survailans integratif penyakit filariasis

38
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis adalah penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh cacing filarial yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia, ditularkan oleh serangga (nyamuk) secara biologik, penyakit ini bersifat menahun. Bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, pembesaran lengan, payudara, dan alat kelamin baik laki-laki maupun perempuan (Zulkoni, 2010). Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan dan menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara (Direktorat P2B2, Ditjen PP & PL Kemenkes RI.201). Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh dunia dan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis (Depkes RI, 2006). Situasi prevalensi mikrofilaria di Indonesia tahun 2000-2009 berdasarkan hasil survey darah jari berkisar dari 1% hingga 38,57%. Pulau Sumatra berada di kisaran Surveilans Integratif Filariasis | 1

Upload: aryanirini

Post on 03-Jan-2016

632 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filariasis adalah penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh

cacing filarial yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah

manusia, ditularkan oleh serangga (nyamuk) secara biologik, penyakit ini

bersifat menahun. Bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan

cacat menetap berupa pembesaran kaki, pembesaran lengan, payudara, dan

alat kelamin baik laki-laki maupun perempuan (Zulkoni, 2010). Penyakit ini

tersebar luas di pedesaan dan perkotaan dan menyerang semua golongan tanpa

mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang

berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus

berada di Asia Tenggara (Direktorat P2B2, Ditjen PP & PL Kemenkes

RI.201).

Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83

negara seluruh dunia dan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83

negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis

(Depkes RI, 2006). Situasi prevalensi mikrofilaria di Indonesia tahun 2000-

2009 berdasarkan hasil survey darah jari berkisar dari 1% hingga 38,57%.

Pulau Sumatra berada di kisaran 1,00-18,50%, Pulau Kalimantan 1,00-

26,00%, Pulau Jawa, Bali, NTB 1,00-9,20%, Pulau Sulawesi 1,10-28,21%,

dan Pulau Maluku, Papua, Papua Barat, NTT, dan Maluku Utara berada di

kisaran 1,14-38,57% (Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 1, Juli 2010).

Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis,

terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi.

Sejak tahun 2000 hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak

11.914 kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota. Hasil laporan kasus

klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survey

endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337

kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis (Direktorat

P2B2, Ditjen PP & PL Kemenkes RI.201).

Surveilans Integratif Filariasis | 1

Page 2: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian tetapi merupakan salah

satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah sosial

lainnya. Hal ini disebabkan karena bila terjadi kecacatan menetap maka

seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga dapat

menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat dan negara. Seringnya

serangan akut pada penderita filariasis sangat menurunkan produktivitas kerja

sehingga akhirnya dapat juga merugikan masyarakat (Farlina,2008).

Penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit di daerah tropis dan

subtropis yang sebelumnya terabaikan. Mengingat penyebaran yang sangat

luas di Indonesia maka bila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan

kecacatan dan stigma psikososial yang berdampak pada penurunan

produktivitas penderita, beban keluarga dan kerugian ekonomi yang besar

bagi negara. Oleh karena itu penyakit kaki gajah ini telah menjadi salah satu

penyakit menular yang diprioritaskan untuk dieliminasi. Di tingkat global,

program eliminasi fIlariasis telah dicanangkan sejak 1999, dan WHO terus

menggerakkan program eliminasi ini di negara endemis, termasuk Indonesia

(Direktorat P2B2, Ditjen PP & PL Kemenkes RI.201).

B. Tujuan Penulisan

a. Mengetahui analisis situasi penyakit filariasis

b. Mengetahui definisi surveilans integratif penyakit filariasis

c. Mengetahui tujuan surveilans integratif penyakit filariasis

d. Mengetahui kajian dan kerjasama lintas sektor surveilans integratif

penyakit filariasis

Surveilans Integratif Filariasis | 2

Page 3: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definis Penyakit Filariasis

Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah

merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing

filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat

menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara,

dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening.

Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik

(Depkes RI, 2005).

Filariasis hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

di Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak mematikan namun dapat

mengakibatkan kecacatan sehingga memberikan dampak yang cukup besar

bagi penderita maupun masyarakat, antara lain menurunnya produktivitas

penderita dan memberikan beban sosial bagi penderita, keluarga maupun

masyarakat (Noor, 2006).

B. Etiologi dan Faktor Risiko Penyakit Filariasis

Penyakit filariasis disebabkan oleh cacing dari kelompok nematoda,

yaitu Wucheraria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga jenis

cacing tersebut menyebabkan penyakit kaki gajah dengan cara penularan

dan gejala klinis, serta pengobatan yang sama. Cacing betina akan

menghasilkan larva, disebut microfilaria yang akan bermigrasi kedalam

sistem peredaran darah (Direktorat P2B2, Ditjen PP dan PL Kemenkes RI

2010).

