skripsi -...
TRANSCRIPT
JUJURAN DALAM ADAT BANJAR
(Kajian Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Banjar)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RIFQI AKBARI
NIM. 11140440000059
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H
iv
ABSTRAK
Rifqi Akbari. NIM 11140440000059. Jujuran Dalam Adat Banjar (Kajian
Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Banjar). Skripsi, Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. (ix halaman, 70 halaman, dan 99 lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh
masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong dalam menetapkan jujuran, memahami
sudut pandang masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong tentang nilai-nilai filosofis
yang terkandung di dalam budaya jujuran, serta menjelaskan dan mengetahui korelasi
pandangan Islam terhadap mahar dan jujuran dalam pemahaman masyarakat Banjar di
Kabupaten Tabalong.
Penelitian ini diketegorikan sebagai penelitian lapangan (field research), dan
merupakan jenis penelitian etnografi, penelitian ini bersifat analitik merupakan
kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan
karateristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau
bagaimana hal itu terjadi, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan antropologis. Kriteria data yang didapatkan berupa data
primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
secara mendalam, observasi, dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahar dan jujuran dalam masyarakat
Banjar di Kabupaten Tabalong itu berbeda, jumlah jujuran dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kecantikan, dan keilmuwan yang dimiliki oleh pengantin
perempuan. akan tetapi hal itu tetap tergantung kesepakatan oleh kedua belah pihak.
Dibalik hal itu terdapat makna filosofis yang terkandung di dalam budaya jujuran yaitu
tolong-menolong sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Kata Kunci : Mahar, Jujuran, Adat Banjar, Etnografi, Tabalong
Pembimbing : Rosdiana, M.A.
Daftar Pustaka : 1997-2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya
kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, serta para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh
umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Phil. H. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam
beserta Indra Rahmatullah, S.HI., M.H. Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Hj. Rosdiana, M.A., sebagai dosen penasehat akademik dan pembimbing
skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk
membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Terimakasih kepada Arip Purkon, S.HI., M.A. dan Mara Sutan Rambe, S.HI.,
M.H. sebagai dosen penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staf dan karyawan yang
telah memberikan pelayanan maksimal.
5. Para nara sumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini.
vi
1. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Drs. Julkipli dan Dra.
Asnawati Hamdah, yang tak pernah jenuh dan tak menyerah untuk memberikan
dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh
pendidikan, kakakku tersayang Rif’atul Amini, S.Gz., abangku tersayang Rif’at
Darajat, adikku tercinta Muhammad Aqil Mufaddhal, saudara-saudaraku, serta
seluruh Keluarga Besar di Balikpapan, Tanjung, dan Pelaihari.
2. Kepada seluruh teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2014, Keluarga
Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum periode 2017,
Keluarga Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan, Keluarga Alumni Daarul
Qur’an, teman-teman kosan nyamuk dan sahabat arwah PONDOS.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan. Oleh
karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat
sebagai amal baik di sisi Allah Swt.
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i
LEMBAR PENYATAAN ................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
E. Tinjauan Kajian Terdahulu .................................................... 7
F. Kerangka Teori ....................................................................... 9
G. Metode Penelitian .................................................................. 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................ 13
BAB II MAHAR DALAM HUKUM ISLAM………………………… 14
A. Pengertian Mahar ................................................................... 14
B. Dasar Hukum Mahar .............................................................. 15
C. Mahar Dalam Kompilasi Hukum Islam ................................. 18
D. Jenis Dan Macam-Macam Mahar .......................................... 18
E. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Mahar ................................. 22
viii
BAB III BUDAYA MASYARAKAT BANJAR DI KABUPATEN
TABALONG KALIMANTAN SELATAN…………………... 29
A. Gambaran Umum Kabupaten Tabalong ................................ 29
B. Infrastruktur Kabupaten Tabalong ......................................... 30
C. Data Kependudukan Kabupaten Tabalong ............................. 33
BAB IV JUJURAN DALAM ADAT BANJAR DAN HUKUM
ISLAM…………………………………………………………. 38
A. Pelaksanaan Tradisi Jujuran di Kabupaten Tabalong ............ 38
B. Makna Filosofis Jujuran dalam Sudut Pandang Masyarakat
Banjar di Kabupaten Tabalong ............................................. 44
C. Harmonisasi Jujuran dalam Perspektif Masyarakat Banjar di
Kabupaten Tabalong dengan Hukum Islam ............................ 48
D. Analisis Penulis ...................................................................... 55
BAB V PENUTUP……………………………………………………… 64
A. Kesimpulan ............................................................................ 64
B. Saran-saran ............................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 66
LAMPIRAN ........................................................................................................ 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan bagi manusia bukan sekedar acara persetubuhan antara jenis kelamin
yang berbeda sebagaimana makhluk ciptaan Allah SWT lainnya, akan tetapi
perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.1 Bahkan
dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk
membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang
rukun dan damai. Pernikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan
tata cara khusus yang disesuaikan dengan ketentuan dalam agama maupun dalam
tradisi masyarakat dimana prosesi tersbut akan dilaksanakan.
Pernikahan dalam agama Islam terdapat beberapa hal yang menjadi rukun dan
syaratnya. Rukun dan syarat ini harus dipenuhi, baik proses sebelum akad nikah
maupun pada saat pelaksanaan akad nikah. Dalam hal ini adanya kedua mempelai
adalah yang terpenting dari syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua mempelai
merupakan hal primer baik sebelum maupun pada saat pelaksanaan pernikahan karena
keduanya-lah yang akan menjalani pernikahan.
Selain itu ada hal-hal lain yang perlu di perhatikan seperti mahar. Dalam hukum
perkawinan Islam, Mahar merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang
pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Pembayaran mahar adalah wajib
(QS.An-Nisa’ (4): 4 dan 25). Uang atau benda yang diberikan sebagai mahar menjadi
milik pengantin perempuan. Dalam perkataan sehari-hari mahar sama dengan
maskawin. Dalam masyarakat adat Indonesia, adat istiadat yang berlaku di suatu daerah
di negara kita, mahar tidak sama dengan maskawin yang biasa diberikan oleh pihak
pria kepada pihak wanita. Menurut hukum adat perkawinan yang berlaku di beberapa
1 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet V, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2004), h. 2.
2
daerah di Indonesia maskawin mempunyai fungsi sendiri mengembalikan
keseimbangan (equilibrium) magis dalam keluarga pihak perempuan karena wanita
yang kawin itu akan pindah atau keluar dari lingkungan keluarganya semula.2
Dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat yang menyangkut
tujuan perkawinan tersebut serta menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan
kerabat yang bersangkutan dalam masyarakat.3 maka proses pelaksanaan perkawinan
harus diatur dengan tata tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan
pelanggaran yang memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan
keluarga dan kerabat yang bersangkutan.4
Perkawinan dalam masyarakat Banjar hampir-hampir dianggap sebagai perbuatan
yang suci, yang harus dijalani oleh semua orang. Seorang gadis yang sudah meningkat
dewasa dan menurut ukuran desanya seharusnya sudah kawin dan belum ada yang
meminangnya diusahakan agar segera menemukan jodohnya.5
Masyarakat suku Banjar, merupakan salah satu masyarakat yang membedakan
antara mahar dan maskawin dengan alasan mereka beranggapan bahwa mahar adalah
sesuatu yang diberikan saat ijab kabul. Sedangkan maskawin adalah hadiah yang harus
diserahkan oleh pihak jejaka kepada pihak gadis, yang salah satu contohnya adalah
sejumlah uang, kosmetik, seperangkat peralatan kamar tidur dan peralatan rumah
tangga.6
Masyarakat suku Banjar masih sangat menghormati dan melestarikan adat yang
mereka miliki tidak terkecuali adat yang dikenal dengan istilah jujuran. Jujuran
merupakan sesuatu pemberian dari pihak jejaka kepada pihak gadis yang diberikan atas
2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. II, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 14. 3 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. XIII, (Jakarta: Permas, 1975), h. 41. 4 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Keputusan), Cet. III,
(Bandung: Penerbit Alfabeta), h. 221. 5 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 75.
6 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, h. 79.
3
dasar kesepakatan bersama (pihak orangtua). Jujuran dalam adat perkawinan Banjar
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengantin laki-laki.
Biasanya jujuran ini berbentuk uang tunai, yang mana adakalanya terjadi tawar-
menawar antara kedua belah pihak, sehingga perundingan kadang-kadang harus
dilakukan berkali-kali. Bila telah ada kata sepakat berkenaan dengan jujuran ini,
pembicaraan dilanjutkan berkenaan dengan langkah-langkah selanjutnya.7
Zaman dahulu jujuran berjumlah dua real sasuku (dua seperempat riyal) artinya f
4,50 atau sekarang sering diartikan Rp 450 atau Rp 4.500 sebagai jujuran yang asal
ada saja, yaitu hanya semata-mata guna memenuhi syarat pernikahan.8 Namun seiring
berkembangnya zaman jumlah jujuran ini mengalami perubahan, saat ini mahalnya
jujuran bagi seorang gadis ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Status sosial orang tua si gadis (orang tua si gadis adalah orang terpandang),
2. Tingkat pendidikan si gadis,
3. Pekerjaan si gadis,
4. Kecantikan si gadis, dan
5. Karena memang dikehendaki orang tua si gadis sebagai biaya perkawinan dan
bakal hidup bagi mempelai.
Ethnography merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ethno dan graphic. Ethno
berarti orang atau anggota kelompok sosial atau budaya, sedangkan graphic berarti
tulisan atau catatan. Jadi, secara literer ethnography berarti menulis tentang orang atau
anggota kelompok sosial dan budaya. Etnografi merupakan suatu bentuk penelitian
yang terfokus pada makna sosiologis diri individu dan konteks sosial-budayanya yang
dihimpun melalui observasi lapangan.9
7 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, h. 75.
8 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, h. 96.
9 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan
, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2014 ), h. 328.
4
Menurut beberapa uraian singkat di atas dapat kita tarik benang merah tentang apa
itu Etnografi Banjar. Etnografi Banjar dapat diartikan sebagai uraian dan gambaran
tentang berbagai macam unsur kebudayaan masyarakat Banjar seperti bahasa, mata
pencaharian, sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan, upacara
adat, unsur pengobatan dan religi.
Etnografi Banjar juga mendeskripsikan bagaimana pola hidup masyarakat Banjar,
cara berbicara, bertindak, bertingkah laku dan menghasilkan sesuatu dengan berbagai
sudut pandang berdasarkan kajian kebudayaan masyarakat Banjar itu sendiri. Etnografi
Banjar juga menjelaskan bagaimana perbedaan antara kebudayaan banjar yang menjadi
ciri khas masyarakat banjar dengan kebudayaan lain.
Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat suku Banjar tidak terlepas dari
pendekatan – pendekatan hukum Islam. Hukum Islam dapat dimaknai sebagai hukum-
hukum yang bersifat Islami atau hukum–hukum yang dipahami oleh para ahli hukum
Indonesia yang bersumberkan dari ajaran-ajaran Islam.10
Dalam hukum Islam tidak ada penetapan batasan minimal, tidak pula maksimal
atas mahar. Sebab, manusia memiliki keberagaman dalam tingkat kekayaan dan
kemiskinan. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau berupa
semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan semacamnya.11
Dalam adat istiadat masyarakat Banjar, jujuran menentukan berhasil atau tidaknya
suatu acara perkawinan. Pernah ditemui cerita batalnya perkawinan akibat pihak pria
tidak bisa memenuhi permintaan besarnya jujuran atau terjadi kesalahpahaman dengan
besarnya jujuran. Jumlah jujuran tersebut biasanya ditentukan menurut besarnya
jujuran kebanyakan orang di daerah tersebut.
Sehingga masyarakat luar daerah biasanya salah paham mengenai konsep jujuran
suku Banjar, sehingga sering disebut jual anak. Faktanya sebagian besar uang jujuran
10 Faisar Ananda Arfa dan Wathi Marpaung, Metode Penelitian Hukum Islam (Jakarta:
Prenadamedia Group,2016), h. 47. 11 Sayyid Sabiq. ed, Fiqh Sunnah. Penerjamah Abdurrahim dan Masrukhin. Fikih
Sunnah 3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, h. 410.
5
digunakan untuk meriahnya acara perkawinan dengan serangkaian adat yang
menyertainya serta untuk membeli peralatan rumah tangga bagi mempelai untuk
kehidupan yang akan dijalani.
Dari permasalahan ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan
dituangkan dalam bentuk karya ilmiah, untuk itu permasalahan ini akan diangkat
sebagai kajian skripsi yang berjudul JUJURAN DALAM ADAT BANJAR (Kajian
Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Banjar)”.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar belakang
diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
1. Bagaimana asal-muasal ditetapkannya jujuran dalam adat Banjar ?
2. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan jujuran oleh masyarakat suku
Banjar ?
3. Bagaimana praktik tradisi jujuran yang berlangsung pada masyarakat suku
Banjar ?
4. Apa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat
Banjar mengenai jujuran?
5. Bagaimana korelasi hukum positif dengan jujuran dalam adat Banjar ?
6. Bagaimana integrasi hukum Islam terhadap tradisi jujuran pada masyarakat
suku Banjar ?
7. Apa sanksi untuk masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi jujuran
tersebut?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak menimbulkan terlalu luasnya penafsiran mengenai permasalahan
ini, maka perlu adanya pembatasan masalah sehingga penelitian ini terpusat pada
6
masalah yang menjadi objek penelitian. Maka penulis membatasi ruang lingkup
penelitian jujuran dalam suku Banjar yang ada di Kabupaten Tabalong.
2. Rumusan Masalah
Dalam hukum Islam tidak ada penetapan batasan minimal, tidak pula
maksimal atas mahar. Sebab, manusia memiliki keberagaman dalam tingkat
kekayaan dan kemiskinan. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin
dari besi, atau berupa semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah,
dan semacamnya.
