sindrom sjorgen
DESCRIPTION
Gangguan Autoimun dan Sindrom yang terkaitTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit adalah gangguan kesehatan disebabkan oleh bakteri, virus, kelainan sistem
atau jaringan pada organ tubuh pada makhluk hidup. Salah satu contohnya seperti penyakit
autoimun. Penyakit autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel B, sel T atau keduanya (Baratawidjaya, 2006).
Penyakit autoimun misalnya mengenai sistemik yang terutama mengenai kelenjer
eksokrin dan biasanya mengenai glandula salivarius, cavum oris, dan glandula lakrimal
yang disebut dengan sindrom sjogren.
Sindrom Sjorgen atau sering disebut autoimune exocrinopathy adalah penyakit
autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjar eksokrin dan biasanya memberikan
gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjar saliva
dan lakrimalis. Sindrom sjorgen di klasifikasikan sebagai sindrom sekunder bila berkaitan
dengan penyakit autoimun sistemik lain dan yang paling sering adalah Artritis Reumatoid,
SLE dan Sklerosis Sistemik. Sindrom sjorgen primer paling banyak ditemukan sedangkan
sindrom sjorgen sekunder hanya 30% kejadiannya (Sumariyono, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah Sindrom Sjorgen merupakan gejala yang timbul akibat gangguan Autoimun
1
2
1.3 Tujuan Penulisan
Agar mahasiswa kedokteran gigi mampu mengerti dan menjelaskan anatomi rongga
mulu dan mata. Lalu dapat pula menjelaskan nyeri serta sindrom yang berhubungan seperti
sindrom sjorgen, penyakit xerostomia dan penyakit Kerato Konjungtivitas Sicca.
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Autoimun
Gangguan autoimun adalah suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
secara keliru menyerang dan menghancurkan jaringan sehat. Pasien dengan gangguan
autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat
dan antigen.Hasilnya adalah resposn imun yang merusak jaringan tubuh normal (Fatmah,
2006).
2.1.1 Penyebab Gangguan Autoimun
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal (Fatmah, 2006) :
1. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian
disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah.Misalnya,
pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran
darah.Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda
asing dan menyerangnya.
2. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau
radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan
tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang
ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
3. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan.
Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip
seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan
mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi,
3
4
sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan
(reaksi ini bagian dari demam reumatik).
4. Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih)
mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel
badan.
Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan
kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu
pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan
berkembang. Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan
autoimun lebih sering terjadi pada wanita. ( Fatmah,2006 )
Gejala Autoimun yang biasa terjadi adalah demam, peradangan dan kerusakan
jaringan, rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, pengendapan laju eritrosit (ESR)
seringkali meningkat, jumlah sel darah merah berkurang (anemia), gatal, kesukaran
pernafasan, penumpukan cairan (edema) ( Fatmah,2006 )
2.2 Sindrom Sjorgen
Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit
autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan
gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjer saliva
dan lakrimalis.(Sumariyono, 2008)
2.2.1 Patofisiologis Sindrom Sjorgen
Seperti telah kita ketahui sindrom sjogren merupakan penyakit autoimun
eksokrinopati atau penyait autoimun sistemik yang mengenai kelenjar eksokrin. Reaksi
imunologi yang mendasari patofisiologi Sindrom Sjogren tidak hanya sistim imun selular
4
5
tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan sistim humoral ini dapat dilihat adanya
hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang berada dalam sirkulasi (Yuliasih,
2006).
Gambaran histopatologi kelenjar lakrimalis dan saliva adalah periductal focal
lymphotic infiltration.Kelenjar eksokrin ini dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T
dan B terutama daerah sekitar duktus. Limfosit yang paling awal menginfiltrasi kelenjar
saliva adalah sel T terutama terutama CD45RO dan sel B CD20+. Pada Sindrom Sjogren
ini juga didapatkan peningkatan B cell Activating Factor (BAFF), yang merangsang
pematangan sel B. Kadar plasma BAFF pada pasien Sindrom Sjogren berkorelasi dengan
autoantibodi disirkulasi dan pada jangka panjang mungkin berperanan pada terjadinya
limfoma. Fenotip limfosit T yang mendominasi adalah sel T CD 4 +. Sel-sel ini
memproduksi berbagai interleukin antara lain IL-2, IL-4, IL-6, IL1 A dan TNF alfa sitokin-
sitokin ini merubah sel epitel dan mempresentasikan protein, merangsang apoptosis sel
epitel kelenjer melalui regulasi fas. Sel B selain mengfiltrasi pada kelenjer, sel ini juga
memproduksi imunoglobulin dan autoantibody (Yuliasih, 2006).
