sulawesi utara fix

Upload: eka-pratiwi

Post on 07-Jul-2015

634 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Nama Resmi Ibukota Luas Wilayah

: Provinsi Sulawesi Utara : Manado : 13.851,64 Km2

Jumlah Penduduk : 2.199.701 Jiwa Suku Bangsa Lagu Daerah : Bolaang Mongondow, Minahasa, Sangihe Talaud. : Si Patokan, O Ina Keke

SejarahProvinsi Sulawesi Utara, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Utara,

Arti LogoLambang Provinsi Sulawesi Utara berbentuk segilima sama sisi melambangkan "Pancasila" sebagai dasar dan falsafah hidup Bangsa dan Negara Indonesia.

Bentuk warna dan bagian-bagian lambang.Warna dasar biru langit, sisi luar berwarna kuning. Sebelah kanan terdapat buah pala terbuka, berjumlah 8 (delapan) buah, kulitnya berwarna kuning, biji pala berwarna merah, dirangkaikan dengan buah cengkih 17

(tujuh betas) buah yang warnanya merupakan perpaduan Warna hijau kemuning dan warna hijau kecoklat-coklatan. Angka-angka pada cengkeh 17 (tujuh betas) buah, pala 8 (delapan) buah, dan padi 45 (empat puluh lima) butir adalah simbol yang menunjukkan "Hari Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia" yaitu 17-8-1945. Ditengah-tengah lingkaran buah padi, cengkeh dan pala terdapat 23 (dua puluh tiga) untaian biji jagung yang berbentuk bulatan, terdapat 1 (satu) pohon kelapa berdaun 9 (sembilan) mempunyai akar 6 (enam) dan di bawah pohon kelapa terdapat 4 (empat) buah bibit kelapa melambangkan berdirinya Provinsi Sulawesi Utara tanggal 23 September 1964. Pohon kelapa, padi, pala, jagung dan cengkeh menggambarkan keseluruhan kekayaan utama yang menjadi sumber hidup rakyat di daerah ini. Dibagian bawah dari pohon kelapa terdapat pita putih berbaris merah dengan Warna hitam (warna bayangan) bertuliskan "Sulawesi Utara" dengan Warna merah. Warna emas/orange melambangkan kekayaan, keagungan. Warna biru/hijau melambangkan kemakmuran, kesuburan. Warna kuning melambangkan kesejahteraan, kebesaran dan keluhuran. Warna merah melambangkan keberanian, semangat yang menyala -nyala dan kecintaan kepada Negara dan Agama. Warna putih melambangkan kesucian, kedamaian. Warna coklat melambangkan kecintaan kepada Tanah Air. Warna hitam melambangkan kokoh, kuat, teguh dan kekal. Warna ungu melambangkan kebanggaan

UPACARA ADAT PERNIKAHAN SULAWESI UTARA

Proses pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses

per w t sebulan sebelu

pengantin serta acara "P sanan" (Pingitan) ti ak lagi dilakukan perkawinan, tapi sehari sebelu perkawinan pada saat " alam

Gagaren" atau malam muda- mudi Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan " acoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas taritarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Upaca a Pe aw a a atUpacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon- Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota- kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).

Prosesi Upacara Perkawinan i Pe a inanPenelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa. Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge en". Kemudian dilakukan upacara Tawa ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian- nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah. Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub- etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.

Tarian khas u awesi utaraTari Maengket Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa, maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan- gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : - Maowey Kamberu - Marambak Lalayaan. Tari Maowey Kamberu Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak. Tari Marambak Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut rumambak atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur. Tari Lalayaan Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa.

Tari Katrili Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa. Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini

sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan. Tari Kabasaran Tari Kabasaran, merupakan Tari Perang, tarian tradisional Minahasa sulawesi utara yang menceritakan bagaimana suku Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang hendak mendudukinya. Tari Kabasaran atau Tari Perang ini memperagakan Pedang Perisai dan Tombak. Tarian Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti Penyambutan tamu dan atau diberbagai Acara wisata budaya .

Menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan yang lemah gemulai. Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong, Tambur atau Kolintang disebut Pa Wasalen dan para penarinya disebut Kawasalan, yang

berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedangbertarung. Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua kata Kawasal ni Sarian sedangkan Sarian Kawasal berarti menemani dan mengikuti gerak tari,

adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan

tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf W menjadi B sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata besar dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar. Pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacaraupacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei (prajurit perang). Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau

sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan. Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak babak tersebut terdiri dari : 1. Cakalele, yang berasal dari kata saka yang artinya berlaga, dan lele artinya berkejaran melompat lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit

akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran. 2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata koyak artinya,

mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan. 3. Lalaya an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari Lionda dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut Tumu-tuzuk (Tombulu) atau Sarian (Tonsea). Abaaba diberikan dalam bahasa sub etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang. Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain Patola , yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap subetnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya

busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang. Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan, B entenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah lei-lei atau kalung-kalung leher, wongkur penutup betis kaki, rerenge en atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan). Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa : 1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri. 2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran. 3. Kabasaran bertugas sebagai Opas (Polisi desa). 4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari. Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut Pa impulu an ne Kabasaran . Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.

Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.

Tari sal

Tari Salo adalah Tarian yang menggambarkan kekesatriaan kepahlawanan serta kejujuran, demi keadilan menyerahlah tubuh dan jiwa sampai titik darah yang terakhir setia membela Pemerintah, Bangsa dan Negara. Tarian ini sering ditarikan oleh masyarakat di Desa Salurang.

Tari unde

yang dikenal dengan menahulending. Sehingga tari Gundeberfungsi sebagai tarian pemujaan. Penarinya terdiri dari sekelompok orang yang berjumlah 13 orangtermasuk seorang pemimpin tari (pengataseng) dengan diiringi oleh bunyi irama tabuhan tagonggong dengan menggunakan beberapa jenis irama lagu(lagung) yaitu lagung bawine, lagung balang. Lagung sasahola, lagung kakumbaede. Tari gunde diiringi oleh Beberapa orang yang menabuh Tagonggong serta lagu sasambo dengan menggunakan kain asli kofo yang dibuat dari serat pisang.

Tari AlabadiriTari Alabadiri adalah tarian yang diciptakan oleh Raja DALERO seorang Raja Tabukan saudara dari PANDIALANG pada abad ke 18. Pada saat itu PANDIALANG menjadi seorang Jogugu di

Tari Gunde umunya diadakan pada saat upacara penyembahan dan menolakkan bala

Sahabe, dan ia mencipakan Tari Ransang Sahabe artinya Tarian dari Sahabe. Pada mulanya para penarinya adalah para pengawalnya sendiri sehinggah tari ini adalah tari pengawal. Tari ini mempunyai 8 (delapan) g erakan tari yaitu :

y y

Gerakan kulubalang melambangkan kerukunan dan kerja sama rakyat dan pemerintah. Gerakan tokting melambangkan bahwa segala peraturan dapat ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

y

Gerakan cincin melambangkan tanda peringatan bahwapara pemimpin harus elaksanakan tugas kewajiban dengan baik.

y

Gerakan pisau melambangkan rakyat bersumpah bela nusa dan bangsa, serta memberi peringatan pada pemimpin yang tidak jujur.

y

Gerakan kaliau di telinga melambangkan bahwa segala perintah selalu did ngar dan e dilaksanakan

y y

Gerakan kaliau di lutut melambangkan bahwa Pemerintah dicintai rakyat. Gerakan Menari melambangkan kegembiraan masyarakat atas keberhasilan yang dicapai

y

.Gerakan mengaemba melambangkan sukacita rakyat dengan adanya pemerintah.

RUMAH ADAT SULAWESI UTARA

Anjungan Sulawesi Utara menampilkan dua buah rumah adat: rumah pewaris (walewangkoa) mewakili suku Minahasa dan rumah adat Bolaang Mongondow, dilengkapi dengan berbagai patung, seperti tokoh pejuang Bogani, penari cakalele, siow walian, patung anra, babirusa, dan burung maleo di halaman anjungan. Keadaan alamnya digambarkan melalui tiruan Gunung Kalabat, Danau Tondano, dan Danau Moat. Pintu gerbang anjungan berhias burung manguni dan ular hitam di kedua tiangnya. Ukiran ular melambangkan kewaspadaan, sedang burung manguni dianggap hewan yang dapat memberi isyarat atau tanda melalui bunyinya pada malam hari.

