skripsi - core.ac.uk fileskripsi kebijakan plain packaging ditinjau dari hak kekayaan intelektual...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
KEBIJAKAN PLAIN PACKAGING DITINJAU DARI HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL
OLEH:
REVICA ADHANI B111 10 318
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
i
HALAMAN JUDUL
KEBIJAKAN PLAIN PACKAGING DITINJAU DARI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL (HKI) DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
OLEH:
REVICA ADHANI
B 111 10 318
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
dalam Program Kekhususan Hukum Internasional
Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
v
ABSTRAK
Revica Adhani (B111 10 318), Kebijakan Plain Packaging Ditinjau
Dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Pengaruhnya Terhadap
Perdagangan Internasional dibawah bimbingan Juajir Sumardi dan
Maskun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan kemasan polos
(plain packaging) pada kemasan rokok tembakau serta pengaruh
kebijakan tobacco plain packaging terhadap perdagangan internasional.
Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library search)
dengan memilih perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS (Universitas
Hasanuddin) dan perpustakaan Pusat UNHAS sebagai tempat penulis
mendapatkan buku-buku literatur sebagai referensi penelitian.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah kemasan polos (plain
packaging) adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia
yang diatur melalui The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang
diberlakukan sejak Desember 2012 dengan tujuan untuk mengurangi
konsumsi rokok tembakau. Namun, penerapan kebijakan mendapatkan
berbagai tantangan terutama dari negara-negara produsen rokok karena
dianggap melanggar hak-hak kekayaan intelektual. Penetapan kebijakan
plain packaging dinilai melanggar ketentuan hukum World Trade
Organization (WTO). Penelitian ini menganalisis ketentuan-ketentuan
WTO yang dilanggar oleh undang-undang The Tobacco Plain Packaging.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.
Puja dan puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT
atas berkat dan rahmat-Nya beserta nikmat rezeki-Nya berupa kesehatan
dan kesempatan waktu sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
sebagai syarat untuk menyelesaikan studi strata satu, Penulis menyadari
bahwa sepenuhnya hanya dengan petunjuk-Nyalah sehingga semua
hambatan dan kesulitan dapat terlewati. Tak lupa pula Penulis haturkan
shalawat dan salam kepada Baginda Muhammad sebagai Rasulullah
SAW beserta keluarga yang dimuliakan oleh Allah SWT yang dimana
telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang seperti saat ini.
Tak lupa pula Penulis haturkan banyak terima kasih yang tak
terhingga serta sembah sujud kepada kedua Orang tua Penulis Ayahanda
Agus Made Ali, SP dan Ibunda Ida Afrida yang tiada hentinya mendidik
dan membesarkan serta senantiasa mengingatkan dan menasihati
Penulis, dan memberikan doa yang tiada henti dalam setiap shalat untuk
selalu melindungi dan menyertai langkah Penulis dalam menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Selain kedua orang tua pada kesempatan ini
vii
penulis ingin menyampaikan kesyukurannya atas Saudara-Saudari
Penulis yang tiada hentinya menjadi motivator terbesar dalam hidup
Penulis, Refky Abdillah, S.Hut., Refka Afrizal, S.Hut., Resqy Amaliyah,
S.H., Redita Chaeria Tappa, S.M., Renita Chaeria Tappa, S.Pd.,
kesemuanya yang senantiasa membantu Penulis saat mengalami
kesulitan baik dalam mental maupun fisik serta menjadi teman dalam
suka maupun duka.
Pada kesempatan ini pula, Penulis menghaturkan banyak terima
kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pubulu, M.A selaku Rektor Universitas
Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku
Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dr.
Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, dan Dr. Hamzah Halim, S.H.,
M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
3. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H,.M.H selaku pembimbing I dan Dr.
Maskun, S.H,. LL.M. selaku pembimbing II yang dengan sabar
viii
meluangkan waktu serta pikiran dan ilmunya untuk membimbing
Penulis.
4. Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, S.H,.MH, Dr. Laode Abd.
Gani, S.H,.MH, dan Birkah Latif, S.H., M.H., LL.M sebagai penguji
yang memberikan konstribusi konstruktif dalam tugas akhir
Penulis.
5. Segenap Dosen-Dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga
bagi Penulis.
6. Segenap Pegawai bagian akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang memberikan bantuan selama pengurusan berkas
Penulis.
Dan akhirnya Penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih
kepada setiap pihak yang ikut mengambil andil dalam penyelesaian tugas
akhir skripsi ini, Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam
Penulisan skripsi ini sehingga setidaknya dapat memberikan sedikit
manfaat bagi setiap pembaca.
Makassar, 27 Juli 2017
Revica Adhani
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ........................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 7 C. Tujuan dan Manfaat .............................................................................................. 7
1. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 7 2. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Kakayaan Intelektual (HKI) ............................................................................. 9
1.Defenisi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ............................................................. 9 2. Sejarah HKI ......................................................................................................... 12
a. Sejarah HKI dalam hukum internasional ....................................................... 12 b. Sejarah HKI di Indonesia ............................................................................... 15
3. Jenis - Jenis HKI................................................................................................... 18 a. Hak Cipta ......................................................................................................... 18 b. Paten ............................................................................................................... 19 c. Merek .............................................................................................................. 19 d. Desain Industri ................................................................................................ 20 e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu .................................................................. 20 f. Rahasia Dagang ................................................................................................ 21 g. Perlindungan Varitas Tanaman ....................................................................... 22
B. Plain Packaging ...................................................................................................... 23
1. Pengertian Plain Packaging ................................................................................ 23
x
2. Sejarah Plain Packaging ...................................................................................... 24
C. Perdagangan Internasional ................................................................................... 25 1. Pengertian perdagangan internasional .............................................................. 25 2. WTO dan WIPO dalam perdagangan internasional ........................................... 28
a. WTO (World Trade organization) .................................................................... 28 b. WIPO (World Intellectual Property Organization) .......................................... 34
D. Konvensi-konvensi internasional terkait HKI........................................................... ............................................................. 36
1. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994 ....................................... 36 2. Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) ....... 37 3. Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement) ................................. 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ...................................................................................................... 42 B. Jenis dan Sumber Data ............................................................................................. 42 C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................................... 43 D. Teknik Analisis Data ................................................................................................. 43
BAB IV PEMBAHASAN A. Penerapan Plain Packaging Pada Kemasan Rokok Ditinjau dari HKI ....................... 44 B. Upaya Hukum Bagi Negara Produsen Rokok Terhadap Plain Packaging Ditinjau
Dari Perdagangan Internasional .............................................................................. 78 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 104 B. Saran ........................................................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 106
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan Internasional merupakan salah satu bagian dari
kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia usaha terhadap
kegiatan bisnis internasional juga semakin meningkat, hal ini terlihat
dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan
tenaga kerja antar negara. Kegiatan bisnis dapat terjadi melalui
hubungan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan
waralaba (license and franchise), hak atas kekayaan intelektual; atau
kegiatan-kegiatan bisnis lainnya yang terkait dengan perdagangan
internasional, seperti perbankan, asuransi, perpajakan, dan
sebagainya. Untuk mendukung terlaksananya kegiatan bisnis
antarnegara diperlukan suatu instrumen hukum dalam bentuk
peraturan-peraturan, baik nasional maupun internasional seperti
hukum perdagangan internasional (international trade law).1
Dalam pelaksanaan perdagangan internasional pengaturan
hukum (legal regulation) sangat diperlukan, baik pengaturan terkait
langsung dengan perdagangan internasional maupun peraturan
1 Muhammad Sood, 2011 Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 1
2
sebagai pendukung perdagangan internasional. Peraturan-peraturan
tersebut antara lain menyangkut bea masuk (tariff) dan nontariff, kuota
ekspor, hak atas kekayaan intelektual, investasi, perdagangan jasa,
masalah lisensi dagang dan franchise (waralaba), masalah
pembiayaan yang berhubungan dengan sektor perbankan, asuransi,
kepabeanan, perpajakan; dan masalah-masalah lain yang menyangkut
kepentingan nasional negara pengekspor maupun pengimpor, seperti
masalah lingkungan hidup, pertumbuhan industri kecil dan sebagainya.
Norma-norma tersebut merupakan bagian dari kajian dari hukum
perdagangan internasional, yakni kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang kegiatan perdagangan atau perniagaaan antara suatu negara
dengan negara lain yang berkaitan dengan perpindahan barang, jasa,
tenaga kerja modal dan merek dagang.2
Dalam perdagangan internasional, perjanjian internasional
merupakan suatu sumber hukum internasional yang sangat penting
dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui
perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerja sama
mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai
masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia
yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara
2 Ibid, hlm 12
3
yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada
satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan
internasionalnya.
Perjanjian internasional yang pada hakikatnya merupakan
sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen
yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau
subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama.
Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut
merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan
negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.
Oleh karena itu perjanjian merupakan perbuatan hukum maka
ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan
demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian
internasional ialah bahwa ia dibuat oleh subjek hukum internasional,
pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya
mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.3
Dalam hukum perdagangan internasional, khususnya terkait
mengenai hak kekayaan intelektual, Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), Paris Convention, dan
Berne Convention merupakan beberapa perjanjian-perjanjian
3.Boer mauna, 2013, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, P.T. Alumni, Hlm. 82.
4
internasional yang mengatur aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual
yang terkait dengan perdagangan.
Di dalam hak cipta (Copyright), terkandung hak-hak eksploitasi
atau hak-hak ekonomi (economic rights) dan hak-hak moral (moral
rights). Hak-hak ekonomi atau hak-hak eksploitasi memungkinkan
seseorang memilikinya dan mengeksploitasinya sedemikian rupa untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, sehingga perlu
dilindungi secara memadai karena terkandung di dalamnya nilai
ekonomis sebagai hasil intelektual seseorang. Oleh karena itu, jika
tidak dikelola secara tertib berdasarkan seperangkat kaidah-kaidah
hukum, dapat menimbulkan sengketa antara pemilik hak cipta dengan
pengelola (pemegang) hak cipta atau pihak lain yang melanggarnya.
Untuk pengaturannya diperlukan seperangkat ketentuan-ketentuan
hukum yang efektif dari segala kemungkinan pelanggaran oleh mereka
yang tidak berhak atas hak cipta yang dimiliki seseorang.4
Pada tahun 2011, pemerintah Australia menerbitkan peraturan
tentang The Tobacco Plain Packaging Act dalam rangka berusaha
membatasi penjualan rokok dan produk tembakau dinegaranya. Sejak
tahun 2012, semua rokok yang diproduksi di negara tersebut memiliki
kemasan yang sama, polos tanpa gambar, slogan, maupun merek.
4 Eddy Damian, 1999, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-
Undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitnya, Bandung, Penerbit Alumni, Hlm 8.
5
Lahirnya kebijakan kemasan polos ini menimbulkan
kekhawatiran bagi negara-negara produsen rokok termasuk Indonesia.
Apabila Australia menerapkan peraturan tersebut dikhawatirkan akan
berdampak pada perdagangan internasional produk tembakau. Sebab
langkah pemerintah Australia tentang kebijakan tersebut bukan tidak
mungkin akan diikuti oleh negara-negara lain.
Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara penghasil
rokok kretek terbesar, memprotes keras tentang aturan baru tersebut.
Tak hanya Indonesia yang tidak setuju dengan Tobacco Plain
packaging act, tetapi juga negara Ukraina, Honduras, Republik
Dominika dan Kuba.5 Kelima negara tersebut telah mengajukan
gugatan terhadap Australia ke WTO dengan mengklaim bahwa
Australia telah melanggar aturan perdagangan internasional dan tidak
menghargai hak kekayaan intelektual.6 Kebijakan Plain Packaging
dianggap diadopsi tanpa bukti ilmiah atau analisis. Peraturan tersebut
juga akan merangsang munculnya produk-produk palsu dan rokok
ilegal yang diperdagangkan.
5.Triana Marchelina, Plain Packaging For Indonesia, Medicalogy, diakses dari
https://www.medicalogy.com/blog/plain-packaging-for-indonesia-are-we-ready-yet/, pada tanggal 10 mei 2017 pukul 12.03
6 Ria Yohana, kajian hukum terhadap kebijakan kemasan polos rokok di australia merugikan
perusahaan tembakau, Academia.edu, diakses dari https://www.academia.edu/12879938/Kajian_Hukum_terhadap_Kebijakan_Kemasan_Polos_Rokok_di_Australia_Merugikan_Perusahaan_Tembakau, pada tanggal 17 April 2017 pukul 01.38
6
Adapun concern atau isu yang diangkat antara lain plain
packaging dinilai tidak sesuai dengan ketentuan pada Article 2.2 TBT
Agreement dan Article 20 TRIPs Agreement serta tidak adanya bukti
empiris dapat menurunkan jumlah perokok. Indonesia meminta
keempat negara tersebut tidak mengimplementasikan kebijakan plain
packaging sebelum adanya keputusan dari Dispute Settlement Body –
DSB terhadap kasus Plain Packaging Australia yang diajukan oleh
Indonesia, Ukraina, Honduras, Republik Dominika, dan Kuba.7
7 Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kebijakan plain packaging for tobacco and food label menjadi sorotan negara anggota WTO (laporan rangkaian sidang komite TBT, tanggal 4-6 November 2014), diakses dari http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5640/kebijakan#.V2-EQyGy3Mw, pada tanggal 26 November 2016 pukul 16.23
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan
sebelumnya maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan plain packaging pada kemasan rokok
ditinjau dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ?
2. Bagaimana upaya hukum bagi negara produsen rokok terhadap
plain packaging ditinjau dari Perdagangan Internasional ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penerapan plain packaging pada kemasan
rokok ditinjau dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
b. Untuk mengetahui upaya hukum bagi negara produsen rokok
terhadap Plain Packaging ditinjau dari perdagangan internasional.
2. Manfaat Penelitian
a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran
dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum
internasional di bidang hukum hak kekayaan intelektual (HKI) dan
hukum perdagangan internasional.
8
b. Diharapkan memberikan informasi kepada mahasiswa dan para
akademisi dalam melakukan penelitian berikutnya terkait penelitian
ini.
c. Bagi masyarakat, diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang
bermanfaat untuk pengetahuan seputar hukum hak kekayaan
intelektual (HKI) dan hukum perdagangan internasional.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
1. Defenisi HKI
Kekayaan intelektual merupakan kreatifitas yang dihasilkan
dari olah pikir manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan hidup manusia. Kreatifitas manusia yang muncul
sebagai aset intelektual seseorang telah lama memberi pengaruh yang
signifikan terhadap peradaban manusia, antara lain melalui penemuan-
penemuan (inventions) dan hasil-hasil di bidang karya cipta dan seni
(art and literary work). Semakin berkembang kreatifitas seseorang
maka semakin berkembang juga peradaban manusia. Berawal dari
pemahaman bahwa perlunya satu bentuk penghargaan khusus
terhadap karya intelektual seseorang dan hak yang muncul dari karya
itu, konsep Hak Kekayaan Intelektual berkembang. Hingga pada
dasarnya konsep Hak Kekayaan Intelektual sendiri merupakan bentuk
penghargaan dari hasil kreativitas manusia, baik dalam bentuk
penemuan-penemuan (inventions) maupun hasil karya cipta dan seni
10
(art and literary work), terutama ketika hasil kreativitas itu digunakan
untuk tujuan komersial.8
Hak kekayaan intelektual yang disingkat HKI adalah padanan
kata yang biasa digunakan untuk intellectual property rights (IPR),
yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan
suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya
HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomi hasil suatu kreativitas
intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang
timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Secara garis besar HKI dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta
(copyright) dan hak kekayaan industri (industrial property rights) yang
mencakup paten (patent), desain industri (industrial design), merek
(trademark), penanggulangan praktik persaingan curang (repression of
unfair competition), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of
integrated circuit), dan rahasia dagang (trade secret).9
Pada HKI terdapat hak eksklusif, yaitu hak yang hanya dimiliki oleh
pemilik HkI dan tidak seorang pun berhak menikmatinya tanpa izin
pemiliknya. Hak eksklusif mencakup ekonomi dan hak moral. Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas HKI
yang dimilikinya, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada
8 Kholis Roisah, 2015, Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Sejarah, Pengertian dan
Filosofi Pengakuan HKI dari masa ke masa, Malang, Setara Press, Hlm. 1 9 Muhamad Firmansyah, 2008, Tata Cara Mengurus HaKI, Jakarta, Visimedia, Hlm. 7
11
pemilik HKI berupa hak atas keutuhan karya serta hak namanya tetap
dicantumkan sebagai pencipta HKI. Perbedaan antara kedua hak
tersebut adalah dalam hal pengalihannya. Hak ekonomi dapat
dialihkan kepada pihak lain, sedangkan hak moral tidak dapat dialihkan
kepada pihak lain.10
Hak kekayaan intelektual bersifat eksklusif dan mutlak, artinya
bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun dan yang
mempunyai hak tersebut dapat menuntut terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh siapapun. Pemegang hak atas kekayaan intelektual
juga mempunyai hak monopoli, yaitu hak yang dapat dipergunakan
dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaan/
penemuannya ataupun menggunakannya.
Kemampuan intelektual manusia yang berupa daya cipta, rasa dan
karsanya menghasilkan karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni,
dan teknologi. Karya-karya intelektual dilahirkan dengan pengorbanan
waktu bahkan biaya dan melalui pengorbanan ini menjadikan karya
yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang melekat sebagai
konsekuensi menjadi kekayaan (Property), bilamana melalui karya-
karya tersebut dapat diperoleh manfaat ekonomi yang nantinya bisa
dinikmati. HKI baru muncul bilamana hasil intelektual manusia tersebut
10 Hadi Setia Tunggal, 2011, Pokok-Pokok Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Jakarta,
Harvarindo, Hlm. 7
12
telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca maupun
digunakan secara praktis.11
2. Sejarah HKI
a. Sejarah HKI dalam hukum internasional
Sejarah HKI tidak dapat dilepaskan dari tiga cabang utama HKI
yaitu Merek, Paten dan Hak Cipta. Merek seperti yang dikenal selama
ini sebenarnya melewati proses perjalanan yang sangat panjang. Usia
merek sama lamanya dengan usia dari perdagangan itu sendiri. Di
masa lampau, untuk membedakan produk baju atau gerabah dari
seorang pedagang dengan produk sejenis dari pedagang yang lain,
digunakan kata atau simbol dengan maksud sebagai tanda pembeda.
Di China, India, Persia, Mesir, Roma, Yunani dan tempat-tempat
lainnya, tanda-tanda berupa nama pengrajin sudah digunakan sebagai
merek sejak 4000 tahun yang lalu.
Pada masa lampau, sejenis tanda yang juga berfungsi seperti
merek telah lama digunakan oleh para pedagang untuk membedakan
asal barang yang diperdagangkan. Beberapa cara digunakan oleh para
pedagang pada masa itu diantaranya dengan member tanda resmi
11 Kholis Roisah, Op.cit., Hlm 9
13
(hallmark). Cara ini banyak diterapkan oleh para tukang emas, tukang
batu, tukang perak dan alat-alat pemotong.12
Untuk mewujudkan hubungan perdagangan internasional,
negara-negara yang memenangkan perang telah berusaha untuk
membentuk Internasional Trade Organization (ITO). Akan tetapi,
pembentukan ITO mengalami kegagalan karena Amerika Serikat tidak
mendukungnya. Sebagai gantinya dibentuk The General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT). Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal
30 Oktober 1947 oleh 8 (delapan) negara, yaitu Australia, Belgia,
Kanada, Prancis, Luxemberg, Belanda, Inggris (United Kingdom), dan
Amerika Serikat. Kegagalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih
banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat,
khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.
Dalam perkembangannnya, negara-negara anggota GATT
mengadakan perundingan Putaran Uruguay di Jenewa dengan
menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal
15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan Putaran
Uruguay yang mulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del
Este. Final Act Uruguay Round secara resmi ditanda-tangani di
12 Tomi Suryo Utomo, 2014, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer, Yogyakarta, Graha Ilmu, Hlm 3
14
Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia.
Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentuk
World Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT,
perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa,
serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual. 13
Tonggak sejarah pengaturan di bidang hak kekayaan
intelektual dengan diadakannya Konferensi Diplomatik tahun 1883 di
Paris yang menghasilkan perjanjian internasional mengenai
perlindungan Hak Milik Perindustrian atau disebut Paris Convention for
The Protection on Industrial Property-Paris Convention. Tiga tahun
kemudian di Bern dihasilkan juga perjanjian internasional di bidang
Perlindungan Hak Cipta yaitu International Convention for The
Protection of Literary and Artistic Work (Bern Convention) dan juga
dihasilkan persetujuan yang lain disamping revisi terhadap kedua
konvensi tersebut. Revisi terakhir tarhadap kedua konvensi tersebut
dilakukan tahun 1967 untuk Konvensi Paris dan tahun 1971 untuk
Konvensi Bern.14
Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan
yang sangat pesat dalam tatanan internasional dan bahkan menjadi
13 Ibid,hlm 40 14 Kholis Roisah, Op.cit., Hlm. 2
15
salah satu isu pada era globlisasi dan liberalisasi sekarang ini.
Khususnya sejak disepakatinya perjanjian internasional tentang Aspek-
aspek Hak Kekayaan Intelektual dalam perdagangan (Trade Related
Aspects of Intellectual Property Right-TRIPs Agreement) yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian tentang Pendirian
World Trade Organization (WTO) yang telah diratifikasi oleh 150 lebih
negara di dunia.15
b. Sejarah HKI di Indonesia
Secara historis, peraturan yang mengatur HKI di Indonesia,
telah ada sejak tahun 1840-an. Pada tahun 1885, UU Merek mulai
diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan
disusul dengan diberlakukannya UU Paten pada tahun 1910. Dua
tahun kemudian, UU Hak Cipta (Auteurs Wet 1912) juga diberlakukan
di Indonesia. Untuk melengkapi peraturan perundang-undangan
tersebut, pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia memutuskan untuk
menjadi anggota Konvensi Paris pada tahun 1888 dan disusul dengan
menjadi anggota Konvensi Berne pada tahun 1914.
Di jaman pendudukan Jepang, peraturan di bidang HKI
tersebut tetap diberlakukan. Kebijakan pemberlakuan peraturan HKI
15 Ibid, Hlm. 3
16
produk Kolonial ini tetap dipertahankan saat Indonesia mencapai
kemerdekaan pada tahun 1945, kecuali UU Paten (Octrooi Wet).
Adapun alasan tidak diberlakukannya uu tersebut adalah karena salah
satu pasalnya bertentangan dengan kedaulatan RI. Di samping itu,
Indonesia masih memerlukan teknologi untuk membangun
perekonomian yang masih dalam taraf perkembangan. 16
Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HKI itu kita
temukan dalam undang-undang Indonesia, yaitu tentang Hak Cipta
diatur UU No. 19 Tahun 2002, tentang Merk diatur dalam UU No. 15
Tahun 2001, dan tentang Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001.
Pada tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya UU Paten dan
Merek yang baru, Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan
baru yang tercakup dalam bidang perlindungan hak atas kekayaan
intelektual di samping paten dan merek yang sudah lebih dulu
disahkan yaitu UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No.
