soal ujian 15

Upload: rhinochub

Post on 07-Jul-2015

387 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENGACU PADA UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh: Soemali, S.H., M.Hum2 1. Latar Belakang Kewajiban semua pihak untuk mengambil peran dalam menyadarkan pelaku usaha dan konsumen akan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya masing-masing. Ini harus dilakukan dalam rangka menjamin rasa keadilan dan perlindungan konsumen dan pelaku usaha. Kenyataan dalam praktek perdagangan, hak dan kewajiban tersebut timbul ketidakserasian, atau ketidakseimbangan, dan ketidakadilan, karena pelaksanaan di masyarakat, terdapat pelaku usaha dalam mempromosikan dan memasarkan produknya sangat eksploitatif dan sering merugikan konsumen. Konsumen yang dirugikan dalam transaksi perdagangan oleh pelaku usaha, dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian, apabila keadaan barang atau jasa yang dibelinya tidak sebagaimana mestinya. Konsumen dapat menuntut langsung kepada pelaku usaha, agar memenuhi kewajibannya untuk dapat memberi ganti rugi atas barang atau jasa yang diperdagangkannya. Hal ini apabila antara konsumen dengan pelaku usaha terdapat hubungan langsung dalam transaksi perdagangan. Kenyataan dalam praktek, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha tidak langsung, dan hanya berkaitan dengan barang dan/atau jasa, tanggung jawab pelaku usaha adalah tanggung jawab produk, sedangkan apabila terdapat hubungan langsung antara konsumen dengan pelaku usaha, maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Pelaku usaha sering kali lebih banyak mengelak dari rasa pertanggung jawabannya. Pelaku usaha selalu dengan alasan bahwa kesalahan ada pada si konsumen yang kurang teliti atau salah dalam menyebutkan jenis barang atau jasa yang dibelinya, sehingga pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Apabila pelaku usaha tidak mau bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan dan/atau kerugian1

Disampaikan dalam Dialog Publik tentang : Pengawasan Standar Kualitas Air Minum , diadakan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya, tanggal 22 Desember 2010, di Hotel Elmi, Surabaya. 2 Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surabaya

1

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diproduksi. dihasilkan atau diperdagangkan, hal ini akan terjadi sengketa konsumen, yaitu, sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi atau memanfaatkan barang dan/ atau jasa. 2. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen Sesuai Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Hal ini sesuai yang ditetapkan dalam Pasal 19 ayat (2) bahwa pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi . Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari ini ternyata pelaku usaha memberikan ganti rugi,maka tidak akan terjadi sengketa konsumen. Namun, sebaliknya apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari, pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi, maka akan terjadi sengketa konsumen. Konsumen yang dirugikan akan melakukan upaya hukum dengan cara menggugat pelaku usaha. Sengketa (konflik) konsumen adalah suatu kondisi di mana pihak konsumen menghedaki agar pihak pelaku usaha berbuat atau tidak berbuat sesuai yang diinginkan, tetapi pihak pelaku usaha menolak keinginan itu. Ronny Hanitijo memberikan pengertian sengketa adalah sebagai situasi (keadaan) di mana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.3 Joni Emerzon memberikan pengertian konflik/perselisihan adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerjasama.4 Pasal 1 angka 8 Surat Keputusan Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 memberikan definisi sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas3

Ronny Hanito, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Majalah Fakutas Hukum UNDIP, Semarang, 1984, hal. 22. 4 Joni Emerson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrasi), Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001, hal. 21.