Penyakit filariasis bancrofti disebabkan oleh cacing Wucheraria brancofti,

sedangkan filariasis malayi dan filariasis timori masing- masing disebabkan

oleh Brugia malayi dan Brugia timori (Soedarto, 2009). Penyakit kaki gajah

terutama disebabkan karena adanya cacing dewasa yang hidup di saluran

getah bening. Cacing tersebut akan merusak saluran getah bening yang

mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan baik

Surveilans Integratif Filariasis | 3

Page 4: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing

dewasa mampu bertahan hidup selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah

bening (Direktorat P2B2, Ditjen PP dan PL Kemenkes RI 2010).

Parasit filaria ditularkan melalui spesies nyamuk khusus atau artropoda

lainnya, memiliki stadium larva serta siklus hidup yang kompleks. Anak dari

cacing dewasa berupa mikrofilaria bersarung, terdapat di dalam darah dan

paling sering ditemukan di aliran darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di

peredaran darah enam bulan sampai satu tahun kemudian dan dapat bertahan

hidup hingga 5 – 10 tahun. Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilaria berukuran

250 – 300x 7 – 8 mikron. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori,

mikrofilaria berukuran 177 – 230 mikron (Medicafarma, 2008).

Sebanyak 23 spesies nyamuk dari 5 genus telah teridentifikasi di

Indonesia. Genus tersebut yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan

Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Beberapa spesies Anopheles, Culex,

dan Aedes telah dilaporkan menjadi vektor filariasis brancofti di perkotaan

atau di pedesaan. Vektor utama filariasis di daerah perkotaan adalah adalah

Culex quinguefasciatus, sedangkan di pedesaan filariasis brancofti dapat

ditularkan oleh berbagai spesies Anopheles (Gandahusada, 1998).

Adapun faktor risiko penyakit filariasis dapat dibedakan menjadi

karakteristik individu, lingkungan, dan perilaku. Karakteristik individu yang

dimaksud adalah umur, jenis kelamin, kelompok etnik, agama, hubungan garis

keturunan dan antarkeluarga, jenis pekerjaan, status perkawinan dan

sebagainya (Noor, 2002).

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan

mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah

daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang

ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban)

adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak

genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.

quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W. bancrofti tipe pedesaan

(rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B.

Surveilans Integratif Filariasis | 4

Page 5: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

malayi (Nasrin, 2008). Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi

lingkungan fisik, lingkungan biologi, dan lingkungan ekonomi dan sosial

budaya.

Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,

struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat

kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap

munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat

menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk

(Notoatmojo, 1997 dalam Nasrin, 2008). Selain itu yang termasuk lingkungan

fisik yaitu keberadaan kawat kasa di dalam rumah, keberadaan barang-barang

tergantung di rumah, dan adanya tempat perindukan nyamuk seperti kebun

dan sawah-sawah.

Selain lingkungan, perilaku juga dapat menjadi faktor risiko filariasis.

Perilaku yang dimaksud terkait dengan siklus menggigit nyamuk, kapan dan

dimana biasanya vektor filariasis melakukan aktivitas menghisap darah.

Perilaku tersebut misalnya kebiasaan keluar rumah pada malam hari, tidak

menggunakan pakaian berlengan panjang atau celana panjang pada malam

hari untuk menghindari gigitan nyamuk, begitu juga dengan perilaku yang

tidak menggunakan repellent atau kelambu pada saat tidur di malam hari.

Selain itu adanya mobilisasi dapat meningkatkan penularan filariasis.

Mereka yang berasal dari daerah endemis filariasis bila melakukan perjalanan

dan mendatangi suatu daerah bebas filariasis maka daerah tersebut berpeluang

untuk menjadi daerah baru filariasis apabila mereka membawa bibit filariasis

ke daerah tersebut.

C. Hospes Penyakit Filariasis

Cacing filaria memerlukan hospes sebagai media pertumbuhan dan

perkembangbiakan untuk melengkapi siklus kehidupannya.

a. Manusia

Setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk

infektif yang mengandung larva stadium tiga. Nyamuk infektif

mendapatkan mikrofilaria dari penderita yang tidak menunjukkan gejala

Surveilans Integratif Filariasis | 5

Page 6: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi

filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.

Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis

biasanya sudah terjadi perubahan- perubahan patologis dalam tubuhnya

(Ditjen, PP & LP, 2005a dalam Sunardi, 2006).

b. Hewan

Beberapa hewan dapat berperan sebagai sumber penularan penyakit

filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang

menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe subperiodik

nokturna dan periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis crisatus),

kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus), (Gandahusada,

1998).

D. Masa Inkubasi dan Penularan

1. Masa inkubasi

Siklus hidup ketiga spesies cacing filaria (Wuchereria bancrofti,

Brugia malayi dan Brugia timori) adalah hampir mirip. Larva infektif

stadium 3 (L3i) masuk ke dalam darah melalui luka oleh gigitan nyamuk.