31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No. 32 Tahun 2000
tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
16 Tomi Suryo Utomo, Op.cit., Hlm. 6
17
Dengan demikian saat ini terdapat perangkat UU HAKI
Indonesia, yakni:
1. Hak Cipta diatur dalam UU No.19 Tahun 2002
2. Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001
3. Merek diatur dalam UU No. 15 tahun 2001
4. Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam UU No. 29
Tahun 2000
5. Rahasia dagang diatur dalam UU No. 30 tahun 2000
6. Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000, dan
7. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun
2000.17
Disamping peraturan perundang-undangan nasional, selain
ratifikasi GATT 1994, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa
konvensi atau traktat internasional antara lain Konvensi Paris yang
diratifikasi melalui Keppres No. 15 Tahun 1997, Patent Cooperation
Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 16 Tahun 1997, Trade
Mark Law Treaty Ratifikasi melalui Keppres No. 17 Tahun 1997,
Konvensi Bern yang diratifikasi melalui Keppres No. 18 Tahun 1997
17 Ok. Saidin, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hlm 16
18
serta WIPO Copyrights Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 19
Tahun 1997.18
3. Jenis-Jenis HKI
Pengklasifikasian berdasarkan hukum nasional di Indonesia
tidak sepenuhnya mendasarkan pada instrumen internasional,
walaupun dari sisi norma menyesuaikan dengan ketentuan persetujuan
TRIPs. Klasifikasian tersebut meliputi:
1. Hak Cipta dan Hak Terkait
2. Paten
3. Merek
4. Desain Industri
5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
6. Rahasia Dagang
7. Perlindungan Varitas Tanaman19
a. Hak Cipta
Yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang antara lain dapat terdiri
dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain
yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta. Rekaman
18 Ibid, Hlm 17 19 Kholis Roisah, Op.cit., hlm 11
19
suara dan/atau gambar pertunjukkan seorang pelaku (performer),
misalnya seorang penyanyi atau penari di atas panggung, merupakan
hak terkait yang dilindungi hak cipta.20
b. Paten
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 14 tahun 2001,
paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor
atas hasil invensinya dibidang teknologi,yang untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Hak yang diperoleh melalui paten adalah hak khusus untuk
menggunakan invensi yang telah dilindungi paten serta melarang pihak
lain melaksanakan invensi tersebut tanpa persetujuan dari pemegang
paten. Oleh karena itu, pemegang paten harus mengawasi haknya
agar tidak dilanggar oleh pihak lain.21
c. Merek
Merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan suatu produk atau perusahaan
dipasaran. Pengusaha biasanya berusaha mencegah orang lain
menggunakan merek mereka karena dengan menggunakan merek,
20 Tim Lindsey, dkk, 2013, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung, P.T.Alumni, Hlm
6 21 Ibid, Hlm. 183
20
pada para pedagang memperoleh reputasi baik dan kepercayaan dari
para konsumen serta dapat membangun hubungan antara reputasi
tersebut dengan merek yang telah digunakan perusahaan secara
regular. Semua hal diatas tentunya membutuhkan pengorbanan waktu,
tenaga dan uang.22
d. Desain Industri
Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk,
konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna,
atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua
dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam
pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk
menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan
tangan.23
e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Lain dari desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu
(layout designs of integrated circuits) merupakan desain yang berkaitan
dengan sirkuit terpadu. Sebagai hasil kreasi pikiran, DTLST memiliki
unsur karya intelektual yang telah disepakati secara internasional
seperti tertuang dalam Treaty in Intellectual Property in Respect of
22 Ibid, Hlm. 131 23 Ibid, Hlm. 220
21
Integrated Circuits 1989 atau dikenal pula sebagai Washington
Treaty.24
f. Rahasia Dagang
Hukum rahasia dagang melindungi hampir semua jenis
informasi yang bernilai komersial jika informasi tersebut dikembangkan,
dan dijaga, dalam sebuah acara yang bersifat rahasia. Tidak ada
batasan berapa lama informasi tersebut akan dilindungi.25
Dasar pemikiran untuk perlindungan informasi rahasia dagang
berdasarkan perjanjian TRIPs adalah sama dengan dasar pemikiran
untuk perlindungan bentuk HKI yang lain, seperti hak cipta, paten,
desain atau merek. Yaitu menjamin pihak yang melakukan investasi
untuk mengembangkan konsep, ide, dan informasi yang, bernilai
komersial dan memperoleh manfaatdari investasi itu dengan
memperoleh hak eksklusif untuk menggunakan konsep atau informasi,
maupun untuk mencegah pihak lain menggunakan atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa izin.
Perlindungan hukum atas informasi rahasia juga mendorong
usaha dan pengembangan komersial dengan menjamin pihak
24 Achmad Zen Umar Purba, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung, P.T. ALUMNI,
Hlm. 79 25 Tim Lindsey, dkk, Op.cit., Hlm. 9
22
pengusaha mengembangkan pengetahuan, konsep dan informasi yang
dimilikinya, daripada hanya mencuri atau meniru karya pihak lain.26
g. Perlindungan Varitas Tanaman
Seperti halnya perlindungan desain dan paten, peraturan
mengenai perlindungan varitas tanaman bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan antara kepentingan para pemulia tanaman yang telah
menemukan varitas tanaman baru dengan pemakai dan konsumen
dari jenis varitas tanaman baru tersebut.27
Untuk melengkapi peraturan di bidang HKI, pada tanggal 20
Desember tahun 2000 pemerintah mengundangkan UU Perlindungan
Varitas Tanaman. Alasan utama diundangkannya perlindungan varitas
tanaman adalah untuk mendorong para peneliti di bidang pemuliaan
tanaman meningkatkan hasil penelitiaannya sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian Indonesia yang memiliki
daya saing tinggi dipasar global.28
26 Ibid, Hlm. 238 27 Ibid, Hlm. 230 28 Ibid, Hlm. 231
23
B. Plain Packaging
1. Pengertian Plain Packaging
Kemasan polos tembakau (plain packaging), juga dikenal
sebagai kemasan generik, standar atau homogen, merujuk pada
kemasan yang memerlukan penghapusan semua merek (warna, citra,
logo perusahaan dan merek dagang), yang memungkinkan produsen
untuk mencetak hanya nama merek dalam ukuran, font dan posisi
pada bungkusan yang telah ditentukan. Selain peringatan kesehatan
dan informasi lainnya yang diamanatkan secara hukum seperti
konstituen beracun dan perangko pajak. Munculnya semua paket
tembakau standar termasuk warna kemasan.29
Australia menjadi pelopor untuk memerangi rokok, akhir 2012
dengan memaksa semua produk rokok dinegara tersebut melepaskan
semua elemen penting dari sebuah produk: merek dagang, warna
kemasan, dan bentuk huruf khas yang menjadi identitas produk rokok.
Sebagai gantinya, rokok dikemas dalam kotak berwana hijau zaitun
gelap – warna yang terbukti secara ilmiah sebagai warna yang paling
tidak menarik bagi calon pembeli – sementara paling sedikit 75%
bagian depan kemasan dan 90% bagian belakang kemasan dipenuhi
29Wikipedia,Plain Tobacco packaging, diakses dari
https://en.wikipedia.org/wiki/Plain_tobacco_packaging#History pada tanggal 29 November 2016 pukul 14.47
24
dengan peringatan mengenai bahaya merokok bagi kesehatan dalam
bentuk tulisan dan gambar.30
2. Sejarah Plain Packaging
Plain packaging bermula dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahan presiden Amerika Serikat, Obama melalui Family
Smoking Prevention and Tobacco Control Act. Pemerintahan Obama
berjuang untuk menyelamatkan kehidupan warga negara AS melalui
pengurangan ketergantungan terhadap produk tembakau serta
mencegah ketertarikan (attractiveness) terhadap rokok khususnya para
usia muda. Alasan pemberlakuan regulasi tersebut telah didukung
dengan data-data ilmiah dari WHO yang menyebutkan bahwa hampir
5000 penduduk di negara tersebut kehilangan nyawa disebabkan
karena konsumsi produk tembakau. Kebijakan tersebut
mempresyaratkan perusahaan rokok untuk menyampaikan daftar
produk rokok yang dijual atau di impor ke AS, melakukan publikasi
terhadap kandungan nikotin yang terkandung dalam produk rokok,
memperbesar kemasan peringatan rokok sebesar 50%, serta
menetapkan penggunaan term “mild and light” bagi produk rokok
tertentu.
30Hertriani Agustine, “Kemasan Polos Rokok”, Suara Karya, diakses dari
http://m.suarakarya.id/2016/04/05/kemasan-polos-rokok.html, pada tanggal 1 Desember 2016 pukul 00.45
25
Efek dari kebijakan tersebut memicu negara lain seperti
Canada, Turkey, India, New Zealand, Australia, Perancis, United
Kingdom (UK), serta Irlandia membuat regulasi dengan legitimate
objective yang sama namun di fokuskan pada kemasan rokok polos
(plain packaging).31 Sebelumnya kasus sengketa tentang kebijakan
rokok AS memberikan hasil baik bagi Indonesia, karena Dispute
settlement Body (DSB) WTO memutuskan bahwa AS bersalah dan
melakukan diskriminasi atas rokok kretek Indonesia.32
Pada tahun 2010, Pemerintah Australia mengumumkan bahwa
akan memperkenalkan undang-undang yang mengatur mengenai
pengemasan produk tembakau yang mulai diterapkan pada 1 Januari
2012. Pada tahun 2011, parlemen Australia mengesahkan the tobacco
plain packaging act 2011 yang mana merupakan pengaturan mengenai
pengemasan produk tembakau pertama didunia.
C. Perdagangan Internasional
1. Pengertian Perdagangan Internasional
Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum
yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup
luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari
31 Badan Standarisasi Nasional (BSN), Op.cit. 32 Loc.cit
26
barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian,
perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang
yang kompleks.33
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek
hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang
internasional. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan
internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti
dalam sejarah perkembangan dunia.34
Istilah perdagangan internasional (International Trade) atau
disebut dengan perdagangan antar bangsa-bangsa, pertama kali
dikenal di Benua Eropa yang kemudian berkembang di Asia dan Afrika.
Negara-negara yang terhimpun dalam kegiatan perdagangan
internasional membentuk suatu persetujuan dagang dan tarif (General
Agreement on Tariff and Trade/GATT). Kemudian GATT berkembang
menjadi suatu organisasi perdagangan internasional yang sekarang ini
lebih dikenal dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO).35
Istilah perdagangan internasional sebenarnya adalah kegiatan
pertukaran barang, jasa, dan modal antar penduduk suatu negara
33 Huala Adolf, 2009, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada, hlm 1 34 Loc.cit 35 Muhammad Sood, Op.cit, hlm 17
27
dengan penduduk negara lain. Adapun pengertian umum dari
perdagangan internasional adalah kegiatan-kegiatan perniagaan dari
suatu negara asal yang melintasi perbatasan menuju suatu negara
tujuan yang diberlakukan oleh perusahaan untuk melakukan
perpindahan barang dan jasa, modal tenaga kerja, teknologi (pabrik)
dan merek dagang.
Dapat dikatakan bahwa perdagangan internasional tidak
berbeda dengan pertukaran barang antar dua orang di suatu negara,
perbedaannya adalah bahwa perdagangan internasional orang yang
satu kebetulan berada di negara yang berbeda. Dengan demikian,
perdagangan internasional merupakan perdagangan dari suatu negara
ke lain negara di luar perbatasan negara yang meliputi dua kegiatan
pokok. Kedua kegiatan tersebut adalah kegiatan ekspor dan impor
yang hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, dalam melakukan kegiatan
perdagangan internasional para pelaku bisnis mengacu kepada
kaidah-kaidah hukum yang bersifat internasional, baik ketentuan
hukum perdata internasional (private international law) maupun
ketentuan hukum publik internasional (public international law).
Kaidah hukum yang mengatur masalah perdagangan
internasional yang disebut dengan hukum perdagangan internasional,
28
adalah kaidah hukum internasional yang mengatur tentang pertukaran
barang, jasa maupun modal antarpenduduk dari suatu negara dengan
negara lainnya, atau yang terjadi antardua atau lebih waga atau
penduduk (subjek hukum) yang berbeda negara.36
2. WTO dan WIPO Dalam Perdagangan Internasional
a. WTO (World Trade Organization)
World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari putaran
Uruguay GATT (1986-1994). Organisasi ini memiliki kedudukan yang
unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB.
Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama
negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948),
yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional
(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau
ITO).37
Hukum dasar WTO dapat dibagi dalam 5 kategori, yaitu
peraturan mengenai non-diskriminasi; peraturan mengenai akses
pasar; peraturan mengenai perdagangan yang tidak adil; peraturan
mengenai hubungan antara liberalisasi perdagangan dan nilai-nilai
serta kepentingan sosial lainnya; dan peraturan mengenai
36 Ibid, hlm 18 37 Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, Rajawali Pers, Hlm. 36
29
harmonisasi perangkat hukum nasional dalam bidang-bidang khusus.
WTO Agreement terdiri atas 16 bab dan menjelaskan secara lengkap
fungsi-fungsi WTO perangkat-perangkatnya, keanggotaannya dan
prosedur pengambilan keputusan. Selain itu dalam perjanjian singkat
ini juga terlampir sembilan belas perjanjian internasional yang
merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO Agreement.
Perjanjian-perjanjian ini terdiri atas:
1. Perjanjian-perjanjian multilateral atas perdagangan barang
(Lampiran1A, terdiri: General Agreement on Tariffs and Trade
1994 (Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan 1994,
yang selanjutnya disebut GATT 1994), (lihat bagian 2.2, 2.4, 3.3,
3.4, 4.2, 4.3, 5.2, 5.4, 5.5, | 5.6 dan 5.7); dan
2. Dua belas perjanjian mengenai aspek-aspek khusus dalam
perdagangan barang, seperti:
a. Agreement on Agriculture (Perjanjian dalam bidang Pertanian)
(lihat 4.3 dan 5.5);
b. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary
Measures (Perjanjian mengenai Penerapan Tindakan Sanitasi
dan Phytosanitasi) yang selanjutnya disebut SPS Agreement,
lihat bagian 6.3;
30
c. Agreement on Technical Barries to Trade (Perjanjian mengenai
Hambatan-hambatan Teknis dalam perdagangan) selanjutnya
disebut TBT Agreement), lihat bagian 6.2;
d. Agreement on Implementation of Article VI of the General
Agreement on Tariffs and Trade 1994 (perjanjian mengenai
Penerapan Pasal VI GATT 1994) selanjutnya disebut Anti-
Dumping Agreement, lihat bagian 4,2;
e. Agreement on subsidies and Countervailing Measures
(Perjanjian mengenai Subsidi dan Tindakan Imbalan),
selanjutnya disebut SCM Agreement, lihat bagian 4.3; dan
f. Agreement on Safeguards (Perjanjian mengenai Safeguards);
g. General agreement on Trade in Service (Perjanjian mengenai
Perdagangan di bidang Jasa, selanjutnya disebut GATS,
Lampiran 1B, lihat bagian 2.3, 2.5, 3.5, 5.3, 5.4, dan 5.6;
3. Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property
Rights (Perjanjian mengenai aspek-aspek yang berhubungan
dengan perdagangan Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya
disebut TRIPS Agreement, Lampiran 1C, lihat bagian 6.4;
4. Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement
of Disputes (pengertian mengenai Peraturan dan Prosedur yang
31
mengatur Penyelesaian Sengketa), selanjutnya disebut DSU,
lampiran 2, lihat bagian 8.1-8.5;
5. Trade Policy Review Mechaism (Mekanisme Penilaian Kebijakan
Perdagangan), selanjutnya disebut TPRM, Annex 3, lihat bagian
7.2;
6. Dua perjanjian plurilateral mengenai pengadaan pemerintah
(government procurement) dan perdagangan pesawat sipil (trade
in civil aircraft), lampiran 4).
Perjanjian-perjanjian pada Lampiran 1, 2, dan 3 adalah
perjanjian multilateral dan mengikat seluruh anggota WTO. Lampiran
4 berisi dua perjanjian plurilateral yang hanya mengikat anggota WTO
yang secara tegas telah menyetujui. WTO Agreement terdiri lebih dari
25.000 halaman, termasuk lampiran-lampirannya.38
WTO sebagai organisasi internasional memiliki tiga lembaga
yang berbeda secara fungsional tetapi terintegrasi secara sistemik
dimana yang pertama adalah membuat seperangkat aturan hukum,
kedua membangun sistem dan ketiga mengatur komunitas atau
member state. Untuk perangkat aturan hukum bahwa WTO telah
memiliki perjanjian yang terdiri dari 500 halaman dilengkapi dengan
2000 halaman tentang skedul komitmen.
38 Ade Maman Suherman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian
Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm 33
32
Sistem hukum perdagangan internasional harus sejalan
dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan hukum tentang
perjanjian internasional serta tentunya kesemuanya harus merupakan
suatu bangunan yang harmonis, sehingga memiliki validitas hukum
secara sah dalam konteks hukum internasional. Prinsip-prinsip dasar
hukum internasional diantaranya adalah kesamaaan kedaulatan
negara, asas iktikad baik, kerja sama internasional dan kewajiban
untuk menyelesaikan sengketa secara damai. WTO menghormati
terhadap prinsip hukum internasional, dan ketika itu pula WTO
mengadaptasi diri dengan realitas perdagangan internasional.
Dengan demikian, tatanan hukum internasional dalam
penyatuannya dengan perdagangan internasional, WTO telah
menghasilkan suatu sistem hukum yang unik. Memang terdapat
perdebatan doktrinal berkaitan dengan otonomi hukum ekonomi
internasional,namun keberadaaan GATT dan WTO telah banyak
dipengaruhi oleh hukum internasional secara umum sebagai contoh:
WTO memegang prinsip kesamaan kedaulatan setiap negara atau the
sovereign equality of states dan kewajiban untuk menyelesaikan
sengketa secara damai atau the obligation to settle disputes
peacefully.39
39 Ibid, hlm 44
33
Tujuan WTO (yang pada pokoknya juga merupakan tujuan
GATT seperti termuat dalam Annex 1a) adalah meningkatkan standar
hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full-
employment), memperluas produksi dan perdagangan serta
menafaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.
Tujuan-tujuan tersebut diperluas pula guna melaksanakan
kegiatan-kegiatan berikut:
1. WTO memperkenalkan pemikiran “pembangunan
berkelanjutan” (sustainable development) dalam pemanfaatan
sumber kekayaan dunia dan kebutuhan untuk melindungi serta
melestarikan lingkungan yang sesuai dengan tingkat-tingkat
pembangunan ekonomi yang berbeda-beda;
2. WTO mengakui adanya upaya-upaya positif guna mendapat
kepastian bahwa negara-negara sedang berkembang, dan
khususnya negara-negara kurang beruntung, mendapatkan
bagian perkembangan yang lebih baik dalam perdagangan
internasional40
40 Huala Adolf, 1998, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm 97
34
a. WIPO (World Intellectual Property Organization)
World Intellectual Property Organization (WIPO) adalah badan
yang secara internasional mengurus masalah HKI. WIPO dibentuk
pada tahun 1967 melalui forum konvensi yang diberlakukan secara
resmi oleh PBB. WIPO dikukuhkan untuk dapat menjadi badan khusus
yang mampu memberdayakan dan mengembangkan HKI ditingkat
internasional, guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi
negara-negara anggotanya.
Pada prinsipnya, peran penting yang diemban oleh WIPO
adalah agar dapat menjalankan mandat, akibat adanya tuntutan dari
para anggotanya untuk melindungi berbagai subjek HKI yang dimiliki
oleh negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Dan
agar dapat mencapai keseimbangan dalam aspek perlindungan
hukum, melalui kolaborsi dengan organisasi internasional lainnya
seperti pihak WHO, UNINDO, dan WTO.
Tujuan dari didirikannya WIPO adalah untuk dapat mendorong
tumbuh dan berkembangnya subjek HKI di tingkat internasional
secara seimbang. Antar subjek HKI yang dimiliki oleh negara maju
maupun negara berkembang, melalui stimulus pemberian reward hasil
kreativitas yang dimiliki oleh suatu negara. Persetujuan Umum
Mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement onTariff and
35
Trade) yang biasa disingkat dengan GATT merupakan suatu
perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948,
di mana tujuan pokoknya ialah untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat
manusia. Lebih lanjut GATT bertujuan untuk menjaga upaya agar
perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka supaya arus
perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatan-
hambatan dalam bentuk tarif maupun nontarif.41
Pembentukan WIPO berdasarkan atas convention establishing
the world intellectual property organization. Adapun tugas-tugas WIPO
dalam bidang HKI, yaitu : Mengurus kerja sama administrasi
pembentukkan perjanjian atau traktat internasional dalam rangka
perlindungan hak kekayaan intelektual; mengembangkan dan
melindungi hak kekayaan intelektual diseluruh dunia; mengadakan
kerja sama dengan organisasi internasional lainnya, mendorong
dibentuknya perjanjian atau traktat internasional yang baru dan
memodernisasi legislasi nasional, memberikan bantuan teknik kepada
negara berkembang, mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi,
serta mengembangkan kerja sama administrasi diantara negara-
negara nggota.
41 Syahmin AK, 2006, Hukum Dagang Internasional, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, hlm 41
36
D. Konvensi-konvensi internasional terkait HKI
1. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. General Agreement
on Tariff and Trade/GATT (Persetujuan umum mengenai tarif dan
perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan
tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu
menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna
mewujudkan kesejahteraan umat manusia.
Dari segi tujuan, GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk
memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas, adil, dan
menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjuangkan
penurunan tafir bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan
perdagangan lainnya.
Sebagai tatanan multilateral yang memuat prinsip-prinsip
perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa
hubungan perdagangan antar negara dilakukan tanpa diskriminasi
(non diskriminasi). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam
GATT tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi
negara tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang
sama dan timbal balik dalam hubungan perdagangan internasional.
GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota
37
dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
dibidang perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai
forum penyelesaian sengketa dibidang perdagangan antara negara-
negara perserta.42
2. Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs Agreement)
TRIPs, (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)
merupakan perjanjian internasional dibidang HKI terkait perdagangan.
Perjanjian ini merupakan salah satu kesepakatan di bawah organisasi
perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization) yang
bertujuan menyeragamkan sistem HKI diseluruh negara anggota WTO.
TRIPs merupakan rezim peraturan HKI dengan objek perlindungan
paling luas dan paling ketat. Pelaksanaan TRIPs, dilengkapi dengan
sistem penegakan hukum serta penyelesain sengketa. Dengan
disetujuinya undang-undang akhir putaran Uruguay (GATT) pada
tanggal 15 Desember 1993 lalu dan diratifikasi bulan April di Maroko
oleh 117 negara, maka berlaku pulalah persetujuan TRIPs ini yang
merupakan bagiannya, bagi para anggotanya termasuk Indonesia.43
42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization ( Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
43 Ok. Saidin, Op.cit, Hlm. 205
38
Adapun TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan
hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi,
peralihan, serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama
pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara
menciptakan kesejahteraan social dan ekonomi serta keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan
hambatan dalam perdagangan internasional, dengan mengingat
kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan
memadai terhadap hak milik intelektual tidak kemudian menjadi
penghalang bagi perdagangan yang sah.44
3. Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement)
Persetujuan WTO tentang Hambatan Teknis untuk
Perdagangan ("Perjanjian TBT") mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1995 sebagai salah satu perjanjian WTO di bawah Lampiran 1A dari
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Perjanjian
TBT memperkuat dan mengklarifikasi ketentuan "Kode Standar" -
Perjanjian Bundaran Terakhir Tokyo yang keempat plurilateral 1979
tentang Hambatan Teknis terhadap peraturan dan standar yang
mengatur Perdagangan.
