studi kasus: kajian histopatologi pada seekor singa afrika ... · hasil pemeriksaan histopatologi...
TRANSCRIPT
STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR
SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA
PYOMETRA
AULIYA INDIARTI ZEN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Kasus: Kajian
Histopatologi pada Seekor Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita
Pyometra” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2012
Auliya Indiarti Zen
NIM B04070055
ABSTRACT
AULIYA INDIARTI ZEN. Case Study: Histopathological Study on African
Lioness that Suffered with Pyometra. Under guidance of EVA HARLINA and
WIWIN WINARSIH.
An African lioness (Panthera leo) was diagnosed with pyometra after it was
found dead with purulent discharge from the vulva. The purpose of this study is to
examine gross and histopathological changes of various organs of the lion to
know the causes of the death. The organ sample of heart, lungs, liver, intestine,
kidney, and uterus were made into histopathology slide with Haematoxilin-Eosin
staining. Histopathological examination showed cardiomyopathy, emphysema and
edema pulmonum, purulent enteritis, hepatopathy and passive liver congestion,
and also chronic active nephritis. Uterus inflammation with purulent exudation
indicated pyometra with cystic endometrial hyperplasia. Pyometra in the lion
leads to sepsis that is characterized by hemorrhage and degeneration of
parenchymal organs. Cardiomyopathy causes heart failure which leads to
congestion of the entire organ. Lion’s death was caused by sepsis and heart
failure.
Keywords: African lioness, histopathology, pyometra, sepsis.
ABSTRAK
AULIYA INDIARTI ZEN. Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor
Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita Pyometra. Dibimbing oleh EVA
HARLINA dan WIWIN WINARSIH.
Seekor singa Afrika (Panthera leo) betina didiagnosa menderita pyometra
setelah ditemukan mati dengan keluarnya eksudat purulen dari vulva. Studi kasus
ini bertujuan untuk mengkaji perubahan patologi anatomi dan histopatologi dari
berbagai organ singa sehingga diketahui kronologis penyakit yang menyebabkan
kematiannya. Sampel organ singa meliputi jantung, paru-paru, hati, usus, ginjal,
dan uterus dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan Haematoksilin-Eosin.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati,
emfisema dan edema pulmonum, enteritis purulenta, hepatopati dan kongesti pasif
hati, serta nefritis kronik aktif. Uterus singa tampak membesar dan menebal
dengan peradangan pada mukosa disertai eksudat purulen pada lumen uterus yang
mengindikasikan adanya pyometra dengan hiperplasia sistik endometrial.
Pyometra pada singa mengakibatkan sepsis yang dicirikan dengan hemoragi dan
degenerasi organ-organ parenkim. Kardiomiopati menyebabkan kegagalan
jantung yang kemudian mengakibatkan kongesti pada seluruh organ. Kematian
pada singa ini disebabkan oleh sepsis dan gagal jantung.
Kata Kunci: Singa Afrika, histopatologi, pyometra, sepsis.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR
SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA
PYOMETRA
AULIYA INDIARTI ZEN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor Singa Afrika
(Panthera leo) yang Menderita Pyometra
Nama Mahasiswa : Auliya Indiarti Zen
NIM : B04070055
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Disetujui:
Dr. drh. Eva Harlina, MSi., APVet. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi., APVet.
Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II
Diketahui:
Drh. Agus Setiyono, MS, PhD., APVet.
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi
yang berjudul Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor Singa Afrika
(Panthera leo) yang Menderita Pyometra; merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Mama dan Papa tercinta atas kasih sayang, doa, nasihat, motivasi, dan
tenaga yang tak ada habisnya diberikan kepada penulis.
2. Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si,
APVet. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala ilmu, bimbingan,
saran, motivasi, waktu, dan tenaga yang telah diberikan selama penulis
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas
segala nasihat dan bimbingan dan sebagai orangtua kedua penulis selama
menempuh perkuliahan.
4. Drh. Isdoni M.Biomed dan Drh. Rachmat Hidayat, M.Si selaku dosen
penguji luar saat UASKH, serta Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD.,
APVet. selaku dosen penilai dan Ibu Rini Madyastuti Purwono, S.Si, M.Si,
Apt. selaku dosen moderator saat seminar atas ilmu, masukan, dan saran
untuk skripsi ini.
5. Seluruh tenaga kependidikan Bagian Patologi FKH IPB (Pak Kasnadi, Pak
Soleh, Pak Endang, dan Mbak Kiki) atas segala bantuannya.
6. Aidell Fitri Rachmawati, Risma Adelia, Cut Dara Permata Sari, dan Bagus
Setiawan atas bantuan, dukungan, pertemanan, dan kebersamaan yang
telah dan akan kita lalui.
7. Teman-teman satu laboratorium Astri, Tiwi, Gita, Endah, Kenyo, dan tim
Habbatussauda atas segala bantuannya.
8. Seluruh teman-teman Gianuzzi FKH 44 dan HIMPRO Satwaliar atas
dukungan, kenangan, dan kebersamaan selama masa perkuliahan.
9. Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) terutama UKF angkatan 5
atas ilmu, dukungan, pengalaman, dan kebersamaan yang sangat berharga.
10. Teman-teman Pondok Purti Kenanga (Dilla, Kiki, Febi, Firda, Lila, Riska)
atas segala bantuan dan pertemanannya.
11. Saudara tercinta Arief dan Mirza serta Keluarga Besar Choesin dan Zen
atas dukungan, semangat, tawa canda, serta kebersamaannya.
12. Seluruh civitas akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
13. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa segala sesuatunya tidak ada yang sempurna.
Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
berbagai pihak. Terima kasih.
Bogor, April 2012
Auliya Indiarti Zen
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1989 di Jakarta. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Erdius Zen dan
Ibu Linda Damayanti Choesin.
Penulis memulai pendidikan dasar di SD Triguna Jakarta tahun 1995 hingga
2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP
Labschool Kebayoran hingga tahun 2004. Penulis menyelesaikan pendidikan
tingkat atas di SMA Labschool Kebayoran pada tahun 2007. Pada tahun yang
sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan
kegiatan. Penulis aktif dalam organisasi HIMPRO Satwaliar, sebagai anggota
Divisi Eksternal (2008-2009), dan sebagai Ketua Cluster Herpetofauna (2009-
2010). Penulis juga aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Uni
Konservasi Fauna IPB (UKM UKF IPB) serta menjadi Sekretaris Bidang
Keilmuan UKM UKF IPB (2009-2010). Selain itu, penulis juga menjadi asisten
praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II (2011).
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iii
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
Latar Belakang....................................................................................... 1
Tujuan Penelitian................................................................................... 2
Manfaat Penelitian................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3
Singa Afrika...........................................................................................
Perilaku dan Reproduksi.................................................................
Habitat dan Distribusi.....................................................................
3
4
5
Pyometra................................................................................................
Patogenesis......................................................................................
Gejala Klinis...................................................................................
Diagnosa.........................................................................................
Penanganan.....................................................................................
6
7
10
11
11
BAHAN DAN METODE............................................................................... 13
Waktu dan Tempat Penelitian................................................................ 13
Alat dan Bahan Penelitian...................................................................... 13
Sampel Organ......................................................................................... 13
Pembuatan Preparat Histopatologi......................................................... 13
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin............................................................. 14
Pengamatan Histopatologi..................................................................... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 15
SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................
Simpulan...............................................................................................
Saran.....................................................................................................
34
34
34
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 35
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa............................................ 15
2 Perubahan Histopatologi Organ Singa................................................... 28
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi singa jantan dan betina......................................................... 4
2 Skematis uterus yang normal dan uterus yang mengalami pyometra.... 6
3 Skema terjadinya kebuntingan dan patogenesis pyometra.................... 9
4 Emfisema alveolar yang dicirikan oleh robek dan menyatunya
dinding alveolar...................................................................................... 17
5 Alveol paru-paru singa yang mengalami edema, anthracosis di
interstitium dan fibrosis ringan.............................................................. 17
6 Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan
merenggang............................................................................................ 19
7 Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis
miokard dan fibrosis............................................................................... 19
8 Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi desquamasi
sel epitel penutup dan ditemukan potongan badan cacing pada
mukosa usus........................................................................................... 22
9 Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil,
neutrofil, limfosit, makrofag, dan sel plasma......................................... 22
10 Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan
hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan
protein di sinusoid.................................................................................. 24
11 Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit
mengalami degenerasi hidropis, nekrosis bahkan lisis. Tampak
sinusoid melebar penuh dengan eritrosit................................................ 24
12 Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan
oleh edema glomerulus, serta degenerasi, nekrosis dan adanya
endapan protein di lumen tubulus.......................................................... 27
13 Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya
fibrosis, pendarahan dan edema, serta tubulus distalis nekrosis yang
dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas dari membran
basal....................................................................................................... 27
14 Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada
hiperplasia sistik endometrial................................................................. 29
15 Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium dengan
proliferasi jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel radang.............................. 29
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Singa merupakan satwa pemangsa yang termasuk dalam keluarga Felidae.
