alfa berdasarkan jumlah gen yang tidak ada:
a) Mutasi empat gen (talasemia α mayor). Hilangnya keempat gen
menekan sintesis rantai α secara keseluruhan dan karena rantai α esensial pada
hemoglobin janin dan dewasa, keadaan ini menyebabkan kematian dalam rahim
(hidrops fetalis).
b) Mutasi tiga gen (penyakit HbH). Delesi tiga gen α menyebabkan
anemia mikrositik hipokromik dengan tingkat keparahan sedang berat
(hemoglobin 7-11 g/dL). Keadaan ini dikenal sebagai penyakit HbH karena
hemoglobin H (β4) dapat dideteksi dalam eritrosit pasien-pasien ini dengan
elektroforesis atau preparat retikulosit. Pada kehidupan janin, ditemui Hb Barts
(γ4).
c) Mutasi dua gen. Pembawa sifat (trait) talasemia α disertai dengan
anemia mikrositik ringan menyerupai defisiensi besi tetapi dengan kapasitas
peningkatan besi yang normal dan kadar besi serum yang meningkat/normal.
d) Mutasi satu gen (silent carrier). Pembawa sifat (trait) talasemia α yang
secara klinis tidak tampak gejala, tanpa adanya mikrositosis atau anemia.
5
e) Bentuk talasemia α non-delesi akibat mutasi titik yang menyebabkan
disfungsi gen atau mutasi yang menyebabkan terminasi translasi, menghasilkan
suatu rantai yang lebih panjang tetapi tidak stabil.4
2. Talasemia beta: penurunan sintesis rantai beta.
Gen globin β terletak di lengan pendek kromosom 11. Talasemia β terjadi
oleh karena mutasi resesif dari satu atau dua rantai globin β tunggal pada
kromosom 11.
Jenis talasemia β dibagi menjadi:
a) Talasemia β mayor (Cooley’s Anemia). Kedua gen mengalami mutasi
sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul
pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.
b) Talasemia intermedia. Kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa
memproduksi sedikit rantai beta globin. Derajat anemia tergantung derajat mutasi
gen yang terjadi.
c) Talasemia β minor (trait). Penderita memiliki satu gen normal dan satu
gen yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia mikrositik ringan.4
2.4 Etiologi Talasemia β Mayor
Talasemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada
kromosom manusia. Gen β-globin adalah bagian dari sekelompok gen yang
terletak pada kromosom 11. Bentuk daripada gen β-globin ini diatur oleh locus
control region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau pada unsur-unsur dasargen
menyebabkan cacat pada inisiasi atau pengakhiran transkripsi, pembelahan RNA
yang abnormal, substitusi, dan frameshifts. Hasilnya adalah penurunan atau
pemberhentian daripada penghasilan rantai β-globin, sehingga menimbulkan
sindrom talasemia β.
Mutasi Beta-zero (β0) ditandai dengan tidak adanya produksi β-globin,
yang biasanya akibat mutasi nonsense, frameshift, atau splicing. Sedangkan
mutasi beta-plus (β+) ditandai dengan adanya produksi beberapa β-globin tetapi
dengan sedikit cacat splicing. Mutasi yang spesifik memiliki beberapa hubungan
dengan faktor etnis atau kelompok berbeda yang lazim di berbagai belahan dunia.
6
Seringkali, sebagian besar individu yang mewarisi penyakit ini mengikuti pola
resesif autosomal, dengan individu heterozigot memiliki kelainan gen tersebut,
sedangkan pada individu heterozigot atau individu compound homozigot, kelainan
itu memanifestasi sebagai penyakit talasemia β mayor atau intermedia.4
2.5 Patofisiologi Talasemia β Mayor
Dalam keadaan normal, HbF (fetal hemoglobin) yang terdiri dari dua
rantai α dan dua rantai γ terdapat pada eritrosit janin mulai dari minggu keenam
kehamilan. Kemudian HbF mulai digantikan oleh HbA (adult hemoglobin) yang
terdiri dari dua rantai α dan dua rantai β sejak sebelum kelahiran. Rantai γ
digantikan dengan rantai β, berikatan dengan rantai α membentuk HbA.
