studi kasus: kajian histopatologi pada seekor singa afrika ... · hasil pemeriksaan histopatologi...

50
STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA PYOMETRA AULIYA INDIARTI ZEN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: lamdang

Post on 06-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR

SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA

PYOMETRA

AULIYA INDIARTI ZEN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Page 2: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Kasus: Kajian

Histopatologi pada Seekor Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita

Pyometra” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Auliya Indiarti Zen

NIM B04070055

Page 3: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

ABSTRACT

AULIYA INDIARTI ZEN. Case Study: Histopathological Study on African

Lioness that Suffered with Pyometra. Under guidance of EVA HARLINA and

WIWIN WINARSIH.

An African lioness (Panthera leo) was diagnosed with pyometra after it was

found dead with purulent discharge from the vulva. The purpose of this study is to

examine gross and histopathological changes of various organs of the lion to

know the causes of the death. The organ sample of heart, lungs, liver, intestine,

kidney, and uterus were made into histopathology slide with Haematoxilin-Eosin

staining. Histopathological examination showed cardiomyopathy, emphysema and

edema pulmonum, purulent enteritis, hepatopathy and passive liver congestion,

and also chronic active nephritis. Uterus inflammation with purulent exudation

indicated pyometra with cystic endometrial hyperplasia. Pyometra in the lion

leads to sepsis that is characterized by hemorrhage and degeneration of

parenchymal organs. Cardiomyopathy causes heart failure which leads to

congestion of the entire organ. Lion’s death was caused by sepsis and heart

failure.

Keywords: African lioness, histopathology, pyometra, sepsis.

Page 4: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

ABSTRAK

AULIYA INDIARTI ZEN. Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor

Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita Pyometra. Dibimbing oleh EVA

HARLINA dan WIWIN WINARSIH.

Seekor singa Afrika (Panthera leo) betina didiagnosa menderita pyometra

setelah ditemukan mati dengan keluarnya eksudat purulen dari vulva. Studi kasus

ini bertujuan untuk mengkaji perubahan patologi anatomi dan histopatologi dari

berbagai organ singa sehingga diketahui kronologis penyakit yang menyebabkan

kematiannya. Sampel organ singa meliputi jantung, paru-paru, hati, usus, ginjal,

dan uterus dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan Haematoksilin-Eosin.

Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati,

emfisema dan edema pulmonum, enteritis purulenta, hepatopati dan kongesti pasif

hati, serta nefritis kronik aktif. Uterus singa tampak membesar dan menebal

dengan peradangan pada mukosa disertai eksudat purulen pada lumen uterus yang

mengindikasikan adanya pyometra dengan hiperplasia sistik endometrial.

Pyometra pada singa mengakibatkan sepsis yang dicirikan dengan hemoragi dan

degenerasi organ-organ parenkim. Kardiomiopati menyebabkan kegagalan

jantung yang kemudian mengakibatkan kongesti pada seluruh organ. Kematian

pada singa ini disebabkan oleh sepsis dan gagal jantung.

Kata Kunci: Singa Afrika, histopatologi, pyometra, sepsis.

Page 5: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 6: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR

SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA

PYOMETRA

AULIYA INDIARTI ZEN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Page 7: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

Judul Skripsi : Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor Singa Afrika

(Panthera leo) yang Menderita Pyometra

Nama Mahasiswa : Auliya Indiarti Zen

NIM : B04070055

Program Studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Disetujui:

Dr. drh. Eva Harlina, MSi., APVet. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi., APVet.

Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Diketahui:

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD., APVet.

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

Tanggal lulus:

Page 8: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi

yang berjudul Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor Singa Afrika

(Panthera leo) yang Menderita Pyometra; merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor.

Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Mama dan Papa tercinta atas kasih sayang, doa, nasihat, motivasi, dan

tenaga yang tak ada habisnya diberikan kepada penulis.

2. Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si,

APVet. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala ilmu, bimbingan,

saran, motivasi, waktu, dan tenaga yang telah diberikan selama penulis

menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas

segala nasihat dan bimbingan dan sebagai orangtua kedua penulis selama

menempuh perkuliahan.

4. Drh. Isdoni M.Biomed dan Drh. Rachmat Hidayat, M.Si selaku dosen

penguji luar saat UASKH, serta Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD.,

APVet. selaku dosen penilai dan Ibu Rini Madyastuti Purwono, S.Si, M.Si,

Apt. selaku dosen moderator saat seminar atas ilmu, masukan, dan saran

untuk skripsi ini.

5. Seluruh tenaga kependidikan Bagian Patologi FKH IPB (Pak Kasnadi, Pak

Soleh, Pak Endang, dan Mbak Kiki) atas segala bantuannya.

6. Aidell Fitri Rachmawati, Risma Adelia, Cut Dara Permata Sari, dan Bagus

Setiawan atas bantuan, dukungan, pertemanan, dan kebersamaan yang

telah dan akan kita lalui.

7. Teman-teman satu laboratorium Astri, Tiwi, Gita, Endah, Kenyo, dan tim

Habbatussauda atas segala bantuannya.

Page 9: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

8. Seluruh teman-teman Gianuzzi FKH 44 dan HIMPRO Satwaliar atas

dukungan, kenangan, dan kebersamaan selama masa perkuliahan.

9. Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) terutama UKF angkatan 5

atas ilmu, dukungan, pengalaman, dan kebersamaan yang sangat berharga.

10. Teman-teman Pondok Purti Kenanga (Dilla, Kiki, Febi, Firda, Lila, Riska)

atas segala bantuan dan pertemanannya.

11. Saudara tercinta Arief dan Mirza serta Keluarga Besar Choesin dan Zen

atas dukungan, semangat, tawa canda, serta kebersamaannya.

12. Seluruh civitas akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

13. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun

tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa segala sesuatunya tidak ada yang sempurna.

Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

berbagai pihak. Terima kasih.

Bogor, April 2012

Auliya Indiarti Zen

Page 10: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1989 di Jakarta. Penulis

merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Erdius Zen dan

Ibu Linda Damayanti Choesin.

Penulis memulai pendidikan dasar di SD Triguna Jakarta tahun 1995 hingga

2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP

Labschool Kebayoran hingga tahun 2004. Penulis menyelesaikan pendidikan

tingkat atas di SMA Labschool Kebayoran pada tahun 2007. Pada tahun yang

sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan

kegiatan. Penulis aktif dalam organisasi HIMPRO Satwaliar, sebagai anggota

Divisi Eksternal (2008-2009), dan sebagai Ketua Cluster Herpetofauna (2009-

2010). Penulis juga aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Uni

Konservasi Fauna IPB (UKM UKF IPB) serta menjadi Sekretaris Bidang

Keilmuan UKM UKF IPB (2009-2010). Selain itu, penulis juga menjadi asisten

praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II (2011).

Page 11: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL........................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iii

PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

Latar Belakang....................................................................................... 1

Tujuan Penelitian................................................................................... 2

Manfaat Penelitian................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3

Singa Afrika...........................................................................................

Perilaku dan Reproduksi.................................................................

Habitat dan Distribusi.....................................................................

3

4

5

Pyometra................................................................................................

Patogenesis......................................................................................

Gejala Klinis...................................................................................

Diagnosa.........................................................................................

Penanganan.....................................................................................

6

7

10

11

11

BAHAN DAN METODE............................................................................... 13

Waktu dan Tempat Penelitian................................................................ 13

Alat dan Bahan Penelitian...................................................................... 13

Sampel Organ......................................................................................... 13

Pembuatan Preparat Histopatologi......................................................... 13

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin............................................................. 14

Pengamatan Histopatologi..................................................................... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 15

SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................

Simpulan...............................................................................................

Saran.....................................................................................................

34

34

34

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 35

Page 12: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

ii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa............................................ 15

2 Perubahan Histopatologi Organ Singa................................................... 28

Page 13: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi singa jantan dan betina......................................................... 4

2 Skematis uterus yang normal dan uterus yang mengalami pyometra.... 6

3 Skema terjadinya kebuntingan dan patogenesis pyometra.................... 9

4 Emfisema alveolar yang dicirikan oleh robek dan menyatunya

dinding alveolar...................................................................................... 17

5 Alveol paru-paru singa yang mengalami edema, anthracosis di

interstitium dan fibrosis ringan.............................................................. 17

6 Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan

merenggang............................................................................................ 19

7 Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis

miokard dan fibrosis............................................................................... 19

8 Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi desquamasi

sel epitel penutup dan ditemukan potongan badan cacing pada

mukosa usus........................................................................................... 22

9 Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil,

neutrofil, limfosit, makrofag, dan sel plasma......................................... 22

10 Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan

hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan

protein di sinusoid.................................................................................. 24

11 Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit

mengalami degenerasi hidropis, nekrosis bahkan lisis. Tampak

sinusoid melebar penuh dengan eritrosit................................................ 24

12 Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan

oleh edema glomerulus, serta degenerasi, nekrosis dan adanya

endapan protein di lumen tubulus.......................................................... 27

13 Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya

fibrosis, pendarahan dan edema, serta tubulus distalis nekrosis yang

dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas dari membran

basal....................................................................................................... 27

14 Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada

hiperplasia sistik endometrial................................................................. 29

15 Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium dengan

proliferasi jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel radang.............................. 29

Page 14: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Singa merupakan satwa pemangsa yang termasuk dalam keluarga Felidae.

