skripsi - core.ac.uk fileskripsi kebijakan plain packaging ditinjau dari hak kekayaan intelektual...

149
SKRIPSI KEBIJAKAN PLAIN PACKAGING DITINJAU DARI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL OLEH: REVICA ADHANI B111 10 318 PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: hoanglien

Post on 22-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI

KEBIJAKAN PLAIN PACKAGING DITINJAU DARI HAK

KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) DAN PENGARUHNYA

TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL

OLEH:

REVICA ADHANI B111 10 318

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

i

HALAMAN JUDUL

KEBIJAKAN PLAIN PACKAGING DITINJAU DARI HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL (HKI) DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

OLEH:

REVICA ADHANI

B 111 10 318

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana

dalam Program Kekhususan Hukum Internasional

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii

iii

iv

v

ABSTRAK

Revica Adhani (B111 10 318), Kebijakan Plain Packaging Ditinjau

Dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Pengaruhnya Terhadap

Perdagangan Internasional dibawah bimbingan Juajir Sumardi dan

Maskun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan kemasan polos

(plain packaging) pada kemasan rokok tembakau serta pengaruh

kebijakan tobacco plain packaging terhadap perdagangan internasional.

Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library search)

dengan memilih perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS (Universitas

Hasanuddin) dan perpustakaan Pusat UNHAS sebagai tempat penulis

mendapatkan buku-buku literatur sebagai referensi penelitian.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kemasan polos (plain

packaging) adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia

yang diatur melalui The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang

diberlakukan sejak Desember 2012 dengan tujuan untuk mengurangi

konsumsi rokok tembakau. Namun, penerapan kebijakan mendapatkan

berbagai tantangan terutama dari negara-negara produsen rokok karena

dianggap melanggar hak-hak kekayaan intelektual. Penetapan kebijakan

plain packaging dinilai melanggar ketentuan hukum World Trade

Organization (WTO). Penelitian ini menganalisis ketentuan-ketentuan

WTO yang dilanggar oleh undang-undang The Tobacco Plain Packaging.

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.

Puja dan puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT

atas berkat dan rahmat-Nya beserta nikmat rezeki-Nya berupa kesehatan

dan kesempatan waktu sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi

sebagai syarat untuk menyelesaikan studi strata satu, Penulis menyadari

bahwa sepenuhnya hanya dengan petunjuk-Nyalah sehingga semua

hambatan dan kesulitan dapat terlewati. Tak lupa pula Penulis haturkan

shalawat dan salam kepada Baginda Muhammad sebagai Rasulullah

SAW beserta keluarga yang dimuliakan oleh Allah SWT yang dimana

telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang

benderang seperti saat ini.

Tak lupa pula Penulis haturkan banyak terima kasih yang tak

terhingga serta sembah sujud kepada kedua Orang tua Penulis Ayahanda

Agus Made Ali, SP dan Ibunda Ida Afrida yang tiada hentinya mendidik

dan membesarkan serta senantiasa mengingatkan dan menasihati

Penulis, dan memberikan doa yang tiada henti dalam setiap shalat untuk

selalu melindungi dan menyertai langkah Penulis dalam menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Selain kedua orang tua pada kesempatan ini

vii

penulis ingin menyampaikan kesyukurannya atas Saudara-Saudari

Penulis yang tiada hentinya menjadi motivator terbesar dalam hidup

Penulis, Refky Abdillah, S.Hut., Refka Afrizal, S.Hut., Resqy Amaliyah,

S.H., Redita Chaeria Tappa, S.M., Renita Chaeria Tappa, S.Pd.,

kesemuanya yang senantiasa membantu Penulis saat mengalami

kesulitan baik dalam mental maupun fisik serta menjadi teman dalam

suka maupun duka.

Pada kesempatan ini pula, Penulis menghaturkan banyak terima

kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pubulu, M.A selaku Rektor Universitas

Hasanuddin.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku

Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dr.

Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, dan Dr. Hamzah Halim, S.H.,

M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

3. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H,.M.H selaku pembimbing I dan Dr.

Maskun, S.H,. LL.M. selaku pembimbing II yang dengan sabar

viii

meluangkan waktu serta pikiran dan ilmunya untuk membimbing

Penulis.

4. Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, S.H,.MH, Dr. Laode Abd.

Gani, S.H,.MH, dan Birkah Latif, S.H., M.H., LL.M sebagai penguji

yang memberikan konstribusi konstruktif dalam tugas akhir

Penulis.

5. Segenap Dosen-Dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga

bagi Penulis.

6. Segenap Pegawai bagian akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang memberikan bantuan selama pengurusan berkas

Penulis.

Dan akhirnya Penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih

kepada setiap pihak yang ikut mengambil andil dalam penyelesaian tugas

akhir skripsi ini, Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam

Penulisan skripsi ini sehingga setidaknya dapat memberikan sedikit

manfaat bagi setiap pembaca.

Makassar, 27 Juli 2017

Revica Adhani

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ........................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 7 C. Tujuan dan Manfaat .............................................................................................. 7

1. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 7 2. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Kakayaan Intelektual (HKI) ............................................................................. 9

1.Defenisi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ............................................................. 9 2. Sejarah HKI ......................................................................................................... 12

a. Sejarah HKI dalam hukum internasional ....................................................... 12 b. Sejarah HKI di Indonesia ............................................................................... 15

3. Jenis - Jenis HKI................................................................................................... 18 a. Hak Cipta ......................................................................................................... 18 b. Paten ............................................................................................................... 19 c. Merek .............................................................................................................. 19 d. Desain Industri ................................................................................................ 20 e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu .................................................................. 20 f. Rahasia Dagang ................................................................................................ 21 g. Perlindungan Varitas Tanaman ....................................................................... 22

B. Plain Packaging ...................................................................................................... 23

1. Pengertian Plain Packaging ................................................................................ 23

x

2. Sejarah Plain Packaging ...................................................................................... 24

C. Perdagangan Internasional ................................................................................... 25 1. Pengertian perdagangan internasional .............................................................. 25 2. WTO dan WIPO dalam perdagangan internasional ........................................... 28

a. WTO (World Trade organization) .................................................................... 28 b. WIPO (World Intellectual Property Organization) .......................................... 34

D. Konvensi-konvensi internasional terkait HKI........................................................... ............................................................. 36

1. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994 ....................................... 36 2. Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) ....... 37 3. Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement) ................................. 38

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ...................................................................................................... 42 B. Jenis dan Sumber Data ............................................................................................. 42 C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................................... 43 D. Teknik Analisis Data ................................................................................................. 43

BAB IV PEMBAHASAN A. Penerapan Plain Packaging Pada Kemasan Rokok Ditinjau dari HKI ....................... 44 B. Upaya Hukum Bagi Negara Produsen Rokok Terhadap Plain Packaging Ditinjau

Dari Perdagangan Internasional .............................................................................. 78 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 104 B. Saran ........................................................................................................................ 105

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 106

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan Internasional merupakan salah satu bagian dari

kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia usaha terhadap

kegiatan bisnis internasional juga semakin meningkat, hal ini terlihat

dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan

tenaga kerja antar negara. Kegiatan bisnis dapat terjadi melalui

hubungan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan

waralaba (license and franchise), hak atas kekayaan intelektual; atau

kegiatan-kegiatan bisnis lainnya yang terkait dengan perdagangan

internasional, seperti perbankan, asuransi, perpajakan, dan

sebagainya. Untuk mendukung terlaksananya kegiatan bisnis

antarnegara diperlukan suatu instrumen hukum dalam bentuk

peraturan-peraturan, baik nasional maupun internasional seperti

hukum perdagangan internasional (international trade law).1

Dalam pelaksanaan perdagangan internasional pengaturan

hukum (legal regulation) sangat diperlukan, baik pengaturan terkait

langsung dengan perdagangan internasional maupun peraturan

1 Muhammad Sood, 2011 Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 1

2

sebagai pendukung perdagangan internasional. Peraturan-peraturan

tersebut antara lain menyangkut bea masuk (tariff) dan nontariff, kuota

ekspor, hak atas kekayaan intelektual, investasi, perdagangan jasa,

masalah lisensi dagang dan franchise (waralaba), masalah

pembiayaan yang berhubungan dengan sektor perbankan, asuransi,

kepabeanan, perpajakan; dan masalah-masalah lain yang menyangkut

kepentingan nasional negara pengekspor maupun pengimpor, seperti

masalah lingkungan hidup, pertumbuhan industri kecil dan sebagainya.

Norma-norma tersebut merupakan bagian dari kajian dari hukum

perdagangan internasional, yakni kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang kegiatan perdagangan atau perniagaaan antara suatu negara

dengan negara lain yang berkaitan dengan perpindahan barang, jasa,

tenaga kerja modal dan merek dagang.2

Dalam perdagangan internasional, perjanjian internasional

merupakan suatu sumber hukum internasional yang sangat penting

dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui

perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerja sama

mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai

masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia

yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara

2 Ibid, hlm 12

3

yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada

satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan

internasionalnya.

Perjanjian internasional yang pada hakikatnya merupakan

sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen

yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau

subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama.

Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut

merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan

negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.

Oleh karena itu perjanjian merupakan perbuatan hukum maka

ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan

demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian

internasional ialah bahwa ia dibuat oleh subjek hukum internasional,

pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya

mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.3

Dalam hukum perdagangan internasional, khususnya terkait

mengenai hak kekayaan intelektual, Agreement on Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), Paris Convention, dan

Berne Convention merupakan beberapa perjanjian-perjanjian

3.Boer mauna, 2013, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika

Global, Bandung, P.T. Alumni, Hlm. 82.

4

internasional yang mengatur aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual

yang terkait dengan perdagangan.

Di dalam hak cipta (Copyright), terkandung hak-hak eksploitasi

atau hak-hak ekonomi (economic rights) dan hak-hak moral (moral

rights). Hak-hak ekonomi atau hak-hak eksploitasi memungkinkan

seseorang memilikinya dan mengeksploitasinya sedemikian rupa untuk

memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, sehingga perlu

dilindungi secara memadai karena terkandung di dalamnya nilai

ekonomis sebagai hasil intelektual seseorang. Oleh karena itu, jika

tidak dikelola secara tertib berdasarkan seperangkat kaidah-kaidah

hukum, dapat menimbulkan sengketa antara pemilik hak cipta dengan

pengelola (pemegang) hak cipta atau pihak lain yang melanggarnya.

Untuk pengaturannya diperlukan seperangkat ketentuan-ketentuan

hukum yang efektif dari segala kemungkinan pelanggaran oleh mereka

yang tidak berhak atas hak cipta yang dimiliki seseorang.4

Pada tahun 2011, pemerintah Australia menerbitkan peraturan

tentang The Tobacco Plain Packaging Act dalam rangka berusaha

membatasi penjualan rokok dan produk tembakau dinegaranya. Sejak

tahun 2012, semua rokok yang diproduksi di negara tersebut memiliki

kemasan yang sama, polos tanpa gambar, slogan, maupun merek.

4 Eddy Damian, 1999, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-

Undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitnya, Bandung, Penerbit Alumni, Hlm 8.

5

Lahirnya kebijakan kemasan polos ini menimbulkan

kekhawatiran bagi negara-negara produsen rokok termasuk Indonesia.

Apabila Australia menerapkan peraturan tersebut dikhawatirkan akan

berdampak pada perdagangan internasional produk tembakau. Sebab

langkah pemerintah Australia tentang kebijakan tersebut bukan tidak

mungkin akan diikuti oleh negara-negara lain.

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara penghasil

rokok kretek terbesar, memprotes keras tentang aturan baru tersebut.

Tak hanya Indonesia yang tidak setuju dengan Tobacco Plain

packaging act, tetapi juga negara Ukraina, Honduras, Republik

Dominika dan Kuba.5 Kelima negara tersebut telah mengajukan

gugatan terhadap Australia ke WTO dengan mengklaim bahwa

Australia telah melanggar aturan perdagangan internasional dan tidak

menghargai hak kekayaan intelektual.6 Kebijakan Plain Packaging

dianggap diadopsi tanpa bukti ilmiah atau analisis. Peraturan tersebut

juga akan merangsang munculnya produk-produk palsu dan rokok

ilegal yang diperdagangkan.

5.Triana Marchelina, Plain Packaging For Indonesia, Medicalogy, diakses dari

https://www.medicalogy.com/blog/plain-packaging-for-indonesia-are-we-ready-yet/, pada tanggal 10 mei 2017 pukul 12.03

6 Ria Yohana, kajian hukum terhadap kebijakan kemasan polos rokok di australia merugikan

perusahaan tembakau, Academia.edu, diakses dari https://www.academia.edu/12879938/Kajian_Hukum_terhadap_Kebijakan_Kemasan_Polos_Rokok_di_Australia_Merugikan_Perusahaan_Tembakau, pada tanggal 17 April 2017 pukul 01.38

6

Adapun concern atau isu yang diangkat antara lain plain

packaging dinilai tidak sesuai dengan ketentuan pada Article 2.2 TBT

Agreement dan Article 20 TRIPs Agreement serta tidak adanya bukti

empiris dapat menurunkan jumlah perokok. Indonesia meminta

keempat negara tersebut tidak mengimplementasikan kebijakan plain

packaging sebelum adanya keputusan dari Dispute Settlement Body –

DSB terhadap kasus Plain Packaging Australia yang diajukan oleh

Indonesia, Ukraina, Honduras, Republik Dominika, dan Kuba.7

7 Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kebijakan plain packaging for tobacco and food label menjadi sorotan negara anggota WTO (laporan rangkaian sidang komite TBT, tanggal 4-6 November 2014), diakses dari http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5640/kebijakan#.V2-EQyGy3Mw, pada tanggal 26 November 2016 pukul 16.23

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan

sebelumnya maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan plain packaging pada kemasan rokok

ditinjau dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ?

2. Bagaimana upaya hukum bagi negara produsen rokok terhadap

plain packaging ditinjau dari Perdagangan Internasional ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penerapan plain packaging pada kemasan

rokok ditinjau dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

b. Untuk mengetahui upaya hukum bagi negara produsen rokok

terhadap Plain Packaging ditinjau dari perdagangan internasional.

2. Manfaat Penelitian

a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran

dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum

internasional di bidang hukum hak kekayaan intelektual (HKI) dan

hukum perdagangan internasional.

8

b. Diharapkan memberikan informasi kepada mahasiswa dan para

akademisi dalam melakukan penelitian berikutnya terkait penelitian

ini.

c. Bagi masyarakat, diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang

bermanfaat untuk pengetahuan seputar hukum hak kekayaan

intelektual (HKI) dan hukum perdagangan internasional.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

1. Defenisi HKI

Kekayaan intelektual merupakan kreatifitas yang dihasilkan

dari olah pikir manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dan

kesejahteraan hidup manusia. Kreatifitas manusia yang muncul

sebagai aset intelektual seseorang telah lama memberi pengaruh yang

signifikan terhadap peradaban manusia, antara lain melalui penemuan-

penemuan (inventions) dan hasil-hasil di bidang karya cipta dan seni

(art and literary work). Semakin berkembang kreatifitas seseorang

maka semakin berkembang juga peradaban manusia. Berawal dari

pemahaman bahwa perlunya satu bentuk penghargaan khusus

terhadap karya intelektual seseorang dan hak yang muncul dari karya

itu, konsep Hak Kekayaan Intelektual berkembang. Hingga pada

dasarnya konsep Hak Kekayaan Intelektual sendiri merupakan bentuk

penghargaan dari hasil kreativitas manusia, baik dalam bentuk

penemuan-penemuan (inventions) maupun hasil karya cipta dan seni

10

(art and literary work), terutama ketika hasil kreativitas itu digunakan

untuk tujuan komersial.8

Hak kekayaan intelektual yang disingkat HKI adalah padanan

kata yang biasa digunakan untuk intellectual property rights (IPR),

yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan

suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya

HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomi hasil suatu kreativitas

intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang

timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Secara garis besar HKI dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta

(copyright) dan hak kekayaan industri (industrial property rights) yang

mencakup paten (patent), desain industri (industrial design), merek

(trademark), penanggulangan praktik persaingan curang (repression of

unfair competition), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of

integrated circuit), dan rahasia dagang (trade secret).9

Pada HKI terdapat hak eksklusif, yaitu hak yang hanya dimiliki oleh

pemilik HkI dan tidak seorang pun berhak menikmatinya tanpa izin

pemiliknya. Hak eksklusif mencakup ekonomi dan hak moral. Hak

ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas HKI

yang dimilikinya, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada

8 Kholis Roisah, 2015, Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Sejarah, Pengertian dan

Filosofi Pengakuan HKI dari masa ke masa, Malang, Setara Press, Hlm. 1 9 Muhamad Firmansyah, 2008, Tata Cara Mengurus HaKI, Jakarta, Visimedia, Hlm. 7

11

pemilik HKI berupa hak atas keutuhan karya serta hak namanya tetap

dicantumkan sebagai pencipta HKI. Perbedaan antara kedua hak

tersebut adalah dalam hal pengalihannya. Hak ekonomi dapat

dialihkan kepada pihak lain, sedangkan hak moral tidak dapat dialihkan

kepada pihak lain.10

Hak kekayaan intelektual bersifat eksklusif dan mutlak, artinya

bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun dan yang

mempunyai hak tersebut dapat menuntut terhadap pelanggaran yang

dilakukan oleh siapapun. Pemegang hak atas kekayaan intelektual

juga mempunyai hak monopoli, yaitu hak yang dapat dipergunakan

dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaan/

penemuannya ataupun menggunakannya.

Kemampuan intelektual manusia yang berupa daya cipta, rasa dan

karsanya menghasilkan karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni,

dan teknologi. Karya-karya intelektual dilahirkan dengan pengorbanan

waktu bahkan biaya dan melalui pengorbanan ini menjadikan karya

yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang melekat sebagai

konsekuensi menjadi kekayaan (Property), bilamana melalui karya-

karya tersebut dapat diperoleh manfaat ekonomi yang nantinya bisa

dinikmati. HKI baru muncul bilamana hasil intelektual manusia tersebut

10 Hadi Setia Tunggal, 2011, Pokok-Pokok Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Jakarta,

Harvarindo, Hlm. 7

12

telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca maupun

digunakan secara praktis.11

2. Sejarah HKI

a. Sejarah HKI dalam hukum internasional

Sejarah HKI tidak dapat dilepaskan dari tiga cabang utama HKI

yaitu Merek, Paten dan Hak Cipta. Merek seperti yang dikenal selama

ini sebenarnya melewati proses perjalanan yang sangat panjang. Usia

merek sama lamanya dengan usia dari perdagangan itu sendiri. Di

masa lampau, untuk membedakan produk baju atau gerabah dari

seorang pedagang dengan produk sejenis dari pedagang yang lain,

digunakan kata atau simbol dengan maksud sebagai tanda pembeda.

Di China, India, Persia, Mesir, Roma, Yunani dan tempat-tempat

lainnya, tanda-tanda berupa nama pengrajin sudah digunakan sebagai

merek sejak 4000 tahun yang lalu.

Pada masa lampau, sejenis tanda yang juga berfungsi seperti

merek telah lama digunakan oleh para pedagang untuk membedakan

asal barang yang diperdagangkan. Beberapa cara digunakan oleh para

pedagang pada masa itu diantaranya dengan member tanda resmi

11 Kholis Roisah, Op.cit., Hlm 9

13

(hallmark). Cara ini banyak diterapkan oleh para tukang emas, tukang

batu, tukang perak dan alat-alat pemotong.12

Untuk mewujudkan hubungan perdagangan internasional,

negara-negara yang memenangkan perang telah berusaha untuk

membentuk Internasional Trade Organization (ITO). Akan tetapi,

pembentukan ITO mengalami kegagalan karena Amerika Serikat tidak

mendukungnya. Sebagai gantinya dibentuk The General Agreement on

Tariffs and Trade (GATT). Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal

30 Oktober 1947 oleh 8 (delapan) negara, yaitu Australia, Belgia,

Kanada, Prancis, Luxemberg, Belanda, Inggris (United Kingdom), dan

Amerika Serikat. Kegagalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih

banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat,

khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.

Dalam perkembangannnya, negara-negara anggota GATT

mengadakan perundingan Putaran Uruguay di Jenewa dengan

menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal

15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan Putaran

Uruguay yang mulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del

Este. Final Act Uruguay Round secara resmi ditanda-tangani di

12 Tomi Suryo Utomo, 2014, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian

Kontemporer, Yogyakarta, Graha Ilmu, Hlm 3

14

Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia.

Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentuk

World Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT,

perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa,

serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual. 13

Tonggak sejarah pengaturan di bidang hak kekayaan

intelektual dengan diadakannya Konferensi Diplomatik tahun 1883 di

Paris yang menghasilkan perjanjian internasional mengenai

perlindungan Hak Milik Perindustrian atau disebut Paris Convention for

The Protection on Industrial Property-Paris Convention. Tiga tahun

kemudian di Bern dihasilkan juga perjanjian internasional di bidang

Perlindungan Hak Cipta yaitu International Convention for The

Protection of Literary and Artistic Work (Bern Convention) dan juga

dihasilkan persetujuan yang lain disamping revisi terhadap kedua

konvensi tersebut. Revisi terakhir tarhadap kedua konvensi tersebut

dilakukan tahun 1967 untuk Konvensi Paris dan tahun 1971 untuk

Konvensi Bern.14

Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan

yang sangat pesat dalam tatanan internasional dan bahkan menjadi

13 Ibid,hlm 40 14 Kholis Roisah, Op.cit., Hlm. 2

15

salah satu isu pada era globlisasi dan liberalisasi sekarang ini.

Khususnya sejak disepakatinya perjanjian internasional tentang Aspek-

aspek Hak Kekayaan Intelektual dalam perdagangan (Trade Related

Aspects of Intellectual Property Right-TRIPs Agreement) yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian tentang Pendirian

World Trade Organization (WTO) yang telah diratifikasi oleh 150 lebih

negara di dunia.15

b. Sejarah HKI di Indonesia

Secara historis, peraturan yang mengatur HKI di Indonesia,

telah ada sejak tahun 1840-an. Pada tahun 1885, UU Merek mulai

diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan

disusul dengan diberlakukannya UU Paten pada tahun 1910. Dua

tahun kemudian, UU Hak Cipta (Auteurs Wet 1912) juga diberlakukan

di Indonesia. Untuk melengkapi peraturan perundang-undangan

tersebut, pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia memutuskan untuk

menjadi anggota Konvensi Paris pada tahun 1888 dan disusul dengan

menjadi anggota Konvensi Berne pada tahun 1914.

Di jaman pendudukan Jepang, peraturan di bidang HKI

tersebut tetap diberlakukan. Kebijakan pemberlakuan peraturan HKI

15 Ibid, Hlm. 3

16

produk Kolonial ini tetap dipertahankan saat Indonesia mencapai

kemerdekaan pada tahun 1945, kecuali UU Paten (Octrooi Wet).

Adapun alasan tidak diberlakukannya uu tersebut adalah karena salah

satu pasalnya bertentangan dengan kedaulatan RI. Di samping itu,

Indonesia masih memerlukan teknologi untuk membangun

perekonomian yang masih dalam taraf perkembangan. 16

Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HKI itu kita

temukan dalam undang-undang Indonesia, yaitu tentang Hak Cipta

diatur UU No. 19 Tahun 2002, tentang Merk diatur dalam UU No. 15

Tahun 2001, dan tentang Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001.