44 Ibid, Hlm. 209
39
Perjanjian TBT mengikat semua anggota WTO. Ini berbagi
banyak prinsip dasarnya dengan kesepakatan WTO lainnya -
nondiskriminasi, mempromosikan prediktabilitas akses ke pasar, dan
bantuan teknis dan perlakuan khusus dan berbeda untuk negara-
negara berkembang dalam pelaksanaan Persetujuan ini. Namun,
Perjanjian TBT juga mencakup fitur yang spesifik untuk persiapan dan
penerapan peraturan yang mempengaruhi perdagangan barang:
sangat mendorong penggunaan standar internasional, dan
menekankan pada kebutuhan untuk menghindari hambatan
perdagangan yang tidak perlu. Selain itu, berisi ketentuan terperinci
untuk memperjelas keseluruhan proses persiapan, penerapan dan
penerapan langkah-langkah TBT (siklus hidup peraturan). Ketentuan
ini - bersama dengan panduan yang dikembangkan oleh anggota
secara bertahap demi selangkah - telah memungkinkan Perjanjian TBT
menjadi instrumen multilateral yang unik untuk menangani peraturan
terkait perdagangan.
Perjanjian TBT adalah bagian dari kategori yang lebih luas dari
kesepakatan WTO yang menangani tindakan non-tarif (NTMs). NTM,
yang mencakup peraturan teknis, standar dan prosedur penilaian
kesesuaian, memberikan WTO sejumlah tantangan. Di satu sisi,
pemerintah mengandalkan NTM untuk mencapai tujuan kebijakan
40
publik, termasuk perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan -
fakta bahwa perdagangan terpengaruh adalah konsekuensi normal
dan sah dari peraturan tersebut. Di sisi lain, NTM dapat digunakan
untuk melindungi produsen dalam negeri dari pesaing asing, atau
mungkin juga perdagangan yang tidak perlu dibatasi. Selain itu, NTM
seringkali secara teknis kompleks, kurang transparan dan lebih sulit
dihitung daripada tarif.
Perjanjian TBT dirancang dengan cermat dengan tantangan-
tantangan ini. Disiplinnya membantu anggota WTO membedakan
antara motivasi "yang sah" dan proteksionis untuk tindakan TBT.
Dengan demikian, Perjanjian merupakan alat penting untuk
meningkatkan koherensi dan saling mendukung antara perdagangan
terbuka, di satu sisi, dan kebijakan internal yang digunakan negara
untuk mencapai tujuan kebijakan publik, di sisi lain. Singkatnya, disiplin
Perjanjian TBT dimaksudkan untuk membantu pemerintah mencapai
keseimbangan antara menegakkan tujuan kebijakan peraturan yang
sah dan menghormati disiplin utama. Perdagangan multilateral
berdasarkan peraturan WTO, termasuk menghindari terciptanya
hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.
Perjanjian Teknis Hambatan untuk Perdagangan (TBT)
bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan teknis, standar, dan
41
prosedur penilaian kesesuaian tidak diskriminatif dan tidak
menimbulkan hambatan perdagangan yang tidak perlu. Pada saat
yang sama, perjanjian ini mengakui hak anggota WTO untuk
menerapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan kebijakan yang
sah, seperti perlindungan kesehatan dan keselamatan manusia, atau
perlindungan lingkungan. Perjanjian TBT sangat mendorong anggota
untuk mendasarkan tindakan mereka pada standar internasional
sebagai sarana untuk memfasilitasi perdagangan. Melalui ketentuan
transparansi, perjanjian TBT juga bertujuan untuk menciptakan
lingkungan perdagangan yang dapat diprediksi.45
45 World Trade Organization, The Wto Agreement Series (Technical Barriers to Trade) diakses dari
https://www.wto.org/english/res_e/publications_e/tbttotrade_e.pdf pada tanggal 12 April 2017 pukul 0:12
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan penelitian kepustakaan dengan memilih perpustakaan
Fakultas Hukum UNHAS (Universitas Hasanuddin) dan perpustakaan
pusat UNHAS sebagai tempat penulis mendapatkan buku-buku
literatur yang menunjang penulisan skripsi ini.
B. Jenis Dan Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini, dibutuhkan data yang dapat
digunakan untuk menganalisa masalah yang akan dihadapi serta
menghasilkan kesimpulan yang objektif
Dalam penyusunan skripsi ini, data yang diperoleh adalah
data sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan
dokumentasi dan bahan tertulis lainnya yang terkait dengan hukum
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hukum perdagangan
internasional. Serta jurnal-jurnal internasional yang diambil dari
internet.
43
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis
dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library Research), yakni
dengan cara mempelajari beberapa buku, artikel, dokumen-dokumen,
browsing di internet, serta literatur-literatur lainnya yang membantu
secara relevan selama proses pembuatan skripsi ini.
D. Teknik Analisis Data
Setelah data berhasil dikumpulkan yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan, maka data tersebut akan diolah dan dianalisis
secara kualitatif. Hasil akhirnya akan dipaparkan untuk mendapatkan
hasil yang bersifat deskriptif.
44
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penerapan Plain Packaging Pada Kemasan Rokok Ditinjau
Dari HKI
Seperti yang telah dijelaskan secara singkat pada bab tinjauan
pustaka sebelumnya bahwa kebijakan plain packaging merupakan
kebijakan dimana kemasan polos diterapkan pada kemasan rokok.
Kemasan rokok ini diharuskan untuk seluruh produk tembakau
dibungkus dalam kemasan yang berwarna hijau. Hanya menampilkan
satu jenis huruf dan mengharuskan penghapusan logo merek, logo
perusahaan,merek dagang, serta warna khas kemasan digantikan
dengan menampilkan gambar grafis dari seorang perokok yang
menderita penyakit parah akibat merokok.
Negara Indonesia sendiri, dalam usaha untuk melindungi
masyarakatnya dari dampak negatif mengkonsumsi rokok, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan undang-undang untuk mengatur tentang
kemasan rokok.
Dimana setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor
produk tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan
45
peringatan kesehatan46. Peringatan kesehatan adalah gambar dan
tulisan yang memberikan informasi mengenai bahaya rokok47.
Peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan yang harus
mempunyai satu makna yang tercetak menjadi satu dengan kemasan
produk tembakau dan bukan merupakan stiker yang ditempelkan pada
kemasan produk tembakau.48
Pencantuman peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan
tulisan dalam kemasan produk tembakau dimaksudkan untuk
mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat tentang
bahaya akibat penggunaan produk tembakau secara lebih produktif.
Kemasan sendiri dijelaskan dalam undang-undang nomor 109 tahun
2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa
produk tembakau bagi kesehatan bahwa :
“Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus produk tembakau baik yang bersentuhan langsung dengan produk tembakau maupun tidak.”
Pada kemasan rokok pasal 14, pasal 15 ayat 1 dan pasal 17
merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai pencantuman
peringatan berupa tulisan dan gambar.
46 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Pasal 3 (1) 47 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Pasal 1 48 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Pasal 3 (4)
46
Pasal 14
(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.
(2) Peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk gambar dan tulisan yang harus mempunyai satu makna.
(3) Peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercetak menjadi satu dengan kemasan produk tembakau.
Pasal 15
(1) Setiap 1 (satu) varian produk tembakau wajib dicantumkan gambar dan tulisan peringatan kesehatan yang terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, dengan porsi masing-masing 20% (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian produk tembakaunya.
Pasal 17
(1) Gambar dan tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam 15 dicantumkan pada setiap kemasan terkecil dan kemasan lebih besar produk tembakau.
(2) Setiap kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan 1 (satu) jenis gambar dan tulisan peringatan kesehatan .
(4) Pencantuman gambar dan tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) Dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar
bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40% (empat puluh persen), diawali dengan kata “peringatan dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan
47
dasar hitam, harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya;
(b) Gambar sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dicetak berwarna; dan
(c) Jenis huruf harus menggunakan huruf arial bold dan font 10 (sepuluh) atau proporsional dengan kemasan, tulisan warna putih di atas latar belakang hitam.
(5) Gambar dan tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak boleh tertutup oleh apapun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.49
Dengan dilahirkannya Undang-undang ini bertujuan sebagai
langkah mengendalikan masyarakat dalam mencegah dan mengurangi
konsumsi rokok tembakau.
Bahaya akibat penggunaan produk tembakau sendiri telah
lama menjadi perhatian dunia. Dalam upaya menangani masalah
konsumsi rokok, perintah Australia sebagai salah satu peserta dalam
konvensi FCTC, mengeluarkan aturan mengenai kemasan rokok.
Yakni dua undang-undang dan satu peraturan berlaku untuk kebijakan
kemasan polos Australia. Yaitu Undang-undang Kemasan polos50,
Undang-Undang Kemasan Merek Dagang (Tembakau)51, dan
49Undang-Undang nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan 50 Tobacco Plain Packaging Act (2011) No. 148, Australia 51 Trade Marks Amandement (Tobacco Plain Packaging) Act (2011) No. 149 Australia
48
Peraturan Pembungkus Tembakau Tobacco52. Undang-undang ini
mengubah kemasan dan penampilan produk tembakau dengan
mewajibkan pengecer untuk mengadopsi kemasan karton standar,
diwarnai sesuai peraturan (hijau zaitun atau Pantone 448C), dan
gambar yang diperintahkan.
Nama merek dan varian tetap tercantum pada kemasan,
dengan batasan tertentu, namun tidak dengan merek dagang.
Kemasan yang dihasilkan, lengkap dengan gambar yang diamanatkan,
didesain tidak menarik dan mengejutkan. Tujuan yang dinyatakan dari
aturan ini adalah untuk mengurangi daya tarik dari produk tembakau
kepada konsumen dengan meningkatkan efektivitas peringatan
kesehatan pada kemasan eceran produk tembakau dan mengurangi
kemampuan kemasan eceran produk tembakau untuk menyesatkan
konsumen tentang efek berbahaya dari merokok atau penggunaan
produk tembakau.53
Berdasarkan hasil penulusuran dalam menjawab rumusan
masalah pertama penulis menemukan kasus yang sangat berkaitan
dengan pokok masalah yang akan dibahas untuk memperjelas analisis
penulis, berikut uraian posisi kasus dan hasil analisis penulis:
52 Tobacco Plain Packaging regulations (2011) No. 263, Australia 53 Holly Jarman, Attack on Australia: Tobacco Industry challenges To Plain Packaging, Journal of
Public Health Policy, vol 34, 3, 375-387
49
1. Posisi Kasus
Plain Packaging sebagaimana diatur dalam Tobacco Plain
Packaging Act 2011 menjelaskan undang-undang tersebut mengacu
pada kemasan ritel produk tembakau serta bungkus rokok dan karton
rokok54. Bagian 4 dari undang-undang berisi berbagai definisi dan
memberikan arti berikut untuk persyaratan ini:
a. Rokok
Rokok berarti gulungan tembakau potong untuk merokok, terlampir di kertas.
b. Karton rokok
Karton rokok berarti wadah untuk penjualan eceran yang berisi wadah yang lebih kecil dimana rokok langsung ditempatkan.
c. Bungkus rokok
Bungkus rokok berarti wadah untuk penjualan eceran di mana rokok langsung ditempatkan.
d. Wadah
Wadah termasuk (tanpa batasan) paket, karton, kotak, timah, Paket, tas, kantong, tabung atau wadah lainnya.
e. Kemasan eceran
Kemasan eceran produk tembakau berarti:
(a). wadah untuk penjualan eceran dimana produk tembakau langsung ditempatkan; atau
54 Tobacco Plain Act 2011, No. 148 section 4
50
(b). wadah untuk penjualan eceran yang berisi wadah yang lebih kecil di mana produk tembakau ditempatkan langsung; atau (c) pembungkus plastik atau lainnya yang mencakup kemasan eceran produk tembakau (sesuai dengan paragraph (a) Atau (b) definisi ini); atau (d) pembungkus plastik atau pembungkus lainnya yang mencakup produk tembakau, menjadi produk tembakau yang dijual secara eceran; atau (e) setiap sisipan yang ditempatkan di dalam kemasan ritel Produk tembakau (sesuai dengan arti dari paragraf (a) Sampai (d) definisi ini); atau (f) setiap onsert yang ditempelkan atau dilampirkan ke ritel Kemasan produk tembakau (sesuai dengan makna apapun Dari paragraf (a) sampai (d) definisi ini).
f. Produk tembakau
Produk tembakau berarti tembakau olahan, Atau produk
apapun itu Mengandung tembakau, bahwa:
(a) diproduksi untuk digunakan untuk merokok, mengisap, mengunyah atau menghirup; dan
(b) tidak termasuk dalam Australian Register of Therapeutic Barang dipelihara berdasarkan Undang-Undang Barang Terapeutik 1989.55
Bab dua (2) dari Undang-Undang tersebut56 menetapkan
berbagai batasan yang ditempatkan pada kemasan eceran produk
tembakau dan produk yang terdapat dalam kemasan tersebut.
55 Tobacco Plain Act 2011, No. 148 section 4 56 Tobacco Plain Act 2011, No. 148 section 18, 19 dan 20
51
Pembatasan ini ditempatkan pada fitur fisik dari kemasan dan lapisan
dan pembungkusnya, pewarnaan kemasannya, serta setiap merek
dagang pada kemasan atau produk tembakau itu sendiri.
Pembatasan Fitur Fisik
Batasan berikut harus ditempatkan pada fitur fisik kemasan
ritel:
a. Permukaan dalam dan luar kemasan tidak boleh memiliki dekoratif,
hiasan timbul atau penyimpangan bentuk atau tekstur lainnya, atau
hiasan-hiasan lainnya selain yang diizinkan oleh regulasi dan semua
perekat dan perekat yang digunakan harus tidak berwarna dan
transparan.
b. Paket rokok dan karton rokok hanya boleh dibuat dari karton kaku
saja, berbentuk persegi panjang saat ditutup dan memiliki tepinya
lurus. Pembulatan, memiringkan atau pembentukan tepi dan
penambahan hiasan-hiasan lainnya dilarang secara khusus. Kantong
rokok diizinkan untuk memiliki strip berlubang untuk memungkinkan
karton dibuka dan mana yang meninggalkan gerigi di tepi karton saat
dibuka.
c. Secara khusus sehubungan dengan paket Rokok terdapat dimensi
paket yang ditentukan oleh regulasi dan kemasannya harus dibuka
dengan tutup flip atas yang bergantung pada bagian belakang dan
52
atas paket, sekali lagi pembulatan, pembengkakan dan penghias tepi
dan Di dalam bibir pembukaan dilarang. Setiap lapisan yang ada di
dalam kemasan hanya bisa dibuat dari kertas timah yang didukung
oleh kertas. Peraturan mengizinkan lapisan kemasan bertekstur
melalui embossing dari titik-titik kecil atau kuadrat tapi semua harus
jaraknya rapat dan seragam dan dengan ukuran yang seragam tetapi
tidak boleh membentuk gambar atau simbol atau merupakan iklan
tembakau atau promosi.
Pembatas akhir warna dan permukaan
Pembatasan berikut ditempatkan pada permukaan luar dan
dalam dari kemasan eceran dan lapisan rokok apapun:
1. selesai permukaan harus selesai matt.
2. Terlepas dari peringatan kesehatan dan teks dari setiap merek,
nama perusahaan atau nama varian dari produk, warna permukaan
luarnya adalah Pantone 448C (hijau zaitun), permukaan dalam putih
dan lapisan perak dengan punggung berwarna putih.
3. Tanda kalibrasi warna diizinkan tampil pada kemasan. Pembungkus
yang mencakup kemasan eceran juga hanya diijinkan untuk
transparan dan tidak berwarna tanpa tekstur atau hiasan. Strip
pembuka untuk membuka pembungkusnya harus benar-benar hitam
53
atau bening dan transparan sehingga huruf hitam solid bisa digunakan
untuk menunjukkan di mana tempatnya. Ukuran garis dan strip
pembuka juga ditentukan.
Rokok itu sendiri hanya diijinkan untuk menjadi putih atau putih
dengan ujung gabus imitasi. Ujung filter rokok tidak boleh diwarnai dan
harus berwarna putih.
Pembatasan Merek Dagang
Sementara pembatasan secara efektif membatasi
penggunaan warna, bentuk dan merek dagang tiga dimensi, Undang-
undang ini juga menempatkan batasan spesifik pada penggunaan
merek dagang dan tanda. Satu-satunya merek dagang atau merek
yang diizinkan tampil di kemasan ritel adalah nama merek, bisnis atau
perusahaan untuk produk tembakau dan variannya.
Nama varian adalah nama seperti "mentol" yang digunakan
untuk membedakan produk tembakau dari produk tembakau lainnya
yang mungkin dijual dengan merek dagang yang sama.
Tanda atau tanda dagang hanya diperbolehkan muncul di
permukaan depan, bawah dan bawah bungkus rokok atau permukaan
depan atau ujung karton rokok. Tidak ada merek dagang atau tanda
yang diizinkan pada bungkus yang menutupi kemasan ritel.
54
Merek dagang hanya diizinkan tampil satu kali pada masing-
masing permukaan ini, hanya dalam satu baris dan berada secara
horizontal di bawah peringatan kesehatan di bagian depan paket dan
berpusat di dalam ruang yang tersedia di lokasi itu, atau di sisi lain.
Permukaan secara horisontal dan berpusat pada ruang pada
permukaan itu. Jika ada varian namanya maka ini harus segera di
bawah merek, bisnis atau nama perusahaan.
Nama merek, bisnis, nama perusahaan atau variannya harus
ada dalam font Lucida Sans dan tidak lebih dari 14 poin atau 10 poin
untuk variannya. Tidak ada pembengkokan atau pembobotan font
yang diizinkan dan hanya huruf pertama dari setiap kata yang
diizinkan untuk dibuat. Tulisannya wajib ada di Pantone Cool Grey 2C.
Undang-undang tersebut juga menyebutkan tanda asal yang
dapat digunakan untuk membedakan asal produk. Tanda semacam ini
hanya bisa berupa kode alfanumerik atau tanda tersembunyi yang
tidak terlihat oleh mata. Posisi dan pencetakan tanda semacam ini
dibatasi dengan cara yang sama dengan merek dagang meskipun
tanda asal hanya ada di sisi atau bawah kemasan.
Tidak ada merek dagang atau tanda yang diizinkan untuk
produk tembakau itu sendiri. Meskipun Peraturan mengizinkan kode
55
alfanumerik untuk dipakai di rokok satu kali dengan batasan font,
warna dan ukuran. Kode alfanumerik tidak diizinkan untuk:
1. Jadilah atau mengizinkan akses terhadap iklan atau promosi
tembakau misalnya alamat web;
2. Berkaitan dengan kualitas rokok seperti hasil tarnya;
3. Menyesatkan tentang efek kesehatan rokok, bahaya atau emisi; dan
4. Mewakili atau terkait dengan cara apapun terhadap merek atau
varian nama rokok.
Memperhatikan bahwa Undang-undang tersebut tidak
memberikan informasi spesifik tentang persyaratan kode alfanumerik,
berapa lama dan berapa rasio jumlah dan huruf yang harus
digunakan, jika ada.
Dan juga dilarang agar setiap bagian dari kemasan eceran
membuat keributan atau menghasilkan aroma yang bisa dijadikan
iklan tembakau atau promosi57
Tujuan dari The Australia Tobacco Plain Packaging Act 2011
sendiri menyatakan sebagai suatu langkah dalam rangka peningkatan
57 Holly Jarman, Attack on Australia: Tobacco Industry challenges To Plain Packaging, Journal of
Public Health Policy, vol 34, 3, 375-387
56
kesehatan masyarakat, antara lain dengan cara mengurangi jumlah
individu yang akan memulai merokok dan mengkonsumsi produk
tembakau.58
Lahirnya Undang-undang kebijakan kemasan polos rokok
tembakau Australia ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi negara-
negara produsen rokok.
Menurut Direktur Jendral Kerja Sama Perdagangan
Intenasional (KPI), Bachrul Chairi menganggap kebijakan tersebut
telah mencederai hak anggota WTO dibawah perjanjian trade-related
aspects of intellectual property rights (TRIPs).
Menurut negara penggugat, konsumen memiliki hak untuk
mengetahui produk yang akan dikonsumsi. Sementara disisi lain,
produsen juga memiliki hak untuk menggunakan merek dagangnya
secara bebas.
Kebijakan Australia dalam mencapai tujuan dari kebijakannya
tersebut melalui penerapan kemasan polos produk rokok, dianggap
tidak melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas merek dagang.59
58 Tobacco Plain Packaging Act 2011, Section 3(1) 59Kukuh Bhimo Nugroho, Gerah Gara-Gara Polos, Review Weekly, diakses dari
http://www.majalahreviewweekly.com/read/145/gerah-gara-gara-polos, pada tanggal 11/05/17
57
1. Merek
Dalam perdagangan internasional merek sebagai salah satu
bentuk hak kekayaan intelektual mempunyai peranan penting dalam
perdagangan dikarenakan merek digunakan untuk membedakan asal-
usul mengenai produk barang dan jasa. Sebuah merek dapat menjadi
kekayaan yang sangat berharga secara komersial dan seringkali
mereklah yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bahkan
bernilai lebih.
Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan
peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan
perdagangan dan penanaman modal. Merek sebagai aset perusahaan
akan dapat menghasilkan keuntungan keuntungan besar bila
didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengolahan
manajemen yang baik..60
Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat
menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi
barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. Apabila
dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai jaminan hasil
60 Jisia Mamahit, Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan Barang Dan Jasa, diakses
dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/download/3040/2585 pada tanggal 14/05/2017 pukul 22:06
58
produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping untuk promosi
barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar.
Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan
pilihan-pilihan barang yang akan dibeli. Perlindungan merek secara
khusus diperlukan mengingat merek sebagai sarana identifikasi
individual terhadap barang dan jasa merupakan pusat “jiwa” suatu
bisnis, sangat bernilai dilihat dari berbagai aspek.61
Undang-undang merek telah mengalami perubahan, baik
diganti maupun direvisi karena nilainya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan dan kebutuhan. Pada akhirnya, pada tahun
2001 diundangkanlah undang-undang no. 15 tahun 2001 tentang
merek. Undang-undang merek ini merupakan hukum yang mengatur
perlindungan merek di Indonesia. Undang-undang tersebut merupakan
produk hukum terbaru dibidangn merek sebagai respon untuk
menyelesaikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar
internasional yang termuat dalam pasal 15 perjanjian TRIPs, sebagai
pengganti undang-undang sebelumnya yaitu undang-undang no. 14
61 Prasetyo Hadi Purwandoko, Problematika Perlindungan Merek di Indonesia, diakses dari
https://prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-indonesia/ pada tanggal 14/05/2017 pukul 22:21
59
tahun 1997 tentang perubahan atas undang-undang no. 19 tahun 1992
tentang merek.62
Merek adalah tanda yang berupa gambar,nama, kata huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.63
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa
unsur merek, yaitu:
1. Syarat utama merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam perdagangan barang atau jasa.
2. Tanda yang dapat menjadi simbol merek terdiri dari unsur-unsur,
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Merek sendiri terbagi menjadi tiga:
1. Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
62 Ibid 63 Pasal 1 (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
60
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya.64
2. Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-
jasa sejenis lainnya.65
3. Merek Kolektif
Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang
dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan
oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.66
Konvensi Paris mengenai perlindungan kekayaan industri dan
perjanjian TRIPs menjelaskan bahwa merek dagang dalam perdagang
internasional sangat lah penting.
