surveilans integratif brucellosis

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini masyarakat dunia menghadapi peningkatan ancaman dari penyakit-penyakit menular (infeksius) yang bersumber dari hewan sebagai akibat kerusakan lingkungan,pemanasan global, dan urbanisasi yang progresif. Pemicu paling umum terhadap munculnya penyakit baru adalah pertumbuhan cepat dalam populasi manusia dan hewan, urbanisasi yang cepat, sistem peternakan yang berubah (intensifikasi peternakan), integrasi yang semakin mendekat antara hewan domestik dan satwa liar, perusakan hutan, perubahan-perubahan dalam ekosistem, dan globalisasi perdagangan hewan dan produk-produk hewan. Dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular strategis pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yangditimbulkan. Kelima jenis penyakit tersebut adalah penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong dan sapi pera, penyakit radang limpa (Anthrax) pada ruminansia, penyakit Jembrana, penyakit SE dan penyakit IBR. (Sjamsul, 2010) Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 1

Upload: fachri-latif

Post on 24-Oct-2015

429 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Surveilans Integratif Brucellosis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini masyarakat dunia menghadapi peningkatan ancaman dari

penyakit-penyakit menular (infeksius) yang bersumber dari hewan sebagai akibat

kerusakan lingkungan,pemanasan global, dan urbanisasi yang progresif. Pemicu

paling umum terhadap munculnya penyakit baru adalah pertumbuhan cepat

dalam populasi manusia dan hewan, urbanisasi yang cepat, sistem peternakan

yang berubah (intensifikasi peternakan), integrasi yang semakin mendekat antara

hewan domestik dan satwa liar, perusakan hutan, perubahan-perubahan dalam

ekosistem, dan globalisasi perdagangan hewan dan produk-produk hewan.

Dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan

menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular

strategis pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus

karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yangditimbulkan.

Kelima jenis penyakit tersebut adalah penyakit keluron menular (Brucellosis)

pada sapi potong dan sapi pera, penyakit radang limpa (Anthrax) pada

ruminansia, penyakit Jembrana, penyakit SE dan penyakit IBR. (Sjamsul, 2010)

Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa

berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian

dunia (Agasthya et al. 2007). Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella

abortus). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean

fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit

ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever karena gejala demam

dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi (Megid et al.

2010). Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun tidak langsung

melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi (WHO 2006).

Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit

hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan

lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang ketat

(DITJENNAK, 1988). Brucellosis mengakibatkan tingginya angka keguguran

pada sapi, pedet lahir mati/ lemah, infertilitas, sterilitas dan turunnya produksi

susu (HUBBERT et al., dalam Anonimus 2009).

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 1

Page 2: Surveilans Integratif Brucellosis

Penyakit Brucellosis tersebar di seluruh dunia, diestimasikan 500.000

manusia terinfeksi setiap tahunnya di negara berkembang. Estimasi prevalensi

brucellosis pada manusia di negara industri, antara lain < 1 dari 100.000 manusia

terinfeksi di Inggris, Amerika dan Australia, serta > 70 dari 100.000 manusia

terinfeksi di Timur Tengah (Sriranganathan dkk.,2009). Infeksi pada manusia

dapat disebabkan oleh konsumsi produk hewan terkontaminasi, seperti susu non-

pasteurisasi dan keju. Resiko lain berada di pengolahan karkas hewan dan/atau

penanganan kesehatan hewan terkait dengan sekresi uterus atau abortus. Selain

itu, brucellosis pada manusia disebabkan akibat medik veteriner melakukan uji

coba modifikasi vaksin hidup (modified live vaccine) ataupun strain virulen

(Sriranganathan dkk dalam Mario Lintang, 2009).

Penderita yang dilaporkan terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap

tahunnya; diseluruh dunia, penyakit ini terkadang tidak diketahui dan tidak

dilaporkan. Infeksi saluran kemih dilaporkan terjadi pada 2 – 20 % kasus dan

yang paling umum adalah orkitis dan epididimitis. Biasanya terjadi penyembuhan

tetapi bisa juga terjadi kecacatan. “Case Fatality Rate” dari bruselosis sekitar 2 %

atau kurang dan biasanya sebagai akibat dari endokarditis oleh infeksi Brucella

melitensis.

Di Arab Saudi meskipun kontrol dilakukan di banyak negara maju

penyakit ini tetap endemik, di mana sero-prevalensi nasional penyakit ini sekitar

15%. Penyakit ini dikenal melalui impor daging yang tidak terkendali pada

hewan yang kurang diskrining untuk penyakit ini. Brucella mellitensis tetap

menjadi penyebab utama brucellosis pada manusia di Arab Saudi, yakni 88-93%

dari semua kasus, meskipun infeksi campuran bersama dengan Brucella abortus

jarang terjadi. (Sabra M, 2012)

Beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi wilayah yang endemis

Brucellosis seperti Pulau Jawa, beberapa wilayah di Sulawesi, Aceh, beberapa

wilayah di bagian timur lainnya. Adapun wilayah yang merupakan daerah bebas

adalah Pulau Bali, Bangka Belitung, Kepulauan Riau; dibebaskan Pulau Sumba

dan Lombok, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Selatan), Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

Penyakit ini telah menjadi ancaman global karena penyebarannya dan

kemungkinan yang disepakati para pakar bahwa dimasa yang akan datang,

penyakit menular yang muncul dan sebagian besar bersumber hewan dapat

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 2

Page 3: Surveilans Integratif Brucellosis

merupakan penyakit baru (emerging infectious diseases) atau penyakit menular

lama yang muncul kembali (re-emerging infectious diseases). Selain itu, Penyakit

zoonosis memiliki dampak yang luas tidak hanya pada sektor kesehatan, juga

pada sektor perekonomian, pariwisata, dan konservasi satwa liar. Meskipun

dampak yang ditimbulkan oleh penyakit zoonosis bersifat lintas sektor, namun

selama ini pengendalian zoonosis masih bersifat sektoral.

Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa 75% dari 130 penyakit baru di

Indonesia berasal dari hewan (zoonosis) sehingga peran aktif organisasi profesi

sangat diperlukan. Penanganan zoonosis memerlukan kerjasama berbagai pihak

untuk mempelajari etiologi, epidemiologi, dan siklus perkembangan serta model

transmisi agen penyakit dan vektornya; juga gejala klinik, metode diagnosis,

terapi dan pencegahan penyakit serta menghitung dampak negatif yang

diakibatkannya secara multi sektor. (Renstra Penyakit Zoonotic Terpadu, 2012)

Makalah ini akan membahas tentang survailans integrative Brucellosis

dan semua aspek terkait didalam penanggulangan serta pengendaliannya.

B. Tujuan Penulisan

a. Mengetahui analisis situasi penyakit Brucellosis

b. Mengetahui definisi surveilans integratif penyakit Brucellosis

c. Mengetahui tujuan surveilans integratif penyakit Brucellosis

d. Mengetahui kajian dan kerjasama lintas sektor surveilans integratif penyakit

Brucellosis.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 3

Page 4: Surveilans Integratif Brucellosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Brucellosis

Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) disebabkan oleh mikroorganisme

berbentuk batang dari golongan Brucella, sehingga dinamai Brucellosis karena

penghargaan dan kenangan bagi di bidang peternakan mortalitas Brucellosis

tidaklah tinggi, Brucellosis dapat menyerang ternak-ternak Sapi, Kambing,

Domba, Kuda, Babi, dll. (Bruce dalam Julman, 2010). Hampir semua hewan

domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap

infeksi brucella. Infeksi pada hewan dapat menyebabkan abortus, anak lahir

lemah, infertilitas, kepincangan, penurunan produksi susu dan penurunan berat

badan, yang merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan ternak

(Radostits et al. dalam Omar, 2006).

Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957 bruselosis belum dimasukan

ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini

diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di

Indnesia. diusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit

hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian

No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan

tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002).

Brucellosis adalah penyakit reproduksi menular ruminansia yang

disebabkan oleh kuman Brucella sp. Penyakit ini merupakan penyakit penting

di Indonesia yang dapat menular ke manusia (zoonotik) (Anonimus, 2004).

Brucellosis dilaporkan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga

menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar bagi pengembangan

peternakan akibat kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas,

sterilitas, penurunan produksi susu dan tenaga kerja ternak, serta biaya

pengobatan dan pemberantasan yang mahal (Gede Agung,2007)

B. Etiologi Brucellosis

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Gram negatif dari genus Brucella.

Agen infeksi memiliki morfologi khas, seperti berbentuk cocobacilli dan

bersifat fakultatif intrasellular. Dasar untuk membedakan spesies pada genus

Brucella adalah hospes spesifik dan patogenesitas. Berdasarkan hospes

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 4

Page 5: Surveilans Integratif Brucellosis

spesifik, bakteri ini dikelompokkan sebagai B. abortus (ternak ruminansia

besar), B. canis (anjing), B. melitensis (kambing dan domba), B. neomatae

(rodensia), B. ovis (domba) dan B. suis (babi) (Mario Lintang P, 2012).

Identifikasi kelompok dalam spesies Brucella lebih dikenal sebagai

variasi biovar. Identifikasi subspesies, B. Abortus diklasifikasikan menjadi

biovar 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 9, B. suis diklasifikasikan menjadi biovar 1, 2, 3, 4

dan 5, serta B. melitensis diklasifikasikan menjadi serotipe 1, 2 dan 3 (Verger

dkk.,1987). Secara lengkap, isolat Brucella dengan variasi spesies dan biovar

telah dikoleksi oleh American Type Culture Collection (ATCC) di Amerika,

National Collection of Type Cultures - Great Britain (NCTC) di Inggris dan

telah didistribusikan ke beberapa negara di dunia sebagai strain koleksi untuk

laboratorium diagnosis brucellosis manusia dan hewan. (Anonimus, 2005).

C. Gejala Brucellosis

Penyakit bakteri sistemik dengan gejala akut atau insidius, ditandai

dengan demam terus menerus, intermiten atau tidak tentu dengan jangka

waktu yang bervariasi. Gejala yang timbul berupa sakit kepala, lemah,

berkeringat, menggigil, arthralgia, depresi, kehilangan berat badan dan sakit

seluruh tubuh. (Hartigan dalam Mario Lintang P, 2012)

Infeksi supuratif terlokalisir dari organ tubuh termasuk hati dan ginjal

bisa terjadi; gejala sub klinis dan infeksi kronis yang terlokalisir juga bisa

terjadi. Penyakit ini bisa berlangsung beberapa hari, beberapa bulan atau

terkadang bertahun-tahun jika tidak diobati dengan tepat.(Abdillah F, 2011)

D. Masa Inkubasi Penyakit Brucellosis

Masa inkubasi dari bakteri penyakit ini sangat bervariasi dan sangat sulit

dipastikan, biasanya sekitar 5 – 60 hari, umumnya 1 – 2 bulan, terkadang

beberapa bulan serta Tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang.