Singa merupakan salah satu kucing besar selain harimau dan bahkan pemangsa

terbesar di daratan benua Afrika. Selama dua dekade terakhir, singa di alam

mengalami penurunan populasi sekitar 30%. Penyebab utama penurunan populasi

singa antara lain disebabkan banyak manusia yang membunuh satwa ini sebagai

usaha mempertahankan diri dan ternaknya, disertai dengan menurunnya jumlah

mangsa. Pada tahun 2008, The International Union for Conservation of Nature

(IUCN) menggolongkan satwa ini ke dalam daftar satwa yang rentan terhadap

kepunahan atau vulnerable (IUCN 2011).

Hampir semua mamalia betina termasuk singa, membatasi kopulasi pada

periode waktu tertentu yaitu pada masa estrus dalam siklus seksualnya. Pada

mamalia non-primata, estrus pada hewan betina adalah periode penerimaan untuk

kopulasi yang terjadi sesaat sebelum dan setelah ovulasi. Selama masa

perkembang-biakan, rentang waktu antara satu periode estrus ke periode

berikutnya disebut dengan siklus estrus. Siklus estrus ini sangat dipengaruhi oleh

berbagai hormon (Feldhamer et al. 1999).

Salah satu gangguan pada saat siklus estrus yang sering didiagnosa pada

anjing dan kucing adalah pyometra. Pyometra, secara harfiah merupakan

akumulasi nanah dalam lumen uterus. Secara umum, patogenesis pyometra

berkaitan erat dengan aktivitas hormon progesteron. Namun, penyakit ini juga

disebabkan oleh infeksi bakteri pada uterus yang dapat berakibat timbulnya

bakterimia dan toksemia ringan sampai parah, dan dapat bersifat fatal (Feldman

dan Nelson 2004). Lesio yang dihasilkan dari pyometra adalah hasil interaksi

antara bakteri dengan hormon (Bigliardi 2004).

Berbagai informasi mengenai kasus pyometra pada anjing dan kucing

telah banyak dilaporkan, namun belum banyak yang melaporkan kasus pyometra

pada satwa liar. McCain et al. (2009) melaporkan sebelas kasus pyometra pada

kucing besar di penangkaran antara lain pada singa Afrika, harimau, macan, dan

liger (persilangan antara singa dan harimau). Dalam laporannya dinyatakan bahwa

Page 15: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

2

resiko terjadinya pyometra lebih tinggi pada spesies singa dibandingkan pada

spesies lain.

Seekor singa Afrika mati yang berasal dari suatu penangkaran satwa liar

telah dikirim ke Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi Patologi, FKH

IPB. Anamnesa yang dilaporkan adalah dua hari sebelum kematian terlihat bahwa

singa mengalami keputihan yang berulang dan kemudian ditemukan mati pada

malam hari dengan keluarnya eksudat purulen dari vulva. Dari anamnesa yang

dilaporkan, timbul dugaan diagnosa bahwa singa Afrika tersebut mengalami

pyometra. Hal inilah yang mendasari dilakukannya studi kasus kejadian pyometra

pada seekor singa Afrika. Studi kasus ini dilakukan dengan mengkaji perubahan

patologi anatomi dan histopatologi pada berbagai organ dari singa yang

didiagnosa menderita pyometra.

1.2 Tujuan Peneletian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan jaringan secara

histopatologi dari seekor singa Afrika yang didiagnosa mengalami pyometra

sehingga dapat diketahui kronologis kejadian penyakit yang menyebabkan

kematian pada hewan tersebut.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

gambaran perjalanan kasus pyometra pada singa Afrika melalui lesio perubahan

histopatologi pada berbagai organ serta upaya pencegahan terhadap penyakit

tersebut sehingga usaha pelestarian satwa liar dapat direalisasikan secara optimal.

Page 16: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

3

TINJAUAN PUSTAKA

Singa Afrika

Singa (Panthera leo) termasuk dalam keluarga Felidae yaitu keluarga

kucing-kucingan. Keluarga ini dapat dibedakan dari keluarga Canidae dengan

karakteristik berupa moncong yang lebih pendek, gigi premolar atas terakhir

(carnassials) yang berkembang baik, serta gigi taring yang besar. Singa

merupakan anggota genus Panthera yang berarti kucing yang mengaum

(Feldhamer et al. 1999).

Subspesies dari singa banyak diklasifikasikan berdasarkan distribusinya.

Namun, berdasarkan analisis genetik oleh O’Brien et al. (1987) dan Dubach et al.

(2005) dalam IUCN (2011) dinyatakan terdapat dua subspesies singa yaitu singa

Afrika (Panthera leo leo) dan singa Asia (Panthera leo persica). Secara lengkap,

klasifikasi dari singa Afrika adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Karnivora

Famili : Felidae

Genus : Panthera

Spesies : Panthera leo

Subspesies : Panthera leo leo Linnaeus, 1758

Singa memiliki morfologi yang dapat dengan mudah dibedakan dari

kucing besar lainnya seperti harimau, macan, dan jaguar yaitu dengan adanya

surai pada leher individu jantan (Gambar 1). Surai ini berfungsi untuk melindungi

daerah leher ketika mereka berkelahi, sedangkan individu betina tidak memiliki

surai. Selain itu, kuncung yang berwarna hitam pada ujung ekor singa juga

menjadi ciri khasnya (Grzimek 1970).

Warna rambut pada singa bervariasi mulai dari kuning terang hingga

kuning kemerahan tanpa ada pola tertentu. Bagian perut dan bagian sebelah dalam

dari ekstremitas memiliki warna yang lebih pucat. Surai pada individu jantan

biasanya berwarna kuning, coklat, atau coklat kemerahan pada singa muda namun

Page 17: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

4

cenderung menjadi lebih gelap mengikuti umur dan bahkan dapat berwarna hitam

(Nowak 2005).

Tubuh singa jantan berukuran lebih besar dari singa betina dengan berat

badan singa jantan berkisar antara 150-250 kg dan singa betina berkisar antara

120-180 kg. Panjang tubuh singa jantan adalah 170-190 cm dengan panjang ekor

90-105 cm, sedangkan untuk singa betina panjang tubuh berkisar 140-175 cm

dengan panjang ekor 70-100 cm (Grzimek 1970).

Gambar 1 Morfologi singa jantan (kiri) dan betina (kanan) (Mazur 2008).

Perilaku dan Reproduksi

Singa termasuk ke dalam satwa karnivora yang berarti satwa pemakan

daging dan sebagian besar dari ordo ini merupakan satwa pemangsa. Hewan yang

biasa dijadikan mangsa oleh singa adalah hewan ungulata berukuran kecil sampai

medium. Hayward dan Kerley (2005) meneliti lebih spesifik mengenai pemilihan

hewan mangsa ini dan menyimpulkan bahwa singa biasanya memilih mangsa

dengan kisaran bobot badan antara 190-550 kg dan bobot badan mangsa yang

paling disukai adalah 350 kg. Hewan-hewan yang termasuk dalam kisaran bobot

badan ini antara lain jerapah, zebra, banteng, bison, dan gemsbok.

Sebagian besar kucing hidup secara soliter, terkecuali pada saat

berkembang biak dan membesarkan anak. Hanya singa yang hidup dengan

membentuk kelompok sosial tertentu. Singa biasanya menetap pada satu kawasan

yang disebut pride dan hidup secara berkelompok yang terdiri dari beberapa singa

Page 18: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

5

jantan dewasa, singa betina dewasa, dan anakan singa. Besaran kelompok dapat

bervariasi dari hanya beberapa ekor hingga mencapai 30 ekor, serta tidak terbatas

pada satu keluarga saja. Menjelang dewasa, anak singa betina akan bergabung

langsung dengan kelompoknya namun singa jantan akan meninggalkan pride.

Beberapa singa jantan yang memiliki hubungan akan membentuk koalisi nomaden

hingga dewasa. Koalisi ini akan membentuk kelompok baru atau merebut pride

singa lain. Pada akhirnya, biasanya dalam waktu kurun tiga tahun, kekuasaan

pride akan tergantikan oleh singa jantan lainnya (Nowak 2005).

Perkawinan antar singa tidak mengikuti periode musim kawin tertentu.

Namun, di Serengeti dan Taman Nasional Kruger dilaporkan bahwa perkawinan

antar singa paling banyak terjadi antara bulan Maret hingga Juni. Singa di Afrika

Barat paling banyak melakukan aktivitas kawin pada bulan November dan

Desember. Singa betina termasuk hewan poliestrus yang berarti siklus estrus

terjadi beberapa kali dalam satu tahun. Estrus pada singa berlangsung selama 4-8

hari (Grzimek 1970). Masa kehamilan singa selama 100-119 hari dan dapat

melahirkan 1-6 anak dengan rata-rata 3-4 anak. Singa mencapai umur dewasa

pada umur 3-4 tahun, namun pertumbuhan tetap berlangsung hingga usia 6 tahun

(Nowak 2005).

Habitat dan Distribusi

Berbeda dengan harimau yang memiliki habitat dengan vegetasi yang

padat, singa biasanya memilih wilayah berupa padang terbuka sebagai habitatnya.

Habitat singa umumnya adalah savana, dataran berumput, hutan terbuka, dan

semak belukar. Singa juga dapat memasuki kawasan semi-gurun dan bahkan

pernah ditemukan di daerah pegunungan dengan ketinggian 5.000 meter.

