tabloid amanat edisi 119

24

Click here to load reader

Upload: alfianarbiyudha

Post on 07-Aug-2015

218 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

"Sengkarut Linieritas Keilmuan Dosen"

TRANSCRIPT

Page 1: Tabloid Amanat Edisi 119

SENGKARUT LINIERITAS KEILMUAN DOSEN

Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan TakwaAMANAT

EDISI 119/ SEPTEMBER 2012 ISSN: 0853-487X

Page 2: Tabloid Amanat Edisi 119

� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

TERAS

S A L A M R E D A K S I

Redaksi menerima artikel, resensi, dan puisi, maksimal 5.000 karakter (ter-masuk spasi), sedang cerpen maksi-mal 8.000 karakter (termasuk spasi). Naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sederhana, yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai per-angko balasan. Redaksi berhak mengedit tulisan selama tidak men-gubah isi. Tulisan dapat dikirim me-lalui email: [email protected]

Cover Abdul Arif

PELINDUNGRektor IAIN Walisongo

PENANGGUNG JAWABPembantu Rektor III IAIN Walisongo

PEMBINAKabag. Akademik dan Kemahasiswaan

Dosen Bina SKKPEMIMPIN UMUM

Khoirul MuzakkiBENDAHARA

Nazilatun NihlahYestik Arum

PEMIMPIN REDAKSIHammidun Nafi’ SyifauddinSEKRETARIS REDAKSI

Abdul ArifDESK BERITA

ShodiqinDESK ARTIKELIrma Muflikhah

DESK SASTRA BUDAYAM. Faizun

LAYOUTERAkhmad Baihaqi Arsyad

Rohman KusriyonoILUSTRATORAufal Marom

FOTOGRAFERSlamet Tridadi

KOORDINATOR REPORTERAlfian Guntur A

REPORTERAzid Fitriyah, Yulianti, Lusi Ekasari, Arif Khoirudin, Mahya Afiyati Ulya,

Nur Alawiyah, M Arifin, S Maemunah, Khoirurrahma SafitriPEMIMPIN USAHA

Fathul JamilPUSAT DOKUMENTASI

Afiyati BadriyahPERIKLANAN

MukhlisinSIRKULASI

Khoirul UmamHUMAN RESOURCES DEPARTMENTAmin Fauzi, Farih Lidinillah, Musyafak,

Munaseh, Suhardiman, Fani Setyaningrum, Nanik Kurniawati, Farid

Helmi.STAF AHLI

Zamhuri, Joko Tri Haryanto, Abdullah Ibnu Thalhah, Ajang ZA, Sohirin, Siti

Alfiah, Ingwuri Handayani, Lutfil Kirom, Heri Nugroho, Abdul Hakim, Khusnul

Huda, Ali Romdhoni, Muh Slamet, Rosidi, Siswanto, Ali Mustofa, Fakhrudin

Karmani, Edi Purnomo, Pujianto, M Olies, Afida Masyitoh.

SURAT KABAR MAHASISWAAMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

Penerbit: Unit Kegiatan Mahasiswa

Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANATIAIN Walisongo Semarang

Izin Terbit: SK Rektor IAIN Walisongo Semarang

No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN):

0853-487X

Mencipta Perubahan

ORSENIK tidak dibuka PR IIIAda uang tetap lancar

Ramai-ramai ORSENIKRamai-ramai tawuran

Bin, salabin jadi UIN!Prok, prok, prok. Dibantu yah!

Parkir di IAIN SemrawutKalau nggak semrawut, nggak IAIN..

Banyak dosen mengajar tak sesuaikompetensiYang penting mengajar lah mas...

Pak Jokowi jadi gubernur DKIMasih macet nggak ya..???

Kampus dua dibangun lagisik asik, sik asik, gedung baru

DPL banyak yang tidak hadir ke tempat PPLLho, yang PPL khan Mahasiswa...

Proyek penelitian hanya untuk dosenDosen saja masih rebutan kok mas...

Sekarang ada sertifikasi ulama’ Perlu sertifikat koruptor, biar lebih profesional..

Film innocens bikin umat Islam marahTanya nabi dulu, beliau marah nggak?

Walisongo TV sudah mengudaraTrus..? Gue harus bilang Wuouw gitu??

Bang Aman yang kadang pakewuh

Sentilan Bang Aman

Sebagai insan kampus, kita tentu memahami betul hiruk-pikuk di dalamnya. Tiap hari dosen, pegawai,Tiap hari dosen, pegawai,dosen, pegawai,

mahasiswa, ruang kuliah dan lainnya se-lalu nampak. Tentu hafal betul.

Namun, masih ada yang luput dari pengamatan. Kita terlalu egoistis. Kepent-ingan liyan menjadi tidak penting bagi kita. Sehingga yang muncul kemudian adalah apatisme yang menjangkiti jiwa.

Apatisme itu misalnya mahasiswa hanya membisu ketika melihat profesion-alitas dosen yang rendah. Banyak dosen yang mengampu mata kuliah tak sesuai bidangnya.

Melalui tabloid edisi 119 ini, Amanat mencoba membuka tabir yang selama ini menutup mata. Bahwa persoalan profe-sionalisme dosen sangat penting. Sebab menyangkut roda kehidupan akademik di kampus.

Persoalan itu kami sajikan dalam lapo-ran utama (laput). Tentu bukan bermak-sud menjatuhkan seseorang atau lem-baga yang memiliki wewenang. Semacam pemantik untuk menciptakan perubahan. Sehingga persoalan itu tak berlarut.

Lebih dari itu, kami berharap per-soalan ini mampu menjadi bahan refle-ksi bagi segenap sivitas akademika IAIN Walisongo.

Di halaman yang lain, banyak mobil yang parkir sembarangan. Ya, di laporan pendukung (lapend), penataan parkir kampus layak diperbincangkan. Minim-nya lahan parkir tentu akan menuai keti-daknyamanan.

Tak hanya itu, mahasiswa juga ban-yak yang melanggar aturan lalu-lintas. Tuh, baca saja laporannya di halaman Humaniora.

Kehidupan kampus memang dina-mis. Di tengah kesibukan mengikuti jad-wal kuliah, ada yang diam-diam nyantri. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mem-bagi waktu untuk pondok dan kam-pus. Ya, tentu kita berharap keberadaan mereka mampu meramaikan suasana kampus.

Sebagai pengantar, cukup di sini saja. Tak baik kalau di awal sudah ban-yak cerita. Seharusnya untuk tegur-sapa, karena diam-diam Amanat menyimpan rindu kepada para pembaca.

Nah, apa kabar para pembaca? Amanat yakin, pembaca baik-baik saja. Dan akan lebih baik jika tabloid edisi ini ditamatkan. Oke?

Redaksi

Page 3: Tabloid Amanat Edisi 119

�AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

telah melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi.

“Sudah mengajar, mengabdi, dan meneliti,” imbuh Kepala PPMA ini.

Predikat profesional wajar disematkan pada dosen sertifikasi. Sebab, ia dianggap berhasil memenuhi kriteria-kriteria yang dijadikan standar penilaian sertifikasi. Diantaranya, telah menguasai empat kompetensi dasar. Pertama, kompetensi pedagogik, diantaranya mencakup kemampuan merancang pembelajaran, disiplin dalam penyelenggaraan perkuliahan, dan menguasai media atau teknologi pembelajaran. Kedua, kompetensi profesional, diantaranya mencakup penguasaan materi perkuliahan secara luas dan mendalam. Ketiga, kemampuan sosial, seperti kemampuan membina suasana kelas dan kerja. Keempat, kompetensi kepribadian, yaitu memiliki komitmen dan etika profesional dosen.

Namun, profesionalitas itu ditampik sebagian mahasiswa. Afif Ma’ruf misalnya. Mahasiswa Jurusan Tadris Matematika ini mengungkapkan, tak semua dosen sertifikasi IAIN profesional, terutama dalam mengajar. Ia menyesali hal tersebut lantaran tak konsekuen dengan tunjangan profesional yang diterima sang dosen.

“Beberapa dosen tak menguasai materi, dan kurang memotivasi,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan Mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah, Khoirul Manan. Ia menambahkan, sebagian dosen sertifikasi sebenarnya telah menguasai materi. Namun, tidak bisa mengkondisikan suasana kelas sehingga proses pembelajaran tak maksimal. Selain itu, dosen juga tak memiliki inisiatif dalam mengajar sehingga pembelajaran terkesan monoton.

“Itu bisa menghambat perkembangan belajar mahasiswa,” katanya.

Pernyataan mahasiswa tersebut tepat. Minimnya penguasaan materi serta inisiatif dalam pengajaran dosen berarti mengingkari kompetensi yang mestinya dikuasai. Terutama, kompetensi pedagogik dan profesional yang meniscayakan dosen menguasai materi dan media pembelajaran.

Kepala PPMA Agus Nurhadi tak menampik hal itu. Ada dosen sertifikasi yang memang belum maksimal dalam melaksanakan tugas. Ia menilai, dosen yang memiliki kasus tersebut tak maksimal saat mengikuti pelatihan.

Dosen Fakultas Dakwah Mohammad Fauzi menganggap, kejadian tersebut hanya bersifat kasuistik karena hanya terjadi pada sebagian dosen. Namun menurutnya, kasus seperti itu tidak akan terjadi jika dosen mau melaksanakan pembelajaran sesuai dengan silabus pembelajaran.

“Silabus mengarahkan dosen untuk kreatif mengajar,” kata pria kelahiran kudus ini.

Terkait hal itu, Fauzi berharap,

PPMA sebagai lembaga yang bertugas meningkatkan mutu akademik, dapat meningkatkan kualitas dosen, terutama dalam mengajar.

“PPMA harus sering mengadakan pelatihan,” jelasnya.

PenelitianProfesionalitas dosen sertifikasi,

menurut mantan kepala PPMA Muhyar Fanani, berarti pemenuhan tanggung jawab dosen dalam melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi. Di samping aspek pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, dosen sertifikasi juga dituntut aktif melakukan penelitian.

Tuntutan idealitas tersebut berbeda dengan realitas yang terjadi di IAIN. Meski tiap tahun ada kecenderungan naik, penelitian dosen sertifikasi masih terbilang

kecil jika dibanding jumlah seluruh dosen sertifikasi yang memang diwajibkan melakukan penelitian. Berdasar data tiga tahun terakhir Lembaga Penelitian (lemlit) IAIN Walisongo menunjukkan, pada tahun 2010, proposal penelitian yang masuk ke Lemlit sebanyak 64 buah dari 52 kuota penelitian yang tersedia. Tahun 2011 naik menjadi 134 proposal penelitian dari 60 kuota. Pada tahun 2012, 124 proposal penelitian masuk dari 38 kuota.

Agus Nurhadi mengakui hal tersebut. Menurutnya, baru sekitar 40,5% dosen yang melakukan penelitian pada tahun 2012.

“Semua dosen sertifikasi mestinya mengajukan penelitian,” jelasnya.

Berbeda dengan Kepala Lemlit Khoirul Anwar, menurutnya, terdapat

LAPORAN UTAMA

Dosen sertifikasi dianggap memenuhi standar profesionalitas. Kenyataannya berlainan

Oleh Alfian Guntur Arbiyudha

LINIERITAS KEILMUAN

Muhyar FananiKetua PBB IAIN Walisongo Semarang

Pelaksanakan sertifikasi dosen mulanya muncul sebagai respon terhadap Undang-undang (UU) nomor 14 tahun 2005 tentang guru

dan dosen yang menuntut guru dan dosen memiliki profesionalitas. Dinyatakan, dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mengajarkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Kebijakan itu lantas disambut perguruan tinggi, termasuk IAIN Walisongo, dengan mengajukan sertifikasi dosen yang dinilai memenuhi kriteria sertifikasi. Terlepas dari beban profesionalitas, sertifikasi dosen memang memikat. Jika dinyatakan lulus sertifikasi, sang dosen akan memperoleh tunjangan profesional di samping gaji pokok. Selain itu, sertifikasi juga menambah point dalam penilaian Beban Kerja Dosen (BKD).

Prosedur pengajuannya, perguruan tinggi pengusul membentuk Panitia Sertifikasi Dosen (PSD). PSD bekerja sama dengan fakultas atau jurusan atau prodi untuk melakukan penilaian konsepsional dan personal. Hasil penilaian berbentuk berkas portofolio tersebut selanjutnya diserahkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) atau Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Diktis) untuk dinilai dan dievaluasi.

Kepala Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA) Agus Nurhadi mengungkapkan, dasar penilaian sertifikasi dosen berdasarkan empat kategori. Antara lain, penilaian persepsional dari mahasiswa, teman sejawat, atasan, dan dosen yang diusulkan. Nilai akhir deskripsi diri. Nilai konsistensi antara penilaian persepsional dan personal. Dan, gabungan nilai Penilaian Angka Kredit (PAK) dan nilai persepsional. Penilaian tersebut didasarkan pada empat kompetensi. Yaitu, kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.

“Bagi yang tak lulus diserahkan kepada PT-Pengusul untuk dibina,” tutur dosen sosiologi tersebut.

Di IAIN, mekanisme pengajuan sertifikasi ditangani lembaga Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA). Kepala PPMA Agus Nurhadi mengungkapkan, PPMA bertugas mengusulkan calon sertifikasi dosen untuk selanjutnya disahkan rektor.

“Kita mengusulkan, rektor mengesahkan,” jelas Agus Nurhadi Kepala PPMA.

ProfesionalismeJumlah dosen sertifikasi di IAIN

terbilang besar. Seperti dipaparkan Agus Nurhadi, dari 306 jumlah dosen di IAIN, 283 diantaranya, atau sekitar 92,5% sudah sertifikasi. Dosen sertifikasi itu dianggap sudah profesional karena telah memenuhi syarat dan kriteria sertifikasi. Diantaranya,

SERTIFIKASI TANPA PROFESIONALITAS

peningkatan antusiasme dosen sertifikasi dalam melakukan penelitian. Sayangnya, antusiasme tersebut tak diimbangi dengan peningkatan alokasi dana untuk penelitian. Ia mencontohkan, pada tahun 2012, ada 124 dosen yang mengajukan proposal penelitian, sedangkan kuota penelitian yang dibiayai terbatas 38.

Kurang PelatihanIAIN sebenarnya telah melakukan

upaya untuk meningkatkan mutu dosen sertifikasi agar bisa melaksanakan tanggung jawabnya secara maksimal. Diantaranya, dengan menyelenggarakan pelatihan atau workshop oleh PPMA. Namun, menurut Fauzi, pelatihan tersebut kurang efektif karena hanya diadakan setahun sekali.

“Workshop setahun sekali kurang,” katanya.

Kepala PPMA Agus Nurhadi mengamini hal itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa lantaran keterbatasan dana. Anggaran yang ada, menurutnya, hanya cukup untuk menyelenggarakan workshop setahun sekali.

“Anggaran yang ada hanya cukup untuk satu kali workshop,” imbuhnya.

Terkait hal itu, rektor IAIN Walisongo Muhibbin mengakui pelatihan untuk dosen memang kurang. Menyadari itu, ia menargetkan akan mengadakan pelatihan bagi seluruh dosen dalam berbagai pengetahuan agama, penelitian, workshop, dan di-training secara berkelanjutan sebagai upaya peningkatan kualitas dosen.

“Dosen mesti terlatih karena adanya pelatihan dari PPMA,” tutur profesor ilmu Hadis tersebut.

Sebenarnya, sudah ada langkah perbaikan dari PPMA untuk meningkatkan intensitas pelatihan dosen. Di antaranya, baru-baru ini, PPMA mengadakan kegiatan Active Learning For Higher Education (ALFHE) dengan tujuan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dosen dalam proses pembelajaran. Active learning berisi berisi sosialisasi tentang materi dan praktik model-model pembelajaran aktif, serta format pengembangan silabus.

“Dosen harus menguasai metode pembelajaran active learning.”n

Doc

. In

tern

et

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam tengah mengisi kegiatan pembinaan sertifikasi

Dosen sertifikasi mesti memenuhi tanggung

jawab Tri Darma Pergu-ruan Tinggi

Page 4: Tabloid Amanat Edisi 119

� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

LAPORAN UTAMA LINIERITAS KEILMUAN

Dengan penuh gairah, Muham-mad Munif Afifudin menyeger-akan langkah mengikuti kuliah Monitoring dan Evaluasi Pen-

didikan di ruang D Fakultas Tarbiyah. Na-mun, semangat Afifudin tiba-tiba luntur kala kuliah sedang berlangsung.

“Pengajaran tidak memahamkan,” kata Munif usai kuliah.

Lain hari, tim Amanat melakukan pe-nyelidikan terhadap dosen IAIN Walison-go di Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA). Usut punya usut, berdasarkan data, mata kuliah yang diampu dosen tersebut memang tidak sesuai dengan kualifikasi akademik atau bidang keilmuan sang dosen. Surat Keputusan (SK) penga-jaran dosen tersebut ternyata adalah Se-jarah Peradaban Islam, tak ada hubungan-nya dengan mata kuliah Monitoring dan Evaluasi Pendidikan.

Hal sama dialami mahasiswa Fakultas Tarbiyah Adi Hermawan. Salah satu do-sennya justru mengakui secara terang-terangan perihal ketidaksesuaian antara kualifikasi akademik atau keahlian dengan bidang mata kuliah yang diampu. Menu-rut penuturan Adi, dosen tersebut men-gaku diminta mengajar makul Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), yang notabene tidak sesuai dengan disdiplin keilmuan atau SK pengajarannya, yaitu, Pendidikan Agama Islam (PAI). Bahkan, di hadapan mahasiswanya, ia meminta pemakluman dan menyampaikan permohonan maaf terhadap mahasiswanya jika dalam men-gajar terjadi kekeliruan karena ketidak-sesuaian tersebut.

“Ini bukan bidang saya, jika keliru saya mohon maaf,” tutur Adi menirukan kata dosen tersebut.

Inlinieritas disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan turut diakui Dosen Fakultas Tarbiyah Ismail. Dosen yang memiliki SK pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ini oleh fakultas dim-inta untuk mengajar mata kuliah Bahasa Inggris. Penunjukannya sebagai pengam-pu mata kuliah bahasa Inggris itu lanta-ran pertimbangan terkait pengalamannya

SENGKARUT LINIERITAS KEILMUAN DOSEN

yang pernah kuliah di luar negeri. Ia mematuhi instruksi penunjukan

tersebut. Namun, Ismail mengaku, sebena-rnya lebih nyaman jika mengajar mata ku-liah sesuai dengan SKnya.

“Lebih baik bahasa Inggris diajar dosen berSK bahasa Inggris,” terangnya.

Kasus inlinieritas seperti itu lazim ter-jadi dalam sistem penjadwalan mata kuli-ah di IAIN Walisongo. Baik inlinier disiplin keilmuan dalam setiap jenjang pendidikan dosen, maupun inlinier antara bidang ke-ahlian dengan mata kuliah yang diampu. Dalam kualifikasi akademiknya, banyak dosen yang inlinier disiplin keilmuannya dalam setiap jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Beberapa kasus misalnya, ada dosen yang studi strata satunya (S1) bidang ilmu Hadist, strata duanya (S2) bidang ilmu manajemen. Fakta lain, ada dosen S1 Fakultas Ushuludin, S2 bidang ilmu pendidikan, S3 Islamic Studies, dan guru besarnya bidang ilmu Sejarah.

Di samping terjadi inlinier disiplin keil-muan dosen dalam jenjang studinya, ter-jadi inlinier antara disiplin keilmuan den-gan mata kuliah yang diampu. Mata kuliah terampu tak sesuai dengan bidang keahl-ian atau SK pengajarannya. Misalnya, sep-erti diungkapkan dosen Fakultas Dakwah Mohammad Fauzi dalam penelitiannya, terdapat dosen dengan latar belakang keil-muan Komputer mengampu mata kuliah Manajemen. Sebaliknya, ada dosen den-gan disiplin ilmu Fikih atau Ushul Fikih mengampu mata kuliah Manajemen. Ada juga, dosen dalam bidang ilmu Dakwah atau ilmu Antropologi mengampu Mata Kuliah Bahasa Inggris. (Idealitas dan Re-alitas Profesionalitas Dosen :2010)

Hasil penelitian Fauzi terhadap dosen Fakultas Dakwah yang lulus sertifikasi ta-hun 2009 misalnya, menunjukkan, dari 31 dosen Fakultas Dakwah, yang linier studi S1 sampai S3-nya ada 5 orang (16,1%), li-nier S1 dan S2-nya ada 6 orang (19,3%), linier S1 dan S3-nya ada 3 oarang (9,6%), linier S2 dan S3-nya ada 4 oarang (13%), dan dosen yang inlinier studinya ada 13 orang (42%).

Dilihat dari linieritas mata kuliah am-puan dengan disiplin keilmuan dosen, linier semua ada 1 orang (3,2%), linier/in-linier sebagian ada 28 orang (90,3%), dan inlinier semua ada 2 orang (6,5%).Chaos Distribusi Job

Kesenjangan disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan terkait erat dengan proses penjadwalan mata ku-liah dan distribusi job dosen pada tingkat fakultas. Fakultas memiliki andil dalam penempatan tugas dosen saat penyusunan sistem kurikulum atau jadwal kuliah.

Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Tar-biyah Shodiq mengaku belum maksimal dalam mengatur kesesuaian antara disip-lin keilmuan dosen dengan mata kuliah yang diampu. Meskipun begitu, ia men-gungkapkan, fakultas tak sembarangan dalam melakukan penjadwalan mata ku-liah. Beberapa pertimbangan seperti, pen-galaman dosen mengajar, kecakapan, dan latar belakang pendidikan dosen sudah dilakukan.

Misalnya, penempatan dosen mata ku-liah Bahasa Inggris diambilkan dari dosen yang berlatar belakang pernah kuliah di luar negeri. Ia dianggap cakap mengampu mata kuliah Bahasa Inggris karena lama tinggal di luar negeri.

Muhyar menampik, mengajar mata kuliah Bahasa Inggris tak hanya membu-tuhkan pengalaman, namun juga mesti memahami teori mengajar. Menurutnya, dosen lulusan luar negeri meski fasih ber-bahasa Inggris belum tentu menguasai teori.

Hal itu diamini oleh mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Inggris Ahmad Maksum, ia mengaku diajar dosen lulusan luar negeri namun memiliki disiplin keilmuan keis-laman. Menurutnya itu tak bisa menjadi ukuran kecakapan dosen. Apalagi untuk jurusan Tadris Bahasa Inggris, tak hanya membutuhkan kecakapan berbicara ba-hasa Inggris. Namun, juga teori dalam mengajar.

“Pinter ngomong, tapi teori tak men-guasai,” katanya

Ke depan, Shodiq akan segera melaku-

kan perbaikan untuk mengatasi problem ilinieritas tersebut. Ia mengupayakan akan mengarahkan tugas mengajar dosen ses-uai disiplin keilmuan berdasarkan SK pen-gajaran masing-masing dosen.

“Ke depan kami upayakan,” tambah Sodiq.

Kesenjangan disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan memang di-pengaruhi kebijakan kurikulum fakultas. Masalahnya, kebijakan itu didasarkan atas beberapa pertimbangan dilematis. Salah satunya, terjadi ketimpangan antara pemenuhan mata kuliah dengan jumlah tenaga pengajar.

Hal itu disadari dosen Fakultas Tarbiyah M. Nafis. Menurutnya, ada ketimpangan yang signifikan antara jumlah dosen den-gan mata kuliah jurusan. Misalnya, jumlah dosen pada jurusan tertentu terlalu ber-lebihan. Sebaliknya, pada jurusan tertentu lain justru mengalami kekurangan dosen. Kekurangan dosen yang mengakibatkan kekosongan tenaga pengajar pada mata kuliah tertentu lantas diisi dengan dosen lain yang tak linier didiplin keilmuannya dengan mata kuliah tersebut.

Terlebih, keberadaan sertifikasi dosen kian mengacaukan distribusi tugas ajar dosen. Sertifikasi menuntut dosen harus memenuhi batas minimal dua belas SKS yang dibebankan oleh negara. Sehingga, akan terjadi kekurangan kelas jika mata kuliah ampuan disesuaikan dengan bi-dang keilmuannya.

Di samping masalah kebijakan distri-busi job, Nafis menengarai, masalah kes-enjangan disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan sebenarnya berakar pada persoalan pola perekrutan dosen. Pola perekrutan dosen di IAIN menurut-nya tidak didasarkan pada prinsip kebu-tuhan.

“Jika butuh, merekrut yang profesional di bidangnya, kalau tak butuh, tak usah merekrut.”, katanya.n

Shodiqin

Grafik Inlinieritas Disiplin Keilmuan Dosen pada jenjang studinya (S1, S2, S3 dan Guru Besar)

Penelitian ini dilakukan terhadap 265 dosen sertifikasi di IAIN Walisongo Semarang 2011/2012

Inlinieritas disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan kian akut. Proses penjadwa-lan dan sistim perekrutan dosen disnyalir sebagai akar masalah.

Page 5: Tabloid Amanat Edisi 119

�AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

sat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA), ia memahami carut marut sistem penjad-walan mata kuliah dan distribusi tugas dosen. Kondisi itu tak lepas dari ketimpa-ngan jumlah dosen dengan mata kuliah ampuan. Ia mencontohkan, IAIN hanya memiliki satu dosen Bahasa Indonesia aktif yang linier dengan disiplin keilmuan-nya. Padahal, mata kuliah itu diajarkan di setiap jurusan di IAIN. Akhirnya, petugas penjadwalan menunjuk dosen yang bukan berlatar belakang bidang bahasa untuk mengajar mata kuliah bahasa.

Pun dalam kasus mata kuliah Bahasa Arab. Ia mengatakan, IAIN hanya memi-liki 10 dosen yang memiliki SK pengajaran

Bahasa Arab. Padahal, seluruh mahasiswa IAIN, atau sekitar delapan ribu mahasiswa, diwajibkan mengambil mata kuliah Baha-sa Arab sebanyak 6 SKS. Untuk mensiasat-inya, diambil dosen dari disiplin keilmuan lain untuk ikut mengajar mata kuliah terse-but. Hal serupa terjadi pada kebijakan ter-hadap mata kuliah Bahasa Inggris.

“Pembantu Dekan (PD 1) dan Pem-bantu Rektor (PR 1) perlu membenahi problem tersebut,” ungkapnya.