Adapun masyarakat suku Banjar memandang jujuran merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengantin laki-laki. Biasanya jujuran ini
berbentuk uang tunai, yang mana adakalanya terjadi tawar menawar antara kedua
belah pihak, sehingga perundingan kadang-kadang harus dilakukan berkali-kali.
Bahkan perkawinan dapat dibatalkan akibat calon mempelai pria tidak sanggup
membayar biaya jujuran tersebut.
Dari permasalahan tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana praktik tradisi jujuran yang berlangsung pada masyarakat
suku Banjar di Kabupaten Tabalong ?
b. Apa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat
Banjar di Kabupaten Tabalong mengenai jujuran ?
c. Bagaimana integrasi hukum Islam terhadap tradisi jujuran pada
masyarakat suku Banjar di Kabupaten Tabalong ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian
ini adalah:
a. Untuk mengetahui praktik tradisi Jujuran pada masyarakat suku Banjar
Kabupaten Tabalong.
7
b. Untuk mengetahui nilai filosofis yang terkandung dalam pemahaman
masyarakat suku Banjar di Kabupaten Tabalong mengenai Jujuran.
c. Untuk menganalisa pandangan hukum Islam terhadap tradisi Jujuran pada
masyarakat suku Banjar di Kabupaten Tabalong.
2. Manfaat Penelitian
Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil
penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan bagi peneliti mengenai
kajian hukum adat untuk dapat dikembangkan kemudian.
b. Bagi Akademisi
Bagi sesama mahasiswa ataupun kalangan akademisi di kampus, hasil
penelitian ini akan menjadi tambahan referensi di masa yang akan datang, yang
memungkinkan akan dilakukannya banyak penelitian sejenis oleh kalangan
akademisi lainnya.
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat memberikan sebuah khazanah keilmuan tentang tradisi
jujuran bagi masyarakat, dan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan
dengan tradisi jujuran. Dan hasil penelitian ini akan menjadi dokumen,
terkhusus bagi masyarakat suku Banjar.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Telaah pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan pokok bahasan
penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan inspirasi dan mendasari
dilakukannya penelitian.12 Telaah pustaka ini sangat diperlukan dalam rangka untuk
mencari wawasan terhadap masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
12 Huzaemah T. Yanggo, (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi,
(Jakarta: IIQ Press, 2011), Cet. Ke-2, h. 13.
8
Berkaitan dengan tema penelitian skripsi, penyusun telah melakukan telaah pustaka
dan literatur, namun penyusun hanya sedikit sekali menemukan tulisan-tulisan ataupun
buku-buku yang membahas mengenai adat jujuran. Penulis menemukan karya, yaitu:
1. Alfani Daud dalam buku “Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar”. Buku tersebut menjelaskan bahwa di dalam masyarakat adat
Banjar terdapat paktik tradisi jujuran dalam perkawinan, yang mana hanya
menjelaskan secara umum bagaimana praktik tradisi jujuran tersebut dilakukan di
adat Banjar. Berdasarkan telaah pustaka yang telah penyusun lakukan, secara
umum terdapat kesamaan tema, namun pada skripsi ini penulis lebih menjelaskan
secara rinci mengenai praktik tradisi jujuran pada masyarakat adat Banjar.
2. Ahmad Basuni (2005) dalam skripsi “Konsep Maskawin dalam Perkawinan
Menurut Al-Qur’an: Kajian QS. Al-Baqarah/2:236, An-Nisa/4:4 dan 24”.
Membahas mengenai kewajiban seorang suami memberikan maskawin atau mahar
kepada istrinya. Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi ini ialah bahwa skripsi
ini membedakan antara mahar dengan maskawin, yang mana pada skripsi tersebut
dua hal ini memiliki makna yang sama. Dalam skripsi ini memberikan pemahaman
bahwa jujuran termasuk dalam kategori maskawin yang hanya bersifat hadiah
dalam pernikahan, bukan termasuk dalam kategori mahar yang merupakan sesuatu
yang diwajibkan adanya dalam proses pernikahan.
3. Mochamad Rochman Firdian (2015) dalam skripsi “Tradisi “Maantar Jujuran
dalam Perkawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan Perspektif Hukum Islam”.
Lebih menjelaskan mengenai praktik perkawinan di Kalimantan Selatan.
Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi ini ialah bahwa skripsi ini penulis lebih
menjelaskan nilai – nilai filosofis yang terkandung dalam praktik jujuran sehingga
masih di pertahankan.
4. Noryamin Aini (1999) dalam penelitian “ Institusi Mahar dan Status Sosial Dalam
Tradisi Kehidupan Masyarakat Muslim Banjar-Amuntai “. Menjelaskan mengenai
trend jenis mahar yang digunakan dalam pernikahan yang secara signifikan terus
9
berubah. Sedangkan dalam skripsi ini menjelaskan mengenai pemahaman trend
jenis mahar dalam pandangan masyarakat Kabupaten Tabalong.
F. Kerangka Teori
Melaksanakan perkawinan menurut Islam merupakan suatu hal yang wajib
dilaksanakan bagi mereka yang telah memenuhi kriteria. Pada dasarnya hukum
perkawinan dalam Islam merupakan hal yang dinamis, bergantung pada situasi dan
kondisi pihak yang telah memenuhi persyaratan.
Salah satu yang wajib ada dalam perkawinan menurut Islam ialah adanya mahar
yang diberikan oleh suami kepada isterinya yang disebutkan ketika akad nikah sedang
dilangsungkan. Dan kemudian besaran mahar merupakan hasil kesepakatan dari
masing-masing pihak, dan bergantung kepada keridhoan sang istri untuk menerima
mahar yang diberikan kepadanya. Namun pada dasarnya tidak ada besaran mahar
secara pasti yang tentukan oleh syariat, tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat.
Artinya bahwa adat istiadat masyarakat setempat dapat berpengaruh dalam penentuan
besaran mahar kepada isteri asalkan tidak mempersulit atau tidak memberatkan.
Kemudian dalam perkawinan adat istiadat suku Banjar terdapat beberapa
persyaratan atau standar yang digunakan apabila hendak melangsungkan perkawinan.
Tidak hanya mahar, namun dalam adat istiadat suku Banjar terdapat juga yang dikenal
jujuran yaitu suatu pemberian yang diberikan oleh calon suami kepada pihak calon
isteri yang akan dipergunakan dalam melangsungkan acara perkawinan atau maskawin,
besaran jumlah yang diberikanpun juga bergantung kepada status sosial calon
mempelai wanita. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kehormatan keluarga
masing-masing pihak dan agar tercipta suasana saling menghormati.
10
G. Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni.13 Untuk itu maka penulis dalam hal ini
menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
etnografi. Kajian etnografi memfokuskan telaah fenomena budaya dan
mempunyai karakteristik ataupun ciri yang berbeda berdasarkan paradigma,
pendekatan, dan model-model yang khas.14
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian
kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian lapangan (field
research). Penelitian lapangan ini adalah penelitian yang sumber datanya
terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara
langsung di daerah penelitian.15 Penentuan informan bukan berdasarkan
banyaknya informan di lapangan. Penelitian ini harus menggambarkan sebuah
fakta berdasarkan penglihatan secara langsung yang bersumber dari subjek.
Penentuan informan juga tidak ditentukan oleh kuantitasnya, namun yang utama
dapat mendeskripsikannya berdasarkan temuan. Seperti yang dilakukan oleh
Clifford Geertz yang dikenal dengan istilah thick description.16
13 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet. Ke-
3, h. 17.
14 Rosramadhana Nasution, Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom:
Subaltern Perempuan Pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 60.
15 Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, Buku Ajar,
2010), h. 28.
16 Deskripsi tebal dan mendalam. Tebal merupakan formulasi ke arah deskripsi yang
mendalam, sehingga lukisan lebih berarti, bukan sekedar data yang ditumpuk. Lihat
Rosmaradhana Nasution, 2016, h. 60.
11
3. Sumber Penelitian
Adapun sumber penelitian antara lain:
a. Data Primer, yang diperoleh dari masyarakat, tokoh masyarakat, pelaku
perkawinan yang melakukan praktik tradisi jujuran dengan melakukan
wawancara dan para sumber yang dirasa kompeten dan ahli dalam
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder, yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, artikel dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam penelitian ini, ada
beberapa teknik yang dilakukan, antara lain:
a. Observasi atau pengamatan, yakni pengumpulan data melalui pengamatan
dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek
penelitian.17 Di sini pengamatan dilakukan terhadap tradisi jujuran dalam
masyarakat suku Banjar.
b. Interview, yakni metode pengumpulan data atau informasi dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan
pula.18 Dalam interview ini akan melibatkan beberapa masyarakat setempat
sebagai informan/responden yang kiranya dapat memberikan data yang
peneliti butuhkan.
c. Studi pustaka yaitu pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan
analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan
dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari
dua langkah yaitu kepustakaan penelitian dan kepustakaan konseptual
melipiuti artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang
17 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), Cet. Ke-XII, h. 106. 18 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. Ke-XII, h. 118.
12
memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang
baik dan buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak dalam bidang masalah.19
5. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tabalong. Kabupaten Tabalong adalah
salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan tempat
tinggal dari masyarakat yang masih melakukan praktik tradisi suku Banjar . Salah
satunya adalah praktik jujuran.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan memakai analisis domain
berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan. Kemudian data yang terkumpul
dianalisis dan diinterpretasikan dalam interpretasi data.20 Analisis ini data ini
menggunakan metode analisis kualitatif sebagai berikut :
a. Metode induktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari data yang khusus
kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya penyusun
berusaha memaparkan praktik jujuran pada masyarakat Banjar, kemudian
melakukan analisis sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan
yang umum.
b. Metode deduktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari suatu kaedah yang
umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya ketentuan-
ketentuan umum yang ada dalam nash dijadikan sebagai pedoman untuk
menganalisis status hukum praktik jujuran pada masyarakat suku Banjar
di Kabupaten Tabalong.
19 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18. 20 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan
, h. 413.
13
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini merujuk pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan
Hukum. Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan isi penulisan dalam
penelitian ini, penyusun menguraikan secara singkat sebagai berikut:
Bab Kesatu, pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, identifiksasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan metode penelitian.
Bab Kedua, kajian pustaka dibahas dalam bab ini. Dimulai dari pemaparan kajian
teori mengenai filosofi mahar serta mahar dalam Islam, dari pengertian, dasar hukum,
macam dan jenis serta ketentuan-ketentuan mengenai mahar.
Bab Ketiga, memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian, yang meliputi
setting sosial berkaitan dengan letak geografis, keadaan alam, keadaan penduduk,
potensi ekonomi, pendidikan, karakteristik informan/penelitian, dan lokasi penelitian.
Bab Keempat, membahas tentang pelaksanaan tradisi jujuran di Kabupaten
Tabalong. Juga menjelaskan bagaimana pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai
filosofis yang terkandung dalam praktik tradisi jujuran serta pemahaman masyarakat
mengenai tradisi tersebut dalam perspektif Islam, dilanjutkan dengan analisis penulis.
Bab Kelima, tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, dan ditutup dengan saran-saran.
14
BAB II
MAHAR DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Mahar
Mahar secara etimologi berasal dari bahasa Arab dan termasuk kata
benda bentuk abstrak atau masdar, yaitu mahran مهرا atau kata kerja, yakni
fi’il dari مهر - يمهر - مهرا, lalu di bakukan dengan kata benda mufrad, yaitu
disebut (memberikan mahar أ مهر المرأة sedangkan pemakaian katanya ,1مهرا
kepada perempuan).2
Mahar mempunyai sembilan nama lain, yaitu: shadâq, nihlah, farîdhah,
haba, ajr, ‘uqr, ‘alâ’iq, thaul, dan nikâh. Kata shadâq, nihlah, farîdhah, dan
ajr disebutkan dalam Al-Qur’an, sedangkan kata alîqah, dan ‘uqr ada dalam as-
Sunnah. Shadâq berasal dari kata shidq (jujur; kesungguhan), sebagai isyarat
keinginan menikah yang sungguh-sungguh.3
Sedangkan secara terminologi syariat mahar adalah harta yang wajib
ditunaikan suami kepada istri di sebabkan akad nikah.4 Mahar juga dapat berarti
kompensasi (ganti) dalam nikah atau lainnya (yang wajib diberikan) dengan
nominal yang ditentukan oleh hakim atau atas keridhaan kedua belah pihak
(mempelai pria dan wanita).
1 Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam al-Wasit. (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid 2, h. 889. 2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2010), h. 433. 3 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira, 2010, Cet. 1. h. 547. 4 Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. Jakarta: Darul Haq, 2015, h. 481.
15
Mahar adalah harta yang dikeluarkan atau manfaat yang dikeluarkan
untuk akad nikah atau kewajiban untuk melakukan akad nikah dan apa-apa
yang memiliki kaitan dengannya.5
Menurut Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang
atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.6
Mahar juga sering disebut dengan maskawin, Maskawin dapat diartikan
sebagai sesuatu yang wajib diberikan karena pernikahan, hubungan intim, dan
pengabaian hubungan intim karena terpaksa, seperti kasus sesusuan dan
penarikan kesaksian. 7
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria baik berupa jasa, uang dan barang atas
kesepakatan bersama, dan pemberian tersebut tidak bertentangan dengan
hukum Islam serta dapat diberikan secara kontan maupun ditangguhkan.
B. Dasar Hukum
Dasar pensyariatan shadaq (mahar) adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan
ijma’.8 Hukum shadaq (mahar) wajib bagi suami untuk memberikan mahar
dengan dasar akad nikah terjadi secara sempurna, serta tidak boleh
menggugurkannya. Hal ini di tunjukkan oleh firman Allah dalam surat An-Nisa
(4): 4 :
5 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqh Imrotul Muslimah, Penerjamah
Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani. Shahih Fiqih Wanita. Jakarta: Akbarmedia, 2009, h. 319. 6 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004),
h. 76. 7 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. h. 548. 8 Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. Jakarta: Darul Haq, 2015, h. 481
16
ن الن ساء وآت وا بن فإن نحلة صد قاته نه شيء عن لك م ط يئا هنيئا فك ل وه نفسا م مر
/4 :4 ) ) النساء
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan”.