Singa merupakan salah satu kucing besar selain harimau dan bahkan pemangsa
terbesar di daratan benua Afrika. Selama dua dekade terakhir, singa di alam
mengalami penurunan populasi sekitar 30%. Penyebab utama penurunan populasi
singa antara lain disebabkan banyak manusia yang membunuh satwa ini sebagai
usaha mempertahankan diri dan ternaknya, disertai dengan menurunnya jumlah
mangsa. Pada tahun 2008, The International Union for Conservation of Nature
(IUCN) menggolongkan satwa ini ke dalam daftar satwa yang rentan terhadap
kepunahan atau vulnerable (IUCN 2011).
Hampir semua mamalia betina termasuk singa, membatasi kopulasi pada
periode waktu tertentu yaitu pada masa estrus dalam siklus seksualnya. Pada
mamalia non-primata, estrus pada hewan betina adalah periode penerimaan untuk
kopulasi yang terjadi sesaat sebelum dan setelah ovulasi. Selama masa
perkembang-biakan, rentang waktu antara satu periode estrus ke periode
berikutnya disebut dengan siklus estrus. Siklus estrus ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai hormon (Feldhamer et al. 1999).
Salah satu gangguan pada saat siklus estrus yang sering didiagnosa pada
anjing dan kucing adalah pyometra. Pyometra, secara harfiah merupakan
akumulasi nanah dalam lumen uterus. Secara umum, patogenesis pyometra
berkaitan erat dengan aktivitas hormon progesteron. Namun, penyakit ini juga
disebabkan oleh infeksi bakteri pada uterus yang dapat berakibat timbulnya
bakterimia dan toksemia ringan sampai parah, dan dapat bersifat fatal (Feldman
dan Nelson 2004). Lesio yang dihasilkan dari pyometra adalah hasil interaksi
antara bakteri dengan hormon (Bigliardi 2004).
Berbagai informasi mengenai kasus pyometra pada anjing dan kucing
telah banyak dilaporkan, namun belum banyak yang melaporkan kasus pyometra
pada satwa liar. McCain et al. (2009) melaporkan sebelas kasus pyometra pada
kucing besar di penangkaran antara lain pada singa Afrika, harimau, macan, dan
liger (persilangan antara singa dan harimau). Dalam laporannya dinyatakan bahwa
2
resiko terjadinya pyometra lebih tinggi pada spesies singa dibandingkan pada
spesies lain.
Seekor singa Afrika mati yang berasal dari suatu penangkaran satwa liar
telah dikirim ke Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi Patologi, FKH
IPB. Anamnesa yang dilaporkan adalah dua hari sebelum kematian terlihat bahwa
singa mengalami keputihan yang berulang dan kemudian ditemukan mati pada
malam hari dengan keluarnya eksudat purulen dari vulva. Dari anamnesa yang
dilaporkan, timbul dugaan diagnosa bahwa singa Afrika tersebut mengalami
pyometra. Hal inilah yang mendasari dilakukannya studi kasus kejadian pyometra
pada seekor singa Afrika. Studi kasus ini dilakukan dengan mengkaji perubahan
patologi anatomi dan histopatologi pada berbagai organ dari singa yang
didiagnosa menderita pyometra.
1.2 Tujuan Peneletian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan jaringan secara
histopatologi dari seekor singa Afrika yang didiagnosa mengalami pyometra
sehingga dapat diketahui kronologis kejadian penyakit yang menyebabkan
kematian pada hewan tersebut.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
gambaran perjalanan kasus pyometra pada singa Afrika melalui lesio perubahan
histopatologi pada berbagai organ serta upaya pencegahan terhadap penyakit
tersebut sehingga usaha pelestarian satwa liar dapat direalisasikan secara optimal.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Singa Afrika
Singa (Panthera leo) termasuk dalam keluarga Felidae yaitu keluarga
kucing-kucingan. Keluarga ini dapat dibedakan dari keluarga Canidae dengan
karakteristik berupa moncong yang lebih pendek, gigi premolar atas terakhir
(carnassials) yang berkembang baik, serta gigi taring yang besar. Singa
merupakan anggota genus Panthera yang berarti kucing yang mengaum
(Feldhamer et al. 1999).
Subspesies dari singa banyak diklasifikasikan berdasarkan distribusinya.
Namun, berdasarkan analisis genetik oleh O’Brien et al. (1987) dan Dubach et al.
(2005) dalam IUCN (2011) dinyatakan terdapat dua subspesies singa yaitu singa
Afrika (Panthera leo leo) dan singa Asia (Panthera leo persica). Secara lengkap,
klasifikasi dari singa Afrika adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Karnivora
Famili : Felidae
Genus : Panthera
Spesies : Panthera leo
Subspesies : Panthera leo leo Linnaeus, 1758
Singa memiliki morfologi yang dapat dengan mudah dibedakan dari
kucing besar lainnya seperti harimau, macan, dan jaguar yaitu dengan adanya
surai pada leher individu jantan (Gambar 1). Surai ini berfungsi untuk melindungi
daerah leher ketika mereka berkelahi, sedangkan individu betina tidak memiliki
surai. Selain itu, kuncung yang berwarna hitam pada ujung ekor singa juga
menjadi ciri khasnya (Grzimek 1970).
Warna rambut pada singa bervariasi mulai dari kuning terang hingga
kuning kemerahan tanpa ada pola tertentu. Bagian perut dan bagian sebelah dalam
dari ekstremitas memiliki warna yang lebih pucat. Surai pada individu jantan
biasanya berwarna kuning, coklat, atau coklat kemerahan pada singa muda namun
4
cenderung menjadi lebih gelap mengikuti umur dan bahkan dapat berwarna hitam
(Nowak 2005).
Tubuh singa jantan berukuran lebih besar dari singa betina dengan berat
badan singa jantan berkisar antara 150-250 kg dan singa betina berkisar antara
120-180 kg. Panjang tubuh singa jantan adalah 170-190 cm dengan panjang ekor
90-105 cm, sedangkan untuk singa betina panjang tubuh berkisar 140-175 cm
dengan panjang ekor 70-100 cm (Grzimek 1970).
Gambar 1 Morfologi singa jantan (kiri) dan betina (kanan) (Mazur 2008).
Perilaku dan Reproduksi
Singa termasuk ke dalam satwa karnivora yang berarti satwa pemakan
daging dan sebagian besar dari ordo ini merupakan satwa pemangsa. Hewan yang
biasa dijadikan mangsa oleh singa adalah hewan ungulata berukuran kecil sampai
medium. Hayward dan Kerley (2005) meneliti lebih spesifik mengenai pemilihan
hewan mangsa ini dan menyimpulkan bahwa singa biasanya memilih mangsa
dengan kisaran bobot badan antara 190-550 kg dan bobot badan mangsa yang
paling disukai adalah 350 kg. Hewan-hewan yang termasuk dalam kisaran bobot
badan ini antara lain jerapah, zebra, banteng, bison, dan gemsbok.
Sebagian besar kucing hidup secara soliter, terkecuali pada saat
berkembang biak dan membesarkan anak. Hanya singa yang hidup dengan
membentuk kelompok sosial tertentu. Singa biasanya menetap pada satu kawasan
yang disebut pride dan hidup secara berkelompok yang terdiri dari beberapa singa
5
jantan dewasa, singa betina dewasa, dan anakan singa. Besaran kelompok dapat
bervariasi dari hanya beberapa ekor hingga mencapai 30 ekor, serta tidak terbatas
pada satu keluarga saja. Menjelang dewasa, anak singa betina akan bergabung
langsung dengan kelompoknya namun singa jantan akan meninggalkan pride.
Beberapa singa jantan yang memiliki hubungan akan membentuk koalisi nomaden
hingga dewasa. Koalisi ini akan membentuk kelompok baru atau merebut pride
singa lain. Pada akhirnya, biasanya dalam waktu kurun tiga tahun, kekuasaan
pride akan tergantikan oleh singa jantan lainnya (Nowak 2005).
Perkawinan antar singa tidak mengikuti periode musim kawin tertentu.
Namun, di Serengeti dan Taman Nasional Kruger dilaporkan bahwa perkawinan
antar singa paling banyak terjadi antara bulan Maret hingga Juni. Singa di Afrika
Barat paling banyak melakukan aktivitas kawin pada bulan November dan
Desember. Singa betina termasuk hewan poliestrus yang berarti siklus estrus
terjadi beberapa kali dalam satu tahun. Estrus pada singa berlangsung selama 4-8
hari (Grzimek 1970). Masa kehamilan singa selama 100-119 hari dan dapat
melahirkan 1-6 anak dengan rata-rata 3-4 anak. Singa mencapai umur dewasa
pada umur 3-4 tahun, namun pertumbuhan tetap berlangsung hingga usia 6 tahun
(Nowak 2005).
Habitat dan Distribusi
Berbeda dengan harimau yang memiliki habitat dengan vegetasi yang
padat, singa biasanya memilih wilayah berupa padang terbuka sebagai habitatnya.
Habitat singa umumnya adalah savana, dataran berumput, hutan terbuka, dan
semak belukar. Singa juga dapat memasuki kawasan semi-gurun dan bahkan
pernah ditemukan di daerah pegunungan dengan ketinggian 5.000 meter.
Kelompok singa yang menempati pride tertentu memiliki wilayah jelajah seluas
20-400 km2. Singa yang nomaden dapat memiliki luas jajahan mencapai 4.000
km2 dengan sebagian area tumpang tindih dengan wilayah jelajah singa lain
(Nowak 2005).
