skripsi diajukan kepada fakultas ilmu tarbiyah dan...
TRANSCRIPT
HIKAYAT JAYA LENGKARA: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS NILAI-NILAI MORAL SERTA IMPLIKASINYA
DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
oleh
Muhamad Zainal Abidien
109013000075
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
المحافظة على القديم الصالح والألخذ باجلديد األصلح
“Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”
يدتقملا نسحا ناو ئدتبملل لضلفا“Keutamaan bagi orang yang memulai, meskipun setelahnya itu lebih baik”
Persembahan:
Karya kecil ini dipersembahkan untuk semua pelestari budaya dan semua orang yang berani tampil beda.
ii
ABSTRAK
MUHAMAD ZAINAL ABIDIEN, 109013000075, “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., Januari 2014.
Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tangan yaitu ilmu filologi. Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah yang berbentuk hikayat. Hikayat dikaji secara filologi untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah nilai moral. Pembelajaran moral di sekolah dapat dilakukan dengan memberikan pembinaan dalam pembelajaran karya sastra. Salah satu hikayat yang bisa dijadikan pilihan dalam pembelajaran moral di sekolah adalah Hikayat Jaya Lengkara. Hal itu dikarenakan dalam hikayat ini sarat dengan nilai-nilai moral yang layak untuk dijadikan contoh oleh peserta didik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini diarahkan pada analisis kajian filologi dalam Hikayat Jaya Lengkara dan nilai moral. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap isi cerita dan nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara sehingga dapat dibaca, dinikmati dan bermanfaat bagi masyarakat saat ini khususnya dalam bidang pendidikan.
Data penelitian yang dipakai berupa kalimat dan paragraf atau pernyataan yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang mengandung informasi tentang nilai moral. Adapun sumber data penelitian ini adalah Hikayat Jaya Lengkara tebal 31 halaman, berkode ML. 53, dan merupakan naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode naskah tunggal edisi standar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kajian filologi yang dilakukan secara mendalam, dapat mengungkap isi cerita dalam Hikayat Jaya Lengkara sehingga dapat dibaca dan dinikmati masyarakat saat ini. Nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral positif meliputi: sikap adil, kasih sayang, percaya, menolong, bertanggung jawab, hormat, bersyukur, pemberani dan sabar. Adapun nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral negatif meliputi: fitnah, iri, dengki, hasut, berbohong, tidak sabar, khianat, mencuri, menipu, penakut dan serakah.
Kata kunci : filologi, hikayat, suntingan teks, dan nilai moral.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya karena atas izin dan kasih-Nya penulis mendapatkan kemudahan
dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan
Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral Serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra
di Sekolah”. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw suri tauladan bagi semesta alam.
Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan
dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak
mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah
mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu, motivasi, kasih
sayang dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini;
3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
4. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi
yang dengan sabar, disiplin, telaten, dan penuh tanggung jawab
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Syukron Katsiron,
Jazakumullah Ahsanal Jaza.
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, yang telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan.
iv
6. Siti Amriah dan Muhammad Mahmur Zain, kedua orangtua penulis, yang
telah melahirkan, merawat, mendidik, mendukung, memotivasi, dan
mendoakan penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang. Terima kasih
Umi…Abah…;
7. Umi Yayah Ummu Adiyah dan Buya KH. Drs. Burhanuddin Marzuki
beserta seluruh Asaatidz dan Asaatidzah Pondok Pesantren Qotrun Nada
yang telah mendidik, membimbing, mendukung dan mendoakan penulis;
8. BUMN Peduli Pendidikan PT. Angkasa Pura II yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa program
pendidikan Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
9. KH. Utob Tobroni, Lc. beserta seluruh musyrif dan musyrifah Ma’had
UIN Syarif Hidayatullah serta Bagian Kemahasiswaan yang telah
mendidik, membimbing, dan membantu penulis;
10. Seluruh keluarga penulis, Aa Andri, Teh May, Ka Khoir, Ka Mursit, Aa
Afif, Teh Diah, Lala, Ziah yang selalu memberikan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
11. Seluruh teman seperjuangan penulis, PANDAWA dan SRIKANDI PBSI
UIN Syarif Hidayatullah, khususnya Siti Nurfitriani, S.Pd., yang telah
mendukung, memotivasi, membantu, dan selalu memberikan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
12. Sahabat karib penulis: Abang Arif, Boim, Bayu, Fadhlan, Tantowi, dan
Zaki serta seluruh teman asrama Ma’had UIN Syarif Hidayatullah; Siroj,
Habib, Joni, Zaki, Yusuf, Mas Arif dan lainnya yang telah membantu dan
memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
13. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada
penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Amin.
Tangerang, Januari 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………………... i
ABSTRAK ............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ………………………………………… . 4 C. Pembatasan Masalah .............................................................. 5 D. Perumusan Masalah ............................................................... 5 E. Tujuan Penelitian ................................................................... 6 F. Manfaat Penelitian ................................................................. 6 G. Metode Penelitian .................................................................. 7 H. Sistematika Penulisan ............................................................ 9
BAB II KAJIAN TEORETIS ............................................................... 10
A. Hakikat Filologi ................................................................... 10
1. .. Pengertian Filologi ..................................................... 10
2. Dasar Kerja Filologi ................................................... 11
3. Objek Filologi ............................................................. 12
B. Hikayat ................................................................................. 14
1. Pengertian Hikayat ..................................................... 14
C. Nilai-nilai Moral .................................................................. 15
1. Pengertian Nilai ......................................................... 15
2. Pengertian Nilai Moral ............................................... 15
3. Bentuk Penyampaian Moral ....................................... 18
D. Penelitian yang Relevan ...................................................... 20
vi
BAB III HIKAYAT JAYA LENGKARA: NASKAH DAN TEKS ......... 21
A. Tinjauan Naskah .................................................................. 21
1. Inventarisasi Naskah .................................................. 21
2. Deskripsi Naskah ....................................................... 21
B. Suntingan Teks ................................................................... 22
1. Tanda-tanda Suntingan ............................................... 22
2. Pemakaian Ejaaan ...................................................... 22
3. Pedoman Penulisan Kata-kata Arab ............................ 23
C. Teks Hikayat Jaya Lengkara .............................................. 24
BAB IV HIKAYAT JAYA LENGKARA DAN
NILAI-NILAI MORAL ............................................................. 41
A. Sinopsis Hikayat Jaya Lengkara .......................................... 41
B. Unsur Instrinsik Hikayat Jaya Lengkara ............................ 43
1. Tema .......................................................................... 43
2. Alur ........................................................................... 43
3. Tokoh dan Penokohan ................................................ 47
4. Latar .......................................................................... 56
5. Sudut Pandang ........................................................... 60
6. Gaya Bahasa .............................................................. 60
7. Amanat ...................................................................... 62
C. Nilai-nilai Moral Hikayat Jaya Lengkara .......................... 62
1. Nilai Moral Positif ..................................................... 64
a. Kasih Sayang ...................................................... 64
b. Adil .................................................................... 65
c. Tanggung Jawab ................................................. 65
d. Tolong-Menolong ............................................... 66
e. Beryukur ............................................................ 67
f. Sabar .................................................................. 68
g. Hormat ............................................................... 71
h. Berani ................................................................. 73
vii
2. Nilai Moral Negatif .................................................... 74
a. Tidak Sabar ........................................................ 74
b. Hasud, Bohong, dan Fitnah ................................. 75
c. Khianat ............................................................... 77
d. Mencuri .............................................................. 78
e. Menipu ............................................................... 79
f. Penakut ............................................................... 79
g. Serakah ............................................................... 80
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ............ 82
BAB V PENUTUP ................................................................................. 85
A. Simpulan ............................................................................... 85
B. Saran .................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Naskah sebagai karya sastra klasik merupakan warisan kebudayaan
hasil karya nenek moyang yang mempunyai peranan sangat besar dalam
pembangunan mental spiritual bangsa. Bidang mental dan spiritual
merupakan salah satu bidang yang penting peranannya dalam membentuk
manusia Indonesia seutuhnya.
Karya sastra lama juga mengandung berbagai macam gambaran
kehidupan, ide-ide, ajaran budi pekerti, nasihat, aturan, pantangan, dan
lain-lain, yang merupakan konvensi dan tradisi masyarakat yang
bersangkutan. Dengan mempelajari dan memahami karya sastra lama, kita
dapat mengetahui pandangan dan cita-cita nenek moyang kita zaman
dahulu yang digunakan sebagai pedoman hidup untuk mencapai
keselamatan dan ketentraman. Sebab, nenek moyang bangsa Indonesia
adalah bangsa yang memiliki kebudayaan yang tinggi nilai dan tarafnya.
Melalui khazanah kebudayaan masa lampau itulah tempat berakar dan
berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa dewasa ini.
Pengetahuan seseorang tentang kebudayaan bangsa pada masa
lampau dapat digali melalui peninggalan-peninggalan nenek moyang.
Kebudayaan nenek moyang yang sudah ada beberapa abad yang lampau
dapat diketahui kembali dalam bermacam-macam bentuk peninggalan,
antara lain dalam bentuk tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau
peninggalan purbakala yang lain, dan naskah-naskah. Selain itu, ada juga
peninggalan yang berbentuk lisan. Naskah sebagai peninggalan
kebudayaan merupakan dokumen bangsa yang paling menarik bagi para
peneliti kebudayaan lama karena memiliki kelebihan, yaitu dapat memberi
informasi yang luas dibandingkan peninggalan yang berbentuk puing
2
bangunan seperti candi, istana raja, dan lain-lain yang tidak dapat
berbicara dengan sendirinya tetapi harus ditafsirkan.1
Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan
kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat
dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti
candi dan prasasti. Hal ini selain karena bentuk tampilan yang kurang
menarik, juga disebabkan keberadaannya yang pada umumnya tersimpan
di lemari-lemari penduduk dan museum, serta sulit mengetahui maknanya
tanpa penelaahan dengan disiplin ilmu khususnya.
Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tersebut yaitu
ilmu filologi. Filologi dapat diartikan sebagai cinta pada ilmu dengan
objek penelitiannya naskah. Tujuan filologi adalah untuk menemukan
bentuk asal dan bentuk mula teks dan mengungkapkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Naskah dapat diartikan sebagai semua bentuk
tulisan tangan nenek moyang kita pada kertas, lontar, dan kulit kayu yang
menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya
bangsa masa lampau.
Namun pada hakikatnya tidak ada peninggalan suatu bangsa yang
lebih memadai untuk keperluan penelitian sejarah dan kebudayaan
daripada kesaksian tertulis. Oleh sebab itu, naskah lama mempunyai
kedudukan yang sangat penting. Lewat dokumen tertulis seperti itu dapat
dipelajari secara lebih nyata dan seksama bagaimana cara berpikir bangsa
yang menyusunnya. Naskah lama merupakan salah satu wujud dokumen
sejarah yang banyak mengandung nilai-nilai budaya masa lampau.
Naskah klasik sudah pasti mempunyai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai
luhur yang ada di dalamnya biasanya mencakup berbagai aspek
kehidupan, antara lain nilai sosial, nilai budaya, keagamaan, nilai estetis,
nilai moral, nilai hiburan, dan masih banyak lagi nilai-nilai yang
dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
1 Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 86.
3
Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi
adalah naskah hikayat. Hikayat adalah cerita tentang kehidupan seseorang.
Salah satu hikayat yang mengandung nilai-nilai moral adalah Hikayat Jaya
Lengkara. Sebagaimana naskah-naskah kuno lainnya yang pada umumnya
tidak diketahui siapa pengarangnya atau anonim dan tidak diketahui asal
muasalnya. Hal senada juga terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang
tidak diketahui siapa pengarangnya dan dari mana asal muasalnya. Hikayat
Jaya Lengkara ini merupakan naskah Melayu yang ditulis dengan
menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi. Hikayat ini termasuk ke
dalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Di dalam hikayat tersebut
banyak terdapat nilai-nilai moral yang dapat dipelajari dan diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah ini berangkat dari permasalahan bahwa sejauh yang
penulis ketahui, belum adanya penelitian terhadap naskah lama di jurusan
kependidikan. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya dengan belum
adanya penelitian mengenai naskah lama di Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Naskah lama yang
ditulis dengan aksara Jawi menimbulkan kesulitan untuk membacanya
bagi sebagian orang, apalagi untuk menelitinya. Begitu juga yang terjadi
dengan naskah Hikayat Jaya Lengkara. Naskah ini ditulis dengan aksara
Jawi, banyak orang yang tidak memahaminya, padahal penelitian terhadap
naskah ini sangat bermanfaat. Hikayat Jaya Lengkara mengandung pesan-
pesan yang baik, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan
bahan pembelajaran sastra di sekolah karena pada umumnya karya sastra
lama itu bersifat didaktis instruktif, yaitu mengandung pengajaran dan
bimbingan sosial. Di dalam karya sastra lama juga banyak mengandung
pengajaran dan keteladanan, terutama tentang kearifan hidup, baik dalam
bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama.
Hikayat merupakan salah satu bentuk sastra lama. Kegiatan
pembelajaran sastra khususnya sastra lama seperti hikayat dapat
meningkatkan pengetahuan peserta didik terhadap sejarahnya, selain itu
4
juga nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat dapat bermanfaat bagi
pembentukan karakter peserta didik. Oleh karena itu, pendidik harus
pandai-pandai dalam memilih hikayat untuk dijadikan bahan pembelajaran
sastra di sekolah. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan ajar
pembelajaran sastra, khususnya sastra lama di sekolah. Jurang yang telah
tumbuh antara sastra lama dan manusia modern akan bertambah besar bila
tidak ada pemeliharaan yang terarah dalam bentuk pelajaran sekolah dan
pengadaan buku mengenai sastra itu sendiri. Keasingan ini menyebabkan
pula orang enggan mempelajarinya, yang mengakibatkan karya-karya
sastra lama tidak dipelihara dan akhirnya punah.2
Hal inilah yang menggerakkan hati penulis untuk meneliti dan
mengungkap nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya serta
mengungkap implikasi nilai-nilai moral tersebut dalam bidang pendidikan.
Selain itu hal ini juga merupakan suatu upaya untuk melestarikan nilai-
nilai yang terdapat di dalam naskah lama agar masih dapat dibaca dan
dihayati oleh manusia di masa kini, khususnya dalam bidang pendidikan
yang merupakan benteng pertahanan untuk menyelamatkan tradisi,
identitas, dan jati diri bangsa yang sedang dikepung arus modernisasi dan
globalisasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat
skripsi dengan judul “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan
Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran
Sastra di Sekolah”
B. Identifikasi Masalah
1. Naskah lama merupakan salah satu bentuk warisan kebudayaan
Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat
dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti
candi dan prasasti.
2. Di dalam naskah lama banyak terdapat nilai-nilai moral, bersifat
didaktis, penuh dengan keteladanan dan kearifan hidup namun tidak
2 Achdiati Ikram, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 32.
5
semua orang dapat membaca dan mengkaji isi naskah lama karena
untuk dapat membaca dan mengkajinya diperlukan ilmu khusus di
antaranya filologi.
3. Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu dari sekian banyak
naskah lama yang belum disunting dan ditransliterasikan ke dalam
Bahasa Indonesia agar dapat dibaca, dikaji, dan dihayati nilai-nilai
moral dan kearifan hidup yang terdapat di dalamnya oleh pembaca di
masa kini.
4. Derasnya arus modernisasi, globalisasi, dan westernisasi yang datang
bertubi-tubi berdampak serius bagi kelangsungan tradisi yang telah
lama ada di bumi nusantara ini. Hal ini secara tidak langsung
mempengaruhi identitas dan jati diri bangsa ini. Oleh karenanya harus
ada upaya dari berbagai pihak terutama di bidang pendidikan untuk
mempertahankan dan melestarikan tradisi lama yang baik serta
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan
salah satunya dengan cara mempelajari hikayat-hikayat serta
mengambil dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan
masalah dapat difokuskan pada suntingan teks, analisis nilai-nilai moral
yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dan implikasinya dalam
pembelajaran sastra di Sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana suntingan teks Hikayat Jaya Lengkara agar dapat
dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas.
2. Bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hikayat Jaya
Lengkara?
6
3. Bagaimana implikasi nilai-nilai moral Hikayat Jaya Lengkara dalam
pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menyajikan suntingan teks Hikayat Jaya Lengkara agar dapat
dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas.
2. Menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hikayat Jaya
Lengkara.
3. Menjelaskan implikasi nilai-nilai moral Hikayat Jaya Lengkara dalam
pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini secara teoretis
dapat menjadi masukan dalam memberikan informasi mengenai
hakikat Hikayat Jaya Lengkara terutama nilai moral yang terdapat di
dalamnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
menambah sumber pengetahuan khususnya pada jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini juga diharapakan dapat dipakai sebagai sumber referensi
dan informasi bagi disiplin ilmu lainnya, misalnya bidang ilmu
linguistik, sastra, budaya, dan lain sebagainya.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat secara praktis diharapkan dapat membantu
pembaca yang belum mengerti dan memahami naskah lama yang
ditulis dengan menggunakan aksara Arab Jawi dalam membaca,
memahami dan mengkaji naskah lama tersebut yang sarat akan
kearifan dan nilai-nilai kehidupan.
7
G. Metode Penelitian
Metode merupakan cara atau sistem kerja, sedangkan metodologi
dapat dikatakan pula sebagai pengetahuan tentang apa saja yang
merupakan cara untuk menerangkan atau meramalkan variabel konsep
maupun definisi konsep yang bersangkutan dan mencari konsep tersebut
secara empiris. Untuk itu metode filologi berarti pengetahuan tentang cara,
teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian filologi.3
Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan penelitian filologi
antara lain: inventarisasi naskah, deskripsi naskah, suntingan teks, dan
interpretasi.
Tahap Pertama: Inventarisasi naskah yaitu suatu usaha dalam
mencari sejumlah naskah dengan judul yang sama di tempat-tempat
koleksi naskah. Inventarisasi naskah dilakukan dengan melihat judul-judul
naskah yang sama dengan naskah yang akan diteliti di katalog-katalog
yang berbeda.
Tahap Kedua: Deskripsi naskah yaitu menyajikan gambaran secara
objektif dan sejujur-jujurnya terhadap identitas naskah yang meliputi
aspek-aspek antara lain: judul naskah, nomor naskah, nama pengarang,
tarikh penyusunan, tempat penyusunan, nama penyalin, aksara/huruf,
bahasa, ukuran, jumlah baris setiap halaman, bahan naskah, jenis kertas,
cap kertas, tebal naskah, jilid, penomoran halaman, pemilik naskah, dan
lain sebagainya.
Tahap Ketiga: Suntingan Teks. Hikayat Jaya Lengkara merupakan
naskah salinan dari Singapura. Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal.
Namun setelah ditelusuri, ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah
yang bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sementara
itu, berdasarkan kolofon yang terdapat dalam teks, naskah induk terdapat
di Singapura. Mengingat jarak, tenaga, dan waktu yang terbatas, serta
3 Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1996), h. 70.
8
keterjangkauan naskah ini maka peneliti akhirnya memutuskan untuk
menggunakan metode naskah tunggal dalam penelitian ini. Sebab, naskah
yang terjangkau oleh peneliti hanya terdapat satu naskah saja di Indonesia,
sehingga perbandingan naskah tidak mungkin dilakukan.
