skripsi dewi hapsari
TRANSCRIPT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS RIAU FAKULTAS HUKUM
PEKANBARU
PELAKSANAAN PENGHAPUSBUKUAN UTANGDALAM PERJANJIAN KREDIT DI BANK RAKYAT
INDONESIA UNIT PANGKALAN KERINCI CABANGPEKANBARU
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Serta Melengkapi Syarat-SyaratUntuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (SI) Pada
Fakultas Hukum Universitas Riau
OLEH :
DEWI HAPSARI NIM. 0609113643
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
0
2010DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... vii
ABSTRAK......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 9
E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual.................................... 10
F. Metode Penelitian.......................................................................... 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 25
A. Tinjauan Mengenai Perjanjian Kredit............................................ 25
B. Tinjauan Mengenai Hak Tanggungan........................................... 56
C. Tinjauan Umum Tentang Bank BRI.............................................. 68
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................... 80
A. Pelaksanaan Penghapus Bukuan Utang di Bank BRI Unit
Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru.......................................... 80
B. Akibat Penghapus Bukuan atau Mandatory Write-Off Terhadap
Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru................. 95
BAB IV PENUTUP.......................................................................................... 97
A. Kesimpulan.................................................................................... 97
B. Saran-Saran.................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 100
1
LAMPIRAN
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul AKIBAT HUKUM PENGHAPUSBUKUAN UTANG DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BANK BRI UNIT PANGKALAN KERINCI CABANG PEKANBARU. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya debitur yang melakukan wanprestasi, yang ditunjang dengan kurang telitinya pihak bank dalam melakukan analisis terhadap calon debitur yang akhirnya menimbulkan permasalahan yang serius terhadap kredit yang telah diberikan bank, dan karenanya diperlukan penanganan secara khusus.
Permasalahan utama yang ingin dijawab dengan penelitian ini adalah pelaksanaan penghapusbukuan utang atau mandatory write-off di bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru, serta apa akibat hukum penghapusbukuan utang atau mandatory write-off terhadap bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Yuridis Normatif mengingat bahwa yang akan diungkap adalah masalah aturan dan norma yakni bagaimana ketentuan atau prosedur pelaksanaan penghapusbukuan utang di bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru. Penggalian data dilakukan dengan wawancara terhadap tokoh kunci sebagai responden, disertai dengan melakukan studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, prosedur pelaksanaan penghapusbukuan utang di bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana mestinya, dimana sebelum terjadi penghapusbukuan tersebut pihak bank telah melakukan berbagai upaya penyelamatan kredit hingga akhirnya kredit tidak dapat diselamatkan lagi. Dengan terjadinya penghapusbukuan utang pihak bank tidak berarti kehilangan hak tagihnya kepada debitur karena secara yuridis kredit tersebut masih merupakan asset bank yang tetap harus ditagih pelunasannya. Dan terhadap jaminan yang diajukan debitur sebagai agunan akan tetap menjadi hak bank meskipun kreditnya telah dihapusbukukan.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa pembangunan perekonomian di Indonesia seperti sekarang ini,
secara nyata dapat dilihat bahwa perkembangan yang sangat pesat adalah di
bidang perbankan. Dan bidang ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
berkesinambungan, dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang
berdasarkan kekeluargaan yang senantiasa perlu dipelihara dengan baik. Guna
mencapai tujuan tersebut maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih
memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur
pemerataan, pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional.
Berdasarkan tujuan pembangunan nasional dibidang perekonomian diatas,
Negara telah mempercayakan suatu lembaga resmi yaitu lembaga perbankan guna
mencapai tujuan nasional tersebut, yang fungsinya adalah mengelola,
menghimpunan dan menyalurkan dana kemasyarakat. Sehingga dengan adanya
lembaga perbankan tersebut maka pemerintah telah memperkecil kemungkinan
adanya rentenir-rentenir yang dapat merugikan masyarakat yang memerlukan
modal tersebut.1
1 H. Malayu SP. Hasibuan, Dasar-dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta: 2004, hal.3
3
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun
1998 yang berbunyi : Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Salah satunya adalah BRI. BRI didirikan berdasarkan UU Nomor 21 Tahun
1968. Sesuai dengan Pasal 7 UU No 21 Tahun 1968 maka tugas dan usaha BRI
diarahkan pada perbaikan ekonomi rakyat dan pembangunan nasional dengan
jalan melakukan usaha bank umum. BRI diharapkan dapat menjadi subyek hukum
yang merupakan lembaga keuangan yang diharapkan mempunyai peranan yang
sangat besar dalam memacu perekonomian masyarakat.
Usaha pokok Bank adalah sektor perkreditan dan pendapatan bank yang
terbesar adalah berasal dari sektor perkreditan. Kredit, baik konsumtif maupun
produktif memang sudah mejadi target utama perbankan dalam meraih
pendapatan. Dengan demikian, kelebihan dana masyarakat yang bisa membuat
bank memiliki dana idle yang akan lebih produktif lagi karena diberikan dalam
bentuk kredit.Walaupun sudah dilakukan analisis kredit, dan kredit sudah
dinyatakan layak untuk diberikan kepada calon debitur, kemungkinan
pengembaliannya kelak mengalami kemacetan selalu ada.
Dalam menilai suatu permintaan kredit biasanya sebuah bank berpedoman
pada beberapa factor yang dikenal dengan The Five C’s of Credit, antara lain :2
1. Character (Watak)
2. Capacity (Kemampuan Dalam Mengelola Usaha)
3. Capital (Modal)
4. Condition of Economic (Kondisi ekonomi dan Prospek Usaha)
2 Warman Djohan, Kredit Bank, Mutiara Sumber Widya, Jakarta: 2000, hal.106
4
5. Collateral (Agunan)
Dengan memperhatikan The Five C’s of Credit, pihak bank akan
memakainya sebagai pertimbangan untuk memberikan kredit pada para calon
debitur agar debitur tersebut dapat menepati janji karena kelima syarat itu
merupakan ukuran kemampuan debitur untuk mengembalikan uangnya. Sehingga
bagi pihak sendiri itu merupakan alat pengaman atas kemungkinan terjadinya
resiko/kerugian.
Sedangkan keberadaan jaminan kredit (Collateral) merupakan persyaratan
guna memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Pada prinsipnya dalam
penyaluran kredit tidak selalu harus dengan jaminan, sebab jenis usaha dan
peluang bisnis yang ada sudah merupakan jaminan terhadap kredit itu sendiri.
Hanya saja jika suatu kredit dilepas tanpa agunan, maka akan beresiko besar jika
investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan
perhitungan semula.
Pada prinsipnya pemberian Hak tanggungan selalu disertai dengan
perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya yang menerbitkan kewajiban
pembayaran utang tertentu. Dan dengan tujuan untuk menjamin pelunasan utang
piutang inilah maka penjamin dengan hak tanggungan diberikan.3
Adapun penggunaan kredit adalah penting sebagaiman yang dikemukakan
oleh seorang sarjana :
Setiap usaha apakah itu disektor industri, perdagangan, pertanian atau
perhubungan, besar atau kecil memerlukan kredit yang berfungsi sebagai
faktor produksi sehingga melalui bantuan kredit bank, uasaha akan semakin
besar dan berkembang.4
3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fiducia, Ctk Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2001, hal. 108
4 Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Bumi aksara, Jakarta: 1991, hal. 1
5
Pengambilan kredit yang dapat menunjang akan kebutuhan modal kerja
untuk mencukupi dan mencapai tujuan usaha dapat diperoleh dengan mudah
dengan menggunakan bunga yang rendah yang bertujuan agar nasabah tidak
terlalu berat dibebani atas bunga dan cicilan utangnya. Namun dalam hal ini
debitur yang mengambil kredit juga tidak boleh ceroboh dalam menggunakan
pinjaman dana yang telah diberikan oleh bank, tetapi debitur itu juga harus
berpikir bagaimana cara mengembalikan kredit yang telah diambilnya sesuai
dengan yang diperjanjikan sehingga nasabah itu terhindar dari kredit macet.
Jika hal ini terjadi maka pihak bank akan dirugikan, sebab dana yang
disalurkan kemungkinan tidak dapat dikembalikan oleh debitur. Berarti kredit
tersebut macet tanpa ada aset dari debitur yang dapat menutup kredit yang tidak
terbayar. Sementara itu apabila ada agunan, maka pihak bank dapat menarik
kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan jaminan tersebut. Lebih dari
itu, jaminan kredit oleh calon debitur/debitur diharapkan dapat membantu
memperlancar proses analisa pemberian kredit bank.
Mengenai jaminan yang diperlukan bagi pihak bank untuk pelunasan utang
ini diperlukan persetujuan mengenai lembaga hak jaminan yang digunakan.
Dalam hal ini, kerena pihak debitur memberikan jaminan yang berupa benda tidak
bergerak yaitu tanah maka lembaga hak jaminan yang berlaku atasnya adalah
ketentuan hak tanggungan yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.
Defenisi Hak Tanggungan dapat dilihat dalam pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Hak Tanggungan yang berbunyi : Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
6
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.
Dalam kenyataan, meskipun bank telah melakukan berbagai upaya untuk
memperkecil kerugian yang timbul sebagai akibat dari debitur yang wanprestasi
baik itu melakukan seleksi terhadap para penerima kredit termasuk jaminannya
juga melakukan pengawasan kredit yang dilakukan sejak kredit itu diberikan serta
memberi kemudahan-kemudahan mengenai syarat-syarat, prosedur serta bunga
yang ringan namun tetap saja banyak debitur yang melakukan wanprestasi, baik
itu disebabkan keadaan debitur sendiri yang tidak mempunyai kemauan untuk
membayar dan melunasi kredit yang telah diterimannya juga penggunaan kredit
yang salah yaitu penggunaannya yang tidak sesuai dengan permintaan semula
ataupun faktor-faktor lain yang akan mengakibatkan suatu kerugian bagi kreditur
karena akan terjadi tunggakan pembayaran atau kredit macet.
Meskipun pihak BRI unit pangkalan kerinci cabang Pekanbaru dalam
memberikan suatu fasilitas kredt kepada seorang debitur telah benar-
benar didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang
sehat serta didukung oleh itikad baik dari para pejabat kredit, namun
kemungkinan timbulnya kredit bermasalah tetap ada mengingat bahwa
pemberian kredit mengandung resiko yang tinggi tidak kembalinya
sebagian/seluruh kredit beserta bunganya. Terbukti dari data kolektibilitas
pinjaman dan outstanding BRI Unit Pangkalan Kerinci pada posisi 30 April
2009 menunjukan bahwa kredit mengalami permasalahan dalam proses
7
pengembalian, yaitu adanya debitur yang tidak membayar kredit
sampai tanggal jatuh tempo. Adapun besar kredit dengan kolektibilitas
kurang lancar sebesar Rp. 5.862.859,- atau 2 nasabah, kolektibilitas
diragukan sebesar Rp. 14.873.690,- atau 8 nasabah dan kolektibilitas macet
sebesar Rp.74.966.607,- atau 13 nasabah.
Akibat dari terjadinya tunggakan pembayaran atau kredit macet di Bank BRI
unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru adalah timbulnya masalah-masalah
yang secara tidak langsung akan menghambat kelancaran usaha perkreditan. Dan
ini memerlukan proses penyelesaian adalah dengan penghapusbukuan kredit
macet atau Mandatory write-of yakni penghapusbukuan utang namun bukan
berarti penghapusan utang seutuhnya. Akan tetapi meskipun kredit yang macet itu
sudah dihapus dari pembukuan, piutang dari kredit yang macet itu tetap akan terus
ditagih oleh pihak bank BRI. Karena jika kredit macet itu dibiarkan tetap
tercantum dalam pembukuan sedangkan kepastian kapan kredit yang macet bisa
dilunasi masih menjadi teka-teki maka hal itu dapat menyababkan kinerja bank
BRI menjadi buruk.
Terjadinya kemacetan pengembalian kredit disebabkan oleh beberapa
kesalahan/kelalaian dari pihak Bank sendiri atau dari pihak nasabah, atau karena
keadaan memaksa (force majure) yang mengakibatkan penyelesaian dengan cara
penghapusbukuan utang. Karena besarnya resiko dalam perkreditan, maka Bank
Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.
7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank dalam Hal Hapus Buku
8
Utang. Peraturan-peraturan yang digunakan Bank BRI dalam penanganan kredit
macet juga didasarkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Mekanisme Pelaksanaan
penghapus bukuan yang dilakukan oleh Bank BRI dilakukan dengan peraturan
intern Bank. Atas perintah Bank Indonesia yang memberikan wewenang pada
Bank untuk menyelesaikan masalah penghapusan piutang kredit macet, maka
mekanisme hapus buku yang dilakukan oleh Bank BRI.
Maka dari itu, suatu kredit dapat dihapusbukukan apabila telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan seperti :5
a. Apabila kolektibilitas dari semua fasilitas yang dinikmati oleh seorang debitur
telah macet dan usaha atau semua usaha yang dibiayai dengan fasilitas
tersebut benar-benar macet.
b. Telah diterbitkan surat ketetapan kredit macet sebagai piutang Negara yang
untuk sementara belum dapat ditagih oleh BUPLN.
c. Dokumen jaminan lemah (bukti pemilikan tidak lengkap).
d. Hasil penjualan baik secara bawah tangan atau hasil pelelangan tidak dapat
menutup seluruh kewajiban debitur.
e. Jaminan tidak laku minimal telah melalui dua (2) kali pelelangan BUPLN.
Masalahnya adalah jika suatu utang telah dihapus dalam pembukuan apakah
pihak yang memberi utang (kreditur) dalam hal ini adalah pihak bank masih
memiliki kekuatan hukum ketika harus menagih piutangnya? Dan bagaimana
dengan jaminan yang diajukan oleh debitur apabila terjadi penghapusbukuan
utang?
5 Peraturan Intern Bank BRI, 2007
9
Oleh karena itu, permasalahan ini menarik untuk diteliti dan akan penulis
tuangkan dalam proposal yang berjudul “Akibat Hukum Penghapusbukuan Utang
Dalam Perjanjian Kredit Pada Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang
Pekanbaru”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pokok
permasalah yang dapat dikemukakan untuk dikaji selanjutnya adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan penghapusbukuan utang atau mandatory write-off di
Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru?
2. Bagaimana akibat hukum penghapusbukuan utang atau mandatory write-off
terhadap hak dan kewajiban Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang
Pekanbaru?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan terjadinya penghapusbukuan utang di Bank
BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru.
2. Untuk mengetahui apa akibat hukum penghapusbukuan utang atau mandatory
write off terhadap hak dan kewajiban Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci
Cabang Pekanbaru.
D. Manfaat Penelitian
10
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat dari dua
(2) sisi secara teoritis maupun secara praktis yaitu :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk
berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Hukum Perbankan dan pada Hak
Tanggungan, khusunya didalam penyelesaian masalah dalam perjanjian kredit
pada Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru dalam kaitannya
terhadap penyelesaian akibat hukum mengenai penghapusan utang.
2. Secara Praktis
Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat sebagi informasi dan
pengetahuan bagi masyarat tentang upaya hukum yang dapat dilakukan apabila
terjadi masalah akibat hukum penghapusbukuan dalam perjanjian kredit pada
bank nasional maupun bank swasta nasional lainnya. Serta dapat pula memberi
manfaat atau perbandingan bagi penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan
mendalam.