(Abdillah F, 2011)

E. Cara Penularan

Penularan terjadi karena kontak dengan jaringan, darah, urin, sekrit

vagina, janin yang digugurkan, dan terutama plasenta (melalui luka di kulit)

dan karena mengkonsumsi susu mentah dan produk susu (keju yang tidak di

pasturisasi) dari binatang yang terinfeksi. Penularan melalui udara oleh

binatang terjadi di kandang, dan pada manusia terjadi di laboratorium dan

tempat pemotongan hewan.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 5

Page 6: Surveilans Integratif Brucellosis

Beberapa kasus penularan terjadi karena kecelakaan karena tertusuk

jarum suntik pada saat menangani vaksin brusella strain 19, risiko yang sama

dapat terjadi pada waktu menangani vaksin Rev-1. Pada sapi penularannya

terjadi per oral. Sapi yang mengalami keguguran oleh brucellosis

mengeluarkan bakteri Br. abortus dalam jumlah besar melalui membran fetus,

cairan reproduksi, urine dan feses.

F. Upaya Penanganan Brucellosis

Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) dapat dilakukan penanganan

sebagai berikut (Subronto dalam Abdilillah, 2011):

a) Pemeriksaan Serologik

Dilakukan dengan uji aglutinisasi cepat (slide/plate agglutination test) dan

uji aglutinasi tabung (tube agglutination test)

b) Vaksinasi dengan Strain 19

Vaksinasi ini akan merangsang tubuh membentuk antibody 1gM, 1gG1,

1gG2.

c) Pada penderita hewan kesayangan (Anjing) dapat dicoba dengan

memberikan suntikan dengan Antibiotika Streptomisin dan

Chlortetrasiklin berbarengan (kombinasi), hasilmya cukup memuaskan.

d) Pemeriksaan Patologis – Anatomis

Perubahan di dalam rahim : perubahan patologis yang di temukan di

dalam rahim yang berisi janin terdiri dari proses degenerasi melemak

dan nekrose dari berkas-berkas korion, perubhan tersebut disertai

dengan pengeluaran eksudat yang bersifat purulen, yang pada suatu

saat menyebabkan terpisahnya kotiledon maternal dan kotiledon

fetal.

Perubahan di dalam kelenjar limfe dan limpa : hewan yang menderita

brucellosis, reaksi jaringan mungkin berupa sebagai granuloma yang

bersifat infektif ringan, yang dapat mlanut menjadi nekrotik.

Higromata : terbentuk terutama pada sendi lutut. Lesi berbentuk

sebagai regangan sedarhana atas bungakus sinovia pada pesendiaan,

berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah.

Lesi pada hewan jantan : pada hewan jantan Br. Abortus dapat

menyebabkan abses serta nekrose pada buah pelir dan kelenjar-

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 6

Page 7: Surveilans Integratif Brucellosis

kelenjar kelamin tambahan. Mani yang di ambil dari pejantan

penderita mungkin mengandung kuman Brucellosis Abortus.

e) Pemeriksaan Mikroskopik

Preparat tempel tersebut yang tersebut yang terbaik diwarnai dengan

metode koster.

f) Pemeriksaan Biakan Kuman

Media khusus untuk membiakan kuman yang harus digunakan

dipersiapkan dari pepton, serum, infusi hati, dll.

g) Uji Antibodi Fluoresen

Merupakan cara yang cepat untuk mengatahui adanya kuman brucella

dari preparat tempel yang diambil dari lambung janin, membran janin

dan sebagainya.

h) Uji Aglutinasi Serum (UAS)

i) Uji Ikat Komplemen (Complement fixation test, CFT)

j) Uji Pelat Rose Bengal (UPRB)

k) Uji Cincin Air Susu (UCAS, Milk Ring Test)

G. Strategi Pencegahan dan Pengendalian BruselosisPencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan

termasuk bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan.

Pemilihan strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan

penyakit hewan menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab

kontroversi diantara pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan

harus sesuai dengan kualitas instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber

daya ekonomi yang tersedia dan Pelaku kebijakan lingkungan kebijakan

Kebijakan Publik prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi

sangat penting sebagai dasar untuk melaksanakan program strategi ini

(Blasco 2010).

a) Strategi Pencegahan

Menurut WHO (2006) Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis

dan praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi

pencegahan bruselosis meliputi :

• Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis

dan harus berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 7

Page 8: Surveilans Integratif Brucellosis

• Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan

pemeriksaan secara serologis.

• Pencegahan kontak dengan ternak lain

• Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per

tahun) dan pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur

skrining serologis sederhana seperti RBT dan CFT.

• Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan

organ lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta

desinfeksi daerah yang terkontaminasi secara menyeluruh.

b) Strategi Pengendalian

Menurut WHO (2006) Tujuan dari program pengendalian hewan

adalah untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi

ekonomi. Eliminasi penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program

kontrol, kejadian penyakit masih ada dalam populasi dengan prevalensi

yang dapat diterima. Program pengendalian memiliki durasi yang tidak

terbatas dan perlu dipertahankan bahkan setelah "tingkat yang dapat

diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak muncul kembali.

Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis didukung

oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian

negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi

ternak yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa

prinsip yang berlaku, yaitu:

1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan

2) Meningkatkan perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi.