Larva bermigrasi ke kelenjar limfe yang terdekat selanjutnya menjadi

cacing dewasa dalam waktu kira-kira 3 bulan-1 tahun. Rata- rata waktu

inkubasi sebelum menjadi infektif adalah 15 bulan. Cacing dewasa dapat

hidup 5-10 tahun dan menyebabkan berbagai masalah karena kerusakan

pembuluh limfe dan respon sistem imun yang dihasilkan. W. bancrofti dan

B. timori tidak memerlukan reservoir hewan. Sebaliknya pada B.malayi

dilaporkan dapat menginfeksi kera ataupun mamalia lain sehingga bersifat

zoonosis.

Pada manusia antara 3-15 bulan sedangkan pada hewan bervariasi

sampai beberapa bulan. Masa inkubasi mungkin sesingkat 2 bulan.

Periode pra paten (dari saat infeksi sampai tampaknya microfilaria di

dalam darah) sekurang-kurangnya 8 bulan. Daur hidup parasit ini

memerlukan waktu yang panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam

nyamuk kurang lebih 2 minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan belum

Surveilans Integratif Filariasis | 6

Page 7: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

diketahui secara pasti tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan

masa pertumbuhan parasit ini di dalam Presbytis cristata (lutung).

Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam

lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot

toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai soses dan

disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini

bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva

stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali

lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut larva stadium III.

2. Masa Penularan

Penyakit filariasis dapat tertular apabila orang tersebut digigit nyamuk

yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3).

Nyamuk tersebut mengandung cacing filaria kecil atau disebut

mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita yang juga mengandung

mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria

(Depkes RI, 2009).

Mikrofilaria tidak berkembang biak dalam tubuh nyamuk tetapi hanya

berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3.

Oleh karena itu diperlukan gigitan berulang kali untuk tejadinya infeksi.

Di dalam tubuh manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya

tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta berkembang biak

(Usman, 2009).

Siklus penularan penyakit filariasis terdiri atas dua tahap yaitu :

a. Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor)

1. Ketika nyamuk menghisap darah penderita maka beberapa

mikrofilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam

lambung nyamuk.

2. Setelah berada di lambung nyamuk, mikrofilaria melepas

selubung, dan menerobos dinding lambung menuju ke rongga

badan dan selanjutnya ke jaringan otot toraks.

Surveilans Integratif Filariasis | 7

Page 8: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

3. Larva stadium I (L1) berkembang menjadi larva stadium II (L2) di

dalam jaringan otot toraks dan selanjutnya berkembang menjadi

larva stadium III yang infektif (L3).

4. Waktu untuk perkembangan L1 menjadi L3 (masa inkubasi

ekstrinsik) untuk Wucheriria bancrofti antara 10-14 hari, Brugia

malayi dan Brugia timori 7-10 hari.

5. Mikrofilaria stadium III bergerak menuju proboscis nyamuk dan

akan dipindahkan ke manusia sebagai hospes definitif dan binatang

sebagai hospes reservoir.

6. Mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan

bentuk dan tidak mengadakan perkembangbiakan.

b. Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan reservoir

1. L3 akan menuju sistem limfe di dalam tubuh manusia dan

selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina.

2. Melalui proses kopulasi, cacing betina menghasilkan mikrofilaria

yang beredar di dalam darah secara periodik. Seekor cacing betina

akan menghasilkan 30.000 larva setiap hari.

3. Pada cacing Wucheriria bancrofti, perkembangan L3 menjadi

cacing dewasa dan menghasilkan mikrofilaria dibutuhkan waktu

selama 9 bulan dan untuk Brugia malayi dan Brugia timori selama

3 bulan.

4. Selain pada manusia, siklus ini juga terjadi pada binatang.

Surveilans Integratif Filariasis | 8

Page 9: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Adapun siklus penularan penyakit filariasis dapat dilihat pada gambar

dibawah ini :

Gambar 1. Siklus Penularan Penyakit Filariasis

E. Upaya Pencegahan dan Pengobatan

1. Pencegahan Penyakit Filariasis

Upaya- upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gigitan

nyamuk filariasis, yaitu :

a. Menggunakan kelambu saat tidur

b. Menggunakan obat gosok anti nyamuk (repellent)

c. Memasang kawat kasa pada ventilasi rumah

d. Menyemprot rumah/kamar dengan obat anti nyamuk

e. Membersihkan halaman dari tempat perkembangbiakan nyamuk

seperti air yang tergenang, selokan, rawa-rawa, dan lainnya (Depkes

RI, 2009)

f. Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu

dilakukan agar terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk

mendukung penanggulangan filariasis.

