suci angela diliana_p1806212001 & luh wayan rimaswari _p1806212011(review kebijakan)

50
Tugas Kelompok Mata Kuliah : Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Dosen : Dr. dr. H. Noer Bahry Noor, M.Sc REVIEW KEBIJAKAN UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Pasal 1, 11, 21, 31, 41, 51, dan 61) Oleh : SUCI ANGELA DILIANA P1806212001 LUH WAYAN RIMASWARI P1806212011 MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 1

Upload: roestham-muhammad-tang

Post on 24-Dec-2015

225 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

task

TRANSCRIPT

Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Dosen : Dr. dr. H. Noer Bahry Noor, M.Sc

REVIEW KEBIJAKANUU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

(Pasal 1, 11, 21, 31, 41, 51, dan 61)

Oleh :

SUCI ANGELA DILIANA P1806212001LUH WAYAN RIMASWARI P1806212011

MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKITFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2012

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

Isu dan Masalah Publik

Pengaturan mengenai rumah sakit dirasakan belum cukup memadai untuk dapat dijadikan

landasan hukum dalam penyelenggaraan sebuah intitusi kesehatan yaitu rumah sakit sebagai

pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, maka dibentuklah undang-undang yang

sekiranya dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan rumah sakit yaitu UU No. 44

Tahun 2009 tentang RS.

Tujuan Kebijakan

UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS secara garis besar bertujuan untuk mempermudah

akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan

terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia

di rumah sakit, meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit dan

memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit,

dan Rumah Sakit.

Tipe Pendekatan dalam Siklus Kebijakan

Pendekatan yang digunakan secara umum merupakan pendekatan normative, dimana

undang-undang ini memfokuskan perhatian pada masalah pokok, yaitu tentang tindakan apa

yang semestinya dilakukan. Pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah pada

UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS berupa acuan atau rekomendasi yang merupakan inti

pendekatan normative.

Masalah yang timbul akibat kebijakan

Pro dan kontra akan selalu ada mendampingi setiap kebijakan yang dibentuk, termasuk

pula UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS. Secara umum, UU ini bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum terhadap penyelenggaraan RS, namun beberapa penyesuaian terhadap

peraturan ini cukup memacu rumah sakit yang belum sesuai standar untuk meningkatkan

mutu pelayanannya sehingga berbagai hambatan dapat ditemukan pada setiap rumah sakit.

Hal ini merupakan proses panjang untuk mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan

oleh undang-undang.

2

Resistensi terhadap Kebijakan

Pembentukan kebijakan ini memberikan gejolak yang cukup kuat kepada para pelaksana

kebijakan yaitu rumah sakit. Terutamanya pada kebijakan terhadap penyesuaian standar mutu

rumah sakit yang akan merujuk pada penilaian akreditasi pada setiap rumah sakit.

Prediksi Keberhasilan

Saat ini dapat dievaluasi secara langsung keberhasilan implementasi kebijakan ini dengan

melihat semakin meningkatnya jumlah rumah sakit yang mampu meningkatkan mutu

pelayanannya melalui system akreditasi yang terstandar.

Kesimpulan

Setiap kebijakan dan undangundang akan terdapat yang menerima dan resisten. Pada

penerapan undang-undang ini diprediksi terjadi peningkatan mutu kualitas dan jangkauan pelayanan

Rumah Sakit yang layak dan memadai untuk semua kalangan masyarakat. Terciptanya kerjasama antara

masyarakat dan pemerintah dalam pengawasan dan pembinaan nonteknis rumah sakit

No Rekomendasi kebijakan Implikasi kebijakan Pelaksana/instansi terkait

1

Pelatihan standar pelayanan paripurna untuk meningkatkan kinerja tenaga medin dan non medis dalam pelayanan .

Untuk meningkatkan kinerja

para pengambil kebijakan yang

ada di rumah sakit.

Tim ISO manajemen mutu rumah sakit Indonesia

2

Mensosialisasi Undang Undang nomor 44 tahun 2009 ini kepada masyarakat

Dilakukan dengan berbagai

cara agar efektif dan

terinformasikan baik agar

masyarakat memahami.

Depkes, Depdagri, Dinkes, Organisasi Perumahsakitan, Organisasi Profesi

3

Aturan mengenai batasan kerugian yang dialami pasien atas kelalaian tenaga kesehatan dirumah sakit dan sanksi

Tujuan kebijakan ini adalah untuk mengontrol suatu rumah sakit dalam menjalankan segala kegiatannya.

Pemerintah / Kementrian Kesehatan / Departemen Kesehatan, Stakeholder rumah sakit

Daftar Isi

3

Judul ………………………………………………………………………………………….

Ringkasan Eksekutif…………………………….……………………………………………

Daftar Isi………………………………………………………………………………………

Bab 1 Kajian Kebijakan………………………………………………………………………

1.1. Masalah dasar…………………………………………………………………..

- Macam………………………………………………………………………..

- Nilai…………………………………………………………………………..

- Karakteristik………………………………………………………………….

- Aktor………………………………………………………………………….

- Isu publik …………………………………………………………………….

1.2 Tujuan yang ingin dicapai (tertulis dan tersirat) ………………………………

1.3 Substansi kebijakan (isi utama) ………………….……………………………

1.4 Ciri kebijakan……………………….…………………………………………

- Kriteria kebijakan……………………………………………………………

- Tipe pendekatan………………………………………………..……………

- Pasal yang bermasalah ………………………………………………………

Bab 2 Konsekuensi dan Resistensi…………………………………………………………

2.1 Perilaku yang muncul…………………………………………………………

2.2 Resistensi………………………………………………………………………

2.3. Masalah baru yang timbul………………………………………………….…

Bab 3 Prediksi Keberhasilan………………………………………………………………

3.1. Prediksi “trade off” ………………………………………………….…….…

3.2. Prediksi keberhasilan…………………………………………………………

Bab 4 Kesimpulan dan Rekomendasi………………………………………………………

4.1. Kesimpulan ……………………………………………………………………

4.2. Rekomendasi……………………………………………………………………

1

2

4

5

5

6

7

8

9

10

11

13

13

13

14

15

16

16

18

22

24

24

26

28

28

28

BAB I

4

KAJIAN KEBIJAKAN

1.1. Masalah dasar

- Macam

Di dalam Undang-undang no.44 bab I pasal 1 ayat 1 sampai 4 membahas tentang

peran rumah sakit sebagai insitusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

kesehatan perorangan secara paripurna dimana pelayanannya berupa pelayanan rawat

inap,rawat jalan dan darurat, dan pasien adalah orang yang terlibat di dalammnya,

selain itu pada pasal 1 ayat 5,6,7 membahas bagaimana peran pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dan menteri yang berhubungan langsung dengan kesehatan.