2

kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Sengketa konsumen tersebut dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa ini seperti terdapat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas ketentuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen . Badan penyelesaian sengketa konsumen, merupakan badan yang menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa . Pasal 60 undang-undang ini menyatakan alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli . Penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan: 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum; 2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa; 3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;

3

4. Apabila tidak dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan kiranya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Dengan mendasarkan kepada kedua pasal tersebut di atas, yaitu, Pasal 23 dan Pasal 45, maka cara penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan melalui Pengadilan. Artinya, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan di luar pengadilan (BPSK) dan melalui Pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai Pasal 47 diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen . Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sesuai Pasal 48 mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45. Mengenai siapa yang dapat melakukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha, diatur dalam Pasal 46. Sesuai ketentuan Pasal 46 ayat (1) gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu, berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tugas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah, diajukan kepada peradilan umum. Peradilan Umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Perubahan

4

pertamanya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Pasal 2 undangundang ini dinyatakan bahwa peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya . Artinya, gugatan ini tidak boleh diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Adapun gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan seorang konsumen atau ahli warisnya diajukan kepada BPSK dan/atau peradilan umum. Gugatan sekelompok konsumen diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Gugatan perwakilan kelompok atau class action adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang melalui kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud .5 Sesuai Pasal 46 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama . Wakil kelompok adalah 1(satu) orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Anggota kelompok adalah sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. Lemabaga ini berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat melakukan legal standing, yaitu sebagai hak gugat dari seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk melakukan tuntutan melalui pengadilan.6 Legal standing dapat diartikan sebagai hak dari suatu organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata.5 6

Sudaryatmo et. al., Konsumen Menggugat, Piramedia, Jakarta, 2003, hal. 7. Zaim Saidi et. al., Menuju Mahkamah Keadilan, Piramedia, Jakarta, 2003, hal. 40.

5

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK a. Tugas dan Wewenang BPSK Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian badan penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen . Secara khusus, fungsi BPSK adalah sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dan lembaga ini dibentuk di kabupaten/kota. Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sesuai Pasal 52, meliputi: a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran kententuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud para huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pmeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan

6

l. Memberitahukan

putusan kepada pelaku

usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap unsur berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001. Adapun mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001. Untuk pertama kali pembentukan badan penyelesaian sengketa (BPSK) diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/8/2002 tanggal 29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada pemerintah kota Makassar, kota Palembang, kota Surabaya, kota Bandung, kota Semarang, kota Yogyakarta dan kota Medan. b. Bentuk bentuk Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 ditegaskan bahwa tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi . Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 350/MPP/Kep/2002. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrasi dilakukan atas pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak

7

pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter. Majelis dibentuk oleh Ketua BPSK (Pasal 54 ayat (1)), yang jumlah anggotanya ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) yang memenuhi semua unsur, yang unsur pemerintah, unsur pelaku usaha dan unsur konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera. Putusan majelis bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat (3)). Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Dalam Pasal 52 butir a menyatakan bahwa tugas dan wewenang BPSK antara lain melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, maka hasil kegiatan tersebut adalah identik berupa putusan, dan putusan tersebut mengikat. Antara arbitrase di satu pihak dan mediasi serta konsiliasi di lain pihak, terdapat perbedaan mengenai hasil kegiatan tersebut. Hasil kegiatan arbitrase adalah berupa suatu putusan yang berstatus sebagai keputusan yang mengikat (binding) para pihak yang bersengketa. Hasil kegiatan konsiliasi dan mediasi adalah berupa penyelesaian (solution) yang disetujuai oleh kedua belah pihak, namun tidak mengikat (non binding). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah melakukan generalisasi yang akan sulit diterapkan dalam implementasinya undang-undang ini. Penyelesaian sengketa konsumen wajib dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua pulah satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima oleh sekretariat BPSK. Dalam praktek waktu yang ditentukan ini kadang kala sulit diterapkan, karena sering terjadi pelaku usaha terdapat yang konsultasi dengan pimpinan pusatnya di Jakarta, yang memerlukan waktu yang tidak tentu, dalam praktek minimal 2(dua) minggu. Putusan majelis BPSK dapat dilakukan keberatan oleh para pihak, apabila tetdapat pihak yang dirugikan terhadap putusan tersebut. Para pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14