Reduksi dari rantai globin β menyebabkan penurunan sintesis dari HbA
serta meningkatnya rantai globin α bebas. Hal ini menyebabkan terbentuknya
eritrosit yang hipokromik dan mikrositik. Ketidakseimbangan sintesis rantai
globin α dan β mempengaruhi derajat talasemia. Presipitat yang terbentuk dari
akumulasi rantai α membentuk badan inklusi pada eritrosit, menyebabkan
kerusakan membran eritrosit serta destruksi dini eritroblas yang sedang
berkembang di sumsum tulang. Kerusakan membran menyebabkan
imunoglobulin dan komplemen berikatan dengan membran, memberi sinyal
kepada makrofag untuk menyingkirkan prekursor eritroid dan eritrosit yang rusak.
Sel retikuloendotelial menyingkirkan eritrosit abnormal dari limpa, hati, dan
sumsum tulang sebelum masa hidupnya berakhir, sehingga tercipta keadaan
anemia hemolitik. Eritropoiesis yang tidak efektif serta hemolisis inilah tanda
utama dari talasemia β.
Eritrosit masih dapat mempertahankan produksi rantai γ, dimana rantai γ
mampu berikatan dengan rantai α bebas yang berlebihan membentuk HbF. Karena
pengikatan tersebut, kadar rantai α bebas turun sehingga mengurangi gejala
penyakit dan menyediakan hemoglobin tambahan yang mampu mengikat oksigen.
Namun, kenaikan kadar HbF ini juga berakibat meningkatnya afinitas oksigen
yang mengakibatkan terjadinya hipoksia. Keadaan anemia beserta hipoksia
menstimulasi produksi eritropoietin. Eritropoietin merupakan sitokin yang
menginduksi eritropoiesis, menghambat apoptosis dan mengizinkan sel progenitor
7
eritroid berproliferasi. Eritropoiesis yang tidak efektif meningkat, menyebabkan
perluasan dan deformitas tulang.
Gambar 1 . Mekanisme eritropoiesis inefektif dan hemolisis pada talasemia
Pada pasien yang tidak rutin menjalani transfusi, terjadi peningkatan
eritropoiesis lebih dari normal. Akibatnya, terjadi hiperplasia sumsum tulang 15-
30 kali normal dengan manifestasi berupa fasies talasemia, penipisan korteks pada
;banyak tulang dengan kecenderungan terjadinya fraktur, dan penonjolan tulang
tengkorak dengan penampakan “rambut berdiri/hair-on-end” pada foto sinar X.5
Fasies talasemia, atau disebut facies Cooley, khas pada talasemia akibat
pembesaran tulang tengkorak dan tulang wajah dengan bentuk muka mongoloid.
Pembesaran abdomen akibat pembesaran hati dan limpa terjadi karena destruksi
8
eritrosit yang berlebihan dan hemopoiesis ekstramedular. Hemolisis ini juga
menyebabkan ikterik. Eritropoiesis yang tidak efektif menghambat produksi
hepcidin oleh hati. Hepcidin bertugas menghambat absorpsi besi dan pelepasan
besi dari makrofag serta hepatosit. Maka, pada talasemia β terjadi peningkatan
absorpsi besi serta pelepasan besi dari makrofag, berakibat penumpukan besi pada
sirkulasi dan kemudian pada organ-organ. Besi disimpan dalam jaringan dalam
bentuk ferritin, yang kemudian terdegradasi menjadi hemosiderin, sehingga pada
talasemia β kadar ferritin serta hemosiderin meningkat.
Gambar 2 . Patofisiologi Talasemia β Mayor
Mulainya gejala klinis talasemia β mayor terjadi berangsur-angsur. Pada
umur 6-12 bulan, bayi tampak pucat, iritabel, anoreksia, demam, dan adanya
pembesaran abdomen. Anemia berat menjadi nyata 3-6 bulan setelah lahir pada
saat sintesis rantai γ tidak digantikan oleh sintesis rantai β. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan gambaran anemia hipokromik berat dan mikrositosis.