Keduanya dikeramatkan serta dianggap sebagai pemberi isyarat dari dunia atas dan dunia bawah.

balok yang mendukung lantai dua di antaranya tidak boleh disambung. Kolong digunakan untuk menyimpan hasil bumi (go o g ). Pintu rumah terletak di depan, tetapi tangga naik terdapat di kiri dan kanan serta bagian tengah belakang rumah. Ruang paling depan, disebut esar, tak berdinding, tempat kepala suku atau kepala adat memberikan maklumat kepada rakyat. Ruang kedua, sekey, merupakan serambi depan, berdinding, terletak setelah pintu masuk, berfungsi untuk menerima tamu dan menyelenggarkan upacara adat, serta tempat menjamu makan para undangan. Ruang tengah, disebut pores, tempat untuk menerima tamu yang masih ada ikatan keluarga serta tempat menerima tamu wanita. Di ruang tengah ini terdapat kamar-kamar tidur. Ruang makan keluarga serta tempat kegiatan sehari-hari wanita berada di bagian belakang, bersambung dengan dapur. Di Anjungan Sulawesi Utara rumah pewar s atau walewangko digunakan untuk pameran dan peragaan aspek-aspek budaya. Di ruang depan terdapat kursi kebesaran Sulawesi Utara, yakni kursi kayu berukir dengan sandaran paduan dengan rotan. Ragam

enau. Selain itu terdapat pakaian pengantin Gorontalo, Minahasa, Bolaang Mangondow dan pakaian adat dari berbagai suku yang ada di Sulawesi Utara yang diperagakan dengan boneka besar. Juga terdapat berbagai hasil kerajinan tangan dari tanah liat serta beberapa lukisan dari kerang dan kulit pala. Adapun kantor anjungan menempati satu ruangan di bagian belakang. Rumah adat Bolaang Mangondow beratap melintang dengan bubungan curam dan memiliki tangga di depan rumah, mempunyai serambi tanpa dinding. Ruangan dalam rumah induk terdiri atas ruang depan atau tempat makan dan ruang tidur. Dapur terdapat di bagian belakang. Pada halaman anjungan terdapat tiruan war ga, yakni bangunan kubur di Minahasa, berupa batu berukir pola ular naga, manusia purba, binatang, bunga, dan dedaunan. Di samping itu terdapat tugu setengah patung, disebut siwo walian atau sembilan wali, berupa sembilan orang bersusun ke atas dengan posisi berbeda satu sama lain dengan burung mang ni di puncaknya. Siwo walian merupakan cermin

hiasnya bermotif burung

ang ni mengembangkan sayap, kelapa, cengkeh, pala, dan

Rumah pew r

atau w ew

g o merupakan rumah di atas tiang dan balok-

kepercayaan orang Minahasa, yang secara sederhana dapat ditafsirkan sebagai lambang gotong royong. Pada hari Minggu atau hari libur, Anjungan Sulawesi Utara menyajikan pentas seni daerah berupa tari dan musik, seperti tari cakalele, kolintang, musik bambu, musik bio, serta seni suara dengan lagu-lagu kawanua. Selain itu secara berkala diselenggarakan pula peragaan pakaian adat, upacara adat, dan budaya tradisional lainnya. Di kolong rumah adat Bolaang Mongondow terdapat juga kantin makanan yang menjual aneka masakan khas Menado yang terkenal pedas.

ALAT MUSIK TRADISONAL

Kolintang adalah alat musik tradisional yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Alat ini dibuat dari kayu lokal yang ringan tetapi kuat. Nama kolintang berasal dari suaranya: tong (nada rendah), ting (nada tinggi), dan tang (nada biasa). Kolintang dimainkan dengan cara memukulnya.

Lagu daerah Sulawesi UtaraO Ina Keke o ina ni keke, mangewi sako mangewa ki wenang, tumeles baleko o ina ni keke, mangewi sako mangewa ki wenang, tumeles baleko we ane, we ane, we ane toyo daimo siapa kotare makiwe we ane, we ane, we ane toyo

daimo siapa kotare makiwe

Busana Tradisional Minahasa Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Propinsi Sulawesi Utara. Dalam kehidupan sehari-hari ada kecenderungan bagi suku bangsa Minahasa untuk menyebut diri mereka sebagai orang Manado. Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang ber lengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama. Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak Baju kan Duyung

Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci. Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan

$

$

P

# " !! ! %

N ADAT ULAWE I UTARA

Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih. Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga pa yang di, terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju. Busana Pemuka Adat Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasa motif n bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula. Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet. Bentuk dan jenis busana Tonaas dan Walian Wangko inilah yang kemudian menjadi model dari jenis-jenis pakaian adat Minahasa untuk berbagai keperluan upacara, bagi warga maupun aparatur pemertintah setempat. Jenis -jenis dan bentuk busana di atas merupakan kekayaan budaya Minahasa yang tak ternilai harganya. Selain sebagai penunjuk identitas kebudayaan, busana adat tersebut menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakatnya.