Pada sebagian sindrom sjogren terjadi peningkatan imunoglobulin dan autoantibodi,
dimana autoantibodi ada yang spesifik seperti anti Ro (SS-A) dan anti LA (SS-B) yang
perannya dalam sindrom sjogren masih belum jelas, dan autoantibodi non-spesifik seperti
faktor rematik dan ANA (anti nuklear antibodies). Adanya antibodi Ro dan anti La ini
dihubungkan dengan gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran kelenjer parotis yang
berulang, splenomegali, limfadenopati dan anti La sering dihubungkan dengan infiltrasi
limfosit pada kelenjer eksokrin minor (Yuliasih, 2006).
Adanya infiltrasi limfosit yang menganti sel epitel kelenjer eksokrin, menyebabkan
penurunan fungsi kelenjer yang menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjer saliva dan mata
menimbulkan keluhan mulut dan mata kering.Peradangan pada kelenjer eksokrin pada
5
6
pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjer.Faktor genetik, infeksi, hormonal
serta psikologis diduga berperan terhadap patogenesis, yang merangsang sistim imun
teraktivasi (Yuliasih, 2006).
2.2.2 Gejala dan Tanda Sindrom Sjorgen
Gejala-gejala utama pada sindrom ini adalah kekeringan mulut dan mata. Lainnya,
sindrom sjogren juga dapat menyebabkan kekeringan pada kulit, hidung, dan vagina.
Sindrom ini juga dapat memperngaruhi organ lainnya seperti ginjal, pembuluh darah, paru-
paru, hati, pankreas, dan otak. Sembilan dari sepuluh pasien sjorgen adalah wanita dan usia
rata-rata pada akhir 40-an. Selebihnya penyakit ini dapat timbul pada pria dan wanita segala
umur (Scofield, 2005).
Menurut Hartono (1995), tanda dan gejala sindrom sjorgen, yaitu:
1. Mulut kering
2. Karies gigi
3. Pembengkakan kelenjar ludah
4. Mata kering
5. Hidung dan tenggorakan kering
6. Kulit kering
7. Depresi dan kelelahan
8. Perubahan internal
2.2.3 Klasifikasi Sindrom Sjorgen
1. Sindrom Sjogren Primer : etiologinya dihubungkan dengan gangguan autoimun
tanpa keterlibatan penyakit autoimun yang lain. Memiliki gejala berupa mulut kering dan
mata kering.
6
7
2. Sindrom Sjogren Sekunder : ada penyakit autoimun yang mendasari. Memiliki
tiga gejala berupa mulut kering, mata kering dan rheumatoid arthritis
2.2.4 Pengobatan pada Pasien Sindrom Sjorgen
Belum ditemukannya terapi spesifik untuk sindrom Sjögren untuk penyembuhan yang
sempurna. Pemberian terapi yang dapat diberikan hanya sebatas stomatik dan suportif.
Tindakan terapi penggantian air mata dapat membantu mengatasi gejala mata kering.
Beberapa pasien memerlukan pelindung mata untuk meningkatkan kelembaban atau
tindakan pada Punctum Lacrimal. Siklosporin dapat membantu untuk mengatasi kekeringan
mata kronis dengan menekan reaksi radang yang menghambat pengeluaran air mata
(Scofield, 2005).
Obat sevimelin dan pilokarpin dapat merangsang aliran air liur. Obat anti-radang non-
steroid (NSAID, Non-steroid Anti-inflammatory Drugs) dapat membantu mengatasi gejala
muskuloskeletal. Bagi penderita dengan komplikasi dapat diberikan kortikosteroid atau obat
penekan imun. Obat antirheumatik seperti metotreksat dapat diberikan pula (Scofield,
2005).