Dalam perjanjian TRIPs, sebagai hal yang dilindungi, merek
adalah Setiap lambang, atau kombinasi dari beberapa lambang, yang
64 Pasal 1 (2) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek 65 Pasal 1 (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek 66 Pasal 1 (4) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
61
mampu membedakan barang atau jasa suatu usaha dari usaha lain,
dapat menjadi merek dagang. Lambang-lambang dimaksud, terutama
yang berupa rangkaian kata-kata dari nama pribadi, huruf, angka,
unsur figur dan kombinasi dari beberapa warna dapat didaftarkan
sebagai merek dagang. Dalam hal suatu lambang tidak dapat
membedakan secara jelas beberapa barang atau jasa satu sama lain,
Anggota dapat menetapkan persyaratan bagi pendaftarannya pada
sifat pembeda yang diperoleh karena penggunaannya. Anggota dapat
menetapkan persyaratan, sebagai syarat pendaftaran suatu merek
dagang, agar suatu lambang dapat divisualisasikan.67
Dalam melindungi suatu merek dagang, pemilik merek dagang
diberikan hak eksklusif guna mencegah pihak-pihak lain yang memiliki
ijin untuk menggunakan lambang atau tanda yang sama pada barang
atau jasa yang sejenis. Ini dijelaskan pada pasal 16 perjanjian TRIPs,
yaitu:
Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijinnya untuk menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau menggunakan lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian. Dalam
67 Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement), Section 2 Article 15
(1)
62
hal penggunaan suatu lambang yang sama untuk barang atau jasa yang sejenis, kemungkinan timbulnya ketidakpastian tersebut dianggap telah terjadi. Hak yang diuraikan diatas tidak mengurangi keabsahan hak yang sudah ada, dan tidak mengurangi kemungkinan bagi Anggota untuk menetapkan bahwa pemberian hak tersebut tergantung dari penggunaannya.68
Perjanjian TRIPs sendiri bertujuan memberikan perlindungan
dan penegakan hukum HKI untuk mendorong timbulnya inovasi,
pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperoleh manfaat bersama
atara penghasil dan pengguna pengetahuan teknologi, dengan cara
menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara
hak dan kewajiban69.
Prinsip-prinsip pokok perjanjian TRIPs terdiri dari70:
a. Menetapkan standar minimum untuk perlindungan dan penegakan
hukum HKI di negara-negara peserta.
b. masing-masing negara peserta harus melindungi warga negara dari
negara dari negara peserta lainnya.
c. negara-negara peserta diharuskan memberikan perlindungan HKI
yang sama kepada warga negara peserta lainnya.
68 Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement), Section 2 Article 16
(1) 69 Direktorat Jendral Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Hak dan Kewajiban
Pemerintah Dalam Penerapan Undang-undang No. 7/1994 Tentang Ratifikasi TRIPs, Hal. 2 70 Ibid, Hal. 3
63
d. Penegakan hukum yang ketat disertai dengan mekanisme
penyelesaian perselisihan sengketa, yang diikuti dengan hak bagi
negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan secara silang.
2. Indikasi geografis
Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan
daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis
termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang
dihasilkan.71
TRIPs memberikan definisi Indikasi Geografis sebagai tanda
yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan
atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana
reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat
ditentukan oleh faktor geografis. Dengan demikian, asal suatu barang
tertentu yang melekat dengan reputasi, karakteristik dan kualitas suatu
barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara
yuridis.72
71 Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP) (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian kementerian Pertanian-Republik Indonesia), Indikasi Geografis dan Indikasi Asal diakses dari http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/profile/visidanmisi/48-hki/pvt/358-indikasi-geografis-dan-indikasi-asal pada tanggal 16/05/2017 pada pukul 9.25
72 Indara Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) melalui Ratifikasi Perjanjian Lisabon diakses dari https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-
64
Pada TRIPs Agreement indikasi geografis pasal 22 dijelaskan
bahwa:
Indikasi geografis, sebagaimana dimaksud dalam persetujuan ini, adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu barang sebagai berasal dari wilayah salah satu Anggota, atau suatu daerah di dalam wilayah tersebut, dimana tempat asal barang tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi dari barang yang bersangkutan karena kualitas dan karakteristiknya.73
Di Indonesia indikasi geografis juga diatur dalam undang-
undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek pasal 56 yang
menyebutkan:
Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.74
Perlindungan indikasi geografis secara internasional sangat
diperlukan. Dengan perlindungan secarra internasional, beberapa
manfaat dapat diambil, yaitu75:
hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/ Pada tanggal 16/05/2017 dipukul 9:37
73 Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement), Section 3 Article 22 (1)
74 Undang-Undang No. 15 Tentang Merek, Pasal 56 ayat 1 75 Indara Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
melalui Ratifikasi Perjanjian Lisabon diakses dari https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/ Pada tanggal 16/05/2017 dipukul 13.18
65
1. Indikasi geografis dapat digunakan sebagai strategi pemasaran
produk pada perdagangan dalam dan luar negeri.
2. Memberikan nilai tambah terhadap produk dan meningkatkan
kesejahteraan pembuatnya.
3. Meningkatkan reputasi produk indikasi geografis dalam
perdagangan internasional.
4. Persamaan perlakuan sebagai akibat promosi dari luar negeri.
5. Perlindungan indikasi geografis sebagai salah satu alat untuk
menghindari persaingan curang.
Pada tanggal 20 September 2013, Indonesia sebagai salah
satu negara penggugat, meminta konsultasi dengan Australia
mengenai undang-undang dan peraturan Australia tertentu yang
memberlakukan pembatasan merek dagang, indikasi geografis dan
persyaratan kemasan polos lainnya untuk produk dan kemasan
tembakau.76
76 World Trade World (WTO), Australia-Certain Measures Concerning Trademark, Geographical
Indications and Other Plain Packaging Requiremnets Applicable To Tobacco Products and Packaging diakses dari https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm pada tanggal 13/05/17
66
Indonesia mengajukan keberatan melalui langkah-langkah
berikut ini :
1. Undang-undang kemasan rokok tembakau 2011, undang-undang
nomor 148 tahun 2011, “undang-undang untuk mencegah
penggunaan produk-produk tembaku dan untuk tujuan yang terkait
2. Peraturan kemasan rokok tembakau (instrumen legislatif terpilih
2011, no. 263), sebagaimana telah diubah dengan peraturan
perubahan kemasan polos tembakau 2011 (no.1) (instrumen
legislatif terpilih 2012, no. 29)
3. Undang-undang perubahan merek dagang (kemasan polos rokok
tembakau 2011, undang-undang untuk perubahan undang-undang
merek dagang 1995 dan untuk tujuan terkait
4. Tindakan terkait yang diadopsi oleh Australia, termasuk tindakan
yang menerapkan, melengkapi atau menambah undang-undang
dan peraturan ini serta tindakan yang mengubah atau mengganti
undang-undang dan peraturan ini.
Menurut Indonesia sebagai salah satu negara penggugat,
langkah-langkah yang mengatur kemasan dan penampilan polos
produk tembakau untuk penjualan eceran tampaknya tidak sesuai
67
dengan kewajiban Australia berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut
dari Perjanjian TBT, Perjanjian TRIPs, dan GATT 199477:
1. Pasal 2.1 Perjanjian TBT, karena peraturan teknis yang berlaku
berkaitan dengan perlakuan produk tembakau impor kurang
menguntungkan dibandingkan dengan produk sejenis asal negara;
2. Pasal 2.2 dari Perjanjian TBT, karena peraturan teknis yang
dipermasalahkan menimbulkan hambatan yang tidak perlu untuk
diperdagangkan karena pembatasan perdagangan lebih ketat
daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah;
3. Pasal 2.1 Perjanjian TRIPs, yang mencakup ketentuan Konvensi
Paris untuk Perlindungan Properti Industri, sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang Stockholm tahun 1967 ("Konvensi
Paris"), khususnya, (i) Pasal 6 barang antik di Paris Konvensi,
karena merek dagang yang terdaftar di negara asal di luar Australia
tidak dilindungi "sebagaimana adanya"; Dan, (ii) Pasal 10bis
Konvensi Paris, karena Australia tidak memberikan perlindungan
efektif terhadap persaingan tidak sehat, misalnya, menciptakan
kebingungan antara barang pesaing.
77 World Trade Organization, WT/DS467/1, G/TBT/D/46, IP/D/34, G/L/1041
68
4. Pasal 3.1 Perjanjian TRIPs, karena Australia menyetujui perlakuan
warga negara terhadap perlakuan Anggota lainnya yang kurang
menguntungkan daripada yang diberikan kepada warganya sendiri
sehubungan dengan perlindungan kekayaan intelektual;
5. Pasal 15.4 dari Perjanjian TRIPs, karena sifat dari barang yang
harus diterapkan merek dagang merupakan hambatan bagi
pendaftaran merek dagang;
6. Pasal 16.1 dari Perjanjian TRIPs, karena tindakan tersebut
mencegah pemilik merek dagang terdaftar menikmati hak yang
diberikan oleh merek dagang;
7. Pasal 16.3 dari Perjanjian TRIPs, karena tindakan tersebut
mencegah pemilik merek dagang terdaftar yang "terkenal" dari
menikmati hak yang diberikan oleh merek dagang;
8. Pasal 20 Perjanjian TRIPs, karena penggunaan merek dagang
sehubungan dengan produk tembakau tidak dapat dibebani
dengan persyaratan khusus, seperti (i) penggunaan dalam bentuk
khusus, misalnya jenis huruf, font, ukuran, warna, dan penempatan
seragam Dari nama merek, dan, (ii) menggunakan dengan cara
yang merugikan kemampuan merek dagang untuk membedakan
69
produk tembakau dari satu usaha dari produk tembakau lainnya.
Usaha;
9. Pasal 22.2 (b) Perjanjian TRIPs, karena Australia tidak memberikan
perlindungan yang efektif terhadap tindakan persaingan tidak sehat
sehubungan dengan indikasi geografis, misalnya, menimbulkan
kebingungan di antara konsumen sehubungan dengan asal
barang;
10. Pasal 24.3 dari Perjanjian TRIPs, karena Australia mengurangi
tingkat perlindungan yang diberikannya pada indikasi geografis
dibandingkan dengan tingkat perlindungan yang ada sebelum
tanggal 1 Januari 1995; dan
11. Pasal III: 4 dari GATT 1994, karena tindakan yang dikeluarkan
sesuai dengan perlakuan produk tembakau impor kurang
menguntungkan dibandingkan dengan produk sejenis yang
berasal dari negara asal.
Berdasarkan keberatan Indonesia oleh aturan kemasan polos
Australia yang dianggap tidak sesuai dengan kewajiban Australia
berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut ini:
70
Perjanjian mengenai hambatan teknis perdagangan (Technical
Barriers To Trade Agreement)
Ketentuan yang dipilih dari dari Perjanjian TBT adalah pasal 2 ayat
1 dan 2, peraturan dan standar teknis. Ayat 1 dan 2 dijelaskan :
Ayat 1
Anggota harus memastikan bahwa sehubungan dengan peraturan teknis, produk yang diimpor dari wilayah Peserta mana pun harus diperlakukan tidak kurang menguntungkan daripada yang sesuai dengan produk asal nasional dan menyukai produk yang berasal dari negara lain.78
Disahkannya undang-undang kemasan polos tembakau,
dianggap merugikan produk tembakau impor.
Ayat 2
Anggota harus memastikan bahwa peraturan teknis tidak dipersiapkan, diterapkan atau diterapkan, dengan maksud untuk atau dengan dampak menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional. Untuk tujuan ini, peraturan teknis tidak boleh lebih membatasi perdagangan daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah, dengan mempertimbangkan risiko yang tidak dipenuhinya. Tujuan yang sah tersebut antara lain: persyaratan keamanan nasional; Pencegahan praktik menipu; Perlindungan kesehatan manusia atau keselamatan, hewan Atau tanaman hidup atau kesehatan, atau lingkungan. Dalam menilai risiko tersebut, elemen pertimbangan yang relevan adalah, antara lain: tersedia informasi
78 Agreement On Technical Barriers To Trade, Article 2(1)
71
ilmiah dan teknis, teknologi pengolahan terkait atau penggunaan produk akhir yang diharapkan.79
Pasal ini dilanggar karena peraturan teknis yang
dipermasalahkan menimbulkan hambatan yang tidak perlu untuk
diperdagangkan karena pembatasan perdagangan lebih ketat daripada
yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah80
Perrjanjian Mengenai Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual
Perdagangan (TRIPs Agreement)
Ketentuan yang dipilih dari dari Perjanjian TRIPs adalah pasal
2 (1), 3 (1), 15 (14), 16 (1) dan (3), 20, 22(2.b), 24 (3) masing-masing
dijelaskan :
Pasal 2 ayat 1
Sehubungan dengan Bagian II, III dan IV dari Perjanjian ini,
Anggota harus mematuhi Pasal 1 sampai 12, dan Pasal 19, Konvensi
Paris (1967).
Dalam pasal ini, mencakup ketentuan Konvensi Paris untuk
Perlindungan Properti Industri, sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang Stockholm tahun 1967 ("Konvensi Paris"), khususnya,
(i) Pasal 6 barang antik di Paris Konvensi, karena merek dagang yang
terdaftar di negara asal di luar Australia tidak dilindungi "sebagaimana
79 Agreement On Technical Barriers To Trade, Article 2(1) 80 World Trade Organization, WT/DS467/15
72
adanya"; Dan, (ii) Pasal 10bis Konvensi Paris, karena Australia tidak
memberikan perlindungan efektif terhadap persaingan tidak sehat,
misalnya, menciptakan kebingungan antara barang pesaing.81
Pasal 3 ayat 1
Setiap Anggota harus mematuhi warga negara dari perlakuan
Anggota lain yang tidak kurang menguntungkan daripada yang
diberikannya kepada warganya sendiri sehubungan dengan
perlindungan kekayaan intelektual, sesuai dengan pengecualian yang
diberikan dalam Konvensi Paris (1967), Berne Konvensi (1971),
Konvensi Roma atau Traktat tentang Kekayaan Intelektual dalam
Menghormati Sirkuit Terpadu. Sehubungan dengan artis, produser
fonogram dan organisasi penyiaran, ini kewajiban hanya berlaku
sehubungan dengan hak yang diatur dalam Perjanjian ini. Setiap
Anggota yang memanfaatkan kemungkinan yang diberikan dalam
Pasal 6 dari Konvensi Berne (1971) atau paragraf 1 (b) Pasal 16 dari
Konvensi Roma harus membuat pemberitahuan sebagaimana
diramalkan dalam ketentuan-ketentuan tersebut kepada Dewan Untuk
TRIPs.
81 World Trade Organization, WT/DS467/15
73
Pada pasal ini, dianggap dilanggar karena Australia menyetujui
perlakuan warga negara terhadap perlakuan Anggota lainnya yang
kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada warganya
sendiri sehubungan dengan perlindungan kekayaan intelektual82
Pasal 15 ayat 4
Sifat dari barang atau jasa yang harus diterapkan merek
dagang, tidak menjadi kendala dalam pendaftaran merek dagang.
Dianggap melanggar pasal ini, karena sifat dari barang yang
harus diterapkan merek dagang merupakan hambatan bagi
pendaftaran merek dagang83
Pasal 16 ayat 1
Pemilik merek dagang terdaftar memiliki hak eksklusif untuk
mencegah semua pihak ketiga yang tidak mendapat persetujuan
pemiliknya untuk menggunakan dalam perdagangan sejenis tanda
atau barang serupa yang serupa atau serupa dengan merek dagang
tersebut. Terdaftar di mana penggunaan tersebut akan mengakibatkan
kemungkinan kebingungan. Jika menggunakan tanda identik untuk
barang atau jasa yang identik, kemungkinan timbulnya kebingungan
82 World Trade Organization, WT/DS467/15 83 World Trade Organization, WT/DS467/15
74
harus dianggap. Hak-hak yang diuraikan di atas tidak akan mengurangi
hak-hak sebelumnya yang ada, dan juga tidak akan mempengaruhi
kemungkinan Anggota membuat hak tersedia atas dasar penggunaan.
Pelanggaran pada pasal ini karena tindakan tersebut
mencegah pemilik merek dagang terdaftar menikmati hak yang
diberikan oleh merek dagang84
Pasal 16 ayat 3
Pasal 6 Konvensi Paris (1967) berlaku, mutatis mutandis,
terhadap barang atau jasa yang tidak serupa dengan yang di dalamnya
merek dagang terdaftar, asal penggunaan merek dagang tersebut
sehubungan dengan barang atau jasa tersebut akan mengindikasikan
Hubungan antara barang atau jasa tersebut dan pemilik merek dagang
terdaftar dan dengan ketentuan bahwa kepentingan pemilik merek
dagang terdaftar kemungkinan akan rusak akibat penggunaan
tersebut.
Dari pasal ini, dikatakan melanggar karena tindakan tersebut
mencegah pemilik merek dagang terdaftar yang "terkenal" dari
menikmati hak yang diberikan oleh merek dagang.85
84 World Trade Organization, WT/DS467/15
75
Pasal 20
Penggunaan merek dagang dalam proses perdagangan tidak
boleh dibebani dengan persyaratan khusus, seperti penggunaan
dengan merek dagang lain, digunakan dalam bentuk khusus atau
penggunaan dengan cara yang merugikan kemampuannya untuk
membedakan barang atau jasa dari satu usaha dari Usaha lain. Ini
tidak akan menghalangi persyaratan yang menentukan penggunaan
merek dagang yang mengidentifikasi usaha yang menghasilkan barang
atau jasa bersama, namun tanpa menghubungkannya dengan, merek
dagang yang membedakan barang atau jasa tertentu yang
bersangkutan dengan usaha tersebut.
Dalam pasal ini dilanggar karena penggunaan merek dagang
sehubungan dengan produk tembakau tidak dapat dibebani dengan
persyaratan khusus, seperti (i) penggunaan dalam bentuk khusus,
misalnya jenis huruf, font, ukuran, warna, dan penempatan seragam
Dari nama merek, dan, (ii) menggunakan dengan cara yang merugikan
kemampuan merek dagang untuk membedakan produk tembakau dari
satu usaha dari produk tembakau usaha lainnya.86
85 World Trade Organization, WT/DS467/15 86 World Trade Organization, WT/DS467/15
76
Pasal 22 ayat 2b
Setiap penggunaan yang merupakan tindakan persaingan tidak
sehat dalam arti Pasal 10bis Konvensi Paris (1967)
karena Australia tidak memberikan perlindungan yang efektif
terhadap tindakan persaingan tidak sehat sehubungan dengan indikasi
geografis, misalnya, menimbulkan kebingungan di antara konsumen
sehubungan dengan asal barang87
Pasal 24 ayat 3
Dalam melaksanakan Bagian ini, Anggota tidak akan
mengurangi perlindungan indikasi geografis yang ada di Anggota
tersebut sebelum tanggal berlakunya Persetujuan WTO.
Karena Australia mengurangi tingkat perlindungan yang
diberikannya pada indikasi geografis dibandingkan dengan tingkat
perlindungan yang ada sebelum tanggal 1 Januari 1995.
Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT Agreement)
Pasal 3 ayat 4
Produk dari wilayah setiap pihak yang melakukan kontrak
impor ke wilayah pihak kontraktor lainnya harus diberikan
87 World Trade Organization, WT/DS467/15
77
Perlakuan yang tidak kalah menguntungkan dari pada yang sesuai
dengan produk asal nasional berkenaan dengan semua undang-
undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan
internal mereka, yang ditawarkan untuk dijual, dibeli, transportasi,
distribusikan atau digunakan. Ketentuan dalam ayat ini tidak mencegah
penerapan biaya pengangkutan internal diferensial yang semata-mata
didasarkan pada operasi ekonomi alat transportasi dan bukan atas
kewarganegaraan produk.
78
B. Upaya Hukum Bagi Negara Produsen Rokok Terhadap Plain
Packaging Ditinjau Dari Perdagangan Internasional
Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar
orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip
hukum atau disebut pula dengan asas-asas hukum merupakan dasar
pembentukan hukum yang secara filosofis mempunyai atau memiliki
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum.88
Dalam perdagangan internasional, secara garis besar prinsip-
prinsip hukum menghendaki perlakuan yang sama atas setiap produk
baik trehadap produk impor maupun produk domestik. Tujuan
penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan
bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.89
Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan internasional
yang diatur dalam GATT/WTO, meliputi prinsip non-diskriminasi,
prinsip resiprositas (Resiprocity), prinsip penghapusan hambatan
kuantitatif, prinsip perdagangan yang adil (fairness principle) dan
prinsip tarif mengikat (tarif binding priciple)
88 Muhammad Sood, Op.cit, Hlm 39 89 Ibid, Hal. 40
79
a. Prinsip non-diskriminasi (non-discriminatioan principle)
Prinsip ini meliputi : Prinsip Most Favoured Nation (MFN
Principle),dan Prinsip National Treadment (NT Principle)
1. Prinsip Most Favoured Nation (MFN)
Prinsip ini diatur dalam article 1 section (1) GATT 1947, yang
berjudul general Favoured treadment, merupakan prinsip non
diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.90
Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk
memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam
pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-
biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan
segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap
produk yang berasal atau yang ditujuskan kepada semua anggota
GATT. Kerena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan
istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi
terhadapnya. Maksudnya apabila suatu negara pertama memberikan
kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara
kedua, maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara
ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan kata lain, suatu negara yang
90 Ibid, Hal 41
80
memberikan keuntungan kepada negara yang satu, wajib
menyeebarluaskan keuntungan yang serupa kepada negara lainnya.91
2. Prinsip National Treatment (NT)
Prinsip ini diatur dalam article III GATT 1947, berjudul national
treatment on international taxation and regulation, yang menyatakan
bahwa, this standard provides for inland parity that is say equality for
treatment between nation and foreigners.
Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak
menghendaki adanya diskriminasi antarproduk dalam negeri dengan
produk serupa dari luar negeri. Artinya, apabila suatu produk impor
telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka produk
impor itu harus mendapat perlakuan yang sama, seperti halnya
perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri sejenis.92
b. Prinsip Resiprositas (Resiprocity Principle)
Prinsip resiprositas (reciprocity principle) yang diatur dalam
article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik
diantara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan
perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam
91 Ibid, Hal 42 92 Ibid, Hal 43
81
kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk
atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk
tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara
yang pertama tadi. Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara
secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalu lintas
barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap
negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang
lancar dan bebas.93
c. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif (Prohibition of
Quantitative Restriction)
Prinsip ini telah diatur dalam article IX GATT 1947,
Menghendaki transparansi dan penghapusan hambatan kuantitatif
dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam
persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan
merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan
ini adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary
export restraints). Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan
dalam praktiknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-
peluang subjektif lainnya. Oleh karena itu, hukum perdagangan
internasional melalui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis
93 Ibid, Hal 45
82
hambatan kuantitatif. Adanya prinsip transparansi membawa akibat
bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan
proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota
sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk
diterapkan. Oleh karena itu, prinsip ini seringkali disebut sebagai
tarifikasi hambatan peragangan.94
d. Prinsip Perdagangan yang adil (Fairness Principle)
Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang
melarang dumping (article VI) dan subsidi (article XVI), dimaksudkan
agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan
tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan pihak
di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi
negara lainnya. Dalam perdaganga internasional, prinsip dairness ini
diarahkan untuk menghilangkan praktik-praktik persaingan curang
dalam kegiatan ekonomi yang disebut dengan praktik dumping dan
subsidi dalam perdagangan internasional.95
e. Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tariff Principle)
Prinsip ini diatur dalam article II section (2) GATT-WTO 1995
bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun
94 Ibid, Hal. 46 95 Ibid, Hal. 47
83
besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip
tarif mengikat. Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan
tarif oleh WTO dipandang sebagai suatu model yang masih dapat
ditoleransi, misalnya melakukan tindakan proteksi terhadap industri
domestik melalui kenaikan tarif (bea masuk). Perlindungan ini masih
memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun demikian, dalam
kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah
kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan
tarif secara bertahap.96
Dengan disahkannya undang-undang kemasan polos
tembakau, Pada tanggal 20 September 2013, Pemerintah Indonesia
meminta konsultasi dengan Pemerintah Australia sesuai dengan Pasal
4 dari Pemahaman tentang Aturan dan Tata Cara Penyelesaian
Sengketa ("DSU"), Pasal XXII dari Persetujuan Umum tentang Tarif
dan Perdagangan 1994 "GATT 1994"), Pasal 64.1 dari Persetujuan
tentang Aspek Terkait Perdagangan Hak-hak Kekayaan Intelektual
("Perjanjian TRIPs"), dan Pasal 14.1 dari Persetujuan tentang
Hambatan Teknis terhadap Perdagangan ("Perjanjian TBT")
sehubungan dengan undang-undang Australia tertentu Dan peraturan
yang memberlakukan pembatasan merek dagang, indikasi geografis,
96 Ibid, Hal. 48
84
Dan persyaratan kemasan polos lainnya pada produk dan kemasan
tembakau.
