seperti para penyair - galeri buku jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/... ·...

130
Seperti Para Penyair Buku Sajak

Upload: others

Post on 21-Jun-2020

18 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Seperti Para PenyairBuku Sajak

Sanksi Pelanggaran Pasal 113Undang-Undang Nomer 28 Tahun 2014

Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i un-tuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penja-ra paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta se-bagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta se-bagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp1.ooo.000.000.00 (satu miliar rupiah)

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)

Seperti Para PenyairBuku Sajak

Sabiq Carebesth

iv Seperti Para Penyair

SEPERTI PARA PENYAIR

Sabiq Carebesth

Copyright, Sabiq Carebesth, 2017Hak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

Lukisan sampul: Patrick WoworDesain sampul: Irvan Tata letak isi: Aldia Putra, Topeng Kayu Studio

Diterbitkan pertama kali oleh:Penerbit Koekoesan & Galeri Buku JakartaJakarta, Juni, 2017

Penerbit KoekoesanJl. KH. Ahmad Dahlan V No. 10Kukusan, DepokTelp: (021) 7869883Email: [email protected]

Galeri Buku JakartaJl. Damai 30 C Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta SelatanEmail: [email protected] www.galeribukujakarta.com

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia:Katalog Dalam Terbitan (KDT)SEPERTI PARA PENYAIARCarebesth, SabiqPenerbit Koekoesan115 +xxi halaman, 11 cm x 18 cmISBN: 978-979-1442-84-8

Percetakan CV. Topeng KayuIsi di luar tanggung jawab Percetakan

vSeperti Para Penyair

| Komentar “Di antara semburan kata-kata, kita menemukan kristal-kristal puisi yang mewujud secara visual, bergaung dalam lantunan bunyi, atau membangunkan ingatan akan pergumulan kita sehari-hari di ruang kota. Pembaca dipersilakan memungut kristal-kristal puisi itu dari kumpulan antologi Sabiq Carebesth, dan memilikinya.”

Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

“Sebab waktu, kita tak pernah selesai memahami rindu dan cinta. Untuk menyeberangi memori masa lalu, masa kini, dan mungkin juga di masa depan. Itulah pesan dari puisi-puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini. Bahwa perjalanan hidup manusia, pada akhirnya juga akan menjadi debu. Menjadi satu dengan waktu.”

Hamdy Salad, penyair, dosen Agama dan Budaya Islam di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta

“Kerinduan, kenangan, nostalgia dan hubungan antara sesama adalah komponen-komponen yang kuat dalam kumpulan sajak ini. Ada romantisme dalam yang melekat dalam narasi Sabiq, ini mengingatkan saya dengan suatu kebutuhan kuat untuk merasa hidup.”

Kinez Riza, Artist, Photographer, Filmmaker

“Lahirnya antologi puisi kedua Sabiq Carebesth, “Seperti Para Penyair”, bukan kebetulan belaka. Karena sejak kuliah di Yogya, telah menunjukkan bahwa dirinya adalah tunas kepenyairan baru pada zamannya. Dan benar, tunas itu kini tumbuh mekar di ka-wasan yang bernama Jakarta. Sebagai antologi yang mungkin akan dijadikan kenangan penanda ulang tahunnya yang ke-31, 10 Agus-tus 1985, catatannya adalah: puisi itu mirip sedekah dari seorang penyair untuk kemanusiaan. Jadi, menerbitkan antologi puisi sama halnya seorang petani yang menanam sebutir biji padi dan memeli-haranya dengan kejujuran yang bersumber pada hati nurani.”

Iman Budhi Santosa, penyair tinggal di Yogyakarta

vi Seperti Para Penyair

| Catatan Penulis Dengan izin Tuhan, saya ingin berucap terimakasih kepada semua yang membantu terbitnya buku ini. Beberapa nama penting dalam proses penerbitan buku ini harus saya tuliskan di sini sebagai uca-pan terimakasih mendalam, mereka adalah rekan, guru sekaligus kritikus yang dengan bijaksana berkenan membaca dan memberi catatan pada kumpulan sajak “Seperti Para Penyair” ini.

Terimakasih kepada Ibu Melani Budianta, dengan begitu rendah hati berkenan membaca dan memberikan koreksian atas naskah ini. Saya harus meminta maaf karena baru tahun 2017, yang berarti 3 tahun setelah ibu Melani memberikan komentar dan koreksian untuk naskah ini—kumpulan sajak ini baru bisa terbit sekarang. Juga kepada Damhuri Muhammad yang sabar menemani proses puitik saya selama ini dan berkenan menuliskan epilog; Iman Budi Santosa, Hamdy Salad, Kinez Riza yang berkenan membaca dan memberikan komentar singkat untuk kumpulan sajak yang saya kumpulkan dari periode tahun 2012-2016, mohon maaf karena ini lama di antara jeda dan segala hal yang saya sendiri tidak begitu tahu kenapa baru 2017 ini buku ini akhirnya bisa terbit.

Selebihnya adalah rasa lega dan bersyukur tahun 2017 ini “Seperti Para Penyair”—yang mulanya ingin saya beri judul utama “Selamat Malam Jakarta” dan “Tentang Waktu yang Ketika Sore Hari Tiba Seorang Penyair Gagal Mengirimkan Rindunya Pada Masa lalu—akhirnya sekarang bisa terbit. Segala proses dan jeda di antaranya adalah berkah tidak hanya untuk naskah ini tapi juga saya secara pribadi.

Saya merasa lebih siap untuk menghadapi segala hal yang akan melingkupi buku ini sekarang. Lantaran pada tahun-tahun yang lalu saya merasa ada hal yang sulit dijelaskan yang membuat saya tidak cukup memiliki kesiapan batin untuk menyambut lahirnya buku ini. Saya rasa setiap penulis, apalagi penulis sajak dan puisi, memiliki hak penuh atas situasi batin seperti yang saya alami.

viiSeperti Para Penyair

Terlepas dari semua itu, kepada pembaca saya sampaikan terimak-asih untuk menyediakan tempat dan waktu untuk puisi-puisi saya bisa di hadapan rekan sekalian. Sajak-sajak dalam buku ini sengaja saya susun dalam urutan terbalik merunut tahun-tahun penulisan sajak-sajak dalam kumpulan ini—sajak pertama dalam buku ini “Sajak Remaja” adalah sajak paling baru, dibuat pada tahun 2016 (terbit di harian Jawa Pos), seterusnya sampai sajak yang terakh-ir dalam buku ini “Sajak Malam” di buat pada kurun 2011-2012. Dengan begitu saya berusaha memotret bianglala hidup dari kes-adaran saya akan waktu dan kehidupan, juga bagaimana kehidupan pada kurun itu membentuk kesadaran puitik dalam tiap puisi yang bisa saya catatkan dalam buku ini. semua ini saling mengisi, meny-usun, menghasilkan irama, degup dan gemetarnya rasa serta irama yang berbeda-beda dari puisi yang bisa saya catatkan sebagai do-kumen yang sepenuhnya saya sengaja mencaatat lebih dari sekedar dunia batin saya tapi memantulkan ruang dari mana kehidupan sekeliling saya mungkin juga merasai dan mengenangnya kemudi-an hari. Ada saat di mana kehidupan tampak berbeda sama sekali dari pertimbangan saya, ada kalanya, lalu pada akhirnya kehidupan telah menjadi demikian tanpa sepenuhnya kita sadari. Keterlepas-an dan keterasingan yang mungkin menghinggapi puisi-puisi saya dengan derajat kefanaan yang tentu saja sudah diredakan dari fak-tualitas waktunya.

Saya tak pasti, tetapi ada tahun-tahun di mana saya hanya mem-buat satu atau dua judul puisi saja, hal itu sekaligus menandai masa sulit, gamang sekaligus rawan dalam proses kreatif saya menulis sa-jak dan puisi. Tahun-tahun pertama setelah penerbitan buku sajak saya yang pertama “Memoar Kehilangan” (2012) adalah masa-masa tersulit untuk menghasilkan sajak dan puisi. Memang saya tetap membuat catatan dalam buku harian, tetap menulis sesuatu yang bentuknya seperti sajak atau puisi, tetapi pada akhirnya hal itu bu-ruk saja dan saya memutuskan bahwa saya gagal untuk menyetujui apa yang saya catat sebagai sajak atau puisi. Ke mana nasib sajak dan puisi yang tak saya akui? Sebagian terbuang di tong sampah, sebagian tinggal dalam buku harian tanpa pernah saya ziarahi kem-bali. Mungkin anak-anak saya nanti akan memiliki waktu menziar-ahi dan menemukan potret diri saya kesepian dan gamang di sana.

viii Seperti Para Penyair

Saya dihinggapi kegamangan luar biasa, seolah bahasa tak pernah menjadi bagian dari hidup saya, atau yang sebenarnya, saya mera-sa kata-kata tidak berkenan dijumput dari keramaian penggunaan dalam begitu banyak kalimat dan bahasa-bahsa sehari-hari; seolah mereka enggan duduk dan memberikan timbangan kepada apa dan untuk mengatakan apa semestinya mereka ingin saya mewakilkan untuk menyatakan kehidupan, batin atau segala yang membutuh-kan nama di sudut-sudut kecil dunia ini.

Begitulah tahun-tahun itu saya hanya menulis sedikit sajak dan puisi. Pada kurun tersebut pula saya ceritakan dengan bahasa ke-gusaran di wajah saya kepada Alm. Leon Agusta, seorang tua yang tak sengaja menjadi penyair dekat sekaligus menjadi salah satu guru dalam proses kreatif saya. Leon berkata seolah ia—atau ke-banyakan penulis puisi dan sajak—pernah mengalami hal serupa: “Terkadang kita seperti ular, harus menunggu musim berganti ku-lit, dari mana kita meremajakan kembali kehidupan di dalam ka-ta-kata, gambar kehidupan, dan akhirnya sajak dan puisi. Tabahlah dalam masa-masa seperti itu. Atau jika tidak, kita tumbang”.

Saya tabah dan bertahan, saya enggan tumbang dan melupakan dunia puitik, dalam kejumudan yang nyaris membuat frustasi, da-lam kondisi sedikit membahayakan semacam itu, saya beruntung ada seorang dekat, yang tidak hanya mendampingi hari-hari saya dengan kesabaran, tetapi menjaga saya dari semua kemungkinan keretakan yang rawan dalam begitu banyak bagian dari hidup saya, seorang yang paling percaya bahwa dunia paling mampu membuat saya waras sekaligus merasakan kedamaian adalah dunia puisi—maka izinkan saya berucap terimakasih dan penghormatan ke-padanya, Susan Gui.

ixSeperti Para Penyair

Tidak lupa, kepada rekan-rekan lain yang pada tahun-tahun ter-akhir sebelum buku “Seperti Para Penyair” ini akhirnya terbit, mereka hadir dan memberikan tidak hanya dukungan dan kerja seni yang luar biasa, tapi juga sekaligus memberi kemungkinan buku ini hadir. Patrick Wowor untuk lukisan yang saya gunakan sabagai sampul buku ini—bukan sebentar tapi memakan proses yang lama, sampai akhirnya lukisan dalam sampul buku ini saya rasakan sebagai paling mewakili penggambaran tentang buku ini. Kepada Karina Andjani dan Asti Fajriani yang menangani dan menyiapkan dengan kelembutan batin untuk membuat musik atas beberapa sajak dan puisi saya. Kepada Rofiq Cartoon, Zukal dan Irvan yang ikhlas bekerja keras menyiapkan desain sampul, Aldia Putra yang tabah menggarap desain isi. Rachmad Darajdat dan Marlina Sopiana yang tak ada terkait langsung dengan buku ini tapi bantuan kerja kreatifnya dalam mimpi saya yang lain membuat saya memiliki cukup waktu untuk fokus menerbitkan buku ini. Ke-pada semuanya, juga rekan lain yang tak bisa saya sebut namanya satu demi satu dalam catatan ini, saya sampaikan terimakasih; ini indah dan menyenangkan!

Akhirnya selamat membaca, terimakasih untuk pembaca sekalian meluangkan waktu berada di hadapan halaman ini.

Salam hormat

Sabiq Carebesth

x Seperti Para Penyair

untuk puisi dan mereka yang mencintai puisi;

xiSeperti Para Penyair

| Daftar Isi

HALAMAN KOMENTAR vCATATAN PENULIS viDAFTAR ISI xi

1. Sajak Remaja 12. Sajak di Kafe 43. Ratapan Silam 64. Ratapan Aspal Pada Hujan 75. Yang Hilang Dalam Hujan 86. Duka Hujan 97. Nyanyian Hujan 108. Tarian Musim Hujan 129. Seperti Para Penyair 1310. Penyair dan Kudanya 1511. Jiwa terakhir 1712. Puisi 1813. Siang ini tak ada sajak tuan 1914. Dalam tungku waktu sajak-sajak membakarku 2015. Kuda Pacu Don Quixote 3216. Sajak cinta dalam es kopi 3417. Larung jiwa 3618. Dalam segelas kopi di cikini 3719. Kepada lampu-lampu di cikini 3820. Cikini telah berlalu 4021. Kota yang Lara 4222. Selamat Malam Jakarta.. 4423. Kota Dalam 5 Paragraf Tanpa Jeda Dan Dialog 4524. Wadag waktu 4725. Elegi Hening 4826. Ode Buat Malna 4926. Jarak 5027. Pergi 5128. Lebur 5229. Melodrama 5330. Kepada Puisi 5431. Kekosongan 5532. Ia Kehilangan Tiap Kali Segelas Kopinya Tandas 5633. Nyanyian Buat Idaku 5734. Pedupaan Dari Lara Jiwamu 5835. Elegi Sepi 59

xii Seperti Para Penyair

36. Pada Akhirnya Kita Jadi Abu 6037. Surat Yang Tak Kunjung Jadi 6138. Milik siapa subuh yang beranjak nanti? 6239. Barangkali menjelang subuh engkau tiba… 6540. Nyanyian Bandar Kota 6741. Hasrat 6842. Malam di Jakarta 6942. Apa kau masih percaya waktu menuju kepada jauh? 7143. Sebuah Pemakaman Bahasa Di Atas Kasur 7244. Bukankah itu malam yang kemarin? 7345. Di Kota Tanpa Nama 7446. Sunyi 7547. Malam di Mata Lembutmu 7648. Selamat Malam, Tapi Apakah ini Malam? 7749. Asmaradana 7850. Nyanyian Sunda Kelapa 8051. Alangkah Kanak-Kanaknya Cinta 8152. Tentang Kenangan Di Buku Harian 8253. Tentang Kenangan 8354. Tentang Waktu Yang Ketika Sore Hari Tiba ... 8455. Pelukis Senja 8556. Hari Biasa 8757. Waktu Yang Berlalu 8858. Senja Terakhir di Bulan Mei 8959. Kamala 9060. Bagaimana Jika Hanya Sia-Sia? 9161. Malam Makin Kuyuh 9362. Deru Keterasingan 9463. Desember 9564. Di Balik Bukit Hampa 9765. Sajak Kenangan Untuk Ida 9866. Sajak Malam 103