Juga firman Allah dalam surat An-Nisa (4): 24 :
يضة ) النساء /4 :24( وره ن فر نه ن فآت وه ن أ ج فما استمتعت م به م
Artinya : “Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban”
Dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2): 236 :
ناح ل وا أو تمسوه ن لم ما الن ساء طل قت م إن عليك م ج ض له ن تفريضة فر
(236: 2)البقرة /
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika
kalian menceraikan istri-istri kalian selama kalian belum bercampur
dengan mereka, dan sebelum kalian menentukan maharnya bagi
mereka.”
Selain ayat – ayat di atas mahar juga disebutkan dalam sabda Nabi
SAW, diantaranya yaitu :
Hadits Dari Ibnu Abbas,
17
رسول هللاا : أعطها وعن ابن عباس قال: لما تزوج علي فاطمة، قال له
شيئا ، قال : ما عندي شيء، قال : فاين درعك الحطمية ؟ )رواه أبو
داود و ا لنسائي، و صححه الحاكم(9
Artinya : Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ketika Ali mengawini Fatimah.
Rasulullah berkata kepadanya, ‘Berilah sesuatu kepadanya.’ Ali
berkata, ‘Aku tidak memiliki apa-apa.’ Beliau bersabda,’Mana baju besi
buatan Huthamiyah milikmu?’” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Nasa’I dan dishahihkan oleh Hakim.
Hadits dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi,
سهل بن حدثنا يحي حدثن وكيع عن سفيان عن أبي حازم بن دينار عن
سعد ان النبي صلى هللاا عليه و سلم قال لرجل تجوج ولو بخاتم من حديد
) رواه بخاري(10
Artinya : “Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari Sufyan dari
Abi Hazim bin Dinar dari Shal bin Said as-Sa’idi bahwa Nabi berkata :
”Hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya dengan mahar)
sebuah cincin yang terbuat dari besi” (H.r. Bukhari).
Kaum Muslimin telah berijma’ atas disyariatkannya mahar dalam
pernikahan.11 Kewajiban mahar menurut ijma’ kaum muslimin dibebankan
pada mempelai pria/suami dengan terjadinya pernikahan atau persenggamaan.
9 Muhammad Ibnu Ismail As-San’ani, Subul as-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr. T.th), Juz
3, h. 221. 10 Imam Hafids Abi Abdillah Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh: Baitul
Afkar Addauliyah, 1998), h. 601. 11 Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. Jakarta: Darul Haq, 2015, h. 483.
18
Ijma’ ini tidak menjadi cacat dengan adanya pendapat kalangan
madzhab Hanafi dan Syafi’i yang membolehkan pengguguran mahar, sebab
dalam kondisi ini mereka tetap mewajibkan mahar Mitsl.12
C. Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang
atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dan mempelai pria
wajib membayar mahar sesuai dengan kesepakatan, baik dari jumlah bentuk
dan jenisnya. Dalam penyerahannya mahar dilakukan dengan tunai dan
diberikan langsung kepada calon mempelai wanita. Akan tetapi mahar juga
dapat ditangguhkan penyerahannya dan akan menjadi hutang calon mempelai
pria. Apabila mahar telah diserahkan maka menjadi hak pribadi mempelai
wanita. Walaupun mahar merupakan suatu kewajiban akan tetapi bukan
merupakan rukun dalam perkawinan.
Adapun ketika suami menalak istrinya qabla ad-dukhul maka suami
wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan di akad nikah. selain itu
apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat, maka istri berhak menerima
dan menolaknya. Jika istri menerima maka mahar dianggap lunas dan jika istri
menolaknya maka suami wajib menggantinya dengan mahar lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan
uang yang senilai dengan harga barang mahar tersebut.
D. Jenis dan Macam-macam Mahar
Berdasarkan kesepakatan bersama antar kedua belah pihak atas nilainya,
mahar dibagi menjadi mahar musamma (yang disebutkan nominalnya) atau
12 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Cet. III, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), h. 250.
19
ghair musamma (yang tidak disebutkan nominalnya melainkan menggunakan
standar umum –mahar mitsl-).13 Sementara dari segi waktu penyerahan dan
pelaksanaannya, mahar dibagi menjadi mahar kontan dan mahar tunda.14
1. Mahar musamma dan ghair musamma
Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki
dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad.15 Sebagai langkah
antisipatif guna menghilangkan peluang perselisihan dan mencegah
permusuhan, sebaiknya kedua belah pihak (mempelai) menyepakati nominal
mahar dan penyebutannya.16 Jika sudah disepakati, maka mahar harus
dibayar sesuai kesepakatan, dan jika tidak lunas (pada waktu akad), maka
suami tetap memiliki tanggungan untuk melunasinya pada isteri.17
Akad nikah diperbolehkan tanpa harus menyebut nominal mahar,
sebagaimana indikasi dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2): 236 :
ناح ل ض أو تمسوه ن لم ما الن ساء طل قت م إن عليك م ج له ن واتفريضة فر
(236: 2)البقرة /
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”
13 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. h. 547. 14 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Cet. III, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), h. 260. 15 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjamah
Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta: Lentera,
2010), Cet. 26. h. 364. 16 Musthafa Diib Al-Bugha, At-Tadzhîb fî Adillat Al-Ghâyat wa At-Taqrîb Al-Masyhur
bi Matan Abi Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syâfi’î, Penerjamah D.A Pakihsati. Fikih Islam Lengkap.
(Solo: Media Zikir, 2010), Cet. 1, h. 362. 17 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. h. 547.
20
Nikah seperti ini disebut “nikah tafwidh”, dan ia diperbolehkan menurut
ijma’ ulama.18 Dalam kondisi ini, menurut kesepakatan bersama (antar imam
madzhab) wanita berhak menerima mahar Mitsl (standar).
Mahar mitsl (ghair musamma) adalah mahar yang tidak disebut besar
kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan. Mahar mitsl juga
dapat diartikan sebagai standar nilai (mahar) yang diterima oleh wanita-wanita
sebandingnya di lingkungan kerabatnya yang berasal dari garis ayahnya, seperti
saudara atau bibi, bukan dari garis ibunya, sebab ibu kadang berasal dari
keluarga yang memiliki tradisi yang berbeda dengan tradisi keluarga si ayah.
Jika tidak ditemukan wanita sebandingnya dari garis ayah, maka dicari wanita
sebanding atau sebayanya di lingkungan kampungnya.19
Penulis berpendapat walaupun boleh tidak disebut besar kadarnya
sebaiknya menyebutkan dan menentukan mahar pada saat akad nikah , karena
Nabi Saw selalu menyebutkan mahar pada setiap akad pernikahan, dan karena
di dalam penyebutan mahar bisa digunakan untuk menghindari perselisihan dan
pertikaian di antara kedua mempelai.
2. Mahar kontan dan mahar tunda
Pada dasarnya mahar harus diberikan secara kontan (pada saat akad)
dan sudah dipegang mempelai wanita sebelum senggama (malam pertama).
Jika belum diserahkan, maka ia berhak menolak berhubungan intim sampai ia
menerimanya.20 Allah SWT berfirman dalam surah Al-Mumtahanah (60): 10 :
18 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. 1, h. 558. 19 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Penerjamah Abdurrahim dan Masrukhin. Fikih Sunnah
3. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), Cet. 2, h. 421. 20 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. h. 552.
21
لون ه م ول ( 10: 60أنفق وا ) الممتحنة / ما وآت وه م له ن يح
Artinya : “dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya.”
Akan tetapi, pembayaran mahar boleh dicicil atau dibayar sebagian
pada waktu akad sementara sisanya diangsur jika memang kondisinya
mendesak, misalnya kondisi keuangan mempelai pria tidak mengizinkan atau
yang sejenisnya. Jika kedua belah pihak sepakat untuk menangguhkan
pembayaran mahar hingga setelah hubungan intim, maka ia bisa
ditangguhkan.21 Namun karena mahar statusnya seperti hutang pada umumnya,
maka sebaiknya ia segera dibayarkan.22
Mengenai waktu pembayaran mahar seperti ini, jika mahar
ditangguhkan hingga waktu yang tidak ditentukan, misalnya mempelai pria
berkata: “Aku nikahi kamu dengan mahar seribu (dirham) dengan ketentuan
aku akan membayarnya jika angin bertiup, atau jika si fulan datang, dan
sejenisnya, maka penundaan model ini tidak diperbolehkan oleh keempat
madzhab mengingat tidak adanya kepastian pembayarannya.23
Kalangan madzhab Hanafi dan Hambali menyatakan, mahar tetap sah
dan istri tetap berhak atas mahar tersebut meski sudah bercerai atau meninggal,
sesuai dengan tradisi yang berlaku di dunia Islam. Sementara menurut kalangan
madzhab Syafi’I, maharnya gugur dan si istri berhak memperoleh mahar
mitsl.24
21 Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Az-Zawaj wa al-‘Alaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islam.
Penerjamah Gazi Said, Ketika Menikah Jadi Pilihan. (Jakarta: Almahira, 2008), h. 106. 22 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, h. 262. 23 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjamah
Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff. Fiqih Lima Madzhab. h. 368. 24 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjamah
Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff. Fiqih Lima Madzhab. h. 369.
22
Sedangkan kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwa batas
waktunya tidak jelas, misalnya penangguhan hingga mati atau bercerai, maka
akad nikahnya batal dan status perkawinannya wajib digugurkan, kecuali jika
mempelai pria telah melakukan hubungan intim dengan si wanita, maka dalam
hal ini si wanita berhak memperoleh mahar mitsl.25
Penulis menyimpulkan bahwa mahar dapat dilakukan secara kontan dan
tunda, sebaiknya dilakukan secara kontan agar tidak terjadi perselisihan di
kemudian hari. Apabila karena keadaan sehingga mempelai pria harus menunda
maharnya maka di perbolehkan, akan tetapi jika mempelai wanita
menyepakatinya.
Mahar yang dibayar secara tunda, maka harus di bayar dengan segera
dan sebaiknya di tentukan batasan akhir dalam pembayarannya. Karena mahar
adalah sesuatu yang wajib diberikan pihak suami kepada pihak istri dan
merupakan utang apabila tidak dibayarkan.
E. Ketentuan-ketentuan Mengenai Mahar
1. Batas ketentuan mahar
Tidak ada batas ketentuan minimal dan maksimal bagi mahar, sehingga
semua yang sah menjadi harga atau upah, maka sah menjadi mahar.26
berdasarkan Firman Allah dalam surah An-nisa (4): 24 :
ل (24: 4) النساء /بأموالك م تبتغ وا أن ذلك م وراء ما لك م وأ ح
Artinya : “Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian,
(yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian.”
25 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, h. 262. 26 Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. h. 483
23
Ayat ini menyebutkan harta secara mutlak tanpa menetukan batas
jumlah tertentu, dan berdasarkan hadits Sahl bin Sa’ad, di mana Nabi Saw
bersabda tentang wanita yang menghibahkan dirinya27,
إلتمس ولو خاتم من حديد )رواه بخاري(28
Artinya : “Berilah dia mahar walaupun hanya cincin dari besi”.
(H.r. Bukhori)
Hadits ini menunjukkan atas bolehnya memberikan mahar dengan
sesuatu pemberian minimal yang bisa disebut sebagai harta.29 Hadits di atas
juga menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit.
Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau
meninggalkan mahar pada suatu pernikahan.
Seandainya mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan
tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini
menunjukkan kewajibannya.30 Adapun dalil dibolehkannya mahar dalam
jumlah banyak31, berdasarkan firman Allah Swt dalam surah An-Nisa (4):
20 :
27 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 43. 28 Imam Hafids Abi Abdillah Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 601 29 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjamah
Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff. Fiqih Lima Madzhab. h. 365. 30 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta: Amzah, 2004), h. 177. 31 Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al
Authar. Penerjamah Amir Hamzah dan Asep Sefullah, Ringkasan Nailul Authar. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006, h. 487.
24
فل قنطارا إحداه ن وآتيت م زوج مكان زوج استبدال أردت م وإن
ذ وا نه تأخ (20: 4النساء /) شيئا م
Artinya : “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri
yang lain, sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian
mengambil kembali darinya barang sedikit pun.”
Meskipun tanpa batas minimal dan maksimal, menurut pendapat
penganut mazhab Hanafi menetapkan batas minimal mahar sepuluh
dirham. Sementara penganut mazhab Maliki menetapkannya tiga dirham.
Tapi penetapan ini tidak berdasar pada dalil yang layak dijadikan sebagai
landasan, tidak pula hujjah yang dapat diperhitungkan.
Penulis berpendapat bahwa mahar sebaiknya sesuai dengan adat
masyarakat setempat. Agar pihak istri tidak merasa terhina apabila jumlah
mahar yang diberikan kurang dari kebiasaan masyarakat dan sebaiknya
pula tidak terlalu berlebih-lebihan karena Islam tidak menyukai sikap
mahar yang demikian. Sehingga sesuai dengan prinsip Islam yaitu semakin
sedikit jumlah mahar perempuan, maka semakin banyak pula
keberkahannya.
2. Hikmah disyariatkan mahar
Hikmah disyariatkannya mahar adalah membuktikan keseriusan suami
untuk memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik dan mulia,
membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis, sebagaimana pula
bahwa di dalam mahar terkandung pemuliaan dan penghormatan terhadap
25
wanita, membuatnya bisa teguh mempersiapkan diri untuk menyambut
kehidupan rumah tangga dengan pakaian dan biaya yang ada ditangannya.32
Penulis juga berpendapat bahwa karena mahar adalah hak mutlak istri.
Mahar juga sebagai jaminan bagi istri dalam menjalani kehidupan rumah
tangga, apabila suatu saat suami meninggalkan istri, baik karena meninggal
dunia ataupun meninggalkan istri tanpa sebab. Istri dapat melangsungkan
kehidupannya dengan mahar tersebut.