Karakteristik talasemia mayor adalah berkurangnya kadar hemoglobin <7 g/dl
yaitu saat hipoksia mulai terjadi. Morfologi eritrosit abnormal, dengan banyak
mikrosit, poikilosit bizzare, teardrop cells, dan sel target. Rendahnya kadar
9
hemoglobin dapat menimbulkan gejala seperti pusing, lesu, lelah, dan
ketidakmampuan untuk berolahraga. Gangguan tumbuh kembang umum terjadi
pada pasien talasemia mayor anak dan remaja disebabkan oleh anemia kronik dan
penumpukan besi akibat transfusi rutin.4
2.6 Manifestasi Klinis Talasemia β Mayor
Pasien Talasemia β mayor umumnya menunjukkan gejala-gejala berupa
badan lemah, cepat lelah, kulit dan sklera kekuningan (jaundice), urin gelap,
denyut jantung meningkat, sesak napas, pusing, sakit kepala, hambatan
pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat hepatosplenomegali
dengan wajah yang khas (frontal bossing), mulut tongos (rodent like mouth),
bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi akibat sumsum tulang
yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel darah merah, pada Talasemia
bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang-tulang pipih
yang aktif memproduksi sel-sel darah pada orang dewasa, seperti tulang pada
kepala dan wajah. Kepala pasien Talasemia β mayor menjadi terlihat lebih besar
dengan penonjolan pada tulang frontal dan pelebaran diploe (spons tulang) tulang
tengkorak sehingga menjadi beberapa kali lebih besar dari orang normal. Selain
itu, anak dengan Talasemia β Mayor akan mengalami pertumbuhan terhambat.
Akibat dari anemia kronis dan transfusi berulang, maka pasien akan mengalami
kelebihan zat besi yang kemudian akan tertimbun di setiap organ, terutama otot
jantung, hati, kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk hormon lainnya, yang
dikemudian hari akan menimbulkan komplikasi.5,6
10
2.7 Diagnosis Talasemia
Gambar 2 . Alur Diagnosis Talasemia
* Bila sudah transfusi, dapat dilakukan pemeriksaan DPL dan dilanjutkan pemeriksaan analisis Hb
kedua orangtua.
** Pemeriksaan DNA dilakukan apabila telah transfusi darah berulang, hasil skrining orangtua
sesuai dengan pembawa sifat thalassemia, hasil pemeriksaan esensial tidak khas (curiga ke arah
thalassemia α delesi 1 gen atau mutasi titik).
11
2.8 Penatalaksanaan Talasemia
2.8.1 Transfusi Darah
Tujuan dari terapi transfusi pada penderita talasemia yaitu untuk
mengkoreksi anemia, menekan eritropoiesis dan menghambat absorbsi besi
gastrointestinal, yang akan terjadi apabila pasien talasemia mayor tidak menerima
terapi transfusi. Terapi transfusi dimulai jika diagnosis talasemia sudah
ditegakkan, atau munculnya anemia (Hb<7 g/dL selama lebih dari dua minggu,
mengecualikan faktor lain yang berkontribusi misalnya infeksi). Namun, pada
pasien dengan Hb>7 g/dL, perlu juga dipertimbangkan faktor lainnya sebagai
indikasi transfusi, seperti perubahan fasial, pertumbuhan yang buruk, bukti dari
ekpansi tulang dan meningkatnya splenomegali. Keputusan memulai transfusi
berdasarkan adanya ketidakmampuan untuk mengkompensasi kadar hemoglobin
yang rendah (adanya tanda peningkatan usaha kerja jantung, takikardi,
berkeringat, makan yang buruk, dan pertumbuhan yang buruk). Anemia sendiri
tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikasi untuk memulai transfusi.
Target yang ingin dicapai dari transfusi adalah kadar Hb sebelum transfusi
9-10.5 g/dL dan kadar Hb setelah transfusi 13-14 g/dL untuk mencegah adanya
gangguan pertumbuhan, deformitas tulang dan kerusakan organ, sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien dan pasien dapat beraktivitas dengan normal.
Frekuensi transfusi biasanya setiap 2-5 minggu. Jumlah darah yang ditransfusi
bergantung dari beberapa faktor seperti berat badan, kadar Hb sebelum transfusi,
target kenaikan kadar Hb, serta usia. Secara umum, kadar sel darah merah yang
ditransfusikan tidak boleh melebihi 15-20 ml/kg/hari, diinfuskan maksimal 5
ml/kg/jam, untuk menghindari peningkatan cepat dari volume darah.