Pada pasal 11 mengenai standar prasarana, maka rumah sakit harus memenuhi

standar keamanan dan kesehatan kerja dan harus berfungsi dengan baik, dan dalam

pengoperasiaanyapun harus dilakukan oleh petugas yang berkompetensi pada

bidangnya, dan juga perlu adanya dokumentasi untuk kepentingan pengevaluasian

secara berkala dan berkesinambungan, dan ketentuan ini pun di atur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan.

Dalam Pasal 21 mengatur bahwa Rumah sakit Privat dikelola oleh badan hukum

dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Sehingga rumah

sakit privat dibenarkan oleh undang-undang dalam tujuan utamanya mencari profit.

Selain itu, pasal ini menjadi acuan dari berdirinya berbagai rumah sakit privat di

Indonesia.

Pasal 31 membahas kewajiban pasien secara umum yaitu berkewajiban atas

pelayanan yang diterimanya. Kewajiban tersebut antara lain : Memberikan informasi

yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat,

mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam

pengobatannya dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima dan

berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.

Pasal 41 membahas mengenai jejaring dan system rujukan untuk meningkatkan

pelayanan. Terbentuknya jejaring tersebut sangat penting untuk menjalin sinergi antar

regulator dengan pelaksana pelayanan dan antar sesama pelaksana pelayanan kesehatan

yang muaranya ialah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Selanjutnya ditentukan bahwa sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan

5

yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik, baik vertikal

maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau

permasalahan kesehatan. Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien

yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit.

Pasal 51 membahas mengenai pendapatan rumah sakit public yang dikelola

Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya

operasional Rumah Sakit dan dana tersebut tidak dapat dijadikan pendapatan negara

atau Pemerintah Daerah. Sehingga jelas pengelolaan keuangan rumah sakit perlu untuk

dimonitoring secara berkala agar kegiatan operasional dapat berjalan dengan lancar dan

kualitas pelayanan pun dapat optimal.

Pasal 61 membahas tentang ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas

Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang diatur pada

Peraturan Pemerintah.

- Nilai

Undang-undang no.44 tahun 2009 tentang rumah sakit :

Pasal 1 terkandung nilai bahwa rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan

kesehatan harus menyediakan pelayanan rawat inap ,rawat jalan dan gawat

darurat sesuai standar yang telah ditetapkan,selain itu Pemerintah pusat dan

Daerah juga harus berperan aktif dalam peningkatan kualitas rumah sakit

terlebih Menteri Kesehatan yang harus bekerja secara terpadu untuk

memajukan fungsi rumah sakit khususnya rumah sakit daerah untuk

kepentingan masyarakat umum.

Pasal 11 terkandung nilai bahwa Prasarana yang terkandung di dalam ayat 1

harus ada di dalam Rumah Sakit selain itu prasarana tersebut harus memenuhi

standard dan terpelihara dengan baik dan yang terpenting harus di kelola oleh

orang-orang yang berkompeten di dalam bidannya untuk menghindari

terjadinya kesalahan dalam hal pengoperasian ,atau biasa disebut human error,

para tenaga tersebut harus memiliki skill /keahlian yang telah teruji di bidang

keilmuwannya masing-masing.

6

Pasal 21 mengandung nilai bahwa rumah sakit privat dikelola oleh bada hukum

dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas, Badan hukum itu dapat

berupa Yayasan, Perseroan, PT, Perkumpulan dan Perusahaan Umum.

Pasal 31 terkandung nilai selain pasien memiliki hak atas pelayanan, pasien

juga memiliki kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi dalam menerima

sebuah pelayanan di rumah sakit.

Pasal 41 terkandung nilai bahwa penting untuk rumah sakit membentuk

jejaring dan system rujukan yang tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat. Hal ini tentu saja memudahkan masyarakat

dalam mendapatkan pelayanan optimal dan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 51 terkandung nilai bahwa rumah sakit public diberikan hak seluas-

luasnya untuk mengelola pendapatannya agar dapat membiayai kegiatan

operasional, serta pendapatan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pendapatan

Negara.

Pasal 61 terkandung nilai bahwa Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan

Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi diatur lebih lanjut pada Peraturan

Pemerintah.

- Karakteristik

Pasal 1 memiliki karakteristik mengatur yakni “mengatur” agar Rumah Sakit

benar-benar bisa menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara kesehatan

yang menyediakan pelayannan yang baik berupa pelayanan rawat inap, rawat

jalan ,maupun pelayanan gawat darurat, pemerintah dan pemerintah daerah

bertanggungjawab untuk mengawasi dan menyediakan Rumah Sakit

berdasarkan kebutuhan masyarakat yang berfungsi sebagai penyelenggara

pelayanan dan pemulihan kesehatan, peningkatan kesehatan, informasi,

distribusi pelayanan untuk kepuasan pasien.

Pasal 11 memiliki karakteristik “mengatur” yakni mewajibkan agar rumah

sakit memiliki prasarana yang tercantum pada ayat 1 dimana prasarana itu

harus sesuai dengan standar pelayanan, keamanan dan kesehatan kerja,dan

prsarana tersebut harus terpelihara serta berfungsi dengan baik dan merekrut

7

orang2 yang berkompetensi untuk menggunakan atau mengendalikan prasarana

tersebut untuk menghindari terjadinya kasus yang di akibatkan kurang

/minimnya tingkat skill para petugas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana

rumah sakit.

Pasal 21 memiliki karakteristik “mengatur” yakni mengatur masalah rumah

sakit privat agar keberadaan rumah sakit privat ini tidak berbenturan dengan

keberadaan rumah sakit Publik dimana RS ini dikelola oleh Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan Badan Hukum yang bersifat Nirlaba.

Pasal 31 memiliki karakteristik “mengatur” yakni mengatur hal-hal apa saja

yang berkaitan dengan kewajiban pasien dalam menerima pelayanan di rumah

sakit.

Pasal 41 memiliki karakteristik “mengarahkan” yakni mengarahkan rumah

sakit untuk membentuk jejaring dan system rujukan yang tepat agar

memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan yang optimal dan

sesuai dengan kebutuhannya.

Pasal 51 memiliki karakteristik “mengayomi” yakni melindungi rumah sakit

agar dapat menggunakan pendapatannya dalam membiayai kegiatan

operasionalnya dan menjamin bahwa pendapatan tersebut tidak termasuk

dalam pendapatan Negara.

Pasal 61 memiliki karakteristik “mengawasi” yakni mengawasi jalannya

penyelenggaraan rumah sakit dengan membentuk Badan Pengawas Rumah

Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang diatur lebih

lanjut pada Peraturan Pemerintah.

