studi etika pendidikan tentang proses · pdf filedalam pengertian ini etika adalah sebuah ilmu...
TRANSCRIPT
STULOS 12/1 (April 2013) 39-64
STUDI ETIKA PENDIDIKAN TENTANG
PROSES BELAJAR-MENGAJAR YANG MENGUBAH
KARAKTER DAN KURIKULUM 2013
Harianto G.P.
Abstrak: Etika pendidikan berbasis nilai-nilai Yesus (learn to know about, learn
to do like dan learn to live together with… Jesus) wajib mengisi
perubahan dan pertumbuhan kognitif, afektif dan psikomotoris pada
para anak didik. Perubahan-perubahan tersebut selalu berpusat
kepada Teosentris yang alkitabiah. Dalam konteks tersebut maka
dibutuhkan pendidik yang berkarakter Kristus, materi atau kurikulum
yang bernilai alkitabiah, anak didik yang telah menerima Yesus
sebagai juruselamatnya dan metode belajar-mengajar yang sesuai
dengan konteksnya. Etika pendidikan Kristen adalah pendidikan
berkarakter Yesus.
Kata Kunci: Proses, perubahan, karakter Yesus, kurikulum.
PENDAHULUAN
Litbang Jawa Pos mengadakan riset kepada 505 responden
mahasiswa di Surabaya. Hasilnya mengatakan bahwa mahasiswa diajar
oleh dosen yang ngelatur (tidak mengajar sesuai dengan materi kuliah
yang ada) 81%. Apa isi dari ngelatur itu? Jawabannya adalah: 42,1%
menceritakan pengalaman pribadi, 36,4% bercanda, dan 13,2% masalah
sensitif.1 Perubahan anak didik yang terjadi tersebut tentu saja tidak sesuai
dengan tujuan pendidikan yang ada.
Proses belajar-mengajar di atas, sungguh menjadi kendala yang
memprihatinkan di mana pendidikan belum mampu mengajar secara
maksimal. Jadi, ada kemungkinan terjadinya proses pendidikan yang
1Baca “Ugh, Guruku Ngajarnya Ngelantur!” Jawa Pos, Senin 9 Agustus (2004), 33.
40 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
tidak efektif, di mana pendidik tidak menguasai materi serta kurang
mampu mengkomunikasikannya kepada para mahasiswa. Berkaitan di
atas, maka Daoed Joesoef mengatakan tiadanya atau kurang dihayatinya
etika masa depan dalam penalaran di kalangan elit pemimpim bangsa.
Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua
manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya
di masa depan bersama dengan sesama makhluk hidup lainnya yang ada di
muka bumi. Hal ini berarti bahwa etika masa depan menuntun manusia
untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap
perbuatan yang dilakukannya di masa sekarang.2
Memperlengkapi proses belajar-mengajar yang kurang maksimal,
maka memberi contoh etika dan moral di sekolah. Permasalahan etika dan
moral siswa di sekolah kerapkali dibebankan sebagai tanggung jawab guru
agama dan pendidikan kewarganegaraan. Dalam Undang-Undang Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 revisi terhadap sistem pendidikan yang dilakukan
sesuai dengan tuntutan perubahan reformasi dan bergulirnya demokratisasi
serta menguatnya isu Hak Asasi Manusia (HAM). Guru sebagai tenaga
pendidikan mempunyai makna penting untuk berperan serta dalam
mensukseskan tujuan pendidikan nasional, yang bercita-cita terwujudnya
manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa serta berkembangnya
potensi diri secara optimal. Untuk mencapai pada cita-cita tujuan
pendidikan nasional, maka guru bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga
sebagai pendidik yang mampu: membimbing, mengarahkan, mempengaruhi,
dan menjadi pengganti orang tua di sekolah. Guru sebagai pendidik
dituntut memiliki kecakapan secara akademis dan juga secara mental
mampu memberikan teladan yang baik bagi anak didiknya.3 Inilah tugas
penting pendidik dalam proses pendidikan.
2Daoed Joesoef, “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto (ed.).
Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Kompas (2001). 3Hidajat Rahardja “Implementasi Nilai-nilai Intelektual, Emosional dan Spiritual dalam
Pembelajaran Biologi” dalam re-searchengines.com/hidayat0608.html. (Diakses tanggal 27 Juni 2008).
JURNAL TEOLOGI STULOS 41
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan
manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual.4
Dalam
konteks ini Noeng Muhadjir menyebutkan adanya tiga fungsi pendidikan,
yaitu: pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta
didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta
didik. Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja
produktif peserta didik. Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada prinsipnya
merupakan suatu kesatuan organik dan, karena itu, harus dilaksanakan
secara terpadu dan berimbang. Namun dalam kenyataannya, praktek
lapangan pendidikan yang berjalan selama ini cenderung hanya
mengaktualisasikan fungsi pertama dan ketiga, tetapi mengabaikan fungsi
kedua (mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik).5
Kenyataan inilah yang dimaksud oleh M. Rusli Karim ketika dia
mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melakukan transfer of knowledge
(alih pengetahuan) dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai).
Kecenderungan praktek pendidikan kita yang lebih mengedepankan alih
pengetahuan dan menomerduakan upaya alih nilai agaknya berkaitan erat
dengan paradigma modernisasi yang menjadi ideologi pembangunan
nasional. Dalam konteks ini pendidikan sebagai institusi yang diarahkan
untuk melayani kepentingan pembangunan kemudian mengalami reduksi
fungsional dengan hanya menjadi sekedar “pemasok” tenaga kerja
terampil yang dibutuhkan oleh dunia industri.6
Selanjutnya bahwa Kuntowijoyo menyebut gejala di atas sebagai
kesenjangan antara kesadaran dan perilaku adalah suatu gejala yang
merupakan ciri-ciri kemajuan era reformasi. Dalam menghadapi kondisi
tersebut maka sangat mendesak dibutuhkannya kerinduan akan adanya
4Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat” dalam
Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th. I (Oktober 1996); 6. 5Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan
(Yogyakarta: Reka Sarasih, 1987), 20-25. 6 Ahmad Averoz, ”Etika Pendidikan: Pembentukan Kecerdasan Spiritual”,
zuhdifirdaus.wordpress.com/2008/08/28/etika-pendidikan-pembentukan-kecerdasan-spiritual (Diakses tanggal 20 Juni 2011).