PenyesuaianProblem inlinieritas kian merunc-

ing seiring dengan perkembangan aka-

LAPORAN UTAMA

Seorang dosen sedang menyampaikan materi kuliah

Inlinieritas berakibat pada kurangnya

profesionalitas dosen

Agus NurhadiKepala PPMA

PROFESIONALITAS DOSEN

Di antara komponen terpenting sivitas akademika di kampus bagi keberhasilan pendidikan adalah dosen. Dosen bukan

sekedar pengajar untuk mentransforma-sikan ilmu, melainkan sebagai pendidik. Hal ini diakui di dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bahkan, menurut UU tersebut, dosen dianggap sebagai pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransfor-masikan, mengembangkan, dan menye-barluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

UU tersebut mengamanatkan, tugas dan fungsi dosen harus dijalankan ber-dasarkan prinsip profesionalitas. Profe-sional meniscayakan pekerjaan berdasar-kan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau nor-ma, serta memerlukan pendidikan profesi. (pasal 1:4).

Di antara prinsip profesionalitas itu adalah memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang dan tugas, serta memiliki kompe-tensi yang diperlukan sesuai dengan bi-dang dan tugas (pasal 7:1)

Berdasar uraian tersebut, profesion-alitas akan tercapai jika dosen memiliki disiplin keilmuan yang linier dan melaku-kan pendidikan sesuai dengan disiplin keilmuannya. Sayangnya, tuntutan profe-sionalitas seperti diamanatkan UU terse-but berbeda dengan realitas di IAIN Wal-isongo.

Logika profesionalitas itu tepat. Ada korelasi antara inlinearitas disiplin keil-muan dengan mata kuliah ampuan ter-hadap rendahnya profesionalitas dosen. Seperti diakui mahasiswa Fakultas Syari’ah Asif. Ia mengatakan, banyak dosennya yang inlinier studi di jenjang pendidikan-nya, dan inlinier antara disiplin keilmuan dengan mata kuliah ampuan.

“Bisa dicek gelar dosen di buku pan-

duan sarjana inlinieritas itu.”Ketidaksesuaian tersebut dirasakan

Asif memiliki dampak yang signifikan ter-hadap pembelajaran di kelas. Ia menilai, dosen yang inlinier disiplin keilmuan den-gan mata kuliah ampuan biasanya tak pro-fesional dalam mengajar.

“Dampaknya dalam mengajar tak maksimal,” ungkapnya.

PenyesatanInlinieritas, menurut dosen Fakultas

Dakwah Mohammad Fauzi, sangat berisiko terhadap rendahnya kualitas keil-muan dosen. Lebih fatal, ia berpengaruh terhadap penurunan kualitas lulusan ma-hasiswa karena pengajaran yang tak profe-sional.

Kepala Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Muhyar Fanani mengamini hal tersebut. Bahkan, ia menganggap inlini-eritas itu sebagai “penyesatan” terhadap mahasiswa. Terkait itu, Muhyar mengaku pernah menegur seorang petugas penjad-walan mata kuliah karena ada keluhan dari mahasiswa terhadap pengajaran seorang dosen mata kuliah Bahasa Arab. Usut pu-nya usut, dosen tersebut mengajar mata kuliah Bahasa Arab bukan berdasarkan bidang keahlian atau SK pengajarannya, namun lantaran untuk memenuhi beban Sistem Kredit Semester (SKS)nya.

“Kalau tak dikasih jam Bahasa Arab, dosen itu kekurangan 2 SKS,” kata petugas penjadwalan tersebut, kenang Muhyar.

Mendengar hal itu, hati Muhyar geram. Baginya, penugasan dosen bukan berdasarkan disiplin keilmuannya itu sama halnya penyesatan terhadap mahasiswa. Padahal, mahasiswa berhak mendapatkan pendidikan yang layak dengan kualitas dosen yang baik.

“Anda menolong satu dosen, tapi menyesatkan ribuan mahasiswa,” tegur Muhyar terhadap petugas penjadwalan tersebut.

Kasus inlinieritas bukanlah asing bagi Muhyar. Sebagai mantan kepala Pu-

PROFESIONALITAS SEMU

demik fakultas. Perubahan kurikulum terjadi saban tahun meniscayakan perom-bakan jadwal kuliah karena ada penamba-han mata kuliah baru. Karena itu, sebagian mata kuliah baru memang belum memiliki dosen pengampu yang linier disiplin keil-muannya dengan mata kuliah tersebut. It-ulah yang menurut kepala PPMA Nurhadi menjadi dilema bagi fakultas dalam proses penjadwalan mata kuliah.

Petugas penjadwalan, menurut Nurhadi, mengalami kesulitan saat proses penjadwalan karena terjadi ketimpangan antara jumlah tenaga pengajar dengan mata kuliah. Solusinya, mata kuliah yang tak memiliki dosen yang linier disiplin keilmuannya dengan mata kuliah tersebut, dicarikan dosen yang disiplin keilmuan-nya sedikit bersinggungan atau dianggap mampu mengampu mata kuliah tersebut.

“Ini berakibat pada kurangnya profe-sionalitas dosen,” katanya.

Sebenarnya, problem inlinieritas itu bisa diminimalisir jika petugas penjadwa-lan lebih teliti pada proses penjadwalan mata kuliah. Seperti disampaikan Muhyar Fanani, problem itu dapat disiasati, misal-nya, dengan melakukan pertukaran dosen antar fakultas sesuai dengan bidang ke-ahliannya.

Misalnya, untuk mata kuliah Filsafat Islam pada Fakultas Syari’ah, dapat men-gambil dosen dari Fakultas Ushuludin yang memiliki disiplin keilmuan filsafat. Atau, sebaliknya, untuk mata kuliah Fikih atau Ushul Fikih di Fakultas Ushuludin, dapat mengambil dosen Fakultas Syari’ah yang memiliki disiplin keilmuan di bidang Fikih.

Masalahnya, menurut Muhyar Fa-nani, “individualisme” masing-masing fakultas menghambat penerapan wacana tersebut. Muhyar menambahkan, terdapat klaim, dosen itu milik fakultas atau juru-san. Sehingga, sang dosen dipaksa untuk mengajar di fakultas atau jurusan masing-masing meskipun mata kuliah yang diam-pu tak linier dengan disiplin keilmuannya.

“Dosen harus bisa mengajar di juru-san apapun sesuai dengan bidang keahl-ian.”

Akar persoalan inlinieritas sebena-rnya berkaitan erat dengan problem per-ekrutan dosen. Hal itu disampaikan dosen Fakultas Tarbiyah M. Nafis, maka, untuk mengatasi persoalan inlinieritas, mesti dibenahi mekanisme perekrutan dosen. Menurutnya, prosedur perekrutan dosen mestinya berpegang pada asas “kebutu-han.” Ia melihat ada ketimpangan kuanti-tas dosen. Misalnya, ada sebagian jurusan atau bidang mata kuliah yang kekurangan dosen yang disiplin keilmuannya linier dengan jurusan atau mata kuliah terse-but. Di sisi lain, ada sebagian jurusan yang kelebihan dosen.

“Soal inlinieritas berkaitan dengan mekanisme penjadwalan juga proses per-ekrutan dosen,” terangnya.

Di sisi lain, masalah inlinieritas se-benarnya disadari oleh baik dosen ber-sangkutan maupun pemangku kebijakan yang memiliki wewenang untuk memberi-kan izin studi lanjut terhadap dosen ber-sangkutan. Sayangnya, Fauzi memandang, linieritas belum menjadi bahan pertim-bangan bagi pemangku kebijakan dalam memberikan izin studi lanjut atau tugas mengampu mata kuliah.n

Shodiqin

Inlinieritas berdampak pada rendahnya profesionalitas dosen dalam mengajar. Sistem penjadwalan mata kuliah perlu diperbaiki.

Alf

ian

/Am

an

at

Page 6: Tabloid Amanat Edisi 119

� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

Parkir Mobil Tak Tertib

LAPORAN PENDUKUNG PARKIR MOBIL

Parkir mobil di tepi jalan fakultas membuat sivitas akademika resah karena merusak pemandangan dan mengganggu lalu lintas. Reformasi sistem parkir terhambat keterbatasan lahan dan dana.

Salah satu ruas jalan menyempit karena digunakan untuk parkir mobil

Haqi tersentak kaget, tiba-tiba se-buah motor melintas di depan-nya saat ia mau menyeberang ja-lan dari taman Fakultas Tarbiyah

menuju parkiran motor di seberang. Ia tak tahu akan ada motor yang melintas lantaran pandangannya terhalang mobil yang parkir di depannya. “Gara-gara mobil,” ucapnya.

Atas kejadian itu, ia berharap, pihak bi-rokrasi perlu menambah lahan parkir yang aman dan efisien demi terciptanya kenya-manan dan keamanan bagi seluruh peng-huni kampus.

Keberadaan parkir mobil di sepanjang ja-lan Fakultas Tarbiyah memang cukup mere-sahkan. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Elina misalnya, ia menilai parkir mobil di tepi jalan sangat menggangu aktivitas lalu lintas di jalan tersebut. Tak hanya itu, parkir mobil di sepan-jang jalan dianggap tak rapi dan memperbu-ruk pemandangan.

Sebab itu, Elina mengusulkan, parkir mobil mesti ditata dan disediakan tempat tersendiri.

“Agar semua nyaman,” tuturnya. Kepala Jurusan (Kajur) Kependidikan Is-

lam (KI) Mustofa menilai sama. Menurutnya, parkir mobil di sepanjang jalan mengganggu lalu lintas serta merusak keindahan. Padahal, tambahnya, Islam mencintai keindahan dan kerapian. Mestinya, IAIN yang memiliki basis keislaman kuat memperhatikan ihwal terse-but.

“Jalan seharusnya untuk jalan, bukan un-tuk parkir.”

Dekan Fakultas Tarbiyah Suja’i memberi-kan tanggapan berbeda. Ia justru tidak mem-permasalahkan kondisi parkir mobil di tepi jalan. Asal, jalan tersebut masih bisa dipakai untuk lalu lintas.

“Yang masalah itu kalau parkirnya di ten-gah jalan,” ungkapnya.

Dengan kondisi parkir mobil yang demi-kian, Suja’i hanya mewanti-wanti, agar peng-guna jalan berhati-hati saat melintas.

Kondisi serupa terjadi di fakultas-fakul-tas lain. Sistem parkir mobil di setiap fakultas sama. Umumnya, terpusat di kantor fakultas dan di tepi jalan. Area yang dijadikan tempat parkir mobil tersebut hanya ditandai dengan garis putih di tepi-tepi jalan.

Kondisi itu membuat sebagian sivitas akademika merasa tak nyaman. Mahasiswa

Fakultas Syari’ah Baidhowi antara lain, di samping merusak pemandangan kampus, menurutnya, parkir mobil di sepanjang jalan juga mempersempit badan jalan sehingga dapat mengganggu lalu lintas.

“Parkirnya tampak semrawut,” tuturnya.Untuk itu, ia mengimbau kepada birokra-

si kampus agar menertibkan parkir mobil dengan menyediakan parkir mobil khusus yang luas.

“Parkir mobil harus tertib dan rapi.”

Penambahan tempat parkir motor, sep-erti dikatakan Suja’i, memang senantiasa dilakukan saban tahun. Namun, pembangu-nan tempat parkir mobil yang memadai be-lum dilakukan.

Padahal, peningkatan jumlah pengguna mobil terus meningkat. Hal itu diakui Kepala Bagian (Kabag) Rumah Tangga IAIN Jaya, ia mencontohkan, di kampus I IAIN hampir semua pegawai mengendarai mobil. Sayang-nya, kondisi tersebut tak dibarengi dengan penyediaan tempat parkir yang memadai.

“Parkir tak sebanding dengan jumlah pengendara mobil.”

SentralisasiLambannya penanganan masalah parkir

dilatarbelakangi beberapa persoalan. Antara lain, menyangkut keterbatasan lahan. Hal tersebut diakui dekan Fakultas Syari’ah Imam Yahya. Meski ia mengamini sistem parkir yang demikian cukup mengganggu, namun kondisi lingkungan IAIN menurutnya me-mang tak memadai untuk dibuat sistem par-kir sentral.

“Parkir mobil di Fakultas Syariah sead-anya,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan Suja’i. Menu-rutnya, di Fakultas Tarbiyah pun tak memiliki lahan yang memadai untuk dijadikan tempat parkir mobil.

“Tidak ada tempat yang layak untuk digu-nakan parkir.” tutur Suja’i.

Itu turut dibenarkan Pembantu Rektor (PR) II Ruswan. Di kampus 2 misalnya, ia me-nilai, kondisi tanah di area tersebut tidak rata sehingga sulit untuk dijadikan tempat parkir.

“Tanah di kampus 2 tidak rata,” terang-nya.

Upaya penertiban kawasan parkir di IAIN tak lepas dari wacana sentralisasi tempat parkir yang sempat digagas beberapa kalan-gan. Namun, wacana itu menuai kontroversi karena kondisi lahan IAIN yang dinilai tak mendukung. Selain itu, seperti penuturan

Suja’i, sentralisasi parkir dinilai kurang praktis karena bisa menyusahkan sivitas akademika yang posisi kantor atau ruang kuliahnya ber-jauhan dengan lokasi tempat parkir.

“Kondisi tanah menanjak, beban bagi yang berjalan jauh.”

Kabag Rumah tangga Ahmadi Jaya me-nanggapi beda. Menurutnya, keterbatasan lahan bukanlah alasan untuk menata sistem parkir IAIN. Sebenarnya, IAIN memiliki lahan cukup. Persoalannya, menurut Jaya, justru pada kendala dana. Sebab, pembangunan area parkir di atas lahan IAIN yang berbukit membutuhkan anggaran besar. Di sisi lain, saat ini IAIN belum memiliki prioritas untuk membangun tempat parkir.

“Prioritas utama saat ini pembangunan gedung,” terang Jaya.

Pun, di Fakultas Tarbiyah sebenarnya ada beberapa lahan yang cukup luas. Di antaranya, seperti dituturkan dosen Fakultas Tarbiyah Miswari, terletak di depan gedung ma’had kampus 2.

“Lahannya datar dan luas.”Jaya sepakat dengan usulan Miswari. Ma-

salahnya, kondisi area yang panas dan jauh dari kantor dan ruang kuliah membuat dosen atau pegawai berpikir panjang untuk me-markirkan mobilnya di tempat tersebut.

Wacana sentralisasi parkir sebenarnya juga pernah digagas, bahkan sempat diusul-kan oleh dekan Fakultas Syari’ah imam Yahya. Ia mengaku pernah mengusulkan semua parkir dipusatkan di samping perpustakaan kampus 3. Namun, usulan itu menuai ham-batan karena dianggap akan memberatkan sivitas akademika.

“Akan jadi kendala semua pihak,” jelas-nya.

Solusi sementara menurutnya, baru di-lakukan membuat garis tanda parkir mobil di tepi-tepi jalan atau depan gedung. Ia ber-harap, sivitas akademika mau menaati sistem parkir yang sudah ada. n

Machya Afiyati Ulya

Keterbatasan lahan bukanlah alasan untuk menata sistem parkir IAIN. Sebenarnya, IAIN memiliki

lahan cukup. Persoalannya, adalah dana. Sebab, pembangunan area

parkir di atas lahan IAIN yang berbukit membutuhkan anggaran

besar.

Ahmadi JayaKabag Rumah Tangga

Machya/A

man

at

Page 7: Tabloid Amanat Edisi 119

�AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

LAPORAN PENDUKUNG

Di samping pendidikan dan pen-gabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi memiliki tugas menyelenggarakan penelitian,

sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penelitian menjadi hal yang tak terpisahkan dari agenda akademik sivitas akademika, termasuk mahasiswa.

Kebijakan dalam pengembangan penelitian pada masing-masing perguru-an tinggi berbeda-beda. Termasuk, ihwal pemberdayaan mahasiswa dalam pene-litian. Sebagian perguruan tinggi bersedia membuka ruang, bahkan memfasilitasi mahasiswanya yang bersungguh-sung-guh mau melakukan penelitian. Sebagian perguruan tinggi lain menutup celah bagi mahasiswanya untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian.

Di Universitas Diponegoro (Undip) misalnya, memiliki apresiasi tinggi ter-hadap penelitian mahasiswa. Hal terse-but salah satunya diwujudkan dengan pembentukan wadah atau lembaga untuk memfasilitasi mahasiswa agar terdorong untuk meneliti. Hal itu diungkapkan salah satu mahasiswa Undip Nurul Mahrihah. Ia mencontohkan, di jurusannya, Kelautan Undip, terdapat lembaga bernama Farma-si yang menangani penelitian mahasiswa tingkat jurusan. Pun, di tingkat fakultas ter-dapat Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang mengakomodir penelitian mahasiswa level fakultas.

Prosedur pengajuan penelitian pada lembaga atau organisasi tersebut seder-hana. Mahasiswa mengajukan proposal penelitian pada lembaga tersebut den-gan menyertakan pembimbing dari unsur dosen.

Mahasiswa kelautan semester enam ini mengaku, proposal penelitiannya pernah

lolos seleksi dan mendapatkan dana pene-litian dari Dikti sebesar enam juta, dit-ambah bantuan dana dari fakultas sebesar satu juta rupiah.

Sebenarnya, proyek penelitian untuk sivitas akademika terus meningkat seiring dengan naiknya anggaran pendidikan. Na-mun, menurut Nurul, di samping kampus tak tanggap, mahasiswa juga tak memiliki inisiatif sendiri untuk mencari informasi penelitian dari berbagai sumber. Nurul mengaku, di samping mengandalkan in-formasi dari fakultas, ia juga sering melaku-kan browsing internet untuk mendapatkan informasi penelitian lebih banyak.

Pun, di perguruan lain seperti Univer-sitas Negeri Semarang (Unnes), atau Uni-versitas Negeri Surakarta (UNS), sama. Di UNS misalnya, terbentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) khusus, Kelompok Stu-

di Ilmiah (KSI), yang membi-dangi penelitian mahasiswa. Di Unnes, seperti dijelaskan, ma-hasiswa Jurusan Kimia, Suriat Hadi, ada mata kuliah khusus, Karya Tulis Ilmiah (KTI), serta pelatihan pembuatan karya il-miah. Karya terbaik mahasiswa dari program kuliah dan pelati-han tersebut selanjutnya diaju-kan ke Dikti oleh Fakultas.

“Mahasiswa jadi termoti-vasi.”

Penelitian IAINDi banding perguruan

tersebut, IAIN lebih terbe-lakang dalam hal pemberday-aan penelitian mahasiswa. Tidak ada lembaga di tingkat fakultas maupun jurusan yang mengakomodir penelitian ma-

hasiswa, seperti di Undip. Pun, belum ada tindakan untuk mendorong mahasiswa melakukan penelitian. Proyek penelitian, seperti diakui Kepala Lembaga Penelitian (Lemlit), Khoirul Anwar, selama ini me-mang difokuskan untuk dosen. Asumsinya, menurut Khoirul Anwar, dosen lah yang memiliki kemampuan, pengalaman, serta kewajiban ke arah pengembangan ilmu pengetahuan yang telah didapat.

Khoirul Anwar melihat antusiasme dosen dalam penelitian sangat besar. Pada semester terakhir 2012, ada 124 proposal penelitian yang masuk, padahal daftar kuota hanya tiga puluh proposal yang akan diterima. Itulah mengapa, lanjut Khoirul, mahasiswa belum mendapatkan porsi un-tuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. Lebih lanjut Khoirul mengatakan, masalah mahasiswa tak dilibatkan dalam penelitian

dipicu faktor keterbatasan dana.Dosen mata kuliah Biologi, Dian Ayun-

ing Tyas, mengatakan, mahasiswa mes-tinya tak hanya mengandalkan dana dari fakultas atau institut untuk melakukan penelitian. Sebab, fakultas memang belum punya program untuk penelitian maha-siswa.

“Mahasiswa harus proaktif mencari in-formasi di luar.”

Di sisi lain, mahasiswa tak proaktif lan-taran tidak ada gerakan penelitian secara terpadu yang bisa menjadi jembatan un-tuk mengarahkan penelitian mahasiswa. Termasuk, tidak adanya alokasi dana penelitian yang disediakan untuk maha-siswa. Hal itu disampaikan Lianah, dosen Biologi.

Pembantu Dekan III Fakultas Tarbi-yah, Ridwan mengamini hal itu. Menurut-nya, memang, secara formal, belum ada program penelitian untuk mahasiswa di fakultas.

“Kalau gagasan sudah ada.”Program penelitian untuk mahasiswa

sebenarnya tak hanya bersumber dari dana internal fakultas ataupun institut. Banyak kesempatan mahasiswa untuk bisa melakukan penelitian eksternal. Sayang-nya, minimnya informasi membuat maha-siswa tak bisa menangkap peluang terse-but. Terlebih, dosen kurang proaktif dalam memberikan informasi dan mendorong mahasiswanya untuk meneliti. Padahal, dosen lah yang mengetahui ihwal potensi mahasiswanya dan berkewajiban untuk membimbing. n

Anik Sukhaifah

Penelitian Hanya untuk DosenProyek penelitian IAIN terbatas untuk dosen. Mahasiswa perlu dilibatkan.

Dalam sebuah tayangan televisi, se-orang mahasiswi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo tampak mahir

memandu sebuah acara bak presenter handal. Sebagai pemula, ia merasa tak canggung saat dihadapkan dengan sorot kamera televisi.

Cuplikan tayangan tersebut merupa-kan bagian dari sajian acara Walisongo TV. Walisongo TV merupakan stasiun televisi yang dikembangkan oleh IAIN Walisongo. Meski terbilang baru, gagasan pendirian stasiun televisi IAIN Walisongo sebenarnya sudah sejak lama muncul. Te-patnya, seperti diungkapkan Kepala Lab-oratorium Fakultas Dakwah dan pembina Walisongo TV Amelia Rahmi, gagasan itu dicetuskan pada masa kepemimpinan Aminudin Sanwar sebagai dekan.

Tujuan awalnya, untuk memberikan bekal dan wawasan kepenyiaran media elektronik kepada mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakul-tas Dakwah. Namun, wacana tersebut saat itu urung terealisasi. Minimnya sum-ber daya manusia (SDM) serta sarana dan prasarana disinyalir menjadi kendala uta-ma dalam mewujudkan wacana tersebut.

“Baru ada kamera saat itu, ” ungkap Amelia.

Baru, pada era kepemimpinan Mu-hamad Sulton sebagai dekan Fakultas Dakwah, wacana itu dapat direalisasikan. Langkah pertama dilakukan dengan men-gangkat mantan presenter TVRI yang juga alumnus Fakultas Dakwah, Bahrudin, sebagai pembina untuk membesarkan Walisongo TV.

Terkait nama, seperti dijelaskan Pem-

Media Baru IAIN Walisongo bantu Dekan (PD) III Fakultas Dakwah Ahmad Anas, Walisongo TV diambil dari nama IAIN Walisongo. Semangat para Walisongo dalam menyebarkan Islam menjadi inspirasi bagi perjalanan dakwah IAIN Walisongo.

Meski mulanya untuk mendukung kegiatan mahasiswa KPI Fakultas Dak-wah, Bahrudin tak menampik, fakultas lain boleh mengisi program yang ditay-angkan Walisongo TV.

“Kami bisa membuka biro peliputan di tiap Fakultas,” tambah Bahrudin.

Kehadiran Walisongo TV turut disam-but positif oleh mantan Kepala Humas IAIN Walisongo, Ahmad Fauzin, karena bisa dijadikan media promosi untuk mengenalkan IAIN kepada masyarakat. Ia megimbau, Walisongo TV bisa menjadi pusat informasi dan pengetahuan bagi masyarakat Semarang.

“Agar bisa dikenal dan berkompetisi perguruan tinggi lain,” harapnya.

Media DakwahSebagai TV komunitas, tambah Ame-

lia Rahmi, Walisongo TV yang telah men-gudara sejak tanggal 1 Maret 2012 terse-but bisa dinikmati sivitas akademika IAIN yang berada sampai radius 5 KM. Walisongo TV tayang setiap hari Senin-Jum’at dari pukul 14.00-16.00 WIB dengan menawarkan beberapa program pilihan. Antara lain, Ukm Expose, Gembel Sang Pencerah, Talk Show Psikologi dan Indi-ego, Talk Show Agama, Inspirasi Kita, Re-portawa, Klips and Tips, dan Talk Show Kampus.

Sebagai pembina, Bahruddin menga-

rahkan program Walisongo TV tidak se-batas pada acara formal, seperti talkshow atau ceramah. Ia juga memberi porsi ter-hadap tayangan yang bersifat hiburan.

“Biar tak jenuh, 50% formal, 50% hiburan.”

Terpenting, seperti dikatakan Muham-mad Sulton, Walisongo TV tidak menjadi media provokatif yang bisa membangun persepsi buruk serta memancing konflik beragama.

“Jangan sampai membangun musuh bagi orang lain,” tegasnya.

Ahmad Anas menambahkan, Walison-go TV merupakan media dakwah sekali-gus penebar semangat pendidikan Islam. Sehingga, muatan atau program acara Walisongo TV mesti disesuaikan dengan visi tersebut. Ia menggarisbawahi, Islam dalam konteks dakwah IAIN Walisongo adalah Islam yang mengajak pada keda-maian, bukan Islam garis keras. Makanya, ia mensyaratkan tayangan Walisongo TV melalui proses penyaringan ketat.

“Kalau ada kru yang garis keras, se-mentara out,” tegas Anas.

Visi perdamaian tersebut antara lain diwujudkan dengan mengadakan ker-jasama dengan majalah online Transcend dari Norwegia. Media tersebut dikenal berkonsentrasi pada proses perdama-ian dunia. Walisongo TV mendapatkan izin untuk menayangkan media tersebut dalam salah satu program televisi terse-but. Kurang Perhatian

Meski sudah mengudara sejak awal Maret, Walisongo TV belum banyak dike-nal sivitas akademika IAIN. Hal itu, sep-

erti diakui Bahrudin, sebab Walisongo TV belum berani melakukan sosialisasi secara besar-besaran.

Di samping itu, Walisongo TV baru melakukan proses perizinan ke KPID. Amelia Rahmi memprediksi, proses per-izinan baru rampung pada bulan Agustus atau September.