Prosedur Ini selanjutnya dapat diklasifikasikan pada kategori umum

yaitu test and Isolation/slaughter, higiene lingkungan, pengendalian

lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk menentukan status

daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 8

Page 9: Surveilans Integratif Brucellosis

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Situasi

Penyakit-zoonosis di Indonesia cenderung menjadi epidemi/mewabah dan

selebihnya bersifat endemik yang menyebar secara sporadik dan perlahan, namun

pasti menggerogoti kesehatan masyarakat. Harus diakui bahwa pendekatan

penanganan zoonosis baik di sektor kesehatan maupun di sektor pertanian, sejauh

ini masih lebih bersifat insidental, parsial dan kasuistik, belum kepada pendekatan

yang benar-benar preventif, holistik dan terintegrasi. Situasi ini sangat tidak

mendukung bagi dicapainya kinerja yang optimal. Dengan kata lain, pendekatan

dalam pengendalian zoonosis masih lebih banyak kepada tindakan kuratif

daripada pendekatan preventif.(Abdillah, 2011)

Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena berakibat kurangnya

kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam proses

pengendalian penyakit. Dalam rangka pengendalian zoonosis, pendekatan di

kesehatan manusia cenderung bersifat kuratif sehingga berakibat melemahnya

penerapan sistem surveilans dan respon cepat di lapangan.

Sektor kesehatan yang masih tetap memberikan perhatian pada penyakit-

penyakit tersebut karena menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat.

Perbedaan pertimbangan mengenai prioritas zoonosis yang bernilai strategis bagi

keduanya perlu disepakati untuk ditangani bersama. Pengendalian zoonosis di

dalam negeri sudah sangat mendesak dibeberapa daerah karena penyakit tersebut

sudah menyatu dengan kondisi sosial budaya serta di pengaruhi oleh tingkat

kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi, secara ekonomi dan sosial

menimbulkan kerugian besar. Jika pengendalian tidak dilakukan kerugian

ekonomi akibat penyakit ini dapat mencapai 385 milyar per tahun. Sampai saat ini

wilayah yang bebas dari penyakit Brucellosis adalah Propinsi Bali, sedangkan

Pulau lombok telah berhasil dibebaskan pada tahun 2002 dan P. Sumbawa bebas

pada awal tahun 2006. Meskipun demikian, kemungkinan timbulnya wabah

Brucellosis harus tetap diwaspadai karena pemberantasan penyakit yang tidak

optimal dan seksama akan memperluas penyebaran penyakit. (Sjamsul B, 2010)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 9

Page 10: Surveilans Integratif Brucellosis

B. Situasi Endemisitas

Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun

1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B.

abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis

juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit

sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit

hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang

staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad

tersebut.

Gambar 1. Peta Distribusi Bruselsosis Secara Serologis (PerkembanganKasus

Brucellosis 1 Januari s.d. 31 Desember 2010 (Data: Kementerian Pertanian)

Perkembangan penyakit brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010

brucellosis hanya terdeteksi di 5 provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus

brucellosis telah terdeteksi di 10 provinsi walaupun hewan yang terjangkit

penyakit tersebut langsung dipotong (Ditjennakeswan 2010).

Untuk tahun 2010, jumlah kasus brucellosis sebanyak 558 untuk 10

Provinsi (Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 10

Page 11: Surveilans Integratif Brucellosis

Timur, dan Sulawesi Selatan). Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang

tercatat 106 kasus untuk 5 Provinsi (Jawa Timur, Kalimantan Selatan,

Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah).

Namun demikian, data yang disediakan Kementerian Pertanian tidak dapat

mewakili nasional karena diperoleh dari survey di beberapa provinsi. Selain

itu, dari data tersebut tidak bisa melihat kecenderungan perkembangan kasus

brucellosis karena perbedaan provinsi yang disurvei setiap tahunnya. Oleh

karena itu, data ini hanya dapat menggambarkan jumlah kasus brucellosis

yang terdata.

C. Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis

Surveilans adalah suatu kegiatan yang bersifat rutin dan teratur, tepat dan

menyeluruh berupa pencatatan, pengamatan, dan pelaporan (RR) yang cermat dan

lengkap mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor yang mempengaruhi masalah

kesehatan untuk kepentingan baik perencanaan maupun intervensi. Sedangkan

integratif adalah suatu keterpaduan dalam beberapa hal.

Jadi surveilans integratif Brucellosis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan

suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai

distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit Brucellosis dimana dalam hal

intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas sektor

sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani masalah

kesehatan dalam hal ini penyakit.

D. Langkah Dasar Untuk Mendesain Sistem Surveilans Brucellosis

Sistem tes surveilans brucellosis seharusnya berimbang antara

sensitivitasnya dan spesifitasnya dan harus terstandarisasi. Sedangkan sistem

surveilansnya sendiri harus fleksibel dengan motto adaptasi dan bukan adopsi.

Tradisionalnya terdapat dua sistem surveilans brucellosis, yaitu surveilans pasif

dan aktif. Surveilans pasif (monitoring) adalah sistem rutin yang kegiatannya

dilaporkan baik dari departemen kesehatan atau departemen peternakan dimana

surveilans aktif digunakan untuk menunjang dan melengkapi data yang diperoleh

dari surveilans pasif yang dilakukan dengan cara investigasi secara langsung,

survey, atau studi epidemiologi.