Sjogren dapat merusak organ penting tubuh. Beberapan penderita mungkin hanya
menderita gejala ringan dan lainnya dapat sangat buruk. Sebagian besar dapat diatasi secara
simtomatik. Sebagian penderita dapat mengalami penglihatan yang buruk, rasa tidak
nyaman pada mata, infeksi pada mulut, pembengkakan kelenjar liur, kesulitan pada menelan
dan makan. Rasa lelah dan sakit pada persendian juga dapat mengganggu kenyamanan.
Terdapat penderita yang juga dapat terkena gangguan ginjal hingga terdapat gejala
proteinuria, defek urinaris, dan asidosis tubular renal distal (Scofield, 2005).
7
8
2.3 Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait
dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam
kerusakan tersebut( Meliala, 2004 )
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan. Sifatnya sangat
subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala
atautingkatannya,dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi
rasa nyeri yang dialaminya (Meliala, 2004)
Secara umum, nyeri diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh
reaksi fisik, fisiologis, maupun emosional (Meliala, 2004)
2.3.1 Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni :
1. Nyeri akut,nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang,tidak melebihi 6 bulan,serta ditandai dengan adanya peningkatan tegangan
otot.
2. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan,biasanyaberlangsung
dalam waktu cukup lama,yaitu lebih dari enam bulan yang termasuk dalam kategori
nyeri kronis adalah nyeri terminal,sindrom nyeri kronis,dan nyeri psikosomatis (Meliala,
2004)
Berdasarkan asalnya:
1. Nyeri nosiseptif (nociceptive pain)
Nyeri perifer asal : kulit,tulang,sendi,otot,jaringan ikat,dll nyeri akut
letaknya lebih terlokalisasi.
8
9
Nyeri visceral/central lebih dalam,lebih sulit dilokalisasikan letaknya
2. Nyeri neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer system saraf (Meliala,
2004)
2.4 Cavum Oris
Cavum oris atau rongga mulut dikelilingi oleh labium oris dan pipi pada bagian
samping dan anterior, palatum mole dan palatum durum di bagian atas dan dasar mulut di
bagian bawah. Di dalam cavum oris terdapat lingua dan gigi geligi (Dixon, 1993).
Didalam cavum oris terdapat ductus-ductus glandulae salivariae submandibularis,
parotidea, sublingualis dan beberapa glandula mucous. Gigi geligi dan processus alveolaris
penopangnya membagi cavum oris menjadi regio vestibularis yang dikelilingi oleh labium
oris dan pipi di bagian luar gigi geligi, dan cavum oris proprium di dalam arcus dentalis.
Membrana mucosa pada cavum oris melekat erat terhadap tulang di bawahnya, yang
terletak di atas processus alveolaris dan palatum durum (Dixon, 1993).
Warna mukosa cavum oris yang pink terbentuk dari vaskularisasi lamina propria yang
terletak di bawahnya dan epitel yang relatif tipis. Pada regio-regio dimana stratum corneum
berkembang dengan baik, warna mukosa umumnya lebih pucat. Ketiga tipe membrana
mukosa adalah :
1. Mukosa pembatas dasar mulut, dibawah permukaan lingua, permukaan dalam
labium oris dan pipi, pars oralis palatum molle dan processus alveolaris, kecuali gingiva.
Epitel pada daerah ini tidak mempunyai keratin dan lamina proprianya jarang.
2. Mukosa pengunyahan, dari palatum durum dan gingiva. Epitelnya
parakeratinisasi dan lamina proprianya melekat erat pada periosteum.
9
10
Mukosa khusus, dari dorsum lingua adalah tipe ortokeratinisasi, dengan lamina
propria yang melekat erat pada bundel otot intrinsik (Dixon, 1993).