Untuk melakukan promo, menurut Bahrudin, perlu kesiapan matang. Maka, masa awal, menurut Bahrudin, diman-faatkan untuk menguatkan SDM kru Walisongo TV terlebih dahulu.

“Kalau semua sudah siap, kami baru melakukan promo.”

Upaya pemberdayaan kru salah satun-ya diwujudkan dengan melakukan pelati-han kepenyiaran dengan dampingan kru dari TV Borobudur. Termasuk, menye-lenggarkan pelatihan host menggunakan bahasa Jawa melalui kerja sama dengan museum Ronggowarsito. Amelia Rahmi berharap, pelatihan seperti tersebut bisa dilaksanakan rutin dan berkesinambun-gan.

Meski upaya pemberdayaan kru ter-us dilakukan, Walisongo TV dihadap-kan pada berbagai kendala. Antara lain, kurangnya perhatian birokrasi untuk me-maksimalkan Walisongo TV. Peralatan misalnya, menurut Amelia Rahmi, keban-yakan sudah tak layak pakai.

“Semoga semua hambatan men-jadikan kru lebih semangat berjuang,” harap Amelia.n

Ahmad Muchlisin

PENELITIAN

IAIN memiliki stasiun televisi baru. Sebagai media penyampai pesan perdamaian

Karya penelitian mahasiswa, terbatas skripsi

Page 8: Tabloid Amanat Edisi 119

� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

Oleh Nasirudin

KAJIAN

Logika Terbalik Khutbah Bilingual

Sebagaimana telah diketahui ber-sama, khutbah Jum’at di masjid al-Fitroh kampus II IAIN Walisongo meggunakan dua bahasa asing,

yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris secara bergantian. Entah apa tujuannya, mengapa Khotbah Jum’at meggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Apakah karena alasan syar’i atau alasan non syar’i.

Terkait hal itu, ada tiga pendapat men-genai bahasa apa yang seharusnya digunak-an dalam khutbah Jum’at . Pertama, khut-bah tidak sah kecuali menggunakan baha-sa Arab, alasannya adalah karena khutbah Jum’at bersifat taabbudi. Sebagai bentuk ibadah maka bahasa yang digunakan ha-rus sama dengan bahasa yang digunakan oleh Rasul Allah dan para sahabat seb-agaimana bahasa dalam shalat yang bersi-fat taabbudi. Pendapat ini banyak dianut oleh kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah.

Kedua, khutbah Jum’at tetap sah menggunakan bahasa apapun sesuai dengan bahasa pendengarnya, alasan-nya inti dari khutbah adalah menyam-paikan pesan, menasihati dan men-gajak. Bagaimana mungkin pesan itu akan sampai bila tidak bisa dipahami oleh penerima pesan. Pendapat ini ban-yak dianut oleh kelompok Hanafiyyah.

Ketiga, khatib menggunakan bahasa Arab kecuali ada kelemahan seperti keti-dakmapuannya dalam berbahasa Arab. Maka khatib boleh menggunakan ba-hasa jamaahnya. Pendapat ini mashur di kalangan madzhab Ahmad bin Hanbal.

Nampaknya model khutbah di mas-jid al-Fitrah kampus II IAIN Walisongo dengan menggunakan bahasa asing tidak masuk kedalam salah satu tiga pendapat di atas. Meskipun menggunakan bahasa Arab, namun nampaknya, penggunaan ba-hasa tersebut bukan karena alasan syar’i, akan tetapi lebih pada alasan non syar’i. Entah sebagai ajang pengembangan ket-erampilan berbahasa seperti muhadatsah (berbicara) dan istima’ (mendengarkan), atau tidak menutup kemungkinan untuk “gagah-gagahan” semata. Apalagi peng-gunaan Bahasa Inggris, nampaknya sulit sekali kalau bukan karena alasan non syar’i.

Secara subtantif, khutbah merupakan sebuah komunikasi yakni proses pencip-taan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Dalam sebuah komunikasi

(Studi kasus khutbah Jum’at di Masjid al-Fitroh kampus 2)

terdapat keseimbangan antara pengirim pesan, pesan yang disampaikan dan pe-nerima pesan. Pesan akan bermakna jika pengirim dan penerima pesan berusaha menciptakan arti dari pesan tersebut. Mustahil pesan akan diterima dengan baik apabila makna yang dimaksudkan oleh pemberi pesan berbeda dengan makna yang difahami penerima pesan. Akan lebih tidak bermakna jika pesan tidak dapat difahami. Dengan demiki-an komunikasi akan menjadi sia-sia.

Khatib (komunikator) dan mukhatab (komunikan) adalah pemberi dan peneri-ma pesan. Seorang khatib harus menyadari bahwa ia sedang berkomunikasi dengan manusia bukan dengan Tuhan (kecu-ali dalam doa), juga bukan dengan diriya sendiri. Konsekuensinya, seorang khatib harus menggunakan bahasa manusia yang secara spesifik menggunakan bahasa may-oritas jamaah (bi lughati qaumihi). Nam-paknya kurang tepat apabila bahasa khut-bah dianalogikan dengan bahasa shalat. Khutbah berkomunikasi dengan sesama manusia sedangkan shalat berkomunikasi (munajat) dengan Tuhan sehingga ba-hasa yang digunakan bersifat tauqifi seb-agaimana yang digunakan oleh Nabi s.a.w agar tidak terjadi pendistorsian makna.

Prinsip dasar hukum Islam adalah memudahkan yang sulit bukan menyulit-

kan yang mudah, meringankan yang berat bukan memberatkan yang ringan dan me-nyenagkan bukan menakutkan. Kalau khut-bah boleh menggunakan bahasa Indone-sia mengapa harus menggunakan bahasa Inggris. Kalau khutbah dapat dipahamkan untuk mayoritas mengapa cuma dipaham-

kan untuk minoritas. Kalau isi khutbah bisa diserap lebih banyak mengapa lebih me-milih isi khutbah yang hanya bisa diserap sedikit. Kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit. Penggunaan logika yang terbalik hanya akan menjauhkan dari prinsip-prin-sip hukum Islam dan kodrat kemanusian.

Secara teologis, khutbah Jum’at bu-kanlah pidato biasa akan tetapi pidato yang diatur sedemikian rupa dan bersi-

fat taabbudi, yakni bagian dari pelak-sanaan ibadah yang secara lahir harus sesuai dengan aturan-aturan fiqih dan secara batin harus bersih dari kepentin-gan-kepentingan non ibadah seperti riya, ujub, gagah-gagahan, prestise dan ke-pentingan-kepentingan duniawi lainya.

Penggunaan bahasa asing dalam khutbah Jum’at dengan tujuan praktik pengembangan keterampilan berbahasa tentu dapat menggeser subtansi ibadah itu sendiri. Aktivitas ta’abbudi berge-ser ke aktivitas duniawi dan aktivitas yang sakral bergeser ke aktivitas profan.

Khutbah dengan maksud gagah-ga-han, prestise dan motif-motif nafsu duni-awi lainnya jelas akan mendistorsi makna ibadah. Dan kemungkinan terburuk adalah sebuah ibadah akan menjadi ru-sak karena kehilangan kemurniannya (muhklisiin lahu al-din). Normalnya, dengan segala kekuatan dan usaha, iba-dah harus dimurnikan dari unsur-unsur riya dan ujub, bukannya malah diba-wa-bawa pada wilayah yang bisa me-nyeret ke dalam kubangan riya dan ujub.

Khutbah Jum`at merupakan bagian dari keseluruhan pelaksanaan ibadah shalat Jum’at sehingga ada yang ber-pendapat bahwa khutbah setara den-gan dua rakaat dalam shalat dhuhur. Itulah sebabya, jamaah shalat Jum’at wajib memperhatikan, mendengar-kan dan mentaati khutbah sang khatib, sebagaimana yang sering dipesankan oleh muadzin sebelum khatib naik ke mimbar anshitu wasma’u wa ‘athi’u.

Masalahnya adalah bagaimana mungkin jamaah akan memperhatikan, mendengarkan dan mentaati kalau ba-hasa yang digunakan sang khatib tidak sepenuhnya dipahami oleh mayoritas jamaah. Bukankah sebuah kezaliman jika hak mayoritas jamaah untuk mem-perhatikan, mendengarkan dan mentaati menjadi terhalang gara-gara penggunaan

bahasa asing. Bahkan tidak menutup ke-mungkinan hak untuk menunaikan shalat Jum’at di kampus sendiri bagi warga kampus II, menjadi terhalang atau hi-lang dan terpaksa memilih masjid di luar.

Nampaknya tidak ada salahnya jika semua pihak merenungkan dan mengkaji kembali apakah khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa asing sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi dan prinsip-prinsip syar’i. Apakah orientasi khutbah telah sesuai atau setidaknya mendekati dengan apa yang dikehendaki oleh syara’ atau justru telah mendistorsi makna ibadah.

Orientasi taabbudi (peningkatan taqwa) beralih pada orientasi duniawi (pening-katan ketrampilan berbahasa), orientasi hati (ikhlas) beralih pada orientasi nafsu (riya, ujub, prestise) dan orientasi jamaah (jama’ah oriented) beralih pada orientasi khatib yang semakin jauh dari jamaahnya. Bukankah Allah SWT telah memberikan kesempatan kapan dan di mana hamba-Nya harus memanfaatkan waktu secara khusus untuk melaksanakn ibadah makh-dlah serta di mana dan kapan mereka har-us mengembangkan potensinya untuk ke-pentingan duniawi. Tentu segala sesuatu ada tempatnya (li kulli syain maqam). n

- Nasirudin,

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang

Penggunaan bahasa asing dalam khutbah Jum’at den-gan tujuan praktik pengem-bangan keterampilan berba-hasa tentu dapat menggeser subtansi ibadah itu sendiri. Aktivitas ta’abbudi bergeser ke aktivitas duniawi dan ak-tivitas yang sakral bergeser

ke aktivitas profan

Page 9: Tabloid Amanat Edisi 119

9AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

Mengurai Akar Kekerasan AgamaOleh Khoirul Muzakki

WACANA

Fenomena kekerasan yang menga-tasnamakan agama sebenarnya terjadi pada semua agama, tak hanya Islam. Hampir setiap agama

memiliki justifikasi teks keagamaan yang dapat ditafsirkan sebagai pendukung ter-jadinya kekerasan. Dalam agama Kristen misalnya, terdapat perintah “perang suci” yang karenanya kekerasan dalam bentuk peperangan diperbolehkan. Yahudi, den-gan gerakan Zionismenya bisa disebut se-bagai tindakan kekerasan yang diperbole-hkan untuk menegakkan Taurat.

Pun, dalam Islam, meski lebih banyak teks keagamaan yang mengandung pesan moral dan kedamaian, terdapat pula teks-teks yang dinilai mengandung unsur ke-kerasan, terutama jika teks tersebut dimak-nai secara literal. Misalnya, ayat Al Qur’an yang menyatakan, kesempurnaan Islam sebagai penutup (QS. 5:3), superioritas Islam atas agama lain (QS. 3: 19,85), serta keniscayaan konflik antara Islam dengan non-Islam (QS. 4:76).

Boleh saja, kelompok masyarakat ter-tentu menilai ekspresi kekerasan yang ditunjukkan suatu kelompok keagamaan tertentu sebagai suatu tindakan “brutal” dan tidak berperikemanusiaan. Namun bagi mereka, ekspresi kekerasan itu justru sebuah kebaikan, bahkan tugas suci seb-agai implementasi dari ajaran yang mereka yakini. Hanya perbedaan sudut pandang, kelompok pertama mengukurnya dari sisi kemanusiaan, kelompok kedua meman-dang dari sudut pandang teologis.

Motivasi spiritual-religius dalam kon-teks tersebut cenderung lebih kuat dan mampu menembus batas rasionalitas dan kemanusiaan seorang. Ritual pen-gorbanan dan persembahan anak yang dilakukan Ibrahim misalnya, membukti-kan, dorongan religius lebih kuat diband-ing kecintaan terhadap anak. Beberapa warisan kekerasan atas nama agama juga masih bisa kita saksikan sampai saat ini. Kekerasan dimaknai sebagai ekspresi keta-atan, sebab agama sendiri dipahami seb-agai relasi perintah dan kepatuhan makh-luk terhadap Tuhannya.

Perilaku kekerasan di satu sisi ber-sumber dari sistem ideologi. Karakteristik ideologi memang cenderung intoleran ter-hadap epistemologi berpikir “yang lain”. Kelompok penganut ideologi memiliki parameter sendiri dalam mendefinisikan yang lain sebagai “musuh” karena tak me-miliki kesamaan visi dan ideologi. Definisi tentang “sesuatu” tidak didasarkan pada pandangan umum, namun pada kepentin-gan ideologi mereka.

Ideologi sebagai sebuah sistem sim-bol atau kepercayaan memberikan daya penuntun sebuah gerakan dalam menca-pai tujuan tertentu. Seorang pribadi san-tun bisa berubah menjadi biadab seketika karena dorongan ideologis. Ini terjadi lan-taran ideologi merupakan entitas yang se-cara sosio-psikologis bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas seseorang.

Jika perilaku kekerasan tersebut me-nyangkut persoalan ideologi, ia sulit dile-nyapkan. Negara Islam Indonesia (NII) misalnya, meski ia bagian sejarah masa lalu, ideologinya masih berkembang sam-pai saat ini, meski dengan format gerakan yang berbeda. (Riyanto, 2002)

FundamentalismePerilaku kekerasan atas nama agama

sering dihubungkan dengan ideologi fun-damentalisme. Praktik kekerasan atas nama Islam misalnya, diidentikkan den-gan kebangkitan fundamentalisme Islam. Fundamentalisme didefinisikan sebagai suatu bentuk gerakan agama yang bereaksi terhadap perubahan sosial dan mengang-

gapnya sebagai krisis. Mereka menyodor-kan slogan kembali kepada kemurnian ajaran agama.

Martin Riesebrodt mengidentifikasi tiga ciri mendasar sebagai tipologi funda-mentalisme. Pertama, tradisionalisme ra-dikal, karena fundamentalisme lahir dari ketegangan antara tradisi dan modernitas. Berbagai perubahan super cepat sebagai akibat dari modernisasi memaksa kaum tradisionalis memperkokoh pertahanan dan menantang mereka secara radikal.

Kedua, milieu cultural, manakala iden-titas dan persepsi kelompok terhadap rasa

kebersamaan ditentukan oleh kesamaan cita-cita sosio-moral dan kriteria non ekonomis lainnya. Kenyataan ini untuk menjelaskan mengapa fokus perjuangan mereka tidak menyangkut kesenjangan sosial, keadilan ekonomi, dan seterus-nya. Tapi lebih terkait masalah dekadensi moral, konsumerisme, kebebasan, dan lainnya. Karakteristik ketiga, yang paling spektakuler dari fundamentalisme adalah keberhasilannya memobilisasi massa, bukan saja dari segi jumlah, namun juga militansi. (Fundamentalism and The Re-surgence of Religion, 2000).

Nuansa fundamentalisme kentara pada beberapa ormas Islam di Indonesia meski dengan corak yang berbeda satu sama lain. Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang mem-perjuangkan berdirinya khilafah universal dan syari’at Islam sebagai dasar misalnya. Konon, kelompok ini tidak mengakui neg-ara nasional. Perjuangan mereka memang tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyah.

Hampir serupa dengan HTI, ger-akan Jama’ah Islamiyyah sering dianggap bertujuan mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Majelis Mujahidin Indone-sia (MMI) barang kali merepresentasikan model gerakan ini. Namun, pada prin-

sipnya, baik HTI maupun MMI diklaim memiliki kesamaan dalam orientasi poli-tiknya dan sama-sama menolak rezim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika). Mereka biasa disebut sebagai kelompok political Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia. (Islam dan Radikalisme di Indonesia, 2005)

Ekspresi fundamentalisme Islam lain adalah radikalisme Islam yang terwakili oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI). Ekspresi keberagamaan gerakan ini cukup unik di banding lainnya. Orientasi radi-

kalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, bukan pada level negara, seperti HTI atau MMI. Orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum fundamen-talis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara), ke pengisla-man atau penerapan syariah pada level masyarakat. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam, setidaknya untuk jangka pendek, tetapi lebih pada penerapan syariah pada level masyarakat (Islamized space). (Oliver Roy, The Failure of Political Islam)

Demokrasi GagalMeski fundamentalisme berpotensi

menggerakkan perilaku kekerasan, bukan berarti ia satu-satunya penyebab muncul-nya gerakan radikal atau kekerasan. Sebab pada prinsipnya, ideologi apapun, ia bisa berkembang dan berpotensi melahirkan kekerasan jika didukung oleh situasi politik yang tak berpihak terhadap mereka. John L. Esposito menyebut, kebangkitan fun-damentalisme Islam saat ini dapat dibaca lebih sebagai pencarian identitas, oten-tisitas, dan komunitas di tengah himpitan ketidakadilan dunia yang membelenggu dunia muslim. Bukan semata persoalan ideologi.

Di banyak Negara muslim, terutama di Timur Tengah, misalnya, radikalisme Islam muncul lebih sebagai perlawanan

kontraproduktif terhadap perlakuan ti-dak adil dan penyumbatan aspirasi politik oleh rezim otoriter dan politik. Revivalisasi agama dalam konteks ini menjadi para-doks karena bisa menjadi sumber pembe-basan, sekaligus ekstremisme kekerasan. Ia akan menjadi ekstremisme kekerasan apabila diposisikan atau memposisikan diri vis a vis hegemoni global yang tidak memberikan ruang gerak dan menyisakan tempat bagi mereka.

Di balik tafsir keagamaan yang men-justifikasi penggunaan kekerasan, rupa-nya terdapat kekecewaan dan kefrusta-sian yang akut terhadap rezim tertentu. Di Mesir misalnya, banyak dari kelompok radikal merupakan mantan tawanan yang mendapatkan perlakuan kasar akibat beda suara dengan rezim penguasa. Dengan kata lain, fundamentalisme bukan sekadar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisasi yang tidak meny-isakan tempat bagi mereka untuk berkip-rah secara fair.

Bisa jadi, sejumlah aksi kekerasan yang ditunjukkan beberapa ormas di Indone-sia bukan semata didorong motif ideolo-gis. Namun, akibat tersumbatnya aspirasi politik mereka sebagai kaum minoritas dalam pentas perpolitikan global. Baik secara agama maupun politik, kelompok tersebut merasa termarjinalkan karena tak mendapatkan tempat yang layak. Secara politis, oleh penguasa, maupun dari sudut pandang agama secara mayoritas, mer-eka tak dihitung, bahkan dianggap sebagai “pengacau’’, dengan segala predikat negatif lainnya. Terbukti, pemberian label negatif dan penyumbatan aspirasi politik terha-dap beberapa gerakan Islam, FPI misalnya, justru membuat mereka kian brutal.

Sebab itu, fenomena kekerasan agama, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, merupakan masalah psikososial. Dengan kata lain, ia lebih bersifat psikologis-sosiol-ogis akibat komunikasi politik dan agama tidak berjalan semestinya.

Ekspresi radikalisme sebenarnya mengandung unsur protes dan sistem koreksi terhadap sistem kekuasaan yang tengah berlangsung. Dalam ekspresi ke-kerasan yang ditunjukkan FPI misalnya, terkandung protes koreksi terhadap le-mahnya aparatur pemerintah dalam menekan kemaksiatan atau penyakit masyarakat yang secara sistematis dapat menggerogoti moral bangsa. Kehadi-ran FPI sebenarnya bisa menjadi mitra negara sebagai pengaman di tengah le-mahnya aparat kepolisian dalam me-numpas penyakit masyarakat.

Gerakan melawan kemaksiatan yang menjadi agenda utama FPI mestinya bisa diarahkan tidak hanya dilakukan terhadap kegiatan formal, seperti tempat hiburan, prostitusi, dan perjudian. Tapi, diarahkan pula untuk menumpas kemaksiatan yang jauh lebih besar. Misalnya, menggerebek rumah para pelaku korupsi yang meru-pakan kemaksiatan luar biasa karena me-nyengsarakan banyak umat. Termasuk, berani melawan kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat.

Ekstrimisme yang ditunjukkan sejum-lah kelompok Islam memang cenderung merugikan kepentingan umum. Namun persoalannya, bagaimana selama ini kita menyikapi perbedaan pandapat baik dalam hal agama maupun politik. Jika pandangan mereka dianggap bengkok, mari diluruskan. Jika mereka merasa ter-sisih, mari didekati dan dirangkul. Pertan-yaannya, pernahkah dialog itu dilakukan tanpa memasang curiga terlebih dahulu terhadap paham dan gerakan yang “tidak sejalan” dengan diri kita tersebut.n

Page 10: Tabloid Amanat Edisi 119

10 AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

n TAJUK

Cultural Burden dan Problem Aktivitas Publik Perempuan

Oleh Misbach Zulfa Elisabeth

ARTIKEL

Realitas manusia yang ter-diri atas dua jenis kelamin berbeda yaitu laki-laki dan perempuan (sex difference),

telah menimbulkan konsekue-nsi pembedaan antara kedua jenis kelamin itu. Pembedaan itu berkait dengan fungsi dan peran yang di-harapkan oleh komunitas dan ma-syarakat. Peran dan fungsi yang di-harapkan oleh masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan itu yang kemudian dikenal sebagai gender. Gender adalah istilah yang merujuk pada peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi se-cara sosial budaya (Fakih, 1996; Err-ington, 1990).

Konstruksi sosial budaya itu ditetapkan secara kuat dalam bentuk ajaran-ajaran agama, adat, mitos, dongeng serta pepatah dan petitih yang direpresentasikan secara terus menerus sehingga menghegemoni masyarakat sebagai pendukung bu-daya yang bersangkutan.(Arimbi, 1998).

Salah satu konstruksi budaya mengenai laki-laki dan perempuan adalah, anggapan bahwa laki-laki kuat, mampu, bertanggungjawab dan rasional. Sementara perempuan lemah, tidak mampu, tergantung dan emosional. Yang menarik, terdapat mitos yang memperkuat anggapan itu. Sebagai contoh, mitos peran perempuan di Jawa, yaitu “ma-telu” (tiga ma). Yaitu, masak (memasak), macak (berhias) dan manak (mela-hirkan). Mitos untuk peran laki-laki dengan “ma-lima” yaitu main, mi-num, madat, maling, dan madon. Yaitu, berjudi, minum, menghisap candu, mencuri, dan main perem-puan. (Arimbi et. al., 1998:8).

Dari muatan mitos peran laki-laki-perempuan Jawa tersebut, tampak adanya pembedaan peran (difference role). Di mana, peran perempuan dibelenggu dalam peran kerumahtanggaan, sementara laki-laki bebas melakukan aktivitas yang diinginkannya. Efek dari mitos dan anggapan tersebut adalah ketida-kdilan gender (gender inequality). Sebab, masing-masing jenis kelamin telah disekat kehendak, keinginan, serta cita-citanya menurut stan-dar yang dimiliki oleh masyarakat. Perempuan dinyatakan lebih tepat untuk melakukan aktivitas dalam ra-nah “domestik”, sementara laki-laki dalam ranah “publik”. (Abdullah, 1997; Faqih, 1996).Faqih, 1996).

Beban Budaya

Asumsi tersebut berkembang dan seolah menjadi konsep mapan dan berlaku sebagaimana hal-hal yang kodrati. Perempuan hanya bo-leh melakukan aktivitas di dalam lingkup rumah tangga dan laki-laki melakukan aktivitas di luar lingkup rumah tangga. Di antara sekian ba-nyak aktivitas kemanusiaan, aktivitas kemasyarakatan, termasuk aktivitas dalam bidang politik, merupakan aktivitas yang bersifat “luar rumah tangga”.

Dengan mempertimbangkan kualifikasi pekerjaan itu, jelas bahwa aktivitas politik merupakan aktivitas laki-laki. Sebagai implikasi dari pila-han jenis pekerjaan itu, dapat dipa-hami, dalam bidang politik kehadi-

ran perempuan dipandang sebagai sesuatu yang tidak lazim. Konsep tentang politik sebagai “dunia laki-laki” semakin dispesifikasi sifat ke-laki-lakiannya dengan munculnya berbagai mitos tentang politik yang “kotor”, dan “keras” sehingga me-negaskan secara lebih kuat bahwa dunia politik bukan dunia perem-puan. Dunia perempuan semesti-nya adalah dunia yang “bersih” dan “aman”. Tempat yang paling tepat untuk kualifikasi pekerjaan itu ada-lah pekerjaan kerumahtanggaan.

Terbatasnya akses perempuan di bidang politik menunjukkan bahwa hambatan budaya meru-pakan penyebab utama terbata-sinya perempuan untuk masuk ke dalam bidang itu. Pada level indi-Pada level indi-vidual perempuan, tampak banyak ketidaksiapan perempuan untuk masuk ke dunia politik. Ini berkait dengan proses pembentukan diri perempuan yang terbentuk secara budaya.

Konsep budaya yang memilah interest perempuan dan laki-laki secara berbeda, dengan pemilahan tegas antara peran ideal perem-puan dan laki-laki mengakibatkan sistem pembelajaran dan pem-bentukan identitas diri (self iden-tity) terus menerus mengacu pada sistem nilai tersebut.

Ini sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Elizabeth (2008) bahwa dalam masyarakat yangalam masyarakat yang cenderung patriakis, perempuan cenderung memilih peran-peran domestik. Jika mereka memilih su-atu bidang pekerjaan, mereka akan memilih bidang pekerjaan yang memiliki keterkaitan dengan karak-teristik perempuan dalam konsep gender. Bidang politik dipandang sebagai dunia laki-laki, maka ma-syarakat tidak memberikan fasilitas yang memadai bagi perempuan yang ingin terjun dalam bidang po-litik untuk mewujudkan cita-cita. Berbagai lembaga budaya yang ada hanya mendukung laki-laki untuk terjun di dalam dunia politik.