Untuk memonitor keefektifan terapi transfusi, perlu dilakukan pencatatan
beberapa indeks setiap kali transfusi, seperti Hb sebelum dan sesudah transfusi,
jumlah dan hematokrit unit darah, penurunan Hb harian, dan interval transfusi.
Dari pengukuran-pengukuran tersebut dapat dihitung jumlah sel darah merah dan
besi yang dibutuhkan.7,8
12
2.8.2 Kelasi Besi
Kelasi besi digunakan sebagai satu-satunya strategi untuk membuang besi
yang berlebihan dalam tubuh pada pasien talasemia yang rutin menjalani
transfusi. Bila seorang pasien talasemia tidak mendapatkan kelasi besi, akan
terjadi penimbunan besi pada organ yang dapat menyebabkan disfungsi pada hati,
jantung, dan kelenjar endokrin yang progresif berakibat timbulnya fibrosis hati,
sirosis hati, gagal jantung, diabetes melitus, hipogonadisme, hipotiroidisme,
hipoparatiroidisme hingga kematian. Terapi kelasi besi dimulai segera setelah
pasien mendapatkan 10-20 kali transfusi darah atau ketika kadar ferritin > 1000
ng/ml.
Tiga kelas umum kelasi besi yaitu: hexadentate (deferoxamine), bidentate
(deferiprone), dan tridentate (deferasirox). Hanya satu molekul hexadentate yang
dibutuhkan untuk mengikat satu atom besi, tetapi butuh tiga molekul bidentate
untuk mengikat satu atom besi dan butuh dua molekul tridentate untuk mengikat
satu atom besi. Deferoxamine (DFO) diberikan melalui infus, sedangkan
deferiprone (DFP) dan deferasirox (DFX) merupakan sediaan oral.7
Tabel 1. Jenis-Jenis Obat Kelasi Besi
Ciri Deferoxamine Deferiprone Deferasirox
Kemampuan
mengikat besi
1:1 3:1 2:1
Rute pemberian Subkutan/
intravena
Oral Oral
Dosis umum 20-50 mg/kg per
hari
75-100 mg/kg
per hari
20-40 mg/kg per
hari
Jadwal
pemberian
Selama 8-10
jam, 5-7 hari per
minggu
3x/hari 1x/hari
Efek samping Reaksi lokal
Oftalmologi
Auditori
Pulmonal
Neurologi
Agranulositosis
/ neutropenia
Arthralgia /
arthritis
Gangguan
gastrointestinal
Insufisiensi
ginjal
13
Infeksi
Keuntungan Tersedianya
data jangka
panjang
Lebih baik
dalam
membuang besi
pada jantung
Pemberian
hanya 1x/hari
Kerugian Toksisitas
Masalah
kepatuhan
Perlu sering
memantau
hitung darah
Kurangnya data
jangka panjan
2.10 Komplikasi Talasemia
Komplikasi pada talasemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat
pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi yang
terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi
anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur
patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek,
dan pembesaran organ-organ abdomen yang menekan organ sekitarnya.
Komplikasi akibat transfusi darah pun dapat terjadi seperti transfusion-
transmitted disease, alloimunisasi, reaksi febril, dan iron overload atau kelebihan
besi yang dapat menyebabkan kematian. Transmisi berbagai virus melalui
transfusi juga dapat terjadi, khususnya hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV.
Risiko saat transfusi seperti kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat juga
dapat menimbulkan gagal jantung, dan dapat terjadi reaksi hemolitik akibat
ketidakcocokan darah yang diberikan. Kelebihan besi merupakan komplikasi
mayor yang berhubungan dengan terapi transfusi. Penumpukan besi pada organ-
organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal dan lainnya, dapat menimbulkan
gangguan fungsi pada organ-organ tersebut. Penumpukan besi pada lapisan basal
epidermis serta di sekitar kelenjar keringat dapat menyebabkan hiperpigmentasi
kulit. Kulit tampak berwarna perunggu kecoklatan atau keabu-abuan. Kelebihan
besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi karena hanya
sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan
14
memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke
tingkat yang aman.