Pada tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya UU Paten dan

Merek yang baru, Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan

baru yang tercakup dalam bidang perlindungan hak atas kekayaan

intelektual di samping paten dan merek yang sudah lebih dulu

disahkan yaitu UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No.

31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No. 32 Tahun 2000

tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

16 Tomi Suryo Utomo, Op.cit., Hlm. 6

17

Dengan demikian saat ini terdapat perangkat UU HAKI

Indonesia, yakni:

1. Hak Cipta diatur dalam UU No.19 Tahun 2002

2. Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001

3. Merek diatur dalam UU No. 15 tahun 2001

4. Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam UU No. 29

Tahun 2000

5. Rahasia dagang diatur dalam UU No. 30 tahun 2000

6. Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000, dan

7. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun

2000.17

Disamping peraturan perundang-undangan nasional, selain

ratifikasi GATT 1994, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa

konvensi atau traktat internasional antara lain Konvensi Paris yang

diratifikasi melalui Keppres No. 15 Tahun 1997, Patent Cooperation

Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 16 Tahun 1997, Trade

Mark Law Treaty Ratifikasi melalui Keppres No. 17 Tahun 1997,

Konvensi Bern yang diratifikasi melalui Keppres No. 18 Tahun 1997

17 Ok. Saidin, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),

Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hlm 16

18

serta WIPO Copyrights Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 19

Tahun 1997.18

3. Jenis-Jenis HKI

Pengklasifikasian berdasarkan hukum nasional di Indonesia

tidak sepenuhnya mendasarkan pada instrumen internasional,

walaupun dari sisi norma menyesuaikan dengan ketentuan persetujuan

TRIPs. Klasifikasian tersebut meliputi:

1. Hak Cipta dan Hak Terkait

2. Paten

3. Merek

4. Desain Industri

5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

6. Rahasia Dagang

7. Perlindungan Varitas Tanaman19

a. Hak Cipta

Yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi

pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam

bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang antara lain dapat terdiri

dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain

yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta. Rekaman

18 Ibid, Hlm 17 19 Kholis Roisah, Op.cit., hlm 11

19

suara dan/atau gambar pertunjukkan seorang pelaku (performer),

misalnya seorang penyanyi atau penari di atas panggung, merupakan

hak terkait yang dilindungi hak cipta.20

b. Paten

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 14 tahun 2001,

paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor

atas hasil invensinya dibidang teknologi,yang untuk selama waktu

tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan

persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Hak yang diperoleh melalui paten adalah hak khusus untuk

menggunakan invensi yang telah dilindungi paten serta melarang pihak

lain melaksanakan invensi tersebut tanpa persetujuan dari pemegang

paten. Oleh karena itu, pemegang paten harus mengawasi haknya

agar tidak dilanggar oleh pihak lain.21

c. Merek

Merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasikan suatu produk atau perusahaan

dipasaran. Pengusaha biasanya berusaha mencegah orang lain

menggunakan merek mereka karena dengan menggunakan merek,

20 Tim Lindsey, dkk, 2013, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung, P.T.Alumni, Hlm

6 21 Ibid, Hlm. 183

20

pada para pedagang memperoleh reputasi baik dan kepercayaan dari

para konsumen serta dapat membangun hubungan antara reputasi

tersebut dengan merek yang telah digunakan perusahaan secara

regular. Semua hal diatas tentunya membutuhkan pengorbanan waktu,

tenaga dan uang.22

d. Desain Industri

Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk,

konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna,

atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua

dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam

pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk

menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan

tangan.23

e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Lain dari desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu

(layout designs of integrated circuits) merupakan desain yang berkaitan

dengan sirkuit terpadu. Sebagai hasil kreasi pikiran, DTLST memiliki

unsur karya intelektual yang telah disepakati secara internasional

seperti tertuang dalam Treaty in Intellectual Property in Respect of

22 Ibid, Hlm. 131 23 Ibid, Hlm. 220

21

Integrated Circuits 1989 atau dikenal pula sebagai Washington

Treaty.24

f. Rahasia Dagang

Hukum rahasia dagang melindungi hampir semua jenis

informasi yang bernilai komersial jika informasi tersebut dikembangkan,

dan dijaga, dalam sebuah acara yang bersifat rahasia. Tidak ada

batasan berapa lama informasi tersebut akan dilindungi.25

Dasar pemikiran untuk perlindungan informasi rahasia dagang

berdasarkan perjanjian TRIPs adalah sama dengan dasar pemikiran

untuk perlindungan bentuk HKI yang lain, seperti hak cipta, paten,

desain atau merek. Yaitu menjamin pihak yang melakukan investasi

untuk mengembangkan konsep, ide, dan informasi yang, bernilai

komersial dan memperoleh manfaatdari investasi itu dengan

memperoleh hak eksklusif untuk menggunakan konsep atau informasi,

maupun untuk mencegah pihak lain menggunakan atau

mengungkapkan informasi tersebut tanpa izin.

Perlindungan hukum atas informasi rahasia juga mendorong

usaha dan pengembangan komersial dengan menjamin pihak

24 Achmad Zen Umar Purba, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung, P.T. ALUMNI,

Hlm. 79 25 Tim Lindsey, dkk, Op.cit., Hlm. 9

22

pengusaha mengembangkan pengetahuan, konsep dan informasi yang

dimilikinya, daripada hanya mencuri atau meniru karya pihak lain.26

g. Perlindungan Varitas Tanaman

Seperti halnya perlindungan desain dan paten, peraturan

mengenai perlindungan varitas tanaman bertujuan untuk menciptakan

keseimbangan antara kepentingan para pemulia tanaman yang telah

menemukan varitas tanaman baru dengan pemakai dan konsumen

dari jenis varitas tanaman baru tersebut.27

Untuk melengkapi peraturan di bidang HKI, pada tanggal 20

Desember tahun 2000 pemerintah mengundangkan UU Perlindungan

Varitas Tanaman. Alasan utama diundangkannya perlindungan varitas

tanaman adalah untuk mendorong para peneliti di bidang pemuliaan

tanaman meningkatkan hasil penelitiaannya sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian Indonesia yang memiliki

daya saing tinggi dipasar global.28

26 Ibid, Hlm. 238 27 Ibid, Hlm. 230 28 Ibid, Hlm. 231

23

B. Plain Packaging

1. Pengertian Plain Packaging

Kemasan polos tembakau (plain packaging), juga dikenal

sebagai kemasan generik, standar atau homogen, merujuk pada

kemasan yang memerlukan penghapusan semua merek (warna, citra,

logo perusahaan dan merek dagang), yang memungkinkan produsen

untuk mencetak hanya nama merek dalam ukuran, font dan posisi

pada bungkusan yang telah ditentukan. Selain peringatan kesehatan

dan informasi lainnya yang diamanatkan secara hukum seperti

konstituen beracun dan perangko pajak. Munculnya semua paket

tembakau standar termasuk warna kemasan.29

Australia menjadi pelopor untuk memerangi rokok, akhir 2012

dengan memaksa semua produk rokok dinegara tersebut melepaskan

semua elemen penting dari sebuah produk: merek dagang, warna

kemasan, dan bentuk huruf khas yang menjadi identitas produk rokok.

Sebagai gantinya, rokok dikemas dalam kotak berwana hijau zaitun

gelap – warna yang terbukti secara ilmiah sebagai warna yang paling

tidak menarik bagi calon pembeli – sementara paling sedikit 75%

bagian depan kemasan dan 90% bagian belakang kemasan dipenuhi

29Wikipedia,Plain Tobacco packaging, diakses dari

https://en.wikipedia.org/wiki/Plain_tobacco_packaging#History pada tanggal 29 November 2016 pukul 14.47

24

dengan peringatan mengenai bahaya merokok bagi kesehatan dalam

bentuk tulisan dan gambar.30

2. Sejarah Plain Packaging

Plain packaging bermula dari kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintahan presiden Amerika Serikat, Obama melalui Family

Smoking Prevention and Tobacco Control Act. Pemerintahan Obama

berjuang untuk menyelamatkan kehidupan warga negara AS melalui

pengurangan ketergantungan terhadap produk tembakau serta

mencegah ketertarikan (attractiveness) terhadap rokok khususnya para

usia muda. Alasan pemberlakuan regulasi tersebut telah didukung

dengan data-data ilmiah dari WHO yang menyebutkan bahwa hampir

5000 penduduk di negara tersebut kehilangan nyawa disebabkan

karena konsumsi produk tembakau. Kebijakan tersebut

mempresyaratkan perusahaan rokok untuk menyampaikan daftar

produk rokok yang dijual atau di impor ke AS, melakukan publikasi

terhadap kandungan nikotin yang terkandung dalam produk rokok,

memperbesar kemasan peringatan rokok sebesar 50%, serta

menetapkan penggunaan term “mild and light” bagi produk rokok

tertentu.

30Hertriani Agustine, “Kemasan Polos Rokok”, Suara Karya, diakses dari

http://m.suarakarya.id/2016/04/05/kemasan-polos-rokok.html, pada tanggal 1 Desember 2016 pukul 00.45

25

Efek dari kebijakan tersebut memicu negara lain seperti

Canada, Turkey, India, New Zealand, Australia, Perancis, United

Kingdom (UK), serta Irlandia membuat regulasi dengan legitimate

objective yang sama namun di fokuskan pada kemasan rokok polos

(plain packaging).31 Sebelumnya kasus sengketa tentang kebijakan

rokok AS memberikan hasil baik bagi Indonesia, karena Dispute

settlement Body (DSB) WTO memutuskan bahwa AS bersalah dan

melakukan diskriminasi atas rokok kretek Indonesia.32

Pada tahun 2010, Pemerintah Australia mengumumkan bahwa

akan memperkenalkan undang-undang yang mengatur mengenai

pengemasan produk tembakau yang mulai diterapkan pada 1 Januari

2012. Pada tahun 2011, parlemen Australia mengesahkan the tobacco

plain packaging act 2011 yang mana merupakan pengaturan mengenai

pengemasan produk tembakau pertama didunia.

C. Perdagangan Internasional

1. Pengertian Perdagangan Internasional

Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum

yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup

luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat

mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari

31 Badan Standarisasi Nasional (BSN), Op.cit. 32 Loc.cit

26

barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian,

perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang

yang kompleks.33

Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek

hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang

internasional. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan

internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk

menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti

dalam sejarah perkembangan dunia.34

Istilah perdagangan internasional (International Trade) atau

disebut dengan perdagangan antar bangsa-bangsa, pertama kali

dikenal di Benua Eropa yang kemudian berkembang di Asia dan Afrika.

Negara-negara yang terhimpun dalam kegiatan perdagangan

internasional membentuk suatu persetujuan dagang dan tarif (General

Agreement on Tariff and Trade/GATT). Kemudian GATT berkembang

menjadi suatu organisasi perdagangan internasional yang sekarang ini

lebih dikenal dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade

Organization/WTO).35

Istilah perdagangan internasional sebenarnya adalah kegiatan

pertukaran barang, jasa, dan modal antar penduduk suatu negara

33 Huala Adolf, 2009, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada, hlm 1 34 Loc.cit 35 Muhammad Sood, Op.cit, hlm 17

27

dengan penduduk negara lain. Adapun pengertian umum dari

perdagangan internasional adalah kegiatan-kegiatan perniagaan dari

suatu negara asal yang melintasi perbatasan menuju suatu negara

tujuan yang diberlakukan oleh perusahaan untuk melakukan

perpindahan barang dan jasa, modal tenaga kerja, teknologi (pabrik)

dan merek dagang.

Dapat dikatakan bahwa perdagangan internasional tidak

berbeda dengan pertukaran barang antar dua orang di suatu negara,

perbedaannya adalah bahwa perdagangan internasional orang yang

satu kebetulan berada di negara yang berbeda. Dengan demikian,

perdagangan internasional merupakan perdagangan dari suatu negara

ke lain negara di luar perbatasan negara yang meliputi dua kegiatan

pokok. Kedua kegiatan tersebut adalah kegiatan ekspor dan impor

yang hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan

kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, dalam melakukan kegiatan

perdagangan internasional para pelaku bisnis mengacu kepada

kaidah-kaidah hukum yang bersifat internasional, baik ketentuan

hukum perdata internasional (private international law) maupun

ketentuan hukum publik internasional (public international law).

Kaidah hukum yang mengatur masalah perdagangan

internasional yang disebut dengan hukum perdagangan internasional,

28

adalah kaidah hukum internasional yang mengatur tentang pertukaran

barang, jasa maupun modal antarpenduduk dari suatu negara dengan

negara lainnya, atau yang terjadi antardua atau lebih waga atau

penduduk (subjek hukum) yang berbeda negara.36

2. WTO dan WIPO Dalam Perdagangan Internasional

a. WTO (World Trade Organization)

World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari putaran

Uruguay GATT (1986-1994). Organisasi ini memiliki kedudukan yang

unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB.

Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama

negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948),

yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional

(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau

ITO).37

Hukum dasar WTO dapat dibagi dalam 5 kategori, yaitu

peraturan mengenai non-diskriminasi; peraturan mengenai akses

pasar; peraturan mengenai perdagangan yang tidak adil; peraturan

mengenai hubungan antara liberalisasi perdagangan dan nilai-nilai

serta kepentingan sosial lainnya; dan peraturan mengenai

36 Ibid, hlm 18 37 Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, Rajawali Pers, Hlm. 36

29

harmonisasi perangkat hukum nasional dalam bidang-bidang khusus.

WTO Agreement terdiri atas 16 bab dan menjelaskan secara lengkap

fungsi-fungsi WTO perangkat-perangkatnya, keanggotaannya dan

prosedur pengambilan keputusan. Selain itu dalam perjanjian singkat

ini juga terlampir sembilan belas perjanjian internasional yang

merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO Agreement.

Perjanjian-perjanjian ini terdiri atas:

1. Perjanjian-perjanjian multilateral atas perdagangan barang

(Lampiran1A, terdiri: General Agreement on Tariffs and Trade

1994 (Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan 1994,

yang selanjutnya disebut GATT 1994), (lihat bagian 2.2, 2.4, 3.3,

3.4, 4.2, 4.3, 5.2, 5.4, 5.5, | 5.6 dan 5.7); dan

2. Dua belas perjanjian mengenai aspek-aspek khusus dalam

perdagangan barang, seperti:

a. Agreement on Agriculture (Perjanjian dalam bidang Pertanian)

(lihat 4.3 dan 5.5);

b. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary

Measures (Perjanjian mengenai Penerapan Tindakan Sanitasi

dan Phytosanitasi) yang selanjutnya disebut SPS Agreement,

lihat bagian 6.3;

30

c. Agreement on Technical Barries to Trade (Perjanjian mengenai

Hambatan-hambatan Teknis dalam perdagangan) selanjutnya

disebut TBT Agreement), lihat bagian 6.2;

d. Agreement on Implementation of Article VI of the General

Agreement on Tariffs and Trade 1994 (perjanjian mengenai

Penerapan Pasal VI GATT 1994) selanjutnya disebut Anti-

Dumping Agreement, lihat bagian 4,2;

e. Agreement on subsidies and Countervailing Measures

(Perjanjian mengenai Subsidi dan Tindakan Imbalan),

selanjutnya disebut SCM Agreement, lihat bagian 4.3; dan

f. Agreement on Safeguards (Perjanjian mengenai Safeguards);

g. General agreement on Trade in Service (Perjanjian mengenai

Perdagangan di bidang Jasa, selanjutnya disebut GATS,

Lampiran 1B, lihat bagian 2.3, 2.5, 3.5, 5.3, 5.4, dan 5.6;

3. Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property

Rights (Perjanjian mengenai aspek-aspek yang berhubungan

dengan perdagangan Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya

disebut TRIPS Agreement, Lampiran 1C, lihat bagian 6.4;

4. Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement

of Disputes (pengertian mengenai Peraturan dan Prosedur yang

31

mengatur Penyelesaian Sengketa), selanjutnya disebut DSU,

lampiran 2, lihat bagian 8.1-8.5;

5. Trade Policy Review Mechaism (Mekanisme Penilaian Kebijakan

Perdagangan), selanjutnya disebut TPRM, Annex 3, lihat bagian

7.2;

6. Dua perjanjian plurilateral mengenai pengadaan pemerintah

(government procurement) dan perdagangan pesawat sipil (trade

in civil aircraft), lampiran 4).

Perjanjian-perjanjian pada Lampiran 1, 2, dan 3 adalah

perjanjian multilateral dan mengikat seluruh anggota WTO. Lampiran

4 berisi dua perjanjian plurilateral yang hanya mengikat anggota WTO

yang secara tegas telah menyetujui. WTO Agreement terdiri lebih dari

25.000 halaman, termasuk lampiran-lampirannya.38

WTO sebagai organisasi internasional memiliki tiga lembaga

yang berbeda secara fungsional tetapi terintegrasi secara sistemik

dimana yang pertama adalah membuat seperangkat aturan hukum,

kedua membangun sistem dan ketiga mengatur komunitas atau

member state. Untuk perangkat aturan hukum bahwa WTO telah

memiliki perjanjian yang terdiri dari 500 halaman dilengkapi dengan

2000 halaman tentang skedul komitmen.

38 Ade Maman Suherman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian

Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm 33

32

Sistem hukum perdagangan internasional harus sejalan

dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan hukum tentang

perjanjian internasional serta tentunya kesemuanya harus merupakan

suatu bangunan yang harmonis, sehingga memiliki validitas hukum

secara sah dalam konteks hukum internasional. Prinsip-prinsip dasar

hukum internasional diantaranya adalah kesamaaan kedaulatan

negara, asas iktikad baik, kerja sama internasional dan kewajiban

untuk menyelesaikan sengketa secara damai. WTO menghormati

terhadap prinsip hukum internasional, dan ketika itu pula WTO

mengadaptasi diri dengan realitas perdagangan internasional.

Dengan demikian, tatanan hukum internasional dalam

penyatuannya dengan perdagangan internasional, WTO telah

menghasilkan suatu sistem hukum yang unik. Memang terdapat

perdebatan doktrinal berkaitan dengan otonomi hukum ekonomi

internasional,namun keberadaaan GATT dan WTO telah banyak

dipengaruhi oleh hukum internasional secara umum sebagai contoh:

WTO memegang prinsip kesamaan kedaulatan setiap negara atau the

sovereign equality of states dan kewajiban untuk menyelesaikan

sengketa secara damai atau the obligation to settle disputes

peacefully.39

39 Ibid, hlm 44

33

Tujuan WTO (yang pada pokoknya juga merupakan tujuan

GATT seperti termuat dalam Annex 1a) adalah meningkatkan standar

hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full-

employment), memperluas produksi dan perdagangan serta

menafaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.

Tujuan-tujuan tersebut diperluas pula guna melaksanakan

kegiatan-kegiatan berikut:

1. WTO memperkenalkan pemikiran “pembangunan

berkelanjutan” (sustainable development) dalam pemanfaatan

sumber kekayaan dunia dan kebutuhan untuk melindungi serta

melestarikan lingkungan yang sesuai dengan tingkat-tingkat

pembangunan ekonomi yang berbeda-beda;

2. WTO mengakui adanya upaya-upaya positif guna mendapat

kepastian bahwa negara-negara sedang berkembang, dan

khususnya negara-negara kurang beruntung, mendapatkan

bagian perkembangan yang lebih baik dalam perdagangan

internasional40

40 Huala Adolf, 1998, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm 97

34

a. WIPO (World Intellectual Property Organization)

World Intellectual Property Organization (WIPO) adalah badan

yang secara internasional mengurus masalah HKI. WIPO dibentuk

pada tahun 1967 melalui forum konvensi yang diberlakukan secara

resmi oleh PBB. WIPO dikukuhkan untuk dapat menjadi badan khusus

yang mampu memberdayakan dan mengembangkan HKI ditingkat

internasional, guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi

negara-negara anggotanya.

Pada prinsipnya, peran penting yang diemban oleh WIPO

adalah agar dapat menjalankan mandat, akibat adanya tuntutan dari

para anggotanya untuk melindungi berbagai subjek HKI yang dimiliki

oleh negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Dan

agar dapat mencapai keseimbangan dalam aspek perlindungan

hukum, melalui kolaborsi dengan organisasi internasional lainnya

seperti pihak WHO, UNINDO, dan WTO.

Tujuan dari didirikannya WIPO adalah untuk dapat mendorong

tumbuh dan berkembangnya subjek HKI di tingkat internasional

secara seimbang. Antar subjek HKI yang dimiliki oleh negara maju

maupun negara berkembang, melalui stimulus pemberian reward hasil

kreativitas yang dimiliki oleh suatu negara. Persetujuan Umum

Mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement onTariff and

35

Trade) yang biasa disingkat dengan GATT merupakan suatu

perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948,

di mana tujuan pokoknya ialah untuk menciptakan pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat

manusia. Lebih lanjut GATT bertujuan untuk menjaga upaya agar

perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka supaya arus

perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatan-

hambatan dalam bentuk tarif maupun nontarif.41

Pembentukan WIPO berdasarkan atas convention establishing

the world intellectual property organization. Adapun tugas-tugas WIPO

dalam bidang HKI, yaitu : Mengurus kerja sama administrasi

pembentukkan perjanjian atau traktat internasional dalam rangka

perlindungan hak kekayaan intelektual; mengembangkan dan

melindungi hak kekayaan intelektual diseluruh dunia; mengadakan

kerja sama dengan organisasi internasional lainnya, mendorong

dibentuknya perjanjian atau traktat internasional yang baru dan

memodernisasi legislasi nasional, memberikan bantuan teknik kepada

negara berkembang, mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi,

serta mengembangkan kerja sama administrasi diantara negara-

negara nggota.

41 Syahmin AK, 2006, Hukum Dagang Internasional, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, hlm 41

36

D. Konvensi-konvensi internasional terkait HKI

1. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994

GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. General Agreement

on Tariff and Trade/GATT (Persetujuan umum mengenai tarif dan

perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan

tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu

menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna

mewujudkan kesejahteraan umat manusia.

Dari segi tujuan, GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk

memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas, adil, dan

menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjuangkan

penurunan tafir bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan

perdagangan lainnya.

Sebagai tatanan multilateral yang memuat prinsip-prinsip

perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa

hubungan perdagangan antar negara dilakukan tanpa diskriminasi

(non diskriminasi). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam

GATT tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi

negara tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang

sama dan timbal balik dalam hubungan perdagangan internasional.

GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota

37

dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul

dibidang perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai

forum penyelesaian sengketa dibidang perdagangan antara negara-

negara perserta.42

2. Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights

(TRIPs Agreement)

TRIPs, (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)

merupakan perjanjian internasional dibidang HKI terkait perdagangan.

Perjanjian ini merupakan salah satu kesepakatan di bawah organisasi

perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization) yang

bertujuan menyeragamkan sistem HKI diseluruh negara anggota WTO.

TRIPs merupakan rezim peraturan HKI dengan objek perlindungan

paling luas dan paling ketat. Pelaksanaan TRIPs, dilengkapi dengan

sistem penegakan hukum serta penyelesain sengketa. Dengan

disetujuinya undang-undang akhir putaran Uruguay (GATT) pada

tanggal 15 Desember 1993 lalu dan diratifikasi bulan April di Maroko

oleh 117 negara, maka berlaku pulalah persetujuan TRIPs ini yang

merupakan bagiannya, bagi para anggotanya termasuk Indonesia.43

42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement

Establishing the World Trade Organization ( Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

43 Ok. Saidin, Op.cit, Hlm. 205

38

Adapun TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan

hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi,

peralihan, serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama

pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara

menciptakan kesejahteraan social dan ekonomi serta keseimbangan

antara hak dan kewajiban. Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan

hambatan dalam perdagangan internasional, dengan mengingat

kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan

memadai terhadap hak milik intelektual tidak kemudian menjadi

penghalang bagi perdagangan yang sah.44

3. Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement)

Persetujuan WTO tentang Hambatan Teknis untuk

Perdagangan ("Perjanjian TBT") mulai berlaku pada tanggal 1 Januari

1995 sebagai salah satu perjanjian WTO di bawah Lampiran 1A dari

Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Perjanjian

TBT memperkuat dan mengklarifikasi ketentuan "Kode Standar" -

Perjanjian Bundaran Terakhir Tokyo yang keempat plurilateral 1979

tentang Hambatan Teknis terhadap peraturan dan standar yang

mengatur Perdagangan.