42 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
nilai-nilai moral yang luhur yang timbul dari dalam jiwa setiap insan
Indonesia, yang pada gilirannya berperan sebagai acuan hubungan sosial
di antara sesama manusia. Dalam konteks inilah bahwa pembentukan SQ
(spiritual quotient) menjadi sangat penting sebagai etika masa depan
pendidikan nasional.7
Berkaitan di atas, maka Djamaludin Ancok menjelaskan bahwa
memasuki ekonomi baru yang virtual diperlukan empat modal, yaitu:
intelektual, modal sosial, modal spiritual dan modal kesehatan.
Menurutnya, modal spiritual menjadi sangat penting, karena upaya
membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia pandai
mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah
mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Padahal kebermaknaan
hidup adalah suatu motivasi yang kuat yang dapat mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup
yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Modal spiritual juga
dapat memberikan perasaan hidup yang komplit (wholeness), karena
adanya kedekatan dengan Sang Pencipta.8
Tujuan menulis paper ini adalah menjawab pertanyaan sebagai
berikut: apakah yang dimaksud dengan etika pendidikan kristiani? Apakah
nilai-nilai etika pendidikan? Bagaimanakah nilai-nilai etika pendidikan
membawa nilai-nilai Kristiani? Bagaimanakah studi etika pendidikan
tentang proses belajar-mengajar yang mengubah karakter?
ETIKA PENDIDIKAN KRISTIANI
Menurut etimologinya, etika berasal dari kata Yunani ethos yang
mempunyai banyak artinya: “tempat tinggal yang biasa; padang rumput,
kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir”.
7Kuntowijoyo, “Kesadaran dan Perilaku” dalam Selo Soemardjan (ed.). Menuju
Tata Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 253. 8Djamaluddin Ancok, “Membangun Modal Manusia Melalui Pengembangan IQ, EQ,
dan SQ” Makalah tidak diterbitkan. Fak. Psikologi UMS, Surakarta 2001.
JURNAL TEOLOGI STULOS 43
Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” yang berarti “adat kebiasaan”.
Arti jamak ini yang dipakai oleh Aristoteles (384-322 S.M.) untuk
menunjuk pada istilah etika sebagai filsafat moral. Selain itu kata “moral”
(Latin mos, jamak mores) juga berarti “kebiasaan” atau “adat”, di mana
“moralitas” (Latin, moralitas) merupakan abstraksi dari kata moral yang
menunjuk pada segi baik buruk suatu perbuatan. Hal tersebut biasanya
disebut “moralitas” suatu perbuatan, namun bukan “moral” suatu perbuatan.
Jadi, etika adalah ilmu yang mempelajari tentang apa-apa yang biasa
dilakukan.9
Dalam kamus, “etika” memiliki tiga arti berikut.10
Arti pertama, etika
adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak). Dalam pengertian ini etika adalah sebuah ilmu
yang obyek kajiannya adalah nilai-nilai etis yang, disadari atau tidak,
diterima dalam suatu masyarakat. Arti kedua, adalah kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak. Arti ketiga, adalah nilai mengenai
benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Dan
untuk mengembangkan pemikiran itu, maka Franz Magnis-Suseno
mengatakan bahwa etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral,
melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasarkan
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak
berada di tingkat yang sama.11
Sedangkan pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik.” Ensiklopedi Wikipedia
menuliskan: “Education is a social science that encompasses teaching and
9Tentang peristilahan ini lihat juga K. Bertens, Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15 (Jakarta:
Gramedia, 1993), 4-7. 10W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), 237. 11Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 14.
44 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
learning specific knowledge, beliefs, and skill. The word education is
derived from the Latin educare meaning “to raise”, “to bring up”, “to
train”, “to rear”, via education/nis”, bringing up, raising”.12
Menurut UU
SISDIKNAS No. 2 Tahun 1989 bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Selanjutnya
dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat.
Dengan demikian, maka pendidikan adalah proses internalisasi
paham dan nilai melalui pengalaman paham dan nilai, melalui perenungan,
aspirasi, dan penerimaan paham serta nilai, dan melalui pengalaman paham
serta nilai di dalam kehidupan.13
Jadi meringkas pengertian pendidikan di
atas yang kemudian direlasikan dengan nilai-nilai etika, maka ditemukan
dalam surat-surat Paulus bahwa prinsip-prinsip etika dibuatnya sebagai
penuntun kehidupan orang-orang Kristen sebagai berikut: (1) Dipraktikkan
dengan melihat kondisi lingkungan Kristen dan non Kristen. (2) Di antara
komunitas gereja Kristen ia menggunakan istilah ketergantungan,
gotong-royong dari jemaat sebagai anggota tubuh Kristus satu sama lain.
Tujuannya untuk kepentingan bersama secara sosial. (3) Standar nilai dan
ukuran etis Paulus adalah “dalam Kristus” (in Christ) yang menjadi landasan
dari etika dalam keluarga dan dalam pekerjaan. (4) Sikap pengambilan
keputusan etis harus ada dalam pimpinan Roh Kudus yang berbicara
melalui hati nurani. (5) Orang Kristen tidak boleh berkompromi dengan
dunia dan tidak boleh menjadi penghalang bagi orang kafir untuk
mengenal Yesus. Tindakan yang bijaksana harus diambil seperti mengenai
12www.scribd.com/doc/7592955/Definisi-Pendidikan. 13 J. Riberu, “Masalah Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan Agama pada
khususnya” dalam Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia (2000), 170.
JURNAL TEOLOGI STULOS 45
makanan dan minuman dan penggunaan karunia-karunia. (6) Hubungan
suami-istri, tuan dan hamba, negara dan rakyat, melibatkan prinsip-prinsip
spiritual dari tubuh Kristus dan kepala (Petrus juga memiliki prinsip etika ini).
Prinsip ini begitu mendalam dan berhubungan dengan etika sosial dan
etika politik dalam masyarakat yang harus diperhatikan orang percaya. (7)
Prinsip-prinsip etis kerja juga dinyatakan Paulus dalam mengadakan
rekonsiliasi Onesimus dan Filemon. (8) Sikap etis juga diajarkan Paulus
untuk memelihara keindahan penyembahan, pelayanan, dan penggunaan
karunia-karunia dalam jemaat. Dalam surat Korintus, Paulus dengan jelas,
tegas dan mendetail mengenai hal ini. Di sini etika pelayanan dan ibadah
mencerminkan kehidupan orang percaya yang hidup dalam anugerah dan
disiplin Allah. (9) Ketegasan sikap etis Paulus diwujudkan dalam penerapan
disiplin terhadap pelanggaran moral.14
Dengan demikian maka etika pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana dalam proses belajar-mengajar di mana pendidikan membawa
pengajaran mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak); nilai mengenai benar dan salah agar anak didik
mengalami perubahan akhlaknya yang lebih baik.