Kelompok singa yang menempati pride tertentu memiliki wilayah jelajah seluas

20-400 km2. Singa yang nomaden dapat memiliki luas jajahan mencapai 4.000

km2 dengan sebagian area tumpang tindih dengan wilayah jelajah singa lain

(Nowak 2005).

Singa Afrika tersebar di wilayah sub-sahara Afrika dengan sebagian besar

populasi tersebar di wilayah Afrika Timur dan Afrika Selatan. Negara-negara

yang termasuk wilayah ini antara lain Angola, Botswana, Kamerun, Kongo,

Page 19: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

6

Etiopia, Uganda, dan Somalia. Populasi singa Asia terisolasi hanya pada Taman

Nasional Hutan Gir India dan penangkaran satwa liar. Populasi singa Afrika

belum dapat dipastikan karena wilayah penyebarannya yang sangat luas. The

African Lion Working Group (ALWG) menduga populasi singa Afrika saat ini

adalah sebanyak 23.000 ekor dengan kisaran 16.500-30.000 ekor (IUCN 2011).

Pyometra

Pyometra merupakan infeksi pada uterus yang dapat bersifat akut maupun

kronis dengan adanya akumulasi pus (nanah) pada lumen uterus (Gambar 2).

Terjadinya pyometra berawal dari adanya gangguan pada masa diestrus yang

dipengaruhi oleh aktivitas hormon progesteron yang tinggi. Progesteron

mengakibatkan perubahan patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan

yang baik untuk pertumbuhan bakteri sebagai infeksi sekunder.

Gambar 2 Skematis uterus yang normal (kiri) dan uterus yang mengalami

pyometra (kanan) (Gilshenan 2003)

Umumnya bakteri yang teridentifikasi dari hasil ulasan uterus anjing yang

mengalami pyometra adalah bakteri yang normal ditemukan pada uterus anjing

sehat. Pada pyometra, bakteri tersebut menjadi patogen dan menginfeksi uterus

Page 20: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

7

akibat faktor hormonal yang menyebabkan perubahan struktur pada uterus.

Bakteri yang biasanya terkait dengan pyometra adalah Eschericia coli, namun

bakteri lain seperti Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas,

Proteus, Haemophilus, Pasteurella, dan Serratia juga pernah diisolasi dari uterus

anjing yang mengalami pyometra (Feldman dan Nelson 2004).

Pyometra pada anjing paling sering didiagnosa 4 hingga 8 minggu setelah

estrus sedangkan pada kucing umumnya pyometra berkembang 1 hingga 4

minggu setelah estrus, walaupun kejadian pyometra pada kucing lebih sedikit

ditemukan (Kennedy 2008). Menurut Agudelo (2005), umur rata-rata kucing yang

mengalami pyometra adalah 7 tahun. Terjadinya pyometra tidak memiliki korelasi

dengan umur kebuntingan pertama kucing tersebut ataupun jumlah anak yang

dilahirkan. Namun, telah diamati adanya korelasi antara pyometra dengan adanya

corpus luteum pada ovarium dimana corpus luteum ditemukan pada 40-70% dari

kasus pyometra yang dilaporkan.

Patogenesis

Siklus estrus pada mamalia dipengaruhi oleh berbagai hormon. Pada awal

siklus estrus, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)

akan menstimulasi perkembangan folikel ovarium. Setiap folikel membungkus

satu sel telur. Sel-sel folikular yang mengelilingi telur kemudian mensekresikan

hormon estrogen yang menyebabkan penebalan endometrium, mempengaruhi

kelanjutan perkembangan folikel, dan menghambat produksi FSH. Ketika sel telur

telah matang, akan terjadi ovulasi yang diinduksi oleh kadar LH yang tinggi.

Saat ovulasi, folikel akan meletus dan melepaskan sel telur. Sel telur

kemudian akan melalui oviduk yaitu tempat terjadinya fertilisasi apabila bertemu

dengan sperma. Apabila tidak terjadi fertilisasi, maka sel telur akan masuk ke

uterus dan berdegenerasi. Bagian dari folikel yang robek saat ovulasi akan diisi

oleh sel folikular berwarna kuning yang disebut corpus luteum. Corpus luteum ini

akan menghasilkan progesteron, yaitu hormon yang akan meningkatkan

proliferasi endometrium (Feldhamer et al. 1999).

Corpus luteum akan mengalami regresi apabila tidak terjadi fertilisasi

sehingga sintesis dan pelepasan progesteron berhenti secara mendadak. Regresi

Page 21: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

8

corpus luteum pada akhir fase luteal disebabkan oleh substansi luteolitik yang

disekresikan oleh uterus, yaitu prostaglandin (Nalbandof 1990). Apabila terjadi

fertilisasi, maka corpus luteum akan persisten pada awal masa kebuntingan. Hal

ini dikarenakan progesteron dibutuhkan dalam mempersiapkan uterus untuk

implantasi embrio. Corpus luteum akan beregresi setelah fungsi produksi

progesteron digantikan oleh plasenta.

Pada kasus pyometra, corpus luteum tetap persisten dalam waktu yang

lama walaupun tidak terjadi kebuntingan. Hal ini dikarenakan adanya infeksi

uterus yang mengganggu mekanisme luteolisis sehingga corpus luteum tidak

beregresi. Corpus luteum persisten juga sering dihubungkan dengan infeksi uterus

yang timbul karena retensi sisa-sisa plasenta akibat kebuntingan (Hunter 1995).

Dalam laporan McCain et al. (2009), pemeriksaan histopatologi yang ditemukan

pada singa, harimau, dan macan yang menderita pyometra menunjukkan adanya

satu ataupun beberapa corpus luteum pada ovarium.

Corpus luteum yang persisten menyebabkan hormon estrogen dan

progesteron terus diproduksi (Gambar 3). Progesteron mengakibatkan perubahan

patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pertumbuhan

bakteri. Perubahan patologis yang dialami uterus adalah penebalan endometrium

secara terus-menerus, peningkatan sekresi kelenjar uterus, dan penurunan

kontraksi miometrium (Smith 2006).

Progesteron mengakibatkan penebalan dinding endometrium dengan

meningkatkan ukuran dan jumlah kelenjarnya sehingga mengakibatkan

peningkatan sekresi kelenjar. Hiperplasia endometrium yang progresif dapat

menjadi sistik dan menghasilkan hiperplasia sistik endometrial (Feldman dan

Nelson 2004). Penurunan kontraksi miometrium didasari oleh perubahan

permeabilitas ion dari sel miometrium yang disebabkan oleh progesteron dan

perubahan ketersediaan kalsium interseluler (Austin dan Short 1984).

Kontaminasi bakteri pada uterus adalah hal yang normal terjadi pada masa

proestrus atau estrus. Pada kedua fase dalam siklus estrus ini, serviks berdilatasi

dan terbuka sehingga kemungkinan besar kontaminasi bakteri pada uterus terjadi

saat fase ini berlangsung. Bakteri yang paling mungkin menginfeksi uterus

merupakan flora normal pada vagina. Bakteri ini memiliki kemampuan

Page 22: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

9

melakukan perpindahan secara ascenden ke dalam uterus melalui serviks yang

terbuka selama masa proestrus dan estrus. Namun infeksi uterus oleh bakteri

jarang terjadi karena kontaminasi bakteri selama siklus estrus dapat dikontrol dan

secara cepat dibersihkan. Oleh karena itu patogenesis dari pyometra tidak dapat

dijelaskan hanya dari bakteri pada uterus (Feldman dan Nelson 2004).

Selama masa kehamilan, progesteron berfungsi untuk melindungi fetus

dari kekebalan tubuh induk. Progesteron menghambat sel T-mediated sehingga

tidak terjadi penolakan terhadap fetus di dalam uterus (Hansen 1998). Pada

penelitian lain dilaporkan bahwa progesteron yang dihasilkan oleh plasenta induk

memiliki sifat imunosupresif yang dibuktikan dengan efek anti-inflamasi secara

lokal serta penghambatan aktivasi dan proliferasi limfosit dan sel T-killer (Siiteri

dan Stites 1982). Pada kasus pyometra, terhambatnya aktivasi leukosit sebagai

respon sistem imun di uterus oleh progesteron akan semakin mendukung

pertumbuhan bakteri.

Gambar 3 Skema terjadinya kebuntingan (kiri) dan patogenesis pyometra

(kanan).

Page 23: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

10

Pyometra juga dapat terjadi akibat rangsangan dari luar tubuh. Pemakaian

estrogen dari luar sebagai terapi untuk mencegah kebuntingan serta terapi

progesteron untuk mengurangi estrus pada hewan dapat meningkatkan resiko

terjadinya pyometra (Smith 2006). Oleh sebab itu, berbagai faktor yang

berkontribusi dalam perkembangan pyometra antara lain keberadaan bakteri,

konsentrasi progesteron yang tinggi pada saat diestrus, dan pemakaian

progesteron dan estrogen dari luar (Feldman dan Nelson 2004).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang umum terlihat pada anjing yang mengalami pyometra

antara lain berkurangnya nafsu makan, depresi, polidipsia, lethargi, dan

pembesaran pada abdominal. Pyometra dapat disertai dengan keluarnya nanah

dari vagina (pyometra terbuka) ataupun tanpa keluarnya nanah (pyometra

tertutup). Nanah yang keluar dari vagina dapat bersifat purulen, sanguinopurulen,

mucoid, atau dapat juga bercampur dengan darah ketika sudah parah (Smith

2006). Menurut Kenney et al. (1987), dari 183 kucing yang didiagnosa mengalami

pyometra, gejala klinis yang umum terdeteksi adalah adanya nanah yang keluar

dari vagina, anorexia, dan lethargi. Sebagian besar kucing menunjukkan adanya

leukositosis dengan ciri left shift yaitu banyak ditemukan leukosit yang belum

matang dalam darah sebagai kompensasi kebutuhan leukosit dalam jumlah

banyak.