Konsultasi diadakan pada tanggal 29 Oktober 2013 dengan
tujuan untuk mencapai solusi yang saling memuaskan. Konsultasi ini
menjelaskan beberapa masalah yang berkaitan dengan masalah ini,
namun gagal menyelesaikan perselisihan tersebut. Oleh karena itu,
Indonesia dengan hormat meminta, sesuai dengan Pasal 4.7 dan 6
dari DSU, Pasal XXIII GATT 1994, Pasal 64.1 Perjanjian TRIPs, dan
Pasal 14.1 Perjanjian TBT, bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
("DSB") membentuk sebuah Panel untuk memeriksa hal ini Indonesia
meminta agar permintaan ini diajukan dalam agenda pertemuan DSB
yang akan diadakan pada tanggal 26 Maret 2014. Indonesia meminta
lebih lanjut bahwa Penal memiliki standar acuan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 7.1 DSU.
Oleh karena itu, permintaan Indonesia, sesuai dengan Pasal
4.7 dan 6 dari DSU, Pasal XXIII GATT 1994, Pasal 64.1 Perjanjian
TRIPs, dan Pasal 14.1 dari Perjanjian TBT, bahwa DSB membentuk
Panel dengan acuan standar sebagaimana diatur dalam Pasal 7.1
85
DSU. Indonesia meminta agar permintaan ini diajukan dalam agenda
pertemuan DSB yang dijadwalkan pada 26 Maret 2014.97
Dalam perdagangan internasional terdapat beberapa prinsip
penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain:
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip
fundamental dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya
suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi
dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah
berlangsung dikhiri. Jadi, prinsip ini sangat esensial. Badan-badan
peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak
sepakati.98
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana
sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
97 World Trade Organization (WTO), WT/DS467/15 98 Huala Adolf, 2011, Op.cit, Hal. 196
86
Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 the UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat
definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan
sengketa kesuatu badan arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan
sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian
para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase
haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.99
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip ini adalah prinsip kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila
sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap
pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini
termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan.
Prinsip ini adalah sumber dimana pengadilan akan memutus
sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau
kelayakan suatu penyelesaian sengketa. 100
99 Loc.cit 100 Loc.cit
87
4. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)
Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip
fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip
ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak
dalam penyelesaian sengketanya.
Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua
tahap. Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah
timbulnya sengketa yang dapat memengaruhi hubungan-hubungan
baik diantar negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak
menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa
yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni
negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara
pilihan para pihak lainnya.101
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir
dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam upayanya
merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, komisi hukum
101 Ibid, Hal. 198
88
internasional PBB memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam
pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility.
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan
bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan
internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia
atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu
ditempuh.102
Sistem penyelesaian persengketaan WTO merupakan elemen
pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap
perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan
WTO sangat penting dalam rangka penerapan disiplin dan fungsi WTO
secara efektif. Dibawah WTO hanya ada satu badan penyelesaian
sengketa (DSB = Disputes Settlemen Body) mengatur persengketaan
yang timbul dari persetujuan yang terdapat pada Final Act.103
Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
1. Negoisiasi
Negosiasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah diskusi diantara
pihak yang berkepentingan dengan maksud mencari titik temu bagi
102 Ibid, Hal. 199 103 Syahmin AK, Op.cit, Hlm. 252
89
pendapat-pendapat yang berbeda, atau setidaknya untuk memahami
pandangan-pandangan berbeda yang dikemukakan. Negosiasi sangat
cocok untuk klarifikasi perselisihan pendapat yang rumit, meski tidak
selalu menjadi resolusi. Melalui diskusi timbal balik, hakikat perbedaan
pendapat akan terungkap dan pendirian-pendirian yang bertentangan
akan terbuka. Negosiasi adalah cara paling memuaskan untuk
menyelesaikan sengketa, sebab para pihak terlibat secara langsung.104
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Ia bisa negara,
organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli
hukum, atau ilmuwan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses
negosiasi. Biasanya ia, dengan kapasitasnya sebagai pihak yang
netral, berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran
penyelesaian sengketa.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat
melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru.
Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai
solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati
104 Malcolm N. Shaw QC, 2013, Hukum Internasional, Bandung, Penerbit Nusa Media, Hal. 1020
90
para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri
sengketa105
3. Konsilisasi
Konsilisasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya
lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara
penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang
dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua
tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa
diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan
mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat
hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh
kuasanya.
Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau
badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak
disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian
sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karena
105 Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 21
91
diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para
pihak.106
4. Arbitrase
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan
mengikat (binding).
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan
klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya lahir.
Pemilihan arbitrator sepenuhnya berapa pada kesepakatan para pihak.
Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of
reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan
kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang
akan diselesaikan. Kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan
(acara) sidang arbitrase.107
106 Ibid, Hal.22 107 Ibid, Hal. 23
92
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Metode yang memungkin untuk menyelesaikan sengketa
selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional
atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila
cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan
biasanya hanya dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan
ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak
dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan
bahwa jika timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, mereka
sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan
(negeri) suatu negara tertentu.
Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan
sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu
badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja
adalah WTO. Namun, perlu ditekankan disini bahwa WTO hanya
menangani sengketa antarnegara anggota WTO. Umumnya pun
sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau
93
negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara
lain anggota WTO yang merugikannya.108
Tahapan Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO
Berikut ini adalah tahap-tahap penyelesaian sengketa dagang
didalam WTO109
a. Konsultasi
Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di
WTO adalah untuk menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa.
Tahap pertama adalah konsultasi antara pihajk-pihak yang
bersengketa.Setiap anggota harus menjawab secara tepat dalam
waktu sepuluh hari untuk meminta diadakan konsultasi dan memasuki
periode konsultasi selama tiga puluh hari untuk meminta diadakan
konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh hari
setelah waktu permohonan.
Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk
konsultasi harus diberitahukan kepada DSB secara tertulis, kemudian
disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi termasuk dasar-
dasar hukum untuk pengaduan. Bila konsultasi gagal dan kedua pihak
108 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.cit, Hal. 210 109 Syahmin AK, Op.cit, Hlm. 253
94
setuju, masalah ini dapat diajukan ke Direktur Jendral WTO yang akan
siap menawarkan diadakan good office, konsiliasi, atau mediasi dalam
penyelesaian sengketa.
b. Pembentukan Panels (Establishment of Panels)
Jika suatu anggota tidak memberikan jawaban untuk meminta
diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi
gagal untuk diselesaikan dalam waktu enam puluh hari, penggugat
dapat meminta ke DSB untuk membentuk suatu panel untuk
menyelesaikan masalah pembentukan panel. Prosedur ini menurut
DSB untuk segera membentuk panel, selambat-lambatnya pada
sidang kedua dari permintaan panel. Jika tidak, maka diputuskan
secara konsensus. Hal ini dimaksudkan adalah negara yang digugat
tidak boleh menghalangi pembentukan panel. Dalam hal ini penentuan
Term of Reference dan komposisi panel juga diajukan. Panel harus
segera disusun dalam waktu tiga puluh hari pembentukan.
Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang panelis yang
potensial pada pihak-pihak sengketa. Jika pihak-pihak tersebut tidak
setuju terhadap panelis dalam waktu dua puluh hari dari pembentukan
panel, Direktur Jendral melakukan konsultasi kepada Ketua DSB dan
Ketua Dewan akan menunjuk panelis. Para panelis akan melayani
95
sesuai dengan kapasitasnya dan tidak berpegangan pada instruksi-
instruksi dari negara yang bersangkutan.
c. Prosedur-Prosedur Panel (Panels Procedures)
Pengertian ini menunjukkan bahwa periode dimana panel
melaksanakan pengujian masalah, selanjutnya Term of Reference dan
komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan laporan
kepada para pihak yang bersengketatidak boleh lebih dari enam bulan.
Dalam hal-hal yang penting, termasuk untuk barang-barang yang
mudah rusak, waktu dapat dipercepat menjadi tiga bulan. Apabila tidak
ada masalah, waktu pembentukan panel ke sirkulasi laporan kepada
anggota tidak boleh lebih dari sembilan bulan.
d. Penerimaan Laporan Panel ke DSB (Adoption of Panels Reports)
Prosedur WTO menunjukkan bahwa laporan panel harus
diterima oleh DSB dalam waktu enam puluh hari dari pengeluaran. Jika
tidak, satu pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau
konsensus terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat
mempertimbangkan laporan panel lebih cepat dari dua puluh hari
setelah laporan tersebut disirkulasikan kepada para anggota.
Para anggota yang merasa keberatan atas laporan itu
diwajibkan untuk menyatakan alasan-alasan secara tertulis untuk
96
disirkulasikan sebelum diadakan pertemuan DSB dimana laporan
panel akan dipertimbangkan.
e. Peninjauan Kembali (Appelatte Review)
Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa
di WTO memberikan kemungkinan penarikan terhadap salah satu
pihak dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan
didengar oleh suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk
oleh DSB. Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan
perwakilan dari keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin
empat tahun. Mereka harus merupakan orang yang ahli dibidang
hukum dan perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan
negara mana pun.
Tiga orang anggota dari appelatte body mendengarkan
permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah atau
membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan
permohonan tidak lebih dari 60-90 hari. Tiga pulu hari sesudah
pengeluaran, laporan dari appallate body harus diterima oleh DSB dan
tanpa syarat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Jika tidak,
konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini.
97
f. Implementasi (Implementation)
Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat
penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaan-
persengketaan yang bermanfaat untuk semua anggota. Pada
pertemuan DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi
panel, pihak yang bersangkutan harus menyatakan niat untuk
menghargai implementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu
tidak berguna untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu
periode waktu yang beralasan yang ditentukan oleh disputes
settlement body (DSB).
Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu,
diwajibkan untuk mengadakan negosiasi dengan penggugat untuk
menentukan kompensasi yang dapat diterima kedua belah pihak yang
bersengketa. Jika dalam waktu dua puluh hari tidak ada kompensasi
yang memuaskan yang dapat disetujui, penggugat dapat mohon
otorisasi dari DSB untuk menangguhkan konsesi-konsesi atau obligasi-
obligasi terhadap pihak tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB
menjamin otorisasi ini dalam waktu tiga puluh hari dari batas waktu
“reasonable period of time”. Jika konsensus akan diberlakukan. Jika
anggota yang bersangkutan menolak/berkeberatan terhadap tingkat
suspensi, hal tersebut diteruskan pada arbitrase. Hal ini akan
98
diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang asli. Bila hal ini tidak
mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk oleh Direktor Jendral
WTO. Arbitrase harus selesai dalam waktu enam puluh hari dari batas
waktu “reasonable period of time”, dan hasil keputusan harus diterima
oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai final, dan tidak diteruskan
kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya memberi kuasa suspensi
dari konsesi-konsesi secara konsisten dari hasil penyelesaian
arbitrator. Jika tidak, maka diadakan konsensus.
Keputusan Panel dalam Sengketa Dagang Industri Rokok
Indonesia-Kebijakan Kemasan Polos Tembakau Australia.
Panel mengeluarkan laporan rekomendasi kasus sengketa
undang-undang kemasan polos Australia yang kemudian disampaikan
kepada DSB WTO. Dalam hasil laporannya yang dituangkan dalam
Report of The Panel, maka Panel dalam kasus ini memutuskan
sebagai berikut:
Pada tanggal 26 Maret 2014, Badan Penyelesaian Sengketa
(DSB) membentuk sebuah panel sesuai permintaan Indonesia dalam
dokumen WT / DS467 / 15, sesuai dengan Pasal 6 dari Pemahaman
tentang Aturan dan Tata Cara Penyelesaian Sengketa (DSU).
Dengan kerangka acuan panel sebagai berikut:
99
Untuk memeriksa, sehubungan dengan ketentuan yang
relevan dari kesepakatan tertutup yang disebutkan oleh para pihak
dalam perselisihan tersebut, hal tersebut mengacu pada DSB oleh
Indonesia dalam dokumen WT / DS467 / 15 dan untuk membuat
temuan seperti yang akan membantu DSB dalam membuat
rekomendasi atau dalam memberikan keputusan yang diatur dalam
kesepakatan tersebut.
Pada tanggal 23 April 2014, Australia meminta Direktur
Jenderal untuk menentukan komposisi Panel, sesuai dengan Pasal 8.7
DSU. Paragraf ini menyediakan:
Jika tidak ada kesepakatan mengenai panelis dalam waktu 20
hari setelah tanggal pendirian panel, atas permintaan salah satu pihak,
Direktur Jenderal, dengan berkonsultasi dengan Ketua DSB dan Ketua
Dewan atau Komite terkait , Harus menentukan komposisi panel
dengan menunjuk panelis yang dianggap paling sesuai oleh Direktur
Jenderal sesuai dengan peraturan atau prosedur khusus yang relevan
atau tambahan dari perjanjian yang tercakup atau Perjanjian tertutup
yang dipermasalahkan dalam perselisihan, setelah berkonsultasi
dengan para pihak dalam perselisihan tersebut. Ketua DSB harus
100
memberi tahu Anggota komposisi panel yang terbentuk paling lambat
10 hari setelah tanggal Ketua menerima permintaan tersebut.110
Tanggal 10 Oktober 2014, diterima dari Ketua Panel dengan
permintaan diedarkan ke Badan Penyelesaian Sengketa.
1. Pasal 12.8 Pengertian Aturan dan Tata Cara Pengesahan
Penyelesaian Sengketa (DSU) menetapkan bahwa periode dimana
panel melakukan pemeriksaannya, sejak tanggal dimana
komposisi dan kerangka acuan panel telah disepakati sampai
tanggal Laporan akhir dikeluarkan untuk para pihak dalam
perselisihan tersebut, harus, sebagai peraturan umum, tidak lebih
dari enam bulan.
2. Pasal 12.9 DSU menetapkan bahwa, apabila sebuah panel
menganggap bahwa laporan tersebut tidak dapat diterbitkan dalam
waktu enam bulan, harus memberitahukan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa (DSB) secara tertulis dan menunjukkan
alasannya, beserta perkiraan masa dimana Akan menerbitkan
laporannya.111
110 World Trade Organization, WT/DS467/17 111 World Trade Organization, WT/DS467/18
101
Pada tanggal 7 Mei 2014, Australia mengajukan kepada Panel
sebuah permintaan untuk keputusan sementara mengenai konsistensi
permintaan panel Indonesia dengan DSU.
Australia meminta agar Panel membuat keputusan
pendahuluan mengenai hal ini sedini mungkin (dan khususnya, bahwa
Panel mengeluarkan keputusan pendahuluannya sebelum mengajukan
pengajuan tertulis pertama oleh para pihak). Australia juga meminta
kesempatan untuk menanggapi setiap pengiriman yang dilakukan oleh
Indonesia sehubungan dengan permintaan awal ini.
Pada tanggal 11 Juni 2014, Indonesia menanggapi permintaan
Australia. Juga pada tanggal 11 Juni 2014, Panel memberikan
kesempatan kepada pihak ketiga untuk memberikan komentar
mengenai permintaan pendahuluan Australia. Pada tanggal 17 Juni
2014, Panel menerima komentar dari Uni Eropa. Pada tanggal 18 Juni
2014, Panel menerima komentar dari Argentina, Republik Dominika,
Guatemala, Honduras dan Meksiko.
Tanggal 1 Juli 2014, Panel menerima komentar dari Australia
mengenai tanggapan Indonesia atas permintaan Australia untuk
102
sebuah keputusan sementara. Indonesia tidak menyampaikan
komentar lebih lanjut mengenai komentar Australia112
Tanggal 29 Juni 2016, diterima dari Ketua Panel dengan
permintaan diserahkan ke Badan Penyelesaian Sengketa.
1. Pasal 12.8 Pengertian Aturan dan Tata Cara Pengesahan
Penyelesaian Sengketa (DSU) menetapkan bahwa periode dimana
panel melakukan pemeriksaannya, sejak tanggal dimana
komposisi dan kerangka acuan panel telah disepakati sampai
tanggal Laporan akhir dikeluarkan untuk para pihak dalam
perselisihan tersebut, harus, sebagai peraturan umum, tidak lebih
dari enam bulan.
2. Pasal 12.9 DSU menetapkan bahwa, apabila sebuah panel
menganggap bahwa laporan tersebut tidak dapat diterbitkan dalam
waktu enam bulan, harus memberitahukan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa (DSB) secara tertulis dan menunjukkan
alasannya, beserta perkiraan masa dimana Akan menerbitkan
laporannya.
112 World Trade Organization, WT/DS467/19
103
Pada tanggal 10 Oktober 2014, Panel mengkomunikasikan
kepada DSB bahwa mereka "mengharapkan untuk menerbitkan
laporan akhirnya kepada para pihak sebelum paruh pertama tahun
2016".
Panel ingin memberi tahu bahwa sekarang mengharapkan
untuk mengeluarkan laporan akhirnya kepada para pihak sebelum
akhir tahun 2016, mengingat kompleksitas masalah hukum dan faktual
yang timbul dalam perselisihan ini.
Panel ingin memberi tahu bahwa sekarang mengharapkan
untuk mengeluarkan laporan akhirnya kepada para pihak sebelumnya
Mei 2017, mengingat kompleksitas masalah hukum dan faktual yang
muncul dalam perselisihan ini.113
Dari contoh kasus di atas, dapat kita ketahui bagaimana upaya
hukum negara produsen rokok terhadap kebijakan plain packaging
ditinjau dari perdagangan internasional.
113 World Trade Organization, WT/DS467/21
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan plain packaging pertama kali dicetuskan oleh Negara
Amerika. Dan mulai diikuti oleh negara lain termasuk Australia.
2. Kebijakan mengenai plain packaging tersebut ternyata banyak
bertentangan dengan beberapa aturan dan kebijakan WTO serta
beberapa negara termasuk Indonesia karena telah melanggar aturan
perdagangan internasional dan tidak menghargai hak kekayaan
intelektual (HKI).
3. Adapun upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh negara-negara yang
menentang kebijakan plain packaging, sebagai berikut:
I. Dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai.
a. Negosiasi
b. Mediasi
c. Konsiliasi
d. Arbitrase
e. Pengadilan
105
II. Penyelesaian sengketa melalui DSB WTO.
a. Konsultasi
b. Pembentukan Panel
c. Prosedur- Prosedur Panel
d. Penerimaan laporan panel ke DSB
e. Peninjauan Kembali
f. Implementasi
B. Saran
1. Dunia internasional seharusnya melakukan penelitian lebih dalam
mengenai dampak kebijakan plain packaging baik dari segi medis
maupun ekonomi.
2. Seharusnya penerapan aturan plain pakcking tidak bertentangan
dengan aturan perdagangan internasional dan menghargai hak
kekayaan intelektual.
106
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adolf, Huala, 1998, Hukum Ekonomi Internasional, PTRajaGrafindo Persada: Jakarta.
Adolf, Huala, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika: Jakarta.
Adolf, Huala., 2009, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Adolf, Huala, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta
Damian, Eddy., 1999, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungan Terhadap Buku Serta Perjanjian Penerbitnya, Penerbit Alumni: Bandung
Firmansyah, Muhammad, 2008, Tata Cara Mengurus HaKI, Visimedia: Jakarta
Lindsey, Tim dkk, 2013, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, P.T. Alumni: Bandung
Mauna, Boer., 2013, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era dinamika Global, P.T. Alumni: Bandung
107
Maman Suherman, Ade, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika: Jakarta
N. Shaw QC, Malcolm, 2013, Hukum Internasional, Penerbit Nusa Media: Bandung.
Ok. Saidin, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), P.T. Grafindo Persada, Jakarta.
Roisah, Kholis, 2015, Konsep Hukum HakKekayaan Intelektual (HaKI) Sejarah, Pengertian dan Filosofi Pengakuan HKI dari masa ke masa, Setara Press: Malang
Sood, Muhammad., 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta.
Suherman, Ade Maman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika: Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2013, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika: Jakarta
Syahmin ak, 2006, Hukum dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analistis, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Tunggal, Setia Hadi, 2011, Pokok-Pokok Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Harvarindo: Jakarta
108
Utomo, Tomi Suryo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu: Yogyakarta.