Gerakan perempuan yang bersifat global, yang menyertai kesadaran perempuan di Indone-sia telah mendorong keterlibatan perempuan dalam aktivitas publik. Aktivitas publik dalam pengertian ini berbeda dengan aktivitas di luar rumah yang dilakukan perem-puan Indonesia pada umumnya ketika mereka melakukan peker-jaan ekonomis dengan orientasi subsistensi. Sebagai contoh, ketika mereka terlibat dalam aktivitas per-tanian sawah di Pulau Jawa, misal-nya dengan melakukan derep bers-ama dengan laki-laki (Sairin, 1976), mengolah lahan persawahan di Minangkabau (Blackwood, 2008), atau penanaman padi di lahan per-tanian transmigran di Propinsi Riau (Dawson,2008). Dalam contoh-con-toh tersebut, perempuan melaku-kan pekerjaannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Perempuan tersebut bekerja untuk mencapai tujuan menyangkut ke-butuhan kolektif maupun individu akan pangan. Produk pangan mer-eka diberi makna dan nilai oleh, dan dalam kelompoknya (Keesing, 1988:178).

Ketika melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam bidang pertanian tersebut, perempuan tidak men-galami hambatan budaya karena terkait dengan target produktivitas. Pun, waktu bekerjanya selaras den-gan irama kehidupan keseharian mereka. Pola kerja mereka inherent dengan pola kerja domestik mer-eka sendiri, sehingga tidak men-gandung gejolak di dalam diri dan komunitasnya. (Ford, 2008).

Kenyataan berbeda ketika perempuan bekerja di sektor per-ekonomian modern. Seperti di du-nia manufaktur, industri atau jenis pekerjaan lain dengan sistem pen-gaturan waktu dan pengupahan baru (Warouw, 2008; Nilam dan Prahastiwi Utami, 2008). Dalam bi-dang pekerjaan ini, perempuan ha-rus menyesuaikan diri dengan pola dan sistem kerja yang berorientasi pada produktivitas. Terdapat target dan waktu kerja tertentu yang telah terpolakan, dan perempuan harus mengikutinya.

Penyesuaian diri yang dilaku-kan oleh perempuan ketika masuk ke dalam dunia ekonomi modern merupakan upaya berat karena be-ban budaya (cultural burden) yang dialami. Cultural burden adalah ni-lai-nilai, pembatasan-pembatasan yang ditransmisikan kepada perempuan sehingga perempuan merasa tidak nyaman jika tidak mengikutinya (Sairin, 1999). Seb-agai contoh, adanya konsep bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, maka, ke-tika perempuan memiliki aktivitas ekonomi di luar rumah dengan batasan waktu kerja yang jelas, ia akan merasa bersalah apabila tidak melakukan pekerjaan rumah tang-ga tersebut. Padahal, dalam sistem ekonomi modern, perempuan se-bagai pelaku memiliki beban ke-wajiban untuk memenuhi target produktivitas tertentu yang telah distandarisasikan.

Kuatnya pembentukan budaya yang mengkonsepkan peran laki-laki dan perempuan dalam ma-syarakat telah memberikan arahan kuat mengenai peran laki-laki dan perempuan. Sehingga, berbagai peluang yang muncul bagi perem-puan untuk masuk ke dunia publik sulit ditangkap oleh perempuan karena hambatan budaya yang mereka rasakan.

Terlebih, tuntutan dunia kerja modern sebagai kancah aktivitas publik perempuan umumnya me-miliki ketegasan dalam penentuan waktu kerja, target produktivitas dan pertanggungjawaban yang sama sekali berbeda dengan irama kerja domestik. Kondisi kian dile-matis karena perempuan dipaksa memilih prioritas ketika mereka ha-rus terjun dalam dunia publik. Toh, ketika mereka memilih prioritas di dunia publik, mereka tak dapat berprestasi secara optimal karena dibayangi perasaan “bersalah” lan-taran dianggap mengabaikan peran domestik mereka. n

-- Misbach Zulfa Elisabeth,Dosen Fakultas Dakwah,

Peneliti di Walisongo Mediation Centre

Dosen merupakan salah satu komponen terpenting sivitas akademika bagi keberhasilan pendidikan di kam-pus. Tonggak kemajuan pendidikan di perguruan tinggi berada di tangan dosen. Jika output perguruan tinggi diu-kur dari kualitas lulusan, maka dosen paling bertanggung jawab atas pembentukan mutu lulusan tersebut. Secara tugas, ia paling banyak bersinggungan dengan mahasis-wa terutama dalam proses transformasi ilmu dan peng-etahuan.

Prinsipnya, kualitas mahasiswa atau lulusan ditentu-kan oleh profesionalisme dosen dalam melaksanakan tu-gas. Profesionalitas meniscayakan keahlian, kecakapan, dan ketepatan. Di antara prinsip profesionalitas itu anta-ra lain, memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang dan tugas, serta memiliki kompetensi sesuai dengan bidang dan tugas. (UU No.14/2005).

Sayangnya, idealitas tersebut berbeda dengan kenya-taan yang terjadi di IAIN Walisongo. Jika profesionalitas diukur dari beberapa indikator tersebut, maka sebagian besar dosen di IAIN boleh dikatakan tak profesional. Pa-salnya, banyak dosen yang tidak linier disiplin keilmuan-nya dalam setiap jenjang studinya. Inlinieritas itu sema-kin bertambah ketika dosen tersebut mengampu mata kuliah tak sesuai dengan disiplin keilmuannya.

Inlinieritas bukan persoalan sepele. Ia berdampak pada rendahnya profesionalitas dosen saat mengajar. Im-basnya, kualitas mahasiswa dipertaruhkan karena diajar oleh dosen yang tak ahli. Inlinieritas adalah bentuk peng-ingkaran terhadap pemenuhan hak intelektualitas ma-hasiswa. Bagaimanapun, mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang terbaik.

Pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus inlinieritas tersebut barangkali adalah petugas penjad-walan mata kuliah. Saat penjadwalan itulah, “otak-atik” pembagian tugas dosen dan penentuan mata kuliah dilakukan. Barangkali, proses penjadwalan mata kuliah itu menjadi tahapan paling sulit bagi petugas akademik. Sebab, hampir saban tahun terjadi perubahan kurikulum

yang meniscayakan penambahan beberapa mata kuliah baru yang tak memiliki dosen yang mumpuni di bidang-nya. Ditambah, sertifikasi dosen yang mengharuskan do-sen memenuhi beban minimal 12 SKS memaksa mereka mencari jam tambahan.

Alasan tersebut mungkin dapat dipahami. Namun, menyederhanakan persoalan tersebut dengan mema-sang dosen untuk mengampu mata kuliah yang tak sesuai dengan disiplin keilmuannya adalah solusi “ngawur”. Asal dosen sertifikasi bisa memenuhi beban SKS dan mata ku-liah tak kosong, ribuan nasib mahasiswa dikorbankan, tak masalah?

Jika problem inlinieritas menyangkut masalah ke-timpangan jumlah dosen, itu sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperbaiki mekanisme dosen. Mekanisme perekrutan dosen harus mempertimbangkan asas “ke-butuhan”. Jika memang ada mata kuliah penting yang kekurangan dosen yang disiplin keilmuannya sesuai, tak ada salahnya merekrut dosen baru yang benar-benar ahli di bidangnya. Bukan malah sebaliknya. Jika tak butuh, tak perlu merekrut karena akan menjadi masalah pada “penggemukan” jumlah dosen.

Solusi lain, seperti diungkapkan Muhyar Fanani, ma-sing-masing fakultas bersedia membuka diri untuk mela-kukan pertukaran dosen. Tiap fakultas atau jurusan boleh menarik dosen dari fakultas lain untuk mengampu mata kuliah yang sesuai dengan bidang keahlian sang dosen.

Masalah inlinieritas tak boleh dianggap sepele. Ia me-nyangkut nasib dan perkembangan intelektualitas maha-siswa. Ia bisa menghambat kemajuan penyelenggaraan pendidikan di IAIN. Mekanisme penjadwalan mata ku-liah meski diperbaiki dan ditata. Linieritas disiplin keil-muan dosen harus dijadikan pertimbangan utama bagi pemangku kebijakan dalam distribusi tugas atau pembe-rian izin studi lanjut terhadap dosen.n

Redaksi

Inlinieritas yang Menyesatkan

Inlinieritas bukan persoalan sepele. Ia berdampak pada rendahnya profesiona-

litas dosen saat mengajar. Imbasnya, kualitas mahasiswa dipertaruhkan karena diajar oleh

dosen yang tak ahli

Page 11: Tabloid Amanat Edisi 119

11AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

Semar Nonton InnocenceOleh Joko Tri Haryanto

Ketika Semar melihat film Innocence of Moslem di Youtube, aku sedang berada di salah satu pu-

sat Jawa, belajar kembali tentang Jawa. Aku hanya mendengar kabar, film itu menghina Islam, menistakan Nabi Muhammad SAW. Aku juga mendengar bahwa film itu telah memicu gelombang protes kemarahan di berbagai negara, bahkan seorang kon-sulat AS dan stafnya tewas dibom dalam sebuah unjukrasa di salah satu negara Teluk.

Apakah Semar ikut marah?“Ya, marah.”Tapi kok nggak ikut unjukra-

sa?“Marah khan tidak harus ikut

unjuk rasa, toh yang unjuk rasa sudah banyak.”

Wah, kamu kurang Islam. Pasti karena kamu Islamnya Ke-jawen, ya?

“Eit.. Kamu jangan meremeh-kan. Aku ini memang Jawa seratus persen, tapi juga seratus persen Islam. Bisa-bisanya nuduh aku kurang Islam, wong rukun Islam aku juga sudah khatam.”

Termasuk haji?“We...la, apa kamu belum

pernah dengar lakon carangan Semar Munggah Kaji?”

Kalau kamu Islam, kok kamu tidak ikut membela Islam yang dihina film Innocence itu?

“Yang mau dibela itu siapa?” Ya Islam, Ya Rasulullah! “Islam itu hakikatnya milik

Gusti Allah, kita ini hanya nunut mulyo dengan mengenalnya me-lalui Rasulullah. Karena Islam itu milik Gusti Allah, ya pasti akan dilindungi oleh-Nya. Kalau sudah pasti dilindungi Gusti Ingkang Mahakuwaos, lha sudah, film in-nocence itu nggak bakal ngaruh apa-apa.

“Jangankan Islam, seluruh isi semesta ini milik Gusti Allah dan diciptakan oleh Allah, termasuk pembuat film Innocence, pem-buat film Fitna, dan juga Abu Ja-hal, Abu Lahab, Raja Namrud. Lha kenapa takut, kalau itu diciptakan Allah, tentu ada maksud tujuan-nya. Tidak ada yang diciptakan Allah itu sia-sia, ma khalaqta hadza batila, pasti mereka itu juga membawa misi kebaikan dari Gusti Allah.”

Misi kebaikan kentut Semar? Wong mereka itu menghina kita, umat Islam, merusak kerukunan umat beragama, piye jal?

“Wah kamu ndak percaya ya, kalau yang Allah ciptakan pasti membawa kebaikan?”

Lha kebaikan yang kayak apa?

“Kebaikan mereka itu ya... ya itu tadi, mereka itu kamu anggap brengsek, buruk, kurang ajar, po-koke yang jelek-jelek.”

Lho, piye tho? Tadi kamu bi-lang baik, tapi sekarang bilang jelek.

“Mereka memang bukan orang baik, tapi membawa kebai-kan. Mereka itu mendapatkan takdir dari Gusti Allah menjadi

orang yang jahat. Adanya kebai-kan itu karena ada kejahatan se-bagai pembandingnya. Nah, mer-eka itu menjadi batu ujian bagi kita, apakah kita tetap istiqomah dalam kebaikan, atau karena ujian ini kita malah menunjukan bahwa apa yang mereka tuduh-kan dalam film mereka itu benar.

“Kalau dalam film itu umat Islam digambarkan sebagai ke-lompok yang beringas, kasar, keras, teroris, kejam, lantas kita menjawabnya dengan membakar kantor-kantor Dubes AS di mana saja dan membunuh konsulat-nya, mencari-cari orang-orang bule terus dibentak-bentak, bah-kan dipukuli, meneriakkan ump-atan-umpatan kotor. Lha kalau begitu, mereka itu tidak memfit-nah, wong nyatanya penggam-baran mereka tentang kita tepat begitu? Berarti malah kita yang menegaskan bahwa yang mereka gambarkan dalam film itu benar.”

Tapi khan mereka menghina simbol Islam, menghina Rasu-lullah?

“We... la, Rasulullah itu dulu dihina orang juga tidak marah-marah sampai bakar-bakaran se-gala. Waktu Kanjeng Nabi hijrah ke Thaif, beliau tidak hanya tidak diterima, malah diusir, dicaci maki, dihina. Kalau beliau mau, Malaikat Jibril sudah menawar-kan diri untuk ngebrukke gunung Uhud ke perkampungan Thaif karena berani-beraninya menya-kiti Nabi, tapi beliau tolak. Malah beliau berdoa memintakan am-pun untuk mereka, ya Allah am-punilah mereka karena mereka tidak tahu.

“Waktu ada seorang kafir yang meludahi Kanjeng Nabi se-tiap kali beliau lewat di bawah jendela rumahnya untuk ke masjid, lalu ketika satu hari Nabi lewat dan tidak ada yang melu-

dahi, beliau malah menanyakan ada apa dengan orang itu. Ketika Rasulullah tahu orang itu sedang sakit, beliau malah datang men-gunjungi dan mendoakan kes-embuhannya. Akhirnya orang itu malah masuk Islam.”

Tapi khan...“Tapi apa, kamu mau meng-

ingkari kisah-kisah mulia itu? Ini satu lagi.

“Dulu itu, ketika Rasulullah sudah wafat, Abu Bakar bertanya pada Aisyah Ummul Mukminin, ‘Amalan apa yang telah Rasu-lullah lakukan dan belum aku lakukan?’ Abu Bakar ditunjukkan pada sang Yahudi buta peminta-minta, ‘Rasulullah senantiasa memberi makan orang itu sam-pai sakitnya menjelang wafat.’

“Abu Bakar lalu menyam-bangi si Yahudi, yang setiap kali ada orang mendatanginya, ia selalu mencemooh orang yang namanya Muhammad. Abu Ba-kar sebenarnya marah, tetapi karena ia hendak melakukan amalan yang Nabi lakukan, ia tetap mengulurkan tangannya menyampaikan sedekah. Si Ya-hudi menolak, ‘Bukan..., bukan. Engkau bukan orang yang selalu memberi makan aku selama ini. Ia tidak memberi sedekah seperti orang lain, tangannya mengusap lembut tanganku, menghaluskan dulu makannya, kemudian me-nyuapi makanan dengan tangan-nya yang harum. Oh, orang yang sedemikian mulia, mengapa be-berapa hari ini tak datang kemari, oh siapakah gerangan dia?’

“Abu Bakar menangis, ‘Aku sa-habatnya, ia kini telah meninggal dunia, dan aku bermaksud meng-gantikannya. Dialah Muhammad Rasulullah SAW.’ Sang Yahudi kaget, kemudian menangis, me-raung-raung, memukul-mukul dadanya. ‘Oh, ternyata dia, orang

yang senantiasa aku hina dan caci maki ternyata adalah ia yang begitu mulia. Maka saksikanlah aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah, dan Muhamad adalah Ra-sulullah.’”

Intinya gimana, intinya...“Tunggulah, ini sebenarnya

rahasia Gusti Allah memberi ke-baikan untuk kita, umat Islam. Walau kemudian kita sedikit banyak mencederai kebaikan itu. Kalau kita difitnah semacam film Innocence, atau dulu film Fitna, dan kita menjawabnya dengan sikap yang bijaksana, cara yang baik, kesalehan, keramahtama-han, bahwa ini lho, Islam. Agama yang ramah, agama yang santun, agama yang damai, agama yang rahmatanlil’alamin. Maka orang-orang akan melihat bahwa film itu tidak benar, bahwa Islam itu tidak seperti yang digambarkan secara buruk itu. Dengan cara ini makin banyak orang yang simpati pada Islam, dan seperti Rasulullah mengajak pada Islam dengan akhlakul karimah. In-gat, ketika pascaterorisme yang menghancurkan WTC, Islam ke-mudian menjadi tertuduh, tetapi banyak pihak dengan arif bijak-sana menunjukkan bahwa teror-isme itu bukan Islam, silahkan pelajari Islam yang benar, silah-kan periksa sejarah Rasulullah, bahwa Islam bukan akar teroris, Islam tidak mengajarkan kebi-adaban. Toh akhirnya, muallaf Amerika jadi bertambah, Islam insya-Allah semakin besar.”

Lha kalau sekarang ini sudah kadung ontran-ontran kayak gini terus gimana?

“Sudah kadung, ya sudah. Gitu aja kok repot.”

Wooo.. dasar Semar mendem.“Lha iya, kejadian apapun

itu khan dalam kekuasaan Gusti Kang Mohokuwaos. Jadi ontran-

ontran inipun ada kebaikannya. Paling tidak membuat orang-orang jadi tahu kalau umat Is-lam itu, ya, bisa marah kalau dihina, jadi jangan menghina. Umat Islam itu marah karena yang digambarkan dalam film semacam itu tidak benar sama sekali. Mudah-mudahan kalau mereka sudah tahu, mereka bisa introspeksi. Tak hanya mereka, juga kita sendiri introspeksi.”

Introspeksi apa?“Introspeksi diri, apakah

sudah benar yang kita katakan tentang agama orang lain itu, kalau salah khan jadi bubrah. Maksudnya, etika komunikasi an-tar agama itu harus dijaga jangan sampai menyinggung, melukai, apalagi menistakan simbol-sim-bol agama lain, karena pasti akan mendapat reaksi balik yang sama keras, bahkan lebih keras. Etika ini malah langsung dari Gusti Allah lho, ‘Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Al-lah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melam-paui batas tanpa pengetahuan’ (QS. An-An’aam:108).”

Kalau masih saja ada orang-orang brengsek yang menghina Islam?

“Biar saja. Contohlah Kan-jeng Nabi, sikap beliau itu sebaik-baiknya suri tauladan, termasuk menghadapi orang-orang yang menghina beliau. Kalau masih kurang yakin, Ini ada tips dari Syeh Maulana Jalaludin Rumi.

“Pukul mundur musuhmu dengan sesuatu yang baik untuk menghancurkannya. Musuhmu bukanlah daging dan tulangnya, melainkan pikiran jahatnya. Ke-tika ia dipukul mundur darimu dengan banyaknya terima kasih, ia akan dipukul mundur secara alamiah. Atau biarkan saja ia me-lihat, bahwa apa yang dia laku-kan tidak berdampak apa-apa bagimu. Ketika sifat kesabaran ini mengejawantah, fitnah musuhmu menjadi tidak berbekas apa-apa, dan ia akan melihat bahwa yang ia lakukan tidaklah benar. Maka menjadi jelaslah bahwa bukan martabatmu yang direndahkan, melainkan martabat musuh-mu-suhmu. Engkau telah member-inya racun dengan memujinya, dengan ucapan terima kasih, sehingga mereka menjadi heran dengan yang dilakukan diri mer-eka sendiri.’”

Lha terus sekarang, gimana?“Gimana apanya? Ya lanjut-

kan hidup, lanjutkan meneladani Kanjeng Nabi, lanjutkan memayu hayuning bawana!”

Maksudnya, apa yang harus kita lakukan pada pembuat film Innocence itu?

“Halah, doakan saja biar ma-suk Islam, dan jadi muslim yang taat, gitu saja kok repot!”n

Bantul, 20 September 2012

- Joko Tri Haryanto, Peneliti di Balitbang Agama

Semarang

KOLOM

Page 12: Tabloid Amanat Edisi 119

1� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

Suasana tepijalan Ngaliyan-Boja saat operasi tengah

berlangsung

Mahasiswa Apatis Lalu Lintas

HUMANIORA LALU LINTAS

P agi itu sekitar pukul 10.00, Pol-sek lalu lintas Semarang Barat mengadakan sidak atau “razia” di jalan depan Ngaliyan Square,

dekat kampus 3. Dalam sidak terse-but, banyak pengguna sepeda motor terjaring razia. Tidak terkecuali maha-siswa, salah satunya, Doni, mahasiswa Fakultas Syari’ah.

Doni dikenai tilang karena melaku-kan pelanggaran lalu lintas, tak me-makai pengaman kepala atau helm. Ia beralasan, jarak antara kampus dan tempat tinggalnya dekat. Sehingga, baginya, tak perlu memakai helm.

Dalam razia yang dilakukan pagi hari itu, banyak mahasiswa IAIN Wal-isongo yang terkena tilang karena melakukan pelanggaran lalu lintas.Ke-banyakan, pelanggaran yang dilaku-kan mahasiswa adalah tak memakai helm. Padahal, sebagai alat pengaman, helm penting untuk melindungi peng-endara dari kecelakaan lalu lintas. Tak pandang, jauh ataupun dekat.

Minimnya kesadaran mahasiswa IAIN dalam berlalu lintas tersebut dis-ayangkan Kanit Lantas Polres Ngalian, Eni Tri. Pasalnya, jalan di sepanjang Ngalian, termasuk jalan seputar kam-pus, merupakan daerah rawan ke-celakaan. Pihaknya mencatat, tingkat kecelakaan di seputar Ngalian, teruta-ma di jalan Prof. Hamka dalam kurun waktu terakhir terus mengalami pen-ingkatan.

Peningkatan kecelakaan itu salah satunya disebabkan oleh kondisi tek-stur jalan yang tak bagus. Di samping, ruas jalan sepanjang Ngalian terlalu sempit untuk daerah dengan tingkat pengguna jalan yang semakin padat. Kondisi tekstur jalan yang menikung dan memiliki banyak tanjakan atau turunan juga memicu kecelakaan. Ia mencontohkan beberapa jalan rawan laka, antara lain, di sepanjang bukit Si-layur dan jalan depan SPBU Ngaliyan.

“Kondisi jalan salah satu penyebab kecelakaan,” terangnya.

Eni menambahkan, kondisi jalan yang tidak memadai tersebut sayang-nya tak diimbangi dengan kesadaran

para pengguna jalan untuk lebih berhati-hati saat mengendara. Namun, Eni tak memungkiri, faktor Human Error peng-guna jalan juga sangat berpengaruh ter-hadap tingginya tingkat kecelakaan. Kasus yang sering terjadi, pengendara sering kali asal menyeberang di jalan tikungan tanpa melihat keadaan jalan.

“Kecelakaan sering terjadi karena asal seberang di jalan rawan.”

Makanya, Eni Tri mengimbau para pengguna jalan, terutama mahasiswa IAIN untuk berhati-hati. Wujud kehati-ha-tian itu salah satunya dengan mematuhi peraturan lalu lintas.

“Keadaan lalu lintas Ngaliyan sem-rawut, harus hati-hati.”

Di Ngaliyan ini juga semakin ramai dengan adanya salah satu kampus besar di Semarang yaitu IAIN Walisongo, ma-hasiswa yang berjumlah ribuan ini, tu-rut memperpadat jalan Ngaliyan karena banyak mahasiswa yang memilih meng-gunakan kendaraan pribadi daripada jasa angkutan umum.

Usia ProduktifBeberapa bulan lalu (25/04), PT Jasa

Raharja Jawa Tengah pernah mengadakan seminar “Sinergi Kegiatan Pencegahan Kecelakaan melalui Program Kemitraan” bertempat di Auditorium II kampus 3 IAIN. Tujuan diadakannya seminar terse-but, seperti dipaparkan salah satu panitia seminar, untuk memberikan wawasan dan kesadaran terhadap mahasiswa ten-tang etika berlalu lintas. Kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya tingkat ke-celakaan pada usia produktif.

Berdasarkan penjelasan Kepala Ca-bang PT Jasa Raharja (Persero) Jateng, Su-kono dalam acara tersebut, tercatat, data kendaraan yang terlibat kecelakaan sela-ma Januari hingga Maret 2012, didominasi oleh sepeda motor. Diikuti mobil pribadi dan truk.

Ironisnya, berdasar usia korban ke-celakan, posisi tertinggi diduduki remaja pada rentang usia 15-29 tahun (39,22%), diikuti usia 30-49 tahun (30.65%).

Jika ditilik berdasarkan profesi, se-bagian besar korban kecelakaan adalah

karyawan (28,33%), diikuti pelajar/maha-siswa (23.67%) dan wiraswasta (22,90%).

Perolehan data tersebut menunjuk-kan, angka kecelakaan paling banyak ter-jadi pada usia produktif, atau remaja. Data tersebut juga menunjukkan, mahasiswa adalah kategori profesi yang menempati urutan kedua korban kecelakaan.

Data itu lantas dijadikan acuan pihak berwewenang dalam meningkatkan lay-anan dan sosialisasi terhadap pentingnya kesadaran berlalu lintas. Karena maha-siswa dianggap sebagai kaum intelektual yang bisa membawa perubahan di ma-syarakat. Sekaligus, menempati posisi rawan terhadap kecelakaan, sebab terma-suk usia produktif. Makanya, sosialisasi tersebut dilakukan di kampus-kampus.

Seminar tersebut pada intinya mengimbau civitas akademika IAIN agar mau diajak bekerjasama dalam program kemitraan pencegaan kecelakaan. Say-angnya, seminar tersebut tak direspon ba-lik oleh IAIN untuk ditindaklanjuti dengan berbagai langkah konkrit untuk mencegah angka kecelakaan di tingkat mahasiswa.

Padahal, di lain kesempatan Eni Tri menuturkan, mahasiswa, sebagai kaum terdidik mestinya bisa menjadi tauladan bagi masyarakat tentang tata krama ber-lalu lintas. Pasalnya, mahasiswa seha-rusnya lebih tahu dan paham tentang peraturan lalu lintas di bandingkan ma-syarakat awam. Sehingga, jika masih ada mahasiswa yang melanggar lalu lintas, ia tak habis pikir.

“Mahasiswa masih melanggar, berarti ndablek,” kata Eni.

Biasa MelanggarPelanggaran lalu lintas yang dilaku-

kan mahasiswa IAIN Walisongo sudah menjadi hal yang lumrah. Hal tersebut turut diakui komandan satpam kampus 2, Marzuki, misalnya, yang kerap dilakukan adalah pelanggaran melawan arus jalan di depan kampus 2.

Ironisnya, ia sendiri mengakui, sering melanggar arus jalan karena pertimban-gan pragmatis. Termasuk, beberapa dosen dan pegawai di kampus 2. Sebagai petugas keamanan kampus, ia merasa tanggung jawab satpam meliputi dalam kampus.

“Luar kampus, sudah bukan urusan kami,” jelasnya.