2. Pengobatan Penyakit Filariasis

World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination of

Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem” pada tahun 2007, yang

Surveilans Integratif Filariasis | 9

Page 10: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

sebelumnya pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan

mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic

Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia

sepakat untuk ikut serta dalam eliminasi filariasis global yang

ditandai dengan pencanangan dimulainya eliminasi filariasis di

Indonesia oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002 di Desa

Mainan, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera

Selatan (Direktorat P2B2, Ditjen PP dan PL Kemenkes RI 2010).

a. Pengobatan Massal

Dilakukan di daerah endemis (mf rate > 1%) dengan menggunakan

obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan

Albendazole sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk

mencegah reaksi pengobatan seperti demam atau pusing dapat

diberikan Pracetamol. Pengobatan massal diikuti oleh seluruh

penduduk yang berusia 2 tahun keatas, yang ditunda selain usia ≤ 2

tahun, wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita

penyakit berat.

b. Pengobatan Selektif 

Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota

keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di

daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non endemis).

c. Pengobatan Individual (penderita kronis)

Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama

10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan perawatan

terhadap bagian organ tubuh yang bengkak.

F. Klasifikasi Kasus Filariasis

a. Kasus suspek filariasis

Kasus suspek (penyakit atau infeksi) adalah penyakit klinis yang

kompatibel atau memenuhi definisi kasus klinis tanpa tes laboratorium

atau kasus dengan tes laboratorium sugestif tanpa informasi klinis. Contoh

kasus suspek filariasis :

Surveilans Integratif Filariasis | 10

Page 11: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Kasus seorang wanita yang datang dengan pembengkakan kaki kanan

(limfedema kaki kanan), yang kemudian didiagnosis dengan suspek

Lymphatic filariasis. Dari anamnesis didapatkan keluhan pembengkakan

kaki kanan sejak 15 tahun yang lalu, sebelumnya pasien ada merasakan

benjolan yang tidak nyeri dan teraba lunak pada lipatan paha atas dan

kemudian secara perlahan-lahan terjadi pembesaran pada tungkai dan kaki

kanan dan terasa lebih keras dibandingkan dengan kaki kiri. Sewaktu awal

pembengkakan muncul, didapatkan gejala sistemik berupa demam dan

nyeri. Saat ini pasien juga mengeluhkan nyeri pada kaki kanan terutama

jika digunakan untuk berdiri dalam jangka waktu lama.

b. Kasus probable

Kasus probable adalah kasus suspek disertai salah satu keadaan bukti

laboratorium terbatas. Contoh kasus probable :

Hasil pemeriksaan fisik seorang wanita masih dalam batas normal,

namun pada status lokalis di regio ekstremitas kanan didapatkan

pembesaran kaki kanan yang teraba kering, dengan penipisan lapisan kulit

pada bagian tungkai yang membengkak, tidak didapatkan bentukan kutil

pada kulit penderita. Hasil pemeriksaan labratorium saat dirawat di Rumah

Sakit Dr. Sutomo, pada umumnya berada dalam batas normal. Hasil

pemeriksaan USG Doppler didapatkan edema ekstremitas kanan bawah

dengan tipe edema kutis dan subkutis femur proksimal sampai cruris

distal. Tidak tampak trombosis vena dalam, Air flow spectral dalam batas

normal.

c. Kasus konfirmasi

Kasus konfirmasi adalah sebuah kasus yang dikonfirmasi oleh hasil

pemeriksaan laboratorium ditambah dengan gejala kasus suspek dan kasus

probable. Contoh kasus konfirmasi yaitu :

Hapusan darah secara mikroskopis ditemukan mikrofiaria Wuchereria

bancrofti. Kemudian penderita dikonsulkan ke divisi penyakit tropik

infeksi dan didiagnosis dengan lymphatic filariasis grade III (suspek).

Untuk kemudian ditindak-lanjuti dengan pemeriksaan hapusan darah

Surveilans Integratif Filariasis | 11

Page 12: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

beberapa kali, pada malam hari antara jam 22.00-02.00 untuk mendeteksi

keberadaan mikrofilaria, bila didapatkan hasil positif maka dapat dimulai

terapi definitif.

Surveilans Integratif Filariasis | 12

Page 13: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

BAB 3

SURVEILANS INTEGRATIF PENYAKIT FILARIASIS

A. Analisis Situasi

1. Situasi Makro Ekonomi

Selama tahun 2002 – 2008, penduduk Indonesia bertambah rata-

rata sebesar 1.33% per tahun, sementara Produk Domestik Bruto

(PDB) per kapita mengalami kenaikan hampir 3 kali lipat (dari US$

743.3 menjadi US$ 2.200.8). Menurut WHO, persentase pengeluaran

kesehatan terhadap PDB Indonesia tahun 2006 adalah 2,5% (World

Health Statistic, 2009). Data Kementerian Kesehatan mengindikasikan

bahwa belanja kesehatan memperlihatkan kecenderungan meningkat dari

tahun ke tahun. Meskipun menunjukkan peningkatan, dana untuk

program filariasis hanya berkisar kurang dari 1% dari dana

Kementrian Kesehatan selama ini (pada tahun 2006 dana program

filariasis sekitar 2,5 milyar rupiah).