E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
11
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi,6 Menurut Soerjono Soekanto bahwa”Kontunuitas
perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodologi, aktivitas
penelitian dan imajanasi social sangat ditentukan oleh teori.7
a. Perbankan dan Kredit
Pengertian perbankan adalah menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tujuan perbankan
adalah menunjang pelaksanaan pembangunan Nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Pengertian bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menigkatkan
taraf hidup rakyat banyak”8
Adapun yang menjadi kegiatan utama suatu bank adalah mengimpun dana
dari masyarakat melalui simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka,
6 J.J.J. M. Wuisman, dikutip dalam S. Mantayborbir, Sistim Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta: 2004, hal.13
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia(UI Press),Jakarta: 1986, hal.6
8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
12
giro dan menyalurkan kembali dana yang dihimpun tersebut kepada masyarakat
umum dalam bentuk kredit yang diberikan.9
Pembagian jenis bank adalah10:
1. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa lalu lintas dalam pembayaran.
Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip
kepercayaan ( fiduciary relation principle ), prinsip kehati-hatian ( prudential
principle ), prinsip kerahasiaan ( secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah
( know how costumer principle ) 11
1. Prinsip kepercayaan(fiduciary reletion principle)
Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara
bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan
berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya
dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip
kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No 10 Tahun 1998.
9 Martono, SU, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonisia, Yogyakarta: 2002, hal.28 10 Ibid
11 Rochmat Soemitro, Kumpulan Azas-azas Perbankan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta:1991, hal.185
13
2. Prinsip Kehatihatian ( prudential principle )
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank
dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam
penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan
dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat
menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan
norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian
tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998.
3. Prinsip Kerahasiaan ( secrecy principle)
Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A
UU No 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut
kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan
itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang
piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang /
Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan
perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam
rangka tukar menukar informasi antar bank.
4. Prinsip Mengenal Nasabah ( know how costumer principle )
14
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk
mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi
nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip
mengenal nasabah nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/1
0/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak
dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran
lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga
keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang
tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi
nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
b. Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang berarti
kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau
suatu badan yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit pada masa
yang akan datangakan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.
Apa yang dijanjikan itu dapat berupa barang, uang atau jasa.12
Adapun pendapat ahli mengenai pengertian kredit adalah: suatu ukuran
kemampuan dari seseorang untuk menapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis
sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal
tertentu.13
Pengertian kredit menurut Undang-undang Perbankan nomor 10 Tahun
1998 adalah: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, 12 Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, PT. Gramedia, Jakarta: 1990, hal.1113 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung:1991, hal21
15
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjamantara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut Muchdarsyah Sinungan setiap pemberian kredit harus dibuatkan
suatu perjanjian tertulis antara bank dengan calon debitur. Dalam perjanjian kredit
dicantumkan segala hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam garis besarnya
tercantum hal-hal yang menyangkut syarat-syarat pelaksanaan kredit, pembayaran
kembali, pengikatan jaminan dan jumlah serta lamanya fasilitas.14
Unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah:15
1. Kepercaayaan, yaitu keyakinan dari sipmberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang atau jasa, akan bener-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.
2. Waktu, yaitu suatu masa pengembalian hutang yang akan diberikan oleh
debitur.
3. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
jangka waktu untuk pengembalian kredit yang dilakukan oleh debitur.
4. Prestasi, atau objek kredit itu tida saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
juga dapat berbntuk barang atau jasa.
c. Perjanjian
Adapun yang dimaksud dengan perikatan dalam Buku Ketiga KUHPerdata
ialah “ Semua hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan
dimana pihak yang pertama berhak untuk menuntut sesuatu dan pihak yang lain
berkewajiban memenuhi kewajiban itu”.14 Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Bumi Aksara,
Jakarta:1993, hal.134-136 15 H.A,Chalik, Pengantar Perkreditan, PT. Gramedia, Jakarta:1991, hal.13
16
Sekanjutnya mengenai perikatan itu menurut Subekti adalah “ Suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu “.16
Perjanjian merupakan sumber terpenting dari suatu perikatan seperti yang
dinyatakan dalam pasal 1223 KUHPerdata yang menyatakan tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan dan juga karena undang-undang.
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan sebagai
berikut : Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau Verbintenis adalah:”suatu
hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada sutu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.17
Suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dimana
dengan dipenuhi syarat-syarat tersebut maka suatu perjanjian menjadi sah dan
mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, syarat-syarat sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah:18
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan/perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
d. Jaminan
16 R. Subekti, Hukum Perjanjian, ctk. Kesembilanbelas, Jakarta: 2002, hal. 117 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung: 1986, hal. 618 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung: 2001, hal. 73
17
Mengenai pengertian jaminan secara umum”Jaminan adalah sesuatu yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur baik yang bersifat materil maupun yang
immaterial guna menimbulkan kepercayaan dan keyakinan kepada kreditur untuk
kepastian hutang tepat waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
bersama”19
Adapun pengertian jaminan menurut undang-undang KUHPerdata pasal
1131 adalah:Jaminan adalah segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak
maupun yang tidak bererakbaik yang ada maupun yang baru aka nada
dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Berdasarkan pasal 1131 diatas tujuan dari keberadaan suatu barang jaminan
maka terhadap barang jaminan tersebut tidak diberlakukan pejanjian jual beli
karena barang jaminan bukan untuk dimiliki oleh kreditur sehingga tidak adanya
peralihan hak milik atas suatu barang jaminan dari debitur kepada kreditur dengan
jual beli kecuali dengan pelelangan.barang jaminan dipergunakan untuk melunasi
hutang dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu
melalui proses pelelangan, dimana hasil pelelangan tersebut dibayarkan untuk
melunasi utang dan apabila ada sisa akan dikembalikan kepada kreditur.20
Sedangkan pengertian jaminan kredit adalah ”Bentuk penanggungan dimana
seorang penanggung (perorangan)menanggung untuk memenuh utang debitur
sebesar sebagaimana yang tercantum dalam perutangan pokok”.21
19 R. Subekti, Hukum Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung:1989, hal.15
20 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal 2121 Sri Soedewi Masjohoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Liberti Offset,
Yogyakarta:1981, hal 42
18
Pada umumnya jenis-jenis jaminan menurut sifatnya, menurut
objeknya,menurut kewenangan menguasainya dan lain-lain sebagai berikut :22
1. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang
lahir karena perjanjian.
2. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus.
3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan,
4. Jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan atas benda tidak
bergerak.
5. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya.
e. Hapusnya utang
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1381 KUHPerdata pembebasan
hutang adalah:”Suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditor yang membebaskan
debitordari kewajibannya untuk memenuhi prestasi, atau utang berdasarkan pada
perikatannya kepada kreditor tersebut”. Pembebasab hutang menghapuskan
perikatan yang melahirkan utang yang sedianya harus dipenuhi atau dilaksanakan
oleh debitur tersebut. Adapun cara-cara mengenai hapusnya utang sama halnya
dengan hapusnya perikatan:23
1. Karena pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
3. Karena pembaharuan utang
22 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. cit, hal 4323 Maryati Bachtiar, Hukum Perikatan, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas
Riau, Pekanbaru:2007, hal.77
19
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
5. Karena percampuran utang
6. Karena pembebasan utang
7. Karena musnahnya barang yang terutang
8. Karena kebatalan atau pembatalan
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
10. Karena lewatnya waktu
f. Hak tanggungan
Menurut pasal 1 ayat (1)UUHT menyatakan bahwa Hak Tanggngan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut
Hak Tanggungan adalah:”hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA), berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain”.24
Penjelesan pasal 1 ayat(1) UUTH menyebutkan bahwa hak tanggungan
adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lainnya, dalam arti bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan
jaminan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan dengan hak
24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
20
mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain dengan batasan tidak mengurangi
preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan yang berlaku.
Asas ini tersirat dengan jelas dalam pasal 1 ayat (1) UUTH yang selanjutnya
diperjelas dalam penjelasan Umum Angka 4, artinya bahwa jika debitur cidera
janji, kreditur pemegang hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan
umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-undangan
yang bersangkutan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya,
tanpa mengurangi preference piutang-piutang Negara menurut ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.
2. Kerangka Konseptual
Konsepsi adalah adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan
konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,
antara abstraksi dengan realitas. Suatu konsep merupakan abstraksi mengenai
suatu fenomena yang dirumskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik
kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.
Agar lebih memberikan arah dan tidak menimbulkan salah pengertian yang
berbeda dalam penelitian ini maupun dalam pembahasanya secara lebih lanjut
maka penulis merasa perlu untuk memberikan penegasan dari pengertian judul
diatas.
Penghapusbukuan adalah kegiatan untuk menghapuskan suatu piutang Bank
dari administrasi penyerah piutang yang didasarkan alasan-alasan tertentu tidak
dapat ditagih dan tidak menghapuskan hak tagih.25
25 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 302/kmk.01 Tahun 2002
21
Utang adalah uang atau jasa yang dipinjamkan oleh pihak lain, merupakan
kewajiban resmi dari sebuah usaha yang timbal balik dari perjanjian tertulis
maupun lisan.26
Kredit adalah perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditur
dengan nasabah sebagai debitur, berdasarkan kepada kepercayaan terhadap
nasabah dalam tenggang waktu yang telah disepakati untuk mengembalikan
pinjaman.27
Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji pada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.28
Perjanjian Kredit dalam skripsi ini adalah suatu perjanjian pinjam meminjam
uang dimana dalam hal ini Bank BRI sebagai krediturnya atau penyalur Kredit
dan nasabah sebagai debitur atau penerima kredit.
Nasabah adalah orang yang mendapat kredit dari Bank BRI
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Bank BRI unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru adalah nama dari bank
umum yang merupakan usaha BUMN, yang menjalankan berbagai layanan
kepada masyrakat dalam bidang perekonomian termasuk penyaluran kredit
dengan jaminan Hak Tanggungan
26 Joel G. Siegel, Aspek Hutang Dalam Perjanjian Kredit, PT. Gramedia, Jakarta: 1994, hal.128
27 Eugenia Liliawati Muljono,Tinjauan Yuridis Undang-undang no 4 Tahun 1996 Dalam Kaitanya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan,Harvindo, Jakarta:2003, hal.8
28 R. Subekti, Op. cit, hal.122
22
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.29
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data yang diperlukan sesuai dengan masalah yang
diteliti maka dalam hal ini penulis menggunakan metode penelitian yang bila
dilihat dari jenisnya, maka penelitian ini dapat digolongkan kedalam penelitian
observational research dengan cara survey. Penelitian observational research
adalah pengumpulan data dilapangan dengan menggunakan alat pengumpulan
data berupa wawancara tentang bagaimana prosedur penghapusbukuan hutang
pada bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru. Sedangkan dilihat dari
sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang hak dan kewajiban yang dibebankan kepada
kreditur serta bagaimana penyelesaian wanprestasi terhadap kredit yang
disalurkan oleh bank dengan jaminan Hak Tanggungan pada bank BRI unit
Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pangkalan Kerinci tempat kedudukan bank BRI
unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru, adapun yang menjadi alasan penulis
29 Undang-undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
23
melakukan penelitian ditempat ini dikarenakan bank BRI unit Pangkalan Kerinci
merupakan salah satu bank BUMN yang melakukan pemberian kredit dan penulis
memiliki kemudahan dalam mendapatkan data dibandingkan dengan bank swasta
lainnya.
2. Populasi dan Sampel
Tabel 1.1
Keadaan Populasi dan Sampel
No RESPONDEN JUMLAH SAMPLE PERSENTASE
1 Kepala bagian kredit Bank
BRI
1 1 100%
2 Kepala Kantor BUPLN 1 1 100%
Responden dalam penelitian ini adalah dari pihak bank BRI 1 orang, dalam
hal ini diwakili oleh Kepala Bagian Kredit, Kepala Kantor BUPLN Pekanbaru.
3. Metode dan Alat Pengumpul Data
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis
dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Yang
dimaksud dengan “metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu system, konsisten berarti tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”30
Pada dasarnya penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
30 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000, hal 92
24
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu,maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Dilihat dari metode pendekatanya, penelitian ini dilakukan dengan
mempergunakan pendekatan yuridis-normatif, yang dapat diartikan sebagai
penelitian mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan perjanjian kredit bank dalam penyelesaian
penghapusbukuan hutang dalam perjanjian kredit di bank BRI.
a. Data primer yaitu data yang diperoleh penulis dari hasil kerja
penelitian lapangan atau riset.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh penulis berdasarkan
literature, hasil penelitian, jurnal, surat kabar, majalah serta makalah-
makalah yang berkaitan dengan materi skripsi dan yang mendukung data
primer.
Adapun yang menjdi alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara, yaitu komunikasi dua arah antara peneliti dengan responden
untuk memperoleh data primer dengan lebih cepat dan memperoleh
keyakinan bahwa penafsiran yang diberikan oleh responden adalah benar.
Wawancara dilakukan dengan membuat daftar pertanyan secara urut dan
sistematis sesuai dengan yang telah dipersiapkan.
b. Studi Pustaka, yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk
memperoleh data sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis,
25
baik dari instansi yang terkait, maupun buku literatur yang ada
relevansinya dengan masalah penelitian yang digunakan sebagai
kelengkapan penelitian.
4. Analisis Data
Berdasarkan permasalahan dan tujuan dari peneliti yang telah dikemukakan
oleh penulis, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya bahwa
penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian yang menggambarkan
mendeskripsikan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis dan
menyeleksi data yang diperoleh sehingga akan diketahui gambaran mengenai hal-
hal yang diperlukan dan kemudian disimpulkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Perjanjian Kredit
1. Pengertian Kredit
Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya.
“Maksudnya” si pembeli kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit
yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si
penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban
untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh
karena itu, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat
26
dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan
analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan,
prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan
analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar
aman.
Pemberian kredit tanpa analisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan
bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-data fiktif, sehingga
mungkin saja kredit sebenarnya kredit tidak layak, tetapi malah diberikan.
Kemudian jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan yang
sebenarnya tidak layak menjadi layak sehinnga akan berakibat sulit untuk ditagih
alias macet31
Pengertian kredit menurut Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun
1998 adalah: Penyediaan utang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
piha lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan pengertian pembiayaan adalah dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Dari pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kredit atau pembiayaan
dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Contoh
31 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hypothek serta Hambatan-hambatannyadalam Praktek di Medan, Ctk. Kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991: hal.23
27
berbentuk tagihan(kredit barang), misalnya bank membiayai kredit untuk
pembelian rumah atau mobil. Kredit ini berarti nasabah tidak memperoleh uang
tetapi rumah, karena bank membayar langsung kepada developer dan nasabah
hanya membayar cicilan rumah tersebut setiap bulan. Kemudian adanya
kesepakatan antara bank(kreditur) dengan nasabah penerima kredit(debitur)
bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam
perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk
jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan
masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang sudah
dibuat bersama.
