skripsi melisa

Upload: mersinta

Post on 07-Mar-2016

251 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

abcedfghijklmno

TRANSCRIPT

7

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangGagal ginjal dinyatakan terjadi jika fungsi kedua ginjal terganggu sampai pada titik ketika keduanya tidak mampu menjalani fungsi regulatorik dan ekskretorik untuk mempertahankan keseimbangan. Penyakit ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel yaitu dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia. Penyakit ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal.1Penderita penyakit ginjal kronik telah mencapai jumlah yang besar dengan terjadi peningkatan setiap tahunnya, berdasarkan Center for disease control and prevention, prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika Serikat pada akhir tahun 2002 sebanyak 34.500 orang orang, pada akhir tahun 2007 bertambah 80.000 orang, dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang tinggi yaitu lebih dari dua juta orang yang menderita penyakit ginjal kronik. Pervalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia, menurut data dari Pusat Data & informasi Perhimpunan Rumah sakit seluruh Indonesia jumlah pasien penyakit ginjal kronik sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Tindakan yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik yaitu dengan hemodialisa.2Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah gagal ginjal kronik seperti pola makan, transplantasi ginjal dan salah satunya dengan hemodialisis. Hemodialisis adalah salah satu upaya mengatasi gagal ginjal kronis, ini merupakan terapi pengganti utama pada pasien GGK yang berlangsung seumur hidup. Prevalensi pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa diperkirakan akan semakin meningkat. Tahun 1998, lebih dari 320.000 penderita penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat menjalani hemodialisis, dan mengalami peningkatan sampai 650.000 pada tahun 2010 dan akan mencapai 2 juta orang pada tahun 2030.3Pasien GGK menjalani hemodialisis secara kontinyu dan menetap untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Frekuensi dilakukan hemodialisis bervariasi tergantung pada kerusakan ginjalnya. Hemodialisis dilakukan empat sampai lima jam dalam dua sampai tiga kali perminggu. Hal ini dapat menjadi stressor bagi pasien karena dapat dikategorikan ancaman terhadap diri pasien, yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan berhubungan dengan penusukan alat dialisa, ketidakpastian berapa lama dialysis diperlukan.4 Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Dampak psikologis pasien GGK yang menjalani program terapi seperti hemodialisis dapat dimanifestasikan dalam serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita.1 Dua pertiga dari pasien yang mendapat terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktifitas atau pekerjaan seperti sedia kala. Pasien akan mengalami kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, harapan umur panjang dan fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan yang akhirnya timbul suatu keadaan depresi sekunder sebagai akibat dari penyakit sistemik yang mendahuluinya.5Depresi atau yang lebih dikenal dengan depresi mayor adalah gangguan jiwa atau mood (suasana hati) berupa perasaan sedih atau kehilangan minat/kesenangan dalam semua aktifitas minimal selama dua minggu. Disertai dengan gejala-gejala seperti kehilangan berat badan, kesulitan berkonsentrasi, dll. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2020 depresi akan menjadi beban global karena akan menjadi penyakit kedua di dunia dengan jumlah pasien terbanyak setelah jantung iskemik. Prevalensi penyakit depresi diperkirakan 5% - 10% per tahun. Depresi dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak maupun dewasa, pria maupun wanita, ataupun dari ras apa saja.6Berdasarkan penelitian Azzahra (2012) yang mencari hubungan peran konsep diri dan dukungan sosial terhadap depresi pada penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,616 dengan taraf signifikan 0,000 (p 3 bulan.

2. Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Bakri, 2005).

Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG sesuai rekomendasi NKF-DOQ:Tabel 1. Derajat penurunan LFG

2.1.2 Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terrbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)10

Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%. Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsi difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik (glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberculosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma.10

Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%. Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik congenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis. Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat.112.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Walaupun banyak penyakit yang dapat menyebabkan lesi pada ginjal, secara keseluruhan intinya adalah perubahan adaptif pada ginjal akan mengarah pada konsekuensi yang maladaptif. Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai kosekuensi adaptif untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus (LFG), namun kemudian akan menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis.122.1.4 Gambaran Klinik Penyakit Ginjal Kronik

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri.

1. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

2. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

3. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier.

4. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

5. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

6. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi koma.

7. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.

8. Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia. Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feed-back mechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan. Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang mengatur tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia, mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfaal lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol.112.1.5. Terapi Pada Gagal Ginjal Kronis

Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada penderita. Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan dengan dialisis dan transplantasi ginjal. Prinsip-prinsip penatalaksanaan konservatif didasarkan pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan.13,14

Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena penderita tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialysis. Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal, biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung, sehingga dialisa bagi penderita gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.11,15

Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ada beberapa indikasi pelaksanaan dialisis yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana. Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan untuk penderita gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa.13,162.2. Hemodialisa

Hemodialisa ialah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar di dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialiser. Dialiser terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Satu kompartemen berisi darah dan kompartemen lain berisi cairan dialisat. Hemodialisa pertama kali digunakan pada manusia di Jerman pada tahun 1915 oleh George Haas di Universitas Klinik Giessen. Sedangkan di Indonesia hemodialisa dimulai pada tahun 1970. Hemodialisa bisa dilakukan di rumah atau di pusat-pusat hemodialisa.17,182.2.1 Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa

Pada hemodialisa aliran darah yang mengandung limbah metabolic dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser untuk dibersihkan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel tubulus. Pada proses kerja mesin dialisa ada tiga prinsip yang mendasarinya yaitu osmosis, difusi, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dikeluarkan dari dalam darah melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Selanjutnya air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses Osmosis yang dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif ini diterapkan untuk memfasilitasi pengeluaran air sehingga tercapai isovolemia.1,17

Hemodialisa bagi penderita gagal ginjal kronis akan mencegah kematian yang lebih cepat. Namun hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic yang dilaksanakan oleh ginjal. Di indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisia dilakukan selama 5 jam, tetapi ada juga yang melakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam, hal ini bergantung pada keadaan penderita. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Price & Wilson, 2005; Suhardjono dkk, 2001). Namun banyak komplikasi yang terjadi akibat terapi hemodialisa yang mempengaruhi kehidupan pasien hemodialisa.14,17,l8

2.2.2 Komplikasi Hemodialisa

Komplikasi yang bisa terjadi saat pasien melakukan hemodialisa antara lain hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis, kram otot yang nyeri, mual, muntah, perembesan darah, sakit kepala, sakit punggung, demam, menggigil, sindrom disekuilibrium, aritmia temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, hiperlipidemia, gangguan tidur dimana pasien selalu bangun lebih cepat di pagi hari, dan hipoksemia.1,17,19

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya. Penderita menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit kronik, dan ketakutan terhadap kematian. Pasien-pasien yang lebih muda khawatir terhadap pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang ditimbulkan kepada keluarga mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering menghilangkan semangat hidup pasien. Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustrasi, rasa bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya mungkin memandang pasien sebagi orang yang terpingkirkan dengan harapan hidup yang terbatas. Barangkali sulit bagi pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan rasa marah serta perasaan negatif. Terkadang perasaan tersebut membutuhkan konseling dan psikoterapi.1

Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan gangguan rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi terapi. Jika rasa marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan diproyeksikan kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien hemodialisa. Jika rasa marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal ini dapat merusak hubungan keluarga.1,16,172.3. Depresi2.3.1. Definisi Depresi

Depresi memiliki arti yang sangat luas, dari deskripsi perasaan sedih yang normal, melalui perasaan dan cara berpikir yang pervasif dan persisten, hingga psikosis. Deskripsi buku ajar mengenai depresi yang terlihat di rumah sakit umumnya sangat berbeda dengan manifestasi yang terlihat di layanan lini pertama.20

Kaplan et al (2010) mendefinisikan depresi sebagai suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri.212.3.2. Etiologi Depresi

Etiologi penyakit depresi sangat kompleks dan belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor endogen dan eksogen diduga saling terkait dalam menimbulkan keadaan depresi. Faktor-faktor endogen yang diduga berperan dalam kejadian depresi adalah terjadinya perubahan kesetimbangan neurotransmitter di dalam tubuh, genetika dan hormonal. Sedangkan faktor eksogen yang diduga berperan memicu timbulnya depresi adalah keadaan lingkungan sosial.21a. Faktor Endogen

Adanya perubahan kesetimbangan neurotransmitter di otak diduga sangat berperan dalam menimbulkan kejadian depresi. Neurotransmitter yang terutama berperan pada kejadian depresi adalah neurotransmitter monoamin seperti norepinefrin, serotonin dan dopamin. Berikut ini merupakan hipotesa yang berhubungan dengan neurotransmitter tersebut.