EPILOG 107SURAT PEMBACA 114TENTANG PENULIS 115

1Seperti Para Penyair

Sajak RemajaKulihat dari jendela sekolahRumahmu warna merahDengan kandang kuda warna senja rekah Bertaman bunga kambojaDari celah bernadaMatamu padakuSeperti bening sungai musim kemarau

O, siapa nyana kita kini tak lagi remajaKetemu di kotaDi Jembatan Lima dekat KotaKau menuju pulangDengan kereta masa silamKalah dari segala

Di kota ini kau tetap ayuTapi kalah dengan warna lampu-lampuDi kota ini lampu-lampu hanya cocokUntuk mereka yang punya bedak ratusan ribuDan kau yang kerap terburu di pagi butaMengejar bus ke pabirk tempat kau kerjaMana sempat lihat pipi sendiri dalam cerminKetemu Tuhan pagi-pagi saja masih untungKerap subuhmu telah berlaluDan kipas angin berdebu mengganti dzikirmu

2 Seperti Para Penyair

Oh daraku yang ayuKereta malam melajuAku tahu kau takkan kembaliTapi siapa peduli padamu nantiPulang ke rumah tiada sawahSekolah tiada ijazahDan aku hanya pecandu malamYang hidup dengan bayang-bayangKenangan denganmu jadi dzikir malamkuTelah menjadi kutukan jiwaku kiniSepanjang jalan bila kukenangBau tubuhmu yang wangi aroma rotiTapi aku suka kopi dan tak pernah makan rotiTapi malam kini kubeli rotiAku tahu kemarin kau yang membuatTapi kucari namamu di sini tiada dapatHanya bau keringatmu membayang lekat

Teruslah berjalan pulang dara ayukuLelah kita mengeja malamAh tapi kau tak pernah lihat malam setahukuPulang dari pabrik roti tengah malamHampir pagi dan matamu telah sayuDalam kontrakan sempit jiwamu bertaluLunglai tubuhmu dekat kipas angin berdebuLalu subuh kembali merayumu untuk berlaluTuhan tak bisa mencegahmu berpalingTapi dia maha pengampunTahu dalam hatimu ada cintaNyaKau bawa serta kini kembaliKe kampung nun jauhBersama sekardus roti Yang kau beli di pasar pagi

3Seperti Para Penyair

Dan aku sekarang sendiriDuduk menatap rotiYang dulu kau bikin sepanjang hariYang tak pernah bisa kau beli

Setiap pagi di pasar pagiAku mencarimu di kios rotiSetiap malam aku berdiri Di mall dekat kios rotiTapi tak kujumpai kau kembali

Selamat jalan dara ayukuNanti kubuatkan kau rotiDalam sajak dan puisi.

Jakarta, Novomber 2016

4 Seperti Para Penyair

Sajak di KafeEnam lampu menyalaSeakan di luar tiada kehidupanO di mana pepohonan, sungaiTanah liat atau pemakaman?

Di mana para penyair?Di dekat kuburan, atau di hotelApa yang kini mereka cari?Kilau atau nestapa

Lampu-lampu menggantikan waktuTak tahu terik atau gelapSama saja—Dalam asbak atau segelas kopiSiapa nyana kita ketemuDengan masa silam Tapi kita lekas jemuSebab pada masa silamTak ada kafe Tak ada sajak tentang lampu-lampu

Aduh dara depanku lembutnyaSatu kaki bertalu-taluTapi tetap saja diam di situMengayun dalam awanLembut seperti kejauhanKita sebelahanTapi batin digulung kesunyianTerhempas lagi dalam kejauhan

5Seperti Para Penyair

Mataku menembus kalbunya“Kenapa kita tak berpeluk?” tanyaku“Tak pelru”, katamu..

“Biar kita diburuBiar kita redam sendiriRindu dan nafsuSama jauhnya;Atau begitu dekatSeperti puisi dan penyairnya.”

“Dara ayuku kita hanya sajak di kafeYang hilang rupa oleh lampu-lampuSeolah di luar tiada kehidupan.”

“Kita akan kembali bosan, seperti hari kemarin..”

Jakarta, 2016

6 Seperti Para Penyair

Ratapan SilamSuaramu dari kejauhanLagumu ngilu tak terperiCinta kita hampir saja abadi

Kelembutanmu nestapa abadikuJika saja waktu tak menggulung nasibkuAku mencari jalan pulang padamuTapi jauh sekali waktuSejak terakhir kita tersenyumDan tahu matamu tak lagi buatku

November, 2016

7Seperti Para Penyair

Ratapan Aspal Pada HujanTak ada musim dingin di siniTapi jiwa kita menggigilJiwa kita seperti aspal hitamDi musim hujan ketika malamDibanjiri cahaya lampu jalanBegitu sendiri begitu sepiSeakan perjalanan abadi

Seorang datang seorang pergiDan jiwa kita tetap di siniKedinginan dan sepiCinta menyalakan apiLalu cahayaAtau sungguh bukan itu yang kita duga Jiwa kita seperti hitam aspalSendiri dan kedinginanAku tahu kau akan tiba jugaTapi kutahu ratapmu bukan lagi tentangku.

Jakarta, 2016

8 Seperti Para Penyair

Yang Hilang Dalam HujanRambutmu cahaya petangKakimu tarian abadiKerling matamu ranjang sukmakuAku luruh pada sejengkal tulang di lehermu

Keindahan sepanjang kemabukanPada bibirmu aku menuju kebebasanKita berpagut tiada hentiSeolah sebantar lagi kita pergi…

*

Hentakkan lagi dan tertawalahLepas itu kita ke lautMenacari kebebasan biar pasti karamTapi telah pasti kita pemberaniMengayuh sampan walau rapuhKe tengah ke intinya penghidupanTiada sawan menali Kita memang memilih pergi…

*

Jika saja kau ingatBagaimana aku luputKetika rambutmu tergeraiDan matamu melesat ke dalam jiwakuKuserahkan seluruh Kau menali—kita telah luruh.

Jakarta, 23 Maret 2016

9Seperti Para Penyair

Duka HujanDuka yang menungguBiar kupeluk pilumuBiar kutanggung dukaku sendiriAsal bisa kita nyanyikan lagu jiwa iniSepenuh malam kini

Laranya lara dalamnya sukmaAduh bagaimana kehendak iniMembuncah dalam tiap jengkal tubuhmuMeruah dalam tiap pandang matamuKita asap yang membakar diriNyalakan api dari jiwamuBiar kita terbakar dan lupaBetapa mengerikan kehidupan

*Aku ranjang putih bagi sekujur tubuhmuAku wewangian bagi perihmuAku nyanyian bagi sepimuAku luka bagi cintamuTapi sudah kita di siniMenali diri demi melayari sepiKita tak pernah tahu apa yang adaDi musim semi dari luruhnya kehidupan

Betapa agung betapa laraNestapa cinta adalah langit abadiBagi kehidupan sepanjang senja masih memendarDi lautan di mana kita ingin tenggelam sekali lagi

Biar kuakhiri ini jika kau tak memahami…

Jakarta, 23 Maret 2016

10 Seperti Para Penyair

Nyanyian Hujan Kita yang membakar apiKau yang memilih tersedu

Jika tidak karena lukanya, kita telah sirnaJika tidak karena ratapmu, kita telah menua;Dan sia-sia

Nyanyikan lagi lagu jiwamuAku telah terkutuk mendenger deritamuCinta kita yang semi tanpa musimTumbuh dari akar kengerian

Jika tidak karena lukanya, kita telah sirnaJika tidak karena ratapmu, kita telah menua;Dan sia-sia

Betapa fana cinta betapa lara asmaraBetapa abadi rasa betapa dalam tangisKita yang terbakar dan habisJika tidak karena lukanya, kita telah sirna

*

11Seperti Para Penyair

Jika saja kau ingatBetapa lembut tatapmu duluBetapa gairahku pada sekujur jiwamuSeakan seluruh bumi menjadi musikKita lagut dalam tari yang mabukBetapa tak pedulinyaJiwa kita alangkah bebasnyaTidak gerak dari kerling matamuAdalah madah dan sihir bagi jiwaku Hidupku karena kerling matamuSungging senyummu nyawakuWalau telah pasti kita kan sama pergiKe kubur tergelap nun abadi

Kenakan gaunmu warna merahTunggu aku di puncak kesunyianAku datang dengan selendangmuMengantarkan nasibku pada kengerianmuKita sama pergi kita sama abadiBiarkan musik mengalun, kita terus sajaMenari-narikan tarian jiwaNyalakan api dalam matamuBiar kita terbakar; dan puisi menjelma mantera Dari dalam jiwa paling diliputi cinta.

Sayangku, siapa itu mengintip dari celah langitSeperti maut menyungging; dan kita terus menari..

O, apa yang lebih ngeri dari matamu yang berhenti men-gerling?Dan jiwaku ingin mati dalam kerling cintamu, pada matamu..

Jakarta, 7 April 2016

12 Seperti Para Penyair

Tarian Musim Hujan Suara hujan, tadi sempat kukira gelak tawamu yang dulu...Deras, tapi aku hanya mencari satu rintik—yang dahulu menempel di antara gurat bibirmu.Manisku, buatkan kopi selagi hujan, sebelum kenangan datang menggenang dan kita terbawa deras menuju puncak kekosongan, betapa lara asmara ya?

Kenangan memang hampa,tapi hujan memberinya nyawa. Kita jadi teringat pada gelak tawa yang dulu, sayang hujan reda, dan kita telah berlalu…

Jakarta, 20 April 2016

13Seperti Para Penyair

Seperti Para Penyair Mata kita tambah redupTapi jiwa kita menyalaBerkobar di malam larutEsok kita tak peduli

Kita terkutuk pada pagiDikutuki para penakutTapi kita burung rajawaliPengembara malamTuan bagi kesepian sendiri

Mata kita terpejamHati kita berjarakPemberani kerap sendiriSeperti para penyair yang tak lagi menulis puisiTapi dalam hatiTerukir bahasa-bahasaSebagai puisi sunyiBagi jiwa yang sepiNasib kita malam ini Bukan nasib kita subuh nantiSelagi sepi memberi artiKita mau tambah merasukDalam puisi—yang ditulis dengan luka jiwauntuk dibaca para pengelanayang jiwanya bebas kembara

14 Seperti Para Penyair

O para penyairTergelatak di ranjangDadanya menyesakJiwanya berontakIngin ke luarMenembus dindingBarangkali rembulanMenitip salam dari kejauhanRindunya yang duluCintanya yang laluJiwa kanak-kanaknya ambiguKenangan yang tak henti pergiPada waktu yang telah jadi abadi

Wahai para penyairSesekali menjauhlahBerhenti dari rasa ngeriDalam segelas kopi Barangkali ada kanak-kanakSerupa kau dahulu..

Jakarta, 2016

15Seperti Para Penyair

Penyair Dan KudanyaTerdengar seperti suara genderangSiapa akan berperang dengan kesunyian?Aku melihat seekor kudaMelompat dari dalam segelas kopiKuda dengan mata tampak bekuSungguh jauh perjalanannya..

Apakah ada ksatria memanggilnya?Hendak menyusuri kotaMenantang kebekuanAtau mencari cinta yang entah milik siapa

Seorang gadis berdiri dari duduknyaDi deretan kursi di kedai kopiAku tak menyangka—Ia bercermin pada mata kudaLalu pergi menuntunnyaBarangkali ia mencari cintanyaSeorang kstaria yang telah menjelmaMenjadi pelana kuda

Tapi ia hendak ke mana?O, dia ke arahkuMatanya menembus kalbukuKuhirup nafas penghabisan;

16 Seperti Para Penyair

“Aku mencarimu penyairkuPulanglah bersamakuTempat kau dimuliakanSebagai penunggang kudaYang bebas kelana..Tinggalkan dunia di manaKuda-kuda memakan rumputDalam dunia kita, penyairkuKuda-kuda memakan debuMenenggak sisa badaiKemudian berlari dalam kabut”.

Segelas kopiku tandasAku harus pulangMenidurkan PuisiMenjaganya dari mimpi buruk tentangku

Jakarta, 2016

17Seperti Para Penyair

Jiwa TerakhirPenyair adalah kuda-kuda selatan Yang datang dari dalam lautanTak sudi jadi tungganganTapi rela terluka demi perjalanan

Baginya tiada jalan kembali ke mulaSetiap kejauhan adalah mulaBagi tujuan paling hampaYang telah dipilihnya

Ia adalah penderitaanIa adalah keluhan jiwa peradabanIa adalah penyair;

Yang fana waktu, luka-luka abadiBetapa menderita penyairEntah kapan keluh jiwanya berakhir.