Singa Afrika tersebar di wilayah sub-sahara Afrika dengan sebagian besar
populasi tersebar di wilayah Afrika Timur dan Afrika Selatan. Negara-negara
yang termasuk wilayah ini antara lain Angola, Botswana, Kamerun, Kongo,
6
Etiopia, Uganda, dan Somalia. Populasi singa Asia terisolasi hanya pada Taman
Nasional Hutan Gir India dan penangkaran satwa liar. Populasi singa Afrika
belum dapat dipastikan karena wilayah penyebarannya yang sangat luas. The
African Lion Working Group (ALWG) menduga populasi singa Afrika saat ini
adalah sebanyak 23.000 ekor dengan kisaran 16.500-30.000 ekor (IUCN 2011).
Pyometra
Pyometra merupakan infeksi pada uterus yang dapat bersifat akut maupun
kronis dengan adanya akumulasi pus (nanah) pada lumen uterus (Gambar 2).
Terjadinya pyometra berawal dari adanya gangguan pada masa diestrus yang
dipengaruhi oleh aktivitas hormon progesteron yang tinggi. Progesteron
mengakibatkan perubahan patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan
yang baik untuk pertumbuhan bakteri sebagai infeksi sekunder.
Gambar 2 Skematis uterus yang normal (kiri) dan uterus yang mengalami
pyometra (kanan) (Gilshenan 2003)
Umumnya bakteri yang teridentifikasi dari hasil ulasan uterus anjing yang
mengalami pyometra adalah bakteri yang normal ditemukan pada uterus anjing
sehat. Pada pyometra, bakteri tersebut menjadi patogen dan menginfeksi uterus
7
akibat faktor hormonal yang menyebabkan perubahan struktur pada uterus.
Bakteri yang biasanya terkait dengan pyometra adalah Eschericia coli, namun
bakteri lain seperti Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas,
Proteus, Haemophilus, Pasteurella, dan Serratia juga pernah diisolasi dari uterus
anjing yang mengalami pyometra (Feldman dan Nelson 2004).
Pyometra pada anjing paling sering didiagnosa 4 hingga 8 minggu setelah
estrus sedangkan pada kucing umumnya pyometra berkembang 1 hingga 4
minggu setelah estrus, walaupun kejadian pyometra pada kucing lebih sedikit
ditemukan (Kennedy 2008). Menurut Agudelo (2005), umur rata-rata kucing yang
mengalami pyometra adalah 7 tahun. Terjadinya pyometra tidak memiliki korelasi
dengan umur kebuntingan pertama kucing tersebut ataupun jumlah anak yang
dilahirkan. Namun, telah diamati adanya korelasi antara pyometra dengan adanya
corpus luteum pada ovarium dimana corpus luteum ditemukan pada 40-70% dari
kasus pyometra yang dilaporkan.
Patogenesis
Siklus estrus pada mamalia dipengaruhi oleh berbagai hormon. Pada awal
siklus estrus, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)
akan menstimulasi perkembangan folikel ovarium. Setiap folikel membungkus
satu sel telur. Sel-sel folikular yang mengelilingi telur kemudian mensekresikan
hormon estrogen yang menyebabkan penebalan endometrium, mempengaruhi
kelanjutan perkembangan folikel, dan menghambat produksi FSH. Ketika sel telur
telah matang, akan terjadi ovulasi yang diinduksi oleh kadar LH yang tinggi.
Saat ovulasi, folikel akan meletus dan melepaskan sel telur. Sel telur
kemudian akan melalui oviduk yaitu tempat terjadinya fertilisasi apabila bertemu
dengan sperma. Apabila tidak terjadi fertilisasi, maka sel telur akan masuk ke
uterus dan berdegenerasi. Bagian dari folikel yang robek saat ovulasi akan diisi
oleh sel folikular berwarna kuning yang disebut corpus luteum. Corpus luteum ini
akan menghasilkan progesteron, yaitu hormon yang akan meningkatkan
proliferasi endometrium (Feldhamer et al. 1999).
Corpus luteum akan mengalami regresi apabila tidak terjadi fertilisasi
sehingga sintesis dan pelepasan progesteron berhenti secara mendadak. Regresi
8
corpus luteum pada akhir fase luteal disebabkan oleh substansi luteolitik yang
disekresikan oleh uterus, yaitu prostaglandin (Nalbandof 1990). Apabila terjadi
fertilisasi, maka corpus luteum akan persisten pada awal masa kebuntingan. Hal
ini dikarenakan progesteron dibutuhkan dalam mempersiapkan uterus untuk
implantasi embrio. Corpus luteum akan beregresi setelah fungsi produksi
progesteron digantikan oleh plasenta.
Pada kasus pyometra, corpus luteum tetap persisten dalam waktu yang
lama walaupun tidak terjadi kebuntingan. Hal ini dikarenakan adanya infeksi
uterus yang mengganggu mekanisme luteolisis sehingga corpus luteum tidak
beregresi. Corpus luteum persisten juga sering dihubungkan dengan infeksi uterus
yang timbul karena retensi sisa-sisa plasenta akibat kebuntingan (Hunter 1995).
Dalam laporan McCain et al. (2009), pemeriksaan histopatologi yang ditemukan
pada singa, harimau, dan macan yang menderita pyometra menunjukkan adanya
satu ataupun beberapa corpus luteum pada ovarium.
Corpus luteum yang persisten menyebabkan hormon estrogen dan
progesteron terus diproduksi (Gambar 3). Progesteron mengakibatkan perubahan
patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pertumbuhan
bakteri. Perubahan patologis yang dialami uterus adalah penebalan endometrium
secara terus-menerus, peningkatan sekresi kelenjar uterus, dan penurunan
kontraksi miometrium (Smith 2006).
Progesteron mengakibatkan penebalan dinding endometrium dengan
meningkatkan ukuran dan jumlah kelenjarnya sehingga mengakibatkan
peningkatan sekresi kelenjar. Hiperplasia endometrium yang progresif dapat
menjadi sistik dan menghasilkan hiperplasia sistik endometrial (Feldman dan
Nelson 2004). Penurunan kontraksi miometrium didasari oleh perubahan
permeabilitas ion dari sel miometrium yang disebabkan oleh progesteron dan
perubahan ketersediaan kalsium interseluler (Austin dan Short 1984).
Kontaminasi bakteri pada uterus adalah hal yang normal terjadi pada masa
proestrus atau estrus. Pada kedua fase dalam siklus estrus ini, serviks berdilatasi
dan terbuka sehingga kemungkinan besar kontaminasi bakteri pada uterus terjadi
saat fase ini berlangsung. Bakteri yang paling mungkin menginfeksi uterus
merupakan flora normal pada vagina. Bakteri ini memiliki kemampuan
9
melakukan perpindahan secara ascenden ke dalam uterus melalui serviks yang
terbuka selama masa proestrus dan estrus. Namun infeksi uterus oleh bakteri
jarang terjadi karena kontaminasi bakteri selama siklus estrus dapat dikontrol dan
secara cepat dibersihkan. Oleh karena itu patogenesis dari pyometra tidak dapat
dijelaskan hanya dari bakteri pada uterus (Feldman dan Nelson 2004).
Selama masa kehamilan, progesteron berfungsi untuk melindungi fetus
dari kekebalan tubuh induk. Progesteron menghambat sel T-mediated sehingga
tidak terjadi penolakan terhadap fetus di dalam uterus (Hansen 1998). Pada
penelitian lain dilaporkan bahwa progesteron yang dihasilkan oleh plasenta induk
memiliki sifat imunosupresif yang dibuktikan dengan efek anti-inflamasi secara
lokal serta penghambatan aktivasi dan proliferasi limfosit dan sel T-killer (Siiteri
dan Stites 1982). Pada kasus pyometra, terhambatnya aktivasi leukosit sebagai
respon sistem imun di uterus oleh progesteron akan semakin mendukung
pertumbuhan bakteri.
Gambar 3 Skema terjadinya kebuntingan (kiri) dan patogenesis pyometra
(kanan).
10
Pyometra juga dapat terjadi akibat rangsangan dari luar tubuh. Pemakaian
estrogen dari luar sebagai terapi untuk mencegah kebuntingan serta terapi
progesteron untuk mengurangi estrus pada hewan dapat meningkatkan resiko
terjadinya pyometra (Smith 2006). Oleh sebab itu, berbagai faktor yang
berkontribusi dalam perkembangan pyometra antara lain keberadaan bakteri,
konsentrasi progesteron yang tinggi pada saat diestrus, dan pemakaian
progesteron dan estrogen dari luar (Feldman dan Nelson 2004).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang umum terlihat pada anjing yang mengalami pyometra
antara lain berkurangnya nafsu makan, depresi, polidipsia, lethargi, dan
pembesaran pada abdominal. Pyometra dapat disertai dengan keluarnya nanah
dari vagina (pyometra terbuka) ataupun tanpa keluarnya nanah (pyometra
tertutup). Nanah yang keluar dari vagina dapat bersifat purulen, sanguinopurulen,
mucoid, atau dapat juga bercampur dengan darah ketika sudah parah (Smith
2006). Menurut Kenney et al. (1987), dari 183 kucing yang didiagnosa mengalami
pyometra, gejala klinis yang umum terdeteksi adalah adanya nanah yang keluar
dari vagina, anorexia, dan lethargi. Sebagian besar kucing menunjukkan adanya
leukositosis dengan ciri left shift yaitu banyak ditemukan leukosit yang belum
matang dalam darah sebagai kompensasi kebutuhan leukosit dalam jumlah
banyak.