- Aktor

Pada pasal 1 undang-undang no.44, yang menjadi pengendali atau aktornya

adalah pemerintah dan pemerintah daerah yang berfungsi sebagai pembuat

kebijakan dan memiliki wewenang sehingga harus bertanggungjawab.

Pada pasal 11 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah tenaga kerja

dirumah sakit, dokter, farmasi, apoteker, radiologi dan siapapun yang

bertanggungjawab masalah peralatan yang digunakan dirumah sakit sesuai

bidangnya .

8

Pada pasal 21 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah Badan Hukum

berbentuk PT atau Persero yang mempunyai hubungan dengan Rumah Sakit

Privat itu sendri.

Pasal 31 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah Rumah Sakit itu

sendiri dalam menentukan kewajiban pasien sesuai dengan peraturan intern

yang berlaku di rumah sakit tersebut.

Pasal 41 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah rumah sakit itu sendiri

untuk membentuk jejaring sesama rumah sakit di Indonesia sedangkan system

rujukan lebih lanjut dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam bentuk

undang-undang.

Pasal 51 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah Rumah Sakit itu

sendiri dalam pengelolaan pendapatannya.

Pasal 61 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah Badan Pengawas

Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi.

- Isu publik

Pasal 1 : Peran pemerintah sebagai pemberi sumber pembiayaan dilakukan oleh

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembiayaan Sektor Kesehatan dari

Pemerintah Pusat yaitu bersumber dari APBN yang dibagi menjadi Dana

Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus, Dana Dekonsentrasi yaitu dana yang

membiayai sektor Kesehatan di tingkat Pusat dan di tingkat provinsi, sedangkan

Dana Alokasi Khusus adalah dana APBN yang membiayai sektor Kesehatan di

tingkat Kabupaten/Kota. Sedang pembiayaan pada sektor Kesehatan oleh Pemerintah

Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU).

Peran Pemerintah sebagai Regulator dan penetap kebijakan pelayanan Kesehatan

dapat dilakukan oleh DEPKES di Pemerintah Pusat melalui Sistem Kesehatan

Nasional di Tingkat Indonesia dan Sistem Kesehatan Daerah di tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Contoh lain Penetapan Kebijakan/Regulasi oleh DEPKES dengan

ditetapkannya Standar Pelayanan Minimal yang berisi Indikator-indikator

Pembangunan Kesehatan dan oleh daerah di buat Standar Pelayanan Minimal daerah

sesuai kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Peran Pemerintah Sebagai

9

Pelaksana dilakukan melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah berupa

rumah sakit Pusat maupun daerah, dan Puskesmas. Pelayanan Kesehatan terhadap

masyarakat tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tapi dilaksanakan juga oleh

swasta untuk itu Pemerintah sebagai pelaksana perlu mencipatakan sistem

Manajeman Pelayanan Kesehatan yang baik.

Pasal 11 : Rumah Sakit dalam hal ini diharapkan dapat menyediakan prasarana

yang sesuai strandar, kesehatan dan keselamatan, kerja, minimnya prasarana yang

terkadang terjadi di rumah sakit public terkadang menggganggu proses pelayanan

terhadap pasien,seperti minimnya fasilitas RS seperti air,instalasi mekanikal ataupun

eklektrikal, uap, pengelolaan limbah jika tidak ditangani dengan baik akan

menimbulkan dampak besar bagi proses yang berlangsung d RS, minimnya

prasarana seperti di ruang UGD atau Rawat Inap bisa membahayakan jiwa pasien,

kurangnya fasilitas tertentu di rumah sakit teritama dalam hal alat-alat medis, proses

pelayanan bisa tersendat seperti tidak adanya fasilitas untuk pasien dalam kondisi

tertentu seperti konsultasi syraf yang di karenakan RS itu todak memiliki ahli itu

maka harus di rujuk ke RS yang lebih berkompeten dan memiliki ahli serta alat-alat

yang lebih menunjang penyembuhan penyakit si pasien tsb, selain itu terkadang

kurangnya skill dari petugas mengakibatkan ‘human error”, yaitu kesalahan dalam

hal pemeriksaan lab ataupun pemeriksaan hasil lab yang terkadang berakibat fatal.

Sehingga pelatihan yang berkesinambungan sangat diperlukan untuk para petugas

dan lapangan agar berkompeten terhadap bidangnya masing-masing.

Pasal 21 : Rumah Sakit Privat menyebar ke seluruh Indonesia dan jumlahnya

cukup besar dan pertumbuhannya lebih besar di banding rumah sakir public yaitu

sekitar 2,91 pertahun pertahun di banding rumah sakit public yang hanya 1,25 persen

pertahun.

Pasal 31 : Dalam UU 44 ttg Rumah Sakit selain hak pasien yang menjadi focus

terdapat pula hal penting lainnya yaitu kewajiban pasien yang diatur dalam Peraturan

Menteri, hal ini timbul dari adanya isu public yang sering muncul mengenai

kewajiban yang semestinya dianut oleh pasien dalam menerima pelayanan kesehatan

10

disebuah rumah sakit. Hal ini merujuk pada kasus yang sering terjadi dimana pasien

sering menuntut haknya namun sayangnya tidak dibarengi dengan pemenuhan

kewajibannya sebagai pasien. Jadi pasal ini merupakan pedoman bagi rumah sakit

agar dapat membentuk peraturan sehubungan dengan kewajiban pasien, agar pasien

mengetahui secara jelas bahwa agar proses pelayanan yang diterimanya dapat

optimal dan terstandar maka ada beberapa hal yang mesti dipatuhi pasien maupun

keluarga pasien. Sehingga pasien tidak hanya dapat menuntut hak nya, tetapi juga

wajib memenuhi kewajiban pasien dalam menerima pelayanan.

Pasal 41 : Kasus-kasus dalam bidang kesehatan setiap waktu mengalami

peningkatan sehingga komunikasi terpadu antar penyedia pelayanan kesehatan

penting adanya. Selain itu, mengingat setiap tipe rumah sakit memiliki keterbatasan

dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal maka system rujukan perlu

diatur agar memudahkan system alur penerimaan pelayanan berjalan dengan tepat.

Terbentuknya jejaring tersebut sangat penting untuk menjalin sinergi antar regulator

dengan pelaksana pelayanan dan antar sesama pelaksana pelayanan kesehatan yang

muaranya ialah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Pasal 51 : agar pembiayaan rumah sakit dapat berjalan lancar maka ia

membutuhkan dana yang sangat besar. Hal ini banyak dialami terutama oleh rumah

sakit public yang melayani berbagai karakteristik masyrakat. Sehingga hal ini

berdampak pada terganggunya sitem pembiayaan operasional, maka penting adanya

pengelolaan keuangan yang lebih baik di rumah sakit. Salah satunya dengan

melegalkan rumah sakit public untuk menggunakan pendapatannya agar dapat

digunakan untuk membiayai kegiatan operasionalnya.