Gambar 4. Pemantauan Fungsi Organ Akibat Iron Overload
** DFO = desferoksamin, DFP = deferipron, DFX = deferasiroks, TTGO = tes toleransi glukosa
oral, PP = post-prandial.
** Pemantauan dilakukan dengan dukungan dan kerjasama lintas departemen: Ilmu Penyakit
Dalam, Psikiatri (terutama untuk anak dan remaja), Kebidanan dan Kandungan (fetomaternal),
THT, Gigi dan Mulut.
15
Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang
diberikan. Deferoxamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan fungsi hati dan ginjal,
serta menyebabkan gangguan pertumbuhan. Deferiprone terutama menyebabkan
neutropenia, atralgia, gangguan fungsi hati, dan ginjal. Deferasiroks dapat
menyebabkan gangguan gastrointestinal serta insufisiensi ginjal.4
2.11 Prognosis Talasemia β Mayor
Umumnya prognosis pada penderita Talasemia minor adalah baik dengan
harapan hidup sama dengan populasi umum. Anemia ringan yang terjadi tidak
memerlukan pengobatan dan penyakit tidak memiliki risiko untuk terjadi
perburukan. Penderita Talasemia β mayor umumnya meninggal pada usia muda
dan jarang mencapai usia dekade ke 3, walaupun digunakan antibiotik untuk
mencegah infeksi dan pemberian kelasi besi untuk mengurangi efek racun dari
iron overload. Namun apabila fasilitas transfusi darah memadai dan perawatan
dengan kelasi besi yang baik, usia dapat mencapai dekade ke 5 dan kualitas hidup
juga lebih baik.4
16
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : AAMRS
Umur : 27 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Br. Timbul, Pupuan, Tegalalang, Gianyar
Tanggal MRS : 6 Mei 2019
Tanggal Pemeriksaan : 10 Mei 2019 pukul 10.30 WITA
II. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Nyeri kepala
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke Polikinik HOM RSUP Sanglah Denpasar dengan
keluhan nyeri kepala sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (4 Mei 2019).
Nyeri kepala dirasakan seperti berdenyut pada sisi kanan dan kiri yang
terjadi secara hilang timbul. Pasien sudah sering mengalami hal serupa
namun sudah rutin melakukan transfusi darah di RSUP Sanglah 1 bulan
sekali tetapi pasien sempat sibuk sehingga tidak dapat melakukan transfusi
darah pada bulan April. Pasien mengatakan bahwa nyeri kepala tersebut
membaik dengan tidur. Nyeri kepala dapat memburuk sehingga pasien
merasa lemas untuk melakukan aktivitis sehingga pasien lebih sering
menghabiskan waktunya di rumah.
Pasien juga mengeluh demam bersamaan dengan nyeri kepalanya
yang disertai dengan mual, batuk kering dan nyeri pada sendi lutut dan
17
pinggang. Demam terjadi secara naik turun dengan suhu tertinggi 38,3oC
terukur dengan thermometer. Pasien sempat mengonsumsi obat Paracetamol
untuk demamnya namun hanya membaik secara sementara. Keluhan lain
seperti muntah, nyeri perut, mimisan dan gusi berdarah disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU DAN PENGOBATAN
Pasien terdiagnosis sebagai “Thalasemia β Mayor” sejak umur 3 tahun
namun sudah rutin melakukan transfusi darah di RSUP Sanglah setiap 1
bulan sekali. Pasien mengatakan bahwa sering mengalami hal serupa
apabila pasien tidak melakakukan transfusi darah yang sudah dijadwalkan.
Pasien rutin mengonsumsi obat Asam Folat 1 x 2 mg dan Exjade
(Deferasirox) 2 x 250 mg. Semenjak nyeri kepala dan demam, pasien
mengonsumsi Paracetamol.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien menyangkal adanya riwayat Talasemia pada orang tua dan
kakak kandung kedua pasien. Kakak kandung pertama pasien sudah
meninggal sejak umur 5 tahun dengan diagnosis “Leukemia”. Riwayat
penyakit sistemik seperti hipertensi ada pada Ibu dan Bapaknya. Riwayat
diabetes mellitus ada pada keluarga Ibu. Riwayat penyakit ginjal dan
penyakit jantung dalam keluarga disangkal.
RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pegawai swasta namun saat
keluhan memberat pasien tidak bekerja dan lebih sering diam di rumah.
Riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol dan kopi disangkal pasien.
III. PEMERIKSAAN FISIK (10/05/2019)
Status Present
Keadaan umum : Lemah
Gizi : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 kali / menit
18
Respirasi : 18 kali / menit
Suhu axila : 36,2 0 Celcius
VAS : 0/10
BB : 48 kg
TB : 145 cm
BMI : 22,82 kg/m2
Status General
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Ikterus +/+, Reflek Pupil +/+
isokor, edema palpebra -/-
Telinga : Daun telinga N/N, Cairan -/-
Hidung : Hidung luar N/N, Cairan -/-
Wajah : Frontal bossing (+) belum parah
Tenggorok : Tonsil T1/ T1, hiperemi -/-permukaan rata
Faring : dalam batas normal
Mulut :
• Bibir sianosis : (-)
• Mukosa mulut : Dalam batas normal
• Gusi : Dalam batas normal
• Gigi geligi : Gigi berlubang (-), berwarna kehitaman (-), gigi
ompong (-)
• Lidah : Dalam batas normal
Leher : Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening
(-)
kelenjar tiroid dalam batas normal,
vena jugularis : PR + 0 cmH2O
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus kordis di ICS V MCL Sinistra
Perkusi : Batas bawah jantung setinggi ICS V
Batas kanan jantung PSL kanan
19
Batas kiri jantung ICS V MCL kiri
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pergerakan dada simetris (statis dan dinamis)
Palpasi : Pergerakan simetris, taktil vokal fremitus normal
simetris
Perkusi : Batas bawah kanan ICS V, batas bawah kiri ICS V
sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki-/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-), scar (-), massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar tidak teraba,
splenomegali schuffner III
Perkusi : shiftingdullness (-), liverspan 11cm
normal
Ekstremitas : Hangat Edema
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Darah Lengkap (5/5/2019 pukul 03.39 WITA)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan
WBC
9.28
103/µL
4.1 – 11.0
- NE% 70,56 % 47 – 80
- LY% 14,53 % 13 – 40
- -
- -
+ +
+ +
20
- MO% 10,20 % 2.0 – 11.0
- EO% 4,18 % 0.0 – 5.0
- BA% 0,53 % 0.0 – 2.0
- NE# 6,55 103/µL 2.50 – 7.50
- LY# 1,35 103/µL 1.00 – 4.00
- MO# 0.95 103/µL 0.10 – 1.20
- EO# 0.39 103/µL 0.00 – 0.50
- BA# 0,05 103/µL 0.0 – 0.1
RBC 3,40 106/µL 4.0 – 5.2 Rendah
HGB 10,38 g/dL 13.5 – 17.5 Rendah
HCT 31,60 % 36.0 – 46.0 Rendah
MCV 92,94 fL 80,0 – 100,0
MCH 30,53 Pg 26.00–34.00
MCHC 32,85 g/dL 31.00 – 36.00
RDW 11,81 % 11.6 – 14.8
PLT 239,00 103/µL 140 – 440
B. Kimia Darah dan Analisa Gas Darah (17/5/2018 pukul 01.20)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan
AST/SGOT 38,0 U/L 11.00 – 27.00 Tinggi
ALT/SGPT 34,9 U/L 11.00 – 50.00
Glukosa Acak 164 mg/dL 70 – 140 Tinggi
BUN 39.00 mg/dL 8.00 – 23.00 Tinggi
21
Kreatinin 1,75 mg/dL 0.50 – 0.90 Tinggi
Asam Urat 7,1 mg/dL 2,00 - 7,00 Tinggi
Albumin 3,08 g/dL 3,40 – 4.80 Rendah
Ph 7,42 7,35 – 7,45
pCO2 38,0 mmHg 35,00-45,00
pO2 153,40 mmHg 80,00-100,00 Tinggi
Beecf -0,6 mmol/L -2 – 2
HCO3- 23,90 mmol/L 22,00-26,00
SO2C 99,0 % 95%- 100%
TCO2 25,10 mmol/L 24.00-30.00
Natrium (Na) 139 mmol/L 136 – 145
Kalium (K) 2,93 mmol/L 3.50 – 5.10 Rendah