2.5 Struktur dan Histologi Glandula Salivarius
Kelenjar saliva adalah organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang mensekresi
saliva. Saliva terutama teridiri dari sekresi serosa, yaitu 98% air dan mengandung enzim
amilase serta berbagai jenis ion (natrium, klorida, bikarbonat dan kalium), juga sekresi
mukus yang lebih kental dan sedikit yang mengandung glikoprotein (musin), ion dan air
(Sloane, 2003).
Gambar 2.4 Kelenjar Saliva (Setiadi, 2007).
2.5.1 Fisiologi Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting dalam
mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Kelenjar saliva mayor dan minor ini
menghasilkan saliva yang bebeda-beda menurut rangsangan yang diterimanya. Rangsangan
ini dapat berupa rangsangan mekanis (mastikasi), kimiawi (manis,asam, asin dan pahit),
10
11
neural, psikis ( emosi dan stress), dan rangsangan sakit. Besarnya sekresi saliva normal
yang dihasilkan oleh semua kelenjar ini kira-kira 1-1,5 liter perhari (Sloane, 2003).
Kelenjar parotis menghasilkan suatu sekret yang kaya akan air yaitu serous, kelenjar
submandibularis menghasilkan 80% serous dan 20% mukous dan kelenjar sublingual
menghasilkan sekret yang mukous dan konsistensinya kental. Kelenjar saliva minor secara
keseluruhan menghasilkan sekret yang mukous kecuali kelenjar lingual tipe Van Ebner.
Saliva yang dihasilkan mempunyai Ph antara 6,0-7,4 sangat membantu didalam pencernaan
ptyalin (Sloane, 2003).
Macam-macam kelenjar saliva
1. Kelenjar saliva mayor
Kelenjar saliva ini merupakan kelenjar penghasil saliva terbanyak dan ditemui
berpasang-pasangan yang terletak di ekstraoral dan memiliki duktus yang sangat panjang.
Menurut struktur anatomis dan letaknya saliva mayor dapat dibagi atas tiga tipe
yaitu: parotis, submandibularis, dan sublingual. Masing-masing kelenjar mayor ini
menghasilkan sekret yang berbeda-beda menurut rangsangan yang diterima (Sloane,
2003).
a. Kelenjar parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar Iterbesar dibandingkan kelenjar saliva lainnya.
Letak kelenjar iberpasangan ini tepat depan bawah telinga antara ramus mandibular
dan prosessus mastoideus. Kelenjar ini meluas ke lengkung zygomatikum di depan
telinga dan mencapai dasar dari muskulus masseter. Kelenjar parotis memiliki suatu
duktus utama yang dikenal dengan duktus stensen, duktus ini berjalan menembus pipi
dan bermuara pada vestibulum yang berhadap dengan gigi molar dua. Kelenjar ini
terbungkus oleh oleh suatu kapsul yang sangat fibrous dan memiliki beberapa bagian
11
12
seperti: arteri temporal superfasialis, vena retromandibular dan nervus fasialis yang
menembus dan melalui kelenjar ini.
b. Kelenjar submandibularis
Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar yang berbentuk seperti kacang dan
mempunyai kapsul dengan batas yang jelas.Didalam kelenjar ini terdapat suatu arteri
fasialis yang melekat erat dengan kelenjar ini.
Kelenjar submandibularis didapat pada jumpai di dasar mulut dibawah ramus
mandibula dan meluas ke sisi leher melalui bagian tepi bawah mandila.Kelenjar ini
terletak di permukaan muskulus mylohyoid. Pada proses sekresi, kelenjar ini memiliki
duktus Wharton yang bermuara diujung lidah.
c. Kelenjar sublingualis
Kelenjar sublingualis terletak antara dasar mulut dan muskulus mylyhyoid merupakan
suatu kelenjar kecil diantara kelenjar-kelenjar mayor lainnya. Kelenjar ini terdiri atas
satu kelenjar utama dan beberapa kelenjaran kecil lainnya. Duktus utama yang
membantu proses sekresi disebut dengan duktus Bartholin, yang terletak berdekatan
dengan duktus mandibular dan duktus Rivinus yang berjumlah 8-20 buah. Kelenjar ini
tidak mempunyai kapsul yang dapat melindunginya (Sloane, 2003).
