sken 1 traumatologi completed.doc

31
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK XXIII TRAUMATOLOGI SKENARIO 1 PENANGANAN PASIEN TRAUMA KEPALA BERAT YANG DISERTAI DENGAN MULTITRAUMA Oleh Kelompok 17: Dewi Okta A (G0009056) Ahmad Afiyyuddin N (G0009008) Annisa Marsha Evanti (G0009020) David Kurniawan S (G0009050) Devi Purnamasari S Gloria K Evasari (G0009094) Ichsanul Amy H (G0009104) Isfalia Muftiani (G0009112) Kristianto Aryo N (G0009118) Siti Arifah

Upload: wahyu-wirawan

Post on 31-Dec-2014

68 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

ew

TRANSCRIPT

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK XXIII TRAUMATOLOGI

SKENARIO 1

PENANGANAN PASIEN TRAUMA KEPALA BERAT YANG DISERTAI

DENGAN MULTITRAUMA

Oleh

Kelompok 17:

Dewi Okta A (G0009056)

Ahmad Afiyyuddin N (G0009008)

Annisa Marsha Evanti (G0009020)

David Kurniawan S (G0009050)

Devi Purnamasari S (G0009054)

Gia Noor Pratami (G0009092)

Gloria K Evasari (G0009094)

Ichsanul Amy H (G0009104)

Isfalia Muftiani (G0009112)

Kristianto Aryo N (G0009118)

Siti Arifah (G0009200)

Tutor: Udi Herunefi, dr, SpOT

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2012

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Trauma Kepala

Trauma atau cedera kepala sering menyebabkan trauma pada sistem

saraf pusat. Trauma pada sistem saraf pusat merupakan penyebab kematian

pada trauma. Cedera kepala traumatik dikategorikan menjadi beberapa derajat,

yaitu ringan (80%), sedang (10%), atau berat (10%), tergantung dari tingkat

disfungsi neurologis pada saat penilaian. Penentuan dengan Glasgow Coma

Scale (GCS) sangat penting dilakukan sesegera mungkin, dan dilakukan

secara beberapa kali. Loss of consciousness (LOC) merupakan indikator

penting dari cedera kepala traumatik. Klasifikasi cedera kepala traumatik

berdasarkan GCS (Marion, 2002):

A. Cedera Kepala Ringan :

-  Skor GCS 13-15.

-  Periode LOC singkat.

-  Prognosis sangat baik.

-  Tingkat mortalitas <1%.

B. Cedera Kepala Sedang :

-  Skor GCS 9-12.

-  Biasanya dalam keadaan bingung dan terdapat defisit

neurologis fokal; dapat mengikuti perintah sederhana.

-  Prognosis baik.

-  Tingkat mortalitas <5%.

C. Cedera Kepala Berat :

-  Biasanya skor GCS <8

-  Tidak dapat mengikuti perintah.

-  Tingkat mortalitas hingga saat ini >40%.

-  Pasien akan memiliki kecacatan

-  Meningkatnya TIK merupakan penyebab kematian

Berdasarkan patologinya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi

cedera kepala primer,  kerusakan otak sekunder, edema serebral perifokal

generalisata, dan pergeseran otak (brain shift)-herniasi batang otak

(Satyanegara, 2010).

 A. Cedera kepala primer dapat berupa (Satyanegara, 2010):

a. Fraktur linier, depresi, basis kranii, kebocoran likuor.

b. Cedera fokal berupa kontusi kup atau

konterkup,hematom epidural, subdural, atau intraserebral.

c. Cedera difus berupa konkusi ringan atau klasik atau

berupa cedera aksonal difusa yang ringan, moderat, hingga

berat.

d. Trauma tembak.

B. Cedera kepala sekunder dapat berupa (Satyanegara, 2010):

a. Gangguan sistemik: akibat hipoksia-hipotensi, gangguan

metabolisme energi, dan kegagalan otoregulasi.

b. Hematom traumatika: epidural, subdural (akut dan

kronis), atau intraserebral.