Zen Umar Purba, Achmad, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, P.T. Alumni: Bandung
Internet Triana Marchelina, Plain Packaging For Indonesia, Medicalogy,
https://www.medicalogy.com/blog/plain-packaging-for-indonesia-are-we-ready-yet/, diakses tanggal 10 mei 2017
Ria Yohana, kajian hukum terhadap kebijakan kemasan polos rokok di
australia merugikan perusahaan tembakau, Academia.edu, https://www.academia.edu/12879938/Kajian_Hukum_terhadap_Kebijakan_Kemasan_Polos_Rokok_di_Australia_Merugikan_Perusahaan_Tembakau, diakses tanggal 17 April 2017
Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kebijakan plain packaging for
tobacco and food label menjadi sorotan negara anggota WTO (laporan rangkaian sidang komite TBT, tanggal 4-6 November 2014),http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5640/kebijakan#.V2-EQyGy3Mw, diakses pada tanggal 26 November 2016
Wikipedia, Plain Tobacco packaging,
https://en.wikipedia.org/wiki/Plain_tobacco_packaging#History diakses pada tanggal 29 November 2016
Hertriani Agustine, “Kemasan Polos Rokok”, Suara Karya,
http://m.suarakarya.id/2016/04/05/kemasan-polos-rokok.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2016
World Trade Organization, The Wto Agreement Series (Technical Barriers
to Trade) https://www.wto.org/english/res_e/publications_e/tbttotrade_e.pdf diakses pada tanggal 12 April 2017
Prasetyo Hadi Purwandoko, Problematika Perlindungan Merek di
Indonesia, diakses pada tanggal 14/05/2017
109
Kukuh Bhimo Nugroho, Gerah Gara-Gara Polos, Review Weekly,
http://www.majalahreviewweekly.com/read/145/gerah-gara-gara-polos, diakses pada tanggal 11/05/17
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP) (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian kementerian Pertanian-Republik Indonesia), Indikasi Geografis dan Indikasi Asal http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/profile/visidanmisi/48-hki/pvt/358-indikasi-geografis-dan-indikasi-asal diakses pada tanggal 16/05/2017
Indara Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) melalui Ratifikasi Perjanjian Lisabon, https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/, diakses Pada tanggal 16/05/2017
World Trade World (WTO), Australia-Certain Measures Concerning
Trademark, Geographical Indications and Other Plain Packaging Requiremnets Applicable To Tobacco Products and Packaging , https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm diakses pada tanggal 13/05/17
Jurnal Holly Jarman, Attack On Australia : Tobacco Industry Challenges To Plain
Packaging, Journal of Public Health Policy, Vol 34,3, 375-387 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman
Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau
110
Undang-Undang Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Perjanjian Internasional Australia Tobacco Plain Packaging Act 2011 No. 148 Australia Trademarks Amandement Act 2011 No. 149 Australia Tobacco Plain Packaging regulations 2011 No. 263 The Agreement on Trade-Related Aspectsof Intellectual Property Rights Agreement On Technical Barriers To Trade Kasus Appellete Body Report, 2013, Australia – Certain Measures Concerning
Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging, WT/DS467/1, G/TBT/D/46 IP/D/34, G/L/1041
Appellete Body Report, 2014, Australia – Certain Measures Concerning
Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging, WT/DS467/15
Panel Report, 2014, Australia – Certain Measures Concerning
Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging, WT/DS467/17, WT/DS467/18, WT/DS467/19
Panel Report, 2016, Australia – Certain Measures Concerning
Trademarks, Geographical Indications And Other Plain Packaging Requirements Applicable To Tobacco Products And Packaging (Communication From The Chairperson Of The Panel), WT/DS467/21
WT/DS467/1, G/TBT/D/46
IP/D/34, G/L/1041
25 September 2013
(13-5132) Page: 1/3
Original: English
AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS
APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING
REQUEST FOR CONSULTATIONS BY INDONESIA
The following communication, dated 20 September 2013, from the delegation of Indonesia to the delegation of Australia and to the Chairperson of the Dispute Settlement Body, is circulated in accordance with Article 4.4 of the DSU.
_______________ My authorities have instructed me to request consultations with the Government of Australia pursuant to Article 4 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes, Article 14.1 of the Agreement on Technical Barriers to Trade ("TBT Agreement"), Article 64.1 of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights ("TRIPS Agreement") and Article XXII of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 ("GATT 1994") with respect to certain Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications, and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging.
The challenged measures at issue are:
Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, "An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes";
Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011,
No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);
Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011, Act No. 149 of 2011,
"An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes"; and
Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.
The measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products. The measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves. The measures also establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements. The measures require, inter alia, the following:
with respect to the retail packaging of tobacco products, the measures (i) regulate the appearance of trademarks and geographical indications, including by prohibiting the display of design and figurative features, including those forming part of these intellectual property rights; (ii) prescribe that the brand and variant names forming part of trademarks appear on the front face, top and bottom of the package in a
WT/DS467/1 • G/TBT/D/46 • IP/D/34 • G/L/1041
- 2 -
uniform typeface, font, size, color, and placement1; (iii) prohibit the display of other words (except for basic information, including country of origin and manufacturer contact details); and (iv) mandate a matt finish and drab dark brown color (Pantone 448C) for retail packaging;
the measures establish that individual cigarettes may not display trademarks,
geographical indications or any other marking other than an alphanumeric code for product identification purposes;
the measures provide that individual cigars may carry: the brand name, variant name,
country of origin, and an alphanumeric code; these must be displayed in a uniform typeface, font, size, and color on a single band in a drab dark brown color (Pantone 448C)2; and
the measures regulate other aspects of both tobacco packaging and tobacco products,
such as the following requirements: (i) a retail package for cigarettes must be in a prescribed size, form and material; (ii) cigarettes must be white3; and (iii) a cigar tube must be cylindrical, rigid, and have an opening of at least 15 mm.
These measures regulating the plain packaging and appearance of tobacco products for retail sale appear to be inconsistent with Australia's obligations under the following provisions of the TBT Agreement, the TRIPS Agreement, and the GATT 1994:
Article 2.1 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue accord to imported tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin;
Article 2.2 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue create
unnecessary obstacles to trade because they are more trade-restrictive than necessary to fulfill a legitimate objective;
Article 2.1 of the TRIPS Agreement, which incorporates the provisions of the Paris
Convention for the Protection of Industrial Property, as amended by the Stockholm Act of 1967 ("Paris Convention"), in particular, (i) Article 6quinquies of the Paris Convention, because trademarks registered in a country of origin outside Australia are not protected "as is"; and, (ii) Article 10bis of the Paris Convention, because Australia does not provide effective protection against unfair competition, for example, creating confusion between the goods of competitors;
Article 3.1 of the TRIPS Agreement, because Australia accords to nationals of other
Members treatment less favorable than it accords to its own nationals with respect to the protection of intellectual property;
Article 15.4 of the TRIPS Agreement, because the nature of the goods to which a
trademark is to be applied forms an obstacle to the registration of the trademark;
Article 16.1 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of registered trademarks from enjoying the rights conferred by a trademark;
Article 16.3 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of
registered trademarks that are "well known" from enjoying the rights conferred by a trademark;
1 The brand name and variant must displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 14 points for the
brand name and 10 points for the variant name; with only the first letter capitalized; in regular font; in the color Pantone Cool Gray 2C; and below the graphic health warning on the front surface of cigarette packs.
2 They must appear only once on the band and be displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 10 points in size; in regular font; and in the color Pantone Cool Gray 2C. The brand and variant name should be placed horizontally along the length of the band so that they run around the circumference of the cigar.
3 However, a cigarette may include an imitation cork tip that is printed brown, and is placed over a filter tip.
WT/DS467/1 • G/TBT/D/46 • IP/D/34 • G/L/1041
- 3 -
Article 20 of the TRIPS Agreement, because the use of trademarks in relation to tobacco products is unjustifiably encumbered by special requirements, such as (i) use in a special form, for example, the uniform typeface, font, size, color, and placement of the brand name, and, (ii) use in a manner detrimental to the trademark's capability to distinguish tobacco products of one undertaking from tobacco products of other undertakings;
Article 22.2(b) of the TRIPS Agreement, because Australia does not provide effective
protection against acts of unfair competition with respect to geographical indications, for example, creating confusion among consumers with respect to the origin of goods;
Article 24.3 of the TRIPS Agreement, because Australia is diminishing the level of
protection it affords to geographical indications as compared with the level of protection that existed prior to 1 January 1995; and
Article III:4 of the GATT 1994, because the measures at issue accord to imported
tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin.
Indonesia reserves the right to raise additional claims or matters during the course of these consultations, and in any future request for panel proceedings. Indonesia looks forward to Australia's response to this request and to fixing a mutually acceptable date for consultations.
__________
WT/DS467/15
6 March 2014
(14-1346) Page: 1/3
Original: English
AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS
APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING
REQUEST FOR THE ESTABLISHMENT OF A PANEL BY INDONESIA
The following communication, dated 3 March 2014, from the delegation of Indonesia to the Chairperson of the Dispute Settlement Body, is circulated pursuant to Article 6.2 of the DSU.
_______________ On 20 September 2013, the Government of Indonesia requested consultations with the Government of Australia pursuant to Article 4 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes ("DSU"), Article XXII of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 ("GATT 1994"), Article 64.1 of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights ("TRIPs Agreement"), and Article 14.1 of the Agreement on Technical Barriers to Trade ("TBT Agreement") with respect to certain Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications, and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging. Consultations were held on 29 October 2013 with a view to reaching a mutually satisfactory solution. These consultations clarified certain issues pertaining to this matter, but failed to resolve the dispute. Therefore, Indonesia respectfully requests, pursuant to Articles 4.7 and 6 of the DSU, Article XXIII of GATT 1994, Article 64.1 of the TRIPs Agreement, and Article 14.1 of the TBT Agreement, that the Dispute Settlement Body ("DSB") establish a Panel to examine this matter. Indonesia asks that this request be placed on the agenda of the DSB meeting to be held on 26 March 2014. Indonesia further requests that the Penal have the standard terms of reference, as set forth in Article 7.1 of the DSU. A. Specific Measures at Issue This request for establishment of a Panel concerns the following measures:
Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, "An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes";
Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011,
No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);
Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011, Act No. 149 of 2011,
"An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes"; and
Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.
The measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products. The measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves. The measures also
WT/DS467/15
- 2 -
establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements. The measures require, inter alia, the following:
With respect to the retail packaging of tobacco products, the measures (i) regulate the appearance of trademarks and geographical indications, including by prohibiting the display of design and figurative features, including those forming part of these intellectual property rights; (ii) prescribe that the brand and variant names forming part of trademarks appear on the front face, top and bottom of the package in a uniform typeface, font, size, color, and placement1; (iii) prohibit the display of other words (except for basic information, including country of origin and manufacturer contact details); and (iv) mandate a matt finish and drab dark brown color (Pantone 448C) for retail packaging;
the measures establish that individual cigarettes may not display trademarks,
geographical indications or any other marking other than an alphanumeric code for product identification purposes;
the measures provide that individual cigars may carry: the brand name, variant name,
country of origin, and an alphanumeric code; these must be displayed in a uniform typeface, font, size, and color on a single band in a drab dark brown color (Pantone 448C)2; and
the measures regulate other aspects of both tobacco packaging and tobacco products,
such as the following requirements: (i) a retail package for cigarettes must be in a prescribed size, form and material; (ii) cigarettes must be white3; and (iii) a cigar tube must be cylindrical, rigid, and have an opening of at least 15 mm.
B. Legal Basis of the Complaint These measures regulating the plain packaging and appearance of tobacco products for retail sale appear to be inconsistent with Australia's obligations under the following provisions of the TBT Agreement, the TRIPS Agreement, and the GATT 1994:
Article 2.1 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue accord to imported tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin;
Article 2.2 of the TBT Agreement, because the technical regulations at issue create
unnecessary obstacles to trade because they are more trade-restrictive than necessary to fulfill a legitimate objective;
Article 1.1 of the TRIPS Agreement, because Australia has failed to give effect to the
following provisions of the TRIPS Agreement;
Article 2.1 of the TRIPS Agreement, which incorporates the provisions of the Paris Convention for the Protection of Industrial Property, as amended by the Stockholm Act of 1967 ("Paris Convention"), in particular, (i) Article 6quinquies of the Paris Convention, because trademarks registered in a country of origin outside Australia are not protected "as is"; and, (ii) Article 10bis of the Paris Convention, because Australia does not provide effective protection against unfair competition, for example, creating confusion between the goods of competitors;
1 The brand name and variant must be displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 14 points for
the brand name and 10 points for the variant name; with only the first letter capitalized; in regular font; in the color Pantone Cool Gray 2C; and below the graphic health warning on the front surface of cigarette packs.
2 They must appear only once on the band and be displayed in Lucida Sans typeface; no larger than 10 points in size; in regular font; and in the color Pantone Cool Gray 2C. The brand and variant name should be placed horizontally along the length of the band so that they run around the circumference of the cigar.
3 However, a cigarette may include an imitation cork tip that is printed brown, and is placed over a filter tip.
WT/DS467/15
- 3 -
Article 3.1 of the TRIPS Agreement, because Australia accords to nationals of other Members treatment less favorable than it accords to its own nationals with respect to the protection of intellectual property;
Article 15.4 of the TRIPS Agreement, because the nature of the goods to which a
trademark is to be applied forms an obstacle to the registration of the trademark;
Article 16.1 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of registered trademarks from enjoying the rights conferred by a trademark;
Article 16.3 of the TRIPS Agreement, because the measures prevent owners of
registered trademarks that are "well known" or might become "well known" from enjoying the rights conferred by a trademark;
Article 20 of the TRIPS Agreement, because the use of trademarks in relation to
tobacco products is unjustifiably encumbered by special requirements, such as (i) use in a special form, for example, the uniform typeface, font, size, color, and placement of the brand name, and, (ii) use in a manner detrimental to the trademark's capability to distinguish tobacco products of one undertaking from tobacco products of other undertakings;
Article 22.2(b) of the TRIPS Agreement, because Australia does not provide effective
protection against acts of unfair competition with respect to geographical indications, for example, creating confusion among consumers with respect to the origin of goods;
Article 24.3 of the TRIPS Agreement, because Australia is diminishing the level of
protection it affords to geographical indications as compared with the level of protection that existed prior to 1 January 1995; and
Article III:4 of the GATT 1994, because the measures at issue accord to imported
tobacco products treatment less favorable than that accorded to like products of national origin.
C. Request for the Establishment of a Panel Accordingly, Indonesia requests, pursuant to Article 4.7 and 6 of the DSU, Article XXIII of GATT 1994, Article 64.1 of the TRIPs Agreement, and Article 14.1 of the TBT Agreement, that the DSB establish a Panel with the standard terms of reference as set out in Article 7.1 of the DSU. Indonesia asks that this request be placed on the agenda of the meeting of the DSB scheduled for 26 March 2014.
__________
WT/DS467/17
6 May 2014
(14-2740) Page: 1/1
AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS
APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING
CONSTITUTION OF THE PANEL ESTABLISHED AT THE REQUEST OF INDONESIA
NOTE BY THE SECRETARIAT
1. At its meeting on 26 March 2014, the Dispute Settlement Body (DSB) established a panel pursuant to the request of Indonesia in document WT/DS467/15, in accordance with Article 6 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). 2. The Panel's terms of reference are the following:
To examine, in the light of the relevant provisions of the covered agreements cited by the parties to the dispute, the matter referred to the DSB by Indonesia in document WT/DS467/15 and to make such findings as will assist the DSB in making the recommendations or in giving the rulings provided for in those agreements.
3. On 23 April 2014, Australia requested the Director-General to determine the composition of the Panel, pursuant to Article 8.7 of the DSU. This paragraph provides:
If there is no agreement on the panelists within 20 days after the date of the establishment of a panel, at the request of either party, the Director-General, in consultation with the Chairman of the DSB and the Chairman of the relevant Council or Committee, shall determine the composition of the panel by appointing the panelists whom the Director-General considers most appropriate in accordance with any relevant special or additional rules or procedures of the covered agreement or covered agreements which are at issue in the dispute, after consulting with the parties to the dispute. The Chairman of the DSB shall inform the Members of the composition of the panel thus formed no later than 10 days after the date the Chairman receives such a request.
4. On 5 May 2014, the Director-General accordingly composed the Panel as follows: Chairperson: Mr Alexander Erwin Members: Mr François Dessemontet Ms Billie Miller 5. Argentina, Brazil, Canada, Chile, China, Cuba, the Dominican Republic, the European Union, Guatemala, Honduras, India, Japan, the Republic of Korea, Malawi1, Malaysia, Mexico, New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Oman, Peru, the Philippines, the Russian Federation, Singapore, Chinese Taipei, Thailand, Turkey, Ukraine, the United States, Uruguay, and Zimbabwe have reserved their rights to participate in the Panel proceedings as third parties.
__________
1 On 14 April 2014, Malawi notified its interest to participate as a third party.
WT/DS467/18
14 October 2014
(14-5863) Page: 1/1
Original: English
AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS
APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING
COMMUNICATION FROM THE CHAIRPERSON OF THE PANEL
The following communication, dated 10 October 2014, was received from the Chairperson of the Panel with the request that it be circulated to the Dispute Settlement Body.
_______________ Article 12.8 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) provides that the period in which a panel shall conduct its examination, from the date that the composition and terms of reference of the panel have been agreed upon until the date the final report is issued to the parties to the dispute, shall, as a general rule, not exceed six months. Article 12.9 of the DSU provides that, when a panel considers that it cannot issue its report within six months, it shall inform the Dispute Settlement Body (DSB) in writing accordingly and indicate the reasons, together with an estimate of the period within which it will issue its report. The Panel in Australia – Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging (WT/DS467) was established by the DSB on 26 March 2014 and composed on 5 May 2014. The Panel expects to issue its final report to the parties not before the first half of 2016, in accordance with the timetable adopted by the Panel on 17 June 2014 on the basis of a draft timetable proposed by the parties.
__________
WT/DS467/19
27 October 2014
(14-6238) Page: 1/18
Original: English
AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS, GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS
APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING
COMMUNICATION FROM THE PANEL
The following communication, dated 22 October 2014, was received from the Chairperson of the Panel with the request that it be circulated to the Dispute Settlement Body (DSB).
_______________ On 7 May 2014, Australia submitted to the Panel a request for a preliminary ruling concerning the consistency of Indonesia's request for the establishment of a Panel (WT/DS467/15) with Article 6.2 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes. On 19 August 2014, the Panel issued the attached preliminary ruling to the parties and third parties. After consulting the parties to the dispute, the Panel decided to inform the Dispute Settlement Body (DSB) of the content of its preliminary ruling. Therefore, I would be grateful if you would circulate this letter and the attached preliminary ruling to the Members of the DSB.
WT/DS467/19
- 2 -
PRELIMINARY RULING BY THE PANEL
1 PROCEDURAL BACKGROUND ....................................................................................... 2
2 AUSTRALIA'S REQUEST FOR A PRELIMINARY RULING ................................................ 2
3 MAIN ARGUMENTS OF THE PARTIES ........................................................................... 2
3.1 Australia .................................................................................................................. 2
3.2 Indonesia ................................................................................................................. 6
4 MAIN ARGUMENTS OF THE THIRD PARTIES ................................................................ 8
5 ANALYSIS BY THE PANEL ............................................................................................ 9
5.1 The requirement to "identify the specific measures at issue" ........................................... 10
5.2 Whether Indonesia's panel request identifies the specific measures at issue ...................... 14
1 PROCEDURAL BACKGROUND
1.1. On 7 May 2014, Australia submitted to the Panel a request for a preliminary ruling concerning the consistency of Indonesia's panel request with the DSU.
1.2. Australia requested that the Panel make a preliminary ruling on this matter as early as possible (and in particular, that the Panel issue its preliminary ruling before the filing of first written submissions by the parties). Australia also requested the opportunity to respond to any submissions made by Indonesia in relation to this preliminary ruling request.
1.3. On 11 June 2014, Indonesia responded to Australia's requests. Also on 11 June 2014, the Panel provided the third parties with an opportunity to comment on Australia's preliminary ruling request. On 17 June 2014, the Panel received comments from the European Union. On 18 June 2014, the Panel received comments from Argentina, the Dominican Republic, Guatemala, Honduras and Mexico.
1.4. On 1 July 2014, the Panel received comments from Australia on Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling. Indonesia did not submit further comments on Australia's comments.
2 AUSTRALIA'S REQUEST FOR A PRELIMINARY RULING
2.1. Australia requests that the Panel make a preliminary ruling excluding from its terms of reference "the non-exhaustive list of related measures and measures that 'complement or add to' the measures explicitly identified in Indonesia's panel request", on the basis that the panel request does not identify the specific measures at issue contrary to the requirements of Article 6.2 of the DSU.1
2.2. We first describe below the arguments of the parties and third parties, before proceeding with our assessment of Australia's request.
3 MAIN ARGUMENTS OF THE PARTIES
3.1 Australia
3.1. Australia requests the Panel to exclude from the Panel's terms of reference the non-exhaustive list of related measures and measures that "complement or add to" the measures
1 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 1.
WT/DS467/19
- 3 -
explicitly identified in Indonesia's panel request on the basis that the request does not identify the specific measures at issue, contrary to the requirements of Article 6.2 of the DSU. In particular, Australia submits that Indonesia's panel request should instead read:
Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.2
3.2. Australia submits that, as a responding party, it is entitled to know the case it is required to answer and that the deficiencies in Indonesia's panel request have prejudiced, and continue to prejudice, the preparation of Australia's defence, thereby violating its "fundamental right to due process in these proceedings".3
3.3. Australia submits that it is crucial that a complainant identify in its panel request the specific measures at issue as required by Article 6.2 of the DSU because this sets the panel's terms of reference and serves an important due process objective.4 Referring to the Oxford English Dictionary, Australia submits that "specific" is defined as "[s]pecially or peculiarly pertaining to a particular thing or person, or a class of these… clearly or explicitly defined; precise, exact; definite".5 Australia argues that a complaining party must therefore establish the identity of the precise measures at issue.6 Australia further submits that, in determining consistency with Article 6.2 of the DSU, a panel must "analyse whether the measures that the complaining party is contesting were identified such that the respondent party received 'adequate notice'" of the measures at issue.7
3.4. Australia argues that Indonesia's panel request does not identify the specific measures at issue in two key ways. Specifically, Australia challenges: (i) the use of the term "including", which defines the "related measures" in a non-exhaustive way; and (ii) the attempt to include unspecified measures that "complement or add to" those explicitly named in the panel request ("complementary or additional measures").8
3.5. In relation to the use of the word "including", Australia argues that Indonesia "attempts to include a non-exhaustive and therefore indeterminate list" of "related measures" within the Panel's terms of reference. As a result, Indonesia has not provided Australia with adequate notice of the measures being challenged, "or even a complete and specific list" of the "related measures" that it purports to challenge.9 Australia draws an analogy with the panel request in China – Raw Materials, in which the complainants preceded the list of challenged measures with the phrase "among others". The panel concluded that the complainants could not use this phrase to include an "open-ended" list of measures, as this would "not contribute to the 'security and predictability' of the WTO dispute settlement system".10 Australia notes that, in that dispute, only those measures that were explicitly identified by the complainants fell within the panel's terms of reference.11 Australia submits that the issue before that panel is analogous to the one presented in Indonesia's panel request. In particular, apart from the categories of "related measures" actually listed, Indonesia provides no indication of what "other forms" such unspecified measures could take. Australia therefore argues that it has not been provided with notice of the measures under
2 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 1. 3 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 2. 4 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 4 (citing
Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 5 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 5 (citing
Shorter Oxford English Dictionary, (6th ed., 2007), p. 2944). 6 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 5 (citing
Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 7 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 5 (citing
Panel Report, China – Publications and Audiovisual Products, para. 7.20). 8 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 8. 9 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 9. 10 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10 (citing
Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, 'First Phase of Preliminary Ruling', para. 12, p. F-6). 11 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10 (citing
Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, 'First Phase of Preliminary Ruling', para. 13, p. F-6).