3. Hikmah kewajiban mahar atas suami
Islam menetapkan mahar sebagai kewajiban atas suami, bahkan suami
wajib membelanjai istri dan keluarga, karena demikian itulah
kecenderungan jiwa manusia.33
Hal itu demi mendorongnya upaya menjaga kehormatan istri agar suami
tidak semena-mena34 dan istri tidak dihina kemuliaannya dalam proses
mengumpulkan harta yang akan dia ajukan kepada suami sebagai mahar.
Hal ini sejalan dengan prinsip dasar syariat yang menetapkan bahwa
suamilah yang memikul kewajiban memberi nafkah, bukan istri.35
Menurut pendapat penulis hikmah kewajiban mahar bagi suami juga
untuk sebagai pembuktian bahwa suami benar-benar memiliki
kesungguhan untuk menikahi istri. Sehingga nantinya kehidupan
pernikahan akan berjalan harmonis karena tidak ada kecemburuan atau
perasaan lebih baik dari pihak suami.
4. Kepemilikan mahar
32 Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. h. 484. 33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh. (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 330. 34 Jalaluddin bin Muhammad al-Mahahlli, Tafsiir Al-Jalalain. Penerjamah Najib
Junaedi, Tafsir Jalalain. Surabaya: Pustaka elBA, 2010, h. 318. 35 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2010),
Cet. 4, h. 2010
26
Mahar adalah milik wanita36 (istri) semata seorang diri, tidak seorang
pun dari walinya berhak atasnya, sekalipun mereka memiliki hak untuk
menerimannya, hanya saja mereka menerimanya (sebagai wakil darinya)
untuk kehormatan dan kepemilikannya. Sehingga mahar adalah hak mutlak
mempelai wanita.37 Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa
(4): 4 :
بن فإن نه شيء عن لك م ط يئا هنيئا فك ل وه نفسا م (4: 4) النساء /مر
Artinya : “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
Firman Allah dalam surah An-Nisa (4): 20 :
ذ و فل نه اتأخ ذ ونه شيئا م بينا وإثما ب هتانا أتأخ (20: 4) النساء /م
Artinya : “Maka janganlah kalian mengambil kembali darinya
barang sedikitpun. Apakah kalian akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata?”
Dari penjelasan di atas penulis berpendapat bahwa Allah SWT melarang
pihak suami untuk mengusik-usik mahar yang telah diberikan kepada istrinya.
Hal itu juga berlaku bagi seluruh anggota keluarga dan wali dari pihak wanita
tersebut. Akan tetapi apabila pihak wanita memberikan tanpa paksaan maka
bolehlah pihak lain menerimanya. Hukum Islam menetapkan demikian
36 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqh Imrotul Muslimah, Penerjamah
Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani. Shahih Fiqih Wanita. Jakarta: Akbarmedia, 2009, h. 321. 37 Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2008), h. 313.
27
dikarenakan pada zaman dahulu, wanita dianggap seperti benda dan harta
warisan. Dalam artian wanita tidak memiliki hak terhadap harta sedikitpun.
5. Syarat-syarat mahar
a. Hendaklah mahar tersebut adalah harta yang bernilai, mubah, boleh
dimiliki, diperjualbelikan, dan dimanfaatkan. maksudnya barang yang
dinyatakan sah untuk digunakan dalam transakasi jual beli.38 Sehingga
mahar tidak sah dengan khamar, babi dan harta curian yang mereka
berdua ketahui.
b. Hendaklah mahar tersebut bebas dari gharar (penipuan), di mana ia
diketahui dan ditentukan, sehingga mahar tidak sah dengan sesuatu
yang tidak diketahui, seperti rumah tanpa di tentukan tipenya, atau
hewan ternak yang lepas, atau buah pada pohon yang tidak ditentukan
kadarnya, atau buah tahun ini, dan yang sepertinya.39
Berdasarkan hal ini, maka sah mahar dengan sesuatu yang sah menjadi
harta atau upah, berupa barang atau hutang atau jasa yang di ketahui.
6. Filosofi Mahar
Pertama, wanita terlahir dengan naluri untuk menghias dan memperelok
diri hal ini karena wanita terlahir dengan kelembutannya. Kendati demikian
wanita dapat menahan dari naluri seksualnya dengan tidak menampakkan
nalurinya dan tidak pergi meminang laki-laki. Adapun seorang laki-laki
kurang mampu dalam menahan daya seksualnya dan tidak bisa
menyembunyikan keinginan dalam dirinya. Dari sinilah laki-laki mencari
wanita yang menarik hatinya baik karena kecantikkanya, kelembutannya,
dan kepintarannya. Untuk mendapatkan wanita yang menarik hati wanita
38 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqh Imrotul Muslimah, Penerjamah
Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani. Shahih Fiqih Wanita. Jakarta: Akbarmedia, 2009, h. 319. 39 Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. h. 485-486.
28
yang disukainya, mahar dapat digunakan sebagai media untuk laki-laki
dalam menyatakan kecintaanya, kesungguhannya dan ketulusan hatinya
untuk mendapatkan wanita yang disukainya.
Kedua, kendati suami dan istri sebelum pernikahan berjanji untuk setia,
dalam menjaga rasa saling cinta dan dalam menjaga serta membimbing
anak-anaknya. Karena berbagai perbedaan bisa saja rasa cinta itu hilang
akibat perbedaan tersebut. Apabila pernikahan tersebut harus berakhir
ataupun suami tidak lagi menjalankan kewajibannya dalam mahar dapat
menjadi media asuransi istri dan jaminan dalam pernikahan.40 Apabila
suami menunda dalam membayarkan mahar, maka istri dapat
menuntutnya.
Ketiga mahar adalah media dalam menentang diskriminasi laki-laki
terhadap wanita. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada zaman jahiliyah
wanita dianggap sebagai budak, wanita seperti barang yang
diperjualbelikan, wanita di anggap seperti barang warisan yang
dipindahkan sesuai dengan ahli waris. Ketika Islam datang dengan konsep
maharnya. Wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak apapun dengan
adanya mahar, wanita memiliki hak mutlak atas kepemilikan mahar
tersebut.41 Laki-laki yang ingin menikahinya juga harus menunjukkan
ketulusannya dalam menghargai wanita dan itu dapat ditunjukkan dengan
pemberian mahar bukan dengan cara diperjualbelikan.
40 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: PRENADA
MEDIA, 2006), h. 87. 41 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: PT BULAN BINTANG, 2005),
h. 84.
29
BAB III
POTRET KABUPATEN TABALONG
A. Gambaran Umum Kabupaten Tabalong
Kabupaten Tabalong memiliki luas wilayah 3.575,53 km2 dengan batas
koordinat 1,18o – 2,25o lintang selatan dan 115,9o – 115,47o bujur timur.
Kabupaten ini memiliki batas wilayah bagian utara dan timur dengan provinsi
Kalimantan Timur, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai
Utara dan Balangan, dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Barito
Selatan-Provinsi Kalimantan Tengah.1
Wilayah administrasi Kabupaten Tabalong terdiri dari 12 kecamatan
yang terbagi atas tiga wilayah pengembangan pembangunan (WPP), bagian
utara meliputi kecamatan Haruai, Bintang Ara, Upau, Muara Uya dan Jaro.
Bagian tengah meliputi kecamatan Tanta, Tanjung dan Murung Pudak serta
bagian selatan meliputi kecamatan Banua Lawas Pugaan, Kelua dan Muara
Harus.2
Secara fisiologis kabupaten ini memiliki dataran rendah yang terdapat
di barat daya (0-7 mdpi) yaitu Kecamatan Banua Lawas, kemudian ke arah
timur meninggi (7-25 mdpi) tepatnya Kecamatan Banua Lawas, Kelua, Tanjung
dan Murung Pudak. Kearah timur dan utara semakin tinggi lagi (25-100 mdpi)
terdapat di Kecamatan Pugaan, Muara Harus dan Tanta. Di wilayah utara,
selatan serta barat laut ketinggiannya (1-1000 mdpi) yaitu di Kecamatan Jaro,
Muara Harus, Muara Uya, Haruai, Bintang Ara, dan Upau. Ketinggian di atas
(1000 mdpi) hanya terdapat di Kecamatan Jaro dan Muara Uya.3
1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabalong, Tabalong dalam Angka 2010 (BPS
Kabupaten Tabalong, 2010), hlm. 1. 2 Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari
http://tabalongkab.go.id/ 3 Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari
http://tabalongkab.go.id/
30
Menurut topografi wilayah Tabalong di sebelah utara dan timur yang
meliputi wilayah Muara Uya, Jaro, Haruai, Bintang Ara, dan Upau merupakan
daerah bukit atau pegunungan. Sebanyak 13% desa di Tabalong sebagian besar
wilayahnya merupakan daerah berbukit-bukit. Sedangkan wilayah bagian barat
merupakan daerah datar berawa-rawa yang meliputi wilayah Banua Lawas,
Pugaan, Kelua, Muara Harus, Tanta, Tanjung, dan Murung Pudak.
Secara Hidrologi sungai besar yang terdapat di Kabupaten Tabalong
adalah Sungai Tabalong yang terbentuk oleh beberapa anak sungai yang
berhulu di Pegunungan Meratus. Sungai Tabalong ini memiliki panjang 75 km
dan lebar 60 m dengan debit air sekitar 14,5 m3/detik. Selain Sungai Tabalong,
terdapat sungai-sungai lain seperti, Sungai Anyar, Sungai Jaing, Sungai
Kinarum. Sekitar 89% desa di Kabupaten Tabalong dilintasi aliran sungai.4
B. Infrastruktur Kabupaten Tabalong
1. Pendidikan
Pemerintahan Kabupaten Tabalong terus berupaya
menghasilkan dan meningkatkan sumber daya manusia yang
4 Data dari Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabalong
31
berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia lebih diutamakan
dengan memberikan kesempatan kepada penduduk untuk mngecam
pendidikan yang seluas-luasnya terutama kepada penduduk umur 7-24
tahun, yaitu kelompok usia sekolah.5
Ketersediaan fasilitas pendidikan baik sarana maupun prasarana
akan sangat mendukung dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Adapun banyaknya sekolah Negeri, kelas, ruang kelas, murid dan guru
adalah sebagai berikut6 :
TINGKAT
PENDIDIKAN
SEKOLAH KELAS RUANG
KELAS
MURID GURU
TK Sederajat 184 479 479 7999 649
SD Sederajat 255 1.688 1.451 28.882 2.706
SMP Sederajat 82 404 472 12.714 1.193
SMA Sederajat 31 296 374 9.708 673
2. Kesehatan
Rumah sakit di Kabupaten Tabalong berjumlah 2 buah dan
berada di Kecamatan Tanjung (RSUD H. Badaruddin Tanjung) dan
Kecamatan Murung Pudak (Rumah Sakit Pertamina). Di setiap
kecamatan di Kabupaten Tabalong telah memiliki fasislitas puskesmas.
Hingga tahun 2015 telah dibangun sebanyak 18 puskesmas.
Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak dapat
dilihat dari jumlah posyandu. Tahun 2015 tercatat 273 posyandu di
5 Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari
tabalongkab.bps.go.id 6 Monografi Kabupaten Tabalong 2016
32
seluruh Tabalong. Banyaknya sarana kesehatan menurut kecamatan di
Kabupaten Tabalong dapat dilihat sebagai berikut7 :
KECAMATAN RUMAH
SAKIT
PUSKESMAS POSYANDU
Banua Lawas 0 1 26
Pugaan 0 1 17
Kelua 0 2 29
Muara Harus 0 1 10
Tanta 0 1 30
Tanjung 1 2 30
Murung Pudak 1 2 25
Haruai 0 2 29
Bintang Ara 0 2 19
Upau 0 1 9
Muara Uya 0 2 38
Jaro 0 1 11
Kabupaten
Tabalong
2 18 273
7 Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari
http://tabalongkab.go.id/
33
C. Data Kependudukan Kabupaten Tabalong
1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk Tabalong pada Tahun 2015 tercatat sebanyak
239.593 jiwa. Kecamatan Murung Pudak adalah kecamatan dengan
jumlah penduduk terbanyak, yaitu sebesar 20,67% dari jumlah
penduduk Tabalong. Adapun dalam periode 2014-2015 Kabupaten
Tabalong mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 1,62%.8
KECAMATAN TAHUN
2014
TAHUN
2015
LAJU
PERTUMBUHAN
PENDUDUK (%)
Banua Lawas 19.080 19.359 1,46
Pugaan 6.903 7.016 1,64
Kelua 24.365 24.717 1,44
Muara Harus 6.341 6.348 1,53
Tanta 18.643 18.910 1,43
Tanjung 35.126 35.657 1,51
Murung Pudak 48.633 49.530 1,84
Haruai 21.799 22.118 1,46
Bintang Ara 8.525 8.700 2,05
Upau 7.5575 7.698 1,62
8 Monografi Kabupaten Tabalong 2016
34
Muara Uya 23.297 23.697 1,72
Jaro 15.490 15.753 1,70
Kabupaten
Tabalong
235.777 239.593 1,62
2. Persebaran dan Kepadatan Penduduk
Sebagian besar penduduk Tabalong terpusat di kecamatan
Tanjung, Murung Pudak dan Kelua. Pada tahun 2015 sekitar 45,87%
penduduk Tabalong bertempat tinggal di tiga kecamatan tersebut.
Sekitar 14,88% berada di Kecamatan Tanjung, 20,67% tinggal di
Kecamatan Murung Pudak dan 10,32% tinggal di Kecamatan Kelua.
Sementara luas tiga kecamatan itu secara keseluruhan hanya sekitar
12,09% dari seluruh wilayah Kabupaten Tabalong.
Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah
Kecamatan Kelua, dengan tingkat hunian 457 jiwa/km². Kecamatan
yang termasuk cukup padat penduduknya adalah Kecamatan Murung
Pudak yaitu 286 jiwa/km². Kecamatan dengan tingkat kepadatan
penduduk terendah adalah Kecamatan Bintang Ara dengan tingkat
kepadatan 7 jiwa/km². Dalam mempercepat tumbuhnya pembangunan,
di Kabupaten Tabalong membagi 3 wilayah pengembangan
pembangunan yaitu wilayah pembangunan utara, tengah dan selatan.9
9 BAPPEDA dan BPS Kabupaten Tabalong, Monografi Kabupaten Tabalong 2009 h.
22
35
KECAMATAN PERSEBARAN
PENDUDUK (%)
KEPADATAN
PENDUDUK
(JIWA/KM2)
Banua Lawas 8,08 130
Pugaan 2,93 220
Kelua 10,32 457
Muara Harus 2,69 240
Tanta 7,89 126
Tanjung 14,88 174
Murung Pudak 20,67 286
Haruai 9,23 82
Bintang Ara 3,63 7
Upau 3,22 42
Muara Uya 9,89 27
Jaro 6,57 54
JUMLAH 100 67
3. Ketenagakerjaan
Bidang pekerjaan yang banyak dimasuki oleh penduduk
Tabalong yaitu sektor Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan
dan Perikanan sebanyak 67.144 orang, hal ini menunjukkan bahwa
36
kegiatan pertanian masih menjadi lapangan kerja mayoritas di
Tabalong.10
LAPANGAN
PEKERJAAN
UTAMA
LAKI-
LAKI
PEREMPUAN JUMLAH
1 37.464 29.680 67.144
2 9.743 330 10.073
3 805 1.115 1.960
4 248 0 248
5 3.415 128 3.543
6 9.215 10.762 19.977
7 2.619 0 2.619
8 710 367 1.077
9 8.646 7.131 15.777
JUMLAH 72.865 49.553 122.418
Keterangan :
1 = Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan
2 = Pertambangan dan Penggalian
3 = Industri Pengolahan
4 = Listrik, Gas, dan Air
10 Monografi Kabupaten Tabalong 2016
37
5 = Bangunan
6 = Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel
7 = Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi
8 = Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan
Jasa
9 = Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan
38
BAB IV
JUJURAN DALAM ADAT BANJAR DAN HUKUM ISLAM
A. Pelaksanaan Tradisi Jujuran di Kabupaten Tabalong
1. Pandangan masyarakat Kabupaten Tabalong terkait budaya jujuran
Jujuran adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan,
jujuran dapat berbentuk uang atau benda. Uang atau benda ini digunakan
sebagai pembiayaan pesta pernikahan, dari mulai rias pengantin, sewa
tempat, dan hal-hal terkait pernikahan lainnya.1 Selain untuk acara pesta
pernikahan, uang jujuran sebagian digunakan sebagai bekal kedua
mempelai untuk menghadapi kehidupan rumah tangga.2 Bahkan banyak
dari masyarakat yang menggunakan uang jujuran sebagai mahar untuk
akad nikah, baik digunakan seluruhnya ataupun sebagian.3 Sehingga hal
ini yang membuat anggapan sebagian masyarakat bahwa jujuran dan
mahar adalah hal yang sama.4
Masyarakat setempat berpendapat bahwa jujuran sebagai salah satu
tradisi yang dilakukan dalam rangkaian acara pernikahan. Hal ini akan
menjadi aneh, apabila tidak dilaksanakan dalam rangkaian acara
pernikahan5 dan akan berdampak mendapatkan gunjingan di kalangan
masyarakat karena dianggap tidak menghormati adat budaya.6
Entah sejak kapan jujuran ini menjadi populer. Karena belum pernah
ditemukan undang-undang atau aturan tertulis mengenai jujuran.
1 Wawancara Pribadi dengan Noraianah (Tokoh Masyarakat), Tabalong 22 Januari
2018. 2 Wawancara Pribadi dengan Husni Thamrin (Tokoh Agama), Tabalong 23 Januari
2018. 3 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Jaelani (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018. 4 Wawancara Pribadi dengan Misna Wati (Masyarakat), Tabalong 21 Januari 2018. 5 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 75. 6 Wawancara Pribadi dengan Hendra (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.
39
Meskipun demikian, tradisi jujuran sudah di lakukan dan di kenal sejak
masih ada zaman pangeran.7
Sebelum menentukan jumlah jujuran yang menjadi nilai pandang
pangeran adalah rumah calon mempelai wanita dan tutur katanya. Karena
apabila rumah itu dalam keadaan rapi dan tutur katanya baik, maka akan
mencerminkan bahwa rumah mereka akan terurus dengan rapi dan anak-
anaknya terdidik dengan baik pula. Lebih jauh lagi, untuk menentukan
jumlah jujuran tersebut. Pangeran menginap di rumah keluarga calon
mempelai wanita. Hal ini dilakukan untuk melihat keseharian kehidupan
calon mempelai wanita. Karena zaman dahulu kamar itu tidak tertutup,
maka si pangeran dapat melihat calon mempelai wanita. dari mulai si
calon mempelai wanita bangun hingga tidur lagi, yang di cari oleh si
pangeran adalah wanita yang ketika bangun tidur menggulung
rambutnya, hal ini di karenakan wanita zaman dahulu memiliki rambut
yang panjang-panjang.
Kemudian si calon mempelai wanita membereskan tempat tidurnya,
apabila terdapat kain dan sarung, di lipat hingga rapi, lalu membuka
jendela. Setelah itu calon mempelai wanita pergi ke dapur untuk
menghidupkan api untuk menanggar tungku yang nantinya digunakan
untuk merebus air. Karena zaman dahulu masih menggunakan kayu
sebagai bahan bakar. Kemudian, si calon mempelai wanita akan pergi ke
sungai untuk mencari kayu bakar serta mengambil wudhu untuk
menunaikan sholat. Kemudian berdandan serta menyiapkan makanan
yang nantinya akan di sajikan untuk pangeran
Selain menginap di kediaman calon mempelai wanita, si pangeran
membawa beras beserta ampas padinya, yang nantinya akan diberikan
7 Wawancara Pribadi dengan Sahidul Bakhri (Kepala KUA Murung Pudak), Tabalong
24 Januari 2018.
40
kepada si calon mempelai wanita untuk di bersihkan. Apabila beras
tersebut masih memiliki ampas padi setelah di bersihkan oleh si calon
mempelai wanita. Dapat di simpulkan bahwa wanita tersebut tidak teliti
dalam mengurus keuangan rumah tangga. Oleh karena itu pangeran
mencari wanita yang paling bersih dalam membersihkan ampas padi. Hal
ini di lakukan oleh pangeran dari kampung ke kampung, sampai
menemukan calon mempelai wanita yang memenuhi kriteria tersebut.
Setelah itu pangeran melamar dan menentukan jumlah jujuran.8
2. Pandangan Masyarakat Kabupaten Tabalong Tentang Batas Minimal dan
Maksimal Jujuran
Jujuran memang identik dengan uang, akan tetapi tidak ada batasan
minimal ataupun maksimal dari jumlah jujuran, karena besarnya jumlah
jujuran adalah atas kesepakatan bersama. Akan tetapi besar atau kecilnya
jumlah jujuran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, jumlah jujuran tergantung pasaran daerah tersebut,
maksudnya setiap daerah memiliki pandangan yang berbeda terhadap
jumlah jujuran. Ada daerah yang menganggap bahwa Rp. 50 juta itu
wajar sebagai pemberian jujuran. Akan tetapi daerah lain menganggap
uang tersebut sangatlah besar. Hal ini dipengaruhi oleh pendapatan warga
setempat.9 Di daerah Kabupaten Tabalong rata-rata harga pasaran jujuran
gadis Rp. 50 juta, janda Rp. 15 juta dan anak pejabat Rp. 100 juta. Hal ini
bisa saja berubah sesuai dengan kesepakatan di dalam pembicaraan ketika
lamaran.
Kedua, status sosial orangtua si gadis maksudnya adalah apabila
orangtua si gadis itu pejabat atau pengusaha maka jujurannya akan lebih
8 Wawancara Pribadi dengan Arif Rahman Hakim (Tokoh Agama), Tabalong 25
Januari 2018. 9 Wawancara Pribadi dengan Rahman Hakim (Penghulu KUA Murung Pudak),
Tabalong 26 Januari 2018.
41
banyak jumlahnya dibandingkan dengan anak petani ataupun guru. Hal
itu juga akan berbeda, apabila orangtua si gadis adalah tokoh agama,
maka akan lebih banyak jumlah jujurannya dibandingkan warga biasa.10
Ketiga, tingkat pendidikan si gadis.11 Jumlah jujuran juga dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang di tempuh oleh si gadis
dikarenakan, masyarakat percaya bahwa ibu adalah tempat pendidikan
pertama kali untuk anak-anaknya kelak nanti. Sehingga apabila seseorang
gadis memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, maka jumlah jujuran
untuk gadis tersebut akan meningkat sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan si gadis maka
ilmu pengetahuannya akan semakin banyak dan sangat baik untuk
keturunan-keturunannya kelak.
Keempat, kecantikan si gadis. Meskipun kecantikan itu relatif,
masyarakat Banjar tetap membedakan jumlah jujuran apabila seseorang
gadis itu memiliki paras yang lebih cantik dibandingkan gadis-gadis
lainnya. Hal ini merupakan penghargaan kepada si gadis karena dapat
menjaga kecantikkannya, sehingga banyak laki-laki yang ingin
menjadikan si gadis sebagai istrinya.12
Kelima, karena memang dikehendaki orangtua si gadis sebagai biaya
perkawinan dan bakal hidup bagi mempelai. Dalam wawancara bersama
ibu Asnawati, beliau menceritakan pengalamannya terkait tawar
menawar mengenai jumlah jujuran. Pada awalnya anak beliau didatangi
oleh laki-laki yang ingin melamarnya. Laki-laki tersebut merupakan anak
yatim piatu dan hanya bisa memberikan jumlah jujuran sebesar Rp. 10
10 Wawancara Pribadi dengan Agus Sami (Tokoh Adat), Tabalong 27 Januari 2018. 11 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Robyani (Masyarakat), Tabalong 22 Januari
2018. 12 Wawancara Pribadi dengan Aulia Rachman (Masyarakat), Tabalong 22 Januari
2018.
42
juta. akan tetapi ibu Asnawati tidak menyetujui jumlah jujuran tersebut,
lalu meminta untuk meningkatkan jumlah jujuran hingga sebesar Rp. 50
juta.
Hal ini bukan dikarenakan ingin mempersulit pihak laki-laki, akan
tetapi uang jujuran tersebut digunakan sebagai biaya pesta pernikahan.
Dari mulai sewa gedung, biaya konsumsi, biaya rias pengantin dan
lainnya yang ditaksir sebesar Rp. 75 juta. Oleh karena itu ibu Asnawati
meminta untuk meningkatkan jumlah jujuran bukan dikarenakan ingin
mempersulit pihak laki-laki untuk dapat menikah dengan anaknya. Akan
tetapi hal itu dilakukan agar pesta pernikahan yang sekali dalam seumur
hidup untuk anak gadisnya meriah dan dari masing-masing pihak
mengeluarkan uang untuk biaya pernikahannya yang seimbang. Karena
bagaimanapun juga pernikahan ini bukan acara sepihak, melainkan acara
kedua belah pihak.13
3. Praktik Jujuran
Sebelum membicarakan mengenai jumlah jujuran, masyarakat Banjar
di Kabupaten Tabalong selalu mengawali dengan tradisi Badatang.
Badatang adalah istilah untuk prosesi lamaran yang dilakukan calon
mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita. Jadi ada tata krama
dalam Badatang, yaitu menanyakan kepada pihak perempuan apakah
sudah ada yang datang sebelumnya atau tidak.14 Walaupun kita tau bahwa
kedua calon mempelai ini berpacaran sebelumnya. Tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa sudah ada laki-laki yang Badatang sebelumnya.
Apabila sudah ada yang pernah Badatang dan menayakan jujuran, maka
pihak laki-laki tidak boleh melanjutkan bertanya mengenai jumlah
13 Wawancara Pribadi dengan Asnawati (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018. 14 Wawancara Pribadi dengan Asnah Hudaya (Pegawai Kemenag Tabalong), Tabalong
21 Januari 2018.
43
jujuran yang diminta oleh keluarga mempelai wanita.15 Apabila terjadi,
maka ini akan menjadi tindakan penghinaan terhadap keluarga pihak laki-
laki yang badatang dan bertanya sebelumnya.16
Ketika tidak ada pihak laki-laki yang melamar, maka pada saat
Badatangan akan dimulai pertanyaan-pertanyaan mengenai jumlah
jujuran yang diminta oleh pihak wanita. Pertanyaan ini tidak secara
langsung, seperti “ Berapa jumlah jujurannya? ” karena hal ini di anggap
tidak sopan, biasanya untuk menanyakan jumlah jujuran di gunakan
bahasa-bahasa sindiran seperti “ Berapa mintanya? “, “ Berapa yang kira-
kira kami dapat bantu? ” Atau hal-hal sindiran lainnya.17
Kemudian pihak perempuan akan menentukan jumlah jujuran yang di
minta. Apabila jumlah jujuran di masyarakat sekitar 40 juta, maka pihak
perempuan akan meminta jumlah jujuran sekitar 40 juta. Apabila pihak
laki-laki tidak sanggup, maka pihak laki-laki akan meminta jumlah
jujuran untuk di kurangi. Disinilah terjadi proses tawar-menawar.
Walaupun terjadi tawar-menawar, jumlah jujuran ini sesuai dengan
kemampuan dan keadaan, melihat sesuai dengan kepribadian perempuan
dan laki-lakinya.18 Sehingga nanti akan terjadi kesepakatan di antara
kedua belah pihak.
