skleritis fix

19
SKLERITIS Pengertian Skleritis adalah radang kronis granulomatosa pada sklera yang ditandai dengan dekstrusi kolagen , infiltrasi sel dan vaskulitis.Biasanya bilateral dan lebih sering terjadi pada wanita. ETIOLOGI Sebagian besar disebabkan reaksi hipersensivitas tipeIII dan IV yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah: I. Autoimun (48%) o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain: 13 Rheumatoid arthritis Systemic lupus erythematosus Ankylosing spondylitis Reactive arthritis Psoriatic arthritis Gouty arthritis

Upload: yunan

Post on 17-Nov-2015

291 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjh

TRANSCRIPT

SKLERITISPengertianSkleritis adalah radang kronis granulomatosa pada sklera yang ditandai dengan dekstrusi kolagen , infiltrasi sel dan vaskulitis.Biasanya bilateral dan lebih sering terjadi pada wanita.ETIOLOGISebagian besar disebabkan reaksi hipersensivitas tipeIII dan IV yang berkaitan dengan penyakit sistemik.Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:

I. Autoimun (48%)

Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:13 Rheumatoid arthritis Systemic lupus erythematosus Ankylosing spondylitis Reactive arthritis Psoriatic arthritis Gouty arthritis Inflammatory bowel diseases Relapsing polychondritis Polymyositis Sjgren syndrome Mixed connective tissue disease Progressive systemic sclerosis Penyakit vaskulitik, antara lain:14 Polyarteritis nodosa Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome Wegeners granulomatosis

Behet disease Giant cell arteritis Cogan syndrome

II. Infeksi dan Granulomatosa (7%)1 Tuberkulosis Sifilis Sarkoidosis Toksoplasmosis Herpes simpleks Herpes zoster Infeksi Pseudomonas Infeksi Streptokokus Infeksi Stafilokokus Aspergilosis LeprosiIII. Lain-lain (2%) Atopi Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan (pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).15IV. Idiopatik

MANIFESTASI KLINISAdapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.

Klasifikasi

Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari skleritis anterior adalah:11

1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.

4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul

(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)

Gambar 6. Skleromalasia perforans

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.2 Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.3V. Diagnosis

5.1 Anamnesis

Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya. 5.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam penglihatan.11 Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior. Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. Pemeriksaan Sklera10 Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap. Pemeriksaan slit lamp10,11 Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis. Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan episklera.

Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera. Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga dapat dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior11 Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.

Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17PEMERIKSAAN PENUNJANGDengan penetesan epinefrin 1:1000 atau fenilefrin 10% tidak akan terjadi vasokonstriksi. Pemeriksaan foto rontgen orbita dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya benda asing,juga dapat dilakukan pemeriksaan imunologi serum.Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:11. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

7. Serum asam urat

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada kapsul tenon

(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)VI. Diagnosa Banding

Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

Gambar 8. Episkleritis

(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)

Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)VII. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.10 Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

Diffuse scleritis atau nodular scleritis Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegeners granulomatosis atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

Necrotizing scleritis Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan lahan.

Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses nekrosis yang terjadi. 2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi imunosupresif.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam penyakit skleritis ialah:11A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.

Pemberian:

Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk menghindari gangguan pada saluran pencernaan.

1. Indometasin (Indocin)

Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi glukuronid.

Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150 mg/hari

Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.

2. Diflunisal (Dolobid)

Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti radang; tetapi, berbeda secara kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah penghambat prostaglandin sintase.

Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.

Dosis maksimum: 1500 mg/hari.

3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)

Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.

Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam.

Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.

4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)

Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang menghasilkan sintesis prostaglandin.

Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).

Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari

400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari

5. Sulindac (Clinoril)

Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.

Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.

Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.

6. Piroxicam (Feldene)

Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.

Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40 mg/hari

B. Agen Imunosupresan

Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap NSAIDs.

1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)

Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui. Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan (nyeri, bengkak, kaku).

Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak 2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu

Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg (meningkatkan resiko supresi sum sum tulang). Kurangi sampai serendah mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat terpanjang

Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati

2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)

Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal dan neoplastik.

Pemberian IV:

Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam interval 2-4 minggu

Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari

Pemberian oral:

Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten

Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari

Pemberian:

Berikan dosis pertama sepagi mungkin

Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral

Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.

Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)

3. Azathioprine (Imuran)

Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.

Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat ditingkatkan seperti berikut:

Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.

Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis efektif terendah tercapai

4. Cyclosporine (Neoral)

Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.

Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari

Awasi: fungsi ginjal

C. Glukokortikoid

Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik. Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan skleritis yang berulang.

1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)

Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif lainnya.

Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO

Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu

Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis IM setiap harinya sama dengan dosis oral.

Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu.

Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV

Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari

2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)

Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat menurunkan peradangan.

Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali sehari.

VIII. Komplikasi

Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid, retina, dan saraf optik.12 Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior.2 Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.8IX. Prognosis

Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.8

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam: dubia ad malam

Quo ad sanationam: dubia ad malam