2. Situasi Endemisitas

Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van

Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab

filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di

Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di

Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa

Tenggara Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau

Jawa, Bali, NTB dan Papua. Distribusi spesies cacing filaria di

Indonesia tampak pada gambar 1

Surveilans Integratif Filariasis | 13

Page 14: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Gambar 2. Distribusi Spesies Cacing Filaria di Indonesia

Dalam perkembangannya, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada

23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex,

Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Distribusi vektor

filariasis menurut lokasi spesies mikrofilaria ditemukan di berbagai

wilayah (gambar 2).

Gambar 3.Peta Distribusi Vektor Filariasis dan Spesies Mikrofilaria Tahun 2008

Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 di Indonesia kasus kronis

filariasis dilaporkan ada 11.914 kasus yang tersebar di 401

Kabupaten/kota (grafik 1). Peningkatan jumlah kasus yang terjadi dalam

kurun waktu 4 tahun ini disebabkan bertambahnya jumlah kasus baru

ataupun kasus lama yang baru dilaporkan.

Surveilans Integratif Filariasis | 14

Page 15: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Gambar 4. Kasus Klinis Kronis Filariasis Di Indonesia 2000-2009

Berdasarkan hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari

kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survei endemisitas filariasis,

sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 (71,9%) kabupaten/kota

endemis dan 135 (28,1%) kabupaten/kota non endemis. Distribusi

kabupaten/kota endemis filariasis dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 5. Peta Endemisitas Filariasis Di Indonesia Tahun 2009

Penyelenggaraan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah

endemis filariasis. Endemisitas filariasis di kabupaten/kota ditentukan

berdasarkan survei pada desa yang memiliki kasus kronis, dengan

memeriksa darah jari 500 orang yang tinggal disekitar tempat tinggal

penderita kronis tersebut pada malam hari. Mikrofilaria (Mf) rate 1%

atau lebih merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah

endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan

Surveilans Integratif Filariasis | 15

Page 16: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

yang positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa

dikali seratus persen.

Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan

endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Situasi

prevalensi mikrofilaria di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari

(SDJ) berkisar dari 1% hingga 38,57%. Prevalensi mikrofilaria di

Maluku, Papua, Irian Jaya Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku

Utara umumnya lebih tinggi dari pulau lainnya di Indonesia seperti

terlihat pada tabel 1.

Tabel 1 Situasi Prevalensi Mikrofilaria Tahun 200-2009

Daerah yang Mf rate tinggi artinya di daerah tersebut banyak

ditemukan penduduk yang mengandung mikrofilaria di dalam

darahnya. Semakin tinggi Mf rate semakin tinggi pula risiko terjadi

penularan filariasis.

Sejak tahun 2005, sebagai unit pelaksana atau IU (implementation unit)

penanganan filariasis adalah setingkat kabupaten/kota. Artinya, satuan wilayah

terkecil dalam program ini adalah kabupaten/kota, baik untuk penentuan

endemisitas maupun pelaksanaan POMP filariasis. Bila sebuah kabupaten/kota

sudah endemis filariasis, maka kegiatan POMP filariasis harus segera

dilaksanakan. Agar mencapai hasil optimal sesuai dengan kebijakan nasional

eliminasi filariasis dilaksanakan dengan memutus rantai penularan, yaitu

dengan cara POMP filariasis untuk semua penduduk di kabupaten/kota tersebut

kecuali anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit

berat, penderita kronis filariasis yang dalam serangan akut dan balita dengan

marasmus/kwasiorkor dapat ditunda pengobatannya.

Surveilans Integratif Filariasis | 16

Page 17: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

B. Definisi Surveilans Integratif Penyakit Filariasis

Surveilans adalah suatu kegiatan yang bersifat rutin dan teratur, tepat dan

menyeluruh berupa pencatatan, pengamatan, dan pelaporan (RR) yang cermat

dan lengkap mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor yang mempengaruhi

masalah kesehatan untuk kepentingan baik perencanaan maupun intervensi.

Sedangkan integratif adalah suatu keterpaduan dalam beberapa hal. Jadi

surveilans integratif filariasisi adalah suatu kegiatan yang menghasilkan suatu

informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai

distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit filariasis dimana dalam hal

intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas

sektor sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani

masalah kesehatan dalam hal ini penyakit filariasis. Surveilans ini meliputi

survai entomologi, survai larva, survai perilaku, survai program, dan survai

penderita filariasis.

C. Tujuan Surveilans Integratif Filariasis

1. Tujuan umum surveilans integratif filariasis

Memantau penyebaran atau penularan dan perkembangan penyakit

filariasis yang dimanfaatkan untuk identifikasi ancaman endemik filariasis

suatu daerah, mendeteksi dan memberikan peringatan dini terhadap suspek

filariasis, memberikan gambaran epidemiologi filariasis, memberikan

gambaran klinis dan laboratorium, membantu dalam hal penatalaksanaan

kasus filariasis serta memberikan peringatan dini terhadap perubahan fase

endemis filariasis.