CERITA RAKYAT ULAWE I UTARATOADA DAN LRUM MUUTU Legenda Toar dan Lumimuut seperti kita tahu bersama, banyak keragaman tuturan peristiwa pertemuan dan perkawinan antara Toar dan Lumimuut. Bahkan sampai sekarang masih sangat kontradiktif, rancu, dan simpang siur penerimaan diantara sesama etnis dan adat Minahasa terutama menyangkut format anak kawin mama . Namun berdasarkan versi tuturan Bantik yang valid, ternyata tidak dijumpai atau dikenal istilah anak kawin mama dalam hubungan Toar dan Lumimuut

sebagaimana yang sering dijumpai dalam tulisan/tuturan yang lain. (J.A. Koapaha, 2006). Sekali peristiwa, tersebutlah tanah Ponaedan yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah (air bah) sehingga semua penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang jahat. (Ponaedan menurut penuturan J.A. Koapaha, 2006, adalah Pamaedan yang dalam bahasa Bantik artinya tempat seka-kaki (keset) para dewa-dewa Kayangan. Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam dilanda air bah, hanya pada tanah Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan (beting). Diatas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang Empung yang bernama KADEMA dari Kalrutuang (kayangan/surga), berdiri di atas batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut Tingkayuan , lalu Ia memandang kesana-kemari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka. Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan tangan kanan dan berkata : Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu (yang artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat dan mulai timbullah pula tanah yang baru

&

& '

yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya rupa-rupa jenis rumput dan kayu). Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi dengan dasyatnya bertubi -tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan kayu-kayuan berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema. Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti goringo (karimenga) dan Lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang lainnya. Oleh sebab itu ke-tiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang mujarab bagi masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ke-tiga tumbuhan itulah yang mula-mula bertumbuh ditanah Minahasa, tanah baru dari tanah Ponaedan. Sementara Kadema sedang berdiri diatas batu itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit dibawah batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah kepada Kadema. Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda itu : sekarang engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada (tandusan) . Moada dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu tinggallah mereka di tanah baru itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa hingga sekarang. Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : alangkah baiknya kalau patung ini menjadi manusia . Sahut Kadema nantilah kubawa patung itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia. Maka dibawalah oleh Kadema patung itu menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Toada, patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat pegang dan ditegur oleh setan-setan yang jahat,

namun perempuan itu tidak tahu dan tidak dapat melihat makhluk -makhluk halus tersebut. Alangkah sukacita Toada melihat perempuan dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang tawaang, dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu. Setibanya Kadema di bumi, datang lagi setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati perempuan itu, karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan oleh Mabu Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik sering menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan) yang mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang, menyebut-nyebut nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh orang sakit itu, untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan dari setan-setan yang jahat. Perempuan yang asalnya dari patung itu dinamai Lumimuutu oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu (lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu lrumu atau lrumuutu kemudian lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut). (Adapun asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb. : Kadema bersama Toar ketika sedang menelusuri dan menikmati keindahan alam pesisir pantai tanah Malesung, mereka menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang dinamai mereka sebagai Batutuhe atau batu nahi sasuhe yang terdapat diatas

gundukan pasir. Bentuk batu dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan hubungan badan/seks. Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu terbelah/terpisah. Setelah Batutuhe terbelah, ternyata didalamnya terdapat tubuh seorang wanita yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema menamai temuan mereka tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam keadaan terbungkus lumut). Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai layaknya bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar segala perintahnya. Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada Toada dan Lrumimuutu : pergilah kedua kamu masing-masing

mengambil jalan sendiri-sendiri, mengelilingi kemana saja, untuk mencari pasangan