Survei pasif biasanya dilakukan lebih murah daripada survey aktif. Tapi dari

segi sensitivitas dan spesifisitas biasanya tidak diketahui. Surveilans aktif lebih

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 11

Page 12: Surveilans Integratif Brucellosis

spesifik dan sensitive, dan hasil kegiatan lebih dapat diukur. Kedua sistem

tersebut, adalah penting dan harus terintegrasi semaksimal mungkin. Infeksi dari

penyakit brucellosis biasanya bersifat kronik baik pada manusia maupun hewan,

gejala dan masa inkubasi bervariasi, dan hasil dari tes laboratorium bersifat

essensial. Terdapat sepuluh langkah dasar dalam mendesain dan mengkoordinasi

sistem surveilans brucellosis, diantaranya adalah :

1. Identifikasi indikator kesehatan dari manusia dan hewan. Surveilans harus

selalu berorientasi pada outcome dan fokus pada kejadian yang berasosiasi

dengan penyakit yang disurvei.. Hilangnya hari yang digunakan untuk

bekerja pada manusia, dan berkurangnya fertility, dan kesuburan pada

binatang. Indikator surveilans dapat berbentuk :

a) Numerikal, seperti jumlah yang terinfeksi, dll.

b) Rasio, seperti jumlah kasus baru yang diidentifikasi pada tahun tersebut

yang dibandingkan dengan jumlah kasus yang sama pada tahun

sebelumnya.

c) Rate atau persentase. Idealnya, ukuran rasio lebih disukai. Insiden rate

akan sangat berguna untuk merefleksikan dinamika penyakit brucellosis

atau infeksi pada sistem surveilans dibandingkan dengan prevalens rate.

Semua indikator tersebut harus dievaluasi secara periodik untuk memastikan

indikaor tersebut masih sesuai dengan tujuan awal dilakukan surveinya.

2. Menetapkan Tujuan Utama Secara Jelas

Untuk brucellosis, tujuan dapat termasuk :

a) Determinasi dari insiden dan prevalensi dari manusia yang terinfeksi,

binatang, kelompok binatang, desa, jalan, dsb.

b) Mandeteksi apakah kasus tesebut menjadi wabah, sporadic, atau kasus

endemis.

c) Identifikasi vehicle dan rute transmisi ke manusia, apakah termasuk

foodborbe, airborne, atau kontak dengan binatang.

d) Memonitoring tren penyakit jangka pendek dan jangka panjang

berdasarkan lokasi dan waktu.

3. Mengembangkan definisi kasus secara spesifik.

Untuk penyakit manusia, kumpulan gejala spesifik dan tanda dan tes

laboratorium diperlukan untuk mendeskripsikan possible, probable, atau

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 12

Page 13: Surveilans Integratif Brucellosis

confirmed case. Pada binatang, isolasi spesies brucella digunakan dengan

atau tanpa tes serologi. Apapun sistem yang digunakan haruslah

komprehensif dan bermutu. Dengan kata lain, untuk binatang dapat positif,

negative, atau uncertain. Harus ada batasan waktu dan berapa lama binatang

dikategorikan menjadi uncertain. Sedangkan kasus aborsi dapat digunakan

sebagai sistem surveilans sentinel.

4. Mengidentifikasi sumber data yang ada atau mengembangkan sistem

pengumpulan data baru termasuk diagram alirnya.

Sistem pengumpulan data yang baru harus dilakukan secara hati – hati untuk

melihat apakah beberapa atau seluruh sistem pengumpulan data dapat

diadaptasi untuk surveilans brucellosis. Sebagai contoh, apabila kunjungan

rutin pada peternakan dilakukan untuk melakukan vaksinasi sekaligus dapat

dilakukan pengambilan sampel darah untuk dilakukan pengamatan brucella

dalam waktu yang bersamaan.

5. Tes awal / Uji coba awal (pilotest) metode surveilans yang kita buat di

lapangan.

Dalam melaksanakansurveilans, selalu ditemukan masalah yang tidak

diduga – duga sebelumnya, terutama pada sistm yang baru dibentuk. Jadi,

pilotest selalu dibutuhkan. Sebagai contohnya, pre-test kuesioner, form, dan

program computer. Kesalahan terbesar dapat diakibatkan minimnya

partisipasi masyarakat, terutama jika pemilik peternakan tidak percaya dan

tidak kooperatif.

6. Mendefinisikan peraturan tes laboratorium pada sistem brucellosis surveilans.Direktur dari laboratorium kesehatan dan peternakan harus selalu dilibatkan

pada tahap perencanaan. Identifikasi sumber daya yang sekarang dan telah

ada baik pada wilayah regional dan pusat menginventarisi sumber daya yang

ada pada laboratorium daerah dan pusat termasuk pelatihan, perlengkapan,

reagensia, dan ketersediaan. Semua uji yang dilakukan harus terdokumentasi

berdasarkan SOP termasuk program kualitas kontrolnya.

7. Mengontrol validitas sistem

Baik menggunakan catatan ataupun computer, error selalu dapat terjadi.

Orang yang paling bertanggungjawab pada database seurvailans harus

berhubungan degan seorang epidemiologis mengembangkan sistem

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 13

Page 14: Surveilans Integratif Brucellosis

checking error secara rutin termasuk data yang hilang sehingga kesalahan

besar dapat dicegah.

8. Analisis dan Interpretasi data surveilans.

Kegiatan ini harus dilakukan secara tepat. Pemilihan metode analisis data

dan interpretasi data harus dilakukan untuk mempermudah teknik

pengendalian yang nantinya akan dilakukan. Analisis dan interpretasi pada

area yang luas dapat dilakukan dengan cara maping untuk mengetahui

penyebaran penyakit.