44 Ibid, Hlm. 209

39

Perjanjian TBT mengikat semua anggota WTO. Ini berbagi

banyak prinsip dasarnya dengan kesepakatan WTO lainnya -

nondiskriminasi, mempromosikan prediktabilitas akses ke pasar, dan

bantuan teknis dan perlakuan khusus dan berbeda untuk negara-

negara berkembang dalam pelaksanaan Persetujuan ini. Namun,

Perjanjian TBT juga mencakup fitur yang spesifik untuk persiapan dan

penerapan peraturan yang mempengaruhi perdagangan barang:

sangat mendorong penggunaan standar internasional, dan

menekankan pada kebutuhan untuk menghindari hambatan

perdagangan yang tidak perlu. Selain itu, berisi ketentuan terperinci

untuk memperjelas keseluruhan proses persiapan, penerapan dan

penerapan langkah-langkah TBT (siklus hidup peraturan). Ketentuan

ini - bersama dengan panduan yang dikembangkan oleh anggota

secara bertahap demi selangkah - telah memungkinkan Perjanjian TBT

menjadi instrumen multilateral yang unik untuk menangani peraturan

terkait perdagangan.

Perjanjian TBT adalah bagian dari kategori yang lebih luas dari

kesepakatan WTO yang menangani tindakan non-tarif (NTMs). NTM,

yang mencakup peraturan teknis, standar dan prosedur penilaian

kesesuaian, memberikan WTO sejumlah tantangan. Di satu sisi,

pemerintah mengandalkan NTM untuk mencapai tujuan kebijakan

40

publik, termasuk perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan -

fakta bahwa perdagangan terpengaruh adalah konsekuensi normal

dan sah dari peraturan tersebut. Di sisi lain, NTM dapat digunakan

untuk melindungi produsen dalam negeri dari pesaing asing, atau

mungkin juga perdagangan yang tidak perlu dibatasi. Selain itu, NTM

seringkali secara teknis kompleks, kurang transparan dan lebih sulit

dihitung daripada tarif.

Perjanjian TBT dirancang dengan cermat dengan tantangan-

tantangan ini. Disiplinnya membantu anggota WTO membedakan

antara motivasi "yang sah" dan proteksionis untuk tindakan TBT.

Dengan demikian, Perjanjian merupakan alat penting untuk

meningkatkan koherensi dan saling mendukung antara perdagangan

terbuka, di satu sisi, dan kebijakan internal yang digunakan negara

untuk mencapai tujuan kebijakan publik, di sisi lain. Singkatnya, disiplin

Perjanjian TBT dimaksudkan untuk membantu pemerintah mencapai

keseimbangan antara menegakkan tujuan kebijakan peraturan yang

sah dan menghormati disiplin utama. Perdagangan multilateral

berdasarkan peraturan WTO, termasuk menghindari terciptanya

hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.

Perjanjian Teknis Hambatan untuk Perdagangan (TBT)

bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan teknis, standar, dan

41

prosedur penilaian kesesuaian tidak diskriminatif dan tidak

menimbulkan hambatan perdagangan yang tidak perlu. Pada saat

yang sama, perjanjian ini mengakui hak anggota WTO untuk

menerapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan kebijakan yang

sah, seperti perlindungan kesehatan dan keselamatan manusia, atau

perlindungan lingkungan. Perjanjian TBT sangat mendorong anggota

untuk mendasarkan tindakan mereka pada standar internasional

sebagai sarana untuk memfasilitasi perdagangan. Melalui ketentuan

transparansi, perjanjian TBT juga bertujuan untuk menciptakan

lingkungan perdagangan yang dapat diprediksi.45

45 World Trade Organization, The Wto Agreement Series (Technical Barriers to Trade) diakses dari

https://www.wto.org/english/res_e/publications_e/tbttotrade_e.pdf pada tanggal 12 April 2017 pukul 0:12

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis

menggunakan penelitian kepustakaan dengan memilih perpustakaan

Fakultas Hukum UNHAS (Universitas Hasanuddin) dan perpustakaan

pusat UNHAS sebagai tempat penulis mendapatkan buku-buku

literatur yang menunjang penulisan skripsi ini.

B. Jenis Dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini, dibutuhkan data yang dapat

digunakan untuk menganalisa masalah yang akan dihadapi serta

menghasilkan kesimpulan yang objektif

Dalam penyusunan skripsi ini, data yang diperoleh adalah

data sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan

dokumentasi dan bahan tertulis lainnya yang terkait dengan hukum

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hukum perdagangan

internasional. Serta jurnal-jurnal internasional yang diambil dari

internet.

43

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis

dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library Research), yakni

dengan cara mempelajari beberapa buku, artikel, dokumen-dokumen,

browsing di internet, serta literatur-literatur lainnya yang membantu

secara relevan selama proses pembuatan skripsi ini.

D. Teknik Analisis Data

Setelah data berhasil dikumpulkan yang diperoleh dari

penelitian kepustakaan, maka data tersebut akan diolah dan dianalisis

secara kualitatif. Hasil akhirnya akan dipaparkan untuk mendapatkan

hasil yang bersifat deskriptif.

44

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Penerapan Plain Packaging Pada Kemasan Rokok Ditinjau

Dari HKI

Seperti yang telah dijelaskan secara singkat pada bab tinjauan

pustaka sebelumnya bahwa kebijakan plain packaging merupakan

kebijakan dimana kemasan polos diterapkan pada kemasan rokok.

Kemasan rokok ini diharuskan untuk seluruh produk tembakau

dibungkus dalam kemasan yang berwarna hijau. Hanya menampilkan

satu jenis huruf dan mengharuskan penghapusan logo merek, logo

perusahaan,merek dagang, serta warna khas kemasan digantikan

dengan menampilkan gambar grafis dari seorang perokok yang

menderita penyakit parah akibat merokok.

Negara Indonesia sendiri, dalam usaha untuk melindungi

masyarakatnya dari dampak negatif mengkonsumsi rokok, Pemerintah

Indonesia mengeluarkan undang-undang untuk mengatur tentang

kemasan rokok.

Dimana setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor

produk tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan

45

peringatan kesehatan46. Peringatan kesehatan adalah gambar dan

tulisan yang memberikan informasi mengenai bahaya rokok47.

Peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan yang harus

mempunyai satu makna yang tercetak menjadi satu dengan kemasan

produk tembakau dan bukan merupakan stiker yang ditempelkan pada

kemasan produk tembakau.48

Pencantuman peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan

tulisan dalam kemasan produk tembakau dimaksudkan untuk

mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat tentang

bahaya akibat penggunaan produk tembakau secara lebih produktif.

Kemasan sendiri dijelaskan dalam undang-undang nomor 109 tahun

2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa

produk tembakau bagi kesehatan bahwa :

“Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus produk tembakau baik yang bersentuhan langsung dengan produk tembakau maupun tidak.”

Pada kemasan rokok pasal 14, pasal 15 ayat 1 dan pasal 17

merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai pencantuman

peringatan berupa tulisan dan gambar.

46 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Pasal 3 (1) 47 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Pasal 1 48 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Pasal 3 (4)

46

Pasal 14

(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.

(2) Peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk gambar dan tulisan yang harus mempunyai satu makna.

(3) Peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercetak menjadi satu dengan kemasan produk tembakau.

Pasal 15

(1) Setiap 1 (satu) varian produk tembakau wajib dicantumkan gambar dan tulisan peringatan kesehatan yang terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, dengan porsi masing-masing 20% (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian produk tembakaunya.

Pasal 17

(1) Gambar dan tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam 15 dicantumkan pada setiap kemasan terkecil dan kemasan lebih besar produk tembakau.

(2) Setiap kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan 1 (satu) jenis gambar dan tulisan peringatan kesehatan .

(4) Pencantuman gambar dan tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) Dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar

bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40% (empat puluh persen), diawali dengan kata “peringatan dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan

47

dasar hitam, harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya;

(b) Gambar sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dicetak berwarna; dan

(c) Jenis huruf harus menggunakan huruf arial bold dan font 10 (sepuluh) atau proporsional dengan kemasan, tulisan warna putih di atas latar belakang hitam.

(5) Gambar dan tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak boleh tertutup oleh apapun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.49

Dengan dilahirkannya Undang-undang ini bertujuan sebagai

langkah mengendalikan masyarakat dalam mencegah dan mengurangi

konsumsi rokok tembakau.

Bahaya akibat penggunaan produk tembakau sendiri telah

lama menjadi perhatian dunia. Dalam upaya menangani masalah

konsumsi rokok, perintah Australia sebagai salah satu peserta dalam

konvensi FCTC, mengeluarkan aturan mengenai kemasan rokok.

Yakni dua undang-undang dan satu peraturan berlaku untuk kebijakan

kemasan polos Australia. Yaitu Undang-undang Kemasan polos50,

Undang-Undang Kemasan Merek Dagang (Tembakau)51, dan

49Undang-Undang nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat

Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan 50 Tobacco Plain Packaging Act (2011) No. 148, Australia 51 Trade Marks Amandement (Tobacco Plain Packaging) Act (2011) No. 149 Australia

48

Peraturan Pembungkus Tembakau Tobacco52. Undang-undang ini

mengubah kemasan dan penampilan produk tembakau dengan

mewajibkan pengecer untuk mengadopsi kemasan karton standar,

diwarnai sesuai peraturan (hijau zaitun atau Pantone 448C), dan

gambar yang diperintahkan.

Nama merek dan varian tetap tercantum pada kemasan,

dengan batasan tertentu, namun tidak dengan merek dagang.

Kemasan yang dihasilkan, lengkap dengan gambar yang diamanatkan,

didesain tidak menarik dan mengejutkan. Tujuan yang dinyatakan dari

aturan ini adalah untuk mengurangi daya tarik dari produk tembakau

kepada konsumen dengan meningkatkan efektivitas peringatan

kesehatan pada kemasan eceran produk tembakau dan mengurangi

kemampuan kemasan eceran produk tembakau untuk menyesatkan

konsumen tentang efek berbahaya dari merokok atau penggunaan

produk tembakau.53

Berdasarkan hasil penulusuran dalam menjawab rumusan

masalah pertama penulis menemukan kasus yang sangat berkaitan

dengan pokok masalah yang akan dibahas untuk memperjelas analisis

penulis, berikut uraian posisi kasus dan hasil analisis penulis:

52 Tobacco Plain Packaging regulations (2011) No. 263, Australia 53 Holly Jarman, Attack on Australia: Tobacco Industry challenges To Plain Packaging, Journal of

Public Health Policy, vol 34, 3, 375-387

49

1. Posisi Kasus

Plain Packaging sebagaimana diatur dalam Tobacco Plain

Packaging Act 2011 menjelaskan undang-undang tersebut mengacu

pada kemasan ritel produk tembakau serta bungkus rokok dan karton

rokok54. Bagian 4 dari undang-undang berisi berbagai definisi dan

memberikan arti berikut untuk persyaratan ini:

a. Rokok

Rokok berarti gulungan tembakau potong untuk merokok, terlampir di kertas.

b. Karton rokok

Karton rokok berarti wadah untuk penjualan eceran yang berisi wadah yang lebih kecil dimana rokok langsung ditempatkan.

c. Bungkus rokok

Bungkus rokok berarti wadah untuk penjualan eceran di mana rokok langsung ditempatkan.

d. Wadah

Wadah termasuk (tanpa batasan) paket, karton, kotak, timah, Paket, tas, kantong, tabung atau wadah lainnya.

e. Kemasan eceran

Kemasan eceran produk tembakau berarti:

(a). wadah untuk penjualan eceran dimana produk tembakau langsung ditempatkan; atau

54 Tobacco Plain Act 2011, No. 148 section 4

50

(b). wadah untuk penjualan eceran yang berisi wadah yang lebih kecil di mana produk tembakau ditempatkan langsung; atau (c) pembungkus plastik atau lainnya yang mencakup kemasan eceran produk tembakau (sesuai dengan paragraph (a) Atau (b) definisi ini); atau (d) pembungkus plastik atau pembungkus lainnya yang mencakup produk tembakau, menjadi produk tembakau yang dijual secara eceran; atau (e) setiap sisipan yang ditempatkan di dalam kemasan ritel Produk tembakau (sesuai dengan arti dari paragraf (a) Sampai (d) definisi ini); atau (f) setiap onsert yang ditempelkan atau dilampirkan ke ritel Kemasan produk tembakau (sesuai dengan makna apapun Dari paragraf (a) sampai (d) definisi ini).

f. Produk tembakau

Produk tembakau berarti tembakau olahan, Atau produk

apapun itu Mengandung tembakau, bahwa:

(a) diproduksi untuk digunakan untuk merokok, mengisap, mengunyah atau menghirup; dan

(b) tidak termasuk dalam Australian Register of Therapeutic Barang dipelihara berdasarkan Undang-Undang Barang Terapeutik 1989.55

Bab dua (2) dari Undang-Undang tersebut56 menetapkan

berbagai batasan yang ditempatkan pada kemasan eceran produk

tembakau dan produk yang terdapat dalam kemasan tersebut.

55 Tobacco Plain Act 2011, No. 148 section 4 56 Tobacco Plain Act 2011, No. 148 section 18, 19 dan 20

51

Pembatasan ini ditempatkan pada fitur fisik dari kemasan dan lapisan

dan pembungkusnya, pewarnaan kemasannya, serta setiap merek

dagang pada kemasan atau produk tembakau itu sendiri.

Pembatasan Fitur Fisik

Batasan berikut harus ditempatkan pada fitur fisik kemasan

ritel:

a. Permukaan dalam dan luar kemasan tidak boleh memiliki dekoratif,

hiasan timbul atau penyimpangan bentuk atau tekstur lainnya, atau

hiasan-hiasan lainnya selain yang diizinkan oleh regulasi dan semua

perekat dan perekat yang digunakan harus tidak berwarna dan

transparan.

b. Paket rokok dan karton rokok hanya boleh dibuat dari karton kaku

saja, berbentuk persegi panjang saat ditutup dan memiliki tepinya

lurus. Pembulatan, memiringkan atau pembentukan tepi dan

penambahan hiasan-hiasan lainnya dilarang secara khusus. Kantong

rokok diizinkan untuk memiliki strip berlubang untuk memungkinkan

karton dibuka dan mana yang meninggalkan gerigi di tepi karton saat

dibuka.

c. Secara khusus sehubungan dengan paket Rokok terdapat dimensi

paket yang ditentukan oleh regulasi dan kemasannya harus dibuka

dengan tutup flip atas yang bergantung pada bagian belakang dan

52

atas paket, sekali lagi pembulatan, pembengkakan dan penghias tepi

dan Di dalam bibir pembukaan dilarang. Setiap lapisan yang ada di

dalam kemasan hanya bisa dibuat dari kertas timah yang didukung

oleh kertas. Peraturan mengizinkan lapisan kemasan bertekstur

melalui embossing dari titik-titik kecil atau kuadrat tapi semua harus

jaraknya rapat dan seragam dan dengan ukuran yang seragam tetapi

tidak boleh membentuk gambar atau simbol atau merupakan iklan

tembakau atau promosi.

Pembatas akhir warna dan permukaan

Pembatasan berikut ditempatkan pada permukaan luar dan

dalam dari kemasan eceran dan lapisan rokok apapun:

1. selesai permukaan harus selesai matt.

2. Terlepas dari peringatan kesehatan dan teks dari setiap merek,

nama perusahaan atau nama varian dari produk, warna permukaan

luarnya adalah Pantone 448C (hijau zaitun), permukaan dalam putih

dan lapisan perak dengan punggung berwarna putih.

3. Tanda kalibrasi warna diizinkan tampil pada kemasan. Pembungkus

yang mencakup kemasan eceran juga hanya diijinkan untuk

transparan dan tidak berwarna tanpa tekstur atau hiasan. Strip

pembuka untuk membuka pembungkusnya harus benar-benar hitam

53

atau bening dan transparan sehingga huruf hitam solid bisa digunakan

untuk menunjukkan di mana tempatnya. Ukuran garis dan strip

pembuka juga ditentukan.

Rokok itu sendiri hanya diijinkan untuk menjadi putih atau putih

dengan ujung gabus imitasi. Ujung filter rokok tidak boleh diwarnai dan

harus berwarna putih.

Pembatasan Merek Dagang

Sementara pembatasan secara efektif membatasi

penggunaan warna, bentuk dan merek dagang tiga dimensi, Undang-

undang ini juga menempatkan batasan spesifik pada penggunaan

merek dagang dan tanda. Satu-satunya merek dagang atau merek

yang diizinkan tampil di kemasan ritel adalah nama merek, bisnis atau

perusahaan untuk produk tembakau dan variannya.

Nama varian adalah nama seperti "mentol" yang digunakan

untuk membedakan produk tembakau dari produk tembakau lainnya

yang mungkin dijual dengan merek dagang yang sama.

Tanda atau tanda dagang hanya diperbolehkan muncul di

permukaan depan, bawah dan bawah bungkus rokok atau permukaan

depan atau ujung karton rokok. Tidak ada merek dagang atau tanda

yang diizinkan pada bungkus yang menutupi kemasan ritel.

54

Merek dagang hanya diizinkan tampil satu kali pada masing-

masing permukaan ini, hanya dalam satu baris dan berada secara

horizontal di bawah peringatan kesehatan di bagian depan paket dan

berpusat di dalam ruang yang tersedia di lokasi itu, atau di sisi lain.

Permukaan secara horisontal dan berpusat pada ruang pada

permukaan itu. Jika ada varian namanya maka ini harus segera di

bawah merek, bisnis atau nama perusahaan.

Nama merek, bisnis, nama perusahaan atau variannya harus

ada dalam font Lucida Sans dan tidak lebih dari 14 poin atau 10 poin

untuk variannya. Tidak ada pembengkokan atau pembobotan font

yang diizinkan dan hanya huruf pertama dari setiap kata yang

diizinkan untuk dibuat. Tulisannya wajib ada di Pantone Cool Grey 2C.

Undang-undang tersebut juga menyebutkan tanda asal yang

dapat digunakan untuk membedakan asal produk. Tanda semacam ini

hanya bisa berupa kode alfanumerik atau tanda tersembunyi yang

tidak terlihat oleh mata. Posisi dan pencetakan tanda semacam ini

dibatasi dengan cara yang sama dengan merek dagang meskipun

tanda asal hanya ada di sisi atau bawah kemasan.

Tidak ada merek dagang atau tanda yang diizinkan untuk

produk tembakau itu sendiri. Meskipun Peraturan mengizinkan kode

55

alfanumerik untuk dipakai di rokok satu kali dengan batasan font,

warna dan ukuran. Kode alfanumerik tidak diizinkan untuk:

1. Jadilah atau mengizinkan akses terhadap iklan atau promosi

tembakau misalnya alamat web;

2. Berkaitan dengan kualitas rokok seperti hasil tarnya;

3. Menyesatkan tentang efek kesehatan rokok, bahaya atau emisi; dan

4. Mewakili atau terkait dengan cara apapun terhadap merek atau

varian nama rokok.

Memperhatikan bahwa Undang-undang tersebut tidak

memberikan informasi spesifik tentang persyaratan kode alfanumerik,

berapa lama dan berapa rasio jumlah dan huruf yang harus

digunakan, jika ada.

Dan juga dilarang agar setiap bagian dari kemasan eceran

membuat keributan atau menghasilkan aroma yang bisa dijadikan

iklan tembakau atau promosi57

Tujuan dari The Australia Tobacco Plain Packaging Act 2011

sendiri menyatakan sebagai suatu langkah dalam rangka peningkatan

57 Holly Jarman, Attack on Australia: Tobacco Industry challenges To Plain Packaging, Journal of

Public Health Policy, vol 34, 3, 375-387

56

kesehatan masyarakat, antara lain dengan cara mengurangi jumlah

individu yang akan memulai merokok dan mengkonsumsi produk

tembakau.58

Lahirnya Undang-undang kebijakan kemasan polos rokok

tembakau Australia ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi negara-

negara produsen rokok.

Menurut Direktur Jendral Kerja Sama Perdagangan

Intenasional (KPI), Bachrul Chairi menganggap kebijakan tersebut

telah mencederai hak anggota WTO dibawah perjanjian trade-related

aspects of intellectual property rights (TRIPs).

Menurut negara penggugat, konsumen memiliki hak untuk

mengetahui produk yang akan dikonsumsi. Sementara disisi lain,

produsen juga memiliki hak untuk menggunakan merek dagangnya

secara bebas.

Kebijakan Australia dalam mencapai tujuan dari kebijakannya

tersebut melalui penerapan kemasan polos produk rokok, dianggap

tidak melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas merek dagang.59

58 Tobacco Plain Packaging Act 2011, Section 3(1) 59Kukuh Bhimo Nugroho, Gerah Gara-Gara Polos, Review Weekly, diakses dari

http://www.majalahreviewweekly.com/read/145/gerah-gara-gara-polos, pada tanggal 11/05/17

57

1. Merek

Dalam perdagangan internasional merek sebagai salah satu

bentuk hak kekayaan intelektual mempunyai peranan penting dalam

perdagangan dikarenakan merek digunakan untuk membedakan asal-

usul mengenai produk barang dan jasa. Sebuah merek dapat menjadi

kekayaan yang sangat berharga secara komersial dan seringkali

mereklah yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bahkan

bernilai lebih.

Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan

peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan

perdagangan dan penanaman modal. Merek sebagai aset perusahaan

akan dapat menghasilkan keuntungan keuntungan besar bila

didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengolahan

manajemen yang baik..60

Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat

menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi

barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. Apabila

dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai jaminan hasil

60 Jisia Mamahit, Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan Barang Dan Jasa, diakses

dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/download/3040/2585 pada tanggal 14/05/2017 pukul 22:06

58

produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping untuk promosi

barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar.

Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan

pilihan-pilihan barang yang akan dibeli. Perlindungan merek secara

khusus diperlukan mengingat merek sebagai sarana identifikasi

individual terhadap barang dan jasa merupakan pusat “jiwa” suatu

bisnis, sangat bernilai dilihat dari berbagai aspek.61

Undang-undang merek telah mengalami perubahan, baik

diganti maupun direvisi karena nilainya sudah tidak sesuai dengan

perkembangan keadaan dan kebutuhan. Pada akhirnya, pada tahun

2001 diundangkanlah undang-undang no. 15 tahun 2001 tentang

merek. Undang-undang merek ini merupakan hukum yang mengatur

perlindungan merek di Indonesia. Undang-undang tersebut merupakan

produk hukum terbaru dibidangn merek sebagai respon untuk

menyelesaikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar

internasional yang termuat dalam pasal 15 perjanjian TRIPs, sebagai

pengganti undang-undang sebelumnya yaitu undang-undang no. 14

61 Prasetyo Hadi Purwandoko, Problematika Perlindungan Merek di Indonesia, diakses dari

https://prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-indonesia/ pada tanggal 14/05/2017 pukul 22:21

59

tahun 1997 tentang perubahan atas undang-undang no. 19 tahun 1992

tentang merek.62

Merek adalah tanda yang berupa gambar,nama, kata huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.63

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa

unsur merek, yaitu:

1. Syarat utama merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda dan

digunakan dalam perdagangan barang atau jasa.