Dalam menyunting naskah Hikayat Jaya Lengkara digunakan
metode edisi naskah tunggal. Menurut Djamaris, penggarapan naskah
dengan metode naskah tunggal dapat dilakukan melalui dua cara, yakni
edisi diplomatik dan edisi standar.4 Edisi standar dianggap peneliti paling
sesuai dengan naskah Hikayat Jaya Lengkara ini. Hal ini sesuai dengan isi
dari naskah sendiri dan juga analisis yang hendak dilakukan peneliti yakni
menggali nilai-nilai moral dan implikasinya dalam dalam pembelajaran
sastra di sekolah.
Edisi Standar atau edisi kritis yaitu suatu usaha perbaikan dan
penelusuran teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan
penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penelitian.
Tujuan edisi ini adalah untuk menghasilkan suatu edisi teks baru yang
sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya dengan
mengadakan pembagian alinea-alinea, huruf besar dan kecil, penambahan
dan pengurangan kata sesuai EYD, membuat penafsiran atau interpretasi
setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan sehingga teks dapat
mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca sebagai masyarakat modern.5
Edisi standar digunakan apabila isi naskah dianggap sebagai cerita
biasa bukan cerita suci. Meskipun demikian, penggarapan naskah dengan
edisi standar juga membutuhkan ketelitian dan kejelian.6 Adapun hal-hal
yang perlu dilakukan dalam edisi standar menurut Djamaris adalah sebagai
berikut: mentransliterasikan teks, membetulkan kesalahan teks, membuat
catatan perbaikan atau perubahan, memberi komentar atau tafsiran
4 Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 11.
5 Djamaris, op. cit., h. 15. 6 Ibid., h. 15.
9
(informasi di luar teks), membagi teks dalam beberapa bagian, dan
menyusun daftar kata sukar (glosari).7
Tahap Keempat: Interpretasi. Tahap ini merupakan tahap akhir
dalam penelitian filologi, pada tahap ini dilakukan penafsiran atau
penjelasan dalam hal ini mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam
Hikayat Jaya Lengkara dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di
sekolah.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dimulai dengan pendahuluan pada bab pertama. Dalam
pendahuluan terdiri atas delapan subbab, yaitu latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Bab ini menunjukan garis besar masalah yang diangkat oleh
penulis sebelum masuk ke dalam analisis atau data.
Selanjutnya masuk pada bab kedua yang berisi landasan teoritis
mengenai hakikat filologi, pengertian filologi, objek filologi, dasar kerja
filologi, hikayat, dan nilai-nilai moral.
Bab ketiga terdiri atas dua bagian. Bagian pertama tinjauan naskah
yang berisi deskripsi naskah dan bagian kedua tinjauan teks yang berisi
pengantar edisi dan teks Hikayat Jaya Lengkara
Bab keempat terdiri atas empat bagian yaitu sinopsis, unsur
intrinsik, interpretasi nilai moral, dan implikasi nilai moral dalam
pembelajaran sastra di sekolah. Bab kelima merupakan penutup yang
berisi simpulan dan saran.
7 Ibid., h. 21.
10
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Hakikat Filologi
1. Pengertian Filologi
Baried mengungkapkan, "pengertian filologi adalah suatu
pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup
bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.” Kata filologi menurut
etimologi, filologi berasal dari kata Yunani philos yang berarti “cinta”
dan kata logos yang berarti “kata”. Pada kata filologi, kedua kata
tersebut membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Kemudian
arti ini berkembang menjadi “senang belajar”, “senang ilmu”, dan
“senang kebudayaan”.1
Filologi sebagai istilah mempunyai beberapa arti sebagai
berikut:
a. Filologi pernah diartikan sebagai hermeneutik atau ilmu tafsir teks
yang dihubungkan dengan bahasa dan kebudayaan masyarakat
yang memiliki teks tersebut.
b. Filologi pernah diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang segala
sesuatu yang pernah diketahui orang.
c. Filologi pernah diartikan sebagai ilmu sastra karena yang dikaji
karya sastra. Saat ini filologi ada yang mengartikan sebagai ilmu
bantu sastra karena filologi menyiapkan teks-teks sastra, khususnya
sastra klasik agar siap dikaji.
d. Filologi ada juga yang mengartikan sebagai studi bahasa atau
linguistik.2
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Baried, Lubis menjelaskan
“pengertian filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti
1 Baried, op.cit., h. 1. 2 Ibid., h. 2.
11
luas yang mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan.”3
Sementara itu, Sudardi mengungkapkan pengertian “filologi adalah
suatu disiplin ilmu yang meneliti secara mendalam naskah-naskah
klasik dan kandungannya.”4
Jadi, menurut penulis, filologi yaitu ilmu yang mempelajari
naskah disertai pembahasan dan penyelidikan kebudayaan bangsa
berdasarkan naskah klasik. Dari naskah klasik itulah orang dapat
mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat pada zaman lampau
misalnya, adat istiadat, agama, kesenian, bahasa, pendidikan, dan
sebagainya. Filologi juga merupakan usaha keras untuk menampilkan
karya klasik dalam bentuk yang baru dan mudah dipahami.
2. Dasar Kerja Filologi
Berangkat dari latar belakang lahirnya filologi sebagai satu
istilah bagi suatu bentuk studi, filologi diperlukan karena munculnya
variasi-variasi dalam teks yang tersimpan dalam naskah. Gejala tersebut
memperlihatkan gejala bahwa dalam penyalinan naskah, teks senantiasa
mengalami perubahan sehingga lahirlah wujud teks yang bervariasi.
Dengan demikian, adanya variasi-variasi untuk suatu informasi masa
lampau yang terkandung dalam naskah itulah yang melahirkan kerja
filologi. Dapat dikatakan bahwa kerja filologi didasarkan pada prinsip
bahwa teks berubah dalam penurunannya. Jadi, filologi bekerja karena
adanya sejumlah variasi.
Munculnya variasi memperlihatkan satu sifat penurunan suatu
teks yang tidak pernah setia. Secara disengaja atau tidak disengaja
penurunan yang dilakukan oleh manusia penyalin akan menimbulkan
bentuk penyalinan yang tidak setia. Faktor manusia dengan berbagai
keterbatasannya dan manusia dengan berbagai subjektivitasnya
3 Lubis, op.cit., h. 16. 4 Bani Sudardi, Dasar-dasar Teori Filologi (Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia, 2001), h. 1.
12
mempunyai peran yang penting dan menentukan terhadap wujud hasil
salinannya.5
Variasi yang merupakan dasar kerja filologi pada awalnya
dipandang sebagai kesalahan, satu bentuk korup (rusak), satu bentuk
keteledoran si penyalin. Sikap terhadap variasi yang muncul dalam
transmisi naskah pun, dalam perkembangannya juga berubah. Variasi
dipandang tidak hanya sebagai kesalahan yang dibuat oleh penyalin,
tetapi juga sebagai bentuk kreasi penyalin, yaitu hasil dari
subjektivitasnya sebagai manusia penyambut teks yang disalin dan
sebagai penyalinan yang menghendaki salinannya diterima oleh
pembaca sezamannya.
Sikap-sikap inilah yang kemudian melahirkan berbagai
pandangan dalam filologi. 1). Sikap yang memandang variasi sebagai
satu bentuk korup yang berarti sebagai wujud kelengahan dan kelalaian
penyalin, melahirkan pandangan yang oleh beberapa orang disebut
filologi tradisional. Dalam konsep ini, filologi memandang variasi
secara negatif. Sebagai akibatnya, teks harus dibersihkan dari bentuk-
bentuk korup dan salah satu itu. 2). Sikap yang memandang variasi
sebagai bentuk kreasi melahirkan pandangan yang oleh sementara orang
disebut filologi modern. Dalam konsep ini variasi dipandang secara
positif, yaitu menampilkan wujud resepsi si penyalin. Dalam pandangan
yang kedua ini, perlu diingat pula bahwa adanya gejala yang
memperlihatkan keteledoran si penyalin tetap juga diperhatikan dan
dipertimbangkan dalam pembacaan.
3. Objek Filologi
Setiap ilmu mempunyai objek penelitian, tidak terkecuali
filologi yang bertumpu pada kajian naskah dan teks klasik. Naskah-
naskah yang menjadi objek material penelitian filologi adalah naskah
yang ditulis pada kulit kayu, bambu, lontar, dan kertas.
5 Baried, op.cit., h. 5.
13
Sudardi mengungkapkan “objek penelitian filologi adalah teks
dari masa lalu yang tertulis di atas naskah yang mengandung nilai
budaya.”6 Adapun menurut Baried, “filologi mempunyai objek yaitu
naskah dan teks.”7
a. Naskah
Baried mengungkapkan “naskah merupakan benda kongkret
yang dapat dilihat atau dipegang, seperti semua bahan tulisan tangan
yang disebut naskah (handschrift). Di Indonesia bahan naskah yaitu
dapat berupa lontar, kayu, bambu, rotan, dan kertas Eropa.8
Sedangkan Ikram mengungkapkan, naskah adalah wujud fisik dari
teks.9 Tulisan-tulisan pada kertas disebut naskah, dalam bahasa
Inggris naskah disebut dengan istilah manuscript, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut handschrift.10 Jadi naskah ialah wujud fisik
segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan
cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya disebut hasil karya
sastra, yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa
lampau bangsa pemilik naskah.
b. Teks
Baried mengungkapkan, “teks adalah sesuatu yang abstrak.
Teks ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan.” Teks lisan yaitu
suatu penyampaian cerita turun-temurun lalu ditulis dalam bentuk
naskah. Naskah itu kemudian mengalami penyalinan-penyalinan
dan selanjutnya dicetak. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan
(yang disebut naskah) dan tulisan cetakan.11
Sementara itu, Lubis mengungkapkan, “teks adalah
kandungan atau isi naskah.” Isi teks mengandung ide-ide atau
amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.
6 Sudardi, op.cit., h. 3. 7 Baried, op.cit., h. 3. 8 Ibid., h. 54.
9 Achdiati Ikram, 10 Djamaris, op.cit., h. 11. 11 Baried, op.cit., h. 4.
14
Di dalam proses penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan
ada tiga macam teks yaitu: teks lisan, teks tulisan, dan teks
cetakan.12
B. Hikayat
1. Pengertian Hikayat
Secara etimologis, istilah “hikayat” berasal dari bahasa Arab,
yakni حكى ) ) haka yang berarti menceritakan atau bercerita.13 Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia hikayat adalah karya sastra Melayu
lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah
bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat
dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar
untuk meramaikan pesta, misalnya Hikayat Hang Tuah dan Hikayat
Seribu Satu Malam. Salah satu hasil sastra Melayu tradisional adalah
hikayat. Hikayat menyampaikan kisah manusia (legendaris) dan
seringkali juga tentang hewan yang bersifat manusia, seperti
kemampuan berbicara.
Hikayat dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) jenis
rekaan, misalnya Hikayat Malim Dewa dan Hikayat Si Miskin; (2) jenis
sejarah, misalnya Hikayat Patani dan Hikayat Raja-raja Pasai; (3) jenis
biografi, misalnya Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dan Hikayat
Abdullah.
Hikayat sekarang mengacu ke bentuk karya sastra beragam
prosa yang berisi kisah fantastik dan penuh dengan petualangan. Kata
hikayat merupakan bentuk serapan dari bahasa Arab, di dalam bahasa
asalnya semata-mata berarti narrative, tale, story.14
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hikayat
adalah karya sastra Melayu lama yang berbentuk prosa berisi kisah
12 Lubis, op.cit., h. 30. 13 E. Kosasih, Khazanah Sastra Melayu Klasik (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 57. 14 Panuti Sudjiman, Filologi Melayu (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), h. 17.
15
kemanusian. Biasanya hikayat menyampaikan kisah manusia dan
seringkali juga tentang binatang yang bersifat seperti manusia.
C. Nilai-Nilai Moral
1. Pengertian Nilai
Secara umum, nilai berarti sifat-sifat yang penting atau berguna
bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai
hakikatnya.15 Istilah “nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere
(bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan
kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek
kepentingan.16 Dengan kata lain, nilai dapat dipandang sebagai sesuatu
yang berharga, memiliki kualitas tinggi atau rendah.
2. Pengertian Nilai Moral
Secara etimologis kata “moral” berasal dari bahasa Latin, yaitu
mos (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat
istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup).. Kata moral
mempunyai arti yang sama dengan kata etos (Yunani) yang menurunkan
kata etika. Di dalam bahasa Arab, moral berarti akhlak sama dengan
pengertian budi pekerti, sedangkan dalam konsep Indonesia, moral berarti
kesusilaan.17
Elizabeth Hurlock mengungkapkan dalam bukunya Child
Development:
True morality is behaviour wich conforms to social standards and wich is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and consiste of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary Consideration to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to aposition of secondary importance.
15 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi III, h. 783. 16 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 29.
17 Dr. C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 24.
16
Pokok-pokok isi yang terpenting dari kutipan di atas ialah,
moralitas yang sungguh-sungguh itu sebagai berikut:
a. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang
timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar).
b. Kelakuan yang disertai dengan rasa tanggung jawab atas
tindakan itu.
c. Tindakan yang mendahulukan kepentingan umum daripada
keinginan atau kepentingan pribadi.18
Norma-norma moral merupakan tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.19 Menurut
Nainggolan, ditinjau dari sudut bahasa, moral sebagai kata benda yang
berarti berhubungan dengan prinsip baik dan buruk dari satu cerita dan
kisah atau pengalaman.20
Selanjutnya, Atkinson dalam Sjarkawi mengemukakan “moral
atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar
atau salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan.”21 Selain itu,
moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat
berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia. Krammer dalam Darmodihardjo yang dikutip
oleh Nurgiantoro, mengatakan bahwa “moral merupakan suatu ajaran-
ajaran ataupun peraturan peraturan, patokan-patokan, kumpulan
peraturan, baik lisan maupun tulisan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Moral disebut
juga kesusilaan yang berarti keseluruhan dari berbagai kaidah dan
18 Dr. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 8. 19 Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), h. 19. 20 Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Tentang Moral Pancasila Moral Barat dan Moral Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), h. 21. 21 Sjarkawi, op.cit., h. 29.
17
pengertian yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang
dianggap kurang baik dalam suatu golongan (masyarakat).”22
Dengan kata lain, nilai moral merupakan sesuatu yang berharga
yang berisi aturan-aturan, baik lisan maupun tulisan yang mengatur
tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan manusia yang dianggap baik dan
buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, moral
merupakan suatu aturan atau ajaran yang di dalamnya mengatur sebuah
nilai, baik itu nilai baik maupun nilai buruk yang dijadikan sebagai
pedoman hidup manusia dalam bertingkah laku.
Adapun Kenny (dalam Nurgiyantoro) mengungkapkan, moral
dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan
dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan
ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan
“petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah
laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk”
itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya dalam kehidupan
nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat
sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.23
Nilai moral dalam karya sastra selalu dalam pengertian yang
baik. Artinya, jika dalam sebuah karya sastra seorang pengarang
menampilkan sikap dan tingkah laku dari seorang tokoh antagonis yang
cenderung negatif, bukan berarti pengarang memberikan pendidikan
yang kurang baik kepada pembaca. Penokohan tersebut hanya
dimaksudkan sebagai sebuah model atau contoh saja, agar pembaca
mampu mengetahui mana yang baik dan yang kurang baik. Pembaca
diharapkan mampu menganalisis perbuatan yang layak untuk dicontoh
dan yang tidak layak dicontoh. Dengan begitu, pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tokoh “jahat” tersebut. 22 Burhan Nurgiantoro, Teori Pengakajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), h. 11. 23 Ibid., h, 321.
18
Eksistensi dari sesuatu yang baik biasanya justru akan lebih mencolok
jika dihadapkan dengan sesuatu yang bertentangan. Dari pemaparan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai moral merupakan sesuatu yang
dianggap berharga dalam diri manusia yang di dalamnya terdapat
aturan-aturan tertentu yang harus ditaati oleh manusia tersebut. Nilai
moral erat hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Dalam bertingkah laku, hendaknya manusia mengikuti aturan-
aturan yang berlaku dalam masyarakat. Pengarang dalam karyanya,
mengajak pembaca untuk lebih teliti dalam menganalisis nilai moral
yang disampaikan dalam karya yang diciptakannya. Pembaca
diharapkan mampu menemukan nilai moral yang hendak disampaikan
oleh pengarang tersebut. Selain itu, pembaca juga diharapkan mampu
menerapkan nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Ajaran moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti
sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ajaran moral bersifat
praktis sebab dapat ditampilkan, atau ditemukan dalam kehidupan nyata,
sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan
tingkah laku tokoh-tokohnya.24
3. Bentuk Penyampaian Moral
Secara umum, bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi
dapat disampaikan secara langsung ataupun tidak secara langsung. Hal
tersebut dikembalikan pada tujuan pengarang dalam menciptakannya.
Ada beberapa pengarang yang secara langsung memperlihatkan pesan
yang ingin disampaikan dengan cara langsung menonjolkan dalam karya
sastra. Akan tetapi, ada juga pengarang yang ingin menyampaikan pesan
namun tidak secara langsung ditonjolkan dalam karyanya tetapi ia
sampaikan melalui simbol-simbol tertentu sehingga dibutuhkan
ketelitian untuk menganalisis pesan tersebut.
24 Ibid., h. 321.
19
Adapun “pengelompokan nilai moral tersebut dapat berbentuk
penyampaian langsung dan tidak langsung.”25 Penjabarannya adalah
sebagai berikut:
a. Bentuk penyampaian langsung
Bentuk penyampaian langsung merupakan bentuk
penyampaian pesan moral yang dilukiskan secara langsung dalam
teks. Misalnya dalam pelukisan watak tokoh, dilukiskan secara
langsung dengan teknik uraian, telling, penjelasan atau expository.
Pada intinya, dalam bentuk penyampaian secara langsung, pesan
moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dilukiskan
secara langsung atau eksplisit. Apabila dilihat dari segi kebutuhan
pengarang yang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, teknik
penyampaian langsung ini bisa dikatakan komunikatif. Karena dalam
hal ini, pembaca akan mudah memahami pesan yang akan
disampaikan olehpengarang. Pembaca tidak akan mengalami kesulitan
dalam menafsirkan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang.
b. Bentuk penyampaian tidak langsung
Bentuk penyampaian tidak langsung merupakan bentuk
penyampaian pesan moral yang dilakukan oleh pengarang secara tidak
langsung. Pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca dilukiskan
secara tersirat dalam teks cerita. Pengarang tidak sertamerta
menunjukkan secara jelas pesan yang hendak disampaikannya kepada
pembaca. Oleh karena itu, ketika pembaca membaca teks cerita
tersebut, diperlukan ketelitian tinggi untuk menemukan pesan yang
hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca dipaksa untuk
merenungkan, menghayati secara intensif makna yang tersirat dalam
cerita.
Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan
nilai moral dalam suatu karya sastra, dapat dilakukan dengan
menggunakan kedua bentuk penyampaian moral di atas. Akan tetapi, 25 Ibid., h. 335-342.