2. Tujuan khusus surveilans integratif filariasis

a) Deteksi dini penularan kasus filariasis

b) Pemetaan daerah-daerah tertular dan daerah endemik baru filariasis

c) Memperoleh gambaran epidemiologi filariasis

d) Memperoleh gambaran epidemiologi faktor risiko filariasis

e) Memperoleh gambaran epidemiologi filariasis, sumber, cara

penularan, serta rumusan penanggulangan filariasis

f) Deteksi dini risiko penularan filariasis dari gigitan nyamuk ke manusia

Surveilans Integratif Filariasis | 17

Page 18: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

SurvailansEntomologi

Pemeriksaan

Specimen nyamuk

Konfirmasi BPLH

Data Entomolo

gi

Data BPLH

Survailans Larva

Pemeriksaan Larva

Konfirmasi Lab. BPLH

Data Larva

Survailans Penderita

Pendekatan Klinis

Survailans Perilaku

Konfirmasi Puskesmas

SurvailansPelaksana

an Program

Data yang dibutuhkan:Data penderitaPelaksanaan programEntomologiLarvaDemografiperilaku

Analisis Data Output data

BPLH

DINKES

LSMBackup data Base

Survailans sosial

ekonomi

Survailans Sanitasi

Konfirmasi Puskesmas

Provinsi

Pusat

Konfirmasi Puskesmas

g) Memperoleh gambaran patofisiologi dan penatalaksanaan kasus serta

pemberian pengobatan terhadap kasus filariasis.

D. Kajian integratif surveilans filariasis

Gambar 6. Alur integritas surveilans filariasis

Gambar di atas dapat menunjukkan alur integritas pelaksanaan surveilans

filariasis. Surveilans filariasis terdiri dari surveilans entomologi, surveilans larva,

surveilans penderita, surveilans perilaku dan sosial ekonomi, surveilans sanitasi

dan surveilans pelaksanaan program.

Surveilans Integratif Filariasis | 18

Page 19: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Surveilans entomologi melakukan pemeriksaan spesimen nyamuk dengan

menggunakan data entomologi. Kemudian survey ini dikonfirmasi oleh data

BPLH (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup).

Selain itu, kerjasama lintas sektor sangat dibutuhkan untuk menangani

penularan filariasis. Sektor yang terkait dengan penanganan ini tidak harus

berasala dari sektor kesehatan, tetapi banyak sektor yang dapat terlibat termasuk

LSM yang bergerak di bidang pemerhati lingkungan. Sektor atau Dinas

Perhubungan dibutuhkan untuk mengawasi mobilisasi yang terjadi antara daerah.

Pengawasan ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya penularan filariasis.

Stakeholder adalah orang yang berkepentingan atau berwenang dalam

melakukan tindakan/ action secara tepat dan cepat dalam mengatasi masalah

penyakit termasuk filariasis. Stakeholders dalam sistem kesehatan terdapat 2 jenis,

yaitu :

1. Stakeholders aktif, yang dapat menjadi stakeholder kunci. Stakeholders ini

pada umumnya yang mempunyai kewenangan resmi seperti Depkes, Dinkes,

dan lain lain.

2. Stakeholders pasif, yang dapat disebut stakeholder pendukung. Pada

umumnya kelompok ini sebagai kelompok target dari implementasi sistem

kesehatan. Misalnya kelompok ini masyarakat publik dan swasta, yang pada

umumnya tidak memiliki kewenangan resmi. Stakeholder ini dapat juga

mendekati stakeholders aktif jika memiliki kepentingan dan influence

(pengaruh) untuk mendapatkan legitimate (pengakuan) dari stakeholders yang

ada.

Beberapa stakeholders dan peranan yang dapat dilakukan oleh stakeholders

tersebut dalam masalah penyakit filariasis :

1. Stakeholders aktif :

a. Sektor dinas pendidikan. Peranan dari sektor dinas pendidikan yaitu

melakukan pemberian informasi tentang penyakit filariasis ke sekolah-

sekolah melalui edukasi. Dengan adanya pemberian informasi ini

diharapkan seluruh masyarakat dapat mengerti dan mengetahui mengenai

filariasis sehingga praktik pencegahan dapat berjalan dengan baik.

Surveilans Integratif Filariasis | 19

Page 20: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

b. Antar bidang dalam seksi Dinas Kesehatan :

1) Seksi penyehatan lingkungan. Peranan seksi penyehatan lingkungan

yaitu pemeliharaan lingkungan agar tidak terjadi sarang nyamuk yang

merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk baik untuk penyakit

filariasis, malaria, maupun DBD.

2) Seksi promosi kesehatan. Peranan sektor ini yaitu membantu

mempromosikan pemberantasan filariasis di dinas pendidikan dan

seksi penyehatan lingkungan.

3) Seksi pendayagunaan tenaga dan sarana kesehatan. peranan dari seksi

pendayagunaan tenaga dan sarana kesehatan yaitu peningkatan

pengetahuan dan keterampilan petugas dalam perawatan dan

pengobatan filariasis.

