stevens johnson syndrome

25
IMMUNE SYSTEM AND DISORDERS Stevens Johnson Syndrome KELOMPOK A9 1. I Gede Mahardika (1202005179) 2. I Dewa Ayu Novi Adi Purnamayanti (1202005197) 3. Krisnhaliani Wetarini (1202005019) 4. N.W. Cahya Rustina (1202005034) 5. Indriana Triastuti (1202005062) 6. Wiwik Wika Widiarti (1202005088) 7. I Komang Aditya Arya Prayoga (1202005104) 8. Putu Cyntia Ratnadi (1202005105) 9. Ni Putu Akopita Devi (1202005129) 10. Putu Bagus Redika Janasuta (1202005146)

Upload: bagus-redika-janasuta

Post on 24-Oct-2015

863 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Student Project Semester III, Block Immune System & Disorder

TRANSCRIPT

Page 1: Stevens Johnson Syndrome

IMMUNE SYSTEM AND DISORDERS

Stevens Johnson Syndrome

KELOMPOK A9

1. I Gede Mahardika (1202005179)

2. I Dewa Ayu Novi Adi Purnamayanti (1202005197)

3. Krisnhaliani Wetarini (1202005019)

4. N.W. Cahya Rustina (1202005034)

5. Indriana Triastuti (1202005062)

6. Wiwik Wika Widiarti (1202005088)

7. I Komang Aditya Arya Prayoga (1202005104)

8. Putu Cyntia Ratnadi (1202005105)

9. Ni Putu Akopita Devi (1202005129)

10. Putu Bagus Redika Janasuta (1202005146)

11. Rode Heretringgi (1202005205)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2013

Page 2: Stevens Johnson Syndrome

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-

Nya Student Project dengan judul “Stevens Johnson Syndrome”dapat terselesaikan tepat

pada waktunya.

Student Project ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas pada Block Immune

System and Disorders. Dalam penyusunan Student Project ini, berbagai bantuan,

petunjuk, serta saran dan masukan penulis dapatkan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ketua dan dosen-dosen pengajar pada Block Immune System and Disorders,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan moral yang diberikan.

2. dr. Komang Suryawati, Sp.KK. selaku penilai dalam penyusunan Student

Project ini.

3. Orang tua, rekan-rekan mahasiswa yang penulis banggakan, dan pihak-pihak

yang turut mendukung baik secara moral maupun material, yang tidak dapat

kami sebutkan satu persatu.

Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik

dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam rangka

penyempurnaan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan dunia pendidikan dan pengetahuan secara luas.

Denpasar, November 2013

Penulis

ii

Page 3: Stevens Johnson Syndrome

DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

PENDAHULUAN 1

ISI 2

Definisi 2

Patofisiologi 2

Etiologi 3

Manifestasi Klinis 5

Diagnosis 5

Diagnosis Banding 8

Penatalaksanaan 10

Prognosis 11

KESIMPULAN 12

DAFTAR PUSTAKA

iii

Page 4: Stevens Johnson Syndrome

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang

mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari

ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat

menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu

kegawatdaruratan penyakit kulit.1

Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, dr.

Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak

dapat menentukan penyebabnya.2

Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma

Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe

Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun

demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1

Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan

diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap

sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang

ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan

golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan

di negara timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan

karbamazepin.3 Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering

terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan,

dan Hongkong.4

Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens

Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering

menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),

karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti

amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5

1

Page 5: Stevens Johnson Syndrome

Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome

seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada

pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja

kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini

terjadi pada pasien. Hal tersebutlah yang akan kami bahas pada Student Project ini.

2

Page 6: Stevens Johnson Syndrome

BAB II

ISI

2.1. Definisi

Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias

kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat.

Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity,

atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.

Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum

purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.

Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara simetris pada

wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan

kulit dalam SJS, antara lain:

a. Eritema

b. Edema

c. Sloughing

d. Blister atau vesikel

e. Ulserasi

f. Nekrosis.4

2.2. Patofisiologi

Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks

soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi

hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi

hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang

spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang

membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya

terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan

kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat

3

Page 7: Stevens Johnson Syndrome

limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian

limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,

C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa

hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik

sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa

faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang

timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang

rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun

beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan

jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan

jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya.

Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat

pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya

menyebabkan kerusakan epidermis.7

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi

seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal

diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan

termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.8

2.3. Etiologi

Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang

paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari

tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang

beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut

Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1

Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena

infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan

adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut

kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan

4

Page 8: Stevens Johnson Syndrome

sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.10

Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang

dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:

1. Obat-obatan

Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik

(penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara

lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,

Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat, Pirazolon, Metamizol,

Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital),

Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1

2. Infeksi

a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV,

Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum,

rickettsia dan variola.

b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,

mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.

c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.

d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9

3. Imunisasi

Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9

4. Penyebab lain :

a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna

b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain

c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler

d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,

Myeloma, dan Polisitemia

e. Kehamilan dan Menstruasi

f. Neoplasma

g. Radioterapi.1

5

Page 9: Stevens Johnson Syndrome

2.4. Manifestasi Klinis

Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut. Gejala

awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak, pilek,

nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah

dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.4 Gejala awal tersebut dapat

berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan

kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.1

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:

a. Kelainan pada kulit

Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara

lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.1

Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau

targetoid lesions.

Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom

Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna

dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga

ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.11 Lesi yang

muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut

menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.4

Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky

positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti

pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari

10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut

Stevens Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika

lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).11,12

b. Kelainan pada mukosa

Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,

namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital.13 Adanya

kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan,

pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4

6

Page 10: Stevens Johnson Syndrome

Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa

bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat

pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak

kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada

mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga

menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada

saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.12

c. Kelainan pada mata

Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak

mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek

epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan

sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula

terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

2.5. Diagnosis

Dokter sering dapat mengidentifikasi sindrom Stevens-Johnson berdasarkan riwayat

kesehatan, pemeriksaan fisik dan tanda-tanda khas gangguan dan gejala. Untuk

mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel jaringan kulit pasien (biopsi)

untuk diperiksa di bawah mikroskop.14

Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di

epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada pasien

dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit yang juga

dapat ditemukan antara lain:

a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar lecet

subepidermal

b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular

c. Apoptosis keratinosit

d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi di

epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar disusupi

oleh CD8+ T limfosit.4

7

Page 11: Stevens Johnson Syndrome

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:

a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-sel

plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar dinding

pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper

b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif dalam

substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

2.6. Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:

1. Eritema multiformis (EM)

Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.

Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan

SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan

pada SJS ialag >30%.

2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat

Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan

umum penderita biasanya lebih buruk/berat.

3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa

Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal

SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi

nyeri kulit pada TEN menonjol.

4. Erupsi Pustural Obat

Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis

(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP

merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules yang sering

dimulai di leher dan daerah intertriginosa.

5. Erupsi Fototoksik

Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar

matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum

yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat

pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi

8

Page 12: Stevens Johnson Syndrome

fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas.

6. Toxic shock syndrome

Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus aureus,

meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai elaborasi dari

Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan

keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.

7. Staphylococcal scalded skin syndrome

SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari

selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang

mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15

2.7. Penatalaksanaan

Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas

hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri.

Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah hal

yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk menentukan mana obat

yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4

Perawatan suportif

Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif

mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:

a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan

kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan bagian

penting dari pengobatan.

b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka

sembuh. Tim medis akan mengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan

krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan.

c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup

konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4

Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:

a. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan

b. Antihistamin untuk meredakan gatal

c. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan

9

Page 13: Stevens Johnson Syndrome

d. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4

Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam

pengobatan SJS:

a. Kortikosteroid intravena

Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan

mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika

gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko

komplikasi.

b. Imunoglobulin intravena (IVIG)

Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh Anda

menghentikan proses SJS.

c. Pencangkokan kulit

Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan

kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti

kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini

jarang diperlukan.

Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda mungkin

mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah, pemulihan penuh

mungkin memakan waktu beberapa bulan.4

2.8. Prognosis

Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika permukaan

tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat kematianya

adalah sekitar 1-5%. Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30% maka tingkat

presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa mencapai 50%.

Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari variabel yang

berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar

glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40

tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan yang ditimbulkan, denyut jantung >120,

kadar glukosa >14 mmol / L, kadar BUN >10 mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya <

20 mmol / L.

10

Page 14: Stevens Johnson Syndrome

Di setiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa melihat tingkat

mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1 presentasenya adalah 3.2%, skor 2

presentasenya adalah 12.1% , skor 3 presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya

adalah 58.3%, skor 5 atau lebih presentasenya adalah 90%.4

11

Page 15: Stevens Johnson Syndrome

BAB III

SIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang

mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari

ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan

terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan kelainan yang

terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.

Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian,

oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit.

Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity,

atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat

diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat paparan fisik lain kepada

pasien.

Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS sangat

membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa diberikan

antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap

luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara lain, obat

penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas, antibiotik

apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit.

Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat

pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka

prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia

penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan

tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

12

Page 16: Stevens Johnson Syndrome

DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.

Diakses pada: 5 November 2013.

2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of

Pharmacology. JIPMER. 2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu. Diakses

tanggal: 9 November 2013.

3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug

reactions: the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ.

2010;182(5):476-80.

4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2013. Didapat dari:

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013.

5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2007:163-5.

6. NN. Sindrom Steven - Johnson. Didapat dari:

http://childrenallergyclinic.wordpress.com. Diakses pada: 9 November 2013.

7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat

dari: http://allergycliniconline.com. Diakses pada: 9 November 2013.

8. Majiid Sumardi. Steven Johnsons Syndrome. Didapat dari:

http://majiidsumardi.blogspot.com. Diakses pada: 9 November 2013.

9. Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://www.patient.co.uk.

Diakses pada: 2 November 2013.

10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff

A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common

cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and

Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32.

11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and

toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-

15.

12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic

epidermal necrolysis. Medscape. 2013. Didapat dari:

Page 17: Stevens Johnson Syndrome

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013.

13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome.

Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.

14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic. Didapat dari:

http://mayoclinic.com. Diakses pada: 10 November 2013.

15. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal

necrolysis: Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. Didapat dari

http://nihlibrary.ors.nih.gov/. Diakses pada 10 November 2013.