20
dalam penelitian ini penulis hanya akan berpedoman pada satu bentuk
penyampaian moral di atas yaitu bentuk penyampaian moral secara
langsung dengan langsung menganalisa pesan moral dalam hikayat
Jaya Lengkara yang dapat dianalisis secara langsung.
D. Penelitian yang Relevan
Adapun Hikayat Jaya Lengkara belum pernah ada yang meneliti
atau menjadikan objek kajian filologi sebelumnya. Akan tetapi skripsi
kajian filologi dengan objek-objek lainnya baik berupa hikayat maupun
syair sudah banyak ditemukan, yang dapat penulis ketahui diantaranya: 1).
Syair Peladuk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan
Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat (Kajian Filologis) oleh Ulis
Sa’diyah dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya mengambil
fokus naskah klasik berupa syair.26 2). Kajian Filologis dalam Hikayat
Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral
oleh Wikurnia dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya
mengambil fokus naskah klasik berupa hikayat.27
Dari kedua pengkajian naskah lama yang pernah dilakukan
tersebut, penulis mencoba mengkaji sesuatu yang berbeda dalam hal objek
kajian maupun implikasinya . Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya
pencontekan hasil karya orang lain. Untuk itu, dalam penelitian kali ini,
penulis melakukan pengkajian dalam aspek nilai moral dalam Hikayat
Jaya Lengkara serta implikasinya dalam bidang pendidikan.
26 Ulis Sa’diyah, “Syair Peaduk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan
Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat (Kajian Filologis).” Skripsi pada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan.
27 Wikurnia, Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral. Skripsi Skripsi pada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan.
21
BAB III
HIKAYAT JAYA LENGKARA:
NASKAH DAN TEKS
A. Tinjauan Naskah
1. Inventarisasi Naskah
Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini tidak banyak. Pertama,
naskah yang terkenal dan tersimpan di Perpustakaan Kebangsaan
Singapura. Kedua, ialah Hikayat Makdam dan Makdim yang tersimpan
di SOAS-London yang merupakan satu versi dari hikayat ini yang
salah satu fragmennya tersimpan di Jakarta. Adapun naskah Hikayat
Jaya Lengkara yang akan dijadikan objek penilitian adalah salah satu
koleksi naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia di Jalan Salemba Raya 28A Jakarta dengan nomor ML. 53.
2. Deskripsi Naskah
Naskah Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu koleksi
yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. naskah
Hikayat Jaya Lengkara berbahasa Melayu aksara Jawi. Naskah
tersebut berbentuk prosa yang berupa hikayat. Judul dalam teks adalah
‘Ini Alamat Hikayat Jaya Lengkara Namanya’ dengan menggunakan
aksara Jawi dan ‘Djaja-Langkara’ dengan menggunakan aksara
bahasa Indonesia (h-1). Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini termasuk
kedalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Naskah ini merupakan
salinan dari naskah Singapura yang disalin pada 15 hb. Rabiul Awal
H. 1237 (1863). Pemiliknya ialah seorang bernama Muhaidin dari
Kampung Melaka.1
Naskah terdiri atas 31 halaman. Naskah ini tidak diberi nomor
halaman. Secara fisik, naskah mempunyai ukuran sampul dan halaman
1 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
210.
22
yang sama yaitu 14 x 18,5 cm, sedangkan ukuran blok teks ialah 10,5
x 15 cm. Setiap halaman naskah rata-rata memuat 13 baris tulisan.
Keadaan naskah masih baik, walaupun kertas terdapat tanda bekas
terkena air. Tulisan dengan tinta hitam dalam naskah masih jelas
terbaca. Naskah dijilid dengan karton marmer warna cokelat. Kertas
yang dipakai untuk menyalin naskah yaitu dari bahan kertas Eropa.
B. Suntingan Teks
Hikayat Jaya Lengkara merupakan naskah salinan dari Singapura.
Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal. Namun setelah ditelusuri,
ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah yang bertempat di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Mengingat jarak, tenaga, dan
waktu yang terbatas, serta keterjangkauan naskah ini maka peneliti
akhirnya memutuskan untuk meneliti naskah yang ada di PNRI.
Pengantar edisi atau suntingan teks ini merupakan panduan dalam
membaca dan memahami suntingan naskah Hikayat Jaya Lengkara.
Penulis membuat suatu edisi yang baru dengan mengadakan pembagian
alinea-alinea, huruf besar dan kecil, pembubuhan tanda baca, membuat
penafsiran (interpretasi), dan sebagainya, sehingga teks tampak mudah
dipahami oleh pembaca masa kini.
1. Tanda-tanda Suntingan
Sebelum penulis menyunting teks Hikayat Jaya Lengkara,
terlebih dahulu penulis memaparkan tanda-tanda yang terdapat di dalam
suntingan teks. Adapun tanda-tanda dalam suntingan teks sebagai
berikut:
a) < > = Tambahan dari penyunting
b) / / = Nomor halaman naskah
c) [ ] = Penghilangan huruf atau kata
2. Pemakaian Ejaan
Pada dasarnya, ejaan yang dipergunakan dalam tulisan ini
menggunakan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Bagi
23
penulisan teks yang menggunakan bahasa Melayu ini, kadang-kadang
penerapan EYD secara sempurna sulit dilaksanakan. Kesulitan terutama
karena konvensi bahasanya yang tidak dapat disamakan begitu saja
dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini untuk
beberapa hal EYD tidak dapat dilaksanakan, misalnya penulisan huruf
besar pada kata-kata tertentu yang mengawali kalimat yang dalam
bahasa Indonesia hal ini tidak dibenarkan. Contoh: “dan”, “sehingga”,
“maka”, “sedang” dan sebagainya yang merupakan kata-kata dalam
bahasa Indonesia tidak dibenarkan menjadi pembuka kalimat.
Selain itu, penulis juga memberikan tanda hubung (-) untuk
kata-kata ulang (repetition) yang biasanya dalam penulisan naskah
ditulis dengan angka (2). Contoh: “kira2” menjadi “kira-kira”, “kuma2”
menjadi “kuma-kuma”, “mengguling2kan” menjadi “mengguling-
gulingkan”, dan sebagainya.
3. Pedoman Penulisan Kata-Kata Arab
Teks Hikayat Jaya Lengkara menggunakan aksara Arab. Aksara
Arab menurut Pigeaud (1967) sudah dipakai untuk menulis bahasa
Melayu untuk segala macam keperluan praktis di Nusantara sejak abad
ke-16. Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa suku-
suku bangsa saat ini biasa disebut aksara Jawi, Pegon, atau aksara Arab
Gundul. Aksara Arab yang digunakan sebelumnya disesuaikan dengan
tata fonem masing-masing bahasa.2
Kata-kata arab yang sudah dipandang umum dalam naskah
ditulis mengikuti pedoman ejaannya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Contoh: “masygul”, “barakat”, “fikih”, dan
sebagainya.
Pedoman transliterasi Arab yang penulis gunakan sebagai
berikut:
2 Elis Suryani, Filologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 127.
24
Arab Melayu Arab Melayu Arab Melayu ١ A س S ل L M م SY ش B ب N ن SH ص T ت W و DH ض S ث H ه TH ط J ج Y ي ZH ظ H ح G ك ‘ ع KH خ NG ع GH غ D د NY ي P ف Z ذ C چ Q ق R ر O/U و ١ K ك Z ز
I ي ١ E ى ١
C. Teks Hikayat Jaya Lengkara
/1/ Wa bihi nasta’inu bi ‘l-lahi ‘ala ini hikayat menyatakan cerita
orang yang dahulu kala ada seorang raja terlalu besar kerajaannya lengkap
dengan hulu balang menterinya segala menghadap raja Saiful Muluk muda
negerinya dan nama negerinya Ajam Saukat. Maka sudah daripada itu
maka negeri itupun terlalu juga ramai negerinya akan orang lah, segenap
negeri sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin. Maka tiada
juga berapa lamanya baginda diyasa3 tahta kerajaan. Maka baginda pun
baharu juga beristri seorang bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum,
baginda itu raja meski akan tetapi baginda itu tiada beranak barang
seorang maka itu sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak
beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak
maka raja itu pun pikir dalam hatinya hendak/2/ beristri seorang lagi
bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang.
Maka dengan takdir Allah wa ta’ala maka tuan putri pun hamillah
maka dengan beberapa lamanya tuan putri itu pun beranaklah dua orang
3 Di-ya-sa, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
25
laki-laki dinamai baginda Makdim kemudian Makdam dan yang muda itu
dikasih baginda anak dua lagi istri, dan istri baginda yang lama itu tiada
dikasihani seperti dahulu kala <la>gi,4 maka tuan putri pun pikir dalam
hatinya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada
beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri
Sa<ka>nda5 Cahaya bermohon doa kepada Allah subhanahu wata’ala
demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku
berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah
pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri meminta doa kepada
Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamillah. Setelah genap bulannya
tuan Putri Sakanda Cahaya Rum beranak pula seorang laki-laki yang elo
rupanya kikang6 gemilang seperti bulan purnama empat belas kepada goa
tiga cuci7 cahaya muka, dan lagi suatu alamat pada mukanya seperti
kandil yang terang kepada malam, demikianlah alamat yang di kepalanya
itu. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat, kemudian
lagi buah-buahan pun terlalu jadi, dan padi beras pun terlalu murahnya.
Daripada barakat baginda itu juga dan segala dagang pun terlalu banyak
pergi datang terlalu lebih daripada dahulu maka terlalu sekali indah-indah
dilihat sebelum anakda baginda pun jaya. Belum pernah daripada zaman
dahulu kala tiada demikian itu adanya seperti zaman baharu ini. Dan tuan-
tuan pun terlalu banyak dan barang yang fakir dan miskin banyak
mengambil sedekah.
4 gi <la>gi Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. 5 Sanda Sa<ka>nda ‘sanda’ merupakan kata yang tidak mempunyai makna, kata ini terjadi karena kekeliruan penyalin naskah. Kata ini seharusnya adalah ‘Sakanda’ karena melihat kata-kata yang terdapat sebelumnya. 6 Ki-ka-ng, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 7 Go-a-ti-ga-cu-ci, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
26
Maka baginda pun pikir dalam hatinya sebab/4/ anakku yang
bernama Jaya Lengkara kah atau tiadakah? Adapun segala rakyat dia di
negeri itupun semuanya membawa persembahannya kebu8 duli baginda
Jaya Lengkara. Maka tiada beberapa lamanya persatu anakdalah bernama
Jaya Lengkara maka baginda pun menghimpunkan segala hulubalang dan
segala nujum dan seisi negeri semuanya pun datang menghadap baginda
baginda itu, maka baginda pun bertitah kepada segala hulubalang dan ahli
nujum “Hai tuan-tuan sekalian, adapun hamba[h]9 ini hendak bertanyakan
hal anakku yang bernama Jaya Lengkara itu apakah artinya jaya apa
artinya lengkara itu apakah artinya? ku minta lihat kepada nujum
sekalian.”
Maka setelah dilihat nujum sekalian, maka sembah segala
hulubalang dan ahli nujum sekalian itu pun masing-masing berdatang
sembah, demikian bunyinya surat/5/ mengatakan kepadanya maka
semuanya mengucap syukur “Alhamduli l-lahi Rabbil ‘alamin segala puji-
puji bagi Allah subhanahu wata’ala juga memberi hambanya kebesaran
dan kemuliaan atas hambanya yang di dalam dunia ini. Maka hamba
segala hulung10 dan ahli nujum adapun semua ini tiada tahu akan artinya
anakda Jaya Lengkara itu.” maka sabda baginda kepada segala nujum
“Adapun aku hendak akan artinya Jaya itu apakah artinya dan Lengkara itu
a[w]rtinya11”. Maka sembah segala hulu balang dan ahli nujum “Ya
Tuanku Syah Alam, adapun duli tuanku hendakkan artinya paduka anak
dinama itu baik dan jahatnya itu, duli Tuanku menyuruh bertanya kepada
tuan kadi, karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih adapun fikih itulah
yang mengetahui segala yang tiada dapat oleh orang lain maka/6/
8 Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 9 Hambah hamba[h] Penghilangan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. 10 Hulung <hulubalang> ‘hulung’ merupakan kata yang tidak mempunyai makna, kata ini terjadi karena kekeliruan penyalin naskah. Kata ini seharusnya adalah ‘hulubalang’ karena melihat kata-kata yang terdapat sebelumnya. 11 Awrtinya a[w]rtinya Penghilangan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.
27
diketahuinya itu yang boleh, makruh, yakin, segala nama seorang-seorang
Ya Tuanku”. Maka raja pun diamlah mendengar sembah sekalian itu.
Hatta maka beberapa lamanya maka raja pun memanggil anaknya
dua orang bernama Makdam dan Makdim, Itupun segera datanglah
menghadap pada ayahanda baginda. Maka titah baginda kepada anaknya
“Hai anakku, itu Jaya apakah artinya dan Lengkara apakah artinya itu? dan
cahaya hal saudaramu itu supaya kita ketahui baik dan jahatnya”. Maka
Makdam dan Makdim pun bermohon kepada ayahanda, maka iapun
berbualan12 mendapatkan kadi. Maka dilihat kadi Makdam dan Makdim
serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya, diarakan oleh seperti adat anak
raja-raja. Maka kadi pun berkata “Ya tuanku, pengalah tuk13 kepada rumah
patik yang hina ini, selamanya belum pernah /7/ anakku datang kemari
ini”. karena maka kata titah Makdam dan Makdim “Adapun hamba ini
datang karena dititah oleh duli Stah Alam pergi kepada tuan kadi bertanya
akan hal adinda yang baharu jadi itu, karena anakda baginda itu tatkala dia
jadi maka suatu alamat kepada ububan-ububannya14 adinda itu seperti
cahaya kandil yang terpasang kepada malam bercahaya-cahaya,
demikianlah alamatnya kepada adinda itu.” maka ujar tuan kadi “Ya
tuanku siapalah namanya adinda itu?” maka ujar Makdam dan Makdim
“Ya kadi, adapun nama adinda itu Jaya Lengkara” maka tuan kadi pun
membuka kitabnya dan tafsirnya. Surat sudah dilihatnya kepada kitabnya
dan tafsirnya maka tuan kadi pun terus-terus serta mengucap syukur
Alhamduli ‘l-lahi Rabbil ‘Alamin. Maka Makdam dan Makdim pun
berkata “Ya Tuan /8/ kadi, mengapakah tuan hamba berkata syukur
Alhamduli ‘l-lahi Rabbil ‘alamin itu?” maka sembah kadi “Ya tuanku,
12 Ber-bu-al-an, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 13 Pe-nga-lah-tuk, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 14 U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
28
adapun alamat menjadi raja besar terlalu sangat saktinya, insya Allah
ta’ala negeri ini pun akan murah makan makanan dan segala raja-raja yang
gagah berani semuanya takluk pada adinda itu dan sekalian orang takut
akan adinda itu” maka kata Makdam dan Makdim “Hai tuan kadi apakah
alamatnya yang kepada ububan-ububannya15 Jaya Lengkara?” maka ujar
kadi “Adapun alamatnya itulah alamat bulan dan matahari, karena bulan
itu akan membuka segala keji dan matahari itu kan menerangkan segala
alam, itulah alamat adinda itu. Artinya Lengkara Jaya itu terlalu sekali
baiknya” maka kata Makdam dan Makdim “Hai tuan kadi, apakah artinya
maka kata kadi ya tuanku adapun artinya Jaya Lengkara itu suda<h>16
barang dikehendaknya jadi. Dan/9/ Jaya artinya dan lengkara itu yang
tiada dapat oleh orang lain, maka dapat olehnya sebabnya bernama Jaya
Lengkara. Artinya Jaya Lengkara, adapun jika ia hendak berjalan di darat
pun boleh dan jika ia hendak berjalan di laut pun boleh juga degan
karenanya Allah subhanahu wata’ala kepada adinda itu. Maka adinda itu
tiada dapat dilawan orang dan segala jin pun tiada dapat melawan dia”.
Maka Makdam dan Makdim pun segan hatinya mendengarkan kadi
demikian itu sarat ia pulang bermohon kepada kadi. Maka Makdim pun
berkata di tengah jalan itu “Hai kakanda apakah kata kita pada raja
sekarang ini?” maka kata Makdam “Hai adinda, kata itu janganlah
disusahkan kata kadi manda17 tadi adalah kepada aku” maka itupun
berjalanlah mendapatkan ayahanda baginda sarat ia pun sampai kepada
raja dengan tangisnya maka titah raja “Hai anakku, mengapakah engkau
mena/10/ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya
tuanku, adapun patik dititah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi
kepada anakda kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat
15 U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 16 Suda Suda<h> Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. 17 Man-da, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
29
anakda yang baharu jadi itu maka kata kadi kepada anakda kedua tadi
“Adapun alamat adinda yang kepada ububan-ububannya18 Jaya Lengkara
anakda itu besar celakanya padi, beras, segala buah-buahan akan mahal
karena sebab besar celakanya. Dan segala rakyat di dalam negeri pun
banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku”
maka patik menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah
sebab-sebab patik menangisi adinda. Maka baginda medengar samabda
anakda kedua itu, maka bagindapun terlalu masygul sarat dengan
percayaannya.
Hatta beberapa lamanya maka bagindapun berjalan ke rumah Jaya
Lengkara. Maka baginda pun berkata kepada/11/ istrinya tuan Sakanda
Cahaya Rum “Hai adinda bua<h>19 hatiku cermin mataku, adapun anak
kita Jaya Lengkara itu kakanda pinta kepada adinda dahulu” maka sembah
bunda Jaya Lengkara “Iya kakanda, mengapa tuanku bekata demikian
itu?” maka kata raja “Hai adinda, adapun maka kakanda berkata demikian
karena anak kita itu hendak kakanda bunuh karena terlalu amat celakanya
besar sangat, itulah maka kakanda hendak membunuh dia!” maka sembah
bunda Jaya Lengkara “Ya tuanku, adapun jikalau anak hamba ini dibunuh
maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali!” maka kata raja “Hai
adinda, mengapakah adinda berkata demikian itu?” maka kata bunda Jaya
Lengkara “Ya tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak
hamba dibunuh itu, karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba
turut akan” maka raja pun diamlah mendengar kata istrinya. Baginda
itupun mengalah serasa hatinya.
Maka samabda Makdam dan/12/ Makdim “Ya tuan, jikalau demikian
baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera
tuanku membuangkan dia karena mereka orang yang celaka itu! apakah
18 U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 19 Bua bua<h> Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.
30
gunanya kalau negeri duli tuanku bilanya? karena negeri ini belum lagi
jauh inilah sembah patik dua bersaudara. Jangan anak lagi kecil, jika patik
sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga.
Gunanya puluh anak lagi kecil demikian tuanku sayangkan demikian
sembah hamba. Tuanku, mana harga anak tuanku seorang sama dengan
harga rakyat duli tuanku seisi negeri! karena segala raja-raja itu, jikalau
kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat
apalah akan gunanya?” maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti
kata anakku itu. Maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh
membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya.