Pasal 61 : penyelenggaraan rumah sakit memerlukan pembinaan dan pengawasan

yang berkelanjutan agar dapat berjalan dengan sesuai.

1.2 Tujuan yang ingin dicapai (tertulis dan tersirat)

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 1 adalah Rumah Sakit sebagai penyelenggaran

pelayanan kesehatan perorangan dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada

11

pasien, dan Pemerintah Pusat juga Pemerintah daerah harus ikut serta mengawasi

berlangsungnya kegiatan RS dan bisa bertanggungjawab membuat rumah sakit yang

layak, melindungi rumah sakit, memberikan pelayanan yang baik dengan fasilitas yang

lengkap, distribusi informasi serta mengikuti hukum dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 11 adalah untuk membuat rumah sakit agar

berusaha memenehi prasarana sesuai dengan standar minimal berdirinya RS dan harus

adanya evaluasi secara periodic terhadap prasarana yang ada di RS agar berfungsi

sebagai mana mestinya untuk menghindadri terjadinya mall praktek yang mungkin di

kibatkan oleh minimnya prasarana dan kurangnya skill dan kurangnya berkompeten

petugas di lapamgan dalan menangani pasien.

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 21 agar pemerintah pusat ataupun pemerintah

daerah dapat mengawasi berjalannya RS Privat agar berdirinya RS tersebut tidak

menyalahi atruran perundang-undangan yang ada, dan masyarakat bisa menjamin

kesehatannya ke RS Privat, selain itu keberadaan RS Privat di harapkan bukan menjadi

alat persaingan dengan RS Public yang pada akhirnya hanya mendarsarkan pada

keuntungan semata bukan keselamatan dan peningkatan kesehatan.

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 31 adalah selain memiliki hak bahwa pasien

memiliki juga kewajiban yang mesti dipenuhi dalam menerima pelayanan.

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 41 adalah untuk menjalin sinergi antar regulator

dengan pelaksana pelayanan dan antar sesama pelaksana pelayanan kesehatan yang

muaranya ialah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Selanjutnya

sistem rujukan bertujuan agar setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban untuk merujuk

pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit.

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan diatur dengan Peraturan Menteri

Kesehatan.

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 51 adalah memberikan jaminan keamanan kepada

rumah sakit untuk mengelola pendapatannya dalam menjalankan kegiatan operasional.

Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 61 adalah terbentuknya sebuah Badan Pengawas

Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi untuk mengatur,

12

membina dan mengawasi penyelenggaraan rumah sakit agar sesuai dengan standar dan

peraturaan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

1.3 Substansi kebijakan (isi utama)

Substansi kebijakan pasal 1 undang-undang no.44 adalah menjelaskan tentang

tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah yang dilaksanakan berdasarkan

kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Substansi kebijakan pasal 11 adalah memberikan penjelasan mengenai pengawasan

terhadap prasarana yang ada di Rumah Sakit ,dan perlunya pelatihan bagi para petugas

di RS agar berkompeten di bidangnya masing-masing.

Substansi kebijakan pasal 21 adalah memberikan perhatian kepada RS Privat walau

keberadaannya bersifat swasta namun harus memiliki badan hukum agar ada

pengawasan dari segi pelayanan RS tersebut.

Substansi kebijakan pasal 31 adalah menegaskan adanya kewajiban pasien dalam

menerima pelayanan.

Substansi kebijakan pasal 41 adalah menegaskan pentingnya asosiasi rumah sakit untuk

membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan yang meliputi

informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan

tenaga. Selain itu mengaskan pulan pentingnya system rujukan dalam menopang akses

masyarakat memperoleh pelayanan berkelanjutan.

Substansi kebijakan pasal 51 adalah memberikan jaminan bahwa pendapatan Rumah

Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat digunakan

seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit.

Substansi kebijakan pasal 61 adalah menegaskan bahwa terdapat Badan Pengawas

Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

1.4 Ciri kebijakan

- Kriteria kebijakan

13

Kriteria kebijakan pada pasal 1 adalah Kriteria Kebijakan Peran Pemerintah

Sebagai Pelaksana dilakukan melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah berupa

rumah sakit Pusat maupun daerah, dan Puskesmas. Pelayanan Kesehatan terhadap

masyarakat tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tapi dilaksanakan juga oleh swasta

untuk itu Pemerintah sebagai pelaksana perlu mencipatakan sistem Manajeman

Pelayanan Kesehatan yang baik.

Kriteria kebijakan pasal 11 UU No.44 tahun 2009 adalah adalah menekankan

pada tanggungjawab Rumah Sakit agar menyediakan prasarana yang memadai untuk

berlangsungnya proses kegiatan di Rumah sakit.

Kriteria kebijakan pasal 21 UU No.44 tahun 2009 adalah menekankan tentang

Badan Hukum Rumah Sakit Privat.

Kriteria kebijakan pasal 31 UU No.44 tahun 2009 adalah menekankan pada

kewajiban pasien.

Kriteria kebijakan pasal 41 UU No.44 tahun 2009 adalah menekankan pada

jejaring dan system rujukan rumah sakit.

Kriteria kebijakan pasal 51 UU No.44 tahun 2009 adalah menekankan pada

pembiayaan rumah sakit dalam mengelola pendapatannya.

Kriteria kebijakan pasal 61 UU No.44 tahun 2009 adalah menekankan pada

terbentuknya Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia.

- Tipe pendekatan

Pasal 1 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif yaitu

menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah

dalam menyediakan rumah sakit pelayanan kesehatan yang layak bagi

masyarakat.

Pasal 11 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif dan prediktif.

Deskriptif karena menjelaskan persyaratan spesifik peralatan-peralatan medis dan

nonmedis yang akan digunakan suatu rumah sakit dalam pelaksanaan

operasionalnya serta prediktif karena diharapkan kedepannya ketersediaan

peralatan yang sesuai standar, bermutu dan dioperasikan oleh tenaga kesehatan

14

yang kompeten mampu menunjang pengembangan rumah sakit sehingga mampu

meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat

Pasal 21 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan prediktif yaitu

bagaimana prospek RS Privat di masa depan, dan pengawasan terhadap badan

hukum yang menaungi RS Privat itu sendiri agar keberadaannya tidak merugikan

RS Public.

Pasal 31 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif yaitu

menjelaskan tentang kewajiban pasien.

Pasal 41 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan valuatif yaitu

menunjukkan manfaat dari penerapan pembentukan jejaring rumah sakit dan

system rujukan untuk dapat meningkatkan pelayanan.