Tak ayal, apatisme petugas keamanan kampus serta beberapa dosen atau pega-wai dalam berlalulintas turut diteladani mahasiswa. Seperti dituturkan Hamid Fauzan, mahasiswa Tadris Matematika ini mengaku sering melanggar lalu lintas di jalan kampus.

Apalagi, seperti diungkapkan maha-siswa Fakultas Tarbiyah, Arini, pelangga-ran lalu lintas yang dilakukan mahasiswa tak pernah mendapat teguran, terutama oleh pihak keamanan kampus.

Selain melawan arus, pihak keamanan kampus juga tak mempermasalahkan, atau menegur mahasiswa yang melakukan pelanggaran lain, misalnya, tidak memakai helm, atau membawa muatan lebih dari satu orang.

Terkait pelanggaran lalu lintas maha-siswa, Pembantu Rektor III Darori Amin justru mengaku tak mengetahuinya. Nyat-anya, tak ada laporan pelanggaran lalu lintas oleh mahasiswa yang sampai di tangannya. Sama halnya yang lain, Darori menganggap, pelanggaran lalu lintas ma-hasiswa itu urusan kepolisian.

“Saya tidak tahu karena tidak ada lapo-ran,” aku Darori.

Pun, Darori tak mempermasalahkan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan mahasiswa, terutama mahasiswa yang tak memakai helm.

“Asal tak ngebut di kampus,” tambahn-ya.

Ubah kebiasaanApatisme birokrasi IAIN terhadap ke-

selamatan mahasiswanya di jalan disesali oleh Kanit Lantas Polres Ngalian, Eni Tri. Mestinya, IAIN tetap ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan mahasiswan-ya di luar kampus. Artinya, kampus me-miliki peran untuk ikut mencegah angka kecelakaan di tingkat mahasiswa dengan berbagai jalan.

Ia mengandaikan, jika seluruh sivitas akademika IAIN memiliki etika lalu lintas yang baik, maka tingkat kecelakaan secara otomatis akan terkurangi.

“Mahasiswa mesti sadar.”Sebenarnya kampus memiliki peran

sebagai mitra untuk menekan angka ke-celakaan di tingkat remaja usia produktif. Ada beberapa langkah konkrit yang bisa dilakukan kampus menurut Tri, dalam rangka memberikan penyadaran kepada mahasiswa agar taat lalu lintas. Pertama, kampus dapat melakukan razia terhadap berbagai pelanggaran lalu lintas yang di-lakukan mahasiswa di dalam kampus. Sanksinya, dapat berupa teguran atau pe-nahanan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM).

Kedua, menurut Tri, kampus dapat memberikan sosialisasi tentang tata tertib lalu lintas baik berupa penyuluhan atau seminar yang bisa bekerja sama dengan instansi luar. Ketiga, lanjut Tri, birokrasi kampus semestinya menjalin komunikasi atau diskusi dengan pihak instansi kepoli-sian terdekat untuk bekerja sama menert-ibkan lalu lintas.

Terakhir, Eni mengimbau kepada selu-ruh mahasiswa IAIN agar mematuhi lalu lintas dan menjadi contoh masyarakat dalam berlalulintas yang baik.

“Kaum intelektual harusnya jadi con-toh,” tutup Tri.n

Khoirul Rohmah Safitri, Siti Maemunah

Kondisi jalan raya Ngaliyan-Boja kian padat. Ditambah, tekstur jalan penuh tikungan dan tanjakan membuatnya kian berbahaya dan rawan kecelakaan. Mahasiswa mesti patuh lalu lintas untuk mengurangi risiko kecelakaan.

Khoirul U

mam

/Am

anat

Page 13: Tabloid Amanat Edisi 119

1�AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

Kuliah Sambil Nyantri

HUMANIORAMAHASISWA SANTRI

IAIN memiliki basis keislaman kuat. Pesantren menjadi media alternatif bagi mahasiswa untuk menguatkan wawasan keislaman.

Beberapa santri tengah mengaji.

Nur, Abdul Karim al-Salawi mengaku, sejak awal didirikan, pesantren tersebut didomi-nasi santri dari kalangan mahasiswa IAIN. Menurutnya, keputusan mahasiswa untuk menjadi santri tepat, di samping menam-bah pengetahuan agama, ia dapat melatih mahasiswa untuk berkomunikasi dengan masyarakat.

“Banyak mahasiswa IAIN yang nyantri,” ungkapnya

Pembantu Rektor III IAIN Darori Amin mengapresiasi positif mahasiswa yang mau tinggal di pesantren. Menurutnya,

pesantren sangat membantu pembentu-kan karakter mahasiswa. Pelajaran agama yang diberikan dapat memperbaiki akhlak mahasiswa menjadi lebih baik.

“Pesantren dapat membentuk karak-ter,” katanya.

Menyesuaikan DiriMahasiswa yang tinggal di pesantren

lebih sibuk karena memiliki aktivitas gan-da. Di samping kuliah, mereka juga memi-liki agenda di pesantren. Namun, hal itu bukan masalah bagi Aziz. Menurutnya, ak-tivitas di pesantren tak mengganggu proses perkuliahan. Pihak pesantren memberikan toleransi terhadap santri yang berstatus mahasiswa.

“Pagi sampai sore kuliah, malamnya ngaji,” terangnya.

Kesibukan itu justru dinilainya memi-liki dampak positif bagi mahasiswa. Kare-na dapat melatih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab mahasiswa.

“Bermanfaat untuk masa depan,” ung-kap mahasiswa semester 5 ini.

Senada dialami Rahman, santri ponpes Madrosatul Qur’anil Aziziyah tersebut mengaku tidak kerepotan dengan ban-yaknya kegiatan tersebut. Menurutnya, menjadi santri mesti pandai mengatur

Usai kuliah, Nur Sa’dah selalu bergegas pulang. Jika tidak ada kepentingan di kampus, ia me-nyegerakan pulang. Keputusan

tersebut diambil lantaran ia mesti mem-persiapkan diri untuk menjalankan aktivi-tas baru. Pasalnya, di samping kuliah, Nur juga dituntut untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai santri Pondok Pesantren An- Nur, Tugu.

Pilihan menjadi santri disadari betul mahasiswi jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah ini. Menurutnya, kuliah di IAIN mesti ditunjang dengan basis keilmuan Islam yang kuat. Bagi seorang yang tak me-miliki dasar pengetahuan agama yang kuat sepertinya tentu sulit.

“Saya tidak pernah menge-nyam pendidikan agama.”

Maka, sejak kuliah, ia me-mutuskan untuk menempuh pendidikan pesantren. Baginya, ponpes adalah pilihan yang tepat untuk memperkaya pengetahuan agamanya.

“Pendidikan pesantren dapat membantu studiku di IAIN “, un-gkapnya.

Nur adalah salah satu ma-hasiswa yang memilih ting-gal di pesantren selama kuliah. Pesantren bukan hal yang asing bagi mahasiswa IAIN. Apalagi, pesantren pada hakikatnya me-miliki basis keilmuan yang serum-pun dengan IAIN. Sebabnya, se-bagian mahasiswa tak lagi cang-gung menempuh pendidikan di pesantren. Terlebih, pendidikan pesantren memberikan keuntun-gan tersendiri bagi mahasiswa. Hal tersebut diakui mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Abdillah Rah-man, wawasan keagamaannya bertambah semenjak “mondok” di pesantren.

“Di sini saya bisa sambil menghafal al Qur’an.”

Lain halnya dengan aziz, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah ini memilih tinggal di pesantren karena alasan ekonomis. Tinggal di pesantren dinilainya lebih efisien karena biaya hidupnya lebih murah di banding di kos.

“Hidup di pesantren lebih ngirit”, ung-kapnya.

Di samping itu, pesantren baginya me-miliki nilai plus. Ajaran di pesantren dapat membentengi mahasiswa dari pengaruh negatif yang bisa merusak moral, seperti pergaulan bebas. Disinilah, menurutnya, pesantren memainkan fungsi. Yaitu, se-bagai lembaga yang bisa menanamkan nilai keagamaan sebagai pedoman hidup santri.

“Melindungi diri agar tak terjerumus,” imbuhnya.

Sebagian mahasiswa tak merasa kesuli-tan mencari tempat tinggal pesantren. Pas-alnya, di lingkungan IAIN sudah tumbuh beberapa pondok pesantren. Salah satu-nya, ponpes An- Nur yang terletak di desa Karanganyar, Tugu. Pengasuh ponpes An-

waktu. Misalnya, dengan memilih kegiatan kampus yang tidak berbenturan dengan agenda di pesantren.

“Harus pandai mengatur waktu”, ung-kapnya.

Pesantren biasanya memberikan toler-ansi terhadap santri berstatus mahasiswa. Toleransi tersebut berupa pemberian wak-tu lebih terhadap mahasiswa untuk ber-aktivitas di kampus. Hal itu diungkapkan pengasuh ponpes An-Nur Abdul Karim al-Salawi. Meskipun demikian, maha-siswa tetap diwajibkan menaati peraturan

pesantren. “Jika lewat batas jam, harus izin.”

Beda BudayaCorak pendidikan pesantren yang um-

umnya masih tradisional memang berbe-da dengan budaya pemikiran yang dikem-bangkan perguruan tinggi. Perbedaan budaya itu diakui Nur Sa’adah. Mahasiswa semester lima -itu menuturkan, berbeda dengan di pesantren, model pengajaran di kampus bersifat dialogis dan terbuka. Jika di kampus ia terbiasa berdiskusi dan bisa leluasa mendebat dosen, di pesantren, hal itu tak lazim. Namun, ia menganggapnya bukan masalah.

“Menyesuaikan aja,” katanya.Hal senada diungkapkan Rahman.

Pesantrennya memiliki kebijakan tentang pelarangan menggunakan alat elektronik selama di pesantren, seperti Hand Phone dan laptop. Mulanya, ia kaget dan merasa keberatan terhadap peraturan tersebut. Namun, setelah dijalani, ia merasa enjoy dan bisa menyesuaikan diri.

“Malah lebih fokus,” kata Rahman.Lain halnya dengan Aziz. Mahasiswa

asal Grobogan ini mengaku terbiasa den-gan iklim kehidupan pesantren seperti tersebut. Pengalaman mengenyam pendi-

dikan di madrasah memudahkannya un-tuk beradaptasi.

“Budaya pesantren mirip dengan ma-drasah”, ungkapnya.

Darori Amin mengapresiasi kebijakan pesantren tersebut. Pada kenyataannya, alat elektronik memang berpotensi meng-ganggu konsentrasi belajar mahasiswa.

“Alat elektronik berpotensi menggang-gu konsentrasi”, katanya.

Pada dasarnya, perbedaan budaya an-tara pesantren dan kampus tidak mesti dipertentangkan. Keduanya bisa saling

mendukung dan menguatkan kare-na keilmuan yang dipelajari serum-pun.

“Harus saling mendukung”, tam-bah Darori.

KomunikasiPesantren sebenarnya punya

andil besar untuk turut mengawal perkembangan mahasiswa IAIN. Antusiasme mahasiswa untuk mengenyam pendidikan pesantren terbilang tinggi. Terbukti, ham-pir seluruh pesantren di lingkun-gan IAIN didominasi mahasiswa IAIN. Sayangnya, hal tersebut tak mendapatkan perhatian serius dari pihak IAIN. Itulah yang dirasakan pengasuh salah satu pesantren di Tugu, Abdul karim.

Ia mengaku, selama ini IAIN ti-dak pernah memantau atau menja-lin komunikasi dengan pesantren-nya. Mantan dosen Fakultas Ushu-ludin itu memandang, jalinan ko-munikasi antara IAIN dan pesantren penting karena bisa membawa efek positif bagi keduanya. Misalnya, IAIN dan pesantren bisa saling memberi masukan untuk kemajuan mahasiswa yang notabene santri.

“Sehingga hal yang tak diingink-an tidak terjadi,” sarannya.

Menanggapi hal itu, Darori mengaku IAIN sudah mulai menjalin ko-munikasi dengan berbagai pihak untuk memantau perkembangan mahasiswa di lingkungan luar, termasuk pesantren. Na-mun, ia mengakui, memang komunikasi yang sudah dilakukan belum menyeluruh. Jadi, wajar jika ada sebagian pesantren yang merasa belum tersentuh. Ke depan, ia akan berusaha memaksimalkan kerja sama dengan seluruh pesantren untuk kemajuan mahasiswa.

“Memang belum maksimal,” akunya.Ia menambahkan, keberadaan

pesantren sangat membantu pekerjaan kampus dalam membentuk akhlak ma-hasiswa. Jika keduanya bisa saling men-dukung maka cita-cita untuk membentuk mahasiswa intelektual dan berakhlakul karimah akan terwujud. Makanya, ia ber-harap, mahasiswa IAIN bisa menjadi sant-ri.

“Mahasiswa lebih baik nyantri,” tam-bahnya. n

Arif Khoiruddin

Arif Khoirudin/Amanat

Page 14: Tabloid Amanat Edisi 119

1� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

OPINI MAHASISWA

Salah satu komponen penting dalam lembaga pendidikan adalah tenaga pendidik. Di perguruan tinggi (PT)

peran itu berada di pundak dosen. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan, dosen merupakan seorang tenaga profes-sional yang menguasai apa yang diajarkan-nya. Dosen dituntut tak hanya memberi-kan pengetahuan, tapi juga keteladanan.

Sebagai tenaga profesional, seorang dosen tentu harus menguasai materi kuliah secara luas dan mendalam. Hal inilah yang sering menimbulkan masalah: dosen tidak professional. Tak perlu jauh-jauh mencari fakta. Teman-teman tentu sepakat kalau dosen di kampus kita masih banyak yang belum berpredikat profesional. Setidaknya pernah menjumpai dosen yang mengajar namun tak sesuai dengan kompetensinya.

Akibatnya, pembahasan mata kuliah tak mendalam serta pertanyaan maha-siswa tak terjawab dengan tuntas. Diskusi yang tidak fokus dan belum menemukan titik temu, karena dosen sebagai fasilitator kebingungan dan tidak tahu arah pemba-hasan.

Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan dosen secara sepihak. Karena mereka juga diberi tugas oleh fakultas. Sebagaimana menurut pengakuan dosen yang pernah mengajar saya, bahwa mereka sebenarnya hanya menjalankan mandat fakultas saja.

Oleh sebab itu, sebaiknya pihak fakultas atau yang berwenang perlu mempertim-bangkan lagi penempatan dan pemilihan dosen pengampu. Supaya tidak terjadi miss match dosen dalam mengajar: tidak adanya kesesuaian antara kompetensi yang dimiliki dan mata kuliah yang men-jadi beban mengajar. Karena ketika dosen

tidak menguasai apa yang menjadi be-ban mengajarnya, bagaimana bisa dosen memberi pemahaman kepada mahasiswa sekaligus melaksanakan fungsi transfer of knowledge? Akhirnya, proses pembelaja-ran kurang efektif.

Atau jika memang penyebabnya kare-na kompetensi dosen yang kurang, maka perlu program-program khusus yang ber-kesinambungan dalam rangka meningka-tan mutu dosen. Bisa juga merekrut dosen baru jika memang kekurangan tenaga pen-didik yang berkompeten di bidangnya. Se-lain itu, dosen juga harus bersedia mem-buka diri untuk dievaluasi oleh mahasiswa mengenai cara dan mutu pengajaran yang mereka berikan.

Tak hanya itu, selain sebagai tenaga pendidik, dosen juga memiliki tanggung jawab penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kalau tanggung jawab sebagai pendidik saja belum terpenuhi dengan baik, bagaimana dengan kegiatan peneli-tian dan pengabdian?

Dosen Bersedia Dievaluasi

-Farida Rahmawati, Aktif di LPM Missi Fakultas Dakwah

IAIN Walisongo Semarang

Oleh Farida Rachmawati

Dana kemahasiswaan non-SPPkemahasiswaan non-SPPnon-SPP (Mu’awanah, LPM, Kopma, Orsenik, peralatan UKM, dll) mulai semester ini dipegang Dema. Bagaimana men-urut anda?

Kirim opini anda melalui email: [email protected]. Naskah tid-ak lebih dari 3000 karakter. Sertakan biodata, foto terbaru dan nomor HP yang bisa dihubungi.

Pengiriman naskah paling lambat 30 Oktober 2012. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan bingkisan dan pi-agam penghargaan.

Sebagai sentral pendidikan, sudah se-mestinya perguruan tinggi (PT) me-nyelenggarakan proses pendidikan

dengan baik. Di antaranya proses transfer ilmu pengetahuan dari pendidik (baca:dosen) ke mahasiswa yang memerlukan perhatian lebih intensif. Pasalnya tak ja-rang para dosen yang “kurang profesional” dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga pendidik di PT.

Dalam UU Sisdiknas No. 14 Tahun 2005 bab I pasal I tentang guru dan dosen, dise-butkan bahwa dosen adalah pendidik pro-fesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada ma-syarakat. Maka sebagai agen pembelajaran di perguruan tinggi, dosen dituntut agar bisa profesional. Dan, menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan pors-inya.

Lebih lanjut, dalam bab tiga UU Sis-diknas juga disebutkan tiap dosen henda-knya mempunyai beberapa prinsip profe-sional. Di antaranya memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas dan memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai den-gan bidang tugas.

Sudah seharusnya dosen berkom-peten dalam bidang tugasnya masing-ma-sing. Namun, acap kali realita berbicara lain. Contohnya di kampus kita: IAIN Wal-isongo Semarang. Tak sedikit dosen yang mengampu mata kuliah yang tidak sesuai dengan bidangnya. Taruhlah ada seorang dosen dengan kompetensi Islamic studies tapi justru mengajar mata kuliah PKn atau Islam dan Kebudayaan Jawa.

Antara Profesionalitas dan Realitas

Namun demikian, mereka menga-jar dengan mengantongi ijin dari fakultas. Inilah yang menjadi problema yang terus menggurita. Di sisi lain, pihak kampus juga terkendala kuantitas dosen untuk menga-jar suatu mata kuliah.

PT sebagai pusat pendidikan, pengem-bangan, serta penyebaran ilmu pengeta-huan jangan sampai tak punya arti. Dunia kampus yang dijadikan lini terdepan un-tuk menelurkan pendidikan nasional yang bermutu tinggi jangan sampai tercoreng hanya karena tenaga pendidiknya belum profesional.

Untuk itu, birokrasi harus segera men-gambil kebijakan. Jika hal tersebut dibi-arkan berlarut-larut, disadari atau tidak mahasiswa yang akan terkena imbas-nya. Pengalaman penulis, tatkala seorang dosen mengampu mata kuliah yang bukan faknya, jika menerangkan suatu materi terlihat kagok, kurang inovatif, dan banyak bicara tapi tidak memahamkan. Tak ayal, tujuan pembelajaran pun menjadi bias. Tentu bukan itu yang diharapkan segenap civitas akademika IAIN Walisongo Sema-rang.

-Agus Sopar Abdurrochim, Director of Islamic Studies Labora-

tory Pesma PPDNA IAIN Walisongo Semarang

Oleh Agus Sopar Abdurrochim

Penulis punya cerita soal dosen di IAIN Walisongo Semarang. Dalam perkuliahan, ada dosen dengan ke-

biasaan kurang baik, seperti sering ganti jam kuliah dan sering masuk terlambat. Dosen tipe seperti ini, dikhawatirkan bakal menurunkan spirit mahasiswa. Tentu dosen tersebut punya niat baik, mem-berikan pengetahuan kepada mahasiswa di tengah tanggung jawab lain yang harus dilakoni.

Biasanya, dosen seperti itu bukan tan-pa alasan. Dosen punya banyak kesibukan selain menjadi pendidik mahasiswa. Pen-gamatan penulis, ada dosen yang sibuk di luar kampus, tapi kesibukan itu masih sejalan dengan keilmuannya. Misalnya, dosen pengampu mata kuliah komunikasi yang aktif di lembaga Komisi Penyiaran In-donesia (KPI). Artinya, dosen tersebut pu-nya kelebihan dan komitmen menjalankan tugasnya sebagai pendidik, ilmuwan, dan pengabdi kepada masyarakat.

Permasalahannya, bagaimana dengan dosen yang sering terlambat masuk kelas dan sering ganti jam kuliah karena kepent-ingan pribadi?

Tak hanya itu, ada juga dosen yang mengajar di luar kompetensi keilmuan yang dimiliki. Dosen dengan kualifikasi rumpun A mengajar mata kuliah rumpun B. Memang, di kelas dosen bukanlah se-galanya. Tetapi, dosen perlu menjadi pem-bimbing yang mampu meluruskan pema-haman yang keliru selama proses diskusi di kelas.

Menurut Mendikbud M. Nuh, guru dan dosen bisa mengajar di luar kualifikasi akademik yang dimilikinya asalkan masih satu rumpun.

Dosen perlu terbuka terkait segala hal yang menyangkut kegiatan akademik di kampus. Keterbukaan berpeluang besar

Perlu Berbenahmelahirkan pemahaman. Pemahaman disini jangan digunakan sebagai pemaafan atau saling maklum, namun harus digu-nakan sebagai awal berbenah diri menuju dosen yang profesional.

- Achmad Hasyim, Mahasiswa Jurusan Komunikasi

Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Walisongo

Oleh Achmad Hasyim

TEMA MENDATANG

Reuni Akbar Alumni Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,

Hari : Sabtu, 17 November 2012

Jam : 9.30 - selesai

Tempat : Aula II IAIN W.S

Acara : Reuni dan Sambung Rasa

dengan Fakultas Syariah

Dimohon infaq ke nomor rekening:

1350-00-1103133-0 an Muhammad Saifullah

(Panitia Reuni Fakultas Syariah)

Hadirilah...!!!

Page 15: Tabloid Amanat Edisi 119

1�AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

Kuis Asah Otak (KAO ) 07/2012Kupon KAO

(KAO) 06/2012

Ketentuan Menebak:1. Tulis jawaban di kertas, cantumkan

nama, alamat, foto kopi KTM/KTP dan nomor HP yang bisa dihubungi.

2. Masukkan ke dalam amplop, tempel kupon di sampul luar.

3. Kirim jawaban ke alamat redaksi: Gedung PKM Lantai 1 Kampus 3 IAIN Walisongo Semarang Jl. Boja-Ngaliy-an Km. 2 Semarang 50185.

4. Jawaban ditunggu paling lambat 30 Oktober 2012.

5. Pemenang akan diumumkan di Tab-loid Amanat edisi berikutnya.

6. Diambil 2 pemenang. Masing-masing mendapat buku menarik.

Pemenang KAO 05/2012Khusus edisi KAO 05/2012, semua pengirim KAO 05/2012 akan men-dapatkan reward dari SKM Amanat. Yang bersangkutan akan dihubungi via SMS. Pemenang tidak dipungut biaya apa pun.

REHAT

KARTUN

1 3 4 5 9.

2 6

7.

8.

10 11 12

13 14 15 16

17 18

19 20 21

22 23 24 25

26 27

Mendatar1. Daerah pemusatan penduduk

dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern

2. Berhubungan, bersangkut paut3. Kuno5. Judul, kepala6. Ketetapan hati7. Kacau (pikiran)8. Garis tengah10. Bagus, elok, cantik11. Perantara13. Papan bagi olah raga peseluncur15. Sakit ingatan17. Rubruk Tabloid Amanat hal. 1219. Sebutan kota Jakarta sebelum

kemerdekaan20. Perbuatan berbakti kepada Allah22. Tempat ibadat umat Hindhu24. Lolos26. Uni Emirat Arab27. Proses pengebalan

Menurun1. Ahli dalam seni boga3. Ramalan4. Berkata5. Buku acuan9. Pantai Utara Jawa10. Petapa di Biara11. Benda cair di sumur12. Bahasa Banyumasan14. Diantara mati dan hidup16. Ibukota negara Peru18. Dapat dipercaya

20. Khayalan21. Zat yang diperlukan tumbuhan

atau hewan untuk pertumbuhan.23. Kegunaan (Inggris)24. Perekat25. Komisi Penyiaran Indonesia

Note: untuk KAO edisi 06, terbit di dua tabloid, yaitu edisi 118 dan 119. Akan tetapi karena terjadi kesala-han soal pada edisi 118. Sehingga soal yang benar ada pada edisi ini.

Alfian

Page 16: Tabloid Amanat Edisi 119

1� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

RESENSI

Fikih Damai Kehidupan BeragamaJudul Buku : Fiqh Hubungan Damai Antarumat Ber-Agama ( Dalam Risalah- Risalah Sayyid Uthman Betawi)Pengarang : Dr. Ahwan Fanani, M.AgPenerbit : Walisongo PressKota Terbit:SemarangTahun Terbi t : Cetakan Pertama, 2011Tebal Buku :388 halamanResentator :Yestik Arum

Kehidupan Fikih hubun-gan antarumat beragama adalah pengetahuan mengenai hukum syar’i

yang berkaitan dengan hubungan amaliyah antara muslim dengan nonmuslim yang didasarkan anal-isis atas dalil-dalil syar’i melalui ijtihad dengan mempertimbang-kan aspek- aspek hermeneutis dan dalil- dalil syar’i tersebut ke-tika dipahami oleh pembacanya.

Buku Fiqh Hubungan Damai Antarumat Ber-Agama (Dalam Risalah- Risalah Sayyid Uthman Betawi) menguak pemikiran sayyid uthman mengenai konsep dasar fiqih hubungan damai an-tarumat beragama. Yang dimak-sud antarumat beragama dalam buku ini adalah hubungan an-

tarpemeluk agama. Perilaku lahiriyah antar manusia yang memiliki identitas keagamaan yang berbeda. Bukan hubungan antaragama yang bersifat abstrak (hlm. 41). Jadi tak ada kajian ma-salah akidah atau keyakinan.

Buku ini merupakan hasil disertasi penulis tentang karya-karya Sayyid Uthman yang di-rasa penulis perlu dibaca dan dikaji. Sebuah upaya yang lahir atas keprihatinan penulis ter-hadap berbagai kekerasan anta-rumat beragama yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Latar so-sial keagamaan sayyid uthman serta pandangan keagamaan sayyid uthman menjadi narasi di awal pembahasan buku ini.

