status ujian anestesi belum fix
TRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr.E
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Madelan Sumberagung Jetis Bantul
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal periksa : 7 januari 2013
Diagnosis : Nevus Pipi
B. ANAMNESIS
(Dilakukan secara autoanamnesis, pada tanggal 7 januari di bangsal Bedah
dengan melihat rekam medis pasien atas izin dokter yang merawat)
1. Keluhan utama
Timbul benjolan berwarna hitam di pipi kanan dekat leher ± 2 bulan yang
lalu
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang denga keluhan tumbuh benjoaln berwarna hitam ± bulan
yang lalu, pada awalnya benjolan hanya sebesar biji kajangijo namun
makin lama makin membesar, dan warnanya pun berubah yang tadinya
coklat muda berubah menjadi kehitaman, pasien tidak merasakan sakit pada
benjolan tersebut, tidak berbau.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riyawat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
4. Anamnesis Sistem
S.Cerebrospinal : demam (-), kejang (-), sakit kepala (-)
S.Respiratori : sesak (-), batuk (-)
S.Kardiovaskular : pucat (-), mudah lelah (-),biru-biru (-)
S.Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), makan/minum (N), BAB (+)N
S.Urogenital : BAK (+) N, perdarahan (-)
S.Muskuloskeletal : nyeri (-)
5. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum :Baik
Kesadaran :Compos mentis
Primary Survey :
A : Clear, TMD >6.5 cm , M II
B : Spontan, RR : 20x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)
C : TD = 130/80 mmHg, N = 60x/menit, S1-S2 reguler, bising (-)
D : compos mentis, E4V5M6, odem –
Kesimpulan Status fisik ASA1
Berat Badan 45 kg
Status Lokalis
• Kepala : CA -/-, SI -/-• Leher : lnn ttb, JVP tidak meningkat• Thorax
– I : simeteri, KG (-), retraksi (-)– P : fremitus ka=ki– P : sonor +/+– A : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
• Abdomen– I : supel, flat, DP//DD– A : BU (+) N– P : timpani (+) N– P : nyeri tekan (-)
• Ekstremitas : dbn
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorak Foto : Cor dan Pulmo dalam batas normal
2. EKG : Sinus Normal Rytme
3. EEG : Tidak dilakukan
4. Laboratorium : dalam batas normal
Hb : 12,5 gr% Al : 7 ribu/ul
AE : 5,2 juta/ul AT : 271 ribu/ul
HMT : 46,7% E/B/B/S/L/M : 2/1/0/52/36/6 (%)
PPT : 14,4 detik APTT : 32,4 detik
C. PTT : 14,2 detik C. APTT : 32,2 detik
GDS : 99 gr/dl Ureum : 24 mg/dl
Kreatinin : 1.06 mg/dl Natrium : 140,3 mmol/l
Kalium : 4,15 mmol/l Clorida : 104,2 mmol/l
HbSAg : negatif Gol.Darah : B
E. DIAGNOSIS KERJA
Nevus Pipi Kanan dengan status Fisik ASA I
Rencana General Anesetesi
F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak m enggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Premedikasi : Midazolam 3 mg, Fentanyl 50μg
3. Diagnosis Pra Bedah : Nevus Pipi
4. Diagnosis pasca Bedah : Post Eksisi Nevus Pipi Kanan
5. Jenis Anestesi : General Anestesi
6. Teknik : Semi Closed, napas spontan assist, LMA
no.3
7. Induksi : Propofol 90 mg
8. Pemeliharaan : 02, N2O, Halotene
9. Obat-obat : Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg
10. Jenis Cairan : Ringer laktat
11. Kebutuhan cairan selama Operasi
MO Dewasa (18 tahun) =BB x 2ml = 45 kgx2 ml = 90 ml
PP lama puasa ,8Jam =lama puasa x MO= 8 x 90 ml= 720 ml
SO ringan 4 ml/kgBB = 45 kg x 4 ml = 180 ml
Keb. Cairan jam I = 0,5 PP +MO +SO= 360 +90+180= 630 ml
Keb. Cairan jam II/III =0,25 PP +MO +SO= 180+90+180= 450 ml
EBV Dewasa laki-laki 70 ml/kgBB= 45 kgx70ml=3150 ml
ABL =20%EBV= 630 ml
12. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Head up dengan 2 bantal
Infus : Ringer laktat 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Ketirolac 30 mg/8 jam IV mulai jam 17..00
Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam IV K/P mulai jam 17.00
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-),
beri makan minum perlahan.