Hatta maka mangkubumi pun berjalanlah ke dalam hutan rimba dan
padang/13/belantara membawa Jaya Lengkara <ber>dua20 dengan
bundanya itu. Maka kira-kira tujuh hari tujuh malam perjalanan itu
disanalah Jaya Lengkara ditinggalkan dengan bundanya oleh mangkubumi
maka mangkubumi pun <pu>langlah21. Maka Jaya Lengkara pun diamlah
di dalam hutan itu berdua dengan bundanya, maka beberapa lamanya di
dalam hutan itu maka pikir dalam hatinya bunda Jaya Lengkara isyarat
dengan tangisnya bercitakan dirinya. Maka ia pun pikir dalam hatinya
“Adapun aku juga duduk pada tempat ini kalau-kalau ada juga kehendak
raja kepada anaku ini niscaya didapatnya juga aku dan anaku ini, baiklah
aku lari daripaada tempat ini membuangkan diriku.” Serta ia berjalan maka
kira-kira sembilan hari sembilan malam perjalanan itu, maka ia pun
bertemu dengan suatu goa terlalu besar, maka maka di dalam goa itu
terlalu banyak dalamnya seperti harimau rupanya dan ular dan kala maka
semuanya/14/ itupun sujud menyembah kepada bunda Jaya Lengkara.
Maka bunda Jaya Lengkara pun diamlah di sana di dalam goa itu,
maka beberapa lamanya segala peristiwa Jaya Lengkara pun hendak
20 dua <ber>dua <ber-> merupakan perfiks pembentuk verba. Jadi, perlu ditambahkan perfiks <ber->
pada kata dua, karena menyatakan jumlah. 21 langlah <pu>langlah Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.
31
menyusu pada bundanya tiada berair, maka bundanya pun teteslah air
matanya. Maka kata bundanya “Hai anakku, apalah dayaku akan engkau,
karena aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tiada makan dan
tiada minum air, dimanakah ada air susuku!” maka Jaya Lengkara pun
sangatlah menangis mengguling-gulingkan dirinya di atas batu, maka
dengan takdir Allah subhanahu wata’ala maka keluarlah air daripada
sebelah batu itu. Maka bundanya pun heranlah melihat airnya serta
diminumnya oleh bundanya dengan takdir Allah subhanahu wata’ala,
maka Jaya Lengkara pun diberi oleh bunda menyusu. Maka Jaya Lengkara
pun suda pulih rasanya tubuhnya.
Hatta beberapa lamanya, maka Jaya Lengkara/15/ pun besarlah,
tahu bermain-mainan panah di dalam hutan itu sehari-sehari memanah
kambing menjangan, setiap hari bermain-main di dalm hutan tiada lain
pekerjaannya Jaya Lengkara itu.
Hatta beberapa lamanya, maka tersebutlah perkataan raja Ajam
Saukat sepeninggal Jaya Lengkara itu, maka ia pun sakit terlalu sangat.
Tabib di dalam negeri ini dipanggil mengobati raja itu tiada juga
sembuh, makin sangat payahnya raja itu. Maka Makdam dan Makdim
pun sangat masygul akan dirinya, maka ia pun memangil ahli nujum
pun dengan nujumnya serta menggerak-gerakan kepalanya serta
berdatang sembuh. “Ya tuanku, adapun penyakit ayahanda itu terlalu
keras, jika tiada lekas baik penyakit baginda itu, maka menjadi melarat
mata” maka kata Makdam dan Makdim “apalah/16/ akan obatnya
baginda itu?” maka samabda ahli nujum “Ya tuanku, kembang kuma-
kuma putih di puncak gunung Mesir itulah akan obatnya baginda itu,
maka baik penyakitnya baginda itu!” maka Makdam dan Makdim
kembali daripada ahli nujum itu serta menyuruh kan orang mencari
kembang kuma-kuma putih itu. Maka seorangpun tiada beroleh sampai
kepada gunung Mesir itu beberapa lamanya 15 laskasa.22
22 Lak-sa-sa, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan
32
Maka tersebut perkataan, seorang raja negeri Madinah pun terlalu
sakit penyakitnya. Adapun beberapa lamanya sakit baginda itu beberapa
dukun dan tabib dipanggilkan mengobati baginda itu tiada juga baik,
makin sangat sakitnya. Maka anaknya yang bernama tuan Putri Ratna
Kasina pun sangat masygulnya, orang di dalam Madinah pun sangat
juga/17/masygulnya, karena sekalian rakyat di dalam negeri tiada
mengobatinya baginda itu. Maka anakda tuan putri pun tidur, lalu
bermimpi melihat ada seorang perempuan datang kepada tuan putri
Ratna Kasina, maka kata tuan Putri Ratna Kasina maka kata orang
perempuan tua itu kepada tuan putri Ratna Kasina maka katanya “Ya
tuanku putri Ratna Kasina, adapun kan obatannya ayahanda ini
kembang kuma-kuma putih di puncak gunung Mesir tempatnya, itulah
kan obatnya ayahanda itu maka yang kan daripada ayahanda itu” maka
tuan putri Ratna Kasina pun terlihat daripada tidurnya itu, maka ia lalu
memanggil mangkubumi, maka mangkubumi pun datang mengadap
tuan putri maka kata tuan putri “Hai ninik23 ku mangkubumi, suruhkan
titahku segala rakyat kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!”
maka sembah/18/ Mangkubumi “Ya tuanku, dimanakah tempatnya
kuma-kuma putih itu?” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai ninik,24
aku pun tidak tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih itu, karena
aku beralpalah daripada mimpiku juga”
Hatta berapa lamanya mangkubumi menyuruhkan rakyat
beberapa ribu orang berjalan dan berlayar mencari kembang kuma-
kuma putih itu, seorang pun tiada mendapat kembang itu dan lagi pun
orang yang disuruh itu semuanya tiada tahu akan kembang-kembang
itu. Jangankan melihat rupanya kembang itu, mendengarnya pun baharu
inilah. Maka putri Ratna Kasina terlalu kasian kan ayahandanya,
aslinya. 23 Ni-ni-k, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 24 Ni-ni-k, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
33
baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum.
Maka pikir tuan putri “Jika aku hidup, sekalipun dengan seorang diriku
apakah gunanya jika ayahku sudah mati. Maka jadi piatulah aku”
Hatta tuan putri Ratna Kasina /19/ pun berjalan dengan segala
rakyat, dan mangkubumi pun mengerahkan rakyat dua ribu orang rakyat
berjalan mengiringkan tuan putri Ratna Kasina itu. Maka beberapa
lamanya naik gunung turun gunung berjalan itu, beberapa lamanya
melalui hutan dan rimba padang, beberapa banyak mati di dalam hutan
itu karna perjalanan itu terlalu jauh. Maka sembah mangkubumi “Ya
tuanku, apalah hal rakyat duli tuanku sekalian ini? beberapa rakyat yang
mati kelaparan dan kepanasan dan letih daripada berjalan terlalu
jauhnya!” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai tuanku mangkubumi,
jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tidalah aku mau
kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu
tiada ku balik” maka mangkubumi pun tiadalah mau pulang. Maka tuan
putri pun berjalan dengan mangkubumi dan dan segala rakyat beberapa
lamanya berjalan terlalu lagi panas /20/ dan dahaga air maka tuan putri
Ratna Kasina pun menangis-nangis karena ia ditinggal seorang dirinya,
maka berjalan isyarat dengan tangisnya sebab ia membuat dirinya
berapa lamanya sekira-kira tujuh hari tujuh malam. Maka tuan putri
Ratna Kasina pun bertemulah dengan sebuah goa, maka ia pun masuk
ke dalam goa itu. Adalah dilihatnya ramai <se>ekor25 naga terlalu
besarnya seperti bukit, maka tuan putri pun sangat gemetar tubuhnya
karena takut melihat naga itu. Maka kata naga “Ya tuan putri, janganlah
tuan takut karena hamba ini kebu26 duli tuanku” maka kata tuan putri
“Hai naga, jika demikian minta tolong kepadamu!” maka kata naga “Iya
tuanku, mengapalah duli tuanku bertitah demikian itu kepada patik ini
25 Ekor <se>ekor Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. Penggunaan ‘se’ pada kata ‘ekor’ dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kata yang dimaksud bukan ekornya tetapi binatangnya. 26 Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
34
karena patik ini hamba kebu27 duli tuanku” maka kata tuan putri “Jika
demikian itu /21/ baiklah hai naga, adapun aku ini datang kepadamu
karena aku hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat
ayahku sakit!” maka sembah naga “Ya tuanku hendak kan kembang
kuma-kuma putih itu, insya Allah ta’ala duli tuanku peroleh juga
dengan barakat tuanku Jaya Lengkara” maka pikir tuan putri dalam
hatinya juga maka katanya “Siapa gerangan yang bernama Jaya
Lengkara itu?” maka kata naga “Ya tuanku, diam juga tuanku dahulu
disini karena tuanku hendak mengambil kembang kuma-kuma itu”
maka kata tuan putri “Apakah kerjaku diam disini?” maka sembah naga
“Disini juga dahulu, karena ada seorang laki-laki yang bernama Jaya
Lengkara inilah yang boleh mendapat kembang kuma-kuma putih itu,
Ya tuanku nanti juga dahulu, manakala datang ia kemari disanalah
tuanku turut bersama-sama berjalan mengambil kuma-kuma putih itu”
maka tuan putri Kasina pun diamlah di dalam mulut naga itu menanti
datang Jaya Lengkara itulah adanya.
Alkisah, maka tersebutlah perkataan/22/ Makdam dan Makdim
beberapa lamanya menyuruhkan rakyatnya, maka tiada juga sampai
kepada gunung itu maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda,
marilah kita berjalan!” maka Makdam dengan Makdim pun berjalanlah
ke dalam hutan. Maka berlamanya berjalan itu, maka ia pun bertemu
dengan Jaya Lengkara di dalam hutan itu, maka didapatnya Jaya
Lengkara lagi bermain panah-panahan kijang dan menjangan, maka
tanya “Hai orang muda, orang manakah tuan hamba ini?” maka kata
Jaya Lengkara “Hamba orang hutan, maka diam di dalam hutan inilah”
maka ujar Makdam dan Makdim “Hai orang muda, jika tuan hamba
diam di dalam hutan ini, mintalah air hamba ini telalu dahaga” maka
kata Jaya Lengkara “Marilah kita pada tempat hamba diam” maka ia
masuklah goa itu mengambil air di dalam kendi, maka [maka] Makdam
27 Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
35
dan Makdim pun heranlah melihat goa itu, maka Jaya Lengkara pun
keluarlah serta memberikan kendi itu/23/ kepada Makdam dan Makdim,
maka disambut oleh Makdam dan Makdim kendi itu lalu diminumnya
oleh Makdam dan Makdim. Maka kata Jaya Lengkara “Hai bundaku
mintalah anakda sayur” maka bundanya Jaya Lengkara membawa sayur
di dalam bokor. Maka [maka] ia melihat Makdam dan Makdim, maka
katanya “Dari manakah anakku datang ini dan hendak kemanakah
anaku ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Hai ibuku, adapun
hamba datang ini hendak mencari kembang kuma-kuma putih itu” maka
kata bunda Jaya Lengkara “Hai anakku, apalah gunanya kembang
kuma-kuma putih itu? maka sembah Makdam dan Makdim “Ya tuanku,
akan obat sri paduka baginda sakit terlalu sangat, karena empat puluh
hari tiada makan dan tiada minum air. Maka sebab inilah mulanya maka
patik dua bersaudara datang kemari ini” maka kata Jaya Lengkara “Hai
ibuku, jika demikian hamba ini [ini] anak raja manakah?” maka kata
bundanya “Hai anakku, adapun anakku ini anak raja di negeri Ajam
Saukat” maka kata Jaya Lengkara/24/ “Hai ibuku, apalah mulanya
maka kita ke dalam hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau
berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya
Makdam dan Makdim.
Maka saudaranya dua itu pun heran melihat rupa Jaya Lengkara
karena rupanya Jaya Lengkara itu terlalu sekali elok parasnya elok
parasnya seperti bulan empat belas hari goa tiga cuci.28 Maka Makdam
dan Makdim pun sujud pada kakinya Jaya Lengkara, maka kata “Hai
ibuku, orang ini kenapalah? maka kata ibunya “Hai anakku, inilah
saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah saudaramu yang
bernama Makdam yang muda inilah bernama Makdim anak raja Ajam
Saukat <da>ri istrinya yang muda. Karena ia hendak mencari kembang
kuma-kuma putih akan obat ayahandamu sakit, maka kata Jaya
28 Go-a-ti-ga-cu-ci, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
36
Lengkara “Jikalau demikian hai kakanda Makdam dan Makdim,
dimanakah tempat kembang itu?” maka kata Makdam dan Makdim
“Hai saudaraku karena kakanda pun tiada juga tahu akan tempat
kembang kuma-kuma putih/25/ itu” maka kata Makdim “Adapun dalam
kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang
itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka kata Jaya Lengkara
“Marilah kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka Makdam
dan Makdim pun terlalu suka hatinya mendengar kata Jaya Lengkara
demikian itu. Makdam dan Makdim “Hai adinda, marilah kita berjalan
mencari lekas-lekas sekarang ini juga!” maka kata Jaya Lengkara “Hai
kakanda tunggu dahulu, karena ibu hamba lagi hendak menjamu
kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam” maka Makdam dan
Makdim pun menanti jua beberapa lamanya makan dan minum yang
amatlah nikmatnya jua rasanya maka Makdam dan Makdim pun terlalu
suka hatinya dijamu oleh saudaranya itu. Maka setelah sudah makan
dan minum itu, maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, baiklah
kita lekas berjalan mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka kata
Jaya Lengkara “Alhamduli ‘l-lahi rabbil ‘alamin” maka pikir
Makdam/26/ dan Makdim dimana gerangan dia beroleh makanan di
dalam hutan ini seperti makan makanan raja di dalam negeri rupanya.
Maka Jaya Lengkara pun berjalan tiga bersaudara, maka bundanya
diringgalkanlah seorang dirinya di dalam hutan itu.
Beberapa lamanya berjalan itu, berapa melalui gunung turun
gunung, melalui rimba padang, maka Makdam dan Makdim pun terlalu
letih serta ia berkata “Hai adinda, adapun hamba ini sangat dahaga
hendak minum air” maka Jaya Lengkara pun mencari akan kakanda air
ke sana ke sini maka tiada juga mendapat air barang sedikit pun tiada
juga beroleh. Maka Makdam dan Makdim pun tiada sadar dibawah
pohon kayu beringin terlalu besarnya, maka dilihat oleh Jaya Lengkara
Makdam dan Makdim itu tidur seperti orang mati rupanya. Maka Jaya
Lengkara pun naik ke atas pokok beringin itu, maka ditotoknya pucuk
37
beringin itu maka dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala maka
keluarlah air seperti air pancoran dari/27/ pucuk beringin itu. Maka
Jaya Lengkara pun membangunkan saudaranya, maka katanya “Hai
kakanda bangunlah minum air” Makdam dan Makdim pun terkejutlah
daripada tidurnya, serta dilihat oleh Makdam dan Makdim itu pun
heranlah melihat hikmat Jaya Lengkara itu, maka Makdam dan Makdim
pun minumlah air itu, maka baharulah sadar tubuhnya.
Maka tiada berapa lama Jaya Lengkara pun berjalanlah dengan
Makdam dan Makdim maka sekira-kira tiga hari tiga malam
perjalanannya itu. Maka bertemu dengan raksa dan harimau, maka
Makdam dan Makdim sangat gemetar tubuhnya serta berlindung
disamping Jaya Lengkara maka katanya “Hai adinda, hidup-hiduplah
nyawa kakanda dua ini” serta dengan tangisnya, maka Jaya Lengkara
“Hai kakanda janganlah takut, karena sudah adad kita anak laki-laki”
maka Makdam dan Makdim pun menangislah makin sangat menangis,
maka ujar Jaya Lengkara “Hai raksa dan harimau, baiklah engkau pergi
dari sini karena kakanda ini sangat melihat engkau” maka kata raksa
dan harimau “Ya tuanku Jaya/28/ Lengkara, hamba ini sahaja hendak
mengiringkan duli tuanku berjalan pada tempat kuma-kuma putih itu”
maka kata Jaya Lengkara “Hai harimau dan raksa, apakah salahnya jika
aku sendiri ini, karenaku dengan kakanda kedua sangat takutnya
kepadamu” maka raksa pun lari serta harimau. Maka Makdam dan
Makdim pun diamlah, maka ia pun baharu berjalan bersama-sama tiga
orang dengan Jaya Lengkara. Beberapa lamanya berjalan itu maka ia
pun bertemu dengan suatu goa tempat naga goa itu, maka kata Jaya
Lengkara “Marilah kita masuk ke dalam goa itu!” maka kata Makdam
dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena
sangat takut cahaya ini, karena siapa tahu barangkali ada harimau dan
raksa atau ular dan kala kah!” maka Jaya Lengkara pun masuk juga
seorang ke dalam goa itu dengan seorang dirinya, maka iapun melihat
38
ada seekor naga terlalu besar maka mulutnya terngiang-ngiang, maka
dilihat oleh Jaya Lengkara ada perempuan terlalu elok parasnya.
Alkisah maka tersebut perkataan tuan putri Ratna Kasina pun
terlalu suka hatinya melihat Jaya Lengkara dating. Maka kata naga “Ya
tuanku Jaya Lengkara, marilah duduk dengan putri ini!” maka kata tuan
putri/29/ “Hai naga, siapakah laki-laki itu?” maka kata naga “Ya tuan
putri Ratna Kasina, inilah laki-laki yang dapat mengambil kembang
kuma-kuma putih itu!” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Jika
demikian, itu rupanya laki-laki yang bernama Jaya Lengkara?” maka
sahut naga “Iya tuan putri, inilah Jaya Lengkara anak raja Ajam
Saukat”. Maka tuan putri pun sukalah hatinya karena dalam pikirnya
tuan putri “Adapun kata naga dahulu kepada aku, apabila datang Jaya
Lengkara aku mengikut kepadanya maka sekarang Jaya Lengkara sudah
datang insya Allah subhanahu wata’ala lekaslah rupanya aku
mengambil kembang kuma-kuma itu” maka Jaya Lengkara pun pula
berkata-kata kepada naga “Hai naga, siapakah nama perempuan ini dan
manakah negerinya perempuan ini?” maka sembah naga “Ya tuanku,
inilah yang bernama tuan putri Ratna Kasina anak Raja negeri Madinah
hendak mengambil kembang kuma-kuma putih itu juga” maka pikir
Jaya Lengkara dalam hatinya “Tuan putri perempuan lagi hendak
mengambil kembang kuma-kuma juga” konon aku anak laki2 ujar Jaya
Lengkara “Hai naga, dimanakah tempat kembang itu?” maka ujar naga
“Ya tuanku, adapun kembang kuma-kuma putih itu pada puncak
gunung Mesir,/30/ disanalah tempatnya” maka kata Jaya Lengkara
“Marilah kita berjalan kesana!” maka kata tuan putri “Ya kakanda,
nantilah dahulu hamba hendak berbuat makanan-makanan”
Hatta beberapa lamanya, maka Jaya Lengkara pun keluar dari
dalam gua itu maka kata naga “Ya tuanku, adapun kucing kucing hitam
putih kedua itu akan mengawali tuan putri. Jikalau ada orang hendak
jahat kepada tuan putri ini, maka kucing kedua itu menjaga dia”. Maka
Jaya Lengkara pun keluar dari dalam gua itu serta dengan tuan putri dan
39
kucing dua ekor. Naga Guna demikianlah nama naga penunggu gua itu,
menyambut mereka dengan baik dan membawa mereka ke puncak
gunung itu. Naga itu menerangkan bahwa kembang kumkuma itu
baharulah timbul bila air pasang, karena gunung itu adalah pusat laut.