Hasil pemeriksaan total sel darah putih pada anjing dengan pyometra dapat

bervariasi, namun peningkatan total sel darah putih (leukositosis) umumnya

ditemukan pada kasus pyometra terbuka. Temuan pemeriksaan darah berupa

anemia juga sering terlihat sebagai akibat dari septisemia dan toksemia yang

terkait dengan pyometra. Pyometra dapat menekan kerja sumsum tulang sehingga

terjadi anemia non-regeneratif. Hiperproteinemia dan hiperglobulinemia

umumnya terjadi akibat proses dehidrasi dan stimulasi antigen yang berlangsung

lama (Feldman dan Nelson 2004).

Page 24: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

11

Diagnosa

Pyometra merupakan salah satu diagnosa pembanding apabila ada anjing

atau kucing dalam masa diestrus terlihat sakit, terutama jika disertai gejala

polidipsia, poliuria, atau muntah. Menurut Agudelo (2005), diagnosa pyometra

dapat ditegakkan melalui anamnesa pemilik, status siklus estrus, dan gejala klinis.

Selain itu pemeriksaan vaginoscopy, sitologi vagina, profil biokimia dan urinalisis

dapat dilakukan untuk mendukung diagnosa.

Menurut Bigliardi (2004), diagnosa untuk kasus pyometra paling baik

dilakukan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan radiografi. Pemeriksaan

USG dapat mengungkapkan adanya eksudat dalam uterus dan hiperplasia sistik

endometrial. Selain itu, melalui pemeriksaan USG dapat dengan jelas

mengevaluasi integritas endometrium, variasi ketebalan dinding rahim, dan

distensi uterus.

Secara normal, uterus hanya dapat teridentifikasi melalui radiografi saat

ukurannya membesar akibat kebuntingan. Apabila uterus dapat teridentifikasi

pada saat tidak terjadi kebuntingan, maka dapat dicurigai terjadi sesuatu yang

abnormal. Hasil radiografi uterus dengan pyometra terlihat sebagai struktur

tabung atau pipa berisi cairan dengan diameter yang lebih besar dari usus halus

dan terletak di ventrocaudal abdomen (Feldman dan Nelson 2004).

Penanganan

Feldman dan Nelson (2004) membagi penanganan pyometra menjadi dua

yaitu melalui bedah dan perawatan medis. Perawatan medis dilakukan pada anjing

atau kucing yang masih ingin dikembangbiakkan yaitu dengan pemberian

prostaglandin. Prostaglandin memberikan efek kontraksi miometrium sehingga

dapat mengeluarkan eksudat dalam lumen secara paksa. Selain itu, pemberian

prostaglandin menghambat sirkulasi progesteron dengan cara melisiskan corpus

luteum sehingga mengurangi stimulus proliferasi endometrium dan sekresi

kelenjar uterus. Penanganan dengan prosedur bedah yang biasa dilakukan adalah

ovariohisterektomi dan drainase uterus. Drainase uterus dilakukan melalui kateter

yang dimasukkan ke dalam uterus melalui vagina dan serviks untuk mengaspirasi

Page 25: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

12

eksudat purulen dan membasuh uterus dengan cairan antiseptik selama beberapa

hari.

Ovariohisterektomi (OH) merupakan penanganan yang paling dipilih pada

kasus pyometra. Sebelum melakukan OH, kondisi cairan tubuh, elektrolit, dan

keseimbangan asam basa harus dikembalikan normal. Infus cairan dan antibiotik

berspektrum luas harus diberikan, serta eksudat uterus harus dikeluarkan untuk

menghilangkan infeksi bakteri (Agudelo 2005, Feldman dan Nelson 2004). OH

pada kasus pyometra umumnya berhasil dengan kesembuhan yang cepat dan

dapat meminimalkan resiko pengulangan pyometra. Resiko neoplasia pada

ovarium atau uterus juga dapat terhindarkan. Mortalitas post-operasi OH pada

anjing yang mengalami pyometra diperkirakan sekitar 5% (Wheaton et al. 1989).

Page 26: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

13

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Oktober 2011 di Bagian

Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi antara

lain gelas objek, gelas penutup, tissue cassette, cetakan blok parafin, Sakura

Automatic Tissue Processor, Sakura

Tissue Embedding Console, inkubator,

mikrotom, mikroskop cahaya Olympus

BHI, dan Digital Eye Piece Camera.

Bahan-bahan yang digunakan adalah Buffered Neutral Formalin 10%, xylol,

alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%), alkohol absolut, lithium karbonat, air hangat

dan pewarna Mayer Haematoksilin-Eosin.

Sampel Organ

Sampel organ berasal dari seekor singa Afrika betina milik suatu lembaga

konservasi satwa liar yang ditemukan mati dan dikirim ke Bagian Patologi FKH

IPB dengan nomor kasus P/209/07 untuk dilakukan prosedur rutin nekropsi dan

diagnosa histopatologi. Sampel organ terdiri dari jantung, trakea, paru-paru, hati,

usus, limpa, ginjal dan uterus.

Pembuatan Preparat Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi diawali dengan fiksasi berbagai organ

dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%. Kemudian jaringan melalui

proses dehidrasi dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%,

90%, alkohol absolut I dan II). Selanjutnya adalah proses clearing yaitu

penjernihan jaringan dalam larutan xylol I dan II, masing-masing selama dua jam.

Proses selanjutnya adalah embedding yaitu penanaman jaringan ke dalam

parafin cair. Jaringan yang berada di dalam blok parafin yang telah membeku

kemudian dipotong dengan ketebalan 5-6 µm. Kemudian potongan jaringan yang

Page 27: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

14

berbentuk pita diletakkan di atas air hangat, lalu diangkat dan diletakkan di atas

gelas objek. Selanjutnya dikeringkan dalam inkubator bersuhu 60°C selam 24

jam. Sediaan yang telah melekat sempurna pada gelas obyek kemudian siap

diwarnai dengan teknik pewarnaan Haematoksilin-Eosin (HE).

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin

Pewarnaan diawali dengan mencelupkan sediaan ke dalam larutan xylol I,

II, dan III masing-masing selama 1 menit. Kemudian sediaan dimasukkan ke

dalam alkohol dimulai dari konsentrasi tinggi ke rendah yaitu dari alkohol absolut,

alkohol 96%, dan alkohol 70% masing-masing selama 1 menit. Setelah itu sediaan

dicuci dengan air mengalir. Berikutnya, sediaan diwarnai dengan pewarna Mayer

Haematoksilin selama 8 menit dan dibilas dengan air mengalir. Pada tahap

selanjutnya, sediaan dicelupkan ke dalam lithium karbonat sebanyak 3 kali dan

dibilas kembali dengan air mengalir. Lalu sediaan kembali diwarnai dengan

pewarna Eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air mengalir. Setiap

pembilasan dengan air mengalir dilakukan selama 30 detik.

Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam alkohol dengan konsentrasi

bertingkat dimulai dari 70%, 80%, dan 96% sebanyak 10 kali celupan serta

alkohol absolut sebanyak 15 kali celupan. Kemudian sediaan dimasukkan ke

dalam larutan xylol I, II, III, dan IV masing-masing selama 1 menit. Tahap

terakhir adalah mengeringkan sediaan, meneteskan perekat, dan menutup sediaan

dengan gelas penutup. Setelah tertutup rapat, preparat siap diamati di bawah

mikroskop.

Pengamatan Histopatologi

Pengamatan preparat dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya

dengan perbesaran obyektif 4x, 10x, dan 40x. Pengamatan dilakukan untuk

mengidentifikasi lesio mikroskopik pada setiap organ sehingga dapat

dideskripsikan secara jelas sebagai suatu kronologis kejadian penyakit.

Pengambilan gambar pada jaringan yang mengalami perubahan histopatologi

dilakukan dengan menggunakan Digital Eye Piece Camera.

Page 28: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seekor singa Afrika betina milik suatu penangkaran satwa liar ditemukan

mati dengan anamnesa adanya keputihan dari vulva dua hari sebelum

kematiannya. Secara umum, kondisi gizi singa tersebut masih baik namun mukosa

terlihat pucat. Pemeriksaan patologi anatomi (PA) dilakukan pada berbagai organ

yaitu jantung, trakea, paru-paru, hati, usus, limpa, ginjal dan uterus. Eksudat

purulen bercampur darah dengan volume 3L ditemukan pada lumen uterus.

Pemeriksaan pada lambung dan usus memperlihatkan adanya infestasi cacing

Acantocephala sp. dalam jumlah banyak (Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007).

Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa

Sistem Organ Organ Perubahan

Respirasi Trakea Hiperemia.

Paru-paru Kongesti, emfisema, anthracosis.

Sirkulasi Jantung Hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan, serous

atrofi lemak koroner disertai perdarahan, degenerasi

miokard, endokarditis nodularis valvularis.