Jakarta 2016

18 Seperti Para Penyair

PuisiDia akan berjalanMeniti hidup hingga jauhPenyair merindukannyaSeperti kerinduan abadiPenyair pada jarak…

Jakarta, 2016

19Seperti Para Penyair

Siang Ini Tak Ada Sajak Tuan Tidak ada puisi di siang terikPenyair tengah sibuk bekerjaMembangun mimpi di dekat kuburanJadi badut atau politisiJadi tukang pulung atau tukang tipuApa bedanya? Sajak-sajak dijual di pasar loakAtau di sosial media, sebagai hiburanTapi siang ini tak ada sajak TuanPenyair tengah sibuk bekerjaMembangun mimpi di dekat kuburan

Jakarta, 2016

20 Seperti Para Penyair

Dalam Tungku Waktu Sajak-Sajak MembakarkuI

Angin dari ujung waktuMenyergapku—oleng akuOleh hampaLuruh dalam waktu

Hanya dentang loncengMembawaku pada segala berlaluJembatan fana yang menghubungkan derita

Dalam sendiri kini kupagutCinta yang maha…

Lagu-lagu mengalunMenghilangkan bahasa Dari tiap jengkal sisa jiwaHanya bunyi-bunyi tersunyiMenyergapku dalam ria tanpa umpama

Dewa-dewa dan dewi-dewiMenaburkan daun-daun asmaraMembungkus sukmaku yang telanjangAku beringsut seakan tenggelamDalam lautan paling jauh

21Seperti Para Penyair

II

Kutunggu kapal-kapal berlabuhKapal-kapal kekosonganYang tersesat dari dermagaDidorong angin dari ujung waktuBuat menyusulku kembaliMenjemputku pada derita sehari-hari

O betapa takut sukmakuTerdampar dalam riuh kotaYang dindingnya terbuat dari sajak palsuDari para penyair yang sibuk Memantaskan diri dalam bianglalaSementara lampu-lampu kotaTelah jadi kesepianDitinggalkan para penyair Dilupakan para pelacur kotaEntah ke mana mereka…

Aku sendiri telah lupaCara bicara dengan lampu-lampu kotaSejak berumah dalam dingin ACGorden-gorden dirapatkanJendela dimatikanTak serintik pun lembab hujanDapat kujadikan kanvasUntuk melukis kehilanganku

22 Seperti Para Penyair

III

Malam kembali lagi—malam yang lainPada bulan dan gemintang yang lainTapi siapa masih peduliPada cahayanya?

Telah berganti menjadi gambar belakaMaka dengan kepedihan kumakamkanRembulan dan gemintang dalam pikirankuKutaburi dengan kembang kemuakkanAku terjatuh pada rasa ibaPada hasrat manusia kota

Seperti air terjun gemuruh di matakuSukmaku terlemparDalam pusaran keriuhanBeserta segenap omong kosongYang tak satu kembang punTumbuh mekar karenanya

23Seperti Para Penyair

IV

Dari sunyi ke sepiOrang-orang berlariAku tertinggal sendiriDuduk di kursi sunyiRagu buat turut berlariMenuju entah

24 Seperti Para Penyair

V

Malam kembali lagi—malam yang lainPada bulan dan gemintang yang lainTapi siapa masih peduliPada cahayanya?

Kuhunus sajakkuJika mungkin kan kubelah sunyiYang ditinggalkan penyair musim

Kesunyian adalah buah anggurAtau kursi dari kayu eboniDi malam perjamuan, atauLampu-lampu di jembatan New YorkAtau sedu bocah kecilYang mengira ibunya pergi dengan terluka

Tapi tak ada kesunyian di New YorkTak ada sunyi dalam perjamuanAtau dalam anggur khayalanYang telah berganti menjadi sorgum—Tak ada kesunyian dalam tangis bocah lelaki yang kalah main gunduKesunyian telah dibawa lariOleh Don Quixote—Tapi bukan oleh kudanya.

25Seperti Para Penyair

“Kesunyian selalu berlari sendirianMembelah lautan terjauhDalam bola mata para pecintaYang ratapnya menjelma kuda-kudaDan rindunya menerbangkan rajawaliKe dalam ruh orang-orang terhukumMesti menanggung gantiDari tiap jengkal jantung Prometheus.”

VI

Aku sudah menunggu tiga hariKetika langit hilang warnaPucat seperti kesunyian yang terabaikanTapi kulihat rambutmu berwarna kemerahan

Kukira… tapi itu telah jauh sekaliAku tak ingin mengatakannyaTapi coba lihat dalam jiwakuSegala telah kukuburkan hari iniKau yang membunuh segala yang kanak-kanakDan aku dalam kegugupanMenghadapi surga dan neraka tanpa perjanjian

26 Seperti Para Penyair

VII

Lalu pada punggungmu kurebahkan amarahkuKota-kota marah—atau memendamnyaDi antara omong kosong dan lampu malamSiapa begitu peduli pada lukanya jiwa?

Kita terbenam pada segelas kopiTerisi penuh oleh dendamTapi ada kekasih jiwakuMengajakku pulang dari rasa muak

Tapi sungguh aku ingin pergiMenyusuri sungai dalam belantara sepiSeolah di sana kita telah pergi begitu jauhSeolah kita kelana dalam dunia kabutDi mana batu-batu berlumutDan harimau paling ganas—Sama mengadu tentang kesunyiannya

Tapi aku hanya tergolek dalam kamarkuMenunggu subuh yang dinginSubuh yang suci—berumur hanya sejenakDari deru pertama kereta;Segera memboyong derita dari peraduanMelemparkan setiap orang ke dalam Ruang-ruang paling terasingUntuk kembali membisu menahan derita sendiri-sendiri—Seperti subuh yang suci.

27Seperti Para Penyair

VIII

Kini seakan dermaga terbelah cahaya pertamaSeekor burung tergagap dari ingatan-ingatanTentang wadag nun jauh

Aku menepi dari tengah gelombangDengan perahu yang terbuat dari sajak derita:

“Kita telah terkutuk wahai penyair, Siapa masih peduli pada burung-burung?Juga pada penyair? Kita lelah memeluk gelombangMenerjang malam hanya untuk Kesunyian yang asing—Tapi orang-orang lelapMengubur dunianya sendiriHanya untuk berlari, mengejar kereta pagiAtau berebut saling melewatiUntuk sampai pada segala benda-bendaMereka tak mengerti omong kosongAtau merayakan kesia-siaan, lantaranMereka tak punya impian apa punKecuali gaji bulanan, yang segera berganti rupaMenjadi hiburan atau kepandiran.”

O betapa pandir para penyair?Mengira surga seperti taman paling sepiBagi hasrat yang berlari

28 Seperti Para Penyair

O malam yang lain kembaliSeakan kita terjebak lagiDalam keterpisahan yang jauhKita duduk lagi, lalu berusahaMenggambar kengerian Kengerian yang rapuhKerapuhan yang halusSeperti aroma kopi;Lalu segala jadi sepi; Seperti angin dingin kala subuh suci.

IX

Dari lembah-lembah Merapi dalam ingatankuKabut dan dingin; Orang-orang bicara pada rumput dan rantingPada sepi dan anjing Mereka bicara pada diri sendiri Seakan Tuhan tengahMenatap dari balik kabut, menjelmakanDingin dan juga sepi—

Tak ada lagu-lagu atau baladaSegala yang hidup, hidup dalam sunyi, Cahaya mentari adalah waktuSenja berwarna merah tomatAdalah penanda musim bercintaBagi lelaki renta dan perempuan senja usia; Keduanya duduk menghadap tungkuApi membakar; kayu membakarJiwa-jiwa terbakarMereka dalam batas-batas terdekatDari kehidupan dan juga kematian—Cinta begitu dinginAsmara alangkah hangatnya

29Seperti Para Penyair

Sementara gelap telah menjadi gelapAku menghisap sebatang rokokSeketika menjadi seonggok dingin Membeku, aku menjadi kabut menjadi dingin;Aku mencari lembah di antara bayangan dadamuSeketika seakan dingin dan apiTiada berbeda, dalam dadakuKehilangan-kehilangan membakarku.

Aku telah berlalu dan tak pernah kembali lagiKabut dan dingin, tungku api dan rindu yang purbaTarian debu dan ranting-rantingKesunyian di antara hutan jati dan Sungai paling sunyi—kubawa sertaKupikul di pundakku: separuh kesedihan separuh tarian paling ceria, seakan tida bedaBagi hidup yang terus menjauh…

30 Seperti Para Penyair

X

Di depanku kini segelas kopiAtau tuak—Setiap kali hanya membenamkanIngatan yang kuregukDi antara lagu-lagu disko atauBunyi klakson yang menghancurkanSetiap kesunyian—Lagu-lagu tentang waktuYang tak bisa kumengertiAku duduk sendiri; mencarimu dalam kabut di dadakuLalu kutemukan kauDi antara waktu; kita duduk bersamaDi antara lampu-lampu yang kau sukaiSegelas air putih dan gelak tawaAku memastikan diri, bahwa Kau akan juga mengajakku pulangSebab jika tidak aku akan lagiTerpelanting dalam kabut dan dinginTertinggal sendiri—tersesat di antaraBelukar rasa bosan dan sungai-sungaiYang hanya berupa bayangan:

Lelaki tua dan perempuan senja usia ituMemandangku kembali dari kejauhanSeperti bayangan-bayangan atau hanya ingatan;

31Seperti Para Penyair

“Setiap jiwa memendam lukanya;Seorang memilih pergi, yang lain tinggalItulah kenapa kita menyalakan tungkuSendiri-sendiri membakar kengerianSebab hanya dalam sunyi Luka-luka menjadi kembang Yang mekar dalam kabut dan dinginSisanya sepi…”

Kabut menelan hamparan ceritaHabis juga pandangkuKunyalakan sebatang rokokMeraih tanganmu yang dinginSepanjang jalan di JakartaTak ada kabut dan dinginLalu kupandangi bola matamuAku tersesat lagi…

Kalibata, 10-14 Juni 2016

32 Seperti Para Penyair

Kuda Pacu Don QuixoteDi sini malam, malam yang jauhDi kota kita yang ramaiTetapi dalam ramai kita seringMemilih berjalan, jauh menuju sepiApa yang tak terhingga, Tuan?

Ketakterhinggan jadi gagasanYang membuatmu mual;Kau membenci gelap, kuburanAtau kengerian—Tapi kau menyukai sepi.

Sungguh sudah kukiraJika kau temukan kuda dan pelananyaYang dijual di kafe-kafe kegemaranmuKau akan segera menungganginya malam iniAku tak tahu kau ingin ke manaKau pun tak tahu…

Mengunjungi Chairil di KaretMencari Asrul di Sunda KelapaAtau duduk menunggu rembulanYang telah jadi kaku di Tugu PrasastiTapi kalbumu bimbangSeolah hidup tak pernah nyataSeolah hari-hari adalah tumpukan ideAkan segera buyar terbakar cerutuYang kau hisap setengah-setengahDari kerongkongan yang ragu

33Seperti Para Penyair

Di mana kuda-kuda itu? Kau bertanyaSambil melukis sore—Ada bibir kelabu menyeruak dari kengerianSeolah-olah kau jadi kanak-kanak lagiPada saat itu aku percaya cintamuJuga kepedihan yang kau tanggung sendirianKau rindu pada satu-satunya bibir paling segarYang tak mungkin jadi milikmuBibir itu milik seorang perempuanYang padanya kau jadi kanak-kanakLugu dan cemas.

***

Aku ingin menyelesaikan sajak iniTapi malam telah jadi kakuTanganku terbakar cerutuYang kau buang dengan rasa muakPadaku entah pada dirimu sendiri…

Jakarta, 2016

34 Seperti Para Penyair

Sajak Cinta Dalam Es KopiDi kota ini cinta seperti es, bekuTerpelanting ke dalam segelas kopiKita menyesap buihnyaLalu ia pergi—kita tertinggalTapi ia membawa serta dinginMenggigilkan kalbunyaBila malam nanti kembaliIa bertanya:

“Cinta hadir setiap hariDi jalan-jalan, di kafe-kafeTiap kali kita lelah dan bertanya:Bagaimana kita akan menghabiskan waktu?Cinta hadir setiap hariCinta berpaling setiap hari—Atau kita yang memilih pergi?”

35Seperti Para Penyair

Kulihat bibir seorang daraMenyesap masa silamMenggodaku kian terbenamAku telan sendiri bagiankuKehilangan-kehilangan;

Demikianlah setiap kali kita terjatuhTanpa bercium atau merengkuhHanya bibir yang lagutHanya kelopak mata melambai

Cinta di kota ini— Berakhir ketika senja jadi kuyuh.

Cikini, 31 Mei 2016

36 Seperti Para Penyair

Larung JiwaAku sudah di akhir kata-katakuTapi hujan tak kunjung berlaluMaka kusudahi dan kularungkanSurat cintaku dalam gelombangTanpa kartu pos dan namamuTapi aku yakin kan sampai juga padamuSebab memang kutulis surat-suratkuUntuk engkau yang sudi mencari jiwaku

Kalibata, 2016

37Seperti Para Penyair

Dalam Segelas Kopi di Cikini Duka di antara rambutmu yang keemasanTubuhku gigil dalam balut kemuramanAku tersungkur di antara ceruk punggungmuAku telah habis dalam sajak kengerianLantaran pernah; hujan dan kita tertinggalMenjadi asing—sampai ketikaAku merasuk ke dalam matamu;Lalu bibirmu memagut kaku—

Esok kita akan kembali pada sepiKita bukan kekasih atau tak perluTiap malam kita kesepianBatin kita terjerembab dalam senja khayalanAtau pada malam dan segelas kopiO tapi tiada pertolongan untuk lukanya jiwa

Apa yang kita punya adalah masa silamYang kengeriannya telah menjelma dindingAtau meja atau asbak atau gelas di kafe-kafeDi mana padanya kita saling bicaraMenemukan sepi yang samaHanya untuk jeda sejenakMenuju sepi yang lain…

Cikini, 9 Juni 2016

38 Seperti Para Penyair

Kepada Lampu-Lampu di CikiniSebentar lagi aku harus berjalanTinggal kau sendirian—bersama bayanganAku tak persis tahu apa masih adaSeorang peduli pada kemuramanamu—lebih dariku.

Lampu-lampu di CikiniAku tahu kita pernah bersekutuPada malam-malam laluKau yang menyaksi—Seakan segala hal akan berakhirHanya kita saling menopangAgar tak terjatuh dari jendela hotelDan seorang penyair mengiraAda lautan di bawahnyaHanya karena ia tak sanggupMeneruskan sajak yang ia tulis untukmu

Cikini adalah mimpi-mimpiDi mana para penyair memulaiDi mana para penyair mengakhiri

39Seperti Para Penyair

Tapi Cikini adalah kengerian kiniOrang-orang berpesta Di antara gelak tawa dan segelas coca-colaTak ada cinta di CikiniSelain percumbuan sepiAntara para tuan dan hidup yang nyeri

Seorang selalu tak mengertiApa yang akan terjadi esok pagiDi Cikini—kehidupan dirayakanDi atas panggung kepalsuanDari hidup yang terus menjauhDari asal mula penderitaan.