4) Seksi pencegahan dan pemberantasan penyakit, peranannya yaitu

untuk mencegah filariasis agar tidak terjadi endemis di daerah baru

yang sebelumnya tidak ditemukan kasus filariasis.

5) Seksi pemantau penyakit. Peranan yaitu kegiatan pencatatan dan

pedokumentasian penderita filariasis.

2. Dinas yang terkait dalam stakeholders dan peranan dalam masalah filariasis:

a. Pemerintah

Pemerintah kota/kabupaten berwenang dalam masalah kebijakan-

kebijakan pencegahan dan penanggulangan filariasis. Kebijakan ini

menjadi langkah represif untuk penanganan dan pencegahan filariasis dari

Pemerintah kota/kabupaten langsung ke masyarakat. Bentuk peran lainnya

adalah pengalokasian dana untuk program pemberantasan dan pencegahan

penyakit filariasis.

1) Bupati : memberikan surat keputusan atau kebijakan kepada setiap

kecamatan agar berperan aktif dalam pemberantasan penyakit

filariasis.

2) Kecamatan : memberikan surat keputusan atau kebijakan dari bupati

kepada desa/kelurahan.

Surveilans Integratif Filariasis | 20

Page 21: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

3) Kelurahan : melaksanakan surat keptusan atau kebijakan mengenai

pemberantasan filariasis dengan cara memberitahukan kepada

perangkat desa, dan organisasi sosial yang ada, seperti posyandu,

PKK, dan perkumpulan-perkumpulan yang lain.

b. Dinas Kesehatan

Dinas Kesehatan merupakan penyelenggara kegiatan surveilans

terhadap penyakit filariasis. Hasil kegiatan surveilans ini berupa data

kesakitan dan kecacatan filariasis yang akan digunakan untuk penanganan

masalah lebih lanjut. Seperti penggalakan program pemberantasan sarang

nyamuk (fogging dan program 3M Plus) terhadap masyarakat, penyuluhan

tentang bahaya filariasis oleh puskesmas setempat, juga pemberdayaan

masyarakat dalam mengelola lingkungan.

1) P2P (Program Pemberantasan Penyakit): orang-orang didalam lingkup

P2P akan bertindak memberantas penyakit filariasis dilihat dari vektor

nyamuknya.

2) Sanitasi Lingkungan: orang-orang didalam lingkup sanitasi lingkungan

akan membenahi sistem sanitasi di daerah yang bermasalah, contohnya

daerah yang memiliki genangan air limbah domestik yang tidak tepat

maka sanitarian berhak memikirkan masalah ini.

3) Promosi Kesehatan : Divisi ini berperan mempromosikan hidup sehat

agar terhindar dari penyakit filariasis. Contohnya mempromosikan

kegiatan bersih-bersih selokan atau parit, membabat tanaman-tanaman

yang terlalu lebat (yang berpotensi sebagai habitat nyamuk filariasis).

c. Dinas lingkungan

Dinas lingkungan mempunyai peran dalam pemantauan program 3M+

pada masyarakat secara berkala, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan.

d. Puskesmas

Puskesmas sebagai bagian dari dinas Kesehatan, melakukan sosialisasi

dengan warga tentang filariasis. Perannya yaitu memberikan penyuluhan

langsung terhadap masyarakat yang bekerja sama dengan kader

masyarakat.

Surveilans Integratif Filariasis | 21

Page 22: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

e. Dinas Perkebunan

Dinas perkebunan berperan dalam penataan tanaman perkebunan,

sehingga dapat mengurangi habitat nyamuk Anopheles, Culex, dan vektor

penular filariasis lainnya.

f. Dinas Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL), dan

Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Kesehatan Bidang Pengendalian

dan Pemberantasan Penyakit (P2P).

Pengendalian filariasis dapat dilakukan melalui peran Dinas PP dan PL

sebagai stakeholder terkait dengan habitat nyamuk Anopheles, Culex, dan

vektor penular filariasis lainnya yang terdapat di rawa, tambak yang

terlantar, genangan air. Oleh karena itu dinas PP &PL dapat mengambil

kebijakan dengan bekerjasama dengan dinas Pekerjaan Umum dalam

pengendalian dan pembersihan habitat nyamuk Anopheles, Culex, dan

vektor penular filariasis lainnya sebagai vektor penyebab filariasis.

g. Dinas keimigrasian

Sebagai stakeholder dinas keimigrasian bekerja sama dengan dinas

perhubungan untuk memantau apakah transportasi yang digunakan bebas

dari vektor nyamuk Anopheles , Culex, dan vektor penular filariasis. Oleh

karena itu, transportasi yang akan menuju ke suatu daerah harus dilakukan

pembersihan nyamuk Anopheles , Culex, dan vektor penular filariasis

sebelum berangkat dan setelah tiba di suatu daerah terutama di daerah

dengan endemis filariasis.

h. Dinas peternakan

Nyamuk vektor filariasis termasuk Anopheles banyak terdapat di

tambak ikan yang tidak digunakan atau terabaikan. Dinas peternakan dapat

berperan dalam melakukan kegiatan promosi mengenai habitat nyamuk

vektor filariasis atau dengan kata lain mengkomunikasikan dengan para

pemilik tambak untuk membersihkan atau mengurus tambak ikan yang

mereka punya.

