skill lab dispepsia

22
SKILL LAB DISPEPSIA Oleh: Luzi Dareta Nurfita Sari Pembimbing: dr. Sugeng Sp. PD LAB/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UWKS/RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Upload: luzidareta

Post on 19-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

skill lab dispepsia

TRANSCRIPT

SKILL LABDISPEPSIA

Oleh:Luzi Dareta Nurfita SariPembimbing:dr. Sugeng Sp. PD

LAB/SMF ILMU PENYAKIT DALAMFK UWKS/RSD dr. SOEBANDI JEMBER2015BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangDispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang, heartburn, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah (Tarigan, 2003). Salah cerna (indigestion) mungkin digunakan oleh pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus (Grace & Borley, 2006).Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik merupakan dispepsia yang diketahui penyebabnya, misalnya ada ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis. Sedangkan dispepsia fungsional merupakan dispepsia yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Tarigan, 2003).Salah satu hasil penelitian lain yang dilakukan menunjukkan, bahwa terdapat 17 pasien (8,5 %) serta 11 keluarga (5,5 %) yang mengalami penyakit saluran pencernaan. Lebih dari 50 % pasien dengan penyakit saluran cerna mengalami dispepsia.Dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal (Harahap, 2010). Menurut Annisa (2009, dikutip dari Djojoroningrat, 2001), penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung, psikologi dan infeksi Helicobacter pylorii.Riwayat penyakit atau gangguan lambung erat kaitannya dengan frekuensi dispepsia. Mahasiswa yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik) sebelumnya lebih beresiko mengalami dispepsia dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat (Susanti, 2011). Menurut Price (2005), gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus atau lokal, sedangkan ulkus peptikum merupakan diskontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai bawah epitel (jaringan mukosa, submukosa dan lapisan otot saluran cerna bagian atas, dapat terjadi di esofagus, gaster, duodenum dan jejenum) yang disebabkan oleh asam lambung dan pepsin. Manifestasi klinis dari keduanya memberikan gambaran seperti gejala sindroma dispepsia.Menurut ROME III, dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan.1. Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).2. Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.3. Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan metabolik atau neoplasma.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DefinisiDispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan pepse berarti pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh setelah makan.Dispepsia fungsional adalah .bagian dari gangguan pencernaan fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi. Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaaan tidak ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut (seperti chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy).

EpidemiologiSuatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan dewasa mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter. Rerksppaphol mengemukakan pasien yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35% peradangan mukosa.Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang disebabkan Helicobacter pylorii, maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi H. pylorii dengan yang tidak.

EtiologiPenyebab Dispepsia

Esofago-gastroduodenalTukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Obat-obatanAntiinflamasi nos steroid, theofilin, digitalis, antibiotik

Hepato-bilierHepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan, disfungsi sfingter Odii

PankreasPankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik lainDM, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, PJK/iskemik

Gangguan fungsionalDispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Patofisiologi GenetikFaktor genetik, genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (IL-10, TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus. Sekresi asam lambungKasus dispepsia umumnya memiliki tingkat sekresi asam lambung. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut. Helicobacter pyloriPeran infeksi bakteri ini pada dispepsia belum sepenuhnya diyakini. Pada ulkus peptikum. Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin. Dismotilitas gastrointestinalTerjadi perlambatan pengosongan lambung, gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan pengosongan lambung. Korelasinya dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh ulu hati. Sedangkan distensi lambung mengeluh nyeri, sendawa dan berat badan turun. Disfungsi autonomDisfungsi persarafan dan neuropati vagal menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus. Aktivitas mioelektrik lambungTachygastria, bradygastria yang inkonsisten merupakan disritmia miolektrik lambung pada elektrogastrografi, berkorelasi dengan perlambatan pengosongan lambung. Hormonal Penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas, seperti progesteron, estradiol dan prolaktin.

Diet dan faktor lingkunganIntoleransi makanan PsikologisStres akut mengakibatkan penurunan kontraktilitas lambung didahului keluhan mual setelah merangsang stres sentral. Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dari penelitian Kohort yang di teliti pada tahun 2000 menunjukkan keterlambatan esensial dari pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal.

Klasifikasi1. Tipe refluksKeluhan rasa tidak enak/terbakar di daerah abdomen atas2. Tipe dismotilitasKeluhan penumpukan gas, kembung, mual3. Tipe ulkusKeluhan nyeri hilang timbul, lokasi nyeri dapat ditunjuk4. Tipe aerofagiaKeluhan sering bersendawa, erat kaitannya dengan psikis5. Tipe idiopatikKeluhan gambaran tidak seperti keempat diatasPemeriksaan KlinisDapat didapatkan dari anamnesa, bila nyeri ulu hati dominan dan nyeri saat malam hari tipe ulkus. Bila kembung mual, cepat kenyang tipe dismotilitas. Bila tidak ada keluhan dominan tipe non spesifik. Penunjang diagnostikLaboratorium gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas. Radiologi barium meal, USG Endoskopi. pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung. Skintigrafi untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter pylori dan sebagainya.Penatalaksanaan Non farmakologis Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.

Farmakologis Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu Antasida Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Antikolinergik Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. Antagonis resptor H2Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.

Proton pump inhibitor (PPI ) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

Sitoprotektif Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.

Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.

Golongan anti depresiKadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin. Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.