NILAI-NILAI ETIKA PENDIDIKAN
Nilai-nilai etika pendidikan jelas merupakan pengembangan dari
pemahaman etika pendidikan itu sendiri. Jadi, agar proses pendidikan
berjalan dengan lancar, maka etika digunakan sebagai “frame” yang
membatasi gerakan pendidikan di mana nilai pendidikan memperhatikan:
apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang bermoral dan tidak bermoral,
dan apa yang benar dan yang salah. Berkaitan di atas, maka saran
UNESCO dalam memahami fenomena ini sebagai berikut:
14Gerald Harris, The Beginnings of Church Discipline dalam Understanding Paul’s
Ethics oleh Brian S. Rosner, Editor (Grand Rapids, MI: Wm B. Eerdmans Pub. Co., 1995), 129. Menurut Harris, tindakan disiplin Paulus ini sebagai usaha untuk mengontrol hubungan sosial dalam jemaat yang lazimnya dipraktekkan dalam gereja mula-mula.
46 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
Pendidikan mesti mengandung tiga unsur, yaitu: unsur Learn to Know
(belajar untuk tahu) dan Learn to Do (belajar untuk berbuat) yang lebih
terarah membentuk having agar SDM memiliki kualitas dalam
pengetahuan dan skill, sedangkan unsur ketiga learn to live together
yang lebih mengarah kepada being menuju pembentukan karakter
bangsa.15
.
Melengkapi di atas, maka Prof. Suyanto, Ph.D. menegaskan nilai-nilai
etika pendidikan adalah nilai-nilai etika bermartabat. Memartabatkan
pendidikan tidak berarti menempatkan nilai etis pendidikan di atas tata
nilai lainnya di dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi bahkan budaya.
Memartabatkan pendidikan berarti memberikan nilai rasa estetis kolektif
maupun individual pada sisi perilaku dan etika pergaulan yang lebih
bermartabat. Hal itu dilakukan karena, pendidikan merupakan sebuah
indikator penting untuk mengukur kemajuan sebuah bangsa. Jika sebuah
bangsa ingin ditempatkan pada pergaulan dunia dalam tataran yang
bermartabat dan modern, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah
mengembangkan pendidikan yang memiliki relevansi dan daya saing bagi
seluruh anak bangsa. Mengapa demikian? Karena pendidikan merupakan
gerbang untuk memahami dunia sekaligus gerbang untuk menguasai pola
pikir dan kultur spesifik di dalam pergaulan global.16
Nilai-nilai etika pendidikan meliputi dua hal, yakni: pemahaman
memadai tentang nilai-nilai dasar kehidupan dan teladan hidup nyata dari
public figure. Nilai-nilai vital dimaksudkan adalah penghargaan terhadap
harga diri dan orang lain, tanggung jawab terhadap keselamatan diri
sendiri dan orang lain, sikap toleran sekaligus sikap kritis terhadap realitas
keseharian, kesempatan hidup dalam pilihan-pilihan dan kebebasan
mengambil keputusan sendiri, serta jiwa sosial yang tinggi, selain
pengakuan pluralistis budaya dan keunikan manusia. Tentu tidak kalah
penting, kedekatan mereka terhadap nilai-nilai religius yang universal.
15 Www.elfiana-unindra-bio2a.blogspot.com/.../nilai-nilai-pendidikan-di-indonesia.
html -. 16 Suyanto, ”Pendidikan Bermartabat”, www. mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?
option...id.
JURNAL TEOLOGI STULOS 47
Internalisasi substansi nilai-nilai etis ini merupakan modal sangat penting
bagi anak-anak berhadapan dengan faktor eksternal yang memberondong
mereka. Selain sejumlah muatan nilai di atas, yang tidak boleh diabaikan
adalah teladan baik pejabat publik. Adalah sikap kontraproduktif dan
inkonsisten kalau anggota lembaga pembuat undang-undang, yang berniat
menghentikan kebejatan moral masyarakat, justru mempertontonkan
pelanggaran etika. Ini jelas merupakan contoh yang tidak terpuji.17
Pendidikan nilai-nilai, yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab
diteguhkan akan berubah menjadi penghayatan nilai-nilai, mempunyai
syarat-syarat yang berlainan dengan pendidikan fakta-fakta ketrampilan
sebagai berikut. Syarat Pertama, adalah nilai itu mestilah mempunyai
model. Yang berarti tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat
disaksikan bagaimana nilai-nilai itu beroperasi. Ambillah suatu nilai
seperti kejujuran. Nilai ini bersifat mujarrad (abstract), jadi tidak dapat
diraba dengan panca indera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya
bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya.
Namun dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada
dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Syarat yang kedua,
adalah kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada diri
murid-murid maka ia akan dipelajari, artinya diulang-ulang dan kemudian
berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab
selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu
melekat diperlukan berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu.
Dalam keadaan ini, pendidik sebagai perangsang (stumulus) akan
memancing tingkah laku kejujuran murid-muridnya.
Kedua, oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin
diajarkan kepada murid-murid adalah manusia biasa. Dengan pengertian
dia mempunyai kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan
diajarkan itu boleh menurun nilainya. Hal itu disebabkan oleh kekurangan-
17Kasdin Sihotang, ”Prioritas Pendidikan Nilai”, Sinar Harapan, edisi Sabtu, 8
November (2008).
48 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
kekurangan yang ada pada model itu, malah ada kemungkinan anak didik
mempelajari nilai sebaliknya. Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur,
jika pada model itu menimbulkan sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak
meneguhkan kejujuran itu.
Ketiga, semua pendidik, terlepas daripada mata pelajaran yang
diajarkannya, adalah pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab para pendidik
tersebut sadar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui
kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan, di mana
sebagian besarnya termasuk dalam kawasan ‘kurikulum informal’.
Sebagaimana setiap pendidik, apapun yang diajarkannya, adalah seorang
pendidik bahasa maka setiap pendidik juga adalah seorang pengajar
nilai-nilai. Bila seorang pendidik memuji seorang murid, maka ia
meneguhkan sesuatu tingkah laku. Bila pendidik menghukum seorang
murid, maka ia menghukum tingkah laku tertentu. Malah bila pendidik
tidak mengacuhkan seorang murid, maka murid tersebut mungkin merasa
bahwa ia tidak menyukai perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai.