Yang menjadi perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank berdasarkan
konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh bank berdasarkan prinsip
syariah adalah terletak pada keuntungan yang diharapkan. Bagi bank berdasarkan
prinsip konvensional keuntungan yang diperoleh melalui bunga, sedangkan bagi
bank yang berdasarkan prinsip syariah berupa imbalan atau bagi hasil.
a. Unsur-unsur Kredit
Dalam kata kredit mengandung berbagai maksud. Atau dengan kata lain
dalam kata kredit terkandung unsur-unsur yang direkatkan menjadi satu. Sehingga
jika kita bicara kredit maka termasuk membicarakan unsur-unsur yang terkandung
didalamnya.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit
adalah sebagai berikut :
28
1. Kepercayaan
Keprecayaan merupakan suatu keyakinan bagi sipemberi kredit bahwa kredit
yang diberikan (baik berupa uang, barang atau jasa) benar-benar diterima
kembali dimasa yang akan datang sesuai dengan jangka waktu kredit.
Kepercayaan diberikan oleh bank sebagai dasar utama yang dilandasi mengapa
suatu kredit berani dikucurkan. Oleh karna itu sebelum kredit dikucurkan harus
dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih dahulu secara mendalam tentang
kondisi nasabah, baik secara intern maupun ektern. Penelitian dan penyelidikan
tentang kondisi pemohon kredit sekarang dan masa lalu, untuk menilai
kesungguhan dan etiket baik nasabah terhadap bank.
2. Kesepakatan
Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan
antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan
dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan
kewajibanya masing-masing. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam
akad kredit dan ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelum kredit
dikucurkan.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini
mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu
tersebut biasa berbentuk jangka pendek(dibawah 1 tahun), jangka menengah(1
sampai 3 tahun) atau jangka panjang(diatas 3 tahun). Jangka waktu merupakan
batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati oleh kedua
29
belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai
kebutuhan.
4. Resiko
Akibat adanya jangka waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan
suatu resiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit. Semakin
panjang suatu jangka jangka waktu kredit, maka semakin besar resiko,
demikian pula sebaliknya. Resiko ini menjadi tanggungan bank, baik resiko
yang disengaja oleh nasabah, maupun resiko yang tidak disengaja, misalnya
karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur
kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit yang
diperolehnya.
5. Balas Jasa
Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian
suatu kredit. Dalam bank konvensional balas jasa dikenal dengan nama bunga.
Disamping balas jasa dalam bentuk bunga bank juga membebankan kepada
nasabah biaya administrasi kredit yang juga merupakan keuntungan bank. Bagi
bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi
hasil.
b. Tujuan dan Fungsi Kredit
Pemberian suatu fasilitaskredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak
dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Tujuan pemberian
kredit juga tidak akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan.
30
Dalam praktiknya tujuan pemberian suatu kredit sebagai berikut :
1. Mencari keuntungan
Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan. Hasil
keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai
balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankanpada nasabah.
Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank. Bagi bank yang terus
menerus menderita kerugian maka besar kemungkinan bank tersebut akan
dilikuidir(dibubarkan). Oleh karena itu sangat penting bagi bank untuk
memperbesar keuntungan mengingat biaya operasional bank juga relatif cukup
besar.
2. Membantu usaha nasabah
Tujuan selanjutnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan
dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana
tersebut, maka pihak debiturakan dapat mengembangkan dan memperluas
usahanya. Dalam hal ini baik bank maupun nasabah sama-sama diuntungkan.
3. Membantu pemerintah
Tujuan lainnya adalah membantu pemerintah dalam berbagai bidang. Bagi
pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan,
maka akan semakin baik mengingat semakin banyak kredit yang diberikan
berarti adanya kucuran dana dalam rangka peningkatan pembangunan
diberbagai sektor, terutama sektor riil akan semakin meningkat pula.
Disamping memiliki tujuan pemberian suatu fasilitas kredit juga memiliki
suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit yang secara luas tersebut antara lain :
31
1. Untuk meningkatkan daya guna uang
Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang, maksudnya jika
uang hanya disimpan saja di rumah tidak akan menghasilkan sesuatu yang
berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk
menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit. Kemudian juag dapat
memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.
2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro menciptakan pembayaran
baru seperti cek, giro bilyet dan wesel sehingga apabila pembayaran-
pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet dan wesel maka akan dapat
meningkatkan peredaran uang giral. Disamping itu, kredit perbankan yang
ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal sehingga
arus lalu lintas uang berkembang pula.
3. Untuk meningkatkan daya guna barang
Dengan mendapatkan kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku
menjadi barang jadi sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat.
4. Meningkatkan peredaran barang
Disamping itu, kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang baik melalui
penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari satu
tempat dan menjualnya ketempat lain. Pembelian tersebut uangnya berasal dari
kredit. Hal ini juga berarti kredit tersebut dapat pula meningkatkan manfaat
suatu barang.
5. Sebagai alat stabilitas ekonomi
32
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi,
karena dengan adanya kredit yang didirikan akan menambah jumlah barang
yang diperlukan oleh masyarakat. Kredit dapat pula membantu mengekspor
barang dari dalam negeri keluar negeri sehingga dapat meningkatkan devisa
negara.
6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Setiap orang yang berusaha selalu ingin meningkatkan usahanya, namun
adakalanya dibatasi oleh kemampuan dibidang permodalan. Oleh karenanya
dengan memperoleh kredit nasabah akan semakin bergairah untuk dapat
memperbesar atau memperluas usahanya.
7. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama
dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk
membangun pabrik, maka pabrik tersebut akan membutuhkan tenaga kerja,
sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Dengan demikian mereka akan
memperoleh pendapatan/penghasilan. Dan dengan tertampungnya tenaga-
tenaga kerja tersebut maka pemerataan pendapatan akan meningkat pula.
8. Untuk meningkatkan hubungan internasional
Bank-bank besar di luar negeri yang mempunyai jaringan usaha dapat
memberikan bantuan dalam bentuk kredit bai secara langsung maupun tidak
langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Begitu juga negara-
33
negara maju yang mempunyai cadangan devisa dan tabungan yang tinggi,
dapat memberikan bantuan-bantuan dalam bentuk kredit pada negara-negara
berkembang yang sedang membangun. Bantuan dalam bentuk kredit ini tidak
saja dapat mempererat hubungan ekonomi antar negara yang bersangkutan
tetapi juga meningkatkan hubungan internasional.
c. Jenis-jenis Kredit
Jenis-jenis kredit yang ada sekarang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
perkreditan yang digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan.
Pada mulanya kredit masih berdasarkan kepercayaan murni yaitu berbentuk
kredit perorangan karena kedua belah pihak sudah saling mengenal akan
tetapi dengan berkembangnya waktu maka berkembang pula unsur-unsur
lain yang dipakai menjadi landasan dalam kredit tersebut.
Dalam prakteknya kredit yang diberikan bank umum dan bank perkreditan
rakyat untuk masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Secara umum jenis-jenis kredit
dapat dilihat dari berbagai segi antara lain :
1. Dilihat dari segi penggunaan
a. Kredit Investasi
Kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang biasanya digunakan
untuk keperluan perlunasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru atau
untuk keperluan rehabilitasi. Contoh kredit investasi misalnya untuk
34
membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. Masa pemakaiannya untuk
suatu periode yang relatif lebih lama dan dibutuhkan modal yang relatif besar.
b. Kredit Modal Kerja
Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan
meningkatkan produksi dalam operasionalnya. Sebagai contoh kredit modal
kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau
biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan.
2. Dilihat dari segi tujuan kredit
a. Kredit Produktif
Kredit yang digunakan untuk meningkatkan usaha atau produksi atau
investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Sebagai
contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan mengahsilkan
barang, kredit pertanian akan menghasilkan produk pertanian, kredit
pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri akan
menghasilkan barang industri.
b. Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini
tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang
untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai
contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah
tangga dan kredit konsumtif lainnya.
c. Kredit perdagangan
35
Merupakan kredit yang diberikan kepada pedagang dan digunakan untuk
membiayai aktifitas perdagangannya seperti untuk mrmbeli barang dagangan
yang pembayarannya di harapkan dari hasil penjualan barang dagangan
tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada supplier atau agen-agen
perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. Contoh kredit
ini misalnya kredit ekspor impor.
3. Dilhat dari segi jangka waktu
a. Kredit Jangka Pendek
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau
paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja.
Contohnya untuk peternakan, misalnya kredit ayam atau jika untuk pertanian
misalnya tanaman padi atau palawija.
b. Kredit Jangka Menengah
Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan
biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi. Sebagai contoh
kredit untuk pertanian seperti jeruk atau peternakan kambing.
c. Kredit Jangka Panjang
Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit jangka
panjang waktu pengembaliannya diatas 3 tahun atau 5 tahun. Bisanya kredit
ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau
manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.
4. Dilihat dari segi jaminan
a. Kredit dengan Jaminan
36
Merupakan kredit yang diberikan dengan suatu jaminan. Jaminan tersebut
dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang.
Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi minimal senilai
jaminan atau untuk kredit tertentu jaminan harus melebihi jumlah kredit yang
diajukan si calon debitur.
b. Kredit tanpa Jaminan
Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu.
Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha, karakter serta
loyalitas atau nama baik si calon debitur selama berhubungan dengan bank
atau pihak lain.
5. Dilihat dari segi sektor usaha
a. Kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan
atau pertanian. Sector usaha pertanian dapat berupa jangka pendek atau
panjang.
b. Kredit peternakan, merupakan kredit yang diberikan untuk sektor
peternakan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka
pendek misalnya peternakan ayam dan jangka panjang misalnya untuk
peternakan kambing atau sapi.
c. Kredit industri, merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai industri,
baik industri kecil, industri menengah atau industri besar.
d. Kredit pertambangan, merupakan kredit yang diberikan kepada usaha
tambang. Jenis usaha tambang yang dbiayai biasanya dalam jangka pamjang
seperti tambang emas, minyak atau timah.
37
e. Kredit pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun
sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk
mahasiswa.
f. Kredit profesi, merupakan kredit yang diberkan kepada para kalangan
profesional seperti dosen, dokter atau pengacara.
g. Kredit perumahan, yaitu kredit untuk membiayai pembangunan atau
pembelian perumahan dan biasanya berjangka waktu panjang.
h. Dan sektor-sektor lainya.
d. Jaminan Kredit
Untuk melindungi uang yang dikucurkan lewat krdit dari resiko kerugian,
maka pihak perbankan membuat pagar pengaman. Dalam kondisi sebaik apapun
atau dengan analisis sebaik mungkin, resiko kredit macet tidak dapat dihindari.
Pagar pengaman yang dibuat bisanya berupa jaminan yang harus disediakan
debitur. Tujuan jaminan adalah untuk melindungi kredit dari resiko kerugian, baik
yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Lebih dari itu jaminan yang
diserahkan oleh nasabah merupakan beban sehingga si nasabah akan sungguh-
sungguh untuk mengembalikan kredit yang diambilnya.
Seperti sudah dibahas di atas bahwa kredit dapat diberikan dengan jaminan
atau tanpa jaminan. Kredit tanpa jaminan sangat membahayakan posisi bank,
mengingat jika nasabah mengalami suatu kemacetan maka akan sulit untuk
menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Sebaiknya dengan jaminan
kredit relative lebih aman mengingat setiap kredit macet akan dapat ditutupi oleh
jaminan tersebut.
38
1. Kredit Dengan Jaminan
a. Jaminan benda berwujud
Yaitu jaminan dengan barang-barang seperti:
1) Tanah
2) Bangunan
3) Kendaraan bermotor
4) Mesin-mesin/peralatan
5) Barang dagangan
6) Tanaman/kebun/sawah
7) Dan lainnya
b. Jaminan benda tidak berwujud
Yaitu benda-benda yang dapat yang dapat jaminan seperti:
1) Sertifikat saham
2)Sertifikat obligasi
3) Sertifikat tanah
4) Sertifikat deposito
5) Rekening tabungan yang dibekukan
6) Rekening giro yang diberikan
7) Promes
8) Wesel
9) Dan surat tagihan lainnya
c. Jaminan orang
39
Yaitu jaminan yan diberikan oleh seseorang yang menyatakan kesanggupan
untuk menanggung segala resiko apabila kredit tersebut macet. Dengan kata
lain orang yang memberikan jaminan itulah yang akan menggantikan kredit
yang tidak mampu dibayar oleh nasabah.
2. Kredit Tanpa Jaminan
Kredit tanpa jaminan maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan bukan
dengan jaminan barang tertentu. Biasanya kredit ini diberikan untuk
perusahaan yang memang benar-benar bonafit dan professional, sehingga
kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil. Kredit tanpa jaminan hanya
mengandalkan kepada penilaian terhadap prospek usahanya atau dengan
pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha yang memiliki loyalitas yang tinggi.
2. Perjanjian Kredit Bank
a. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kredit
Setelah perjanjian kredit dilaksanakan, disetujui dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak maka timbullah hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban para pihak. Dengan kata lain mereka terikat oleh perjajian kredit
tersebut yaitu antara pemberi kredit dalam hal ini pihak bank dan penerima kredit
atau nasabah. Untuk memberikan kemantapan dalam memahami permasalahan
hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit bank ini, maka akan penulis
uraikan serta perinci masing-masing hak dan kewajiban para pihak antara lain:
a. Kewajiban bank selaku pemberi kredit
40
1) Bank berkewajiban untuk menyediakan dan memberi kredit sesuai dengan
tujuan dan jangka waktu perjanjian
2) Didalam hal debitur telah melunasi hutangnya pada bank maka
bank berkewajiban untuk:
i. Menghapus atau menghentikan pengikatan jaminan atas barang-
barang yang dijadikan jaminan oleh debitur.
ii. Menyerahkan kembali dokumen-dokumen serta surat bukti lainnya
milik debitur yang dikuasai oleh bank.
b. Hak bank selaku pemberi kredit
Tentang hak bank selaku pemberi kredit ini secara tersirat dapat kita pahami
dari rumusan pasal 1 angka 12 Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun
1998 yang pada intinya menentukan bahwa bank selaku pihak pemberi
kredit berhak memperoleh perlunasan beserta bunganya yang telah
ditentukan setlah jangka waktunya yang telah ditentukan di dalam perjanjian
kredit berakhir.
c. Kewajiban penerima kredit
Kewajiban peneima kredit adalah sebagaimana yang telah diatur dalam
pasal 1763 KUHPerdata yang berbunyi”Siapa yang menerima pinjaman
sesuatu diewajibkan megembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang
sama, dan pada waktu yang ditentukan”. Selanjutnya dalam Pasal 1764
KUHPerdata juga mengatur mengenai kewajiban penerima kredit yang
berbunyi sebagai berikut:
41
1) Jika ia tidak mampu memenuhi kewajiban ini, maka ia diwajibkan membayar
harganya barang yang dipinjamnya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu
dan tempat dimana barangnya, menurut persetujuan sediannya harus
dikembalikan.
2) Jika waktu dan tempatnya tidak ditentukan maka pelunasannya harus
dilakukan menurut harga barang pinjaman pada waktu dan tempat dimana
pinjaman telah terjadi.
Sedangkan menurut ketentuan pasal 1 angka 2 Undang-undang Perbankan
Nomor 10 Tahun 1998 yang menentukan kewajiban penerima kredit adalah
melunasi hutang setelah jangka waktu tertentu dengan bunga yang telah
ditetapkan. Disamping itu penerima kredit masih mempuyai kewajiban lain yaitu
membayar biaya administrasi untuk tundk pada segala petunjuk dan peraturan
bank, seperti:
1) Kewajiban membayar hutang
Hutang pokok yaitu yang disetujui oleh pihak-pihak sebagai jumlah pinjaman
yang diberikan oleh bank kepada penerima kredit, hutang ini wajib dilinasi
pada saat perjanjian kredit berakhir.