(jodoh) kamu sendiri-sendiri. Inilah 2(dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya, ambilah seorang sebuah dan bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang kamu suka, jadikanlah dia pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada kamu itu diukurkan pada tongkatnya. Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia menadi pasangan kamu . Maka diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat yang dari tuis (golobah) dan sebuah tongkat yang dari asa diberikannya kepada Lrumimuutu. Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama panjangnya. Maka mereka berdua sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan mereka berdua. Sesudah itu pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu pada waktu itu tidak mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi lebih panjang dari tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah) walaupun hari ini dipotong tetapi biasanya ke-esokan hari batang tuis tersebut masih akan bertambah panjang. Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami isteri, dan tinggal di sebuah pondok yang terletak dibawah pohon kayu Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke (Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena burung Bahkeke dan burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari. Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain. Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak sekali. Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat akan segala keturunan anakanaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya, banyak sekali tak terhitung jumlahnya.

Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang bernama Pinatiahen (artinya: membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik diatas batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk masing-masing pergi ketempat yang disukainya.

Makanan dan Minuman Khas MinahasaMakanan Dahulu orang selalu berpikir dua kali sebelum melangkahkan kaki menuju rumah makan Manado. Pertama, khawatir kalau salah pilih karena nama masakan yang tidak akrab, dan kedua takut kepedasan. Maklumlah masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup hingga hidangan utamanya. Hampir semuanya memakai cabai rawit atau biasa dipanggil rica anjing. Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai cabai rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer. Tapi kini rasa takut untuk makan di resto Manado lambat laun telah hilang. Bahkan kini sebaliknya, hidangan Minahasa banyak dicari para penggemar goyang lidah .

Di pedesaan makanan dimasak diatas tungku api Sekarang banyak orang mulai lebih mengetahui bahwa makanan ini sebetuln ya sehat dan halal karena kebanyakan resto Manado tidak menjual daging anjing dan babi. Strategi ini didasarkan pada pemikiran, bahwa kalau hidangan yang disediakan halal, maka segmen pasarnya pasti lebih besar. Selain itu, hidangan Manado pada umumnya sangat menggiurkan karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk, daun sereh, daun

bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan, cabai, jeruk limo, lemon cui, jahe dan lainnya. Umumnya orang Minahasa memasak secara tradisional sejak dulu. Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai bahan-bahan penyedap sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Bahkan jika ditambahkan bumbu penyedap, rasa dan aromanya berbeda. Minuman Saguer dan Cap Tikus

Kumpul saguer dari pohon Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut kalangan petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar da ri mayang pohon enau. Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya. Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian

uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesantetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus. Cap Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada catatan pasti kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap warga Minahasa ketika berbicara tentang Cap Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu mulai dikenal sejak nenek moyang mereka.

Menyuling Cap Tikus secara traditional Yang pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di kalangan petani Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau memulai pekerjaannya, minum satu seloki (gelas ukuran kecil, sekali teguk) Cap Tikus. Minuman ini, menurut Pendeta Dr. Richard AD Siwu, dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Tomohon (Ukit) dikenal oleh setiap orang Minahasa sebagai minuman penghangat tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja. Sadar betul bahwa Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi, sudah sejak dulu orang-orang tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap Tikus. Sejak dulu pula dikenal pameo menyangkut Cap Tikus, minum satu seloki Cap Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka. Pak tani minum Cap Tikus karena memang dengan satu seloki semangat kerja bertambah. Karena itu, minum satu seloki Cap Tikus diartikan menambah darah, dan semangat kerja. Tanda awas langsung diucapkan setelah menenggak satu seloki, sebab jika menambah lagi satu seloki bisa berakibat masuk penjara. Artinya, dengan dua seloki

orang bakal mudah terpancing bertindak berlebihan, karena kandungan alkohol yang masuk ke tubuhnya membuat orang mudah tersinggung dan rentan berbuat kriminal. Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-disebut pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen. Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan, sebagian orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan banyak. Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi minuman Cap Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik menjadi sekitar 40 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama disimpan, kadar alkohol Cap Tikus semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus yang baik akan mengeluarkan nyala api biru ketika disulut korek api. Mengapa dinamai Cap Tikus? Tidak diperoleh jawaban yang pasti. Ada dugaan, nama itu dipakai karena pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus hutan bermain hidup. Jika di masa lalu, khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong semangat kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah berubah menjadi tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman tempat pelampiasan nafsu serta menjadi sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka. Selain bisa diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah pabrik anggur di Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus masuk ke kota dan bahkan di antarpulaukan secara gelap.