2. Tanda yang dapat menjadi simbol merek terdiri dari unsur-unsur,

gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau

kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

Merek sendiri terbagi menjadi tiga:

1. Merek Dagang

Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang

yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara

62 Ibid 63 Pasal 1 (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

60

bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan

barang-barang sejenis lainnya.64

2. Merek Jasa

Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara

bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-

jasa sejenis lainnya.65

3. Merek Kolektif

Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang

dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan

oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk

membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.66

Konvensi Paris mengenai perlindungan kekayaan industri dan

perjanjian TRIPs menjelaskan bahwa merek dagang dalam perdagang

internasional sangat lah penting.

Dalam perjanjian TRIPs, sebagai hal yang dilindungi, merek

adalah Setiap lambang, atau kombinasi dari beberapa lambang, yang

64 Pasal 1 (2) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek 65 Pasal 1 (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek 66 Pasal 1 (4) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

61

mampu membedakan barang atau jasa suatu usaha dari usaha lain,

dapat menjadi merek dagang. Lambang-lambang dimaksud, terutama

yang berupa rangkaian kata-kata dari nama pribadi, huruf, angka,

unsur figur dan kombinasi dari beberapa warna dapat didaftarkan

sebagai merek dagang. Dalam hal suatu lambang tidak dapat

membedakan secara jelas beberapa barang atau jasa satu sama lain,

Anggota dapat menetapkan persyaratan bagi pendaftarannya pada

sifat pembeda yang diperoleh karena penggunaannya. Anggota dapat

menetapkan persyaratan, sebagai syarat pendaftaran suatu merek

dagang, agar suatu lambang dapat divisualisasikan.67

Dalam melindungi suatu merek dagang, pemilik merek dagang

diberikan hak eksklusif guna mencegah pihak-pihak lain yang memiliki

ijin untuk menggunakan lambang atau tanda yang sama pada barang

atau jasa yang sejenis. Ini dijelaskan pada pasal 16 perjanjian TRIPs,

yaitu:

Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijinnya untuk menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau menggunakan lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian. Dalam

67 Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement), Section 2 Article 15

(1)

62

hal penggunaan suatu lambang yang sama untuk barang atau jasa yang sejenis, kemungkinan timbulnya ketidakpastian tersebut dianggap telah terjadi. Hak yang diuraikan diatas tidak mengurangi keabsahan hak yang sudah ada, dan tidak mengurangi kemungkinan bagi Anggota untuk menetapkan bahwa pemberian hak tersebut tergantung dari penggunaannya.68

Perjanjian TRIPs sendiri bertujuan memberikan perlindungan

dan penegakan hukum HKI untuk mendorong timbulnya inovasi,

pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperoleh manfaat bersama

atara penghasil dan pengguna pengetahuan teknologi, dengan cara

menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara

hak dan kewajiban69.

Prinsip-prinsip pokok perjanjian TRIPs terdiri dari70:

a. Menetapkan standar minimum untuk perlindungan dan penegakan

hukum HKI di negara-negara peserta.

b. masing-masing negara peserta harus melindungi warga negara dari

negara dari negara peserta lainnya.

c. negara-negara peserta diharuskan memberikan perlindungan HKI

yang sama kepada warga negara peserta lainnya.

68 Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement), Section 2 Article 16

(1) 69 Direktorat Jendral Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Hak dan Kewajiban

Pemerintah Dalam Penerapan Undang-undang No. 7/1994 Tentang Ratifikasi TRIPs, Hal. 2 70 Ibid, Hal. 3

63

d. Penegakan hukum yang ketat disertai dengan mekanisme

penyelesaian perselisihan sengketa, yang diikuti dengan hak bagi

negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan secara silang.

2. Indikasi geografis

Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan

daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis

termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor

tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang

dihasilkan.71

TRIPs memberikan definisi Indikasi Geografis sebagai tanda

yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan

atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana

reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat

ditentukan oleh faktor geografis. Dengan demikian, asal suatu barang

tertentu yang melekat dengan reputasi, karakteristik dan kualitas suatu

barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara

yuridis.72

71 Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP) (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian kementerian Pertanian-Republik Indonesia), Indikasi Geografis dan Indikasi Asal diakses dari http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/profile/visidanmisi/48-hki/pvt/358-indikasi-geografis-dan-indikasi-asal pada tanggal 16/05/2017 pada pukul 9.25

72 Indara Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) melalui Ratifikasi Perjanjian Lisabon diakses dari https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-

64

Pada TRIPs Agreement indikasi geografis pasal 22 dijelaskan

bahwa:

Indikasi geografis, sebagaimana dimaksud dalam persetujuan ini, adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu barang sebagai berasal dari wilayah salah satu Anggota, atau suatu daerah di dalam wilayah tersebut, dimana tempat asal barang tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi dari barang yang bersangkutan karena kualitas dan karakteristiknya.73

Di Indonesia indikasi geografis juga diatur dalam undang-

undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek pasal 56 yang

menyebutkan:

Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.74

Perlindungan indikasi geografis secara internasional sangat

diperlukan. Dengan perlindungan secarra internasional, beberapa

manfaat dapat diambil, yaitu75:

hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/ Pada tanggal 16/05/2017 dipukul 9:37

73 Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement), Section 3 Article 22 (1)

74 Undang-Undang No. 15 Tentang Merek, Pasal 56 ayat 1 75 Indara Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

melalui Ratifikasi Perjanjian Lisabon diakses dari https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/ Pada tanggal 16/05/2017 dipukul 13.18

65

1. Indikasi geografis dapat digunakan sebagai strategi pemasaran

produk pada perdagangan dalam dan luar negeri.

2. Memberikan nilai tambah terhadap produk dan meningkatkan

kesejahteraan pembuatnya.

3. Meningkatkan reputasi produk indikasi geografis dalam

perdagangan internasional.

4. Persamaan perlakuan sebagai akibat promosi dari luar negeri.

5. Perlindungan indikasi geografis sebagai salah satu alat untuk

menghindari persaingan curang.

Pada tanggal 20 September 2013, Indonesia sebagai salah

satu negara penggugat, meminta konsultasi dengan Australia

mengenai undang-undang dan peraturan Australia tertentu yang

memberlakukan pembatasan merek dagang, indikasi geografis dan

persyaratan kemasan polos lainnya untuk produk dan kemasan

tembakau.76

76 World Trade World (WTO), Australia-Certain Measures Concerning Trademark, Geographical

Indications and Other Plain Packaging Requiremnets Applicable To Tobacco Products and Packaging diakses dari https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm pada tanggal 13/05/17

66

Indonesia mengajukan keberatan melalui langkah-langkah

berikut ini :

1. Undang-undang kemasan rokok tembakau 2011, undang-undang

nomor 148 tahun 2011, “undang-undang untuk mencegah

penggunaan produk-produk tembaku dan untuk tujuan yang terkait

2. Peraturan kemasan rokok tembakau (instrumen legislatif terpilih

2011, no. 263), sebagaimana telah diubah dengan peraturan

perubahan kemasan polos tembakau 2011 (no.1) (instrumen

legislatif terpilih 2012, no. 29)

3. Undang-undang perubahan merek dagang (kemasan polos rokok

tembakau 2011, undang-undang untuk perubahan undang-undang

merek dagang 1995 dan untuk tujuan terkait

4. Tindakan terkait yang diadopsi oleh Australia, termasuk tindakan

yang menerapkan, melengkapi atau menambah undang-undang

dan peraturan ini serta tindakan yang mengubah atau mengganti

undang-undang dan peraturan ini.

Menurut Indonesia sebagai salah satu negara penggugat,

langkah-langkah yang mengatur kemasan dan penampilan polos

produk tembakau untuk penjualan eceran tampaknya tidak sesuai

67

dengan kewajiban Australia berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut

dari Perjanjian TBT, Perjanjian TRIPs, dan GATT 199477:

1. Pasal 2.1 Perjanjian TBT, karena peraturan teknis yang berlaku

berkaitan dengan perlakuan produk tembakau impor kurang

menguntungkan dibandingkan dengan produk sejenis asal negara;

2. Pasal 2.2 dari Perjanjian TBT, karena peraturan teknis yang

dipermasalahkan menimbulkan hambatan yang tidak perlu untuk

diperdagangkan karena pembatasan perdagangan lebih ketat

daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah;

3. Pasal 2.1 Perjanjian TRIPs, yang mencakup ketentuan Konvensi

Paris untuk Perlindungan Properti Industri, sebagaimana telah

diubah oleh Undang-Undang Stockholm tahun 1967 ("Konvensi

Paris"), khususnya, (i) Pasal 6 barang antik di Paris Konvensi,

karena merek dagang yang terdaftar di negara asal di luar Australia

tidak dilindungi "sebagaimana adanya"; Dan, (ii) Pasal 10bis

Konvensi Paris, karena Australia tidak memberikan perlindungan

efektif terhadap persaingan tidak sehat, misalnya, menciptakan

kebingungan antara barang pesaing.

77 World Trade Organization, WT/DS467/1, G/TBT/D/46, IP/D/34, G/L/1041

68

4. Pasal 3.1 Perjanjian TRIPs, karena Australia menyetujui perlakuan

warga negara terhadap perlakuan Anggota lainnya yang kurang

menguntungkan daripada yang diberikan kepada warganya sendiri

sehubungan dengan perlindungan kekayaan intelektual;

5. Pasal 15.4 dari Perjanjian TRIPs, karena sifat dari barang yang

harus diterapkan merek dagang merupakan hambatan bagi

pendaftaran merek dagang;

6. Pasal 16.1 dari Perjanjian TRIPs, karena tindakan tersebut

mencegah pemilik merek dagang terdaftar menikmati hak yang

diberikan oleh merek dagang;

7. Pasal 16.3 dari Perjanjian TRIPs, karena tindakan tersebut

mencegah pemilik merek dagang terdaftar yang "terkenal" dari

menikmati hak yang diberikan oleh merek dagang;

8. Pasal 20 Perjanjian TRIPs, karena penggunaan merek dagang

sehubungan dengan produk tembakau tidak dapat dibebani

dengan persyaratan khusus, seperti (i) penggunaan dalam bentuk

khusus, misalnya jenis huruf, font, ukuran, warna, dan penempatan

seragam Dari nama merek, dan, (ii) menggunakan dengan cara

yang merugikan kemampuan merek dagang untuk membedakan

69

produk tembakau dari satu usaha dari produk tembakau lainnya.

Usaha;

9. Pasal 22.2 (b) Perjanjian TRIPs, karena Australia tidak memberikan

perlindungan yang efektif terhadap tindakan persaingan tidak sehat

sehubungan dengan indikasi geografis, misalnya, menimbulkan

kebingungan di antara konsumen sehubungan dengan asal

barang;

10. Pasal 24.3 dari Perjanjian TRIPs, karena Australia mengurangi

tingkat perlindungan yang diberikannya pada indikasi geografis

dibandingkan dengan tingkat perlindungan yang ada sebelum

tanggal 1 Januari 1995; dan

11. Pasal III: 4 dari GATT 1994, karena tindakan yang dikeluarkan

sesuai dengan perlakuan produk tembakau impor kurang

menguntungkan dibandingkan dengan produk sejenis yang

berasal dari negara asal.

Berdasarkan keberatan Indonesia oleh aturan kemasan polos

Australia yang dianggap tidak sesuai dengan kewajiban Australia

berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut ini:

70

Perjanjian mengenai hambatan teknis perdagangan (Technical

Barriers To Trade Agreement)

Ketentuan yang dipilih dari dari Perjanjian TBT adalah pasal 2 ayat

1 dan 2, peraturan dan standar teknis. Ayat 1 dan 2 dijelaskan :

Ayat 1

Anggota harus memastikan bahwa sehubungan dengan peraturan teknis, produk yang diimpor dari wilayah Peserta mana pun harus diperlakukan tidak kurang menguntungkan daripada yang sesuai dengan produk asal nasional dan menyukai produk yang berasal dari negara lain.78

Disahkannya undang-undang kemasan polos tembakau,

dianggap merugikan produk tembakau impor.

Ayat 2

Anggota harus memastikan bahwa peraturan teknis tidak dipersiapkan, diterapkan atau diterapkan, dengan maksud untuk atau dengan dampak menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional. Untuk tujuan ini, peraturan teknis tidak boleh lebih membatasi perdagangan daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah, dengan mempertimbangkan risiko yang tidak dipenuhinya. Tujuan yang sah tersebut antara lain: persyaratan keamanan nasional; Pencegahan praktik menipu; Perlindungan kesehatan manusia atau keselamatan, hewan Atau tanaman hidup atau kesehatan, atau lingkungan. Dalam menilai risiko tersebut, elemen pertimbangan yang relevan adalah, antara lain: tersedia informasi

78 Agreement On Technical Barriers To Trade, Article 2(1)

71

ilmiah dan teknis, teknologi pengolahan terkait atau penggunaan produk akhir yang diharapkan.79

Pasal ini dilanggar karena peraturan teknis yang

dipermasalahkan menimbulkan hambatan yang tidak perlu untuk

diperdagangkan karena pembatasan perdagangan lebih ketat daripada

yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah80

Perrjanjian Mengenai Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual

Perdagangan (TRIPs Agreement)

Ketentuan yang dipilih dari dari Perjanjian TRIPs adalah pasal

2 (1), 3 (1), 15 (14), 16 (1) dan (3), 20, 22(2.b), 24 (3) masing-masing

dijelaskan :

Pasal 2 ayat 1

Sehubungan dengan Bagian II, III dan IV dari Perjanjian ini,

Anggota harus mematuhi Pasal 1 sampai 12, dan Pasal 19, Konvensi

Paris (1967).

Dalam pasal ini, mencakup ketentuan Konvensi Paris untuk

Perlindungan Properti Industri, sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang Stockholm tahun 1967 ("Konvensi Paris"), khususnya,

(i) Pasal 6 barang antik di Paris Konvensi, karena merek dagang yang

terdaftar di negara asal di luar Australia tidak dilindungi "sebagaimana

79 Agreement On Technical Barriers To Trade, Article 2(1) 80 World Trade Organization, WT/DS467/15

72

adanya"; Dan, (ii) Pasal 10bis Konvensi Paris, karena Australia tidak

memberikan perlindungan efektif terhadap persaingan tidak sehat,

misalnya, menciptakan kebingungan antara barang pesaing.81

Pasal 3 ayat 1

Setiap Anggota harus mematuhi warga negara dari perlakuan

Anggota lain yang tidak kurang menguntungkan daripada yang

diberikannya kepada warganya sendiri sehubungan dengan

perlindungan kekayaan intelektual, sesuai dengan pengecualian yang

diberikan dalam Konvensi Paris (1967), Berne Konvensi (1971),

Konvensi Roma atau Traktat tentang Kekayaan Intelektual dalam

Menghormati Sirkuit Terpadu. Sehubungan dengan artis, produser

fonogram dan organisasi penyiaran, ini kewajiban hanya berlaku

sehubungan dengan hak yang diatur dalam Perjanjian ini. Setiap

Anggota yang memanfaatkan kemungkinan yang diberikan dalam

Pasal 6 dari Konvensi Berne (1971) atau paragraf 1 (b) Pasal 16 dari

Konvensi Roma harus membuat pemberitahuan sebagaimana

diramalkan dalam ketentuan-ketentuan tersebut kepada Dewan Untuk

TRIPs.

81 World Trade Organization, WT/DS467/15

73

Pada pasal ini, dianggap dilanggar karena Australia menyetujui

perlakuan warga negara terhadap perlakuan Anggota lainnya yang

kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada warganya

sendiri sehubungan dengan perlindungan kekayaan intelektual82

Pasal 15 ayat 4

Sifat dari barang atau jasa yang harus diterapkan merek

dagang, tidak menjadi kendala dalam pendaftaran merek dagang.

Dianggap melanggar pasal ini, karena sifat dari barang yang

harus diterapkan merek dagang merupakan hambatan bagi

pendaftaran merek dagang83

Pasal 16 ayat 1

Pemilik merek dagang terdaftar memiliki hak eksklusif untuk

mencegah semua pihak ketiga yang tidak mendapat persetujuan

pemiliknya untuk menggunakan dalam perdagangan sejenis tanda

atau barang serupa yang serupa atau serupa dengan merek dagang

tersebut. Terdaftar di mana penggunaan tersebut akan mengakibatkan

kemungkinan kebingungan. Jika menggunakan tanda identik untuk

barang atau jasa yang identik, kemungkinan timbulnya kebingungan

82 World Trade Organization, WT/DS467/15 83 World Trade Organization, WT/DS467/15

74

harus dianggap. Hak-hak yang diuraikan di atas tidak akan mengurangi

hak-hak sebelumnya yang ada, dan juga tidak akan mempengaruhi

kemungkinan Anggota membuat hak tersedia atas dasar penggunaan.

Pelanggaran pada pasal ini karena tindakan tersebut

mencegah pemilik merek dagang terdaftar menikmati hak yang

diberikan oleh merek dagang84

Pasal 16 ayat 3

Pasal 6 Konvensi Paris (1967) berlaku, mutatis mutandis,

terhadap barang atau jasa yang tidak serupa dengan yang di dalamnya

merek dagang terdaftar, asal penggunaan merek dagang tersebut

sehubungan dengan barang atau jasa tersebut akan mengindikasikan

Hubungan antara barang atau jasa tersebut dan pemilik merek dagang

terdaftar dan dengan ketentuan bahwa kepentingan pemilik merek

dagang terdaftar kemungkinan akan rusak akibat penggunaan

tersebut.

Dari pasal ini, dikatakan melanggar karena tindakan tersebut

mencegah pemilik merek dagang terdaftar yang "terkenal" dari

menikmati hak yang diberikan oleh merek dagang.85

84 World Trade Organization, WT/DS467/15

75

Pasal 20

Penggunaan merek dagang dalam proses perdagangan tidak

boleh dibebani dengan persyaratan khusus, seperti penggunaan

dengan merek dagang lain, digunakan dalam bentuk khusus atau

penggunaan dengan cara yang merugikan kemampuannya untuk

membedakan barang atau jasa dari satu usaha dari Usaha lain. Ini

tidak akan menghalangi persyaratan yang menentukan penggunaan

merek dagang yang mengidentifikasi usaha yang menghasilkan barang

atau jasa bersama, namun tanpa menghubungkannya dengan, merek

dagang yang membedakan barang atau jasa tertentu yang

bersangkutan dengan usaha tersebut.

Dalam pasal ini dilanggar karena penggunaan merek dagang

sehubungan dengan produk tembakau tidak dapat dibebani dengan

persyaratan khusus, seperti (i) penggunaan dalam bentuk khusus,

misalnya jenis huruf, font, ukuran, warna, dan penempatan seragam

Dari nama merek, dan, (ii) menggunakan dengan cara yang merugikan

kemampuan merek dagang untuk membedakan produk tembakau dari

satu usaha dari produk tembakau usaha lainnya.86

85 World Trade Organization, WT/DS467/15 86 World Trade Organization, WT/DS467/15

76

Pasal 22 ayat 2b

Setiap penggunaan yang merupakan tindakan persaingan tidak

sehat dalam arti Pasal 10bis Konvensi Paris (1967)

karena Australia tidak memberikan perlindungan yang efektif

terhadap tindakan persaingan tidak sehat sehubungan dengan indikasi

geografis, misalnya, menimbulkan kebingungan di antara konsumen

sehubungan dengan asal barang87

Pasal 24 ayat 3

Dalam melaksanakan Bagian ini, Anggota tidak akan

mengurangi perlindungan indikasi geografis yang ada di Anggota

tersebut sebelum tanggal berlakunya Persetujuan WTO.

Karena Australia mengurangi tingkat perlindungan yang

diberikannya pada indikasi geografis dibandingkan dengan tingkat

perlindungan yang ada sebelum tanggal 1 Januari 1995.

Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT Agreement)

Pasal 3 ayat 4

Produk dari wilayah setiap pihak yang melakukan kontrak

impor ke wilayah pihak kontraktor lainnya harus diberikan

87 World Trade Organization, WT/DS467/15

77

Perlakuan yang tidak kalah menguntungkan dari pada yang sesuai

dengan produk asal nasional berkenaan dengan semua undang-

undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan

internal mereka, yang ditawarkan untuk dijual, dibeli, transportasi,

distribusikan atau digunakan. Ketentuan dalam ayat ini tidak mencegah

penerapan biaya pengangkutan internal diferensial yang semata-mata

didasarkan pada operasi ekonomi alat transportasi dan bukan atas

kewarganegaraan produk.

78

B. Upaya Hukum Bagi Negara Produsen Rokok Terhadap Plain

Packaging Ditinjau Dari Perdagangan Internasional

Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar

orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip

hukum atau disebut pula dengan asas-asas hukum merupakan dasar

pembentukan hukum yang secara filosofis mempunyai atau memiliki

peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum.88

Dalam perdagangan internasional, secara garis besar prinsip-

prinsip hukum menghendaki perlakuan yang sama atas setiap produk

baik trehadap produk impor maupun produk domestik. Tujuan

penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan

bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.89

Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan internasional

yang diatur dalam GATT/WTO, meliputi prinsip non-diskriminasi,

prinsip resiprositas (Resiprocity), prinsip penghapusan hambatan

kuantitatif, prinsip perdagangan yang adil (fairness principle) dan

prinsip tarif mengikat (tarif binding priciple)

88 Muhammad Sood, Op.cit, Hlm 39 89 Ibid, Hal. 40

79

a. Prinsip non-diskriminasi (non-discriminatioan principle)

Prinsip ini meliputi : Prinsip Most Favoured Nation (MFN

Principle),dan Prinsip National Treadment (NT Principle)

1. Prinsip Most Favoured Nation (MFN)

Prinsip ini diatur dalam article 1 section (1) GATT 1947, yang

berjudul general Favoured treadment, merupakan prinsip non

diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.90

Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk

memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam

pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-

biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan

segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap

produk yang berasal atau yang ditujuskan kepada semua anggota

GATT. Kerena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan

istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi

terhadapnya. Maksudnya apabila suatu negara pertama memberikan

kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara

kedua, maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara

ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan kata lain, suatu negara yang

90 Ibid, Hal 41

80

memberikan keuntungan kepada negara yang satu, wajib

menyeebarluaskan keuntungan yang serupa kepada negara lainnya.91

2. Prinsip National Treatment (NT)

Prinsip ini diatur dalam article III GATT 1947, berjudul national

treatment on international taxation and regulation, yang menyatakan

bahwa, this standard provides for inland parity that is say equality for

treatment between nation and foreigners.

Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak

menghendaki adanya diskriminasi antarproduk dalam negeri dengan

produk serupa dari luar negeri. Artinya, apabila suatu produk impor

telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka produk

impor itu harus mendapat perlakuan yang sama, seperti halnya

perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri sejenis.92

b. Prinsip Resiprositas (Resiprocity Principle)

Prinsip resiprositas (reciprocity principle) yang diatur dalam

article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik

diantara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan

perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam

91 Ibid, Hal 42 92 Ibid, Hal 43

81

kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk

atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk

tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara

yang pertama tadi. Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara

secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalu lintas

barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap

negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang

lancar dan bebas.93

c. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif (Prohibition of

Quantitative Restriction)

Prinsip ini telah diatur dalam article IX GATT 1947,

Menghendaki transparansi dan penghapusan hambatan kuantitatif

dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam

persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan

merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan

ini adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary

export restraints). Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan

dalam praktiknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-

peluang subjektif lainnya. Oleh karena itu, hukum perdagangan

internasional melalui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis

93 Ibid, Hal 45

82

hambatan kuantitatif. Adanya prinsip transparansi membawa akibat

bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan

proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota

sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk

diterapkan. Oleh karena itu, prinsip ini seringkali disebut sebagai

tarifikasi hambatan peragangan.94

d. Prinsip Perdagangan yang adil (Fairness Principle)

Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang

melarang dumping (article VI) dan subsidi (article XVI), dimaksudkan

agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan

tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan pihak

di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi

negara lainnya. Dalam perdaganga internasional, prinsip dairness ini

diarahkan untuk menghilangkan praktik-praktik persaingan curang

dalam kegiatan ekonomi yang disebut dengan praktik dumping dan

subsidi dalam perdagangan internasional.95

e. Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tariff Principle)

Prinsip ini diatur dalam article II section (2) GATT-WTO 1995

bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun

94 Ibid, Hal. 46 95 Ibid, Hal. 47

83

besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip

tarif mengikat. Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan

tarif oleh WTO dipandang sebagai suatu model yang masih dapat

ditoleransi, misalnya melakukan tindakan proteksi terhadap industri

domestik melalui kenaikan tarif (bea masuk). Perlindungan ini masih

memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun demikian, dalam

kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah

kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan

tarif secara bertahap.96

Dengan disahkannya undang-undang kemasan polos

tembakau, Pada tanggal 20 September 2013, Pemerintah Indonesia

meminta konsultasi dengan Pemerintah Australia sesuai dengan Pasal

4 dari Pemahaman tentang Aturan dan Tata Cara Penyelesaian

Sengketa ("DSU"), Pasal XXII dari Persetujuan Umum tentang Tarif

dan Perdagangan 1994 "GATT 1994"), Pasal 64.1 dari Persetujuan

tentang Aspek Terkait Perdagangan Hak-hak Kekayaan Intelektual

("Perjanjian TRIPs"), dan Pasal 14.1 dari Persetujuan tentang

Hambatan Teknis terhadap Perdagangan ("Perjanjian TBT")

sehubungan dengan undang-undang Australia tertentu Dan peraturan

yang memberlakukan pembatasan merek dagang, indikasi geografis,

96 Ibid, Hal. 48

84

Dan persyaratan kemasan polos lainnya pada produk dan kemasan

tembakau.

Konsultasi diadakan pada tanggal 29 Oktober 2013 dengan

tujuan untuk mencapai solusi yang saling memuaskan. Konsultasi ini

menjelaskan beberapa masalah yang berkaitan dengan masalah ini,

namun gagal menyelesaikan perselisihan tersebut. Oleh karena itu,

Indonesia dengan hormat meminta, sesuai dengan Pasal 4.7 dan 6

dari DSU, Pasal XXIII GATT 1994, Pasal 64.1 Perjanjian TRIPs, dan

Pasal 14.1 Perjanjian TBT, bahwa Badan Penyelesaian Sengketa

("DSB") membentuk sebuah Panel untuk memeriksa hal ini Indonesia

meminta agar permintaan ini diajukan dalam agenda pertemuan DSB

yang akan diadakan pada tanggal 26 Maret 2014. Indonesia meminta

lebih lanjut bahwa Penal memiliki standar acuan, sebagaimana diatur

dalam Pasal 7.1 DSU.

Oleh karena itu, permintaan Indonesia, sesuai dengan Pasal

4.7 dan 6 dari DSU, Pasal XXIII GATT 1994, Pasal 64.1 Perjanjian

TRIPs, dan Pasal 14.1 dari Perjanjian TBT, bahwa DSB membentuk

Panel dengan acuan standar sebagaimana diatur dalam Pasal 7.1

85

DSU. Indonesia meminta agar permintaan ini diajukan dalam agenda

pertemuan DSB yang dijadwalkan pada 26 Maret 2014.97

Dalam perdagangan internasional terdapat beberapa prinsip

penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prinsip-prinsip

tersebut antara lain:

1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip

fundamental dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional.

Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya

suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi

dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah

berlangsung dikhiri. Jadi, prinsip ini sangat esensial. Badan-badan

peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak

sepakati.98

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk

menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana

sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).

97 World Trade Organization (WTO), WT/DS467/15 98 Huala Adolf, 2011, Op.cit, Hal. 196

86

Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 the UNCITRAL

Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat

definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan

sengketa kesuatu badan arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan

sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian

para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase

haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.99

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

Prinsip ini adalah prinsip kebebasan para pihak untuk

menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila

sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap

pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini

termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan.

Prinsip ini adalah sumber dimana pengadilan akan memutus

sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau

kelayakan suatu penyelesaian sengketa. 100

99 Loc.cit 100 Loc.cit

87

4. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)

Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip

fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip

ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak

dalam penyelesaian sengketanya.

Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua

tahap. Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah

timbulnya sengketa yang dapat memengaruhi hubungan-hubungan

baik diantar negara.

Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak

menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa

yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni

negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara

pilihan para pihak lainnya.101

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir

dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam upayanya

merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, komisi hukum

101 Ibid, Hal. 198

88

internasional PBB memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam

pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility.

Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan

bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan

internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia

atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu

ditempuh.102

Sistem penyelesaian persengketaan WTO merupakan elemen

pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap

perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan

WTO sangat penting dalam rangka penerapan disiplin dan fungsi WTO

secara efektif. Dibawah WTO hanya ada satu badan penyelesaian

sengketa (DSB = Disputes Settlemen Body) mengatur persengketaan

yang timbul dari persetujuan yang terdapat pada Final Act.103

Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

1. Negoisiasi

Negosiasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah diskusi diantara

pihak yang berkepentingan dengan maksud mencari titik temu bagi

102 Ibid, Hal. 199 103 Syahmin AK, Op.cit, Hlm. 252

89

pendapat-pendapat yang berbeda, atau setidaknya untuk memahami

pandangan-pandangan berbeda yang dikemukakan. Negosiasi sangat

cocok untuk klarifikasi perselisihan pendapat yang rumit, meski tidak

selalu menjadi resolusi. Melalui diskusi timbal balik, hakikat perbedaan

pendapat akan terungkap dan pendirian-pendirian yang bertentangan

akan terbuka. Negosiasi adalah cara paling memuaskan untuk

menyelesaikan sengketa, sebab para pihak terlibat secara langsung.104

2. Mediasi

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga.

Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Ia bisa negara,

organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli

hukum, atau ilmuwan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses

negosiasi. Biasanya ia, dengan kapasitasnya sebagai pihak yang

netral, berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran

penyelesaian sengketa.

Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat

melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru.

Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai

solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati

104 Malcolm N. Shaw QC, 2013, Hukum Internasional, Bandung, Penerbit Nusa Media, Hal. 1020

90

para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri

sengketa105

3. Konsilisasi

Konsilisasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya

lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara

penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang

dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua

tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa

diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan

mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat

hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh

kuasanya.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau

badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak

disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian

sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karena

105 Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 21

91

diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para

pihak.106

4. Arbitrase

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada

pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan

mengikat (binding).

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan

dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada

arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan

klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya lahir.

Pemilihan arbitrator sepenuhnya berapa pada kesepakatan para pihak.

Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of

reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan

kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang

akan diselesaikan. Kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan

(acara) sidang arbitrase.107

106 Ibid, Hal.22 107 Ibid, Hal. 23

92

5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)

Metode yang memungkin untuk menyelesaikan sengketa

selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional

atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila

cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.

Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan

biasanya hanya dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan

ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak

dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan

bahwa jika timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, mereka

sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan

(negeri) suatu negara tertentu.

Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan

sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu

badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja

adalah WTO. Namun, perlu ditekankan disini bahwa WTO hanya

menangani sengketa antarnegara anggota WTO. Umumnya pun

sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau

93

negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara

lain anggota WTO yang merugikannya.108

Tahapan Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO

Berikut ini adalah tahap-tahap penyelesaian sengketa dagang

didalam WTO109

a. Konsultasi

Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di

WTO adalah untuk menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa.

Tahap pertama adalah konsultasi antara pihajk-pihak yang

bersengketa.Setiap anggota harus menjawab secara tepat dalam

waktu sepuluh hari untuk meminta diadakan konsultasi dan memasuki

periode konsultasi selama tiga puluh hari untuk meminta diadakan

konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh hari

setelah waktu permohonan.

Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk

konsultasi harus diberitahukan kepada DSB secara tertulis, kemudian

disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi termasuk dasar-

dasar hukum untuk pengaduan. Bila konsultasi gagal dan kedua pihak

108 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.cit, Hal. 210 109 Syahmin AK, Op.cit, Hlm. 253

94

setuju, masalah ini dapat diajukan ke Direktur Jendral WTO yang akan

siap menawarkan diadakan good office, konsiliasi, atau mediasi dalam

penyelesaian sengketa.

b. Pembentukan Panels (Establishment of Panels)

Jika suatu anggota tidak memberikan jawaban untuk meminta

diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi

gagal untuk diselesaikan dalam waktu enam puluh hari, penggugat

dapat meminta ke DSB untuk membentuk suatu panel untuk

menyelesaikan masalah pembentukan panel. Prosedur ini menurut

DSB untuk segera membentuk panel, selambat-lambatnya pada

sidang kedua dari permintaan panel. Jika tidak, maka diputuskan

secara konsensus. Hal ini dimaksudkan adalah negara yang digugat

tidak boleh menghalangi pembentukan panel. Dalam hal ini penentuan

Term of Reference dan komposisi panel juga diajukan. Panel harus

segera disusun dalam waktu tiga puluh hari pembentukan.

Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang panelis yang

potensial pada pihak-pihak sengketa. Jika pihak-pihak tersebut tidak

setuju terhadap panelis dalam waktu dua puluh hari dari pembentukan

panel, Direktur Jendral melakukan konsultasi kepada Ketua DSB dan

Ketua Dewan akan menunjuk panelis. Para panelis akan melayani

95

sesuai dengan kapasitasnya dan tidak berpegangan pada instruksi-

instruksi dari negara yang bersangkutan.

c. Prosedur-Prosedur Panel (Panels Procedures)

Pengertian ini menunjukkan bahwa periode dimana panel

melaksanakan pengujian masalah, selanjutnya Term of Reference dan

komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan laporan

kepada para pihak yang bersengketatidak boleh lebih dari enam bulan.

Dalam hal-hal yang penting, termasuk untuk barang-barang yang

mudah rusak, waktu dapat dipercepat menjadi tiga bulan. Apabila tidak

ada masalah, waktu pembentukan panel ke sirkulasi laporan kepada

anggota tidak boleh lebih dari sembilan bulan.

d. Penerimaan Laporan Panel ke DSB (Adoption of Panels Reports)

Prosedur WTO menunjukkan bahwa laporan panel harus

diterima oleh DSB dalam waktu enam puluh hari dari pengeluaran. Jika

tidak, satu pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau

konsensus terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat

mempertimbangkan laporan panel lebih cepat dari dua puluh hari

setelah laporan tersebut disirkulasikan kepada para anggota.

Para anggota yang merasa keberatan atas laporan itu

diwajibkan untuk menyatakan alasan-alasan secara tertulis untuk

96

disirkulasikan sebelum diadakan pertemuan DSB dimana laporan

panel akan dipertimbangkan.

e. Peninjauan Kembali (Appelatte Review)

Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa

di WTO memberikan kemungkinan penarikan terhadap salah satu

pihak dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan

didengar oleh suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk

oleh DSB. Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan

perwakilan dari keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin

empat tahun. Mereka harus merupakan orang yang ahli dibidang

hukum dan perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan

negara mana pun.

Tiga orang anggota dari appelatte body mendengarkan

permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah atau

membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan

permohonan tidak lebih dari 60-90 hari. Tiga pulu hari sesudah

pengeluaran, laporan dari appallate body harus diterima oleh DSB dan

tanpa syarat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Jika tidak,

konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini.

97

f. Implementasi (Implementation)

Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat

penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaan-

persengketaan yang bermanfaat untuk semua anggota. Pada

pertemuan DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi

panel, pihak yang bersangkutan harus menyatakan niat untuk

menghargai implementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu

tidak berguna untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu

periode waktu yang beralasan yang ditentukan oleh disputes

settlement body (DSB).

Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu,

diwajibkan untuk mengadakan negosiasi dengan penggugat untuk

menentukan kompensasi yang dapat diterima kedua belah pihak yang

bersengketa. Jika dalam waktu dua puluh hari tidak ada kompensasi

yang memuaskan yang dapat disetujui, penggugat dapat mohon

otorisasi dari DSB untuk menangguhkan konsesi-konsesi atau obligasi-

obligasi terhadap pihak tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB

menjamin otorisasi ini dalam waktu tiga puluh hari dari batas waktu

“reasonable period of time”. Jika konsensus akan diberlakukan. Jika

anggota yang bersangkutan menolak/berkeberatan terhadap tingkat

suspensi, hal tersebut diteruskan pada arbitrase. Hal ini akan

98

diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang asli. Bila hal ini tidak

mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk oleh Direktor Jendral

WTO. Arbitrase harus selesai dalam waktu enam puluh hari dari batas

waktu “reasonable period of time”, dan hasil keputusan harus diterima

oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai final, dan tidak diteruskan

kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya memberi kuasa suspensi

dari konsesi-konsesi secara konsisten dari hasil penyelesaian

arbitrator. Jika tidak, maka diadakan konsensus.

Keputusan Panel dalam Sengketa Dagang Industri Rokok

Indonesia-Kebijakan Kemasan Polos Tembakau Australia.

Panel mengeluarkan laporan rekomendasi kasus sengketa

undang-undang kemasan polos Australia yang kemudian disampaikan

kepada DSB WTO. Dalam hasil laporannya yang dituangkan dalam

Report of The Panel, maka Panel dalam kasus ini memutuskan

sebagai berikut:

Pada tanggal 26 Maret 2014, Badan Penyelesaian Sengketa

(DSB) membentuk sebuah panel sesuai permintaan Indonesia dalam

dokumen WT / DS467 / 15, sesuai dengan Pasal 6 dari Pemahaman

tentang Aturan dan Tata Cara Penyelesaian Sengketa (DSU).

Dengan kerangka acuan panel sebagai berikut:

99

Untuk memeriksa, sehubungan dengan ketentuan yang

relevan dari kesepakatan tertutup yang disebutkan oleh para pihak

dalam perselisihan tersebut, hal tersebut mengacu pada DSB oleh

Indonesia dalam dokumen WT / DS467 / 15 dan untuk membuat

temuan seperti yang akan membantu DSB dalam membuat

rekomendasi atau dalam memberikan keputusan yang diatur dalam

kesepakatan tersebut.

Pada tanggal 23 April 2014, Australia meminta Direktur

Jenderal untuk menentukan komposisi Panel, sesuai dengan Pasal 8.7

DSU. Paragraf ini menyediakan:

Jika tidak ada kesepakatan mengenai panelis dalam waktu 20

hari setelah tanggal pendirian panel, atas permintaan salah satu pihak,

Direktur Jenderal, dengan berkonsultasi dengan Ketua DSB dan Ketua

Dewan atau Komite terkait , Harus menentukan komposisi panel

dengan menunjuk panelis yang dianggap paling sesuai oleh Direktur

Jenderal sesuai dengan peraturan atau prosedur khusus yang relevan

atau tambahan dari perjanjian yang tercakup atau Perjanjian tertutup

yang dipermasalahkan dalam perselisihan, setelah berkonsultasi

dengan para pihak dalam perselisihan tersebut. Ketua DSB harus

100

memberi tahu Anggota komposisi panel yang terbentuk paling lambat

10 hari setelah tanggal Ketua menerima permintaan tersebut.110

Tanggal 10 Oktober 2014, diterima dari Ketua Panel dengan

permintaan diedarkan ke Badan Penyelesaian Sengketa.

1. Pasal 12.8 Pengertian Aturan dan Tata Cara Pengesahan

Penyelesaian Sengketa (DSU) menetapkan bahwa periode dimana

panel melakukan pemeriksaannya, sejak tanggal dimana

komposisi dan kerangka acuan panel telah disepakati sampai

tanggal Laporan akhir dikeluarkan untuk para pihak dalam

perselisihan tersebut, harus, sebagai peraturan umum, tidak lebih

dari enam bulan.

2. Pasal 12.9 DSU menetapkan bahwa, apabila sebuah panel

menganggap bahwa laporan tersebut tidak dapat diterbitkan dalam

waktu enam bulan, harus memberitahukan kepada Badan

Penyelesaian Sengketa (DSB) secara tertulis dan menunjukkan

alasannya, beserta perkiraan masa dimana Akan menerbitkan

laporannya.111

110 World Trade Organization, WT/DS467/17 111 World Trade Organization, WT/DS467/18

101

Pada tanggal 7 Mei 2014, Australia mengajukan kepada Panel

sebuah permintaan untuk keputusan sementara mengenai konsistensi

permintaan panel Indonesia dengan DSU.

Australia meminta agar Panel membuat keputusan

pendahuluan mengenai hal ini sedini mungkin (dan khususnya, bahwa

Panel mengeluarkan keputusan pendahuluannya sebelum mengajukan

pengajuan tertulis pertama oleh para pihak). Australia juga meminta

kesempatan untuk menanggapi setiap pengiriman yang dilakukan oleh

Indonesia sehubungan dengan permintaan awal ini.

Pada tanggal 11 Juni 2014, Indonesia menanggapi permintaan

Australia. Juga pada tanggal 11 Juni 2014, Panel memberikan

kesempatan kepada pihak ketiga untuk memberikan komentar

mengenai permintaan pendahuluan Australia. Pada tanggal 17 Juni

2014, Panel menerima komentar dari Uni Eropa. Pada tanggal 18 Juni

2014, Panel menerima komentar dari Argentina, Republik Dominika,

Guatemala, Honduras dan Meksiko.

Tanggal 1 Juli 2014, Panel menerima komentar dari Australia

mengenai tanggapan Indonesia atas permintaan Australia untuk

102

sebuah keputusan sementara. Indonesia tidak menyampaikan

komentar lebih lanjut mengenai komentar Australia112

Tanggal 29 Juni 2016, diterima dari Ketua Panel dengan

permintaan diserahkan ke Badan Penyelesaian Sengketa.

1. Pasal 12.8 Pengertian Aturan dan Tata Cara Pengesahan

Penyelesaian Sengketa (DSU) menetapkan bahwa periode dimana

panel melakukan pemeriksaannya, sejak tanggal dimana

komposisi dan kerangka acuan panel telah disepakati sampai

tanggal Laporan akhir dikeluarkan untuk para pihak dalam

perselisihan tersebut, harus, sebagai peraturan umum, tidak lebih

dari enam bulan.

2. Pasal 12.9 DSU menetapkan bahwa, apabila sebuah panel

menganggap bahwa laporan tersebut tidak dapat diterbitkan dalam

waktu enam bulan, harus memberitahukan kepada Badan

Penyelesaian Sengketa (DSB) secara tertulis dan menunjukkan

alasannya, beserta perkiraan masa dimana Akan menerbitkan

laporannya.

112 World Trade Organization, WT/DS467/19

103

Pada tanggal 10 Oktober 2014, Panel mengkomunikasikan

kepada DSB bahwa mereka "mengharapkan untuk menerbitkan

laporan akhirnya kepada para pihak sebelum paruh pertama tahun

2016".

Panel ingin memberi tahu bahwa sekarang mengharapkan

untuk mengeluarkan laporan akhirnya kepada para pihak sebelum

akhir tahun 2016, mengingat kompleksitas masalah hukum dan faktual

yang timbul dalam perselisihan ini.

Panel ingin memberi tahu bahwa sekarang mengharapkan

untuk mengeluarkan laporan akhirnya kepada para pihak sebelumnya

Mei 2017, mengingat kompleksitas masalah hukum dan faktual yang

muncul dalam perselisihan ini.113

Dari contoh kasus di atas, dapat kita ketahui bagaimana upaya

hukum negara produsen rokok terhadap kebijakan plain packaging

ditinjau dari perdagangan internasional.

113 World Trade Organization, WT/DS467/21

104

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penerapan plain packaging pertama kali dicetuskan oleh Negara

Amerika. Dan mulai diikuti oleh negara lain termasuk Australia.

2. Kebijakan mengenai plain packaging tersebut ternyata banyak

bertentangan dengan beberapa aturan dan kebijakan WTO serta

beberapa negara termasuk Indonesia karena telah melanggar aturan

perdagangan internasional dan tidak menghargai hak kekayaan

intelektual (HKI).

3. Adapun upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh negara-negara yang

menentang kebijakan plain packaging, sebagai berikut:

I. Dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai.

a. Negosiasi

b. Mediasi

c. Konsiliasi

d. Arbitrase

e. Pengadilan

105

II. Penyelesaian sengketa melalui DSB WTO.

a. Konsultasi

b. Pembentukan Panel

c. Prosedur- Prosedur Panel

d. Penerimaan laporan panel ke DSB

e. Peninjauan Kembali

f. Implementasi

B. Saran

1. Dunia internasional seharusnya melakukan penelitian lebih dalam

mengenai dampak kebijakan plain packaging baik dari segi medis

maupun ekonomi.

2. Seharusnya penerapan aturan plain pakcking tidak bertentangan

dengan aturan perdagangan internasional dan menghargai hak

kekayaan intelektual.

106

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala, 1998, Hukum Ekonomi Internasional, PTRajaGrafindo Persada: Jakarta.

Adolf, Huala, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika: Jakarta.

Adolf, Huala., 2009, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Adolf, Huala, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta

Damian, Eddy., 1999, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungan Terhadap Buku Serta Perjanjian Penerbitnya, Penerbit Alumni: Bandung

Firmansyah, Muhammad, 2008, Tata Cara Mengurus HaKI, Visimedia: Jakarta

Lindsey, Tim dkk, 2013, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, P.T. Alumni: Bandung

Mauna, Boer., 2013, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era dinamika Global, P.T. Alumni: Bandung

107

Maman Suherman, Ade, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika: Jakarta

N. Shaw QC, Malcolm, 2013, Hukum Internasional, Penerbit Nusa Media: Bandung.

Ok. Saidin, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), P.T. Grafindo Persada, Jakarta.

Roisah, Kholis, 2015, Konsep Hukum HakKekayaan Intelektual (HaKI) Sejarah, Pengertian dan Filosofi Pengakuan HKI dari masa ke masa, Setara Press: Malang

Sood, Muhammad., 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta.

Suherman, Ade Maman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika: Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2013, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika: Jakarta

Syahmin ak, 2006, Hukum dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analistis, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Tunggal, Setia Hadi, 2011, Pokok-Pokok Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Harvarindo: Jakarta

108

Utomo, Tomi Suryo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu: Yogyakarta.