8

(empat belas) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan putusan majelis diterima oleh para pihak yang bersengketa. Keberatan tersebut dapat diajukan hanya pada putusan arbitrase. Keberatan terhadap putusan BPSK, tata cara pengajuannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2006. Keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. Keberatan tersebut hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrasi yang dikeluarkan oleh BPSK. Keberatan ini dapat diajukan baik oleh pelaku usaha dan/atau konsumen kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen. Keberatan terhadap putusan arbitrasi BPSK sesuai Pasal 6 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2006 dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan pembatalan putusan arbitrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu; b) Setelah putusan arbitrase BPSK diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau; c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam hal keberatan diajukan atas dasar syarat tersebut di atas, majelis hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK. Dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar syarat tersebut, majelis hakim dapat mengadili sendiri konsumen yang bersangkutan. Dalam mengadili sendiri, majelis hakim wajib memperhatikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Majelis hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang pertama dilakukan. Dalam praktek, ternyata bukan hanya putusan arbitrase saja yang dapat dilakukan keberatan. Putusan ketidakhadiran pelaku usaha, bilamana pada persidangan ke II (dua), tidak hadir secara berturut-turut, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. Pelaku usaha yang dirugikan dalam putusan ini, dapat melakukan upaya keberatan kepada pengadilan negeri. Ini pun pernah terjadi di BPSK kota Surabaya.

9

c. Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK. Tata cara permohonan penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan penyelesaian Sengketa Konsumen. Permohonan pengajuan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan tersebut dapat juga diajukan oleh ahli warisnya atau kuasanya apabila konsumen meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut, belum dewasa, atau orang asing (warga negara asing). Permohonan yang diajukan secara tertulis yang diterima oleh BPSK dikeluarkan bukti tanda terima kepada pemohon. Permohonan yang diajukan secara tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan, dan dibubuhi tanda tangan atau cap stempel oleh konsumen, atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima. Berkas permohonan tersebut, baik tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai: a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri; b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. Barang atau jasa yang diadukan; d. Bukti perolehan (bon, kwitansi dan dokumen bukti lain); e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang dan jasa tersebut; f. Saksi yang mengetahui barang dan jasa tersebut diperoleh; g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.

10

Dalam hal permohonan diterima, maka dilanjutkan dengan persidangan. Tata cara persidangan penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Pasal 26-36 Kepmen Indag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap. Dalam surat panggilan dicantumkan secara jelas mengenai hari, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari persidangan pertama, yang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. Majelis bersidang pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan, dan dalam persidangan majelis wajib menjaga ketertiban jalannya persidangan. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK, melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. penyelesaian Penyelesaian sengketa sengketa konsumen, (Pasal bukan 4 merupakan Indag proses Nomor secara berjenjang Kepmen

350/MPP/Kep/12/2001). Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis dalam menyerahkan sengketa konsumen dengan cara konsiliasi mempunyai tugas: a. b. c. Memangggil konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan; Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha, perihal

peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen; Tata cara penyelesaia sengketa konsumen dengan cara konsiliasi adalah: a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi; b. Majelis bertindak sebagai konsiliator;

11

c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan; Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Dalam persidangan dengan cara mediasi, majelis dalam menyelesaikan sengketa dengan cara mediasi, mempunyai tugas: a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi adalah: a. rugi; b. c. Majelis bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; mengeluarkan keputusan; Arbitrasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi, para pihak memilih arbitrator dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha, unsur pemerintah dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbitrator yang dipilih oleh para pihak, kemudian memilih arbitrator ke-tiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya. Majelis menyerhkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti

12

Pada hari persidangan 1 (pertama), ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Ketua majelis memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan. Pada hari persidangan 1 (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya, konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen, maka dalam persindangan, pertama majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut. Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yag bersengketa, majelis membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Dalam hal pelaku usaha dan konsumen tidak hadir pada hari persidangan 1 (pertama) majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan 2 (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan ke 2 (kedua) diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan 1 (pertama) dan diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh sekretariat BPSK. Bilamana pada persidangan ke 2 (dua), konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebalikmya bila pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen dan pelaku usaha. Perjanjian tertulis dikuatkan dengan keputusan majelis yang ditanda- tangani oleh ketua dan anggota majelis. Begitu juga, hasil penyelesaian konsumen dengan cara arbitrasi dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditanda-tangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis adalah putusan BPSK. Putusan BPSK dapat berupa: a. Perdamaian; b. Gugatan ditolak dan c. Gugatan dikabulkan. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Kewajiban tersebut berupa pemenuhan:

13

a. Ganti rugi; b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima dan menolak putusan BPSK. Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan. Tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006. Di sisi lain, pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan, setelah batas waktu 7 (tujuh) hari dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap putusan BPSK, dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Putusan ini adalah putusan yang bersifat arbitrase, sedang untuk konsilisi dan mediasi, pelaksanaan eksekusi secara langsung di hadapan BPSK, atau sesuai kesepakatan para pihak, yang sepakat dan atau melakukan perdamaian. Eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan hukum.7 Penetapan eksekusi diatur juga dalam Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2006

7

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989, hal. 130.

14

tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh pengadilan negeri yang memutus perkara keberatan bersangkutan. Pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. Proses tersebut di atas justru malah tidak memberikan perlindungan hukum pada konsumen dalam sistem penyelesaian konsumen, karena putusan BPSK yang final dan mengikat ternyata dapat diajukan keberatan. Pengajuan keberatan memerlukan proses yang lama, karena hasil putusan keberatan dari pengadilan negeri dapat diajukan upaya hukum kasasi. Putusan kasasi memakan waktu lama, walaupun telah diatur hanya 30 hari dalam prakteknya hampir 2 tahun putusan kasasi belum juga turun. Begitu juga mengenai pelaksanaan eksekusi objeknya, juga memerlukan waktu dan biaya. 4. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum (Pasal 45 ayat (1)). Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (4)). Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum, yang

15

berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, dan mengalami prubahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang sebelumnya pernah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Pasal 2 undang-undang dinyatakan bahwa peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya . Pasal 3 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi . Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum . Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah, sesuai Pasal 46 ayat (2) hanya dapat diajukan kepada peradilan umum. Dengan demikian, gugatan melalui BPSK tidak diperbolehkan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. 5. Eksekusi Objek Sengketa Konsumen Eksekusi berasal dari kata executeren , berarti melaksanakan, menjalankan, atau berasal dari kata executie , berarti pelaksanaan, penjalanan. Eksekusi berarti melaksanakan secara paksa, putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum,

16

apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat ) tidak mau menjalankan secara sukarela. Asas-asas eksekusi adalah : 1) Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; 2) Putusan tidak dijalankan secara sukarela: 3) Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator; 4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Dasar hukum eksekusi adalah Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR, atau Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 Rbg. Eksekusi putusan didasarkan pada putusan provisi (provisionilo eisch), yaitu, gugatan provisionil dikabulkan, dan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) yang diatur dalam Pasal 180 HIR atau Pasal 191 Rbg. Di sisi lain, eksekusi putusan didasarkan pada putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu : putusan pengadilan negeri tidak banding; putusan pengadilan tinggi tidak kasasi; dan putusan Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan sesuai Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Selain itu, terdapat eksekusi berdasarkan grosse akta sesuai Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg., dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Mengenai eksekusi objek sengketa konsumen diatur dalam Pasal 57 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan : Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Pasal 54 ayat (3) menyatakan Putusan majelis bersifat final dan mengikat . Putusan tersebut, dikeluarkan oleh BPSK paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, setelah gugatan diterima. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan BPSK, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Apabila putusan tersebut tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK, merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