Dengan demikian maka nilai-nilai etika pendidikan menjadi wajib di
mana bukan saja menjadi materi dan diajarkan kepada anak didik, tetapi
pendidik juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam sekolah maupun di luar sekolah. Berkaitan hal di atas, maka dalam
2 Timotius 3:16-17 dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan sebagai berikut:
(1) Tiap pendidikan bertujuan mengembangkan semua potensi seorang
individu secara maksimal sesuai prinsip pengajaran kebenaran Firman
Tuhan. (2) Tiap pendidikan mempunyai tujuan untuk menghasilkan
masyarakat yang memiliki integritas baik dan dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan Firman Tuhan. (3) Pendidikan sekurang-kurangnya dapat
memberikan kepada peserta didik cukup pengetahuan dan kemampuan
untuk melaksanakan suatu tugas yang produktif dalam masyarakat
berdasarkan Firman Tuhan. (4) Keseluruhan pendidikan sekurang-
kurangnya dapat memberikan kepada peserta didik kematangan moral
yang baik.
JURNAL TEOLOGI STULOS 49
Jadi nilai-nilai etika Kristen wajib digali dalam berdasarkan adalah:
kehidupan, tindakan, ajaran dan karya Yesus Kristus melalui Alkitab. Di
sini muncul pemahaman nilai-nilai etika berdasarkan sebagai berikut:
learn to Know (belajar untuk tahu) tentang Yesus, learn to Do (belajar
untuk berbuat) seperti Yesus dan learn to live together with Yesus. Ketiga
point tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan
dan wajib berjalan bersama-sama membentuk wordview dan gaya hidup
etika pendidikan.
Learn to Know
Yesus
Learn to Do Learn to Live Together
Learn to Know tentang Yesus
Nilai-nilai etika berdasarkan learn to know tentang Yesus berarti
pendidik dan anak didiknya wajib belajar mengetahui tentang Yesus di
mana ia belajar mengenal sebagai berikut: (1) Tindakan Missio Christi
digambarkan sebagai pengorbanan dan datang sebagai misionaris untuk
semua bangsa sebagai berikut: sebagai pengorbanan, seorang misionaris,
dan kedatangan Yesus untuk semua bangsa. (2) Pengajaran Missio Christi
mencakup: satu-satunya Jalan Keselamatan kekal dan Yesus mengajarkan
para pengikut-Nya bahwa bagaimana mereka bisa menjalani sebuah
kehidupan yang berbuah-buah, yakni dengan berada dekat dengan Dia
(Yoh. 15: 1-16).18
Learn to Do seperti Yesus
Nilai-nilai etika berdasarkan learn to do seperti Yesus berarti pendidik
18Baca Harianto GP, Pengantar Misiologi (Yogyakarta: Andi, 2012) mengenai
Missio Christi.
50 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
dan anaknya wajib belajar melayani seperti Yesus. Pendidikan memberi
warna terhadap apa yang dilakukan oleh Yesus dalam kehidupan-Nya.
Dalam konteks to do seperti Yesus mencakup adalah: belajar hidup dan
melayani seperti Tuhan Yesus (Mrk. 7: 31-37). Di sini bahwa Yesus
melakukan semua proses ini di dalam persekutuan dengan setiap orang
yang ditemuinya (tidak melihat latar belakang: pangkat, ekonomi, atau
kepandaian). Justru Yesus datang ke bumi untuk bersekutu dengan
orang-orang yang berdosa dan Dia memberi makan ratusan bahkan ribuan
orang (Mrk. 8.1-10).
Yesus tidak mengejar ketenaran dunia. Bukan itu saja, Dia bahkan
melarang orang-orang untuk memberitakan keajaiban yang telah
diperbuat-Nya (ay. 36). Dia memiliki kesempatan besar untuk menjadi
terkenal, namun Ia tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, sebaliknya
Ia menahan diri-Nya. Dengan demikian, maka pelayanan-Nya menghasilkan
sesuatu yang nyata dan baik.
Learn to Live Together bersama Yesus
Nilai-nilai etika berdasarkan learn to live together bersama Yesus
berarti pendidik dan anaknya wajib hidup menjadi murid Yesus. Dia
memerintahkan para Rasul-Nya di awal pelayanan fana-Nya, “Ikutlah
Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat. 4:19). Kita perlu
“mengikuti-Nya,” dan sewaktu kita melakukan ini, Juruselamat akan
memberkati kita di luar kemampuan kita untuk menjadi seperti yang Dia
kehendaki. Di sini bahwa “mengikuti Kristus” artinya menjadi lebih
seperti Dia. Itu artinya belajar dari sifat-Nya. Juruselamat mengundang
kita untuk mempelajari Injil-Nya dengan menjalankan ajaran-ajaran-Nya.
Para nabi zaman dahulu dan zaman modern menjelaskannya dalam tiga
kata: “Mematuhi perintah-perintah”—tidak kurang, tidak lebih.”
Kata pemuridan, berasal dari kata “murid” atau dalam bahasa Yunani
μαθητής, atau disciple dalam bahasa Inggris dan discipulus (latin) yang
berarti seorang pembelajar. Dengan demikian bahwa salah satu esensi
JURNAL TEOLOGI STULOS 51
dari pemuridan adalah: keberanian untuk meresponi panggilan Yesus
untuk mengikuti Dia, meninggalkan semua gaya hidup lama kita dan
masuk dalam kehidupan baru bersama Yesus seperti yang tercatar dalam
Matius 28:16 dst. dan Markus 1: 16 17.
NILAI-NILAI ETIKA PENDIDIKAN MENUJU
PERUBAHAN KARAKTER
Etika Kristen adalah berhubungan dengan moral yang benar dan
salah. Moral yang benar berdasarkan karakter moral Allah (Rm. 1:19-20:
2:12-14).19
Alkitab menjadi dasar untuk mengetahui karakter moral Allah.
Jadi, nilai-nilai dan norma-norma moral wajib berdasarkan Alkitabiah
sebagai sumber kehidupan orang Kristen. Tetapi, masalahnya, bagaimana
orang Kristen yang hidup di bumi ini? Apakah ia bisa hidup dengan
menjaga ketetapan dan peraturan Allah, seperti yang tergambar dalam
kisah tentang pembayaran pajak Mrk. 12:14-17.