Untuk sementara itu, naga itu ingin tidur dulu empat puluh hari lamanya
naga itu tidur. Makdam dan Makdim tidak sabar lagi dan mendesak
Jaya Lengkara menyuruh Putri Ratna Kasina mengambil bunga itu, bila
disentuh saja, bunga itu sudah berakar di telapak tangan putri Ratna
Kasina, tetapi tidak berhasil. Jaya lengkara sendiri hanya dapat
mengambil daunnya saja, baharu saja diambil sehelai daun bunga itu, ia
sudah ditolak oleh Makdam dan Makdim ke laut. Hanya dengan
berpegang dan bergantung pada daun itu Jaya Lengkara dapat
menyelamatkan nyawa. Bila naga itu bangun dari tidurnya, ia mengirim
dua ekor kucingnya pergi mencari Jaya Lengkara.
/31/Tersebutlah Putri Ratna Gemala anak raja Mesir juga
bermimpi tentang bunga ini, dia bersumpah tiada akan makan dan
minum kalau ia tiada mendapatkan bunga itu. Dalam pada itu Putri
Ratna Dewi anak raja Peringgi juga bermimpi tentang bunga ajaib ini
dan ingin memilikinya, ayahandanya raja Peringgi mengirim dua orang
menteri pergi mencari bunga itu. Seorang menteri pergi menipu raja
Mesir dan seorang lagi berangkat ke puncak gunung Mesir. Menteri
yang dikirim ke puncak gunung Mesir itu bertemu dengan Makdam dan
Makdim beserta Putri Ratna Kasina dan menangkap mereka, Makdam
daan Makdim pun dipenjarakan. Naga Guna menyelamatkan Jaya
Lengkara bersama-sama mereka pergi ke negeri Peringgi. Dengan
bantuan raja jin, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara.
Ratna Kasina dan Ratna Dewi menerangkan siapa Jaya Lengkara
sebenarnya, jamuan makan lalu diadakan. Jaya Lengkara menganjurkan
supaya Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam. Bunga kuma-kuma
juga sudah diperolehnya, mangkubumi Mesir mencoba mengambil
bunga itu dari Jaya Lengkara tapi gagal. Jaya Lengkara mengampuni
40
dia, bila mendengar sebab-sabab ia ingin mendapatkan bunga itu. Jaya
Lengkara pergi ke negeri Mesir dan memohon supaya Putri Ratna
Gemala dikawinkan dengan Makdim, permohonannya diterima dengan
baik oleh raja Mesir. Bersama-sama dengan Ratna Kasina Jaya
Lengkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan
penyakit raja yang tiada lain adalah ayahandanya. Selang berapa
lamanya Jaya Lengkara kembali ke hutan mencari bundanya, Ratna
Kasina menyusul tidak lama kemudian karena tiada tahan diganggu
oleh Makdam dan Makdim yang sudah kembali ke negeri Ajam Saukat.
Karena berahi mereka akan Putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim
mencoba membunuh Jaya Lengkara, naga Guna menyelamatkan dan
membawanya bersama-sama dengan Putri Ratna Kasina ke negeri
Madinah. Raja Madinah sangat bergembira, Jaya Lengkara dikawinkan
dengan Putri Ratna Kasina, raja Madina sendiri juga kawin dengan
bunda Jaya Lengkara.
Hatta beberapa lamanya Jaya Lengkara menjadi raja Madinah.
Adapun tatkala Jaya Lengkara menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu
makmur dan besar kerajaannya, segala raja besar mengantar upeti ke
Madinah setiap tahun.
41
BAB IV
HIKAYAT JAYA LENGKARA
DAN NILAI-NILAI MORAL
A. Sinopsis Hikayat Jaya Lengkara
Alkisah ada seorang raja bernama Saiful Muluk dan nama
kerajaannya Ajam Saukat. Sang raja mempunyai seorang istri bernama
Putri Sakanda Cahaya Rum. Karena sudah lama menikah tetapi belum
mempunyai seorang anak, akhirnya sang raja menikah kembali dengan
Putri Sakanda Bayang-bayang serta dikaruniai anak kembar bernama
Makdam dan Makdim. Putri Sakanda Cahaya Rum pun gelisah karena ia
sudah tidak dipedulikan lagi oleh raja. Kemudian ia berdoa kepada Allah
SWT agar dikaruniai seorang anak dan Allah pun mengabulkan doanya.
Akhirnya Ia pun melahirkan seorang anak bernama Jaya Lengkara.
Ketika Jaya Lengkara lahir, negeri menjadi makmur dan sentosa.
Sampai-sampai raja pun heran dan menyuruh anaknya Makdam dan
Makdim untuk meramalkan nasib Jaya Lengkara kepada seorang kadi.
Kadi itu pun meramalkan bahwa kelak Jaya Lengkara akan menjadi raja
segala raja, sakti mandraguna, serta tidak ada seorangpun yang akan dapat
mengalahkannya baik dari golongan jin dan manusia. Makdam dan
Makdim pun kecewa mendengar hasil ramalan Jaya Lengkara, mereka pun
berdusta kepada ayahandanya dengan memutarbalikan fakta dan
mengatakan bahwa kelak Jaya Lengkara akan mendatangkan malapetaka
yang akan menyebabkan negeri akan binasa. Raja pun mengasingkan Jaya
Lengkara beserta ibunya ke dalam hutan belantara.
Di dalam hutan belantara, Jaya Lengkara bersama ibunya tinggal di
dalam gua. Suatu ketika Jaya Lengkara kehausan dan ingin menyusu
kepada ibunya, tetapi apalah daya karena ibunya sudah berhari-hari tidak
makan dan minum maka ia pun tidak bisa menyusui Jaya Lengkara. Jaya
Lengkara pun menangis lalu berguling-guling di atas tanah. Dengan izin
42
Allah, keluarlah air memancar dari tanah dan ibunya pun langsung
meminum air tersebut sehingga ia dapat menyusui Jaya Lengkara. Jaya
Lengkara tumbuh berkembang menjadi dewasa dengan banyak keahlian
yang dimiliknya.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raja Saiful Muluk menderita
sakit parah dan obat yang akan menyembuhkannya adalah kembang kuma-
kuma yang ada di puncak gunung Mesir. Makdam dan Makdim pun
mencari kembang itu. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Jaya
Lengkara dan ibunya di hutan. Jaya lengkara memutuskan untuk mencari
kembang kuma-kuma itu bersama saudara tirinya Makdam dan Makdim.
Aral dan rintangan menghampiri mereka dalam perjalanan mencari
kembang kuma-kuma. Sampai suatu ketika mereka bertemu Putri Ratna
Kasina di sebuah goa yang terdapat naga di dalamnya. Ternyata putri itu
pun mempunyai motif yang sama yaitu ingin mencari kembang kuma-
kuma untuk obat ayahnya yang sedang sakit. Bukan hanya itu, ternyata
banyak juga orang yang ingin memiliki kembang ajaib itu diantaranya
Putri Ratna Gemala anak Raja Mesir dan Putri Ratna Dewi anak Raja
Peringgi.
Alkisah, akhirnya Jaya Lengkara pun mendapatkan kembang
kuma-kuma itu di puncak gunung Mesir. Makdam dan Makdim mencoba
untuk membunuh Jaya Lengkara dengan membuangnya ke laut namun
rencananya gagal, Jaya Lengkara berhasil diselamatkan oleh seekor naga.
Jaya Lengkara pun pergi ke kerajaan Ajam Saukat untuk mengobati
ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah bersama Putri Ratna Kasina untuk
mengobati Raja Madinah. Jaya Lengkara pun dinikahkan dengan Putri
Ratna Kasina oleh Raja Madinah yang tiada lain adalah bapaknya. Jaya
Lengkara pun menjadi raja segala raja yang hidup bahagia, rakyatnya
hidup makmur, sentosa, aman, dan sejahtera.
43
B. Unsur Instrinsik Hikayat Jaya Lengkara
1. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam
pengalaman manusia atau sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman
begitu diingat.1
Stanton dan Kenny mengungkapkan, tema (theme) adalah
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Eksistensi tema sangat
bergantung pada unsur-unsur lain seperti tokoh, plot, latar, alur, dan
sebagainya yang bertugas mendukung dan menampaikan tema.
Sehingga tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara
langsung melainkan secara implisit.2
Tema yang diangkat dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah
keserakahan manusia terhadap harta, tahta dan wanita. Manusia
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan
makhluk Tuhan lainnya, mengapa demikian karena setiap manusia yang
lahir ke dunia dianugrahi nafsu dan akal yang harus selalu
berdampingan dan jangan sampai berseberangan antara satu sama
lainnya. Apabila nafsu lebih dominan daripada akal maka akan
menjadikan manusia menjadi serakah. Serakah merupakan sifat tercela
yang ada pada diri manusia yang dapat menyebabkan sifat-sifat buruk
lainnya seperti bohong, fitnah, hasud, dan sebagainya. Orang yang
serakah akan melegalkan segala cara dan mengorbankan apapun demi
mendapatkan apa yang dia inginkan. Tidak peduli apakah yang
dikorbankannya itu kehormatan, nama baik, atau nyawa orang lain.
2. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam
sebuah cerita.3 Alur atau plot juga dapat diartikan sebagai struktur
peristiwa-peristiwa dalam karya fiksi. Pengurutan dan penyajian
1 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terjemahan dari An Introduction to Fiction oleh
Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 36. 2 Nurgiantoro, op.cit., h. 67. 3 Stanton,op. cit., h. 26.
44
berbagai peristiwa tersebut adalah untuk mencapai efek emosional dan
efek artistik tertentu.
Plot is the sequence of events and actions in a literary work. The structure of plot is the pattern formed by the events and actions in a literary work. Traditional element of structure are introduction,complications, climax, and conclusion.4 Plot merupakan sebuah rangkaian peristiwa dan kegiatan dalam
sebuah karya sastra. Struktur dari plot membentuk pola-pola peristiwa
dan kegiatan dalam sebuah karya sastra. unsur dasar plot adalah
pengenalan, konflik, puncak konflik, dan kesimpulan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat digambarkan bahwa plot
merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam sebuah karya sastra.
Rangkaian-rangkaian peristiwa tersebut saling berhubungan sehingga
membentuk sebuah pola yang terdiri dari pengenalan, konflik, puncak
konflik, dan penyelesaian konflik.
Menurut konvensi yang berlaku dalam pengaluran cerita pada
sastra lama, cerita diawali dengan penyampaian pujian atau
penghormatan kepada orang yang lebih dahulu ada di dalam hubungan
dengan cerita yang disalin atau dibawakan itu. Setelah itu tidak lupa
pengarang memohon kekuatan dan petunjuk dari Yang Mahakuasa,
Nabi, dan para Sahabat agar selamat sempurna pekerjaan mengarang
yang dilakukannya itu.5 Dalam Hikayat Jaya Lengkara dimulai dengan
“Wa bihi nasta’inu billahi ‘ala ini hikayat”.
Alur yang digunakan dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah alur
maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hikayat ini berturut-turut
menceritakan peristiwa yang dialami Jaya Lengkara. Cerita dimulai dari
kelahiran Jaya Lengkara di lingkungan kerajaan yang penuh suka cita,
dikatakan demikian karena kelahiraannya sudah ditunggu-tunggu sejak
lama oleh bundanya. Namun ketika sudah lahir di dunia, ia dan
4 Judith A. Stanford, Responding to Literature, (New York: Mc Graw Hill, 2006), p. 31. 5 Panuti Sudjiman, Filologi Melayu, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 38.
45
bundanya harus rela terusir dari lingkungan kerajaan dan diasingkan ke
dalam hutan karena dianggap berbahaya dan membawa malapetaka.
Jaya Lengkara tumbuh berkembang menjadi anak yang luar
biasa hebatnya yang mempunyai banyak keahlian. Sampai suatu ketika
ia bertemu dengan saudaranya Makdam dan Makdim yang telah
menyebabkan ia dan ibunya diasingkan di dalam hutan. Mereka pun
pergi mencari kembang kumakuma untuk Ayahnya yang sedang sakit
parah dan di perjalanan mereka bertemu dengan Putri Ratna Kasina
yang juga sedang mencari kembang kumakuma itu untuk ayahnya.
Konflik terjadi ketika Jaya Lengkara yang telah susah payah
mendapatkan kembang kumakuma itu mau dibunuh oleh Makdam dan
Makdim dengan melemparkannya ke laut, tetapi ia masih bisa selamat.
Ternyata tidak hanya Jaya Lengkara dan Putri Ratna Kasina saja yang
ingin mendapatkan bunga itu, tetapi Putri Ratna Dewi dan Putri Ratna
Gemala pun menginginkannya. Akhirnya kembang kumakuma itu
menjadi bahan rebutan.
Dengan keahliannya dan dengan bantuan naga, akhirnya Jaya
Lengkara dapat mendapatkan kembali kembang kumakuma tersebut. Ia
pun berhasil menyembuhkan ayahnya. Ia pun berhasil membebaskan
Makdam, Makdim, dan Putri Ratna Kasina. Keserakahan Makdam dan
Makdim belum berhenti, mereka pun ingin membunuh Jaya Lengkara
untuk yang kesekian kalinya, namun tetap gagal.
Pada akhir cerita, Jaya Lengkara menikah dengan Putri Ratna
Kasina yang cantik jelita anak Raja negeri Madinah dan ia pun menjadi
Raja segala raja.
Cerita biasanya berakhir dengan happy end, sesuai dengan
sifatnya yang didaktis, akhir yang menggembirakan itu membuktikan
bahwa protagonis dengan sifat-sifatnya yang harus diteladani itulah
yang menang.6 Akhir cerita Hikayat Jaya Lengkara ini berakhir dengan
kemenangan Jaya Lengkara yang dalam kisah ini menjadi simbol
6 Ibid., h. 40.
46
kebaikan dalam melawan keserakahan dan kezaliman terhadap dirinya
semenjak dari kecil sampai dewasa yang menimpa dirinya dan ibunya.
Sejatinya, kejahatan dan kezaliman sampai kapan pun tidak akan pernah
menang melawan kebaikan.
Pemaparan alur dalam hikayat ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
3
1 2 4 5
Keterangan
1. Pengenalan
Pengenalan tokoh Jaya Lengkara dan tokoh-tokoh lainnya
2. Konflik
Konflik diawali dengan pengusiran Jaya Lengkara dan Ibunya dari
kerajaan karena difitnah oleh Makdam dan Makdim
3. Klimaks
Percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Makdam dan Makdim
terhadap Jaya Lengkara dan perebutan kembang kumakuma oleh
Makdam, Makdim, Putri Ratna Kasina, Putri Ratna Dewi, dan Putri
Ratna Gemala.
4. Peleraian
Jaya Lengkara mendapatkan kembali kembang kumakuma yang
telah diperebutkan dan berhasil mengobati ayahnya yang sedang
sakit parah.
5. Penyelesaian
Jaya Lengkara menikah dengan Putri Ratna Kasina anak Raja negeri
Madinah, kemudian menjadi Raja segala raja yang hidup bahagia,
sejahtera, dan sentosa.
47
3. Tokoh dan Penokohan
Abrams mengungkapkan, tokoh cerita adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Sementara itu Jones mengungkapkan, penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita. 7
Mengingat karya sastra lama pada umumnya bersifat didaktis,
tokoh-tokoh sentralnya ditampilkan sebagai tokoh datar sehingga jelas
benar tokoh mana dan sifat-sifat yang bagaimana yang perlu diteladani
“putih” dan yang mana tokoh durjana “hitam” dengan sifat-sifatnya
yang tidak terpuji.
Penokohan pun menggunakan metode diskursif/perian yang
dengan jelas melukiskan baik penampilan fisik maupun pengalaman
emosional sang tokoh.8
Tokoh-tokoh dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah:
a. Jaya Lengkara
Jaya Lengkara merupakan tokoh utama yang juga namanya
menjadi judul dalam hikayat ini. Citra tokoh utama, asal-usul dan
pengalamannya dikatkan dengan berbagai mitos, seperti saat
kelahiran dan kematian yang dibarengi oleh peristiwa alam yang luar
biasa seperti matahari dan bulan yang berdekatan, kilat yang
menyilaukan, atau bunyi guntur yang menggelegar. Ia diberi ciri
fisik yang sesuai dengan sifat keteladanannya, serta tabiat dan
tindakan yang terpuji.9
Jaya Lengkara digambarkan sebagai pribadi yang luar biasa
tampan elok rupawan. Hal itu terlihat dari kutipan berikut:
7 Nurgiantoro, op.cit., h. 165. 8 Sudjiman, op.cit., h. 32. 9 Ibid., h. 33.
48
…seorang laki-laki yang elo<k> rupanya gemang
gemilang seperti bulan purnama empat belas hari goa tiga cuci cahaya muka dan lagi suatu alamat pada mukanya seperti kandil yang terang kepada malam, demikianlah alamat yang di kepalanya itu. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat.10
Selain itu Jaya Lengkara juga digambarkan sebagai orang
yang sakti mandraguna, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:
adapun jika ia hendak berjalan di darat pun boleh dan
jika ia hendak berjalan di laut pun boleh juga dengan karenanya Allah subhanahu wata’ala kepada adinda itu maka adinda itu tiada dapat dilawan orang dan segala jin pun tiada dapat melawan dia[nya].11
Jaya Lengkara pun naik ke atas pokok beringin itu,
maka ditotoknya pucuk beringin itu maka dengan takdir Allah subhanahu wa taala maka keluarlah air seperti air pancoran dari/27/pucuk beringin itu12
Jaya Lengkara juga merupakan sosok yang baik hati dan suka
membantu sesama, seperti yang tersirat dalam kutipan berikut:
10 Hikayat Jaya Lengkara, h. 3. 11 Ibid., h. 9. 12 Ibid., h. 26.
49
Jaya Lengkara pun mencari akan kakanda air ke sana
kesini maka tiada juga mendapat air barang sedikit pun tiada juga beroleh13
Selain itu Jaya Lengkara juga merupakan seorang yang
pemberani dan pemaaf, sebagaimana terlihat dari kutipan berikut:
maka <kata> Jaya Lengkara “Hai kakanda, janganlah takut karena sudah adad kita anak laki-laki”14
Sebagai tokoh utama, Jaya Lengkara mendapatkan citra yang
istimewa, yang tiada tara, yang hanya ada pada dirinya.