2) Kewajiban membayar biaya
Setiap penerima kredit wajib membayar sejumlah biaya yang diperlukan guna
persiapan perjanjian kredit yang meliputi bea materai, biaya notaris, premi
asuransi barang dan premi asuransi pelunasan kredit.
3) Kewajiban membayar bunga
42
Dalam KUHPerdata tidak ditentukan rumus bunga dari Pasal 1767 sehingga
dapat disimpulkan:
i. Adanya bunga menurut Undang-undang dan ada yang ditetapkan di dalam
persetujuan.
ii. Bunga ditetapkan di dalam Undang-undang. Bunga yang diperjajikan
dalam persetujuan boleh melampaui bunga menurut Undang-undang,
dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.
iii. Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam persetujuan harus ditetapkan
secara tertulis (bunga menuut Lembaran Negara Tahun 1848 Nomor 22 :
enam persen).
d. Hak penerima Kredit
1. Hak untuk memperoleh kredit sampai jumlah maksimum dengan jalan
yang telah ditentukan dengan dikurangi biaya-biaya yang timbul karena
pelaksanaan kredit.
2. Hak untuk memperoleh kembali surat dan dokumen aerta benda lainnya
yang telah dijadikan jaminan dalam keadaan baik setelah membayar lunas
pinjaman kredit yang bersangkutan.
b. Sifat Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit
Kredit pada hakekatnya dilandasi perjanjian pinjam meminjam uang. Dalam
pelaksanaan suatu perjanjian masing-masing pihak yang terlibat hubungan hukum
terikat untuk sesuatu yajni adanya prestasi disatu pihak dan kontra prestasi di
pihak yang lain. Prestasi dalam perjanjian kredit adalah adanya penyerahan uang
43
kepada debitur. Perjanjian pinjam meminjam diatur dalam Pasal 1754
KUHPerdata dan bersifat riil
Sifat riil dari perjanjian pinjam-meminjam dala Pasal 1754 KUHPerdata ini
disimpulkan dari kalimat “pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana ihak
yang satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang yang akan
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”
Jadi jelaslah ukuran terjadinya perjanjian pinjam meminjam adalah setelah
adanya penyerahan uang atau barang yang habis karena pemakaian. Demikian
sebaliknya, selama barang atau uangnya belum diserahkan meskipun para pihak
telah sepakat mengenai unsur pinjam meminjam, hal ini tidaklah berarti perjanjian
tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing yang
melakukan hubungan hukum.
Sedangkan mengenai bentuk perjanjian kredit, KUHPerdata dan UU
Perbankan Nomr 10 Tahun 1998 untuk mengatur bagaimana bentuk perjanjian
harus dibuat. Namun meskipun demikian dalam membuat perjanjian kredit tidak
boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum
perdata.
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis
yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut
pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan bukti, karena hakekat
pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.
Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat
44
disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan
sulit dijadikan sebagai alat bukti bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu
setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti.
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1
ayat (11) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perbankan. Dalam
pasal ini terdapat kata-kata “Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara ban dengan pihak lain”.
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian.
Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat
secara tertulis namun dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk
kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian
kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulisdarisuatu perbuatan
hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus
tertulis.32
Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah
instruksi Presidium Kabinet No.15/EK/IN/10/1996 tanggal 10 Oktober 1996.
Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa
adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank Sentral dan Bank-bank lainnya.
Surat Bank Indonesiayang ditujukan kepada segenap Bank Devisa
No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir (4) yang
berbunyi untuk perjanjian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan
32 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Ctk. Kedua, Alfabeta, Bandung:2004, hal.99
45
keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada
debuturnya menjadi pasti bahwa:
1. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit.
2. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis.
Perjanjian kredit merupakan iatan atau bukti tertulis antara bank dengan
debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang
mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian
kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu bentuk akta karena masih banyak
perjanjian-perjanjian lain yang merupakan akta misalnya perjanjian jual-beli,
perjanjian sewa-menyewa dan lain-lain. Dalam praktek bank ada 2(dua) bentuk
perjanjian kredit yaitu:
a. Perjanjian yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah tangan artinya
perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan
kepada kreditur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat
kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk
standar(standardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan
terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat
sendirioleh bank tersebut termasuk jenis akta dibawah tangan.
Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian krdit
yang isinya sudah disiapkan bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-
calon debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan
ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam
formulir ketentuan perjanjian kredit tidak penah diperbincangkan atau
46
dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitur. Calon debitur mau
tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan
yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainyan calon debitr
melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang
tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka kreditur tidak tidak akan
menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam
bentuk cetakan oleh lembaga bank itu sendiri sehingga bagi petugas bank pun
tidak bias menanggapi usulan calon debitur. Calon debitur menyetujui atau
menyepakati isi perjanjian kerdit karena calon debitur dalam posisi yang sangat
membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang
tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui.
b. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan akta
otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah
seorang notaries namun dlam prakteknya semua syarat dan ketentuan
perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaries
untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat
perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk
akta notariil atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam akta notariil
atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar
dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit
modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau
lebih dari satu bank).
47
Bagian isi pokok perjanjian yaitu mengatur substansi perjanjian karena
memuat isi pokok yang diperjanjikan, mengatur syarat dan ketentuan perjanjian
secara detail. Isi pokok perjanjian mengandung 3 syarat yaitu :
1. Syarat Esensialia adalah syarat yang harus ada dalam setiap perjanjian. Syarat
esensialiaini tergantung dari materi perjanjian. Misalnya perjanjian kredit
syarat esensialianya adalah jumlah utang, jangka waktu pengembalian, bunga
syarat penarikan kredit, tujuan kredit, cara pengembalian, cidera janji dan
jaminan kredit. Dalam perjanjian sewa-menyewa syarat esensialianya harga
sewa, jangka waktu sewa dan barang yang disewa dan lain sebagainya.
Apabila syarat esensialia ini tidak ada dalam perjanjian maka perjanjian
menjadi tidak sempurna atau cacat sehingga menjadi tidak mengikat para
pihak. Misalnya saja perjanjian kredit tidak mencantumkan jumlah kredit
maka perjanjian kredit tidak jelas berapa utang debitur.
2. Syarat Naturalia adalah ketentuan dalam undang-undang yang dapat
dimasukkan dalam perjanjian yang dibuat para pihak. Kalau para pihak tidak
mencantumkan dalam perjanjian maka perjanjian yang dibuat para pihak tetap
sah maka yang berlaku adalah ketentuan dalam undang-undang. Ini sesuai
asas perjanjian yang menganut system yang terbuka. Para pihak bebas untuk
membuat perjanjian yang isinya sesuai kehendak para pihak tetapi jika para
pihak tidak mengatur dalam perjanjian maka undang-undang yang akan
melengkapi. Jadi para pihak bebas untuk mencantumkan syarat yang ada
dalam undang-undang kedalam perjanjian yang dibuat para pihak atau tidak.
48
3. Syarat Aksidentalia syarat
yang tidak harus ada dalam perjanjian. Syarat ini dicantumkan dalam
perjanjian karena ada kepentingan salah satu pihak dalam perjanjian. Contoh
dalam perjanjian kredit dicantumkan ketentuan bahea selama debitur belum
melunasi utang yang diterima tidak diperbolehkan meminjam kredit lagi
tanpa persetujuan kreditur atau bank.
Selain syarat-syarat esensialia dan syarat lainnya, perjanjian kredit juga
mengatur :
1. Syarat yang mengatur jumlah kredit
2. Syarat yang mengatur jangka waktu kredit
3. Syarat yang mengatur bunga kredit
4. Syarat yang mengatur syrat-syarat penarikan atau pencairan kredit
5. Syarat yang mengatur penggunaan kredit
6. Syarat yang mengatur cara pengembalian kredit
7. Syarat yang mengatur tentang jaminan kredit
8. Syarat yang mengatur kelalaian debitur atau wanprestasi
9. Syarat yang mengatur hal-hal yang harus dilakukan debitur
10. Syarat yang mengatur pembatasan terhadap tindakan
11. Syarat yang mengatur asuransi barang jaminan
12. Syarat yang mengatur pernyataan dan jaminan
13. Syarat yang mengatur perselisihan dan penyelesaian sengketa
14. Syarat yang mengatur keadan memaksa(force majeure)
15. Syarat yang mengatur pemberitahuan dan komunikasi
49
16. Syarat yang mengatur tentang perubahan dan pengalihan
c. Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Sebelum penulis ketengahkan tentang syarat-syarat perjanjian kredit, ada
baiknya terlebih dahulu penulis ketengahkan tentang pengertian perjanjian, antara
lain:
a. Subekti mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa diman seorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.33
b. Wiryono projodikoro mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua dalam
suatu pihak berjanjiuntuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan
sesuatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.34
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, maka dapat diambil
unsur-unsur dari perjanjian tersebut, yaitu :
a. Adanya subyek dari perjanjian yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
b. Adanya obyek dari perjanjian yang berwujud benda khususnya yang
menyangkut harta kekayaan.
c. Adanya hak dan kewajiban diman salah satu pihak berhak atas prestasi dan di
lain pihak berkewajiban memenuhi prestasi.
d. Adanya kata sepakat, dimana masing-masing pihak menerima atau menyetujui
perjanjian itu.
33 Subekti, Op.Cit, hal.134 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Perstujuan-persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, 1981, hal. 1
50
Kemudian untuk mengetahui perjanjian kredit itu sah atau tidak maka
unsur-unsur perjanjian kredit tersebut juga merupakan syarat-syarat perjanjian
kredit secara umum.
Selanjutnya kita lihat dala Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan syrat-
syarat untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Mengenai hal atau objek tertentu.
4. Suatu sebab (causal) yang halal.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif karena menyangkut orang-
orang tau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Orang-orang atau pihak-pihak ini
sebagai subyek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan
keempat disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut mengenai objek yang
diperjanjikan oleh orang-orang atau subyek yang membuat perjanjian.
Syarat pertama adalah sepakat artinya orang-orang yang membuat perjanjian
tersebut harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjianyang
dibuat dan juga sepakat mengenai syarat-syarat lain untuk mendukung sepakat
mengenai hal-hal yang pokok. Sepakat juga mengandung arti apa yang
dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lainnya. Jadi pihak-
pihak dalam perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan
diri dan kemauan itu harus dinyatakan secara tegas atau diam.
Syarat kedua cakap dalam membuat perjanjian. Cakap artinya orang-orang
yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seorang telah dewasa atau
51
akil balikh, sehat jansmani dan rohani dianggap cakap menurut hukum sehingga
dapat membuat suatu perjanjian. Orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut
hukum ditentukan dalam pasal 1330 KUHPerdata yaitu :
1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu. Ketentuan ketiga ini telah dikoreksi Mahkamah Agung
melalui surat edaran No.3/1963 tanggal 4 Agustus tahun 1963 yang ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia
bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi syarat telah dewasa dan
tidak dibawah pengampuan
Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat perjanjian sangat
diperlukan karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan
melaksanakan isi perjanjian yang dibuat. Membuat perjanjian berarti terikat dan
bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dijanjiakn bahkan harta
kekayaan orang tersebut akan menjadi jaminan apa yang telah dijanjikan.
Syarat ketiga mengenai suatu hal atau obyek tertentu artinya dalam
membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan
kewajiban para pihak bisa ditetapkan. Misalnya perjanjian utang piutang harus
jelas berapa besarnya utang, berapa jangka waktu pengembalian dan bagaimana
cara pengembalian.
52
Syarat keempat suatu sebab atau kausa yang halal artinya suatu perjanjian
harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperbolehkan oleh undang-undang.
Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah :
1. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
2. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
3. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Hapusnya Perjanjian Kredit
Tentang berakhirnya atau hapusnya perjanjian diterangkan oleh Pasal 1381
KUHPerdata bahwa hapusnya perjanjian disebabkan oleh peristiwa-peristiwa
berikut :
1. Karena ada pembayaran
Pembayaran adalah kewajiban debitur sacara sukarela untuk memenuhi
perjanjian yang telah diadakan. Dengan adanya pembayaran oleh seorang
debitur atau pihak yang berutang berarti debitur telah melakukan prestasi
sesuai perjanjian. Dengan dilakukannya pembayaran oleh debitur maka
perjanjian kredit/utang menjadi hapus atau berakhir.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan(cosignatie)
Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan
penitipan dapat mengakhiri atau menghapuskan perjanjian. Ketentuan
pembayaran tunai yang diikuti penitipan ini prosedurnya diatur dalam Pasal
1404-1412 KUHPerdata. Tetapi hanya berlaku untuk perjanjian yang
53
prestasinya “memberi barang-barang bergerak” sedangkan untuk memberi
barang tidak bergerak undang-undang tidak mengatur.
3. Novasi atau Pembaruan utang
Novasi atau pembaruan utang adalah suatu perjanjian baru yang menghapuskan
perjanjian lama dan pada saat yang sama memunculkan perjanjian yang baru
yang menggantikan perjanjian lama. Novasi pada hakekatnya merupakan
perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama maka perjanjian ikutannya
seperti hak tanggungan, gadai, dan hak istimewa lainnya tidak ikut beralih
kepada perjanjian baru kecuali diperjanjikan secara tegas dalam perjanjian
novasi bahwa perjanjian ikutannya tidak hapus dan ikut beralih dengan
terjadinya perjanjian novasi.
4. Kompensasi atau perjumpaan utang
Untuk dapat dilakukan perjumpaan utang atau kompensasi Pasal 1427
KUHperdata memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu :
a. Kedua utang harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat
dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama .
b. Kedua utangseketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika
dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang sedangkan utang yang
lainnya baru dapat satu bulan yang akan datang maka kedua utang itu tidak
dapat diperjumpakan.
Dalam perkembangannya, untuk menyelesaikan kredit macet kreditur dan
debitur dapat melakukan perjumpaan utang antara utang dengan jaminan,
bukan utang dengan utang saja. Caranya debitur menyerahkan jaminannya
54
kepada kreditur/bank dan bank menghapuskan utangnya, utang dinyatakan
lunas. Perjumpaan utang atau kompensasi seperti ini disebut juga set off.
5. Percampuran utang
Percampuran utang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada
satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu percampuran utang terjadi
dan perjanjian menjadi hapus atau berakhir.
6. Pembebasan utang
Pembebasan utang adalah perbuatan hukum yang dilakukan kreditur dengan
menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran utang dari debitur.
Undang-undang tidak mengatur bagaimana prosedur terjadi pembebasan utang
sehingga diserahkan kepada kreditur yang memiliki hak untuk membebaskan
utang sepanjang tidak merugikan hak debitur. Namun berkaitan dengan
pembebasan utang ini Pasal 1442 KUHPerdata menentukan bahwa :
a. Pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama akan membebaskan
pula para penanggungnya.
b. Pembebasan yang diberikan kepada penanggung utang tidak membebaskan
debitur utama.
c. Pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggng utang tidak
membebaskan penanggung utang yang lain.