Pasal 51 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan preskriptif yaitu

dimana kebijakan ini mengarahkan terhadap apa yang harus diperbuat oleh rumah

sakit dalam mengelola pendapatannya.

Pasal 61 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif yaitu

menjelaskan tentang adanya Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang

bertanggungjawab membina dan mengawasi penyelenggaraan rumah sakit.

- Pasal yang bermasalah

Pasal yang bermasalah adalah pasal 21 dimana Pasal ini membahas tentang RS

Privat, karena badan hukum dari RS ini tidak terlalu jelas sehingga dapat menimbulkan

kerancuan dalam pengelolaannya, selain itu RS Privat memiliki orientasi pada profit

sehingga kurang mementingkan aspek sosialnya dalam melayani berbagai tipe

masyarakat.

Selain itu pasal yang juga bermasalah adalah pasal 51 mengenai Pendapatan

Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat

digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan

dimana pendapatan tersebut tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah

Daerah. Hal yang bermasalah pada redaksi kata “biaya operasional”, hal tersebut

merujuk pada ketidakjelasan kategori apa saja yang dimaksud oleh undang-undang

sebagai biaya operasional. Karena faktanya penerapan di setiap rumah sakit pemerintah

15

mengenai biaya operasional dapat berbeda-beda. Perbedaan persepsi seperti inilah yang

dapat menimbulkan kerancuan informasi dan kesalahan pengelolaan keuangan.

BAB II

KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

2.1. Perilaku yang muncul

Kebijakan UU no 44 tahun 2009 yang ditetapkan oleh pemerintah akan memberikan

dampak langsung kepada semua yang terlibat, baik pemerintah, praktisi kesehatan dan tentunya

juga kepada masyarakat secara luas. Perilaku yang muncul dapat berupa perilaku positif yang

muncul karena setuju dengan kebijakan tersebut dan perilaku negatif yang muncul karena

ketidaksetujuan dengan kebijakan tersebut.

- Dengan adanya pasal 1 UU no 44 tahun 2009, dapat mendorong agar Pemerintah Pusat

Dan Pemerintah Daerah berperan aktif dalam proses berlangsungnya RS,RR pun dapat

menjalankan funsinya baik berupa pelayanan Rawat Inap, Rawat Jalan atuapun

Pelayanan Gawat Darurat,dan RS di harapkan dapat lebih memprhatikan hak-hak pasien

dalam usaha memperoleh kesembuhan dan pelayanan kesehatan,sehingga masyarakat

dapat memanfaatkan failitas RS dengan sebaik-baiknya.

- Pasal 11 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif sebab pasal ini mendorong

untuk meningkatkan kualitas peralatan medis yang digunakan untuk meningkatkan mutu,

memberikan rasa aman dan kepercayaan masyarakat untuk menerima pelayanan

kesehatan di Rumah sakit sebab diberlakukannya persyaratan kepemilikan medis dan

non medis bagi suatu Rumah Sakit yang sesuai standar, bermutu dan dioperasikan serta

dipelihara oleh tenaga kesehatan yang kompeten dibidangnya. Jika tidak maka terdapat

sanksi yaitu pencabutan izin operasional apabila Rumah sakit melanggar ataupun tidak

melakukan persyaratan pada pasal 16 UU no 44 tahun 2009.

- Pasal 21 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif dimana bagi masyarakat

yang memiliki alternatif untuk menggunakan RS Privat adanya jaminan yang pasti akan

kesehatannya,walaupun biaya yang di keluarkan agak mahal d bandingkan pelayanan RS

16

Public,tapi kepercayaan akan lebih professional dan canggihnya alat-alat medis di RS

Privat menjadi salah satu alas an mengapa sebagian orang cenderung memilih pelayanan

kesehatannnya di RS Privat.

- Pasal 31 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif dimana rumah sakit saat ini

sudah mulai memperkenalkan secara langsung kewajiban-kewajiban pasien dalam

menerima pelayanan di rumah sakit tersebut, informasi ini berdampak positif pula

terhadap hubungan pasien dan rumah sakit. Dimana pasien mendapatkan kemudahan dan

pengertian akan hak dan kewajibannya, sehingga proses pengobatan akan berjalan

dengan optimal dan rumah sakit akan lebih mudah memberikan pelayanan karena telah

ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan.

- Pasal 41 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif bagi rumah sakit untuk

saling berkerjasama dalam memberikan pelayanan. Hal ini tentu saja menjadi acuan

penting bagi setiap rumah sakit untuk membentuk jaringan seluas-luasnya dalam hal

informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan sumber

daya manusianya. Sehingga jejaring ini secara perlahan akan mengarahkan setiap rumah

sakit menuju pelayanan yang berkualitas serta tepat guna.

- Pasal 51 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif bagi rumah sakit sebab

pasal ini memberikan jaminan hukum yang pasti bahwa pendapatan rumah sakit

pemerintah maupun pemerintah daerah dapat tidak dapat dijadikan pendapatan Negara,

sehingga keseluruhan pendapatan tersebut secara langsung dapat digunakan untuk

membiayai kegiatan operasional rumah sakit. Hal ini memudahkan sebuah rumah sakit

untuk mengembangkan dan memajukan pelayananannya sehingga dapat memberikan

jaminan akan mutu pelayanannya. Namun dengan pasal ini tidak memungkiri akan

munculnya pula praktik-praktik kecurangan “perilaku negative” segelintir orang tidak

bertanggungjawab yang mencari celah untuk melakukan penyelewengan dana.

- Pasal 61 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif bagi rumah sakit karena

dalam penyelenggaraan rumah sakit terdapat orang-orang yang memiliki peran sebagai

Pembina dan pengawas yang terbentuk dalam Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia

dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sehingga penyelenggaraan kegiatan

perumahsakitan dapat sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Hal ini dapat

17

meminimalkan resiko penyimpangan pada pedoman penyelenggaraan rumah sakit sesuai

dengan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

2.2. Resistensi

Disahkannya UU no 44 tahun 2009 tentang rumah sakit tidak telepas dari berbagai

kontroversi, salah satu diantaranya yaitu sikap menolak atau resistensi. Setiap kebijakan yang

dibuat oleh siapa pun pasti akan menimbulkan resistensi atau penolakan, Umumnya, resistensi

terjadi bila ada beberapa pihak yang merasa dirugikan akan suatu kebijakan, terlebih jika suatu

kebijakan tidak berjalan dengan baik. Berikut ini merupakan sikap resistensi terhadap Undang

undang no 44 tahun 2009, yaitu:

Pasal 1 UU no. 4 tahun 2009

1. Bentuk Resistensi

Pasal 1 ini menjelaskan tentang keberadaan RS sebagai pemberi pelayanan kesehatan

secara paripurna,mengharuskan RS harus bekerja semaksimal mungkin karena kan jadi

sorotan dari masyrakat jika tidak memberikan pelayanan secara maksimal. Selain itu

kurangnya peran Pemerintah Pusat dan Daerah dapat memjelek citra RS itu sendiri karena

kurangnya pengawasan RS bertindak sewenang-wenang tanpa ada kekhawatiran dapat

teguran dari Pemerintah Pusat atau Daerah dan gagalnya fungisi kontroling dari Menteri

Kesehatan d pihak tertinggi.