Keistimewaan yang tiada tara terungkap baik dalam fisiknya maupun
dalam sikap dan perilakunya. Dalam hal fisiknya dinyatakan bahwa
parasnya “terlalu elok”, mukanya “seperti cahaya bulan empat belas
hari (bulan purnama). Keunggulan dan kehebatan Jaya Lengkara
diungkapkan secara ekstensif adalah keberaniannya yang dibarengi
dengan keperkasaan dan kegagahannya.
b. Raja Saiful Muluk
Raja Saiful Muluk merupakan ayah Jaya Lengkara. Pada
dasarnya ia merupakan raja yang adil, akan tetapi tidak sabar dan
mudah terprovokasi. Sebagaimana yang terlihat dalam kutipan
berikut:
seorang raja terlalu besar kerajaannya lengkap dengan hulubalang menterinya, sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin15
13 Ibid., h. 26. 14 Ibid., h. 27. 15 Ibid., h. 1.
50
baginda itu raja meski akan tetapi baginda itu tiada
beranak barang seorang maka itu sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak maka raja itu pun pikir dalam hatinya/2/ beristri seorang lagi bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang.16
Maka baginda mendengar sa[ma]bda anakda kedua
itu maka bagindapun terlalu masygul sarat dengan percayaannya.17
maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti
kata anakku itu, maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya.18
Sebagai seorang raja, Raja Saiful Muluk belum dapat
dikategorikan sebagai raja yang bijaksana karena ia tidak sabar
dalam menghadapi permasalahan serta mudah sekali terprovokasi
dengan fitnah dan hasutan orang lain. Sebagai pemimpin tertinggi
seharusnya ia mampu menimbangkan kembali setiap informasi yang
ia dapatkan sebelum mengambil keputusan.
16 Ibid., h. 1-2. 17 Ibid., h. 10. 18 Ibid., h. 12.
51
c. Putri Sakanda Cahaya Rum
Putri Sakanda Rum merupakan ibu Jaya Lengkara yang
digambarkan sebagai sosok yang sabar dan penyayang. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
Tuan Putri Sa<ka>nda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri Sakanda Cahaya bermohon do’a kepada Allah subhanahu wata’ala demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri minta do’a dia kepada Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamil lah.19
maka sembah bunda Jaya Lengkara “Ya Tuanku,
adapun jikalau anak hamba ini dibunuh maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali”
maka kata bunda Jaya Lengkara “Ya Tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak hamba dibunuh itu karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba turut akan.”20
Selain itu, Putri Sakanda Cahaya Rum juga merupakan
seorang yang tidak pendendam dan pandai menyimpan rahasia, serta
sangat menghormati tamunya meskipun tamunya itu adalah orang
19 Ibid., h. 2. 20 Ibid., h. 11.
52
yang menzaliminya dan anaknya. Sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan berikut:
kata Jaya Lengkara/24/”Hai ibuku, apalah mulanya
maka kita ke dalam hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya Makdam dan Makdim.21
kata Jaya Lengkara “Hai kakanda <ben>tar juga
dahulu karena ibu hamba lagi hendak menjamu kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam”22
d. Putri Sakanda Cahaya Bayang Bayang
Putri Sakanda Bayang Bayang merupakan istri kedua raja
Saiful Muluk, ibundanya Makdam dan Makdim. Dalam Hikayat
Jaya Lengkara tidak banyak yang diceritakan mengenai dirinya jadi
tidak tergambar karakternya.
e. Makdam dan Makdim
Makdam dan Makdim merupakan saudara tiri Jaya Lengkara.
Dalam Hikayat Jaya Lengkara, tokoh Makdam dan Makdim hampir
selalu diceritakan beriringan, jadi dapat dikatakan karakter mereka
pun hampir sama. Tokoh ini mempunyai sifat licik yang suka
menghasud, memfitnah, dan berbohong. Sebagaimana yang
tergambar dalam kutipan berikut ini:
21 Ibid., h. 24. 22 Ibid., h. 25.
53
maka itupun berjalanlah mendapatkan ayahanda
baginda serta ia pun sampai kepada raja dengan tangisnya, maka titah raja “Hai anakku mengapakah engkau mena /10/ ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya Tuanku, adapun patik dia titah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi kepada patik kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat anakda yang baharu jadi itu maka kata kadi kepada patik kedua tadi “Adapun alamat adinda yang kepada ububun-ububunnya anakda itu besar celakanya. Padi, beras, <dan> segala buah-buahan akan mahal karena sebab besar celakanya dan segala rakyat di dalam negeri pun banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku syah alam.” maka patik menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah sebab-sebab patik menangis23
23 Ibid., h. 9-10.
54
Maka samabda Makdam dan/12/Makdim “Ya Tuan, jikalau demikian baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera tuanku membuangkan dia karena masihkah orang yang celaka itu apakah gunanya kalau negri duli tuanku bina<sa>lah tangan bilanya, karena negri ini belum lagi jauh inilah sembah patik dua bersaudara jangan anak lagi kecil, jika patik sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga gunanya puluh anak lagi kecil, demikian tuanku sayangkan demikian sembah hamba. Ya Tuanku mana harga anak tuanku seorang sama dengan harga rakyat duli tuanku seisi negri karena segala raja-raja itu jikalau kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat apalah akan gunanya?” maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti kata anakku itu, maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya.24
f. Putri Ratna Kasina
Putri Ratna Kasina merupakan anak raja negeri Madinah
yang cantik jelita, bertanggung jawab, serta sayang kepada
orangtuanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
maka dilihat oleh Jaya Lengkara ada perempuan terlalu elok parasnya.25
kata tuan putri Ratna Kasina “Hai niniku
mangkubumi, jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tiadalah aku mau kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu tiada ku balik.”26
24 Ibid., h. 12. 25 Ibid., h. 27. 26 Ibid., h. 19.
55
Maka putri Ratna Kasina pun terlalu masgulnya kan ayahanda baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum, maka pikir tuan putri “Jika aku hidup sekalipun dengan seorang diriku, apakah gunanya jika ayahku sudah mati, maka jadi piatulah aku.27
g. Putri Ratna Dewi
Putri Ratna Dewi merupakan anak raja Peringgi yang juga
ingin mendapatkan kembang kumakuma. Saking ingin memilikinya
ia sampai membujuk ayahnya untuk memerintahkan menterinya
mengambil kembang kumakuma itu, ini menandakan bahwa Putri
Ratna Kasina mempunyai sifat dan karakter yang ambisius. Selain
itu ia juga mempunyai sifat baik hati dengan membela Jaya
Lengkara dengan menerangkan kepada Raja Peringgi siapa Jaya
Lengkara sebenarnya.
h. Putri Ratna Gemala
Putri Ratna Gemala merupakan anak raja Mesir yang juga
ingin mendapatkan kembang kumakuma tanpa ada maksud dan
tujuan yang jelas akan digunakan untuk apa. Tidak banyak kisah
yang diceritakan mengenai sosok ini, akan tetapi secara tersirat ia
merupakan orang yang sangat ambisius dalam mendapatkan sesuatu.
i. Raja Peringgi
Raja Peringgi adalah ayah dari Putri Ratna Dewi. Hanya
sekelumit kisah yang menceritakan tentangnya, tapi dari kutipan
berikut digambarkan bahwa ia merupakan sosok orangtua yang
penyayang dan menuruti keinginan anaknya untuk memiliki bunga
kumakuma dengan mengirim menterinya.
j. Raja Madinah
Raja Madinah adalah ayah dari Putri Ratna Kasina, ia
mempunyai perangai yang baik hati dan penyayang.
27 Ibid., h. 18.
56
k. Raja Mesir
Raja Mesir adalah ayah dari Putri Ratna Gemala yang
mempunyai sifat baik hati.
l. Kadi
Kadi merupakan orang yang ahli dalam masalah yang
bersangkut-paut dengan hokum Islam. Kadi juga merupakan tempat
bertanya dan meramal nasib seseorang. Sebagaimana tergambar dari
kutipan berikut ini:
karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih. Adapun
fikih itulah yang mengetahui segala yang tiada dapat oleh orang lain maka/6/ diketauinya itu yang boleh, makruh, yakin, <dan> segala nama seorang-seorang28
Selain itu kadi juga mempunyai sifat ramah, jujur, dan baik
hati, sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut ini:
Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya diarakan oleh seperti adat anak raja-raja maka kadi pun berkata “Ya Tuanku pengalahtuk kepada rumah patik yang hina ini selamanya belum pernah /7/ kalau anakku datang kemari ini”29
4. Latar
Pada dasarnya, latar merupakan lingkungan yang melingkupi
sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.30 Latar mencakup segala
28 Ibid., h. 5. 29 Ibid., h. 6. 30 Stanton., op.cit., h. 35.
57
bentuk tempat, waktu, dan situasi sosial yang diceritakan dalam karya
sastra.
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan
dapat berupa tempat-tempat dengan nama, inisial, atau lokasi
tertentu.
Latar tempat yang biasanya digunakan dalam hikayat-hikayat
lama termasuk di dalamnya Hikayat Jaya Lengkara adalah
lingkungan kerajaan seperti negeri, hutan belantara, gunung, dan
sebagainya. Tidak sama dengan latar prosa yang hadir di zaman
sekarang yang sudah menggunakan latar yang kompleks.
Adapun latar tempat yang terdapat dalam Hikayat Jaya
Lengkarai sebagai berikut:
1) Negeri
[maka] negri itupun terlalu juga ramai negerinya akan
orang [lah], segenap negeri sangat adil hukumnya [dan]
daripada fakir dan miskin.31
2) Rumah Jaya lengkara
Hatta beberapa lamanya, maka bagindapun berjalan ke rumah Jaya Lengkara….32
3) Hutan
Hatta maka mangkubumi pun berjalanlah ke dalam hutan rimba dan padang/13/ belantara membawa Jaya Lengkara <ber>dua dengan bundanya itu33
31 Hikayat Jaya Lengkara., h. 1. 32 Ibid., h. 10. 33 Ibid., h. 12.
58
4) Goa
….suatu goa terlalu besar maka di dalam goa itu terlalu banyak dalamnya seperti harimau, dan raksa, dan ular, dan kala34
5) Puncak Gunung Mesir
maka sembah ahli nujum “Ya tuanku, kembang kuma-kuma putih di puncak gunung Mesir itulah akan obatnya baginda35
b. Latar Waktu
Latar waktu merujuk pada kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara dan hikayat lama lain pada
umumnya tidak menggunakan latar waktu seperti bentuk prosa
modern seperti: pagi, siang, sore, malam, Senin, tahun, dan
sebagainya. Akan tetapi lebih kepada satuan-satuan waktu tertentu
seperti:
1) Tujuh hari tujuh malam
maka kira-kira tujuh hari tujuh malam perjalanan itu disanalah Jaya Lengkara ditinggalkan dengan bundanya oleh mangkubumi36
2) Dua puluh hari dua puluh malam
ayahanda baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum37
34 Ibid., h. 13. 35 Ibid., h. 16. 36 Ibid., h. 13. 37 Ibid., h. 18.
59
3) Empat puluh hari empat puluh malam
“Hai anakku, apalah dayaku akan engkau karena aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tiada makan dan tiada minum air, dimanakah ada air susuku?”38
c. Latar Suasana
Latar suasana atau latar sosial merujuk pada hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
masyarakatnya, dan juga status sosial tokohnya.
Latar suasana atau latar sosial yang terdapat dalam Hikayat
Jaya Lengkara adalah suasana keluarga kerajaan. Hampir semua
peristiwa yang ada di dalamnya terjadi di lingkungan kerajaan, jadi
kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir masyarakatnya masih bersifat istanasentris. Hal itu ditandai
dengan budaya ramal-meramal yang masih kental, rasa hormat
terhadap keluarga kerajaan, perjodohan, jamuan makanan, dan lain
sebagainya. Semua itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
“Hai Tuan-tuan sekalian, adapun ‘hamba[h]’ ini hendak bertanyakan hal anaku yang bernama Jaya Lengkara itu, apakah artinya jaya? apa artinya lengkara itu? apakah artinya, ku minta lihat kepada nujum sekalian.39
38 Ibid., h. 14. 39 Ibid., h. 4.
60
Ya Tuanku Syah Alam, adapun duli tuanku hendakkan artinya paduka anak dinama itu baik dan jahatnya itu, duli Tuanku menyuruh bertanya kepada tuan kadi, karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih.40
Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke
rumahnya diarakan [oleh] seperti adat anak raja-raja41 Hatta tuan putri Ratna Kasina /19/ pun berjalan
dengan segala rakyat dan mangkubumi pun mengerahkan rakyat dua ribu orang rakyat berjalan mengiringkan tuan putri Ratna Kasina itu42
5. Sudut Pandang
Aminuddin mengungkapkan, titik pandang atau sudut pandang
diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita
yang dipaparkannya.43
Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Dalam Hikayat Jaya Lengkara, sudut pandang yang digunakan
adalah orang ketiga atau narator luar serba tahu, karena pengarang
mengetahui dan menceritakan segala hal yang terjadi pada tokoh, baik
berupa tindakan, ucapan nyata maupun yang berupa pikiran atau
perasaan tokoh.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Gaya
bahasa dapat dibatasi dengan cara mengungkapkan pikiran melalui
40 Ibid., h. 5. 41 Ibid., h. 6. 42 Ibid., h. 19. 43 Wahyudi Siswanto Pengantar Teori Sastra (Jakarta : PT Grasindo, 2008), h. 151
61
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(pemakai bahasa).44
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
harmonis sehingga mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.45
Kaidah-kaidah stilistik yang digunakan merupakan suatu system
konvensi yang diikuti oleh para pengarang di dalam mencipta karya,
yang sangat menonjol adalah penggunaan pengulangan (repetition dan
reccurency).46 Pengulangan kata yang terdapat dalam Hikayat Jaya
Lengkara diantaranya: kuma2 (kumakuma), bayang2 (bayang-bayang),
puji2 (puji-puji), dan sebagainya.
Secara umum gaya bahasa yang digunakan dalam Hikayat Jaya
Lengkara adalah gaya bahasa biasa yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari yang menggunakan bahasa Melayu seperti: patik, sembah,
sabda, duli dan sebagainya. Namun ada juga penggunaan majas
metafora yang terdapat pada kutipan berikut ini:
….suatu alamat kepada adinda itu seperti cahaya kandil yang terpasang kepada malam bercahaya-cahaya demikianlah alamatnya kepada adinda itu. seorang laki-laki yang elok rupanya gemang gemilang seperti bulan purnama empat belas hari. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat.
44 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 113. 45 Siswanto., op.cit., h. 158. 46 Sudjiman., op.cit., h. 27.
62
7. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra atau pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.47
Amanat suatu cerita kadang-kadang atau adakalanya tidak hadir dalam
cerita dalam arti amanat-amanat itu tidak dijelaskan secara eksplisit.48
Banyak sekali amanat yang terdapat dalam Hikayat Jaya
Lengkara di antaranya: sabar dalam menghadapi sesuatu, sabar dalam
menghadapi amarah, tolong menolong, menghormati tamu, bersyukur,
dan lain sebagainya. Akan tetapi ada satu amanat yang ingin penulis
bahas yaitu mengenai larangan untuk serakah.
Serakah merupakan salah satu akhlak tercela yang dapat
melahirkan sifat-sifat tercela lainnya seperti bohong, fitnah, hasud, iri,
dengki, dan lain sebagainya. Orang yang serakah, hidupnya tidak akan
pernah bahagia karena selalu merasa kurang dan tidak senang dengan
kelebihan yang dimiliki orang lain seraya berharap apa yang dimilik
oleh orang lain itu menjadi miliknya. Serakah tidak akan membawa
kepada kebahagiaan. Serakah hanya akan membawa kepada
kesengsaraan.
C. Nilai-nilai Moral Hikayat Jaya Lengkara
Wellek dan Werren mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil
ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah karya sastra yang
menggambarkan peristiwa sosial dalam masyarakat, tentunya mengandung
nilai-nilai di dalamnya, baik nilai moral, sosial, budaya maupun nilai
religius.49
47 Siswanto., loc.cit., h. 162. 48 Nikmah Sunardjo, dkk, Telaah Susastra Melayu Betawi, (Jakarta: Depdikbud, 1991), h.
35. 49 Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusatraan, (Jakarta: Gramedia, 1989), h.
276.
63
Suseno mengungkapkan bahwa kata moral selalu mengacu pada
tingkah laku baik buruk manusia sebagai manusia. Norma-norma moral
adalah tolok ukur untuk menentukan betul salah sikap dan tindakan
manusia dilihat dari segi baik buruk sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas.50
Sedangkan Nainggolan mengemukakan bahwa moral ditinjau dari
sudut bahasa merupakan kata benda yang berarti berhubungan dengan
prinsip baik dan buruk dari satu cerita dan kisah atau pengalaman.51
Dengan kata lain, nilai moral merupakan sesuatu yang berharga
yang berisi aturan-aturan, baik lisan maupun tulisan yang mengatur
tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan manusia yang dianggap baik dan
buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, moral
merupakan suatu aturan atau ajaran yang di dalamnya mengatur sebuah
nilai, baik itu nilai baik maupun nilai buruk yang dijadikan sebagai
pedoman hidup manusia dalam bertingkah laku.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan nilai moral
yaitu tingkah laku manusia baik dan buruknya sebagai manusia. Tingkah
laku baik dan buruk tersebut dapat digolongkan menjadi nilai moral positif
dan nilai moral negatif. Tingkah laku yang baik dapat dimasukkan ke
dalam nilai moral positif, sedangkan tingkah laku yang buruk dapat
dimasukkan ke dalam nilai moral negatif. Jadi, interpretasi nilai moral
dibagi menjadi dua golongan, yaitu nilai moral positif dan nilai moral
negatif.
Interpretasi nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya
Lengkara dari segi nilai moral positif meliputi: adil, kasih sayang,
menolong, bertanggung jawab, hormat, bersyukur, pemberani dan sabar.
Nilai moral yang ditemukan dari segi nilai moral negatif meliputi:
menfitnah, iri dengki, hasut, mencuri, berbohong, khianat, menipu,
penakut, dan serakah.
50 Suseno, op.cit., h. 18. 51 Nainggolan, op.cit., h. 21.
64
1. Nilai Moral Positif
Di dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat nilai moral yang
positif yaitu nilai moral yang baik. Nilai moral positif yaitu perbuatan
yang dapat membantu atau meringankan beban orang lain. Nilai moral
positif dapat dijadikan suatu perbuatan yang perlu dicontoh atau diikuti
oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.
a. Kasih Sayang
“Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia” Demikianlah lirik lagu yang menggambarkan kasih sayang
seorang ibu kepada anak-anaknya. Kasih sayang merupakan suatu
sikap saling mengasihi antara sesama makhluk tuhan. Salah satu
kasih sayang yang terdahsyat di dunia ini adalah kasih sayang
seorang ibu kepada anak-anaknya itu terlihat mulai dari prosesi
mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, dan membesarkan
anaknya dengan tulus, ikhlas, dan limpahan kasih sayang. Bahkan
seorang ibu pun rela mati untuk anaknya sebagaimana yang
terdapat dalam kutipan Hikayat Jaya Lengkara berikut ini:
maka sembah bunda Jaya Lengkara “Ya Tuanku,
adapun jikalau anak hamba ini dibunuh maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali” maka kata raja “Hai adinda, mengapakah adinda berkata demikian itu?” maka kata bunda Jaya Lengkara “Ya Tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak hamba dibunuh itu karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba turut akan.”.52
52 Ibid., h. 11.
65
Kutipan di atas menceritakan tentang pembelaan ibu Jaya
Lengkara kepada anaknya yang ingin dibunuh oleh ayahnya sendiri
karena dianggap jahat dan sangat berbahaya, ibunya pun rela mati
demi membela anak satu-satunya dan kesayangannya.
b. Adil
Salah satu pengertian adil adalah tidak pandang bulu dalam
menegakkan hukum. Sikap tersebut merupakan sikap terpuji yang
harus dimiliki oleh manusia terutama bagi seorang penguasa atau
pemimpin. Seorang penguasa atau pemimpin harus adil kepada
seluruh rakyatnya atau bawahannya, ia tidak boleh bertindak
sewenang-wenang, tebang pilih, mengutamakan pribadi dan
golongannya.