2. Kelenjar saliva minor
Kelenjar saliva minor dapat ditemui pada hampir seluruh epitel dibawah rongga
mulut.Kelenjar ini terdiri dari beberapa unit sekresi kecil dan melewati duktus pendek
yang berhubungan langsung dengan rongga mulut.Selain itu kelenjar saliva minor tidak
memiliki kapsul yang jelas seperti layaknya kelenjar saliva mayor (Sloane, 2003).
a. Kelenjar glossopalatinal
12
13
Lokasi dari kelenjar ini, berada dalam isthimus dari lipatan glossopalatinal dan dapat
meluas ke bagian posterior dari kelenjar sublingual ke kelenjar yang ada di palatum
molle.
b. Kelenjar labial
Kelenjar ini terletak di submukosa bibir. Banyak ditemui pada midline dan mempunyai
banyak duktus.
c. Kelenjar bukal
Kelenjar ini terletek di pipi, kelenjar ini serupa dengan kelenjar labial.
d. Kelenjar palatinal
Kelenjar saliva minor ini ditemui di sepertiga posterior palatal dan di palatum molle.
Kelenjar ini dapat dilihat secara visual dan dilindungi oleh jaringan fibrous yang padat.
e. Kelenjar lingual
Kelenjar ini dikelompokkan dalam beberapa tipe, yaitu:
Kelenjar anterior lingual
Lokasi kelenjar ini tepat di ujung pangkal lidah.
Kelenjar lingual Van Ebner
Kelenjar ini dapat ditemukan di papila sirkumpalatal.
Kelenjar posterior lingual
Dapat di temukan pada sepertiga posterior lidah yang berdekatan dengan tonsil
(Sloane, 2003).
2.5.2 Volume yang Dihasilkan Oleh Kelenjar Ludah
Sumbangan setiap jenis kelenjar ludah kepada volume cairan mulut sangat tergantung
pada sifat rangsangan (stimulasi). Kecepatan sekresi bervariasi dari hampir tidak dapat diukur
pada waktu tidur sampai 3-4 ml/menit pada stimulasi maksimal. Jumlah seluruh ludah tiap 24
jam ditaksir 500-600 ml. Sekitar separuhnya dihasilkan pada keadaan istirahat (tidak
distimulasi), separuh lainnya disekresi di bawah pengaruh rangsangan (Amerongen, 1999).
13
14
a. Glandula parotis
Pada malam hari tidak menghasilkan apa – apa.
b. Glandula submandibularis
Pada malam hari menghasilkan 70%
c. Glandula sublingulis
Pada malam hari menghasilkan 15%
d. Glandula tambahan
Pada malam hari menghasilkan 15%
Karena glandula parotis mengeluarkan ludah yang encer dan glandula submandibularis
mengeluarkan ludah yang pekat maka hal ini mempengaruhi hasil volume tiap siang–malam
hari (Amerongen, 1999).
Menurut Amerongen, kelenjar ludah dapat dirangsang dengan cara–cara berikut :
- Mekanis, misalnya mengunyah makanan keras atau permen karet.
- Kimiawi, misalnya oleh rangsangan rasa seperti asam, manis, asin, pahit dan pedas.
- Neuronal, melalui sistem saraf autonom, baik simpatis maupun parasimpatis.
- Psikis, stres menghambat sekresi, ketegangan dan kemarahan dapat bekerja sebagai
stimulasi.
Rangsangan rasa sakit, misalnya oleh radang, gingivitis, protesa dapat menstimulasi sekresi.
2.5.3 Komponen Ludah
Menurut Amerongen, komponen-komponen ludah diantaranya komponen anorganik
dan komponen bio-organik.
a. Komponen anorganik
Kation-kation Natrium dan Kalium mempunyai konsentrasi yang tertinggi di
dalam ludah.
b. Komponen bio-organik
Komponen bio-organik ludah terutama adalah protein, asam lemak, lipida,
glukosa, asam amino, ureum, dan amoniak.