7. Musnahnya barang yang terutang
Apabila barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, hilang, tidak
dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah
barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian mejadi hapus asal musnahnya
55
barang/hilangnya barang bukan kesalahan debitur dan sebelum debitur lalai
menyerahkan barangnya kepada kreditur. Namun jika debitur mempunyai hak-
hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi
atas barang tersebut maka debitur diwajibkan menyerahkan kepada kreditur.
8. Pembatalan perjanjian
Bila salah satu pihak akan membatalkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat
subyektif maka dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Secara aktif mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Negeri.
b. Secara pasif artinya menunggu pihak lawan dalam perjanjian mengajukan
gugatan di Pengadilan Negeri dan di muka Pengadilan Negeri melakukan
jawaban atau gugatan balik (gugatan rekompensi) yang mengajukan
kelemahan dan kekurangan dalam perjanjian sehingga agar perjanjian
dibatalkan.
Untuk mengajukan gugatan pembatalan secara aktif Pasal 1354 KUHPerdata
memberikan batas waktu 5 tahun yang mulai berlaku :
a. Dalam hal belum dewasa maka dihitung sejak hari kedewasaan.
b. Dalam hal pengampuan dihitung sejak hari pencabutan engampuan.
c. Dalam hal kekhilafan atau penipuan dihitung sejak hari diketahuinya
kekhilafan atau penipuan itu.
Sedangkan untuk pembatalan secara pasif tidak ada batas waktunya.
Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian telah
dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu pihak jika salah
satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi(Pasal 1266).
56
Menurut woeker ordonnantie (Stb. 1938) No.524 hakim berkuasa untuk
membatalkan perjanjian jika isi pernjanjian membebankan kewajiban yang
tidak seimbang atau membebankan kewajiban yang lebih besar pada satu
pihak dan menguntungkan pihak lainnya yang disebabkan karena kebodohan,
kurang pengalaman atau dalam keadaan memaksa dari salah satu pihak.35
9. Berlakunya suatu syarat batal
Untuk menjelaskan berlakunya syarat batal ini kita perlu megingat kembali
perikatan bersyarat. Perikatanbersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya
atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan
peristiwa itu masih belum terjadi.
Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa
dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Perikatan yang sudah ada yang
berakhirnya digantungkan kepada terjadinya suatu peristiwa dinamakan
perikatan dengan syarat batal. Apabila syarat batal dipenuhi maka akan
meghentikan perjanjian itu dan membawa kembali kepada keadaan semula
seolah-olah tidak pernah ada perjanjian.
10. Daluarsa atau lewatnya waktu atau verjaring.
Pasal 1946 KUHPerdata menjelaskan bahwa lewat waktu atau daluarsa
adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu aau dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Jadi dengan lewatnya waktu tersebut maka
terhapus setiap perikatan hukum (natuurlijke verbintenis) yaitu perjanjian
35 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Ctk. Kedua, Alfabeta, Bandung, 2004, hal.145
57
boleh dipenuhi tetapi jika tidak dipenuhi debitur tidak dapat dituntut di muka
hukim.
B. Tinjauan Mengenai Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan, menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996 tentangan Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, adalah :
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lain.
Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut
dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk
jaminan peluasan utang, dengan hak mendahulu, dengan obyek jaminannya
berupa Hak-hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
58
Jika kita lihat ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria,
dapat kita lihat ketentuan Pasal 51 Undang-undang Pokok agraia, yang
menyatakan bahwa :
Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha
dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan
undang-undang.
Selanjunya dalam rumusan Pasal 57 Undang-undang Pokok Agraria
dinyaakan bahwa:
Selama Undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51
belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai
hypotheek tersebut dalam kitap Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 No. 542 sebagai yang
telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Dengan demikian jelaslah bahwa Undang-undang Hak Tanggungan
dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Pokok Agraria, yang
menggantikan berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang diatur
dalam KUHPerdata dan Credietverband yang diatur dalam staatsblad 1908 No.
542 sebagai yang telah diubah dengan staatsblad 1937 No 190. Hal mengenai
pencabutan atau pernyataan tidak berlakunya lagi ketentuan-ketentuan mengenai
hypotheek yang diatur dalam KUHPerdata dan Credietverband yang diatur dalam
staatsblad 1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.
190 dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 29 Undang-undang Hak Tanggungan
yang menyatakan :
59
Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai Credietverband
sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586,
dan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191, dan ketentuan mengenai
Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak
Tanggungan pada hak atas tanah, beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.36
2. Pemberian Hak Tanggungan
Undang-undang Hak Tanggungan menggunakan istilah pemberian
sedangkan Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria No. 15
Tahun 1961 Pasal 3 menggunakan dua istilah yaitu Pemberian dan Pemasangan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman istilah pembebanan mempunyai arti identik
dengan pemberian dan pemasangan.37 Pemberian Hak tanggungan adalah
perjanjian kebendaan yang terdiri rangkaian perbuatan hukum dari Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sampai dilakukan pendaftaran dengan
mendapatkan sertifikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan.
Rangkaian perbuatan hukum Pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan
memerlukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Membuat perjanjian kredit
Tahap pertama ini didahului dengan dibuatnya perjanjian pokokberupa
perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan hubungan pinjam meminjam uang antara kreditur dengan debitur.
36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, ctk. Pertama, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal.15
37 Sutarno, Op.cit, hal. 166
60
Hal ini sesuai sifat accessoir dari Hak Tanggungan yang pemberiannya haruslah
merupakan ikatan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian
utang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan mengatakan bahwa
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam
dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang tertentu
harus dirumuskan dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang. Janji tersebut
dapat dirumuskan dalam salah satu pasal perjanjian kredit atau perjanjian utang.
Dalam perjanjian kredit, baru berupa janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu sedangkan perjanjian
pembrian Hak Tanggungan akan dilakukan dengan akta tersendiri yang disebut
Akta Pemberian Hak Tanggungan(APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah(PPAT).
Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau utang atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang yang bentuknya:
a. Dapat dibuat dengan akta dibawah tangan artinya dibuat oleh kreditur dan
debitur sendiri atau akta otentik artinya dibuat oleh dan dihadapan notaris.
b. Perjanjian kredit atau perjanjian utang dapat dibuat oleh orang-perorangan
atau badan hukum asing sepanjang kredit digunakan untuk kepentingan di
wilayah Republik Indonesia.
61
c. Mengenai tempatnya perjanjian kredit dapat dibuat di dalam atau di luar
negeri.
2. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Tahap kedua berupa Pembebanan Hak Tanggungan yang ditandai dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan(APHT) yang dibuat oleh PPAT
yang ditandatangani kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan Pemilik hak
atas tanah yang dijaminkan. Bentuk akta pembebanan Hak Tanggungan adalah
akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Akta APHT merupakan
bentuk standar yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasaional(BPN) yang
dipergunakan oleh PPAT. Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan
menegaskan Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan akta
pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 11 ayat(1) menentukan bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan
berisi:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan apabila diantara
mereka ada yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan
suatu domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak
dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan dianggap sebagai domisiliyang terpilih.
c. Penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin.
d. Nilai Hak Tanggungan.
62
e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan yaitu uraian rinci
mengenai hak atas tanah yang dijaminkan meliuti jenis hak atas tanah, luas
tanah, batas-batas, letaknya yang mencerminkan asas spesialitas.
f. Janji-janji Hak Tanggungan yang akan diuraikan tersendiri dalam sub dibawah
ini.
Dalam praktek bank, pemberian Hak Tanggungan yang ditandai dengan
pembuatan APHT ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Penandatanganan APHT dilakukan oleh pemilik jaminan bersamaan dengan
penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok.
b. Dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan(SKMHT).
SKMHT dibuat karena pemilik jaminan (bisa debitur bisa pihak lain bukan
debitur), pada saat penandatanganan perjanjian kredit tidak segera melakukan
pembebanan Hak Tanggunga. SKMHT adalah surat kuasa khusus yang dibuat
oleh dan dihadapan PPAT atau Notaris yang ditandatangani oleh pemilik jaminan.
Isi SKMHT adalah pemilik jaminan memberikan kuasa khusus kepada
kreditur(bank) untuk menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan(APHT).
Dengan SKMHT ini kreditur dalam waktu tertentu dapat membebankan Hak
Tanggungan dengan menandatangani APHT tanpa harus menghadirkan pemilik
jaminan dihadapan PPAT. SKMHT ini dibuat karena Bank sebagai kreditur tidak
langsung membebankan Hak Tanggungan pada saat penandatanganan perjanjian
kredit karena untuk menghemat biaya.
3. Pendaftaran APHT di Kantor Pertanahan.
63
Pada tahap ketiga ini ditandai dengan pendaftaran Akta Pemberian Hak
Tanggungan(APHT) kekantor pertanahan setempat. Hal ini sesuai dengan Pasal
13 ayat(1) Undang-undang Hak Tanggungan yang menegaskan Pemberian Hak
Tanggungan ajib didaftarkan pada kantor Pertanahan. Setelah Kantor Pertanahan
menerima pendaftaran dari PPAT dalam waktu 7 hri setelah APHT
ditandatangani, maka Kantor pertanahan membuatkan buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang
menjadinobyek hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Sebagai tanda bukti bahwa Akta Pemberian
Hak Tanggungan telah didaftar di Kantor Pertanahan, yang membuktikan adanya
Hak Tanggungan maka kantor pertanahan akan menerbitkan sertifikat Hak
Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan diberikan kepada kreditur sebagai
pemegang hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan adalah salinan APHT dan
salinan Buku tanah Hak Tanggungan yang dijahit menjadi satu. Dengan demikian
kalau meneliti sertifikat Hak Tanggungan Nampak sama dengan isi APHT karena
petikan APHT merupakan bagian dari sertifikat Hak Tanggungan.
Dari pasal 13 Undang-undang Hak Tangungan tersebut dapat disimpulkan
bahwa yang didaftarkan ke Kantor Pertanahan yaitu Akta pemberian Hak
tanggungan yaitu disertai sertifikat tanah dan surat lainnya sebagai bukti obyek
Hak Tanggungan dan identitas dari para pihak-pihak kreditur dan debitur/pemilik
jaminan. Sewaktu masih menggunakan hipotik ketentuan pandaftaran ditegaskan
dalam Pasal 1186 KUHPerdata yang menentukan apa yang hatrus didaftar yaitu
salinan otentik akta hipotik dan dua lembar ikhtiar akta hipotik.
64
Dari tahap pembebanan hak tanggungan akan lahirlah beberapa akta atau
dokumen yang diperlukan bagi kreditur jika kemudian hari akan melakukan
eksekusi Hak Tanggungan yaitu:
a. Perjanjian Kredit/perjanjian utang.
b. Surat kuasa Membebankan Hak Tanggungan(SKMHT). Akta ini diperlukan
jika pemberi Hak Tanggungan menguasakan kepada kreditur untuk
membebankan Hak Tanggungan. Tetapi jika pemberi hak Tanggungan
langsung memberikan hak Tanggungan dengan menandatangani APHT maka
SKMHT tidak diperlukan. Jadi SKMHT tidak harus ada.
c. Akta pemberian hak tanggungan.
d. Sertifikat hak tanggungan.
e. Sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan.
3. Lahirnya Hak Tanggungan
Hak tanggungan lahir pada tanggal buku tanah hak tanggungan yaitu pada
hari ketujuh setelah kantor pertanahan menerima secara lengkap surat-surat yang
diperlukanbagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur buku tanah
yang bersangkutan diberi kerja hari berikutnya. Hari dan tanggal ahirnya Hak
Tanggungan menandai atau membuktikan lahirnya hak preferen atau hak
diutamakan bagi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan sehingga kreditur
yang memegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atas
jaminan yang dipegangnya. Kreditur sebagai pemegang hak Tanggungan yang
telah memiliki hak preferent tidak perlu lagi khawatir pemilik jaminan akan
mengalihkannya seperti menjual, menyewakan, meminjamkan kembali atau disita
65
pihak lain atas jaminan tersebut karena undang-undang memberikan perlindungan
dan kekuatan hukum bagi pemegang hak Tanggungan yang memberikan hak
preferent.
Apabila hak preferent belum lahir kemudian terjadi peristiwa sita
jaminan(concervatoir beslag) oleh pengadilan terhdap jaminan itu atau terjadi
kepailitanatas diri debitur maka pembebanan Hak Tanggungantidak dapat
dilakukan akibatnya kreditur kehilangan hak preferent atau utama atas jaminan
dan kreditur hanya memiliki hak konkuren atau hak berbagi dengan kreditur lain
terhadap jaminan itu. Oleh karena itu lahirnya hak tanggungan yang merupakan
tanda atau bukti kreditur memiliki hak diutamakan terhadap jaminan itu sangat
penting sehingga kreditur harus secepatnya memasang hak tanggungan untuk
mempercepat lahirnya hak tanggungan dengan tujuan untuk menghindarkan
peletakan sita jaminan dari pihak lainnya yang memiliki kepentinan terhadap
jaminan itu.
4. Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya hak tanggungan diatur dalam pasal 18 Undang-undang hak
tanggungan. Pasal 18 ayat(1) Undang-undang Hak tanggungan memberikan
alasan limitatif bagi hapusnya Hak Tanggungan. Alasan-alasan limitatif tersebut
adalah:
a. Hapusnya utang yang dijaminkan dengan hak tanggungan.
Ketentuan yang diberikan dalam Pasal 18 ayata(1) butir a Undang-undang Hak
Tanggungan pada pokoknya menunjukkan pada sifat accessoir dari Hak
66
Tanggungan. Tanpa adanya utang yang menjadi sumber eksistensi Hak
Tanggungan, maka perjanjian pemberian Hak Tanggungan menjadi tidak
memiliki kausa, dan perjanjian tanpa kausa adalah perjanjian yang tidak dapat
dimintakan pelaksanaannya oleh kreditur. Dengan tidak adanya kausa tersebut,
maka batal demi hukum, perjanjian yang dibuat tidak memberikan hak kepada
pemegang hak tanggunganuntuk melakukan eksekusi atas kebendaan yang
dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut. Dengan kata lain hapusnya hak
atas tanah disebabkan karena hapusnya utang pokok yang menjadi sumber
eksistensi atau keberadaan Hak Tanggungan.
b. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegang Hak
Tanggungan.
Mengenai hapusnya hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegang Hak
Tanggungan, ketentuan Pasal 1 ayat(2) Undang-undang Hak Tanggungan
menentukan sebagai berikut:
Hapusnya Hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan
dengan pemberian pernyaaan tertulis mengenai dilepaskannya Hak
Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak
Tanggungan.
Tanpa adanya pernyatann bebas dari kreditur, maka utang debitur masih tetap
harus dipenuhi oleh debitur kepada kreditur.
c. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
67
Hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan Hak Tanggungan
bedasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan
menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan yang
berbunyi:
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi
karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
tersebut agar hak atas tanah y dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak
Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Berdasarkan rumusan Pasal 18 ayat(3) Undang-undang Hak Tanggungan
tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak Tanggungan berasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena terdapat lebih
dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang tanah tersebut.
Sedangkan dari rumusan Pasal 19 Undang-undang ak Tanggungan dapat
diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat dimintakan oleh
setiap pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban berupa Hak
Tanggungan yang jumlahnya lebihdari satu.
d. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai
akibat tidak terpenuhinya syarat obyektif sahnya perjanjian, khususnya yang
berhubungan dengan kewajiban adanya obyek tertentu, yang salah satunya
68
meliputi keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan. Karena setiap
hal yang menyebabkan hapusnya hak atas tanah tersebut demi hukum juga
akan menghapuskan Hak Tanggungan yang dibebankan diatasnya, meskipun
bidang tanah dimana hak atas tanahnya tersebut hapus masih tetap ada, dan
selanjutnya telah diberikan pula hak atas tanah yang baru atau yang sama
jenisnya.