Apabila pihak laki-laki meminta jumlah jujuran terlalu sedikit dari yang
diminta dari pihak perempuan hal ini dapat dianggap sebagai penghinaan
terhadap pihak perempuan dan berakibat bahwa jujuran tidak akan di
15 Wawancara Pribadi dengan Mustofa Inani (Ketua Bimbingan Masyarakat Islam),
Tabalong 22 Januari 2018. 16 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Zarkasi (Ketua Kelompok Pengawas Kemenag
Tabalong), Tabalong 23 Januari 2018. 17 Wawancara Pribadi dengan Norma (Ketua RT), Tabalong 24 Januari 2018. 18 Wawancara Pribadi dengan Bahrul Amiq (Penghulu Kampung), Tabalong 17 Januari
2018.
44
lanjutkan kepada tahap berikutnya yaitu pernikahan.19 Hal ini
dikarenakan sebelum terjadinya pertemuan antara kedua pihak keluarga,
biasanya telah dibicarakan mengenai besaran jumlah jujuran oleh kedua
calon mempelai. Sehingga keduabelah pihak di rasa telah mengetahui
patokan besaran jumlah jujuran. Sehingga apabila terjadi musyawarah
dan pihak laki-laki menawar terlalu jauh dari pembicaraan sebelumnya,
maka akan dianggap sebagai sebuah penghinaan. Sebaliknya, apabila
pihak laki-laki dan pihak perempuan sepakat mengenai jumlah jujuran
maka akan dilanjutkan pada tahap penyerahan jujuran.20 Jujuran itu
semacam mahar yang berlaku pada masyarakat adat, namun tidak sama
dengan mahar.21
B. Makna Filosofis Jujuran dalam Sudut Pandang Masyarakat Banjar di
Kabupaten Tabalong
Menurut masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong, Jujuran tidak hanya
sebagai pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita, dibalik pengertian
tersebut jujuran juga memiliki makna-makna filosofis, diantaranya:
1. Jujuran sebagai bentuk keseriusan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan
Pada saat Badatang biasanya dibicarakan mengenai jumlah
jujuran. Jumlah jujuran diawali oleh pihak keluarga wanita mengenai
besaran jumlahnya. Lalu pihak si wanita menyetujui atau meminta agar
dinaikkan sehingga sesuai dengan keinginan dan kemaslahatan
bersama. Apabila pihak laki-laki belum mampu mencukupi jumlah
19 Wawancara Pribadi dengan Muhamad Rijani (Wakil Lurah Mabuun), Tabalong 22
Januari 2018. 20 Wawancara Pribadi dengan Noraianah (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018. 21 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-KAHFI,
2008), h.225.
45
jujuran, maka hal ini akan memotivasi pihak laki-laki dalam memenuhi
jumlah jujuran tersebut. Apabila pihak laki-laki menyanggupinya.
Maka hal ini merupakan bahwa ada keseriusan pihak laki-laki terhadap
pihak si gadis. Hal ini akan berakibat dalam mengurangi resiko
perceraian dikarenakan apabila terdapat permasalahan di dalam rumah
tangga, pihak laki-laki tidak akan dengan mudah melakukan talak
karena mengingat kembali perjuangannya dalam mencari uang untuk
biaya jujuran22
2. Sebagai bentuk penghargaan terhadap anak
Anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab dari orangtua
karena institusi yang pertama sebagai tempat anak belajar adalah rumah.
Seorang anak paling banyak menghabiskan waktu bersama orangtuanya
dimana mereka belajar dari orangtua dan lingkungan rumah. Orangtua
memainkan peran penting dalam pendidikan anak mereka, berapapun
usianya maupun tingkat pendidikannya. Jika orangtua memberikan
perhatian pada anak mereka, anak-anak akan memilki kecenderungan
untuk meraih prestasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan anak-
anak yang diabaikan oleh orangtua. Meskipun orangtua memiliki peran
yang penting, berhasil tidaknya seseorang ditentukan oleh diri mereka
sendiri.
Seorang wanita apabila dia mampu dan berhasil dalam pendidikan,
pekerjaan dan hal-hal lainnya. Menunjukkan bahwa dirinya mampu
mendidik anak dengan baik, sehingga dapat membuat si wanita
memiliki nilai lebih dari wanita-wanita seusianya. Maka orangtua si
wanita akan mempertimbangkan jumlah jujuran sesuai dengan usaha
anaknya karena si wanita dapat memiliki nilai lebih dari wanita-wanita
22 Wawancara Pribadi dengan Norainah (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.
46
lainnya. Hal ini merupakan bentuk penghargaan orangtua kepada
anaknya.23
3. Jujuran sebagai media persetujuan atau penolakan terhadap lamaran
pihak laki-laki
Jumlah jujuran merupakan hal yang selalu di bahas pada saat
pihak laki-laki datang kerumah orangtua calon mempelai wanita untuk
menyatakan keseriusan, kesiapan, niat dan tekad yang tulus untuk
menikahi calon mempelai wanita dengan kesungguhan cinta dan agama.
Disini pihak mempelai laki-laki kemudian membicarakan tentang
jumlah jujuran yang harus dipenuhi. Apabila keluarga mempelai wanita
menolak, biasanya meminta jumlah jujuran yang jauh lebih tinggi dari
jumlah jujuran pasaran. Jumlah jujuran pasaran adalah jumlah yang
biasanya dimana gadis-gadis seusianya diberikan jumlah jujuran oleh
pihak laki-laki.
Di daerah Kabupaten Tabalong biasanya jumlah jujuran sebesar
50 juta, maka kedua orang tua mempelai wanita menetapkan jumlah
jujuran untuk anaknya adalah 100 juta. Hal ini sebagai pertanda bahwa
keluarga mempelai wanita menolak lamaran dari pihak laki-laki. Karena
jumlah yang terlalu besar, menyebabkan keluarga mempelai pria tidak
bisa melanjutkan lagi ke tahap pernikahan. Hal ini sudah biasa terjadi di
masyarakat, bahwa menaikkan jumlah jujuran yang terlalu besar
merupakan sebuah isyarat penolakan.
Apabila keluarga mempelai wanita setuju, musyawarah diawali
dengan pernyataan dari pihak laki-laki mengenai jumlah jujuran. Lalu
pihak wanita meminta untuk ditambahkan jumlah jujurannya. Jika
keluarga mempelai laki-laki menyanggupinya maka keluarga mempelai
23 Wawancara Pribadi dengan Rafdiansyah (Penghulu KUA Tanta), Tabalong 22
Januari 2018.
47
wanita menyetujuinya dan langsung membahas mengenai acara
pernikahan. Bahkan apabila kedua orangtua mempelai wanita menyukai
calon mempelai pria. Karena si pria terkenal dengan kepintarannya,
pengetahuannya tentang agama, atau karena pekerjaan si pria. Keluarga
mempelai wanita meminta jumlah jujuran sesuai dengan kemampuan
pria tanpa menentukan jumlah jujurannya24
4. Jujuran sebagai media dalam kesepakatan biaya perkawinan
Ketika membahas tentang pernikahan, memang bahasannya
tidak akan jauh dari perkara biaya. Adanya biaya merupakan masalah
yang krusial dan utama dalam mempersiapkan acara pernikahan.
Kesepakatan atau pembicaraan dari hati ke hati perlu dilakukan agar
kedepannya tidak ada masalah yang timbul di antara pasangan akibat
biaya dari pernikahan.
Untuk mencukupi biaya pernikahan, maka digunakanlah uang
jujuran yang telah diberikan oleh pihak mempelai pria. Pada saat
musyawarah terkait jumlah jujuran. Keluarga mempelai wanita
meminta jumlah jujuran berserta uang jujuran yang diberikan kepada
pihak wanita, sebenarnya bukan diambil semua oleh pihak wanita. Akan
tetapi untuk kemaslahatan bersama dalam artian untuk biaya pernikahan
kedua mempelai. Uang jujuran tersebut sebagian besar digunakan untuk
biaya konsumsi pesta, rias pengantin, sewa gedung dan lain-lain terkait
biaya pesta.25
5. Jujuran sebagai modal untuk masa depan
Melalui pernikahan, manusia yang berpasangan laki-laki dan
perempuan akan memulai menjalani kehidupan baru, yaitu kehidupan
rumah tangga. Untuk menjalani kehidupan yang baru seharusnya
24 Wawancara Pribadi dengan Zaenal Silaturahmi (Ketua RT), Tabalong 22 Januari
2018. 25 Wawancara Pribadi dengan Misna Wati (Masyarakat), Tabalong 21 Januari 2018.
48
memiliki persiapan untuk menghadapinya. Sebagian masyarakat yang
sudah terbiasa dengan budaya berdagang. Tidak menggunakan uang
jujuran seluruhnya untuk pesta pernikahan, akan tetapi sebagian uang
jujuran di simpan dan digunakan untuk modal berbisnis26
C. Harmonisasi Jujuran Dalam Perspektif Masyarakat Banjar di Kabupaten
Tabalong Dengan Hukum Islam
1. Jujuran diperbolehkan
a. Tidak ada larangan mengenai batasan maksimal mahar
Berkaitan dengan ketentuan mengenai jumlah mahar dan jujuran yang
terbilang tinggi dalam masyarakat Banjar, memang seolah-olah
berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
رسول هللاا صلي هللاا عليه و سلم : و عن ابن عباس رضي هللاا قل
خير النساء احسهن وجوها و ارخصهن مهور )رواه البيهقي(27
Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw:
sebaik-baiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya
dan termurah maharnya.” (HR. Baihaqi).
Hadis tersebut hanya bersifat anjuran dalam artian tidak ada
kewajiban untuk mengikutinya, karena tidak ada satu pun dalil yang
membatasi jumlah maksimal dalam pemberian mahar, dan beberapa
ulama berbeda pendapat dalam penentuan jumlah minimal mahar.
Dalam QS. An-Nisa’ (4):3 hanya disebutkan demikian :
26 Wawancara Pribadi dengan Bahrul Amiq (Penghulu Kampung), Tabalong 17 Januari
2018.
27 Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), Juz III, h. 13.
49
نه نفسا بن لك م عن شيء م ن نحلة فإن ط وآت وا الن ساء صد قاته
يئا فك ل وه هنيئا مر
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.”
Bagaimanapun masyarakat luar daerah menganggap masyarakat
suku Banjar terlalu berlebihan dalam meminta uang (jujuran) sebelum
melaksanakan pernikahan, bahkan jika terlalu besar permintaanya
dianggap menjual anak. Kenyataannya seberapa besar jumlah jujuran
tersebut selalu didahului dengan kesepakatan, dalam artian kedua belah
pihak penuh dengan kerelaan dalam menyepakati jumlah jujuran
b. Jujuran sebagai penyambung tali silaturrahim
Pada saat penentuan jujuran selalu diawali dengan kedatangan
keluarga besar calon mempelai laki-laki dan disambut oleh keluarga
besar mempelai wanita. Dan ketika jujuran telah ditetapkan dan
diberikan kepada pihak wanita, maka kedua keluarga besar tersebut
akan terikat, dan menjadi sebuah keluarga baru.28 Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa silaturrahim adalah salah satu kegiatan yang
sangat di anjurkan dalam agama Islam. Berikut ini adalah beberapa
potongan ayat Al-Qur’an tentang silaturrahim :
1. Surat Muhammad ayat 22
28 Wawancara Pribadi dengan Husni Thamrin (Tokoh Agama), Tabalong 22 Januari 2018.
50
ع وا أرحامك م فهل د وا في الرض وت قط عسيت م إن تول يت م أن ت فس
Artinya : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan?”
2. Surah An-nisa ayat 1
نها يا أيها ا دة وخلق م ن نفس واح ي خلقك م م لن اس ات ق وا رب ك م ال ذ
ي تساءل ون ال ذ جال كثيرا ونساء وات ق وا الل ما ر نه زوجها وبث م
كان عليك م رقيبا به والرحام إن الل
Artinya :”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
3. Surah Arra’du ayat 21
ل ون ما أمر الل به أن ي وصل ين يص م ويخاف ون وال ذ ويخشون رب ه
ساب س وء الح
Artinya : ”Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut
kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
Dari ayat-ayat di atas telah jelas bahwa Islam sangat
menganjurkan memperpanjang serta mempererat tali silaturahmi.
51
c. Jujuran digunakan untuk tolong-menolong biaya acara walimah
Meskipun dalam praktik jujuran terjadi tawar-menawar.
Masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong hampir tidak ditemukan ada
yang menggunakan uang jujuran untuk memperkaya diri sendiri dengan
memanfaatkannya.29 Karena uang jujuran itu digunakan untuk
menolong biaya pesta pernikahan dan sebagai modal kedua mempelai
menempuh hidup baru. Walaupun mengadakan walimah merupakan
tanggung jawab dari mempelai pria. Akan tetapi di Kabupaten Tabalong
pihak wanita dalah pihak yang memiliki acara, sehingga segala biaya
yang keluar dalam pesta pernikahan di kelola oleh pihak wanita.
Sehingga pihak laki-laki dan pihak wanita saling tolong-menolong
dalam biaya acara walimah. adapun pesta pernikahan tersebut di
harapkan dapat menjadi media untuk bersyukur dan bergembira, juga
untuk memberikan semacam pengumuman agar orang-orang tahu
bahwa pasangan tersebut sudah menikah.30
Pesta pernikahan oleh Masyarakat Banjar di Kabupaten
Tabalong juga di kenal dengan istilah Walimah.31 Walimah adalah
istilah yang terdapat dalam literatur arab yang secara arti kata berarti
jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk
penghelatan di luar perkawinan. Sedangkan definisi yang terkenal di
kalangan ulama, walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam
rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad
perkawinan dengan menghidangkan makanan32
29 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Jaelani (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018. 30 Wawancara Pribadi dengan Hendra (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018. 31 Wawancara Pribadi dengan Sahidul Bakhri (Kepala KUA Murung Pudak), Tabalong
24 Januari 2018.
32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkwinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 155.