Sikap adil ini secara tersurat terdapat dalam Hikayat Jaya
Lengkara yaitu pada kutipan berikut ini:
…negeri sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin.53 Kutipan di atas menunjukan bahwa Raja Saiful Muluk
yang merupakan Raja dari negeri Ajam Saukat sangat adil,
terutama kepada rakyat yang fakir dan miskin. Sejatinya harta dan
jabatan hanyalah titipan serta amanah yang harus dilaksanakan
dengan adil, amanah dan penuh tanggung jawab.
c. Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan suatu sikap terpuji yang harus
dimiliki oleh manusia. Dengan sikap ini manusia dituntut untuk
menghormati hak dan melaksanakan kewajibannya. Salah satu
indikator orang yang bertanggung jawab adalah melakukan segala
sesuatu terutama yang menyangkut kewajibannya dengan totalitas
dan kesungguhan.
53 Ibid., h. 1.
66
Adapun salah satu sikap tanggung jawab yang terdapat
dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai niniku
mangkubumi, jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tiadalah aku mau kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu tiada ku balik.”54
Kutipan di atas bercerita tentang kesungguhan seorang anak
dalam mencari obat untuk ayahnya yang sedang sakit parah.
Bahkan ia pantang menyerah ketika harus ditinggalkan oleh
pengawal serta pengikutnya sendirian di perjalanan yang penuh
dengan aral dan rintangan demi mendapatkan obat untuk ayahnya
yang belum ia dapatkan. Kesungguhan ini merupakan bentuk
tanggung jawab seorang anak kepada ayahnya yang sedang
kesusahan.
d. Tolong Menolong
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendirian. Ada kalanya senang dan ada kalanya susah, adakalanya
menolong dan ada kalanya ditolong, oleh karena itu manusia harus
saling tolong menolong antara satu sama lainnya, tentunya tolong
menolong dalam kebaikan bukan kejahatan. Sebagaimana firman
Allah Swt:
نوالعدوا مثوال تعاونوا على اإل والتقوى وتعاونوا على البر
“Dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2)
54 Ibid., h. 19.
67
Adapun contoh perbuatan tolong menolong dalam Hikayat
Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut ini:
maka ujar Makdam dan Makdim “Hai orang muda jika tuan hamba diam di dalam hutan ini mintalah air, hamba ini telalu dahaga” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita pada tempat hamba diam” maka ia pun masuklah ke dalam goa itu mengambil air di dalam kendi, maka [maka] Makdam dan Makdim pun heranlah melihat goa itu. Maka Jaya Lengkara pun keluarlah serta memberikan kendi itu/23/kepada Makdam dan Makdim, maka disambut oleh Makdam dan Makdim kendi itu lalu diminumnya oleh Makdam dan Makdim. 55
maka kata Makdim “Adapun dalam kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!”56
Kutipan di atas bercerita tentang Jaya Lengkara yang
menolong saudaranya yang sedang kesusahan di hutan serta
menolongnya mencari kembang kumakuma untuk obat ayahnya
yang sedang sakit.
e. Bersyukur
Bersyukur merupakan bentuk atau cara berterimakasih
seorang hamba kepada Tuhannya atas nikmat dan karunia yang
telah diberikan kepadanya Dengan bersyukur berarti dia sudah
55 Ibid., h. 22-23. 56 Ibid., h. 25.
68
menghormati Tuhannya. Ada banyak cara bersyukur bersyukur
salah satunya dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin
(segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam) ini menyatakan
dan mengingatkan kepada kita bahwa segala puji-pujian itu hanya
pantas disematkan kepada Tuhan bukan kepada manusia, oleh
karena itu manusia tidak boleh sombong dan congkak.
Adapun sikap bersyukur yang ada dalam Hikayat Jaya
Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
maka semuanya mengucap syukur “Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin segala puji-puji bagi Allah subhanahu wata’ala juga memberi hambanya kebesaran dan kemuliaan atas hambanya yang di dalam dunia ini.57
maka tuan kadi pun terus-terus serta mengucap
syukur Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.58 maka kata Jaya Lengkara “Alhamdulillahi rabbil
‘alamin”59
Kutipan di atas berisikan tentang bersyukurnya hulubalang,
ahli nujum, dan kadi kepada Allah SWT karena telah diberikan
karunia berupa kebesaran, kemuliaan dan pengetahuan.
f. Sabar
Sabar merupakan sikap terpuji lagi mulia yang tidak semua
orang dapat mengamalkannya. Terkadang manusia terlalu mudah
kecewa dan putus asa apabila menghadapi kegagalan dalam
hidupnya. Pada dasarnya kegagalan itu merupakan ujian dari Tuhan
57 Ibid., h. 5. 58 Ibid., h. 8. 59 Ibid., h. 25.
69
kepadanya karena apabila ia berhasil menghadapi ujian tersebut
niscaya Allah telah menyiapkan hadiah indah untuknya dan Allah
juga beserta orang-orang yang sabar, sebagaimana firman Allah
SWT:
نا بريالص عإن اهللا م الةالصر وبا بالصونيعتااسونام نيهاالذا ايي
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabr dan sholat menjadi penolongmu. Karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (QS: Al-Baqarah: 153)
Adapun sikap sabar yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara
terdapat dalam kutipan berikut:
dan istri baginda yang lama itu tiada dikasihani
seperti dahulu kala <la>gi, maka tuan putri pun pikir dalam hatinya Tuan Putri Sa<ka>nda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri Sakanda Cahaya bermohon do’a kepada Allah subhanahu wata’ala demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri minta do’a dia kepada Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamillah. Setelah genap bulannya, tuan putri Sakanda Cahaya Rum beranak pula seorang laki-laki yang elo<k> rupanya gemang gemilang seperti bulan purnama empat belas hari.60
60 Ibid., h. 2-3.
70
Kutipan di atas bercerita tentang kesabaran Putri Sakanda
Cahaya istri Raja Saiful Muluk yang sudah lama menikah akan
tetapi belum juga dikaruniai seorang anak, sampai-sampai ia pun
dimadu oleh suaminya itu. Akan tetapi dengan kesabarannya dan
terus berdoa kepada sang pencipta, akhirnya ia dikaruniai seorang
putra yang kelak akan menjadi raja.
”Hai ibuku, apalah mulanya maka kita ke dalam
hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya Makdam dan Makdim..61
“Hai ibuku, siapakah orang ini?” kata ibunya “Hai
anakku, inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah bernama Makdim, anak raja Ajam Saukat da<ri> istrinya yang muda, karena ia hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat ayahanda mu sakit” maka kata Jaya Lengkara “Jikalau demikian hai kakanda Makdam dan Makdim, dimanakah tempat kembang itu?” maka kata Makdam dan Makdim “Hai saudaraku, karena kakanda pun tiada juga tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih/25/itu” maka kata Makdim “Adapun dalam kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka
61 Ibid., h. 24.
71
kata Jaya Lengkara “Marilah kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!” 62 Kutipan di atas bercerita tentang kesabaran ibunda Jaya
Lengkara kepada anak tiri yang telah memfitnah dan
menghasudnya serta anaknya sehingga ia harus terusir dari
kerajaan. Dan juga kesabaran Jaya Lengkara ketika mengetahui
bahwa orang yang ditolongnya adalah orang yang
menyebabkannya hendak dibunuh dan diusir bersama bundanya,
tetapi sedikitpun dia tidak marah, malah berniat menolong
saudaranya itu untuk mencari obat buat ayahnya yang sedang sakit
parah, dan ia juga sangat sabar dalam menghadapi orang yang
jelas-jelas ingin mencuri kembang kumakuma itu yang telah susah
payah dia dapatkan dengan mengampuninya.
Kisah ini mengajarkan bahwa selain harus sabar dalam
menghadapi kegagalan, manusia juga harus sabar dalam
menyimpan rahasia dan sabar dalam menahan amarah,
sebagaimana sabda Rasulallah SAW
ليس الشديد بالصرعة انما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب
Orang kuat itu bukanlah orang yang kuat bergulat, tetapi orang yang dapat menahan amarahnya”. (HR. Bukhari Muslim)63
g. Hormat
Sikap hormat merupakan salah satu sikap terpuji dan
penting dalam kehidupan sosial manusia. Apabila yang muda
menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda maka
akan terciptalah kedamaian di dunia. Selain kepada yang lebih tua,
sikap hormat dan takzim juga layak disematkan kepada orang yang
berjasa seperti orangtua, guru, dokter, dan lain sebagainya. Dan ada
pula sikap hormat yang diajarkan oleh Rasulallah SAW demi
terciptanya kerukukan dan kedamaian dalam membina hubungan
62 Ibid., h. 25. 63 Muhammad Said, 101 Hadits Tentang Budi Luhur, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), cet.
37, h. 10.
72
sosial antar manusia yaitu hormat kepada tetangga dan kepada
tamunya. Sebagaimana sabdanya:
فهيض كرمر فاليم األخواليباهللا و نمؤكان ي نم
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya Ia menghormati tamunya.” (HR. Muslim)64
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Nabi Ibrahim As
setiap hari menyembelih seekor domba untuk dimasak untuk
menjamu tamu-tamunya, dan banyak lagi cerita-cerita lainnya yang
mengisahkan tentang penghormatan kepada tamu termasuk yang
terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dalam kutipan berikut:
Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke
rumahnya diarakan [oleh] seperti adat anak raja-raja65 maka kata Jaya Lengkara “Hai kakanda <ben>tar
juga dahulu karena ibu hamba lagi hendak menjamu kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam” maka Makdam dan Makdim pun menanti jua beberapa lamanya makan dan minum yang amatlah nimat jua rasanya, maka Makdam dan Makdim pun terlalu suka hatinya dijamu oleh saudaranya itu.66 Kutipan di atas menceritakan tentang penghormatan
seorang kadi kepada anak raja yang ingin berkunjung ke rumahnya
dan penghormatan seorang ibu kepada anak tirinya yang telah
menghasudnya sampai ia dikeluarkan dari kerajaan. Hal ini
64 Ibid., h. 19. 65 Hikayat Jaya Lengkara., h. 6. 66 Ibid., h. 25.
73
mengajarkan manusia bahwa jangankan kepada teman, kepada
lawanpun harus bersikap hormat.
h. Berani
Berani merupakan suatu sikap hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan,
masalah, dan sebagainya. Berani di sini tentunya berani dalam
melakukan kebaikan bukan kejahatan.
Adapun sikap berani yang ada dalam Hikayat Jaya
Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
maka <kata> Jaya Lengkara “Hai kakanda, janganlah takut karena sudah adad kita anak laki-laki”67
kata Jaya Lengkara “Marilah kita masuk ke dalam
goa itu!” maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena sangat takut cahaya ini karena siapa tahu barangkali ada harimau dan raksa atau <ul>ar dan kala [kah]” maka Jaya Lengkara pun masuk juga seorang ke dalam goa itu dengan seorang dirinya..68
Kutipan di atas menceritakan tentang Jaya Lengkara yang
pemberani dan berusaha untuk menenangkan saudaranya yang
penakut. Sejatinya seorang hamba selagi ia benar harus berani
kepada apapun dan siapapun, dan yang pantas ditakuti hanyalah
Tuhan sang pencipta bukan makhluk ciptaanNya yang fana.
2. Nilai Moral Negatif
67 Ibid., h. 27. 68 Ibid., h. 28.
74
Di dalam Hikayat Jaya Lengkara tidak hanya terdapat nilai
moral yang positif, tetapi juga terdapat nilai moral yang negatif. Salah
satu nilai moral negatif yaitu perbuatan yang merugikan orang lain.
Nilai moral negatif dalam hikayat ini terjadi pada orang-orang yang
mempunyai maksud buruk atau jahat.
a. Tidak Sabar
Sikap tidak sabar ini merupakan kebalikan dari sikap sabar,
sikap ini harus dihindari karena sikap ini akan membuat seseorang
menjadi mudah menyerah dan putus asa serta melakukan sesuatu
tanpa pertimbangan yang matang yang dapat merugikan dirinya
maupun orang lain di sekitarnya.
Adapun sikap tidak sabar yang ada dalam Hikayat Jaya
Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
baginda itu tiada beranak barang seorang maka itu
sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak maka raja itu pun pikir dalam hatinya diyasa /2/ beristri seorang lagi bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang69
Kutipan di atas menceritakan tentang ketidak sabaran
seorang raja sekaligus seorang suami kepada istrinya yang telah
sekian lama menikah akan tetapi belum juga mempunyai
keturunan, akhirnya karena tidak sabar ia menikah kembali dengan
perempuan lain. Sampai suatu ketika istri pertamanya itupun hamil
dan melahirkan seorang anak yang elok, gagah, dan pemberani
yang kelak menjadi raja segala raja.
69 Ibid., h. 1-2.
75
b. Hasud , Bohong, dan Fitnah
Hasud, bohong, dan fitnah merupakan sifat tercela yang
harus dihindari oleh seluruh manusia karena sikap ini selain
merugikan untuk diri sendiri juga merugikan bagi orang lain. Sifat-
sifat ini saling berkaitan antar satu sama lainnya. Hasud merupakan
sikap iri hati dan dengki seseorang atas keberhasilan, kesuksesan,
dan kelebihan orang lain dan ia berharap agar keberhasilan itu
segera hilang darinya untuk itu dia memfitnah, dan untuk
memfitnah dia harus berbohong.
Sikap hasud, fitnah, dan bohong yang ada dalam Hikayat
Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
dia pun sampai kepada raja dengan tangisnya, maka
titah raja “Hai anakku mengapakah engkau mena /10/ ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya Tuanku, adapun patik dia titah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi kepada patik kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat anakda yang ba[ha]ru jadi itu maka kata kadi kepada patik kedua tadi “Adapun alamat adinda yang kepada ububun-ububunnya anakda itu besar celakanya. Padi, beras, segala buah-buahan akan mahal karena sebab besar celakanya dan segala rakyat di dalam negri pun banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku syah alam.” maka patik
76
menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah sebab-sebab patik menangisi adinda..70 Kutipan di atas menceritakan tentang perbuatan hasud, iri,
dan dengki Makdam dan Makdim kepada Jaya Lengkara karena
mereka telah mengetahui kelebihan dan keutamaan Jaya Lengkara
yang dikhawatirkan dapat menggangu posisi mereka di kerajaan
sebagai penerus tahta. Merekapun berbohong, memfitnah, dan
bersandiwara di hadapan ayahandanya dengan mengatakan bahwa
Jaya Lengkara merupakan anak yang sangat berbahaya dan akan
menyebabkan malapetaka.
Maka samabda Makdam dan/12/Makdim “Ya Tuan,
jikalau demikian baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera tuanku membuangkan dia karena masihkah orang yang celaka itu apakah gunanya kalau negri duli tuanku bina<sa>lah tangan bilanya, karena negri ini belum lagi jauh inilah sembah patik dua bersaudara jangan anak lagi kecil, jika patik sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga gunanya puluh anak lagi kecil, demikian tuanku sayangkan demikian sembah hamba. Ya Tuanku mana harga anak tuanku seorang sama dengan harga rakyat duli tuanku seisi negri karena segala raja-raja itu jikalau kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat apalah akan gunanya?”71
Kutipan di atas menceritakan tentang raja yang termakan
hasud dan fitnah anaknya, raja itu berniat untuk membunuh Jaya
70 Ibid., h. 9-10. 71 Ibid., h. 12.
77
Lengkara lalu ibu jaya Lengkara pun menghalanginya, akhirnya
merekapun diusir dari kerajaan ke dalam hutan tanpa makanan,
minuman dan perbekalan. Ini semua merupakan akibat daripada
perbuatan hasud, fitnah, dan bohong yang dapat sangat merugikan
orang lain. Tidak salah jika Allah berfirman bahwa fitnah itu akan
membawa dampak yang besar bagi korbannya sampai-sampai
melebihi pembunuhan. Sebagaimana firman Allah SWT dan sabda
Rasulallah SAW
لون القتم دة أشنتالف
“Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan” (QS: Al-
Baqarah: 191)
بطحلا ارالن لكأا تمك اتنسحلا لكأي دسحلا نإف دسحلاو ماكيإ
“Jauhilah sifat hasad/dengki, karena sesungguhnya hasad itu
memakan (merusak) amal kebajikan, seperti api memakan
kayu.” (HR. Abu Daud)72
c. Khianat
Khianat merupakan perbuatan tidak setia dan tipu daya.
Sikap ini merupakan tindakan tercela karena akan merugikan diri
sendiri karena akan menyebabkan kehilangan kepercayaan dari
orang lain serta dapat merugikan orang lain.
Orang yang berkhianat dikategorikan kedalam golongan
orang munafik karena telah menyelewengkan amanah dan
kepercayaan yang telah diberikan oleh orang lain kepadanya,
sebagaimana sabda Rasulallah SAW
أية املنافق ثالث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا أؤتمن خان
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkari, dan apabila dipercaya ia menghianatinya.” (HR. Bukhari)73
72 Muhammad Said., op.cit., h. 32. 73 Ibid., h. 9.
78
Adapun sikap khianat yang ada dalam Hikayat Jaya
Lengkara terdapat dalam kutipan berikut ini:
baharu sahaja diambil sehelai daun bunga itu, ia sudah ditolak oleh Makdam dan Makdim ke laut. Hanya dengan berpegang dan bergantung pada daun itu Jaya Lengkara dapat menyelamatkan nyawa.74
Kutipan di atas menceritakan tentang pengkhianatan
Makdam dan Makdim kepada Jaya Lengkara yang selama ini telah
berbuat baik kepadanya dan membantunya untuk mendapatkan
kembang kumakuma. Akan tetapi setelah bunga itu mereka
dapatkan mereka malah mencoba untuk membunuh Jaya Lengkara
dengan melemparkannya ke lautan.
d. Mencuri
Mencuri adalah mengambil hak milik orang lain tanpa izin
atau dengan sembunyi-sembunyi. Mencuri, merupakan tindakan
tercela yang dapat merugikan orang lain. Perbuatan ini tidak
diajarkan dan tidak dibenarkan oleh agama manapun.