9. Mengambangkan metode diseminasi.

Diseminasi harus dilakukan secara tepat untuk dapat dilakukan

pengendalian. Apakah dilakukan dengan surat berita, siposkan, fax, email,

atau disuratkan secara elektronik pada level daeah. Atau sistem yang lebih

kompleks pada pengambil keputusan. Media massa seperti Koran, radio,

televisi, internet, dapat digunakan ntuk menginformasikan kepada public

terutama pada produsen daging dan peternakan.

10. Evaluasi sistem surveilans brucellosis

Idealnya, evaluasi sistem surveilans harus dilakukan pada interval tertentu

oleh individu maupun kelompok yang memiliki pengalaman epidemiologi

brucellosis. Pihak – pihak yang bertanggngjawab pada sistem haru

mempertanyakan pada komponen dokumen yang antara lain :

a) Deskripsi kejadian kesehatan di bawah sistem survailans dalam bentuk

jumlah kasus, insiden, dan prevalen. Indikator performance, diagnostic

yang berhubungan dengan indicator juga harus berhubungan dengan

tujuan.

b) Deskripsi sistem harus dievaluasi, termasuk tujuan dan definisi kasus

kejadian kesehatan dalam survailans. Diagram alir sistem harus

tersedia. Setiap komponen dalam diagram alir harus dideskripsikan

secara detail, dan bersamaan dengan overview dan bagaimana sistem

beroperasi.

c) Mengindikasikan kegunaan dari sistem dengan cara mendeskripsikan

aksi yang diambil oleh decision maker dan lainnya sebagai hasil dari

informasi yang didapatkan dari data survailans.

d) Mengevaluasi sistem secara keseluruhan pada atribut di bawah ini :

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 14

Page 15: Surveilans Integratif Brucellosis

1) Simplisity

2) Fleksibility

3) Acceptability

4) Sensitivity

5) Predictive value

6) Positive resource

7) Representativness, dan

8) Timeliness

e) Mendeskripsikan sumber daya yang digunakan oleh operator sistem dan

apabila memungkinkan memprediksikan biaya yang diperlukan.

f) Membuat list keismpulan dan rekomendasi.

E. Tujuan Surveilans Integratif Brucellosis

Tujuan utama dari human surveillance Brucellosis adalah untuk

mengidentifikasi infeksi baru pada manusia. Hal ini biasanya dilaporkan sebagai

kasus per 100.000 populasi. Tujuan lainnya adalah untuk mendeterminasi apakah

infeksi adalah utamanya berasal dari makanan atau berasal dari lainnya. Jika

berasal dari makanan apakah infeksi tersebut berasal dari produksi rumahan atau

komersial food. Surveilans rutin terhadap makanan yang beresiko tinggi biasanya

mahal dan tidak menjamin 100% keamanan makanan yang dapat dilakukan saat

Hazard Analisis And Critical Control Point (HACCP) program, seperti

memonitor treatment pemanasan dan pemasakan. Tujuan kedua adalah apakah

infeksi pada manusia didahului pada infeksi yang tidak terukur sebelumnya pada

binatang.

Indikator survailans pada manusia :

1) Performance Based Indicators Jumlah kasus baru (confirmed) per

100.000 populasi yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau batas

waktu yang sama dengan sebelumnya.

2) Diagnostic Based Indicator Termasuk :

a) Proporsional comparisons : suspected, probable, and confirm.

b) Comparison of source of report, seperti physicans, rumah sakit, ahli

pengobatan, dsb.

c) Comparison of probable source, seperti foodborne, kontak dengan

hewan, dsb.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 15

Page 16: Surveilans Integratif Brucellosis

3) Indikator berdasarkan sumber daya termasuk:

a) Jumlah test bacteriological, relative pada jumlah tes serologis.

b) Jumlah kasus kultur positif, dalam hubungannya terhadap jumlah

kultur yang diperiksa.

F. Kajian Surveilans Integratif Brucellosis

Gambar 2. Mekanisme Koordinasi Lintas Sektor (Sumber: Restra Penyakit Zoonotik 2012)

Mekanisme koordinasi/ komando yang dirumuskan (Gambar 2) adalah pada

tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Dinas Kesehatan (Dinkes) dan DINPKH

(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau Dinas yang menaungi fungsi Kesehatan

Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner) beserta Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) dan Lembaga Non Pemerintah (LNP) terkait lainnya pada tingkat

Kabupaten/Kota ataupun Provinsi dikoordinasikan sesuai dengan pengaturan Perpres

no.30 tahun 2011 tentang pengendalian zoonosis yang pelaksanaan koordinasi lintas

sektor dilaksanakan melalui wadah koordinasi Komisi Nasional Pengendalian

Zoonosis pada tingkat pusat.

Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis pada tingkat provinsi dan Komisi

Kabupaten/Kota pada tingkat Kabupaten/Kota. Sifat koordinasi yang dilakukan dalam

wadah koordinasi tersebut bersifat koordinatif fungsional dan berubah menjadi

komando operasional saat keadaan wabah dengan mempertimbangkan tingkatan

prevalensi wabah yang terjadi. Pejabat struktural di daerah provinsi atau

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 16

Page 17: Surveilans Integratif Brucellosis

kabupaten/kota yang mengoordinasikan pengendalian zoonosis secara lintas sektor

adalah sekretaris daerah (Sekda) atau pejabat yang memiliki fungsi koordinatif sesuai

dengan peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota yang mengacu kepada Perpres

nomor 30 tahun 2011. Hasil koordinasi pelaksanaan pengendalian dan perkembangan

zoonosis dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Gubernur dan

Bupati/Walikota yang menjabat secara ex officio sebagai ketua komisi pengendalian

zoonosis Provinsi dan ketua komisi pengendalian zoonosis Kabupaten/Kota.