2. Aktor

Aktor resistensi dalam hal ini berasal dari pihak rumah sakit sendiri, terutama dari

pimpinan rumah sakit yang khawatir akan intervensi

2. Sumber Resistensi

Resistensi bersumber dari perilaku pemerintah yang kurang memahami sistem rumah

sakit

3. Intensitas Resitensi

Sikap resistensi terhadap pasal ini dimungkinkan akan terjadi selama batas waktu yang

tidak ditentukan

Pasal 11 UU no.4 tahun 2009

1. Bentuk Resistensi

18

Bentuk resistensi, pasal ini menjelaskan tentang Prasarana yang ada di RS juga tenaga

yang ada di RS, minimnya prasarana RS dan minimnya tingkat skill dari para petugas

membuat RS itu kurang berkompeten yang lama kelamaan menimbulkan asumsi kurang

kepercayaan masyarakat untuk menggunakan fasilitas RS tersebut dan cenderung

memilih RS yang lebih canggih dengan tenaga yang berkompeten dalam bidangnya.

2. Aktor

Aktor resistensi, berasal dari pihak rumah sakit yang kesulitan dalam memenuhi

persyaratan peralatan dan sumber daya manusia, karena biaya yang tinggi dan kurangnya

pelatihan bagi para petugasnya.

3. Sumber Resistensi

Sumber resistensi berasal dari tingginya biaya yang diperlukan untuk mempertahankan

peralatan agar tetap memenuhi persyaratan yang ditetapkan,kurangnya informasi tentang

pelatihan-pelatihan yang mendukung kompetensi petugas dalam keahliannya masing-

masing.

4. Intensitas Resistensi

Intensitas resistensi, akan tetap terjadi selama rumah sakit tidak memiliki biaya yang

cukup untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan membiarkan petugasnya

dengan tidakk adanya peningkatan skill.

Pasal 21 UU no 44 tahun 2009

1. Bentuk resistensi

Pasal ini membahas tentang berdirinya RS Privat selain RS Public,dimana RS Privat

lebih bersifat “profit” yaitu semata-mata hanya mencari keuntungan semata sehingga

halk-hak pasien kurang terabaikan.

2. Aktor resistensi

Masyarakat yang yang menggunakan fasilitas RS Privat lama kelamaan akan

kehilangan kepercayaan karena RS Privat lebih mengutamakan keuntungan,selain itu

Rs Privat terkadang tidak memiliki badan hukum yang jelas,selain itu jika RS Privat ini

lebih banyak bermunculan tentunya keberadaan RS Public akan tergeser karena

masayarakat akan cenderung lebih memanfaatkan RS Privat, karena RS Privat lebih

memiliki tenaga medis juga paramedic yang lebih berkompetensi dan peralatan yang

canggih.

19

3. Resistensi bersumber dari RS Privat yang kurang memahami standar pendirian RS.

4. Intensitas Resitensi

Sikap resistensi terhadap pasal ini dimungkinkan akan terjadi selama batas waktu yang

tidak ditentukan sampai adanya revisi Undang-undang atau dibuat peraturan pendukung

lainnya menyangkut sanksi atas ketidakpatuhan suatu RS akan Pasal 36 UU no 44 tahun

2009.

Pasal 31 UU no 44 tahun 2009

1. Bentuk Resistensi

Sikap resistensi akan muncul sebagian besar pada keluarga pasien, sebab pada umumnya

proses implentasi mengenai kewajiban pasien sering memiliki kendala dalam hal

peraturan tata tertib di rumah sakit. Budaya pasien/keluarga pasien kadang memberikan

pengaruh pada terhambatnya proses penyembuhan pasien itu sendiri. Kewajiban pasien

yang mestinya ditaati namun kadang dalam prosesnya masih sering terjadi pelanggaran-

pelanggaran. Hal ini tentu saja berpengaruh secara keseluruhan terhadap kesehatan

pasien.

2. Aktor

Tentu saja actor yang melakukan penolakan pada pasal ini adalah keluarga pasien/pasien

itu sendiri. Kewajiban-kewajiban yang mestinya ditaati dan dipenuhi namun pada

prakteknya masih sering dilanggar, sehingga kejadian ini tentu saja merugikan kedua

belah pihak (rumah sakit dan pasien). Dimana rumah sakit tidak dapat memberikan

pelayanan yang optimal sehingga proses penyembuhan pasien pun terhambat.

3. Sumber Resistensi

Yang menjadi sumber resistensi adalah adanya informasi yang kurang jelas mengenai

apa saja kewajiban pasien tersebut dalam menerima pelayanan dan juga

ketidakmampuan pasien/keluarga pasien dalam memenuhi kewajiban yang telah

ditetapkan oleh pihak rumah sakit.

4. Intensitas Resitensi

Itensitas resistensi akan terus semakin besar jika sumber dan tujuan dari pembentukan

pasal ini tidak didukung oleh kejelasan informasi apa saja yang menjadi kewajiban

pasien atas pelayanannya yang diterimanya.

b. Pasal 41 UU no 44 tahun 2009

20

1. Bentuk Resistensi

Pasal ini boleh tepatnya tidak terjadi resistensi karena pasal ini mengarahkan setiap

rumah sakit untuk berkerja sama dalam mengembangkan Jejaring yang meliputi

informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan

tenaga. Sehingga hal tersebut saling menguntungkan seluruh pihak dalam prosesnya

memberikan pelayanan optimal.

2. Aktor

Aktornya yaitu seluruh rumah sakit yang saling membentuk jejaring kerjasama.

c. Pasal 51 UU no 44 tahun 2009

1. Bentuk Resistensi

Bentuk resistensi yang dapat terjadi adalah adanya Pemerintah Daerah yang menentang

pasal ini karena memberikan hak langsung kepada rumah sakit untuk menggunakan

pendapatannya untuk biaya operasional.

2. Aktor

Aktor resistensi adalah orang-orang pada pemerintahan yang menentang kebijakan

tersebut.

3. Sumber Resistensi

Yang menjadi sumber resistensi adalah ketakutan akan terancamnya salah satu sumber

pendapatan daerah/Negara dan ketakutan akan munculnya kepentingan kelompok

tertentu yang menggunakan dana tersebut dengan tujuan profit pribadi.