Penatalaksanaan Cedera Kepala Traumatik Berat

Pada manajemen perawatan intensif pada pasien dengan cedera kepala

traumatik berat (GCS  <8), tujuan utamanya adalah mencegah cedera kepala

sekunder dengan membatasi iskemia serebral fokal dan meningkatkan perfusi

serebral. Hal ini dapat tercapai dengan baik dengan mengawasi parameter

fisiologis secara kontinu dan penggunaan terapi yang tepat untuk menurunkan

tekanan intra kranial (TIK) (Marion, 2002).

1. Monitoring pasien dengan cedera kepala traumatik berat

a. Tekanan darah arterial

b. Denyut jantung, electrocardiogram (ECG), suhu, dan oksimeter

c. Monitoring tekanan vena sentral atau kateter arteri pulmonalis

d. Monitoring TIK

e.  Keseimbangan cairan (intake dan output)

f.  Tes gas darah arterial setiap 4 sampai 6 jam; elektrolit dan

osmolalitas serum (jika menerima manitol) setiap 6 jam; hematokrit,

PT, PTT, platelets setiap jam.

g. Saturasi O2 vena jugularis.

2. Tujuan terapi

a. Rata-rata tekanan darah arterial dari 90 hingga 110 mmHg pada

orang dewasa.

b. Saturasi O2 (arterial) 100%

c. TIK <20 mmHg

d. CPP >60-70 mmHg

e. PaCO2 = 35 ± 2 mmHg

f. Hematokrit = 32 ± 2 %

g. Tekanan vena sentral = 8 hingga 14 cm H2O

h. Hindari cairan intravena yang mengandung dextrose untuk 24 jam

pertama

i. Mempertahankan saturasi O2 vena jugularis >50% atau isi O2 4-6%

j. Memastikan PT, PTT, dan hitung trombosit normal

k. Merpertahankan suhu normal

3. Penanganan TIK yang meningkat

a. Peningkatan hasil dapat diharapkan jika TIK tetap terjaga <20

mmHg. Alat pengontrol TIK yang dianjurkan adalah kateter

ventriculostomy yang dihubungkan dengan alat ukur. Sistem ini relatif

tidak mahal, akurat, dan memungkinkan drainase CSF ketika

pengaturan atau pengontrolan TIK diperlukan.

b. Kateter substansia alba juga akurat dan dapat dipergunakan dengan

lebih mudah, namun lebih mahal dan tidak dapat digunakan untuk

drainase CSF.

c. Drainase CSF kontinu tidak dianjurkan karena dinding ventrikuler

dapat kolaps disekeliling kateter dan menutup salurannya.

d. Satu kali pengulangan pemeriksaan CT scan kepala sebaiknya

dilakukan dalam 24 jam setelah pemeriksaan CT scan pertama untuk

mengetahui adanya delayed posttraumatic hematoma, dan suatu

pemeriksaan CT scan juga dilakukan jika terjadi peningkatan TIK yang

mendadak atau jika terdapat perburukan pemeriksaan neurologis.

e. Ketika menggunakan barbiturat, penekanan dari kontraktilitas

miokard dapat diminimalisir dengan mempertahankan volume

intravaskuler yang normal-tinggi. Pada semua pasien yang menerima

terapi barbiturate (untuk TIK yang meningkat), cardiac output dan

cardiac preload sebaiknya diukur secara teratur.

f. Hindari hipovolemia dan hiperosmolalitas jika menggunakan manitol.

Osmolalitas sebaiknya dipertahankan <310 hingga 320 mOsm.

4. Profilaksis antikonvulsan

Terapi antikonvulsan jangka panjang tidak dianjurkan pada pasien

dengan cedera kepala traumatik. Anjuran yang ada saat ini adalah

penggunaan fenitoin dalam 7 hari pertama setelah cedera pada pasien

yang mempunyai risiko tinggi kejang pasca-trauma. Faktor risiko ini

termasuk memar kortikal, hematoma subdural, luka tusuk kepala,

hematoma epidural, fraktur kranium yang tertekan masuk, hematoma

intraserebral, dan kejang dalam 24 jam setelah cedera.