Dialog Yesus dengan beberapa orang Farisi dan Herodian dengan
Yesus menjelaskan ada pemisahan yang tegas antara ”Etika Allah” dengan
”Etika Duniawi”. Apa yang bersumber dari negara (pajak), maka orang
Kristen wajib memenuhinya, dan apa yang bersumber dari Allah, orang
Kristen wajib mentaati dan menjalankannya. Sebenarnya, bila melihat
sejarah Alkitab -- diurut dari awal penciptaan sampai manusia berdosa dan
dibuang ke bumi, lalu adanya Torat atau etika Allah yang diwakili oleh
Musa, lalu perjalanan bangsa Israel bisa menempati tanah perjanjian yaitu
Kanaan, bangsa Israel mengalami pembuangan ke Babilon, berlanjut
dengan inkarnasinya Allah menjadi manusia di bumi, yaitu Yesus Kristus,
mati, disalibkan, pada hari ketiga bangkit, dan meninggalkan bumi duduk
di sebelah kanan Allah, lalu masuk pada zaman Petrus di mana lahirnya
gereja mula-mula, kondisi zaman Paulus sampai pada Wahyu -- maka
dengan jelas dikatakan bahwa ’etika Alkitabiah’ sudah ada jauh sebelum
19Norman L. Geisler, Christian Ethics (Grand Rapids: Baker Book, 1990), 17.
52 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
manusia diciptakan. Allah mempunyai nilai-nilai dan norma-norma sebelum
dan saat penciptaan (Kel. 4:12, Ul. 4:5, Im. 18: 4-5).
Jelas bahwa Allah telah menciptakan dan meletakkan peraturan dan
ketetapan-Nya untuk dianut oleh umat-Nya. Bahkan Allah berjanji dalam
melaksanakan ketetapan-Nya dan peraturan-Nya, Allah akan menyertai
umat-Nya. Umat-Nya tidak berjalan sendiri, melainkan Allah yang
menuntun dan mengarahkan kehidupan mereka. Di sini, jelas bila ”Etika
Allah” haruslah menjadi kompas hidup umat-Nya. Ayat berikutnya,
semakin memperjelas bahwa manusia (Pemazmur) sangat membutuhkan
ketetapan dan peraturan Allah. Pemazmur berteriak-teriak: ”Ajarkan kami
menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang
bijaksana (Mz. 90:12). Ajarlah aku melakukan kehendak-Mu, sebab
Engkaulah Allahku! Kiranya Roh-Mu yang baik itu menuntun aku di tanah
yang rata! (Mz. 143:10). Berbahagialah orang yang Kauajar, ya TUHAN,
dan yang Kau ajari dari Taurat-Mu, untuk memenangkan dia terhadap
hari-hari malapetaka, sampai digali lobang untuk orang fasik (Mz. 94:12-13).
”Etika Allah” tidak saja menjadi kompas kehidupan orang Kristen,
melainkan menjadi dasar untuk memecahkan segala perkara. ”Etika Allah”
adalah pembasmi segala bentuk malapetaka atau kejahatan yang menimpa
umat-Nya. Bagi Allah, tidak perlu seorang manusia jahat atau bukan, tetapi
bila manusia itu mentaati ajaran Allah dan menerapkan dalam kehidupannya,
maka orang jahat itu akan selamat. Kita lihat apa yang difirmankan Allah
lewat Yehezkiel. ”Orang jahat itu mengembalikan gadaian orang, menuruti
peraturan-peraturan yang memberi hidup, sehingga tidak berbuat curang
lagi, ia pasti hidup, ia tidak akan mati (Yeh. 33:15).
Dengan demikian Allah telah meletakan diri-Nya dan karya-Nya
menjadi dasar bagi etika-Nya dimana manusia yang menyembah-Nya
harus tunduk dan mengikuti etika yang Dia buat. Jadi menjadi orang
Kristen berarti hidup dalam nilai-nilai etika yang dibuat oleh Allah.
JURNAL TEOLOGI STULOS 53
PROSES BELAJAR-MENGAJAR KARAKTER KRISTEN
Pendidikan Kristen yang benar dan bertanggung jawab wajib
mementingkan adanya keseimbangan secara intergratif antara Iman
Kristen Alkitabiah, praktik hidup moral Kriten sehari-hari. Seperti
dijabarkan berikut.
Pendidik yang Berkarakter Kristus
Pendidik adalah posisi mengajar. Kata “mengajar” (verb) berarti
“memberi pelajaran (guru – murid), melatih, memarahi (memukuli,
menghukum, dsb.) supaya jera:20
ia – berenang. Mengajar adalah peristiwa
bertujuan, terarah pada tujuan dan dilaksanakan khusus untuk mencapai
tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai titik C, maka
dengan sendirinya proses mengajar belum dapat dianggap selesai apabila
yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau B.21
Dengan
demikian, taraf pencapaian tujuan pengajaran merupakan petujuk praktis
tentang sejauh manakah interaksi edukatif itu harus di bawa untuk
mencapai tujuan yang terakhir. Linda J. Vogel mengatakan bahwa
mengajar memberi kuliah atau berceramah.22
Berkaitan di atas ada tiga kriteria menjadi pendidik yang terbaik
sebagai berikut: pertama, pendidik secara aktif harus dapat menterjemahkan
sendiri jiwa tujuan umum dalam bentuk-bentuk yang khusus, yang
dikaitkan dengan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah agar dengan
pengetahuan membaca itu anak-anak dapat mendalami tata susila, ilmu
kebijaksanaan di dalam berbagai hasil kebudayaan (buku dan lain-lain).23
Kedua, setiap pendidik bertolak dari suatu filsafat. Artinya, seorang
pendidik mendapat kepercayaan dan kehormatan mengajar, kepadanya
20Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 17. 21Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar (Bandung: Tarsito,
1982), 34. 22Linda J. Vogel, “Mengajar dan Belajar di dalam Kelompok Masyarakat Iman”
Sekolah Tinggi Baptis Indonesia, Semarang tp.th, 55. 23Ibid., 37.