Klorida (Cl) 86 mmol/L 96 – 108 Rendah
Procalcitonin 0,63 mg/mL <0,15 Tinggi
V. DIAGNOSIS
A/1 . Thalasemia B mayor transfusi dependent
Observasi febris hari 3 ec susp viral
VI. PENATALAKSANAAN
Terapi :
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit
Transfusi PRC 6 Koff per hari
Asam folat 2 mg tiap 12 jam intra oral
Deferasirox 500 mg tiap 12 jam intra oral
Paracetamol 500 mg tiap 8 jam intra oral bila suhu ≥ 38oC
Monitoring
22
Keluhan, tanda vital
Ulangi pemeriksaan darah lengkap
VII. PLANNING
1. DL ulang
VIII. MONITORING
- Keluhan
- Vital Sign
- Ulangi pemeriksaan darah lengkap
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : malam
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesis pasien menyatakan telah melakukan transfusi rutin sejak
usia 3 tahun karena diagnosis menderita Talasemia β Mayor. Talasemia β Mayor
merupakan penyakit yang bersifat genetik. Sedangkan pada keluarga pasien tidak
ditemukan adanya gejala serupa yang dapat menunjukkan bahwa anggota
keluarga pasien juga memiliki Talasemia β Mayor. Hal tersebut berarti kedua
orang tua pasien memiliki gen pembawa Thalasemia atau disebut karier
Talasemia β. Sehingga kemungkinan hanya memiliki gejala-gejala ringan atau
mungkin tidak bergejala sehingga tidak dapat diketahui. Kakak kedua pasien
hidup dengan normal tanpa keluhan seperti pasien sehingga kemungkinan kakak
kedua pasien normal atau karier Talasemia β. Kakak pertama pasien dikatakan
meninggal pada usia 5 tahun dengan diagnosis Leukimia yang merupakan
keganasan hematologi. Beberapa literatur menyatakan pasien dengan Talasemia β
dapat saja juga mengalami keganasan hematologi seperti Hodkin disease,
Limfoma, Seminoma, dan Leukemia. Namun hal tersebut merupakan kasus yang
cukup jarang. Hal tersebut biasanya dijelaskan sebagai interaksi antara genetik
dengan lingkungan, atau terkadang hal tersebut hanya dianggap sebagai sebuah
„kebetulan‟.9 Namun, hingga saat ini belum ada literatur yang membahas
mengenai hubungan antara pasien dengan Talasemia β Mayor dengan anggota
keluarga dengan Leukemia. Terlebih lagi kakak kandung pertama pasien tidak
diketahui menderita Talasemia β Mayor atau tidak, sehingga kejadian tersebut
masih belum dapat dijelaskan secara pasti.
Gejala dan tanda Talasemia β Mayor yang dapat ditemukan pada pasien
yaitu badan lemah, di mana pasien menyatakan badan sering lemas dan mudah
lelah saat beraktivitas sehingga pasien lebih sering hanya diam di rumah dan tidak
bekerja. Kondisi pasien semakin lemas karena pasien tidak melakukan transfusi
darah rutin pada bulan April 2019. Pada pasien juga terdapat gejala nyeri kepala
yang terkadang dapat ditemui pada pasien Talasemia β Mayor. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan konjungtiva anemis dan juga sclera kekuningan (ikterik) yang
sering dijumpai pada pasien Talasemia β Mayor. Pasien juga telah menunjukkan
24
Frontal bossing namun belum terlalu jelas. Pada pasien juga dijumpai adanya
pembesaran limpa atau splenomegali yang dapat dipalpasi pada Scuffner III akibat
hiperaktivitas dari limpa itu sendiri dalam menghancurkan sel-sel darah.
Splenomegali apabila dalam jangka waktu yang lama dapat memperparah anemia
yang dialami oleh pasien, serta menyebabkan leukopenia serta trombositopenia.