14
15
Fungsi komponen lidah:
a. Amilase : mengubah tepung kanji dan glikogen menjadi kesatuan karbohidrat
yang lebih kecil.
b. Lisozim : mampu membunuh bakteri tertentu, sehingga berperan dalam sistem
penolakan bakterial.
c. Laktoproksidase mengkatalisis oksidasi CNS menjadi OSCN yang mampu
menghambat pertukaran zat bakteri, dengan demikian juga pertumbuhannya.
d. Imunoglobulin : sistem penolakan spesifik.
e. Laktoferin : mengikat ion–ion Fe yang diperlukan bagi pertumbuhan bakteri.
f. Gustin : dalam proses kesadaran pengecap.
2.6 Struktur dan Histologi Glandula Lakrimalis
Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air mata
per hari diperkirakan berjumlah 0,75 - 1,1 gram dan cenderung menurun seiring dengan
pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar air mata utama yang
terletak di fossa lakrimalis pada kuadran temporal di atas orbita. Kelenjar yang berbentuk
seperti buah kenari ini terletak didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh
kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra
yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya tersendiri yang terdiri dari
tiga sampai dua belas duktus yang bermuara di forniks konjungtiva superior. Sekresi dari
kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir
berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora). Persarafan pada kelenjar utama berasal
nukleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius dan menempuh jalur kompleks dari
cabang maksilaris nervus trigeminus (Kanski, 2003)
Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa utama,
mempunyai peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama
yang menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar
ini terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior. Sel goblet uniseluler yang
15
16
tersebar di konjungtiva menghasilkan glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi
kelenjar sebasea Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air
mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film
prekorneal (Kanski,2003)
2.6.1 Mekanisme Pengeluaran Air Mata
Adanya tekanan yang diberikan saat berkedip memyebabkan kelenjar lakrimal
mengeluarkan air mata. Air mata keluar melalui pungtum papila lakrimal, yang
menyambung kantong lakrimal. Kantong membuka kedalam duktus nasolakrimal, yang
pada gilirannya akan masuk ke rongga nasal, dan keluar. Air mata mengandung garam,
mukosa, dan lisozim, yang merupakan suatu bakterioksida. Cairan ini membasahi
permukaan mata dan mempertahankan kelembaban (Sloane, 2004) .
2.6.2 Aparatus Lakrimalis
Aparatus Lakrimalis ini terdiri atas kelenjar lakrimalis, kelenjar aksesori (Kelenjar
Wolfring dan Kelenjar Krause ), pungtum lakrimalis, kanalikuli lakrimalis, kantong
lakrimalis, dan ductus nasolakrimalis (Sloane, 2004) .
Menurut Khurna pada tahun 2007, Apparatus lakrimal terdiri dari :
16
17
Kelenjar lakrimal, yang mensekresikan air mata, dan duktus ekskretorinya, yang
menyalurkan cairan kepermukaan mata. Duktus lakrimal, kantung (sac) lakrimal, dan
duktus nasolakrimal, yang menyalurkan cairan ke celah hidung.
Lacrimal gland (glandula lacrimalis) terdapat pada fossa lakrimal, sisi medial
prosesus zigomatikum os frontal. Berbentuk oval, kurang lebih bentuk dan besarnya
menyerupai almond, dan terdiri dari dua bagian, disebut kelenjar lakrimal superior (pars
orbitalis) dan inferior (pars palpebralis). Duktus kelenjar ini, berkisar 6-12, berjalan pendek
menyamping di bawah konjungtiva (Khurna, 2007).
Lacrimal ducts (lacrimal canals), berawal pada orifisium yang sangat kecil, bernama
puncta lacrimalia, pada puncak papilla lacrimales, terlihat pada tepi ekstremitas lateral
lacrimalis. Duktus superior, yang lebih kecil dan lebih pendek, awalnya berjalan naik, dan
kemudian berbelok dengan sudut yang tajam, dan berjalan ke arah medial dan ke bawah
menuju lacrimal sac. Duktus inferior awalnya berjalan turun, dan kemudian hamper
horizontal menuju lacrimal sac. Pada sudutnya, duktus mengalami dilatasi dan disebut
ampulla. Pada setiap lacrimal papilla serat otot tersusun melingkar dan membentuk sejenis
sfingter (Khurna, 2007).