Hasil pemeriksaan total sel darah putih pada anjing dengan pyometra dapat
bervariasi, namun peningkatan total sel darah putih (leukositosis) umumnya
ditemukan pada kasus pyometra terbuka. Temuan pemeriksaan darah berupa
anemia juga sering terlihat sebagai akibat dari septisemia dan toksemia yang
terkait dengan pyometra. Pyometra dapat menekan kerja sumsum tulang sehingga
terjadi anemia non-regeneratif. Hiperproteinemia dan hiperglobulinemia
umumnya terjadi akibat proses dehidrasi dan stimulasi antigen yang berlangsung
lama (Feldman dan Nelson 2004).
11
Diagnosa
Pyometra merupakan salah satu diagnosa pembanding apabila ada anjing
atau kucing dalam masa diestrus terlihat sakit, terutama jika disertai gejala
polidipsia, poliuria, atau muntah. Menurut Agudelo (2005), diagnosa pyometra
dapat ditegakkan melalui anamnesa pemilik, status siklus estrus, dan gejala klinis.
Selain itu pemeriksaan vaginoscopy, sitologi vagina, profil biokimia dan urinalisis
dapat dilakukan untuk mendukung diagnosa.
Menurut Bigliardi (2004), diagnosa untuk kasus pyometra paling baik
dilakukan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan radiografi. Pemeriksaan
USG dapat mengungkapkan adanya eksudat dalam uterus dan hiperplasia sistik
endometrial. Selain itu, melalui pemeriksaan USG dapat dengan jelas
mengevaluasi integritas endometrium, variasi ketebalan dinding rahim, dan
distensi uterus.
Secara normal, uterus hanya dapat teridentifikasi melalui radiografi saat
ukurannya membesar akibat kebuntingan. Apabila uterus dapat teridentifikasi
pada saat tidak terjadi kebuntingan, maka dapat dicurigai terjadi sesuatu yang
abnormal. Hasil radiografi uterus dengan pyometra terlihat sebagai struktur
tabung atau pipa berisi cairan dengan diameter yang lebih besar dari usus halus
dan terletak di ventrocaudal abdomen (Feldman dan Nelson 2004).
Penanganan
Feldman dan Nelson (2004) membagi penanganan pyometra menjadi dua
yaitu melalui bedah dan perawatan medis. Perawatan medis dilakukan pada anjing
atau kucing yang masih ingin dikembangbiakkan yaitu dengan pemberian
prostaglandin. Prostaglandin memberikan efek kontraksi miometrium sehingga
dapat mengeluarkan eksudat dalam lumen secara paksa. Selain itu, pemberian
prostaglandin menghambat sirkulasi progesteron dengan cara melisiskan corpus
luteum sehingga mengurangi stimulus proliferasi endometrium dan sekresi
kelenjar uterus. Penanganan dengan prosedur bedah yang biasa dilakukan adalah
ovariohisterektomi dan drainase uterus. Drainase uterus dilakukan melalui kateter
yang dimasukkan ke dalam uterus melalui vagina dan serviks untuk mengaspirasi
12
eksudat purulen dan membasuh uterus dengan cairan antiseptik selama beberapa
hari.
Ovariohisterektomi (OH) merupakan penanganan yang paling dipilih pada
kasus pyometra. Sebelum melakukan OH, kondisi cairan tubuh, elektrolit, dan
keseimbangan asam basa harus dikembalikan normal. Infus cairan dan antibiotik
berspektrum luas harus diberikan, serta eksudat uterus harus dikeluarkan untuk
menghilangkan infeksi bakteri (Agudelo 2005, Feldman dan Nelson 2004). OH
pada kasus pyometra umumnya berhasil dengan kesembuhan yang cepat dan
dapat meminimalkan resiko pengulangan pyometra. Resiko neoplasia pada
ovarium atau uterus juga dapat terhindarkan. Mortalitas post-operasi OH pada
anjing yang mengalami pyometra diperkirakan sekitar 5% (Wheaton et al. 1989).
13
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Oktober 2011 di Bagian
Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi antara
lain gelas objek, gelas penutup, tissue cassette, cetakan blok parafin, Sakura
Automatic Tissue Processor, Sakura
Tissue Embedding Console, inkubator,
mikrotom, mikroskop cahaya Olympus
BHI, dan Digital Eye Piece Camera.
Bahan-bahan yang digunakan adalah Buffered Neutral Formalin 10%, xylol,
alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%), alkohol absolut, lithium karbonat, air hangat
dan pewarna Mayer Haematoksilin-Eosin.
Sampel Organ
Sampel organ berasal dari seekor singa Afrika betina milik suatu lembaga
konservasi satwa liar yang ditemukan mati dan dikirim ke Bagian Patologi FKH
IPB dengan nomor kasus P/209/07 untuk dilakukan prosedur rutin nekropsi dan
diagnosa histopatologi. Sampel organ terdiri dari jantung, trakea, paru-paru, hati,
usus, limpa, ginjal dan uterus.
Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi diawali dengan fiksasi berbagai organ
dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%. Kemudian jaringan melalui
proses dehidrasi dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%,
90%, alkohol absolut I dan II). Selanjutnya adalah proses clearing yaitu
penjernihan jaringan dalam larutan xylol I dan II, masing-masing selama dua jam.
Proses selanjutnya adalah embedding yaitu penanaman jaringan ke dalam
parafin cair. Jaringan yang berada di dalam blok parafin yang telah membeku
kemudian dipotong dengan ketebalan 5-6 µm. Kemudian potongan jaringan yang
14
berbentuk pita diletakkan di atas air hangat, lalu diangkat dan diletakkan di atas
gelas objek. Selanjutnya dikeringkan dalam inkubator bersuhu 60°C selam 24
jam. Sediaan yang telah melekat sempurna pada gelas obyek kemudian siap
diwarnai dengan teknik pewarnaan Haematoksilin-Eosin (HE).
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin
Pewarnaan diawali dengan mencelupkan sediaan ke dalam larutan xylol I,
II, dan III masing-masing selama 1 menit. Kemudian sediaan dimasukkan ke
dalam alkohol dimulai dari konsentrasi tinggi ke rendah yaitu dari alkohol absolut,
alkohol 96%, dan alkohol 70% masing-masing selama 1 menit. Setelah itu sediaan
dicuci dengan air mengalir. Berikutnya, sediaan diwarnai dengan pewarna Mayer
Haematoksilin selama 8 menit dan dibilas dengan air mengalir. Pada tahap
selanjutnya, sediaan dicelupkan ke dalam lithium karbonat sebanyak 3 kali dan
dibilas kembali dengan air mengalir. Lalu sediaan kembali diwarnai dengan
pewarna Eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air mengalir. Setiap
pembilasan dengan air mengalir dilakukan selama 30 detik.
Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam alkohol dengan konsentrasi
bertingkat dimulai dari 70%, 80%, dan 96% sebanyak 10 kali celupan serta
alkohol absolut sebanyak 15 kali celupan. Kemudian sediaan dimasukkan ke
dalam larutan xylol I, II, III, dan IV masing-masing selama 1 menit. Tahap
terakhir adalah mengeringkan sediaan, meneteskan perekat, dan menutup sediaan
dengan gelas penutup. Setelah tertutup rapat, preparat siap diamati di bawah
mikroskop.
Pengamatan Histopatologi
Pengamatan preparat dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya
dengan perbesaran obyektif 4x, 10x, dan 40x. Pengamatan dilakukan untuk
mengidentifikasi lesio mikroskopik pada setiap organ sehingga dapat
dideskripsikan secara jelas sebagai suatu kronologis kejadian penyakit.
Pengambilan gambar pada jaringan yang mengalami perubahan histopatologi
dilakukan dengan menggunakan Digital Eye Piece Camera.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seekor singa Afrika betina milik suatu penangkaran satwa liar ditemukan
mati dengan anamnesa adanya keputihan dari vulva dua hari sebelum
kematiannya. Secara umum, kondisi gizi singa tersebut masih baik namun mukosa
terlihat pucat. Pemeriksaan patologi anatomi (PA) dilakukan pada berbagai organ
yaitu jantung, trakea, paru-paru, hati, usus, limpa, ginjal dan uterus. Eksudat
purulen bercampur darah dengan volume 3L ditemukan pada lumen uterus.
Pemeriksaan pada lambung dan usus memperlihatkan adanya infestasi cacing
Acantocephala sp. dalam jumlah banyak (Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007).
Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa
Sistem Organ Organ Perubahan
Respirasi Trakea Hiperemia.
Paru-paru Kongesti, emfisema, anthracosis.
Sirkulasi Jantung Hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan, serous
atrofi lemak koroner disertai perdarahan, degenerasi
miokard, endokarditis nodularis valvularis.
Limforetikuler Limpa Peradangan.