54 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
juga dipercayakan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bersifat
normative; keputusan-keputusan dipandang sebagai “penjelmaan filsafat
hidup” yang dianutnya. Filsafat guru berwujud dalam perumusan tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan memberi arah yang umum pada filsafat
yang mendasari segala kegiatan pendidikan.24
Apa yang disarankan di atas adalah baik, tetapi lebih sempurna lagi
bila pendidik bukan cuma bertugas dalam faktor kognitif saja, lebih jauh
lagi adalah juga merubah faktor afektif dan psikomotoris. Pendidik adalah
surat terbuka – menggunakan istilah Rasul Paulus – karena itu, ia adalah
kumpulan dari nilai-nilai etika Kristen. Pendidikan adalah mendemokan
nilai-nilai etika Yesus. Oscar Thompson, Jr. memberikan contoh bahwa
keberhasilan pemberitaan Injil bukan ditentukan seseorang belajar teknik
penginjilan di kelas, melainkan ditentukan oleh hubungan Pemberita Injil
itu sendiri dengan Allah. Bila hubungan dirinya dengan Allah berjalan
baik, maka kehidupannya juga menjadi baik dan orang dapat dimenangkan
karena kebaikan dirinya itu.25
Jadi, pendidik bukan berhasil karena metode
mengajarnya yang efektif saja dalam perubah anak didik tetapi juga
kesaksian hidupnya sangat mempengaruhinya. Kesaksian hidupnya dalam
mendemontrasikan nilai-nilai etika Kristen dalam kehidupannya sehari-hari.
Karena itu nilai-nilai etika Yesus memposisikan pendidik menjadi agen
perubahan menuju perubahan mempunyai karakter seperti Kristus.
Material yang Teosentris
Kurikulum (materi) adalah suatu rencana yang menjadi panduan
dalam menyelenggarakan proses pendidikan.26
Melanjutkan pemikiran di
atas, maka Saylor, Alexander dan Lewis merumuskan kurikulum sebagai
berikut: pertama, kurikulum sebagai rencana tentang mata pelajaran atau
24Ibid., 56,57. 25Baca Oscar Thompson Jr., Lingkaran Konsentrasi & Kesaksian yang Berpengaruh
(Bandung: LLB, 1990). 26Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru,
1992) 2.
JURNAL TEOLOGI STULOS 55
bahan-bahan pelajaran. Kedua, kurikulum sebagai rencana tentang
pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum sebagai rencana tentang tujuan
pendidikan yang hendak dicapai. Keempat, kurikulum sebagai rencana
tentang tempat belajar.27
Tak heran bila Eli Tanya merumuskan kurikulum
berarti “sepanjang hidup belajar, meringkas segala pengalaman dan
pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling murid.28
International
Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah
“pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”29
Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.30
Studi Lois E. LeBar mengenai kurikulum yang God-centered31
sangat
bermanfaat dalam merumuskan kurikulum berbasis misiologi. LeBar
meletakkan Firman Tuhan sebagai dasar pusat kurikulum karena tidak ada
buku yang dapat dibandingkan dengan Firman Tuhan. Sedangkan Robert
L. Woodruff mengatakan bahan pengajaran kurikulum berbasis misiologi
dapat difokusnya dalam integrasi antara matra spiritual, akademik
(pengetahuan), dan ministry mission. “Spiritual formation (to be like Jesus),
mastering a body of knowledge (to know of high academic) and developing
professional skill in ministerial practice (to do proclaim of the Gospel)”.32
Dengan materi (kurikulum) yang berfokus kepada Allah (Teosentris)
baik tindakan maupun karya-karya-Nya (termasuk ajaran-Nya), yang
ditajamkan dalam kehidupan Yesus Kristus maka nilai-nilai etika pendidikan
kristiani dapat dikembangkan dengan maksimal. Materi ini sangatlah
efektif untuk diajarkan kepada anak didik.
27Ibid., 2-3. 28Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 1999), 27. 29Randolph C. Miller, Education for Christian Living (New Jersey: Prentice Hall,
1956), 44. 30Abdul Rajak Husain, Penyelenggaraan Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka,
1995), 34. 31Lois E. LeBar, Education That is Christian (Wheaton: Victor Books, 1989), 256. 32Robert L. Woodruff, Education on Purpose: Model for Education in World Areas (n.p.:
QUT Publications, 2001), 14.
56 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
Perubahan pada Anak Didik
Anak didik dalam posisi belajar. Belajar sebagai proses perubahan
tingkah laku merupakan proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan
di dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ditandai dengan adanya
motif-motif yang ditetapkan atau diterima oleh murid.33
Kesulitan yang
ada pada umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak
cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar.
Dalam proses belajar anak didik memerlukan kesiapan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar adalah: pertama, kurang
dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran yang sedang dihadapi.
Kedua, tidak dapat menguasai kaidah yang berkaitan sehingga tidak dapat
memahami pelajaran. Ketiga, lambat membaca sehingga tidak dapat
membaca bahan yang seharusnya dibaca.34
Karena itu, perlunya motivasi
dalam diri anak didik untuk belajar. Motivasi belajar adalah jantung
kegiatan belajar dan suatu pendorong yang membuat seseorang belajar.35
Jadi, keras tidaknya usaha belajar dilakukan seseorang bergantung kepada
besar tidaknya motivasi belajar.
Evaluasi akhir terhadap anak didik adalah apabila usaha murid telah
menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula di mana proses
belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir sementara. Hasil utama
adalah “tambahan“ perubahan tingkah laku. Dengan demikian, akhirnya
terdapat satu kesatuan yang menyeluruh (kebulatan tingkah laku).36
Metodologi
Proses belajar-mengajar (pendidik, materi dan anak didik)
membutuhkan motode (model) pengajaran yang efektif dalam konteks
yang berbeda-beda. Motode atau model adalah cara teratur yg digunakan
33Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66. 34Hutabarat E.P., Cara Belajar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 20. 35Ibid. 25. 36Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66.
JURNAL TEOLOGI STULOS 57
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Jadi
proses belajar-mengajar membutuhkan metode atau model belajar-mengajar
yang tepat dan efektif. Ketika pendidik membantu anak didik menangkap
informasi, ide, skill, nilai-nilai, cara-cara berpikir dan mengekspresikan
sesuatu, berarti pendidik sedang mengajar bagaimana menggunakan
metode mengajar yang tepat dan anak didik membutuhkan metode belajar
yang efektif. Tetapi, dalam kenyataannya yang terpenting dalam pengajaran,
adalah kemampuan belajar yang meningkat dengan cara yang lebih mudah
dan efektif, di masa mendatang karena mereka telah mencapai pengetahuan
dan skill dan karena mereka telah menguasai proses belajar yang baik.