52
Adapun hadis-hadis yang membahas mengenai walimatul ‘ursy,
، عن نافع ، عن ابن حد ثنا يحيى بن يحيى قال: قرأت على مالك
ي أحد ك م قال: قال رس ول هللاا صل ى هللاا عليه ع مر، وسل م: إذا د ع
فليأتها )روه مسلم( إلى الوليمة
Artinya : "Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya,
ia berkata, “Aku bacakan kepada Malik”, dari Nafi’, dari
Ibnu’Uma, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila
salah seorang diantara kalian diundang kepada suatu walimah,
maka hendaklah ia menghadirinya”. (HR. Muslim)33
هاب ، عن بن ي وس ف، أخبرنا مالك، عن ابن ش حد ثنا عبد الل
ي الل العرج، : شر عن أبي ه ريرة رض عنه ، أن ه كان يق ول
، ، ومن الط عام طعام الوليمة ي دعى لها الغنياء وي ترك الف قراء
ى هللاا عليه وسل م ورس وله صل ترك الد عوة فقد عصى الل
( البخرى روه )
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf,
Malik memberitakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari A’raj,
dari Abu Hurairah Radihiyallahu ‘anhu, Bahwa sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda, “seburuk-buruk makanan adalah
makanan walimah (pesta) dimana yang diundang hanyalah
orang-orang kaya sedangkan orang-orang fakir tidak diundang,
33 Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah, 2007M/1428H),
Juz. IX, h. 234.
53
siapa yang tidak memenuhi undangan walimahan, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasulnya”. (H.R. Bukhari)34
2. Jujuran tidak diperbolehkan
a. Sebagai media menyombongkan diri
Dengan perkembangan zaman, nilai utama jujuran sebagai
media tolong-menolong dan silaturrahim banyak disalahgunakan. Hal
ini merubah nilai tolong-menolong menjadi nilai untuk
menyombongkan diri.35 Semakin banyak jujuran yang diterima atau
diberikan, maka pandangan masyarakat terhadap kedua keluarga
tersebut akan berbeda. Sehingga hal ini menimbulkan gengsi di antara
masyarakat. Bahkan ada yang rela berbohong mengenai jumlah jujuran,
agar dapat dipandang menjadi keluarga yang kaya.36 Hal ini tentu tidak
mencerminkan nilai utama dari jujuran tersebut, yaitu tolong-menolong
dan silaturrahim.
Salah satu sifat yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah
sombong. Sombong adalah menganggap dirinya besar, memandang
orang lain hina dan berbangga diri yang sampai terlihat pada
penampilan luar.37 Padahal Allah SWT melarang keras untuk kita
sombong.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Isra’ : 37 yang berbunyi:
ق الرض ولن تبل غ ول تمش في الرض مرحا إن ك لن تخ ر
34 Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo:
Darul Haisyim, 2003), Juz III, h. 144. 35 Wawancara Pribadi dengan Arif Rahman Hakim (Tokoh Agama), Tabalong 25
Januari 2018. 36 Wawancara Pribadi dengan Rahman Hakim (Penghulu KUA Murung Pudak),
Tabalong 26 Januari 2018. 37 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarh Hilyah Thaalibil ‘Ilmi,
Penerjamah Ahmad Sabiq. Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu. Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2007, h. 32.
54
بال ط ول الج
Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung. (Al-Israa’:37)”
Sifat sombong bisa melemahkan posisi seseorang dalam
menghadapi tantangan, baik yang muncul karena sebab kelebihan ilmu,
wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah
mengambil kesimpulan, keputusan, atau bahkan memvonis keadaan
b. Sebagai media mempersulit orang lain
Budaya jujuran sangat identik dengan permasalahan sebelum
pernikahan. Meskipun masyarakat suku Banjar di Kabupaten Tabalong
tidak terlalu mempermasalahkannya. Akan tetapi jujuran juga
merupakan salah satu cara pandang agar seseorang dapat mendapat
tempat dalam status sosial yang tinggi.38 Dalam artian semakin tinggi
nilai jujuran, semakin tinggi pula derajat orang tersebut.
Hal ini dapat menimbulkan kesulitan kepada calon mempelai
laki-laki. Karena jujuran yang diminta akan semakin tinggi jumlahnya.
Hal ini dapat menimbulkan calon mempelai akan menunda jadwal
pernikahannya, sambil berusaha untuk memenuhi nilai jujuran yang
telah di tentukan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa calon
mempelai pria meminta bantuan orang-orang dalam bentuk hutang.
Meskipun pernikahan terjadi akan tetap menjadi beban bagi kedua
mempelai dalam membina rumah tangga karena harus melunasi hutang
untuk memenuhi jujuran.39
38 Wawancara Pribadi dengan Agus Sami (Tokoh Adat), Tabalong 27 Januari 2018. 39 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Robyani (Masyarakat), Tabalong 22 Januari
2018.
55
Dari sahabat Abi Shirmah radiyallhu ‘anhu beliau berkata,
Rasulullah shallallahu’alayhi wa sallam bersabda:
صلى هللاا رمة رضى هللاا عنه قال: قال رس ول الل وعن أبي ص
سل ما شق ه اهلل, ومن شاق م سلما ضار عليه وسلم من ضار م
د ) الل عليه ي وحس نه أخرجه أب و داو ذ ( والت رم
Artinya : “Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada
seorang muslim, maka Allah akan memberi kemudharatan
kepadanya, barang siapa yang merepotkan (menyusahkan)
seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia” (H.r. Abu
Dawud dan dihasankan oleh Imam At Tirmidzi).40
D. Analisis Penulis
Pertama penulis akan menganalisis mengenai budaya jujuran. Jujuran
pada adat Banjar adalah kebiasaan calon mempelai laki-laki memberikan
sejumlah uang kepada calon mempelai wanita. Jujuran berbeda dengan mahar.
Karena mahar merupakan syarat sahnya pernikahan. Sedangkan jujuran
merupakan suatu kebiasaan yang ada dalam masyarakat Banjar. Tanpa ada
jujuran sekalipun pernikahan tetap sah. Sebagaimana yang telah dijelaskan
pada bab-bab sebelumnya. Mahar merupakan suatu hal yang disebutkan dalam
ijab kabul sedangkan jujuran tidak.
Jujuran biasanya berbentuk sejumlah uang. Sedangkan mahar tidak
hanya bisa berbentuk sejumlah uang tetapi bisa juga seperti emas atau barang
lainnya dan bahkan ada juga menjadikan hafalan ayat suci Al-Qur’an sebagai
mahar pernikahan. Jujuran tersebut hanya suatu kebiasaan yang ada dalam adat
Banjar yang hingga saat ini masih lestari dan dipertahankan masyarakat Banjar.
Selain itu terkadang kebanyakkan jumlah jujuran lebih banyak dari pada
jumlah mahar yang ada.
40 Hadis riwayat Abu Dawud nomor 3635
56
Tradisi Jujuran telah menjadi suatu perbuatan yang terus-menerus
dilakukan oleh masyarakat suku Banjar. Sehingga sesuai dengan kaidah fikih,
حك مة العا د ة م
Artinya: “ Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran
hukum”41
Kaidah fikih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. Adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan
dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya
perbuatan tersebut. Maka ‘urf tidak demikian halnya. Kata ‘urf digunakan
dengan memandang ada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui,
diketahui, dan diterima oleh orang banyak.42
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syariat.
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan
kemaslahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah
Dari beberapa syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa jujuran masih
dapat diterima menjadi suatu adat yang dapat dijadikan landasan hukum.
Kedua penulis menganalisis mengenai pengertian dari jujuran.
Meskipun jujuran sudah menjadi suatu adat, akan tetapi sebagian masyarakat
Banjar, masih sering menyamakan antara mahar dengan jujuran. Menurut
41 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t:
Pustaka Al-Furqon, 2009), h. 114. 42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 388.
57
analisis penulis hal ini disebabkan fungsi yang hampir sama yaitu pemberian
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, serta kebanyakan mahar yang nanti
akan disebutkan dalam akad di ambil dari pemberian jujuran.
Sehingga masyarakat berpendapat bahwa mahar dan jujuran itu sama.
Padahal mahar adalah syarat sah dari perkawinan sedangkan jujuran tidak.
Meskipun bukan merupakan syarat sah dari perkawinan, jujuran dalam
masyarakat Banjar hampir mendekati suatu kewajiban.
Hal ini apabila tidak dilakukan, maka akan menimbulkan cemoohan,
ejekan serta hinaan dari masyarakat, bahkan bisa memicu timbulnya suatu
fitnah. Seperti pandangan masyarakat kepada calon mempelai wanita bahwa
telah hamil diluar pernikahan yang sah.
Dalam pembahasan tentang metode penemuan hukum dengan
pendekatan hukum (maqoshid syari’at) telah digambarkan, bahwa tujuan asy-
syari’ dalam menetapkan hukum adalah semata-mata demi kemaslahatan
hamba-hambanya, bukan untuk menyusahkan dan mempersulit mereka.
Oleh karena itu, baik melalui Al-Qur’an maupun hadis, asy-syari’ tidak
pernah memerintahkan suatu perbuatan, kecuali karena didalam perbuatan
tersebut terdapat kemaslahatan, meskipun didalam perintah tersebut terkadang
terdapat kesulitan yang dalam batas-batas kemampuan manusia untuk
melaksanakan.
Berdasarkan prinsip inilah penulis mecoba menghubungkan antara
praktik jujuran dengan suatu kaidah fikih yaitu,
قد م على جلب ال د م مصالح درء المفاس
58
Artinya : “Menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih
manfaat”.43
Kaidah ini maksudnya adalah berbenturan antara menghilangkan
sebuah kemudhorotan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka di
dahulukan menghilangkan kemadhorotan. Karena dengan menolak
kemadhorotan berarti juga meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum
Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat.44
Jika penulis hubungkan antara jujuran dengan kaidah ini. Bahwa
jujuran apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kemudharatan. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu praktik jujuran di
masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong tidak bertentangan dengan kaidah-
kaidah fikih.
Ketiga penulis akan menganalisis mengenai praktik tawar-menawar
serta menentukan harga dalam adat jujuran. Masyarakat adat Banjar di dalam
menjalankan kebiasaan atau tradisi jujuran kebanyakan tidak merasa terbebani
dan tidak menganggap bahwa jujuran itu adalah hal yang menyimpang dari
hukum Islam. Sehingga hal ini sudah dianggap kebiasaan baik yang harus
ditunaikan bagi pihak yang akan menikahi wanita Banjar. Sebagaimana
pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada penentuan jumlah jujuran
oleh pihak keluarga calon mempelai wanita.
Dalam penentuan jumlah jujuran, keluarga mempelai wanita tidak
semena-mena dalam menetukan jumlah jujuran. Sebelum menentukan, mereka
memperkirakan jumlah biaya yang nanti akan dikeluarkan untuk acara
perkawinan. Serta melihat bagaimana latar belakang calon mempelai pria.
43 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t:
Pustaka Al-Furqon, 2009), h. 101. 44 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, h.
102.
59
Informasi tersebut didapat melalui pembicaraan kedua belah mempelai.
Nantinya akan di informasikan kepada keluarga wanita oleh si mempelai wanita
itu sendiri. Bahwa si calon mempelai pria hanya mampu memberikan jujuran
dalam jumlah tertentu. Apabila keluarga wanita menyetujui, makan akan
ditentukan tanggal untuk menerima kedatangan pihak si calon mempelai pria.
Adapun ketika pada saat tanggal yang ditentukan, dimana keluarga si
calon mempelai pria datang atau lebih dikenal oleh masyarakat Banjar dengan
Badatangan. Keluarga mempelai wanita akan menentukan harga diatas yang
ditentukan sebelumnya, dengan jumlah yang tidak terlalu tinggi dari jumlah
yang dibicarakan sebelumnya.
Hal ini untuk melihat keseriusan dari keluarga pihak mempelai pria dan
disinilah terjadi proses tawar menawar, bisa jadi jumlah jujuran akan lebih
banyak dari jumlah yang telah dibicarakan oleh kedua mempelai sebelumnya,
tetapi bisa juga sesuai dengan yang telah mereka bicarakan.
Hal utama yang terjadi pada saat tawar-menawar adalah bukan untuk
menjual anak, akan tetapi untuk mencari kesepakatan agar terwujudnya rasa
saling tolong-menolong diantara kedua keluarga. Hal ini masih diperbolehkan
di dalam syariat Islam. Hal ini dapat digambarkan di dalam hadis sebagaimana
berikut:
يث سهل بن ي هللاا عنه قل : جاءت امرأة إلى رس ول حد سعد رض
ئت أهب لك هللاا صلى هللاا عليه و سل م فقالت يا رس ول هللاا ج
ي فنظر إليها رس ول هللاا صل ى هللاا عليه وسل م فصع د الن ظر نفس
ا فيها وصو به ث م طأطأ رس ول هللاا صل ي هللاا عليه وسل م رأسه فلم
ن ل م رأت المرأة ان ه لم يقض فيها شيءا جلست فقام رج
60
جنيها أصحبه فقال يا رس ول هللاا إن لم يك ن لك بها حاجت فزو
ن شيء فقال ل وهللاا يا رس ول هللاا فقال اذهب ف ندك م قال فهل ع
د شيءا فذهب ث م رجع فقل ل وهللاا ما إل أهلك فانظ رهل تج
لو وجدت شيءا فقال رس ول هللاا صل ي هللاا عليه وسل م انظ ر و
داء فلها ي قال سهل ما له ر ن هذا إزار يد ولك ن حد خاتما م
ك نصف ه فقال رس ول هللاا صل ى هللاا عليه وسل م ما تصنع بإزار
نه شيء وإن لبسته عليك نه شيء إن لبسته لم يك ن عليها م م
ل حت ى إذا طال مجلس ه قام فرآه رس ول هللاا صل ى هللاا ج فجلس ار
ن ا جاء قال ماذا معك م ي فلم ول يا فأمر به فد ع عليه وسل م م
ي س ورة كذا وس ورة كذا عدده ه ن عن الق رآن قال مع ا فقال تقرؤ
ن الق رآن ل كتها بما معك م ظهر قلبك قال نعم قال اذهب فقد م
Artinya : “Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu,
dia telah berkata: “ Pada suatu ketika seorang perempuan datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata: “Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menyerahkan
diriku kepadamu. “ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memandangnya sambal mendongak kepadanya dan
memperhatikan dengan teliti kemudian belaiau mengangguk-
anggukan kepalanya. Ketika perempuan itu mendapati
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam diam tanpa memberi
keputusan, perempuan itu segera duduk, lalu bangkitlah seorang
sahabt dan berkata: “Wahai Rasulullah! Sekiranya engkau tidak
ingin mengawininya kawinkanlah aku dengannya. “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bertanya : ”Apakah kamu
memiliki sesuatu yang dijadikan maskawin ? “Sahabat itu
menjawab: “Tidakada” Beliau bersabda: “Pulanglah menemui
keluargamu, mencari sesuatuyang bsa dijadikan maskawin.”