Cikini, 2016

40 Seperti Para Penyair

Cikini Telah BerlaluHujan hampir redaTapi kadung aku terjebak

Betapa usang cintaBetapa memabukkan kenangan

Penyair telah menguburkan rinduDalam sajak-sajak dagingatau cinta yang menjengkelkan

Kita telah sama terjebakDalam kurun kegelapanDi mana puisi tak lagi bisaDilukiskan atau diperdengarkan

Puisi telah jadi basah kuyupOleh deras hujanAtau dipentaskan bersama lagu disko

41Seperti Para Penyair

Musim semi puisi takkan kembaliBagi tanah keterasinganKita hanya akan tersesatKita telah dikutuk Oleh dingin dan kesunyianSebab mengira puisiBisa hadir dari kesemuan

Tak ada puisi di CikiniPuisi telah sembunyiDi lorong-lorong hotelAtau di antara lidah-lidahPuisi telah jadi keluSebab Cikini kini telah berlalu.

Cikini, 2016

42 Seperti Para Penyair

Kota Yang LaraKita menatap angin dan kaca jendelaKita bertanya untuk apa waktu?Di kota larantuka menjelma nafasKerja kita adalah menyulam lukanya

Saban pagi kita terkoyakOleh kehendak yang dipenjarakan ruangJam dan dinding-dinding bekuKita mahluk degil yang urung menjadi bebas

Ketika sore kembali malam melibatkan kitaSelalu dalam sia-sia di antara gelak-tawaKita paling pandai menyembunyikan deritaSeperti kereta yang terus melaju dari KotaJiwa kita tak pernah pulang

Kita terus berangkat dari penderitaan ke hayalanTak pernah menuju pulangSebab waktu adalah kepergian senantiasaLelah adalah gelombang ratapDukanya kita pendam; tangisnya semayam

43Seperti Para Penyair

Angin toh tetap semilir; pohon toh menghijauKita mempertanyakan kematian benda-bendaSeolah kita karib dari seribu kematianYang menempel di jidat museum, galeri seniKafe dan toko buku yang kita kira altarDi mana kita akan dibebaskan?

Pagi selau kembaliKita diburu lagi oleh setan dalam diriBayangan-bayangan kehampaan dan ajekKita melawan dengan apa? Kita berjanji untuk siapa

Kita tak perlu memiliki apa-apa;Sebab di kota semua benda adalah kebohonganSaat tawa dan canda kita menjadi benda-benda matiKita pergi mencari cawan yang menyimpan sisa rinduTapi rindu telah beku oleh dingin tatapan mata

Belati mencuat dari mata para penghuni kotaSeakan membedah relung sukmaAku tak sanggup! Oh tapi tiada jalan pulangSemua waktu menuju pergiKepulangan hanya ilusi abadi.

Jakarta, Agustus 2015

44 Seperti Para Penyair

Selamat Malam Jakarta..Kita adalah nafsu-nafsu yang memburu cahaya, seperti laron yang kehilangan musim hujan dan sisa gerimis di lampu mercury. Kita adalah balada malam yang terlalu intim dengan sukma yang lara. Kita adalah kebisuan yang tak pernah sanggup berkata. Kita diam memaku memandangi onggokan nafsu dalam diri yang muram, celaka dan terbakar. Kita lelah tapi urung merasai payah. Di kota ini kita adalah makhluk lain, melompat dari dalam diri tiap manusia. Kita terkubur dalam sesak, kita terdesak dan… Ah malam kian larut sayangku. Selamat malam Jakarta..

Jakarta, 2015

45Seperti Para Penyair

Kota Dalam 5 Paragraf Tanpa Jeda Dan DialogBeginilah kota, siapa sangka tentang hari ini, siapa yang menimbang waktu kemarin. Inilah kota; ketika malam lampu menyala, tiada lagi biduan atau seonggok nestapa, semua ceria; kita mabuk sampai payah. Dan aku? Aku mabuk sendiri dalam kamar jiwaku, kubuka pintunya tapi rupanya tiada pintu, jendela hilang, aku dalam pengap. Jiwaku renta? Barangkali.

Tapi jiwa-jiwa mudah menjadi kanak-kanak di waktu subuh ketika dingin dan merasa sepi. Jiwa-jiwa yang kesepian adalah nyanyian subuh yang abadi sampai mentari kembali dan gambar kota memajang layarnya. “Kita menonton diri kita sendiri; kita mencari diri kita sendiri. Dalam kerumunan yang sama saja.”

Tapi apakah kita kerumunan yang sama? Kita menolaknya tapi takdir di kota merenggutnya. Maka tiada jalan menjauh tiada tempat menenggak anggur bersama kitab suci yang dibacakan dengan gelisah; kita tak tahu arti, kita tak mencari makna; kita menghabiskan waktu sambil berusaha keras merasai kehilangan.

Kita berkaca dalam segelas kopi, dalam cahaya bir atau wiski; melihat bayangan sendiri dalam kepulan asap rokok. Kenangan kita terbakar, kita yang membakarnya, bukan dengan api tapi dengan asap yang memadamkan impian kita tentang keheningan. Kita ingin menjauh tapi tiada bebatuan atau kepurbaan yang membuka jendelanya di tengah kota. Hanya pintu-pintu bus, angkutan malam, taksi berderap dan kita menembus kabut, pulang ke rumah yang entah rumah siapa. Kita tak mengenali rumah kita sendiri, kita tak pernah mencuci kaki di rumah atau membasuh batin yang belepotan oleh debu-debu kenangan, mata yang penuh kengerian, jiwa kita kian hampa—tak ada waktu sayangku!

46 Seperti Para Penyair

Malam selalu kembali, lalu kenapa? Pagi selalu kembali lagi, kita mengurus janji pada subuh, pada kabut pada dingin—anak-anak kita belum bangun sayangku, kita harus pergi, biarlah anak-anak kita diurus Tuhan. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang. Di kota Tuhan ada dalam kesibukan kita. Siapa sangka siapa nyana, kita mungkin durhaka, tapi kota ini begitu macet, Tuhan pasti memaklumi. Ah kita ini sayangku begitu mudahnya bicara dengan Tuhan seolah Tuhan bos atau bayangan-bayangan yang sempat menilik jendela lewat otak kita. Itu juga kalau otak kita masih tak terlalu sempit karena sesak oleh kebencian, kemunafikan dan rasa pahit dari kemurungan-kemurungan karena meratapi sepi dan sakit hati, caci maki, agama-agama yang dibuat oleh manusia-manusia. Aduh sayangku mana sempat kita melalui malam sambil berbelanja kenangan di pojok-pojok toko sepatu, kedai kopi atau segala yang ingin kita singgahi dengan kerinduan paling purba yang pernah kita susun menjadi gurindam jiwa—tanpa bait, tanpa bunyi-bunyi, tanpa spasi.

Kalibata, 2015

47Seperti Para Penyair

Wadag Waktukekosongan yang menjulang di matamumenarik keheningan ke dalam wadag waktubeku waktu-waktu akan berlalu waktu-waktuwaktu-waktu akan beku dan kita tinggal separuh—

kebekuan menggenapitapi tiada pernah kan sekutusebab jauh adalah hening abaditanpa selubung atau rindu

kita adalah mahluk terbuang yang asik dengan onggokan ketidakmungkinankita adalah luka-luka yang menitip batasmencari ujung-nun;

setiap langkah adalah waktusetiap waktu adalah bekudalam kebekuan kita rayakan waktusampai kekosongan tinggal dalam rumahah lalu pada siapa keheningan dititipkan?

Jakarta, 2015

48 Seperti Para Penyair

Elegi HeningKita terguncang oleh heningDatang menghanguskan waktuYang telah ditempuh oleh kelahiranDan kematian seperti subuh yang berlaluLalu esok kembali lagiBersama hening yang menghempaskanBerabad-abad Aku.

Kegelapan menjulangTapi subuh tetap membayangPara penyair tergolek sembahyangMenunggu kedatanganTak pasti wujudnyaMelemparkannya dari puncak kesunyianHingga terjatuh dalam keterjalan

Tapi luka tiada sembuhkan rinduTapi perih tiada hilangkan sepiPeluk aku dalam subuhmuJika kata-kata menjelangKutitipkan untukmu waktu

Jakarta, 2015

49Seperti Para Penyair

Ode Buat MalnaSahur tak menjanjikan apa-apaTapi subuh barangkali—Menawarkan kata-kata

Buka pintumuLapangakan rasaAngin kan mengantarnyaKata-kata;

Kata-kata lebih tua dari bahasaKata-kata menjelma cintaDan bahasa hanya mainan keindahanDan bahasa seketika hampa sajaKata-kata menjerat kita Di pelataran bahasa—tanpa rumah

Kata-kata merebahkan surgaDi ranjang subuhBahasa menyelimuti mimpiKita terbangun mencari kata-kataBahasa tertinggal di pintu belakang.

Di Kamar, Kalibata, 2015

50 Seperti Para Penyair

JarakKabut menjauhDalam hatimu luruhKita terengahCerita berlaluJarak adalah masa laluKita kian terengahDengan hidup yang baru!

Jika ada sore seperti sore waktu ituJika ada malam seperti malam kiniHari ini dan esok tiada kan rupa kenangan

Tapi kenangan seperti dupaMengepulkan wangi masaSetiap kali menghirupWaktu menarik ke jantung degupKita mabuk sejadinya.

Dalam kemabukkan kita adalah dewaTahu benar waktu dikutuki masaKan sampai juga ujungnyaPada kesatuan yang satu.

Jakarta, 2015

51Seperti Para Penyair

PergiBukan rindu benar memahat jedaHanya waktu menyilangkan rasaAku tahu apa rasanya Sejenak yang mendalam

Kita bertatap dan tahu takkan kembali Dikutuki kenang dipeluk laraBila waktu kembali kita pergiBila kita pergi takkan menoleh lagi.

Jakarta, 2015

52 Seperti Para Penyair

LeburLebur aku..leburkan aku sayangkuDalam padam yang tak kunjung..Peleburan ini nisbi dari hariban asmaradanaYang tak kunjung lagutLebur aku dalam...

Rahim cintamu, maniskuLebur sukmakuLagut kita dalam duka laluKini cinta, esok punSeperti pohon ek menjuntai subuhKita nyaris lebur—tapi tak.

2015

53Seperti Para Penyair

Melodrama I“Hembusan nafas kita penuh lukaHembusan jiwa kita kian terluka.”

Itulah pengantar melodrama dimainkan tanpa suara, Musik-musik paling sunyi Di lembah ngarai kepedihan dari semenanjung asmara

IIObor-obor dimatikanPanji-panji diturunkanOmbak terdiamDalam khidmat kehilangan Dukamu melarungkan masa laluTentang cinta yang tertundaTentang hati yang tak sempat dimengerti Kau pun berduka sendirianBersama kabut dan lautanSenja dan kilatan pelangiBagimu tinggal kenanganDan aku debur bagi malam lalu. 2015

54 Seperti Para Penyair

Kepada Puisi Kutuliskan sajak-sajak dari kenangan purba, supaya matamu menembus pandangku; supaya mungil bibirmu mengucup jiwaku—lalu kita sama berlari dari ketakutan; menahan diri dari kesepian supaya tabah pada gelisah.

Jika nanti aku menua dan rapuh, tataplah dunia dan menarilah: menjauhlah sampai ke puncak tinggi. Supaya bisa kupandangi kau yang dahulu—dan biar kupeluk ketakutanku sendiri sambil kurapikan bantal tidurmu, baju tidur dan sepatu bidadarimu; kunyanyikan lagu-lagumu biar pasti kau tak mendengarnya lagi. Cicak di dinding tengah merayu malaikat di matamu—jika saja kau ingat?

Tak ada kata-kata mesti diucap, bukankah kita telah begitu lama bercakap-cakap? Tiada duka kan melanda, bukankah dalam mimpi saja kau kudekap? Tiada lara kan berjelaga dalam jiwa, bukankah kau yang mengantarkan surga? Mari kita menari saja seperti biasa ketika senja tiba—sebelum malam menjemputku kembali pada sepi.

Jakarta, 2015

55Seperti Para Penyair

KekosonganKekosongan adalah kesumat yang menanggung lara dari omong kosong tentang fana. Siapa yang kau pandangi, apa yang kau pandangi, adakah rindu telah meluruhkan dirimu sendiri ke dalam hariban dendam? Kita makhluk kecil, hanya melewati kerikil-kerikil waktu supaya perjalanan terasa, supaya ada rasa, sebab tiada rasa berarti binasa, direnggut ilusi sendiri tentang kemulian perjalanan; kita bukan apa-apa, tak perlu menjadi apa-apa, kita hanya harus berjalan, menginjak kerikil-kerikil agar tak sempat menengadah pada kesumat. Kita adalah raja, pengadil bagi diri—biar telah pasti akhirnya sendiri. Tapi tak perlu takut pada sepi, biar sepi biar sendiri—tapi raja atas kehendak diri. Kita makhluk kecil, tak lebih mengharukan dari malam kelam dan kekosongan. Kita bukan siapa-siapa, tak perlu kecewa pada kesumat dan sepi.

2015

56 Seperti Para Penyair

Ia Kehilangan Tiap Kali Segelas Kopinya Tandas—Lalu Kekosongan Merenggut Kisah CintanyaJika saja malam itu kita bisa terbang bersama menyusul ge-mintang di mana kita pernah mengira akan bersama—kita akan mengenang malam-malamnya bahkan ketika tanpa terasa kita telah berada di sore yang berbeda.

Di mana kau sekarang? Aku menekuri angin dengan pen-deritaan yang kurayakan bersama kembalinya malam. Seti-ap malam kukira kita akan bertemu kembali di jalan-jalan, atau di kafe-kafe atau di antara dosa-dosa yang nyaris kita samakan dengan segelas kopi, omong kosong dan kepulan asap kesia-siaan.

Cinta sayangku, adalah kepahitan murni yang dicecap dengan angan, kita tempuhi jarak tanpa batas, melarung sehelai harapan di gelombangnya lautan; cinta tak pernah menyatukan kecuali karena angan—dan rindu adalah semu yang maha abadi.

Cinta yang sirna adalah hembus angin yang menabrak kelopak mata penyair; ia kehilangan tiap kali angin mem-belai angannya akan cinta, ia kehilangan tiap kali segelas kopinya tandas: lalu kekosongan merenggut kisah cintanya.