Sayyid Uthman merupakan sosok ulama Nusantara ketu-runan Hadramaut yang berjasa dalam pengembangan Islam di Batavia pada peralihan abad ke-19 menuju abad ke-20. Karya-kary-anya banyak yang membahas dan menjawab berbagai persoalan hubungan antarumat beragama yang terjadi pada masanya.

Melalui buku ini, kita diajak memahami bagaimana konsep dasar hubungan antarumat be-ragama yang membawa pada titik perdamaian melalui risalah-ri-salah Sayyid Uthman Betawi. Pen-ulis memandang banyak karya yang dimiliki oleh intelektual nu-santara, tetapi karya-karya terse-but masih diragukan orisinali-tasnya. Hanya mengulang-ulang pembahasan yang telah ada.

Ulama nusantara masih tetap harus melakukan ijtihad untuk membumikan fiqih ke dalam berbagai konteks sosio-histo-ris masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pengkajian risalah-risalah Sayyid Uthman menjadi penting karena ia adalah tipologi ulama yang dinamis dalam mere-spon berbagai persoalan sosial.

Penulis menunjukkan, ad-anya dinamika dan upaya pem-baharuan dalam menyikapi re-alitas sosial politik yang tidak ideal berdasarkan cara pandang fiqih klasik dalam pemikiran Sayyid Uthman. Sayyid Uthman menempatkan bentuk relasi an-tara muslim dan non muslim

dalam perspektif hukum Islam.

Ada beberapa pokok persoa-lan mengenai fiqih hubungan antarumat beragama, seperti : 1). Tentang Riddah dan pernika-han, 2). Hukum sembelihan ahlul kitab, 3). Hukum mengambil har-ta nonmuslim, 4). Warisan non-muslim, 5). Mendoakan pemer-intah yang nonmuslim, 6). Jihad.

Dua Pilar

Konsep fiqih hubungan anta-rumat beragama Sayyid Uthman yang dibangun di atas dua pilar utama, yaitu konsep aman dan kemaslahatan. Keduanya meli-batkan aspek moralitas. Konsep aman tersebut berasal dari kon-sep fiqih mengenai perdamaian dalam relasi muslim dan non-muslim yang tercapai melalui perjanjian. Relasi tersebut beru-pa hudnah atau perjanjian damai antara komunitas atau negara Islam dengan negara nonmuslim.

Konsep aman yang dipakai Sayyid Uthman memiliki dam-pak dalam penciptaan negative peace. Kondisi tanpa kekerasan atau peperangan. Konsep ini berupaya mencegah (preventif) terjadinya kekerasan antarumat beragama. Konsep aman juga me-mungkinkan kondisi yang kon-dusif. Hanya saja konsep ini tidak membuahkan akulturasi budaya.

Konsep maslahat menjadi jembatan ketika konflik berke-camuk di antara muslim dan non muslim. Konflik berakar dari

tidak terpenuhinya kebutuhan yang mengakibatkan kemara-han dan ketidakpuasan. Ketida-kpuasan tersebut bisa menjadi siklus kekerasan ketika terjadi celaan terhadap pihak lain.

Perhatian kepada aspek ke-butuhan adalah langkah awal bagi penciptaan perdamaian karena kebutuhan bersifat ma-nusiawi. Ketika kebutuhan menjadi perhatian, muncul sisi kemanusiaan masing- ma-sing pihak yang berkonflik.

Dua konsep utama itulah yang ditawarkan Sayyid Uthman untuk dijadikan pilar dalam hubun-gan damai antarumat beragama.

Pembacaan karya-karya Sayy-id Uthman tentang hubungan an-tarumat beragama dilakukan se-cara das sein dan das solen. Das sein maksudnya, penulis hanya berusaha mengungkap aspek-aspek pemikiran Sayyid Uthman tanpa memberikan pengabsa-han benar atau salah di dalam-nya. Sedang untuk melihat rel-evansi dan kekurangan pemiki-ran Sayyid Uthman, pembacaan bersifat das solen. Yaitu penulis mencoba berbicara bagaima-na pemikiran Sayyid Uthman berbentuk dan diterapkan.n

Menulis itu menyenang-kan! Ya, ungkapan ini barangkali begitu populer di dunia tu-

lis-menulis dan bahkan telah men-jadi sebuah ‘semboyan’ bagi me-reka yang bergelut di dalamnya. Ia memuat sebuah motivasi sebagai maklumat sekaligus persuasi kepa-da khalayak umum untuk menulis. Begitu pun buku “Genius Menulis: Penerang Batin Para Penulis” ini, sama halnya mengajak kita untuk menulis serta menjadikannya se-buah kegiatan atau pekerjaan yang mengasyikkan.

Penulis buku ini yakin bahwa menulis itu mudah. Anggapan me-nulis merupakan bakat yang tak semua orang memilikinya sama halnya pentaklidan dari kesalahan berfikir (intellectual cul-de-sac). Beberapa hal sederhana sebagai pemantik serta motivasi bagi se-tiap orang untuk mengembangkan kemampuan menulis diantaranya dapat dilakukan dengan kemauan belajar, rajin membaca, mau ber-gaul dengan orang-orang yang le-bih mahir, dan sebagainya.

Lebih dari itu, hal mendasar yang harus dimiliki setiap orang dalam menulis adalah kepercayaan pada diri sendiri akan kemampu-annya. Mau mengekspresikan apa yang ada dalam diri. Kesulitan

Judul : Genius Menulis: Penerang Batin Para Penulis.Pengarang : Faiz ManshurPenerbit : Nuansa Cendekia, Bandung (Anggota IKAPI)Tahun : Cetakan I, Januari 2012Tebal : 288 Hlm.ISBN : 978-602-839454-3Harga : Rp 56.000Resentator : Rohman Kusriyono

maupun hambatan dalam menulis yang seringkali dialami para penu-lis pemula adalah hal wajar. Semua harus diperjuangkan penulis itu sendiri dengan menghadapinya tanpa kenal patah semangat. Ik-htiar itu di dalam buku ini disebut “melawan penyakit dalam”.Ke-Genius-an dan Strategi Menu-lis

Faiz Manshur mengajak kepada pembaca agar mau berproses me-nulis serta memotivasi mereka un-tuk memiliki kemampuan menulis hingga ke tahap “genius”. Pada ha-kikatnya setiap orang mempunyai kemampuan menulis-kan, kemam-puan ini tak berbeda dengan berbi-cara atau bercerita. Namun, untuk memiliki ke-genius-an dalam me-nulis, butuh kemauan serta latihan. “Genius” bukanlah istilah sakral, melainkan istilah untuk menyebut “orang yang memiliki kemampuan lebih dalam berpikir dan berkarya”. Artinya, upaya untuk memperoleh sebutan genius menulis atau ke-mampuan istimewa dalam penu-lisan, setiap orang patut memaksi-malkan potensi pemikirannya. Le-wat kemauan dan kerja keras akan mempermudah untuk mencipta karya luar biasa.(hal.29)

Seperti halnya pekerjaan lain, menulis juga butuh strategi. Se-buah rencana serta cara jitu dip-

Seberkas Suluh untuk Penulis

erlukan guna tercapainya tujuan sang penulis. Di bagian buku yang membahas “Pasar Buku dan Na-sib Penulis”, seringkali para penu-lis terutama pemula merasa galau bahkan jenuh lantaran karyanya tak banyak diminati orang. Upaya pemunculan kreativitas seolah-olah mandek bahkan mati. Maka beberapa pilihan yang perlu dila-kukan ialah mencoba jenis bidang penulisan lain. Misalnya jika telah terbiasa menulis karya sastra, tidak ada salahnya mencoba bidang lain. Apalagi jika ternyata di bidang lain lebih banyak diminati dan dibutu-hkan oleh banyak pembaca. Da-lam hal ini sesungguhnya tidaklah menyulitkan sang penulis lantaran hampir semua teori menulis tidak banyak perbedaannya asalkan pa-ham tipe pembacanya.

Dalam konteks zaman serta pa-sar yang terus berkembang. Seorang penulis perlu memahami pasar dan industri buku yang sesuai dengan masa kini. Pada pembahasan “Roy-alti dan Target Realistis”, kita akan diberi info hitung-hitungan kalku-lasi produksi buku juga royalti yang diterima sehingga mengerti bahwa sebagai penulis sejatinya bermitra dengan penerbit, bukan bertentan-gan dan tidak semata-mata egois memikirkan karya tulisan harus terbit menurut sudut pandang si

penulis. (hal.220)Profesi dan Prospek

Kegiatan menulis memiliki banyak manfaat. Tak hanya dira-sakan si penulis, manfaat tulisan itu juga dirasakan bagi pembaca, itulah kenapa ada yang menilai bahwa menulis merupakan tugas mulia. Dengan tulisan seseorang bisa membagi berita, pengetahuan maupun ilmu yang dimilikinya. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang membaca tulisan akan mepe-roleh apa yang tertulis di sana. Me-nulis sejatinya bisa dipergunakan sebagai upaya peningkatan kualitas individu.

Dari segi praktis-pragmatis, menulis menjadi kegiatan meny-enangkan sekaligus bisa menjadi sebuah profesi yang cukup men-janjikan. Para penulis baik pemula ataupun bukan, yang kadung suka pada buku-buku, majalah, surat ka-bar baik online maupun cetak, me-

reka merasa lebih dekat pada dunia penulisan hingga berhasrat untuk ikut andil menulis. Dari penulisan itu, tak terpungkiri nantinya ber-peluang menghasilkan royalti.

Beberapa bagian pembahasan buku ini barangkali hampir mirip buku-buku lain yang se-tema. Te-ori-teori penulisan banyak tergam-bar dengan cukup detail. Tak cukup hanya dengan teori, penulis meny-arankan hal mendasar yang harus dilakukan ialah segera menulis. Tak usah menunggu suasana hati atau mood itu datang, fokus kepada ide yang ada dan segera tuliskan. Iba-rat obor yang sudah di pegang, tak perlu menunda menyalakannya untuk menerangi sekeliling. Se-lamat menulis!n

Page 17: Tabloid Amanat Edisi 119

1�AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

SURAT PEMBACA

Solusi Kasus Mafia Beasiswa

MEMPERHATIKAN SKM Amanat ed-isi 118-Agustus 2012 yang berjudul “Men-gungkap Mafia Beasiswa,” saya akan sedikit membahas mafia beasiswa berdasarkan berita SKM Amanat tersebut dan berdasar-kan pengalaman saya sebagai mantan pengelola administrasi beasiswa Institut dan Fakultas selama lebih kurang delapan tahun.

Sekarang muncul pertanyaan, kenapa mafia beasiswa itu bisa terjadi? Pertama karena ada peluang/kesempatan. Kedua, karena ada penawaran dan permintaan. Di sini saya tidak akan membahas secara pan-jang lebar mengenai hal itu. Tapi saya akan mencarikan solusinya agar mafia beasiswa tidak bergentayangan, tidak menimbulkan gejolak dan tidak mencederai rasa keadilan diantara mahasiswa.

Solusinya sederhana, pertama, dalam penyeleksian lembaga kemahasiswaan sep-erti BEM, SMF, HMJ dan UKM tidak perlu dilibatkan. Kedua, dalam pengumuman nilai IPK diekspos secara transparan, dan jika ada seleksi tambahan seperti tes bahasa Arab dan Inggris, nilai tes bahasa tersebut digabungkan dengan nilai IPK lalu ditotal dan dibuat peringkat. Sekali lagi semua itu harus diumumkan dan diekspos secara transparan. Setelah mahasiswa dinyatakan lulus, baru persyaratan administrasi lainnya dipenuhi. Demikian semoga bermanfaat.n

MasdukiStaf Tata Usaha Fak. Syari’ah

MATA kuliah yang saya ambil jadwalnya benturan. Saya langsung menemui bagian akademik di kantor Fakultas Syari’ah untuk mencari kelas baru. Tapi, setelah mencari, ka-tanya kelas sudah penuh. Kelas dipenuhi mahasiswa angkatan 2012. Jumlah kuota maha-siswa angkatan 2012 memang lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, mohon bagian akademik mengusahakan penambahan kelas baru. Terima Kasih.n

Izatin Nikmah Mahasiswa Fakultas Syari’ah 2009

Butuh Kelas Baru

MAHASISWA terkadang kurang puas terhadap Hasil Studi Semester (HSS). Mahasiswa kerap bertanya-tanya. Seperti apa mekanisme penilaian dosen terhadap mahasiswa? Apa-kah faktor kedekatan antara dosen dan mahasiswa mempengaruhi nilai?

Faktanya mahasiswa yang dekat dengan dosen tetapi sebenarnya kurang memiliki kom-petensi dalam pembelajaran mendapatkan nilai lebih tinggi daripada mahasiswa yang memi-liki kompetensi, tetapi tidak dekat dengan dosen. Hal ini tentu menimbulkan kecemburuan sosial antar mahasiswa. Meski demikian, saya tetap mengakui, ada dosen yang menilai secara objektif.n

Danang Setiawan

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Prodi PGMI Semester 3

Dosen Perlu Objektif

BANYAKNYA kendaraan bermotor di Fakultas Tarbiyah tak diimbangi dengan terse-diaannya area parkir. Hal ini membuat kesulitan bagi pengendara untuk memarkirkan mo-tornya.

Tak ayal, banyak diantara mehasiswa yang parkir di jalanan. Contohnya jalan di depan gedung N. Padahal sejatinya jalan tersebut diperuntukan bagi penjalan kaki. Hal ini sangat mengganggu mahasiswa atau dosen yang melintasi jalan tersebut.

Selain itu, kondisi jalan yang miring mengakibatkan beberapa motor sering roboh berun-tun. Harusnya, disediakan tempat parkir yang memadai untuk kendaraan bermotor.n

Siti Ni’matunMahasiswa Fakultas Tarbiyah angkatan 2010

Minimnya Area Parkir Fakultas Tarbiyah

SAYA merasa kamar mandi yang ada di Fakultas Dakwah jauh dari standar kebersihan dan nilai Islam. Sebab toilet antara laki-laki dan perempuan menjadi satu. Hal ini menjadikan mahasiswa yang ingin ke kamar mandi atau toilet merasa kesulitan dan tidak bebas ketika berada di kamar mandi. Fakultas Dakwah seharusnya bisa mencirikan pribadi islami dengan memisahkan toilet antara laki- laki dan perempuan.

Perlu adanya penambahan toilet khusus laki- laki dan perempuan. Menjaga kebersihan bersama juga perlu digalakkan.n

Anisa Kusuma WahdatiMahasiswa Fakultas Dakwah

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam(KPI) Angkatan 2009

Kamar Mandi Khusus

KEBERADAAN perpustakaan sangat penting bagi suatu perguruan tinggi (PT). Me-ningkatnya kuantitas mahasiswa Fakultas Dakwah membuat ruang Perpustakaan Dakwah ramai dan sesak. Perlu mendapat perhatian dari pihak fakultas agar ruangan perpustakaan diperluas.

Ruang perpustakaan yang sempit memaksa mahasiswa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Saya berharap pihak fakultas segera melakukan perubahan demi kemajuan Fakultas Dakwah. Selain itu, buku yang menunjang perkuliahan juga perlu ditambah karena jumlahnya masih minim.n

MunirMahasiswa Fakultas Dakwah

Jurusan Bimbingan Konseling Islam (BPI) Angkatan 2011

Perluas Perpustakaan Dakwah

SAYA sangat kecewa ketika ingin mencari referensi untuk tinjauan pustaka. Skripsi-skripsi yang saya maksud sudah tak ada wujudnya. Hal ini dikarenakan ada sebagian ma-hasiswa yang berani mengambil tanpa sepengetahuan petugas perpustakaan.

Buku- buku yang ada di perpustakaan juga banyak yang hilang. Entah itu dihilangkan mahasiswa tanpa kembali atau memang benar-benar hilang. Hal ini menjadi masalah kru-sial.

Dengan adanya peristiwa ini, penting kiranya pihak fakultas membuat kebijakan atau peraturan tertentu agar kasus kehilangan tak lagi terulang. Mahasiswa hendaknya tidak diperbolehkan membawa tas ke dalam. Penunjangnya, haruslah jumlah lemari penitipan tas diperbanyak.n

Ilmi HidayatiMahasiswa Fakultas Dakwah

Jurusan Bimbingan Konseling Islam(BPI) Angkatan 2009

Banyak Buku yang Hilang

SAYA ingin mempertanyakan soal santunan dana Muawanah untuk kema-tian orang tua saya. Setahu saya, anggaran Muawanah berasal dari uang non SPP mahasiswa untuk dikembalikan kepada mahasiswa sebagai santunan ter-hadap mahasiswa yang terkena musibah, baik sakit maupun meninggal dunia.

Namun, penyalurannya sering bermasalah. Santunan Muawanah untuk kema-tian orang tua saya contohnya, hanya diberikan 500 ribu dengan diminta menandatan-gani nota kosong. Itupun sistem pembayarannya berbelit-belit dan diangsur dua kali oleh pihak DEMA. Padahal, teman saya yang sakit saja dapat santunan 700 ribu. Yang saya tanyakan, benarkah dana santunan untuk kematian itu hanya 500 ribu? Ironis.n

Isma, Mahasiswa Fakultas Dakwah

Dana Kematian 500 ribu

BEBERAPA gedung di IAIN Walisongo sudah lengkap dengan fasilitas hotspot area. Namun, ada satu tempat yang terlewatkan yaitu gedung pusat kegiatan maha-siswa (PKM) institut. Padahal, mahasiswa yang beraktivitas di gedung PKM tak sedikit.

UKM seperti SKM Amanat, tentu sangat membutuhkan fasilitas itu. Tak hanya Amanat, untuk keperluan administrasi dan akses jaringan semua UKM butuh. Setidaknya den-gan adanya fasilitas hotspot area, mahasiswa bisa menghemat biaya pulsa internet.

Ke depan, kami berharap agar Pusat Komunikasi (Puskom) IAIN Walisongo memberi-kan fasilitas itu. Terima kasih.n

Alvian A.Pengelola PKM Institut

PKM Institut Butuh Hotspot

SEBAGAI mahasiswa yang tak pernah lolos seleksi beasiswa, saya hanya ingin men-yampaikan keluhan beberapa kawan. Tidak apa-apa akademik saya hancur karena harus pontang-panting bekerja. Yang penting fakultas yang harus menanggung dosa!

Pengalaman selama menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo, pengumuman beasiswa di Fakultas Tarbiyah selalu mendadak. Taruhlah misal, hari ini pengumuman dipanjang sedan-gkan beberapa hari lagi sudah penutupan. Mahasiswa tentu kewalahan.

Ke depan, kami mohon kepada pihak fakultas hendaknya pengumuman itu dipajang lebih lama. Jika perlu pengumuman beasiswa diposting di website IAIN Walisongo.

Sudah tak zamannya lagi mahasiswa harus membaca mading di kantor dekanat. Kuno! Hendaknya kemajuan teknologi dimanfaatkan untuk kemudahan pelayanan.

Terima kasih.nAbdul Arif

Mahasiswa Tadris Matematika

Pengumuman Beasiswa Terlalu Mendadak

Page 18: Tabloid Amanat Edisi 119

1� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

VARIA KAMPUS

Minggu (23/9/2012) Surat Kabar Ma-hasiswa (SKM) Amanat mengadakan

Rapat Tahunan Dan Suksesi di gedung M Fakultas Syariah. Segenap kru dan alumni SKM Amanat turut andil dalam agenda yang berlangsung selama sehari.

Ketua Panitia Mukhlisin mengungkap-

Punggawa Baru Amanat

kan, kegiatan tersebut sebagai laporan pertanggung jawaban (LPJ) pengurus serta reorgan-isasi SKM Amanat.

Setelah pembacaan LPJ yang dipimpin Pemimpin Umum (PU) Khoirul Muzakki, acara di-lanjutkan pemilihan pemimpin baru. Melalui pemilihan yang demokratis terpilihlah pungga-wa baru, Abdul Arif sebagai PU SKM Amanat. Di bidang kereda-ksian, Akhmad Baihaqi Arsyad mendapatkan suara terbanyak untuk menduduki posisi Pe-mimpin Redaksi.

Di akhir acara, Abdul Arif mengung-kapkan, jabatan tersebut tidak pernah ter-lintas di benaknya. Namun, ia tetap opti-mistis akan membawa perubahan ke arah lebih baik bagi SKM Amanat. “Perubahan itu butuh kru yang solid,” tegasnya.n

Irma Muflikhah

Pusat Budaya dan Bahasa (PBB) IAIN Walisongo Semarang menyeleng-

garakan Talkshow Kebudayaan bertajuk “Membangun Budaya Unggul Bangsa, Menyelamatkan Indonesia” pada Rabu (19/9/1012). Acara yang berlangsung di gedung Auditorium I Kampus I ini dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan di IAIN.

Kegiatan yang dimoderatori Abdul Wa-hib dan Misbach Zulfa Elisabeth itu meng-hadirkan pembicara Prie GS, Mohamad Sobary, serta Radhar Panca Dahana.

Dalam pemaparannya, Radhar Panca Dahana mengungkapkan, bangsa Indo-nesia memiliki keunggulan yang beragam. Secara linguistik, bangsa Indonesia memi-liki kemampuan yang tak dimiliki bengsa lain. Setiap warga dapat dengan mudah mengucapkan bahasa asing. Hal ini menu-

Formulasi Budaya Unggul Bangsa

rutnya disebabkan kemajemukan bahasa tradisional yang dimiliki Indonesia.

Tidak hanya bahasa yang beragam, be-raneka ragam suku, kesenian dan budaya dari masing-masing daerah ini yang men-ciptakan identitas bangsa.

Sementara itu, menurut Mohamad So-bary bangsa Indonesia memiliki pribadi-pribadi unggul yang perlu disatukan dalam kebudayaan. Ia menyebutkan beberapa to-koh Indonesia yang memiliki karakter ung-gul. Harapannya, pribadi-pribadi unggul itu hendaknya dipalajari untuk memben-tuk karakter bangsa.n

Irma Muflikhah

Rabu (6/9/2012), bertempat di aula ge-dung Q Fakultas Tarbiyah Himpunan

Mahasiswa Matematika (HIMATIKA) IAIN Walisongo mengadakan halal bihalal dan ta’aruf. Acara yang berlangsung selama empat jam itu dihadiri seluruh dosen dan mahasiswa Tadris Matematika (TM). Hadir pula beberapa perwakilan dari IKAHIMA-TIKA (Ikatan Himpunan Mahasiswa) In-donesia.

Ketua umum HIMATIKA Abdilah Rah-man mengatakan, acara tersebut selain menjadi ajang saling memaafkan juga sebagai media orientasi mahasiswa baru TM. Selain itu, tambahnya, agenda terse-but juga sebagai media pengakraban ma-hasiswa baru dengan angkatan atas.

Orientasi Mahasiswa Matematika

“Kita menjadi saling mengenal,” ung-kapnya.

Dalam kesempatan itu, Kepala Prodi TM, Saminanto, mengenalkan tenaga pen-gajar serta memaparkan beberapa tata ter-tib di lingkungan prodi matematika kepada mahasiswa baru.

Pengurus dan program kerja HIMA-TIKA pun turut dikenalkan. Banyak pro-gram kerja yang membutuhkan partisipasi mahasiswa. Di sela-sela acara dikenalkan pula IKAHIMATIKA Indonesia. Acara di-pungkasi dengan salam-salaman.n

Irma Muflikhah

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Korp Suka Rela (KSR) IAIN Walisongo

menggelar latihan gabungan KSR se-Jateng beberapa waktu lalu. Acara yang bertajuk “Navigasi Darat dan Mitigasi Bencana” itu berlangsung di kawasan Medini.

KSR Petakan Bencana Medini

Suyanto dari Ungaran Mountain Res-cue dan beberapa anggota PMI Kota Semarang didapuk sebagai pemateri. “Materi dan teori disampaikan di kampus pada hari pertama. Praktiknya di daerah Medini,” kata Abdullah Khusairi salah satu

pengurus KSR IAIN Walisongo.

Peserta yang ikut pun memblu-dak. Tercatat ada sekitar 53 peserta dari berbagai kota dan kabupaten di Jateng. “Tahun lalu, latihan hanya di-lakukan di kampus. Sekarang kita li-batkan beberapa KSR di Jateng,” jelas Khusairi.

Saat di Medini, peserta memprak-tikkan cara membuat peta bencana. Objeknya adalah kawasan Medini. Data diambil langsung dari lapangan dan dari warga sekitar.n

Abdul Arif

Proses pembuatan peta bencana medini. Dok.KSR

Awal Juli 2012, IAIN sempat mendapat telepon dari Polsek Ngaliyan. Pihak kepolisian mengabarkan bahwa

ada motor milik IAIN Walisongo Semarang yang berada di Kapolsek.

Singkatnya, ada seorang tukang tambal ban menyerahkan motor ke Polsek karena sudah berhari-hari ditinggal di bengkel-nya. Dari hasil lacakan pihak Polsek, mo-

Motor Dinas SMI di Polsek NgaliyannMotor Dinas IAIN Walisongo Semarang

tor Supra Fit plat merah bernomor polisi H 9859 WY adalah motor dinas milik IAIN Walisongo Semarang.

Dosen Bina SKK Institut, Suwanto, menjelaskan, motor tersebut adalah motor dinas milik Senat Mahasiswa Institut (SMI) pemberian IAIN sebagai fasilitas tamba-han untuk SMI. Suwanto menambahkan, setelah mendapat kabar dari Polsek, IAIN langsung menghubungi Ketua SMI untuk segera diurus.

Minggu sore, (12/8) AMANAT men-datangi bengkel tambal ban sebelah utara SDN Tambak Aji, jalan Boja-Ngaliyan. Widodo, pemilik bengkel menceritakan, beberapa hari lalu ia dititipi motor oleh se-seorang tanpa transaksi yang jelas. Sampai berhari-hari, motor tersebut belum juga diambil. Karena khawatir, motor tersebut langsung diserahkannya ke pihak yang berwenang.

“Saya khawatir kalau itu nanti ternyata curanmor, jadi saya langsung bawa ke Pol-sek Ngaliyan” terang Dodo.

Setelah dikonfirmasi, ketua SMI Ab-durrohman membenarkan hal tersebut. Namun bukan dirinya yang membawa mo-

tor tersebut saat kejadian. Ia menjelaskan, motor tersebut mulanya dipinjam oleh ket-ua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Khoirul Anam. Karena terburu-buru ada acara luar kota, Anam menitipkannya di bengkel tambal ban dan meminta seorang teman untuk mengambilnya. Ternyata te-man Anam lupa mengmbilnya dan ia se-dang tidak berada di Semarang.