Digesti Usus Infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak
pada lambung dan usus, infestasi ringan cacing pita pada
ileum, gastritis ulceratif hemoragika, enteritis mukopurulenta.
Hati Degenerasi, fibrosis multifokal, nekrosis dan perdarahan
multifokal.
Reproduksi Uterus Membesar disertai penebalan, beberapa bagian menipis
dan nekrosis, mukosa uterus mengalami peradangan purulen disertai perdarahan, pada lumen ditemukan
eksudat purulen bercampur darah dengan volume 3L.
Urinaria Ginjal Kongesti.
Sumber: Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007.
Hasil pemeriksaan histopatologi organ paru-paru menunjukkan emfisema
pulmonum. Emfisema pada kasus ini terjadi karena rupturnya dinding alveol
sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar. Emfisema pulmonum
pada hewan umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah adanya
gangguan aliran udara. Berdasarkan daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema
diklasifikasikan menjadi emfisema alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema
16
alveolar dikarakteristikkan dengan distensi dan rupturnya dinding alveolar,
sehingga membentuk gelembung udara dengan berbagai ukuran di parenkim paru-
paru. Emfisema interstitial terjadi saat akumulasi udara menembus dinding
alveolar dan dinding bronkhioli kemudian masuk ke jaringan ikat interlobular,
sehingga menyebabkan distensi dari septa interlobular (McGavin dan Zachary
2001). Ditemukannya dinding alveolar yang ruptur dan membesar pada jaringan
paru-paru singa secara mikroskopik menunjukkan adanya emfisema alveolar
(Gambar 4).
Pada hewan, emfisema umumnya terjadi sebagai lesio sekunder akibat
terhambatnya aliran udara atau sebagai lesio pada saat hewan mati. Emfisema
akibat kerusakan pulmonal umumnya terjadi pada hewan yang menderita
bronkopneumonia. Adanya eksudat pada bronkopenumonia menyumbat bronkus
dan bronkiolus sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara udara yang
masuk dan keluar dari paru-paru (McGavin dan Zachary 2001). Pada pemeriksaan
histopatologi paru-paru singa tidak ditemukan adanya eksudat maupun sel radang
pada bronkiolus sehingga emfisema yang ditemukan pada kasus ini diduga
merupakan lesio yang terjadi ketika hewan dalam keadaan moribun (sekarat).
Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon, yang
menunjukkan singa menderita anthracosis (Gambar 5). Anthracosis merupakan
akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi.
Umumnya hewan yang menderita anthracosis hidup di lingkungan yang berpolusi.
Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna
hitam yang ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial
(McGavin dan Zachary 2001).
Gangguan sirkulasi yang teramati pada jaringan paru-paru adalah kongesti,
hiperemia dan edema. Kongesti dan hiperemia terlihat dengan berkumpulnya
darah di kapiler-kapiler intersitium paru-paru. Kongesti paru seringkali
disebabkan oleh kegagalan jantung, dan bila berjalan lama akan berlanjut menjadi
edema pulmonum yang terlihat dengan adanya endapan protein dalam alveolar
(Gambar 5). Menurut McGavin dan Zachary (2001), kongesti yang berjalan lama
juga dapat menyebabkan penebalan jaringan interstitial sehingga menimbulkan
fibrosis interstitial ringan.
17
a
b
c
Gambar 4 Emfisema alveolar (panah) yang dicirikan oleh robek dan
menyatunya dinding alveolar. Pewarnaan HE, bar 200 µm.
Gambar 5
Alveol paru-paru singa yang mengalami edema (a), anthracosis di
interstitium (b) dan fibrosis ringan (c). Pewarnaan HE, bar 100 µm.
18
Pada pemeriksaan PA epikard jantung ditemukan lemak jantung yang
mencair atau disebut serous atrofi. Serous atrofi lemak terjadi pada hewan yang
mengalami anoreksia atau kondisi kelaparan, sehingga depo lemak tubuh
dimetabolisme untuk dijadikan sumber energi (McGavin dan Zachary 2001).
Hasil pemeriksaan PA jantung singa didiagnosa mengalami hipertrofi ventrikel
kiri dan dilatasi ventrikel kanan. Namun pada pemeriksaan histopatologi
ditemukan filamen otot jantung yang mengecil dan merenggang, yang
menandakan adanya atrofi miokard (Gambar 6). Pada bagian lain dari miokard
terlihat adanya proliferasi jaringan ikat dan sebagian sel-sel otot jantung
mengalami degenerasi hingga nekrosis (Gambar 7). Sitoplasma sel otot jantung
yang mengalami degenerasi terlihat berwarna lebih pudar dengan inti sel yang
masih baik. Nekrosis miokard ditandai oleh sel-sel otot yang berwarna lebih
merah, filamen yang mengecil sehingga memberi jarak satu dengan yang lain
disertai inti yang piknosis. Jaringan ikat atau jaringan parut terbentuk sebagai
pengganti sel-sel otot yang nekrosis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), ciri-
ciri nekrosis miokard antara lain inti yang piknosis dan serabut otot yang berjarak.
Jaringan ikat pada daerah nekrosis seringkali tampak membengkak dan berwarna
hipereosinofilik. Atrofi dan nekrosis miokard dapat disebabkan oleh berbagai
kausa diantaranya defisiensi nutrisi, bahan toksik kimia maupun tanaman,
iskemia, gangguan metabolisme, dan trauma fisik (Ross et al. 2003).
Pemeriksaan PA katup jantung menunjukkan adanya penebalan katup
disertai pembentukan nodul. Katup jantung secara histopatologi tampak menebal
dan mengalami degenerasi yang terlihat dari pudarnya serabut katup dan inti sel
piknosis. Beberapa lesio penyakit seperti kalsifikasi dan fibrosis dapat
menyebabkan degenerasi katup sehingga menyebabkan gangguan fungsi jantung
akibat insufiensi dan stenosis lubang katup (Ross et al. 2003).
Secara keseluruhan, perubahan-perubahan yang terjadi pada jantung singa
didiagnosa sebagai kardiomiopati. Istilah kardiomiopati digunakan untuk berbagai
kelainan pada miokard baik yang bersifat idiopatik maupun akibat kausa yang
telah diketahui. Perubahan yang biasanya ditemukan pada kardiomiopati adalah
kardiomegali yang disebabkan oleh dilatasi umum dan fibrosis (Jubb et al.
1992b).
19
a b
Gambar 6 Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan
merenggang. Pewarnaan HE, bar 50 µm.
Gambar 7
Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis
miokard (a) dan fibrosis (b). Pewarnaan HE, bar 100 µm.
20
Hasil pemeriksaan histopatologi organ limpa menunjukkan adanya deplesi
pada folikel limfoid, yang terlihat dari renggangnya daerah pulpa putih sehingga
terbentuk ruang-ruang kosong. Bagian pulpa merah terlihat mengalami kongesti
yang ditandai dengan akumulasi eritrosit serta ditemukan infiltrasi sel radang
limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini menandakan limpa mengalami
peradangan atau splenitis. Akumulasi makrofag dan pigmen hemosiderin pada
pulpa merah menunjukkan adanya kongesti kronis di limpa yang dapat terjadi
akibat gangguan sirkulasi. Deplesi folikel limfoid pada limpa singa menunjukkan
kondisi imunosupresi yaitu terjadinya pengurangan pembentukan sel-sel
pertahanan (Jubb et al. 1992 a). Menurut McGavin dan Zachary (2001),
peradangan pada limpa atau splenitis dapat terjadi akibat kondisi septisemia atau
bakterimia dimana bakteri yang masuk ke pulpa merah limpa akan difagosit oleh
makrofag. Splenitis terlihat dari membesarnya ukuran limpa atau splenomegali
sebagai akibat dari kongesti akut limpa dan infiltrasi sel radang neutrofil.
Berdasarkan hasil pemeriksaan PA, pada usus dan lambung singa terjadi
infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak. Acantocephala sp.
merupakan kelompok parasit obligat yang memanfaatkan arthropoda sebagai
inang perantara dan vertebrata sebagai inang definitif. Cacing ini memiliki
probosis yang bertanduk yang berfungsi untuk mengaitkan diri pada usus inang
vertebrata. Morfologi cacing ini berbentuk silindris dan tidak bersegmen (Near
2002). Singleton et al. (1993) melaporkan kejadian infestasi berat cacing
Acantocephala sp. pada tupai. Hasil pemeriksaan mikroskopik saluran digesti
tupai menunjukkan enteritis yang dicirikan oleh infiltrasi limfosit, makrofag, sel
plasma, dan eosinofil pada mukosa dan submukosa usus. Area perlekatan cacing
tersebut pada dinding usus halus ditandai dengan atrofi sel epitel dan infiltrasi
eosinofil, neutrofil, dan sel plasma.