Limforetikuler Limpa Peradangan.

Digesti Usus Infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak

pada lambung dan usus, infestasi ringan cacing pita pada

ileum, gastritis ulceratif hemoragika, enteritis mukopurulenta.

Hati Degenerasi, fibrosis multifokal, nekrosis dan perdarahan

multifokal.

Reproduksi Uterus Membesar disertai penebalan, beberapa bagian menipis

dan nekrosis, mukosa uterus mengalami peradangan purulen disertai perdarahan, pada lumen ditemukan

eksudat purulen bercampur darah dengan volume 3L.

Urinaria Ginjal Kongesti.

Sumber: Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007.

Hasil pemeriksaan histopatologi organ paru-paru menunjukkan emfisema

pulmonum. Emfisema pada kasus ini terjadi karena rupturnya dinding alveol

sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar. Emfisema pulmonum

pada hewan umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah adanya

gangguan aliran udara. Berdasarkan daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema

diklasifikasikan menjadi emfisema alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema

Page 29: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

16

alveolar dikarakteristikkan dengan distensi dan rupturnya dinding alveolar,

sehingga membentuk gelembung udara dengan berbagai ukuran di parenkim paru-

paru. Emfisema interstitial terjadi saat akumulasi udara menembus dinding

alveolar dan dinding bronkhioli kemudian masuk ke jaringan ikat interlobular,

sehingga menyebabkan distensi dari septa interlobular (McGavin dan Zachary

2001). Ditemukannya dinding alveolar yang ruptur dan membesar pada jaringan

paru-paru singa secara mikroskopik menunjukkan adanya emfisema alveolar

(Gambar 4).

Pada hewan, emfisema umumnya terjadi sebagai lesio sekunder akibat

terhambatnya aliran udara atau sebagai lesio pada saat hewan mati. Emfisema

akibat kerusakan pulmonal umumnya terjadi pada hewan yang menderita

bronkopneumonia. Adanya eksudat pada bronkopenumonia menyumbat bronkus

dan bronkiolus sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara udara yang

masuk dan keluar dari paru-paru (McGavin dan Zachary 2001). Pada pemeriksaan

histopatologi paru-paru singa tidak ditemukan adanya eksudat maupun sel radang

pada bronkiolus sehingga emfisema yang ditemukan pada kasus ini diduga

merupakan lesio yang terjadi ketika hewan dalam keadaan moribun (sekarat).

Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon, yang

menunjukkan singa menderita anthracosis (Gambar 5). Anthracosis merupakan

akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi.

Umumnya hewan yang menderita anthracosis hidup di lingkungan yang berpolusi.

Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna

hitam yang ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial

(McGavin dan Zachary 2001).

Gangguan sirkulasi yang teramati pada jaringan paru-paru adalah kongesti,

hiperemia dan edema. Kongesti dan hiperemia terlihat dengan berkumpulnya

darah di kapiler-kapiler intersitium paru-paru. Kongesti paru seringkali

disebabkan oleh kegagalan jantung, dan bila berjalan lama akan berlanjut menjadi

edema pulmonum yang terlihat dengan adanya endapan protein dalam alveolar

(Gambar 5). Menurut McGavin dan Zachary (2001), kongesti yang berjalan lama

juga dapat menyebabkan penebalan jaringan interstitial sehingga menimbulkan

fibrosis interstitial ringan.

Page 30: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

17

a

b

c

Gambar 4 Emfisema alveolar (panah) yang dicirikan oleh robek dan

menyatunya dinding alveolar. Pewarnaan HE, bar 200 µm.

Gambar 5

Alveol paru-paru singa yang mengalami edema (a), anthracosis di

interstitium (b) dan fibrosis ringan (c). Pewarnaan HE, bar 100 µm.

Page 31: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

18

Pada pemeriksaan PA epikard jantung ditemukan lemak jantung yang

mencair atau disebut serous atrofi. Serous atrofi lemak terjadi pada hewan yang

mengalami anoreksia atau kondisi kelaparan, sehingga depo lemak tubuh

dimetabolisme untuk dijadikan sumber energi (McGavin dan Zachary 2001).

Hasil pemeriksaan PA jantung singa didiagnosa mengalami hipertrofi ventrikel

kiri dan dilatasi ventrikel kanan. Namun pada pemeriksaan histopatologi

ditemukan filamen otot jantung yang mengecil dan merenggang, yang

menandakan adanya atrofi miokard (Gambar 6). Pada bagian lain dari miokard

terlihat adanya proliferasi jaringan ikat dan sebagian sel-sel otot jantung

mengalami degenerasi hingga nekrosis (Gambar 7). Sitoplasma sel otot jantung

yang mengalami degenerasi terlihat berwarna lebih pudar dengan inti sel yang

masih baik. Nekrosis miokard ditandai oleh sel-sel otot yang berwarna lebih

merah, filamen yang mengecil sehingga memberi jarak satu dengan yang lain

disertai inti yang piknosis. Jaringan ikat atau jaringan parut terbentuk sebagai

pengganti sel-sel otot yang nekrosis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), ciri-

ciri nekrosis miokard antara lain inti yang piknosis dan serabut otot yang berjarak.

Jaringan ikat pada daerah nekrosis seringkali tampak membengkak dan berwarna

hipereosinofilik. Atrofi dan nekrosis miokard dapat disebabkan oleh berbagai

kausa diantaranya defisiensi nutrisi, bahan toksik kimia maupun tanaman,

iskemia, gangguan metabolisme, dan trauma fisik (Ross et al. 2003).

Pemeriksaan PA katup jantung menunjukkan adanya penebalan katup

disertai pembentukan nodul. Katup jantung secara histopatologi tampak menebal

dan mengalami degenerasi yang terlihat dari pudarnya serabut katup dan inti sel

piknosis. Beberapa lesio penyakit seperti kalsifikasi dan fibrosis dapat

menyebabkan degenerasi katup sehingga menyebabkan gangguan fungsi jantung

akibat insufiensi dan stenosis lubang katup (Ross et al. 2003).

Secara keseluruhan, perubahan-perubahan yang terjadi pada jantung singa

didiagnosa sebagai kardiomiopati. Istilah kardiomiopati digunakan untuk berbagai

kelainan pada miokard baik yang bersifat idiopatik maupun akibat kausa yang

telah diketahui. Perubahan yang biasanya ditemukan pada kardiomiopati adalah

kardiomegali yang disebabkan oleh dilatasi umum dan fibrosis (Jubb et al.

1992b).

Page 32: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

19

a b

Gambar 6 Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan

merenggang. Pewarnaan HE, bar 50 µm.

Gambar 7

Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis

miokard (a) dan fibrosis (b). Pewarnaan HE, bar 100 µm.

Page 33: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

20

Hasil pemeriksaan histopatologi organ limpa menunjukkan adanya deplesi

pada folikel limfoid, yang terlihat dari renggangnya daerah pulpa putih sehingga

terbentuk ruang-ruang kosong. Bagian pulpa merah terlihat mengalami kongesti

yang ditandai dengan akumulasi eritrosit serta ditemukan infiltrasi sel radang

limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini menandakan limpa mengalami

peradangan atau splenitis. Akumulasi makrofag dan pigmen hemosiderin pada

pulpa merah menunjukkan adanya kongesti kronis di limpa yang dapat terjadi

akibat gangguan sirkulasi. Deplesi folikel limfoid pada limpa singa menunjukkan

kondisi imunosupresi yaitu terjadinya pengurangan pembentukan sel-sel

pertahanan (Jubb et al. 1992 a). Menurut McGavin dan Zachary (2001),

peradangan pada limpa atau splenitis dapat terjadi akibat kondisi septisemia atau

bakterimia dimana bakteri yang masuk ke pulpa merah limpa akan difagosit oleh

makrofag. Splenitis terlihat dari membesarnya ukuran limpa atau splenomegali

sebagai akibat dari kongesti akut limpa dan infiltrasi sel radang neutrofil.

Berdasarkan hasil pemeriksaan PA, pada usus dan lambung singa terjadi

infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak. Acantocephala sp.

merupakan kelompok parasit obligat yang memanfaatkan arthropoda sebagai

inang perantara dan vertebrata sebagai inang definitif. Cacing ini memiliki

probosis yang bertanduk yang berfungsi untuk mengaitkan diri pada usus inang

vertebrata. Morfologi cacing ini berbentuk silindris dan tidak bersegmen (Near

2002). Singleton et al. (1993) melaporkan kejadian infestasi berat cacing

Acantocephala sp. pada tupai. Hasil pemeriksaan mikroskopik saluran digesti

tupai menunjukkan enteritis yang dicirikan oleh infiltrasi limfosit, makrofag, sel

plasma, dan eosinofil pada mukosa dan submukosa usus. Area perlekatan cacing

tersebut pada dinding usus halus ditandai dengan atrofi sel epitel dan infiltrasi

eosinofil, neutrofil, dan sel plasma.