C. Tinjauan Umum Tentang Bank BRI
1. Sejarah Singkat BRI
Sejarah berdirinya BRI tidak lepas dari seorang Patih Purwokerto yang
bernama Raden Bei Aria Wiraatmaja. Pada tahun 1894 beliau diberi kepercayaan
untuk mengelola uang kas mesjid, dan dengan seizin atasannya beliau memperluas
penggunaan uang kas mesjid untuk pinjaman kepada pegawai negeri, para petani
dan tukang yang sedang terjerat utang.
Untuk menampung hal tersebut, Patih Wiraatmaja membentuk lembaga
semacam bank yang diberi nama “DE POERWOKERTOSCHE HULP EN
SPAARBANK INLANDSCHE HOOFDEN” (Bank Bantuan dan Simpan Milik
Bumi Purwokerto), yang merupakan awal kegiatan Bank Perkreditan Rakyat di
Indonesia. Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 16 Desember 1895 didirikan
secara resmi bank perkreditan rakyat pertama di Indonesia dengan nama “HULP
EN SPAARBANK PER INLANDCHE BESTUURES AMBTENAREN” (Bantuan
dan Simpanan Milik Pegawai Pangrepraja Berkebangsaan Pribumi). Bank tersebut
kemudian berubah nama menjadi Bank Rakyat Indonesia(BRI).
69
Pada tahun 1897 WPD E WOLFF Van Westrrode melakukan langkah
reorganisasi dengan mulai membentuk lembaga-lembaga perkreditan di pedesaan
yang dikenal dengan sebutan”Volksbank”.
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda menyadari
akan pentingnya pengawasan dan pembinaan terhadap BRI (Volksbank) yang
telah ada, sehingga pemerintah mendirikan centrale kas Voorhet
Volkscredietwezen, yang bertujuan unt menyediakan dana usaha dan memberikan
bantuan dalam pengelolaan (pembinaan dan pengawasan) kepada badan-badan
kredit serta menerima berbagai simpanan dana dari badan tersebut.
Pada kenyataan central kas belum berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Oleh karena itulah perlu dibentuk Algeemene Volks Credit
Bank(AVB). Dengan berdirinya AVB ini maka tugas dar central kas diserahkan
kepada AVB.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 sampai 1945, AVB diubah
menjadi Syomin Ginko. Disini ruang lingkup pekerjaan Syomin Ginko sesuai
dengan anggaran dasar AVB dulu.
Pada awal Oktober 1945, Syomin Ginko namanya kembali menjadi BRI dan
menjadi Bank Pemerintah pertama di Indonesia. Mulai saat itu secara de facto
BRI dikuasai oleh tenaga-tenaga Indonesia. Doreksi pwrtam BRI adalah M.
Morrso Adi (Presiden Direktur), M. Soegiono Tjokrowirono (Diretur), dan M,
Soemantri (Direktur merangkap Sekretaris). Dan kantor utamanya adalah gedung
Escompto yang terletak di jalan Jakarta Utara.
70
Pada tahun 1947, pada masa Agresi Militer Belanda I pemerintah Indonesia
dan Belanda mengadakan perjanjian Renville pada masa ini Belanda kembali
mengoperasikan AVBdi wilayah yang dikuasai Belanda.
Kondisi BRI menjadi semakin berat lagi setelah Belanda melakukan Agresi
Militer II pada tahun 1948, dan pada waktu itu para pimpinan BRI ditangkap
Belanda dengan tuduhan telah menggelapkan uang untuk membantu para pejuang
kemerdekaan. Tetapi dengan diadakannya perjanjian Roem-Royen tanggal 7 Mei
1949, karyawan BRI dilepaskan dari tahanan dan mulai mengoperasikan kembali
BRI. Mulai 1 Januari 1950 secara de facto AVB menjadi BRI Serikat(BARRIS).
Pada tanggal 15 Agustus 1950, UUDS RI tahun 1950 ditandatangani oleh
Presiden Soekarno dan Menteri Kehakiman RIS Mr. Soepomo. Dengan
ditandatanganinya UUDS RI 1950, bangsa Indonesia kembali menjadi Negara
kesatuan RI sesuai dengan Proklamasi Kemerdekaan. Pada masa ini pemerintah
mengeluarkan PP No.25 tanggal 20 April 1951 yang isinya menetapkan BRI
menjadi “Bank Menengah”. Dan mulai tanggal25 September 1956, BRI
ditetapkan menjadi Bank Devisa. BRI diharapkan dapat memberikan pelayanan
yang lebih merata kepada nasabah yang melakukan hubungan dagang dengan luar
negeri.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk
kembali ke UUD 1945, sehingga system perekonomian kita pun mengalami
perubahan secara structural. Berdasarkan keputusan No. 3/KPTS/SD/II/59, system
perekonomian Indonesia diselaraskan kembali dengan kepribadian bangsa sesuai
dengan jiwa dan tujuan Negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga
71
pemerintah menjadi sadar akan pentingnya koperasi serta perhatian terhadap nasib
petani dan nelayan yang masih memprihatinkan. Oleh karena itulah akhirnya
dibentuk BKTN (Bank Koperasi Tani dan Nelayan).
Pada tahun 1965 terjadi perubahan-perubahan struktur kelembagaan secara
cepat pada bank-bank milik pemeritah. Berdasarkan Penpres No. 8 Tahun 1965
bank-bank umum Negara dan BTN diintregrasikan kedalam BRI, hanya BDN
yang tidak terkena integrasi. Dan berdasarkan Peraturan Presiden No. 9 Tahun
1965 Tanggal 4 Juni 1965, BKTN diintergrasikan kedalam BI dengan nama Bank
Indonesia Urusan Koperasi tani dan nelayan(BIUKTN)
Pada tanggal 27 Juli 1965 pemerintah telah mengeluarkan Penpres baru
No.17 tahun 1965 tentang pembentukan bank tunggal dengan nama BNI.
Berdasarkan Penpres itu selain BDN, bank-bank pemerintah diintregrasikan lagi
kedalam bank tunggal tersebut. Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan
Nelayan(BIUKTN) dintregrasikan ke dalamnya dengan nama BNI Unit II.
Pada kenyataannya eksperimen dengan bank tunggal/milik Negara ini tidak
dapat berjalan lama karena tersusul oleh terjadinya peristiwa G 30 SPKI pada
tanggal 30 September 1965.
Memasuki babak baru pada tahun 1966 yang lazim disebut awal orde baru
karena telah terjadi banyak perubahan baik dibidang politik maupun bidang
ekonomi diamana perubahan tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap tugas
BRI selaku bank Pemerinah. Apalagi dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun
1968 tentang BRI, maka tugas dan usaha BRI sebagaimana dijelaskan pada Pasal
72
7 adalah diarahkan pada perbaikan ekonomi rakyat dan pembangunan nasional
dengan jalan melakukan usaha bank umum.
Dari UU No.21 Tahun 1968 tersebut pemerintah berkeinginan agar BRI
berperan menjadi bank umum ang dapat membantu pelaksanaan program
pembangunan nasional.
Pada tahun 1988 BRI go internasional dengan membuka kantor di New
York dan di Cayman Island (BRI New Yok Agency). Ekspansi usaha BRI ke
manca Negara ini kemudian diikuti dengan pembukaan kantor di Hongkon tahun
1990 dan kantor perwakilan di Singapura tahun 1991.
2. BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru
Adanya surat keputusan direksi BRI NOKEP S.34-31/9/69 tanggalk 9
September 1969 sebagai dukungan terhadap idenya DR.Soedarmo Hadisaputra
tentang proyek pengembangan ekonomi wilayah unit desa, merupakan awal dan
dasar berdirinya BRI Unit desa. Dimulai di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
18 unit desa dan 54 orang pegawai. Dalam pilot proyek pengembangan ekonomi
wilayah pedesaan ini, BRI Unit Desa sebagai salah satu pendukung, yang
berperan sebagai penyalur kredit BIMAS (Bimbingan Massal) untuk para petani.
Selanjutnya tahun 1970 proyek ini dikembangkan ke seluruh pulau Jawa.
Melihat proyek ini dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah dengan
INPRES No. 4/1973 tanggal 5 Mei 1973, meningkatkan status pilot proyek
menjadi proyek nasional untuk dilaksanakan di seluruh nusantara termasuk di
Pangkalan Kerinci.
73
Kantor BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru berdiritahun 1989
dan sampai saat ini, terletak dijalan Lintas Timur o. 15-16 Pangkalan Kerinci.
3. Tugas dan Usaha Pokok Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang
Pekanbaru
Tugas dan usaha pokok perbankan secara umum diatur dalam Undang-
undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Pasal 5 sampai 15. Sedangkan tugas dan
usaha pokok BRI diatur dalam Undang-undang No. 21 Tanhun 1968 yang
menyatakan sebagai berikut :
Tugas dan usaha bank diarahkan kepada perbankan ekonomi rakyat dan
pembangunan ekonomi nasional dngan jalan melakukan usaha bank umum
dengan mengutamakan :
1. Pemberian kredit pada sektor koperasi, tani dan pelayanan yang melingkupi:
a. Membantu perkembangan koperasi, terutama dalam bidang perikanan dan
pertanian.
b. Membantu kaum tani dan nelayan yang belum tergabung dalam koerasi,
untuk mengembangkan usaha-usahanya dalam mengembangkan pertanian
dan perikanan, dan menolong srta membimbing kearah usaha bersama atas
asas studi perkoperasian.
2. Membantu rakyat yang belum tergabung dalam suatu koperasi dan
menjalankan kegiatan dalam bidang kerajinan, perindustrian rakyat dan
perdagangan kecil.
74
3. Pemberian bantuan terhadap uaha Negara dalam rangka pelaksanaan politik
agrarian
4. Pemberian bantuan terhadap usaha pemerintah dalam pembangunan masyarakt
desa.
5. Pembinann dan pengawasan bank desa, bank pasar dan bank-bank sejenis
lainnya berdasarkan petunjuk dari pimpinan Bank Indonesia.
Disamping tugas dan usaha pokok bank sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No. 21 Tahun 1968, Bank Rakyat Indonesaia juga melakukan
usaha lain seperti pengiriman uang (transfer, incasso)dan memberikan jasa
dengan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
4. Jenis Kredit yang Disalurkan Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang
Pekanbaru
Sebelum kita uraikan mengenai jenis kredit yang disalurkan lewat BRI,
maka terlebih dahulu akan kita kemukakan mengenai penggolongan kredit (types
of credit). Penggolongan tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut, seperti :
a. Ukuran dalam menetapkan segmentasi bisnis adalah berdasarkan pendekatan
pendapatan bersih dalam setahun dan usaha yang dominan dengan
pembidangan sebagai berikut :
1) Bisnis kecil pangan dan koperasi (BKPK)
Semua nasabah yang jumlah penjualan bersihnya setahun sampai dengan
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
2) Pertanian (Bistan)
75
Semua nasabah yang jenis usaha dominannya termasuk pertanian dan
penjualan bersihnya setahun lebih dari Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah)
3) Bisnis Komersial (BISKOM)
Semua nasabah yang jenis usaha dominannya diluar pertanian dan jumlah
penjualan bersih setahun lebih dari Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus kima
puluh juta rupiah) sampai dengan 25 milyar.
4) Bisnis Korporasi (BISKOR)
Semua nasabah yang penjualan bersihnya lebih dari 25 milyar dan pada
dasarnya akan dicari dan dilayani sendiri oleh Biskor.
b. Jenis-jenis perkreditan menurut bentuknya :
1) Pinjaman Rekening Koran.
2) Pinjaman Persekot, dibadakan menjadi 2 yaitu :
a) Pinjaman Persekot Annuitet.
b) Pinjaman Persekot Non- Annuitet
c. Menurut ketetapan pemerintah (dilihat dari sumber dana)
1) Pinjaman Executing
2) Pinjaman Channeling
d. Menurut jangka waktu :
1) Pinjaman jangka pendek, waktunya maksimum 1 tahun.
2) Pinjaman jangka panjang, waktunya lebih dari 1 tahun.
e. Menurut tujuan :
1) Pinjaman untuk modal kerja
76
2) Pinjaman untuk investasi
f. Menurut penggunaannya :
1) Pinjaman konsumtif
2) Pinjaman Produktif
3) Pinjaman perdagangan
g. Menurut sifat penarikan dananya :
1) Pinjaman langsung
2) Pinjaman tidak langsung
h. Menurut sektor ekonomi :
1) Sektor pertanian
2) Sektor pertambangan
3) Sektor perindustrian
4) Sektor listrik, gas, dan air
5) Sektor Konstruksi
6) Sektor pengankutan, perdagangan dan komunikasi
7) Sektor jasa dunia usaha
8) Sektor jasa lainnya
9) Sekor lain-lain
Untuk jenis kredit yang disalurkan BRI Unit Pangkalan Kernci Cabang
Pekanbaru pada garis esarnya dibagi dua yaitu :
1. Kredit Prioritas yaitu kredit yang menunjang program pemerintah, yang
meliputi :
a. Kredit investigasi kecil dan kredit modal kerja permanen yang terbagi atas:
77
1) Massal
2) Khusus
3) Umum
b. Kredit modal kerja
c. Kredit listrik pedesaan
d. Rural crediet project
e. Impres pasar (untuk pambangunan pasar)
f. Bimas atau Inmas padi dan palawija
g. East Java Agricultural Crediet Project termasuk didalamnya kredit PAK
(proyek pengembangan pertanian petani kecil).
2. Kredit Non Prioritas, yaitu kredit yang diberikan bukan atas program
pemerintah, yang meliputi :
a. Perdagangan umum
b. Jasa-jasa sosial atau masyarakat
c. Konsumtif yang diberikan kepada ;
1) Pegawai non BRI
2) Pensiunan
d. Investasi dan konstruksi
e. Ekspor dan impor
f. Industri
g. BKD (Badan Kredit Desa)
h. Kupedes (Kredit umum Pedesaan)
i. Kehutanan, perkebunan, perikanan laut atau darat dan pertambangan.
78
5. Sumber Dana Perkreditan BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang
Pekanbaru
Pada dasarnya sumber dana untuk perkreditan sangat erat kaitannya dengan
jenis kredit yang disalurkan lewat BRI karena dengan sumber dana tersebut akan
jelas kredit apa dan mana yang harus didukung.
Sumber daba bagi bank unruk memberikan kredit bermacam-macam.