4. Intensitas Resitensi

Itensitas resistensi akan terus semakin besar jika hal ini tidak diawasi dengan benar oleh

Badan Pengawas Rumah Sakit.

d. Pasal 61 UU no 44 tahun 2009

1. Bentuk Resistensi

Adanya Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit

Provinsi akan membuat rumah sakit lebih waspada dalam melakukan penyelenggaraan

agar tidak terjadi penyimpangan sesuai dengan pedoman perumahsakitan.

2. Aktor

Aktor resistensi adalah rumah sakit yang merasa terancam oleh keberadaan Badan

Pengawas Rumah Sakit Indonesia.

21

3. Sumber Resistensi

Sumber resistensi adalah adanya ancaman terhadap eksistensi rumah sakit dengan

adanya keberdaaan Badan Pengawas Rumah Sakit.

4. Intensitas Resistensi

Intensitas resistensi akan semakin kecil jika Badan Pengawas Rumah Sakit melakukan

pembinaan berkala sehingga penyelenggaraan rumah sakit dapat berjalan dengan lancar.

2.3. Masalah baru yang timbul

Dengan disahkannya kebijakan ini maka dapat timbul masalah baru ketika

penjelasan dan hal-hal spesifik mengenai beberapa pasal yang bermasalah tidak di

carikan solusi yang dapat berupa direvisinya undang-undang ataupun dibuat undang-

undang pendukung yang baru. Masalah yang timbul dapat berasal dari berbagai pihak

baik pemerintah, investor, rumah sakit, tenaga kesehatan, dan masyarakat.

Masalah dapat muncul karena kurangnya penjelasan pada UU, sehingga banyak

pihak yang menafsirkan secara berbeda. Pada pasal 1 mengenai tanggung jawab

pemerintah dan pemerintah daerah tidak diketahui sejauh mana pemertintah dapat

melasanakan tanggungjawab dan bagaimana pertanggungjawaban uu itu terhadap

masyarakat. Pada pasal 11 mengenai peralatan, karena tidak meratanya peralatan-

peralatan canggih, distribusi ke daerah tersendat sehingga hanya rumah sakit di kota yang

memiliki peralatan canggih yang mahal dan susah dijangkau oleh masyarakat di daerah

dan ekonomi rendah . Seperti pada pasal 21 mengenai RS Privat yang tidak memiliki

badan hukum yang jelas dan lebih bersifat profit dan mencari keuntungan semata,

mengakibatkan terabaikannya hak-hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan dan

hubungannya dengan SJSN tahun 2014, RS Privat terkendala dalam hal :

1. Banyak RS yang akan merujuk pasien bila tarif layanan merugi.

2. Belum siapnya RS Privat dalam membuat Clinical Pathway.

3. Peran Dokter dan karyawan dalam kendali mutu masih mengkhawatirkan.

4. Verifikator yang terbatas, prosedur yang berbelit mengakibatkan pembayaran dari

BPJS yang tertunda sehingga mengganggu cash flow /operasional.

22

Selain itu jika ditinjau dari pasal 51 mengenai Pendapatan Rumah Sakit publik

yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung

untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau

Pemerintah Daerah merupakan pasal yang sangat baik untuk tujuan yang baik. Namun

dalam proses implementasinya tidak mencegah kemungkinan akan timbulnya

penyelewengan dana oleh kelompok kepentingan tertentu. Sedangkan untuk pasal 31, 41

dan 61 kedepannya diharapkan tidak akan ada masalah yang timbul karena penyusunan

dan tujuannya sudah sangat jelas. Sehingga selanjutnya merupakan tugas badan

pengawas untuk melakukan pembinaaan dan pengawasan agar :

1. Tercapai Pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh

masyarakat dapat tercapai;

2. Tercapai peningkatan mutu pelayanan kesehatan;

3. Tercapai focus RS dalam mengutamakan patient safety;

4. Tercapai Pengembangan jangkauan pelayanan; dan

5. Ada peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit.

23

BAB III

PREDIKSI KEBERHASILAN

Pada bahasan prediksi ini menggunakan pendekatan prediktif untuk memberikan

informasi tentang konsekuensi dimasa mendatang, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan

pada penerapan Undang-undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

3.1. Prediksi “Trade-Off”

Analisis Trade-off menawarkan bantuan untuk mendapatkan sebuah kebijakan yang

akomodatif melalui proses analisis kebijakan publik yang melibatkan banyak ragam stakeholders

dengan banyak kepentingan sehingga dalam pengelolaan berbagai kepentingan ini harus

dilakukan secara bijak dan tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan (win-win solution).

Metode ini sangat signifikan manfaatnya dalam kebijakan yang menyangkut pemanfaatan

sumber daya alam dan lingkungan serta kebijakan lain yang menyangkut kepentingan publik.

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 1 yakni pelayanan kesehatan yang paripurna

sesuai dengan standar yakni pelayanan yang mengemban tugas memberikan pelayanan

kesehatan yang berkualiatas serta sebagai komunikator dan motivator kepada masyarakat.

Dengan sitem rujukan yang baik, pelayanan yang adil, merata dan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat bisa tercapai. Sehingga banyak digunakan untuk sebagai slogan pemerintah

menjelang pemilu untuk mendapat simpati rakyat dengan slogan kesehatan gratis. Selain itu

di pihak pemerintah pusat atau daerah dapat menjalankan funsinya sbb:

- Komitmen Politik untuk pengembangan pelayanan Kesehatan, terutama bagi pemerintah

daerah ditingkat Provinsi maupun Kabupaten kota yang kenyataanya sekarang ini Sektor

Kesehatan bagi pemda masih kalah prioritas dibandingkan dengan sector-sektor lain.

- Pendekatan Pro-orang miskin

- Menyeimbangkan peran pemerintah, lembaga usaha swasta dan lembaga swadaya

masayarakat dalam pelayanan Kesehatan

24

- Menangani kegagalan pasar, misalnya pemerintah sebaiknya membiayai masyarakat

miskin yang tidak mampu membeli pelayanan Kesehatan

- Menajemen lembaga pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada pengguna

- partisipasi luas dari masyarakat dan lembaga usaha dalam pengambilan keputusan,

reformasi bidang Kesehatan, dan pengembangan system Kesehatan

- Memberantas praktik-praktik illegal dalam pelayanan Kesehatan, termasuk korupsi8.