17

Putusan majelis BPSK, sesuai Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Artinya, putusan ini merupakan putusan yang bersifat arbitrase, karena terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah. Pihak yang menang untuk mendapatkan haknya, perlu adanya eksekusi terhadap putusan BPSK, khususnya mengenai objek sengketa konsumen, tentunya yang meminta eksekusi tersebut adalah konsumen yang dirugikan. Artinya, bahwa agar kerugian konsumen tersebut diberi ganti rugi oleh pelaku usaha sesuai yang ditetapkan dalam putusan BPSK. Eksekusi ini dapat dimintakan, apabila tidak terdapat keberatan dari pelaku usaha. Kalau terjadi keberatan, maka eksekusi tidak dapat dimintakan. Konsumen dan pelaku usaha menolak putusan BPSK, dengan mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, dalam waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak putusan diberitahukan. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusinya menunggu sampai adanya putusan kasasi dari Mahkamah Agung, karena terhadap putusan keberatan pengadilan negeri dapat diajukan upaya hukum kasasi (Pasal 58). Mahkamah Agung, wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. Putusan majelis BPSK, yang bersifat konsiliasi dan mediasi, putusannya win-win solution, berdasarkan musyawarah mufakat para pihak, dan putusannya berupa kesepakatan dan berupa perdamaian. Eksekusi putusan ini, bisa pada saat sidang, bisa satu hari, dan paling lama dalam sidang berikutnya, yang biasanya ditunda selama 7 (tujuh) hari, dan pada sidang tersebut dilakukan eksekusi, beserta putusan perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak, yaitu, pelaku usaha, konsumen, dan majelis BPSK. 6. Penutup Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen, antara pelaku usaha dengan konsumen, sebaiknya dilaksanakan melalui perdamaian, yaitu, dengan cara musyawarah mufakat antara pelaku usaha dengan konsumen, baik tanpa campur tangan pihak ke tiga, maupun dengan campur tangan pihak ketiga, dengan cara melalui konsiliasi dan mediasi. Penyelesaian ini lebih manusiawi, daripada melalui pengadilan.

18

Daftar Bacaan Literatur Joni Emerson, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase) Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989. Ronny Hanitijo, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Majalah Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1984. Sudaryatmo, et. al., Konsumen Menggugat, Pramedia, Jakarta, 2003. Zaim Saidi, et. al., Menuju Mahkamah Keadilan, Pramedia, Jakarta, 2003. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Peraturan Mahkamah Agung Nomo 01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintahan Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung,

19

Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan Kota Medan. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Surat Kabareskim Polri No.Pol : B/2110/VIII/2009/Bareskrim, tanggal 31 Agustus 2009 tentang Prosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen. Surat Dirreskrim Kapolda Jatim Nomor : B/4989/IX/2009/Ditreskrim, Perihal Prosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen, tanggal 10 September 2009.

20

UJIAN SEMESTER GENAP 2010/2011MATA KULIAH HARI/TGL WAKTU SIFAT DOSEN : HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN : MINGGU, 7 Agustus 2011 : Satu, Minggu : Di bawah pulang (kerjakan di rumah) : SOEMALI, S. H., M. Hum

Harap dikerjakan secara mandiri, tidak harus urut nomor, dan jangan meniru atau kerja sama dengan teman Saudara. Jawaban sama tanpa nilai atau diberi nilai 0 (nol). Jawaban diketik spasi satu setengah. Jawaban diserahkan Minggu, 7 Agustus 2011, Di ruang A-3-03, tepat jam 10.00 WIB, diserahkan sendiri, dan tanda tangan daftar peserta ujian, terlambat ditinggal. 1. Jelaskan prinsip-prinsip perlindungan konsumen ? 2. Mengapa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsomen posisinya sebagai payung ? 3. Dalam perlindungan konsumen, pendekatan yang digunakan apa sektoral, holistik, atau gabungan ? Jelaskan 4. Apa yang dimaksud dengan hubungan langsung antara konsumen dengan produsen, dan beri contohnya 5. Apa yang dimaksud dengan hubungan tidak langsung antara konsumen dengan produsen, dan beri contohnya 6. Aida membeli kebutuhan untuk anaknya berupa susu kaleng di super market Paling Murah, dengan merek Takasih Gemuk, dan merupakan produk dari RRC, yang didistribusikan oleh PT. Segar Bugar, yang beralamat di Tangerang, Banten. Sesampainya di rumah, ternyata susu tersebut rusak, dan tidak ada informasi tanggal kedaluarsanya. Aida lalu pergi ke super market Paling Murah, dengan maksud mengembalikan, ternyata super market tersebut tidak mau mengganti susu yang rusak dan tidak ada informasi tanggal kedaluarsanya tersebut. Jelaskan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. a. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Aida ? Jelaskan b. Apa tanggung jawab PT. Segar Bugar terhadap susu yang rusak dan tanpa tanggal kedaluarsa tersebut ? Jelaskan c. Apa produsen susu dari RRC tersebut dapat dimintasi pertanggungjawaban ? Jelaskan d. Apa super market Paling Murah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana ? Jelaskan