Lantas sahabat tersebut pulang, kemudian kembali menemui
45 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-
Ma’rifah. T.th), Juz 3, h. 232.
61
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Demi
Allah! Aku tidak mendapatkan apa-apa yang bisa dijadikan
maskawin.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata lagi: “Carilah walaupun sebentuk cincin besi.” Lalu
sahabat tersebut pulang dan datang kembali serta berkata:
“Wahai Rasulullah! Demi Allah aku tidak mendapatkan apa-apa
walaupun cincin besi, tetapi aku hanya memiliki kain ini, yaitu
kain yang hanya bisa menutupi bagian bawah badanku (Sahl
berkata: Sahabat ini tidak mempunyai pakaian yang menutup
bagian atas badannya) karena yang separo sudah aku berikan
kepada perempuan tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya:”Apa yang bisa engkau perbuat dengan kainmu
sekiranya sengkau memakai kain itu ? Apakah perempuan
tersebut tidak dapat memakainya walaupun sedikit ? Apakah
apabila dia memakai kain tersebut engkau tidak mempunyai
apa-apa untuk dipakai?” Sahabat itu duduk terdiam sekian lama
kemudian bangun lalu berjalan mondar-mandir kesana kemari.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat tingkah sahabat
tersebut. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan supaya dia dipanggil. Setelah sahabat tersebut
tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah
kamu mempunyai Al-Qur’an?” Sahabat tersebut menjawab:
“Aku hafal surat ini dan surat itu.” Lalu sahabat tersebut
menghitungnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya lagi: “Apakah engkau bisa membacanya secara
hafalan?” Sahabat tersebut menjawab: “Ya!” Rasulullah
berkata: “Pergilah! Engkau telah emilikinya berdasarkan
maskawin berupa ayat atau surat Al-Qur’an yang engkau hafal.”
(H.r. al-Bukhari)
Hadis di atas menerangkan bahwa maskawin tidak harus berupa harta
benda yang mahal. Mengajar Al-Qur’an atau sebuah cincin besi boleh dijadikan
maskawin kalau memang tidak punya apa-apa. Apabila mampu, seyogyanya
maskawin yang diberikan itu terdiri dari benda yang bermanfaat seperti emas,
uang dan lain-lain. Semakin tinggi nilai manfaatnya, semakin baiklah
maskawin tersebut.46
46 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih
Bagian Munakahat dan Mu’amalat (Jakarta: Kencana, 2004), h. 44.
62
Keempat penulis akan menganalisis mengenai jujuran sebagai
pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat Badatang.
Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian hadiah yang diberikan pihak laki-laki
kepada pihak perempuan selama proses Badatang, pada dasarnya merupakan
hadiah. Hadiah-hadiah ini sangat dianjurkan dengan maksud untuk memperat
tali silalturrahim. Akan tetapi jujuran tidak memiliki nilai jaminan apabila
setelah jujuran diberikan pernikahan dibatalkan. Apabila kita padankan dengan
istilah fikih, maka jujuran dapat diartikan dengan hadiah-hadiah khitbah. Ada
beberapa pendapat fikih mengenai mengembalikan hadiah-hadiah khitbah:
Pertama, boleh memintanya kembali jika barangnya yang dihadiahkan
masih ada dan utuh. Akan tetapi jika barangnya sudah rusak atau kualitasnya
menurun, maka lelaki pengkhitbah tersebut tidak berhak meminta gantinya.
Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi.47
Kedua, tidak boleh memintanya kembali, meskipun pembatalan
pertunangan dari pihak perempuan, kecuali ada syarat dan tradisi yang berlaku.
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama madzhab Maliki.
Ketiga, hadiah boleh diminta kembali apapun bentuknya. Jika hadiah
itu berupa barang yang masih utuh, maka barang itu diminta kembali. Jika
barangnya rusak, maka diminta kembali nilai harga barang tersebut. Pendapat
ini dikemukakan oleh jumhur ulama madzhab Syafi’I dan Hambali. Bagi
mereka, hadiah tidak sama dengan hibah, karena bagi mereka salah satu syarat
hibah adalah tanpa imbalan. Peminang yang memberi hadiah dalam
pertunangan, pada dasarnya mensyaratkan kekalnya akad. Jika akad itu tidak
terlaksana, maka dia berhak memintanya kembali.
47 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjamah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk. Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 37.
63
Keempat, jika pembatalan pertunangan dari pihak peminang, maka dia
tidak berhak untuk meminta kembali hadiah yang diberikannya. Jika
pembatalan berasal dari pihak perempuan, maka peminang berhak memintanya
kembali. Sebab, tujuan diberikannya hadiah itu belum terlaksana. Pendapat ini
dikemukakan oleh Rafi’I dari kalangan madzhab Syafi’I, Ibnu Rasyid dari
kalangan madzhab Maliki dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.48
48 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-sunnah Wa Adillatuhu wa
Taudhih Madzahib Al A’immah, Penerjamah Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh. Shahih
Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 196.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya:
1. Masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan memahami
bahwa jujuran dengan mahar itu berbeda. Walaupun sama-sama merupakan
pemberian dari pihak laki-laki, akan tetapi mahar di katakan menjadi suatu
keharusan yang diberikan dan diucapkan pada saat akad nikah. Sedangkan
jujuran hanya pemberian yang merupakan kesepakatan antara kedua belah
pihak. Dalam hal jumlah atau besaran jujuran dapat dipengaruhi strata
sosial yang dimiliki oleh pihak keluarga mempelai wanita. Strata sosial
disini tidak hanya berarti berasal dari keturunan kerajaan, tetapi bisa juga
karena seorang wanita telah memilki pekerjaan yang layak, jabatan yang
tinggi atau karena jenjang pendidikan yang telah dilalui. Telah terjadi
beberapa pergeseran dimasyarakat mengenai jujuran. Yang seharusnya
jujuran di jadikan sebagai media tolong menolong dan silturahmi. Bergeser
menjadi ajang saling gengsi mengenai jumlah atau besaran nilai jujuran.
2. Makna filosofis yang terkandung dalam adat Banjar mengenai jujuran
yaitu, adat tersebut berkaitan dengan prinsip tolong-menolong. Yang mana
antara kedua belah pihak saling tolong-menolong dalam mempersiapkan
kebutuhan dalam acara pernikahan. Selain itu jujuran juga sebagai media
pengikat antara kedua belah pihak mempelai agar tidak diperkenankan
untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu
sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat
atau hal-hal yang sejenisnya.
3. Integrasi hukum Islam dengan budaya jujuran adalah bahwa jujuran dengan
ajaran Islam memiliki prinsip yang sama, yaitu prinsip tolong-menolong
65
dan memperpanjang tali silaturrahim. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada
pemisahan antara budaya dan agama, karena budaya (kearifan) lokal dapat
terintegrasi dengan nilai-nilai atau semangat yang terkandung dalam Islam
B. Saran-saran
1. Bagi masyarakat, hendaknya berupaya tetap mempertahankan tradisi
jujuran sebagai salah satu identitas kebangsaan yang mengandung norma
kearifan lokal dan berusaha untuk lebih memahami hubungan antara tradisi
jujuran dengan nilai-nilai ajaran Islam. Agar kiranya setiap perkembangan
zaman dapat direspon dengan baik tanpa ada kesalahan-kesalahan yang
menyimpang dari ajaran agama.
2. Bagi ilmuwan dan ulama, hendaknya memilki kewajiban untuk
memberikan penjelasan mengenai nilai kearifan lokal yang terintegrasi
dengan Islam, tanpa menghindari perkembangan zaman. Karena justru
nilai-nilai utama filosofi dari tradisi jujuran seiring dengan semangat ajaran
Al-Qur’an yang mendorong masyarakat untuk tetap mempertahankan dan
menjalakan nilai-nilai ajarannya.
3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, hendaknya agar lebih intens melakukan penelitian di
bidang etnografis, untuk mengetahui bagaimana masyarakat tetap
mempertahankan prinsip-prinsip nilai keislaman yang dikemas dalam
tradisi-tradisi adat suatu daerah dan masih dipertahankan hingga saat ini,
66
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Adil Abdul Mun’im Abu. Az-Zawaj wa al-‘Alaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islam.
Penerjamah Gazi Said, Ketika Menikah Jadi Pilihan. Jakarta: Almahira, 2008.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Permas, 1975.
Arfa, Faisar Ananda dan Wathi Marpaung, Metode Penelitian Hukum Islam Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016.
As-San’ani Muhammad Ibnu Ismail. Subul as-Salam, Beirut: Dar al-Fikr. T.th.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta: Amzah, 2004.
Baihaqi, al-, Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali. Sunan Al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Bugha, al-, Musthafa. Diib At-Tadzhîb fî Adillat Al-Ghâyat wa At-Taqrîb Al-Masyhur
bi Matan Abi Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syâfi’î, Penerjamah D.A Pakihsati. Fikih
Islam Lengkap. Solo: Media Zikir, 2010.
Bukhari, al-, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari, Kairo: Darul
Haisyim, 2003.
Bukhari, al-, Imam Hafids Abi Abdillah Ibn Ismail. Shahih Bukhari, Riyadh: Baitul
Afkar Addauliyah, 1998.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT BULAN BINTANG, 2005.
Madkur, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wasit. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Mahalli, Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah. Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih
Jakarta: Kencana, 2004.
Mahalli, al-, Jalaluddin bin Muhammad Tafsiir Al-Jalalain. Penerjamah Najib Junaedi,
Tafsir Jalalain. Surabaya: Pustaka elBA, 2010.
67
Mochamad Rochman Firdian, “Tradisi “maantar jujuran” dalam perkawinan adat
Banjar Kalimantan selatan perspektif hukum Islam dan sosiologi hukum.”
Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, 2015.
Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu. Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al
Authar. Penerjamah Amir Hamzah dan Asep Sefullah, Ringkasan Nailul
Authar. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjamah
Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff. Fiqih Lima Madzhab.
Jakarta: Lentera, 2010.
Muslim, Imam. Shohih Muslim, Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah, 2007M/1428H.
Nasution, Rosramadhana. Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom:
Subaltern Perempuan Pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.
Nawawi, Hadari Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Sabiq , Ahmad bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, t.t:
Pustaka Al-Furqon, 2009.
Sabiq. Sayyid. ed, Fiqh Sunnah. Penerjamah Abdurrahim dan Masrukhin. Fikih
Sunnah 3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011
Saleh, Hasan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2008.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Keputusan), Bandung:
Penerbit Alfabeta, T.th.
Shalih, Syaikh. Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum
Islam. Jakarta: Darul Haq, 2015.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbâh. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
68
Sopyan, Yayan. Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, Ciputat, Buku Ajar, 2010.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkwinan, Jakarta: Kencana, 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: PRENADA
MEDIA, 2006.
Utsaimin, al-, Syaikh Muhammad bin Shalih. Fiqh Imrotul Muslimah, Penerjamah
Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani. Shahih Fiqih Wanita. Jakarta: Akbarmedia,
2009.
Utsaimin, al-‘, Syaikh Muhammad bin Shalih, Syarh Hilyah Thaalibil ‘Ilmi,
Penerjamah Ahmad Sabiq. Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu. Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2007.
Yanggo, Huzaemah T. (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Jakarta:
IIQ Press, 2011.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2010.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan ,
Jakarta : Prenadamedia Group, 2014.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi
dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira, 2010.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjamah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk. Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Artikel dan Wawancara
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabalong dalam Angka 2010, BPS Kabupaten
Tabalong, 2010.
BAPPEDA dan BPS Kabupaten Tabalong, Monografi Kabupaten Tabalong 2009.
Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari
http://tabalongkab.go.id/.
Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari
tabalongkab.bps.go.id.
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Jaelani (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018.
69
Wawancara Pribadi dengan Arif Rahman Hakim (Tokoh Agama), Tabalong 25 Januari
2018.
Wawancara Pribadi dengan Agus Sami (Tokoh Adat), Tabalong 27 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Aulia Rachman (Masyarakat), Tabalong 19 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Asnawati (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Asnah Hudaya (Pegawai Kemenag Tabalong), Tabalong
21 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Robyani (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Zarkasi (Ketua Kelompok Pengawas Kemenag
Tabalong), Tabalong 23 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bahrul Amiq (Penghulu Kampung), Tabalong 17 Januari
2018.
Wawancara Pribadi dengan Hendra (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Husni Thamrin (Tokoh Agama), Tabalong 23 Januari
2018.
Wawancara Pribadi dengan Misna Wati (Masyarakat), Tabalong 21 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Mustofa Inani (Ketua Bimbingan Masyarakat Islam),
Tabalong 22 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Muhamad Rijani (Wakil Lurah Mabuun), Tabalong 22
Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Noraianah (Tokoh Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Norma (Ketua RT), Tabalong 24 Januari 2018.
70
Wawancara Pribadi dengan Rahman Hakim (Penghulu KUA Murung Pudak),
Tabalong 26 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Sahidul Bakhri (Kepala KUA Murung Pudak), Tabalong
24 Januari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Zaenal Silaturahmi (Ketua RT), Tabalong 22 Januari 2018.