“Jadi motor dinas SMI berhari-hari di bengkel tambal ban”, jelasnya.

Akhir Agustus kemarin, motor tersebut baru selesai diurus. Narso, anggota Reserse Kriminal (Reskrim) mengatakan, motor tersebut sudah diambil yang berwenang beberapa hari sebelum lebaran.

Setelah kejadian itu, tambah Durrohm-an, motor dinas SMI dan DEMA segera di-tarik oleh IAIN. Dan atas permintaan SMI dan DEMA sebelumnya, IAIN memberi-kan motor dinas yang baru.

“Sekarang motor lama ditarik dan sek-arang sudah diganti yang baru”, ungkap Durrohman sambil menunjukkan motor baru pemberian IAIN itu.

Durrohman menambahkan, dari pihak Kapolsek tidak ada sanksi pidana apa pun

karena hanya kejadian miss communica-tion. Sedangkan dari pihak IAIN memberi imbauan agar lebih baik dalam meman-faatkan fasilitas yang diberikan.

Kasus penelantaran motor dinas SMI bukan kali ini saja terjadi. Aktivis Walison-go Sport Club Ahmad Anik mengatakan, dahulu, sekitar bulan November 2011, motor plat merah tersebut pernah ditel-antarkan di Warung Internet (Warnet) di seputar kampus selama seminggu lebih. Setelah seminggu lebih, pihak warnet menghubungi birokrasi IAIN untuk men-gurus motor tersebut.

“Tak tanggung jawab,” sesal Anik.

Masalah motor dinas tak terhenti pada kasus penelantaran. Mantan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga Saidun tak kaget mendengar berita tersebut. Ia terbiasa mendengar kasus motor dinas tersebut. Kasus lain misalnya, periode dahulu, ia pernah memeriksakan salah satu motor plat merah ke bengkel. Tak dinyana, me-sin motor honda tersebut ternyata sudah diganti dengan mesin China. “Mahasiswa sudah belajar korupsi.”n

-- Akhmad Baihaqi Arsyad

Polisi menunjuk motor dinas SMI di kantor Polsek Ngaliyan

Ipan

k/ A

man

at

Page 19: Tabloid Amanat Edisi 119

19AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

Internet Sepi PengunjungInternet Perpustakaan Institut kian sepi. Perlu perbaikan manajemen.

SKETSAINTERNET KAMPUS

Suasana ru-ang internet siang itu tam-pak lengang.

Bangku komputer se-bagian besar kosong. Hanya tampak beber-apa mahasiswa yang sedang mengopera-sikan internet. Kon-disi tersebut diakui Muhammad Ridwan, salah seorang pen-gunjung, akhir-akhir ini, ia mengaku tak pernah mengantre untuk mendapatkan jatah tempat duduk. Ia mengenang, beberapa bulan lalu, betapa su-litnya menggunakan internet kampus kare-na harus mengantre terlebih dahulu.

“Tak perlu antre lagi”, tuturnya

Fenomena terse-but menjadi hal lumrah saat ini. Lengangnya kondisi ruang internet kam-pus berbanding lurus dengan penurunan jumlah pengguna internet kampus. Hal itu disadari benar oleh Miswan, Kepala Pengelola Internet Perpustakaan Institut. Ia membenarkan penurunan tingkat pen-gunjung internet dengan berpatokan pada data statistik perpustakaan yang mengin-dikasikan penurunan itu sejak beberapa bulan lalu.

Operator internet kampus Nur Yadi turut membenarkan hal tersebut. Ia mem-benarkan sepinya kondisi ruang internet, terutama di waktu pagi. Namun ia men-gamati, situasi lengang itu hanya terjadi saat pagi sampai siang. Ketika menjelang sore, tepatnya lewat pukul 14.00 WIB, ma-hasiswa masih banyak berdatangan.

Yadi menebak fenomena tersebut se-bagai buah dari kebijakan pengelola yang membatasi akses Facebook hanya pada jam-jam tertentu. Yaitu, setelah lewat pu-kul dua siang. Padahal, pembatasan itu dimaksudkan untuk kemaslahatan maha-siswa agar tidak menyalahgunakan inter-net di luar kepentingan akademis.

“Kebanyakan mahasiswa hanya meng-gunakan facebook”, tutur pria asal sema-rang tersebut.

Kebijakan pembatasan akses facebook bagi sebagian mahasiswa dirasa aneh. Seperti dituturkan mahasiswa Fakultas Tarbiyah Tri Supriyanto, menurutnya, sah-sah saja mahasiswa mengakses facebook. Baginya, facebook sekadar hiburan dan selingan untuk menyegarkan pikiran di sela-sela mengakses informasi atau tugas kuliah.

Kepala Pusat Komputer (Puskom) Nur Cahyo mengatakan, tak ada salahnya mahasiswa menggunakan internet untuk facebook. Menurutnya, facebook tak me-lulu berefek negatif, mahasiswa juga bisa mendapatkan informasi lewat jejaring sos-ial tersebut. Ia menyebut, tak hanya maha-siswa yang mengakses facebook.

“Dosen atau pegawai juga facebook-an

Efek HotspotSebenarnya, internet perpustakaan in-

stitut merupakan fasilitas yang disediakan secara gratis kepada mahasiswa. Namun, karena keterbatasan jumlah komputer tak mampu menjangkau kebutuhan seluruh mahasiswa, maka penggunaannya diatur atau dibatasi. Penggunaan internet un-tuk tiap mahasiswa dibatasi sepuluh jam persemester, atau senilai 50.000 dalam sistem preepaid.

Mulanya, memang tak dipungkiri, em-pat puluh lima buah komputer tak imbang dengan antusiasme mahasiswa yang ingin menggunakan internet. Setiap hari, ruan-gan selalu disesaki oleh antrian panjang mahasiswa. Keadaan demikian membuat sebagian mahasiswa lebih memilih tidak menggunakan fasilitas internet karena ha-rus mengentre terlebih dahulu. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Faisal mengaku, selama empat semester belum pernah menggu-nakan fasilitas internet karena keadaan in-ternet kampus yang selalu antre.

“Malas antre,” kenangnya. Kini, Faisal tetap tak menggunakan

fasilitas internet perpustakaan institut. Kali ini bukan lantaran antrean panjang seperti keadaan dulu. Namun, karena bisa mengakses internet secara bebas di se-tiap sudut kampus dengan menggunakan media laptop. Ya, penyediaan area bebas internet atau hotspot di berbagai tempat strategis kampus diklaim sebagai salah satu pemicu penurunan tingkat penggu-naan internet perpustakaan institut.

Hal tersebut diamini Miswan, saat ini mahasiswa cenderung lebih banyak me-manfaatkan fasilitas hotspot yang telah disediakan IAIN. Apalagi, mahasiswa ja-mak yang memiliki laptop sendiri. Sehing-ga, mereka lebih memilih untuk mengak-ses internet sendiri ketimbang mendatangi internet perpustakaan.

“Mahasiswa sudah banyak yang memi-liki laptop sendiri”, tutur dosen manajemen perpustakaan itu.

Penurunan tingkat kunjungan internet perpustakaan bukan berarti penurunan kebutuhan mahasiswa terhadap media internet. Kondisi lengang internet per-pustakaan berbanding terbalik dengan suasana area hotspot di setiap sudut kam-pus yang selalu ramai.

Salah satunya, Tri Supriyanto, maha-siswa semester enam ini mengaku hampir setiap hari menghabiskan waktu di are a hotspot. Ia merasa diuntungkan terhadap keberadaan hotspot karena dapat mengak-ses internet secara bebas setiap saat. On-line di area hotspot baginya lebih praktis, karena di samping tempatnya yang mudah dijangkau, juga tak dibatasi waktu seperti di internet perpustakaan institut.

Ia menambahkan, keberadaan internet perpustakaan di kampus tiga menyulit-kan mahasiswa, terutama Fakultas tarbi-yah dan Ushuludin untuk menggunakan fasilitas tersebut. Makanya, keberadaan area hotspot dirasa sangat membantu ma-hasiswa terutama yang berlokasi jauh dari internet perpustakaan.

PemulihanPenurunan tingkat kunjungan maha-

siswa di internet perpustakaan tak mem-buat Miswan tinggal diam. Ia terus mengu-payakan agar tingkat kunjungan tersebut kembali naik. Ia berencana akan mengu-sulkan penghapusan pembatasan peng-gunaan internet di perpustakaan institut. Sehingga, mahasiswa dapat menggunak-an fasilitas internet perpustakaan tanpa terbatas waktu seperti sebelumnya.

“Nanti tak ada lagi pembatasan”, ung-kapnya.

Rencana itu disambut baik mahasiswa. Seperti dituturkan M. Asrori, menurut-nya, jatah waktu sepuluh jam persemester untuk tiap mahasiswa belum bisa menga-

komodir kebutuhan ma-hasiswa. Baginya, internet sangat penting karena bisa membantu menyelesaikan tugas akademik maha-siswa.

Di samping pembatasan jam internet, ia juga me-nyayangkan kelambatan ak-ses internet perpustakaan. Sehingga, mahasiswa membutuhkan waktu yang lama saat menggali data di internet. Makanya, ia ber-harap, di samping peng-hapusan pembatasan jam, kecepatan akses internet perpustakaan mesti dit-ambah sehingga memu-dahkan mahasiswa dalam mendapatkan banyak in-formasi.

“Internet perpus lam-bat”, ujar Asrori.

Terkait hal itu, ketua Puskom Nur Cahyo mene-pis, tak ada masalah den-gan kualitas akses internet perpustakaan.

“Kualitas akses internet perpustakaan baik”, ungkap Nur Cahyo.

Tak cukup dengan penghapusan jam, Miswan membawa gebrakan baru. Miswan akan mengusulkan pembatasan penggu-naan hotspot bagi mahasiswa. Mahasiswa akan diberi jatah waktu beberapa jam dalam menggunakan fasilitas hotspot.

“Hot spot akan dibatasi”, ungkapnya. Kebijakan itu tak lepas dari penilaian,

penurunan tingkat kunjungan internet perpustakaan akibat dibukanya area bebas hotspot.

Belum sampai kebijakan itu diterapkan, wacana pembatasan hotspot mengundang reaksi sebagian mahasiswa. Reaksi itu salah satunya datang dari ketua Senat Ma-hasiswa Institut (SMI) Abdul Rahman, ia dengan tegas menolak pembatasan peng-gunaan hotspot karena akan merugikan mahasiswa.

“Jangan sampai ada pembatasan,” tambah mahasiswa semester enam itu.

Hal senada diungkapkan Iliana Rosy-ida, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah jurusan Kependidikan Islam. Menurutnya, pem-batasan penggunaan hotspot akan me-nyulitkan mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan akademiknya.

“Pembatasan akan mempersulit maha-siswa”, kata mahasiswa asal semarang itu.

Nur Cahyo membenarkan adanya wa-cana pembatasan area hotspot.Namun, ia mengklarifikasi, pembatasan hanya akan diterapkan di area perpustakaan institut. Sedangkan di area hotspot lain tidak akan ada pembatasan.

Ia menambahkan, fasilitas hotspot dapat digunakan selama dua puluh empat jam oleh mahasiswa. Jika suatu saat inter-net tidak bisa digunakan, itu lantaran lis-trik dimatikan oleh pengelola internet di area tersebut.

“Internet dapat diakses 24 jam,” tam-bahnya.n

Arif Khoirudin

Suasana Internet Perpustakaan Institut, banyak meja kosong

Arif Khoirudin/Amanat

Page 20: Tabloid Amanat Edisi 119

�0 AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

CERITA PENDEKCERITA PENDEK

Di Sebuah Kamar Hoteln Cerpen Hammidun Nafi’ S

Baiklah, mari kita mulai dari sini. Dari gang sempit sebelah apartemen mewah. Jay me-nyusuri jalan yang menyerupai

lorong gelap. Menyeberangi jalan raya kemudian masuk gang lagi.

Sudah hampir jam tiga pagi. Jalan makin sepi.Tak banyak mobil berkeliaran. Hanya ada beberapa mobil sempoyongan setelah keluar dari tem-pat hiburan malam. Jay mempercepat langkah.

hotel eks.Nama hotel itu dicetak dengan

huruf kecil. Jay masuk ke hotel itu.“Kamar penuh!” kata pria kekar

berjaket hitam di meja resepsionis.Jay merogoh saku celana dan

mengeluarkan kertas putih. Ada be-berapa kalimat di kertas itu, termasuk yang diucapkan pria tadi. Jay membaca kalimat seterusnya.

“Sapi melompat-lompat.”“Sapu lidi!” balas pria itu.Jay kembali membaca tulisan di

kertasnya.“Nasi sudah menjadi bubur.”“Kata sandi diterima, silakan

masuk.”Mereka menuju sebuah kamar.“Masuklah.”Pria itu kembali ke lobi. Jay

masuk ke kamar. Sudah ada beberapa orang di sana.

“Namamu Jay, benar?”“Benar Pak.”“Duduklah.”“Terimakasih.”“Roy bilang kamu pandai me-

manjat?”“Benar Pak.”“Jadi, kamu sudah tahu untuk apa

kamu di sini?”Jay menggelengkan kepala.”Kamu tahu kenapa Roy tak ada

di sini?”Jay menggelengkan kepala lagi.“Ha ha ha ha ha ha, uhk, uhk,

e’ehm, ha ha ha ha.”Lelaki itu berdiri. Di sabuknya

menggantung pistol. Jay baru melihat-nya, sebab sejak tadi pria itu duduk di balik meja. Jay gugup. Pria itu mengelus pistol di pinggangnya. Barreta 92.

“He anak muda!!! Sini, berdiri!”Jay gugup. Lelaki itu menarik

Barreta 92 dari kantungnya. Jay me-noleh kanan kiri. Nyalinya semakin ciut sebab yang dilihatnya malah para lelaki botak berwajah garang dan tak pernah tersenyum.

“He!!! Sini cepat!”“Maaf pak, maaf, saya tidak

melakukan apa-apa. Sa,,sa,, saya tidak tahu apa-apa.”

“Ha ha ha, tenang anak muda, jangan takut. Pistol ini bukan untuk melukai orang. Ini hanya untuk menjaga diri. Aku tadi hanya menakutimu, ha ha ha.”

Jay mengusap keringat di da-hinya.

“Begini, saudaramu Roy adalah orang yang paling pandai memanjat. Kami butuh orang seperti itu untuk pekerjaan yang kami lakukan. Sekarang dia aku tugaskan ke luar kota. Semen-tara di sini kamu yang menggantikan tugasnya. Kamu benar pandai memanjat kan?”

Jay mengangguk. Wajahnya ma-sih gugup.

“Baiklah, besok akan ku jelaskan banyak hal. Sekarang istirahatlah.”

“Oh, iya. Panggil saja aku Hektor.”Jay mengangguk. Hektor dan

beberapa orang kekar itu keluar kamar. Jay tak habis pikir. Apa hubungan antara pandai memanjat dengan semua yang terjadi tadi. Pekerjaan macam apa yang akan ditanganinya nanti. Kenapa pula Hektor membawa pistol.

“Apa dia itu penjahat? Sial, Roy menjebakku.” Jay curiga.

Jay yakin betul dirinya telah masuk tempat yang salah. Yang kini dia pikirkan adalah bagaimana cara me-larikan diri. Ya, dia punya dua pilihan; melarikan diri atau menjadi anak buah

penjahat. Jay lari ke pintu.“Sial, pintunya dikunci.”

***Di lantai hotel eks paling atas, be-

berapa pemuda berpakaian serba hitam duduk melingkar. Jay juga ada di sana.

“Di antara kita ada anggota baru. Namanya Jay,” kata Hektor sambil tan-gannya menunjuk Jay. Semua perhatian tertuju pada Jay.

“Dia menggantikan tugas Roy dan menjadi rekan Brada.”

Pria berkumis tipis melirik Jay sambil tersenyum. “Jangan senyum dulu Brad! Tugasmu kini mengajarinya banyak hal!” Hektor memotong senyum Brada.

“Baiklah, aku tingal dulu, operasi nanti malam harus sukses!”

Hektor melenyap. Disusul beber-apa orang yang tadi duduk melingkar. Mereka semua mempunyai ciri khas. Ada yang terus menunduk. Ada yang pendiam. Ada yang memakai kaca mata hitam. Ada yang selalu mengepulkan asap rokok. Ada yang tangannya dima-sukkan saku celana. Ada juga yang kalau berbicara seperti orang berpuisi.

Sedangkan Brada, dia biasa saja.

Hanya tinggal mereka berdua di tempat itu.

“He, aku masih tak mengerti, pekerjaan macam apa ini sebenarnya?” tanya Jay.

“Pekerjaan yang menyenangkan.”“Iya, apa?”“Mengambil uang orang!”“Ha!!? Mencuri maksudmu?”“Begitu juga boleh.”“Tidak, tidak, kalian salah orang.

Aku tidak mungkin bisa melakukan itu.

Aku bukan pencuri!”“Persis seperti yang aku katakan

kepada Hektor dulu.”“Bukan, bukan, ini beda. Aku ti-

dak mungkin melakukan pencurian.”“Bagaimana jika aku me-

maksamu?”“Tidak! aku akan pulang.”“Tidak Jay, kau harus tinggal!”“Tidak! aku mau pulang.”“He Jay! Aku ingatkan. Kau tahu

apa yang menggantung di ikat pinggang Hektor? Bagaimana jika dia menarik pelatuknya dan mengarahkan ke kepal-amu? Akan hancur berkeping kepalamu itu.”

Jay terdiam. Dia merinding setelah membayangkan sesuatu.

“Sebaliknya Jay, kau akan aman jika menuruti kata-kataku.”***

“Ingat! Kamar C7 brankas cokelat. Oke? Aku akan naik duluan.”

Brada memanjat tembok, melom-pati jendela, bergelantungan di pipa saluran air, berhenti di sebuah celah di atas jendela.

“Psst, psst, Jay, tangkap talinya,”

bisik Brada sambil menjulurkan tali.“Naiklah!”“Sulit!”“Pakai Ascender itu!”“Apa? Ascender? Apa itu?”“Itu yang seperti catut.”Jay mengeluarkan benda seperti

catut dari tas. Menjepitkan ke tali, men-dorong ke atas kemudian menaikkan tubuhnya perlahan.

“Woi, lama sekali.”“Apa kau yakin? Kita akan men-

curi?”“Sudah, jangan banyak cakap.

Mana tasnya?”Brada melubangi jendela dengan

alat seperti bolpoin.“Ayo masuk.”“Sebentar! Kenapa kita mencuri

uang orang?”“Percayalah, yang kita lakukan ini

benar.”“Tidak! Aku tidak yakin.”“Baiklah, soal itu, kau tanyakan

besok pada Nick. Sekarang bantu aku dulu.”

“Tapi.”“Cepat atau kita tertangkap!”

***Sebentar, aku belum bercerita

tentang hotel eks. Sebenarnya itu bukan hotel. Tak sembarang orang bisa masuk. Sebab di bagian resepsionis siap berjaga lima pria bertubuh kekar dan ketika ada orang datang mereka selalu berkata “Kamar penuh”. Yang tidak tahu kalau itu sebenarnya sandi akan keluar dan mencari hotel lain.

Di lantai paling atas, kamar pojok kanan disebut kamar pengintai. Hanya ada dua orang di dalamnya. Yang satu berkaca mata, dan yang satu tidak. Ada banyak komputer di ruangan itu.

“Maaf, bisa bertemu dengan Nick?” Jay memanggil dari sela pintu kaca.

Pria tak berkaca mata menoleh.“Masuklah. Ada apa?”“Bisa jelaskan kenapa kita harus

mencuri?”“Siapa yang menyuruhmu?”“Brada.”“Siapa bilang kita mencuri?”“Mengambil milik orang, bu-

kankah itu mencuri?”“Apa kau yakin, yang kau ambil

itu miliknya?”“Kalau bukan, lantas milik siapa?”“Yang kau ambil semalam itu

milik orang banyak. Kita mengambilnya untuk dikembalikan kepada banyak orang.”

“Tapi, bagaimana kamu bisa ya-kin itu bukan miliknya?”

“Kalau itu, bukan tugasku untuk mencari tahu.”

“Lalu siapa?”“Orang itu,” tangan Nick menun-

juk pria di depan komputer yang selalu mengenakan kaca mata.

“Tanya saja dia.”“Baiklah. Em, sebentar.”“Apa lagi?”“Pertanyaan terakhir. Apakah

Hektor pernah membunuh orang den-gan pistolnya?”

“Ha ha ha ha ha.”“Kenapa tertawa?”“Ha ha ha. Itu bukan pistol sung-

guhan!”

Page 21: Tabloid Amanat Edisi 119

�1AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

Oleh Irma Muflikhah

n Gamelan

Perkembangan alat musik modern tak mematikan gamelan. Dengan keunikannya, karya adiluhung Jawa itu punya potensi untuk dinaikkan.

Eksistensi yang Teruji

Suasana hening memenuhi salah satu ruangan Laboratorium

Dakwah. Debu tebal tampak menyelimuti beberapa pe-ranti musik tradisional Jawa yang terpajang di ruangan tersebut. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan minimnya perhatian sivitas akademika dalam meng-gunakan peranti tersebut. Seperti diakui mahasiswa Fakultas Dakwah Puji, ia mengaku sering melihat ru-angan itu kosong.

“Hanya ada alat musiknya saja,” ungkapnya.

Padahal, menurut penu-turan Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Dakwah Ahmad Anas, fasilitas alat musik tradisional Jawa atau gamelan itu diperun-tukan bagi seluruh sivitas akademika di IAIN. Sehingga, setiap maha-siswa berhak menggu-nakannya. Sayangnya, ia mengeluhkan, jarang mahasiswa yang berkenan berlatih gamelan di Fakultas Dakwah.

Di sisi lain, ia menilai, kurang-nya minat mahasiswa terhadap gamelan dikarenakan tidak ad-anya pelatih khusus yang bisa mendampingi mahasiswa dalam menggunakan gamelan. Pelatih hanya didatangkan ketika ada acara tertentu.

“Mereka harus berlatih send-iri,” jelasnya.

IAIN Walisongo memang mengembangkan alat musik gamelan dan memberikan kes-empatan pada mahasiswa untuk memanfaatkannya. Keberadaanya di Fakultas Dakwah, menurut Anas, diilhami dari fungsi gamelan sebagai media yang digunakan Walisongo untuk berdakwah me-nyebarkan Islam.

Terlepas dari keberadaan-nya di Fakultas Dakwah, gamelan merupakan budaya Jawa yang dikembangkan sejak zaman prase-jarah. Dalam perkembangannya, saat Islam masuk ke Indonesia, para Walisongo memodifikasi dan mengembangkannya sebagai me-dia dakwah. Bukti catatan tersebut paling tidak bisa dijumpai dalam gambar instrumen musik dan peristiwa musikal pada dinding-dinding candi dan monumen di beberapa daerah di pulau Jawa. Salah satunya, di candi Borobudur, terdapat beberapa relief yang menggambarkan beberapa pera-latan musik tradisional, seperti kendang dan suling.

Gamelan memiliki keunikan tersendiri sebagai alat musik tra-disional. Gamelan jawa terdiri dua laras yaitu laras Slendro yang me-miliki lima nada per oktaf dengan perbedaan interval kecil berbeda dengan laras pelog dengan tujuh nada per oktaf serta perbedaan in-terval besar.

Alat musik gamelan terdiri dari bonang, gender, kenong, balun-gan, sarong, penerus, kendang, gong, peking, rebab, serta kethuk.

Masing-masing, seperti dijelaskan Anas, memiliki makna filosofi bagi kehidupan manusia. Misalnya, gong yang terdiri tiga buah beru-kuran kecil, kecil, besar menggam-barkan perjalanan hidup manusia mulai kecil hingga besar. Nada Ting Ting Tong Der yang terakhir dimaknai suatu klimaks dari per-jalanan hidup. Apatisme

Di era globalisasi, dalam mempertahankan eksistensinya, gamelan mesti berkompetisi den-gan gempuran ragam alat musik modern. Sayangnya, dalam kondisi tersebut, Anas menam-bahkan, sebagian pemuda tidak memiliki semangat untuk menjaga dan mengembangkan eksistensi gamelan.

Sebaliknya, mereka lebih me-nyukai alat musik modern dan meninggalkan gamelan yang merupakan kekayaan budaya lokal. Meski demikian, Anas meyakini, seni gamelan tak mudah hilang karena memiliki karakter dan cita rasa tersendiri di banding alat musik modern

Pegiat seni gamelan Semarang Irvan mengamini hal tersebut. Menurutnya, pemuda lebih me-nyukai alat musik modern karena dinilai memiliki prospek yang lebih menjanjikan.

“Mereka takut dikatakan ku-per,” jelasnya.

Di samping itu, tingginya harga instrumen gamelan juga diklaim turut membuat alat musik tersebut tak diminati. Hal tersebut wajar mengingat harga bahan baku gamelan, kuningan, memang ma-hal.

“Satu set gamelan bisa menca-pai ratusan juta,” unkap Irvan.

Kondisi tersebut, menurut Irvan, memaksa pemerintah ha-rus mengambil tindakan. Peran pemerintah dibutuhkan untuk memopulerkan dan mengem-bangkan seni gamelan di ranah

masyarakat. Salah satunya, lewat jalur pen-

didikan. Pendidikan, dinilai Irvan, merupakan proses transformasi ke-budayaan, di samping pengetahuan. Maka, pendidikan turut bertanggung jawab dalam melestarikan budaya bangsa. Sejak dini, anak mestinya diperkenalkan dan dididik untuk melestarikan seni gamelan.

“Anak mesti dilatih sejak dini,” tandasnya.Perpaduan

Seni gamelan memang belum mati. Keberadaannya terus diper-juangkan oleh sejumlah kalangan untuk mengangkat budaya lokal tersebut. Menariknya, beberapa kalangan mengembangkan instru-men musik Jawa tersebut dengan cara mengkolaborasikannya den-gan instrumen musik modern. Beberapa kelompok musik, seperti, Kyai Kanjeng, besutan M.H Ainun Najib, memadukan gamelan dengan alat musik modern sebagai corak musiknya.