Zen Umar Purba, Achmad, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, P.T. Alumni: Bandung

Internet Triana Marchelina, Plain Packaging For Indonesia, Medicalogy,

https://www.medicalogy.com/blog/plain-packaging-for-indonesia-are-we-ready-yet/, diakses tanggal 10 mei 2017

Ria Yohana, kajian hukum terhadap kebijakan kemasan polos rokok di

australia merugikan perusahaan tembakau, Academia.edu, https://www.academia.edu/12879938/Kajian_Hukum_terhadap_Kebijakan_Kemasan_Polos_Rokok_di_Australia_Merugikan_Perusahaan_Tembakau, diakses tanggal 17 April 2017

Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kebijakan plain packaging for

tobacco and food label menjadi sorotan negara anggota WTO (laporan rangkaian sidang komite TBT, tanggal 4-6 November 2014),http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5640/kebijakan#.V2-EQyGy3Mw, diakses pada tanggal 26 November 2016

Wikipedia, Plain Tobacco packaging,

https://en.wikipedia.org/wiki/Plain_tobacco_packaging#History diakses pada tanggal 29 November 2016

Hertriani Agustine, “Kemasan Polos Rokok”, Suara Karya,

http://m.suarakarya.id/2016/04/05/kemasan-polos-rokok.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2016

World Trade Organization, The Wto Agreement Series (Technical Barriers

to Trade) https://www.wto.org/english/res_e/publications_e/tbttotrade_e.pdf diakses pada tanggal 12 April 2017

Prasetyo Hadi Purwandoko, Problematika Perlindungan Merek di

Indonesia, diakses pada tanggal 14/05/2017

109

Kukuh Bhimo Nugroho, Gerah Gara-Gara Polos, Review Weekly,

http://www.majalahreviewweekly.com/read/145/gerah-gara-gara-polos, diakses pada tanggal 11/05/17

Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP) (Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian kementerian Pertanian-Republik Indonesia), Indikasi Geografis dan Indikasi Asal http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/profile/visidanmisi/48-hki/pvt/358-indikasi-geografis-dan-indikasi-asal diakses pada tanggal 16/05/2017

Indara Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) melalui Ratifikasi Perjanjian Lisabon, https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/, diakses Pada tanggal 16/05/2017

World Trade World (WTO), Australia-Certain Measures Concerning

Trademark, Geographical Indications and Other Plain Packaging Requiremnets Applicable To Tobacco Products and Packaging , https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm diakses pada tanggal 13/05/17

Jurnal Holly Jarman, Attack On Australia : Tobacco Industry Challenges To Plain

Packaging, Journal of Public Health Policy, Vol 34,3, 375-387 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang

Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman

Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau

110

Undang-Undang Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Perjanjian Internasional Australia Tobacco Plain Packaging Act 2011 No. 148 Australia Trademarks Amandement Act 2011 No. 149 Australia Tobacco Plain Packaging regulations 2011 No. 263 The Agreement on Trade-Related Aspectsof Intellectual Property Rights Agreement On Technical Barriers To Trade Kasus Appellete Body Report, 2013, Australia – Certain Measures Concerning

Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging, WT/DS467/1, G/TBT/D/46 IP/D/34, G/L/1041

Appellete Body Report, 2014, Australia – Certain Measures Concerning

Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging, WT/DS467/15

Panel Report, 2014, Australia – Certain Measures Concerning

Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging, WT/DS467/17, WT/DS467/18, WT/DS467/19

Panel Report, 2016, Australia – Certain Measures Concerning

Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging (Communication From The Chairperson Of The Panel), WT/DS467/21

WT/DS467/1, G/TBT/D/46

IP/D/34, G/L/1041

25 September 2013

(13-5132) Page: 1/3

Original: English

AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS

APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING

REQUEST FOR CONSULTATIONS BY INDONESIA

The following communication, dated 20 September 2013, from the delegation of Indonesia to the delegation of Australia and to the Chairperson of the Dispute Settlement Body, is circulated in accordance with Article 4.4 of the DSU.

_______________ My authorities have instructed me to request consultations with the Government of Australia pursuant to Article 4 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes, Article 14.1 of the Agreement on Technical Barriers to Trade ("TBT Agreement"), Article 64.1 of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights ("TRIPS Agreement") and Article XXII of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 ("GATT 1994") with respect to certain Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications, and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging.

The challenged measures at issue are:

Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, "An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes";

Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011,

No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);

Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011, Act No. 149 of 2011,

"An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes"; and

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.

The measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products. The measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves. The measures also establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements. The measures require, inter alia, the following:

with respect to the retail packaging of tobacco products, the measures (i) regulate the appearance of trademarks and geographical indications, including by prohibiting the display of design and figurative features, including those forming part of these intellectual property rights; (ii) prescribe that the brand and variant names forming part of trademarks appear on the front face, top and bottom of the package in a

WT/DS467/1 • G/TBT/D/46 • IP/D/34 • G/L/1041

- 2 -

uniform typeface, font, size, color, and placement1; (iii) prohibit the display of other words (except for basic information, including country of origin and manufacturer contact details); and (iv) mandate a matt finish and drab dark brown color (Pantone 448C) for retail packaging;

the measures establish that individual cigarettes may not display trademarks,

geographical indications or any other marking other than an alphanumeric code for product identification purposes;

the measures provide that individual cigars may carry: the brand name, variant name,

country of origin, and an alphanumeric code; these must be displayed in a uniform typeface, font, size, and color on a single band in a drab dark brown color (Pantone 448C)2; and

the measures regulate other aspects of both tobacco packaging and tobacco products,

such as the following requirements: (i) a retail package for cigarettes must be in a prescribed size, form and material; (ii) cigarettes must be white3; and (iii) a cigar tube must be cylindrical, rigid, and have an opening of at least 15 mm.

These measures regulating the plain packaging and appearance of tobacco products for retail sale appear to be inconsistent with Australia's obligations under the following provisions of the TBT Agreement, the TRIPS Agreement, and the GATT 1994:

Article 2.1 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue accord to imported tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin;

Article 2.2 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue create

unnecessary obstacles to trade because they are more trade-restrictive than necessary to fulfill a legitimate objective;

Article 2.1 of the TRIPS Agreement, which incorporates the provisions of the Paris

Convention for the Protection of Industrial Property, as amended by the Stockholm Act of 1967 ("Paris Convention"), in particular, (i) Article 6quinquies of the Paris Convention, because trademarks registered in a country of origin outside Australia are not protected "as is"; and, (ii) Article 10bis of the Paris Convention, because Australia does not provide effective protection against unfair competition, for example, creating confusion between the goods of competitors;

Article 3.1 of the TRIPS Agreement, because Australia accords to nationals of other

Members treatment less favorable than it accords to its own nationals with respect to the protection of intellectual property;

Article 15.4 of the TRIPS Agreement, because the nature of the goods to which a

trademark is to be applied forms an obstacle to the registration of the trademark;

Article 16.1 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of registered trademarks from enjoying the rights conferred by a trademark;

Article 16.3 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of

registered trademarks that are "well known" from enjoying the rights conferred by a trademark;

1 The brand name and variant must displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 14 points for the

brand name and 10 points for the variant name; with only the first letter capitalized; in regular font; in the color Pantone Cool Gray 2C; and below the graphic health warning on the front surface of cigarette packs.

2 They must appear only once on the band and be displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 10 points in size; in regular font; and in the color Pantone Cool Gray 2C. The brand and variant name should be placed horizontally along the length of the band so that they run around the circumference of the cigar.

3 However, a cigarette may include an imitation cork tip that is printed brown, and is placed over a filter tip.

WT/DS467/1 • G/TBT/D/46 • IP/D/34 • G/L/1041

- 3 -

Article 20 of the TRIPS Agreement, because the use of trademarks in relation to tobacco products is unjustifiably encumbered by special requirements, such as (i) use in a special form, for example, the uniform typeface, font, size, color, and placement of the brand name, and, (ii) use in a manner detrimental to the trademark's capability to distinguish tobacco products of one undertaking from tobacco products of other undertakings;

Article 22.2(b) of the TRIPS Agreement, because Australia does not provide effective

protection against acts of unfair competition with respect to geographical indications, for example, creating confusion among consumers with respect to the origin of goods;

Article 24.3 of the TRIPS Agreement, because Australia is diminishing the level of

protection it affords to geographical indications as compared with the level of protection that existed prior to 1 January 1995; and

Article III:4 of the GATT 1994, because the measures at issue accord to imported

tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin.

Indonesia reserves the right to raise additional claims or matters during the course of these consultations, and in any future request for panel proceedings. Indonesia looks forward to Australia's response to this request and to fixing a mutually acceptable date for consultations.

__________

WT/DS467/15

6 March 2014

(14-1346) Page: 1/3

Original: English

AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS

APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING

REQUEST FOR THE ESTABLISHMENT OF A PANEL BY INDONESIA

The following communication, dated 3 March 2014, from the delegation of Indonesia to the Chairperson of the Dispute Settlement Body, is circulated pursuant to Article 6.2 of the DSU.

_______________ On 20 September 2013, the Government of Indonesia requested consultations with the Government of Australia pursuant to Article 4 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes ("DSU"), Article XXII of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 ("GATT 1994"), Article 64.1 of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights ("TRIPs Agreement"), and Article 14.1 of the Agreement on Technical Barriers to Trade ("TBT Agreement") with respect to certain Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications, and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging. Consultations were held on 29 October 2013 with a view to reaching a mutually satisfactory solution. These consultations clarified certain issues pertaining to this matter, but failed to resolve the dispute. Therefore, Indonesia respectfully requests, pursuant to Articles 4.7 and 6 of the DSU, Article XXIII of GATT 1994, Article 64.1 of the TRIPs Agreement, and Article 14.1 of the TBT Agreement, that the Dispute Settlement Body ("DSB") establish a Panel to examine this matter. Indonesia asks that this request be placed on the agenda of the DSB meeting to be held on 26 March 2014. Indonesia further requests that the Penal have the standard terms of reference, as set forth in Article 7.1 of the DSU. A. Specific Measures at Issue This request for establishment of a Panel concerns the following measures:

Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, "An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes";

Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011,

No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);

Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011, Act No. 149 of 2011,

"An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes"; and

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.

The measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products. The measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves. The measures also

WT/DS467/15

- 2 -

establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements. The measures require, inter alia, the following:

With respect to the retail packaging of tobacco products, the measures (i) regulate the appearance of trademarks and geographical indications, including by prohibiting the display of design and figurative features, including those forming part of these intellectual property rights; (ii) prescribe that the brand and variant names forming part of trademarks appear on the front face, top and bottom of the package in a uniform typeface, font, size, color, and placement1; (iii) prohibit the display of other words (except for basic information, including country of origin and manufacturer contact details); and (iv) mandate a matt finish and drab dark brown color (Pantone 448C) for retail packaging;

the measures establish that individual cigarettes may not display trademarks,

geographical indications or any other marking other than an alphanumeric code for product identification purposes;

the measures provide that individual cigars may carry: the brand name, variant name,

country of origin, and an alphanumeric code; these must be displayed in a uniform typeface, font, size, and color on a single band in a drab dark brown color (Pantone 448C)2; and

the measures regulate other aspects of both tobacco packaging and tobacco products,

such as the following requirements: (i) a retail package for cigarettes must be in a prescribed size, form and material; (ii) cigarettes must be white3; and (iii) a cigar tube must be cylindrical, rigid, and have an opening of at least 15 mm.

B. Legal Basis of the Complaint These measures regulating the plain packaging and appearance of tobacco products for retail sale appear to be inconsistent with Australia's obligations under the following provisions of the TBT Agreement, the TRIPS Agreement, and the GATT 1994:

Article 2.1 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue accord to imported tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin;

Article 2.2 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue create

unnecessary obstacles to trade because they are more trade-restrictive than necessary to fulfill a legitimate objective;

Article 1.1 of the TRIPS Agreement, because Australia has failed to give effect to the

following provisions of the TRIPS Agreement;

Article 2.1 of the TRIPS Agreement, which incorporates the provisions of the Paris Convention for the Protection of Industrial Property, as amended by the Stockholm Act of 1967 ("Paris Convention"), in particular, (i) Article 6quinquies of the Paris Convention, because trademarks registered in a country of origin outside Australia are not protected "as is"; and, (ii) Article 10bis of the Paris Convention, because Australia does not provide effective protection against unfair competition, for example, creating confusion between the goods of competitors;

1 The brand name and variant must be displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 14 points for

the brand name and 10 points for the variant name; with only the first letter capitalized; in regular font; in the color Pantone Cool Gray 2C; and below the graphic health warning on the front surface of cigarette packs.

2 They must appear only once on the band and be displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 10 points in size; in regular font; and in the color Pantone Cool Gray 2C. The brand and variant name should be placed horizontally along the length of the band so that they run around the circumference of the cigar.

3 However, a cigarette may include an imitation cork tip that is printed brown, and is placed over a filter tip.

WT/DS467/15

- 3 -

Article 3.1 of the TRIPS Agreement, because Australia accords to nationals of other Members treatment less favorable than it accords to its own nationals with respect to the protection of intellectual property;

Article 15.4 of the TRIPS Agreement, because the nature of the goods to which a

trademark is to be applied forms an obstacle to the registration of the trademark;

Article 16.1 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of registered trademarks from enjoying the rights conferred by a trademark;

Article 16.3 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of

registered trademarks that are "well known" or might become "well known" from enjoying the rights conferred by a trademark;

Article 20 of the TRIPS Agreement, because the use of trademarks in relation to

tobacco products is unjustifiably encumbered by special requirements, such as (i) use in a special form, for example, the uniform typeface, font, size, color, and placement of the brand name, and, (ii) use in a manner detrimental to the trademark's capability to distinguish tobacco products of one undertaking from tobacco products of other undertakings;

Article 22.2(b) of the TRIPS Agreement, because Australia does not provide effective

protection against acts of unfair competition with respect to geographical indications, for example, creating confusion among consumers with respect to the origin of goods;

Article 24.3 of the TRIPS Agreement, because Australia is diminishing the level of

protection it affords to geographical indications as compared with the level of protection that existed prior to 1 January 1995; and

Article III:4 of the GATT 1994, because the measures at issue accord to imported

tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin.

C. Request for the Establishment of a Panel Accordingly, Indonesia requests, pursuant to Article 4.7 and 6 of the DSU, Article XXIII of GATT 1994, Article 64.1 of the TRIPs Agreement, and Article 14.1 of the TBT Agreement, that the DSB establish a Panel with the standard terms of reference as set out in Article 7.1 of the DSU. Indonesia asks that this request be placed on the agenda of the meeting of the DSB scheduled for 26 March 2014.

__________

WT/DS467/17

6 May 2014

(14-2740) Page: 1/1

AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS

APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING

CONSTITUTION OF THE PANEL ESTABLISHED AT THE REQUEST OF INDONESIA

NOTE BY THE SECRETARIAT

1. At its meeting on 26 March 2014, the Dispute Settlement Body (DSB) established a panel pursuant to the request of Indonesia in document WT/DS467/15, in accordance with Article 6 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). 2. The Panel's terms of reference are the following:

To examine, in the light of the relevant provisions of the covered agreements cited by the parties to the dispute, the matter referred to the DSB by Indonesia in document WT/DS467/15 and to make such findings as will assist the DSB in making the recommendations or in giving the rulings provided for in those agreements.

3. On 23 April 2014, Australia requested the Director-General to determine the composition of the Panel, pursuant to Article 8.7 of the DSU. This paragraph provides:

If there is no agreement on the panelists within 20 days after the date of the establishment of a panel, at the request of either party, the Director-General, in consultation with the Chairman of the DSB and the Chairman of the relevant Council or Committee, shall determine the composition of the panel by appointing the panelists whom the Director-General considers most appropriate in accordance with any relevant special or additional rules or procedures of the covered agreement or covered agreements which are at issue in the dispute, after consulting with the parties to the dispute. The Chairman of the DSB shall inform the Members of the composition of the panel thus formed no later than 10 days after the date the Chairman receives such a request.

4. On 5 May 2014, the Director-General accordingly composed the Panel as follows: Chairperson: Mr Alexander Erwin Members: Mr François Dessemontet Ms Billie Miller 5. Argentina, Brazil, Canada, Chile, China, Cuba, the Dominican Republic, the European Union, Guatemala, Honduras, India, Japan, the Republic of Korea, Malawi1, Malaysia, Mexico, New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Oman, Peru, the Philippines, the Russian Federation, Singapore, Chinese Taipei, Thailand, Turkey, Ukraine, the United States, Uruguay, and Zimbabwe have reserved their rights to participate in the Panel proceedings as third parties.

__________

1 On 14 April 2014, Malawi notified its interest to participate as a third party.

WT/DS467/18

14 October 2014

(14-5863) Page: 1/1

Original: English

AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS

APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING

COMMUNICATION FROM THE CHAIRPERSON OF THE PANEL

The following communication, dated 10 October 2014, was received from the Chairperson of the Panel with the request that it be circulated to the Dispute Settlement Body.

_______________ Article 12.8 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) provides that the period in which a panel shall conduct its examination, from the date that the composition and terms of reference of the panel have been agreed upon until the date the final report is issued to the parties to the dispute, shall, as a general rule, not exceed six months. Article 12.9 of the DSU provides that, when a panel considers that it cannot issue its report within six months, it shall inform the Dispute Settlement Body (DSB) in writing accordingly and indicate the reasons, together with an estimate of the period within which it will issue its report. The Panel in Australia – Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging (WT/DS467) was established by the DSB on 26 March 2014 and composed on 5 May 2014. The Panel expects to issue its final report to the parties not before the first half of 2016, in accordance with the timetable adopted by the Panel on 17 June 2014 on the basis of a draft timetable proposed by the parties.

__________

WT/DS467/19

27 October 2014

(14-6238) Page: 1/18

Original: English

AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS

APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING

COMMUNICATION FROM THE PANEL

The following communication, dated 22 October 2014, was received from the Chairperson of the Panel with the request that it be circulated to the Dispute Settlement Body (DSB).

_______________ On 7 May 2014, Australia submitted to the Panel a request for a preliminary ruling concerning the consistency of Indonesia's request for the establishment of a Panel (WT/DS467/15) with Article 6.2 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes. On 19 August 2014, the Panel issued the attached preliminary ruling to the parties and third parties. After consulting the parties to the dispute, the Panel decided to inform the Dispute Settlement Body (DSB) of the content of its preliminary ruling. Therefore, I would be grateful if you would circulate this letter and the attached preliminary ruling to the Members of the DSB.

WT/DS467/19

- 2 -

PRELIMINARY RULING BY THE PANEL

1 PROCEDURAL BACKGROUND ....................................................................................... 2 

2 AUSTRALIA'S REQUEST FOR A PRELIMINARY RULING ................................................ 2 

3 MAIN ARGUMENTS OF THE PARTIES ........................................................................... 2 

3.1 Australia .................................................................................................................. 2 

3.2 Indonesia ................................................................................................................. 6 

4 MAIN ARGUMENTS OF THE THIRD PARTIES ................................................................ 8 

5 ANALYSIS BY THE PANEL ............................................................................................ 9 

5.1 The requirement to "identify the specific measures at issue" ........................................... 10 

5.2 Whether Indonesia's panel request identifies the specific measures at issue ...................... 14 

1 PROCEDURAL BACKGROUND

1.1. On 7 May 2014, Australia submitted to the Panel a request for a preliminary ruling concerning the consistency of Indonesia's panel request with the DSU.

1.2. Australia requested that the Panel make a preliminary ruling on this matter as early as possible (and in particular, that the Panel issue its preliminary ruling before the filing of first written submissions by the parties). Australia also requested the opportunity to respond to any submissions made by Indonesia in relation to this preliminary ruling request.

1.3. On 11 June 2014, Indonesia responded to Australia's requests. Also on 11 June 2014, the Panel provided the third parties with an opportunity to comment on Australia's preliminary ruling request. On 17 June 2014, the Panel received comments from the European Union. On 18 June 2014, the Panel received comments from Argentina, the Dominican Republic, Guatemala, Honduras and Mexico.

1.4. On 1 July 2014, the Panel received comments from Australia on Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling. Indonesia did not submit further comments on Australia's comments.

2 AUSTRALIA'S REQUEST FOR A PRELIMINARY RULING

2.1. Australia requests that the Panel make a preliminary ruling excluding from its terms of reference "the non-exhaustive list of related measures and measures that 'complement or add to' the measures explicitly identified in Indonesia's panel request", on the basis that the panel request does not identify the specific measures at issue contrary to the requirements of Article 6.2 of the DSU.1

2.2. We first describe below the arguments of the parties and third parties, before proceeding with our assessment of Australia's request.

3 MAIN ARGUMENTS OF THE PARTIES

3.1 Australia

3.1. Australia requests the Panel to exclude from the Panel's terms of reference the non-exhaustive list of related measures and measures that "complement or add to" the measures

1 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 1.

WT/DS467/19

- 3 -

explicitly identified in Indonesia's panel request on the basis that the request does not identify the specific measures at issue, contrary to the requirements of Article 6.2 of the DSU. In particular, Australia submits that Indonesia's panel request should instead read:

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.2

3.2. Australia submits that, as a responding party, it is entitled to know the case it is required to answer and that the deficiencies in Indonesia's panel request have prejudiced, and continue to prejudice, the preparation of Australia's defence, thereby violating its "fundamental right to due process in these proceedings".3

3.3. Australia submits that it is crucial that a complainant identify in its panel request the specific measures at issue as required by Article 6.2 of the DSU because this sets the panel's terms of reference and serves an important due process objective.4 Referring to the Oxford English Dictionary, Australia submits that "specific" is defined as "[s]pecially or peculiarly pertaining to a particular thing or person, or a class of these… clearly or explicitly defined; precise, exact; definite".5 Australia argues that a complaining party must therefore establish the identity of the precise measures at issue.6 Australia further submits that, in determining consistency with Article 6.2 of the DSU, a panel must "analyse whether the measures that the complaining party is contesting were identified such that the respondent party received 'adequate notice'" of the measures at issue.7

3.4. Australia argues that Indonesia's panel request does not identify the specific measures at issue in two key ways. Specifically, Australia challenges: (i) the use of the term "including", which defines the "related measures" in a non-exhaustive way; and (ii) the attempt to include unspecified measures that "complement or add to" those explicitly named in the panel request ("complementary or additional measures").8

3.5. In relation to the use of the word "including", Australia argues that Indonesia "attempts to include a non-exhaustive and therefore indeterminate list" of "related measures" within the Panel's terms of reference. As a result, Indonesia has not provided Australia with adequate notice of the measures being challenged, "or even a complete and specific list" of the "related measures" that it purports to challenge.9 Australia draws an analogy with the panel request in China – Raw Materials, in which the complainants preceded the list of challenged measures with the phrase "among others". The panel concluded that the complainants could not use this phrase to include an "open-ended" list of measures, as this would "not contribute to the 'security and predictability' of the WTO dispute settlement system".10 Australia notes that, in that dispute, only those measures that were explicitly identified by the complainants fell within the panel's terms of reference.11 Australia submits that the issue before that panel is analogous to the one presented in Indonesia's panel request. In particular, apart from the categories of "related measures" actually listed, Indonesia provides no indication of what "other forms" such unspecified measures could take. Australia therefore argues that it has not been provided with notice of the measures under

2 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 1. 3 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 2. 4 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 4 (citing

Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 5 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 5 (citing

Shorter Oxford English Dictionary, (6th ed., 2007), p. 2944). 6 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 5 (citing

Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 7 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 5 (citing

Panel Report, China – Publications and Audiovisual Products, para. 7.20). 8 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 8. 9 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 9. 10 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10 (citing

Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, 'First Phase of Preliminary Ruling', para. 12, p. F-6). 11 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10 (citing

Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, 'First Phase of Preliminary Ruling', para. 13, p. F-6).