5. Mulai suplementasi nutrisi dalam 48 jam setelah cedera

Tujuan yang ingin dicapai adalah 25-30 kcal/kg/hari dengan cara

enteral atau dengan parenteral. Cara enteral lebih baik dilakukan

daripada parenteral.

2. Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah

dan jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofasial dapat mencakup jaringan

lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak adalah

jaringan yang menutupi jaringan keras wajah. Yang dimaksud dengan jaringan

keras adalah tulang kepala yang terdiri dari os nasalis, os zygomaticus, os

maxilla, os mandibula, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan

lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat senjata api.

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial.

Klasifikasi trauma maksilofasial ada 3 berdasarkan Le Fort, yaitu :

Le Fort I

Garis fraktur berjalan dari sepanjang maksilla bagian bawah

sampai dengan bawah rongga hidung. Disebut juga fraktur

“guerin”. Kerusakan yang mungkin terjadi yaitu pada dasar sinis

maxillaris, palatum durum dan bagian bawah lamina pterigoid.

Le Fort II

Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang

lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke

bagian atas dari sinis maxillaris juga ke arah lamina pterigoid

sampai ke fossa pterigo palatina. Disebut juga fraktur “pyramid”.

Fraktur ini sangat mudah digerakkan maka disebut juga “floating

maxilla” (maksila yang melayang).

Le Fort III

Garis fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang

ethmoid junction melalui fissura orbitalis superior melintang

kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigmatikum frontalis dan

sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga sebagai “cranio-facial

dysjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap

sutura tulang dan cranial.

3. Trauma Thorax

Luka pada thorax dapat terjadi akibat trauma tajam atau tumpul dan

menyebabkan kematian pada 50% dari seluruh kematian akibat trauma.

Trauma thorax dapat menyebabkan hemothorax. Hemothorax adalah

terdapatnya darah pada cavym pleura. Hemothorax bisa tidak tampak pada

radiografi awal karena perdarahan lambat dan tidak tampak pada beberapa jam

awal.

4. Intubasi Endotracheal

a. Indikasi

i. Pengelolaan gejala hiperkapnea

ii. Pengelolaan gejala hipoksemia

iii. Perlindungan airwy terhadap aspirasi

iv. Pembersihan paru-paru

b. Kontraindikasi

i. Pasien sadar

ii. Airway yang dikelola kurang invasif

5. Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi

kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,

disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada

perfusi yang tidak adekuat.

Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan

gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada

syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari

kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga

abdomen. Manifestasi klinis yang terjadi, seperti kulit basah, dingin, pucat,

gangguan kesadaran, hipotensi, denyut nadi cepat dan lemah.

6. Primary Survey (Prosedur ABCDE)

A. Airway

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas.

Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang dapat

disebabkan fraktur benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur

mandibula atau maksilla, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk

membebaskan airway harus selalu diikuti dengan melindungi

vertebrae cervical. Dalam hal ini dapat dimulai dengan tahap chin

lift atau jaw thrust. Pada oenderita yang dapat berbicara, jalan

napas dianggap bersih, walaupun demikian penilaian ulang

terhadap airway harus tetap dilakukan. Harus dilakukan segala

usaha untuk menjaga jalan napas dan memasang airway definitif

bila diperlukan. Hal yang tidak kalah penting adalah mencegah

kemungkinan gangguan airway yang dapat terjadi kemudian

dengan melakukan reevaluasi berulang terhadap airway.

B. Breathing

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,

dinding dada dan diafragma. Setiap komponen harus dievaluasi

secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi

pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan apakah ada

udara yang masuk ke dalam paru atau tidak. Perkusi dilakukan

untuk meniali apakah ada udara, cairan atau darah dalam rongga

pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan

dinding dada yang mungkin menganggu ventilasi.

C. Circulation

a. Volume darah dan cardiac output

Penemuan klinis dalam hitungan detik yang dapat

memberikan informasi tentang hemodinamik yaitu tingkat

kesadaran, warna kulit, dan nadi. Pada keadaan

hipovolemia terjadi penurunan kesadaran, warna kulit dan

ekstremitas pucat, serta nadi yang cepat dan kecil.

b. Perdarahan

Perdarahan luar harus dikelola dengan primary survey.

Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada

luka. Spalk udara juga dapat digunakan untuk mengontrol

perdarahan. Spalk harus tembus cahaya untuk mengawasi

perdarahan.

D. Disability

Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologi secara

cepat. Yang dimulai adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan

reaksi pupil. Cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran

adalah APVU (Alert, Vocal, Pain, Unresponsive). GCS (Glasgow

Coma Scale) dapat digunakan untuk menggantikan APVU. GCS

adalah sistem scoring sederhana yang dapat meramalkan outcome

penderita. Jika penilaian ini belum dilakukan pada primary survey,

harus dilakukan di secondary survey pada saat pemeriksaan

neurologis.

E. Exposure

Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya untuk

memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka,

penting untuk mengelola agar penderita tidak mengalami

hipotermia. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup

hangat dan cairan IV yang sudah dihangatkan.

7. Fraktur

a. Definisi

Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang (patah) atau

tulang rawan yang umumnya akibat trauma.

b. Etiologi

i. Jatuh

ii. Cidera

iii. Osteoporosis

iv. Kecelakaan

v. Tumor dan infeksi tulang

c. Manifestasi Klinis

i. Nyeri saat beristirahat dan aktivitas

ii. Pucat

iii. Deformitas

iv. Krepitasi

v. Hilangnya fungsi

d. Klasifikasi

1. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Hubungan Antara Tulang

a). Fraktur Tertutup (closed / simple fraktur) , adalah fraktur

dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang sehingga

tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan.

b). Fraktur terbuka (open / compond fraktur), adalah fraktur

dimana kulit dari extermitas yang telah ditembus dan terdapat

hubungan antara fragmen tulang dengan udara luar. Fraktur

terbuka dibagi menjadi 3 derajat fraktur menurut Gustilllo :

o Ø Derajat 1

· Luka < 1 cm

· Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka

remuk

· Fraktur sederhana, transversal, oblik

· Kontaminasi minimal

o Ø Derajat 2

· Laserasi > 1 cm

· Kerusakan jaringan lunak tidak luas

· Fraktur komunitif sedang

· Kontaminasi sedang

o Ø Derajat 3

· Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi

struktur kulit otot dan neuromuskuler serta kontaminasi derajat

tinggi.

2. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Jumlah Garis Patah

a). Fraktur komunitif, yaitu garis patah lebih dari 1 dan saling

berhubungan

b). Fraktur segmental , yaitu garis patah lebih dari 1 tetapi tidak

saling berhubungan. Bila 2 garis patah disebut fraktur di fokal.

c). Fraktur multiple, yaitu garis patah lebih dari 1 tetapi pada

tulang yang berlainan tempat contoh : fraktur femur kruris,

fraktur tulang belakang

3. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Bentuk Garis Patah Dan

Hubungan Dengan Mekanisme Trauma

a). Garis patah melintang : trauma anglusi atau langsung

b). Garis patah oblig : trauma angulasi

c). Garis patah melintang : trauma rotasi

d). Fraktur kompresi : traum aksila fleksi pada tulang spongiosa

e). Fraktur ovulasi : trauma tarikan atau traksi otot, misal :

fraktur patella

4. Klasifikasi fraktur berdasarkan bergeser atau tidaknya fragmen

tulang

a). Fraktur undisplased (tidak bergeser), garis patah komplit

tetapi kedua fragmen tidak bergeser.

b). Fraktur displased (bergeser), terjadi pergeseran fragmen

tulang.

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang diduga mengalami

cedera kepala. Hal ini dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar

darah dari mulut, hidung dan telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera

kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan

cedera yang tidak dapat kita hindari pada kejadian trauma kepala. Apabila cedera

kepala primer tidak ditangani dengan segera maka dapat muncul manifestasi dari

cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas

pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan primary survey

berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary survey, dan secondary

survey.

Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia

merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat

disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan

napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan

hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,

ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.

Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang

disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada

keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah

sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior

menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada

kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran).

Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu

dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman

dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical).

Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien.

Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang

ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Pembebasan

jalan napas dilakukan dengan cara suction, dan pada kasus ini digunakan kanul

yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap darah dan muntahan yang

berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di orofaring sulit untuk dihentikan

dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle

crycothyroidotomi.

Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan

usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa

pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan

napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi.

Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring.

Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien

ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin

memburuk dengan terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih

dahulu pada pneumothoraxnya.

Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan.

Frekuensi pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit.

Pernapasan dikatakan abnormal jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per

menit atau jika kurang dari 10 kali menit. Abnormalitas dari pernapasan ini dapat

diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain adalah gangguan pada

ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan pasien

sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit.

Kemungkinan besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada

pasien.

Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini

perlu diperhatikan karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada

permukaan dari dinding dada saja, tetapi dapat juga mencederai organ vital di

dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya pengembangan yang

tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax sinistra.

Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai

macam sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di

dalam organ paru itu sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau

menjadi redup, menandakan bahwa jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang

kemungkinan besar berupa darah. Pemeriksaan foto thorax diperlukan untuk

mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa ataupun memastikan adanya

hematothorax pada pasien ini.

Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami

peningkatan yaitu 108 kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami

takikardi karena sudah melebihi 60- 100 kali per menit pada keadaan tidak banyak

beraktivitas. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena perfusi oksigen

yang menurun di jaringan akibat terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan

ventilasi maupun akibat kehilangan darah karena perdarahan aktif pada pasien.

Peningkatan denyut nadi tersebut merupakan kompensasi untuk mempertahankan

perfusi jaringan agar tetap adekuat. Meskipun terjadi takikardi dan terdapat

perdarahan aktif, pasien belum masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat dilihat

dari tekanan darah dan perfusi jaringan perifer pada pasien (dilihat dari akral)

yang masih normal.

Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin

untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi

metabolik yang mengiringinya. Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh

dokter pada kasus ini merupakan golongan kristaloid yang mirip dengan cairan

ekstraseluler. Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat dan sejumlah

volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan,

sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang.

Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana

asam laktat melalui siklus Krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis

metabolik. Pemberian RL sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan

yang sering dipakai. Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien,

dipasang kateter urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur

produksi urin. Produksi urin menggambarkan normal atau tidaknya fungsi

sirkulasi. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila

kurang menunjukkan adanya hipovolemia.

Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera

kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8.

Cedera kepala primer dapat berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario

ini, kemungkinan besar mengalami fraktur basis cranii dan fraktur maksilofacial.

Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya halo test + yang

merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain

itu juga terdapat perdarahan dari telinga dan hidung. Perdarahan dari telinga,

kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari

hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et

sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang

terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari hidung dan telinga. Pada pasien

ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka dapat disimpulkan

fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya

deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi

yang terjadi merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan

fraktur maksila dan mandibula.

Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen

yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin,

masuknya kalsium intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini

dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran

mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks

Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik

berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya

kejang pada pasien tersebut. Untuk mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih

lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan

penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang

menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan

asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma.

Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya,

dan hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan

antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala.

Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood brain

barrier) sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak.

Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan

sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan

penekanan pada pembuluh-pembuluh darah mengakibatkan aliran darah

berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat

hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya autoregulasi

aliran darah sehingga edema semakin hebat.

Karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini

akan menimbulkan peningkatan tekanan dalam rongga tengkorak (peningkatan

tekanan intracranial). Peningkatan TIK yang cukup tinggi dapat menyebabkan

turunnya batang otak (herniasi batang otak). Keadaan ini dapat menyebabkan

iskemia dan nekrosis jaringan otak sehingga terjadi deficit neurologis pada pasien.