Pemeriksaan histopatologi usus singa menunjukkan epitel penutup vili

yang mengalami desquamasi dan vili-vili yang tampak memendek. Pada bagian

mukosa usus ditemukan potongan badan cacing (Gambar 8). Keberadaan cacing

Acantocephala sp. pada usus singa selain mengakibatkan desquamasi epitel

penutup juga menyebabkan peradangan mukosa yang terlihat dari adanya infiltrasi

sel radang. Sel-sel radang yang teridentifikasi pada mukosa usus adalah sel

Page 34: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

21

plasma, makrofag, limfosit, neutrofil, dan eosinofil. Desquamasi epitel penutup

dapat terjadi karena cacing Acantocephala sp berada pada lumen usus dan pada

lapis inilah cacing melekatkan probosis bertanduknya. Selain itu, kripta usus pada

lapis mukosa terlihat mengalami nekrosis, dan sebagian sel goblet aktif

menghasilkan mukus. Hasil pemeriksaan PA menunjukkan usus singa ini

mengalami enteritis dengan tipe eksudat mukopurulen yang ditunjukkan dengan

eksudat yang bersifat kental dan keruh dengan warna kekuningan. Menurut

Cheville (2006), eksudat purulen umumnya bercampur dengan fibrin dan mukus.

Secara mikroskopik, eksudat purulen akan penuh dengan sel radang neutrofil. Hal

ini sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi usus singa yang banyak

mengandung sel radang neutrofil. Eksudat purulen yang bercampur dengan mukus

pada usus singa diakibatkan oleh rangsangan cacing.

Pemeriksaan histopatologi jaringan hati singa menunjukkan hati

mengalami hepatopati, yang ditunjukkan dengan hepatosit yang mengalami

degenerasi lemak, degenerasi hidropis, dan ditemukan nekrosis multifokus dengan

pola nekrosis sentrolobular (Gambar 10, 11). Sinusoid hati tampak meluas dan

dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan pewarnaan HE (Gambar

10). Selain itu ditemukan pula fokus-fokus nekrosis dengan hepatosit yang sudah

lisis serta banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati

mengalami kongesti pasif (Gambar 11). Kongesti pada sinusoid mengakibatkan

sel hepatosit tergencet sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang

tidak beraturan. Degenerasi hidropis pada hepatosit ditandai dengan adanya

kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya

vakuola yang kecil dan jernih. Pada kedua jenis degenerasi tersebut inti masih

terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel

kekurangan oksigen. Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja

enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi

asam lemak sehingga mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada

hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi

lemak adalah zona sentrolobular yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis

(Cheville 2006). Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia,

berbagai toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu.

Page 35: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

22

b

a

Gambar 8 Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi

desquamasi sel epitel penutup (a) dan ditemukan potongan badan

cacing pada mukosa usus (b). Pewarnaan HE, bar 200 µm.

Gambar 9

Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil

(a), neutrofil (b), limfosit (c), makrofag (d), dan sel plasma (e).

Pewarnaan HE, bar 10 µm.

a

b

e

d

c

Page 36: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

23

Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar

dengan sitoplasma yang bervakuola dan inti sel yang terdorong ke tepi (Jubb et al.

1992 a). Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan

kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk menghasilkan energi, atau

gangguan enzim yang mengatur pompa ion natrium-kalium pada membran sel.

Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya produksi energi atau ATP

sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, natrium dan air masuk ke

dalam sel akibat kerusakan pompa ion pada membran sel dan menyebabkan

tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Cisternae dari retikulum

endoplasmik menjadi membesar, ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola

yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis (McGavin dan Zachary 2001).

Nekrosis hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih

gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary

(2001), nekrosis hepatosit dikarakteristikkan dengan sitoplasma yang membesar,

organel sel hancur dan robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit

biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon

hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu.

Nekrosis hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk

nekrosis pola sentrolobular. Menurut Jubb et al. (1992 a), degenerasi maupun

nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrolobular,

midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis

sentrolobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona

sentrolobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrolobular

merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga

merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga

hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosis sentrolobular umumnya disebabkan

oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari

adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid.

Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami

degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji

pala (Carlton dan McGavin 1995).

Page 37: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

24

a

b c

Gambar 10 Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan

hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan

protein di sinusoid. Pewarnaan HE, bar 100 µm.

Gambar 11

Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit

mengalami degenerasi hidropis (a), nekrosis (b) bahkan lisis (c).

Tampak sinusoid melebar penuh dengan eritrosit. Pewarnaan HE,

bar 50 µm.

Page 38: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

25

Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal singa menunjukkan adanya

perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Glomerulus ditemukan

mengalami edema yang ditandai oleh adanya endapan protein di glomerular tuft

hingga ke ruang Bowman (Gambar 12). Selain itu ditemukan pula beberapa

glomerulus yang mengalami nekrotik, yang terlihat dari inti kapiler yang piknotis.

Di banyak lapang pandang ditemukan tubulus yang mengalami degenerasi

hidropis dan nekrosis. Nekrosis tubulus ditunjukkan dengan epitel sitoplasma

yang berwarna eosinofilik dan inti yang piknosis. Pada tubulus yang mengalami

nekrosis, terlihat epitel tubulus terlepas dari membran basalnya (Gambar 13).

Degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal merupakan bentuk lanjut

dari pembengkakan sel secara akut akibat cairan yang masuk ke dalam sitoplasma

(Cheville 2006). Perubahan lain pada tubulus singa adalah adanya endapan

protein di lumennya, namun hanya ditemukan pada beberapa tubulus saja

(Gambar 12). Endapan protein menunjukkan adanya gangguan reabsorpsi protein

oleh tubulus. Kerusakan epitel tubulus dapat berasal dari infeksi yang terbawa

sirkulasi darah, infeksi ascending, toksin, dan iskemia (McGavin dan Zachary

2001).

Perubahan pada intersitium ginjal berupa pendarahan, kongesti, edema dan

pembentukan jaringan ikat atau fibrosis yang ditemukan sepanjang korteks dan

medulla (Gambar 13). Kongesti dan hemoragi ditemukan hampir di seluruh

kapiler ginjal, sedangkan edema ditemukan di sekitar tubulus distalis yang

nekrosis. Hemoragi merupakan lesio yang bersifat akut yang umum terjadi, selain

edema dan peradangan. Selain itu ditemukan multifokus fibrosis di sekitar tubulus

distalis (Gambar 13) serta di bagian medula ginjal. Hasil pemeriksaan ginjal juga

memperlihatkan adanya infiltrasi sel radang antara lain limfosit, makrofag, dan sel

plasma. Hal ini mengindikasikan ginjal singa mengalami peradangan kronis.

Namun adanya pendarahan pada radang kronis ginjal menandakan telah terjadi

peradangan akut pada ginjal tersebut. Dengan demikian ginjal singa didiagnosa

mengalami nefritis interstitialis kronis aktif, karena selain ditemukan fibrosis

ditemukan juga pendarahan di interstitiumnya.

Menurut McGavin dan Zachary (2001), nefritis interstitial kronis ditandai

dengan meningkatnya jaringan ikat pada interstitium ginjal serta menghilangnya

Page 39: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

26

tubulus ginjal akibat atrofi. Nefritis interstitial kronis sering dijumpai pada hewan

domestik seperti anjing dan kucing sebagai proses penuaan. Saat nefritis

interstitial kronis sudah berlangsung parah, lesio ini dapat dimanifestasikan secara

klinis sebagai kegagalan ginjal kronis atau uremia. Adanya sindrom uremia pada

singa diketahui dengan terbentuknya gastritis ulceratif et hemoragika pada

lambung yang teramati pada pemeriksaan PA. Menurut Stone et al. (1988), pada

pemeriksaan biopsi ginjal 27 ekor anjing yang menderita pyometra menunjukkan

prevalensi tinggi terjadinya nefritis tubulointerstitialis dengan lesio pada

glomerulus yang tidak spesifik. Hal ini menguatkan diagnosa nefritis

tubulointerstitialis yang dialami singa ini dapat disebabkan oleh pyometra.

Hasil pemeriksaan histopatologi endometrium uterus singa menunjukkan

kelenjar uterus yang berdilatasi dan sebagian kelenjar membentuk sistik yang

berisi eksudat. Epitel kelenjar yang membentuk sistik mengalami hiperplasia

sehingga terlihat sel epitel yang saling menumpuk (Gambar 14). Pada

pemeriksaan PA ditemukan eksudat purulen di lumen uterus. Eksudat ini berasal

dari sekresi kelenjar yang membentuk sistik, kemudian sistik tersebut pecah dan

eksudatnya menggenangi lumen uterus. Hiperplasia sistik endometrial yang

ditemukan pada uterus singa ini serupa dengan bentuk hiperplasia sistik yang

pernah dilaporkan pada kasus pyometra, baik pada individu singa lain maupun

pada spesies mamalia lain. Migliorisi et al. (2010) melaporkan kasus hiperplasia

sistik endometrial pada seekor singa Afrika berusia 13 tahun. Sistik endometrial

yang dilaporkan oleh Agnew et al. (2004) pada spesies gajah juga menunjukkan

bentuk yang serupa yaitu kelenjar yang mengalami sistik dikelilingi epitel yang

berlapis. Tipe epitel pada kelenjar adalah epitel kuboid sampai epitel silindris

rendah. Perubahan patologi pada kasus pyometra dugong juga ditemukan

pembesaran uterus dengan eksudat berwarna coklat kehijauan. Mukosa uterus

menunjukkan bercak hemoragi dengan pus yang menutupi mukosa (Chansue et al.

2006).

Page 40: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

27

a

c b

d

Gambar 12 Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan

oleh edema glomerulus (a), serta degenerasi (b), nekrosis (c) dan

adanya endapan protein di lumen tubulus (d). Pewarnaan HE, bar

50 µm.