1. Hipotesis amin biogenik, menyatakan bahwa depresi dapat disebabkan terjadinya penurunan kadar neurotransmitter norepinefrin (NE), serotonin (5-HT) dan dopamin (DA) di otak.

2. Teori perubahan post sinaptik pada sensitivitas reseptor, menyatakan bahwa perubahan sensitivitas reseptor NE atau 5-HT2 berhubungan dengan awal penyakit depresi.

3. Hipotesis deregulasi, teori ini menekankan kegagalan regulasihomeostatik pada sistem neurotransmitter, bukan sekedar penurunan atau peningkatan aktivitas neurotransmitter.

Dari berbagai hipotesis tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan depresi dapat terjadi akibat menurunnya kadar neurotransmitter di dalam otak, atau akibat perubahan sensitivitas reseptor dari neurotransmitter tersebut maupun akibat perubahan kesetimbangan baik komposisi atau jumlah dari neurotransmitter yang dianggap bertanggung jawab pada keadaan depresi.21b. Faktor Eksogen

Faktor eksogen diduga berperan sangat penting dalam mencetuskan timbulnya depresi, seperti adanya peristiwa dalam kehidupan dan stress lingkungan. Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi, seperti kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun, kehilangan pasangan, kehilangan orang yang dicintai, terisolasi dari pergaulan sosial, perubahan hidup yang besar, kesulitan keuangan, pola asuh penuh keharusan, dan sebagainya.

Selain faktor endogen dan eksogen, tipe kepribadian tertentu juga diduga ikut berperan terhadap keadaan depresi. Tipe kepribadian yang dimaksud seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif, perfeksionis, pemalu, sensitif, mudah khawatir.2.3.3. Gejala dan tanda depresi

DSM-IV mendeskripsikan tanda dan gejala untuk gangguan depresif adalah sebagai berikut:

1. Mood depresi hampir sepanjang hari, setiap hari.

2. Hilangnya minat atau rasa senang secara drastis dalam semua atau hampir semua aktivitas.

3. Berat badan berkurang atau bertambah secara signifikan (5% dalam sebulan tanpa ada upaya diet, penurunan ataupun peningkatan nafsu makan).

4. Gangguan tidur.

5. Kelelahan.

6. Agitasi atau retardasi psikomotor.

7. Rasa bersalah atau tidak berguna.

8. Sulit konsentrasi.

9. Pikiran berulang tentang kematian.

Diagnosis depresi berat adalah bila terdapat 5 dari 9 gejala, salah satunya adalah perasaan depresi atau hilang minat atau rasa senang. Gejala dan tanda ini berlangsung hampir sepanjang hari, hampir setiap hari selama 2 minggu. Menurut Keller, Regier, dan Kessler, kira-kira 4% - 5% manusia dewasa antara usia 18-54 tahun akan mengalami episode gangguan depresi mayor (Major Depressive Disorder/MDD) setiap tahunnya. Dikatakan pula bahwa, sekitar 17% dari total populasi di USA pernah mengalami episode MDD selama hidupnya dengan probabilitas untuk terjadinya minimal satu kali episode MDD sebesar 5,2%. 40% diantaranya akan tetap bergejala selama satu tahun bila tidak ditangani, dan kira-kira 20% gejala depresi akan tetap ditemukan pada dua tahun kedepan. Walaupun episode MDD dapat terjadi pada semua usia, usia tersering adalah usia 20-an tahun dengan rincian usia 15-19 tahun pada wanita, 28-29 tahun pada pria.222.3.4 Depresi dan Penyakit Kronik

Individu dengan penyakit kronik memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menderita gangguan depresi (Kilzieh et al, 2008). Lebih dari sepertiga populasi pasien dengan penyakit kronis pernah mengalami gejala depresi (tabel 2.2) dengan asumsi bahwa mereka mengalami penurunan terhadap rasa sejahtera (well being) atau makin putus asanya mereka terhadap pengobatan yang telah dijalani.23Tabel 2. Prevalensi Depresi pada Populasi Penyakit Kronik

2.4. Depresi, PGK, dan Dialisis

Penyakit ginjal dan dialisis mempengaruhi keberlangsungan faktor psikososial yang pada akhirnya akan menimbulkan awitan depresi. Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, psikodinamika, teori kognitif dan dukungan sosial.21

Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan dan orang terdekat yang dapat terjadi akibat penyakit kronik (Gagal ginjal kronis dengan hemodialisa) yang menimbulkan gangguan kepercayaan diri.21 Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.21,22

Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi. Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.

Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi.21 Depresi merupakan masalah psikologis yang paling sering dihadapi oleh pasien PGK terutama pasien PGK tahap akhir (gagal ginjal kronis) walaupun simptomatologi depresif sering ditemukan pada pasien-pasien dialisis, sindrom depresi klinis harus terdiri atas gejala-gejala yang khas termasuk anhedonia dan perasaan sedih, tidak berguna, bersalah, putus asa, dll. dan diikuti oleh gangguan tidur, nafsu makan, dan libido. Beck Depression Inventory (BDI) merupakan kuesioner yang mudah untuk digunakan dan sangat membantu dalam skrining depresi klinis pada populasi pasien PGK.23 Dalam sebuah studi kohort yang mengggunakan PHQ-9 dikemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan mean depresi dan kualitas hidup yang bermakna antara PGK dan GGK (PGK derajat 4 dan 5). Tidak ditemukan perbedaan proporsi bermakna pada pasien dengan depresi ringan, sedang, dan berat; tingkat kerusakan ginjal yang dialami pasien tidak memiliki hubungan dengat tingkat depresi.24 2.5. Kerangka Teori

Beberapa faktor endogen dan eksogen diduga saling terkait dalam menimbulkan keadaan depresi. Faktor-faktor endogen yang diduga berperan dalam kejadian depresi adalah terjadinya perubahan kesetimbangan neurotransmitter di dalam tubuh, genetika dan hormonal. Sedangkan faktor eksogen yang diduga berperan memicu timbulnya depresi adalah keadaan lingkungan sosial. Selanjutnya dapat dilihat dalam bagan berikut:

Gambar 1. Kerangka teori modifikasi dari KAPLAN, 2010 212.6 Kerangka konsep

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan konsep-konsep yang diamati atau akan diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini dibuat kerangka konsep sebagai berikut :Variabel independent

Variabel dependent

Gambar 2. Kerangka Konsep2.7. Hipotesis

1. Ho : Tidak terdapat hubungan antara frekuensi hemodialisa dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik di Ruangan Hemodialisa RS Abdoel Moeloek.2. Ha : Terdapat hubungan hubungan antara frekuensi hemodialisa dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik di Ruangan Hemodialisa RS Abdoel Moeloek.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain penelitian yaitu cross sectional. Dimana data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan variabel terikat atau variabel akibat serta variabel perancu, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Febuari tahun 2015 di RSUD. H. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung3.3. Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek penelitian yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.25 Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Ruangan Hemodialisa RSUD H. Abdoel Moeloek Propinsi Lampung.

3.3.2. Sampel

Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus untuk uji hipotesis korelasi.25

Z + Z 2n = + 3

0,5In[(1 + r) / (1 - r)]

( 1,96 + 1,64) 2n = + 3

0,5In[(1 + 0,5) / (1 0,5)]

n = 45,83 ( dibulatkan menjadi 46)

Sehingga sampel yang digunakan minimal 46 sampel. Pada penelitian ini peneliti menggunakan sampel diambil 55 sampel. Keterangan :

n : Ukuran sampel

r : Koefisien korelasi (0,5)

Z : Deviat baku beta ( 1,64 )

Z : Deviat baku normal 0,05 (1,96)

Dengan demikian, besar sempel adalah 55 orang. Adapun teknik pengumpulan sampel dalam peneltian ini adalah simple random sampling. Pada simple random sampling, semua populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian sampai tercapainya jumlah sampel yang mewakili populasi.27 3.4. Kriteria Penelitian

3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Pasien hemodialisa berusia 18-65 tahun.2. Pasien bersedia menjadi responden penelitian.3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien hemodialisa yang mengalami gangguan kesadaran.