WT/DS467/19
- 4 -
challenge, which creates "considerable uncertainty" as to the identity, number and content of the measures at issue.12
3.6. In relation to "complementary or additional measures", Australia submits that Indonesia's panel request fails to identify the specific measures at issue because it provides no guidance on what it means when it refers to measures that "complement or add to" the listed instruments. Australia argues that this adds further to the uncertainty regarding the identity, number and content of the laws and regulations under challenge, and "forces Australia to speculate regarding the measures at issue if it is to begin to prepare its defence".13 Australia submits that Indonesia's panel request impermissibly shifts the burden of attempting to identify the complementary or additional measures at issue to Australia.14
3.7. Australia notes that whether a panel request identifies the specific measures at issue may depend on the particular context in which those measures operate and may require examining the extent to which they are capable of being precisely identified.15 Australia submits that in the specific context of tobacco regulation, Indonesia's attempt to include complementary or additional measures does not identify the "precise, exact or definite measures at issue" and fails to provide Australia with adequate notice of these measures.16
3.8. Australia submits that "the uncertainty regarding the scope of the related measures arises because of the particular context in which Australia's tobacco plain packaging measure exists and operates, namely as part of a comprehensive range of complementary tobacco control measures".17 It considers that in this context, the references in the panel request of Indonesia to a non-exhaustive list of "related" measures, "including" those that "complement" or "add to" the named measures, are not sufficient to identify the specific measures at issue in this dispute. Rather, Australia submits that the inclusion of "these broad and vague terms" in a dispute that concerns one of Australia's tobacco control measures (that is, tobacco plain packaging in its context as part of a complementary range of tobacco control measures) does not identify sufficiently the scope of the measures at issue such that Australia is informed of the case it has to answer.18
3.9. Australia notes that, "in speculating about the possible complementary or additional measures that Indonesia purports to challenge, Australia has had cause to consider that, in line with established international best practice, its tobacco plain packaging measure is part of a comprehensive range of tobacco control measures". Australia submits that this comprehensive approach to tobacco control is mandated by the World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Australia notes that this treaty currently has 178 parties and was developed "in response to the globalisation of the tobacco epidemic". Australia notes that the FCTC emphasizes that "comprehensive multisectoral measures and responses" to reduce consumption of all tobacco products are essential to prevent the incidence of diseases, premature disability and mortality due to tobacco consumption and exposure to tobacco smoke.19 Australia also observes that the FCTC "mandates" that each party to it "develop, implement, periodically update and review comprehensive multisectoral national tobacco control strategies, plans and programmes" in accordance with the FCTC.20
12 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10 (referring
to Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 13 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 12. 14 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 12 (referring
to Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10). 15 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 13 (citing
Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 220). 16 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 14. 17 Australia's comments on responses to Australia’s requests for preliminary rulings, para. 29. 18 Australia's comments on responses to Australia’s requests for preliminary rulings, para. 30. 19 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 15 (citing
the WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), done at Geneva, 3 May 2003, 2302 U.N.T.S.166; 42 International Legal Materials 518, Article 4.4).
20 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 16 (citing the WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), done at Geneva, 3 May 2003, 2302 U.N.T.S.166; 42 International Legal Materials 518, Article 5.1).
WT/DS467/19
- 5 -
3.10. Australia notes that if "general tobacco control measures" are "indeed the types of complementary or additional measures Indonesia refers to in its panel request (which is not clear and is a matter of speculation)", Australia's tobacco control measures "span back decades" and have been implemented at the federal, state and territory, and local municipality level. Australia asserts that it has implemented its tobacco plain packaging measure as part of a comprehensive range of measures in order to achieve its public health objectives, "in line with its FCTC obligations". Australia's identifies a large number of measures included in its "comprehensive range of tobacco control measures".21 It adds that this is a non-exhaustive list, and that each of these measures includes multiple laws and regulations that may have been adopted at the federal, state or local level, such that Australia's tobacco control measures number in the hundreds. Australia argues that it "cannot be the case that Indonesia intends to challenge every current or future tobacco control measure implemented in Australia" and that, in these circumstances, Indonesia is obliged to identify the specific measures at issue so that Australia is informed of the case it has to answer.22
3.11. Australia adds that if Indonesia's reference to complementary or additional measures "is intended to refer to certain tobacco control measures currently in force in Australia (apart from tobacco plain packaging), there is no reason why these measures could not be explicitly named, other than to prejudice Australia's defence". Australia argues that this is in contrast to amending measures which may not come into existence until after a panel request is submitted and therefore may legitimately be listed by category rather than by the unknown future name of the amending law or regulation.23
3.12. In sum, Australia considers that Indonesia has not identified the specific measures at issue in a way that is "precise", "exact" or "definite", contrary to Article 6.2 of the DSU, and has not provided reasonable notice to Australia as to the case it has to answer.24 Observing that "where a panel request fails to identify adequately particular measures or fails to specify a particular claim, then such measures or claims will not form part of the matter covered by the panel's terms of reference"25, Australia requests that the Panel find that its terms of reference are limited to the measures specifically identified in the panel request, and that the remainder of its terms of reference be limited in the following manner set out in paragraph 3.1 above.
3.13. Australia notes that "a deficient panel request will fail to meet the requirements of Article 6.2 of the DSU regardless of whether the respondent is able to defend itself", but also that the deficiencies in Indonesia's panel request have in fact prejudiced Australia's ability to defend itself in this dispute.26 Australia observes that "[i]n a WTO dispute, the complainant decides when to bring its dispute, and may therefore take as much time as it needs to prepare its offensive case. By contrast, a responding party has only a limited timeframe in which to respond to the complainant's first written submission." Australia submits that it is therefore critical that a panel request provide a responding party with sufficient clarity as to the case it has to answer in advance of receiving the complainant's first written submission, and notes that "[t]his due process requirement 'is fundamental to ensuring a fair and orderly conduct of dispute settlement proceedings'".27 In light of this, Australia argues that a panel request should be examined very
21 Australia specifically identifies "increasing excise and excise-equivalent customs duty on tobacco and
tobacco-related products; minimum age restrictions on the purchase and sale of tobacco products; comprehensive bans on tobacco advertising and promotion, including bans on internet advertising of tobacco products; retail display bans; bans on smoking in offices, bars, restaurants and other indoor public spaces, and increasingly outdoor places, particularly those where children may be exposed to environmental tobacco smoke; extensive and continuing public education campaigns on the dangers of smoking; compulsory health warnings on the packaging of tobacco products; the listing of nicotine replacement therapies and other smoking cessation supports on Australia's Pharmaceutical Benefits Scheme; "Quitlines" and other smoking cessation support services; investment in anti-smoking social marketing campaigns; support for Aboriginal and Torres Strait Islander communities to reduce smoking rates; and stronger penalties for people convicted of tobacco smuggling offences".
22 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, paras. 17-18. 23 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 19. 24 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 20. 25 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 22 (quoting
Appellate Body Report, Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes, para. 120). 26 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 23. 27 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 24 (citing
Appellate Body Report, Thailand – H-Beams, para. 88).
WT/DS467/19
- 6 -
carefully to ensure its compliance with both the letter and the spirit of Article 6.2 of the DSU.28 Citing the Appellate Body, Australia argues that prejudice is to be determined on the basis of whether a defending party was made aware of the claims presented by the complaining party, sufficient to allow it to defend itself.29
3.14. Australia also notes that defects in a panel request cannot be cured by subsequent submissions of the parties during the panel proceedings30, and that compliance with the requirements of Article 6.2 must be demonstrated on the face of the request for the establishment of a panel.31 Australia therefore submits that Indonesia cannot overcome the deficiencies in its panel request by clarifying the legal basis of this claim in its first written submission.
3.2 Indonesia
3.15. Indonesia requests the Panel to reject Australia's request because (i) Indonesia has met the requirements of Article 6.2 of the DSU as there is no ambiguity in its panel request regarding the measures at issue; (ii) Australia's objection is premature and without merit; and (iii) "while Indonesia could suffer prejudice as a result of Australia's proposed terms of reference, the reverse is not true".32
3.16. Turning first to the requirements of Article 6.2, Indonesia characterizes as mistaken Australia's assertion that the obligation to identify the specific measures at issue means that a panel request must establish the "precise, exact" or "definite" identity of the measures at issue. Referring to the Appellate Body, Indonesia stressed that "the identification of a measure within the meaning of Article 6.2 need be framed only with sufficient particular[ity] [ ]so as to indicate the nature of the measure and the gist of what is at issue".33 Indonesia also notes that a panel request, though it allows the respondent to begin preparing its defence, does not amount to a requirement allowing the defendant to fully develop its defence on the sole basis of the complainant's request.34
3.17. Indonesia first submits that Australia's challenge lacks merit because there is no true ambiguity in its panel request. Indonesia observes that Australia's specific objection to Indonesia's panel request is that the words "including", "complement," and "add to" create a non-exhaustive list of measures that could conceivably include Australia's entire tobacco control regime. Indonesia argues that, when read in context, this provision allows the Panel to address only those plain packaging measures that are not specifically listed in the panel request.35 Indonesia observes that these terms are qualified by the term "related measures," in direct reference to the three specific plain packaging measures listed in the immediately preceding bullet point in Indonesia's panel request. The terms are also qualified by the description of their function in the next paragraph of Indonesia's request, which describes the measures at issue as those that "establish comprehensive requirement[s] regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products …". Indonesia submits that the plain language of the panel request indicates that "there can be no mistaking Indonesia's intent to challenge only measures that are directly related to Australia's tobacco plain packaging regime".36
28 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 24 (citing
Appellate Body Reports, EC – Bananas (III), para. 142 and Korea – Dairy, para. 130). 29 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 25 (citing
Appellate Body Report, Thailand – H-Beams, para. 95). 30 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 28 (citing
Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127). 31 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 28 (citing
Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127). 32 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 1. 33 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para 4 (citing Appellate Body Report, US – Continued Zeroing, paras. 168-169). 34 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 5 (citing Preliminary Ruling, India – Agricultural Products, para. 3.3). 35 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 6. 36 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 8.
WT/DS467/19
- 7 -
3.18. Indonesia refers to Australia's reliance on China – Raw Materials, in which case "there was actual ambiguity as to the complainant's intent". Indonesia submits that the circumstances of that case are "manifestly not the case in the present dispute". Indonesia argues that the terms of reference strike the proper balance between specificity and flexibility, and are neither vague nor "open-ended" in scope. Indonesia argues that "Australia feigns confusion in its Preliminary Ruling Request by 'speculating' that the panel request could be read as a challenge to a long list of tobacco control measures unrelated to Australia's plain packaging regime", but that this position is unpersuasive given that Indonesia refers to "measures relating to plain packaging" throughout its panel request.37 Indonesia argues that it has, therefore, satisfied its obligation under Article 6.2 of the DSU to provide Australia with a specific indication of the measures at issue and a sufficiently clear presentation of the dispute.38
3.19. Indonesia argues that the Panel may find further confirmation of the intended scope of this dispute in the attendant circumstances. Indonesia notes that its statements at the DSB, the Council for TRIPS, and the TBT Committee, Indonesia and its "co-complainants" have consistently focused on Australia's plain packaging requirements and no other facet of Australia's tobacco control regime. Neither Indonesia nor Australia "have ever raised in these fora any of the 'multiple laws and regulations that may have been adopted at the federal, state or local level' that 'number in the hundreds,' of which Australia is now seemingly concerned".39 Indonesia argues that it is not its intention to challenge every current or future tobacco control measure implemented in Australia, and that the measures at issue are limited to those measures relating to plain packaging requirements.40
3.20. Indonesia also argues that Australia's objections are premature and unnecessary. Given that Indonesia's panel request satisfies the requirements of Article 6.2, the challenged language in Indonesia's panel request does not prejudice Australia's interests. Indonesia is of the view that Australia's objection would be more appropriately raised in response to the identification by Indonesia of a specific measure it believes would fall within the scope of the challenged language. Indonesia argues that this approach is in line with the preliminary ruling of the panel in India – Agricultural Products, in which the panel noted that disputes regarding whether a related measure falls within a panel's terms of reference have typically arisen after the complainant sought to challenge a particular legal instrument not specifically referenced in the panel request.41 That panel noted that no "related" measure had been raised in the dispute before it and, therefore, it was "premature and indeed unnecessary to make a determination in the abstract, at this preliminary stage, as to precisely which measures fell within the Panel's terms of reference by virtue of the inclusion of the terms "related measures, or implementing measures" in the panel request.42 Indonesia submits that similar circumstances exist in the instant dispute. Indonesia observes that it is yet to make submissions to the Panel, and that Australia is speculating at this juncture about what possible measures Indonesia may raise. Indonesia submits that if Australia wishes to challenge a particular measure raised by Indonesia pursuant to the challenged language falling outside the terms of reference of the Panel, it will have every opportunity to do so. Indonesia submits that, [u]ntil written briefing in this case has commenced, as was the case in India – Agricultural Products, it is premature and indeed unnecessary for the Panel to opine on Australia's request.43
3.21. Indonesia argues that the challenged language is necessary to protect Indonesia's interests. Specifically, Indonesia stated that it is necessary to protect Indonesia's rights should Australia
37 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, paras. 9-10. 38 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 11. 39 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 12 (citing Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 18.)
40 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 12.
41 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 14 (referring to Preliminary Ruling, India – Agricultural Products, para. 3.49).
42 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 15 (citing Preliminary Ruling, India – Agricultural Products, para. 3.50).
43 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 16.
WT/DS467/19
- 8 -
adopt measures that are closely connected to the plain packaging measures listed in Indonesia's panel request, or change the legal nature of the existing plain packaging measures (e.g., by withdrawing and reissuing measures in a slightly different form) during the course of the Panel proceeding. Indonesia adds that this precise circumstance arose in EC – Chicken Cuts, whereby Brazil was unable to challenge new regulations because its panel request did not allow for sufficient flexibility to include additional measures other than those specifically listed in its request.44
3.22. Indonesia argues, on the basis of prior jurisprudence45, that because measures that come into existence during the course of the Panel's proceeding may be challenged only if the panel request is sufficiently broad to allow for it, Indonesia's procedural rights could be impaired if the challenged language is struck from its panel request.46
3.23. For these reasons, Indonesia submits that the Panel should reject Australia's request for a preliminary ruling to revise the terms of reference included in Indonesia's panel request.
4 MAIN ARGUMENTS OF THE THIRD PARTIES
4.1. Argentina considers that, reading the panel requests as a whole and taking into account the context of the paragraph in question, it is clear from the text of the challenged paragraph that the complementary or additional measures concerned are directly related to Australia's plain packaging legislation. Argentina submits that among those related measures are the measures that are included, be they measures that complement or add to these laws and regulations. Argentina submits that the text of Indonesia's request refers to the measures that constitute the plain packaging legislation, and not to any other type of measure with no connecting link other than a reference to tobacco or health.47 Argentina considers that the terms at issue "are included in claims, and that those claims in turn are presented collectively and under the same heading: tobacco plain packaging measures, for which reason Argentina believes that the measures are presented in a clear and distinct manner and that the scope of the complaints is, therefore, precise".48 Argentina therefore argues that it is unnecessary to make the changes requested by Australia.49
4.2. The Dominican Republic considers that the Panel should reject Australia's request, for the same reasons as it has invoked in respect of Australia's similar request concerning its own panel request.50
4.3. The European Union submits that Australia's concerns regarding the specific measure at issue have been expressly and specifically allayed by Indonesia. The European Union notes that this issue appears to be moot and is likely to remain so. It therefore suggests that the Panel consider deferring a ruling on this matter to a later stage of the proceedings, following a similar approach to that of the Panel in India – Agricultural Products.51
4.4. Guatemala observes that the "co-complainants" consistently refer to the challenged measures as "plain packaging measures" and that the words "including", "complement" and "add to" appear to be limited to the reference to plain packaging measures.52 Guatemala adds that nothing in the text of the panel requests appears to support the view that there "is uncertainty regarding the identity, number and content of the laws and regulations under challenge." Guatemala states that "[t]he fundamental problem with Australia's objections seems to be requesting the Panel to make a determination in the abstract", and that the circumstances in India
44 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 18 (citing Panel Report, EC − Chicken Cuts, paras. 7.28-7.29).
45 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, paras. 19-20 (discussing Panel Reports, US — Continued Zeroing, and EC — IT Products).
46 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 21.
47 Argentina's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 9-15. 48 Argentina's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 22. 49 Argentina's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 24. 50 The Dominican Republic's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings,
para. 4. 51 The European Union's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 33. 52 Guatemala's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 2.8.
WT/DS467/19
- 9 -
– Agricultural Products could be "extrapolated" to the circumstances in the present cases. Finally, Guatemala states that Australia cannot obtain an order from the Panel which effectively modifies the panel request by striking out parts of its language, as the panel request is not subject to amendments, once a panel is established.53
4.5. Honduras argues that there is no basis in the text of Indonesia's panel request for Australia to claim that it is unclear which, if any, of Australia's current or future tobacco control measures Australia is required to defend in addition to the plain packaging measure. Honduras adds that the additional measures listed in Australia's request would clearly not be "plain packaging measures" and would not be considered measures that are "related" to three specific legal instruments, all of which regulate the packaging of tobacco products.54
4.6. Honduras argues that Australia's objection to the use of the term "including" lacks merit because the narrative description of the measure, together with the identification of three specific legal instruments and the residual sub-category of "related" measures, identify the measures at issue as plain packaging measures with sufficient precision. For Honduras, the listing of particular examples within that residual sub-category or "related" measures (through the use of the term "including") logically cannot create an impermissible open-ended list of measures.55 In addition, Honduras argues that Australia's objection to the use of the terms "complement" and "add to" also lacks merit as the terms "complement" or "add to" "textually must refer to those measures that are related to the plain packaging measures".56
4.7. Honduras adds that residual clauses of the kind used by Indonesia are "an important tool by which complainants preserve their right to maintain within a panel's terms of reference future measures that do not alter the essence of the existing measures".57
4.8. Honduras also believes that Australia's request is premature and that it is therefore not necessary for the Panels to address Australia's concerns at this point in time. Specifically, there is no evidence that the complainants may be planning to challenge a measure that does not fall "within the four corners" of their panel requests, and as such Honduras submits that the current circumstances are the same as those in India – Agricultural Products. It would therefore be more prudent for the Panel to revisit this issue if the complainant attempts to include measures within the Panel's terms of reference that are not "related", "complement" or "add to" the plain packaging measures.58
4.9. In Mexico's view, Australia's objection concerning the words "including measures", "complement" and "add to" may be resolved at a later stage in the proceedings. Mexico believes that the same approach could be taken in the present case as was taken by the Panel in India – Agricultural Products, which determined that it was premature and unnecessary to make a determination in the abstract at a preliminary stage as to which measures fall within the Panel's terms of reference. Mexico adds that the Panel could rule as the case progresses and on the basis of the terms of reference which specific measures are included in the terms of reference.59
5 ANALYSIS BY THE PANEL
5.1. The question before us is whether Indonesia's panel request is consistent with the requirement under Article 6.2 of the DSU to identify the specific measure at issue. In particular, Australia challenges the use of the words "including", and "complement or add to" in Indonesia's panel request:
Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.
53 Guatemala's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 2.1-2.13. 54 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 5-13. 55 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 14-17. 56 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, para. 19. 57 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 20-21. 58 Honduras' third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 22-24. 59 Mexico's third-party comments on Australia's requests for preliminary rulings, paras. 27-28.
WT/DS467/19
- 10 -
5.2. As described above, Australia submits that "the use of the term 'including', which defines the 'related measures' in a non-exhaustive way", and "the attempt to include unspecified measures that 'complement or add to' those explicitly named in the panel request" indicate that Indonesia's panel request does not specify the measures at issue.60 Indonesia, for its part, submits that "the Panel should reject Australia's Preliminary Ruling Request because (i) Indonesia has met the requirements of Article 6.2 of the [DSU] in that there is no ambiguity in its Panel Request as to the measures at issue; (ii) Australia's objection is premature and without merit; and (iii) while Indonesia could suffer prejudice as a result of Australia's proposed terms of reference, the reverse is not true".61
5.3. We first consider the requirements of Article 6.2 in respect of the identification of the measures at issue, before turning to our assessment of Indonesia's panel request in light of these requirements.
5.1 The requirement to "identify the specific measures at issue"
5.4. Article 6.2 of the DSU provides as follows:
The request for the establishment of a panel shall be made in writing. It shall indicate whether consultations were held, identify the specific measures at issue and provide a brief summary of the legal basis of the complaint sufficient to present the problem clearly.
5.5. As described by the Appellate Body, Article 6.2 contains two distinct requirements, namely (1) the identification of the specific measures at issue and (2) the provision of a brief summary of the legal basis of the complaint (or the claims).62 Together, these elements comprise the "matter referred to the DSB", which forms the basis for a panel's terms of reference under Article 7.1 of the DSU.63
5.6. Article 6.2 serves the function of establishing and delimiting the panel's jurisdiction.64 It serves a "pivotal function" in WTO dispute settlement65 in that, to the extent that a panel request fails to identify "the specific measures at issue" and/or "to provide a brief summary of the legal basis of the complaint", such measures and/or claims do not fall within a panel's terms of reference and that panel would not have jurisdiction to make findings in respect of them.66
5.7. In addition, by establishing and defining the jurisdiction of the panel, the panel request fulfils the due process objective of providing the respondent and third parties notice regarding the nature of the complainant's case67 to enable them to respond accordingly.68
60 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 8. 61 Indonesia's response to Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel
request, para. 1. 62 Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 219; and EC and certain member States –
Large Civil Aircraft, para. 639. 63 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.6 (citing
Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 639 (referring to Appellate Body Reports, Guatemala – Cement I, paras. 72-73; US – Carbon Steel, para. 125; US – Continued Zeroing, para. 160; US – Zeroing (Japan) (Article 21.5 – Japan), para. 107; and Australia – Apples, para. 416).
64 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.6 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; US – Continued Zeroing, para. 161; and EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 640).
65 Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 219. 66 See, for example, Appellate Body Report, US – Continued Zeroing, para. 161 ("[A]s a panel's terms of
reference are established by the claims raised in panel requests, the conditions of Article 6.2 serve to define the jurisdiction of a panel".)
67 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.7 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; US – Carbon Steel, para. 126; and EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 640).
68 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.7 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; Chile – Price Band System, para. 164; and US – Continued Zeroing, para. 161).
WT/DS467/19
- 11 -
5.8. The Appellate Body recently summarized the manner in which a panel must determine whether a panel request fulfils the requirements of Article 6.2. Specifically, the Appellate Body stated that:
[A] panel must determine compliance with Article 6.2 "'on the face' of the panel request"69 as it existed at the time of filing. Thus, parties' submissions and statements during the panel proceedings cannot "cure" any defects in the panel request.70 Nevertheless, these subsequent submissions and statements may be consulted to the extent that they may confirm or clarify the meaning of the words used in the panel request.71 In any event, the determination of the conformity with Article 6.2 should be done on a case-by-case basis, considering the particular context in which the measures exist and operate.72 This determination must be done on an objective basis, such that any circumstances taken into account may not contemplate those that are relevant only to a party to the panel proceedings.73
5.9. The requirement to identify the specific measures at issue serves to define the "object of the challenge", or, more precisely, "the measure that is alleged to be causing the violation of an obligation contained in a covered agreement".74 The Appellate Body has observed that "the clear identification of the specific measures at the outset is central to define the scope of the dispute to be addressed by a panel".75 It also serves to ensure that the respondent is in a position to defend itself:
The word "specific" in Article 6.2 establishes a specificity requirement regarding the identification of the measures that serves the due process objective of notifying the parties and the third parties of the measure(s) that constitute the object of the complaint.76
5.10. Whether or not a panel request satisfies this requirement must be assessed "on the merits of each case, having considered the panel request as a whole, and in the light of attendant circumstances".77 The Panel must therefore "scrutinize carefully the panel request, read as a whole, and on the basis of the language used".78 In addition, "whether a panel request identifies the 'specific measures at issue' may depend on the particular context in which those measures operate and may require examining the extent to which they are capable of being precisely identified".79
5.11. In light of the nature of Australia's request, we will consider how this requirement applies in relation to panel requests that define the measures at issue in part without naming them (that is, in a manner other than by specifically enumerating the measures at issue, such as, for example, by referring to "related" measures, "implementing" measures, or "amending" measures). We note that such references are not uncommon in panel requests, and have been challenged in previous disputes.
5.12. For example, the panel request in EC – Bananas III referred to EC Regulation 404/93 and "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures, including those reflecting the
69 (footnote original) Appellate Body Report, US – Continued Zeroing, para. 161 (quoting Appellate Body Report, US –Carbon Steel, para. 127).
70 (footnote original) Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 787 (referring to Appellate Body Reports, EC – Bananas III, para. 143; and US – Carbon Steel, para. 127).