Maka ia tuangkan ke dalam gelas kopinya debu-debu kenangan—seperti debu-debu ia adalah waktu-waktu yang menempel di dinding-dinding kota, sebelum akhirnya malam merenggut kotanya dan hujan membersihkan debu-debu kenangannya; ia kedinginan, membeku dalam sendirian—seolah telah ditakdirkan demikian.

Jakarta, 2015

57Seperti Para Penyair

Nyanyian Buat IdakuIdaku,Betapa fananya waktu ya? Kita dulu remajaCintamu seperti duka di jendela kacaYang kau titipkan di malam kesepuluhDari penantian yang tak kita kira abadi.

Jika saja pernah kuhelaAngin di antara rambutmuJika saja sekali rasakuLabuh di pipimu—Tentu kan kucari kauSampai tenggelam AkuDalam luasnya deritaSebab kerlingan matamu lautan Dan sukmaku abadi Dalam nyanyian rindumu

Kini kau tanggung deritamu sendiriAku hanya penyair sepiYang gagal menulis puisi kembaliWalau saban kali kuratapiMasa silam dari malam di pipimuIdaku, aku pergi...

2015

58 Seperti Para Penyair

Pedupaan Dari Lara JiwamuPedupaan dari lara jiwamu mengepul menyihir seluruh malamku. Dukamu seperti gemerincing dari bunyi-bunyian penari. Aku sepertimu seperti mereka, ketika malam melepaskan diri dari kesia-siaan waktu; untuk mendekap beban dari jiwa-jiwa lara.

Kita menari dan mengira kebahagiaan adalah tumpukan keriuhan; mereka menari dalam hening bisu, menangis melihat riuhnya tarian kita, yang latah pada gelak tawa sebelum tersungkur dalam pedupaan jiwa di mana tangis tak lagi berarti cinta dan kebisuan tak lagi berarti apa-apa.

Laranya jiwa adalah mantra, bahasa duka adalah cinta yang nyata. Kulihat penderitaan di mana-mana, benda-benda jadi serupa apa adanya; sebagaimana kita tak pernah sama dengan kebekuan dari dingin yang lagut, atau malam yang berjelaga bersama ratap para perindu yang sengaja berjarak dari cintanya.

Kita telah menjadi gila karena cinta. Cinta telah merentangkan jarak tapi tak pernah memutus batas. Cinta bukan cakrawala atau ladang bunga-bunga. Kita tak pernah tahu sayangku, sebagaimana malaikat-malaikat kasmaran yang tak pernah tahu sayap-sayapnya sendiri; atau burung-burung yang tak pernah kita tahu ke mana terbangnya.

Hanya karena cinta penderitaan jadi kuntum bunga dan rindu jadi ladang cakrawala. Ia yang kelana siapa yang tak rindu rumahnya? Ia yang rindu siapa yang tak menangisi waktu? Ia yang menanti siapa tak luka jiwanya? Hanya karena cinta kita sanggup mengabaikan semuanya.

Jakarta, 2015

59Seperti Para Penyair

Elegi SepiKecamuknya sepiAmuknya sunyiNyaris pagi kali iniKetika puisi menyatakan janjiTapi tak jadi—

Aku kedinginanNyaris tumbangSegala macam bimbangSebab hati dilanda gamangDosa dan pujianDalam hati juga semayam

“Tuhan ampunkan sunyi sepiku”

Dalam jelagaku; Bagaimana hendak menipumuJika gamang dan pujianPadamu juga dikembalikanDosa saja tertinggal;Dalam hati juga semayam

Puisi adalah jembatan sepiDi ujungnya sunyi menali Setiap hati kan juga kembaliDan puisi adalah hatiTak memerlukan kata atau arti

Tuhan izinkan aku menunggu puisiBiar kubawa serta kembali.

2015

60 Seperti Para Penyair

Pada Akhirnya Kita Jadi AbuAda ribuan kata yang akhirnya jadi sunyiSewaktu malam jadi mencekamMembenam dalam kebekuanSewaktu hidup hanya bayangan

Pada akhirnya kita jadi abuTerbang di pemakaman waktuSewaktu hidup melemparkan kitaKe dalam hening tanpa jendela

Kita menari di siniMerayakan setiap detik yang berlaluTak pernah tahu waktu yang nantiBersekutu kita bersama desau bisu

Sudah kukatakan padamuAku segaris tanpa warnaDari ribuan warna di kanvas kalbumuYang rindu selalu pada waktu;Sedang kau dan aku terjebak dalam semu

Jakarta, 2014

61Seperti Para Penyair

Surat Yang Tak Kunjung Jadi ; susan gui

Pipimu rembulan merah Aku rentang jarak meruahKelopak matamu gundukan waktuAku sajak piluRambutmu alunan komedi RomeoAku sajak Suto

Telapak kakimu pasir sehalus kabutAku gemuruh ombak merenggutAlismu pucuk sunyiAku jalan mendakiPayudaramu bebatuan suciAku perahu kertas di deras sungai

Jemarimu puisiAku kelam di malam sepiBibirmu sayap merpatiAku surat yang tak kunjung jadi

Engkau waktu yang berhembusAku peziarah yang terbius;

Pada kalbumu kutuntun pilu rindukuPeluklah tangisku atau tawa kelamku

Malam tambah biruKututup jendela kamarkuBarangkali di luar rembulan berpendar kian membiru…

16 Maret 2014

62 Seperti Para Penyair

Milik siapa subuh yang beranjak nanti? IHela nafas kita di ujung rembulanDi loteng-loteng Jakarta yang menuaKita terbaring dengan kelesuan

Menyaksikan orang-orangYang tak pernah merengkuh malamAtau menyimak rembulan di pematangMereka kan menua dan terbataBertanya-tanya“Sejak kapan rembulan berpendar?”

Kita menutup jendela dan pintuKita tiba-tiba begitu muda; Kita tiba-tiba begitu tua;Betapa sepi waktuBetapa perih keberlaluan

O, milik siapa subuh yang beranjak nanti?

63Seperti Para Penyair

IIBuatlah ini baik-baik, katamuKulihat pada matamu, membidikmuPersis pada keterasingan kita………………………………..Suara sukmamu mengalun menderuSeperti nyanyian ombak Berhambur dari kedalaman nun jauhDari kekosongan yang dinamai kasmaran

IIIKita harus bicara, katakuKau membidik pada kalbukuMemintaku rehat dari sia-siaTapi aku menatap tegak ke langitMenembus awan dan sunyinya kabut

Aku balik membidik matamuKita harus bicara, kataku; Mengisi lagu-lagu dengan jeritanMengisi kehidupan dengan kata Bahkan kematian memerlukan sajak pengantar;Tentang malam berkabut kenanganDi subuh saat hutan-hutan masih menyisakan dinginTangga-tangga dari bebatuan berlumutSinggah para pejalan menyusuri puncakAtau sungai-sungai dengan batu-batu bekuTapi tiada sukmanya meratap pilu

64 Seperti Para Penyair

IVKita begitu kecil ya sayangku? Kita begitu hampa ya? Jika saja aku tahu tujuan dari puncak-puncakJika saja tangisku cukup membayar keterasinganmu

Aku rasanya kehilangan, atau tak pernahAku rasanya rindu, atau telah jadi menunggu

Milik siapa subuh yang beranjak nanti? Kau sesenggukan Subuh memeluk rembulan pelan-pelan…

16 Maret 2014

65Seperti Para Penyair

Barangkali Menjelang Subuh Engkau TibaIAku dihempasTerlempar dan kecewaSungguh pun aku terimaBetapa inginnya Merengkuh dinginWalau hampa dan terlukaTapi biar, asal bisa lagi Kulayari ombak Lautanku Lautanku Pilu

Malam membisuHasratku menariJarit-jerit kesunyiankuAdalah lolongan sejauhnyaBetapa aku cinta…

66 Seperti Para Penyair

II

Ajari aku memendam lukaAku tahu kau mungkin takkan tibaKau nyanyian lukanya jiwaKau menjelma puisi dan nyawa

Tahukah bila malam tiba aku berjelagaMembuka pintu dan jendelaKatamu cinta tak pernah tiba-tiba;

Cinta selalu pilihanUntuk saling memendam lukaUntuk saling menahan bahasaBarangkali menjelang subuh engkau tibaCintaku…

Jakarta, 2013

67Seperti Para Penyair

Nyanyian Bandar KotaKapal-kapal tua rebah Di antara jangkar-jangkar lelahMenali sampan jiwa Agar tak menjauh ke dalam luruh...

Hujan berkabut; Aku telah pergi dari dingin malamDengan rasa sakit yang tak kutahu untuk apa?

Jiwaku menyusuri hutanMencari kembara jiwaSembunyi dari waktu Dari laut dari debur Dari hasrat dari cinta Yang ingin meminangku ke dunia baru.

Tiba-tiba lautan menjadi kotaKota-kota riuh—lalu sunyiLebuhan menyisakan sepiBandar-bandar berganti sunyiLampu-lampu kota menjadi heningAku bersandar pada malam Yang setia merawat kenangan.

2013

68 Seperti Para Penyair

Hasrat Telah luka jiwaTelah nganga lukaTelah berlalu waktu

Masih kah kau ingat tarian kitaDi pinggir lautan Dengan debur yang terbuat dari kegelisahan Dari ombak lukaSeperti subuh tenggelam di ujung lautan Dan gerimis menelan kita dalam kemabukanSunyi ya?

Punggungmu laut kelamkuKutitipkan hasratku Gelombang dari samudera larakuO, betapa jauhnya cintaBetapa dekatnya hasrat, ya?

Hasrat yang membuat sampan Sebelum cinta kembali tenggelam Dan kita kembali menjadi buih Menyapu namamu dan namakuDi atas butiran pasir nun rapuh

2013

69Seperti Para Penyair

Malam di Jakarta Di Jakarta sayangkuMimpi setiap orang untuk mati sendirianDalam sepi sunyi dan sia-sia

Ada lagu-lagu yang tak kunjung berhenti Ada rindu yang tak menemu jalanPulang ke peraduan

Kita semua sendirianDi atas ranjang atau di halaman rumahDi hotel di kafe di kereta di jalan-jalan

Jiwa kita terlukaSebab rasa bosanSebab terkutuk oleh cinta yang terburu-buru

*

70 Seperti Para Penyair

Di Jakarta malam adalah mimpiKita bermimpi tentang esok pagiTentang segelas kopi atau tentang apa sajaYang tak mungkin kita miliki

Tentang cinta yang asingRindu yang tak masuk akalHanya karena kita mengiraSeorang datang membawa senyumanMenunda kita dari lelapYang sama menakutkannyaDengan keinginan kitaUntuk duduk bersamaSebelum sejenak lalu tahuKita mesti pulang pada kesia-sian yang sama

2013

71Seperti Para Penyair

Apa kau masih percaya waktu menuju kepada jauh?

O, pernah ya dalam sunyinya pagi berkabut tipis di antara dingin dan sisa hujan yang malas menyanyikan madah hening; redam kalbuku memburu kenangan yang kini tergolek di atas ranjang yang telah dibersihkan dari bau hujan musim lalu. Apa kau masih percaya waktu menuju kepada jauh?

Bukankah telah kita pahami antara kita waktu adalah kenangan fana menjelma labirin di mana jalan yang kita tempuhi adalah awal setiap kepergian dari mana kita sempat mencintai puisi dan bermimpi; dan ketika hujan menderas kembali, kita telah berlalu dari kenangan.

Lalu pada malam berkelindan lara kudengar nyanyian sukmamu: “Bahasa adalah jembatan panjang menziarahi kenangan.”

Kita tak pernah tuntas pada waktu, tak usang pada lekang dari zaman yang gemar merayakan lupa; di tengah pesta pora kota yang berubah menjadi payung hitam bagi cakrawala keadilan yang mengaisi sisa hujan dari kelopak langit di mata seorang perempuan dan anak-anak yang kehilangan.

“Sayangku, kukucup malam lain dan kupagut. Selamat jalan, tapi pada jalanan panjang kita kan semaikan bunga-bunga keadilan.”

12 September 2013

72 Seperti Para Penyair

Sebuah Pemakaman Bahasa Di Atas Kasur Tiba-tiba bahasa berubah rupa menjadi panti jompo, aku seperti kursi roda yang menunggu kerapuhanmu tersebab luka dari rindu kalbumu yang menua. Pada jendela kamar berlumut ketabahan, bibirmu kukucup dengan ragu, seketika aku berada di gerbang kalbumu yang menyeruakkan aroma kepiluan paling dalam dari bahasa yang urung terlafadzkan menjadi air mata di kelopak matamu yang landai seperti kepiluan di tebing keheningan—dahulu di jendela kamarku senyummu tertinggal di kaca jendela sebelum jatuh dalam segelas kopiku; di sana seorang gila terbenam dalam irama tari-tarian dari suara kalbu yang tertahan dalam kelam ngilu dari bahasa yang kehilangan cahaya dimatamu; “barangkali dicuri seekor kucing yang menyembunyikan rindumu dibalik matanya”. Katamu.“Ah seandainya aku bisa menjadi lampu kota di tengah harimu yang sudah jadi malam.” Jawabku.Aduhai alangkahnya malam ketika kutemukan pemakaman di atas kasur tidurku dengan nisan yang diukir dari tarian paling ria pada pualam punggungmu di mana masih bisa kusesapi wangi aroma kembang kertas dari tumpukan bahasa yang terbaca sebagai masa silam. “Di situ dulu cinta dimakamkan, telah lama seoarang yang gemar dengan hujan bulan September tak datang menziarahi; barangkali puisi lupa menunjukan padanya jalan kembali. “ Katamu.Ah, hari sudah jadi malam rupanya, kukucup sisa bibirmu dikaca jendela. Tapi di luar hujan pelan-pelan mencuri bibirmu dariku. Selamat malam…

Jakarta, 2 Desember 2013

73Seperti Para Penyair

Bukankah itu malam yang kemarin? Bukankah itu malam yang kemarin? Seperti rasa didekap gelombang, menunggu pasang di waktu subuh nanti menjelang; apa kita kan bertahan? Kita yang terlalu dini menjadi sepi sebelum sempat menempuh sunyi. Hai lihat, bukankah itu malam yang kemarin? Lalu cahaya meredup di jendela—redup pula rasa di sekujur jiwa, ah...