Namun, pada pasien tidak ditemukannya hasil laboratorium yang menunjukkan
leukopenia serta trombositopenia. Pasien juga dahulu mengalami hambatan
pertumbuhan yang dapat dilihat dari tinggi badan pasien yang hanya 145 cm
dengan usia 27 tahun. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hemoglobin
rendah, namun pada hapusan darah tidak ditemukan tampilan eritrosit
Hipokromik-Mikrositer yang sering kali ditemukan pada pasien dengan
Talasemia. Hal tersebut kemungkinan besar dikarenakan transfusi darah rutin
yang telah dilakukan pasien.
Dalam kasus ini, pasien diberikan tatalaksana berupa transfusi darah PRC
6 koff per hari. Dan dibarengi dengan pemberian kelasi besi jenis tridentate
(Deferasirox) dengan dosis 500 mg tiap 12 jam intra oral untuk mencegah
penumpukan besi dalam jaringan dan komplikasi lebih lanjut.
Pasien dengan transfusi darah rutin sejak usia 3 tahun sehingga sekarang
telah mencapai usia 27 tahun. Namun, iron overload tidak dapat dihindari dari
sekian lama pemberian transfusi darah, sehingga pasien diberikan kelasi besi
untuk mengikat besi berlebih dalam tubuh pasien. Jika terapi tersebut rutin
dilanjutkan dengan pengawasan kadar Hemoglobin dan besi yang ketat tiap
bulannya, maka berdasarkan literatur pasien dapat mencapai angka harapan hidup
hingga usia di atas 50 tahun.
25
BAB V
SIMPULAN
Pasien dengan diagnosis Thalasemia β mayor sejak usia 3 tahun. Hingga
saat ini berusia 27 tahun pasien telah rutin melakukan transfusi darah tiap
bulannya. Pasien mengalami perburukan kondisi karena tidak melakukan transfusi
darah sesuai jadwal. Beberapa kondisi pasien sesuai dengan teori mengenai
Talasemia β mayor. Pasien juga telah diberikan terapi kelasi besi untuk
menghindari komplikasi lain akibat penumpukan Besi dalam jaringan.Prognosis
pada pasien ini cukup baik dengan kualitas hidup baik jika pasien tetap
melanjutkan terapi transfusi rutin dan kelasi besi dengan kontrol darah rutin serta
fungsi organ.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Helmi N, Bashir M, Shireen A, Mirza Ahmed I. Thalassemia review:
features, dental considerations and management. Electron physician.
2017;9(3):4003–4008.
2. Sanctis V De, Kattamis C, Canatan D, Soliman AT, Elsedfy H, Karimi M,
et al. β-Thalassemia Distribution in the Old World: an Ancient Disease Seen from
a Historical Standpoint. Mediterr J Hematol Infecttious Dis. 2017;9:1–14.
3. Kepmenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Thalasemia. 2018:3-90.
4. Angastiniotis M, Lobitz S. Thalassemias: An Overview. Int J Neonatal
Screen. 2019;5(1):16.
5. Nienhuis AW, Nathan DG. Pathophysiology and Clinical Manifestations
of the b-Thalassemias. Cold Spring Harb Perspect Med. 2012;2:1–13.
6. Muncie HL. Beta Thalassemia. National Organization for Rare Disorder.
2019. Available at: https://rarediseases.org/rare-diseases/thalassemia-major.
7. Nigam N, Nigam S, Agarwal M, Singh PK. β-Thalassemia: From Clinical
Symptoms to the Management. Int J Contemp Med Res. 2017;4(5):2454–7379.
8. Rund D. Thalassemia 2016: Modern medicine battles an ancient disease.
Am J Hematol. 2016;91(1):15–21.
9. Tuğcu D, Karakaş Z, Gökçe M, Ağaoğlu L, Ünüvar A, Sarıbeyoğlu E, et
al. Thalassemia Intermedia and Acute Lymphoblastic Leukemia : Is it a
Coincidental Double Diagnosis ? Talasemi İntermedia ve Akut Lenfoblastik
Lösemi Rastlantısal Çift Tanı mı ? Turk J Hematol. 2014;311–3.