Amitriptilin Amitriptilin merupakan obat golongan TCA dan derivat dari dibenzocycloheptadiene dengan berat molekul, dan umum dipakai sebagai anti depresi selain itu juga berguna dalam pengobatan nyeri neuropatik kronis. Amitriptilin bekerja dengan mempengaruhi aktivitas neurotransmiter monoamin, termasuk norepinefrin dan serotonin. Amitriptilin bekerja dengan cara menghambat reuptake neurotransmiter norepinefrin dan serotonin dari celah sinaps. Kerja TCA lebih luas dibandingkan SSRI, karena SSRI hanya mempengaruhi serotonin dan tidak norepinefrin. Amitriptilin juga berefek menekan anti muskarinik. Obat golongan TCA seperti amitriptilin, nortriptilin dan desipramin luas dipakai pada anak.Obat ini diabsorbsi baik per oral, dengan kadar maksimum dalam serum tercapai dalam 2 hingga 8 jam dengan waktu paruh rata-rata 20 jam. Tempat biotransformasi utama di hati. Diekskresi ke dalam urin dalam bentuk metabolit.Amitriptilin tidak boleh diberikan bersamaan dengan monoamine oxidase inhibitors. Hiperpiretik, kejang dan kematian pernah dilaporkan setelah pemberian kedua obat ini. Pemberian bersamaan cisapride berpotensi terjadi pemanjangan interval QT dan risiko aritmia. Obat ini juga menghambat kerja anti hipertensi guanethidine, meningkatkan respon terhadap alkohol, barbiturate dan obat anti depresi lainnya. Delirium pernah dilaporkan setelah pemberian amitriptilin dan disulfiram. Efek samping amitriptilin berupa mengantuk, peningkatan berat badan, gejala antikolinergik seperti mulut kering, mata kering, lightheadedness, konstipasi, aritmia jantung.

Amitriptilin sebagai terapi dispepsia fungsional Patofisiologi dispepsia fungsional sangat heterogen. Saat ini belum ada terapi yang memuaskan dalam pengobatan dispepsia fungsional. Faktor biopsikososial merupakan salah satu faktor yang berperan sehingga timbul gejala dispepsia fungsional. Faktor biopsikososial adalah faktor biologis dan faktor lingkungan berinteraksi untuk menghasilkan sindrom klinis dan penyakit.Elemen kunci untuk memahami patofisiologi gangguan gastrointestinal fungsional adalah berkaitan dengan disfungsi dari sistem sumbu otak-usus yang melibatkan sistem komunikasi pusat dan saraf enterik. Efek dari interaksi ini berdampak pada gejala perilaku sakit, dan kemanjuran pengobatan. Dengan demikian terjadi perubahan motilitas, hipersensitivitas dan inflamasi mukosa usus. Dalam hal ini, obat-obatan psikoaktif dapat digunakan, terutama untuk pasien dengan gejala berat. Salah satu terapi alternatif adalah golongan TCA seperti amitriptilin. Amitriptilin secara teoritis menguntungkan karena efek menyeluruh mereka pada sumbu otak-usus, baik di pusat dan di usus. Amitriptilin juga sering digunakan pada sindrom nyeri kronis somatik seperti migrain dan fibromyalgia, dan penggunaannya dalam pengobatan gangguan gastrointestinal fungsional telah meningkat.Amitriptilin bekerja pada berbagai daerah di saluran pencernaan dan otak. Amitriptilin menurunkan hipersensitivitas viseral dengan menurunkan rangsangan saraf sensorik askending dari perifer atau dengan meniadakan efek peningkatan mediator inflamasi lainnya melalui reseptor 5HT. Amitriptilin dapat memfasilitasi atau meningkatkan efek dari inhibisi desending modulasi nyeri sentral, opioid, serotonergik, atau noradrenergik. Amitriptilin bekerja pada area yang memproses nyeri pada otak sehingga menurunkan nyeri viseral dan kemungkinan juga persepsi nyeri. Karena efek-efek terhadap motilitas dan sekresi, amitriptilin dapat mengurangi gejala gangguan saluran cerna.Amitriptilin bila digunakan pada dosis penuh dapat mengobati gangguan kejiwaan, dan karena itu dapat mengobati gangguan kejiwaan bersamaan pada pasien dengan dispepsia fungsional dan dapat mengobati stres yang berhubungan dengan eksaserbasi gejala dispepsia fungsional yang berhubungan dengan kecemasan sekunder dengan efek ansiolitik.Amitriptilin dosis rendah telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif untuk pasien dengan dispepsia fungsional karena amitriptilin mengurangi sensitivitas dari saraf perifer, meningkatkan ambang dan toleransi nyeri, dan bersifat antikolinegik. Amitriptilin memiliki sifat antinociceptive, efek analgesik perifer pada tingkat mekanoreseptor viseral dan serat saraf aferen. Amitriptilin juga dapat mempengaruhi motilitas gastrointestinal dan sekresi berdasarkan efek serotonergik, noradrenergik, atau antikolinergik.Amitriptilin memiliki potensi untuk mengurangi gejala dispepsia fungsional karena meningkatkan ketersediaan 5-HT (pro-motilitas) tidak hanya di tingkat sistem saraf pusat, tetapi juga di tingkat enterik. Reseptor kappa-opioid agonis berguna untuk dispepsia fungsional karena efek antinociceptive, efek antikolinergik, perlambatan transit gastrointestinal, relaksasi fundus, efek sedasi dan analgesik.Amitriptilin biasanya diberikan pada malam hari karena mengambil efek sedasi, dimana dosis yang diberikan antara 0,1 0,5 mg/kgbb/hari. Manfaat amitriptilin untuk pengobatan dispepsia fungsional mulai terlihat setelah 2 minggu terapi. Pada penelitian selama 12 minggu usia 7 - 18 tahun, 84% dari pasien mengalami penurunan nyeri, depresi, gelisah, dan gangguan somatik lain.

PrognosisPemeriksaan klinis dan penunjang klinis yang akurat prognosis baik