2. Pasien hemodialisa yang mengalami riwayat gangguan kejiwaan dan/ kepribadian.3.5. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki oleh suatu penelitian.25 Dalam penelitian ini digunakan dua variabel, yaitu variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen).1. Variabel bebas (independen) adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebas adalah frekuensi tindakan hemodialisa.2. Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikat adalah tingkat depresi3.6. Definisi OperasionalDefinisi operasional adalah mendefinisikan variabel-variabel secara operasional dan berlandaskan karakteristik yang diamati. Penyusunan definisi operasional variabel perlu dilakukan karena akan menunjukkan alat pengambilan data mana yang cocok digunakan. Definisi operasional yang terkait dalam penelitian ini tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Definisi Operasional

NoVariabelDefinisiCara ukurHasil ukurSkala

1.

2.Frekuensi Hemodialisa

DepresiJumlah banyaknya pasien menerima tindakan hemodialisa sebagai pemisah toksik sisa metabolisme dari darah dengan menggunakan membrane semipermeabel sebagai pemisah atau dialisis

Suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diriKuesioner

BDI-II (Beck Depression Inventory - II)

Jumlah kali

Skor nilai 1-63RasioInterval

3.7. Alat dan Cara Penelitian3.7.1 Alat Penelitian

Pada penelitian ini digunakan alat alat sebagai berikut :a. Alat tulisb. Lembar kuesioner

Lembar kuesioner digunakan untuk mendapatkan data tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. Kuesioner yang digunakan merupaka kuesioner baku yang sudah digunakan terstandarisasi yaitu kuesioner Beck Depression Inventory II (BDI-II). Skala yang digunakan pada kuisioner ini adalah skala likert, setiap pertanyaan memiliki skala 0-3 (kadang, sewaktu waktu, hampir sering, dan sering). Skor penilaiannya skor 0 sampai 13 dengan depresi minimal, 14 sampai 19 dengan depresi ringan, skor 20 sampai 28 dengan depresi sedang, skor 29 sampai 63 dengan depresi berat.

3.7.2. Cara pengambilan data

Dalam penelitian ini, seluruh data diambil dengan wawancara langsung yang diapandu dengan kuesioner ( data primer) yang meliputi :a. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta informed consent.b. Wawancara c. Pencatatan hasil pengukuran dan pengisian data pada formulir lembar penelitian3.8. Alur Penelitian

Gambar 3. Alur Penelitian

3.9. Pengolahan dan Analisis data3.9.1. Pengolahan data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel - tabel, kemudian data diolah menggunakan program SPSS 20.0. for Windows dengan nilai = 0,05

Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa langkah :1. Editing

Bertujuan untuk meneliti kelengkapan dan konsistensi jawaban dari lembaran observasi yang telah diisi oleh peneliti.2. Coding

Pemberian kode pada atribut variable penelitian memudahkan untuk dalam entri dan analisis data.3. Entry

Entry data dilakukan dengan memasukkan kode atau koding pada program komputer.

4. CleaningCleaning data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientri, apakah ada kesalahan tersebut terjadi pada saat kita mengentri ke komputer.

5. TabulatingTabulasi data adalah kegiatan mengelompokkan atau menyusun data kedalam tabel yang dibuat sesuai maksud dan tujuan.3.9.2 Analisis StatistikAnalisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program SPSS 20.0 for Windows dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.a). Analisa Univariat Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan variabel terkait.21b). Analisa Bivariat Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan anatara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik : 27Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pearson Produt Moment untuk mengetahui keeratan antara frekuensi hemodialisa dengan tingkat depresi. Tingkat interpretasi ditentukan berdasarkan tabel 4.

Tabel 4. Interpretasi koefisien korelasi

No.Koefisien korelasi (r)Interpretasi

1.

2.

3.

4.

5.0,80 1,00

0,60 0,799

0,40 0,599

0,20 0,399

0,00 0,199 Sangat kuat

Kuat

Sedang

Lemah

Sangat lemah

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner S. Buku ajar keperawatan medical bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2005.2. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC; 2002.3. Nolan C. Strategies for improving long-Term survival in patients with ESRD. J Am Soc Nephrol. 2005; 16 :S120- S127.4. Hudak, Gallo. Keperawatan kritis : suatu pendekatan holistic. Jakarta: EGC;1997.5. Rustina. Gambaran Tingkat Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsud Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2012. Naskah Publikas. Pontianak: Universitas Tanjung Pura; 2012.6. Marianne. Depresi dan Penanganannya. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2010.7. Azahra M. Peran Konsep Diri Dan Dukungan Sosial Terhadap Depresi Pada Penderita Gagal Ginjal Yang Menjalani Terapi Hemodialisis. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan; 2012.