Pembiayaan pelayanan Kesehatan yang responsive dan fair

- Desentralisasi Pelayanan

Dalam menyelenggarakan fungsi, Kementerian Kesehatan RI mempunyai kewenangan :

1. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan

secara makro;

2. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib

dilaksanakan oleh kabupaten/Kota di bidang Kesehatan;

3. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan;

4. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga

profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan;

5. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi

pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan;

6. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama

Negara di bidang kesehatan;

7. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan;

8. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan;

9. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan;

25

10. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan;

11. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan;

12. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu,

bayi, dan anak;

13. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat;

14. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;

15. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 11 yakni ketersediaan alat kesehatan yang

bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas

pelayanan. Selain itu keuntungan lainnya berupa terjaminnya kualitas dan kelayakan dari

suatu rumah sakit setelah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang atas pendirian dan

operasional rumah sakit dan petugas yang handal di bidangnya untuk meminimalisir human

error.

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 21 yakni rumah sakit Privat diharuskan

memliki badan hukum yang jelas dan tidak hanya berdasarakan mencari keuntungan semata

tapi lebih memperhatikan hak-hak pasien.

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 31 yakni rumah sakit harus menjelaskan

informasi yang lengkap mengenai hal-hal yang menjadi kewajiban pasien dalam menerima

pelayanan.

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 41 yakni peran pemerintah sangat penting

agar asosiasi rumah sakit dapat membentuk jejaring yang lebih erat dalam hal informasi,

sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga kesehatan.

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 51 yakni perlu adanya pengawasan berkala

agar kegiatan ini dapat berjalan dengan sesuai sehingga laporan keuangan yang dilaporkan

oleh rumah sakit agar lebih baik.

- Prediksi “trade off” undang-undang no.44 pasal 61 yakni sebaiknya pengawasan yang oleh

Badan Pengawas Rumah Sakit dilakukan secara berkala.

26

3.2. Prediksi keberhasilan

Prediksi keberhasilan dari pemberlakuan kebijakan sangat besar, dimana Undang-undang ini

dibuat untuk menjamin pemenuhan hak pasien akan pelayanan kesehatan di RS yang berkualitas

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 1 yakni maksimalnya pelayanan yang

diberikan oleh RS dan RS bisa lebih proaktif karena keterlibatan dengan Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah Setempat.

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 11 yakni setiap rumah sakit memiliki

prasaran yang lengkap dan sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan kerja dan

petugas yang handal di bidangnya. Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 5

yakni kurangnya rasa ketidakadilan dari pasien jika terjadi malpraktek atau kerugian yang

dilakukan oleh pihak rumah sakit.

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 21 yakni RS Privat dan RS Public

dapat bergandengan untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap pasiennya dengan

menghilangkan keuntungan semata.

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 31 yaitu rumah sakit mampu

mengarahkan pasien untuk memenuhi kewajibannya terhadap Rumah Sakit atas

pelayanan yang diterimanya.

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 41 yaitu terbentuknya jejaring antara

pemerintah dan asosiasi rumah sakit dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan

meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan

pendidikan tenaga kesehatan.

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 51 yaitu rumah sakit dapat mengelola

pendapatannya untuk menjalankan kegiatan operasional.

Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 61 yaitu adanya ketentuan mengenai

Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi

didalam Peraturan Pemerintah.

27

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan (kesimpulan kajian Bab 1 – Bab 3)

Rumah sakit merupakan pusat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik

dasar dan medik spesialistik, pelayanan penunjang medis, pelayanan perawatan, baik rawat

jalan, rawat inap maupun pelayanan instalasi. Rumah sakit sebagai salah satu sarana

kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah, dan atau masyarakat. Menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan yang juga merupakan

tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan serta bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

bagi masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan

kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan

28

pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta

berkesinambungan.

Perlunya keterlibatan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengawasan RS, selain

dari itu Prasarana di RS harus mendapat perhatian yang lebih dari pihak RS itu sendiri dan

Instansi yang terkait agar RS Public dapat kompetitif di masa yang akan datang dan tidak

tertinggal dari RS Privat,

4.2 Rekomendasi

- Pelatihan standar pelayanan paripurna untuk meningkatkan kinerja tenaga medis dan non

medis dalam pelayanan sehingga mutu rumah sakit dapat ditinggkatkan oleh Tim ISO

manajemen mutu rumah sakit Indonesia dengan tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan

kinerja para pengambil kebijakan yang ada di rumah sakit.

- Mensosialisasi Undang Undang nomor 44 tahun 2009 ini kepada masyarakat oleh praktisi

rumah sakit pemerintah maupun swasta dilakukan melalui, depkes, depdagri, dinkes,

organisasi perumahsakitan, organisasi profesi melalui edaran kepala departement, seminar,

maupun work shop. bisa dilakukan dengan berbagai cara agar efektif dan terinformasikan

baik.

- Aturan mengenai batasan kerugian yang dialami pasien atas kelalaian tenaga kesehatan

dirumah sakit oleh kementrian kesehatan, aparat pemerintah dan pakar serta sanksi bagi

rumah sakit yang tidak melakukan pengelolaan rumah sakit dengan baik oleh kementrian

kesehatan, pemerintah dan stakeholder rumah sakit. Dengan tujuan kebijakan ini adalah

untuk mengontrol suatu rumah sakit dalam menjalankan segala kegiatannya. Dalam hal ini

pengelolaan yang baik akan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan serta meminimalisir

komplai, keluhan,kritikan bahkan tuntutan atas buruknya pelayanan rumah sakit.

Didalamnya tertuang sanksi yang tegas atas buruknya pengelolaan RS atau ketika RS tidak

menjalankan prosedur pengelolaan sesuai yang ditetapkan.

- Adanya kejelasan badan hukum dari RS Privat itu lebih baik untuk mengatur proses

penyelengggaraan RS Privat itu sendiri dan meminimalkan mencari keuntungan semata dan

lebih mengutamakan hak2 pasien yang kadang terabaikan.

29

LAMPIRAN

30

GAMBARAN PASAL 1, 11, 21, 31, 41, 51, DAN 61BAB I

KETENTUAN UMUMPasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1.Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

2.Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

4. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untukmemperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.

5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.

7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Bagian KeempatPrasarana

31

Pasal 11

(1) Prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat meliputi:a. instalasi air;b. instalasi mekanikal dan elektrikal;c. instalasi gas medik;d. instalasi uap;e. instalasi pengelolaan limbah;f. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;g. petunjuk, standar dan sarana evakuasi saatterjadi keadaan darurat;h. instalasi tata udara;i. sistem informasi dan komunikasi; danj. ambulans.

(2)Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit

(3)Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.

(4)Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya.

(5)Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan.

(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 21

Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

Bagian KetigaKewajiban Pasien

Pasal 31(1) Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian KeempatJejaring dan Sistem Rujukan

Pasal 41

32

(1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan. (2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga.

BAB XPEMBIAYAAN

Pasal 51Pendapatan Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.

BAB XIIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian KetigaBadan Pengawas Rumah Sakit Indonesia

Pasal 61Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

33