Bagaimanakah pengajaran itu berpengaruh pada kemampuan anak
didik dalam mendidik diri sendiri. Pendidik yang sukses tidak hanya
berkarismatik, tetapi ia mengarahkan anak didik pada kognitif maupun
sosial dan mengajar mereka: namun bagaimanakah menggunakan metode
yang tepat dan efektif? Misalnya dalam sistem perkuliahan. Dosen mengajar
dengan jelas, mahasiswa belajar dari dosennya melalui percakapan dosen
dan menyusunnya dengan kata-kata sendiri. Mahasiswa yang efektif
mampu menyusun informasi, gagasan dan hikmat dan dosen mereka dan
menggunakan sumber-sumber belajar secara efektif. Jadi, peran utama
dalam pengajaran yakni menciptakan mahsiswa yang memiliki power.
Contoh terjadi pada sekelompok guru sekolah menengah di Israel,
pimpinan Shlomo Sharan dan Hana Shachar (1988), respon cepat tampak
ketika mulai menggunakan model pengajaran investigasi secara
kelompok, “The Group Investigation Model” sebuah model belajar yang
komplek. Belajar mereka dicampur antara kelompok ekomoni Rendah
dengan Belajar kelompok ekonomi yang lebih tinggi (Low S.E.S dengan
high S.E.S). Masing-masing diberi pre-test dan tes akhir tentang
pengetahuan sungguh luar biasa. Terjadi respon pengajaran tercepat,
adalah: yang pertama dalam pre-test nilai yang dicapai kelompok ekonomi
58 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
rendah (Low S.E.S) lebih kecil dibanding nilai ekonomi tinggi (high
S.E.S). Tampaknya status ekonomi berhubungan dengan pengetahuan
anak didik yang berpengaruh pada situasi intruksional dan setelah itu
mereka diajar menggunakan model pengajaran Investigation model, yang
menghasilkan nilai-nilai rata-rata hampir 2 ½ kali, lebih baik daripada
mereka yang diajar dengan menggunakan metode kelas murni dan bahkan
bisa melebihi nilai yang dicapai anak didik kelompok ekonomi tinggi yang
menggunakan metode kelas murni. Dengan kata lain, anak didik yang
berekonomi rendah jika diajar dengan Group investigation model, nilainya
rata-rata lebih tinggi dibanding anak didik kelompok ekonomi tinggi yang
diajar dengan tidak menggunakan model tersebut. Akhirnya semua
kelompok ekonomi tinggi pun menggunakan model tersebut dan nilai
mereka mencapai 2 kali lipat dibanding temannya yang menggunakan
model kelas murni. Jadi model itu sangat efektif bagi kedua kelompok
anak didik tersebut yang latar belakang berbeda.
Contoh-contoh ini menyebabkan kita untuk berpikir mengenai
perbedaan pada anak didik. Metode-metode lain juga dapat membantu
anak didik meningkatkan kemampuan belajarnya, kadang-kadang yang
terbaru, dan kadang-kadang secara dramatis. Hal yang penting yakni
teaching dapat menyebabkan perbedaan besar bagi anak didik baik pada
kelas maupun level sekolahnya. Ini merupakan pusat dari pengajaran yang
efektif sebab pendidik yang efektif percaya bahwa mereka mampu
membuat perbedaan yang disebabkan oleh cara belajar. Mereka belajar
bagaimana anak didik dapat menciptakan lingkungan belajar untuk
mencapai suatu pertumbuhan. Singkat kata bahwa anak didik dapat
meningkatkan kemampuan belajar secara cepat. Itulah inti dari tugas
penggunakan model pengajaran yang digunakan oleh pendidik.
NILAI-NILAI ETIKA YESUS DALAM KURIKULUM 2013
Pemerintah merencanakan “Kurikulum 2013” diberlakukan pada
Tahun ini. Kurikulum yang menekankan pada karakter sebenarnya sudah
JURNAL TEOLOGI STULOS 59
dikumandangkan tahun 2011 oleh Presiden SBY dalam peringatan
Hardiknas-Harkitnas. Presiden menegaskan bahwa “ke depan kita
menginginkan muncul dan berkembangnya manusia-manusia Indonesia
yang unggul. Indonesia memerlukan manusia unggul di abad ke-21 dan
ingin menjadi negara maju”. Dalam hal ini, ada dua hal tentang
keunggulan manusia adalah: pertama, keunggulan dalam pemikiran; dan
kedua, keunggulan dalam karakter. Kedua jenis keunggulan manusia itu
dapat dibangun, dibentuk, dan dikembangkan melalui pendidikan
karakter.37
Dengan adanya Kurikulum 2013 berarti Pemerintah akan
memberlakukan yang ke-11 kalinya kurikulum di negeri ini. Misalnya
37Sementara Kurikulum yang berhasil adalah kurikulum yang diterapkan dalam
waktu yang sesuai dengan lamanya sebuah proses pendidikan. Kalau proses pendidikan kualitas bangsa itu dihitung dari SD hingga Strata Satu adalah 20 tahun. Itulah lamanya melahirkan manusia-manusia unggulan di negeri ini. Jadi kurikulum yang diterapkan di negeri ini mestinya berlangsung hingga 20 tahun tanpa ada perubahan-perubahan yang signifikan. Tetapi di negeri ini, sejarah kurikulum yang selalu berubah dan berakibat terpuruknya kualitas anak bangsa.
60 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
dari tahun 1947 adalah kurikulum pertama yang lahir pada masa
kemerdekaan bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional dengan asas pendidikan Pancasila, lalu tahun 1960
diganti dengan “Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah Dasar”. Di
penghujung era Presiden Soekarno, muncul Kurikulum 1964, yang
berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral
(Pancawardhana). Tahun 1968 muncul kurikulum baru menekankan pada
upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat
jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi
pekerti, dan keyakinan beragama. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis:
mengganti Kurikulum 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
Pada tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” tetapi tahun 1975
diganti dengan “Kurikulum 1975” yang menekankan pada pelajaran
matematika, Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Kewarnegaraan.
Selanjutnya, tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan
“Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA). Kurikulum 1984 mengusung process
skill approach. Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum
1994” dan “Suplemen Kurikulum 1999”. Kurikulum 1994 bergulir lebih
pada upaya memadukan antara Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dalam
pendekatan proses. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran
Suplemen Kurikulum 1999.
Tahun 2004 dikenal ‘Kurikulum Berbasis Kompetensi’ (KBK).
Setiap pelajaran diuraikan berdasar kompetensi apakah yang mesti
dicapai siswa. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul
apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. Tahun
2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP). Pelajaran
KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target
kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak
perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol
adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran
sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada.