Pemeriksaan histopatologi usus singa menunjukkan epitel penutup vili
yang mengalami desquamasi dan vili-vili yang tampak memendek. Pada bagian
mukosa usus ditemukan potongan badan cacing (Gambar 8). Keberadaan cacing
Acantocephala sp. pada usus singa selain mengakibatkan desquamasi epitel
penutup juga menyebabkan peradangan mukosa yang terlihat dari adanya infiltrasi
sel radang. Sel-sel radang yang teridentifikasi pada mukosa usus adalah sel
21
plasma, makrofag, limfosit, neutrofil, dan eosinofil. Desquamasi epitel penutup
dapat terjadi karena cacing Acantocephala sp berada pada lumen usus dan pada
lapis inilah cacing melekatkan probosis bertanduknya. Selain itu, kripta usus pada
lapis mukosa terlihat mengalami nekrosis, dan sebagian sel goblet aktif
menghasilkan mukus. Hasil pemeriksaan PA menunjukkan usus singa ini
mengalami enteritis dengan tipe eksudat mukopurulen yang ditunjukkan dengan
eksudat yang bersifat kental dan keruh dengan warna kekuningan. Menurut
Cheville (2006), eksudat purulen umumnya bercampur dengan fibrin dan mukus.
Secara mikroskopik, eksudat purulen akan penuh dengan sel radang neutrofil. Hal
ini sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi usus singa yang banyak
mengandung sel radang neutrofil. Eksudat purulen yang bercampur dengan mukus
pada usus singa diakibatkan oleh rangsangan cacing.
Pemeriksaan histopatologi jaringan hati singa menunjukkan hati
mengalami hepatopati, yang ditunjukkan dengan hepatosit yang mengalami
degenerasi lemak, degenerasi hidropis, dan ditemukan nekrosis multifokus dengan
pola nekrosis sentrolobular (Gambar 10, 11). Sinusoid hati tampak meluas dan
dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan pewarnaan HE (Gambar
10). Selain itu ditemukan pula fokus-fokus nekrosis dengan hepatosit yang sudah
lisis serta banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati
mengalami kongesti pasif (Gambar 11). Kongesti pada sinusoid mengakibatkan
sel hepatosit tergencet sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang
tidak beraturan. Degenerasi hidropis pada hepatosit ditandai dengan adanya
kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya
vakuola yang kecil dan jernih. Pada kedua jenis degenerasi tersebut inti masih
terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel
kekurangan oksigen. Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja
enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi
asam lemak sehingga mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada
hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi
lemak adalah zona sentrolobular yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis
(Cheville 2006). Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia,
berbagai toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu.
22
b
a
Gambar 8 Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi
desquamasi sel epitel penutup (a) dan ditemukan potongan badan
cacing pada mukosa usus (b). Pewarnaan HE, bar 200 µm.
Gambar 9
Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil
(a), neutrofil (b), limfosit (c), makrofag (d), dan sel plasma (e).
Pewarnaan HE, bar 10 µm.
a
b
e
d
c
23
Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar
dengan sitoplasma yang bervakuola dan inti sel yang terdorong ke tepi (Jubb et al.
1992 a). Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan
kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk menghasilkan energi, atau
gangguan enzim yang mengatur pompa ion natrium-kalium pada membran sel.
Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya produksi energi atau ATP
sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, natrium dan air masuk ke
dalam sel akibat kerusakan pompa ion pada membran sel dan menyebabkan
tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Cisternae dari retikulum
endoplasmik menjadi membesar, ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola
yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis (McGavin dan Zachary 2001).
Nekrosis hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih
gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary
(2001), nekrosis hepatosit dikarakteristikkan dengan sitoplasma yang membesar,
organel sel hancur dan robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit
biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon
hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu.
Nekrosis hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk
nekrosis pola sentrolobular. Menurut Jubb et al. (1992 a), degenerasi maupun
nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrolobular,
midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis
sentrolobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona
sentrolobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrolobular
merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga
merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga
hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosis sentrolobular umumnya disebabkan
oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari
adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid.
Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami
degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji
pala (Carlton dan McGavin 1995).
24
a
b c
Gambar 10 Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan
hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan
protein di sinusoid. Pewarnaan HE, bar 100 µm.
Gambar 11
Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit
mengalami degenerasi hidropis (a), nekrosis (b) bahkan lisis (c).
Tampak sinusoid melebar penuh dengan eritrosit. Pewarnaan HE,
bar 50 µm.
25
Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal singa menunjukkan adanya
perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Glomerulus ditemukan
mengalami edema yang ditandai oleh adanya endapan protein di glomerular tuft
hingga ke ruang Bowman (Gambar 12). Selain itu ditemukan pula beberapa
glomerulus yang mengalami nekrotik, yang terlihat dari inti kapiler yang piknotis.
Di banyak lapang pandang ditemukan tubulus yang mengalami degenerasi
hidropis dan nekrosis. Nekrosis tubulus ditunjukkan dengan epitel sitoplasma
yang berwarna eosinofilik dan inti yang piknosis. Pada tubulus yang mengalami
nekrosis, terlihat epitel tubulus terlepas dari membran basalnya (Gambar 13).
Degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal merupakan bentuk lanjut
dari pembengkakan sel secara akut akibat cairan yang masuk ke dalam sitoplasma
(Cheville 2006). Perubahan lain pada tubulus singa adalah adanya endapan
protein di lumennya, namun hanya ditemukan pada beberapa tubulus saja
(Gambar 12). Endapan protein menunjukkan adanya gangguan reabsorpsi protein
oleh tubulus. Kerusakan epitel tubulus dapat berasal dari infeksi yang terbawa
sirkulasi darah, infeksi ascending, toksin, dan iskemia (McGavin dan Zachary
2001).
Perubahan pada intersitium ginjal berupa pendarahan, kongesti, edema dan
pembentukan jaringan ikat atau fibrosis yang ditemukan sepanjang korteks dan
medulla (Gambar 13). Kongesti dan hemoragi ditemukan hampir di seluruh
kapiler ginjal, sedangkan edema ditemukan di sekitar tubulus distalis yang
nekrosis. Hemoragi merupakan lesio yang bersifat akut yang umum terjadi, selain
edema dan peradangan. Selain itu ditemukan multifokus fibrosis di sekitar tubulus
distalis (Gambar 13) serta di bagian medula ginjal. Hasil pemeriksaan ginjal juga
memperlihatkan adanya infiltrasi sel radang antara lain limfosit, makrofag, dan sel
plasma. Hal ini mengindikasikan ginjal singa mengalami peradangan kronis.
Namun adanya pendarahan pada radang kronis ginjal menandakan telah terjadi
peradangan akut pada ginjal tersebut. Dengan demikian ginjal singa didiagnosa
mengalami nefritis interstitialis kronis aktif, karena selain ditemukan fibrosis
ditemukan juga pendarahan di interstitiumnya.
Menurut McGavin dan Zachary (2001), nefritis interstitial kronis ditandai
dengan meningkatnya jaringan ikat pada interstitium ginjal serta menghilangnya
26
tubulus ginjal akibat atrofi. Nefritis interstitial kronis sering dijumpai pada hewan
domestik seperti anjing dan kucing sebagai proses penuaan. Saat nefritis
interstitial kronis sudah berlangsung parah, lesio ini dapat dimanifestasikan secara
klinis sebagai kegagalan ginjal kronis atau uremia. Adanya sindrom uremia pada
singa diketahui dengan terbentuknya gastritis ulceratif et hemoragika pada
lambung yang teramati pada pemeriksaan PA. Menurut Stone et al. (1988), pada
pemeriksaan biopsi ginjal 27 ekor anjing yang menderita pyometra menunjukkan
prevalensi tinggi terjadinya nefritis tubulointerstitialis dengan lesio pada
glomerulus yang tidak spesifik. Hal ini menguatkan diagnosa nefritis
tubulointerstitialis yang dialami singa ini dapat disebabkan oleh pyometra.
Hasil pemeriksaan histopatologi endometrium uterus singa menunjukkan
kelenjar uterus yang berdilatasi dan sebagian kelenjar membentuk sistik yang
berisi eksudat. Epitel kelenjar yang membentuk sistik mengalami hiperplasia
sehingga terlihat sel epitel yang saling menumpuk (Gambar 14). Pada
pemeriksaan PA ditemukan eksudat purulen di lumen uterus. Eksudat ini berasal
dari sekresi kelenjar yang membentuk sistik, kemudian sistik tersebut pecah dan
eksudatnya menggenangi lumen uterus. Hiperplasia sistik endometrial yang
ditemukan pada uterus singa ini serupa dengan bentuk hiperplasia sistik yang
pernah dilaporkan pada kasus pyometra, baik pada individu singa lain maupun
pada spesies mamalia lain. Migliorisi et al. (2010) melaporkan kasus hiperplasia
sistik endometrial pada seekor singa Afrika berusia 13 tahun. Sistik endometrial
yang dilaporkan oleh Agnew et al. (2004) pada spesies gajah juga menunjukkan
bentuk yang serupa yaitu kelenjar yang mengalami sistik dikelilingi epitel yang
berlapis. Tipe epitel pada kelenjar adalah epitel kuboid sampai epitel silindris
rendah. Perubahan patologi pada kasus pyometra dugong juga ditemukan
pembesaran uterus dengan eksudat berwarna coklat kehijauan. Mukosa uterus
menunjukkan bercak hemoragi dengan pus yang menutupi mukosa (Chansue et al.
2006).
27
a
c b
d
Gambar 12 Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan
oleh edema glomerulus (a), serta degenerasi (b), nekrosis (c) dan
adanya endapan protein di lumen tubulus (d). Pewarnaan HE, bar
50 µm.