Sumber dana itu mempunyai sifat dan harga tersendiri karena sumber dana itu
penting bagi bank, yang antara lain untuk menentukan :
a. Besarnya kredit
b. Tingkat bunga yang akan dibebankan
c. Jangka waktu dari kredit
Bank sebagai lembaga keuangan sudah barang tentu akan membebankan
biaya yang lebih tinggi daripada yang dibayar oleh bank, besarnya kredit yang
diberikan juga harus sesuai dengan sumber dananya, demikian pula jangka
waktunya. Secara garis besar sumber dana itu dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Dana yang dipercayakan masyarakat
Yakni dana masyarakat yang disimpan dalam bentuk giro, deposito berjangka,
tabungan yang terdiri dari Tabanas dan Taska, Tapelpram, Tabungan Pegawai
dan Simpedes dalam kaitannya dengan jenis kredit. Sumber dana dari
masyarakat inilah yang dipakai untuk membayar kredit non prioritas.
b. Pinjaman dari bank sentral atau bank pemerintah lainnya
79
Dalam penggalian sumber dana, bank dapat juga meminjam untuk pembiayaan
pinjaman atau kredit yang diberikan. Sumber dana ini dalam kaitannya dengan
jenis kredit yang dipakai untuk membiayai kredit prioritas.
c. Sumber dana dari pinjaman luar negeri atau bank dunia
Dalam penggalian atau pembahasan dana untuk perkreditan dapat mengambil
atau meminjam dana dari luar negeri atau bank dunia yang tentu saja
penyaluran sumber dana tesebut harus melalui bank sentral (Bank Indonesia).
Dalam penerapan bunganya, bank tidak harus berdasarkan pada undang-
undang melainkan berdasarkan kebijaksanaan masing-masing bank dan hal
tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini telah sesuai
dengan Pasal 1767 KUHPerdata yang garis besarnya membolehkan, menentukan
atau mengenakan bunga melebihi dari bunga menurut undang-undang yang harus
ditetapkan secara tertulis.
80
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penghapusbukuan Utang di Bank BRI Unit Pangkalan
Kerinci Cabang Pekanbaru
Sebelum kita masuk kedalam pembahasan pelaksanaan penghapusbukuan
utang maka terlebih dahulu secara garis besar penulis akan uraikan arti daripada
kredit bermasalah tersebut.
Pada dasarnya kredit bermasalah merupakan kondisi yang seringkali terjadi
pada bisnis perbankan yaitu sebagai resiko dari penyaluran kredit bank yang
bersangkutan yang biasanya diawali dengan terjadinya wanprestasi yang
dilakukan oleh debitur sebagai penerima kredit. Wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda yang berarti prestsi buruk. Apabila debitur tidak melakukan apa yang
dijanjikannya maka ia dikatakan melakukan wanprestasi.38
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) debitur dapat berupa empat macam
yaitu :
38 Subekti, Op.cit., hal.45
81
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur sebagai pihak yang wajib
melakukan sesuatu, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau
akibat bagi debitur yang lalai ada empat macam yaitu :
a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau disebut juga ganti rugi;
b. Pembatalan perjanjian;
c. Peralihan resiko;
d. Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan didepan hakim.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka
harus ditetapkan terlebih dahulu apakah si debitur benar-benar melakukan
wanprestasi atau lalai terhadap kredit yang telah diterimanya, dan jika hal itu
disangkal olehnya maka harus dibuktikan dihadapan hakim karena kebanyakan
terjadinya kredit bermasalah dipicu oleh wanprestasi yang akan menimbulkan
kredit macet. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menangani kredit
yang bermasalah.
Walaupun kredit bermasalah seringkali sulit untuk dihindarkan namun bank
harus tetap mengelolanya secara hati-hati dan sedapat mungkin diminimalkan
resikonya sehingga dapat memberikan keuntungan bagi bank. Kredit bermasalah
dapat disebabkan oleh beberapa factor kelemahan, yaitu :
82
a. Sisi Intern BRI, antara lain :
1. Itikat tidak baik dari petugas BRI
2. Kekurangmampuan petugas BRI dalam pengelolaan pemberian kredit mulai
dari pengajuan permohonan sampai kredit dicairkan.
3. Kelemahan dan kurang fektifnya petugas BRI dalam membina debitur.
b. Sisi Ekstern BRI, antara lain :
1. Keadaan Force majeur antara lain : banjir, kebakaran, dan lain sebagainya.
2.Akibat perubahan-perubahan eksternal lingkungan seperti perubahan
kebijakan pemerintah berupa peraturan perundang-undangan, kenaikan
harga/biaya-biaya, dan lain sebagainya, yang berpengaruh secara langsung
atau tidak langsung terhadap usaha debitur.
c. Sisi debitur, antara lain :
1. Itikad tidak baik dari debitur.
2. Pengelolaan usaha debitur tidak berjalan baik.
3. Penggunaan kredit tidak sesuai dengan tujuan semula.
4. Menurunnya usaha debitur yang akan mengakibatkan turunnya kemampuan
debitur untuk membayar angsuran.
Sedangkan jika dilihat dari kelancaran usahanya kredit dapat dikategorikan
lagi sebagai berikut :
a. Kredit lancar yaitu kredit yang perjalanannya lancar atau memuaskan, artinya
segala kewajiban (bunga atau angsuran utang pokok diselesaikan oleh nasabah
secara baik).
83
b. Kredit tidak lancar yaitu kredit selama 3 sampai 6 bulan dimana mutasinya
tidak lancar, pembayaran bunga tidak baik serta angsuran utang pokoknya
demikian juga.
c. Kredit diragukan yaitu kredit yang tidak lancar dan telah sampai pada jatuh
temponya belum dapat juga diselesaikan oleh nasabah yang bersangkutan.
Bank akan memberikan kesempatan kepada nasabah untuk berusaha
menyelesaikan selama 3 sampai 6 bulan barulah bank akan mengambil langkah
lebih lanjut misalnya mencairkan barang-barang jaminan, mengajukan
perkaranya kebadan hukum atau lembaga yang telah ditunjuk.
d. Kredit macet sebagai kelanjutan dari usaha penyelasaian atau pengaktifan
kembali kredit yang tidak lancar dan usaha itu tidak berhasil, barulah kredit
tersebut dikategorikan kedalam kredit macet.39
Dari keterangan diatas yang termasuk dalam kredit bermasalah adalah kredit tidak
lancar, kredit diragukan dan kredit macet.
Dalam sistem penilaian kualitas kredit, BRI menggolongkan berdasarkan
tingkat kolektibilitasnya dimana tingkat kolektibilitas kredit tersebut didasarkan
atas prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan membayar.40
Penilaian terhadap prospek usaha, meliputi penilaian atas potensi
pertumbuhan dari industri atau kegiatan usaha, pasar, persaingan usaha,
manajemen, perusahaan afliasi atau grup dan tenaga kerja.
Penilaian terhadap kondisi keuangan, meliputi penilaian atas perolehan laba,
permodalan, likuiditas dan modal kerja, analisis arus kas, jumlah portofolio yang
39 Muchdarsyah Sinungan, Op.Cit, hal. 235-23640 Pedoman Pelaksanaan Kredit, Kantor BRI
84
sensitive terhadap perubahan nilai tukar valas dan suku bunga atau telah dilakukan
lindung nilai (hedging).
Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi penilaian atas ketepatan
pembayaran pokok dan bunga, hubungan debitur dengan bank, dokumentasi
kredit dan pengikatan agunan.
Berdasarkan penetapan tersebut di atas kualitas kredit digolongkan menjadi:
1. Kredit lancar adalah pinjaman kredit dengan tingkat pembayaran tepat pada
waktunya dan tidak ada tunggakan.
2. Kredit dalam perhatian khusus adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari.
3. Kredit kurang lancar adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai
dengan 180 hari.
4. Kredit diragukan adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari.
5. Kredit macet adalah pembayaran kredit yang terdapat tunggakan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari sampai dengan360 hari.
Dalam menyelesaikan kredit yang bermasalah, sebelum diambil tindakan
penyeleaian yang tepat, bank akan mengadakan langkah-langkah berikut ini
terlebih dahulu :
1 Pengenalan dini (early warning sign)
Untuk mendeteksi potensi timbulnya kredit bermasalah baik secara individual
maupun secara portofolio kredit sehingga akan memberikan lebih banyak
85
peluang bagi bank dalam mencegah timbulnya kerugian sebagai akibat dari
pemberia kredit. Penanganan kredit bermasalah bersifat antisipatif, proaktif
dan berdisiplin.
Tanda-tanda atau kejadian-kejadian yang dapat dikategorikan sebagai gejala
dini kredit bermasalah antara lain :
a. Keterlambatan pembayaran angsuran sesuai janji;
b. Omset penjualan yang cenderung menurun;
c. Kecenderungan untuk berganti usaha, sementara debitur tesebut belum
mempunyai pengalaman yang cukup untuk usaha baru yang akan digeluti.
2 Pendekatan kredit bermasalah
Seluruh pejabat kredit harus mempunyai persepsi yang sama dalam
penyelesaian kredit bermasalah dengan pendekatan sebagai berikut :
a. Tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanaya kredit bermasalah.
b. Mendeteksi sacara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi
kredit bermasalah.
c. Menangani kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah
harus dilakukan secara dini dan sesegara mungkin.
d. Tidak menyelesaikan kredit bermasalah dengan mengkapitalisasi tunggakan
bunga atau yang lazim dikenal dengan plafondering kredit kecuali dalam
rangka penyelamatan kredit.
e. Tidak melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah,
khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-piha yang terkait dengan
BRI dan debitur-debitur besar lainnya
86
3. Evaluasi kredit bermasalah
Direksi secara berkala melakukan evaluasi terhadap daftar kredit bermasalah
secara keseluruhan termasuk kredit dalam pengawasan khusus dan hasil
penyelesaiannya serta akan selalu menghitung dan mengevaluasi prosentase
kredit bermasalh terhadap total kredit.
Apabila krdit pada bank yang kolektibilitasnya tergolong diragukan dan macet
telah mencapai 7,5 % (tujuh setengah persen) dari jumlah kredit secara
keseluruhan maka direksi bank wajib menyampaikan laporan tertulis kepada
Bank Indonesia kemudian membentuk satuan tugas khusus (STK) yan
bertanggung jawab untuk menyelesaikan kredit bermasalah. Pejabat-pejabat
yang ditunjuk dalam satuan tugas tersebut wajib menyusun program-program
penyelamatan dan penyelesaian kredit yang kolektibilitasnya diragukan dan
macet untuk dimintakan persetujuan direksi kemudian melaporkan program
yang telah disetujui tersebut kepada Bank Indonesia.
4. Penyelesaian terhadap kredit yang tidak dapat ditagih
Mengenai kredit bermasalah yang tidak dapat diselamatkan maka proses
penyelesaiannya sebagai berikut :
A. Penagihan secara damai
berupa tindkan-tindakan seperti; penjualan sebagian atau seluruh harta
kekayaan debitur atau barang agunan oleh debitur, pelunasan dengan atau
tanpa bunga keringanan atau koreksi bunga atau pembebasan utang
sebagian.
B. Penagiahan melalui saluran hukum
87
Apabila penyelesaian kredit bermasalah telah dipayakan melalui
penyelesaian secara damai oleh bank dan ternyata tidak berhasil maka bank
dapat menyerahkan perkaranya melalui saluran hukum.
Badan-badan atau lembaga yang dapat menangani penyelesaian kredit macet
melalui saluran hukum sesuai yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 293/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 adalah :
1) BUPLN dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), yang
ditujukan pada bank sebagai bukti bahwa BUPLN menyatakan telah
menerima baik penyerahan perkara kredit macet tersebut.
b. Penetapan besarnya piutang Negara.
c. Pembuatan pernyataan bersama (PB) untuk lebih memperkuat atau
memperoleh kepastian hukum mengenai besarnya piutang yang wajib
diselesaikan. Dalam pernyataan bersama termuat pula pemberian
kesempatan jangka waktu penyelesaian utang yang dijanjikan oleh
pihak yang berutang paling lama 12 bulan.
d. Penataan dan pengamanan barang jaminan.
e. Penerbitan surat paksa dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya
yang telah ditetapkan dalam pernyataan bersam dan telah diberikan
peringatan tertulis yang diserahkan langsung oleh juru sita kepada
debitur.
f. Penyitaan yang dilaksanakan oleh juru sita berdasarkan surat perintah
penyitaan yang ditandatangani oleh ketua BUPN dan disaksikan oleh
88
dua orang saksi apabila ketentuan di dalam surat paksa tidak dipenuhi
juga oleh debitur.
g. Pelelangan (eksekusi lelang) yang dapat ditempuh dalam bebearapa
tahapan seperti penetapan harga limit, penguasaan fisik dan pengosogan
barang jaminan yang akan dilelang, persiapan atau pelaksanaan lelang
dan tindak lanjut atas pelelangan yang ditunda atau batal.
h. Pernyataan pelunasan dan penyelesaian piutang Negara, apabila debitur
telah memenuhi seluruh kewajiban utangnya.
i. Mengeluarkan surat keterangan tentang Piutang Negara Sementara
Belum Dapat Ditagih (PNSBDT)yang kemudian diberitahukan kepada
kreditur/penyerah piutang.41
2) Diluar BUPLN, antara lain:
a. Pengadilan Negeri
b. Kejaksaan Negeri.
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas apabila telah dilakukan berbagai
upaya untuk menyelamatkan piutang tersebut tetapi tetap tidak mendapatkan hasil
sebagaimana mestinya dan telah dikeluarkan pula surat keterangan tentang
Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PNSBDT) yang kemudian
diberitahukan kepada kreditur sebagai dasar bagi kreditur untuk mengusulkan
hapus buku piutang dari pembukuan kreditur. Sisa utang yang belum dilunasi
tetap menjadi kewajiban BUPLN untuk menagih kepada debitur.
41 Wawancara, dengan Bapak Priyono N, Kabid Piutang Negara Kanwil III BUPLN Pekanbaru, tanggal 31 Agustus 2010.
89
Sesuai dengan Surat Direksi Bank Indonesia No.11/377/UUP/PK tanggal 14
Maret 1979 tentang tata cara Penghapusbukuan kredit macet (Mandatory write-
off) pada dasarnya menjadi wewenang direksi. Disamping itu sesuai dengan
Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dan berdasarkan akta pendirian
Bank Rakyat Indonesia Nomor 133 Pasal 11 ayat (2)(e), ditetapkan bahwa direksi
BRI berwenang untuk menghapusbukukan kredit macet dan selanjutnya
mempertanggung jawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Suatu kredit yang pada akhirnya telah ditetapkan sebagai kredit macet dapat
diputuskan untuk dihapusbukukan apabila telah memenuhi syarat-syarat
penghapusbukuan yang telah ditetapkan. Begitu juga di Bank BRI Unit Pangkalan
Kerinci Cabang Pekanbaru, dalam menangani kredit macet yang telah diputuskan
untuk dihapusbukukan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sebagaimana mestinya.
Pejabat yang berwenang untuk memutus penghapusbukan pinjaman serta
syarat-syarat yang dapat dihapusbukukan telah diatur dalam surat edaran direksi
Nokep : S.38-DIR/ADK/03/2001 tanggal 8 Maret 2001.42
Terjadinya penghapusbukuan kredit macet apabila telah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
A. Kredit Macet Diluar Kredit Tetap dan Kredit Pensiun
1) Syarat umum
Pada dasarnya yang dapat dihapusbukukan adalah semua fasilitas kredit atas
nama seorang debitur yang kolektibilkitasnya telah macet dan semua usaha
42 Wawancara, dengan Bapak M. Rafai, Kepala Bagian Kredit, PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) Unit Pangkalan Kerinci, Tanggal 19 Agustus 2010.