- Bed rest 24 jam post op.
13. Lama Operasi : 30 menit
14. Maintanence Anestesi
B1 (Breathing) : Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol,
B2 (Bleeding) :Perdarahan + 75 cc
B3 (Brain) : Pupil Isokor
B4 (Bladder) :Tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : BU (-)
B6 (Bone) : Intak
15. Monitoring pasca Operasi
Skor Lockharte/Aldrete Pasien
Jam I (per 15’) Jam II Jam III Jam IV
Aktivitas 1 2
Respirasi 2 2
Sirkulasi 2 2
Kesadaran 1 2
Warna kulit 2 2
Skor total 9 10
BAB II
DASAR TEORI
A. NEVUS
Definisi
Nevus adalah istilah umum yang menggambarkan adanya bercak berpigmen pada kulit. Nevus terdiri dari bermacam-macam jenis, antara lain yang disebut nevus melanositik dan giant hairy nevus. Nevus jenis ini merupakan kelainan yang jinak. Nevus melanositik oleh orang awam dikenal sebagai istilah “tahi lalat” (nevus pigmentosus). Giant hairy nevus menjadi penting karena sekitar 10-15% dapat berkembang menjadi ganas.
Penyebab
Nevus adalah tumor yang paling sering dijumpai pada manusia, merupakan tumor yang berasal dari sel-sel melanosit. Nevus umumnya muncul saat lahir atau segera setelah lahir, terbanyak pada dewasa muda, dan menurun pada orang tua.
Gejala
Pada dasarnya nevus tidak memberikan gejala apa-apa jika memang nevus itu jinak. Namun
kita perlu mengenal tanda-tandanya jika nevus itu ganas antara lain :
Ulserasi (luka) dan perdarahan spontan
Membesar dan warna lebih gelap
Pigmen menyebar dari ke kulit sekitarnya
Disekitarnya ada lesi-lesi yang lebih kecil mengelilinginya
Inflamasi tanpa didahului trauma
Nyeri dan gatal
Pemeriksaan Tambahan
Tidak diperlukan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosis nevus.
Penatalaksanaan
Nevus umumnya tidak memerlukan terapi kecuali bila pasien menginginkan nevus diangkat atau dokter mencurigai perubahan kearah keganasan. Terapi yang dipilih adalah eksisi sederhana Nevus yang dicurigai ganas harus dibiopsi dan sekalian diangkat/ dioperasi.
B. Tata Laksana Anestesi dan Terapi Intensif pada Tindakan Operasi Eksisi
Nevus Pipi
1. Batasan
Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi eksisi nevus pipi.
2. Masalah anestesi dan terapi intensif
Perdarahan luka operasi
3. Penatalaksanaan Anestesi dan terapi intensif
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
lain sesuai dengan indikasi
4. Persiapan Pra Operatif
Persiapan rutin
5. Premedikasi
Diberikan secara intravena 30 – 45 menit pra induksi dengan obat-obat
sebagai berikut:
Midazolam : 0,05 – 0,10 mg/kgBB
Fentanyl : 1-3 µg/kgBB
6. Pilihan Anestesi
Laringeal Mask Airway anestesia dengan profofol 2-2,5 mg/kgBB
7. Terapi Cairan dan Tranfusi
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang terjadi <
20 % dari perkiraan volume darah dan apabila > 20% maka berikan
tranfusi darah.