8. Lukman N, Kanine E, Wowiling F. Hubungan Tindakan Hemodialisa Dengan Tingkat Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik Di BLU RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado. Manado: Universitas Sam Ratulangi; 2013.9. Bakri S. Deteksi Dini dan Upaya-Upaya Pencegahan Progresifitas Penyakit Ginjal Kronik. Suplement. 2005; vol. 26 No 3: 36-40.10. Roesl R.. Hipertensi, Diabetes, dan Gagal Ginjal di Indonesia; 2008. Dalam: Lubis, F.R., et al (eds). Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan. 2008; 95-108.11. Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD; 2006.12. Conchol M and Spiegel DM. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R.W., ed. Manual of Nephrology Seventh Edition. Philadelphia, USA: Lippincott Williams and Wilkins, 2005; 185.13. Potter and Perry. Fundamental Keperawatan (edisi 4, vol 1-2). Jakarta: EGC; 2005.14. Price and Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit (edisi 6, vol 2). Jakarta: EGC; 2005.15. Spiegel DM. The Patient Receiving Chronic Renal Replacement with Dialysis. In: Schrier, R.W., ed. Manual of Nephrology Seventh Edition. Philadelphia, USA: Lippincott Williams and Wilkins, 2005; 194.16. Peterson JC. Chronic Renal Failure. Dalam C.C. Tisher & C.S. Wilcox (Eds.), Nephrology: House Officer Series (3rd ed.). Maryland: Williams and Wilkins; 1995.17. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. (Ed. Ke-4). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.; 2007.18. Van Stone JC. Dialysis and the Treatment of Renal Insufficiency. New York: Grune & Stratton, inc; 1993.19. Stone WJ and Rabin PL. End-Stage Renal Disease. New York: Academic Press, inc; 1983.20. Hale AS. Depresi. In: Davies, T. and Craig, T.K.J., ed. ABC Kesehatan Mental. Jakarta: EGC. 2009; 73-83.21. Kaplan HI, Saddock BJ and Grebb JA. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid I. Tangerang: Bina Rupa Aksara; 2010.22. Wijaya A. Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis dan Mengalami Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. , 2005. Available from: http://www.digilib.ui.ac.id//file?file=digital/108527-T%2021408-Kualitas%20hidup.pdf.

23. Finkelstein FO and Finkelstein SH. Depression in Chronic Dialysis Patients: Assessment and Treatment. Nephrol Dial Transplant. 2000; 15: 1911-1913.24. Abdel-Kader K, Unruh ML and Weisbord SD. Symptom Burden, Depression, and Quality of Life in Chronic and End-Stage Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1057-106.25. Sastroasmoro S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto; 2007.26. Chelliah S. Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.27. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.DerajatDeskripsiLFG

(mL/menit/1,73m)1Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi 902Kerusakan ginjal disertai penurunan ringan LFG60-893Penurunan moderat LFG30-594Penurunan berat LFG15-295Gagal ginjal< 15 atau dialisis

KondisiPrevalensi (%)Kanker20-38Sindrom Kelelahan Kronik17-46Nyeri Kronik21-32Penyakit Jantung Koroner16-19Sindrom Cushing67Demensia11-40Diabetes Mellitus24Epilepsi55Hemodialisis6,5Infeksi HIV30Penyakit Huntington41Hipertiroid31Multiple Sclerosis6-57Penyakit Parkinson28-51Stroke27

Faktor Endogen :

- Hipotesis Amin Biogenik

- Teori perubahan post sinaptik

- Hipotesis Deregulasi

Faktor Eksogen :

- Peristiwa dalam Kehidupan (penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa)

- Stress lingkungan

- Kehilangan sosial.

DEPRESI

Tipe kepribadian :

Kepribadian dependen, obsesi kompulsif, perfeksionis, pemalu, sensitive, mudah khawatir

Tingkat depresi

Frekuensi Hemodialisa

8

1. Tahap Persiapan

Pembuatan proposal, perijinan,

Penjelasan maksud dan tujuan, pengisian informed consent

2. Tahap Pelaksanaan

wawancara

Pencatatan data dan pengisian data medis

Melakukan input data

3. Tahap Pengolahan Data

Analisa dengan SPSS

28

1