Januari, 2013

74 Seperti Para Penyair

Di Kota Tanpa Nama Di kota tanpa nama, apa aku tersesat di antara ribuan kehilangan-kehilangan yang tak bernama? Tak ada duka lara cinta dan hampa tak ada; yang ada tak ada; memang demikian engkau dan aku ada di tengah kota tanpa senja tanpa sungai tiada air tanpa kebanaran dan kesalahan kecuali semua benar kecuali semua salah; hanya ada aku hanya ada engkau, tak bisa sembunyi sebab dinding-dind-ing telah berganti gambar-gambar tanpa kata, tanpa angin dan jelaga makna; hanya menyisakan satu cahaya mengukir nama yang bukan aku menamai kecuali engkau menyebut namamu sendiri; aku gemataran seperti sekujur nyawaku ditali oleh namamu, jangan mengagetkanku, aku gemetaran; gemataran-gemetaran; dingin membekukan, apa aku gila?

Rangkullah aku hingga hilang seluruh, ya memang aku milikmu, hilang bentuk kembali menjadi kau; ya memang padamu lah aku berkisah dan menyembah; dengan rindu tanpa tanya, ya padamu lah aku ingin di ambil dalam kemabukan yang memurnikan kenekatan kesadaranku keharibanMu.

2013

75Seperti Para Penyair

Sunyi

Tak ada kelambu rindu bagi dingin di malam kelabu; se-jengkal jarak dari jiwa yang mengamuk meluluhlantahkan setiap gejolak; mengubahnya menjadi diam yang mele-satkan segala gerak. Cinta menjelma onggokan bisu dari karang dada menyesak; kapankah ia berganti rupa? Jadi deburan ombak, menggelombangkan hasrat rindu agar terpecah sunyimu.

Aku menelan sendiri ribuan tanya—pada wajah lelapmu berganti menjadi rahasia paling purba di mana gelap dan cahaya dipersatukan oleh kegamanganmu. Cinta yang dulu hamparan kebebasan kini menjelma bulir dari tiap keteras-ingan; Aku jadi senyap, jadi sebutir awan jadi sungai yang mengalirkan air ke jauh; tak pernah tahu perahu kertasmu di hilir yang mana, lalu malam berakhir dengan segala kebisuan; bagai air surut dari kali jiwa setelah gemuruhnya hempas ke dalam bisu.

2013

76 Seperti Para Penyair

Malam di Mata Lembutmu: Susan Gui

Malam sekarang bukan malam kemarin, tapi malam memanglah malam pada malamnya yang kelam; dihujam-hujamnya segala yang tajam ke dalam dirinya seperti sebuah ritual kehampaan; malam muram bagi jiwa yang menyunggingkan hasrat kebebasan.

Tumpah ruah pada malam kini, kesepian pada tempatnya sendiri, sesunyi-sunyinya, disandarkan kepada hening yang nyaris tak dapat dikenangnya.O, ke mana ramai lampu kota dan canda kepiluan dari cinta yang ditaruh di bibir nasib? Pada malam kini tak ada yang mencari malam. Malam pada malamnya sendiri, berjajar seperti barisan waktu yang berdetak lirih-lirih pamit berlalu.

Bahasa tiba-tiba menjadi berat, bobotnya seperti mendung meluluh lantahkan bunyi dari setiap kidung yang dibunyikan dengan bahasa berat seperti suara jazz; tak pernah ingin berhenti dalam jeda-jeda yang mematah-matahkan rasa menjadi gelombang rasa serupa tubuh telanjang di etalase toko yang memajang kenangan ketaktergapaian, duh aduhai... pada tangismu yang tak bisa kudengarlah bahasa kerap kurebahkan; tapi apa kau tahu?

Sebuah tatapan menyelinap, kupandang jelas pada bola mata yang terpelanting dalam kolam jiwa yang maha meragu, pandanganmu yang biasanya, tatapan mata lembutmu...

Kalibata, 2013

77Seperti Para Penyair

Selamat Malam, tapi apakah ini malam? Waktu yang merenggutmu dari takdirku adalah puisi paling sunyi yang digariskan di atas kanvas sebagai lukisan surgawi yang maha ngeri.Tujuh puluh ribu kehilangan yang kutempuhi menjadi rindu tanpa penghabisan; menjelma kutukan bumi dari nyanyian waktu yang menyuguhkan kepedihan; kau kira lukanya disebabkan persetubuhan paling kelam malam itu; senggama dari ribuan nafsu dalam gejolak paling pasang dari gelombang jiwa yang nganga disapu rasa hampa yang ingin digenapi janji persekutuan abadi tanpa dinding dan puisi. Persetubuhan asmara kita malam itu meniti tiap jengkal dari tebing samudara sunyi yang menggelegar di antara leher dan dagumu. Malam kini samudera itu masihkah ada? Selamat malam, tapi apakah ini malam?

Jakarta, 2013

78 Seperti Para Penyair

AsmaradanaDuduk sendiri di etalase waktu yang memajang tubuh mati, senyuman tanpa rona; seperti hujan di terik sewaktu burung gereja kehilangan daun yang menyembunyikan serangga; seolah masa lalu menelan seluruh kota dalam kenangan.

Jalan-jalan kembali asing bersama mendung yang menggenapi petang nan sia-sia; menjadi pemanis malam sebelum kelam sungguh-sungguh membentangkan masa lalu di atas ranjang; telanjang bulat menjadi waktu di jam dinding berwarna kelabu, namun matamu tetap saja rahasia paling sunyi yang dikandung lautan biru—tak kunjung tergenapi; lantaran kepada yang dirindu tak pernah sanggup kehilanganmu mencumbu.

Inilah tangisanku yang tak mungkin kau pahami, lirih jeritnya hanya sepetik tali harpa dalam sebuah pesta pora tentang lupa dari masa lalu yang terlalu pilu untuk dikenang sebagai keberlaluan waktu oleh sejumput hujan yang menepikan namamu di atas pasir dalam pantai jiwaku di mana ribuan kuda pacu tengah menderu menuju kesendirian; menempuhi suara yang membimbing bunyi kepada kedalaman dari ketidaksanggupan menyembunyikan cinta.

79Seperti Para Penyair

Itulah waktu dan ruang bagiku, dan bagimu, kekasihku; dan aku membuat ribuan jendela, aku membukanya beribu kali; berkali-kali tapi tak pernah kutemukan kota, atau jembatan panjang, gedung-gedung tua dengan burung-burung yang melukiskan masa lalu menjadi lebih sempurna dari kesakitannya; dan lorong-lorong sunyi dari kali-kali mati di pinggir jalan tanpa lampu malam di mana dulu kita pernah berjanji berkali-kali untuk saling bertemu kembali.

Aku membuat lagi jendela dari pengapnya ruang yang memenjarakanku tanpa waktu dari detik dan dentang jam; waktu yang kerap menjadi kecil bagi masa depan yang angkuh; bagi waktu yang meresmikan diri menjadi masalalu; dan kubuka jendela, ah tapi semua kembali hampa; tak ada kota yang sama seperti kota milik kita waktu itu, tak ada senja seperti senja waktu itu sayangku; sewaktu kau mengucup bibirku dengan air mata terakhir yang bisa kusingkap sebelum akhirnya kalbuku menggigil, kembali di dekap sunyi, kembali tak mengerti—aku mabuk dan gigil seperti puisi.

Jakarta, 2013

80 Seperti Para Penyair

Nyanyian Sunda KelapaDi antara tali-tali kapal yang mengikat senjaNyiur bau asin pada buruh angkut membisu sajaDi bawah senja di Sunda KelapaAntara kita hanya setapak jarak sajaSungguh pun laut di Sunda KelapaMemajang gambar kesunyian kita

Di Sunda Kelapa kutambatkan cintaPada matamu jelaga menghitung masaKan juga tiba kenangan rebah di dadaSebagaimana kita hendak ke tengah samudera;

Ah di Sunda Kelapa; nyiur angin merenda ceritaAntara kita nanti tinggal kenangan di samudera.

Dari jauhkah dara tiba di Jakarta?

Jakarta, 2013

81Seperti Para Penyair

Alangkah Kanak-Kanaknya CintaKabut menggelayuti sepanjang punggungmu, sisa hujan masih menggenang di antara jalan-jalan yang menyem-bunyikan jejak kahilangan—lalu sebuah puisi tiba-tiba menjelma keheningan rumah dimana kau hanya ingin ber-sandar pada jendelanya; memandangi hujan kian melagut.

“Bagaimana jika kabut dingin itu berlalu dari kebun bunga yang kutanam di pematang kalbumu? Apa masih kau ingat bunyi dari setiap angin yang membawakan aroma asing tentang masa depan?”

Betapa takutnya kita dengan masa depan; sebab di sana lingkaran tanganmu pada punggungku hanya tinggal kenangan; di pundak ringkihku hanya tersisa halus bekas bibirmu dahulu.

Aduh bagaimana aku harus memohon untuk sebuah kenangan? Agar tetap tinggal di antara reruntuhan waktu yang telah memilih berduka waktu itu? Oh jika saja waktu tak pernah terbelah; sebagaimana usia muda mengham-parkan keluasan dan getaran; sebelum sebuah nyanyian mengambilmu dari keriangan. Oh, alangkah kanak-kanak-nya cinta;

Jakarta, 2013

82 Seperti Para Penyair

Tentang Kenangan Di Buku HarianKutemukan kenangan di buku harian, tentang malam dan kesunyian: tentang penantian tanpa musim dan angin, hanya sebuah waktu, yang terlalu pendek untuk akhirnya tahu sepucuk surat cintamu urung terkirim; melapuk dan menua, sepertiku sekarang, sepertimu sekarang. Kamu di mana, sekarang?Kelam menengadah muka di ujung malam; menjadi halaman-halaman kosong dari buku harian yang gagal membangunkan rumah bagi waktu kita yang enggan menjelmakan kuda pacu agar bisa kita melaju ke dalam waktu; di mana kita akan duduk, sambil menganyam kerudungmu agar bila nanti turun hujan bisa kusembunyikan wajahmu dari kebekuan yang menarikmu ke dalam masa silam sewaktu sekuntum bunga seroja menengadahkan kekelaman dari hujan yang menjelma air matamu.

Di gurun yang tiada terik, hujan tiba sepanjang senja, akankah pada kalbumu merentang kelambu dari benang paling halus kerudung kalbumu? Kerudung kenangan yang terbuat dari helaian bulu matamu yang telah jadi kaku sebab dingin dari hujan; kau resapi dengan pandangan penuh duka di antara suara-suara malam yang mengabarkan keberangkatan; bahwa hari itu kita berpisah. Pada hujan sewaktu kita gagal melukis nama kita di kaca jendela. Kita lalu sama beringsut dalam dingin kaku, ingatkah kau?

Aku mencarimu di antara hujan yang merobohkan pohon-pohon, merobohkan pula jembatan-jembatan waktu—itu yang kutakutkan; dadaku menyesak luruh lunglai, terhuyung menembus kabut mencari sepanjang batas gapai, alangkah rindu kalbuku.

Oh di mana jalan agar petang mengantarkan kelam dan bisa lagi kutempuh jalan ketika puisi menjelma hujan sewaktu wajah kita memadahkan asmara di kabut kelam kota saat sekuntum bunga seroja menengadahkan kekelaman dari hujan yang menjelma air matamu usai membaca surat terakhir yang urung mengatakan–aku cinta padamu.

Di Kamar, Kalibata, Desember 2012

83Seperti Para Penyair

Tentang Kenangan Kalbuku di tengah awan mencari sebuah kenangan yang tercuri dari hening masa silam; apakah ini sudah berakhir? Dan bumi meluruhkan sebuah impian yang menunggu waktu ketika seorang akan berdiri lebih tegak untuk mimpinya. Oh..oh.. sebuah suara melandakan keintiman dalam dirinya; sebuah janji tentang waktu yang menunggu: benarkah kau takkan menggenggam kalbuku walau seribu nama–nama kau hapuskan dari keningku?

Ke mana kau akan pergi nanti? haruskan kuturut pada matamu; tersesat lebih dalam ke inti kalbumu tanpa jembatan yang menghubungkan dengan sebuah genta dari bunyi nama-nama yang kau serukan sebagai pemujaan pada kenihilan?

Bawalah kalbuku diam-diam menarikan bunyi dari nama-nama yang dinyanyikan dengan dentuman kenangan akan waktu yang tak mengenal bahasa; bawalah kalbuku diam-diam ke tempat tanpa bahasa-bahasa; tanpa nama-nama; di sana kau mungkin menemukan kenangan–seolah-olah kita pernah bersama…

Maret, 2012

84 Seperti Para Penyair

Tentang Waktu Yang Ketika Sore Hari Tiba Seorang Penyair Gagal Menitipkan Rindunya Pada Masa Lalu

Memanggili hari dengan tahun-tahun dimana sore yang kita lewatkan telah menyadarkan betapa jauhnya kita telah berlalu dari waktu; tentang waktu yang ketika sore hari tiba seorang penyair gagal menitipkan rindunya pada masa lalu.

“Aku tahu apa artinya senja yang berakhir hari itu? Betapa kita tak pernah sanggup menyandingkan senja dengan hujan yang melanda kota; di mana kita pernah ingin menangis sebeb cinta rupanya adalah kerinduan abadi senja kepada hujannya. Ah..”

Kenapa hatimu begitu tertutup? Adakah ketakutan pada rindu mencegahmu lelap di bantal masa lalu? Seperti penyair yang tak akan pernah memahami puisinya sendiri.

Sesekali seorang penyair boleh gagal menulis puisi. Dan ia akan lagi teringat kepada anak kecil yang mengira ranjang tidurnya adalah panggung dimana semua orang siap melemparinya dengan bahasa sampai ia terbakar; dan seorang penyair menulis sajak untuk puisinya hari itu:

“Adakah ketakutan pada rindu mencegahmu lelap di bantal masa lalu? Seperti penyair yang tak akan pernah memahami puisinya sendiri.”