Adapun contoh perbuatan tercela ini tersurat dalam Hikayat
Jaya Lengkara yang terdapat dalam kutipan berikut
mangkubumi Mesir mencoba mengambil bunga itu
dari Jaya Lengkara tapi gagal. Jaya Lengkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapatkan bunga itu.75 Kutipan di atas menceritakan tentang mangkubumi Mesir
yang ingin mencuri bunga kumakuma yang telah diperoleh dengan
susah payah oleh Jaya Lengkara, akan tetapi mangkubumi itu gagal
mendapatkannya. Mencuri, menguntit, merampok, merompak, dan
74 Hikayat Jaya Lengkara., h. 30. 75 Ibid., h. 31.
79
korupsi merupakan tindakan tercela yang tidak dibenarkan oleh
siapapun, agama manapun, dimanapun, dan kapanpun. Rasulallah
bersabda mengenai larangan mencuri dalam hadisnya:
ولا جاذاا باعل هيخأ اعتم مكدحا نذخأا يل
“Janganlah kamu mengambil barang kepunyaan orang lain, baik bergurau (pura-pura) maupun dengan sengaja”. (HR. Tirmidzi)76
e. Menipu
Menipu merupakan perbuatan atau perkataan yang tidak
jujur, bohong, palsu, dan sebagainya dengan maksud untuk
menyesatkan atau mencari untung. Perbuatan ini termasuk sikap
tercela karenadapat merugikan orang lain.
Adapun contoh perbuatan tercela ini terdapat dalam
Hikayat Jaya Lengkara yang tersurat dari kutipan berikut:
Ayahandanya raja Peringgi mengirim dua orang
menteri pergi mencari bunga itu, seorang menteri pergi menipu raja Mesir77
Kutipan di atas menceritakan tentang ambisi raja Peringgi
yang sangat tinggi untuk memiliki bunga kumakuma sampai-
sampai ia mengutus seorang menteri untuk menipu raja Mesir agar
bias mendapatkan bunga itu. Hal ini mengajarkan manusia bahwa
untuk mendapatkan sesuatu itu harus dengan usaha yang sungguh-
sungguh dan ikhtiar yang maksimal, tidak bisa hanya dengan cara
instan apalagi sampai menghalalkan segala salah satunya dengan
menipu.
f. Penakut
Penakut merupakan salah satu sikap yang membuat
manusia menjadi tidak bebas, pesimis, dan malas. sikap ini
76 Muhammad Said., op.cit., h. 15. 77 Ibid., h. 31.
80
merupakan lawan dari sikap berani. Sejatinya, selama ia benar
maka manusia tidak boleh takut kepada siapapun dan apapun, dan
manusia hanya boleh takut kepada penciptanya yaitu Allah SWT.
Adapun contoh sikap penakut yang ada dalam Hikayat Jaya
Lengkara terdapat pada kutipan berikut:
“Marilah kita masuk ke dalam goa itu!” maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena sangat takut cahaya ini karena siapa tahu barangkali ada harimau dan raksa atau <ul>ar dan kala kah”78
sekira-kira tiga hari tiga malam perjalanannya itu, maka bertemu dengan raksa dan harimau, maka Makdam dan Makdim sangat gemetar tubuhnya serta berlindung disamping Jaya Lengkara, maka katanya “Hai adinda hidup-hiduplah nyawa kakanda dua ini” serta dengan tangisnya79
Kutipan di atas menceritakan tentang ketakutan Makdam
dan Makdim kepada harimau, raksasa, ular, dan kala dalam
perjalanan mencari kembang kumakuma.
g. Serakah
Salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya adalah
serakah. Sikap ini tidak hanya merugikan orang yang bersangkutan
akan tetapi dapat merugikan orang lain. Orang yang serakah selalu
menginginkan sesuatu yang lebih banyak, ia tidak pernah akan puas
78 Ibid., h. 28. 79 Ibid., h. 27.
81
dan menghalalkan segala cara untuk dapat meraihnya, tak peduli
apakah harus mengorbankan kehormatan dirinya maupun orang
lain, yang penting apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan
nafsu syahwatnya terpenuhi.
Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian karena tiada tahan diganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah kembali ke negri Ajam Saukat Karena berahi mereka akan Putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim mencoba membunuh Jaya Lengkara80
Kutipan di atas menceritakan tentang keserakahan Makdam
dan Makdim yang mengganggu Putri Ratna Kasina padahal mereka
sudah mempunyai istri masing-masing. Tidak hanya itu, karena
keserakahannya itupun mereka ingin membunuh Jaya Lengkara.
Hal ini menyiratkan bahwa orang yang serakah itu tidak akan
pernah puas dengan apa yang dimilikinya, ia selalu merasa
kekurangan dan tidak mau ada seseorangpun yang dapat melebihi
dirinya bahkan ia menghalalkan segala cara untuk dapat
memperoleh apapun yang ia inginkan.
80 Ibid., h. 31.
82
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, sebagaimana tertuang
dalam Undang-Undang No. 2/89 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4 yang berbunyi:
Mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia
seutuhnya yang dimaksudkan antara lain bercirikan beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut, terlihat bahwa pendidik
mempunyai kewajiban untuk mendidik peserta didik menjadi pribadi yang
utuh dan mandiri dengan dilandasi oleh akhlak dan budi pekerti yang
luhur. Apabila tujuan pendidikan tersebut dikaitkan dengan pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah, terlihat adanya kesamaan di antara keduanya.
Hal itu dapat dilihat dalam tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia bidang sastra dalam Kurikulum 2004, yaitu: (1) agar
peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) peserta didik
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya
dan intelektual manusia Indonesia.139
Dalam tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, terlihat bahwa
peserta didik harus mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra
untuk mengembangkan kepribadian dan memperluas wawasan. Tujuan ini
berkaitan dengan pengembangan kepribadian dan watak peserta didik
tersebut dan sejalan dengan tujuan yang ada dalam sistem pendidikan
nasional. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari pendidik untuk
81 Yeti Mulyati, Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Berorienatasikan Fungsi
Komunikatif Bahasa untuk Siswa Sekolah Dasar, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/196008099 86012 diakses pada hari Kamis, 12 Desember 2013 pukul 19.19 WIB.
83
menciptakan peserta didik yang berkepribadian dan berwatak baik sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional.
Pendidik, dalam hal ini guru, harus berperan aktif dalam
pembentukan kepribadian dan watak peserta didik. Pembentukan
kepribadian dan watak ini dapat dilakukan dengan memberikan
pembelajaran kepada peserta didik mengenai nilai moral yang baik.
Pembelajaran nilai moral ini dapat dilakukan melalui pembelajaran
mengenai karya sastra. Hal itu dikarenakan dalam suatu karya sastra, di
dalamnya mengandung nilai-nilai positif yang bisa dijadikan contoh oleh
peserta didik. Nilai positif yang bersifat langsung berupa penggambaran
nilai moral, nilai sosial, dan nilai agama yang dapat dilihat secara tersurat
dalam hikayat.
Pada dasarnya, penggambaran nilai-nilai yang bersifat positif ini
diharapkan turut membantu dalam pembentukan kepribadian dan watak
peserta didik. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang pendidik
untuk membantu peserta didik dalam menentukan karya sastra mana yang
harus dibaca dan dapat dijadikan contoh oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-harinya.
Penerapan pembelajaran pembentukan kepribadian dan watak
peserta didik melalui karya sastra ini dapat diterapkan oleh guru pada
tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek membaca. Dalam
pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah
mampu memahami berbagai hikayat dengan kompetensi dasar mampu
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik serta mampu menemukan
nilai-nilai positif yang ada dalam hikayat.
Apabila dikaitkan dengan Hikayat Jaya Lengkara, seorang
pendidik bisa memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu
membaca dan menerapkan nilai-nilai yang disampaikan dalam Hikayat
Jaya Lengkara. Hal itu dikarenakan dalam hikayat Jaya Lengkara ini sarat
dengan nilai-nilai moral yang layak untuk dijadikan contoh oleh peserta
didik.
84
Nilai-nilai moral ini dapat dilihat dari tokoh Jaya Lengkara yang
mempunyai semangat untuk memperoleh sesuatu dan tidak pernah pantang
menyerah untuk memperolehnya. Selain itu, sikap sabar yang dimiliki oleh
Jaya Lengkara dan ibunya dalam menghadapi masalah pun merupakan
salah satu dari bentuk nilai moral yang dapat dijadikan contoh oleh peserta
didik. Selain itu, apabila kita melihat sikap dari tokoh Makdam dan
Makdim, yang kurang layak untuk ditiru, misalnya penghasud,
pembohong, penakut, pemfitnah, dan serakah, namun setidaknya ada
beberapa sikap Makdam dan Makdim yang layak dijadikan panutan oleh
peserta didik, sikap tersebut adalah sikap pantang menyerah untuk
mendapatkan sesuatu. Dengan melihat sikap tokoh Makdam dan Makdim
ini, akan membantu peserta didik dalam menentukan sikap mana yang
layak dan tidak layak untuk ditiru.
Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan hikayat
ini diharapkan dapat membantu siswa dalam menentukan nilai-nilai positif
baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Penggambaran nilai
positif yang bersifat langsung berupa penggambaran nilai moral dalam
hikayat.
Penggambaran sikap positif ini, diharapkan dapat memberikan
pengaruh terhadap pengembangan kepribadian dan watak peserta didik.
Oleh karena itu, setelah pembelajaran dalam pembacaan hikayat ini
dilakukan, diharapkan peserta didik mampu menerapkan nilai-nilai moral
tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga pada akhirnya turut
berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian dan watak dari peserta
didik tersebut. Pembelajaran nilai-nilai moral yang telah didapatkan oleh
peserta didik tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan
pegangan dalam perjalanan hidup peserta didik sehingga peserta didik
lebih bijaksana dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan
multidimensi seperti sekarang ini. Dengan kata lain, pembelajaran karya
sastra lama, dalam hal ini hikayat pun turut membantu dalam pembentukan
karakter bangsa.
85
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam Hikayat
Jaya Lengkara, dapat diambil beberapa simpulan yaitu:
1. Proses penyuntingan naskah Hikayat Jaya Lengkara dilakukan setelah
proses inventarisasi dan deskripsi naskah. Proses penyuntingan
menggunakan metode edisi naskah tunggal dengan metode standar atau
kritis. Di dalam menyunting naskah, penulis membuat suatu edisi yang
baru dengan mengadakan pembagian alinea-alenia, huruf besar dan
kecil, membuat penafsiran (interpretasi), sehingga teks tampak mudah
dipahami oleh pembaca masa kini.
2. Nilai moral yaitu tingkah laku manusia baik dan buruknya sebagai
manusia. Tingkah laku baik dan buruk tersebut dapat digolongkan
menjadi nilai moral positif dan nilai moral negatif. Tingkah laku yang
baik dapat dimasukkan ke dalam nilai moral positif, sedangkan tingkah
laku yang buruk dapat dimasukan ke dalam nilai moral negatif. Jadi,
interpretasi nilai moral yang ditemukan dari segi nilai moral positif,
meliputi sikap adil, jujur, kasih sayang, percaya, menolong,
bertanggung jawab, hormat, dan bersyukur. Adapun nilai moral yang
ditemukan dari segi nilai moral negatif, meliputi: tidak sabar, khianat,
menghasud, memfitnah, mencuri, berbohong, penakut, penipu dan
serakah.
3. Nilai-nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara tersebut, dapat
diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek membaca. Dalam
pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah
mampu memahami berbagai hikayat dengan kompetensi dasar mampu
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan hikayat serta mampu
menemukan nilai-nilai positif yang ada dalam hikayat, baik itu nilai
86
moral, nilai sosial, nilai budaya, maupun nilai agama. Pembelajaran
sastra melalui pembacaan hikayat ini diharapkan dapat membantu siswa
dalam menentukan nilai-nilai positif baik yang bersifat langsung
maupun tidak langsung. Penggambaran nilai positif yang bersifat
langsung berupa penggambaran nilai moral yang terdapat dalam
hikayat. Oleh karena itu, setelah pembelajaran dalam pembacaan novel
ini dilakukan, diharapkan peserta didik mampu menerapkan nilai-nilai
moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Berdasarkan hasil penilitian ini, penulis mencoba memberi saran
sebagai berikut.
1. Diharapkan Hikayat Jaya Lengkara ini dapat dijadikan sebagai bahan
pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan bagi pendidik
untuk dapat memanfaatkan hikayat ini sebagai media pembelajaran
sastra nantinya.
2. Pembelajaran nilai-nilai moral yang telah didapatkan dalam novel
tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan dalam
perjalanan hidup peserta didik sehingga peserta didik lebih bijaksana
dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi seperti
sekarang ini.
3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan muncul usaha-usaha
baru dalam penelitian filologi di masa yang akan datang, terutama di
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
agar dapat menjaga dan melestarikan khazanah sastra lama.
87
DAFTAR PUSTAKA
Baried., dkk. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. 11, 2011.
Budiningsih, C. Asri. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Daradjat, Zakiah. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Dewan Bahasa dan Pustaka. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa, 2003.
Djamaris, Edwar. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Ikram, Achdiati. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Kosasih, E. Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Nobel Edumedia, 2008.
Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, dan Metodologi Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2001.
Mulyati, Yeti. Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Berorienatasikan Fungsi Komunikatif Bahasa untuk Siswa Sekolah Dasar, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/196008099 86012 diakses pada hari Kamis, 12 Desember 2013 pukul 19.19 WIB. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengakajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1994.
Said, Muhammad. 101 Hadits Tentang Budi Luhur. Bandung: Al-Ma’arif, Cet. 37, 1986.
Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Stanford, Judith A. Responding to Literature. New York: Mc Graw Hill, 2006.
88
Stanton, Robert. Teori Fiksi, Terjemahan dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2007.
Sudardi, Bani. Dasar-dasar Teori Filologi. Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia, 2001.
Sudjiman, Panuti. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya, 1994.
----------------------. Adat Raja Raja Melayu. Jakarta: UI Press, 1996.
Sunardjo, Nikmah. dkk, Telaah Susastra Melayu Betawi,. Jakarta: Depdikbud, 1991.
Suryani, Elis. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Suseno, Magnis. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Vaughn, Lewis. Doing Ethics. New York: W.W. Norton & Company, 2008.
Wellek, Rene. dan Austin Warren. Teori Kesusatraan. Jakarta: Gramedia, 1989.
Yock Fang, Liaw. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga, 2003.
LAMPIRAN
Kata Sulit (Glosarium) Kata-kata sulit yang ditemukan dalam teks Hikayat Jaya Lengkara
diartikan menurut Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Kata-kata sulit yang
terdapat dalam teks Hikayat Jaya Lengkara sebagai berikut:
1. Hulubalang = kepala laskar; pemimpin pasukan;
2. Kadi = Hakim yang mengurus atau mengadili perkara-perkara
yang bersangkut-paut dengan Agama Islam (seperti,
perceraian, dan pelanggaran hukum Islam)
3. Hatta = kemudian dari itu; lalu; maka; sudah itu lalu…
4. Masygul = bersusah hati karena suatu sebab; sedih; murung
5. Barakat = karena; akibat dari;--
6. Hikmat = kebijakan; kearifan; kesaktian (kekuatan gaib)
7. Isyarat = segala sesuatu (gerakan tangan, anggukan kepala, dsb)
yang dipakai sebagai tanda atau alamat
8. Duli = kaki, pergi, kata hormat yang digunakan apabila berkata
kepada raja atau berbicara tentang raja (huruf
pertamanya ditulis dengan huruf besar ataukapital)
9. Maulaya = (1) gelar kehormatan untuk ulama besar atau sufi, (2)
tuan ku, (3) gelar kehormatan untuk Allah SWT (sebagai
pelindung atau penolong, gelar kehormatan untuk para
nabi (sebagai pembimbing umat).
10. Sayid = Tuan
11. Rabbi = Tuhanku (digunakan dalam doa)
12. Sembah = 1. Pernyataan hormat dan khidmat di hadapan raja dsb
dengan menangkupkan kedua belah telapak tangan serta
menyusun jari sepuluh, lalu mengangkatnya hingga ke
paras dagu atau dahi. 2. Kata-kata yang diucapkan atau
ditujukan kepada raja (orang yang dimuliakan dsb)
13. Sabda = 1. kata-kata atau perkataan yang diucapkan oleh nabi atau
rasul 2. Kata atau perkataan (bagi raja dsb) 3. Kata atau
perkataan yang diucapkan oleh wazir wazir.
14. Semabda = serba cukup, kuat, kaya patut, pan tas, cocok
15. Kuma-kuma = 1. BM stigma (daripada crocus berbunga ungu) yang
berwarna jingga, berbau kuat, dan dikeringkan,
digunakan untuk mewarnai dan memberi perisai kepada
makanan 2. Kunyit.
16. Patik = sl saya (dipakai sewaktu bercakap dengan raja); hamba
17. Jadi = lahir, dilahirkan.
LAMPIRAN : NASKAH HIKAYAT JAYA LENGKARA
Cover Hikayat Jaya Lengkara
Bungkus Hikayat Jaya Lengkara
Bagian Depan Hikayat Jaya Lengkara
Bagian Belakang Hikayat Jaya Lengkara
Isi Naskah Hikayat Jaya Lengkara
Isi
PROFIL PENULIS
MUHAMMAD ZAINAL ABIDIEN, yang biasa dipanggil Zain merupakan anak keempat dari enam bersaudara ini lahir di Tangerang, 15 Januari 1990. Ia telah berhasil menuntaskan pendidikannya di MI Hidayaturrahman (2001), SMP Negeri 1 Teluknaga (2004), dan MA Qotrun Nada (2008). Setelah itu ia memilih melanjutkan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pria manis berlesung pipit, berkumis tipis, berbadan atletis, berkulit tropis ini suka sekali menulis, cenderung melankolis, sedikit apatis namun selalu optimis. Olahraga terutama sepakbola adalah kekasih keduanya, berpetualang adalah kegemarannya, coklat adalah makanan kesukaannya dan bermain game PES adalah hobinya. Pemilik tempat pencucian motor “Zain Motor Steam” ini suka sekali berwirausaha. Sedari kecil ia sudah berani berjualan berbagai macam komoditas seperti: es, pempek, pastel, jajanan, dan sebagainya. Bahkan selagi kuliah pun ia pernah jualan keripik singkong bersama Tita, Arif, dan Fitri. Menjadi pengusaha sukses merupakan idamannya.
Pemeran utama “Jenny” dalam drama “Waria KM 25” ini mempunyai pengalaman menarik ketika awal pertama masuk kuliah yaitu ia sampai tiga kali keluar masuk kelas yang sama karena salah melihat jadwal kuliah yang harusnya Selasa malah dilihat Senin dan akhirnya ia pun menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Selasa, 1 September 2009 merupakan awal mulanya ia bergulat dan berkutat di Ciputat.
Selama kuliah, penerima Beasiswa BUMN Peduli Pendidikan PT. Angkasa Pura II ini pernah menjadi delegasi untuk mengikuti berbagai macam kegiatan diantaranya: Debat Bahasa Mahasiswa Se-JABODETABEK di Pusat Bahasa Jakarta, Workshop Wirausaha Muda Mandiri di Jakarta Convention Center, Pelatihan Da’i Muda Lazuardi Birru di Jakarta, dan lain sebagainya. Mahasiswa yang lebih dominan menggunakan otak kirinya ini sangat menyukai filologi dan Alhamdulillah telah berhasil menyusun skripsi dengan kajian filologi berbahasa Indonesia pertama di almamaternya.