90
debitur yang dibiayai dengan fasilitas kredit tersebut benar-benar telah
macet. Dengan kata lain penghapusbukuan hanya dapat dilaksanakan
apabila kolektibilitas dari semua fasilitas yang dinikmati oleh seorang
debitur telah macet dan usha atau semua usaha yang dibiayai dengan
fasilitas terseut benar-benar macet. Penghapusbukuan terhadap sebagian dari
fasilitas kredit yang dinikmati seorang debitur tidak diperkenankan.
2) Syarat Khusus
Selain syarat umum diatas, suatu kredit dapat dihapusbukukan pabila telah
memenuhi salah satu, beberapa atau semua criteria sebagai berikut :
a. Telah diterbitkan surat keputusan kredit macet sebagai piutang Negara
yang untuk sementara belum dapat ditagih oleh BUPLN.
b. Dokomen jaminan lemah (bukti pemilikan dan pengikat tidak lengkap).
c. Hasil penjualan baik secara di bawah tangan atau hasil pelelangan tidak
dapat menutup seluruh kewajiban debitur.
d. Jaminan tidak laku minimal telah melalui 2 kali pelelangan BUPLN.
e. Debitur sudah tidak ada lagi atau tidak diketahui lagi alamatnya.
f. Debitur badan usaha telah dinyatakan pailit dengan pembuktian surat
putusan pailit dari pengadilan Negeri.
B. Kredit macet kredit tetap dan kredit pesiun
1) Syarat umum
Pinjaman kredit tetap dan kredit pension dapat dihapusbukukan apabila
telah dibukukan ke rekening
2) Syarat Khusus
91
Selain syarat umum diatas, kredit tetap dan kredit pension dapat
dihapusbukukan apabila telah memenuhi salah satu, beberapa atau semua
kriteria dibawah ini :
a. Debitur telah meninggal dunia tidak ada asuransi jiwa dan ahli waris tidak
mampu atau tidak mampu membayar.
b. Debitur tidak diketahui lagi alamatnya yang dibuktikan dengan surat
keterangan Lurah atau Kepala Desa setempat.
c. SK pensiun debitur palsu yang dibuktikan dengan berita acara pelaporan
kepolisian.
d. Debitur dikeluarkan atau dipecat dari dinas dan pesangon yang diterima
tidak cukup untuk menutup sisa kreditnya sesuai dengan surat keterangan
dari instansi yang bersangkutan.
Pada uraian diatas telah dijelaskan bahwa terhadap kredit macet yang telah
dihapusbukukan pada dasarnya dapat dihapusbukukan oleh pejabat pemutus
sesuai kewenangannya.
Sehubungan dengan hal diatas, maka perlu ditetapkan urutan prioritas pinjaman
yang akan dihapusbukukan sebagai berikut :
a. Dasar Aging Kolektibilitas
Kredit macet yang akan dihapusbukukan diprioritaskan untuk kredit yang
kolektibilitas macetnya lebih awal atau umurnya tertua.
b. Dasar Aging Jatuh Tempo
92
Jika tanggal kolektibilitas macet antara kredit yang satu dengan yang lainnya
sama, maka aging ditentukan oleh umur tertua menurut tanggal jatuh
temponya.
Prosedur Penghapusbukuan Kredit Macet
Apabila segala upaya penyelesaian kredit macet sudah dilakukan, namun
tidak membawa hasil yang diharapkan maka kredit dapat dihapusbukukan setelah
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Untuk selanjutnya kredit macet
yang telah dihapusbukukan tersebut dilaporkan kepada Dewan Komisaris dan
dipertanggungjawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Mengenai penghapusbukuan kredit macet oleh PT. Bank Rakyat Indonesia
(PERSERO) telah diatur dalam surat keputusan NOKEP : 5.48-DIR/ADK/10/96
tentang kewenangan memutus penghapusbukuan kredit macet.
1. Wewenang memutus penghapusbukuan kredit macet hanya berdasarkan pada
kewajiban debitur yang meliputi :
a. Pokok, dan
b. Biaya-biaya yang berhubungan dengan pinjaman yang di buku piutang
lainnya (dahulu : Piutang Ektern) antara lain : Pengikatan agunan, premi
asuransi, peningkatan hak dan ongkos perkara.
Pembagian wewenang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pemimpin Cabang
93
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya sampai dengan
jumlah Rp. 250 juta.
b. Pemimpin Wilayah
Memutus penghapusbukuankredit macet yang kewajibannya diatas Rp. 250
Juta sampai dengan jumlah Rp. 400 juta
c. Pemimpin Cabang Khusus
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya sampai dengan
jumlah Rp. 400 juta.
d. Komite Urusan PLK(yang anggotanya terdiri dari : Kepala Urusan, Wakil
Kepala urusan, Kabag PLK dan staff Urusan PLK).
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya di atas Rp.
400 juta samai dengan 1 Milyar.
e. Direktur Bidang PLK
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya diatas 1
Milyar sampai dengan jumlah 3 Milyar.
f. Direktur Bidag PLK dan Direktur Pengganti
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya di ats 3 Milyar
sampai dengan jumlah 15 Milyar.
g. Direktur Bidang PLK dan Direktur Pengganti serta Direktur Utama
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya diatas 15
Milyar sampai dengan 25 Milyar.
h. Semua Anggota Direksi
94
Memutus penghapusbukuan kredit macet yang kewajibannya diatas 25
Milyar.
2. Format putusan penghapusbukuan kredit macet mengacu pada Surat Urusan
PLK No : B.541-PLK/PKB?08/96, tanggal 21 Agustus 1996 dengan
tambahan informasi tentang CAP yang sudah dibuku dan Nilai agunan yang
dikuasai(AGYD) dari debitur yang bersangkutan sehingga dapat diketahui
beberapa beban CAP yang efektif utuk dipergunakan. Setiap putusan
penghapusbukuan kredit macet harus selalu dicantumkan syarat bahwa
penghapusbukuan kredit macet bersifat intern dan sangat rahasia, karena tidak
membebaskan debitur dari kewajibannya kepada BRI.
3. Jurnal pembukuan/angsuran kredit yang sudah dihapusbukukan mengacu pada
Surat Edaran Direksi BRI NOKEP : S.87-DIR/AKU/12/95, tanggal 14
Desember 1995 tentang akuntansi kredit yang dihapusbukukan dan
perubahannya.
Dasar penghapusbukuan kredit dapat terjadi karena :
1. Umur Tunggakan
Kredit yang umur tunggakannya baik pokok dan atau bunga telah melewati
360 hari (Kolektibilitasnya telah diklarifikasikan macet).
2. Alasan Khusus
Kredit yang dihapusbukukan dengan kiteria khusus sesuai persetujuan
Direksi.
3. Penyerahan ke Saluran Hukum
Kredit yang diserahkan penyelesaiannya melalui saluran hukum.
95
Dalam hal penghapusbukuan kredit merupakan kelanjutan dari tindakan
penyelesaian kredit dengan cara pengambilalihan agunan maka jumlah yang
dihapusbukukan adalah sebesar kewajiban debitur dikurangi dengan nilai bersih
yang dapat direalisasikan dari agunan yang diambil alih. Kredit serta tagihan
lainnya yang dihapusbuku tetap dicatat secara extracomtable, agar kewajiban
debitur tetap dapat diketahui setiap saat dalam rangka penagihan/pembuktian
kepada debitur.
Jumlah kredit yang dapat dihapusbukukan adalah sebesar bagian yang yang
tidak dapat tertagih. Agunan yang diambil alih sehubungan dengan penyelesaian
pinjaman diakui sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi. Penerimaan kedit yang
telah dihapusbukukan diakui sebagai penyesuaian terhadap penyisihan kerugian
sebesar nilai pokok. Jika penerimaan tersebut melebihi nilai pokoknya maka
kelebihan nilai tersebut diakui sebagai pendapatan bunga.
B. Akibat Penghapusbukuan atau Mandatory Write-off Terhadap Bank BRI
Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru.
Kredit yang telah dihapusbukukan adalah kredit yang secara akuntansi tela
dikeluarkan pencatatannya dari rekening aktiva BRI Unit, namun secara yuridis
kredit tersebut masih merupakan asset BRI Unit yang secara terus menerus tetap
harus ditagih pelunasannya dan harus diselesaikan oleh debitur yang
bersangkutan.
96
Kredit yang telah dihapusbukukan ini dicatat dalam Register Daftar Hitam
dan bersifat rahasia serta tidak boleh diberitahukan kepada kreditur. Kredit yang
telah dihapusbukukan, pengelolaan administrasinya dipisahkan sebagai berikut :
1. Register Kredit Daftar Hitam I
Register ini untuk mencatat dan memeliharakerjakan kredit yang
dihapusbukukan karena umur tunggakan dan alasan khusus.
2. Register Kredit Daftar Hitam II
Register ini untuk mencatat dan memeliharakerjakan kredit yang penagihannya
diserahkan melalui saluran hukum.
3. Register Kredit Daftar Hitam III
a. Register ini untuk mencatat dan memeliharakerjakan kredit yang akan dan
telah dihentikan penagihannya.
b. Bila menurut Kepala Unit seorang debitur yang tercatat dalam Register
Kredit Daftar Hitam I dan Register Kredit Daftar Hitam II sudah tidak bisa
diharapkan lagi pemasukannya, maka debitur tersebut atas dasar putusan
Pejabat Kredit Lini dapat dipeliharakerjakan dalam Register Kredit Daftar
Hitam III.
Mengenai akibat hukum penghapusbukuan kredit terhadap bank BRI Unit
Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru, bank tidak kehilangan kemampuan untuk
menagih piutang yang telah dihapusbukukan. Kerena sebagaimana yang telah
diuraikan di atas penghapusbukuan kredit merupakan pengeluaran kredit tersebut
dari pencatatannya direkening aktiva BRI Unit secara akuntansi namun secara
97
yuridis kredit tersebut masih merupakan asset BRI Unit yang tetap harus ditagih
pelunasannya dan harus diselesaikan oleh debitur yang bersangkutan.
Dan terhadap jaminan yang diberikan oleh debitur yang disini berupa Hak
Tanggungan atas tanah akan tetap berada dalam kekuasaan kreditur atau bank, dan
apabila bank tidak memerlukannya maka bank wajib mengalihkannya pada pihak
lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya dan apabila dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun tersebut perlu diperpanjang maka dapat dimintakan
perpanjangan waktunya kepada BPN setempat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan pada bank BRI Unit
Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru, maka dapat diambil kesimpulan dan saran
sebagai berikut :
1. Prosedur Pelaksanaan penghapusbukuan utang atau mandatory write-off
biasanya diawali dengan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur yang
akhirnya berkembang menjadi kredit bermasalah. Dan apabila kredit tersebut
benar-benar telah dinyatakan bermasalah dan telah dilakukan pula berbagai
upaya penyelesaian semaksimal mungkin sesuai dengan ketentuan yang
berlaku guna menyelamatkan kredit tersebut namun tetap tetap tidak
mendatangkan hasil maka setelah dikeluarkannya surat keterangan tentang
piutang Negara sementara belum dapat ditagih(PNSBDT) yang kemudian
98
diberitahukan kepada kreditur sebagai dasar untuk mengusulkan hapus buku
piutang dari pembukuan kreditur yang kemudian dilanjutkan dengan
melaporkannya kepada Dewan Komisaris dan dipertanggungjawabkan pada
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Penghapusbukuan kredit adalah
tindakan administratif bank untuk menghapus buku kredit macet dari neraca
sebasar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank pada debitur.
Jumlah kredit yang dihapusbukukan adalah sebesar bagian yang tidak dapat
tertagih. Agunan yang diambil alih sehubungan dengan penyelesaian
pinjaman diakui sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi.
2. Akibat hukum penghapusbukuan utang atau mandatory write off terhadap
Bank BRI Unit Pangkalan Kerinci Cabang Pekanbaru adalah meskipun secara
akuntansi kredit tersebut telah dikeluarkan pencatatannya dari rekening aktiva
BRI Unit namun secara yuridis kredit tersebut masih tetap merupakan asset
BRI Unit yang secara terus menerus tetap harus ditagih pelunasannya dan
harus diselesaikan oleh debitur yang bersangkutan. Kredit serta tagihan
lainnya yang dihapus buku tetap dicatat secara extracomtable, agar kewajiban
debitur dapat diketahui setiap saat dalam rangka penagihan/pembuktian
kepada kreditur.
Sedangkan terhadap barang agunan yang disini berupa Hak Tanggungan atas
tanah akan tetap berada di bawah kuasa bank sebagai kreditur. Dan apabila
bank tidak memerlukannya maka bank wajib mengalihkannya pada pihak lain
dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya dan apabila dalam jangka
99
waktu 1 (satu) tahun tersebut perlu diperpanjang maka dapat dimintakan
perpanjangan waktunya kepada BPN setempat.
B. Saran-saran
1. Dalam menangani pengajuan kredit hendaknya pihak BRI dapat melakukan
analisa secara benar, wajar dan teliti untuk menekan seminim mungkin
terjadinya kredit yang bermasalah. Dengan kata lain faktor 5 C harus benar-
benar diperhatikan.
2. Dalam melakukan pembinaan kredit harus dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan, yang dimulai sejak permohonan kredit sampai dengan
pelunasannya agar bermanfaat atau memberikan keuntungan baik bagi
debitur maupun pihak kreditur serta dapat memberikan arah agar kredit
yang diberikan digunakan sesuai dengan tujuannya dan juga dapat
mengidentifikasi kelemahan yang terjadi dalam proses pemberian kredit
serta mencari solusi untuk memperbaiki kelemahan yang ada.
100
DAFTAR PUSTAKA
Chalik. A, Pengantar Perkreditan, PT. Gramedia, Jakarta, 1991
Muljono Eugenia Liliawati, Tinjauan Yuridis Undang-undang no 4 Tahun 1996
dalam Kaitannya dengan Pemberian kredit oleh Perbankan, Harvindo,
Jakarta, 2003
Widjaja Gunawan dan Yani Ahmad, Jaminan Fiducia, Ctk Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001
Hasibuan. H.Malayu SP, Dasar-dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, 2004
Siegel .Joel G, Aspek Utang Dalam Perjanjian Kredit, PT. Gramedia, Jakarta,
1994
Wuisman. J.J. M, Dikutip dalam S. Mantayborbir, System Hukum Pengurusan
Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004
101
Muljadi Kartini - Widjaja Gunawan, Hak Tanggungan, Ctk Pertama, Prenada
Media, Jakarta, 2005
Badrulzaman Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Abadi Bakti,
Bandung, 1991
Badrulzaman Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Abdi Bakti,
Bandung, 2001
SU. Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonisia, Yogyakarta,2002
Bachtiar Maryati, Hukum Perikatan, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas
Riau, Pekanbaru, 2007
Sinungan Muchdarsyah, Dasar-dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Bumi
Aksara, Jakarta, 1991
Harahap M.Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986
Subekti. R, Hukum Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989
Subekti. R, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesembilanbelas, Jakarta, 2002
Subekti. R, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia, Ctk Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989
1995
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI
Press), Jakarta, 1986
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Ctk Kedua, Alfabeta,
Bandung, 2004
102
Sofwan Sri Soedewi Masjohoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Liberti Offset,
Yogyakarta, 1981
Amirin Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000
Suyatno Thomas, dkk, Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia, Jakarta, 1990
Djohan Warman, Kredit Bank, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2000
Projodikoro Wiryono, Hukum Perdata Tentang Perstujuan-persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, 1981
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tantang Perbankan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, Tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 302/kmk.01 Tahun 2002
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
103