Jakarta, 2012

85Seperti Para Penyair

Pelukis SenjaPada pudar kelamnya remangKejauhan memancangkan waktuUrung menggambar piluCerita berlalu bekuDileburkan waktu jadi debuKita yang menunggu hujan musim lalu;Barangkali menempel di dinding kalbumuAgar bisa kau kenang musim berlalu

Maka bila musim sunyi tibaKita bertahta di atas ranjang jiwaMenarikan iramanya hidup Kita tak lagi bertanya...Barangkali hidup memang bukan tanya, yang hendak kau jawab dengan membuka lembaran lama

86 Seperti Para Penyair

Hidup adalah tari-tarian tanpa jedaDari irama makna yang kadang tak terduga Tapi kita sudah berusaha menarikan hidupSeiring cahya senja ketika musim berganti rembulan

Maka tak cukupkah ribuan tanyaYang berbaris bagai kabut pada gerimisSebelum hujan membadaikan sia-siaDan senja habis disembunyikan pelukis senjaatau dalam kolam jiwanyadari segelas kopi yang menjelmakan matamu; yang dahulu.

Jakarta, 2 Juni 2012

87Seperti Para Penyair

Hari BiasaAndai ada embun di siang terikAtau yang serupa dengan beningnyaDalam sebotol wiskiAtau segelas kopiYang menyamar jadi embun?

Andaikan?Tapi sayangnya tidak adaDan hari terik melecut kembaliSeperti biasanyaDan kita tetap tak kuasa pada waktu.

Jakarta, 2012

88 Seperti Para Penyair

Waktu Yang BerlaluRibuan kapal bersandar di kalbukuusai lelah melayari gelombangdari hidup yang membadaikan pilu

malam jadi muram dalam temaramcahya dalam kapal dari kalbukuenggan tenggelam di dangkalmasih mau layari ribuan gelombangdemi senja yang dulu kau janjikan

maka pada malam kini yangmelukiskan semenanjung dalam kebisuanmuaku talikan rindu kuikrarkan waktu agar pada waktunya datang padamusebuah sampan mengantar ratap kekalahanku

Jakarta, 6 Mei 2012

89Seperti Para Penyair

Senja Terakhir di Bulan MeiDia datang membawakan petangKelam jadi selendangKerudung merah warna senja Bersulam renda kenangan hampaDari masa lalu yang sia-sia

Hujan melandakan kegamanganPada lagit yang memancangkan kehilanganSeperti ribuan kupu-kupu mona yang terbang membentangDisergap dingin ketakutan dari hutan kematian-kematian

Jakarta, 27 Mei 2012

90 Seperti Para Penyair

Kamala IPetang adalah petaka bagi kesunyianIa melandakan kenangan ribuan kematianSeperti ranting pohon ara ditebas rembulanPatah layu tua sebelum megucup bibir Kamala

Sudah ia susuri belantara Mencari yang sirna oleh kutukan dewaSetelah terlempar jadi manusiaDan jalanan memabukkan kerinduannyaPada tuak dan candu nasib yang terlalu maha;Sunyi, penolakan, terbuang dan menua ia

Maka pada sebongkah payudara dari senja kelana Ia reguk setetes susu dari kuncup puting lukaLalu terdiam nganga ia menyaksikan KamalaRahasia dari ribuan jalan kembali ke mulaYang dikandung di bibir merah ara

IIDalam kegelapan tergolek ia seperti srigalaKedinginan dan sepiTapi hati enggan menyusun kembali janjiUntuk menukar waktu menuju jalan kembali

Nasib hanya sekali, sisanya sepi…

Jakarta, 27 Mei 2012

91Seperti Para Penyair

Bagaimana jika hanya sia-sia? Aku mungkin tidak akan datangPulanglah sebelum senja jadi petang

Pada setiap perjanjianDari sebutir hujan di tepian kelopak matamuAir matamu kau ikatkan pada waktuAgar rindu menjelma kenanganBagaimana jika hanya sia-sia?

Sudah kupilih jalankuBekal kenangan terdalam Sewaktu nasib membangunkan peraduanDari asmara yang mengeja masa Dari keraguan yang menjelma hampa

Sudah baik padamkanUnggunan api yang kau nyalakanSebelum kau habis terbakarHilang sekejap jadi abuJadi waktu yang berlalu.

Juni 2012

92 Seperti Para Penyair

Malam Makin KuyuhMalam makin kuyuh hatiku mengaduh cahaya lampu kota jadi penyempurna samsara.

Seperti Sidharta yang terluka di bawah kuncup bibir KamalaTersesat dikota dengan gedung berdinding kenanganRiuh dalam soneta keheninganTua berabad-abad mengejar angin menyemai debuDi ujung gelisah rupa tertuju.

*

93Seperti Para Penyair

Bagamna jika kota menjelmakan sia siaKita yang berabad berjelaga di malam cahyaTapi gelap kan melandakan juga masa

Aku menepi ke tepi sungaiMendendangkan lagu Seribu masa lalu yang memburuSebelum akhirnya tenggelam Menjadi batu, menjadi angin, menjadi cahayaMenjadi hujan; gerimis yang membasah di pipimu.

Pasar Baru, Jakarta 29 Juni 2012

94 Seperti Para Penyair

Deru KeterasinganKuncup malam dalam detak dan jeritanPesta ribuan suaraMemanggili namamu dalam jelaga

Kulihat padamu berbenahSegala dirimu kau susun rapiMau menempuh jalan menjauh

Hilang ditelan kabut dinginDi antara pepohonan sunyiDi bawah kabut lembah Merbabu Kau diam kaku menyusun lagu-laguTarian kalbu dari dendang waktu Yang sesak menunggu

Aku tersungkur di depan pintuKulihat padamu duduk menungguTabah benar menggambar rinduBagaimana jika aku takkan datang padamu?

Sudah kupilih jalankuDi tengah malam kulihat bayanganmuSeperti cahaya senja waktu itu…………………………

Sudah itu kita sama berlalu.

28 Juni 2012

95Seperti Para Penyair

DesemberDesember akan segera berlalu rembulan masih di situapa kita masih akan merindu?

Kita duduk memandangKita diam mengenangLupakanlah bahwa kita akan duduk berhadapanDi tepian laut Atau memandang senja temaram

Kita gelombang; Gejolak dari dalamnya lautanTapi nasib di hadapanSeperti karang menunggu diterjangPasir yang menunggu hujanDua nama kita hanya bagianDari setiap kebisuanRiuh sendiri dalam cawan;Dulu menampung hujan dari matamu...

96 Seperti Para Penyair

Sampan dan lautan lalu berganti malamMalam-malam yang berjelaga Sampan yang bimbangRibuan suara memudarRibuan cahaya memendarLupakanlah bahwa kita akan duduk berhadapanDi tepian laut Atau memandang senja temaram

Tapi bila nanti hujanKukirimkan padamu kenanganRibuan rindu yang dulu menjelma kehilanganSewaktu kita terlambat menemukan.

Desember 2012

97Seperti Para Penyair

Di Balik Bukit HampaKalbu dipertaruhkan di atas perapianDari hidup yang ingin dibakar gairahNafsu tak pernah mencukupiKekosongan tak pernah heningSeperti kuda dilanda bimbangMemacu laju walau tak tahu kan ditujuTapi selagi padang dan ilalangMenyembunyikan lautanKuda-kuda kan terus melajuMenembus segala Dengan keyakinan ada samuderaDi balik bukit hampaKeluasan-keluasan;Sebelum sirna

“Aku mau hidup yang menari,Terus menari…”

Jakarta, 2 Maret 2012

98 Seperti Para Penyair

Sajak Kenangan Untuk IdaIWaktu itu kita remaja riang kalbu alangkahnyaDi tepi kali dibelai lembut angin dari waktu yang tak kita kira berlaluKini kutatap mega malam lembut suaraBisikan dari kelana entah rupa yang manaWajah-wajah pesona Matamu mengerling menimpa muaraDari kalbunya jiwa menengadah jauh di penghujungBiar sudah tahu waktu kan juga berlaluTapi kita nyanyikan lagu-lagu selaluIdaku,Beria kita seperti gemericik hujan Di antara tanah liat Kita tetap mengeja diri Kepada masa kanak-kanakKembali ke sana; menangkap isyaratNyatanya waktu tak lagi samaAntara kita tinggal jiwa-jiwaMakin nganga ditimpa hampaMakin hampa rindu yang dahulu

99Seperti Para Penyair

Kita sekarang bukan lagi wajah-wajah perjalananKita tinggal di sini dalam sebuah ruang; Tak lagi hayalkan kajauhanDi luar hanya takdir, Di hadapan menunggu kita menyaksikan,Bahwa kadang kita bukan bagian;

Idaku,Kita sekarang di sini didekap pekatSegelas kopi tinggal dingin kepekatan dari memoar waktu yang baru saja berlalu

hai siapa itu memancangkan rembulan ?dalam lengkung garis di antara payudara yang melantunkan lagu-lagu keheningan?

Suara-suara menjadi deburan ombakJauh di sana batin kita retak; senja membenam bagai pecahan-pecahan ingatan

100 Seperti Para Penyair

O, Idaku,Aku sekarang seonggok kemuramanYang bersemangat melantunkan tembang kegairahan; dari waktu yang menunggu seribu senja digelar menjadi pesta pora kehilanganIdaku,Nanti kita kan dipersatukanKita jadi kanak-kanak lagiSeperti saat hidup adalah perjalanan-perjalananTanpa penghujung;Jalan selalu panjang menarikan masa Selalu dalam keyakinan nanti Kan ada juga jalan menjumputDan ketika malam kita habis tempuhi kenangan; sendiri-sendiri.Jadi mari nyanyikan lagu-lagu ;dari kidungnya sunyi sebagaimana dulu kita menari-narikan keriaan menari-narikan tarian; kita terus ditari-tarikan

101Seperti Para Penyair

IIHujan petang ini hanya berarti ingatan; tuang lagi anggur dari senyuman paling manisseperti setiap kali kau kelelahan dan bertanya; apa ini hidup?

Lalu kusuguhkan padamu secawan kesegaran;yang kucuri dari lembut bola matamudan kau tak pernah tahu.

Aduh rindu di malam kini di atas tumpukan debu kenanganKita saksikan kepiluan-kepiluan dari hidup yang tak lagi kanak-kanak;tapi tariannya terpendam dalam kedalaman, sesekali kalbu meniadakan batas,kita lelap sekali lagi di lengkung senja yang menimpa ladang ilalang;kita serupa angin dan langit temaram; rasanya mabuk tak kepalang,setan di hadapan malu-malu mau turut menjelmakan—cahaya penghabisan.

102 Seperti Para Penyair

Idaku,Angin dari selatan membalut kalbu kitaMenuntun kepada jalan pulang akhirnyaSelamat jalan, jangan larut dalam pilu membiru, senantiasa menjadi baru,tak sirna hawa dari tubuhmu;Senantiasa menjelma wajahmu yang tengah lelap dalam segelas kopiku

Idaku,malam sudah penghabisan;dingin di renggut oleh waktucahaya gulita jadi sehelai pelangi jangan dulu cuci gelas kopikubarangkali masih ada sisa pilu dari rindu padamu sebagaimana selalu begituOh idaku…

Jakarta, 2 Maret 2012

103Seperti Para Penyair

Sajak MalamIKumatikan lampu; gelap jadi gulitaKututup pintu, aku menuju piluKutatap cahya, jadi bongkahan putih salju;Dan irama ditalukan dari balik pudar cahaya

Terang benderang dalam kelamMelesat jadi kilauan Dalam diam kalbuku mencariTanda dari deru nasib yang memancangkan kengerian

Kenangan-kenangan bagai ribuan diamDari riuhnya suara yang tertahanLama sekali, lamanya waktu buat menunggu Kenapa hanya menunggu?

Pada lengkungan serupa senja di punggungmuKususuri sunyimuYang purba dari berlalunya waktuDan sehelai nafas dari lelap tidurmuMembimbingku menyusuri sunyi yang lain

104 Seperti Para Penyair

Kutemukan impian, di sana bayangan-bayanganSeorang perempuan Dengan gaun jingga bertudung sutra putihBerjalan dari keriaan ke keriaanDari jalan sunyi sembunyi sedalam sepi

Lagu-lagu yang kau cipta melandakan kegamangan; terus mendesak menekankuPada rindu akan perjumpaan.

IIDi lautan… di lautan…Sekali malam ini hanya debur deru memburuOmbak berserak di antara kapal tua dan rembulanSepasang bintang muram Langit bersenda kehilangan

Pagi kan juga kembali menarikan hidup sehari-hariKita mencari jemari malam itu, jarimu dan jarikuMau mengucup mimpi Bergandeng bertalu Seiring bunyi dari setiap sepi

Heningnya keheninganAbadi dalam kehilangan

Sebelum waktu jadi penghabisanBaik pejamkan matamu Di antara derai hujanKan kujumput kau dari kerinduanWalau ribuan jalan menikung dan aku tersesat lagi..

105Seperti Para Penyair

Dalam keterasingan aku terbuangTapi ada sehelai rambutmu di sisi senyummuTertinggal di sini; menjadi malam, jadi nyanyian, menjadi tari-tarian apa ini dendang samsara? asmaradana tanpa senggama;dari kucup bibir nasib yang menalukan masa

IIIAduhDingin menjalari tubuhkuDari waktu menuju waktuKedinginan menjelmakan jalanMenuju terang cahaya

Kurebahkan kepalaku, di punggungmu;Keluasan lautan abadi; selalu Kususuri dengan sampan kecilDari kertas dengan barisan sajak kecilTentang sebuah malam yang dilanda kehilanganSewaktu hujan dan kita saling menemukanSebelum senja akhirnya menjelmakan kepiluan

Sudah... sudah…jangan ucapkanbahwa kita kan juga menempuh jalan

“Sekarang kemari kukucup bibirmu;Dan selamat jalan….”