Gambar 13

Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya

fibrosis, pendarahan dan edema (panah), serta tubulus distalis

nekrosis yang dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas

dari membran basal. Pewarnaan HE, bar 50 µm.

Page 41: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

28

Lesio lain yang teramati pada endometrium uterus selain pendarahan

adalah ditemukannya sel radang limfosit, makrofag, sel plasma, dan neutrofil. Sel

radang ini juga ditemukan pada bagian perimetrium dan miometrium. Adanya

infiltrasi sel radang dan pendarahan menunjukkan peradangan pada uterus yang

bersifat kronik aktif. Keberadaan sel radang neutrofil menandakan adanya infeksi

bakteri pada uterus. Beberapa bagian dari miometrium mengalami nekrosa dengan

inti sel yang piknosis. Pada daerah yang nekrosa, telah terjadi proliferasi jaringan

ikat yang mengisi di antara serabut otot miometrium (Gambar 15). Miometrium

juga mengalami hemoragi dan kongesti. Adanya bagian miometrium yang

mengalami nekrosis menyebabkan uterus mudah ruptur.

Hasil pemeriksaan histopatologi dinding uterus berupa penyimpangan

struktur mukosa dengan adanya hiperplasia kelenjar dan proliferasi jaringan ikat.

Makrofag, limfosit, dan sel plasma ditemukan di sekitar proliferasi jaringan ikat,

sedangkan neutrofil ditemukan seiring dengan kongesti vena uterus. Adanya

akumulasi eksudat bercampur darah pada lumen uterus dan terbentuknya

hiperplasia sistik endometrial menandakan singa mengalami pyometra.

Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ singa secara keseluruhan

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Singa

Sistem Organ Organ Perubahan

Respirasi Paru-paru Emfisema pulmonum, edema pulmonum,

anthracosis

Sirkulasi Jantung Kardiomiopati

Limforetikuler Limpa Peradangan

Digesti Usus Enteritis mukopurulenta

Hati Hepatopati, kongesti pasif

Reproduksi Uterus Pyometra

Urinaria Ginjal Nefritis tubulointerstitial kronik aktif

Page 42: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

29

a

b

Gambar 14 Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada

hiperplasia sistik endometrial. Pewarnaan HE, bar 200 µm. (Gambar

inset: Hiperplasia epitel kelenjar uterus, bar 25 µm).

Gambar 15

Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium (a) dengan

proliferasi jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel radang (b). Pewarnaan

HE, bar 100 µm.

Page 43: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

30

Ovulasi pada singa diinduksi oleh rangsangan kopulasi selama masa

estrus, namun terkadang dapat terjadi secara spontan. Oleh karena itu, ovulasi

pada singa bukanlah ovulasi spontan melainkan ovulasi refleks seperti halnya

pada kucing domestik (Schramm et al. 1994). Pada hewan dengan tipe ovulasi

yang diinduksi oleh kopulasi, kebuntingan palsu (pseudopregnancy) dapat terjadi

saat sel telur tidak berhasil difertilisasi atau terjadi kopulasi steril. Saat

kebuntingan palsu terjadi, corpus luteum berkembang dan persisten sehingga fase

progestasional atau fase luteal dalam masa estrus berlanjut walaupun tidak terjadi

fertilisasi (Paape et al. 1975). Selama fase ini, kadar progesteron yang diproduksi

meningkat dan endometrium menunjukkan perubahan praimplantasi yang sama

seperti saat terjadi kebuntingan yang sesungguhnnya (Verhage et al. 1976).

Progesteron mempengaruhi endometrium dengan meningkatkan ukuran dan

jumlah kelenjar endometrium serta meningkatan sekresinya. Akibatnya kelenjar

endometrium berdilatasi dan mengalami hiperplasia epitel. Sekresi kelenjar yang

berlebihan mengakibatkan terbentuknya kista sehingga menjadi hiperplasia sistik

endometrial (Feldman dan Nelson 2004).

Perubahan uterus berupa hiperplasia sistik endometrial merupakan salah

satu predisposisi timbulnya infeksi sekunder pada uterus yang mengarah pada

pyometra. Berbagai rute infeksi pada uterus telah dilaporkan yaitu secara

hematogenik, limfogenik, dan rute ascenden. Pernah dilaporkan juga bahwa

peradangan pada vesika urinaria berkorelasi dengan timbulnya pyometra

(Fransson 2003). Disamping itu progesteron juga memiliki aktivitas sebagai

imunosupresan dengan menghambat proliferasi sel limfosit dan sel T-killer,

sehingga mendukung pertumbuhan bakteri di uterus. Setelah terjadi hiperplasia

sistik endometrial yang disertai dengan adanya infeksi sekunder, maka uterus

mengalami peradangan berupa endometritis purulenta kronis dengan akumulasi

pus di lumen uterus yang disebut pyometra (Fransson 2003). Keberadaan sel

radang di uterus singa pada kasus ini menunjukkan adanya peradangan uterus atau

endometritis, dan sel radang neutrofil yang ditemukan mengkonfirmasi

peradangan disebabkan oleh adanya infeksi bakteri.

Gejala klinis pyometra tidak terbatas hanya pada saluran reproduksi saja.

Gejala klinis yang paling sering dilaporkan termasuk anoreksia, lethargi,

Page 44: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

31

polidipsia, poliurinaria, dan keluarnya nanah dari vagina. Umumnya, bakteri yang

menginfeksi uterus pada pyometra adalah Escherichia coli namun pernah juga

diisolasi bakteri lain seperti Klebsiella, Streptococci, Staphylococci, dan

Pseudomonas. E. coli dan bakteri gram negatif lainnya menghasilkan endotoksin

atau lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan komponen dinding sel bakteri

yang dapat dilepas saat bakteri tumbuh maupun saat bakteri mati (Fransson dan

Ragle 2003). Bakteri di uterus ataupun toksin yang dihasilkannya dapat masuk ke

pembuluh darah dan ikut bersikulasi ke seluruh tubuh. Interaksi sistemik antara

mikroorganisme dan produknya (toksin) dengan sel inang menghasilkan sindrom

klinis yang disebut dengan sepsis. Terlepas dari kausa yang spesifik, sepsis

mengakibatkan beberapa gangguan sistemik termasuk gangguan homeostatis,

suhu tubuh abnormal, hipoksia pada sel-sel, koagulasi intravaskular atau

disseminated intravascular coagulation (DIC), kegagalan fungsi berbagai organ,

dan kematian (McGavin dan Zachary 2001).

Berbagai kerusakan organ singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis

yang ditimbulkan oleh bakteri yang mengakibatkan pyometra. Diagnosa sepsis

diindikasikan oleh adanya hemoragi pada hampir seluruh organ yang diperiksa

secara histopatologi yaitu paru-paru, hati, ginjal, limpa dan uterus. Hemoragi

dapat terjadi karena ketidaknormalan fungsi atau keutuhan dari satu atau lebih

faktor yang mempengaruhi homeostatis yaitu endotel, pembuluh darah, trombosit,

dan faktor koagulasi. Gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan

hemoragi dapat terjadi akibat trauma, endotoksemia dan bakterimia. Penurunan

jumlah trombosit (trombositopenia) dan gangguan fungsi trombosit juga

menyebabkan hemoragi. Selain itu, hemoragi juga dapat disebabkan oleh DIC

yang merupakan hasil dari pembekuan darah secara luas pada arteri dan kapiler.

DIC dapat diinisiasi akibat kerusakan endotel sehingga terjadi peningkatan dalam

penggunaan trombosit. Penyakit-penyakit yang disertai dengan DIC antara lain

endotoksemia, infeksi virus hepatitis pada anjing, dirofilariasis, dan penyakit

neoplastik tertentu seperti hemangiosarkoma atau leukimia (McGavin dan

Zachary 2001). Lesio DIC pada berbagai organ singa terlihat dari adanya trombus

yang berupa plasma darah dan fibrin pada kapiler-kapiler maupun pembuluh

darah lain.

Page 45: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

32

Salah satu organ yang rentan terhadap sepsis adalah jantung. Menurut

Merx dan Weber (2007), sepsis menyebabkan disfungsi pada miokard dengan

mekanisme penurunan kontraktilitas dan terganggunya penyesuaian miokard.

Disfungsi miokard terjadi akibat beberapa faktor seperti iskemia secara luas dan

beredarnya substansi kimia dalam darah yang masuk ke jantung seperti toksin.

Kerusakan pada miokard dapat mengarah kepada gagal jantung kongestif.

Kardiomiopati pada jantung singa kasus ini menyebabkan kegagalan jantung baik

pada jantung kanan maupun kiri.

Gagal jantung dapat terjadi akibat penyakit pada jantung (akibat

kongenital, kerusakan pada miokard atau vaskular) ataupun akibat beban kerja

yang berlebihan karena adanya penyakit pada paru-paru, ginjal, dan vaskular.

Kelainan paru-paru seperti emfisema pada kasus ini menyebabkan darah balik dari

paru-paru yang masuk ke jantung menjadi sedikit. Hal ini mengakibatkan

penurunan daya kontraksi jantung yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya

aliran darah ke berbagai organ melalui arteri dan tertahannya darah yang

seharusnya kembali ke jantung melalui vena sehingga terjadi kongesti. Kongesti

pada berbagai organ seperti paru-paru, hati, ginjal yang disebabkan oleh

kegagalan jantung mengakibatkan iskemia pada sel-sel parenkim. Sel yang

mengalami iskemia selanjutnya akan mengalami degenerasi hingga nekrosa.