Gambar 13
Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya
fibrosis, pendarahan dan edema (panah), serta tubulus distalis
nekrosis yang dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas
dari membran basal. Pewarnaan HE, bar 50 µm.
28
Lesio lain yang teramati pada endometrium uterus selain pendarahan
adalah ditemukannya sel radang limfosit, makrofag, sel plasma, dan neutrofil. Sel
radang ini juga ditemukan pada bagian perimetrium dan miometrium. Adanya
infiltrasi sel radang dan pendarahan menunjukkan peradangan pada uterus yang
bersifat kronik aktif. Keberadaan sel radang neutrofil menandakan adanya infeksi
bakteri pada uterus. Beberapa bagian dari miometrium mengalami nekrosa dengan
inti sel yang piknosis. Pada daerah yang nekrosa, telah terjadi proliferasi jaringan
ikat yang mengisi di antara serabut otot miometrium (Gambar 15). Miometrium
juga mengalami hemoragi dan kongesti. Adanya bagian miometrium yang
mengalami nekrosis menyebabkan uterus mudah ruptur.
Hasil pemeriksaan histopatologi dinding uterus berupa penyimpangan
struktur mukosa dengan adanya hiperplasia kelenjar dan proliferasi jaringan ikat.
Makrofag, limfosit, dan sel plasma ditemukan di sekitar proliferasi jaringan ikat,
sedangkan neutrofil ditemukan seiring dengan kongesti vena uterus. Adanya
akumulasi eksudat bercampur darah pada lumen uterus dan terbentuknya
hiperplasia sistik endometrial menandakan singa mengalami pyometra.
Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ singa secara keseluruhan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Singa
Sistem Organ Organ Perubahan
Respirasi Paru-paru Emfisema pulmonum, edema pulmonum,
anthracosis
Sirkulasi Jantung Kardiomiopati
Limforetikuler Limpa Peradangan
Digesti Usus Enteritis mukopurulenta
Hati Hepatopati, kongesti pasif
Reproduksi Uterus Pyometra
Urinaria Ginjal Nefritis tubulointerstitial kronik aktif
29
a
b
Gambar 14 Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada
hiperplasia sistik endometrial. Pewarnaan HE, bar 200 µm. (Gambar
inset: Hiperplasia epitel kelenjar uterus, bar 25 µm).
Gambar 15
Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium (a) dengan
proliferasi jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel radang (b). Pewarnaan
HE, bar 100 µm.
30
Ovulasi pada singa diinduksi oleh rangsangan kopulasi selama masa
estrus, namun terkadang dapat terjadi secara spontan. Oleh karena itu, ovulasi
pada singa bukanlah ovulasi spontan melainkan ovulasi refleks seperti halnya
pada kucing domestik (Schramm et al. 1994). Pada hewan dengan tipe ovulasi
yang diinduksi oleh kopulasi, kebuntingan palsu (pseudopregnancy) dapat terjadi
saat sel telur tidak berhasil difertilisasi atau terjadi kopulasi steril. Saat
kebuntingan palsu terjadi, corpus luteum berkembang dan persisten sehingga fase
progestasional atau fase luteal dalam masa estrus berlanjut walaupun tidak terjadi
fertilisasi (Paape et al. 1975). Selama fase ini, kadar progesteron yang diproduksi
meningkat dan endometrium menunjukkan perubahan praimplantasi yang sama
seperti saat terjadi kebuntingan yang sesungguhnnya (Verhage et al. 1976).
Progesteron mempengaruhi endometrium dengan meningkatkan ukuran dan
jumlah kelenjar endometrium serta meningkatan sekresinya. Akibatnya kelenjar
endometrium berdilatasi dan mengalami hiperplasia epitel. Sekresi kelenjar yang
berlebihan mengakibatkan terbentuknya kista sehingga menjadi hiperplasia sistik
endometrial (Feldman dan Nelson 2004).
Perubahan uterus berupa hiperplasia sistik endometrial merupakan salah
satu predisposisi timbulnya infeksi sekunder pada uterus yang mengarah pada
pyometra. Berbagai rute infeksi pada uterus telah dilaporkan yaitu secara
hematogenik, limfogenik, dan rute ascenden. Pernah dilaporkan juga bahwa
peradangan pada vesika urinaria berkorelasi dengan timbulnya pyometra
(Fransson 2003). Disamping itu progesteron juga memiliki aktivitas sebagai
imunosupresan dengan menghambat proliferasi sel limfosit dan sel T-killer,
sehingga mendukung pertumbuhan bakteri di uterus. Setelah terjadi hiperplasia
sistik endometrial yang disertai dengan adanya infeksi sekunder, maka uterus
mengalami peradangan berupa endometritis purulenta kronis dengan akumulasi
pus di lumen uterus yang disebut pyometra (Fransson 2003). Keberadaan sel
radang di uterus singa pada kasus ini menunjukkan adanya peradangan uterus atau
endometritis, dan sel radang neutrofil yang ditemukan mengkonfirmasi
peradangan disebabkan oleh adanya infeksi bakteri.
Gejala klinis pyometra tidak terbatas hanya pada saluran reproduksi saja.
Gejala klinis yang paling sering dilaporkan termasuk anoreksia, lethargi,
31
polidipsia, poliurinaria, dan keluarnya nanah dari vagina. Umumnya, bakteri yang
menginfeksi uterus pada pyometra adalah Escherichia coli namun pernah juga
diisolasi bakteri lain seperti Klebsiella, Streptococci, Staphylococci, dan
Pseudomonas. E. coli dan bakteri gram negatif lainnya menghasilkan endotoksin
atau lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan komponen dinding sel bakteri
yang dapat dilepas saat bakteri tumbuh maupun saat bakteri mati (Fransson dan
Ragle 2003). Bakteri di uterus ataupun toksin yang dihasilkannya dapat masuk ke
pembuluh darah dan ikut bersikulasi ke seluruh tubuh. Interaksi sistemik antara
mikroorganisme dan produknya (toksin) dengan sel inang menghasilkan sindrom
klinis yang disebut dengan sepsis. Terlepas dari kausa yang spesifik, sepsis
mengakibatkan beberapa gangguan sistemik termasuk gangguan homeostatis,
suhu tubuh abnormal, hipoksia pada sel-sel, koagulasi intravaskular atau
disseminated intravascular coagulation (DIC), kegagalan fungsi berbagai organ,
dan kematian (McGavin dan Zachary 2001).
Berbagai kerusakan organ singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis
yang ditimbulkan oleh bakteri yang mengakibatkan pyometra. Diagnosa sepsis
diindikasikan oleh adanya hemoragi pada hampir seluruh organ yang diperiksa
secara histopatologi yaitu paru-paru, hati, ginjal, limpa dan uterus. Hemoragi
dapat terjadi karena ketidaknormalan fungsi atau keutuhan dari satu atau lebih
faktor yang mempengaruhi homeostatis yaitu endotel, pembuluh darah, trombosit,
dan faktor koagulasi. Gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan
hemoragi dapat terjadi akibat trauma, endotoksemia dan bakterimia. Penurunan
jumlah trombosit (trombositopenia) dan gangguan fungsi trombosit juga
menyebabkan hemoragi. Selain itu, hemoragi juga dapat disebabkan oleh DIC
yang merupakan hasil dari pembekuan darah secara luas pada arteri dan kapiler.
DIC dapat diinisiasi akibat kerusakan endotel sehingga terjadi peningkatan dalam
penggunaan trombosit. Penyakit-penyakit yang disertai dengan DIC antara lain
endotoksemia, infeksi virus hepatitis pada anjing, dirofilariasis, dan penyakit
neoplastik tertentu seperti hemangiosarkoma atau leukimia (McGavin dan
Zachary 2001). Lesio DIC pada berbagai organ singa terlihat dari adanya trombus
yang berupa plasma darah dan fibrin pada kapiler-kapiler maupun pembuluh
darah lain.
32
Salah satu organ yang rentan terhadap sepsis adalah jantung. Menurut
Merx dan Weber (2007), sepsis menyebabkan disfungsi pada miokard dengan
mekanisme penurunan kontraktilitas dan terganggunya penyesuaian miokard.
Disfungsi miokard terjadi akibat beberapa faktor seperti iskemia secara luas dan
beredarnya substansi kimia dalam darah yang masuk ke jantung seperti toksin.
Kerusakan pada miokard dapat mengarah kepada gagal jantung kongestif.
Kardiomiopati pada jantung singa kasus ini menyebabkan kegagalan jantung baik
pada jantung kanan maupun kiri.
Gagal jantung dapat terjadi akibat penyakit pada jantung (akibat
kongenital, kerusakan pada miokard atau vaskular) ataupun akibat beban kerja
yang berlebihan karena adanya penyakit pada paru-paru, ginjal, dan vaskular.
Kelainan paru-paru seperti emfisema pada kasus ini menyebabkan darah balik dari
paru-paru yang masuk ke jantung menjadi sedikit. Hal ini mengakibatkan
penurunan daya kontraksi jantung yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke berbagai organ melalui arteri dan tertahannya darah yang
seharusnya kembali ke jantung melalui vena sehingga terjadi kongesti. Kongesti
pada berbagai organ seperti paru-paru, hati, ginjal yang disebabkan oleh
kegagalan jantung mengakibatkan iskemia pada sel-sel parenkim. Sel yang
mengalami iskemia selanjutnya akan mengalami degenerasi hingga nekrosa.