21

e. Mohon dikerjakan dengan menggunakan argumentasi hukum atau pendapat hukum dengan menunjukan landasan yuridisnya atau landasan hukumnya. 7. Imam membeli mobil Suzuki Katana, tahun 1991, warna hijau, dengan plat nomor Polisi L 1403 XK, Noka MHYGDN41V6J142862, Nosin G15AID145296, dengan cara oper crerdit, milik Altair, melalui Show room Taman Motor, Pepelegi, Waru, Sidoarjo, kepunyaan Doddy, sekaligus sebagai pejual mobil. Jual beli mobil tersebut diikat dengan surat perjanjian oper credit, antara Doddy dengan Imam, yanga ditandatangani pada 6 Desember 2010. Imam telah melakuakn pembelian mobil kepada Doddy dengan cara melanjutkan credit di bawah tangan yang dicover/dibiayai oleh PT. Sinar Mas Finance dengan nomor kontrak 234/34/2009, atas nama Altair SS, untuk transfer angsuran ke Bank Sinar Mas Nomor Rekening 8001031009, dengan total uang muka sebesar Rp. 35,000,000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan angsuran Rp.3.033.00,- x 33 dengan jatuh tempo setiap tanggal 3 mulai bulan Januari 2010. Setelah pembayarannya lunas ke Bank Sinar Mas, ternyata Imam meminta BBKB kendaraan tersebut ke PT. Sinar Mas Finance, BBKB kendaraan Suzuki tersebut tidak diberikan, dengan alasan bahwa masih terdapat tunggakan yang belum tertselesaikan sebesar Rp. 37.234.500,-. Imam merasa kaget sebab berdasarkan rekapitulasi dari Bank Sinar Mar, ia merasa sudah melunasi. Jawab dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fiducia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. a. Kemana Imam harus melakukan upaya hukum terhadap masalahnya tersebut? b. Apa antara PT. Sinar Mas Finance dengan Imam terdapat hubungan hukum? c. Apa selama kendaraan dalam perjanjian fidusia dapat diahlihkan atau dipindahtangankan pada orang lain secara sepihak tanpa persetujuan pihak finance? d. Siapa yang dapat digugat oleh Imam atas permasalahan tersebut ? e. Dapatkah Imam menggugat PT. Sinar Mas Finance ? f. Apakah Doddy melakukan tindak pidana ? g. Apakah Altair melakukan tindak pidana dengan mengalihkan/ memindahtangankan kendaraan Suzuki kepada Imam, sebelum lunas ? h. Bagimana penyelesaian perselisihan kendaraan Suzuki menurut Saudara sebaiknya diselesaikan ? 8. Jelaskan pendapat hukum Saudara, cara melaksanakan putusan/eksekusi terhadap penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi, melalui mediasi, melalui arbitrase, dan melalui pengadilan. 9. Dari penyelesaian sengketa pada angka 8 tersebut di atas, penyelesaian sengketa dengan cara apa yang dipandang efisien, sederhana, cepat, dan biaya murah serta mudah eksekusinya ? Jelaskan pendapat hukum Saudara.

22

10. Apakah penyelesaian sengketa melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase diakui secara yuridis oleh Kekuasaan Kehakiman ? Jelaskan dengan menunjuk pasal yang mengaturnya.

23