JURNAL TEOLOGI STULOS 61
Tahun 2013 merupakan uji coba ‘Kurikulum Karakter” yang akan
diterapkan di sekolah-sekolah. Sebenarnya pemahaman dan pelaksanaan
tentang pendidikan berbasis karakter sudah dicanangkan dalam KTSP.
Alumni yang “Ragu-ragukah”?
Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 31 ayat 3).
Pada dasarnya tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan upgrade
manusia menjadi manusia yang seutuhnya baik dalam perspektif
metafisika, kognitif maupun psikomotoris. Design pendidikan nasional
adalah pendidikan manusia yang merubah manusia menjadi yang mampu
berkarya dan menyelesaikan segala tantangan yang di hadapannya.
Tetapi di lapangan ditemukan bahwa kurikulum tidak diselesaikan
dalam waktu proses pendidikan yang benar dan selalu dirubah-rubah
maka tujuan pendidikan nasional tidak pernah terwujud. Sejak Indonesia
merdeka, 67 tahun, kurikulum nasional tidak mempunyai alumni yang
sesuai standar tujuan nasional. Kurikulum yang selalu berubah-rubah
cenderung melahirkan para ahli yang tidak siap menjawab kebutuhan
lapangan. Gambaran bahwa banyak lulusan SMU sederajat hingga
sarjana sederajat dalam posisi menganggur dan kalau mereka bekerja
cenderung bekerja dengan latar belakang akademiknya yang berbeda.
Sungguh kualitas SDM yang memprihatinkan. Gambaran para alumni
yang ragu-ragu inilah dapat dilihat dan dirasakan di seluruh kehidupan
pelosok Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang, Korea, Pilipina,
Malaysia, bahkan India, kualitas SDM Indonesia masih tertinggal.
Sementara tuntutan globalisasi cukup tinggi di mana kita tidak hanya
membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan
formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang
mempunyai latar belakang pendidikan non formal.
62 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
Pendidikan Masa Depan
Meskipun ruang lingkup mengenai materinya berbeda antara
pendidikan karakter dan pendidikan kemanusiaan, tetapi mempunyai
keterkaitan yang signifikan. Berkaitan hal tersebut, maka pendapat
profesor Edgar Morin, yang tahun 2005 diminta oleh UNESCO untuk
melempar isu-isu pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan masa depan
harus menjadi pendidikan universal, yang pertama-tama mengajarkan
tentang kondisi manusiawi. Semua orang harus menerima dirinya dengan
kemanusiaannya yang wajar dan menyadari keragaman budaya yang
melekat dalam segala sesuatu yang manusiawi. Cara mewujudkannya,
menurut Morin, adalah dilakukan dari waktu ke waktu secara menyeluruh:
Pertama, pendidikan berperan sebagai transformasi sejati di mana akan
tercapai jika semua itu saling mentransformasi hingga menghasilkan
sebuah transformasi global. Kedua, tuntutan kesatuan seluas dunia.
Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang
menghubungkan kita dengan bumi kita, kampung halaman kita yang
pertama dan terutama. Ketiga, misi spiritual pendidikan yang sejati
adalah mengajarkan untuk memahami satu sama lain sebagai suatu syarat
yang sangat dibutuhkan dalam melindungi moral kemanusiaan dan
solidaritas intelektual.38
KESIMPULAN
Dalam konteks Indonesia apalagi akan diberlakukanya Kurikulum
2013, maka nilai-nilai etika Yesus merupakan jawaban yang ideal. Etika
pendidikan yang efektif dalam rangka merubah karakter anak didik menjadi
seperti Yesus sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan baik formal,
nonformal maupun informal. Perubahan-perubahan yang berpusat kepada
38Baca Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan (Yogyakarta:
Kanisius, 2005); B.S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul: Suatu Pendekatan Teologis terhadap Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Andi, 2011). Inti dari kedua buku tersebut adalah pendidikan karakter merupakan unsur yang utama dalam membangun pribadi yang unggul.
JURNAL TEOLOGI STULOS 63
Allah (seperti Yesus) merupakan perubahan nilai-nilai etika pendidikan
dari umum menuju nilai-nilai yang alkitabiah.
Perubahan-perubahan itu membutuhkan pendidikan, materi (kurikulum)
dan anak didik. 1) Bagi pendidik yang hanya terampil dalam metode
mengajar tidaklah cukup untuk melakukan perubahan yang dimaksud di
atas, melainkan kehidupan sehari-hari adalah mencerminkan nilai-nilai
etika kristiani yang hidup dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, maka
kehidupan sehari-hari pendidik adalah teladan perubahan yang membawa
nilai-nilai kristiani kepada anak didik. 2) Bagi materi (kurikulum) yang
berpusat kepada karakter dan karya Allah (Yesus Kristus) menjadi dasar
materi yang dibutuhkan dalam nilai-nilai perubahan etika. 3) Bagi anak
didik adalah belajar dalam koridor nilai-nilai etika kristiani dimana secara
kognitif menjadi semakin berpengetahuan akan Allah, secara afektif dapat
menerima Yesus Kristus sebagai juruselamatnya dan hidup meneladani
hidup Yesus, dan secara psikomotoris mempunyai keterampilan yang
spesial dalam lapangan pekerjaan dan pelayanan di tengah masyarakat.
64 STUDI ETIKA PENDIDIKAN
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar
Baru, 1992.
Bertens, K. Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15. Jakarta: Gramedia, 1993.
Husain, Abdul Rajak. Penyelenggaraan Pendidikan Nasional. Solo: CV
Aneka, 1995.
LeBar, Lois E. Education That is Christian. Wheaton: Victor Books, 1989.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Miler, Randolph C. Education for Christian Living. New Jersey: Prentice
Hall).
Morin, Edgar. Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori
Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih, 1987.
Selo Soemardjan (ed.). Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Sidjabat, B.S. Membangun Pribadi Unggul: Suatu Pendekatan Teologis
terhadap Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Andi, 2011.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar. Bandung:
Tarsito, 1982.
Tanya, Eli. Gereja dan Pendidikan Agama Kristen. Cipanas: STT Cipanas,
1999.
Thompson, Oscar Jr. Lingkaran Konsentrasi & Kesaksian yang
Berpengaruh. Bandung: LLB, 1990.
Woodruff, Robert L. Education on Purpose: Model for Education in World
Areas. tp. k.: QUT Publications, 2001.