Gubernur mengoordinasikan Bupati/Walikota di wilayah provinsi dalam pelaksanaan

pengendalian zoonosis.

Bupati melaporkan hasil pelaksanaan pengendalian zoonosis kepada

Gubernur. Gubernur melaporkan hasil pengendalian zoonosis dalam wilayah provinsi

kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi

Nasional Pengendalian Zoonosis. Instansi pemerintah pusat melaporkan hasil

pengendalian zoonosis sesuai tupoksinya kepada Menko Kesra dalam sidang Komisi

Nasional Pengendalian Zoonosis. Hasil Sidang Komnas Pengendalian Zoonosis

dilaksanakan oleh instansi anggota Komnas Pengendalian Zoonosis sesuai tupoksinya

masing-masing. Hasil sidang Komnas disampaikan kepada Komisi Provinsi sebagai

acuan dalam pengendalian zoonosis. Menko Kesra selaku ketua Komnas melaporkan

pengendalian zoonosis nasional kepada Presiden.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 17

Page 18: Surveilans Integratif Brucellosis

SurvailansEntomologi

Data yang dibutuhkan:Data Hewan ReservoarData RBT dan CFTData PenderitaDemografiPerilaku

PusatData RBT dan CFT

Konfirmasi Lab. Keswan

Pemeriksaan

Specimen reservoar

Konfirmasi UPT

BPPV

SurvailansReservoar

Konfirmasi Balai

Kesehatan Hewan

Gambar 3. Alur Strategi Kebjakan untuk pengendalian Bruselosis. (Sumber : Abellan 2002)

Berbagai negara atau daerah yang berbeda dalam suatu negara mungkin

memerlukan strategi yang berbeda dalam melaksanakan program pencegahan dan

pengendalian brucellosis. Strategi bisa tergantung pada epidemiologi dan kondisi

sosial ekonomi. Keputusan mengenai strategi yang tepat untuk pengendalian

dan/atau pemberantasan brucellosis biasanya tanggung jawab pemerintah pusat

meskipun ada beberapa negara yang mendelegasikan kepada daerah atau provinsi

serta dibuat berlaku untuk individu atau masyarakat pulau.

Dari gambar 2 mengenai alur skema lintas sektor dalam pengendalian

penyakit Zonotik di Indonesia serta gambaar 3, maka penulis mencoba

memberikan alur integritas mengenai penyakit Brucellosis secara khusus dimana

dapat dilihat pada gambar 4 (Alur Integritas Surveilans Brucellosis).

Gambar 4. Alur Integritas Surveilans Brucellosis

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 18

Page 19: Surveilans Integratif Brucellosis

Gambar 4 menunjukkan alur integritas pelaksanaan surveilans Brucellosis.

Surveilans Brucellosis terdiri dari surveilans resorvoar, entomologi, surveilans

penderita, surveilans perilaku, sosial ekonomi, dan surveilans pelaksanaan program.

Surveilans entomologi melakukan pemeriksaan spesimen nyamuk dengan

menggunakan data entomologi. Kemudian survey ini dikonfirmasi oleh data UPT

BPPV (Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner) dan laboratorium Kesehatan

Hewan. Selain itu, kerjasama lintas sektor sangat dibutuhkan untuk menangani

penularan brucellosis dan melibatkaan stakeholder dalam pengendalian dan jika perlu

juga terliba dalam pengawas dimana pengawasan ini bertujuan untuk meminimalisir

terjadinya penularan Brucellosis.

Stakeholder adalah orang yang berkepentingan atau berwenang dalam melakukan

tindakan/ action secara tepat dan cepat dalam mengatasi masalah penyakit termasuk

Brucellosis. Stakeholders dalam sistem kesehatan terdapat 2 jenis, yaitu :

1. Stakeholders aktif, yang dapat menjadi stakeholder kunci. Stakeholders ini pada

umumnya yang mempunyai kewenangan resmi seperti Depkes, Dinkes,

Dinkeswan dinas peternakan, perkebunan, dan lain lain.

2. Stakeholders pasif, yang dapat disebut stakeholder pendukung. Pada umumnya

kelompok ini sebagai kelompok target dari implementasi sistem kesehatan serta

Lembaga Non-Pemerintah (LPN). Misalnya kelompok masyarakat dan swasta,

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 19

Page 20: Surveilans Integratif Brucellosis

yang pada umumnya tidak memiliki kewenangan resmi. Stakeholder ini dapat

juga mendekati stakeholders aktif jika memiliki kepentingan dan pengaruh untuk

mendapatkan pengakuan dari stakeholder lainnya.

Beberapa stakeholders dan peranan yang dapat dilakukan oleh stakeholders

tersebut dalam masalah Brucellosis adalah :

1. Stakeholders aktif

Dinas yang terkait dalam stakeholders dan peranan dalam masalah Brucellosis:

a. Pemerintah

Pemerintah kota/kabupaten berwenang dalam masalah kebijakan-

kebijakan pencegahan dan pengendalian Brucellosis. Kebijakan ini menjadi

langkah represif untuk penanganan dan pengendaaliaan Brucellosis dari

Pemerintah kota/kabupaten langsung ke masyarakat. Bentuk peran lainnya

adalah pengalokasian dana untuk program pengendalian penyakt tersebut.