8. Pemulihan Anestesi
o Segera setelah operasi, hentikan aliran obat anesthesia, berikan oksigen
100%
o Bersihkan jalan nafas
o Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta
jalan nafas sudah bersih
9. Pasca bedah/anestesi
o Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi
o Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas akibat
nyeri dan kompresi luka operasi
o Pasien dikirim kembali keruangan setelah memenuhi kriteria
penegeluaran
C. LMA
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya
pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung
jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan
nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan secara luas untuk
mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi
secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah
sekeliling pintu masuk laring.
Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk
ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (<
15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus,
infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
Gambar 1. Berbagai macam ukuran LMA
Dibawah ini tabel dengan berbagai ukuran LMA dengan volume cuff yang
berbeda yang tersedia untuk pasien-pasien ukuran berbeda
Tabel Berbagai ukuran LMA
Macam-macam LMA
1. Clasic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management yang
dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk
ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan
tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di
fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah.
Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan
inflasi yang minimal dari lambung.
2. LMA Fastrach ( Intubating LMA )
LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung
(diameter internal 13 mm) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm,
handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara
LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang
pengangkat epiglottic.
Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang
khusus untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway
tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA.
Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang berfungsi membantu
insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi
alat ini. Di ujung mask terdapat
”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid yang menempel
pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang
netral.
Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang
dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm
internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus
bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi
pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah intubasi
direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak
biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen
kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera
tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi
cardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan intubasi
konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk insersi
ILMA dari belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan posisi pasien
supine, lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan
nafas yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak.
ILMA merupakan alat yang mahal dengan harga kira-kira 500 dollar America
dan dapat digunakan sampai 40 kali.
3. LMA Proseal
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan keuntungan
lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi tekanan
positif. Pertama, tekanan seal jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA Proseal
terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran gastrointestinal,
dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus
atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi lambung.
PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai “mangkuk” yang lebih
lunak dan lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan cLMA. Terdapat drainage
tube yang melintas dari ujung mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan
paralel dengan airway tube. Ketika posisinya tepat, drain tube terletak
dipuncak esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada
diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara fungsi
terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit
dapat melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang dimasukkan
kedalam esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling berhasil dengan
misplacement yang kecil.
Terdapat suatu teori yang baik dan bukti performa untuk mendukung
gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA, berkurangnya kebocoran
gas, berkurangnya inflasi lambung, dan meningkatnya proteksi dari
regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini sepenuhnya tergantung pada
ketepatan posisi alat tersebut.
Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau peningkatan tahanan
jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin karena dibutuhkan tekanan
inflasi yang tinggi dan mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru, Proseal
LMA telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang
lebih besar dan tube drain yang memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini
sering lebih sulit untuk insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan
bantuan introduser kaku.
4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube
terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat
yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa
menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher,
maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap
laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan
untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy.
Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan
resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA
dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube. Mask dapat ber
rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.
D. TEHNIK ANESTESI LMA
Indikasi :
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika
pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang
tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
Kontraindikasi :
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan
pada emergency adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena
seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan
lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O
untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
d. pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme.
Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek
samping yang utama adalah aspirasi.
Tehnik Induksi dan Insersi
Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih
besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk
keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam
sering membuat posisi mask yang tidak sempurna.
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust.
Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot.
Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot.
Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan
pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena reflex
proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan
trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika
manuver jaw thrust tidak dilakukan.
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk
atau terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding
pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi.
Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan
menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis
jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau
dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk
memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset
cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi
dibawah anestesi topikal.
Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy ( Sniffing
Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten
selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan
permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum
dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih
menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini
akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa
pharing.
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu
tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain
memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan
dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang
leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan
mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya
makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang
palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari
jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai
cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya sudah berada
pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang
lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” ter-identifikasi.
Gambar Insersi LMA
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan.
Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA
1. ”End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari
pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk
dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum.Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan.
Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan
nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang
berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal,
termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan
laryngeal recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat
perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan
pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan
berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan
tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan
cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada
pilot ballon.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging
dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat
bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini
akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan
lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa
adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat
terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi
ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran yang
besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka
cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya
migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat
sirkuit tadi tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran.
Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan
capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada posisi
yang tepat dan tidak menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat menurun
pada epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA untuk menutupi laring
dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan beberapa kondisi
dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor predisposisi,
resiko regurgitasi faring rendah.
Maintenance ( Pemeliharaan )
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang
lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan
nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik
lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah
sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan
compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum
sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas
yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran
dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung
reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang
tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-
kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana
untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah
dilakukan, sambungkan kembali kea sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan
nafas
Tehnik Extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun
dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan
nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara
umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan
komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka
mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada
saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat
cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa kajian
menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat
sadar, dan beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA ditarik dalam kondisi
masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia.
Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya
laryngospasme
Komplikasi Pemakaian LMA
cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena
regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA
pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien
yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks
gastro-esofageal dan pada pasien obese.
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %.
Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas
yang lebih kecil dibandingkan dengan ET . Namun clasic LMA
mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah
(rata-rata 18 – 20 cmH2O), sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada
paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas
akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung.
Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus
regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya
stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan.
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama
ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan
50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan
mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain tube pada
ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute
untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis nevus pipi pada pasien ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik melalui
inspeksi adanya nevus pipi kanan berwarna hitam sebesar 6x5 cm dengan tepi yang iireguler
permukaan tidak rata, konsistensi kenyal, pada palpasi tidak ditemukan perdarahan dan nyeri
tekan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I (pasien keadaan sehat
normal(tidak ada kelainan organ /gangguan fisiologi, biokimia dan psikiatri). Teknik general
anestesi inhalasi pada pasien ini dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif
lama, yaitu sekitar 1 jam.
Persiapan sebelum operasi psien dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
Pada pasien (BB 45 kg) ini diberikan premedikasi berupa midazolam 2,5 mg (0,05-0,1
mg/kgBB) intravena dan fentanil 50 mcg. Induksi anestesia dilakukan dengan pemberian
propofol 90 mg (2 – 2,5 mg/kgBB) (intravena), setelah refleks bulu mata menghilang segera
dilakukan pemasangan LMA no.3. Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan
N2O 50%, O2 50%, dan Sevoflurane 2 vol % dengan cara inhalasi dengan mesin anestesia.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat bekerja dengan
aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih
efisien secara terus menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena
RL. Pada saat dilakukannya operasi diberika injeksi ketorolac 30mg intravena sebagai analgesik
untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan anestesi selesai, serta diberikan injeksi ondansetron
4 mg sebagai pencegahan terjadinya PONV. Setelah operasi selesai, dilakukan tindakan suction
dan reoksigenasi menggunakan face mask dengan Oksigen 2-3 liter/menit.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor Aldrete. Bila
pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada
kasus ini Aldrete Score-nya sebesar 10 dengan rincian yaitu aktivitas 2 ( dapat menggerakan 4
extrimitas setelah diperintah), respirasi 2 (dapat bernafas dalam dan batuk), sirkulasi 2
(perubahan tekanan darah < 20 mmHg dari tekanan darah preoperasi), kesadaran 1 (dapat
dibangunkan dan membuka mata ketika diperintah), saturasi oksigen 2 (saturasi oksigen 99-
100% diudara kamar). Setelah dinilai Aldrete skornya dan nilainya > 8, pasien dipindahkan ke
bangsal.
PRESENTASI KASUS
Anestesi Umum menggunakan LMA Untuk Tindakan Eksisi pada kasus Nevus Pipi
Dengan Status ASA I
Diajukan Kepada :
dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An
Disusun Oleh :
Elga Ria Vinensa
2007.031.0098
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
PROGRAM PENDDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012