WT/DS467/19

- 4 -

challenge, which creates "considerable uncertainty" as to the identity, number and content of the measures at issue.12

3.6. In relation to "complementary or additional measures", Australia submits that Indonesia's panel request fails to identify the specific measures at issue because it provides no guidance on what it means when it refers to measures that "complement or add to" the listed instruments. Australia argues that this adds further to the uncertainty regarding the identity, number and content of the laws and regulations under challenge, and "forces Australia to speculate regarding the measures at issue if it is to begin to prepare its defence".13 Australia submits that Indonesia's panel request impermissibly shifts the burden of attempting to identify the complementary or additional measures at issue to Australia.14

3.7. Australia notes that whether a panel request identifies the specific measures at issue may depend on the particular context in which those measures operate and may require examining the extent to which they are capable of being precisely identified.15 Australia submits that in the specific context of tobacco regulation, Indonesia's attempt to include complementary or additional measures does not identify the "precise, exact or definite measures at issue" and fails to provide Australia with adequate notice of these measures.16

3.8. Australia submits that "the uncertainty regarding the scope of the related measures arises because of the particular context in which Australia's tobacco plain packaging measure exists and operates, namely as part of a comprehensive range of complementary tobacco control measures".17 It considers that in this context, the references in the panel request of Indonesia to a non-exhaustive list of "related" measures, "including" those that "complement" or "add to" the named measures, are not sufficient to identify the specific measures at issue in this dispute. Rather, Australia submits that the inclusion of "these broad and vague terms" in a dispute that concerns one of Australia's tobacco control measures (that is, tobacco plain packaging in its context as part of a complementary range of tobacco control measures) does not identify sufficiently the scope of the measures at issue such that Australia is informed of the case it has to answer.18

3.9. Australia notes that, "in speculating about the possible complementary or additional measures that Indonesia purports to challenge, Australia has had cause to consider that, in line with established international best practice, its tobacco plain packaging measure is part of a comprehensive range of tobacco control measures". Australia submits that this comprehensive approach to tobacco control is mandated by the World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Australia notes that this treaty currently has 178 parties and was developed "in response to the globalisation of the tobacco epidemic". Australia notes that the FCTC emphasizes that "comprehensive multisectoral measures and responses" to reduce consumption of all tobacco products are essential to prevent the incidence of diseases, premature disability and mortality due to tobacco consumption and exposure to tobacco smoke.19 Australia also observes that the FCTC "mandates" that each party to it "develop, implement, periodically update and review comprehensive multisectoral national tobacco control strategies, plans and programmes" in accordance with the FCTC.20

12 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10 (referring

to Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 13 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 12. 14 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 12 (referring

to Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 15 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 13 (citing

Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 220). 16 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 14. 17 Australia's comments on responses to Australia’s requests for preliminary rulings, para. 29. 18 Australia's comments on responses to Australia’s requests for preliminary rulings, para. 30. 19 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 15 (citing

the WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), done at Geneva, 3 May 2003, 2302 U.N.T.S.166; 42 International Legal Materials 518, Article 4.4).

20 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 16 (citing the WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), done at Geneva, 3 May 2003, 2302 U.N.T.S.166; 42 International Legal Materials 518, Article 5.1).

WT/DS467/19

- 5 -

3.10. Australia notes that if "general tobacco control measures" are "indeed the types of complementary or additional measures Indonesia refers to in its panel request (which is not clear and is a matter of speculation)", Australia's tobacco control measures "span back decades" and have been implemented at the federal, state and territory, and local municipality level. Australia asserts that it has implemented its tobacco plain packaging measure as part of a comprehensive range of measures in order to achieve its public health objectives, "in line with its FCTC obligations". Australia's identifies a large number of measures included in its "comprehensive range of tobacco control measures".21 It adds that this is a non-exhaustive list, and that each of these measures includes multiple laws and regulations that may have been adopted at the federal, state or local level, such that Australia's tobacco control measures number in the hundreds. Australia argues that it "cannot be the case that Indonesia intends to challenge every current or future tobacco control measure implemented in Australia" and that, in these circumstances, Indonesia is obliged to identify the specific measures at issue so that Australia is informed of the case it has to answer.22

3.11. Australia adds that if Indonesia's reference to complementary or additional measures "is intended to refer to certain tobacco control measures currently in force in Australia (apart from tobacco plain packaging), there is no reason why these measures could not be explicitly named, other than to prejudice Australia's defence". Australia argues that this is in contrast to amending measures which may not come into existence until after a panel request is submitted and therefore may legitimately be listed by category rather than by the unknown future name of the amending law or regulation.23

3.12. In sum, Australia considers that Indonesia has not identified the specific measures at issue in a way that is "precise", "exact" or "definite", contrary to Article 6.2 of the DSU, and has not provided reasonable notice to Australia as to the case it has to answer.24 Observing that "where a panel request fails to identify adequately particular measures or fails to specify a particular claim, then such measures or claims will not form part of the matter covered by the panel's terms of reference"25, Australia requests that the Panel find that its terms of reference are limited to the measures specifically identified in the panel request, and that the remainder of its terms of reference be limited in the following manner set out in paragraph 3.1 above.

3.13. Australia notes that "a deficient panel request will fail to meet the requirements of Article 6.2 of the DSU regardless of whether the respondent is able to defend itself", but also that the deficiencies in Indonesia's panel request have in fact prejudiced Australia's ability to defend itself in this dispute.26 Australia observes that "[i]n a WTO dispute, the complainant decides when to bring its dispute, and may therefore take as much time as it needs to prepare its offensive case. By contrast, a responding party has only a limited timeframe in which to respond to the complainant's first written submission." Australia submits that it is therefore critical that a panel request provide a responding party with sufficient clarity as to the case it has to answer in advance of receiving the complainant's first written submission, and notes that "[t]his due process requirement 'is fundamental to ensuring a fair and orderly conduct of dispute settlement proceedings'".27 In light of this, Australia argues that a panel request should be examined very

21 Australia specifically identifies "increasing excise and excise-equivalent customs duty on tobacco and

tobacco-related products; minimum age restrictions on the purchase and sale of tobacco products; comprehensive bans on tobacco advertising and promotion, including bans on internet advertising of tobacco products; retail display bans; bans on smoking in offices, bars, restaurants and other indoor public spaces, and increasingly outdoor places, particularly those where children may be exposed to environmental tobacco smoke; extensive and continuing public education campaigns on the dangers of smoking; compulsory health warnings on the packaging of tobacco products; the listing of nicotine replacement therapies and other smoking cessation supports on Australia's Pharmaceutical Benefits Scheme; "Quitlines" and other smoking cessation support services; investment in anti-smoking social marketing campaigns; support for Aboriginal and Torres Strait Islander communities to reduce smoking rates; and stronger penalties for people convicted of tobacco smuggling offences".

22 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, paras. 17-18. 23 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 19. 24 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 20. 25 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 22 (quoting

Appellate Body Report, Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes, para. 120). 26 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 23. 27 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 24 (citing

Appellate Body Report, Thailand – H-Beams, para. 88).

WT/DS467/19

- 6 -

carefully to ensure its compliance with both the letter and the spirit of Article 6.2 of the DSU.28 Citing the Appellate Body, Australia argues that prejudice is to be determined on the basis of whether a defending party was made aware of the claims presented by the complaining party, sufficient to allow it to defend itself.29

3.14. Australia also notes that defects in a panel request cannot be cured by subsequent submissions of the parties during the panel proceedings30, and that compliance with the requirements of Article 6.2 must be demonstrated on the face of the request for the establishment of a panel.31 Australia therefore submits that Indonesia cannot overcome the deficiencies in its panel request by clarifying the legal basis of this claim in its first written submission.

3.2 Indonesia

3.15. Indonesia requests the Panel to reject Australia's request because (i) Indonesia has met the requirements of Article 6.2 of the DSU as there is no ambiguity in its panel request regarding the measures at issue; (ii) Australia's objection is premature and without merit; and (iii) "while Indonesia could suffer prejudice as a result of Australia's proposed terms of reference, the reverse is not true".32

3.16. Turning first to the requirements of Article 6.2, Indonesia characterizes as mistaken Australia's assertion that the obligation to identify the specific measures at issue means that a panel request must establish the "precise, exact" or "definite" identity of the measures at issue. Referring to the Appellate Body, Indonesia stressed that "the identification of a measure within the meaning of Article 6.2 need be framed only with sufficient particular[ity] [ ]so as to indicate the nature of the measure and the gist of what is at issue".33 Indonesia also notes that a panel request, though it allows the respondent to begin preparing its defence, does not amount to a requirement allowing the defendant to fully develop its defence on the sole basis of the complainant's request.34

3.17. Indonesia first submits that Australia's challenge lacks merit because there is no true ambiguity in its panel request. Indonesia observes that Australia's specific objection to Indonesia's panel request is that the words "including", "complement," and "add to" create a non-exhaustive list of measures that could conceivably include Australia's entire tobacco control regime. Indonesia argues that, when read in context, this provision allows the Panel to address only those plain packaging measures that are not specifically listed in the panel request.35 Indonesia observes that these terms are qualified by the term "related measures," in direct reference to the three specific plain packaging measures listed in the immediately preceding bullet point in Indonesia's panel request. The terms are also qualified by the description of their function in the next paragraph of Indonesia's request, which describes the measures at issue as those that "establish comprehensive requirement[s] regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products …". Indonesia submits that the plain language of the panel request indicates that "there can be no mistaking Indonesia's intent to challenge only measures that are directly related to Australia's tobacco plain packaging regime".36

28 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 24 (citing

Appellate Body Reports, EC – Bananas (III), para. 142 and Korea – Dairy, para. 130). 29 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 25 (citing

Appellate Body Report, Thailand – H-Beams, para. 95). 30 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 28 (citing

Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127). 31 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 28 (citing

Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127). 32 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 1. 33 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para 4 (citing Appellate Body Report, US – Continued Zeroing, paras. 168-169). 34 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 5 (citing Preliminary Ruling, India – Agricultural Products, para. 3.3). 35 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 6. 36 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 8.

WT/DS467/19

- 7 -

3.18. Indonesia refers to Australia's reliance on China – Raw Materials, in which case "there was actual ambiguity as to the complainant's intent". Indonesia submits that the circumstances of that case are "manifestly not the case in the present dispute". Indonesia argues that the terms of reference strike the proper balance between specificity and flexibility, and are neither vague nor "open-ended" in scope. Indonesia argues that "Australia feigns confusion in its Preliminary Ruling Request by 'speculating' that the panel request could be read as a challenge to a long list of tobacco control measures unrelated to Australia's plain packaging regime", but that this position is unpersuasive given that Indonesia refers to "measures relating to plain packaging" throughout its panel request.37 Indonesia argues that it has, therefore, satisfied its obligation under Article 6.2 of the DSU to provide Australia with a specific indication of the measures at issue and a sufficiently clear presentation of the dispute.38

3.19. Indonesia argues that the Panel may find further confirmation of the intended scope of this dispute in the attendant circumstances. Indonesia notes that its statements at the DSB, the Council for TRIPS, and the TBT Committee, Indonesia and its "co-complainants" have consistently focused on Australia's plain packaging requirements and no other facet of Australia's tobacco control regime. Neither Indonesia nor Australia "have ever raised in these fora any of the 'multiple laws and regulations that may have been adopted at the federal, state or local level' that 'number in the hundreds,' of which Australia is now seemingly concerned".39 Indonesia argues that it is not its intention to challenge every current or future tobacco control measure implemented in Australia, and that the measures at issue are limited to those measures relating to plain packaging requirements.40

3.20. Indonesia also argues that Australia's objections are premature and unnecessary. Given that Indonesia's panel request satisfies the requirements of Article 6.2, the challenged language in Indonesia's panel request does not prejudice Australia's interests. Indonesia is of the view that Australia's objection would be more appropriately raised in response to the identification by Indonesia of a specific measure it believes would fall within the scope of the challenged language. Indonesia argues that this approach is in line with the preliminary ruling of the panel in India – Agricultural Products, in which the panel noted that disputes regarding whether a related measure falls within a panel's terms of reference have typically arisen after the complainant sought to challenge a particular legal instrument not specifically referenced in the panel request.41 That panel noted that no "related" measure had been raised in the dispute before it and, therefore, it was "premature and indeed unnecessary to make a determination in the abstract, at this preliminary stage, as to precisely which measures fell within the Panel's terms of reference by virtue of the inclusion of the terms "related measures, or implementing measures" in the panel request.42 Indonesia submits that similar circumstances exist in the instant dispute. Indonesia observes that it is yet to make submissions to the Panel, and that Australia is speculating at this juncture about what possible measures Indonesia may raise. Indonesia submits that if Australia wishes to challenge a particular measure raised by Indonesia pursuant to the challenged language falling outside the terms of reference of the Panel, it will have every opportunity to do so. Indonesia submits that, [u]ntil written briefing in this case has commenced, as was the case in India – Agricultural Products, it is premature and indeed unnecessary for the Panel to opine on Australia's request.43

3.21. Indonesia argues that the challenged language is necessary to protect Indonesia's interests. Specifically, Indonesia stated that it is necessary to protect Indonesia's rights should Australia

37 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, paras. 9-10. 38 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 11. 39 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 12 (citing Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 18.)

40 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 12.

41 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 14 (referring to Preliminary Ruling, India – Agricultural Products, para. 3.49).

42 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 15 (citing Preliminary Ruling, India – Agricultural Products, para. 3.50).

43 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 16.

WT/DS467/19

- 8 -

adopt measures that are closely connected to the plain packaging measures listed in Indonesia's panel request, or change the legal nature of the existing plain packaging measures (e.g., by withdrawing and reissuing measures in a slightly different form) during the course of the Panel proceeding. Indonesia adds that this precise circumstance arose in EC – Chicken Cuts, whereby Brazil was unable to challenge new regulations because its panel request did not allow for sufficient flexibility to include additional measures other than those specifically listed in its request.44

3.22. Indonesia argues, on the basis of prior jurisprudence45, that because measures that come into existence during the course of the Panel's proceeding may be challenged only if the panel request is sufficiently broad to allow for it, Indonesia's procedural rights could be impaired if the challenged language is struck from its panel request.46

3.23. For these reasons, Indonesia submits that the Panel should reject Australia's request for a preliminary ruling to revise the terms of reference included in Indonesia's panel request.

4 MAIN ARGUMENTS OF THE THIRD PARTIES

4.1. Argentina considers that, reading the panel requests as a whole and taking into account the context of the paragraph in question, it is clear from the text of the challenged paragraph that the complementary or additional measures concerned are directly related to Australia's plain packaging legislation. Argentina submits that among those related measures are the measures that are included, be they measures that complement or add to these laws and regulations. Argentina submits that the text of Indonesia's request refers to the measures that constitute the plain packaging legislation, and not to any other type of measure with no connecting link other than a reference to tobacco or health.47 Argentina considers that the terms at issue "are included in claims, and that those claims in turn are presented collectively and under the same heading: tobacco plain packaging measures, for which reason Argentina believes that the measures are presented in a clear and distinct manner and that the scope of the complaints is, therefore, precise".48 Argentina therefore argues that it is unnecessary to make the changes requested by Australia.49

4.2. The Dominican Republic considers that the Panel should reject Australia's request, for the same reasons as it has invoked in respect of Australia's similar request concerning its own panel request.50

4.3. The European Union submits that Australia's concerns regarding the specific measure at issue have been expressly and specifically allayed by Indonesia. The European Union notes that this issue appears to be moot and is likely to remain so. It therefore suggests that the Panel consider deferring a ruling on this matter to a later stage of the proceedings, following a similar approach to that of the Panel in India – Agricultural Products.51

4.4. Guatemala observes that the "co-complainants" consistently refer to the challenged measures as "plain packaging measures" and that the words "including", "complement" and "add to" appear to be limited to the reference to plain packaging measures.52 Guatemala adds that nothing in the text of the panel requests appears to support the view that there "is uncertainty regarding the identity, number and content of the laws and regulations under challenge." Guatemala states that "[t]he fundamental problem with Australia's objections seems to be requesting the Panel to make a determination in the abstract", and that the circumstances in India

44 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 18 (citing Panel Report, EC − Chicken Cuts, paras. 7.28-7.29).

45 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, paras. 19-20 (discussing Panel Reports, US — Continued Zeroing, and EC — IT Products).

46 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 21.

47 Argentina's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 9-15. 48 Argentina's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 22. 49 Argentina's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 24. 50 The Dominican Republic's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings,

para. 4. 51 The European Union's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 33. 52 Guatemala's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 2.8.

WT/DS467/19

- 9 -

– Agricultural Products could be "extrapolated" to the circumstances in the present cases. Finally, Guatemala states that Australia cannot obtain an order from the Panel which effectively modifies the panel request by striking out parts of its language, as the panel request is not subject to amendments, once a panel is established.53

4.5. Honduras argues that there is no basis in the text of Indonesia's panel request for Australia to claim that it is unclear which, if any, of Australia's current or future tobacco control measures Australia is required to defend in addition to the plain packaging measure. Honduras adds that the additional measures listed in Australia's request would clearly not be "plain packaging measures" and would not be considered measures that are "related" to three specific legal instruments, all of which regulate the packaging of tobacco products.54

4.6. Honduras argues that Australia's objection to the use of the term "including" lacks merit because the narrative description of the measure, together with the identification of three specific legal instruments and the residual sub-category of "related" measures, identify the measures at issue as plain packaging measures with sufficient precision. For Honduras, the listing of particular examples within that residual sub-category or "related" measures (through the use of the term "including") logically cannot create an impermissible open-ended list of measures.55 In addition, Honduras argues that Australia's objection to the use of the terms "complement" and "add to" also lacks merit as the terms "complement" or "add to" "textually must refer to those measures that are related to the plain packaging measures".56

4.7. Honduras adds that residual clauses of the kind used by Indonesia are "an important tool by which complainants preserve their right to maintain within a panel's terms of reference future measures that do not alter the essence of the existing measures".57

4.8. Honduras also believes that Australia's request is premature and that it is therefore not necessary for the Panels to address Australia's concerns at this point in time. Specifically, there is no evidence that the complainants may be planning to challenge a measure that does not fall "within the four corners" of their panel requests, and as such Honduras submits that the current circumstances are the same as those in India – Agricultural Products. It would therefore be more prudent for the Panel to revisit this issue if the complainant attempts to include measures within the Panel's terms of reference that are not "related", "complement" or "add to" the plain packaging measures.58

4.9. In Mexico's view, Australia's objection concerning the words "including measures", "complement" and "add to" may be resolved at a later stage in the proceedings. Mexico believes that the same approach could be taken in the present case as was taken by the Panel in India – Agricultural Products, which determined that it was premature and unnecessary to make a determination in the abstract at a preliminary stage as to which measures fall within the Panel's terms of reference. Mexico adds that the Panel could rule as the case progresses and on the basis of the terms of reference which specific measures are included in the terms of reference.59

5 ANALYSIS BY THE PANEL

5.1. The question before us is whether Indonesia's panel request is consistent with the requirement under Article 6.2 of the DSU to identify the specific measure at issue. In particular, Australia challenges the use of the words "including", and "complement or add to" in Indonesia's panel request:

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.

53 Guatemala's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 2.1-2.13. 54 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 5-13. 55 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 14-17. 56 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 19. 57 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 20-21. 58 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 22-24. 59 Mexico's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 27-28.

WT/DS467/19

- 10 -

5.2. As described above, Australia submits that "the use of the term 'including', which defines the 'related measures' in a non-exhaustive way", and "the attempt to include unspecified measures that 'complement or add to' those explicitly named in the panel request" indicate that Indonesia's panel request does not specify the measures at issue.60 Indonesia, for its part, submits that "the Panel should reject Australia's Preliminary Ruling Request because (i) Indonesia has met the requirements of Article 6.2 of the [DSU] in that there is no ambiguity in its Panel Request as to the measures at issue; (ii) Australia's objection is premature and without merit; and (iii) while Indonesia could suffer prejudice as a result of Australia's proposed terms of reference, the reverse is not true".61

5.3. We first consider the requirements of Article 6.2 in respect of the identification of the measures at issue, before turning to our assessment of Indonesia's panel request in light of these requirements.

5.1 The requirement to "identify the specific measures at issue"

5.4. Article 6.2 of the DSU provides as follows:

The request for the establishment of a panel shall be made in writing. It shall indicate whether consultations were held, identify the specific measures at issue and provide a brief summary of the legal basis of the complaint sufficient to present the problem clearly.

5.5. As described by the Appellate Body, Article 6.2 contains two distinct requirements, namely (1) the identification of the specific measures at issue and (2) the provision of a brief summary of the legal basis of the complaint (or the claims).62 Together, these elements comprise the "matter referred to the DSB", which forms the basis for a panel's terms of reference under Article 7.1 of the DSU.63

5.6. Article 6.2 serves the function of establishing and delimiting the panel's jurisdiction.64 It serves a "pivotal function" in WTO dispute settlement65 in that, to the extent that a panel request fails to identify "the specific measures at issue" and/or "to provide a brief summary of the legal basis of the complaint", such measures and/or claims do not fall within a panel's terms of reference and that panel would not have jurisdiction to make findings in respect of them.66

5.7. In addition, by establishing and defining the jurisdiction of the panel, the panel request fulfils the due process objective of providing the respondent and third parties notice regarding the nature of the complainant's case67 to enable them to respond accordingly.68

60 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 8. 61 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel

request, para. 1. 62 Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 219; and EC and certain member States –

Large Civil Aircraft, para. 639. 63 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.6 (citing

Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 639 (referring to Appellate Body Reports, Guatemala – Cement I, paras. 72-73; US – Carbon Steel, para. 125; US – Continued Zeroing, para. 160; US – Zeroing (Japan) (Article 21.5 – Japan), para. 107; and Australia – Apples, para. 416).

64 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.6 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; US – Continued Zeroing, para. 161; and EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 640).

65 Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 219. 66 See, for example, Appellate Body Report, US – Continued Zeroing, para. 161 ("[A]s a panel's terms of

reference are established by the claims raised in panel requests, the conditions of Article 6.2 serve to define the jurisdiction of a panel".)

67 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.7 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; US – Carbon Steel, para. 126; and EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 640).

68 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.7 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; Chile – Price Band System, para. 164; and US – Continued Zeroing, para. 161).

WT/DS467/19

- 11 -

5.8. The Appellate Body recently summarized the manner in which a panel must determine whether a panel request fulfils the requirements of Article 6.2. Specifically, the Appellate Body stated that:

[A] panel must determine compliance with Article 6.2 "'on the face' of the panel request"69 as it existed at the time of filing. Thus, parties' submissions and statements during the panel proceedings cannot "cure" any defects in the panel request.70 Nevertheless, these subsequent submissions and statements may be consulted to the extent that they may confirm or clarify the meaning of the words used in the panel request.71 In any event, the determination of the conformity with Article 6.2 should be done on a case-by-case basis, considering the particular context in which the measures exist and operate.72 This determination must be done on an objective basis, such that any circumstances taken into account may not contemplate those that are relevant only to a party to the panel proceedings.73

5.9. The requirement to identify the specific measures at issue serves to define the "object of the challenge", or, more precisely, "the measure that is alleged to be causing the violation of an obligation contained in a covered agreement".74 The Appellate Body has observed that "the clear identification of the specific measures at the outset is central to define the scope of the dispute to be addressed by a panel".75 It also serves to ensure that the respondent is in a position to defend itself:

The word "specific" in Article 6.2 establishes a specificity requirement regarding the identification of the measures that serves the due process objective of notifying the parties and the third parties of the measure(s) that constitute the object of the complaint.76

5.10. Whether or not a panel request satisfies this requirement must be assessed "on the merits of each case, having considered the panel request as a whole, and in the light of attendant circumstances".77 The Panel must therefore "scrutinize carefully the panel request, read as a whole, and on the basis of the language used".78 In addition, "whether a panel request identifies the 'specific measures at issue' may depend on the particular context in which those measures operate and may require examining the extent to which they are capable of being precisely identified".79

5.11. In light of the nature of Australia's request, we will consider how this requirement applies in relation to panel requests that define the measures at issue in part without naming them (that is, in a manner other than by specifically enumerating the measures at issue, such as, for example, by referring to "related" measures, "implementing" measures, or "amending" measures). We note that such references are not uncommon in panel requests, and have been challenged in previous disputes.