Lacrimal sac (saccus lacrimalis) adalah ujung bagian atas yang dilatasi dari duktus
nasolakrimal, dan terletak dalam cekungan (groove) dalam yang dibentuk oleh tulang
lakrimal dan prosesus frontalis maksila. Bentuk lacrimal sac oval dan ukuran panjangnya
sekitar 12-15 mm; bagian ujung atasnya membulat, bagian bawahnya berlanjut menjadi
duktus nasolakrimal (Khurna, 2007).
Nasolacrimal duct (ductus nasolacrimalis; nasal duct) adalah kanal membranosa,
panjangnya sekitar 18 mm, yang memanjang dari bagian bawah lacrimal sac menuju
meatus inferior hidung, dimana saluran ini berakhir dengan suatu orifisium, dengan katup
yang tidak sempurna, plica lacrimalis (Hasneri), dibentuk oleh lipatan membran mukosa.
17
18
Duktus nasolakrimal terdapat pada kanal osseous, yang terbentuk dari maksila, tulang
lakrimal, dan konka nasal inferior (Khurna, 2007).
BAB III
KONSEP MAPPING
18
MulutNeuro
Muskular
ParuGinjalMata
Malignasi
Tak BerhasilBerhasil
Terapi
Aliran AirmataTambahanUtama MinorMayor
Kelenjar SalivaKelenjar Lakrimasi
Sindrom Sjorgen Sekunder
Sindrom Sjorgen Primer
Sindrom Sjorgen
Faktor
Nyeri
Gangguan Autoimun
19
3.1 Hipotesa
Sindrom Sjorgen merupakan gejala yang timbul akibat gangguan Autoimun
BAB IV
PEMBAHASAN
Gangguan autoimun adalah suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
secara keliru menyerang dan menghancurkan jaringan sehat. Pasien dengan gangguan
autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat
dan antigen.Hasilnya adalah resposn imun yang merusak jaringan tubuh normal (Fatmah,
2006).
Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan
kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu
pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan
berkembang. Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan
autoimun lebih sering terjadi pada wanita.
Gejala Autoimun yang biasa terjadi adalah demam, peradangan dan kerusakan
jaringan, rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, pengendapan laju eritrosit (ESR)
seringkali meningkat, jumlah sel darah merah berkurang (anemia), gatal, kesukaran
pernafasan, penumpukan cairan (edema)
Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit
autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan
gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjer saliva
dan lakrimalis.(Sumariyono, 2008)
19
20
Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi Sindrom Sjogren tidak hanya sistim
imun selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan sistim humoral ini dapat
dilihat adanya hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang berada dalam
sirkulasi (Yuliasih, 2006).
Gejala-gejala utama pada sindrom ini adalah kekeringan mulut dan mata. Lainnya,
sindrom sjogren juga dapat menyebabkan kekeringan pada kulit, hidung, dan vagina.
Sindrom ini juga dapat memperngaruhi organ lainnya seperti ginjal, pembuluh darah, paru-
paru, hati, pankreas, dan otak. Sembilan dari sepuluh pasien sjorgen adalah wanita dan usia
rata-rata pada akhir 40-an. Selebihnya penyakit ini dapat timbul pada pria dan wanita segala
umur (Scofield, 2005).
Pemberian terapi yang dapat diberikan hanya sebatas stomatik dan suportif. Tindakan
terapi penggantian air mata dapat membantu mengatasi gejala mata kering. Beberapa pasien
memerlukan pelindung mata untuk meningkatkan kelembaban atau tindakan pada Punctum
Lacrimal. Siklosporin dapat membantu untuk mengatasi kekeringan mata kronis dengan
menekan reaksi radang yang menghambat pengeluaran air mata (Scofield, 2005).