Jakarta, 4 Maret 2012

106 Seperti Para Penyair

107Seperti Para Penyair

| Epilog

Juru Kunci Sepi di Jantung KeramaianDAMHURI MUHAMMAD*

Nama Bagi Kesenyapan

Dalam keramaian abad digital yang mustahil dihindari, dengan apa sebaiknya kesepian dinamai? Inilah pertanyaan pembuka yang hendak saya ajukan setelah membaca 66 sajak karya Sabiq Carebesth yang dibuhulnya dengan tajuk Seperti Para Penyair. Adapun yang saya sebut “keramaian” dalam hal ini adalah lalu-lalang kelisanan yang terus merajalela di dunia maya sejak fajar mulai menyingsing, siang, petang, malam, hingga subuh datang menjelang. Doa-doa, himbauan, maklumat, nasihat, petuah, wejangan, tausiyah, berhamburan di sana sini. Kabar gembira, berita kematian, puja-puji, umpatan, makian, sumpah-serapah, hasutan, hujatan, fitnah, adu-domba, beranak-pinak dan membelah diri sepanjang hari. Saya membayangkan betapa letihnya makhluk bernama “bahasa.” Betapa terkuras tenaganya, betapa sibuk aktivitasnya, betapa minim waktu tidurnya. Keramaian yang tak mungkin disangkal itulah yang telah menghisap segenap jiwa bahasa, merenggut sekujur sukma kata, hingga ia hampir-hampir tak mungkin punya waktu untuk menjenguk kesepian. Begitu sukar bagi bahasa untuk hadir, apalagi pasang-badan di tengah-tengah padang kerontang bernama; kesepian. Bahasa tidak sanggup lagi memberi nama bagi kesepian. Mata bahasa dilanda semacam rabun senja setiap kali berhadapan dengan realitas keheningan.

Menurut hemat saya, ketercampakan bahasa dari realitas kesepian itulah yang sedang diratapi oleh sajak-sajak Sabiq dalam buku ini. Kalau penyair penggila kopi ini saya kiaskan dengan personalitas seorang penggembala, maka ia adalah

108 Seperti Para Penyair

penggembala yang sedang membujuk kembali ternak-ternak piaran yang lepas masuk ke dalam kerumunan ramai, sementara di sana rumput amatlah terbatas. Dengan berbagai cara ia menghalau dan menghela hewan-hewan itu untuk kembali mencari makan di padang-padang rumput yang lapang dan lengang. Dengan begitu, maka alam yang pantas dihuni oleh puisi bukanlah alam ramai yang sibuk, melainkan alam kesendirian yang hening. Tapi sungguh aku ingin pergi/menyusuri sungai dalam belantara sepi/seolah di sana kita telah pergi begitu jauh/seolah kita kelana dalam dunia kabut/di mana batu-batu berlumut/Dan harimau paling ganas—sama mengadu tentang kesunyiannya. (Dalam Tungku Waktu, Sajak-sajak Membakarku).

Bahasa, bagi Sabiq, tampaknya hanya bisa lega bernapas dalam semesta sunyi, bukan di keramaian yang menyesakkan--atau barangkali sudah menyesakkan. Perkenankan saya mengandaikan frasa “tungku waktu” dalam sajak di atas, sebagai durasi waktu sepi yang tidak seberapa lama itu. Tapi di sanalah, sajak-sajak memercikkan api, dan membakar apa saja. Sementara dalam arus keramaian, ia terkutuk sebagai daun-daun mati yang beterbangan dihembus kesiur angin dari utara. Maka, lewat sajak di atas, penyair merindukan rimba raya kesenyapan, yang dipenuhi kabut dan batu-batu berlumut.

Dalam sajak Seperti Para Penyair yang dipilih sebagai judul antologi ini, Sabiq membangun sebuah karakter yang ia sebut dengan “tuan bagi kesepian sendiri.” Sekali lagi saya ingin mengandaikan kalimat itu sebagai kerinduan penyair pada kesendirian yang diringkus oleh rupa-rupa keramaian realitas dunia mutakhir. Bila dalam keramaian bahasa menjadi budak yang senantiasa diperdaya, maka di ruang-ruang kesendirian ia hendak dikembalikan menjadi tuan dan majikan. Di sinilah barangkali tugas berat puisi dalam rimba raya keramaian kontemporer.Dengan segenap daya upaya, penyair membebaskannya, menyelamatkannya dari etos ketertindasan yang tak kasat. Ikhtiar semacam

109Seperti Para Penyair

itu saya jumpai dalam sajak-sajak seperti Elegi Sepi, Elegi Hening, Rajawali Musim Sepi, Kursi-kursi Mati Sunyi, dan beberapa sajak lainnya.

Tapi, apakah dengan demikian bahasa yang meringkuk sebagai terpidana dalam penjara keramaian itu sungguh-sungguh telah terselamatkan? Saya kira belum. Menimbang-nimbang upaya Sabiq dalam buku ini, sekali perkenankan saya mengumpamakan kepenyairannya. Kali ini ia adalah sipir penjara yang nakal, di mana pada waktu-waktu petugas lain sedang lengah, ia menyeludupkan seorang napi untuk bebas berkeliaran menghirup udara luar. Tapi, napi itu, yang tidak lain adalah bahasa, harus tetap bersetia pada penjara. Mesti kembali pada waktunya, menyerahkan diri dan kembali meringkuk di balik jeruji besi. Dengan begitu, di tangan Sabiq, bahasa hanya dibuat sekadar bersandiwara. Seolah-olah bebas, seakan-akan merdeka dari kuasa keramaian, padahal statusnya masih narapidana. Tidak ada puisi di siang terik/penyair tengah sibuk bekerja/membangun mimpi di dekat kuburan/jadi badut atau politisi/jadi tukang pulung atau tukang tipu/apa bedanya?/sajak-sajak dijual di pasar loak/atau di sosial media, sebagai hiburan/tapi siang ini tak ada sajak Tuan/penyair tengah sibuk bekerja/membangun mimpi di dekat kuburan (Siang Ini Tak Ada Sajak,Tuan)

Bait “membangun mimpi di dekat kuburan” sepintas lalu mungkin kedengarannya sebagai kesendirian dalam kesenyapan, tapi sekali lagi saya mengandaikannya sebagai laku yang sebenarnya juga berlangsung dalam lalu-lalang keramaian. Frasa sibuk bekerja, pasar loak, dan sosial media, adalah pertanda bagi medan ramai tempat bahasa terperangkap. Maka, “membangun mimpi di dekat kuburan” adalah semacam ziarah yang diselenggarakan dalam keramaian. “Kuburan” yang dibayangkan penyair mungkin saja pusara bagi tubuh-tubuh kesepian yang dipancangkan di jantung metropolitanisme kota-kota yang sibuk.

110 Seperti Para Penyair

Piknik ke Masa Lalu

Di masa ketika doa-doa hanya dilafalkan untuk kebahagiaan di masa datang, masih adakah khutbah yang berisi nasihat dan himbauan untuk sesekali piknik ke masa lalu? Inilah pertanyaan kedua yang hendak saya munculkan bagi segenap sajak-sajak Sabiq di buku ini. Aduh sayangku/mana sempat kita melalui malam/sambil berbelanja kenangan di pojok-pojok toko sepatu, kedai kopi atau segala yang ingin kita singgahi. Demikian saya kutipkan beberapa bait dari sajak berjudul “Kota dalam 5 Paragraf Tanpa Jeda dan Dialog.” Sajak itu seolah-olah hendak menegaskan betapa masa silam telah menjadi barang rongsokan yang hanya dapat dibeli--itupun kalau berminat--di pojok-pojok toko sepatu atau di kedai-kedai kopi. Masa lalu tidak akan pernah dijumpai dalam etalase-etalase kaca Pondok Indah Mall, Senayan City, atau Pacific Place. Bagi sajak itu, kenangan yang bermukim di masa silam sudah lama jatuh sebagai residu perabadan kontemporer dengan kegemilangan masa depan sebagai kiblat dan berhalanya.

Oleh karena itu, kalau masih ada--sekali lagi kalau ada--manusia urban yang diklaim tekun merawat koleksi kenangan, lelaku semacam itu tiada lebih dari kegiatan piknik akhir pekan, untuk sekadar melarikan diri dari kebosanan berlibur di gedung-gedung mentereng dengan lantai yang licin, dan ruang-ruang berpendingin. Bukankah sudah lazim dalam keinginan orang-orang kota, bahwa sekali waktu kita perlu bertamasya di alam terbuka, dengan suasana yang digarap seperti perkampungan, tempat kita bermain di masa kanak-kanak. Demikian kira-kira pengandaian saya.

111Seperti Para Penyair

Tapi persoalannya adalah, masa lalu yang dikunjungi dalam piknik sehari itu, hanya untuk semakin jauh dilupakan. Banyak orang gemar menapaktilasi kenangan hanya untuk semakin dalam menguburkannya. Maka ia tuangkan ke dalam gelas kopinya debu-debu kenangan/seperti debu-debu ia adalah waktu-waktu yang menempel di dinding-dinding kota/sebelum akhirnya malam merenggut kotanya dan hujan membersihkan debu-debu kenangannya; ia kedinginan, membeku dalam sendirian/seolah telah ditakdirkan demikian. Tengoklah, betapa masa lalu dalam kutipan itu, tiada lebih dari residu di masa kini. “Debu-debu,”--demikian Sabiq menyebutnya--yang tentu saja mengotori, atau bahkan menajisi tubuh-tubuh mentereng abad ini, dan oleh karena itu ia perlu dibersihkan dengan perkakas vacum-cleaner, paling tidak seminggu sekali.

Selepas itu, pertanyaan yang hendak saya ajukan kemudian adalah, apakah sajak-sajak Sabiq mengandung semacam ajakan untuk bersetia pada kenangan? Atau sebaliknya, penyair yang gemar sekali dengan kata “kopi” ini justru mengampanyekan agar kita segera berbenah membersihkan tubuh-tubuh modern ini dari remah-remah masa lalu? Untuk apa bersetia pada kenangan bila kenangan itu hanyalah timbunan luka yang bila diungkit-ungkit kembali tentu akan menjadi beban yang menyakitkan? Tapi, tanpa kenangan apalah artinya hidup yang terus-menerus dibuat lelah oleh tahyul kemajuan ini? Begitulah sikap saya yang terombang-ambing saat membaca sajak-sajak Sabiq dalam buku ini.

112 Seperti Para Penyair

Ekspektasi saya sesungguhnya lebih jauh. Sajak semestinya tidak hanya memperlakukan kenangan sebagai “destinasi” piknik sehari, melainkan sebagai padang mahsar tempat semua yang bernama “kekinian” dan “ke-disini-an” akan berpulang dan tidak akan kembali lagi sebagai masa kini, apalagi masa datang. Dengan rupa-rupa kenangan, sajak semestinya sanggup mengunci masa kini dan masa datang, hingga putaran waktu berhenti, dan buku-buku sejarah tak ditulis lagi. Sajak seharusnya mampu menghisap semua ruang, menghisap laju kencang waktu, dan mengunci putaran roda-roda zaman.

Puisi yang Lenyap di Belantara yang Bising

Saya mengenal Sabiq bukan sekadar pribadi yang menggemari puisi, tapi juga personalitas yang hendak menghadirkan realitas puitik dalam kesehariannya. Betapa tidak? Ia bahkan memberi nama anaknya dengan Puisi, dan beberapa sajak dalam buku ini ia garap sebagai perbincangan imajiner dengan Puisi, putri kecilnya yang menggemaskan itu.

Sabiq adalah pribadi yang gemar bersembunyi. Meskipun pada akhirnya saya berkesempatan memotret prosesi pernikahannya beberapa tahun lalu, tapi hingga kini saya tak pernah tahu di mana kampung halamannya, siapa bapak-ibunya, dan apa pekerjaannya. Ia kerap muncul tiba-tiba, menghilang beberapa lama, lalu datang lagi dengan membawa sekian banyak rencana, tapi ujung-ujungnya mengeluarkan draft buku puisi dari ranselnya. Ia selalu mengaku belum ada satu pun rencana yang pernah ia bincangkan itu terwujud, meskipun kegiatan menulis puisi tak kunjung berhenti. Pendeknya, Sabiq adalah teka-teki yang belum terpecahkan bagi saya hingga kini.

113Seperti Para Penyair

Sabiq pasti tahu bahwa di belantara kelisanan yang sedemkian nyinyir dan bising ini, puisi adalah dunia yang sama sekali tidak seksi. Menulis puisi bukanlah perkara gampang, sementara mendapatkan pembaca yang tajam--apalagi pembaca yang mendambakan kedalaman--jauh lebih tidak mudah lagi. Mungkin sebagian orang masih giat merayakan puisi dengan berteriak-teriak di atas mimbar, sembari mendabik-dada sebagai penyair besar, lalu para hadirin bertepuk bersorak-sorai, tapi masih adakah orang yang sungguh-sungguh menyelam guna menggapai kedalaman puisi?

Hari-hari ini puisi hanya diperlakukan sebagai hiburan alternatif dalam dunia keramaian yang menyuguhkan macam-macam kesenangan. Bila ada yang jenuh, bolehlah sesekali menonton upacara pembacaan puisi, atau sekadar mengoleksi buku-buku puisi, supaya tampak sebagai makhluk berbudaya. Puisi tidak lagi menjadi laku dalam kedalaman, tapi sekadar lipstik yang dioleskan bilamana seorang perempuan hendak menghadiri sebuah pesta. Di rumah, di dapur, atau bahkan di hadapan suami, lipstik tidaklah diperlukan. Biarlah tampak kusut, dan awut-awutan, toh kita tidak sedang berada di tengah keramaian. Sabiq, saya kira menyadari betapa tak mujurnya nasib puisi di masa kini. Tapi alih-alih mengabaikannya, saban hari ia justru semakin asyik bercengkrama dengan Puisi, putri kecilnya, senantiasa melibatkan diri dalam kesadaran puitik. Semoga Puisi (dengan huru p besar) dan puisi (dengan huruf p kecil) juga memaklumi betapa besarnya cinta Sabiq kepada mereka…

DAMHURI MUHAMMADKolektor kenangan

114 Seperti Para Penyair

|Surat Pembaca:Pembaca bisa memberikan komentar, kesan, atau review melalui email penulis di: [email protected] Penulis akan membacanya, menyimpan setiap surat dan mengoleksinya sebagai kenangan.

115Seperti Para Penyair

Sabiq Carebesth, lahir pada 10 Agustus 1985. Tinggal dan bekerja di Jakarta. Selain menulis puisi juga menulis esai dan kolom untuk koran dan majalah. Buku kumpulan sajaknya terdahulu “Memoar Kehilangan” (2012). Saat ini penulis aktif sebagai editor in chief www.galeribukujakarta.com dan majalah budaya “Book, Review & Culture”. Penulis juga bisa dikunjungi di www sabiqcarebesth.com atau twitter @sabiqcarebesth.

| Tentang Penulis