Kegagalan fungsi jantung, hemoragi, dan DIC menyebabkan hipoksia dan

iskemia jaringan secara sistemik sehingga terjadi kegagalan organ umum. Organ

yang sangat sensitif terhadap efek ini meliputi jantung, otak, ginjal, paru-paru, dan

hati. Sel yang rusak akibat iskemia memproduksi energi secara anaerobik

(glikolisis), mengakibatkan glikogen habis secara cepat, akumulasi asam laktat,

dan kekurangan ATP. Tanpa ATP yang cukup, pompa ion pada membran sel

gagal untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, integritas membran, dan

sintesis protein. Masuknya natrium dan air ke dalam sel menyebabkan sel

membengkak dan mengalami penurunan fungsi (McGavin dan Zachary 2001).

Gagal jantung kiri mengakibatkan kongesti dan edema pulmonar,

sedangkan gagal jantung kanan menyebabkan kongesti dan edema pada hati dan

limpa (McGavin dan Zachary 2001). Menurut Jubb et al. (1992 b), gagal jantung

kanan mengakibatkan hati membesar dan kongesti dengan perubahan mikroskopik

Page 46: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

33

meliputi dilatasi sinusoid dan atrofi atau degenerasi hingga nekrosa jaringan

parenkim hati di sekitar vena sentralis. Perubahan ini sesuai dengan hasil

pemeriksaan histopatologi hati singa sehingga menguatkan diagnosa terjadinya

gagal jantung pada singa.

Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan jantung akibat

adanya kerusakan pada miokard berupa nekrosa miokard atau kardiomiopati.

Sepsis dan gagal jantung menyebabkan kegagalan berbagai organ parenkim

seperti paru-paru, hati, dan ginjal yang terlihat dengan adanya kongesti, edema,

dan nekrosa sel-sel parenkim. Kerusakan pada berbagai organ ini menyebabkan

peningkatan beban kerja jantung untuk menyalurkan darah. Kompensasi dari

kelebihan kerja pada jantung terlihat dari jantung yang mengalami dilatasi dan

hipertrofi.

Page 47: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

34

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil pemeriksaan histopatologi organ-organ singa yang menderita pyometra

menunjukkan anthracosis, emfisema dan edema pulmonum, kardiomiopati,

enteritis mukopurulenta, hepatopati dan kongesti pasif hati, nefritis

tubulointerstitialis kronis aktif dan pyometra.

2. Pyometra mengakibatkan sepsis yang dibuktikan dengan adanya hemoragi

dan degenerasi pada organ-organ parenkimatosa.

3. Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis dan kegagalan jantung.

Saran

1. Perlu dilakukan analisis bakteriologi untuk mengetahui kuman penyebab

pyometra untuk menguatkan diagnosa.

2. Perlu peningkatan manajemen pemeliharaan terutama menajemen breeding

pada satwa liar di penangkaran atau badan konservasi lainnya sehingga dapat

mencegah terjadinya gangguan reproduksi seperti pyometra.

Page 48: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

35

DAFTAR PUSTAKA

Agnew DW, Munson L, Ramsay EC. 2004. Cystic endometrial hyperplasia in

elephants. Vet Pathol 41:179-183.

Agudelo CF. 2005. Cystic endometrial hyperplasia-pyometra complex in cats. Vet

Quart 27(4):173-182.

Austin CR, Short RV. 1984. Reproduction in Mammals: Hormonal Control of

Reproduction. Ed ke-2. Great Britain: Cambridge Univ Press.

Bagian Patologi KRP-FKH IPB. 2007. Buku Protokol Pemeriksaan Patologi

Tahun 2007. Bogor: Bagian Patologi KRP-FKH IPB.

Bigliardi E, Parmigiani E, Cavirani S, Luppi A, Bonati L, Corradi A. 2004.

Ultrasonography and cystic hyperplasia–pyometra complex in the bitch.

Reprod Domest Anim 39:136-140.

Carlton WM, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Vetrinary Pathology. Ed

ke-3. USA: Mosby Year Book.

Chansue N, Monanunsap S, Sailasuta A. 2006. Pyometra with diffuse

fibrinopurulent peritonitis in a dugong (Dugong dugon). Di dalam:

Banlunara W et al., editor. Proceedings of The 2nd

Symposium on the Asian

Zoo and Wildlife Medicine and the Ist Workshop on Zoo and Wildlife

Pathology; Bangkok, 26-29 Oktober 2006. Bangkok: Tiranasar Press.

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. USA:

Blackwell Publishing.

Feldhamer GA, Vessey SH, Drickamer LC. 1999. Mammalogy: Adaptation,

Diversity, and Ecology. USA: McGraw-Hill.

Feldman EC, Nelson RW. 2004. Canine and Feline Endocrinology and

Reproduction. Ed ke-3. USA: Saunders.

Fransson BA. 2003. Systemic inflammatory response in canine pyometra: the

response to bacterial uterine infection [Tesis]. Uppsala: Swedish University

of Agricultural Sciences.

Fransson BA, Ragle CA. 2003. Canine pyometra: an update on pathogenesis and

treatment. Compendium 25(8): 602-612.

Gilshenan L. 2003. Why we should desex our pets. [terhubung berkala].

http://www.gsdcqld.org.au/whydesexourpets.htm [12 Oktober 2011].

Page 49: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

36

Grzimek B. 1970. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol. 12: Mammals III.

New York: Van Nostrand Reinhold.

Hansen PJ. 1998. Regulation of uterine immune function by progesterone -

lessons from the sheep. J Reprod Immunol 40(1998): 63-79.

Hayward MW, Kerley GIH. 2005. Prey preferences of the lion (Panthera leo). J

Zool 267:309-322.

Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.

DK Harya Putra, penerjemah; Bandung: penerbit ITB. Terjemahan dari:

Physiology and Technology of Reproduction in Female Domestic Animals.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Panthera leo.

[terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/15951/0

[22 Agustus 2011].

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1992 a. Pathology of Domestic Animals

Volume 2. Ed ke-4. California: Academic Press.

_______________________________. 1992 b. Pathology of Domestic Animals

Volume 3. Ed ke-4. California: Academic Press.

Kennedy S. 2008. Pyometra. [terhubung berkala]. http://www.acvs.org/

AnimalOwners/HealthConditions/SmallAnimalTopics/PyometrainDogsCats

[20 April 2012].

Kenney KJ, Matthiesen DT, Brown NO, Bradley RL. 1987. Pyometra in cats: 183

cases. J Am Vet Med Assoc 191(9):1130-2.

Mazur B. 2008. African lion exhibit. [terhubung berkala].

www.southwickszoo.com/africanlion.php [20 Oktober 2011].

McCain S, Ramsay E, Allender MC. 2009. Pyometra in captive large felids: a

review of eleven cases. J Zoo Wildlife Med 40(1):147-151.

McGavin MD, Zachary JF. 2001. Pathologic Basis of Veterinary Disease.

Ed ke-4. Missouri: Mosby Inc.

Merx MW, Weber C. 2007. Sepsis and the heart. Circulation 116: 793-802.

Migliorisi AL, Soto AT, Gomez MV, Laplace R, Massone A. 2010. Description

of a cystic endometrial hyperplasia case in an African lion (Panthera leo).

InVet 12(1):13-17.

Nalbandof AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Ed ke-3.

S. Keman, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Reproductive

Physiology of Mammals and Birds.

Page 50: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika ... · Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis

37

Near TJ. 2002. Acanthocephalan phylogeny and the evolution of parasitism. Integ

and Comp Biol 42:668-677.

Nowak RM. 2005. Walker’s Carnivores of the World. Baltimore: John Hopkins

Univ Press.

Paape SR, Shille VM, Seto H, Stabenfeldt GH. 1975. Luteal activity in the

pseudopregnant cat. Biol Reprod 13: 470-474 (1975).

Ross MH, Kaye GI, Pawlina W. 2003. Histology: a Text and Atlas. Ed ke-4.

Lippincott: Williams & Wilkins.

Schramm RD, Briggs MB, Reeves JJ. 1994. Spontaneous and induced ovulation

in the lion (Panthera leo). Zoo Biol 13(4): 301-307.

Singleton J, Richardson DJ, Lockhart JM. 1993. Severe Moniliformiasis

(Acanthochepala: Moniliformidae) in a gray squirrel, Sciurus carolinensis,

from Arkansas, USA. J Wildlife Dis 29(1): 165-168.

Siiteri PK, Stites DP. 1982. Immunologic and endocrine interrelationships in

pregnancy. Biol Reprod 26:1-14 (1982).

Smith FO. 2006. Canine pyometra. Theriogenology 66: 610-612.

Stone EA, Littman MP, Robertson JL, Bovée KC. 1988. Renal dysfunction in

dogs with pyometra. J Am Vet Med Assoc 193(4):457-464.

Verhage HG, Beamer NB, Brenner RM. 1976. Plasma levels of estradiol and

progesterone in the cat during polyestrus, pregnancy and pseudopregnancy.

Biol Reprod 14: 579-585 (1976).

Wheaton LG et al. 1989. Results and complications of surgical treatment of

pyometra: A review of 80 cases. JAAHA 25(5):563-568.