Anisokor pupil timbul akibat adanya kompresi saraf cranial III pada herniasi

tentorial. Penurunan reflex cahaya pada matakiri terjadi karena adanya lesi pada

mesensefalon, sedangkan hemiparesis dextra terjadi karena adanya kerusakan

saraf motorik kiri. Adanya gangguan pada mata kiri diikuti hemiparesis kanan

menunjukkan adanya herniasi transtentorial lateral kiri. Pada herniasi

transtentorial lateral menunjukkan adanya midriasis pupil dan penurunan reflex

cahaya pada mata ipsilateral serta hemiparesis kontralateral.

Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang

pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar

ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan

pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks serebral, organ

vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan simpatis)

dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui

serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus

gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot

abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glotis,

pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi

yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot

abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen,

membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian

diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi

lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini menyebabkan pada pasien terdapat

gejala muntah. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus

formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran.

Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat

menghasilkan berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan

astrosit di permukaan leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi

leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin 1-β, tumor nekrosis alfa, interleukin

6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin. Ekspresi toksik

mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke

mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh

PMN yang bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas

sitokin ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara

lain: pireksia, netrofilia, dan edema serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema

serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan pemberian manitol bolus 200 cc

iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotik yang digunakan untuk

menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat

berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya.

Pada kepala didapatkan bloody rhinorrhoea dextra et sinistra dan bloody

otorrhoea sinistra disebabkan oleh adanya perdarahan akibat fraktur karena

trauma. Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood

brain barrier) sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan

otak. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan

sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan

penekanan pada pembuluh-pembuluh darah mengakibatkan aliran darah

berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat

hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya autoregulasi

aliran darah sehingga edema semakin hebat. Hasil pemeriksaan foto thorax

didapatkan hematothorax kiri,pelvis dan cervical dalam batas normal. Dari hasil

secondary primary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa hematothorax.

Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura. Biasanya disebabkan

oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya

membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru.

Robekan ini akan mengakibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang

akan menyebabkan penekanan pada paru. Adanya penekanan ini menyebabkan

nyeri dan pengembangan dinding dada tidak asimetri. Pengembangan dinding

dada pada hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan

pernapasan. Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan

kehilangan darah. Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh efek

akumulasi darah dalam rongga pleura, dan pada foto rontgen pelvis dan cervical

dalam batas normal.

Pada ekstremitas didapatkan vulnum appertum femur dextra sepanjang

3cm, nampak angulasi, perdarahan aktif, fat globul(+), oedem dan krepitasi (+).

Menurut gustillo, fraktur ini digolongkan sebagai fraktur terbuka tipe 3 karena

didapatkan adanya kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot

dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi serta ditemukan fat globul (+).

Dokter melakukan penanganan sementara dengan bebat tekan realignment femur

dan imobilisasi untuk mencegah terjadinya cedera yang lebih parah saat pasien

dirujuk ke trauma center.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Korban trauma ditangani dengan prinsip ABCDE yang dikenal juga

dengan primary survey.

2. Adanya penurunan kesadaran dan luka dikepala dicurigai sebagai

adanya trauma yang mengenai organ dalam cranium

B. Saran

1. Korban trauma hendaknya segera dirujuk ke trauma center setelah

distabilkan kondisinya melalui penilaian ABCDE

2. Apabila didapatkan adanya pendarahan, terutama pendarahan masif

harus segera ditangani dan dirujuk

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon. 1997. Advanced Trauma Life Support. United

states of America. First Impression.

Arif Mansyoer Dkk. 2000. Kapita Selecta Kedokteran. Ed 2, Jakarta : Media

Aesculapius

De Jong W. 2002. Buu ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC

Doengoes, Marillyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed 2 Jakarta : EGC

Marion D.W. 2002. Head Injury dalam The Trauma Manual 2nd Ed. Lippincott

Williams and Wilkins. Pp: 133-6.

Oswari E. 2000. Bedah Dan Perawatannya. FKUI : Jakarta.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Ed.IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pp: 191-2; 198.

Setyono, H. 2011. Kuliah penatalaksanaan trauma kepala. Surakarta: FK UNS.