Kegagalan fungsi jantung, hemoragi, dan DIC menyebabkan hipoksia dan
iskemia jaringan secara sistemik sehingga terjadi kegagalan organ umum. Organ
yang sangat sensitif terhadap efek ini meliputi jantung, otak, ginjal, paru-paru, dan
hati. Sel yang rusak akibat iskemia memproduksi energi secara anaerobik
(glikolisis), mengakibatkan glikogen habis secara cepat, akumulasi asam laktat,
dan kekurangan ATP. Tanpa ATP yang cukup, pompa ion pada membran sel
gagal untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, integritas membran, dan
sintesis protein. Masuknya natrium dan air ke dalam sel menyebabkan sel
membengkak dan mengalami penurunan fungsi (McGavin dan Zachary 2001).
Gagal jantung kiri mengakibatkan kongesti dan edema pulmonar,
sedangkan gagal jantung kanan menyebabkan kongesti dan edema pada hati dan
limpa (McGavin dan Zachary 2001). Menurut Jubb et al. (1992 b), gagal jantung
kanan mengakibatkan hati membesar dan kongesti dengan perubahan mikroskopik
33
meliputi dilatasi sinusoid dan atrofi atau degenerasi hingga nekrosa jaringan
parenkim hati di sekitar vena sentralis. Perubahan ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan histopatologi hati singa sehingga menguatkan diagnosa terjadinya
gagal jantung pada singa.
Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan jantung akibat
adanya kerusakan pada miokard berupa nekrosa miokard atau kardiomiopati.
Sepsis dan gagal jantung menyebabkan kegagalan berbagai organ parenkim
seperti paru-paru, hati, dan ginjal yang terlihat dengan adanya kongesti, edema,
dan nekrosa sel-sel parenkim. Kerusakan pada berbagai organ ini menyebabkan
peningkatan beban kerja jantung untuk menyalurkan darah. Kompensasi dari
kelebihan kerja pada jantung terlihat dari jantung yang mengalami dilatasi dan
hipertrofi.
34
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Hasil pemeriksaan histopatologi organ-organ singa yang menderita pyometra
menunjukkan anthracosis, emfisema dan edema pulmonum, kardiomiopati,
enteritis mukopurulenta, hepatopati dan kongesti pasif hati, nefritis
tubulointerstitialis kronis aktif dan pyometra.
2. Pyometra mengakibatkan sepsis yang dibuktikan dengan adanya hemoragi
dan degenerasi pada organ-organ parenkimatosa.
3. Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis dan kegagalan jantung.
Saran
1. Perlu dilakukan analisis bakteriologi untuk mengetahui kuman penyebab
pyometra untuk menguatkan diagnosa.
2. Perlu peningkatan manajemen pemeliharaan terutama menajemen breeding
pada satwa liar di penangkaran atau badan konservasi lainnya sehingga dapat
mencegah terjadinya gangguan reproduksi seperti pyometra.
35
DAFTAR PUSTAKA
Agnew DW, Munson L, Ramsay EC. 2004. Cystic endometrial hyperplasia in
elephants. Vet Pathol 41:179-183.
Agudelo CF. 2005. Cystic endometrial hyperplasia-pyometra complex in cats. Vet
Quart 27(4):173-182.
Austin CR, Short RV. 1984. Reproduction in Mammals: Hormonal Control of
Reproduction. Ed ke-2. Great Britain: Cambridge Univ Press.
Bagian Patologi KRP-FKH IPB. 2007. Buku Protokol Pemeriksaan Patologi
Tahun 2007. Bogor: Bagian Patologi KRP-FKH IPB.
Bigliardi E, Parmigiani E, Cavirani S, Luppi A, Bonati L, Corradi A. 2004.
Ultrasonography and cystic hyperplasia–pyometra complex in the bitch.
Reprod Domest Anim 39:136-140.
Carlton WM, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Vetrinary Pathology. Ed
ke-3. USA: Mosby Year Book.
Chansue N, Monanunsap S, Sailasuta A. 2006. Pyometra with diffuse
fibrinopurulent peritonitis in a dugong (Dugong dugon). Di dalam:
Banlunara W et al., editor. Proceedings of The 2nd
Symposium on the Asian
Zoo and Wildlife Medicine and the Ist Workshop on Zoo and Wildlife
Pathology; Bangkok, 26-29 Oktober 2006. Bangkok: Tiranasar Press.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. USA:
Blackwell Publishing.
Feldhamer GA, Vessey SH, Drickamer LC. 1999. Mammalogy: Adaptation,
Diversity, and Ecology. USA: McGraw-Hill.
Feldman EC, Nelson RW. 2004. Canine and Feline Endocrinology and
Reproduction. Ed ke-3. USA: Saunders.
Fransson BA. 2003. Systemic inflammatory response in canine pyometra: the
response to bacterial uterine infection [Tesis]. Uppsala: Swedish University
of Agricultural Sciences.
Fransson BA, Ragle CA. 2003. Canine pyometra: an update on pathogenesis and
treatment. Compendium 25(8): 602-612.
Gilshenan L. 2003. Why we should desex our pets. [terhubung berkala].
http://www.gsdcqld.org.au/whydesexourpets.htm [12 Oktober 2011].
36
Grzimek B. 1970. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol. 12: Mammals III.
New York: Van Nostrand Reinhold.
Hansen PJ. 1998. Regulation of uterine immune function by progesterone -
lessons from the sheep. J Reprod Immunol 40(1998): 63-79.
Hayward MW, Kerley GIH. 2005. Prey preferences of the lion (Panthera leo). J
Zool 267:309-322.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
DK Harya Putra, penerjemah; Bandung: penerbit ITB. Terjemahan dari:
Physiology and Technology of Reproduction in Female Domestic Animals.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Panthera leo.
[terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/15951/0
[22 Agustus 2011].
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1992 a. Pathology of Domestic Animals
Volume 2. Ed ke-4. California: Academic Press.
_______________________________. 1992 b. Pathology of Domestic Animals
Volume 3. Ed ke-4. California: Academic Press.
Kennedy S. 2008. Pyometra. [terhubung berkala]. http://www.acvs.org/
AnimalOwners/HealthConditions/SmallAnimalTopics/PyometrainDogsCats
[20 April 2012].
Kenney KJ, Matthiesen DT, Brown NO, Bradley RL. 1987. Pyometra in cats: 183
cases. J Am Vet Med Assoc 191(9):1130-2.
Mazur B. 2008. African lion exhibit. [terhubung berkala].
www.southwickszoo.com/africanlion.php [20 Oktober 2011].
McCain S, Ramsay E, Allender MC. 2009. Pyometra in captive large felids: a
review of eleven cases. J Zoo Wildlife Med 40(1):147-151.
McGavin MD, Zachary JF. 2001. Pathologic Basis of Veterinary Disease.
Ed ke-4. Missouri: Mosby Inc.
Merx MW, Weber C. 2007. Sepsis and the heart. Circulation 116: 793-802.
Migliorisi AL, Soto AT, Gomez MV, Laplace R, Massone A. 2010. Description
of a cystic endometrial hyperplasia case in an African lion (Panthera leo).
InVet 12(1):13-17.
Nalbandof AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Ed ke-3.
S. Keman, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Reproductive
Physiology of Mammals and Birds.
37
Near TJ. 2002. Acanthocephalan phylogeny and the evolution of parasitism. Integ
and Comp Biol 42:668-677.
Nowak RM. 2005. Walker’s Carnivores of the World. Baltimore: John Hopkins
Univ Press.
Paape SR, Shille VM, Seto H, Stabenfeldt GH. 1975. Luteal activity in the
pseudopregnant cat. Biol Reprod 13: 470-474 (1975).
Ross MH, Kaye GI, Pawlina W. 2003. Histology: a Text and Atlas. Ed ke-4.
Lippincott: Williams & Wilkins.
Schramm RD, Briggs MB, Reeves JJ. 1994. Spontaneous and induced ovulation
in the lion (Panthera leo). Zoo Biol 13(4): 301-307.
Singleton J, Richardson DJ, Lockhart JM. 1993. Severe Moniliformiasis
(Acanthochepala: Moniliformidae) in a gray squirrel, Sciurus carolinensis,
from Arkansas, USA. J Wildlife Dis 29(1): 165-168.
Siiteri PK, Stites DP. 1982. Immunologic and endocrine interrelationships in
pregnancy. Biol Reprod 26:1-14 (1982).
Smith FO. 2006. Canine pyometra. Theriogenology 66: 610-612.
Stone EA, Littman MP, Robertson JL, Bovée KC. 1988. Renal dysfunction in
dogs with pyometra. J Am Vet Med Assoc 193(4):457-464.
Verhage HG, Beamer NB, Brenner RM. 1976. Plasma levels of estradiol and
progesterone in the cat during polyestrus, pregnancy and pseudopregnancy.
Biol Reprod 14: 579-585 (1976).
Wheaton LG et al. 1989. Results and complications of surgical treatment of
pyometra: A review of 80 cases. JAAHA 25(5):563-568.