71 (footnote original) See e.g. Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127. 72 (footnote original) Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft,
para. 641. 73 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.9. 74 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.12 (citing
Appellate Body Report, EC – Selected Customs Matters, para. 130). 75 Appellate Body Report, EC – Chicken Cuts, para. 155. 76 Appellate Body Report, EC – Selected Customs Matters, para. 152. 77 Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127. See also Appellate Body Report, Korea – Dairy,
paras. 124-127; Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10, sub-para. 14. 78 Appellate Body Report, EC – Fasteners (China), para. 562 (citing Appellate Body Reports, US –
Carbon Steel, para. 127; US – Oil Country Tubular Goods, paras. 164 and 169; US – Continued Zeroing, para. 161; and US – Zeroing (Japan) (Article 21.5 – Japan), para. 108).
79 Appellate Body Reports, China – Raw Materials, para. 220 (citing Appellate Body Report, EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 641).
WT/DS467/19
- 12 -
provisions of the Framework Agreement on bananas, which implement, supplement and amend that regime".80 The panel considered that the "banana regime" challenged by the complainants was "adequately identified", even if the "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures that further refine and implement the basic regulation" were not identified. The Appellate Body agreed that the request contained "sufficient identification of the specific measures at issue to satisfy the requirements of Article 6.2 of the DSU".81 We understand this to indicate that general references to unnamed measures, such as, in that case, measures that "implement, supplement and amend" a primary measure explicitly identified in the panel request, may be capable of satisfying the specificity requirement in Article 6.2 of the DSU.
5.13. We also note that in some cases, by contrast, similar general references have been found insufficient to meet the specificity requirement in Article 6.2. Thus, in EC – Selected Customs Matters, the Appellate Body found that the phrase "implementing measures and other related measures" was "vague and does not allow the identification of the specific instruments that the reference aims to cover", such that it did not "identify the specific measures at issue", as required by Article 6.2 of the DSU.82 In China – Raw Materials, the panel similarly held that the term "related measures" was too broad and did not allow China to know clearly what specific measures were being challenged.83 As observed by the panel in India – Agricultural Products, the broad scope of the enumerated measures in these two disputes appears to have contributed to the conclusion that the terms at issue were insufficiently precise, in the context of those disputes, to meet the specificity requirement of Article 6.2 of the DSU.84
5.14. Overall, these rulings suggest to us that a reference to unnamed measures such as those discussed above is not per se inconsistent with the specificity requirement in Article 6.2. In particular, as noted by Australia, such an approach may allow the complainant to preserve its due process rights85 and thereby assist in ensuring that a positive solution to the dispute can be secured.86 Such language may in particular serve to protect the interests of the complainant in respect of relevant measures not yet in existence at the time of filing the panel request.87 However, whether such a reference meets the specificity requirements of Article 6.2 will depend importantly on the circumstances of the case. Just as with any assessment under this element of Article 6.2, a finding of whether such language is consistent with the specificity requirement under this provision must be based, as described above, on a consideration of the panel request as a whole and of any attendant circumstances, on a case-by-case basis.88
5.15. In this respect, we note the following observations of the panel in Japan – Film:
To fall within the terms of Article 6.2, it seems clear that a 'measure' not explicitly described in a panel request must have a clear relationship to a 'measure' that is specifically described therein, so that it can be said to be 'included' in the specified
80 WT/DS27/6 (emphasis added). 81 Panel Report, EC – Bananas III, para. 7.27; Appellate Body Report, EC – Bananas III, para. 140. 82 In that dispute, the United States had challenged the EC's Community Customs Code, the regulation
implementing the Customs Code, the regulation on the tariff and statistical nomenclature and on the Common Customs Tariff, and the Integrated Tariff of the European Communities, as well as "implementing measures and other related measures". Appellate Body Report, EC – Selected Customs Matters, paras. 2 and 152, footnote 369.
83 Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, para. 17. 84 Preliminary Ruling, India - Agricultural Products, paras. 3.45-3.47. 85 Australia's comments on responses to Australia's requests for preliminary rulings, para. 28. 86 In this regard we note the determination of the panel in EC – Chicken Cuts that two subsequent
measures cited by the complainants in the course of the proceedings did not fall within its terms of reference, based on its determination that Brazil's and Thailand's respective panel requests were "much more narrowly drafted" than the "broadly worded" panel requests at issue in previous cases where panels had found measures not identified specifically in the panel requests to be nevertheless within their terms of reference. (see Panel Reports, EC – Chicken Cuts (Brazil), paras. 7.20-7.32 and EC – Chicken Cuts (Thailand), paras. 7.20-7.32). On appeal, the Appellate Body was not persuaded that the subsequent measures in question could be considered as amendments to the two original measures as argued or that the two sets of measures were, in essence, the same. It also noted that the objective of securing a positive and effective resolution of a dispute "cannot be pursued at the expense of complying with the specific requirements and obligations of Article 6.2" (Appellate Body Report, EC – Chicken Cuts, paras. 157-158 and 161).
87 See for example Appellate Body Report, Chile – Price Band System, paras. 137-138. 88 Appellate Body Report, US – Carbon Steel, para. 127. See also Appellate Body Report, Korea – Dairy,
paras. 124-127; Panel Report, Canada – Wheat Exports and Grain Imports, para. 6.10, sub-para. 14.
WT/DS467/19
- 13 -
measure. In our view, the requirements of Article 6.2 would be met in the case of a 'measure' that is subsidiary or so closely related to a 'measure' specifically identified, that the responding party can reasonably be found to have received adequate notice of the scope of the claims asserted by the complaining party.89
5.16. That panel also stressed that the two elements – close relationship and notice – are inter-related, so that "only if a 'measure' not explicitly identified is subsidiary or closely related to an identified 'measure' will notice be adequate".90
5.17. Like that panel, we are mindful of the role of the panel request in fulfilling due process objectives, for both parties. Due process is a fundamental principle of WTO dispute settlement,91 which informs various provisions of the DSU.92 As we understand it, the requirements of due process imply, in this context, both that the complainant is able to define the scope of its complaint so as to secure a positive solution to the dispute93 and that the panel request identifies the measure(s) at issue with such specificity that all parties and third parties receive adequate notice regarding the nature of the complainant's case.94
5.18. We further note that these requirements of due process continue to manifest themselves in the course of panel proceedings, after the establishment of the panel. We note, in this respect, the observations of the Appellate Body in Chile – Price Band System:
[G]enerally speaking, the demands of due process are such that a complaining party should not have to adjust its pleadings throughout dispute settlement proceedings in order to deal with a disputed measure as a "moving target". If the terms of reference in a dispute are broad enough to include amendments to a measure … and if it is necessary to consider an amendment in order to secure a positive solution to the dispute … then it is appropriate to consider the measure as amended in coming to a decision in a dispute.95 (emphasis added)
89 Panel Report, Japan – Film, para. 10.8. We note that this test has been referred to by subsequent
panels in assessing whether certain measures not expressly identified in the panel request nonetheless fell within the scope of their terms of reference. For instance, the panel in US – Carbon Steel found that a particular measure not identified in the panel request was not a measure that was subsidiary, or so closely related to, any of the measures specifically identified that the responding party could reasonably be found to have received adequate notice of the scope of the claims asserted by the complaining party (see Panel Report, US – Carbon Steel, para. 8.11). The panel in Australia – Salmon (Article 21.5 – Canada) also considered whether measures not expressly named in the panel request were "so closely related" to the measures named in the panel request that the respondent "can reasonably be found to have received adequate notice" of the scope of the complainant's claims (see Panel Report, Australia – Salmon (Article 21.5 – Canada), para. 7.10, subpara. 27).
90 Panel Report, Japan – Film, para. 10.8. 91 The Appellate Body has held that "the protection of due process is an essential feature of a rules-
based system of adjudication, such as that established under the DSU", and that "due process is fundamental to ensuring a fair and orderly conduct of dispute settlement proceedings". (Appellate Body Reports, Canada – Continued Suspension / US – Continued Suspension, para. 433; and Thailand – H-Beams, para. 88, respectively. See also Appellate Body Report, Chile – Price Band System, para. 176).
92 See Appellate Body Report, Mexico – Corn Syrup (Article 21.5 – US), para. 107. See also Appellate Body Reports, India – Patents (US), para. 94; and Chile – Price Band System, para. 176.
93 As the Appellate Body has said, "due process may … require a panel to take appropriate account of the need to safeguard … an aggrieved party's right to have recourse to an adjudicative process in which it can seek redress in a timely manner, and the need for proceedings to be brought to a close" (Appellate Body Report, Thailand – Cigarettes (Philippines), para. 150).
94 Appellate Body Report, US – Countervailing and Anti-Dumping Measures (China), para. 4.7 (citing Appellate Body Reports, Brazil – Desiccated Coconut, p. 22, DSR 1997:I, p. 186; US – Carbon Steel, para. 126; and EC and certain member States – Large Civil Aircraft, para. 640).
95 Appellate Body Report, Chile – Price Band System, para. 144.
WT/DS467/19
- 14 -
5.19. In determining whether a specific amendment identified in the course of the panel proceedings could be considered to be properly before the panel in that case, the Appellate Body considered not only the terms of the panel request, which included a general reference inter alia to "complementary provisions and/or amendments", but also the fact that the amendment in question did not change the "essence" of the original measure at issue.96 We note that the panel in China – Raw Materials considered that the same approach applied in respect of "replacement measures".97
5.20. Thus, even where the language of a panel request is, on its face, broad enough to encompass certain additional instruments not identified by name in the request, this would not provide a basis for the complainant to expand the scope of the dispute or modify its essence through the invocation of such instruments in the course of the panel proceedings. This is consistent, in our view, with the fact that it is the panel request that determines the scope of the dispute before the Panel and with the due process objectives served by the panel request in this respect.
5.21. Bearing in mind these elements, we now turn to Indonesia's panel request to determine whether it is consistent with Article 6.2 of the DSU and, specifically, whether it sufficiently identifies the "specific measures at issue".
5.2 Whether Indonesia's panel request identifies the specific measures at issue
5.22. As described above, Australia challenges some of the terms used by Indonesia in its panel request to identify the measures at issue in its complaint.
5.23. In order to determine whether these terms meet the requirements of Article 6.2, we must "scrutinize carefully the panel request, read as a whole, and on the basis of the language used".98 We therefore start our analysis with a consideration of the text of Indonesia's panel request.
5.24. Section A of the Indonesia's panel request is entitled "Specific Measures at Issue". That section provides as follows:
This request for establishment of a Panel concerns the following measures:
Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, "An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes";
Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011, No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);
Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011, Act No. 149 of 2011, "An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes"; and
96 See Appellate Body Report, Chile – Price Band System, paras. 139-144. In that case, the panel
request identified a primary law and existing amendments, "as well as the regulations and complementary provisions and/or amendments". In the course of the proceedings, an amendment was discussed, that added a paragraph to the primary law, and set out the maximum ad valorem tariff that could be applied (which was in any case evident from Chile's tariff bindings). The Appellate Body considered that the measure was not, in essence, different as a result of the amendment (see Appellate Body Report, Chile – Price Band System, paras. 137 - 139).
97 The panel in China – Raw Materials considered that this approach should also apply to "replacement measures that are of the same essence as original measures specifically identified in the [p]anel [r]equest", because the Appellate Body's "rationale for including amendments of the same essence applies equally to replacement measures so that replacement measures of the same essence should also be assessed by a panel in order to secure a positive solution to a dispute". Panel Reports, China – Raw Materials, para. 7.16. Similarly, the panel in China – Publications and Audiovisual Products analysed whether China could be considered to have received adequate notice of a particular measure, based on the language of the panel request as a whole, notwithstanding the fact that it included a general reference to "amendments, related measures, or implementing measures" (Panel Reports, China – Publications and Audiovisual Products, para. 7.60 footnote 105).
98 Appellate Body Report, EC – Fasteners (China), para. 562.
WT/DS467/19
- 15 -
Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.99
5.25. The panel request then states that "[t]he measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products. The measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves. The measures also establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements".100 The panel request then proceeds to elaborate on the manner in which the cited measures regulate the enumerated products.101
5.26. Australia's challenge focuses on the fourth "dot point" of Indonesia's enumeration of the measures at issue. Specifically, Australia challenges the use of the terms "including", and "complement or add to" in that context, on the basis that they are "indeterminate"102 and may potentially cover a broad range of measures relating to tobacco control, such as public education campaigns or the listing of nicotine replacement therapies. Australia considers that "the uncertainty regarding the scope of the related measures arises because of the particular context in which Australia's tobacco plain packaging measure exists and operates, namely as part of a comprehensive range of complementary tobacco control measures".103
5.27. We first observe that each of the terms challenged by Australia is used to describe instances of "related" measures. The term "related measures" itself is to be read against the context of the enumeration that precedes it in the first three "dot points" under which the measures at issue are listed. In order to properly understand the terms at issue as part of the panel request "as a whole", we must therefore consider them as they are used in this particular context.
5.28. Second, we understand the panel request as indicating that the "measures" that it concerns are the measures identified under the title "Specific Measures at Issue". The panel request defines these measures in three ways. First, it enumerates three specific acts and regulations (namely, the Tobacco Plain Packaging Act 2011, the Tobacco Plain Packaging Regulations 2011, and the Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011). These may be described as the "primary" measures identified in this dispute. Second, immediately following this enumeration, the panel request provides that the measures at issue are also "any related measures adopted by Australia including measures that implement, complement or add to these laws and regulations and any measures that amend or replace these laws and regulations". Third, the description immediately following these bullet points describes the types of requirements and "penalties" that the "measures" establish. We understand this language to indicate that, to the extent that only measures that fit this description are "measures" to which the panel request refers and are thus "specific measures at issue" within the meaning of Section A of the panel request. This description therefore has the effect of further circumscribing the scope of the measures at issue by reference to what the measures actually do.
5.29. A plain reading of this language on its face suggests that the term "related" measures, as used here, necessarily refers to the three primary measures enumerated above, i.e. the three listed measures specifically addressing "tobacco plain packaging". Only measures related to these three specifically listed instruments could therefore fall within the scope of the term "related" measures. The final narrative element of the definition of the measures at issue further clarifies that the measures are defined only as measures that "apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products", "establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves", or "establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements". We consider that this narrative element further clarifies and delimits the scope of measures within the Panel's terms of reference, insofar as measures falling within the scope of the three primary measures, or of "related measures, including measures … that … complement or add to" the primary measures, would also need to "apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and other tobacco products", "establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of
99 Indonesia's request for the establishment of a panel, p. 1. 100 Indonesia's request for the establishment of a panel, pp. 1-2. 101 Indonesia's request for the establishment of a panel, p. 2. 102 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 27. 103 Australia’s comments on responses to Australia’s requests for preliminary rulings, para. 29.
WT/DS467/19
- 16 -
the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves", or "establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements" in order to fall within our terms of reference.
5.30. In view of these limitations on the scope of measures covered, we do not consider that the language of the panel request in relation to "related measures", and in particular with respect to related measures that "add to" or "complement" the primary listed measures, is as open as Australia has suggested. Australia has argued that Indonesia, through the language of its panel request, "attempts to include a non-exhaustive and therefore indeterminate list" of "related measures" within the Panel's terms of reference.104 Specifically, Australia has identified a range of "tobacco control" measures that it argues could fall within the scope of the language of Indonesia's panel request, including (for example) public education campaigns, the listing of nicotine replacement therapies and other smoking cessation supports on Australia's Pharmaceutical Benefits Scheme, or Quitlines and other smoking cessation support services.105 In the light of our understanding of the terms of the panel request, and the parameters created by the language therein, it is not apparent to us how such measures could fall within the scope of the panel request and thus within our terms of reference. Specifically, we are not persuaded that such indeterminacy exists when the terms "including" and "complement or add to" are read in the context of the remainder of the panel request. We are therefore of the view that the terms "including" and "complement or add to" do not unduly broaden the scope of the dispute in the manner that Australia argues.
5.31. Recalling our discussion in Section 5.1 above, we further observe that the language used by Indonesia is similar to that used by the complainants in EC – Bananas III. We recall that the panel request in that case referred to a specific EC Regulation and "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures, including those reflecting the provisions of the Framework Agreement on bananas, which implement, supplement and amend that regime".106 Notwithstanding such similarities, we are mindful of the requirement that we must "scrutinize carefully the panel request, read as a whole, and on the basis of the language used".107 With this in mind, we note the broader context in which these words appeared in the complainants' panel request in EC – Bananas III. In particular, we observe that the panel request in that dispute explicitly identified an impugned measure and then identified, by way of a narrative description, related unnamed measures that the complainants also sought to challenge (that is, "subsequent EC legislation, regulations and administrative measures, including those reflecting the provisions of the Framework Agreement on bananas, which implement, supplement and amend that regime").108
5.32. As discussed, Indonesia has defined the measures at issue as the "plain packaging measures", which it defines with explicit reference to three measures (the Tobacco Plain Packaging Act 2011, the Tobacco Plain Packaging Regulations 2011, and the Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011). Moreover, Indonesia has further identified the measures at issue by reference to their application ("[t]he measures apply to the retail sale of cigarettes, cigars, and tobacco products") and their effect ("[t]he measures establish comprehensive requirements regarding the appearance and form of the retail packaging of tobacco products, as well as the tobacco products themselves" and "[t]he measures also establish penalties, including criminal sanctions, for the violation of these requirements".109 We consider that this approach is also similar to that taken by the complainants in EC – Bananas III. In particular, we consider that the scope of the primary measures is well delineated, such that the qualifying role played by the terms "complement" and "add to" is similar to that of the term "supplement" in the context of EC – Bananas III. Bearing this similarity in mind, as well as the similarity between the words "implement, supplement and amend" and "complement or add to" themselves, we do not consider that there is any material difference between the language used by Indonesia in its panel request,
104 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 9. 105 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 17. 106 WT/DS27/6. (emphasis added) 107 Appellate Body Report, EC – Fasteners (China), para. 562. 108 WT/DS27/6. 109 WT/DS467/15.
WT/DS467/19
- 17 -
and that endorsed by the panel and Appellate Body in EC – Bananas III.110 This confirms us in our view that this language is sufficiently specific to satisfy Article 6.2 of the DSU.
5.33. We note Australia's argument that the circumstances in this dispute are analogous to those in China – Raw Materials, in which the complainants referred in their panel requests to a series of measures, preceded by the phrase "among others".111 In its preliminary ruling, the panel in that case found that the complainants could not include additional measures other than those enumerated in the panel requests, because "[s]uch an 'open ended' list would not contribute to the 'security and predictability' of the WTO dispute settlement system as required by Article 3.2 of the DSU".112 Australia submits that the language used by Indonesia is similarly open-ended and "does not provide Australia with notice of the measures under challenge and creates considerable uncertainty as to the identity, number and content of the measures at issue".113
5.34. As discussed above, the language in Indonesia's panel request establishes parameters that circumscribe the measures at issue through reference to (i) the narrative description of the measures at issue, (ii) the three primary measures, and (iii) the reference to measures "related to" such measures, which includes measures that "complement" and "add to" those measures, which do not change the essence of the dispute, and of which Australia has notice. In contrast, the panel request in China – Raw Materials did not contain such parameters. We are not persuaded that Indonesia's panel request, and the parameters therein, give rise to a similarly "open-ended" list. In particular, as discussed above, we do not consider that these terms, read in context, imply that the broad range of "general tobacco control measures" not directly related to tobacco plain packaging that are the basis for Australia's concern would be covered.
5.35. In light of the above, we consider that the terms "including", "complement" and "add to", as used in Indonesia's panel request, are not, on their face, inconsistent with the requirement under Article 6.2 of the DSU to identify the specific measures at issue.
5.36. In making this determination, we make no assessment, at this stage of our proceedings, as to whether any particular measure that may be invoked by Indonesia in the course of these proceedings as "related" to the plain packaging measures as described above, including measures that may "add to or complement" the listed measures, is or is not within our terms of reference.
5.37. We are mindful in this regard that "a clear identification of the specific measures at the outset is central to define the scope of the dispute to be addressed by a panel"114 and recall the important due process role played by the panel request, as discussed in paragraphs 5.17 to 5.20 above. We note the observation of the panel in EC – IT Products that it did not consider "that the mere incantation of the phrase 'any amendments, or extensions and any related or implementing measures' in a panel request will permit Members to bring in measures that were clearly not contemplated in the panel request".115 Similarly, in the present proceedings, the use of such terms would not provide a legitimate basis for seeking to expand or otherwise modify the scope of the dispute in the course of the proceedings. In addition, we would expect any invocation in the course of the proceedings of a measure not identified by name in the panel request to take place in a timely manner.
5.38. Finally, we take note of Indonesia's clarification that it does not intend to challenge every current or future tobacco control measure implemented in Australia, and that the measures at issue are limited to those measures relating to plain packaging requirements.116 We also take note of Indonesia's indication that the challenged language is important to protect Indonesia's rights, "should Australia adopt measures closely-related to the plain packaging measures listed in Indonesia's panel request or change the legal nature of the existing plain packaging measures
110 Panel Report, EC – Bananas III, para. 7.27; Appellate Body Report, EC – Bananas III, para. 140. We
also note the comparable language in Chile – Price Band System to "complementary provisions and/or amendments" (See Appellate Body Report, Chile – Price Band System, para. 135).
111 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10. 112 Panel Reports, China – Raw Materials, Annex F-1, para. 12. 113 Australia's request for a preliminary ruling in relation to Indonesia's panel request, para. 10. 114 See para. 5.10 above. 115 Panel Report, EC – IT Products, para. 7.140. 116 Indonesia’s response to Australia’s request for a preliminary ruling, para. 12.
WT/DS467/19
- 18 -
(e.g. by withdrawing and re-issuing measures in a slightly different form) during the course of the Panel proceedings."117
5.39. This preliminary ruling will become an integral part of the Panel's report, subject to any modifications or elaboration of the reasoning, either in a subsequent ruling or in the Panel's report, in the light of comments received from the parties in the course of the proceedings.
__________
117 Indonesia’s response to Australia’s request for a preliminary ruling, para. 18.
WT/DS467/21
6 December 2016
(16-6667) Page: 1/1
Original: English
AUSTRALIA – CERTAIN MEASURES CONCERNING TRADEMARKS,
GEOGRAPHICAL INDICATIONS AND OTHER PLAIN PACKAGING REQUIREMENTS APPLICABLE TO TOBACCO PRODUCTS AND PACKAGING
COMMUNICATION FROM THE CHAIRPERSON OF THE PANEL
The following communication, dated 1 December 2016, addressed to the Chairperson of the Dispute Settlement Body (DSB), is circulated in accordance with Article 12.9 of the Dispute Settlement Understanding (DSU).
_______________ Article 12.8 of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) provides that the period in which a panel shall conduct its examination, from the date that the composition and terms of reference of the panel have been agreed upon until the date the final report is issued to the parties to the dispute, shall, as a general rule, not exceed six months.
Article 12.9 of the DSU provides that, when a panel considers that it cannot issue its report within
six months, it shall inform the Dispute Settlement Body (DSB) in writing accordingly and indicate the reasons, together with an estimate of the period within which it will issue its report. The Panel in Australia – Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and
Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging (WT/DS467) was established by the DSB on 26 March 2014 and composed on 5 May 2014. On 10 October 2014, the Panel communicated to the DSB that it "expect[ed] to issue its final report to the parties not before the first half of 2016". On 29 June 2016, the Panel communicated to the DSB that it "expect[ed] to issue its final report to the parties not before the end of 2016".
The Panel wishes to advise that it now expects to issue its final report to the parties not before May 2017, in light of the complexity of the legal and factual issues that arise in this dispute.
__________