5.12. For example, the panel request in EC – Bananas III referred to EC Regulation 404/93 and "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures, including those reflecting the

69 (footnote original) Appellate Body Report, US – Continued Zeroing, para. 161 (quoting Appellate Body Report, US –Carbon Steel, para. 127).

70 (footnote original) Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 787 (referring to Appellate Body Reports, EC – Bananas III, para. 143; and US – Carbon Steel, para. 127).

71 (footnote original) See e.g. Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127. 72 (footnote original) Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft,

para. 641. 73 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.9. 74 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.12 (citing

Appellate Body Report, EC – Selected Customs Matters, para. 130). 75 Appellate Body Report, EC – Chicken Cuts, para. 155. 76 Appellate Body Report, EC – Selected Customs Matters, para. 152. 77 Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127. See also Appellate Body Report, Korea – Dairy,

paras. 124-127; Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10, sub-para. 14. 78 Appellate Body Report, EC – Fasteners (China), para. 562 (citing Appellate Body Reports, US –

Carbon Steel, para. 127; US – Oil Country Tubular Goods, paras. 164 and 169; US – Continued Zeroing, para. 161; and US – Zeroing (Japan) (Article 21.5 – Japan), para. 108).

79 Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 220 (citing Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 641).

WT/DS467/19

- 12 -

provisions of the Framework Agreement on bananas, which implement, supplement and amend that regime".80 The panel considered that the "banana regime" challenged by the complainants was "adequately identified", even if the "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures that further refine and implement the basic regulation" were not identified. The Appellate Body agreed that the request contained "sufficient identification of the specific measures at issue to satisfy the requirements of Article 6.2 of the DSU".81 We understand this to indicate that general references to unnamed measures, such as, in that case, measures that "implement, supplement and amend" a primary measure explicitly identified in the panel request, may be capable of satisfying the specificity requirement in Article 6.2 of the DSU.

5.13. We also note that in some cases, by contrast, similar general references have been found insufficient to meet the specificity requirement in Article 6.2. Thus, in EC – Selected Customs Matters, the Appellate Body found that the phrase "implementing measures and other related measures" was "vague and does not allow the identification of the specific instruments that the reference aims to cover", such that it did not "identify the specific measures at issue", as required by Article 6.2 of the DSU.82 In China – Raw Materials, the panel similarly held that the term "related measures" was too broad and did not allow China to know clearly what specific measures were being challenged.83 As observed by the panel in India – Agricultural Products, the broad scope of the enumerated measures in these two disputes appears to have contributed to the conclusion that the terms at issue were insufficiently precise, in the context of those disputes, to meet the specificity requirement of Article 6.2 of the DSU.84

5.14. Overall, these rulings suggest to us that a reference to unnamed measures such as those discussed above is not per se inconsistent with the specificity requirement in Article 6.2. In particular, as noted by Australia, such an approach may allow the complainant to preserve its due process rights85 and thereby assist in ensuring that a positive solution to the dispute can be secured.86 Such language may in particular serve to protect the interests of the complainant in respect of relevant measures not yet in existence at the time of filing the panel request.87 However, whether such a reference meets the specificity requirements of Article 6.2 will depend importantly on the circumstances of the case. Just as with any assessment under this element of Article 6.2, a finding of whether such language is consistent with the specificity requirement under this provision must be based, as described above, on a consideration of the panel request as a whole and of any attendant circumstances, on a case-by-case basis.88

5.15. In this respect, we note the following observations of the panel in Japan – Film:

To fall within the terms of Article 6.2, it seems clear that a 'measure' not explicitly described in a panel request must have a clear relationship to a 'measure' that is specifically described therein, so that it can be said to be 'included' in the specified

80 WT/DS27/6 (emphasis added). 81 Panel Report, EC – Bananas III, para. 7.27; Appellate Body Report, EC – Bananas III, para. 140. 82 In that dispute, the United States had challenged the EC's Community Customs Code, the regulation

implementing the Customs Code, the regulation on the tariff and statistical nomenclature and on the Common Customs Tariff, and the Integrated Tariff of the European Communities, as well as "implementing measures and other related measures". Appellate Body Report, EC – Selected Customs Matters, paras. 2 and 152, footnote 369.

83 Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, para. 17. 84 Preliminary Ruling, India - Agricultural Products, paras. 3.45-3.47. 85 Australia's comments on responses to Australia's requests for preliminary rulings, para. 28. 86 In this regard we note the determination of the panel in EC – Chicken Cuts that two subsequent

measures cited by the complainants in the course of the proceedings did not fall within its terms of reference, based on its determination that Brazil's and Thailand's respective panel requests were "much more narrowly drafted" than the "broadly worded" panel requests at issue in previous cases where panels had found measures not identified specifically in the panel requests to be nevertheless within their terms of reference. (see Panel Reports, EC – Chicken Cuts (Brazil), paras. 7.20-7.32 and EC – Chicken Cuts (Thailand), paras. 7.20-7.32). On appeal, the Appellate Body was not persuaded that the subsequent measures in question could be considered as amendments to the two original measures as argued or that the two sets of measures were, in essence, the same. It also noted that the objective of securing a positive and effective resolution of a dispute "cannot be pursued at the expense of complying with the specific requirements and obligations of Article 6.2" (Appellate Body Report, EC – Chicken Cuts, paras. 157-158 and 161).

87 See for example Appellate Body Report, Chile – Price Band System, paras. 137-138. 88 Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127. See also Appellate Body Report, Korea – Dairy,

paras. 124-127; Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10, sub-para. 14.

WT/DS467/19

- 13 -

measure. In our view, the requirements of Article 6.2 would be met in the case of a 'measure' that is subsidiary or so closely related to a 'measure' specifically identified, that the responding party can reasonably be found to have received adequate notice of the scope of the claims asserted by the complaining party.89

5.16. That panel also stressed that the two elements – close relationship and notice – are inter-related, so that "only if a 'measure' not explicitly identified is subsidiary or closely related to an identified 'measure' will notice be adequate".90

5.17. Like that panel, we are mindful of the role of the panel request in fulfilling due process objectives, for both parties. Due process is a fundamental principle of WTO dispute settlement,91 which informs various provisions of the DSU.92 As we understand it, the requirements of due process imply, in this context, both that the complainant is able to define the scope of its complaint so as to secure a positive solution to the dispute93 and that the panel request identifies the measure(s) at issue with such specificity that all parties and third parties receive adequate notice regarding the nature of the complainant's case.94

5.18. We further note that these requirements of due process continue to manifest themselves in the course of panel proceedings, after the establishment of the panel. We note, in this respect, the observations of the Appellate Body in Chile – Price Band System:

[G]enerally speaking, the demands of due process are such that a complaining party should not have to adjust its pleadings throughout dispute settlement proceedings in order to deal with a disputed measure as a "moving target". If the terms of reference in a dispute are broad enough to include amendments to a measure … and if it is necessary to consider an amendment in order to secure a positive solution to the dispute … then it is appropriate to consider the measure as amended in coming to a decision in a dispute.95 (emphasis added)

89 Panel Report, Japan – Film, para. 10.8. We note that this test has been referred to by subsequent

panels in assessing whether certain measures not expressly identified in the panel request nonetheless fell within the scope of their terms of reference. For instance, the panel in US – Carbon Steel found that a particular measure not identified in the panel request was not a measure that was subsidiary, or so closely related to, any of the measures specifically identified that the responding party could reasonably be found to have received adequate notice of the scope of the claims asserted by the complaining party (see Panel Report, US – Carbon Steel, para. 8.11). The panel in Australia – Salmon (Article 21.5 – Canada) also considered whether measures not expressly named in the panel request were "so closely related" to the measures named in the panel request that the respondent "can reasonably be found to have received adequate notice" of the scope of the complainant's claims (see Panel Report, Australia – Salmon (Article 21.5 – Canada), para. 7.10, subpara. 27).

90 Panel Report, Japan – Film, para. 10.8. 91 The Appellate Body has held that "the protection of due process is an essential feature of a rules-

based system of adjudication, such as that established under the DSU", and that "due process is fundamental to ensuring a fair and orderly conduct of dispute settlement proceedings". (Appellate Body Reports, Canada – Continued Suspension / US – Continued Suspension, para. 433; and Thailand – H-Beams, para. 88, respectively. See also Appellate Body Report, Chile – Price Band System, para. 176).

92 See Appellate Body Report, Mexico – Corn Syrup (Article 21.5 – US), para. 107. See also Appellate Body Reports, India – Patents (US), para. 94; and Chile – Price Band System, para. 176.

93 As the Appellate Body has said, "due process may … require a panel to take appropriate account of the need to safeguard … an aggrieved party's right to have recourse to an adjudicative process in which it can seek redress in a timely manner, and the need for proceedings to be brought to a close" (Appellate Body Report, Thailand – Cigarettes (Philippines), para. 150).

94 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.7 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; US – Carbon Steel, para. 126; and EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 640).

95 Appellate Body Report, Chile – Price Band System, para. 144.

WT/DS467/19

- 14 -

5.19. In determining whether a specific amendment identified in the course of the panel proceedings could be considered to be properly before the panel in that case, the Appellate Body considered not only the terms of the panel request, which included a general reference inter alia to "complementary provisions and/or amendments", but also the fact that the amendment in question did not change the "essence" of the original measure at issue.96 We note that the panel in China – Raw Materials considered that the same approach applied in respect of "replacement measures".97

5.20. Thus, even where the language of a panel request is, on its face, broad enough to encompass certain additional instruments not identified by name in the request, this would not provide a basis for the complainant to expand the scope of the dispute or modify its essence through the invocation of such instruments in the course of the panel proceedings. This is consistent, in our view, with the fact that it is the panel request that determines the scope of the dispute before the Panel and with the due process objectives served by the panel request in this respect.

5.21. Bearing in mind these elements, we now turn to Indonesia's panel request to determine whether it is consistent with Article 6.2 of the DSU and, specifically, whether it sufficiently identifies the "specific measures at issue".

5.2 Whether Indonesia's panel request identifies the specific measures at issue

5.22. As described above, Australia challenges some of the terms used by Indonesia in its panel request to identify the measures at issue in its complaint.

5.23. In order to determine whether these terms meet the requirements of Article 6.2, we must "scrutinize carefully the panel request, read as a whole, and on the basis of the language used".98 We therefore start our analysis with a consideration of the text of Indonesia's panel request.

5.24. Section A of the Indonesia's panel request is entitled "Specific Measures at Issue". That section provides as follows:

This request for establishment of a Panel concerns the following measures:

Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, "An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes";

Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011, No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);

Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011, Act No. 149 of 2011, "An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes"; and

96 See Appellate Body Report, Chile – Price Band System, paras. 139-144. In that case, the panel

request identified a primary law and existing amendments, "as well as the regulations and complementary provisions and/or amendments". In the course of the proceedings, an amendment was discussed, that added a paragraph to the primary law, and set out the maximum ad valorem tariff that could be applied (which was in any case evident from Chile's tariff bindings). The Appellate Body considered that the measure was not, in essence, different as a result of the amendment (see Appellate Body Report, Chile – Price Band System, paras. 137 - 139).

97 The panel in China – Raw Materials considered that this approach should also apply to "replacement measures that are of the same essence as original measures specifically identified in the [p]anel [r]equest", because the Appellate Body's "rationale for including amendments of the same essence applies equally to replacement measures so that replacement measures of the same essence should also be assessed by a panel in order to secure a positive solution to a dispute". Panel Reports, China – Raw Materials, para. 7.16. Similarly, the panel in China – Publications and Audiovisual Products analysed whether China could be considered to have received adequate notice of a particular measure, based on the language of the panel request as a whole, notwithstanding the fact that it included a general reference to "amendments, related measures, or implementing measures" (Panel Reports, China – Publications and Audiovisual Products, para. 7.60 footnote 105).

98 Appellate Body Report, EC – Fasteners (China), para. 562.

WT/DS467/19

- 15 -

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.99

5.25. The panel request then states that "[t]he measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products. The measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves. The measures also establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements".100 The panel request then proceeds to elaborate on the manner in which the cited measures regulate the enumerated products.101

5.26. Australia's challenge focuses on the fourth "dot point" of Indonesia's enumeration of the measures at issue. Specifically, Australia challenges the use of the terms "including", and "complement or add to" in that context, on the basis that they are "indeterminate"102 and may potentially cover a broad range of measures relating to tobacco control, such as public education campaigns or the listing of nicotine replacement therapies. Australia considers that "the uncertainty regarding the scope of the related measures arises because of the particular context in which Australia's tobacco plain packaging measure exists and operates, namely as part of a comprehensive range of complementary tobacco control measures".103

5.27. We first observe that each of the terms challenged by Australia is used to describe instances of "related" measures. The term "related measures" itself is to be read against the context of the enumeration that precedes it in the first three "dot points" under which the measures at issue are listed. In order to properly understand the terms at issue as part of the panel request "as a whole", we must therefore consider them as they are used in this particular context.

5.28. Second, we understand the panel request as indicating that the "measures" that it concerns are the measures identified under the title "Specific Measures at Issue". The panel request defines these measures in three ways. First, it enumerates three specific acts and regulations (namely, the Tobacco Plain Packaging Act 2011, the Tobacco Plain Packaging Regulations 2011, and the Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011). These may be described as the "primary" measures identified in this dispute. Second, immediately following this enumeration, the panel request provides that the measures at issue are also "any related measures adopted by Australia including measures that implement, complement or add to these laws and regulations and any measures that amend or replace these laws and regulations". Third, the description immediately following these bullet points describes the types of requirements and "penalties" that the "measures" establish. We understand this language to indicate that, to the extent that only measures that fit this description are "measures" to which the panel request refers and are thus "specific measures at issue" within the meaning of Section A of the panel request. This description therefore has the effect of further circumscribing the scope of the measures at issue by reference to what the measures actually do.

5.29. A plain reading of this language on its face suggests that the term "related" measures, as used here, necessarily refers to the three primary measures enumerated above, i.e. the three listed measures specifically addressing "tobacco plain packaging". Only measures related to these three specifically listed instruments could therefore fall within the scope of the term "related" measures. The final narrative element of the definition of the measures at issue further clarifies that the measures are defined only as measures that "apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products", "establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves", or "establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements". We consider that this narrative element further clarifies and delimits the scope of measures within the Panel's terms of reference, insofar as measures falling within the scope of the three primary measures, or of "related measures, including measures … that … complement or add to" the primary measures, would also need to "apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products", "establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of

99 Indonesia's request for the establishment of a panel, p. 1. 100 Indonesia's request for the establishment of a panel, pp. 1-2. 101 Indonesia's request for the establishment of a panel, p. 2. 102 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 27. 103 Australia’s comments on responses to Australia’s requests for preliminary rulings, para. 29.

WT/DS467/19

- 16 -

the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves", or "establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements" in order to fall within our terms of reference.

5.30. In view of these limitations on the scope of measures covered, we do not consider that the language of the panel request in relation to "related measures", and in particular with respect to related measures that "add to" or "complement" the primary listed measures, is as open as Australia has suggested. Australia has argued that Indonesia, through the language of its panel request, "attempts to include a non-exhaustive and therefore indeterminate list" of "related measures" within the Panel's terms of reference.104 Specifically, Australia has identified a range of "tobacco control" measures that it argues could fall within the scope of the language of Indonesia's panel request, including (for example) public education campaigns, the listing of nicotine replacement therapies and other smoking cessation supports on Australia's Pharmaceutical Benefits Scheme, or Quitlines and other smoking cessation support services.105 In the light of our understanding of the terms of the panel request, and the parameters created by the language therein, it is not apparent to us how such measures could fall within the scope of the panel request and thus within our terms of reference. Specifically, we are not persuaded that such indeterminacy exists when the terms "including" and "complement or add to" are read in the context of the remainder of the panel request. We are therefore of the view that the terms "including" and "complement or add to" do not unduly broaden the scope of the dispute in the manner that Australia argues.

5.31. Recalling our discussion in Section 5.1 above, we further observe that the language used by Indonesia is similar to that used by the complainants in EC – Bananas III. We recall that the panel request in that case referred to a specific EC Regulation and "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures, including those reflecting the provisions of the Framework Agreement on bananas, which implement, supplement and amend that regime".106 Notwithstanding such similarities, we are mindful of the requirement that we must "scrutinize carefully the panel request, read as a whole, and on the basis of the language used".107 With this in mind, we note the broader context in which these words appeared in the complainants' panel request in EC – Bananas III. In particular, we observe that the panel request in that dispute explicitly identified an impugned measure and then identified, by way of a narrative description, related unnamed measures that the complainants also sought to challenge (that is, "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures, including those reflecting the provisions of the Framework Agreement on bananas, which implement, supplement and amend that regime").108

5.32. As discussed, Indonesia has defined the measures at issue as the "plain packaging measures", which it defines with explicit reference to three measures (the Tobacco Plain Packaging Act 2011, the Tobacco Plain Packaging Regulations 2011, and the Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011). Moreover, Indonesia has further identified the measures at issue by reference to their application ("[t]he measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and tobacco products") and their effect ("[t]he measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves" and "[t]he measures also establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements".109 We consider that this approach is also similar to that taken by the complainants in EC – Bananas III. In particular, we consider that the scope of the primary measures is well delineated, such that the qualifying role played by the terms "complement" and "add to" is similar to that of the term "supplement" in the context of EC – Bananas III. Bearing this similarity in mind, as well as the similarity between the words "implement, supplement and amend" and "complement or add to" themselves, we do not consider that there is any material difference between the language used by Indonesia in its panel request,

104 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 9. 105 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 17. 106 WT/DS27/6. (emphasis added) 107 Appellate Body Report, EC – Fasteners (China), para. 562. 108 WT/DS27/6. 109 WT/DS467/15.

WT/DS467/19

- 17 -

and that endorsed by the panel and Appellate Body in EC – Bananas III.110 This confirms us in our view that this language is sufficiently specific to satisfy Article 6.2 of the DSU.

5.33. We note Australia's argument that the circumstances in this dispute are analogous to those in China – Raw Materials, in which the complainants referred in their panel requests to a series of measures, preceded by the phrase "among others".111 In its preliminary ruling, the panel in that case found that the complainants could not include additional measures other than those enumerated in the panel requests, because "[s]uch an 'open ended' list would not contribute to the 'security and predictability' of the WTO dispute settlement system as required by Article 3.2 of the DSU".112 Australia submits that the language used by Indonesia is similarly open-ended and "does not provide Australia with notice of the measures under challenge and creates considerable uncertainty as to the identity, number and content of the measures at issue".113

5.34. As discussed above, the language in Indonesia's panel request establishes parameters that circumscribe the measures at issue through reference to (i) the narrative description of the measures at issue, (ii) the three primary measures, and (iii) the reference to measures "related to" such measures, which includes measures that "complement" and "add to" those measures, which do not change the essence of the dispute, and of which Australia has notice. In contrast, the panel request in China – Raw Materials did not contain such parameters. We are not persuaded that Indonesia's panel request, and the parameters therein, give rise to a similarly "open-ended" list. In particular, as discussed above, we do not consider that these terms, read in context, imply that the broad range of "general tobacco control measures" not directly related to tobacco plain packaging that are the basis for Australia's concern would be covered.

5.35. In light of the above, we consider that the terms "including", "complement" and "add to", as used in Indonesia's panel request, are not, on their face, inconsistent with the requirement under Article 6.2 of the DSU to identify the specific measures at issue.

5.36. In making this determination, we make no assessment, at this stage of our proceedings, as to whether any particular measure that may be invoked by Indonesia in the course of these proceedings as "related" to the plain packaging measures as described above, including measures that may "add to or complement" the listed measures, is or is not within our terms of reference.

5.37. We are mindful in this regard that "a clear identification of the specific measures at the outset is central to define the scope of the dispute to be addressed by a panel"114 and recall the important due process role played by the panel request, as discussed in paragraphs 5.17 to 5.20 above. We note the observation of the panel in EC – IT Products that it did not consider "that the mere incantation of the phrase 'any amendments, or extensions and any related or implementing measures' in a panel request will permit Members to bring in measures that were clearly not contemplated in the panel request".115 Similarly, in the present proceedings, the use of such terms would not provide a legitimate basis for seeking to expand or otherwise modify the scope of the dispute in the course of the proceedings. In addition, we would expect any invocation in the course of the proceedings of a measure not identified by name in the panel request to take place in a timely manner.

5.38. Finally, we take note of Indonesia's clarification that it does not intend to challenge every current or future tobacco control measure implemented in Australia, and that the measures at issue are limited to those measures relating to plain packaging requirements.116 We also take note of Indonesia's indication that the challenged language is important to protect Indonesia's rights, "should Australia adopt measures closely-related to the plain packaging measures listed in Indonesia's panel request or change the legal nature of the existing plain packaging measures

110 Panel Report, EC – Bananas III, para. 7.27; Appellate Body Report, EC – Bananas III, para. 140. We

also note the comparable language in Chile – Price Band System to "complementary provisions and/or amendments" (See Appellate Body Report, Chile – Price Band System, para. 135).

111 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10. 112 Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, para. 12. 113 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10. 114 See para. 5.10 above. 115 Panel Report, EC – IT Products, para. 7.140. 116 Indonesia’s response to Australia’s request for a preliminary ruling, para. 12.

WT/DS467/19

- 18 -

(e.g. by withdrawing and re-issuing measures in a slightly different form) during the course of the Panel proceedings."117

5.39. This preliminary ruling will become an integral part of the Panel's report, subject to any modifications or elaboration of the reasoning, either in a subsequent ruling or in the Panel's report, in the light of comments received from the parties in the course of the proceedings.

__________

117 Indonesia’s response to Australia’s request for a preliminary ruling, para. 18.

WT/DS467/21

6 December 2016

(16-6667) Page: 1/1

Original: English

AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS,

GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING

COMMUNICATION FROM THE CHAIRPERSON OF THE PANEL

The following communication, dated 1 December 2016, addressed to the Chairperson of the Dispute Settlement Body (DSB), is circulated in accordance with Article 12.9 of the Dispute Settlement Understanding (DSU).

_______________ Article 12.8 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) provides that the period in which a panel shall conduct its examination, from the date that the composition and terms of reference of the panel have been agreed upon until the date the final report is issued to the parties to the dispute, shall, as a general rule, not exceed six months.

Article 12.9 of the DSU provides that, when a panel considers that it cannot issue its report within

six months, it shall inform the Dispute Settlement Body (DSB) in writing accordingly and indicate the reasons, together with an estimate of the period within which it will issue its report. The Panel in Australia – Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and

Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging (WT/DS467) was established by the DSB on 26 March 2014 and composed on 5 May 2014. On 10 October 2014, the Panel communicated to the DSB that it "expect[ed] to issue its final report to the parties not before the first half of 2016". On 29 June 2016, the Panel communicated to the DSB that it "expect[ed] to issue its final report to the parties not before the end of 2016".

The Panel wishes to advise that it now expects to issue its final report to the parties not before May 2017, in light of the complexity of the legal and factual issues that arise in this dispute.

__________