Fenomena tersebut menurut Irvan sah-sah saja. Bahkan, ia me-nilai hal itu sebagai buah kreativitas untuk melestarikan gamelan dengan cara yang lebih inovatif. Perpaduan itu, menurutnya, tidak akan meng-hilangkan nuansa etnik musik gamelan. Hanya saja, disesuaikan dengan selera atau telinga masyara-kat kini yang cenderung menyukai musik modern.

“Jika ingin digemari masyarakat, harus mengikuti selera mereka,” tuturnya.

Pun, tambah Irvan, kolaborasi musik tersebut di samping bisa mengangkat eksistensi seni gamelan, juga akan menambah nilai jual kare-na keunikannya. Sebab, tidak bisa dipungkiri, menurutnya, seniman sekarang di samping butuh ruang untuk berekspresi, juga membutuh-kan pangsa pasar atau uang.

“Seniman juga butuh uang,” terangnya. n

Suasana sepi di ruang seni gamelan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo

SASTRA BUDAYASASTRA BUDAYA

n Sajak-sajak Irma Muflikhah

Steril Hatiku terenyuh pada segelas air yang kau suguhBukan kopi yang kau campur nikotin sampahAtau susu yang kau seduh dengan nanahSebening kala dinding-dinding matamu pecah Kemudian aku berkaca pada setiap retakanKali ini aku imanTiap teguk yang kutelanBersihkan tiap jengkal luka yang tertanam

Semarang, September 2012

Berlinang KunangKatanya, ia dari suku matiEntahlah, bukan asal usulmu yang kucariAku suka kau seperti iniSeperti kunang Saat lain sibuk besenggama di emperan malamKau malah nyalakan tubuhmu saat kelamKepakkan sayap lintasi sunyiSaat kau kehabisan malam, dan sunyi hilang

Hai, jangan lekas kau padamSebenarnya sunyi berpindah kesini Malam berotasi di siniTerbanglah ke dadaku

Pancar pelita dalam remang batinkuBeri kisah tentang cahayaDi situ ada yang tertidurBiar ia bangun

Banjarnegara, September 2012

Laknat Dewan yang terhormatDi bawah kursi emasmuTerjerat hutang rakyatDi bawah mobil mewahmuTerinjak bangsa yang melarat

Tinjamu yang kau bangunkan istanaBarangkali lebih terhormat Dibanding mengangkatKehormatan si miskin

Yang kau ludahi dengan raskin

Semarang,Agustus 2012

SesatKau selalu berkisah surgaWajah TuhanBidadari yang selalu perawanPenghuni yang semua rupawanTelaga maduSungai arakIstana tanpa pajakMakan tanpa berakBukankah,Jalan yang kau tuju neraka

Semarang, September, 2012

Irma Muflikha, Lahir di Banjarnegara, 03 Oktober,Aktif di Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang danSKM Amanat IAIN Walisongo Semarang

Page 22: Tabloid Amanat Edisi 119

�� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

Riwayat Pendiri SemarangSunan Pandanaran merupakan pendiri sekaligus maskot kota Semarang. Riwayat dan peninggalannya terlupakan.

Oleh M. Arifin

Makam Sunan Pandanaran I Semarang

CERMIN SUNAN PANDANARAN

Nama “pandanaran” bukan hal asing bagi warga kota Semarang. Istilah yang diambil dari sebutan tokoh pendiri

kota Semarang, Sunan Pandanaran, tersebut kini dipakai sebagai nama sebuah jalan dan gedung di kawasan Tugu Muda. Namun, popularitas nama “Pandanaran” tersebut tak sebanding dengan pengetahuan masyarakat ihwal riwayatnya.

Riwayat Sunan Pandanaran, atau Ki Ageng Pandanaran memang lekat dengan Sejarah kota Semarang. Ia dikenal sebagai tokoh pendiri sekaligus pemberi nama kota “Semarang”. Salah satu versi sejarah menyebutkan, kota Semarang mulanya adalah sebuah pulau bernama Tirang. Karena di pulau tersebut banyak tumbuh pohon asem, pulau itu lantas dinamakan Semarang, perpaduan dari kata Asem-Tirang.

Versi lain menyebutkan, sebagaimana dituturkan juru kunci makam Sunan Pandanaran I, Ida Syarifah, kata semarang berasal dari istilah Aseme arang-arang. Karena pada saat itu, hanya di pulau Tirang lah yang terdapat pohon asem. Nama pulau Tirang sendiri, lambat laun hilang dari memori masyarakat.

Sunan Pandanaran I adalah sebutan tokoh bernama Pengeran Made Pandan. Ia merupakan putra Maulana Ibnu Abdussalam, cucu dari Pangeran Sabang Lor atau Sultan Syah Ngalam Akbar, dan cicit dari dari Raden Patah Bintoro II, keturunan Prabu Sriwijaya, Demak. Sang ibu, Ratu Ayu Pemecutan merupakan putri raja Bali beragamna Hindhu. Sejak menjadi muallaf, namanya berganti menjadi dengan Siti Khatijah.

Oleh sang guru, Sunan Gunung Jati, Raden Made Pandan atau Sunan Pandanaran I diutus menyebarkan agama Islam ke pulau Tirang yang berpenduduk mayoritas Hindhu. Dakwah Sunan Pandanaran terbilang sukses dan memperoleh banyak pengikut. Ekspansi dakwahnya berkembang dari sebuah desa menjadi Kewedanan atau kecamatan.

Menurut Serat Khanda (Soewignya,1988), Raden Made Pandan mendapat perintah dari Sunan Bonang untuk membuka dan menggarap tanah di Tirangper, serta mengislamkan warga setempat. Sejak saat itulah, ia dikenal dengan sebutan Ki Padhanarang. Perbedaan antara Padhanarang dan Pandanaran hanyalah soal penyebutan.

Dalam dakwahnya, Sunan Pandanaran I sempat berselisih dengan pendeta Pragota beragama Hindhu, di Brintik (Mugas). Dalam perselisihan itu, disepakati sebuah perjanjian, Siapa yang kalah mesti mengikuti ajaran agama lawan. Akhirnya, peperangan itu dimenangkan Sunan Pandanaran.

Karena kemenangan itu, Sunan Pandanaran I menikahi putri pendeta Brogota yang bernama Endang Sejanila. Dari hasil pernikahan itu, ia dikaruniai enam orang putra yaitu, Pangeran Kesepuhan atau Sunan Bayat, Pangeran Kanoman atau Pangeran Mangkubumi, Ny. Ngilir, Pangeran Wotgalih, Pangeran Bojong, dan Pangeran Sumendi.

Sunan Pandanaran IIPeriode selanjutnya, pangeran

Kesepuhan atau Sunan Bayat, putra pertama Sunan Pandanaran berhasil memegang tahta sebagai bupati pertama kota Semarang dengan gelar Sunan Pandanaran II. Konon, wilayah

kekuasaan Sunan Pandanaran II lebih luas, mencakup satu kabupaten, di banding Sunan Pandanaran I yang hanya menguasai tingkat Kawedanan atau kecamatan.

Sunan Pandanaran II dikenal sebagai bupati sombong yang hanya mementingkan harta dan kekuasaan. Ia juga dikenal tak suka dengan pengemis dan orang miskin.

Diceritakan, suatu ketika Sunan Kalijaga menyamar menjadi seorang pengemis dan mendatangi Sunan Pandanaran II ketika sedang menghitung uang di pendopo kabupaten. Tak suka dengan kehadiran pengemis, ia terus memakinya. Tak terima, Sunan Kalijaga kemudian mengambil cangkul dan mencangkulkannya tiga kali ke tanah. Tanah bekas cangkulan itu lalu dilempar ke depan Sunan Pandanaran I dan seketika itu tanah berubah menjadi emas. Takjub, ia memohon maaf dan meminta agar dijadikan murid Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga menerima permintaan tersebut dengan beberapa syarat. Antara lain, bersedia meninggalkan harta dan kekuasaan yang dimiliki. Sunan Pandanaran II bersedia meninggalkan harta dan kekuasaannya di Semarang dan menyusul Sunan Kalijaga di Jabalkat, Tembayat, Klaten. Di situlah ia mengawali karir sebagai seorang wali sampai akhir hayat. (Soewignya, 1988).

Usai ditinggal Sunan Pandanaran II, pemerintahan Semarang diambil alih oleh saudara kandungnya, Pangeran Kanoman atau Mangku Bumi, atau dikenal sebagai Sunan Pandanaran III.

Situs Sunan Pandanaran ITak seperti lazimnya makam wali

yang senantiasa dipadati peziarah,

makam Sunan Pandanaran I tak banyak dikunjungi orang. Pengelola makam, Agus Krisdiyono, mengakui hal itu. Paling tidak, semenjak benda-benda pusaka peninggalan Sunan Pandanaran I disimpan oleh pengelola yayasan.

Mulanya, benda-benda pusaka yang diletakkan di area makam itu dijadikan sarana para peziarah untuk meminta hajat. Agus mengenang, saat itu makam selalu dipadati pengunjung dari berbagai penjuru. Namun, ia menangkap iktikad tak baik dari pengunjung saat berziarah. Banyak dari mereka melakukan ritual aneh di dalam makam dengan membawa sesaji dan mengkeramatkan pusaka makam.

Takut disalahgunakan untuk kemusyrikan, usai diangkat sebagai ketua yayasan pada tahun 2007, ia membuat kebijakan baru. Tata cara ziarah berusaha ia luruskan. Benda-benda pusaka yang dianggap menjadi pangkal kemusyrikan ia simpan. Akibatnya, jumlah pengunjung mengalami penurunan drastis.

Namu, bagi Agus penurunan itu bukan masalah. Terpenting, baginya, pengunjung bisa melakukan aktivitas ziarah dengan benar sesuai syari’at. Menurutnya, makam bukan tempat untuk meminta atau dikeramatkan, namun untuk mengirim do’a dan memohon ridho Allah.

Meski sempat ditentang karena berani mengubah kebiasaan turun temurun, Agus tetap berprinsip, selama itu kebenaran, akan tetap ia perjuangkan.

Kurang PerhatianMeski dicatat sebagai pendiri kota

Semarang, perjuangan Sunan Pandanaran dalam mambangun kota Semarang seolah terlupakan. Paling tidak, itu tercermin

dari minimnya apresiasi pemerintah kota Semarang terhadap pelestarian peninggalan Sunan Pandanaran I. Hal tersebut diamini ketua pengelola Yayasan Sosial Sunan Pandanaran, Agus Supriyanto, ia menyayangkan, pemerintah kurang perhatian terhadap situs Sunan Pandanaran. Selama menjabat sebagai pengelola yayasan, ia mengaku belum pernah menerima bantuan dari pemerintah untuk pengembangan peninggalan Sunan Pandanaran I.

Pihak yayasan sebenarnya telah berkali-kali mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah untuk pengembangan dan perawatan peninggalan sang Sunan. Namun, sampai saat ini, belum ada respon dari pemerintah. Untuk biaya pengelolaan, Agus mengaku, selama ini hanya mengandalkan dari penerimaan kas melalui kotak amal. Sehingga, hasilnya belum mencukupi.

Padahal, Agus beserta pihak yayasan ingin sekali menghidupkan dan mengembangkan yayasan Sunan Pandanaran. Sayangnya, keinginan dan upaya pihak yayasan tersebut tak didukung pemerintah.

“Ya, sudahlah,” tutur Agus pasrah. Dalam keputusasaannya terhadap

pemerintah, Agus masih menyimpan sebuah harapan. Pemerintah bersedia memberikan perhatian terhadap pemberdayaan makam pencetus kota Semarang tersebut. Meskipun perhatian itu hanya sedikit, itu sangat berarti dan akan meringankan beban pengelola makam.

“Meskipun hanya bantuan listrik, kami terima,” harapnya.n

Page 23: Tabloid Amanat Edisi 119

��AMANAT Edisi 119 SEPTEMBER �01�

MIMBAR

Melestarikan Kebermaknaan Syawal

Syawal meluas gaungnya dalam peradaban, sejak termaktub di kalender hijri. Jika dalam tampi-lan lamanya orang enggan dengan

disebutnya maka ia beda dalam kemasan barunya, yang selalu ditunggu kehadiran-nya. Tidak keliru, baik pada dekade awal dari perubahan statusnya maupun pada dekade belakangan, manakala orang mer-indukan kapan Syawal datang menjelang. Sebab kedatangan Syawal membuka ane-ka lompatan, yang mendekatkan potensi dengan kenyataan seperti mudahnya Ra-madan bergulir ke Syawal. Dari situ, untuk bersilaturahmi, bermusyawarah, mau pun membuat peristiwa tinggal menatap den-gan tepat almanak hijri.

Berada di bulan Syawal pada masa doe-loe tidak senyaman sekarang. Salah-salah orang bisa berdiri lemas kalau memasuki Syawal; segalanya diliputi “sial”. Bagi laki-laki, memasuki pintu Syawal otaknya eng-gan mikir, sebab rasanya tinggal menerima pandum. Begitu terlihat ekor unta naik, jangan coba mengumbar birahi. Ia bisa dicap menyalahi tradisi yang tak lain dari wajib ngerem waktu pantangan itu.

Dari Sial ke PeningkatanSesukar itukah kaum Adam di era Ja-

hiliyah berhadapan dengan bulan Syawal? Mengapa mereka begitu sial di bulan ke-10 almanak masa dahoeloe itu? Sudah di-maklumi bahwa sebelum Islam datang, almanak Jahiliyah konon sudah mengenal bulan Syawal. Di zaman Jahiliyah, jika ekor unta betina sudah “naik” karena sedang bunting yang jatuh pada bulan Syawal, kondisi itu berisi isyarat bahwa rahim sang unta tidak mau didekati oleh sang jantan, alias bermakna “sial” bagi lawan jenis. Tak ada makna lain yang lebih petitis dari itu.

Ketika Islam datang, makna Syawal yang berbau porno itu sudah diadaptasi. Ekor unta betina yang naik tidak lagi hanya satu makna natural. Naik ekor bermakna naik tingkatan dari posisi di bawah ke yang lebih tinggi, hingga ke posisi teratas.

Pemaknaan Syawal telah resmi berge-ser. Ia tidak sekadar berkutat di soal ekor unta yang “mengerem nafsu birahi” sang jantan yang ingin beraktivitas. Tetapi su-dah beralih ke makna yang humanis, pen-ingkatan. Syawwal lalu terasa lebih presta-tif.

Pahala Puasa TotalSilaturahmi menempati deretan per-

tama dari peningkatan. Ditelisik dari sudut mana pun, Syawal tetap bisa terhubung dengan konsep silaturrahmi. Tidak hanya yang vertikal, tetapi juga yang horizontal. Jika di bulan Ramadan silaturahmi su-dah dipenuhi oleh aktivitas tempaan diri menuju hubungan vertikal maka di bulan Syawalnya, hubungannya sudah banyak ke samping.

Dari hablun minallah, ke hablun

minannas. Dengan silaturahmi ini, kon-sekuensi bisa diperoleh: berupa rezeki yang berkah, panjangnya usia, hingga ke-mantapan diri untuk melangkah ke masa depan.

Seiring dengan derap zaman, bentuk silaturahmi pun berkembang. Jika pada awal silaturahmi berbentuk bertatap muka. Maka SMS, jaringan sosial, dan paguyuban merupakan pemekaran arti silaturahmi di masa kini. Bahkan khas Indonesia, ber-bentuk forum Halal Bihalal yang berlang-sung setahun sekali.

Masih di suasana silaturahmi, di bulan Syawal kita bisa bertemu dengan puasa lagi. Puasa Syawal. Hanya dengan enam hari puasa, tapi pahalanya segunung. Bay-angkan, hanya bermodal nambah puasa enam hari, pahalanya laksana berpuasa setahun. Tiga puluh hari puasa Ramadhan setera dengan meraup pahala 300. Dan dengan 6 hari puasa Syawwal, bisa ditekel berbalas 10, kita meraup pahala 60. Dijum-lahkan: 300 + 60 = 360 hari. Total pahalan-ya, lebih besar dari puasa Daud.

Takbir Memperkokoh Fitrah Takbir berisi ungkapan yang membe-

sarkan asma Allah. Jika ungkapan yang menghebatkan Tuhan ini dikumandan-gkan di luar salat lima waktu juga salat-salat sunnah yang lain, tak terkecuali ke-tika salat tarawih, witir, dan salat Idul Fitri; lalu bertakbir lagi semalam pada malam Idul Fitri, tentu ia berpengaruh. Jelasnya, ia akan membesarkan prestasi pembawa-nya di dalam kehidupan.

Bagi shaim, bertakbir itu punya makna kesyukuran. Jika takbir selalu dikuman-

dangkan, yang mengandung kebalikan bahwa kita ini kecil, menjadikan kita siap menyerap sikap yang besar. Nyatanya hidup ini tidak cukup dengan yang kecil-kecil, tetapi terus disempurnakan hingga mewujud hal besar; memberdayakan diri, membuat diri punya pengaruh dari biasa bertakbir itu. Konsekuensinya, hadirlah dari shaim sebuah prestasi unggul, dari pribadi yang sederhana mencuat nilai-ni-lai pesona.

Andaikan kondisi harian Ramadan su-dah menyatu dalam diri, hingga ke pence-gahan hal-hal yang makruh atau maksiat sudah dijauhi, maka kondisi fitrah sudah menyatu dengan diri. Dari sini, kemenan-gan shaim, dia seperti terlahir kembali dalam kehidupan nyata. Dosa-dosanya berampun. Dan ridha Allah Swt menyinari suasana fitri, yang mencuatkan kondisi diri yang terus meningkat dalam kehidupan.

Pernikahan dan Torehan SejarahDari uraian di atas maka pada era Is-

lam, tidak lagi ada pantangan melang-

sungkan prosesi pernikahan dan aktivitas bersejarah pada bulan Syawal. Ekor unta naik, bisa saja berisi isyarat pantangan bagi unta jantan untuk meluapkan mau-nya, tetapi itu tidak untuk menyetop rasa inginnya manusia. Manusia dengan pas-angan resminya, tetap berpeluang kontak intim dengan lawan jenisnya yang sah, yang bernilai terpuji. Konsep budu’ adalah yang menyatakan sedekah, atas perilaku itu, sabda Rasulullah.

Maka banyak pasangan melangsung-kan pernikahan di bulan Syawal. Hal itu bermakna terpuji, tidak lagi bermakna sial. Rasulullah SAW misalnya memberi teladan. Pada 4 Syawal, dicatat sejarah, be-liau melakukan pernikahan dengan Ummu Salamah. Juga di bulan Syawal, tanggal 17, menikah dengan Aisyah r.a. di hari kela-hiran ‘A’isyah binti Abu Bakar. Tidak hanya itu. Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib r.a. menika-hi Sayyidah Fathimah az Zahra binti Mu-hammad saw, dilakukan pada tanggal 29 Syawal. Jadi di bulan Syawwal, sah saja kita ngunduh mantu, karena telah ada teladan dari orang-orang jitu.

Selain itu, aktivitas penting lain juga layak diukir sejarahnya di bulan ini. Sebab tidak ada perbuatan yang sia-sia dari hari-hari kita di dalam Islam. Hari kelahiran dan sejarah bisa terjadi di bulan ini. Misal-nya, 4 Syawal dicatatat sejarah sebagai hari kelahiran Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasul saw. Pada 13 Syawwal, dicatat sejarah sebagai hari kelahiran Imam al-Bukhari. Dicatat sejarah juga, 27 Syawal adalah peristiwa Perjalanan Nabi Muham-mad saw ke Thaif. Lainnya, 6 Syawal, ter-catat sebagai Perang Hunain; 18 Syawal adalah saat terjadinya Perang Handaq, yang darinya dikenang kecerdasan Saha-bat Salman al-Farisi, sang arsitek Muslim.

KhatimahKondisi di atas menegaskan Syawal

yang bermakna peningkatan. Sekalipun dari data sejarah terjadi peristiwa yang menimpa Nabi saw dalam perjalanan ke Thaif, namun hal itu bukan sebab men-erjang nakhas naiknya ekor unta. Peristi-wanya lebih sebagai ujian bagi penyebar ajaran, dalam kondisi apapun akan tetap berhadapan dengan perlawanan terutama dari kaum awam yang belum tahu ihwan pencerahan.

Dengan demikian, tidak ada salahnya suatu inisiatif dilakukan, dipersegar, bah- kan dilestarikan pada monentum Syawal. Bisa berupa kerja-kerja kolaboratif yang mungkin belum berangkat dari i’tikad baik dari sesama; atau menyusun tatanan ber-sama yang masih ditindiki egois lokal se-dang nawaitunya buat institusi ke depan; atau mungkin pekerjaan lain yang sudah terencana rapi tetapi tak kunjung mewu-jud karena berhadapan suara hati sendiri. Dari momentum Syawwallah tekad itu bisa dimulai.n

-- Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar

Guru Besar Fakultas Tarbiyah

Doc. SECAC

Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar

Page 24: Tabloid Amanat Edisi 119

�� AMANAT Edisi 119SEPTEMBER �01�

OSOKS

Prinsip Kerja Kerasn Musahadi

Posisi Pembantu Rektor (PR) I ba-rangkali tak pernah terbayang di benak Musahadi bakal diraih. Baginya, apa yang dicapai saat ini

merupakan efek dari kerja kerasnya selama

padat, bagi Musa, justru bisa memberikan efek positif bagi mahasiswa. Di antaranya, melatih kedisiplinan dan pandai mengatur waktu.

“Orang yang sibuk biasanya disiplin waktu.”

Meskipun begitu, Musa tak pernah memasang target dalam hidupnya. Ia ber-jalan mengikuti alur kehidupan. Namun, perjalanan kehidupan itu selalu ia warnai dengan kerja keras. Baginya, roda kehidu-pan itu selalu berputar. Maka, ia selalu op-timis kehidupannya bakal berubah lebih baik jika mau berusaha dan bekerja keras.

Benar, prinsip itu pada akhirnya mam-pu mengubah nasib Musa menjadi lebih baik. Roda kehidupan Musa berputar ke atas. Ia diangkat menjadi tenaga pengajar di IAIN Walisongo. Sebagai dosen, Musa tak puas dengan hanya mengajar. Ia meny-ibukkan diri dengan berbagai aktivitas lain, seperti menulis. Baginya, dosen tak boleh berhenti hanya pada aktivitas mengajar. Ia bisa mengembangkan keilmuannya me-lalui berbagai cara, termasuk menulis.

“Menulis adalah tradisi intelektual.”

Berkat konsistensi Musa dalam menu-lis, sampai saat ini, sekitar tiga puluh karya tulis ilmiah miliknya telah diterbitkan oleh berbagai jurnal, baik nasional maupun in-ternasional.

Di samping itu, dosen peraih penghar-gaan Satyalancana Karya Satya X 2010 ini juga aktif menulis buku dan artikel di me-dia masa. n

Shodiqin

Mengucapkan selamat atas dilantiknya Dr. Musahadi M.Ag

sebagai Pembantu Rektor I IAIN Walisongo Semarang

sebagai Pembantu Rektor I

Segenap Pengurus KOPERTAISWilayah X Jawa Tengah IAIN Walisongo Semarang

Segenap Pengurus Lembaga Penyuluhan

Konsultasi Bantuan Hukum Islam (LPKBHI)

mengucapkan selamat atas dilantiknya

Dr. Musahadi M.Ag

IAIN Walisongo Semarang

Nama: DR.H. Musahadi, M.Ag.Pendidikan: S-1 IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah (1993), S-2 IAIN Alauddin Makasar Study Islam/ hukum Islam (1998), S-3 IAIN Walisongo Study Islam / hukum Islam (2012).Organisasi: Surat Kabar Mahasiswa Amanat (1991). UKM Musik IAIN Walisongo Semarang, Racana, Senat Mahasiswa, Menjadi anggota BP (Badan Pengelola) Masjid Agung Jawa Tengah (Sub bidang pendidikan dan Dakwah) (2006-2009), Menjadi Pengurus Wilayah DMI (Dewan Masjid Indonesia) Propinsi Jawa Tengah (2011-Sekarang), Koordinator Devisi Teaching Walisongo Mediation Center (WMC) IAIN Walisongo Semarang (2007 – sekarang) dll. Karya: Thomas Aquinas tentang Tuhan dan Manusia (1997), Hukum Islam di Indonesia :Ikhtiar Mencapai Pendekatan yang Relevan dalam Memahami Nash-nash Hukum (1997), Keberagamaan Mah Keberagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang (1999), Profil Pesantren Wanita di Kota Semarang (2000), Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam (2000), Islamic Legal Studies di Dunia Modern: Studi terhadap ISIM Newsletter Belanda (2005), Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: Dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan (2007), Konsep Maslahat dalam Hukum Islam (Catatan Pengantar terhadap Pemikiran Hukum Al-Syathibi) (2008), Continuity and Change Reformasi Hukum Islam (2009), A – Z Kampanye Non-Kekerasan: Dari Filosofi Hingga Aksi (2010), dll.Penghargaan/Piagam: Satyalancana Karya Satya X Tahun, Pemberi Presiden RI (2010).n

ini. Prinsip itu sudah tertanam sejak kecil. Sejak kelas empat SD, Musa kecil yang di-lahirkan dalam keluarga sederhana itu su-dah bekerja di tambak untuk menyokong kebutuhan sekolah.

“Jalan ke sekolah sampai 3 Km,” terangnya.

Namun, kondisi itu tak mumbuat Musa kecil hati. Justru, ia akui itu memben-tuk kepribadiannya untuk selalu tegar dan bersungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan. Tekad itu pula yang akhirnya mengantarkan Musa berhasil mengenyam pendidikan strata satu IAIN Walisongo. Pun, saat kuliah, prinsip “kerja keras” itu ma-sih tertanam dan ia wujudkan dengan bersungguh-sungguh menjalani aktivitas perku-liahan dan berbagai kegiatan organisasi.

Aktif di berbagai organ-isasi seperti, Surat kabar Ma-hasiswa (SKM) Amanat, UKM Musik , Racana, Mawapala, dan Senat Mahasiswa mem-buatnya sempat dicap kawa-nnya sebagai “rakus” beror-ganisasi. Itu bukan masalah, terpenting baginya, dimana-pun ia beraktivitas, ia selalu menanamkan sikap sungguh-sungguh.

Kegiatan akademik yang