1) Bupati : memberikan surat keputusan atau kebijakan kepada setiap

kecamatan agar berperan aktif dalam pengendalia penyakit Brucellosis.

2) Kecamatan : memberikan surat keputusan atau kebijakan dari bupati

kepada desa/kelurahan.

3) Kelurahan : melaksanakan surat keptusan atau kebijakan mengenai

pengenalan, pengendalian dan penanganan brucellosis dengan cara

memberitahukan kepada perangkat desa, tokoh masyarakat, tempat

pemtongan hewan, pedagang daging di pasar tradisional untuk waspada.

b. Dinas Kesehatan

Dinas Kesehatan merupakan penyelenggara kegiatan surveilans

berkoordinasi dengan DINPKH (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau

Dinas yang menaungi fungsi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Veteriner) terhadap penyakit brusellosis. Kedua sektor ini bekerjasama dalam

membentuk UPT BPPV  dengan melakukan sensus dan resampling yang

dilakukan di kabupaten tempat reaktor hewan dengan menempatkan beberapa

petugas BPPV yang terlatih (para dokter hewan) untuk menyisir , menguji

RBT di tempat dan menandai sapi-sapi reaktor.

c. Puskesmas

Puskesmas sebagai bagian dari dinas Kesehatan, melakukan sosialisasi

dengan warga tentang bahaya Infeksi Brucellosis. Perannya yaitu memberikan

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 20

Page 21: Surveilans Integratif Brucellosis

penyuluhan langsung terhadap masyarakat yang bekerja sama dengan kader

masyarakat dengan metode .

d. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan

Dinas Peternakan dan Karantina Hewan menjalin komitmen dengan

pemasok untuk melakukan uji RBT dan uji konfirmatif dengan CF sapi/

hewan reservoir untuk lebih meningkatkan jaminan bahwa sapi bibit yang

masuk dan akan disebarkan ke peternak memang benar-benar bebas

brucellosis, dan tidak ada tersembunyi sapi karier yang false negatif uji.

2. Stakeholders pasif

Stakeholder pasif yang dimaksud disini adalah masyarakat. Adapun peranan

masyarakat dalam program Brucellosis yaitu :

1) Membantu dinas kesehat hewan melakukan pennyedian vaksin dalam

memberantas reaktor virus melalui kegiatan pengawasan serta penanganan

lalu lintas daging sapi di pasaran.

2) Membantu petugas kesehatan dalam hal pelaporan kasus Brucellosis jika

ada termasuk kasus suspek ke pihak yang berwenang.

3) Mengikuti program pemerintah dalam penyuluhan dan pengendalian

penyakit Brucelloisis.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke

manusia. Rendahnya publikasi brucellosis pada manusia serta tidak adanya

laporan kasus brucellosis pada manusia di Indonesia adalah sebagai penyebab

kurang dikenalnya brucellosis oleh masyarakat.

2. Jumlah kasus Brucellosis masi banyak terjadi di wilayah Indonesia. Sebanyak

558 untuk 10 Provinsi dan Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang tercatat

106 kasus untuk 5 Provinsi yakni Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe

Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 21

Page 22: Surveilans Integratif Brucellosis

3. Surveilans integratif Brucellosis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan

suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai

distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit Brucellosis dimana dalam hal

intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas

sektor sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani

masalah kesehatan dalam hal ini penyakit.

4. Tujuan utama dari human surveillance Brucellosis adalah untuk

mengidentifikasi infeksi baru pada manusia. Hal ini biasanya dilaporkan

sebagai kasus per 100.000 populasi serta untuk mendeterminasi apakah infeksi

utamanya adalah berasal dari makanan atau berasal dari lainnya.

5. Adapun bentuk surveilans integratif Brucellosis yaitu kerjasama lintas sektor

atau stakeholder dalam menangani masalah ini. Adapun stakeholder yang

berperan yaitu Dinas Kesehataan Hewan, Pemerintah, Dinas Kesehatan,

Puskesmas, UPT BPPV (Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner)Dinas

Peternakan, balai laboratorium kesehatan Hewan dan juga masyarakat.

B. Saran

1. Pengendalian brucellosis pada hewan dengan program eradikasi yang

komperhensif berupa eliminasi hewan positif brucellosis secara serologis dan

melalui program vaksinasi dapat menanggulangi kejadian brucellosis pada

manusia .

2. Kerjasama lintas sektor dalam menangani masalah Brucellosis sebaiknya lebih

ditingkatkan lagi mengingat Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang

endemis. Menggaet juga lebih banyak LSM untuk membantu penanganan dan

pengawannya. Dengan meningkatnya kerjasama lintas sektor maka diharapkan

tidak ada lagi daerah endemis Brucellosis yang baru atau berkurangnya status

endemisitas penyakit ini di suatu daerah.

3. Kelengkapan pencatatan dan pelaporan kasus brucellosis yang lebih baik dapat

berpengaruh terhadap program-program yang akan dilakukan dalam rangka

penanganan penyakit brucellosis.

4. Apabila pelaksanaan kegiatan di daerah tidak optimal, perlu dipertimbangkan

perubahan kebijakan terhadap PHM (Penyakit Hewan Menular) yaitu

Brucellosis. Strategis termasuk yang bersifat zoonosis yaitu dari program

pemberantasan menjadi program pengendalian. Sangat strategis untuk

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 22

Page 23: Surveilans Integratif Brucellosis

melibatkan peran dan keikutsertaan Depdagri dalam pengendalian PHM

Strategis termasuk yang zoonosis.

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 23