Surveilans Integratif Filariasis | 22

Page 23: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

i. Dinas kehutanan dan Dinas Kesehatan bagian Promosi Kesehatan.

Habitat nyamuk Anopheles , Culex, dan vektor penular filariasis juga

terdapat di hutan-hutan tropis. Oleh karena itu, Dinas kehutanan dapat

memberikan proteksi terhadap pekerja yang masuk hutan atau masyarakat

yang berada di sekitar wilayah hutan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

cara melakukan kerja sama dengan Dinas Kesehatan bidang Promosi

Kesehatan untuk memberi warning tentang apa yang harus dilakukan oleh

masyarakat saat masuk hutan, seperti memakai lotion anti nyamuk, baju

panjang, dan juga memberi kelambu pada masyarakat di sekitar hutan

untuk memberi proteksi dari vektor filariasis saat tidur. Pemberian

penyuluhan bagi masyarakat diperlukan karena dengan adanya penyuluhan

tersebut maka pengetahuan masyarakat akan bertambah mengenai

penyakit filariasis sehingga dapat merubah perilaku buruknya tentang

kesehatan sehingga dapat terhindar dari penyakit filariasis.

3. Stakeholders pasif

Stakeholder pasif yang dimaksud disini adalah masyarakat. Adapun

peranan masyarakat dalam program filariasis yaitu :

1) Membantu dinas kesehatan dalam pemberantasan filariasis melalui

kegiatan pemeliharaan lingkungan dan pemberantasan sarang nyamuk.

2) Membantu petugas kesehatan dalam hal pelaporan kasus filarias

termasuk kasus suspek ke pihak yang berwenang.

3) Mengikuti program pemerintah dalam penyuluhan dan pengobatan

filariasis.

Surveilans Integratif Filariasis | 23

Page 24: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

BAB 4

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari

kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survei endemisitas filariasis,

sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 (71,9%) kabupaten/kota

endemis dan 135 (28,1%) kabupaten/kota non endemis.

2. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan

endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Situasi

prevalensi mikrofilaria di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari

(SDJ) berkisar dari 1% hingga 38,57%. Prevalensi mikrofilaria di

Maluku, Papua, Irian Jaya Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku

Utara umumnya lebih tinggi dari pulau lainnya di Indonesia.

3. Surveilans integratif filariasis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan

suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan

mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit filariasis dimana

dalam hal intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan

antara lintas sektor sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang

mampu menangani masalah kesehatan dalam hal ini penyakit filariasis.

4. Tujuan surveilans integratif filariasis yaitu memantau penyebaran atau

penularan dan perkembangan penyakit filariasis yang dimanfaatkan untuk

identifikasi ancaman endemik filariasis suatu daerah, mendeteksi dan

memberikan peringatan dini terhadap suspek filariasis, memberikan

gambaran epidemiologi filariasis, memberikan gambaran klinis dan

laboratorium, membantu dalam hal penatalaksanaan kasus filariasis serta

memberikan peringatan dini terhadap perubahan fase endemis filariasis.

5. Adapun bentuk surveilans integratif filariasis yaitu kerjasama lintas sektor

atau stakeholder dalam menangani masalah filariasis. Adapun stakeholder

yang berperan yaitu Dinas Pendidikan, Antar bidang dalam seksi Dinas

Kesehatan, Pemerintah, Dinas Kesehatan, Puskesmas, Dinas Lingkungan,

Dinas Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL), dan

Surveilans Integratif Filariasis | 24

Page 25: Survailans Integratif Penyakit Filariasis

Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Kesehatan Bidang Pengendalian

dan Pemberantasan Penyakit (P2P), Dinas Perkebunan, Dinas kehutanan

dan Dinas Kesehatan bagian Promosi Kesehatan, Dinas Keimigrasian,

Dinas Peternakan, dan juga masyarakat.

B. Saran

1. Kerjasama lintas sektor dalam menangani masalah filariasis sebaiknya

lebih ditingkatkan lagi mengingat filariasis merupakan salah satu penyakit

yang endemis. Dengan meningkatnya kerjasama lintas sektor maka

diharapkan tidak ada lagi daerah endemis filariasis yang baru atau

berkurangnya status endemisitas filariasis di suatu daerah.

2. Kelengkapan pencatatan dan pelaporan kasus filariasis yang lebih baik

dapat berpengaruh terhadap program-program yang akan dilakukan dalam

rangka penanganan penyakit filariasis.

Surveilans Integratif Filariasis | 25