Obat sevimelin dan pilokarpin dapat merangsang aliran air liur. Obat anti-radang non-
steroid (NSAID, Non-steroid Anti-inflammatory Drugs) dapat membantu mengatasi gejala
muskuloskeletal. Bagi penderita dengan komplikasi dapat diberikan kortikosteroid atau obat
penekan imun. Obat antirheumatik seperti metotreksat dapat diberikan pula (Scofield,
2005).
Cavum oris atau rongga mulut dikelilingi oleh labium oris dan pipi pada bagian
samping dan anterior, palatum mole dan palatum durum di bagian atas dan dasar mulut di
bagian bawah. Di dalam cavum oris terdapat lingua dan gigi geligi (Dixon, 1993).
Didalam cavum oris terdapat ductus-ductus glandulae salivariae submandibularis,
parotidea, sublingualis dan beberapa glandula mucous. Gigi geligi dan processus alveolaris
20
21
penopangnya membagi cavum oris menjadi regio vestibularis yang dikelilingi oleh labium
oris dan pipi di bagian luar gigi geligi, dan cavum oris proprium di dalam arcus dentalis.
Membrana mucosa pada cavum oris melekat erat terhadap tulang di bawahnya, yang
terletak di atas processus alveolaris dan palatum durum (Dixon, 1993).
Kelenjar saliva adalah organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang mensekresi
saliva. Saliva terutama teridiri dari sekresi serosa, yaitu 98% air dan mengandung enzim
amilase serta berbagai jenis ion (natrium, klorida, bikarbonat dan kalium), juga sekresi
mukus yang lebih kental dan sedikit yang mengandung glikoprotein (musin), ion dan air
(Sloane, 2003).
. Kelenjar Lakrimalis yang berbentuk seperti buah kenari ini terletak didalam palpebra
superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus
orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran
pembuangannya tersendiri yang terdiri dari tiga sampai dua belas duktus yang bermuara di
forniks konjungtiva superior. Sekresi dari kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi
fisik dan menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora).
Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius
dan menempuh jalur kompleks dari cabang maksilaris nervus trigeminus.
21
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit
autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan
gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjer saliva
dan lakrimalis. Sjogren dapat merusak organ penting tubuh. Beberapan penderita mungkin
hanya menderita gejala ringan dan lainnya dapat sangat buruk. Sebagian besar dapat diatasi
secara simtomatik. Sebagian penderita dapat mengalami penglihatan yang buruk, rasa tidak
nyaman pada mata, infeksi pada mulut, pembengkakan kelenjar liur, kesulitan pada
menelan dan makan. Banyak faktor yang mendasari timbulnya Sindrom Sjorgen pada
seeorang
5.2 Saran
Semoga kedepanya penulis mengharapkan kemajuan dari perkembangan ilmu
Kedokteran Gigi. Mahasiswa Kedokteran gigi diharapkan mampu mengetahui dan mengerti
tentang penyakit Autoimun dan Sindrom yang terkait.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Fatmah. 2006. Respon Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.
Jurnal Unirvelsal Indonesia. Hal 77 - 79
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC. Hal 164 -
172
Scofield RH, Asfa S, Obeso D, Jonsson R, Kurien BT. 2005. Immunization withshort
peptides from the 60-kDa Ro antigen recapitulates the serological and
pathological findings as well as the salivary gland dysfunction of Sjögren's
syndrome.J Immunol. Dec 15;175(12):8409-14.
Dixon, Andrew D. 1993. Anatomi Kedokteran Gigi Ed.5. Jakarta: Hipokrates.
Yuliasih. 2006. Sindrom Sjorgen. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid II. edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FKUI : 1193 - 1196
Sumariyono. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Sjorgen. Kumpulan Makalah.
Hal 134 - 136
Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Baratawidjaya.2006. Imunologi Dasar. Jakarta : UI Press. Hal 58 - 70
Khurna. 2007. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmology. New
Delhi : New Age Limited. Page 443 – 446
Amerogen. 1999. Ludah dan Kelenjar Ludah : Arti bagi kesehatan gigi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press. 1988. Hal 23 – 41
Meliala L. 2004. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah.
Kumpulan Makalah Pain Symposium: Toward Mechanism Based Treatment.
Yogyakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Hal 109 - 116
23